Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Isu kesehatan mer upakan
isu yang sangat penting
dan mendapat perhatian
dari Pemerintah Aceh.
Oleh sebab itu, program
keseha tan menjadi
program utama dan
berada di atas program
pendidikan dan lainnya.
Anggaran yang diplot
untuk JKA juga terus naik.”
Ir. H. Nova Iriansyah, MT
Plt Gubernur Aceh
“
2 Edisi 02/Tahun I/2019eujahteraS ACEH SEHAT
DINAS KESEHATAN ACEH
Isi di luar tanggung jawab percetakan
Alamat Redaksi: Jalan Tgk. Syech Muda Wali Nomor 6 Telpon (0651) 22421 – Fax. 34005
BANDA ACEH 23242
Salam Redaksi
Gubernur Aceh :Wakil Gubernur Aceh :
Sekretaris Daerah Aceh :Kepala Dinas Kesehatan Aceh :
Sekretaris Dinas Kesehatan Aceh :Para Eselon III/Kabid/Ka. UPTD Dinkes Aceh :
Ka. Subbag Umum & Perencanaan :Yusrizal, SKM.,M.Kes :Cut Ampon, ST.,M.Si :Cut Efri Maizar, SKM :
Afril Heri P, SKM.,M.Kes :Cut Nasrulsyah, SKM :Azhari., SKM.,M.Kes :
Muhammad Jamil, SKM.,M.Kes :Faizah Hanum, SKM :
Muhammad Yusuf, SKM.,MPH :Safrizal, AMTE :
Muhammad Fauzi, AMTE :Muhammad Iqbal Basri, SKM :
Ainal Mardhiah, SKM.,M.Si :Arina, SKM.,M.Kes :
Nur Arafah, SKM :Yulidar, SKM :
Henny Maulida, SKM :
Pelindung/PengarahPelindung/PengarahPelindung/PengarahPengarahPenanggung JawabPenanggung Jawab MateriPemimpin umumPemimpin RedaksiDewan RedaksiDewan RedaksiDewan RedaksiSekretariat RedaksiSekretariat RedaksiSekretariat RedaksiSekretariat RedaksiInformasi TeknologiInformasi TeknologiPhotograferPhotograferNotulensiNotulensiNotulensiNotulensiNotulensi
Komitmen Peningkatan Layanan JKA
DI PENGHUJUNG sisa gema Idul Fitri 1440 H yang masih terasa menggeliat, kami me
nyelesaikan edisi ke2 Tabloid Aceh Sehat Seujahtera tahun 2019 ini, hingga sampai ke khasanah baca Anda semua. Kami merangkum beberapa reportase, mulai dari Laporan Utama, Laporan Khusus, serta rangkaian bukti visual aktifitas jajaran Dinkes Aceh selama dua bulan terakhir. Setidaknya akan menjadi pengaya bagi perluasan wawasan Anda, serta tentu saja untuk menambah referensi Anda di dunia baca.
Kali ini kami mengangkat isu utama menyangkut rencana Pemerintah Aceh untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas layanan kesehatan lewat jalur JKA. Sebagaimana kita ketahui, layanan JKA yang menjadi embrio terwujudnya layanan kesehatan gratis nasional lewat jalur BPJS, kini tetap berlangsung, seiring berlakunya BPJS.
Plt Gubernur Aceh, Ir H Nova Iriansyah MT menyebutkan, peningkatan kualitas layanan JKA itu tak lepas dari visi misi Pemerintah Aceh yang menomorsatukan sektor kesehatan, karena nya menjadi isu utama yang mendapat perhatian Pemerintah Aceh. Dengan target akhir terwujudnya Aceh Seujahtera.
Hal yang sama diungkapkan Kadis Kesehatan Aceh, dr Hanif yang secara lugas
menyebutkan, tambahan itu berupa alat bantu dengar bagi anak Aceh yang tunarunggu. Semua empati itu tak lepas dari komitmen Pemerintah Aceh di sektor kesehatan, yang secara langsung bisa dinikmati oleh rakyatnya.
Salah satu wujud dari komitment itu konsistensi Pemerintah Aceh dalam menyediakan obat yang dihibahkan kepada pemerintah kabupaten/kota di Aceh setiap tahunnya melalui Dana Otsus. Tahun ini ada ploting dana sebesar Rp 3 miliar un tuk sektor tersebut.
Komitmen kolektif untuk perbaikan layanan JKA itu juga disuarakan oleh Iskandar Dawod, Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Ia meminta sisa dana JKA tahun 2019 yang belum tertampung, bisa diajukan kembali dalam usulan dana tambahan atau APBAP tahun 2019. Dengan kebijakan tersebut diharapkan peningkatan coverage layanan JKA akan bisa diwujudkan pada tahun ini.
Harus diakui, perluasan coverage layanan JKA itu akan menggerus dana Otsus Aceh. Namun manfaat langsung yang dirasakan oleh jutaan rakyat membuat urgensi JKA itu jauh lebih penting. Konon lagi ini menyangkut hajad hidup jutaan rakyat Aceh, tanpa membedakan kelas atau stata.
Seperti edisi sebelumnya, kami masih membuka rubrik gallery visual, berupa foto
foto rangkaian kegiatan jajaran Dinkes Aceh serta pihak pihak terkait lainnya. Bagaimanapun foto kadang lebih banyak bicara dan menjadi bukti sahih dari keinginan untuk mewujudkan kehendak kolektif intitusi.
Masih seputar penguatan layanan kesehatan, Pemerintah Acerh tahun ini juga melakukan penguatan Posyandu melalui program Revitaliasi, seperti di ung kapkan Kabid Kesehatan Masyarakat, dr Efi Safrida.
Di sisi lain, penambahan coverage layanan JKA, serta ko mitment lain untuk memberikan layanan kesehatan terbaik bagi warga Aceh, tak ada artinya jika tak diikuti komitmen para SDM kesehatan untuk memberikan layanan terbaik. Salah satu koridor yang ditempuh adalah dengan melakukasn pemilihan Nakes Teladan.
Seperti dikatakan Abdul Fatah, Kabid SDK Dinkes Aceh, pemilihan Nakes Teladan itu bukan hanya sekadar upaya memberikan reward, namun yang lebih hakiki adalah tekad untuk memberikan pelayanan bermutu dan berkualitas kepada masyarakat Aceh.
Masih ada beberapa rubrik yang kami sajikan di edisi kali ini. Dan kami tutup dengan sebuah tulisan inspiratif tentang seorang Ferdiyus SKM MKes , mantan perawat gigi yang kini telah menjadi SekDinkes Aceh. Moto lelaki itu sederhana saja, berkomunikasi dan melayanilah dengan hati!
3Edisi 02/Tahun I/2019 eujahteraS ACEH SEHAT
DINAS KESEHATAN ACEH
Laporan Utama
Penambahan dan Peningkatan Kualitas Pelayanan JKA Plus
PEMERINTAH Aceh terus memperbaiki program JKA plus baik secara kuantitas maupun kualitas. Pelayanan di berbagai fasilitas keseha-
tan semakin ditingkatkan, baik di pusk-esmas maupun rumah sakit berbagai tipe hingga ke pusat rujukan utama, Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin Banda Aceh. Pelayanan-pelayanan yang sebelumnya belum tercover oleh BPJS Kesehatan, ke depan akan coba ditanggung langsung oleh Pemerintah Aceh. Misalnya saja bantuan alat bantu dengar kepada anak-anak yang bisu.
Saat ini BPJS Kesehatan be-lum meng-cover kebutuhan tersebut. Kepala Dinas Kesehatan Aceh dr Han-if memastikan bahwa pihaknya akan mengajukan usulan anggaran ke DPRA dalam APBA-P mendatang.
“Karena anak yang lahir tidak bisa mendengar, bisa mengakibatkan bisu seumur hidup. Itu sebabnya pe-layanan akan kita tambah. Saya akan mengajukan usulan di perubahan anggaran. Ini di luar jaminan BPJS. Klaimnya itu langsung ke Dinas Kese-hatan. Alatnya memang mahal, “ tan-das Kepala Dinas Kesehatan Aceh dr Hanif kepada kru Tabloid Aceh Sehat Seujahtera, pekan lalu.
Perbaikan dan penambahan jenis pelayanan ini tidak terlepas dari prior-itas pemerintah Aceh yang menom-orsatukan sektor kesehatan. Pelaksana Tugas Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, memastikan bahwa isu kesehatan mer-upakan isu yang sangat penting dan mendapat perhatian dari Pemerintah Aceh. Oleh sebab itu, program keseha-tan menjadi program utama dan berada di atas program pendidikan dan lainnya. Anggaran yang diplot untuk JKA juga terus naik. Jika pada tahun 2010 APBA yang diplot untuk JKA sekira Rp 230 miliar, kini hampir Rp 600 miliar.
“Karena apa pun tidak dapat dilakukan tanpa adanya kesehatan,” kata Nova Iriansyah saat membuka Rapat Kerja Kesehatan Daerah (Rak-erkesda) di Hermes Palace Hotel, Ban-da Aceh, Senin (4/3/2019). Rakerkesda tersebut mengusung tema “Kolabora-
si Pemerintah Aceh, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam Penguatan Pelayanan Kesehatan Menuju Aceh Sejahtera.”
Menurut Nova, kualitas kesehatan di Aceh memang belum memuaskan. Ada beberapa isu tentang kesehatan yang saat ini ditangani Pemerintah Aceh. Di antaranya terkait pencegahan stunting, penanganan Penyakit Tidak Menular ( PTM), Tuberculosis (TBC), peningkatan cakupan dan mutu imunisasi serta Ang-ka Kematian Ibu dan Angka Kematian Neonatal (AKI- AKN). “Untuk mem-perbaiki lima isu tersebut, langkah yang kami lakukakan tidak hanya melalui pen-gobatan, tapi juga melakukan pencegah-an,” tutur Plt Gubernur.
Selain itu, kata Nova, pihak Peme-rintah Aceh saat ini telah memberikan sistem pelayanan kesehatan kepada masyarakat sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pelayanan tersebut, sambung Nova, tidak hanya di hadirkan di Provinsi saja, tapi juga sampai ke pe-losok desa.
Rumah sakit juga harus berusaha meraih standar pelayanan tertentu, mis-alnya melalui perolehan akreditasi, baik yang berlevel nasional hingga internasi-onal. RSUDZA misalnya, saat ini sedang berusaha meraih akreditasi JCI, sebuah standar akreditasi dari Join Commission Internasional. Dari ribuan rumah sakit di Indonesia, baru beberapa rumah sakit yang berhasil meraih standar tersebut.
Plt Gubernur mengatakan, pro-gram JKA Plus merupakan tekad pihak-nya untuk memberikan akses pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang berkualitas dan masif. Meski demikian, dalam peningkatan kualitas kesehatan, Aceh masih kerap menghadapi berbagai tantangan seperti kekurangan tenaga dokter, utamanya di Rumah Sakit Daerah serta belum adanya tenaga medis yang memadai di puskesmas. “Di tambah lagi, masih banyak kekurangan kesadaran masyarakat untuk menjaga kesehatan. Selain stunting, Aceh juga rentang terke-na penyakit jantung dan stroke,” ujarnya.
Selanjutnya, Nova menuturkan, pihak Pemerintah Aceh juga sedang
menyiap kan dan menyusun aksi penan-ganan dan pencegahan untuk mendapat hasil yang lebih baik dalam pemban-gunan kesehatan ke depan. Selain aksi pencegahan dan penanganan, ia meng-ingatkan kepada seluruh stakeholder da-lam bidang kesehatan untuk memverifi-kasi data kesehatan. Sebab, data tersebut sangat menentukan rencana, aksi, dan tindakan agar bisa tepat sasaran.
Nova menilai, bekerja di bidang kesehatan membutuhkan banyak hal, seperti nalar, kerja keras, kesabaran, dan keikhlasan. Oleh karenanya, atas nama Pemerintah Aceh ia mengapresiasi semua langkah yang telah dilakukan oleh semua komunitas kesehatan mulai dari pemerintah, TNI- Polri, lembaga nasion-al sampai lembaga swasta.
“Saya berharap nanti Ibu Menteri menyampaikan langkah yang harus kami lakukan untuk memperkuat pelayanan kesehatan sehingga visi misi Irwandi Nova dalam mewujudkan program kese-hatan bisa tercapai,” pungkasnya di depan Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek.
Sementara itu, Menteri Keseha-tan Republik Indonesia, Nila Moeloek, mengatakan pihaknya tidak hanya ingin meningkatkan usia harapan hidup mas-yarakat Indonesia. Lebih lanjut, ia ingin usia kehidupan masyarakat Indonesia berkualitas.
Umur harapan hidup indonesia dari tahun 1990 sampai 2017 mengalami peningkatan yakni 71,5 persen. Namun untuk Aceh, tutur Nila, usia harapan hid-
up masih memperihatinkan karena di bawah presentase nasional, yakni 67,8 persen. “Insya Allah Pak Plt Guber-nur sangat mementingkan isu keseha-tan, sehingga outcome yang kita dapat adalah kesehatan yang berkualitas,” tu-turnya.
Indonesia, kata Nila, angka kema-tian ibu masih tinggi dibandingkan Fil-ipina, Vietnam dan Singapura. Selain angka kematian ibu, tren status keku-rangan gizi balita di Aceh masih cukup tinggi. Menurutnya, semua pemangku kepentingan kesehatan harus banyak melakukan konsultasi agar anak Aceh tidak menderita stunting. “Selain itu, Kita juga perlu memotivasi pencegah-an terhadap penyakit diabetes,” tutur Nila.
Tingginya penderita diabetes di Aceh juga bukan isapan jempol. Pola hidup tak sehat ditengarai sebagai salah satu penyebab. Oleh karena itulah, pe-merintah Aceh melalui Dinas Keseha-tan Aceh tidak lupa mengampanyekan pola hidup sehat lewat berbagai pro-gram, termasuk melalui media massa.
Nila mengajak seluruh stake-holder dalam pembangunan kesehatan untuk menggaungkan gerakan mas-yarakat sehat (germas) serta penguatan layanan kesehatan. Selain itu, untuk menguatkan mutu kesehatan di Aceh, pihaknya telah mengirim tenaga medis serta berusaha untuk mengembalikan dokter spesialis ke setiap kabupaten/kota.(*)
4 Edisi 02/Tahun I/2019eujahteraS ACEH SEHAT
DINAS KESEHATAN ACEH
“
Laporan Utama
Pemerintah Aceh Plotkan Rp 3 M untuk Obat Bufferstok
ESUAI dengan ketentuan Undang Udang yang menyebutkan, pemerintah wajib memenuhi kebutuhan obat pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) yaitu di tingkat Puskesmas, Pemerintah Aceh setiap tashun anggaran memplotkan anggaran untuk pengadaan obat di Puskesmas seluruh Aceh.
Menurut Elfina SSi Apt, Kasie Ke farmasian Dinkes Aceh, untuk tahun 2019, Pemerintah Aceh memplotkan dana sejumlah Rp 3 miliar
untuk pengadaan obat di jajaran FKTP atau Pusk
esmas yang tersebar di seluruh Aceh.
Pengadaan obat itu dilakukan melalui Dana Otsus, sejak Aceh mendapatkan dana tersebut dari pu sat. Sebelumnya
ju ga menggunakan da na APBA yang dulu
nya masih berwujud dana APBD. “Setiap tahun
Pemerintah Aceh memplotkan dana, untuk obat, bahan medis habis pakai, (alat suntik, kapas, kasa, masker serta lainya) juga ada vaksin. Semua itu ditalangi dengamn dana yang diplotkan setiap tahun. Khusus tahun 2019 diplotkan dana obat sebesar Rp 3 miliar,” kata Elfina.
Ditambahkan, pengadaan obat oleh Pemerintah Aceh itu sifatnya hanya sebagai stok penyangga atau buffer stock, yang disalurkan jika ada permintaan dari Kabupaten/Kota di Aceh.
Fungsi stok penyangga itu juga dilakukan oleh pemerintah pusat. Dalam hal ini penyaluran ke tingkat propinsi bartu dilakukan setelah adanya permintaan dari Dinkes
propinsi ke Kementerian Kesehatan RI. “Kita minta ke Jakarta jika ada kekosongan obat, misalnya vendor tak sanggup penuhi permintaan, lalu Pemerintah Aceh meminta obat ke Jakarta selaku buffer stock tingkat nasional yang menggunakan dana APBN,” tutur Elfina.
Obat yang telah disalurkan oleh pemerintah pusat dan propinsi itu sifatnya adalah hibah atau menjadi inventaris yang dikelola dan dimanfaatkan oleh daerah. Artinya tak lagi perlu ada pengembalian dari kabupaten/kota penerima ke pemerintah propinsi. Hal yang sama juga berlaku untuk obat yang disalurkan pusat ke Pemerintah Provinsi.
Karena sifatnya hibah maka penyerahan atau penyaluran obat dari pemerintah propinsi dan pusat itu dilengkapi BAST (Berita Acara Serah Terima). Hal itu juga terkait dengan tertib administrasi serta juga tertib anggaran.
Setelah diserahterimakan, maka obat obat itu mernjadi milik daerah kabupaten/kota. Merekalah yang mengelola serta mendistribusikan ke Puskesmas. Selain itu juga dengan mengawasi jadwal kedaluarsa setiap jenis obat atau fasilitas yang diterima dari Pemerintahan Propinsi.
Pengadaan obat di kabupaten
direalisasikan melalui pengusulan dengan melampirkan RKO (Rencana Kebutuhan Obat) . Namun dalam proses realisasinya kadang sampai tiga bulanan, karena juga melalui proses pengadaan yang makan waktu atau rata rata distributor minta waktu 90 hari untuk realisasi pengadaan obat.
Karena usulan pengadaan itu dilakukan secara online dan bisa dipantau oleh Dinkes Propinsi, maka pihak Pemerintah Aceh melalui Dinkes Aceh melakukan langkah antisipatif, dengan mempersiapkan obat sebagai stok penyangga. Obat obat yang distanbykan pihak Pemerintah Aceh itu adalah obat obat yang masuk dalam 20 indikator obat.
Disebutkan oleh Elfina, obat yang disuplai ke kabupaten/kota itu adalah, obat kesehatan dasar seperti, obat demam, obat diabetes, hipertensi, obat kesehatan ibu dan anak, vaksin, serta lainnya. “Intinya obat yang diadakan propinsi melalui dana Otsus hanyalah obat yang masuk 20 indikator. Sebagai buffer stok propinsi siap sepanjang tahun. “Kita bisa melihat secara online atau e Monev, RKO kabupaten/kota, dan kita langsung bergerak cepat melakukan antisipasi untuk bufferstok,” tandas Elfina.(ns)
Setiap tahun Pemerintah Aceh memplotkan dana,
untuk obat, bahan medis habis pakai, (alat suntik,
kapas, kasa, masker serta lainya) juga ada
vaksin. Semua itu ditalangi dengan dana yang diplotkan setiap
tahun. Khusus tahun 2019 diplotkan dana obat
sebesar Rp 3 miliar.”
Elfina SSi AptKasie Farmasi Dinkes Aceh
Dari SPO Hingga Mengacu Kepada PORPROSEDUR permintaan obat dari Kabupaten/Kota ke Pemerintahan Propinsi terhitung simple dan tak berbelit. Pihak Dinkes Kabupaten/Kota membuat surat permohonan yang ditandatangani oleh Kadinkes setempat. Yaitu dalam bentuk Surat Pemintaan Obat (SPO).
Surat permintaan itu akan ditelaah dalam kesempatan pertama, sebelum dilakukan penyaluran. Langkah taktis diperlukan, karena menyangkut nasib ribuan atau bahkan jutaan ummat yang membutuhkan.
Materi obat yang diminta haruslah dominan dengan yang termasuk dalam 20 indikator. Seperti obat demam, diare, kesehatan ibu dan anak, termasuk obat pencegah stunting. Selain itu juga ada vaksin, dan obat hipertensi hingga diabetes. Selain dilihat dari sisi proporsionalitas, pem,enuhan permintaan obat itu juga mengacu dengan Penggunaan Obat Rasional (POR). Yaitu penggunaan obat sesuai dengan indikasi, efek samping serta memperhatikan waktu atau kapan obat diminum.
Ada empat indikator POR, yakni, penggunaan antibiotik pada kasus ISPA nonpnomeni, Menurut aturan dari Kemenkes, jika batuk tak disertai dengan sesak tak perlu digunakan antibiotic. Kedfua, penggunaan antibiotik pada kasus diare
nonspesifik, yaitu diare yang tak disertai lendir atau hanya diare biasa. Itu cukup dengan garamn oralit atau zinc. Tak direkomendasikan untuk menggunakan antibiotik seperti cotremoxsazol. Yang ketiga injeksi pada kasus miagia, kalau pegal pegal biasa tak perlu gunakan injeksi vitam,in. Indikator terakhir adalah, rerata lembar resep untuk semua kasus obat.
Artinya, dalam kondisi normal, obat milik Pemerintah Propinsi lebih difokukskan pada kabupaten/kotas yang 20 persen dari jumlah Puskesmasnya sudah mencaspasi nilai POR pada angka 60 persen. Namun demikian, jumlah obast yang disalurkan ke kabupaten/kota itu juga terkait dengan sebaran penduduk dan jumlah unit Puskesmas yang ada.
Umumnya obat yang paling banyak diminta oleh daerah adalah yang termasuk dalam 20 indikator, misalnya obat amoxilyn tablet dan sirup. Paracetamol tablet dan sirup, obat obat antasida atau maag, Selain itu juga salep, terutama untuk kalangan pesantren yang banyak membutuhkan, dimana santrinya rawan terkena gatal gatal.
Pengiriman obat ke daerah tak ada biaya, jadi langsung diantar oleh petugas ke Dinkes kabupasten/kota.
Obat hibah dari propinsi
atau Pusat itu hanya diberikan untuk fasilitas kesehatan tingkat pertama, dalam hal ini Puskesmas. Sementara untuk Rumah Sakit milik pemerintah telah ditanggung dengan program BPJS.
Namun, seandainya terjadi kondisi darurat obat di sebuah rumah sakit, pihak rumah sakit bisa saja meminta penalangan sejenak ke Dinkes setempat, dan bisa disalurkan, selaku pemegang peran stok penyangga obat daerah. Akan tetapi tetap saja obat itu harus dikembalikan setelah ada obat pengganti milik rumah sakit. “Jika tidak ini akan menjadi temuan sebab statusnya hanya pinjaman. Dan pihak Dinas akan dimintai pertanggungjawaban sesuai ketentuan anggaran, karena obat itu ditanggung dengan dana Otsus serta peruntukannya sudah jelas,” tegas Elfina.
Lebih dari itu, rumah sakit saat ini sudah menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) yang bisa melakukan amparahan obatnya melalui klaim BPJS.
Selain itu, pihak kabupaten/kota hanya meminta talangan obat ke Pemerintah Propinsdi kala kondisi obat kurang. Karena daerah tingkat II juga memiliki stok obat tersendiri yang diadakan melalui dana APBK. “Sesuai ketetapan Kemenkes, masing
masing daerah harus mencukupi obatnya untuk masa delapan belas bulan. Ketentuan itu berlaku hingga tingkat kabupaten/kota dan propinsi.”
Sebelumnya sempat terjadi, ada pemerintahan kabupaten/kota yang tak menganggarkan pengadaan obatnya. Karena mereka berpikir hal yang sama telah dilakukan pemerimntah tingkat propinsi, melalui dana otsus. Namun akhirnya mereka mengerti jika peran pemerintah propinsi dalam hal ini obat yang ada di Isntalasi Farmasi Dinkes hanyalah sebagai stok penyangga, yang sifatnya standby jika terjadi permintaan dari kabupaten/kota.
Di sisi lain, pihak Kabupaten/Kota juga punya kewajiban mengadakan obat untuk mencukupi kebutuhan Puskesmas masing masing di wilayahnya, lewat Dana Alokasi KHusus (DAK). “Kita juga memberikan obat itu secara terukur dan proporsional. Misalnya mereka minta Paracetamol 1000 boks,
kita tak lantas memenuhinya, karena ada kajian kelayakan tersendiri. Karerna Pemerintah Aceh masih memiliki kewajiban terhadap 22 kabupaten/kota lain yang harus dipikirkan,” kata Elfina.
Penyaluran obat itu semata mata untuk menghindari terjadi kekosongan obat di Puskesmas. Penjabaran kebutuhan juga dilihat dari jumlah Puskemas di kabupaten/kota setempat, karena tentu berbeda jumlah Puskesmas pada setiap kabupaten/kota.
Selain untuk mengantisipasi kekosongan obat di Puskesmas, obat milik propinsi atyau pusat itu didrop dalam kesempatan pertama jika terjadi bencana di daerah, seperti banjir, kebakaran atau musibah social lainnya. Penyaluran obat juga dilakukan saat kegiatan bakti social di kabupaten/kota. Semua itu tetap saja dikoordinasikan dengan instansi teknis terkait di daerah setempat.(ns)
S
5Edisi 02/Tahun I/2019 eujahteraS ACEH SEHAT
DINAS KESEHATAN ACEH
“
Laporan Utama
Ini merupakan kewajiban Pemerintah Aceh untuk
memenuhi sisa atau dana kurang bayarnya JKA tahun
2019. Karena ini program unggulan kampanye
gubernur/wakil gubernur, maka ini harus dipenuhi.”
--Iskandar Daod,Anggota Komisi VI DPRA
Sisa Dana JKA yang belum Tertampung Bisa Diajukan Kembali
KOMISI VI Dewan Perwaki lan Rakyat Aceh menegaskan, Pemerintah Aceh berkewajiban untuk me
menuhi dana Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) secara penuh dalam tahun anggaran berjalan 2019.
Kewajiban ini menurut ang
gota Komisi VI DPRA Iskandar Daod menjadi
tang gung jawab Pemerintah Aceh untuk memenuhi layanan kesehatan bagi rakyat sesuai dengan visi dan misi pemerintah.
Hal tersebut dikatakan Iskandar
Daod sehubungan dengan masih adanya sisa
anggaran JKA yang yang diajukan Pemerintah Aceh
belum disetujui atau disahkan dalam APBA 2019.
Sisa anggaran JKA yang belum disahkan tersebut mencapai Rp 200 miliar dari pagu yang diajukan Pemerintah Aceh untuk tahun 2019 atau selama 12 bulan senilai Rp 600 miliar.
Sedangkan pada pengesahan APBA 2019, DPRA hanya menga
komodir anggaran JKA untuk 2019 sejumlah Rp 400 miliar. Dana tersebut hanya mampu menutupi pembayaran premi selama delapan bulan, JanuariAgustus. Sedangkan sisanya Rp 200 miliar atau untuk empat bulan ke depan (SeptemberDesember 2019) belum ada anggaran.
“Ini merupakan kewajiban Pemerintah Aceh untuk memenuhi sisa atau dana kurang bayarnya JKA tahun 2019. Karena ini program unggulan kampanye gubernur/wakil gubernur, maka ini harus dipenuhi. Pemda Aceh tahu caranya itu. Ini memang hak rakyat Aceh untuk mendapat fasilitas kesehatan JKA, seperti yang sudah dijanjikan,” ujar Iskandar kepada Tabloid Aceh Sehat Seujahtera, Senin (17/6/2019).
Menurut Iskandar, mekanisme pengajuan dana sisa JKA yang tidak tertampung dalam APBA 2019 harus melalui APBAPerubahan. Pemerintah harus mengajukan
kembali usulan dana tersebut kepada dewan untuk dibahas dan disahkan. "Pemda harus mengajukan lagi dalam pembahasan APBAPerubahan" tegasnya.
Akan tetapi, kata Iskandar, hing ga saat ini DPRA belum membahas atau menetapkan jadwal pem bahasan APBAPerubahan. "Soal jadwalnya pimpinan dewan yang lebih tahu. Kami anggota belum ada info," sebutnya.
Dia juga menyebutkan, menda pat fasilitas layanan kesehatan yang layak adalah hak rakyat. Sebab itu, pihaknya juga mendorong agar Pemerintah Aceh maupun DPRA mencari jalan keluar untuk mengatasi persoalan ini.
"Semoga Pemda Aceh segera mencari jalan keluarnya dan mengajukan dalam APBA Perubahan ta hun ini agar masyarakat tetap ter layani kesehatannya," tukas Iskandar.(*)
Aceh Pelopor Universal CoverageSESUATU yang besar atau terobosan tampaknya selalu dimulai dari Tanah Rencong ini. Meski dengan serba keterbatasan, negeri berjuluk Serambi Mekkah ini coba melakukan hal-hal besar, yang kemudian terbukti dicontoh pihak lain.
Salah satu program inovatif yang memberikan dampak luas untuk masya ra-kat adalah reformasi pem-biayaan kesehatan. Bukan rahasia lagi, Aceh merupakan provinsi pertama di repub-lik ini yang melaksanakan Sistem Jaminan Kesehatan bagi masyarakat yang bersifat universal. Mencakup seluruh penduduk Aceh dengan jami-nan yang menyeluruh.
Sistem pembiayaan ini sudah lama diamanahakan undang-undang. UUD 1945 sendiri mengamanatkan bah-wa jaminan kesehatan bagi masyarakat, khususnya yang miskin dan tidak mampu. Mereka-mereka ini menjadi tanggung jawab negara. Dalam UU nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, juga ditegaskan bahwa setiap orang punya hak yang sama atas akses sumber daya di bidang kesehatan dan mem-peroleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.
Namun, untuk mewu-judkan jaminan kesehatan yang menyeluruh tidaklah mudah. Bukan saja lantaran membutuhkan komitmen yang tinggi dari pemerintah, legislatif, dan masyarakat, melainkan juga membutuh-kan biaya yang tidak sedik-it. Oleh karena itulah, tak semua negara di dunia punya kemampuan serupa.
Di Indonesia, keinginan
untuk menyelenggarakan sis tem jaminan kesehatan yang bersifat universal sudah cukup lama. Namun, seiring dengan dimulainya JKN per 1 Januari 2014, pemerin-tah baru mampu menjamin kesehatan masyarakat miskin dan tidak mampu, pegawai pemerintah, TNI/Polri dan keluarganya, serta pekerja swasta. Masih banyak warga yang belum di-cover oleh program asuransi Jaminan Kesehatan Nasional.
Nah, dengan segala ket-erbatasan pemerintah pusat, Pemerintah Aceh melakukan se jumlah terobosan, bahkan jauh-jauh hari sebelum pe-merintah pusat meluncurkan program JKN. Sejak tahun 2010, Aceh menjadi pelopor jaminan kesehatan bagi seluruh penduduknya.
Sejak diluncurkan, pemerintahan Zaini Abdul-
lah-Muzakir Manaf bekerja sama dengan BPJS Keseha-tan selaku pengelola, terus melakukan pembaharuan dan menyempurnakan regu-lasi, baik menyangkut rekrut-men kepesertaan, manfaat yang diterima masyarakat, maupun pengelolaan jaminan itu sendiri.
Sebelum Jampersal dilaksanakan, JKA sejak ta-hun 2010 telah memasukkan jaminan persalinan sebagai salah satu manfaat yang dite-rima oleh masyarakat. Kala itu memang berlangsung sing-kat. Ini bertujuan mengindari tumpang tindih pembiayaan, mengingat tahun berikutnya pemerintah pusat melaksa-nakan Jampersal yang bersifat nasional.
Di samping itu, JKRA yang saat ini dilaksanakan juga memberikan manfaat yang tidak mam pu di-cover
oleh sistem jaminan kese-hatan nasional. JKRA ikut menanggung biaya transpor-tasi rujukan, termasuk biaya pemulangan jenazah, kursi roda, dan lainnya.
Di samping keungulan di atas, pada awal pelaksa-naan JKRA telah member-ikan perhatian pada upaya pencegahan selain pengo-batan atau kuratif pada ting-kat fasilitas primer (Puskes-mas). Puskesmas diikat untuk menggunakan sebagian dana kapitasi yang diterima dalam memicu capaian imunisasi.
Pada tahun 2014, se-jalan dengan pemberlakuan JKN, JKRA juga menjadi pilot project pengintegrasian Jamkesda ke dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebagaimana yang diamanah-kan undang-undang. Kini, sejalan dengan per kem-bangan waktu, perubahan
demi perubahan terus dilaku-kan untuk menyempurnakan program JKA. Sesuai visi-misi, Irwandi-Nova memberikan nama program JKA Plus. Proses administrasi dipangkas, kini berobat cukup dengan selembar KTP elektronik. Bah-kan di beberapa rumah sakit ditempatkan petugas khu-sus, hanya untuk membantu pasien JKA atau keluarganya yang ‘bingung’ atau ‘linglung’ saat hendak berobat. Mereka dituntun hingga semua pe-layanan tuntas, seperti dilaku-kan RSUDZA Banda Aceh selama ini. Kini, jika disetujui DPRA, Pemerintah Aceh dalam hal ini Dinas Keseha-tan Aceh bahkan berencana mengusulkan anggaran untuk membantu anak-anak yang bisu. Mereka akan dibantu alat mendengar, yang selama ini belum ditanggung oleh BPJS Kesehatan.(*)
Kadis Kesehatan Aceh, dr Hanif ketika meninjau pembangunan RS Regional di Meulaboh, beberapa waktu lalu.
6 Edisi 02/Tahun I/2019eujahteraS ACEH SEHAT
DINAS KESEHATAN ACEH
“
Laporan Khusus
Karena anak yang lahir tidak bisa mendengar, bisa mengakibatkan bisu seumur hidup. Itu sebabnya
pelayanan akan kita tambah. Saya akan mengajukan usulan di perubahan anggaran. Ini di luar jaminan BPJS.
Klaimnya itu langsung ke Dinas Kesehatan. Alatnya memang mahal. “
--dr Hanif,Kepala Dinas Kesehatan Aceh
Pelayanan JKA Plus Terus Ditingkatkan
MALAM semakin larut. Namun, dr Hanif masih saja menyelesaikan berbagai pekerjaannya. Kepala Dinas
Kesehatan Aceh itu ditemani sejumlah stafnya di kantor yang terletak di bilangan Jalan Tgk Syech Mudawali No. 6 Banda Aceh itu. Terlalu banyak yang harus diselesaikan segera, sehingga dr Hanif dan jajarannya harus menghabiskan sebagian waktu istirahatnya untuk bekerja. “Ada yang
harus diselesaikan segera,” kata Pak Hanif—begitu dia biasa disapa-- di halaman Kantor Dinas Kesehatan Aceh.
Sebagai Kepala Dinas Kesehatan Aceh, dr Hanif berperan besar menyukseskan visi-misi Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah melalui berbagai program unggulan, seperti Aceh Seujahtera melalui program JKA Plus. Berikut petikan hasil wawancara lengkap kru Tabloid Aceh Sehat Seujahtera dengan pria ramah ini.
Menurut Bapak, bagaimana kira-kira realisasi visi-misi Gubernur Irwandi-Nova di bidang kesehatan?
Aceh Seujahtera yang menjadi program utama kan JKA. Ini hampir sama dengan program yang telah lalu. Program JKA ini dirintis oleh Pak Gubernur Irwandi dari awal, dilanjutkan kembali oleh Gubernur Zaini Abdullah, dan dilanjutkan kembali oleh Pak Irwandi-Nova.
Cuma, dari beberapa pemikiran, ada beberapa hal yang dibicarakan tentang kelanjutan program JKA Plus. Sesuai dengan rencana Pak Irwandi Nova, JKA Plus akan diperbaiki kualitas. Dalam arti, ada beberapa kegiatan dan pelayanan yang ditingkatkan. Akan tetapi, dari segi lain pemerintah berusaha untuk mengurangi jumlah pesertanya. Artinya, peserta yang mampu itu silakan membayar premi sendiri. Tetap sebagai peserta JKA, tetapi preminya diusahakan jangan dibayar oleh pemerintah lagi, tetapi dibayar secara mandiri oleh peserta, atau dibayar oleh instansi tempat peserta bekerja. Misalnya, kalau anak PNS di atas tiga orang itu dibayar sendiri. Selama ini ada yang sudah membayar sendiri, tapi banyak yang tidak. Kemudian, peserta yang bekerja di perusahaan dibayar oleh perusahaan.
Kebijakan ini berdampak besar mengurangi anggaran pembayaran premi Pemerintah Aceh?
Iya, dengan demikian, jumlah beban yang menjadi tanggung jawab pemerintah Aceh bisa berkurang. Artinya, beban ini bisa dialihkan untuk peningkatan pelayanan kepada orang yang betul-betul tidak mampu.
Kalau jadi penghematan di premi, sebagian dana itu ke mana akan dialihkan?
Rencananya ke depan, saya akan mengajukan usulan. Yang paling penting, kita harus menambah pelayanan alat bantu dengar. Alat bantu dengar yang
sangat dibutuhkan oleh anak yang lahir tidak bisa mendengar. Karena anak yang lahir tidak bisa mendengar, bisa mengakibatkan bisu seumur hidup. Itu sebabnya pelayanan akan kita tambah. Saya akan mengajukan usulan di perubahan anggaran. Ini di luar jaminan BPJS Kesehatan. Klaimnya itu langsung ke Dinas Kesehatan. Alatnya memang mahal.
Apakah cuma anak-anak yang akan mendapatkan alat bantu dengar tersebut?
Orangtua juga boleh. Tetapi, kita fokus dulu kan ke anak. Kenapa anak? Karena masa depan masih panjang. Dia bawaan lahir. Jadi, Kita berharap nanti tidak hanya anak, tetapi juga orangtua. Tetapi, biasanya memang kelainan yang berat dimulai dari anak. Alatnya mahal, sampai 200 juta rupiah untuk satu buah. Dan selama ini tidak ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Selama ini BPJS Kesehatan menanggung biaya operasi, tapi tidak ada yang menyediakan alatnya. Kalau mau harus ditanggung sendiri. Itu sebabnya, anak-anak selama ini tidak dipasang alat ini, karena memang terlalu mahal. Itu khusus untuk anak-anak yang cacat
bawaan.
Apakah tidak akan terlalu banyak menguras APBA?
Ya, tetapi kan efeknya dan manfaatnya besar. Karena tidak mampu, anak-anak yang tidak bisa mendengar itu tidak sanggup membeli. Makanya dia bisa seumur hidup tuli. Seharusnya bisa diperbaiki kalau pada saat balita kita operasi dan kita pasang alatnya. Ini rencana dalam waktu dekat. Sudah kita pertimbangkan dengan berbagain pihak, termasuk dengan ahli THT. Sepertinya itu sangat bermanfaat untuk anak-anak.
Saat ini muncul kasus malaria yang ditularkan oleh monyet ke manusia. Bapak baru-baru ini juga terjun langsung melihat kondisi masyarakat yang tertular seperti di Aceh Barat?
Penyakit malaria yang ditularkan oleh monyet, namanya Malaria Knowlesi, baru muncul di Aceh dalam dua tahun terakhir. Dan paling banyak kasusnya di Sabang. Gejalanya, hampir sama dengan malaria falsifarum. Malaria ini progressnya paling cepat, sehingga cepat sekali muncul parasit. Dia ditularkan oleh monyet. Belum banyakn
referensi tentang malaria ini. Makanya sekarang, yang meneliti di Aceh tim dari UNICEF dan WHO. Karena ada beberapa kabupaten yang sudah terkena, seperti Sabang, Aceh Besar, dan Aceh Barat. Kita harapkan ini ada jalan keluar. Karena sifatnya, yang penting mencegah dari gigitan nyamuk. Jauhkan diri dari monyet. Cuma, masyarakat kan banyak pekerja di ladang, yang dekat dengan populasi monyet, sehingga ini menjadi tantangan tersendiri.
(Beberapa waktu lalu, dr Hanif berkunjung langsung ke kawasan warga yang menderita penyakit malaria jenis ini, misalnya di Aceh Barat. Di sana Kepala Dinas Kesehatan ini meminta warga untuk menjauhi monyet. Saat ini penelitian yang berkaitan dengan penularan malaria jenis ini sedang diteliti oleh organisasi kesehatan dunia, WHO).
Lalu, bagaimana kira-kira solusinya?
Ini yang kita carikan solusi, upaya-upaya lainnya selain menghindari dari monyet. Tentu nanti kalau ada solusi lain akan kita sampaikan kepada masyarakat bagaimana mencegah timbulnya malaria dari monyet.
7Edisi 02/Tahun I/2019 eujahteraS ACEH SEHAT
DINAS KESEHATAN ACEH
Laporan Khusus
Cara saat ini, dalam jangka pendek, ya menghindari gigitan nyamuk.
Masyarakat yang bekerja di ladang, memakai penutup agar bisa menutupi seluruh badan. Kalau tidur, ya di dalam kelambu. Lebih bagus lagi kelambu yang anti nyamuk, kelambu khusus. Kalau untuk pengobatannya sama dengan malaria falsifarum. Obatnya sama.
Terkait program JKA Plus, bagaimana tingkat kepuasan masyarakat saat ini?
Secara program masyarakat cukup puas. Cuma, ada beberapa keluhan dalam proses pelayanan, itu saya kira wajar saja. Kita terus memperbaiki. Keluhan dalam proses pelayanan ini di fasilitas kesehatan, bukan di program. Fasilitas kesehatan itu, ya di rumah sakit paling banyak keluhan. Kita, pemerintah, saat ini berupaya supaya rumah sakit memperbaiki manajemen pelayanan. Manajemen ini diperbaiki dengan instrumen-instrumen akreditasi. Jadi, rumah sakit itu harus melaksanakan proses akreditasi. Supaya pelayanan yang diberikan ke masyarakat lebih terukur, terstandar, sesuai SOP.
(Sejumlah rumah sakit di Aceh sedang dalam proses akreditasi. RSUDZA bahkan sudah melangkah lebih jauh dengan berusaha mendapatkan akreditasi internasional seperti JCI dan ISO. Joint Commission International (JCI) adalah divisi dari Joint Commission International, di bawah The Joint Commission. Selama lebih dari 50 tahun, The Joint Commission dan organisasinya telah mendedikasikan diri dalam peningkatan kualitas dan keselamatan pasien).
Tentu Pemerintah Aceh juga membutuhkan dukungan kabupaten?
Tentunya ini juga membutuhkan dukungan semua pihak. Pemerintah kabupaten/kota harus berperan aktif berupaya memperbaiki pelayanan-pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh
rumah sakit di daerah. Kita berharap, semakin lama, jumlah masyarakat yang komplain semakin berkurang. Ini karena kapasitas rumah sakit kita yang terbatas, sehingga pasti ada ketidakpuasan masyarakat, termasuk harus berantre dalam mendapatkan pelayanan. Tidak hanya RSUDZA, semua rumah sakit saat ini kapasitas pelayanan di atas 70 persen.
Terkait pembangunan rumah sakit regional, seperti apa realisasinya?
RS regional, karena dananya terbatas, maka progress-nya bervariasi. Rumah sakit regional ini kan rumah sakit yang sudah lama, sudah ada. Cuma, untuk rekonstruksi kan, ada sejumlah progress. Yang paling bagus progress-nya itu Aceh Selatan. Karena dia lokasinya yang lama. Jadi, begitu selesai, langsung bisa digunakan. Ini berbeda dengan rumah sakit regional yang lain. Untuk rumah sakit yang direlokasi, harus selesai semua dulu baru bisa digunakan.
Bagaimana pendapat Bapak tentang stunting yang banyak diderita anak-anak di Aceh?
Stunting kita paling tinggi. Tapi, kan ini perlu peran serta masyarakat. Tidak bisa pemerintah saja. Faktor utama adalah di asupan gizi anak. Sebenarnya bukan soal masyarakat tidak mampu. Banyak orangtua yang kurang peduli terhadap konsumsi anak-anaknya. Kadar gizi yang didapat oleh seorang anak itu tidak sesuai dengan kecukupan atau kebutuhan untuk anak. Contoh, anak umur kurang dari 6 bulan, seharusnya mendapatkan ASI ekslusif. Tetapi, karena kesibukan orangtua, banyak anak-anak tidak mendapatkan ASI eksklusif. Kemudian, pemberian ASI seharusnya dilanjutkan sampai umur dua tahun, tetapi seperti tadi, karena kesibukan dan faktor lainnya, hal ini tidak dilakukan.
Kemudian juga makanan yang diberikan untuk balita tidak lagi dikontrol. Makan apa adanya. Apa yang ada di rumah. Itu masalah yang sebenarnya. Jadi, terkait dengan pola asuh.
Jadi, bukan lantaran kesulitan ekonomi semata?
Bukan. Kalau dibilang ada keluarga yang tidak mampu membeli makanan bergizi seperti susu, ya memang ada juga. Tapi tentu ini bukan penyebab utama.
Saat ini jarang kita lihat orang tidak mampu membeli makanan untuk anak. Karena yang dibutuhkan anak itu bukan makanan yang mahal-mahal, tapi makanan sederhana seperti sayur, telur, ikan. Dan kebutuhan ikan untuk anak tidak banyak, sepotong cukup.
Jadi, ini terkait dengan pemahaman, perilaku, pola asuh yang tidak benar. Ini harus diubah. Kesimpulannya, kalau saya lihat, di Aceh ini bukan karena orangtua tidak mampu menyediakan makanan untuk anak, tapi lebih kepada faktor orangtunya tidak begitu peduli dengan makanan anak.
Mungkin butuh waktu panjang untuk menyadarkan masyarakat?
Ya, masyarakat semua harus sadar. Tentu berbahaya jika terus terusan seperti ini. Saya kira tidak perlu harus menunggu lama. Jika masyarakat sadar dengan pola asuh anak yang benar, bisa langsung diperbaiki. Yang penting kesadaran masyarakatnya.
(Setelah wawancara sekitar setengah jam lebih, dr Hanif kembali melanjutkan pekerjaannya malam itu. Ditemani sejumlah staf, Kadis Kesehatan Aceh itu kembali bergelut dengan berkas).
8 Edisi 02/Tahun I/2019eujahteraS ACEH SEHAT
DINAS KESEHATAN ACEH
Lensa Seujahtera
Tim Dinas Kesehatan Aceh berfoto bersama seusai melakukan penilaian Nakes teladan.
Tim Dinas Kesehatan Aceh berfoto bersama seusai penilaian Nakes Teladan
Tim Dinas Kesehatan Aceh melakukan penilaian Nakes Teladan di Puskesmas
9Edisi 02/Tahun I/2019 eujahteraS ACEH SEHAT
DINAS KESEHATAN ACEH
Selisik
Mencintai dan Melayani Klien dengan Hati
(Catatan Kecil tentang Pengabdian Seorang Perawat Kesehatan Jiwa di Nisam) Oleh Efi Syafrida dan Sri Afrianti*
NURLINA, seorang perawat kesehatan jiwa yang telah mendedikasikan dirinya untuk bersahabat dan
berjuang dengan pasien yang mengalami gangguan jiwa, selama lebih dari 14 tahun. Ia salah satu perawat terlatih dan profesional yang memiliki kemampuan menerapkan pola asuhan keperawatan jiwa di komunitas. Nurlina yang seharihari bertugas sebagai perawat di Puskesmas Nisam, Aceh Utara, adalah sosok perempuan yang siap melayani semua kliennya di wilayah Nisam tempat ia bekerja. Istilah atau terminologi yang digunakan untuk pasien yang mengalami gangguan jiwa adalah Orang Dengan Gangguan JIwa yang disingkat ODGJ.
Linabegitu sapaan untuk Nurlinaadalah figur perawat yang memiliki ketelatenan, kesabaran, dan ketulusan dalam melayani ODGJ yang membutuhkan uluran tangannya, dengan kelembutan hati. Semua bakti pelayanan dan performance kinerja ia suguhkan kepada masyarakat Nisam dalam sebuah inovasi luar biasa melalui tekad bertajuk Bersama Perawat Menuju Nisam Sehat Jiwa yangdisingkat NISWA. Bahkan dengan inovasinya ini, Lina pun sering disapa dengan panggilan Bu Niswa.
Nisam merupakan salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Aceh Utara, dan salah satu wilayah yang menjadi pusat konflik Aceh selama puluhan tahun. Selama konflik Aceh, ada banyak kisah pilu dan cerita duka di wilayah ini. Mulai dari kekacauan politik, keretakan sosial, kerusakan budaya, hingga kekerasan yang melahirkan trauma psikologis berkepanjangan.
Apa motivasi yang menggetarkan kesadaran, dan menggerakkan Lina untuk melakukan berbagai inovasi, dalam menangani ODGJ secara komprehensif
dan berkelanjutan? Jawaban yang mengalir dari hatinya adalah; (1) tingginya kasus gangguan jiwa akibat konflik; (2) tingkat kepatuhan minum obat yang rendah; (3) kurangnya dukungan keluarga karena ketidaktahuan cara mengasuh, dan juga rasa malu;(4) kurangnya penerimaan masyarakat terhadap ODGJ dengan stigma gila dan membahayakan. ODGJ pun kerap dianggap sosok yang tidak berguna dan tidak memiliki kemampuan yang dapat diandalkan. Karena itu, mereka tidak dilibatkan dalam berbagai kegiatan dan sulit mendapatkan pekerjaan di masyarakat. Sebab, masyarakat menganggap bahwa ODGJ labil dan sering mudah kambuh.
Berdasarkan fenomena tersebut, tergetar nuraninya untuk melakukan sesuatu dalam rangka membantu ODGJ. Langkah awal yang ia lakukan adalah membentuk kelompok Nisam Sehat Jiwa (NISWA). Tujuannya adalah memulihkan dan memberdayakan ODGJ, meningkatkan kepatuhan minum obat, mengajak keluarga dan masyarakat untuk mendukung dan melibatkan ODGJ dalam kegiatankegiatan di masyarakat serta mencegah terjadinya kambuh. Dalam mewujudkan berdirinya Niswa, ada kegiatan yang diciptakan Lina, antara lain terapi aktifitas kelompok dan rehabilitasi sosial spritual.
Melalui sentuhan pelayanan yang bersahaja, berperikamanusiaan di semua aspek, termasuk aspek kesehatan, kini Nisam telah berubah, yang dahulu menyisakan trauma konflik, kini ia sudah tampil dengan wajah baru. Nisam memiliki profil penduduk yang ramah, tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi, dan didukung dengan komitmen pemerintah yang tinggi pula serta hubungan lintas sektornya cukup bagus, khususnya dalam mendukung program kesehatan jiwa. Situasi ini sangat efektif
dan efisien dalam membantu memberikan pelayanan terhadap orang dengan masalah kesehatan jiwa dan gangguan jiwa.
Karena proses pemulihan ODGJ membutuhkan waktu yang panjang, maka dibutuhkan figur perawat jiwa yang terampil sekaligus sabar, ikhlas, dan bekerja sepenuh hati. Mengapa? Karena hanya kepada perawatlah mereka bisa mengungkapkan segenap emosinya. Mereka yakin, perawatlah yang pasti tahu, apa dan bagaimana kondisi mereka, dengan segenap persoalan kejiwaan yang dialami. Untuk itu semua, butuh perawat yang memiliki rasa empati, simpati, kepekaan atau sensivitas kemanusiaan yang tinggi. Tanpa ini semua tidak mungkin seorang perawat dapat melayani ODGJ yang beragam dengan persoalan yang kompleks. Inilah yang dilakukan oleh Nurlina selama belasan tahun bersahabat dengan mereka yang mengalami gangguan jiwa.
Ia dengan setia mendampingi kliennya sepanjang periode asuhan perawatan. Ada banyak risiko yang mungkin timbul selama mendampingi dan menangani ODGJ, terutama akibat gejolak emosional yang tak terkendali dengan mudah. Suka duka yang dialami Lina sebagai seorang perawat jiwa tidak membuatnya surut dan takut, tetapi justru membuatnya semakin tertantang dan bersemangat dalam mengemban amanah moral dan tugas kemanusiaan ini. Setiap akan memulai tugasnya, mendampingi mereka ia berdoa, bergumam dan berkata, “Aku datang menjemputmu, mendampingimu, merawatmu, hingga kamu pulih, mandiri, dan berguna bagi negeri, dan Aku melayanimu dengan hati.”
Ternyata Nurlina juga tidak sendiri, ia didukung oleh semua petugas kesehatan di Puskesmas Nisam di bawah kendali Kepala Puskesmas dan didukung oleh seluruh komponen masyarakat dan pemerintah, terutama pemegang kunci suksesnya pembangun negeri, terutama Pak Camat, Danramil, Kapolsek, dan semua unsur muspika Nisam. Bahkan Pak Keuchik bersedia mengalokasikan dana desa untuk membangkitkan semangat para kader dan perawat kesehatan jiwa yang diprakarsai dan dikomandani oleh Nurlina. Menilik jumlah ODGJ yang ditangani Lina, tercatat 175 orang yang terdistribusi di 29 desa, 14 desa di antaranya sebagai desa siaga sehat jiwa dengan kader kesehatan jiwa sejumlah 53 orang. Berkat ketulusan, kesabaran, dan keuletannya, ia berhasil memulihkan 129 orang dari 175 pasien
ODGJ. Lina sudah menjadi ibu asuh atau orang tua bagi ODGJ yang diasuhnya. Mereka yang sudah pulih kini sudah hidup mandiri bahkan sudah menikah membentuk keluarga yang dihiasi keharmonisan dan kebahagiaan.
Dengan demikian, sangat wajar jika profil dan segenap upaya yang Lina lakukan selama belasan tahun bersama ODGJ, di apresiasi oleh negeri karena keikhlasannya melayani dan ia akan menjadi sumber inspirasi bagi semua perawat, khususnya perawat kesehatan jiwa di Aceh Utara dan di seluruh Aceh pada umumnya.
Dalam upaya untuk menjadikan kegiatan ini berkelanjutan, Lina berhasil meyakinkan Geuchik Desa Meucat Nisam dimana lokasi Niswa ditetapkan, untuk mendukung kegiatan ini melalui dana desa dan partisipasi aktif desa dalam berbagai kegiatan kesehatan jiwa. Kemudian berhasil mengajak peran aktif pemerintah daerah untuk memberikan dukungan terhadap berbagai program kesehatan jiwa, termasuk kesediaan Dinas Sosial untuk melatih ODGJ mandiri terampil di bidangnya serta mendapat dukungan dari tokoh masyarakat yang menyediakan garasi rumahnya untuk dijadikan sekretariat NISWA. Keberhasilan Lina yang lain adalah membangun kebersamaan secara periodik antara tokoh masyarakat, pemerintah, kader dan ODGJ mandiri melalui outbond dan kegiatan refreshing lainnya.
ODGJ Nisam, kini telah berhasil memproduksi berbagai hasil keterampilan mereka seperti diterjen, bunga, pupuk organik, sapu lidi, bordir jilbab, asesoris, dan lainnya. Ternyata, perjuangan panjang penuh liku dan pengorbanan yang dilakukan Lina, kini telah membuahkan hasil. ODGJ yang sebelumnya dipandang sebagai manusia yang tidak berguna, menjadi sosok yang mandiri, terampil dan mampu melahirkan karya yang bermanfaat. Sangat tepat jika kita menggambarkan perjuangan Lina melalui moto suksesnya yaitu: Tiada keberhasilan tanpa kesungguhan dan tiada kesungguhan tanpa ketulusan.
Tekad ini telah membuktikan bahwa kita bisa bersama, membangun sumber daya manusia tanpa alasan pembeda, termasuk mereka yang mengalami permasalahan kejiwaan. Terima Kasih Nurlina.
*Efi Syafrida adalah pegawai Dinas Kesehatan Aceh,
sedangkan Sri Afrianti adalah pegawai Dinas Kesehatan Aceh
Utara
10 Edisi 02/Tahun I/2019eujahteraS ACEH SEHAT
DINAS KESEHATAN ACEH
Laporan Khusus
“Salah satu output yang ingin kita capai adalah
bagaimana Posyandu bisa hadir kembali di tengah-tengah masyarakat untuk
mengayomi semua kegiatan program
terpadu yang sifatnya lintas sektor.”
--Efi Safrida,
Kabid Kesehatan Masyarakat
Penguatan Posyandu Lewat Revitalisasi
OS Pelayanan Terpadu (Posyandu) sudah menyatu dalam kehidupan dan budaya masyarakat Indonesia, termasuk di Provinsi Aceh. Keberadaanya sangat diperlukan dalam mendekatkan upaya promotif dan preventif kepada masyarakat, utamanya terkait dengan upaya peningkatan status gizi masyarakat serta upaya kesehatan ibu dan anak.
Namun dalam beberapa tahun terakhir, keberadaannya di tengahtengah masyarakat mulai mengalami stagnasi karena banyak faktor antara lain seperti kurangnya pemberdayaan dan belum jelasnya siapa ‘pemilik’ Posyandu.
Menyikapi itu, Pemerintah Aceh melalui Dinas Kesehatan dan sejumlah SKPA terkait seperti Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Gampong (DPMG), Dinas Sosial dan TP PKK sedang mengupayakan untuk merevitalisasi Posyandu sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan fungsi dan kinerja.
Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Aceh selaku salah satu stakeholder terkait, pada 21 Mei 2019 di Oasis Atjeh Hotel, Banda Aceh, telah memprakarsai rapat koordinasi tentang Kelompok Kerja Operisional Pembinaan Pos Pembinaan dan Pelayanan Terpadu (Pokjanal Posyandu).
“Salah satu output yang ingin kita capai adalah bagaimana Posyandu bisa hadir kembali di tengahtengah masyarakat untuk mengayomi semua kegiatan program terpadu yang sifatnya lintas sektor,” ujar Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat, Dinkes Aceh, drg Efi Safrida, M.Kes.
Menurutnya, rapat koordinasi menjadi sangat penting karena selama ini Dinkes ‘berbeda’ harapan dengan DPMG tentang
siapa sebenarnya yang bertanggung jawab terkait Posyandu. Apakah itu mulai dari pengorganisasian maupun lembaganya. Termasuk soal penetapan strata dan bagaimana pemanfaatan dana desa yang disupport oleh DPMG untuk kelancaran pelaksanaan di lapangan.
Nah! Hasil akhir dari proses yang dilakukan Dinkes Aceh adalah adanya masukan dari beberapa pihak terkait, dalam hal ini juga dirangkum oleh ibu Plt Gubernur Aceh Dr. Dyah Erti Idawati, MT . Ternyata, untuk melakukan penguatan terhadap Posyandu di seluruh Aceh diperlukan suatu organisasi di semua level. Mulai level provinsi, level kecamatan sampai level dimana Posyandu itu berada.
Rakor mempertegas bahwa selama ini DPMG berperan sebagai mediator yang memfasilitasi terbentuknya Pokjanal Posyandu, dimana Dinkes Aceh, dalam hal ini kepala dinas sesuai dengan Surat Keputusan (SK) disahkan oleh gubernur merupakan sekretaris Pokjanal Posyandu.
Persoalannya adalah SK itu ternyata berlaku lima tahunan.
Jadi, sejak pertama pelantikan gu
bernur sebelumnya (Zaini A b d u l l a h – Muzakir Manaf) pada tahun 2012 sampai 2017. Mes
tinya, automatically atau
secara otomatis saat Gubernur Ir
wandi Yusuf dan Nova Iriansyah dilantik diikuti dengan proses pelimpahan kegiatan operasional Posyandu.
Ternyata itu tidak terdistribusi, sehingga ada perbedaan data di lapangan, seperti saat Dinkes ingin mengetahui berapa sebenarnya jumlah Posyandu di seluruh Aceh.
Kalau mengacu pada catatan EPembangunan Pemberdayaan Masyarakat, jumlah desa atau gam pong di Aceh adalah 6.496. Artinya, kalau diasumsikan satu desa satu Posyandu, maka angkanya sama dengan jumlah desa atau lebih karena di satu desa terdapat dua Posyandu bahkan lebih.
Dalam profil kesehatan, jum lah Posyandu di seluruh Aceh adalah 7.458. Namun mirisnya, yang aktif hanya 1.702 Posyandu. Artinya, cukup banyak sekali yang tidak berfungsi secara optimal.
Menyikapi itu, pihaknya akhir nya mencoba menjalin komunikasi dengan DPMG. Mereka menjawab, bukannya itu di Dinkes. Karena dirinya baru bergabung lagi di Promkes, akhirnya duduk dengan teman sejawat yang bertanggung jawab tentang Usaha Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM), termasuk
di dalamnya Posyandu. Ternyata mereka mengatakan bahwa sama saja. Mestinya di sana juga ada di sini juga ada. Jadi atas dasar itulah Dinkes ingin menyamakan persesi dengan memprakarsai Rakor, mengundang sejumlah stakeholder, baik dari Dinkes sendiri, DPMG, dari Biro Isra selaku koordinator untuk kemitraan, kemudian Dinas Sosial, karena di sana ada program layanan sosial dasar. UNICEF juga turut diundang, karena organisasi milik Perserikatan BangsaBangsa (PBB) tersebut baru saja mengembangkan satu sistem informasi Posyandu berbasis aplikasi.
Terkait dengan aplikasi yang baru dikembangkan UNICEF, drg Efi menjelaskan bahwa aplikasi tersebut secara automatically ketika ada indikator dicapai oleh Posyandu, maka secara otomatis Posyandu punya strata atau peringkat.
Strata dibagi sesuai dengan kinerja. Misalnya capaian untuk kegiatan penimbangan balita seluruhnya di atas angka 80 persen, maka Posyandu akan mendapat tanda hijau. Kalau memberikan pelayanan dengan sistem lima meja akan mendapat hijau, kalau semua indikator menjadi penilaian hijau maka Posyandu tersebut stratanya tinggi. Ada empat strata untuk posyandu. Pertama, strata pratama, kedua Madya, ketiga Purnama, dan keempat Mandiri. Kalau semua cakupan tinggi, maka masuk mandiri.
Namun, Dinkes Aceh tentunya punya justifikasi lain terhadap strata. Ada delapan item yang akan dimasukkan dalam waktu dekat akan didiskusikan bersama. “Kami ingin memasukkan tidak hanya dengan persentase ujugujug terus keluar strata. Ada delapan item akan coba dimasukkan dalam pemberian skor untuk menentukan strata,” terangnya.
Delapan item tersebut adalah, jumlah kader, punya gedung atau tidak, ada struktur pengurus atau tidak. “Kalau lengkap nilainya 10, kalau tidak ada nilainya nol. Kalau cakupannya di atas 80 persen mungkin sebuah Posyandu sudah bisa dikatakan mandiri,” katanya.
Kemudian apakah pelayanan kegiatan dengan sistem lima meja. Kalau kurang dari lima meja maka nilainya satu. Dikatakan, ada juga yang lebih dari lima meja seandainya ada layanan integrasi atau layanan sosial. Kemudian terkait frekuensi bukanya, apakah setahun 12 kali atau tidak. Kalau sudah di atas 10 kali nilainya bisa 10. Dinkes Aceh punya kriteria sendiri yang akan digunakan pada saat pengembangan sistem informasi Posyandu.
Selain itu item lainnya ada
P
11Edisi 02/Tahun I/2019 eujahteraS ACEH SEHAT
DINAS KESEHATAN ACEH
Laporan Khusus
lah sarana dan prasarananya lengkap atau tidak, ada timbangan badan atau tidak, ada alat ukur tinggi badan atau tidak.
Setiap Posyandu juga harus punya jadwal, kapan laporan harus masuk ke kecamatan untuk kemudian direkap dan diteruskan ke kabupaten dan provinsi.
Kesimpulan akhir yang ingin dicapai, pertama adalah revitalisasi Posyandu. Revitalissai Posyandu juga punya indikator kinerja, salah satunya adalah seberapa aktif Posyandu. Dari sekian banyak Posyandu, berapa yang aktif dan strata masingmasing.
Kedua, terkait dengan operasional Posyandu, apakah dapat disupport oleh dana desa? Tentu kalau bicara dana desa kewenangannya ada pada DPMG. Menurut mereka, apa pun kegiatan di desa bisa menggunakan dana desa, asalkan punya perencanaan yang jelas digunakan untuk kebutuhan apa.
Ia mencontohkan, saat ini Provinsi Aceh punya permasalahan stunting yang cukup tinggi. Stunting adalah sebuah kondisi di mana tinggi badan seseorang jauh lebih pendek dibandingkan tinggi badan orang seusianya, penyebab utamanya adalah kekurangan gizi sejak bayi masih dalam kandungan.
Apabila dana desa diajukan untuk entry point atau titik masuknya adalah stunting, maka dana desa tentu boleh digunakan untuk Posyandu, mulai dari pelatihan kader, transport kader, beli alat logistik atau untuk Pemberian Makanan Tambahan (PMT). Itu semua bisa asalkan ada perencanaan.
Jadi itulah output terakhir yang ingin dicapai. Kalau untuk penyiapan SK Operasional dan penggunaan dana desa untuk menunjang operasional Posyandu dan memastikan Posyandu is ok dan running well di lapangan
itu di DPMG. “Kemarin dari DPMG juga menyampaikan, tolong Bu! Untuk penetapan standar di Dinkes dan untuk pembinaan samasama. Itulah diikat melalui SK Pokjanal Posyandu,” terangnya.
Nah! Kesimpulan pertama pada rapat koordinasi beberapa waktu lalu adalah soal penggalangan komitmen dalam upaya penguatan Pokjanal Posyandu sesuai apa yang diamanatkan di Pergub No.14 tahun 2019 Tentang Upaya Pencegahan dan Penanganan Stunting Secara Terpadu.
Sekarang pertanyaannya adalah di mana mau ditempatkan? “Ya, wadah yang sudah adakan pastilah Posyandu dan judulnya juga Pos Pelayanan Terpadu, disingkat Posyandu,” katanya.
Kedua, sosialisasi semua regulasi yang mendukung operasional kegiatan yang terintegrasi di setiap level. Kalau Dinkes merujuk Permenkes tentang pedoman umum tentang pengelolaan Posyandu, DPMG mungkin regulasi Permendes tentang Penggunaan Dana Desa. Ada juga Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 14 tahun 2019 tentang Pencegahan dan Penanganan Stunting Terintegrasi di Aceh. Kalau untuk TP PKK bisa menggunakan Permendagri Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Pemberdayaan Masyarakat Melalui Gerakan Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga. Dinsos punya program Keluarga Harapan (PKH) dan juga punya program kegiatan yang diintegrasikan di Posyandu dengan layanan sosial dasar.
Ketiga, updating Tim Pokjanal Posyandu melalui SK Pokjanal Posyandu tahun 2019, sehingga nantinya dapat memperkuat operasional di lapangan. Ada beberapa permasalahan Pokjanal pada umumnya, yaitu Pokjanal yang ada hanya sekadar SK, belum optimalnya tugas dan fungsi masingmasing
sektor. Kemudian, belum ada sekretariat tetap menjadi salah satu kendala. Instansi pemberdayaan masyarakat di daerah yang beragam/digabung dengan unsur lain.
Disamping itu, belum punya program kerja yang jelas dan terintegrasi. Kurangnya koordinasi antar sektor/lembaga dan antar program pemberdayaan terkait. Disamping itu, masih ada persepsi bahwa Pokjanal merupakan tugas teknis Dinas Kesehatan. Kendala lainnya adalah belum maksimalnya dukungan dana pembinaan, termasuk dana operasional Posyandu.
“Belum aktifnya Pokjanal Posyandu tingkat kabupaten/kota menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi penerapan Posyandu, disamping persoalan SDM di lapangan,” terangnya.
Kesimpulan keempat adalah update kembali strata Posyandu. Khusus untuk Dinkes adalah mengupdate kembali strata Posyandu dengan beberapa kriteria yang sudah disiapkan, termasuk di dalamnya berapa jumlah kader aktif akan diberikan
skor, kemudian tentang ketersediaan logistik ada atau tidak, sampai pada punya timbangan atau tidak, punya ukuran panjang badan tidak, punya tidak buku pencatatan pelaporan. Totalnya ada delapan item.
Kelima, Revitalisasi Posyandu melalui pembinaan secara berjenjang dan terintegrasi dengan Tim Pokjanal Posyandu “Kita harus berpayung pada regulasi karena ini sifatnya lintas sektor, masing masing sektor akan menggunakan dasar hukum yang terkait dengan Posyandu,” kata drg Efi.
Kesimpulan keenam ada lah updating data peta masalah gizi di Kabupaten/Kota dengan cara melakukan verifikasi pengukuran status gizi.
Selain itu, ketujuh, juga perlu melibatkan pendamping desa dan TKSK dalam rencana kegiatan untuk mendukung kegiatan Posyandu melalui dana desa sesuai peraturan. Sebagaimana kesimpulan ketujuh.
Dan terakhir, Apabila ke sepakatannya adalah revitalisasi Posyandu yang konon katanya dalam beberapa tahun terakhir sedikit mengendur, maka masing masing organisasi pemerintah harus mengalokasikan dana untuk pembinaan.
Jadi, tidak boleh hanya mengandalkan Dinkes, DPMG, Dinsos dan PKK saja. Dipersilakan mengalokasikan sendiri di masingmasing Daf tar Isian Pelaksanaan Ang garan (DIPA). Setelah diharapkan, saat turun ke lapangan secara bersamaan. Nah, kalau sudah punya DIPA tentu buat arus kas, buat rencana kapan turun. Dimana itu akan disepakati? Tentunya di rapat koordinasi berikutnya yang akan difasilitasi oleh Biro Isra. “Rapat koordinasi pertama yang kami prakarsai sudah dilaksanakan 21 Mei
lalu. Kita harap akan terbangun kerja sama yang baik dengan lintas sektor dalam rangka penguatan kembali Posyandu,” kata dia.
Terkait dengan penguatan Posyandu, tentu menjadi semangat semua stakeholder yang nantinya akan berbagi kewenangan atau tugas dan fungsi (tupoksi) dari masingmasing instansi terkait. Integrasi lintas sektor juga diharapkan terjadi di lintas bawah saat pelayanan di Posyandu diberikan.
“Nah, ketika diumumkan kepada ibu hamil dan yang memiliki balita bahwa hari ini ada Posyandu, Ayo Turun Serentak. Di situlah terjadinya integrasi lintas sektor yang dimulai dari tingkat bawah. Siapa di bawah, kecamatan dan desa, ini dikendalikan oleh siapa, oleh kabupaten, lewat apa, Lewat RKA kabupaten atau lewat DIPA,” terangnya.
Dalam kesempatan tersebut dirinya juga menyampaikan bahwa Dinkes Aceh, terutama bidang Kesehatan Masyarakat (Kesmas) punya tiga kabupaten menjadi daerah lokus masalah stunting. Bukan berarti kabupaten lain tidak menjadi lokus. Posyandu ada di Kesmas, termasuk masalah gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Muara akhirnya semua adalah di desa, karena di sana ada fasilitas, selain bidan desa ada Posyandu.
Ketika hendak turun ke lapangan, maka kabupaten akan dihubungi. Kemudian wajib hukumnya kalau mau turun ke lapangan memberitahukan kepada Pokjanal. Dinkes masuk sebagai anggota Pokjanal, SKnya dikeluarkan oleh DPMG dan disahkan oleh gubernur. Kepala Dinas Kesehatan adalah Sekretaris Pokjanal. Ada dua program Promkes melibatkan mereka, karena berhubungan dengan pemberdayaan dan kader.(rst)
12 Edisi 02/Tahun I/2019eujahteraS ACEH SEHAT
DINAS KESEHATAN ACEH
Aktualita
“Disamping sebagai reward atas kinerja dan inovasi, seleksi ini
juga sebagai pendorong bagi Nakes dalam memberikan
pelayanan bermutu dan berkualitas kepada
masyarakat.”
--Abdul Fatah,Kabid SDK Dinas Kesehatan Aceh
Pemilihan Nakes Teladan di Puskesmas
EBAGAI unit pelaksana pembangunan kesehatan tingkat kecamatan, Pusat Kesehatan Masya ra kat, disingkat Puskesmas me ru pakan ujung tombak pela yanan kesehatan yang paling dasar dan terdepan di seluruh Tanah Air, utamanya dalam era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Saat ini, terdapat 341 Pus kesmas tersebar di seluruh Provinsi Aceh. Terdiri dari 143 rawat inap dan 198 non rawat inap, fasilitas kesehatan tingkat pertama ini me miliki tenaga kesehatan professional yang melayani dengan tulus dan ikhlas.
Setiap tahunnya, Pemerintah Aceh melalui Dinas Kesehatan memberikan penghargaan kepada Tenaga Kesehatan (Nakes) Teladan di Puskesmas. Mereka yang terpilih lewat serangkaian seleksi ketat, selanjutnya akan diikutkan pada seleksi tingkat nasional digelar Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia, di Jakarta.
Ketua Tim Pemilihan Nakes Teladan Provinsi Aceh yang juga menjabat sebagai Kepala Bidang Sumber Daya Kesehatan (SDK) Dinas Kesehatan Provinsi Aceh, dr Abdul Fatah, MPPM menyampaikan, pemilihan Nakes Teladan rutin dilaksanakan setiap tahun. Tujuannya adalah sebagai bentuk pengakuan atas kinerja para tenaga kesehatan yang telah berupaya melaksanakan pelayanan kesehatan terutama preventif dan promotif tanpa melupakan kuratif dan rehabilitatif. Disamping itu juga bertujuan untuk meningkatkan kinerja dan kualitas pelayanan kesehatan kepada masyarakat di Provinsi Aceh.
“Dengan adanya pemilihan Nakes Teladan di Puskesmas, maka diharapkan dapat memotivasi kinerja mereka untuk terus memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat, dan semakin profesional,” ujar dr Abdul Fatah.
Dijelaskan, ajang pemilihan Nakes Teladan di Puskesmas merupakan program nasional. Tapi khusus tahun ini, tingkat nasional ditiadakan. Namun untuk Provinsi Aceh tetap dilaksanakan seperti tahuntahun sebelumnya.
Ada sembilan jenis tenaga kesehatan yang dapat diajukan untuk mendapatkan penghargaan sebagai Nakes Teladan di Puskesmas meliputi, dokter, dokter gigi, perawat, bidan, tenaga kesehatan masyarakat,
tenaga kesehatan ling kungan, ahli teknologi laboratorium
medik, tenaga gizi, dan tenaga kefarmasian.
Mereka yang dapat diajukan un tuk mendapatkan penghargaan pa ling sedikit harus memenuhi tiga persyaratan, tentunya punya prestasi,
pengabdian, dan inovasi dalam bidang kes
ehatan. Terpenting, punya pengalaman kerja di Puskes
mas paling sedikit selama tiga tahun. Mereka yang sudah pernah terpilih sebagai Nakes tenaga kesehatan di Puskesmas tingkat nasional tidak boleh disertakan lagi.
Ketentuan tersebut sebagaimana diatur dalam Peraturan Men teri Kesehatan (Permenkes) Republik Indonesia Nomor 23 Ta hun 2016 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pemberian Penghargaan bagi Tenaga Kesehatan Teladan di Puskesmas.
Adapun bentuk penghargaan diberikan beragam, mulai dari piagam, pin tenaga kesehatan teladan, barang atau dalam bentuk lainnya sah sesuai dengan peraturan ketentuan perundang undangan.
Pada tahun ini, Pemerintah Aceh akan memberikan hadiah istimewa kepada peringkat satu, yaitu umrah ke tanah suci. “Khusus juara pertama saja mendapat hadiah umrah,” katanya.
Namun tidak semua kabupaten/kota di Aceh mengajukan sembilan jenis Nakes. Ada beberapa daerah yang hanya mengusulkan lima dan tiga saja untuk untuk diikut sertakan.
Penyerahan penghargaan dan hadiah, kata dr Abdul Fatah, untuk tingkat provinsi akan diberikan pada peringatan Hari Kesehatan Nasional (HKN). Sementara untuk level nasional akan diberikan pada momen peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus.
Saat ini, tahapan seleksi untuk tingkat Provinsi Aceh masih berlangsung, sudah ada sejumlah kabupaten/kota dilakukan penilaian seperti Banda Aceh, Aceh Besar, Sabang,
Aceh Tamiang dan wilayah timur juga sudah ada.
Setelah libur Hari Raya Idul Fitri 1440 Hijriah, tim seleksi akan menuju ke Gayo Lues dan Kabupaten Aceh Tenggara dan kawasan tengah.
Dengan adanya seleksi Nakes teladan, kata Abdul Fatah, maka diharapkan dapat memotivasi dan meningkatkan kinerja dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
“Disamping sebagai reward atas kinerja dan inovasi, seleksi ini juga sebagai pendorong bagi Nakes dalam memberikan pelayanan bermutu dan berkualitas kepada masyarakat,” ujarnya.
Dengan adanya event seperti ini, maka dapat memotivasi Nakes lainnya untuk mempersiapkan diri mengikuti seleksi tahun berikutnya. Agar bisa dipilih, mereka harus berprestasi dan memberikan inovasi dalam bidang kesehatan.
Dirinya juga berharap kepada pemerintah tingkat kabupaten/kota untuk memberikan perhatian khusus kepada para Nakes berprestasi, apalagi mereka yang sudah mewakili daerah untuk tingkat provinsi.
“Inikan asset, mereka punya kapasitas dan prestasi, dan etos kerja yang bagus, pemerintah daerah harus memanfaatkan tenaga mereka dengan optimal, kalau perlu ditingkatkan karirnya. Kalaupun tidak di stuktural bisa ditingkatkan kompetensi pendidikannya supaya punya kemampuan lebih di masa mendatang,” harapnya.
Dirinya juga berharap, dengan adanya pemilihan Nakes Teladan di Puskesmas untuk betul – betul dimanfaatkan secara maksimal, baik oleh tenaga kesehatan sendiri untuk selalu meningkatkan kompetensi dan melakukan inovasi dalam rangka memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
Nah bagi Dinas Kesehatan Kabupaten/kota, juga diharapkan untuk melakukan seleksi sesuai dengan aturan sehingga betul – betul terpilih tenaga kesehatan yang siap bersaing ditingkat provinsi. Siapapun kandidat diusulkan, kualitasnya sangat tergantung dengan bagaimana mekanisme penjaringan di tingkat ka
bupaten. Lebih lanjut dr Abdul Fatah
menyampaikan, dalam kontek pelayanan di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), tujuannya adalah pelayanan semesta universal health coverage. Cakupan semesta ini menuntut, bukan hanya bahwa pesertanya banyak, tapi bagaimana peserta mendapat pelayanan terbaik dengan tersedianya tenaga kesehatan cukup dengan kompetensi yang baik dan professional tinggi. Kemudian harus didukung dengan alat – alat kesehatan serta obat – obatan memadai.
Dalam konteks ketersediaan tenaga kesehatan, ada beberapa yang diakunya masih kurang, misalkan tenaga sanitarian atau tenaga kesehatan lingkungan, tenaga analis kesehatan, tenaga kefarmasian.
Dari sembilan jenis tenaga kesehatan dasar, sampai pada 2019 yang penting di setiap Puskesmas tersedia saja lima sudah dianggap terpenuhi. Namun mulai tahun 2020 setiap Puskesmas hanya punya sembilan tenaga kesehatan sebagaimana tertuang dalam Undang – Undang Tenaga Kesehatan.
“Dari lima jenis ketenagaan dasar di Puskesmas, di Aceh baru sekitar 15 persen dari 341 Puskesmas yang miliki lima jenis ketenagaan dasar. Artinya masih kendala,” ungkapnya.
Maka kedepan, Pemerintah Aceh bersama pemerintah kabupaten/kota harus betul – betul menghitung analisis beban kerja dan analisa jabatan. Dengan begitu dapat diketahui di sebuah Puskesmas jenis tenaga kesehatan apa saja yang belum ada.
Secara perlahan, sembilan jenis tenaga kesehatan harus dipenuhi di setiap Puskesmas sebgaimana amanah UU. Apakah diusulkan melalui formasi penerimaan CPNS, atau kontrak. Bisa juga diusulkan ke Pemerintah Pusat melalui program nusantara sehat. Supaya apa? Akses dari sisi pembiayaan sudah disediakan oleh Pemerintah Aceh dan Pemerintah pusat, itu betul – betul bisa dinikmati oleh masyarakat secara memadai, termasuk fasilitas kesehatan juga memadai.
“Sampai 2019 masih diberikan toleransi lima jenis tenaga kesehatan saja cukup, di luar dokter dan dokter gigi, kalau tidak ada itu kapitasi Puskesmas rendah. Besaran kapitasi diterima itu kan sangat tergantung lengkap tidaknya tenaga kesehatan,” paparnya.(rst)
S
13Edisi 02/Tahun I/2019 eujahteraS ACEH SEHAT
DINAS KESEHATAN ACEH
“
Aktualita
KOMPLIKASI diabetes berkembang secara bertahap. Ketika terlalu banyak gula menetap dalam aliran darah untuk waktu yang lama, hal ini dapat mempengaruhi pembuluh dar-ah, saraf, mata, ginjal dan system kardiovaskular.
Komplikasi termasuk serangan jantung dan stroke, in-feksi kaki yang berat (menyebabkan gangren, dapat menga-kibatkan amputasi), gagal ginjal stadium akhir dan disfungsi seksual.
Komplikasi diabetes dapat dicegah dengan melakukan hal-hal penting sebagai berikut minum obat secara teratur seperti yang ditentukan oleh dokter/petugas kesehatan, men-getahui dengan teratur tingkat gula darah dengan pergi tes rutin dan check-up, makan sehat lebih banyak sayuran dan buah, kurangi lemak, gula dan makanan asin.(*)
Sekitar 80 persen kejadian kencing manis dapat dicegah.
Pencegahan dapat dilakukan dari sekarang dengan tata laksana
pengobatan yang optimum dan perubahan gaya hidup dan
pola makan.”
--Wahyu Zulfansyah,Kabid Pencegahan
dan Pengendalian Penyakit
Diabetes Melitus dan Upaya Pencegahan
CEH memiliki jumlah penderita diabetes melitus (kencing manis) yang banyak dengan beragam usia. Benarkah pola hidup tak sehat menjadi penyumbang terbesar munculnya penyakit ini?
Diabetes Melitus (kencing manis) saat ini sudah menjadi penyakit yang umum diderita oleh masyarakat. Penderita kencing manis merupakan penyakit penyebab kematian ketiga di Indonesia setelah sroke dan jantung, penyebab utama untuk kebutaan, serangan jantung, stroke, gagal ginjal dan amputasi kaki.
"Jumlah penderita kencing manis sekarang sekitar 10 juta orang jumlahnya, akan meningkat pada 10 tahun mendatang menjadi dua sampai tiga kali lipat," kata Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, dr Wahyu Zulfansyah MKes, kepada kru Tabloid Aceh Sehat Seujahtera, Sabtu (31/5/2019).
Prevalensi orang dengan kencing manis di Indonesia menunjukkan kecende rungan meningkat ya itu dari 5,7% (2007) menjadi 6,9% (2013) dan 10,9
(2018). Data ini ber
da sar kan hasil Ris kesdas 2018. Selain itu 2/3 orang dengan kencing ma nis di Indonesia
ti dak mengetahui
diri nya memiliki kencing manis,
dan berpotensi untuk datang ke layanan kesehatan dalam kondisi terlambat (sudah dengan komplikasi).
Prevalensi kencing manis di Provinsi Aceh cenderung meningkat 1,8% (2013) menjadi 2,4 (2018) berdasarkan hasil Riskesdas 2013.
Sejalan hasil surveilans Penyakit Tidak Menular Dinkes Aceh tahun 2018, jumlah penderita Diabetes Melitus yang mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standar sebanyak 121.447 orang.
Penyakit kronis ini tidak dapat disembuhkan tapi dapat dikendalikan agar tidak terjadi kom plikasi. "Sekitar 80 persen ke jadian kencing manis dapat dicegah. Pencegahan dapat dila kukan dari sekarang dengan tata laksana pengobatan yang optimum dan perubahan gaya hidup dan pola makan,” katanya.
Orang dengan kencing manis dapat berumur panjang dan hidup sehat. Berat badan berlebih atau obesitas merupakan salah satu faktor risiko terbesar kencing manis.
Di dunia penyakit kencing manis ini membunuh lebih satu ju ta orang setiap tahun dan siapa pun dapat terkena.
Mengurangi berat badan 10% saja pada saat ini bisa mengurangi resiko diabetes besar. Saat ini tercatat mencapai 422 juta orang di dunia penderita kencing manis, atau empat kali lebih banyak dari 30 tahun yang lalu. Hal ini berdasarkan data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Diabetes Melitus merupakan kondisi dimana kadar gula (glukosa) dalam darah tinggi, timbul karena ketidakmampuan tubuh mengolah karbohidrat/glukosa aki bat kurangnya jumlah insulin atau insulin tidak berfungsi sempurna sehingga gula menumpuk dalam tubuh kita.
Menurut dr Wahyu klasifikasi diabetes dapat dibagi dakam beberapa kelompok.
Yaitu diabetes tipe 1. Pada diabetes tipe 1 ini, tubuh benarbenar berhenti memproduksi insulin karena perusakan sel pangkreas yang memproduksi insulin oleh sistem kekebalan tubuh.
Biasanya didiagnosa pada orang dewasa muda atau anakanak atau diabetes insulindependent, karena terapi insulin sangat penting untuk kelangsungan hidup.
Pada diabetes tipe 2 pangkreas menghasilkan jumlah yang tidak memadai insulin, atau tubuh tidak mampu menggunakan insulin dengan benar. Biasanya terjadi pada orang dewasa, dan lebih sering terjadi pada orang yang kelebihan berat badan atau obesitas. Jenis diabetes tipe 2 tidak tergantung pada insulin.(*)
Cara MencegahDOKTER Wahyu menyebutkan, diabetes bergantung pada faktor genetik dan lingkungan, tetapi kita dapat membantu menjaga tingkat gula darah lewat susu-nan makanan sehat dan gaya hidup yang aktif. "Menghindari makanan manis dan minuman olahan dan mengubah roti putih dan pasta dengan gandum ada-lah langkah pertama yang baik," ujarnya. Disebutkan, gula dan biji-bijian halus lebih rendah nu-triennya karena bagian serat dan kaya vitaminnya telah diambil.
Contohnya adalah tepung terigu putih, roti putih, beras pu-tih, pasta putih, minuman man-is atau soda, permen dan sereal makan pagi dengan tambahan
gula. Susunan makanan sehat termasuk di antaranya adalah sayur, buah, kacang-kacangan dan gandum. Termasuk minyak sehat, kacang, ikan berminyak kaya omega-3. Seperti sardin, salmon dan kembung.
Adalah penting untuk makan dengan beda waktu yang tetap dan berhenti makan sebe-lum kenyang.
Olah raga juga memban-tu menurunkan tingkat gula darah. National Health System (NHS) Inggris menyarankan la-tihan aerobik selama 2,5 jam per minggu, seperti jalan cepat dan menaiki tangga.
Berat badan yang sehat akan membuat tubuh lebih
mu dah menurunkan tingkat gu la darah. "Jika Anda perlu menurunkan berat badan, laku-kan secara bertahap, antara setengah sampai satu kilogram per minggu," sebut dr Wahyu.
Dia menambahkan penting juga untuk tidak merokok dan mengendalikan tingkat kolester-ol untuk mengurangi risiko ter-kena penyakit jantung. Menurut dr Wahyu diabetes dapat dicegah dan dikendalikan. Untuk penye-bab diabetes tipe 1 tidak diketa-hui dan tidak dapat dicegah. Pe-rubahan gaya hidup yang sehat dan sederhana dapat membantu dalam pencegahan atau menun-da timbulnya diabetes tipe 2.
Hal ini dapat dilakukan
dengan mencapai dan memper-tahankan berat badan yang se-hat, aktivitas fisik setidaknya 30 menit setiap hari , makan akan makanan yang sehat antara tiga dan lima porsi buah dan sayuran
sehari, dan mengurangi asupan gula, garam dan lemak jenuh. "Hindari merokok dan minum alkohol, kelola stres, tes glukosa darah dan kadar HbA1c secara teratur," saran dr Wahyu.(*)
Lima Pilar Pengendalian 1. Edukasi2. Perencanaan makan/diet3. Aktivitas fisik4. Obat-Insulin5. Pemeriksaan Gula Darah
Mandiri
Faktor Risiko Diabetes
Komplikasi Diabetes Melitus
FAKTOR yang tidak dapat dikendalikan yaitu riwayat diabetes pada keluarga, jenis kelamin dan usia. Sedangkan faktor yang dapat dikendalikan yakni kegemukan, tekanan darah tinggi, kadar kolester-
ol, kurang bergerak, diet yang tidak sehat dan toleransi gula terganggu. Sementara itu ge-jala paling umum di antaran-ya merasa sangat haus, buang air kecil lebih sering dari bi-asanya,terutama pada malam
hari , merasa sangat lelah, ke-hilangan berat badan tanpa melakukan apapun, pengliha-tan kabur, luka yang tidak per-nah sembuh dan ada mati rasa atau kesemutan di tangan dan kaki.(*)
Kriteria Diagnostik Predi-abetes100 < GDP < 126 = 126140 < GDPP < 200 = 2005.7 < A1C < 6.5%* = 6.5%*
A
14 Edisi 02/Tahun I/2019eujahteraS ACEH SEHAT
DINAS KESEHATAN ACEH
Info Kesehatan
Tips Mudik SehatMUDIK atau pulang
ke kampung halaman adalah ritual tahunan mas
yarakat Indonesia menjelang lebaran, begitu juga di Aceh. Memasuki minggu terakhir bulan puasa, tradisi masyarakat Indonesia menjelang lebaran adalah melakukan perjalanan pulang kampung atau biasa disebut mudik.
Tradisi mudik menjelang lebaran seolaholah telah membudaya bagi sebagian besar masyarakat Indonesia khususnya yang hidup di perantauan. Kerinduan akan kampung halaman, orangorang tercinta, sanak keluarga ataupun kawan yang telah lama tidak berjumpa merupakan alasan sebagian besar orang melakukan mudik. Aneka tujuan mudik, dari dan ke seluruh penjuru nusantara, untuk bertemu sanak keluarga dan merayakan kemenangan bersamasama. Mudik dan bertemu dengan sanak keluarga selain dapat melepas kerinduan juga dapat mempererat tali silaturahmi.
Oleh karena itulah banyak yang rela menyisihkan
waktu, ongkos, tenaga untuk sekadar berburu tiket pulang atau mudik dengan kendaraan pribadi sering menjadi pilihan utama. Disamping lebih leluasa, juga mempermudah pengaturan jadwal dan tempat yang hendak dikunjungi.
Namun perlu diingat bah wa mudik dengan kendaraan sendiri membutuhkan kondisi fisik yang prima terlebih lagi jika kita mengemudi sendiri tanpa ada pengemudi pengganti. Perjalanan mudik yang panjang dan lama pasti akan menimbulkan kelelahan. Kelelahan akan me ngurangi konsentrasi dan dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga rentan terinfeksi berbagai penyakit.
Tradisi mudik jelang hari raya ini juga menyebabkan adanya penumpukan penumpang di Terminal, Bandara, Pelabuhan, Jalan raya dan tempattempat tertentu yang berada di jalur mudik angkutan lebaran.
Peningkatan jumlah pe mu dik meningkatkan pu la potensi terjadinya kecelakaan serta masalah kesehatan, seperti ispa, infeksi
saluran cerna seperti diare yang biasanya disebabkan oleh makanan yang tidak higinies yang sering dibeli pemudik dipinggir jalan, kam buhnya penyakit yang diderita, dan lain sebagainya. Untuk itu perjalanan mudik harus dipersiapkan seoptimal mungkin agar aman di perjalanan, selamat saat tiba di tempat tujuan dan sehat saat berkumpul bersama sanak keluarga.
Mudik harus dipersiapkan secara benar, terutama kondisi fisik dan kondisi ken daraan. Hal ini untuk menciptakan rasa aman dan nyaman selama perjalanan.
Agar perjalanan ke kampung halaman tetap sehat, aman dan selamat, kepada para pemudik harus selalu ada persiapan seperti menyiapkan fisik yang prima, konsumsi buah dan sayur, tetap berperilaku sehat, jauhi narkoba dan alkohol, serta tidak merokok.
Jangan memaksakan diri mengemudi jika lelah atau mengantuk. Terka dang pengemudi tidak meng indah kan durasi mengemudi yang lebih dari empat jam,
ter kadang mereka tak istirahat. Itu harus dihindari. Is tirahat selain baik bagi ke bugaran, juga baik untuk mendinginkan mesin kendaraan. Sebaiknya beristirahat setiap 4 jam perjalanan.
Saat istirahat ini, bisa juga dilakukan sedikit peregangan, dengan gerakan peregangan yang mudah dan sederhana. Terlalu lama duduk di kendaraan, kadang juga menyebabkan otototot jadi kaku atau tidak rileks. Dengan adanya peregangan ini tentunya akan kembali membuat kita jadi rileks dan lebih bugar tentunya, perjalanan pun lancar.
Bagi yang mudik menggunakan roda 2, sebaiknya gunakan masker untuk melindungi diri dari debu, asap dan polusi lainnya. Pastikan juga untuk tidak lupa menggunakan helm, disiplin dan patuhi ramburambu lalulintas yang ada.
Selain itu, bagi pemudik yang sudah punya riwayat penyakit tertentu, pemudik diimbau membawa obatobatan pribadi guna mengantisipasi kambuhnya penyakit di perjalanan atau di kampung halaman. Hal itu untuk meminimalisasi risiko dari serangan penyakit. Biasanya karena faktor kelelahan di jalan, penyakit yang diderita akan cepat kambuh. Dengan adanya obat yang biasa dikonsumsi, hal itu bisa diantisipasi tanpa harus ke dokter atau rumah sakit. Tapi harus diingat bagi pengemudi jangan sampai memakai obatobatan yang dapat menyebabkan kantuk baik sebelum atau selama mengemudi dan apalagi sampai meminum minuman yang beralkohol ketika mengemudi. Siapkan fisik yang sehat dan prima ketika mudik, khususnya bagi pengemudi.
BAGI pemudik yang mengalami kegawatdaruratan medis di perjalananan dan membutuhkan ambulan bisa memanfaatkan layanan Call Center PSC 119. Layanan Call Center PSC 119 Aceh ini melayani kegawatdaruratan medis dan non medis. Yang termasuk kedalam kegawatdaruratan medis seperti gangguan kesehatan dan kecelakaan. Layanan ini bisa juga digunakan untuk kegawat-daruratan non-medis seperti kejadian kebakaran atau bencana alam, atau kegawatdaruratan lainnya. Layanan PSC 119 ini ten-tunya bisa diakses 24 jam.
Dengan menghubungi Call Center PSC 119 bila terjadi ses-uatu kecelakaan atau kegawatdarutan yang membutuhkan pen-anganan segera, tim di call center 119 bisa membuat network-ing supaya cepat penanganannya. Misalnya ada telepon yang mengalami kecelakaan, petugas operator langsung mendeteksi lokasinya yang terdekat dengan call centre. Nanti akan segera di-kerahkan pertolongan yang ditangani di daerah terdekat. Untuk wilayah area layanan Banda Aceh dan Aceh Besar selain nomor 119, Anda juga bisa menghubungi nomor 0651 22118.
Pemudik juga bisa memanfaatkan jaringan Radio Antar Pen-duduk Indonesia (RAPI) terdekat. Relawan RAPI sebagai relawan komunikasi juga sangat berperan dalam membantu kelancaran arus mudik dengan membantu memberikan informasi dan komu-nikasi di sepanjang jalur mudik, termasuk juga jika terjadi kega-watdaruratan ataupun kecelakaan di jalan raya.
Selain itu, pemudik juga bisa memanfaatkan posko pe-layanan kesehatan di sepanjang jalur mudik yang dikoordinasikan oleh Dinkes Provinsi dan Dinkes kabupaten/kota setempat. Karena itu pemudik perlu melengkapi diri dengan brosur panduan mudik yang biasanya mencantumkan selain rute mudik, juga nomor-no-mor bantuan yang bisa diakses seperti kantor polisi, rumah sakit, Puskesmas, SPBU, Dinas Perhubungan, RAPI, Jasa Raharja serta lainnya.(*)
Hubungi 119 Jika Alami Kegawatdaruratan
15Edisi 02/Tahun I/2019 eujahteraS ACEH SEHAT
DINAS KESEHATAN ACEH
Opini
Memaknai Halal BihalalOleh: M. Adli Abdullah
ARI Raya (Uroe Raya) adalah hari yang penuh kegem biraan. Kita saling berhalal bil halal. Halal bil Halal menjadi media silaturahmi antar umat Islam di Nusantara. Model silaturahmi ini menjadi perekat, penyejuk, dan mereduksi perbedaan dalam momen saling memaafkan. Artinya, dalam halal bil halal, kita bersilaturahmi dan salam-salaman sambil bermaaf maafan.
Dalam tatanan sosial, budaya dan politik dewasa ini, kehidupan masyarakat Aceh penuh dengan sikap ku’eh dan saling benci-membeci. Padahal, bagi orang Aceh budaya menghargai antarsesama orang Aceh dan luar Aceh sangat kental dipedomani oleh nenek moyang dulu. Dalam kultur sosial masyarakat Aceh dulu ada pantangan (tabu) yang tidak boleh dilanggar oleh siapa saja, seperti ungkapan hadih maja ini: Pantang di Aceh tateuoh biek deungon bangsa, tacarot, tateunak, tatrom, tasipak. Tapeh ulee, tacukeh keueng, Sinan ureueng le binasa.
Pada saat buleun uroe raya inilah, biasanya masyarakat saling memanfaatkan. Momen halal bihalal yang berlangsung sebulan penuh, menjadi bagian praktik ketaatan masyarakat Aceh untuk kembali kepada kesucian. Kesucian dalam bertetangga, kesucian dalam bersahabat, kesucian dalam belajar mengajar, kesucian dalam segala interaksi sosial politik.
Jika lintas profesi, menyadari bahwa makna halal bihalal adalah bagian dari media untuk meraih kesucian kolektif, maka sesungguhnya akan melahirkan manusia-manusia yang saling menghargai, saling hormat dan tentu tidak saling menyalahkan. Melainkan saling support, saling mengoreksi dan saling menjaga silaturrahmi dalam urusan apa pun.
Tiga pengertianSecara filosofis, halal
bihalal memiliki tiga pengertian: Pertama, menurut bahasa berarti menyelesaikan persoalan, meluruskan benang kusut, mencairkan air yang keruh, dan melepaskan ikatan yang membelenggu. Dengan kata lain, kalau ditinjau dari segi bahasa, maka halal bihalal diharapkan hubungan yang selama ini keruh dan kusut dapat segera diurai dan dijernihkan. Halal bihalal bermakna untuk merekonstruksi relasi kemanusiaan yang lebih sejuk dan harmonis bagi lintas profesi dan etnik.
Kedua, pengertian halal bihalal dalam perspektif hukum, halal digunakan sebagai lawan dari kata haram dan makruh. Dengan pengertian ini, maka halal bihalal mengandung arti bahwa setiap orang yang berhalal bihalal, akan membebaskan diri dari perbuatan yang haram dan makruh dan perbuatan dosa. Oleh karena itu, tidaklah tepat jika dalam acara halal bihalal digunakan sebagai ajang saling menggunjing, memfitnah, membuat sisat buruk, atau perbuatan mubazir.
Ketiga, jika dilihat dalam Alquran, pengertian halal bihalal selalu dirangkaikan dengan kata thayyib (halalan thayyiba) yang berarti, halal lagi menyenangkan (QS. Al-Anfal: 69, Al-Maidah: 88, An-Nahl: 114). Maka halal bil halal di sini yaitu terbangunnya komitmen bersama untuk selalu melakukan yang baik dan bermafaat serta menyenangkan semua pihak. Seorang keuchik desa dapat menyenangkan warganya, seorang pimpinan kepala sekolah dalam menyenangkan pengajar dan siswanya. Seorang pimpinan selalu memiliki komitmen berpikir dan bertindak untuk rakyatnya.
Ketiga pengertian halal bihalal tersebut di atas merupakan media yang paling efektif untuk merajut kembali hubungan yang membeku dengan cara saling memaafkan dan menyadari kekhilafan masing-masing. Balutan halal bihalal dengan segala jenis aktivitas yang dilakukan, harus menjadi modal sosial bersama bagi rakyat Aceh. Sekat-sekat permusuhan, intimidasi, provokasi, dan segala jenis perbuatan yang dilarang Allah, bila akan terus dilakukan, akan menjadi beban sejarah rakyat Aceh ke depan.
Segala kearifan Aceh hendaknya dibangkitkan, dikampanyekan, dan diimplimentasikan, supaya kehidupan yang harmonis antar elite Aceh menjadi spirit baru bagi pembangunan rakyat Aceh. Dalam sejarah Aceh, perdebatan
antar elite selalu terjadi dalam setiap periode sejarah Aceh. Pada periode Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M), Iskandar Tsani (1636-1641 M) dan Sultanah Safiatuddin Syah (1641-1675 M), juga tak luput dari perdebatan, namun perdebatan tidak berujung pada pemutusan silaturahmi.
Memperkuat silaturahmiUntuk itu, etika dan ilmu
pengetahuan menjadi kunci dalam sanubari elite. Ilmu pengetahuan menjadi “wasit” dalam segala aktivitas elite. Jika kedua hal tersebut tidak dimiliki, maka Aceh ke depan akan terus berada pada persimpangan jalan. Alm Prof Safwan Idris, dalam beberapa kesempatan menyebutkan beberapa strategi dalam membangun Aceh, salah satu sarannya adalah memperkuat silaturahmi antarelite.
Dalam sejarah kepemimpinan Aceh modern, menghargai antarelite adalah modal sosial yang nyaris hilang. Kepentingan kekuasan sesaat, telah merusak tatanan silaturahmi antarelite, baik dalam spekrum politik, sosia, l maupun keagamaan. Untuk itu, ke depan hendaknya perbedaan tidak memutus silaturahmi, karena silaturahmi adalah bagian penting dalam setiap aspek kehidupan.
Dalam perspektif uroe raya, halal bihalal harus melahirkan komitmen bersama untuk membangun Aceh bersama-sama. Halal bihalal harus menjadi media membangun komunikasi yang produktif antar berbagai komponen dan aliran politik yang ada di Aceh. Sumbatan komunikasi harus reda dengan adanya halal bihalal. Halal bihalal harus dilakukan dengan hati yang ikhlas supaya mendapat ridha Allah Swt.
Jadi, suasana halal bihalal pada 2019 ini harus penuh dengan nuansa religius, kekeluargaan, dan keterbukaan. Supaya membuat semua kita bersatu walaupun berbeda cara pandang dalam membangun Bumi Iskandar Muda. Hal ini sesuai dengan kata bijak Aceh: Tameh jeut sarang sareung, yang penteng puteung di lop lam bara. Karena hari ini masih dalam suasan uroe raya dan lagi berhalal bihalal penulis juga mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri. Mohon maaf lahir batin.
*Dr M. Adli Abdullah, SH., MCL., Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
Geudam geudum tambo dipeh/ Tanda ka jadeh meu uroe raya/ Bak uroe raya pajoh nyang meuheut/ Asai na bacut keu ureung seulingka/ Mak dan ayah bak mandum rakan/ Beu neupeumeuah ube na desya (Nadham Aceh).
M. Adli Abdullah
H
16 Edisi 02/Tahun I/2019eujahteraS ACEH SEHAT
DINAS KESEHATAN ACEH
Sosok
BIOGRAFI SINGKAT;Nama : Ferdiyus SKM, MKesTTL : Cot Suruy, Blang Bintang, Aceh Besar, 28 Nopember 1969Alamat : Komplek Perumahan dr Saleh, Punge Blang Cut, Jaya Baru
Banda AcehPENDIDIKAN: 1. SPRG (1989)2. Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) (2003)3. Master Kesehatan Masyarakat (MKes) 2005 Ayah : Sulaiman (Alm) Ibu : Fatimah Istri : Nurseha Anak : HanifunNissa,TanjilAhya,WarmursalatiUrfa,KafqaNafisaRIWAYAT PEKERJAAN : n Staf Puskesmas Latihan 1990-2003n Staf Dinkes Aceh 2005 - 2010n Kasie SDMK 2010-2018n Sekdinkes Aceh 2018 – sekarang
Kadang ketika saya lewat di pasar banyak Nyak Nyak penjual sayur memberikan mangga atau apapun yang
mereka letakkan di lapak jualan. Itu kebahagiaan
dan kebanggaan tersendiri bagi Saya.”
Membangun Komunikasi dengan Hati
KESAN religius langsung terasa ketika menemui sosok ini pada suatu petang pekan lalu. Maaf Pak, Saya baru
se lesai shalat Ashar, jadi tak bisa terima telepon dari Bapak tadi. Lalu kami pun bicara secara cair di ruangan kerjanya yang terlihat adem. Pria yang menjadi salah satu lulusan terbaik Sekolah Keperawatan Gigi tahun 1989 itu tampak santai dalam melakoni keseharian tugas rutinnya
Memulai tugas di Puskesmas Latihan Banda Aceh sejenak lulus SPRG, lelaki yang bernama lengkap Ferdiyus SKM MKes itu secara terbuka mengatakan lebih enjoy saat bertugas di pelayanan, ya….13 tahun sebagai perawat gigi dan mengenal begitu banyak rakyat di tataran bawah. “Kadang ketika saya lewat di pasar banyak Nyak Nyak pen jual sayur memberikan mangga atau apapun yang mereka letakkan di lapak jualan. Itu kebahagiaan dan kebanggaan tersendiri bagi Saya,” kata Ferdiyus.
Bagi pria kelahiran Cot Suruy Blang Bintang, 28 Nopember 1969 itu, apa yang didapat dari kesederhanaan dan keikhlasan para Nyak Nyak itu adalah balasan dari totalitas dalam melakoni tugas pelayanan itu sendiri. “Dengan memba ca Bis millah saat memulai tugas ke tika menangani pasien,
kita telah mendapat kepercayaan nyaris total dari pasien. Dan ini menjadi sugesti dan empati tersendiri,” tutur Ferdiyus.
Bagaimanapun pasien mempunyai tali batin dengan yang melayaninya, konon lagi ditangani se cara islami, dengan ucapan Bismillah saat mulai melayani. Karena masyarakat Aceh hampir serratus persen adalah umat Islam.
Dalam nada sedikit religi, suami dari Ny Nurseha ini menyebutkan, keikhlasan dalam berbuat terutama dengan ucapan Bismillah, Allah langsung mengangkat derajat ummatNya. Dalam kondisi begini rasanya tak akan ada kata kekurangan apalagi menjurus lapar. Karenanya, melayani dengan hati tidak mesti melihat dari jumlah materi.
Lama malang melintang di sektor pelayanan, Ferdiyus yang ayah empat orang anak itu menamatkan S2 tepatnya Master Kesehatan di UGM Jogyakarta tahun 2005. Saat itu lelaki Aceh Rayeuk tersebut langsung masuk jalur struktural di Dinas Kesehatan Aceh. Dari Jokya karta pula, ia mendapatkan pendam ping hidup hingga saat ini.
Memulai kiprah dari level staf hingga dipercayakan menjadi salah satu Kepala Seksi di Bidang Sumberdaya Kesehatan (SDK), Ferdiyus akhirnya mengemban amanah sebagai Sekretaris Dinas Kesehatan Aceh. Ya….buah hati dari pasangan ibunda Fatimah dan ayahanda Sulaiman (alm) itu kini menjadi orang nomor dua di Dinkles Aceh. Berubahkah seorang Ferdiyus? Rasanya tidak! Ia masih sosok sederhana dan lugas, khas Aceh Rayeuk.
Sebagai Sekdis dan salah satu Pembina internal, Ferdiyus kini bukan hanya sekadar membawahi jajaran kesekretariatan, namun juga mengawasi secara administrative sebanyak 403 orang PNS dan 144 orang tenaga kontrak di Dinkes Aceh. Mereka tersebar bukan hanya di Sekretariat Dinkes, namun juga di Lembaga Pendidikan seperti, Akademi Farmasi (Akfar), Akademi Keperawatan (Akper), Akademi Analis Kesehatan (AAK), Laboratorium Ke sehatan Daerah (Labkesda) hingga Bapelkes. “Jujur saja itu
memang penuh warna warni, dengan segala corak dan
pro fesi. Tapi kita jalani saja dengan ikhklas, serta terus membangun komunikasi dengan hati. Lebih dari itu, semua job telah ter
diskripsi secara berjenjang dan terkendali,” kata Fer
diyus.Karena semua staf sudah punya
atasan ma singmasing untuk berkoordinasi serta dalam hal pengawasan dan pembinaan. Mereka baru berhubungan dengan Sekretariat, bila menyangkut dengan kepegawaian dan keuangan. Itupun sudah ada yang menghandel di Sekretariat, hingga tak menumpuk tugas pada Sekretaris. “Dalam kondisi begini tak ada lagi kata overlap, semua ada tupoksi masing masing yang dijalani secara disiplin.”
Seorang Ferdiyus juga punya kiat untuk menghindari konflik sesama staf, terutama dalam kaitan pelayanan internal. Kunci utamanya adalah komitmen dan integritas dalam melakoni peran dan tugas masingmasing. Konon lagi saat ini sudah berlaku semua system secara on line atau Eprogram. Semuanya sudah terukur dan sangat transparan. “Jadi taka da lagi dawa dawi soal kepangkatan misalnya. Kita bermain dengan jadwal yang sudah terskedul, dan itu diberi tahu oleh Subag Kepegawaian, baik itu pangkat regular maupun pangkat dwi tahunan. Sudah ada surat edaran dan bisa dilakukan secara online, tidak ada lagi cara manual. Jadi tak ada lagi jamannya reugam boh soh (main tinju), karena semuanya sudah bisa dilakukan secara terukur dan terkontrol,” tandas pria yang
mengaku sehari hari juga orang warung itu.
Sebagai unit yang juga menyangkut dengan arus keuangan, Pak Sekdis juga berusaha berjalan di jalurnya, yaitu sesuai dengan SPM dan ada pererncanaan bulanan serta juga dilakukan evaluasi. Semuanya diawasi secara berkelanjutan, termasuk oleh Pak Kadis. Intinya, tak ada perbedaan, semua staf diberlakukan sama. “Kita advokasi secara kekeluargaan, setiap hari Saya menyambangi staf di ke tiga subbag, untuk saling share, serta berdiskusi bila ada kendala. Lebih dari itu, untuk mengantisipasi potensi terzaliminya orang yang berhubungan dengan Tupoksi kami.”
Pilosofi yang dianut oleh Sekdis yang satu ini memang sederhana saja. Ia berprinsip jangan terlalu ngoyo. Karenanya jangan memaksa diri untuk mendapatkan segalanya. Ia tak mau mendikte bak seorang the boss, karena semua manusia pada dasarnya punya aware, dan semuanya punya sikap profesional yang perlu dikedepankan.
Kami menutup pembicaraan ringan itu menjerlang matahari masuk ke peraduan. Para staf di luar kamar kerja Ferdiyus telah beranjak pulang. Hanya tenaga security yang tersisa di pintu masuk. Ada inspirasi yang menyelinap di hati, dalam temu sejenak itu.(**)
“