2
91 BAB 6 KESIMPULAN 6.1. Kesimpulan Teoritik Pertama, prinsip-prinsip dasar dalam arsitektur yang dikemukakan Vitruvius mengandung makna proses dan hasil yang menyatu. Oleh karenanya prinsip- prinsip dasar tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah teori tentang “bagaimana cara merancang yang terbaik” (How best to design). Kedua, penyetaraan arti nilai estetis dari prinsip Vitruvius dengan nilai estetis dari Monroe Beardsley tidak sepenuhnya tepat. Tetapi dengan didukung oleh pemikiran filsuf Yunani, teori Monroe dapat dimaknai sebagai penyimpulan atau perangkaian kembali pemikiran estetika yang sudah tersedia pada masa Yunani dan Romawi. Ketiga, proposisi Charles Jencks tentang arsitektur postmodern merupakan pernyataan-pernyataan yang menyangkut arsitektur dalam konteks yang lebih luas, sehingga penyetaraan arti dengan nilai estetis dari Monroe menjadi terbatas, hanya tiga dari sembilan proposisi Charles Jencks yang ada kesetaraan dengan nilai estetis Monroe. Teori Charles Jencks dengan proposisinya dapat dikatakan sebagai sebuah teori tentang “apa yang harus dicapai oleh arsitektur” (what achievement of architecture). Keempat, penyetaraan nilai estetis yang dihasilkan dari kajian terhadap proposisi Charles Jencks dengan nilai estetis Monroe Beardsley tidak sepenuhnya tepat, karena pemikiran Jencks (postmodern) tentang nilai estetis Monroe (Unity, Complexity, Itensity) sangat berbeda pemaknaannya. Pengkajian obyek arsitektur postmodern yang ciri-cirinya diteorikan Charles Jencks, akan lebih tepat dilakukan dengan menggunakan teori estetika Resepsi yang melibatkan nilai dari pengamat atau penikmat, bukan Estetika obyektif.

ITS Master 16783 Conclusion

Embed Size (px)

DESCRIPTION

ITS

Citation preview

Page 1: ITS Master 16783 Conclusion

91

BAB 6

KESIMPULAN

6.1. Kesimpulan Teoritik

Pertama, prinsip-prinsip dasar dalam arsitektur yang dikemukakan Vitruvius

mengandung makna proses dan hasil yang menyatu. Oleh karenanya prinsip-

prinsip dasar tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah teori tentang “bagaimana

cara merancang yang terbaik” (How best to design).

Kedua, penyetaraan arti nilai estetis dari prinsip Vitruvius dengan nilai estetis

dari Monroe Beardsley tidak sepenuhnya tepat. Tetapi dengan didukung oleh

pemikiran filsuf Yunani, teori Monroe dapat dimaknai sebagai penyimpulan atau

perangkaian kembali pemikiran estetika yang sudah tersedia pada masa Yunani

dan Romawi.

Ketiga, proposisi Charles Jencks tentang arsitektur postmodern merupakan

pernyataan-pernyataan yang menyangkut arsitektur dalam konteks yang lebih

luas, sehingga penyetaraan arti dengan nilai estetis dari Monroe menjadi terbatas,

hanya tiga dari sembilan proposisi Charles Jencks yang ada kesetaraan dengan

nilai estetis Monroe. Teori Charles Jencks dengan proposisinya dapat dikatakan

sebagai sebuah teori tentang “apa yang harus dicapai oleh arsitektur” (what

achievement of architecture).

Keempat, penyetaraan nilai estetis yang dihasilkan dari kajian terhadap

proposisi Charles Jencks dengan nilai estetis Monroe Beardsley tidak sepenuhnya

tepat, karena pemikiran Jencks (postmodern) tentang nilai estetis Monroe (Unity,

Complexity, Itensity) sangat berbeda pemaknaannya. Pengkajian obyek arsitektur

postmodern yang ciri-cirinya diteorikan Charles Jencks, akan lebih tepat

dilakukan dengan menggunakan teori estetika Resepsi yang melibatkan nilai dari

pengamat atau penikmat, bukan Estetika obyektif.

Page 2: ITS Master 16783 Conclusion

92

6.2. Kesimpulan Penerapan Teori

Pertama, semua nilai estetis dari teori Monroe Beardsley yakni Unity,

Complexity, dan Intensity, ada pada kedua obyek kasus, tetapi dengan ciri atau

karakter yang berbeda.

Kedua, ungkapan arsitektural dari karya-karya arsitektur tersebut diwarnai dan

dimaknai oleh pemikiran-pemikiran pada jamannya.

Ketiga, tampilan arsitektural Walt Disney Concert hall karya Frank O’Gehry,

dapat dikatagorikan karya ‘Dekonstruksi’, yang berbeda dengan Parthenon yang

lahir dari pemikiran filsafat Yunani. Estetika Obyektif dapat sesuai untuk menilai

Parthenon, tetapi untuk obyek arsitektur postmodern yang ciri-cirinya diteorikan

Charles Jencks, akan lebih tepat dilakukan dengan menggunakan teori estetika

Resepsi yang melibatkan nilai dari pengamat atau penikmat.

6.3. Kesimpulan Umum

Pertama, tidak terdapat kontinunitas nilai estetis dari estetika Monroe

Bearsdly pada dua arsitektur yang berbeda jaman, yaitu Parthenon yang mewakili

arsitektur Yunani dan Walt Disney Concert Hall karya Frank O’Gehry yang

mewakili masa postmodern, walaupun unsur nilai estetis dari Monroe ada pada

kedua karya arsitektur tersebut.

Kedua, untuk mendapatkan rumusan estetika yang dapat digunakan sebagai

instrument untuk penilaian atau mengapresiasi nilai estetis karya arsitektur,

memerlukan kajian terhadap pemikiran-pemikiran estetika saat arsitektur tersebut

dirancang atau dibangun.

Ketiga, pengkajian estetika yang mengkaitkan dengan aspek lain dalam

arsitektur dapat melengkapi pemahaman tentang estetika dalam arsitektur.