59
7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Penelitian hibah pasca, baik penelitian yang sudah selesai, maupun penelitian sedang dilakukan ini, mengacu kepada berbagai referensi yang berhubungan dengan masing-masing penelitian yang dilakukan. Referensi tersebut pada umumnya diperoleh dari thesis yang sudah ada atau yang sudah pernah dilakukan dan berhubungan dengan materi yang dipilih. Selain itu referensi juga diperoleh dari jurnal-jurnal dan berbagai referensi lain yang mendukung. Berikut adalah tinjauan pustaka yang digunakan sebagai referensi untuk masing-masing jenis penelitian. 2.1 Teori Penunjang 2.1.1 Pegas Pegas diterapkan dalam berbagai bentuk dan dalam banyak konstruksi. Penggunaan pegas adalah agar suatu konstruksi berfungsi dengan baik, bukan suatu hal yang mutlak, melainkan suatu pilihan sehubungan dengan pembuatan dan biaya. Sifat pegas yang terpenting ialah kemampuannya menerima kerja lewat perubahan bentuk elastik dan ketika mengendur. Pada Gambar 2.1 dapat dilihat kondisi pegas sebelum diberikan beban. Gambar 2.1. Pegas sebelum diberi beban Pegas yang panjang awalnya adalah L 0 dengan kekakuan pegas adalah k, jika diberikan beban sebesar F, maka akan terjadi pertambahan panjang pada pegas sebesar x (Gambar 2.2). Besarnya pertambahan panjang pegas berbanding lurus dengan besar gaya yang diberikan dan dapat dirumuskan:

ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

  • Upload
    ardi

  • View
    14

  • Download
    6

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian hibah pasca, baik penelitian yang sudah selesai, maupun penelitian

sedang dilakukan ini, mengacu kepada berbagai referensi yang berhubungan dengan

masing-masing penelitian yang dilakukan. Referensi tersebut pada umumnya diperoleh

dari thesis yang sudah ada atau yang sudah pernah dilakukan dan berhubungan dengan

materi yang dipilih. Selain itu referensi juga diperoleh dari jurnal-jurnal dan berbagai

referensi lain yang mendukung. Berikut adalah tinjauan pustaka yang digunakan sebagai

referensi untuk masing-masing jenis penelitian.

2.1 Teori Penunjang

2.1.1 Pegas

Pegas diterapkan dalam berbagai bentuk dan dalam banyak konstruksi.

Penggunaan pegas adalah agar suatu konstruksi berfungsi dengan baik, bukan suatu hal

yang mutlak, melainkan suatu pilihan sehubungan dengan pembuatan dan biaya. Sifat

pegas yang terpenting ialah kemampuannya menerima kerja lewat perubahan bentuk

elastik dan ketika mengendur. Pada Gambar 2.1 dapat dilihat kondisi pegas sebelum

diberikan beban.

Gambar 2.1. Pegas sebelum diberi beban

Pegas yang panjang awalnya adalah L0 dengan kekakuan pegas adalah k, jika

diberikan beban sebesar F, maka akan terjadi pertambahan panjang pada pegas sebesar

x (Gambar 2.2). Besarnya pertambahan panjang pegas berbanding lurus dengan besar

gaya yang diberikan dan dapat dirumuskan:

Page 2: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

8

.F k x= .................................................................................................(2.1)

Gambar 2.2. Pegas saat diberi beban tarik

Hubungan antara gaya dan pertambahan panjang pada pegas dapat ditunjukkan

pada diagram pegas (Gambar 2.3), pada sumbu horisontal adalah perpindahan (x) dan

sumbu vertikal adalah gaya (F).

Gambar 2.3. Diagram pegas

Garis a pada Gambar 2.3 adalah karakteristik dari sebuah pegas, garis b adalah

karakteristik suatu pegas yang lebih kaku, dan garis c adalah karakteristik sebuah pegas

yang kekakuannya lebih rendah. Berarti dari Gambar 2.3 dan persamaan (2.1) dapat

dituliskan rumusan kekakuan pegas:

Fkx

= ....................................................................................................(2.2)

Page 3: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

9

2.1.2. Persamaan gerak benda

Sebuah benda berada dalam keadaan diam (v0 = 0) kemudian setelah bergerak

sejauh s kecepatannya menjadi vt, maka besar percepatan yang terjadi pada benda

tersebut (Gambar 2.4) dapat dirumuskan: 2 2

0

2.tv va

s-= =

svt

.2

2

.....................................................................(2.3)

Gambar 2.4. Gerak benda dengan percepatan

Sebuah benda dengan massa m yang terikat dengan sebuah pegas apabila ditarik

dengan gaya sebesar F = m.a, maka pegas akan memberikan gaya perlawanan yang

sama besarnya dengan gaya F yaitu Fp = k.x, sehingga berlaku hukum kesetimbangan

gaya (Gambar 2.5) yaitu:

∑ F = m.a ………………………………………............…...…..……..(2.3)

Fp = m.a

k.x = m.a

Jika besar percepatan yang diinginkan adalah sebesar a dan pertambahan panjang

(displacement) pegas sebesar x, maka besar kekakuan pegas yang dihasilkan adalah:

.m akx

= ……………………………………............….……...........(2.4)

Gambar 2.5. Gerak suatu benda dan gaya perlawanan pegas

Page 4: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

10

2.1.3. Pegas tarik (extension springs)

Dalam perancangan pegas, kekakuan sebuah pegas dapat ditentukan dengan

menggunakan rumus berikut:

k = 3

4

8nDG.d

..............................................................................................(2.5)

Gambar 2.6. Dimensi pegas

Keterangan simbol persamaan (2.5):

Fp = gaya pegas

G = modulus geser pegas

d = diameter coil pegas

D = diameter pegas

n = jumlah lilitan pegas

k = kekakuan pegas

Perbedaan antara pegas tarik dengan pegas tekan terletak pada arah pembebanan

yang terjadi. Pada pegas tekan, arah gaya yang bekerja dalam bentuk kompresi (tekan)

menuju ke dalam pegas, sedangkan pegas tarik arah gaya yang bekerja menuju ke luar

dari pegas (aksial) (Gambar 2.7).

Gambar 2.7. Pegas tarik

Page 5: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

18

Besar tegangan tarik maksimum yang terjadi pada A akibat beban bending dan

beban aksial dapat dirumuskan:

.4

+.

16)(.= 23 dπdπ

DKFσ AA …………………………………………. (2.6)

Harga faktor koreksi tegangan akibat momen (K)A diperoleh dari:

(K)A = )1+(41++4

11

12

1

CCCC

, dengan ..................................................................(2.7)

C1 = dr1.2

…………………………....................................................(2.8)

Besar tegangan geser maksimum yang terjadi pada titik B diberikan oleh:

3..8

)(=dπDF

Kτ BA …………………………………………………........(2.9)

Harga faktor koreksi tegangan (K)B diperoleh dari:

(K)B = 4+41+4

2

2

CC

, dengan ............................................................................(2.10)

C2 = dr2.2

…….........…………………......................................….......(2.11)

Gambar 2.8. Diagram tegangan dan defleksi pada pegas tarik

Page 6: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

19

Gambar 2.9. Geometri pegas tarik

Dari Gambar 2.8 dapat dirumuskan hubungan antara beban dengan defleksi:

F = Fi + ky ...........................................................................................(2.12)

Panjang pegas (free length) L0 dapat dihitung dari rumus:

L0 = 2(D – d) + (Nb + 1)d = (2C – 1 + Nb)d ......................................(2.13)

Jumlah lilitan aktif pegas diperoleh dari rumus:

Na = Nb + EG ................................................................................(2.14)

Gambar 2.10. Tegangan torsional dan tegangan inisial sebagai fungsi indeks C pegas tarik

Page 7: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

20

Dari Gambar 2.10 daerah yang diinginkan (preferred range) dapat ditunjukkan

besar tegangan torsional (uncorrected):

τi = )6.5

3 - C - 41000(±

C)exp(0.10533500

psi ................................................(2.15)

Keterangan simbol rumus persamaan (2.12) sampai (2.15):

F = gaya yang bekerja pada pegas

Fi = tegangan inisial (initial tension)

D = diameter pegas

d = diameter kecil pegas (coil

diameter)

r1 dan r2 lihat Gambar 2.7

Na = jumlah lilitan aktif pegas

(number of active helical)

Nb = jumlah lilitan pegas (number of

body coils)

C = dD = perbandingan diameter

pegas dengan diameter coil pegas

k = konstanta pegas (spring rate)

G = modulus geser pegas

E = modulus elastis pegas

2.1.4. Analisis kegagalan pegas

Setiap benda atau material apabila bekerja padanya beban secara terus menerus

atau beban berlebih, maka material tersebut suatu saat akan mengalami kegagalan

karena kemampuan material tersebut lama kelamaan akan semakin menurun.

Agar suatu material masih dapat bekerja dengan baik, maka hendaklah besar

tegangan yang bekerja padanya tidak boleh melebihi kemampuan (strength)

material tersebut. Dari Gambar 2.7, pegas dikatakan aman pada A, apabila besar

Page 8: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

21

tegangan tarik maksimum yang terjadi tidak melebihi tegangan luluh (yield

stress) material pegas:

σA ≤ A

y

nS

...............................................................................................(2.16)

Demikian juga analisis pada titik B (Gambar 2.7), tegangan geser maksimum

yang terjadi tidak boleh melebihi tegangan geser luluh pegas:

τB≤B

Bsy

nS )(

......................................................................................(2.17)

Dimana:

nA, nB = nilai faktor keamanan (safety factor)

Besar tegangan luluh pegas (yield stress):

uty SS .75.0= ..................................................................................(2.18)

Besar tegangan geser luluh (torsional shear):

utsy SS 45,0= ...................................................................................(2.19)

Besar tegangan ultimate (ultimate tensile stress):

mut dA

S = ..............................................................................................(2.20)

Nilai A dan m diperoleh dari Tabel A1 (Lampiran A) untuk nilai d yang dipilih

atau yang ditentukan.

2.1.5 Tumbukan elastis dua buah benda

Suatu benda bermassa m yang bergerak dengan kecepatan v, maka besar

momentum benda tersebut dapat dirumuskan:

Momentum = m.v .................................................................................(2.21)

Page 9: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

22

Gambar 2.11. Tumbukan elastis dua buah benda

Dua buah benda yang bermassa m1 dan m2 masing-masing bergerak

dengan kecepatan awal u1 dan u2, pada saat selama tumbukan kecepatan kedua

benda adalah v dan setelah tumbukan kecepatan kedua benda menjadi v1 dan v2

(Gambar 2.11). Berdasarkan

hukum kekekalan momentum yaitu momentum total kondisi awal sama dengan

momentum total kondisi akhir, maka dapat dirumuskan:

m1u1 + m2u2 = m1v1 + m2v2 ....................................................................(2.22)

Perubahan momentum pada fase pertama (Gambar 2.11a) untuk benda pertama:

∆M’1 = m1(v1 – v) ................................................................................(2.23)

Perubahan momentum pada fase kedua (Gambar 2.11b) untuk benda pertama:

∆M”1 = m1(v – u1) ...............................................................................(2.24)

Dari persamaan (2.23) dan (2.24) diperoleh kecepatan benda pertama setelah

tumbukan:

v1 = 2.v – u1 .........................................................................................(2.25)

Dengan cara yang sama, maka diperoleh kecepatan benda kedua setelah

tumbukan:

v2 = 2.v – u2 .........................................................................................(2.26)

Dari persamaan (2.25) dan (2.36) diperoleh hubungan:

Page 10: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

23

v1 – v2 = (u1 – u2) = –(u1 – u2) ..............................................................(2.27)

Dari persamaan (2.27) dapat dilihat bahwa kecepatan relatif dari kedua

benda sesudah tumbukan adalah sama dan berlawanan terhadap kecepatan relatif

kedua benda sebelum tumbukan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kedua

benda tidak terjadi tumbukan elastik sempurna karena kecepatan relatif kedua

benda sesudah tumbukan selalu lebih kecil dari kecepatan relatif kedua benda

sebelum tumbukan.

Perbandingan kecepatan relatif benda sesudah tumbukan dengan kecepatan

relatif benda sebelum tumbukan disebut coefisient restitution dan dapat

dirumuskan:

e = )-(

-

21

21

uuvv

= 12

21

--

uuvv

= 21

12

- -uuvv

...................................................(2.28)

2.1.6. Gerak lurus berubah beraturan

Suatu benda yang bergerak dengan kecepatan awal v0 dan setelah

menempuh jarak sejauh s dalam waktu t dengan percepatan a, maka kecepatan

akhir benda dapat dirumuskan:

vt=v0±at ......................................................................................(2.29)

vt2=v0

2±2as ...............................................................................(2.30)

Sedangkan jarak yang ditempuh suatu benda yang bergerak dengan kecepatan

awal v0 dengan percepatan a dalam waktu t dapat dirumuskan:

s = v0.t ± 21 at2 .....................................................................................(2.31)

2.1.7. Hubungan antara energi tumbukan dengan kecepatan tumbukan

Suatu benda dengan massa m1 yang bergerak dengan kecepatan 1'v ,

apabila menumbuk sebuah benda yang lain (m2), maka besar energi benda m1

sesaat hendak menumbuk benda tersebut adalah:

Page 11: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

24

Ek= 211 )'(

21 vm ……………………………………....................(2.32)

Gambar 2.12. Gerak benda pertama menumbuk benda kedua

2.1.8. Hubungan kecepatan tumbukan dengan defleksi

Peristiwa kecelakaan atau tabrakan kendaraan bermotor menyebabkan

pengendara terlempar dengan kecepatan tertentu dan akhirnya badan atau kepala

akan membentur aspal/tanah yang diam. Pada pengujian ini diasumsikan

headform dan helm yang dibuat diam sedangkan beban (penumbuk) yang

bergerak menumbuk helm. Pemodelan kasus ini dapat dilihat seperti Gambar

2.13, dimana headform (helm) sebagai massa m2 yang

memiliki kecepatan nol (diam), dan penumbuk dengan massa m1 yang bergerak

menumbuk helm dengan kecepatan '1v .

Gambar 2.13. Beban menumbuk helm (headform)

Page 12: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

25

Dengan pemodelan sederhana yang ditunjukkan pada Gambar 2.13

diasumsikan bahwa busa helm adalah sistem pegas (spring) yang memiliki

konstanta kekakuan busa (k) dan kepala diasumsikan sebagai headform.

Keterangan simbol rumus dan Gambar 2.13:

v1 = kecepatan awal penumbuk yang dilepaskan pelontar '1v = kecepatan penumbuk saat hendak mengenai permukaan helm

v = kecepatan kedua benda saat bersamaan (menyatu) atau selama menempuh

jarak d "1v = kecepatan penumbuk setelah menempuh jarak d (berhenti, bernilai nol)

v2, '2v , "

2v = kecepatan helm (headform) bernilai nol (setiap keadaan selalu diam)

k = konstanta kekakuan busa helm

xo = tebal busa helm

x1 = tebal busa ketika terdesak beban (penumbuk)

x0 – x1 = x = defleksi pegas (foam) akibat tumbukan

s = jarak beban (penumbuk) dengan permukaan helm

Peristiwa pada saat helm terdesak oleh beban (penumbuk), maka besar koefisien

restitusi bernilai nol (e = 0, elastis sempurna) karena kecepatan benda masssa 1

dengan massa 2 sama (menyatu) dengan kecepatan v. Dari kondisi ini, maka

berlaku hukum kekekalan momentum:

m1'1v +m2

'2v =(m1+m2).v ..............................................................(2.33)

Dengan mensubstitusikan nilai '2v = 0, maka diperoleh kecepatan kedua benda

saat bersamaan:

v=21

'11

+ mmvm

..................................................................................(2.34)

Persamaan perpindahan (displacement) penumbuk dengan shell (helm) dapat

dirumuskan:

d = .

arctan+.sin.+0

02

202

0 vωx

tωωv

x ..................................................(2.35)

Page 13: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

26

Dimana:

x0 = perpindahan awal = 0

v0 = v = kecepatan peluru bersama

helm (m/s)

t = waktu tempuh perpindahan (s)

ω = kecepatan sudut (rad/s)

Besar frekuensi natural dihitung dari rumus:

mk

ω = ......................................................................................(2.36)

Percepatan yang terjadi pada headform adalah turunan kedua persamaan (2.35),

dan dengan memasukkan nilai x0 = 0, maka:

..d = a = -v.ω.sin(ω.t) ............................................................................(2.37)

Besar nilai percepatan maksimum diperoleh jika nilai sin(ω.t) = -1, sehingga:

a=v.ω ............................................................................................(2.38)

Besar durasi waktu selama tumbukan dihitung dari rumus:

avv

t'-

= 1 .......................................................................................(2.39)

Jarak yang ditempuh penumbuk bersama helm yang bergerak bersamaan

(menyatu) dapat dihitung dari persamaan (2.35) dengan x0 = 0, v0 = v sebesar:

)sin(= 0 tωωv

d ...........................................................................................(2.40)

2.1.9 Screw

Perancangan screw disesuaikan dengan besar beban yang bekerja

padanya. Pada screw akibat beban yang bekerja akan terjadi tegangan-tegangan

Page 14: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

27

baik dar tegangan yang paling kecil sampai tegangan kritis. Tegangan-tegangan

yang terjadi dapat dilihat seperti Gambar 2.13 dan terjadi pada titik-titik tertentu.

Gambar 2.14. Titik kritis dan tegangan pada screw

Besar tegangan yang terjadi di titik kritis A dapat dirumuskan:

erop

B nrrπW

AW

pσ)-(

=== 22B .......................................................(2.41)

Besar tegangan yang terjadi di titik kritis B dapat dirumuskan:

Tegangan geser torsional

34

)-(4=

)4/()-(

=)-(

=r

cfr

r

rcfr

r

rcfrs rµ

TTrµ

rTTJ

rTTτ ..............................................(2.42)

Dimana:

cclp

lppr µWr

µLθrπµrπθL

rWT +-cos2

2+cos..= .........................................................(2.42a)

Tegangan yang disebut “direct stress”

==r

dir AW

σ 2. rrπW

......................................................................................(2.43)

Tegangan geser maksimum “transverse”:

Page 15: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

28

ercrtr

maksr nprπW

pnrπW

AW

σ.2

3=

)2/(.223

=23

=, ...........................................(2.44)

Besar tegangan yang terjadi di titik kritis C dapat dirumuskan:

2

)-(12==

pnrµrrW

IMc

σer

rpb .....................................................................(2.45)

Dimana:

W = beban yang bekerja

ro = radius luar ulir

rr = root radius ulir

ne = jumlah ulir efektif yang bekerja

Tr = Torsi untuk menaikkan beban

Tr = Torsi penahan gesekan

p = pitch ulir

2.2 Studi Hasil Penelitian Sebelumnya

2.1 Teori Penunjang Perancangan dan pembuatan alat uji impak helm yang sudah pernah dibuat dilakukan

oleh:

1. R. Yulianto dari ITS Surabaya pada tahun 2006 telah merancang alat uji impak

helm sepeda motor. Alat yang dibuatnya menggunakan unit kontrol berupa

loadcell, strain amplifier dan plotter untuk mengukur besar beban impak yang

diserap oleh kepala saat terjadi benturan. Output pengujian berupa besar

simpangan garis yang diplot di kertas milimeter blok. Peralatan ini cukup mahal

dan sangat rentan terhadap kerusakan terutama komponen loadcell. Untuk

membaca hasil pengujian alat uji ini dilakukan secara manual yaitu dengan

mengukur panjang simpangan yang tercatat pada kertas milimeter, kemudian

dikonversikan kedalam persamaan kalibrasi untuk mendapatkan nilai beban

yang terjadi. Pengolahan data ini memerlukan waktu yang panjang dan

Page 16: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

29

pembacaan simpangan pada kertas milimeter blok harus sangat cermat karena

jika terjadi kesalahan kecil pada pembacaan tersebut akan mengakibatkan hasil

uji yang berbeda.

2. Utsman Syah Amrullah ITS tahun 2006 juga telah merancang alat uji impak

helm sepeda motor. Ia mengembangkan alat uji impak berbasis komputer.

Output pengujian disimpan di komputer dan grafik percepatan dapat ditampilkan

secara real time sehingga hasil uji impak dapat langsung di lihat di layar

monitor. Adapun mekanisme kerja alat uji impaknya adalah dengan memasang

helm pada headform. Headform dan helm berada pada ketinggian tertentu yang

diinginkan dengan mengereknya menggunakan tali pengerek. Kemudian tali

pengerek dilepas maka headform akan bergerak jatuh bebas. Saat bergerak jatuh

bebas headform akan melewati sinar inframerah ke-1 dan menghalangi sinar

tersebut. Ketika sinar infra merah terhalang oleh headform, resistensi berubah

menjadi rendah atau voltase tinggi dan berlogika 1. Kemudian dalam selang

beberapa waktu headform akan menghalangi sinar infra merah ke-2, maka sinyal

akan berlogika tinggi (atau 1). Selisih waktu antara pembacaan 1 diolah

mikrokontroler diperoleh nilai kecepatan. Dengan demikian kecepatan headform

sesaat sebelum menumbuk landasan bisa diperoleh.

3. Pada rancang bangun ini digunakan beberapa karya tulis yang mendukung:

4. Dimas Fajri Hendrayana pada tahun 2006 telah menulis didalam karya

ilmiahnya tentang alat uji helm dengan standar Snell Memoriam Fondation

(SMF). Pada alat uji ini telah dirancang dengan memanfaatkan energi jatuh

bebas dari indentor dengan ketinggian tertentu. Adapun jatuhnya indentor ke

benda uji dengan menggunakan mekanisme 2 rel yang berupa sling, sehingga

pengukuran model ini menghasilkan hasil akurasi yang belum baik. Adapun

penyebabnya adalah penyimpangan target penetrasi, selain itu sebelum proses

penetrasi indentor yang digantung tidak boleh goyang sehingga proses pengujian

membutuhkan waktu relatif lama (Gambar 3.6).

5. Pada tahun 2007 produk alat uji penetrasi helm dikembangkan lagi oleh Achmad

Faizin dengan menggunakan standar SII 1651-1985. Pada model ini (Gambar

Page 17: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

30

3.7) telah dilakukan penyempurnaan pengarah dari indentor, tidak lagi

menggunakan mekanisme sling tetapi menggunakan pengarah yang berupa pipa

dan tetap menggunakan energi jatuh bebas untuk melakukan penetrasi ke benda

uji. Alat uji ini telah menghasilkan hasil pengukuran yang baik, tetapi dengan

berkembangnya helm dipasaran ternyata standar uji SII telah diubah menjadi

SNI 1811-2007 dengan energi yang lebih besar karena indentor dijatuhkan

setinggi 1,6 meter dari benda uji. Hal ini mengakibatkan alat uji harus

dikembangkan, tetapi jika tetap menggunakan energi jatuh bebas sebagai

penghasil energi tentunya alat uji akan semakin tinggi dan besar. Oleh karena itu

perlu adanya pengembangan alat uji penetrasi dengan energi yang sama tetapi

dengan dimensi yang tidak terlalu besar. Adapun sebagai pengganti energi

potential adalah energi kinetic dari sebuah pelontar , sehingga indentor nantinya

dilontarkan dengan kecepatan tertentu sehingga akan menumbuk benda uji

dengan energi tertentu.

Gambar 2.15 Alat uji penetrasi dengan mekanisme 2 sling

Page 18: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

31

Gambar 2.16 Alat uji penetrasi dengan mekanisme pipa pengarah

6. Sujarwanto (2004) telah merancang sebuah Bar Hopkinson dengan pelontar

pegas yang digunakan untuk mendapatkan harga strain rate pada sebuah

material. Dengan pengembangan produk, model pelontar ini dapat digunakan

sebagai penghasil energi kinetik yang dapat digunakan untuk mengganti energi

potensial dalam alat uji penetrasi helm standar SNI maupun Snell.

2.2.1 Kedalaman dan Volume Hasil Penetrasi

Pada saat sebuah indentor dengan ujung runcing dan mempunyai sudut tertentu

mengenai benda, maka bentuk luka tersebut diasumsikan seperti bentuk ujung indentor,

yaitu seperti kerucut (lihat gambar 2.6). Kedalaman hasil penetrasi dapat dihitung

melalui hubungan antara φd, h2, dan α sebagai berikut (Faidzin, 2007):

Volume hasil penetrasi dapat dihitung dengan rumus seperti berikut:

Page 19: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

32

2.2.2 Pengembangan alat uji kekuatan sabuk dagu helm

Bram dan Seken tahun 2007, telah merancang dan membuat alat uji kekuatan

sabuk dagu helm sebagai Tugas Akhir dan Tesis Marthina Mini 2007, telah

menganalisis ketidakpastian dari alat uji kekuatan sabuk dagu helm. Ketidakpastian

terjadi karena beberapa faktor, diantaranya adalah ketidakpastian karena kesalahan

sistem pembebanan, ketidakpastian karena sliding antara batang pengantung dengan

pemegangnya, ketidakpastian karena putaran sisa motor penggerak dan ketidakpastian

karena penyimpangan jangka sorong.

Alat uji kekuatan sabuk dagu helm dapat dilihat pada Gambar 2.1

Gambar 2.17 Hasil Penetrasi

2.2.3 Rasio E/V

Salah satu definisi dari kekerasan adalah ketahanan suatu material terhadap

penetrasi (Neely dkk, 2003). Ketahanan penetrasi adalah kemampuan untuk menahan

beban penetrasi dan merupakan hubungan antara beban penetrasi dengan deformasi

akibat beban tersebut. Makin besar beban yang diberikan, semakin besar pula deformasi

yang terjadi. Apabila beban yang sama besar diberikan pada dua jenis material yang

berbeda, maka deformasi yang lebih kecil terjadi pada material yang lebih tahan

terhadap beban penetrasi.

Page 20: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

33

Berdasarkan hal di atas, ketahanan material terhadap beban penetrasi dapat dilihat dari

perbandingan antara energi penetrasi yang didapatkan dari hukum kekekalan energi

pada sebuah tumbukan dan volume luka hasil penetrasi, yang disebut sebagai Rasio

E/V, yang besarnya:

Pengujian penetrasi dengan energi penetrasi sama besar, dilakukan terhadap dua

jenis material berbeda, dapat menunjukkan bahwa, pada jenis material yang lebih tahan

terhadap beban penetrasi, akan terjadi luka yang lebih kecil, sehingga perbandingan

antara energi penetrasi dengan volume luka, lebih besar.

2.2.4 Fotodioda dan Infra Merah

Sinar infra merah merupakan sebuah sinar yang dapat digunakan dalam

rangkaian sensor suatu sistem, adapun untuk menangkap sinar ini biasanya

menggunakan fotodioda. Fotodioda merupakan sambungan pn yang dirancang untuk

beroperasi bila dibiaskan dalam arah terbalik, seperti yang tampak pada gambar 2.7.

Ketika energi cahaya dengan panjang gelombang yang benar jatuh pada sambungan

fotodioda, arus mengalir dalam sirkuit eksternal. Alat ini kemudian bekerja sebagai

generator arus, yang arusnya sebanding dengan intensitas cahaya itu. Semakin besar

intensitas cahaya infra yang diterima maka kemampuannya untuk menghasilkan arus

semakin besar sebaliknya kemampuan untuk menghasilkan arus akan lemah apabila

intensitas cahaya infra yang diterima semakin kecil. Silikon merupakan bahan yang

paling banyak digunakan untuk fotodiode dan memberikan waktu reaksi sebesar 1 ns.

(Faizal, 2005).

Page 21: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

34

Gambar 2.5 Rangkaian sensor inframerah

2.3 Teori Penunjang

Gambar 2.18 Alat uji sabuk dagu helm SII 1961.85

[Bram, Seken dan Marthina Mini 2007]

Headform Jangka Sorong

Penggantung

Batang Penggantung

Landasan Penekan Pegas

Pegas

Landasan Pegas

Lead Screw

Dudukan Jangka Sorog

Page 22: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

35

Ada beberapa standar pengujian keselamatan helm yang masing-masing memiliki

metode serta karakteristik berbeda-beda. Standar pengujian tersebut adalah DOT

(Departement of Transportation), Snell Memorial Foundation, ASTM, ANSI,

CPSC, BSI, Standar Nasional

Indonesia (SNI) dan lain-lain. Standar DOT dan M2000 (Standar Snell) banyak

dipakai di wilayah Amerika Serikat dan Kanada, Standar EN 22/05 (Standar BSI

6658-85 Type A dan Regulation 22 Rev. 5) banyak dipakai di Eropa dan Inggris.

Salah satu standar pengujian keselamatan helm yaitu uji kekuatan sabuk dagu

Dynamic retentin test menurut Standar Snell dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 2.19 Uji kekuatan sabuk dagu

(Dynamic Retention Test, Standar Snell) Cara kerja:

Helm diletakkan pada headform dan sabuk dagu diikatkan pada pengikat sabuk dagu

massa awal 23 kg dan catat kemuluran sabuk. Setelah itu beban di jatuhkan sehingga

mencapai total pembebanan 38 kg dan obserfasi kemuluran sabuk tidak boleh lebih dari

30 mm. Alat uji kekuatan sabuk dagu helm menurut Badan Standar Industri Indonesia

(SII 1651-85) yaitu:

Page 23: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

36

Gambar 2.20 Alat uji kekuatan sabuk dagu helm menurut SII 1651-85

Cara kerja alat uji adalah :

Helm diletakkan pada headform dan sabuk dagu diikatkan pada roller pengikat sabuk

dagu (massa penggantung dengan berat 4.5 kg) selama 30-60 detik kemudian dicatat

pemuluran

yang terjadi. Setelah itu beban ditambah hingga 50 kg selama 30 detik dengan laju

konstan, setelah 120 detik catat pemuluran yang terjadi.

\Kemudian pengembangan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) pada tahun 2007

tentang standar helm motor roda dua yaitu SNI 1811-2007. Adapun alat uji kekuatan

sabuk dagu helm menurut Badan Standar Nasional Indonesia (SNI 1811-2007) yaitu:

Gambar 2.21 Alat uji kekuatan sabuk dagu helm (SNI) 1811-2007

Page 24: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

37

2.3.1 Energi jatuh bebas

Benda yang dijatuhkan secara bebas dari suatu ketinggian kecepatannya akan

mengalami pertambahan. Pertambahan kecepatan tersebut disebabkan oleh adanya

percepatan jatuh bebas. Pada gambar 2.10 menggambarkan benda yang dilepaskan dari

ketinggian tertentu (h), sehingga jatuh bebas, maka berlaku:

Besarnya energi potensial jatuh bebas adalah:Ep = m g h (2.13)

Dimana:

m = massa jatuh bebas

\h = ketinggian jatuhan

g = Gaya grafitasi

Besarnya kecepatan jatuh bebas adalah:

v � 2g h = m/s. (2.14)

dimana:

v = kecepatan beban jatuh bebas

h = ketinggian jatuhan g = Gaya grafitasi

Gambar 2.22 Benda jatuh bebas

Page 25: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

38

2.3.2 Hukum kekekalan energi

Hukum kekekalan energi mekanik menyatakan bahwa apabila dalam suatu sistem

terdapat benda dengan massa (m) pada posisi 1 yang memiliki energy potensial, maka

pada posisi 2 benda tersebut akan memiliki total energi yang sama dengan saat posisi 1.

Disaat beban dijatuhkan dari ketinggian h1 (posisi 1). Beban akan mulai menimpa

permukaan apron (posisi 2) dengan kecepatan v2

Gambar 2.23 Sketsa alat uji

Page 26: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

39

2.3.3 Proses manufaktur

Mesin-mesin manufaktur yang digunakan dalam proses pembuatan alat uji

kekuatan sabuk dagu helm adalah sebagai berikut:

1. Mesin las SMAW (Shielded Metal Arc Welding) atau las listrik

Proses las merupakan salah satu proses penggabungan dua material. Las SMAW

merupakan pengelasan busur listrik dengan busur berupa logam las yang

terbungkuslogam las.

2. Mesin lathe atau bubut

Mesin bubut adalah alat yang memutar material atau benda kerja untuk

dikenaiberbagai macam pengerjaan seperti memotong (cutting), menghaluskan

(sanding),

membuat alur (knurling), melubangi (drilling).

3. Mesin bor vertikal

Mesin bor vertikal adalah alat yang berfungsi untuk membuat lubang serta

memperbesar lubang dari arah atas benda kerja (vertikal).

4. Gergaji elektrik/mesin (electric hacksaw)

Gergaji elektrik/mesin adalah alat yang berfungsi untuk memotong suatu benda

kerja, sumber tenaga untuk menggerakkan gergaji ini adalah motor listrik.

5. Gergaji tangan

Gergaji tangan adalah alat yang berfungsi untuk memotong suatu benda

kerja,sumber tenaga untuk mengoperasikannya adalah manusia (manual).

6. Gerinda tangan (angle grinder)

Gerinda tangan adalah alat perkakas tangan yang berfungsi untuk memotong

(cutting), menggerinda (grinding) dan memoles (polishing.

7. Die

Page 27: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

40

2.3.4 Sistem akuisisi data

Pengertian dasar dari sistem akuisisi data adalah pengumpulan informasi dari

sumber angka-angka analog dan kemudian diubah menjadi bentuk digital agar dapat

dibaca oleh komputer yang pada akhirnya diperoleh data-data yang akurat dan

mempermudah dalam merencanakan suatu pengukuran. Sistem akuisisi data digunakan

untuk mengukur dan mencatat sinyal listrik. Sistem instrumentasinya terdiri dari sistem

analog dan sistem digital. Sistem analog biasanya merupakan voltase output dari alat

ukur yang digunakan yang kemudian diubah menjadi bentukbiner atau digital dan

disusun menjadi sekelompok angka-angka yang kita kenal sebagai data.

Elemen-elemen dasar dari sistem data akuisisi dapat dilihat padagambar 2.12 berikut ini

Gambar 2.24 Elemen dasar dari sistem akuisisi data [Priventa;2004]

2.3.5 Linear variable differential transformer (LVDT)

Struktur dasar dari sensor LVDT adalah sebuah inti besi yang bergerak didalam

tiga kumparan. Kumparan primer dihubungkan dengan sumber arus AC untuk

membangkitkan fluk magnetik. Dua kumparan sekunder mempunyai tegangan induksi

karena hubungan fluk dengan bagian primer. Ketika inti besi berada di pusat,tegangan

Page 28: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

41

induksi tiap-tiap bagian adalah sama. Saat inti besi bergeser, terjadiperubahan fluk

magnetik sehingga kumparan sekunder yang satu tegangannya akan naik, sedangkan

kumparan sekunder yang lain tegangannya akan turun.

Gambar 2.25 Gambar sensor LVDT Alat ukur LVDT yang digunakan bermerek OMEGA yang mempunyai daerah kerja ±

25 mm. Tegangan yang dihasilkan dari perbedaan harga fluks pada kumparan sekunder

masih berharga milivolt (mV). Agar bisa terbaca oleh rangkaian ADC, tegangan ini

diperkuat terlebih dahulu oleh rangkaian penguat differensial (differential amplifier).

2.3.6 Sensor kecepatan

Untuk mengukur kecepatan suatu benda yang sedang bergerak dipakai sensor

kecepatan. Sensor kecepatan merupakan satu kesatuan unit kontrol yang terdiri dari

sensor kecepatan (foto dioda), mikrokontroler dan komputer.

a. Rangkaian foto dioda dan infra merah

Sensor kecepatan adalah rangkaian foto dioda dan sinar infra merah. Infra merah

akan memancarkan sinar yang akan diterima oleh foto dioda. Ketika suatu benda

melewati sinar infra merah, maka hubungan infra merah dengan foto

diodaterputusterhalang menyebabkan terjadinya perubahan resistensi dari rendah

Page 29: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

42

(0) ke tinggi (1). Perubahan resistensi ini adalah sinyal digital (data biner) yang

akan diteruskan ke mikrokontroler untuk diolah transportasinya.

Gambar 2.26 Rangkaian sensor infrared

b. Mikrokontroler

Mikrokontroler digunakan untuk mengontrol seluruh transportasi sinyal data yang

melewati rangkaian pengolah sinyal.

Gambar 2.27 Mikrokontroler Mikrokontroler yang digunakan adalah AT89C2051 Agar dapat digunakan,

mikrokontroler harus diprogram. Program ini disimpan dalam PEROM. IC AT89C2051

memiliki beberapa port/saluran yang berhubungan dengan komponen-komponen lain.

Hubungan port-port tersebut ditunjukkan pada Gambar 2.15.

Page 30: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

43

2.3.7 Komunikasi data serial

Komunikasi data antara unit pengkondisian sinyal dengan unit pengolah data

dihubungkan oleh port serial. Pada komputer, port yang dipakai adalah port COM1.21

Antara mikrokontroler dan port serial terdapat IC RS232. Fungsi IC RS232 adalah

untuk membuat komunikasi data antara mikrokontroler dengan komputer menjadi

sinkron. Prinsip kerja IC RS232 adalah membalikkan sinyal digital yang melewatinya

karena saat komputer mengirimkan data pada sinyal tinggi (1) maka mikrokontroler

menerima sinyal tersebut pada kondisi rendah (0). IC RS232 mengubah sinyal tinggi (1)

menjadi sinyal rendah (0). Pada DB9 (port serial), kaki yang dipakai adalah kaki nomor

2 (received data), 3 (transfer data), dan 5 (ground). Gambar 2.14 Skema IC RS232

2.3.8 Ketidakpastian

Dalam era perdagangan bebas, parameter acceptability suatu produk ditentukan oleh

suatu spesifikasi yang berlaku universal. Kesesuaian terhadap spesifikasi tersebut

ditentukan oleh suatu batas tertentu disekitar nilai yang diinginkan, yang kemudian

disebut dengan ketidakpastian. Perbedaan metode penaksiran ketidakpastian

menyebabkan ditolaknya suatu komoditi ke negara lain yang mempunyai metode yang

berbeda. Untuk mencegah hambatan perdagangan tersebut, beberapa organisasi

internasional sepakat untuk menyusun suatu pedoman yang berlaku universal. Pedoman

tersebut kemudian disebut sebagai ISO “GUIDE TO THE EXPRESSION OF

UNCERTAINTY IN MEASUREMENT” yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1993.

Tujuan pengukuran adalah menentukan nilai besaran ukur. Hasil pengukuran adalah

taksiran nilai besaran ukur, karena hanya merupakan taksiran maka setiap hasil

pengukuran selalu mengandung kesalahan. Terdapat dua komponen kesalahan yaitu

kesalahan acak dan kesalahan sistematik. Kesalahan acak timbul dari besaran

berpengaruh yang tidak terduga, sedangkan kesalahan sistematik timbul dari besaran

berpengaruh yang dapat diduga berdasarkan model besaran ukur.

Ketidakpastian pengukuran didefinisikan sebagai suatu parameter yang terkait dengan

hasil pengukuran, yang menyatakan sebaran nilai yang secara beralasan dapat diberikan

kepada besaran ukur. Apabila taksiran nilai besaran ukur dinyatakan dengan x, dan

Page 31: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

44

ketidakpastian pengukuran untuk tingkat kepercayaan tertentu dinyatakan dengan U,

maka nilai dari besaran ukur tersebut, yaitu X diyakini berada dalam rentang:

x- U < X < x + U (2.11)

Adapun sumber-sumber ketidakpastian adalah :

Standar atau acuan

Benda ukur

Alat ukur

Metode pengukuran

Kondisi lingkungan

Personil pelaku pengukuran

Dalam suatu proses pengukuran ketidakpastian ditaksir dari pengamatan terhadap n

sampel besaran ukur Xk. Dari n sampel besaran ukur X

k, ketidakpastian baku dapat

dihitung dengan:

2.3.9 Klasifikasi komponen ketidakpastian

Berdasarkan teknik evaluasinya, komponen ketidakpastian pengukuran dapat

diklasifikasikan menjadi komponen ketidakpastian Tipe-A dan komponen

ketidakpastian Tipe-B:

Komponen Ketidakpastian Tipe-A

Ketidakpastian random dapat juga disebut ketidakpastian Tipe A dan diestimasikan dari

analisa statistik pada distribusi kesalahan random.Untuk mendapatkan distribusi

tersebut, diambil sample dengan ukuran N dan dicatat hasil pengukurannya, kemudian

dihitung harga rata-rata dan standar deviasinya dengan menggunakan persamaan

berikut:

Page 32: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

45

Kemudian dengan batas kepercayaan 95% untuk sebuah sample pengukuran X,

sejumlah N dari distribusi Gauss, didefinisikan sebagai ketidakpastian random P,

sehingga persamaan ketidakpastiannya adalah sebagai berikut :

dimana r = pengukuran yang merupakan fungsi dari sejumlah n variabel pengukuran, X

i

Oleh karena itu ketidakpastian random hasil pengukuan dapat diestimasikan dari

persamaan sebagai berikut (Coleman & Steele,1999) :

Page 33: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

46

Komponen ketidakpastian Tipe-B Kesalahan sistematik yang dapat juga disebut

ketidakpastian tipe B, untuk suatu variabel terukur adalah kesalahan yang tetap dan

tinggal setelah semua koreksi kalibrasi dibuat. Ketidakpastian sistematik hasil

pengukuran dapat diestimasikan dari persamaan sebagai berikut (Coleman &

Steele,1999) :

dimana :

Br = ketidakpastian sistematik hasil pengukuran

Bi = ketidakpastian sistematik dari variabel X

i B

ik = covariance estimator untuk kesalahan sistematik pada X

i dan X

k

Bik

= Σ =LkiBB1)()(ααα

L = Jumlah sumber kesalahan sistematik elemental untuk pengukuran variabel X

i dan X

k

ISO Guide to Expression of Uncertainty in Measurement menyatakan bahwa metode

untuk mengkombinasikan estimasi ketidakpastian adalah menjumlahkan varian (atau

standar deviasi kuadrat) dari estimasi. Metode pada ISO Guide to the Expression of

Uncertainty in Measurement menyebutkan bahwa combined standard uncertainty untuk

variable i adalah 222iBCSSui+= (2.18)

dimana :

uC

= ketidakpastian standar gabungan

SBi

= estimasi standar deviasi ketidakpastian sistematik untuk variable i

Si = estimasi standar deviasi ketidakpastian random untuk variabel i

Sehubungan dengan tingkat kepercayaan ketidakpastian untuk suatu variabel, ISO

Guide to Expression of Uncertainty in Measurement merekomendasikan converage

factor yaitu :

U%

= t%

uc, (2.19)

dimana U%

= expanded uncertainty dengan tingkat kepercayaan.

Page 34: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

47

Sehingga dengan batas ± U

%, disekitar variable X akan mendapat nilai sebenarnya dari

variabel dengan tingkat kepercayaan yang diberikan. Untuk derajat kebebasan vi ≥ 9 dan

tingkat kepercayaan 95%, maka t95

2, sehingga persamaan 2.7 dan 2.8 menjadi :

≈ (2122952iBSSUi+= (2.20)

dan untuk ketidakpastian sistematik B yang merupakan estimasi kepercayaan 95% (2SB)

dari batas β, maka persamaan 2.20 menjadi :

()212295iiPBU+= (2.21)

2.1.3 Teori Penunjang sistem monitoring posisi kecelakaan sepeda motor

2.4 Teori Penunjang

2.4.1. Penggunaan GPS (Global positioning system)

Menurut perkembangannya petugas kepolisian telah menggunakan alat

pemantau peristiwa kecelakaan seperti cloth tapes atau peralatan yang lebih modern

seperti electronic total stations dan laser rangefinders tetapi alat tersebut memerlukan

beberapa personil dengan pelatihan yang cukup dikarenakan pemakaian alat cukup sulit.

(Price dkk, 2005)

Dalam sisi penggunaannya GPS lebih unggul dibandingkan dengan alat-alat

terdahulu. GPS dapat bekerja dalam kondisi gelap dan cuaca yang buruk, dan mudah

dioperasikan oleh seorang operator. GPS juga memiliki ketepatan yang tinggi dalam

menentukan posisi, tingkat efisiensi yang tinggi, dan memiiki area cakupan yang lebih

luas. (Price dkk, 2005)

Macam-macam keuntungan dalam penggunaan GPS, antara lain (Johnson dkk,

2008):

1. Reduced workload.

Page 35: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

48

Suatu manfaat yang penting tentang aplikasi GPS adalah dapat mengurangi beban

kerja karena hanya menggunakan seorang operator untuk memantau daerah yang luas.

2. Reduce uncertainty.

Di daerah lautan yang luas, padang pasir dan hutan rimba, GPS dapat menentukan

posisi secara pasti.

3. Multi-criteria optimisation.

4. Dynamic problem solving.

GPS dapat dengan cepat memberikan posisi suatu objek meskipun objek berpindah-

pindah secara cepat.

5. Monitoring of primary systems.

6. Multiple input mappings.

GPS dapat digunakan untuk memetakan berbagai macam objek.

7. Multiple output mappings.

2.4.2 Sinyal wicara pada manusia

B. H. Juang dkk, 1991 mengemukakan bahwa, Wicara adalah suatu isyarat

nonstationary. wicara manusia muncul karena adanya hembusan udara dari paru-paru

melewati suatu konfigurasi articulator yaitu bibir, rahang, lidah, dan langit-langit lunak,

seperti ditunjukkan pada Gambar 2.28).

Gambar 2.28 Sistem vokal manusia.(B.H. juang dkk, 1991)

Page 36: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

49

Suatu isyarat nonstationary dari wicara manusia dapat dilihat pada Gambar 2.29 dengan

panjang gelombang kira-kira 450 msec, sesuai dengan ucapan yang direkam dari kata

"Judge".

Gambar 2.29 Gelombang wicara “Judge”. (B.H. juang dkk, 1991)

Sinyal wicara merupakan sinyal yang bervariasi lambat sebagai fungsi waktu, dalam hal

ini ketika diamati pada durasi yang sangat pendek (5 sampai 100 mili detik)

karakteristiknya masih stasioner. Tetapi bilamana diamati dalam durasi yang lebih

panjang (> 1/5 detik) karakteristik sinyalnya berubah untuk merefleksikan wicara yang

keluar dari pembicara. Gambar 2.30 menunjukkan tiga kondisi dasar sinyal wicara pada

manusia.

Gambar 2.30 Tiga kondisi dasar sinyal wicara manusia (Rabiner & Juang, 1993)

Page 37: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

50

Salah satu cara dalam menyajikan sebuah sinyal wicara adalah dengan menampilkannya

dalam tiga kondisi dasar, yaitu silence (S) atau keadaan tenang dimana sinyal wicara

tidak diproduksi. Unvoice (U) dimana vocal cord tidak berfibrasi, dan yang ketiga

adalah voiced (V) dimana vocal cord bervibrasi secara periodik sehingga dapat

menggerakkan udara ke kerongkongan melalui mekanisme akustik sampai keluar mulut

dan menghasilkan sinyal wicara.

2.4.3 Sinyal suara dalam domain waktu

Bartek Plichta dkk, 2003, menjelaskan bahwa terdapat 4 konsep dasar merubah sinyal

wicara dalam domain waktu untuk perekaman wicara:

1. Digitization : proses untuk merubah sinyal dalam waktu kontinyu menjadi waktu

diskrit oleh suatu converter ADC. Setiap sampling dari ADC harus

mempresentasikan amplitudo yang sesuai dari sinyal waktu kontinyu.

2. Sampling : proses pengambilan data secara berkelanjutan pada sinyal waktu

kontinyu dengan interval waktu yang sama. Persyaratan frekuensi sampling adalah

harus sama dengan atau melebihi 2 kali frekuensi maksimum sinyal yang disampel.

3. Aliasing : konsekwensi yang terjadi sepanjang proses digitisasi karena melanggar

persaratan frekuensi sampling, sehingga menciptakan informasi yang palsu dalam

bentuk frekuensi alias.

4. Quantization : menunjukkan tingkat kesempurnaan dalam proses pengambilan data.

Hal ini berkaitan dengan resolusi yang dimiliki oleh ADC, semakin tinggi resolusi

(jumlah bit) ADC maka semakin sempurna informasi yang di sampling.

Sinyal sinus x(t) = A cos(ωt +φ) merupakan contoh sinyal waktu kontinyu. Untuk

proses komputasi, sinyal waktu kontinyu harus dirubah menjadi bentuk waktu diskrit

dan dilanjutkan dengan proses digitalisasi. Untuk memperoleh bentuk sinyal waktu

diskrit, sinyal waktu kontinyu harus di-sampel.

Page 38: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

51

Gambar 2.31 Diagram Blok konversi sinyal kontinyu menjadi sinyal diskrit (Rabiner &

Juang, 1993)

Gambar 2.18 merupakan diagram blok konversi sinyal kontinyu menjadi sinyal diskrit

dimana sekuen x[n] didapakan setelah proses perubahan dari continues to discrete (Cto-

D). Jika sinyal informasi yang di sample memiliki komponen frekuensi beragam,

misalnya untuk sinyal wicara memungkinkan untuk memiliki frekuensi dari 20 sampai

4000 Hz, maka sinyal informasi tersebut bisa dituliskan sebagai:

(1)

Frekuensi sampling seringkali dikatakan dengan sampling rate, yaitu jumlah sample

yang diambil setiap detik, fs=1/Ts juga dikenal sebagai Nyquist rate, sehingga

persyaratan untuk frekuensi sampling menjadi:

fs > 2x fimax (2)

Bartek Plichta dkk, 2003, menunjukkan perekaman wicara manusia pada era tahun

1990, dengan frekuensi sampling sebesar 48kHz dan resolusi 16 bit. Gambar 2.19

menunjukkan bentuk gelombang dan spektrum dari Perekaman pembicara wanita

dewasa dengan frekuensi tertinggi mencapai 17kHz.dari suatu ucapan “They got to the

mall at exactly ten o’clock”. Cakupan spektrum adalah 0- 24,000 Hz, sehingga dapat

memperlihatkan keseluruhan tanggapan frekuensi yang dapat didengar oleh manusia,

sebesar 20 Hz – 20 kHz.

Page 39: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

52

Gambar 2.32 Spektrum suara manusia era tahun 1990, dari suatu ucapan“They got to

the mall at exactly ten o’clock”.( Bartek Plichta dkk, 2003)

2.4.4 Analog to digital converters (ADC)

Gelombang wicara analog tidak dapat langsung direpresentasikan dalam proses

komputasi. Pengukuran amplitudo dari proses komputasi pada satuan waktu tertentu

untuk menghasilkan sejumlah angka. Tiap satuan pengukuran ini dinamakan “sample”.

Analog to Digital Converters (ADC) Adalah proses mengubah amplitudo gelombang

bunyi ke dalam interval waktu tertentu, sehingga menghasilkan representasi digital dari

wicara.

Gambar 2.33 Diagram Blok Encoder (Tri Budi S dkk, 2005)

Gambar 2.33 merupakan diagram blok dari encoder yang memiliki fungsi sebagai

berikut:

1. Membuang frekuensi tinggi dari source signal

2. Mengambil sample pada interval waktu tertentu (sampling)

Page 40: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

53

3. Menyimpan amplitudo sample dan mengubahnya ke dalam bentuk diskrit

(kuantisasi)

4. Merubah bentuk menjadi nilai biner.

Gambar 2.34 menunjukkan proses sampling dan kuantisasi dari source input, dimana

terdapat Quantization error. Hal ini dikarenakan Quantization level dari ADC tidak

mampu memenuhi amplitudo dari sampling gelombang analog.

Gambar 2.34 Sampling dan kuantisasi (Nachwan Mufti, 2004)

2.4.5 Digital to analog converters (DAC)

Digital to Analog Converters (DAC) Adalah proses mengubah digital audio

menjadi sinyal analog. DAC biasanya hanya menerima sinyal digital Pulse Code

Modulation (PCM). PCM adalah representasi digital dari sinyal analog, dimana

gelombang disample secara beraturan berdasarkan interval waktu tertentu, yang

kemudian akan diubah ke biner. Proses pengubahan ke biner disebut Quantisasi.

2.4.6 Linear predictive coding (LPC)

Pengenalan wicara adalah proses dari ekstraksi otomatis untuk menentukan

informasi bahasa dari suatu gelombang wicara dengan menggunakan komputer ( Furui,

2001). Metoda pengenalan wicara secara otomatis telah diselidiki selama bertahun-

tahun dengan merealisasikan perekaman wicara manusia pada suatu komputer. Untuk

pertama kalinya teknik pengenalan wicara dipublikasikan di laboratorium Bell pada

tahun 1952. Teknik pengenalan wicara ini didasarkan pada pengukuran resonansi

Page 41: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

54

spektral sepanjang daerah huruf hidup/vokal dari tiap digit. Pada tahun 1960 beberapa

gagasan yang pokok, seperti analisa spektrum filter bank, analisa Zero crossing, metoda

normalisasi waktu dikemukakan oleh Rabiner (Rabiner,1993). Kemudian, metoda

programming dinamis untuk mengurutkan waktu dari suatu ucapan diusulkan

(Vintsyuk, 1968). Pada era tahun 1970 pengenalan kata terisolasi menjadi

teknologi tingkat lanjut dalam kaitan dengan studi pokok (Velichko, 1970; Sakoe, 1978;

Itakura, 1975). Pengenalan pola, programming yang dinamis, dan Liniear Prediction

Coding (LPC) diberlakukan untuk pengenalan wicara.

Di tahun 1980 penelitian tentang pengenalan wicara difokuskan pada

permasalahan dalam pengenalan kata yang dihubungkan. Penelitian tentang pengenalan

wicara digeser dari pendekatan berdasarkan template menjadi model metode yang

statistik,dengan pendekatan Hidden Markov Model (HMM) ( Rabiner, 1989; Jelinek,

1999) dan neural metoda jaringan ( Weibel, 1989). Kemudian pada tahun 1990 fokus

utama pada penelitian ini adalah pengenalan wicara dari kosa kata yang besar yang

berlanjut ( Lee, 1996), pengenalan pidato/suara yang sempurna ( Junqua, 1996),

mencakup sintaksis, ilmu semantik, pragmatis ke dalam pengenalan wicara ke tingkat

yang lebih tinggi ( Jurafsky, 2000).

Dari pengalaman yang telah dilakukan sebelumnya digunakan sistem pengenalan wicara

dengan menggunakan Linear Predictive coding (LPC). Linear Predictive Coding (LPC)

sangat luas digunakan untuk pengenalan suara disebabkan beberapa keuntungan yaitu:

1. LPC menyediakan pemodelan yang bagus untuk sinyal suara (speech signal), hal ini

terutama untuk bagian voiced dimana pemodelan all pole model LPC menghasilkan

pendekatan selubung spektral jalur vokal (vocal track spectral envelope) yang baik,

sedangkan untuk bagian unvoiced, pemodelan LPC ini tidak seefektif sebelumnya

tapi masih dapat digunakan untuk keperluan pengenalan suara.

2. LPC dapat dengan mudah dan langsung diterapkan baik secara perangkat lunak

maupun perangkat keras, sebab perhitungan matematis yang dilibatkan relatif lebih

singkat dari metode-metode yang dikenal sebelumnya seperti filter bank.

3. Hasil pengenalan suara yang didapat dengan menerapkan LPC cukup baik bahkan

lebih baik dari metode-metode yang dikenal sebelumnya.

Page 42: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

55

Sebagai sebuah model speech alternatif yang dikenal adalah transformasi short time

Fourier pada Linear Prediktive Coding (LPC). LPC ini disedikan untuk keakuratan dan

menghemat parameter yang relevant, untuk dapat dikurangi perhitungannya pada speech

recognition dan menghasilkan suatu sintesa speech yang efisien. Penggunaan LPC ini untuk

kecepatan transmisi dalam speech coding. Penggunaan Adaptive pulse coding digunakan kosa

kata yang berbeda dan sebuah LP Coder.

LPC sangat umum digunakan untuk mengkode bit kecepatan rendah dan sangatlah

penting untuk itu bila kita akan menggunakan suatu tool analisa. LPC yang dikenal diturunkan

dari gabungan persentasi yang mirip dari pengucapan yang dihubungkan dengan suatu

perhitungan yang sederhana. LPC yang digunakan untuk penentuan F0, fungsi area vokal track

yang frekuensi dan parameter speech yang direpresentasikan ke konfigurasi vokal track. LPC

mengestimasi setiap sample speech didasari kepada kombinasi benar dan ada sample

sebelumnya. Sebuah pengucapan yang besar dapat dari sebuah model yang lebih akurat. Faktor

berat atau koeffisien LPC dalam linear kombinasi dapat dengan langsung digunakan dalam filter

digital sebagai coeffisien multiflier yang dapat digunakan untuk sintesis atau dapat disimpan

sebagai template dari suatu speech recognition. Koeffisien LPC dapat ditrnsformasikan kedalam

parameter set yang lain untuk perhitungan agar efisiensi. Kekurangan LPC untuk analisa

meminimkan suatu kompleksitas signal speech biasanya dianggap sebagai signal input dari

sebuah kutub-kutub signal speech. Seperti contoh bahwa spektrum tidak nol sejak speech aktual

mempunyai harga nol, digunakan suatu sumber celah yang dirangsang pada suatu nilai yang

harus mendapat perhatian pada path akustiknya. Dalam pengucapan yang sengau model yang

demikian disederhanakan,agar dapat dikenali meskipun demikian terdapat kesulitan.Beberapa

usaha untuk menyederhanakan kutub-kutub LPC ini untuk model Zero adalah:

Least Square Autocorelation Methode.

Dua pendekatan yang sering digunakan dalam menentukan koeffisien set LPC,

karakteristik seluruh kutub pada H(z) model sebagai spektrum speech secara klasik.Pemilihan

methode Least Square untuk meminimkan energi rata-rata dari signal error yang melalui pada

sebuah frame data speech.Dengan pendekatan lattice yang dibolehkan seketika itu juga

diperbaharui pada koeffisien. Dalam teknik penyederhanaan kedua s(n) atau e(n) di window

untuk membatasi perpanjangan analisa speech.Pertama dari teknik Least Square adalah data

window atau methode autocorelation perkalian speech dengan Hamming atau waktu window.

Page 43: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

56

2.4.7 Rasio E/V

Salah satu definisi dari kekerasan adalah ketahanan suatu material terhadap

penetrasi (Neely dkk, 2003). Ketahanan penetrasi adalah kemampuan untuk menahan

beban penetrasi dan merupakan hubungan antara beban penetrasi dengan deformasi

akibat beban tersebut. Makin besar beban yang diberikan, semakin besar pula deformasi

yang terjadi. Apabila beban yang sama besar diberikan pada dua jenis material yang

berbeda, maka deformasi yang lebih kecil terjadi pada material yang lebih tahan

terhadap beban penetrasi.

Berdasarkan hal di atas, ketahanan material terhadap beban penetrasi dapat

dilihat dari perbandingan antara energi penetrasi yang didapatkan dari hukum kekekalan

energi pada sebuah tumbukan dan volume luka hasil penetrasi, yang disebut sebagai

Rasio E/V, yang besarnya:

Rasio= penetrasi

penetrasi

LVE0

(2.7)

Pengujian penetrasi dengan energi penetrasi sama besar, dilakukan terhadap dua jenis

material berbeda, dapat menunjukkan bahwa, pada jenis material yang lebih tahan

terhadap beban penetrasi, akan terjadi luka yang lebih kecil, sehingga perbandingan

antara energi penetrasi dengan volume luka, lebih besar.

2.4.8 Fotodioda dan infra merah

Sinar infra merah merupakan sebuah sinar yang dapat digunakan dalam

rangkaian sensor suatu sistem, adapun untuk menangkap sinar ini biasanya

menggunakan fotodioda.

Fotodioda merupakan sambungan pn yang dirancang untuk beroperasi bila

dibiaskan dalam arah terbalik, seperti yang tampak pada gambar 2.7.

Ketika energi cahaya dengan panjang gelombang yang benar jatuh pada sambungan

fotodioda, arus mengalir dalam sirkuit eksternal. Alat ini kemudian bekerja sebagai

generator arus, yang arusnya sebanding dengan intensitas cahaya itu. Semakin besar

intensitas cahaya infra yang diterima maka kemampuannya untuk menghasilkan arus

semakin besar sebaliknya kemampuan untuk menghasilkan arus akan lemah apabila

Page 44: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

57

intensitas cahaya infra yang diterima semakin kecil. Silikon merupakan bahan yang

paling banyak digunakan untuk fotodiode dan memberikan waktu reaksi sebesar 1 ns.

(Faizal, 2005).

Gambar. 2.35 Rangkaian sensor infra merah

Output dari GPS sangat fleksible digunakan untuk berbagai macam simulasi

pemetaan.

2.4.9 Sistem integrasi GPS – GSM module

Sistem integrasi antara GPS dengan GSM modul digunakan untuk penentuan

dari coverage area seluler dan untuk pemetaan posisi alat transportasi di darat (Sarma

dkk, 2005). Arsitektur dari sistem GPS-GSM Integrator (G2I) terdiri dari dua modul

yaitu:

1. In Vehicle Module (IVM).

2. Control Room Module ( CRM).

IVM ditempatkan dalam suatu alat transportasi, misal: mobil, motor,dll sedangkan

CRM dapat ditempatkan di manapun, di mana pemenuhan sinyal GSM tersedia. IVM

terdiri dari modul GPS dan GSM Modem yang dihubungkan dengan mikrokontroller.

CRM terdiri dari handphone GSM dan PC. Arsitektur dari sistem G2I ditunjukkan pada

Gambar 2.1, halaman 7.

Page 45: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

58

Gambar 2.36 Arsitektur Dari Sistem G2I. (Sarma dkk, 2005)

Interkoneksi perangkat keras dari IVM ditunjukkan pada Gambar 2.36. GPS

Receiver dan GSM Modem dihubungkan dengan mikrokontroller dengan menggunakan

protokol RS-232. GPS Receiver memberikan input posisi kendaraan ke mikrokontroller

berupa lintang dan bujur, kemudian mikrokontroller akan meneruskan informasi ke

GSM Modem dengan menggunakan AT-Commands, GSM Modem akan mengirimkan

informasi lintang dan bujur ke CRM dengan metode Short Messages Service (SMS).

(Sarma dkk, 2005)

Gambar 2.37 IVM Hardware Interconnections. (Sarma dkk, 2005)

Page 46: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

59

Interkoneksi perangkat keras dari CRM ditunjukkan pada Gambar 2.38. Pada

CRM terdiri dari handphone Nokia 3310 yang dihubungkan dengan PC dengan

menggunakan protokol RS-232. Handphone Nokia 3310 berfungsi untuk menerima

informasi lintang dan bujur dari IVM kemudian diteruskan ke PC untuk divisualisasikan

berupa gambar posisi dari kendaraan. PC pada CRM bertanggung jawab atas semua

pengolahan data untuk menentukan coverage area selular dan untuk aplikasi mapping

posisi kendaraan secara real time. (Sarma dkk, 2005)

Gambar 2.38 CRM Hardware Interconnections. (Sarma dkk, 2005)

IVM dapat dioperasikan dengan beberapa mode, antara lain (Sarma dkk, 2005):

Autonomous Mapping mode: Pada mode ini hasil output dari GPS berupa lintang

dan bujur disimpan ke dalam memori mikrokontroller setiap waktu tertentu dan

tidak dipancarkan ke CRM. Mode ini digunakan untuk penentuan dari coverage area

seluler.

Continuous mode: Pada mode ini hasil output dari GPS berupa lintang dan bujur

akan dikirimkan ke CRM secara kontinyu setiap waktu tertentu. Mode ini digunakan

untuk aplikasi mapping posisi kendaraan secara real time.

Discrete mode: Pada mode ini hasil output dari GPS berupa lintang dan bujur akan

dikirimkan ke CRM hanya jika CRM mengirimkan permintaan.

Page 47: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

60

2.4.10 Accelerometer ACC 101

Accelerometer adalah sebuah instrumen yang berfungsi untuk mengukur

percepatan, mendeteksi dan mengukur getaran, ataupun untuk mengukur percepatan

akibat gravitasi bumi. Pada aplikasiya accelerometer biasa digunakan untuk menghitung

percepatan dan penurunan percepatan dari sebuah kendaraan, mengukur getaran yang

terjadi pada kendaraan, bangunan, dan mesin. Prinsip kerja accelerometer pada dasarnya

mengukur percepatan dan gravitasi yang dirasakan. Sebuah accelerometer yang

diletakkan di permukaan bumi seharusnya mendeteksi percepatan sebesar 1 g (ukuran

gravitasi bumi) pada titik vertikalnya. Untuk percepatan yang dikarenakan oleh

pergerakan horizontal, accelerometer akan mengukur percepatannya secara langsung

ketika dia bergerak secara horizontal.

Satuan percepatan pada accelerometer adalah “g”, dimana g = 9.8 m/s2.

Sehingga jika diketahui percepatan suatu benda adalah 2g, maka 2g = 2 * 9.8 = 19.6

m/s2. Pada Tabel 2.1, halaman 10 ditunjukkan spesifikasi “g” dalam penggunannya

pada berbagai objek.

Tabel 2.1. Spesifikasi “g” dalam penggunaannya

1g Digunakan untuk mengukur percepatan dari suatu benda

saat mengalami getaran seperti Handphone, laptop

0-2g Digunakan untuk mengukur percepatan seseorang ketika

sedang berjalan

10-50g Digunakan untuk mengukur percepatan suatu kendaraan

saat terjadi benturan (kecelakaan)

100-2,000g Digunakan untuk mengukur percepatan pada laptop saat

terjatuh ke lantai

50,000g Digunakan untuk mengukur percepatan dari peluru ketika

ditembakkan dari meriam

Sumber: Datasheet memsic

Page 48: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

61

Pada penelitian ini accelerometer digunakan untuk mengukur percepatan sepeda

motor, sehingga diharapkan dengan perubahan level penurunan percepatan yang

signifikan dapat diketahui kendaraan tersebut mengalami kecelakaan. Berdasarkan

Tabel 2.1 maka dibutuhkan accelerometer yang dapat mengukur percepatan hingga 50g.

Pada penelitian ini accelerometer yang digunakan adalah ACC 101 yang dapat

mengukur percepatan hingga 80g. Bentuk fisik dari accelerometer ACC 101

ditunjukkan pada Gambar 2.4, halaman 11. Spesifikasi dari accelerometer ACC 101

dapat dilihat pada Tabel 2.2, halaman 11.

Gambar 2.39 Accelerometer ACC 101. (www.omega.com)

Tabel 2.2. Spesifikasi Accelerometer ACC 101.

SPECIFICATIONS

Excitation

2 mA nominal @ 24 to 30 Vdc,

constant current (18 volt supply can be

used but will limit amplitude range)

Rated Output 100 mV/g nominal @ 100 Hz

Frequency Range 3 Hz to 5 kHz (up to ±10 % rated output shift)

Amplitude Range ±70 g peak with ACC-PS1 ±80 g peak

with ACC-PS2, ACC-PS3

Page 49: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

62

Amplitude Linearity ±1% up to 65 g peak

Temperature Range -18 to 82°C (0 to 180°F) Thermal Shock 1.2 g /°C

Transverse Sensitivity 5% of axial maximum

Maximum g Without Damage 5,000 g peak

Maximum g Without Clipping ±80 g peak

Mounted Resonance Frequency >18 kHz

Output Impedance 50 ohms nominal

Bias Voltage 10 V nominal

Base Strain 0.002 g/microstrain max.

Noise Floor (wideband) 0.00025 g (rms)

Weight 50 grams (1.75 oz) nominal (without

cable)

Material Aluminum, hard anodized thermal

insulating boot included

Dimensions 3.81 H x 2.54 cm hex base (1.50 x 1.0")

Connector 2.5 m (10') integral coaxial cable with

BNCM

Mounting 1/4-28 removable stud

Mounting Torque max 40 cm-kg (35 in-lb) Sumber: www.omega.com

2.4.11 SIM300_GSM MODULE

SIM300 merupakan modul GSM yang dapat mengirimkan dan menerima pesan

dalam format SMS dengan memanfaatkan operator seluler GSM, sehingga jangkauan

pengiriman informasi data bisa sangat luas. Sama halnya dengan sebuah telepon seluler,

SIM300 juga membutuhkan sebuah kartu SIM. Dalam hal ini kartu yang digunakan

adalah tipe GSM, baik kartu pra-bayar atau paska-bayar. Setiap pengiriman pesan yang

dilakukan lewat GSM modem juga akan mengurangi deposit pada kartu pra-bayar yang

digunakan, atau jika menggunakan kartu paska-bayar biayanya akan ditambahkan pada

Page 50: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

63

tagihan bulanan. Bentuk fisik dari Modul SIM300 EVB ditunjukkan pada Gambar 2.5,

halaman 13.

Gambar 2.40 Modul SIM300 EVB. (SIMCOM, 2005)

Keterangan Gambar 2.10: A : SIM300 module interface.

B : SIM card interface.

C : Headset interface.

D : Download switch, turn on or off download function.

E : VBAT switch, switch the voltage source from the adaptor or external battery.

F : PWRKEY key, turn on or turn off SIM300.

G : RESET key.

H : Expand port, such as keypad port, main and debug serial port, display port.

I : MAIN serial port for downloading, AT command transmiting, data exchanging.

J : DEBUG serial port.

K : Hole for fixing the antenna.

L : Source adapter interface.

M : Light.

N : Buzzer.

O : Headphones interface.

P : Hole for fixing the SIM300.

TOP view BOTTOM view 11,5 Cm

10 Cm

Page 51: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

64

2.4.12 RS232 Interface

Pada SIM300 EVB telah dilengkapi dengan serial port RS232 sehingga dapat

langsung dihubungkan dengan computer. Keterangan pada masing-masing pin serial

port RS232 ditunjukkan pada Tabel 2.3, halaman 64 untuk serial port Main Interface,

dan Tabel 2.4, halaman 14 untuk serial port Debug interface.

Gambar 2.41 Serial Port SIM300 EVB. (SIMCOM, 2005)

Tabel 2.3 Serial Port 1 Main Interface.

Sumber: SIMCOM, 2005

Tabel 2.4 Serial Port 2 Debug Interface.

Sumber: SIMCOM, 2005

Page 52: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

65

2.4.13 AT Command

Fungsi Sim300 EVB adalah untuk menggantikan telepon seluler dalam hal

pengiriman/penerimaan pesan SMS, namun Sim300 EVB tidak akan berjalan tanpa

dikontrol sebuah program. Oleh karena itu digunakan sebuah program dengan instruksi

AT Command, dimana terdiri dari beberapa instruksi dengan fungsi yang berbeda-beda

seperti yang terlihat pada Tabel 2.5, halaman 15. Contoh penggunaan salah satu

instruksi dapat dilihat pada Tabel 2.6, halaman 15.

Tabel 2.5 AT Command According to GSM07.05.

Sumber: SIMCOM, 2005

Tabel 2.6 AT+CMGF Select SMS Message Format.

Sumber: SIMCOM 2005

Page 53: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

66

2.4.14 SIM508_GSM+GPS MODULE

SIM508 adalah modul yang terdiri dari GPS receiver dan GSM modem yang

terletak dalam satu board. Sehingga jika digunakan dalam suatu aplikasi dimana

dibutuhkan perangkat GPS dan GSM modem, maka modul ini sangat menguntungkan

karena ukuran lebih ramping jika dibandingkan dengan menggunakan dua modul yang

berbeda. Bentuk fisik dari modul SIM508 dapat dilihat pada Gambar 2.41, halaman 66.

Gambar 2.41 Modul SIM508. (SIMCOM, 2006)

Keterangan Gambar 2.41:

A : 80pin connector, SIM508 module interface.

B1-B5: LED indicator.

B1 : VBAT ON/OFF.

B2 : GSM net status.

B3 : The GSM part of the module ON/OFF status.

B4 : 1PPS output for GPS part.

B5 : GPS TX/RX status.

C1-C9: Key control for various functions.

C1 : GSM part power-up / power down control (button Z1).

C2 : VBAT ON/OFF control (shifter S2).

C3 : VCHG ON/OFF control (shifter S5).

C4 : GSM part program download control (shifter S1).

C5 : GPS part power ON/OFF control (shifter S7).

TOP view BOTTOM view

9 Cm

13 Cm

Page 54: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

67

C6 : GPS part reset control (button Z2).

C7 : GPS part RX/TX LED status selective shifter (shifter S6).

C8 : GPS part wake up control (shifter S3).

C9 : GPS part program download control (shifter S4).

D : Power source adapter interface.

E1-E3: Audio interface.

E1 : Handset interface.

E2 : Headphone interface.

E3 : Buzzer.

F1-F4: Serial ports.

F1 : Main serial port for downloading, AT command transmitting, data exchanging.

F2 : Debug serial port.

F3 : GPS part serial port A.

F4 : GPS part serial port B.

G1-G2: Hole for antenna fixed.

G1 : Hole for GSM antenna fixed.

G2 : Hole for GPS antenna fixed.

H : Expand port, such as keypad port, serial ports, display port.

I1-I4: Hole for EVB board fixed.

J : SMA connector for 1PPS output.

K : SIM card connector.

L : 3.3V Back-up battery for GPS part.

2.4.15 GPS dan GSM Serial Port

Pada SIM508 terdapat 10 jenis pin untuk mengaktifkan dan mengambil data dari

GPS seperti yang terlihat pada Gambar 2.8, halaman 18 dimana masing-masing pin

memiliki fungsi yang berbeda-beda yang ditunjukkan pada Tabel 2.7, halaman 18.

Page 55: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

68

Gambar 2.43 GPS Serial Port. (SIMCOM, 2006)

Tabel 2.7 GPS Serial Port.

Sumber: SIMCOM, 2006

Gambar 2.44, halaman 66 menunjukkan port serial pengoperasian GSM modul

yang terdapat pada SIM508. Port tersebut terdiri dari 10 pin dengan fungsi masing-

masing pin ditunjukkan pada Tabel 2.8, halaman 19.

Gambar 2.44 GSM Serial Port. (SIMCOM, 2006)

Page 56: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

69

Tabel 2.8 GSM Serial Port.

Sumber: SIMCOM, 2006

2.4.16 Data GPS Tipe NMEA dengan Format GGA

Data output dari GPS tidak langsung didapatkan berupa posisi lintang dan

bujur, tetapi berupa kode-kode tertentu yang harus dipisah-pisah untuk mendapatkan

informasi yang diinginkan. Data output dari GPS bertipe NMEA dengan format GGA,

GLL, GSA, GSV, RMC, VTG, dimana masing-masing format memiliki urutan kode

yang berbeda-beda. Contoh output dari GPS dengan format GGA adalah sebagai

berikut:

$GPGGA,161229.487,3723.2475,N,12158.3416,W,1,07,1.0,9.0,M, , , ,0000*18

Page 57: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

70

Tabel 2.9 Data GPS Tipe NMEA dengan Format GGA.

Sumber: SIMCOM, 2006

2.4.17 Mikrokontroller ATmega162

Mikrokontroller adalah Central Processing Unit (CPU) yang disertai memori

serta sarana input dan output yang dibuat dalam bentuk chip (IC). Pada umumnya

mikrokontroller terdiri dari beberapa bagian, yaitu: Alamat (address), Data, Pengendali,

Memori (RAM atau ROM), dan bagian input-output. Sebuah mikrokontroller dapat

bekerja bila dalam mikrokontroller tersebut terdapat sebuah program yang berisi

instruksi-instruksi yang akan digunakan untuk menjalankan sistem mikrokontroller

tersebut. Instruksi-instruksi dari sebuah program pada tiap jenis mikrokontroller

mempunyai perbedaan, misalnya instruksi pada mikrokontroller Atmel berbeda dengan

mikrokontroller Motorola. Pada prinsipnya program pada mikrokontroller dijalankan

secara bertahap. Maksudnya, pada program itu sendiri terdapat beberapa set instruksi

yang mana setiap instruksi itu dijalankan secara bertahap atau berurutan.

Mikrokontroler ATmega162 memiliki arsitektur RISC 8-bit, dimana semua

instruksi dikemas dalam kode 16-bit (16-bits word) dan sebagian besar instruksi

dieksekusi dalam satu siklus clock, berbeda dengan instruksi MCS51 yang

membutuhkan 12 siklus clock. Adapun fitur-fitur yang dimiliki ATmega162 adalah :

Page 58: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

71

- Bisa di-interface dengan SRAM eksternal hingga 64k

- SRAM internal 1kbyte

- Flash program memory 16 kbyte

- Clock max = 16 MHz

- SPI

2.4.18 Konfigurasi pin-pin ATmega162

Gambar 2.44 Konfigurasi IC ATmega162. (Atmel, 2002; Datasheet ATmega162)

VCC

Sebagai tegangan penyuplai.

Ground

Sebagai ground.

Reset

Input reset, pulsa akan menjadi minimum sekalipun clock bekerja.

XTAL1

Input ke Inverting Oscillator Amplifier.

XTAL2

Output dari Inverting Oscillator Amplifier.

Port A (PA7...PA0)

Page 59: ITS-Research-9715-196508101991021001-Chapter2

72

Port B (PB7...PB0)

Port C (PC7...PC0)

Port D (PD7...PD0)

Port A, port B, port C dan port D adalah port I/0 8-bit bi-directional dengan resistor-

resistor internal pull-up.

Port E (PE2...PE0)

Port E adalah port I/0 3-bit bi-directional.