ITS Undergraduate 15483 Paper PDF

Embed Size (px)

Citation preview

  • Jurnal Laporan

    Jurusan Teknik Material dan Metalurgi/FTI-ITS Page 1

    Sintesis MMCs Cu-Al2O3 Melalui Proses Metalurgi Serbuk dengan Variasi Fraksi Volum Al2O3 dan Temperatur Sintering

    Arfina Fauziati Ruwaida1, Dr. Widyastuti, S.Si, M.Si2, Ir Rochman Rochiem, M.Sc2

    1. Mahasiswa jurusan Teknik Material dan Metalurgi FTI-ITS 2. Dosen jurusan Teknik Material dan Metalurgi FTI-ITS

    Abstrak

    Dalam industri pertahanan Cu berperan sangat penting khususnya untuk pembuatan kelongsong

    peluru. Kelemahannya yaitu porositasnya sulit dikontrol dan merupakan material ulet sehingga mudah terdeformasi. Oleh karena itu dibutuhkan paduan Cu dengan material yang ulet namun sedikit lebih kaku seperti Al2O3 sehingga dihasilkan bahan dengan keuletan tinggi dan keras.

    Komposit Cu/Al2O3 merupakan paduan antara Cu sebagai matrik dan Al2O3 sebagai penguat. Pembuatan komposit ini dilakukan dengan proses metalurgi serbuk agar dapat dilakukan kontrol terhadap ketelitian dan ketepatan prosesnya. Kontrol yang dilakukan adalah variasi fraksi volum penguat Al2O3 yaitu 2, 4, 6 dan 8% dan temperatur sintering yaitu 600, 700 dan 800

    0C. Data yang diperoleh menunjukkan, variasi fraksi volume penguat dan temperatur sintering yang

    menghasilkan modulus elastisitas tertinggi yaitu fraksi volume 2% Al2O3 dan temperatur sintering 6000C, dimana modulus elastisitas yang dihasilkan yaitu E = 334609.7 MPa. Sehingga komposit Cu/ Al2O3 mampu digunakan sebagai bahan alternatif kelongsong peluru

    Kata kunci: Cu-Al2O3, fraksi volum, temperatur sintering, modulus elastisitas.

    ABSTRACT

    Cu in the defense industry plays a very important particularly for the manufacture of bullets. The weakness is porosity is difficult to control and this is a ductile material but a little more rigid like ceramic Al2O3 in order to be produced materials with high tenacity and hard, like ceramic Al2O3.

    Composite Cu/ Al2O3 is a combination of matrix Cu and Al2O3 as reinforcement. Composite Cu/Al2O3 is done by powder metallurgy process that can be controled the accuracy and precision of the process.. Composite throught controlled matrix-reinforcement that the reinforcement Al2O3 is variated by 10, 20, 30 and 40% and the sintering temperature veriated 600, 700 and 8000C

    The result from compaction test of the fraction volume of reinforcement and the sintering temperature that give the highest young modulus of reinforcement is the 2% fraction volume of Al2O3 and 8000C sintering temperature, where the young modulus is E = 334609.7 Mpa. So the Cu/ Al2O3 composite can be used as shell material.

    Keywords: Cu- Al2O3, volume fraction, sintering temperature, young modulus

    PENDAHULUAN

    Dalam industri pertahanan bahan Cu berperan sangat penting khususnya untuk pembuatan kelongsong peluru. Bahan Cu digunakan dalam bentuk paduan Cu-Zn (kuningan) dengan komposisi 70% Cu-30% Zn. Paduan Cu-Zn berbentuk lembaran diproses menjadi kelongsong dengan metode deep drawing, hanya saja kelongsong yang dibuat dengan proses deep drawing ini memilki dua kelemahan yaitu kelemahan dari aspek produksi

    dan material. Kelemahan proses produksi deep drawing yaitu karena adanya korosi retak regang akibat tegangan sisa, sehingga menimbulkan porositas yang tidak dapat dikontrol. Berdasarkan aspek material, Cu dan Zn merupakan material yang ulet sehingga hasil produk (kelongsong) akan mudah terdeformasi oleh karena itu dibutuhkan paduan Cu dengan material yang ulet namun sedikit lebih kaku. Bahan yang memilki keuletan tinggi dan kaku yaitu bahan keramik sehingga akan dihasilkan material komposit Cu/oksida. Oksida logam

  • Jurnal Laporan

    Jurusan Teknik Material dan Metalurgi/FTI-ITS Page 2

    yang umum dipakai yaitu SiC, TiC, dan Al2O3. Untuk membuat paduan Cu dan keramik proses yang digunakan yaitu metalurgi serbuk.

    Proses metalurgi serbuk (powder metallurgy processes) adalah salah satu proses pembentukan logam dengan cara mengkompaksi serbuk logam dan dilanjutkan dengan pemanasan (sintering). Proses ini memungkinkan untuk diaplikasikan dalam proses pembuatan kelongsong peluru. memiliki beberapa keunggulan, yaitu mudah untuk membuat benda dengan bentuknya yang kompleks, produk dari proses metalurgi serbuk memiliki kekuatan yang tinggi, efisiensi proses sangat baik sehingga bahan baku yang terbuang sangat rendah, serta mikrostruktur produk dapat dikontrol dengan baik sehingga sifat mekanismenya juga baik.

    Penelitian ini dilakukan untuk membuat

    material alternatif dalam aplikasi kelongsong peluru dari komposit Cu/ Al2O3. Keramik Al2O3 dipilih karena keramik ini memiliki keuletan dan kaku yang baik dibanding dengan keramik lainnya. Dan bila dihitung nilai modulus elastisitasnya secara teori maka akan menghasilkan komposit yang mempunyai modulus elastisitas lebih besar dari modulus elastisitas minimal 380 Mpa, sebagai syarat untuk aplikasi kelongsong.

    Untuk mencapai syarat yang ditentukan,

    maka pada penelitian dibuat variasi komposisi antara Cu dengan Al2O3, dimana Al2O3 sebagai penguat, Cu sebagai matriknya dan dibuat variasi temperatur sintering.

    TINJAUAN PUSTAKA

    Peluru dalam bahasa asing disebut Catridge. Peluru memiliki beberapa bagian yaitu proyektil (Bullet), Kelongsong peluru (Bullet case), mesiu (propellant) dan pemantik (Rim). Amunisi yang terdapat pada kelongsong berisi 75% saltpeeter (nitrogen untuk bahan peledak), 15% belerang, 10% charcoal (arang). Deep drawing merupakan proses pengerjaan metal dengan proses cold working. Drawing merupakan proses pembentukan lembaran logam menjadi bentuk tiga dimensi yang mempunyai dimensi tertentu dengan

    memberikan tekanan kepada lembaran melalui punch dan dies. Proses ini digunakan untuk membuat kelongsong peluru dengan bahan logam yaitu lembaran Cu-Zn. Komposisi bahan yang digunakan yaitu 70% Cu dan 30% Zn. Selain itu pada industri yang lain proses ini digunakan untuk membuat tangki dengan berbagai bentuk dimana kedalamannya lebih besar dibandingkan dengan ukuran diameter.

    Material komposit adalah dua material atau lebih yang berbeda yang disatukan sehingga menghasilkan sifat mekanis yang merupakan gabungan dari komponen penyusunnya. Adapun kelebihan material komposit adalah sifat material dapat diperbaiki antara lain: kekuatannya, kekakuannya, ketahanan terhadap korosi, ketahanan terhadap keausan maupun pengurangan berat material. Pemilihan suatu material tentunya akan mengikuti tujuan dari penggunaan material tersebut, sehingga dapat menentukan sifat apa yang akan diperlukan oleh material komposit tersebut. Komponen penyusun suatu komposit pada umumnya mempunyai peranan sebagai matrik yaitu bagian dari material komposit yang memberikan bentuk terhadap material komposit tersebut dan mengikat komponen lain yang berfungsi sebagai penguat. Penguat yaitu komponen material komposit yang berfungsi sebagai penguat pada material komposit tersebut. Menurut bentuknya, penguat ini dibagi menjadi dua tipe yaitu, particulate, dan fibrous.

    Komposit Cu- Al2O3 jenis komposit

    Metal Matrix Composites (MMCs), dimana Al2O3 sebagai reinforce dan Cu sebagai matrik. Komposit ini berdasarkan geometri dan orientasi penguatnya adalah komposit partikulat dengan orientasi penguatnya isotropic. Kemampuan sifat kapasitas panas jenis yang tingi dari keramik Al2O3 dan sifat plastis dari bahan matrik Cu, maka paduan Cu- Al2O3, akan membentuk material yang tahan panas tetapi memiliki kemampuan bentuk yang tinggi (formability). Perpaduan sifat tersebut sangat sesuai sebagai bahan kelogsong peluru yang mempunyai persyaratan kemampuan termal yang tinggi dan tidak mudah berubah bentuk saat terjadi perubahan panas yang mendadak (shock thermal). (Puslitbang Indhan Balitbang Dephan).

  • Jurnal Laporan

    Jurusan Teknik Material dan Metalurgi/FTI-ITS Page 3

    Jones (1960) menyatakan bahwa Metalurgi serbuk merupakan proses pembuatan benda komersial dengan menggunakan serbuk sebagai material awal sebelum proses pembentukan. Prinsip dalam pembentukan serbuk adalah memadatkan serbuk logam menjadi bentuk yang diinginkan kemudian memanaskannya dibawah temperatur lelehnya. Sehingga partikel-partikel logam memadu karena mekanisme transportasi massa akibat difusi atom antar permukaan partikel. Pemanasan dalam pembuatan serbuk dikenal dengan sinter yang menghasilkan ikatan partikel yang halus, sehingga kekuatan dan sifat fisisnya meningkat. Produk hasil dari metalurgi serbuk dapat terdiri dari campuran serbuk berbagai macam logam atau non logam.

    Tahap mixing merupakan tahap

    pencampuran serbuk. Tahap ini berperan dalam penentuan kehomogenan partikel serbuk dalam campuran. Semakin homogen campuran yang dihasilkan maka hasil produk akan semakin isotropi.

    Permasalahan dasar dalam kompaksi

    adalah gesekan antara serbuk dengan cetakan dan antar serbuk. Untuk mengatasi ini digunakan pelumas untuk meminimalisasi keausan dan memudahkan pengeluaran hasil cetak dari cetakan. Pemilihan lubrikan harus hati-hati karena hal ini sangat penting dimana lubrikan berpengaruh terhadap kekuatan dan green density ketika lubrikan telah diuapkan.

    Kompaksi merupakan satu cara yang

    digunakan untuk memadatkan serbuk menjadi bentuk yang diinginkan. Kompaksi serbuk dilakukan agar serbuk dapat menempel satu dengan yang lainnya sebelum ditingkatkan ikatanya dengan proses sintering

    Sintering, yaitu proses pemanasan yang

    dilakukan pada kondisi vakum sehingga diperoleh partikel-partikel yang bergabung. Pada saat proses sintering terjadi perubahan geometris butiran dimana bentuk pori secara keseluruhan adalah konstan sedangkan ukuran dari pori berkurang.

    METODOLOGI PENELITIAN Pada penelitian ini bahan yang digunakan adalah serbuk Cu sebagai matrik dan serbuk Al2O3 sebagai penguat.Fraksi volum penguat yang digunakan yaitu 2, 4, 6 dan 8% Al2O3. Ethanol digunakan sebagai pelarut polar dan zink stearat sebagai pelumas serbuk saat proses kompaksi.

    Start

    End

    Serbuk Cupenimbangan fraksi

    Serbuk Al2O3penimbangan fraksi

    Pencampuran Basah

    Cu- Al2O3 + ethanolVf Al2O3 2, 4, 6 dan 8 %

    Kompaksi Dingin

    F = 20 KN

    Sintering

    Presinter 300oC, 1 jamSintering 600, 700 dan

    800 oC selama 6 jam

    Pengujian

    Identifikasi Fasa

    (X-ray Diffraction)

    Pengujian

    Modulus Elastisitas

    (Uji Tekan)

    Pengujian

    Mikrostruktur

    ( SEM/EDX)

    Analisa data dan

    pembahasan

    Kesimpulan

    Material dasar pembuatan komposit isotropik Cu- Al2O3 yang diterapkan pada penelitian ini terdiri dari serbuk paduan Cu/ Al2O3 dengan Cu sebagai matrik dan Al2O3 sebagai reinforce, dengan variasi fraksi volum Al2O3 yaitu 2, 4, 6 dan 8%, kemudian masing-masing dicampurkan dengan metode wet mixing dalam larutan N-butanol, yang diaduk dengan menggunakan magnetic stirrer pada temperatur 700C selama 45 menit. Setelah media penyampur menguap dilanjutkan proses kompaksi sebesar 20 KN dalam lingkungan atmosfir (cold compaction) dalam dies berdiameter 14 mm dengan tinggi 14 mm dan ditahan selama 15 menit. Untuk mengurangi gesekan antara serbuk dengan cetakan pada saat kompaksi maka diberi pelumas zink stearat. Setelah proses kompaksi dilanjutkan dengan

  • Jurnal Laporan

    Jurusan Teknik Material dan Metalurgi/FTI-ITS Page 4

    proses vakum sinter, dengan temperatur presinter 3000C selama 1 jam dan proses vakum sintering dengan variasi temperatur 600, 700 dan 800 0C selama 6 jam dalam lingkungan vakum 10-3 thorr. Setelah itu langkah berikutnya dilakukan pengujian mikrostruktur (SEM/EDAX), analisa fasa dengan X-Ray diffraction (X-RD) dan uji mekanik menggunakan mesin compression test. HASIL DAN PEMBAHASAN

    1 Distribusi Al2O3 Terhadap Matriks Cu Pada Komposit Cu/Al2O3

    Dalam distribusi penguat Al2O3 terhadap

    matriks Cu pada komposit Cu/Al2O3, ternyata dengan temperatur sintering yang berbeda, akan menyebabkan perbedaan penyebaran Al2O3. Distribusi Al2O3 terhadap matriks Cu pada komposit Cu/Al2O3 terlihat pada hasil SEM (Scanning Elektron Microskop) seperti Gambar 1 berikut ini.

    Gambar 1 Distribusi Al2O3 di dalam matriks Cu berdasarkan hasil SEM dengan perbesaran 5000x dengam fraksi volum 2% Al2O3 dan temperatur sintering (a) 6000C; (b)7000C; (c)8000C dan fraksi volum 8% Al2O3 dengan temperatur sintering (a) 6000C; (b)7000C; (c)8000C.

    Dari Gambar 1 terlihat jelas distribusi Al2O3 di dalam matriks Cu. Pada fraksi volum 2% Al2O3 dengan temperatur sintering 600 dan 7000C, terlihat pada Gambar 1 (a) dan (b), Al2O3 terdistribusi merata. Al2O3 menyebar merata/homogen pada matriks Cu, sedangkan pada fraksi yang sama dengan temperatur sintering 8000C,seperti terlihat pada Gambar 1 (c), terjadi pengumpulan partikel Al2O3 dalam satu tempat, yang disebut dengan agglomerat. Pada fraksi volum 8% Al2O3, dan temperatur sintering 6000C,yaitu pada Gambar 1 (d), terlihat dari hasil SEM tersebut, pola partikel Al2O3 menyebar secara berkelompok-kelompok,akan tetapi acak untuk seluruh bagian matrik (Groups random distributed). Kemudian pada fraksi yang sama, dengan temperatur sintering 7000C, terlihat pada Gambar 1 (e), Al2O3 membentuk agglomerat semakin banyak pada tempat tertentu, dan kemudian pada fraksi yang sama dengan temperatur sintering 8000C, seperti terdapat pada Gambar 1 (f), agglomerat penguat Al2O3 semakin banyak, sehingga distribusi Al2O3 tidak lagi merata pada matriks Cu.

    Homogenitas distribusi penguat

    terhadap matriks komposit merupakan hal yang penting dalam pembuatan komposit. Dengan distribusi penguat homogen dalam matriks, maka sifat mekanik yang didapatkan akan baik, tetapi adanya agglomerat partikel penguat pada matriks akan menyebabkan kurangnya kekuatan ikatan dan perbedaan kuat ikatan untuk semua bagian sampel. Hal ini akan mengakibatkan mudah terjadi crack saat diberikan pengaruh gaya luar, dan berpengaruh pada sifat mekanik komposit tersebut.

    Adanya agglomerat Al2O3 di dalam

    maktriks Cu pada komposit Cu/Al2O3 ini, disebabkan karena proses pencampuran basah (wet mixing) yang tidak merata, dimana partikel-partikel yang memiliki muatan yang sama cenderung untuk berkumpul menjadi satu.

    4.2 Pengaruh Fraksi Volume Penguat Al2O3

    dan Temperatur Sintering Terhadap Densitas

    Komposit Cu/Al2O3.

    Sintering merupakan proses konsolidasi material komposit berbasis metalurgi serbuk. Sintering pada prinsipnya bertujuan untuk

  • Jurnal Laporan

    Jurusan Teknik Material dan Metalurgi/FTI-ITS Page 5

    kompaktibilitas antar partikel akibat adanya difusi atomic antar permukaan partikel.

    Untuk meningkatkan kepadatan serbuk

    maka dilakukan proses sintering, karena pada proses sintering terdapat perlakuan thermal dan terjadinya proses difusi.

    Tabel 1 Densitas sinter komposit Cu/Al2O3

    Vf (%) teoritis Ts (C) (gr/cm) 600 700 800 2 8.8 8.06 8.05 8 4 8.7 8.06 7.84 7.77 6 8.6 7.81 7.67 7.52 8 8.5 7.54 7.07 7.25

    Kemudian hubungannya dengan

    densitas teoritis terdapat pada Gambar 2 berikut

    Gambar 2 Grafik hubungan antara densitas

    sinter dan densitas teoritik terhadap fraksi volum penguat komposit Cu/Al2O3

    Dari Tabel 1 dan Gambar 2, didapatkan pengaruh penambahan fraksi volum penguat terhadap nilai densitas sinter. Semakin besar fraksi volum penguat, maka densitas sinter akan semakin rendah. Hal ini terjadi, salah satunya karena adanya distribusi penguat terhadap matriks. Semakin besar fraksi volum Al2O3, maka distribusi Al2O3 terhadap matriks Cu menjadi tidak homogen, sehingga menyebabkan kepadatan komposit tersebut menurun dan mempengaruhi densitas yaitu densitasnya semakin menurun.

    Densitas teoritis dan densitas sinter mempunyai pola yang sama yaitu semakin besar fraksi volum Al2O3, densitasnya semakin menurun.

    Temperatur sintering juga mempengaruhi densitas sinter komposit, terlihat dari data pada Tabel 1. Hubungan antara temperatur sintering terhadap densitas digambarkan pada Gambar 3.

    Gambar 3 Grafik hubungan antara temperatur

    sintering terhadap densitas sinter komposit Cu/Al2O3.

    Semakin tinggi temperatur sintering,

    maka nilai densitas sinternya semakin menurun. Densitas yang semakin menurun itu terjadi karena penyebaran Al2O3 di dalam matriks Cu tidak merata. Karena semakin tinggi temperatur sintering, homogenitas Al2O3 di dalam matriks Cu semakin menurun sehingga menyebabkan densitas sinter menurun.

    4.3 Pengaruh Fraksi Volume Penguat Al2O3

    dan Temperatur Sintering Terhadap

    Porositas Komposit Cu/Al2O3

    Porositas adalah bagian yang tidak koheren dari sintering, berupa kekosongan berisi gas atau lubricant. Pembuatan komposit dengan metode metalurgi serbuk dapat memungkinkan terjadinya porositas. Porositas berhubungan dengan densitas sinter. Semakin tinggi porositas yang terdapat pada komposit, maka densitas sinter akan semakin rendah. Besarnya porositas dari komposit Cu/Al2O3 terlihat pada Tabel 2 dan Gambar 4 berikut.

    Tabel 2 Porositas komposit Cu/Al2O3 (%) Vf (%) Ts (C)

    600 700 800 2 7.4 9 10.1 4 8.8 9.6 11.2 6 10.2 11 13.58 8 13.1 14.3 14.1

  • Jurnal Laporan

    Jurusan Teknik Material dan Metalurgi/FTI-ITS Page 6

    Kemudian hubungannya terhadap besarnya fraksi volum penguat Al2O3 terdapat pada Gambar 4 berikut ini.

    Gambar 4 Grafik hubungan antara fraksi volum

    penguat terhadap porositas komposit Cu/Al2O3.

    Porositas semakin meningkat seiring dengan bertambahnya fraksi volum Al2O3. Nilai porositas yang tinggi menunjukkan laju dari kepadatan butir relatif terhadap porositas yang terjadi pada tahap akhir sintering. Pada proses ini terjadi eliminasi porositas sehingga menghasilkan bahan yang semakin padat dimana kepadatan bahan lebih besar daripada sebelum mengalami proses sintering (Kang, 2005).

    Porositas terjadi karena perbedaan bentuk antara serbuk penguat dan serbuk matrik. Akan tetapi hal yang sangat penting adalah kehomogenan campuran, karena akan mempengaruhi porositas komposit. Berdasarkan data yang diperoleh sebelumnya, pada komposit Cu/Al2O3, seiring dengan besarnya fraksi volum penguat, maka homogenitas komposit Cu/Al2O3 tersebut akan semakin berkurang, sehingga densitasnya semakin menurun hal tersebut menyebabkan porositas meningkat.

    Temperatur sintering juga berpengaruh terhadap tingkat porositas komposit. Pengaruh temperatur sintering terhadap porositas komposit Cu/Al2O3, terlihat pada Gambar 5.

    Gambar 5 Grafik hubungan antara temperatur

    sintering terhadap porositas komposit Cu/Al2O3.

    Dari Tabel 2 dan Gambar 5

    didapatkan semakin tinggi temperatur sintering, maka porositas yang terjadi akan semakin besar. Hal ini tidak seperti hasil yang didapatkan, dimana semakin tinggi temperatur sintering, maka porositas yang terjadi semakin besar.

    Porositas yang meningkat seiring

    kenaikan temperatur sintering pada komposit Cu/Al2O3, disebabkan oleh menurunnya homogenitas distribusi Al2O3, yang berakibat pada penurunan densitas komposit. Dengan penurunan densitas sinter, maka porositas akan meningkat. 4.4 Pengaruh Fraksi Volume Penguat Al2O3

    dan Temperatur Sintering Terhadap

    Modulus Elastisitas Komposit Cu/Al2O3,

    Modulus elastisitas menyatakan nilai

    kekakuan (stiffness) suatu bahan. Kekakuan adalah kemampuan suatu bahan untuk menerima tegangan/ beban tanpa mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk atau deformasi.

    Tabel 3 Modulus elastisitas komposit Cu/Al2O3, Vf (%) E teoritis Ts (C)

    (Mpa) 600 700 800 2 114800 334609.7 198699.12 198433.48 4 119600 207864.14 193956.7 183945.8 6 124400 161607.05 151995 112058.88 8 122000 88974.42 75826.5 45029.33

    Modulus maksimum terdapat pada

    fraksi volum 2% Al2O3, dengan temperatur sintering 600

    0C, yaitu sebesar 334607,1 MPa. Berdasarkan data dari Tabel 3, didapatkan pengaruh antara fraksi volum Al2O3 terhadap

    6

    8

    10

    12

    14

    16

    600 700 800

    Temperatur Sintering (C)

    Vf 2% Vf 4% Vf 6% Vf 8%

    Po

    ro

    sita

    s (%

    )

  • Jurnal Laporan

    Jurusan Teknik Material dan Metalurgi/FTI-ITS Page 7

    besarnya modulus elastisitas. Hubungan ini dapat dilihat dari Gambar 6 berikut.

    Gambar 6 Pengaruh fraksi volum Al2O3

    terhadap modulus elastisitas komposit Cu/Al2O3.

    Dari Gambar 6, terlihat bahwa semakin

    besar jumlah fraksi volum Al2O3, maka modulus elastisitasnya akan semakin kecil. Menurunnya modulus elastisitas komposit tersebut, disebabkan karena tingkat porositas yang semakin tinggi seiring dengan penambahan fraksi volum penguat pada komposit Cu/Al2O3. Sedangkan untuk modulus elastisitas teoritik, semakin besar fraksi volum Al2O3, maka modulus elastisitas teoritik akan semakin besar.

    Besar modulus elastisitas yang

    didapatkan berdasarkan penelitian, berbanding terbalik dengan besar modulus teoritik, dimana modulus elastisitas eksperimental semakin kecil nilainya seiring penambahan fraksi volum Al2O3. Hal ini terjadi karena adanya porositas yang semakin meningkat seiring dengan penambahan fraksi volum Al2O3.

    Temperatur sintering juga berpengaruh terhadap modulus elastisitas komposit Cu/Al2O3.

    Gambar 7 Pengaruh temperatur sintering

    terhadap modulus elastisitas komposit Cu/Al2O3.

    Dari Tabel 3 dan Gambar 7 tersebut terlihat seiring dengan kenaikan temperatur sintering, maka modulus elastisitas semakin menurun.

    Penurunan besar modulus elastisitas disebabkan karena homogenitas Al2O3 pada matriks Cu dalam komposit Cu/Al2O3 semakin berkurang seiring dengan meningkatnya temperatur sintering, yang mengakibatkan meningkatnya porositas. Porositas yang tinggi akan menyebabkan permukaan material memiliki kekuatan yang berbeda karena distribusi penguat tidak tersebar merata ke permukaan matrik, sehingga ketika diberikan gaya luar akan retak. 4.5 Analisa Antar Muka Komposit Cu/Al2O3.

    Komposit berhubungan erat dengan

    kualitas ikatan antara matriks dan penguat. Kualitas ikatan antara matriks dan penguat dapat diketahui dengan cara kuantitatif dan kualitatif. Cara kuantitatif dengan nilai modulus elastisitas yang didapatkan dari pengujian mekanik, sedangkan cara kualitatif dengan pengamatan SEM dan EDAX.

    Pada fraksi volum 2% Al2O3, dengan

    temperatur sintering 6000C, terlihat distribusi Al2O3 merata pada matriks Cu sehingga porositas yang terjadi sedikit, terlihat dari hasil SEM pada Gambar 8 dibawah ini

    Porositas

    Gambar 8 Porositas komposit Cu/Al2O3 pada fraksi volum 2% Al2O3 dengan temperatur sintering 6000C

    Daerah antar muka merupakan daerah yang dapat mengidentifikasi ikatan antara matrik dan penguat setelah proses sintering, sehingga

    0 50000

    100000 150000 200000 250000 300000 350000 400000

    2 4 6 8 Vf (%)

    E (

    MP

    a) T=600

    T=700 T=800 E teoritis

  • Jurnal Laporan

    Jurusan Teknik Material dan Metalurgi/FTI-ITS Page 8

    dapat menunjukkan perbedaan daerah antar muka pada komposit.

    Gambar 9 menunjukkan ikatan antar muka komposit pada fraksi volum 2% Al2O3 dengan temperatur sintering 6000C.

    Antar muka

    Gambar 9 Ikatan antar muka komposit Cu/Al2O3 pada fraksi volum 2% Al2O3 dengan temperatur sintering 6000C

    Semakin tinggi fraksi volum Al2O3,maka

    distribusi Al2O3 di dalam matriks Cu menjadi semakin tidak merata, dan semakin tinggi temperatur sintering, maka semakin banyak terjadi aglomerat pada Al2O3 , seperti terlihat dari hasil SEM pada Gambar 10 berikut ini

    Porositas

    Gambar 10 Porositas komposit Cu/Al2O3 pada fraksi volum 8% Al2O3 dengan temperatur sintering 8000C

    Berdasarkan Gambar 10, terlihat aglomerat pada penguat Al2O3 terhadap matriks Cu dalam komposit Cu/Al2O3, sehingga menyebabkan terjadinya porositas yang semakin besar yaitu hingga 14,1 %. Ikatan antar muka yang terjadi antara Al2O3 terhadap matriks Cu, terlihat pada Gambar 11 berikut ini

    Antar muka Gambar 11 Ikatan antar muka komposit

    Cu/Al2O3 pada fraksi volum 2% Al2O3 dengan temperatur sintering 6000C

    Proses sintering, memungkinkan

    terjadinya ikatan antar matriks dan penguat serta timbulnya fasa baru. Terjadinya fasa baru selama sintering memungkinkan perbedaan sifat mekanik yang dihasilkan.

    Pada fraksi volum 8% Al2O3 dengan

    temperatur sintering 8000C, terjadi fasa baru berupa Cu2O. Fasa ini terbentuk dengan persamaan reaksi

    6Cu + Al2O3 3Cu2O + 2Al

    Dari hasil pengujian XRD, maka terlihat

    adanya fasa baru Cu2O seperti pada Gambar 12 di bawah ini

    Gambar 12 Hasil uji XRD MMCs Cu/Al2O3

    pada fraksi volum 8% Al2O3 dengan temperatur sintering 8000C.

    20 30 40 50 60 70 80

    Ite

    nsit

    as

    *

    o

    o

    o

    *

    *

    **

    2 Theta

    *

    o = Cu* = Cu2O

  • Jurnal Laporan

    Jurusan Teknik Material dan Metalurgi/FTI-ITS Page 9

    5. KESIMPULAN

    Berdasarkan hasil analisa data dan pembahasan, maka pada penelitian tentang komposit Cu/Al2O3 dapat disimpulkan :

    1. Dari variasi fraksi volum 2, 4, 6 dan 8% Al2O3, didapatkan fraksi volum 2% Al2O3 dan temperatur sintering 6000C menghasilkan nilai modulus elastisitas tertinggi yaitu 334609.7 Mpa.

    2. Dari variasi temperatur 600, 700 dan 8000C, temperatur sintering 6000C dengan fraksi volum 2% Al2O3, menghasilkan nilai modulus tertinggi yaitu 334609.7 Mpa.

    3. Fraksi volum penguat 2% Al2O3 memperlihatkan distribusi Al2O3 yang homogen dalam matrik Cu.

    4. Fraksi volum penguat berbanding terbalik dengan nilai modulus elastisitas dimana semakin tinggi fraksi volum penguat Al2O3 nilai modulus elastisitas komposit Cu/ Al2O3 semakin menurun

    5. Fraksi volum penguat berbanding terbalik dengan nilai modulus elastisitas dimana semakin tinggi fraksi volum penguat Al2O3 nilai modulus elastisitas komposit Cu/ Al2O3 semakin menurun

    6. DAFTAR PUSTAKA 1. Ani, Z., Korac, M., Tasic, M.,

    Kamberovic, Z., Dan Raic, K. Synthesis and Sintering of Cu-Al2O3 Nanocomposite Powders Produced by a Thermochemical Route . AMES 669.37-152-492.2.8:669.712.

    2. Chandrawan, David, dan Ariati, Myrna.

    2000. Metalurgi Serbuk: Teori dan Aplikasi. Jilid I. Jakarta

    3. Chawla, K. Krishan. 1987. Composite

    Material: Science and Engineering. London Paris Tokyo: Springer-Verlag New York Berlin Heidelberg.

    4. German.R.M 1984, Powder Metallurgy

    Science Metal powder ndustries federation, priceton, Nj

    5. Hausner, H. H. dan Mal, M. K. 1982.

    Handbook of Powder Metallurgy. New York : Chemical Publishing Co., Inc.

    6. Hongming Li, 2005. Impact Of Cohesion

    Forces On Particle Mixing And

    Segregation. University of Pittsburgh : Disertation

    7. Hwang, Seung. J. dan Lee, J. H.

    2005.Mechanochemical Syntesis of Cu- Al2O3 nanocomposites. Elsevier .Daejin University

    8. J.C. Lee, Jung-Ill Lee and Ho-In Lee, 1996.

    Methodologies To Observe And Characterize Interfacial Reaction Products In (Al2O3)/Al And SiC/Al Composites - Using SEM, XRD, TEM. Scripta Material, Vol. 35, No. 6, pp. 721-726, 1996, 1359-6462(96)00206.

    9. Jones, W.D. 1960 Fundamental Principles

    of Powder Metallurgy Edward Arnold ltd, London, England.

    10. Kol. CTP Drs. Umar S. Tarmansyah,

    Strategi Inovasi dan Pengembangan Iptek dan Industri Pertahanan. (Puslitbang Indhan Balitbang Dephan).

    11. Kang. Suk-Joong., 2005. Sintering :

    Densifikasi, Grain Growth and

    Microstructures. Elseviere - Butterworth. Heinemenn.

    12. Kartikasari, Rike, 2010. Sintesis MMCs Cu-

    Al2O3 Melalui Proses Metalurgi Serbuk dengan Variasi Fraksi Volume Al2O3 dan Gaya Tekan Kompaksi Sebagai Alternatif Bahan Kelongsong Peluru. Tugas Akhir. Jurusan Teknik Material dan Metalurgi. Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya

    13. Kruft, Jr., J. G. 2007. Pressureless Sintering

    Of Powder Processed Graded Metal Ceramic Composites Using A Nanoparticle Sintering Aid And Bulk Molding Technology. University of Maryland : Thesis

    61

  • Jurnal Laporan

    Jurusan Teknik Material dan Metalurgi/FTI-ITS Page 10

    14. Lee, D. W., Ha, G. H., dan Kim, B. K. 2001. Synthesis of Cu-Al2O3 Nanocomposite Powder. Scripta Materialia 44, 8-9: 2137-2140.

    15. M K Surappa, 2003. Aluminium matrix

    composites: Challenges and Opportunities. Sadhana Vol. 28, Parts 1 & 2, February/April 2003, pp. 319334. Printed in India

    16. Pratapa, S. 2004. Prinsip-Prinsip dan

    Implementasi Metode Rietvield Untuk Analisis Data Difraksi. Surabaya.

    17. Rajkovi, V., D. Boi, M., Popovi, M.,

    Jovanovi, D., 2009. Properties Of Cu-Al2O3 Powder And Compact Composites

    of Various Starting Particle Size

    Obtained by High-Energy Milling. AMES, Belgrade, Serbia.

    18. Waldron, M. B. and Daniell, 1978.

    Sintering. Heyden, London 19. Widyastuti, Anne Z, M. Zainuri,

    Development of Metal Matrix Composite (MMCs) by powder Metallurgy Method to Improve Mechanical Properties Of Gear, KITECH, 2006

    20. Widyastuti et al, Identification Of Particle

    Shapee Al, SiC and Al2O3 According Anisometry and Bulkiness Value Proceeding of 9th International Conference Quality in Research.

    21. Widyastuti, Siradj S. S., Priadi. D., Zulfia.

    A., 2008. Kompaktibilitas Komposit Anisotropik Al/Al203 dengan Variabel Waktu Tahan Sinter.Makara Sains 12, 2:113-119.