34
i IUPHHK-MHA dan Masa Depan Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat Adat di Papua

IUPHHK-MHA dan Masa Depan Pengelolaan Hutan oleh ... fileperusahaan. Tidak ada satupun izin atau ... yang dipaparkan di atas dan ingin mena warkan suatu ruang diskusi untuk mencari

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: IUPHHK-MHA dan Masa Depan Pengelolaan Hutan oleh ... fileperusahaan. Tidak ada satupun izin atau ... yang dipaparkan di atas dan ingin mena warkan suatu ruang diskusi untuk mencari

i

IUPHHK-MHA dan Masa Depan Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat Adat di Papua

Page 2: IUPHHK-MHA dan Masa Depan Pengelolaan Hutan oleh ... fileperusahaan. Tidak ada satupun izin atau ... yang dipaparkan di atas dan ingin mena warkan suatu ruang diskusi untuk mencari

i

Penulis:Mumu Muhajir

Syahrul Fitra

IUPHHK-MHA dan Masa Depan Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat Adat di Papua

Page 3: IUPHHK-MHA dan Masa Depan Pengelolaan Hutan oleh ... fileperusahaan. Tidak ada satupun izin atau ... yang dipaparkan di atas dan ingin mena warkan suatu ruang diskusi untuk mencari

1

Laporan singkat ini mencoba memapar­kan kondisi terkini kebijakan pengelola­an hutan oleh masyarakat adat di Papua. Laporan ini menelusuri soal IUPHHK­MHA atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Ka yu­Masyarakat Hukum Adat, sebagai titik tolak untuk membicarakan tantangan berupa tarik­menarik kepentingan anta­ra peme rintah pusat dan peme rin tah da e rah di Papua dalam pengelola an hutan. Tarik­menarik ini terlihat da lam implementasi peraturan perundang­undangan terkait hutan dan masyarakat adat. Ada anggapan bahwa hal tersebut belum sinkron antara peraturan sekto­ral kehutanan yang diterbitkan oleh pemerintah pusat dan Undang­Undang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua) dan peraturan pelaksananya serta deng­an kehadiran peraturan pemerintahan daerah. Tumpang tindih peraturan ini—setidaknya demikian untuk saat ini—tentu tidak menguntungkan siapapun, baik ma syarakat adat, pemerintah pusat dan daerah Papua serta hutan itu sendiri.

Di tingkat tapak, ketidakjelasan penge­lolaan hutan memperparah kondisi hu­tan dan masyarakat adat. Pembalak liar dapat memanfaatkan klaim “kayu dari hutan masyarakat adat” untuk menutupi aksi ilegalnya (Koalisi Anti Mafia Hutan, 2017). Sementara hutan adat yang di­kuasai masyarakat adat semakin sempit dikavling oleh konsesi besar yang men­

dapatkan izin dari pemerintah pusat. Hingga akhir 2017, setidaknya terdapat 20 izin IUPHHK­HA (seluas 3.414.350 Ha) dan 8 Izin IUPHHK­HTI (seluas 1.197.055 Ha). Selain izin pemanfaatan hasil hutan, juga terdapat izin pelepasan kawasan hutan yang keseluruhannya didapatkan perusahaan. Tidak ada satupun izin atau bahkan hutan adat untuk masyarakat adat yang diterbitkan oleh pemerintah pusat. Namun, ketika IUPHHK­MHA diterbit­kan oleh pemerintah provinsi, ternyata implementasinya terhambat karena ada keberatan dari pemerintah pusat. Salah satu solusi untuk mengatasi keberatan itu adalah dengan membuat NSPK (Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria) pemberian IUPHHK­Hutan Alam pada kawasan hutan produksi di Provinsi Papua. Akan tetapi, tawaran ini pun masih belum bersambut. Di sisi lain, pengawasan di lapangan yang sudah tidak efektif karena tumpang tin dih peraturan, semakin diperparah dengan ke­hadiran aturan baru pemerintahan daerah yang menghilangkan hampir semua ke­wenangan kabupaten atas kehutanan.

Tulisan ini berkisar pada permasalahan yang dipaparkan di atas dan ingin mena­warkan suatu ruang diskusi untuk mencari solusi yang adil bagi semua pihak. Selain bahan­bahan dari dokumen sekunder, tu li san ini mendasarkan diri pada doku­men primer berupa wawancara dan peng amatan langsung di lapangan.

A. Pendahuluan

Page 4: IUPHHK-MHA dan Masa Depan Pengelolaan Hutan oleh ... fileperusahaan. Tidak ada satupun izin atau ... yang dipaparkan di atas dan ingin mena warkan suatu ruang diskusi untuk mencari

2

Otonomi Khusus Papua yang ditetapkan dengan Undang­Undang Nomor 21 Ta­hun 2001 jo Undang­Undang Nomor 35 Ta hun 2008 memberikan keleluasaan ke­pada pemerintah Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan ma sya rakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak­hak dasar masyarakat Papua. Ini merupakan dasar untuk mengeluarkan kebijakan pe ­ngelolaan sumber daya alam yang ber­pihak kepada masyarakat adat. Satu hal yang menarik dari UU Otsus Papua adalah dalam hal menempatkan pengelolaan sum ber daya alam dalam kerangka peng­akuan dan penguatan atas hak ulayat masyarakat adat di Papua. Pelaksanaan hak ulayat ini dilakukan oleh penguasaan adat masyarakat hukum adat yang mana Pe­merintah Provinsi Papua wajib mengakui, menghormati, melindungi, mem berdaya­kan, dan mengembangkan hak­hak ma ­sya ra kat adat tersebut. Termasuk bagi ma syarakat adat/setempat untuk men­dapatkan kesempatan seluas­luasnya da­lam proses pembangunan yang bersifat kerakyatan di Papua. Keberpihakan ini

B. Latar belakang terbitnya IUPHHK-MHA

penting untuk mengejar ketertinggalan kondisi sosial ekonomi MHA. Dalam soal hutan, keberpihakan itu diwujudkan de­ngan memberikan kesempatan kepada ma sya rakat hukum adat untuk mengelola hu tan dan memanfaatkan hasil hutan secara lestari.

Hutan sendiri tidak disebutkan secara im pli sit dalam UU Otsus Papua sebagai sa lah satu kewenangan penuh yang bisa dieksekusi oleh pemerintah provinsi. Ke­we nangan pengaturan soal hutan muncul sebagai kewenangan khusus yang harus dijabarkan dengan peraturan turunan da ri UU Otsus baik berupa Perdasus (Pe­raturan Daerah Khusus) maupun Perdasi (Peraturan Daerah Provinsi). Prinsip pe­man faatan sumber daya alam, termasuk hutan, harus (1) menghormati hak­hak masyarakat adat; (2) memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, serta (3) prinsip­prinsip pelestarian lingkungan, dan (4) pembangunan yang berkelanjutan yang pengaturannya ditetapkan dengan Perdasus (Pasal 38 UU Otsus Papua).

Page 5: IUPHHK-MHA dan Masa Depan Pengelolaan Hutan oleh ... fileperusahaan. Tidak ada satupun izin atau ... yang dipaparkan di atas dan ingin mena warkan suatu ruang diskusi untuk mencari

3

B.1. Perdasus Nomor 21 Tahun 2008: Pengelolaan Kehutanan Berkelanjutan di PapuaPengaturan lebih lanjut soal pengelolaan hutan di Papua diatur dalam Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 21 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hu­tan Berkelanjutan di Provinsi Papua (Per­da sus 21/2008). Hal menarik dari Per­dasus 21/2008 adalah bahwa sebelum membicarakan pengelolaan hutannya, diatur terlebih dahulu subyek utamanya, yaitu masyarakat adat dan hak­haknya. Perdasus ini menegaskan bahwa masya­rakat hukum adat di Papua memiliki hak atas hutan alam sesuai dengan batas wi­layah adatnya masing­masing. Dari per ­a tu ran ini memang kemudian muncul taf siran bahwa semua hutan yang ada di Papua berada di dalam pengampuan masyarakat adat. Karena itu, penting untuk menentukan kriteria siapa masyarakat adat itu yang dalam Perdasus ditetapkan kri terianya sebagai berikut: memiliki wila­yah hukum adat yang jelas dengan batas yang disepakati oleh masyarakat hukum adat yang berbatasan, memiliki pranata hukum dan struktur kelembagaan adat, dan memiliki hubungan religius dan his­toris dengan wilayah adatnya.

Perdasus ini lebih detail mengatur me­ngenai hubungan antara masyarakat adat dengan hutannya. Sementara pengakuan dan perlindungan subyek masyarakat adat sendiri diatur dalam Perdasus lainnya, yaitu Perdasus Nomor 22 Tahun 2008 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Sum ber Daya Alam Masyarakat Hukum Adat Papua (Perdasus 22/2008). Kriteria masyarakat adat di dalam Perdasus 22/2008 ini menyempurnakan kriteria yang sama yang diatur dalam Perdasus 21/2008 dengan memperjelas kriteria ke­

dua berupa adanya norma­norma hukum, struktur kelembagaan adat, dan sistem kepemimpinan yang secara nyata berfungsi untuk mengatur warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan serta meng­hilangkan “hubungan historis” dalam kriteria ketiga. Perdasus 22/2008 juga meng isi kekosongan aturan yang tidak diatur dalam Perdasus 21/2008 tentang pengakuan masyarakat hukum adat yakni ditetapkan dengan Peraturan Daerah Ka­bu paten dan/atau Provinsi.

Hutan masyarakat hukum adat adalah hu tan yang berada dalam wilayah ma­syarakat hukum adat. Ketentuan ini ber beda dengan pengertian hutan adat di dalam Undang­Undang Nomor 41 Tahun 1999 pra Putusan MK Nomor 35 Tahun 2012 yang menyebutkan hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Dengan demikian, pengaturan soal hutan adat di dalam Perdasus 21/2008 mendahului perubahan pengaturan hutan adat di tingkat nasional.

Penegasan ini penting, karena, dapat meneguhkan keberadaan wilayah adat itu melalui serangkaian pemetaan hutan adat. Pemetaan hutan adat ini difasilitasi oleh pemerintah kabupaten atau inisiatif masyarakat hukum adat sendiri. Nantinya pemetaan hutan adat ini ditetapkan dengan keputusan bupati dan atau gubernur jika wilayah adatnya melintasi kabupaten/kota. Peta ini kemudian diintegrasikan ke dalam rencana tataruang dan rencana wilayah (RTRW) provinsi dan kabupaten untuk memperkuat keberadaan wilayah hutan masyarakat adat. Pengaturan soal

Page 6: IUPHHK-MHA dan Masa Depan Pengelolaan Hutan oleh ... fileperusahaan. Tidak ada satupun izin atau ... yang dipaparkan di atas dan ingin mena warkan suatu ruang diskusi untuk mencari

4

pengakuan subyek dan obyeknya dan diteruskan dengan pemetaan hutan adat di tingkat tapak ini sebenarnya menjadi fondasi yang kokoh bagi pengaturan soal hutan selanjutnya seperti pengaturan soal Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), pengurusan hutan, peredaran dan peng­olahan hasil hutan, dan sebagainya.

Perdasus 21/2008 menegaskan bahwa pemanfaatan hutan pada semua fung­si kawasan hutan (konservasi, lindung,

dan produksi) dilaksanakan mengikuti ketentuan di dalam Perdasus ini. Pe­manfaatan hutan berupa kayu yang dilakukan untuk meningkatkan kese­jahteraan masyarakat hukum adat dengan tetap menjaga kelestarian fungsi hutan. Masyarakat adat dapat memanfaatkan hutan pada semua kawasan hutan sesuai dengan jenis perizinan pada fungsi kawa­san hutan. Pada Perdasus ini, posisi masyarakat adat ditempatkan pada titik sentral dan mengakomodir semua ke­pen tingan masyarakat adat atas hutan. Pelestarian fungsi hutan ditekankan dalam proses pemanfaatan hutan dan pada saat yang sama masyarakat adat sendiri dapat memanfaatkan hutan untuk kepentingan

komersial dan non­komersial.

Untuk kepentingan komersial inilah ma­syarakat adat dapat membentuk badan usaha. Badan usaha ini dapat mengajukan izin pemanfaatan hutan kepada Pemda Provinsi dan Kabupaten. Dalam me­laksanakan izinnya ini, badan usaha ma­sya rakat hukum adat dapat bekerja sendiri atau bermitra dengan badan usaha lainnya. Salah satu yang terbit dengan pengaturan dalam Pasal 38 Perdasus 21/2008 adalah

IUPHHK­MHA. Pengaturan lebih detailnya diatur di dalam Peraturan Gubernur Papua Nomor 13 Tahun 2010 tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Papua (Pergub 13/2010).

Sebelum membicarakan IUPHHK­MHA, ada baiknya konteks kehadiran IUPHHK­MHA ini atau dalam wadah yang lebih luas sebagai salah satu bentuk pengelolaan hutan oleh masyarakat adat diperluas dengan melihat sedikit ke belakang soal bentuk izin serupa yang pernah ada di Papua, yaitu izin pemanfaatan kayu masyarakat adat (IPK­MA) dan izin hak pengelolaan hutan adat (IHPHA).

Page 7: IUPHHK-MHA dan Masa Depan Pengelolaan Hutan oleh ... fileperusahaan. Tidak ada satupun izin atau ... yang dipaparkan di atas dan ingin mena warkan suatu ruang diskusi untuk mencari

5

B.2. Izin Pemanfaatan Kayu Sebelum IUPHHK-MHA

Sebelum terbitnya IUPHHK­MHA, sudah ada bentuk keberpihakan lain dalam pe­manfaatan kayu di Papua kepada ma­syarakat hukum adat (MHA) berupa izin pemungutan kayu masyarakat adat (IPK­MA), yang dikelola oleh Kopermas. Izin ini lahir dari ketentuan Keputusan Menteri Ke hutanan dan Perkebunan Nomor 317/Kpts­II/1999 tanggal 7 Mei 1999 yang meng atur hak pemungutan hasil hutan masyarakat hukum adat pada areal hu­tan pro duksi dan SK Menteri Kehutanan dan Per kebunan No. 318/Kpts­II/1999 tentang Pe ran Serta Masyarakat dalam Pengusahaan Hutan.

Dua peraturan yang lebih membuka ak­ses pada masyarakat adat untuk me­ngelola hutan tersebut didorong oleh era baru desentralisasi, dengan lahirnya Undang­Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang­Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Kebijakan

desentralisasi juga yang mendorong lahirnya Undang­Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus di Papua. Undang­Undang Otonomi Khusus Papua inilah yang mengatur posisi masyarakat adat yang menguasai hutan di Tanah Papua dan mendapatkan manfaat dari hutan di sekitarnya.

Menanggapi keterbukaan itu, Pemprov Papua mengatur sendiri soal pemungutan hasil hutan kayu ini (dengan SK Gubernur Papua No. No. 522.2/3386/SET/2002 ten­tang Pengaturan Pemungutan Hasil Hutan Kayu oleh Masyarakat Adat) dengan tidak

memedulikan ketidaksinkronan antara Ke putusan Menteri dengan peraturan pe laksananya (Ketentuan dalam SK Men­teri, pemungutan hasil hutan untuk keper luan non­komersial dan izinnya di­ter bitkan oleh bupati; sementara atu­ran pelaksananya izin pemungutan da­pat untuk keperluan komersial dan izin dikeluarkan oleh gubernur). IPK­MA diter­

Page 8: IUPHHK-MHA dan Masa Depan Pengelolaan Hutan oleh ... fileperusahaan. Tidak ada satupun izin atau ... yang dipaparkan di atas dan ingin mena warkan suatu ruang diskusi untuk mencari

6

bitkan oleh gubernur dan berlaku hanya untuk satu tahun. Pemohon IPK­MA adalah perorangan, perusahaan swasta yang bermitra dengan masyarakat adat dan kelompok masyarakat adat yang mendapatkan pengakuan formal dari pemerintah lokal daam bentuk lembaga adat. Didirikan pula Koperasi Peran Serta Masyarakat atau KOPERMAS yang melalui badan ini masyarakat adat dapat mengajukan izin IPK­MA.

Sayangnya, IPK­MA ini tidak berhasil mewujudkan tujuan lahirnya IPK­MA. Sebab, ada keterbatasan modal dan peng etahuan di lembaga adat yang menyebabkan mereka harus melakukan kemitraan dengan pihak lain seperti BUMD/BUMN, pemegang konsesi swasta, dan investor swasta lainnya. Selain itu, partisipasi warga marga adat tempat lokasi IPK­MA juga kurang terlibat. Hal itu pun semakin diperparah dengan isi perjanjian kerjasama atau kemitraan yang tidak berpihak pada lembaga adat (Tokede et all, 2005).

IPK­MA malah disinyalir menjadi selubung bagi pihak lain untuk memanfaatkan kayu di Papua dengan memanfaatkan aturan hukum yang tidak konsisten dan tidak tegas dan pengawasan yang lemah di lapangan. Beberapa kali dilakukan operasi pemberantasan pembalakan liar yang ditujukan pada pemilik izin IPK­MA. Izin yang awalnya legal ini kemudian dianggap “tidak legal” oleh pemerintah pusat, sehingga aktivitasnya dibekukan dan beberapa pihak kurang beruntung karena dianggap sebagai pembalak liar (Mujiyanto dan Pietsaw, 2006). IPK­MA dianggap memperluas terjadinya pembalakan kayu secara tidak lestari. Ketentuan soal hak pemungutan hasil hutan kayu oleh masyarakat adat ini dicabut pada tahun 2005 dengan Permenhut Nomor 7 Tahun 2005. Sementara, berdasarkan penelusuran yang dilakukan, ketentuan peran serta masyarakat dalam pengusahaan hutan diduga masih berlaku atau belum dicabut.

Page 9: IUPHHK-MHA dan Masa Depan Pengelolaan Hutan oleh ... fileperusahaan. Tidak ada satupun izin atau ... yang dipaparkan di atas dan ingin mena warkan suatu ruang diskusi untuk mencari

7

Melencengnya IPK­MA dari tujuan se­mula membuat kebijakan yang hendak memperluas akses dan mempertegas hak masyarakat adat atas hutannya menjadi terhambat dan bahkan mendapatkan nama buruk. Masyarakat dianggap belum bisa di percaya untuk mengelola hutan secara lestari. Padahal, tidak harmonisnya peraturan di tingkat pusat dan di daerah, serta sistem pengawasan kayu yang lemah membuat sistem IPK­MA ini disusupi oleh pihak yang hanya memanfaatkan kayu dengan murah saja. Di samping itu, ada soal fundamental yang belum diselesaikan, yaknitumpang tindih kawasan hutan dengan wilayah adat. Ini membuat posisi masyarakat semakin terjepit. Posisinya menjadi pelaku pasif. Mengerjakan sen­diri pengelolaan hutan bisa dianggap ilegal, sementara pada pemilik konsesi hutan yang “mencuri” wilayah adatnya hanya memberi mereka kompensasi yang tidak seberapa dan mungkin upah buruh (Pietsaw, 2006).

Perlu diingat juga bahwa hingga 2008, belum lahir peraturan pelaksana dari UU

C. Karakter IUPHHK-MHAOtsus Papua yang berkenaan dengan pengelolaan hutan oleh masyarakat adat. Peraturan pelaksana itu baru lahir pada 2008, antara lain berupa Perdasus Provinsi Papua No 21/2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua, Perdasus Provinsi Papua No 22/2008 tentang Perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam masyarakat hukum adat Papua, dan Perdasus Provinsi Papua No. 23/2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat atas Tanah.

Perdasus 21/2008 ini yang kemudian mendorong masyarakat adat untuk me­ngelola hutan di sekitarnya dengan berbagai ketentuan yang sesuai dengan kai dah konservasi. Ada 16 peraturan pelaksana setingkat peraturan guber­nur yang harus diterbitkan untuk me­laksanakannya di lapangan. Beberapa pe­r aturan pelaksana penting sudah terbit se perti pemetaan hutan masyarakat adat, perizinan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, perizinan pemungutan hasil hutan kayu, dan izin pemanfaatan hasil hutan

Page 10: IUPHHK-MHA dan Masa Depan Pengelolaan Hutan oleh ... fileperusahaan. Tidak ada satupun izin atau ... yang dipaparkan di atas dan ingin mena warkan suatu ruang diskusi untuk mencari

8

kayu oleh masyarakat adat. Peraturan pelaksana terakhir itulah yang melahirkan bentuk izin berupa IUPHHK­MHA.

IUPHHK­MHA disusun sebagai cara untuk memperbaiki kekurangan yang ada di IPK­MA. Perbaikan itu antara lain berupa IUPHHK­MHA lahir dari ketentuan yang ada di UU Otsus Papua (Perdasus 21/2208 dan Pergub 13/2010) dan perbaikan tata kelola dalam IUPHHK­MHA yang meng­etengahkan tata kelola hutan lestari (ke­hadiran pengawas lapangan di lokasi, tidak memakai alat­alat berat dalam ope rasinya, pembatasan luas, kepastian lokasi, dll).

IUPHHK­MHA atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu merupakan jenis izin yang diberikan kepada MHA pemilik hak ulayat di Papua agar bisa memanfaatkan kayu yang ada di hutan adatnya. IUPHHK­MHA ditetapkan dengan keputusan gu­bernur se mentara RKU­nya disetujui oleh Ka dishut Provinsi dan RKT­nya disahkan oleh Kadishut Kabupaten. Kegia­t an yang di lingkupi oleh IUPHHK­MHA ini ada lah pemanenan atau penebang an, pengolahan, penanaman, pemelihara an, peng amanan, dan pemasaran hasil hutan kayu.

Sebelum IUPHHK­MHA terbit, demi untuk kepastian lahan, gubernur mencadangkan dan menunjuk areal hutan untuk ke­pentingan IUPHHK­MHA. Cadangan wila­yah ini ditetapkan dengan keputusan guber nur. Usulan pencadangan ini berasal dari bupati dan harus disertai peta loka­si dengan skala 1:50000 atau 25000. Ini tingkat ketelitian peta yang sangat bagus dibandingkan peta kawasan hutan yang biasanya (waktu itu) dengan skala 1:250.000. Kepastian lahan ini penting

karena lokasi yang diusulkan untuk IUPHHK­MHA dapat berupa kawasan hu­tan produksi tetap, hutan produksi yang bisa dikonversi, kawasan budidaya non­kehutanan/APL, dan areal yang sudah dibebani izin pemanfaatan kayu. Terlihat bahwa pencadangan ini dilakukan agar kawasan IUPHHK­MHA harus clean and clear. Namun, jika pun berada di areal kerja konsesi lain, maka IUPHHK­MHA tetap bisa diberikan, tetapi polanya harus kemitraan dengan pemegang izin sebelumnya.

Mereka yang bisa mengajukan izin IUPHHK ada lah koperasi dan badan usa­ha yang dimiliki oleh masyarakat adat setempat. Luas IUPHHK­MHA maksimal 5000 ha dengan masa berlaku selama 10 tahun dan dapat diperpanjang setelah izinnya habis. Persyaratan IUPHHK­MHA sendiri sebenarnya sudah jauh lebih detail daripada IPK­MA dulu, namun tetap memerhatikan kemampuan masyarakat adat. Misalnya dalam proses pemeriksaan lapangan awal, biayanya dibebankan kepada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) kabupaten tempat lokasi calon IUPHHK­MHA berada atau dana dari pihak ketiga yang tidak mengikat. Pergub 13/2010 juga mengatur mengenai mekanisme pemanfaatan (ada RKT dan RKU) yang melarang adanya alat berat sehingga penebangan dilakukan dengan manusia atau gergaji rantai dan diolah dengan portable sawmill. Diatur pula tentang mekanisme pemasaran, penatausahaan hasil hutan, dan sete­rusnya yang sebenarnya mengikuti aturan soal pemberian IUPHHK kepada pihak non­ masyarakat adat.

Page 11: IUPHHK-MHA dan Masa Depan Pengelolaan Hutan oleh ... fileperusahaan. Tidak ada satupun izin atau ... yang dipaparkan di atas dan ingin mena warkan suatu ruang diskusi untuk mencari

9

Dari sekitar 17 IUPHHK­MHA yang diter­bitkan oleh Pemerintah Provinsi Papua, ka mi berkesempatan untuk melakukan asses ment terhadap tiga peme gang IUP­HHK­MHA yang berada di Jayapura dan Sarmi, yaitu KSU Jibogol (Jayapura), Kopermas Tetom Jaya, dan Kopermas Sapusaniye di Sarmi. Dari tiga pemegang IUP HHK­MHA itu, kami mengunjungi salah satu areal kerja IUPHHK­MHA, yaitu lokasi Kopermas Sapusaniye yang berada di Desa Aruswar, Distrik Pantai Barat, Sarmi.

Semua pemegang IUPHHK­MHA ini me­nge tengahkan cerita yang hampir sama berupa penantian atas pelaksanaan ope ra sional izin yang sejak tahun 2011 mereka pegang. Mereka semua merasa te lah melakukan semua proses izin dan bah kan sudah menyiapkan infrastruktur pengawasan peredaran kayu di tingkat lapangan. Namun mereka belum bisa mengambil manfaat dari kehadiran izin

C.1. Hasil assessment pada pelaksanaan IUPHHK-MHAtersebut. Pada titik yang sama, mereka juga menunjukkan semakin masifnya pe­redaran kayu tanpa izin yang berada di sekitar lokasi IUPHHK­MHA. Ada rasa jeng kel dan perasaan diperlakukan tidak adil. Mereka yang justru tidak memiliki izin, seenaknya mengambil kayu dari wi­layah adat dengan membayar premi yang sangat murah sedangkan pemilik IUPHHK­MHA belum bisa beroperasi dengan alasan yang mereka tidak ketahui. Ketua KOPERMAS Tetom Jaya, Bapak Hendrik Abowai, bahkan merasa dijadikan “kelinci percobaan” oleh pemerintah, mengingat betapa panjangnya waktu untuk men­dapatkan izin dan lamanya penantian sejak izin dipegang.

Tidak beroperasinya IUPHHK­MHA (dalam arti pemegang izin dapat memotong kayu yang berada dalam RKT, mengolah, dan mengedarkannya tidak hanya di Papua, tetapi juga ke luar Papua) ini tentu saja

Page 12: IUPHHK-MHA dan Masa Depan Pengelolaan Hutan oleh ... fileperusahaan. Tidak ada satupun izin atau ... yang dipaparkan di atas dan ingin mena warkan suatu ruang diskusi untuk mencari

10

mengherankan. Dari hasil wawancara dengan pejabat Dinas Kehutanan Provinsi Papua, ternyata masalahnya berada di ra­nah pertentangan tafsir antara pemerintah pusat yang berpegang pada Undang­Undang Nomor 41 Tahun 1999 dengan pemerintah Papua yang berpegang pa­da Undang­Undang Nomor 21 Tahun 2001. Pertentangan ini menyebabkan pe me rintah Provinsi Papua tidak berani memberikan lampu hijau kepada pemilik IUPHHK­MHA untuk mengambil manfaat dari izin yang dipegangnya, bahkan ke­pada pemegang IUPHHK­MHA yang sudah mengantongi persetujuan Rencana Kerja Tahunan (RKT). Tiadanya lampu hijau ini membuat pemegang IUPHHK­MHA ju­ga enggan mengeksekusi di lapangan. Ada ketakutan jikalau tetap dijalankan (betapapun mereka yakin dengan lega­litas IUPHHK­MHA), ada pihak lain di pemerintahan yang melihat IUPHHK­MHA ini tidak sesuai dengan peraturan kehutanan, seperti kepolisian yang bisa

saja menangkap pemegang IUPHHK­MHA dengan alasan mengambil kayu secara ilegal (wawancara pribadi dengan pejabat Dishut Provinsi Papua, 9 Oktober 2017).

Dari assessment singkat di lapangan, ada beberapa catatan penting yang bisa diketengahkan:

1. Izin IUPHHK­MHA beserta persetujuan RKU­nya rata­rata dikeluarkan pada 2011­2012. KOPERMAS Tetom Jaya men­dapatkan IUPHHK dengan Nomor 100 Tahun 2011 dan persetujuan RKU 2011­2022 dengan Keputusan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Nomor: KEP­522.1/4106 pada tanggal 23 Oktober 2012. Namun tidak semua pemegang IUPHHK­MHA sudah disepakati Rencana Kerja Tahunannya. Berdasarkan catatan WWF, hanya ada satu pemegang IUPHHK­MHA yang RKT­nya disetujui yaitu KSU Jibogol di Jayapura (untuk dua lokasi IUPHHK­MHA);

Page 13: IUPHHK-MHA dan Masa Depan Pengelolaan Hutan oleh ... fileperusahaan. Tidak ada satupun izin atau ... yang dipaparkan di atas dan ingin mena warkan suatu ruang diskusi untuk mencari

11

2. Lokasi IUPHHK­MHA umumnya meru­pakan wilayah adat yang dimiliki oleh lintas marga. Ini menunjukkan semangat untuk bekerja sama dan gotong royong di antara marga­marga yang ada. Misalnya lokasi Kopermas Tetom Jaya yang seluas 4800 ha merupakan tanah adat yang dikuasai oleh lima marga, yakni Karuf, Korman, Sisre, Joks, dan Warmo; sementara Kopermas Sapusaniye berada di tanah yang dimiliki oleh marga Saweri, Catuwe, Yapo, Wabror, Sawinai, Mirne, dan Orowai. Lokasi seluas 4800 ha ini merupakan lokasi yang sudah dipetakan dan bebas konflik klaim antar suku atau marga;

3. Di lokasi IUPHHK­MHA masih minim terjadi penggesekan kayu. Rata­rata masih dijaga oleh para pemegang IUPHHK­MHA sampai ada lampu hijau dari pemerintah. Penggesekan kayu ini sendiri umumnya hanya untuk memenuhi kebutuhan kayu di kampung dan bahan membuat furnitur skala rumah tangga;

4. Beberapa pemimpin dari KSU/Kopermas bukan merupakan pemimpin adat atau berasal dari marga dimana lokasi IUPHHK­MHA berada. ini merupakan pengakuan pada asas meritokrasi, tidak hanya pri­mordial. Sesuatu yang sebenarnya lumrah ditemui dalam struktur adat di Papua. Kepemimpinan marga biasanya memang primordial (keturunan satu darah dan laki­laki) tetapi untuk persekutuan marga, siapapun bisa memimpin asalkan punya kemampuan dan dipercaya oleh marga­marga yang bersekutu;

5. Lokasi IUPHHK­MHA berada pada lokasi yang cukup jauh dari kampung dan dengan medan yang cukup berat. Hal ini bisa dilihat di lokasi Kopermas Sapusaniye di Pantai Barat, Sarmi, di mana lokasi IUPHHK­MHA

berjarak kurang lebih lima kilometer dari kampung, melewati beberapa sungai dangkal dan rawa. Kondisi ini membuat mereka berharap mendapatkan bantuan berupa alat­alat berat. Padahal, salah satu persyaratan IUPHHK­MHA adalah ti­dak diperkenankan memakai alat berat (ekskavator dan sejenisnya) dalam me­mot ong dan mengambil kayu dari hutan;

6. Beberapa lokasi IUPHHK­MHA berada di atas lahan hutan yang masih ada konsesi aktif di atasnya. Dalam proses mendapatkan IUPHHK­MHA, kondisi ini mengharuskan pengaju IUPHHK­MHA me n dapatkan persetujuan pengurang­an wi layah usaha/kerja dari pemegang konsesi sebelumnya. Dalam satu kasus yakni di KSU Mo Make Unaf di Merauke, persetujuan atas pengurangan areal kerja yang awalnya disepakati ternyata dicabut oleh manajemen baru dari PT Selaras Inti Semesta (wawancara dengan Pak Estiko Tri, Dishut Provinsi Papua, 9 Oktober 2017). Kondisi ini tentu akan menyulitkan kinerja IUPHHK­MHA ke depan karena umumnya berada di atas kawasan hutan produksi yang sudah ada konsesinya. Ini dengan catatan bahwa IUPHHK­MHA se ­ja tinya diberikan di atas tanah hak ula­yat dari masyarakat adat. Artinya, ada tumpang tindih lahan antara klaim negara dengan masyarakat adat.

Page 14: IUPHHK-MHA dan Masa Depan Pengelolaan Hutan oleh ... fileperusahaan. Tidak ada satupun izin atau ... yang dipaparkan di atas dan ingin mena warkan suatu ruang diskusi untuk mencari

12

Dari hasil assessment itu, permasalahan dapat ditarik ke ranah yang lebih luas, terutama dalam hubungannya dengan peng elolaan hutan oleh masyarakat adat, pergeseran status kawasan hutan dari hutan negara menjadi hutan adat, dan pelaksanaan Otonomi Khusus. IUP­HHK­MHA merupakan pelaksanaan ke­

D. Tantangan dalam pelaksanaan IUPHHK-MHA dan pengelolaan hutan oleh masyarakat adat

wenangan dari pemerintah Provinsi Papua yang didapatkan dari Undang­Undang Nomor 21 Nomor 2001. Namun, dalam pelaksanaannya menemui kendala dari pemerintah pusat yang tidak bisa menerima keberadaan IUPHHK­MHA. Kon disi ini memperlihatkan inkonsistensi kebijakan pemerintah pusat terkait oto nomi khusus di Papua. Di satu sisi, mendorong pelaksanaan Otsus sebagai jalan rekonsiliasi agar dapat meraih kepercayaan rakyat Papua kepada Pe­me rintah, sekaligus menjadi jalan un­tuk penyelesaian masalah­masalah di Provinsi Papua, seperti memperkuat per lindungan atas hak­hak dasar pen­

duduk asli Papua, penghormatan atas HAM, dan peningkatan kesejahteraan ekonomi. Namun di sisi lain, inisiatif dari pemerintah Papua yang lahir dari Otsus dan dimaksudkan untuk memperkuat hak­hak penduduk asli Papua/masyarakat adat Papua dan memberi peran lebih kepada penduduk asli Papua dalam

memanfaatkan kekayaan alam berupa hutan, malah dihambat pelaksanaannya hanya karena melanggar aturan sektoral dan tidak ada nomenklaturnya di dalam sis tem tata kelola kayu nasional.

Padahal dalam Undang­Undang Nomor 21 Tahun 2001 jelas disebutkan bahwa kewenangan pemerintah Papua mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pe ­me rintahan, kecuali kewenangan bi­dang politik luar negeri, pertahanan ke­amanan, moneter dan fiskal, agama, dan peradilan serta kewenangan tertentu di bidang lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang­undangan.

Page 15: IUPHHK-MHA dan Masa Depan Pengelolaan Hutan oleh ... fileperusahaan. Tidak ada satupun izin atau ... yang dipaparkan di atas dan ingin mena warkan suatu ruang diskusi untuk mencari

13

Otsus memang tidak secara langsung menyebutkan kewenangan Pemerintah Papua dalam mengelola hutan atau ke­kayaan alam lainnya yang ada di Papua. Otsus meletakkan salah satu fon dasi utamanya pada pengakuan dan pe­nguatan hak­hak orang asli papua atas tanah hak ulayat yang dari fondasi itu muncul soal kewenangan khusus Papua dalam mengelola sumber daya alamnya. Prinsip dalam memanfaatkan sumber daya adalah 1) menghormati hak­hak masyarakat adat; 2) memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, serta 3) prinsip­prinsip pelestarian lingkungan, dan 4) pembangunan yang berkelanjutan yang pengaturannya ditetapkan dengan Perdasus. Perdasus yang mengatur soal hutan adalah Perdasus Nomor 21 Tahun 2008 tentang pengelolaan hutan ber­kelanjutan di Papua. Kehadiran Perdasus ini memperkuat kewenangan khusus Papua dalam mengelola hutan.

Dari sisi Undang­Undang Nomor 41 Tahun 1999 sendiri sebenarnya IUPHHK­MHA sendiri sejalan dengan semangat pernghormatan hak masyarakat adat atas hutan. Undang­Undang Nomor 41 Tahun 1999 memberi ruang kepada masyarakat hukum adat untuk mengelola hutan adatnya (Pasal 37 Ayat (1)). Kedudukan masyarakat adat dalam mengelola hutan semakin kuat dengan terbitnya Putusan MK 35/PUU­X/2012 yang menganulir ke­tentuan yang memasukkan hutan adat ke dalam hutan negara. Sehingga sekarang ini status hutan adat keluar dari hutan negara dan hutan adat dikelola oleh masyarakat adat sendiri. IUPHHK­MHA merupakan pengejawantahan dari kewenangan ma­syarakat adat dalam mengelola hutan adat yang ada di wilayah adatnya.

Dari hasil wawancara dengan KLHK, juga muncul pandangan lain tentang “tumpang tindih peraturan” ini. Kehadiran izin pengelolaan hutan (utamanya kayu) di luar aturan sektoral kehutanan (yang hanya bisa dikeluarkan oleh menteri) sebenarnya bisa dimaklumi sebagai konsekuensi dasar dari otonomi khusus. Sebagaimana terjadi di Aceh, Papua, dan Yogyakarta. Izin­izin tersebut tidaklah ilegal atau bertentangan dengan aturan sektoral karena memang muncul dari kamar undang­undang yang berbeda. Izin­izin itu sah dan mengikat. IUPHHK­MHA juga sejatinya izin yang sah dan mengikat dan konsekuensi yang lahir dari keberadaan izin itu bisa berlaku di wilayah Indonesia. Hanya saja, pejabat di KLHK itu menegaskan bahwa meskipun IUPHHK­MHA ini sah dan mengikat, tetapi karena tidak dikenal dalam sistem administrasi perkayuan (yang diatur hanya dengan aturan kehutanan) maka dia sulit untuk diintegrasikan ke dalam sistem administrasi perkayuan. Sah namun tidak diakui keberadaannya dalam administrasi perkayuan (wawancara pribadi dengan pejabat KLHK Jakarta, 13 November 2017).

Satu contoh lain sebenarnya juga ada di Aceh. Pemerintah Provinsi Aceh mengeluarkan IUPHKK­HTI kepada PT Rencong Pulp dan Paper Industry (PT.RPPI) dengan SK Gubernur Aceh nomor: 522.51/BP2T/4729/2010, 7 Juni 2010, seluas 10.384 ha di Kecamatan Nisam Antara, Aceh Utara. IUPHHK­HTI, sebagaimana ju ga IUPHHK­MHA, dikeluarkan izinnya oleh menteri, bukan oleh gubernur, me ­nurut peraturan soal kehutan an (Un­dang­Undang Nomor 41 Tahun 1999 dan turunannya). Keberadaan IUPHHK­HTI itu diakui legalitasnya, tetapi PT RPPI tidak masuk dalam sistem administrasi perkayuan nasional. Bagaimana kondisi

Page 16: IUPHHK-MHA dan Masa Depan Pengelolaan Hutan oleh ... fileperusahaan. Tidak ada satupun izin atau ... yang dipaparkan di atas dan ingin mena warkan suatu ruang diskusi untuk mencari

14

D.1. Pengaruh terbitnya Undang-Undang Pemda Tahun 2014Dua hal yang akan disasar dalam tulisan ini terkait dengan dampak lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang pemerintah daerah (selanjutnya UU Pemda), yakni pada pengakuan MHA dan urusan kehutanan. Dalam hal pengakuan hak-hak MHA, UU Pem da mengaturnya dalam dua urusan: ling-kungan hidup dan sosial. Dalam dua urusan itu, pengakuan keberadaan MHA, kearifan lokal dan hak-hak MHA yang terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup termasuk pemberdayaannya masih mengikuti pola lama dengan membagi kewenangan antar tingkat pemerintahan berdasarkan batas administratif. Dengan demikian, pengakuan keberadaan MHA yang berada dalam satu kabupaten berada di tangan pemerintah kabupaten,

yang berada di lintas kabupaten berada di tangan pemerintah provinsi dan yang berada di lintas provinsi berada di tangan pemerintah pusat. Sementara untuk urusan sosial berkaitan dengan pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT). Hanya urusan pemerintah dalam penetapan lokasi KAT yang hanya berada di tangan pemerintah pusat, sementara pemberdayaan, pengaturan soal urusan sumbangan, kewenangannya menyebar di jenjang pemerintahan berdasarkan ba t as administratif. Tulisan ini tidak dalam kapasitas untuk memberikan pan-dangan bahwa pola ajeg yang selama ini dipakai (dengan pembagian kewenangan pengakuan MHA dari pusat sampai kabu-paten) lebih menguntungkan masya rakat adat atau malah menjadi pangkal masalah sulitnya pengakuan keberadaan MHA.

PT RPPI sekarang, berproduksi atau ti­dak, dan seberapa besar produksinya tidak diperhatikan oleh KLHK. Beliau juga menegaskan bahwa alasan penolakan atas IUPHHK­MHA sendiri tidak murni hukum, tetapi lebih bernuansa politik yang bisa dihubungkan sebagai antisipasi atas semangat etno­nasionalisme di Papua (wawancara pribadi dengan pejabat KLHK Jakarta, 13 November 2017).

Dari sini, kami melihat bahwa soal “perbenturan” antar peraturan perundang­undangan ini tidak mesti terjadi jika saja masing­masing pihak melihat gambar be­sar dalam rangka penyelesaian konflik di Papua yang mencapai rekor sebagai konflik terpanjang Indonesia dengan segala dimensinya (stigma separatis dan stigma penjajah, terabaikannya hak­hak

dasar sosial budaya Orang Asli Papua, tidak dilindunginya hak­hak masyarakat adat atas sumber daya alam, ketertinggalan dalam pendidikan, kesehatan, pelayanan dasar, dll). Pandangan di atas, di luar pandangan para nasionalis yang cemas dengan semangat kemerdekaan Papua, merupakan pandangan yang cukup aneh. Sembari menyakini bahwa Otsus masih berada di dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia, namun pada saat yang sama tidak mengakui produk hukum atau izin yang lahir dari Otsus. Menganggapnya piatu. Kondisi ini justru semakin memperkuat anggapan bahwa kebijakan pemerintah di dan atas Papua yang inkonsisten, mengabaikan nilai­nilai lokal dan struktur pemerintah adat, dan melemahkan penguatan hak­hak masyarakat adat atas hutan.

Page 17: IUPHHK-MHA dan Masa Depan Pengelolaan Hutan oleh ... fileperusahaan. Tidak ada satupun izin atau ... yang dipaparkan di atas dan ingin mena warkan suatu ruang diskusi untuk mencari

15

Jika dihubungkan dengan konteks Otsus di Papua, sebenarnya tidak akan memengaruhi proses pengakuan keberadaan MHA yang diatur di dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dan peraturan pelaksananya. Pengaturan pembagian kewenangan yang diatur dalam UU Pemda terkait dengan pengakuan keberadaan MHA sudah sama dengan pengaturan di dalam Otsus Papua. Perdasus 22/2008 misalnya, menyatakan bahwa penetapan keberadaan MHA dite-tapkan dengan Perda provinsi (untuk MHA yang melewati dua/lebih kabupaten) dan Perda kabupaten/Kota (untuk MHA yang berada di satu kabupaten/kota). Dalam ba tas tertentu, harmonisnya pengaturan soal pembagian kewenangan pengakuan keberadaan masyarakat adat ini menjadi peluang besar bagi Pemerintah Provinsi Papua dalam melaksanakan salah satu cita-cita terbitnya Otonomi Khusus.

Dalam hal pengurusan kehutanan, UU Pem da melakukan perubahan deng-an meng hilangkan hampir semua kewe-nangan kehutanan yang ada di kabupaten/kota (Pasal 14 UU Pemda). Kewenangan terkait kehutanan yang masih berada di tingkat kabupaten hanya berupa pengaturan Taman Hutan Rakyat (Tahura) yang berada di satu kabupaten/kota. Di sisi lain, UU Otsus di Papua sendiri pada dasarnya mengatur kewenangan otonomi khususnya kepada provinsi dan bukan kepada kabupaten/kota, sehingga sudah sesuai.

Masalahnya adalah pengaturan soal ke-hutanan yang diatur berdasarkan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua masih banyak kesamaannya dengan pengaturan ke hutanan di tingkat nasional (yang se-belum lahir UU Pemda membagi ke-wenangan kehutanan sampai ke tingkat

pemerintah kabupaten/kota). Sehingga ke tika ada penghilangan kewenangan ke -hutanan di tingkat kabupaten/kota, im-plementasi kewenangan kehutanan di Papua juga turut terpengaruh. Pemerintah Provinsi Papua tampaknya sangat me-manfaatkan lahirnya UU Pemda ini. Pem-prov Papua mengikuti ketentuan dalam UU Pemda yang menghilangkan hampir semua kewenangan kehutanan di kabupaten.

Hal yang paling tampak adalah tidak ada lagi aparat pemerintah di tingkat kabupaten yang mengurus kehutanan. Di beberapa kabupaten sudah tidak ada aktivitas yang berkaitan dengan urusan kehutanan; yang tersisa hanya gedung-gedung kantor dinas kehutanan yang tidak terurus. Proses transisi sebenarnya sedang berlangsung, misalnya, rencana pembentukan unit pelaksana teknis hutan di kabupaten atau rotasi pegawai eks-dinas kehutanan kabupaten. Namun, sampai tulisan ini selesai, prosesnya belum selesai.

Dampak umum yang paling terlihat adalah tidak adanya pengawasan langsung di tingkat tapak yang bisa menjadi peluang terjadinya pelanggaran atau kejahatan kehutanan. Dampak lain yang berpotensi terjadi di masa depan ketika, misalnya, UPT kehutanan yang berada di masing-masing kabupaten terbentuk, adalah garis koordinasi yang lebih sulit dan lebih mahal (dengan Dishut Provinsi) mengingat kon-disi geografis Papua. Masyarakat pun akan terkena dampaknya berupa pengurusan perizinan yang lebih mahal dan sulit ka-rena pengurusan izinnya terpusat di Ibu Kota Provinsi.

Dampak pada pengaturan soal IUPHHK-MHA terlihat jelas dan karenanya memer-lukan revisi jika ingin IUPHHK-MHA

Page 18: IUPHHK-MHA dan Masa Depan Pengelolaan Hutan oleh ... fileperusahaan. Tidak ada satupun izin atau ... yang dipaparkan di atas dan ingin mena warkan suatu ruang diskusi untuk mencari

16

tetap ada pasca-2014. Peran kabupaten/kota (yang dalam hal ini diwakili oleh dinas kehutanan) dalam pengurusan IUPHHK-MHA berada pada saat pengajuan izin, pemeriksaan kelengkapan syarat, sam pai IUPHHK-MHA beroperasi di lapang-an. Peran Kantor Dishut kabupaten da -lam pengurusan IUPHHK-MHA yang menghilang akibat terbitnya UU Pem da antara lain berupa rekomendasi Bupati kepada Gubernur untuk calon penca-dangan lokasi, pengesahan Rencana Kerja Tahunan (RKT) (Pasal 6 Pergub 13/2010), penentuan TPK Hutan atau TPK antara (Pasal 14 Pergub 13/2010), pengesahan LHP (Pasal 18 Pergub 13/2010), peng-awasan terhadap dokumen FAKO (Pa-

sal 22 Pergub 13/2010), pengawasan dan pengendalian teknis, pembuatan laporan rekapitulasi hasil dari IUPHHK-MHA serta penjatuhan sanksi berupa penghentian layanan (Pasal 28, 29 dan 31 Pergub 13/2010). Pengaruh terbitnya UU Pemda juga bisa terkait dengan tata administrasi kayu seperti dalam Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu Rakyat atau IUIPHHK-Rakyat yang salah satu sumber kayunya berasal dari IUPHHK-MHA. Beberapa ketentuan yang perlu disesuaikan adalah peran bupati yang memberikan izin IUIPHHK Rakyat untuk kapasitas industri di bawah 2000 kubik/tahun (Pasal 10 Pergub 15/2010) serta penetapan dokumen FAKO Rakyat.

Page 19: IUPHHK-MHA dan Masa Depan Pengelolaan Hutan oleh ... fileperusahaan. Tidak ada satupun izin atau ... yang dipaparkan di atas dan ingin mena warkan suatu ruang diskusi untuk mencari

17

D.2. Fondasi Tidak Dibangun Dulu: Pengakuan Masyarakat Adat dan Kepastian WilayahnyaSelain tantangan dari luar Papua, dari hasil assessment atas IUPHHK-MHA, kami juga menemukan masalah dari in-t er nal pemerintah Papua sendiri. Per-masalahannya itu sebenarnya lebih banyak pada soal taat asas dan prosedur yang dibuatnya sendiri, selain karena hambatan yang sifatnya lebih struktural (kurang SDM, dukungan finansial dari Pemda, dll).

Bergerak mundur sebelum lahirnya IUP-HHK-MHA, kita akan menemukan bahwa ada faktor penting yang terlewatkan dalam alurnya. Utamanya dalam proses pengakuan masyarakat hukum adat dan wilayah adatnya. Perdasus 21/2008 menegaskan terlebih dahulu soal peng-akuan atas hak-hak masyarakat adat dan menetapkan kriteria masyarakat adat sebelum mengatur mengenai hu-tan. Kewenangan atas hutan terlahir dari pengakuan dan perlindungan ma-syarakat adat. Ini merupakan persoalan fundamental sebelum masuk ke dalam persoalan administrasi dan pemanfaatan hutan. Masyarakat hukum adat di Papua memiliki hak atas hutan alam sesuai dengan batas wilayah adanya masing-masing.

Pengakuan atas hak-hak masyarakat adat ini perlu ditegaskan dengan keputusan administratif dari Pemerintah Papua. Tata caranya mengikuti aturan lain yang diatur dalam bentuk Perdasus Nomor 22 Tahun 2008 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Masyarakat Hukum Adat Papua dan Perdasus 23/2008 tentang hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan warga masyarakat hukum adat atas tanah. Dengan demikian, tiga Perdasus ini (Perdasus 21, 22, dan 23 Tahun

2008) harus dibaca dalam satu napas ketika membicarakan hak masyarakat adat dan pengelolaan kekayaan alam di Papua.

Melihat tiga aturan di atas, pengaturan masyarakat adat di Papua sebenarnya tidak integratif dan masih memperhitungkan keberadaan masyarakat adat berada di dalam atau di luar kawasan hutan (polanya serupa dengan kebijakan pengakuan MHA di tingkat pusat). Ini karena pengaturan mengenai hak ulayat dan perseorangan MHA diatur berbeda dengan pengaturan mengenai hutan MHA. Dengan proses iden-tifikasi, proses pemetaan, dan penetapan yang berbeda. Keberadaan masyarakat hukum adat ditetapkan dengan peraturan daerah (Perda), baik Perda Provinsi atau kabupaten/kota (Perdasus 22/2008), se-men tara hak ulayat atau perseorangan ditetapkan dengan Keputusan Bupati/Gubernur (Perdasus 23/2008). Selain pe-ng akuan keberadaan masyarakat adat yang ditetapkan dengan perda, Perdasus

Page 20: IUPHHK-MHA dan Masa Depan Pengelolaan Hutan oleh ... fileperusahaan. Tidak ada satupun izin atau ... yang dipaparkan di atas dan ingin mena warkan suatu ruang diskusi untuk mencari

18

21/2008 juga mengatur soal wilayah adat dan pemetaannya. Peta hutan adat sendiri ditetapkan dengan Keputusan Bupati dan nantinya harus diintegrasikan ke dalam RTRW Kabupaten dan Provinsi.

Dari hasil membandingkan antara proses IUPHHK-MHA yang ada dengan urutan proses pengakuan masyarakat adat dan wilayahnya, tampak ada proses yang terlewati. Proses yang terlewati itu—pencadangan wilayah, pemetaan wilayah, dan pengakuan MHA—sayangnya dise-butkan dengan jelas di dalam peraturan (eksplisit). Bukan proses yang bisa disimpangi dengan diskresi dari pejabat negara. Tim Verifikasi MHA hampir tidak ada di setiap kabupaten di mana IUPHHK-MHA berada dan tidak ada perda, baik dari provinsi atau kabupaten, yang mengakui keberadaan masyarakat adat dan tidak ada pula pencadangan wilayah adat yang menjadi titik awal sebelum adanya penetapan wilayah adat dan izin pemanfaatan yang lahir di atasnya. Pencadangan wilayah adat serta penunjukan areal hutan untuk kepentingan perizinan IUPHHK-MHA seharusnya ada dan sudah ditetapkan oleh gubernur setelah mendengarkan usulan dari bupati/walikota (Pasal 2 Pergub 13/2010) sebelum adanya IUPHHK-MHA.

Kondisi ini menyebabkan pengakuan bahwa semua hutan alam dimiliki oleh masyarakat adat tidak memiliki kekuatan administratif ketika berhadapan dengan kondisi lapangan di mana hutan alam itu-pun sudah diklaim sebagai kawasan hutan negara. Alih-alih memperkuat keberadaan Otsus dan hak-hak masyarakat adat atas hutan, IUPHHK-MHA ini seperti menari di atas fondasi yang tidak kokoh. Ketidakberanian memberikan lampu hi-

jau agar beroperasi juga dipengaruhi kenyataan bahwa lokasi IUPHHK-MHA masih berada di atas hutan negara. Per-geseran menjadi hutan adat terjadi jika ada pengakuan dalam bentuk peraturan daerah (sayangnya permintaan pengakuan dengan Perda ini juga diatur di dalam perdasus dan tidak hanya diminta oleh UU 41/1999) yang sayangnya proses itu tidak ditempuh. Begitu pula tidak dilakukannya pemetaan dan penetapan wilayah adat yang sangat penting dalam menegaskan dan menggantikan posisi negara sebagai pengampu dari hutan dan wilayah adatnya.

Tidak aneh jika kemudian ada kejadian koperasi Mo Make Unaf yang tidak berhasil memperkuat kesepakatan enclave wilayah kerja dari PT Selaras Inti Semesta dan dibatalkan begitu saja oleh manajemen baru. Ini dikarenakan setelah ada kese-pakatan pengurangan wilayah kerja tidak ditindaklanjuti dengan penataan ba tas yang kerjakan oleh Balai Pamantapan Kawasan Hutan (BPKH)/Planologi yang akan melakukan penataan batas antara wilayah konsesi dengan wilayah KSU dan perubahan ini harus terlihat dalam perubahan SK IUPHHK-HTI PT Selaras Indah Semesta.

Jika saja prosesnya berlangsung seperti ini, yaitu gubernur menetapkan cadangan wilayah adat yang akan diberikan izin IUPHHK-MHA, kemudian ada pemetaan wilayah adat dan sekaligus penetapan dalam perda untuk mengakui keberadaan masyarakat adat, maka pemegang IUP-HHK-MHA tidak akan menghadapi kendala seperti yang terjadi di Mo Make Unaf. Perda ini menjadi dasar bagi negara untuk menggeser posisinya dari wilayah adat dan menyerahkan pengelolaannya kepada masyarakat adat. Keberadaan kon-

Page 21: IUPHHK-MHA dan Masa Depan Pengelolaan Hutan oleh ... fileperusahaan. Tidak ada satupun izin atau ... yang dipaparkan di atas dan ingin mena warkan suatu ruang diskusi untuk mencari

19

sesi di atas wilayah adat tentu dihormati namun tetap harus menyesuaikan dengan kepentingan dari masyarakat adat yang sekarang menjadi pengampunya.

Dishut Provinsi beralasan tidak dilak-sanakannya terlebih dahulu pencadangan, pemetaan wilayah adat, dan pengakuan masyarakat adat lewat perda karena akan ada resistensi dari pemerintah pusat. Ada ketakutan bahwa bisa jadi wilayah yang dicadangkan sudah ada izin atau sedang dialokasikan buat izin lainnya (wawancara pribadi dengan pejabat Dishut Provinsi Papua, 9 Oktober 2017). Padahal, resistensi tetap terjadi terhadap IUPHHK-MHA dan bahkan dengan beban tambahan berupa harapan masyarakat pemegang IUPHHK-MHA yang semakin menurun tajam. Pen-cadangan areal hutan atau wilayah adat dilakukan tanpa harus membawa-bawa dulu masyarakat sehingga ketika kompromi tidak tercapai antara pemerintah pusat dan Papua, yang menanggung beban lebih sedikit.

Selain itu, ada juga pandangan yang melihat bahwa kondisi di Papua seringkali membuat pendekatan formil dan legalistik tidak cocok dengan kondisi lokal. Pan-dangan ini tentu bisa dimaklumi di tengah kondisi birokrasi Papua yang masih minim SDM berkualitas. Dan memang agar masyarakat adat bisa mengelola hutan adat yang menjadi haknya, serangkaian proses birokrasi panjang harus dilakukan yang penuh dengan kepentingan politik dan ekonomi. Hanya saja, menjadi pertanyaan mengapa persyaratan itu perlu didetailkan dalam peraturan kalau nyatanya dengan mudah bisa disimpangi dengan alasan tidak cocok dengan kondisi lokal. Ada problem pembuatan rencana atau aturan yang luput memahami kondisi lokal dan

keengganan untuk melaksanakan yang direncanakan sesuai aturan yang dibuatnya sendiri.

Tapi, memang kebijakan nasional pe-ngakuan masyarakat adat dan wilayahnya dalam kurun waktu 2008-2012 (sewaktu Perdasus 21, 22, 23 Tahun 2008 dan IUPHHK diterbitkan), masih belum bisa dilaksanakan dengan optimal di lapangan. MHA diakui dalam UUD 1945 dan sudah ada peraturan pelaksana di tingkat menteri untuk melaksanakan pengakuannya, teta-pi hambatan dari sektoral kementerian sangat kuat. Intinya, tidak ada kemauan politik untuk mewujudkannya di tingkat lapangan. Hambatan ini lahir pula di tingkat lapangan (utamanya di kawasan hutan–yang bagi banyak pejabat memahaminya sebagai kawasan hutan = hutan negara) yang bisa membuat pembuat kebijakan IUPHHK-MHA melihat peluangnya le-bih kecil terwujud jika semua ketentuan tentang pengakuan MHA dilakukan se-ca ra konsekuen. Namun, pelan-pelan ke-bijakan pengakuan itu semakin muncul ke permukaan, lahir berbagai koreksi atas peraturan yang menghambat (misal dalam bentuk Putusan MK 45/2011 dan Putusan MK 35/2012) serta pengaturan yang lebih komprehensif dalam penyelesaian konflik di dalam kawasan hutan (Perpres 88/2017). Kebijakan pengakuan MHA semakin mendapatkan momentun kuat dalam pe-merintahan sekarang (2014-2019), baik itu lewat program perhutanan sosial berupa hutan adat dan reforma agraria. Dari sisi ini justru pengakuan atas MHA baik berupa pemetaan wilayah adat, hutan adat, dan hak komunal mendapatkan waktu yang tepat untuk diwujudkan di Papua.

Page 22: IUPHHK-MHA dan Masa Depan Pengelolaan Hutan oleh ... fileperusahaan. Tidak ada satupun izin atau ... yang dipaparkan di atas dan ingin mena warkan suatu ruang diskusi untuk mencari

20

E. NSPK: Apakah Bisa Menjadi Jalan Keluar?Untuk menjembatani persoalan IUPHHK-MHA, Pemerintah Pusat dan Papua akhirnya menyepakati untuk membentuk norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) mengenai pengelolaan hutan. Dalam perjalanannya, NSPK yang digagas lebih spesifik mengatur pemanfaatan hasil hutan kayu hutan alam pada kawasan hutan produksi merujuk pada Perdasus No. 21/2008. Naskah terakhir NSPK yang kami baca adalah NSPK versi tanggal 27 Juni 2016.

Para pihak menilai NSPK dapat men-jembatani pertentangan antara Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 dan Undang-Undang Tahun 21 Tahun 2001 da lam hal pengelolaan hutan. Hal tersebut tertuang dalam konsideran rancangan NSPK. Bentuk NSPK yang diusulkan be-rupa Peraturan Menteri Lingkungan dan Kehutanan. Versi akhir draf NSPK yang diusulkan terdiri dari lima bab dan 15 Pasal, yang mencakup: ketentuan umum,

norma, standar, prosedur, dan kriteria, ketentuan lain-lain, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup.

Sebelum melihat muatan draf NSPK, ter lebih dahulu dilihat bentuk hukum dari NSPK. Apakah peraturan menteri memiliki kekuatan hukum yang mengikat sebagai peraturan perundangan? Apalagi NSPK ini diharapkan menjembatani antara dua undang-undang.

Berdasarkan Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pem-bentukan Peraturan Perundang-Un dang-an, peraturan menteri diakui sebagai bagian dari peraturan per undang-undangan. Na-mun, pada ayat 2 ditegaskan tidak semua peraturan menteri dikategorikan sebagai peraturan perundangan. Yang diakui sebagai peraturan perundangan adalah peraturan menteri yang didasari atas perintah peraturan perundangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Page 23: IUPHHK-MHA dan Masa Depan Pengelolaan Hutan oleh ... fileperusahaan. Tidak ada satupun izin atau ... yang dipaparkan di atas dan ingin mena warkan suatu ruang diskusi untuk mencari

21

Dalam hal pembentukan peraturan per-undangan atas dasar kewenangan, dikenal dua doktrin yaitu: kewenangan atribusi dan kewenangan delegasi. Berdasarkan dua doktrin tersebut, maka peraturan menteri masuk kategori kewenangan de l e gasi. Artinya, ada pemindahan ke-wenangan kepada menteri untuk mem-bentuk peraturan dari pemegang kewe-nangan asal yaitu Presiden atas dasar per aturan perundangan yang lebih tinggi. Per t a nyaannya, apakah pengaturan NSPK oleh men teri merupakan dele ga-si yang diberikan peraturan perundang-undangan?

Pada bagian pertimbangan NSPK dise-butkan bahwa pembentukan NSPK atas dasar Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001. Namun, pada batang tubuh Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, tidak satupun menyebut pemberian delegasi pada menteri untuk menyusun peraturan mengenai kehutanan. Undang-Undang No mor 21 Tahun 2001 hanya memberikan delegasi kepada Pemerintah Papua untuk membentuk perdasus ataupun perdasi. Apabila draf Permen LHK mengenai NSPK ini tetap disahkan, maka dalam tataran peraturan perundang-undangan hanya akan dikenal sebagai bleid (kebijakan) karena Menteri LHK memiliki kewenangan dalam urusan kehutanan.

Khusus Papua, keberadaan bleid Menteri LHK ini perlu dilihat apakah mengambil peran Papua sebagai daerah Otsus atau tidak. Hal ini penting untuk menghindari sentimen ketidakpercayaan pemerintah pu sat terhadap pemerintah Papua. Selain itu, sebagai penjembatan antara dua undang-undang, posisi peraturan menteri sangatlah lemah.

Hambatan normatif-formal ini tentu bisa dikesampingkan selama telah disepakati bersama para pihak dan bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat terutama ma sya-rakat adat di Papua. Apalagi sebagaimana disebut sebelumnya bahwa masyarakat adat hingga saat ini hanya bisa gigit jari melihat aktivitas pemanfaatan kayu oleh perusahaan besar di wilayah adatnya.

Apabila pemerintah pusat dan pemerintah Papua tetap bersepakat untuk membentuk NSPK menggunakan peraturan menteri, maka untuk draf yang ada saat ini perlu dilihat muatannya. Apakah telah menjawab permasalahan yang dihadapi pemegang IUPHHK-MHA.

Untuk melihat apakah muatan NSPK telah menjawab permasalahan yang di-hadapi pemegang IUPHHK-MHA, per-lu ditelusuri kenapa IUPHHK-MHA ada. Perdasus 21/2008 menyebut bahwa IUPHHK-MHA merupakan bentuk per-lindungan bagi masyarakat adat atau Orang Asli Papua untuk memanfaatkan hasil hutan kayu, sekaligus sebagai bentuk pembenahan kegagalan IPK-MA.

Pergub 13/2010 sebagai aturan turunan Perdasus 21/2008 menegaskan bahwa lo-kasi IUPHHK-MHA berada di sekitar kampung pemohon yang ditegaskan oleh kepala distrik. Artinya, tidak akan mungkin orang yang tinggal di luar kam-pung tersebut memiliki IUPHHK-MHA. Selain itu, penggunaan terminologi MHA mempertegas posisi masyarakat hukum adat atau Orang Asli Papua. Dari sisi muatan draf, Permen LHK mengenai NSPK memiliki perbedaan yang cukup mendasar dengan Perdasus 21/2008 dan turunannya. Draf Permen

Page 24: IUPHHK-MHA dan Masa Depan Pengelolaan Hutan oleh ... fileperusahaan. Tidak ada satupun izin atau ... yang dipaparkan di atas dan ingin mena warkan suatu ruang diskusi untuk mencari

22

LHK mengenai NSPK memperluas subjek penerima dan pemberi IUPHHK. Draf Permen LHK mengenai NSPK menjadikan subjek penerima IUPHHK yang semula adalah koperasi masyarakat pemilik hak ulayat, menjadi koperasi masyarakat se-tempat atau lokal atau masyarakat lainnya di dalam dan di sekitar hutan yang terlibat dalam bidang kehutanan (Pasal 6 ayat (2) huruf a Draf Permen LHK). Frasa masyarakat setempat atau lokal atau lainnya membuka ruang bagi pihak selain masyarakat hukum adat untuk memperoleh IUPHHK.

Perbedaan lainnya yaitu subjek pemberi hak. Perdasus 21/2008, menempatkan gubernur sebagai subjek pemberi izin, tetapi draf Permen LHK membuka ruang bagi menteri untuk memberikan izin. Dibukanya ruang bagi menteri untuk memberikan izin berpotensi menimbulkan ketidakpastian dalam pemberian izin. Misalnya, ketika pencari izin ditolak provinsi, ia bisa saja mendapat izin dari menteri, begitu pula sebaliknya. Padahal dalam konteks otonomi khusus, pemberian izin ini seharusnya dilepas ke provinsi dalam hal ini gubernur, di mana Menteri LHK lebih berperan sebagai pengawas pelaksanaan pemberian izin.

Selanjutnya mengenai lokasi izin. Ber-dasarkan Draf Permen LHK mengenai NSPK, lokasi IUPHHK berada di lokasi yang tidak dibebani hak atau izin lain (Pasal 4 huruf a Draf Permen LHK). Pengaturan ini akan menjadi masalah di beberapa lokasi IUPHHK-MHA yang ada saat ini. Seperti KSU Mo Make Unaf yang berada di lokasi izin PT Selaras Inti Semesta. Ketika aturan ini diberlakukan, tentu anggota KSU Mo Make Unaf harus mencari lokasi IUPHHK-MHA baru,

sementara lokasi IUPHHK-MHA saat ini adalah tanah ulayat mereka. Atau pilihan lain, perusahaan mengurangi wilayah izin mereka.

Tentu situasi di atas akan semakin sulit dilaksanakan mengingat hingga 2016 telah ada 17 juta Ha lebih kawasan hutan yang diberikan konsesi oleh pemerintah pusat. Potensi terjadinya konflik perebutan lahan tentu akan semakin tinggi. Belum lagi saat ini telah ada 17 IUPHHK-MHA yang diberikan Gubernur Provinsi Papua, yang mungkin saja bernasib sama dengan KSU Mo Make Unaf. Permasalahan lokasi IUPHHK-MHA ini harus segera diselesaikan dan dijawab dalam NSPK kalau ingin menjadi jawaban atas hambatan IUPHHK-MHA saat ini. Permasalahan lokasi ini sebenarnya telah dijawab oleh Perdasus 21/2008 yaitu terhadap IUPHHK-MHA yang berada di lokasi izin maka bisa diterapkan model kemitraan.

Terakhir, untuk melihat apakah draf Permen LHK mengenai NSPK menjadi jawaban atau jalan keluar permasalahan IUPHHK-MHA, adalah kesesuaian terminologi izin yang digunakan. Draf Permen LHK mengenai NSPK menggunakan ter-minologi IUPHHK-HA (Hutan Alam), atau terminologi izin yang selama ini sudah dikenal di KLHK. Penggunaan terminologi IUPHHK-HA ini, akan berimplikasi terhadap izin yang sudah ada saat ini, selain persoalan terbukanya ruang bagi masyarakat selain masyarakat hukum adat, sebagaimana disebut sebelumnya. Penggunaan terminologi IUPHHK-HA akan memperpanjang proses birokrasi izin yang ditempuh oleh pemilik IUPHHK-MHA saat ini. Apalagi mereka telah me-nanti cukup lama untuk bisa beroperasi. Setidaknya 17 kelompok pemilik IUP-

Page 25: IUPHHK-MHA dan Masa Depan Pengelolaan Hutan oleh ... fileperusahaan. Tidak ada satupun izin atau ... yang dipaparkan di atas dan ingin mena warkan suatu ruang diskusi untuk mencari

23

HHK-MHA saat ini harus melakukan penyesuaian izin. Penyesuaian izin tidak saja mengganti nama dari IUPHHK-MHA ke IUPHHK-HA, tetapi berkemungkinan lokasi izin mereka dipindahkan karena berada di atas areal berizin.

Pemindahan lokasi izin ini berpotensi menimbulkan konflik. Mengingat bebe-rapa lokasi IUPHHK-MHA yang ada saat ini ada di atas izin perusahaan. Selain itu, apabila dipindahkan, belum tentu bisa dilakukan di atas tanah ulayat masyarakat adat anggota KSU/Kopermas saat ini.

Mempertimbangkan beberapa alasan di atas, draf NSPK yang ada saat ini bukanlah jawaban terhadap permasalahan IUPHHK-MHA, dengan alasan: - Pengaturan NSPK lemah dari sisi pem-bentukan peraturan perundang-undangan;

- Muatan draf NSPK membuka ruang bagi masyarakat selain masyarakat adat untuk mengakses izin pemanfaatan kayu;- Keberadaan menteri selaku pemberi izin berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum;- Berpotensi menimbulkan ketidakpastian dan membebani pemilik IUHHHK-MHA yang telah ada saat ini. Pemilik IUPHHK-MHA yang telah ada setidaknya akan terbebani dengan proses penyesuaian izin dan perubahan lokasi izin. Apabila tetap ingin menjadikan NSPK sebagai solusi, maka muatan draf NSPK yang ada saat ini perlu penyesuaian dengan mempertimbangkan kondisi-kondisi di atas.

Page 26: IUPHHK-MHA dan Masa Depan Pengelolaan Hutan oleh ... fileperusahaan. Tidak ada satupun izin atau ... yang dipaparkan di atas dan ingin mena warkan suatu ruang diskusi untuk mencari

24

Dari pemaparan persoalan di atas, da-pat diambil beberapa kesimpulan dan rekomendasi ke depan. Persoalan Papua merupakan persoalan yang cukup kom-pleks sehingga tidak ada solusi yang mudah dan cepat, termasuk masalah pengelolaan hutan dan masyarakat adat di Papua. Persoalan ini berhubungan dengan soal kebijakan sektoral kehutanan di tingkat pusat dengan segala infrastruktur di bawahnya yang meminta daerah dan masyarakat untuk mengikutinya, “ideologi” kawasan hutan, pengukuhan kawasan hutan yang belum tuntas dan kuatnya kebijakan yang melihat hutan hanya pada sisi kontribusi ekonomi. Persoalan tersulit dari masyarakat adalah pengakuan wilayah adatnya yang sekarang dalam kondisi tumpang tindih dengan kawasan yang dikuasai negara dan konsesi pemanfaatan tanah, birokrasi pengakuan MHA yang panjang, dan kekhasan masyarakat adat Pa-pua baik manusianya maupun pengaturan wilayah adatnya. Namun, bagaimanapun dalam kondisi kebijakan sekarang, pe-luangnya tersedia dan lebih terbuka lebar untuk melaksanakan peng akuan dan perlindungan hak-hak MHA atas kekayaan alamnya di Papua.

Persoalan IUPHHK-MHA dilihat dari ren-tang waktu dua dekade terakhir merupakan inisiatif dari Pemerintah Papua dengan otonomi khususnya untuk mendorong masyarakat adat dapat mengelola hutan secara berkelanjutan dan mendapatkan manfaat paling besar dari pemanfaatan lahannya. Dalam perjalanannya, inisiatif itu ada yang tidak berhasil bahkan menjadi bumerang bagi cita-cita pengelolaan hutan oleh masyarakat adat sebagaimana dilihat dari kasus IPK-MA. Tetapi, pemerintah

F. Kesimpulan dan rekomendasiPapua dan para pendukungnya tidak tinggal diam dan kemudian menyusun peraturan pengelolaan hutan yang berkelanjutan yang isinya merefleksikan cita-cita oto-nomi khusus di Papua agar kekayaan alam yang ada dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat asli Papua dan diakuinya hak-hak dasar penduduk asli Papua serta hutan yang lestari. Perdasus 21/2008 (serta Perdasus 22/2008 dan 23/2008) berisi kebijakan yang mengandung kekhasan kondisi Papua dengan mengedepankan pe ng akuan hak MHA dalam pengelolaan kekayaan alam. Secara normatif, rute me-nuju kedaulatan masyarakat adat atas hutannya (dan wilayah adatnya) cukup ideal: pemetaan, pengakuan MHA dengan Perda, pengaturan soal lembaga usaha masyarakat adat, pendampingan dan tata kelola hutan yang diselaraskan dengan kearifan lokal dan konservasi. Hanya saja, implementasi di lapangannya masih belum optimal serta pada waktu itu ada kondisi politik yang tidak kondusif bagi pengakuan MHA dan wilayahnya.

Dalam suasana kesulitan untuk meng-implemetasikan pengakuan atas hak MHA dan wilayahnya, lahirlah IUPHHK-MHA pada kurun 2011-2012. Loncatan proses ini karena adanya dua kondisi yang sama-sama mendesak: masyarakat adat yang semakin terdesak dan pemanfaatan hutan negara dan wilayah adat untuk diambil kayunya secara ilegal (bisa disebut sebagai pembalakan liar). Namun, kondisi sekarang adalah tidak bisa berjalannya IUPHHK-MHA. Kondisi ini malah bisa jadi membuat masyarakat adat yang mendapatkan izin makin tidak percaya dengan konsistensi negara dalam memberikan ruang hidup pada mereka. Di lapangan, mereka melihat

Page 27: IUPHHK-MHA dan Masa Depan Pengelolaan Hutan oleh ... fileperusahaan. Tidak ada satupun izin atau ... yang dipaparkan di atas dan ingin mena warkan suatu ruang diskusi untuk mencari

25

bahwa yang tidak memiliki izin malah dengan mudah mengambil kayu di wilayah hutan negara atau wilayah adat.

Kehadiran UU Pemda dan Provinsi Papua yang mengambil momentum untuk me-laksanakannya di lapangan dengan tanpa perencanaan transisi membuat posisi sebagian kawasan hutan di Papua dalam kondisi “open acces”. Tidak adanya peng-awasan langsung di lapangan membuat lalu lintas kayu (baik yang legal maupun ilegal) berjalan tanpa pemeriksaan. Dalam urusan pengakuan keberadaan MHA, kearifan lokal, penetapan hak komunal, pemberdayaan MHA dan urusan terkait MHA lainnya bisa dikatakan sudah seirama dengan Otsus Papua. Memang perlu antisipasi terbitnya berbagai panitia atau badan ad hoc untuk mengerjakan tugas tertentu yang bisa membebani pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten). Dalam urusan kehutanan, potensi disharmoni muncul dalam hal pengaturan kewenangan di hutan yang berfungsi konservasi dan pengaturan pemanfaatan hasil hutan. Kami melihat itu sebagai potensi, karena di dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dan Perdasus, pengaturan soal pengelolaan hutan konservasi masih belum jelas dan bersifat umum. Dalam hal pemanfaatan hasil hutan, dengan melihat posisi Pemerintah Provinsi Papua sekarang yang mengamini ketentuan di dalam UU Pemda, maka serangkaian revisi mesti dilakukan pada peraturan pelaksana Otsus. Dengan kondisi geografis dan kekhasan sosial budaya Papua, perlu juga mempertimbangkan pengaturan le-bih jelas soal pendelegasian kewenangan dalam urusan kehutanan kepada Dinas Kehutanan Provinsi dan jajarannya yang ada di masing-masing kabupaten.

Kami melihat inisiatif NSPK dengan dua perspektif. Dari satu sisi, jika per-soalan politiknya bisa selesai dengan kehadirannya, NSPK justru semakin mem perkuat posisi pemerintah pusat da-lam mengelola hutan di Papua dan ada beberapa ketentuan yang malah akan memperlemah posisi masyarakat adat di Papua (dapat diberikannya izin pada pihak di luar MHA dan lokasi izin yang harus tidak berada di atas hak dan izin lain). NSPK seharusnya hanya menjembatani hal-hal yang secara administratif menjadi penghalang, namun tidak mengubah hal-hal prinsipil yang sudah diatur di dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dan peraturan pelaksananya. Keinginan agar tetap dianggap dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dengan sendirinya mengurangi kekhususan Papua yang sudah ditetapkan dalam Undang-Undang Otonomi Khusus di Papua. Kekhususan dalam pengaturan hutan di Papua adalah dengan mengedepankan pengakuan atas hak MHA dan wilayah adatnya dalam pengelolaan hutan di Papua. Pada waktu itu (2008-2012), ketentuan ini memang bisa dianggap “berbahaya”, tetapi sepertinya tidak demikian dalam wadah kebijakan sekarang ini. Selain itu, NSPK yang ada sekarang hanya terbatas pada pemanfaatan hasil hutan kayu hutan alam pada kawasan hutan produksi. Padahal, akan lebih baik jika yang di-NSPK-kan adalah pengelolaan hutan di Papua.

Terbitnya Putusan MK 35/2012 dan Putusan MK 45/2011 membuka jalan bagi pengakuan MHA di dalam kawasan hutan sekaligus memperjelas wilayah adatnya yang berbeda dengan hutan nega-ra. Konsekuensi dari masyarakat adat yang harus diatur lebih dahulu dalam pengelolaan hutan tidak lagi berbahaya,

Page 28: IUPHHK-MHA dan Masa Depan Pengelolaan Hutan oleh ... fileperusahaan. Tidak ada satupun izin atau ... yang dipaparkan di atas dan ingin mena warkan suatu ruang diskusi untuk mencari

26

karena sekarang secara kebijakan dan per aturan yang lahir belakangan meng-akomodir ketentuan itu. Demikian juga yang dahulu ada anggapan bahwa ada disharmoni antara ketentuan kehutanan di tingkat nasional dengan aturan di dalam Otsus Papua; dalam pandangan kami, dengan kelahiran kebijakan yang memperjelas posisi hutan adat di dalam kawasan hutan dan pengakuan atas hak komunal mengakhiri anggapan tersebut. Karena Papua dengan kekhususan nya hendak mengatur kekayaan hutannya dengan mengakui terlebih dahulu ma-syarakat adat yang hidup di atasnya. Hutan negara (di mana nanti negara secara langsung menguasai) dianggap belum ada di Papua sepanjang belum selesainya pemetaan wilayah adat dan pengakuan MHA dan wilayahnya di Papua. Ketentuan soal tata kelola yang sifatnya administratif bisa mengikuti kondisi yang ada bahkan bisa menyerap aturan tata kelola yang ada di nasional, sepanjang itu cocok dengan kondisi Papua. IUPHHK-MHA karenanya bukanlah pro-duk hukum yang ilegal, tidak sah, tidak

mengikat. Sebaliknya, dia merupakan izin yang lahir dari serangkaian peraturan negara yang diakui keabsahannya. Ia sah dan mengikat pihak. Soalnya adalah lokasi di mana IUPHHK-MHA ini berada tidak diperjelas apakah masih hutan negara atau hutan adat. Pemerintah Provinsi Papua dan institusi lain perlu didorong agar mendukung dan melakukan penegasan ini. Dalam dua tahun terakhir, kita bisa melihat maraknya pemetaan wilayah adat, sinkronisasi dengan peta-peta terkait penggunaan lahan yang dimiliki oleh negara, lahir berbagai pengakuan atas hutan adat dan hak komunal, dan pengakuan atas MHA. Ini pelajaran yang bisa diambil oleh Pemerintah Papua.

Sebaliknya, pemerintah nasional Indonesia sebenarnya bisa belajar dari keberadaan IUPHHK-MHA. Setelah ada pengakuan atas hutan hak maka perlu dipikirkan bagaimana tata kelolanya (izin, syarat pemanfaatan, dan lainnya). Sebagian ketentuan dan persyaratannya bisa melihat pada ketentuan yang mengatur soal IUPHHK-MHA di Papua.

Page 29: IUPHHK-MHA dan Masa Depan Pengelolaan Hutan oleh ... fileperusahaan. Tidak ada satupun izin atau ... yang dipaparkan di atas dan ingin mena warkan suatu ruang diskusi untuk mencari

27

G. Rekomendasi

Rekomendasi bagi pemerintah Pusat:1. Penegasan soal harmonisasi per­aturan dalam konteks Otsus Papua. Harmonisasi tidak harus dimaknai me­nyesuaikan aturan yang lahir sesuai dengan konteks lokal dan melindungi hak­hak masyarakat adat Papua dengan aturan nasional. Tetapi harmonisasi yang dimaksud di sini adalah dengan menghargai kekhususan dari Otsus Papua;2. Mengintegrasikan sistem perizinan IUPHHK­MHA dalam mekanisme tata kelola kayu nasional;3. Melakukan pendampingan pada Pemerintah Papua dalam proses peng­akuan MHA dan wilayahnya.

Rekomendasi bagi Pemerintah Provinsi Papua:1. Tetap menjalankan prosedur IUP­HHK­MHA dengan penyempurnaan dalam pengakuan MHA dan wilayah­nya. IUPHHK­MHA yang sudah benar­benar berada di dalam wilayah adat, berada di luar hutan negara dan tidak ada izin lain di atasnya bisa dijalankan operasionalnya sehingga bisa mengu­rangi kekecewaan pemegang IUPHHK­MHA;2. Melakukan pemetaan wilayah adat baik yang berada di dalam kawasan hu tan maupun di luar kawasan hutan serta melakukan pencadangan wilayah adat untuk keperluan IUPHHK­MHA atau pengelolaan hutan oleh masyarakat adat lainnya;3. Melakukan proses pengakuan MHA

dan wilayahnya sesuai ketentuan dalam Otsus;4. Mengintegrasikan wilayah adat di dalam kawasan hutan ke dalam peta kehutanan nasional, mendaftarkan hak komunal atau hak perorangan atas tanah ke dalam buku tanah nasional;5. Dalam masa transisi sebelum ada ­nya penegasan atas wilayah hu ­tan adat, dapat memberikan pen­dampingan bagi masyarakat adat da lam mendapatkan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu; 6. Melakukan pendampingan ke­pa da masyarakat adat dalam me­ngembangkan perekonomian berbasis lahan yang sesuai dengan kondisi dan kearifan lokal;7. Mempercepat proses transisi pem­berlakuan Undang­Undang Nomor 23 Tahun 2014 jo. Undang­Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah yang menghilangkan urusan kehutanan di kabupaten.

Page 30: IUPHHK-MHA dan Masa Depan Pengelolaan Hutan oleh ... fileperusahaan. Tidak ada satupun izin atau ... yang dipaparkan di atas dan ingin mena warkan suatu ruang diskusi untuk mencari

28

Page 31: IUPHHK-MHA dan Masa Depan Pengelolaan Hutan oleh ... fileperusahaan. Tidak ada satupun izin atau ... yang dipaparkan di atas dan ingin mena warkan suatu ruang diskusi untuk mencari

29

Daftar Pustaka

Buku, Jurnal, Artikel:Mujiyanto, Pietsaw., 2006. Eksploitasi Hutan Papua, dalam Yafet Kambai, Victor

C. Mambor, Kenny Mayabubun (ed), “Perlawanan Kaki Telanjang: 25 Tahun Gerakan Masyarakat Sipil di Papua.” Jayapura: Foker LSM Papua.

Pietsaw., 2006. Sistem KUBE dan CDF di Wilayah Kepala Burung Papua, dalam Yafet Kambai, Victor C. Mambor, Kenny Mayabubun (ed), “Perlawanan Kaki Telanjang: 25 Tahun Gerakan Masyarakat Sipil di Papua.” Jayapura: Foker LSM Papua.

Tokede, M.J., Wiliam, D., Widodo, Gandhi, Y., Imburi, C., Patriahadi, Marwa, J. and Yufuai, M.C., 2005. “Dampak Otonomi Khusus di Sektor Kehutanan Papua: Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat dalam Pengusahaan Hutan di Kabupaten Manokwari.”Bogor: Center for International Forestry Research.

Aisah Putri Budiatri., 2017. Relevansi Papua Road Map dan Tawaran Gagasan untuk Papua. dalam buku Suma Riella Rusdiarti dan Cahyo Pamungkas (ed), “Updating Papua Road Map: Proses Perdamaian, Politik Kaum Muda, dan Diaspora Papua.” Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Peraturan Perundang-UndanganUndang­Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.Undang­Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi

Papua.Undang­Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang­Undangan.Undang­Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang­Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang­Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Menjadi Undang­Undang.

Undang­Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.Undang­Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang­

Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 21 Tahun 2008 tentang

Pengelolaan Kehutanan Berkelanjutan di Provinsi Papua.Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 22 Tahun 2008 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Masyarakat Hukum Adat Papua.

Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 23 Tahun 2008 tentang Hak

Page 32: IUPHHK-MHA dan Masa Depan Pengelolaan Hutan oleh ... fileperusahaan. Tidak ada satupun izin atau ... yang dipaparkan di atas dan ingin mena warkan suatu ruang diskusi untuk mencari

30

Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah.

Peraturan Gubernur Provinsi Papua Nomor 13 Tahun 2010 tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Papua.

Peraturan Gubernur Provinsi Papua Nomor 15 Tahun 2010 tentang Tata Cara Izin Usaha Industri Hasil Hutan Rakyat.

Peraturan Gubernur Provinsi Papua Nomor 16 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemetaan Hutan Masyarakat Hukum Adat.

Putusan Pengadilan:Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU­IX/2011.Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU­X/2012.

Lainnya: Draf Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Norma,

Standar, Prosedur, dan Kriteria Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu­Hutan Alam Pada Kawasan Hutan Produksi di Provinsi Papua, draft versi 27 Juni 2016.

Page 33: IUPHHK-MHA dan Masa Depan Pengelolaan Hutan oleh ... fileperusahaan. Tidak ada satupun izin atau ... yang dipaparkan di atas dan ingin mena warkan suatu ruang diskusi untuk mencari

31

Page 34: IUPHHK-MHA dan Masa Depan Pengelolaan Hutan oleh ... fileperusahaan. Tidak ada satupun izin atau ... yang dipaparkan di atas dan ingin mena warkan suatu ruang diskusi untuk mencari

32