Upload
doantram
View
221
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
64
IV. METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Sungai Puar dan Tilatang Kamang,
Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat. Kabupaten Agam terdiri dari 16
Kecamatan dengan populasi ternak sapi potong 32 017 ekor (Dinas Peternakan
Kabupaten Agam, 2008). Pemilihan lokasi ini berdasarkan pertimbangan karena
Kabupaten ini merupakan salah satu sentra produksi sapi potong di Provinsi
Sumatera Barat, dimana Kecamatan Sungai Puar dan Tilatang Kamang oleh
pemerintah Kabupaten Agam ditetapkan sebagai daerah basis pengembangan
ternak sapi potong.
Kecamatan Tilatang kamang dan Kecamatan Sungai Puar merupakan
Kecamatan dengan populasi ternak sapi jantan terbesar, yaitu masing-
masing 1 331 ekor dan 719 ekor atau 47.9 persen dari total sapi jantan di
Kabupaten Agam. Hal ini mengindikasikan berkembangnya usaha penggemukan
sapi potong di daerah tersebut. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April
sampai Mei 2010.
4.2. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kerat lintang (cross
section). Sumber data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data
primer dikumpulkan dari tiap responden yaitu peternak yang mengusahakan
penggemukan sapi potong, dengan bantuan kuesioner dan pengamatan langsung
di lapangan.
65
Data yang dikumpulkan dari peternak meliputi penggunaan input, harga
input dan output serta karakteristik peternak. Data input meliputi : (1) investasi
usaha yang terdiri dari kandang dan peralatan, (2) jumlah penggunaan dan harga
input, yaitu sapi bakalan (meliputi bobot badan saat dibeli dan bobot akhir saat
penjualan), pakan berupa hijauan dan konsentrat, vaksin, obat-obatan dan vitamin,
tanaga kerja, umur ekonomis kandang dan peralatan, transportasi serta biaya tak
terduga lainnya. Data lainnya sebagai pendukung dalam penelitian ini adalah data
tentang karakteristik peternakan (menyangkut identitas peternak) dan teknis
pemeliharaan (curahan tenaga kerja, umur jual sapi, periode pemeliharaan per
tahun). Data sekunder bersumber dari berbagai instansi terkait seperti Dinas
Peternakan, Badan Pusat Statistik, Ditjen Peternakan, Departemen Perdagangan
dan Perindustrian, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan instansi terkait lainnya.
4.3. Metode Penentuan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah peternak yang mengusahakan
penggemukan sapi potong di Kecamatan Sungai Puar dan Kecamatan Tilatang
Kamang, dimana untuk setiap Kecamatan dipilih dua Nagari dengan populasi sapi
jantan tertinggi yaitu pada Kecamatan Sungai Puar adalah Nagari Batagak dan
Padang Laweh, sementara untuk Kecamatan Tilatang Kamang meliputi Nagari
Gadut dan Koto Tangah. Untuk Kecamatan Sungai Puar, dari populasi total
peternak di Kedua Nagari sebanyak 184 peternak ditetapkan 30 sampel secara
proporsional. Hal yang sama pada Kecamatan Tilatang kamang, ditetapkan 30
sampel dari total 173 peternak di Kedua Nagari, sehingga total sampel adalah 60
peternak yang diambil dengan metode simple random sampling dari data populasi
peternak yang tersedia.
66
Jumlah sampel ditetapkan secara kuota, mengacu pada pengambilan
sampel dengan asumsi populasi menyebar normal, dimana menurut Cooper dan
Emory (1996) untuk ukuran sampel yang cukup besar (n > 30) rata-rata sampel
akan terdistribusi di sekitar rata-rata populasi yang mendekati distribusi normal.
Penetapan peternak yang akan dijadikan sampel dilakukan dengan cara undian
dengan batuan sampling frame yang berisi nama-nama peternak penggemukan
sapi potong yang ada di lokasi yang sudah ditetapkan sebagai lokasi penelitian.
4.4. Metode Analisis Data
Untuk menganalisis variabel-variabel yang mempengaruhi produksi sapi
potong digunakan model fungsi produksi Stochastic Frontier. Sedangkan untuk
menganalisis daya saing digunakan Policy Analysis Matrix (PAM). Hasil analisis
PAM menginformasikan keunggulan kompetitif dan komparatif serta dampak
kebijakan terhadap usaha penggemukan sapi potong.
Dalam penelitian ini, fungsi produksi yang digunakan adalah fungsi
produksi stochastic frontier Cobb-Douglas. Pilihan terhadap bentuk fungsi
produksi ini diambil berdasarkan alasan sebagai berikut : (1) bersifat homogen,
(2) lebih sederhana, (3) jarang menimbulkan masalah, dan (4) mengurangi
terjadinya heteroskedastisitas. Menurut Binici et al. (1996), fungsi produksi
stochastic frontier Cobb-Douglas telah digunakan secara luas dan teruji untuk
mengkaji efisiensi produksi di negara-negara maju dan berkembang. Disamping
itu fungsi stochastic frontier mewakili kombinasi input-output secara teknis
paling efisien dan terdapat dua jenis error term yaitu disamping kesalahan
pengganggu yang terkait dengan faktor-faktor internal (ui) juga memuat kesalahan
pengganggu faktor-faktor eksternal (vi).
67
4.4.1. Analisis Produksi Usaha Ternak Sapi Potong
Dalam fungsi produksi, faktor-faktor yang secara langsung mempengaruhi
jumlah dan kualitas produk yang dihasilkan adalah faktor-faktor produksi yang
digunakan. Dalam usaha penggemukan sapi potong produksi didekati berdasarkan
pertambahan bobot badan sapi, sedangkan faktor-faktor produksi yang diduga
mempengaruhi pertambahan bobot badan sapi adalah jumlah hijauan, konsentrat,
jumlah tenaga kerja, obat-obatan, dummy umur sapi bakalan dan dummy pola
penguasaan ternak. Dengan demikian model persamaan penduga fungsi produksi
frontir dari usaha penggemukan sapi potong dapat ditulis sebagai berikut :
lnY = β0 + β1lnX1 + β2lnX2 + β3lnX3 + β4lnX4 + β5lnX5 + β6lnX6 +
Β7lnX7 + vi – ui
dimana :
Y = pertambahan bobot badan (kg/rata-rata periode pemeliharaan) X1 = jumlah hijauan (kg/ rata-rata periode pemeliharaan) X2 = jumlah konsentrat (kg/rata-rata periode pemeliharaan) X3 = jumlah tenaga kerja (HOK/rata-rata periode pemeliharaan) X4 = pengeluaran obat-obatan (Rp/periode pemeliharaan)
X5 = Dummy umur bakalan (X51 = 1 jika bakalan cukup umur yaitu ≥1 tahun dan X52 = 0 jika bakalan belum cukup umur atau < 1 tahun)
X6 = Dummy pola penguasaan ternak (X61 = 1 jika milik sendiri dan X62 = 0 jika sistem bagi hasil)
β0 = intersep βi = koefisien parameter penduga, dimana i = 1,2,3,......6 vi – ui = error term (ui = efek inefisiensi teknis dalam model dan vi = efek
faktor eksternaal yang tidak dimodelkan) Nilai koefisien yang dipakai β1, β2, β3, β5, β6, β6, > 0 dan β4 < 0. Nilai koefisien
positif berarti dengan meningkatnya penggunaan input diharapkan akan
meningkatkan produksi daging sapi.
68
4.4.2. Analisis Efisiensi Teknis
Analisis efisiensi teknis dapat diukur dengan menggunakan rumus berikut:
TEi = exp (-E[ui|εi]) i = 1,...,N
Dimana TEi adalah efisiensi teknis petani ke-i, exp(-E[ui|εi]) adalah harapan
(mean) dari ui dengan syarat εi, jadi 0 ≤ TEi ≤ 1. Nilai efisiensi teknis tersebut
berhubungan terbalik dengan nilai efek inefisiensi teknis dan hanya digunakan
untuk fungsi yang memiliki jumlah output dan input tertentu (cross section data).
Metode inefisiensi teknis yang digunakan dalam penelitian ini mengacu
kepada efek inefisiensi teknis yang dikembangkan oleh Battese dan Coelli (1995)
dalam Coelli ( 1996). Variabel ui yang digunakan untuk mengukur efek inefisiensi
teknis, diasumsikan bebas dan distribusinya terpotong normal dengan N (µi, σ2).
Untuk menentukan nilai parameter distribusi (µi) efek inefisiensi teknis pada
penelitian ini digunakan rumus sebagai berikut :
µi = δ0 + δ1Z1 + δ2Z2 + δ3Z3 + δ4Z4 + δ5Z5 + wit
dimana :
µi = efek inefisiensi teknis Z1 = umur peternak (tahun) Z2 = pendidikan formal peternak (tahun) Z3 = pengalaman beternak sapi (tahun) Z4 = jumlah ternak sapi yang dipelihara (ekor)
Z5 = Dummy Status Usaha (Z51 = 1, jika usaha Utama dan Z52 = 0, jika usaha sampingan)
Nilai koefisien yang diharapkan : δ1 > 0 dan δ2, δ3, δ4 < 0.
Pengujian hipotesis parameter fungsi produksi frontier dan inefisiensi
teknis menggunakan uji one-sided generalized likelihood ratio (LR-test) dengan
persamaan sebagai berikut :
L (H0) LR = -2 ln = -2 { ln [ L (H0) ] - [ L (H1) ] } L (H1)
69
dimana L(H0) dan L(H1) masing-masing adalah nilai dari fungsi likelihood dari
hipotesis nol dan hipotesis alternatifnya. Jika H0 : γ = δ1 = δ2 =.......... δ4 = 0,
menyatakan bahwa efek inefisiensi teknis tidak ada dalam model fungsi produksi,
maka kriteria uji dalah sebagai berikut :
LR > X2 restriksi (Tabel Kodde dan Palm) maka tolak H0 LR < X2 restriksi (Tabel Kodde dan Palm) maka terima H0 Agar konsisten maka pendugaan parameter fungsi produksi dan
inefficiency frontier dilakukan secara simultan dengan program FRONTIER 4.1
(Coelli, 1996). Pengujian parameter stochastic frontier dan efek inefisiensi teknis
dilakukan dengan dua tahap. Tahap pertama merupakan pendugaan parameter βi
dengan menggunakan metode OLS. Tahap kedua merupakan pendugaan seluruh
parameter β0, βi, varians ui dan vi dengan menggunakan metode Maximum
Likelihood (MLE), pada tingkat kepercayaan α 15 persen. Hasil pengolahan
program FRONTIER 4.1 menurut Aigner et al. (1977), dan Jondrow et al. (1982)
dalam Coelli (1996), akan memberikan nilai perkiraan varians dalam bentuk
parameterisasi sebagai berikut :
σ2 = σ2
v + σ2u
σ2u
γ = σ
2v
Parameter dari varians ini dapat mencari nilai γ, oleh sebab itu 0 ≤ γ ≤ 1. Nilai
parameter γ merupakan kontribusi efisiensi teknis di dalam efek residual total.
70
4.4.3. Analisis Daya Saing
Menurut Pearson et al. (2005) untuk mengetahui sejauh mana keunggulan
kompetitif dan komparatif dilakukan pendekatan terhadap penggunaan
sumberdaya domestik dan input tradable. Metode analisis yang digunakan adalah
Policy Analysis Matrix (PAM). Analisis PAM juga dapat mengukur dampak
intervensi pemerintah pada suatu aktivitas ekonomi (dalam hal ini usaha
penggemukan sapi potong). Tahapan penggunaan metode PAM adalah :
1. Identifikasi input dan output dari usaha penggemukan sapi potong.
2. Menentukan harga bayangan input dan ouput usaha penggemukan sapi potong.
3. Memisahkan unsur biaya ke dalam kelompok tradable dan domestik.
4. Menghitung penerimaan usaha penggemukan sapi potong.
5. Menghitung dan menganalisis berbagai indikator keunggulan komparatif dan
kompetitif pada usaha penggemukan sapi potong.
Tabel 4. Policy Analysis Matrix (PAM)
Biaya Uraian
Penerimaan (revenue) Input
tradable Faktor
domestic Profit
Nilai Finansial (private price)
A B C D = A-B-C
Nilai Ekonomi (social price)
E F G H = E-F-G
Divergensi/dampak kebijakan dan distorsi pasar
I = A – E J = B – F K = C – G L = D-H = I-J-K
Sumber : Monke dan Pearson (1995)
Keterangan : D = private profitability; H = social profitability; I = output transfer; J = input transfer; K = factor transfer; L = net transfer
A. Analisis Keuntungan
1. Private Profitability : D = A – (B + C). Keuntungan privat merupakan
indikator keunggulan kompetitif dari sistem komoditi berdasarkan
teknologi, nilai output, biaya input dan transfer kebijakan yang ada. Apabila
71
D > 0, berarti sistem komoditi itu memperoleh profit di atas normal. Hal ini
memberikan implikasi bahwa komoditi itu mampu melakukan ekspansi,
kecuali apabila sumberdaya terbatas atau adanya alternatif yang lebih
menguntungkan.
2. Social Profitability : H = E – (F + G). Keuntungan sosial merupakan
indikator keunggulan komparatif atau efisiensi dari sistem komoditi pada
kondisi tidak ada divergensi dan penerapan kebijakan yang efisien, apabila
H > 0. Sebaliknya bila H < 0, berarti komoditi itu tidak mampu bersaing
tanpa bantuan atau intervensi dari pemerintah.
B. Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif
1. Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) = G / (E – F). Nilai DRCR
merupakan indikator kemampuan sistem komoditi membiayai faktor
domestik pada harga social. Jika DRCR > 1 maka sistem komoditi tidak
mampu hidup tanpa bantuan atau intervensi pemerintah, sehingga
memboroskan sumberdaya domestik yang langka. Sebaliknya jika DRCR <
1 dan atau lebih kecil lagi, maka sistem komoditi makin efisien dan
memiliki daya saing tinggi (keunggulan komparatif) serta mampu hidup
atau berkembang tanpa bantuan dan intervensi pemerintah disamping
memiliki peluang ekspor yang lebih besar.
2. Private Cost Ratio (PCR) = C / (A – B). Nilai PCR berapa menjelaskan
berapa banyak sistem komoditi dapat menghasilkan untuk membayar faktor
domestik dan tetap dalam kondisi kompetitif. Suatu usahatani atau ternak
komoditi akan lebih kompetitif jika nilai D > 0 atau nilai C (harga privat
faktor domestik) < (A – B). Keuntungan maksimal akan diperoleh dengan
72
cara meminimumkan biaya faktor domestic. Apabila PCR < 1 dan atau
nilainya lebih kecil lagi, maka artinya sistem produksi suatu usahatani atau
ternak mampu membiayai faktor domestiknya pada harga privat dan
kemampuannya semakin meningkat atau memiliki keunggulan kompetitif.
C. Dampak Kebijakan Pemerintah
a. Kebijakan Output
a.1. Output Transfer : OT (I) = A – E. Transfer output merupakan selisih
antara penerimaan yang dihitung atas harga finansial (private) dengan
penerimaan yang dihitung berdasarkan harga bayangan atau sosial.
Nilai OT menunjukkan terdapat kebijakan pemerintah yang dapat
diterapkan pada output sehingga membuat harga output privat dan
sosial berbeda. Jika nilai OT > 0 menunjukkan adanya transfer dari
masyarakat (konsumen) terhadap produsen, demikian juga sebaliknya.
a.2. Nominal Protection Coefficient on Output : NPCO = A / E.
Merupakan rasio penerimaan yang dihitung berdasarkan harga privat
dengan penerimaan yang dihitung berdasarkan harga sosial yang
merupakan indikasi dari transfer output. Kebijakan bersifat protektif
terhadap output jika nilai NPCO > 1 atau dengan kata lain pemerintah
menaikkan harga output di pasar domestik diatas harga efisiensinya
(harga dunia), dan sebaliknya kebijakan bersifat disinsentif jika
NPCO < 1.
b. Kebijakan Input
b.1. Input Transfer : IT (J) = B – F. Transfer input adalah selisih antara
biaya input yang dapat diperdagangkan pada harga privat dengan biaya
73
yang dapat diperdagangkan pada harga sosial. Nilai IT menunjukkan
adanya kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input tradable. Jika
nilai IT > 0 (positif), menunjukkan adanya transfer dari petani produsen
kepada produsen input tradable, demikian juga sebaliknya. Atau
dengan kata lain menunjukkan besarnya transfer (insentif) dari
produsen ke pemerintah melalui penerapan kebijakan tarif impor.
b.2. Nominal Protection Coefficient on Input : NPCI = B / F. Indikator
yang menunjukkan tingkat proteksi pemerintah terhadap harga input
domestik. Kebijakan bersifat protektif terhadap input jika nilai NPCI <
1, berarti ada kebijakan subsidi terhadap input tradable, dimana hal ini
dapat pula menunjukkan adanya hambatan ekspor input, sehingga
proses produksi dilakukan dengan menggunakan input dalam negeri.
Sebaliknya jika NPCI > 1 artinya pemerintah menaikkan harga input
tradable di pasar domestik diatas harga efisiensinya. Hal ini membawa
implikasi sektor yang menggunakan harga input tersebut dirugikan
dengan tingginya harga beli input produksi.
b.3. Factor Transfer : FT (K) = C – G. Transfer faktor merupakan nilai
yang menunjukkan perbedaan harga privat dengan harga sosialnya yang
diterima produsen untuk pembayaran faktor-faktor produksi yang tidak
diperdagangkan. Nilai FT menunjukkan adanya kebijakan pemerintah
terhadap produsen dan konsumen yang berbeda dengan kebijakan input
tradable. Jika nilai FT > 0 (positif), artinya terdapat transfer dari
produsen kepada produsen input non tradable, atau dengan kata lain
terdapat kebijakan pemerintah yang melindungi produsen faktor
74
domestik dengan pemberian subsidi positif, demikian juga sebaliknya,
jika negatif atau FT < 0 maka kebijakan lebih berpihak kepada
produsen atau petani-ternak.
c. Kebijakan Input-Output
c.1. Effective Protection Coefficient : (EPC) = (A - B)/(E - F). Koefisien
proteksi efektif merupakan analisis gabungan antara koefisien proteksi
output nominal dengan koefisien input nominal. Nilai EPC
menggambarkan sejauh mana kebijakan pemerintah bersifat melindungi
atau menghambat produksi domestik dan merupakan tingkat transfer
kebijakan dari pasar output dan input tradable. Apabila EPC > 1, berarti
pemerintah menaikkan harga output dan atau input tradable di atas
harga efisien. Sebaliknya bila EPC < 1 maka kebijakan tidak berjalan
efektif.
c.2. Net Transfer : (L) = D – H. Transfer bersih merupakan selisih antara
keuntungan bersih privat dengan keuntungan bersih sosialnya. Bila nilai
L > 0 menunjukkan adanya tambahan surplus produsen yang
disebabkan penerapan kebijakan pada input dan output. Sebaliknya jika
L < 0 menunjukkan penurunan surplus produsen yang disebabkan oleh
penerapan kebijakan input-output.
c.3. Profitability Coefficient : (PC) = D / H. Koefisien keuntungan adalah
perbandingan antara keuntungan bersih privat dengan keuntungan
bersih sosial dan merupakan indikasi yang menunjukkan dampak
insentif dari semua kebijakan. Apabila PC > 1, berarti secara
keseluruhan kebijakan pemerintah memberikan insentif kepada
75
produsen. Sebaliknya jika PC < 1, maka kebijakan pemerintah membuat
keuntungan menjadi lebih kecil bila dibandingkan dengan tanpa adanya
kebijakan.
c.4. Subsidy Ratio to Producer : (SRP) = L / E. Rasio subsidi untuk
produsen merupakan proporsi dari penerimaan total pada harga sosial
yang diperlukan apabila subsidi digunakan sebagai satu-satunya
kebijakan untuk menggantikan seluruh kebijakan komoditi dan
ekonomi makro. Apabila nilai SRP negatif artinya kebijakan
pemerintah menyebabkan produsen mengeluarkan biaya produksi lebih
besar dari biaya imbangannya (opprtunity cost), dan sebaliknya jika
SRP positif berarti produsen mengeluarkan biaya produksi lebih kecil
dari opportunity cost.
4.4.4. Metode Alokasi Komponen Biaya Domestik dan Asing
Dalam PAM, input yang digunakan dalam proses produksi dapat
dipisahkan menjadi: (a) tradable goods, dan (b) domestic factor (non tradable
goods). Input kategori pertama adalah input yang dapat diperdagangkan di pasar
internasional, sedangkan input kategori kedua adalah input yang tidak dapat
diperdagangkan di pasar internasional. Menurut Kadariah (1978), yang disebut
dengan tradable goods adalah barang yang: (1) sekarang di ekspor atau diimpor,
(2) bersifat pengganti yang erat hubungannya dengan jenis lain yang di ekspor
atau diimpor, (3) komoditas selain diatas dan dilindungi oleh pemerintah, yang
sebenarnya dapat diperdagangkan secara internasional.
Menurut Pearson et al. (1989) ada dua pendekatan yang digunakan untuk
mengalokasikan biaya kedalam komponen domestik dan asing, yaitu pendekatan
76
total dan pendekatan langsung. Pada pendekatan total, setiap biaya dari input
tradable produksi domestik dibagi ke dalam komponen biaya domestik dan asing.
Pertambahan input tradable diasumsikan dipenuhi dari produk domestik.
Pendekatan ini lebih tepat digunakan apabila produsen domestik dilindungi,
sehingga tambahan penawaran input tradable datang dari produsen domestik.
Sedangkan pendekatan langsung mengasumsikan bahwa seluruh biaya input
tradable, baik diimpor maupun produksi domestik, dinilai sebagai komponen
biaya asing. Pendekatan ini dipergunakan apabila tambahan permintaan input
tradable baik barang yang diimpor maupun produksi domestik dapat dipenuhi dari
perdagangan internasional. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini dalam
mengalokasikan biaya komponen asing (tradable) dan domestik (non tradable),
adalah pendekatan total.
4.4.5. Penentuan Harga Bayangan
Dalam penelitian ini untuk setiap input dan output ditetapkan dua tingkat
harga, yaitu harga pasar (harga privat atau harga aktual) dan harga bayangan
(harga sosial atau harga ekonomi). Harga pasar adalah tingkat harga pasar yang
diterima petani dalam penjualan hasil produksinya (hasil panen) atau tingkat harga
yang dibayar dalam pembelian faktor produksi.
Perhitungan harga bayangan menurut Gittinger (1986) dapat dilakukan
dengan mengeluarkan distorsi akibat adanya kebijakan pemerintah seperti subsidi,
pajak, penentuan upah minimum dan lain-lain. Untuk komoditas yang tradable,
harga bayangan input dan output dari usaha ternak sapi dalam kelompok ekspor
didekati dengan harga FOB (Free on Board) yaitu harga barang di pelabuhan
77
ekspor. Sedangkan harga bayangan dalam kelompok yang diimpor didekati
dengan harga CIF (Cost Insurance Freight), yaitu harga barang pelabuhan impor.
1. Harga Bayangan Output
Untuk output yang sedang atau kemungkinan diimpor, harga yang digunakan
adalah CIF (Cost Insurance Freight) ditambah pengeluaran transfer atau biaya
tataniaga lainnya (Simatupang dan Rusastra, 1990). Komoditas daging sapi
merupakan salah satu output yang diimpor.
2. Harga Bayangan Lahan
Menurut Pearson et al. (2005) penentuan harga bayangan lahan dapat
dilakukan melalui cara : (1) Pendapatan bersih usaha ternak atau tanaman
alternatif terbaik yang biasa ditanam pada lahan tersebut, (2) nilai sewa yang
berlaku di daerah setempat, (3) nilai tanah yang hilang karena proyek, dan (4)
tidak dimasukkan dalam perhitungan sehingga keuntungan yang didapat petani
merupakan return to management and land. Dalam penelitian ini harga
bayangan akan ditetapkan sesuai dengan yang diusulkan Gittinger (1986) yaitu
berdasarkan nilai sewa lahan. Hal ini didasari pada pemikiran bahwa
mekanisme pasar lahan di pedesaan berjalan baik.
3. Harga bayangan Tenaga kerja
Pearson et al. (2005) menyatakan bahwa peneliti tidak banyak menemukan
divergensi yang mempengaruhi pasar tenaga kerja di Indonesia. Distorsi tidak
begitu signifikan karena ketentuan upah minimum tidak berlaku di sektor
pertanian. Menurut Gittinger (1986) tenaga kerja di pedesaan umumnya bukan
tenaga ahli dan kenyataan yang ada masih terdapat pengangguran. Dalam
78
penelitian ini pengukuran harga bayangan tenaga kerja mengacu pada
pendekatan produk marginal, dimana sebenarnya produk marginal masih dapat
ditingkatkan. Sehingga tingkat upah bayangan diduga lebih rendah dari upah
aktual. Tingkat upah bayangan adalah upah aktual dikali persentase penduduk
yang bekerja.
4. Harga bayangan Sapi Bakalan
Sumber bibit atau bakalan sapi diperoleh dari hasil persilangan sapi impor dan
lokal. Untuk itu harga bayangan bibit diasumsikan 50 persen terdiri dari
komponen tradable dan 50 persen terdiri dari komponen domestik. Untuk
komponen domestik diasumsikan harga bayangan sama dengan harga pasarnya
(harga di lokasi usaha). Sedangkan untuk komponen tradable yang berasal dari
impor digunakan harga CIF ditambah dengan biaya transportasi dan tataniaga
lainnya.
5. Harga Bayangan Pakan Ternak
Hampir seluruh bahan baku penyusun konsentrat (dedak dan ampas tahu) dan
juga hijauan dapat digolongkan sebagai komponen non tradable, maka harga
bayangannya diasumsikan sama dengan harga pasar, dimana didekati dengan
harga konsentrat (dedak dan ampas tahu) yang berlaku di daerah penelitian.
Untuk harga hijauan didekati dengan harga ditingkat petani yang
menggambarkan harga biaya produksi yang digunakan untuk menghasilkan
hijauan (didekati dengan hasil perkalian antara jumlah tenaga kerja yang
diperlukan untuk menyediakan hijauan dengan harga bayangan tenaga kerja
tiap satuan atau total hijauan). Sedangkan bahan pakan suplemen berupa
79
mineral didekati dengan harga CIF ditambah biaya transportasi sampai di
lokasi penelitian.
6. Harga Bayangan Obat-obatan
Harga bayangan untuk obat-obatan walaupun sudah diproduksi di dalam negeri
namun sebagian bahan bakunya masih diimpor, sehingga harga bayangan
untuk mineral dan obat-obatan berdasarkan harga CIF ditambah dengan biaya
tataniaga lainnya.
7. Harga Bayangan Kandang dan Peralatan
Harga bayangan kandang menurut Pearson et al. (2005) dapat dihitung dengan
menggunakan Capital Cost Recovery Factor (CRCF), yang merupakan cara
penghitungan yang sederhana yang memperhitungkan tingkat bunga modal
(sebagai balas jasa untuk modal atau return to capital) dan biaya penyusutan
investasi (return of capital). Dalam penelitian ini sebagian besar bahan
bangunan kandang dan peralatan merupakan hasil produksi domestik, maka
harga bayangan kandang dan peralatan sama dengan harga privat yang dihitung
berdasarkan nilai penyusutannya.
8. Harga Bayangan Nilai Tukar Rupiah
Harga bayangan nilai tukar uang adalah harga uang domestik dalam kaitannya
dengan mata uang asing yang terjadi pada pasar nilai tukar uang pada kondisi
persaingan sempurna. Salah satu pendekatan untuk menghitung harga
bayangan nilai tukar uang adalah harga bayangan harus berada pada tingkat
keseimbangan nilai tukar uang. Keseimbangan terjadi apabila dalam pasar
uang, semua pembatas dan subsidi terhadap ekspor dan impor dihilangkan.
80
Keseimbangan nilai tukar uang dapat dihitung mengunakan Standard
Conversion Factor (SCF) sebagai faktor koreksi terhadap nilai tukar resmi
yang berlaku. Tsakok (1990) mengemukakan formula sebagai berikut :
OER SCF = SER OER SER = SCF Nilai dari barang dagang pada border price Atau SCF = Nilai dari barang dagang pada harga domestik Xt + Mt
Atau SCF = (Xt – TXt) + (Mt + TMt) dimana : SCF = Standard Conversion Factor ( faktor konversi standar tahun ke-t) SER = Shadow Exchange Rate (nilai tukar bayangan tahun ke-t) OER = Official Exchane Rate (nilai tukar resmi pemerintah) Xt = Nilai Ekspor tahun ke-t (Rp) TXt = Pajak Ekspor tahun ke-t (Rp) Mt = Nilai Impor tahun ke-t (Rp) TMt = Pajak Impor tahun ke-t (Rp)
Berdasarkan uraian diatas, dimana komponen input dalam analisis ini
dipisahkan antara komponen tradable dan komponen non tradable (domestik),
maka secara ringkas harga bayangan dan komponen masing-masing input
ditunjukkan oleh Tabel 5 dan Tabel 6.
81
Tabel 5. Harga Privat dan Sosial Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam
Uraian Harga Privat
Harga Bayangan (Sosial)
1. Output Harga yang berlaku dipasar Harga perbatasan CIF + ongkos angkut dari pelabuhan ke pasar tingkat kecamatan (Pearson et all. 2005)
2. Lahan Sewa lahan (Private Opportunity Cost)
Sama dengan harga privat
3. Tenaga Kerja Tingkat upah yang berlaku di daerah penelitian.
Berdasarkan konsep produk marginal (Gittinger,1986) Mempertimbangkan tingkat pengangguran, sehingga 93% dari upah aktual.
4. Bakalan
Harga yang dibayarkan peternak
50% komponen tradable dan 50% komponen non tradable. (jenis sapi yang dipelihara hasil persilangan sapi asal impor dengan sapi lokal)
5. Pakan • Mineral • Pakan domestik :
- Dedak dan ampas tahu: Harga yang berlaku
- Hijauan : Jam kerja untuk
mencari hijauan dikali tingkat upah
Harga perbatasan CIF + ongkos angkut dari pelabuhan ke pasar tingkat kecamatan Sama dengan harga privat Sama dengan harga privat
6. Obat-obatan Harga yang berlaku + biaya untuk dokter hewan
Harga Perbatasan CIF + ongkos angkut dari pelabuhan ke pasar tingkat kecamatan
7. Biaya Kandang dan Peralatan
Biaya Penyusutan kandang dan peralatan
Sama dengan harga privat
8. Nilai Tukar Nilai tukar yang berlaku pada saat penelitian berlangsung
Keseimbangan nilai tukar uang yang didekati dengan menggunakan Standard Conversion Factor (SCF)
82
Tabel 6. Alokasi Biaya Produksi Berdasarkan Komponen Tradable dan Komponen Biaya Domestik
Jenis Biaya Komponen
Tradable (%) Komponen
Domestik (%) Sapi bakalan 50.00 50.00
Hijauan 0.00 100.00
Dedal 0.00 100.00
Ampas Tahu 0.00 100.00
Mineral 80.00 20.00
Tenaga Kerja 0.00 100.00
Obat-obatan 80.00 20.00
Urea 33.70 64.30
Kandang 0.00 100.00
Peralatan 0.00 100.00
Sewa lahan 0.00 100.00
Transportasi 54.47 45.53
4.5. Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
mengubah besarnya variabel-variabel yang penting, dimana dilakukan masing-
masing ataupun dengan mengkombinasikan beberapa variabel. Berdasarkan
beberapa penelitian terdahulu yang telah diuraikan dalam Bab sebelumnya,
menyatakan bahwa nilai elastisitas jangka pendek maupun jangka panjang
menunjukkan bahwa perubahan produksi daging sapi dalan negeri relatif paling
respon terhadap perubahan harga daging sapi dalam negeri dan harga ternak sapi
(Kariyasa, 2004). Disamping itu hasil lainnya yang menunjukkan bahwa kenaikan
harga input produksi pada usahaternak sapi juga menurunkan produksi (Priyanti,
2007). Kebijakan yang sering dilakukan pemerintah adalah mengintervensi pasar
83
dengan menentukan harga input atau output. Oleh karena itu pada penelitian ini
komponen input (pakan dan pupuk) serta harga output dianggap sangat
berpengaruh terhadap penerimaan dan keuntungan usaha ternak yang dikaitkan
dengan keunggulan kompetitif dan komparatif pada usaha penggemukan sapi
potong.
Analisis sensitivitas bertujuan untuk melihat bagaimana hasil analisis
suatu aktivitas ekonomi jika terjadi perubahan dalam perhitungan biaya dan
manfaat. Dalam analisis sensitivitas usaha penggemukan sapi potong dilakukan
simulasi yang selanjutnya akan dilakukan analisis sensitivitas untuk memperoleh
bentuk kebijakan yang efektif, yaitu :
1. Analisis sensitivitas harga input (pakan) naik 20 persen
2. Analisis sensitivitas harga output turun sebesar 15 persen.
3. Analisis sensitivitas harga pupuk naik 15 persen
4. Analisis sensitivitas gabungan dari butir 1 dan 2 serta 2 dan 3.
Dasar pertimbangan dari analisis kepekaan di atas sebagai berikut :
1. Komponen pakan merupakan porsi terbesar dalam biaya produksi usaha
ternak sapi potong. Dimana 60-70 persen dari biaya yang dikeluarkan adalah
untuk pakan. Disamping itu harga pakan juga berfluktuasi dari waktu ke
waktu. Dari tahun 2002-2008 kenaikan harga bahan baku pakan ternak
bervariasi dengan rata-rata 18.3 persen. Dengan demikian berarti tingkat
perubahan harga pakan mendekati 20 persen. Oleh karena itu perubahan
terhadap harga pakan akan mempengaruhi daya saing usaha ternak sapi
potong.
84
2. Studi terdahulu menunjukkan bahwa perubahan produksi daging sapi dalam
negeri relatif paling respon terhadap perubahan harga daging sapi dalam
negeri dan harga ternak sapi, dan secara teori untuk peternakan rakyat
memang kedua peubah ini yang paling berpengaruh. Dari tahun 1985-2004
rata-rata kenaikan harga daging sapi dalah 14.3 persen atau mendekati 15
persen. Untuk itu sangat menarik untuk mengetahui perubahan daya saing
jika terjadi kenaikan harga daging sapi domestik sebear 15 persen.
3. Harga Eceran Tertinggi (HET) merupakan harga jual pupuk yang ditetapkan
oleh Menteri Pertanian dalam bentuk Peraturan Menteri Pertanian. Harga
HET pupuk urea periode 2005-2009 meningkat sekitar 15 persen
(Departemen Pertanian, 2009).
4.6. Definisi Operasional Variabel
Masing-masing variabel dan pengukurannya perlu dijelaskan agar
diperoleh kesamaan terhadap konsep-konsep dalam penelitian ini :
1. Pertambahan bobot badan sapi (Y) adalah kenaikan bobot badan sapi selama
periode pemeliharaan yang diperoleh dari pengurangan berat badan akhir
pemeliharaan dan berat awal pemeliharaan, yang dalam analisis didekati
dengan pertambahan bobot badan selama 14.3 bulan (rata-rata periode
pemeliharaan) dalam satuan kilogram.
2. Hijauan (X1) merupakan jumlah hijauan yang diberikan selama periode
pemeliharaan dalam satuan kilogram.
3. Konsentrat (X2) adalah jumlah konsentrat yang terdiri dari dedak, kulit ubi,
dan mineral dalam satuan kilogram.
85
4. Tenaga Kerja (X3) adalah banyaknya tenaga kerja yang dicurahkan dalam
proses produksi usaha penggemukan sapi potong selama periode
pemeliharaan yang dihitung dalam Hari Orang Kerja (HOK), dimana satu
HOK adalah 8 jam bekerja sehari. Nilai satu HOK dihitung dengan upah
setara kerja pria.
5. Pengeluaran obat-obatan (X4) adalah jumlah biaya yang dikeluarkan untuk
pembelian obat-obatan berupa vitamin, antibiotik, dan obat cacing selama
periode pemeliharaan dalam Rupiah.
6. Dummy umur bakalan (X5) adalah umur sapi bakalan yang dunakan saat
memulai penggemukan, yaitu : sapi bakalan dikatakan cukup umur jika sapi
bakalan tersebut sudah ganti gigi (umur minimal 1 tahun).
7. Dummy Penguasaan ternak (X6) adalah berkaitan dengan status kepemilikan
ternak, dimana status kepemilikan ternak terdiri dari milik sendiri dan bagi
hasil.
8. Umur peternak (Z1) adalah usia peternak responden yang melakukan usaha
penggemukan sapi potong pada saat penelitian berlangsung dinyatakan dalam
tahun.
9. Pendidikan formal peternak (Z2) adalah jumlah total waktu yang dibutuhkan
peternak untuk menempuh pendidikan formal mulai dari SD hingga
pendidikan terakhirnya, dinyatakan dalam tahun.
10. Pengalaman peternak (Z3) adalah lamanya waktu yang telah dilalui peternak
sejak pertama kali mulai mengusahakan penggemukan sapi potong hingga
saat penelitian dilakukan, dinyatakan dalam tahun.
86
11. Dummy status usaha (Z4) adalah terkait dengan peran usaha tersebut bagi
peternak, yaitu sebagai usaha utama atau usaha sampingan.
12. Periode Pemeliharaan adalah waktu yang dibutuhkan untuk memelihara sapi
potong mulai dari awal pemeliharaan sapi bakalan sampai sapi tersebut dijual.
Dalam analisis produksi, periode pemeliharaan yang digunakan adalah
periode pemeliharaan rata-rata dari peternak responden dalam satuan bulan.
13. Harga bayangan adalah harga input atau output yang dihitung dengan semua
distorsi dikeluarkan, atau dengan asumsi pasar bersaing sempurna.
14. Input tradable adalah input yang dapat diperdagangkan di pasar internasional,
baik yang diekspor maupun diimpor.
15. Input domestik (non tradable) adalah input yang tidak diperdagangkan di
pasar internasional, dimana diproduksi di dalam negeri dan digunakan untuk
kebutuhan dalam negeri pula.
16. Harga Perbatasan (border price) adalah harga input atau output yang berlaku
dipelabuhan, yaitu Cost Insurance Freight (CIF) untuk yang diimpor dan
Free On Board (FOB) untuk yang diekspor, dimana dikonversi kedalam
Rupiah.