3
Jantung Hati Anak laki-laki itu berlari kencang meninggalkan pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara. Udara sangat panas. Angin kencang. Angin berdebu. Keringat kota diperas habis-habisan. Matahari terbahak. Pelabuhan menjerit. Orang-orang pura-pura tak mendengar. Orang-orang tak mau tahu. Orang-orang sibuk dengan tas belanjaannya sendiri-sendiri. Ini Metropolis, Bung! Sejak kapan para sopir angkot itu mendahului para arsitek dengan berteriak, “Ini Metropolis, Bung!” Mengurusi diri-sendiri saja hampir-hampir tak becus, bagaimana mungkin harus menanggulangi kebutuhan orang lain. Kerjakan yang mesti dikerjakan. Tinggalkan yang mesti ditinggalkan. Seperti anak laki-laki 10 tahun yang terus berlari itu. Ia tak mau tahu dengan urusan orang lain. Ia sedang diburu kebutuhannya sendiri. Ia tak mendapatkan bus atau angkot, ia terus berlari. Ia tak peduli. Ia menuju ke arah selatan. Barangkali ke Jakarta Pusat. Alangkah kencang larinya. Apa ia tak punya pusar? Hanya orang-orang yang tak punya pusar  bisa berlari sekencang itu. Tak lelah-lelahnya. Ia menyeberang di antara lalu-lintas yang  padat. Ia berzigzag di antara kendaraan-kendaraan yang menunggu lampu hijau. Ia menerobos di antara bus, angkot, mikrolet, kopaja, yang macet. Orang-orang menengok kepadanya yang cepat menghilang terhalang di antara pintu dan jendela Bianglala. Mereka saling bertanya. Ada apa anak itu berlari terus, seperti ada sesuatu yang ingin ia temui. Atau kabarkan. Sesuatu apa itu. Tapi setiap pertanyaan belum terjawab, selalu muncul pertanyaan  baru. Anak itu agaknya merebut waktu. Merebut tempat. Merebut kesempatan sebelum segalanya terlambat. “Ibu! Ibu!” teriak anak laki-laki itu menyebut ibunya. “Ibu! Ibu! Jangan menari lagi!” ia meminta ibunya untuk tidak menari lagi. O, jadi rupanya ibunya seorang penari. Tapi di mana ibunya? Mengapa ia berteriak-teriak? Apa ibunya mendengar teriakannya? Mengapa ia melarang ibunya menari lagi? Memangnya kenapa kalau ibunya tetap menari? Anak 10 tahun ini boleh jadi anak yang aneh. Beberapa orang yang berpapasan dengannya menanyainya kenapa ia berlari, barangkali orang-orang itu bisa menolongnya jika ia butuh pertolongan namun anak itu acuh tak acuh dan terus berlari. “Ada apa, Nak? Ada apa, Nak? Ngapain lo lari terus? He, lo, dikejar setan, lo?!” Semrawut kota semakin bising. Suasana mendesing bunyi gasing. Kepala berputar kerna  pusing. Di jalan-jalan Jakarta tak ada tempat untuk kencing. Dihardik satpam jadi emping,  bagai Jacky Chan melenting. Semua pertanyaan lompat bajing, mencari kekal pada dinding. Lonceng kota berdentang dua kali, mengucap salam pada metromini. Lamat-lamat ditelan mall yang bernyanyi. Seolah metropol miliknya sendiri. Hitam kayak pantat kuali. Legam  persis malam mati. Lari! Lari! Tekuk dan telan kota, atau kota ditekuk dan ditelan orang lain. Jangan ketinggalan. Jangan pernah mau mengalah. Jangan pernah kalah. Tempeleng orang lain sebelum ditempeleng orang lain. Jakarta sudah lama bilang ogah. Tidak seramah abah dan babah semasa zaman misai jepaprah. “Ibu jangan menari lagi!” teriaknya sepanjang jalan raya itu. Orang-orang yang berpapasan mendesah. “Ini anak apa maunya?!” Orang-orang melengos. Seperti bandit yang dibiarkan lolos. Matahari membantu tapi butuh ongkos. Ada saja yang kejeblos di pasir boblos. Di sekolah anak tak pernah bolos. Ia ingin lolos dari angka-angka tidak polos. Seluruh hamba wet, seluruh penghuni hotel prodeo adu jotos. Saling gertak narkoba oplos. Anak itu melompat pagar tanaman. Supaya jarak lari menjadi aman. Cepat ketemu ibu dirundung sawan. Jangan-jangan sedang menari bersama awan. Anak ini cerdik bagai jengkerik. Mau dicaplok katak, ia mendelik. Sotangnya tajam bagai taring kirik. Tak peduli pada aspal jalan yang panas, telapak kaki tanpa alas. Tak kenal batas. Aduh, anak itu tahan menceker. Kemana sandal jepitnya tadi di emper. Berlari chitah

Jantung Hati

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Jantung Hati

8/14/2019 Jantung Hati

http://slidepdf.com/reader/full/jantung-hati 1/3

Jantung HatiAnak laki-laki itu berlari kencang meninggalkan pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara.Udara sangat panas. Angin kencang. Angin berdebu. Keringat kota diperas habis-habisan.Matahari terbahak. Pelabuhan menjerit. Orang-orang pura-pura tak mendengar. Orang-orang

tak mau tahu. Orang-orang sibuk dengan tas belanjaannya sendiri-sendiri. Ini Metropolis,Bung! Sejak kapan para sopir angkot itu mendahului para arsitek dengan berteriak, “IniMetropolis, Bung!” Mengurusi diri-sendiri saja hampir-hampir tak becus, bagaimanamungkin harus menanggulangi kebutuhan orang lain. Kerjakan yang mesti dikerjakan.Tinggalkan yang mesti ditinggalkan. Seperti anak laki-laki 10 tahun yang terus berlari itu. Iatak mau tahu dengan urusan orang lain. Ia sedang diburu kebutuhannya sendiri. Ia tak mendapatkan bus atau angkot, ia terus berlari. Ia tak peduli. Ia menuju ke arah selatan.Barangkali ke Jakarta Pusat.

Alangkah kencang larinya. Apa ia tak punya pusar? Hanya orang-orang yang tak punya pusar  bisa berlari sekencang itu. Tak lelah-lelahnya. Ia menyeberang di antara lalu-lintas yang padat. Ia berzigzag di antara kendaraan-kendaraan yang menunggu lampu hijau. Ia

menerobos di antara bus, angkot, mikrolet, kopaja, yang macet. Orang-orang menengok kepadanya yang cepat menghilang terhalang di antara pintu dan jendela Bianglala. Merekasaling bertanya. Ada apa anak itu berlari terus, seperti ada sesuatu yang ingin ia temui. Ataukabarkan. Sesuatu apa itu. Tapi setiap pertanyaan belum terjawab, selalu muncul pertanyaan

 baru. Anak itu agaknya merebut waktu. Merebut tempat. Merebut kesempatan sebelumsegalanya terlambat.

“Ibu! Ibu!” teriak anak laki-laki itu menyebut ibunya. “Ibu! Ibu! Jangan menari lagi!” iameminta ibunya untuk tidak menari lagi. O, jadi rupanya ibunya seorang penari. Tapi di manaibunya? Mengapa ia berteriak-teriak? Apa ibunya mendengar teriakannya? Mengapa iamelarang ibunya menari lagi? Memangnya kenapa kalau ibunya tetap menari? Anak 10 tahunini boleh jadi anak yang aneh. Beberapa orang yang berpapasan dengannya menanyainyakenapa ia berlari, barangkali orang-orang itu bisa menolongnya jika ia butuh pertolongannamun anak itu acuh tak acuh dan terus berlari. “Ada apa, Nak? Ada apa, Nak? Ngapain lolari terus? He, lo, dikejar setan, lo?!”

Semrawut kota semakin bising. Suasana mendesing bunyi gasing. Kepala berputar kerna pusing. Di jalan-jalan Jakarta tak ada tempat untuk kencing. Dihardik satpam jadi emping, bagai Jacky Chan melenting. Semua pertanyaan lompat bajing, mencari kekal pada dinding.Lonceng kota berdentang dua kali, mengucap salam pada metromini. Lamat-lamat ditelanmall yang bernyanyi. Seolah metropol miliknya sendiri. Hitam kayak pantat kuali. Legam

 persis malam mati. Lari! Lari! Tekuk dan telan kota, atau kota ditekuk dan ditelan orang lain.Jangan ketinggalan. Jangan pernah mau mengalah. Jangan pernah kalah. Tempeleng orang

lain sebelum ditempeleng orang lain. Jakarta sudah lama bilang ogah. Tidak seramah abahdan babah semasa zaman misai jepaprah.

“Ibu jangan menari lagi!” teriaknya sepanjang jalan raya itu.

Orang-orang yang berpapasan mendesah. “Ini anak apa maunya?!” Orang-orang melengos.Seperti bandit yang dibiarkan lolos. Matahari membantu tapi butuh ongkos. Ada saja yangkejeblos di pasir boblos. Di sekolah anak tak pernah bolos. Ia ingin lolos dari angka-angkatidak polos. Seluruh hamba wet, seluruh penghuni hotel prodeo adu jotos. Saling gertak narkoba oplos. Anak itu melompat pagar tanaman. Supaya jarak lari menjadi aman. Cepatketemu ibu dirundung sawan. Jangan-jangan sedang menari bersama awan.

Anak ini cerdik bagai jengkerik. Mau dicaplok katak, ia mendelik. Sotangnya tajam bagai

taring kirik. Tak peduli pada aspal jalan yang panas, telapak kaki tanpa alas. Tak kenal batas.Aduh, anak itu tahan menceker. Kemana sandal jepitnya tadi di emper. Berlari chitah

Page 2: Jantung Hati

8/14/2019 Jantung Hati

http://slidepdf.com/reader/full/jantung-hati 2/3

Page 3: Jantung Hati

8/14/2019 Jantung Hati

http://slidepdf.com/reader/full/jantung-hati 3/3