Jbptitbpp Gdl Erminamira 31285 1 Tekstil

Embed Size (px)

DESCRIPTION

tekstil

Citation preview

  • Economic Review No. 209 September 2007

    1

    MENCERMATI KINERJA TEKSTIL INDONESIA :

    ANTARA POTENSI DAN PELUANG

    Oleh : Ermina Miranti 1

    Meskipun tak putus didera masalah, hingga saat ini Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia masih memainkan peran yang cukup besar terhadap

    perekonomian nasional. Pada 2006, industri ini memberikan kontribusi sebesar 11,7

    persen terhadap total ekspor nasional, 20,2 persen terhadap surplus perdagangan

    nasional, dan 3,8 persen terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.

    Sementara daya serap industri ini terhadap tenaga kerja juga cukup besar, mencapai

    1,84 juta tenaga kerja.

    Hingga saat ini, industri TPT Indonesia menghadapi berbagai masalah. Masalah-

    masalah tersebut diantaranya adalah biaya energi yang mahal, infrastruktur pelabuhan

    yang belum kondusif, mesin-mesin pertekstilan yang sebagian besar sudah sangat tua,

    dan maraknya produk impor ilegal terutama dari China. Berbagai permasalahan tersebut

    menyebabkan Industri TPT Indonesia berjalan dengan kondisi yang kurang sehat. Biaya

    operasional menjadi relatif mahal, namun dengan produktivitas yang relatif rendah.

    Dengan kondisi yang cukup berat tersebut, produk TPT Indonesia masih berhasil

    mendapat tempat yang cukup baik di pasar luar negeri, bahkan memiliki daya saing yang

    cukup tinggi di pasar internasional. Ini terbukti dari cukup besarnya kontribusi devisa

    yang dihasilkan dari sektor ini dari tahun ke tahun maupun kontribusi Indonesia terhadap

    perdagangan TPT internasional dibanding negara-negara eksportir lainnya. Pada 2006

    misalnya, devisa yang dihasilkan dari sub sektor TPT mencapai US$ 9,5 miliar.

    Profil Industri

    Hingga 2006, jumlah industri tekstil Indonesia mencapai 2.699 perusahaan,

    dengan total investasi Rp 135,7 triliun. Jumlah ini hanya mengalami sedikit kenaikan

    dibanding tahun sebelumnya yang berjumlah 2,656 perusahaan. Lokasi industri TPT

    terkonsentrasi di Jawa Barat (57 persen), Jawa Tengah (14 persen), dan Jakarta (17

    persen). Sisanya tersebar di Jawa Timur, Bali, Sumatera dan Yogyakarta. Pada 2006,

    total kapasitas produksi mencapai 6,1 juta ton dengan utilitas 69,8 persen. Kapasitas

    produksi tersebut terdiri dari industri pemintalan 2,4 juta ton, industri pertenunan,

    1 Analis Ekonomi dan Bisnis pada bank BUMN di Jakarta

  • Economic Review No. 209 September 2007

    2

    perajutan, pencelupan dan finishing 1,8 juta ton, industri garmen 754 ribu ton dan tekstil

    lainnya 101 ribu ton. Kapasitas produksi ini mengalami kenaikan sebesar 1,7 juta ton

    dibanding tahun sebelumnya yang hanya sebesar 5,86 juta ton.

    Industri tekstil memiliki struktur industri yang terintegrasi dari hulu hingga ke

    hilir (up stream, mid stream, dan down stream) dan memiliki keterkaitan yang sangat

    erat antara satu industri dengan industri lainnya. Karena itu, analisis mengenai industri

    ini akan menyentuh berbagai segmen industri baik langsung maupun tidak langsung

    Di tingkat hulu Indonesia memiliki industri serat yang terdiri dari industri serat

    alam, serat buatan dan benang filamen; dan industri pemintalan serta pencelupan

    (spinning). Hingga 2006, Indonesia telah memiliki 26 perusahaan industri serat dengan

    total kapasitas terpasang 1,077 ribu ton. Sekitar 70% dari hasil industri serat ini diserap

    oleh industri pemintalan di dalam negeri. Sedangkan sisanya diekspor ke luar negeri.

    Saat ini Indonesia merupakan produsen serat buatan ketujuh terbesar dunia yang

    memasok 10% kebutuhan serat rayon dunia.

    Sementara itu, jumlah industri pemintalan mencapai 204 perusahaan dengan

    kapasitas terpasang 2,4 juta ton dan jumlah mesin 7.803.241 unit pada 2006. Jumlah

    mesin ini tidak mengalami perkembangan sejak 2003. Dari jumlah mesin tersebut,

    sebanyak 64 persen diantaranya telah berusia diatas 20 tahun. Ini menyebabkan industri

    ini tidak mampu memenuhi permintaan pasar dalam negeri maupun luar negeri secara

    optimal. Sekitar separuh dari produksi industri pemintalan dikonsumsi di dalam negeri,

    dan sisanya di ekspor ke luar negeri.

    Kondisi yang relatif sama juga terlihat pada industri pertenunan, perajutan,

    pencelupan dan finishing. Jumlah perusahaan yang berjumlah 1,044 perusahaan dengan

    total kapasitas produksi 1,78 juta ton pada 2006 nyaris tidak mengalami perkembangan

    sepanjang 5 tahun terakhir. Demikian juga jumlah mesin tidak mengalami penambahan

    sejak 2003. Diantara industri TPT, industri ini kondisinya termasuk yang paling

    memprihatinkan. Dari 248.957 unit mesin tenun yang ada, sekitar 66 persen diantaranya

    telah berusia diatas 20 tahun, dan 26 persen diatas 10 tahun. Kondisi mesin rajut dan

    mesin finishing jauh lebih memprihatinkan. Jumlah mesin rajut yang berusia diatas 20

    tahun mencapai 84 persen dari jumlah mesin 41.312 unit. Sementara pada mesin finishing,

    jumlah mesin yang berusia diatas 20 tahun jumlahnya mencapai 93 persen dari 349 unit

    mesin yang ada. Itulah sebabnya, karena kemampuan mesin finishingnya yang rendah,

    ekspor di sub sektor ini didominasi oleh kain mentah. Pasar utama dari hasil industri

    tenun adalah negara-negara di Eropa dan Timur Tengah.

  • Economic Review No. 209 September 2007

    3

    Di tingkat hilir, terdapat industri garmen yang jumlahnya mencapai 897

    perusahaan pada 2006 dengan total kapasitas terpasang 754 ribu ton. Sekitar 88 persen

    dari hasil industri garmen diekspor ke luar negeri dan 12 persen untuk pasar domestik.

    Beberapa Permasalahan

    Salah satu permasalahan terbesar industri TPT Indonesia saat ini adalah usia

    mesin-mesin yang sudah sangat tua. Ini memang permasalahan klasik, namun belum

    terselesaikan hingga saat ini. Menurut catatan Departemen Perindustrian, dari seluruh

    mesin TPT yang ada (8,38 juta unit mesin pada 2006), sekitar 80 persen diantaranya

    telah berusia diatas 20 tahun. Ini menyebabkan produktivitas menurun hingga 50

    persen. Di Industri pemintalan jumlah mesin yang berusia diatas 20 tahun mencapai 64

    persen (5.025.287 mata pintal dari 7.803.241 mata pintal). Di industri pertenunan

    jumlahnya mencapai 82,1 persen (204.393 ribu alat tenun mesin dibanding 248.957 unit),

    perajutan 84%, finishing 93% dan pakaian jadi atau garmen 78%. Dengan kondisi mesin-

    mesin yang sudah sangat tua tersebut, produktivitas industri TPT Indonesia diperkirakan

    menurun hingga 50 persen.

    Untuk merestrukturisasi mesin-mesin yang sudah tua tersebut diperkirakan

    dibutuhkan biaya sekitar Rp 44,07 triliun. Jumlah yang cukup besar tersebut terdiri dari

    restrukturisasi mesin di industri pemintalan sebesar Rp 13,26 triliun, industri serat Rp

    8,07 triliun, industri tenun, rajut dan finishing Rp 20,9 triliun, dan industri garmen Rp

    1,84 triliun.

    Tabel 1. Perkiraan Kebutuhan Investasi untuk Restrukturisasi Mesin-Mesin TPT

    Kebutuhan Investasi*) SUB SEKTOR Target Nilai Ekspor (US$ miliar) Penambahan Kapasitas

    Produksi US$ Rupiah

    Serat 711.000 ton 0.95 miliar 8.07 triliun

    Pemintalan 3 miliar 864.682 ton 1.56 miliar 13.26 triliun

    Tenun, Rajut (grey) 775.505 ton

    & Finishing 3 miliar (finish) 971.380 ton 2.46 miliar 20.90 triliun

    Garment 8 miliar 359.678 ton 0.22 miliar 1.84 triliun

    Total 14 miliar 5.19 miliar 44.07 triliun

    Sumber: Asosiasi Pertekstilan Indonesia

  • Economic Review No. 209 September 2007

    4

    Dengan kondisi tersebut wajar apabila kemudian pemerintah berupaya

    membantu industri TPT untuk merestrukturisasi mesin-mesinnya. Selama 2007,

    pemerintah telah menyalurkan dana sebesar Rp 255 miliar untuk membantu peningkatan

    teknologi atau restrukturisasi mesin industri TPT. Kucuran dana tersebut rencananya

    akan dilakukan lagi pada 2008 sebesar Rp 400 miliar. Dibanding kebutuhan dana

    restrukturisasi yang sebesar Rp 44 triliun lebih, dana sebesar itu tentu saja masih jauh

    dari cukup. Karena itu, keterlibatan lembaga pembiayaan khususnya perbankan sangat

    diperlukan.

    Permasalahan lain yang cukup serius adalah maraknya tekstil impor ilegal yang

    masuk ke pasar domestik terutama dari China. Jumlah tekstil ilegal ini ditengarai

    menguasai hingga 50 persen pasar tekstil domestik yang mencapai 1.013 ribu ton pada

    2006. Diperkirakan produk TPT Ilegal yang masuk melalui pelabuhan mencapai 74

    persen dan melalui bandara 25 persen. Di bandara Soekarno Hatta Cengkareng, produk

    TPT ilegal masuk dalam bentuk pakaian jadi.

    Biaya energi yang mahal merupakan permasalahan lain yang cukup mengganggu

    daya saing produk tekstil Indonesia. Pada 2005 misalnya, biaya listrik yang dikeluarkan

    industri TPT Indonesia mencapai US$ 0.08 (8 cent/kwh, tertinggi dibanding negara lain

    yang hanya sebesar 7,6 cent/kwh di China, 7 cent/kwh di Vietnam, 6,6 cent/kwh di

    Pakistan, dan 3 cent/kwh di Bangladesh dan Mesir. Disamping mahal, kebutuhan listrik

    juga belum mampu dipenuhi secara optimal oleh PLN. Untuk biaya tenaga kerja,

    Indonesia juga merupakan yang tertinggi diantara negara produsen lainnya. Bila negara

    Bangladesh dan Vietnam hanya membayar upah buruh sebesar US$ 0,35/ jam, Pakistan

    US$ 0,40/jam, India US$ 0,6/jam, Indonesia membayar lebih mahal yakni lebih dua

    kalinya Bangladesh dan Vietnam, yakni sebesar US$ 0,76/jam. Diluar itu, Indonesia masih

    dihadapi biaya pelabuhan yang cukup mahal, termahal kedua diantara negara-negara

    ASEAN setelah Singapura.

    Kinerja Industri

    Kinerja ekspor industri TPT Indonesia sempat mengalami penurunan yang cukup

    signifikan pada 2003. Namun demikian, sejak 2004 kinerjanya terus mengalami kenaikan

    baik dari sisi volume maupun nilai ekspor. Bahkan volume maupun nilai ekspor yang

    dicapai pada 2006 telah melampaui volume dan nilai ekspor pada tahun 2000. Lebih dari

    separuh nilai ekspor dikontribusi oleh industri garmen yang mencapai 55,7 persen (USD

    5,27 juta), diikuti oleh industri pemintalan sebesar 18,9 persen, dan industri pertenunan

  • Economic Review No. 209 September 2007

    5

    15,6 persen. Sebagian besar negara tujuan TPT Indonesia adalah AS, Uni Eropa, dan

    Jepang. Pada 2006, ekspor ke AS mencapai 41,3 persen, Uni Eropa 16,5 persen, dan

    Jepang 3,7 persen. Bila diperhatikan, terlihat bahwa kenaikan ekspor pada 2006 juga

    didorong oleh kenaikan harga rata-rata produk TPT yang cukup signifikan dibanding

    tahun sebelumnya yakni dari USD 4,76/kg pada 2005 menjadi USD 4,99/kg.

    Tabel 2. Perkembangan Ekspor TPT Indonesia

    Tahun Volume (ribu kg) Value (ribu USD) Harga rata-rata (USD/kg)

    2000 1,777,132 8,377,397 4.71 2001 1,721,312 7,678,422 4.46 2002 1,758,675 6,888,559 3.92 2003 1,555,920 7,052,181 4.53 2004 1,626,461 7,647,441 4.70 2005 1,796,800 8,555,000 4.76 2006 1,877,400 9,376,000 4.99

    Sumber : - BPS

    - Asosiasi Pertekstilan Indonesia

    Sementara itu, volume penjualan (konsumsi) dalam negeri juga mengalami kenaikan yang cukup signifikan, yakni dari 836 ribu ton pada 2005 menjadi 1,050 ribu

    ton pada 2006. Namun demikian kenaikan konsumsi yang tinggi ini diperkirakan lebih

    dari separuhnya dipasok dari tekstil impor ilegal. Diperkirakan jumlah tekstil impor

    ilegal di pasar domestik mencapai 58% pada 2005, dan 50% pada 2006, jauh diatas

    pasokan industri TPT domestik yang hanya sebesar 36% pada 2005 dan 45% pada 2006.

    Meningkatnya impor ilegal tersebut disebabkan antara lain harga, disain dan kualitas

    yang sangat bersaing.

    Perkembangan investasi untuk industri TPT cenderung stagnan sepanjang 2001-

    2005. Namun pada 2006 terjadi sedikit kenaikan sebesar Rp 3,34 triliun. Peningkatan

    investasi ini terutama terjadi dalam PMA (Penanaman Modal Asing). Pada 2006, PMA

    mencapai US$ 418 juta atau meningkat 490% dibanding 2005, sedangkan PMDN

    (Penanaman Modal Dalam Negeri) sebesar Rp 80 miliar atau turun 2100% dibanding

    2005. Hingga 2007, penambahan investasi asing masih terus berlangsung. Saat ini ada 4

    negara yang mendominasi industri TPT di Indonesia yakni india (PT Indorama), Jepang

    (PT Summitmas Group), Korea Selatan (Korean Garmen Group), dan Taiwan (Taiwan

    Garmen Group). Selama Januari-April 2006 terdapat 40 perusahaan asal Korea yang

    menanamkan modalnya di sektor TPT dengan nilai investasi US$ 375 juta.

  • Grafik 1

    0

    10,000

    20,000

    30,000

    40,000

    50,000

    60,000

    70,000

    80,000

    90,000

    100,000

    2001 2002 2003 2004 2005 2006129,000

    129,500

    130,000

    130,500

    131,000

    131,500

    132,000

    132,500

    133,000

    133,500

    134,000

    Serat/Fiber Benang/YarnKain/Fabric Pakaian/ClothingProduk lainnya Total

    Investasi Modal (Rp miliar) 2001 2002 2003 2004 2005 2006Serat/Fiber 11,640 11,929 11,929 11,929 11,929 12,306 Benang/Yarn 24,777 25,040 25,040 25,040 25,040 25,558 Kain/Fabric 30,811 31,428 31,636 31,705 31,567 32,330 Pakaian/Clothing 2,808 2,913 2,958 2,978 2,975 3,318 Produk lainnya 60,786 60,790 60,790 60,790 60,790 62,135 Total 130,822 132,100 132,353 132,442 132,301 135,647

    PERKEMBANGAN INVESTASI INDUSTRI TPT

    Sumber : - Asosiasi Pertekstilan Indonesia - BPS Daya Saing Indonesia

    Posisi dan daya saing tekstil Indonesia di pasar dunia cukup baik. Pada 2006,

    Indonesia merupakan pemasok keempat terbesar untuk pasar tekstil AS dengan

    kontribusi 4,18% (US$ 3,9 juta). Pemasok terbesar di AS adalah China (US$ 27,067 juta),

    Meksiko (US$ 6,378 juta), dan India (US$ 5,031juta). Posisi perdagangan TPT Indonesia di

    AS setiap tahunnya cenderung membaik. Peluang Indonesia untuk meningkatkan pangsa

    pasarnya di AS makin besar karena volume ekspor Indonesia tumbuh rata-rata 10,67%

    setiap tahunnya, lebih besar dibanding pertumbuhan volume impor AS yang hanya 10%.

    Economic Review No. 209 September 2007

    6

  • Grafik 2.

    Pemasok (15 Besar) TPT di Pasar Amerika Serikat Tahun 2006 (dalam Juta USD)

    27,067

    6,378

    5,031

    3,902

    3,396

    3,250

    2,998

    2,893

    2,587

    2,445

    2,151

    2,124

    2,085

    2,068

    1,703

    0 5,000 10,000 15,000 20,000 25,000 30,000

    Cina

    Mexico

    India

    Indonesia

    Vietnam

    Pakistan

    Bangladesh

    Hongkong

    Canada

    Honduras

    Cambodia

    Thailand

    Philippines

    Italy

    Srilanka Sumber : - Asosiasi Pertekstilan Indonesia

    - Major Shipper, OTEXA

    Sementara di Uni Eropa Indonesia merupakan pemasok TPT kesepuluh terbesar dengan share 1,2% (EURO 1,57 juta) pada 2006. Pesaing utama Indonesia di Uni Eropa

    adalah China yang mendominasi pangsa pasar Eropa, diikuti Turki dan India. Posisi

    Indonesia di Eropa cenderung stagnan. Sebaliknya, posisi negara-negara yang

    berdekatan secara geografis dengan Eropa cenderung menguat. Sementara di pasar

    Jepang Indonesia merupakan pemasok kain & benang ketiga terbesar dengan kontribusi

    6 persen (USD 349 juta). Pesaing utama Indonesia di Pasar Jepang adalah China yang

    mendominasi pasar (USD 3,037 miliar), diikuti oleh Uni Eropa, Korea, Taiwan dan AS.

    Posisi perdagangan Indonesia di Jepang cenderung stagnan.

    Untuk produk serat, Indonesia merupakan produsen ketujuh terbesar dunia dengan kontribusi 10% terhadap total pasok dunia. Pasar utama Indonesia untuk benang

    pintal adalah Jepang, Brazil, Korea dan Turki. Untuk benang filament pasar utama

    Indonesia adalah India dan Taiwan. Sementara itu, posisi Indonesia di perdagangan kain

    tenun cenderung terus melemah karena ketertinggalan teknologi di sektor pertenunan

    dan kurangnya kemampuan manufacturing di sektor pencelupan dan finishing.

    Economic Review No. 209 September 2007

    7

  • Economic Review No. 209 September 2007

    8

    Untuk pakaian jadi, Indonesia berada di posisi sembilan besar. Posisi Indonesia di

    posisi ini masih cukup kuat terutama karena kemampuannya dalam memenuhi kualifikasi

    produk yang diinginkan buyer luar negeri. Namun kompetisi di segmen ini cukup ketat.

    Pasar utama pakaian jadi adalah Uni Eropa (UE), AS, Jepang dan Hongkong. Sedangkan

    eksportir utama adalah China, UE, Hongkong, Turki, Meksiko, India, AS dan Rumania.

    Prospek Tekstil Dunia dan Peluang Indonesia

    Kedepan, perdagangan TPT dunia diperkirakan akan terus bertumbuh sejalan

    dengan pertumbuhan jumlah penduduk. Tingkat konsumsi tekstil dunia yang pada 2006

    baru mencapai 65,2 kg per kapita, pada 2008 diperkirakan akan mencapai 66,6 kg. Dan

    pada 2010, dengan asumsi jumlah penduduk dunia mencapai 6,8 miliar jiwa, tingkat

    konsumsi tekstil diperkirakan akan bertumbuh menjadi 68 kg per kapita. Pertumbuhan

    tersebut terutama didorong oleh peningkatan permintaan TPT dari AS, Uni Eropa dan

    Jepang. Pada saat tersebut perdagangan TPT dunia akan mencapai US$ 649 miliar.

    Impor TPT AS, selain paling besar juga mengalami kenaikan paling pesat diantara

    negara-negara importir yakni dari 55,8 miliar SME pada 2006 menjadi 81,7 miliar pada

    2010. Sementara impor TPT dari Uni Eropa diperkirakan meningkat dari 19,6 juta ton

    pada 2006 menjadi 20,8 juta ton pada 2010. Sedangkan impor Jepang pada kurun waktu

    yang sama meningkat dari 2,6 juta ton menjadi 2,92 juta ton.

    Di dalam negeri permintaan domestik akan TPT diperkirakan juga akan

    meningkat dari 3,8 kg per kapita menjadi 4,5 kg per kapita sehingga merupakan peluang

    pula bagi Indonesia untuk meningkatkan pangsa pasarnya di dalam negeri.

    Bagaimanakah peluang Indonesia meningkatkan pangsa pasar? Dengan posisi

    yang cukup kuat saat ini sebagai pemain 10 besar dunia, Indonesia berpeluang cukup

    besar untuk meningkatkan penetrasi pasarnya di pasar luar negeri terutama pasar AS,

    Uni Eropa dan Jepang. Pada 2006, Indonesia merupakan pemasok keempat terbesar di

    pasar tekstil AS dengan nilai pasok US$ 3,9 juta, pemasok TPT kesepuluh terbesar di

    pasar Uni Eropa dengan nilai EUR 1,57 juta, dan pemasok kain dan benang ketiga

    terbesar di Jepang dengan nilai pasok USD 349 juta. Peluang Indonesia untuk

    meningkatkan pangsa pasarnya menjadi semakin besar dengan adanya aksi safeguard

    oleh AS terhadap produk TPT China yang meliputi 22 kategori dan oleh Uni Eropa yang

    meliputi 10 kategori produk TPT. Aksi ini akan diikuti juga oleh negara-negara lain

    seperti Turki dan Brazil sehingga akan memperbesar peluang bagi eksportir non China

    termasuk Indonesia.

  • Economic Review No. 209 September 2007

    9

    Permasalahannya kemudian adalah seberapa besar kemampuan Indonesia

    menangkap peluang tersebut. Karena, meskipun peluang cukup terbuka lebar, Indonesia

    hingga kini masih memiliki sejumlah hambatan yang cukup serius untuk meningkatkan

    kapasitas produksi sekaligus produktivitas, serta daya saing di pasar global. Dari sisi

    kualitas dan jumlah mesin misalnya. Dari sekitar 8 juta lebih unit mesin TPT yang ada,

    sekitar 80 persen diantaranya merupakan mesin-mesin tua yang berusia diatas 20 tahun.

    Itu sebabnya meskipun jumlah mesin yang tercatat cukup banyak, mesin yang benar-

    benar beroperasi hanya sebagian kecil diantaranya. Yang terjadi di Majalaya Jawa Barat

    adalah contoh yang menarik untuk menggambarkan situasi ini. Dari 15.000 unit mesin

    tekstil yang ada di daerah ini hanya sekitar 5.000 unit yang masih beroperasi.

    Asosiasi Pertekstilan Indonesia menargetkan nilai ekspor TPT sebesar USD 14

    miliar pada 2010, Itu berarti meningkat sebesar 48 persen dibanding 2006. Secara rata-

    rata berarti terjadi kenaikan nilai ekspor sebesar USD 1,14 miliar per tahun. Nilai ekspor

    tersebut berasal dari industri pemintalan USD 3 miliar, finishing USD 3 miliar, dan

    garmen USD 8 miliar. Untuk itu dilakukan peningkatan kapasitas produksi di semua jenis

    industri TPT sehingga total kapasitas produksi mencapai 10,91 juta ton pada 2010.

    Tabel 3. Proyeksi Kapasitas Produksi dan Nilai Ekspor Industri TPT Indonesia 2010

    Kapasitas Produksi (juta ton) Nilai Ekspor (USD miliar) Jenis Industri

    2003 2010 2003 2010 Serat/Fiber 1.04 1.76 Pemintalan 2.3 3.2 1.5 3 Tenun & Rajut 1.72 2.5 Finishing 1.52 2.5 1.52 3 Garment 0.59 0.95 3.93 8 Total 7.17 10.91 6.95 14

    Sumber : Asosiasi Pertekstilan Indonesia, diolah.

    Upaya untuk meningkatkan kapasitas produksi ini (melalui restrukturisasi mesin) mulai gencar dilakukan dalam setahun terakhir. Pemerintah telah menganggarkan Rp 255

    miliar dalam APBN 2007 dan Rp 400 miliar dalam APBN 2008 untuk program percepatan

    peremajaan mesin. Jumlah ini tentu saja masih jauh dari yang diharapkan. Karena itu,

    keterlibatan perbankan dalam upaya peremajaan mesin-mesin TPT ini sangat diperlukan.

    Permasalahannya adalah, track record kredit industri TPT kurang begitu baik di kalangan

    perbankan, yang menimbulkan persepsi sebagai industri berisiko tinggi. Karena itu pula

    perlu dicarikan jalan keluar yang sifatnya win-win solution. Perbankan dapat

    bekerjasama dengan API dalam mengidentifikasi calon-calon debitur kredit tekstil yang

    potensial untuk dibiayai merestrukturisasi mesin-mesinnya yang tentu saja bankable

  • Economic Review No. 209 September 2007

    10

    (layak secara perbankan). Informasi yang akurat dan transparan dari Asosiasi mengenai

    calon debitur akan sangat membantu perbankan untuk meningkatkan keamanan kredit

    dan meminimalisir risiko kemacetan kredit.

    Faktor lain yang akan menjadi ganjalan upaya peningkatan pangsa pasar industri tekstil Indonesia adalah biaya energi dan biaya buruh yang mahal. Disamping mahal,

    suplai energi dari PLN belum mampu memenuhi kebutuhan industri TPT secara maksimal.

    Saat ini PLN masih berupaya meningkatkan kapasitas energinya dari baru bara dan gas.

    Demikian juga dengan kebijakan sistem perburuhan yang hingga saat ini dirasakan masih

    kurang berpihak kepada dunia usaha.

    Terakhir adalah illegal textile import. Aksi yang sangat menganggu ini sudah

    sedemikian rupa sehingga telah menyedot pangsa pasar tekstil domestik hingga 50

    persen. Dengan biaya produksi yang jauh lebih murah ditambah biaya operasional yang

    rendah pula adalah sulit bagi industri tekstil nasional bersaing dengan produk China.

    Karena itu, diperlukan langkah-langkah yang serius dari pemerintah untuk mencegah dan

    meminimalisir masuknya tekstil impor legal ke Indonesia.

    Dengan restrukturisasi mesin-mesin dan iklim dunia usaha yang lebih kondusif

    (sistem perburuhan, biaya energi yang murah dan cukup tersedia) peningkatan pangsa

    pasar TPT Indonesia di dalam maupun luar negeri bukan lagi suatu yang mustahil untuk

    dicapai.