Upload
arkawira-nul-salam
View
79
Download
15
Embed Size (px)
DESCRIPTION
jominy test laporan
Citation preview
BAB IV
UJI JOMINY (JOMINY TEST)
4.1 PENDAHULUAN
4.1.1 Latar Belakang
Baja karbon mempunyai nilai kekerasan yang berbeda bergantung pada kadar
karbon pada suatu baja. Namun, pada kadar karbon yang sama juga bisa mempunyai
nilai kekerasan yang berbeda. Hal tersebut dapat terjadi akibat proses manufacturing
yang berbeda-beda pada baja kadar karbon sama. Sehingga, kita perlu mempelajari
fenomena-fenomena pengerasan baja karbon agar kita bisa mendapatkan baja karbon
sesuai dengan spesifikasi yang kita inginkan.
Pada logam lain juga dapat mengeras jika diberi suatu perlakuan tertentu. Suatu
logam dapat berubah kekerasannya akibat dari faktor-faktor penentu kekerasan logam
itu juga sehingga kita perlu memahami faktor penetu kekerasan logam tersebut. [ ]
4.1.2 Tujuan Praktikum
1. Melakukan percobaan Jominy.
2. Menentukan kemampukerasan material baja ST 40 dan ST 60.
3. Membuat dan mengetahui kurva kemampukerasan material tersebut.
4. Untuk mengetahui pengaruh laju pendinginan terhadap nilai kekerasan
5. Memahami dan mempelajari fungsi diagram TTT dan diagram CCT.
6. Membandingkan kekerasan baja ST 40 dan ST 60 sebelum dan sesudah
pengujian jominy. [ ]
4.2 DASAR TEORI
Kemampukerasan dapat diperoleh dari diagram temperatur transformasi dan
waktu (TTT) dan diagram transformasi pendinginan kontinu (CCT), atau dengan
pengujian jominy.
Pada baja tertentu terdapat hubungan langsung antara kekerasan dan laju
pendinginan. Pada pengujian ini, suatu batang bulat dipanaskan hingga terbentuk
austenit dan ujungnya dikuens dengan semburan air. Ujung yang dikuens didinginkan
secara cepat sehingga mencapai kekerasan maksimum untuk kandungan karbon tertentu
dari baja yang sedang diuji. Laju pendinginan pada jarak tertentu dari ujung kuens lebih
lambat dan akibatnya nilai kekerasannya juga lebih rendah. [ ]
4.2.1 Pengertian Kemampukerasan
Kekerasan merupakan ketahanan terhadap deformasi plastis akibat penetrasi.
Kemampukerasan adalah ukuran tentang mudah tidaknya kekerasan maksimum
tercapai. Sebuah baja berubah dengan cepat dari austenit ke ferit memiliki
kemampukerasan yang rendah. Sebaliknya baja yang berubah secara perlahan dari
austenit ke ferit meimliki hardenability lebih besar.
Pada setiap paduan baja yang berbeda terdapat hubungan spesifik antara sifat
mekanik dengan laju pendinginan. Kemampukerasan adalah suatu parameter yang
digunakan untuk mendiskripsikan kemampuan (ability) suatu paduan untuk dikeraskan
dengan adanya struktur martensit sebagai hasil dari perlakuan panas yang diberikan
terhadap paduan itu. Suatu paduan baja yang memilki tingkat kemampukerasan yang
tinggi memiliki struktur martensit tidak hanya pada bagian permukaan saja tapi seluruh
bagian termasuk interior material itu.
Kurva kemampukerasan dilandaskan pada fakta bahwa baja tertentu selalu
membentuk mikrostruktur yang sama ( jadi juga kekerasan yang sama) dengan laju
pendinginan tertentu yang distandarisasikan. [ ]
4.2.2 Mekanisme Transformasi Fasa
A. Diagram Fasa
Diagram fasa adalah diagram yang menampilkan hubungan antara temperatur
dimana terjadi perubahan fasa selama proses pendinginan dan pemanasan yang lambat
dengan kadar karbon. [ ]
Gambar 4.1. Diagram Fasa Iron-Carbon Alloy. [ ]
Diagram fasa Iron-Carbon Alloy (Ferrite). Ferrite (α) merupakan fasa yang
terbentuk pada temperatur sekitar 300-723 derajat celcius. Pada daerah ini, kelarutan
karbon maksimalnya adalah 0,025% pada temperatur 725 derajat celcius, dan turun
drastis menjadi 0% pada 0 derajat celcius. Fasa ini biasa terjadi bersamaan dengan
cementite, membentuk pearlite pada pendinginan lambat. Fasa ini lunak, dan
memberikan kemampuan bentuk pada logam. Struktur fasa ferrite yang berwarna hitam,
dan austenite yang berwarna putih. Hal ini menunjukkan bahwa, selain lunak, ferrite
sendiri cenderung lebih mudah berkarat dibandingkan austenite. [ ]
B. Diagram TTT
Proses perlakuan panas bertujuan untuk memperoleh struktur baja yang
diinginkan agar cocok dengan penggunaan yang direncanakan. Struktur yang diperoleh
merupakan hasil dari proses transformasi dari kondisi awal. Proses transformasi ini
dapat dibaca dengan menggunakan diagram fasa namun untuk kondisi tidak setimbang
diagram fasa tidak dapat digunakan, untuk kondisi seperti ini makadigunakan diagram
TTT.
Gambar 4.2 Diagram TTT [ ]
Keterangan :
1. Garis merah ,Spesimen didinginkan dengan cepat untuk 433 o K dan dibiarkan
selama 20 menit. Tingkat pendinginan terlalu cepat untuk perlit terbentuk pada
temperatur yang lebih tinggi, sehingga baja tetap pada fase austenit sampai suhu
Ms dilewatkan, dimana martensit mulai terbentuk.
2. Garis hijau, Spesimen ini ditahan pada 523o K untuk 100 detik, yang tidak cukup
panjang untuk membentuk bainit. Oleh karena itu, quenching kedua dari 523 o K
ke suhu ruang mengembangkan struktur martensit
3. Garis biru, Sebuah proses isotermal pada 573 o K untuk 500 detik menghasilkan
struktur setengah bainit dan austenit. Pendinginan cepat akan menghasilkan suatu
struktur akhir martensit dan bainit.
4. Garis orange, Austenit mengkonversi sepenuhnya untuk perlit halus setelah
delapan detik pada 873 o K. Fase ini stabil dan tidak akan diubah pada induk
100.000 detik di 873 o K. struktur akhir, ketika didinginkan, adalah perlit halus
a. Diagram TTT untuk Ferritic
Gambar 4.3 Diagram TTT skematis untuk baja Ferritic [ ]
Ferrite adalah salah satu fasa penting di dalam baja yang bersifat lunak dan ulet.
Baja karbon rendah umumnya memiliki kadar karbon di bawah komposisi eutectoid dan
memiliki struktur mikro hampir seluruhnya ferrite. Pada lembaran baja kadar karbon
sangat rendah atau ultra rendah, jumlah atom karbon-nya bahkan masih berada dalam
batas kelarutannya pada larutan padat sehingga struktur mikronya adalah ferrite
seluruhnya
b. Diagram TTT untuk baja karbon eutectoid
Gambar 4.4 Diagram TTT skematis untuk baja eutectoid [ ]
Dekat dengan suhu eutektoid, undercooling menjadi rendah sehingga kekuatan
pendorong transformasi kecil. Namun, karena undercooling meningkat maka
transformasi bergerak sampai tingkat maksimum pada "hidung" kurva. Di bawah suhu
ini kekuatan pendorong bagi transformasi terus meningkat tetapi ada tindakan
terhambat oleh difusi. Inilah sebabnya mengapa kurva TTT mengambil pada bentuk "C"
yang merupakan paling cepat dari semua transformasi pada temperatur menengah.
c. Diagram TTT untuk baja hypoeutectoid
Gambar 4.5 Diagram TTT skematis untuk baja Hypoeutectoid [ ]
Pada diagram ini pembentukan perlit diawali dengan ferit membungkus baja
hypoeutectoid. Dalam baja hypoeutectoid morfologi ferit dapat diamati adalah batas
butir allotriomorph. Batas butir allotriomorphs terbentuk mendekati suhu Ae3 atau
perpanjangan garis cm Ae di undercooling yang rendah. Sebaliknya Widmanstatten
plates membentuk undercooling menjadi lebih tinggi. Ada daerah tumpang tindih
dimana kedua allotriomorphs dan Widmanstatten plates sedang diamati. Bentuk ferit
pada komposisi karbon yang lebih rendah ini kurang dari 0,29% berat C.
d. Diagram TTT untuk hypereutectoid
Gambar 4.6 Diagram TTT skematis untuk Hypereutectoid [ ]
Dalam baja hypereutectoid kedua batas butir allotriomorph dan piring
Widmanstatten teramati. Morfologi besar tidak teramati dalam baja hypereutectoid.
Batas butir allotriomorphs dapat teramati terutama dekat dengan Aecm atau dekat dengan
perpanjangan garis Ae3 tapi piring Widmanstatten dapat teramati pada rentang
temperatur yang lebih luas daripada baja hypoeutectoid. Dalam baja hypereutectoid ada
tumpang tindih daerah batas butir allotriomorph dan Widmanstatten sementit.
C. Diagram CCT
Diagram Continuous Cooling Transformation (CCT) juga dikenal sebagai
diagram pendingin transformasi (CT), diagram CCT mengukur tingkat transformasi
sebagai fungsi waktu untuk suhu (penurunan) terus berubah.
Gambar 4.7 Diagram CCT [ ]
Penjelasan:
1) Peningkatan kandungan karbon menggeser kurva CCT dan TTT ke kanan (ini
sesuai dengan peningkatan kemampukerasan karena meningkatkan kemudahan
membentuk martensit.
2) Peningkatan kandungan karbon dan penurunan suhu mulai martensit. Peningkatan
kandungan Mo menggeser kurva CCT dan TTT ke kanan dan juga memisahkan
wilayah ferit + perlit dari daerah bainit membuat pencapaian struktur.
3) Diagram CCT memberikan prediksi struktur mikro akhir dari baja memperhatikan
sifat kontinyu dari proses pendinginan selama austenit. diagram CCT biasanya
sedikit bergeser ke suhu yang lebih rendah dan waktu lebih lama dibandingkan
dengan diagram TTT. Meskipun CCT diagram sangat membantu, perlu diingat
bahwa ada beberapa keterbatasan ketika mencoba menerapkan diagram untuk
pengerasan induksi.
4) CCT diagram dikembangkan dengan asumsi austenit homogen, yang tidak selalu
terjadi di pengerasan induksi. austenit homogen, antara faktor-faktor lain, yang
berarti ada distribusi nonuniform karbon. Oleh karena itu, pendinginan daerah
karbon tinggi dan rendah konsentrasi austenit homogen akan diwakili oleh kurva
CCT yang berbeda dan memiliki kurva pendinginan kritis yang berbeda
pula.diagram CCT juga menjelaskan pendinginan terus-menerus selama
pendinginan, kurva pendinginan mengasumsikan laju pendinginan konstan.
4.2.3 Faktor Peningkat Kemampukerasan Baja
Kemampukerasan dari sebuah material baja dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yaitu:
A. Komposisi paduan baja
Berdasarkan kandungan karbonnya, baja dapat dikelompokkan menjadi:
a. Baja karbon rendah (low carbon steel) yang mengandung karbon kurang dari 0.3%.
b. Baja karbon sedang (medium carbon steel) yang mengandung karbon 0.3%-0.7%.
c. Baja karbon tinggi (high carbon steel) kandungan karbon sekitar 0.7%-1.3%.
B. Ukuran butir austenit (the austenitic grain size)
Ukuran butir autensit mempengaruhi :
a. Semakin banyak batas butir austenit semakin mudah untuk pearlit untuk terbentuk
dibandingkan martensit
b. Lebih kecil ukuran butir austenit, semakin rendah hardenability bahan
c. Semakin besar ukuran butir austenit, semakin besar hardenability.
C. Laju pendinginan
Suhu yang diberikan pada proses pendinginan berpengaruh terhadap kekerasan
suatu material jika pendinginanya berlangsung cepat maka hasil akhir suatu logam
tersebut akan keras. Sebaliknya jika pendinginannya berjalan lambat maka material
tersebut akan menjadi lebih lunak/ulet.
4.2.4 Aplikasi Jominy Test
Salah satu aplikasi dari uji jominy ini dapat dilihat dari jurnal yang berjudul
Austenite Decomposition of C-Mn Steel Containing Boron by Continuous Cooling oleh
W. Garlipp, N. Cilense, dan S.I. Novaes Gomes pada tahun 2001.
Uji Jominy dengan teknik metalografi ini digunakan untuk menganalisis struktur
mikro dekomposisi austenit baja 10B22. Dekomposisi austenit di baja C-Mn yang
mengandung boron dipelajari dengan pendinginan terus menerus dari 1100 dan 8450 C
menggunakan uji Jominy. Hasilnya menunjukkan bahwa kecepatan pendinginan yang
berbeda dan adanya boron dapat memperbaiki dan mengubah presentase mikrosturuktur
ferit, martensit, fine perlit. Mikrostruktur ini sesuai dengan kecepatan pendinginan yang
berbeda telah diamati dalam diagram TTT dari baja yang sama. Keberadaan martensit
dan [FS (NA)] struktur pada posisi b tidak merekomendasikan penggunaan baja ini
karena kerapuhan nya.
4.3 METODOLOGI PENGUJIAN
4.3.1. Diagram Alir
TIDAK
YA
Gambar 4.8 Diagram Alir Uji Jominy
MULAISIO
Penitikan
Pengukuran temperatur dan waktu pendinginan
Pengujian kekerasan
SELESAIAI
Proses heating spesimen
Pengamplasan
Proses quenching
Analisa data
Pemotongan
Kesimpulan
Keterangan :
1. Proses heat treatment, spesimen dilakukan dalam tungku pemanas hingga suhu
800°C dan ditahan 1 jam.
2. Proses quenching, spesimen diletakkan pada mounting fixture pengujian lalu
semprotkan air hingga spesimen bersuhu kamar.
3. Pengukuran temperatur dan waktu pendinginan, spesimen ditempelkan termokopel
untuk mengukur penurunan suhu dan dihitung waktu laju pendinginan sampai suhu
kamar menggunakan stopwatch.
4. Pemotongan spsesimen menggunakan mesin pemotong logam.
5. Pengamplasan spesimen dengan mesin grinding untuk mendapatkan permukaan yang
rata sebelum diuji kekerasan.
6. Penitikan permukaan yang sudah diamplas diberi titik sebanyak 15 titik dengan jarak
2 mm tiap titik.
7. Pengujian kekerasan dengan alat uji kekerasan Rockwell Hardness Tester HR-150
sebanyak 15 titik.
8. Analisa data, mencatat hasil pengujian dan membuat kurva kemampukerasan yang
membandingkan kekerasan non perlakuan dengan kekerasan setelah uji jominy.
9. Kesimpulan hasil analisa perbandingan kekerasan non perlakuan dengan kekerasan
setelah uji jominy.
4.3.2 Bahan Dan Peralatan Percobaan
4.3.2.1 Bahan Percobaan
Bahan yang digunakan adalah baja ST40 dan baja ST60
Gambar 4.9 Spesimen uji jominy [ ]
4.3.2.2 Peralatan Percobaan
1. Tungku pemanas
Fungsinya sebagai tempat untuk memanaskan specimen.
Gambar 4.10 Tungku pemanas [ ]
2. Bak pengujian
Fungsi bak pengujian untuk tempat menaruh specimen.yang siap untuk
didinginkan.
Gambar 4.11 Bak pengujian. [ ]
3. Precision Hardness Tester Rockwell
Fungsinya sebagai pengukur atau mengukur kekerasan suatu specimen.
Gambar 4.12 Mesin uji kekerasan Rockwell. [ ]
4. Vernier caliper.
Fungsi vernier Calliper untuk mengukur specimen.
Gambar 4.13 vernier calliper. [ ]
5. Mesin Pemotong Logam
Fungsi mesin pemotong logam untuk memotong specimen.
Gambar 4.14 Mesin pemotong logam [ ]
5. Mesin Grinding
Berfungsi sebagai tempat untuk menghaluskan permukaan specimen melalui
media amplas.
Gambar 4.15 Mesin Grinding[ ]
6. Amplas
Fungsi amplas untuk menghaluskan specimen.
Gambar 4.16 Amplas yang digunakan.[ ]
7. Air
Sebagai media pendinginan quenching
Gambar 4.17 Air. [ ]
4.3.3 Langkah Percobaan
1. Masukkan material ke dalam tungku pemanas sampai temperatur 8000 C dan
ditahan selama 1 jam.
Gambar 4.18 Material dipanaskan didalam tungku [ ]
2. Ambil spesimen menggunakan penjepit dan letakkan spesimen pada mounting
fixture bak pengujian
3. Nyalakan pompa penyemprot air, dan tunggu sampai spesimen dingin.
Gambar 4.19 Pendinginan spesimen dengan media air [ ]
4. Bersihkan kerak yang menempel pada permukaan spesimen.
5. Lakukan pengujian kekerasan pada 10 titik dari daerah awal pendinginan dengan
jarak 2 mm dengan metode Rockwell.
Gambar 4.20 Pengujian dengan metode Rockwell [ ]
6. Catat hasil pengujian dan buat kurva kemampukerasannya
4.1 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.4.1 Data Percobaan
A. Nilai Kekeraasan Material Awal
1. Baja ST 40
No Nilai Kekerasan (HRA) Rata-rata
1 51,5
512 51
3 50,5
Tabel 4.1 Nilai Kekerasan Material Awal Baja ST 40
2. Baja ST 60
No Nilai Kekerasan Rata-rata
1 50
49,672 48,5
3 50,5
Tabel 4.2 Nilai Kekerasan Material Awal Baja ST 60
B. Nilai Kekerasan Material Setelah Pengujian Jominy
1. Baja ST 40
No Jarak (mm) Nilai kekerasan (HRA)
1 2 27.5
2 4 34.5
3 6 34
4 8 34.5
5 10 35.5
6 12 34.5
7 14 36
8 16 37.5
9 18 29
10 20 35
11 22 34
12 24 37.5
13 26 36.5
14 28 36.5
15 30 36
Tabel 4.2 Nilai Kekerasan Material Setelah Uji Jominy Baja ST 40
2. Baja ST 60
No Jarak (mm) Nilai kekerasan (HRA)
1 0 46
2 3 49
3 6 51
4 9 53
5 12 53
6 15 53
7 18 52
8 21 52
9 24 52
10 27 51
11 30 52
12 33 53
13 36 53
14 39 43
15 42 43
Tabel 4.3 Nilai Kekerasan Material Setelah Uji Jominy Baja ST 60
4.2. Analisa Data
1. Baja ST 40
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 300
10
20
30
40
50
60
Grafik Kekerasan Baja ST 40
Kekerasan tanpa perlakuan Kekerasan Skala HRA
Jarak (mm)
Keke
rasa
n
Gambar 4.23 Grafik Kekerasan Baja ST 40
Dari data hasil percobaan ST 40 nilai kekerasan maksimum terletak pada titik
pengujian ke 8 dan 12 yaitu pada titik 16 mm dan 24 mm dari ujung batang yang
dicelup air. dengan nilai kekerasan 37,5 HRA. Kurva yang terbentuk dari data-data hasil
percobaan cenderung naik seiring bertambahnya jarak dari ujung celup. Jika
dibandingkan dengan kekerasan baja ST 40 non perlakuan memiliki nilai kekerasan
yang lebih rendah daripada setelah dilakukan pengujian.
2. Baja ST 60
0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 420
10
20
30
40
50
60
Grafik Kekerasan Baja ST 60
Kekerasan tanpa perlakuan Kekerasan Skala HRA
Jarak (mm)
Keke
rasa
n
Gambar 4.24 Grafik Kekerasan Baja ST 60
Dari data hasil percobaan ST 60 nilai kekerasan maksimum hampir merata di tiap
titik dari ujung batang yang dicelup air, dengan nilai kekerasan 53 HRA. Kurva yang
terbentuk dari data-data hasil percobaan cenderung naik seiring bertambahnya jarak dari
ujung celup namun langsung turun drastis pada jarak dua titik terakhir.
Secara keseluruhan kurva kemampukerasan yang terbentuk dari pengujian Baja
ST 60 tidak sesuai dengan bentuk kurva dan terdapat penyimpangan dari tiap titik-titik
pengujian dimana nilai kekerasan cenderung acak di tiap titik pengujiannya.
Pada grafik diatas dimungkinkan ditemukan beberapa data yang sedikit kurang
sesuai dengan teori, yang menyebabkan grafik tidak sesuai dengan grafik teoritis. Hal
ini bisa disebabkan oleh:
(1) Specimen mungkin kurang rata dan halus waktu pengujian
(2) Kerak specimen setelah di quenching belumbersih.
(3) Kadar karbon yang kurang merata pada specimen
(4) Laju penyemprotan yang tidak konstan
(5) Proses quenching yang kurang merata
(6) Waktu pemanasan
4.5 PENUTUP
4.5.1 KESIMPULAN
Setelah melalukan percobaan Jominy ini serta membuat kurva
kemampukerasannya serta menganalisisnya, maka dapat disimpulkan :
1. Kekerasan material baja bergantung pada jumlah komposisi karbon, semakin
besar kadar karbon dalam suatu baja maka semakin keras baja tersebut.
2. Material pada temperatur austenit bila diquench akan menyebabkan struktur
material tersebut akan berubah menjadi martensit.
3. Dari uji jominy yang dilakukan diketahui bahwa baja ST-60 memiliki sifat
kemampukerasan yang lebih tinggi dari baja ST-40.
4.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Smith, Jominy Hardenability Test
[2] William D. Callister, Jr .2007. Fundamentals of Material Science and Engineering 7th edition. New York: John Wiley & Sons, Inc.
[4] Job Sheet Praktikum Struktur dan Sifat Material, 2011
[5] Rochim Suratman. 1994. Panduan Proses Perlakuan Panas
[6] Van Vlack, Lawrence H. 1994. Ilmu dan Teknologi Bahan
[7] Rajan T.V., C.P. Sharma dan Ashok Sharma Heat Treatment Principles And Techniques
[8] Pranowo Sidi, M.Thoriq Wahyudi, Analisis Kekerasan Pada Pipa Yang Dibengkokan Akibat Pemanasan, 2012
[9] Laboratorium Metalurgi Fisik Undip