16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Penyakit Ginjal Kronik (PGK) a. Definisi Penyakit Ginjal Kronik merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, sehingga menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Smeltzer & Bare, 2008). Sedangkan menurut Muttaqin (2011) PGK adalah kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat detruksi struktur ginjal yang progresif dengan manifestasi penumpukan sisa metabolit (toksik uremik) di dalam darah. b. Etiologi Etiologi menurut Muttaqin (2011) begitu banyak kondisi klinis bisa menyebabkan terjadinya gagal ginjal kronis. Akan tetapi, apapun penyebabnya, respon yang terjadi adalah penurunan fungsi ginjal secara progresif. Kondisi klinis tersebut antara lain : 1) Penyakit dari ginjal : a) Penyakit pada glomerulus : glomerulonefritis. b) Infeksi kuman : pyelonefritis, ureteritis. c) Nefrolitiasis. d) Kista di ginjal : polcystis kidney. e) Trauma langsung pada ginjal. f) Keganasan pada ginjal. g) Obstruksi : batu, tumor, penyempitan / striktur. 2) Penyakit di luar ginjal a) Penyakit sistemik : diabetes miletus, hipertensi, kolesterol tinggi. b) Dyslipidemia. c) Infeksi di badan : TBC paru, sipilis, malaria, hepatitis. d) Pre eklamsi. e) Obat-obatan. f) Kehilangan cairan yang mendadak (luka bakar).

Jtptunimus Gdl Atiknursho 7195 3 Babii

Embed Size (px)

DESCRIPTION

ads

Citation preview

Page 1: Jtptunimus Gdl Atiknursho 7195 3 Babii

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Penyakit Ginjal Kronik (PGK)

a. Definisi

Penyakit Ginjal Kronik merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan

irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme

dan keseimbangan cairan dan elektrolit, sehingga menyebabkan uremia (retensi urea

dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Smeltzer & Bare, 2008). Sedangkan menurut

Muttaqin (2011) PGK adalah kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan

metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat detruksi struktur ginjal

yang progresif dengan manifestasi penumpukan sisa metabolit (toksik uremik) di

dalam darah.

b. Etiologi

Etiologi menurut Muttaqin (2011) begitu banyak kondisi klinis bisa menyebabkan

terjadinya gagal ginjal kronis. Akan tetapi, apapun penyebabnya, respon yang terjadi

adalah penurunan fungsi ginjal secara progresif. Kondisi klinis tersebut antara lain :

1) Penyakit dari ginjal :

a) Penyakit pada glomerulus : glomerulonefritis.

b) Infeksi kuman : pyelonefritis, ureteritis.

c) Nefrolitiasis.

d) Kista di ginjal : polcystis kidney.

e) Trauma langsung pada ginjal.

f) Keganasan pada ginjal.

g) Obstruksi : batu, tumor, penyempitan / striktur.

2) Penyakit di luar ginjal

a) Penyakit sistemik : diabetes miletus, hipertensi, kolesterol tinggi.

b) Dyslipidemia.

c) Infeksi di badan : TBC paru, sipilis, malaria, hepatitis.

d) Pre eklamsi.

e) Obat-obatan.

f) Kehilangan cairan yang mendadak (luka bakar).

Page 2: Jtptunimus Gdl Atiknursho 7195 3 Babii

c. Klasifikasi

Klasifikasi stadium pada pasien dengan PGK ditentukan oleh nilai laju filtrasi

glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi

glomerulus yang lebih rendah. Kidney Disease Outcome Quality Initiative (KDOQI)

(2002) mengklasifikasikan PGK dalam 5 (lima) stadium, dijelaskan pada tabel

berikut ini :

Tabel 2.1Klasifikasi penyakit ginjal kronik

Stadium Fungsi ginjalLaju filtrasi glomerulus (LFG)

(ml/menit/1,73m2)

Risiko meningkat Normal > 90 (ada faktor resiko)

Stadium 1 Normal/meningkat >90 (ada kerusakan ginjal,proteinuria)

Stadium 2 Penurunan ringan 60-89

Stadium 3 Penurunan ringan 30-59

Stadium 4 Penurunan berat 15-29

Stadium 5 Gagal ginjal < 15

d. Patofisiologi

Menurut Sudoyo (2009) awal perjalanan penyakit ginjal kronik tergantung pada

penyakit yang mendasarinya, selanjutnya akan terjadi proses pengurangan massa

ginjal mengakibatkan hipertrofi struktur dan fungsi nefron yang masih tersisa sebagai

upaya kompensasi yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan

growth factors, hal ini mengakibatktan terjadinya heperventilasi dan diikuti oleh

peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini

berlangsug singkat, akhirnya timbul proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang

masih tersisa, yang pada akhirnya proses ini diikuti dengan penurunan fungsi nefron

yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi.

Penurunan fungsi nefron menyebabkan protein ikut diekskresikan dalam urin. Produk

akhir metabolisme protein berupa urea yang normalnya diekskresikan ke dalam urin

tertimbun dalam darah, selanjutnya terjadi uremia yang mempengaruhi setiap sistem

tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka gejala akan semakin berat.

Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis (Smeltzer & Bare, 2002).

Page 3: Jtptunimus Gdl Atiknursho 7195 3 Babii

e. Manifestasi Klinis

Stadium paling dini pada PGK terjadi kehilangan daya cadang ginjal, dan LFG masih

normal atau meningkat, mengakibatkan terjadi penurunan fungsi nefron yang

progresif ditandai dengan peningkatan kadar ureum dan kreatinin, manifestasinya

antara lain (Sudoyo, 2009) :

1) Sesuai dengan penyakit yang mendasari : diabetes melitus, infeksi traktus

urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus Eritomatosus

Sistemik (LES), dll.

2) Sindrom uremia : lemah, letargi, anoreksia, mual, muntah, nokturia, kelebihan

volume cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritus, perikarditis, kejang-

kejang, koma.

3) Gejala komplikasi : hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung,

asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium,

khlorida).

f. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan PGK dapat dibagi menjadi 2 tahap, yaitu : tindakan konservatif dan

dialisis atau transplantasi ginjal (Suharyanto, 2006) :

1) Tindakan konservatif

Tujuan pengobatan pada tahap ini adalah untuk meredakan atau memperlambat

gangguan fungsi ginjal progresif (Suharyanto, 2006).

a) Pengaturan diet protein, kalium, natrium dan cairan

1) Pembatasan protein

Pembatasan asupan protein telah terbukti memperlambat terjadinya gagal

ginjal. Apabila pasien mendapatkan terapi dialisis teratur, jumlah

kebutuhan protein biasanya dilonggarkan 60-80 gr/hari (Smeltzer & Bare,

2002).

2) Diet rendah kalium

Hiperkalemia biasanya merupakan masalah pada gagal ginjal lanjut. Diet

yang dianjurkan adalah 40-80 mEq/hari. Penggunaan makanan dan obat-

obatan yang tinggi kadar kaliumnya dapat menyebabkan hiperkalemia

(Black & Hawks, 2005).

Page 4: Jtptunimus Gdl Atiknursho 7195 3 Babii

3) Diet rendah natrium

Diet natrium yang dianjurkan adalah 40-90 mEq/hari (1-2 gr Na). Asupan

natrium yang terlalu banyak dapat mengakibatkan retensi cairan, edema

perifer, edema paru, hipertensi dan gagal jantung kongestif (Lewis, dkk,

2007).

4) Pengaturan cairan

Cairan yang diminum penderita gagal ginjal tahap lanjut harus diawasi

dengan seksama. Parameter yang tepat untuk diikuti selain data asupan

dan pengeluaran cairan yang dicatat dengan tepat adalah pengukuran

Berat Badan harian. Intake cairan yang bebas dapat menyebabkan beban

sirkulasi menjadi berlebihan, dan edema. Sedangkan asupan yang terlalu

rendah mengakibatkan dehidrasi, hipotensi dan gangguan fungsi ginjal

(Hudak & Gallo, 1996).

b) Pencegahan dan pengobatan komplikasi misalnya hipertensi, hiperkalemia,

anemia, asidosis, diet rendah fosfat, pengobatan hiperuresemia.

1) Hipertensi

Manajemen hipertensi pada pasien PGK menurut Suharyanto (2006)

dapat dikontrol dengan pembatasan natrium dan cairan, dapat juga

diberikan obat antihipertensi seperti metildopa (aldomet), propranolol,

klonidin (catapres). Apabila penderita sedang menjalani terapi

hemodialisa, pemberian antihipertensi dihentikan karena dapat

mengakibatkan hipotensi dan syok yang diakibatkan oleh keluarnya

cairan intravaskuler melalui ultrafiltrasi.

2) Hiperkalemia

Hiperkalemia merupakan komplikasi yang paling serius, karena bila K+

serum mencapai sekitar 7 mEq/L dapat mengakibatkan aritmia dan juga

henti jantung. Hiperkalemia dapat diobati dengan pemberian glukosa dan

insulin intravena, yang akan memasukkan K+ ke dalam sel, atau dengan

pemberian Kalsium Glukonat 10% (Sudoyo, 2009).

3) Anemia

Anemia pada PGK diakibatkan penurunan sekresi eritropoeitin oleh

ginjal. Pengobatannya adalah pemberian hormon eritropoeitin, yaitu

Page 5: Jtptunimus Gdl Atiknursho 7195 3 Babii

rekombinan eritropoeitin (r-EPO) selain dengan pemberian vitamin dan

asam folat, besi dan tranfusi darah (Sudoyo, 2009).

4) Asidosis

Asidosis ginjal biasanya tidak diobati kecuali HCO3, plasma turun di

bawah angka 15 mEq/I. Bila asidosis berat akan dikoreksi dengan

pemberian Na HCO3 (Natrium Bikarbonat) parenteral. Koreksi pH darah

yang berlebihan dapat mempercepat timbulnya tetani, maka harus

dimonitor dengan seksama (Sudoyo, 2006).

5) Diet rendah fosfat

Diet rendah fosfat dengan pemberian gel yang dapat mengikat fosfat di

dalam usus. Gel yang dapat mengikat fosfat harus dimakan bersama

dengan makanan (Sudoyo, 2006)

2) Dialisis dan transplantasi

Pengobatan penyakit ginjal kronik stadium akhir adalah dengan dialisis dan

transplantasi ginjal. Dialisis dapat digunakan untuk mempertahankan pasien

dalam keadaan klinis yang optimal sampai tersedia donor ginjal. Dialisis

dilakukan apabila kadar kreatinin serum biasanya diatas 6 ml/100 ml pada laki-

laki, sedangkan pada wanita 4 ml/ 100 ml, dan LFG kurang dari 4 ml/menit

(Black & Hawks, 2005).

2. Hemodialisis

a. Definisi

Dialisis adalah proses yang menggantikan secara fungsional pada gangguan fungsi

ginjal dengan membuang kelebihan cairan dan / atau akumulasi toksin endogen atau

eksogen (Suharyanto, 2006). Menurut Sudoyo (2006), hemodialisa dilakukan dengan

mengalirkan darah dalam suatu tabung ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari dua

komponen yang terpisah. Darah pasien dipompa dan dialirkan ke kompartemen darah

yang dibatasi oleh selaput semipermiabel buatan (artifisial) dengan kompartemen

dialisat.

Membran semipermiabel adalah lembar tipis, berpori-pori terbuat dari selulosa atau

bahan sintetik. Ukuran pori-pori membran memungkinkan difusi zat dengan berat

molekul rendah seperti urea, kreatinin, dan asam urat berdifusi. Molekul air juga

Page 6: Jtptunimus Gdl Atiknursho 7195 3 Babii

sangat kecil bergerak bebas melalui membran, tetapi kebanyakan protein plasma,

bakteri, dan sel-sel darah terlalu besar untuk melewati pori-pori membran (Hudak &

Gallo, 1996).

b. Indikasi Dialisis

Dialisis merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengeluarkan cairan dan

produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu melaksanakan proses

tersebut. Dialisis digunakan untuk mempertahankan kehidupan dan kesejahteraan

sampai fungsi ginjal pasien pulih kembali. Metode terapi mencakup hemodialisa,

hemofiltrasi dan peritonial dialisis. Hemodialisa dapat dilakukan pada saat toksin

atau zat racun harus segera dikeluarkan untuk mencegah kerusakan permanen atau

menyebabkan kematian (Kallenbach, 2005).

Hemodialisa berfungsi untuk mengambil zat-zat nitrogen dan toksin dari dalam darah

dan mengeluarkan air yang berlebihan. Pada hemodialisa, aliran darah yang penuh

dengan toksin dan limbah nitrogen dialirkan dari tubuh pasien ke dialiser tempat

darah tersebut dibersihkan dan kemudian dikembalikan lagi ke tubuh pasien

(Smeltzer & Bare, 2002).

Menurut Sukandar (2006) terapi dialisis ini tidak boleh terlambat untuk mencegah

gejala toksik uremia dan malnutrisi. Tetapi dialisis yang terlalu cepat pada pasien

PGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal. Keputusan untuk inisiasi

terapi dialisis berdasarkan parameter laboratorium bila LFG antara 5-8 ml/menit/1,7

m2.

c. Prinsip Hemodialisis

Ada tiga (3) prinsip yang mendasari kerja hemodialisa, yaitu difusi, osmosis, dan

ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan melalui proses difusi

dengan cara bergerak dari darah yang mempunyai konsentrasi tinggi ke cairan

dialisat dengan konsentrasi rendah. Cairan dialisat tersusun dari semua elektrolit

yang penting dengan konsentrasi ekstrasel yang ideal. Kadar elektrolit darah

dikendalikan dengan mengatur dialysate bath (rendaman dialisat) secara cepat

(Smeltzer & Bare, 2008).

Page 7: Jtptunimus Gdl Atiknursho 7195 3 Babii

Gambar 2.1

Prinsip kerja hemodialisa

Sumber : http://www.sahabatginjal.com/display_articles.aspx?artid=13

Air yang berlebihan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses osmosis.

Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan, dengan kata

lain air bergerak dari daerah dengan tekanan lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan

yang lebih rendah (cairan dialisat). Gradien ini dapat ditingkatkan melalui

penambahan tekanan negatif yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisis.

Tekanan negatif diterapkan pada alat ini sebagai kekuatan penghisap pada membran

dan memfasilitasi pengeluaran air. Karena pasien tidak dapat mengekskresikan air,

kekuatan ini diperlukan untuk mengeluarkan cairan hingga tercapai isovolemia

(keseimbangan cairan) (Hudak & Gallo, 1996).

3. Interdialytic Weight Gain (IDWG)

Pengendalikan intake cairan merupakan salah satu masalah utama bagi pasien dialisis,

karena dalam kondisi normal manusia tidak dapat bertahan lebih lama tanpa intake cairan

dibandingkan dengan makanan. Namun bagi penderita penyakit ginjal kronik harus

melakukan pengendalian intake cairan untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Ginjal

sehat melakukan tugasnya untuk menyaring dan membuang limbah dan racun ditubuh

kita dalam bentuk urin. Apabila fungsi ginjal berhenti, maka terapi dialisis yang

menggantikan tugas dari ginjal tersebut, tetapi pasien harus melakukan pengendalian

intake cairan. Kebanyakan klien yang menjalani terapi hemodialisis di Indonesia tiap 2

kali perminggu dan palaksanaan terapi selama 4- 5 jam. Itu artinya tubuh harus

menanggung kelebihan cairan diantara dua waktu dialisis.

Page 8: Jtptunimus Gdl Atiknursho 7195 3 Babii

IDWG dapat menjadi indikator intake cairan pasien selama periode interdialitik yang

dapat mempengaruhi status kesehatan pasien selama menjalani terapi hemodialisis

(Istanti, 2009).

a. Definisi

IDWG adalah peningkatan volume cairan yang dimanifestasikan dengan peningkatan

berat badan sebagai dasar untuk mengetahui jumlah cairan yang masuk selama

periode interdialitik (Arnold, 2007).

b. Klasifikasi

Menurut Neumann (2013) IDWG yang dapat ditoleransi oleh tubuh adalah tidak

lebih dari 3% dari berat kering.Kozier (2004) dan Yetti (1999) mengklasifikasikan

penambahan berat badan menjadi 3 kelompok, yaitu berat badan ringan, sedang, dan

berat dengan kriteria sebagai berikut :

Tabel 2.2Klasifikasi Kenaikan Berat Badan

c. Pengukuran IDWG

IDWG merupakan indikator kepatuhan pasien terhadap pengaturan cairan. IDWG

diukur berdasarkan dry weight (berat badan kering) pasien dan juga dari pengukuran

kondisi klinis pasien. Berat badan kering adalah berat badan tanpa kelebihan cairan

yang terbentuk setelah tindakan hemodialisis atau berat terendah yang aman dicapai

pasien setelah dilakukan dialisis (Kallenbach, 2005).

Berat badan pasien ditimbang secara rutin sebelum dan sesudah hemodialisis. IDWG

diukur dengan cara menghitung berat badan pasien setelah (post) HD pada periode

hemodialisis pertama (pengukuran I). Periode hemodialisis kedua, berat badan pasien

ditimbang lagi sebelum (pre) HD (pengukuran II), selanjutnya menghitung selisih

antara pengukuran II dikurangi pengukuran I dibagi pengukuran II dikalikan 100%.

Grafik Rentang Prosentase Kenaikan Rentang Kenaikan

dalam Penelitian

a. Ringan 2 % < 4% < 3,9%b. Sedang 5 % 4-6% 4-6%c. Berat 8 % > 6%

(Kozier, 2004) (Yetti, 1999)> 6%

Page 9: Jtptunimus Gdl Atiknursho 7195 3 Babii

Misalnya BB pasien post HD ke 1 adalah 54 kg, BB pasien pre HD ke 2 adalah 58

kg, prosentase IDWG (58 -54) : 58 x 100% = 6,8 % (Istanti, 2009).

d. Faktor- Faktor yang berpengaruh terhadap IDWG

Berbagai faktor yang mempengaruhi IDWG antara lain faktor dari pasien itu sendiri

(internal) dan faktor eksternal seperti faktor fisik dan psikososial. Faktor-faktor yang

berpengaruh pada kenaikan berat badan interdialitik antara lain (Arnold, 2007) :

1) Intake Cairan

Prosentase air di dalam tubuh manusia 60%, dimana ginjal yang sehat akan

mengekskresi dan mereabsorpsi air untuk menyeimbangkan osmolalitas darah.

Sedangkan pada pasien dengan penyakit ginjal kronik yang menjalani

hemodialisis mengalami kerusakan dalam pembentukan urin sehingga dapat

menyebabkan kelebihan volume cairan dalam tubuh (Smeltzer & Bare, 2008).

2) Rasa Haus

Pasien PGK meskipun dengan kondisi hipervolemia, sering mengalami rasa haus

yang berlebihan yang merupakan salah satu stimulus timbulnya sensasi haus

(Black & Hawks, 2005). Merespon rasa haus normalnya adalah dengan minum,

tetapi pasien-pasien PGK tidak diijinkan untuk berespon dengan cara yang

normal terhadap rasa haus yang mereka rasakan. Rasa haus atau keinginan untuk

minum disebabkan oleh berbagai faktor diantaraya masukan sodium, kadar

sodium yang tinggi, penurunan kadar posatium, angiotensin II, peningkatan urea

plasma, urea plasma yang mengalami peningkatan, hipovolemia post dialisis dan

faktor psikologis (Istanti, 2009).

3) Dukungan sosial dan keluarga

Tindakan hemodialisis pada pasien PGK dapat menimbulkan stress bagi pasien.

Dukungan keluarga dan sosial sangat dibutuhkan untuk pasien. Dukungan

keluarga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien dan berhubungan dengan

kepatuhan pasien untuk menjalankan terapi (Sonnier, 2000).

4) Self Efficacy

Page 10: Jtptunimus Gdl Atiknursho 7195 3 Babii

Self Efficacy yaitu kekuatan yang berasal dari seseorang yang bisa mengeluarkan

energi positif melalui kognitif, motivasional, afektif dan proses seleksi. Self

Efficacy dapat mempengaruhi rasa percaya diri pasien dalam menjalani terapinya

(hemodialisis). Self Efficacy yang tinggi dibutuhkan untuk memunculkan

motivasi dari dalam diri agar dapat mematuhi terapi dan pengendalian cairan

dengan baik, sehingga dapat mencegah peningkatan IDWG Bandura (2000)

dalam (Istanti, 2009).

5) Stress

Stress dapat mempengaruhi keseimbangan cairan dan elektrolit didalam tubuh.

Stress meningkatkan kadar aldosteron dan glukokortikoid, menyebabkan retensi

natrium dan garam. Respon stress dapat meningkatkan volume cairan akibatnya

curah jantung, tekanan darah, dan perfusi jaringan menurun. Cairan merupakan

salah satu stressor utama yang dialami oleh pasien yang menjalani hemodialisis

(Potter & Perry, 2006).

Penyesuaian diri terhadap kondisi sakit juga menimbulkan stress pada pasien,

sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan dalam kehidupan pasien. Dampak

psikologis pasien PGK yang menjalani HD dapat dimanifestasikan dalam

serangkaian perubahan perilaku antara lain menjadi pasif, ketergantungan, merasa

tidak aman, bingung dan menderita. Pasien merasa mengalami kehilangan

kebebasan, harapan umur panjang dan fungsi seksual sehingga dapat

menimbulkan kemarahan yang akhirnya timbul suatu keadaan depresi (Rustiana,

2012). Menurut Istanti (2009) stress pada pasien HD dapat menyebabkan pasien

berhenti memonitoring asupan cairan, bahkan ada juga yang berhenti melakukan

terapi hemodialisis, kejadian ini secara langsung dapat berakibat pada IDWG.

e. Komplikasi IDWG

Peningkatan berat badan selama periode interdialitik mengakibatkan berbagai macam

komplikasi. Komplikasi ini sangat membahayakan pasien kerena pada saat periode

interdialitik pasien berada dirumah tanpa pengawasan dari petugas kesehatan.

Sebanyak 60%-80% pasien meninggal akibat kelebihan intake cairan dan makanan

Page 11: Jtptunimus Gdl Atiknursho 7195 3 Babii

pada periode interdialitik (Istanti, 2009). Sedangkan (Hudak & Gallo, 1996)

menyampaikan bahwa adanya kelebihan cairan yang melebihi IDWG dapat

dimanifestasikan : tekanan darah meningkat, nadi meningkat, dispnea, rales basah,

batuk, edema. IDWG yang berlebihan pada pasien dapat menimbulkan masalah,

diantaranya yaitu : hipertensi yang semakin berat, gangguan fungsi fisik, sesak nafas,

edema pulmonal yang dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya

kegawatdaruratan hemodialisis, meningkatnya resiko dilatasi, hipertropi ventrikuler

dan gagal jantung (Smeltzer & Bare, 2002).

4. Depresi

a. Pengertian

Depresi merupakan kondisi emosional yang biasanya ditandai dengan perasaan

tidak bersalah, kehilangan selera makan, dan minat serta kesenangan dalam

aktivitas yang biasa dilakukan. Depresi sering kali berhubungan dengan berbagai

masalah psikologis lain, seperti serangan panik, penyalahgunaan zat, disfungsi

seksual, dan gangguan kepribadian (Davidson & Neale, 2006). Menurut Siswanto

(2007) menyatakan depresi sebagai gangguan suasana hati yang dicirikan dengan

tak ada harapan dan patah hati, ketidakberdayaan yang berlebihan, tidak mampu

konsentrasi, tidak punya semangat hidup, dan selalu tegang.

Depresi merupakan salah satu gangguan mood yang ditandai oleh hilangnya

perasaan kendali dan pengalaman subjektif adanya penderitaan berat. Mood adalah

keadaan emosional internal yang meresap dari seseorang, dan bukan afek, yaitu

ekspresi dari emosional saat itu (Kaplan, 2005). Menurut Atkinson (2004) depresi

adalah gangguan perasaan yang disertai komponen psikologi berupa sedih, susah,

tidak ada harapan dan putus asa disertai komponen biologi atau somatik misalnya

anoreksia dan keringat dingin.

Pasien hemodialisis dianjurkan melakukan terapi secara terus menerus untuk

mempertahankan fungsi ginjalnya. Penyesuaian pasien terhadap perubahan fisik dan

pola hidup, ketergantungan secara fisik dan ekonomi, keadaan seperti ini dapat

menimbulkan perasaan tertekan yang akhirnya dapat menimbulkan gangguan

mental seperti depresi.

Page 12: Jtptunimus Gdl Atiknursho 7195 3 Babii

b. Penyebab

Kaplan (2005) menyatakan bahwa faktor penyebab depresi dapat dibagi menjadi

tiga, yaitu faktor biologi, faktor genetik, dan faktor psikososial.

1) Faktor biologi

Beberapa penelitian menunnjukkan bahwa terdapat kelainan biogenik, seperti

hidroksi indol asetic asid (HIAA), homovalinic acid (HVA), methoxy hydroksi

phenil glikol (MPGH), di dalam darah, urin dan cairan serebrospinal pada

pasien gangguan mood. Neurotransmiter yang terkait dengan patologi depresi

adalah serotonin dan eprinefrin. Penurunan serotonin dapat mencetuskan

depresi. Pada terapi despiran mendukung teori bahwa noreprineprin berperan

dalam patofisiologi depresi (Kaplan, 2005).

2) Faktor genetik

Penelitian genetik dan keluarga menunnjukkan bahwa angka resiko di anggota

keluarga tingkat pertama dari individu yang menderita depresi berat (unipolar)

diperkirakan 2 sampai 3 kali dibandingkan dengan populasi umum Davies

(2000) dalam (Kaplan, 2005).

3) Faktor Psikososial

Ada sejumlah faktor psikososial yang diprediksi sebagai penyebab gangguan

mental antara lain hilangnya peranan sosial, hilangnya otonomi, kematian teman

atau sanak saudara, penurunan kesehatan, peningkatan isolasi diri, keterbatasan

finansial, dan penurunan fungsi kognitif (Kaplan, 2005). Menurut Groth (2002)

faktor psikososial meliputi penurunan percaya diri, penurunan jaringan sosial,

kesepian, perpisahan, kemiskinan, dan penyakit fisik.

4) Penyakit fisik

Berbagai faktor yang dapat mencetuskan depresi adalah penyakit fisik. Individu

yang menderita penyakit kronis cenderung mudah mengalami depresi (Tomb,

2003).

c. Manifestasi klinis

Page 13: Jtptunimus Gdl Atiknursho 7195 3 Babii

Depresi adalah proses patologis, bukan merupakan proses normal dalam kehidupan.

Gejala umumnya banyak diantara mereka muncul dengan menunjukkan sikap

rendah diri (Keliat, 1998) :

1) Aspek psikologi :

a) Kehilangan konsentrasi, berpikir lambat.

b) Ragu-ragu

c) Harga diri rendah

2) Aspek Biologi :

a) Hilang nafsu makan atau bertambah nafsu makan

b) Hilang libido

c) Tidur tidak nyenyak

d) Gelisah

d. Pengukuran Depresi

Alat yang digunakan untuk mengukur (Skrining) depresi pada pasien PGK yang

menjalani hemodialisis ada berbagai macam, salah satunya dengan Beck Depression

Inventory (BDI). BDI merupakan skala depresi yang disusun oleh Aaron T Beck

pada tahun 1960-an. Skala ini disarankan oleh Beck untuk mengukur depresi

pasien. BDI tidak hanya menangkap perubahan dalam suasana hati, tetapi juga

perubahan dalam motivasi, fungsi fisik, dan fitur kognitif dari penderita depresi

Beck (1996) dalam (Ahmad, 2000).

Depesi diukur dengan BDI, dengan rentang nilai antara 0-63, dan dikategorikan

menjadi 4 (empat) :

1) Nilai 0-9 menunjukkan tidak ada depresi

2) Nilai 10-15 menunjukkan adanya depresi ringan

3) Nilai 16-23 menunjukkan adanya depresi sedang

4) Nilai 24-63 menunjukkan adanya depresi berat.

B. Hubungan Depresi terhadap Interdialytic Weight Gain (IDWG) pada pasien PGK

yang menjalani Hemodialisa.

Masalah yang sering dijumpai oleh pasien hemodialisis adalah hipervolemia (kelebihan

cairan), karena selama periode interdialitik pasien berada di rumah dan tidak mendapat

Page 14: Jtptunimus Gdl Atiknursho 7195 3 Babii

pengawasan, baik oleh perawat maupun dokter. Setiap pasien hemodialisis dianjurkan

untuk mematuhi, mengontrol dan mengendalikan intake cairan agar Interdialytic Weight

Gain (IDWG) tidak melebihi batas yang telah ditentukan. Pasien yang menjalani HD

sering mengalami stress, dan lama kelamaan dapat menimbulkan terjadinya depresi.

Depresi sangat berpengaruh terhadap perilaku pasien. Pasien yang depresi mungkin tidak

mau minum sama sekali, bahkan ada pasien yang justru melanggar pembatasan asupan

cairan karena depresi. Depresi memiliki kontribusi terhadap Interdialytic Weight Gain

(IDWG).

C. Kerangka Teori

Skema 2.1

Kerangka Teori Penelitian

Interdialytic Weight

Gain (IDWG) :

a. Ringan

b. Sedang

c. Berat

Hemodialisis (HD) Pembatasan

cairan

Faktor-faktor yang

berpengaruh terhadap

IDWG :

1. Intake cairan

2. Rasa haus

3. Dukungan sosisal

4. Dukungan keluarga

5. Self Efficacy

6. Stress (Depresi)

Page 15: Jtptunimus Gdl Atiknursho 7195 3 Babii

Sumber : (Smeltzer & Bare, 2002), (Suharyanto, 2006), (Kallenbach, 2005), (Nursuryawati, 2002),

(Niven, 2002), (Black & Hawks, 2005), (Keliat, 1998), (Istanti, 2009).

D. Kerangka Konsep

Skema 2.2

Kerangka Konsep Penelitian

Variabel Independen Variabel Dependen

E. Variabel Penelitian

Variabel independen (bebas) pada penelitian ini adalah depresi, dan variabel dependen

(terikat) yaitu interdialytic weight gain (IDWG).

Depresi Interdialytic Weight Gain

(IDWG)

Variabel Confounding:

1. Intake cairan2. Rasa haus3. Dukungan sosial

dan keluarga4. Stress

Page 16: Jtptunimus Gdl Atiknursho 7195 3 Babii

F. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara depresi dengan interdialytic

weight gain (IDWG) pada pasien PGK yang menjalani hemodialisis di RSUD Kota

Semarang.