106
J U R N A L RISET KEBENCANAAN INDONESIA Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia Hal. 1 - 94 Mei 2016 ISSN: 2443-2733 Vol. 2 No. 1 Vol. 2 No. 1, Mei 2016 ISSN: 2443-2733

JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

  • Upload
    vuhanh

  • View
    237

  • Download
    9

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

J U R N A L

RISETKEBENCANAANI N D O N E S I A

Jurnal RisetKebencanaan Indonesia

Hal.1 - 94

Mei2016

ISSN:2443-2733Vol. 2 No. 1

Vol. 2 No. 1, Mei 2016

ISSN: 2443-2733

Page 2: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED
Page 3: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

Jurnal RisetKebencanaan Indonesia

Hal.1 - 94

Mei2016

ISSN:2443-2733Vol. 2 No. 1

J U R N A L

RISETKEBENCANAANI N D O N E S I A

Vol. 2 No. 1, Mei 2016

ISSN: 2443-2733

Page 4: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED
Page 5: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

JURNAL RISET KEBENCANAAN INDONESIA

Terbit 2 kali setahun, mulai Mei 2015

ISSN: 2443-2733

Volume 2 Nomor 1, Mei 2016

Pembina:Willem Rampangilei

Kepala Badan Nasional Penanggulangan BencanaProf. Dr. Sudibyakto, M.Si

Ketua Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia

Penanggung Jawab/Pemimpin Redaksi:Lilik Kurniawan, ST, M.Si

Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia

Ketua Dewan Penyunting:Ir. Heru Sri Naryanto, M.Sc/Geologi Lingkungan dan Bencana Geologi

Anggota Dewan Penyunting:Prof. Ir. Mashyur Irsyam, MSE, Ph.D/Gempabumi

Dr. Hamzah Latief, M.Si/TsunamiProf. Dr. Kirbani Sri Brotopuspito/Gunungapi

Dr. Ing. Ir. Agus Maryono/Banjir dan KekeringanDr. Ir. Adrin Tohari, M.Eng/Gerakan Tanah

Dr. rer. nat Armi Susandi, MT/Cuaca dan Gelombang EkstrimProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan

Dr. I Nyoman Kandun, MPH/Epidemi dan Wabah PenyakitIr. Isman Justanto, MSCE/Kegagalan Teknologi

Dr. Hendro Wardhono, M.Si/ Sosio-Kultural dan KelembagaanDr. Raditya Jati/ Manajemen Bencana

Mitra Bestari:Ir. Sugeng Triutomo, DESS, Dr. Ir. Harkunti Pertiwi Rahayu,

Dr. Ridwan Djamaludin, M.Sc, Dr. Triarko Nurlambang

Pelaksana Redaksi:Elin Linawati, SKM, MM., Ridwan Yunus, Moh Robi Amri, ST., Arezka Ari Hantyanto,

Firza Ghozalba, ST, M.Eng., Pratomo Cahyo Nugroho, ST., Arie Astuti W, S.Si., Novi Kumalasari, SAP., Gita Yulianti S, ST., Elfina Rozita ST., Ageng Nur Icwana, Asfirmanto W Adi, S.Si., Triutami H, ST., Sesa Wiguna, S.Si., Ade Nugraha, ST.,

Aminudin Hamzah, ST., Lilis Mutmainnah, S.Sos., Bambang Sasongko, MK

Alamat Redaksi:Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI)

Sekretariat: Gedung INA-DRTG lt.2,Indonesia Peace and Security Center (IPSC), Sentul, Bogor

e-mail: [email protected]/ Website: www.iabi-indonesia.org

Page 6: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

ii

Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia Vol. 2 No. 1, Mei 2016

PENGANTAR REDAKSI

Alhamdulillah Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia (JRKI) Volume 2 Nomor 1 Tahun 2016 telah terbit. Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia merupakan jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI). Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia terbit 2 (dua) kali dalam setahun, untuk edisi yang pertama Volume 2, Nomor 1 Tahun 2016 diterbitkan pada bulan Mei 2016. Jurnal ini dipersembahkan oleh para ahli kebencanaan Indonesia kepada bangsa Indonesia, agar menjadi bangsa tangguh bencana.

Pada edisi ini disajikan 10 makalah, dengan penulis dari berbagai institusi, yaitu: Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi Yogyakarta, Balai Sabo-Puslitbang Sumber Daya Air, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta dan Badan Informasi Geospasial.

Berbagai topik dibahas dalam edisi ini, yaitu: Indeks kerentanan banjir berbasis prediksi iklim untuk mitigasi kebencanaan banjir jangka panjang di daerah aliran sungai (DAS) Bengawan Solo, Aplikasi mitigasi bencana di sub-daerah aliran Sungai Kreo pada prediksi hujan-limpasan menggunakan Openlisem, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia, Kajian penyebab dan mekanisme bencana banjir di Manado, Sulawesi Utara, Efek fenomena iklim global terhadap variasi curah hujan di Provinsi Jawa Tengah dan D. I. Yogyakarta, Analisis tingkat kerawanan longsor pada sebagian Jalan Kelas IIIC di Sub-DAS Gesing, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, Manajemen risiko bencana pada Kawasan Cagar Budaya Gunung Padang, Ciamis, Jawa Barat, Aplikasi GPS untuk monitoring deformasi Gunung Lokon, Indonesia, Aplikasi GPS untuk pengamatan deformasi sesar Baribis, Kajian kerentanan bangunan akibat bahaya gempabumi di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, dan Pengurangan risiko bencana gempabumi: evaluasi kinerja dinamika struktur gedung bertingkat rendah menggunakan model sendi plastis dengan variasi model beban.

Kami menerima kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia ini.

Edi tor

Page 7: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

iii

Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia Vol. 2 No. 1, Mei 2016

DAFTAR ISI

Halaman

Pengantar Redaksi ……………………………………………………………………….................... ii

Daftar Isi …………………………………………………………………………………...................... iii

1. INDEKS KERENTANAN BANJIR BERBASIS PREDIKSI IKLIM UNTUK MITIGASI KEBENCANAAN BANJIR JANGKA PANJANG DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) BENGAWAN SOLO

FLOOD VULNERABILITY INDEX BASED ON CLIMATE PREDICTION FOR THE LONG TERM FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

Armi Susandi, Aristyo R. Wijaya dan Fadhil M. Firdaus ………..…..….................……… 1-7

2. APLIKASI MITIGASI BENCANA DI SUB-DAERAH ALIRAN SUNGAI KREO PADA PREDIKSI HUJAN-LIMPASAN MENGGUNAKAN OPENLISEM, PROVINSI JAWA TENGAH, INDONESIA

APPLICATION OF DISASTER MITIGATION IN KREO SUB-WATERSHED ON RAINFALL- RUNOFF PREDICTION USING OPENLISEM, CENTRAL JAVA PROVINCE, INDONESIA

Khairunnisa Adhar, Muh. Aris Marfai dan Sunarto …………………........................……… 8-18

3. KAJIAN PENYEBAB DAN MEKANISME BENCANA BANJIR DI MANADO, SULAWESI UTARA

STUDY OF CAUSED AND MECHANISM OF FLOOD DISASTER IN MANADO, NORTH SULAWESI

Chandra Hassan, Alidina Nurul Hidayah dan Lily Handayani ………....................……… 19-29

4. EFEK FENOMENA IKLIM GLOBAL TERHADAP VARIASI CURAH HUJAN DI PROVINSI JAWA TENGAH DAN D. I. YOGYAKARTA

IMPACTS OF GLOBAL CLIMATE PHENOMENA ON RAINFALL VARIATIONS IN CENTRAL JAVA AND D. I. YOGYAKARTA PROVINCE

Rodi Yunus, Sudibyakto dan Muh. Aris Marfai …………….....................................……… 30-39

5. ANALISIS TINGKAT KERAWANAN LONGSOR PADA SEBAGIAN JALAN KELAS IIIC DI SUB-DAS GESING, KABUPATEN PURWOREJO, JAWA TENGAH

ANALYSIS OF LANDSLIDE SUSCEPTIBILITY ON A FEW ROADS CLASS IIIC IN SUB-WATERSHED GESING, PURWOREJO DISTRICT, CENTRAL JAVA

Ika Indah Karlina ………..…..….....................................................................................…… 40-49

JURNAL RISET KEBENCANAAN INDONESIA Vol. 2 No. 1, Mei 2016 ISSN: 2443-2733

Page 8: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

iv

Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia Vol. 2 No. 1, Mei 2016

6. MANAJEMEN RISIKO BENCANA PADA KAWASAN CAGAR BUDAYA GUNUNG PADANG, CIAMIS, JAWA BARAT

DISASTER RISK MANAGEMENT IN GUNUNG PADANG CULTURAL HERITAGE, CIAMIS, WEST JAVA

Sudibyakto dan Anggit Priatmodjo ……………........................................................……… 50-58

7. APLIKASI GPS UNTUK MONITORING DEFORMASI GUNUNG LOKON, INDONESIA

GPS APPLICATION FOR MONITORING DEFORMATION IN LOKON VOLCANO, INDONESIA

Aditya Fikri Ghozali, Dina Anggreni Sarsito, Estu Kriswati dan Irwan Meilano …..…… 59-69

8. APLIKASI GPS UNTUK PENGAMATAN DEFORMASI SESAR BARIBIS

GPS APPLICATION FOR CRUSTAL DEFORMATION MONITORING ON BARIBIS FAULT

Fuad Ramadhana, Irwan Meilano, Dina A. Sarsito, Endra Gunawan,Hasanuddin Z. Abidin dan Joni Efendi …………........................................................…… 70-76

9. KAJIAN KERENTANAN BANGUNAN AKIBAT BAHAYA GEMPABUMI DI KOTA MATARAM, NUSA TENGGARA BARAT

BUILDING VULNERABILITY TO EARTHQUAKE IN MATARAM CITY, WEST NUSA TENGGARA

Uzlifatul Azmiyati, Kirbani Sri Brotopuspito dan Suprapto Dibyosaputro ……………… 77-84

10. PENGURANGAN RISIKO BENCANA GEMPABUMI: EVALUASI KINERJA DINAMIKA STRUKTUR GEDUNG BERTINGKAT RENDAH MENGGUNAKAN MODEL SENDI PLASTIS DENGAN VARIASI MODEL BEBAN

DISASTER RISK REDUCTION OF EARTHQUAKE: THE EVALUATION OF DYNAMIC STRUCTURAL PERFORMANCE OF A LOW-RISE BUILDING USING PLASTIC HINGE MODEL AND LOAD MODEL VARIATIONS

Sarwidi, Widodo dan RPM Trisusilo …..…......................................................................… 85-93

Page 9: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

1

Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia Vol. 2 No. 1, Mei 2016: 1-7

INDEKS KERENTANAN BANJIR BERBASIS PREDIKSI IKLIM UNTUK MITIGASI KEBENCANAAN BANJIR JANGKA PANJANG

DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) BENGAWAN SOLO

FLOOD VULNERABILITY INDEX BASED ON CLIMATE PREDICTION FOR THE LONG TERM FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

Armi Susandi, Aristyo R. Wijaya dan Fadhil M. FirdausProgram Studi Meteorologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung

e-mail: [email protected]

Abstrak

Secara topografi, kondisi di sekitar cakupan DAS Bengawan Solo memiliki kecenderungan datar Sub-DAS dari Hilir Bengawan Solo membentuk aliran sungai yang melebar dan semakin menyempit kearah hulunya, melalui dataran alluvial dan menjadi wilayah pengairan. Observasi dari tutupan lahan melalui satelit menunjukkan sebagian besar wilayah DAS Bengawan Solo terdiri dari area pembangunan (45%); 33% terdiri dari sawah dan 18 % dari ladang. Sebaliknya, hanya 4 % dari wilayah tersebut yang terdiri dari wilayah perhutanan yang seharusnya memiliki peran penting sebagai perlindungan dari erosi dan banjir. Dalam mengantisipasi dampak dari perubahan iklim terhadap banjr dalam rencana pembangunan tersebut, belum tersedia suatu metode analisis kerentanan menggunakan Sistem Informasi berdasarkan prediksi iklim yang berskala desa dan memiliki keakuratan tinggi di wilayah DAS Bengawan Solo. Analisis tersebut bertujuan untuk memetakan daerah yang rawan banjir berdasarkan prediksi iklim dasarian berskala desa sebagai bahan pertimbangan dalam perencanaan bagi masyarakat, pemangku kepentingan dan investor. Dalam studi ini, akan diberikan analisis indeks kerentanan banjir secara komprehensif dan detail bersifat keruangan (spasial) dan waktu (temporal) dalam bentuk zonasi wilayah rawan, serta juga akan dibahas mengenai evaluasi terhadap metode analisis tersbut berdasarkan berita kejadian banjir lampau di media massa. Hasil yang diperoleh dari penelitian mengenai analisis kerawanan dan pengurangan risiko banjir berbasis SIG di DAS Bengawan Solo adalah Parameter-parameter penentu kerawanan banjir di DAS Bengawan Solo, yaitu curah hujan, tutupan lahan, kelerengan dan kejadian banjir pada tingkat desa. Daerah-daerah yang memiliki kerawanan terhadap banjir dapat dipetakan sekaligus diberikan indikator tingkatan kerawanannya, yaitu tingkatan aman, rendah, sedang/menengah, rentan dan sangat rentan.

Kata Kunci: Banjir, indeks kerentanan, mitigasi, iklim, curah hujan, DAS Bengawan Solo.

AbstractTopographically, the conditions surrounding Bengawan Solo river basin coverage has a tendency to flat sub-watershed of the Lower Bengawan Solo. The river flow form is widened and narrowed towards the upper reaches, through the alluvial plains and into the area of irrigation. Observations of land cover by satellite shows most of the Bengawan Solo river basin consists of a construction area (45%); 33% consisted of rice fields and 18% from the field. In contrast, only 4% of the region consisting of forestry areas should have an important role as a protection from erosion and flooding. In anticipation of the impact of climate change on banjr in the development plan, have not provided a method of vulnerability analysis using information system based on village-scale climate predictions and have a high accuracy in the Bengawan Solo river basin. The analysis aims to map flood-prone areas based on climate predictions dasarian village scale as a material consideration in the planning for the community, stakeholders and investors. In this study, will be given the analysis of flood vulnerability index in a comprehensive and detailed nature of spatial and time (temporal) in the form of zoning proneness, and also will discuss the evaluation of analytical methods tersbut based on past flood events in the news media. The results obtained from research on vulnerability analysis and GIS-based flood risk reduction in the

Page 10: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

2

Indeks Kerentanan Banjir Berbasis Prediksi Iklim untuk Mitigasi Kebencanaan Banjir Jangka Panjang di Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan SoloArmi Susandi, Aristyo R. Wijaya dan Fadhil M. Firdaus

Bengawan Solo river basin are parameters determinant of vulnerability to flooding in the watershed Bengawan Solo, namely rainfall, land cover, slope and flood events at the village level. The regions have mapped vulnerability to flooding can be given a level indicator on the risks, namely safe levels, low, medium/medium, vulnerable and very vulnerable.

Keywords: Flood, vulnerability index, mitigation, climate, rainfall, watershed Bengawan Solo.

1. PENDAHULUAN

Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo memiliki peran strategis yang penting dan berfungsi sebagai penyokong populasi kehidupan di sekitarnya. Sebagai DAS terbesar di Pulau Jawa dengan luas cakupan mencapai 15.947 km2, DAS Bengawan Solo mencakup 17 kabupaten dan 3 kota terbagi di antara Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Densitas populasi yang mendiami wilayah DAS tersebut mencapai kisaran 1028 jiwa/km2. Konsumsi air pada DAS ini diperuntukkan dalam kebutuhan sehari-hari, kegiatan industri, agrikultur, dan kebutuhan ternak.

Secara topografi, kondisi di sekitar cakupan DAS Bengawan Solo memiliki kecenderungan datar dengan banyak material sedimentasi yang terlarut dari lembah G. Merapi, G. Merbabu dan G. Lawu. Sub-DAS dari Hilir Bengawan Solo membentuk aliran sungai yang melebar dan semakin menyempit ke arah hulunya, melalui dataran alluvial dan menjadi wilayah pengairan. Sekitar 90% dari total wilayah Wonogiri yang merupakan bagian dari hulu dari Sungai Bengawan Solo telah beralih fungsi menjadi wilayah pertanian (sawah dan ladang) yang sangat rentan terhadap bencana longsor (Hidayat, 2008). Observasi dari tutupan lahan melalui satelit menunjukkan sebagian besar wilayah DAS Bengawan Solo terdiri dari area pembangunan (45%); 33% terdiri dari sawah dan 18 % dari ladang. Sebaliknya, hanya 4 % dari wilayah tersebut yang terdiri dari wilayah perhutanan yang seharusnya memiliki peran penting sebagai perlindungan dari erosi dan banjir.

Banjir yang terjadi pada wilayah DAS Bengawan Solo merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari bagi masyarakat sekitar. Sehingga. kombinasi keadaan dari sifat alam yang rentan terhadap kondisi kewilayahan dan sistem sosial budaya dan politik masyarakat telah terbentuk dan tercermin dalam pengambilan keputusan oleh para pemangku jabatan dan investor dalam proses rencana pembangunan daerah. Namun, dalam penentuan keputusan tersebut masih terbatas dengan menggunakan data yang tersedia. Dengan mempertimbangkan terjadinya perubahan iklim yang mengingkatkan intensitas

terjadinya banjir, rencana pembangunan tersebut akan mengalami perubahan-perubahan yang signifikan. Dalam mengantisipasi dampak dari perubahan iklim terhadap banjr dalam rencana pembangunan tersebut, belum tersedia suatu metode analisis kerentanan menggunakan Sistem Informasi berdasarkan prediksi iklim yang berskala desa dan memiliki keakuratan tinggi di wilayah DAS Bengawan Solo.

Analisis tersebut bertujuan untuk memetakan daerah yang rawan banjir berdasarkan prediksi iklim dasarian berskala desa sebagai bahan pertimbangan dalam perencanaan bagi masyarakat, pemangku kepentingan dan investor. Dalam studi ini, akan diberikan analisis indeks kerentanan banjir secara komprehensif dan detail bersifat keruangan (spasial) dan waktu (temporal) dalam bentuk zonasi wilayah rawan, serta juga akan dibahas mengenai evaluasi terhadap metode analisis tersebut berdasarkan berita kejadian banjir lampau di media massa.

2. DATA DAN METODE

2.1. Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini sebagai inputan untuk penyusunan indeks kerentanan banjir adalah deret waktu curah hujan yang berasal dari akumulasi curah hujan dasarian data satelit TRMM 3B42-Real Time versi 7 dengan periode 1998-2014 yang telah diverifikasi dan divalidasi oleh As-syakur dkk. (2013), data model elevasi digital (DEM) dari ASTER GDEM. Sedangkan untuk data kejadian historis banjir didapatkan atas kerjasama BPBD Provinis Jawa Tengah dan Jawa Timur. Proses penggunaan data-data tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.

2.2. Metode

2.2.1. Prediksi Iklim Curah HujanCurah hujan merupakan jatuhnya air dari

atmosfer ke permukaan bumi dan berperan menentukan proses sistem hidrologi suatu kawasan, karateristik dan besarnya nilai rata-rata hujan dengan model perhitungan. Dengan

Page 11: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

3

Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia Vol. 2 No. 1, Mei 2016: 1-7

menggunakan Model Iklim Cerdas (Susandi, 2008), prediksi iklim dasarian menggunakan data TRMM 3B42-Real Time versi 7 dengan periode 1998-2014. Gambar 1 berikut ini menjelaskan

proses pengolahan data dalam Model Iklim Cerdas dan Gambar 2 merupakan contoh hasil prediksi iklim pada DAS Bengawan Solo pada dasarian ke -2 Februari 2016.

Gambar 2. Prediksi Iklim Curah Hujan pada Dasarian - 2 Februari 2016

Gambar 1. Diagram Alir Model Iklim Cerdas (Susandi, 2008)

Page 12: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

4

Indeks Kerentanan Banjir Berbasis Prediksi Iklim untuk Mitigasi Kebencanaan Banjir Jangka Panjang di Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan SoloArmi Susandi, Aristyo R. Wijaya dan Fadhil M. Firdaus

2.2.2. Analisis Kerentanan BanjirPenentuan daerah rentan banjir di DAS

Bengawan Solo menggunakan Sistem Informasi Geografi dilakukan dengan mengidentifikasi wilayah-wilayah dengan data spasial. Beberapa parameter yang berpengaruh langsung terhadap analisis kerentanan banjir selain curah hujan, yaitu:

a. Tutupan lahan (land cover) Tutupan lahan (land cover) yaitu vegetasi dan

konstruksi artifisial yang menutupi permukaan lahan terkait dengan kenampakan permukaan bumi, seperti hutan, sawah dan sebagainya (Gambar 3.a).

b. Kemiringan/kelerengan Bentuk lahan yang mewakili kondisi kemiringan

atau kelerengan digunakan sebagai salah satu parameter wilayah yang berpotensi

banjir. Hal ini dikarenakan kemiringan lahan dapat mempengaruhi jumlah dan kecepatan limpasan air di permukaan, drainase dan penggunaan lahan. Gambar 3.b merupakan tutupan lahan di DAS Bengawan Solo pada tahun 2016.

c. Kejadian banjir Analisis kejadian banjir yang terjadi pada

wilayah DAS Bengawan Solo diperoleh dari data yang telah dikumpulkan BPBD dan Perum Jasa Tirta 1 dalam Hidayat (2008). Pengolahan data tersebut dalam bentuk analisis statistik berupa Tabular.

Untuk tahapan analisis dilakukan dengan memberikan pembobotan terhadap tiap parameter penentu kerentanan. Setiap unsur dalam masing-masing parameter terlihat pada Tabel 1. Menurut Pasek (2007), Analisis kerentanan menggunakan

Gambar 3. a) Tutupan Lahan dengan Hutan (Hijau-Putih) Budidaya (Merah), dan Pemukiman (Hijau), Serta b) Kemiringan Lahan dengan Warna Hijau (Datar) dan Merah (Curam)

Tabel 1. Sistem Pembobotan Penentuan Kerawanan Banjir

No. Variabel (N) Klasifikasi (B) Nilai (S)1 Curah hujan rata-rata dasarian

(Ch)> 300 mm

200-300 mm 100-200 mm 50-100 mm

< 50 mm

108642

2 Tutupan lahan (P) PemukimanBudidaya

Hutan

53.51

3 Kemiringan/kelerengan (K) < 8 % (datar)8,01 – 15 % (landai)

15,01 – 25 % (agak curam)25,01 – 40 % (curam)˃ 40 % (sangat curam)

54321

4 Data kejadian banjir (Kb) Pernah banjir Belum pernah banjir

20

A. B.

Page 13: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

5

Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia Vol. 2 No. 1, Mei 2016: 1-7

analisis spasial dengan melakukan tumpang-tindih (overlay) tematik sehingga didapatkan indeks kerentanan dengan perumusan berikut,

dengan, N sebagai total nilai variable, Bi untuk kriteria klasifikasi dan Si untuk skor pada tiap kriterian untuk masing parameter i. Hasil analisis tersebut kemudian dirumuskan kembali dalam bentuk spasial dengan persamaan berikut.

Dengan, Nkb untuk nilai kerentan banjir kewilayahan, C10 untuk curah hujan dasarian, LU sebagai tutupan lahan, Sl sebagai slope (Kemiringan) dan Kb sebagai kejadian banjir. Jumlah total dari seluruh nilai tersebut diklasifikasikan dalam bentuk informasi kategori indikator tingkat kerawanan seperti yang terlihat pada Tabel 2 dan diagram alir analisis kerawanan terlihat pada Gambar 4.

Tabel 2. Indikator Tingkatan Rawan Banjir

No. Jumlah Nilai Bobot

Tingkat Rawan Banjir

1 < 9.5 Aman2 9.5 - 11 Rendah3 11 - 13.5 Sedang/Menengah4 13.5 - 15 Rentan5 >15 Sangat Rentan

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil metode analisis kerentanan banjir ditemukan bahwa terdapat wilayah yang tergolong sangat rentan. Hal ini didasari pada karakteristik wilayah tersebut yang berada datar (kemiringan kurang dari 8%), dengan tutupan lahan berupa pemukiman dan memiliki curah hujan dasarian lebih dari < 300 m. Gambar 5 merupakan contoh hasil dari analisis kerentanan banjir pada dasarian-2 Februari 2016.

Gambar 4. Diagram Alir Metode Analisis Kerentanan Banjir

N = Bi Si

Nkb = C10 + LU + Sl + Kb

Page 14: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

6

Indeks Kerentanan Banjir Berbasis Prediksi Iklim untuk Mitigasi Kebencanaan Banjir Jangka Panjang di Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan SoloArmi Susandi, Aristyo R. Wijaya dan Fadhil M. Firdaus

Dari hasil tersebut terlihat bahwa pada dasarian kedua Februari 2016 wilayah hilir dari memiliki tingkat kerentanan yang sangat tinggi serta wilayah bagian barat dari Solo Raya. Hasil analisis ini telah dievalusi dengan menggunakan data kejadian banjir pada wilayah Bojonegoro pada tanggal 11-14 Februari 2016 (BPBD, 2016). Hasil evaluasi dengan observasi kelapangan menyatakan kecocokan yang cukup tinggi pada wilayah tersebut. Namun, analisis berikut masih memiliki kelemahan, dikarenakan keterbatasan data yang digunakan seperti kurangnya variable pendukung dalam tutupan lahan dan resolusi DEM yang masih kurang tinggi, sehingga mempengaruhi hasil analisis. Diharapkan pada peneliian selanjutnya peningkatan dari data-data yang masih belum tersedia tersebut dapat dipertimbangkan.

4. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian mengenai analisis kerawanan dan pengurangan risiko banjir berbasis SIG di DAS Bengawan Solo adalah:a. Parameter-parameter penentu kerawanan

banjir di DAS Bengawan Solo, yaitu curah hujan, tutupan lahan, kelerengan dan kejadian banjir pada tingkat desa.

b. Daerah - daerah yang memil ik i kerawanan terhadap banj i r dapat dipetakan sekaligus diberikan indikator tingkatan kerawanannya, yaitu tingkatan aman, rendah, sedang/menengah, rentan dan sangat rentan.

Kerawanan dan pengurangan risiko banjir di Kalbar merupakan salah satu penanganan kebencanaan yang hampir setiap tahun terjadi di wilayah ini. Setiap banjir terjadi memberikan dampak yang besar terhadap kerugian masyarakat dan pembangunan daerah. Berdasarkan hasil penelitian ini maka disarankan:a) Penggunaan data curah hujan dasarian

bulanan dari satelit TRMM perlu dilakukan pembaharuan (updat ing ) karena merupakan salah satu penentu kerawanan banjir.

b) Data kawasan lahan di wilayah Kalbar perlu diperbaharui karena pembangunan daerah dapat menyebabkan berubahnya suatu kawasan/lahan pada daerah tersebut.

c) Metodologi yang digunakan sesuai dengan standar analisis spasial sehingga dapat dijadikan sebagai pembentukan sistem informasi penanggulangan banjir di DAS Bengawan Solo.

d) Hasil analisis dapat dilakukan langkah-langkah penanggulangan pada daerah-daerah yang rawan banjir sebelum atau saat terjadi banjir serta pembentukan desa siaga banjir.

e) Analisis ini memiliki kelebihan, yaitu dapat memberikan data yang tidak bisa diberikan dari sumber data lain atau data lapangan karena keterbatasan sarana dan infrastruktur yang tersedia serta lebih cepat dalam pengumpulannya, bersifat keruangan dan sesuai dengan karakteristik kewilayahan DAS Bengawan Solo.

Gambar 5. Analisis Kerentanan Banjir di DAS Bengawan Solo pada Dasarian-2 Februari 2016. Tanda Lingkaran Menunjukkan Daerah Bojonegoro

Page 15: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

7

Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia Vol. 2 No. 1, Mei 2016: 1-7

DAFTAR PUSTAKA

1. BNPB, 2011, Indeks Rawan Bencana Indonesia, Jakarta, BNPB.

2. BNPB, 2012, Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 02 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Jakarta

3. BPBD Bojonegoro, 2016, Laporan Banjir 11-14 Februari 2016. Laporan (Tidak Dipublikasikan), Bojonegoro

4. Hidayat, F., dkk. 2008, Impact of Climate Change on Floods in Bengawan Solo and Brantas River Basins, Indonesia. River Symposium, Brisbane, Australia.

5. Pasek, I. M. S., 2007, Penentuan Zona Potensial Budidaya Mutiara (Pinctada spp). dengan Cell Based Modelling: Studi Kasus Perairan Sekotong, Lombok Barat

NTB. Skripsi (Tidak Dipublikasikan). Bogor: Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

6. Susandi, A. dkk, 2008, Climate Change Modelling with Non-Linier Least Square and Fast Fourier Transform Methods. Proceedings of the International Conference on Mathematics and Natural Sciences (ICMNS), Bandung, Indonesia, October 28-30, 2008

Diterima: 15 Maret 2016Disetujui setelah revisi: 25 April 2016

Page 16: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

8

Aplikasi Mitigasi Bencana di Sub-Daerah Aliran Sungai Kreo pada Prediksi Hujan-Limpasan Menggunakan Openlisem, Provinsi Jawa Tengah, IndonesiaKhairunnisa Adhar, Muh. Aris Marfai dan Sunarto

APLIKASI MITIGASI BENCANA DI SUB-DAERAH ALIRAN SUNGAI KREO PADA PREDIKSI HUJAN-LIMPASAN MENGGUNAKAN

OPENLISEM, PROVINSI JAWA TENGAH, INDONESIA

APPLICATION OF DISASTER MITIGATION IN KREO SUB-WATERSHED ON RAINFALL-RUNOFF PREDICTION USING OPENLISEM, CENTRAL JAVA PROVINCE, INDONESIA

Khairunnisa Adhar1, Muh. Aris Marfai2 dan Sunarto2

1Magister Geo-Informasi untuk Manajemen Bencana, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia

2Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesiae-mail: [email protected]

Abstrak

Banjir merupakan fenomena yang telah dihadapi Kota Semarang sejak abad ke 19. Pemerintah Kolonial Belanda menghadapi hal ini dengan membangun Banjir Kanal Barat (BKB) dan Banjir Kanal Timur (BKT) [1]. Penelitian terdahulu menyimpulkan bahwa terdapat tiga jenis banjir di Kota Semarang, yaitu Banjir Lokal, Banjir Pasang dan Banjir Limpasan Sungai [2]. Tujuan penelitian ini yaitu menganalisis pengaruh perubahan lahan tahun 1994 ke 2013 terhadap limpasan, mengamati dampak yang ditimbulkan perencanaan ruang sebagai mitigasi non-struktural, serta pengaruh mitigasi struktural, Bendungan dan Waduk Jatibarang terhadap limpasan di DAS Kreo. Pada komposisi tutupan lahan tahun 2013, waktu puncak pelepasan merupakan yang terlama yaitu 3,48 jam dengan nilai intersepsi dan infiltrasi terbesar. Tutupan Lahan dengan komposisi sesuai RTRW memiliki nilai puncak pelepasan (l/s) terendah dengan waktu puncak pelepasan 2,53 jam. Simulasi model prakiraan in menunjukkan komposisi luas tutupan area terbangun pada RTRW dapat mengurangi jumlah pelepasan pada hujan skala besar (100 tahunan). Setelah waduk jatibarang dan bendungan diintegrasikan dengan ketinggian area waduk pada kondisi terisi penuh, terjadi peningkatan waktu puncak pelepasan dan pelepasan puncak, karena area permukaan air tidak memiliki intersepsi maupun infiltrasi.

Kata Kunci: Mitigasi non-struktural, RTRW, mitigasi struktural, DAS Kreo, perubahan tutupan lahan, openLISEM.

AbstractFlood is a phenomenon in Semarang City since the on 19th century. The first structutal measure was established by Dutch Colonial Government, West Floodway (Banjir Kanal Barat, BKB) and East Floodway (Banjir Kanal Timur, BKT) [1]. There are three types of flood in Semarang City, namely Local Flood, Rob and River Runoff Flood [2]. Aim of this research is to analyse the effect of land cover change year 1994 to 2013, to observethe impact of spatial plan as the non-structural mitigation, as well as impact of the structural mitigation, Jatibarang Dam and Reservoir towards runoff in Kreo watershed. According to land cover composition in 2013, time to peak is the slowest which is 3,48 hours along with the greatest total of interception and infiltration. Landcover with composition adapted as in RTRW has the lowest peak discharge (l/s) with time to peak 2,53 hours. Prediction model simulation shows that composition of built up area adapted from RTRW is decreasing total discharge in large scale rainfall event (100 years). After Jatibarang Dam and Reservoir integrated using the surcharge elevation, the time to peak is getting early along with the increasing of discharge, due to the area of water surface can not intercept or infiltrate the water.

Keywords: Non-structural mitigation, regional spatial plan, structural mitigation, Kreo watershed, land cover change, openLISEM.

Page 17: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

9

Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia Vol. 2 No. 1, Mei 2016: 8-18

1. PENDAHULUAN

Banjir merupakan bahaya alam yang paling sering mengakibatkan bencana di Indonesia. Hal ini terjadi di seluruh negeri, dengan tingkat lokal hingga nasional (berdasarkan jumlah kerugian dan kerusakan). Sejak 1 Januari 2013 – 4 Juni 2013 terhitung 190.398 pengungsi dan 67 korban jiwa. Walaupun dampak korban jiwa adalah keempat terbanyak setelah gempabumi, gelombang tsunami dan letusan gunung berapi, dalam kurun waktu dari tahun 1815 – 2013, tiga puluh delapan persen bencana yang terjadi di Indonesia adalah banjir (BNPB, 2013). Berdasarkan Peta Sebar Kejadian Bencana Banjir tahun 2014 (P. BNPB, 2014), wilayah Kota Semarang masuk dalam kategori 4-5 kejadian banjir, sedangkan Kabupaten Semarang dan sebagian Kabupaten Kendal masuk dalam kategori 1-3 kejadian banjir.

Bahaya banjir memiliki hubungan yang kuat dengan proses hujan-limpasan. Berdasarkan proses hidrologi fisik, hujan langsung yang tidak dapat diserap oleh tanah akan menjadi aliran permukaan yang juga disebut limpasan dan begitu pula saluran air yang sudah dipenuhi air akan melimpas keluar. Namun apabila kecepatan limpasan tinggi maka akan memiliki kekuatan yang lebih besar sehingga kejadian pada 7 - 8 Februari 2009, saat hampir seluruh Kota Semarang tergenang (BNPB, 2009).

Kali Garang adalah salah satu sungai utama yang mengalir melaui Kota Semarang dimana Banjir Bandang biasanya terjadi, sebuah titik pertemuan dari tiga sungai, Garang, Kreo dan Kripik yang berbentuk leher botol merupakan awal tempat terbentuknya banjir dengan aliran cepat dan jumlah yang banyak. Beberapa langkah telah dilakukan sebagai reaksi terjadinya bencana banjir. Secara spesifik, sebagai bagian dari rencana pengendalian banjir yang terintegrasi, pemerintah Indonesia (BBWS Pemali-Juana) dan pemerintah Jepang (JICA) telah bekerja sama dalam Proyek Integrasi Sumber Daya Air dan Manajemen Bencana (PISDAMB/IWRFMP) untuk Semarang yang terdiri dari tiga komponen, yaitu (1) Komponen A: Normalisasi Kali Garang/BKB; (2) Pembangunan Waduk Jatibarang dan (3) Peningkatan Drainase Perkotaan Semarang (PU-NET, 2009).

Pembangunan Bendungan Jatibarang di area sub-DAS Kreo merupakan sebagian langkah mitigasi struktural oleh pemerintah sementara perencanaan ruang dapat menjadi salah satu mitigasi non-struktural untuk mencegah bahaya banjir. Perencanaan ruang pada dasarnya adalah bentuk dari pengaturan pengembangan dari pertumbuhan populasi dan aktivitasnya, berupa

interaksi dari aktivitas tersebut yang membutuhkan ruang tertentu. Daerah utara Kota Semarang telah jenuh oleh pembangunan, sehingga perencanaan terbaru mengarahkan pengembangan ke area selatan yang sebagiannya merupakan area sub-DAS Kreo. Integrasi langkah mitigasi struktural dan struktural dpat menjadi langkah adaptasi yang menjanjikan (Hayes, 2004). Merz et al. (2011) mengharapkan dampak ekonomis yang signifikan sebagai kelenihan dari pilihan non-struktural seperti zonasi banjir dan peraturan keruangan. Walaupun demikian, informasi terkait potensi dari langkah mitigasi tersebut masih jarang bahkan setelah beberapa penelitian empiris dilakukan (Botzen et al 2009 and Kreibich et al. 2005).

Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk (1) Menganalisis perubahan tutupan lahan pada sub-DAS Kreo di periode 1994 - 2013; (2) Menganalisis pengaruh kecenderungan perubahan tutupan lahan terhadap limpasan; (3) Mengevaluasi efektivitas perencanaan ruang dari setiap area administrasi yang termasuk di area sub-DAS Kreo dalam melestarikan lingkungan untuk mengurangi limpasan dan (4) Menganalisis pengaruh keberadaan bendungan dan waduk Jatibarang terhadap limpasan. Penelitian ini dilakukan di Daerah Aliran Sungai Kreo, Provinsi Jawa Tengah, Indoneaia.

2. METODOLOGI

2.1. Pengumpulan Data

Penelitian dilaksanakan mulai bulan September 2013 sampai Maret 2014. Pengambilan data primer berupa sampel untuk uji ketepatan interpretasi citra dan observasi karakteristik sungai untuk estimasi kekasaran Manning dilakukan pada bulan Februari 2014. Data sekunder diperoleh dari dinas-dinas terkait dan melalui sambungan internet. Tabel 1 berisi daftar kebutuhan data sekunder untuk penelitian ini.

Tabel 1. Daftar Kebutuhan Data Sekunder

No. Kebutuhan Data Sumber Data Format

1 Klimatologi

Rancangan Hujan

BBWS, Proyek Bendungan Jatibarang Digital (.xls)

2 Topografi

Peta Rupa Bumi skala 1:25.000

Geo-portal Indonesia(www.portal.ina-sdi.or.id) dan Laboratorium Penginderaan Jauh Fakultas Geografi UGM

Digital (.shp)

Page 18: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

10

Aplikasi Mitigasi Bencana di Sub-Daerah Aliran Sungai Kreo pada Prediksi Hujan-Limpasan Menggunakan Openlisem, Provinsi Jawa Tengah, IndonesiaKhairunnisa Adhar, Muh. Aris Marfai dan Sunarto

3 Properti Fisik Tanah

Peta tanah terbarui Penelitian sebelumnya

(Setiawan, 2009)

Digital (.jpeg)

Karakteristik tanah Digital (.pdf)

4 Tutupan lahan

Landsat TM 5 USGS (www.

earthexplorer.com)

Digital (GeoTIFF)

Landsat OLI-TIRS 8

5 Dokumen Perencanaan Ruang

RTRW Kota Semarang

Dinas Tata Ruang Kota Semarang

Digital (.shp and .pdf)

RTRW Kab. Semarang

Dinas Tata Ruang Kab. Semarang

RTRW Kab. Kendal

Dinsa Tata Ruang Kab. Kendal

6 Rencana Rinci Bendungan Multifungsi Jatibarang

Rencana rinci BBWS Digital (.dwg dan

.pdf)

2.2. Pemrosesan Data

Pengolahan peta-peta masukan dasar dilakukan menggunakan ArcMap yang kemudian dikonversi menjadi format ASCII untuk menjadi peta dasar di PCRaster. Dengan menggunakan skrip di PCRaster, peta-peta turunan untuk masukan model dapat dibuat.Selanjutnya simulasi model prakiraan dijalankan menggunakan openLISEM pada tig a skenario kala ulang hujan.

Peta tutupan lahan terlebih dahulu diinterpretasi dari citra Landsat menggunakan ENVI versi 4.5, menggunakan metode campuran (manual-otomatis), diklasifikasi menggunakan supervised maximum likelihood dan pasca klasifikasi menggunakan majority kernel 3x3. Pemodelan langkah mitigasi struktural (waduk dan bendungan) dan non-struktural (tutupan lahan sesuai RTRW) dilakukan menggunakan ArcMap.

2.3. Analisis

Analisis data dilakukan dengan metode statistik deskriptif terhadap hasil model prakiraan pada openLISEM. Dengan melakukan perhitungan selisih hasil model prakiraan pada pasangan skenario tutupan lahan. Untuk mengamati perubahan limpasan berdasarkan tutupan lahan, digunakan skenario tutupan lahan tahun 1994 dan 2013. Dampak aplikasi mitigasi non-struktural, tutupan lahan sesuai RTRW, diamati dengan memasangkannya dengan tutupan lahan tahun 1994 dan 2013. Untuk menganalisis pengaruh keberadaan bendungan dan waduk, pasangan

skenario tahun 2013 dengan dan tanpa integrasi mitigasi struktural dan tutupan lahan sesuai RTRW dengan dan tanpa mitigasi struktural. Pemaparan selisih hasil model prakiraan dilakukan secara keseluruhan komposisi tutupan lahan di DAS Kreo maupun setiap kelas tutupan lahan di masing-masing skenario tutupan lahan.

Proses hidrologi fisik yang disimulasi pada openLISEM adalah sebagai berikut. 1. Hujan, merupakan jumlah air masukan

dalam proses pemodelan. openLISEM menggunakan pemodelan berdasarkan kejadian tunggal hujan, data curah hujan yang digunakan biasanya memiliki interval pendek (5-15 menit). Namun, penelitian ini menggunakan data dengan interval 60 menit seperti yang digunakan pada penelitian sebelumnya Nurritasari [3], yang juga menggunakan Model openLISEM untuk menghitung resiko banjir.

2. Intersepsi, merupakan hujan yang tertampung pada permukaan lain sebelum jatuh ke tanah. Pada pemodelan ini, intersepsi diperhitungkan untuk permukaan tumbuhan dan atap rumah. Singkatnya, permukaan tersebut diperhitungkan sebagai penyimpanan tetap yang terisi dan kelebihannya akan mengalir keluar. Proses pengisiannya bersifat eksponensial dan bergantung pada karakteristik kanopi. (www.blogs.itc.nl/lisem/basic-theory/interception/, 2014). Berikut rumus intersepsi aktual kanopi (Cs dalam mm):

(1)

Dimana k adalah parameter yang terkait dengan derajat keterbukaan kanopi (co) yang menentukan seberapa cepat kanopi terisi penuh. Parameter ini bergantung pada Indeks Luas Daun (dalam m2/m2):

(2)

Pada pemodelan ini, derajat keterbukaan kanopi (co) dapat diatur sesuai dengan jenis vegetasi dan kondisi yang terobservasi. Karena vegetasi di sub-DAS Kreo terdiri atas bermacam-macam jenis, maka dibedakan berdasarkan jenis tutupan lahan, yaitu semak, sawah, perkebunan, ladang, dan hutan, kemudian dilakukan perhitungan Smax untuk masing-masing daerah berdasarkan rumus pada interface openLISEM pada Gambar 1.

Pcum Cs = Smax x ( 1 exp ( -k x )) Smax

k = 1 eks ( -co x LAI )

Page 19: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

11

Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia Vol. 2 No. 1, Mei 2016: 8-18

Gambar 1. Rumus Penyimpanan Maksimum pada openLISEM

Penyesuaian kelas tutupan lahan dan rumus yang digunakan adalah sebagai berikut.a. Hutan dikategorikan mayoritas memiliki

pohon berdaun lebar (Broadleaved forest)b. Kebun campuran dengan mayoritas

tumbuhan yang daunnya kurang lebih serupa dengan Pohon Zaitun (Olive). Untuk tutupan lahan kelas Permukaan Air pada Peta Tutupan Lahan sesuai RTRW juga masuk dalam kategori ini, diasumsikan mayoritas tanaman yang berada di lokasi tersebut serupa dengan Pohon Zaitun.

c. Sawah dan Tegalan dikategorikan memiliki tumbuhan yang serupa dengan tanaman sejenis Padi dan Jagung (Crops)

d. Semak/Belukar dalam kategori rumpun rerumputan (Clumped grass), begitu pula dengan kanopi di area terbangun diasumsikan bahwa tanaman yang mayoritas terdapat pada kelas tersebut adalah sejenis rerumputan.

Pada model ini, jumlah intersepsi setiap sel grid mewakili intersepsi kanopi dikali bagian yang tertutup tanaman karena nilai ILD harus mewakili ILD rerata tanaman pada grid dan untuk memastikannya, nilai ILD yang diperoleh akan dikali dengan fraksi tutupan vegetasi. Sebelumnya nilai ILD diperoleh dari rumus oleh van Diepen, Wolf et al. (1989) berdasarkan fraksi tutupan vegetasi (PER).

3. Infiltrasi, adalah hujan yang menyerap ke dalam tanah. Terdapat beberapa teori infiltrasi yang tersedia pada pemodelan openLISEM yaitu SWATRE, Green and Ampt dan Smith and Parlange. Dalam penelitian ini, infiltrasi dihitung berdasarkan teori Green and Ampt.

4. Proses permukaan, openLISEM juga memperhitungkan pengaruh permukaan terhadap aliran air dalam sistem, hal ini berkaitan dengan penampungan permukaan dan kekasaran acak. Proses ini merupakan perincian proses dari permukaan mikrorelief yang ditandai dengan kekasaran acak, yang merupakan standar deviasi kemiringan permukaan yang dihitung dalam skala kecil. Nilai koefisien kekasaran acak ini diperoleh dari literatur, seperti pada Tabel 2 berikut.

5. Aliran permukaan, proses ini dibentuk berdasarkan teori Horton yang menjumlahkan air dari kelebihan kapasitas aliran saluran, infiltrasi dan intersepsi. Dalam proses penyebaran spasial aliran air, openLISEM mengadaptasi gelombang kinematik.

6. Aliran sungai, proses aliran ini bekerja berdasarkan operasi sekeliling yang tergantung pada model kemiringan digital dengan menjumlahkan banyak materi yang mengalir masuk dan keluar dari tiap kotak sel. Dibutuhkaan peta jaringan sungai dengan karakteristiknya (seperti lebar dan kekasaran dasar sungai).

Tabel 2. Koefisien Kekasaran dan Karakteristik Tanah Berdasarkan Tutupan Lahan

TLa Manning’s Manning’s n (diperbaharui)

Random Roughnessb Ksatb Ksatc

Terkalibrasi Thetasb Thetaib Thetaic Terkalibrasi Kelas TLa

1 0,3 0,05 0,2 23,3 12,51 0,48 0,48 0,425 Semak Belukar

2 0,3 0,3 0,2 23,3 12,51 0,48 0,48 0,425 Semak Belukar

3 0,4 0,8 0,5 39,6 21,28 0,54 0,47 0,473 Hutan

4 0,4 0,4 0,5 39,6 21,28 0,54 0,47 0,473 Hutan

5 0,06 0,06 1,8 34,2 18,39 0,59 0,50 0,505 Sawah

6 0,06 0,06 1,8 34,2 18,39 0,59 0,50 0,505 Sawah

7 0,08 0,17 0,2 29,4 15,8 0,64 0,51 0,507 Tegalan

8 0,3 0,17 0,5 30,5 16,38 0,62 0,51 0,505 Kebun Campuran

9 0,01 0,011 0,05 40 21,48 0,52 0,46 0,464 Permukiman

a Tutupan lahan dari hasil interpretasi Citra Landsat ,b Diambil dari Setiawan, 2009, c Dikalibrasi oleh Setiawan, 2009, d Klasifikasi tutupan lahan berdasarkan Setiawan, 2009

Page 20: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

12

Aplikasi Mitigasi Bencana di Sub-Daerah Aliran Sungai Kreo pada Prediksi Hujan-Limpasan Menggunakan Openlisem, Provinsi Jawa Tengah, IndonesiaKhairunnisa Adhar, Muh. Aris Marfai dan Sunarto

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil Pemodelan

3.1.1. Penggunaan Lahan Tahun 1994 dan Tahun 2013Persentase akurasi citra interpretasi citra

landsat tahun 1994 dan 2013, yang masing-masing secara keseluruhan adalah 76.37% dan 91.51%. Dengan nilai koefisien Kappa sebesar 0.6512 untuk peta tutupan lahan tahun 1994 dan 0.903 untuk peta tutupan lahan tahun 2013.hasil interpretasi tahun 1994 termasuk dalam kelas menengah dan tahun 2013 masuk dalam kelas baik, dimana keduanya masuk dalam kategori yang lebih dari cukup sebagai hasil interpretasi tutupan lahan yang dapat dijadikan dasar pemetaan maupun analisis lain Landis & Koch (1977).

Gambar 2. Penyesuaian Tutupan Lahan Tahun 1994 dan Tahun 2013 untuk Masukan Model

Hujan-Limpasan openLISEM

Gambar 2 menunjukkan hasil interpretasi tutupan citra Landsat tahun 1994 dan 2013 setelah dilakukan penyesuaian dengan Peta Guna Lahan RBI untuk interpretasi tahun 1994 dan Peta Guna Lahan Eksisting dari tiga wilayah aadministrasii untuk interpretasi tahun 2013. Penyesuaian dilakukan agar model dapat dilakukan dalam kelas tutupan lahan yang sesuai untuk seluruh tahun skenario (1994, 2013 dan RTRW).

3.1.2. Langkah Mitigasi StrukturalPemodelan dilakukan dengan menjadikan

model elevasi ketinggian struktur bendungan sebagai permukaan padat yang kemudian digunakan untuk menggantikan ketinggian pada model elevasi ketinggian normal di area sub-DAS Kreo. Untuk memodelkan permukaan air pada waduk, ketinggian MED normal dimanipulasi menjadi tinggi area permukaan air waduk saat

terisi. Terdapat beberapa struktur yang dibangun sebagai bagian dari keseluruhan bendungan, seperti cofferdam, spill way, hydro power, yang tidak diintegrasikan dalam model mitigasi struktural, karena keterbatasan peneliti terkait perincian dan fungsi struktur tambahan tersebut sehingga tidak dapat disederhanakan menjadi model.

3.1.3. Langkah Mitigasi Non-strukturalPerencanaan ruang dari tiga wilayah

administrasi digabung dalam satu model di area sub-DAS Kreo. Informasi yang digunakan sebagai model langkah non-struktural adalah Peta Rencana Pola Ruang. Rencana ruang digunakan sebagai langkah mitigasi non-struktural di sub-DAS Kreo karena penerapan rencana ini akan berdampak langsung terhadap proses hidrologi di kesatuan sistem DAS Kreo.

Gambar 3 berikut menyajikan peta rencana pola ruang di sub-DAS Kreo sebelum dan sesudah penyesuaian. Rencana Pola Ruang dari ketiga wilayah administrasi tersebut merupakan langkah mitgasi non-struktural yang dimaksud dalam penelitian ini.

Gambar 3. Langkah Mitigasi Non-Struktural Rencana Pola Ruang dari Tiga Wilayah

Administrasi

3.2. Pembahasan

3.2.1. Perubahan Penggunaan Lahan dari Tahun 1994 ke 2013Perubahan tutupan lahan secara rinci dapat

diamati dari grafik pada Gambar 4 berikut. Dapat dilihat bahwa area sub-DAS Kreo didomenitasi oleh kelas Kebun campuran, masing-masing di tahun 1994 dan 2013 adalah 3,003.50 ha dan 3,039.29 ha. Kelas kedua yang mendominasi tutupan lahan di sub-DAS Kreo adalah Sawah, masing-masing untuk tahun 1994 dan 2013 adalah 1,829.11 ha dan 1,456.80 ha, terjadi penurunan sebesar 20.35%. Untuk kelas area

Page 21: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

13

Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia Vol. 2 No. 1, Mei 2016: 8-18

terbangun terjadi peningkatan sebesar 80.8% dari tahun 1994, 592.67 ha menjadi 994.29 ha di tahun 2013.

Gambar 4. Grafik Luas Tutupan Lahan Tahun 1994 dan 2013 pada Setiap Kelas

3.2.2. Perubahan Limpasan Berdasarkan Tutupan LahanTabel 3 merupakan kompilasi selisih

perbedaan hasil model berdasarkan skenario tutupan lahan (1) dan (2) dari ketiga hujan rancangan. Pada hasil pelepasan total dari hujan rancangan 5 tahunan, skenario (2) yaitu tutupan lahan tahun 2013 berkurang 0.3% dari pelepasan total tahun 1994. Hasil lain yang mempengaruhi keseluruhan pelepasan total mengalami peningkatan dan penurunan berdasarkan kelas tutupan lahan.

Dari Komposisi tutupan lahan dari Gambar 5 dapat dilihat perbandingan perubahan skenario (1) dan skenario (2) pada kelas yang berubah persentasenya. Perubahan tutupan lahan dari kelas sawah dan semak belukar menjadi area terbangun dan tegalan memberi perubahan pada

pengurangan pelepasan total (mm), infiltrasi (mm) dan simpanan permukaan (mm), sebaliknya peningkatan intersepsi (mm), limpasan (air pada limpasan dan sungai dalam mm) dan waktu puncak pelepasan (menit).

Gambar 5. Diagram Persentase Komposisi Kelas Tutupan Lahan pada Tahun 1994 dan

Tahun 2013

3.2.3. Perubahan Limpasan Berdasarkan Kala Ulang Hujan RancanganAkumulasi curah hujan 5 tahunan ke 50

tahunan meningkat sebesar 71% dari 11024.28 mm, sedangkan akumulasi dari curah hujan 50 tahunan ke 100 tahunan adalah 12% dari 18883.38 mm menjadi 21167.88 mm. Grafik garis pelepasan (l/s) setiap interval waktu waktu 1 menit ditampilkan pada Gambar 6. Secara keseluruhan, skenario tutupan lahan tahun 1994 mencapai waktu puncak lebih awal dibanding tutupan lahan tahun 2013. Dengan jumlah pelepasan puncak tertinggi.

Tabel 3. Persentase Selisih Hasil Model Hujan-Limpasan Berdasarkan Skenario Tutupan Lahan (1) dan (2) dari Hujan Rancangan 5, 25 dan 100 Tahunan pada Menit ke-1200 Model openLISEM

5 Tahunan 50 Tahunan 100 TahunanPelepasan total (mm) 0,30% - 0,28% - 0,35%Intersepsi total (mm) 33,35% 40,80% 42,11%Intersepsi area terbangun total (mm) 47,95% 47,95% 47,95%Infiltrasi total (mm) - 0,39% - 0,06% 0,05%Simpanan permukaan (mm) - 34,07% - 41,18% - 38,79%Water in runoff + channel (mm) 53% 42,26% 37,93%Pelepasan total (m3) 0% - 0,28% - 0,35%Puncak pelepasan (l/s) - 4% - 3,73% - 3,64%Waktu puncak hujan (menit) 0% 0,00% 0,00%Waktu puncak pelepasan(menit) 8% 6,93% 7,18%Pelepasan/Hujan (%) 0% - 0,28% - 0,35%

Sumber: Analisis, 2015

Page 22: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

14

Aplikasi Mitigasi Bencana di Sub-Daerah Aliran Sungai Kreo pada Prediksi Hujan-Limpasan Menggunakan Openlisem, Provinsi Jawa Tengah, IndonesiaKhairunnisa Adhar, Muh. Aris Marfai dan Sunarto

Pada Gambar 6 juga dilihat perbedaan pola grafik garis pelepasan dari kedua tutupan lahan berdasarkan skenario curah hujan rancangan. Perubahan skenario curah hujan membuat grafik pelepasan semakin curam dengan meningkatnya jumlah air yang masuk dalam proses limpasan. Namun bentuk grafik dari kedua tutupan lahan tersebut, masing-masing serupa. Skenario tutupan lahan tahun 1994 dengan lereng yang relatif curam dan skenario tutupan lahan tahun 2013 dengan sedikit gelombang pada lereng di setengah waktu menuju waktu puncak pelepasan.

3.2.4. Mitigasi Struktural dan Mitigasi Non-Struktural dalam Simulasi Prakiraan Hujan-LimpasanKomposisi area tutupan lahan tahun 2013

masing-masing area terbangun, hutan, kebun campuran, sawah, semak/belukar dan tegalan berturut-turut adalah 9%, 11%, 46%, 28%, 2%

dan 3%. Dan komposisi area tutupan lahan sesuai RTRW secara berturut-turut area terbangun, hutan, kebun campuran, sawah, semak/belukar dan tegalan yaitu 23%, 10%, 49%, 2%, 1% dan 15%. Dari perbandingan hasil kedua simulasi model berdasarkan kelas tutupan lahanTabel 4 menyajikan rangkuman dinamika hasil model prakiraan pada skenario tutupan lahan tahun 1994 (1) dan sesuai RTRW (4).

Tabel 4 menunjukkan kelas yang mengalami peningkatan komposisi luas intersepsi akan bertambah dan sebaliknya. Peningkatan komposisi area tutupan lahan pada kelas dari yang terbesar ke terkecil berturut-turut adalah Kelas Tegalan 10,71%, Kelas Area terbangun 7,79%, Kelas Kebun campuran 3,02% dan Kelas Semak Belukar 0,44%. Penurunan masing-masing pada kelas tutupan sawah dan hutan adalah 20,59% dan 1,37%.

Gambar 6. Grafik Garis Pelepasan (l/s) dalam Interval Waktu Satu Menit hingga Menit ke-1195 dari Hujan Rancangan 5, 25 dan 100 Tahunan pada Skenario (1) dan (2)

Tabel 4. Kompilasi Dinamika Hasil Model Prakiraan pada Skenario (4) dan (1)

Hasil model prakiraan Bertambah BerkurangIntersepsi Kelas Area terbangun

Kelas Kebun campuranKelas Tegalan

Kelas HutanKelas SawahKelas Semak/Belukar

Infiltrasi dan Limpasan Kelas Area terbangunKelas Tegalan

Kelas Kebun campuranKelas HutanKelas SawahKelas Semak/Belukar

Pelepasan Kelas Area terbangunKelas TegalanKelas HutanKelas Sawah

Kelas Kebun campuranKelas Semak/Belukar

Ket: Teks = komposisi luas meningkat Teks = komposisi luas menurun

Page 23: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

15

Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia Vol. 2 No. 1, Mei 2016: 8-18

Tabel 5 berikut menampilkan dinamika hasil model prakiraan pada skenario (4) dan (2) berdasarkan perubahan komposisi luas tutupan lahan.

Tabel 5. Kompilasi Dinamika Hasil Model Prakiraan pada Skenario (4) dan (2)

Hasil model

prakiraanBertambah Berkurang

Intersepsi Kelas Area terbangunKelas Kebun campuran Kelas Tegalan Kelas Semak/Belukar Kelas Hutan

Kelas Sawah

Infiltrasi Kelas Area terbangunKelas TegalanKelas Semak/Belukar

Kelas HutanKelas SawahKelas Kebun campuran

Limpasan Kelas Area terbangunKelas TegalanKelas Sawah

Kelas HutanKelas Kebun campuranKelas Semak/Belukar

Pelepasan Kelas Area terbangunKelas Tegalan

Kelas HutanKelas Sawah Kelas Kebun campuranKelas Semak/Belukar

Ket: Teks = komposisi luas meningkat Teks = komposisi luas menurun

Pada hujan skala kecil, peningkatan pelepasan dari tahun 2013 ke tutupan sesuai RTRW 13,46% lebih besar dibanding dengan peningkatan tahun 1994 ke 2013. Pada curah hujan skala tinggi, 50 tahunan dan 100 tahunan memiliki reaksi yang berbeda, masing-masing 6,03 % dan 2,39%. Lebih tinggi 50% dari peningkatan ke tahun 2013 pada curah hujan 50 tahunan, namun kurang sekitar 50 % untuk curah hujan 100 tahunan.

Tabel 6 berikut merupakan matriks dinamika perubahan komposisi luas tutupan lahan terhadap perubahan hasil model prakiraan. Setelah mitigasi struktural berupa Bendungan Jatibarang dan Waduk Jatibarang pada ketinggian terisi diintegrasikan, terjadi perubahan komposisi tutupan lahan. Peningkatan terjadi pada tutupan sawah 13,49%, hutan 13,14%, area terbangun 2,4% dan permukaan air 1,63%. Pengurangan pada kelas kebun campuran 25,33% dan kelas tegalan 5,34% tanpa perubahan pada kelas semak/belukar.

Tabel 6. Kompilasi Dinamika Hasil Model Prakiraan pada Skenario (5) dan (4)

Hasil model

prakiraanBertambah Berkurang

Intersepsi Kelas HutanKelas SawahKelas Area terbangun (5 tahunan)

Kelas Kebun campuranKelas TegalanKelas Semak/BelukarKelas Area terbangun (50 dan 100 tahunan)

Infiltrasi Kelas HutanKelas Sawah

Kelas Kebun campuranKelas TegalanKelas Area terbangun

Limpasan Kelas Permukaan airKelas Hutan

Kelas Kebun campuranKelas TegalanKelas Area terbangunKelas Sawah

Pelepasan Kelas Permukaan airKelas Hutan

Kelas Kebun campuranKelas TegalanKelas Area terbangunKelas Sawah

Ket: Teks = komposisi luas meningkat Teks = komposisi luas menurun Teks = komposisi luas sama

Dinamika hasil pemodelan dari masing-masing kelas berdasarkan perubahan komposisi luas tutupan lahan dirangkum pada Tabel 7 di bawah. Komposisi area tutupan lahan tahun 2013 masing-masing area terbangun, hutan, kebun campuran, sawah, semak/belukar, tegalan dan permukaan air berturut-turut adalah 15,14%, 11,5%, 46,30%, 22,23%, 0,76% dan 4,41%. Setelah integrasi bendungan dan dam komposisi luas area berurutan seperti tersebut diatas adalah 15,14%, 11,15%, 45,74%, 21,29%, 0,68%, 4,36%, dan 1,63%.

Tabel 7. Kompilasi Dinamika Hasil Model Prakiraan pada Skenario (3) dan (2)

Hasil model

prakiraanBertambah Berkurang

Intersepsi Kelas Kebun campuranKelas HutanKelas Sawah

Kelas Area terbangunKelas Kebun campuranKelas SawahKelas Semak/BelukarKelas Permukaan Air

Infiltrasi Kelas Area terbangunKelas Hutan

Kelas Kebun campuranKelas SawahKelas Semak/BelukarKelas Tegalan

Limpasan Kelas Area terbangunKelas HutanKelas TegalanKelas Permukaan Air

Kelas Kebun campuranKelas SawahKelas Semak/Belukar

Pelepasan Kelas Area terbangunKelas Permukaan Air

Kelas Kebun campuranKelas SawahKelas Semak/BelukarKelas Tegalan

Page 24: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

16

Aplikasi Mitigasi Bencana di Sub-Daerah Aliran Sungai Kreo pada Prediksi Hujan-Limpasan Menggunakan Openlisem, Provinsi Jawa Tengah, IndonesiaKhairunnisa Adhar, Muh. Aris Marfai dan Sunarto

Ket: Teks = komposisi luas meningkat Teks = komposisi luas menurun Teks = komposisi luas sama

Kondisi idealnya, intersepsi akan bertambah sejalan dengan semakin besarnya fraksi tutupan vegetasi. Jika luas sebuah tutupan lahan bertambah, belum tentu fraksi tutupan vegetasi juga meningkat karena hal ini diperoleh dari nilai NDVI tersortir. Jumlah Intersepsi sejalan dengan perubahan komposisi luas area, kecuali pada saat mitigasi struktural dan non-struktural diaplikasikan bersama. Pada kondisi tersebut, terjadi penurunan intersepsi pada kelas area terbangun saat simulasi menggunakan skenario hujan kala ulang 50 dan 100 tahunan.

Pada perbandingan skenario (4)-(2), intersepsi kelas hutan bertambah dengan berkurangnya komposisi luas area. Hal ini disebabkan oleh penyesuaian tutupan lahan dari Rencana Pola Ruang. Mayoritas tutupan lahan kelas hutan merupakan daerah peruntukan konservasi di Kota Semarang dimana fraksi tutupan vegetasinya secara merata diberi nilai 0,7. Oleh karena itu, walaupun komposisi luas berkurang intersepsi dapat meningkat.

Pada penelitian ini, nilai infiltrasi berdasarkan pada karakteristik tanah yang telah dirata-ratakan untuk masing-masing unit pemetaan dari penelitian sebelumnya oleh Setiawan (2007). Sehingga perubahan jumlah infiltrasi dipengaruhi langsung dari perubahan komposisi luas area tutupan lahan. Matriks dinamika hasil prakiraan model (4)-(1) (Tabel 4) dan (4)-(2) (Tabel 5), peningkatan komposisi area terbangun sejalan dengan bertambahnya infiltrasi, sebaliknya saat mitigasi non-struktural diintegrasikan perubahan jumlah infiltrasi bertolak belakang dengan perubahan komposisi luasnya.

Nilai limpasan dipengaruhi secara langsung dari kelas tutupan lahan, karena hal ini berdasar pada kekasaran acak mikrorelif dan Manning n dari masing-masing kelas. Limpasan akan terjadi apabila kapasitas infiltrasi sudah jenuh, nilai limpasan merupakan proses kumulatif yang terjadi setelah proses infiltrasi selesai dalam tahap simulasi. Perubahan jumlah limpasan saat komposisi luas area pada tutupan lahan sesuai RTRW dibandingkan dengan komposisi pada skenario tahun 1994 kelas kebun campuran memberikan hasil yang berkebalikan, dan pada skenario 2013 terdapat tiga kelas yang berkebalikan yaitu, kelas sawah, kebun campuran dan semak/belukar.

Gambar 7 menunjukkan kompilasi grafik pelepasan berdasarkan skenario tutupan lahan dan kala ulang hujan. Perbedaan warna menandakan perbedaan skenario tutupan lahan dan perbedaan sela garis mewakili skenario kala

ulang hujan. Garis 2A dan 3A pada Gambar 7 masing-masing mewakili pola pelepasan hasil simulasi skenario tahun 2013 dengan dan tanpa mitigasi struktural dari skenario kala ulang hujan 5 tahunan. Dengan adanya mitigasi struktural, waktu puncak pelepasan ditunda 15 menit pada kala ulang hujan 5 dan 50 tahunan, namun untuk kala ulang hujan 100 tahunan waktu puncak pelepasan lebih lambat 10 menit dibanding tanpa adanya mitigasi struktural.

Dari garis 2A dan 4A dari Gambar 7 dapat diketahui bahwa langkah mitigasi non-struktural yang merupakan kemungkinan ideal perkembangan dari tahun 2013 berdasarkan Rencana Pola Ruang (RTRW 2010-2031) mempercepat waktu puncak pelepasan sekitar 2 jam. Pada hujan kala ulang 50 tahunan waktu puncak terjadi sekitar 1,5 jam lebih dini. Dan semakin cepat 5 menit pada hujan kala ulang 100 tahunan.

Perubahan komposisi kelas tutupan lahan dari 2013 ke Rencana Pola Ruang dapat dilihat di Gambar 8, terlihat jelas bahwa komposisinya menjadi lebih merata dari perbandingan peta tutupan lahan tahun 2013 dan Rencana Pola Ruang. Tutupan lahan kelas kebun campuran mengalami perubahan 50% dari tahun 2013 ke Rencana Pola Ruang. Hal yang sama terjadi pada kelas tutupan lahan sawah, dengan perubahan sekitar 7%. Sebaliknya, komposisi pada kelas tutupan lahan area terbangun, tegalan dan hutan meningkat hingga 50%. Selain itu terdapat kelas tutupan lain yaitu permukaan air, dimana waduk Jatibarang dibendung. Sedangkan kelas tutupan semak belukar tidak mengalami perubahan yang signifikan, karena tetap memiliki komposisi 1% untuk setiap tutupannya.

4. KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa.a. Hasil interpretasi citra landsat tahun 1994

dan 2013 berdasarkan koefisien Kappa masing-masing adalah 0,6512 dan 0,903 dengan tingkat akurasi yang cukup baik (Landis & Koch, 1977). Dari peta perubahan tutupan lahan (Gambar 2) dapat disimpulkan bahwa perubahan terjadi di puncak hulu dan di lereng hulu dari kelas kebun campuran menjadi hutan dan sebaliknya. Selain itu, terjadi pengembangan permukiman di daerah tengah dan hilir DAS.

b. Hasil simulasi hujan-limpasan pada tutupan lahan tahun 1994 dan 2013 (halaman 7), terjadi peningkatan 0,3% dengan percepatan waktu puncak pelepasan selama 20 menit.

Page 25: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

17

Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia Vol. 2 No. 1, Mei 2016: 8-18

Peningkatan secara proporsional masing-masing pada kelas area terbangun (68%) dan tegalan (27%) dengan penurunan pada tiga kelas tutupan lahan lain yang merupakan tutupan dengan karakteristik vegetasi tidak menyebabkan peningkatan jumlah limpasan total.

c. Pengamatan hasil simulasi hujan-limpasan lainnya menyimpulkan bahwa penyimpanan permukaan dan air pada permukaan dan sungai semua skenario kurang dari 0,05

mm dan intersepsi yang kurang dari 0,5 mm. Penyimpanan permukaan berkaitan dengan fraksi tutupan area terbangun yang diwakili oleh atap rumah/bangunan dan celah kecil pada permukaan yang nilainya diperoleh dari literatur berdasarkan kelas tutupan lahan. Sedangkan intersepsi dipengaruhi oleh fraksi tutupan vegetasi yang berasal dari perhitungan NDVI. Secara relatif, intersepsi di tahun 2013 lebih banyak dibanding pada tahun 1994. Hal ini menunjukkan bahwa fraksi tutupan

Gambar 7. Grafik pelepasan (l/s) berdasarkan pada skenario (2), (3), (4) dan (5)

Gambar 8. Komposisi Kelas Tutupan Lahan pada Tahun 1994, 2013 dan RTRW (2010-2031)

Page 26: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

18

Aplikasi Mitigasi Bencana di Sub-Daerah Aliran Sungai Kreo pada Prediksi Hujan-Limpasan Menggunakan Openlisem, Provinsi Jawa Tengah, IndonesiaKhairunnisa Adhar, Muh. Aris Marfai dan Sunarto

kanopi vegetasi pada tahun 1994 relatif lebih kecil dibanding pada tahun 2013. Selain itu, semakin luas area terbangun meningkatkan kapasitas intersepsi di tahun 2013 yang juga berpengaruh pada pengurangan pelepasan total.

d. Pengamatan terhadap pasangan simulasi (4)-(1) dan (4)-(2) menunjukkan masing-masing perbedaan hasil simulasi hujan-limpasan pada tutupan lahan sesuai RTRW dengan tutupan lahan tahun 1994 dan tahun 2013. Dapat disimpulkan RTRW yang telah ada, berpotensi untuk mengurangi dampak resiko bencana banjir pada curah hujan skala besar. Komposisi tutupan lahan sesuai RTRW, khususnya kelas area terbangun memberi dampak yang positif dengan meningkatkan infiltrasi, namun hal ini tergantung dengan pengendalian tutupan vegetasi pada tutupan lahan kelas tersebut (ruang hijau : ruang terbangun = 3:7) karena peningkatan kelas area terbangun juga berpengaruh terhadap meningkatnya jumlah limpasan den pelepasan.

e. Perbandingan dari pasangan simulasi (3)x(2) dan simulasi (5)x(4) menunjukkan pengaruh implementasi langkah mitigasi struktural terhadap proses hujan-limpasan. Matriks dinamika hasil pada perubahan kedua pasang simulasi tersebut menunjukkan pelepasan dan limpasan terbesar terjadi pada lokasi waduk Jatibarang karena tidak terjadi intersepsi maupun infiltrasi. Dari grafik pelepasan total (Gambar 7) dapat dilihat bahwa tidak terjadi perubahan signifikan terhadap garis hidrograf dari pasangan simulasi yang dimaksud. Dengan adanya integrasi mitigasi struktural, terjadi percepatan waktu pelepasan puncak dan puncak pelepasan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Suripin, 2004, Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan.

2. Marfai, A., 2004, GIS Modeling of River Tidal Flood, in Earth System Analysis. ITC.

3. Nurritasari, F.A., 2014, Evaluation of Retention Basin Establishment to Reduce Flood Risk on Crops by Using Flood Modeling in Logung Sub-Catchment, Juwana Catchment, Central Java, Indonesia, in Geography Department. Gadjah Mada University.

4. Gilley, J.E. dan E.R. Kottwitz. 1995, Random roughness assessment by the pin and chain method. Applied Engineering in Agriculture. 12 (1): 39-43.

5. Wang, A., et al. 2006, A Modified Hortonian Overland Flow Model Based on Laboratory Experiments. Water Resources Management. 20 (2): 181-192.

6. Landis, J.R. dan G.G. Koch. 1977, The Measurement of Observer Agreement for Categorical Data. Biometrics. 33: 13.

7. Setiawan, A., 2009, Study of Land Use Change Effect on The Runoff Using LISEM (LImburg Soil Erosion Model), in Geo-Information Science and Earth Observation. University of Gadjah Mada: Yogyakarta.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis ingin berterima kasih kepada Biro Perencanaan Kerjasama Luar Negeri (BPKLN) karena telah mensponsori pendidikan pada jurusan Ilmu Lingkungan minat Geo-informasi untuk Perencanaan Ruang dan Manajemen Bencana, Pascasarjana UGM yang dicapai semasa penyelesaian penyusunan jurnal ini.

Diterima: 1 Februari 2016Disetujui setelah revisi: 25 April 2016

Page 27: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

19

Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia Vol. 2 No. 1, Mei 2016: 19-29

KAJIAN PENYEBAB DAN MEKANISME BENCANA BANJIR DI MANADO, SULAWESI UTARA

STUDY OF CAUSED AND MECHANISM OF FLOOD DISASTER IN MANADO, NORTH SULAWESI

Chandra Hassan1 , Alidina Nurul Hidayah2 dan Lily Handayani3

1Perekayasa Utama, 2Calon Perekayasa, 3Dosen Institut Teknologi YogyakartaBalai Sabo, Pusat Litbang Sumber Daya Air,

Sopalan, Maguwoharjo, Yogyakarta-55282, Tel. 0274-886350, Fax. 0274-885431e-mail: [email protected]

Abstrak

Bencana banjir yang melanda Provinsi Sulawesi Utara, khususnya Kota Manado pada tanggal 15 Januari 2014 terjadi karena meluapnya Sungai Tondano, Sungai Tikala, Sungai Sario, dan Sungai Malalayang. Meluapnya sungai-sungai tersebut bukan karena adanya hujan yang terjadi di hulu melainkan terjadi maksimum hujan di bagian tengah terutama pada lereng-lereng di bagian Selatan, Barat Daya dan bagian Timur Manado. Curah hujan yang sangat tinggi mengakibatkan kondisi tanah menjadi sangat jenuh, dan air hujan tidak lagi mampu terinfiltrasi ke dalam tanah. Sebagian besar air hujan menjadi runoff dan menyebabkan terjadinya banjir. Ketinggian banjir dapat mencapai 2 – 8 meter. Peningkatan aliran permukaan (runoff) karena terganggunya daur hidrologi seperti hilangnya hutan dan sungai-sungai kecil di sekitar Manado, serta rusaknya daerah resapan akibat maraknya pembangunan kota. Perubahan penggunaan lahan memperburuk dampak banjir. Pengendalian daya rusak akibat banjir dengan pendekatan struktural dapat dilakukan dengan membuat tanggul atau memperkuat tebing pada titik limpasan banjir dan juga membangun sabodam seperti groundsill atau sandpocket. Pendekatan nonstruktural dapat dilakukan dengan membuat peta bahaya banjir, peramalan dan sistem peringatan dini (FEWS), melakukan sosialisasi kebencanaan, penataan kembalai tata ruang kawasan, relokasi rumah warga yang dibangun dekat sungai dan penegakan regulasi bangunan.

Kata Kunci: Banjir, sabodam, tanggul, peta rawan bencana banjir, sistem peringatan dini, sosialisasi, tata ruang, regulasi bangunan.

AbstractFlood disaster that hit North Sulawesi, particularly in Manado city on January 15, 2014 occurred due to the overflowing of the Tondano, Tikala, Sario and Malalayang rivers. The overflow of rivers is not caused by the rain that occurred in the upstream area but by the maximum rainfall that occurs in the middle, especially on slopes in the South, Southwest and Eastern parts of Manado. Rainfall is too high resulting in highly saturated soil conditions, and the rain no longer able infiltrated into the ground. Most of the rainfall becomes runoff and cause floods. Flood height can reach 2-8 meters. Increased runoff due to disruption of the hydrological cycle as the loss of forests and small rivers around Manado, as well as the destruction of catchment areas due to rampant urban development. Moreover, the change of land use worsen the flood impact. Countermeasures against flood disasters by structural approach can be done by making dyke or strengten the cliff on critical runoff point and also build sabo dam such as groundsill or sandpocket. Nonstructural approaches can be done by creating a flood hazard maps, forecasting and early warning system (FEWS), to disseminate disaster, kembalai spatial arrangement of the area, relocation of houses are built near rivers and and building regulation enforcement.

Keywords: Floods, sabodam, dykes, flood hazard maps, early warning systems, dissemination, spatial planning, building regulation .

Page 28: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

20

Kajian Penyebab dan Mekanisme Bencana Banjir di Manado, Sulawesi UtaraChandra Hassan, Alidina Nurul Hidayah dan Lily Handayani

1. PENGANTAR

1.1. Latar Belakang

Kejadian bencana merupakan hal yang sudah tidak asing lagi bagi bangsa Indonesia. Selama kurun waktu tahun 2010 – 2014, jumlah kejadian bencana di Indonesia mencapai 1.097 kejadian yang terdiri dari 1.124 bencana alam, 626 bencana nonalam dan 157 bencana sosial. Pada tahun 2014, kejadian banjir mencapai 88 kejadian atau sekitar 19% dari total bencana yang terjadi pada tahun tersebut (Gaffar, 2015). Kejadian banjir yang cukup dahsyat dampaknya terjadi pada awal tahun 2014 adalah banjir di Manado yang terjadi pada tanggal 15 Januari 2014. Bencana melanda enam kabupaten dan kota yakni kota Manado, Tomohon, Minahasa, Minahasa Selatan, Minahasa Utara dan Kepulauan Sangile, Provinsi Sulawesi Utara. Banjir juga telah menyebabkan tanah longsor di sekitar permukiman yang terletak di perbukitan. Data korban dan kerusakan akibat bencana banjir dapat dilihat pada Tabel 1.

1.2. Maksud dan Tujuan

Kajian ini dimaksudkan untuk mengumpulkan data terkait kejadian banjir di Kota Manado, Sulawesi Utara sehingga dapat diketahui penyebab dan mekanisme terjadinya banjir serta pertimbangan teknis strategi pengendalian banjir tersebut.

2. DESKRIPSI WILAYAH BENCANA

Sebagian besar wilayah Sulawesi Utara terdiri dari pegunungan dan bukit-bukit yang diselingi lembah yang membentuk daratan. Terdapat 8 gunungapi aktif dari total 12 gunung yang ada di Sulawesi Utara. Sungai yang mengalir di wilayah Sulawesi Utara seperti Sungai Tondano (40 km), sungai Poigar (54,2 km), Sungai yang mengalir di wilayah Sulawesi Utara pada umumnya dimanfaatkan untuk irigasi, sumber tenaga maupun air minum. Sungai yang meluap pada tanggal 15 Januari 2014 dan memberikan

Tabel 1. Data Korban dan Kerusakan Akibat Banjir di Provinsi Sulawesi Utara

No. Data Korban/ Kerusakan Jumlah1 Korban jiwa

a) Terdampak 86.355 jiwa (25.103 KK)

b) Meninggal dunia 19 jiwa

a) Mengungsi 6.896 jiwa

2 Kerusakan rumah

a) Hanyut 840 unit

b) Rusak berat 3.688 unit

c) Rusak sedang 1.966 unit

d) Rusak ringan 4.789 unit

3 Gedung fasilitas umum

a) Masjid 27 unit

b) Gereja 29 unit

c) Sekolah 99 unit

4 PSDPU (Prasarana dan Sarana Dasar Ke PU-an)

a) Jalan 31,6 km

b) Jembatan 5 unit

c) Saluran drainase 3,9 km

d) MCK, air bersih, sanitasi, pipa PDAM Masing-masing 1 unit

e) Tanggul S. Tondano 6,2 km

f) Tanggul S. Sario 1 km

g) Tanggul S. Sawangan 1 km

h) Tanggul anak anak sungai 1,6 km

5 Luas wilayah tergenang 425 Ha

6 Total kerugian 1.87 triliun rupiah

Sumber : Pos Komando Tanggap Darurat Bencana Pemkot Manado, 2014

Page 29: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

21

Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia Vol. 2 No. 1, Mei 2016: 19-29

dampak genangan paling parah adalah Sungai Tikala, Sungai Sario, Sungai Tondano dan Sungai Malalayang.

Topografi daerah Manado sangat dipengaruhi oleh kegiatan tektonik disamping pengaruh gunungapi dan marin. Topografi tersebut dapat dilihat dari bentuk bentang alam yang berupa cekungan banjir, pantai pasang-surut, rawa, alur sungai, pantai maupun lepas pantai. Terdapat sekitar 92% dari wilayah Kota Manado terletak pada ketinggian antara 0-240 DPAL. Bentang alam Kota Manado memiliki tekstur yang berbatasan dengan pantai dan kontur tanah yang berombak dan berbukit (Gambar 1)

Struktur geologi kawasan bencana terdiri dari busur gunungapi yang terbentuk karena adanya penunjaman Sulawesi Utara di sebelah Utara dan Sangihe di sebelah Timur (Simanjuntak, 1986). Penunjaman Sulawesi Utara diduga aktif sejak awal tersier dan menghasilkan busur gunungapi tersier yang terbentang dari sekitar Tolitoli sampai dekat Manado. Sedangkan penunjaman Sangihe diduga aktif sejak awal quarter dan menghasilkan jalur gunungapi quarter di bagian Timur Sulawesi Utara yang menerus ke arah Barat Daya sampai di daerah G. Una-una.

3. METODOLOGI

Metodologi yang digunakan dalam kajian ini meliputi analisis topografi, geomorfologi dan morfologi sungai berdasarkan pustaka/literatur. Tahapan kegiatan yang dilakukan meliputi:1. Pengumpulan data yang dilakukan dengan

cara:a. Studi pustaka tentang kejadian banjir dan

tanah longsor terkait wilayah bencana.b. Survei dan observasi lapangan di lokasi

terdampak bencana. Lokasi yang ditinjau antara lain: kawasan

yang terkena dampak di Kota Manado dan on the spot survey pada sungai-sungai yag meluap seperti Sungai Sario, Sungai Tikala dan Sungai Tondano.

On the spot survey diakukan pada 5 (lima) lokasi yang relatif berada pada daerah hilir DAS Sario dan DAS Tondano (Gambar 2). Untuk melihat kondisi sungai dilakukan dengan interpretasi foto udara dan peta topografi.

c. Diskusi dengan BWS Sulawesi I.d. Wawancara dengan penduduk setempat.

2. Analisis hasil pengumpulan data yang dilakukan, meliputi: analisis peta dan rekaman observasi lapangan dengan metode deskriptif.

4. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan data tinggi muka air pada saat banjir yang dikeluarkan oleh BWS Sulawesi II tahun 2014 menunjukkan bahwa genangan air mencapai 3 - 4 meter dan tinggi flood mark mencapai 2 - 8 m. Luas kawasan yang terdampak banjir sekitar 425 Ha atau sebesar 7% dari luas Kota Manado yang memiliki kemiringan relatif datar (0 - 8 %). Data curah hujan diambil dari 7 (tujuh) pos hujan dari tanggal 11 sampai 16 Januari 2014 menunjukkan bahwa rata-rata hujan pada tanggal 14 Januari 2014 sebesar 134,4 mm dan pada tanggal 15 Januari 2014 sebesar 127,2 mm (lihat Tabel 2 dan Gambar 3).

Gambar 1. Kondisi Topografi Kota Manado dan Sekitarnya

Page 30: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

22

Kajian Penyebab dan Mekanisme Bencana Banjir di Manado, Sulawesi UtaraChandra Hassan, Alidina Nurul Hidayah dan Lily Handayani

Gambar 2. Lokasi Kajian di Sepanjang Sungai Sario, Tikala dan Tondaro

Tabel 2. Data Curah Hujan

No. Nama Pos Hujan 11 Jan ‘14 12 Jan ‘14 13 Jan ‘14 14 Jan ‘14 15 Jan ‘14 16 Jan ‘14

1 Kaiwatu 68,0 70,2 98,5 201,0 123,0

2 Maen 22,0 3,0 126,5 40,0

3 Talawaan 41,0 6,5 21,0 92,0 94,0

4 Kakaskasen 130,0 145,0

5 Kaleosan 177,0 171,5

6 Sawangan 30,0 170,7

7 Tinoor 8,0 184,0 146,0 32,1

Rata-rata 44,0 26,3 42,5 134,4 127,2 32,1

Sumber : BWS Sulawesi II, 2014

Gambar 3. Curah Hujan Maksimum Harian dan Dua Harian (14-15 Januari 2014)

Page 31: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

23

Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia Vol. 2 No. 1, Mei 2016: 19-29

Gambar 4. Curah Hujan Rerata Banjir di Manado pada H–1, H-2 dan H-3

Berdasarkan informasi dari berbagai sumber, sebelum banjir besar melanda Manado pada tanggal 15 Januari 2014, Manado pernah mengalami banjir cukup besar yakni pada tanggal 3 Desember 2000, tanggal 21 Februari 2006 dan tanggal 17 Februari 2013. Besarnya curah hujan rata-rata pada keempat kejadian banjir besar tersebut disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Curah Hujan Rerata Banjir Manado

HariCurah Hujan (mm)

3 Des. 2000 21 Feb. 2006 17 Feb. 2013 15 Jan. 2014H – 3 78,6 45,7 19,3 26,3

H – 2 7,0 75,5 15,8 42,5

H - 1 5,0 63,7 148,7 134,4

Rerata 30,2 61,6 61,3 67,7

Berdasarkan data curah hujan pada Tabel 3 dan Gambar 4 di atas serta histori hujan maksimum harian maka banjir yang terjadi di Manado pada tanggal 15 Januari 2014 bukan merupakan hujan maksimum yang pernah terjadi. Curah hujan maksimum yang terjadi pada tanggal 15 Januari 2014 masih lebih rendah daripada curah hujan maksimum yang terjadi pada tanggal 17 Februari 2013. Kondisi hujan 2-3 hari sebelum kejadian juga masih rendah. Bahkan curah hujan di Pos hujan Tinoor sebelum kejadian tercatat hanya 8 mm. Namun, faktanya banjir pada tahun 2014 dipandang sebagai banjir yang jauh lebih besar daripada banjir pada tahun-tahun sebelumnya.

Berdasarkan distribusi hujan yang ditunjukkan pada Gambar 5 dapat diketahui bahwa hujan tidak terjadi di hulu namun terjadi maksimum hujan di bagian tengah terutama pada lereng-lereng d bagian Selatan, Barat Daya dan bagian Timur Manado. Pola hujan yang demikian dapat terjadi jika dipengaruhi oleh pola angin yang membawa awan dan kemudian menabrak lereng lereng bukit seperti lereng Gunungapi Klabat (+1.895 m), lereng Gunungapi Lokon (+1.579 m), Gunungapi Mahawu (+1.331 m), lereng Gunung Dua Saudara (+1.468 m) dan menimbulkan hujan yang sering disebut sebagai hujan orografis.

Gambar 5. Distribusi Curah Hujan pada 15 Januari 2014 (bencanasulut.wordpress.com)

Banjir di Manado juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti terganggunya daur hidrologi yakni terjadi peningkatan aliran

Page 32: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

24

Kajian Penyebab dan Mekanisme Bencana Banjir di Manado, Sulawesi UtaraChandra Hassan, Alidina Nurul Hidayah dan Lily Handayani

permukaan (runoff) dan sebaliknya terjadi penurunan air resapan. Terganggunya daur hidrologi tersebut terutama oleh ulah manusia seperti hilangnya hutan dan sungai-sungai kecil di sekitar Manado, serta rusaknya daerah resapan akibat maraknya pembangunan kota seperti penggalian bukit untuk reklamasi dan pembukaan kawasan hutan menjadi kawasan hunian baru yang tak diimbangi dengan tata kota dan infrastruktur yang memadahi serta tak optimalnya fungsi drainase kota menyebabkan sejumlah sungai di Manado tak mampu lagi menampung debit banjir. Selain itu banjir di Manado diperparah karena air laut pada saat kejadian sedang pasang.

Prakiraan debit banjir pada tanggal 15 Januari 2014 dapat dilihat pada Tabel 3. Prakiraan debit banjir dihitung berdasarkan flood mark dengan anggapan kekasaran dasar untuk sungai-sungai tersebut mempunyai nilai yang sama 0,020. Ketinggian banjir bervariasi antara 2,0 – 8,20 m sebagaimana Tabel 4. Penggenangan banjir terjadi karena meluapnya Sungai Tikala, Sungai Sario dan Sungai Malalayang. Lebar sungai di daerah hilir berkisar antara 15 – 25 m dan kemiringan memanjang Sungai Tondano antara 1/140 – 1/200 (agak curam), sedangkan Sungai Tikala, Sario dan Malalayang antara 1/10 – 1/7 (curam) (Gambar 6). Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa Danau Tondano tidak memberikan kontribusi yang berarti terhadap kejadian banjir di Sungai Tondano, semakin menambah keyakinan

bahwa hujan yang berpengaruh terhadap kejadian banjir adalah hujan yang jatuh di daerah tengah. Kenaikan muka air Sungai Tondano di hulu pertemuannya dengan Sungai Tikala diduga karena pengaruh backwater yang kemungkinan disebabkan oleh tidak optimalnya fungsi drainase Kota Manado dan adanya pengaruh pasang air laut.

Dari investigasi yang dilaksanakan pada Sungai Sario, Sungai Tikala, dan Sungai Tondano memperlihatkan dengan jelas bahwa Sungai Sario dan Sungai Tikala merupakan sungai yang mengalirkan debris dengan batu-batu besar diameter 20 - 100 cm. Sementara itu, Sungai Tondano tidak mengalirkan debris karena aliran Sungai Tondano berasal dari Danau Tondano.

Gambar 6. Kemiringan Memanjang Sungai Tondano, Sungai Tikala, Sungai Sario, dan

Sungai Malalayang

Tabel 4. Prakiraan Debit Banjir Berdasarkan Flood Mark

No. Nama Sungai S A (m2)

P (m)

R (m)

V (m/dt)

Q (m3/dt) Penampang Sungai

1 S. Sario (Citraland) 1/10 72 36 2,00 25,00 1.800

S. Sario, Ds. Pakoa, Kec Wanea 1/10 68 30 2,30 27,61 1.877

2 S. Tikala, Ds. Perkamil, Paal 1/140 150 41 3,66 10,14 1.520

3 S. Tondano (Pertemuan S.Tikala dan S. Tondano) 1/200 195 59 3,30 9,50 1.844

Page 33: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

25

Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia Vol. 2 No. 1, Mei 2016: 19-29

Sungai Sario (Lokasi : Citraland)Lokasi peninjauan di Sungai Sario,

tepatnya yang melintasi kawasan perumahan Citraland yang didirikan di atas bukit dan memiliki ketinggian 50 meter di atas permukaan laut. Banjir yang terjadi di Sungai Sario mengangkut batu-batu besar dan seresah pohon (debris) sehingga menambah besar tingkat daya rusaknya. Banjir menghantam perumahan Citraland, terutama yang berada di tepi kanan sungai (Gambar 7). Pengamanan tebing kanan Sungai Sario di kawasan perumahan Citraland dapat dilakukan misalnya dengan membangun tanggul yang diperkuat dengan pasangan beton atau batu kali sebagaimana Gambar 8.

Sungai Sario (Ds. Pakoa, Kec. Wanea)-1Banjir cenderung menyusur dan menggerus

bantaran sungai sisi kanan yang mengakibatkan fondasi rumah di tepi kanan sungai runtuh (Gambar 9). Perbaikan tebing sungai perlu segera dilakukan untuk mencegah terjadinya keruntuhan jembatan di Desa Pakoa. Selain itu, perlu dilakukan relokasi rumah warga maupun badan usaha yang menempati palung sungai.

Gambar 7. Banjir Sungai Sario Menghantam Perumahan Citraland

Sungai pada dasarnya terdiri dari palung sungai dan sempadan sungai. Palung sungai berfungsi sebagai ruang wadah air mengalir dan sebagai tempat berlangsungnya kehidupan ekosistem sungai. Sempadan sungai berfungsi sebagai ruang penyangga antara ekosistem

Gambar 8. Modifikasi Jembatan Sungai Sario sebagai Groundsill dan Sekaligus sebagai Jembatan serta Perbaikan Tanggul di Kawasan Citraland yang Rusak Akibat Banjir Sungai Sario.

Page 34: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

26

Kajian Penyebab dan Mekanisme Bencana Banjir di Manado, Sulawesi UtaraChandra Hassan, Alidina Nurul Hidayah dan Lily Handayani

sungai dan daratan agar fungsi sungai dan kegiatan manusia tidak saling terganggu. Garis sempadan sungai perlu segera ditetapkan di daerah ini untuk mencegah bertambahnya rumah-rumah yang menempati palung sungai. Jika kedalaman alur sungai ≤ 3 m maka garis sempadan sungai paling sedikit berjarak 10 m dari tepi kiri kanan sungai sepanjang alur sungai. Penetapan garis sempadan sungai dilakukan melalui kajian mendalam dengan mempertimbangkan karakteristik geomorfologi sungai, kondisi sosial budaya masyarakat setempat, serta memperhatikan jalan akses bagi peralatan, bahan dan sumber daya manusia untuk melakukan kegiatan operasi dan pemeliharaan sungai.

Sungai Sario (Ring Road)Banjir mengakibatkan badan jalan ring

road longsor. Hal ini menunjukkan pula struktur tanah di kawasan ini tidak stabil sehingga mudah longsor (Gambar 10).

Sungai Sario (Ds. Pakoa, Kec. Wanea)-2Di Sungai Sario, diameter material sedimen

berkisar antara 20 - 60 cm dengan kedalaman ± 2 m dilihat dari flood mark. Di daerah kipas aluvial ini, perubahan arah aliran sungai cenderung selalu akan terjadi. Oleh karena itu, pengarahan aliran sungai baru dapat dilakukan pada akhir daerah kipas aluvial. Di daerah ini, material sedimen dapat ditambang sebagai bahan bangunan (Gambar 11 dan 12).

Gambar 9. Kondisi Lokasi Peninjauan Sungai Sario di Desa Pakoa, Kecamatan Wanea

Page 35: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

27

Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia Vol. 2 No. 1, Mei 2016: 19-29

Sungai Tikala (Ds. Perkamil, Paal IV)Perkuatan tebing sungai dan/atau tanggul

perlu dilakukan pada tepi sungai Tikala yang terletak di Ds. Perkamil (Perkampungan Militer), Kal. Paal IV. Handrail jembatan yang rusak menunjukkan bahwa banjir melimpas sampai di atas jembatan (Gambar 13). Berdasarkan data dari BWS Sulawesi I, ketinggian banjir mencapai lebih dari 8 m dilihat dari flood mark.

Pertemuan Sungai Tondano dengan Sungai Tikala

Ketika melakukan on the spot survey pada pertemuan Sungai Tikala dengan Sungai Tondano

H a n d r a i l rusak

Gambar 13. Arah Limpasan dan Kondisi Tebing Kiri Kanan S. Tikala serta Kerusakan Handrail Jembatan oleh Banjir.

masih sangat terlihat dengan jelas bahwa Sungai Tikala mengangkut debris ketika banjir pada tanggal 15 Januari 2014 yang lalu. Berdasarkan flood mark ketinggian banjir di Sungai Tikala mencapai 8 - 10 m.

Konsep Pengelolaan SungaiPengendalian banjir adalah upaya untuk

melakukan pengelolaan risiko banjir. Pengelolaan risiko banjir dapat dilakukan melalui dua pendekatan yakni pengurangan risiko besaran banjir dan kerentanan banjir. Pengurangan risiko besaran banjir dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas tampung alur sungai yang antara lain

Gambar 10. Perbaikan Badan Jalan Ring Road Akibat Longsor

Gambar 11. Daerah Kipas Aluvial di Sungai Sario

Page 36: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

28

Kajian Penyebab dan Mekanisme Bencana Banjir di Manado, Sulawesi UtaraChandra Hassan, Alidina Nurul Hidayah dan Lily Handayani

dapat dilakukan dengan membangun tanggul/ perkuatan tebing, sabodam, kanalisasi dan lain-lain. Sedangkan pengurangan risiko kerentanan banjir meliputi : penetapan batas sempadan sungai, penetapan batas dataran banjir, penetapan zona peruntukan lahan sesuai risiko banjir, pengawasan peruntukan lahan di dataran banjir, persiapan menghadapi banjir termasuk sistem peringatan dini dan sistem evakuasi warga, penanggulangan banjir, dan pemulihan pasca banjir.

Dalam rangka pengurangan risiko besaran banjir, penanganannya didasarkan pada karakteristik sungai. Sungai Tikala, Sungai Sario dan Sungai Malalayang merupakan sungai-sungai yang mengangkut debris sehingga penanganan

dapat dilakukan dengan menerapkan konsep sabo engineering. Sedangkan Sungai Tondano dengan konsep river engineering.

Dalam konsep sabo engineering, penanganan sungai dibagi ke dalam tiga zonasi. Di daerah hulu dapat diterapkan konsep hillside sabo works, di bagian tengah dengan torrent sabo works, dan di bagian hilir dengan coastal sabo works. Oleh sebab itu, perlu dilakukan studi secara comprehensive, termasuk penyusunan hazard map sebagai dasar pengelolaan sungai. Studi yang dimaksud meliputi Sungai Tondano, Sungai Tikala, Sungai Sario, dan Sungai Malalayang. Dalam studi ini antara lain juga menetapkan berapa sebenarnya debit desain yang akan digunakan dalam pengelolaan sungai

Gambar 12. Kondisi Sungai Sario di Bagian Hilir Kipas Aluvial

Gambar 13. Arah Limpasan dan Kondisi Tebing Kiri Kanan Sungai Tikala serta Kerusakan Handrail Jembatan oleh Banjir.

Page 37: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

29

Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia Vol. 2 No. 1, Mei 2016: 19-29

karena fakta lapangan menunjukkan bahwa banjir pada tanggal 15 Januari 2014 sangat besar sekali. Juga pemetaan daerah-daerah yang berpotensi terjadinya tanah longsor diperlukan untuk menghitung besarnya angkutan debris dan untuk menentukan jumlah dan macam bangunan pengendali daya rusak air sungai yang diperlukan.

5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil kajian ini adalah:1. Banjir yang terjadi di Manado pada tanggal

15 Januari 2014 dipicu oleh adanya hujan maksimum yang jatuh pada daerah tengah (pada lereng-lereng DAS).

2. Bencana banjir dan tanah longsor di Manado pada tanggal 15 Januari 2014 terjadi sebagai akibat hujan lebat, kondisi tanah jenuh sehingga air hujan tidak sempat masuk ke dalam tanah (infiltrasi) melainkan menjadi runoff semua, tebing sungai tidak stabil, dan pemukiman penduduk yang terlalu dekat dengan alur sungai.

3. Dalam rangka pengendalian banjir, perlu dilakukan studi secara komprehensif, termasuk penyusunan hazard map sebagai dasar pengelolaan sungai. Pengendalian banjir belum secara komprehensif (struktur dan nonstruktur). Secara struktur, masih terfokus pada penanganan daerah hilir melalui flood control countermeasures dan belum menyentuh daerah produksi dan daerah transportasi sedimen.

4. Bencana banjir dan tanah longsor di Manado pada tanggal 15 Januari 2014. Dalam rangka pengendalian daya rusak air akibat banjir dilakukan studi secara komprehensif, termasuk penyusunan hazard map sebagai dasar pengelolaan sungai. Pengendalian banjir belum secara komprehensif (struktur dan nonstruktur). Secara struktur, masih terfokus pada penanganan daerah hilir melalui flood control countermeasures dan belum menyentuh daerah produksi dan daerah transportasi sedimen.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kepada Kepala Balai Wilayah Sungai Sulawesi I dan jajarannya atas bantuan dalam melakukan survei lapangan dan pengumpulan data sehingga naskah jurnal ini dapat tersusun dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Allen, P.A. & J.R. Allen, 1990, Basin Analysis: Principles and Application. New York : Blackwell Scientific Publications, 451 h.

2. Davis, D.W., 2007, Analysis Branch. California: The Hydrologic Engineering Center, Corps of Engineers.

3. Gaffar, Z., 2015, Statistik Kejadian Bencana Tahun 2014, http://www.penanggulangankrisis.depkes.go.id/statistik-kejadian-bencana-tahun-2014.

4. Lyons, S., 2007. Extreme Rainfall and Flooding in Texas. WeatherInsights®: The Weather Channel Blog.

5. Presiden Republik Indonesia. 2011. Peraturan Pemerintah Indonesia tentang Sungai. Jakarta: Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 74

6. Surono, 2011. Ekspedisi Cincin Api Kompas, edisi Kelud Revolusi Gunungapi. Jakarta : Kompas. Com.

7. Pangemanan, V.G.M. dkk, 2014, Analisis Kestabilan Lereng dengan Metode Fellenius (Studi Kasus : Kawasan Citraland) Manado, Jurnal Sipil Statik Vol. 2 No.1, Januari 2014 (37-46) ISSN: 2337-6732

8. Yachio Engineering, Co, Ltd. 2014. Flood Occurence Report in Manado City and Future Related Countermeasures.

9. _______, 2014. Data Korban dan Kerusakan Akibat Banjir di Provinsi Sulawesi Utara. Manado : Pos Komando Tanggap Darurat Bencana.

10. _______, 2011. Daftar Kabupaten dan Kota di Provinsi Sulawesi Utara. Manado : Badan Pertanahan Nasional

11. _______, 2010. Manado Dalam Angka. Manado : Badan Pusat Statistik Kota Manado.

12. _______, 2014. Data Demografi Provinsi Sulawesi Utara. Manado : Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Sulawesi Utara.

13. _______, 2014. Data Muka Air Saat Banjir Tanggal 15 Januari 2014. Manado : Balai Wilayah Sungai Sulawesi 1.

14. _______, 2014. Data Curah Hujan pada Tujuh Pos Hujan : Manado : Balai Wilayah Sungai Sulawesi 1.

15. _______, 2014. Distribusi Hujan pada Tanggal 15 Januari 2014. Manado : bencanasulut.wordpress.com

Diterima: 10 Februari 2016Disetujui setelah revisi: 2 Mei 2016

Page 38: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

30

Efek Fenomena Iklim Global Terhadap Variasi Curah Hujan di Provinsi Jawa Tengah dan D. I. YogyakartaRodi Yunus, Sudibyakto dan Muh. Aris Marfai

EFEK FENOMENA IKLIM GLOBAL TERHADAP VARIASI CURAH HUJAN DI PROVINSI

JAWA TENGAH DAN D. I. YOGYAKARTA

IMPACTS OF GLOBAL CLIMATE PHENOMENA ON RAINFALL VARIATIONS IN CENTRAL JAVA AND D. I. YOGYAKARTA PROVINCE

Rodi Yunus1, Sudibyakto2 dan Muh. Aris Marfai2

1Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG)2Fakultas Geografi, UGM, Yogyakarta

e-mail: [email protected], Telp/HP: 021339206445

Abstrak

Anomali suhu muka laut yang terjadi di Samudera Pasifik dan Samudera Hindia menimbulkan peristiwa fenomena iklim global seperti El Nino, La Nina, IOD positif dan IOD negatif. Fenomena tersebut dapat berpengaruh terhadap variasi curah hujan di sebagian wilayah sekitarnya. Berdasarkan hal tersebut sehingga dilakukan analisis antara variabel ENSO dan variabel IOD dengan variabel curah hujan di wilayah Jawa Tengah dan DIY. Pendekatan analisis yang digunakan adalah regresi linier berganda (multivariat regresi), Uji t dan uji tanda. Hasil analisis menunjukan semakin besar (hangat) anomali suhu muka laut nino 3.4 semakin rendah curah hujan di beberapa lokasi. Curah hujan juga akan berkurang di beberapa lokasi bila perbadaan anomali suhu muka laut antara timur dan barat Samudera Hindia semakin besar (DMI positif). Ketika wilayah Nino 3.4 hangat, terjadi El Nino menyebabkan rata-rata curah hujan berkurang dan perbedaannya signifikan dibanding kondisi netral pada periode SON. Untuk periode DJF berkurangnya curah hujan lebih signifikan pada dataran rendah (elevasi < 100 m dpl) saat kejadian El Nino dan IOD positif secara bersamaan. Sebaliknya, ketika dingin (La Nina) menyebabkan curah hujan meningkat periode DJF dan curah hujan ekstrim lebih sering terjadi. Dampak La Nina lebih siginifikan pada lokasi yang berada hingga ketinggian 500 m dpl.

Kata Kunci: Curah hujan, ENSO, IOD, model regresi.

AbstractSea surface temperature anomaly which occured in the Pacific Ocean and the Indian Ocean create the global climate phenomena such as El Nino, La Nina, IOD positif and IOD negatif.The phenomena can affect the rainfall variations in many surrounding area . Based on it, we can analyze ENSO and IOD variable with rainfall variable in Central Java and DIY region. The using analytical approach is multiple linear regression, t test and sign test. The analysis result showed that the larger (warmer) sea surface temperature anomaly of nino 3.4, the lower rainfall in some locations. Rainfall will also be reduced in some locations if the difference of sea surface temperature anomaly between eastern and western Indian Ocean is more greater (positive DMI). When the Nino 3.4 region is warm, it decreased the average rainfall and it’s value more significant than neutral conditions during SON period. During DJF period, the decrease of rainfall is more significant in the lowlands (elevation <100 m above sea level/asl) during El Nino and IOD positif events simultaneously. La Nina event caused the increase rainfall during DJF period, and it’s frequent became more extreme. the impact of La Nina event is more significant in locations which are up to height 500 m asl.

Keywords: Rainfall, ENSO, IOD, regression model.

Page 39: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

31

Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia Vol. 2 No. 1, Mei 2016: 30-39

1. PENDAHULUAN

Curah hujan sangat bervariasi menurut tempat dan waktu (Handoko, 1994), volume dan intensitasnya dapat berubah dengan cepat (Galvan et al., 2013). Penyebaran dan keragamannya dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti letak geografi, topografi dan aliran udara atas (Hilario et al., 2009). Selanjutnya, Variasi curah hujan suatu wilayah khususnya Indonesia sebagai benua maritim (Hendon, 2003; Qian, 2008) berkaitan erat dengan interaksi dan fluktuasi fenomena yang disebabkan oleh dinamika Atmosfer-lautan (Ropelewski dan Halpert, 1987; Giannini et al., 2007). Fenomena ini dapat berskala lokal, regional dan global. Skala lokal berupa sirkulasi harian angin darat-angin laut dan angin gunung-angin lembah. Skala regional adalah fenomena yang disebabkan oleh siklus tahunan utara selatan Matahari yaitu monsun Asia-Australia dan ITCZ (Inter Tropical Convergence Zona). Skala global diantaranya peristiwa ENSO (El Nino Southern Oscillation) dan IOD (Indian Oceane Dipole). ENSO dan IOD merupakan fenomena iklim global yang didasari pada kondisi suhu muka laut Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Antara satu faktor dengan faktor lain terdapat interaksi dan menimbulkan variasi iklim berbeda-beda setiap wilayah termasuk Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Wilayah ini merupakan bagian pulau Jawa yang bertipe hujan monsun yang mengalami perbedaan periode hujan yang tegas antara musim hujan dengan musim kemarau dan terbagi menjadi beberapa zona musim (ZOM).

Kejadian fenomena iklim global diindikasikan meningkat akibat bertambahnya suhu global permukaan bumi (global warming) yang mengarah pada perubahan iklim. Laporan IPCC (Intergovermental Panel on Climat Change) suhu global permukaan bumi rata-rata meningkat sebesar 0,78°C dalam dekade terakhir (IPCC, 2013). Beberapa analisis menunjukkan adanya perubahan siklus ENSO baik El Nino maupun La Nina. Setelah tahun 1970 frekuensi dan intensitasnya meningkat dibandingkan dekade sebelumnya (Torrence dan Compo, 2005; Yang et al., 2005; 1999; Latif dan Keenlyside, 2008). Umumnya siklus ENSO terjadi sekitar 5 tahunan (Tjasyono et al., 2008) dan El Nino terjadi setiap 3-7 tahun (Gianini et al., 2007). Kondisi ini akan dapat memengaruhi variasi curah hujan, bahkan dapat meningkatkan frekuensi curah ekstrim di suatu wilayah tertentu yang mana peristiwa ENSO lebih berpengaruh pada wilayah tipe hujan monsunal (Tjasyono et al., 2008; Aldrian et al., 2011).

ENSO adalah fenomena dinamika Atmosfer-lautan yang terjadi secara periodik yang terdiri dari fase El Nino dan fase La Nina. Fenomena El Nino dan La Nina didasari pada indeks Nino 3.4 (Kousky dan Higgins, 2007; Cai et al., 2011). Fenomena El Nino terjadi jika NOI (Oceanic Nino Index) lebih besar atau sama dengan 0,5 selama 3 bulan berturut-turut atau lebih sedangkan La Nina kebalikannya dan ketika -0,5<NOI<0,5 adalah kondisi netral (Kousky dan Higgins, 2007; Fierro et al., 2012). Berdasarkan besaran NOI, fenomena El Nino dan La Nina dapat kategorikan menjadi Weak (0,5-0,9), moderat (1,0-1,5) dan strong (>1,5). Wilayah Nino 3.4 terdapat di 120° BB – 170° BB dan 5° LS – 5° LU (Subrahmanyam et al., 201; Rauniyar dan Walsh, 2013). Wilayah Nino 3.4 terletak di sekitar Ekuator Samudera Pasifik Tengah

Tahun El Nino, angin permukaan Indonesia umumnya timuran. Selama SON (September, Oktober dan November) tenggara sehingga memicu peningkatan kecepatan angin, menekan pembentukan awan dan curah hujan yang menyebabkan musim kemarau semakin panjang di Nusa Tenggara, Bali dan Jawa (Hendon, 2003). Qian et al. (2010) El Nino memberikan dampak yang signifikan terhadap penurunan curah hujan di pulau Jawa (anomali curah hujan negatif) namun tidak signifikan dengan La Nina. El Nino umumnya menyebabkan curah hujan lebih rendah dan cendrung memperpanjang terjadinya musim kemarau sedangkan La Nina akan memperpanjang musim hujan dan curah hujannya relatif lebih tinggi dari rata-ratanya (Prakhammintara, 2013). Dengan demikian, Tjasyono et al. (2008) fenomena El Nino/La Nina dapat menimbulkan bencana kekeringan (drought), banjir (floods) yang berefek terhadap berbagai bidang seperti pertanian, perikanan, lingkungan, kesehatan, kebutuhan energi, kualitas udara dan sebagainya.

IOD merupakan fenomena interaksi Atmosfer-lautan yang terdapat di Samudera Hindia. Saji et al. (2005) IOD ditentukan berdasarkan Dipole Mode Index (DMI) yaitu perbedaan nilai antara anomali suhu muka laut perairan pantai timur Afrika atau bagian barat Samudera Hindia (50° BT - 70° BT , 10° LS - 10° LU) dengan bagian timur Samudera Hindia (90° BT - 110° BT , 10° LS - 0°). Anomali suhu muka laut bagian barat Samudera Hindia disebut juga dengan IODW (Indian Ocean Dipole West) sedangkan bagian timur IODE (Indian Ocean Dipole East). Kulkarni dan Siingh (2013) IOD digolongkan menjadi dua yaitu IOD positif dan IOD negatif. IOD positif ditandai oleh DMI > 0,35 dan negatif apabila DMI <-0,35 (Tjasyono et al., 2008). IOD positif menunjukan suhu muka laut

Page 40: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

32

Efek Fenomena Iklim Global Terhadap Variasi Curah Hujan di Provinsi Jawa Tengah dan D. I. YogyakartaRodi Yunus, Sudibyakto dan Muh. Aris Marfai

pantai timur Afrika lebih tinggi dari suhu muka laut pantai barat Sumatera. IOD negatif adalah kebalikan dari kondisi IOD positif. Saat SST bagian timur Samudera Hindia lebih panas atau IOD negatif, curah hujan Australia-Indonesia lebih tinggi dan suhu di timur Afrika lebih rendah (Boer et al., 2013). D’Arrigo (2011) IOD positif dan ENSO hangat bersamaan cendrung menimbulkan kekeringan yang lebih luas di pulau Jawa.

Berdasarkan uarain diatas sehingga dilakukan penelitian ini yang bertujuan untuk mempelajari dan menganalisis analisis variasi curah hujan secara temporal dengan variabel fenomena iklim global. Adanya penelitian ini diharapkan bisa memberi gambaran dan informasi lokasi bahkan wilayah yang rentan terpengaruh atau terdampak akibat fenomena iklim global di wilayah Jawa Tengah dan DIY. Dengan demikian informasi ini dapat dijadikan sebagai peringatan dini terhadap potensi bencana yang mungkin ditimbulkan oleh fenomena tersebut.

2. METODOLOGI

2.1. Lokasi

Secara geografis Provinsi Jawa Tengah terletak antara 5°40’ - 8°30’ LS dan 108°30’ - 111°30’ BT, terdapat di dalamnya Provinsi D. I. Yogyakarta berada pada 7°15’- 8°15’ LS dan 110°5’ - 110°4’ BT. Posisi wilayah ini terletak antara Samudera Hindia dan Laut Jawa serta memiliki topografi yang bervariasi, relatif datar di bagian pantai utara dan selatan, perbukitan dan pegunungan di bagian tengah (Gambar 1). Topografi wilayah ini digambarkan dari data raster DEM resolusi 92 m (http://ws.csiss. gmu. edu/DEM Explorer/).

2.2. Data

ENSO diidentifikasi dari anomali suhu muka laut Nino 3.4 versi ERSSTv3b (http://www.esrl. noaa. gov/ psd) sedangkan IOD diidentifikasi dari beda anomali suhu muka laut bagian barat dan timur Samudera Hindia versi HadISST (http://www.jamstec.go.jp/frcgc/research). Periode data yang digunakan adalah tahun 2001-2010. Data curah hujan yang dianalisis adalah curah hujan yang terukur di 68 stasiun hujan (Gambar 1). Stasiun hujan ini diinventaris oleh UPT BMKG, Stasiun Klimatologi Klas I Semarang dan Stasiun Geofisika Klas I Yogyakarta. Penentuan sampel lokasi pengukuran hujan dilakukan secara purposive sampling.

2.3. Metode

Untuk mempelajari hubungan atau pengaruh ENSO dan IOD terhadap variasi curah hujan digunakan pendekatan analisis regresi linier berganda. Model ini mengasumsikan adanya hubungan satu garis lurus/linier antara varibel dependen dengan masing-masing prediktornya (Janie, 2012). Persamaan umumnya adalah

Y = a + b1X1+b2X2 (1)

Y adalah variabel terikat, X1, X2 variabel bebas, a konstanta dan b1, b2 koefisien regresi. Variabel ENSO dan variabel IOD musiman adalah variabel bebas sedangkan curah hujan musiman adalah variabel terikat. Periode musiman dibagi menjadi musim SON, DJF, MAM, JJA. SON (September-Oktober-November) merupakan musim pancaroba atau transisi musim kemarau ke musim hujan. DJF (Desember-Januari-Februari) adalah musim monsun barat (puncak musim

Gambar 1. Lokasi Penelitian

Page 41: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

33

Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia Vol. 2 No. 1, Mei 2016: 30-39

hujan), MAM (Maret-April-Mei), musim pancaroba atau transisi dari musim hujan ke musim kemarau dan JJA (Juni-Juli-Agustus) merupakan musim monsun timur atau puncak musim kemarau di sebagian wilayah Indonesia (Tjasyono et al., 2008).

Model regresi yang dibangun terdiri dua kombinasi. (1) Indeks Nino 3.4 dan MDI dengan curah hujan musiman. (2) Indeks Nino 3.4 dan indeks IODE dengan curah musiman. Analisis regresi antara curah hujan musiman dengan indeks Nino 3.4 dan IODE bertujuan selain melihat pengaruh kondisi suhu muka laut Nino 3.4 juga untuk mengetahui pengaruh suhu muka laut wilayah Indonesia karena lokasi pengukuran variabel IODE umumnya berada pada wilayah barat perairan Indonesia dan berdekatan dengan wilayah penelitian. Analisis regresi antara curah hujan musiman dengan indeks ENSO/IOD musiman tidak hanya berdasarkan kombinasi musim yang sama (lag 0) tetapi dibagi menjadi lag(1) dan lag (2). Lag 1 adalah model regresi antara indeks ENSO dan IOD musiman ke i dengan hujan musiman ke i+1 dan i+2 untuk lag 2.

Untuk membedakan karakteristik curah hujan pada saat terjadinya fenomena iklim global dilakukan uji beda (statistik Comparison) yaitu uji t Student pada selang kepercayaan 95%. Uji t dihitung dengan memanfaatkan SPSS. Selanjutnya dilakukan juga identifikasi dan membedakan frekuensi kejadian curah hujan ekstrim. Batasan curah hujan ekstrim adalah curah hujan harian > 100 mm (BMKG, 2010). Untuk membedakan frekuensi curah hujan ekstrim nyata atau tidak saat terjadinya fenomena iklim global digunakan uji tada (Sign Test). Sign Test merupakan salah satu uji statistik nonparametrik.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Fase ENSO dan Fase IOD

Berdasarkan kriteria fase ENSO dan fase IOD, menunjukan selama tahun 2001-2010 terjadi beberapa kali El Nino dan La Nina (Tabel 1). Sementara, fenomena IOD hanya tejadi 2 kali. Fenomena tersebut adalah IOD positif. Tahun 2006/2007 terjadi IOD positif bersamaan dengan El Nino sedang tahun 2007/2008 bersamaan dengan La Nina. Tahun 2001/2002 dan 2003/2004 adalah kondisi netral (tidak terjadi fenomena iklim global).

Tabel 1. Kejadian Fenomena Iklim Global

Fenomena Iklim Global Tahun

El Nino

2002/20032004/20052006/20072009/2010

La Nina2005/20062007/20082008/2009

IOD positif (+) 2006/20072007/2008

IOD negatif (-) -

Netral 2001/20022003/2004

Anomali suhu muka laut Samudera Pasifik Tengah yang menjadi indikator terjadinya El Nino atau La Nina lebih berfluktuasi dibandingkan perbedaan anomali suhu muka laut timur dan barat Samudera Hindia. Kondisi ini ditandai oleh

Gambar 2. Variasi Indeks Nino 3.4 dan DMI Periode 2001-2010

Page 42: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

34

Efek Fenomena Iklim Global Terhadap Variasi Curah Hujan di Provinsi Jawa Tengah dan D. I. YogyakartaRodi Yunus, Sudibyakto dan Muh. Aris Marfai

indeks Nino 3.4 variasinya lebih besar dari nilai DMI (Gambar 2). Indeks Nino 3.4 mencapai kisaran -1,6° C sampai 1,8° C sedangkan DMI berkisar -0,4° C hingga 1° C. Rata-rata nilai DMI berkisar pada kondisi netral.

3.2. Pengaruh ENSO dan IOD terhadap Variasi Curah Hujan Musiman

3.2.1. Variasi Curah Hujan Periode SON dan DJFHasil regresi lag 0 antara curah hujan

dengan indeks Nino 3.4 dan IODE atau DMI periode SON, menunjukan variasi anomali suhu muka laut Nino 3.4, anomali suhu muka laut bagian timur Samudera Hindia (perairan barat Indonesia) dan perbedaan anomali suhu muka laut timur dengan barat Samudera Hindia berpengaruh signifikan terhadap variasi curah hujan di beberapa lokasi di Jawa Tengah dan DIY (Gambar 3). Variasi anomali suhu muka laut Nino 3.4 berkontribusi memengaruhi variasi curah hujan di lokasi yang dipengaruhi signifikan, berkisar 45 % sampai 70 % atau koefisien determinasinya (R2) sebesar 0,45-0,70. Pengaruhnya paling besar terdapat di daerah Karang Tengah. Variasi anomali suhu muka laut timur Samudera Hindia berkontribusi sebesar 41 % - 65 %. Sementara kontribusi variasi DMI sekitar 46 % - 72 %.

Pengaruh variasi indeks Nino 3.4 dan DMI terhadap variasi curah hujan menunjukan sama-sama menyebabkan curah hujan di beberapa

Gambar 3. Lokasi Curah Hujan yang Dipengaruhi Signifikan Indeks Nino 3.4 dan DMI Periode SON

lokasi berkurang apabila anomali suhu muka laut Samudera Pasifik Tengah dan perbedaan anomali suhu muka laut antara timur dan barat Samudera Hindia meningkat. Hal ini ditandai koefisien regresinya negatif. DMI meningkat menunjukan wilayah barat lebih hangat dari wilayah timur Samudera Hindia sehingga uap air yang terdapat di perairan Indonesia akan dibawa ke pantai Afrika oleh sirkulasi udara. Kondisi ini menyebabkan pembentukan awan dan terjadinya hujan akan lebih rendah di wilayah tersebut. Sedangkan pengaruh variasi anomali suhu muka laut perairan barat Indonesia adalah menyebabkan curah hujan di beberapa lokasi relatif bertambah apabila terjadi peningkatan nilai IODE yang ditandai koefisien regresinya positif. Pada saat itu proses konvektif lebih intensif, potensi terbentuknya uap air di udara, awan dan turunnya hujan di sekitar wilayah tersebut semakin besar.

Ketika suhu muka laut Samudera Pasifik Tengah menghangat (tahun El Nino) rata-rata curah hujan wilayah periode SON berbeda signifikan dengan tahun La Nina (dingin) dan netral di level α = 0,05. Saat terjadi El Nino curah hujan wilayah ini berkurang sebesar 267 mm bila dibandingkan kondisi netral (Tabel 2). Curah hujan periode SON jauh berkurang ketika kejadian El Nino bersamaan dengan IOD positif. Pada saat La Nina bersamaan dengan IOD positif menunjukan curah hujan rata-ratanya juga relatif rendah dari kondisi netral. Perbandingan tahun La Nina dengan tahun Netral tidak terdapat

Page 43: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

35

Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia Vol. 2 No. 1, Mei 2016: 30-39

perbedaan yang signifikan pada α = 0,05. Hal ini menjelaskan saat terjadi La Nina, rata-rata curah hujan di wilayah penelitian tidak berbeda nyata dengan kondisi netral.

Tabel 2. Rata-Rata Curah Hujan Musiman

Tahun SON DJF MAM JJANetral 559 1.081 607 70El Nino 292 1.053 680 234La Nina 553 1.277 677 74El Nino_IOD (+) 114 881 725 109La Nina_IOD (+) 336 1.370 544 57

Periode musim hujan (DJF) hanya sebagian kecil lokasi yang terpengaruh signifikan oleh variasi indeks Nino 3.4 dan DMI sedangkan variasi IODE tidak terdapat pengaruh yang signifikan (Gambar 4). Daerah yang dipengaruhi paling kuat oleh Nino 3.4 adalah daerah Pundong dengan R2 sebesar 0,77. Secara wilayah, rata-rata curah hujan pada tahun El Nino tidak berbeda nyata dengan tahun netral tetapi curah hujannya masih lebih rendah. Sementara, rata-rata curah hujan pada tahun La Nina lebih tinggi dan berbeda signifikan. Besar perbedaanya sekitar 196 mm. Saat terjadinya La Nina secara bersamaan dengan peristiwa IOD positif (tahun La Nina-IOD positif) rata-rata curah hujan pada saat tersebut juga lebih banyak sebesar 289 mm.

Berdasarkan ketinggian, saat terjadi El

Gambar 4. Lokasi Curah Hujan yang Dipengaruhi Signifikan Indeks Nino 3.4 dan DMI Periode DJF

Nino periode SON dan DJF rata-rata curah hujan setiap level ketinggian lebih rendah dari kondisi netral (Gambar 5). Periode SON perbedaannya signifikan sementara periode DJF tidak signifikan. Namun saat berlangsungnya El Nino bersamaan dengan peristiwa IOD positif rata-rata curah hujannya periode DJF jauh lebih rendah dan signifikan perbedaannya pada level ketinggian 0-100 m dpl. Berbeda dengan peristiwa La Nina bersamaan dengan IOD positif rata-rata curah hujan setiap level ketinggian hanya lebih rendah pada periode SON sedangkan periode DJF lebih tinggi (Gambar 5).

Rata-rata curah hujan tahun La Nina dan tahun La Nina-IOD positif perbedaannya signifikan dengan tahun netral di level ketinggian 0-100 m dpl dan 101-500 m dpl pada periode DJF. Dengan demikian peristiwa La Nina lebih berdampak dan menyebabkan curah bertambah banyak pada lokasi-lokasi yang berada hingga ketinggian 500 m dpl. Gambar 5 secara tidak langsung mengambarkan adanya efek elevasi dan orografik terhadap variasi curah hujan wilayah penelitian yang mana terjadi peningkatan curah hujan dengan bertambahnya level ketinggian.

Ketika suhu muka laut Samudera Pasifik lebih hangat, terjadi El Nino periode SON, uap air akan dibawa ke Samudera Pasifik oleh sirkulasi Walker. Pada saat yang sama terjadi monsun Australia yang kering sehingga sulit terbentuk awan di atas wilayah ini sehingga curah hujannya rendah. Ketika suhu muka laut Samudera Pasifik lebih dingin dan terjadi La Nina, uap air yang

Page 44: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

36

Efek Fenomena Iklim Global Terhadap Variasi Curah Hujan di Provinsi Jawa Tengah dan D. I. YogyakartaRodi Yunus, Sudibyakto dan Muh. Aris Marfai

dibawa sirkulasi Walker belum menambah banyak uap air yang ada di sekitar wilayah ini karena pengaruh monsun Australia masih kuat sehingga curah hujannya masih relatif rendah. Saat peristiwa La Nina bersamaan dengan IOD positif periode SON rata-rata curah hujan di wilayah ini juga lebih rendah karena selain disebabkan pengaruh monsun Australia masih kuat juga disebabkan oleh sirkulasi udara yang membawa uap air dari perairan Indonesia ke perairan Afrika akibat menghangatnya perairan tersebut. Wilayah sekitar perairan Indonesia menjadi pusat tekanan tinggi.

Periode DJF pengaruh monsun Australia sudah berkurang dan Monsun Asia yang mengandung udara lembab telah aktif dan melewati wilayah ini. Bila periode DJF terjadi La Nina, uap air yang dibawah sirkulasi Walker dari Samudera Pasifik Tengah akan terakumulasi sehingga memperbesar terbentuk awan di atas wilayah ini. Dengan demikian akan berpotensi memperbanyak terjadinya hujan pada periode tersebut. Pada saat La Nina berlangsung diprediksi lebih sering terjadi curah hujan ekstrim (Curah hujan diatas 100 mm/hari). Ketika La Nina bersamaan dengan IOD positif rata-rata curah hujannya lebih tinggi dari kondisi netral karena saat tersebut pengaruh La Nina lebih kuat dibandingkan IOD positif. Hal ini disebabkan pengaruh IOD positif berkurang karena monsun Asia telah aktif sehingga uap air tidak lebih banyak didorong ke pantai Afrika. Selain itu, wilayah ini menjadi wilayah konvergensi angin pasat tenggara dan pasat timur laut (ITCZ) sehingga memperbanyak uap di udara dan terbentuk awan semakin besar maka curah hujan rata-rata pada saat terjadinya La Nina bersamaan IOD positif tetap lebih tinggi.

3.2.2. Variasi Curah Hujan Periode MAM dan JJABerdasarkan analisis regresi menunjukan

variasi indeks Nino 3.4, IODE dan DMI tidak berpengaruh signifikan terhadap variasi curah hujan periode MAM. Namun periode JJA (puncak musim kemarau) berpengaruh signifikan di sebagian kecil lokasi stasiun hujan. Pengaruh variasi indeks Nino 3.4, IODE dan DMI terhadap variasi curah hujan periode JJA sama dengan periode SON. Sementara kombinasi regresi lag 1 menunjukan hanya variasi indeks Nino 3.4 yang berpengaruh signifikan terhadap variasi curah hujan periode SON. Curah hujan periode SON di beberapa lokasi diprediksi akan semakin rendah ketika anomali suhu muka laut Nino 3.4 telah menghangat periode JJA. Sedangkan kombinasi lag 2 menunjukan tidak signifikan bisa mengambarkan variasi curah hujan musiman baik periode SON dan DJF maupun MAM dan JJA.

Secara rata-rata wilayah, tahun El Nino atau IOD positif juga tidak berdampak signifikan menyebabkan curah hujannya rendah periode MAM dan JJA. Pada saat kejadian tersebut malahan rata-rata curah hujannya lebih tinggi bila dibandingkan dengan tahun La Nina maupun tahun netral. Selain itu, beberapa penelitian menjelaskan fenomena iklim global tidak terlalu berpengaruh terhadap variasi curah hujan periode MAM yaitu transisi musim hujan ke musim kemarau dan periode JJA atau puncak musim kemarau di wilayah Indonesia terutama pulau Jawa (Mulyana, 2000; Qian et al., 2010).

Dengan demikian kejadian fenomena iklim global disimpulkan tidak berdampak signifikan terhadap variasi curah hujan periode MAM dan JJA di wilayah Jawa Tengah dan DIY.

Gambar 5. Rata-Rata Variasi Curah Hujan Menurut Ketinggian

Page 45: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

37

Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia Vol. 2 No. 1, Mei 2016: 30-39

3.3. Efek Fenomena Iklim Global terhadap Frekuensi Curah Hujan Ekstrim

Berdasarkan uji tanda dapat dijelaskan frekuensi hujan ekstrim pada saat La Nina ada perbedaan yang signifikan bila dibandingi dengan tahun kejadian El Nino dan kejadian El Nino-IOD positif bersamaan karena nilai Asymp. Sig < 0,05 (Tabel 3). Hal ini menunjukan kejadian hujan ekstrim berbeda secara nyata dan lebih sering terjadi saat La Nina dari pada tahun El Nino dan tahun kejadian El Nino bersamaan IOD positif. Apabila frekuensi relatif hujan ekstrim saat La Nina dibandingkan dengan kondisi netral tidak terdapat perbedaan signifikan yang ditandai oleh nilai asymp. Sig sebesar 0,40 > 0,05. Frekuensi kejadian hujan ekstrim tidak berbeda nyata saat peristiwa La Nina berlangsung. Kejadian hujan ekstrim di wilayah penelitian tidak terlalu signifikan dipengaruhi oleh fenomena iklim global. Namun,

kejadiannya lebih sering saat La Nina yang ditunjukan oleh jumlah perbedaan positif lebih banyak dari pada perbedaan negatif (Tabel 3).

Dalam rentang tahun 2001-2010 secara umum setiap lokasi stasiun hujan pernah mengalami hujan ekstrim (Gambar 6). Rata-rata lokasi tersebut pernah mengalami minimal 1-2 kali curah hujan >100 mm/hari. Daerah yang paling sering terjadi hujan ekstrim adalah sekitar Blado Kabupaten Batang dengan kejadian rata 4 kali per tahunnya. Curah hujan yang tinggi (ekstrim) akan dapat memicu dan menyebabkan terjadinya bencana hidrometeorologi seperti longsor dan banjir. Karena lokasi ini berada di ketinggian sekitar 500 m dpl dengan seringnya peristiwa hujan ekstrim maka potensi kejadian longsor di wilayah tersebut akan relatif besar. Untuk itu, masyarakat perlu meningkatkan kewaspadaannya terhadap terjadinya bencana pada saat musim hujan.

Gambar 6. Frekuensi Kejadian Hujan Ekstrim

Tabel 3. Stastistik uji Tanda

Tahun Perbedaan positif

Perbedaan Negatif Z Asymp. Sig.

Sign TestLa Nina - El Nino 40 21 -2,30 0,02La Nina - Netral 29 22 -0,84 0,40La Nina - El Nino-IOD (+) 38 11 -3,71 0,00La Nina - La Nina-IOD (+) 33 22 -1,35 0,18

Page 46: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

38

Efek Fenomena Iklim Global Terhadap Variasi Curah Hujan di Provinsi Jawa Tengah dan D. I. YogyakartaRodi Yunus, Sudibyakto dan Muh. Aris Marfai

4. KESIMPULAN

Curah hujan di beberapa lokasi Jawa Tengah dan Yogyakarta semakin berkurang dengan meningkatnya (menghangat) anomali suhu muka laut Samudera Pasifik Tengah dan semakin besar perbedaan anomali suhu muka laut antara timur dan barat Samudera Hindia. Secara rata-rata variasi curah hujan wilayah ini sangat signifikan perbedaannya pada saat El Nino dibandingkan peristiwa La Nina dan kondisi netral periode SON. Rata-rata curah hujannya ketika kejadian El Nino lebih rendah dari kondisi netral. Sementara La Nina lebih berpengaruh terhadap variasi curah hujan periode DJF, rata-rata curah hujan pada saat tersebut lebih tinggi dan perbedaannya signifikan dari kondisi netral terutama pada lokasi yang terletak hingga ketinggian 500 m dpl. Selanjutnya fenomena iklim global belum terlalu signifikan menyebabkan meningkatnya kejadian hujan ekstrim, namun frekuensinya lebih sering terjadi pada saat peristiwa La Nina. Variasi curah hujan periode MAM dan JJA tidak dipengaruhi signifikan oleh fenomena iklim global.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada BMKG atas tersedianya data curah hujan wilayah penelitian sehingga penulis bisa menghasilkan tulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA

1. Aldrian, E., M. Karmini dan Budiman, 2011, Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim Indonesia, Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara, Jakarta: BMKG.

2. Boer, E.J.D., E. Tjallingii, J.R. Vélez, M.I. Rijsdijk, K.F. Vlug, A. Reichart, G.J. Prendergast, A.L. Louw, P.G.B. Florens, F. B.V. Baider dan C.H. Hooghiemstra, 2013, Climate Variability in the SW Indian Ocean from an 8000-yr Long Multi-proxy Record in the Mauritian Lowlands Shows a Middle to Late Holocene Shift from Negative IOD-State to ENSO-State, Quaternary Science Reviews, 86: 175-189.

3. BMKG, 2010, Kondisi Cuaca Ekstrem dan Iklim Tahun 2010-2011, Press Release, http://data.bmkg.go.id/share/dokumen/press/release kondisi cuaca ekstrem dan iklim tahun 2010-2011.pdf, (11 Juli 2014).

4. Cai, W., P.V. Rensch, T. Cowan dan H.H. Hendon, 2011, Teleconnection Pathways

of ENSO and the IOD and the Mechanisms for Impacts on Australian Rainfall, Journal of Climate, 24: 3910-3923.

5. D’Arrigo, R., N. Abram, C. Ummenhofer, J. Palmer dan M. Mudelsee, 2011, Reconstructed Streamflow for Citarum River, Java, Indonesia: Linkages to Tropical Climate Dynamics, Clim Dyn, 36: 451-462.

6. Galván, L., M. Olías, T. Izquierdo, J.C. Cerón dan R.F.D. Villarán, 2013, Rainfall Estimation in SWAT: an Alternative Method to Simulate Orographic Precipitation, Journal of Hydrology, 509: 257-265.

7. Fierro, A.O. dan L.M. Leslie, 2013, Links Between Central West Western Australian Rainfall Variability and Large-Scale Climate Drivers, Journal of Climate, 26: 2222-2246.

8. Giannini, A., A.W. Robertson dan J.H. Qian, 2007, A Role for Tropical Tropospheric Temperature Adjustment to El Nin˜o–Southern Oscillation in the Seasonality of Monsoonal Indonesia Precipitation Predictability, Journal of Geophysical Research, 112: 1-14

9. Handoko, 1994, Klimatologi Dasar: Landasan Pemahaman Fisika Atmosfer dan Unsur-Unsur Iklim. Bogor: Meteor.

10. Hendon, H.H., 2003, Indonesian Rainfall Variability: Impacts of ENSO and Local Air–Sea Interaction, Journal of Climate, 16: 1775-1790.

11. Hilario, F., R.D. Guzman, D. Ortega, P. Hayman dan B. Alexander, 2009, El Niño Southern Oscillation in the Philippines: Impacts, Forecasts, and Risk Management, Philippine Journal of Development, 36: 10-34.

12. Http://ws.csiss.gmu. edu/DEM Explorer, (11 April 2014).

13. Http://www. jamstec.go.jp/frsgc/research/d1/iod/e/iod/about_iod.html, (22 April 2014).

14. Http://www.cpc.ncep.noaa.gov/product/analysis_monitoring/ensotuff/detrend.nino34. ascii.txt, (22 April 2014).

15. IPCC, 2013, Summary for Policymakers. In: Climate Change 2013: The Physical Science Basis, Contribution of Working Group I to the Fifth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change [Stocker, T.F., D. Qin, G.-K. Plattner, M. Tignor, S.K. Allen, J. Boschung, A. Nauels, Y. Xia, V. Bex and P.M. Midgley (eds.)], Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA. http://www.climatechange2013. org /images /report /WG1AR5_SPM_FINAL. pdf, 13 September 2013.

16. Janie, D.N.A., 2012, Statistik Deskriptif dan Regresi Linier Berganda dengan SPSS, Semarang: Semarang University

Page 47: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

39

Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia Vol. 2 No. 1, Mei 2016: 30-39

Press.20-6-2014. deni.ibs.ac.id/~deni/spss / Latihan.pdf, (20 Juni 2014).

17. Kousky, V. dan R. Higgins, 2007, Analert Classification System for Monitoring and Assessing the ENSO Cycle, Weather Forecasting, 22: 353-371.

18. Kulkarni, M.N. dan D. Siingh, 2013, The Relation the Relation Between Lightning and Cosmic Rays During ENSO with and without IOD - A Statistical Study, Atmospheric Research, 143: 129-141.

19. Latif, M. dan N.S. Keenlyside, 2008, ElNino/Southern Oscillation Response to global warming, PNAS, 106: 20578-20583.

20. Mulyana, E., 2000, Hubungan Antara Anomali Suhu Permukaan Laut dengan Curah Hujan di Jawa. Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca, 1: 125-132.

21. Prakhammintara, P., A. Siripong dan D. Sukawa, 2013, Correlation Between Heat Flux Over the Indian Ocean and Rainfalls in Coastal Thailand by Using the MM5 Numerical, Journal Energy Procedia, 34: 91-98.

22. Qian, J.H., 2008, Why Precipitation Is Mostly Concentrated Over Islands in the Maritime Continent. Journal of The Atmospheric Sciences, 65: 1428-1441.

23. Qian, J.H., A.W. Robertson dan V. Moron, 2010, Interactions Among ENSO, the Monsoon and Diurnal Cycle in Rainfall Variability Over Java, Indonesia, Journal of The Atmospheric Science, 67: 3509-3524.

24. Rauniyar, S.P. dan K.J.E. Walsh, 2012, Influence of ENSO on the Diurnal Cycle of Rainfall over the Maritime Continent and Australia, Journal of Climate, 26 (4): 1304-1321.

25. Ropelewski, C.F. dan M.S. Halpert, 1987, Global and Regional Scala Precipitation Patterns Associated with the El Nino/Shothern Oscillation, Monthly Weather Review, 115: 1606-1626.

26. Saji, N.H., T. Ambrizzi dan S.E.T. Ferraz, 2005, Indian Ocean Dipole Mode Events and Austral Surface Air Temperature Anomalies, Dynamics of Atmospheres and Oceans, 39: 87-101.

27. Subrahmanyam, M.V. dan W.D. Xiao, 2011. Impact of Latent Heat Flux on Indian Summer Monsoon During El Niño/La Niña Years, Journal of Tropical Meteorology. 17: 430-440.

28. Tjasyono, B., A. Lubis, I. Juaeni, Ruminta dan S.W.B. Harijono, 2008, Dampak Variasi Temperatur Samudera Pasifik dan Hindia Ekuatorial terhadap Curah Hujan di Indonesia, Jurnal Sains Dirgantara, 5: 83-95.

29. Torrence, C dan G.P. Compo, 1998, A Practical Guide to Wavelet Analysis. Bulletin of the American Meteorological Society, 79: 61-78.

30. Yang, H., Q. Zhang, Y. Zhong, S. Vavrus dan Z. Liu, 2005. How does extratropical warming affect ENSO?. Geophysical Research Letters. 32: 1-4.

Diterima : 2 Januari 2016Disetujui setelah revisi : 2 Mei 2016

Page 48: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

40

Analisis Tingkat Kerawanan Longsor pada Sebagian Jalan Kelas IIIC di Sub-DAS Gesing, Kabupaten Purworejo, Jawa TengahIka Indah Karlina

1. PENDAHULUAN

Tema kebencanaan menjadi salah satu tema yang tidak pernah habis untuk dikaji. Bencana yang terjadi dapat berupa bencana alam, bencana akibat manusia, dan bencana akibat teknologi (Hoesada, 2006). Longsor

ANALISIS TINGKAT KERAWANAN LONGSOR PADA SEBAGIAN JALAN KELAS IIIC DI SUB-DAS GESING,

KABUPATEN PURWOREJO, JAWA TENGAH

ANALYSIS OF LANDSLIDE SUSCEPTIBILITY ON A FEW ROADS CLASS IIIC IN SUB-WATERSHED GESING, PURWOREJO DISTRICT, CENTRAL JAVA

Ika Indah KarlinaFakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Sekip Utara Jalan Kaliurang, Bulaksumur,

Sleman, D.I. Yogyakarta (55281),e-mail: [email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya longsor pada jalan kelas IIIC di Sub-DAS Gesing, mengidentifikasi tipe-tipe longsor yang terjadi pada jalan di Sub-DAS Gesing, dan mengetahui tingkat kerawanan longsor longsor pada jalan di Sub-DAS Gesing. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode sensus untuk mendata titik dan tipe longsor pada segmen jalan kelas IIIC. Perhitungan dimensi longsor dan pengamatan faktor penyebab terjadinya longsor jalan di lakukan di setiap titik longsor. Peta kerawanan longsor dibuat menggunakan nilai kerapatan longsor yang dibagi menjadi kelas kerawanan jalan dan kerawanan titik longsor. Hasil penelitian diketahui bahwa penyebab longsor jalan kelas IIIC Sub-DAS Gesing adalah pemotongan lereng, curah hujan, kondisi drainase, penggunaan lahan dan tanah yang sangat tebal akibat proses geologi. Tipe longsor yang umum ditemui adalah tipe translasional dan tipe aliran. Hasil peta kerawanan titik menunjukan 25,00% jalan kelas IIIC kerawanan sangat tinggi dan peta kelas kerawanan longsor jalan yakni 40,28% sangat tinggi.

Kata Kunci: Longsor jalan, faktor penyebab longsor, tipe longsor, kerawanan longsor.

AbstractThe purpose of the research is to identify the factors of landslide on the road class IIIC in Sub-watershed Gesing, identify the types of landslides that occurred on the road in theSsub-watershed Gesing, and identify the level of susceptibility of landslides on roads in Sub-watershed Gesing. The method use in this research is census method to record the point and the type of landslides on the road segment class IIIC. The writers calculate the dimensions of landslide and observe the factors of landslide at any point landslide. A map of landslide susceptibility is creates using the value of density and divided into susceptibility classes of landslide road and susceptibility of landslides point. Results of the research landslide in road IIIC class Sub-watershed Gesing are excision slope, rainfall, drainage, land use, and thickness of the soil due to geological processes. The general types of landslide are translational and flow. The results of susceptibility maps indicate 25.00% IIIC and 40.28% susceptibility of landslide are very high.

Keywords: Landslide on the road, causes landslides, type of landslides, landslides susceptibility.

sebagai salah satu contoh bencana yang umum ditemui dapat digolongkan ke dalam bencana alam dan bencana akibat perilaku manusia. Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat frekuensi kejadian bencana longsor tinggi, memasukan Indonesia pada golongan negara yang memiliki tingkat kerawanan longsor.

Page 49: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

41

Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia Vol. 2 No. 1, Mei 2016: 40-49

Manusia yang terus melakukan inovasi dan pembangunan akan berdampak pada tingginya tingkat kejadian longsor. Aktivitas pembangunan infrastruktur seperti jalan yang bertujuan untuk mempermudah aksesibilitas suatu daerah, dilakukan tanpa memperhatikan kemiringan lereng jalan. Banyak dari aktivitas pembangunan jalan dilakukan dengan pemotongan lereng pada dinding-dinding perbukitan. Pemotongan lereng mengakibatkan perubahan sudut kemiringan lereng yang dapat memicu terjadinya longsor pada sisi kiri maupun kanan jalan.

Daerah Aliran Sungai (DAS) Gesing berada di Kabupaten Purworejo yang mencakup Kecamatan Kaligesing, Purworejo, Bagelan, dan Banyuurip sering mengalami kejadian longsor terutama longsor pada lereng-lereng di sepanjang jalan. Kondisi geomorfologi pada daerah penelitian sendiri didominasi oleh pegunungan-pegunungan struktural yang merupakan bagian dari deretan Perbukitan Menoreh. Perbukitan Menoreh dikenal sering mengalami kejadian bencana longsor. Selain itu, besarnya kemiringan lereng pada daerah penelitian semakin menambah peluang terjadinya longsor.

Berdasarkan data yang diperoleh dari beberapa surat kabar cetak dan elektronik, terjadi beberapa longsor di Kecamatan Kaligesing tepatnya pada jalur alternatif Purworejo-Yogyakarta yang menutup badan jalan. Longsor di jalur alternatif terjadi pada 26-27 Juni 2014 dengan jumlah kejadian longsor jalan sebanyak 12 titik. Longsor terbaru juga terjadi pada tanggal 25 Maret 2015 di Desa Plipir, Kecamatan Purworejo. Longsor mengakibatkan tertutupnya jalan alternatif Yogyakarta - Purworejo oleh material longsoran dan rubuhan pohon. Penutupan jalan akibat material longsor mengakibatkan kerugian seperti, tertutupnya bagian jalan, licinnya jalan, terganggunya jalur trasportasi yang menghubungkan kedua daerah, dan membahayakan pengguna jalan.

Longsor (landslide) atau dapat disebut dengan gerak massa adalah pergerakan batuan, hasil pelapukan batuan, dan/atau tanah yang menyusun lereng dan bergerak menuruni lereng dalam jumlah besar maupun kecil. Gerakan menuruni lereng diakibatkan letak material longsoran yang berada di atas batuan kedap air yang berperan sebagai bidang gelincir (Cruden, 1991). Menurut Thornbury (1969), penyebab longsor dibedakan menjadi faktor pasif (kondisi fisik internal topografi, geologi, tanah, hidrologi, dah gaya gravitasi) dan faktor aktif (pengaruh manusia dan iklim).

Pembangunan jalan sebagai bentuk aktivitas manusia memiliki pengaruh terhadap

kejadian longsor. SafeLand (2011), melakukan penelitian gerak massa di Norwegia dan Perancis yang menghasilkan teori bahwa terdapat hubungan antara aktivitas manusia dan proses alam pada kejadian longsor. Aktivitas manusia juga menghasilkan perubahan sudut lereng sebagai hasil dari pemotongan lereng dan penambahan beban pada lereng.

Beban kendaraan dan getaran pada jalan sebagai salah satu contoh pengaruh aktivitas manusia terhadap longsor jalan menjadi salah satu penyebab berkurangnya kemampuan tanah dalam mendukung beban tanah dan batuan sehingga muncul rekahan pada lereng jalan maupun badan jalan. Rekahan ini dipengaruhi pula oleh kondisi material penyusun lokasi dibangunnya jalan. Material dengan gaya tarik lemah dan penyebabkan peningkatan tekanan pori pada tanah sehingga mudah jenuh terhadap air yang terperkolasi dan menyebabkan material melunak (Hardiyatmo, 2007). Peningkatan gaya tekanan pori pada tanah akan berpotensi terhadap kejadian longsor terutama pada lereng-lereng miring di sepanjang jalan (Ram Mohan, dkk., 2011). Menurut Permana (2014), gerakan pada lereng dapat diakibatkan oleh proses alamiah dan non alamiah yang merubah kondisi lereng menjadi rawan bergerak. Beberapa pemicu gerakan lereng antara lain hujan, getaran-getaran atau aktivitas manusia yang mempengaruhi lereng.

Hardiyatmo (2007), menjelaskan mengenai faktor-faktor yang penyebab terjadinya longsor pada lereng jalan. Terjadinya longsor lereng jalan dipengaruhi oleh lima faktor penyebab yaitu:a. Timbunan di sisi lerengb. Drainase burukc. Muka air tanah dan pemotongan lerengd. Timbunan sangat tinggie. Lereng batuan terjal

Hardiyatmo (2007), juga membagi tipe-tipe longsor jalan menjadi enam tipe longsor jalan. Tipe-tipe longsor jalan tersebut adalah longsor translasional, rotasional, runtuhan batuan, longsor aliran, longsor blok, dan rayapan tanah.

Faktor-faktor yang menyebabkan longsor akan menentukan tingkat kerawanan longsor jalan. Kerawanan longsor jalan adalah kondisi geologi yang sangat peka terhadap gangguan dari luar sehingga memicu gerakan tanah dan berpotensi terjadinya longsor. Gangguan dapat berasal dari sifat fisik alami maupun aktivitas manusia yang mengganggu kestabilan lereng pada jalan (Meiliana, 2011). Kerawanan longsor digunakan untuk mengetahui dimana daerah yang berpotensi mengalami kejadian longsor dimasa yang akan datang (Pratiwi, 2013).

Page 50: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

42

Analisis Tingkat Kerawanan Longsor pada Sebagian Jalan Kelas IIIC di Sub-DAS Gesing, Kabupaten Purworejo, Jawa TengahIka Indah Karlina

Visualisasi kerawanan longsor jalan dapat dilakukan dengan pemetaan jumlah kejadian longsor. Peta kerawanan longsor akan menghasilkan kelas-kelas kerawanan longsor yang dibedakan dari kelas kerawanan tinggi hingga kelas kerawanan rendah. Duman, dkk (2006), membagi dua tipe pemetaan longsor yakni direct mapping dan indirect mapping. Teknik pemetaan kerawanan longsor berdasarkan pengalaman dan pengetahuan kejadian longsor dengan melihat kondisi medan dikenal dengan direct mapping. Teknik pemataan indirect mapping dilakukan dengan menggunakan perhitungan statistik maupun deterministik dengan memprediksikan area yang rawan mengalami longsor berdasarkan hubungan antara bentuklahan dengan distribusi longsor dilapangan.

2. METODE PENELITIAN

Lokasi penelitian kerawanan longsor jalan berada di Sub-DAS Gesing Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah. Sub-DAS Gesing merupakan bagian dari DAS Bogowonto yang berhulu di Kabupaten Wonosobo dan bermuara di Samudera Hindia. Jalan yang menjadi fokus penelitian merupakan jalan kelas IIIC yang menjadi jalur alternatif penghubung Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah dengan Kabupaten Kulon Progo, D.I Yogyakarta.

Metode penelitian yang digunakan yakni metode sensus untuk mendata longsor dan tipe longsor jalan pada setiap segmen jalan kelas IIIC Sub-DAS Gesing. Setiap longsor yang didata dilakukan pengukuran dimensi longsor meliputi luas longsor dan karakteristik fisik longsor seperti jenis material longsor, kemiringan lereng, tebal solum tanah, dan tekstur tanah. Hasil data longsor pada setiap segmen jalan diolah hingga menhasilkan kerapatan longsor titik dan area di setiap segmen jalan. Perhitungan kerapatan longsor menggunakan rumus sebagai berikut:

luas area longsor (m2)Kerapatan Area = .......... (1) luas area segmen jalan (Ha)

jumlah titik longsor (titik)Kerapatan Titik = .......... (2) luas area segmen jalan (Ha)

Luas segmen jalan = panjang jalan x nilai buffer ......... (3)

Penentuan tingkat kerawanan jalan diketahui dari nilai kerapatan longsor pada jalan. Tingkat kerawanan longsor pada jalan di DAS Gesing dibedakan menjadi lima kelas kerawanan

yakni kerawanan longsor sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, dan sangat rendah. Pembagian kelas kerawanan menggunakan menggunakan metode equal step. Metode ini membagi nilai dengan mengurangkan nilai tertinggi dengan terendah dibagi jumlah kelas yang dinginkan. Secara lebih jelas metode equal step dijabarkan sebagai berikut:

nilai tertinggi - nilai terendahInterval Kelas = .... (4) jumlah kelas

Selama penelitian dilakukan perhitungan frekuensi, tipe, dan beban kendaraan untuk melihat pengaruh kendaraan terhadap tingkat kerawanan longsor. Penentuan kelas kerawanan longsor yang menjadi sampel perhitungan frekuensi kendaraan dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling. Nilai frekuensi kendaraan dibandingkan dengan jumlah kejadian longsor pada setiap kelas kerawanan yang menjadi sampel penelitian.

Hasil dari pengukuran lapangan, pengumpulan data, dan pengolahan data dianalisis untuk menjawab tujuan dalam penelitian ini. Analisis data yang digunakan dalam penelitina terdiri dari analisis spasial, deskriptif, dan asosiatif. Analisis spasial digunakan untuk mengetahui sebaran titik longsor jalan dan tingkat kerawanan longsor jalan kelas IIIC di Sub-DAS Gesing. Analisis Deskriptif untuk menjabarkan hasil penelitian kerawanan longsor pada jalan berdasarkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian longsor jalan. Analisis asosiatif untuk melihat hubungan antara faktor penyebab longsor dan kerawanan longsor jalan dengan frekuensi kendaraan dan beban kendaraan yang melewati jalan kelas IIIC pada daerah penelitian.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Faktor Penyebab Longsor Jalan

Longsor jalan merupakan kejadian longsor yang sering ditemui pada jalan-jalan di perbukitan Sub-DAS Gesing. Longsor yang terjadi diikuti oleh runtuhan material berupa tanah, batuan, maupun campuran material tanah dan batuan, serta penggunaan lahan yang berada di atasnya. Kejadian longsor jalan sering disebabkan oleh perubahan kemiringan lereng. Pembangunan jalan dilakukan dengan pemotongan lereng sehingga menghasilkan lereng baru dengan kemiringan lebih terjal dan memicu terjadinya longsor seperti Gambar 1.

Page 51: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

43

Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia Vol. 2 No. 1, Mei 2016: 40-49

Longsor jalan pada daerah penelitian terjadi pada lereng jalan dengan kemiringan diatas 45% yang berada pada segmen jalan 4,5,6, dan 8. Hasil penelitian menunjukan 55,88% (Tabel 1) kejadian longsor terjadi pada lereng jalan dengan kemiringan 45% dengan skala longsor besar. Lereng yang terjal dan panjang memiliki daya dorong kebawah lebih besar dan menyebabkan gerakan material menuruni lereng semakin cepat. Lapisan tanah pada kemiringan lereng diatas 45% umumnya cukup tebal hingga mencapai ketebalan 5 meter. Tanah yang tebal dan kondisi batuan yang mulai lapuk menyebabkan beban pada lereng semakin berat. Tipe longsor yang umum ditemui pada lereng dengan kemiringan diatas 45% adalah tipe translasional,rotasional, dan topple.

Lereng jalan dengan kelas kemiringan lereng IV yakni 25 - 45% mengalami longsor dengan tipe translasional. Longsor yang terjadi pada kelas lereng ini merupakan longsor skala sedang karena kemiringan lereng yang kecil dan lereng yang tidak terlalu panjang sehingga gerakan material pada lereng tidak bergerak dalam jumlah besar. Longsor yang terjadi pada kelas kemiringan lereng II dengan jumlah kejadian longsor 8 merupakan longsor dengan tipe aliran yang memiliki skala longsor jalan kecil. Kelas kemiringan lereng I tidak mengalami kejadian longsor dikarenakan topografi yang landai dan tidak dilakukannya pemotongan lereng dalam proses pembuatan jalan.

Tabel 1. Jumlah Kejadian Longsor Sub-DAS Gesing Tiap Kelas Lereng Mikro

No. Kemiringan Lereng

Kejadian Longsor %

1 0-8% 0 0,002 8-15% 8 11,763 15-25% 5 7,354 25-45% 17 25,005 >45% 38 55,88

Total 68 100,00

Sumber: Pengolahan Data, 2015

Pelapukan batuan memiliki peran sebagai faktor penyebab terjadinya longsor jalan. Potongan jalan kelas IIIC yang menjadi daerah kajian penelitian longsor umumnya disusun oleh formasi batuan intrusi andesit hampir di seluruh segmen jalan kecuali segmen 1, segmen 2, dan segmen 11. Segmen 1 disusun oleh formasi kebobutak, segmen 2 disusun oleh formasi Jonggrangan, dan segmen 11 merupakan dataran Aluvium. Banyaknya titik longsor pada segmen jalan kelas IIIC yang menjadi lokasi penelitian disebabkan pula oleh intrusi Andesit. Hampir di seluruh titik longsor ditemukan batuan andesit dengan ukuran kerakal hingga bongkahan. Intrusi batuan menyebabkan pelapukan semakin cepat akibat panas yang dihasilkan dari proses intrusi. Pelapukan yang terjadi mempengaruhi ketebalan

Gambar 1. (a) Kemiringan Lereng Asli, dan (b) Lereng Jalan Hasil Pemotongan (X:401022 Y:9145226) (Sumber: Karlina, 2015)

Page 52: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

44

Analisis Tingkat Kerawanan Longsor pada Sebagian Jalan Kelas IIIC di Sub-DAS Gesing, Kabupaten Purworejo, Jawa TengahIka Indah Karlina

tanah sehingga biasanya daerah yang mengalami intrusi memiliki tanah yang cukup tebal akibat proses pelapukan batuan yang intensif .

Pelapukan batuan andesit pada daerah penelitian semakin dipercepat oleh kondisi topografi yang umumnya bergunung hingga berbukit sehingga menjadi daerah yang memiliki curah hujan tinggi. Banyak dari batuan andesit telah mengalami pelukan tingkat lanjut dan menjadi parent material dalam pembentukan tanah di daerah penelitian. Batuan yang mengalami pelapukan dapat menjadi bidang gelincir terjadinya longsor tipe translasional dan tipe rotasional yang banyak terjadi pada daerah penelitian.

Curah hujan yang tinggi pada daerah penelitian biasanya terjadi pada musim penghujan dibulan November - Mei. Seringnya longsor terjadi pada musim penghujan dikarenakan material tanah lepas-lepas (unconsolidated) kemudian pori-pori mengalami penjenuhan sehingga terjadi gerakan material lereng yang menuruni lereng.

Tingginya curah hujan pada daerah penelitian diperparah dengan kondisi drainase yang buruk. Selama pengamatan lapangan, sisi kiri-kanan jalan tidak memiliki drainase yang mampu menyalurkan air sehingga kaki lereng kerap tergerus oleh aliran air (Gambar 2). Kondisi tanah bertekstur lempungan menyebabkan tanah

mudah jenuh terhadap air dan air sulit terinfiltrasi. Keadaan ini menyebakan bertambahnya beban pada tanah sehingga tanah mudah menuruni lereng terutama pada lereng jalan yang memiliki sudut kemiringan lereng besar.

Longsor jalan dipengaruhi pula oleh penggunaan lahan yang tidak sesuai pada lereng. Penggunaan lahan kebun campuran dianggap memiliki peran sebagai salah satu penyebab longsor akibat campur tangan manusia. Penanaman pohon-pohon yang tidak mampu menahan beban tanah membuat tanah lebih mudah bergerak terutama saat musim penghujan dan keadaan lereng jalan yang sangat miring. Penanaman bambu pada lereng jalan sering menyebabkan longsor karena tanaman bambu tidak mampu menahan tanah dikarenakan akar yang halus sehingga tanah pada lereng jalan lebih rawan untuk mengalami pergerakan. Saat terjadinya longsor, vegetasi bambu yang ditanam pada lereng jalan ini ikut bergerak menuruni lereng bersama material longsor.

Menurut Maritimo (2011), dan Gurugnanam, dkk (2013) dalam penelitiannya, penyebab lain longsor jalan adalah jumlah kendaraan dan getaran yang dihasilkan oleh aktivitas kendaraan. Namun, hasil yang diperoleh justru sebaliknya yakni semakin tinggi kelas kerawanan longsor maka semakin rendah frekuensi kendaraan yang

Gambar 2. (a) Kondisi Drainase Buruk (X:400812 Y:9145276), dan (b) Longsor Translasional Akibat Drainase (X:400799 Y:9145264) (Sumber: Karlina, 2015)

A. B.

Page 53: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

45

Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia Vol. 2 No. 1, Mei 2016: 40-49

melalui kelas kerawanan tersebut. Segmen 4 dengan tingkat kerawanan longsor sangat tinggi dan jumlah kejadian longsor sebanyak 17 titik mempunyai frekuensi kendaraan yang rendah.

3.2. Tipe Dan Distribusi Longsor Jalan

Pengamatan dan pengambilan data yang dilakukan mulai dari bulan Maret-Mei 2015 menghasilkan 68 titk longsor jalan aktual dengan berbagai macam tipe longsor. Sebanyak 68 titik longsor yang diperoleh selama pengamatan lapangan menyebar pada 11 segmen jalan yang telah dibuat seperti Gambar 3.

Longsor jalan yang terjadi pada setiap segmen memiliki berbagai macam tipe longsor. Longsor tipe rotasional, transasioanal, blok slide, topple, dan flow merupakan tipe longsor yang ditemukan pada daerah penelitian. Jumlah dan tipe kejadian longsor pada setiap segmen jalan berbeda karena dipengaruhi oleh karakteristik setiap segmen jalan. Hanya pada segmen 2 di bagian hulu dan segmen 11 dibagian hilir tidak ditemukan longsor sama sekali (Gambar 4).

Longsor jalan tipe translasional merupakan longsor yang paling banyak terjadi dengan persentase hingga 70,59% dari total tipe kejadian longsor yang terjadi di seluruh segmen. Tipe

longsor jalan translasional di lapangan banyak terjadi pada segmen dengan tanah yang cukup tebal dan kemiringan lereng jalan yang sangat terjal di atas 45% seperti segmen 4 dan segmen 5. Banyaknya kejadian longsor tipe translasional pada lereng jalan dengan kemiringan lereng terjal dikarenakan bidang gelincir longsor tipe ini yang berbentuk datar. Selama pengamatan lapangan, bidang gelincir longsor tipe translasional mengikuti

Gambar 4. Peta Tipe Longsor Jalan Tiap Segmen Daerah Penelitian

Gambar 3. Persentasi Tipe Longsor Jalan Kelas IIIC Sub-DAS Gesing

(Sumber: Pengolahan Data, 2015)

Page 54: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

46

Analisis Tingkat Kerawanan Longsor pada Sebagian Jalan Kelas IIIC di Sub-DAS Gesing, Kabupaten Purworejo, Jawa TengahIka Indah Karlina

arah batuan dasar yang menyusun lereng longsor jalan. Tipe longsor rotasional merupakan salah satu tipe longsor yang ditemukan pada segmen jalan dengan total kejadian longsor 7,35%. Tipe rotasional ditandai dengan longsor jalan dengan bidang gelincir berbentuk sendok dan membentuk tangga yang berundak-undak. Hasil pengamatan lapangan lereng yang mengalami longsor tipe rotasional mempunyai kemiringan lereng jalan tidak terlalu terjal.

Longsor tipe topple atau runtuhan batuan merupakan salah satu tipe longsor yang banyak pula terjadi pada segmen jalan. Tercatat longsor tipe topple terjadi pada segmen 4, segmen 6, dan segmen 7. Longsor tipe topple ditandai dengan bergeraknya batuan menuruni lereng jalan atau jatuh menuju kaki lereng. Gerakan batuan terjadi karena pelapukan batuan yang intensif yang membentuk kekar pada batuan. Kekar yang terisi oleh air inilah yang mengalami pergerakan secara bebas menuruni lereng. Material longsor tipe topple merupakan blok-blok batuan yang terpotong-potong oleh retakan yang terisi air.

Longsor jalan tipe flow memiliki jumlah kejadian longsor 11,76% dari total kejadian longsor yang terjadi pada 11 segmen jalan kelas IIIC. Longsor tipe flow terjadi pada segmen jalan nomor 3, 5, 6, dan 9 dengan kejadian longsor tipe flow terbanyak di segmen 6 Longsor jalan tipe flow yang ditemukan pada daerah penelitian umumnya merupakan debris flow dengan material tanah yang bercampur dengan batuan berukuran kerikil hingga kerakal. Longsor tipe flow terjadi saat ataupun setelah terjadinya hujan dengan gerakan aliran tanah yang bergerak menuruni lereng dikarenakan sifat tanah mudah jenuh terhadap proses infilrasi air. Longsor jalan tipe block merupakan tipe longsor jalan yang tidak banyak terjadi pada segmen jalan yang menjadi lokasi penelitian. Longsor jalan tipe block hanya tercatat satu kejadian yakni di segmen 6. Tipe block slide terjadi dalam bentuk blok longsor dengan material tanah dan batuan yang bergerak pada sepanjang bidang gelinci.

3.3. Kerawanan Longsor Jalan Kelas IIIC

Kelas kerawanan longsor pada setiap segmen jalan diperoleh dari nilai kerapatan longsor. Nilai kerapatan longsor titik dan area yang diperoleh dibagi ke dalam beberapa kelas kerawanan longsor sehingga diperoleh hasil kelas kerawanan longsor titik dan kelas kerawanan longsor jalan.

Kerawanan titik longsor sangat tinggi dengan persentase 25% berada pada segmen 4 (Gambar 5a). Segmen ini merupakan satu-satunya segmen jalan dengan titik kejadian longsor

terbanyak mencapai 17 titik. Banyak dari kejadian longsor pada segmen ini merupakan longsor-longsor besar. Sangat tingginya kelas kerawanan longsor pada segmen 4 karena kemiringan lereng jalan diatas 45% dengan panjang lereng mencapai 3m hingga 11 m. Semakin rendah kelas kerawanan titik longsor kemiringan lereng jalan semaki kecil sehingga material tidak bergerak menuruni lereng. Kerawanan titik longsor sangat rendah bahkan mempunyai topografi landai dan dijadikan sebagai lahan pertain bagi penduduk.

Kelas kerawanan longsor jalan sangat tinggi berada di segmen 4 (Gambar 5b) sama halnya seperti peta kelas kerawanan titik longsor. Besarnya luas area yang mengalami longsor pada segmen ini dipengaruhi oleh banyaknya titik-titik longsor yang terjadi pada segmen 4. Semakin banyak titik dan semakin luas longsor yang terjadi pada suatu titik maka semakin tinggi kelas kerawanan longsor pada suatu segmen. Sudut kemiringan lereng yang besar tidak disertai dengan penggunaan lahan yang sesuai pada sisi lereng jalan dan kondisi drainase yang tidak baik. Buruknya kondisi drainase sering menyebabkan tergerusnya tanah pada bagian kaki lereng yang mengalami pemotongan (cut) dan larian air yang tidak tertampung drainase masuk ke rekahan jalan sehingga ditemui pula 2 kejadian longsor badan jalan (fill) yang cukup besar pada segmen 4.

Kelas kerawanan longsor jalan sedang berada di segmen 5 letaknya bersebelahan dengan segmen 4. Letak yang bersebelahan membuat karakteristik lereng pada kedua segmen ini mirip. Hanya sudut kemiringan lereng dan panjang lereng yang lebih rendah di segmen 5 bila dibandingkan dengan segmen 4. Skala longsoran pada segmen 5 bervariasi mulai dari longsor kecil dengan luas longsoran hanya berkisar 2,8 m2 dan longsor skala besar hingga 140 m2. Luas total area yang mengalami longsor pada kelas kerawanan sedang adalah 357,69 m2

Kerawanan longsor rendah berada pada segmen 6 dengan luas area longsor 248,62 m2 dan segmen 9 dengan luas area yang mengalami longsor sebesar 206,84 m2. Luasan longsor yang kecil pada setiap titik longsor menyebabkan segmen ini memiliki kelas kerawanan longsor rendah meskipun jumlah titik longsornya cukup banyak. Mulai adanya inisiatif penduduk dalam menangani kejadian longsor pada segmen ini membuat menurunnya potensi dan besaran kejadian longsor.

Kelas kerawanan longsor sangat rendah berada di segmen 1, 2, 3, 7, 8, 10, dan 11 . Beberapa segmen seperti segmen 2 dan segmen 11 memang tidak mengalami kejadian longsor karena topografi yang landai dan tidak terjadi

Page 55: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

47

Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia Vol. 2 No. 1, Mei 2016: 40-49

(a)

(b)

Gambar 5. (a). Peta Kerawanan Titik (b). Peta Kelas Kerawanan Longsor Jalan

Page 56: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

48

Analisis Tingkat Kerawanan Longsor pada Sebagian Jalan Kelas IIIC di Sub-DAS Gesing, Kabupaten Purworejo, Jawa TengahIka Indah Karlina

pemotongan lereng dalam proses pembangunan jalan. Sementara pada segmen yang masuk ke dalam kelas kerawanan longsor sangat rendah dikarenakan longsor luasan longsor yang terjadi pada segmen ini cukup kecil dengan luas longsor total pada setiap segmen berkisar antara 40 m2 hingga 150 m2.

4. KESIMPULAN

Kesimpulan dari penelitian longsor pada jalan kelas IIIC di Sub-DAS Gesing Kabupaten Purworejo adalah:a. Faktor penyebab longsor jalan pada daerah

penelitian disebabkan oleh pemotongan lereng untuk pembangunan jalan, curah hujan yang tinggi, penggunaan yang tidak sesuai pada lereng jalan, kondisi drainase yang buruk, solum tanah yang tebal, dan ketebalan tanah akibat intrusi batuan yang berada pada kemiringan lereng terjal.

b. Tipe longsor jalan yang ditemui pada daerah penelitian terdiri dari tipe longsor translasional, tipe rotasional, tipe flow, tipe topple, dan tipe blok slide. Tipe longsor yang umum ditemukan selama penelitian adalah tipe translasional dengan persentase 70,59% dari total kejadian longsor dan terjadi hampir diseluruh segmen jalan kelas IIIC.

c. Tingkat kerawanan longsor jalan di Sub-DAS Gesing menunjukan bahwa jalan kelas IIIC mempunyai tingkat kerawanan sangat tinggi dengan persentase 40,28% dari total keseluruhan luas segmen.

DAFTAR PUSTAKA

1. Cruden, 1991, A Simple Definition Of Landslide. Bulettin Int. Assoc. For Engineering Geology. 43: 27-29

2. Duman, T.Y., dan H.A. Nefeslioglu, 2006, Application of Logistic Regression for Landslide Susceptibility Zoning of Cekmece Area, Istanbul, Turkey. Jurnal Environmental Geologi Vol. 81(1): 65-83

3. Gurugnanam B., M. Arunkumar, Venkatraman A.T.V.R., and S. Bairavi, 2013, Assessment On Landslide Occurrence: A Recent Survey In Nilgiri, Tamilnadu, India. Jurnal Internasional Environmental Science and Tecnology Vol. 2(6): 1252-1256

4. Hardiyatmo, H.C., 2007, Pemeliharaan Jalan Raya Perkerasan Drainase Longsoran. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

5. Hoesada, J., 2006, Disater Recorvery Planning: Manajemen Bencana Administrasi

dan Akutansi. Laporan Penelitian dari www.KSAP.org [02 Juli 2014]

6. Maritimo, F., 2011, Kerawanan Longsor disepanjang Jalur Jalan Provinsi, Kabupaten, dan Kampung di Kecamtan Kalibawang, Kabupaten Kulonprogo, DIY. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada

7. Meiliana, N., 2011, Kajian Longsor dan Mitigasi Bahaya Longsor pada Ruas Jalan Lahat – Pagaralam Provinsi Sumatera Utara. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada

8. Permana, A., 2014, Mitigasi Bencana dengan Pemetaan Risiko Tanah Longsor di Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul. Tesis. Yogyakarta: Program Pascasarjana Teknik Sipil Universitas Gadjah Mada

9. Pratiwi, E. S., 2013, Kajian Kerawanan Longsor Lahan Menggunakan Logistic Regression Model di DAS Kodil Provinsi Jawa Tengah. Skripsi. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

10. Ram Mohan.V., A. Jeyaseelan, Raj.T., Naveen, T. Narmatha, and M. Jayaprakash, 2011, Landslide Susceptibility Mapping Using Frequency Ratio Method and GIS in South Eastern Part of Nilgiri District, Tamilnadu, India. Jurnal Internasional Geomatics And Geosciences Vol. 1(4): 951 - 961

11. SafeLand, 2011, Living with landslide risk in Europe: Assessment, Effects Of Global Change, And Risk Management Strategies. Analysis of Landslides Triggered by Anthropogenic Factors in Europe. Europe: 7th

Framework Programme12. Thornbury, W. D., 1969, Principle of

Geomorphology. Second Edition. John Wiley and Sons, Inc. New York – London – Sydney – Toronto.

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan judul “Analisis Tingkat Kerawanan Longsor Jalan pada Sebagian Jalan Kelas IIIC di Sub-DAS Gesing, Kabupaten Purworejo”. Penulis sangat berharap hasil dari penelitian ini dapat memberikan manfaat untuk mengurangi dampak kerugian yang ditimbulkan bencana longsor jalan di daerah penelitian.

Penulis juga berharap hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan Indonesia khususnya di bidang kebencanaan. Penulis mengucapkan rasa terimakasih dan penghormatan kepada Bapak Dr. Djati Mardiatno, M.Si selaku dosen

Page 57: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

49

Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia Vol. 2 No. 1, Mei 2016: 40-49

pembimbing utama dalam penelitian, karena atas bimbingan dan kesabaran Beliau penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik. Selama penelitian, penulis juga memperoleh bantuan, dukungan serta masukan dari Dr. Danang Sri Hadmoko, M.Sc. dan Dr. Retnadi Heru Jatmiko, M.Sc., Departemen Pembangunan Umum Kabupaten Purworejo, BPBD Kabupaten Purworejo, Pemerintah Daerah Kabupaten Purworejo, teman-teman Tim Penelitian yang membantu dalam pengambilan data lapangan, kedua Orang Tua peneliti, dan pihak-pihak yang tidak bisa disebutkan satu-persatu.

Penulis menyadari dalam penelitian ini masih sangat jauh dari sempurna, sehingga penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun agar penulis dapat menyusun penelitian yang lebih baik di kemudian hari.

Diterima: 2 Januari 2016Disetujui setelah revisi: 2 Mei 2016

Page 58: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

50

Manajemen Risiko Bencana pada Kawasan Cagar Budaya Gunung Padang, Ciamis, Jawa BaratSudibyakto dan Anggit Priatmodjo

MANAJEMEN RISIKO BENCANA PADAKAWASAN CAGAR BUDAYA GUNUNG PADANG,

CIAMIS, JAWA BARAT

DISASTER RISK MANAGEMENT IN GUNUNG PADANG CULTURAL HERITAGE, CIAMIS, WEST JAVA

Sudibyakto dan Anggit PriatmodjoMagister Manajemen Bencana, Sekolah Pascasarjana UGM

e-mail : [email protected]

Abstrak

Gunung Padang merupakan suatu situs warisan budaya Bangsa Indonesia yang tak ternilai harganya. Situs tersebut memiliki nilai historis yang menjadi kebanggaan Bangsa Indonesia karena situs tersebut merupakan bangunan megalitik terbesar di Asia Tenggara. Sebagai suatu situs purbakala yang selayaknya dilindungi, posisi Gunung Padang pada daerah pegunungan memiliki potensi ancaman bencana terutama gempabumi dan tanah longsor Penelitian ini secara umum bertujuan untuk melakukan penyusunan arahan pengelolaan risiko bencana pada situs megalitik purbakala Gunung Padang. Secara khusus penelitian yang akan dilakukan ini bertujuan untuk: (1) mengidentifikasi potensi bencana di sekitar kawasan situs purba Gunung Padang, dan (2) menyusun rekomendasi pengelolaan bencana di sekitar kawasan situs purbakala Gunung Padang. Pengumpulan data dalam penelitian ini mencakup data sekunder berupa data-data spasial dan data karakteristik wilayah, dan data primer terkait persepsi stakeholder mengenai manajemen risiko bencana di kawasan situs. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini mencakup analisis spasial menggunakan teknologi Geographic Information System (GIS), analisis risiko bencana dan analisis deskriptif. Hasil dari penelitian ini yaitu Kawasan cagar budaya Gunung Padang rawan terhadap bencana gempabumi dan tanah longsor. kerawanan terhadap bencana gempabumi di kawasan ini tergolong dalam kategori tinggi dan kerawanan terhadap bencana longsor tergolong dalam kategori sedang. Dengan kerentanan terhadap bencana yang sedang dan kapasitas menghadapi bencana yang rendah maka risiko terhadap bencana gempabumi dan tanah longsor termasuk dalam kategori tinggi. Rencana pengurangan risiko bencana yang harus segera diupayakan di Kawasan Situs Gunung Padang adalah pengurangan risiko bencana non struktural yang didampingi dengan perencanaan sektoral yang mencakup empat sektor yaitu manajemen dan koordinasi, kesehatan, sarana prasarana dan logistik.

Kata Kunci: Gunung Padang, manajemen risiko bencana, situs purbakala.

AbstractGunung Padang is a cultural heritage site which is priceless for Indonesia. The site has historical value that became the pride of the Indonesia due its status as the largest megalithic buildings in South East Asia. As an archaeological site that should be protected, the Gunung Padang site is located at mountainous areas which have hazards potential, especially earthquakes and landslide. This research generally aims to establish a basic for development of disaster risk management plan in ancient megalithic site of Gunung Padang. In particular the is aimed at: (1) identify the potential ofr disaster in the area around the site of Gunung Padang, and (2) propose recommendations for disaster management in the area around the site. The data collection consist of secondary data collection such as spatial data and characteristics of the region, and also secondary data related to the perception of stakeholders regarding disaster risk management in the area of the site. The analysis used in this research include spatial analysis using Geographic Information System (GIS), disaster risk analysis and descriptive analysis. Results from this research is the Gunung Padang cultural heritage area prone to earthquake and landslide Earthquake hazard in this region classified in the category of high and hazard of landslide classified in

Page 59: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

51

Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia Vol. 2 No. 1, Mei 2016: 50-58

the medium category. The vulnerability to disaster in the area is medium and capacity to face the disaster is low, therefore the risk to the earthquake and landslide classified as high. Disaster risk reduction plan that should be promoted in the area is non-structural disaster risk reduction, accompanied by sectoral planning which includes four sectors, namely the management and coordination, health, infrastructure and logistics.

Keywords: Gunung Padang, disaster risk management, ancient site.

1. PENDAHULUAN

Situs Gunung Padang merupakan situs prasejarah peninggalan kebudayaan Megalitikum di Jawa Barat. Tepatnya berada di perbatasan Dusun Gunung Padang dan Panggulan, Desa Cimenteng, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur. Luas kompleks “bangunan” kurang lebih 900 m², terletak pada ketinggian 885 m dpl, dan areal situs ini sekitar 3 ha, menjadikannya sebagai kompleks punden berundak terbesar di Asia Tenggara. Laporan pertama mengenai keberadaan situs ini dimuat pada Rapporten van de Oudheidkundige Dienst (ROD, “Buletin Dinas Kepurbakalaan”) tahun 1914. Sejarawan Belanda, N. J. Krom juga telah menyinggungnya pada tahun 1949. Setelah sempat “terlupakan”, pada tahun 1979 tiga penduduk setempat, Endi, Soma, dan Abidin, melaporkan kepada Edi, Penilik Kebudayaan Kecamatan Campaka, mengenai keberadaan tumpukan batu-batu persegi besar dengan berbagai ukuran yang tersusun dalam suatu tempat berundak yang mengarah ke Gunung Gede. Selanjutnya, bersama-sama dengan Kepala Seksi Kebudayaan Departemen Pendidikan Kebudayaan Kabupaten Cianjur, R. Adang Suwanda, ia mengadakan pengecekan. Tindak lanjutnya adalah kajian arkeologi, sejarah, dan geologi yang dilakukan Puslit Arkenas pada tahun 1979 terhadap situs ini.

Lokasi situs berbukit-bukit curam dan sulit dijangkau. Kompleksnya memanjang, menutupi permukaan sebuah bukit yang dibatasi oleh jejeran batu andesit besar berbentuk persegi. Situs itu dikelilingi oleh lembah-lembah yang sangat dalam. Tempat ini sebelumnya memang telah dikeramatkan oleh warga setempat. Penduduk menganggapnya sebagai tempat Prabu Siliwangi, raja Sunda, berusaha membangun istana dalam semalam.

Fungsi situs Gunung Padang diperkirakan adalah tempat pemujaan bagi masyarakat yang bermukim di sana pada sekitar 2000 tahun S.M. Hasil penelitian Rolan Mauludy dan Hokky Situngkir menunjukkan kemungkinan adanya pelibatan musik dari beberapa batu megalit yang ada. Selain Gunung Padang, terdapat

beberapa tapak lain di Cianjur yang merupakan peninggalan periode megalitikum.

Sejak Maret 2011 Tim peneliti Katastrofi Purba yang dibentuk kantor Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana, dalam survei untuk melihat aktivitas sesar aktif Cimandiri yang melintas dari Pelabuhan Ratu sampai Padalarang melewati Gunung Padang. Ketika tim melakukan survei bawah permukaan Gunung Padang diketahui tidak ada intrusi magma. Kemudian tim peneliti melakukan survei bawah permukaan Gunung Padang secara lebih lengkap dengan metodologi geofisika, yakni geolistrik, georadar, dan geomagnet di kawasan Situs tersebut. Hasilnya, semakin meyakinkan bahwa Gunung Padang sebuah bukit yang dibuat atau dibentuk oleh manusia (man-made). Pada November 2011, tim yang dipimpin oleh Dr. Danny Hilman Natawidjaja, terdiri dari pakar kebumian ini semakin meyakini bahwa Gunung Padang dibuat oleh manusia masa lampau yang pernah hidup di wilayah itu.

Kawasan situs Gunung Padang harus mendapat perhatian khusus karena memiliki ciri-ciri khusus dari masa prasejarah serta terletak pada puncak perbukitan yang dikelilingi oleh lereng yang cukup terjal yang sangat rawan akan bencana (Soejono, 2002). Maka tinggalan ini sangat layak untuk dijadikan sebagai bahan kajian tentang pengetahuan, teknologi, serta pengetahuan tentang kearifan masyarakat masa lalu dalam menghadapai kondisi dan tantangan lingkungan pada masa itu.

Dari keletakan punden berundak Gunung Padang yang berada di daerah yang rawan bencana tersebut, bentuk bencana alam yang mengancam punden berundak Gunung Padang dapat dikategorikan atas beberapa hal, seperti runtuhan, gelinciran, dan aliran (Sampurno, 2002). Kondisi yang demikian dapat terjadi karena beberapa bagian dari konstruksi punden berundak Gunung Padang memiliki potensi terhadap kebencanaan yang demikian. Konstruksi dinding teras yang terbat dari susunan balok-balok batu andesit yang tersusun vertikal dan berada di puncak bukit disebutkan sangat rawan akan hal runtuhan, kemudian konstruksi dinding teras yang berada

Page 60: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

52

Manajemen Risiko Bencana pada Kawasan Cagar Budaya Gunung Padang, Ciamis, Jawa BaratSudibyakto dan Anggit Priatmodjo

pada bidang miring perbukitan sangat rawan akan bahaya gelinciran, begitu juga dengan susunan konstruksi yang berada di daerah yang landai juga sangat rawan akan bahaya aliran.

Pengelolaan bencana pada situs Gunung Padang sangat penting untuk dilakukan dengan pertimbangan bahwa:a. Gunung Padang memiliki potensi ancaman

bencana yang tinggi, terutama akibat gerak massa batuan, baik berupa runtuhan, gelinciran, ataupun runtuhan. Selain itu juga rawan gempabumi dan kekeringan.

b. Gunung Padang merupakan situs warisan budaya yang tak terhingga nilainya bagi Bangsa Indonesia

c. Diperlukannya upaya pengelolaan bencana untuk melindungi situs warisan budaya Gunung Padang, terutama akibat gerak massa batuan dan bencana alam lainnya.

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk melakukan penyusunan arahan pengelolaan risiko bencana pada situs megalitik purbakala Gunung Padang. Secara khusus penelitian yang akan dilakukan ini bertujuan untuk:a. Mengidentifikasi potensi bencana baik

bencana alam maupun bencana ulah manusia di sekitar kawasan situs purba Gunung Padang ditinjau dari aspek distribusi spasial dan temporal;

b. Menyusun rekomendasi rencana pengelolaan risiko bencana di sekitar kawasan cagar budaya Gunung Padang.

2. METODOLOGI

Metode penelitian yang digunakan dalam perumusan studi daerah rawan bencana ini akan difokuskan kepada analisis spasial dengan menggunakan teknologi Geographic Information System (GIS) dan dikombinasikan dengan survei lapangan untuk mengumpulkan data-data primer guna mendukung penyusunan manajemen bencana kawasan Cagar Budaya Gunung Padang yang bersifat komprehensif. Metode penelitian akan mencakup mulai dari tahap pengumpulan data, pemrosesan, hingga hasil akhir dalam penentuan daerah rawan bencana.

Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu kawasan dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat. Risiko bencana juga dapat diartikan sebagai kemungkinan konsekuensi yang berbahaya, atau kerugian yang kemungkinan

terjadi (kematian, cedera, properti, mata pencaharian, kegiatan ekonomi terganggu atau lingkungan rusak) akibat interaksi antara bahaya alam atau manusia yang menyebabkan kerentanan kondisi (Thywissen, 2006). Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat diartikan bahwa risiko bencana merupakan hasil interaksi antara bahaya dengan kerentanan. Namun demikian, terdapat satu faktor lagi yang menjadi komponen risiko bencana yaitu kapasitas (Thywissen, 2006), sehingga risiko bencana seringkali dirumuskan sebagai berikut

bahaya x kerentanan Risiko = kapasitas

Penentuan risiko pada penelitian ini dilakukan berdasarkan pada tiga komponen utama, yang masing-masing dapat dibedakan secara kuantitatif (Carrara, 1984), yaitu:a. Probabilitas kejadian bencana: dalam hal ini

adalah tingkat kerawanan longsor yang telah dihitung dengan pendekatan spasial.

b. Elemen yang menghadapi risiko: identifikasi dan inventarisasi penduduk atau bangunan atau elemen lain yang mungkin terkena apabila terjadi bencana alam. Komponen ini juga mencakup kerentanan elemen yang menghadapi risiko, seberapa jauh kerusakan bangunan atau seberapa besar penduduk yang tertimpa bencana atau elemen lainnya jika bencana dengan besaran tertentu terjadi.

c. Kapasitas, yang mencerminkan kemampuan berbagai stakeholder untuk meminimalkan dampak bencana. Kapasitas mencakup :• Aturan dan kelembagaan penanggulangan

bencana pada level lokal.• Peringatan dini dan kajian risiko bencana.• Pendidikan kebencanaan.• Pengurangan faktor risiko dasar.• Pembangunan kesiapsiagaan pada

seluruh lini.

Penilaian risiko berdasarkan ketiga komponen tersebut dilakukan dengan menggunakan metode tabulasi silang seperti pada tabel sebagai berikut

Tabel 1. Matriks Ancaman - kerentanan

Ancaman

KerentananTinggi Sedang Rendah

RendahSedang Tinggi

Page 61: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

53

Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia Vol. 2 No. 1, Mei 2016: 50-58

Tabel 2. Matriks Risiko

Ancaman – kerentanan

Kapasitas

Tinggi Sedang Rendah

TinggiSedang Rendah

Keterangan : = rendah = sedang = tinggi

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gunung Padang terletak di Desa Cimenteng, Kecamatan Campaka, Kabupaten, Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Zona utama kawasan Gunung Padang memiliki luas sebesar 29 hektar Secara geologi, kawasan Gunung Padang terletak pada titik perpotongan antara sesar Cimandiri dan sesar Gede-Cikondang. Kawasan Gunung Padang memiliki curah hujan per tahun rata-rata 1.000 sampai 4.000 mm dan jumlah hari hujan rata-rata 150 per tahun. Hal tersebut menjadikan kawasan Gunung Padang terutama pada zona penyangganya mengandung keanekaragaman kekayaan sumber daya alam yang potensial sebagai modal dasar pembangunan dan potensi investasi yang menjanjikan. Lahan-lahan pertanian tanaman pangan dan hortikultura, peternakan, perikanan dan perkebunan merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat. Keadaan itu ditunjang dengan adanya sungai di sekitar kawasan yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber daya pengairan tanaman pertanian.

Kawasan Gunung Padang sebagian besar tanahnya tertutup oleh batuan sedimen. Jenis tanah yang umum dijumpai di kawasan ini adalah tanah latosol. Tanah ini merupakan jenis tanah yang telah berkembang atau terjadi deferensiasi horison, solum dalam, tekstur lempung, warna coklat, merah hingga kuning, tersebar di daerah beriklim basah, curah hujan lebih dari 3.000 mm/tahun, ketinggian tempat berkisar antara 300-1.000 meter di atas permukaan laut, mudah menyerap air, kandungan bahan organik sedang, memiliki pH 6 – 7 (netral) hingga asam, memiliki zat fosfat yang mudah bersenyawa dengan unsur besi dan aluminium, kadar humusnya mudah menurun. Tanah latosol cocok untuk tanaman padi, palawija, kelapa, karet, kopi, kelapa sawit dan buah-buahan.

3.1. Potensi Bencana

3.1.1. GempabumiBerdasarkan overlay antara koordinat

lokasi situs cagar budaya Gunung Padang dengan peta rawan bencana gempabumi yang disusun oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Cianjur dapat diketahui bahwa kawasan Gunung Padang merupakan daerah yang memiliki tingkat kerawanan yang tinggi terhadap bencana gempabumi.

Catatan : Lokasi Disimbolkan dengan Lingkaran

Gambar 1. Peta Kerawanan Bencana Gempabumi Kabupaten Cianjur

(Sumber : BPBD Kab Cianjur, 2014)

Tingginya kerawanan bencana gempabumi di kawasan cagar budaya Gunung Padang ini disebabkan lokasi kawasan tersebut yang tepat berada di atas titik perpotongan sesar Cimandiri dan sesar Gede-Cikondang. Kedua sesar ini merupakan sesar yang cukup aktif sehingga pergerakan keduanya dapat memicu terjadinya gempabumi.

Fakta bahwa lokasi kawasan cagar budaya Gunung Padang yang rawan terhadap bancana gempabumi juga terungkap dari hasil wawancara dengan sesepuh lokal yang menjadi pengelola kawasan Cagar Budaya Gunung Padang.

“Terkait dengan kebencanaan, di masyarakat sekitar sini sendiri berkembang cerita kalau dulu sekitar tahun 50-an terjadi gempabumi yang dahsyat di kawasan ini. Kalau dari pengalaman yang sudah-sudah, getaran gempa yang terasa seperti bersumber dari kawasan pantai selatan. Namun, dari beberapa kejadian gempa, Alhamdulillah, tidak ada kerusakan yang parah” (wawancara dengan Bapak Nanang, pengelola situs)

Sejarah menunjukkan kejadian gempabumi pernah terjadi di Situs Padang ini, kemungkinan

Page 62: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

54

Manajemen Risiko Bencana pada Kawasan Cagar Budaya Gunung Padang, Ciamis, Jawa BaratSudibyakto dan Anggit Priatmodjo

kejadian gempabumi akan terjadi lagi di daerah ini walaupun tidak ada yang tahu waktunya kapan. Pergerakan sesar Cimandiri dan sesar Gede-Cikodang yang cukup aktif menjadi pemicu akan terjadinya gempabumi. Monitoring pergerakan sesar dan prediksi kejadian gempabumi perlu dilakukan untuk mengetahui kemungkinan yang akan terjadi dan kesiapsiagaan untuk semua kemungkinan yang ada.

3.1.2. Tanah longsorKawasan cagar budaya Gunung Padang

juga memiliki kerawanan terhadap bencana tanah longsor. Berdasarkan overlay antara koordinat lokasi situs dengan peta ancaman bencana tanah longsor yang dikeluarkan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Cianjur dapat diketahui bahwa kawasan cagar budaya Gunung Padang memiliki kerawanan yang sedang. Ancaman gerakan tanah di kawasan tersebut tergolong menengah. Hal ini terutama disebabkan lokasi kawasan situs yang secara morfologi tersusun atas perbukitan berelief sedang dan agak kasar dengan kemiringan lereng bervariasi antara 15 – 40%.

Catatan : Lokasi Disimbolkan dengan Lingkaran

Gambar 2. Peta Kerawanan Bencana Tanah Longsor Kabupaten Cianjur

(Sumber : BPBD Kab. Cianjur, 2014)

Ancaman longsor di kawasan cagar budaya Gunung Padang juga dipengaruhi oleh tingginya kunjungan wisatawan di kawasan tersebut, Di satu sisi, kunjungan wisatawan membawa dampak positif berupa meningkatnya pendapatan masyarakat sekitar kawasan situs. Namun, di sisi lain, jumlah kunjungan yang tinggi ini juga dapat menjadi beban bagi struktur Gunung Padang sehingga dapat memicu longsor.

Pada tahun 2014, tepatnya tanggal 16 November, tebing setinggi 20-an meter di kawasan situs ambruk dan menimbulkan ancaman longsor.

Hal ini dipicu oleh hujan yang lebat pada saat itu. Panjang longsoran tanah sekitar 30 meter dengan ketinggian sekitar 20 meter. Material longsor juga menutup aliran Sungai Cikuta serta merusak jembatan bambu sepanjang yang biasa digunakan warga.

Hasil observasi lapangan juga menujukkan adanya beberapa bagian situs yang mengalami kelongsoran. Hal ini terutama terjadi di sisi-sisi tebing barat dan timur kawasan situs.

Gambar 3. Atas: Struktur Situs yang Mengalami Kelongsoran, Bawah: Bekas Longsoran pada

Tebing Situs (Sumber: Survei Lapangan 5-6 Juni 2015)

Beberapa kejadian yang ada telah menunjukkan bahwa longsor terjadi di Situs Gunung Padang. Meski situs ini menunjukkan pada kerawanan longsor sedang, namun longsor-longsoran kecil yang terjadi jika dibiarkan terus menerus akan merubah bentuk situs atau bahkan merusaknya. Untuk menjaga agar situs ini tetap terawat maka pengelolaan situs yang berbasis bencana harus segera dilakukan.

3.2. Kerentanan

Kerentanan merupakan kekurangmampuan suatu masyarakat untuk mencegah, menjinakkan, mencapai kesiapan, dan menanggapi dampak bahaya tertentu. Kerentanan dapat berupa

Page 63: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

55

Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia Vol. 2 No. 1, Mei 2016: 50-58

kerentanan sosial budaya, fisik, ekonomi dan lingkungan, yang dapat ditimbulkan oleh beragam penyebab. Menurut UNDRO 1992, kerentanan adalah tingkat kemungkinan suatu objek bencana yang terdiri dari masyarakat, struktur, pelayanan atau daerah geografis mengalami kerusakan atau gangguan akibat dampak bencana atau kecenderungan sesuatu benda atau mahkluk rusak akibat bencana, serta disajikan pada skala dari 0 (tidak ada kerusakan) dan 1 (kerusakan total), (UNDRO, 1992). Kerentanan ditentukan oleh kondisi fisik, sosial, faktor ekonomi dan lingkungan serta proses yang bisa meningkatkan kerentanan masyarakat terhadap dampak bahaya (UN-ISDR, 2009).

Hasil perhitungan kerentanan di desa kawasan situs Gunung Padang dapat ditampilkan pada Tabel 3.

Kerentanan fisik (infrastruktur) merupakan gambaran suatu kondisi fisik (infrastruktur) yang rawan terhadap faktor bahaya (hazard) tertentu. Kondisi kerentanan dapat dilihat dari berbagai indikator diantaranya : kepadatan bangunan, jumlah sekolah, dan fasilitas kesehatan. Hasil analisis kerentanan fisik menunjukkan bahwa Desa Cimenteng memiliki kerentanan fisik yang tinggi. Hal ini terutama dipengaruhi oleh faktor tingginya jumlah fasilitas kritis di wilayah tersebut yang berupa sekolah. Apabila terjadi bencana maka fasilitas kritis tersebut akan dapat terdampak sehingga kebutuhan dasar penduduk sekitar akan pendidikan dapat terganggu. Selain itu, dengan terdampaknya bangunan-bangunan sekolah maka potensi pemanfaatan bangunan-bangunan tersebut sebagai tempat evakuasi sementara juga dapat menjadi berkurang.

Kerentanan sosial menggambarkan kondisi tingkat kerapuhan sosial dalam menghadapi bencana. Pada kondisi sosial yang rentan, jika terjadi bencana dapat dipastikan akan menimbulkan dampak kerugian yang besar. Hasil perhitungan kerentanan sosial menunjukkan bahwa kerentanan sosial di Desa Cimenteng termasuk dalam kategori tinggi. Hal ini disebabkan komponen-komponen penyusun seperti persentase keluarga miskin dan rasio penyandang cacat memiliki angka yang cukup tinggi.

Kerentanan ekonomi menggambarkan suatu kondisi tingkat kerapuhan ekonomi dalam menghadapi bencana. Kemampuan ekonmi masyarakat atau daerah sangat menentukan tingkat kerentanan terhadap ancaman bahaya. Daerah dengan tingkat ekonomi yang rendah lebih rentan terhadap bahaya, karena daerah tersebut tidak memiliki kemampuan finansial yang memadai untuk melakukan upaya mitigasi bencana. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Desa Cimenteng memiliki kerentanan ekonomi yang rendah. Hal ini disebabkan rasio lahan produktif dan jumlah industri di Desa Cimenteng tergolong rendah jika dibandingkan beberapa desa yang lain di Kecamatan Campaka.

3.3. Kapasitas

Kapasitas menggambarkan kemampuan suatu daerah dalam menghadapi bencana. Tingkat kapasitas/ketangguhan ini dikaji dengan melakukan wawancara dengan pengelola kawasan cagar budaya Gunung Padang. Wawancara dilakukan dengan mengajukan

Tabel 3. Perhitungan Kerentanan

DesaNilai

kerentanan fisik

KlasifikasiNilai

kerentanan sosial

KlasifikasiNilai

kerentanan ekonomi

Rata-rata

Kerentanan total

WANGUNJAYA 40.03 Sedang 43.42 Sedang 16.39 33.28 Rendah

SUKADANA 70.00 Tinggi 40.16 Sedang 13.95 41.37 Sedang

KARYAMUKTI 31.37 Rendah 7.48 Rendah 25.95 21.60 Rendah

CIMENTENG 74.29 Tinggi 68.26 Tinggi 20.97 54.51 Sedang

GIRIMUKTI 42.40 Sedang 40.15 Sedang 37.53 40.03 Sedang

SUSUKAN 63.15 Sedang 78.25 Tinggi 60.30 67.24 Tinggi

SUKAJADI 61.37 Sedang 81.71 Tinggi 59.42 67.50 Tinggi

MARGALUYU 12.38 Rendah 80.57 Tinggi 86.49 59.81 Sedang

MEKARJAYA 2.73 Rendah 21.57 Rendah 55.67 26.65 Rendah

CIDADAP 6.27 Rendah 62.74 Sedang 11.85 26.95 Rendah

CAMPAKA 2.92 Rendah 27.43 Rendah 2.91 11.09 Rendah

Sumber : hasil analisis, 2015

Page 64: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

56

Manajemen Risiko Bencana pada Kawasan Cagar Budaya Gunung Padang, Ciamis, Jawa BaratSudibyakto dan Anggit Priatmodjo

pertanyaan terbuka yang mewakili beberapa aspek yaitu legislasi, perencanaan, kelembagaan, pendanaan, pengembangan kapasitas, dan penyelenggaraan penanggulangan bencana. Hasil wawancara menunjukkan bahwa kapasitas menghadapi bencana di kawasan tersebut tergolong rendah. Salah satu petikan wawancara tersebut adalah sebagai berikut :

“Terkait dengan penanganan bencana, di sini perhatian pemerintah masih kurang Pak. Tidak ada pengarahan, bantuan, dan

semacamnya. Jadi bisa dibilang pengetahuan masyarakat masih kurang.” (Wawancara dengan Bapak Nanang – pengelola/Juri kunci Situs Gunung Padang)

Lebih lanjut, hasil interview, mengenai kapasitas menghadapi bencana di kawasan Gunung Padang dapat disajikan pada tabel 4. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kapasitas dalam menghadapi bencana tergolong dalam kategori rendah. Sebagian besar indikator kapasitas tidak terpenuhi.

Tabel 4. Hasil Interview Aspek Kapasitas

Faktor Indikator Responden 1 Responden 2 Responden 3 Responden 4 Responden 5

Aturan dan kelembagaan penanggulangan bencana

Kawasan situs memiliki SOP penanggulangan bencana 1 1 1 1 1

Pembentukan kelompok masyarakat siaga bencana 1 1 1 1 1

Pembentukan kampung siaga bencana 1 1 1 1 1

Adanya fasilitasi pemerintah dan LSM terkait PRB 1 1 1 1 1

Peringatan dini dan kajian risiko bencana

Pemasangan sistem EWS oleh pemerintah 1 1 1 1 1

Adanya EWS berbasis komunitas 1 1 1 1 1

Pengkajian risiko bencana dan diseminasi hasilnya 1 1 1 1 1

Distribusi peta-peta kebencanaan 1 1 1 1 1

Pendidikan kebencanaan

Kesadaran masyarakat akan kerawanan bencana 2 2 2 2 1

Sosialisasi pengurangan risiko bencana oleh pemerintah

1 1 1 1 1

Simulasi kebencanaan 1 1 1 1 1

Pengurangan faktor risiko dasar

Pendataan kelompok rentan 1 1 1 1 1

Penguatan dan diversifikasi ekonomi masyarakat 2 2 1 1 2

Aksi-aksi sosisal untuk peningkatan kapasitas masyarakat

1 2 1 1 1

Pembangunan kesiapsiagaan pada seluruh lini

Mengetahui langkah-langkah penyelamatan saat terjadi bencana

1 2 2 1 2

Keberadaan sistem komando tanggap darurat 1 1 1 1 1

Penyusunan rencana kontinjensi 1 1 1 1 1

Jumlah 19 21 19 18 19

Rata-rata 19.2

Kelas Rendah

Sumber : analisis, 2015

Page 65: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

57

Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia Vol. 2 No. 1, Mei 2016: 50-58

3.4. Risiko

Data mengenai tingkat kerawanan, kerentanan dan kapasitas tersebut kemudian digunakan untuk menyusun matriks risiko. Matriks tersebut diwujudkan dalam tiga tabel sebagai berikut :

Tabel 5. Matriks Ancaman-Kerentanan

Ancaman

KerentananTinggi Sedang Rendah

Rendah

Sedang Gempabumi Tanah longsor

Tinggi

Sumber: Hasil Analisis, 2015

Tabel 6. Matriks Risiko

Ancaman – kerentanan

Kapasitas

Tinggi Sedang Rendah

TinggiSedang

Rendah Gempabumi Tanah longsor

Sumber: Hasil Analisis, 2015

Keterangan : = rendah = sedang = tinggi

Matriks tersebut memberikan hasil bahwa risiko terhadap bencana gempabumi dan tanah longsor di kawasan cagar budaya Gunung Padang tergolong tinggi. Berdasarkan data tersebut maka dapat disusun peta risiko bencana sebagai berikut :

Gambar 4. Peta Risiko Bencana Situs Gunung Padang (Sumber: Analisis, 2015)

Page 66: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

58

Manajemen Risiko Bencana pada Kawasan Cagar Budaya Gunung Padang, Ciamis, Jawa BaratSudibyakto dan Anggit Priatmodjo

3.4.1. Rencana Manajemen Bencana

Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan pengelola dan masyarakat sekitar kawasan situs Gunung Padang, maka dapat diketahui bahwa upaya pengurangan risiko bencana di kawasan situs yang harus segera dilakukan adalah upaya pengurangan risiko bencana secara non struktural dengan tujuan utama untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya bencana di wilayahnya. Program-program usulan dari masyarakat adalah sebagai berikut:

Tabel 7. Rencana Manajemen Bencana

No.Program PRB non struktural

Leading sector Hasil

1 Sosialisasi BPBD, Disbudpar

Pengetahuan masyarakat tentangbencana semakin terbuka

2 Gladi Lapang BPBD, Disbudpar

Meningkatkan kesiapsiagaan dan kewaspadaan

3 Pelatihan SAR

BPBD, Disbudpar

Meningkatkan kemampuan assessor, evakuator dalam menolong masyarakat rawan bencana

4 Dokumen Perencanaan Penanganan Bencana

BPBD, Disbudpar

Hazard Map, Protap, Renop

Sumber: hasil survei, 2015

4. KESIMPULAN

Kesimpulan sementara yang dapat diajukan berdasarkan hasil dan pembahasan yang disampaikan adalah sebagai berikut :a. Kawasan cagar budaya Gunung Padang

rawan terhadap bencana gempabumi dan

tanah longsor. Kerawanan terhadap bencana gempabumi di kawasan ini tergolong dalam kategori tinggi dan kerawanan terhadap bencana longsor tergolong dalam kategori sedang. Dengan data kerentanan terhadap bencana yang sedang dan kapasitas menghadapi bencana yang rendah maka risiko terhadap bencana gempabumi dan tanah longsor sama-sama masuk dalam kategori tinggi.

b. Rencana pengurangan risiko bencana yang harus segera diupayakan di Kawasan Situs Gunung Padang adalah pengurangan risiko bencana non struktural dengan tujuan utama untuk meningkatkan wawasan kebencanaan masyarakat. Upaya ini didampingi dengan perencanaan sektoral yang mencakup empat sektor yaitu manajemen dan koordinasi, kesehatan, sarana prasarana dan logistik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Carrara, A., 1984, Landslide Hazard Mapping: Aims and Methods, dalam Mouvements de Terrain, diedit oleh J.C. Flageollet, Serie Documents du BRMG.

2. Sampurno, 2002, Tinjauan Geologis, Lingkungan Alam dan Budaya terhadap Pelestarian dan Pengembangan Situs Megalitik Gunung Padang”. Makalah pada Workshop Pelestarian dan Pengembangan Kawasan Situs Gunung Padang, Kabupaten Cianjur. Cipanas, Cianjur, Agustus 2002.

3. Soejono, R.P., 2002, Potensi Arkeologis dan Masalah Penanganan Situs Gunung Padang, Makalah pada Workshop Pelestarian dan Pengembangan Kawasan Situs Gunung Padang, Kabupaten Cianjur. Cipas, Cianjur, Agustus 2002

4. Thywissen, 2006, Components of Risk, A Comparative Glossary, Bonn: UNU Institute for Environment and Human Security

Diterima: 12 Januari 2016Disetujui setelah revisi: 29 April 2016

Page 67: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

59

Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia Vol. 2 No. 1, Mei 2016: 59-69

APLIKASI GPS UNTUK MONITORING DEFORMASI GUNUNG LOKON, INDONESIA

GPS APPLICATION FOR MONITORING DEFORMATION IN LOKON VOLCANO, INDONESIA

Aditya Fikri Ghozali1, Dina Anggreni Sarsito1, Estu Kriswati2 dan Irwan Meilano1

1Teknik Geodesi dan Geomatika, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi BandungJalan Ganesa No. 10 Bandung 40132

2Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan GeologiJalan Diponegoro No. 57 Bandung 40122

e-mail: [email protected]

Abstrak

Gunung Lokon merupakan bagian dari busur gunungapi Sangihe yang berada pada zona kolisi Maluku. Interval antar erupsi terjadi antara 1-4 tahun dengan periode dormansi 8-64 tahun. Erupsi besar yang terakhir terjadi pada tahun 1991. Pada tanggal 22 Februari 2011, terjadi erupsi yang dimulai dengan letusan freatik. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola deformasi dari titik-titik pengamatan GPS Gunung Lokon menggunakan perangkat lunak GAMIT di titik KKVO, KINL, dan WALN antara tahun 2009-2014. Pergerakan titik direferensikan terhadap titik KKVO untuk menghilangkan pengaruh pergerakan blok dan melihat pergerakan akibat aktivitas vulkanik. Analisis regangan dilakukan dengan melihat perubahan panjang baseline antar titik dan juga regangan pada bidang yang dibentuk oleh ketiga titik pengamatan. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan pola pergeseran antara sebelum, saat, dan setelah periode erupsi 2011-2013. Selain itu terjadi pemendekan pada panjang baseline dari ketiga titik pengamatan. Deformasi pada Gunung Lokon ditandai dengan adanya kompresi yang semakin menguat ketika mendekati erupsi.

Kata Kunci: Lokon, deformasi, GPS, erupsi.

AbstractLokon volcano is part of the Sangihe volcanic arc system related to the Maluku collision zone. The intervals of eruptive activities were typically 1-4 years with variation of dormancy periods of 8-64 years. The last big eruption took place in 1991. OnFebruary 22nd, 2011 eruption occurred, began with a phreatic eruption.that occurred on. This research analyze deformation of continuous GPS (CGPS) observation point in Lokon volcano. GAMIT software is used to analyse continuous GPS observation data of KKVO, KINL, and WALN station in 2009-2014. The movement then referenced to KKVO station to eliminate block motion and extract the volcanic displacement. Strain analysis is done by computing baseline strain and area strain formed by three CGPS station of Lokon Volcano. Results shows a difference of displacement patterns in three period of eruption activity in 2009-2014. Strain pattern among observation point from baseline analysis is compression. Deformation of Lokon volcano is characterized by increasing compression in north-south direction toward Tompaluan crater when it about to erupt.

Keywords: Lokon, deformation, GPS, eruption.

1. PENDAHULUAN

Gunung Lokon merupakan salah satu gunungapi aktif di Indonesia yang terletak di ujung selatan dari busur gunungapi Sangihe, yang memanjang dari Sulawesi ke Mindanao

seperti tampak pada Gambar 1. Berdasarkan bentuk morfologinya, puncak Gunung Lokon berdampingan dengan puncak Gunung Empung dengan jarak antara keduanya 2,3 km dan merupakan gunungapi kembar, sehingga sering disebut Kompleks Gunungapi Lokon-Empung.

Page 68: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

60

Aplikasi GPS untuk Monitoring Deformasi Gunung Lokon, IndonesiaAditya Fikri Ghozali, Dina Anggreni Sarsito, Estu Kriswati dan Irwan Meilano

Pada punggungan antara Gunung Lokon dan Empung terdapat Kawah Tompaluan (1210 m dpl.) yang merupakan kawah aktif dan pusat aktivitas vulkanik saat ini (Suparman dkk., 2013).

Gambar 1. Lokasi Gunung Lokon pada Busur Gunungapi Sangihe (MacPherson, 2003)

Gunung Lokon termasuk salah satu gunungapi dengan aktivitas vulkanik yang tinggi. Erupsi besar terakhir terjadi tahun 1991 (PVMBG, 2014). Pada bulan Juni 2011, terjadi rentetan erupsi yang menyebabkan peningkatan status kegiatan Gunung Lokon menjadi siaga sejak 24 Juli 2011 pukul 22.00 WITA (PVMBG, 2015). Untuk kepentingan mitigasi perlu dilakukan pemantauan aktivitas Gunung Lokon. Pemantauan aktivitas gunungapi dapat dilakukan dengan metode serta peralatan/sensor tertentu serta dapat diimplementasikan secara episodik maupun kontinu (Abidin dkk., 2007).

Pada penelitian ini pemantauan aktivitas tersebut mengaplikasikan metode deformasi permukaan berdasarkan pengamatan Global Positioning System (GPS) geodetik yang dilakukan secara kontinu.

2. METODE PENELITIAN

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data tiga titik pengamatan GPS kontinu Gunung Lokon yang diperoleh dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) selama enam tahun (2009-2014). Persebaran ketiga titik pengamatan diperlihatkan pada Gambar 2. Ketiga titik pengamatan diikatkan terhadap tujuh stasiun IGS (International GNSS Service) yang terdistribusi melingkupi wilayah Indonesia, diantaranya GUAM, PIMO, CUSV, NTUS, XMIS, COCO, dan DARW. Persebaran stasiun pengamatan GPS milik IGS yang disertakan bisa dilihat pada Gambar 3.

Gambar 2. Titik CGPS Gunung Lokon

Gambar 3. Persebaran Titik IGS yang Digunakan

Metode yang digunakan dalam penelitian iniyaitu pengolahan data pengamatan GPS untukmenganalisis deformasi yang terjadi. Diagramalir dari pengolahan data yang dilakukan bisa dilihat pada Gambar 4. Data pengamatan GPS diolah menggunakan perangkat lunak GAMIT/GLOBK 10.5 (Herring dkk., 2010). Selain data RINEX dari tiap stasiun pengamatan, pengolahan data juga menggunakan data precise ephemeris (SP3), data koreksi ionosfer (IONEX), dan data navigasi orbit satelit. Output dari pengolahan ini adalah solusi koordinat harian dari stasiun pengamatan GPS beserta matriks kovariansinya. Berdasarkan solusi koordinat harian tersebut dapat dilihat pola pergerakan dari titik pengamatan yang menunjukkan proses tektonik dan vulkanik yang ditransmisikan ke permukaan melalui sifat mekanik dari kerak bumi (Lisowski, 2007). Selanjutnya pola pergerakan dianalisis untuk memahami karakteristik dan pola deformasi yang terjadi dan kaitannya dengan aktivitas erupsi Gunung Lokon pada tahun 2011 - 2013 (Kristianto dkk., 2012).

Page 69: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

61

Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia Vol. 2 No. 1, Mei 2016: 59-69

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Solusi Koordinat Harian

Pengolahan data menggunakan GAMIT 10.5 menghasilkan koordinat geosentrik dan geodetik beserta standar deviasi dari setiap titik pengamatan dan nilai pergeseran yang diikatkan terhadap kerangka koordinat ITRF 2008. Standar deviasi dari koordinat titik pengamatan dapat dilihat pada Tabel 1.

Komponen Z memiliki standar deviasi terkecil, hal ini dikarenakan posisi titik pengamatan yang dekat dengan ekuator yaitu berada sekitar 1,3° Lintang Utara sehingga pengaruh ketelitian vertikal dari pengamatan GPS sangat kecil. Pada equator komponen vertikal hanya diwakili oleh sumbu X dan sumbu Y. Ketelitian dari penghitungan koordinat juga dipengaruhi oleh kualitas data dan geometri dari stasiun IGS yang digunakan pada penelitian ini. Pada koordinat toposentrik, standar deviasi

dari komponen horizontal berkisar antara 3 mm sampai 5 mm. Sementara ketelitian komponen vertikal tiga kali lebih besar dari ketelitian horizontalnya, dengan nilai 1,5 cm sampai 2 cm. Titik KKVO merupakan titik pengamatan dengan nilai standar deviasi paling kecil.

3.2. Pergeseran Terhadap ITRF 2008

Pergeseran titik pengamatan GPS diplot menggunakan koordinat toposentrik. Sebelum dilakukan plotting, terlebih dahulu dilakukan pembuangan data outlier agar didapat distribusi data yang baik dan meminimalisasi error. Pada penelitian ini digunakan tingkat kepercayaan 95%, data yang berada di luar ± 2σ dianggap sebagai outlier. Time series dari pergeseran koordinat toposentrik titik pengamatan KKVO, KINL, dan WALN yang sudah terbebas dari data outlier masing-masing bisa dilihat pada Gambar 5, Gambar 6, dan Gambar 7.

Gambar 4. Diagram Alir Metode Pengolahan Data

Tabel 1. Standar Deviasi Koordinat Kartesian Geosentrik dan Toposentrik

Titik Standar Deviasi (mm)X Y Z N E U

KKVO 9,2 12,0 3,8 3,6 4,0 14,2KINL 10,8 13,4 3,6 3,7 4,4 16,1WALN 12,9 15,6 4,4 4,5 5,0 19,1

Page 70: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

62

Aplikasi GPS untuk Monitoring Deformasi Gunung Lokon, IndonesiaAditya Fikri Ghozali, Dina Anggreni Sarsito, Estu Kriswati dan Irwan Meilano

Gambar 5. Time Series Pergeseran dari Titik Pengamatan KKVO pada Rentang Tahun 2009-2014

Gambar 6. Time Series Pergeseran dari Titik Pengamatan KINL pada Rentang Tahun 2009-2014

Gambar 7. Time Series Pergeseran dari Titik Pengamatan WALN pada Rentang Tahun 2009-2014

Page 71: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

63

Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia Vol. 2 No. 1, Mei 2016: 59-69

Berdasarkan time series, pola pergeseran dari ketiga titik menunjukkan pergerakan yang seragam dan hampir linear pada rentang tahun 2009-2014. Plot pergeseran dari ketiga titik diperlihatkan pada Gambar 8, kecepatan pergeseran bisa dilihat pada Tabel 2. Laju Pergeseran dari titik-titik pengamatan GPS Gunung Lokon tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Ketiga titik bergerak ke arah tenggara dengan laju pergeseran sekitar 2 cm/tahun dengan standar deviasi sekitar 0,06 mm/tahun. Hal tersebut menunjukan pergerakan titik-titik pengamatan masih didominasi oleh pergerakan blok. Oleh karena itu pergeseran ini harus direferensikan terhadap salah satu titik pengamatan.

3.3. Pergeseran Lokal

Pergeseran kemudian direferensikan terhadap titik KKVO. Jadi diasumsikan titik KKVO tidak bergeser. Pemilihan titik KKVO sebagai titik referensi berdasarkan nilai standar deviasinya yang paling kecil serta posisi yang paling jauh dari sumber aktivitas vulkanik Gunung Lokon. Pergerakan relatif titik KINL dan WALN terhadap titik KKVO bisa dilihat pada Gambar 9 dan Gambar 10. Pergeseran yang direferensikan terhadap titik KKVO terlihat lebih kompleks. Garis tegak pada Gambar 9 dan Gambar 10 adalah waktu terjadinya letusan pada Gunung Lokon.

Tabel 2. Kecepatan Pergeseran Titik-Titik Pengamatan GPS Kontinu Gunung Lokon

No. Titik Bujur LintangVe

(mm/tahun)

Vn (mm/

tahun)

σ ve (mm)

σ vn (mm)

Vr (mm)

σ Vr (mm)

1 KKVO 124,816 1,366 19,30 -6,69 0,04 0,04 20,43 0,06

2 KINL 124,802 1,349 21,00 -10,06 0,05 0,05 23,29 0,07

3 WALN 124,84 1,343 20,59 -5,82 0,04 0,04 21,40 0,06

Gambar 8. Vektor Pergeseran Titik Pengamatan GPS Gunung Lokon Terhadap ITRF 2008 Dari Tahun 2009-2014

Page 72: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

64

Aplikasi GPS untuk Monitoring Deformasi Gunung Lokon, IndonesiaAditya Fikri Ghozali, Dina Anggreni Sarsito, Estu Kriswati dan Irwan Meilano

Gambar 9. Time Series Pergeseran Titik KINL Relatif Terhadap KKVO

Gambar 10. Time Series Pergeseran Titik WALN Relatif Terhadap KKVO

Pergerakan titik-titik pengamatan dibagi menjadi tiga periode berdasarkan aktivitas kegempaan Gunung Lokon pada Gambar 11, yaitu periode Maret 2009-Juli 2011, periode Juli 2011-Februari 2013, dan periode Februari 2013-Maret 2014. Pembagian ini dilakukan untuk melihat perbedaan vektor pergeseran pada saat peningkatan aktivitas, puncak aktivitas, dan penurunan aktivitas eruptif dari Gunung Lokon.

Pergeseran horizontal antara awal dan akhir periode secara matematis dapat diestimasi dengan persamaan (1) dan persamaan (2)

de = et2 – et1 (1)dn = nt2 – nt1 (2)

Sementara standar deviasi dari pergeseran dapat dihitung melalui persamaan (3)

Std dr = √ (σet2 )2 + (σet1 )2 (3) Setelah mendapatkan nilai pergeseran

titik-titik pengamatan, dilakukan uji statistik yang bertujuan untuk mengetahui pergeseran titik-titik yang cukup signifikan. Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah t-distribution atau yang dikenal sebagai Student-distribution (t-student). T-student digunakan dalam pengujian hipotesis untuk memeriksa validitas sebuah sampel terhadap populasi dan untuk menurunkan interval kepercayaan dari rata-rata populasi yang mempunyai set sampel yang yang relatif kecil (Ghillani, 2010). Selang kepercayaan yang digunakan adalah 95% dengan α/2 = 0,025. Pada

Page 73: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

65

Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia Vol. 2 No. 1, Mei 2016: 59-69

tes ini, hipotesis nol (Vr = 0) menunjukkan bahwa pergeseran tidak signifikan, sedangkan bila (Vr 6= 0) menunjukkan bahwa pergeseran cukup signifikan. Maka hipotesis nol akan ditolak jika nilai t lebih besar daripada nilai t-condition (T > tv, α/2). Nilai T diperoleh dengan persamaan (4).

(4)

Pergeseran titik KINL dan WALN relatif terhadap titik KKVO pada tiap periode beserta uji signifikansi yang dilakukan bisa dilihat pada Tabel 3. Nilai pergeseran horizontal pada titik KINL dan WALN setelah direferensikan terhadap titik KKVO berada dibawah 1 cm pada setiap periodenya dengan standar deviasi pada komponen horizontal rata-rata dibawah 5 mm. Pada pergeseran titik KINL pada periode ketiga, standar deviasi hampir 4 mm. Bila dibandingkan dengan nilai pergeseran yang sangat kecil (hanya

dalam orde mm), standar deviasi sebesar 4 mm bisa lebih dominan dari pada pergeserannya sendiri. Oleh karena itu pergeseran pada periode ketiga tidak lolos uji signifikansi.

3.4. Penghitungan Regangan

Berdasarkan nilai pergeseran kemudian dihitung regangan dengan dua metode yaitu regangan baseline dan regangan bidang. Regangan bidang dihitung pada segitiga yang dibentuk oleh tiga titik pengamatan berdasarkan data pergeseran. Normal strain dan shear strain dihitung dalam fungsi dari nilai pergeseran menggunakan persamaan (5).

(5)

Gambar 11. Pembagian Periode Berdasarkan Kegempaan Harian Gunung Lokon

VrT = StdVr

[ ] [ ] [ ]εxxεyy

Ωtx

ty

e n -n 0 1 0 de = de 0 e e -n 0 1

Tabel 3. Nilai Pergeseran Titik KINL dan WALN Relatif Terhadap KKVO pada Tiap Periode serta Hasil Uji Signifikansinya

Periode TitikPergeseran (mm) σ (mm) Resultan (mm) Uji-T

dN dE σN σE dR σdR T-S T Hasil

1KINL -4,33 0,7 1,89 0,64 4,38 2,00 1,96 2,18 Lolos

WALN -2,06 5,42 0,65 2,56 5,79 2,65 1,96 2,18 Lolos

2KINL -4,12 -1,77 0,97 0,73 4,40 1,22 1,96 3,68 Lolos

WALN 7,05 1,50 1,71 1,72 7,20 2,43 1,96 2,96 Lolos

3KINL -3,77 6,72 4,04 3,73 7,70 5,50 1,96 1,40 Tidak Lolos

WALN -1,36 1,51 0,14 0,92 2,03 0,93 1,96 2,18 Lolos

Page 74: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

66

Aplikasi GPS untuk Monitoring Deformasi Gunung Lokon, IndonesiaAditya Fikri Ghozali, Dina Anggreni Sarsito, Estu Kriswati dan Irwan Meilano

Analisis strain bisa dilihat melalui nilai principal strain terbesar (ε1) dan nilai principal strain terkecil (ε2). Nilai ε1 danε2 bisa dihitung menggunakan persamaan (6), sementara nilai regangan bidang didapat dengan menjumlahkan ε1 dan ε2 .

(6)

Nilai regangan bidang pada tiap periode bisa dilihat padan Tabel 4. Nilai negatif pada regangan bidang dari ketiga periode menunjukkan terjadinya kompresi yang terjadi secara terus menerus pada bidang segitiga yang dibentuk oleh titik pengamatan KKVO, KINL, dan WALN. Terjadi peningkatan nilai kompresi pada periode kedua, namun pada periode ketiga nilai kompresi mengecil.

Tabel 4. Regangan Bidang Tiga Titik CGPS Gunung Lokon Pada Tiap Periode

Per. ε1 (µstrain)

ε2 (µstrain) θ Strain

Area

1 -0,82 -3,23 31,3° -4,06

2 0,20 -4,68 23,2° -4,48

3 0,92 -2,18 148,7° -1,25

Sementara itu, Regangan baseline dihitung berdasarkan perubahan panjang baseline pada tiap periode. Panjang baseline yang dihitung yaitu jarak horizontal antara 2 titik pengamatan. Panjang baseline KINL-KKVO, WALN-KKVO, dan WALN-KINL masing-masing sekitar 3,7 Km; 4,3 Km; dan 2,5 Km. Regangan baseline didefinisikan secara matematis sebagai perbandingan antara perubahan panjang dan panjang baseline awal, seperti pada persamaan (7).

(7)

Nilai regangan pada tiap periode bisa dilihat padaTabel 5. Pada semua baseline terjadi kompresi pada semua periode. Kompresi terbesar terjadi pada baseline KINL-WALN pada periode Juli 2011-Februari 2013. Pada periode tersebut terjadi puncak aktivitas letusan Gunung Lokon. Selain itu, dibandingkan dua baseline lainnya baseline KINL-WALN merupakan yang paling dekat dengan Kawah Tompaluan.

3.5. Pola Pergeseran dan Regangan

Nilai vektor pergeseran titik-titik pengamatan dan nilai regangan yang diperoleh kemudian diplot menggunakan perangkat lunak Generic Mapping Tools (GMT) untuk melihat pola deformasi yang terjadi. Selanjutnya dilakukan analisis mengenai deformasi yang terjadi di Gunung Lokon. Pola regangan dan pergeseran tiap periode bisa dilihat pada Gambar 12.

Pada periode pertama pergeseran yang terjadi yaitu titik KINL dan WALN bergerak menuju sebelah timur dari Kawah Tompaluan. Besar pergeseran kedua titik pengamatan sekitar 5 mm.Sementara itu, terjadi pemendekan pada ketiga baseline. Pemendekan baseline yang paling besar terjadi pada baseline antara titik KINL dan WALN, yaitu memendek sebesar -7,4 mm dan dalam satuan regangan sebesar -2,9 µ-strain. Sementara itu pola regangan bidang menunjukkan terjadi kompresi pada kedua principal strain. Kompresi yang terjadi dominan pada arah timur laut-barat daya dengan nilai sebesar -3,2 µ-strain. Sementara kompresi pada arah barat laut-tenggara sebesar -0,8 µ-strain.

Pada periode kedua pergeseran kedua titik (KINL dan KKVO) mengarah ke pusat aktivitas vulkanik Gunung Lokon, yaitu Kawah Tompaluan. Besar pergeseran yaitu 4 cm pada titik KINL dan 7 cm pada titik WALN. Pada regangan bidang juga terjadi peningkatan kompresi dan pergeseran arah kompresi menuju arah utara-selatan. Pada periode ketiga titik KINL dan WALN justru bergeser menjauh dari Kawah

Tabel 5. Nilai Regangan pada Tiap Perubahan Panjang Baseline

Baseline2009-2011 2011-2013 2013-2014

∆L(mm) µ-Strain ∆L

(mm) µ-Strain ∆L(mm) µ-Strain

KKVO-KINL -3,53 -0,94 -1,95 -0,52 -8,97 -2,40KKVO-WALN -4,38 -1,01 -0,34 -0,07 -0,96 -0,22KINL-WALN -7,44 -2,99 -11,93 -4,79 -0,17 -0,07

Pergeseran Regangan

L2 - L1e = L1

εxx + εyy εxx + εyy 2

ε1, ε2 = + + ε2xy

2 2 ( )√

Page 75: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

67

Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia Vol. 2 No. 1, Mei 2016: 59-69

Gambar 12. Pola Pergeseran dan Regangan Titik Pengamatan GPS Gunung Lokon pada Tiga Periode

Tompaluan. Sesuai dengan pergerakan tersebut, pemendekan baseline juga terjadi dominan pada baseline KINL-KKVO. Dari regangan bidang terlihat kompresi searah baseline KINL-KKVO. Nilai standar deviasi posisi titik pengamatan yang terlalu besar dengan nilai yang hampir sama dengan pergerakan pada periode ketiga membuat pergerakan yang dihitung tidak signifikan. Oleh karena itu, pergerakan dan arah regangan pada periode ketiga ini tidak dapat dijadikan acuan (dengan derajat kepercayaan 95%).

3.6. Analisis Deformasi

Perubahan pergeseran dan regangan yang terjadi antara periode pertama dan periode kedua menunjukkan peningkatan kompresi yang semakin mengarah ke Kawah Tompaluan seiring dengan meningkatnya aktivitas letusan Gunung Lokon. Pada periode pertama terlihat pergerakan titik KINL dan WALN yang mulai beranjak ke arah pusat aktivitas vulkanik Gunung Lokon. Pada periode ketiga titik KINL dan WALN justru bergeser menjauh dari Kawah Tompaluan.

Page 76: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

68

Aplikasi GPS untuk Monitoring Deformasi Gunung Lokon, IndonesiaAditya Fikri Ghozali, Dina Anggreni Sarsito, Estu Kriswati dan Irwan Meilano

Pemendekan baseline terjadi dominan pada baseline KINL-KKVO. Dari regangan bidang terlihat kompresi searah baseline KINL-KKVO. Fenomena pada periode ketiga bisa saja dikaitkan dengan penurunan aktivitas vulkanik yang terjadi, namun hal tersebut tidak didukung oleh nilai standar deviasi titik pengamatan yang terlalu besar pada periode ketiga sehingga membuat pergerakan yang dihitung tidak signifikan.

Kompresi yang terjadi selama periode aktif Gunung Lokon relevan dengan karakteristik Gunung Lokon berdasarkan data kegempaan pada periode aktif tahun 2007 dan periode normal tahun 2008 yang dinyatakan oleh (Suparman, 2010) bahwa pada periode erupsi terjadi kontraksi dengan arah utara-selatan yang disebabkan oleh dikeluarkannya gas dan menyebabkan menurunnya tekanan pada sumber magma.Sebagai pembanding, karakter kompresi yang terjadi pada fase peningkatan aktivitas dan fase puncak erupsi juga terjadi pada Gunung Hekla, Islandia pada tahun 2001. Pada fase pertama, sebelum terjadi erupsi, terjadi kompresi yang disebabkan oleh dike yang terbentuk secara cepat dan terus-menerus menjalar dari sumber magma ke permukaan. Pada fase kedua ,saat periode terjadinya erupsi, dike masih membesar dan tekanan menurun pada sumber magma. Pada fase ketiga dike sudah tumbuh sepenuhnya dan terjadi ekstensi yang disebabkan penurunan tekanan pada sumber magma (Geirrson, 2003). Untuk lebih jelasnya, perbandingan antara hasil penelitian dan fenomena kompresi yang terjadi selama erupsi pada penelitian sebelumnya bisa dilihat pada Tabel 6. Dapat dikatakan bahwa fenomena kompresi yang terjadi bisa diindikasikan juga sebagai adanya intrusi magma berupa dike.

4. KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:1. Titik KINL dan WALN bergeser saling

mendekat ke arah timur Kawah Tompaluan sebelum periode erupsi tahun 2011-2013 dengan besar sekitar 5 mm. Pada periode erupsi, titik pengamatan bergerak saling mendekat ke arah Kawah Tompaluan dengan besar 4 mm pada titik KINL dan 7 mm pada titik WALN. Setelah periode erupsi, pergerakan titik KINL dan WALN tidak dapat dianalisis dikarenakan nilai standar deviasi yang terlalu besar. Selama 2009-2014 terjadi pemendekan pada baseline KKVO-KINL, KKVO-WALN, dan KINL-WALN. Pemendekan baseline ini menunjukkan adanya kompresi secara terus menerus di sebelah timur Kawah Tompaluan. Pemendekan terbesar terjadi pada baseline KINL-WALN yaitu sebesar -4,79 µstrain. Regangan pada bidang segitiga yang dibentuk ketiga titik pengamatan menunjukkan adanya kompresi sebesar -4,058 µstrain dengan sudut 31° (timur laut-barat daya) dan hampir sejajar dengan baseline KINL-KKVO pada periode pertama. Pada periode kedua kompresi meningkat menjadi -4,481 µstrain dengan arah bergeser 8° menuju utara menjadi 23°.

2. Kompresi dengan arah utara-selatan yang terjadi selama periode pertama dan semakin meningkat pada periode kedua menunjukkan adanya aktivitas magmatik, yaitu tekanan yang semakin menurun pada sumber magma yang berkaitan dengan dikeluarkannya magma pada periode erupsi 2011-2013 baik itu dalam bentuk gas maupun erupsi magmatik. Kompresi tersebut juga dapat

Tabel 6. Perbandingan Hasil Penelitian dengan Fenomena Kompresi Selama Masa Erupsi yang Pernah Diteliti Sebelumnya

Periode Lokon (Suparman, 2010) Penelitian ini Hekla

(Geirrson, 2003) Penelitian ini

Peningkatan Aktivitas

Ekstensi

7

Kompresi

4Magma bermigrasi dan terakumulasi pada sumber magma dangkal

Dike terbentuk secara cepat dan terus menjalar dari sumber magma ke permukaan

Aktivitas Erupsi

Kompresi

4

Kompresi

4Penurunan tekanan pada sumber magma dangkal karena emisi gas

Dike masih membesar tekanan sedikit menurun

Page 77: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

69

Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia Vol. 2 No. 1, Mei 2016: 59-69

diindikasikan sebagai adanya intrusi dike yang terus menjalar dari sumber magma ke permukaan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini didanai oleh Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) No. PRJ-1048/LPDP/2015, dan Australian Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT) untuk Graduate Research on Earthquake and Active Tectonic di Institut Teknologi Bandung. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk mendapatkan data pengamatan GPS kontinu Gunung Lokon yang menjadi data pokok pada penelitian ini. Sebagian gambar diplot menggunakan perangkat lunak GMT (Wessel & Smith, 1998).

DAFTAR PUSTAKA

1. Abidin, H. Z., M. Hendrasto, H., Andreas, M. Gamal, M.A. Kusuma, U. Rosadi & F. Kimata, 2007, Karakteristik Deformasi Gunungapi Ijen dalam Periode 2002-2005 Hasil Estimasi Metode Survei GPS. ITB Sains & Tek, 39 A, 1-22.

2. Geirrson, H., 2003, Continous GPS Measurements in Iceland 1999-2002, Technical Report, University of Iceland, Department of Geophysics, Reykjavic.

3. Herring, T. A., R.W., King & S.C. McClusky, 2010, Introduction to GAMIT/GLOBK. Massachusetts Institute of Technology, Department of Earth, Athmospheric, and Planetary Science.

4. Kristianto, H. Gunawan, N. Haerani, I. Mulyana, A. Basuki, S. Primulyana & F.U. Bina, 2012, Gejala Awal Letusan Gunung Lokon Februari 2011-Maret 2012. Jurnal

Lingkungan dan Bencana Geologi, 3, 151-168.

5. Lisowski, M., 2007, Analytical Volcano Deformation Source Model, Dalam D. Dzurisin, Volcano Deformation : Geodetic Monitoring Techniques (hal. 279). Chichester: Praxis Publishing.

6. MacPherson, 2003, Map of Molucca Sea Region with Collision Zone and Volcanic Arcs indicated. Special Publication, Geologist Society, London.

7. PVMBG, 2014, Data dasar Gunung Lokon. Diambil kembali dari situs web PVMBG:http://www.vsi.esdm.go.id/index.php/gunungapi/data-dasar-gunungapi/520-g-lokon

8. PVMBG, 2015, Evaluasi Kegiatan G. Lokon Pada Tingkat Aktivitas Siaga (level III) Hingga Tanggal 17 Juni 2015 Pukul 06:00 Wita. Bandung: PVMBG.

9. Suparman, Y., 2010, Comparison of Focal Mechanism of Volcano-Tectonic Earthquakes Between Active and Normal Periods at Lokon Volcano. Jurnal Gunungapi dan Bencana Geologi.

10. Suparman, Y., U.B. Saing & A. Zaennudin, 2013, Erupsi Gunung Lokon Berdasarkan Kegempaan, Deformasi, dan Geokimia pada Januari 2011. Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, 4, 199-217.

11. Wessel, P. & W.H.F. Smith, 1998, New, Improved Version Of Generic Mapping Tools Released.EOS, 79: 579-579.

12. Ghillani, C.D., 2010, Adjustment Computations: Spatial Data Analysis, 5th edition. New Jersey: John Wiley & Sons, inc.

Diterima : 1 Maret 2016Disetujui setelah revisi: 2 Mei 2016

Page 78: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

70

Aplikasi GPS Untuk Pengamatan Deformasi Sesar BaribisFuad Ramadhana, Irwan Meilano, Dina A. Sarsito, Endra Gunawan, Hasanuddin Z. Abidin dan Joni Efendi

APLIKASI GPS UNTUK PENGAMATAN DEFORMASI SESAR BARIBIS

GPS APPLICATION FOR CRUSTAL DEFORMATION MONITORING ON BARIBIS FAULT

Fuad Ramadhana1, Irwan Meilano1,2, Dina A. Sarsito1, Endra Gunawan2, Hasanuddin Z. Abidin1 dan Joni Efendi3

1Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung, Jalan Ganesha No. 10 Bandung 40132, Indonesia

2Graduate Research on Earthquake and Active Tectonic, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung, Jalan Ganesha No. 10 Bandung 40132, Indonesia

3Badan Informasi Geospasial, Jalan Raya Jakarta - Bogor KM. 46 Cibinong 16911, Indonesiae-mail: [email protected]

Abstrak

Sesar Baribis, yang terletak di area Majalengka, Subang, dan Kuningan, dikategorikan sebagai sesar aktif karena terjadi beberapa kali gempabumi dengan skala kecil dengan magnitudo antara 4.0-4.5 selama 2007-2014. Studi ini menggunakan data GPS antara tahun 2007-2014 untuk identifikasi kondisi tektonik terkini Sesar Baribis. Pengamatan GPS berkala telah dilakukan oleh Kelompok Keahlian Geodesi Institut Teknologi Bandung sejak tahun 2007 hingga tahun 2009. Sedangkan pengamatan GPS kontinu telah dilakukan oleh Badan Informasi Geospasial sejak tahun dari tahun 2010 di daerah ini. Hasil analisis dari data GPS tersebut menunjukkan bahwa di Jawa bagian barat, daerah ini sangat terpengaruh oleh post-seismic gempabumi Pangandaran tahun 2006. Dengan menggunakan stasiun referensi disekitar Sesar Baribis, hasil analisis lanjutan menunjukkan bahwa Sesar Baribis di bagian barat diindikasikan sebagai sesar naik, sedangkan di bagian timur sesar diindikasikan sebagai sesar geser.

Kata Kunci: Sesar Baribis, GPS, vektor kecepatan.

AbstractBaribis Fault, located in Majalengka, Subang, and Kuningan Area, is categorised as active fault because there were minor-scale earthquakes with magnitude 4.0-4.5 during time periods of 2007-2014. This studi implement GPS data from 2007-2014 to identified present daya tectonic condition of Baribis fault. Campaign GPS measurenments have been conducted by Geodesy Research Division of Bandung Institute and Technology from 2007 to 2009. In addition to these data, continue GPS measurenments also have been conducted since 2010 by Geospatial Information Agency around this region. Our analysis shows that western part of Baribis fault indicate a thrust type of fault, while on the easrtern part of the fault is a strike-slip fault.

Keywords: Baribis Fault, GPS, velocity vector.

1. PENDAHULUAN

Indonesia memiliki daerah dengan aktifitas seismik paling aktif di dunia yang juga ditandai dengan lempeng tektonik yang sangat rumit. Indonesia merupakan tempat konvergensi kompleks dari lempeng Eurasia, India-Australia, Pasifik, dan Laut Filipina dan beberapa lempeng kecil (Hamilton, 1979). Sebagai akibat dari proses tektonik lempeng tersebut, maka di Jawa bagian barat terbentuk 3 sesar utama, yaitu Sesar

Lembang, Sesar Cimandiri, dan Sesar Baribis. Sesar-sesar tersebut sampai sekarang memiliki potensi ancaman besar dari gempabumi dan masih dikategorikan sebagai sesar aktif (Abidin, 2009).

Dari ketiga sesar utama tersebut, Sesar Lembang telah diidentifikasi besaran laju gesernya dengan menggunakan Global Positioning System (GPS) (Meilano dkk., 2012). Sedangkan untuk Sesar Cimandiri, pengamatan GPS telah dilakukan sejak 2008 dan terus menerus dilakukan

Page 79: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

71

Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia Vol. 2 No. 1, Mei 2016: 70-76

hingga saat ini (Pratama dkk., 2015). Lain halnya dengan Sesar Baribis yang hingga saat ini belum ada studi yang komprehensif yang membahas kondisi tektonik dari sesar tersebut.

Sesar Baribis dikategorikan sebagai sesar aktif karena dalam beberapa kali ada gempabumi skala-kecil di sekitarnya. Karena sesar ini terletak di sekitar beberapa pemukiman padat, seperti Kuningan, Cilimus, Majalengka, Jatiwangi dan Subang maka pemantauan aktivitas sesar harus terus menerus dilakukan karena gempabumi berskala besar mungkin terjadi (Gambar 1).

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan kecepatan dari pergerakan GPS disekitar Sesar Baribis, untuk kemudian dianalisis pola deformasinya sebagai referensi untuk mitigasi bencana di masa depan. Studi ini menggunakan data GPS berkala antara tahun 2007-2009 dan data GPS kontinu antara tahun 2010-2014.

2. METODOLOGI

Metode GPS telah banyak digunakan untuk penelitian di zona subduksi (Anugrah dkk., 2015; Ardika dkk., 2015), penghitungan laju sesar (Meilano dkk., 2012), dan pembuatan peta Seismik Hazard Indonesia (Meilano dkk., 2015).

Studi ini menggunakan semua data GPS kontinu dan berkala yang tersedia di sekitar Sesar Baribis. Data kontinu diperoleh dari jaringan BIG (Badan Informasi Geospasial) dan data GPS berkala yang dilakukan oleh Kelompok

Keahlian Geodesi Institute Teknologi Bandung. Secara keseluruhan, terdapat 20 stasiun GPS tersedia selama periode waktu 2010-2014, yaitu stasiun berkala 0355, 0369, 0383, 0384, 0410, 0416, 0421, 0425, BLK2, CJR6, DRMA, GPS1, POSC, SBNG, dan SRLY, dan stasiun kontinu CCIR, CMIS, CROL, CRUT, dan CSUM adalah data GPS kontinu. Gambar 2 menunjukkan lokasi dari stasiun GPS yang digunakan di studi ini.

Untuk mendapatkan solusi harian, data GPS tersebut kemudian diproses menggunakan dengan menggunakan perangkat lunak GAMIT/GLOBK 10.5 (Herring dkk., 2010a; Herring dkk., 2010b). Koordinat GPS tersebut diikatkan ke stasiun stabil International GNSS Service (IGS), yaitu stasiun BAKO, COCO, GUAM, HYDE, IISC, KARR, PIMO, TOW2, XMIS dan YAR2 (Gambar 3). Hasil solusi harian data GPS tersebut adalah dalam referensi International Reference Frame (ITRF) 2008.

Untuk mengetahui pergerakan Sesar Baribis digunakan dua jenis metode yang berbeda untuk menentukan kecepatan. Metode pertama adalah dengan menggunakan model Sundaland block (Simons dkk., 2007) dengan pole rotation parameter antara Sundaland block dan ITRF2000 sebagai berikut: 49.0° N, -94,2° E, 0,336° / Myr. Untuk menggunakan parameter ini, perlu dilakukan transformasi koordinat dari ITRF2008 ke ITRF2000 (Altamimi dkk., 2011). Sedangkan untuk metode kedua, yaitu membuat stasiun GPS sekitar sesar sebagai acuan untuk mengurangi pergerakan blok regional. Stasiun tersebut adalah GPS1 dan CMIS.

Gambar 1. Kondisi Tektonik Studi Ini. Referensi Garis Sesar Baribis Diambil dari Djuri (1995).

Page 80: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

72

Aplikasi GPS Untuk Pengamatan Deformasi Sesar BaribisFuad Ramadhana, Irwan Meilano, Dina A. Sarsito, Endra Gunawan, Hasanuddin Z. Abidin dan Joni Efendi

Gambar 2 : Distribusi Stasiun GPS yang Digunakan. Titik Biru adalah Lokasi GPS Berkala dan Titik Merah adalah Lokasi GPS Kontinu. Garis

Putus-Putus Menunjukkan Sesar Baribis.

Gambar 3 : Distribusi Stasiun IGS yang Digunakan dalam Analisis Sesar Baribis.

Page 81: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

73

Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia Vol. 2 No. 1, Mei 2016: 70-76

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil proses solusi harian dengan referensi ITRF2008 yang ditunjukkan dalam vektor kecepatan dapat dilihat pada Gambar 4. Pada gambar tersebut, panah merah adalah kecepatan GPS berkala sementara panah biru menunjukkan kecepatan GPS kontinu.

Berdasarkan data kegempaan dari United States Geological Survey (USGS), terdapat beberapa gempabumi dangkal dengan kedalaman kurang dari 50 km yang terjadi selama 2007-2014 dengan magnitudo antara 4.0 - 4.5 di sekitar Sesar Baribis (Gambar 4). Hasil analisis dari data GPS menunjukkan bahwa gempabumi tersebut tidak mengubah kecepatan stasiun GPS.

Arah kecepatan stasiun GPS dalam ITRF2008 menunjukkan bahwa stasiun tersebut bergerak ke arah tenggara (Gambar 4). Dari data tersebut, metode pertama adalah mengubah vektor kecepatan ke dalam referensi Sundaland block (Simons dkk., 2007). Hasil kecepatan stasiun GPS dapat dilihat di Gambar 5. Untuk metode kedua, dilakukan dengan mengurangkan

vektor kecepatan dengan suatu stasiun acuan, yaitu stasiun GPS1 dan CMIS. Hasil vektor kecepatan utnuk proses ini ditunjukkan pada Gambar 6.

Pada Gambar 5 dan Gambar 6, terdapat 4 stasiun pengamatan GPS yang tidak digunakan dalam studi ini. Hal ini dikarenakan stasiun tersebut tidak memenuhi syarat dalam uji statistik. Stasiun tersebut adalah 0383, 0416, CJR6, dan DRMA.

Hasil yang ditunjukkan pada pada Gambar 5 menunjukkan bahwa kecepatan pergerakkan stasiun GPS di sekitar Sesar Baribis mengarah ke selatan. Hal ini terjadi karena data GPS yang digunakan adalah dari tahun 2007, sehingga data GPS tersebut masih dipengaruhi oleh post-seismic gempabumi Pangandaran tahun 2006 (Gunawan dkk., 2016).

Untuk mengetahui kecepatan GPS di daerah sekitar Sesar Baribis, maka perlu dihilangkan pergerakan blok regional dengan melakukan proses metode kedua. Dengan mereferensikan vektor kecepatan ke stasiun GPS1 dan CMIS, maka dapat diasumsikan

Gambar 4 : Kecepatan dari Stasiun GPS di Sekitar Sesar Baribis dalam ITRF2008.

Page 82: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

74

Aplikasi GPS Untuk Pengamatan Deformasi Sesar BaribisFuad Ramadhana, Irwan Meilano, Dina A. Sarsito, Endra Gunawan, Hasanuddin Z. Abidin dan Joni Efendi

Gambar 5 : Pergerakan Sesar Baribis dalam Referensi Sundaland Block.

Gambar 6 : Pergerakan Sesar Baribis Relatif Terhadap Stasiun Referensi.

Page 83: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

75

Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia Vol. 2 No. 1, Mei 2016: 70-76

bahwa vektor kecepatan di stasiun GPS tersebut akan tereduksi efek post-seismic gempabumi Pangandaran tahun 2006.

Untuk stasiun GPS berkala, maka akan direferensikan terhadap stasiun GPS1, sedangkan referensi yang digunakan untuk stasiun GPS kontinu adalah stasiun CMIS. Pemilihan dua stasiun referensi yang berbeda dikarenakan perbedaan epok pengamatan antara stasiun GPS berkala dan stasiun GPS kontinu. Stasiun GPS berkala diamati dari tahun 2007-2009, sedangkan stasiun GPS kontinu diamati di tahun 2010-2014. Selain itu, kedua stasiun tersebut berdekatan sehingga dapat menunjukkan pergerakan tektonik daerah studi Sesar Baribis walaupun dengan epok pengamatan yang berbeda.

Gambar 6 menunjukkan bahwa hasil kecepatan stasiun GPS di sekitar Sesar Baribis cenderung bergerak ke arah utara. Dari stasiun GPS disekitar Sesar Baribis, stasiun BPNC dan CROL mempunyain kecepatan terbesar, sedangkan stasiun 0369 dan CRUT mempunyai kecepatan terkecil.

Indikasi segmen Sesar Baribis di sebelah barat sesar yang diwakili oleh stasiun 0355 dan stasiun 0384. Vektor kecepatan di daerah tersebut menunjukkan adanya pemendekan (shortening), yang diindikasikan bahwa sesar Baribis di segmen tersebut adalah tipe sesar naik. Sedangkan di bagian timur, analisis stasiun DRMA, SBNG dan 0410 menunjukkan bahwa segmentasi sesar tersebut terindikasi sebagai sesar geser.

4. KESIMPULAN

Data GPS yang digunakan antara tahun 2007-2014 menunjukkan bahwa di Jawa bagian barat, daerah ini sangat terpengaruh oleh post-seismic gempabumi Pangandaran tahun 2006. Dengan menggunakan stasiun referensi disekitar Sesar Baribis, hasil analisis menunjukkan bahwa Sesar Baribis di bagian barat yang diindikasikan sebagai sesar naik, sedangkan di bagian timur sesar yang diindikasikan sebagai sesar sesar geser.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini didanai oleh Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) No. PRJ-1048/LPDP/2015 dan Australian Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT) untuk riset kegempaan dan tektonik aktif di Institut Teknologi Bandung. Penulis mengucapkan terima kasih

kepada Badan Informasi Geospasial (BIG) dan tim KK-Geodesi ITB yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk mendapatkan data pengamatan GPS kontinu dan GPS berkala yang menjadi data pokok pada penelitian ini. Gambar di studi ini dibuat menggunakan perangkat lunak GMT (Wessel & Smith, 1998).

DAFTAR PUSTAKA

1. Abidin, H. Z., H. Andreas, T. Kato, T. Ito, I. Meilano, F. Kimata, D.H., Natawidjaya, & H. Harjono, 2009, Crustal Deformation Studies in Java (Indonesia) Using GPS. Journal of Earthquake and Tsunami, 3(02), 77-88.

2. Altamimi, Z., X. Collilieux, & L. Métivier, 2011, ITRF2008: An Improved Solution of the International Terrestrial Reference Frame, Journal of Geodesy, 85(8), 457-473.

3. Anugrah, B., I. Meilano, E. Gunawan, & J. Efendi, 2015, Estimation of Postseismic Deformation Parameters From Continuous GPS Data in Northern Sumatra After the 2004 Sumatra–Andaman Earthquake, Earthquake Science, 28(5-6), 347-352, DOI: 10.1007/s11589-015-0136-x.

4. Ardika, M., I. Meilano, & E. Gunawan, 2015, Postseismic Deformation Parameters of the 2010 M7.8 Mentawai, Indonesia, Earthquake Inferred from Continuous GPS Observations, Asian Journal of Earth Sciences, 8: 127-133, DOI: 10.3923/ajes.2015.127.133.

5. Djuri, 1995, Peta Geologi Lembar Ardjawinangun, Jawa Barat, Skala 1:100.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung

6. Gunawan, E., I. Meilano, H.Z. Abidin, N. Hanifa, & Susilo, 2016, Investigation of the Best Coseismic Fault Model of the 2006 Java Tsunami Earthquake Based on Mechanisms of Postseismic Deformation. Journal of Asian Earth Sciences, 117, 64-72, DOI: 10.1016/j.jseaes.2015.12.003.

7. Hamilton, W. B., 1979, Tectonics of the Indonesian Region (No. 1078). US Govt. Print. Off.

8. Herring, T. A., R.W. King, R, & S.C. McClusky, 2010a, GAMIT Reference Manual Release 10.4, Report, pp 1-171, Massachussetts Institute Technology, Cambridge.

9. Herring, T. A., R.W. King, R, & S.C. McClusky, 2010b, GLOBK Reference Manual: Global Kalman filter VLBI and GPS Analysis Program, Release 10.4, report, 1-95, Massachussetts Institute Technology, Cambridge.

10. Meilano, I., H. Z. Abidin, H. Andreas, I. Gumilar, H. Harjono, T. Kato, F. Kimata, & Y. Fukuda,

Page 84: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

76

Aplikasi GPS Untuk Pengamatan Deformasi Sesar BaribisFuad Ramadhana, Irwan Meilano, Dina A. Sarsito, Endra Gunawan, Hasanuddin Z. Abidin dan Joni Efendi

2012, Slip Rate Estimation of the Lembang Fault West Java from Geodetic Observation. J. Disaster Res, 7(1), 12-18.

11. Meilano, I., E. Gunawan, D. Sarsito, K. Prijatna, H.Z. Abidin, & J. Efendi, 2015, Preliminary Deformation Model for National Seismic Hazard map of Indonesia. In 4th International Symposium on Earthquake and Disaster Mitigation 2014 (ISEDM 2014), Vol. 1658, p. 030003. AIP Publishing, DOI: 10.1063/1.4915011.

12. Pratama, C., I. Meilano, & A.D. Nugraha, 2015, Monte Carlo Simulation for Slip Rate Sensitivity Analysis in Cimandiri Fault Area. In 4th International Symposium on Earthquake and Disaster Mitigation 2014 (ISEDM 2014), Vol. 1658, p. 040005. AIP Publishing, DOI: 10.1063/1.4915038.

13. Simons, W. J. F., A. Socquet, C. Vigny, B.A. C. Ambrosius, S. Haji Abu, C. Promthong, C. Subarya, D.A. Sarsito, S. Matheussen, P. Morgan, & W. Spakman, 2007, A Decade of GPS in Southeast Asia: Resolving Sundaland Motion and Boundaries, Journal of Geophysical Research: Solid Earth, 112(B6).

14. Wessel, P., & W.H.F. Smith, 1998, New, Improved Version of The Generic Mapping Tools Released, Eos Trans. AGU, 79(47), 579.

Diterima: 1 Februari 2016Disetujui setelah revisi: 2 Mei 2016

Page 85: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

77

Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia Vol. 2 No. 1, Mei 2016: 77-84

KAJIAN KERENTANAN BANGUNAN AKIBAT BAHAYA GEMPABUMI DI KOTA MATARAM, NUSA TENGGARA BARAT

BUILDING VULNERABILITY TO EARTHQUAKE IN MATARAM CITY, WEST NUSA TENGGARA

Uzlifatul Azmiyati1, Kirbani Sri Brotopuspito2 dan Suprapto Dibyosaputro3 1Mahasiswa S2 Prodi Geo-Informasi untuk Manajemen Bencana, UGM, Yogyakarta,

2Dosen Jurusan Geofisika FMIPA, UGM, Yogyakarta,3Dosen Fakultas Geografi, UGM, Yogyakarta

e-mail: [email protected]

Abstrak

Tingkat kerusakan akibat gempabumi tidak hanya dipengaruhi oleh besarnya kekuatan gempabumi dan jarak suatu daerah dari pusat gempabumi tetapi juga dipengaruhi oleh karakteristik dinamika tanah. Kajian terhadap kerentanan bangunan juga perlu dilakukan karena merupakan elemen fisik yang terancam secara langsung akibat bahaya gempabumi. Kota Mataram sebagai ibukota Provinsi Nusa Tenggara Barat yang padat penduduk (6.741 jiwa/km2) merupakan bagian dari wilayah Indonesia yang rawan terhadap bencana gempabumi menjadi lokasi penelitian ini. Karakteristik dinamika tanah diperoleh berdasarkan analisis data mikrotremor yang ada di Kota Mataram dengan metode Horizontal to Vertical Spectral Ratio (HVSR) yang menghasilkan nilai frekuensi natural tanah (f0 ) dan faktor amplifikasi tanah (A0 ). Frekuensi natural dan faktor amplifikasi menjadi input untuk menghitung karakteristik dinamika tanah lainnya: periode dominan (Tg ), indeks kerentaran seismik (Kg), ground shear strain (g), dan percepatan getaran tanah maksimum (PGA). Tingkat kerentanan bangunan diidentifikasi dengan menerapkan metode Rapid Visual Screening (RVS) menurut pedoman FEMA 154. Hasil analisis menunjukkan bahwa pola spektrum mikrotremor Kota Mataram menghasilkan frekuensi natural rendah (0,13–10,96 Hz) dengan faktor amplifikasi tinggi (3,04–6,59), nilai periode dominan tinggi (0,02–2,25 detik). Hal ini berarti bahwa Kota Mataram memiliki lapisan sedimen yang tebal dan batuan dasar yang dalam. Indeks kerentanan seismik tingggi ditunjukkan di bagian barat Kota Mataram. Jika dilihat dari nilai ground shear strain maka Kota Mataram akan berpotensi mengalami getaran dan rekahan. Nilai PGA menunjukkan bahwa Kota Mataram terletak pada zona bahaya gempabumi rendah sampai sedang (0,11-0,69 g). Bangunan dengan tingkat kerentanan yang tinggi sebanyak 27% dari total sampel yang tersebar di 6 Kecamatan di Kota Mataram. Bangunan dengan kerentanan tinggi tersebut didominasi oleh bangunan pemukiman dan komersial dengan luas lantai yang berbeda-beda. Jumlah bangunan dengan kerentanan tinggi lebih sedikit dibandingkan dengan bangunan dengan tingkat kerentanan rendah.

Kata Kunci: Gempabumi, karakteristik dinamika tanah, kerentanan bangunan, mikrotremor, rapid visual screening.

AbstractEarthquake has been known as a natural phenomenon that causes the greatest catastrophic effects both morally and materially. Based on some cases of catastrophic earthquake in the world, it is known that the level of damage caused by the earthquake is not only influenced by the magnitude and the distance of an area to the epicenter, but also influenced by the characteristics of soil dynamics. In addition, physical vulnerability also needs to be done considering building is the physical elements which directly vulnerable to earthquake hazard. Mataram City as the capital of West Nusa Tenggara Province densely populated city (6,741 inhabitants/km2) as part of the Indonesia which is prone to earthquake disasters becomes the research location. The characteristics of soil dynamics were acquired from the existing microtremor data in Mataram by using the Horizontal to Vertical Spectral Ratio

Page 86: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

78

Kajian Kerentanan Bangunan Akibat Bahaya Gempabumi di Kota Mataram, Nusa Tenggara BaratUzlifatul Azmiyati, Kirbani Sri Brotopuspito dan Suprapto Dibyosaputro

(HVSR) resulted value of soil natural frequency (f0 ) and soil amplification (A0 ). The natural frequency of the soil and the amplification become the input to calculate other characteristic of soil dynamics, which is the dominant period (Tg), index of seismic vulnerability (Kg), ground shear strain (g), and the peak ground acceleration (PGA) which is an indicator of the earthquake hazard. The building vulnerability was identified during field surveys by using the Rapid Visual Screening (RVS) method under the guidelines of FEMA 154. Results have shown that the Mataram City has microtremor spectrum pattern that produces a low natural frequency (0.13 to 10.96 Hz) with high amplification (3.04 to 6.59), as well as the high dominant periods values (0, 02 to 2.25 seconds). It shows that the Mataram City has a thick layer of sediment and deep bedrock. High seismic vulnerability index is shown in the western part of Mataram City. From the ground shear train value, Mataram City will potentially have the thrill and fissures. PGA value shows that Mataram City lies in the low and moderate earthquake hazard zone (0.11 to 0.69 g). Building with a high degree of vulnerability is as much as 27% of the total sample spread across 6 sub- district in Mataram City. Buildings with high vulnerability are mostly residential and commercial buildings.

Keywords: Characteristics of soil dynamic, earthquake, microtremor, physical vulnerability,rapid visual screening.

1. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan daerah yang rawan terhadap bencana gempabumi tektonik. Hal ini disebabkan karena pertemuan antar lempeng tersebut yang membentuk daerah penunjaman atau subduksi (subduction zone). Oleh sebab itu kepulauan Indonesia memiliki aktivitas seismik yang tinggi.

Gempabumi telah dikenal sebagai fenomena alam yang menimbulkan efek bencana paling besar baik secara moril maupun materil, karena terjadi secara tiba-tiba dan sampai saat ini belum dapat diprediksi secara akurat kapan dan dimana terjadinya serta berapa kekuatannya. Beberapa bencana lain juga dapat disebabkan oleh gempabumi seperti tsunami, tanah longsor, kebakaran, banjir dan hancur serta robohnya bangunan gedung. Tidak ada langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya gempabumi, hanya dampak yang ditimbulkannya yang dapat dikurangi.

Pengetahuan mengenai gempabumi menjadi sangat penting karena berhubungan erat dengan kehidupan manusia, khususnya di Kota Mataram. Mengingat Kota Mataram sebagai ibukota Provinsi Nusa Tenggara Barat yang menjadi pusat pemerintahan, pendidikan, perdagangan dan jasa. Hal ini mendorong terjadinya migrasi yang berdampak pada peningkatan jumlah penduduk. Kota Mataram yang padat penduduk (6.741 jiwa/km2) akan meningkatkan potensi korban jika terjadi gempabumi (BPS Kota Mataram, 2013). Oleh sebab itu analisis bahaya dan kerentanan bangunan terhadap aktivitas seismik atau

gempabumi harus dilakukan. Beberapa kasus gempabumi merusak di dunia, diketahui bahwa tingkat kerusakan akibat gempabumi tidak hanya dipengaruhi oleh besarnya kekuatan gempabumi dan jarak suatu daerah dari pusat gempabumi namun juga dipengaruhi oleh kondisi geologi lokal atau efek tapak lokal (local site effect) yang berhubungan dengan karakteristik dinamika tanah.

Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini memiliki tujuan untuk menganalisis bagaimana tingkat bahaya gempabumi berdasarkan karakteristik dinamika tanah yaitu faktor amplifikasi (A0), frekuensi natural tanah (fo), periode dominan (Tg), indeks kerentanan seismik (Kg), ground shear strain (g) dan percepatan getaran tanah maksimum (PGA). Selain itu penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana tingkat kerentanan bangunan terhadap bahaya gempabumi di Kota Mataram. Hasil analisis ini dapat menjadi bagian langkah mitigasi untuk mengurangi risiko bencana gempabumi pada waktu yang akan datang.

2. METODOLOGI

Metode yang digunakan dalam penelitian ini mencakup dua tahap yaitu metode untuk menganalisis bahaya gempabumi dan menganalisis kerentanan bangunan di Kota Mataram. Analisis bahaya gempabumi dimulai dengan mengolah data mikrotremor dengan menggunakan metode Horizontal to Vertical Spectrum Ratio (HVSR) sehingga diperoleh nilai frekuensi natural tanah (f0) dan faktor amplifikasi

Page 87: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

79

Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia Vol. 2 No. 1, Mei 2016: 77-84

(A0). Nilai tersebut menjadi input untuk menghitung periode dominan (Tg), indeks kerentanan seismik (Kg), ground shear strain (g), dan percepatan getaran tanah maksimum (PGA) yang merupakan indikator bahaya gempabumi. Nilai PGA diperoleh dengan menggunakan formula Kanai.

Analisis tingkat kerentanan bangunan menggunakan metode Rapid Visual Screening (RVS) dari FEMA 154. Metode ini mengandalkan pengamatan secara visual untuk menilai beberapa indikator-indikator kerentanan yaitu jenis struktur bangunan, tinggi bangunan, ketidakteraturan vertikal, ketidakteraturan horisontal, dan kelas geoteknik tanah. Skor-skor hasil pengamatan bangunan dikelompokkan menurut 2 kelompok: tipe struktur dan penggunaan bangunan. Statistik deskriptif digunakan untuk mengidentifikasi karakteristik skor setiap kelompok yang mencakup nilai minimum, nilai maksimum dan nilai rata-rata. Hal ini memungkinkan perbandingan kerentanan antar setiap tipe struktur atau kelas penggunaan bangunan. Berdasarkan ketentuan dalam pedoman FEMA 154 bangunan dengan tingkat kerentanan tinggi jika memiliki skor bangunan lebih kecil dari 1,75. Semakin tinggi skor RVS yang dihasilkan maka kerentanan bangunan tersebut semakin rendah, begitupun sebaliknya.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Analisis Bahaya Gempabumi

3.1.1. Pengolahan Data MikrotremorProsesing data mikrotremor menggunakan

bandpass filter dengan rentang nilai 0,1 Hz – 20 Hz, lebar window 45 detik, dan koefisien bandwith 15. Kurva HVSR yang dihasilkan menunjukkan nilai frekuensi natural tanah dan faktor amplifikasi, kurva HVSR tersebut ada yang memiliki satu puncak dan dua puncak. Kurva HVSR dengan satu puncak dihasilkan pada titik-titik pengukuran yang dekat dengan pantai, sedangkan kurva HVSR dengan dua puncak dihasilkan di daerah yang jauh dari pantai. Menurut SESAME (2004), analisis HVSR yang menghasilkan dua puncak mengindikasikan daerah tersebut memiliki lapisan sedimen (soft deposits) yang tipis dan adanya pengaruh kegiatan industri di titik pengukuran.

3.1.2. Frekuensi Natural (f0) dan Faktor Amplifikasi (A0)Pola spektrum mikrotremor Kota Mataram

menunjukkan pola spektrum yang menghasilkan frekuensi natural tanah (f0) rendah dengan puncak spektrum (A0) yang tinggi. Pola spektrum mikrotremor berhubungan dengan intensitas

kerusakan yang ditimbulkan akibat gempabumi, dimana frekuensi resonansi rendah dengan puncak spektrum tinggi dapat menimbulkan intensitas kerusakan yang tinggi. Hal ini disebabkan karena nilai f0 rendah menyebabkan amplifikasi atau penguatan yang tinggi terhadap gelombang gempabumi. Hal ini berarti bahwa jika terjadi suatu gempabumi, maka gelombang gempabumi tersebut akan dikuatkan sesuai dengan nilai amplifikasi di Kota Mataram serta dapat menghasilkan resonansi hingga menyebabkan kerusakan bangunan jika frekuensi natural bangunan sama dengan nilai f0 tanah. Selain itu, f0 yang rendah menimbulkan periode yang panjang atau tinggi sehingga gelombang gempabumi tersebut akan semakin lama terjebak di lapisan sedimen tanah yang kemudian dapat mengancam bangunan yang ada di atasnya. Gambar 1 menunjukkan sebaran nilai frekuensi natural dan faktor amplifikasi di Kota Mataram.

Gambar 1. Peta Frekuensi Natural dan Faktor Amplifikasi Kota Mataram

3.1.3. Periode Dominan Tanah (Tg)Nilai Tg tinggi menempati daerah yang

memiliki nilai f0 rendah. Hal ini berarti bahwa pada daerah tersebut memiliki lapisan sedimen yang tebal dan letak batuan dasar yang dalam.

Page 88: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

80

Kajian Kerentanan Bangunan Akibat Bahaya Gempabumi di Kota Mataram, Nusa Tenggara BaratUzlifatul Azmiyati, Kirbani Sri Brotopuspito dan Suprapto Dibyosaputro

Penjelasan tersebut berlaku sebaliknya untuk daerah yang memiliki nilai Tg rendah dengan f0 tinggi. Daerah yang memiliki nilai Tg rendah dengan f0 tinggi menunjukkan bahwa lapisan sedimen di daerah tersebut lebih tipis dan letak batuan dasar yang dangkal. Sebaran nilai periode dominan tanah Kota Mataram ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Peta Periode Dominan Tanah Kota Mataram

3.1.4. Indeks Kerentanan Seismik (Kg)Nilai Kg yang tinggi di bagian barat Kota

Mataram mengindikasikan tingkat kerentanan lapisan tanah permukaan yang tinggi. Sedangkan nilai Kg yang rendah di bagian timur Kota Mataram mengindikasikan tingkat kerentanan lapisan tanah permukaan yang rendah. Nilai Kg semakin rendah ke bagian timur menuju wilayah yang lebih tinggi dan lebih jauh dari laut, yang lapisan sedimennya lebih tipis karena sudah dekat dengan formasi batuan yang lebih kompak. Sebaran indeks kerentanan seismik Kota Mataram ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Peta Indeks Kerentanan Seismik Kota Mataram

3.1.5. Ground Shear Strain (g)Berdasarkan klasifikasi dari Ishihara,

dapat diketahui bahwa daerah bagian barat Kota

Mataram yaitu Kecamatan Ampenan, Sekarbela dan Mataram berpotensi mengalami rekahan saat terjadi gempabumi karena memiliki nilai g di antara 10-4 sampai 10-2. Daerah bagian timur Kota Mataram tidak berpotensi mengalami rekahan karena memiliki nilai g kurang dari 10-4, dengan kata lain daerah tersebut hanya berpotensi mengalami getaran di permukaan ketika terjadi gempabumi. Daerah tersebut adalah Kecamatan Sandubaya, Cakranegara dan sebagian Kecamatan Selaparang. Sebaran nilai ground shear strain Kota Mataram ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4. Peta Ground Shear Strain Kota Mataram

3.1.6. Percepatan Getaran Tanah Maksimum (PGA)Hasil analisis PGA lapisan permukaan

tanah dengan menggunakan metode Kanai di Kota Mataram diperlihatkan pada Gambar 5. Hasil analisis menunjukkan nilai PGA lapisan permukaan tanah berkisar antara 0,11 g sampai 0,69 g, pada skala MMI nilai PGA ini termasuk dalam kategori I-IX. Distribusi nilai PGA tinggi mendominasi di bagian timur Kota Mataram yaitu di Kecamatan Sandubaya, Cakranegara dan Kecamatan Selaparang. Nilai PGA rendah mendominasi di bagian barat Kota Mataram yaitu di Kecamatan Mataram, Sekarbela dan Kecamatan Ampenan. Persebaran nilai PGA berbanding lurus dengan persebaran nilai frekuensi resonansi tanah Kota Mataram dan berbanding terbalik dengan persebaran nilai periode dominan tanah Kota Mataram. Hal ini menunjukkan bahwa PGA yang dihasilkan lebih dipengaruhi oleh periode dominan tanah Kota Mataram.

Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh dan merujuk pada pengkelasan bahaya gempabumi yang ditetapkan BNPB, maka Kota Mataram termasuk ke dalam zona bahaya gempabumi rendah sampai sedang dengan

Page 89: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

81

Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia Vol. 2 No. 1, Mei 2016: 77-84

rentang nilai <0,26 g sampai 0,7 g. Oleh karena itu Kota Mataram dapat dikatakan memiliki risiko gempabumi rendah sampai sedang.

Gambar 5. Peta Percepatan Getaran Tanah Maksimum Kota Mataram

3.2. Analisis Kerentanan Bangunan

3.2.1. Ekstraksi Data Tapak BangunanKunci interpretasi yang digunakan untuk

mengidentifikasi bangunan adalah rona/warna, bentuk, tekstur, bayangan, lokasi dan asosiasi. Rona/warna objek bangunan bergantung pada material atap yang digunakan. Perbedaan material atap akan memberikan rona/warna yang berbeda. Di Kota Mataram ditemukan bahwa secara umum terdapat empat jenis atap yang digunakan yaitu atap genteng, asbes, seng dan atap semen cor.

3.2.2. Tingkat Kerentanan BangunanKomposisi bangunan di Kota Mataram

didominasi oleh jenis struktur pasangan batu/bata yang diperkuat. Jenis struktur yang mendominasi selanjutnya adalah struktur rangka beton bertulang dengan dinding tembokan, kemudian struktur beton bertulang. Struktur bangunan yang paling sedikit jumlahnya adalah struktur pasangan batu/bata tak diperkuat dan struktur rangka beton pracetak. Ditinjau dari aspek penggunaannya, bangunan-bangunan yang diamati didominasi oleh bangunan yang dijadikan sebagai pemukiman. Bangunan selanjutnya yang mendominasi adalah bangunan yang penggunaannya untuk komersial seperti ruko dan tempat makan atau restoran. Pada urutan selanjutnya, bangunan yang mendominasi adalah bangunan gedung pertemuan, bangunan kantor, sekolah dan bangunan pemerintahan. Bangunan yang paling sedikit jumlah sampelnya adalah bangunan yang berfungsi sebagai bangunan historis.

Gambar 6 menunjukkan tingkat kerentanan bangunan dari segi penggunaannya yang memiliki tingkat kerentanan rata-rata yang sedang, diperlihatkan oleh bangunan gedung pertemuan, bangunan pemerintahan, komersial kantor, industri dan sekolah. Bangunan yang merupakan bangunan historis mempunyai tingkat kerentanan yang paling rendah. Tingkat kerentanan rata-rata tinggi diperlihatkan oleh bangunaan yang berfungsi sebagai pemukiman. Kelompok penggunaan bangunan pemukiman dan komersial memiliki rentang nilai yang jauh.

Gambar 6. Distribusi Rentang Nilai dan Rerat Nilai RVS Menurut Penggunaan Bangunan

Page 90: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

82

Kajian Kerentanan Bangunan Akibat Bahaya Gempabumi di Kota Mataram, Nusa Tenggara BaratUzlifatul Azmiyati, Kirbani Sri Brotopuspito dan Suprapto Dibyosaputro

Hal ini menunjukkan bahwa banyaknya variasi tipe struktur bangunan yang terdapat dalam kelompok-kelompok penggunaan bangunan tersebut.

Ditinjau dari segi jenis struktur bangunan (Gambar 7), terlihat bahwa bangunan dengan jenis struktur kayu (W1) memiliki tingkat kerentanan rata-rata yang paling rendah, kemudian disusul oleh bangunan jenis struktur rangka baja (S1, S3, S4, dan S5). Bangunan dengan tipe strukutr beton (C1, C2, dan C3) memiliki tingkat kerentanan rata-rata sedang. Bangunan tipe struktur tembokan yang diperkuat (RM1 dan RM2) serta bangunan tembokan yang tidak diperkuat (URM) juga memiliki tingkat kerentanan rata-rata yang sedang. Bangunan dengan tipe struktur beton pracetak (PC2) juga memiliki tingkat kerentanan rata-rata yang sedang. Secara rata-rata skor RVS yang dihasilkan masing-masing kelompok jenis struktur bangunan tidak ada yang memiliki tingkat kerentanan yang tinggi yaitu kurang dari 1,75.

Distribusi spasial tingkat kerentanan bangunan (Gambar 8) memperlihatkan bahwa bangunan dengan kerentanan tinggi terdistribusi merata, terdapat pada hampir semua Kecamatan yang ada di Kota Mataram. Bangunan dengan kerentanan tinggi tersebut terkonsentrasi di bagian tengah Kota Mataram. Bangunan dengan kerentanan tinggi yang berada di daerah tersebut didominasi oleh bangunan baru yang dibangun sejak permulaan dekade terakhir ini. Bangunan baru tersebut didominasi oleh bangunan komersial dan pemukiman dengan luas lantai yang berbeda- beda. Berdasarkan pengalaman penulis, terdapat

banyak bangunan baru yang di bangun di wilayah Kota Mataram. Bangunan-bangunan tersebut lebih banyak merupakan bangunan pemukiman yang berupa bangunan-bangunan permanen BTN dan hotel-hotel dengan jumlah lantai lebih dari empat. Selain itu bangunan baru yang banyak dibangun di Kota Mataram adalah bangunan komersial seperti ruko. Faktor yang menjadikan bangunan-bangunan tersebut memiliki skor RVS yang rendah umumnya disebabkan oleh faktor ketidakberaturan bentuk, baik secara vertikal maupun horisontal. Pada bangunan-bangunan tersebut juga terdapat potensi bahaya jatuhan seperti parapet, cladding maupun overhang.

Bangunan dengan kerentanan tinggi memerlukan evaluasi yang detil lebih lanjut. Evaluasi detil dibutuhkan karena selain memiliki skor RVS yang rendah, pada bangunan tersebut juga terdapat potensi jatuhan seperti parapet dan cladding. Selain itu, pada bangunan tersebut terdapat potensi fenomena soft storey yang dapat terjadi ketika terjadi gempabumi. Fenomena soft storey dapat terjadi jika terdapat perbedaan kekakuan (stiffness) pada bangunan, dimana kekakuan lateral suatu tingkat tertentu bangunan menjadi lebih kecil dibandingkan dengan tingkat lainnya. Gempabumi Padang 2009 membuktikan bahwa bangunan yang banyak mengalami kerusakan parah adalah bangunan dengan soft storey. Bangunan yang memiliki kerentanan yang tinggi dan memerlukan evaluasi detil tersebut lebih banyak merupakan bangunan baru yang dibangun di daerah pinggiran dan tengah Kota Mataram.

Gambar 7. Distribusi Rentang Nilai dan Rerata Nilai RVS Menurut Tipe Struktur Bangunan

Page 91: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

83

Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia Vol. 2 No. 1, Mei 2016: 77-84

Gambar 8. Persebaran Bangunan dan Kerentanannya

3.2.3. Penerapan Metode Survei Cepat (RVS) FEMA 154 untuk Identifikasi Kerentanan Bangunan Di Kota MataramPenerapan metode RVS memiliki beberapa

keunggulan antara lain: 1) Alat yang dibutuhkan minim, 2) Bersifat non-destruktif, 3) Membutuhkan sedikit sumberdaya manusia, 4) Waktu pelaksanaan cepat, 5) Tingkat gangguan aktivitas rendah. Namun demikian kelemahan metode ini adalah bersifat subjektif dan membutuhkan pengamat yang kompeten serta berpengalaman dalam bidang teknik sipil.

Berdasarkan pengalaman penulis, untuk menambah ketepatan penilaian terhadap bangunan yang diamati terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penerapan metode ini antara lain:

Pengamat diharapkan telah mempelajari panduan metode RVS. Panduan lapangan metode RVS telah tercantum dalam FEMA 154 secara detil, mulai dari proses penyiapan sebelum pra-lapangan sampai dengan pasca-lapangan.

Mempelajari secara detil bentuk-bentuk struktur bangunan yang ada. Mempelajari bentuk struktur bangunan sangatlah penting terutama bagi pengamat yang tidak mempunyai latar belakang teknik sipil atau sejenisnya.

Informasi tentang bangunan yang ada di wilayah kajian. Informasi ini dapat berupa identitas bangunan atau daerah-daerah yang banyak terdapat bangunan. Informasi tersebut

dapat diperoleh dengan cara mendeliniasi bangunan-bangunan yang ada di wilayah kajian melalui citra dan open street map (OSM). Hal ini untuk menghindari permintaan data dari dinas-dinas terkait yang cenderung lama dalam pemberian informasi.

Masuk ke bagian dalam bangunan. Jika memungkinkan, masuk ke dalam banguann untuk melakukan pengecekan atau verifikasi tipe struktur bangunan dan ketidakberaturan bangunan.

Melakukan wawancara terhadap pemilik bangunan. Pada saat melakukan pengamatan sedapat mungkin juga melakukan wawancara terhadap pemilik bangunan. Wawancara yang dilakukan dapat memberikan informasi yang lebih akurat dan menambah keyakinan pengamat atas penilaian yang diberikan terhadap bangunan tersebut.

4. KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil-hasil analisis yang telah dijabarkan sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:1. Karakteristik dinamika tanah Kota Mataram

menunjukkan bahwa Kota Mataram memiliki frekuensi resonansi yang rendah sehingga menghasilkan periode dominan tanah yang tinggi. Sedangkan nilai ground shear strain menunjukkan bahwa Kota Mataram tidak sampai mengalami longsor jika terjadi gempabumi, hanya akan mengalami getaran sampai rekahan. Bagian barat Kota Mataram memiliki indeks kerentanan seismik yang lebih tinggi jika dibandingkan bagian timur, dikarenakan wilayah tersebut dominan terdiri dari lapisan sedimen pasir dan kerikil.

2. Nilai percepatan getaran maksimum tanah (PGA) dengan kisaran nilai antara < 0,26 g sampai 0,7 g menunjukkan bahwa Kota Mataram memiliki zona bahaya gempabumi rendah sampai sedang. Hal ini berarti bahwa risiko gempabumi yang mungkin terjadi di Kota Mataram pada masa yang akan datang tidak terlalu tinggi.

3. Jumlah bangunan dengan kerentanan tinggi yang diamati secara visual adalah lebih sedikit daripada bangunan yang memiliki kerentanan yang rendah yaitu 55 dari 205 sampel bangunan, atau sekitar 27%. Berdasarkan penggunaannya, bangunan pemukiman adalah kelompok bangunan yang paling rentan, sekitar 32% (1 dari 2) dari 68 sampel bangunan pemukiman yang diamati dikategorikan sebagai bangunan yang rentan.

4. Skor RVS rendah pada bangunan-bangunan rentan disebabkan oleh faktor ketidakberaturan bentuk, baik secara vertikal maupun horisontal. Pada bangunan-bangunan tersebut juga terdapat potensi bahaya jatuhan seperti parapet, cladding maupun overhang, potensi fenomena soft storey juga banyak terdapat pada bangunan-bangunan tersebut. Selain itu, terdapat beberapa bangunan yang memerlukan evaluasi detil lebih lanjut.

5. Bangunan rentan akibat bahaya gempabumi di Kota Mataram banyak merupakan bangunan

Page 92: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

84

Kajian Kerentanan Bangunan Akibat Bahaya Gempabumi di Kota Mataram, Nusa Tenggara BaratUzlifatul Azmiyati, Kirbani Sri Brotopuspito dan Suprapto Dibyosaputro

baru yang dibangun sejak permulaan dekade terakhir ini.

Terdapat beberapa kajian lanjutan yang perlu dilakukan di Kota Mataram terkait bahaya gempabumi dan kerentanan bangunan akibat bahaya gempabumi diantaranya adalah sebagai berikut:1. Mengkaji frekuensi natural bangunan

dengan melakukan pengukuran mikrotremor langsung pada bangunan. Hal ini dilakukan untuk mendukung peningkatan penaksiran tingkat kerusakan yang mungkin terjadi pada bangunan terutama pada bangunan- bangunan rentan yang membutuhkan evaluasi detil lebih lanjut.

2. Bangunan yang akan dibangun di Kota Mataram hendaknya dibangun dengan frekuensi natural yang tidak sama dengan frekuensi natural tanah yaitu rata-rata sebesar 1,5 Hz.

3. Melakukan penelitian keteknikan tentang tingkat kerapuhan bangunan-bangunan untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang perilaku setiap jenis struktur bangunan sehingga dapat mengurangi risiko kerusakan akibat bahaya gempabumi.

4. Pengembangan aplikasi sistem informasi geografis untuk inventarisasi bangunan- bangunan di Kota Mataram. Hal ini dilakukan untuk memudahkan semua pihak dalam melakukan evaluasi terhadap bangunan- bangunan tersebut karena dari sistem tersebut dapat diketahui kecenderungan, laju, arah dan pola dari penggunaan, pengembangan dan kerentanan bangunan di Kota Mataram.

DAFTAR PUSTAKA

1. Birkmaan, J., 2006, Measuring Vulnerability to Resonansi Hazards, Toward Disaster Resilient Societies, United Nation of Amerika: United Nation University.

2. Brotopuspito, K.S., T. Prasetya, dan M.F. Widigdo, M.F., 2006, Percepatan Getaran Tanah Maksimum Daerah Istimewa Yogyakarta 1943-2006, Jurnal Geofisika 2006/1. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

3. Brotopuspito, K.S., dan Wahyudi, 2007, Erupsi Gunungapi Kelud Dan Nilai b Gempabumi Di Sekitarnya, Berkala MIPA, 17(3), September 2007.

4. Coburn, A. and R. Spence, 2002, Earthquake Protection, Second Edition, United Kingdom: Jhon Wiley & Sons.

5. Claudet, S.B., F. Cotton, dan P.Y. Band, 2006, The Nature of Noise Wavefield and its Applications for Site Effects Studies, Earth Science Review 79 (2006) 205-227, doi:10.1016/j.earscirev.2006.07.004.

6. Daryono, 2011, Indeks Kerentanan Seismik Berdasarkan Mikrotremor Pada Setiap Satuan Bentuk Lahan di Zona Graben Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Disertasi, Program Pascasarjana Fakultas Geografi, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

7. Doughlas, J., 2011, Ground Motion Prediction Equations 1964-2011, Berkeley: Pacific Earthquake Engineering Research Center College of Engineering, University of California.

8. FEMA, 2002, Rapid Visual Screening of Buildings for Potential Seismic Hazards, a Hanbook FEMA 154 Edition 2, California.

9. Mataram Dalam Angka 2013, (http://mataramkota.go.id/f i le/Angka2013.pdf) diunduh jam 10.00 WIB, tanggal 05/12/2014.

10. Meidji, I.U., 2014, Kajian Karakteristik Dinamika Tanah Terhadap Risiko Kerawanan Seismik Dan Dampaknya Terkait Rencana Tata Ruang Wilayah Di Kota Mataram Bagian Timur, Tesis, Program S2 Ilmu Fisika FMIPA, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

11. Nakamura, Y., 1989, A Method for Dynamic Characteristics Estimation of Subsurface Using Microtremor on the Ground Surface, Quarterly Report Railway Technical Research Institute, Tokyo, Vol. 30, 25-33.

12. Nakamura, Y., T. Sato, and M. Nishinaga, 1996, Local Site Effect Of Kobe Based On Microtremor Measurement, System and Data Research Co., Ltd, 3-25-3 Fujimidai, Kunitachi-shi, Tokyo, 186-0003, Japan.

13. Nakamura, Y., 2000, Clear Identification of Fundamental Idea of Nakamura’s Technique and Its Applications, 12WCEE, 2526.

14. Nakamura, Y., 2008, On The H/V Spectrum, The 14th World Conference on Earthquake Engineering, October 12-17, Beijing China.

15. SESAME, 2005, Guidelines For The Implementation of The H/V Spectral Ratio Technique on Ambient Vibration Measurements and Interpretation, Deliverable D23.12, University of Potsdam, http://sesame-fp5.obs.ujf-grenoble.fr/SES_Reports.htm, diunduh jam 11.00 WIB, tanggal 10/12/2014.

Diterima: 1 Februari 2016Disetujui setelah revisi: 2 Mei 2016

Page 93: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

85

Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia Vol. 2 No. 1, Mei 2016: 85-93

PENGURANGAN RISIKO BENCANA GEMPABUMI: EVALUASI KINERJA DINAMIKA STRUKTUR GEDUNG BERTINGKAT RENDAH

MENGGUNAKAN MODEL SENDI PLASTISDENGAN VARIASI MODEL BEBAN

DISASTER RISK REDUCTION OF EARTHQUAKE: THE EVALUATION OF DYNAMIC STRUCTURAL PERFORMANCE OF A LOW-RISE BUILDING USING PLASTIC HINGE

MODEL AND LOAD MODEL VARIATIONS

Sarwidi, Widodo dan RPM Trisusilo Rekayasa Kegempaan dan Manajemen Kebencanaan,

Program Pasca Sarjana Magister Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta

e-mail : [email protected]

Abstrak

Pengurangan risiko bencana (PRB) gempabumi dapat dilakukan melalui penurunan kerentanan bangunan. Penurunan kerentanan bangunan menjadi domain bidang rekayasa kegempaan dengan konsep bangunan tahan gempa. Bangunan tahan gempa dapat menghidari atau mengurangi bencana dikarenakan bangunan tersebut tidak boleh runtuh oleh gocangan gempa kuat yang diprediksi akan terjadi di wilayah di mana bangunan didirikan. Dalam perkembangannya, bangunan tahan gempa dapat direncanakan tingkat ketahanannya yang disebut dengan tingkat kinerja (performance level), berdasarkan prediksi tingkat kerusakan setelah tergoncang gempa ektrim sesuai peruntukan bangunan. Bangunan yang sudah adapun dapat dievaluasi tingkat kinerjanya terhadap prakiraan goncangan gempa ekstrim untuk menyesuaikan standard dan peraturan-peraturan bangunan terkini. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi tingkat kinerja sebuah struktur gedung kuliah bertingkat rendah terhadap pengaruh beban gempa dengan menggunakan asumsi sendi plastis pada pertemuan elemen struktur rangka terbuka dengan berbagai variasi model. Evaluasi menggunakan simulasi komputer dengan analisis beban dorong statis nonlinier (non-linear static pushover) menggunakan perangkat lunak SAP2000. Pembebanan gempa mengacu pada 3 model beban yaitu SNI 1726-2002, SNI 1726-2012 dan beban seragam. Titik kinerja ditentukan dengan Metode Spektrum Kapasitas berdasaran ATC-40 (1996) dan Metode Koefisien Perpindahan berdasarkan FEMA 356 (2000). Level kinerja struktur gedung ditentukan berdasarkan kriteria drift ratio yang disyaratkan oleh ATC-40 (1996) dan FEMA 356 (2000). Hasil evaluasi menunjukkan bahwa level kinerja struktur ektrim gedung untuk periode ulang gempa 500 tahun adalah tahan gempa dengan level Life Safety. Namun demikian, bangunan tersebut belum mencapai level kinerja yang disyaratkan sebagai bangunan perkuliahan dikarenakan belum mencapai level Immediate Occupancy.

Kata Kunci: Pengurangan risiko bangunan, gempabumi, evaluasi bangunan, analisis beban dorong, titik kinerja, metode spektrum kapasitas, metode koefisien perpindahan, rasio drif.

AbstractDisaster risk reduction (DRR) of earthquake can be done through reducing the vulnerability of buildings. Reducing the vulnerability of buildings is the domain of earthquake engineering field with the concept of earthquake resistant building. Earthquake resistant buildings could reduce disaster, because those buildings should not be collapsed by powerful earthquake shaking that is predicted to occur in the area where the buildings were constructed. In the progress, earthquake resistant buildings can be designed for their resilience levels called performance levels, based on the predictions of the extent of damage after extreme quakes shook the buildings. Existing buildings can be evaluated for their performance

Page 94: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

86

Pengurangan Risiko Bencana Gempabumi: Evaluasi Kinerja Dinamika Struktur Gedung Bertingkat Rendah Menggunakan Model Sendi Plastis Dengan Variasi Model BebanSarwidi, Widodo dan RPM Trisusilo

level against predicted extreme seismic shocks in order to be suitable with recent building standards or regulations. This study is aimed to evaluate the performance level of a low-rise campus building structure against earthquake load effects on the assumption that plastic hinges behave for structural element joints of the open frames with the variation of load models. Evaluation uses a computer simulation of nonlinear static pushover analysis using the software of SAP2000. Earthquake loading refers to the three models of the load i.e. ISO 1726-2002, ISO 1726-2012 and uniform load. Performance points are determined by Capacity Spectrum Method based on ATC-40 (1996) and Displacement Coefficient Method based on the FEMA 356 (2000). The level of performance of the building structure determined based on the drift ratio using criteria required by ATC-40 (1996) and FEMA 356 (2000). The results showed that the level of structural performance of buildings for extreme earthquake having return period of 500 years is resistant to earthquake in level of Life Safety. However, the building has not reached the required level of performance as a campus building that it the level of Immediate Occupancy.

Keywords: Building risk reduction, earthquake resistant structure, building evaluation, pushover analysis, performance points, capacity spectrum method, displacement coefficient method, drift ratio.

1. PENDAHULUAN

Sebuah konsep sederhana dalam pengurangan risiko bencana (PRB) mempunyai tiga elemen, yaitu ancaman, kerentanan, dan kapasitas. Mengurangi risiko bencana dapat dilakukan dengan mengurangi ancaman, menurunkan kerentanan, dan atau meningkatkan kapasitas. Dalam PRB gempabumi, upaya efektif yang dapat dilakukan selama ini adalah mengurangi kerantanan bangunan dan atau meningkatkan kapasitas pemerintah dan masyarakat.

Penurunan kerentanan bangunan menjadi domain bidang rekayasa kegempaan melalui penerapan konsep bangunan tahan gempa. Bangunan tahan gempa dapat mengurangi risiko bencana karena bangunan tersebut tidak runtuh oleh gempa goncangan gempa kuat, sehingga korban jiwa dapat dihindarkan dan kerugian dapat ditekan (Sarwidi, 2015; Pawirodikromo, 2012). Dalam perkembangan bidang rekayasa kegempaan, bangunan dapat didesain tingkat ketahanan gempanya (seismic performance level) sesuai dengan peruntukannya. Sebagai contoh, bangunan biasa diharuskan dapat bertahan terhadap goncangan gempa hingga level mendekati keruntuhan (collapse prevention). Sedangkan bangunan kampus diwajibkan untuk dapat bertahan terhadap gempa hingga level segera dapat digunakan (immediate occupancy). Bangunan gedung yang sudah adapun dapat dievaluasi tingkat ketahanan gempanya atau tingkat kinerjanya (performance level).

Studi semacam ini pernah dilakukan oleh beberapa peneliti untuk bangunan lain, misalnya

oleh Jamal (2011), Mayhendra (2015), Muntafi (2012), dan Zahrudin (2010). Kemajuan dalam bidang rekayasa kegempaaan telah melahirkan serangkaian standard dan peraturan yang semakin realistis yang akan mempengaruhi perubahan standar desain dan evaluasi bangunan dari waktu ke waktu.

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi tingkat ketahanan gempa atau tingkat kinerja sebuah struktur gedung kuliah bertingkat rendah terhadap pengaruh beban gempa berdasarkan peraturan/standar terkini.

2. DASAR TEORI

Ada beberapa hal yang terkait dengan dasar teori dalam evaluasi level ketahanan gempa bangunan atau level kinerja seismik bangunan sebagaimana penjelasan singkat berikut ini.

2.1. Level Kinerja Bangunan

Katahanan gempa atau kinerja dinamika bangunan merupakan kombinasi antara level kinerja struktur dan nonstruktur. Level kinerja bangunan didasarkan pada kejadian gempa rencana (hazard) dan taraf kerusakan yang diijinkan dari bangunan terhadap kejadian gempa tersebut. Dari kategori level kinerja struktur dan nonstruktur, hubungan antara level kinerja struktur yang dinotasikan angka dengan level kinerja nonstruktur yang dinotasikan dengan huruf didapatkan. Empat level kinerja tersebut diuraikan sebagai berikut ini (FEMA 273, 1997)

Page 95: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

87

Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia Vol. 2 No. 1, Mei 2016: 85-93

dengan ringkasan sebagaimana yang ditampilkan pada Gambar 1.

1. Operasional Level (1-A)Pada level ini bangunan tidak ada kerusakan berarti pada struktur dan nonstruktur. Bangunan masih berfungsi meskipun terdapat beberapa kerusakan kecil seperti kerusakan pada instalasi listrik, jaringan air, dan beberapa utilitas lainnya.

2. Immediate Occupancy Level (1-B)Pada level ini, terdapat kerusakan pada struktur tetapi kerusakan tersebut tidak terlalu berarti, maksudnya kekuatan dan kekakuan masih hampir sama dengan kondisi sebelum gempa.

3. Life safety Level (3-C)Bangunan mengalami kerusakan pada struktur dan kekakuan berkurang dari kondisi struktur sebelum mengalami kerusakan, tetapi masih memiliki kemampuan yang cukup terhadap keruntuhan pada level ini. Bangunan dapat digunakan kembali apabila sudah dilakukan perbaikan pada bagian struktur yang mengalami kerusakan, tetapi perbaikan yang dilakukan dapat dianggap tidak praktis secara ekonomi.

4. Structural Stability/Collapse Preventian (5-E)Pada level ini, bangunan secara keseluruhan hampir mengalami keruntuhan akibat kekuatan struktur dan kekakuannya berkurang banyak. akibat rusak atau runtuhnya material sangat memungkinkan terjadinya korban jiwa, dan bangunan mengalami kerugian yang cukup besar secara ekonomi.

Gambar 1. Performance Level (FEMA 451, 1997 dalam PBE Design)

Hubungan antara level kinerja struktur dengan simpangan (drift) pada elemen vertikal

dari sistem pemikul beban lateral berupa struktur rangka beton bertulang (concrete frames) dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2 dengan penjelasan pada Gambar 1 dan Gambar 2. Nilai simpangan pada tabel tersebut merupakan nilai-nilai tipikal yang diberikan untuk menjelaskan respon struktur keseluruhan yang sesuai dengan berbagai level kinerja struktur.

Sementara itu, ATC-40 (1996) memberikan batasan deformasi untuk berbagai level kinerja struktur gedung seperti ditunjukkan pada Tabel 2. Simpangan total maksimum didefenisikan sebagai simpangan antar tingkat pada perpindahan titik kinerja. Simpangan inelastis maksimum didefenisikan sebagai bagian dari simpangan total maksimum dibawah titik leleh.

Tabel 1. Batasan Simpangan untuk Level Kinerja Struktur (FEMA 356,2000)

Level Kinerja Struktur Drift (%) Keterangan

Immidiate Occupancy 1,0 Transient

Live Safety 2,01,0

TransientPermanent

Collapse Prevention 4,0 Transient atau

permanent

Tabel 2. Batasan Drift untuk Berbagai Level Kinerja Struktur (ATC-40, 1996)

Batasan Simpangan

Antar Tingkat

Level Kinerja Struktur

Immediate Occupancy

Damage Control

Live Safety

Structural Stability

Simpangan Total

Maksimum0,01 0,01-0,02 0,02 0,33Vi/Pi

Simpangan Inelastis

Maksimum0,005 0,005-0,015 Tidak

dibatasiTidak

dibatasi

Gambar 2. Simpangan Pada Atap dan Rasio Simpangan (Drift Ratio) pada Atap (ATC-

40,1996)

Page 96: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

88

Pengurangan Risiko Bencana Gempabumi: Evaluasi Kinerja Dinamika Struktur Gedung Bertingkat Rendah Menggunakan Model Sendi Plastis Dengan Variasi Model BebanSarwidi, Widodo dan RPM Trisusilo

Level kinerja struktur secara kualitatif dapat dijelaskan pada Gambar 1. Dalam gambar terlihat bahwa level kinerja struktur diwakili oleh suatu kurva hubungan antara gaya geser dasar dengan perpindahan pada titik kontrol (titik berat distribusi gaya lateral). Selain itu, ditunjukkan juga bagaimana prilaku keruntuhan struktur secara menyeluruh terhadap pembebanan lateral. Kurva tersebut dapat diperoleh dari hasil analisa statik non linier atau analisis pushover.

2.2. Analisis Beban Dorong Nonlinier (Nonlinear Pushover Analysis)

Analisis bebn dorong statik nonlinier (nonlinear static pushover analysis) merupakan usaha pendekatan yang dilakukan oleh para insinyur profesional untuk menghitung kekuatan yang nyata dari struktur dan menjanjikan untuk digunakan secara efektif sebagai alat untuk perencanaan berbasis kinerja. FEMA 356 telah menjelaskan kriteria deformasi yang terjadi dan prosedur analisis pada analisis pushover. Dokumen tersebut mendefinisikan kriteria deformasi-gaya untuk sendi (hinges) yang digunakan pada analisis pushover, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Batas Deformasi (Deformation) atau Rasio Deformasi (Deformation Ratio) Elemen Terhadap Gaya Ternormalisasi (Normalized

Force) (FEMA 356, 2000)

2.3. Metode Spektrum Kapasitas (ATC-40)

Metode Kapasitas Spektrum (Capacity spectrum method) menyajikan secara grafis dua buah grafik yang disebut spektrum, yaitu spektrum kapasitas (capacity spectrum) yang menggambarkan kapasitas struktur berupa hubungan gaya dorong total (base shear) dan perpindahan lateral struktur (biasanya ditetapkan di puncak bangunan), dan spektrum demand yang menggambarkan besarnya demand (tuntutan kinerja) akibat gempa dengan periode ulang tertentu. Dalam Metoda Spektrum

Kapasitas proses dimulai dengan menghasilkan kurva hubungan gaya perpindahan yang memperhitungkan kondisi inelastis struktur. Proses tersebut sama dengan Metode Koefisien Perpindahan, kecuali bahwa hasilnya diplot-kan dalam format ADRS (acceleration displacement response spectrum) (Dewabroto, 2005).

3. METODOLOGI

Penelitian ini menggunakan simulasi komputer dengan software SAP2000 v.14 untuk membuat analisis nonlinier pushover. Pemodelan pada penelitian ini berupa portal open frame, dimana dinding tidak dimodelkan dalam pemodelan struktur dan disusun adalah frame 3D sebagaimana tampak pada Gambar 1. Kemudian saat dilakukan analisis nonlinier pushover permodelan berupa open frame. Berikut ini adalah asumsi-asumsi yang digunakan dalam pemodelan numerik pada permodelan gedung.1. Material struktur

a. Mutu beton pada kolom dan balok (f’c) = 25 MPa

b. Mutu baja tulangan, fy = 240MPa (polos) dan fy = 400 MPa (ulir)

2. Balok dan kolom diasumsikan sebagai frame.3. Plat lantai dimodelkan sebagai shell.4. Rangka atap tidak dimodelkan, beban mati

dan beban angin pada atap diteruskan sebagai beban terpusat pada tumpuan kuda-kuda

5. Pembebanan menggunakan 3 model beban yaitu SNI 03-1726-2002, SNI 03-1726-2002 dan Beban seragam.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berikut ini akan ditampilkan obyek penelitian, hasil penelitian, serta pembahasan. Hasil studi akan dibahas berikut ini.

4.1. Obyek Penelitian

Bangunan yang merupakan bagunan untuk aktifitas pendidikan yang dievaluasi dalam penelitian ini adalah bangunan 5 lantai atau merupakan bangunan low-rise building yang sudah digunakan sejak 1997. Bangunan di Yogyakarta tersebut didesain menggunakan peraturan yang berlaku pada saat itu.

Bangunan tersebut perlu dievaluasi kinerjanya terhadap beban gempa mengingat telah diterbitkannya serangkaian peraturan baru dalam perencanaan bangunan tahan gempa yaitu SNI 1726 2012 yang menggantikan peraturan lama yakni SNI 1726 2002, SNI gempa

Page 97: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

89

Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia Vol. 2 No. 1, Mei 2016: 85-93

1991 dan peraturan-peraturan sebelumnya untuk menjamin ketahanan gempa bangunan tersebut. Perubahan peraturan mengakibatkan perubahan pada desain risiko gempa, spekturm respon desain, maupun nilai faktor keutamaan gempa pada peraturan baru lebih besar dibandingkan dengan peraturan yang lama.

Perkembangan teknologi saat ini sangat membantu dalam perencanaan analisis terhadap kinerja suatu struktur bangunan seperti tersedianya perangkat lunak SAP2000 yang mampu menyelesaikan persoalan bentuk pemodelan dinamika struktur yang sangat kompleks. Selain itu, dengan adanya peraturan-peraturan terbaru seperti SNI 03-1726-2012 yang sudah disesuaikan dengan kemajuan prediksi intensitas gempabumi sangat menunjang dalam hal penentuan desain dan evaluasi bangunan yang lebih. Oleh sebab itu, peneliti melakukan evaluasi kinerja seismik bangunan gedung dengan 3 model pembebanan yaitu SNI 1726-2002, SNI 1726-2012, dan beban seragam dengan menggunakan analisis pushover berdasarkan ATC-40, FEMA 154, dan FEMA 310. Proses hitungan menggunakan program simulasi komputer SAP2000 untuk mengkaji dan membahas tingkat ketahanan gempa bangunan berdasar luaran yang dihasilkan program simulasi tersebut.

4.2. Evaluasi Analisis Beban Dorong Statik Nonlinier (Nonlinear Static Pushover Analysis)

Dalam penelitian ini proses evaluasi pada tier 1 hingga tier 3 sudah dilakukan. Setelah persayaratan tier 2 terlampaui, tier 3 dilakukan untuk mengetahui level kinerja struktur dengan mengacu kepada standar prosedur ATC-40 (1996) dan FEMA 356 (1998) menggunakan model rangka terbuka (open frame) sebagaimana sketsa pada Gambar 4 dengan analisis pushover dengan hasil dan pembahasan singkat berikut ini.

Gambar 4. Permodelan Struktur Bangunan

4.2.1. Gambar 4. Permodelan Struktur Bangunan Kurva KapasitasSalah satu hasil yang diperoleh dari hasil

analisis pushover yaitu berupa kurva kapasitas (capacity curve) yang merupakan hubungan antara perpindahan (displacement) titik acuan pada atap (D) dan gaya geser dasar (V).

Gambar 5. Kurva Kapasitas Pushover: Perpindahan (Displacement) vs Gaya Geser

Dasar (Base Shear) (SNI 1726-2012)

Pada Gambar 5 pushover pada pembebanan arah-X SNI 1726-2012, yaitu pada saat perpindahan titik kontrol sebesar 0,358 m dan gaya geser dasar 11413.48 kN. pada pembebanan arah-Y SNI 1726-2012, yaitu pada saat perpindahan titik kontrol 0,487 m dan gaya geser dasar sebesar 9576.945 kN.

Gambar 6. Kurva Kapasitas Pushover: Perpindahan (Displacement) vs Gaya Geser

Dasar (Base Shear) (SNI 1726-2002)

Pada Gambar 6 pushover pada pembebanan arah-X SNI 1726-2002, yaitu pada saat perpindahan titik kontrol sebesar 0,356 m dan gaya geser dasar sebesar 11830.511 kN. pada pembebanan arah-Y SNI 1726-2002, yaitu pada saat perpindahan titik kontrol sebesar 0,470 m dan gaya geser dasar sebesar 9958.025 kN.

Page 98: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

90

Pengurangan Risiko Bencana Gempabumi: Evaluasi Kinerja Dinamika Struktur Gedung Bertingkat Rendah Menggunakan Model Sendi Plastis Dengan Variasi Model BebanSarwidi, Widodo dan RPM Trisusilo

Gambar 7. Kurva Kapasitas Pushover: Perpindahan (Displacement) vs Gaya Geser

Dasar (Base Shear) (Beban seragam)

Pada Gambar 7 pushover pada pembebanan arah-X Beban Seragam, yaitu pada saat perpindahan titik kontrol sebesar 0,336 m dan gaya geser dasar sebesar 15326.041 kN dan arah-Y Beban Seragam, yaitu pada saat perpindahan titik kontrol sebesar 0,556 m dan gaya geser dasar sebesar 13739.258 kN.

Gambar 5 sampai Gambar 7 dapat dilihat perbandingan kurva kapasitas pushover arah X lebih besar dari kapasitas pushover arah Y hal ini disebabkan karena kekuatan maupun kekakuan arah X relatif lebih kaku karena jarak antar kolom yang lebih rapat dan ukuran kolom arah X relatif lebih besar dari kebutuhan yang diperlukan.

4.2.2. Metode Spektrum Perpindahan ATC-40 (1996)Peformance Point merupakan perpotongan

antara kurva kapasitas dengan respon spektrum (demand) dalam format ADRS yang telah disesuaikan nilai redamannya. Nilai displacement capacity diperoleh dari perpotongan antara kurva spectrum demand pada redaman yang telah didefinisikan dengan kurva kapasitas hasil dari analisis pushover. Sedangkan nilai displacement capacity adalah nilai simpangan tertinggi yang diperoleh dari kurva kapasitas. Berikut adalah hasil analisis pushover dari program SAP2000 menggunakan metode ATC-40 dijelaskan pada Tabel 3 dan Tabel 4 berikut.

Tabel 3. Arah X Metode ATC-40

Jenis Pembebanan

ATC-40

Keterangan Level Kinerja

Arah-X

Vt dt

(kN) (m)

SNI 1726-2012 9567.606 0.21 Immediate occupancy

SNI 1726-2012 6324.03 0.073 Immediate occupancy

B. Seragam 11616.716 0.171 Immediate occupancy

Tabel 4. Arah Y Metode ATC-40

Jenis Pembebanan

ATC-40

Keterangan Level Kinerja

Arah-Y

Vt dt

(kN) (m)

SNI 1726-2012 8069.602 0.284 Damage control

SNI 1726-2012 4906.994 0.102 Immediate occupancy

B. Seragam 9634.405 0.235 Damage control

Batasan ratio drift atap menurut ATC 40 (1996) pada Tabel 2, hasil hitungan pada Tabel 3 dan Tabel 4 menunjukkan bahwa kinerja struktur gedung yang terbesar yaitu damage control dimana menunjukan bahwa apabila gempa terjadi gedung akan mengalami beberapa kerusakkan kecil pada struktur, sehingga bangunan belum dapat beroperasi dan diperlukan beberapa perbaikan pada struktur yang mengalami kerusakan.

4.2.3. Metode Koefisien Perpindahan FEMA 356 (1998)Berikut adalah kurva pushover serta titik

kinerja (performance point) dari hasil analisis dengan, metode koefisien perpindahan (FEMA 356) yang dihasilkan program SAP2000 untuk pembebanan arah-X dan pembebanan arah-Y dijelaskan pada Tabel 5 dan Tabel 6 berikut.

Tabel 5. Arah X Metode FEMA-356

Jenis Pembebanan

FEMA 356

Keterangan Level Kinerja

Arah-X

Vt dt

(kN) (m)

SNI 1726-2012 8866.504 0.177 Immediate occupancy

SNI 1726-2002 6257.936 0.07 Immediate occupancy

B. Seragam 10677.004 0.141 Immediate occupancy

Tabel 6. Arah X Metode FEMA-356

Jenis Pembebanan

FEMA 356

Keterangan Level Kinerja

Arah-X

Vt dt

(kN) (m)

SNI 1726-2012 8866.504 0.177 Immediate occupancy

SNI 1726-2002 6257.936 0.07 Immediate occupancy

B. Seragam 10677.004 0.141 Immediate occupancy

Pada Tabel 5 dan Tabel 6 hasil hitungan diatas menunjukkan bahwa kinerja struktur gedung yang terbesar yaitu life safety dimana

Page 99: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

91

Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia Vol. 2 No. 1, Mei 2016: 85-93

menunjukan bahwa apabila gempa terjadi gedung akan mengalami beberapa kerusakkan pada struktur dan kekakuan berkurang dari kondisi struktur sebelum mengalami kerusakan pada struktur, sehingga bangunan belum dapat beroperasi dan diperlukan beberapa perbaikan pada struktur yang mengalami kerusakan.

Tabel 7 Plastifikasi pada Pembebanan Pushover Arah-X

Arah-X

StepDisplacement Base Force A to B B to

IOIO to LS

LS to CP

CP to C

C to D

D to E

Beyond E Total

m KN0 -0.000065 0 1094 0 0 0 0 0 0 0 1094

1 0.016508 2501.558 1093 1 0 0 0 0 0 0 1094

2 0.029095 4123.971 968 126 0 0 0 0 0 0 1094

3 0.064181 5920.634 783 311 0 0 0 0 0 0 1094

4 0.12934 7741.354 760 334 0 0 0 0 0 0 1094

5 0.193013 9257.944 723 273 98 0 0 0 0 0 1094

6 0.256261 10427.706 663 167 264 0 0 0 0 0 1094

7 0.321387 11206.914 613 179 236 53 0 13 0 0 1094

8 0.335906 11326.141 597 179 252 12 0 54 0 0 1094

9 0.356463 11412.159 594 163 265 6 0 66 0 0 1094

10 0.358683 11413.462 594 163 261 10 0 66 0 0 1094

11 0.358723 11413.48 594 163 261 10 0 66 0 0 1094

Tabel 8 Plastifikasi pada Pembebanan Pushover Arah-Y

TABLE: Pushover Curve - ARAH Y

StepDisplacement Base Force A to B B to

IOIO to LS

LS to CP

CP to C

C to D

D to E

Beyond E Total

m KN0 0.000395 0 1094 0 0 0 0 0 0 0 1094

1 0.02164 1305.729 1093 1 0 0 0 0 0 0 1094

2 0.053496 3164.275 959 135 0 0 0 0 0 0 1094

3 0.071465 3902.031 855 239 0 0 0 0 0 0 1094

4 0.119355 5286.035 820 274 0 0 0 0 0 0 1094

5 0.182436 6565.628 810 234 50 0 0 0 0 0 1094

6 0.249167 7672.211 799 77 218 0 0 0 0 0 1094

7 0.314365 8574.764 767 87 209 29 0 2 0 0 1094

8 0.367004 9230.662 706 144 171 54 0 19 0 0 1094

9 0.37757 9306.92 692 154 164 56 0 28 0 0 1094

10 0.389656 9346.786 691 151 162 54 0 36 0 0 1094

11 0.396747 9353.398 691 147 163 55 0 38 0 0 1094

12 0.404653 9381.185 691 141 167 56 0 39 0 0 1094

13 0.430199 9430.306 691 118 178 65 0 42 0 0 1094

14 0.464362 9529.513 689 114 158 89 0 44 0 0 1094

15 0.481575 9561.546 689 114 141 103 0 47 0 0 1094

16 0.483895 9569.474 689 114 138 105 0 48 0 0 1094

17 0.487859 9576.945 689 114 136 106 0 49 0 0 1094

4.2.4. PlastifikasiDari hasil analisis pushover dari SAP2000

berdasarkan titik kinerja (performance point) maka dapat diketahui titik kinerja tersebut akan tercapai pada langkah (step) tertentu, kemudian akan diketahui jumlah elemen struktur yang mengalami kerusakan. Hirarki plastifikasi untuk pembebanan pushover arah-X dan arah-Y pada permodelan 1 dapat dilihat pada Tabel 7 dan Tabel 8 berikut.

Page 100: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

92

Pengurangan Risiko Bencana Gempabumi: Evaluasi Kinerja Dinamika Struktur Gedung Bertingkat Rendah Menggunakan Model Sendi Plastis Dengan Variasi Model BebanSarwidi, Widodo dan RPM Trisusilo

Tabel 7 menunjukan bahwa analisis pushover pada arah X berhenti pada step ke 11, yang berarti distribusi sendi plastis sudah pada kondisi maksimum berdasarkan kontrol perpindahan sebesar 0,358 m. Kondisi tersebut dapat disebabkan karena adanya ketidak-stabilan dari adanya sendi plastis yang terbentuk. Hasil analisis pushover arah X dapat diketahui titik kinerja struktur tercapai pada step ke 5, terdapat 98 elemen yang telah melewati batas Immediate Occupancy (IO).

Pada Tabel 8 menunjukan bahwa analisis pushover pada arah Y berhenti pada step ke 17, yang berarti distribusi sendi plastis sudah pada kondisi maksimum berdasarkan kontrol perpindahan sebesar 0,487 m. Hasil analisis pushover arah Y dapat diketahui titik kinerja struktur tercapai pada step ke 5, terdapat 50 elemen yang telah melewati batas Immediate Occupancy (IO).

Gambar 8 sampai Gambar 9 menunjukkan lokasi beberapa elemen struktur yang mengalami kerusakan (sendi plastis) pada saat titik kinerja tercapai. Posisi elemen-elemen yang telah mengalami plastifikasi yaitu sebagai indikator elemen telah mengalami kerusakan yang dapat dilihat dengan Program SAP2000.

5. KESIMPULAN

Mengacu pada hasil penelitian dimuka, kesimpulan dapat diuraikan sebagai berikut ini.

SNI 1726-2012, arah X yaitu pada saat perpindahan titik kontrol sebesar 0,358 m dan gaya geser dasar 11413.48 kN dan arah-Y SNI 1726-2012, yaitu pada saat perpindahan titik kontrol 0,487 m dan gaya geser dasar sebesar 9576.945 kN. SNI 1726-2002, arah X yaitu pada saat perpindahan titik kontrol sebesar 0,356 m dan gaya geser dasar sebesar 11830.511 kN dan arah-Y SNI 1726-2002, yaitu pada saat perpindahan titik kontrol sebesar 0,470 m dan gaya geser dasar sebesar 9958.025 kN. Beban Seragam, arah X yaitu pada saat perpindahan titik kontrol sebesar 0,336 m dan gaya geser dasar sebesar 15326.041 kN dan arah-Y Beban Seragam, yaitu pada saat perpindahan titik kontrol sebesar 0,556 m dan gaya geser dasar sebesar 13739.258 kN.

Hasil analisis pushover dan Metode Spektrum Kapasitas (ATC-40, 1996) ini menunjukkan bahwa rasio simpangan struktur (structural drift ratio) terbesar yang terjadi ternyata lebih besar dari batas simpangan yang disyaratkan ATC-40 level Damage Control (DC).

Gambar 8. Posisi Sendi Plastis Step 11 untuk Pembebanan Pushover Arah-X

Page 101: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

93

Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia Vol. 2 No. 1, Mei 2016: 85-93

Sedangkan berdasarkan batas simpangan yang disyaratkan oleh FEMA 356, simpangan struktur bangunan berada pada level Life Safety (LS). Oleh karena itu, level kinerja struktur untuk periode ulang gempa 500 tahun adalah Life Safety (LS). Dalam kondisi ini, struktur mengalami kerusakan sedang (damage state), sehingga diperlukan sedikit perbaikan, namun bangunan masih dapat stabil dan mampu melindungi pemakai/penghuni bangunan dengan baik.

Bangunan masih tahan terhadap gempa rencana/ektrim pada level Life Safety. Namun demikian, ketahanan gempa bangunan belum mencapai level yang disyaratkan untuk gedung pendidikan, yaitu level immediate occupancy.

DAFTAR PUSTAKA

1. ATC-40, 1996, Seismic Evaluation and Retrofit of Concrete Buildings. Vol. 1. Aplied Technology Council, Redwood City. California, USA.

2. Badan Standarisasi Nasional (BSN),s 2002, Rancangan Standar Nasional Indonesia. Tata cara perancangan struktur beton untuk bangunan gedung (SNI 03-1726-2002), BSN, Jakarta.

3. Badan Standarisasi Nasional (BSN),s 2012, Rancangan Standar Nasional Indonesia. Tata cara perancangan struktur beton untuk bangunan gedung (SNI 03-1726-2012), BSN, Jakarta.

4. Dewobroto W, 2006, Evaluasi Kinerja Bangunan Baja Tahan Gempa dengan SAP2000, Jurnal Teknik Sipil, Vol. 3, No.1, Januari 2006, Jurusan Teknik Sipil Universitas Pelita Harapan, Jakarta.

5. FEMA 154, 2002, Rapid Visual Screening of Buildings for Potential Seismic Hazards : A Handbook. Second Edition. Building Seismic Safety Council, Washington D.C, USA

6. FEMA 310, 1998. Handbook For The Seismic Evaluation of Buildings. Building Seismic Safety Council, Washington D.C, USA.

7. FEMA 356, 2000, Presented And Commentary For The Seismic Rehabilitation Of Buildings, Building Seismic Safety Council, Washington D.C, USA.

8. Jamal, A, 2011, Evaluasi Kinerja Struktur Gedung Kuliah Umum Prof. Dr. Sardjito UII. Magister Teknik Sipil Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.

9. Mayhendra, 2015, Evaluasi Kinerja Struktur Gedung Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan “M. NATSIR” UII Yogyakarta,

Gambar 9. Posisi Sendi Plastis Step 17 untuk Pembebanan Pushover Arah-Y

Page 102: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

94

Pengurangan Risiko Bencana Gempabumi: Evaluasi Kinerja Dinamika Struktur Gedung Bertingkat Rendah Menggunakan Model Sendi Plastis Dengan Variasi Model BebanSarwidi, Widodo dan RPM Trisusilo

Magister Teknik Sipil Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.

10. Muntafi, Yunalia., 2012, Evaluasi Kinerja Bangunan Gedung DPU Wilayah Kabupaten Wonogiri Dengan Analisis Pushover. Teknik Sipil Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.

11. Pawidrodikromo W, 2012, Seismologi Teknik & Rekayasa Kegempaan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

12. Sarwidi, 2015, Pengetahuan Dasar Kegempaan dan Kebencanaan, Penerbit KatiKata, Malang.

13. Zahrudin, 2010, Evaluasi Kinerja Bangunan Jogja Internasional Hospital Terhadap Risiko Gempa, Magister Teknik Sipil Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.

Diterima: 1 Maret 2016Disetujui setelah revisi: 2 Mei 2016

Page 103: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

95

Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia Vol. 2 No. 1, Mei 2016

FORMAT PENULISAN ARTIKEL JURNAL RISET KEBENCANAAN INDONESIA (JRKI), UNTUK JUDUL DALAM BAHASA INDONESIA

(UPPERCASE, CENTER, BOLD, FONT ARIAL 14)

JUDUL DITERJEMAHKAN KE DALAM BAHASA INGGRIS(UPPERCASE, CENTER, BOLD, FONT ARIAL 11)

Nama Penulis (Titlecase, Center, Bold, Font Arial 10)Nama Institusi, Alamat, e-mail (Titlecase, Center, Regular, Font Arial 10)

Abstrak (Titlecase, Center, Bold, Font Arial 10)Abstrak disini ditulis dalam bahasa Indonesia. Di sini anda diminta untuk menjelaskan hal-hal yang telah dilakukan, hasil utama, dan kesimpulan dari artikel yang anda tulis secara jelas dan singkat. Jumlah kata tidak lebih dari 250 (Jarak tulisan ke sisi kiri dan kanan adalah 3,5 cm). Ditulis dengan sentence case, justify, Italic, font Arial 10.

Kata Kunci: Paling banyak 10 kata terpenting dalam artikel. Ditulis dengan sentence case, justify, regular, font Arial 10

Abstract (Titlecase, Center, Bold, Font Arial 10)Abstrak disini ditulis dalam bahasa Inggris yang merupakan terjemahan dari abstrak bahasa Indonesia, tatacara penulisan sama dengan abstrak dalam bahasa Indonesia.

Keywords: Ditulis dalam bahasa Inggris. Ditulis dengan sentence case, justify, regular, font Arial 10

1. PENDAHULUAN (UPPERCASE, LEFT, BOLD, FONT ARIAL 10)

Format utama penulisan jurnal ini terdiri dari 2 kolom, yang ditulis dengan MS Word, page size A4, 1 spasi, sentence case, justify, regular, font arial 10. Margin kiri, kanan, margin atas dan bawah berukuran 2,5 cm. Jarak antar kolom 0,6 cm. Margin untuk header 1,25 cm, dan footer 1,5 cm. Pada page setup, di-click mirror margines, layout header dan footer di-click bagian Different odd and even. Awal paragraf menjorok ke dalam 1 cm (format pada tab).

Pada bagian pendahuluan tuliskan latar belakang, penjelasan mengenai penelitian terkait yang telah lebih dulu dipublikasikan (jika ada). Selain itu dijelaskan pula hal-hal spesifik dalam penelitian anda. Kutipan dari referensi atau daftar pustaka dibuat dengan (Nama Pengarang, Tahun) contohnya (Naryanto, 2014). Istilah dalam bahasa asing dan simbol matematika ditulis dengan huruf miring. Jumlah halaman makalah maksimal 10 halaman.

2. METODOLOGI

3. HASIL DAN PEMBAHASAN (UPPERCASE, LEFT, BOLD, FONT

ARIAL 10)

Di sini dituliskan penjelasan mengenai bahan dan metode penelitiannya. Anda dapat pula menggunakan nama teori dan metode eksperimen sebagai pengganti judul pasal 2 di atas.

3.1. Judul Isi Bahasan (Titlecase, Left, Bold, Font Arial 10)

Judul dan subjudul yang muncul dalam bab ini dituliskan dengan nomor bertingkat seperti contoh ini.

3.1.1. Subjudul Isi Bahasan (Titlecase, Left, Bold, Arial 10)

Untuk Subjudul Isi Bahasan tidak ada spasi. Rumus kimia atau matematika dituliskan seperti contoh berikut :

√A + B3 + CO2 = ∫ X2 (1)

X-Y

Page 104: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

96

Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia Vol. 2 No. 1, Mei 2016

Tabel dan Gambar dapat disisipkan di tengah-tengah artikel. Contoh :

Tabel 1. Judul Tabel (Capital Each Word , center, regular, ditulis di atas tabel).

Gambar 1. Judul Gambar (Capital Each Word, center, regular, ditulis di bawah gambar).

4. KESIMPULAN (UPPERCASE, LEFT, BOLD, FONT ARIAL 10)

Berisi rangkuman kesimpulan atas hasil penelitian yang dibahas pada bab-bab sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA (UPPERCASE, LEFT, BOLD, FONT ARIAL 10)

Semua ditulis dengan Titlecase, Justify, Regular, Font Arial 10. Semua Daftar Pustaka yang ditulis disini wajib dimasukkan sebagai

kutipan dalam isi bahasan. Format Daftar Pustaka sebagai berikut ini :

1. Nama, tahun, Judul, Penerbit, Vol (No), hal. (perhatikan cara saat menulis nama ke-1 dan ke-2 pada contoh di bawah ini).

2. Naryanto, H.S. 2014, Analisis Kondisi Bawah Permukaan Tanah Longsor untuk Arahan Penataan Kawasan di Kabupaten Tawangmangu, Provinsi Jawa Tengah, Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia, BPPT. 13 (2): 74-81.

3. Kurniawan, L. dan H.S. Naryanto. 2014, Analisis Risiko Bencana Industri di Kawasan Industri Cilegon, Provinsi Banten. Jurnal Penanggulangan Bencana - BNPB. 2 (4): 108-11.

UCAPAN TERIMA KASIH (UPPERCASE, LEFT, BOLD, FONT ARIAL 10)

Kalau diperlukan

CALL FOR PAPER

Jurnal Riset Kebencanaan Indonesia (JRKI) Vol. 2 No. 2 Tahun 2016 akan diterbitkan pada bulan Oktober 2016, bertepatan dengan

Peringatan Bulan Pengurangan Risiko Bencana Nasional Tahun 2016.Makalah/Paper dapat dikirim ke Redaksi JRKI paling lambat 31 Agustus 2016.

e-mail: [email protected]

Page 105: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED
Page 106: JU RNA L RISET - · PDF fileProf. Dr. Ir. Azwar Maas/ Kebakaran Hutan dan Lahan Dr. ... Pada edisi ini disajikan 10 makalah, ... FLOOD DISASTER MITIGATION BENGAWAN SOLO WATERSHED

IKATAN AHLI KEBENCANAAN INDONESIAwww.iabi-indonesia.org

BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANAwww.bnpb.go.id

Diterbitkan oleh:

Bekerjasama dengan: