Upload
phamnhu
View
247
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
JUMLAH SEL SOMATIK SUSU KAMBING PERANAKAN
ETAWAH SETELAH VAKSINASI DENGAN VAKSIN
IRADIASI Streptococcus agalactiae UNTUK
PENCEGAHAN MASTITIS SUBKLINIS
NOVAN EKO KURNIAWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Jumlah Sel Somatik
Susu Kambing Peranakan Etawah setelah Vaksinasi dengan Vaksin Iradiasi
Streptococcus agalactiae untuk Pencegahan Mastitis Subklinis adalah benar karya
saya dengan arahan pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
karya tulis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2016
Novan Eko Kurniawan
NIM B04100090
ABSTRAK
NOVAN EKO KURNIAWAN. Jumlah Sel Somatik Susu Kambing Peranakan
Etawah setelah Vaksinasi dengan Vaksin Iradiasi Streptococcus agalactiae untuk
Pencegahan Mastitis Subklinis Dibimbing oleh SRI ESTUNINGSIH dan BOKY
JEANNE TUASIKAL.
Kambing Peranakan Etawah (PE) merupakan kambing yang dipelihara
untuk memenuhi kebutuhan susu dan daging. Sebagai ternak penghasil susu,
kambing PE juga rentan terhadap mastitis subklinis. Mastitis subklinis sebagian
besar disebabkan oleh Streptococcus agalactiae. Banyak metode yang
dikembangkan untuk melawan mastitis subklinis (meningkatkan higiene sanitasi,
teat dipping, dan vaksinasi). Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui
pengaruh vaksin iradiasi Streptococcus agalactiae terhadap jumlah sel somatik
pada susu kambing PE. Kambing yang digunakan adalah kambing sehat usia
kebuntingan empat sampai lima bulan yang divaksin tiga kali dengan interval 2
minggu. Volume vaksin yang digunakan adalah 2 mL dan mengandung 108
cfu/mL Streptococcus agalactiae yang diiradiasi dengan sinar gamma dengan laju
dosis 112.504 krad/jam dan dosis 17 Gy. Sampel susu yang digunakan diambil
dua kali setelah vaksinasi dengan pengambilan sampel pada minggu kedua setelah
kelahiran. Sampel susu yang diperoleh dilakukan penghitungan Jumlah Sel
Somatik (JSS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa JSS dari sampel 1 lebih
rendah dari sampel 2 dan JSS< 1500000 sel/mL. Meskipun terjadi peningkatan
JSS namun masih berada dalam status normal. Hal ini menunjukkan bahwa vaksin
iradiasi Streptococcus agalactiae berpotensi untuk mencegah kejadian mastitis
subklinis pada kambing yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus agalactiae.
Kata kunci: Vaksin iradiasi, kambing peranakan etawah (PE), Jumlah sel somatik
(JSS), Streptococcus agalactiae.
ABSTRACT
NOVAN EKO KURNIAWAN. Somatic Cell Count of Etawah Cross Breed Goat Post Vaccination with Irradiated Vaccine of Streptococcus agalactiae to Prevent
Subclinical Mastitis, Supervised by SRI ESTUNINGSIH and BOKY JEANNE
TUASIKAL.
Etawah cross breed goat was domesticated to full fill human necessity on
meat and milk. As a dairy milk producer etawah cross breed goat are susceptible
to subclinical mastitis. Subclinical mastitis mostly caused by Streptococcus
agalactiae. Several methode had been developed to combat subclinical mastitis
(promoting sanitation and hygiene, teat dipping, including vaccination). Objective
of this reseach is to know the efectiveness of irradicated vaccine to prevent
subclinical mastitis through somatic cell count. This research used healthy goat in
four to five months pregnancy and were vaccinated three times with interval 2
weeks. The vaccine volume was 2 mL contain 108
cfu/mL Streptococcus agalactiae
iradiated with gamma radiaton with dose rate 112.504 krad/h and doses 17 Gy.
Milk samples in this research were taken twice, two weeks after parturation and
twelve weeks after parturation. The results showed that the SCC (Somatic Cell
Count) from sample 1 lower than the sample 2 and SCC< 1.5 million cells / mL .
This indicates that irradiation of Streptococcus agalactiae vaccine is potencial in
preventing the incidence of subclinical mastitis in goats caused by the bacterium
S. agalactiae by preventing somatic cell desquamation.
Keywords: Irradiation vaccine, etawah cross breed goat, Somatic Cell Count
(SCC), Streptococcus agalactiae.
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
JUMLAH SEL SOMATIK SUSU KAMBING PERANAKAN
ETAWAH SETELAH VAKSINASI DENGAN VAKSIN
IRADIASI Streptococcus agalactiae UNTUK
PENCEGAHAN MASTITIS SUBKLINIS
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
NOVAN EKO KURNIAWAN
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas segala
rahmat-Nya sehingga penelitian ini dapat diselesaikan. Judul yang dipilih dalam
penelitian ini adalah Jumlah Sel Somatik Susu Kambing Peranakan Etawah
setelah Vaksinasi dengan Vaksin Iradiasi Streptococcus agalactiae untuk
Pencegahan Mastitis Subklinis.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Drh Sri Estuningsih, MSi, APVet
dan Dr Drh Boky Jeane Tuasikal, MSi selaku pembimbing. Ungkapan terima
kasih juga disampaikan kepada bapak Mulyono, ibu serta seluruh keluarga, atas
doa dukungan dan kasih sayangnya. Teman teman seperjuangan. Terimakasih
dukungan serta bantuannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2016
Novan Eko Kurniawan
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
LEMBAR PENGESAHAN ii
PRAKATA iii
DAFTAR ISI iv
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Kambing Peranakan Etawah (PE) 2
Mastitis 3
Vaksin Iradiasi Sinar Gamma 4
Jumlah Sel Somatik pada Susu Kambing PE 5
METODE 6
Waktu dan Tempat 6
Alat dan Bahan 6
Pelaksanaan Penelitian 7
Persiapan Bahan 7
Persiapan Hewan 7
Pengambilan Sampel 7
Penghitungan Jumlah Sel Somatik 8
Prosedur Analisis Data 8
HASIL DAN PEMBAHASAN 9
SIMPULAN DAN SARAN 12
Simpulan 12
Saran 12
DAFTAR PUSTAKA 12
RIWAYAT HIDUP 15
DAFTAR TABEL
1 Perbandingan komposisi susu kambing dan susu sapi 3 2 Faktor faktor penyebab peningkatan jumlah sel somatik susu kambing 6 3 Hasil pemeriksaan jumlah sel somatik dalam susu kambing PE 9 4 Hasil CMT pada susu kambing PE 11
DAFTAR GAMBAR
1 Kambing Peranakan Etawah 3
2 Fotomikrograf Streptococcus agalactiae 4 3 Hasil uji CMT sampel D 11
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kambing Peranakan Etawah (PE) merupakan persilangan antara kambing
Kacang dengan kambing Etawah (Sudono dan Abdulgani 2002). Kambing ini
memiliki keunggulan berupa produksi susu yang tinggi (1.5–3.5 liter per ekor per
hari). Susu yang dihasilkan oleh kambing PE memiliki kandungan gizi yang tidak
kalah dengan susu sapi. Keunggulan susu kambing adalah kandungan protein,
kalsium, fosfor, vitamin A, E, dan B kompleks yang tinggi, globul lemak kecil
sehingga mudah tercerna, serta dapat dikonsumsi oleh orang yang alergi susu sapi
(Blakely dan Bade 1991).
Kesehatan ambing penting untuk diperhatikan pada ternak karena berperan
sebagai pabrik yang memproduksi susu. Kambing PE rentan terhadap kejadian
mastitis seperti halnya sapi perah. Berdasarkan temuan klinis, mastitis dibedakan
menjadi dua yaitu mastitis klinis dan subklinis. Mastitis pada kambing
mengakibatkan penurunan produksi susu sekitar 10–25%, peningkatan biaya
pengobatan, penolakan susu di pasaran karena jumlah sel somatik (JSS) lebih
tinggi dari normal dan mengandung patogen (Leitner et al. 2004).
Sel yang melapisi alveol bervariasi penampilannya, tergantung aktivitas
fungsionalnya. Sel berbentuk kuboid saat tidak laktasi dan berbentuk silindris
ketika aktif menghasilkan susu. Sel-sel sekretoris alveol kaya akan ribosom,
kompleks golgi dan droplet lemak serta banyak memiliki vakuol sekretoris (Russo
dan Russo 1996). Sel epitel alveol ini akan terbawa ke dalam susu saat diperah.
Sel epitel yang sehat akan dapat bertahan lebih lama. Reruntuhan sel epitel ini
dalam susu dapat dihitung dan dinyatakan sebagai jumlah sel somatik (JSS) yang
merupakan salah satu parameter kesehatan ambing dan berkaitan dengan mastitis
subklinis (Schalm et al. 1971). Kambing menderita mastitis subklinis apabila JSS
lebih dari 1.500.000 sel/mL (Paape et al. 2001).
Mastitis subklinis secara dini dapat dicegah dengan penerapan manajemen
kesehatan ambing seperti teat dipping, pemerahan secara aseptik, dan penggunaan
antibiotik. Lindahl et al. (2005) menyatakan bahwa pencegahan juga dapat
dilakukan melalui vaksinasi agen penyebab mastitis. Pengembangan terkini
vaksin anti-mastitis subklinis menggunakan vaksin iradiasi sinar gamma. Radiasi
merupakan emisi (pancaran) dan perambatan energi melalui materi atau ruang
dalam bentuk gelombang elektromagnetik atau partikel. Menurut Badan Tenaga
Nuklir Nasional (BATAN) (2008), iradiasi merupakan istilah yang digunakan
untuk aplikasi radiasi. Vaksin iradiasi mampu melemahkan agen patogen tanpa
menghilangkan daya imunogeniknya dan mampu meningkatkan kekebalan pada
hewan yang coba (Tuasikal et al. 2012).
Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang maka rumusan masalah yang mendasari
penelitian ini adalah:
1. Bagaimana gambaran jumlah sel somatik pada susu kambing PE yang
divaksinasi dengan vaksin iradiasi Streptococcus agalactiae?
2
2. Apakah vaksin yang digunakan dapat mencegah kejadian mastitis subklinis
yang disebabkan oleh Streptococcus agalactiae pada kambing PE?
Tujuan Penelitian
Mengetahui pengaruh vaksin iradiasi Streptococcus agalactiae terhadap
jumlah sel somatik pada susu kambing PE.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang
keberhasilan vaksin iradiasi Streptococcus agalactiae untuk mencegah kejadian
mastitis subklinis.
TINJAUAN PUSTAKA
Kambing Peranakan Etawah (PE)
Kambing Peranakan Etawah (PE) merupakan kambing hasil persilangan
antara kambing Kacang dan kambing Etawah. Kambing Etawah berasal dari
Etawah yaitu daerah di antara sungai Yamuna dan Chambal di Provinsi Uttar
Pradesh, India (Sudono dan Abdulgani 2002). Kambing PE (Gambar 1) dapat
melahirkan hingga tiga ekor dalam satu tahun dengan masa kebuntingan antara
150–154 hari dan dewasa kelamin dapat dicapai pada usia empat bulan (Kartinaty
dan Gufroni 2010). Karakteristik kambing PE jantan adalah berbadan besar
dengan tinggi gumba 90–127 cm, bobot mencapai 91 kg sedangkan pada betina
tinggi gumba sekitar 92 cm, bobot lebih ringan daripada jantan (63 kilogram).
Telinga kambing PE terkulai ke bawah dengan panjang berkisar 18–30 cm.
Konformitas dahi dan hidung berbentuk cembung. Menurut Linnaeus (1758)
kambing PE dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mammalia
Ordo : Artiodactyla
Famili : Bovidae
Subfamili : Caprinae
Genus : Capra
Spesies : Capra aegagrus
Subspecies : Capra aegagrus hircus
3
Gambar 1 Kambing Peranakan Etawah
Karakteristik susu kambing PE berwarna putih, globul lemak susu lebih
kecil, protein yang lebih lunak, kandungan kalsium, fosfor, vitamin A, B
kompleks, dan E yang tinggi. Karakteristik paling spesial adalah susu kambing
dapat dikonsumsi oleh orang yang alergi laktosa susu sapi (Blakely and Bade
1991). Laktosa pada susu kambing lebih rendah jika dibandingkan dengan susu
sapi, seperti tertulis pada Tabel 1.
Tabel 1Perbandingan komposisi susu kambing dan susu sapi
Sumber : (Blakely dan Bade 1991)
Mastitis
Mastitis atau radang ambing adalah penyakit yang sering menyerang ternak
penghasil susu. Berdasarkan gejala klinisnya, mastitis dibedakan menjadi mastitis
klinis dan subklinis. Mastitis klinis ditandai dengan pembengkakan ambing (panas
dan mengeras), penurunan produksi, bahkan terkadang susu yang dihasilkan
mengandung darah. Mastitis subklinis tidak menunjukkan gejala klinis yang khas
namun ditandai dengan peningkatan jumlah sel somatik dan ditemukan agen
patogen (Leitner et al. 2004). Kambing menderita mastitis subklinis apabila JSS
lebih dari 1.500.000 sel/mL (Paape et al. 2001).
Mastitis dapat disebabkan oleh berbagai macam jenis agen seperti bakteri,
cendawan, dan virus. Jenis bakteri yang banyak berperan sebagai penyebab
mastitis adalah Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis,
Streptococcus agalactiae, Streptococcus dysgalactiae, Escherichia coli,
Aerobacter aerogenes, dan Klebsiella pneumoniae (Poeloengan 2012). Sementara
itu jenis cendawan yang sering menyebabkan mastitis adalah Candida spp.
(Gholib dan Kusumaningtyas 2008).
Hewan
Air
(%)
Lemak
(%)
Protein
(%)
Laktosa
(%)
Mineral
(%)
Bahan Padat
Tanpa Lemak
(%)
Total
Bahan
Padat (%)
Kambing 87,0 4,25 3,52 4,27 0,86 8,75 13,00
Sapi 87,2 3,70 3,50 4,90 0,70 9,10 12,80
4
S. agalactiae memiliki ciri diplokokus, Gram positif, non-motil, non-spora,
mampu memproduksi kapsul polisakarida, dan mampu bertahan pada inang dalam
temperatur tinggi (Lehmann dan Neumann 1896). S. agalactiae, seperti
ditunjukkan Gambar 2, diklasifikasikan sebagai berikut;
Kingdom : Bacteria
Filum : Firmicutes
Kelas : Bacilli
Ordo : Lactobacillales
Famili : Streptococcaceae
Genus : Streptococcus
Spesies : Streptococcus agalactiae
Sifat antigenik S. agalactiae berasal dari produk ekstraseluler yakni kapsul
polisakarida, protein permukaan, dan protein yang disekresikannya. Komponen
lainnya adalah hemaglutinin yang berperan sebagai adhesin (Wahyuni et al. 2006)
sehingga S. agalactiae dapat menempel pada permukaan epitel mamae.
Gambar 2 Fotomikrograf Streptococcus agalactiae
Sumber: Centers for Disease Control and Prevention (2008)
Vaksin Iradiasi Sinar Gamma
Vaksin adalah suatu suspensi atau substansi mikroorganisme yang
digunakan untuk menginduksi terbentuknya respon imun. Vaksinasi merupakan
suatu usaha untuk meningkatkan imunitas terhadap infeksi mikroorganisme
patogen atau toksinnya. Jenis vaksin yang tersedia di pasaran yakni live vaccine,
killed vaccine, vaksin toxoid, vaksin rekombinan, dan vaksin DNA. Vaksin yang
ideal berasal dari bagian bakteri yang mengandung faktor virulensi seperti kapsul
polisakarida dan protein permukaan yang mampu menggertak sistem imun.
Vaksin yang ideal adalah vaksin dengan imunogenitas yang tidak mudah hilang
(stabil), diperoleh dengan harga yang sesuai, dan harus memenuhi kualitas
keamanan yang telah ditentukan (Radji 2010).
Radiasi adalah suatu emisi (pancaran) dan perambatan energi melalui materi
atau ruang dalam bentuk gelombang elektromagnetik atau partikel. Ada tiga jenis
radiasi yang ada yakni radiasi partikel bermuatan (alpa, beta, proton, dan
elektron), radiasi partikel tidak bermuatan (neutron), dan radiasi gelombang
5
elektromagnetik (sinar X dan sinar gamma). Radiasi yang tidak terkontrol dapat
menyebabkan ionisasi DNA, sehingga memicu mutasi, abortus, peningkatan
resiko terkena penyakit terutama kanker, dan dapat memperpendek umur
(BATAN 2008).
Vaksin iradiasi adalah agen patogen yang dilemahkan menggunakan radiasi
dan masih memiliki faktor virulensi yang tidak membahayakan guna merangsang
kekebalan terhadap agen patogen tersebut. Sinar gamma sedang dikembangkan
untuk membuat vaksin iradiasi. Sinar gamma memiliki efek langsung berupa
pemutusan ikatan antara penyusun sel dan efek tidak langsung yang menyebabkan
gangguan DNA akibat hidrolisis air dan radikal bebas sehingga mengganggu kerja
sel (BATAN 2008).
Jumlah Sel Somatik pada Susu Kambing PE
Kelenjar ambing tersusun dari jaringan parenkim dan stroma (connective
tissue). Parenkim ambing merupakan jaringan sekretori berbentuk kelenjar tubulo-
alveolar yang mensekresikan susu ke dalam lumen alveol. Lumen alveol dibatasi
oleh selapis sel epitel kuboid. Lapisan sel epitel ini dikelilingi oleh sel-sel
myoepitel yang bersifat kontraktil sebagai respon terhadap hormon oksitosin dan
selanjutnya dikelilingi oleh stroma berupa jaringan ikat membrana basalis.
Pembuluh darah dan kapiler terdapat pada jaringan ikat di antara alveol-alveol ini.
Beberapa alveol bersatu membentuk suatu struktur lobulus dan beberapa lubulus
bergabung dalam suatu lobus yang lebih besar. Penyaluran susu dari alveol
sampai ke glandula sisterna melalui suatu sistem duktus yang disebut ductus
lactiferus (Hurley 2000).
Sel-sel sekretoris alveol kaya akan ribosom, kompleks golgi dan droplet
lemak serta banyak memiliki vakuol sekretoris (Russo dan Russo 1996). Alveol
ambing memiliki sel epitel yang bervariasi. Sel akan berbentuk kuboid ketika
tidak laktasi dan akan berbentuk silindris ketika aktif menghasilkan susu. Sel
epitel alveol ini akan terbawa ke dalam susu saat diperah. Sel epitel yang sehat
akan dapat bertahan lebih lama. Reruntuhan sel epitel ini dalam susu dapat
dihitung dan dinyatakan sebagai jumlah sel somatik (JSS) yang merupakan salah
satu parameter kesehatan ambing dan berkaitan dengan mastitis subklinis (Schalm
et al. 1971). Kambing menderita mastitis subklinis apabila JSS lebih dari
1.500.000 sel/mL (Paape et al. 2001). Jumlah sel somatik sering terjadi sebagai
akibat adanya infeksi dari luar saat pemerahan berlangsung (Garnado et al. 2014).
Penyebab peningkatan jumlah sel somatik yaitu inflamasi, non-inflamasi, dan
faktor lain yang dapat dilihat lebih lanjut pada Tabel 2.
6
Tabel 2 Faktor faktor penyebab peningkatan jumlah sel somatik susu kambing Inflamasi Infeksius Bakteri
Virus
Non-infeksius Agen fisik
Agen kimiawi
Non- inflamasi Intrinsik Fraction of milking
Waktu laktasi
Fekuensi laktasi
Fase laktasi
Angka laktasi
Proliferasi
Breed
Tingkat produksi
Panas
Ekstrinsik Cara pemerahan
Pakan
Stress
Musim
Sistem pemeliharaan
Fasilitas
Faktor lain Metode penghitungan
Penanganan dan penyimpanan sampel
Sumber : (Garnado et al. 2014)
METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan mulai tanggal 14 November 2012 sampai 21 Maret
2013. Tempat perlakuan dan pengambilan sampel penelitian dilakukan di
peternakan kambing PE Bangun Dioro Farm, Desa Cijeruk, Kabupaten Bogor.
Pengamatan sel somatik susu dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Bagian
Patologi Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Alat dan Bahan
Bahan yang digunakan adalah 5 ekor kambing PE betina bunting yang sehat
menurut pemeriksaan klinis yang berumur 2 tahun, obat cacing, vaksin iradiasi S.
agalactiae, California Mastitis Test (CMT) test kit, Ultrasonography (USG),
kapas, tisu, pewarna trypan blue, NaCl fisiologis 0.9%, alkohol, dan vitamin B
kompleks. Peralatan yang digunakan adalah tabung penampung susu, vortex,
cover glass, Neubauer chamber, kotak preparat, kandang kambing individu
tertutup, pipet tetes, mikroskop Olympus®, mikropipet, sentrifuse, dan komputer.
7
Pelaksanaan Penelitian
Persiapan Bahan
Penelitian ini menggunakan vaksin iradiasi Streptococcus agalactiae yang
dibuat oleh Balai Tenaga Nuklir Nasional (BATAN). Bahan dasar vaksin adalah
bakteri Streptococcus agalactiae yang berasal dari susu yang menunjukan reaksi
CMT positif. Identifikasi terhadap keberadaan Streptococcus agalactiae
berdasarkan morfologi koloni, morfologi sel bakteri dengan pemeriksaan
makroskopis dan pewarnaan Gram, uji katalase dan keberadaan faktor Cristie,
Atkins dan Muence Petersen (CAMP) pada media agar darah (Quinn et al. 2006;
Tuasikal 2012). Identifikasi Sero-group menggunakan Streptococcal Grouping
Kit (Oxoid®, England). Ekspresi fenotipe Streptokokus Grup B (SGB) in vitro
dilakukan dengan menanam SGB pada media Soft agar (SA) dan media cair Todd
Hewit Broth (THB) untuk diamati pola pertumbuhannya (Wibawan dan Lämmler
1990). Isolat SGB selanjutnya diuji hemaglutinasi menggunakan 1% eritrosit sapi
perah (Wahyuni el al. 2005) kemudian bakteri dengan dosis 108 cfu/mL diiradiasi
dengan sinar gamma dengan laju dosis 112.504 krad/jam dan dosis 17 Gy.
Melalui perlakuan ini diharapkan akan mampu melemahkan S. agalactiae dengan
cara menembus dinding sel bakteri tanpa merusaknya, sehingga bakteri masih
mampu menjalankan metabolisme namun tidak memiliki kemampuan replikasi.
Vaksin yang digunakan sebanyak 2 mL/ekor secara subkutan di daerah gumba
kambing (Tuasikal 2012).
Persiapan Hewan
Kambing yang digunakan dalam penelitian ini adalah kambing PE sebanyak
5 ekor dengan rata-rata umur 2 tahun dan usia kebuntingan 4–5 bulan yang
dibuktikan dengan melalui pemeriksaan kebuntingan menggunakan alat USG.
Kisaran bobot badan kambing yang digunakan adalah 25.5 kg sampai 45.5 kg.
Pretreatment yang dilakukan sebelum perlakuan (pemberian vaksin) adalah
pemberian antibiotik, obat cacing (albendazole 5%), dan vitamin B kompleks.
Pretreatment ini dilakukan sebelum hewan bunting. Hewan diperiksa
kandungannya menggunakan USG dan susu diuji CMT sebelum vaksinasi.
Vaksinasi pertama dilakukan pada minggu ke-15 usia kebuntingan dan dilakukan
booster dengan interval 2 minggu sekali (minggu ke-17 dan minggu ke-19 usia
kebuntingan).
Pengambilan Sampel
Sampel susu diambil dengan teknik pemerahan manual secara aseptis.
Sampel berupa susu dari masing-masing kuartir ambing (kanan dan kiri).
Pengambilan sampel dilakukan 2 kali (minggu ke-2 (sampel 1) dan ke-12 (sampel
2) setelah melahirkan). Volume susu yang diambil sebanyak 10 mL. Susu yang
telah diambil dimasukkan ke dalam tabung penampung sampel susu kemudian
disimpan dalam cooling box. Susu kemudian dibawa ke laboratorium untuk
dilakukan penghitungan sel somatik.
8
Penghitungan Jumlah Sel Somatik
Teknik penghitungan JSS pada penelitian ini menggunakan teknik
Pappenheim (Sarikaya et al. 2005). Sebanyak 5 mL susu disentrifuse pada
kecepatan 1250 rotation per minute (rpm) selama 10 menit. Selanjutnya
supernatan dibuang dengan mengunakan pipet dan sisanya berupa pellet
ditambahkan NaCl 0.9% sampai mencapai 10 mL dan disentrifuse kembali
dengan kecepatan yang sama selama 5 menit. Tahap ini diulangi sekali lagi lalu
pada sentrifus yang ke-3 supernatan dibuang dan pellet yang tersisa dilarutkan
dengan cara dihomogenkan kembali dengan menambahkan NaCl 0.9% sampai
1000 µL. Untuk menghitung jumlah sel yang terdapat dalam pellet, suspensi sel
sebanyak 20 µL ditambah dengan trypan blue 80 µL kemudian dihomogenkan
dengan vortex. Setelah larutan tercampur, sebanyak 10 µL suspensi sel diletakkan
ke ruang hitung Neubauer chamber. Penghitungan dilakukan melalui pengamatan
mikroskop pada perbesaran 10x40. Hasil penghitungan dinyatakan dengan satuan
sel/mL.
Prosedur Analisis Data
Data yang didapatkan berupa jumlah sel somatik pada kuartir kanan dan kiri
dari setiap sampel. Selanjutnya data dianalisis secara deskriptif kualitatif
dibandingkan dengan nilai normal (JSS < 1.500.000 sel/mL) jumlah sel somatik
(Paape et al. 2001).
9
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pemeriksaan jumlah sel somatik dalam susu kambing PE ditunjukan
pada Tabel 3.
Tabel 3 Hasil pemeriksaan jumlah sel somatik dalam susu kambing PE
Nama
Sampel
Kuartir Kiri (sel/mL) Kuartir Kanan (sel/mL) Rataan
Sampel 1 Sampel 2 Sampel 1 Sampel 2
A 398000 384500 235000 315000 333125
B 790000 1100000 540000 940000 842500
C 465000 730000 285000 412000 473000
D 458000 752000 235000 330000 443750
E 382000 800000 560000 720000 615500
Mastitis adalah peradangan kelenjar ambing yang merugikan. Mastitis
mengakibatkan penurunan produksi susu sekitar 10–25%, peningkatan biaya
pengobatan, dan penolakan susu di pasaran karena mengandung patogen (Leitner
et al. 2004). Mastitis ditandai dengan adanya infeksi intramamari (Castel et al.
2010). Jumlah sel somatik (JSS) dapat digunakan sebagai indikator adanya infeksi
intramamari. Sel somatik susu berasal dari sel epitel ambing dan sel darah putih.
Apabila terjadi influx leukosit melalui respon kemotaksis dan diapedesis maka
jumlah sel somatik akan meningkat (Gonzalo et al. 1998).
Mastitis subklinis pada kambing ditandai dengan jumlah sel somatik yang
tinggi. Menurut Paape et al. (2001), mastitis subklinis ditandai dengan JSS >
1.500.000 sel/mL. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum kambing
PE yang telah divaksinasi iradiasi S. agalactiae memiliki nilai JSS < 1.500.000
sel/mL (Tabel 3).
Susu dihasilkan di kelenjar ambing. Kelenjar ambing tersusun dari jaringan
parenkim dan stroma (connective tissue). Parenkim ambing merupakan jaringan
sekretori berbentuk kelenjar tubulo-alveolar yang mensekresikan susu ke dalam
lumen alveol. Lumen alveol dibatasi oleh selapis sel epitel kuboid. Lapisan sel
epitel ini dikelilingi oleh sel-sel myoepitel yang bersifat kontraktil sebagai respon
terhadap hormon oksitosin dan selanjutnya dikelilingi oleh stroma berupa jaringan
ikat membrana basalis. Pembuluh darah dan kapiler terdapat pada jaringan ikat di
antara alveol-alveol ini. Beberapa alveol bersatu membentuk suatu struktur
lobulus dan beberapa lubulus bergabung dalam suatu lobus yang lebih besar.
Penyaluran susu dari alveol sampai ke glandula sisterna melalui suatu sistem
duktus yang disebut ductus lactiferus (Hurley 2000).
Alveol dilapisi oleh bermacam bentuk sel yang disesuaikan dengan keadaan
fungionalnya. Sel akan berbentuk kuboid saat tidak laktasi dan akan berbentuk
silindris ketika aktif menghasilkan susu. Sel epitel alveol ini akan terbawa ke
dalam susu saat diperah. Sel epitel yang sehat akan dapat bertahan lebih lama.
Reruntuhan sel epitel ini dalam susu dapat dihitung dan dinyatakan sebagai
jumlah sel somatik (JSS) yang merupakan salah satu parameter kesehatan ambing
dan berkaitan dengan mastitis subklinis (Schalm et al. 1971). Kambing menderita
mastitis subklinis apabila JSS lebih dari 1.500.000 sel/mL (Paape et al. 2001).
10
Jumlah sel somatik sering terjadi sebagai akibat adanya infeksi dari luar saat
pemerahan berlangsung (Garnado et al. 2014)
Respon JSS tertinggi berasal dari kambing sampel B dengan JSS sebanyak
1100000 sel/mL sedangkan nilai terendah berasal dari sampel A dengan JSS
sebanyak 235000 sel/mL. Hasil ini menunjukkan respon vaksinasi yang berbeda
untuk setiap individu. Dalam penelitian ini faktor individu yang masih belum
dapat diseragamkan adalah tingkat stres dan waktu pengambilan sampel. Stres
dapat meningkatkan JSS secara spontan (Aleandri et al. 1996). Stres dapat terjadi
karena individu pemerah yang berbeda. Pemerah yang berbeda terjadi karena
terbatasnya pekerja dan banyaknya kambing yang harus dirawat oleh pemerah
karena penelitian dilakukan di peternakan perseorangan. Stres menyebabkan
peningkatan sekresi ACTH yang mengakibatkan peningkatan kortisol di dalam
darah. Kadar kortisol dalam darah yang tinggi menyebabkan jumlah leukosit
utamanya neutrofil meningkat melalui pelepasan neutrofil dari sumsum tulang
masuk ke dalam aliran darah dan menghambat migrasi neutrofil dari sirkulasi
darah menuju jaringan (Colville dan Bassert 2008). Peningkatan jumlah neutrofil
dalam darah juga akan meningkatkan jumlah neutrofil dalam susu sehingga JSS
meningkat. Waktu pengambilan sampel akan mempengaruhi JSS. Susu kambing
pemerahan malam hari memiliki nilai JSS 17-78% lebih tinggi daripada susu dari
pemerahan pagi hari (Cedeen et al. 2008). Hal ini dapat terjadi karena perubahan
tekanan intra-alveolar dan diapedesis leukosit ke dalam lumen asinar. Produksi
susu pagi hari lebih tinggi sehingga tekanan intramamari menyebabkan penurunan
perpindahan leukosit dari pembuluh darah ke susu sehingga nilai JSS lebih
rendah. Pengambilan susu dilakukan pada pagi dan sore hari.
Secara umum nilai JSS semakin meningkat pada sampling 1 dan 2 baik pada
ambing kuartir kiri maupun ambing kuartir kanan. Penurunan hanya terjadi pada
sampel A pada kuartir ambing kiri. Peningkatan nilai JSS terkait dengan periode
laktasi. Secara fisiologi kambing memiliki nilai SCC yang cenderung meningkat
sejalan dengan periode lakstasi (Poutrel et al. 1997). Paape et al. (2007)
menjelaskan bahwa pada periode awal laktasi memiliki volume susu yang tinggi
sehingga JSS yang didapatkan rendah. Pada akhir laktasi susu memiliki
konsentrasi lebih rendah sehingga nilai JSS juga lebih rendah. Hal ini
menunjukkan bahwa produksi susu berbanding terbalik dengan nilai JSS.
Perbandingan nilai JSS pada kuartir ambing kiri dan kanan menunjukkan
nilai JSS kuartir ambing kiri lebih tinggi dibanding kuartir ambing kanan.
Perbedaan ini menunjukkan adanya perbedaan respon pada kuartir ambing.
Kuartir disekat oleh ligamentum suspensorium yang tidak memungkinkan
perpindahan agen penyebab mastitis secara langsung tanpa perantara luar. Nilai
JSS kuartir ambing kiri dan kanan masih berada pada nilai normal mastitis
subklinis (Tabel 3). Pengambilan sampel pada kuartir ambing kiri dan kanan
dimaksudkan untuk melihat kejadian mastitis per kuartir (Sori et al. 2005).
Secara keseluruhan hasil menunjukkan vaksin iradiasi S. agalactiae mampu
untuk mencegah infeksi agen tersebut dalam menyebabkan mastitis. Hal ini
ditunjukkan dengan nilai JSS < 1.500.000 sel/mL (Paape et al. 2001). Penelitian
ini sejalan dengan penelitian Tuasikal et al. (2012) yang menunjukkan konsentrasi
Ig-G pada kambing PE yang divaksin lebih tinggi daripada kambing PE yang
tidak divaksin.
11
Penghambatan kejadian mastitis subklinis juga dilakukan dengan pengujian
mastitis menggunakan uji California Mastitis Test (CMT). Hasil uji CMT dapat
dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Hasil CMT pada susu kambing PE
Nama Sampel Hasil Uji CMT
Sebelum Vaksinasi Setelah Vaksinasi
A Negatif Negatif
B Negatif Negatif
C Negatif Negatif
D Negatif Negatif
E Negatif Negatif
Hasil uji CMT pada penelitiannya menunjukkan hasil negatif mastitis
subklinis. Salah satu contoh hasil uji CMT dapat dilihat pada Gambar 3. Selain
itu, kondisi fisik hewan setelah vaksinasi secara umum tidak menunjukkan
kelainan yang didukung dengan nafsu makan yang tidak berkurang, lincah, dan
mampu menyusui anaknya. Hasil perlakuan penelitian ini dibandingkan dengan
data menurut Paape et al. (2001) bahwa kambing yang mengalami mastitis
subklinis memiliki JSS ≥ 1.500.000 sel/mL karena hewan kontrol mengalami
keguguran dan kematian karena mengandung lebih dari 2 anak.
Gambar 3 Hasil uji CMT sampel D
12
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Jumlah sel somatik pada susu kambing PE yang divaksinasi iradiasi S.
agalactiae memiliki rataan 541.575 sel/mL yang berada di nilai normal (JSS <
1.500.000 sel/mL). Pengujian susu menggunakan CMT menunjukan hasil negatif.
Hal ini menunjukkan bahwa vaksin iradiasi S. agalactiae berpotensi untuk
mencegah kejadian mastitis subklinis pada kambing yang disebabkan oleh bakteri
S. agalactiae.
Saran
Perlu dilakukan diferensiasi sel somatik susu untuk mengetahui jenis sel
somatik dalam susu, penyeragaman waktu pengambilan sampel, dan pengukuran
kadar kortisol darah untuk mengetahui tingkat stres ternak.
DAFTAR PUSTAKA
Aleandri MA, Fagiolo P, Calderini R, Colafrancesco G, Giangolini R, Rosati, De
Michelis F. 1996. Studies conducted on somatic cells counts of goats milk.
In: Somatic cells and milk of small ruminants (Rubino R, ed). Wageningen
Pr.77: 65-70.
[BATAN] Badan Tenaga Nuklir Nasional (ID). 2008. Dasar–dasar Fisika
Radiasi. Jakarta (ID): Pusat Pendidikan dan Pelatihan Badan Tenaga
Nuklir Nasional.
Blakely J, Bade D. 1991. The Science of Animal Husbandary. U.S.A: Prantice-
Hall
Castel JM, Ruiz FA, Mena Y, Sánchez-Rodríguez M, 2010. Present situation and
future perspectives for goat production systems in Spain. Small Rumin Res
89(2-3): 207-210.
Cedeen F, Kaya SO, Daskiran I, 2008. Somatic cell, udder and milk yield in goat.
Rev Med Vet 159(4): 237-242.
Centers for Disease Control and Prevention [CDC]. Diseases Agents: Photos and
Illustraions. Tersedia pada: http://www.cdc.gov/media/subtopic/library/
DiseaseAgents/img39.jpg.
Colville TP, Bassert JM. 2008. Clinical Anatomy and Physiology Laboratory
Manual for Veterinary Technicians. St. Louis (US): Elsevier.
Gholib D, Kusumaningtyas E. 2008. Mastitis Mikotik. Semiloka Nasional
Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020 Balai
Besar Penelitian Veteriner, Bogor.
Granado RJ, Rodriguez MS, Arce C, Estevez VR. 2014. Factors affecting somatic
cell count in dairy goats: a review. Spanish Journal of Agricultural
Research 2014. 12(1): 133-150
13
Gonzalo C, Martínez JR, San Primitivo F. 1998. Significación y métodos de
valoración del recuento celular en la leche de oveja. Ovis 56: 13-25.
Hurley WL. 2000. Mammary tissue organization. Lactation Biology. ANSCI 308.
http://classes aces.uiuc.edu/Ansci 308/. [13-01-2014]
Kartinaty T, Gufroni LM. 2010. Budidaya Kambing Peranakan Etawah.
Kalimantan Barat : Balai Pengkajian Tekhnologi Pertanian Kalimantan
Barat.
Lehmann, KB, Neumann, R. Atlas und Grundriss der Bakeriologie und Lehrbuch
der speziellen bakteriologischen Diagnositk. 1st Ed., (1896) J.F. Lehmann,
Munchen.
Leitner G, Merin U, Silanikove N. 2004. Changes in milk composition as affected
by subclinical mastitis in goats. J Dairy Sci. 87:1719–1726.
Lindahl, Stalhammar-Carlemalm GM, Areschoug T. 2005. Surface protein of
Streptococcus agalactiae and related proteinin other bacterial pathogen.
Clinical microbiologi reviews. [diunduh 2014 Februari 15]; 18(1): 102-
107. Tersedia pada: http://www.microbewiki.kenyon.edu
Paape MJ, Poutrel B, Contreras A, Marco JC, Capuco AV. 2001. Milk somatic
cells and lactation in small ruminants. J Dairy Sci 84: 237-244.
Paape MJ, Wiggans GR, Bannerman DD, Thomas DL, Sanders AH, Contreras A,
Moroni P, Miller RH. 2007. Monitoring goat and sheep milk somatic cell
counts. Small Rumin Res 68(1-2): 114-125.
Poeloengan M. 2012. Aktivitas air perasan dan ekstrak etanol daun encok
terhadap bakteri yang diisolasi dari sapi mastitis subklinis. JITV. 17(4).
Poutrel B, De Crémoux R, Ducelliez M, Verneau D. 1997. Control of
intramammary infections in goats, impact on somatic cell counts. J Anim
Sci 75(2): 566-570.
Quinn PJ, Markey BK, Carter MF, Donnelly WJC, Leonard FC. 2006. Veterinary
Microbiology and Microbial Disease. Section II Pathogenic Bacteria:
Streptococci. pp: 49-54. Blackwell Science Asia Pty.Ltd. Victoria.
Australia
Radji M. 2010. Imunologi dan Virologi. Jakarta (ID): Isfi Penerbitan.
Russo IH, Russo J. 1996. Mammary Gland Neoplasia in Long-term Rodent
Studies. Eviron Health Perpect. 104: 938-967.
Sarikaya H, Werner-Misof C, Atzkern M, Bruckmaier RM. 2005. Distribution of
leucocyte populations, and milk composition in milk fractions of healthy
quarters in dairy cows. J. Dairy Res. 72: 489–492.
Schalm OW, Carroll EJ, Jain NJ. 1971. Bovine Mastitis. Philadelphia(US): Lea &
Febiger.
Sori H, Zerihum A, Abdicho S. 2005. Dairy cattle mastitis in and around Sabeta,
Ethiopia. Int J Appl Res Vet Med. 3:332-338.
Sudono A, Abdulgani I K. 2002. Budidaya Aneka Ternak Perah. Diktat Jurusan
Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.
Tuasikal BJ, Estuningsih S, Pasaribu FH, Wibawan IWT. 2012. Orientasi dosis
iradiasi Sterptococcus agalactiae untuk bahan vaksin mastitis subklinis
pada sapi perah. A Sci Journal for The Applications of Isotopes and
Radiation. 8(2):83–88.
14
Wahyuni AETH, Wibawan IWT, Wibowo MH. 2005. Karakteristik hemaglutinin
Streptococcus agalactiae penyebab mastitis subklinis sapi perah. J Sain
Vet 23(2): 79-86.
Wahyuni AETH, Wibawan IWT, Pasaribu FH, Priyosoeryanto BP. 2006.
Disyribusi serotipe Streptococcus agalactiae penyebab mastitis subklinis
pada sapi perah di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. J Vet 7(1)
Wibawan IWT, Lammler C. 1990. Properties of group B Streptococci with protein
surface antigens X and R. J Clin Microbiol 28(12): 2834-2836.
15
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Wonosobo pada tanggal 15 November 1991 dari pasangan
orang tua Mulyono dan Kusminarti. Penulis telah menyelesaikan pendidikan di
SD N 2 Wonosobo tahun 2004, SMP N 2 Wonosobo tahun 2007, dan SMA N 2
Wonosobo tahun 2010. Tahun 2010 penulis masuk sebagai mahasiswa Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Seleksi
Mahasiswa IPB (USMI).
Selama masa perkuliahan, penulis aktif menjadi pengurus di Himpunan
Minat dan Profesi Ruminansia sebagai ketua periode 2012-2013, pengurus di
Ikatan Mahasiswa Wonosobo di IPB sebagai ketua periode 2011-2013. Selama
menjadi mahasiswa IPB, penulis aktif menjadi panitia dan berbagai kegiatan
lingkungan hidup. Penulis pernah menjadi panitia dalam acara Ruminers Goes to
Field dengan tema Susu dan Daging Sehat Cerdaskan Rakyat (2013), panitia
(kesekretariatan) dan wakil koordinator wilayah (Jakarta Timur) dalam kegiatan
Pemeriksa Kesehatan Hewan Kurban dalam Rangka Idul Adha 1435 H/ 2014 M,
panitia dalam Pelatihan Penyediaan Hewan dan Daging Kurban yang ASUH serta
Sosialisasi Penyakit Zoonosa pada Hewan Kurban (2014), panitia dalam Focus
Group Discussion (FGD) Membangun Jejaring Informasi Pengendalian Penyakit
Zoonosis pada Satwa Liar (2014), peserta dalam kegiatan IPB Goes to Field 2013
dengan tema Swasembada Daging Melalui Sistem Pertanian Terpadu di
Kabupaten Bondowoso, dan peserta magang di BET Cipelang (2012).