86
PERFORMA KAMBING PERANAKAN ETAWAH MUDA DAN PRODUKTIVITAS INDUK LAKTASI DENGAN SISTEM PEMBERIAN PAKAN YANG BERBEDA DI LAHAN PASCA GALIAN PASIR SKRIPSI EUIS WIDANINGSIH DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

PERFORMA KAMBING PERANAKAN ETAWAH MUDA DAN … · Penulis juga menjadi anggota Organisasi Mahasiswa Daerah ... WAPEMALA dan asisten praktikum mata kuliah Metodologi Penelitian dan

Embed Size (px)

Citation preview

i

PERFORMA KAMBING PERANAKAN ETAWAH MUDA DAN

PRODUKTIVITAS INDUK LAKTASI DENGAN SISTEM

PEMBERIAN PAKAN YANG BERBEDA

DI LAHAN PASCA GALIAN PASIR

SKRIPSI

EUIS WIDANINGSIH

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN

FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

i

RINGKASAN

Euis Widaningsih. D14080222. 2012. Performa Kambing Peranakan Etawah

Muda dan Produktivitas Induk Laktasi dengan Sistem Pemberian Pakan yang

Berbeda di Lahan Pasca Galian Pasir. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan

Teknologi Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Muhamad Baihaqi, S.Pt., M.Sc.

Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Asnath Maria Fuah, M.S.

Kambing Peranakan Etawah (PE) merupakan kambing dwiguna, yakni

sebagai penghasil susu dan daging. Kambing PE muda jantan yang sedang dalam

fase pertumbuhan sangat penting diperhatikan oleh peternak untuk meningkatkan

nilai jualnya. Pertumbuhan ternak muda dapat dilihat dari Peningkatan Bobot Badan

Hariannya (PBBH) yang cukup tinggi. Sementara induk laktasi juga sangat penting

untuk diperhatikan terutama dalam pemenuhan kebutuhan energi dan protein salah

satunya untuk menghasilkan produksi susu yang optimal. Performa ternak selain

dilihat dari faktor genetiknya juga bisa dari pengaruh lingkungan dan interaksi dari

genetik dan lingkungan.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari performa kambing PE

muda dan produktivitas induk laktasi yang dipelihara di lahan pasca galian pasir

dengan menggunakan jenis pakan dan waktu pemberian yang berbeda. Penelitian

mengenai performa ternak menggunakan 12 ekor ternak yang berjenis kelamin jantan

dengan dua faktor perlakuan. Perlakuan pertama adalah perbedaan waktu pemberian

pakan (W1 = 08.00 WIB dan 16.00 WIB serta W2 = 14.00 WIB dan 16.00 WIB).

Perlakuan kedua adalah perbedaan pakan (P1 = 100 gram/ekor/hari konsentrat

ditambah hijauan dan P2 = hijauan). Peubah yang diamati adalah konsumsi pakan,

konsumsi kandungan nutrisi pakan, PBBH, efisiensi pakan dan Income Over Feed

Cost (IOFC). Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif kecuali untuk PBBH

dianalisis dengan rancangan acak lengkap pola dua arah. Penelitian selanjutnya

mengenai produktivitas induk laktasi menggunakan 15 ekor ternak betina dewasa

pada laktasi ke-2 dan ke-3. Perlakuan pada penelitian ini terdiri atas P1 (hijauan) dan

P2 (hijauan ditambah pakan tambahan berupa limbah industri pangan). Peubah yang

diamati adalah konsumsi pakan, konsumsi kandungan nutrisi pakan, produksi dan

kualitas susu. Data konsumsi pakan dan konsumsi kandungan nutrisi pakan dianalisis

secara deskriptif sedangkan produksi dan kualitas susu dianalisis dengan uji t, yakni

dengan membandingkan sebelum dan setelah pemberian pakan tambahan yang

dilakukan.

Hasil penelitian mengenai performa ternak muda menunjukkan bahwa

dengan perlakuan pakan P1 dan diberikan pada W1 mampu meningkatkan bobot

badan harian ternak kambing jantan nyata lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan

ternak kambing jantan yang hanya diberikan perlakuan pakan P2 pada waktu

pemberian W2. Hasil PBBH yang paling tinggi yakni interaksi antara P1 dan W1

(74,41 gram/ekor/hari) sedangkan yang terendah adalah interaksi antara P2 dan W2

(38,6 gram/ekor/hari). Pemberian pakan pada perlakuan P1 pada waktu pemberian

W1 efektif dalam meningkatkan nilai IOFC sebesar Rp. 249.666 dibandingkan

dengan P2 pada waktu W2 yang biasa dilakukan oleh peternak hanya mampu

menghasilkan pendapatan sebesar Rp. 122.267. Selanjutnya, penelitian mengenai

ii

produktivitas induk laktasi menunjukkan bahwa dengan pemberian pakan tambahan

limbah industri pangan berupa ampas tahu dan kulit kacang kedelai mampu

meningkatkan kualitas susu ternak kambing yaitu: bahan kering susu sangat nyata

lebih tinggi (P<0,01) sedangkan lemak dan protein susu nyata lebih tinggi (P<0,05)

dengan penambahan bahan pakan. Kandungan Bahan Kering Tanpa Lemak (BKTL),

laktosa dan berat jenis tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P>0,05)

setelah adanya pemberian pakan tambahan pada ternak kambing PE induk laktasi.

Produksi susu juga memperlihatkan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05) setelah

adanya pemberian limbah industri pangan.

Kata-kata kunci : Bobot badan, produksi susu, Peranakan Etawah, lahan pasca galian

pasir

iii

ABSTRACT

Performance of Young Peranakan Etawah Goat and Lactation Productivity

of Etawah Ewe With Different Feeding Systems

On Sand Post-mining Land

Widaningsih, E., M. Baihaqi. and A. M. Fuah

This study aimed to examine the effect of different feeding systems on post-mining

of sand land performance of young Peranakan Etawah goat and lactation productivity

of Etawah ewe The study used 12 goats (12,592 ± 1,326 kg) within 3-6 months of

age. There were two factor of treatment. Treatment one was differences of eating

time (W1 = 08.00 a.m to 04.00 p.m and W2 = 02.00 p.m to 04.00 p.m). Treatment

two was type of feed (P1 = 100 g/day concentrate and forage, P2 = forage). Protein

content of concentrate was 19,32% and forage affered ad libitum. The data were

analyzed descriptevely for dry matter intake, feed eficiency and Income Over Feed

Cost (IOFC) but the method for daily Body Weight Gain (BWG) used in this study

was 2x2 factorial completely randomized design. The results showed that BWG of

goats was significantly different among treatment (P<0,01). There was interaction

betwent W & P trial. Daily BWG was significantly higher in trial W1 and P1 as well

as IOFC with average daily BWG is 74,41 ± 11,89 and IOFC is Rp. 249.666,67.

Subsequent study on the lactation productivity Etawah ewe of different feeding

systems. This study used 15 goats within 10 goats in lactation two and 5 goats in

lactation three. Treatment was differences type of feed (P1 = forage, P2 = forage and

food industry waste). The data feed consumption were analyzed descriptevely. Data

production and milk quality were analyzed using t test. Dry matter of milk was very

significant higher (P<0,01) in ration added food industry waste than ration without

food industry waste adition, while protein content and fat in milk was significant

(P<0,05).

Keywords : Weight, milk production, Peranakan Etawah, sand post-mining land

iv

PERFORMA KAMBING PERANAKAN ETAWAH MUDA DAN

PRODUKTIVITAS INDUK LAKTASI DENGAN SISTEM

PEMBERIAN PAKAN YANG BERBEDA

DI LAHAN PASCA GALIAN PASIR

EUIS WIDANINGSIH

D14080222

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN

FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

v

Judul : Performa Kambing Peranakan Etawah Muda dan Produktivitas Induk

Laktasi dengan Sistem Pemberian Pakan yang Berbeda di Lahan Pasca

Galian Pasir

Nama : Euis Widaningsih

NIM : D14080222

Menyetujui,

Pembimbing Utama,

(Muhamad Baihaqi, S.Pt, M.Sc.)

NIP.19800129 200501 1 005

Pembimbing Anggota,

(Dr. Ir. Asnath M Fuah, M.S.)

NIP.19541015 197903 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen,

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.)

NIP.19591212 198603 1 004

Tanggal Ujian : Tanggal Lulus :

vi

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 2 November 1990 di Kota Sumedang,

Provinsi Jawa Barat. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan

Ayahanda Cece dan Ibunda Uwang Ewarni.

Pendidikan penulis dimulai dengan bersekolah di Taman Kanak-Kanak (TK)

BPP Sekar Manis Kabupaten Sumedang pada tahun 1994-1996. Tahun 1996 penulis

melanjutkan di Sekolah Dasar (SD) Negeri Cikekes Kabupaten Sumedang dan

diselesaikan pada tahun 2002. Penulis melanjutkan Sekolah Menengah Pertama

(SMP) Negeri 1 Situraja Kabupaten Sumedang tahun 2002 dan diselesaikan tahun

2005. Penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri Situraja

Kabupaten Sumedang pada Tahun 2005 dan diselesaikan tahun 2008.

Penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Produksi dan

Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui

Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) tahun 2008. Selama mengikuti pendidikan di

perguruan tinggi, penulis pernah aktif dibeberapa Unit Kegiatan Mahasiswa, yaitu:

Himpunan Mahasiswa Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (HIMAPROTER)

periode 2010-2011 sebagai wakil sekretaris dan periode 2011-2012 sebagai staf

anggota divisi ruminan. Penulis juga menjadi anggota Organisasi Mahasiswa Daerah

(OMDA) WAPEMALA dan asisten praktikum mata kuliah Metodologi Penelitian

dan Rancangan Percobaan. Penulis pernah melaksanakan kegiatan magang di

Kelompok Ternak Sapi Perah KSU Tandang Sari dan Dinas Peternakan Kabupaten

Sumedang. Selama pendidikan penulis menerima beasiswa Bank Jabar pada tahun

2008, beasiswa BBM pada tahun 2009-2011 dan beasiswa GENKSI Social

Foundation pada tahun 2011-2012. Prestasi non-akademik yang pernah diraih oleh

penulis selama mengikuti pendidikan di IPB yaitu lolos dalam Program Kreativitas

Mahasiswa (PKM bidang Pengabdian pada Masyarakat) yang didanai dari DIKTI

tahun 2012 dan menjadi peserta PIM IPB tahun 2012.

vii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat

dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian dan

menyelesaikan skripsi dengan judul “Performa Kambing Peranakan Etawah

Muda dan Produktivitas Induk Laktasi dengan Sistem Pemberian Pakan yang

Berbeda di Lahan Pasca Galian Pasir” dengan baik. Tak lupa shalawat serta salam

penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Beberapa hal yang mendasari dilakukannya penelitian ini adalah 1)

keberadaan kambing yang dipelihara di lahan bekas galian pasir merupakan suatu

kondisi yang jarang ditemukan, 2) kambing perah merupakan ternak dengan

karakteristik mudah dipelihara, mampu beradaptasi dengan lingkungan yang kurang

menguntungkan, cepat berkembang biak dan efisien dalam penggunaan pakan serta

3) keberadaan kambing di lahan galian pasir mampu mereklamasi lahan menjadi

lebih baik sehingga keberadaan kambing harus diperhatikan baik bagi peternak

maupun lingkungan sekitar.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari performa kambing Peranakan

Etawah (PE) muda dan produktivitas induk laktasi yang dipelihara di lahan pasca

galian pasir dengan menggunakan pakan yang berbeda. Serta mengidentifikasi pola

pemberian pakan dan pengaruhnya terhadap performa produksi kambing PE.

Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun sehingga skripsi ini

menjadi lebih baik lagi. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi

penulis khususnya dan pembaca umumnya.

Bogor, Juli 2012

Penulis

viii

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN i

ABSTRACT iii

LEMBAR PERNYATAAN iv

LEMBAR PENGESAHAN v

RIWAYAT HIDUP vi

KATA PENGANTAR vii

DAFTAR ISI viii

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN xii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan 2

TINJAUAN PUSTAKA 3

Reklamasi Lahan Tambang 3

Kambing Peranakan Etawah (PE) 5

Produktivitas Kambing PE 6

Karekteristik Reproduksi Kambing Betina 8

Produksi dan Kualitas Susu Kambing 9

Jenis dan Cara Pemberian Pakan 10

Performa Produksi Ternak Kambing 13

Potensi Ekonomi Kambing Peranakan Etawah 15

Manajemen Pemeliharaan 16

Penyakit dan Penanganan Kesehatan 16

MATERI DAN METODE 18

Lokasi dan Waktu Penelitian 18

Materi 18

Ternak 18

Pakan 18

Kandang 20

Peralatan 21

Prosedur 21

Performa Kambing PE Muda 21

Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH)............... 22

Konsumsi Pakan 22

Kualitas Pakan............................................................. 22

Efisiensi Pakan............................................................ 22

ix

Income Over Feed Cost (IOFC).................................. 22

Produktivitas Induk Laktasi 22

Konsumsi Pakan 23

Kualitas Pakan 23

Produksi Susu 23

Kualitas Susu 23

Income Over Feed Cost (IOFC) 24

Rancangan dan Analisis Data 24

Performa Kambing PE Muda 24

Produktivitas Induk Laktasi 26

HASIL DAN PEMBAHASAN 27

Keadaan Umum Peternakan Kambing Perah di Sumedang 27

Sejarah Pengembangan Kambing di Cimalaka 29

Sistem Pemeliharaan Terintegrasi 32

Performa Kambing PE Muda 35

Konsumsi Bahan Kering 39

Konsumsi Kandungan Nutrisi Pakan 41

Efisiensi Pakan 45

Income Over Feed Cost (IOFC) 47

Produktivitas Induk Laktasi 48

Konsumsi Bahan Kering 50

Konsumsi Kandungan Nutrisi Pakan 52

Produksi Susu 54

Kualitas Susu 56

Income Over Feed Cost (IOFC) 62

KESIMPULAN DAN SARAN 64

Kesimpulan 64

Saran 64

UCAPAN TERIMA KASIH 65

DAFTAR PUSTAKA 67

LAMPIRAN 72

x

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Persyaratan Kuantitatif Kambing PE Jantan................................ 7

2. Persyaratan Kuantitatif Kambing PE Betina................................ 7

3. Kebutuhan Nutrisi Ternak Kambing............................................ 13

4. Bobot Badan Kambing PE pada Berbagai Sistem Pemeliharaan. 14

5. Komposisi Kimia Pakan Penelitian.............................................. 19

6. Rataan Suhu dan Kelembaban Selama Pengamatan di Dalam

Kandang........................................................................................ 28

7. Rataan PBBH Berdasarkan Pakan dan Waktu Pemberian yang

Berbeda......................................................................................... 36

8. Konsumsi Bahan Kering, Efisiensi Pakan dan IOFC

Berdasarkan Pakan dan Waktu Pemberian yang Berbeda....... 40

9. Rataan Konsumsi Kandungan Nutrisi Pakan (Protein Kasar,

Serat Kasar, Lemak Kasar dan Beta-N) Berdasarkan

Pakan dan Waktu Pemberian yang Berbeda................................. 43

10. Konsumsi Harian Bahan Kering dan Kandungan Nutrisi

Kambing PE.................................................................................. 50

11. Produksi dan Kualitas Susu Kambing Peranakan Etawah............ 54

xi

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Kambing PE Muda..................................................................... 5

2. Kambing PE Betina Dewasa...................................................... 9

3. Kaliandra, Piper Aduncum dan Konsentrat .............................. 18

4. Kulit Kacang Kedelai dan Ampas Tahu..................................... 19

5. Rumput Gajah dan Gamal.......................................................... 19

6. Kandang PE Jantan Muda.......................................................... 20

7. Kandang PE Induk Laktasi......................................................... 21

8. Letak Penelitian.......................................................................... 27

9. Kondisi Lahan Sebelum Reklamasi........................................... 30

10. Reklamasi dengan Tanaman Gamal dan Reklamasi dengan

Buah Naga.................................................................................. 31

11. Budidaya Buah Naga.................................................................. 33

12. Grafik Nilai Rataan PBBH......................................................... 37

13. Grafik Rataan Konsumsi Bahan Kering..................................... 41

14. Grafik Rataan Efisiensi Pakan.................................................... 46

15. Grafik Nilai Rataan IOFC.......................................................... 47

16. Grafik Konsumsi Bahan Kering................................................. 51

17. Grafik Produksi Susu Kambing PE............................................ 55

18. Grafik Berat Jenis pada Susu Kambing...................................... 57

19. Grafik Bahan Kering pada Susu Kambing................................. 58

20. Grafik Kandungan Protein pada Susu Kambing........................ 59

21. Grafik Kandungan Lemak pada Susu Kambing......................... 60

22. Grafik Kandungan BKTL pada Susu Kambing......................... 61

23. Grafik Kandungan Laktosa pada Susu Kambing....................... 61

24. Grafik Rataan IOFC Susu Kambing........................................... 63

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Hasil Analisis Ragam PBBH Kambing PE Muda........................ 73

2. Hasil Uji t Produksi dan Kualitas Susu Kambing Peranakan

Etawah.......................................................................................... 73

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pemeliharaan kambing perah merupakan alternatif usaha ternak penghasil

susu disamping sapi perah dalam pemenuhan kebutuhan susu di Indonesia. Anak

kambing perah jantan yang tidak dijadikan bibit bisa dijadikan sumber pemenuhan

kebutuhan produk daging. Kambing perah merupakan ternak dengan karakteristik

mudah dipelihara, mampu beradaptasi dengan lingkungan yang kurang

menguntungkan, cepat berkembang biak dan efisien dalam penggunaan pakan. Jenis

kambing perah di Indonesia umumnya adalah Peranakan Etawah (PE), yang

merupakan hasil persilangan antara kambing Etawah dengan kambing kacang,

dengan karakteristik fisik mirip kambing Etawah.

Populasi kambing di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2007 adalah 1.294.453

ekor, khusus untuk wilayah Kabupaten Sumedang total populasi kambing adalah

33.224 ekor (BPS Provinsi Jawa Barat, 2008) yang tersebar di beberapa kecamatan

yang berada di Kabupaten Sumedang. Kambing PE terpusat di Kecamatan Cimalaka

dengan jumlah ternak 650 ekor. Masyarakat umumnya memelihara ternak hanya

sebagai usaha sampingan untuk menghasilkan daging disamping usaha pokoknya

yaitu bertani. Kambing yang dipelihara untuk produksi susu jumlahnya hanya sedikit

dan terpusat di Kelompok Ternak Simpay Tampomas dengan jumlah ternak 52,8 %

dari total populasi di wilayah Kecamatan Cimalaka.

Pemeliharaan ternak kambing PE di Kelompok Ternak Simpay Tampomas

Sumedang dilakukan di lahan marjinal pasca galian pasir. Usaha ini dilakukan untuk

memperbaiki kondisi lahan rusak setelah kegiatan penambangan melalui pupuk yang

dihasilkan dan juga mampu menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat.

Upaya untuk mencukupi kebutuhan pakan ternak kambing di kelompok tersebut

dilakukan penanaman gamal (Gliricidia sepium) dan kaliandra (Calliandra

calothyrsus) yang mampu hidup pada lahan marjinal serta mampu memperbaiki

lahan tersebut. Tanaman tersebut mampu hidup pada tanah tandus dan gersang serta

pada tanah berbatu seperti pada lahan marjinal pasca galian pasir.

Cara pemberian pakan yang dilakukan oleh peternak tidak teratur karena

sangat tergantung pada ketersediaan pakan dengan waktu luang peternak.

Peningkatan daya cerna suatu bahan makanan dapat dilakukan melalui pemberian

2

kesempatan yang lebih lama lagi bagi mikroorganisme dalam rumen untuk mengurai

zat makanan yang dikonsumsinya. Waktu ideal yang diberikan peternak untuk

pemberian pakan yakni 7-10 jam (Padang, 2005). Peternak jarang memberikan pakan

tambahan untuk ternak mereka. Pakan tambahan lain tidak diberikan karena

keterbatasan dana yang dialami oleh peternak. Padahal kambing perah induk laktasi

yang diberikan hijauan saja hanya mencukupi kebutuhan hidup pokoknya dengan

produksi yang rendah. Oleh karena itu perlu diberikan sejumlah konsentrat untuk

mencapai produksi susu yang tinggi.

Kelompok Ternak Simpay Tampomas sebagai pusat dari peternakan kambing

PE di Kabupaten Sumedang memiliki peranan yang sangat penting dalam

keberlangsungan usaha ternak kambing di daerah ini terutama dalam penyediaan

produk ternak yakni daging dan susu. Ternak kambing muda diharapkan meningkat

performanya melalui peningkatan bobot badan atau kecepatan tumbuh ternak untuk

mencapai bobot badan yang dapat dipasarkan. Kambing induk laktasi diharapkan

meningkat performanya melalui peningkatan produksi susu dan kualitas susu yang

dihasilkan. Produksi susu yang dihasilkan kambing sangat beragam, dipengaruhi

oleh: faktor bangsa, ketinggian tempat dan tatalaksana pemeliharaan yaitu kandang,

pakan, pemerahan, penanganan reproduksi dan penyakit.

Salah satu faktor yang mempengaruhi rendahnya performa ternak adalah

kualitas nutrisi bahan pakan tersebut terutama rendahnya kandungan protein dan

serat sehingga laju pertumbuhan lambat dan pertambahan bobot hidup rendah pada

kambing muda (Zurriyati, 2005) sedangkan pada kambing laktasi terlihat dari adanya

penurunan produksi susu. Salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas ternak

dapat dilakukan dengan memperbaiki manajemen termasuk manajemen

pemeliharaan, penentuan jenis, jumlah dan waktu pemberian pakan pada ternak.

Kebutuhan pakan sangat penting diperhatikan karena sangat diperlukan untuk

memenuhi kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan, produksi dan reproduksi.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari performa kambing PE

muda dan produktivitas induk laktasi yang dipelihara di lahan pasca galian pasir

dengan menggunakan jenis pakan dan waktu pemberian yang berbeda.

3

TINJAUAN PUSTAKA

Reklamasi Lahan Tambang

Lahan merupakan sumberdaya yang sangat penting karena merupakan

komponen dasar dari lingkungan alam. Pemanfaatan lahan yang tidak mengindahkan

aspek lingkungan dapat menjadi pendorong terjadinya bencana yang akan

mengakibatkan kerusakan lingkungan. Lahan termasuk sumberdaya alam yang akan

habis (exhaustible/stock resources) yang bersifat dapat pulih kembali atau tidak dapat

pulih kembali (non renewable resources). Bahan tambang merupakan salah satu

sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui karena berjumlah tetap atau diolah

kembali serta untuk pembentukannya memerlukan waktu yang lama (Rani, 2004).

Usaha-usaha untuk mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan akibat

pertambangan pasir harus dilakukan dalam rangka melestarikan lingkungan. Usaha

rehabilitasi lahan bekas tambang adalah usaha memperbaiki, memulihkan kembali

dan meningkatkan kondisi lahan yang rusak agar dapat berfungsi kembali secara

optimal, baik sebagai unsur produksi, media pengatur tata air maupun sebagai unsur

perlindungan alam lingkungan (Zulfahmi, 1996).

Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (2008) menyebutkan bahwa

reklamasi dan penutupan tambang merupakan suatu kegiatan yang harus

dilaksanakan dan wajib memenuhi prinsip-prinsip lingkungan hidup, keselamatan

dan kesehatan kerja serta konservasi bahan galian. Menurut Soelarno (2007) tujuan

utama dari penutupan tambang adalah sebagai berikut: pemulihan fungsi lahan

menjadi lahan yang produktif dan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan,

meminimumkan kerusakan lingkungan, melakukan konservasi terhadap beberapa

obyek yang dilindungi serta melakukan pengentasan terhadap kemiskinan akibat

dampak sosial ekonomi.

Yusuf (2008) menyatakan bahwa arahan strategi kebijakan reklamasi lahan

pasca penambangan harus berbasis lingkungan dan berkelanjutan serta kebijakan

melakukan reklamasi dengan tanaman yang bernilai ekonomi bagi masyarakat

setempat. Hal ini dilakukan karena sifat sumberdaya alam penambangan termasuk

kedalam sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui sehingga stakeholders harus

memperhatikan reklamasi dengan tanaman sebagai perhatian yang paling utama.

4

Masyarakat setempat yang peduli akan lingkungan sekitarnya melakukan

reklamasi lahan dengan cara membeli lahan yang sudah tidak dilakukan

penambangan kemudian mereka melakukan penanaman leguminosa, rerumputan dan

kayu-kayuan. Legum dan rerumputan yang telah tumbuh tersebut digunakan oleh

masyarakat sebagai pakan ternak kambing. Keberadaan kambing di lahan pasca

tambang ini digunakan oleh peternak sebagai sumber pupuk kandang yang dapat

digunakan sebagai pupuk organik untuk menyuburkan lahan sekitar. Pemberian

bahan organik mempunyai manfaat antara lain: memperbaiki sifat fisik tanah, hasil

pelapukan bahan organik juga merupakan unsur hara yang cukup potensial dan

terhadap sifat kimia tanah ialah menambah nilai kapasitas tukar kation serta sebagai

gudang hara (Rani, 2004). Pupuk kandang mengandung unsur hara dengan

konsentrasi yang bervariasi diantara ternak satu dengan yang lainnya tergantung dari

jenis ternak, umur, gizi dan kesehatan ternak. Ternak merupakan salah satu

komponen pertanian sehingga sangat diperlukan oleh kalangan petani sebagai

sumber pupuk yang ekonomis dan bersifat organik (Abdurachman et al., 1999).

Sabihan et al. (1989) menyatakan bahwa dosis pupuk kandang yang diperlukan

dalam pemupukan tergantung dari jenis tanah, jenis tanaman yang diusahakan,

bentuk usaha tani dan jumlah pupuk kandang yang tersedia.

Menurut Dewan Perwakilan Rakyat (1967) dalam Undang-Undang ketentuan

Pokok Pertambangan, pasir termasuk kedalam bahan galian C yaitu bahan galian

yang dianggap tidak langsung mempengaruhi hajat hidup orang banyak, karena

kecilnya jumlah letakan (deposit) bahan galian itu. Bahan galian A adalah bahan

galian strategis untuk pertahanan atau keamanan negara dan menjamin perekonomian

negara (minyak bumi). Bahan galian B adalah bahan galian vital dalam arti dapat

menjamin hajat hidup orang banyak (timah, tembaga dan emas). Pertambangan pasir

termasuk kedalam sistem pertambangan terbuka (open cut-mining) karena bahan

galian bisa berada di permukaan tanah atau dalam keadaan yang tidak terlalu dalam

(Shenyakov, 1970). Cara yang dilakukan untuk melakukan penambangan pasir bisa

dilakukan dengan dua cara yakni dengan cara konvensional dan cara mekanis. Cara

konvensional umumnya menggunakan alat-alat sederhana seperti linggis, cangkul

dan sekop dengan jumlah pekerja dilakukan secara berkelompok (4-5 orang)

sedangkan cara mekanis menggunakan peralatan Back Hoe, Excavator, Loader dan

5

Bulldozer (Handoyo et al., 1999). Menurut Fauzan (2002), Kegiatan penambangan

pasir dimulai dengan pembersihan lahan dari semak-semak, pohon dan tumbuhan

lainnya. Pembersihan lahan bisa dilakukan secara manual maupun menggunakan

Bulldozer. Selanjutnya dilakukan pengupasan tanah penutup. Tahap pertama

pembuangan yaitu berupa top soil kemudian lapisan tufa. Setelah itu dilakukan

penggalian dan pemuatan galian pasir.

Kambing Peranakan Etawa (PE)

Pengembangan ternak kambing terutama di daerah marjinal dalam rangka

menciptakan kesempatan kerja yang lebih luas dan sekaligus membantu

memecahkan masalah kemiskinan di pedesaan. Kambing PE adalah hasil persilangan

antara kambing Etawah dengan kambing Kacang dengan bentuk fisiknya lebih mirip

kambing Etawah (Sutama dan Budiarsana, 1997). Menurut Badan Standarisasi

Nasional (2008), kambing PE memiliki ciri khusus, antara lain telinga yang panjang,

menggantung dan terkulai serta bulu rewos yang panjang pada ke dua kaki belakang.

Kambing PE dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Kambing PE Muda

Menurut Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementrian

Pertanian RI (2011), populasi kambing di Indonesia relatif besar yakni 17.482.722

ekor, dibandingkan dengan hewan ruminansia lain yakni ternak sapi potong

(14.824.373 ekor) dan domba (11.371.630 ekor) namun untuk ternak kambing PE

populasinya masih relatif kecil dan belum tercatat secara statistik. Kambing PE

termasuk tipe dwiguna (dual purpose). Kambing ini mempunyai kompormasi tubuh

6

yang cukup besar sehingga sering digunakan untuk mendukung program perbaikan

mutu bibit kambing di Indonesia (Atabany, 2001).

Produktivitas Kambing PE

Menurut Heriyadi (2004), kambing memiliki adaptasi yang sangat tinggi

terhadap berbagai jenis hijauan, mulai dari rumput-rumputan, leguminosa, rambanan,

daun-daunan, bahkan semak belukar yang biasanya tidak dapat dikonsumsi oleh

ternak ruminansia lain, seperti: sapi perah, sapi potong, kerbau dan domba. Kambing

mempunyai kebiasaan makan yang khusus dimana dengan lidah yang cekatan,

kambing dapat mengkonsumsi rumput-rumputan yang sangat pendek dan makan

daun pohon-pohonan atau semak-semak yang biasa dimakan oleh ternak ruminansia

lainnya. Ternak ini mampu mengkonsumsi makanan yang mengandung serat yang

tinggi pada keadaan tertentu sehingga mampu mempergunakan zat makanan jauh

lebih baik daripada kebanyakan ternak ruminansia lainnya. Selain itu kambing juga

mempunyai sifat yang serba ingin tahu sehingga makanan yang diberikan kepada

kambing bisa beraneka ragam dan tidak hanya terfokus pada satu macam pakan saja.

Penyusunan ransum sendiri harus realistis dan didasarkan pada bahan makanan yang

murah seperti daun tanaman semak, padang rumput dan makanan hasil limbah

pertanian serta industri (Devendra dan Burns, 1994).

Produktivitas kambing cukup baik apabila dipelihara dengan baik. Berat lahir

kambing PE berkisar 2-4 kg dimana berat lahir anak jantan lebih tinggi dari betina.

Pencapaian bobot badan kambing PE betina lebih tinggi pada awal dewasa tubuh dan

lebih cepat dibandingkan kambing jantan. Kambing PE jantan mampu mencapai 90

kg dan betina 60 kg. Selanjutnya, kambing PE memiliki ukuran tubuh yang sangat

tinggi (65-86 cm), ramping dan relatif lebih besar jika dibandingkan dengan kambing

kacang (Heriyadi, 2004).

Rataan bobot lahir kambing PE kelahiran tunggal adalah 3,2 kg untuk betina

sedangkan untuk jantan adalah 3,7 kg (Heriyadi, 2004). Menurut Atabany (2001),

berat lahir rata-rata anak jantan adalah 3,97 kg/ekor sedangkan betina lebih rendah

yakni 3,73 kg/ekor. Berat lahir ternak kambing PE baik jantan maupun betina

terdapat perbedaan tergantung dari jumlah anak yang dilahirkan dimana berat lahir

tunggal (jantan = 4,39 kg/ekor dan betina = 4,20 kg/ekor) lebih tinggi daripada berat

lahir kembar empat (jantan = 2,57 kg/ekor dan betina = 2,70 kg/ekor). Munier (2008)

7

menyatakan bahwa tinggi rendahnya bobot lahir anak kambing sangat dipengaruhi

oleh kondisi induknya selama kebuntingan. Faktor utama yang paling menentukan

adalah pakan yang berkaitan dengan jumlah dan mutu pakan yang dikonsumsi

kambing. Kekurangan pakan umumnya akan mengakibatkan lemahnya fisik calon

induk, produksi air susu rendah menjelang kelahiran, kondisi fisik anak lemah dan

bobot lahir rendah. Bobot lahir anak jantan lebih besar dibandingkan betina dengan

nilai masing-masing bobot lahir adalah sebagai berikut: jantan 3,15 kg dan betina

2,90 kg. Sementara itu persyaratan kuantitatif kambing PE bibit menurut Badan

Standarisasi Nasional (2008) dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2.

Tabel 1. Persyaratan Kuantitatif Kambing PE Jantan

No. Parameter Satuan Umur (tahun)

0,5 sampai 1 >1 sampai 2

1 Bobot badan (kg) 29 ± 5 40 ± 9

2 Tinggi pundak (cm) 67 ± 5 75 ± 8

3 Panjang badan (cm) 53 ± 8 61 ± 7

4 Lingkar dada (cm) 71 ± 6 80 ± 8

Sumber: Badan Standarisasi Nasional, 2008

Tabel 2. Persyaratan Kuantitatif Kambing PE Betina

No. Parameter Satuan Umur (tahun)

>1 sampai 2 >2 sampai 4

1 Bobot badan (kg) 34 ± 6 41 ± 7

2 Tinggi pundak (cm) 71 ± 5 75 ± 5

3 Panjang badan (cm) 57 ± 5 60 ± 5

4 Lingkar dada (cm) 76 ± 7 81 ± 3

Sumber: Badan Standarisasi Nasional, 2008

Menurut Ensminger (2002), suhu lingkungan yang ideal untuk kambing perah

di daerah subtropis berkisar 12,7oC sampai 21,11

oC, sementara untuk daerah tropis

lebih tinggi suhu lingkungannya yakni menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988),

suhu nyaman bagi kambing berkisar antara 18oC sampai 30

oC. Tomaszewska et al.

(1993) menyatakan bahwa ternak kambing sangat cocok di daerah dengan

kelembaban kering daripada kelembaban tinggi, karena kambing yang dipelihara

pada wilayah basah cenderung lebih mudah mati karena infeksi parasit atau oleh

8

penyakit. Faktor iklim lainnya yang penting diperhatikan pada ternak adalah

kecepatan angin dan radiasi sinar matahari. Kambing yang dipelihara pada

ketinggian tempat 300 meter di atas permukaan laut dengan kisaran suhu 15,7oC

sampai 35,1oC menghasilkan kecepatan tumbuh sebesar 40 gram/hari sedangkan

pada ketinggian 700 meter di atas permukaan laut dengan kisaran suhu 22,4oC

sampai 28,4oC kecepatan tumbuh ternak 50 gram/hari (Tomaszewska et al., 1993).

Produksi karkas seekor ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain

jenis kelamin dan umur disamping nutrisi yang diberikan terhadap ternak tersebut

(Usmiati dan Setiyanto, 2008). Soeparno (1994) menyatakan bobot potong yang

tinggi menghasilkan karkas yang makin besar. Bertambahnya umur ternak dan

pertambahan bobot hidup maka bobot karkas akan semakin bertambah. Ternak jantan

mempunyai lebih banyak daging dan tulang dibandingkan ternak betina pada bobot

tubuh dan bobot karkas yang sama. Hal ini disebabkan oleh perbedaan laju

pertumbuhan pada umur yang sama antara ternak jantan dan betina. Usmiati dan

Setiyanto (2008) menyatakan bahwa kambing yang berusia dibawah dua tahun

dengan bobot hidup 17,50 kg akan menghasilkan bobot karkas sebesar 7,37 kg

dengan persentase karkas 40,49%.

Karakteristik Reproduksi Kambing Betina

Siklus berahi pada kambing betina setiap 21 hari dengan lama berahi antara

2-3 hari (Toelihere, 1981), 15-18 hari (Taylor dan Field, 2004) dan 22,79 hari

menurut Atabany (2001). Tanda-tanda berahi pada kambing bisa diamati pada daerah

vulvanya yang membengkak, warnanya merah dan basah. Ciri-ciri lain yaitu sering

mengembik, sering kencing dan siap dinaiki kambing betina lainnya (Blakely dan

Blade, 1992). Berahi umumnya akan terjadi sepanjang tahun pada kambing yang

terdapat di daerah tropis (Devendra dan Burns, 1994) tetapi siklus berahi akan lebih

lama dengan semakin meningkatnya suhu lingkungan (Hsia, 1990). Ketelitian dalam

mengidentifikasi berahi pada kambing dan lamanya berahi sangat penting karena

akan mempengaruhi keberhasilan perkawinan. Ketika terjadi berahi kembali setelah

proses perkawinan, itu berarti tidak terjadi kebuntingan pada kambing betina

(Atabany, 2001). Gambar kambing betina dewasa bisa dilihat pada Gambar 2.

9

Gambar 2. Kambing PE Betina Dewasa

Atabany (2001) menyatakan bahwa kambing PE yang dipelihara di daerah

Bogor memiliki karakteristik reproduksi sebagai berikut: lama kebuntingan 148,87

hari dan lama hari kosong 110,09 hari. Selang beranak adalah periode antara dua

beranak yang berurutan, terdiri atas periode perkawinan dan periode bunting

(Devendra dan Burns, 1994). Selang beranak kambing PE di Kecamatan Caringin

yaitu 259,36 hari (Atabany, 2001). Smith dan Mangkoewidjojo (1987) menyatakan

bahwa ternak kambing betina dikawinkan pertama kali pada umur 9-12 bulan

sedangkan Taylor dan Field (2004) menyatakan bahwa kambing dapat dikawinkan

pada umur 6-10 bulan. Hal ini tergantung pada pertumbuhan betina tersebut.

Umumnya kambing betina dikawinkan pada saat bobot tubuhnya mencapai 40-45 kg

(Blakely dan Blade, 1992). Kambing PE yang dipelihara di Kecamatan Caringin,

umur kawin pertama yakni pada usia 403,22 hari dan umur beranak pertama 643,24

hari. Lama bunting pada ternak kambing adalah 144-157 hari (Smith dan

Mangkoewidjojo, 1987), 142-156 hari (Bogard dan Taylor, 1983) dan 146 hari

(Devendra dan Burns, 1994). Waktu kawin setelah beranak 64,195 hari atau sering

disebut dengan masa kosong. Masa kosong adalah waktu sejak kambing beranak

sampai dikawinkan kembali dan terjadi kebuntingan (Atabany, 2001).

Produksi dan Kualitas Susu Kambing

Menurut Atabany (2001), produksi susu sangat dipengaruhi oleh tahun

musim beranak, jumlah laktasi dan umur pertama kali beranak. Bangsa kambing juga

memiliki pengaruh yang sangat besar. Produksi susu kambing PE sebesar 0,99

kg/ekor/hari dengan lama laktasi 170,07 hari. Taylor dan Field (2004) menambahkan

bahwa lama laktasi normal pada kambing adalah 7-10 bulan dengan lama masa

10

kering 2 bulan. Produksi susu yang dihasilkan setiap hari akan meningkat sejak induk

melahirkan dan akan menurun secara berangsur-angsur hingga berakhirnya masa

laktasi (Blakely dan Blade, 1992). Puncak produksi susu akan dicapai pada hari 48-

72 setelah beranak (Devendra dan Burns, 1994).

Susu yang dihasilkan dari ternak kambing akan menghasilkan kualitas yang

berbeda dibandingkan dengan kualitas susu ternak ruminansia lainnya. Bangsa yang

berbeda pada ternak kambing juga akan menghasilkan kualitas yang berbeda, karena

kualitas susu merupakan sifat kuantitatif dari seekor ternak yang dipengaruhi oleh

genetik, lingkungan serta interaksi antara genetik dan lingkungan. Kualitas susu

kambing PE yang berada di Daerah Caringin-Bogor dengan ketinggian tempat 720

meter dari permukaan laut dengan suhu rata-rata harian 22oC dan kelembaban 70%-

80% berturut-turut sebagai berikut: berat jenis 1,0292, bahan kering 16,38%, lemak

6,68%, protein 2,93%, SNF 9,69%, gross energi 3305 kkal (Atabany, 2001). Greppi

et al. (2008) menyatakan bahwa komposisi susu dari kambing yakni 29-31 gram/liter

protein, 35-45 gram/liter lemak dan 41-44 gram/liter laktosa.

Jenis dan Cara Pemberian Pakan

Pakan adalah salah satu faktor yang sangat menentukan disamping mutu bibit

dan tatalaksana dalam menghasilkan produksi ternak seperti produksi daging, susu

dan telur (Sudaryanto, 1997). Perbaikan performa ternak kambing dapat diupayakan

melalui beberapa hal, antara lain melalui perbaikan pakan yaitu dengan menjaga

kontinuitas jumlah dan mutu pakan yang diberikan atau dapat pula dilakukan dengan

mengatur pola reproduksinya. Ternak kambing pada dasarnya lebih selektif dalam

memilih pakan sehingga harus diberikan pakan yang berkualitas baik (Yulistiani et

al., 2000). Pakan yang diberikan kepada ternak umumnya terbagi menjadi dua yakni

berupa hijauan dan konsentrat. Faktor yang perlu diperhatikan adalah jumlah

konsumsi pakan karena berpengaruh terhadap tingkat produksi ternak. Hal ini terkait

dengan jumlah zat-zat makanan yang didapatkan oleh ternak. Ternak akan mencapai

tingkat penampilan yang tinggi sesuai potensi genetiknya ketika ternak mendapatkan

zat-zat makanan yang dibutuhkan (Sutardi, 1980). Pakan yang banyak diberikan pada

ternak kambing adalah rumput gajah, rumput benggala, rumput raja, daun lamtoro,

gamal dan kaliandra. Selain itu, kambing juga menyukai pakan dari limbah industri

(dedak padi, dedak jagung, ampas tahu, bungkil kedelai, bungkil kacang tanah dan

11

bungkil kelapa), limbah pertanian (jerami kacang tanah, jerami kedelai, daun kacang

panjang dan daun buncis), pakan penguat dan silase (Devandra dan Burns, 1994).

Kaliandra (Calliandra calothyrsus) digunakan secara luas untuk pakan ternak

karena 1) daun, bunga dan tangkai memiliki kandungan protein 20%-25% dan 2)

cepat tumbuh dan kemampuan bertunas tinggi setelah pemangkasan. Kaliandra

digunakan dalam sistem tebang dan angkut (cut and carry system) maupun sistem

pengembalaan (Roshetko, 2000). Wina dan Budi (2000) menyatakan bahwa domba

dan kambing akan tumbuh lebih baik bila disuplementasi dengan kaliandra

dibandingkan bila hanya diberi rumput. Tingkat suplementasi yang baik adalah 30%

dari total ransum karena pemberian yang lebih tinggi tidak mempunyai pengaruh

lagi. Kadar tanin yang tinggi dalam daun kaliandra akan mengikat protein lebih kuat

bila kaliandra dikeringkan daripada dalam bentuk segar. Karda (2000) menyatakan

bahwa kambing dilaporkan mempunyai kemampuan mencerna tanin karena memiliki

enzim tannase pada mukosa ruminal. National Academy of Science (1980)

menyatakan bahwa hijauan kaliandra memiliki PK 22%, SK 34%-75%, lemak 2%-

3%, abu 4,5%-5% serta produksi 1-10 ton bahan kering/ha/tahun. Kaliandra tumbuh

optimal pada daerah basah dengan curah hujan 1000 mm/tahun dan dapat tumbuh

pada ketinggian 150-1500 m dpl.

Piper aduncum merupakan perdu yang tumbuh tegak atau pohon kecil

dengan tinggi 3-8 meter, memiliki sifat tahan bakar, tajuknya rimbun dan selalu

hijau, cepat tumbuh dan tahan pangkas berat sehingga banyak dijadikan sebagai jalur

hijau dalam pencegahan kebakaran hutan. Masyarakat sunda sering menyebut

tanaman Piper aduncum dengan sebutan gedebong atau seuseureuhan. Tumbuhan ini

berasal dari Amerika dan ada di Indonesia pada tahun 1860, dapat tumbuh pada

ketinggian 90-1000 m dpl. Batang dari gedebong ini bisa juga dimanfaatkan sebagai

tongkat dan mengandung minyak atsiri sebesar 0,1%. (Heyne, 1987). P. aduncum

atau seuseureuhan tumbuh baik di hutan belukar dan hutan-hutan sekunder juga di

berbagai tempat seperti tepi sungai dan lereng gunung. Kelebihannya adalah mudah

dalam perkembangbiakannya karena bisa dilakukan dengan cara stek (Nurhayati,

2000).

Gamal (Gliricidia sepium) merupakan tanaman leguminosa yang banyak

tumbuh di daerah tropis, tumbuh subur sepanjang tahun dan produksi daunnya cukup

12

tinggi, sehingga tanaman ini diharapkan dapat mengatasi kekurangan pakan hijauan

terutama rumput di musim kering. Pemanfaatan Gliricidia telah banyak dilakukan

oleh peternak di pedesaan sebagai suplemen terutama untuk ternak ruminansia hal ini

sangat tepat karena Gliricidia mempunyai kandungan gizi yang tinggi terutama

protein, yaitu 23,5% (Yulistiani et al., 2000). Daun gamal ketika diberikan kepada

kambing dapat meningkatkan pertumbuhan bobot badan dua kali lebih besar.

Namun, pemberian daun gamal harus dilayukan terlebih dahulu sebelum diberikan

kepada ternak (Asnah, 1997).

Rumput gajah (Pennisetum purpureum) adalah rumput yang banyak

digunakan oleh peternak di Indonesia karena mudah dibudidayakan dan dapat

dipanen dengan interval pemotongan 40 hari. Jenis rumput ini mudah tumbuh di

kondisi basah maupun kering. Rumput gajah yang terdegradasi dalam rumen sebesar

45% untuk bahan kering dan 48% protein (Widiawati et al., 2007).

Cahyadi (2009) menyatakan bahwa kedelai merupakan protein nabati yang

efisien dan protein kedelai merupakan satu-satunya leguminosa yang mengandung

semua asam amino esensial. Kedelai termasuk kedalam famili Leguminosae dengan

nama ilmiahnya yakni Glycine max (L) Merill. Kedelai sering digunakan sebagai

bahan pokok dalam industri pembuatan tahu. Tahu adalah ekstrak protein kedelai

yang telah digumpalkan dengan asam dan ion kalsium. Widowati (2007) menyatakan

bahwa prinsip pembuatan tahu ada dua tahap yakni pembuatan susu kedelai dan

penggumpalan protein. Proses pembuatan tahu tersebut menghasilkan limbah kulit

kacang kedelai dan ampas tahu. Adie dan Krisnawati (2007) menyatakan bahwa kulit

biji kedelai terdiri dari tiga lapisan yaitu epidermis, hipodermis dan parenkim. Kulit

kacang kedelai dari limbah industri tahu memiliki kandungan protein kasar 26,79%,

lemak kasar 12,73% dan serat kasar 26,93%.

Ampas tahu merupakan limbah industri pangan yang memiliki nilai nutrisi

sangat tinggi, namun demikian bahan ini dihasilkan dalam keadaan basah

(kandungan kadar air yang sangat tinggi). Kecernaan bahan kering ampas tahu kering

secara in vivo pada ternak domba lokal ekor tipis sebesar 70,95% (Sugiyono, 2010).

Ampas tahu yang dilakukan pengeringan dengan sinar matahari mengandung zat

nutrisi 87,75% bahan kering, 18,87% protein kasar, 28,23% serat kasar, 8,77%

lemak, 3,79% abu, BETN 40,34% dan 63,16% TDN (Wahyuni, 2003).

13

Kebutuhan nutrisi ternak bervariasi antar spesies ternak dan umur fisiologis

ternak tersebut. Faktor lain yang juga menentukan adalah jenis kelamin, tingkat

produksi, aktivitas ternak dan kondisi lingkungan ternak (Haryanto, 1992). Devendra

(1993) menyatakan bahwa kambing perah membutuhkan bahan kering yang

terkandung di dalam bahan pakan adalah 5%-7% dari berat hidupnya. Tabel 3

menyajikan kebutuhan nutrisi yang diperlukan oleh ternak kambing.

Tabel 3. Kebutuhan Nutrisi Ternak Kambing

Berat Badan

(kg)

Kebutuhan Nutrisi Harian

BK (g) BK (%BB) TDN (g) Protein (g)

10 500 5,0 278 38

20 840 4,2 467 64

30 1140 3,8 634 87

Sumber : National Research Council, 1981

Kandungan lemak dalam pakan yang diberikan pada ternak kambing PE

betina dewasa yakni berkisar 1,51%–10,37%. Pemberian konsentrat pada induk

kambing laktasi sebesar 0,5 kg, ampas tahu 3 kg, rumput 5,5 kg dan singkong

sebanyak 0,5 kg akan menghasilkan produksi susu harian sebesar 0,99 kg/ekor/hari

dengan lama laktasi 170,07 hari. Rataan konsumsi zat makanan per ekor induk

laktasi kambing PE yakni konsumsi bahan kering sebanyak 1759 gram/ekor/hari,

protein kasar 215 gram/ekor/hari, lemak 52 gram/ekor/hari, serat kasar 386

gram/ekor/hari, BETN 817 gram/ekor/hari dan abu 119 gram/ekor/hari (Atabany,

2001).

Performa Produksi Ternak Kambing

Performa ternak bisa dilihat dari Pertambahan Bobot Hidup Harian (PBBH)

yang sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik ternak dan lingkungannya. Peningkatan

bobot hidup ternak erat kaitannya dengan kondisi pakan sehingga pakan yang

diberikan harus diperhatikan dengan baik oleh peternak (Zurriyati, 2005). Devendra

(1993) menyatakan bahwa berat badan mempunyai pengaruh yang nyata terhadap

produksi daging. Salah satu faktor yang mempengaruhi berat badan adalah pakan

yang diberikan kepada ternak. Sehingga respon yang baik akan diperoleh ketika

ternak diberikan pakan yang memiliki kualitas dan kuantitas yang baik. Zurriyati

(2005) menambahkan bahwa adanya perubahan bobot badan pada umur yang relatif

14

sama diantara ternak kambing disebabkan oleh keragaman individu (variasi genetik),

tatalaksana pemeliharaan dan kondisi lingkungan yang berbeda. Namun, umumnya

pertumbuhan anak jantan pra sapih lebih tinggi dibandingkan anak betina, selain itu

anak dengan kelahiran tunggal akan memiliki pertumbuhan yang lebih tinggi

dibandingkan dengan anak tipe kelahiran anak kembar (Budiarsana, 2005). Tabel 4

memperlihatkan data pertumbuhan kambing PE.

Tabel 4. Bobot Badan Kambing PE pada Berbagai Sistem Pemeliharaan

Sumber

Berat badan PBBH (g) Keterangan

Lahir Sapih 12 bln

Astuti (1984) 2,50 - 15,4 65,4 di desa

Setiadi & Sitorus (1984) 2,51 10,7 16,6 27,0 st. pembibitan

Seiadi et al. (1987) - 8,6 - - st. percobaan

Seiadi et al. (1989) 2,50 9,9 - - di desa

Triwulanningsih (1989) 2,85 8,9 20,5 - st. percobaan

Sutama et al. (1984) 2,90 12,7 - 38,4 st. percobaan

Sutama et al. (1955) 3,25 11,1 - 62,4 st. percobaan

Rataan 2,75 10,2 17,5 48,3

Sumber: Sutama dan Budiarsana, 1997

PBBH umumnya digunakan sebagai peubah yang dapat digunakan untuk

menilai kualitas bahan makanan ternak yang diberikan. Pengukuran bobot tubuh

ternak berguna untuk menentukan tingkat konsumsi pakan, efisiensi pakan dan harga

(Parakkasi, 1999). Menurut Heriyadi (2004), performa produksi berupa ukuran–

ukuran tubuh dan bobot badan sebagai bagian dari sifat kuantitatif memiliki

hubungan erat dengan komponen dan kondisi tubuh ternak serta dapat

menggambarkan ciri khas suatu bangsa tertentu.

Kambing setelah sapih, pertumbuhan sangat ditentukan oleh kualitas pakan

yang dikonsumsi dimana ternak kambing mempunyai sifat seleksi yang sangat tinggi

terhadap jenis atau bagian tanaman sebagai upaya untuk mendapatkan pakan yang

lebih bergizi. Tingginya sifat selektif terhadap jenis dan bagian tanaman tertentu

serta kemampuannya beradaptasi dengan lingkungan menyebabkan anak kambing

mampu hidup pada daerah yang cukup kering dimana jenis ternak lain mungkin

sudah tidak menunjukkan kondisi yang tidak normal (Sutama dan Budiarsana, 1997).

15

Efisiensi penggunaan pakan diperoleh dari perhitungan rataan PBBH (gram/

ekor/hari) dibagi dengan rataan bahan kering yang dikonsumsi (gram/ekor/hari)

(Ensminger dan Parker, 2002). Semakin banyak pakan yang dikonsumsi maka nilai

konversi pakan semakin tinggi sedangkan efisiensi pakannya menurun. Faktor yang

mempengaruhi efisiensi pakan antara lain laju perjalanan pakan dalam saluran

pencernaan, bentuk fisik, bahan makanan dan komposisi nutrisi ransum (Anggordi,

1990). Efisiensi penggunaan pakan mengukur efisiensi hewan dalam mengubah

pakan menjadi produk. Crampton dan Harris (1969) menyatakan bahwa efisiensi

penggunaan makanan tergantung pada kebutuhan ternak akan energi dan protein

yang digunakan untuk pertumbuhan, hidup pokok dan fungsi lainnya seperti

kemampuan ternak dalam mencerna zat makanan, jumlah zat makanan yang hilang

dalam proses metabolisme serta jenis makanan yang dikonsumsi.

Jumlah konsumsi pakan merupakan faktor penting dalam menentukan jumlah

zat-zat makanan yang dapat dikonsumsi oleh ternak yang nantinya akan

mempengaruhi tingkat produksi (Tomaszewska et al., 1993). Ternak kambing induk

laktasi dan muda yang sedang bertumbuh dimana harus diberikan pakan dengan

kualitas yang baik dan ditambahkan konsentrat serta pakan yang diberikan sebaiknya

mengandung 15% sampai 20% protein (Taylor dan Field, 2004).

Tomaszewska et al. (1993) menyatakan bahwa kematian ternak sangat

mempengaruhi keuntungan peternak yang disebabkan oleh faktor genetik,

lingkungan dan interaksi antara keduanya. Anak tunggal dengan bobot lahir rata-rata

2,6 kg dan anak kembar 2,0 kg mempunyai angka kematian berturut-turut yakni

17%-18%. Kematian anak kambing terbanyak pada hari pertama kelahiran. Adiati et

al. (2001) menyatakan bahwa kematian anak kambing pra sapih tergantung dari susu

induk sedangkan yang dijauhkan dari induk setelah lahir tergantung dari sistem

pemeliharaan.

Potensi Ekonomi Kambing Peranakan Etawah

Menurut Simanihuruk et al. (2007), usaha ternak kambing dapat dilakukan

secara perorangan maupun kelompok baik dengan modal sendiri, modal pinjaman

maupun kemitraan dengan pihak pendana. Sebagai langkah awal usaha dalam

peternakan kambing studi ekonomis sangat diperlukan. Hal ini bisa dilihat dari nilai

Income Over Feed Cost (IOFC). IOFC merupakan analisis pendapatan setelah

16

dikurangi oleh biaya pakan yang digunakan selama beternak. Wahju (1997)

menyatakan bahwa pertumbuhan bobot badan yang tinggi belum menjadi patokan

peternak akan mendapatkan keuntungan yang maksimum ketika tidak diikuti dengan

efisiensi dan konversi pakan yang baik serta biaya pakan yang minimum.

Manajemen Pemeliharaan

Ternak kambing umumnya dipelihara oleh peternak di pedesaan secara

tradisional, sistem produksinya merupakan tambahan dari produksi tanaman pangan

terutama untuk memanfaatkan lahan sisa, limbah tanaman maupun limbah pertanian.

Ternak kambing dianggap sebagai tabungan oleh peternak, karena mudah dijual.

Produksi dengan sistem yang intensif memerlukan sistem perkandangan secara terus

menerus atau tanpa pengembalaan (zero grazing), dimana faktor lingkungan dapat

terkontrol dengan baik serta tingkah laku kambing yang merusak bisa diatasi dengan

baik (Devendra, 1993). Heriyadi (2004) menyatakan bahwa kandang yang digunakan

di Daerah Sumedang yakni kandang koloni dengan dinding terbuat dari kayu, atap

genting dan lantai tanah yang beralaskan sisa pakan.

Menurut Devendra (1993), kandang yang baik adalah perkandangan yang

disediakan harus ringan, ventilasi baik, drainase baik serta mudah untuk dibersihkan.

Kandang kambing yang banyak digunakan adalah kandang yang lantainya rata

dengan tanah dan kandang kaku (stilted housing) yang lantainya ditinggikan 1 meter

sampai 1,5 meter diatas tanah sehingga mudah dibersihkan dan pengumpulan kotoran

pun menjadi lebih mudah untuk dilakukan. Usaha peternakan kambing pada

hakikatnya akan menghasilkan limbah. Limbah dari ternak yaitu kotoran yang

dihasilkan oleh ternak sedangkan dari pakan yang diberikan adalah pakan sisa yang

tidak dimakan oleh ternak.

Penyakit dan Penanganan Kesehatan

Tomaszewska et al. (1993) menyatakan bahwa penyakit yang sering terjadi

pada kambing perah dapat berupa penyakit bakterial (disebabkan oleh bakteri),

penyakit parasit (disebabkan oleh binatang parasit) dan penyakit lain yang bukan

disebabkan oleh bakteri atau parasit (gangguan metabolik dan keracunan). Penyakit

yang disebabkan oleh bakterial pada ternak kambing yakni: mastitis, diare, radang

paru, Escheria Coli, borok ceracak, infeksi clostridia, anthrax dan mata merah.

Penyakit yang disebabkan oleh parasit pada kambing antara lain adalah cacingan dan

17

scabies. Penyakit lain yang sering menyerang ternak kambing yang bukan

disebabkan oleh bakteri atau parasit (gangguan metabolik dan keracunan) yakni:

perut kembung dan keracunan tanaman beracun seperti Cyanide, Anamirta coccolus,

Lantana camara, Leucaena leucocephala dan Brachiaria species. Taylor dan Field

(2004) menambahkan bahwa penyakit yang sering muncul pada ternak kambing

adalah enterotexemia, goat pox, herpesvirus, tetanus, mastitis, brucellosis, footrot,

ketosis dan milk fever.

18

MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian dilakukan di Kelompok Ternak Simpay Tampomas, Kampung

Golempang RT 01 RW 03, Desa Cibeureum Wetan, Kecamatan Cimalaka,

Kabupaten Sumedang yang dimulai pada bulan Juli 2011 sampai Mei 2012.

Penelitian terdiri dari dua tahap yakni: tahap satu penelitian mengenai performa

kambing Peranakan Etawah (PE) muda yang diberi pakan berbeda dan tahap dua

adalah menghitung produktivitas induk laktasi kambing PE yang mendapatkan

perlakuan penelitian.

Materi

Ternak

Jenis ternak yang diamati adalah kambing PE sebanyak 12 ekor dengan jenis

kelamin jantan dan Bobot Hidup (BH) awal 12,592±1,326 kg (KK = 10,533) dengan

kisaran umur 3-6 bulan yang ditempatkan pada kandang koloni. Penelitian mengenai

produktivitas induk laktasi, ternak yang digunakan adalah kambing betina laktasi

dengan usia 2-3 tahun, pada periode laktasi ke-2 dan ke-3 sebanyak 15 ekor yang

ditempatkan pada kandang koloni.

Pakan

Penelitian pertama, pakan yang diberikan kepada ternak muda adalah

kaliandra, Piper aduncum dan konsentrat yang dapat dilihat pada Gambar 3.

Konsentrat yang digunakan diperoleh dari ketua Sarjana Membangun Desa (SMD)

Kab. Sumedang dengan komposisi kimia (lihat Tabel 5) dan protein kasar 19,32%.

Konsentrat yang diberikan kepada ternak adalah 100 gram/ekor/hari sedangkan

hijauannya diberikan secara ad libitum.

Gambar 3. Kaliandra, Piper aduncum dan Konsentrat

19

Penelitian kedua mengenai produktivitas induk laktasi kambing PE, pakan

yang digunakan terdiri dari hijauan dan limbah industri pangan. Limbah industri

pangan terdiri dari kulit kacang kedelai dan ampas tahu sedangkan hijauan terdiri

dari rumput gajah, gamal dan kaliandra yang dapat dilihat pada Gambar 3, 4 & 5.

Ampas tahu dan kulit kacang kedelai diberikan terbatas yakni 2 kg/ekor/hari dengan

persentase bahan segar yang diberikan kepada ternak yakni 70% ampas tahu dan

30% kulit kacang kedelai.

Gambar 4. Kulit Kacang Kedelai dan Ampas Tahu

Gambar 5. Rumput Gajah dan Gamal

Tabel 5. Komposisi Kimia Pakan Penelitian

Bahan Pakan BK PK LK SK Abu Beta-N

---------------%(g/100 BK)-----------------------------------------------

Konsentrat* 33,56 19,32 5,71 22,35 22,24 30,38

Kaliandra* 21,84 22,36 5,40 31,78 12,31 28,15

Piper aduncum* 35,41 24,93 3,24 17,32 8,57 45,94

Gamal** 23,48 18,95 2,85 28,96 14,82 34,41

Rumput Gajah** 13,54 18,76 1,55 35,30 14,84 29,54

Kulit Kacang Kedelai** 14,37 26,79 12,73 26,93 0,70 32,85

Ampas Tahu** 12,06 24,71 16,75 23,38 3,40 31,76

Keterangan: *=Hasil analisa Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB, 2011

**=Hasil analisa Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB, 2012

20

Kandang

Kandang yang ada di Kelompok Ternak Simpay Tampomas umumnya koloni

dengan satu petak kandang berisi tiga ekor anak atau tiga ekor induk sedangkan

untuk pejantan hanya berisi satu ekor ternak. Kandang yang digunakan pada

penelitian performa ternak kambing PE muda adalah kandang panggung dengan

ukuran satu petak kandang kambing jantan muda yakni panjang 1 meter dengan lebar

1,5 meter. Bangunan kandang terbuat dari kayu dengan alas dari bambu. Jarak antara

bambu pada alas kandang adalah 1 cm. Hal ini bertujuan mempermudah dalam

penanganan kotoran ternak. Atap kandang PE muda terbuat dari tanah yakni berupa

atap genting. Atap genting dipakai dengan tujuan untuk mengurangi panas pada

siang hari karena ketinggian Peternakan Simpay Tampomas yang terletak di lahan

pasca galian pasir cukup tinggi dan berada di kaki gunung Tampomas. Upaya yang

dilakukan untuk menghindari tiupan angin dan gangguan predator maka pinggir

kandang diberi penghalang dari bambu dengan jarak antara bambu adalah 2 cm.

Kandang yang digunakan untuk penelitian kambing muda dibutuhkan empat

kandang. Kandang yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Kandang PE Jantan Muda

Penelitian tahap kedua mengenai produktivitas induk laktasi menggunakan

kandang koloni dengan ukuran satu petak kandang kambing induk yakni memiliki

panjang 1,5 meter dengan lebar 3 meter. Kandang induk ini berbeda dengan kandang

pada penelitian pertama. Perbedaan tersebut terdapat pada atap kandang yang

digunakan yakni terbuat dari asbes. Kandang yang digunakan pada penelitian tahap

kedua ini sebanyak 5 kandang dengan jumlah ternak 3 ekor/kandang. Gambar 7

menunjukkan kandang yang digunakan pada penelitian tahap kedua.

21

Gambar 7. Kandang PE Induk Laktasi

Peralatan

Peralatan yang digunakan adalah timbangan gantung merek Token dengan

ketelitian 100 g untuk penimbangan bobot badan ternak, penimbangan pakan hijauan

dan sisa pakan hijauan. Timbangan duduk kapasitas 10 kg dengan ketelitian 50 g

digunakan untuk penimbangan konsentrat. Peralatan lain adalah baskom,

termohigrometer, kartu jadwal pemberian pakan, ember, timbangan digital dengan

ketelitian 1 g, gelas ukur, plastik, coolbox, milkco tester, freezer, alat tulis serta

kamera digital.

Prosedur

Performa Kambing PE Muda

Penelitian dilakukan dalam dua periode yaitu periode adaptasi (satu minggu)

dan periode perlakuan (8 minggu). Periode perlakuan diawali dengan penimbangan

bobot badan ternak untuk mengetahui bobot awal kambing. Penimbangan

selanjutnya dilakukan dua minggu sekali pada pagi hari sebelum ternak diberi pakan.

Perlakuan terdiri dari dua faktor yakni waktu pemberian pakan (W) dan jenis

pakan yang berbeda (P). Perlakuan perbedaan waktu pemberian pakan dibedakan

sebagai berikut: W1 = 08.00 dan 16.00 WIB serta W2 = 14.00 dan 16.00 WIB.

Perlakuan metode pemberian pakan sebagai berikut: P1 = konsentrat dan hijauan

(kaliandra 1200 g dan Piper aduncum 800 g = 2000 gram) serta P2 = hijauan

(kaliandra 1260 g dan Piper aduncum 840 g = 2100 gram). Pemberian konsentrat

diberikan secara terbatas (100 g/ekor/hari) pada perlakuan P1. W2 dan P2 merupakan

kebiasaan peternak dalam pemberian pakan terhadap ternaknya.

Konsentrat diberikan terlebih dahulu sebelum pakan hijauan pada perlakuan

P1 baik pada waktu pemberian W1 maupun W2. Kaliandra dan Piper aduncum

22

diberikan secara ad libitum. Penimbangan sisa pakan dilakukan sebelum pakan yang

baru diberikan kepada ternak. Pakan yang digunakan dalam penelitian ini

ditampilkan pada Tabel 5, yang terdiri dari konsentrat, kaliandra dan Piper aduncum.

Pengambilan data suhu dan kelembaban lingkungan dalam kandang

dilakukan setiap hari pada pukul 08:00 WIB, 14:00 WIB dan 16:00 WIB.

Pertambahan bobot badan harian ditentukan dengan cara menghitung selisih bobot

awal dengan bobot akhir dibagi lama pengamatan.

Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah:

Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH). Pengukuran PBBH dilakukan dengan

cara mengurangi bobot akhir dengan bobot awal ternak dalam satuan gram dibagi

jumlah hari dalam periode pengamatan (56 hari). Penimbangan ternak menggunakan

timbangan berkapasitas 50 kg dengan ketelitian 200 gram.

Konsumsi Pakan. Konsumsi pakan diukur dengan menghitung jumlah pakan yang

diberikan (gram/ekor/hari) dan pakan yang tersisa (gram/ekor/hari) dalam gram.

Penimbangan pakan menggunakan timbangan berkapasitas 25 kg dengan ketelitian 1

gram.

Kualitas Pakan. Pakan yang diberikan selama penelitian diambil sampelnya untuk

dilakukan analisa komposisi kandungan pakan yang dilakukan oleh Laboratorium

Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas

Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Efisiensi Pakan. Efisiensi pakan diukur dengan membagi nilai PBBH dengan

konsumsi bahan kering yang kemudian dikalikan 100%.

Income Over Feed Cost (IOFC). Rumus yang digunakan untuk menghitung IOFC

adalah pendapatan peternak dikurangi pengeluaran pakan yang digunakan selama

penelitian.

Produktivitas Induk Laktasi

Penelitian dilakukan dalam tiga periode yaitu periode persiapan (satu

minggu), periode pengambilan data produksi susu sebelum perlakuan pakan

tambahan (satu minggu) dan periode pengambilan data produksi susu setelah

perlakuan pakan tambahan (8 minggu). Periode perlakuan diawali dengan

identifikasi ternak dari usia, waktu laktasi dan waktu beranak terakhir.

23

Produksi dan kualitas susu diperoleh dari kambing yang diberi pakan yang

berbeda (P). Perlakuan pemberian pakan dibedakan sebagai berikut: P1 (sebelum

diberikan pakan tambahan limbah industri pangan (ampas tahu dan kulit kacang

kedelai) yakni pakan yang biasanya diberikan peternak sehari-hari) dan P2 (setelah

diberikan pakan tambahan limbah industri pangan). Pakan tambahan limbah industri

pangan terdiri dari ampas tahu dan kulit kacang kedelai yang diberikan kepada ternak

setelah pakan hijauan. Proporsi pakan tambahan segar yang diberikan kepada induk

laktasi adalah 1,4 kg/ekor/hari ampas tahu dan 0,6 kg/ekor/hari kulit kacang kedelai.

Pemberian pakan tambahan dilakukan dengan cara mencampurkan ampas tahu

dengan kulit kacang kedelai. Waktu pemberian terdiri dari dua yakni pagi (08.00

WIB) sebanyak 1 kg/ekor pakan tambahan dan sore hari (16.00 WIB) sebanyak 1

kg/ekor pakan tambahan.

Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah:

Konsumsi Pakan. Konsumsi pakan diukur dengan menghitung jumlah pakan yang

diberikan (gram/ekor/hari) dan pakan yang tersisa (gram/ekor/hari) dalam gram.

Penimbangan pakan menggunakan timbangan berkapasitas 25 kg dengan ketelitian 1

gram.

Kualitas Pakan. Pakan yang diberikan selama penelitian diambil sampelnya untuk

dilakukan analisa komposisi kandungan pakan yang dilakukan oleh Laboratorium

Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas

Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Produksi Susu. Pengukuran produksi susu dilakukan pada setiap ekor ternak dengan

menggunakan gelas ukur. Pemerahan hanya dilakukan sekali dalam sehari. Data

yang diperoleh setiap harinya dicatat dalam logbook penelitian.

Kualitas Susu. Sampel susu dari masing-masing ternak diambil sebanyak 50 ml

untuk satu kali analisa. Analisa dilakukan di Laboratorium Ilmu Produksi dan

Teknologi Perah, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas

Peternakan, Institut Pertanian Bogor untuk mengetahui komposisi susu yakni: berat

jenis, kandungan lemak, Bahan Kering Tanpa Lemak (BKTL), kandungan protein,

kandungan laktosa dan bahan kering susu. Sampel susu yang akan dianalisa, setelah

proses pemerahan kemudian diukur 50 ml dan dikemas dalam plastik kemudian

24

dimasukan kedalam freezer. Jarak yang cukup jauh dari tempat penelitian menuju

laboratorium analisa, sehingga pada saat membawa sampel digunakan coolbox untuk

mencegah terjadinya pencairan susu dalam perjalanan. Setelah di laboratorium,

sampel susu tersebut dilakukan thawing kurang lebih satu jam (mencapai suhu

ruang), kemudian dihomogenisasi dan dianalisa menggunakan Milkco tester. Data

yang muncul dari Milkco tester kemudian dicatat sebagai hasil analisa kualitas susu.

Sampel susu diambil untuk analisa kualitas susu dilakukan dua kali. Pengambilan

sampel pertama yakni susu yang dihasilkan dari pemberian pakan tanpa adanya

pakan tambahan limbah industri pangan (P1) dan kedua untuk susu yang dihasilkan

setelah 8 minggu perlakuan pemberian pakan tambahan limbah industri pangan (P2)

pada ternak induk laktasi. Perhitungan bahan kering susu dilakukan dengan

menggunakan rumus sebagai berikut.

BK = L + BKTL

Keterangan: BK = Bahan kering

L = Kandungan lemak susu

BKTL = Bahan kering tanpa lemak

Income Over Feed Cost (IOFC). IOFC merupakan perhitungan yang dilakukan

untuk mengetahui pendapatan yang diperoleh oleh peternak dengan adanya

peningkatan produksi susu setelah adanya pemberian pakan tambahan. Rumus yang

digunakan untuk menghitung IOFC adalah pendapatan peternak dikurangi

pengeluaran pakan yang digunakan selama penelitian.

Rancangan dan Analisis Data

Performa Kambing PE Muda

Rancangan penelitian pertama untuk perhitungan konsumsi pakan, konsumsi

kandungan nutrisi pakan, konversi pakan dan IOFC dianalisis secara deskriptif

sedangkan untuk PBBH menggunakan rancangan acak lengkap pola dua arah. Uji

lanjut yang dilakukan jika data menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) atau

sangat nyata (P<0,01) adalah uji Beda Nyata Terkecil (BNT/LSD) untuk mengetahui

nilai rataan pada taraf perlakuan mana yang berbeda. Hasil yang diperoleh disajikan

dalam bentuk tabel, rataan dan grafik. Perhitungan secara deskriptif menggunakan

rumus seperti yang tertera di bawah ini:

25

= ∑ ini

n

Keterangan:

= nilai rerata

= ukuran ke i dari peubah X

n = jumlah contoh yang diambil dari populasi

Perhitungan PBBH, menggunakan rancangan rancangan acak lengkap pola dua arah

(2x2) dengan model matematis sebagai berikut:

Yij = µ+Ai+Bj+ +(AB)ij +εij

Keterangan:

Yij =Nilai pengamatan parameter PBBH ternak pada pakan ke-i dan waktu

pemberian pakan ke-j.

µ =Nilai rataan PBBH ternak PE.

Ai =Pengaruh perlakuan pemberian pakan pada taraf ke-i.

Bj =Pengaruh perlakuan waktu pemberian pakan pada taraf ke-j.

(AB)ij =Pengaruh interaksi antara antara pemberian pakan ke-i dan waktu

pemberian pakan ke-j.

Εij =Pengaruh galat percobaan pada pemberian pakan ke-i dan waktu

pemberian pakan ke-j.

Uji lanjut yang digunakan yaitu BNT/LSD dengan menggunakan rumus

sebagai berikut:

dimana √

S = KTG

26

Produktivitas Induk Laktasi

Penelitian selanjutnya mengenai produktivitas induk laktasi menggunakan

analisis deskriptif untuk data konsumsi pakan, konsumsi kandungan nutrisi pakan

dan IOFC, sedangkan produksi dan kualitas susu selama penelitian dihitung

menggunakan uji t yang digunakan untuk membedakan hasil sebelum pemberian

pakan tambahan dengan setelah pemberian pakan tambahan. Rumus perhitungan

deskriptif yang digunakan sebagai berikut:

= ∑

Keterangan:

= nilai rerata

= ukuran ke i dari peubah X

n = jumlah contoh yang diambil dari populasi

Uji t hitung untuk perhitungan menganalisis produksi dan kualitas susu

menggunakan rumus sebagai berikut:

Dimana √(

)

Dengan derajat bebas efektif sebesar dbeff, dimana

(

)

(

(

)

(

)

)

Keterangan:

t = Nilai t hitung

= Nilai rataan

S = Simpangan baku

n = Jumlah individu atau ukuran contoh

27

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Peternakan Kambing Perah di Sumedang

Heriyadi (2004) menyebutkan bahwa Kabupaten Sumedang memiliki

topografi yang berbukit-bukit dengan kemiringan berkisar antara 15%-30%, dengan

perbedaan ketinggian antara 50-200 meter. Wilayah Kabupaten Sumedang memiliki

ketinggian tempat antara 700-750 meter dari permukaan laut dengan temperatur

harian antara 20-29oC, serta kelembaban relatif antara 68%-80%. Curah hujan

berkisar antara 1.500-2.200 mm/tahun pada tahun 2002. Kabupaten Sumedang secara

geografis terletak antara 107o44’ sampai 08

o2 ’ BT dan 6

o40’ sampai 7

o83’ LS

dengan luas wilayah 152.219,95 hektar (Rani, 2004). Lokasi penelitian dapat dilihat

pada Gambar 8.

Gambar 8. Letak Penelitian (Sumber: Google maps)

Lokasi penelitian berada 15 km dari Ibu Kota Kabupaten Sumedang.

Kecamatan Cimalaka-Sumedang memiliki akses yang baik karena dekat dengan jalan

utama Sumedang-Tomo. Wilayah Cimalaka dapat dilihat di peta berbatasan dengan

wilayah Paseh, Legok Kidul, Mandalaherang dan Legok Kaler.

Kecamatan Cimalaka merupakan daerah terpadat untuk populasi kambing

Peranakan Etawah (PE) di seluruh Kabupaten Sumedang. Kecamatan Cimalaka oleh

Kabupaten Sumedang dijadikan daerah yang dapat dibuka sebagai daerah

28

penambangan pasir. Oleh karena itu keberadaan kambing PE di daerah ini diawali

dengan upaya untuk memanfaatkan lahan kritis yakni lahan bekas galian pasir yang

sudah tidak dipakai lagi. Daerah penelitian khususnya yang terdapat lokasi galian

pasir adalah di Desa Cibeureum Wetan, Kabupaten Sumedang.

Desa Cibeureum Wetan terletak pada 107o60’45” BT di sebelah utara

berbatasan dengan Gunung Tampomas, di sebelah selatan dengan Desa Ciuyah

Kecamatan Cisarua, di sebelah barat dengan Desa Cibeureum Kulon dan di sebelah

timur dengan Desa Legok Kecamatan Paseh. Luas Desa Cibeureum Wetan 394 Ha.

Desa Cibeureum Wetan berada pada ketinggian 500-600 m di atas permukaan laut

karena berada di kaki Gunung Tampomas, curah hujan rata-rata 2000-2500

mm/tahun dan keadaan suhu rata-rata berkisar antara 23 -31oC.

Lingkungan sangat berpengaruh terhadap kondisi ternak selain faktor genetik.

Interaksi antara genetik dan lingkungan juga memiliki peranan yang penting. Oleh

karena itu pengetahuan mengenai kondisi lingkungan sangat diperlukan. Berikut ini

merupakan data suhu dan kelembaban yang diamati selama penelitian.

Tabel 6. Rataan Suhu dan Kelembaban Selama Pengamatan di Dalam Kandang

Waktu Suhu (oC) Kelembaban %

Pagi 23,04 68,46

Siang 30,11 37,07

Sore 28,60 43,16

Keterangan : Pagi (08.00 WIB), siang (14.00 WIB), sore (16.00 WIB)

Berdasarkan hasil yang diperoleh terhadap suhu dan kelembaban selama

penelitian berlangsung yakni suhu pada siang hari (30,11oC) lebih tinggi

dibandingkan pada pagi dan sore hari dengan kelembaban yang juga sangat rendah

yakni 37,07%. Perbedaan kisaran suhu dan kelembaban dengan data Heriyadi (2004)

yang menyebutkan bahwa suhu harian berkisar antara 20-29oC, serta kelembaban

relatif antara 68%-80%. Hal ini memperlihatkan bahwa kondisi di tempat penelitian

lebih besar nilai suhunya dibandingkan dengan kondisi Sumedang secara

keseluruhan. Sebaliknya, kelembaban memperlihatkan nilai yang lebih kecil. Hal ini

terjadi karena pada saat penelitian dilaksanakan pada musim kemarau. Kondisi

demikian menyebabkan lingkungan sekitar menjadi lebih panas dan ketersediaan air

juga sangat terbatas.

29

Menurut Ensminger (2002), suhu yang ideal untuk kambing perah berkisar

12,7oC sampai 21,11

oC, sementara Smith dan Mangkoewidjojo (1988) melaporkan

suhu nyaman bagi kambing berkisar antara 18oC sampai 30

oC. Sumedang memiliki

temperatur yang berkisar antara 23-30oC, masih berada pada kisaran suhu yang

nyaman bagi ternak kambing. Tomaszewska et al. (1993) menyatakan bahwa kisaran

suhu yang nyaman bagi ternak kambing cukup besar yakni diantara suhu 20oC

sampai 33,5oC.

Daerah tropika basah seperti Indonesia memiliki kelembaban rata-rata harian

atau bulanan relatif tetap sepanjang tahun dan umumnya kelembaban lebih dari 60%.

Kelembaban udara merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kenyamanan

ternak. Udara yang terlalu kering ataupun terlalu basah dapat mempengaruhi keadaan

fisiologis ternak dan ternak membutuhkan kelembaban yang ideal yakni berkisar

60%-70%. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa pada pagi hari memiliki

kelembaban 68,46%, siang hari 37,07% dan sore hari 43,16%. Oleh karena itu pada

siang dan sore hari kondisi ternak tidak nyaman. Kelembaban yang rendah ini karena

tempat penelitian berada di lahan kritis bekas galian tambang yang kondisinya

gersang dan jarang pohon yang tinggi karena kebanyakan adalah hamparan batu-

batuan yang sudah ditelantarkan oleh pengusaha galian pasir.

Sejarah Pengembangan Kambing di Cimalaka

Desa Cibeureum Wetan menjadi daerah penambangan galian pasir telah

berlangsung sejak awal tahun 1980. Kegiatan penambangan pasir setelah habis

dikuras, lahan galian tersebut dibiarkan begitu saja oleh pengguna. Oleh karena itu,

kerusakan lingkungan tidak terelakkan lagi. Lahan bekas galian pasir menjadi tidak

produktif dan kondisi tanahnya rusak. Produktivitas lahan di sekitar lahan pasca

penambangan menurun akibat adanya penurunan kesuburan tanah. Terlihat adanya

perubahan bentang lahan, terdapat banyak gundukan batu-batuan dan cekungan,

hilangnya vegetasi serta terjadinya perubahan iklim mikro yakni suhu yang terasa

lebih panas dari sebelumnya.

Usaha-usaha untuk mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan akibat

penambangan pasir harus dilakukan dalam rangka melestarikan lingkungan. Usaha

rehabilitasi lahan bekas tambang adalah usaha memperbaiki, memulihkan kembali

dan meningkatkan kondisi lahan yang rusak agar dapat berfungsi kembali secara

30

optimal seperti sebelum adanya penambangan baik sebagai unsur produksi, media

pengatur tata air maupun sebagai unsur perlindungan alam lingkungan (Zulfahmi,

1996). Kegiatan pemanfaatan lahan kritis ini dipelopori oleh seorang petani pelestari

lingkungan yaitu Uha Juhari dari Desa Cibeureum Wetan, Kecamatan Cimalaka.

Tahun 1983, sang perintis atas nama Uha Juhari memulai pemanfaatan lahan

kritisnya dengan membeli lahan bekas galian pasir (Tipe C) seluas 100 Bata. Bahan

galian Tipe C yaitu bahan galian yang dianggap tidak langsung mempengaruhi hajat

hidup orang banyak karena kecilnya jumlah letakan (deposit) bahan galian itu. Upaya

untuk mereklamasi lahan tersebut pun sangat lama dilakukan oleh Uha Juhari beserta

Keluarga karena lahan yang dibeli dipenuhi dengan batuan tanpa lapisan top soil.

Oleh karena itu upaya perataan lahan dan penanaman pohon yang mampu hidup pada

lahan seperti itu mulai dilakukan pada tahun 1985. Lahan bekas galian pasir dapat

dilihat pada Gambar 9 sedangkan Gambar 10 menunjukkan beberapa penanaman

tanaman yang dilakukan untuk mereklamasi lahan bekas tambang.

Gambar 9. Kondisi Lahan Sebelum Reklamasi

31

Gambar 10. Reklamasi dengan Tanaman Gamal dan Reklamasi dengan Buah Naga

Cara yang dilakukan untuk melakukan kegiatan rehabilitasi tersebut yakni

dengan penanaman tanaman yang mampu hidup pada lahan tersebut. Pertumbuhan

tanaman tersebut bisa dibantu dengan adanya pemberian bahan amelioran. Bahan

amelioran adalah bahan untuk mengkondisikan tanah agar baik untuk tanaman

tertentu. Bahan amelioran yang banyak diberikan pada kegiatan rehabilitasi lahan

pasca galian tambang adalah pupuk kandang.

Pupuk kandang mempunyai kelebihan diantaranya adalah mudah didapat,

harganya murah dan mudah dalam penanganannya. Menurut Abdurahman dan Agus

(2001) pupuk kandang mengandung unsur hara dengan konsentrasi yang bervariasi

diantara ternak satu dengan yang lainnya tergantung dari jenis ternak, umur, gizi dan

kesehatan ternak tersebut. Sabihan et al. (1989) menyatakan bahwa dosis pupuk

kandang yang diperlukan dalam pemupukan tergantung dari jenis tanah, jenis

tanaman yang diusahakan, bentuk usaha tani dan jumlah pupuk kandang yang

tersedia.

Keberadaan kambing di lahan pasca galian pasir ini digunakan oleh peternak

sebagai sumber pupuk kandang yang dapat digunakan sebagai pupuk organik untuk

menyuburkan lahan sekitar. Pemberian bahan organik mempunyai manfaat antara

lain: memperbaiki sifat fisik tanah, hasil pelapukan bahan organik juga merupakan

unsur hara yang cukup potensial dan terhadap sifat kimia tanah ialah menambah nilai

kapasitas tukar kation dan gudang hara (Abdurachman et al., 1999).

Pohon yang ditanam adalah pohon leguminosa seperti tanaman gamal

(Gliricidia sepium) dengan tujuan awal untuk mereklamasi kembali lahan yang telah

rusak. Namun setelah tanaman gamal tumbuh dengan normal pada lahan tersebut

kurang lebih dua tahun setelah penanaman. Tahun 1990-an Uha Juhari mulai

32

memanfaatkan tanaman gamal tersebut dengan memelihara kambing pada lokasi

tersebut dimana kambing yang dipelihara adalah PE.

Pemeliharaan ternak kambing dimulai dengan empat ekor tenak kambing PE

gaduhan. Setelah usaha dirasakan bermanfaat dan mendapatkan keuntungan yang

cukup baik dari hasil kambing dan susu kambing serta pupuk kandang yang mampu

digunakan sebagai penyubur lahan, akhirnya usaha ini dijadikan sebagai mata

pencaharian yang tetap. Keberhasilannya tersebut menyebabkan peternak yang lain

pun ikut bergabung dengan Uha Juhari membentuk satu Kelompok Ternak Simpay

Tampomas pada tahun 1994 dengan jumlah anggota 24 peternak dimana setiap

peternak memiliki kambing antara 5-30 ekor.

Sistem Pemeliharaan Terintegrasi

Pemberian pakan di Kecamatan Cimalaka yakni Kelompok Ternak Simpay

Tampomas dilakukan secara cut and serve (cut and carry) dimana jenis pakan yang

diberikan adalah hijauan tanpa diberikan konsentrat. Hijauan yang diberikan antara

lain leguminosa (Gliricidia sepium dan Calliandra sp.) dan rumput lapangan yang

tumbuh disekitar kandang–kandang kelompok. Jumlah pakan yang diberikan antara

4-6 kg yang disesuaikan dengan ukuran bobot badan dan jumlah kambing yang

terdapat pada kandang kelompok.

Rumput gamal diberikan kepada ternak hanya pada musim penghujan dimana

keberadaan tanaman gamal sangat banyak sedangkan pada musim kering tanaman

gamal tidak banyak diberikan karena terbatas. Kaliandra merupakan hijauan yang

banyak diberikan kepada ternak kambing karena keberadaan kaliandra cukup banyak

di kaki gunung Tampomas. Banyaknya kaliandra juga didukung dari berbagai

bantuan yang datang untuk Peternakan Simpay Tampomas dalam memenuhi

kebutuhan pakan kambing oleh Dinas terkait.

Wina dan Budi (2000) menyatakan bahwa domba dan kambing akan tumbuh

lebih baik bila disuplementasi dengan kaliandra dibandingkan bila hanya diberi

rumput. Tingkat suplementasi yang baik adalah 30% dari total ransum karena

pemberian yang lebih tinggi tidak mempunyai pengaruh lagi. Kadar tanin yang tinggi

dalam daun kaliandra akan mengikat protein lebih kuat bila kaliandra dikeringkan

daripada dalam bentuk segar. Peternak memberikan pakan kaliandra umumnya

diberikan dalam bentuk segar.

33

Usaha peternakan kambing pada hakikatnya akan menghasilkan limbah

ternak yakni kotoran. Limbah tersebut dijadikan pupuk. Pupuk tersebut lebih banyak

digunakan untuk tanaman buah naga. Peternakan Simpay Tampomas memiliki

sekitar 5 hektar lahan bekas galian pasir yang khusus untuk budidaya buah naga.

Produktivitas buah naga yang dihasilkannya pun sangat tinggi karena dari 3 hektar

lahan akan menghasilkan buah naga konsumsi sebanyak 36 ton per tahun.

Gambar 11. Budidaya Buah Naga

Pemeliharaan kambing PE di Kabupaten Sumedang dilakukan secara intensif

dimana kambing-kambing ditempatkan sepanjang hari pada kandang tertutup dan

dikeluarkan pada hari-hari tertentu, seperti pada waktu menjelang beranak,

perawatan rutin, sakit dan bila akan dijual. Pemeliharaan secara intensif ini dilakukan

untuk melaksanakan proteksi maksimal dari faktor lingkungan yang tidak terkontrol

dan memberikan kontrol yang lengkap terhadap kebiasaan kambing yang merusak.

Devendra (1993) menambahkan bahwa kambing perah di daerah tropis dikelola

dengan produksi intensif (tanpa pengembalaan).

Kondisi iklim sekitar kandang yang kering selama penelitian menyebabkan

adanya beberapa masalah terhadap kesehatan kambing. Gangguan kesehatan yang

terjadi selama penelitian tahap pertama berlangsung adalah penyakit mata, kembung

dan mencret. Penyakit mata hanya terjadi pada awal penelitian yang diakibatkan

adanya perpindahan kandang. Tomaszewska et al. (1993) menyatakan bahwa

penyakit mata bisa menyerang kambing Etawah pada saat cuaca kurang baik serta

adanya penurunan daya tahan tubuh kambing Etawah, biasanya mudah sekali

terserang penyakit mata. Namun pada penelitian ini penyakit tersebut tidak diobati

hanya dibiarkan, karena akan sembuh setelah ternak beradaptasi dengan baik pada

kandang yang baru. Hal ini terlihat setelah waktu adaptasi selesai dan dimulainya

waktu perlakuan, ternak yang terdeteksi penyakit tersebut telah sembuh.

34

Penyakit yang menyerang ternak pada waktu penelitian yaitu penyakit

kembung dan mencret, tindakan yang dilakukan yakni penyembuhan dengan

pemberian obat. Tomaszewska et al. (1993) menyatakan bahwa perut kembung

(bloat) terjadi karena ternak memakan pakan yang cepat terfermentasi, tetapi

pengeluaran gas tidak mampu diimbangi. Makanan yang bisa menyebabkan hal ini

adalah golongan leguminosa dan hijauan basah. Pakan yang banyak diberikan selama

penelitian ini adalah kaliandra. Kaliandra tersebut tidak dibedakan antara yang muda

dan yang tua, semuanya dicampur oleh peternak atau tergantung dari ketersediaan di

lapangan. Kaliandra dan Piper aduncum yang diberikan pada penelitian ini diberikan

dalam keadaan segar sehingga bisa jadi ternak yang terkena penyakit ini memakan

pakannya dengan lahap dan cepat. Pencegahan yang bisa dilakukan adalah dengan

memberikan pakan yang sudah kering dari embun pagi, pemberian leguminosa

jangan terlalu banyak dan pemberian daun muda harus dihindari. Tindakan lainnya

yang bisa dilakukan jika terjadi bloat adalah dengan mencekokkan minyak kelapa

kepada ternak tersebut. Penyakit kembung pada penelitian ini diberi pengobatan per

oral (melalui air minum) yakni dengan pemberian air minum Lasegar. Hal ini

dilakukan karena ketersediaan obat tradisional pada lahan seperti bekas galian pasir

sulit ditemukan dan lebih praktis dilakukan oleh peternak.

Mencret pada kambing diobati dengan pemberian obat dalam yakni

pemberian obat Diapet satu kapsul dan air gula merah untuk menstabilkan kembali

kondisinya akibat konsumsi pakan yang sedikit. Penyakit diare dialami oleh ternak

kambing pada awal perlakuan pemberian konsentrat. Hal ini terjadi karena ternak

belum beradaptasi dengan pakan baru yang diberikan. Diare menyerang kambing

Etawah yang disebabkan makanan sejenis yang berlebihan atau karena kambing

memakan hijauan makanan ternak yang berupa daun yang masih terlalu muda yang

berlebihan (Tomaszewska et al., 1993).

Penelitian selanjutnya mengenai produktivitas induk laktasi memperlihatkan

kondisi ternak yang lebih baik dibandingkan dengan ternak muda. Hal ini

dikarenakan pada ternak kambing betina laktasi selalu dilakukan pembersihan

kandang sebelum dilakukan pemerahan. Walaupun ada keterbatasan air di wilayah

Kelompok Ternak Simpay Tampomas, diusahakan tindakan pembersihan pada

daerah ambing dengan menggunakan air yang bersih dan hangat dan setelah

35

pemerahan diberikan antibiotik. Hal lainnya yang menyebabkan kesehatan ternak

induk laktasi terjaga adalah selektifnya peternak dalam menjaga kesehatan ternak

induk laktasi. Tindakan kebersihan yang terjaga tersebut dikarenakan peternak

memahami akan adanya penyakit yang dapat menyerang pada ternak perah seperti

penyakit mastitis jika kebersihan tidak terjaga.

Keterbatasan air yang dialami Kelompok Ternak Simpay Tampomas

disebabkan penambangan pasir yang semakin banyak dilakukan pada lahan yang

bersebelahan dengan peternakan. Wardoyo et al. (1999) menyatakan bahwa dampak

fisik akibat penambangan pasir adalah terganggunya jalur aquifer air tanah akibat

dari adanya kegiatan pemotongan bukit yang akan diambil pasirnya. Aquifer air

tanah merupakan sumber air tanah bagi masyarakat. Posisi Kelompok Ternak

Simpay Tampomas lebih tinggi dari lahan yang sekarang masih aktif dilakukan

penggalian sehingga jalur aquifer semakin rendah dan bisa juga berubah. Oleh

karena itu pasokan air sangat terbatas.

Keterbatasan air menyebabkan ternak kambing di Kelompok Ternak Simpay

Tampomas tidak diberikan air minum. Kebutuhan air didapatkan oleh ternak hanya

dari pakan yang diberikan. Air yang ada hanya cukup untuk digunakan sebagai air

cucian untuk ternak kambing perah induk laktasi sebelum dilakukan pemerahan.

Padahal air bagi ternak berfungsi sebagai komponen utama dalam metabolisme tubuh

dan sebagai faktor utama dalam kontrol temperatur tubuh. Oleh karena itu, peternak

mengupayakan pembuatan kolam-kolam penampungan air hujan sehingga

diharapkan mampu memenuhi kebutuhan air untuk musim kemarau.

Performa Kambing PE Muda

Penelitian pertama mengenai performa kambing PE muda menggunakan

kambing PE jantan sebanyak 12 ekor. Bobot tubuh awal kambing PE sebelum

mendapatkan perlakuan yaitu berkisar antara 10,5-14,5 kg dengan rataan 12,6 kg.

Devendra (1993) menyatakan bahwa berat badan mempunyai pengaruh yang nyata

terhadap produksi daging. Salah satu faktor yang mempengaruhi berat badan adalah

pakan yang diberikan kepada ternak, sehingga respon yang baik akan diperoleh

ketika ternak diberikan pakan yang memiliki kualitas dan kuantitas yang baik.

Bobot tubuh akhir kambing setelah digemukkan selama dua bulan berkisar

antara 13,2-18,1 kg dengan rataan 15,4 kg. Menurut Badan Standarisasi Nasional

36

(2008) untuk kambing jantan pada usia 0,5 tahun sampai 1 tahun bobot badannya

mecapai 29±5 kg sedangkan menurut Sutama dan Budiarsana (1997) berat badan

sapih pada kambing PE berkisar antara 8,6-12,7 kg dan pada umur 12 bulan akan

meningkat sampai berat badan 15,4-20,5 kg.

Zurriyati (2005) menambahkan bahwa adanya Pertambahan Bobot Badan

Harian (PBBH) pada umur yang relatif sama diantara ternak kambing disebabkan

oleh keragaman individu (variasi genetik), tatalaksana pemeliharaan dan kondisi

lingkungan yang berbeda. Ternak mempunyai kemampuan yang berbeda dalam

beradaptasi dengan perubahan lingkungan sekitarnya yakni dengan adanya

perubahan pakan sehingga dapat menyebabkan adanya pertambahan bobot badan

ternak kambing yang berbeda pula.

Performa ternak dapat dilihat dari nilai PBBH. PBBH erat hubungannya

dengan pertumbuhan karena dengan adanya PBBH menggambarkan kondisi ternak

untuk tumbuh. Hasil yang diperoleh dari 56 hari terhadap kambing PE jantan,

didapatkan rataan PBBH dari masing-masing ternak tersebut yang disajikan pada

Tabel 7.

Tabel 7. Rataan PBBH Berdasarkan Pakan dan Waktu Pemberian yang Berbeda

Waktu Pemberian Jenis Pakan

Rata-rata P1 P2

W1 74,41a±11,89 44,64

b±2,73 59,52±18,10

W2 43,45b±3,57 38,69

b±5,16 41,07±4,52

Rata-rata 58,93±18,63 41,66±5,13

Keterangan: P1 = Hijauan & Konsentrat, P2 = Hijauan, W1 = P & So, dan W2 = Si & So. P = pagi

(08.00 WIB), Si = Siang (14.00 WIB), So = Sore (16.00 WIB). Superscript yang berbeda

(a,b) pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).

PBBH ternak sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik ternak dan

lingkungannya. Pertambahan bobot badan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu

jenis ternak, umur, keadaan genetik, lingkungan, kondisi ternak, manajemen tata

laksana dan total protein yang diperoleh ternak dari pakan yang dikonsumsi.

Hasil dari rataan yang diperoleh menunjukkan bahwa pemberian konsentrat

sebanyak 100 gram/ekor/hari mampu memberikan pertambahan bobot badan yang

sangat nyata lebih tinggi (P<0,01) dibandingkan dengan ternak yang tidak

37

mendapatkan tambahan pakan konsentrat. Ternak yang diberikan pakan pada waktu

pemberian W1 nilai PBBHnya sangat nyata lebih tinggi (P<0,01) bila dibandingkan

dengan ternak yang diberikan pakan pada waktu pemberian W2. Interaksi antara

pengaruh pemberian pakan (P) dan waktu yang berbeda (W) pada ternak kambing PE

menunjukkan hasil yang significant (P<0,05) berdasarkan analisis rancangan acak

lengkap pola dua arah. Hal ini dapat dilihat dari tingginya PBBH ternak kambing

jantan muda yang diberikan perlakuan pakan P1 pada waktu pemberian W1

dibandingkan dengan ternak yang diberikan perlakuan pakan P2 pada waktu

pemberian pakan W2. Selanjutnya, rataan PBBH kambing PE berkisar antara 38,69-

74,41 gram/ekor/hari (lihat Tabel 7) dan grafik rataan pertambahan bobot badan

kambing selama perlakuan dapat dilihat pada Gambar 12.

Hasil pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan penelitian

Anastasia (2007) dengan pemberian pakan komplit yang mengandung Protein Kasar

(PK) 12,05% menghasilkan PBBH pada kambing sebesar 78,70 gram/ekor/hari.

Namun, PBBH yang diperoleh pada penelitian jauh lebih tinggi bila dibandingkan

dengan data yang diperoleh Sutama dan Budiarsana (1997), dimana pada

pemeliharaan yang berbeda pada kambing PE menghasilkan PBBH sebesar 27-65,4

gram/ekor/hari. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini juga memiliki nilai yang

lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil yang diperoleh Hastono (2003) yakni

kambing usia disapih sampai 6 bulan memiliki PBBH jantan dan betina berturut-turut

yakni 39,3 gram/hari dan 39,4 gram/hari sedangkan pada usia 6 bulan sampai 9 bulan

PBBH berturut-turut untuk jantan dan betina yakni 43 gram/hari dan 30 gram/hari.

PBBH tertinggi didapatkan pada waktu pemberian pakan W1 dengan perlakuan P1

74,41 (a)

44,64 (b) 43,45 (b) 38,69 (b)

0

10

20

30

40

50

60

70

80

Hijauan & Konsentrat HijauanPer

tam

bah

an B

obot

Bad

an

Har

ian

(gra

m/e

kor/

har

i)

Gambar 12. Grafik Nilai Rataan PBBH

P & So

Si & So

38

yaitu 74,41 gram/ekor/hari. Hal ini diduga karena adanya interaksi positif dari waktu

yang panjang pada ternak untuk mengkonsumsi pakan yang diberikan dibandingkan

dengan waktu pemberian pakan pada W2.

Perbedaan lama waktu makan memberikan perbedaan kecernaan komponen

zat makanan pada kambing yang berbeda pula. Pemberian pakan yang lebih lama

akan menyebabkan waktu yang lebih lama untuk meregurgitasi pakan lebih

sempurna. Kondisi tersebut akan memberikan kesempatan yang lebih lama bagi

mikroorganisme untuk mengurai zat makanan lebih sempurna. Hal ini yang

menyebabkan PBBH ternak kambing jauh lebih tinggi daripada perlakuan pemberian

pakan P2 dengan waktu pemberian pakan W2 yang biasa dilakukan oleh peternak.

Semakin banyak pakan yang terkonsumsi maka semakin tinggi PBBH.

Pertambahan bobot badan yang tinggi akan menghasilkan bobot akhir yang

tinggi pula. Selain adanya perbedaan waktu pemberian pakan Cheke (1999)

mengemukakan bahwa jenis pakan dapat mempengaruhi PBBH ternak. Penambahan

konsentrat sebanyak 100 gram/ekor/hari baik pada waktu pemberian pakan W1

maupun W2 memberikan peningkatan bobot badan yang jauh lebih tinggi

dibandingkan tanpa adanya penambahan konsentrat. Menurut Ensminger (2002),

untuk memacu pertumbuhan dapat dilakukan dengan pemberian pakan tambahan

yang terdapat pada pakan, dalam pengkajian ini berupa konsentrat sebesar 100

g/ekor/ hari. Pakan tambahan akan berpengaruh terhadap asupan bahan kering ternak

dan komponen nutrisi lainnya.

Penelitian lain pada ternak kambing muda yang berada pada peternakan

Barokah di daerah Bogor memiliki nilai PBBH sebesar 87,5 g/hari (Atabany, 2001).

Sehingga, PBBH yang terbaik di lahan kritis pasca galian tambang pasir nilainya

lebih kecil dibandingkan dengan daerah yang tidak kritis. Perbedaan PBBH yang

dihasilkan diantara kedua penelitian menunjukkan bahwa kondisi lingkungan yang

berbeda dengan manajemen pemberian pakan yang berbeda menghasilkan

peningkatan PBBH walaupun peningkatan pertambahan bobot badan yang dihasilkan

tidak sama. Tingkat palatabilitas kambing terhadap pakan yang diberikan juga dapat

mempengaruhi peningkatan PBBH sehingga konsumsi pakan dapat menurun ketika

ternak tidak menyukai pakan yang diberikan.

39

Gambar 12 memperlihatkan perbedaan antara waktu pemberian pakan yang

sangat jelas. Perlakuan pemberian pakan pada waktu W1 baik pada perlakuan pakan

P1 maupun P2 memiliki nilai PBBH yang lebih tinggi dibandingkan dengan waktu

pemberian pakan W2. Hal ini terjadi karena pada waktu W1 keadaan suhu

lingkungan ternak masih rendah sehingga energi ternak tidak banyak terbuang untuk

menstabilkan kondisi tubuh dan ternak lebih nyaman untuk mengkonsumsi pakan

yang diberikan. Oleh karena itu, energi yang masuk kedalam tubuh ternak kambing

digunakan secara efektif untuk produksi daging dan terjadinya heat increament lebih

kecil dibandingkan dengan waktu pemberian W2.

Taylor dan Field (2004) menyatakan bahwa ternak yang berada pada zona

nyaman (thermal neutral zone) yakni pada temperatur yang sesuai dengan ternak

tersebut maka akan terjadi efisiensi performa yang maksimal dan kesehatan yang

optimal. Sebaliknya jika ternak berada pada zona tidak nyaman maka energi

metabolis pertama kali akan digunakan oleh ternak untuk proses hemeostatis

daripada untuk produksi.

Konsumsi Bahan Kering

Pakan adalah salah satu faktor yang sangat menentukan disamping mutu bibit

dan tatalaksana dalam menghasilkan produksi ternak karena akan mampu

memperbaiki performa ternak baik itu dari segi jumlah maupun mutu pakan yang

diberikan. Pemberian pakan pada ternak kambing dalam penelitian ini disesuaikan

dengan kebiasaan peternak dari segi hijauan yang diberikan sedangkan tambahannya

berupa tambahan konsentrat untuk beberapa perlakuan.

Konsumsi merupakan faktor esensial yang merupakan dasar untuk ternak

melangsungkan kehidupannya serta menentukan produksi. Tingkat konsumsi dapat

menentukan kadar suatu zat makanan dalam ransum yang diberikan untuk dapat

memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi. Tingkat konsumsi pakan dapat

menentukan kadar nutrien dalam ransum untuk memenuhi hidup pokok dan produksi

(Parakkasi, 1999).

Jumlah konsumsi pakan merupakan faktor penentu yang penting untuk

menentukan jumlah zat-zat makanan yang didapat untuk ternak yang selanjutnya

akan mempengaruhi tingkat produksi. Konsumsi pakan akan meningkat seiring

dengan meningkatnya berat badan karena pada umumnya kapasitas saluran

40

pencernaan juga meningkat (Ensminger, 1990). Rataan konsumsi bahan kering,

efisiensi pakan dan Income Over Feed Cost (IOFC) pada kambing PE jantan muda

selama perlakuan dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Konsumsi Bahan Kering, Efisiensi Pakan dan IOFC berdasarkan Pakan dan

Waktu Pemberian yang Berbeda

Parameter Waktu Pemberian

Jenis Pakan

P1 P2

Konsumsi Bahan Kering

(gram/ekor/hari)

W1 473,87 459,01

W2 443,23 435,59

Efisiensi pakan (%) W1 15,7 9,8

W2 9,9 9,0

Income Over Feed Cost

(Rupiah)

W1 249.667 128.333

W2 145.600 122.267

Keterangan: P1 = Hijauan & Konsentrat, P2 = Hijauan, W1 = P & So, dan W2 = Si & So. P = pagi

(08.00 WIB), Si = Siang (14.00 WIB), So = Sore (16.00 WIB).

Rataan konsumsi bahan kering pada penelitian ini berkisar antara 435,59–

473,87 gram/ekor/hari (Tabel 8). National Research Council (1981) menyatakan

bahwa kebutuhan nutrisi ternak kambing yakni konsumsi bahan kering sebesar 500–

840 gram untuk bobot 10–20 kg. Hal ini menunjukkan bahwa pakan yang diberikan

pada penelitian ini jika dibandingkan dengan National Research Council (1981),

ternak kambing belum memenuhi kebutuhan bahan kering.

Data pada Tabel 8 menunjukkan bahwa kambing mampu mengkonsumsi

pakan sebanyak 473,87 gram/ekor/hari berdasarkan bahan keringnya pada perlakuan

waktu pemberian pakan W1 serta perlakuan pakan P1. Perlakuan pada waktu

pemberian pakan W2 dengan perlakuan pakan yang sama konsumsi bahan keringnya

lebih rendah dibandingkan W1 yakni sebesar 443,23 gram/ekor/hari. Hal ini diduga

karena waktu makan yang relatif pendek dari Si ke So sehingga ternak hanya

mengkonsumsi pakan dalam jumlah sedikit. Sedangkan untuk perlakuan pemberian

pakan pada waktu P & So, ternak memiliki waktu yang relatif lebih panjang.

Perbedaan lama waktu makan menyebabkan terdapatnya perbedaan kecernaan

komponen zat makanan kambing yang berbeda. Tingginya rataan konsumsi bahan

kering pakan pada kambing jantan yang diberi makan lebih lama disebabkan karena

41

adanya aktivitas regurgitasi yang berbeda dimana pemberian waktu makan yang

lebih lama akan meregurgitasi pakan lebih sempurna. Hal ini bisa terlihat jelas pada

Gambar 13.

Konsumsi pakan pada waktu pemberian pakan W2 dan perlakuan pakan P2

(Tabel 8) menunjukkan konsumsi pakan kambing jantan muda sebanyak 435,59

gram/ekor/hari. Namun, ketika pemberian hijauan dilakukan pada waktu W1,

konsumsi bahan kering ternak meningkat menjadi 459,01 gram/ekor/hari. Sehingga

baik pada perlakuan pakan P1 maupun P2, nilai konsumsi bahan kering akan lebih

banyak pada waktu pemberian pakan W1.

Rataan tingkat konsumsi pakan kambing pada penelitian ini lebih rendah jika

dibandingkan dengan rataan tingkat konsumsi pakan pada penelitian Anastasia

(2007) menghasilkan rataan konsumsi pakan sebesar 501,94 gram/ekor/hari. Hal ini

disebabkan oleh perbedaan jenis ternak, kondisi lingkungan dan pakan yang

digunakan. Konsumsi dipengaruhi oleh palatabilitas pakan hal ini dapat dilihat dari

pakan tambahan konsentrat yang diberikan pada awalnya tidak disukai oleh ternak

kambing. Namun dengan adanya waktu adaptasi yang diberikan kepada ternak dan

pemberian lebih awal untuk konsentrat sebelum hijauan umumnya konsentrat habis

dikonsumsi untuk hari berikutnya.

Konsumsi Kandungan Nutrisi Pakan

Kebutuhan nutrisi ternak bervariasi antar spesies ternak dan umur fisiologis

ternak tersebut (Haryanto, 1992). Ternak memperoleh zat-zat makanan yang

diperlukan bersumber dari pakan yang diberikan dimana komponen-komponen

473,87

459,01

443,23

435,59

410

420

430

440

450

460

470

480

Hijauan & Konsentrat Hijauan

Konsu

msi

Bah

an K

erin

g

(gra

m/e

kor/

har

i)

Gambar 13. Grafik Rataan Konsumsi Bahan Kering

P & So

Si & So

42

nutrisi yang diperlukan ternak secara garis besar adalah: energi, protein, mineral dan

vitamin. Perlakuan pakan dengan pemberian pakan leguminosa yang nilai nutrisi

protein lebih tinggi maka memungkinkan pertumbuhan ternak jantan muda akan

lebih baik (Zurriyati, 2005). Ternak pada fase pertumbuhan lebih membutuhkan

protein dibandingkan dengan energi dengan catatan bahwa energi bukan merupakan

faktor pembatas.

Alasan diberikannya kaliandra dan Piper aduncum adalah ketersediaan yang

cukup banyak pada musim kemarau karena penelitian ini dilakukan pada musim

kemarau. Kaliandra sendiri banyak diberikan kepada ternak kambing karena

palatabilitas dan kandungan nutrisinya disukai ternak. Menurut National Academy of

Science (1980), hijauan kaliandra memiliki PK 22%, SK 34%-75%, lemak 2%-3%,

abu 4,5%-5% serta produksi 1-10 ton bahan kering/ha/tahun. Namun berdasarkan

analisa yang dilakukan pada pakan kaliandra yang diberikan pada penelitian ini

menunjukkan bahwa nilai kandungan nutrisinya sebagai berikut: PK 21,84%, SK

17,32%, LK 3,24% dan abu 12,31%. Data tersebut memperlihatkan bahwa pada nilai

kandungan PK tidak terlalu jauh perbedaannya dengan nilai kandungan nutrisi dari

pakan yang terdapat di lahan pasca galian pasir dengan hasil National Academy of

Science (1980). Konsumsi nutrien pakan pada penelitian ini antara lain konsumsi

abu, protein kasar, serat kasar, lemak kasar dan Beta-N.

Konsumsi abu pada penelitian ini (Tabel 9) lebih tinggi pada perlakuan pakan

P1 baik pada waktu pemberian W1 maupun W2, nilainya berturut-turut yakni 53,08

gram/ekor/hari dan 49,92 gram/ekor/hari. Tingginya konsumsi abu pada perlakuan

tersebut disebabkan oleh tingginya kandungan abu pada konsentrat yang diberikan

pada ternak yakni 22,24 %. Konsumsi abu dipengaruhi oleh persentase kandungan

abu di dalam pakan. Perlakuan pakan P2 menunjukkan bahwa nilai konsumsi abunya

rendah yakni 47,57 gram/ekor/hari untuk waktu pemberian pakan W1 dan 45,09

gram/ekor/hari pada waktu pemberian W2. Rendahnya nilai konsumsi abu tersebut

karena nilai kandungan abu pada kaliandra dan Piper aduncum berturut-turut adalah

12,31 % dan 8,57 %. Rataan konsumsi kandungan nutrisi pakan yang diberikan dapat

dilihat pada Tabel 9 di bawah ini.

43

Tabel 9. Rataan Konsumsi Kandungan Nutrisi Pakan (Protein Kasar, Serat Kasar,

Lemak Kasar dan Beta-N) Berdasarkan Pakan dan Waktu Pemberian yang

Berbeda

Parameter Waktu Pemberian Jenis Pakan

P1 P2

Abu

(gram/ekor/hari)

W1 53,08 47,57

W2 49,92 45,09

Protein Kasar (PK)

(gram/ekor/hari)

W1 110,80 108,74

W2 103,53 103,09

Serat Kasar (SK)

(gram/ekor/hari)

W1 107,66 111,37

W2 100,20 105,58

Lemak Kasar (LK)

(gram/ekor/hari)

W1 20,78 19,66

W2 19,47 18,64

Beta-N

(gram/ekor/hari)

W1 181,56 171,67

W2 170,11 162,74

Keterangan: P1 = Hijauan & Konsentrat, P2 = Hijauan, W1 = P & So, dan W2 = Si & So. P = pagi

(08.00 WIB), Si = Siang (14.00 WIB), So = Sore (16.00 WIB).

Protein berfungsi sebagai zat pembangun atau pertumbuhan dan

memetabolisme zat-zat dalam tubuh (Anggordi, 1990). Menurut National Research

Council (1981) ternak ruminansia membutuhkan pakan berkadar protein berkisar

antara 10%-12% bahan kering ransum. Konsumsi protein pada penelitian ini (Tabel

9) menunjukkan bahwa nilai konsumsi protein kasar harian ternak kambing lebih

besar pada waktu pemberian pakan W1 dengan perlakuan pakan P1. Hal ini diduga

karena kandungan nutrisi protein kasar dari konsentrat yang diberikan cukup tinggi

yakni sebesar 19,32%, kemudian ditambahkan kaliandra 22,365% dan Piper

aduncum 24,93%. Perlakuan pakan P2 hanya mendapatkan protein kasar dari

kaliandra dan Piper aduncum. Meskipun begitu dapat dilihat pada Tabel 9, pakan

pada perlakuan P1 konsumsi protein kasarnya hanya sedikit jika pakan tersebut

diberikan pada waktu W2. Padahal untuk ternak dalam usia pertumbuhan

membutuhkan kadar protein yang tinggi pada ransumnya yang akan digunakan untuk

proses jaringan tubuh (National Research Council, 1981).

Konsumsi serat kasar dalam pakan akan mempengaruhi kecernaan pakan di

dalam saluran pencernaan. Namun daya cerna serat kasar pakan pada ternak

44

tergantung dari komposisi pakan yang dikonsumsi oleh ternak (Tillman et al., 1998).

Data hasil perlakuan pakan P2 dengan waktu pemberian pakan W1 nilai konsumsi

serat kasarnya paling tinggi yakni sebesar 111,37 gram/ekor/hari sedangkan nilai

konsumsi serat kasar harian yang paling rendah adalah ternak yang diberikan

perlakuan pakan P1 yakni sebesar 100,20 gram/ekor/hari untuk waktu pemberian

W2.

Semakin tinggi konsumsi serat kasar bukan berarti akan menghasilkan

pertumbuhan ternak dan produksi yang lebih baik karena serat kasar bersifat

menurunkan daya cerna. Namun jika dibandingkan dengan perlakuan pakan P1 pada

waktu pemberian W1 nilai konsumsi serat kasarnya lebih tinggi dibandingkan

dengan perlakuan pakan P2 yang diberikan pada waktu pemberian W2. Hal ini

terjadi karena waktu yang dimiliki oleh ternak dengan perlakuan pakan P2 pada

waktu pemberian pakan W2 lebih pendek.

Waktu yang terbatas menyebabkan ternak tidak memiliki waktu yang banyak

untuk mengkonsumsi pakan yang mengandung serat kasar tinggi dari kaliandra dan

Piper aduncum sebaliknya untuk waktu pemberian pakan W1 dengan adanya

tambahan konsentrat konsumsi serat kasarnya lebih tinggi karena waktu yang

dimiliki lebih panjang untuk mengkonsumsi pakan yang diberikan. Tillman et al.

(1998) menyebutkan bahwa kandungan serat kasar yang tinggi pada pakan ternak

akan mempengaruhi daya cerna makanan pada ternak tersebut. Ketika konsumsi serat

kasarnya lebih tinggi maka akan terjadi penurunan konsumsi kandungan nutrisi

pakan yang dapat dicerna.

Pakan yang mengandung lemak akan membuat ternak menjadi lebih tahan

menahan lapar dibandingkan dengan makanan yang tidak berlemak. Tabel 9

memperlihatkan bahwa yang banyak mengkonsumsi lemak kasar harian adalah pada

perlakuan pakan P1 dengan waktu pemberian pakan W1. Sedangkan konsumsi lemak

kasar harian yang lebih rendah adalah pada perlakuan pakan P2 dengan waktu

pemberian W2. Hal ini diduga karena dibandingkan lemak, yang banyak terkandung

pada hijauan adalah serat kasar.

Beta-N pada ternak kambing bisa dilihat pada Tabel 9. Beta-N adalah

karbohidrat yang mudah dicerna selain serat kasar. Nilai konsumsi harian Beta-N

yang paling tinggi adalah pada perlakuan pemberian pakan P1 dibandingkan dengan

45

P2. Perlakuan pakan yang sama, nilai konsumsi harian Beta-N yang paling tinggi

diperoleh pada waktu pemberian pakan W1 dibandingkan W2. Hal ini diduga dari

lamanya waktu yang tersedia untuk ternak tersebut. Berdasarkan hasil yang

diperoleh, konsumsi kandungan nutrisi pakan PK, LK dan Beta-N lebih tinggi pada

waktu pemberian pakan W1 dengan perlakuan pakan P1. Serat kasar lebih tinggi

pada perlakuan pakan P2 dengan waktu pemberiannya pada W1.

Efisiensi Pakan

Efisiensi pakan adalah perbandingan pertambahan bobot badan dibagi dengan

jumlah konsumsi bahan kering. Efisiensi pakan sangat penting diketahui karena erat

kaitannya dengan biaya produksi. Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan

bahwa pada waktu pemberian pakan W1 dengan perlakuan pakan P1, jumlah

konsumsi lebih kecil tetapi memberikan PBBH yang lebih besar. Sebaliknya terjadi

pada waktu pemberian pakan W2 dengan perlakuan pakan P2 memiliki nilai

konsumsi yang lebih besar tetapi PBBH lebih kecil. Semakin banyak pakan yang

dikonsumsi maka nilai konversi pakan semakin tinggi sedangkan efisiensi pakannya

menurun. Oleh karena itu, imbangan perlakuan pakan yang diberi tambahan

konsentrat dengan pakan yang hanya diberi hijauan saja memiliki efisiensi yang

berbeda.

Perlakuan pada waktu pemberian W1 dengan perlakuan pakan P1 memiliki

nilai efisiensi yang paling tinggi (15,7%) dibandingkan dengan perlakuan yang

lainnya. Nilai efisiensi yang semakin tinggi menunjukkan bahwa ransum yang

dikonsumsi semakin baik yang diubah menjadi hasil produk pada ternak

(pertambahan bobot badan). Artinya setiap ransum yang dikonsumsi mampu

dikonversi menjadi daging dengan baik sehingga menghasilkan pertambahan bobot

badan yang optimum. Kualitas pakan yang dikonsumsi oleh ternak semakin baik maka

semakin efisien dalam penggunaan pakan.

Perlakuan pada waktu pemberian pakan W2 dengan perlakuan pakan P2 nilai

persentase efisiensi pakannya adalah 9,0% dimana nilai tersebut lebih kecil

dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya. Perbedaan persentase pakan tersebut

disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: suhu lingkungan, potensi genetik, nutrisi pakan,

kandungan energi dan penyakit (Parakkasi, 1999). Rataan persentase pakan tersebut

dapat dilihat pada Tabel 8 dan grafiknya dapat dilihat pada Gambar 14.

46

Perlakuan pakan P2 baik pada waktu pemberian W1 maupun W2 memilki

nilai serat kasar yang lebih tinggi sehingga laju perjalanan pakan di dalam saluran

pencernaan akan lebih cepat. Hal ini menyebabkan daya cerna akan menurun

sehingga pakan yang dikonsumsi tidak efisien. Gambar 14 memperlihatkan bahwa

dengan hanya pemberian hijauan saja nilai efisiensi pakannya berturut-turut adalah

9,8% untuk W1 dan 9,0% untuk W2. Ketika pakan yang diberikan kepada ternak

tidak hanya hijauan yakni dengan adanya tambahan konsentrat menyebabkan nilai

serat kasar sedikit lebih rendah dan nilai efisiensinya pun lebih tinggi yaitu berturut-

turut sebesar 15,7% untuk W1 dan 9,9% untuk W2. Hal tersebut menunjukkan

bahwa dengan adanya kualitas pakan yang baik dan dikonsumsi oleh ternak maka

nilai efisiensi pakan akan semakin tinggi dan semakin efisien. Faktor yang

mempengaruhi efisiensi pakan antara lain laju perjalanan pakan dalam saluran

pencernaan, bentuk fisik, bahan makanan dan komposisi nutrisi ransum (Anggordi,

1990). Hasil tersebut memperlihatkan bahwa dengan adanya penambahan konsentrat

100 gram/ekor/hari memberikan nilai efektivitas pakan yang lebih tinggi jika

dibandingkan dengan pakan yang biasanya diberikan oleh peternak (waktu

pemberian pada W2 dengan perlakuan pakan P2).

Pemeliharaan tersebut tentunya akan memberikan keuntungan tersendiri bagi

peternak jika diberikan pakan tambahan. Hal ini terlihat dari nilai PBBH dan

efisiensi pakan yang lebih tinggi. Pakan tambahan bisa dijadikan peternak sebagai

alternatif dalam pemberian pakan pada ternak kambing di lahan pasca galian

tambang pasir ketika keterbatasan pakan tidak mencukupi kebutuhan ternak. Pakan

15,7

9,8 9,9 9,0

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

Hijauan & Konsentrat Hijauan

Efi

sien

si P

akan

(%

)

Gambar 14. Grafik Rataan Efisiensi Pakan

P & So

Si & So

47

tambahan juga bisa digunakan oleh peternak jika mereka menginginkan efisiensi

pakan yang lebih tinggi sehingga menghasilkan PBBH yang lebih tinggi.

Income Over Feed Cost (IOFC)

IOFC merupakan analisis pendapatan setelah dikurangi oleh biaya pakan

yang digunakan selama beternak. Faktor yang mempengaruhi IOFC adalah

pertambahan bobot badan yang dicapai, pakan yang dikonsumsi serta biaya pakan itu

sendiri. Nilai IOFC ini berguna untuk menentukan apakah dengan adanya

penambahan konsentrat pada ternak, nilai pendapatan yang diperoleh masih lebih

tinggi dari pendapatan sebelumnya yang hanya diberikan pakan hijauan saja atau

tidak.

Analisis pendapatan dengan cara perhitungan IOFC didasarkan pada harga

jual kambing per kg, harga beli ternak per kg dan pakan yang dikeluarkan selama

penelitian sedangkan biaya lain yang dikeluarkan selama penelitian belum termasuk

dalam perhitungan ini. Rataan perhitungan IOFC dapat dilihat pada Tabel 8 dan

Gambar 15 menunjukkan perbedaan yang sangat jelas akibat adanya perlakuan pakan

dan waktu yang berbeda pada ternak.

Kambing yang digunakan memiliki bobot awal rata-rata yakni 12,6 kg dan

bobot akhir setelah penelitian sebesar 15,4 kg dengan harga jual ternak kambing PE

per kg bobot badan untuk wilayah Kabupaten Sumedang adalah Rp. 70.000 per kg.

Harga pakan hijauan baik untuk kaliandra maupun Piper aduncum harganya Rp. 250

per kg sedangkan harga konsentrat per kg adalah Rp. 2.500.

249.667

128.333 145.600

122.267

0

50.000

100.000

150.000

200.000

250.000

300.000

Hijauan & Konsentrat Hijauan

IOF

C

(Rupia

h)

Gambar 15. Grafik Nilai Rataan IOFC

P & So

Si & So

48

Nilai ekonomi pemanfaatan konsentrat secara terbatas (100 g/ekor/hari) dapat

diketahui dengan menghitung IOFC (Simanihuruk et al., 2007). Nilai IOFC (Tabel 8)

yang diperoleh yakni Rp. 249.667 untuk waktu pemberian W1 dengan perlakuan

pakan P1, sedangkan untuk perlakuan pakan P2 pada waktu pemberian W2 nilai

IOFC hanya sebesar Rp. 122.267. Sehingga berdasarkan data diatas bisa diketahui

bahwa dengan adanya tambahan konsentrat pendapaan peternak tidak berkurang,

melainkan terjadi peningkatan yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan hanya

diberi hijauan (Gambar 15). Hal ini terjadi karena adanya PBBH yang jauh lebih

tinggi pada ternak yang diberikan tambahan konsentrat dibandingkan dengan hanya

hijauan sehingga pendapatannya juga lebih besar.

PBBH yang tinggi diharapkan mampu meningkatkan keuntungan peternak.

Wahju (1997) menyatakan bahwa pertumbuhan bobot badan yang tinggi belum

menjadi patokan peternak akan mendapatkan keuntungan yang maksimum ketika

tidak diikuti dengan efisiensi dan konversi pakan yang baik serta biaya pakan yang

minimum.

Produktivitas Induk Laktasi

Penelitian tahap dua yakni mengenai produktivitas induk laktasi. Kambing

PE termasuk tipe dwiguna (dual purpose) yakni sebagai penghasil daging dan susu.

Pemeliharaan kambing secara tradisional di pedesaan jarang untuk produksi susu,

karena untuk kambing perah yang mampu menghasilkan produksi susu yang tinggi

perlu manajemen pemberian pakan yang baik yakni dengan adanya pemberian pakan

tambahan yang mampu mencukupi kebutuhan metabolisme basal dan untuk produksi

ternak kambing tersebut. Penyusunan ransum sendiri harus realistis dan didasarkan

pada bahan makanan yang murah seperti daun tanaman semak, padang rumput dan

makanan hasil limbah pertanian dan industri (Devendra dan Burns, 1994).

Kekurangan pakan umumnya akan mengakibatkan lemahnya fisik calon induk,

produksi air susu rendah menjelang kelahiran, kondisi fisik anak lemah dan bobot

lahir rendah (Munier, 2008).

Kambing betina mampu mencapai berat 60 kg (Heriyadi, 2004), namun pada

penelitian ini kambing betina yang digunakan memiliki rata-rata bobot badan 50 kg

dengan kondisi puting yang simetris. Bobot badan ternak kambing PE betina ini

49

masih termasuk ke dalam calon bibit PE betina yang baik yakni 41 ± 7 kg pada usia

lebih dari 2 sampai 4 tahun (Badan Standarisasi Nasional, 2008).

Siklus berahi pada kambing di lahan pasca galian pasir ini berkisar antara 19-

22 hari sedangkan Toelihere (1981) menyebutkan 21 hari dan Atabany (2001) 22,79

hari, sehingga bisa dinyatakan siklus berahi pada kelompok di lahan kritis tersebut

normal. Hal ini bisa diakibatkan karena kondisi peternakan yang cukup kering

dengan kelembaban yang rendah sehingga ternak cocok dengan lingkungan tersebut

begitu pun dengan suhu yang telah dibahas sebelumnya. Kelembaban paling rendah

yakni 37,07% (siang hari) dan paling tinggi 68, 46% (pagi hari). Tomaszewska et al.

(1993) menyatakan bahwa ternak kambing sangat cocok di daerah dengan

kelembaban kering daripada kelembaban tinggi karena kambing yang dipelihara pada

wilayah basah cenderung lebih mudah mati karena infeksi parasit atau oleh penyakit.

Pendeteksian berahi oleh peternak dilakukan dengan mengidentifikasi 3B

yakni Beureum, Baseuh dan Bareuh serta sering mengembik. Menurut Blakely dan

Blade (1992), tanda-tanda berahi pada kambing bisa diamati pada daerah vulvanya

yang membengkak, warnanya merah dan basah. Ciri-ciri lain yaitu sering

mengembik, sering kencing dan siap dinaiki kambing betina lainnya. Cara

mengidentifikasi berahi ini penting diketahui oleh peternak karena akan

mempengaruhi keberhasilan perkawinan. Terjadinya berahi kembali setelah proses

perkawinan, menunjukkan tidak terjadinya kebuntingan pada kambing betina yang

berakibat pada kemunduran kambing betina dalam memproduksi susu.

Atabany (2001) menyatakan bahwa kambing PE yang dipelihara di daerah

Bogor memiliki karakteristik reproduksi sebagai berikut: lama kebuntingan 148,87

hari dan lama hari kosong 110,09 hari. Kambing betina yang digunakan pada

penelitian ini memiliki rata-rata kebuntingan 5 bulan dengan lama masa kosong 3

bulan. Lama masa kosong 3 bulan ini sesuai dengan manajemen penyapihan anak

kambing yang umumnya dilakukan setelah anak kambing berusia 3 bulan. Sehingga

selang beranaknya berkisar 8 bulan, yakni 5 bulan bunting dan 3 bulan masa kosong.

Sedangkan selang beranak kambing PE di Kecamatan Caringin yaitu 259,36 hari

(Atabany, 2001).

Usia pertama kali beranak pada kambing di lahan pasca galian pasir yakni

usia 1,5 tahun karena umumnya peternak mengawinkan ternak mereka pada usia

50

kambing 12 bulan. Smith dan Mangkoewidjojo (1987) menyatakan bahwa ternak

kambing betina dikawinkan pertama kali pada umur 9-12 bulan sedangkan Taylor

dan Field (2004) menyatakan bahwa kambing dapat dikawinkan pada umur 6-10

bulan. Peternak belum mau mengawinkan pada umur tersebut karena menurut

peternak usia tersebut masih terlalu muda.

Konsumsi Bahan Kering

Pakan yang diberikan kepada kambing digunakan untuk memenuhi

kebutuhan pokok dan produksi. Konsumsi ternak dipengaruhi oleh faktor pakan dan

ternak. Ternak lebih suka mengkonsumsi pakan berkualitas tinggi. Parakkasi (1999)

menambahkan bahwa dengan mengetahui tingkat konsumsi pakan maka dapat

ditentukan kadar zat makanan dalam pakan untuk memenuhi hidup pokok dan

produksi untuk ternak tersebut. Konsumsi pakan pada kambing selama periode

laktasi lebih banyak ditujukan untuk memproduksi susu. Hasil konsumsi bahan

kering dan kandungan nutrisi pakan yang dianalisa secara deskriptif dapat dilihat

pada Tabel 10.

Tabel 10. Konsumsi Harian Bahan Kering dan Kandungan Nutrisi Kambing PE.

Parameter Jenis Pakan

P1 P2

Bahan Kering (gram/ekor/hari) 1058,26 1313,32

Abu (gram/ekor/hari) 142,14 148,48

Protein Kasar (gram/ekor/hari) 220,07 284,89

Serat Kasar (gram/ekor/hari) 339,40 402,10

Lemak Kasar (gram/ekor/hari) 41,88 81,14

Beta-N (gram/ekor/hari) 314,77 396,71

Keterangan: P1 = Hijauan dan P2 = Hijauan & Pakan Tambahan.

Lokasi tempat penelitian di lahan pasca galian pasir berada di antara 500-600

m dpl dimana konsumsi rataan bahan segarnya adalah 7,5 kg, sedangkan menurut

Rusman (2011), tempat dengan ketinggian 561 m dpl, 673 m dpl dan 727 m dpl

konsumsi bahan segarnya berturut-turut adalah 7,5 kg, 8,0 kg dan 7,5 kg. Rataan

konsumsi bahan kering harian ternak kambing PE betina laktasi di kelompok

peternakan ini adalah 1058,26 gram/ekor/hari, dimana konsumsi tersebut merupakan

51

konsumsi yang biasa diberikan peternak kepada ternaknya. Pemberian pakan di

kelompok ternak ini untuk induk laktasi terdiri dari dua waktu yakni pagi hari jam

08.00 WIB dan sore hari jam 16.00 WIB. Pemerahan oleh peternak dilakukan satu

kali dikarenakan keterbatasan tenaga kerja.

Pakan tambahan berupa ampas tahu dan kulit kacang kedelai yang diberikan

kepada ternak induk laktasi nyata meningkatkan konsumsi bahan kering yakni

sebelumnya hanya 1058,26 gram/ekor/hari dan setelah adanya pakan tambahan

meningkat menjadi 1313,32 gram/ekor/hari. Hal ini terjadi karena tingkat

palatabilitas ternak terhadap pakan tambahan yang diberikan sangat tinggi. Terbukti

dari data dilapangan bahwa konsumsi bahan segar untuk ampas tahu dan kulit kacang

kedelai selalu habis dikonsumsi oleh ternak kambing PE induk. Grafik perbedaan

tingkat konsumsi bahan kering pakan pada ternak kambing PE induk laktasi dapat

dilihat pada Gambar 16.

Menurut Atabany (2001), konsumsi bahan kering kambing PE laktasi yang

diberi pakan rumput gajah, konsentrat, ampas tahu dan singkong adalah 1759

gram/ekor/hari. Konsumsi bahan kering kambing PE laktasi pada penelitian Rangkuti

(2011) adalah 1802,66-2491,48 gram/ekor/hari dan Rusman (2011) memperoleh

hasil 1650-1880 gram/ekor/hari. Sehingga bisa dinyatakan bahwa konsumsi bahan

kering di lahan pasca galian pasir relatif kecil. Hal ini terjadi karena kelompok ini

berada di lahan kritis sehingga pakan yang diberikan kepada ternak jumlahnya

terbatas dikarenakan ketersediaan pakan di daerah tersebut sangat sedikit.

1058,26

1313,32

0,00

200,00

400,00

600,00

800,00

1000,00

1200,00

1400,00

Sebelum Setelah

Konsu

msi

Bah

an K

erin

g

(gra

m/e

kor/

har

i)

Gambar 16. Grafik Konsumsi Bahan Kering

Sebelum

Setelah

52

Konsumsi Kandungan Nutrisi Pakan

Komposisi nutrien ransum menentukan jumlah konsumsi nutrien oleh ternak.

Nutrien yang dikonsumsi ternak akan mengalami proses pencernaan dan

metabolisme yang kemudian akan ditranspor oleh darah ke organ-organ yang

membutuhkan (Apdini, 2011). Perhitungan rataan konsumsi nutrien kambing PE

laktasi masing-masing disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 memperlihatkan bahwa

dengan adanya pemberian pakan tambahan pada kambing PE laktasi mampu

meningkatkan konsumsi kandungan nutrisi pakan (abu, protein kasar, serat kasar,

lemak kasar dan Beta-N).

Konsumsi abu sebelum pemberian pakan tambahan hanya 142,14

gram/ekor/hari tetapi setelah adanya pemberian pakan tambahan meningkat menjadi

148,48 gram/ekor/hari. Penelitian Atabany (2001) di Peternakan Barokah

menunjukkan konsumsi abunya adalah 119 gram/ekor/hari. Sehingga konsumsi abu

di lahan pasca galian pasir lebih tinggi dari peternakan Barokah dan hasil penelitian

Rangkuti (2011) dimana konsumsi abu berkisar antara 93,27-133,77 gram/ekor/hari.

Protein sangat diperlukan untuk pertumbuhan, reproduksi dan produksi susu.

Hasil konsumsi protein kasar pada kambing PE dalam penelitian ini adalah 220,07

gram/ekor/hari sebelum adanya tambahan pakan (ampas tahu dan kulit kacang

kedelai) dan 284,89 gram/ekor/hari setelah adanya pemberian pakan tambahan.

Peningkatan tersebut karena pada limbah yang diberikan kepada ternak kambing

memiliki kandungan protein kasar berturut-turut yakni 24,71% ampas tahu dan

26,79% kulit kacang kedelai. Penelitian Rangkuti (2011) menyatakan bahwa

konsumsi protein kasar adalah 205,32-591,79 gram/ekor/hari dan Atabany (2001)

memperoleh hasil 215 gram/ekor/hari. Hasil tersebut memperlihatkan bahwa

konsumsi pada penelitian ini lebih tinggi daripada Atabany (2001) namun lebih kecil

bila dibandingkan dengan Rangkuti (2011).

Konsumsi serat kasar dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 10. Hasil

tersebut menunjukkan bahwa dengan adanya pemberian pakan tambahan pada

kambing PE induk laktasi terjadi peningkatan konsumsi serat kasar dari yang

sebelumnya yakni 339,40 gram/ekor/hari menjadi 402,10 gram/ekor/hari.

Peningkatan ini terjadi karena adanya konsumsi serat kasar yang bertambah dari

adanya pakan baru yang diberikan kepada ternak dari sebelumnya, yakni ampas tahu

53

dengan kandungan SK 23,38% dan kulit kacang kedelai SK 26,93%. Serat kasar

yang berasal dari pakan masuk ke dalam rumen kemudian difermentasi menjadi VFA

dan diserap untuk mencukupi ketersediaan energi. Penelitian Atabany (2001)

memperoleh hasil konsumsi serat kasar untuk kambing PE laktasi di Peternakan

Barokah adalah 368 gram/ekor/hari sedangkan Rangkuti (2011) adalah 621,02-

852,42 gram/ekor/hari. Perbedaan nilai konsumsi serat kasar ini terjadi karena pakan

yang diberikan kepada ternak pada berbagai penelitian berbeda satu sama lainnya.

Lemak mempengaruhi palatabilitas suatu pakan yang diberikan kepada

ternak. Tabel 10 memperlihatkan konsumsi lemak kasar dalam penelitian ini berbeda

setelah adanya pemberian pakan yang baru yakni meningkat dari 41,88

gram/ekor/hari menjadi 81,14 gram/ekor/hari. Peningkatan yang cukup tinggi

tersebut karena ternak diberi pakan tambahan berupa ampas tahu dan kulit kacang

kedelai yang memiliki kadar lemak kasar berturut-turut yakni 16,75% dan 12,73%.

Parakkasi (1999) menyatakan bahwa bahan makanan ruminan yang utama (hijauan)

tidak banyak mengandung lemak, tetapi jika hijauan yang diberikan jumlahnya

banyak maka konsumsi akan relatif banyak pula, apalagi jika ternak diberikan pakan

tambahan yang banyak mengandung lemak. Hal ini bisa terlihat dari pakan yang

diberikan oleh peternak sebelumnya yakni terdiri dari hijauan dengan kandungan

lemak kasarnya berturut-turut adalah kaliandra 5,40%, gamal 2,85% dan rumput

gajah 1,55%. Penelitian Atabany (2001) memperoleh data konsumsi lemak kasarnya

52 gram/ekor/hari sedangkan Rangkuti (2011) konsumsi lemak kasar pada kambing

PE laktasi berkisar antara 38,51-134,26 gram/ekor/hari.

Konsumsi Beta-N hasil penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 10. Konsumsi

Beta-N dalam penelitian terlihat adanya perbedaan dengan adanya perbedaan pakan

yang diberikan kepada ternak. Sebelum diberikan pakan tambahan konsumsi Beta-N

hanya 314,77 gram/ekor/hari tetapi setelah diberikan pakan tambahan diikuti pula

dengan adanya peningkatan konsumsi Beta-N menjadi 396,71 gram/ekor/hari. Bahan

ekstrak tanpa nitrogen (Beta-N) merupakan selisih dari karbohidrat dan serat kasar.

Konsumsi Beta-N yang diperoleh dalam penelitian ini memiliki nilai yang relatif

lebih kecil jika dibandingkan dengan penelitian Atabany (2001) yaitu 817

gram/ekor/hari dan Rangkuti (2011) 557,01-1041,34 gram/ekor/hari.

54

Produksi Susu

Kambing yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 15 ekor. Sepuluh

ekor kambing PE induk laktasi ke-2 sedangkan lima ekor lainnya berada pada laktasi

ke-3. Semua ternak yang digunakan memasuki 3 bulan periode akhir laktasi.

Produksi susu diperoleh dari hasil pemerahan pagi hari.

Produksi susu yang dihasilkan akibat pemberian pakan yang berbeda

berdasarkan hasil uji t memperlihatkan nilai yang tidak berbeda nyata (P<0,05).

Produksi susu sebelum pemberian pakan tambahan adalah 336,1 ml/ekor/hari

sedangkan sesudah pemberian pakan tambahan (1,4 kg ampas tahu dan 0,6 kg kulit

kacang kedelai) dengan nilai protein ampas tahu 24,71% dan kulit kacang kedelai

26,79%, produksi susu menjadi 368,6 ml/ekor/hari. Tabel 11 merupakan hasil

pengamatan produksi dan kualitas susu selama sembilan minggu penelitian.

Tabel 11. Produksi dan Kualitas Susu Kambing Peranakan Etawah

Parameter yang diamati

Jenis Pakan

P1 P2

a. Produksi Susu (ml) 336,1±109,1 368,6±78,3

b. Kualitas Susu

- Bahan Kering (%) 15,27A±1,315 16,36

B±0,285

- Lemak (%) 6,01a±1,192 6,82

b±0,305

- BKTL (%) 9,25±0,646 9,53±0,037

- Protein (%) 5,06a±0,329 5,25

b±0,019

- Laktosa (%) 3,35±0,280 3,40±0,042

- Berat jenis (g/ml) 1,0299±0,00247 1,0304±0,00051

Keterangan: P1 = Hijauan sedangkan P2 = Hijauan & Pakan Tambahan. BKTL = Bahan Kering

Tanpa Lemak, Superscript yang berbeda (a,b) pada baris yang sama menunjukkan

perbedaan yang nyata (P<0,05) dan Superscript yang berbeda (A,B) pada baris yang

sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01).

Hal ini menunjukkan bahwa produksi susu meningkat sebanyak 9,67% dari

produksi susu sebelumnya. Peningkatan tersebut karena adanya penambahan limbah

industri pangan, karena rataan jumlah pakan hijauan sebelum dan setelah pemberian

limbah tersebut adalah sama. Peningkatan produksi susu melalui perbaikan

manajemen pemeliharaan dan pemberian pakan bertujuan untuk meningkatkan aliran

55

substrat ke kelenjar susu (Budiarsana dan Sutama, 2001). Berdasarkan hal tersebut

terlihat bahwa dengan adanya penambahan protein yang dikonsumsi dalam tambahan

pakan yang diberikan kepada ternak.

Sutardi (1980) menyatakan bahwa faktor utama yang mempengaruhi produksi

dan konsentrasi komponen susu adalah konsumsi bahan kering dan komposisi zat

makanannya. Apabila suplai pembentuk komponen susu (air, lemak, protein, laktosa,

vitamin dan mineral) meningkat, maka produksi susu juga akan meningkat.

Konsumsi bahan kering pada penelitian ini meningkat dari sebelumnya yakni ada

peningkatan sebanyak 255,06 gram/ekor/hari akibat adanya tambahan pakan yang

diberikan. Konsumsi sebelum adanya pakan tambahan adalah 1058,26

gram/ekor/hari. Perbedaan produksi susu sebelum dan setelah pemberian pakan

tambahan berupa limbah industri pangan dapat dilihat pada Gambar 17.

Produksi susu hasil penelitian ini lebih rendah dari hasil penelitian Adiati et

al. (2001) yang menyatakan bahwa produksi susu selama 3 bulan laktasi berfluktuasi

yakni 6002,8 gram/ekor/hari dan rataan tertinggi yakni 7.706,67 gram/ekor/hari yang

akan menurun sampai produksi susu 1585 gram/ekor/hari dan penelitian Apdini

(2011) memperoleh data produksi susu sebesar 287-795 ml/ekor/hari. Produksi susu

ternak kambing PE masih sangat beragam yakni 0,45-2,1 liter/ekor/hari. Produksi

susu sebanyak 1308,44 gram/ekor/hari untuk kelahiran anak tunggal serta 1434,51

gram/ekor/hari untuk kelahiran anak kembar (Budiarsana dan Sutama, 2001).

336,1

368,6

330

335

340

345

350

355

360

365

370

375

Hijauan Hijauan & Pakan

Tambahan

Pro

duksi

Susu

(m

l)

Gambar 17. Grafik Produksi Susu Kambing PE

Hijauan

Hijauan & Pakan

Tambahan

56

Atabany (2001) memperoleh data produksi susu 990 gram/ekor/hari sedangkan yang

diperoleh Rangkuti (2011) sebesar 655,97-1158,45 gram/ekor/hari.

Rusman (2011) menyatakan bahwa pada ketinggian tempat 561 m dpl dan

673 m dpl produksi susu kambing berturut-turut yakni 828,7 ml dan 1.852,3 ml.

Dibandingkan data tersebut produksi susu di lahan pasca galian pasir relatif masih

kecil. Kecilnya produksi susu di lahan kritis ini terjadi karena pemerahan yang

dilakukan peternak hanya dilakukan satu kali dalam sehari yakni pada pagi hari

(08.00 WIB). Atabany (2011) melaporkan penelitian Heald (1985) yang menyatakan

bahwa produksi susu pada pemerahan yang berbeda akan menghasilkan produksi

susu yang berbeda pula. Pemerahan dua kali akan 40% lebih tinggi daripada yang

diperah satu kali, pemerahan tiga kali akan 5%-20% lebih tinggi daripada yang

diperah dua kali dan pemerahan empat kali akan 5%-10% lebih tinggi daripada yang

diperah tiga kali. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa produksi susu di lahan

pasca galian pasir masih sangat rendah.

Produksi susu sangat dipengaruhi oleh umur ternak, masa laktasi, tatalaksana

pemeliharaan, pakan yang diberikan serta penyakit. Perbedaan produksi susu

kambing PE yang dicapai pada penelitian ini dibandingkan dengan laporan penelitian

yang pernah dilaporkan tersebut mungkin disebabkan oleh hereditas kemampuan

produksi ternak yang digunakan berbeda. Rusman (2011) menambahkan bahwa

adanya produksi susu yang tidak seragam pada berbagai penelitian dapat dibedakan

dari beberapa faktor pendukung yakni lokasi yang berbeda dan letak topografinya

yang berdampak pada perbedaan suhu dan kelembaban udaranya karena

pertumbuhan maupun produktivitas ternak dipengaruhi oleh interaksi antara genetik

dan lingkungan serta pengaruh lingkungan selain faktor genetik. Tingginya suhu

lingkungan di daerah galian pasir ini menjadikan ternak menggunakan energi yang

dikonsumsinya untuk mengatasi kenaikan suhu tubuh daripada untuk produksi susu,

sehingga produksi susu berkurang.

Kualitas Susu

Berat jenis susu (Tabel 11) yang paling tinggi yakni susu yang dihasilkan

sesudah pemberian pakan tambahan (ampas tahu dan kulit kacang kedelai) dengan

nilai 1,0304 sedangkan sebelumnya berat jenis susu kambing hanya 1,0299.

Berdasarkan uji t terhadap berat jenis susu kambing penelitian ini tidak berbeda

57

nyata (P>0,05). Berat jenis susu hasil penelitian ini lebih rendah dari hasil penelitian

Rangkuti (2011) yang mendapatkan data berat jenis susu dalam penelitiannya pada

kambing PE yakni kisaran 1,0295- 1,0315 dan Apdini (2011) memperoleh data

1,0280-1,0337 tetapi hasil penelitian ini lebih besar data berat jenis susunya dari

penelitian Atabany (2001) yaitu 1,0292. Perbedaan berat jenis susu disebabkan

perbedaan bahan kering susu. Perbedaan berat jenis susu erat kaitannya dengan

komponen padatan susu dan bahan kering dalam ransum. Hasil konsumsi bahan

kering pakan yang diberikan kepada ternak memperlihatkan peningkatan dari

konsumsi sebelumnya yakni sebelum perlakuan konsumsi bahan kering pakan hanya

1058,26 gram/ekor/hari sedangkan setelah perlakuan meningkat menjadi 1313,32

gram/ekor/hari.

Berat jenis susu ditentukan oleh bahan kering susu serta disebabkan oleh

faktor komposisi susu itu sendiri yaitu protein, lemak, laktosa, gas dan mineral dalam

susu. Eldesten (1988) menyatakan bahwa berat jenis susu kambing bervariasi antara

1,0260 sampai 1,0420. Berdasarkan data tersebut walaupun hasil berat jenis susu

kambing penelitian ini lebih rendah dari penelitian Rangkuti (2011) dan Apdini

(2011) tetapi masih termasuk kedalam kisaran berat jenis susu kambing normal.

Garfik perbedaan berat jenis susu sebelum dan setelah pemberian pakan tambahan

dapat dilihat pada Gambar 18.

1,0299

1,0304

1,0298

1,0299

1,03

1,0301

1,0302

1,0303

1,0304

1,0305

Hijauan Hijauan & Pakan

Tambahan

Ber

at J

enis

Susu

(gra

m/m

l)

Gambar 18. Grafik Berat Jenis pada Susu Kambing

Hijauan

Hijauan & Pakan

Tambahan

58

Kondisi pemberian pakan yang berbeda memberikan perbedaan yang sangat

nyata (P<0,01) terhadap produksi kadar bahan kering susu yang dapat dilihat pada

Tabel 11. Kandungan bahan kering susu paling tinggi diperoleh setelah adanya

pemberian pakan tambahan yakni sebesar 16,36% sedangkan bahan kering

sebelumnya adalah 15,27%. Perbedaan yang terjadi pada bahan kering susu tersebut

dipengaruhi oleh komponen penyusun bahan kering susu yang diperoleh dari

konsumsi bahan kering pakan yang dikonsumsi oleh ternak. Hal tersebut

berpengaruh terhadap penyerapan zat-zat makanan yang diserap oleh tubuh ternak

yang kemudian akan digunakan sebagai prekursor dalam pembentukan bahan kering

susu. Peningkatan kandungan bahan kering susu sebelum dan setelah pemberian

pakan tambahan dapat dilhat dengan jelas pada Gambar 19.

Bahan kering susu pada penelitian ini bila dibandingkan dengan kualitas susu

yang diperoleh oleh Budiarsana dan Sutama (2001) yang memiliki kandungan bahan

kering 13,92%-14,19% terlihat bahwa nilai yang diperoleh lebih tinggi pada

penelitian ini tetapi bila dibandingkan dengan penelitian Rangkuti (2011) yang

memperoleh kandungan bahan kering susu kambing PE 15,48%-16,79%, nilai yang

diperoleh dalam penelitian ini lebih kecil.

Kandungan protein dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 11. Hasil uji

t terhadap kandungan protein susu kambing PE berdasarkan pemberian pakan yang

berbeda memperlihatkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Kandungan protein susu

kambing di lahan pasca galian pasir sebelum adanya pemberian pakan tambahan

15,27 (A)

16,36 (B)

14,6

14,8

15

15,2

15,4

15,6

15,8

16

16,2

16,4

16,6

Hijauan Hijauan & Pakan

Tambahan

Bah

an K

erin

g (

%)

Gambar 19. Grafik Bahan Kering pada Susu Kambing

Hijauan

Hijauan & Pakan

Tambahan

59

adalah 5,06% dan setelah adanya pemberian pakan tambahan persentase kandungan

protein susu naik menjadi 5,25%. Grafik peningkatan persentase kandungan protein

susu dapat dilihat pada Gambar 20.

Kandungan protein dalam penelitian ini lebih tinggi daripada kandungan

protein hasil penelitian Budiarsana dan Sutama (2001) yang memiliki kandungan

protein 3,78%-3,94%, sedangkan kandungan protein susu yang diperoleh Devandra

dan Burns (1994) yaitu 3,75%, Blakely dan Blade (1992) yaitu 3,52%, Atabany

(2001) yaitu 2,93% , Apdini (2011) memperoleh data 4,94%-6,12% dan data yang

diperoleh Rangkuti (2011) yaitu 4,17%-4,56%. Tingginya nilai kandungan protein

susu kambing PE dalam penelitian ini bisa jadi akibat pakan yang dikonsumsi oleh

ternak. Konsumsi ransum yang mempunyai kadar konsentrat yang tinggi

menyebabkan aktivitas bakteri selulitik sehingga proporsi propionat dan butirat lebih

tinggi dibandingkan asetat. Oleh karena itu, protein susu menjadi meningkat.

Kandungan lemak susu (Tabel 11) akibat adanya perbedaan pakan yang

diberikan kepada ternak memperlihatkan perbedaan yang nyata (P<0,05) berdasarkan

hasil uji t. Kandungan lemak sebelum pemberian pakan tambahan adalah 6,01%

dimana hasil tersebut berbeda dengan hasil kandungan lemak susu setelah adanya

pemberian pakan ampas tahu yang memiliki kandungan lemak kasar dan serat kasar

berturut-turut yaitu 16,75%, 23,38% dan kulit kacang kedelai 12,73%, 26,93%

sehingga kandungan lemak meningkat menjadi 6,82%. Gambar 21 menunjukkan

peningkatan lemak susu sebelum dan setelah pemberian pakan tambahan.

5,06 (a)

5,25 (b)

4,95

5

5,05

5,1

5,15

5,2

5,25

5,3

Hijauan Hijauan & Pakan

Tambahan

Pro

tein

(%

)

Gambar 20. Grafik Kandungan Protein pada Susu Kambing

Hijauan

Hijauan & Pakan

Tambahan

60

Kadar serat yang rendah merupakan faktor penyebab kandungan lemak pada

susu menjadi rendah. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa dengan adanya

pemberian serat kasar yang tinggi pada ampas tahu dan kulit kacang kedelai

kandungan lemak susu mengalami peningkatan dari sebelumnya. Hasil ini lebih

tinggi bila dibandingkan dengan penelitian Budiarsana dan Sutama (2001) yang

memiliki kandungan lemak 4,29%-4,39% dan Atabany (2001) yaitu 6,68%

sedangkan bila dibandingkan dengan penelitian Rangkuti (2011) dengan data yang

diperoleh adalah 6,00%-7,28% serta data Apdini (2011) yaitu 4,00%-10,17% dimana

hasil kandungan lemak susu pada penelitian ini memiliki nilai yang lebih kecil.

Kandungan Bahan Kering Tanpa Lemak (BKTL) akibat adanya perbedaan

pakan yang diberikan kepada ternak tidak memperlihatkan adanya perbedaan

(P>0,05) berdasarkan hasil uji t. Tabel 11 memperlihatkan bahwa tidak adanya

perbedaan yang nyata antara BKTL sebelum perlakuan pakan tambahan yakni 9,25%

dengan sesudah perlakuan yaitu 9,53% walaupun terjadi peningkatan dari

sebelumnya. Peningkatan kadar BKTL susu kambing PE di lahan pasca galian pasir

dengan adanya penambahan limbah industri pangan berupa kulit kacang kedelai dan

ampas tahu dapat dilihat pada Gambar 22 di bawah ini.

6,01 (a)

6,82 (b)

5,6

5,8

6

6,2

6,4

6,6

6,8

7

Hijauan Hijauan & Pakan

Tambahan

Lem

ak (

%)

Gambar 21. Grafik Kandungan Lemak pada Susu Kambing

Hijauan

Hijauan & Pakan

Tambahan

61

Peningkatan BKTL susu kambing setelah perlakuan karena adanya konsumsi

bahan kering yang tinggi setelah adanya perlakuan pakan tambahan. BKTL menurut

Tillman et al. (1998) merupakan bahan kering yang tinggal setelah lemak susu

ditinggalkan. Hasil penelitian ini jika dibandingkan dengan penelitian yang lainnya,

ternyata kadar BKTL susu kambing pada penelitian ini lebih kecil daripada hasil

penelitian Rangkuti (2011) yakni 9,44%-9,86%.

Pemberian pakan yang berbeda terhadap kambing PE tidak memberikan

pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap kandungan laktosa pada susu kambing PE

berdasarkan hasil uji t. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 11 bahwa tidak adanya

perbedaan yang nyata antara kandungan laktosa sebelum pemberian pakan tambahan

yakni 3,35% dengan setelah perlakuan pakan tambahan yakni 3,40%. Grafik

perbedaan nilai tersebut dapat dilihat pada Gambar 23.

9,25

9,53

9,20

9,25

9,30

9,35

9,40

9,45

9,50

9,55

9,60

Hijauan Hijauan & Pakan

Tambahan

Bah

an K

erin

g T

anpa

Lem

ak

(BK

TL

) (%

)

Gambar 22. Grafik Kandungan BKTL pada Susu Kambing

Hijauan

Hijauan & Pakan

Tambahan

3,35

3,40

3,34

3,35

3,36

3,37

3,38

3,39

3,4

3,41

Hijauan Hijauan & Pakan

Tambahan

Lak

tosa

(%

)

Gambar 23. Grafik Kandungan Laktosa pada Susu Kambing

Hijauan

Hijauan & Pakan

Tambahan

62

Hasil penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil Budiarsana

dan Sutama (2001) yang memiliki kandungan laktosa susu 5,08%-5,21% dan Apdini

(2011) yaitu 3,24%-3,90%. Laktosa disintesis dari glukosa darah yang diedarkan dari

sel sekretori pada kelenjar ambing. Glukosa diperoleh dari perombakan karbohidrat

pakan (serat kasar da Beta-N).

Income Over Feed Cost (IOFC)

` IOFC merupakan analisis pendapatan setelah dikurangi oleh biaya pakan

yang digunakan selama beternak. Faktor yang mempengaruhi IOFC pada ternak

kambing perah adalah produksi susu yang dihasilkan, pakan yang dikonsumsi serta

biaya pakan itu sendiri. Kambing betina induk laktasi menghasilkan susu sebagai

produk utamanya sehingga dengan adanya penambahan pemberian pakan tambahan

yakni ampas tahu dan kulit kacang kedelai diharapkan produksi susu juga akan

meningkat supaya pendapatan yang diterima oleh peternak jauh lebih tinggi

dibandingkan dengan sebelum adanya pemberian pakan.

Berdasarkan data pada Tabel 11 terlihat bahwa peningkatan produksi susu

sebelum dan setelah adanya pemberian pakan tambahan adalah 32,5 ml/ekor/hari.

Harga susu di lingkungan Kabupaten Sumedang adalah Rp. 45.000/liter sehingga

harga susu per satu ml adalah Rp. 45. Selanjutnya, harga limbah industri pangan

adalah Rp. 800 untuk ampas tahu dan Rp. 300 untuk kulit kacang kedelai sementara

harga rumput per kg adalah Rp. 250. Harga limbah tersebut merupakan data yang

diperoleh dari para produsen limbah tahu di Kabupaten Sumedang. Ampas tahu yang

diberikan kepada ternak induk laktasi per hari adalah 1,4 kg sedangkan kulit kacang

kedelai adalah 0,6 kg per hari. Dengan demikian adanya pemberian pakan tambahan

berupa ampas tahu dan kulit kacang kedelai pada ternak kambing di lahan pasca

galian pasir, peternak akan mengeluarkan biaya pengeluaran Rp. 2.800 ekor/hari.

Namun dengan adanya penambahan produksi susu per harinya maka peternak

mendapatkan pendapatan dari peningkatan tersebut sebesar Rp. 16.587 ekor/hari.

Rataan perbedaan pendapatan peternak setelah dikurangi biaya pakan yang diperoleh

dari adanya peningkatan susu kambing PE dapat dilihat pada Gambar 24.

63

IOFC merupakan selisih dari pendapatan dan pengeluaran untuk pakan yang

dialami oleh peternak. Sehingga hasil IOFC yang diperoleh peternak sebelum adanya

pemberian pakan tambahan berupa limbah industri pangan adalah Rp.13.625

ekor/hari. Peternak umumnya memiliki 20 ternak induk laktasi sehingga

diperhitungkan satu peternak mendapatkan tambahan pendapatan setelah adanya

pemberian pakan tambahan berupa pemberian kulit kacang kedelai dan ampas tahu

sebesar Rp.275.740 per peternak/hari dan jika diakumulasikan untuk satu bulan

adalah Rp. 8.272.200 per peternak/bulan.

Pendapatan peternak dalam penelitian ini memang tidak terlalu besar. Hal ini

dikarenakan peningkatan produksi susu sebelum dan setelah perlakuan pun masih

relatif kecil. Pemerahan satu kali yang dilakukan oleh peternak di lahan pasca galian

pasir sangat berpengaruh terhadap sedikitnya produksi susu yang dihasilkan.

Kurangnya tenaga kerja untuk melakukan proses pemerahan dan waktu mencari

pakan yang lama (ketersedian pakan di lahan pasca tambang pasir terbatas)

merupakan alasan kenapa peternak hanya melakukan pemerahan satu kali. Atabany

(2011) melaporkan penelitian Heald (1985) yang menyatakan bahwa produksi susu

pada pemerahan yang berbeda akan menghasilkan produksi susu yang berbeda pula.

Pemerahan dua kali akan 40% lebih tinggi daripada yang diperah satu kali,

pemerahan tiga kali akan 5%-20% lebih tinggi daripada yang diperah dua kali dan

pemerahan empat kali akan 5%-10% lebih tinggi daripada yang diperah tiga kali.

13.625

13.787

13.500

13.550

13.600

13.650

13.700

13.750

13.800

Hijauan Hijauan & Pakan

Tambahan

IOF

C (

Rp)

Gambar 24. Grafik Rataan IOFC Susu Kambing

Hijauan

Hijauan & Pakan

Tambahan

64

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa dengan adanya perlakuan pemberian

pakan pada pagi dan sore hari dengan penambahan konsentrat meningkatkan laju

pertumbuhan ternak kambing muda di lahan pasca galian pasir yang nyata lebih

tinggi (P<0,05) daripada bobot badan kambing yang hanya diberi hijauan dengan

PBBH 74,41 gram/ekor/hari. Pemberian pakan tambahan berupa ampas tahu dan

kulit kacang kedelai pada induk laktasi nyata lebih tinggi (P<0,05) kandungan

protein dan lemak serta sangat nyata lebih tinggi (P<0,01) kandungan bahan kering

susu kambing PE dibanding dengan sebelum diberikan pakan tambahan.

SARAN

Peternak Simpay Tampomas di lahan pasca galian pasir disarankan

memberikan pakan konsentrat pada waktu pagi dan sore kepada ternak kambing

jantan muda sehingga PBBH tinggi dan cepat mencapai bobot potong. Selanjutnya

untuk ternak induk laktasi peternak sebaiknya memberikan pakan tambahan berupa

limbah industri supaya kualitas susu yang mereka peroleh lebih baik. Penelitian lebih

lanjut mengenai performa ternak muda dan produktivitas susu induk dengan kandang

individu perlu dilakukan sehingga data tersebut bisa berguna bagi peternak yang

memiliki kandang individu dalam manajemen pemeliharaannya.

65

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat

rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian dan

menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Muhamad

Baihaqi, S.Pt., M.Sc. dan Dr. Ir. Asnath Maria Fuah, M.S. selaku dosen pembimbing

yang dengan sabar telah memberi bimbingan dari mulai penelitian hingga penulisan

skripsi ini. Kepada Ir. Sri Rahayu, M.Si. dan Ir. M. Agus Setiana, M.S. selaku dosen

penguji sidang serta Ir. Lucia Cyrilla ENSD, M.Si. atas saran dan masukannya

penulis mengucapkan terima kasih. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih

kepada Ir. Komariah, M.Si. selaku dosen pembimbing akademik yang senantiasa

memberi saran dan motivasi kepada penulis.

Terima kasih kepada Dr. Ir. Rudy Priyanto, M.S. atas bantuan yang telah

diberikan selama ini. Tak lupa penulis banyak ucapkan terima kasih kepada

Kelompok Ternak Simpay Tampomas yang telah memberikan izin kepada penulis

melaksanakan penelitian. Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada Bapak Uha,

Engkos, Asep, Tatang serta istri-istrinya karena telah banyak memberikan penulis

ilmu pengetahuan yang bisa dipelajari dilapangan dan diambil hikmahnya dari

kebersamaan tersebut. Beasiswa GENKSI Social Foundation dan DIKTI melalui

dana PKM tahun 2012 yang telah memberikan bantuan materil selama proses

penelitian penulis ucapkan terima kasih banyak. Semoga GENKSI Social Foundation

akan terus membantu teman-teman yang lainnya.

Penulis ucapkan terima kasih yang tulus kepada yang terhormat dan

tersayang Ayahanda Cece dan Ibunda Uwang Ewarni yang telah memberikan

dorongan moril dan material serta doa restu dan kepercayaannya dalam

menyelesaikan studi selama ini. Penulis bangga mempunyai orang tua seperti kalian,

semoga Allah membalas semua kebaikan kalian karena telah memberikan yang

terbaik untuk penulis. Semua curahan keringat kalian berdua terlalu berharga bagi

penulis, semoga penulis bisa membalasnya dengan yang lebih indah. Kepada Heni

Nurcahyani terima kasih atas doanya selama ini.

66

Senandung doa penulis ingin sampaikan kepada (Alm) Nenek Encum, (Alm)

Kakek Bai dan (Alm) Nenek Tasmah. Salam dan terima kasih juga penulis

sampaikan kepada Kakek Usen atas petuah, bimbingan dan doanya selama ini.

Keberadaan Kakek sangat berarti bagi penulis karena bersamanya penulis menjadi

lebih bersemangat dan mudah-mudahan penulis dapat mewujudkan impian Kakek

selama ini. Terima kasih yang tulus juga penulis ucapkan kepada keluarga besar

Ayahanda di Nangerang dan Kerawang serta keluarga besar Ibunda di Samoja yang

telah memberikan semangat dan doa selama penulis mengikuti perkuliahan.

Ucapan terima kasih yang tulus juga penulis sampaikan kepada Elvi Rahayu

yang telah menjadi penyemangat dan menemani penulis saat suka dan duka serta

kawan lainnya (Atin Arie Anggraeni, Elianah, Anggun Agustini David, Nia

Kurniawati dan Isti). Kebersamaan kita selama ini tidak akan mungkin terlupakan

bagi penulis dan semoga di kehidupan kita kedepannya, kita semua dapat berkumpul

kembali. Perjuangan ini sangat berarti dengan adanya teman-teman IPTP 45 yang

selalu bersama, terutama untuk Komala, Nunik, Nisa dan Restu penulis ucapkan

terima kasih. Tidak terasa perjalanan kita di IPTP telah melewati masa yang panjang

dengan penuh kenangan indah didalamnya saat kita menuntut ilmu bersama-sama.

Teman-teman satu penelitian yakni Hendro, Wawan, Atiq, Nia, dan Dewi

penulis ucapkan terima kasih untuk kebersamaanya selama penelitian. Ucapan terima

kasih juga ingin penulis sampaikan kepada Hilda, Syafa, Yuni, Dewi, Tifa, Tira, Ai,

Fanji dan Cecep yang telah mewarnai perjalanan indah di IPB tercinta. Rekan-rekan

lainnya yang selalu memberikan motivasi kepada penulis yang tidak bisa diucapkan

satu persatu, penulis ucapkan terima kasih, semoga kita semua bisa menggapai

impian dan cita-cita yang selama ini kita ingin wujudkan. Amin Ya Allah Ya Rabbal

alamin.

Bogor, Juli 2012

Penulis

67

DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman, A. & F. Agus. 2001. Konservasi tanah dan air melalui pengelolaan

bahan organik. Jurnal Alami 6(1): 35-43.

Abdurachman, A., I. Juarsah & U. Kurnia. 1999. Pengaruh penggunaan berbagai

jenis dan takaran pupuk kandang terhadap produktivitas tanah ultisols

terdegradasi di Desa Batin, Jambi. Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya

Tanah, Iklim dan Agroklimat. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Hal: 303-315.

Adiati, U., I.K. Sutama., D. Yulistiani & I.G.M. Budiarsana. 2001. Pemberian

konsentrat dengan level protein yang berbeda pada induk kambing PE selama

bunting tua dan laktasi. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan

dan Veteriner, 17-18 September. Pusat Penelitian dan Pengembangan

Peternakan, Bogor. Hal 247-254

Adie, M.M. & A. Krisnawati. 2007. Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.

Anastasia, A. 2007. Performa kambing lokal jantan pada lama penggemukan yang

berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Anggordi, R. 1990. Ilmu Makanan Ternak Umum. Gramedia, Jakarta.

Apdini, T.A.P. 2011. Pemanfaatan pellet Indigofera sp. pada kambing perah

Peranakan Etawah dan Saanen di Peternakan Bangun Karso Farm. Skripsi.

Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Asnah. 1997. Pakan potensial sebagai sumber hijauan untuk penggemukan sapi di

Nusa Tenggara Timur. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan

Veteriner, 18-19 Nopember 1997. Pusat Penelitian dan Pengembangan

Peternakan, Bogor. Hal. 211-216

Atabany, A. 2001. Studi kasus produktivitas kambing Peranakan Etawah dan

kambing Saanen pada Peternakan Kambing Barokah dan PT. Taurus Dairy

Farm. Tesis. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. 2008. Jawa Barat Dalam Angka “Jawa

Barat In Figures 2008”. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, Bandung.

Katalog BPS 1403.32.

Badan Standarisasi Nasional. 2008. Bibit Kambing Peranakan Ettawa (PE). SNI

7352:2008. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta.

Blakely, J. & D.H. Blade. 1992. Ilmu Peternakan. Edisi Ke-4. Gadjah Mada

University Press, Yogyakarta.

Bogard, R. & R.E. Taylor. 1983. Scientific Farm Animal Production. Second

Edition. Mac Millan Publishing Company, New York.

Budiarsana, I.G.M. & I.K. Sutama. 2001. Efisiensi produksi susu kambing Peranakan

Etawah. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner,

17-18 September. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Hal: 427-434.

68

Budiarsana, I.G.M. 2005. Performans kambing Peranakan Etawah (PE) di lokasi

agroekosistem yang berbeda. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan

Veteriner, 12-13 September. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan,

Bogor. Hal: 650-659.

Cahyadi, W. 2009. Kedelai: Khasiat dan Teknologi. Edisi 1, Cetakan 2. Bumi

Aksara, Jakarta

Cheke, P.R. 1999. Aplied Animal Nutrition: Feed and Feeding. 2nd

Ed. Prentice Hall

Inc., New Jersey.

Crampton, E. W.& L. E. Harris. 1969. Applied Animal Nutrition 2nd. Ed. W. H.

Freeman And Co, San Fransisco.

Devendra, C. & M. Burns. 1994. Produksi Kambing di Daerah Tropis. Terjemahan:

IDK H. Putra. Institut Teknologi Bandung, Bandung.

Devendra, C. 1993. Kambing. Dalam: Pengantar Peternakan di Daerah Tropis.

Penerjemah: SGN. D. Darmadja. Penyunting: I.B. Djagra. Gadjah Mada

University Press, Yogyakarta.

Dewan Perwakilan Rakyat. 1967. Undang-Undang Negara Republik Indonesia No.

11/1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan. Dewan Perwakilan Rakyat,

Jakarta.

Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2011. Statistik Peternakan dan

Kesehatan Hewan 2011. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan

Hewan Kementrian Pertanian RI, Jakarta.

Eldesten, D. 1988. Composition of milk. Milk Science and Technology. Elvisier

Publisher B.V Amsterdam. Hal:137-195.

Ensminger, M.E. 1990. Feed and Nutrition. 2nd

Ed. The Ensminger Publishing

Company, California.

Ensminger, M.E. 2002. Sheep and Goat Science, Sixth Edition. Interstate Publishers,

Inc, United States.

Fauzan. 2002. Perencanaan Penggunaan Galian C dan Pasir Sungai. Pusat Penelitian

dan Pengembangan Teknik Mineral. Badan Penelitian dan Pengembangan

Energi dan Sumberdaya Mineral, Bandung.

Greppi, G.F., P. Roncada & R. Fortin. 2008. Dairy Goats Feeding and Nutrition.

CAB International, Roma.

Handoyo, D.M., Fauzan & N. Madiutomo. 1999. Pola Reklamasi Lahan Bekas

Usaha Pertambangan Bahan Galian C. Pusat Penelitian dan Pengembangan

Teknik Mineral. Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan

Sumberdaya Mineral, Bandung.

Haryanto, B. 1992. Pakan domba dan kambing. Prosiding Sarasehan Usaha Ternak

Domba dan Kambing Menyongsong Era PJPT II : 26-32. Balai Penelitian

Ternak Ciawi, Bogor. Hal 143-148.

Hastono. 2003. Kinerja produksi kambing Peranakan Etawah. Prosiding Seminar

Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, 29-30 September 2003. Pusat

Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Hal: 91-94.

69

Heriyadi, D. 2004. Standarisasi Mutu Bibit Kambing Peranakan Ettawa. Kerjasama

Antara Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat dengan Fakultas Peternakan

Universitas Padjajaran, Bandung.

Heyne,K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia, jilid ke-2. Badan Litbang Kehutanan

Jakarta, penerjemah. Yayasan Sarana Wana Jaya. Terjemahan dari De Nuttige

Planten van Nederlanch Indie, Jakarta.

Hsia, L.C. 1990. The effect of hight enviromental temperature on animal production.

In: Prociding The 5th

A.A.A.P. Animal Science. Congress. Vol: 1. Taiwan,

Republic of China. Hal: 54-57.

Karda, I.W. 2000. Nilai nutrisi daun kaliandra untuk ruminansia kecil. Lokakarya

Produksi Benih dan Pemanfaatan Kaliandra, 14 –16 November. International

Centre for Research in Agroforestry dan Winrock International, Bogor,

Indonesia. Hal. 21-25.

Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral. 2008. Peraturan Menteri Energi dan

Sumberdaya Mineral (ESDM) No. 18 Tahun 2008 mengenai reklamasi dan

penutupan tambang. Jakarta.

Munier, F.F. 2008. Bobot lahir kambing Peranakan Etawah (PE) yang diberikan kulit

buah kakao (Theobroma cocoa L.). Prosiding Seminar Nasional Teknologi

Peternakan dan Veteriner, 11-12 Nopember 2008. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Peternakan, Bogor. Hal: 422-428.

National Academy of Science. 1980. Firewood Crops Shrub and Tree Species for

Energi Production. National Academy Press. Washington DC.

National Research Council. 1981. Nutrient Requirement of Sheep. 6th

Revised

Edition. National Academy Press, Washington DC.

Nurhayati, A.D. 2000. Pengaruh bahan stek dan rootone f terhadap pertumbuhan stek

seuseureuhan (Piper aduncum linn.). Skripsi. Jurusan Manajemen Hutan,

Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Padang. 2005. Pengaruh lama makan terhadap kecernaan bahan kering, protein kasar

dan serat kasar pakan kambing kacang jantan. Jurnal Ilmu Ternak, Desember.

Volume 5 Nomor 2, hal: 88-93.

Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Universitas

Indonesia Press, Jakarta.

Rangkuti, J.H. 2011. Produksi dan kualitas susu kambing Peranakan Etawah (PE)

pada kondisi tatalaksana yang berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut

Pertanian Bogor, Bogor.

Rani, I. 2004. Pengaruh kegiatan pertambangan pasir terhadap kualitas tanah,

produktivitas lahan dan vegetasi serta upaya rehabilitasinya. Tesis. Sekolah

Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Roshetko, J.M. 2000. Calliandra calothyrsus di Indonesia. Lokakarya Produksi

Benih dan Pemanfaatan Kaliandra, 14 –16 November. International Centre

for Research in Agroforestry dan Winrock International, Bogor. Hal. 28-32.

70

Rusman. 2011. Produksi susu kambing Peranakan Etawah (PE) berdasarkan

ketinggian tempat pemeliharaan. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut

Pertanian Bogor, Bogor.

Sabihan, S., G. Soepardi & S. Djokosudardjo. 1989. Pupuk dan Pemupukan. Institut

Pertanian Bogor, Bogor.

Shenyakov, I. 1970. Mining and Mineral Deposits. Foreign Languages Pub.

Moscow.

Simanihuruk, K., Junjungan & A. Tarigan. 2007. Pemanfaatan pelepah kelapa sawit

sebagai pakan basal kambing Kacang fase pertumbuhan. Seminar Nasional

Teknologi Peternakan dan Veteriner, 21-22 Agustus. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Peternakan, Bogor. Hal: 422-423.

Smith, J, B. & S. Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan

Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Cetakan pertama. UI press, Jakarta.

Smith, J.B. & S. Mangkoewidjojo. 1987. The Small Ruminant. The Sheep (Ovis

aries) and the Goats (Capra hircus). In: The Care, Breeding and Management

of Experimental Animal for Research in the Tropic. International

Development Program of Australian Universities and Colleges, Canberra.

Soelarno, S.W. 2007. Perencanaan pembangunan pasca tambang untuk menunjang

pembangunan berkelanjutan, studi kasus pada pertambangan batubara PT.

Kaltim Prima Coal di Kabupaten Kutai Provinsi Kalimantan Timur. Disertasi.

Universitas Indonesia, Jakarta.

Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press,

Yogyakarta.

Sudaryanto,B. 1997. Pemanfaatan limbah perkebunan sebagai pakan ternak.

Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, Bogor 18-19

Nopember 1997. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Hal. 248-254.

Sugiyono. 2010. Kandungan asam lemak mudah menguap dan glukosa darah pada

domba ekor tipis jantan yang diberi pakan ampas tahu kering. Jurnal Ilmiah

Inkoma, Oktober. Volume 21, Nomor 3. Hal 9-12.

Sutama, I.K. & Budiarsana, IGM. 1997. Kambing Peranakan Etawah penghasil susu

sebagai sumber pertumbuhan baru sub-sektor peternakan di Indonesia.

Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, Bogor 18-19

Nopember 1997. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Hal. 156-157.

Sutardi, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Taylor, R.E. & T.G. Field. 2004. Scientific Farm Animal Production An Introduction

to Animal Science. Pearson Education, Inc., Upper Saddle River, New Jersey.

Tillman, E., H. Hartadi., S. Reksohadiprajdo & S. Labdosoeharjo. 1998. Ilmu

Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Toelihere, M.R. 1981. Fisiologi dan Reproduksi pada Ternak. Penerbit Angkasa,

Bandung.

71

Tomaszewska, M.W., I.M. Mastika., A. Djajanegara., S. Gardiner & T.R. Wiradarya.

1993. Produksi Domba dan Kambing di Indonesia. Universitas Sebelas

Maret, Solo.

Usmiati, S. & Setyanto, H. 2008. Penampilan karkas dan komponen karkas ternak

ruminansia kecil. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan

Veteriner, 11-12 Nopember 2008. Pusat Penelitian dan Pengembangan

Peternakan, Bogor. Hal: 371-378.

Wahju, J. 1997. Ilmu Makanan Ternak Unggas. Cetakan ke-4. Gadjah Mada

University Press, Yogyakarta.

Wahyuni, S. 2003. Karakteristik nutrisi ampas tahu yang dikeringkan sebagai pakan

domba. Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang.

Wardoyo, S., D. Marmer & F. Tarmuji. 1999. Kegiatan Reklamasi/Pemulihan

Kualitas Lingkungan Melalui Model Reklamasi Lahan Bekas Penambangan

Galian C di Desa Simagalih Kec. Cilaku Kab. Cianjur. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Teknik Mineral. Badan Penelitian dan Pengembangan Energi

dan Sumberdaya Mineral, Bandung.

Widiawati, Y., M. Winugroho & E. Teleni. 2007. Perbandingan laju degradasi

rumput gajah dan tanaman leguminosa di dalam rumen. Seminar Nasional

Teknologi Peternakan dan Veteriner, 21-22 Agustus. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Peternakan, Bogor. Hal: 422-423.

Widowati, S. 2007. Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan. Pusat Penelitian

dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.

Wina, E. & Budi, T. 2000. Pemanfaatan kaliandra (Calliandra calothyrsus) sebagai

hijauan pakan ruminansia di Indonesia. Lokakarya Produksi Benih dan

Pemanfaatan Kaliandra, 14 –16 November. International Centre for Research

in Agroforestry dan Winrock International, Bogor, Indonesia. Hal. 13-14.

Yulistiani,D., B. Tiesnamurti, Subandriyo, M. Rangkuti & L. Praharani. 2000.

Produktivitas domba komposit betina lepas sapih yang diberi suplementasi

Glirisidia. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, Bogor 18-

19 September 2000. Pusat Penelitian Peternakan, Bogor. Hal. 263-264.

Yusuf, B. 2008. Arahan strategi kebijakan reklamasi lahan pasca penambangan nikel

pada lahan konsensi PT. Aneka Tambang Tbk unit bisnis pertambangan nikel

daerah operasi Maluku Utara Kabupaten Halmahera Timur Provinsi Maluku

Utara. Tesis. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Zulfahmi. 1996. Model Reklamasi Lahan Pasca Penambangan Pasir dan Batu. Pusat

Penelitian dan Pengembangan Teknik Mineral. Badan Penelitian dan

Pengembangan Energi dan Sumberdaya Mineral, Bandung.

Zurriyati, Y. 2005. Peningkatan produktivitas kambing PE dan Kacang melalui

penerapan teknologi probiotik. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan

Veteriner, 12-13 September. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan,

Bogor. Hal: 597-599.

72

LAMPIRAN

73

Lampiran 1. Hasil Analisis Ragam PBBH Kambing PE Muda

SK DB JK KT F P

Perlakuan 1 901,33 901,33 19,45 0,0023

WPP 1 1045,33 1045,33 22,56 0,0014

Perlakuan*WPP 1 456,33 456,33 9,85 0,0138

Galat 8 370,67 46,33

Total 11 2773,67

Lampiran 2. Hasil Uji t Produksi dan Kualitas Susu Kambing Peranakan Etawah

Parameter Perbandingan P Keterangan

Produksi Susu P1 vs P2 0,394 tn

Berat Jenis Susu P1 vs P2 0,425 tn

Bahan Kering Susu P1 vs P2 0,004 **

Kandungan Protein P1 vs P2 0,026 *

Kandungan Lemak P1 vs P2 0,017 *

Kandungan Bahan Kering Tanpa Lemak P1 vs P2 0,105 tn

Kandungan Laktosa P1 vs P2 0,487 tn

Keterangan: P1 = Sebelum pemberian pakan tambahan (Hijauan), P2 = Setelah pemberian pakan

tambahan (Hijauan & Pakan tambahan), tn = Tidak nyata (P>0,05), * = Berpengaruh

nyata (P<0,05) dan ** = Berpengaruh sangat nyata (P<0,01).