Upload
lynguyet
View
230
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
i
PERFORMA KAMBING PERANAKAN ETAWAH MUDA DAN
PRODUKTIVITAS INDUK LAKTASI DENGAN SISTEM
PEMBERIAN PAKAN YANG BERBEDA
DI LAHAN PASCA GALIAN PASIR
SKRIPSI
EUIS WIDANINGSIH
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
i
RINGKASAN
Euis Widaningsih. D14080222. 2012. Performa Kambing Peranakan Etawah
Muda dan Produktivitas Induk Laktasi dengan Sistem Pemberian Pakan yang
Berbeda di Lahan Pasca Galian Pasir. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan
Teknologi Peternakan. Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Muhamad Baihaqi, S.Pt., M.Sc.
Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Asnath Maria Fuah, M.S.
Kambing Peranakan Etawah (PE) merupakan kambing dwiguna, yakni
sebagai penghasil susu dan daging. Kambing PE muda jantan yang sedang dalam
fase pertumbuhan sangat penting diperhatikan oleh peternak untuk meningkatkan
nilai jualnya. Pertumbuhan ternak muda dapat dilihat dari Peningkatan Bobot Badan
Hariannya (PBBH) yang cukup tinggi. Sementara induk laktasi juga sangat penting
untuk diperhatikan terutama dalam pemenuhan kebutuhan energi dan protein salah
satunya untuk menghasilkan produksi susu yang optimal. Performa ternak selain
dilihat dari faktor genetiknya juga bisa dari pengaruh lingkungan dan interaksi dari
genetik dan lingkungan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari performa kambing PE
muda dan produktivitas induk laktasi yang dipelihara di lahan pasca galian pasir
dengan menggunakan jenis pakan dan waktu pemberian yang berbeda. Penelitian
mengenai performa ternak menggunakan 12 ekor ternak yang berjenis kelamin jantan
dengan dua faktor perlakuan. Perlakuan pertama adalah perbedaan waktu pemberian
pakan (W1 = 08.00 WIB dan 16.00 WIB serta W2 = 14.00 WIB dan 16.00 WIB).
Perlakuan kedua adalah perbedaan pakan (P1 = 100 gram/ekor/hari konsentrat
ditambah hijauan dan P2 = hijauan). Peubah yang diamati adalah konsumsi pakan,
konsumsi kandungan nutrisi pakan, PBBH, efisiensi pakan dan Income Over Feed
Cost (IOFC). Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif kecuali untuk PBBH
dianalisis dengan rancangan acak lengkap pola dua arah. Penelitian selanjutnya
mengenai produktivitas induk laktasi menggunakan 15 ekor ternak betina dewasa
pada laktasi ke-2 dan ke-3. Perlakuan pada penelitian ini terdiri atas P1 (hijauan) dan
P2 (hijauan ditambah pakan tambahan berupa limbah industri pangan). Peubah yang
diamati adalah konsumsi pakan, konsumsi kandungan nutrisi pakan, produksi dan
kualitas susu. Data konsumsi pakan dan konsumsi kandungan nutrisi pakan dianalisis
secara deskriptif sedangkan produksi dan kualitas susu dianalisis dengan uji t, yakni
dengan membandingkan sebelum dan setelah pemberian pakan tambahan yang
dilakukan.
Hasil penelitian mengenai performa ternak muda menunjukkan bahwa
dengan perlakuan pakan P1 dan diberikan pada W1 mampu meningkatkan bobot
badan harian ternak kambing jantan nyata lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan
ternak kambing jantan yang hanya diberikan perlakuan pakan P2 pada waktu
pemberian W2. Hasil PBBH yang paling tinggi yakni interaksi antara P1 dan W1
(74,41 gram/ekor/hari) sedangkan yang terendah adalah interaksi antara P2 dan W2
(38,6 gram/ekor/hari). Pemberian pakan pada perlakuan P1 pada waktu pemberian
W1 efektif dalam meningkatkan nilai IOFC sebesar Rp. 249.666 dibandingkan
dengan P2 pada waktu W2 yang biasa dilakukan oleh peternak hanya mampu
menghasilkan pendapatan sebesar Rp. 122.267. Selanjutnya, penelitian mengenai
ii
produktivitas induk laktasi menunjukkan bahwa dengan pemberian pakan tambahan
limbah industri pangan berupa ampas tahu dan kulit kacang kedelai mampu
meningkatkan kualitas susu ternak kambing yaitu: bahan kering susu sangat nyata
lebih tinggi (P<0,01) sedangkan lemak dan protein susu nyata lebih tinggi (P<0,05)
dengan penambahan bahan pakan. Kandungan Bahan Kering Tanpa Lemak (BKTL),
laktosa dan berat jenis tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P>0,05)
setelah adanya pemberian pakan tambahan pada ternak kambing PE induk laktasi.
Produksi susu juga memperlihatkan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05) setelah
adanya pemberian limbah industri pangan.
Kata-kata kunci : Bobot badan, produksi susu, Peranakan Etawah, lahan pasca galian
pasir
iii
ABSTRACT
Performance of Young Peranakan Etawah Goat and Lactation Productivity
of Etawah Ewe With Different Feeding Systems
On Sand Post-mining Land
Widaningsih, E., M. Baihaqi. and A. M. Fuah
This study aimed to examine the effect of different feeding systems on post-mining
of sand land performance of young Peranakan Etawah goat and lactation productivity
of Etawah ewe The study used 12 goats (12,592 ± 1,326 kg) within 3-6 months of
age. There were two factor of treatment. Treatment one was differences of eating
time (W1 = 08.00 a.m to 04.00 p.m and W2 = 02.00 p.m to 04.00 p.m). Treatment
two was type of feed (P1 = 100 g/day concentrate and forage, P2 = forage). Protein
content of concentrate was 19,32% and forage affered ad libitum. The data were
analyzed descriptevely for dry matter intake, feed eficiency and Income Over Feed
Cost (IOFC) but the method for daily Body Weight Gain (BWG) used in this study
was 2x2 factorial completely randomized design. The results showed that BWG of
goats was significantly different among treatment (P<0,01). There was interaction
betwent W & P trial. Daily BWG was significantly higher in trial W1 and P1 as well
as IOFC with average daily BWG is 74,41 ± 11,89 and IOFC is Rp. 249.666,67.
Subsequent study on the lactation productivity Etawah ewe of different feeding
systems. This study used 15 goats within 10 goats in lactation two and 5 goats in
lactation three. Treatment was differences type of feed (P1 = forage, P2 = forage and
food industry waste). The data feed consumption were analyzed descriptevely. Data
production and milk quality were analyzed using t test. Dry matter of milk was very
significant higher (P<0,01) in ration added food industry waste than ration without
food industry waste adition, while protein content and fat in milk was significant
(P<0,05).
Keywords : Weight, milk production, Peranakan Etawah, sand post-mining land
iv
PERFORMA KAMBING PERANAKAN ETAWAH MUDA DAN
PRODUKTIVITAS INDUK LAKTASI DENGAN SISTEM
PEMBERIAN PAKAN YANG BERBEDA
DI LAHAN PASCA GALIAN PASIR
EUIS WIDANINGSIH
D14080222
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
v
Judul : Performa Kambing Peranakan Etawah Muda dan Produktivitas Induk
Laktasi dengan Sistem Pemberian Pakan yang Berbeda di Lahan Pasca
Galian Pasir
Nama : Euis Widaningsih
NIM : D14080222
Menyetujui,
Pembimbing Utama,
(Muhamad Baihaqi, S.Pt, M.Sc.)
NIP.19800129 200501 1 005
Pembimbing Anggota,
(Dr. Ir. Asnath M Fuah, M.S.)
NIP.19541015 197903 2 001
Mengetahui,
Ketua Departemen,
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.)
NIP.19591212 198603 1 004
Tanggal Ujian : Tanggal Lulus :
vi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 2 November 1990 di Kota Sumedang,
Provinsi Jawa Barat. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan
Ayahanda Cece dan Ibunda Uwang Ewarni.
Pendidikan penulis dimulai dengan bersekolah di Taman Kanak-Kanak (TK)
BPP Sekar Manis Kabupaten Sumedang pada tahun 1994-1996. Tahun 1996 penulis
melanjutkan di Sekolah Dasar (SD) Negeri Cikekes Kabupaten Sumedang dan
diselesaikan pada tahun 2002. Penulis melanjutkan Sekolah Menengah Pertama
(SMP) Negeri 1 Situraja Kabupaten Sumedang tahun 2002 dan diselesaikan tahun
2005. Penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri Situraja
Kabupaten Sumedang pada Tahun 2005 dan diselesaikan tahun 2008.
Penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Produksi dan
Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) tahun 2008. Selama mengikuti pendidikan di
perguruan tinggi, penulis pernah aktif dibeberapa Unit Kegiatan Mahasiswa, yaitu:
Himpunan Mahasiswa Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (HIMAPROTER)
periode 2010-2011 sebagai wakil sekretaris dan periode 2011-2012 sebagai staf
anggota divisi ruminan. Penulis juga menjadi anggota Organisasi Mahasiswa Daerah
(OMDA) WAPEMALA dan asisten praktikum mata kuliah Metodologi Penelitian
dan Rancangan Percobaan. Penulis pernah melaksanakan kegiatan magang di
Kelompok Ternak Sapi Perah KSU Tandang Sari dan Dinas Peternakan Kabupaten
Sumedang. Selama pendidikan penulis menerima beasiswa Bank Jabar pada tahun
2008, beasiswa BBM pada tahun 2009-2011 dan beasiswa GENKSI Social
Foundation pada tahun 2011-2012. Prestasi non-akademik yang pernah diraih oleh
penulis selama mengikuti pendidikan di IPB yaitu lolos dalam Program Kreativitas
Mahasiswa (PKM bidang Pengabdian pada Masyarakat) yang didanai dari DIKTI
tahun 2012 dan menjadi peserta PIM IPB tahun 2012.
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat
dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian dan
menyelesaikan skripsi dengan judul “Performa Kambing Peranakan Etawah
Muda dan Produktivitas Induk Laktasi dengan Sistem Pemberian Pakan yang
Berbeda di Lahan Pasca Galian Pasir” dengan baik. Tak lupa shalawat serta salam
penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Beberapa hal yang mendasari dilakukannya penelitian ini adalah 1)
keberadaan kambing yang dipelihara di lahan bekas galian pasir merupakan suatu
kondisi yang jarang ditemukan, 2) kambing perah merupakan ternak dengan
karakteristik mudah dipelihara, mampu beradaptasi dengan lingkungan yang kurang
menguntungkan, cepat berkembang biak dan efisien dalam penggunaan pakan serta
3) keberadaan kambing di lahan galian pasir mampu mereklamasi lahan menjadi
lebih baik sehingga keberadaan kambing harus diperhatikan baik bagi peternak
maupun lingkungan sekitar.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari performa kambing Peranakan
Etawah (PE) muda dan produktivitas induk laktasi yang dipelihara di lahan pasca
galian pasir dengan menggunakan pakan yang berbeda. Serta mengidentifikasi pola
pemberian pakan dan pengaruhnya terhadap performa produksi kambing PE.
Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun sehingga skripsi ini
menjadi lebih baik lagi. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
penulis khususnya dan pembaca umumnya.
Bogor, Juli 2012
Penulis
viii
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN i
ABSTRACT iii
LEMBAR PERNYATAAN iv
LEMBAR PENGESAHAN v
RIWAYAT HIDUP vi
KATA PENGANTAR vii
DAFTAR ISI viii
DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan 2
TINJAUAN PUSTAKA 3
Reklamasi Lahan Tambang 3
Kambing Peranakan Etawah (PE) 5
Produktivitas Kambing PE 6
Karekteristik Reproduksi Kambing Betina 8
Produksi dan Kualitas Susu Kambing 9
Jenis dan Cara Pemberian Pakan 10
Performa Produksi Ternak Kambing 13
Potensi Ekonomi Kambing Peranakan Etawah 15
Manajemen Pemeliharaan 16
Penyakit dan Penanganan Kesehatan 16
MATERI DAN METODE 18
Lokasi dan Waktu Penelitian 18
Materi 18
Ternak 18
Pakan 18
Kandang 20
Peralatan 21
Prosedur 21
Performa Kambing PE Muda 21
Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH)............... 22
Konsumsi Pakan 22
Kualitas Pakan............................................................. 22
Efisiensi Pakan............................................................ 22
ix
Income Over Feed Cost (IOFC).................................. 22
Produktivitas Induk Laktasi 22
Konsumsi Pakan 23
Kualitas Pakan 23
Produksi Susu 23
Kualitas Susu 23
Income Over Feed Cost (IOFC) 24
Rancangan dan Analisis Data 24
Performa Kambing PE Muda 24
Produktivitas Induk Laktasi 26
HASIL DAN PEMBAHASAN 27
Keadaan Umum Peternakan Kambing Perah di Sumedang 27
Sejarah Pengembangan Kambing di Cimalaka 29
Sistem Pemeliharaan Terintegrasi 32
Performa Kambing PE Muda 35
Konsumsi Bahan Kering 39
Konsumsi Kandungan Nutrisi Pakan 41
Efisiensi Pakan 45
Income Over Feed Cost (IOFC) 47
Produktivitas Induk Laktasi 48
Konsumsi Bahan Kering 50
Konsumsi Kandungan Nutrisi Pakan 52
Produksi Susu 54
Kualitas Susu 56
Income Over Feed Cost (IOFC) 62
KESIMPULAN DAN SARAN 64
Kesimpulan 64
Saran 64
UCAPAN TERIMA KASIH 65
DAFTAR PUSTAKA 67
LAMPIRAN 72
x
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Persyaratan Kuantitatif Kambing PE Jantan................................ 7
2. Persyaratan Kuantitatif Kambing PE Betina................................ 7
3. Kebutuhan Nutrisi Ternak Kambing............................................ 13
4. Bobot Badan Kambing PE pada Berbagai Sistem Pemeliharaan. 14
5. Komposisi Kimia Pakan Penelitian.............................................. 19
6. Rataan Suhu dan Kelembaban Selama Pengamatan di Dalam
Kandang........................................................................................ 28
7. Rataan PBBH Berdasarkan Pakan dan Waktu Pemberian yang
Berbeda......................................................................................... 36
8. Konsumsi Bahan Kering, Efisiensi Pakan dan IOFC
Berdasarkan Pakan dan Waktu Pemberian yang Berbeda....... 40
9. Rataan Konsumsi Kandungan Nutrisi Pakan (Protein Kasar,
Serat Kasar, Lemak Kasar dan Beta-N) Berdasarkan
Pakan dan Waktu Pemberian yang Berbeda................................. 43
10. Konsumsi Harian Bahan Kering dan Kandungan Nutrisi
Kambing PE.................................................................................. 50
11. Produksi dan Kualitas Susu Kambing Peranakan Etawah............ 54
xi
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Kambing PE Muda..................................................................... 5
2. Kambing PE Betina Dewasa...................................................... 9
3. Kaliandra, Piper Aduncum dan Konsentrat .............................. 18
4. Kulit Kacang Kedelai dan Ampas Tahu..................................... 19
5. Rumput Gajah dan Gamal.......................................................... 19
6. Kandang PE Jantan Muda.......................................................... 20
7. Kandang PE Induk Laktasi......................................................... 21
8. Letak Penelitian.......................................................................... 27
9. Kondisi Lahan Sebelum Reklamasi........................................... 30
10. Reklamasi dengan Tanaman Gamal dan Reklamasi dengan
Buah Naga.................................................................................. 31
11. Budidaya Buah Naga.................................................................. 33
12. Grafik Nilai Rataan PBBH......................................................... 37
13. Grafik Rataan Konsumsi Bahan Kering..................................... 41
14. Grafik Rataan Efisiensi Pakan.................................................... 46
15. Grafik Nilai Rataan IOFC.......................................................... 47
16. Grafik Konsumsi Bahan Kering................................................. 51
17. Grafik Produksi Susu Kambing PE............................................ 55
18. Grafik Berat Jenis pada Susu Kambing...................................... 57
19. Grafik Bahan Kering pada Susu Kambing................................. 58
20. Grafik Kandungan Protein pada Susu Kambing........................ 59
21. Grafik Kandungan Lemak pada Susu Kambing......................... 60
22. Grafik Kandungan BKTL pada Susu Kambing......................... 61
23. Grafik Kandungan Laktosa pada Susu Kambing....................... 61
24. Grafik Rataan IOFC Susu Kambing........................................... 63
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Hasil Analisis Ragam PBBH Kambing PE Muda........................ 73
2. Hasil Uji t Produksi dan Kualitas Susu Kambing Peranakan
Etawah.......................................................................................... 73
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pemeliharaan kambing perah merupakan alternatif usaha ternak penghasil
susu disamping sapi perah dalam pemenuhan kebutuhan susu di Indonesia. Anak
kambing perah jantan yang tidak dijadikan bibit bisa dijadikan sumber pemenuhan
kebutuhan produk daging. Kambing perah merupakan ternak dengan karakteristik
mudah dipelihara, mampu beradaptasi dengan lingkungan yang kurang
menguntungkan, cepat berkembang biak dan efisien dalam penggunaan pakan. Jenis
kambing perah di Indonesia umumnya adalah Peranakan Etawah (PE), yang
merupakan hasil persilangan antara kambing Etawah dengan kambing kacang,
dengan karakteristik fisik mirip kambing Etawah.
Populasi kambing di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2007 adalah 1.294.453
ekor, khusus untuk wilayah Kabupaten Sumedang total populasi kambing adalah
33.224 ekor (BPS Provinsi Jawa Barat, 2008) yang tersebar di beberapa kecamatan
yang berada di Kabupaten Sumedang. Kambing PE terpusat di Kecamatan Cimalaka
dengan jumlah ternak 650 ekor. Masyarakat umumnya memelihara ternak hanya
sebagai usaha sampingan untuk menghasilkan daging disamping usaha pokoknya
yaitu bertani. Kambing yang dipelihara untuk produksi susu jumlahnya hanya sedikit
dan terpusat di Kelompok Ternak Simpay Tampomas dengan jumlah ternak 52,8 %
dari total populasi di wilayah Kecamatan Cimalaka.
Pemeliharaan ternak kambing PE di Kelompok Ternak Simpay Tampomas
Sumedang dilakukan di lahan marjinal pasca galian pasir. Usaha ini dilakukan untuk
memperbaiki kondisi lahan rusak setelah kegiatan penambangan melalui pupuk yang
dihasilkan dan juga mampu menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat.
Upaya untuk mencukupi kebutuhan pakan ternak kambing di kelompok tersebut
dilakukan penanaman gamal (Gliricidia sepium) dan kaliandra (Calliandra
calothyrsus) yang mampu hidup pada lahan marjinal serta mampu memperbaiki
lahan tersebut. Tanaman tersebut mampu hidup pada tanah tandus dan gersang serta
pada tanah berbatu seperti pada lahan marjinal pasca galian pasir.
Cara pemberian pakan yang dilakukan oleh peternak tidak teratur karena
sangat tergantung pada ketersediaan pakan dengan waktu luang peternak.
Peningkatan daya cerna suatu bahan makanan dapat dilakukan melalui pemberian
2
kesempatan yang lebih lama lagi bagi mikroorganisme dalam rumen untuk mengurai
zat makanan yang dikonsumsinya. Waktu ideal yang diberikan peternak untuk
pemberian pakan yakni 7-10 jam (Padang, 2005). Peternak jarang memberikan pakan
tambahan untuk ternak mereka. Pakan tambahan lain tidak diberikan karena
keterbatasan dana yang dialami oleh peternak. Padahal kambing perah induk laktasi
yang diberikan hijauan saja hanya mencukupi kebutuhan hidup pokoknya dengan
produksi yang rendah. Oleh karena itu perlu diberikan sejumlah konsentrat untuk
mencapai produksi susu yang tinggi.
Kelompok Ternak Simpay Tampomas sebagai pusat dari peternakan kambing
PE di Kabupaten Sumedang memiliki peranan yang sangat penting dalam
keberlangsungan usaha ternak kambing di daerah ini terutama dalam penyediaan
produk ternak yakni daging dan susu. Ternak kambing muda diharapkan meningkat
performanya melalui peningkatan bobot badan atau kecepatan tumbuh ternak untuk
mencapai bobot badan yang dapat dipasarkan. Kambing induk laktasi diharapkan
meningkat performanya melalui peningkatan produksi susu dan kualitas susu yang
dihasilkan. Produksi susu yang dihasilkan kambing sangat beragam, dipengaruhi
oleh: faktor bangsa, ketinggian tempat dan tatalaksana pemeliharaan yaitu kandang,
pakan, pemerahan, penanganan reproduksi dan penyakit.
Salah satu faktor yang mempengaruhi rendahnya performa ternak adalah
kualitas nutrisi bahan pakan tersebut terutama rendahnya kandungan protein dan
serat sehingga laju pertumbuhan lambat dan pertambahan bobot hidup rendah pada
kambing muda (Zurriyati, 2005) sedangkan pada kambing laktasi terlihat dari adanya
penurunan produksi susu. Salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas ternak
dapat dilakukan dengan memperbaiki manajemen termasuk manajemen
pemeliharaan, penentuan jenis, jumlah dan waktu pemberian pakan pada ternak.
Kebutuhan pakan sangat penting diperhatikan karena sangat diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan, produksi dan reproduksi.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari performa kambing PE
muda dan produktivitas induk laktasi yang dipelihara di lahan pasca galian pasir
dengan menggunakan jenis pakan dan waktu pemberian yang berbeda.
3
TINJAUAN PUSTAKA
Reklamasi Lahan Tambang
Lahan merupakan sumberdaya yang sangat penting karena merupakan
komponen dasar dari lingkungan alam. Pemanfaatan lahan yang tidak mengindahkan
aspek lingkungan dapat menjadi pendorong terjadinya bencana yang akan
mengakibatkan kerusakan lingkungan. Lahan termasuk sumberdaya alam yang akan
habis (exhaustible/stock resources) yang bersifat dapat pulih kembali atau tidak dapat
pulih kembali (non renewable resources). Bahan tambang merupakan salah satu
sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui karena berjumlah tetap atau diolah
kembali serta untuk pembentukannya memerlukan waktu yang lama (Rani, 2004).
Usaha-usaha untuk mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan akibat
pertambangan pasir harus dilakukan dalam rangka melestarikan lingkungan. Usaha
rehabilitasi lahan bekas tambang adalah usaha memperbaiki, memulihkan kembali
dan meningkatkan kondisi lahan yang rusak agar dapat berfungsi kembali secara
optimal, baik sebagai unsur produksi, media pengatur tata air maupun sebagai unsur
perlindungan alam lingkungan (Zulfahmi, 1996).
Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (2008) menyebutkan bahwa
reklamasi dan penutupan tambang merupakan suatu kegiatan yang harus
dilaksanakan dan wajib memenuhi prinsip-prinsip lingkungan hidup, keselamatan
dan kesehatan kerja serta konservasi bahan galian. Menurut Soelarno (2007) tujuan
utama dari penutupan tambang adalah sebagai berikut: pemulihan fungsi lahan
menjadi lahan yang produktif dan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan,
meminimumkan kerusakan lingkungan, melakukan konservasi terhadap beberapa
obyek yang dilindungi serta melakukan pengentasan terhadap kemiskinan akibat
dampak sosial ekonomi.
Yusuf (2008) menyatakan bahwa arahan strategi kebijakan reklamasi lahan
pasca penambangan harus berbasis lingkungan dan berkelanjutan serta kebijakan
melakukan reklamasi dengan tanaman yang bernilai ekonomi bagi masyarakat
setempat. Hal ini dilakukan karena sifat sumberdaya alam penambangan termasuk
kedalam sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui sehingga stakeholders harus
memperhatikan reklamasi dengan tanaman sebagai perhatian yang paling utama.
4
Masyarakat setempat yang peduli akan lingkungan sekitarnya melakukan
reklamasi lahan dengan cara membeli lahan yang sudah tidak dilakukan
penambangan kemudian mereka melakukan penanaman leguminosa, rerumputan dan
kayu-kayuan. Legum dan rerumputan yang telah tumbuh tersebut digunakan oleh
masyarakat sebagai pakan ternak kambing. Keberadaan kambing di lahan pasca
tambang ini digunakan oleh peternak sebagai sumber pupuk kandang yang dapat
digunakan sebagai pupuk organik untuk menyuburkan lahan sekitar. Pemberian
bahan organik mempunyai manfaat antara lain: memperbaiki sifat fisik tanah, hasil
pelapukan bahan organik juga merupakan unsur hara yang cukup potensial dan
terhadap sifat kimia tanah ialah menambah nilai kapasitas tukar kation serta sebagai
gudang hara (Rani, 2004). Pupuk kandang mengandung unsur hara dengan
konsentrasi yang bervariasi diantara ternak satu dengan yang lainnya tergantung dari
jenis ternak, umur, gizi dan kesehatan ternak. Ternak merupakan salah satu
komponen pertanian sehingga sangat diperlukan oleh kalangan petani sebagai
sumber pupuk yang ekonomis dan bersifat organik (Abdurachman et al., 1999).
Sabihan et al. (1989) menyatakan bahwa dosis pupuk kandang yang diperlukan
dalam pemupukan tergantung dari jenis tanah, jenis tanaman yang diusahakan,
bentuk usaha tani dan jumlah pupuk kandang yang tersedia.
Menurut Dewan Perwakilan Rakyat (1967) dalam Undang-Undang ketentuan
Pokok Pertambangan, pasir termasuk kedalam bahan galian C yaitu bahan galian
yang dianggap tidak langsung mempengaruhi hajat hidup orang banyak, karena
kecilnya jumlah letakan (deposit) bahan galian itu. Bahan galian A adalah bahan
galian strategis untuk pertahanan atau keamanan negara dan menjamin perekonomian
negara (minyak bumi). Bahan galian B adalah bahan galian vital dalam arti dapat
menjamin hajat hidup orang banyak (timah, tembaga dan emas). Pertambangan pasir
termasuk kedalam sistem pertambangan terbuka (open cut-mining) karena bahan
galian bisa berada di permukaan tanah atau dalam keadaan yang tidak terlalu dalam
(Shenyakov, 1970). Cara yang dilakukan untuk melakukan penambangan pasir bisa
dilakukan dengan dua cara yakni dengan cara konvensional dan cara mekanis. Cara
konvensional umumnya menggunakan alat-alat sederhana seperti linggis, cangkul
dan sekop dengan jumlah pekerja dilakukan secara berkelompok (4-5 orang)
sedangkan cara mekanis menggunakan peralatan Back Hoe, Excavator, Loader dan
5
Bulldozer (Handoyo et al., 1999). Menurut Fauzan (2002), Kegiatan penambangan
pasir dimulai dengan pembersihan lahan dari semak-semak, pohon dan tumbuhan
lainnya. Pembersihan lahan bisa dilakukan secara manual maupun menggunakan
Bulldozer. Selanjutnya dilakukan pengupasan tanah penutup. Tahap pertama
pembuangan yaitu berupa top soil kemudian lapisan tufa. Setelah itu dilakukan
penggalian dan pemuatan galian pasir.
Kambing Peranakan Etawa (PE)
Pengembangan ternak kambing terutama di daerah marjinal dalam rangka
menciptakan kesempatan kerja yang lebih luas dan sekaligus membantu
memecahkan masalah kemiskinan di pedesaan. Kambing PE adalah hasil persilangan
antara kambing Etawah dengan kambing Kacang dengan bentuk fisiknya lebih mirip
kambing Etawah (Sutama dan Budiarsana, 1997). Menurut Badan Standarisasi
Nasional (2008), kambing PE memiliki ciri khusus, antara lain telinga yang panjang,
menggantung dan terkulai serta bulu rewos yang panjang pada ke dua kaki belakang.
Kambing PE dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Kambing PE Muda
Menurut Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementrian
Pertanian RI (2011), populasi kambing di Indonesia relatif besar yakni 17.482.722
ekor, dibandingkan dengan hewan ruminansia lain yakni ternak sapi potong
(14.824.373 ekor) dan domba (11.371.630 ekor) namun untuk ternak kambing PE
populasinya masih relatif kecil dan belum tercatat secara statistik. Kambing PE
termasuk tipe dwiguna (dual purpose). Kambing ini mempunyai kompormasi tubuh
6
yang cukup besar sehingga sering digunakan untuk mendukung program perbaikan
mutu bibit kambing di Indonesia (Atabany, 2001).
Produktivitas Kambing PE
Menurut Heriyadi (2004), kambing memiliki adaptasi yang sangat tinggi
terhadap berbagai jenis hijauan, mulai dari rumput-rumputan, leguminosa, rambanan,
daun-daunan, bahkan semak belukar yang biasanya tidak dapat dikonsumsi oleh
ternak ruminansia lain, seperti: sapi perah, sapi potong, kerbau dan domba. Kambing
mempunyai kebiasaan makan yang khusus dimana dengan lidah yang cekatan,
kambing dapat mengkonsumsi rumput-rumputan yang sangat pendek dan makan
daun pohon-pohonan atau semak-semak yang biasa dimakan oleh ternak ruminansia
lainnya. Ternak ini mampu mengkonsumsi makanan yang mengandung serat yang
tinggi pada keadaan tertentu sehingga mampu mempergunakan zat makanan jauh
lebih baik daripada kebanyakan ternak ruminansia lainnya. Selain itu kambing juga
mempunyai sifat yang serba ingin tahu sehingga makanan yang diberikan kepada
kambing bisa beraneka ragam dan tidak hanya terfokus pada satu macam pakan saja.
Penyusunan ransum sendiri harus realistis dan didasarkan pada bahan makanan yang
murah seperti daun tanaman semak, padang rumput dan makanan hasil limbah
pertanian serta industri (Devendra dan Burns, 1994).
Produktivitas kambing cukup baik apabila dipelihara dengan baik. Berat lahir
kambing PE berkisar 2-4 kg dimana berat lahir anak jantan lebih tinggi dari betina.
Pencapaian bobot badan kambing PE betina lebih tinggi pada awal dewasa tubuh dan
lebih cepat dibandingkan kambing jantan. Kambing PE jantan mampu mencapai 90
kg dan betina 60 kg. Selanjutnya, kambing PE memiliki ukuran tubuh yang sangat
tinggi (65-86 cm), ramping dan relatif lebih besar jika dibandingkan dengan kambing
kacang (Heriyadi, 2004).
Rataan bobot lahir kambing PE kelahiran tunggal adalah 3,2 kg untuk betina
sedangkan untuk jantan adalah 3,7 kg (Heriyadi, 2004). Menurut Atabany (2001),
berat lahir rata-rata anak jantan adalah 3,97 kg/ekor sedangkan betina lebih rendah
yakni 3,73 kg/ekor. Berat lahir ternak kambing PE baik jantan maupun betina
terdapat perbedaan tergantung dari jumlah anak yang dilahirkan dimana berat lahir
tunggal (jantan = 4,39 kg/ekor dan betina = 4,20 kg/ekor) lebih tinggi daripada berat
lahir kembar empat (jantan = 2,57 kg/ekor dan betina = 2,70 kg/ekor). Munier (2008)
7
menyatakan bahwa tinggi rendahnya bobot lahir anak kambing sangat dipengaruhi
oleh kondisi induknya selama kebuntingan. Faktor utama yang paling menentukan
adalah pakan yang berkaitan dengan jumlah dan mutu pakan yang dikonsumsi
kambing. Kekurangan pakan umumnya akan mengakibatkan lemahnya fisik calon
induk, produksi air susu rendah menjelang kelahiran, kondisi fisik anak lemah dan
bobot lahir rendah. Bobot lahir anak jantan lebih besar dibandingkan betina dengan
nilai masing-masing bobot lahir adalah sebagai berikut: jantan 3,15 kg dan betina
2,90 kg. Sementara itu persyaratan kuantitatif kambing PE bibit menurut Badan
Standarisasi Nasional (2008) dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2.
Tabel 1. Persyaratan Kuantitatif Kambing PE Jantan
No. Parameter Satuan Umur (tahun)
0,5 sampai 1 >1 sampai 2
1 Bobot badan (kg) 29 ± 5 40 ± 9
2 Tinggi pundak (cm) 67 ± 5 75 ± 8
3 Panjang badan (cm) 53 ± 8 61 ± 7
4 Lingkar dada (cm) 71 ± 6 80 ± 8
Sumber: Badan Standarisasi Nasional, 2008
Tabel 2. Persyaratan Kuantitatif Kambing PE Betina
No. Parameter Satuan Umur (tahun)
>1 sampai 2 >2 sampai 4
1 Bobot badan (kg) 34 ± 6 41 ± 7
2 Tinggi pundak (cm) 71 ± 5 75 ± 5
3 Panjang badan (cm) 57 ± 5 60 ± 5
4 Lingkar dada (cm) 76 ± 7 81 ± 3
Sumber: Badan Standarisasi Nasional, 2008
Menurut Ensminger (2002), suhu lingkungan yang ideal untuk kambing perah
di daerah subtropis berkisar 12,7oC sampai 21,11
oC, sementara untuk daerah tropis
lebih tinggi suhu lingkungannya yakni menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988),
suhu nyaman bagi kambing berkisar antara 18oC sampai 30
oC. Tomaszewska et al.
(1993) menyatakan bahwa ternak kambing sangat cocok di daerah dengan
kelembaban kering daripada kelembaban tinggi, karena kambing yang dipelihara
pada wilayah basah cenderung lebih mudah mati karena infeksi parasit atau oleh
8
penyakit. Faktor iklim lainnya yang penting diperhatikan pada ternak adalah
kecepatan angin dan radiasi sinar matahari. Kambing yang dipelihara pada
ketinggian tempat 300 meter di atas permukaan laut dengan kisaran suhu 15,7oC
sampai 35,1oC menghasilkan kecepatan tumbuh sebesar 40 gram/hari sedangkan
pada ketinggian 700 meter di atas permukaan laut dengan kisaran suhu 22,4oC
sampai 28,4oC kecepatan tumbuh ternak 50 gram/hari (Tomaszewska et al., 1993).
Produksi karkas seekor ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain
jenis kelamin dan umur disamping nutrisi yang diberikan terhadap ternak tersebut
(Usmiati dan Setiyanto, 2008). Soeparno (1994) menyatakan bobot potong yang
tinggi menghasilkan karkas yang makin besar. Bertambahnya umur ternak dan
pertambahan bobot hidup maka bobot karkas akan semakin bertambah. Ternak jantan
mempunyai lebih banyak daging dan tulang dibandingkan ternak betina pada bobot
tubuh dan bobot karkas yang sama. Hal ini disebabkan oleh perbedaan laju
pertumbuhan pada umur yang sama antara ternak jantan dan betina. Usmiati dan
Setiyanto (2008) menyatakan bahwa kambing yang berusia dibawah dua tahun
dengan bobot hidup 17,50 kg akan menghasilkan bobot karkas sebesar 7,37 kg
dengan persentase karkas 40,49%.
Karakteristik Reproduksi Kambing Betina
Siklus berahi pada kambing betina setiap 21 hari dengan lama berahi antara
2-3 hari (Toelihere, 1981), 15-18 hari (Taylor dan Field, 2004) dan 22,79 hari
menurut Atabany (2001). Tanda-tanda berahi pada kambing bisa diamati pada daerah
vulvanya yang membengkak, warnanya merah dan basah. Ciri-ciri lain yaitu sering
mengembik, sering kencing dan siap dinaiki kambing betina lainnya (Blakely dan
Blade, 1992). Berahi umumnya akan terjadi sepanjang tahun pada kambing yang
terdapat di daerah tropis (Devendra dan Burns, 1994) tetapi siklus berahi akan lebih
lama dengan semakin meningkatnya suhu lingkungan (Hsia, 1990). Ketelitian dalam
mengidentifikasi berahi pada kambing dan lamanya berahi sangat penting karena
akan mempengaruhi keberhasilan perkawinan. Ketika terjadi berahi kembali setelah
proses perkawinan, itu berarti tidak terjadi kebuntingan pada kambing betina
(Atabany, 2001). Gambar kambing betina dewasa bisa dilihat pada Gambar 2.
9
Gambar 2. Kambing PE Betina Dewasa
Atabany (2001) menyatakan bahwa kambing PE yang dipelihara di daerah
Bogor memiliki karakteristik reproduksi sebagai berikut: lama kebuntingan 148,87
hari dan lama hari kosong 110,09 hari. Selang beranak adalah periode antara dua
beranak yang berurutan, terdiri atas periode perkawinan dan periode bunting
(Devendra dan Burns, 1994). Selang beranak kambing PE di Kecamatan Caringin
yaitu 259,36 hari (Atabany, 2001). Smith dan Mangkoewidjojo (1987) menyatakan
bahwa ternak kambing betina dikawinkan pertama kali pada umur 9-12 bulan
sedangkan Taylor dan Field (2004) menyatakan bahwa kambing dapat dikawinkan
pada umur 6-10 bulan. Hal ini tergantung pada pertumbuhan betina tersebut.
Umumnya kambing betina dikawinkan pada saat bobot tubuhnya mencapai 40-45 kg
(Blakely dan Blade, 1992). Kambing PE yang dipelihara di Kecamatan Caringin,
umur kawin pertama yakni pada usia 403,22 hari dan umur beranak pertama 643,24
hari. Lama bunting pada ternak kambing adalah 144-157 hari (Smith dan
Mangkoewidjojo, 1987), 142-156 hari (Bogard dan Taylor, 1983) dan 146 hari
(Devendra dan Burns, 1994). Waktu kawin setelah beranak 64,195 hari atau sering
disebut dengan masa kosong. Masa kosong adalah waktu sejak kambing beranak
sampai dikawinkan kembali dan terjadi kebuntingan (Atabany, 2001).
Produksi dan Kualitas Susu Kambing
Menurut Atabany (2001), produksi susu sangat dipengaruhi oleh tahun
musim beranak, jumlah laktasi dan umur pertama kali beranak. Bangsa kambing juga
memiliki pengaruh yang sangat besar. Produksi susu kambing PE sebesar 0,99
kg/ekor/hari dengan lama laktasi 170,07 hari. Taylor dan Field (2004) menambahkan
bahwa lama laktasi normal pada kambing adalah 7-10 bulan dengan lama masa
10
kering 2 bulan. Produksi susu yang dihasilkan setiap hari akan meningkat sejak induk
melahirkan dan akan menurun secara berangsur-angsur hingga berakhirnya masa
laktasi (Blakely dan Blade, 1992). Puncak produksi susu akan dicapai pada hari 48-
72 setelah beranak (Devendra dan Burns, 1994).
Susu yang dihasilkan dari ternak kambing akan menghasilkan kualitas yang
berbeda dibandingkan dengan kualitas susu ternak ruminansia lainnya. Bangsa yang
berbeda pada ternak kambing juga akan menghasilkan kualitas yang berbeda, karena
kualitas susu merupakan sifat kuantitatif dari seekor ternak yang dipengaruhi oleh
genetik, lingkungan serta interaksi antara genetik dan lingkungan. Kualitas susu
kambing PE yang berada di Daerah Caringin-Bogor dengan ketinggian tempat 720
meter dari permukaan laut dengan suhu rata-rata harian 22oC dan kelembaban 70%-
80% berturut-turut sebagai berikut: berat jenis 1,0292, bahan kering 16,38%, lemak
6,68%, protein 2,93%, SNF 9,69%, gross energi 3305 kkal (Atabany, 2001). Greppi
et al. (2008) menyatakan bahwa komposisi susu dari kambing yakni 29-31 gram/liter
protein, 35-45 gram/liter lemak dan 41-44 gram/liter laktosa.
Jenis dan Cara Pemberian Pakan
Pakan adalah salah satu faktor yang sangat menentukan disamping mutu bibit
dan tatalaksana dalam menghasilkan produksi ternak seperti produksi daging, susu
dan telur (Sudaryanto, 1997). Perbaikan performa ternak kambing dapat diupayakan
melalui beberapa hal, antara lain melalui perbaikan pakan yaitu dengan menjaga
kontinuitas jumlah dan mutu pakan yang diberikan atau dapat pula dilakukan dengan
mengatur pola reproduksinya. Ternak kambing pada dasarnya lebih selektif dalam
memilih pakan sehingga harus diberikan pakan yang berkualitas baik (Yulistiani et
al., 2000). Pakan yang diberikan kepada ternak umumnya terbagi menjadi dua yakni
berupa hijauan dan konsentrat. Faktor yang perlu diperhatikan adalah jumlah
konsumsi pakan karena berpengaruh terhadap tingkat produksi ternak. Hal ini terkait
dengan jumlah zat-zat makanan yang didapatkan oleh ternak. Ternak akan mencapai
tingkat penampilan yang tinggi sesuai potensi genetiknya ketika ternak mendapatkan
zat-zat makanan yang dibutuhkan (Sutardi, 1980). Pakan yang banyak diberikan pada
ternak kambing adalah rumput gajah, rumput benggala, rumput raja, daun lamtoro,
gamal dan kaliandra. Selain itu, kambing juga menyukai pakan dari limbah industri
(dedak padi, dedak jagung, ampas tahu, bungkil kedelai, bungkil kacang tanah dan
11
bungkil kelapa), limbah pertanian (jerami kacang tanah, jerami kedelai, daun kacang
panjang dan daun buncis), pakan penguat dan silase (Devandra dan Burns, 1994).
Kaliandra (Calliandra calothyrsus) digunakan secara luas untuk pakan ternak
karena 1) daun, bunga dan tangkai memiliki kandungan protein 20%-25% dan 2)
cepat tumbuh dan kemampuan bertunas tinggi setelah pemangkasan. Kaliandra
digunakan dalam sistem tebang dan angkut (cut and carry system) maupun sistem
pengembalaan (Roshetko, 2000). Wina dan Budi (2000) menyatakan bahwa domba
dan kambing akan tumbuh lebih baik bila disuplementasi dengan kaliandra
dibandingkan bila hanya diberi rumput. Tingkat suplementasi yang baik adalah 30%
dari total ransum karena pemberian yang lebih tinggi tidak mempunyai pengaruh
lagi. Kadar tanin yang tinggi dalam daun kaliandra akan mengikat protein lebih kuat
bila kaliandra dikeringkan daripada dalam bentuk segar. Karda (2000) menyatakan
bahwa kambing dilaporkan mempunyai kemampuan mencerna tanin karena memiliki
enzim tannase pada mukosa ruminal. National Academy of Science (1980)
menyatakan bahwa hijauan kaliandra memiliki PK 22%, SK 34%-75%, lemak 2%-
3%, abu 4,5%-5% serta produksi 1-10 ton bahan kering/ha/tahun. Kaliandra tumbuh
optimal pada daerah basah dengan curah hujan 1000 mm/tahun dan dapat tumbuh
pada ketinggian 150-1500 m dpl.
Piper aduncum merupakan perdu yang tumbuh tegak atau pohon kecil
dengan tinggi 3-8 meter, memiliki sifat tahan bakar, tajuknya rimbun dan selalu
hijau, cepat tumbuh dan tahan pangkas berat sehingga banyak dijadikan sebagai jalur
hijau dalam pencegahan kebakaran hutan. Masyarakat sunda sering menyebut
tanaman Piper aduncum dengan sebutan gedebong atau seuseureuhan. Tumbuhan ini
berasal dari Amerika dan ada di Indonesia pada tahun 1860, dapat tumbuh pada
ketinggian 90-1000 m dpl. Batang dari gedebong ini bisa juga dimanfaatkan sebagai
tongkat dan mengandung minyak atsiri sebesar 0,1%. (Heyne, 1987). P. aduncum
atau seuseureuhan tumbuh baik di hutan belukar dan hutan-hutan sekunder juga di
berbagai tempat seperti tepi sungai dan lereng gunung. Kelebihannya adalah mudah
dalam perkembangbiakannya karena bisa dilakukan dengan cara stek (Nurhayati,
2000).
Gamal (Gliricidia sepium) merupakan tanaman leguminosa yang banyak
tumbuh di daerah tropis, tumbuh subur sepanjang tahun dan produksi daunnya cukup
12
tinggi, sehingga tanaman ini diharapkan dapat mengatasi kekurangan pakan hijauan
terutama rumput di musim kering. Pemanfaatan Gliricidia telah banyak dilakukan
oleh peternak di pedesaan sebagai suplemen terutama untuk ternak ruminansia hal ini
sangat tepat karena Gliricidia mempunyai kandungan gizi yang tinggi terutama
protein, yaitu 23,5% (Yulistiani et al., 2000). Daun gamal ketika diberikan kepada
kambing dapat meningkatkan pertumbuhan bobot badan dua kali lebih besar.
Namun, pemberian daun gamal harus dilayukan terlebih dahulu sebelum diberikan
kepada ternak (Asnah, 1997).
Rumput gajah (Pennisetum purpureum) adalah rumput yang banyak
digunakan oleh peternak di Indonesia karena mudah dibudidayakan dan dapat
dipanen dengan interval pemotongan 40 hari. Jenis rumput ini mudah tumbuh di
kondisi basah maupun kering. Rumput gajah yang terdegradasi dalam rumen sebesar
45% untuk bahan kering dan 48% protein (Widiawati et al., 2007).
Cahyadi (2009) menyatakan bahwa kedelai merupakan protein nabati yang
efisien dan protein kedelai merupakan satu-satunya leguminosa yang mengandung
semua asam amino esensial. Kedelai termasuk kedalam famili Leguminosae dengan
nama ilmiahnya yakni Glycine max (L) Merill. Kedelai sering digunakan sebagai
bahan pokok dalam industri pembuatan tahu. Tahu adalah ekstrak protein kedelai
yang telah digumpalkan dengan asam dan ion kalsium. Widowati (2007) menyatakan
bahwa prinsip pembuatan tahu ada dua tahap yakni pembuatan susu kedelai dan
penggumpalan protein. Proses pembuatan tahu tersebut menghasilkan limbah kulit
kacang kedelai dan ampas tahu. Adie dan Krisnawati (2007) menyatakan bahwa kulit
biji kedelai terdiri dari tiga lapisan yaitu epidermis, hipodermis dan parenkim. Kulit
kacang kedelai dari limbah industri tahu memiliki kandungan protein kasar 26,79%,
lemak kasar 12,73% dan serat kasar 26,93%.
Ampas tahu merupakan limbah industri pangan yang memiliki nilai nutrisi
sangat tinggi, namun demikian bahan ini dihasilkan dalam keadaan basah
(kandungan kadar air yang sangat tinggi). Kecernaan bahan kering ampas tahu kering
secara in vivo pada ternak domba lokal ekor tipis sebesar 70,95% (Sugiyono, 2010).
Ampas tahu yang dilakukan pengeringan dengan sinar matahari mengandung zat
nutrisi 87,75% bahan kering, 18,87% protein kasar, 28,23% serat kasar, 8,77%
lemak, 3,79% abu, BETN 40,34% dan 63,16% TDN (Wahyuni, 2003).
13
Kebutuhan nutrisi ternak bervariasi antar spesies ternak dan umur fisiologis
ternak tersebut. Faktor lain yang juga menentukan adalah jenis kelamin, tingkat
produksi, aktivitas ternak dan kondisi lingkungan ternak (Haryanto, 1992). Devendra
(1993) menyatakan bahwa kambing perah membutuhkan bahan kering yang
terkandung di dalam bahan pakan adalah 5%-7% dari berat hidupnya. Tabel 3
menyajikan kebutuhan nutrisi yang diperlukan oleh ternak kambing.
Tabel 3. Kebutuhan Nutrisi Ternak Kambing
Berat Badan
(kg)
Kebutuhan Nutrisi Harian
BK (g) BK (%BB) TDN (g) Protein (g)
10 500 5,0 278 38
20 840 4,2 467 64
30 1140 3,8 634 87
Sumber : National Research Council, 1981
Kandungan lemak dalam pakan yang diberikan pada ternak kambing PE
betina dewasa yakni berkisar 1,51%–10,37%. Pemberian konsentrat pada induk
kambing laktasi sebesar 0,5 kg, ampas tahu 3 kg, rumput 5,5 kg dan singkong
sebanyak 0,5 kg akan menghasilkan produksi susu harian sebesar 0,99 kg/ekor/hari
dengan lama laktasi 170,07 hari. Rataan konsumsi zat makanan per ekor induk
laktasi kambing PE yakni konsumsi bahan kering sebanyak 1759 gram/ekor/hari,
protein kasar 215 gram/ekor/hari, lemak 52 gram/ekor/hari, serat kasar 386
gram/ekor/hari, BETN 817 gram/ekor/hari dan abu 119 gram/ekor/hari (Atabany,
2001).
Performa Produksi Ternak Kambing
Performa ternak bisa dilihat dari Pertambahan Bobot Hidup Harian (PBBH)
yang sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik ternak dan lingkungannya. Peningkatan
bobot hidup ternak erat kaitannya dengan kondisi pakan sehingga pakan yang
diberikan harus diperhatikan dengan baik oleh peternak (Zurriyati, 2005). Devendra
(1993) menyatakan bahwa berat badan mempunyai pengaruh yang nyata terhadap
produksi daging. Salah satu faktor yang mempengaruhi berat badan adalah pakan
yang diberikan kepada ternak. Sehingga respon yang baik akan diperoleh ketika
ternak diberikan pakan yang memiliki kualitas dan kuantitas yang baik. Zurriyati
(2005) menambahkan bahwa adanya perubahan bobot badan pada umur yang relatif
14
sama diantara ternak kambing disebabkan oleh keragaman individu (variasi genetik),
tatalaksana pemeliharaan dan kondisi lingkungan yang berbeda. Namun, umumnya
pertumbuhan anak jantan pra sapih lebih tinggi dibandingkan anak betina, selain itu
anak dengan kelahiran tunggal akan memiliki pertumbuhan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan anak tipe kelahiran anak kembar (Budiarsana, 2005). Tabel 4
memperlihatkan data pertumbuhan kambing PE.
Tabel 4. Bobot Badan Kambing PE pada Berbagai Sistem Pemeliharaan
Sumber
Berat badan PBBH (g) Keterangan
Lahir Sapih 12 bln
Astuti (1984) 2,50 - 15,4 65,4 di desa
Setiadi & Sitorus (1984) 2,51 10,7 16,6 27,0 st. pembibitan
Seiadi et al. (1987) - 8,6 - - st. percobaan
Seiadi et al. (1989) 2,50 9,9 - - di desa
Triwulanningsih (1989) 2,85 8,9 20,5 - st. percobaan
Sutama et al. (1984) 2,90 12,7 - 38,4 st. percobaan
Sutama et al. (1955) 3,25 11,1 - 62,4 st. percobaan
Rataan 2,75 10,2 17,5 48,3
Sumber: Sutama dan Budiarsana, 1997
PBBH umumnya digunakan sebagai peubah yang dapat digunakan untuk
menilai kualitas bahan makanan ternak yang diberikan. Pengukuran bobot tubuh
ternak berguna untuk menentukan tingkat konsumsi pakan, efisiensi pakan dan harga
(Parakkasi, 1999). Menurut Heriyadi (2004), performa produksi berupa ukuran–
ukuran tubuh dan bobot badan sebagai bagian dari sifat kuantitatif memiliki
hubungan erat dengan komponen dan kondisi tubuh ternak serta dapat
menggambarkan ciri khas suatu bangsa tertentu.
Kambing setelah sapih, pertumbuhan sangat ditentukan oleh kualitas pakan
yang dikonsumsi dimana ternak kambing mempunyai sifat seleksi yang sangat tinggi
terhadap jenis atau bagian tanaman sebagai upaya untuk mendapatkan pakan yang
lebih bergizi. Tingginya sifat selektif terhadap jenis dan bagian tanaman tertentu
serta kemampuannya beradaptasi dengan lingkungan menyebabkan anak kambing
mampu hidup pada daerah yang cukup kering dimana jenis ternak lain mungkin
sudah tidak menunjukkan kondisi yang tidak normal (Sutama dan Budiarsana, 1997).
15
Efisiensi penggunaan pakan diperoleh dari perhitungan rataan PBBH (gram/
ekor/hari) dibagi dengan rataan bahan kering yang dikonsumsi (gram/ekor/hari)
(Ensminger dan Parker, 2002). Semakin banyak pakan yang dikonsumsi maka nilai
konversi pakan semakin tinggi sedangkan efisiensi pakannya menurun. Faktor yang
mempengaruhi efisiensi pakan antara lain laju perjalanan pakan dalam saluran
pencernaan, bentuk fisik, bahan makanan dan komposisi nutrisi ransum (Anggordi,
1990). Efisiensi penggunaan pakan mengukur efisiensi hewan dalam mengubah
pakan menjadi produk. Crampton dan Harris (1969) menyatakan bahwa efisiensi
penggunaan makanan tergantung pada kebutuhan ternak akan energi dan protein
yang digunakan untuk pertumbuhan, hidup pokok dan fungsi lainnya seperti
kemampuan ternak dalam mencerna zat makanan, jumlah zat makanan yang hilang
dalam proses metabolisme serta jenis makanan yang dikonsumsi.
Jumlah konsumsi pakan merupakan faktor penting dalam menentukan jumlah
zat-zat makanan yang dapat dikonsumsi oleh ternak yang nantinya akan
mempengaruhi tingkat produksi (Tomaszewska et al., 1993). Ternak kambing induk
laktasi dan muda yang sedang bertumbuh dimana harus diberikan pakan dengan
kualitas yang baik dan ditambahkan konsentrat serta pakan yang diberikan sebaiknya
mengandung 15% sampai 20% protein (Taylor dan Field, 2004).
Tomaszewska et al. (1993) menyatakan bahwa kematian ternak sangat
mempengaruhi keuntungan peternak yang disebabkan oleh faktor genetik,
lingkungan dan interaksi antara keduanya. Anak tunggal dengan bobot lahir rata-rata
2,6 kg dan anak kembar 2,0 kg mempunyai angka kematian berturut-turut yakni
17%-18%. Kematian anak kambing terbanyak pada hari pertama kelahiran. Adiati et
al. (2001) menyatakan bahwa kematian anak kambing pra sapih tergantung dari susu
induk sedangkan yang dijauhkan dari induk setelah lahir tergantung dari sistem
pemeliharaan.
Potensi Ekonomi Kambing Peranakan Etawah
Menurut Simanihuruk et al. (2007), usaha ternak kambing dapat dilakukan
secara perorangan maupun kelompok baik dengan modal sendiri, modal pinjaman
maupun kemitraan dengan pihak pendana. Sebagai langkah awal usaha dalam
peternakan kambing studi ekonomis sangat diperlukan. Hal ini bisa dilihat dari nilai
Income Over Feed Cost (IOFC). IOFC merupakan analisis pendapatan setelah
16
dikurangi oleh biaya pakan yang digunakan selama beternak. Wahju (1997)
menyatakan bahwa pertumbuhan bobot badan yang tinggi belum menjadi patokan
peternak akan mendapatkan keuntungan yang maksimum ketika tidak diikuti dengan
efisiensi dan konversi pakan yang baik serta biaya pakan yang minimum.
Manajemen Pemeliharaan
Ternak kambing umumnya dipelihara oleh peternak di pedesaan secara
tradisional, sistem produksinya merupakan tambahan dari produksi tanaman pangan
terutama untuk memanfaatkan lahan sisa, limbah tanaman maupun limbah pertanian.
Ternak kambing dianggap sebagai tabungan oleh peternak, karena mudah dijual.
Produksi dengan sistem yang intensif memerlukan sistem perkandangan secara terus
menerus atau tanpa pengembalaan (zero grazing), dimana faktor lingkungan dapat
terkontrol dengan baik serta tingkah laku kambing yang merusak bisa diatasi dengan
baik (Devendra, 1993). Heriyadi (2004) menyatakan bahwa kandang yang digunakan
di Daerah Sumedang yakni kandang koloni dengan dinding terbuat dari kayu, atap
genting dan lantai tanah yang beralaskan sisa pakan.
Menurut Devendra (1993), kandang yang baik adalah perkandangan yang
disediakan harus ringan, ventilasi baik, drainase baik serta mudah untuk dibersihkan.
Kandang kambing yang banyak digunakan adalah kandang yang lantainya rata
dengan tanah dan kandang kaku (stilted housing) yang lantainya ditinggikan 1 meter
sampai 1,5 meter diatas tanah sehingga mudah dibersihkan dan pengumpulan kotoran
pun menjadi lebih mudah untuk dilakukan. Usaha peternakan kambing pada
hakikatnya akan menghasilkan limbah. Limbah dari ternak yaitu kotoran yang
dihasilkan oleh ternak sedangkan dari pakan yang diberikan adalah pakan sisa yang
tidak dimakan oleh ternak.
Penyakit dan Penanganan Kesehatan
Tomaszewska et al. (1993) menyatakan bahwa penyakit yang sering terjadi
pada kambing perah dapat berupa penyakit bakterial (disebabkan oleh bakteri),
penyakit parasit (disebabkan oleh binatang parasit) dan penyakit lain yang bukan
disebabkan oleh bakteri atau parasit (gangguan metabolik dan keracunan). Penyakit
yang disebabkan oleh bakterial pada ternak kambing yakni: mastitis, diare, radang
paru, Escheria Coli, borok ceracak, infeksi clostridia, anthrax dan mata merah.
Penyakit yang disebabkan oleh parasit pada kambing antara lain adalah cacingan dan
17
scabies. Penyakit lain yang sering menyerang ternak kambing yang bukan
disebabkan oleh bakteri atau parasit (gangguan metabolik dan keracunan) yakni:
perut kembung dan keracunan tanaman beracun seperti Cyanide, Anamirta coccolus,
Lantana camara, Leucaena leucocephala dan Brachiaria species. Taylor dan Field
(2004) menambahkan bahwa penyakit yang sering muncul pada ternak kambing
adalah enterotexemia, goat pox, herpesvirus, tetanus, mastitis, brucellosis, footrot,
ketosis dan milk fever.
18
MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilakukan di Kelompok Ternak Simpay Tampomas, Kampung
Golempang RT 01 RW 03, Desa Cibeureum Wetan, Kecamatan Cimalaka,
Kabupaten Sumedang yang dimulai pada bulan Juli 2011 sampai Mei 2012.
Penelitian terdiri dari dua tahap yakni: tahap satu penelitian mengenai performa
kambing Peranakan Etawah (PE) muda yang diberi pakan berbeda dan tahap dua
adalah menghitung produktivitas induk laktasi kambing PE yang mendapatkan
perlakuan penelitian.
Materi
Ternak
Jenis ternak yang diamati adalah kambing PE sebanyak 12 ekor dengan jenis
kelamin jantan dan Bobot Hidup (BH) awal 12,592±1,326 kg (KK = 10,533) dengan
kisaran umur 3-6 bulan yang ditempatkan pada kandang koloni. Penelitian mengenai
produktivitas induk laktasi, ternak yang digunakan adalah kambing betina laktasi
dengan usia 2-3 tahun, pada periode laktasi ke-2 dan ke-3 sebanyak 15 ekor yang
ditempatkan pada kandang koloni.
Pakan
Penelitian pertama, pakan yang diberikan kepada ternak muda adalah
kaliandra, Piper aduncum dan konsentrat yang dapat dilihat pada Gambar 3.
Konsentrat yang digunakan diperoleh dari ketua Sarjana Membangun Desa (SMD)
Kab. Sumedang dengan komposisi kimia (lihat Tabel 5) dan protein kasar 19,32%.
Konsentrat yang diberikan kepada ternak adalah 100 gram/ekor/hari sedangkan
hijauannya diberikan secara ad libitum.
Gambar 3. Kaliandra, Piper aduncum dan Konsentrat
19
Penelitian kedua mengenai produktivitas induk laktasi kambing PE, pakan
yang digunakan terdiri dari hijauan dan limbah industri pangan. Limbah industri
pangan terdiri dari kulit kacang kedelai dan ampas tahu sedangkan hijauan terdiri
dari rumput gajah, gamal dan kaliandra yang dapat dilihat pada Gambar 3, 4 & 5.
Ampas tahu dan kulit kacang kedelai diberikan terbatas yakni 2 kg/ekor/hari dengan
persentase bahan segar yang diberikan kepada ternak yakni 70% ampas tahu dan
30% kulit kacang kedelai.
Gambar 4. Kulit Kacang Kedelai dan Ampas Tahu
Gambar 5. Rumput Gajah dan Gamal
Tabel 5. Komposisi Kimia Pakan Penelitian
Bahan Pakan BK PK LK SK Abu Beta-N
---------------%(g/100 BK)-----------------------------------------------
Konsentrat* 33,56 19,32 5,71 22,35 22,24 30,38
Kaliandra* 21,84 22,36 5,40 31,78 12,31 28,15
Piper aduncum* 35,41 24,93 3,24 17,32 8,57 45,94
Gamal** 23,48 18,95 2,85 28,96 14,82 34,41
Rumput Gajah** 13,54 18,76 1,55 35,30 14,84 29,54
Kulit Kacang Kedelai** 14,37 26,79 12,73 26,93 0,70 32,85
Ampas Tahu** 12,06 24,71 16,75 23,38 3,40 31,76
Keterangan: *=Hasil analisa Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB, 2011
**=Hasil analisa Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB, 2012
20
Kandang
Kandang yang ada di Kelompok Ternak Simpay Tampomas umumnya koloni
dengan satu petak kandang berisi tiga ekor anak atau tiga ekor induk sedangkan
untuk pejantan hanya berisi satu ekor ternak. Kandang yang digunakan pada
penelitian performa ternak kambing PE muda adalah kandang panggung dengan
ukuran satu petak kandang kambing jantan muda yakni panjang 1 meter dengan lebar
1,5 meter. Bangunan kandang terbuat dari kayu dengan alas dari bambu. Jarak antara
bambu pada alas kandang adalah 1 cm. Hal ini bertujuan mempermudah dalam
penanganan kotoran ternak. Atap kandang PE muda terbuat dari tanah yakni berupa
atap genting. Atap genting dipakai dengan tujuan untuk mengurangi panas pada
siang hari karena ketinggian Peternakan Simpay Tampomas yang terletak di lahan
pasca galian pasir cukup tinggi dan berada di kaki gunung Tampomas. Upaya yang
dilakukan untuk menghindari tiupan angin dan gangguan predator maka pinggir
kandang diberi penghalang dari bambu dengan jarak antara bambu adalah 2 cm.
Kandang yang digunakan untuk penelitian kambing muda dibutuhkan empat
kandang. Kandang yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Kandang PE Jantan Muda
Penelitian tahap kedua mengenai produktivitas induk laktasi menggunakan
kandang koloni dengan ukuran satu petak kandang kambing induk yakni memiliki
panjang 1,5 meter dengan lebar 3 meter. Kandang induk ini berbeda dengan kandang
pada penelitian pertama. Perbedaan tersebut terdapat pada atap kandang yang
digunakan yakni terbuat dari asbes. Kandang yang digunakan pada penelitian tahap
kedua ini sebanyak 5 kandang dengan jumlah ternak 3 ekor/kandang. Gambar 7
menunjukkan kandang yang digunakan pada penelitian tahap kedua.
21
Gambar 7. Kandang PE Induk Laktasi
Peralatan
Peralatan yang digunakan adalah timbangan gantung merek Token dengan
ketelitian 100 g untuk penimbangan bobot badan ternak, penimbangan pakan hijauan
dan sisa pakan hijauan. Timbangan duduk kapasitas 10 kg dengan ketelitian 50 g
digunakan untuk penimbangan konsentrat. Peralatan lain adalah baskom,
termohigrometer, kartu jadwal pemberian pakan, ember, timbangan digital dengan
ketelitian 1 g, gelas ukur, plastik, coolbox, milkco tester, freezer, alat tulis serta
kamera digital.
Prosedur
Performa Kambing PE Muda
Penelitian dilakukan dalam dua periode yaitu periode adaptasi (satu minggu)
dan periode perlakuan (8 minggu). Periode perlakuan diawali dengan penimbangan
bobot badan ternak untuk mengetahui bobot awal kambing. Penimbangan
selanjutnya dilakukan dua minggu sekali pada pagi hari sebelum ternak diberi pakan.
Perlakuan terdiri dari dua faktor yakni waktu pemberian pakan (W) dan jenis
pakan yang berbeda (P). Perlakuan perbedaan waktu pemberian pakan dibedakan
sebagai berikut: W1 = 08.00 dan 16.00 WIB serta W2 = 14.00 dan 16.00 WIB.
Perlakuan metode pemberian pakan sebagai berikut: P1 = konsentrat dan hijauan
(kaliandra 1200 g dan Piper aduncum 800 g = 2000 gram) serta P2 = hijauan
(kaliandra 1260 g dan Piper aduncum 840 g = 2100 gram). Pemberian konsentrat
diberikan secara terbatas (100 g/ekor/hari) pada perlakuan P1. W2 dan P2 merupakan
kebiasaan peternak dalam pemberian pakan terhadap ternaknya.
Konsentrat diberikan terlebih dahulu sebelum pakan hijauan pada perlakuan
P1 baik pada waktu pemberian W1 maupun W2. Kaliandra dan Piper aduncum
22
diberikan secara ad libitum. Penimbangan sisa pakan dilakukan sebelum pakan yang
baru diberikan kepada ternak. Pakan yang digunakan dalam penelitian ini
ditampilkan pada Tabel 5, yang terdiri dari konsentrat, kaliandra dan Piper aduncum.
Pengambilan data suhu dan kelembaban lingkungan dalam kandang
dilakukan setiap hari pada pukul 08:00 WIB, 14:00 WIB dan 16:00 WIB.
Pertambahan bobot badan harian ditentukan dengan cara menghitung selisih bobot
awal dengan bobot akhir dibagi lama pengamatan.
Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah:
Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH). Pengukuran PBBH dilakukan dengan
cara mengurangi bobot akhir dengan bobot awal ternak dalam satuan gram dibagi
jumlah hari dalam periode pengamatan (56 hari). Penimbangan ternak menggunakan
timbangan berkapasitas 50 kg dengan ketelitian 200 gram.
Konsumsi Pakan. Konsumsi pakan diukur dengan menghitung jumlah pakan yang
diberikan (gram/ekor/hari) dan pakan yang tersisa (gram/ekor/hari) dalam gram.
Penimbangan pakan menggunakan timbangan berkapasitas 25 kg dengan ketelitian 1
gram.
Kualitas Pakan. Pakan yang diberikan selama penelitian diambil sampelnya untuk
dilakukan analisa komposisi kandungan pakan yang dilakukan oleh Laboratorium
Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Efisiensi Pakan. Efisiensi pakan diukur dengan membagi nilai PBBH dengan
konsumsi bahan kering yang kemudian dikalikan 100%.
Income Over Feed Cost (IOFC). Rumus yang digunakan untuk menghitung IOFC
adalah pendapatan peternak dikurangi pengeluaran pakan yang digunakan selama
penelitian.
Produktivitas Induk Laktasi
Penelitian dilakukan dalam tiga periode yaitu periode persiapan (satu
minggu), periode pengambilan data produksi susu sebelum perlakuan pakan
tambahan (satu minggu) dan periode pengambilan data produksi susu setelah
perlakuan pakan tambahan (8 minggu). Periode perlakuan diawali dengan
identifikasi ternak dari usia, waktu laktasi dan waktu beranak terakhir.
23
Produksi dan kualitas susu diperoleh dari kambing yang diberi pakan yang
berbeda (P). Perlakuan pemberian pakan dibedakan sebagai berikut: P1 (sebelum
diberikan pakan tambahan limbah industri pangan (ampas tahu dan kulit kacang
kedelai) yakni pakan yang biasanya diberikan peternak sehari-hari) dan P2 (setelah
diberikan pakan tambahan limbah industri pangan). Pakan tambahan limbah industri
pangan terdiri dari ampas tahu dan kulit kacang kedelai yang diberikan kepada ternak
setelah pakan hijauan. Proporsi pakan tambahan segar yang diberikan kepada induk
laktasi adalah 1,4 kg/ekor/hari ampas tahu dan 0,6 kg/ekor/hari kulit kacang kedelai.
Pemberian pakan tambahan dilakukan dengan cara mencampurkan ampas tahu
dengan kulit kacang kedelai. Waktu pemberian terdiri dari dua yakni pagi (08.00
WIB) sebanyak 1 kg/ekor pakan tambahan dan sore hari (16.00 WIB) sebanyak 1
kg/ekor pakan tambahan.
Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah:
Konsumsi Pakan. Konsumsi pakan diukur dengan menghitung jumlah pakan yang
diberikan (gram/ekor/hari) dan pakan yang tersisa (gram/ekor/hari) dalam gram.
Penimbangan pakan menggunakan timbangan berkapasitas 25 kg dengan ketelitian 1
gram.
Kualitas Pakan. Pakan yang diberikan selama penelitian diambil sampelnya untuk
dilakukan analisa komposisi kandungan pakan yang dilakukan oleh Laboratorium
Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Produksi Susu. Pengukuran produksi susu dilakukan pada setiap ekor ternak dengan
menggunakan gelas ukur. Pemerahan hanya dilakukan sekali dalam sehari. Data
yang diperoleh setiap harinya dicatat dalam logbook penelitian.
Kualitas Susu. Sampel susu dari masing-masing ternak diambil sebanyak 50 ml
untuk satu kali analisa. Analisa dilakukan di Laboratorium Ilmu Produksi dan
Teknologi Perah, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor untuk mengetahui komposisi susu yakni: berat
jenis, kandungan lemak, Bahan Kering Tanpa Lemak (BKTL), kandungan protein,
kandungan laktosa dan bahan kering susu. Sampel susu yang akan dianalisa, setelah
proses pemerahan kemudian diukur 50 ml dan dikemas dalam plastik kemudian
24
dimasukan kedalam freezer. Jarak yang cukup jauh dari tempat penelitian menuju
laboratorium analisa, sehingga pada saat membawa sampel digunakan coolbox untuk
mencegah terjadinya pencairan susu dalam perjalanan. Setelah di laboratorium,
sampel susu tersebut dilakukan thawing kurang lebih satu jam (mencapai suhu
ruang), kemudian dihomogenisasi dan dianalisa menggunakan Milkco tester. Data
yang muncul dari Milkco tester kemudian dicatat sebagai hasil analisa kualitas susu.
Sampel susu diambil untuk analisa kualitas susu dilakukan dua kali. Pengambilan
sampel pertama yakni susu yang dihasilkan dari pemberian pakan tanpa adanya
pakan tambahan limbah industri pangan (P1) dan kedua untuk susu yang dihasilkan
setelah 8 minggu perlakuan pemberian pakan tambahan limbah industri pangan (P2)
pada ternak induk laktasi. Perhitungan bahan kering susu dilakukan dengan
menggunakan rumus sebagai berikut.
BK = L + BKTL
Keterangan: BK = Bahan kering
L = Kandungan lemak susu
BKTL = Bahan kering tanpa lemak
Income Over Feed Cost (IOFC). IOFC merupakan perhitungan yang dilakukan
untuk mengetahui pendapatan yang diperoleh oleh peternak dengan adanya
peningkatan produksi susu setelah adanya pemberian pakan tambahan. Rumus yang
digunakan untuk menghitung IOFC adalah pendapatan peternak dikurangi
pengeluaran pakan yang digunakan selama penelitian.
Rancangan dan Analisis Data
Performa Kambing PE Muda
Rancangan penelitian pertama untuk perhitungan konsumsi pakan, konsumsi
kandungan nutrisi pakan, konversi pakan dan IOFC dianalisis secara deskriptif
sedangkan untuk PBBH menggunakan rancangan acak lengkap pola dua arah. Uji
lanjut yang dilakukan jika data menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) atau
sangat nyata (P<0,01) adalah uji Beda Nyata Terkecil (BNT/LSD) untuk mengetahui
nilai rataan pada taraf perlakuan mana yang berbeda. Hasil yang diperoleh disajikan
dalam bentuk tabel, rataan dan grafik. Perhitungan secara deskriptif menggunakan
rumus seperti yang tertera di bawah ini:
25
= ∑ ini
n
Keterangan:
= nilai rerata
= ukuran ke i dari peubah X
n = jumlah contoh yang diambil dari populasi
Perhitungan PBBH, menggunakan rancangan rancangan acak lengkap pola dua arah
(2x2) dengan model matematis sebagai berikut:
Yij = µ+Ai+Bj+ +(AB)ij +εij
Keterangan:
Yij =Nilai pengamatan parameter PBBH ternak pada pakan ke-i dan waktu
pemberian pakan ke-j.
µ =Nilai rataan PBBH ternak PE.
Ai =Pengaruh perlakuan pemberian pakan pada taraf ke-i.
Bj =Pengaruh perlakuan waktu pemberian pakan pada taraf ke-j.
(AB)ij =Pengaruh interaksi antara antara pemberian pakan ke-i dan waktu
pemberian pakan ke-j.
Εij =Pengaruh galat percobaan pada pemberian pakan ke-i dan waktu
pemberian pakan ke-j.
Uji lanjut yang digunakan yaitu BNT/LSD dengan menggunakan rumus
sebagai berikut:
dimana √
S = KTG
26
Produktivitas Induk Laktasi
Penelitian selanjutnya mengenai produktivitas induk laktasi menggunakan
analisis deskriptif untuk data konsumsi pakan, konsumsi kandungan nutrisi pakan
dan IOFC, sedangkan produksi dan kualitas susu selama penelitian dihitung
menggunakan uji t yang digunakan untuk membedakan hasil sebelum pemberian
pakan tambahan dengan setelah pemberian pakan tambahan. Rumus perhitungan
deskriptif yang digunakan sebagai berikut:
= ∑
Keterangan:
= nilai rerata
= ukuran ke i dari peubah X
n = jumlah contoh yang diambil dari populasi
Uji t hitung untuk perhitungan menganalisis produksi dan kualitas susu
menggunakan rumus sebagai berikut:
Dimana √(
)
Dengan derajat bebas efektif sebesar dbeff, dimana
(
)
(
(
)
(
)
)
Keterangan:
t = Nilai t hitung
= Nilai rataan
S = Simpangan baku
n = Jumlah individu atau ukuran contoh
27
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Peternakan Kambing Perah di Sumedang
Heriyadi (2004) menyebutkan bahwa Kabupaten Sumedang memiliki
topografi yang berbukit-bukit dengan kemiringan berkisar antara 15%-30%, dengan
perbedaan ketinggian antara 50-200 meter. Wilayah Kabupaten Sumedang memiliki
ketinggian tempat antara 700-750 meter dari permukaan laut dengan temperatur
harian antara 20-29oC, serta kelembaban relatif antara 68%-80%. Curah hujan
berkisar antara 1.500-2.200 mm/tahun pada tahun 2002. Kabupaten Sumedang secara
geografis terletak antara 107o44’ sampai 08
o2 ’ BT dan 6
o40’ sampai 7
o83’ LS
dengan luas wilayah 152.219,95 hektar (Rani, 2004). Lokasi penelitian dapat dilihat
pada Gambar 8.
Gambar 8. Letak Penelitian (Sumber: Google maps)
Lokasi penelitian berada 15 km dari Ibu Kota Kabupaten Sumedang.
Kecamatan Cimalaka-Sumedang memiliki akses yang baik karena dekat dengan jalan
utama Sumedang-Tomo. Wilayah Cimalaka dapat dilihat di peta berbatasan dengan
wilayah Paseh, Legok Kidul, Mandalaherang dan Legok Kaler.
Kecamatan Cimalaka merupakan daerah terpadat untuk populasi kambing
Peranakan Etawah (PE) di seluruh Kabupaten Sumedang. Kecamatan Cimalaka oleh
Kabupaten Sumedang dijadikan daerah yang dapat dibuka sebagai daerah
28
penambangan pasir. Oleh karena itu keberadaan kambing PE di daerah ini diawali
dengan upaya untuk memanfaatkan lahan kritis yakni lahan bekas galian pasir yang
sudah tidak dipakai lagi. Daerah penelitian khususnya yang terdapat lokasi galian
pasir adalah di Desa Cibeureum Wetan, Kabupaten Sumedang.
Desa Cibeureum Wetan terletak pada 107o60’45” BT di sebelah utara
berbatasan dengan Gunung Tampomas, di sebelah selatan dengan Desa Ciuyah
Kecamatan Cisarua, di sebelah barat dengan Desa Cibeureum Kulon dan di sebelah
timur dengan Desa Legok Kecamatan Paseh. Luas Desa Cibeureum Wetan 394 Ha.
Desa Cibeureum Wetan berada pada ketinggian 500-600 m di atas permukaan laut
karena berada di kaki Gunung Tampomas, curah hujan rata-rata 2000-2500
mm/tahun dan keadaan suhu rata-rata berkisar antara 23 -31oC.
Lingkungan sangat berpengaruh terhadap kondisi ternak selain faktor genetik.
Interaksi antara genetik dan lingkungan juga memiliki peranan yang penting. Oleh
karena itu pengetahuan mengenai kondisi lingkungan sangat diperlukan. Berikut ini
merupakan data suhu dan kelembaban yang diamati selama penelitian.
Tabel 6. Rataan Suhu dan Kelembaban Selama Pengamatan di Dalam Kandang
Waktu Suhu (oC) Kelembaban %
Pagi 23,04 68,46
Siang 30,11 37,07
Sore 28,60 43,16
Keterangan : Pagi (08.00 WIB), siang (14.00 WIB), sore (16.00 WIB)
Berdasarkan hasil yang diperoleh terhadap suhu dan kelembaban selama
penelitian berlangsung yakni suhu pada siang hari (30,11oC) lebih tinggi
dibandingkan pada pagi dan sore hari dengan kelembaban yang juga sangat rendah
yakni 37,07%. Perbedaan kisaran suhu dan kelembaban dengan data Heriyadi (2004)
yang menyebutkan bahwa suhu harian berkisar antara 20-29oC, serta kelembaban
relatif antara 68%-80%. Hal ini memperlihatkan bahwa kondisi di tempat penelitian
lebih besar nilai suhunya dibandingkan dengan kondisi Sumedang secara
keseluruhan. Sebaliknya, kelembaban memperlihatkan nilai yang lebih kecil. Hal ini
terjadi karena pada saat penelitian dilaksanakan pada musim kemarau. Kondisi
demikian menyebabkan lingkungan sekitar menjadi lebih panas dan ketersediaan air
juga sangat terbatas.
29
Menurut Ensminger (2002), suhu yang ideal untuk kambing perah berkisar
12,7oC sampai 21,11
oC, sementara Smith dan Mangkoewidjojo (1988) melaporkan
suhu nyaman bagi kambing berkisar antara 18oC sampai 30
oC. Sumedang memiliki
temperatur yang berkisar antara 23-30oC, masih berada pada kisaran suhu yang
nyaman bagi ternak kambing. Tomaszewska et al. (1993) menyatakan bahwa kisaran
suhu yang nyaman bagi ternak kambing cukup besar yakni diantara suhu 20oC
sampai 33,5oC.
Daerah tropika basah seperti Indonesia memiliki kelembaban rata-rata harian
atau bulanan relatif tetap sepanjang tahun dan umumnya kelembaban lebih dari 60%.
Kelembaban udara merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kenyamanan
ternak. Udara yang terlalu kering ataupun terlalu basah dapat mempengaruhi keadaan
fisiologis ternak dan ternak membutuhkan kelembaban yang ideal yakni berkisar
60%-70%. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa pada pagi hari memiliki
kelembaban 68,46%, siang hari 37,07% dan sore hari 43,16%. Oleh karena itu pada
siang dan sore hari kondisi ternak tidak nyaman. Kelembaban yang rendah ini karena
tempat penelitian berada di lahan kritis bekas galian tambang yang kondisinya
gersang dan jarang pohon yang tinggi karena kebanyakan adalah hamparan batu-
batuan yang sudah ditelantarkan oleh pengusaha galian pasir.
Sejarah Pengembangan Kambing di Cimalaka
Desa Cibeureum Wetan menjadi daerah penambangan galian pasir telah
berlangsung sejak awal tahun 1980. Kegiatan penambangan pasir setelah habis
dikuras, lahan galian tersebut dibiarkan begitu saja oleh pengguna. Oleh karena itu,
kerusakan lingkungan tidak terelakkan lagi. Lahan bekas galian pasir menjadi tidak
produktif dan kondisi tanahnya rusak. Produktivitas lahan di sekitar lahan pasca
penambangan menurun akibat adanya penurunan kesuburan tanah. Terlihat adanya
perubahan bentang lahan, terdapat banyak gundukan batu-batuan dan cekungan,
hilangnya vegetasi serta terjadinya perubahan iklim mikro yakni suhu yang terasa
lebih panas dari sebelumnya.
Usaha-usaha untuk mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan akibat
penambangan pasir harus dilakukan dalam rangka melestarikan lingkungan. Usaha
rehabilitasi lahan bekas tambang adalah usaha memperbaiki, memulihkan kembali
dan meningkatkan kondisi lahan yang rusak agar dapat berfungsi kembali secara
30
optimal seperti sebelum adanya penambangan baik sebagai unsur produksi, media
pengatur tata air maupun sebagai unsur perlindungan alam lingkungan (Zulfahmi,
1996). Kegiatan pemanfaatan lahan kritis ini dipelopori oleh seorang petani pelestari
lingkungan yaitu Uha Juhari dari Desa Cibeureum Wetan, Kecamatan Cimalaka.
Tahun 1983, sang perintis atas nama Uha Juhari memulai pemanfaatan lahan
kritisnya dengan membeli lahan bekas galian pasir (Tipe C) seluas 100 Bata. Bahan
galian Tipe C yaitu bahan galian yang dianggap tidak langsung mempengaruhi hajat
hidup orang banyak karena kecilnya jumlah letakan (deposit) bahan galian itu. Upaya
untuk mereklamasi lahan tersebut pun sangat lama dilakukan oleh Uha Juhari beserta
Keluarga karena lahan yang dibeli dipenuhi dengan batuan tanpa lapisan top soil.
Oleh karena itu upaya perataan lahan dan penanaman pohon yang mampu hidup pada
lahan seperti itu mulai dilakukan pada tahun 1985. Lahan bekas galian pasir dapat
dilihat pada Gambar 9 sedangkan Gambar 10 menunjukkan beberapa penanaman
tanaman yang dilakukan untuk mereklamasi lahan bekas tambang.
Gambar 9. Kondisi Lahan Sebelum Reklamasi
31
Gambar 10. Reklamasi dengan Tanaman Gamal dan Reklamasi dengan Buah Naga
Cara yang dilakukan untuk melakukan kegiatan rehabilitasi tersebut yakni
dengan penanaman tanaman yang mampu hidup pada lahan tersebut. Pertumbuhan
tanaman tersebut bisa dibantu dengan adanya pemberian bahan amelioran. Bahan
amelioran adalah bahan untuk mengkondisikan tanah agar baik untuk tanaman
tertentu. Bahan amelioran yang banyak diberikan pada kegiatan rehabilitasi lahan
pasca galian tambang adalah pupuk kandang.
Pupuk kandang mempunyai kelebihan diantaranya adalah mudah didapat,
harganya murah dan mudah dalam penanganannya. Menurut Abdurahman dan Agus
(2001) pupuk kandang mengandung unsur hara dengan konsentrasi yang bervariasi
diantara ternak satu dengan yang lainnya tergantung dari jenis ternak, umur, gizi dan
kesehatan ternak tersebut. Sabihan et al. (1989) menyatakan bahwa dosis pupuk
kandang yang diperlukan dalam pemupukan tergantung dari jenis tanah, jenis
tanaman yang diusahakan, bentuk usaha tani dan jumlah pupuk kandang yang
tersedia.
Keberadaan kambing di lahan pasca galian pasir ini digunakan oleh peternak
sebagai sumber pupuk kandang yang dapat digunakan sebagai pupuk organik untuk
menyuburkan lahan sekitar. Pemberian bahan organik mempunyai manfaat antara
lain: memperbaiki sifat fisik tanah, hasil pelapukan bahan organik juga merupakan
unsur hara yang cukup potensial dan terhadap sifat kimia tanah ialah menambah nilai
kapasitas tukar kation dan gudang hara (Abdurachman et al., 1999).
Pohon yang ditanam adalah pohon leguminosa seperti tanaman gamal
(Gliricidia sepium) dengan tujuan awal untuk mereklamasi kembali lahan yang telah
rusak. Namun setelah tanaman gamal tumbuh dengan normal pada lahan tersebut
kurang lebih dua tahun setelah penanaman. Tahun 1990-an Uha Juhari mulai
32
memanfaatkan tanaman gamal tersebut dengan memelihara kambing pada lokasi
tersebut dimana kambing yang dipelihara adalah PE.
Pemeliharaan ternak kambing dimulai dengan empat ekor tenak kambing PE
gaduhan. Setelah usaha dirasakan bermanfaat dan mendapatkan keuntungan yang
cukup baik dari hasil kambing dan susu kambing serta pupuk kandang yang mampu
digunakan sebagai penyubur lahan, akhirnya usaha ini dijadikan sebagai mata
pencaharian yang tetap. Keberhasilannya tersebut menyebabkan peternak yang lain
pun ikut bergabung dengan Uha Juhari membentuk satu Kelompok Ternak Simpay
Tampomas pada tahun 1994 dengan jumlah anggota 24 peternak dimana setiap
peternak memiliki kambing antara 5-30 ekor.
Sistem Pemeliharaan Terintegrasi
Pemberian pakan di Kecamatan Cimalaka yakni Kelompok Ternak Simpay
Tampomas dilakukan secara cut and serve (cut and carry) dimana jenis pakan yang
diberikan adalah hijauan tanpa diberikan konsentrat. Hijauan yang diberikan antara
lain leguminosa (Gliricidia sepium dan Calliandra sp.) dan rumput lapangan yang
tumbuh disekitar kandang–kandang kelompok. Jumlah pakan yang diberikan antara
4-6 kg yang disesuaikan dengan ukuran bobot badan dan jumlah kambing yang
terdapat pada kandang kelompok.
Rumput gamal diberikan kepada ternak hanya pada musim penghujan dimana
keberadaan tanaman gamal sangat banyak sedangkan pada musim kering tanaman
gamal tidak banyak diberikan karena terbatas. Kaliandra merupakan hijauan yang
banyak diberikan kepada ternak kambing karena keberadaan kaliandra cukup banyak
di kaki gunung Tampomas. Banyaknya kaliandra juga didukung dari berbagai
bantuan yang datang untuk Peternakan Simpay Tampomas dalam memenuhi
kebutuhan pakan kambing oleh Dinas terkait.
Wina dan Budi (2000) menyatakan bahwa domba dan kambing akan tumbuh
lebih baik bila disuplementasi dengan kaliandra dibandingkan bila hanya diberi
rumput. Tingkat suplementasi yang baik adalah 30% dari total ransum karena
pemberian yang lebih tinggi tidak mempunyai pengaruh lagi. Kadar tanin yang tinggi
dalam daun kaliandra akan mengikat protein lebih kuat bila kaliandra dikeringkan
daripada dalam bentuk segar. Peternak memberikan pakan kaliandra umumnya
diberikan dalam bentuk segar.
33
Usaha peternakan kambing pada hakikatnya akan menghasilkan limbah
ternak yakni kotoran. Limbah tersebut dijadikan pupuk. Pupuk tersebut lebih banyak
digunakan untuk tanaman buah naga. Peternakan Simpay Tampomas memiliki
sekitar 5 hektar lahan bekas galian pasir yang khusus untuk budidaya buah naga.
Produktivitas buah naga yang dihasilkannya pun sangat tinggi karena dari 3 hektar
lahan akan menghasilkan buah naga konsumsi sebanyak 36 ton per tahun.
Gambar 11. Budidaya Buah Naga
Pemeliharaan kambing PE di Kabupaten Sumedang dilakukan secara intensif
dimana kambing-kambing ditempatkan sepanjang hari pada kandang tertutup dan
dikeluarkan pada hari-hari tertentu, seperti pada waktu menjelang beranak,
perawatan rutin, sakit dan bila akan dijual. Pemeliharaan secara intensif ini dilakukan
untuk melaksanakan proteksi maksimal dari faktor lingkungan yang tidak terkontrol
dan memberikan kontrol yang lengkap terhadap kebiasaan kambing yang merusak.
Devendra (1993) menambahkan bahwa kambing perah di daerah tropis dikelola
dengan produksi intensif (tanpa pengembalaan).
Kondisi iklim sekitar kandang yang kering selama penelitian menyebabkan
adanya beberapa masalah terhadap kesehatan kambing. Gangguan kesehatan yang
terjadi selama penelitian tahap pertama berlangsung adalah penyakit mata, kembung
dan mencret. Penyakit mata hanya terjadi pada awal penelitian yang diakibatkan
adanya perpindahan kandang. Tomaszewska et al. (1993) menyatakan bahwa
penyakit mata bisa menyerang kambing Etawah pada saat cuaca kurang baik serta
adanya penurunan daya tahan tubuh kambing Etawah, biasanya mudah sekali
terserang penyakit mata. Namun pada penelitian ini penyakit tersebut tidak diobati
hanya dibiarkan, karena akan sembuh setelah ternak beradaptasi dengan baik pada
kandang yang baru. Hal ini terlihat setelah waktu adaptasi selesai dan dimulainya
waktu perlakuan, ternak yang terdeteksi penyakit tersebut telah sembuh.
34
Penyakit yang menyerang ternak pada waktu penelitian yaitu penyakit
kembung dan mencret, tindakan yang dilakukan yakni penyembuhan dengan
pemberian obat. Tomaszewska et al. (1993) menyatakan bahwa perut kembung
(bloat) terjadi karena ternak memakan pakan yang cepat terfermentasi, tetapi
pengeluaran gas tidak mampu diimbangi. Makanan yang bisa menyebabkan hal ini
adalah golongan leguminosa dan hijauan basah. Pakan yang banyak diberikan selama
penelitian ini adalah kaliandra. Kaliandra tersebut tidak dibedakan antara yang muda
dan yang tua, semuanya dicampur oleh peternak atau tergantung dari ketersediaan di
lapangan. Kaliandra dan Piper aduncum yang diberikan pada penelitian ini diberikan
dalam keadaan segar sehingga bisa jadi ternak yang terkena penyakit ini memakan
pakannya dengan lahap dan cepat. Pencegahan yang bisa dilakukan adalah dengan
memberikan pakan yang sudah kering dari embun pagi, pemberian leguminosa
jangan terlalu banyak dan pemberian daun muda harus dihindari. Tindakan lainnya
yang bisa dilakukan jika terjadi bloat adalah dengan mencekokkan minyak kelapa
kepada ternak tersebut. Penyakit kembung pada penelitian ini diberi pengobatan per
oral (melalui air minum) yakni dengan pemberian air minum Lasegar. Hal ini
dilakukan karena ketersediaan obat tradisional pada lahan seperti bekas galian pasir
sulit ditemukan dan lebih praktis dilakukan oleh peternak.
Mencret pada kambing diobati dengan pemberian obat dalam yakni
pemberian obat Diapet satu kapsul dan air gula merah untuk menstabilkan kembali
kondisinya akibat konsumsi pakan yang sedikit. Penyakit diare dialami oleh ternak
kambing pada awal perlakuan pemberian konsentrat. Hal ini terjadi karena ternak
belum beradaptasi dengan pakan baru yang diberikan. Diare menyerang kambing
Etawah yang disebabkan makanan sejenis yang berlebihan atau karena kambing
memakan hijauan makanan ternak yang berupa daun yang masih terlalu muda yang
berlebihan (Tomaszewska et al., 1993).
Penelitian selanjutnya mengenai produktivitas induk laktasi memperlihatkan
kondisi ternak yang lebih baik dibandingkan dengan ternak muda. Hal ini
dikarenakan pada ternak kambing betina laktasi selalu dilakukan pembersihan
kandang sebelum dilakukan pemerahan. Walaupun ada keterbatasan air di wilayah
Kelompok Ternak Simpay Tampomas, diusahakan tindakan pembersihan pada
daerah ambing dengan menggunakan air yang bersih dan hangat dan setelah
35
pemerahan diberikan antibiotik. Hal lainnya yang menyebabkan kesehatan ternak
induk laktasi terjaga adalah selektifnya peternak dalam menjaga kesehatan ternak
induk laktasi. Tindakan kebersihan yang terjaga tersebut dikarenakan peternak
memahami akan adanya penyakit yang dapat menyerang pada ternak perah seperti
penyakit mastitis jika kebersihan tidak terjaga.
Keterbatasan air yang dialami Kelompok Ternak Simpay Tampomas
disebabkan penambangan pasir yang semakin banyak dilakukan pada lahan yang
bersebelahan dengan peternakan. Wardoyo et al. (1999) menyatakan bahwa dampak
fisik akibat penambangan pasir adalah terganggunya jalur aquifer air tanah akibat
dari adanya kegiatan pemotongan bukit yang akan diambil pasirnya. Aquifer air
tanah merupakan sumber air tanah bagi masyarakat. Posisi Kelompok Ternak
Simpay Tampomas lebih tinggi dari lahan yang sekarang masih aktif dilakukan
penggalian sehingga jalur aquifer semakin rendah dan bisa juga berubah. Oleh
karena itu pasokan air sangat terbatas.
Keterbatasan air menyebabkan ternak kambing di Kelompok Ternak Simpay
Tampomas tidak diberikan air minum. Kebutuhan air didapatkan oleh ternak hanya
dari pakan yang diberikan. Air yang ada hanya cukup untuk digunakan sebagai air
cucian untuk ternak kambing perah induk laktasi sebelum dilakukan pemerahan.
Padahal air bagi ternak berfungsi sebagai komponen utama dalam metabolisme tubuh
dan sebagai faktor utama dalam kontrol temperatur tubuh. Oleh karena itu, peternak
mengupayakan pembuatan kolam-kolam penampungan air hujan sehingga
diharapkan mampu memenuhi kebutuhan air untuk musim kemarau.
Performa Kambing PE Muda
Penelitian pertama mengenai performa kambing PE muda menggunakan
kambing PE jantan sebanyak 12 ekor. Bobot tubuh awal kambing PE sebelum
mendapatkan perlakuan yaitu berkisar antara 10,5-14,5 kg dengan rataan 12,6 kg.
Devendra (1993) menyatakan bahwa berat badan mempunyai pengaruh yang nyata
terhadap produksi daging. Salah satu faktor yang mempengaruhi berat badan adalah
pakan yang diberikan kepada ternak, sehingga respon yang baik akan diperoleh
ketika ternak diberikan pakan yang memiliki kualitas dan kuantitas yang baik.
Bobot tubuh akhir kambing setelah digemukkan selama dua bulan berkisar
antara 13,2-18,1 kg dengan rataan 15,4 kg. Menurut Badan Standarisasi Nasional
36
(2008) untuk kambing jantan pada usia 0,5 tahun sampai 1 tahun bobot badannya
mecapai 29±5 kg sedangkan menurut Sutama dan Budiarsana (1997) berat badan
sapih pada kambing PE berkisar antara 8,6-12,7 kg dan pada umur 12 bulan akan
meningkat sampai berat badan 15,4-20,5 kg.
Zurriyati (2005) menambahkan bahwa adanya Pertambahan Bobot Badan
Harian (PBBH) pada umur yang relatif sama diantara ternak kambing disebabkan
oleh keragaman individu (variasi genetik), tatalaksana pemeliharaan dan kondisi
lingkungan yang berbeda. Ternak mempunyai kemampuan yang berbeda dalam
beradaptasi dengan perubahan lingkungan sekitarnya yakni dengan adanya
perubahan pakan sehingga dapat menyebabkan adanya pertambahan bobot badan
ternak kambing yang berbeda pula.
Performa ternak dapat dilihat dari nilai PBBH. PBBH erat hubungannya
dengan pertumbuhan karena dengan adanya PBBH menggambarkan kondisi ternak
untuk tumbuh. Hasil yang diperoleh dari 56 hari terhadap kambing PE jantan,
didapatkan rataan PBBH dari masing-masing ternak tersebut yang disajikan pada
Tabel 7.
Tabel 7. Rataan PBBH Berdasarkan Pakan dan Waktu Pemberian yang Berbeda
Waktu Pemberian Jenis Pakan
Rata-rata P1 P2
W1 74,41a±11,89 44,64
b±2,73 59,52±18,10
W2 43,45b±3,57 38,69
b±5,16 41,07±4,52
Rata-rata 58,93±18,63 41,66±5,13
Keterangan: P1 = Hijauan & Konsentrat, P2 = Hijauan, W1 = P & So, dan W2 = Si & So. P = pagi
(08.00 WIB), Si = Siang (14.00 WIB), So = Sore (16.00 WIB). Superscript yang berbeda
(a,b) pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).
PBBH ternak sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik ternak dan
lingkungannya. Pertambahan bobot badan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
jenis ternak, umur, keadaan genetik, lingkungan, kondisi ternak, manajemen tata
laksana dan total protein yang diperoleh ternak dari pakan yang dikonsumsi.
Hasil dari rataan yang diperoleh menunjukkan bahwa pemberian konsentrat
sebanyak 100 gram/ekor/hari mampu memberikan pertambahan bobot badan yang
sangat nyata lebih tinggi (P<0,01) dibandingkan dengan ternak yang tidak
37
mendapatkan tambahan pakan konsentrat. Ternak yang diberikan pakan pada waktu
pemberian W1 nilai PBBHnya sangat nyata lebih tinggi (P<0,01) bila dibandingkan
dengan ternak yang diberikan pakan pada waktu pemberian W2. Interaksi antara
pengaruh pemberian pakan (P) dan waktu yang berbeda (W) pada ternak kambing PE
menunjukkan hasil yang significant (P<0,05) berdasarkan analisis rancangan acak
lengkap pola dua arah. Hal ini dapat dilihat dari tingginya PBBH ternak kambing
jantan muda yang diberikan perlakuan pakan P1 pada waktu pemberian W1
dibandingkan dengan ternak yang diberikan perlakuan pakan P2 pada waktu
pemberian pakan W2. Selanjutnya, rataan PBBH kambing PE berkisar antara 38,69-
74,41 gram/ekor/hari (lihat Tabel 7) dan grafik rataan pertambahan bobot badan
kambing selama perlakuan dapat dilihat pada Gambar 12.
Hasil pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan penelitian
Anastasia (2007) dengan pemberian pakan komplit yang mengandung Protein Kasar
(PK) 12,05% menghasilkan PBBH pada kambing sebesar 78,70 gram/ekor/hari.
Namun, PBBH yang diperoleh pada penelitian jauh lebih tinggi bila dibandingkan
dengan data yang diperoleh Sutama dan Budiarsana (1997), dimana pada
pemeliharaan yang berbeda pada kambing PE menghasilkan PBBH sebesar 27-65,4
gram/ekor/hari. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini juga memiliki nilai yang
lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil yang diperoleh Hastono (2003) yakni
kambing usia disapih sampai 6 bulan memiliki PBBH jantan dan betina berturut-turut
yakni 39,3 gram/hari dan 39,4 gram/hari sedangkan pada usia 6 bulan sampai 9 bulan
PBBH berturut-turut untuk jantan dan betina yakni 43 gram/hari dan 30 gram/hari.
PBBH tertinggi didapatkan pada waktu pemberian pakan W1 dengan perlakuan P1
74,41 (a)
44,64 (b) 43,45 (b) 38,69 (b)
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Hijauan & Konsentrat HijauanPer
tam
bah
an B
obot
Bad
an
Har
ian
(gra
m/e
kor/
har
i)
Gambar 12. Grafik Nilai Rataan PBBH
P & So
Si & So
38
yaitu 74,41 gram/ekor/hari. Hal ini diduga karena adanya interaksi positif dari waktu
yang panjang pada ternak untuk mengkonsumsi pakan yang diberikan dibandingkan
dengan waktu pemberian pakan pada W2.
Perbedaan lama waktu makan memberikan perbedaan kecernaan komponen
zat makanan pada kambing yang berbeda pula. Pemberian pakan yang lebih lama
akan menyebabkan waktu yang lebih lama untuk meregurgitasi pakan lebih
sempurna. Kondisi tersebut akan memberikan kesempatan yang lebih lama bagi
mikroorganisme untuk mengurai zat makanan lebih sempurna. Hal ini yang
menyebabkan PBBH ternak kambing jauh lebih tinggi daripada perlakuan pemberian
pakan P2 dengan waktu pemberian pakan W2 yang biasa dilakukan oleh peternak.
Semakin banyak pakan yang terkonsumsi maka semakin tinggi PBBH.
Pertambahan bobot badan yang tinggi akan menghasilkan bobot akhir yang
tinggi pula. Selain adanya perbedaan waktu pemberian pakan Cheke (1999)
mengemukakan bahwa jenis pakan dapat mempengaruhi PBBH ternak. Penambahan
konsentrat sebanyak 100 gram/ekor/hari baik pada waktu pemberian pakan W1
maupun W2 memberikan peningkatan bobot badan yang jauh lebih tinggi
dibandingkan tanpa adanya penambahan konsentrat. Menurut Ensminger (2002),
untuk memacu pertumbuhan dapat dilakukan dengan pemberian pakan tambahan
yang terdapat pada pakan, dalam pengkajian ini berupa konsentrat sebesar 100
g/ekor/ hari. Pakan tambahan akan berpengaruh terhadap asupan bahan kering ternak
dan komponen nutrisi lainnya.
Penelitian lain pada ternak kambing muda yang berada pada peternakan
Barokah di daerah Bogor memiliki nilai PBBH sebesar 87,5 g/hari (Atabany, 2001).
Sehingga, PBBH yang terbaik di lahan kritis pasca galian tambang pasir nilainya
lebih kecil dibandingkan dengan daerah yang tidak kritis. Perbedaan PBBH yang
dihasilkan diantara kedua penelitian menunjukkan bahwa kondisi lingkungan yang
berbeda dengan manajemen pemberian pakan yang berbeda menghasilkan
peningkatan PBBH walaupun peningkatan pertambahan bobot badan yang dihasilkan
tidak sama. Tingkat palatabilitas kambing terhadap pakan yang diberikan juga dapat
mempengaruhi peningkatan PBBH sehingga konsumsi pakan dapat menurun ketika
ternak tidak menyukai pakan yang diberikan.
39
Gambar 12 memperlihatkan perbedaan antara waktu pemberian pakan yang
sangat jelas. Perlakuan pemberian pakan pada waktu W1 baik pada perlakuan pakan
P1 maupun P2 memiliki nilai PBBH yang lebih tinggi dibandingkan dengan waktu
pemberian pakan W2. Hal ini terjadi karena pada waktu W1 keadaan suhu
lingkungan ternak masih rendah sehingga energi ternak tidak banyak terbuang untuk
menstabilkan kondisi tubuh dan ternak lebih nyaman untuk mengkonsumsi pakan
yang diberikan. Oleh karena itu, energi yang masuk kedalam tubuh ternak kambing
digunakan secara efektif untuk produksi daging dan terjadinya heat increament lebih
kecil dibandingkan dengan waktu pemberian W2.
Taylor dan Field (2004) menyatakan bahwa ternak yang berada pada zona
nyaman (thermal neutral zone) yakni pada temperatur yang sesuai dengan ternak
tersebut maka akan terjadi efisiensi performa yang maksimal dan kesehatan yang
optimal. Sebaliknya jika ternak berada pada zona tidak nyaman maka energi
metabolis pertama kali akan digunakan oleh ternak untuk proses hemeostatis
daripada untuk produksi.
Konsumsi Bahan Kering
Pakan adalah salah satu faktor yang sangat menentukan disamping mutu bibit
dan tatalaksana dalam menghasilkan produksi ternak karena akan mampu
memperbaiki performa ternak baik itu dari segi jumlah maupun mutu pakan yang
diberikan. Pemberian pakan pada ternak kambing dalam penelitian ini disesuaikan
dengan kebiasaan peternak dari segi hijauan yang diberikan sedangkan tambahannya
berupa tambahan konsentrat untuk beberapa perlakuan.
Konsumsi merupakan faktor esensial yang merupakan dasar untuk ternak
melangsungkan kehidupannya serta menentukan produksi. Tingkat konsumsi dapat
menentukan kadar suatu zat makanan dalam ransum yang diberikan untuk dapat
memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi. Tingkat konsumsi pakan dapat
menentukan kadar nutrien dalam ransum untuk memenuhi hidup pokok dan produksi
(Parakkasi, 1999).
Jumlah konsumsi pakan merupakan faktor penentu yang penting untuk
menentukan jumlah zat-zat makanan yang didapat untuk ternak yang selanjutnya
akan mempengaruhi tingkat produksi. Konsumsi pakan akan meningkat seiring
dengan meningkatnya berat badan karena pada umumnya kapasitas saluran
40
pencernaan juga meningkat (Ensminger, 1990). Rataan konsumsi bahan kering,
efisiensi pakan dan Income Over Feed Cost (IOFC) pada kambing PE jantan muda
selama perlakuan dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Konsumsi Bahan Kering, Efisiensi Pakan dan IOFC berdasarkan Pakan dan
Waktu Pemberian yang Berbeda
Parameter Waktu Pemberian
Jenis Pakan
P1 P2
Konsumsi Bahan Kering
(gram/ekor/hari)
W1 473,87 459,01
W2 443,23 435,59
Efisiensi pakan (%) W1 15,7 9,8
W2 9,9 9,0
Income Over Feed Cost
(Rupiah)
W1 249.667 128.333
W2 145.600 122.267
Keterangan: P1 = Hijauan & Konsentrat, P2 = Hijauan, W1 = P & So, dan W2 = Si & So. P = pagi
(08.00 WIB), Si = Siang (14.00 WIB), So = Sore (16.00 WIB).
Rataan konsumsi bahan kering pada penelitian ini berkisar antara 435,59–
473,87 gram/ekor/hari (Tabel 8). National Research Council (1981) menyatakan
bahwa kebutuhan nutrisi ternak kambing yakni konsumsi bahan kering sebesar 500–
840 gram untuk bobot 10–20 kg. Hal ini menunjukkan bahwa pakan yang diberikan
pada penelitian ini jika dibandingkan dengan National Research Council (1981),
ternak kambing belum memenuhi kebutuhan bahan kering.
Data pada Tabel 8 menunjukkan bahwa kambing mampu mengkonsumsi
pakan sebanyak 473,87 gram/ekor/hari berdasarkan bahan keringnya pada perlakuan
waktu pemberian pakan W1 serta perlakuan pakan P1. Perlakuan pada waktu
pemberian pakan W2 dengan perlakuan pakan yang sama konsumsi bahan keringnya
lebih rendah dibandingkan W1 yakni sebesar 443,23 gram/ekor/hari. Hal ini diduga
karena waktu makan yang relatif pendek dari Si ke So sehingga ternak hanya
mengkonsumsi pakan dalam jumlah sedikit. Sedangkan untuk perlakuan pemberian
pakan pada waktu P & So, ternak memiliki waktu yang relatif lebih panjang.
Perbedaan lama waktu makan menyebabkan terdapatnya perbedaan kecernaan
komponen zat makanan kambing yang berbeda. Tingginya rataan konsumsi bahan
kering pakan pada kambing jantan yang diberi makan lebih lama disebabkan karena
41
adanya aktivitas regurgitasi yang berbeda dimana pemberian waktu makan yang
lebih lama akan meregurgitasi pakan lebih sempurna. Hal ini bisa terlihat jelas pada
Gambar 13.
Konsumsi pakan pada waktu pemberian pakan W2 dan perlakuan pakan P2
(Tabel 8) menunjukkan konsumsi pakan kambing jantan muda sebanyak 435,59
gram/ekor/hari. Namun, ketika pemberian hijauan dilakukan pada waktu W1,
konsumsi bahan kering ternak meningkat menjadi 459,01 gram/ekor/hari. Sehingga
baik pada perlakuan pakan P1 maupun P2, nilai konsumsi bahan kering akan lebih
banyak pada waktu pemberian pakan W1.
Rataan tingkat konsumsi pakan kambing pada penelitian ini lebih rendah jika
dibandingkan dengan rataan tingkat konsumsi pakan pada penelitian Anastasia
(2007) menghasilkan rataan konsumsi pakan sebesar 501,94 gram/ekor/hari. Hal ini
disebabkan oleh perbedaan jenis ternak, kondisi lingkungan dan pakan yang
digunakan. Konsumsi dipengaruhi oleh palatabilitas pakan hal ini dapat dilihat dari
pakan tambahan konsentrat yang diberikan pada awalnya tidak disukai oleh ternak
kambing. Namun dengan adanya waktu adaptasi yang diberikan kepada ternak dan
pemberian lebih awal untuk konsentrat sebelum hijauan umumnya konsentrat habis
dikonsumsi untuk hari berikutnya.
Konsumsi Kandungan Nutrisi Pakan
Kebutuhan nutrisi ternak bervariasi antar spesies ternak dan umur fisiologis
ternak tersebut (Haryanto, 1992). Ternak memperoleh zat-zat makanan yang
diperlukan bersumber dari pakan yang diberikan dimana komponen-komponen
473,87
459,01
443,23
435,59
410
420
430
440
450
460
470
480
Hijauan & Konsentrat Hijauan
Konsu
msi
Bah
an K
erin
g
(gra
m/e
kor/
har
i)
Gambar 13. Grafik Rataan Konsumsi Bahan Kering
P & So
Si & So
42
nutrisi yang diperlukan ternak secara garis besar adalah: energi, protein, mineral dan
vitamin. Perlakuan pakan dengan pemberian pakan leguminosa yang nilai nutrisi
protein lebih tinggi maka memungkinkan pertumbuhan ternak jantan muda akan
lebih baik (Zurriyati, 2005). Ternak pada fase pertumbuhan lebih membutuhkan
protein dibandingkan dengan energi dengan catatan bahwa energi bukan merupakan
faktor pembatas.
Alasan diberikannya kaliandra dan Piper aduncum adalah ketersediaan yang
cukup banyak pada musim kemarau karena penelitian ini dilakukan pada musim
kemarau. Kaliandra sendiri banyak diberikan kepada ternak kambing karena
palatabilitas dan kandungan nutrisinya disukai ternak. Menurut National Academy of
Science (1980), hijauan kaliandra memiliki PK 22%, SK 34%-75%, lemak 2%-3%,
abu 4,5%-5% serta produksi 1-10 ton bahan kering/ha/tahun. Namun berdasarkan
analisa yang dilakukan pada pakan kaliandra yang diberikan pada penelitian ini
menunjukkan bahwa nilai kandungan nutrisinya sebagai berikut: PK 21,84%, SK
17,32%, LK 3,24% dan abu 12,31%. Data tersebut memperlihatkan bahwa pada nilai
kandungan PK tidak terlalu jauh perbedaannya dengan nilai kandungan nutrisi dari
pakan yang terdapat di lahan pasca galian pasir dengan hasil National Academy of
Science (1980). Konsumsi nutrien pakan pada penelitian ini antara lain konsumsi
abu, protein kasar, serat kasar, lemak kasar dan Beta-N.
Konsumsi abu pada penelitian ini (Tabel 9) lebih tinggi pada perlakuan pakan
P1 baik pada waktu pemberian W1 maupun W2, nilainya berturut-turut yakni 53,08
gram/ekor/hari dan 49,92 gram/ekor/hari. Tingginya konsumsi abu pada perlakuan
tersebut disebabkan oleh tingginya kandungan abu pada konsentrat yang diberikan
pada ternak yakni 22,24 %. Konsumsi abu dipengaruhi oleh persentase kandungan
abu di dalam pakan. Perlakuan pakan P2 menunjukkan bahwa nilai konsumsi abunya
rendah yakni 47,57 gram/ekor/hari untuk waktu pemberian pakan W1 dan 45,09
gram/ekor/hari pada waktu pemberian W2. Rendahnya nilai konsumsi abu tersebut
karena nilai kandungan abu pada kaliandra dan Piper aduncum berturut-turut adalah
12,31 % dan 8,57 %. Rataan konsumsi kandungan nutrisi pakan yang diberikan dapat
dilihat pada Tabel 9 di bawah ini.
43
Tabel 9. Rataan Konsumsi Kandungan Nutrisi Pakan (Protein Kasar, Serat Kasar,
Lemak Kasar dan Beta-N) Berdasarkan Pakan dan Waktu Pemberian yang
Berbeda
Parameter Waktu Pemberian Jenis Pakan
P1 P2
Abu
(gram/ekor/hari)
W1 53,08 47,57
W2 49,92 45,09
Protein Kasar (PK)
(gram/ekor/hari)
W1 110,80 108,74
W2 103,53 103,09
Serat Kasar (SK)
(gram/ekor/hari)
W1 107,66 111,37
W2 100,20 105,58
Lemak Kasar (LK)
(gram/ekor/hari)
W1 20,78 19,66
W2 19,47 18,64
Beta-N
(gram/ekor/hari)
W1 181,56 171,67
W2 170,11 162,74
Keterangan: P1 = Hijauan & Konsentrat, P2 = Hijauan, W1 = P & So, dan W2 = Si & So. P = pagi
(08.00 WIB), Si = Siang (14.00 WIB), So = Sore (16.00 WIB).
Protein berfungsi sebagai zat pembangun atau pertumbuhan dan
memetabolisme zat-zat dalam tubuh (Anggordi, 1990). Menurut National Research
Council (1981) ternak ruminansia membutuhkan pakan berkadar protein berkisar
antara 10%-12% bahan kering ransum. Konsumsi protein pada penelitian ini (Tabel
9) menunjukkan bahwa nilai konsumsi protein kasar harian ternak kambing lebih
besar pada waktu pemberian pakan W1 dengan perlakuan pakan P1. Hal ini diduga
karena kandungan nutrisi protein kasar dari konsentrat yang diberikan cukup tinggi
yakni sebesar 19,32%, kemudian ditambahkan kaliandra 22,365% dan Piper
aduncum 24,93%. Perlakuan pakan P2 hanya mendapatkan protein kasar dari
kaliandra dan Piper aduncum. Meskipun begitu dapat dilihat pada Tabel 9, pakan
pada perlakuan P1 konsumsi protein kasarnya hanya sedikit jika pakan tersebut
diberikan pada waktu W2. Padahal untuk ternak dalam usia pertumbuhan
membutuhkan kadar protein yang tinggi pada ransumnya yang akan digunakan untuk
proses jaringan tubuh (National Research Council, 1981).
Konsumsi serat kasar dalam pakan akan mempengaruhi kecernaan pakan di
dalam saluran pencernaan. Namun daya cerna serat kasar pakan pada ternak
44
tergantung dari komposisi pakan yang dikonsumsi oleh ternak (Tillman et al., 1998).
Data hasil perlakuan pakan P2 dengan waktu pemberian pakan W1 nilai konsumsi
serat kasarnya paling tinggi yakni sebesar 111,37 gram/ekor/hari sedangkan nilai
konsumsi serat kasar harian yang paling rendah adalah ternak yang diberikan
perlakuan pakan P1 yakni sebesar 100,20 gram/ekor/hari untuk waktu pemberian
W2.
Semakin tinggi konsumsi serat kasar bukan berarti akan menghasilkan
pertumbuhan ternak dan produksi yang lebih baik karena serat kasar bersifat
menurunkan daya cerna. Namun jika dibandingkan dengan perlakuan pakan P1 pada
waktu pemberian W1 nilai konsumsi serat kasarnya lebih tinggi dibandingkan
dengan perlakuan pakan P2 yang diberikan pada waktu pemberian W2. Hal ini
terjadi karena waktu yang dimiliki oleh ternak dengan perlakuan pakan P2 pada
waktu pemberian pakan W2 lebih pendek.
Waktu yang terbatas menyebabkan ternak tidak memiliki waktu yang banyak
untuk mengkonsumsi pakan yang mengandung serat kasar tinggi dari kaliandra dan
Piper aduncum sebaliknya untuk waktu pemberian pakan W1 dengan adanya
tambahan konsentrat konsumsi serat kasarnya lebih tinggi karena waktu yang
dimiliki lebih panjang untuk mengkonsumsi pakan yang diberikan. Tillman et al.
(1998) menyebutkan bahwa kandungan serat kasar yang tinggi pada pakan ternak
akan mempengaruhi daya cerna makanan pada ternak tersebut. Ketika konsumsi serat
kasarnya lebih tinggi maka akan terjadi penurunan konsumsi kandungan nutrisi
pakan yang dapat dicerna.
Pakan yang mengandung lemak akan membuat ternak menjadi lebih tahan
menahan lapar dibandingkan dengan makanan yang tidak berlemak. Tabel 9
memperlihatkan bahwa yang banyak mengkonsumsi lemak kasar harian adalah pada
perlakuan pakan P1 dengan waktu pemberian pakan W1. Sedangkan konsumsi lemak
kasar harian yang lebih rendah adalah pada perlakuan pakan P2 dengan waktu
pemberian W2. Hal ini diduga karena dibandingkan lemak, yang banyak terkandung
pada hijauan adalah serat kasar.
Beta-N pada ternak kambing bisa dilihat pada Tabel 9. Beta-N adalah
karbohidrat yang mudah dicerna selain serat kasar. Nilai konsumsi harian Beta-N
yang paling tinggi adalah pada perlakuan pemberian pakan P1 dibandingkan dengan
45
P2. Perlakuan pakan yang sama, nilai konsumsi harian Beta-N yang paling tinggi
diperoleh pada waktu pemberian pakan W1 dibandingkan W2. Hal ini diduga dari
lamanya waktu yang tersedia untuk ternak tersebut. Berdasarkan hasil yang
diperoleh, konsumsi kandungan nutrisi pakan PK, LK dan Beta-N lebih tinggi pada
waktu pemberian pakan W1 dengan perlakuan pakan P1. Serat kasar lebih tinggi
pada perlakuan pakan P2 dengan waktu pemberiannya pada W1.
Efisiensi Pakan
Efisiensi pakan adalah perbandingan pertambahan bobot badan dibagi dengan
jumlah konsumsi bahan kering. Efisiensi pakan sangat penting diketahui karena erat
kaitannya dengan biaya produksi. Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan
bahwa pada waktu pemberian pakan W1 dengan perlakuan pakan P1, jumlah
konsumsi lebih kecil tetapi memberikan PBBH yang lebih besar. Sebaliknya terjadi
pada waktu pemberian pakan W2 dengan perlakuan pakan P2 memiliki nilai
konsumsi yang lebih besar tetapi PBBH lebih kecil. Semakin banyak pakan yang
dikonsumsi maka nilai konversi pakan semakin tinggi sedangkan efisiensi pakannya
menurun. Oleh karena itu, imbangan perlakuan pakan yang diberi tambahan
konsentrat dengan pakan yang hanya diberi hijauan saja memiliki efisiensi yang
berbeda.
Perlakuan pada waktu pemberian W1 dengan perlakuan pakan P1 memiliki
nilai efisiensi yang paling tinggi (15,7%) dibandingkan dengan perlakuan yang
lainnya. Nilai efisiensi yang semakin tinggi menunjukkan bahwa ransum yang
dikonsumsi semakin baik yang diubah menjadi hasil produk pada ternak
(pertambahan bobot badan). Artinya setiap ransum yang dikonsumsi mampu
dikonversi menjadi daging dengan baik sehingga menghasilkan pertambahan bobot
badan yang optimum. Kualitas pakan yang dikonsumsi oleh ternak semakin baik maka
semakin efisien dalam penggunaan pakan.
Perlakuan pada waktu pemberian pakan W2 dengan perlakuan pakan P2 nilai
persentase efisiensi pakannya adalah 9,0% dimana nilai tersebut lebih kecil
dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya. Perbedaan persentase pakan tersebut
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: suhu lingkungan, potensi genetik, nutrisi pakan,
kandungan energi dan penyakit (Parakkasi, 1999). Rataan persentase pakan tersebut
dapat dilihat pada Tabel 8 dan grafiknya dapat dilihat pada Gambar 14.
46
Perlakuan pakan P2 baik pada waktu pemberian W1 maupun W2 memilki
nilai serat kasar yang lebih tinggi sehingga laju perjalanan pakan di dalam saluran
pencernaan akan lebih cepat. Hal ini menyebabkan daya cerna akan menurun
sehingga pakan yang dikonsumsi tidak efisien. Gambar 14 memperlihatkan bahwa
dengan hanya pemberian hijauan saja nilai efisiensi pakannya berturut-turut adalah
9,8% untuk W1 dan 9,0% untuk W2. Ketika pakan yang diberikan kepada ternak
tidak hanya hijauan yakni dengan adanya tambahan konsentrat menyebabkan nilai
serat kasar sedikit lebih rendah dan nilai efisiensinya pun lebih tinggi yaitu berturut-
turut sebesar 15,7% untuk W1 dan 9,9% untuk W2. Hal tersebut menunjukkan
bahwa dengan adanya kualitas pakan yang baik dan dikonsumsi oleh ternak maka
nilai efisiensi pakan akan semakin tinggi dan semakin efisien. Faktor yang
mempengaruhi efisiensi pakan antara lain laju perjalanan pakan dalam saluran
pencernaan, bentuk fisik, bahan makanan dan komposisi nutrisi ransum (Anggordi,
1990). Hasil tersebut memperlihatkan bahwa dengan adanya penambahan konsentrat
100 gram/ekor/hari memberikan nilai efektivitas pakan yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan pakan yang biasanya diberikan oleh peternak (waktu
pemberian pada W2 dengan perlakuan pakan P2).
Pemeliharaan tersebut tentunya akan memberikan keuntungan tersendiri bagi
peternak jika diberikan pakan tambahan. Hal ini terlihat dari nilai PBBH dan
efisiensi pakan yang lebih tinggi. Pakan tambahan bisa dijadikan peternak sebagai
alternatif dalam pemberian pakan pada ternak kambing di lahan pasca galian
tambang pasir ketika keterbatasan pakan tidak mencukupi kebutuhan ternak. Pakan
15,7
9,8 9,9 9,0
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
Hijauan & Konsentrat Hijauan
Efi
sien
si P
akan
(%
)
Gambar 14. Grafik Rataan Efisiensi Pakan
P & So
Si & So
47
tambahan juga bisa digunakan oleh peternak jika mereka menginginkan efisiensi
pakan yang lebih tinggi sehingga menghasilkan PBBH yang lebih tinggi.
Income Over Feed Cost (IOFC)
IOFC merupakan analisis pendapatan setelah dikurangi oleh biaya pakan
yang digunakan selama beternak. Faktor yang mempengaruhi IOFC adalah
pertambahan bobot badan yang dicapai, pakan yang dikonsumsi serta biaya pakan itu
sendiri. Nilai IOFC ini berguna untuk menentukan apakah dengan adanya
penambahan konsentrat pada ternak, nilai pendapatan yang diperoleh masih lebih
tinggi dari pendapatan sebelumnya yang hanya diberikan pakan hijauan saja atau
tidak.
Analisis pendapatan dengan cara perhitungan IOFC didasarkan pada harga
jual kambing per kg, harga beli ternak per kg dan pakan yang dikeluarkan selama
penelitian sedangkan biaya lain yang dikeluarkan selama penelitian belum termasuk
dalam perhitungan ini. Rataan perhitungan IOFC dapat dilihat pada Tabel 8 dan
Gambar 15 menunjukkan perbedaan yang sangat jelas akibat adanya perlakuan pakan
dan waktu yang berbeda pada ternak.
Kambing yang digunakan memiliki bobot awal rata-rata yakni 12,6 kg dan
bobot akhir setelah penelitian sebesar 15,4 kg dengan harga jual ternak kambing PE
per kg bobot badan untuk wilayah Kabupaten Sumedang adalah Rp. 70.000 per kg.
Harga pakan hijauan baik untuk kaliandra maupun Piper aduncum harganya Rp. 250
per kg sedangkan harga konsentrat per kg adalah Rp. 2.500.
249.667
128.333 145.600
122.267
0
50.000
100.000
150.000
200.000
250.000
300.000
Hijauan & Konsentrat Hijauan
IOF
C
(Rupia
h)
Gambar 15. Grafik Nilai Rataan IOFC
P & So
Si & So
48
Nilai ekonomi pemanfaatan konsentrat secara terbatas (100 g/ekor/hari) dapat
diketahui dengan menghitung IOFC (Simanihuruk et al., 2007). Nilai IOFC (Tabel 8)
yang diperoleh yakni Rp. 249.667 untuk waktu pemberian W1 dengan perlakuan
pakan P1, sedangkan untuk perlakuan pakan P2 pada waktu pemberian W2 nilai
IOFC hanya sebesar Rp. 122.267. Sehingga berdasarkan data diatas bisa diketahui
bahwa dengan adanya tambahan konsentrat pendapaan peternak tidak berkurang,
melainkan terjadi peningkatan yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan hanya
diberi hijauan (Gambar 15). Hal ini terjadi karena adanya PBBH yang jauh lebih
tinggi pada ternak yang diberikan tambahan konsentrat dibandingkan dengan hanya
hijauan sehingga pendapatannya juga lebih besar.
PBBH yang tinggi diharapkan mampu meningkatkan keuntungan peternak.
Wahju (1997) menyatakan bahwa pertumbuhan bobot badan yang tinggi belum
menjadi patokan peternak akan mendapatkan keuntungan yang maksimum ketika
tidak diikuti dengan efisiensi dan konversi pakan yang baik serta biaya pakan yang
minimum.
Produktivitas Induk Laktasi
Penelitian tahap dua yakni mengenai produktivitas induk laktasi. Kambing
PE termasuk tipe dwiguna (dual purpose) yakni sebagai penghasil daging dan susu.
Pemeliharaan kambing secara tradisional di pedesaan jarang untuk produksi susu,
karena untuk kambing perah yang mampu menghasilkan produksi susu yang tinggi
perlu manajemen pemberian pakan yang baik yakni dengan adanya pemberian pakan
tambahan yang mampu mencukupi kebutuhan metabolisme basal dan untuk produksi
ternak kambing tersebut. Penyusunan ransum sendiri harus realistis dan didasarkan
pada bahan makanan yang murah seperti daun tanaman semak, padang rumput dan
makanan hasil limbah pertanian dan industri (Devendra dan Burns, 1994).
Kekurangan pakan umumnya akan mengakibatkan lemahnya fisik calon induk,
produksi air susu rendah menjelang kelahiran, kondisi fisik anak lemah dan bobot
lahir rendah (Munier, 2008).
Kambing betina mampu mencapai berat 60 kg (Heriyadi, 2004), namun pada
penelitian ini kambing betina yang digunakan memiliki rata-rata bobot badan 50 kg
dengan kondisi puting yang simetris. Bobot badan ternak kambing PE betina ini
49
masih termasuk ke dalam calon bibit PE betina yang baik yakni 41 ± 7 kg pada usia
lebih dari 2 sampai 4 tahun (Badan Standarisasi Nasional, 2008).
Siklus berahi pada kambing di lahan pasca galian pasir ini berkisar antara 19-
22 hari sedangkan Toelihere (1981) menyebutkan 21 hari dan Atabany (2001) 22,79
hari, sehingga bisa dinyatakan siklus berahi pada kelompok di lahan kritis tersebut
normal. Hal ini bisa diakibatkan karena kondisi peternakan yang cukup kering
dengan kelembaban yang rendah sehingga ternak cocok dengan lingkungan tersebut
begitu pun dengan suhu yang telah dibahas sebelumnya. Kelembaban paling rendah
yakni 37,07% (siang hari) dan paling tinggi 68, 46% (pagi hari). Tomaszewska et al.
(1993) menyatakan bahwa ternak kambing sangat cocok di daerah dengan
kelembaban kering daripada kelembaban tinggi karena kambing yang dipelihara pada
wilayah basah cenderung lebih mudah mati karena infeksi parasit atau oleh penyakit.
Pendeteksian berahi oleh peternak dilakukan dengan mengidentifikasi 3B
yakni Beureum, Baseuh dan Bareuh serta sering mengembik. Menurut Blakely dan
Blade (1992), tanda-tanda berahi pada kambing bisa diamati pada daerah vulvanya
yang membengkak, warnanya merah dan basah. Ciri-ciri lain yaitu sering
mengembik, sering kencing dan siap dinaiki kambing betina lainnya. Cara
mengidentifikasi berahi ini penting diketahui oleh peternak karena akan
mempengaruhi keberhasilan perkawinan. Terjadinya berahi kembali setelah proses
perkawinan, menunjukkan tidak terjadinya kebuntingan pada kambing betina yang
berakibat pada kemunduran kambing betina dalam memproduksi susu.
Atabany (2001) menyatakan bahwa kambing PE yang dipelihara di daerah
Bogor memiliki karakteristik reproduksi sebagai berikut: lama kebuntingan 148,87
hari dan lama hari kosong 110,09 hari. Kambing betina yang digunakan pada
penelitian ini memiliki rata-rata kebuntingan 5 bulan dengan lama masa kosong 3
bulan. Lama masa kosong 3 bulan ini sesuai dengan manajemen penyapihan anak
kambing yang umumnya dilakukan setelah anak kambing berusia 3 bulan. Sehingga
selang beranaknya berkisar 8 bulan, yakni 5 bulan bunting dan 3 bulan masa kosong.
Sedangkan selang beranak kambing PE di Kecamatan Caringin yaitu 259,36 hari
(Atabany, 2001).
Usia pertama kali beranak pada kambing di lahan pasca galian pasir yakni
usia 1,5 tahun karena umumnya peternak mengawinkan ternak mereka pada usia
50
kambing 12 bulan. Smith dan Mangkoewidjojo (1987) menyatakan bahwa ternak
kambing betina dikawinkan pertama kali pada umur 9-12 bulan sedangkan Taylor
dan Field (2004) menyatakan bahwa kambing dapat dikawinkan pada umur 6-10
bulan. Peternak belum mau mengawinkan pada umur tersebut karena menurut
peternak usia tersebut masih terlalu muda.
Konsumsi Bahan Kering
Pakan yang diberikan kepada kambing digunakan untuk memenuhi
kebutuhan pokok dan produksi. Konsumsi ternak dipengaruhi oleh faktor pakan dan
ternak. Ternak lebih suka mengkonsumsi pakan berkualitas tinggi. Parakkasi (1999)
menambahkan bahwa dengan mengetahui tingkat konsumsi pakan maka dapat
ditentukan kadar zat makanan dalam pakan untuk memenuhi hidup pokok dan
produksi untuk ternak tersebut. Konsumsi pakan pada kambing selama periode
laktasi lebih banyak ditujukan untuk memproduksi susu. Hasil konsumsi bahan
kering dan kandungan nutrisi pakan yang dianalisa secara deskriptif dapat dilihat
pada Tabel 10.
Tabel 10. Konsumsi Harian Bahan Kering dan Kandungan Nutrisi Kambing PE.
Parameter Jenis Pakan
P1 P2
Bahan Kering (gram/ekor/hari) 1058,26 1313,32
Abu (gram/ekor/hari) 142,14 148,48
Protein Kasar (gram/ekor/hari) 220,07 284,89
Serat Kasar (gram/ekor/hari) 339,40 402,10
Lemak Kasar (gram/ekor/hari) 41,88 81,14
Beta-N (gram/ekor/hari) 314,77 396,71
Keterangan: P1 = Hijauan dan P2 = Hijauan & Pakan Tambahan.
Lokasi tempat penelitian di lahan pasca galian pasir berada di antara 500-600
m dpl dimana konsumsi rataan bahan segarnya adalah 7,5 kg, sedangkan menurut
Rusman (2011), tempat dengan ketinggian 561 m dpl, 673 m dpl dan 727 m dpl
konsumsi bahan segarnya berturut-turut adalah 7,5 kg, 8,0 kg dan 7,5 kg. Rataan
konsumsi bahan kering harian ternak kambing PE betina laktasi di kelompok
peternakan ini adalah 1058,26 gram/ekor/hari, dimana konsumsi tersebut merupakan
51
konsumsi yang biasa diberikan peternak kepada ternaknya. Pemberian pakan di
kelompok ternak ini untuk induk laktasi terdiri dari dua waktu yakni pagi hari jam
08.00 WIB dan sore hari jam 16.00 WIB. Pemerahan oleh peternak dilakukan satu
kali dikarenakan keterbatasan tenaga kerja.
Pakan tambahan berupa ampas tahu dan kulit kacang kedelai yang diberikan
kepada ternak induk laktasi nyata meningkatkan konsumsi bahan kering yakni
sebelumnya hanya 1058,26 gram/ekor/hari dan setelah adanya pakan tambahan
meningkat menjadi 1313,32 gram/ekor/hari. Hal ini terjadi karena tingkat
palatabilitas ternak terhadap pakan tambahan yang diberikan sangat tinggi. Terbukti
dari data dilapangan bahwa konsumsi bahan segar untuk ampas tahu dan kulit kacang
kedelai selalu habis dikonsumsi oleh ternak kambing PE induk. Grafik perbedaan
tingkat konsumsi bahan kering pakan pada ternak kambing PE induk laktasi dapat
dilihat pada Gambar 16.
Menurut Atabany (2001), konsumsi bahan kering kambing PE laktasi yang
diberi pakan rumput gajah, konsentrat, ampas tahu dan singkong adalah 1759
gram/ekor/hari. Konsumsi bahan kering kambing PE laktasi pada penelitian Rangkuti
(2011) adalah 1802,66-2491,48 gram/ekor/hari dan Rusman (2011) memperoleh
hasil 1650-1880 gram/ekor/hari. Sehingga bisa dinyatakan bahwa konsumsi bahan
kering di lahan pasca galian pasir relatif kecil. Hal ini terjadi karena kelompok ini
berada di lahan kritis sehingga pakan yang diberikan kepada ternak jumlahnya
terbatas dikarenakan ketersediaan pakan di daerah tersebut sangat sedikit.
1058,26
1313,32
0,00
200,00
400,00
600,00
800,00
1000,00
1200,00
1400,00
Sebelum Setelah
Konsu
msi
Bah
an K
erin
g
(gra
m/e
kor/
har
i)
Gambar 16. Grafik Konsumsi Bahan Kering
Sebelum
Setelah
52
Konsumsi Kandungan Nutrisi Pakan
Komposisi nutrien ransum menentukan jumlah konsumsi nutrien oleh ternak.
Nutrien yang dikonsumsi ternak akan mengalami proses pencernaan dan
metabolisme yang kemudian akan ditranspor oleh darah ke organ-organ yang
membutuhkan (Apdini, 2011). Perhitungan rataan konsumsi nutrien kambing PE
laktasi masing-masing disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 memperlihatkan bahwa
dengan adanya pemberian pakan tambahan pada kambing PE laktasi mampu
meningkatkan konsumsi kandungan nutrisi pakan (abu, protein kasar, serat kasar,
lemak kasar dan Beta-N).
Konsumsi abu sebelum pemberian pakan tambahan hanya 142,14
gram/ekor/hari tetapi setelah adanya pemberian pakan tambahan meningkat menjadi
148,48 gram/ekor/hari. Penelitian Atabany (2001) di Peternakan Barokah
menunjukkan konsumsi abunya adalah 119 gram/ekor/hari. Sehingga konsumsi abu
di lahan pasca galian pasir lebih tinggi dari peternakan Barokah dan hasil penelitian
Rangkuti (2011) dimana konsumsi abu berkisar antara 93,27-133,77 gram/ekor/hari.
Protein sangat diperlukan untuk pertumbuhan, reproduksi dan produksi susu.
Hasil konsumsi protein kasar pada kambing PE dalam penelitian ini adalah 220,07
gram/ekor/hari sebelum adanya tambahan pakan (ampas tahu dan kulit kacang
kedelai) dan 284,89 gram/ekor/hari setelah adanya pemberian pakan tambahan.
Peningkatan tersebut karena pada limbah yang diberikan kepada ternak kambing
memiliki kandungan protein kasar berturut-turut yakni 24,71% ampas tahu dan
26,79% kulit kacang kedelai. Penelitian Rangkuti (2011) menyatakan bahwa
konsumsi protein kasar adalah 205,32-591,79 gram/ekor/hari dan Atabany (2001)
memperoleh hasil 215 gram/ekor/hari. Hasil tersebut memperlihatkan bahwa
konsumsi pada penelitian ini lebih tinggi daripada Atabany (2001) namun lebih kecil
bila dibandingkan dengan Rangkuti (2011).
Konsumsi serat kasar dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 10. Hasil
tersebut menunjukkan bahwa dengan adanya pemberian pakan tambahan pada
kambing PE induk laktasi terjadi peningkatan konsumsi serat kasar dari yang
sebelumnya yakni 339,40 gram/ekor/hari menjadi 402,10 gram/ekor/hari.
Peningkatan ini terjadi karena adanya konsumsi serat kasar yang bertambah dari
adanya pakan baru yang diberikan kepada ternak dari sebelumnya, yakni ampas tahu
53
dengan kandungan SK 23,38% dan kulit kacang kedelai SK 26,93%. Serat kasar
yang berasal dari pakan masuk ke dalam rumen kemudian difermentasi menjadi VFA
dan diserap untuk mencukupi ketersediaan energi. Penelitian Atabany (2001)
memperoleh hasil konsumsi serat kasar untuk kambing PE laktasi di Peternakan
Barokah adalah 368 gram/ekor/hari sedangkan Rangkuti (2011) adalah 621,02-
852,42 gram/ekor/hari. Perbedaan nilai konsumsi serat kasar ini terjadi karena pakan
yang diberikan kepada ternak pada berbagai penelitian berbeda satu sama lainnya.
Lemak mempengaruhi palatabilitas suatu pakan yang diberikan kepada
ternak. Tabel 10 memperlihatkan konsumsi lemak kasar dalam penelitian ini berbeda
setelah adanya pemberian pakan yang baru yakni meningkat dari 41,88
gram/ekor/hari menjadi 81,14 gram/ekor/hari. Peningkatan yang cukup tinggi
tersebut karena ternak diberi pakan tambahan berupa ampas tahu dan kulit kacang
kedelai yang memiliki kadar lemak kasar berturut-turut yakni 16,75% dan 12,73%.
Parakkasi (1999) menyatakan bahwa bahan makanan ruminan yang utama (hijauan)
tidak banyak mengandung lemak, tetapi jika hijauan yang diberikan jumlahnya
banyak maka konsumsi akan relatif banyak pula, apalagi jika ternak diberikan pakan
tambahan yang banyak mengandung lemak. Hal ini bisa terlihat dari pakan yang
diberikan oleh peternak sebelumnya yakni terdiri dari hijauan dengan kandungan
lemak kasarnya berturut-turut adalah kaliandra 5,40%, gamal 2,85% dan rumput
gajah 1,55%. Penelitian Atabany (2001) memperoleh data konsumsi lemak kasarnya
52 gram/ekor/hari sedangkan Rangkuti (2011) konsumsi lemak kasar pada kambing
PE laktasi berkisar antara 38,51-134,26 gram/ekor/hari.
Konsumsi Beta-N hasil penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 10. Konsumsi
Beta-N dalam penelitian terlihat adanya perbedaan dengan adanya perbedaan pakan
yang diberikan kepada ternak. Sebelum diberikan pakan tambahan konsumsi Beta-N
hanya 314,77 gram/ekor/hari tetapi setelah diberikan pakan tambahan diikuti pula
dengan adanya peningkatan konsumsi Beta-N menjadi 396,71 gram/ekor/hari. Bahan
ekstrak tanpa nitrogen (Beta-N) merupakan selisih dari karbohidrat dan serat kasar.
Konsumsi Beta-N yang diperoleh dalam penelitian ini memiliki nilai yang relatif
lebih kecil jika dibandingkan dengan penelitian Atabany (2001) yaitu 817
gram/ekor/hari dan Rangkuti (2011) 557,01-1041,34 gram/ekor/hari.
54
Produksi Susu
Kambing yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 15 ekor. Sepuluh
ekor kambing PE induk laktasi ke-2 sedangkan lima ekor lainnya berada pada laktasi
ke-3. Semua ternak yang digunakan memasuki 3 bulan periode akhir laktasi.
Produksi susu diperoleh dari hasil pemerahan pagi hari.
Produksi susu yang dihasilkan akibat pemberian pakan yang berbeda
berdasarkan hasil uji t memperlihatkan nilai yang tidak berbeda nyata (P<0,05).
Produksi susu sebelum pemberian pakan tambahan adalah 336,1 ml/ekor/hari
sedangkan sesudah pemberian pakan tambahan (1,4 kg ampas tahu dan 0,6 kg kulit
kacang kedelai) dengan nilai protein ampas tahu 24,71% dan kulit kacang kedelai
26,79%, produksi susu menjadi 368,6 ml/ekor/hari. Tabel 11 merupakan hasil
pengamatan produksi dan kualitas susu selama sembilan minggu penelitian.
Tabel 11. Produksi dan Kualitas Susu Kambing Peranakan Etawah
Parameter yang diamati
Jenis Pakan
P1 P2
a. Produksi Susu (ml) 336,1±109,1 368,6±78,3
b. Kualitas Susu
- Bahan Kering (%) 15,27A±1,315 16,36
B±0,285
- Lemak (%) 6,01a±1,192 6,82
b±0,305
- BKTL (%) 9,25±0,646 9,53±0,037
- Protein (%) 5,06a±0,329 5,25
b±0,019
- Laktosa (%) 3,35±0,280 3,40±0,042
- Berat jenis (g/ml) 1,0299±0,00247 1,0304±0,00051
Keterangan: P1 = Hijauan sedangkan P2 = Hijauan & Pakan Tambahan. BKTL = Bahan Kering
Tanpa Lemak, Superscript yang berbeda (a,b) pada baris yang sama menunjukkan
perbedaan yang nyata (P<0,05) dan Superscript yang berbeda (A,B) pada baris yang
sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01).
Hal ini menunjukkan bahwa produksi susu meningkat sebanyak 9,67% dari
produksi susu sebelumnya. Peningkatan tersebut karena adanya penambahan limbah
industri pangan, karena rataan jumlah pakan hijauan sebelum dan setelah pemberian
limbah tersebut adalah sama. Peningkatan produksi susu melalui perbaikan
manajemen pemeliharaan dan pemberian pakan bertujuan untuk meningkatkan aliran
55
substrat ke kelenjar susu (Budiarsana dan Sutama, 2001). Berdasarkan hal tersebut
terlihat bahwa dengan adanya penambahan protein yang dikonsumsi dalam tambahan
pakan yang diberikan kepada ternak.
Sutardi (1980) menyatakan bahwa faktor utama yang mempengaruhi produksi
dan konsentrasi komponen susu adalah konsumsi bahan kering dan komposisi zat
makanannya. Apabila suplai pembentuk komponen susu (air, lemak, protein, laktosa,
vitamin dan mineral) meningkat, maka produksi susu juga akan meningkat.
Konsumsi bahan kering pada penelitian ini meningkat dari sebelumnya yakni ada
peningkatan sebanyak 255,06 gram/ekor/hari akibat adanya tambahan pakan yang
diberikan. Konsumsi sebelum adanya pakan tambahan adalah 1058,26
gram/ekor/hari. Perbedaan produksi susu sebelum dan setelah pemberian pakan
tambahan berupa limbah industri pangan dapat dilihat pada Gambar 17.
Produksi susu hasil penelitian ini lebih rendah dari hasil penelitian Adiati et
al. (2001) yang menyatakan bahwa produksi susu selama 3 bulan laktasi berfluktuasi
yakni 6002,8 gram/ekor/hari dan rataan tertinggi yakni 7.706,67 gram/ekor/hari yang
akan menurun sampai produksi susu 1585 gram/ekor/hari dan penelitian Apdini
(2011) memperoleh data produksi susu sebesar 287-795 ml/ekor/hari. Produksi susu
ternak kambing PE masih sangat beragam yakni 0,45-2,1 liter/ekor/hari. Produksi
susu sebanyak 1308,44 gram/ekor/hari untuk kelahiran anak tunggal serta 1434,51
gram/ekor/hari untuk kelahiran anak kembar (Budiarsana dan Sutama, 2001).
336,1
368,6
330
335
340
345
350
355
360
365
370
375
Hijauan Hijauan & Pakan
Tambahan
Pro
duksi
Susu
(m
l)
Gambar 17. Grafik Produksi Susu Kambing PE
Hijauan
Hijauan & Pakan
Tambahan
56
Atabany (2001) memperoleh data produksi susu 990 gram/ekor/hari sedangkan yang
diperoleh Rangkuti (2011) sebesar 655,97-1158,45 gram/ekor/hari.
Rusman (2011) menyatakan bahwa pada ketinggian tempat 561 m dpl dan
673 m dpl produksi susu kambing berturut-turut yakni 828,7 ml dan 1.852,3 ml.
Dibandingkan data tersebut produksi susu di lahan pasca galian pasir relatif masih
kecil. Kecilnya produksi susu di lahan kritis ini terjadi karena pemerahan yang
dilakukan peternak hanya dilakukan satu kali dalam sehari yakni pada pagi hari
(08.00 WIB). Atabany (2011) melaporkan penelitian Heald (1985) yang menyatakan
bahwa produksi susu pada pemerahan yang berbeda akan menghasilkan produksi
susu yang berbeda pula. Pemerahan dua kali akan 40% lebih tinggi daripada yang
diperah satu kali, pemerahan tiga kali akan 5%-20% lebih tinggi daripada yang
diperah dua kali dan pemerahan empat kali akan 5%-10% lebih tinggi daripada yang
diperah tiga kali. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa produksi susu di lahan
pasca galian pasir masih sangat rendah.
Produksi susu sangat dipengaruhi oleh umur ternak, masa laktasi, tatalaksana
pemeliharaan, pakan yang diberikan serta penyakit. Perbedaan produksi susu
kambing PE yang dicapai pada penelitian ini dibandingkan dengan laporan penelitian
yang pernah dilaporkan tersebut mungkin disebabkan oleh hereditas kemampuan
produksi ternak yang digunakan berbeda. Rusman (2011) menambahkan bahwa
adanya produksi susu yang tidak seragam pada berbagai penelitian dapat dibedakan
dari beberapa faktor pendukung yakni lokasi yang berbeda dan letak topografinya
yang berdampak pada perbedaan suhu dan kelembaban udaranya karena
pertumbuhan maupun produktivitas ternak dipengaruhi oleh interaksi antara genetik
dan lingkungan serta pengaruh lingkungan selain faktor genetik. Tingginya suhu
lingkungan di daerah galian pasir ini menjadikan ternak menggunakan energi yang
dikonsumsinya untuk mengatasi kenaikan suhu tubuh daripada untuk produksi susu,
sehingga produksi susu berkurang.
Kualitas Susu
Berat jenis susu (Tabel 11) yang paling tinggi yakni susu yang dihasilkan
sesudah pemberian pakan tambahan (ampas tahu dan kulit kacang kedelai) dengan
nilai 1,0304 sedangkan sebelumnya berat jenis susu kambing hanya 1,0299.
Berdasarkan uji t terhadap berat jenis susu kambing penelitian ini tidak berbeda
57
nyata (P>0,05). Berat jenis susu hasil penelitian ini lebih rendah dari hasil penelitian
Rangkuti (2011) yang mendapatkan data berat jenis susu dalam penelitiannya pada
kambing PE yakni kisaran 1,0295- 1,0315 dan Apdini (2011) memperoleh data
1,0280-1,0337 tetapi hasil penelitian ini lebih besar data berat jenis susunya dari
penelitian Atabany (2001) yaitu 1,0292. Perbedaan berat jenis susu disebabkan
perbedaan bahan kering susu. Perbedaan berat jenis susu erat kaitannya dengan
komponen padatan susu dan bahan kering dalam ransum. Hasil konsumsi bahan
kering pakan yang diberikan kepada ternak memperlihatkan peningkatan dari
konsumsi sebelumnya yakni sebelum perlakuan konsumsi bahan kering pakan hanya
1058,26 gram/ekor/hari sedangkan setelah perlakuan meningkat menjadi 1313,32
gram/ekor/hari.
Berat jenis susu ditentukan oleh bahan kering susu serta disebabkan oleh
faktor komposisi susu itu sendiri yaitu protein, lemak, laktosa, gas dan mineral dalam
susu. Eldesten (1988) menyatakan bahwa berat jenis susu kambing bervariasi antara
1,0260 sampai 1,0420. Berdasarkan data tersebut walaupun hasil berat jenis susu
kambing penelitian ini lebih rendah dari penelitian Rangkuti (2011) dan Apdini
(2011) tetapi masih termasuk kedalam kisaran berat jenis susu kambing normal.
Garfik perbedaan berat jenis susu sebelum dan setelah pemberian pakan tambahan
dapat dilihat pada Gambar 18.
1,0299
1,0304
1,0298
1,0299
1,03
1,0301
1,0302
1,0303
1,0304
1,0305
Hijauan Hijauan & Pakan
Tambahan
Ber
at J
enis
Susu
(gra
m/m
l)
Gambar 18. Grafik Berat Jenis pada Susu Kambing
Hijauan
Hijauan & Pakan
Tambahan
58
Kondisi pemberian pakan yang berbeda memberikan perbedaan yang sangat
nyata (P<0,01) terhadap produksi kadar bahan kering susu yang dapat dilihat pada
Tabel 11. Kandungan bahan kering susu paling tinggi diperoleh setelah adanya
pemberian pakan tambahan yakni sebesar 16,36% sedangkan bahan kering
sebelumnya adalah 15,27%. Perbedaan yang terjadi pada bahan kering susu tersebut
dipengaruhi oleh komponen penyusun bahan kering susu yang diperoleh dari
konsumsi bahan kering pakan yang dikonsumsi oleh ternak. Hal tersebut
berpengaruh terhadap penyerapan zat-zat makanan yang diserap oleh tubuh ternak
yang kemudian akan digunakan sebagai prekursor dalam pembentukan bahan kering
susu. Peningkatan kandungan bahan kering susu sebelum dan setelah pemberian
pakan tambahan dapat dilhat dengan jelas pada Gambar 19.
Bahan kering susu pada penelitian ini bila dibandingkan dengan kualitas susu
yang diperoleh oleh Budiarsana dan Sutama (2001) yang memiliki kandungan bahan
kering 13,92%-14,19% terlihat bahwa nilai yang diperoleh lebih tinggi pada
penelitian ini tetapi bila dibandingkan dengan penelitian Rangkuti (2011) yang
memperoleh kandungan bahan kering susu kambing PE 15,48%-16,79%, nilai yang
diperoleh dalam penelitian ini lebih kecil.
Kandungan protein dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 11. Hasil uji
t terhadap kandungan protein susu kambing PE berdasarkan pemberian pakan yang
berbeda memperlihatkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Kandungan protein susu
kambing di lahan pasca galian pasir sebelum adanya pemberian pakan tambahan
15,27 (A)
16,36 (B)
14,6
14,8
15
15,2
15,4
15,6
15,8
16
16,2
16,4
16,6
Hijauan Hijauan & Pakan
Tambahan
Bah
an K
erin
g (
%)
Gambar 19. Grafik Bahan Kering pada Susu Kambing
Hijauan
Hijauan & Pakan
Tambahan
59
adalah 5,06% dan setelah adanya pemberian pakan tambahan persentase kandungan
protein susu naik menjadi 5,25%. Grafik peningkatan persentase kandungan protein
susu dapat dilihat pada Gambar 20.
Kandungan protein dalam penelitian ini lebih tinggi daripada kandungan
protein hasil penelitian Budiarsana dan Sutama (2001) yang memiliki kandungan
protein 3,78%-3,94%, sedangkan kandungan protein susu yang diperoleh Devandra
dan Burns (1994) yaitu 3,75%, Blakely dan Blade (1992) yaitu 3,52%, Atabany
(2001) yaitu 2,93% , Apdini (2011) memperoleh data 4,94%-6,12% dan data yang
diperoleh Rangkuti (2011) yaitu 4,17%-4,56%. Tingginya nilai kandungan protein
susu kambing PE dalam penelitian ini bisa jadi akibat pakan yang dikonsumsi oleh
ternak. Konsumsi ransum yang mempunyai kadar konsentrat yang tinggi
menyebabkan aktivitas bakteri selulitik sehingga proporsi propionat dan butirat lebih
tinggi dibandingkan asetat. Oleh karena itu, protein susu menjadi meningkat.
Kandungan lemak susu (Tabel 11) akibat adanya perbedaan pakan yang
diberikan kepada ternak memperlihatkan perbedaan yang nyata (P<0,05) berdasarkan
hasil uji t. Kandungan lemak sebelum pemberian pakan tambahan adalah 6,01%
dimana hasil tersebut berbeda dengan hasil kandungan lemak susu setelah adanya
pemberian pakan ampas tahu yang memiliki kandungan lemak kasar dan serat kasar
berturut-turut yaitu 16,75%, 23,38% dan kulit kacang kedelai 12,73%, 26,93%
sehingga kandungan lemak meningkat menjadi 6,82%. Gambar 21 menunjukkan
peningkatan lemak susu sebelum dan setelah pemberian pakan tambahan.
5,06 (a)
5,25 (b)
4,95
5
5,05
5,1
5,15
5,2
5,25
5,3
Hijauan Hijauan & Pakan
Tambahan
Pro
tein
(%
)
Gambar 20. Grafik Kandungan Protein pada Susu Kambing
Hijauan
Hijauan & Pakan
Tambahan
60
Kadar serat yang rendah merupakan faktor penyebab kandungan lemak pada
susu menjadi rendah. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa dengan adanya
pemberian serat kasar yang tinggi pada ampas tahu dan kulit kacang kedelai
kandungan lemak susu mengalami peningkatan dari sebelumnya. Hasil ini lebih
tinggi bila dibandingkan dengan penelitian Budiarsana dan Sutama (2001) yang
memiliki kandungan lemak 4,29%-4,39% dan Atabany (2001) yaitu 6,68%
sedangkan bila dibandingkan dengan penelitian Rangkuti (2011) dengan data yang
diperoleh adalah 6,00%-7,28% serta data Apdini (2011) yaitu 4,00%-10,17% dimana
hasil kandungan lemak susu pada penelitian ini memiliki nilai yang lebih kecil.
Kandungan Bahan Kering Tanpa Lemak (BKTL) akibat adanya perbedaan
pakan yang diberikan kepada ternak tidak memperlihatkan adanya perbedaan
(P>0,05) berdasarkan hasil uji t. Tabel 11 memperlihatkan bahwa tidak adanya
perbedaan yang nyata antara BKTL sebelum perlakuan pakan tambahan yakni 9,25%
dengan sesudah perlakuan yaitu 9,53% walaupun terjadi peningkatan dari
sebelumnya. Peningkatan kadar BKTL susu kambing PE di lahan pasca galian pasir
dengan adanya penambahan limbah industri pangan berupa kulit kacang kedelai dan
ampas tahu dapat dilihat pada Gambar 22 di bawah ini.
6,01 (a)
6,82 (b)
5,6
5,8
6
6,2
6,4
6,6
6,8
7
Hijauan Hijauan & Pakan
Tambahan
Lem
ak (
%)
Gambar 21. Grafik Kandungan Lemak pada Susu Kambing
Hijauan
Hijauan & Pakan
Tambahan
61
Peningkatan BKTL susu kambing setelah perlakuan karena adanya konsumsi
bahan kering yang tinggi setelah adanya perlakuan pakan tambahan. BKTL menurut
Tillman et al. (1998) merupakan bahan kering yang tinggal setelah lemak susu
ditinggalkan. Hasil penelitian ini jika dibandingkan dengan penelitian yang lainnya,
ternyata kadar BKTL susu kambing pada penelitian ini lebih kecil daripada hasil
penelitian Rangkuti (2011) yakni 9,44%-9,86%.
Pemberian pakan yang berbeda terhadap kambing PE tidak memberikan
pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap kandungan laktosa pada susu kambing PE
berdasarkan hasil uji t. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 11 bahwa tidak adanya
perbedaan yang nyata antara kandungan laktosa sebelum pemberian pakan tambahan
yakni 3,35% dengan setelah perlakuan pakan tambahan yakni 3,40%. Grafik
perbedaan nilai tersebut dapat dilihat pada Gambar 23.
9,25
9,53
9,20
9,25
9,30
9,35
9,40
9,45
9,50
9,55
9,60
Hijauan Hijauan & Pakan
Tambahan
Bah
an K
erin
g T
anpa
Lem
ak
(BK
TL
) (%
)
Gambar 22. Grafik Kandungan BKTL pada Susu Kambing
Hijauan
Hijauan & Pakan
Tambahan
3,35
3,40
3,34
3,35
3,36
3,37
3,38
3,39
3,4
3,41
Hijauan Hijauan & Pakan
Tambahan
Lak
tosa
(%
)
Gambar 23. Grafik Kandungan Laktosa pada Susu Kambing
Hijauan
Hijauan & Pakan
Tambahan
62
Hasil penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil Budiarsana
dan Sutama (2001) yang memiliki kandungan laktosa susu 5,08%-5,21% dan Apdini
(2011) yaitu 3,24%-3,90%. Laktosa disintesis dari glukosa darah yang diedarkan dari
sel sekretori pada kelenjar ambing. Glukosa diperoleh dari perombakan karbohidrat
pakan (serat kasar da Beta-N).
Income Over Feed Cost (IOFC)
` IOFC merupakan analisis pendapatan setelah dikurangi oleh biaya pakan
yang digunakan selama beternak. Faktor yang mempengaruhi IOFC pada ternak
kambing perah adalah produksi susu yang dihasilkan, pakan yang dikonsumsi serta
biaya pakan itu sendiri. Kambing betina induk laktasi menghasilkan susu sebagai
produk utamanya sehingga dengan adanya penambahan pemberian pakan tambahan
yakni ampas tahu dan kulit kacang kedelai diharapkan produksi susu juga akan
meningkat supaya pendapatan yang diterima oleh peternak jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan sebelum adanya pemberian pakan.
Berdasarkan data pada Tabel 11 terlihat bahwa peningkatan produksi susu
sebelum dan setelah adanya pemberian pakan tambahan adalah 32,5 ml/ekor/hari.
Harga susu di lingkungan Kabupaten Sumedang adalah Rp. 45.000/liter sehingga
harga susu per satu ml adalah Rp. 45. Selanjutnya, harga limbah industri pangan
adalah Rp. 800 untuk ampas tahu dan Rp. 300 untuk kulit kacang kedelai sementara
harga rumput per kg adalah Rp. 250. Harga limbah tersebut merupakan data yang
diperoleh dari para produsen limbah tahu di Kabupaten Sumedang. Ampas tahu yang
diberikan kepada ternak induk laktasi per hari adalah 1,4 kg sedangkan kulit kacang
kedelai adalah 0,6 kg per hari. Dengan demikian adanya pemberian pakan tambahan
berupa ampas tahu dan kulit kacang kedelai pada ternak kambing di lahan pasca
galian pasir, peternak akan mengeluarkan biaya pengeluaran Rp. 2.800 ekor/hari.
Namun dengan adanya penambahan produksi susu per harinya maka peternak
mendapatkan pendapatan dari peningkatan tersebut sebesar Rp. 16.587 ekor/hari.
Rataan perbedaan pendapatan peternak setelah dikurangi biaya pakan yang diperoleh
dari adanya peningkatan susu kambing PE dapat dilihat pada Gambar 24.
63
IOFC merupakan selisih dari pendapatan dan pengeluaran untuk pakan yang
dialami oleh peternak. Sehingga hasil IOFC yang diperoleh peternak sebelum adanya
pemberian pakan tambahan berupa limbah industri pangan adalah Rp.13.625
ekor/hari. Peternak umumnya memiliki 20 ternak induk laktasi sehingga
diperhitungkan satu peternak mendapatkan tambahan pendapatan setelah adanya
pemberian pakan tambahan berupa pemberian kulit kacang kedelai dan ampas tahu
sebesar Rp.275.740 per peternak/hari dan jika diakumulasikan untuk satu bulan
adalah Rp. 8.272.200 per peternak/bulan.
Pendapatan peternak dalam penelitian ini memang tidak terlalu besar. Hal ini
dikarenakan peningkatan produksi susu sebelum dan setelah perlakuan pun masih
relatif kecil. Pemerahan satu kali yang dilakukan oleh peternak di lahan pasca galian
pasir sangat berpengaruh terhadap sedikitnya produksi susu yang dihasilkan.
Kurangnya tenaga kerja untuk melakukan proses pemerahan dan waktu mencari
pakan yang lama (ketersedian pakan di lahan pasca tambang pasir terbatas)
merupakan alasan kenapa peternak hanya melakukan pemerahan satu kali. Atabany
(2011) melaporkan penelitian Heald (1985) yang menyatakan bahwa produksi susu
pada pemerahan yang berbeda akan menghasilkan produksi susu yang berbeda pula.
Pemerahan dua kali akan 40% lebih tinggi daripada yang diperah satu kali,
pemerahan tiga kali akan 5%-20% lebih tinggi daripada yang diperah dua kali dan
pemerahan empat kali akan 5%-10% lebih tinggi daripada yang diperah tiga kali.
13.625
13.787
13.500
13.550
13.600
13.650
13.700
13.750
13.800
Hijauan Hijauan & Pakan
Tambahan
IOF
C (
Rp)
Gambar 24. Grafik Rataan IOFC Susu Kambing
Hijauan
Hijauan & Pakan
Tambahan
64
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa dengan adanya perlakuan pemberian
pakan pada pagi dan sore hari dengan penambahan konsentrat meningkatkan laju
pertumbuhan ternak kambing muda di lahan pasca galian pasir yang nyata lebih
tinggi (P<0,05) daripada bobot badan kambing yang hanya diberi hijauan dengan
PBBH 74,41 gram/ekor/hari. Pemberian pakan tambahan berupa ampas tahu dan
kulit kacang kedelai pada induk laktasi nyata lebih tinggi (P<0,05) kandungan
protein dan lemak serta sangat nyata lebih tinggi (P<0,01) kandungan bahan kering
susu kambing PE dibanding dengan sebelum diberikan pakan tambahan.
SARAN
Peternak Simpay Tampomas di lahan pasca galian pasir disarankan
memberikan pakan konsentrat pada waktu pagi dan sore kepada ternak kambing
jantan muda sehingga PBBH tinggi dan cepat mencapai bobot potong. Selanjutnya
untuk ternak induk laktasi peternak sebaiknya memberikan pakan tambahan berupa
limbah industri supaya kualitas susu yang mereka peroleh lebih baik. Penelitian lebih
lanjut mengenai performa ternak muda dan produktivitas susu induk dengan kandang
individu perlu dilakukan sehingga data tersebut bisa berguna bagi peternak yang
memiliki kandang individu dalam manajemen pemeliharaannya.
65
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian dan
menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Muhamad
Baihaqi, S.Pt., M.Sc. dan Dr. Ir. Asnath Maria Fuah, M.S. selaku dosen pembimbing
yang dengan sabar telah memberi bimbingan dari mulai penelitian hingga penulisan
skripsi ini. Kepada Ir. Sri Rahayu, M.Si. dan Ir. M. Agus Setiana, M.S. selaku dosen
penguji sidang serta Ir. Lucia Cyrilla ENSD, M.Si. atas saran dan masukannya
penulis mengucapkan terima kasih. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih
kepada Ir. Komariah, M.Si. selaku dosen pembimbing akademik yang senantiasa
memberi saran dan motivasi kepada penulis.
Terima kasih kepada Dr. Ir. Rudy Priyanto, M.S. atas bantuan yang telah
diberikan selama ini. Tak lupa penulis banyak ucapkan terima kasih kepada
Kelompok Ternak Simpay Tampomas yang telah memberikan izin kepada penulis
melaksanakan penelitian. Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada Bapak Uha,
Engkos, Asep, Tatang serta istri-istrinya karena telah banyak memberikan penulis
ilmu pengetahuan yang bisa dipelajari dilapangan dan diambil hikmahnya dari
kebersamaan tersebut. Beasiswa GENKSI Social Foundation dan DIKTI melalui
dana PKM tahun 2012 yang telah memberikan bantuan materil selama proses
penelitian penulis ucapkan terima kasih banyak. Semoga GENKSI Social Foundation
akan terus membantu teman-teman yang lainnya.
Penulis ucapkan terima kasih yang tulus kepada yang terhormat dan
tersayang Ayahanda Cece dan Ibunda Uwang Ewarni yang telah memberikan
dorongan moril dan material serta doa restu dan kepercayaannya dalam
menyelesaikan studi selama ini. Penulis bangga mempunyai orang tua seperti kalian,
semoga Allah membalas semua kebaikan kalian karena telah memberikan yang
terbaik untuk penulis. Semua curahan keringat kalian berdua terlalu berharga bagi
penulis, semoga penulis bisa membalasnya dengan yang lebih indah. Kepada Heni
Nurcahyani terima kasih atas doanya selama ini.
66
Senandung doa penulis ingin sampaikan kepada (Alm) Nenek Encum, (Alm)
Kakek Bai dan (Alm) Nenek Tasmah. Salam dan terima kasih juga penulis
sampaikan kepada Kakek Usen atas petuah, bimbingan dan doanya selama ini.
Keberadaan Kakek sangat berarti bagi penulis karena bersamanya penulis menjadi
lebih bersemangat dan mudah-mudahan penulis dapat mewujudkan impian Kakek
selama ini. Terima kasih yang tulus juga penulis ucapkan kepada keluarga besar
Ayahanda di Nangerang dan Kerawang serta keluarga besar Ibunda di Samoja yang
telah memberikan semangat dan doa selama penulis mengikuti perkuliahan.
Ucapan terima kasih yang tulus juga penulis sampaikan kepada Elvi Rahayu
yang telah menjadi penyemangat dan menemani penulis saat suka dan duka serta
kawan lainnya (Atin Arie Anggraeni, Elianah, Anggun Agustini David, Nia
Kurniawati dan Isti). Kebersamaan kita selama ini tidak akan mungkin terlupakan
bagi penulis dan semoga di kehidupan kita kedepannya, kita semua dapat berkumpul
kembali. Perjuangan ini sangat berarti dengan adanya teman-teman IPTP 45 yang
selalu bersama, terutama untuk Komala, Nunik, Nisa dan Restu penulis ucapkan
terima kasih. Tidak terasa perjalanan kita di IPTP telah melewati masa yang panjang
dengan penuh kenangan indah didalamnya saat kita menuntut ilmu bersama-sama.
Teman-teman satu penelitian yakni Hendro, Wawan, Atiq, Nia, dan Dewi
penulis ucapkan terima kasih untuk kebersamaanya selama penelitian. Ucapan terima
kasih juga ingin penulis sampaikan kepada Hilda, Syafa, Yuni, Dewi, Tifa, Tira, Ai,
Fanji dan Cecep yang telah mewarnai perjalanan indah di IPB tercinta. Rekan-rekan
lainnya yang selalu memberikan motivasi kepada penulis yang tidak bisa diucapkan
satu persatu, penulis ucapkan terima kasih, semoga kita semua bisa menggapai
impian dan cita-cita yang selama ini kita ingin wujudkan. Amin Ya Allah Ya Rabbal
alamin.
Bogor, Juli 2012
Penulis
67
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman, A. & F. Agus. 2001. Konservasi tanah dan air melalui pengelolaan
bahan organik. Jurnal Alami 6(1): 35-43.
Abdurachman, A., I. Juarsah & U. Kurnia. 1999. Pengaruh penggunaan berbagai
jenis dan takaran pupuk kandang terhadap produktivitas tanah ultisols
terdegradasi di Desa Batin, Jambi. Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya
Tanah, Iklim dan Agroklimat. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Hal: 303-315.
Adiati, U., I.K. Sutama., D. Yulistiani & I.G.M. Budiarsana. 2001. Pemberian
konsentrat dengan level protein yang berbeda pada induk kambing PE selama
bunting tua dan laktasi. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan
dan Veteriner, 17-18 September. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan, Bogor. Hal 247-254
Adie, M.M. & A. Krisnawati. 2007. Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Anastasia, A. 2007. Performa kambing lokal jantan pada lama penggemukan yang
berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Anggordi, R. 1990. Ilmu Makanan Ternak Umum. Gramedia, Jakarta.
Apdini, T.A.P. 2011. Pemanfaatan pellet Indigofera sp. pada kambing perah
Peranakan Etawah dan Saanen di Peternakan Bangun Karso Farm. Skripsi.
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Asnah. 1997. Pakan potensial sebagai sumber hijauan untuk penggemukan sapi di
Nusa Tenggara Timur. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan
Veteriner, 18-19 Nopember 1997. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan, Bogor. Hal. 211-216
Atabany, A. 2001. Studi kasus produktivitas kambing Peranakan Etawah dan
kambing Saanen pada Peternakan Kambing Barokah dan PT. Taurus Dairy
Farm. Tesis. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. 2008. Jawa Barat Dalam Angka “Jawa
Barat In Figures 2008”. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, Bandung.
Katalog BPS 1403.32.
Badan Standarisasi Nasional. 2008. Bibit Kambing Peranakan Ettawa (PE). SNI
7352:2008. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta.
Blakely, J. & D.H. Blade. 1992. Ilmu Peternakan. Edisi Ke-4. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Bogard, R. & R.E. Taylor. 1983. Scientific Farm Animal Production. Second
Edition. Mac Millan Publishing Company, New York.
Budiarsana, I.G.M. & I.K. Sutama. 2001. Efisiensi produksi susu kambing Peranakan
Etawah. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner,
17-18 September. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
Hal: 427-434.
68
Budiarsana, I.G.M. 2005. Performans kambing Peranakan Etawah (PE) di lokasi
agroekosistem yang berbeda. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner, 12-13 September. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan,
Bogor. Hal: 650-659.
Cahyadi, W. 2009. Kedelai: Khasiat dan Teknologi. Edisi 1, Cetakan 2. Bumi
Aksara, Jakarta
Cheke, P.R. 1999. Aplied Animal Nutrition: Feed and Feeding. 2nd
Ed. Prentice Hall
Inc., New Jersey.
Crampton, E. W.& L. E. Harris. 1969. Applied Animal Nutrition 2nd. Ed. W. H.
Freeman And Co, San Fransisco.
Devendra, C. & M. Burns. 1994. Produksi Kambing di Daerah Tropis. Terjemahan:
IDK H. Putra. Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Devendra, C. 1993. Kambing. Dalam: Pengantar Peternakan di Daerah Tropis.
Penerjemah: SGN. D. Darmadja. Penyunting: I.B. Djagra. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Dewan Perwakilan Rakyat. 1967. Undang-Undang Negara Republik Indonesia No.
11/1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan. Dewan Perwakilan Rakyat,
Jakarta.
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2011. Statistik Peternakan dan
Kesehatan Hewan 2011. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan
Hewan Kementrian Pertanian RI, Jakarta.
Eldesten, D. 1988. Composition of milk. Milk Science and Technology. Elvisier
Publisher B.V Amsterdam. Hal:137-195.
Ensminger, M.E. 1990. Feed and Nutrition. 2nd
Ed. The Ensminger Publishing
Company, California.
Ensminger, M.E. 2002. Sheep and Goat Science, Sixth Edition. Interstate Publishers,
Inc, United States.
Fauzan. 2002. Perencanaan Penggunaan Galian C dan Pasir Sungai. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Teknik Mineral. Badan Penelitian dan Pengembangan
Energi dan Sumberdaya Mineral, Bandung.
Greppi, G.F., P. Roncada & R. Fortin. 2008. Dairy Goats Feeding and Nutrition.
CAB International, Roma.
Handoyo, D.M., Fauzan & N. Madiutomo. 1999. Pola Reklamasi Lahan Bekas
Usaha Pertambangan Bahan Galian C. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Teknik Mineral. Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan
Sumberdaya Mineral, Bandung.
Haryanto, B. 1992. Pakan domba dan kambing. Prosiding Sarasehan Usaha Ternak
Domba dan Kambing Menyongsong Era PJPT II : 26-32. Balai Penelitian
Ternak Ciawi, Bogor. Hal 143-148.
Hastono. 2003. Kinerja produksi kambing Peranakan Etawah. Prosiding Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, 29-30 September 2003. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Hal: 91-94.
69
Heriyadi, D. 2004. Standarisasi Mutu Bibit Kambing Peranakan Ettawa. Kerjasama
Antara Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat dengan Fakultas Peternakan
Universitas Padjajaran, Bandung.
Heyne,K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia, jilid ke-2. Badan Litbang Kehutanan
Jakarta, penerjemah. Yayasan Sarana Wana Jaya. Terjemahan dari De Nuttige
Planten van Nederlanch Indie, Jakarta.
Hsia, L.C. 1990. The effect of hight enviromental temperature on animal production.
In: Prociding The 5th
A.A.A.P. Animal Science. Congress. Vol: 1. Taiwan,
Republic of China. Hal: 54-57.
Karda, I.W. 2000. Nilai nutrisi daun kaliandra untuk ruminansia kecil. Lokakarya
Produksi Benih dan Pemanfaatan Kaliandra, 14 –16 November. International
Centre for Research in Agroforestry dan Winrock International, Bogor,
Indonesia. Hal. 21-25.
Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral. 2008. Peraturan Menteri Energi dan
Sumberdaya Mineral (ESDM) No. 18 Tahun 2008 mengenai reklamasi dan
penutupan tambang. Jakarta.
Munier, F.F. 2008. Bobot lahir kambing Peranakan Etawah (PE) yang diberikan kulit
buah kakao (Theobroma cocoa L.). Prosiding Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner, 11-12 Nopember 2008. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan, Bogor. Hal: 422-428.
National Academy of Science. 1980. Firewood Crops Shrub and Tree Species for
Energi Production. National Academy Press. Washington DC.
National Research Council. 1981. Nutrient Requirement of Sheep. 6th
Revised
Edition. National Academy Press, Washington DC.
Nurhayati, A.D. 2000. Pengaruh bahan stek dan rootone f terhadap pertumbuhan stek
seuseureuhan (Piper aduncum linn.). Skripsi. Jurusan Manajemen Hutan,
Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Padang. 2005. Pengaruh lama makan terhadap kecernaan bahan kering, protein kasar
dan serat kasar pakan kambing kacang jantan. Jurnal Ilmu Ternak, Desember.
Volume 5 Nomor 2, hal: 88-93.
Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Universitas
Indonesia Press, Jakarta.
Rangkuti, J.H. 2011. Produksi dan kualitas susu kambing Peranakan Etawah (PE)
pada kondisi tatalaksana yang berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Rani, I. 2004. Pengaruh kegiatan pertambangan pasir terhadap kualitas tanah,
produktivitas lahan dan vegetasi serta upaya rehabilitasinya. Tesis. Sekolah
Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Roshetko, J.M. 2000. Calliandra calothyrsus di Indonesia. Lokakarya Produksi
Benih dan Pemanfaatan Kaliandra, 14 –16 November. International Centre
for Research in Agroforestry dan Winrock International, Bogor. Hal. 28-32.
70
Rusman. 2011. Produksi susu kambing Peranakan Etawah (PE) berdasarkan
ketinggian tempat pemeliharaan. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Sabihan, S., G. Soepardi & S. Djokosudardjo. 1989. Pupuk dan Pemupukan. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Shenyakov, I. 1970. Mining and Mineral Deposits. Foreign Languages Pub.
Moscow.
Simanihuruk, K., Junjungan & A. Tarigan. 2007. Pemanfaatan pelepah kelapa sawit
sebagai pakan basal kambing Kacang fase pertumbuhan. Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner, 21-22 Agustus. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan, Bogor. Hal: 422-423.
Smith, J, B. & S. Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan
Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Cetakan pertama. UI press, Jakarta.
Smith, J.B. & S. Mangkoewidjojo. 1987. The Small Ruminant. The Sheep (Ovis
aries) and the Goats (Capra hircus). In: The Care, Breeding and Management
of Experimental Animal for Research in the Tropic. International
Development Program of Australian Universities and Colleges, Canberra.
Soelarno, S.W. 2007. Perencanaan pembangunan pasca tambang untuk menunjang
pembangunan berkelanjutan, studi kasus pada pertambangan batubara PT.
Kaltim Prima Coal di Kabupaten Kutai Provinsi Kalimantan Timur. Disertasi.
Universitas Indonesia, Jakarta.
Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Sudaryanto,B. 1997. Pemanfaatan limbah perkebunan sebagai pakan ternak.
Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, Bogor 18-19
Nopember 1997. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
Hal. 248-254.
Sugiyono. 2010. Kandungan asam lemak mudah menguap dan glukosa darah pada
domba ekor tipis jantan yang diberi pakan ampas tahu kering. Jurnal Ilmiah
Inkoma, Oktober. Volume 21, Nomor 3. Hal 9-12.
Sutama, I.K. & Budiarsana, IGM. 1997. Kambing Peranakan Etawah penghasil susu
sebagai sumber pertumbuhan baru sub-sektor peternakan di Indonesia.
Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, Bogor 18-19
Nopember 1997. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
Hal. 156-157.
Sutardi, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Taylor, R.E. & T.G. Field. 2004. Scientific Farm Animal Production An Introduction
to Animal Science. Pearson Education, Inc., Upper Saddle River, New Jersey.
Tillman, E., H. Hartadi., S. Reksohadiprajdo & S. Labdosoeharjo. 1998. Ilmu
Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Toelihere, M.R. 1981. Fisiologi dan Reproduksi pada Ternak. Penerbit Angkasa,
Bandung.
71
Tomaszewska, M.W., I.M. Mastika., A. Djajanegara., S. Gardiner & T.R. Wiradarya.
1993. Produksi Domba dan Kambing di Indonesia. Universitas Sebelas
Maret, Solo.
Usmiati, S. & Setyanto, H. 2008. Penampilan karkas dan komponen karkas ternak
ruminansia kecil. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner, 11-12 Nopember 2008. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan, Bogor. Hal: 371-378.
Wahju, J. 1997. Ilmu Makanan Ternak Unggas. Cetakan ke-4. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Wahyuni, S. 2003. Karakteristik nutrisi ampas tahu yang dikeringkan sebagai pakan
domba. Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang.
Wardoyo, S., D. Marmer & F. Tarmuji. 1999. Kegiatan Reklamasi/Pemulihan
Kualitas Lingkungan Melalui Model Reklamasi Lahan Bekas Penambangan
Galian C di Desa Simagalih Kec. Cilaku Kab. Cianjur. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Teknik Mineral. Badan Penelitian dan Pengembangan Energi
dan Sumberdaya Mineral, Bandung.
Widiawati, Y., M. Winugroho & E. Teleni. 2007. Perbandingan laju degradasi
rumput gajah dan tanaman leguminosa di dalam rumen. Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner, 21-22 Agustus. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan, Bogor. Hal: 422-423.
Widowati, S. 2007. Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Wina, E. & Budi, T. 2000. Pemanfaatan kaliandra (Calliandra calothyrsus) sebagai
hijauan pakan ruminansia di Indonesia. Lokakarya Produksi Benih dan
Pemanfaatan Kaliandra, 14 –16 November. International Centre for Research
in Agroforestry dan Winrock International, Bogor, Indonesia. Hal. 13-14.
Yulistiani,D., B. Tiesnamurti, Subandriyo, M. Rangkuti & L. Praharani. 2000.
Produktivitas domba komposit betina lepas sapih yang diberi suplementasi
Glirisidia. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, Bogor 18-
19 September 2000. Pusat Penelitian Peternakan, Bogor. Hal. 263-264.
Yusuf, B. 2008. Arahan strategi kebijakan reklamasi lahan pasca penambangan nikel
pada lahan konsensi PT. Aneka Tambang Tbk unit bisnis pertambangan nikel
daerah operasi Maluku Utara Kabupaten Halmahera Timur Provinsi Maluku
Utara. Tesis. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Zulfahmi. 1996. Model Reklamasi Lahan Pasca Penambangan Pasir dan Batu. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Teknik Mineral. Badan Penelitian dan
Pengembangan Energi dan Sumberdaya Mineral, Bandung.
Zurriyati, Y. 2005. Peningkatan produktivitas kambing PE dan Kacang melalui
penerapan teknologi probiotik. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner, 12-13 September. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan,
Bogor. Hal: 597-599.
73
Lampiran 1. Hasil Analisis Ragam PBBH Kambing PE Muda
SK DB JK KT F P
Perlakuan 1 901,33 901,33 19,45 0,0023
WPP 1 1045,33 1045,33 22,56 0,0014
Perlakuan*WPP 1 456,33 456,33 9,85 0,0138
Galat 8 370,67 46,33
Total 11 2773,67
Lampiran 2. Hasil Uji t Produksi dan Kualitas Susu Kambing Peranakan Etawah
Parameter Perbandingan P Keterangan
Produksi Susu P1 vs P2 0,394 tn
Berat Jenis Susu P1 vs P2 0,425 tn
Bahan Kering Susu P1 vs P2 0,004 **
Kandungan Protein P1 vs P2 0,026 *
Kandungan Lemak P1 vs P2 0,017 *
Kandungan Bahan Kering Tanpa Lemak P1 vs P2 0,105 tn
Kandungan Laktosa P1 vs P2 0,487 tn
Keterangan: P1 = Sebelum pemberian pakan tambahan (Hijauan), P2 = Setelah pemberian pakan
tambahan (Hijauan & Pakan tambahan), tn = Tidak nyata (P>0,05), * = Berpengaruh
nyata (P<0,05) dan ** = Berpengaruh sangat nyata (P<0,01).