Upload
taranida-hanifah
View
137
Download
32
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Laporan tutorial skenario 2 blok traumatologi, jump 5 dan 7
Citation preview
JUMP 5
1. Patofisiologi pasien mengeluh nyeri dada kanan, dan nyeri pundak kiri.
2. Patofisiologi pergerakkan dada kanan tertinggal dan sesak nafas makin berat.
3. Interpretasi pemeriksaan fisik pada hemithorax kanan dan bahu kiri.
4. Secondary survey.
5. Pemeriksaan klinis, penanganan dan imobilisasi pada kegawatdaruratan.
6. Biomekanika trauma.
7. Anatomi thorax dan clavicula.
8. Gejala trauma thorax dan pneumothorax ventil.
9. Pemeriksaan klinis dan penunjang pada thorax dan clavicula.
10. Penanganan trauma pada bahu kiri dan thorax.
11. Aspek medikolegal pada kasus kegawatdaruratan.
JUMP 7
1. Patofisiologi pasien mengeluh nyeri dada kanan, dan nyeri pundak kiri.
Pada skenario dilaporkan bahwa dari pasien didapatkan dua jejas, yaitu
region bahu kiri dan pada hemithorax kanan. Kedua jejas ini menghasilkan
manifestasi yang berbeda. Pada regio bahu kiri, akan didapatkan nyeri,
deformitas, dan krepitasi. Hal ini dikarenakan regio bahu disusun oleh
acromion oss scapula dan oss humerus dan beberapa ligamentum yang rawan
mengalami dislokasi atau deformitas akibat jatuh. Krepitasi terjadi karena
terdapat gangguan sendi, sedangkan nyeri bahu terjadi karena syaraf yang
menginnervasi gelang bahu terstimulasi akibat perubahan anatomis gelang
bahu yang terjadi karena benturan akibat trauma.
Jejas yang ada pada hemithorax kanan di skenario mengindikasikan
adanya riwayat trauma tumpul. Trauma tumpul bisa membuat rongga thorax
terganggu, salah satunya akan terjadi pneumothorax dan timbulnya rasa nyeri.
2. Patofisiologi pergerakkan dada kanan tertinggal dan sesak nafas makin
berat.
Jejas yang ada pada hemithorax kanan di skenario mengindikasikan
adanya riwayat trauma tumpul. Trauma tumpul bisa membuat rongga thorax
terganggu, salah satunya akan terjadi pneumothorax. Pneumothorax
merupakan suatu keadaan terdapatnya udara dalam cavum pleura. Hal ini
terjadi karena trauma tersebut membuat udara masuk ke cavum pleura.
Pneumothorax ada dua, pneumothorax terbuka dan tension
pneumonia. Pneumothorax terjadi saat ada hubungan langsung rongga plerura
dengan lingkungan sehingga cepat mencapai titik seimbang. Namun tension
pneumothorax (pneumothorax ventil) terjadi di mana udara yang ada pada
cavum pleura tidak bisa keluar. Hal ini dapat mengakibatkan peningkatan
tekanan intrapleura yang progresif sehingga mengakibatkan paru-paru sulit
mengembang. Paru-paru sulit mengembang karena udara pada cavitas pleura
inilah yang akan menimbulkan manifestasi klinis berupa sesak dan terjadi
ketertinggalan pergerakan dinding dada kanan saat inspirasi.
3. Interpretasi pemeriksaan fisik pada hemithorax kanan dan bahu kiri.
Pada pemeriksaan tingkat kesadaran menggunakan Glasgow Coma
Scale didapatkan skor 15. Ini menunjukkan pasien dalam keadaan sadar
penuh (compos mentis), dimana pada ketiga komponen penilaian GCS
didapat poin penuh (mata spontan membuka dan mengedip, orientasi penuh
dan respon motorik sesuai perintah).
Terdapat nafas cepat dan dangkal pada pasien menunjukkan adanya
upaya untuk meningkatan ventilasi. Peningkatan ventilasi ini merupakan
usaha mengeluarkan CO2 yang sudah berlebih di darah. Karbon dioksida akan
mengalami serangkaian reaksi kimiawi yang pada akhirnya menghasilkan ion
hidrogen yang mempu merangsang pusat pernapasan sentral dan menaikkan
ventilasi. Pada pemeriksaan suara nafas tambahan didapatkan: gurgling (-),
snoring (-). Hal ini menunjukkan tidak terdapat tumpukan cairan pada saluran
pernapasan atas dan tidak adanya obstruksi parsial jalan nafas.
Pemeriksaan vital sign menunjukkan adanya peningkatan frekuensi
denyut nadi (120x/menit), hipotensi (tekanan darah 90/70 mmHg), suhu
dalam batas normal 370C dan peningkatan frekuensi napas (respiratory rate
36x/menit).
Jejas pada hemithorax kanan menunjukkan adanya trauma di daerah
dada kanan. Pergerakan dada kanan tertinggal menunjukkan gerakan ekspansi
dada yang asimetris, dimana dada kanan memiliki ketidakmampuan untuk
mengembang dan mengempis sempurna saat respirasi. Pada pemeriksaan
perkusi dada didapatkan hasil hipersonor serta pemeriksaan auskultasi didapat
suara nafas vesikuler menurun yang menunjukkan adanya udara dalam
jumlah besar yang terperangkap dan tidak bisa keluar dari rongga thorax.
Udara yang terperangkap ini dapat bergerak hingga ke jaringan subkutan dan
menyebabkan emfisema subkutis. Pada regio bahu kiri terdapat jejas, tidak
didapatkan perdarahan aktif, serta didapatkan adanya oedem, deformitas,
nyeri tekan dan krepitasi. Hasil penemuan ini merupakan tanda-tanda
terjadinya fraktur dan melihat daerah jejas adalah region bahu kiri
diperkirakan terjadi fraktur clavicula.
4. Secondary survey.
Secondary survey merupakan suatu prosedur untuk mencari perubahan-
perubahan yang dapat berkembang menjadi lebih gawat dan mengancam jiwa
apabila tidak segera diatasi dengan pemeriksaan dari kepala sampai kaki
(head to toe).
a. Anamnesis
Anamnesis yang harus diingat:
S : Symptoms atau gejala.
A : Alergi.
M : Mekanisme dan sebab trauma.
M : Medikasi (obat yang sedang diminum saat ini).
P : Past illness.
L : Last meal (makan dan minum terakhir).
E : Event/Environment yang berhubungan dengan kejadian perlukaan.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada secondary survey meliputi pemeriksaan tingkat
kesadaran, pupil, kepala, maksilofasial, leher, toraks, abdomen/pinggang,
pelvis, medula spinalis, kolumna vertebralis, ekstremitas. Masing-masing
aspek dilakukan identifikasi trauma terlebih dahulu, kemudian penilaian
dengan pemeriksaan fisik, kemudian temuan klinis dari pemeriksaan fisik
dikonfirmasi dengan pemeriksaan lanjutan sesuai dengan aspek.
Untuk pemeriksaan dibawah ini harus dilakukan tidak boleh lebih dari 3
menit setelah terjadi trauma, yaitu :
1) Kepala: cek adanya deformitas, perdarahan, dan tanda perlukaan lain.
Pemeriksaan pada kepala meliputi mata, telinga, hidung, dan mulut.
2) Leher: cek adanya deformitas pada servikal.
3) Dada: cek adanya perlukaan benda tajam maupun tumpul.
4) Abdomen: cek adanya perlukaan benda tajam maupun tumpul,
bengkak, dan nyeri.
5) Pelvis: cek adanya fraktur dan deformitas.
6) Genital : cek adanya cairan yang mengalir dari saluran urogenital
apakah ada perdarahan atau inkontinensia.
7) Ekstremitas bawah : cek adanya perdarahan, fraktur, bengkak, nyeri,
dan denyut.
8) Ekstremitas atas : cek adanya perdarahan, fraktur, bengkak, nyeri, dan
denyut.
c. Triage
Triage adalah suatu sistem seleksi dan pemilihan pasien untuk menentukan
tingkat kegawatan dan prioritas penanganan pasien (DepKes RI, 2005).
Sistem triage merupakan salah satu penerapan sistem manajemen risiko di
unit gawat darurat sehingga pasien yang datang mendapatkan penanganan
dengan cepat dan tepat sesuai kebutuhannya dengan menggunakan
sumberdaya yang tersedia. Triage juga membantu mengatur pelayanan
sesuai dengan alur pasien di unit gawat darurat. Tujuan dilakukan Triage
adalah menangani korban/pasien dengan cepat, cermat dan tepat sesuai
dengan sumber daya yang ada. Triage dibagi menjadi dua, yaitu Triage
lapangan dan Triage dalam Rumah Sakit (RS). Untuk triage dalam Rumah
Sakit biasanya dilakukan oleh perawat atau dokter instalasi gawat darurat
dan mengenai triage lapangan, harusnya seorang first responder (yang
pertama kali menangani bencana) menguasai triage.
5. Pemeriksaan klinis, penanganan dan imobilisasi pada
kegawatdaruratan.
Langkah-langkah umum assessment pada trauma:
a. Preparation
Tahap preparation dibagi lagi menjadi 2, yaitu pre hospital dan
hospital phase. Pada pre hospital phase yang harus diperhatikan adalah
pemeliharaan jalan napas, kontrol perdarahan luar dan syok, imobilisasi
pasien, dan transport segera ke fasilitas kesehatan terdekat yang memadai.
Koordinasi yang baik harus terjalin antara petugas lapangan dengan
petugas rumah sakit. Petugas lapangan harus melaporkan dengan jelas
keadaan pasien kepada paetugas triase di rumah sakit agar pasien
mendapatkan penanganan yang sesuai dengan tingkat keparahan luka
yang diderita.
Pada hospital phase petugas kesehatan harus melakukan
perencanaan yang baik sebelum kedatangan pasien. Fasilitas kesehatan
tersebut harus menyediakan ruang resusitasi, alat – alat untuk membuka
jalan napas dan kristaloid harus sudah tersedia dan dapat langsung
dipakai. Alat – alat untuk pemeriksaan tambahan juga harus tersedia
secara portabel. Seluruh petugas kesehatan yang menangani pasien harus
menggunakan alat perlindungan diri yang memadai.
b. TRIAGE
1) Definisi
Triage awalnya terbentuk dari system Simple Triage and Rapid
Treatment (START) yang mana START berkembang pada tahun
1980an sebagai alur penanggulangan pada suatu bencana. Banyak
versi dari START hanya mengidentifikasi pasien tanpa memberikan
tatalaksana apapun sampai transportasi datang. TRIAGE dalam
bahasa Perancis berarti ‘memilih’ atau ‘mengelompokkan’. TRIAGE
adalah proses menentukan prioritas untuk melakukan terapi atau
tatalaksana pada pasien atau grup pasien. Pengelompokkan pasien
berdasarkan kategori tertentu dilakukan oleh ahli yang sudah
berpengalaman. Kebanyakan memakai metode sistemik dan ilmiah
untuk pencapaian kondisi pasien untuk menginterpretasi keadaan
klinis dan mengintervensi pada fase awal untuk mencegah kematian.
2) Klasifikasi TRIAGE berdasarkan warna
a) Black/ Expectant
Pasien tidak bisa bertahan hidup, dilihat dari beratnya luka,
tingkat ketersediaan penanganan, atau keduanya.
Pasien mengalami cedera mematikan dan akan meninggal
meski mendapat pertolongan. Misalnya:
Cedera kepala berat
Luka bakar derajat 3 hampir di seluruh tubuh
Kerusakan organ vital
b) Red/ Immediate
Bisa diselamatkan dengan intervensi cepat dan transport
Perbaikan ABC ketika penanganan
Membutuhkan perhatian medis dalam menit kelangsungan
hidup (±60menit), misalnya :
- Tension pneumothorax
- Distress pernapasan (RR >30x/menit)
- Perdarahan internal vasa besar
- Perdarahan hebat
- Cedera jalan nafas
- Cardiac arrest
- Syok – nadi radial tidak teraba, akral dingin, CRT >2
detik
- Luka terbuka di abdomen atau thoraks
- Trauma kepala berat
- Komplikas diabetes
- Keracunan
- Persalinan patologis
- Tidak sadar
- Luka bakar, termasuk luka bakar inhalasi
- Fraktur terbuka
c) Yellow/ Delayed
Transport pasien bisa ditunda
Termasuk yang luka serius dan mengancam jiwa, tapi status
tidak memburuk pada beberapa jam, misalnya :
Fraktur tertutup pada ekstremitas (perdarahan
terkontrol)
Perdarahan laserasi terkontrol
Luka bakar <25% luas permukaan tubuh
Trauma tulang belakang
Perdarahan sedang
Trauma kepala tanpa gangguan kesadaran
d) Green/ Minor
Luka-luka ringan, misalnya :
Laserasi minor
Memar dan lecet
Luka bakar superficial
Status tidak memburuk walau beberapa hari
Masih bisa mengurus diri sendiri (contoh: bisa berjalan
walau terluka)
3) Klasifikasi TRIAGE berdasarkan tempat
Triage di UGD
Diterapkan sehari-hari untuk assessment prioritas penanganan
pasien di UGD. Prioritas diberikan pada pasien yang paling
membutuhkan. Sumber daya tersedia dalam kualitas dan kuantitas
yang cukup baik.
Prosedur Triage di UGD :
Menilai adakah tanda emergency (ABCD).
Penatalaksanaan segera diberikan begitu teridentifikasi
satu tanda emergency
- Jika terdapat tanda A, atasi. Jika tidak terdapat, teruskan
mencari tanda B.
- Jika terdapat tanda B, atasi. Jika tidak terdapat, teruskan
mencari tanda C.
- Jika terdapat tanda C, atasi. Jika tidak terdapat, teruskan
mencari tanda D.
- Jika terdapat tanda D, atasi.
Bila tidak terdapat tanda emergency, dilanjutkan dengan
penilaian adakah tanda prioritas.
Tempatkan pasien sesuai prioritasnya. Bila pasien
mempunyai tanda prioritas maka pasien ditempatkan di
urutan depan penanganan. Sementara menunggu, pasien
dapat diberikan terapi suportif.
Pasien yang tidak mempunyai tanda emergency atau tanda
prioritas kembali ke antrian untuk menunggu perawatan.
Berpindah ke pasien berikutnya.
Triage in-patient
Diterapkan sehari-hari di setting unit perawatan, misalnya ICU,
kamar bedah, dan unit rawat jalan. Prioritas diberikan pada pasien
yang paling membutuhkan pertolongan berdasarkan kriteria
medis. Sumber daya tersedia dengan baik.
Triage incident
Diterapkan pada setting kecelakaan dengan jumlah korban cukup
banyak, misalnya kecelakaan bus atau pesawat dan kebakaran.
Triage diprioritaskan untuk evakuasi dan penanganan pasien.
Biasanya terdapat keterbatasan sumber daya lokal, meskipun
demikian pasien tetap dapat memperoleh penatalaksanaan
maksimal di fasilitas kesehatan.
Triage militer
Diterapkan pada setting medan pertempuran. Terdapat
keterbatasan sumber daya, terutama bila suplai sumber daya
terganggu.
Triage bencana/ masal
Diterapkan pada setting bencana dengan korban masal yang
melebihi kemampuan sistem pelayanan kesehatan lokal dan
regional. Protokol triage bencana memprioritaskan pada
penyelamatan sebagian besar korban dan mengoptimalkan sumber
daya yang tersedia.
4) Alur TRIAGE
Imobilisasi pada pasien dilakukan ketika ditemukan maupun dicurigai
adanya fraktur pada skelet yang bersangkutan. Fraktur adalah hilangnya
kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis, baik yang
bersifat total maupun yang parsial. Kebanyakan fraktur terjadi karena
kegagalan tulang menahan tekanan terutama tekanan membengkok, memutar
dan tarikan.
6. Biomekanika trauma.
Biomekanika trauma adalah ilmu yang mempelajari kejadian cedera
pada suatu jenis kekerasan atau kecelakaan tertentu. Misalnya orang jatuh
dari sepeda motor akan menimbulkan cedera yang berbeda dibandingkan
dengan orang yang ditabrak mobil. Biomekanika trauma penting dipelajari
karena akan membantu dalam :
Akibat yang ditimbulkan trauma
Waspada terhadap jenis perlukaan yang diakibatkan trauma.
Sedangkan jenis perlukaan bisa dibagi menjadi perlukaan yang tampak
misalnya luka dibagian luar, dan perlukaan yang tidak tampak / tidak bisa
dilihat secara langsung misalnya perlukaan organ bagian dalam.
Organ dalam tubuh dapat dibagi menjadi:
Organ tidak berongga (padat , solid) misalnya: hepar, limpa, paru, otak.
Organ berongga, misalnya usus.
Perlukaan organ dalam terjadi melalui mekanisme cedera:
1. Cedera langsung
Misalnya kepala dipukul martil. Kulit kepala bisa robek dan menimbulkan
perdarahan luar, tulang kepala dapat retak atau patah, atau dapat
menimbulkan perdarahan di otak.
2. Cedera akibat gaya perlambatan (deselerasi)
Misalnya seorang pengendara sepeda motor menabrak pohon. Setelah
badan berhenti di pohon, maka organ dalam akan tetap bergerak maju
dalam rongga masing-masing. Jantung akan terlepas dari ikatannya (aorta)
sehingga terjadi ruptur aorta. Usus akan robek terlepas darimesenterium.
3. Cedera akibat dari gaya percepatan (akselerasi)
Misalnya pengendara mobil ditabrak dari belakang. Tabrakan dari
belakang bisa terjadi pada kendaraan yang sedang berhenti atau kendaraan
yang kecepatannya lebih lambat. Cedera yang sering terjadi biasanya
karena adanya daya pecut (whiplash injuri) dan cedera yang harus
diwaspadai adalah cedera dibawah tulang leher, apalagi jika kendaraan
tersebut tidak memakai headrest.
4. Cedera kompresi (efek kantong kertas.
Ibarat sebuah kantong kertas yang ditiup, kemudian ditutup kemudian
dipukul hingga meledak. Hal ini juga bisa terjadi pada organ berongga
yang dapat pecah akibat tekanan.
7. Anatomi thorax dan clavicula.
8. Gejala trauma thorax dan pneumothorax ventil.
TRAUMA THORAX
Trauma thorax merupakan trauma yang mengenai dinding thorax dan
atau organ intrathorax, baik karena trauma tmpul maupun oleh karena trauma
tajam. Trauma thorax semakin meningkat sesuai dengan kemajuan
transportasi dan kondisi social ekonomi masyarakat. Trauma pada thorax
dapat dibagi menjadi 2 yaitu trauma tumpul dan trauma tajam.
1. Trauma tumpul
Adapun definisi dari benda tumpul adalah tidak bermata tajam, konsistensi
keras/kenyal dan permukaan halus/kasar. Variasi mekanisme terjadinya
trauma tumpul adalah benda tumpul yang bergerak pada korban yang diam
dan korban yang bergerak pada benda tumpul yang diam. Luka akibat
trauma tumpul dibagi menurut beberapa kategori yaitu abrasi (lecet),
laserasi dan kontusio (memar). Trauma tumpul biasanya dikarenakan
tabrakan kendaraan dimana penderita adalah penumpang/pengemudi,
tabrakan pejalan kaki, tabrakan sepeda motor, trauma yang disengaja
(serangan), jatuh (falls) dan trauma ledakan (blast injury).
2. Trauma tajam
Trauma tajam adalah trauma yang disebabkan alat/senjata bermata tajam
dan atau berujung runcing. Luka yang disebabkan dari trauma tajam ini
bisa dikategorikan menjadi luka tusuk, luka iris dan luka bacok.
PNEUMTOHORAX TENSION
Merupakan pneumothorax yang disertai oleh peningkatan tekanan intra
thorax yang semakin lama semakin bertambah (progresif). Pada
pneumothorax ini ditemukan mekanisme ventil yaitu udara dapat masuk
tetapi tidak bisa keluar. Gejala klinis : sesak bertambah berat dengan cepat
(progresif), takipneu, hipotensi, JVP meningkat, asimetris statis dan dinamis.
9. Pemeriksaan klinis dan penunjang pada thorax dan clavicula.
Pada kasus trauma thorax dalam skenario diperlukan pemeriksaan
analisis gas darah. Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pada
pasien dapat mengarahkan kecurigaan pada adanya fraktur dan pneumothorax
ventil. Untuk memastikan diagnosis tersebut, maka dilakukan pemeriksaan
radiologis atau foto polos thorax.
Prinsip Pemeriksaan Radiologis pada Fraktur
Pemeriksaan penunjang pada fraktur yang harus dilakukan adalah
pemeriksaan radiologis. Pemeriksaan radiologis ini menganut aturan yang
disebut Rules of Two. Rules of Two merupakan seperangkat guideline
sederhana. Beberapa hal dari Rules of Two harus dipatuhi, dan beberapa di
antaranya hanya berlaku pada kasus tertentu saja. Prinsip-prinsip umum ini
tentunya berguna untuk membantu menghindari kesalahan dalam interpretasi
hasil radiografi dan manajemen pasien.
Rules of Two mencakup 10 hal yaitu:
a. Two views (dua tampilan): sebaiknya dilakukan secara anteroposterior
(AP) dan lateral, kecuali pada radiologis thorax, abdomen, dan pelvis.
b. Two joints (dua sendi): menampilkan gambaran sendi di atas dan di
bawah tulang panjang, terutama pada fraktur bagian antebrachii dan
cruris.
c. Two sides (dua sisi): membandingkan kedua sisi terutama pada anak-
anak.
d. Two abnormalities (dua kelainan): cobalah mencari kelainan lain yang
menjadi faktor predisposisi fraktur, misalnya pada fraktur patologis,
ditemukannya “bone island”.
e. Two occasions: periksalah dengan film atau pemeriksaan radiologis
terdahulu, hal ini dapat membantu pada foto thorax ataupun pada kasus
misalnya osteomyelitis, septic arthritis, dll.
f. Two visits (dua kunjungan): diperlukan pemeriksaan radiologis ulang
terutama setelah operasi, tindakan immobilisasi tulang, mengurangi
dislokasi, atau pengambilan benda asing, untuk melihat apakah kelainan
telah membaik, tidak berubah, atau bahkan memburuk.
g. Two opinions (dua pendapat): dapat digunakan untuk meyakinkan
kelainan yang terjadi, dapat menggunakan Red Dot System (memberikan
titik merah pada kelainan yang terjadi, biasanya sistem ini digunakan
pada instalansi gawat darurat.
h. Two records (dua catatan): menyalin hasil temuan pemeriksaan
radiografi pada rekam medis.
i. Two specialists (dua spesialis): semua film harus dilihat dan dilaporkan
secara resmi oleh seorang ahli radiologi.
j. Two examinations (dua pemeriksaan): terkadang diperlukan pemeriksaan
penunjang lain untuk menegakkan diagnosis, seperti: Ultrasonography,
Computed Tomography, Magnetic Resonance Imaging, dan Isotope Bone
Scanning.
Pemeriksaan Radiologis pada Pneumothorax
Pemeriksaan radiologis pada pneumotoraks biasanya menunjukkan:
a. Terlihat tepi pleura visceral sangat tipis berupa garis putih yang tajam.
b. Tidak terlihat tanda-tanda paru-paru pada tepi garis ini.
c. Gambaran radiolusen dibandingkan dengan paru-paru sisi yang lain.
d. Paru-paru mungkin benar-benar kolaps.
e. Mediastinum tidak harus bergeser kecuali pada tension pneumothorax.
f. Dapat ditemukan pula emfisema subkutan dan pneumomediastinum.
Gambaran radiologis pada pneumothoraks
10. Penanganan trauma pada bahu kiri dan thorax.
a. Trauma bahu kiri
Pengelolaan fraktur secara umum mengikuti prinsip pengobatan
kedokteran pada umumnya, yaitu jangan mencederai pasien, pengobatan
didasari atas diagnosis yang tepat, pemilihan pengobatan dengan tujuan
tertentu, mengikuti “law of nature”, pengobatan yang realistis dan
praktis, dan memperhatikan setiap pasien secara individu. Prinsip
penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke
posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa
penyembuhan patah tulang (imobilisasi). Pada anak-anak reposisi yang
dilakukan tidak harus mencapai keadaan sempurna seperti semula karena
tulang mempunyai kemampuan remodeling.
Penatalaksanaan umum fraktur meliputi menghilangkan rasa nyeri,
Menghasilkan dan mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur, Agar
terjadi penyatuan tulang kembali, Untuk mengembalikan fungsi seperti
semula. Untuk mengurangi nyeri tersebut, dapat dilakukan imobilisasi,
(tidak menggerakkan daerah fraktur) dan dapat diberikan obat penghilang
nyeri. Teknik imobilisasi dapat dilakukan dengan pembidaian atau gips.
Bidai dan gips tidak dapat pempertahankan posisi dalam waktu yang
lama. Untuk itu diperlukan teknik seperti pemasangan traksi kontinu,
fiksasi eksteral, atau fiksasi internal.
Berapa lama patah tulang diperlukan untuk bersatu dan sampai
terjadi konsolidasi? Tidak ada jawaban yang tepat mungkin karena faktor
usia, konstitusi, suplai darah, jenis fraktur dan faktor lain mempengaruhi
sepanjang waktu diambil.5 Prediksi yang mungkin adalah timetable
Perkins yang sederhana. Fraktur spiral pada ekstremitas atas menyatu
dalam 3 minggu, untuk konsolidasi kalikan dengan 2; untuk ekstremitas
bawah kalikan dengan 2 lagi; untuk fraktur transversal kalikan lagi oleh
2.
Sebuah formula yang lebih sophisticated adalah sebagai berikut.
Sebuah fraktur spiral pada ekstremitas atas memakan waktu 6-8 minggu
untuk terjadinya konsolidasi. Ekstremitas bawah membutuhkan dua kali
lebih lama. Tambahkan 25% jika bukan fraktur spiral atau jika
melibatkan tulang paha. Patah tulang anak-anak, tentu saja, menyatu
lebih cepat. Angka-angka ini hanya panduan kasar, harus ada bukti klinis
dan radiologis terkait konsolidasi sebelum tekanan penuh diperbolehkan
tanpa splintage.
Imobilisasi yang lama akan menyebabkan mengecilnya otot dan
kakunya sendi. Oleh karena itu diperlukan upaya mobilisasi secepat
mungkin.
Beberapa penatalaksanaan fraktur secara ortopedi meliputi proteksi
tanpa reposisi dan imobilisasi, Imobilisasi dengan fiksasi, Reposisi
dengan cara manipulasi diikuti dengan imobilisasi, Reposisi dengan
traksi, Reposisi diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar, Reposisi
secara nonoperatif diikuti dengan pemasangan fiksasi dalam pada tulang
secara operatif. Reposisi secara operatif dikuti dengan fiksasi patahan
tulang dengan pemasangan fiksasi interna, Eksisi fragmen fraktur dan
menggantinya dengan prosthesis.
Proteksi tanpa reposisi dan imobilisasi digunakan pada penanganan
fraktur dengan dislokasi fragmen patahan yang minimal atau dengan
dislokasi yang tidak akan menyebabkan kecacatan dikemudian hari.
Contoh adalah pada fraktur kosta, fraktur klavikula pada anak-anak,
fraktur vertebrae dengan kompresi minimal.
Pada imobilisasi dengan fiksasi dilakukan imobilisasi luar tanpa
reposisi, tetapi tetap memerlukan imobilisasi agar tidak terjadi dislokasi
fragmen. Contoh cara ini adalah pengelolaan fraktur tungkai bawah tanpa
dislokasi yang penting.
Tindakan reposisi dengan cara manipulasi diikuti dengan
imobilisasi dilakukan pada fraktur dengan dislokasi fragmen yang berarti
seperti pada fraktur radius distal. Reposisi dengan traksi dilakukan terus-
menerus selama masa tertentu, misalnya beberapa minggu, kemudian
diikuti dengan imobilisasi. Tindakan ini dilakukan pada fraktur yang bila
direposisi secara manipulasi akan terdislokasi kembali dalam gips. Cara
ini dilakukan pada fraktur dengan otot yang kuat, misalnya fraktur femur.
Reposisi diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar dilakukan
untuk fiksasi fragmen patahan tulang, dimana digunakan pin baja yang
ditusukkan pada fragmen tulang, kemudian pin baja tadi disatukan secara
kokoh dengan batangan logam di kulit luar. Beberapa indikasi
pemasangan fiksasi luar antara lain fraktur dengan rusaknya jaringan
lunak yang berat (termasuk fraktur terbuka), dimana pemasangan internal
fiksasi terlalu berisiko untuk terjadi infeksi, atau diperlukannya akses
berulang terhadap luka fraktur di sekitar sendi yang cocok untuk internal
fiksasi namun jaringan lunak terlalu bengkak untuk operasi yang aman,
asien dengan cedera multiple yang berat, fraktur tulang panggul dengan
perdarahan hebat, atau yang terkait dengan cedera kepala fraktur dengan
infeksi.
Reposisi dilakukan secara non-operatif diikuti dengan pemasangan
fiksator tulang secara operatif, misalnya reposisi patah tulang pada
fraktur kolum femur. Fragmen direposisi secara non-operatif dengan
meja traksi, setelah tereposisi, dilakukan pemasangan prosthesis secara
operatif pada kolum femur.
Reposisi secara operatif dikuti dengan fiksasi patahan tulang
dengan pemasangan fiksasi interna dilakukan, misalnya pada fraktur
femur, tibia, humerus, atau lengan bawah. Fiksasi interna yang dipakai
bisa berupa pen di dalam sumsum tulang panjang, bisa juga plat dengan
skrup di permukaan tulang. Keuntungan reposisi secara operatif adalah
dapat dicapai reposisi sempurna, dan bila dipasang fiksasi interna yang
kokoh, sesudah operasi tidak diperlukan pemasangan gips lagi dan segera
bisa dilakukan imobilisasi. Indikasi pemasangan fiksasi interna adalah
fraktur tidak bisa di reduksi kecuali dengan operasi, fraktur yang tidak
stabil dan cenderung terjadi displacement kembali setelah reduksi fraktur
dengan penyatuan yang buruk dan perlahan (fraktur femoral neck),
fraktur patologis, fraktur multiple dimana dengan reduksi dini bisa
meminimkan komplikasi, fraktur pada pasien dengan perawatan yang
sulit (paraplegia, pasien geriatri).
Eksisi fragmen fraktur dan menggantinya dengan prosthesis
dilakukan pada fraktur kolum femur. Caput femur dibuang secara
operatif dan diganti dengan prosthesis. Tindakan ini diakukan pada orang
tua yang patahan pada kolum femur tidak dapat menyambung kembali.
b. Trauma thorax kanan
Needle Thoracosynthesis (Torakosintesis Jarum) dilakukan pada pasien
dengaan tension pneumothorax yang mengancam jiwa. Prosedur:
1) Periksa status pernapasan pasien.
2) Berikan O2 aliran tinggi dengan ventilator.
3) Identifikasi spatium intercostal II linea midclavicula ipsilateral dada
yang terkena pneumothorax.
4) Anestesi lokal area operasi bila pasien sadar.
5) Bila pasien tidak mengalami trauma servikal, posisikan pasien dalam
keadaan duduk.
6) Pegang Luer-Lok bagian distal kateter, insersikan jarum kateter
(5cm) ke area dengan arah ke atas.
7) Pungsi pleura parietal.
8) Lepaskan Luer-Lok dari kateter dan dengarkan udara yang keluar dari
cavitas pleura.
9) Lepaskan jarum dan ganti Luer-Lok di bagian distal kateter. Berikan
bandage pada area insersi jarum.
Komplikasi torakosintesis jarum yang dapat terjadi seperti hematoma
lokal, pneumotoraks, dan perlukaan pada parenkim paru.
11. Aspek medikolegal pada kasus kegawatdaruratan.
Pengertian trauma (injury) dari aspek medikolegal sering berbeda
dengan pengertian medis.Pengertian medis menyatakan trauma atau
perlukaan adalah hilangnya diskontinuitas dari jaringan. Dalam pengertian
medikolegal trauma adalah pengetahuan tentang alat atau bendayang dapat
menimbulkan gangguan kesehatan seseorang. Artiya orang yang sehat, tiba-
tibaterganggu kesehatannya akibat efek dari alat atau benda yang dapat
menimbulkankecelderaan. Aplikasinya dalam pelayanan kedokteran forensik
adalah untuk membuatterang suatu tindak kekerasan yang terjadi pada
seseorang.
Berdasarkan tujuannya, paradigma yang digunakan dalam pemeriksaan
medikolegal sangat berbeda dibandingkan dengan pemeriksaan klinis untuk
kepentingan pengobatan. Tujuan pemeriksaan medikolegal pada seorang
korban adalah untuk menegakkan hukum pada peristiwa pidana yang dialami
korban melalui penyusunan VeR (Visum et Repertum) yang baik. Tujuan
pemeriksaan klinis pada peristiwa perlukaan adalah untuk memulihkan
kesehatan pasien melalui pemeriksaan, pengobatan, dan tindakan medis
lainnya. Apabila seorang dokter yang ditugaskan untuk melakukan
pemeriksaan medikolegal menggunakan orientasi dan paradigma pemeriksaan
klinis, penyusunan VeR dapat tidak mencapai sasaran sebagaimana yang
seharusnya. Dari segi medikolegal, orientasi dan paradigma yang digunakan
dalam merinci luka dan kecederaan adalah untuk dapat membantu
merekonstruksi peristiwa penyebab terjadinya luka dan memperkirakan
derajat keparahan luka (severity of injury). Dengan demikian pada
pemeriksaan suatu luka, bisa saja ada beberapa hal yang dianggap penting
dari segi medikolegal, tidak dianggap perlu untuk tujuan pengobatan, seperti
misalnya lokasi luka, tepi luka, dan sebagainya.
c. Penentuan derajat luka
Penentuan Derajat Luka Salah satu yang harus diungkapkan dalam
kesimpulan sebuah VeR perlukaan adalah derajat luka atau kualifikasi
luka.9 Dari aspek hukum, VeR dikatakan baik apabila substansi yang
terdapat dalam VeR tersebut dapat memenuhi delik rumusan dalam
KUHP. Penentuan derajat luka sangat tergantung pada latar belakang
individual dokter seperti pengalaman, keterampilan, keikutsertaan dalam
pendidikan kedokteran berkelanjutan dan sebagainya. Suatu perlukaan
dapat menimbulkan dampak pada korban dari segi fisik, psikis, sosial dan
pekerjaan, yang dapat timbul segera, dalam jangka pendek, ataupun
jangka panjang. Dampak perlukaan tersebut memegang peranan penting
bagi hakim dalam menentukan beratnya sanksi pidana yang harus
dijatuhkan sesuai dengan rasa keadilan.
Hukum pidana Indonesia mengenal delik penganiayaan yang terdiri
dari tiga tingkatan dengan hukuman yang berbeda yaitu penganiayaan
ringan (pidana maksimum 3 bulan penjara), penganiayaan (pidana
maksimum 2 tahun 8 bulan), dan penganiayaan yang menimbulkan luka
berat (pidana maksimum 5 tahun). Ketiga tingkatan penganiayaan
tersebut diatur dalam pasal 352 (1) KUHP untuk penganiayaan ringan,
pasal 351 (1) KUHP untuk penganiayaan, dan pasal 352 (2) KUHP untuk
penganiayaan yang menimbulkan luka berat. Setiap kecederaan harus
dikaitkan dengan ketiga pasal tersebut. Untuk hal tersebut seorang dokter
yang memeriksa cedera harus menyimpulkan dengan menggunakan
bahasa awam, termasuk pasal mana kecederaan korban yang
bersangkutan. Rumusan hukum tentang penganiayaan ringan
sebagaimana diatur dalam pasal 352 (1) KUHP menyatakan bahwa
“penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai
penganiayaan ringan”. Jadi bila luka pada seorang korban diharapkan
dapat sembuh sempurna dan tidak menimbulkan penyakit atau
komplikasinya, maka luka tersebut dimasukkan ke dalam kategori
tersebut. Selanjutnya rumusan hukum tentang penganiayaan (sedang)
sebagaimana diatur dalam pasal 351 (1) KUHP tidak menyatakan apapun
tentang penyakit. Sehingga bila kita memeriksa seorang korban dan
didapati “penyakit” akibat kekerasan tersebut, maka korban dimasukkan
ke dalam kategori tersebut. Akhirnya, rumusan hukum tentang
penganiayaan yang menimbulkan luka berat diatur dalam pasal 351 (2)
KUHP yang menyatakan bahwa Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka
berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun”. Luka berat itu sendiri telah diatur dalam pasal 90 KUHP secara
limitatif. Sehingga bila kita memeriksa seorang korban dan didapati salah
satu luka sebagaimana dicantumkan dalam pasal 90 KUHP, maka korban
tersebut dimasukkan dalam kategori tersebut. Luka berat menurut pasal
90 KUHP adalah :
Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan
sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut.
Tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau
pekerjaan pencarian.
Kehilangan salah satu panca indera.
Mendapat cacat berat.
Menderita sakit lumpuh.
Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih.
Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.
Perbedaan dalam membuat keputusan penentuan luka tidak banyak
menemukan masalah dalam penentuan luka derajat tiga, namun secara
konseptual masih berbeda pendapat untuk penetapan luka derajat satu
dan dua. Variasi keputusan klinis dalam menentukan kualifikasi luka
tidak akan menguntungkan bagi pengambilan keputusan oleh para
penegak hukum dalam proses peradilan karena tidak memberikan
kepastian pendapat mana yang akan dijadikan sebagai dasar pengambilan
keputusan.
Rumusan delik penganiayaan menyebutkan antara lain bahwa luka
derajat dua akan terpenuhi bila pekerjaan atau jabatan korban menjadi
terganggu. Walaupun masih terdapat kontroversi dalam penentuan
kualifikasi luka dengan mempertimbangkan jenis pekerjaan korban,
namun pada umumnya para dokter cenderung sepakat untuk tidak
mempertimbangkan hal tersebut di masa mendatang. Mereka lebih
cenderung menggunakan rumusan ada atau tidak adanya penyakit dalam
menentukan kualifikasi luka karena hal tersebut masih dalam lingkup
kompetensi seorang dokter di bidang medis. Hal-hal yang mempengaruhi
penentuan kualifikasi luka adalah regio anatomis yang terkena trauma.
Sebagai contoh, apabila regio leher terkena trauma, walaupunpun kecil
akibat yang nampak, namun terdapat kecenderungan untuk memberikan
kualifikasi luka yang lebih berat. Hal itu disebabkan karena pada daerah
leher terdapat organ-organ yang vital bagi kehidupan, seperti arteri
karotis, vena jugularis, serta saluran pernafasan. Kekerasan pada daerah
wajah dan daerah kepala lainnya juga dipertimbangkan sebagai faktor
yang ikut meningkatkan kualifikasi luka. Walaupun beberapa responden
memperhatikan nilai laboratorium termasuk peningkatan leukosit pada
salah satu kasus, namun pada umumnya faktor-faktor fisiologis yang
terjadi akibat trauma seperti reaksi inflamasi sistemik (systemic
inflamatory response syndrome), respons neurologik, fisiologik, dan
metabolik belum mendapatkan perhatian khusus dalam menentukan
kualifikasi luka. Penganiayaan ringan tidak mengakibatkan luka atau
hanya mengakibatkan luka ringan yang tidak termasuk kategori
“penyakit dan halangan” sebagaimana disyaratkan dalam pasal 352
KUHP. Contoh luka ringan atatu luka derajat satu adalah luka lecet yang
superfisial dan berukuran kecil atau memar yang berukuran kecil. Lokasi
lecet atau memar tersebut perlu diperhatikan oleh karena lecet atau
memar pada beberapa lokasi tertentu mungkin menunjukkan cedera
bagian dalam tubuh yang lebih hebat dari yang terlihat pada kulit. Luka
lecet atau memar yang luas dan derajatnya cukup parah dapat saja
diartikan sebagai bukan sekedar luka ringan. Luka atau keadaan cedera
yang terletak di antara luka ringan dan luka berat dapat dianggap sebagai
luka sedang.
d. Medikolegal kegawatdaruratan traumatologi
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan
Medik Pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa “Persetujuan tindakan medik
kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau
keluarganya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai
tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap
pasien. Pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Medik,
pengaturan mengenai informed consent pada kegawatdaruratan lebih
tegas dan lugas. Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 pasal 4 ayat (1)
dijelaskan bahwa “Dalam keadaan darurat, untuk menyelamatkan jiwa
pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan
tindakan kedokteran”.
Disahkannya Permenkes No. 290/MENKES/PER/III/2008
sekaligus mengggugurkan Permenkes sebelumnya yaitu pada Permenkes
No 585/Men.Kes/Per/IX/1989 masih terdapat beberapa kelemahan. Pada
pasal 11 hanya disebutkan bahwa yang mendapat pengecualian hanya
pada pasien pingsan atau tidak sadar. Beberapa pakar mengkritisi
bagaimana jika pasien tersebut sadar namun dalam keadaan darurat.
Guwandi (2008) mencontoh pada kasus pasien yang mengalami
kecelakaan lalu-lintas dan terdapat perdarahan serta membahayakan jiwa
di tubuhnya tetapi masih dalam keadaan sadar. Contoh lain apabila
seseorang digigit ular berbisa dan racun yang sudah masuk harus segera
dikeluarkan atau segera dinetralisir dengan anti-venom ular. Jika ditinjau
dari hukum kedokteran yang dikaitkan dengan doktrin informed consent,
maka yang dimaksudkan dengan kegawatdaruratan adalah suatu keadaan
dimana :
Tidak ada kesempatan lagi untuk memintakan informed consent,
baik dari pasien atau anggota keluarga terdekat (next of kin).
Tidak ada waktu lagi untuk menunda-nunda.
Suatu tindakan harus segera diambil.
Untuk menyelamatkan jiwa pasien atau anggota tubuh.
Seperti yang telah dijelaskan pada Permenkes No
209/Menkes/Per/III/2008 pada pasal 4 ayat (1) bahwa tidak diperlukan
informed consent pada keadaan gawat darurat. Namun pada ayat (3) lebih
di tekankan bahwa dokter wajib memberikan penjelasan setelah pasien
sadar atau pada keluarga terdekat. Berikut pasal 4 ayat (3) “ Dalam hal
dilakukannya tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dokter atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin
kepada pasien setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat”. Hal
ini berarti, apabila sudah dilakukan tindakan untuk penyelamatan pada
keadaan gawat darurat, maka dokter berkewajiban sesudahnya untuk
memberikan penjelasan kepada pasien atau kelurga terdekat. Selain
ketentuan yang telah diatur pada UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran dan Peraturan Menteri Kesehatan No.
209/Menkes/Per/III/2008, apabila pasien dalam keadaan gawat darurat
sehingga dokter tidak mungkin mengajukan informed consent, maka
KUH Perdata Pasal 1354 juga mengatur tentang pengurusan kepentingan
orang lain. Tindakan ini dinamakan zaakwaarneming atau perwalian
sukarela yaitu “Apabila seseorang secara sukarela tanpa disuruh setelah
mengurusi urusan orang lain, baik dengan atau tanpa sepengetahuan
orang itu, maka secara diam-diam telah mengikatkan dirinya untuk
meneruskan mengurusi urusan itu sehingga orang tersebut sudah mampu
mengurusinya sendiri”. Dalam keadaan yang demikian perikatan yang
timbul tidak berdasarkan suatu persetujuan pasien, tetapi berdasarkan
suatu perbuatan menurut hukum yaitu dokter berkewajiban untuk
mengurus kepentingan pasien dengan sebaik-baiknya. Maka dokter
berkewajiban memberikan informasi mengenai tindakan medis yang
telah dilakukannya dan mengenai segala kemungkinan yang timbul dari
tindakan itu.
Tindakan dalam kegawatdaruratan medik di perbolehkan tanpa
melakukan persetujuan atau informed consent terlebih dahulu. Hal ini
sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran
dan diperjelas oleh KUH Perdata pasal 1354.
Pelayanan gawat darurat mempunyai aspek khusus karena
mempertaruhkan kelangsungan hidup seseorang. Oleh karena itu dari
segi yuridis khususnya hukum kesehatan terdapat beberapa pengecualian
yang berbeda dengan keadaan biasa. Menurut segi pendanaan,
nampaknya hal itu menjadi masalah, karena dispensasi di bidang ini sulit
dilakukan.
Dipandang dari segi hukum dan medikolegal, pelayanan gawat
darurat berbeda dengan pelayanan non-gawat darurat karena memiliki
karakteristik khusus. Beberapa isu khusus dalam pelayanan gawat darurat
membutuhkan pengaturan hukum yang khusus dan akan menimbulkan
hubungan hukum yang berbeda dengan keadaan bukan gawat darurat.
Beberapa Isu Seputar Pelayanan Gawat Darurat Pada keadaan
gawat darurat medik didapati beberapa masalah utama yaitu:
a) Periode waktu pengamatan/pelayanan relatif singkat
b) Perubahan klinis yang mendadak
c) Mobilitas petugas yang tinggi
Apabila seseorang bersedia menolong orang lain dalam keadaan
darurat, maka ia harus melakukannya hingga tuntas dalam arti ada pihak
lain yang melanjutkan pertolongan itu atau korban tidak memerlukan
pertolongan lagi. Dalam hal pertolongan tidak dilakukan dengan tuntas
maka pihak penolong dapat digugat karena dianggap mencampuri/
menghalangi kesempatan korban untuk memperoleh pertolongan lain
(loss of chance).
DAFTAR PUSTAKA
Afandi, Dedi. 2010. Visum et Repertum Perlukaan: Aspek Medikolegal dan
Penentuan Derajat Luka. Majalah Kedokteran Indonesia Volume 60,
Nomor 4, April.
http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/viewFile/
722/717
American College of Surgeons. 1997. Advanced Trauma Life Support (ATLS).
FirstImpression: USA.
Amin, Zulkifli, Asril Bahar, dkk. 2006. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas
Kedokteran UI. Jakarta.
Bickley LS, dan Szilagyi PG. 2007. Chapter 7, The Thorax and Lungs. Dalam:
Bickley L.S. dan Szilagyi PG. Bates' Guide to Physical Examination and
History Taking.9th edition.Lippincott Williams & Wilkins.
Bruner and Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah,Ed. 8 Vol. 1. Jakarta :
EGC
Delahay JN, Sauer S. Skeletal Trauma. In: Wiesel S, Delahay JN, editor.
Essentials of orthopedic surgery. 3rd ed.. Washington: Springer; 2007.
p.40-83
Demetriades D. 2009. Assessment and management of trauma 5th edition.
Department of surgery university of southern california.
Doenges, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawat Pasien. Jakarta; EGC.
Ediyono (2008).Pneumothorax. Elib.fk.uwks.ac.id – Diakses 20 April 2014
Ganveer, Rajnarayan R, Tiwari. Injury pattern among non-fatal road traffic
accident cases: a cross-sectional study in central India. Indian J Med Sci
Jan 2005;59:9-12
Halim Hadi. 2007. Penyakit-Penyakit Pleura dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II Edisi 4. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Iwan. 2012. Asuhan Keperawatan Kline dengan Frktur. Medical Bedah III. Stikes
Kusuma Husada.
Jain D.G, Gosari S.N, Jain D.D :Understanding and Managing
TensionPneumothorax.JIACN 2008; 9(1) :42–50.
Navin, M and Waddell, R. Triage is Broken. EMS Magazine August 2005 pp.1–3
http://www.ha.org.hk/visitor/ha_visitor_index.asp?
Content_ID=10051&Lang=ENG&Dimension=100&Parent_ID=10042
Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta:Media AesculapiusFakultas Kedokteran UI,
1995, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Jakarta:Binarupa Aksara.
Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/1988 tentang Rumah Sakit
Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis
Peraturan Menteri Kesehatan No.749a/1989 tentang Rekam Medis
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Nomor
290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.
Price, Sylvia Anderson. 1995. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses – Proses
Penyakit. Jakarta; EGC.
Rachmad, KB, Tjahyono, AS, Wibawanto, AW, et al. Penanganan Trauma
Thorax. 1st ed. 2002. Jakarta: Subbag Ilmu Bedah Thorax, FKUI.
Satyo AC. 2006. Aspek medikolegal luka pada forensik klinik.Majalah
Kedokteran Nusantara, 39 (4): 430-432.
Schaller. 2014. Open Fracture.
http://www.emedicine.medscape.com/article/1269242-overview (diakses
pada 29 April 2014)
Simangunsong LRS .2011. Traumatologi. Fakultas Kedokteran UHN.
Skinner H, Smith W, Shank J, Diao E, Lowenberg D. Musculoskeletal Trauma.
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan
Suddarth. Jakarta; EGC.
Undang-undang No 23/1992 tentang Kesehatan .
Undang-undang No. 29/ tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Wibisono E, Budianto IR. 2014. Pneumotoraks. Dalam: Tanto, C, et al. Kapita
Selekta Kedokteran Edisi IV Jilid I. Jakarta: Media Aesculapius. Hal 271-274