115

jurnal banyak

Embed Size (px)

DESCRIPTION

isi jurnal banyak merupakan journal yang menckupi banyak judul di dalamnya

Citation preview

Page 1: jurnal banyak
Page 2: jurnal banyak

JURNAL FISIKA DAN TERAPANNYA VOLUME 1, NOMOR 3, AGUSTUS 2013 Penanggung Jawab Prof.,Drs., Win Darmanto, M.Si,Ph.D. Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga, Indonesia Dewan Redaksi (Editorial Board): Ketua : Drs. Siswanto, M.Si. Wakil Ketua: Dr. Retna Apsari, M.Si. Anggota : Dr. Suryani Dyah Astuti, M.Si.

Mohammad Faried, ST.

Page 3: jurnal banyak

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah yang Maha Esa, berkat rahmat dan hidayahNya

semata jurnal online edisi pertama ini dapat diterbitkan.

E-jurnal “Fisika dan Terapannya” ini merupakan media publikasi bagi sivitas di

lingkungan departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga. Selain

itu melalui media ini diharapkan dapat mencegah terjadinya praktek plagiasi dalam penelitian.

Pada edisi pertama ini, diterbitkan sepuluh makalah hasil penelitian mahasiswa dari program

studi S1 Fisika dan program studi Teknobiomedik, masing-masing memberikan sumbangan

lima makalah. Topik makalah dari prodi S1 Fisika meliputi bidang biofisika, fisika material,

fotonik dan komputasi, sedangkan topik makalah dari prodi teknobiomedik meliputi bidang

biomaterial dan instrumentasi medis . Hal ini sesuai dengan kelompok bidang keahlian (KBK)

yang dikembangkan pada kedua program studi tersebut.

Semoga jurnal ini dapat bermanfaat bagi pembaca semua.

Ketua Departemen Fisika

FST Universitas Airlangga

Drs. S i s w a n t o, M.Si.

Page 4: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya (Journal of Physics and Application)

DAFTAR ISI

Aurista Miftahatul I Sintesis Membran Penyaring Logam Berat 1 Siswanto Timbal (Pb) di Udara Berbasis Selulosa Dyah Hikmawati Asetat dari Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) Hadi Suntaya Sensor Ketinggian Permukaan Oli Berbasis 14 Samian Sensor Pergeseran Fiber Coupler Supadi Nike Dwi G. D. Potensi Induksi Medan Magnet Eksternal 21 Suryani Dyah Astuti Untuk Efektivitas Fotoinaktivasi Bakteri Patogen Moh. Yasin

Satya Bagus K. Sintesis dan Karakterisasi Sifat Mekanik 28 Jan Ady Mortar Berbasis Material Komposit Silika Amorf Djoni Izak R Dengan Variasi Penambahan Sekam Tebu Siti Rochmah A.D. Analisis Perubahan Profil Potensial Titik 37 Welina Ratnayanti K Akupunktur Penderita Diabetes Mellitus Tri Anggono P Terhadap Paparan Laser Punktur Yulanda Dwi Fajarwati Optimasi Model Elektrode Pada Sistem 53 Wellina Ratnayanti K Pengukuran Potensial Titik Akupunktur Secara Tri Anggono P. Non- Invasive Untuk Diagnosis Fungsional Organ Fatimatul Karimah Implementasi Learning Vector Quantization 65 Endah Purwanti (LVQ) sebagai Alat Bantu Identifikasi Kelainan Adri Supardi Jantung Melalui Citra Elektrokardiogram

Nada Fitrieyatul Hikmah Rancang Bangun Syringe Pump Berbasis 74 Imam Sapuan Mikrokontroler ATmega8535 Dilengkapi Detektor Triwiyanto Oklusi Kristio Mordhoko Rancang Bangun Sistem Optimasi Infus 92 Franky Chandra Satria A. Drop Rate Pujiyanto Windi Aprilyanti Putri Sintesis Bahan Cetak Gigi Natrium Alginat 102 Siswanto Dari Alga Coklat Sargassum sp. yang Berpotensi Prihartini Widiyanti Untuk Aplikasi Klinis

Volume 1, Nomor 3, AGUSTUS 2013

Page 5: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013 1

Sintesis Membran Penyaring Logam Berat Timbal (Pb) di Udara

Berbasis Selulosa Asetat dari Eceng Gondok (Eichhornia

crassipes)

Aurista Miftahatul I, Dyah Hikmawati, Siswanto

Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Airlangga, Surabaya

e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Telah dilakukan sintesis membran selulosa asetat dari eceng gondok sebagai

penyaring logam berat timbal (Pb) di udara. Metode yang digunakan adalah dengan

pembuatan selulosa asetat dari eceng gondok kemudian dilanjutkan pembuatan membran

dengan pelarut aseton dan formamida lalu mengkontaminasikan membran ke gas buangan

kendaraan bermotor. Hasil untuk selulosa asetat dikarakterisasi menggunakan FT-IR,

sedangkan hasil dari pembuatan membran dikarakterisasi dengan uji mikrostruktur

dengan mikroskop cahaya binokuler dan uji emisi gas buang kendaraan bermotor. Hasil

analisis data FT-IR membuktikan terbentuknya selulosa diasetat dengan pita serapan khas

yaitu adanya gugus karbonil (C=O) pada bilangan gelombang 1749,12 cm-1. Membran

yang memiliki kemampuan dalam menyaring timbal yang paling baik adalah membran

dengan perbandingan selulosa asetat 16%, formamida 8%, aseton 76% dengan persentase

emisi PbCO3 terabsorbsi 0,714%. Uji mikrostruktur juga memberikan hasil dengan

perbandingan tersebut diperoleh kerapatan pori-pori dan ketebalan yang tinggi. Membran

dengan selulosa asetat 16% dan aseton 76% berpotensi dalam menyaring timbal di udara.

Kata kunci : selulosa asetat, membran, eceng gondok, timbal (Pb)

Page 6: jurnal banyak

2 Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

ABSTRACT

It had been synthesized a cellulose acetate membrane made from Eichhornia

crassipes that will be used as a filter of heavy metal Pb in the air. The methods used was

making cellulose acetate from Eichhornia crassipes and continued by making a

membrane from acetone solvent and formamide, and then contaminating the membrane to

motor vehicle exhaust gas. The result from cellulose acetate is characterized by using FT-

IR, and the result from membran is characterized by microstructural test with binocular

light microscope and emission test of motor vehicle exhaust gas. Result of FT-IR data

showed existence of cellulose diacetate which was indicated by typical absorbance band

such as carbonyl group (C=O) at wave number 1749,12 cm-1

. Membrane that has the best

capability to filter Pb is membrane that has 16% composition of cellulose acetate, 8% of

formamide, and 76% of acetone with emission percentage of absorbance of PbCO3

0,714%. Microstructural test gives the same result and obtained high pores density and

high thickness. Membrane with 16% cellulose acetate and 76% acetone is potential to

filter Pb in the air.

Keyword: cellulose acetate, membrane, Eichhornia crassipes, Pb

Page 7: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013 3

1. PENDAHULUAN

Eceng gondok (Eichhornia crassipes) adalah sejenis tumbuhan yang tumbuh di

air tawar dan beraliran tenang. Masyarakat banyak menggolongkan eceng gondok

kedalam tumbuhan air yang merugikan, eceng gondok umumnya dianggap sebagai gulma

perairan, sehingga perannya sebagai penyangga ekosistem perairan kurang diperhatikan.

Penelitian Suwondo, 2005 membuktikan bahwa eceng gondok memiliki potensi

sebagai tumbuhan air yang dapat menanggulangi pencemaran air dengan nilai

bioakumulasi yang tinggi, eceng gondok mempunyai potensi sebagai pembersih perairan

dari limbah logam dan menurunkan tingkat toksisitas bahan pencemar yang terdapat

dalam perairan yang tercemar oleh limbah. Komposisi kimia eceng gondok tergantung

pada kandungan unsur hara tempatnya tumbuh, dan sifat daya serap tanaman tersebut.

Eceng gondok mempunyai sifat-sifat yang baik antara lain dapat menyerap logam-logam

berat, senyawa sulfida, selain itu mengandung protein lebih dari 11,5% dan mengandung

selulosa yang lebih besar dari non selulosanya seperti lignin, abu, lemak, dan zat-zat lain

(Kriswiyanti, 2009).

Eceng gondok termasuk salah satu tumbuhan yang mempunyai kadar selulosa

tinggi yakni mencapai 72,63% (Lowel, 1991) yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan

penyerap. Selulosa sendiri merupakan polimer sederhana, membentuk ikatan kimia yang

memiliki permukaan rantai selulosa seragam dan membentuk lapisan berpori. Material

padatan berpori inilah yang menyerap bahan bahan di sekelilingnya, sehingga dapat

dimanfaatkan sebagai material penyerap bahan berbahaya bagi lingkungan.

Selulosa asetat merupakan polimer turunan dari selulosa yang mempunyai derajat

substitusi asetil yang tinggi dengan kelarutan yang rendah dalam pelarut tetapi

menghasilkan produk yang mempunyai karakter fisik yang sangat baik dan dapat

digunakan sebagai material industri makanan, filter rokok serta pemanfaatanya sebagai

membran logam berat dengan komposisi selulosa asetat, pelarut aseton, dan formamida.

Membran adalah sebuah penghalang selektif antara dua fasa, ditinjau dari bahannya

membran terdiri dari bahan alami dan bahan sintesis. Bahan dari alam misalnya pulp dan

kapas, sedangkan bahan sintesis dibuat dari bahan kimia misalnya polimer. Membran

selama ini berfungsi memisahkan material berdasarkan ukuran dan bentuk molekul,

menahan komponen dari umpan yang mempunyai ukuran yang lebih besar dari pori-pori

membran dan melewatkan komponen yang mempunyai ukuran lebih kecil. Mekanisme

filtrasi membran adalah dengan mengumpulkan partikulat dari berbagai macam material

Page 8: jurnal banyak

4 Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

keuntungan dari jenis filter ini adalah efisiensi pengumpulan yang baik, partikulat

terkumpul pada permukaan filter.

Pencemaran lingkungan terutama oleh logam berat telah menjadi masalah yang

perlu diperhatikan. Timbal (Pb) atau yang sering dikenal dengan timah hitam termasuk

salah satu jenis logam berat yang membuat udara tercemar. Manusia menghirup timbal

melalui udara, debu, air dan makanan. Salah satu penyebab kehadiran timbal adalah

kegiatan transportasi darat yang juga menghasilkan bahan pencemar seperti gas CO2,

NOx, hidrokarbon, SO2, dan Tetraethyl lead. Pb merupakan logam timah hitam yang

ditambahkan ke dalam bahan bakar berkualitas rendah untuk meningkatkan nilai oktan.

Pada saat ini cara mengatasi pencemaran udara bagi pengguna jalan raya adalah

cukup dengan penggunaan masker udara yang berbahan kain atau handuk. Masker untuk

melindungi debu atau partikel-partikel yang lebih besar yang masuk ke dalam pernafasan,

dapat terbuat dari kain atau bahan dengan ukuran pori-pori tertentu. Menurut Suryanta

(2009) perbedaan masker kain dengan handuk adalah handuk mempunyai pori yang besar

atau 100 dan masker kain mempunyai pori-pori kecil atau 10 sedangkan partikel debu

yang dapat masuk ke dalam pernafasan manusia adalah yang berukuran 0,1 m - 10 m dan

berada di udara sebagai suspenden particulate matter (partikulat melayang dengan ukuran

10 m). Oleh sebab itu penelitian tentang membran selulosa asetat dengan memanfaatkan

eceng gondok sebagai alat penyaring Pb di udara merupakan kajian yang menarik.

2. METODE PENELITIAN

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah batang eceng gondok, natrium

asetat (CH3COONa), asam asetat (CH3COOH), aquades, Ca(OH)2 , NaOH, asam asetat

glacial (CH3COOH), asetat anhidrida (CH3CO)2O, asam sulfat (H2SO4) pekat,

Formamida, aseton, NaOCl 5% (v/v).

2.1 Pembuatan Selulosa Asetat dari Eceng Gondok

Tahap pertama pada pembuatan pulp adalah eceng gondok dibersihkan dan

dikeringkan, proses pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air. Setelah eceng

gondok dikeringkan dan dipotong dalam ukuran ± 2 cm lalu direndam dalam akuades

selama 2 minggu sampai batang eceng gondok tersebut lunak dan serat-seratnya terpisah.

Serat eceng gondok tersebut dicuci sampai bersih dan dikeringkan di udara terbuka.

Tahap kedua adalah pembuatan larutan, NaOH ditimbang sebanyak 17,5 gram

kemudian dimasukkan dalam gelas beker 100 ml dan dilarutkan dengan akuades. Setelah

semua NaOH larut, dipindahkan ke labu ukur 100 ml secara kuantitatif, diencerkan

Page 9: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013 5

sampai tanda batas dengan akuades. Lalu 2,5 gram Ca(OH)2 ditimbang dan dimasukkan

dalam gelas beker 100 ml selanjutnya dilarutkan dengan akuades. Setelah semua

Ca(OH)2 larut, dipindahkan kelabu ukur 100 ml secara Serat eceng gondok sebanyak 20

gram ditambahkan Ca(OH)2 2,5% (b/v) 150 ml dan direndam selama 3 hari setelah itu

dicuci dengan akuades lalu dimasukkan kedalam labu alas bulat yang sebelumnya sudah

diisi dengan 300 ml larutan NaOH 17,5% (b/v), kemudian direfluks selama 4 jam

Hasil refluks yang berupa selulosa dicuci dengan air sampai bebas basa (netral)

Selanjutnya dihaluskan dan di cetak dalam lembaran tipis serta dikeringkan dengan oven

pada temperatur 60O C, penghitungan kadar selulosa dari eceng gondok dapat dinyatakan

oleh persamaan 2.1.

𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑙𝑜𝑠𝑎 % =𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑙𝑜𝑠𝑎 (𝑔𝑟𝑎𝑚 )

𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑝𝑢𝑙𝑝 (𝑔𝑟𝑎𝑚 )𝑥100%.. (2.1)

10 gram pulp kering ditambahkan dengan 88 ml aquades dalam gelas beker yang

telah dipanaskan pada temperatur 600C, kemudian campuran diaduk sampai terbentuk

bubur. Bubur yang terbentuk didinginkan hingga mencapai suhu kamar, dan ditambahkan

sekitar 100 ml NaOCl 5 % (v/v) didiamkan selama 30 menit (pengadukan terus

dilakukan). Campuran dibilas dengan akuades, kemudian direndam dengan NaOH 2 %

(v/v) dan didiamkan selama 30 menit. Campuran dicuci dengan akuades sampai bebas

basa dan dikeringkan di udara terbuka seperti yang ditunjukkan pada (Denia, 2011).

Pulp serat eceng gondok sebanyak 10 g ditambahkan asam asetat glasial 24 ml

dan di-sheker pada suhu 40oC selama 1 jam. lalu ditambahkan campuran asam asetat

glacial 60 ml dan asam sulfat pekat 0,5 ml lalu di-sheker lagi selama 45 menit pada suhu

yang sama. Kemudian campuran didinginkan sampai mencapai suhu 18oC. lalu

ditambahkan asetat anhidrida yang sudah didinginkan sebanyak 27 ml selama 2 jam pada

suhu 40oC.

Tahap selanjutnya larutan asam asetat 67% (b/v), ditambahkan ke dalam

campuran sebanyak 30ml tetes demi tetes selama 3 jam pada suhu 40oC dan di-sheker.

Selanjutnya dihidrolisis 15 jam, Lalu campuran diendapkan dengan menambahkan

akuades tetes demi tetes dan diaduk sehingga diperoleh endapan yang berbentuk serbuk

seperti yang dapat dilihat pada Gambar 3.5. Endapan disaring dan dicuci sampai netral,

endapan dikeringkan dalam oven pada suhu 60–70oC kemudian diayak dengan

menggunakan saringan mikro (Denia, 2011).

Page 10: jurnal banyak

6 Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

2.2 Pembuatan Membran Selulosa Asetat Dari Eceng Gondok

Tahap pembuatan membran selulosa asetat dari eceng gondok adalah diawali dengan

melakukan beberapa variasi komposisi .

Tabel 2.1 Komposisi Membran

Selulosa asetat dari eceng gondok setelah ditambah pelarut aseton kemudian

dimasukkan kedalam labu Erlenmeyer bertutup. Campuran tersebut diaduk dengan stirrer

selama 1 jam hingga larut sempurna. Setelah itu, formamida ditambahkan kedalam

campuran sambil terus diaduk selama 6 jam hingga larutan menjadi homogen

(wirawardani, 2009).

Prinsip pembuatan membran dengan menuangkan larutan dope ke atas pelat kaca.

Selanjutnya silinder “stainless steel” digerakkan ke bawah untuk membentuk lapisan tipis

dari larutan dope tersebut dan didiamkan selama semalam. Setelah itu membran dicuci

dengan air mengalir untuk menghilangkan kelebihan pelarut dan dipotong sesuai ukuran

sel filtrasinya (Gambar 2.1).

Gambar 2.1 Sampel hasil sintesis membran selulosa asetat dari eceng gondok

Page 11: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013 7

2.3 Karakterisasi Membran Selulosa Asetat

2.3.1 Karakterisasi Spektrofotometer IR

Spektroskopi FT-IR adalah Alat yang digunakan untuk mengukur serapan

Radiasi daerah inframerah pada berbagai panjang gelombang spektroskopi FT-IR

merupakan salah satu teknik identifikasi penentuan struktur. Secara kualitatif,

spectrometer FT-IR dapat digunakan untuk mengindentifikasi gugus fungsi yang ada

dalam struktur molekul yakni berupa munculnya puncak-puncak baru atau hilangnya

puncak-puncak tertentu. Data yang dihasilkan dari uji spectrum FT-IR adalah puncak-

puncak spektrum karakteristik yang di gambarkan sebagai kurva transmitansi (%) dan

bilangan gelombang (cm -1) pada sampel yang diujikan yang kemudian akan dianalisis.

2.3.2 Uji Mikrostruktur

Mikroskop berfungsi untuk melihat benda-benda atau organisme yang berukuran

sangat kecil, sampel yang akan diteliti diletakkan di meja preparat kemudian mengatur

roda penggeser dan revolver (bagian dari mikroskop untuk memindahkan perbesaran

lensa dan memutar lensa objektif) kemudian mengatur fokus mikroskop pada sampel.

2.3.3 Uji Emisi Kendaraan Bermotor

Pengukuran emisi gas buang dilakukan pada sepeda motor Yamaha Fiz R dengan

menggunakan alat tecnotester tipe MOD 488. Pengukuran kuantitas emisi gas buang

dilakukan dengan rnemasukkan pipa penghisap tecnotester kedalam saluran gas buang

lalu diserap oleh tecnotester dan dihitung secara digital (otomatis), kadar emisi gas buang

dilihat dengan membandingkan kadar ernisi sebelum dan sesudah ditambahkan filter

(Ronaldo Rici, 2008).

Ukuran efektivitas filter dapat dinyatakan dengan persamaan 2

% Emisi Teradsorpsi = C1- C2 / C1 x 100%..(2.2)

Dengan C1 dan C2 adalah kadar emisi gas awal (sebelum perlakuan) dan gas setelah

perlakuan dengan filter.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Karakterisasi Spektrofotometer IR

Spektrometri FT-IR digunakan untuk mengidentifikasi gugus fungsi, hasil dari

penentuan gugus fungsi adalah dengan membandingkan spektrum FT-IR dari selulosa

eceng gondok pada Gambar 4.1 dengan selulosa asetat eceng gondok hasil sintesis pada

Gambar 4.2.

Page 12: jurnal banyak

8 Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

Gambar 3.1 Selulosa dari Batang Eceng gondok

Gambar 3.2 Selulosa asetat dari Batang Eceng gondok

Berdasarkan perbandingan FT-IR antara selulosa dengan selulosa asetat dari

eceng gondok dapat dilihat bahwa selulosa asetat hasil dari sintesis merupakan selulosa

diasetat. Pada spektrum selulosa diasetat muncul pita dengan panjang gelombang 1950-

1600 cm-1

yang merupakan gugus fungsi C=O ester. Sedangkan pada selulosa tidak

terdapat pita pada bilangan gelombang tersebut, Hal ini ditunjukkan pada Tabel 4.1.

Tabel 3.1 Hasil uji FT-IR selulosa dan selulosa diasetat dari batang eceng gondok

Page 13: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013 9

3.2 Uji Mikrostruktur

Pengamatan struktur mikro umumnya yang diamati adalah bagian permukaan

sampel serta bentuk pori-pori sampel dan ketebalan sampel. Sampel yang diuji mikro

strukturnya dengan menggunakan mikroskop cahaya ini hanya dilakukan pada sampel A

dengan komposisi CA 8%, sampel C dengan komposisi CA 12%, dan sampel E dengan

komposisi CA 16%. Sampel tersebut diuji dengan perbesaran 10x10 menggunakan

mikroskop cahaya berjenis binokuler. Hasil pengamatan sangat bergantung pada cahaya

yang menembus sampel. Semakin tebal sampel yang diamati semakin sulit cahaya

menembus sampel.

Pada bagian (c) dari Gambar 3.3, sampel yang mempunyai pori-pori paling rapat

dan tebal adalah sampel E, yaitu pada komposisi CA 16%. Hal ini dibuktikan dengan

cahaya miroskop yang tidak dapat menembus bagian sampel karena terhalang oleh

kerapatan pori-pori sampel. Ketebalan dan kerapatan sampel E disebabkan CA (selulosa

asetat) berjenis selulosa diasetat yang digunakan lebih banyak, sehingga perbandingan

pelarutnya yaitu aseton semakin sedikit dan dapat mengakibatkan membran CA yang

dituangkan lebih tebal dan rapat.

a

b

Page 14: jurnal banyak

10 Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

c

Gambar 3.3 Pori-pori permukaan membran selulosa diasetat (a) sampel A (b) Sampel C

(c) Sampel E

3.3 Hasil Uji Emisi Kendaraan Bermotor terhadap sampel

Uji emisi kendaraan bermotor dilakukan dengan meneliti sisa hasil pembakaran

bahan bakar di dalam mesin pembakaran kendaraan bermotor yang dikeluarkan melalui

sistem pembuangan mesin. Pengukuran kuantitas emisi gas buang dilakukan dengan

memasukkan pipa penghisap tecnotester ke dalam saluran gas buangan. Gas buang yang

berinteraksi diserap oleh tecnotester yang dapat menghitung secara otomatis.

Pb merupakan bahan pencemar yang ada pada gas buang, pada pembakaran bensin Pb

organik berubah bentuk menjadi Pb anorganik. Timbal (Pb) yang dikeluarkan sebagai gas

buang kendaraan bermotor merupakan partikel-partikel yang berukuran sekitar 0,01 μm.

Partikel-partikel timbal ini akan bergabung satu sama lain membentuk ukuran yang lebih

besar, dan keluar sebagai gas buang atau mengendap pada knalpot. Berdasarkan

perhitungan persamaan (2.2) dapat diketahui bahwa pengukuran kadar timbal (Pb)

sebelum dan sesudah diberi membran selulosa asetat dapat dilihat pada Tabel 3.2 dan

dibuat grafik seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.4.

Tabel 3.2 Kadar timbal (Pb) sebelum dan sesudah diberi membran selulosa asetat

Page 15: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013 11

Gambar 3.4 Grafik persentase emisi Pb terabsorbsi

Timbal (Pb) telah lama digunakan sebagai tambahan bahan berupa TEL (Tetra

etil Lead) untuk meningkatkan nilai oktan bensin sehingga hanya ditemukan pada bahan

bakar bensin. Program pemerintah untuk mengunakan bensin tanpa timbal sudah

digalakkan, sehingga dalam mengukur konsentrasi kandungan timbal pada bahan bakar

mengalami sedikit kesulitan. Namun penggalakan tersebut belum seluruhnya dilakukan,

hal ini terbukti dengan masih adanya timbal pada bahan bakar meskipun konsentrasinya

sangat sedikit. Sampai tahun 2011,hasil pemantauan kadar Pb di kota Semarang

menunjukkan kadar tertinggi, yaitu sebesar 2,41 μg/Nm³. Di Indonesia, pada tahun 2005

ditargetkan bahwa bahan bakar tidak lagi menggunakan timbal, namun pada

kenyataannya sampai saat ini belum tuntas. Mundurnya program tersebut disebabkan oleh

adanya kolusi dari oknum dengan perusahaan Inggris, Innospec Ltd (produsen TEL) agar

Indonesia menunda penerapan bensin tanpa timbal (Gusnita, 2012).

Kerapatan pori-pori dari membran selulosa asetat berpengaruh terhadap hasil uji

emisi kendaraan bermotor. Sampel E yang mempunyai kerapatan paling tinggi mampu

menyaring Pb lebih banyak, sedangkan sampel A dengan kerapatan pori-pori paling

rendah mampu menyaring Pb lebih sedikit. Selain menggunakan membran selulosa

asetat, hasil uji emisi juga dilakukan tanpa filter dan dengan menggunakan filter masker

biasa. Hal ini dapat ditunjukkan pada Gambar 3.5.

Gambar 3.5. Grafik Hasil Uji Emisi PbCO3

0

0.5

1

A B C D E% e

mis

i Pb

te

rab

sorb

siSAMPEL

% emisi Pb terabsorbsi

% emisi Pb …

0

0.002

TF DF A B C D E

% v

ol

sampel

Hasil uji Emisi PbCO3

Page 16: jurnal banyak

12 Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

Selain menyaring Pb dalam senyawa PbCO3, membran selulosa asetat mampu

menyaring unsur atau senyawa lain seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3.3. Pada tabel

tersebut juga ditampilkan emisi gas buang kendaraan bermotor tanpa filter dan dengan

menggunakan filter masker biasa.

Tabel 3.3 Hasil uji emisi gas buangan kendaraan bermotor

Berdasarkan hasil data-data tersebut dapat diketahui bahwa selulosa asetat tidak

hanya dapat menyaring logam berat berjenis timbal (Pb) di udara. Hal ini dibuktikan

dengan adanya unsur atau senyawa lain yang ikut tersaring dalam asap kendaraan

bermotor. Namun dari beberapa sampel yang dibuat, hanya konsentrasi tertentu yang

mampu mengurangi emisi lebih baik daripada filter masker biasa.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan sebagai

berikut:

a. Membran selulosa asetat pada komposisi 16% Ca dan 76% aseton mempunyai pori-

pori yang paling rapat sehingga lebih efektif dalam menyerap Pb.

b. Sintesis membran selulosa asetat dari eceng gondok mampu mengurangi logam

berat Pb dalam senyawa PbCO3 pada uji emisi gas buangan kendaraan bermotor

dengan persentase emisi Pb terabsorbsi paling baik adalah 0,714% pada sampel

dengan komposisi selulosa asetat 16% dan 76% aseton.

Page 17: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013 13

DAFTAR PUSTAKA

Denia, Pradita, 2011, Pengaruh Penambahan Selulosa Diasetat Dari Serat Nanas

Terhadap Sifat Mekanik (Edible Plastic) Berbasis Pati Tapioka, Skripsi, Jurusan

Fisika FMIPA Universitas Airlangga, Surabaya

Gusnita, dessy, 2012, pencemaran Logam Berat TImbal (Pb) di Udara Dan Upaya

Penghapusan Bensin Bertimbal, Berita Dirgantara Vol. 13 No. 3:95-101, Bidang

Komposisi atmosfer, LAPAN, Jakarta

Kriswiyanti, Enny, 2009, Kinetika Hidrolisis Selulosa Dari Eceng Gondok Dengan

Metode Arkenol Untuk Variable Perbandingan Berat Eceng Gondon dan Volume

Pemasakan, UNS, Solo

Lowel, 1991, Powder Surface and porosity. 3rd, London

Ronaldo, Rici., 2008, Zeolit Alam dan Chitosan sebagai Adsorben catalytzc converter

Monolitik untuk Pereduksi Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor, Skripsi,

Jurusan Teknologi Perikanan Institut pertanian Bogor, Bogor

Suwondo, 2005, Akumulasi Logam Cuprum (Cu) Dan Zincum (Zn) Di Perairan Sungai

Siak Dengan Menggunakan Bioakumulator Eceng Gondok (Eichhornia

Crassipes), Universitas Riau, Pekanbaru

Wirawardani, Agnes Diah, 2009, Aplikasi Membran Selulosa Diasetat Dari Ampas Tebu

(Saccharum Officinorum) Untuk Penjernihan Nira Tebu, Skripsi, jurusan Kimia

Universitas Airlangga, Surabaya.

Page 18: jurnal banyak

14 Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

Sensor Ketinggian Permukaan Oli Berbasis Sensor Pergeseran

Fiber Coupler

Hadi Suntaya, Samian, Supadi

Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga Surabaya

Kampus C Unair Jl. Mulyorejo, Surabaya 60115

ABSTRAK

Terwujudnya aplikasi fiber coupler sebagai sensor pergeseran menginspirasi

pengembangan selanjutnya sebagai sensor ketinggian permukaan oli karena sifatnya yang

mudah serta dapat dimonitor jarak jauh. Dengan berbasis pada prinsip deteksi pergeseran

target yang bersifat reflektif, ketinggian permukaan oli dideteksi melalui mekanisme

tekanan hidrostatisnya terhadap membran yang berada di bagian bawah tangki oli.

Dengan menempelkan alumonium foil pada membran sehingga bersifat seperti cermin

yang dapat berubah bentuk, perubahan tekanan oli yang bergantung pada perubahan

ketinggian permukaannya akan merubah bentuk membran dari bentuk cermin datar ke

cembung atau sebaliknya. Perubahan bentuk membran tersebut akan memberikan

perubahan daya optis cahaya pantulan dari membran yang masuk ke kanal sensing fiber

coupler. Karena detektor optis digunakan untuk mendeteksi perubahan daya optis cahaya,

perubahan ketinggian permukaan oli akan terdeteksi melalui perubahan tegangan

keluaran detektor optis. Dengan menggunakan laser He-Ne (10 mW), fiber coupler,

silicon detector (Newport), mikrovoltmeter (Leybold), membran berbahan nitrile

polymer, tangki oli dengan tinggi 75 cm dan perangkat pendukung eksperimen lainnya,

konstruksi sensor menghasilkan deteksi ketinggian terkecil sebesar 0,5 cm. Untuk

jangkauan, daerah linier serta sensitivitas sensor yang dihasilkan masing-masing sebesar

4 – 74 cm, 24 – 74 cm, dan 38.51 V/cm.

Kata kunci: fiber coupler, sensor pergeseran fiber coupler , sensor ketinggian permukaan

oli

Page 19: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013 15

1. Pendahuluan

Deteksi ketinggian zat cair secara umum menggunakan prinsip kapasitif,

ultrasonik, gelombang mikro, inframerah, elektro-mekanik, radiometri dan optik. Aplikasi

dengan prinsip gelombang ultrasonik telah berhasil dikembangkan untuk mengukur

ketinggian air (Negara.dkk, 2009). Gelombang ultrasonik dipancarkan oleh transmitter

Tx, kemudian gelombang pantulan diterima receiver Rx dan diumpankan ke sistem up-

counter. Selisih waktu tempuh penjalaran gelombang ultrasonik dari transmitter Tx

sampai dengan diterima kembali oleh receiver Rx berbanding lurus dengan ketinggian

air. Kemudian, teknik opto-fluidic dengan electronically controlled variable fokus lens

atau ECVFL juga berhasil dikembangkan (Reza.dkk, 2010). Deteksi dilakukan dengan

merekam profil spasial intensitas berkas cahaya berdaya rendah yang merupakan pantulan

dari permukaan cairan sebagai fokus lensa (ECVFL). Ketinggian cairan ditentukan

dengan cara membandingkan ukuran spot berkas dengan panjang fokus lensa pada tabel

ECVFL.

Untuk metode optic, penggunaan serat optic telah dikembangkan untuk mendeteksi

ketinggian zat cair dengan berbagai konfigurasinya. Penggunaan serat optic dengan

menggunakan serat optic serta probe berupa prisma (Hossein, 2004) maupun elemen

sensitive berbentuk kerucut (Pekka et al., 1997). Teknik yang lebih sederhana juga

berhasil dilakukan dengan mendeteksi rugi daya optis cahaya dalam serat optik yang

dipoles dan dilengkungkan sebagai sensor yang kontak secara langsung dengan zat cair

(Lomer et al., 2007). Disamping itu, deteksi ketinggian zat cair melalui pergeseran

panjang gelombang Bragg yang dihasilkan dari Fiber Bragg Grating (FBG) telah berhasil

dilakukan (Kyung-Rak et al., 2009). Teknik lain yang berhasil dikembangkan adalah

menggunakan dua buah serat optic sebagai pemancar dan penerima berkas cahaya melalui

sebuah lensa (C. Vazquez et al., 2004).

Penggunaan fiber coupler berhasil dikembangkan sebagai sensor ketinggian air

dengan prinsip hidrostatis. Perubahan ketinggian zat cair terdeteksi melalui perubahan

tekanan pada membrane yang terletak pada dinding bagian bawah tangki zat cair. Dalam

hal ini, membran difungsikan sebagai reflector. Fiber coupler, melalui salah satu kanal

keluarannya (kanal sensing) memancarkan sekaligus menerima cahaya pantulan dari

membrane tersebut. Dengan demikian ketinggian zat cair terdeteksi melalui perubahan

daya optis yang diterima oleh kanal sensing. Dalam makalah ini, metode tersebut

digunakan untuk mendeteksi ketinggian permukaan oli dengan mengganti membrane

Page 20: jurnal banyak

16 Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

yang sebelumnya berbahan latex dengan bahan nitrile polymer. Bahan nitrile polymer

tidak rusak ketika berinteraksi dengan oli dan bahan bakar lainnya.

2. Desain dan Prinsip Kerja Sensor

Rancangan multimode fiber coupler sebagai sensor ketinggian zat cair berdasarkan

prinsip hidrostatis serta sensor pergeseran yang berbasis modulasi intensitas diperlihatkan

pada gambar berikut :

Gambar 1. Rancangan sensor level ketinggian

Pada gambar tersebut, berkas cahaya masukan dari laser (Pin) sebagian

dipancarkan melalui kanal sensing (Pe) menuju membran yang dilapisi bahan reflector

pada bagian tengahnya. Berkas cahaya pantulan dari membrane sebagian akan masuk

kembal ke kanal sensing sebagai berkas balik (Pb). Berkas balik tersebut kemudian

sebagian akan terkopel menuju ke kanal deteksi (Pd) dan terbaca oleh detector optis.

Besarnya daya optis berkas balik bergantung pada posisi membrane terhadap kanal

sensing. Di sisi lain, tekanan zat cair pada bagian bawah tangki akan mendorong

membrane menjadi lebih cembung, sehingga terjadi pergeseran permukaan pantul

membrane terhadap kanal sensing (z), dalam hal ini jika diameter pipa tempat membrane

berada jauh lebih kecil dari ketinggian zat cair, maka dapat diasumsikan bahwa tekanan

zat cair pada seluruh bagian membrane homogen. Kemudian, posisi permukaan

membrane tersebut akan menyebabkan perubahan daya optis berkas balik. Seperti

diketahui bahwa tekanan zat cair bagian bawah tangki dipengaruhi oleh ketinggian zat

cair. Dengan demikian ketinggian zat cair dapat dideteksi melalui perubahan daya optis

yang terbaca pada detector optis.

Page 21: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013 17

3. Eksperimen

Susunan peralatan eksperimen diperlihatkan pada Gambar 2. Peralatan yang

digunakan terdiri dari laser He-Ne (Klasse DIN 58126, 632,8 nm, Uniphase) dengan daya

keluaran 30 mW, multimode fiber coupler, silicon detector (Newport), mikrometer posisi

beresolusi 5 µm (Uniphase), mikrovoltmeter (Leybold), dan tangki air dari bahan gelas

berdiameter 5,7 cm dan tinggi 76 cm yang dilengkapi dengan skala (skala terkecil 1 mm).

Pada bagian dasar tangki terdapat pipa yang dilengkapi dengan membran dari bahan

nitrile polymer (tebal 80 µm dan berdiamter 14,625 mm) serta keran yang berfungsi

untuk mengeluarkan zat cair dari tangki. Dibagian tengah membran direkatkan reflektor

dari bahan aluminium foil berdiameter 5 mm. Multimode Fiber coupler yang digunakan

berstruktur 2 x 2 dari bahan serat optik plastik berdiameter 1 mm (diameter core 960 µm,

tebal cladding 20 µm) dan panjang 50 cm. Nilai coupling ratio, directivity, dan exces loss

dari Multimode Fiber coupler yang digunakan masing-masing sebesar 0,25, 25 dB, dan

1,37 dB.

Sebelum melakukan pengambilan data, terlebih dahulu dilakukan setup alat seperti

gambar berikut

Gambar 2. Setup alat percobaan

Selanjutnya, mendekatkan mikrometer posisi berhimpit dengan membran, sehingga

diperoleh posisi awal mikrometer adalah 2,84 mm. Kemudian, menggeser mundur

mikrometer posisi hingga beberapa milimeter lalu mengisi tangki dengan zat cair yang

digunakan sampai dengan ketinggian 74 cm. Setelah itu, menggeser kembali mikrometer

posisi sampai berhimpit dengan membran, sehingga diperoleh posisi mikrometer setelah

membran bergeser akibat tekanan oli yakni 4,63 mm. Langkah berikutnya adalah

menggeser mundur mikrometer sejauh sejauh 0,27 mm, sehingga diperoleh posisi akhir

mikrometer sebesar 4,9 mm.

Page 22: jurnal banyak

18 Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

4. Hasil dan Pembahasan

Hasil dari penelitian aplikasi multimode fiber coupler sebagai sensor ketinggian

permukaan oli berbasis sensor pergeseran adalah berupa data tegangan keluaran detektor

sebagai fungsi ketinggian oli dapat dilihat pada Gambar 3. Hubungan linier antara

tegangan keluaran detektor terhadap ketinggian oli diperlihatkan oleh grafik pada Gambar

4. Rentang daerah linier yang dihasilkan nilainya 24 cm – 74 cm.

Gambar 3. Grafik Tegangan Keluaran Detektor terhadap Perubahan Ketinggian

Permukaan Oli.

Gambar 4. Grafik Hubungan linier Tegangan Keluaran Detektor terhadap Perubahan

Ketinggian Permukaan Oli.

y = 0.385x + 0.004R² = 0.992

0.00

0.05

0.10

0.15

0.20

0.25

0.30

0.35

0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8

Tega

nga

n k

elu

aran

de

tekt

or

(V

)

Tinggi Oli (m)

0.24 - 0.74 (m) cm

Page 23: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013 19

Dari grafik pada Gambar 3 menunjukkan rentang pengukuran ketinggian yang

dilakukan sebesar 4 cm – 74 cm. Batas bawah yang terukur sebesar 4 cm dikarenakan

pada rentang pengukuran 0 cm – 4 cm membrane tidak mengalami perubahan bentuk

(cembung) secara signifikan sebab tekanan pada ketinggian ini terlalu kecil sehingga

tegangan keluaran detector tidak mengalami perubahan. Sedangkan batas atas sebesar 74

cm dikarenakan tangki yang tersedia memiliki ketinggian tersebut.

Dari analisa data yang dilakukan didapatkan hasil plot tegangan keluaran terhadap

ketinggian oli pada ketinggian 24 cm – 74 cm memiliki hubungan linier yang terbaik

yang ditunjukkan dengan nilai liniaritas (R2) mendekati 1. Rentang daerah linier yang

dihasilkan nilainya 24 cm – 74 cm. Nilai tersebut menunjukkan daerah kerja sensor yang

dihasilkan. Sensisivitas sensor sebesar 38.51 (V/cm), hasil ini diperoleh dari nilai

kemiringan grafik pada Gambar 4. Parameter fiber coupler sebagai sensor ketinggian oli

hasil penelitian ini diperlihatkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik Multimode Fiber Coupler sebagai Sistem Sensor Ketinggian

Permukaan Oli.

Parameter Nilai

Resolusi (cm) 0,5

Rentang pengukuran (cm) 4 –74

Daerah Linier (cm) 24 – 74

Sensitivitas (V/cm) 38.51

5. Kesimpulan

Dengan menggunakan prinsip hidrostatis, multimode fiber coupler dan membrane

nitrile polymer, dapat mendeteksi ketinggian oli secara kontinyu dengan rentang deteksi 4

cm – 74 cm dan resolusi sebesar 0,5 cm. Metode yang telah dihasilkan tersebut sangat

memungkinkan dikembangkan sebagai sensor ketinggian oli.

6. Daftar Pustaka

C. Vázquez, A.B. Gonzalo, S. Vargas, J. Montalvo, 2004, Multi-sensor System Using

Plastic Optical Fibers For Intrinsically Safe Level Measurements, Sensors and

Actuators, A 116: 22–32.

Hossein Golnabi, 2004, Design and Operation of A Fiber Optic Sensor For Liquid Level

Detection, Optics and Lasers in Engineering, 41: 801–812.

Page 24: jurnal banyak

20 Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

Kyung-Rak Sohn, Joon-Hwan Shim, 2009, Liquid-Level Monitoring Sensor Systems

Using Fiber Bragg Grating Embedded In Cantilever, Sensors and Actuators, A 152:

248–251.

Lomer, M., J. Arrue , C. Jauregui, P. Aiestaran, J. Zubia, J.M. L´opez-Higuera, 2007,

Lateral Polishing of Bends In Plastic Optical Fibres Applied to A Multipoint

Liquid-Level measurement sensor, Sensors and Actuators, A 137: 68–73.

Negara, Anugrah P., Ashariyanto, Rudy, 2009, Aplikasi Gelombang Ultrasonik Untuk

Mengukur Level Ketinggian Air.

Pekka Raatikainen , Ivan Kassamakov , Roumen Kakanakov , Mauri Luukkala, 1997,

Fiber-Optic Liquid-Level Sensor, Sensors and Actuators, A 58: 93–97.

Reza, S. A., N. A. Riza, 2010, Agile Lensing-Based Non-Contact Liquid Level Optical

Sensor For Extreme Environments, Optics Communications, 283: 3391–3397.

Page 25: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013 21

Potensi Induksi Medan Magnet Eksternal untuk Efektivitas

Fotoinaktivasi Bakteri Patogen

Nike Dwi G. D.*, Suryani Dyah Astuti

*, Moh. Yasin

*

*Program Studi Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga

Email : [email protected]

Abstrak

Pengaruh medan magnet dalam sistem biologis mengakibatkan konversi keadaan

energi singlet ke triplet dengan interaksi hyperfine. Dengan menginduksikan kuat medan

magnet dalam fotoinaktivasi dapat mempercepat proses intersystem crossing sehingga

mampu menghasilkan banyak spesies oksigen reaktif. Untuk mengetahui potensi kuat

medan magnet dalam fotoinaktivasi dilakukan penyinaran cahaya biru dengan variasi

kuat medan magnet B<1mT yang dihasilkan oleh kumparan Helmholtz. Hasil

pengamatan diperoleh berupa data penurunan jumlah koloni bakteri untuk

menunjukkan banyaknya produksi oksigen reaktif yang dihasilkan. Hasil analisis

data menunjukkan adanya perbedaan bermakna dari koloni kontrol dengan koloni dari

masing-masing perlakuan dengan penurunan jumlah koloni semakin besar selaras dengan

bertambahnya kuat medan magnet.

Kata kunci: medan magnet, interaksi hyperfine, intersystem crossing, fotoinaktivasi,

spesies oksigen reaktif.

Page 26: jurnal banyak

22 Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

PENDAHULUAN

Mengontrol pertumbuhan koloni bakteri patogen yang resistan terhadap

antibiotik, misal Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) merupakan

tantangan besar dalam dunia medis. Fotoinaktivasi atau photodynamic inactivation

(PDI) telah memberikan kemajuan pesat dalam pengobatan alternatif dan selektif

untuk terapi antimikroba. Fotoinaktivasi merupakan salah satu bagian dari terapi

fotodinamik yang menggunakan cahaya dan molekul photosensitizer mengalami proses

fotosensitasi untuk menghasilkan suatu radikal bebas yaitu spesies oksigen reaktif

yang berfungsi untuk menonaktifkan sel mikroba.

Keberhasilan terapi fotoinaktivasi ditandai oleh banyaknya spesies oksigen reaktif

yang dihasilkan dengan memenuhi pemilihan panjang gelombang dan dosis energi

yang sesuai dengan spektrum serap molekul photosensitizer (Papageorgiou et al, 2000).

Nitzan el al (2004) melaporkan sebagian besar molekul photosensitizer dapat diperoleh di

dalam sel bakteri, misal bakteri Gram (+) Staphylococcus aureus yaitu molekul

porphyrin endogen dengan jenis coproporphyrin III yang memiliki spektrum serap di

wilayah panjang gelombang cahaya biru. Penelitian ini pun diperkuat dengan hasil analisis

absorpsi molekul porphyrin berada di wilayah cahaya biru dengan menggunakan

spektrum UV- tampak (Lan et al,2006). Lipovsky et al (2009) melaporkan hasil

fotoinaktivasi bakteri Staphylococccus aureus dengan penyinaran lampu halogen 415

nm dan rapat energi 120 J/cm2 selama 20 menit menghasilkan 90% penurunan koloni

bakteri. Disertasi Astuti (2011) melaporkan pula hasil penurunan jumlah koloni

sebesar 75% dengan penyinaran LED biru 430 nm dan dosis energi 75% dari rapat

energi 135 J/cm2.

Dalam mekanisme fotosensitasi terdapat fenomena fisis yaitu interaksi cahaya

dengan photosensitizer dalam proses fotofisika (Grossweiner, 2005). Proses fotofisika

terjadi di wilayah level elektron dari molekul photosensitizer dimana tiap molekul

memiliki elektron dengan spin berpasangan di level keadaan singlet. Pada saat penyinaran

cahaya, peristiwa pertama yang berlangsung adalah molekul menyerap foton cahaya.

Sebagian besar molekul organik yang menyerap cahaya ini akan naik ke keadaan eksitasi

tertentu, yaitu eksitasi singlet. Proses perubahan level energi ini disebut dengan internal

conversion (ic). Pada level keadaan eksitasi singlet, molekul bersifat tidak stabil,

sehingga ada kemungkinan untuk kembali ke keadaan dasar. Ada pula kemungkinan dapat

bereksitasi ke level keadaan triplet. Proses ini disebut dengan intersystem crossing

Page 27: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013 23

(isc). Ciri dari terjadinya proses ini adalah pembalikan salah satu spin dari pasangan spin

elektron. Level keadaan eksitasi triplet bersifat reaktif, sehingga dapat berinteraksi dengan

molekul disekitarnya misal lipid atau oksigen, sehingga menghasilkan berbagai spesies

oksigen reaktif.

Namun, untuk proses isc tidak mudah, karena transisi level keadaan eksitasi

singlet ke level triplet dilarang. Bagaimanapun, level keadaan triplet sangat berperan

penting di dalam mekanisme fotosensitasi, karena hanya di wilayah ini, berbagai

spesies oksigen reaktif dapat diperoleh. Untuk itu, dibutuhkan tambahan energi lain

seperti menginduksikan kuat medan magnet dalam proses fotosensitasi. Penelusuran

pengaruh medan magnet dalam sistem biologis telah diselidiki, salah satunya adalah efek

pasangan radikal bebas. Pengaruh medan magbet dalam sel biologis

menyebabkan interaksi hyperfine sehingga spin elektron molekul

METODE

Penyinaran Cahaya Biru

Penyinaran cahaya biru diberikan oleh 200 LED biru 430 nm yang dipasang

pada sebuat papan dengan luas 20cm×20cm. Dosis penyinaran digunakan 75%

dari rapat energi 135 J/cm2 yang diatur oleh mikrokontroler tipe AVR 8535 dan jarak

penyinaran diatur 5 cm dari sampel.

Perlakuan Medan Magnet

Pemaparan induksi medan magnet diberikan oleh kumparan Helmholtz

(diameter dalam 15 cm, diameter luar 19 cm, jumlah lilitan 350) dengan pengaturan

Power Supply DC (Arus 6 Ampere, voltase 110 Volt dan frekuensi 50/60 Hz). Variasi

perlakuan medan magnet diberikan yaitu 0,12 mT; 0,15 mT; 0,2 mT; 0,24 mT yang

diukur menggunakan Teslameter analog LEYBOLD- HERAUS 530 7S.

Kultur Bakteri dan porphyrin

Bakteri Staphylococcus aureus diperoleh dari laboratorium mikrobiologi

Fakultas Sains dan Teknologi Unair dalam agar miring. Metode yang digunakan dalam

penghitungan jumlah koloni adalah total plate counting (TPC) dengan nilai OD660nm

= 0,46 diukur dengan menggunakan spektroferometer dan tahap pengenceran=10-4

dari koloni bakteri. Media bakteri dalam pengenceran digunakan vortex selama 1 menit.

Page 28: jurnal banyak

24 Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

Eksperimental

Persiapan set up alat ditunjukkan dalam

Gambar 1 dan diradiasi sinar-UV agar steril. Penyinaran dan induksi medan magnet

dipaparkan dalam sampel bakteri (cair) yang ditempatkan dalam cawan petri (diameter 6

cm) sebagai perlakuan dan sampel bakteri lain tanpa dilakukan penyinaran dan medan

magnet sebagai kontrol. Penghitungan jumlah koloni bakteri dilakukan setelah

didiamkan selama 24 jam. Untuk memaksimalkan hasil data, selama perlakuan dilakukan

di tempat gelap dan dikondisikan pada suhu ruang.

Gambar 1. Set Up Eksperimen

Data digambarkan dalam grafik rerata penurunan jumlah koloni bakteri

terhadap masing- masing perlakuan kuat medan magnet. Data pengamatan dianalisis

menggunakan uji independent sample test untuk mengetahui perbedaan antara koloni

kontrol dengan koloni masing-masing perlakuan. Standar signifikansi diatur

α=0,05.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil data pengamatan, diperoleh penurunan jumlah koloni

selaras dengan bertambahnya kuat medan magnet (ditunjukkan Gambar 2).

Gambar 2. Grafik Penurunan koloni bakteri terhadap variasi kuat medan magnet

Page 29: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013 25

Banyaknya penurunan jumlah koloni menunjukkan besar konsentrasi spesies

oksigen reaktif yang dihasilkan. Spesies oksigen reaktif dalam fotosensitasi

diperoleh dari proses fotokimia dengan dua jalur yaitu jalur I adalah foto-oksidasi antara

molekul dalam sel atau jaringan dengan photosensitizer triplet meghasilkan oksigen

radikal sedangkan jalur II adalah interaksi transfer energi photosensitizer triplet dengan

molekul oksigen menghasilkan oksigen singlet (Grossweiner, 2005).

Tabel 1. Analisis Penurunan jumlah koloni

Perbedaan jumlah koloni antara kontrol dengan setiap perlakuan dilakukan

analisis statistik independent sample test menggunakan SPSS. Hasil data analisis

terangkum dalam Tabel I. Hasil keluaran data menunjukkan prosentase

penurunan untuk masing-masing perlakuan terdistribusi normal dan hasil Levene’s test for

equality variances (uji homogenitas) menunjukkan untuk perlakuan 0,12 mT; 0,2 mT

dan 0,24 mT memiliki signifikasi (p)<0,05 menyatakan bahwa kelompok varians

antara setiap perlakuan dan kontrol tidak sama besar sehingga keluaran independent

sample test ditunjukkan oleh Equel variances not assumed, sedangkan perlakuan 0,15

mT memperoleh signifikan (p)>0,05 menunjukkan kelompok varian perlakuan dan

kontrol sama besar sehingga keluaran independent sample test ditunjukkan oleh Equel

variances assumed. Hasil keluaran independent sample test dari masing-masing

perlakuan memiliki signifikan yang sama yaitu (p)=0,000 lebih kecil dari 0,05 sehingga

diperoleh kesimpulan bahwa terdapat perbedaan bermakna pada setiap perlakuan yang

dilakukan.

Page 30: jurnal banyak

26 Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

Pada Tabel 1 juga menunjukkan bahwa kombinasi penyinaran LED biru dosis

energi 75% dan induksi kuat medan magnet menghasilkan prosentase penurunan

jumlah koloni terbesar 80,72% dengan simpangan baku 2,424 pada perlakuan

medan magnet 0,24 mT. Dari hasil analisis diperoleh kesimpulan bahwa induksi

medan magnet dapat berpotensi membantu menurunkan jumlah koloni dalam terapi

fotoinaktivasi bakteri.

Penurunan koloni bakteri yang banyak ditunjukkan oleh banyaknya spesies

oksigen reaktif yang dihasilkan. Dalam hasil data yang diperoleh, menunjukkan

banyaknya penurunan jumlah koloni selaras dengan bertambahnya kuat medan magnet.

Pengaruh medan magnet dalam sistem bilogis dan kimia mendorong Interaksi hyperfine

sehingga menyebabkan konversi singlet ke triplet melalui pembagian beberapa tingkat

energi dari pengurangan dan penambahan energi dari medan magnet (Demtroder, 2010).

Konversi singlet ke triplet sebenarnya dilarang oleh aturan kaidah seleksi

namun akibat pengaruh medan magnet menyebabkan spin orbit coupling meningkat

sehingga terjadi pembagian energi. Interaksi hyperfine relevan terjadi pada kuat medan

magnet minimal 1-10 mT atau lebih besar dari ini (Engstrom, 2006). Namun terdapat

probabilitas induksi medan magnet dengan besar < 1mT dapat mengaplikasikan

mekanisme spin relaksasi akibat modulasi anisotropik interaksi hyperfine,

modulasi isotropik interaksi hyperfine dan modulasi interaksi spin- rotasi (Fedin et

al, 2003). Günaydin-Sen et al (2011) melaporkan bahwa pengaruh medan magnet dapat

memperkecil celah tingkat energi singlet ke triplet dalam proses fotokimia. Jika celah

tingkat energi singlet–triplet kecil memungkinkan lifetime intersystem crossing semakin

cepat sehingga semakin cepat menghasilkan spesies oksigen reaktif.

KESIMPULAN

Pemaparan induksi kuat medan magnet dalam fotoinaktivasi telah berpotensi

dalam menurunkan jumlah koloni bakteri dengan adanya perbedaan dari hasil pada setiap

perlakuan. Penelitian ini merupakan langkah awal dalam mencapai keberhasilan terapi

fotoinaktivasi. Diperlukan penelitian lanjut seperti optimasi kombinasi dosis energi cahaya

dan kuat medan magnet serta eksperimental in vivo untuk mengetahui pengaruh keduanya

dalam sel biologis dan penentuan dosismetri.

Page 31: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013 27

DAFTAR PUSTAKA

Ashkenzi H., Malik Z., Harth Y., Nitzan Y., 2003,Eradication of Propionibacterium

acnes by its endogenic porphyrin after illumination with high intensity blue light,

FEMS Imunol. Med. Micobiol 35 p. 684-688

Astuti, Suryani Dyah., 2010. POTENSI LIGHT EMITTING DIODE (LED) BIRU

UNTUK FOTOINAKTIVASI BAKTERI Staphylococcus aureus DENGAN

PORFIRIN ENDOGEN. Pascasarjana Universitas Airlangga

Demtroder, Wolfgang., 2010. Atom, Molecules and Photons: An Introduction to Atomic-,

Molecular- and Quantum Physics, Second Edition. Springer: New York.

Engström Stevan,.2006. Bioengineering and Biophysical Aspects of Electromagnetic

Fields Edited by Frank S . Barnes and Ben Greenebaum: Magnetic Field Effect

on Free Radical Reactions in Biology. Taylor & Francis Group.

Fedin M.V., Purtov P.A., Bagryansyakaya E.G., 2003. Spin relaxation of radical in

low and zero magnetic field. JOURNAL OF CHEMICAL PHYSICS Volume

118. DOI:10.1063/1.1523012 pp192-201

Grossweiner, L. I. 2005. The Science of Phototherapy: An Introduction. Springer:

USA.

Lan Minbo, Zhao Hongli, Yuan Huihui, Jiang Chengrui, Zuo Shaohua, Jiang Hui., 2007.

Absorption and EPR spektra of some phorphyrin and methalloporphyrin.

Doi:10.1016/j.dyepig.2006.02.018, pp.357-362

Nitzan Y., Divon M.S., Shporen E., Malik Z., 2004, ALA Induced Photodynamic Effect

on Gram Positive and Negative bacteria, Journal Photochem.&Photobiol., vol 3,

pp. 430-435

Papageorgiu, P. et al. 1999. Phototherapy with Blue (415nm) and Red (660nm) Light in

The Treatment of Acne Vulgaris, British Journal of Dermatology: 2000.

Günaydin-Sen Ö., Fosso-Tande J., Chen P., White J. L., Allen T.L., Cherian J.,

Tokumoto T., Lahti P.M., McGill S., Harrison R.J., Musfeldti J.L.,

2011. Manipulating equilibrium Singlet-Triplet in Organic Biradical material.

Page 32: jurnal banyak

28 Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

Sintesis dan Karakterisasi Sifat Mekanik Mortar Berbasis

Material Komposit Silika Amorf dengan Variasi Penambahan

Sekam Tebu

Satya Bagus K, Jan Ady, Djoni Izak R

Program Studi S1 Fisika, Departemen Fisika, FST Universitas Airlangga, Surabaya

60115.

e-mail : [email protected]

Abstrak

Sekam tebu merupakan material alternatif pengganti semen yang mengandung

SiO2 yang tinggi dan jumlahnya sangat melimpah. Pada penelitian ini silika amorf

telah diekstraksi dari ampas tebu dengan proses sintering pada suhu 500-600°C.

Sekam yang dihasilkan kemudian dianalisis menggunakan XRD untuk mengidentifikasi

bentuk silika yang terjadi. Hasil uji XRD menunjukkan bentuk fase amorf pada sekam

tebu. Sekam tebu ayak ukuran 75 μm dan tanpa ayak ditambahkan

0wt%,10wt%,15wt%,20wt% dari bahan pengikat utama. Penambahan silika amorf dalam

sekam tebu dapat memberikan pengaruh peningkatan kekuatan mortar. Silika dalam

jumlah tertentu dapat menggantikan semen dan berfungsi sebagai pengisi antara partikel-

partikel semen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase maksimal penambahan

persentase sekam tebu ayak 10wt% dengan porositas mortar sebesar 27,34%, kuat tekan

sebesar 1,533x10-2 N/mm2, dan kuat impak sebesar 2,781x10-4 J/mm2 pada

penambahan persentase 20%.

Kata Kunci : Silika Amorf, Sintering, Porositas, Kuat Tekan, Impak.

Page 33: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013 29

PENDAHULUAN

Mortar adalah sebuah material yang tersusun dari bahan pengikat, agregat, dan

terkadang aditif. Mortar berbahan dasar mineral pengikat seperti kapur, semen atau

gypsum telah digunakan selama lebih dari 800 tahun pada konstruksi bangunan.

Mortar ini sebagian besar digunakan untuk membaringkan batu dan bata dan untuk

mantel pada dinding. Sampai pada tahun 1950-an mortar berbahan dasar semen

diproduksi secara eksklusif dan diaplikasikan (Bayer dan Luth,2005). Portland

semen tipe I sekarang ini digunakan secara luas untuk mendirikan macam-macam

konstruksi karena memiliki kuat tekan yang tinggi. Akan tetapi, kuantitas semen yang

diperlukan untuk proyek konstruksi mengalami peningkatan, peningkatan sejumlah

material mentah dari alam dapat dihabiskan. Jika beberapa material mentah tersebut dapat

digantikan dengan material yang lebih murah untuk komposisi yang sama, maka

biaya produksi beton dapat dikurangi tanpa mempengaruhi kualitasnya (Chusilp et

al,2009).Oleh karena itu perlu dilakukan terobosan baru dalam mencari material

alternatif untuk mengganti penggunaan semen sebagai bahan ikat utama, memiliki sifat

mekanik yang bagus baik kuat tekan maupun ketangguhan, serta memiliki porositas yang

baik pula.

Penelitian sebelumnya telah dilakukan pemanfaatan abu ampas tebu pada

pembuatan mortar menggunakan penambahan 0wt%, 3wt%, 6wt%, 9wt%,12wt%, dan

15wt% dari berat bahan pengikat utama (Sihotang, 2010). Dalam penelitian tersebut tidak

dicantumkan secara jelas bagaimana sekam tebunya apakah diayak atau tanpa diayak.

Hasilnya porositas mortar semakin menurun seiring dengan bertambahnya variasi

campuran sekam tebu. Penelitian lain yang menggunakan sekam tebu dilakukan oleh

Chusilp et al (2009). Sekam tebu ditambahkan 10wt%, 20wt%,30wt% dari berat

bahan pengikat dengan menggunakan mesin Ball mill dalam proses pencampuran dan

penghalusan sekam tebunya. Sehingga diperoleh ukuran partikel sekam tebu mencapai 45

μm. Kuat tekan maksimal pada penambahan sekam tebu 20% dari berat bahan pengikat

utama.

Pada makalah ini akan dilakukan variasi penambahan sekam tebu

0wt%, 10wt%, 15wt% dan 20wt% dengan melakukan uji fisis berupa uji porositas dan

uji mekanik meliputi uji kuat tekan dan uji impak.Penambahan persentase sekam tebu

tersebut diharapkan dapat memperbaiki sifat mekanik mortar normal tanpa penambahan

sekam tebu.

Page 34: jurnal banyak

30 Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan dengan dua tahap yaitu:

a. Pembuatan sampel

Material pozzolan berupa ampas tebu ditumbuk sampai halus lalu diuji dengan

menggunakan XRD untuk memastikan bahwa sekam tebu tersebut mengandung silika

yang berbentuk amorf. Material bahan pengikat berupa semen Portland tipe-1, agregat

halus berupa pasir yang telah diayak hingga halus dan air PDAM ditimbang terlebih

dahulu. Komposisi perbandingannya 1 semen : 2,75 pasir : 0,5 air PDAM serta serbuk

silika amorf (SiO2) dari sekam tebu ayak dan tanpa ayak dengan persentase masing-

masing berkisar 0wt%, 10wt%, 15wt%, 20wt% dari berat bahan pengikat utama.

Kemudian mortar dicetak dan dikeringkan selama 24 jam lalu direndam selama 27

hari di bak perendaman.

b. Pengujian sampel

Pengujian menggunakan uji fisis berupa uji porositas dan Uji mekanik meliputi uji

kuat tekan dan uji impak. bagan alur penelitian disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Bagan alur penelitian

Page 35: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013 31

HASIL DAN PEMBAHASAN

a. Uji XRD

Hasil uji XRD disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Grafik hasil uji XRD sampel pada suhu pembakaran 500 – 600 °C

Berdasarkan Gambar 2, dapat diamati bahwa terdapat dua puncak yang tidak

teridentifikasi sehingga bentuk dari sekam tebu tersebut dinyatakan berbentuk amorf.

Puncak yang tidak teridentifikasi ini dikarenakan suhu sintering yang berkisar antara

500-600°C. Bentuk SiO2 pada suhu pengabuan 500 dan 600o C adalah rendah

dibandingkan dengan pada suhu pengabuan 700 dan 800o C, artinya pada daerah ini

fasa SiO2-amorf masih mendominasi bentuk SiO2 yang dihasilkan (Hanafi dan

Nandang, 2010). Puncak ini akan semakin tinggi ketika suhu pengabuan dinaikkan. Hal

ini sesuai dengan teori pertumbuhan kristal yang akan naik dengan peningkatan

suhu pemanasan sampai terbentuknya kristal secara sempurna. Dengan demikian,

kenaikkan intensitas puncak SiO2 menandakan adanya pertumbuhan kristal.

b. Uji Porositas

Hasil uji porositas disajikan pada gambar 3

Page 36: jurnal banyak

32 Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

Gambar 3. Grafik perbandingan hasil uji porositas mortar dengan sekam tebu ayak dan

tanpa ayak

Berdasarkan Gambar 3 diatas dapat diamati bahwa pengaruh penambahan

persentase 10wt% sekam tebu tanpa ayak menghasilkan porositas rata – rata sekitar

32,98% yang lebih besar daripada penambahan persentase 10wt% sekam tebu ayak, yaitu

rata – rata sebesar 27,34%. Hal ini dikarenakan pengaruh ukuran dari sekam tebu tanpa

ayak yang ditambahkan. Menurut Chusilp et al (2009), sekam tebu asli memiliki partikel

yang permukaannya kasar dengan porositas yang tinggi (spongy) dan permukaan yang

luas.

Selain itu dapat diketahui bahwa pengaruh penambahan sekam tebu ayak dan

tanpa ayak dengan persentase 10wt%, 15wt%, 20wt% tidak menghasilkan porositas

mortar yang lebih baik dari mortar normal tanpa penambahan sekam tebu. Persentase

porositas mortar dengan penambahan persentase sekam tebu ayak dan tanpa ayak justru

menghasilkan porositas mortar yang besar. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor

diantaranya adalah homogenitas dari bahan pengikat utama (semen Portland), pasir, air

dan sekam tebu ayak yang kurang sewaktu pengadukan. Sewaktu pengadukan dilakukan

dengan menggunakan tangan tanpa bantuan mesin sehingga hasilnya kurang maksimal.

Sekam tebu ayak dengan ayakan ukuran 75 μm sangat sulit bercampur secara homogen

dengan bahan pengikat utama (semen Portland), pasir dan air.

Faktor lain lain yang menyebabkan besarnya porositas mortar dengan

penambahan persentase sekam tebu ayak dan tanpa ayak adalah kurang padatnya

mortar sewaktu pencetakan. Hal ini sangat berpengaruh sehingga menyebabkan

terbentuknya ruang terbuka kosong di dalam mortar.

Page 37: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013 33

Berdasarkan hasil analisis diatas dapat diamati bahwa pada penelitian ini

porositas mortar normal tanpa penambahan sekam tebu masih lebih baik atau lebih

rendah daripada porositas mortar dengan penambahan persentase sekam tebu baik ayak

maupun tanpa ayak.

c. Uji kuat tekan

Hasil uji kuat tekan disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Grafik perbandingan hasil uji kuat tekan mortar dengan sekam tebu ayak dan

tanpa ayak.

Pada Gambar 4 dapat diamati bahwa kuat tekan mortar dengan

penambahan persentase sekam tebu 10wt% ayak menghasilkan nilai kuat tekan sebesar

1,533x10-2 N/mm2. Nilai ini lebih besar dibandingkan dengan nilai kuat tekan mortar

dengan penambahan persentase sekam tebu 10wt% tanpa ayak, yaitu sebesar 0,6x10-2

N/mm2. Hal ini disebabkan karena pengaruh ukuran sekam tebu yang ditambahkan.

Menurut Chusilp et al (2009), sekam tebu dengan ukuran partikel yang kecil dapat

mengisi kekosongan ruang udara di dalam struktur beton.

Kuat tekan mortar dengan penambahan persentase sekam tebu ayak dan tanpa

tanpa ayak juga masih lebih rendah daripada kuat tekan mortar normal tanpa

penambahan sekam tebu. Mortar normal tanpa penambahan sekam tebu menghasilkan

kuat tekan sekitar 2,5x10-2 N/mm2. Pengaruh tingginya nilai porositas mortar pada

sampel yang telah diuji porositas sebelumnya juga berpengaruh terhadap kuat tekan

mortar tersebut. Terjadi hubungan langsung antara nilai kekuatan tekan dengan nilai

Page 38: jurnal banyak

34 Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

porositas. Semakin tinggi angka pori dalam beton akan menyebabkan turunnya kekuatan

beton (Mulyono dalam Sitorus, 2009). Adanya celah atau ruang kosong yang berlebihan

menyebabkan kepadatan atau densitas dari mortar menjadi rendah.

Kuat tekan mortar dengan penambahan persentase sekam tebu ayak dan tanpa

tanpa ayak juga masih lebih rendah daripada kuat tekan mortar normal tanpa

penambahan sekam tebu. Mortar normal tanpa penambahan sekam tebu menghasilkan

kuat tekan sekitar 2,5x10-2 N/mm2. Pengaruh tingginya nilai porositas mortar pada

sampel yang telah diuji porositas sebelumnya juga berpengaruh terhadap kuat tekan

mortar tersebut. Terjadi hubungan langsung antara nilai kekuatan tekan dengan nilai

porositas. Semakin tinggi angka pori dalam beton akan menyebabkan turunnya kekuatan

beton (Mulyono dalam Sitorus, 2009). Adanya celah atau ruang kosong yang berlebihan

menyebabkan kepadatan atau densitas dari mortar menjadi rendah.

Berdasarkan analisis diatas dapat diamati bahwa pada penelitian ini kuat

tekan mortar normal tanpa penambahan sekam tebu lebih tinggi daripada

kuat tekan mortar dengan penambahan persentase sekam tebu baik ayak maupun

tanpa ayak.

a. Uji impak

Hasil uji impak disajikan pada gambar 5.

Gambar 5. Grafik perbandingan hasil uji impak mortar dengan sekamtebu ayak dan tanpa

ayak

Berdasarkan Gambar 4.4 dapat diamati bahwa mortar dengan penambahan

persentase sekam tebu 10wt% tanpa ayak menghasilkan nilai impak sebesar

2,197x10-4 J/mm2. Nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan nilai impak mortar

Page 39: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013 35

dengan penambahan persentase sekam tebu 10wt% ayak, yaitu sebesar 2,49x10-4

J/mm2. Hal ini dikarenakan pengaruh ukuran dari sekam tebu tanpa ayak yang

ditambahkan. Menurut Chusilp et al (2009), sekam tebu dengan ukuran partikel yang

kecil dapat mengisi kekosongan ruang udara di dalam struktur beton.

Nilai kekuatan impak mortar umumnya sangat rendah disebabkan oleh sifat

mortar yang rapuh. Nilai kekuatan impak mortar normal tanpa penambahan sekam

tebu sekitar 2,781x10-4 J/mm2. Nilai tersebut lebih besar dibandingkan dengan

nilai kekuatan impak mortar dengan penambahan 10wt% sekam tebu ayak yaitu sekitar

2,49x10-4 J/mm2, serta mortar dengan penambahan 10wt% sekam tebu tanpa ayak yaitu

sekitar 2,197x10-4 J/mm2.

Rendahnya nilai impak mortar dengan penambahan sekam tebu ayak dan tanpa

ayak ini diduga disebabkan oleh faktor yang sama dengan faktor penyebab rendahnya

nilai porositas yaitu faktor homogenitas dari bahan pengikat utama (semen Portland),

pasir, air dan sekam tebu ayak yang kurang sewaktu pengadukan. Sewaktu pengadukan

dilakukan dengan menggunakan tangan tanpa bantuan mesin sehingga hasilnya kurang

maksimal. Sekam tebu ayak dengan ayakan ukuran 75 μm sangat sulit bercampur

secara homogen dengan bahan pengikat utama (semen Portland), pasir dan air.

Faktor lain lain yang diduga menyebabkan besarnya porositas mortar dengan

penambahan persentase sekam tebu ayak dan tanpa ayak adalah kurang padatnya mortar

sewaktu pencetakan. Hal ini sangat berpengaruh sehingga menyebabkan terbentuknya

ruang terbuka kosong di dalam mortar.

Berdasarkan analisis diatas dapat diamati bahwa pada penelitian ini kekuatan

impak mortar normal tanpa penambahan sekam tebu lebih besar daripada kekuatan impak

mortar dengan penambahan persentase sekam tebu baik ayak maupun tanpa ayak.

KESIMPULAN

Berdasarkan eksperimen, hasil dan pembahasan yang telah dilakukan dalam

penelitian “Sintesis dan Karakterisasi Mortar Berbasis Material Komposit Silika

Amorf dengan Variasi Penambahan Sekam tebu”, dapat diambil kesimpulan bahwa

hasil dari nilai kuat tekan dan nilai kekuatan impak diatas maka mortar berbasis material

komposit silika amorf dengan variasi penambahan sekam tebu belum memperbaiki sifat

mekanik dari mortar normal tanpa penambahan sekam tebu.

Page 40: jurnal banyak

36 Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

DAFTAR PUSTAKA

Asmuni. 2001. Karakterisasi Pasir Kuarsa (SiO2) Dengan Metode XRD. Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara. Medan.

Bayer, R., Lutz, H. 2005. Dry Mortars. Wiley-VCH Verlag GmbH &Co. KGaA.

Weinheim

Chusilp, N., Jaturapitakkul, C., Kiattikomol, K. 2009.Utilization of Bagasse Ash as

A Pozzolanic Material in Concrete.

Cindika, Afifa. 2008. Penggunaan High Strength Composite Dalam Pembuatan Beton.

Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Depok.

Cordeiro, G. C., Toledo Filho, R. D., Tavares, L. M., Fairbairn, E. M. R. 2008.

Pozzolanic Activity and Filler Effect of Sugar Cane Bagasse Ash in Portland

Cement and Lime Mortars.

Dvorkin, L., Dvorkin, O. 2006. Basic of Concrete Science. Stroi-Beton. St-

Petersburg.

Ganesan, K., Rajagopal, K., Thangavel, K. 2007.Evaluation of Bagasse Ash as

Supplementary Cementitious Material.

Hanafi, A. S., dan Nandang, A. R. 2010. Studi Pengaruh Bentuk Silika dari Abu Ampas

Tebu terhadap Kekuatan Produk Keramik,

Hendra, M. S., Ginting, S. Pengendalian Bahan Komposit. 2002. Jurusan Teknik Kimia

Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara. Medan

Mulyati, S., Dahlan, D., Adril, E. 2011. Pengaruh Persen Massa Hasil Pembakaran

Serbuk Kayu dan Ampas Tebu Pada Mortar Terhadap Sifat Mekanik dan Sifat

Fisisnya. Laboratorium Material dan Strukstur Jurusan Fisika Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Andalas. Padang.

Papayianni, I., Stefanidou, M. 2006. Strength – Porosity Relationship in Lime – Pozzolan

Mortars.

Pramono, Agus. 2010. Komposit Sebagai Tren Teknologi Masa Depan. Fakultas

Teknik Metalurgi & Material Universitas Ageng Tirtayasa. Banten.

Rahman, I., Sukmawati, R. 2010. Kajian Eksperimental Pengaruh Aspek Lekatan

Agregat Kasar Terhadap Mortar Pada Kuat Tekan Beton. Tugas Akhir Jurusan

Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. Semarang.

Ratnasari, D., Hermanihadi, S., Indriyanto, W. 2009. Tugas Kimia Fisika Jurusan

Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Surakarta.

Page 41: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013 37

ANALISIS PERUBAHAN PROFIL POTENSIAL TITIK

AKUPUNKTUR PENDERITA DIABETES MELLITUS

TERHADAP PAPARAN LASERPUNKTUR

Siti Rochmah Anggoro Dewi1, Welina Ratnayanti Kawitana

1, Tri Anggono P

1.,

1Program Studi S1 Fisika, Departemen Fisika, FST Universitas Airlangga,

Surabaya 60115.

Email : [email protected]

Abstrak

Pengukuran profil potensial titik akupunktur dilakukan pada titik Feishu,

Xinshu, Ganshu, Pishu, dan Shenshu pada testi sehat dan testi diabetes masing-

masing terdiri dari 5 orang didapatkan dari obervasi data sekunder di Puskesmas

Mulyorejo, Surabaya. Profil potensial listrik dalam bentuk sinyal listrik diperoleh

dari hasil perekaman profil potensial listrik domain waktu. Perekaman dilakukan

selama 50 detik. Hasil perekaman profil potensial domain waktu tidak dapat

dibedakan secara nyata sehingga dilakukan pemrosesan sinyal dengan metode

analisis FFT (Fast Fourier Transform) dengan pencuplikan setiap bingkai data

dilakukan setiap 3,29 detik. Pemberian terapi dilakukan sebanyak 9 kali, pada

masing- masing terapi testi diabetes dipapari laserpunktur selama 500 detik dengan

energi 2,5 Joule dan daya 10 mW. Setelah pemberian terapi, testi diabetes

direkam kembali profil potensialnya sebagai keadaan setelah terapi dan hasilnya

akan dibandingkan dengan testi sehat. Berdasarkan hasil penelitian didapatakan

paparan dengan menggunakan laserpunktur memberikan perubahan profil potensial

titik akupunktur testi penderita diabetes mellitus secara statistik sama dengan profil

potensial testi sehat. Perubahan terjadi pada terapi dan titik akupunktur yang tidak

selalu sama pada tiap testi. Untuk testi A perubahan terjadi pada titik Pishu, titik

Shenshu dan titik Ganshu pada terapi ke-6. Untuk testi B perubahan terjadi pada titik

Pishu pada terapi ke-6 dan titik Xinshu pada terapi ke-9. Untuk testi C perubahan

terjadi pada titik Pishu dan titik Ganshu pada terapi ke-6. Untuk testi D perubahan

terjadi pada titik Ganshu pada terapi ke-6. Sedangkan untuk testi E perubahan tidak

terjadi. Karena perubahan terjadi pada sebagian besar testi, maka pemberian

laserpunktur ini dapat digunakan sebagai salah satu metode terapi bagi penderita

diabetes mellitus.

Kata Kunci : diabetes mellitus , laserpunktur, potensial listrik tubuh, Fast Fourier

Transform ( FFT).

Page 42: jurnal banyak

38 Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

PENDAHULUAN

Diabetes mellitus adalah suatu penyakit gangguan kesehatan di mana kadar

gula dalam darah seseorang menjadi tinggi karena gula dalam darah tidak dapat

digunakan oleh tubuh. Setiap tahun jumlah penderita diabetes mellitus semakin

meningkat. Menurut laporan WHO, jumlah penderita DM di dunia pada tahun 1987

kurang lebih 30 juta. Menyusul kemudian, laporan WHO November 1993,

ternyata jumlah penderia DM di dunia meningkat tajam menjadi 100 juta lebih

dengan prevalensi sebesar 6%. Laporan terakhir oleh McCarty et al., 1994: jumlah

penderita DM tahun 1994 di dunia 110,4 juta, tahun 2000 meningkat kurang lebih 1,5

kali lipat menjadi kurang lebih 175,4 juta, tahun 2010 meningkat kurang lebih 2 kali

lipat menjadi kurang lebih 239,3 juta, dan hingga tahun 2020 diperkirakan menjadi

300 juta (Tjokroprawiro dkk, 2007). Banyak cara yang dilakukan oleh penderita

diabetes mellitus untuk bisa sembuh dari penyakit ini, salah satu pengobatan

yang banyak diminati adalah dengan melakukan terapi akupunktur.

Akupunktur merupakan teknik memasukkan atau memanipulasi jarum ke dalam "titik

akupunktur" tubuh. Dalam terapi akupunktur, prinsip kerja yang digunakan adalah

memanipulasi sifat biolistrik pada titik akupunktur. Adanya gangguan anatomis atau

fisiologis organ dalam yang diproyeksikan di titik akupunktur yang berhubungan dapat

dideteksi dengan mengukur perubahan profil potensial listrik titik akupunkturnya

(Saputra, 2002). Saat ini pengobatan dengan menggunakan teknik akupunktur telah

banyak dikembangkan, salah satunya dengan penambahan laserpunktur. Alasan

menggunakan laser di sini mengingat bahwa laser tidak memiliki efek samping dan

cara kerja laser lebih efektif dibandingkan dengan listrik, yaitu penggunaan laser pada

terapi akupunktur secara non invasive, tidak menimbulkan nyeri, tidak panas,

lingkungan bersih, adalah sangat sesuai untuk anak-anak, orang tua, dan orang

yang takut terhadap jarum (Fajarina, 2008).

Sebelumnya dilakukan juga penelitian

oleh Ria Fajarina (2008) yang memvariasi daya laserpunktur, pengulangan terapi dan

waktu paparan laserpunktur. Penelitian ini dilakukan pada mencit dengan

menggunakan titik akupunktur pi-shu. Daya yang divariasikan 0 mW, 2 mW, 5 mW,

dan 10 mW. Untuk pengulangan terapinya divariasi mulai nol kali hingga lima kali

pemberian terapi. Waktu paparan yang digunakan 0 detik, 100 detik, 200 detik, dan

500 detik. Hasil yang didapatkan adalah daya optimasi 2 mW, pengulangan terapi

sebanyak lima kali dan waktu paparan laserpunktur 500 detik memiliki kemampuan

Page 43: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013 39

untuk meningkatkan sel beta yang normal pada pankreas dan mengurangi tipe kematian

sel berupa kariopiknosis, karioreksis, kariolisis melalui regenerasi dan recovery. Pada

jurnal ini dilakukan pemberian laserpunktur pada titik akupunktur pi-shu penderita

diabetes mellitus dengan mengukur profil potensial penderita sebelum dan

sesudah terapi lalu membandingkannya dengan profil potensial orang sehat yang

dianalisis dengan menggunakan Fast Fourier Transform (FFT). Dengan dilakukannya

penelitian ini diharapkan pemberian laserpunktur pada titik akupunktur penderita

diabetes mellitus dapat digunakan sebagai terapi.

METODOLOGI PENELITIAN

Perangkat yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya: alat pengukur kadar

gula darah, laser He-Ne dengan panjang gelombang 632,8 nm dan daya 10 mW,

perangkat keras IWX/214, komputer dengan perangkat lunak IWORX Labscribe,

elektrode, probe dan kabel penghubung, serta pasta elektrolit yang berfungsi

menghilangkan gelembung- gelembung udara yang terdapat antara permukaan kulit

dengan elektrode pada saat perekaman.

Gambar 1. Set up alat perekaman profil potensial

Adapun langkah-langkah untuk mendapatkan data pada penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Mengukur kadar gula darah semua testi.

2. Membagi testi menjadi dua kelompok, testi sehat ditandai dengan angka 1 – 5 dan

testi sakit ditandai dengan huruf A - E, berdasarkan hasil pengukuran kadar

gula darah testi. Dimana testi yang memiliki kadar GDA ≥ 200mg/dl atau

kadar GDP ≥ 126mg/dl dikelompokkan sebagai testi sakit atau testi penderita

diabetes mellitus.

3. Memberi pasta elektrolit dan menempelkan elektrode pada titik Feishu testi

Page 44: jurnal banyak

40 Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

4. Merekam profil potensial titik Feishu selama 50 detik.

5. Menyimpan gambar hasil keluaran pada layar komputer.

6. Mengulangi langkah 3 sampai 5 untuk titik Xinshu, titik Ganshu, titik Pishu dan

titik Shenshu untuk semua testi, baik testi sehat maupun testi sakit.

7. Membersihkan pasta elektrolit pada punggung testi.

8. Menyinari titik Pishu dengan laserpunktur selama 500 detik, hanya dilakukan

pada testi sakit.

9. Mengulang langkah 3 sampai 5 untuk titik Feishu, titik Xinshu, titik Ganshu,

titik Pishu dan titik Shenshu sebagai keadaan setelah penyinaran dan hanya

dilakukan untuk testi sakit.

10. Mengulang langkah 3 sampai 10 untuk testi sakit sampai 9 kali terapi

11. Pada terapi terakhir atau setelah hari ke- 32 mengukur kembali kadar gula darah

testi diabetes mellitus.

Dan untuk melakukan proses perekaman perlu dilakukan beberapa langkah

sebagai berikut:

1. Mengaktifkan program Labscribe dengan meng-klik shortcut Labscribe

2. pada desktop.

3. Menekan tombol on pada hardware iWorx 214 untuk menyalakan.

4. Klik Settings pada toolbar dan pilih EMG Grip-Strength.

5. Klik tools pada toolbar dan pilih find hardware, lalu klik ok.

6. Menempelkan elektrode pada titik akupunktur yang akan direkam profil

potensialnya yang sebelumnya telah diberi pasta elektrolit.

7. Memulai perekaman dengan meng-klik start.

8. Setelah 50 detik perekaman dihentikan dengan meng-klik stop.

9. Menyimpan hasil perekaman dalam document.

Data yang dihasilkan dari perekaman profil potensial dengan menggunakan bio-

amplifier (iworx Labscribe) sulit untuk dianalisis secara langsung, sehingga

dibutuhkan analisis Fast Fourier Transform (FFT). Setelah dianalisis dengan

menggunakan FFT data yang didapatkan dianalasis dengan menggunakan ANOVA

same subject untuk mengetahui apakah ada perbedaan antara profil potensial

sebelum dan sesudah pemberian terapi untuk testi sakit dan uji t sampel bebas untuk

mengetahui apakah profil potensial setelah pemberian terapi sama dengan profil

potensial testi sehat.

Page 45: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013 41

X(f) = ∫ x(t)e -i2n[t dt

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil perekaman profil potensial berupa fungsi waktu yang masih sulit

untuk dianalisis secara langsung, seperti ditunjukkan pada gambar 2. Oleh karena

itu hasil perekaman profil potensial tersebut perlu dianalisis lebih lanjut

menggunakan Fast Fourier Transform (FFT) seperti yang nampak pada gambar 3.

Gambar 2. Hasil perekaman profil potensial sebagai fungsi waktu

Gambar 3. Hasil analisis FFT

Setelah dianalisis dengan menggunakan FFT, hasil perekaman profil potensial

yang awalnya sebagai fungsi waktu ditransformasikan menjadi fungsi frekuensi

sesuai dengan persamaan 1.

∞ (1)

Hasil analisis FFT ini digunakan untuk menghitung tingginya amplitudo

puncak setiap frekuensi yang muncul Perhitungan amplitudo puncak setiap frekuensi

ang muncul dilakukan secara manual dengan menggunakan cursor yang diarahkan

ada setiap frekuensi yang muncul, contoh dari gambar 3 nampak bahwa cursor pertama

berada pada frekuensi 1 HZ dengan puncak amplitudo sebesar 0,038 dan cursor

kedua berada pada frekuensi 100 Hz dengan amplitudo puncak sebesar 0,198.

Page 46: jurnal banyak

42 Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

Perhitungan dilakukan dengan mengabaikan amplitudo puncak pada frekuensi 50 Hz

karena merupakan noise dari PLN.

Hasil perhitungan amplitudo puncak masing-masing frekuensi testi penderita

diabetes mellitus diuji beda dengan uji ANOVA Repeated Measure menggunakan

SPSS 13.0. Pengujian ini bertujuan untuk menunjukkan perbedaan antara profil

potensial testi penderita diabetes mellitus sebelum dan setelah diberi terapi dengan

laserpunktur. Jika pada pengujian ini didapatkan nilai p < 0,05 maka terdapat

perbedaan yang signifikan pada profil potensial testi penderita diabetes mellitus

pada terapi-terapi yang telah diberikan. Hasil uji ANOVA Repeated Measure

untuk masing-masing testi telah dirangkum pada tabel 1. Hasil uji ANOVA Repeated

Measure juga berupa grafik yang dapat menggambarkan kondisi profil potensial titik

akupunktur testi penderita diabetes mellitus pada setiap kali terapi. Grafik rata-rata

amplitudo puncak pada setiap kali terapi untuk titik Pishu masing- masing testi

penderita diabetes mellitus tersaji pada gambar 4. untuk testi A, gambar 5.

untuk testi B, gambar 6. untuk testi C, gambar 7. untuk testi D dan gambar 8.

untuk testi E.

Setelah dilakukan uji ANOVA Repeated Measure, untuk melihat apakah profil

potensial testi penderita diabetes mellitus mengalami perbaikan seperti profil

potensial testi sehat perlu diuji lagi menggunakan uji t sampel bebas. Jika pada

pengujian ini didapatkan nilai p > 0,05 maka tidak terdapat perbedaan antara

profil potensial testi penderita diabetes mellitus setelah diberi terapi dengan profil

potensial testi sehat. Hasil dari uji t sampel bebas telah dirangkum pada tabel 2.

Gambar 4. Grafik rata-rata amplitudo terhadap masing-masing terapi pada titik

Pishu untuk testi A (terapi 1 pada grafik merupakan keadaan awal testi penderita

diabetes sebelum diberi terapi).

Page 47: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013 43

Gambar 5. Grafik rata-rata amplitudo terhadap masing-masing terapi pada titik

Pishu untuk testi B (terapi 1 pada grafik merupakan keadaan awal testi penderita

diabetes sebelum diberi terapi).

Gambar 6. Grafik rata-rata amplitudo terhadap masing-masing terapi pada titik

Pishu untuk testi C (terapi 1 pada grafik merupakan keadaan awal testi penderita

diabetes sebelum diberi terapi).

Page 48: jurnal banyak

44 Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

Gambar 7. Grafik rata-rata amplitudo terhadap masing-masing terapi pada titik

Pishu untuk testi D (terapi 1 pada grafik merupakan keadaan awal testi penderita

diabetes sebelum diberi terapi).

Gambar 8. Grafik rata-rata amplitudo terhadap masing-masing terapi pada titik

Pishu untuk testi E (terapi 1 pada grafik merupakan keadaan awal testi penderita

diabetes sebelum diberi terapi).

Page 49: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013 45

Tabel 1. Hasil uji ANOVA Repeated Measure

Tabel 2. Hasil uji t sampel bebas

Testi Setelah Terapi Ke- Titik p Keterangan

A

6

Pishu

Shenshu

Ganshu

Xinshu

Feishu

0,268

0,705

0,171

0,000

0,011

Tidak beda

Tidak beda

Tidak beda

Ada beda

Ada beda

9

Pishu

Shenshu

Ganshu

Xinshu

Feishu

0,000

0,000

0,000

0,000

0,000

Ada beda

Ada beda

Ada beda

Ada beda

Ada beda

8

Pishu

Shenshu

Ganshu

Xinshu

Feishu

0,738

0,000

0,000

0,000

0,048

Tidak beda

Ada beda

Ada beda

Ada beda

Ada beda

Testi Titik p Keterangan

A

Pishu

Shenshu

Ganshu

Xinshu

Feishu

0,000 Ada beda

0,000 Ada beda

0,000 Ada beda

0,000 Ada beda

0,000 Ada beda

B

Pishu

Shenshu

Ganshu

Xinshu

Feishu

0,000 Ada beda

0,000 Ada beda

0,000 Ada beda

0,000 Ada beda

0,000 Ada beda

C

Pishu

Shenshu

Ganshu

Xinshu

Feishu

0,000 Ada beda

0,000 Ada beda

0,000 Ada beda

0,000 Ada beda

0,000 Ada beda

D

Pishu

Shenshu

Ganshu

Xinshu

Feishu

0,000 Ada beda

0,000 Ada beda

0,000 Ada beda

0,000 Ada beda

0,000 Ada beda

E

Pishu

Shenshu

Ganshu

Xinshu

Feishu

0,000 Ada beda

0,000 Ada beda

0,000 Ada beda

0,000 Ada beda

0,000 Ada beda

Page 50: jurnal banyak

46 Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

B

9

Pishu

Shenshu

Ganshu

Xinshu

Feishu

0,000

0,000

0,000

0,120

0,006

Ada beda

Ada beda

Ada beda

Tidak beda

Ada beda

C

6

Pishu

Shenshu

Ganshu

Xinshu

Feishu

0,764

0,000

0,079

0,000

0,000

Tidak beda

Ada beda

Tidak beda

Ada beda

Ada beda

9

Pishu

Shenshu

Ganshu

Xinshu

Feishu

0,000

0,001

0,000

0,000

0,000

Ada beda

Ada beda

Ada beda

Ada beda

Ada beda

D

4

Pishu

Shenshu

Ganshu

Xinshu

Feishu

0,014

0,003

0,135

0,000

0,006

Ada beda

Ada beda

Tidak beda

Ada beda

Ada beda

9

Pishu

Shenshu

Ganshu

Xinshu

Feishu

0,000

0,003

0,000

0,000

0,006

Ada beda

Ada beda

Ada beda

Ada beda

Ada beda

E

3

Pishu

Shenshu

Ganshu

Xinshu

Feishu

0,000

0,003

0,000

0,000

0,006

Ada beda

Ada beda

Ada beda

Ada beda

Ada beda

9

Pishu

Shenshu

Ganshu

Xinshu

Feishu

0,000

0,003

0,000

0,000

0,006

Ada beda

Ada beda

Ada beda

Ada beda

Ada beda

Laserpunktur yang digunakan untuk terapi dalam penelitian ini adalah laser He-

Ne berdaya 10 mW. Laserpunktur ini tergolong laser berdaya rendah. Terdapat dua

macam laser yang biasa digunakan dalam bidang kedokteran, yang pertama adalah laser

berdaya tinggi. Laser berdaya tinggi ini biasanya digunakan untuk memotong jaringan.

Yang kedua adalah laser berdaya rendah, yaitu antara 1 mW sampai dengan 500 mW,

yang berfungsi untuk menstimulasi jaringan dan memperbaiki jaringan yang rusak.

Dengan daya 10 mW diperoleh energi per foton yang dikeluarkan oleh laser

adalah 1,96 eV, sehingga energi tersebut tidak mampu untuk mengionisasi molekul

yang ada di dalam tubuh.

Analisis perubahan dimulai dengan menganalisis profil potensial titik Pishu

karena pemaparan dengan laserpunktur dilakukan pada titik Pishu. Setelah itu analisis

perubahan dilanjutkan pada profil potensial titik lainya, yaitu titik Shenshu, titik Ganshu,

titik Xinshu, dan titik Feishu. Pemberian rangsangan pada titik akupunktur akan

dirambatkan melalui jalur komunikasi meridian. Untuk selanjutnya rangsangan akan

menimbulkan pengaruh pada sirkulasi energi yang ada, sehingga akan timbul efek

Page 51: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013 47

pengobatan, terutama pada organ yang berhubungan langsung dengan titik akupunktur

yang dirangsang (Gellman dalam Abdurachmah, 2005), dalam penelitian ini adalah titik

Pishu. Rangsang pada titik Pishu akan diteruskan menuju titik akupunktur lainnya,

terutama sepanjang meridian yang sama, dalam penelitian ini adalah meridian kandung

kemih (Bladder).

Foton yang berasal dari laser akan diserap oleh titik Pishu sehingga

menyebabkan membran sel mengalami depolarisasi. Membran yang menyerap energi

mengalami penurunan potensial sehingga ada aliran ion natrium masuk ke dalam sel

dan ion kalium keluar sel. Pada saat membran dalam keadaan potensial ambang,

membran sel dalam kondisi tidak stabil, maka akan kembali ke posisi dasar dalam

waktu yang sangat cepat (10-15

sekon) dengan memancarkan radiasi ke lingkungan

yang biasa disebut dengan hiperpolarisasi dan repolarisasi. Foton yang dipancarkan

akan diserap oleh sel tetangga yang memiliki frekuensi sama. Demikian seterusnya

sehingga membentuk suatu tempat kedudukan sejumlah sel yang memiliki energi

kuantum sama. Tempat kedudukan sejumlah sel tersebut yang disebut meridian,

sedangkan energi „chi‟ adalah energi kuantum yang mengalir dari sel ke sel yang

mempunyai frekuensi radiasi sama (Wirya dalam Abdurachman,2005).

Dari hasil penelitian terlihat bahwa terdapat perubahan profil potensial testi

penderita diabetes mellitus sama dengan profil potensial testi sehat, namun

perubahan tidak selalu terjadi pada terapi terakhir atau terapi ke-9. Jika dibuat suatu

grafik maka akan nampak naik turunya rata-rata amplitudo pada masing-masing

terapi seperti terlihat pada gambar 4. sampai 8. Perubahan juga tidak terjadi

pada semua testi dan pada semua titik. Perubahan profil potensial untuk testi A terjadi

pada titik Shenshu, titik Pishu, dan titik Ganshu yang terjadi setelah terapi ke-6.

Untuk testi B perubahan profil potensialterjadi pada titik Pishu saat setelah terapi

ke-6 dan titik Xinshu saat setelah terapi ke-9. Pada testi C perubahan profil potensial

terjadi pada titik Pishu dan titik Ganshu setelah terapi ke-6. Perubahan profil potensial

untuk testi D hanya terjadi pada titik Ganshu saat setelah terapi ke-6. Sedangkan untuk

testi E tidak terdapat perubahan profil potensial menurut hasil uji statistik.

Profil potensial titik Pishu testi penderita diabetes mellitus yang mengalami

perubahan seperti profil potensial titik Pishu testi sehat merupakan efek dari

pemberian paparan laserpunktur. Dalam teknik akupunktur, titik akupunktur Pishu

dinyatakan sebagai sumber chi dari organ pankreas (Yanfu, dkk dalam Abdurachman,

2005). Dari titik akupunktur tersebut, gelombang yangsesuai, dirambatkan

Page 52: jurnal banyak

48 Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

menuju organ pankreas melalui jalur komunikasi meridian (Wirya dalam

Abdurachman,2005). Sesampainya di pankreas, gelombang tersebut diolah sebagai

informasi untuk membangun kerjasama di tingkat antar sel (Kim dan Hebrok dalam

Abdurachman, 2005), subseluler maupun pada tingkat inti, untuk mengatasi

gangguan. Informasi tersebut antara lain diterjemahakan ke dalam bentuk reaksi

molekuler, sehingga organ yang bersangkutan dapat melakukan beberapa tahapan

mekanisme perbaikan (Oschman dalam Abdurachman, 2005), sehingga dapat

mengembalikan deformitas profil potensial organ.

Perubahan profil potensial testi penderita diabetes mellitus sama dengan profil

potensial testi sehat terjadi pada terapi yang berbeda-beda untuk masing- masing

testi. Pada testi A, testi C dan testi D perubahan terjadi pada terapi ke-6. Sedangkan

pada testi B, perubahan juga terjadi pada terapi ke-9. Ini dapat disebabkan oleh tiga

hal, yaitu:

a) Kondisi fisik testi yang berbeda-beda.

Kondisi fisik yang dimaksud diantaranya adalah warna kulit testi, semakin gelap warna

kulit testi maka penyerapan cahaya laser oleh kulit testi juga semakin besar. Selain itu,

tingkat kegemukan testi juga ikut berpengaruh, semakin gemuk testi maka tingkat

penyerapan cahaya laser akan semakin kecil.

b) Penyinaran dengan laserpunktur yang

dilakukan tidak tepat pada titik Pishu. Saat melakukan terapi, penulis tidak tepat

menentukan letak titik Pishu yang akan diberi paparan laserpunktur, sehingga

waktu untuk cahaya laser dapat sampai ke sel guna melakukan perbaikan sel lebih

lama.

c) Adanya faktor pengendali yang tidak dapat dikendalikan oleh penulis.

Faktor pengendali yang tidak dapat dikendalikan oleh penulis, diantaranya adalah pola

hidup testi yang berbeda- beda dan tingkat stress yang dialamimasing-masing testi

juga berbeda- beda.

Bila ditinjau dari teori yang telah ada, perubahan profil potensial terutama akan

terjadi pada titik akupunktur yang diberi rangsangan, dalam penelitian ini berupa

cahaya laser. Setelah itu perubahan juga dapat dialami oleh titik akupunktur lain

utamanya yang berada pada satu meridian yang sama. Kesesuain teori tersebut terjadi

pada testi A, testi B dan Testi C. Namun untuk perubahan profil potensial di titik

akupunktur selain titik Pishu yang diberi rangsangan, tidak selalu terjadi pada empat

titik akupunktur lainnya. Seperti pada testi A, selain titik Pishu, perubahan juga

Page 53: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013 49

terjadi pada titik Shenshu dan titik Ganshu sedangkan untuk titik Xinshu dan titik

Feishu tidak terjadi perubahan. Untuk testi B selain titik Pishu, perubahan juga terjadi

pada titik Xinshu, pada terap ke-9. Sedangkan untuk testi C selain pada titik Pishu,

perubahan profil potensial juga ditunjukkan pada titik Ganshu. Hal tersebut dapat

disebabkan oleh:

a) Yang tidak mengalami perubahan profil potensial adalah titik Shenshu

dapat disebabkan karena titik ini berkaitan dengan organ ginjal. Jika testi pada

penelitian ini rajin mengkonsumsi obat, maka secara kedokteran konvensional obat

dapat membawa dampak buruk pada ginjal.

b) Yang tidak mengalami perubahan

profil potensial adalah titik Xinshu dapat disebabkan karena titik ini berkaitan

dengan organ jantung. Jika testi pada penelitian ini memiliki gejala hipertensi dan

testi berada pada keadaan stress maka membuat hipertensinya semakin parah

sehingga berdampak buruk pada jantung.

c) Yang tidak mengalami perubahan profil potensial adalah titik Ganshu

dapat disebabkan karena titik ini berkaitan dengan organ hati. Jika testi pada penelitian

ini memiliki pola hidup yang buruk terutama dalam hal mengkonsumsi makanan maka

bisa berdampak buruk pada hati karena hati terus bekerja keras untuk menjaga

kadar gula darah.

d) Yang tidak mengalami perubahan profil potensial adalah titik Feishu

dapat disebabkan karena titik ini berkaitan dengan organ paru. Jika testi pada

penelitian ini telah lama mengidap diabetes, maka besar kemungkinan terjadi

komplikasi diabetes mellitus seperti Tuberkolosis. Saat terapi dapat dimungkinkan kadar

gula darah bisa turun namun untuk komplikasinya belum tentu dapat membaik pula.

Untuk testi B sebelumnya telah terjadi perubahan di titik Pishu tepatnya pada

terapi ke-6, namun pada terapi ke-9 perubahan justru terjadi pada titik Xinshu.

Sedangkan untuk testi D tidak pernah terjadi perubahan pada titik Pishu, perubahan

justru terjadi pada titik Ganshu pada terapi ke-6. Hal ini dapat dijelaskan sebagai

berikut, untuk testi B dimungkinkan setelah menjalani terapi ke-

6 testi mulai lepas kontrol dalam menjaga pola makan karena testi merasakan

kondisi yang lebih baik dari kondisi awal, seperti intensitas buang air kecil menjadi

berkurang, sehingga testi yang awalnya menjaga pola makan menjadi lepas kontrol yang

dapat menyebabkan kadar gula testi meningkat dan gambaran profil potensial titik Pishu

pun secara statistik tidak mengalami perubahan. Sedangkan untuk testi D dapat

Page 54: jurnal banyak

50 Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

dimungkinkan saat melakukan terapi, penulis tidak tepat meletakkan laserpunktur pada

titik Pishu. Karena letak titik Pishu dan titik Ganshu yang berdekatan, bisa saja

laserpunktur yang diberikan oleh penulis justru malah cenderung menuju titik Ganshu,

sehingga profil potensial yang mengalami perubahan pada titik Ganshu.

Kondisi lain ditunjukkan oleh testi E. Testi E sama sekali tidak menunjukkan

perubahan profil potensial di titik manapun dan pada terapi keberapun. Hal ini

dimungkinkan dapat disebabkan oleh dua hal, yang pertama terapi yang dilakukan belum

mencapai titik optimum, sehingga secara statistik tidak terdapat perubahan profil

potensial pada testi E. Yang kedua dimungkinkan adanaya faktor pengendali yang tidak

dapat dikendalikan oleh penulis seperti yang telah dijelaskan sebelumnya yang bersifat

lebih dominan sehingga pemberian laserpunktur tidak dapat merubah profil potensial

titik akupunktur testi E. Namun, dari keseluruhan hasil penelitian yang didapatkan

laserpunktur dapat menyebabkan perubahan profil potensial testi penderita diabetes

mellitus, meskipun masih terdapat faktor-faktor kendali yang seharusnya dikendalikan

seperti mengadakan rawat inap untuk semua testi penderita diabetes mellitus dan

melakukan tes laboraturium untuk testi sehat untuk mengetahui apakah testi

tersebut benar-benar organnya dalam keadaan yang masih baik. Semua cara

pengendalian itu masih belum dapat dilakukan oleh penulis, sehingga sekiranya

diperlukan penelitian dengan melakukan pengendalian seperti tersebut di atas.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:

1. Pemberian paparan laserpunktur pada titik Pishu testi penderita diabetes mellitus

menyebabkan perubahan profil potensial titik akupunktur testi penderita diabetes

mellitus.

2. Perubahan profil potensial titik akupunktur penderita diabetes mellitus

menunjukkan perbaikan secara kualitatif pada kondisi testi penderita diabetes

mellitus. Namun, perubahan yang terjadi pada setiap testi berbeda- beda,

bergantung pada ketepatan menentukan letak titik Pishu yang diberi paparan

laserpunktur, kondisi fisik dan mental testi, serta pola hidup testi.

Page 55: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013 51

DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman, 2005, Pengaruh Laser pada Titik Pishu terhadap Jumlah dan

Fungsi sel β Pankreas Tikus Putih Galur Wistar (Rattus norvegicus) yang

Telah Diinjeksi Streptozotocin, Disertasi Program Pascasarjana Universitas

Airlangga, Surabaya.

Ackermen, E, 1998, Ilmu Biofisika, Airlangga University Press, Surabaya, Alih bahasa

oleh Redjani dan Abdul Basir.

Ashari, dan Santosa, B. P., 2005, Analisis Statistik dengan Microsoft Excell & SPSS,

Andi, Yogyakarta.

Cameron, J.R, 2006, Fisika Tubuh Manusia, Edisi ke-2, Alih Bahasa Brahm U, CV

EGC Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.

Chasanah, A., U., 2008, Analisis Korelasi Paparan Laserpunktur terhadap Perbaikan

Fungsi Limpa sebagai Organ Pengendali Pasokan Insulin, Skripsi, Departemen

Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga, Surabaya.

Cromwell L., Arditi M. Weibel F.J., Pfeiffer E.A, Steele B., Labok J., 1976,

Medical Instrumentation for

Health Care, Prentice Hall Inc). Fajarina, R., 2008, Optimasi Daya,

Pengulangan Terapi, dan Waktu

Paparan Laserpunktur pada Mencit untuk Normalisasi Sel Beta Pankreas sebagai

Pemasok Insulin, Skripsi, Departemen Fisika Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Airlangga, Surabaya.

Fisher, R. A., 1925, Statistical Methods for Research Workers, Edinburgh: Oliver

and Boyd.

Gabriel, J. F, 1996, Fisika Kedokteran, EGC, Fisika Universitas Udayana, Bali.

Guyton & Hall, 1997, Bahan Ajar Fisiologi Kedokteran (Textbook of Medical

Physiology), Diterjemahkan oleh Irawati Setiawan, Edisi 1,Penerbit Buku

Kedokteran EGC, Jakarta.

Hidayat, T., dan Itadah, N., 2011, Panduan Lengkap Menguasai SPSS 19.0

untuk Mengolah Data Statistik Penelitian, Media Kita, Jakarta.

Hobbie, R. K. and Roth, B. J., 2007, Intermediate Physics For Medicine and

Biology, 4th

Edition, Springer Science+Bussines Media, New York

http://te.ugm.ac.id/~risanuri/isyaratsystem/ paperDFTkeFFT.pdf, 18 Desember 2011.

http://www.iworx.com/content/?id=24, 21 Desember 2011.

http://www.compassionatedragon.com/ac_shu.html, 11 September 2012.

Page 56: jurnal banyak

52 Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

Kurniawan, A., 2009, Belajar Mudah SPSS untuk Pemula, Mediakon, Yogyakarta.

Maschede, D., 2004, Optics, Light andLasers, WILEY-VCH Verlag GmbH & Co.

K GaA, Weinheim.

Niemz, M. H., 2004, Laser-Tissue Interactions, Third, Enlarged Edition, Springer

Berlin Heidelberg, New York.

Rosmalasari, V., 2007, Optimasi Dosis dan Pola Terapi Laserpunktur terhadap

Penurunan Kadar Gula Darah Mencit, Departemen Fisika Fakultas Sains dan

Teknologi Universitas Airlangga, Surabaya.

Saptatinovi, 2005, Efektifitas Laserpunktur pada Terapi Penurunan Kadar Gula Darah,

Skripsi FMIPA Unair, Surabaya.

Saputra, K., 2002, Akpunktur Klinik, Airlangga University Press, Surabaya.

Sirohi, R. S., 1985, A Course of Experiments with He-Ne Laser, Wiley Eastern

Limited, New Delhi.

Sobel, M. L., 1987, Light, The University of Chicago, USA.

Suhariningsih, 1999, Profil Tegangan Listrik Titik akupunktur sebagai Indikator

Kelainan Fungsional Organ, Disertasi Program Pascasarjana

Universitas Airlangga, Surabaya.

Suhariningsih, 2004, Kajian Biofisika tentang Keamanan dan Efektifitas Terapi

Akupunktur, Universitas Airlangga, Surabaya.

Sukanta, P. O., 2001, Akupresur dan Minuman untuk Mengatasi Gangguan

Pencernaan, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta.

Tjokroprawiro, A., dkk, 2007, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Airlangga University

Press, Surabaya.

Tobing, A., 2008, Care Your Self: Diabetes Mellitus, Penebar Plus,

Jakarta.

Widjaya, Dr. Witjahyakarta, Sp.S, 2012, EEG dan EMG: Teknik Pemeriksaan Syaraf,

RS Pondok Indah Group, Jakarta.

Wijayanto, Y. Nur. dan Hastuti, D., 2006, Rangkaian Bioamplifier untuk Mendeteksi

Sifat Elektris Otot, Jurnal Elektronika No. 2 Juli- Desember 2006, Volume 6.

Page 57: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013 53

Optimasi Model Elektrode Pada Sistem Pengukuran Potensial

Titik Akupunktur Secara Non- Invasive Untuk Diagnosis

Fungsional Organ

Yulanda Dwi Fajarwati,Welina Ratnayanti, Tri Anggono P.

Laboratorium Biofisika, Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas

Airlangga, Surabaya 60115

Email: [email protected]

Abstract

This study aim to make an electrode as a substitute for standard ECG electrodes.

The electrodes were made from pieces of aluminum and innovation did in 2 ways, the

diameter and the addition of a magnetic field. Data retrieval is done by recording the

acupuncture points PC 6 (Neiguan) associated with the heart. Recording done using

software and data generated IWORX/214 data such as voltage function of time. Potential

profile patterned recording ECG results because it is the acupuncture point of

pericardial heart. ECG pattern was observed amplitude of frequency appears. The

success rate of the electrode measured ability raises the maximum amplitude in the

frequency appears. The results of the analysis stated there are several dominant

frequencies that arise from the potential profile recording acupuncture points, the

frequency of 0-2 Hz and 50 Hz. The best electrode for detecting the frequency of 0-2 Hz

is the electrode with a diameter of 2.8 cm with a value of amplitude A = (1 ± 0.16).

While the electrode is best to minimize the noise frequency is 50 Hz electrode with a

diameter of 2.8 cm and with the addition of 1 to the value of the magnetic plate

amplitude A = (0.03 ± 0.01). Based on the results obtained, the electrodes have been

made in this study can replace the standard electrode because it can detect the

electrical potential profile in acupuncture point PC 6 quite well when compared to the

standard ECG electrodes manufactured

Keyword : Electrode, Voltage, Frequency, Amplitude, ECG

Page 58: jurnal banyak

54 Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

PENDAHULUAN

Elektrokardiogram atau EKG merupakan alat yang digunakan untuk merekam

aktivitas listrik sel otot jantung. Elektrokardiogram menggunakan elektroda sebagai

transduser. Elektrode yang digunakan pada ECG untuk merekam aktivitas jantung pada

umumnya bersifat disposable. Elektrode disposable memiliki keunggulan yaitu ketika

digunakan gerakan pasien tidak begitu mempengaruhi pola sinyal listrik jantung karena

elektrode disposable dapat menempel dengan kuat pada permukaan kulit oleh adanya

perekat. Elektrode disposable memiliki kekurangan yaitu hanya dapat digunakan untuk

sekali pakai sehingga pasien yang membutuhkan perekaman aktivitas jantung harus

mengeluarkan biaya ekstra untuk membeli dan mengganti elektrode setiap kali

perekaman. Pada penelitian ini, peneliti akan membuat suatu inovasi berupa elektroda

baru yang kedepannya diharapkan dapat digunakan sebagai elektroda alternatif elektrode

standart yang bersifat disposable. Penelitian ini menggunakan konsep keping

aluminium yang divariasi diameter dan ditambahkan keping magnet. Elektroda dengan

beberapa variasi kemudian digunakan untuk perekaman aktivitas listrik jantung. Hasil

perekaman aktivitas listrik jantung menggunakan elektrode yang telah dibuat pada

penelitian ini kemudian dibandingkan dengan hasil perekaman aktivitas listrik jantung

menggunakan elektrode standart. Perbandingan dilakukan untuk mengetahui apakah

elektrode yang telah dibuat pada penelitian ini berhasil menggantikan elektrode standart.

Pada penelitian sebelumnya (Erawati, 2003) telah diamati perbedaan profil

potensial listik titik akupunktur hati untuk organ hati. Hasil penelitian menunjukkan

adanya perbedaan profil potensial listrik titik akupunktur hati untuk penderita hepatitis

kronik dan sirosis hati melalui grafik fungsi frekuensi. Telah diteliti juga sebelumnya oleh

dosen biofisika Universitas Airlangga Surabaya tentang pengukuran tegangan dan

frekuensi dengan menggunakan elektrostimulator. Dari pengukuran tersebut

elektrostimulator dapat digunakan untuk mengetahui respon sel syaraf dan otot terhadap

rangsangan (stimulasi) listrik yang diberikan, terutama untuk mendapatkan gambaran

mengenai mekanisme terjadinya potensial aksi pada sel-sel tertentu. Selain itu

elektrostimulator sering digunakan dalam bidang fisioterapi untuk perbaikan dan

pemulihan keseimbangan biopotensial. Penelitian tersebut pada saat ini digunakan untuk

mata kuliah fisika eksperimental mahasiswa S1Fisika Unair Surabaya.

Pada penelitian ini akan dilakukan perekaman profil potensial listrik pada titik

akupunktur PC 6 (Neiguan), titik yang berkaitan dengan organ jantung. Pemilihan titik

akupunktur didasari oleh sifatnya yang memiliki hambatan rendah dan posisinya yang

Page 59: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013 55

sangat mudah dijangkau. Pemilihan titik akupunktur berdasarkan sifatnya

diharapkan memberikan kemudahan elektroda untuk merekam profil potensial listrik

jantung secara optimal. Dari pernyataan tersebut, ditawarkan penelitian tentang bentuk

elektroda yang tidak merusak jaringan kulit tubuh (non-invasive), yaitu dengan

menggunakan elektroda tempel saja yang ditempelkan di titik akupunktur. Pada

penelitian ini akan ditambahkan variasi diameter elektrode dan variasi penambahan

magnet, dengan asumsi medan magnet dapat memperkuat potensial listrik. Profil

potensial listrik yang dihasilkan selanjutnya dianalisis untuk indikator kelainan fungsi

organ (jantung).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat observasional komparatif.

Pengambilan vounteer dilakukan secara random. Adapun variabel penelitian :

1. Variabel bebas: diameter elektrode, penambahan magnet pada elektrode.

2. Variabel terikat: amplitudo frekuensi detak jantung di titik akupuntur PC 6

(Neiguan).

3. Variabel terkendali: lama waktu pengambilan data (±45 detik), pencuplikan data

(±6 detik).

Adapun alur permbuatan elektrode:

Gambar 1. Alur Pembuatan Elektrode

Page 60: jurnal banyak

56 Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

Gambar 2. Elektrode EKG dan Elektrode Penelitian

Masing – masing volunteer direkam profil potensial listriknya dengan melakukan

pemasangan elektrode untuk perekaman biopotensial pada titik akupunktur Neiguan (PC

6) yang berhubungan dengan organ jantung.

Gambar 3. Titik Akupunktur Neiguan

Alat perekam biopotensial yang digunakan bekerja dengan prinsip perekaman

biopotensial dengan ECG. Perekaman biopotensial menggunakan prinsip ECG

(Electrocardiograph). ECG atau EKG merupakan pemeriksaan sel otot jantung

(Widjaja, 2012). Sinyal ECG mempunyai bentuk pola gelombang P, kompleks QRS, dan

gelombang T. Sinyal ECG mempunyai rentang frekuensi yang lebar antara 60-80 Hz

untuk tiap menit.

Sinyal dideteksi pada dua sisi dari elektrode positif dan negatif yang dipasang,

rangkaian elektrik mendapatkan beda tegangan antara kedua sisi kemudian dikuatkan

beda tegangannya. Sebagai hasilnya, sinyal manapun yang common pada kedua sisi

akan dihilangkan, dan sinyal yang berbeda pada kedua sisi akan memiliki differensial

yang kemudian dikuatkan. Sinyal yang munculnya jauh dari organ yang dideteksi

akan tampak sebagai sinyal biasa, dimana sinyal yang berada disekitar area akan

berbeda pada konfigurasi ini (Carlo dan Deluca, 2000).

Sinyal yang diperoleh rentan terhadap gangguan (noise). Hal tersebut

dikarenakan, elektrode yang digunakan merupakan elektrode non-invasif sehingga sangat

Page 61: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013 57

mudah terjadi gangguan yang berasal dari adanya gangguan inheren komponen

elektronik, ketidakstabilan sinyal yang bersifat inheren karena elektrode bersifat

sensitive terhadap gerakan volunteer, ketidakstabilan penempatan selama masa

perekaman. Pada perangkat Iworx, sinyal yang dikeluarkan merupakan hasil dari

penguatan sinyal yang dilakukan 1000x dari sinyal bioelektrik masukan.

Setting alat yang digunakan adalah :

Gambar 4. Setting Alat

Tahap-tahap perekaman biopotensial organ menggunakan perangkat ini adalah :

1. Arus bioelektrik organ dikeluarkan melalui titik akupunktur kemudian diterima

elektrode non-invasive ditempatkan kemudian mengalir ke bioamplifier.

2. Sinyal yang dihasilkan tubuh sangat kecil berorde mikrovolt, sehingga dilakukan

penguatan pada bioamplifier sebesar 1000 kali agar sinyal dapat terlihat pada layar

komputer pada program Labscribe.

Tampilan sinyal dari perekaman biopotensial dapat ditunjukkan pada gambar 5

Gambar 5. Tampilan Sinyal Perekaman Biopotensial Pada Titik Akupuntur.

Page 62: jurnal banyak

58 Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

Sinyal hasil perekaman merupakan gelombang yang dipancarkan dari aktivitas

organ yang dapat dipresentasikan oleh fungsi gelombang :

dengan :

Ψ(t) : fungsi gelombang sebagai fungsi waktu

Ai : Amplitudo

ω : frekuensi penyusun gelombang

t : waktu penjalaran

Deret Fourier memperlihatkan bahwa semua fungsi periodik dapat

diekspresikan sebagai suatu kombinasi dari suku - suku pembentuknya. Fourier

menunjukan bahwa sebuah fungsi dengan periode T dapat diperlihatkan dengan deret

trigonometri dengan bentuk :

dengan=2π/T adalah frekuensi perulanga fungsi (rad/s).

Untuk fungsi genap, koefisien Fourier dalam deret Fourier dapat dihitung

dengan persamaan :

Deret Fourier memiliki beberapa sifat yang penting, yaitu frekuensi dari

bentuk sinus dan cosinus pertama adalah suatu fungsi frekuensi, dan kenaikan frekuensi

antara pembentuk-pembentuknya kenaikan n yang sebanding dengan fungsi frekuensi.

Periode pembentuk sinus dan cosinus pertama adalah sebuah fungsi, dan setiap

pembentuk dalam deret tersebut memperlihatkan sebuah bilangan bulat dari gelombang

sinus dan cosinus yang sesuai dengan periode fungsi tersebut.

Suatu fungsi f(t) dengan variasi waktu dapat ditulis sebagai sebuah persamaan

dengan parameter waktu. Fungsi tersebut juga digambarkan dalam bentuk grafik terhadap

Page 63: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013 59

waktu. Deret Fourier menawarkan sebuah representasi alternative untuk fungsi dalam

domain frekuensi. Meskipun penggambaran fungsi terhadap waktu sebuah histogram

yang dapatdiperbaiki dengan sumbu x sebagai frekuensi dan sumbu y sebagai amplitude

tiap frekuensi. Bentuk tersebut merupakan representasi domain frekuensi. Dengan

menggunakan identitas Euler,

deret Fourier dapat ditulis dalam bentuk kompleks sebagai berikut :

Dalam kelistrikan, deret Fourier dapat memperlihatkan suatu tegangan periodik.

Jika kita mengingat sebuah integral merupakan sebuah batas dari penjumlahan, deret

Fourier berubah menjadi integral Fourier. Fourier yang telah ditransformasi dapat

digunakan untuk memperlihatkan fungsi non periodic menjadi fungsi periodik dengan

periode menuju tak hingga, contohnya satu pulsa tegangan tidak berulang.

Deret Fourier hanya berlaku untuk sinyal periodik. Sedangkan transformasi

Fourier digunakan untuk sinyal aperiodik yang dianggap sebagai sinyal periodik orde tak

hingga. Jika sinyal aperiodik dianggap sebagai sinyal periodik orde tak hingga maka

periodenya diperbesar menuju tak hingga, sehingga spectrum sinyal menjadi spektrum

kontinyu. Dengan demikian penjumlahan pada deret Fourier berubah menjadi integral

dengan variabel kontinyu ὠ , bentuknya menjadi :

Gambar 5 menunjukkan contoh sinyal sebagai fungsi waktu yang sulit

dideskripsikan bentuk deret Fourier atau fungsi waktunya (sebelah kiri). Sumbu ordinat

menyatakan tegangan sebagai fungsi waktu f(t) dan sumbu absis sebagai waktu t.

Amplitudo pada tegangan fungsi waktu bergantung pada koefisien Fourier (a0, an, dan

bn), sedangkan yang mempengaruhi rapat dan renggangnya sinyal adalah frekuensi-

frekuensi (ω) penyusun sinyal tersebut. Setelah dilakukan transformasi Fourier, diperoleh

Page 64: jurnal banyak

60 Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

kurva berubah pada sumbu absis merupakan frekuensi (ω), sedangkan sumbu ordinat

merupakan Amplitudo yang ternormalisasi sebagai fungsi frekuensi F(ω).

Fast Fourier Transform merupakan suatu bentuk analisis data dengan

memanfaatkan operasi matematika yang digunakan dalam pemrosesan sinyal untuk

mengubah data dari domain waktu kontinyu menjadi domain frekuensi dengan cepat.

Konvolusi pada transformasi Fourier menunjukkan bahwa

,

Teorema Parseval secara fisis menunjukkan hubungan antara rata-rata dari kuadrat f(t)

dan koefisien Fourier (a0, an, dan bn) seperti pada persamaan berikut:

Dalam analisis sinyal ini, perangkat lunak yang digunakan adalah program

Labscribe. Pada tampilan terdapat nilai T2-T1 merupakan fasilitas untuk memudahkan

membaca rentang skala yang memiliki satuan format hh:mm:ss. Display time

menunjukkan kurun waktu perekaman. Setelah hasil perekaman ditampilkan, selanjutnya

mengklik icon analisis FFT pada program Labscribe, yaitu fungsi analisis yang mengubah

sinyal profil potensial listrik domain waktu ke domain frekuensi. Hasil yang muncul

adalah pulsa-pulsa yang menunjukkan frekuensi (sumbu-x) dari fungsi gelombang pada

sinyal listrik hasil perekaman yaitu 0-2 Hz dan 50 Hz dengan masing-masing amplitudo

mulai dari 0 sampai 1 (sumbu-y). Data diolah dengan mencuplik pada rentang waktu

yang sama, yaitu 6 sekon kemudian klik menu FFT lalu menempatkan 2 kursor sampai

mendapatkan beberapa nilai frekuensi dan amplitudonya.

Pada penelitian dilakukan variasi elektrode agar dapat diketahui elektrode yang

paling optimal untuk perekaman profil potensial listrik. Variasi yang digunakan yaitu

Page 65: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013 61

Tabel 1. Variasi Elektrode

No. Variasi yang Dilakukan Simbol

1 Elektrode 1 tanpa magnet E1TM

2 Elektrode 1 + magnet 1 E1M1

3 Elektrode 1 + magnet 2 E1M2

4 Elektrode 2 tanpa magnet E2TM

5 Elektrode 2 + magnet 1 E2M1

6 Elektrode 2 + magnet 2 E2M2

7 Elektrode 3 tanpa magnet E3TM

8 Elektrode 3 + magnet 1 E3M1

9 Elektrode 3 + magnet 2 E3M2

Dimana elektroda 1 mewakili elektrode dengan diameter 2,3 cm. Elektrode 2

mewakili elektrode dengan diameter 2,5 cm. Elektrode 3 mewakili elektrode dengan

diameter 2,8 cm. Magnet 1 mewakili magnet dengan kuat medan ±1,69mG. Magnet 2

mewakili magnet dengan kuat medan ±3,4 mG.

Dari penelitian yang telah dilakukan dihasilkan amplitude berbeda untuk tiap

frekuensi yang muncul untuk setiap variasi elektrode. Hasil penelitian dibuat dalam

bentuk tabel berikut.

Tabel 2. Rerata Amplitude pada rentang frekuensi 0-2 Hz

Elektrode Amplitudo

Standart 0,54 ± 0,1

E1 TM

E1 M1

E1 M2

0,946 ± 0,15

0,996 ± 0,16

0,984 ± 0,16 E2 TM

E2 M1

E2 M2

1 ± 0,16

1 ± 0,16

1 ± 0,16 E3 TM

E3 M1

E3 M2

1 ± 0,16

1 ± 0,16

1 ± 0,16 Tabel 3. Rerata Amplitudo pada rentang frekuensi 50 Hz

elektrode Amplitudo

Standart 0,42 ± 0,09

1 TM

1 M1

1 M2

0,23 ± 0,05

0,3 ± 0,06

0,21 ±0,05

2 TM

2 M1

2 M2

0,16 ± 0,04

0,14 ± 0,03

0,06 ± 0,01

3 TM

3 M1

3 M2

0,03 ± 0,01

0,03 ± 0,01

0,11 ± 0,02

Page 66: jurnal banyak

62 Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

Dari hasil yang diperoleh pengaruh variasi diameter terlihat pada tabel yaitu pada

frekuensi 0-2 Hz amplitude maksimal ditunjukkan oleh elektrode diameter 2 serta

diameter 3 dengan nilai 1 ± 0,16. Dari hasil yang diperoleh bisa disimpulkan bahwa

variasi diameter tidak mengubah pola grafik fungsi frekuensi, namun mempengaruhi

amplitudo/puncak frekuensi. Nilai maksimal ditunjukkan pada elektrode dengan diameter

yang lebih besar karena semakin besar diameter maka distribusi muatan cairan elektrolit

akan membentuk potensial yang lebih besar sehingga dapat merepresentasikan pola

potensial listrik yang lebih baik. Pada frekuensi noise 50 Hz amplitude minimal

ditunjukkan oleh elektrode dengan diameter 3 dengan nilai 0,03 ± 0,01. Hal ini

menunjukkan bahwa elektrode dengan diameter yang lebih besar dapat memperkecil

noise karena potensial elektrode permukaan yang diberikan akan semakin besar untuk

merepresentasikan aktivitas listrik jantung yang lebih baik sehingga dapat meminimalisir

munculnya potensial noise.

Variasi penambahan magnet tidak terlalu menimbulkan pengaruh pada hasil

perekaman profil potensial. Dari hasil tersebut bisa disimpulkan penambahan medan

magnet tidak menimbulkan pengaruh terhadap nilai amplitude dari pola-pola grafik

fungsi frekuensi. Hal ini dikarenakan medan magnet yang diberikan pada penelitian ini

tidak cukup kuat untuk memperbesar potensial elektrode permukaan. Namun medan

magnet pada dasarnya dapat mempercepat terjadinya polarisasi muatan pada cairan

elektrolit sehingga terbentuk potensial listrik yang semakin besar. Potensial listrik yang

semakin besar akan merepresentasikan aktivitas listrik jantung dengan lebih baik pada

ECG. Sedangkan untuk frekuensi noise 50 Hz amplitudo minimal ditunjukkan oleh

elektroda dengan penambahan 1 magnet dengan nilai 0,03 ± 0,005. Ada sedikit

kecenderungan semakin besar penambahan medan magnet maka semakin kecil amplitude

dari frekuensi noise. Sehingga penambahan medan magnet juga memiliki tujuan untuk

memperkecil noise yang muncul. Ketidakpengaruhan yang signifikan pada elektrode

dengan penambahan medan magnet terhadap amplitude pada frekuensi yang muncul

dapat disebabkan kuat medan magnet yang terlalu lemah, yaitu sekitar ±1,69 miligauss.

Jika dibandingkan nilai amplitude pada masing-masing variasi elektrode dengan

nilai amplitudo yang dihasilkan elektrode standart, maka dapat disimpulkan elektrode

baru yang telah dibuat memiliki amplitude yang tidak berbeda jauh dengan amplitude

yang dihasilkan elektrode standart ECG yang bersifat disposable sehingga elektrode yang

telah dibuat pada penelitian ini dapat digunakan sebagai pengganti elektrode standart.

Page 67: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013 63

Tabel 4. Perbandingan Amplitudo elektrode Hasil Penelitian Terhadap Elektrode Standart

Frek. Yang Muncul

(Hz)

Amplitudoyang dihasilkan

elektrode standart

Amplitudo yang dihasilkan

elektrode Penelitian 0 - 2 0,54 ± 0,1 1 ± 0,16

50 0,42 ± 0,09 0,03 ± 0,01

Namun pola hasil perekaman menggunakan elektrode yang telah dibuat masih

terganggu oleh gerakan volunteer karena elektrode hanya ditempelkan dan diikatkan di

pergelangan tangan menggunakan pita, berbeda dengan elektrode standart yang sudah

dilengkapi perekat sehingga elektrode dapat menempel dengan kuat dan tidak terganggu

dengan gerakan volunteer. Dari hasil yang diperoleh diharapkan untuk kedepannya

elektrode yang telah dibuat dapat digunakan sebagai pengganti elektrode standart, dengan

berbagai penyempurnaan.

KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa elektrode yang telah dibuat

dapat digunakan untuk mengganti elektrode standart karena hasil perekaman potensial

listrik menggunakan elektrode penelitian menunjukkan pola yang sama dan dapat

memunculkan nilai frekuensi yang sama dengan hasil perekaman potensial listrik namun

memiliki nilai amplitudo yang berbeda. Pengaruh diameter terhadap profil potensial

listrik titik akupunktur terlihat pada amplitude dari frekuensi yang muncul. Untuk

frekuensi 0-2 Hz amplitudo maksimal ditunjukkan oleh elektrode dengan diameter 2,5 cm

dan 2,8 cm dengan nilai A = 1 ±0,16. Untuk frekuensi 50 Hz amplitude minimal

ditunjukkan oleh elektrode dengan diameter 2,8 cm dengan nilai amplitude A =0,03 ±

0,01. Dapat disimpulkan bahwa semakin besar diameter maka amplitudo akan semakin

tinggi dan menghasilkan noise minimal. Hal ini disebabkan distribusi muatan yang

dihasilkan dengan diameter lebih besar menyebabkan potensial listrik yang lebih tinggi

sehingga dapat merepresentasikan pola potensial listrik jantung yang lebih baik.

Pengaruh medan magnet terhadap profil potensial listrik titik akupunktur tidak

terlihat pada amplitude dari frekuensifrekuensi yang muncul. Pada frekuensi 0-2 Hz

amplitudo maksimal ditunjukkan oleh semua variasi dengan nilai A = 1 ± 0,16. Untuk

frekuensi 50 Hz amplitude minimal ditunjukkan oleh elektrode dengan penambahan 1

lempeng magnet dengan nilai A = 0,03 ± 0,005. Dapat disimpulkan penambahan lempeng

magnet dapat mempercepat terjadinya polarisasi muatan pada cairan elektrolit sehingga

menimbulkan potensial listrik yang lebih besar dan dapat mempresentasikan profil

potensial yang lebih baik.

Page 68: jurnal banyak

64 Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

DAFTAR PUSTAKA

Aminatun, Izak, 2002. Bahan Ajar Fisika Zat Padat, Fisika Universitas Airlangga,

Surabaya

Aston, R, 1990, Principles of Biomedical Instrumentation and Measurement,

Merrill Publishing Company, New York.

Boas, Mary L., 1983, Mathematical Methods in the Physical Sciences Second Edition,

John Wiley & Son,Inc, Canada

Erawati, P., Astuti, S. D., dan Prijo, T. A. dkk, 2003, Analisis Profil Potensial Untuk

Kelainan Fungsional Organ, Lembaga Penelitian Universitas Airlangga, Surabaya.

Gabriel, J. F, 1996, Fisika Kedokteran,EGC, Fisika Universitas Udayana, Bali

Griffiths, D. J., 1999, Introduction to Electrodynamics, 3rd Edition, Prentice-Hall, Inc.,

New Jersey

Hall, Guyton A., 1997, Bahan Ajar Fisiologi Kedokteran (Textbook of Medical

Physiology), Diterjemahkan oleh Irawati Setiawan, Edisi 1, Penerbit Buku

Kedokteran EGC, Jakarta

Haqque,P. A. Aditta, 2012, Analisis Profil Potensial Listrik Pada Titik Akupunktur untuk

Diagnosis Penyakit Diabetes Mellitus, Fisika Universitas Airlangga, Surabaya

Hobbie, R. K. and Roth, B. J., 2007, Intermediate Physics For Medicine and Biology, 4th

Edition, Springer Science+Bussines Media, New York.

Labscribe Data Acquisition Software Manual.iWorx/ CB Sciences, Inc, Washington.

http://www.iworx.com.

Martini, H., Frederic and Nath, L., Judi,2012, Fundamentals of Anatomy and Physiology,

Ninth Edition.Sansome St, San Francisco

Saputra, Kosnadi and Idayanti, Agustin, 2005, Akupuntur Dasar, Airlangga University

Press, Surabaya.

Sinatra, L., francy, 2010, Understanding the Interaction Between Blood Flow an an

Applied Magnetic Field,University of South Florida, Florida.

Suhariningsih, 1999, desertasi, Profil Tegangan Listrik Titik Akupunktur Sebagai

Indikator Kelainan Fungsi Organ, Program Pasca Sarjana Unair, Surabaya.

Tipler, Paul, 2001, Fisika Untuk Sains dan Teknik, Edisi 3, Erlangga, Jakarta.

Petujuk Praktikum Fisika Eksperimental (Biofisika)

Venturin, Dott., Andrea, 2002, Magnetotherapy Theory and Practical Applications,

University of Padua, Italy.

Page 69: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013 65

Implementasi Learning Vector Quantization (LVQ) sebagai Alat

Bantu Identifikasi Kelainan Jantung Melalui Citra

Elektrokardiogram

Fatimatul Karimah1, Endah Purwanti

2, Adri Supardi

3

1,2,3 Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga

Email : [email protected]

ABSTRACT

Heart disease is one of the most deathly disease in the world. One of the way to

detect this disease is by reading the graph output of electrocardiograph (ECG) signal.

But, to read ECG signal isn‟t easy and need an expert people to read that. To help read

the ECG signal in this research has been design a software based on artificial neural

networks by Learning Vector Quantization method (LVQ) as a tool for identification of

cardiac abnormalities. Input of the software is a digital image of an electrocardiogram.

The electrocardiogram image, process by the method of digital image processing (pre-

processing, segmentation, morphology, and image feature extraction) obtained images of

the electrocardiogram graph ordinate represents the heart's electrical potential. The output

of the software is divided into three classes, namely the condition of normal heart,

coronary and atrial fibrillation. The maximum accuracy of this software is about 96%

with learning rate 0.1 and 0.5 of learning rate reduction.

Key words: LVQ, Electrocardiogram, Image Processing.

Page 70: jurnal banyak

66 Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

ABSTRAK

Penyakit jantung adalah penyakit yang menyebabkan angka kematian yang tinggi

di dunia. Salah satu cara pendeteksian penyakit jantung dapat dilakukan dengan

pembacaan sinyal Electrocardiograph (ECG). Namun, pembacaan perekaman ECG

(elektrokardiogram) ini cukup sulit karena memerlukan keahlian khusus. Untuk

membantu pembacaan elektrokardiogram maka, pada penelitian ini dilakukan

perancangan perangkat lunak berbasis jaringan saraf tiruan dengan metode Learning

Vector Quantization (LVQ) sebagai alat bantu identifikasi kelainan jantung. Input

perangkat lunak ini adalah citra digital elektrokardiogram. Citra elektrokardiogram

tersebut diolah menggunakan metode pengolahan citra (pre-processing, segmentasi,

morfologi citra dan ekstraksi fitur) sehingga diperoleh ordinat grafik citra

elektrokardiogram yang merepresentasikan potensial listrik jantung. Output dari

perangkat lunak ini dibagi menjadi tiga kelas yaitu, kondisi jantung normal, koroner dan

fibrilasi atrium. Tingkat akurasi maksimal perangkat lunak ini adalah sebesar 96%

dengan parameter optimal LVQ yaitu, laju pembelajaran 0,1 dan pengurangan laju

pembelajaran 0,5.

Kata kunci : LVQ, Elektrokardiogram, Pengolahan Citra.

Page 71: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013 67

PENDAHULUAN

Berdasarkan data yang dikemukakan World Heart Federation (WHF), penyakit

jantung mencapai 29,1 persen atau sebanyak 17,1 juta pasien setiap tahunnya meninggal

diseluruh dunia. Faktor risiko penyakit jantung adalah kebiasaan merokok, stress,

kurang olah raga, diabetes, obesitas, hipertensi serta hiperlipidemia atau kelebihan

lemak dalam darah, keturunan, usia, dan jenis kelamin.

Pendeteksian penyakit jantung ini dilakukan dengan melakukan perekaman

aktifitas listrik jantung menggunakan alat elektrokardiograf (ECG). Hasil perekaman

ECG ini berupa grafik waktu terhadap tegangan yang disebut elektrokardiogram.

Pembacaan elektrokardiogram ini dilakukan oleh seorang dokter. Pembacaan

elektrokardiogram ini tidak mudah, karena diperlukan keahlian khusus dan pengalaman.

Selain itu kesalahan yang terjadi dalam pembacaan elektrokardiogram juga tidak lepas

dari faktor human error. Maka dalam penelitian ini dikembangkan suatu metode jaringan

saraf untuk mengidentifikasi beberapa kelainan jantung.

Jaringan saraf tiruan merupakan model komputasi yang meniru cara kerja otak

manusia. Jaringan saraf ini menerima masukan berupa data numerik dari struktur objek

yang mengalami proses pengolahan citra yaitu, grayscalling, pencerahan, segmentasi,

morfologi citra dan ekstraksi fitur. Metode jaringan saraf yang digunakan dalam

penelitian ini adalah Learning Vector Quantization (LVQ). Metode ini dipilih karena

algoritma yang digunakan sederhana, cepat dan mempunyai keakuratan yang tinggi untuk

mendeteksi kelainan jantung.

Learning Vector Quantization (LVQ)

Learning Vector Quantization (LVQ) adalah metode pembelajaran lapisan

kompetitif yang terawasi. Suatu lapisan kompetitif akan belajar secara otomatis untuk

melakukan klasifikasi terhadap vektor input yang diberikan. Jika ada dua vektor yang

mempunyai jarak berdekatan maka akan dikelompokkan menjadi satu kelas yang sama.

(kusumadewi, 2003)

Page 72: jurnal banyak

68 Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

Gambar 1. Arsitektur LVQ

Algoritma LVQ adalah sebagai berikut:

1. Tetapkan :

Bobot (w), maksimum epoh (maxEpoh), learning rate (α), pengurangan learning rate

(Decα), minimal learning rate (Minα).

2. Masukan :

Input : x(i,j)

Target : Tk

3. Tetapkan kondisi awal :

Epoh = 0;

Error = 1;

4. Kerjakan jika :

(epoh <= maxEpoh ) atau (α >= eps)

a. Epoh = Epoh + 1;

b. Kerjakan untuk i = 1 sampai n

i. Tentukan j sedemikian hingga || x – wj || minimum (sebut sebagai Cj)

ii. Perbaiki wj dengan ketentuan:

T = Cj maka :

wj(baru)=wj(lama) + α (x-wj(lama))

T ≠ Cj maka:

wj(baru)=wj(lama) - α (x-wj(lama))

c. Kurangi nilai α

Page 73: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013 69

METODE PENELITIAN

Studi literatur dilakukan dengan mengkaji tentang kelainan pada jantung,

mempelajari diagnosa penyakit jantung terhadap hasil pemeriksaan ECG, mempelajari

metode pengolahan citra ECG dan mempelajari algoritma LVQ untuk pendeteksian

kelainan jatung. Studi literatur ini dilakukan dengan mengumpulkan jurnal dan buku

mengenai informasi terkait, selain itu juga dilakukan konsultasi dengan dokter.

Persiapan data pada penelitian ini dimulai dengan data ECG yang didapat dari Rumah

Sakit diubah dalam bentuk digital menggunakan scanner. Setelah didapatkan data ECG

dalam bentuk digital, proses persiapan data ini dilanjutkan dengan pemotongan citra.

Citra yang ada dipotong sehingga menjadi citra sepanjang 157 pixel, berdasarkan data

yang didapatkan pada penelitian ini dengan panjang citra 157 pixel cukup untuk

mendapatkan citra ECG sepanjang 1 siklus.

Setelah dilakukan persiapan data, citra tersebut lalu melalui metode pengolahan citra

sehingga didapatkan informasi yang penting pada data tersebut, selain untuk menghemat

waktu dalam proses pelatihan jaringan hal ini dilakukan juga untuk meningkatkan

keakurasian perangkat lunak.

Hasil dari pengolahan citra yang dilakukan dijadikan sebagai masukan perangkat

lunak yang kemudian akan dilakukan proses pelatihan dan pengujian untuk mendapatkan

hasil tingkat akurasi dari perangkat lunak yang dirancang.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada proses pelatihan digunakan 72 data elektrokardigram yang telah di potong

dengan ukuran sepanjang 157 pixel. Data pelatihan itu kemudian dibagi menjadi tiga

kelas yaitu, kondisi jantung normal, koroner dan fibrilasi atrial. Sebelum memulai proses

pelatihan citra elektrokardiogram terlebih dahulu dilakukan proses pengolahan citra pada

citra tersebut. Proses pengolahan citra yang dilakukan adalah pre-processing, segmentasi,

morfologi citra dan ekstraksi fitur.

Gambar 2. Citra Elektrokardiogram Asli

Page 74: jurnal banyak

70 Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

Pada proses pre-processing dilakukan proses grayscalling dan pencerahan pada

citra. Setelah itu dilakukan segmentasi pada citra dengan menggunakan metode

thresholding, Proses ini bertujuan untuk memisahkan citra dengan background. Hasil dari

proses segmentasi ini pola gambar terlihat terputus pada beberapa titik seperti pada

Gambar 3. Untuk menghubungkan kembali titik- titik yang terputus pada citra dilakukan

operasi morfologi sederhana yaitu, dilasi dan erosi. Dilasi berguna untuk menambahkan

pixel pada batas antar objek dari citra digital. Sedangkan erosi untuk menipiskan citra

digital kembali seperti bentuk citra aslinya. Proses yang terakhir adalah ekstraksi fitur,

ekstraksi fitur yang digunakan adalah mencari nilai ordinat dari pola sinyal

elektrokardiogram setelah didapatkan nilai ordinat yang diinginkan kemudian ditentukan

titik awal sebagai garis isoelektrik yang potensialnya bernilai nol (0) jika ada titik yang

berada diatas garis isoelektrik maka akan bernilai positif dan jika berada dibawah garis

isoelektrik maka akan bernilai negatif. Nilai- nilai yang didapatkan pada proses ekstraksi

fitur ini adalah sebagai representasi potensial listrik jantung.

Nilai representasi dari citra jantung yang didapatkan pada proses pengolahan citra

ini kemudian dijadikan input bagi program jaringan LVQ. Langkah awal yang dilakukan

pada proses pelatihan adalah menentukan bobot awal dari data pelatihan yang tersedia.

Dari 72 data dipilih tiga data sebagai bobot awal yang mewakili masing- masing kelas.

Gambar 3. Hasil Pengolahan Citra

Data yang digunakan sebagai bobot awal tidak digunakan lagi sebagai masukan

pada pelatihan. Data masukan pelatihan jaringan LVQ ini ada 69 data yang terdiri dari 43

data jantung normal, 23 data jantung koroner dan 6 data jantung fibrilasi atrium.

Tujuan dari proses pelatihan ini adaalah mendapatkan tingkat akurasi maksimal

dari jaringan LVQ dari serangkaian percobaan mengubah nilai parameter laju

Page 75: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013 71

pembelajaran dan pengurangan laju pembelajaran. Setelah didapatkan tingkat akurasi

maksimal pada pelatihan maka langkah selanjutnya adalah melakukan proses pengujian.

Proses pengujian dilakukan terhadap 25 data yang tidak pernah disertakan dalam

pelatihan. Data pengujian yang digunakan terdiri dari 13 data jantung normal, 5 data

jantung koroner dan 7 data fibrilasi atrial.Hasil dari percobaan yang telah dilakukan dapat

dilihat pada Tabel I.

TABEL I Tingkat Akurasi Data Pengujian Terhadap Perubahan Parameter

Decα Α Tingkat Akurasi

(%)

0,01 0,1 96%

0,01 96%

0,001 92%

0,1 0,1 92%

0,01 92%

0,001 56%

0,25 0,1 88%

0,01 84%

0,001 52%

0,5 0,1 96%

0,01 76%

0,001 52%

0,75 0,1 92%

0,01 64%

0,001 52%

Dari beberapa perubahan parameter yang digunakan pada proses pelatihan

didapatkan nilai parameter optimal pada laju pembelajaran 0,1 dan pengurangan lajhu

pembelajaran 0,5. Berdasarkan dari parameter yang optimal dari proses pelatihan pada

proses pengujian (dapat dilihat pada Tabel I) pun didapatkan Tingkat akurasi yang cukup

tinggi sebesar 96%.

Dapat dilihat pada Tabel II terjadi kesalahan pengidentifikasian pada data ke-17

yang seharusnya merupakan data jantung koroner namun diidentifikasi oleh perangkat

lunak sebagai atrial fibrilasi.

Page 76: jurnal banyak

72 Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

TABEL III Tingkat Akurasi Data Pengujian

Data ke- Target Hasil Keterangan

1 Normal Normal Cocok

2 Normal Normal Cocok

3 Normal Normal Cocok

4 Normal Normal Cocok

5 Normal Normal Cocok

6 Normal Normal Cocok

7 Normal Normal Cocok

8 Normal Normal Cocok

9 Normal Normal Cocok

10 Normal Normal Cocok

11 Normal Normal Cocok

12 Normal Normal Cocok

13 Normal Normal Cocok

14 Koroner Koroner Cocok

15 Koroner Koroner Cocok

16 Koroner Koroner Cocok

17 Koroner FibrilasiAtrium Tidak cocok

18 Koroner Koroner Cocok

19 Fibrilasi atrium Fibrilasi atrium Cocok

20 Fibrilasi atrium Fibrilasi atrium Cocok

21 Fibrilasi atrium Fibrilasi atrium Cocok

22 Fibrilasi atrium Fibrilasi atrium Cocok

23 Fibrilasi atrium Fibrilasi atrium Cocok

24 Fibrilasi atrium Fibrilasi atrium Cocok

25 Fibrilasi atrium Fibrilasi atrium Cocok

Tampilan antar muka perangkat lunak yang dibangun pada penelitian ini dapat

dilihat pada Gambar 4, pada tampilan program ini ada tombol browse untuk memilih file

citra yang ingin diidentifikasi, tombol pengolahan citra untuk melakukan proses

pengolahan citra pada citra yang dipilih, selain itu juga ada tombol Identifikasi untuk

mengidentifikasi kelainan pada citra yang dipilih. Hasil identifikasi perangkat lunak ini

ditampilkan dalam bentuk teks.

Page 77: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013 73

Gambar 4. Tampilan Proses Pengujian

KESIMPULAN

1. Pada penelitian ini diperoleh parameter optimal jaringan LVQ yaitu, laju pembelajaran

sebesar 0,1 dan pengurangan laju pembelajaran 0,5.

2. Tingkat akurasi maksimal dari pengujian terhadap 25 data uji sebesar 96% untuk laju

pembelajaran sebesar 0,1 dan pengurangan laju pembelajaran sebesar 0,5.

DAFTAR PUSTAKA

Endarko, et al. 2006. Aplikasi Pengolahan Citra Elektrokardiograf dan Jaringan Saraf

Tiruan untuk Identifikasi Penyakit Jantung Koroner. Jurnal Fisika dan

Aplikasinya. Surabaya.

Gao Qi, George. 2003. Computerized Detection and Classification of Five Cardiac

Condition, Auckland university of technology, new Zealand

Kusumadewi, Sri. 2004. Membangun Jaringan Syaraf Tiruan Menggunakan Matlab dan

Excellink. Graha Ilmu, edisi 1. Jogjakarta

Pratanu, sunoto. 1999. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, FK UI. Jilid 1 edisi ke-

3.(halaman 88-934). Jakarta.

Pratt, William K. 2007. Digital Image Processing. John Wiley and Sons, Hoboken, New

Jersey.

Page 78: jurnal banyak

74 Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

Rancang Bangun Syringe Pump Berbasis Mikrokontroler

ATmega8535 Dilengkapi Detektor Oklusi

Nada Fitrieyatul Hikmah1

, Imam Sapuan1

dan Triwiyanto2

1 Program Studi Teknobiomedik, Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi,

Universitas Airlangga, Surabaya 60115

2 Program Studi Teknik Elektromedik, Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan

Surabaya 60115

Email : [email protected]

Abstract

A research has been made to design a syringe pump tool equipped with an

occlusion detector as well as a load cell as the sensor. Syringe pump equipped with a

menu of drug volume and flow rate for injection that makes it easier for nurses to control

drug, and is equipped with a circuit for detecting the occurrence of occlusion. The

operation of syringe pump is driven by motor, so that nurses only need to determine the

drug volume dosage that will be given to the patients in the range of 1 ml to 50 ml and

flow rate in the range of 1 ml/hour to 50 ml/hour. Syringe pump that has been created, is

equipped with buzzer that is used as an alarm informing nearly empty and occlusion

stages, and final drug fluid volume has been injected. This device has a high degree of

accuracy in injecting drug fluid volume, while the flow rate variable have an accuracy

rate of 98.92% and precision rate of 99,88%. In the occlusion detector system, a load cell

sensor was used, and was able to detect the occurrence of occlusion at a pressure of 100

mmHg with an accuracy rate of 91.60%.

Keywords : syringe pump, occlusion, volume, flow rate, load cell

Page 79: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013 75

Abstrak

Telah berhasil dibuat syringe pump yang dilengkapi dengan detektor oklusi

dengan load cell sebagai sensor. Syringe pump yang berhasil dibuat dilengkapi dengan

menu volume obat dan flow rate untuk injeksi sehingga memudahkan perawat dalam

mengontrol obat, serta dilengkapi dengan rangkaian untuk mendeteksi terjadinya oklusi.

Cara pengoperasian syringe pump ini sudah digerakkan oleh motor, sehingga perawat

hanya menentukan dosis volume obat dengan rentang 1 ml hingga 50 ml dan flow rate

dengan rentang 1 ml/jam hingga 50 ml/jam yang perlu diberikan kepada pasien.

Syringe pump yang telah dibuat dilengkapi dengan buzzer yang digunakan sebagai

alarm nearly empty, oklusi, dan volume akhir cairan obat yang diinjeksikan. Alat ini

mempunyai tingkat keakuratan yang tinggi dalam menginjeksikan volume cairan obat,

sedangkan untuk variabel flow rate mempunyai tingkat akurasi sebesar 98,92% dan

tingkat presisi 99,88%. Pada sistem detektor oklusi menggunakan sensor load cell

mendeteksi terjadinya oklusi pada tekanan 100 mmHg dengan tingkat akurasi sebesar

91,60%.

Kata kunci : syringe pump, oklusi, volume, flow rate, load cell

Page 80: jurnal banyak

76 Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

I. PENDAHULUAN

Rumah sakit merupakan sistem yang sangat kompleks sehingga sulit

untuk mengontrol setiap pasien. Bagi pasien yang membutuhkan pengobatan ekstra dan

intensif, maka diperlukan suatu alat yang dapat mengontrol dosis volume penggunaan

obat dan flow rate obat yang akan diinjeksikan. Flow rate adalah banyaknya fluida

yang mengalir per satuan waktu. Alat medis yang dapat melakukan injeksi secara

otomatis adalah syringe pump. Dalam hal ini, perawat hanya memberi input pada alat

berupa volume obat yang dibutuhkan serta flow rate yang dibutuhkan pasien.

Pada beberapa kasus pasien seperti hipertensi menjelang operasi, penyakit jantung,

dan penyakit saraf, pemberian cairan obat harus dilakukan secara intensif yaitu volume

cairan obat harus tepat dengan flow rate konstan. Pada pasien kondisi kritis diperlukan

adanya perawatan intensif agar tidak terjadi ketidakseimbangan cairan pada tubuh

(Royan, 2007). Cairan obat dimasukkan ke dalam tubuh pasien melalui injeksi

intravenous untuk durasi waktu yang lama dengan flow rate disesuaikan dengan tingkat

yang tepat sehingga diperlukan jarum suntik yang dapat diprogram secara otomatis.

Syringe pump merupakan alat medis yang difungsikan untuk melakukan injeksi cairan

obat secara terus-menerus dengan tujuan terapeutik maupun diagnostik (Saidi et al.,

2010).

Sistem syringe pump dirancang dengan mekanisme pergerakan motor

(Kobayashi,2006). Pergerakan motor akan menyebabkan ulir maju sehingga mendorong

plunger (pendorong suntikan) dan proses injeksi mulai terjadi. Secara keseluruhan, sistem

syringe pump terdiri dari plunger, sebuah motor, mekanisme pompa, pengontrol

mekanisme pompa, dan alarm (Wang, 2010). Mekanisme pompa menggunakan gaya

yang mendorong plunger sehingga cairan obat pada selang terdorong menuju pembuluh

darah pasien.

Masalah yang sering timbul saat penggunaan syringe pump adalah oklusi

(penyumbatan) selama mekanisme pompa. Penggunaan syringe pump yang dipasang

secara berkelanjutan dapat menyebabkan terjadinya oklusi yang menyebabkan cairan obat

yang masuk ke dalam tubuh tidak mengalir secara konstan dan terbentuk tekanan

besar pada syringe dan aliran cairan (Wang, 2010) yang jika dibiarkan akan terjadi

pembengkakan. Oklusi dipengaruhi oleh sifat darah pasien yaitu mudahnya terjadi

koagulasi (penggumpalan), selang yang terjepit, dan adanya penggumpalan darah di

jarum menuju pembuluh darah pasien. Meninjau dari hal tersebut, maka dirancang

syringe pump dilengkapi dengan mekanisme alarm deteksi oklusi.

Page 81: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013 77

Peralatan medis termasuk syringe pump yang terdapat di rumah sakit merupakan

produk impor. Oleh karena itu, penulis telah menghasilkan syringe pump produk lokal

yang harapannya dapat dikembangkan oleh produsen instrumentasi medis di

Indonesia yaitu syringe pump dilengkapi dengan alarm sebagai indikasi adanya oklusi

dan nearly empty volume obat pada sistem tersebut. Alarm nearly empty merupakan

indikasi untuk mendeteksi volume akhir obat yang diinjeksikan syringe pump. Penelitian

yang telah berhasil dikembangkan adalah pembuatan syringe pump berbasis

mikrokontroler ATmega8535 dilengkapi dengan detektor oklusi dan nearly empty.

II. METODE PENELITIAN

A. Sistem Kerja Alat

Syringe pump yang telah dibuat bekerja dengan suatu sistem kerja yang telah

diuraikan dengan diagram blok. Adapun diagram blok syringe pump ditunjukkan

pada Gambar 1.

Gambar 1. Diagram blok syringe pump

Pada diagram blok syringe pump menggambarkan sistem syringe pump secara

keseluruhan dan hubungan antara rangkaian pendukung dengan rangkaian minimum

sistem mikrokontroler. Pemberian angka pada diagram blok syringe pump tersebut

dimaksudkan untuk mengetahui prioritas kerja pada rangkaian penyusun syringe pump.

Adapun penjelasan mengenai diagram blok syringe pump pada Gambar 1 yaitu :

Page 82: jurnal banyak

78 Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

1. Push button untuk menentukan jumlah obat yang akan diinjeksikan pada pasien

dengan rentang volume dari 1 ml hingga 50 ml serta untuk menentukan flow rate proses

penginjeksian obat dengan laju 1 ml/jam hingga 50 ml/jam.

2. LCD digunakan sebagai tampilan volume (ml) dan flow rate (ml/jam) penginjeksian

obat.

3. Saat proses injeksi dimulai, driver motor berfungsi untuk menguatkan arus kendali

dari mikrokontroler ke motor stepper.

4. Mikrokontroler akan menggerakkan motor stepper dengan driver motor sesuai dengan

masukan volume dan flow rate.

5. Optocoupler mendeteksi putaran motor stepper untuk mengetahui jumlah cairan obat

yang telah diinjeksi. Selama mekanisme pompa berjalan, sensor nearly empty mendeteksi

volume akhir obat yang diinjeksikan dan sensor oklusi mendeteksi adanya penyumbatan

selama proses injeksi.

6. Jumlah count yang telah dideteksi oleh optocoupler dikirim ke mikrokontroler untuk

dibandingkan dengan input volume. Selama proses ini, sensor nearlu empty dan

sensor oklusi mengirimkan data bit hasil ADC ke mikrokontroler untuk diproses adanya

indikasi error.

7. Mikrokontroler mengolah data-data bit yang diterima dari sensor optocoupler, nearly

empty, dan oklusi. Alarm akan berbunyi jika nilai counter yang dideteksi optocoupler

sama dengan input volume, sensor nearly empty mendeteksi volume akhir cairan

obat, atau sensor oklusi mendeteksi adanya penyumbatan tekanan di pembuluh darah

yang nilainya telah ditentukan.

B. Rancangan Hardware

1. Rangkaian catu daya

Catu daya yang digunakan pada alat syringe pump ini adalah 5V. Rangkaian catu

daya terdiri dari trafo 12V/2A, regulator 7805 untuk menstabilkan tegangan menjadi 5V,

regulator 7812, regulator 7912, diode 1N4002, kapasitor, resistor, dan LED.

2. Rangkaian minimum sistem ATmega8535

Fungsi mikrokontroler adalah sebagai otak dari suatu alat sehingga mampu

menjalankan proses yang telah diprogram. Pada rangkaian mikrokontroler membutuhkan

rangkaian RESET yang berfungsi untuk membuat mikrokontroler memulai kembali

pembacaan program. Hal tersebut dibutuhkan pada saat mikrokontroler mengalami

gangguan dalam mengeksekusi program.

Page 83: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013 79

3. Rangkaian driver motor L298

Pin VCC dan GND pada driver motor L298 dihubungkan dengan VCC dan

ground pada power supply yang mengalirkan tegangan masukan sebesar 5V. Pin

current sensing pada driver motor L298 dihubungkan ke ground. Pin enable pada driver

motor dihubungkan ke tegangan 5V untuk menjalankan motor.

4. Rangkaian LCD

LCD difungsikan untuk menampilkan tulisan berupa angka atau huruf. Pada

rancang bangun alat syringe pump ini LCD digunakan untuk menampilkan jumlah

volume cairan obat dan flow rate, serta dapat menampilkan sisa volume pada

suntikan ketika proses injeksi sedang berlangsung.

5. Rangkaian alarm

Alarm pada alat syringe pump digunakan sebagai penanda tiga keadaan.

Pertama untuk identifikasi nearly empty yaitu ketika volume cairan obat dalam suntikan

mendekati habis, kedua untuk identifikasi terjadinya oklusi, ketiga untuk identifikasi

volume cairan obat telah habis diinjeksikan.

6. Rangkaian sensor nearly empty

Indikasi untuk mendeteksi volume cairan obat mendekati habis digunakan sensor

nearly empty. Nilai hambatan pada sensor nearly empty akan berubah seiring dengan

gerak translasi dari plunger alat suntik.

7. Rangkaian penghitung count

Rangkaian penghitung count berfungsi mendeteksi putaran motor setepper untuk

mengetahui jumlah cairan obat yang telah diinjeksikan. Rangkaian penghitung count juga

berfungsi sebagai sistem deteksi gerakan motor berdasarkan putaran dari piringan sensor.

8. Rangkaian deteksi oklusi

Rangkaian deteksi oklusi pada penelitian ini dilengkapi dengan instrumentation

amplifier. Keluaran tegangan dari sensor oklusi memiliki orde kecil yaitu kisaran milivolt

sehingga diperlukan penguatan dengan menggunakan rangkaian instrumentation

amplifier yang konfigurasinya telah terdapat pada IC AD620. Hasil penguatan tegangan

dari rangkaian instrumentation amplifier ditentukan berdasarkan besarnya nilai

resistor R1 yang dihubungkan pada pin 1 dan 8 (pin RG, Resistor Gain) dari IC AD620.

Rangkaian deteksi oklusi ini dilengkapi dengan rangkaian low pass filter untuk

menghilangkan noise yang akan timbul dari sensor oklusi yang digunakan.

Page 84: jurnal banyak

80 Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

C. Rancangan Software

Syringe pump dihidupkan dengan menekan tombol ON, kemudian memasukkan

data jumlah volume obat yang akan diinjeksikan kepada pasien, lalu memasukkan

setting flow rate. Jumlah volume obat antara 1 ml sampai 50 ml. Flow rate penginjeksian

obat antara 1 ml/jam sampai 50 ml/jam. Motor stepper lalu berjalan sesuai dengan input

data volume dan flow rate. Selama motor stepper berjalan, sensor deteksi oklusi

mendeteksi adanya penyumbatan. Jika oklusi mencapai nilai yang ditentukan maka

motor stepper akan berhenti dan mikrokontroler akan membunyikan alarm. Reset alarm

dilakukan sehingga motor stepper kembali bekerja.

Jika tidak terjadi oklusi atau oklusi belum mencapai nilai yang ditentukan, maka

counter pada mikrokontroler akan mendeteksi volume cairan obat yang tersisa. Jika

volume cairan obat belum mencapai nilai nearly empty atau belum habis, maka motor

stepper akan terus berjalan. Namun, jika volume cairan obat telah mencapai nilai

nearly empty atau volume cairan obat telah habis, maka motor stepper akan berhenti

berjalan dan alarm akan berbunyi. Diagram alir software syringe pump ditunjukkan pada

Gambar 2.

Page 85: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013 81

Gambar 2. Diagram alir software syringe pump

Page 86: jurnal banyak

82 Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

D. Tahap Pengujian

Pada tahap ini dilakukan pengujian mekanik, hardware, dan software.

Untuk pengujian hardware syringe pump dilakukan pada setiap rangkaian pendukung

syringe pump. Setelah hardware, dan software selesai dikerjakan, langkah berikutnya

dilakukan uji kinerja alat meliputi uji linieritas, kalibrasi motor stepper, pengujian

volume, pengujian flow rate, dan pengujian tekanan.

1. Uji linieritas sensor nealr empty dan sensor oklusi dilakukan untuk mengetahui

kinerja sensor nearly empty berdasarkan perubahan resistansi terhadap volume cairan obat

dan kinerja sensor oklusi berdasarkan perubahan tekanan terhadap tegangan.

2. Kalibrasi motor stepper dilakukan untuk mengetahui jumlah count atau cacahan yang

dicacah oleh mikrokontroler dalam menghasilkan injeksi volume sebesar 1 ml.

Jumlah count ini didapatkan dari putaran piringan optocoupler. Alat yang diperlukan

untuk pengujian ini yaitu stopwatch dan gelas ukur 10 ml. Stopwatch yang digunakan

memiliki skala terkecil 0,01 sekon, sedangkan gelas ukur yang digunakan memiliki

skala terkecil 0,2 ml. Volume 1 ml diperoleh berdasarkan analisis perbandingan gear

(roda gigi) yang digunakan dalam sistem mekanik alat syringe pump. Nilai kecepatan

rpm motor dibandingkan dengan kecepatan rpm gear yang bersinggungan sehingga akan

diketahui jumlah count yang diperlukan untuk menghasilkan 1 ml.

3. Pengujian volume adalah pengujian yang dilakukan untuk mengetahui ketepatan

penginjeksian volume cairan obat. Pengujian ini diperlukan gelas ukur 10 ml dengan

skala terkecil 0,2 ml.

4. Pengujian flow rate bertujuan untuk mengetahui ketepatan laju alat syringe pump

dalam menginjeksikan cairan obat. Nilai flow rate (ml/jam) diperoleh dari hasil perhingan

volume (ml) dengan waktu (jam). Alat yang diperlukan untuk pengujian ini yaitu

stopwatch dengan skala terkecil 0,01 sekon dan gelas ukur 10 ml dengan skala terkecil

0,2 ml.

5. Pengujian tekanan bertujuan untuk mengetahui tegangan keluaran dari rangkaian

deteksi oklusi terhadap tekanan yang dikondisikan pada nilai-nilai tertentu. Alat yang

diperlukan untuk pengujian ini yaitu tensimeter dengan skala terkecil 2 mmHg dan

tabung pemodelan pembuluh darah intravena. Pengujian tekanan dengan tabung

pemodelan intravena ditunjukkan pada Gambar 3.

Page 87: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013 83

Gambar 3. Pengujian tekanan dengan tabung pemodelan intravena

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Analisis Mekanik

Perangkat mekanik sangat berpengaruh terhadap keberhasilan dibuatnya alat

syringe pump. Perangkat mekanik yang sesuai akan mendukung hardware dan software

sehingga alat syringe pump sesuai dengan yang diharapkan. Pada penelitian ini,

digunakan perangkat mekanik dari syringe pump merek Terumo TE-331.

Gambar 4. Perangkat mekanik alat syringe pump

Page 88: jurnal banyak

84 Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

B. Hasil Hardware

1. Rangkaian catu daya

Rangkaian catu daya yang telah dibuat mampu menghasilkan tegangan keluaran

stabil +5,06 V dan -5,06 V. Pada rangkaian catu daya menggunakan trafo step down

dengan tegangan primer 220 V dan arus 2 A. Arus yang digunakan 2 A karena

dibutuhkan untuk suplai arus motor agar dapat bekerja. Pada rangkaian catu daya

ini menghasilkan daya sebesar 10,12 watt.

2. Rangkaian main board

Rangkaian main board alat syringe pump merupakan gabungan dari beberapa

rangkaian penyusun alat syringe pump yang terdiri dari rangkaian driver motor L298,

LCD, alarm, deteksi nearly empty, penghitung count, dan minimum sistem AVR

ATmega8535. Rangkaian main board ditunjukkan pada Gambar 5

Gambar 5. Rangkaian main board alat syringe pump

Keterangan :

A = Rangkaian penghitung count

B = Rangkaian minimum sistem

C = Rangkaian alarm

D = Rangkaian LCD

E = Rangkaian driver motor

3. Rangkaian keseluruhan syringe pump

Berdasarkan hardware yang telah berhasil dibuat, maka tersusunlah perangkat

syringe pump yang terdiri dari mekanik, rangkaian catu daya, minimum sistem

ATmega8535, driver motor L298, LCD, alarm, deteksi nearly empty, penghitung

count, dan deteksi oklusi yang ditunjukkan pada Gambar 6.

Page 89: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013 85

Gambar 6. Hasil syringe pump secara keseluruhan

C. Hasil Pengujian Alat dan Analisis Data

1. Uji Linieritas

1.1 Uji Linieritas Sensor Deteksi Nearly Empty

Nilai hambatan pada sensor deteksi nearly empty akan berubah seiring dengan

gerak translasi dari plunger alat suntik. Hubungan linieritas antara hambatan sensor

nearly empty dengan volume cairan obat yang diinjeksikan ditunjukkan pada Gambar 7.

Gambar 7. Hubungan linieritas volume dengan resistansi sensor nearly empty

Page 90: jurnal banyak

86 Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

Berdasarkan Gambar 7 dapat dilihat bahwa semakin mendekati volume habis

pada alat suntik, maka nilai resistansi sensor nearly empty semakin besar. Sebaliknya,

semakin jauh dari nilai volume nearly empty, maka nilai hambatan keluaran dari sensor

nearly empty semakin kecil.

1.2 Uji Linieritas Sensor Deteksi Oklusi

Sensor oklusi digunakan untuk mendeteksi terjadinya penyumbatan pembuluh

darah pada tekanan 100 mmHg. Pada Gambar 8 menunjukkan hubungan linieritas sensor

deteksi oklusi.

Gambar 8. Hubungan linieritas tegangan keluaran sensor oklusi dengan tekanan

Berdasarkan Gambar 8 dapat dilihat bahwa semakin tinggi nilai tekanan

yang terukur, maka nilai tegangan keluaran sensor oklusi semakin besar.

2. Kalibrasi motor stepper

Kalibrasi motor stepper dilakukan untuk mengetahui jumlah count yang diperoleh

dari putaran piringan optocoupler dalam menghasilkan injeksi volume sebesar 1 ml.

Volume 1 ml diperoleh dari perhitungan pergeseran feed screw yang sama dengan

pergeseran alat suntik. Pergeseran feed screw untuk volume 1 ml ini diperoleh

berdasarkan analisis perbandingan gear (roda gigi) yang digunakan dalam sistem

mekanik alat syringe pump.

Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh volume 1 ml sama dengan pergeseran feed

screw sebesar 1,413 mm. Volume 1 ml sebanding dengan banyaknya gerak step

motor stepper sebesar 848 step. Data ini dimasukkan ke program counter agar

menghasilkan nilai volume sesuai dengan volume input.

Page 91: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013 87

3. Hasil Pengujian Volume

Setelah dilakukan kalibrasi motor stepper diperoleh bahwa untuk menghasilkan

volume sebesar 1 ml dibutuhkan 848 step dari motor stepper. Selanjutnya

dilakukan pengujian volume dari alat syringe pump untuk mengetahui ketepatan alat

syringe pump dalam menginjeksikan volume cairan obat. Hasil dari pengujian ini

dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Grafik linieritas volume

Berdasarkan Gambar 9 terlihat bahwa variabel volume alat syringe pump

memiliki tingkat akurasi 100% dengan ketelitian gelas ukur 0,2 ml.

4. Hasil Pengujian Flow Rate

Pengujian flow rate bertujuan untuk mengetahui ketepatan alat syringe pump

dalam menginjeksikan cairan obat sesuai dengan laju alir yang diinginkan. Nilai hasil

pengujian flow rate (ml/jam) diperoleh dari hasil bagi antara pengukuran volume

(ml) dan waktu terukur (jam) selama proses injeksi. Pada pengujian ini menggunakan

variasi nilai input flow rate untuk proses injeksi dengan volume input tetap 1 ml.

Hasil dari pengujian flow rate dapat dilihat pada Gambar 10.

Page 92: jurnal banyak

88 Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

Gambar 10. Grafik linieritas flow rate

Pada Gambar 10 diperoleh persamaan linearitas y = 1,028x – 0,41. Oleh

karena persamaan tersebut kurang linear (y≠1), maka dihitung nilai tingkat akurasi flow

rate. Tingkat ketepatan (akurasi) syringe pump dalam menentukan nilai flow rate dihitung

melalui persamaan :

Ketepatan alat = 100% - persentase kesalahan

= 100% - 1,08%

= 98,92%

Jadi, tingkat akurasi variabel flow rate pada alat syringe pump adalah sebesar

98,92% dan tingkat presisi 99,88%. Adanya persentase error pada variabel flow rate

disebabkan oleh berbagai faktor antara lain pengukuran waktu manual yang tidak tepat

dan pergesekan yang terjadi antara gear penyusun mekanik syringe pump.

5. Hasil Pengujian Tekanan

Pengujian tekanan bertujuan untuk mengetahui tegangan keluaran dari sensor

load cell pada tekanan 100 mmHg. Selanjutnya dilakukan pengujian tekanan dari

alat syringe pump untuk mengetahui ketepatan alat syringe pump dalam mendeteksi

tekanan 100 mmHg. Hasil dari pengujiannya dapat dilihat pada Tabel 1.

Page 93: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013 89

TABEL 1 Hasil Pengujian pada Tekanan 100 mmHg

No. Tekanan terukur (mmHg) Kesalahan (%)

1. 106 6,00

2. 100 0,00

3. 84 16,00

4. 104 4,00

5. 88 12,00

6. 89 11,00

7. 91 9,00

8. 90 10,00

9. 87 13,00

10 97 3,00

Rata-rata kesalahan : 8,40

Tingkat ketepatan (akurasi) syringe pump dalam menentukan nilai tekanan dihitung

melalui persamaan :

Ketepatan alat = 100% - persentase kesalahan

= 100% - 8,40%

= 91,60%

Jadi, tingkat akurasi variabel tekanan pada alat syringe pump adalah sebesar

91,60% dengan persentase kesalahan 8,40%. Permasalahan yang terjadi pada deteksi

tekanan dengan load cell adalah nilai tegangan yang selalu berubah pada parameter nilai

tekanan yang sama walaupun nilai tegangannya cenderung mengalami kenaikan dari

tekanan rendah hingga tekanan tinggi. Hal ini disebabkan karena pengaruh

mekanik dimana load cell akan mengalami vibrasi pada saat syringe pump

dihidupkan. Vibrasi ini berasal dari motor stepper yang bekerja.

Semakin besar nilai tekanan, maka tegangan yang terukur semakin meningkat.

Namun, hasil tegangan keluaran sensor load cell selalu berubah pada uji yang

berbeda dengan parameter nilai tekanan yang sama. Hasil tegangan keluaran load cell

tidak akan presisi dengan nilai parameter beban atau tekanan yang sama jika sistem

mekaniknya terdapat vibrasi yang mempengaruhi mekanik load cell (DS Europe srl,

1998).

Page 94: jurnal banyak

90 Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan analisis data dan pembahasan yang dilakukan dalam penelitian

ini dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Syringe pump berbasis mikrokontroler ATmega8535 telah dibuat dan dapat bekerja

dengan baik. Syringe pump ini dapat menginjeksikan cairan obat dengan tingkat

keakuratan yang tinggi pada volume mulai dari 1 ml hingga 50 ml dan pada flow rate1

ml/jam hingga 50 ml/jam. Tingkat akurasi variabel flow rate pada alat syringe

pump adalah sebesar 98,92% dengan nilai presisi 99,88%.

2. Syringe pump yang telah dibuat belum mampu secara spesifik mendeteksi terjadinya

oklusi pada nilai tekanan 100 mmHg diakibatkan karena adanya vibrasi pada load

cell. Rata-rata persentase kesalahan sebesar 8,40% dengan tingkat akurasi sebesar

91,60% untuk tekanan.

DAFTAR PUSTAKA

Basuki, H.S., 2002, Timbangan Berbasis Microcontroller MCS 51 dengan Digital Display

7 Segmen, Jurnal Elektronika dan Komunikasi, 2(3): 35-39

Butterfield, B., 2010, Monitoring and Detection of IV Line Occlusion, CareFusion,

San Diego, CA

Carr, J.J. dan Brown, J.M., 1981, Introduction to Biomedical Equipment Technology,

Prentice Hall

Dickenson, J.E., 1983, Syringe Pumps, Brit J Hosp Med : 187–191

Deutsman, A.D., Michels, W.J., dan Wilson, J.E., 1975, Mahine Design Theory and

Practice, Coller Macmillan International, Macmillan Publishing Co.Inc

DS Europe srl, 1998, Instructions For The Installation and The Use of The Load Cell,

Milano, Italy

Graham, F. dan Clark, D., 2005, The Syringe Driver and The Subcutaneous Route

in Palliative Care : The Inventor, The History and The Implications, Journal of

Pain and Symptom Management, 29(1): 32-40

Heryanto, M.A. dan Adi P, W., 2008, Pemrograman Bahasa C untuk

Mikrokontroler ATmega8535, Penerbit ANDI, Yogyakarta

Jorgensen Laboratories, 2004, Automated Syringe Pump J-1047, Jorgensen

Laboratories, Inc., Loveland

Kobayashi, S., 2006, Syringe Pump, United States Patent Application Publication, Pub.

No.: US 2006/0079833 A1

Page 95: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013 91

Pitowarno, E., 2006, Robotika: Desain, Kontrol, dan Kecerdasan Buatan, Penerbit ANDI,

Yogyakarta

Purwanto, D., 2010, Rancang Bangun Load Cell Sebagai Sensor Gaya Pada Sistem Uji,

Balai Besar Teknologi Kekuatan Struktur - BPPT

Royan, Siswono, H., 2007, Pump Syringe, Undergraduate Program Gunadarma

University

Saidi, I., Ouni, L.E., dan Benrejeb, M., 2010, Design of an Electrical Syringe Pump Using

a Linear Tubular Step Actuator, International Journal of Sciences and Techniques

of Automatic control & computer engineering, 4: 1388-1401

Sugriwan, I., Muntini, M.S., dan Pramono, Y.H., 2010, Desain dan Karakterisasi Load

Cell Tipe CZL601 Sebagai Sensor Massa Untuk Mengukur Derajat Layu Pada

Pengolahan Teh Hitam, Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya

Sularso dan Kyokatsu, S., 1983, Dasar Perencanaan dan Pemilihan Elemen Mesin,

Pradnya Paramita, Jakarta

Suryono, 2008, Rancang Bangun Sensor Pergeseran Tanah Digital, Jurnal Berkala

Fisika,4(11): 147-152

Sutrisno, 1986, Elektronika : Teori Dasar dan Penerapannya , Jilid 1, Penerbit

ITB, Bandung

Tipler, P.A., 1991, Physics for Scientists and Engineers, Third Edition, Worth Publisher,

Inc.

Wang, Y., Liu, C., Ng, H., 2010, Occlusion Detection System, United States

Patent Application Publication, Pub. No.: US 2010/0214110 A1Weir, M.R.,

2005, Hypertension, Versa Press, United States of America

Wright, S., 2003, Oral History, Hospice History Project, IOELC, Lancaster University,

UK

http://www.alldatasheet.com

Page 96: jurnal banyak

92 Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

RANCANG BANGUN SISTEM OPTIMASI INFUS DROP RATE

Kristio Mordhoko1, Franky Chandra Satria Arisgraha

2, Pujiyanto

3

Program Studi S1 Teknobiomedik Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga

Email : [email protected]

ABSTRACT

The used of infusion at various hospitals in Indonesia on average still using the

conventional method. This method had the risk of problems such as clogging after

installation. The Design of Optimization System for Drop Rate Infusion had been created,

by these problems which had a display system and better accuracy than conventional

methods. These systems had been monitored the number of drops per minute / infusion

rate and infusion drop rate control according to the setting point is set manually. These

system consisted of a sensor system consisting of a photodiode and a laser pointer,

ATMega 16 microcontroller, display systems and mechanical systems was governed by a

servo motor. This tool had 95,6% of minimum degree of accuracy and not consisted a

segnificaly different to the result of noon or night experiment.

Key word :drop rate infus, photodiode, microcontroller ATMEGA 16, servo motors.

Page 97: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013 93

Abstrak

Penggunaan infus di berbagai rumah sakit di indonesia rata-rata masih

menggunakan metode konvensional, dimana tetesan infus dievaluasi secara manual, yaitu

dengan cara mengestimasi jumlah tetesan infus dibandingkan dengan waktu dengan

menggunakan jam atau stopwatch. Metode tersebut memiliki resiko terjadinya masalah

seperti terjadinya penyumbatan setelah pemasangan, dimana tekanan intravena naik

secara tiba-tiba atau kehabisan cairan saat tetesan infus mulai mengecil (jumlah

tetesannya sedikit) yang akan berbahaya bagi pasien jika tidak segera ditangani. Alat

pengendalian drop rate infus otomatis ini berguna dalam memonitoring jumlah tetesan

infus per menit/rate infus dan mengontrol laju tetesan infus sesuai dengan set point yang

dikendalikan secara manual. Sistem ini disusun dengan menggunakan sistem sensor yang

terdiri dari fotodioda dan laser pointer, mikrokontroler ATMEGA 16, sistem display dan

sistem mekanik yang dikendalikan dengan menggunakan motor servo. Tingkat error

tertinggi alat ini sebesar 4,4% dan mudah dalam pengoperasiannya.

Kata kunci : Drop rate infus, Fotodioda, Mikrokontroler ATMEGA 16, Motor Servo.

Page 98: jurnal banyak

94 Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

PENDAHULUAN

Kandungan air pada tubuh seseorang adalah 70% dari berat tubuh bebas lemak.

Air tubuh total dari seseorang normal terdiri dari cairan ekstraseluler dan cairan

intraseluler. Perubahan konsentrasi, volume, dan susunan partikel kedua cairan ini

merupakan salah satu patokan diagnosa klinis dan pengobatan beberapa penyakit yang

mengganggu keseimbangan cairan tubuh (Vanatta, et al 2010). Pemberian cairan infus

intravena (intravenous fluids infuson) ke dalam tubuh dengan sebuah jarum melalui

pembuluh vena yang digunakan untuk mengganti cairan tubuh. Pemberian cairan infus

merupakan hal yang mutlak dilakukan selama pasien tersebut menjalani perawatan.

Dalam penggunaan infus secara manual untuk mengetahui jumlah tetesan yang akan

diberikan kepada pasien, perawat harus menghitung tetesannya sambil melihat jam tangan

selama satu menit. Metode tersebut memiliki resiko terjadinya masalah seperti terjadinya

penyumbatan setelah pemasangan, dimana tekanan intravena naik secara tiba-tiba atau

kehabisan cairan saat tetesan infus mulai mengecil (jumlah tetesannya sedikit) yang akan

berbahaya bagi pasien jika tidak segera ditangani.

DASAR TEORI

Cairan Intravena

Terapi intravena adalah tindakan yang dilakukan dengan cara memasukkan

cairan, elektrolit, obat intravena dan nutrisi ke dalam tubuh melalui intravena. Tindakan

ini sering merupakan tindakan life saving seperti pada kehilangan cairan yang banyak

atau dehidrasi. Pemilihan pemasangan terapi intravena didasarkan pada beberapa faktor,

yaitu tujuan dan lamanya terapi, diagnosa pasien, usia, riwayat kesehatan dan kondisi

vena pasien. Set cairan infus terdiri dari 1 botol cairan infus lengkap dengan selang infus,

klem infus, dan jarum infus.

PROSEDUR PENELITIAN

Prosedur proses ini dilakukan dengan beberapa tahapan yaitu, persiapan desain

diagram blok alat, perancangan hardware, perancangan software. Diagram blok alat

dijelaskan pada Gambar 1.

Page 99: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013 95

Gambar 1 Diagram Blok Sistem

Laser pointer dan fotodioda akan menjadi 2 elemen primer dalam pendeteksian

drop rate infus. Sensor ini diletakkan pada tabung infus. Sistem sensor ini dilengkapi

dengan laser pointer sebagai masukan dan fotodioda sebagai detektor sinar dari laser

pointer.

Gambar 2 Sistem dan Rangkaian Sensor

Ketika ada cairan infus yang menetes maka pada penerima sinyal sensor akan

mendeteksi adanya perubahan intensitas cahaya. Komparator berfungsi sebagai

pembanding tegangan saat terjadi tetesan atau tidak dan Komparator berfungsi sebagai

pemberi logika 1 dan 0 pada input mikrokontroler.

Gambar 3.Rangkaian Komparator

Perubahan sinyal tersebut akan mengakifkan counter pada mikrokontroler yang

akan melakukan proses penghitungan rate infus dengan menggunakan 2 tetesan sampel

Page 100: jurnal banyak

96 Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

infus. Jika rate tersebut sama dengan set point masukan maka mikrokonroler tidak akan

memberikan sinyal PWM ke motor, jika rate infus tidak sama dengan set point maka

mikrokontroler akan memberikan sinyal PWM ke motor servo yang akan digunakan

dalam memutar sistem mekanik hingga rate infus sama atau mendekati nilai setting pada

rate infus.

Gambar 3 Sistem Mekanik

Pembuatan perangkat lunak pada sistem ini berdasarkan pada diagram blok pada

Gambar 4.

Gambar 4 Diagram Alir Pembuatan Software

Page 101: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013 97

Sistem ini bekerja saat diberi set point awal yang merupakan nilai dari drop rate

yang akan digunakan. Setelah mengatur nilai set point, mikrokontroler akan bekerja

menghitung internal timer mikrokontroler hingga terjadi tetesan. Setelah terjadi tetesan,

tetesan tersebut akan digunakan dalam mengaktifkan ICP1 (Input Capture Pin Timer 1)

yang akan melakukan proses interupsi Input Capture Event yang bekerja pada saat

perubahan logika 1 menjadi logika 0. Jika nilai drop rate melebihi nilai set point, maka

motor pada sistem mekanik alat akan bergerak berlawanan jarum jam dengan tujuan

melonggarkan selang infus. Sebaliknya jika nilai drop rate dibawah nilai set point maka

motor pada sistem mekanik alat akan bergerak searah jarum jam dengan tujuan menekan

selang. Seluruh hasil pembacaan rate akan ditampilkan di LCD dan selama itu LED sign

akan bekerja memberikan status sistem.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada penelitian yang telah dilakukan diperoleh hasil pengujian data hasil counter

internal clock mikrokontroler dengan berbagai variasi dari rate infus yang terdeteksi dapat

dilihat pada Tabel 1

TABEL 1Hasil penentuan timer internal mikrokontroler agar menghasilkan drop rate

yang diinginkan

Timer mikrokontroler yang berorde mikro sekon dapat dikonversikan ke dalam

detik dan dihitung dengan persamaan :

𝑦 =600000

𝑡 − 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑎𝑙𝑇𝑒𝑡𝑒𝑠

𝑠𝑒𝑐

Berdasarkan penelitian yang dilakukan sistem mekanik klem infus otomatis

terdiri dari satu buah motor servo GWS S03N STD , sebuah penampang mekanik (tempat

mekanik), dan roller menggunakan material arcylic dapat bekerja sesuai yang diharapkan

yakni menjepit dan mengedurkan selang infus. Tetapi masih terdapat beberapa kesalahan

fabrikasi diantaranya kurangnya diameter alat yang seharusnya 3cm, menjadi hanya 2,20

± 0,005cm. Kesalahan-kesalahan fabrikasi dapat dilihat pada gambar 5.

1 19,6 3081

2 26,5 2257

3 32,8 1827

4 45,6 1315

5 58,5 1024

6 64,7 927

7 71,7 836

No.Rate Infus

(Tetes/Menit)

Timer / Counter

(Mikro Sekon)

Page 102: jurnal banyak

98 Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

Gambar 5. Mekanik klem infus hasil fabrikasi

Kesalahan fabrikasi ini menyebabkan beberapa gangguan pada sistem Karena

berbeda diameter tingkap lingkar dan kurang meratanya permukaan menyebabkan

perbedaan penekanan pada sisi yang kurang sehingga menyebabkan perubahan tetesan

yang tidak stabil.

Pengujian alat dilakukan pada siang dan malam hari dengan 7 set point yang

berbeda. Pengujian ini berlangsung selama ± 5 jam dengan 5 percobaan dengan inteval

waktu percobaan yang sama yakni 1 menit dengan hasil yang diperlihatkan pada Tabel 2

dan Tabel 3.

TABEL 2 Hasil pengamatan kerja alat pada saat percobaan siang hari

TABEL 3 Hasil pengamatan kerja alat pada saat percobaan malam hari

1 30 29,5 28

2 35 36,54 35,6

3 40 41,08 41

4 45 45,6 45,6

5 50 51,06 51,8

6 55 55,48 55,8

7 60 60,28 60,4

No.

Setting yang

dikehendaki

(Tetes/menit)

rata-rata

permbacaan alat

(tetes/menit)

rata-rata

pembacaan manual

(tetes/menit)

1 30 30,9 30,8

2 35 35,2 35,2

3 40 40,3 41,0

4 45 45,7 46,0

5 50 48,0 49,2

6 55 55,4 55,6

7 60 59,8 60,0

No.

Setting yang

dikehendaki

(Tetes/menit)

rata-rata

pembacaan alat

(tetes/menit)

rata-rata

pembacaan manual

(tetes/menit)

Page 103: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013 99

Pada Tabel 2 dan 3 terlihat bahwa perbedaan antara kedua variabel antara rata-

rata pembacaan alat dengan rerata pengamatan langsung terhadap tetesan infus yang

terjadi tidak terlalu signifikan..

Untuk pengujian perhitungan kebenaran tetes per menit yang terdeteksi sensor,

dilakukan dengan mencari persen error dan standar deviasi. Tiap-tiap nilai dari berbagai

setting point diolah dan dicari nilai rata-ratanya. Sehingga pada Tabel 4 dan Tabel 5

diperlihatkan hasil pengolahan tingkat error hasil pembacaan alat dan tingkat akurasi alat

ini.

TABEL 4 Hasil pengolahan data pada masing-masing setting point untuk data siang hari

TABEL 5 Hasil pengolahan data pada masing-masing setting point untuk data malam hari

Telihat pada Tabel 4 untuk data pada waktu siang hari, Rata-rata pengukuran

pada 2 keadaan waktu yang berbeda menunjukkan persentase error tertinggi sebesar

4,4%. Sedangkan pada Tabel 5 untuk data pada malam hari menunjukkan presentase

error tertinggi sebesar 3,13. Terlihat bahwa Tabel 4 dan Tabel 5 memiliki nilai error

tertinggi sebesar 4,4%, sehingga alat ini dapat dikatakan lebih akurat dari sistem

1 30 0 0,70711 1,66667 98,333

2 35 1,29538 1,14018 4,4 95,6

3 40 1,19666 0,70711 2,7 97,3

4 45 0 0,89443 1,33333 98,667

5 50 0,70569 1,78885 2,12 97,88

6 55 0,55857 0,83666 0,87273 99,127

7 60 0,93381 1,14018 0,46667 99,533

1,94 98,06 rata-rata

No.

Setting yang

dikehendaki

(Tetes/menit)

STDEV

alat

STDEV

manual

error

Alatakurasi

1 30 0,98387 0,83666 3,1333 96,867

2 35 0,68775 0,83666 0,6857 99,314

3 40 1,27593 0,70711 0,65 99,35

4 45 0,95394 1,58114 1,5556 98,444

5 50 0,08944 0,83666 4,08 95,92

6 55 1,35647 1,14018 0,7273 99,273

7 60 2,12791 1,58114 0,4 99,6

1,6046 98,395rata-rata

Setting

yang

dikehenda

ki

STDEV

alat

STDEV

manual

error

alatakurasiNo.

Page 104: jurnal banyak

100 Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

konvensional.

Uji lain yang dilakukan berupa uji beda-t antara keadaan pengukuran dengan

setting point. Perlakuan pertama yakni sistem diteliti pada malam hari dan Perlakuan

kedua diteliti pada siang hari dengan hasil :

Pada Uji normalitas memperlihatkan hasil segnifikansi sebesar 0,200 (>α=0,05),

sehingga dapat dikatakan bahwa data terdistribusi normal. Setelah diuji normalitas hasil,

dilakukan uji homogenitas data. pada Uji homogenitas didapatkan hasil segnifikansi

sebesar 0,914 (>α=0,05) sehingga dapat dikatakan data sampel berasal dari populasi yang

memiliki variansi yang sama

Untuk uji dua sampel, dilakukan uji Levene‟s Test untuk mengetahui apakah

asumsi kedua variance sama besar terpenuhi atau tidak terpenuhi. Dari hasil tersebut

didapat segnifikansi sebesar 0,917 (>α=0,05), sehingga H0 diterima. Dapat ditarik

Page 105: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013 101

kesimpulan bahwa keadaan pengukuran siang hari menunjukkan kesamaan hasil

pembacaan drop rate pada pengukuran yang dilakukan pada malam hari. Lebih lanjut

dapat disimpulkan bahwa alat yang telah dirancang dan dibangun memiliki kesamaan

hasil pembacaan drop rate infus yang relatif sama pada waktu dan keadaan intensitas

cahaya yang berbeda.

Kesimpulan

Berdasarkan analisis data dan pembahasan yang dilakukan dalam penelitian ini

dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Alat yang dibuat lebih mudah penggunaannya dibanding asistem konvensional.

Sistem display dan pemilihan menu pada alat ini lebih baik dan lebih mudah

pengamatannya sehingga dapat dikatakan sistem ini dapat bekerja dengan baik

2. Sistem Optimasi Infus Drop Rate yang telah dibuat dan diuji coba telah

menunjukkan hasil yang akurat dengan rata-rata pengukuran menunjukkan

persentase error maksimal sebesar 4,4% Sehingga alat ini dapat dikatakan lebih

akurat dari sistem konvensional.

Daftar Pustaka

Cameron,John.R dkk.2006.Fisika Tubuh Manusia. EGC : Jakarta

Davidovits, Paul.2008. Physics in Biology and Medicine. Elsevier, Academic

Press ;Amsterdam

Handaya,Yuda.2010.Infus Cairan Intravena (Macam-macam cairan Infus)

Online]. Tersedia:http://www.docstoc .com/docs/80493963/INFUS-

CAIRAN- INTRAVENA. Diakses 19 November 2011pukul ;

21.55WIB

S,Wasito.2006.Vademekum Elektronika : Edisi Kedua. Gramedia Pustaka Utama :

Jakarta.

Andrianto, Heri. 2008. Pemrograman Mikrokontroler AVR ATMEGA 16

Menggunakan Bahasa C (Code Vision AVR).Informatika : Bandung.

Putra,Indra.P..2011. Sistem Kontrol dan Monitoring Infus Multi Bed. Surabaya :

DIII Otomasi Sistem Instrumentasi Universitas Airlagga

Vanatta, John.C dan Fogelman, Morris.J.2010 .Buku Saku Moyer Keseimbangan

Cairan dan Elektrolit. Binarupa Aksara Publisher :Tangerang.

Page 106: jurnal banyak

102 Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

Sintesis Bahan Cetak Gigi Natrium Alginat dari Alga Coklat

Sargassum sp. yang Berpotensi Untuk Aplikasi Klinis

Windi Aprilyanti Putri1)

Siswanto2)

Prihartini Widiyanti2)

1) Program Studi S1 Teknobiomedik angkatan 2008, Departemen Fisika, Fakultas Sains

dan Teknologi, Universitas Airlangga. 2)

Staf Pengajar Program Studi Teknobiomedik,

Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga.

ABSTRACT

This study outlines the synthesis of sodium alginate dental impression material

that was extracted from brown algae Sargassum sp. with five variations of trisodium

phosphate as its retarder. The aim of adding a retarder material was to obtain longer

hardening or setting time than that of a commercial product which is ± 4 minutes. The

tests performed were FTIR, porosity and setting time. The FTIR test result showed that

the sample extracted from brown algae Sargassum sp. was found to be sodium alginate

with the emergence of (OH), (C=O), (C-O), and (O-Na) absorbance. The result of this

study showed that caracteristics of sodium alginat dental impression material which has

6.42% porosity. Formula of sodium alginate dental impression material is far from

commercial product but with 1% trisodium phosphate, sodium alginate dental impression

material was a potential prosetase for clinical application with 6 minutes and 29 seconds

setting time.

Keywords: Sargassum sp., sodium alginate, dental impression materials.

Page 107: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013 103

ABSTRAK

Penelitian ini mengkaji sintesis bahan cetak gigi natrium alginat yang diekstrak

dari alga coklat Sargassum sp. dengan lima variasi bahan pemerlambat trinatrium fosfat.

Tujuan penambahan bahan pemerlambat adalah untuk mendapatkan waktu pengerasan

atau setting time ± 4 menit. Pengujian yang dilakukan meliputi FTIR, porositas, dan

setting time. Hasil FTIR membuktikan sampel yang diekstrak dari alga coklat

Sargassum sp. merupakan natrium alginat dengan munculnya serapan (O-H), (C=O),

(C-O), dan (O-Na). Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahan cetak gigi natrium

alginat memiliki karakteristik porositas sebesar 6,42%. Formula bahan cetak gigi yang

dihasilkan masih jauh dari produk komersil namun dengan penambahan bahan

pemerlambat trinatrium fosfat 1% bahan cetak yang dihasilkan berpotensi untuk

aplikasi bahan cetak gigi dengan lama waktu setting 6 menit 29 detik.

Kata kunci : Sargassum sp., natrium alginat, bahan cetak gigi.

Page 108: jurnal banyak

104 Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 1, No. 3, Agustus 2013

PENDAHULUAN

Bahan cetak gigi tiruan yang digunakan dalam bidang Kedokteran Gigi adalah

alginat. Alginat dipilih karena keakuratannya dalam reproduksi gigi tiruan, kenyamanan

pasien, serta pencampuran dan modifikasi yang mudah dengan peralatan yang

sederhana (Anusavice, 2004).

Bahan cetak alginat adalah suatu bahan cetak golongan hidrokoloid bersifat

elastis yang irreversible. Hidrokoloid irreversible berarti bahwa setelah alginat

dicampur dengan suatu zat dan terjadi reaksi kimia, maka alginat tidak dapat kembali ke

bentuk semula. Komponen utama bahan cetak hidrokoloid irreversible adalah natrium

alginat. Apabila natrium alginat dicampur dengan air maka akan terbentuk sol dan

sebagai pereaksi dapat ditambahkan kalsium sulfat. Tanah diatom dan silika gel

ditambahkan sebagai bahan pengisi yang berfungsi untuk menambah kekuatan,

kekerasan, mempengaruhi waktu pengerasan, dan sifat fisis gel alginat. Bahan

pemercepat dan pemerlambat diperlukan untuk mengatur waktu pengerasan Kalium

sulfat ditambahkan sebagai bahan pemercepat. Natrium atau trinatrium fosfat berfungsi

sebagai bahan pemerlambat (Situngkir, 2008). PEG (Polyethylene Glikol) ditambahkan

untuk melapisi bubuk bahan cetak agar tidak mengepul seperti debu.

Pada keadaan klinis, waktu pengerasan bahan cetak alginat cenderung terlalu

cepat (3-4 menit) sehingga para dokter gigi melakukan modifikasi rasio air terhadap

bubuk bahan cetak. Modifikasi tersebut mempengaruhi sifat gel dan kekuatan cetakan

terhadap robekan. Oleh karena itu, waktu pengerasan lebih baik diatur oleh jumlah

bahan pemerlambat yang tepat saat sintesis bahan cetak (Anusavice, 2003).

Prosentase bahan cetak gigi yang tepat menghasilkan cetakan yang akurat.

Keakuratan bahan cetak gigi didukung oleh waktu pengerasan yang dipengaruhi oleh

prosentase bahan pemerlambat trinatrium fosfat yang ditambahkan. Prosentase

trinatrium fosfat pada bahan komersil adalah sebesar 2%. Semakin banyak bahan

pemerlambat trinatrium fosfat yang ditambahkan, semakin memperpanjang waktu

pengerasan bahan cetak.

Situngkir (2008) telah melakukan penelitian mengenai adanya pengaruh bahan

pemerlambat yaitu trinatrium fosfat dan kalium oksalat terhadap bahan cetak alginat.

Bahan cetak yang menggunakan trinatrium fosfat 0,3 gram menghasilkan permukaan

yang lebih rata, homogen, dan memiliki temperatur penguraian tertinggi yaitu 550⁰C.

Namun penelitian yang dilakukan oleh Situngkir (2008) tidak menambahkan bahan

Page 109: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | No. 1, Vol. 3, Agustus 2013 105

pengisi dan pemercepat seperti pada bahan cetak yang diproduksi pabrik. Penelitian

juga tidak difokuskan pada waktu pengerasan akibat adanya bahan pemerlambat.

Ketersediaan alginat pada penelitian sebelumnya didapatkan dari luar negeri

(import). Alginat merupakan suatu bahan yang terkandung dalam alga coklat. Salah satu

alga coklat yang melimpah di perairan Indonesia dengan nilai yang ekonomis adalah

Sargassum sp. Sargassum sp. mempunyai potensi untuk dapat dikembangkan dan

dimanfaatkan sebagai penghasil natrium alginat yang merupakan bahan baku

pembuatan bahan cetak gigi alginat. Penelitian mengenai pemanfaatan dan ekstraksi

natrium alginat dari rumput laut Sargassum sp. di Indonesia telah banyak dilakukan.

Namun belum dimanfaatkan dan diproduksi langsung sebagai bahan cetak gigi.

Oleh karena itu, penelitian mengenai pemanfaatan sumber daya alam lokal

Sargassum sp. sebagai bahan cetak gigi penting dilakukan. Penelitian mengenai waktu

pengerasan penting dilakukan untuk menjawab kebutuhan klinis agar kinerja dokter gigi

lebih efisien. Maka pada penelitian ini, dilakukan sintesis bahan cetak gigi natrium

alginat dari alga coklat Sargassum sp. dengan variasi prosentase bahan pemerlambat

trinatrium fosfat untuk mendapatkan waktu pengerasan yang optimum (±4 menit).

Dilakukan pengujian yang sesuai dengan aplikasi klinis meliputi porositas dan setting

time.

BAHAN DAN METODE

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Sargassum sp., aquades, air,

HCl 5%, Na2CO3 4%, NaOCl 12%, NaOH 10%, isopropanol (IPA), kalsium sulfat,

silika gel, kalium sulfat, PEG, tanah diatoma, dan trinatrium fosfat.

Pembuatan sampel dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua yaitu, ekstraksi

natrium alginat dan sintesis bahan cetak gigi. Alga coklat Sargassum sp. diperoleh dari

Selat Madura diekstraksi menjadi natrium alginat. Alga coklat Sargassum sp. yang

sudah kering direndam dengan larutan HCl 1% dalam beaker glass selama 1 jam.

Setelah 1 jam perendaman dalam larutan asam, alga coklat dicuci sampai bersih.

Ditambahkan Na2CO3 4 % dalam beaker glass dan dipanaskan dengan suhu 60⁰C

selama 2 jam. Alga coklat kemudian diencerkan dengan aquades dan dierasi selama ±

30 menit. Setelah dierasi, alga coklat disaring. Hasil saringan kemudian dipucatkan

(bleaching) dengan menambahkan larutan NaOCl 12 % sambil diaduk hingga merata.

Ditambahkan HCl 5% sampai pH 2-3 sehingga filtratnya menjadi asam alginat. Tahap

selanjutnya yaitu disaring untuk mendapatkan asam alginat berupa gumpalan busa.

Page 110: jurnal banyak

106 Jurnal Fisika dan Terapannya | No. 1, Vol. 3, Agustus 2013

Gumpalan busa dicuci dengan air agar tidak membawa residu-residu asam yang

berbahaya dan ditambahkan NaOH 10% hingga pH 9. Asam alginat yang telah

dikonversi menjadi natrium alginat ditambah IPA (99%) dengan perbandingan 1:2 (IPA

: asam alginat). Natrium alginat yang telah terpisah disaring dan dikeringkan. Hasil

ekstraksi tersebut berupa bubuk natrium alginat dan diolah menjadi bahan cetak natrium

alginat.

Pembuatan bahan cetak gigi natrium alginat dilakukan dengan cara

mencampurkan semua bahan dengan menggunakan mortar. Bahan penyusun bahan

cetak gigi natrium alginat terdiri dari natrium alginat 19%, kalsium sulfat 40%, kalium

sulfat 15%, tanah diatom 4%, silika gel 15%, dan PEG 7%. Sampel bahan cetak dibuat

dengan lima variasi prosentase trinatrium fosfat yaitu 1% (sampel A), 2% (sampel B),

3% (sampel C), 4% (sampel D), dan 5% (sampel E). Pengujian sampel meliputi FTIR,

porositas, dan setting time.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tahap ekstraksi natrium alginat dari Sargassum sp. mengacu pada metode

ekstraksi dalam penelitian oleh Juniarto (2006) dan Rasyid (2010) yang dimodifikasi.

Proses pengeringan menggunakan freeze drying untuk mendapatkan natrium alginat

yang mudah dihaluskan. Bubuk natrium alginat berwarna krem, tidak berbau, dan larut

dalam air membentuk larutan yang kental. Hasil tersebut sesuai dengan Persyaratan

Farmakope 1974 dalam Tomitro 1997. Bubuk natrium alginat diuji menggunakan FTIR

untuk mengetahui hasil ekstraksi natrium alginat yang terbentuk.

Spektrum FTIR natrium alginat (C6H7O6Na)n hasil penelitian ini ditunjukkan

oleh puncak-puncak serapan pada frequensi 3465,4, 1658,48, 1413,57, dan 1026,91cm-

1. Menurut PAVIA et al. (1979) puncak serapan 3.500 cm-1 - 3200 cm-1 adalah

spesifik untuk kelompok hidroksil (O-H), puncak serapan 1600 cm-1 – 1680 cm-1

untuk kelompok karbonil (C=O) dan puncak serapan antara 1000 – 1300 cm-1 untuk

kelompok karboksil (CO). Sedangkan natrium dalam isomer alginat terletak pada

puncak serapan 1614 cm-1 dan 1431 cm-1 (SOARES et al. 2004). Berdasarkan puncak

yang terbentuk menunjukkan bahwa bubuk yang dihasilkan dari ekstraksi alga coklat

Sargassum sp. adalah bubuk natrium alginat.

Page 111: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | No. 1, Vol. 3, Agustus 2013 107

Gambar 1. Spektrum infra merah natrium alginat.

Formula bahan cetak yang dapat mengeras diperoleh setelah 22 kali percobaan

formula yang didapatkan dengan cara menambah dan mengurangi prosentase kalsium

sulfat sebagai agen pengeras dan komposisi lain. Formula tersebut adalah sebagai

berikut : natrium alginat 19%, kalsium sulfat 40%, kalium sulfat 15%, silika gel 15%,

tanah diatom 4%, dan PEG 7%. Setelah mendapatkan formula terbaik, ditambahkan

retarder atau bahan pemerlambat berupa trinatrium fosfat dengan variasi 1%, 2%, 3%,

4%, dan 5%. Bubuk bahan cetak berwarna coklat muda dan tidak berbau seperti pada

Gambar 2.

Gambar 2. Bahan cetak gigi natrium alginat

Bahan cetak dengan 4% trinatrium fosfat (sampel D) dan bahan cetak dengan 5%

trinatrium fosfat (sampel E) yang menunjukkan nilai porositas yang lebih kecil

dibanding sampel yang lain (data pengukuran porositas dapat dilihat pada Lampiran 5).

Page 112: jurnal banyak

108 Jurnal Fisika dan Terapannya | No. 1, Vol. 3, Agustus 2013

Hal tersebut dapat disebabkan bahan penyusun bahan cetak sudah tercampur lebih rata

dan lebih halus. Hal tersebut bisa terjadi karena pada proses pencampuran formula

bahan cetak yang menggunakan mortar dilakukan secara manual sehingga tekanan yang

diberikan bisa berbeda meskipun waktu yang digunakan sama pada semua sampel.

Selain itu, teknik pencampuran bubuk bahan cetak dengan air juga

mempengaruhi kualitas bahan cetak. Pada pengujian ini digunakan spatula dari plastik

yang kurang lentur, sehingga pengadukan kurang maksimal dan mempengaruhi hasil

cetakan. Pengadukan yang baik menghasilkan campuran yang halus (Sitinjak, 2001).

Hasil cetakan seperti tidak rata dan mudah sekali retak. Mudahnya bahan mengalami

retak menunjukkan porositas bahan yang besar. Hal tersebut menimbulkan poros yang

terbentuk lebih besar bila dibandingkan dengan kontrol.

Sampel yang nilai porositasnya semakin kecil dan mendekati nilai porositas

kontrol menunjukkan nilai uji porositas yang lebih baik. Bahan cetak dengan

penambahan 4% trinatrium fosfat (sampel D) dan bahan cetak dengan penambahan 5%

trinatrium fosfat (sampel E) dengan persen porositas yang paling mendekati persen

porositas kontrol yaitu 3,61 % dan 3,98 % merupakan sampel yang terbaik pada uji

porositas.

Waktu pengerasan berperan penting untuk membantu kinerja dokter gigi lebih

efisien dan berperan pada faktor kenyamanan pasien. Dengan waktu 4 menit 30 detik

terkadang dokter gigi harus bekerja ekstra agar bahan cetak mengeras tepat pada

waktunya. Untuk memperlama waktu pengerasan biasanya digunakan air panas atau

dengan menambah jumlah air saat pencampuran. Modifikasi tersebut mempengaruhi

hasil cetakan. Sedangkan faktor kenyamanan pasien juga harus dipertimbangkan, agar

Page 113: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | No. 1, Vol. 3, Agustus 2013 109

pasien tidak mengangah terlalu lama. Oleh karena itu, meskipun bahan cetak natrium

alginat yang disintesis melebihi ketentuan ADA No. 18 tahun 1969 tetapi berdasarkan

ketentuan ADA tahun 1974 (dalam Huzaini, 1996) waktu pengerasan sekurangnya atau

sama dengan 20 menit maka bahan cetak natrium alginat dapat dikatakan sesuai dengan

ketentuan.

Akan tetapi, karena faktor kenyamanan pasien yang penting untuk

dipertimbangkan maka formula terbaik dari hasil pengujian ini adalah sampel dengan

waktu pengerasan yang optimum (±4 menit). Maka bahan cetak dengan penambahan

1% trinatrium fosfat (sampel A) merupakan sampel terbaik pada pengujian waktu

pengerasan ini dengan waktu pengerasan paling cepat.

KESIMPULAN

Bahan cetak natrium alginat yang dihasilkan memiliki karakteristik porositas

sebesar 6,42%. Penambahan 1% trinatrium fosfat menghasilkan bahan cetak dengan

lama setting time 6 menit 29 detik yang berada pada rentang waktu pengerasan untuk

aplikasi klinis. Formula bahan cetak gigi natrium alginat dari Sargassum sp. yang

ditemukan masih jauh dari produk komersil yang ada.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Prihartini Widiyanti,drg.,M.Kes.

atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk terlibat langsung dalam Riset

Unggulan PT tahun 2012 dan rekan-rekan Biomaterial Teknobiomedik atas bantuan

dan kerjasamanya selama penelitian berlangsung.

Page 114: jurnal banyak

110 Jurnal Fisika dan Terapannya | No. 1, Vol. 3, Agustus 2013

DAFTAR PUSTAKA

American Dental Association Specification No. 18 for Alginate Impression Material,

May 1969.

Anggadiredja, Jana T. dkk. 2010. Rumput Laut. Jakarta: Penebar Swadaya.

Anusavice,J.K., 2004. Philiphs : Buku Ajar Ilmu Bahan Kedokteran Gigi, alih bahasa :

Johan Arif Budiman dan Susi Purwoko. Penerbit Buku Kedokteran (EGC),

Jakarta.

Histifarina, D., D. Musaddad., E. Murtiningsih. 2004. Teknik Pengeringan dalam Oven

Untuk Irisan Wortel Kering Bermutu. J. Hort 14(2):107-112. Balai Penelitian

Tanaman Sayuran.

Hudianto, Fredi. 2011. Karakteristik Amalgam Gigi High Copper Tipe Single

Compotition Alloy dan Tipe Blended Alloy Secara In Vivo. Skripsi Fakultas

Sains dan Teknologi Universitas Airlangga Surabaya.

Huzaini, Muchammad Luthfi.dkk. 1996. Getah Pelepah Pohon Salak Sebagai Alternatif

Substansi Dasar Bahan Cetak di Bidang Kedokteran Gigi. Buletin Penalaran

Mahasiswa UGM. Vol. 2 No. 3. Halaman 76-81.

Junianto. 2006. Rendemen dan Kualitas Algin Hasil Ekstraksi Alga (Sargassum sp.) dari

Pantai Selatan daerah Cidaun Barat. Jurnal Bionatura, Vol.8,No.2,Juli 2006 :

152-160.

Meizarini, Asti. 2005. Sitotoksisitas Bahan Restorasi Cyanoacrylate Pada Variasi

Perbandingan Powder Dan Liquid Menggunakan MTT Assay. Maj. Ked. Gigi.

(Dent. J.), Vol. 38. No. 1 Januari 2005: 20–24.

Mour,Meenakshi. 2010. Advances in Porous Biomaterials for Dental and Orthopaedic

Applications. Materials 2010, 3, 2947-2974. ISSN 1996-1944.Mushollaeni,

Wahyu. 2010. Karakteristik Ekstrak Alginat dari Rumput Laut Coklat Sebagai

Alternatif Penghasil Alginat di Indonesia.Jurnal Saintek Vol.7.No. 1 Juni 2010:

31-36.

Nirwana, Intan, Helal Soekartono. 2005. Sitotoksisitas resin akrilik hybrid setelah

penambahan glass fiber dengan metode berbeda. Maj. Ked. Gigi. (Dent. J.), Vol.

38. No. 2 April–Juni 2005: 56–59.

Noerdin, Ali, Bambang Irawan, Mirna Febriani, 2003. Pemanfaatan Pati Ubi Kayu

(Manihot Utilisma) Sebagai Campuran Bahan Cetak Gigi Alginat. Makara,

Kesehatan, Vol. 7, No. 2.

PAVIA, D.L., G.M. LAMPMAN and G.S. Jr. KRIZ 1979. Introduction to spectroscopy:

Page 115: jurnal banyak

Jurnal Fisika dan Terapannya | No. 1, Vol. 3, Agustus 2013 111

A Guide for student of organic chemistry. Saunders college Publishing. West

Washington Square Philadelpia, PA 19105: 80 pp.

Poncomulyo, Taurino. 2006. Budi Daya dan Pengolahan Rumput Laut. Jakarta:

AgroMedia Pustaka.

Rasyid, Abdullah. 2001. Potensi Sargassum Asal Kepulauan Spermonde Sebagai Bahan

Baku Alginat. Widyariset, Vol. 2.

Rasyid, Abdullah. 2005. Beberapa Catatan Tentang Alginat. Oseana, Volume XXX,

Nomor 1, halaman 9-14. Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI.

Rasyid, Abdullah. 2009. Perbandingan Kualitas Natrium Alginat Beberapa Jenis Alga

Coklat . Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI.

Rasyid, Abdullah. 2010. Ekstraksi Natrium Alginat Dari Alga Coklat Sargassum

echinocarphum. Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI.

Rehm. Bernd H.A. 2009. Alginates: Biology and Applications. Microbiology

Monographs. London New York : Springer Dordrecht Heidelberg.

S.H.S. Saniour, dkk. 2011. Effect of composition of alginate impression material on

“recovery from deformation”. Journal of American Science, 2011;7(9).

Sitinjak, Lisbet Masniati. 2001. Keakuratan Hasil Cetakan Alginat Dalam Pembuatan

Gigi Tiruan. Skipsi Universitas Sumatera Utara.

Situngkir, Janner. 2008. Pembuatan dan Karakterisasi Fisikokimia Bahan Cetak Gigi

Palsu Kalsium Alginat. Tesis Universitas Sumatera Utara.

SOARES, J. P., J. E. SANTOS, G. O. CHIERICE and E. T. G. CAVALHEIRO 2004.

Thermal behavior of alginic acid and its natrium salt. Ecl, Sao Paulo, 29(2): 57-

63.

Sugiawan, Wawan. 2000. Teknik Pengawetan Bakteri, Khamir DanKapang Dengan

Metode Pengering-Bekuan (Freeze Drying). Temu Teknik Fungsional non

Peneliti. Balai Penelitian Veteriner.

Syahrul. 2005. Penggunaan Fikokoloid Ekstraksi Rumput Laut Sebagai Substansi Gelatin

Pada Es Krim. Tesis Institut Pertanian Bogor.

Tomitro, F.X.,dkk. 1997. Pemanfaatan Daun Cyclea Barbata Sebagai Alternatif Substansi

Dasar Bahan Cetak Di Bidang Kedokteran Gigi. Buletin Penalaran Mahasiswa

UGM, Vol. 3 No. 1. Halaman 19-22.

Yulianto, Kresno. 2007. Pengaruh Konsentrasi Natrium Hidroksida Terhadap Viskositas

Natrium Alginat Yang Diekstrak Dari Sargassum Duplicatum J.G. Agardh

(Phaeophyta). Oseanologi dan Limnologi di Indonesia (2007) 33: 295 – 306.