291
Pengaruh Status Garis Batas Daerah Dalam Interaksi Antar Daerah Latar Belakang Kawasan perbatasan kota adalah kawasan yang memiliki garis batas wilayah administrasi pemerintahan daerah kota. Pada umumnya, garis tersebut bersifat imajiner, tidak berwujud pagar atau tembok yang masif. Keberadaannya biasanya dapat diamati dari tanda-tanda tertentu yang diletakkan pada tempat-tempat tertentu, biasanya berupa tanda-tanda lalu lintas yang diletakkan di pinggir jalan. Di Indonesia, tanda-tanda tersebut sering dibangun secara khusus sebagai penanda berbentuk gapura atau pintu gerbang. Sedangkan di tempat lain, bentuknya berupa patok-patok yang seringkali tidak mudah ditemukan. Keberadaan garis perbatasan kota merupakan salah satu konsekuensi dari pembagian wilayah administrasi negara menjadi wilayah-wilayah administrasi pemerintahan daerah (Cox, 2002). Garis perbatasan berfungsi sebagai penanda batas wilayah kekuasaan administratif suatu pemerintahan (Guo, 2005). Berlandaskan pada garis perbatasan tersebut, setiap kebijakan dan kegiatan pemerintahan daerah diharapkan tidak mengganggu dan mempengaruhi kebijakan dan kegiatan daerah tetangganya. Pemerintah daerah diharuskan memfokuskan setiap kegiatannya pada wilayah di dalam garis perbatasan. Dengan kata lain, garis 1

Jurnal Geomatik

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Geomatik

Citation preview

Latar Belakang

Pengaruh Status Garis Batas Daerah Dalam Interaksi Antar Daerah

Latar BelakangKawasan perbatasan kota adalah kawasan yang memiliki garis batas wilayah administrasi pemerintahan daerah kota. Pada umumnya, garis tersebut bersifat imajiner, tidak berwujud pagar atau tembok yang masif. Keberadaannya biasanya dapat diamati dari tanda-tanda tertentu yang diletakkan pada tempat-tempat tertentu, biasanya berupa tanda-tanda lalu lintas yang diletakkan di pinggir jalan. Di Indonesia, tanda-tanda tersebut sering dibangun secara khusus sebagai penanda berbentuk gapura atau pintu gerbang. Sedangkan di tempat lain, bentuknya berupa patok-patok yang seringkali tidak mudah ditemukan.

Keberadaan garis perbatasan kota merupakan salah satu konsekuensi dari pembagian wilayah administrasi negara menjadi wilayah-wilayah administrasi pemerintahan daerah (Cox, 2002). Garis perbatasan berfungsi sebagai penanda batas wilayah kekuasaan administratif suatu pemerintahan (Guo, 2005). Berlandaskan pada garis perbatasan tersebut, setiap kebijakan dan kegiatan pemerintahan daerah diharapkan tidak mengganggu dan mempengaruhi kebijakan dan kegiatan daerah tetangganya. Pemerintah daerah diharuskan memfokuskan setiap kegiatannya pada wilayah di dalam garis perbatasan. Dengan kata lain, garis perbatasan memiliki fungsi untuk mengurangi terjadinya konflik antar daerah yang diakibatkan oleh adanya kebijakan dan kegiatan yang saling bertemu.

Tetapi, pada kenyataannya, karena bersifat imajiner, garis perbatasan tidak mampu membendung pengaruh kebijakan suatu pemerintah ke wilayah tetangganya (Niebuhr dan Stiller, 2002). Di kawasan pusat pemerintahan daerah, pemerintah daerah dapat secara leluasa menetapkan kebijakannya sendiri, tetapi pada kawasan di sekitar garis perbatasannya, pemerintah daerah harus memperhatikan pengaruh kebijakannya sendiri dan pengaruh kebijakan daerah tetangganya. Akibatnya, garis batas memiliki suatu kawasan yang khas, dikenal sebagai kawasan perbatasan, yang menjadi tempat bertemunya pengaruh antar kebijakan daerah (Guo, 2005; Niebuhr dan Stiller, 2002).

Sebagai tempat bertemunya pengaruh antar kebijakan pemerintah, kawasan perbatasan memiliki potensi sinergi yang tinggi (Niebuhr dan Stiller, 2002). Jika pengelolaan kebijakan-kebijakan tersebut dapat diintegrasikan, tidak hanya pertumbuhan kawasan perbatasan yang akan lebih kuat, tetapi sinergi pertumbuhan daerah-daerah yang saling berbatasan (Niebuhr, 2005). Apabila kebijakan-kebijakan daerah di kawasan perbatasan dapat dipadukan, sinergi perkembangan kawasan yang tercipta tentu akan memiliki kekuatan berlipat, dibandingkan dengan kawasan yang dikelola oleh hanya satu pemerintah daerah.

Tetapi, pada umumnya, kawasan perbatasan kota merupakan kawasan rawan konflik (Pace, 2005; Demetriou dkk, 2005). Penyebab utamanya adalah sulitnya mengintegrasikan pertemuan kebijakan-kebijakan daerah yang berbeda-beda (Weir, 2002). Bentuknya dapat berupa perbedaan rencana tata guna lahan, sistem infrastruktur, dan atau sistem pengelolaan sarana umum. Tanpa integrasi, kebijakan-kebijakan tersebut akan saling berbenturan. Benturan inilah yang menyebabkan konflik, baik dalam bentuknya yang tidak tampak, seperti keengganan pemerintah daerah untuk saling bertemu guna menyesuaikan kebijakannya dengan tetangganya; maupun dalam bentuknya yang sangat nyata, seperti konflik, perseteruan atau bahkan perkelahian antar masyarakat di kawasan perbatasan.

Untuk mengatasi resiko terjadinya konflik, terdapat dua alternatif strategi yang mungkin dapat diambil, yaitu berkolaborasi atau berkonflik (Halskov, 2005; Dix dan Oxenbridge, 2004). Berkolaborasi berarti melakukan integrasi kebijakan-kebijakan melalui kerjasama antar daerah untuk menciptakan sinergi pembangunan di kawasan perbatasan. Alternatif ini merupakan alternatif paling disukai. Berkolaborasi merupakan strategi yang digunakan oleh banyak lembaga donor dunia, seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, Masyarakat Uni Eropa, AUSAID, USAID, dan GTZ, untuk mendorong terciptanya kerjasama antar pemerintah daerah, khususnya di negara-negara berkembang (Ropers, 2002).

Sedangkan berkonflik berarti mengelola kawasan sesuai dengan kebijakan daerah masing-masing. Perbedaan kebijakan digunakan untuk mengembangkan iklim persaingan yang sehat. Melalui persaingan, diharapkan akan didapatkan daerah yang memiliki potensi terunggul. Kawasan perbatasan daerah terunggullah yang dikembangkan untuk menjadi pendorong pertumbuhan kawasan perbatasan daerah tetangganya. Sedangkan daerah yang terkalahkan dalam persaingan akan mengikuti kebijakan pengembangan kawasan perbatasan tetangganya yang unggul tersebut sebagai upaya untuk mendapatkan pengaruh untuk mendorong pengembangan kawasan perbatasannya.

Bagi yang tidak berani memilih salah satu dari kedua alternatif diatas, dapat memilih alternatif terakhir, yaitu membiarkan kawasan perbatasannya berkembang sendiri. Alternatif ini biasanya terjadi di negara-negara yang memberikan kewenangan otonomi daerah yang sedemikian kuatnya sehingga setiap pemerintah daerah merasa tidak membutuhkan daerah tetangganya. Alternatif ini juga diambil oleh kota-kota yang memiliki wilayah yang relatif luas sehingga terdapat jarak yang relatif lebar antara pusat kota dengan garis perbatasannya yang menyebabkan kecilnya pengaruh kebijakan pemerintah daerah terhadap kawasan perbatasannya.

Pada saat ini, berkolaborasi merupakan alternatif yang disukai oleh sebagian besar pemerintah kota di seluruh dunia (Krueger, 2005; Mason, 2006), termasuk di Indonesia. Hal ini dibuktikan dari maraknya penggunaan konsep pengembangan kawasan perkotaan. Beberapa diantaranya adalah Kawasan Jabodetabek (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi) di Kota Jakarta, Kawasan Kedungsepur (Kendal-Demak-Ungaran-Salatiga-Purwadadi) di Kota Semarang, Kawasan Subosuko (Surakarta-Boyolali-Sukoharjo-Karanganyar) di Kota Surakarta, dan Kawasan Kartamantul (Yogyakarta-Sleman-Bantul) di Provinsi DI Yogyakarta. Melalui strategi ini, kota-kota tersebut berupaya berkolaborasi dengan daerah di sekitarnya untuk mengembangkan sinergi pembangunan daerah, termasuk pada pembangunan kawasan perbatasan.

Jelaslah bahwa manajemen perkotaan di kawasan perbatasan kota membutuhkan pendekatan yang berbeda dengan bagian kawasan kota yang lain, terutama terhadap kawasan pusat kota. Di kawasan pusat kota, pemerintah dapat memutuskan kebijakan pembangunannya sendiri dengan sangat leluasa. Tetapi, di kawasan perbatasan, pemerintah kota tidak dapat melaksanakan kewenangannya secara penuh, karena harus memperhatikan pengaruh kebijakan pemerintah daerah tetangganya. Jika para pemerintah daerah di sekitar kawasan perbatasan mampu mengelola pengaruh ini dengan baik, kolaborasi yang didukung oleh sinergi yang besar akan didapatkan. Tetapi apabila saling berpengaruh tersebut tidak dapat dikelola dengan baik, situasi konflik antar daerah yang akan terjadi.

Pengaruh fungsi dan peran kota memang tidak dapat dibatasi oleh batas-batas administratif dan bahkan batas-batas fisik alam sekalipun (Hall, 1989). Misalnya, kota-kota ibukota kabupaten menjalankan fungsi dan perannya ke seluruh kabupaten, menembus garis batas administrasinya. Demikian pula kota-kota ibukota negara, tidak hanya melayani wilayahnya saja, tetapi seluruh negara. Bahkan, kota-kota dunia, seperti London, Paris, Tokyo, New York dan Singapura, memiliki pengaruh fungsi dan peran yang melayani beberapa negara dalam suatu wilayah antar negara (Chen et.al; 1994).

Sementara itu, teori-teori kawasan perbatasan hingga saat ini terfokus pada kawasan perbatasan antar negara, khususnya di kawasan kontinental di benua Amerika, Eropa, dan Afrika (Derek et.al, 2001; Zillmer, 2005). Garis perbatasan antar negara memiliki bentuk dan fungsi yang amat jelas, yaitu menjadi tembok penghalang masif yang mencegah masuknya pengaruh negara tetangga (Coleman, 2001). Fokus teori kawasan perbatasan antar negara telah sangat jelas yaitu pada kegiatan lintas batas antar negara berdasarkan kerjasama antar negara yang dinaungi oleh kesepakatan internasional (Reese et. al, 2000). Pengaruh yang melintas batas negara amat tergantung dari kesepakatan antar negara yang berbatasan. Karakteristik kawasan perbatasan antar negara dibentuk dalam kerangka yang jelas, yaitu dihasilkan dari kesepakatan negara-negara yang saling berbatasan (Coleman, 2001).

Banyak penelitian kawasan perbatasan antar negara telah dilakukan untuk menjelaskan pengaruh perbatasan (border effects) terhadap hubungan antar negara (Yi, 2003). Jenis-jenis pengaruh yang diteliti bervariasi, seperti pengaruh garis perbatasan terhadap perkembangan ekonomi (Parsley dan Wei, 2000; Niebuhr dan Stiller, 2002), pergerakan penduduk (Clark, 2003), pengelolaan sumber daya alam (Guo, 2004), polusi lingkungan (Hatzipanayotou dkk, 2001), dan keamanan negara (Starr, 2001). Hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa meskipun kawasan perbatasan antar negara berdinding masif dan kokoh, tetapi pada kenyataannya kebijakan pemerintah negara dapat menembusnya, saling berinteraksi dan mempengaruhi terbentuknya kawasan perbatasan negara dengan karakteristiknya yang khas.

Sementara itu, generalisasi pemikiran pengembangan kawasan perbatasan antar daerah, khususnya pada kawasan perbatasan kota, hingga saat ini belum terstrukturkan dengan baik (Birrel dan Hayes, 2001; Niebuhr dan Stiller, 2002; Cho dkk, 2006). Belum ada teori formal yang mampu menjelaskan secara memuaskan berbagai fenomena yang terjadi di kawasan perbatasan kota. Konsep yang berkembang masih berupa pemikiran yang bersumber dari penelitian kasus perkasus. Pendekatan penelitian yang digunakan cenderung terfokus bagian-perbagian, atau bersifat inkremental. Akibatnya, penelitian perbatasan antar daerah cenderung menghasilkan konsep-konsep substantif (substantive concepts), yaitu konsep-konsep empiris yang dihasilkan dari penelitian kontekstual. Sulitnya menghasilkan teori general kawasan perbatasan disebabkan oleh keunikan karakteristik dari masing-masing kawasan perbatasan.

Agar konsep dan teori kawasan perbatasan kota tidak hanya bersifat substantif, dan agar menjadi teori formal, penelitian yang dilakukan seharusnya dengan pendekatan rasional komprehensif, melalui pertimbangan terhadap setiap unsur sebagai satu kesatuan yang saling terkait. Kawasan perbatasan merupakan kawasan dengan karakteristik yang tercipta dari adanya pertemuan pengaruh kawasan-kawasan disekitarnya. Melalui pendekatan komprehensif, benang merah berbagai pengaruh dan bagaimana interaksi diantaranya dapat digali untuk membuka cara pandang yang lebih mendasar. Konsep dan teori yang dihasilkan tentu tidak lagi bersifat substanstif atau kontekstual, tetapi lebih bersifat general dan formal.

Laporan tugas Mata Kuliah Manajemen Pembangunan Kota ini merupakan bagian dari proses Program Pendidikan Sarjana Strata 3 (S3) penulisnya. Laporan ini disusun di dalam kerangka penyusunan landasan teoris penulis untuk melakukan penelitian disertasi dengan tema Manajemen Perkotaan di Kawasan Perbatasan Kota. Tugas ini merupakan salah satu dari 3 (tiga) tugas lain dengan tema yang berbeda-beda. Tema-tema tugas lain tersebut adalah: 1) Metoda Penelitian Studi Kasus Kualitatif, sebagai tugas pengkajian terhadap metoda penelitian yang akan dipergunakan di dalam penelitian; 2) Manajemen Interaksi kota dan Daerah di Sekitarnya, sebagai tugas pengkajian terhadap konsep pemikiran substansi utama penelitian tentang interaksi kota dan daerah di sekitarnya; dan 3) Pengalaman Empiris Manajemen Perkotaan di Kawasan Perbatasan Kota, sebagai tugas pemilihan kasus untuk ditetapkan sebagai obyek penelitian.Tema umum laporan ini, yaitu manajemen perkotaan diharapkan dapat menghasilkan konsep pemikiran umum untuk mendukung pembangunan landasan teoritis umum bagi tema penelitian tersebut. Sedangkan hasil dari tema khususnya yang tentang manajemen perkotaan di kawasan perbatasan diharapkan dapat membangun dan mengembangkan proposisi penelitian disertasi tersebut. B. Tujuan PenulisanTugas ini disusun sebagai bagian dari kajian teoritis untuk mendukung penelitian disertasi penulis dengan tema Manajemen Perkotaan di Kawasan Perbatasan Kota. Maksud penyusunan tugas ini adalah untuk mengkaji teori-teori yang berkaitan dengan manajemen perkotaan pada umumnya dan manajemen perkotaan di kawasan perbatasan kota pada khususnya, dan menggunakan hasilnya sebagai landasan untuk membangun proposi untuk mendukung penelitian disertasi dengan tema tersebut. Sedangkan tujuan penyusunan tugas ini dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu tujuan umum dan khusus. Tujuan umum dengan tema manajemen perkotaan adalah untuk membangun landasan teoritis tentang manajemen perkotaan yang secara khusus terkait dengan manajemen perkotaan di kawasan perbatasan kota, yaitu manajemen interaksi antara kota dan daerah di sekitarnya. Sedangkan tujuan khususnya adalah membangun proposisi manajemen perkotaan di kawasan perbatasan kota. Hasil kajian terhadap tema umum dan tema khusus tersebut bermanfaat untuk membangun dan mengembangkan landasan teoritis penelitian manajemen perkotaan di kawasan perbatasan kota.C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup kajian dalam tulisan ini bersifat teoritis. Tidak ada obyek yang dipilih secara khusus sebagai obyek kasus kajian. Seperti telah dijelaskan di dalam tujuannya, kajian di dalam penulisan laporan tugas ini dimaksudkan untuk membangun dan mengembangkan konsep pemikiran yang dapat dimanfaatkan sebagai salah satu landasan teoritis di dalam penelitian disertasi penulis dengan tema Manajemen Perkotaan di Kawasan Perbatasan Kota. Untuk mencapai maksud tersebut, secara umum ruang lingkup kajian lebih ditekankan pada teori dan konsep manajemen perkotaan, khususnya yang berkaitan dengan manajemen interaksi antara kota dan daerah di sekitarnya. Disamping itu, pengkajian juga dilakukan terhadap tantangan dan permasalahan yang dihadapi di dalam manajemen perkotaan praktis. Hasil kajian terhadap kedua ruang lingkup dipergunakan untuk membangun dan mengembangkan konsep tentang kebutuhan kerjasama antar daerah. Secara khusus, kajian difokuskan pada interaksi antar daerah. Hasilnya akan dipergunakan sebagai salah satu lansadan teoritis untuk membangun proposisi manajemen perkotaan di kawasan perbatasan kota. Sebagai sebuah kawasan yang mempertemukan kebijakan dua atau lebih daerah, pengkajian terhadap kawasan perbatasan daerah membutuhkan konsep interaksi antar daerah. D. Kerangka Pemikiran (Rational of Study)Seperti telah dijelaskan di dalam bagian latar belakang di depan, laporan ini merupakan bagian dari penyusunan disertasi penulis, dengan tema Manajemen Perkotaan di Kawasan Perbatasan Kota. Tugas ini merupakan salah satu dari 3 (tiga) tugas lain dengan tema yang berbeda-beda. Tema-tema tugas lain tersebut adalah: 1) Metoda Penelitian Studi Kasus Kualitatif, sebagai tugas pengkajian terhadap metoda penelitian yang akan dipergunakan di dalam penelitian; 2) Manajemen Perkotaan di Kawasan Perbatasan Kota, sebagai tugas pengkajian terhadap konsep pemikiran substansi utama penelitian tentang kawasan perbatasan kota; dan 3) Pengalaman Empiris Manajemen Perkotaan di Kawasan Perbatasan Kota, sebagai tugas pemilihan kasus untuk ditetapkan sebagai obyek penelitian.Untuk lebih memperjelas latar belakang dan maksud penelitian disertasi ini, telah disusun struktur kerangka pemikian penelitian disertasi secara menyeluruh. Gambaran struktur tersebut dapat dilihat pada gambar diagram kerangka pemikiran (rationale of study) pada Gambar 1, berikut ini:

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian DisertasiSumber: Hasil kajian penulisPada bagian atas gambar di depan dapat dilihat bahwa sebagai fokus dari penelitian disertasi adalah kawasan perbatasan kota. Kawasan perbatasan kota adalah suatu kawasan yang memiliki garis perbatasan administrasi kota. Karena bersifat imajiner dan permiabel, maka garis perbatasan mudah ditembus oleh pengaruh kebijakan suatu pemerintah daerah ke daerah tetangganya. Konsekuensinya, kawasan perbatasan kota menjadi kawasan pertemuan interaksi antar kebijakan pemerintah kota dengan pemeritah daerah di sekitarnya yang memiliki garis perbatasan.

Sebagai tempat bertemunya interaksi antar kebijakan daerah yang seringkali berbeda-beda, kawasan perbatasan kota tumbuh dengan karakteristik yang terbentuk dari persenyawaan perbedaan-perbedaan kebijakan daerah. Karena terbentuk dari hasil dari suatu proses persenyawaan, karakteristik kawasan perbatasan kota seringkali berbeda dengan karakteristik masing-masing kota atau daerah yang saling berbatasan. Seringkali karakteristik perkembangan dan pertumbuhan kawasan perbatasan dihasilkan melalui suatu proses konflik perbatasan.

Oleh karena itu, manajemen perkotaan di kawasan perbatasan kota membutuhkan pendekatan khusus yang berbeda dengan manajemen di pusat kota atau kawasan yang lain. Jika di pusat kota pemerintah kota dapat memutuskan kebijakannya sendiri secara leluasa, maka di kawasan perbatasannya, pemerintah kota harus mempertimbangkan kebijakan-kebijakan pemerintah daerah tetangganya. Banyak pemerintah kota yang tidak mempertimbangkan pengaruh kebijakan daerah tetangganya, yang berakibat terjadinya konflik antar daerah. Tetapi, banyak pula pemerintah kota yang mempertimbangkan dan mensinkronkan kebijakannya dengan kebijakan pemerintah daerah tetangganya. Sinkronisasi antar kebijakan daerah ini menyebabkan timbulnya sinergi pendorong pembangunan yang besar.

Sementara itu, setiap pemerintah daerah termasuk pemerintah kota memiliki otonomi untuk menentukan kebijakan-kebijakan dalam pengelolaan pembangunannya, sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya sendiri. Kebijakan-kebijakan tersebut seringkali amat berbeda antara suatu daerah dengan daerah tetangganya. Ketika bertemu di kawasan perbatasan, kebijakan-kebijakan tersebut akan saling berbenturan. Benturan ini jika tidak dikelola dengan baik, akan menjadi konflik antar daerah. Oleh karena itu, kawasan perbatasan sebenarnya adalah suatu kawasan rawan konflik yang membutuhkan pendekatan khusus.

Pada kenyataannya, permasalahan kawasan perbatasan kota yang khas tersebut sering diabaikan oleh pemerintah kota dan daerah yang saling berbatasan. Pada umumnya mereka memandang permasalahan tersebut sama dengan permasalahan yang terdapat di bagian wilayahnnya yang lain. Akibatnya, penyelesaian permasalahan yang seharusnya dilakukan bersama-sama antar daerah, dilakukan oleh masing-masing daerah tanpa adanya dinteraksi antar daerah. Penyelesaian permasalahan yang demikian seringkali menimbulkan permasalahan baru, yaitu terjadinya konflik antar daerah.

Di dalam bidang ilmu pengetahuan perencanaan wilayah dan kota, topik tentang manajemen perkotaan di kawasan perbatasan masih sedikit dikaji. Pengkajian tentang kawasan perbatasan lebih banyak dilakukan di kawasan perbatasan antar negara. Kajian tentang kawasan perbatasan antar daerah sering dilupakan, karena dipandang sama seperti halnya dengan bagian kawasan lainnya dari suatu daerah.Berdasarkan latar belakang permasalahan-permasalahan di atas, maka pertanyaan utama penelitian disertadi yang dapat diangkat adalah:

Bagaimana manajemen interaksi antara kota dan daerah tetangganya di kawasan perbatasan kota?

Pertanyaan utama tersebut dapat dijabarkan lebih terperinci menjadi pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana karakteristik spesifik kehidupan kawasan perkotaan di kawasan perbatasan kota?

2. Bagaimana karakteristik spesifik manajemen kawasan perkotaan di perbatasan kota?

3. Bagaimana pengaruh manajemen perkotaan dalam pembentukan karakteristik kehidupan kawasan perkotaan di kawasan perbatasan kota?

4. Bagaimana pengaruh kebijakan daerah terhadap manajemen perkotaan di kawasan perbatasan kota?

5. Bagaimana pencegahan dan penyelesaian konflik melalui manajemen perkotaan di kawasan perbatasan kota?

6. Mengapa manajemen perkotaan di kawasan perbatasan kota membutuhkan karakteristik tersendiri?

Sesuai konteks permasalahan teoritisnya, khususnya terhadap pertanyaaan utama penelitian, penelitian disertasi tersebut dilatarbelakangi oleh tidak adanya teori atau konsep formal yang mampu menjelaskan pengelolaaan pembangunan kawasan perkotaan di kawasan perbatasan kota, termasuk karakteristik, serta pola interaksi antar kebijakan yang bertemu di kawasan perbatasan kota dan pengaruhnya terhadap manajemen perkotaan tersebut. Berdasarkan atas pertimbangan tersebut, tujuan penelitian disertasi ini adalah sebagai berikut:

a) mengkaji karakteristik kehidupan di kawasan perbatasan kota;

b) mengkaji karakteristik manajemen perkotaan di kawasan perbatasan kota;c) mengkaji pola interaksi antara kota dan daerah di sekitarnya, dand) menyumbangkan masukan bagi perumusan teori pengelolaan pembangunan di kawasan perkotaan di kawasan perbatasan kota.Untuk mencapai tujuannya, penelitian disertasi ini menggunakan metoda penelitian studi kasus. Penelitian studi kasus dipilih karena dipandang mampu mengkaji secara komprehensif dan mendalam terhadap suatu obyek penelitian yang disebut sebagai kasus. Kawasan perbatasan kota itu sendiri dapat dikategorikan sebagai kasus, karena karakteristiknya yang harus dipandang secara khusus, menyeluruh dan mendalam. Oleh karenanya, sebagai kasus, kawasan perbatasan tidak dapat dikaji dengan penelitian yang menggunakan metoda sampling.Berdasarkan penjelasan tersebut, maka secara singkat, bagian-bagian dari penelitian disertasi tersebut dapat digambarkan dalam diagram berikut ini:

Gambar 2. Pengelompokkan Kebutuhan Konsep PendukungSumber: Hasil kajian penulis.

Dari gambar diagram di atas dapat dilihat bahwa laporan ini merupakan bagian dari kajian literatur untuk penelitian disertasi penulis tentang manajemen perkotaan. Secara umum, laporan ini memiliki kedudukan yang sangat penting, karena hasilnya dapat dimanfaatkan oleh penulis untuk membangun konsep sebagai landasan pemikiran untuk mengkaji substansi penelitian disertasi. Dengan kata lain, menurut Metoda Penelitian Studi Kasus, dapat digunakan untuk membangun proposisi, sebagai landasan untuk melakukan penelitian.

Untuk membangun konsep tersebut, kajian laporan ini dibagi menjadi beberapa bagian. Bagian pertama merupakan pendahuluan, yang berisi latar belakang, tujuan, dan ruang lingkup pembahasan. Bagian ini memberikan gambaran mendasar tentang mengapa dan bagaimana tulisan ini disusun, agar tujuannya dapat tercapai. Pada bagian-bagian berikutnya berisi pengkajian terhadap substansi yang sesuai dengan tujuan penulisan laporan tugas ini. Untuk lebih jelasnya, perhatikan Gambar 3, yang memperlihatkan posisi masing-masing bagian di dalam sistematika alur pemikiran penulisan laporan tugas ini.Pada dasarnya, kajian di dalam tugas ini dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok besar. Kelompok pertama adalah kajian konsep manajemen perkotaan, dengan tujuan menggali konsep dan teori dasar sebagai landasan penelitian. Kelompok kedua adalah kajian permasalahan dan tantangan yang secara nyata dihadapi oleh para manajer perkotaan. Kelompok terakhir adalah kajian manajemen perkotaan di kawasan perbatasan. Kelompok ketiga merupakan kajian penyelesaian permasalahan pada kelompok kedua, berdasarkan teori-teori pada kelompok yang pertama.

Pada dasarnya, penyelesaian permasalahan tersebut adalah pada penggunaan pendekatan Interaksi kota dan daerah di sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi secara mandiri oleh kawasan perkotaan. Secara khusus, Interaksi tersebut dapat mengarah kepada dua bentuk yang ekstrim yang saling bertentangan, yaitu kolaborasi atau kerjasama antar daerah, dan konflik antar daerah. Kerjasama terjadi karena adanya kesepahaman dan komitmen antar daerah. Sedangkan konflik terjadi apabila kompetisi antar daerah yang timbul tidak dapat diselesaikan dengan baik.Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa kelompok kajian pertama dimulai dari pengkajian terhadap pengertian manajemen perkotaan. Sebagai landasan untuk pengkajian ini adalah teori dan konsep manajemen secara umum. Pada dasarnya teori dan konsep manajemen umum tersebut sesuai untuk manajemen perkotaan. Secara khusus, manajemen perkotaan memiliki kekhususan pada ruang lingkup pengelolaannya.

Gambar 3. Kerangka Pemikiran LaporanSumber: Hasil kajian penulis.Ruang lingkup manajemen yang dikaji pada laporan tugas ini adalah kawasan perkotaan, yang merupakan ruang publik. Publik yang dimaksud adalah segala urusan yang menyangkut kebutuhan dan kepentingan suatu masyarakat. Oleh karena itu, untuk mengkaji manajemen perkotaan, di dalam laporan ini juga dikaji tentang barang publik yang terdapat di dalam kawasan perkotaan. Kajian terhadap barang publik merupakan landasan untuk memahami perbedaan antara administrasi dan manajemen publik. Dengan demikian, bidang administrasi dan manajemen publik pada dasarnya merupakan landasan pembangunan dan pengembangan konsep dan teori manajemen perkotaan. Dengan memahami pengertian dan ruang lingkup manajemen perkotaan, maka akan dapat dipahami beberapa sub bagian yang penting, yaitu fungsi, hierarki dan ruang lingkup substansi manajemen perkotaan.

Pada kelompok kajian kedua, pengkajian difokuskan pada tantangan yang dihadapi di dalam manajemen perkotaan. Hal ini dimaksudkan agar kajian ini menghasilkan arah pemikiran yang sesuai dengan perkembangan kondisi yang sebenarnya. Pada dasarnya, terdapat 3 (tiga) jenis tantangan manajemen perkotaan. Tantangan pertama menyangkut sisi kebutuhan dan permintaan (demand side). Sisi ini dipicu oleh tingkat pertumbuhan yang tinggi, yang menyebabkan peningkatan kebutuhan dan permintaan, baik secara jumlah atau kuantitas maupun kualitas atau keberagamanannya.

Sementara itu, tantangan kedua menyangkut sisi pemenuhan (supply side) kebutuhan dan permintaan tersebut. Secara nyata, sisi ini ditunjukkan dari tantangan keterbatasan sumber daya yang terdapat di dalam kota dan keterbatasan kapasitas pengelolaannya. Akibat yang nyata dari keterbatasan-keterbatasan tersebut, banyak kota tergantung dari penyediaan dari daerah atau wilayah lain disekitarnya. Sedangkan tantangan yang ketiga menyangkut berbagai tantangan sistuasional dan kondisional yang berada disekelilingnya.

Ketiga tantangan tersebut menyebabkan tantangan terbesar manajemen perkotaan, yaitu upaya untuk membangun kemandirian kota di dalam penyediaan kebutuhan dan kepentingan penduduknya. Tantangan tersebut dapat dijawab dengan memilih diantara dua alternatif utama. Alternatif pertama adalah dengan membangun dan mengembangkan kerjasama dengan berbagai pihak, termasuk dengan daerah yang terdapat disekitar kawasan perkotaan. Sebagai daerah terdekat, daerah tetangga kawasan perkotaan memiliki potensi untuk dilibatkan didalam penyediaan kebutuhan dan kepentingan tersebut. Sementara itu, alternatif kedua bersifat berkebalikan dengan alternatif yang pertama. Pada alternatif ini, dengan menggunakan berbagai sumber daya, kapital, stakeholder, pengetahuan dan berbagai potensi yang dimilikinya, kawasan perkotaan membangun dan mengembangkan dirinya menjadi daerah yang mandiri yang bersaing dan berkompetisi dengan daerah-daerah disekitarnya.

Kecenderungan yang terjadi adalah banyak kota yang lebih memilih bekerjasama dengan berbagai pihak, termasuk dengan daerah disekitarnya untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan penduduknya. Dalam hal ini, kolaborasi antar daerah menjadi kecenderungan yang berkembang di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Dengan memperhatikan kerangka pemikiran yang demikian, kajian di dalam laporan tugas ini diarahkan kepada penggalian konsep tentang kolaborasi antar daerah. Hasilnya dapat dimanfaatkan sebagai bagian dari landasan pemikiran penelitian disertasi penulis dengan tema seperti telah dijelaskan di depan.Daftar Pustaka

Branch, Melville C. 1998. Comprehensive Planning For The 21st Century. Greenwood Publishing, London.

Brand, Ralf; dan Frank Gaffikin. 2007. Collaborative Planning in an Uncollaborative World. Planning Theory; 2007; 6; 282.

Chakrabarty, B K. 2001. Urban Management: Concepts, Principles, Techniques and Education. Cities, 2001, Vol. 18, No. 5, pp. 331345.Cox, Kevin R. 2002. Political Geography: Territory, State, and Society. Blackwell Publishers, Oxford, The United Kingdom.

Elcock, Howard. 1994. Local Government: Policy and Management in Local Authorities. Routledge, New York.

Grindle, Merilee S. 2007. Going Local: Decentralization, Democratization, and The Promise of Good Governance. Princeton University Press, Princeton.

Guo, Rongxing. 2005. Cross-Border Resource Management: Theory and Practice. Amsterdam, The Netherlands. McGuire, Michael. 2000. Collaborative Policy Making and Administration: The Operational Demands of Local Economic Development. Economic Development Quarterly; 2000; 14; 278.

Montgomery, Mark R. dkk. 2003. Cities Transformed: Demographic Change and Its Implications in the Developing World. National Research Council, Washington, DC.Niebuhr, Annekatrin dan Silvia Stiller. 2002. Integration Effects in Border Regions: A Survey of Economic Theory and Empirical Studies. Hamburg Institute of International Economics, Hamburg, Germany.Bagian 5INTERAKSI KOTA DAN DAERAH DI SEKITARNYASeperti telah dijelaskan pada bagian-bagian terdahulu, pada saat sekarang dan mendatang, kota-kota cenderung tumbuh dan berkembangan sebagai pusat kegiatan pelayanan. Kota bukan lagi menjadi kawasan pusat proses produksi yang menampung kegiatan-kegiatan industri manufaktur. Kegiatan tersebut telah berpindah keluar dari kota, ke kawasan-kawasan khusus industri. Kota juga bukan merupakan kawasan produksi sumber daya alam, seperti pertanian dan pertambangan. Kota cenderung tumbuh dan berkembang menjadi penampung kegiatan-kegiatan yang bersifat pelayanan dan usaha, seperti perdagangan, pelayanan jasa transportasi, kesehatan, pendidikan dan pemerintahan. Sebagai daerah yang cenderung bersifat memberikan pelayanan dan bukan memproduksi sesuatu, termasuk tidak memproduksi bahan pangan, sandang dan komoditas lainnya, kota sangat tergantung terhadap kawasan-kawasan lainnya, terutama yang menampung kegiatan-kegiatan tersebut. Dengan kata lain, kota tidak dapat hidup secara soliter, terlepas dari kawasan-kawasan lain. Untuk memenuhi kebutuhan hidup penduduknya, kota harus berinteraksi dengan kawasan-kawasan lain, khususnya kawasan yang memproduksi komoditas yang dibutuhkan bagi kehidupan penduduk kawasannya. Disamping itu, interaksi juga perlu dibangun sebagai bagian dari kegiatan pelayanan. Secara khusus, kota memiliki dua peran di dalam pemafaatan komoditas yang dihasilkan oleh kawasan-kawasan lain. Peran pertama adalah sebagai kawasan yang mengkonsumsi komiditi. Sebagai kawasan yang memiliki jumlah penduduk yang banyak, kota merupakan pasar utama hasil produksi pertanian dan manufaktur. Peran kedua adalah sebagai kawasan perantara yang menyalurkan berbagai komoditas ke penggunanya di berbagai kawasan yang membutuhkannya di seluruh dunia. Peran kawasan perantara banyak dilakukan oleh kota-kota besar dan metropolitan yang berskala global, seperti Kota Singapura yang menjadi kota persinggahan bagi berbagai komoditas industri global di kawasan Asia Tenggara; Kota Paris yang melayani kawasan Eropa Barat; New York yang melayani kawasan Amerika Utara; dan New Delhi yang melayani kawasan Asia Tengah. Secara khusus, interaksi yang perlu dibangun dan dikembangkan oleh kota adalah dengan daerah dan kawasan yang letaknya berdekatan dan bahkan berbatasan langsung dengannya. Daerah dan kawasan di sekitar kota mampu memberikan berbagai pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap pertumbuhan dan perkembangan kota. Berbagai kebutuhan, baik berupa pangan yang dihasilkan melalui kegiatan pertanian yang dibutuhkan oleh kota dapat disediakan oleh kawasan di sekitar kota. Kawasan tersebut juga mampu menyediakan berbagai kebutuhan sumber daya alam, seperti air bersih, lahan untuk pembuangan sampah, dan pertambangan yang dibutuhkan oleh kota. Potensi lain yang tersedia di kawasan di sekitar kota yang sangat penting adalah kemampuannya untuk menyediakan lahan bagi ekspansi kegiatan perkotaan. Disamping itu, kebutuhan interaksi yang lain adalah untuk mengakomodasikan terjadinya pengaruh, baik yang bersifat positif maupun negatif perkembangan kehidupan perkotaan terhadap kawasan di sekitarnya. Sebagai pusat kegiatan sosial dan ekonomi, kota dapat menyediakan lapangan pekerjaan bagi penduduk di kawasan perdesaan yang terdapat di sekitarnya. Sebagai pusat kemajuan peradaban manusia, yang ditampilkan dengan berbagai penggunaan kemajuan teknologi dan pengetahuan, kawasan perkotaaan juga menjadi pusat kemajuan tersebut ke kawasan perdesaan di sekitarnya. Berkebalikan dengan berbagai pengaruh positif tersebut, kota juga menjadi pusat penyebaran berbagai perilaku negatif, seperti pergaulan bebas, penggunaan obat-obatan terlarang, dan kriminalitas. Kota dapat mendorong terjadinya degradasi budaya tradisional agraris yang terdapat di kawasan perdesaan disekitarnya.Di dalam membangun dan mengembangkan interaksi dengan kawasan disekitarnya tersebut, pengelola kota, khususnya pengelola kota-kota besar dan metropolitan menghadapi 3 (tiga) alternatif bentuk interaksi. Alternatif pertama adalah dengan membangun dan mengembangkan kerjasama dengan daerah-daerah tetangga (Carr, 2006). Bentuk interaksi ini bersifat positif karena kerjasama dapat menterpadukan potensi daerah-daerah untuk melahirkan sinergi pembangunan yang lebih kuat dibandingkan dengan melakukannya sendiri-sendiri. Melalui kerjasama, daerah-daerah dapat saling mendukung dan melengkapi kebutuhannya masing-masing. Daerah yang kekurangan atau bahkan tidak memiliki suatu sumber daya akan dipenuhi oleh daerah tetangganya yang memilikinya. Sebaliknya, potensi yang dimilikinya dapat dimanfaatkan secara bersama dengan daerah tetangganya. Saling mendukung dan melengkapi dapat memperkuat posisi tawar daerah terhadap investor untuk menanamkan modalnya di daerah mereka (Grindle, 2002). Singkatnya, kerjasama daerah dapat memperkuat daya saing antar daerah (Grindle, 2002; Zhang, 2006).

Alternatif bentuk interaksi kedua yang berkebalikan sifat dengan alternatif pertama, adalah terbukanya kemungkinan bagi pengelola perkotaan untuk menolak bekerjasama, yang bahkan dapat menyulut merebaknya konflik antar daerah (Haris, 2006; Carr, 2006; Grindle, 2002). Munculnya ego-sentris kedaerahan yang tinggi dapat mendorong pengelola perkotaan untuk memikirkan hanya dirinya sendiri dan memandang daerah tetangganya sebagai musuh atau pesaing di dalam persaingan pembangunan (Carr, 2006). Jika tidak diakomodasikan dan dikendalikan dengan baik, persaingan antar daerah sangat mungkin menyebabkan konflik antar daerah, khususnya di daerah-daerah yang memiliki kesenjangan pembangunan yang tinggi. Misalnya, kota-kota besar dan metropolitan yang memiliki sarana dan prasarana yang lebih lengkap tidak merasa membutuhkan dan bahkan mengganggap daerah disekitarnya sebagai beban karena ikut menggunakan sarana dan prasarananya tersebut.Alternatif terakhir adalah mengacuhkan terjadinya interaksi. Dengan kata lain, kebutuhan interaksi tidak dilanjutkan dengan pengembangan kerjasama secara formal. Interaksi dibiarkan berkembang secara alami. Interaksi tersebut dibebaskan mengikuti dinamika publik, dan bahkan mengikuti kebutuhan pasar. Keengganan pengelola daerah-daerah yang saling berbatasan untuk membangun interaksi formal disebabkan oleh belum adanya kebutuhan mendesak yang biasanya dilatarbelakangi oleh belum dirasakannya adanya keuntungan sosial dan ekonomi dibalik interaksi tersebut bagi pemerintah daerah mereka. Akibat dari pemilihan alternatif ini adalah pembangunan di sekitar kawasan perbatasan yang tidak terarah dan teratur. Perkembangan yang tidak teratur ini menyebabkan terjadinya perkembangan sprawl. Pada umumnya, alternatif ini terdapat pada hubungan antara kota menengah dan kecil dengan daerah-daerah tetangganya. Sementara itu, sejak era tahun 1990-an, kerjasama atau kolaboratif telah menjadi strategi utama untuk menghadapi persaingan perebutan investasi yang semakin ketat, baik antar daerah, maupun antar wilayah dan negara (Goldsmith, 1992; Visser, 2003; Imperial, 2005). Peningkatan kebutuhan kerjasama disebabkan oleh perkembangan sistem jejaring kehidupan sosial global, yang menyebabkan daerah-daerah, wilayah-wilayah, dan bahkan negara-negara saling terikat dan terhubung untuk saling mendukung, membutuhkan dan mempengaruhi. Pada saat ini, jarang sekali seseorang, sebuah kelompok masyarakat, daerah, wilayah atau bahkan negara yang dapat hidup soliter. Hanya daerah-daerah yang memiliki potensi yang sangat kuat saja yang dapat bertahan secara mandiri lepas dari jejaring tersebut. Oleh karena itu, konsep kerjasama menjadi strategi pembangunan yang wajib dilakukan oleh setiap daerah, khususnya kerjasama dengan tetangganya (Visser, 2003).

A. Kebutuhan Interaksi kota dan Daerah di SekitarnyaInteraksi atau hubungan antara kota dengan daerah di sekitarnya dapat diartikan sebagai hubungan timbal balik yang saling berpengaruh antara kota dengan dua atau lebih daerah atau kawasan di sekitarnya yang dapat menimbulkan gejala atau kenampakan baru. Pengertian ini menunjukkan bahwa suatu interaksi tidak sempurna apabila hanya dilakukan oleh satu pihak, sementara pihak lain tidak merasakan akibat dari hubungan tersebut. Interkasi yang sempurna adalah apabila setiap pihak yang terkait dengan interaksi dapat secara langsung dan aktif terlibat di dalam interaksi. Sedangkan akibat yang terjadi dari interaksi tersebut adalah resultante dari reaksi dari setiap kawasan yang terlibat di dalam interaksi tersebut. Dengan kata lain, interaksi dapat dikatakan sempurna apabila setiap kegiatan interaksi yang dilakukan oleh semua pihak dan menghasilkan sesuatu yang berbeda daripada dilakukan sendiri oleh masing-masing pihak.Meskipun berbeda, kajian kebutuhan interaksi kota dan daerah sekitarnya dapat ditinjau kembali melalui kebutuhan interaksi pada individu manusia. Sebagai kawasan tempat bermukim sebagai besar penduduk dunia, kota dan kawasan perkotaan dapat dianalogikan seperti manusia yang membutuhkan interaksi dengan manusia lainnya. Karena salah satu kebutuhan dasar manusia itu sendiri adalah berinteraksi dengan manusia lainya. Kebutuhan sosialisasi, interaksi dan komunikasi menyebabkan manusia berkumpul dan berkelompok dalam suatu wadah yang disebut masyarakat. Manusia disebut pula sebagai hommo socius karena tidak dapat hidup sendiri tanpa manusia lain. Manusia dapat hidup dan bertahan jika menjalani kehidupan melalui kegiatan interaksi, komunikasi dan kerjasama dalam jaringan kedudukan dan perilaku. Dengan kata lain, hampir seluruh kehidupan manusia baik sebelum atau dilahirkan, merupakan kesatuan kegiatan interaksi, komunikasi dan kerjasama yang diwujudkan dalam perbuatan, tingkah laku maupun proses berpikir.

Rangkaian kegiatan interaksi dan komunikasi yang dilakukan manusia bersifat alamiah karena berlangsung begitu saja, berdasarkan naluri dasar manusia. Kegiatan tersebut berlangsung secara terus menerus yang pada akhirnya menyadarkan manusia kepada perlunya keteraturan di dalam interaksi tersebut. Keteraturan yang dimaksudkan disini adalah bahwa dalam berinteraksi dengan manusia lain, ada kesepakatan bersama tentang pola tindakan, perbuatan yang disepakati bersama. Keteraturan dalam melangsungkan interaksi, komunikasi merupakan landasan bagi terbentuknya kesatuan masyarakat.

Masyarakat merupakan sarana refleksi, pertumbuhan dan pengembangan pikiran, kesadaran dan kesenangan dari sekelompok orang. Kesadaran dan kesenangan tersebut dapat berupa gagasan, ide, pengetahuan dan pemahaman. Seiring dengan kegiatan dan interaksi dan komunikasi yang berlangsung secara terus menerus, gagasan, ide dan pengetahuan yang dimiliki individu-individu dalam masyarakat tersebut dipertukarkan diantara mereka. Hasil pertukaran yang dianggap mampu mewakili keinginan dan pikiran dari semua anggota komunitas dapat menjadi semacam aturan, ciri khas, norma, nilai, budaya, tradisi dan identitas bersama.

Ada begitu banyak bentuk masyarakat yang dapat ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Secara sadar tentunya setiap manusia mendekatkan dirinya dengan kelompok-kelompok masyarakat yang dianggap memberikan rasa nyaman, kesenangan dan wadah pengembangan pikiran. Setiap individu dalam masyarkat secara pasti memiliki keinginan menjadi bagaian dari masyarakat tertentu. Motif dasarnya adalah kebutuhan interaksi, sosialisai dan komunikasi, selain itu ada keinginan untuk menunjukan eksisistensi diri. Eksistensi seseorang dalam masyarakat juga menunjukan identitasnya.

Keinginan seseorang atau sekelompok orang untuk masuk atau membentuk masyarakat sangat tergantung pada kesadaran diri. Kesadaran diri merupakan kemampuan sesorang untuk mengidentifikasikan diri berdasarkan kualitas yang dimilikinya. Kemampuan sesorang untuk mengetahui kesenangan, hobi, kemampuan jasmani dan spritual, intelektual, serta finansial yang dimiliki sesorang dapat menyebabkan sesorang dapat bertahan atau eksis dalam suatu masyarakat. Seseorang yang tidak berhasil mengidentifikasi kualitas dirinya akan kesulitan menjadi bagian dari masyarakat dan bahkan membentuk masyarakat.

Berhasil mengidentifikasi kualitas diri merupakan jaminan terbentuknya masyarakat. Masyarakat seperti yang dijelaskan sebelumnya merupakan sarana refleksi, pertumbuhan dan pengembangan pikiran, kesadaran dan kesenangan dari sekelompok orang yang memiliki komitmen barsama. Kesamaan dalam kualitas diri, seperti hobi, kesukaan, asal kelahiran, suku dan tempat tinggal, tentunya akan mempermudah setiap indivdu untuk dapat berinteraksi ataupun melakukan refleksi dan mempertukarkan ide diantara mereka.

Konsepsi terbentuknya sebuah masyarakat seperti yang di ungkapkan diatas membawa kita pada kesimpulan awal bahwa masyarakat terbetuk secara alamiah dan berdasarkan kesamaan kualitas diri yang dibangun melalui proses interaksi dan komunikasi intensif. Sekadar memberikan perbandingan, masyarakat dan organisasi memiliki perbedaan mendasar. Awal terbentuk dan persyaratan dasar, seperti karakteristik seseorang, tujuan dan kesamaaan, relatif sama. Yang membedakan antara masyarakat dan organisasi adalah aturan. Dalam organisasi aturan pembagian tugas, hak dan kewajiban, diatur secara formal sedangkan dalam masyarakat, perangkat aturan dibangun atas dasar saling pengertian dan merupakan kovensi tidak tertulis. Dalam hal pembagian tugas komunitas tidak mengenal pembagian tugas secara formal tetapi bersifat insidental, yaitu berdasarkan peristiwa atau kejadian baik yang direncanakan maupun tidak direncanakan.

Mirip dengan kebutuhan interaksi antar manusia di atas, kebutuhan interaksi kota dan daerah atau kawasan di sekitarnya juga didasari oleh karakteristik kota sebagai kawasan yang tidak dapat bersifat soliter. Sebagai tempat hunian bagi banyak manusia, kota harus berinteraksi, berkomunikasi dan melakukan hubungan dengan kawasan-kawasan lain. Berbeda dengan kebutuhan interaksi antar manusia yang bersifat individualistis untuk menunjukkan ekstensi dan identitasnya, kebutuhan interaksi kota dan daerah disekitarnya lebih banyak disebabkan oleh kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan penduduk yang terdapat di dalamnya. Disamping itu, interaksi juga dibutuhkan oleh kawasan di sekitar kota, dengan berbagai alasan yang melatarbelakanginya.Interaksi kota dan daerah atau kawasan di sekitarnya dapat terjadi karena adanya kebutuhan dari salah satu kawasan dapat dipenuhi oleh kawasan yang lain. Sebaliknya, kawasan yang menyediakan kebutuhan tersebut tentu saja berharap mendapatkan imbal balik dari kawasan yang dipenuhinya kebutuhannya tersebut. Interaksi antar dua atau lebih kawasan atau daerah dapat menjadi sempurna apabila semua pihak yang terlibat di dalamnya mendapatkan keuntungan. Apabila interaksi hanya menguntungkan satu atau sedikit pihak saja, interaksi tersebut berjalan timpang, dan dapat dipastikan tidak akan dapat berlangsung lama.

Disamping didorong oleh adanya rasa saling membutuhkan dan melengkapi, interaksi dapat berjalan dengan baik apabila diantara pihak-pihak yang saling berinteraksi terdapat kondisi pendukung yang memungkinkan dan mendorong terjadinya interaksi, seperti kebijakan dan peraturan. Betapapun besarnya potensi untuk saling berinteraksi, apabila tidak didukung oleh kebijakan atau peraturan yang sesuai, interaksi tetap tidak akan terwujudkan. Disamping itu, meskipun potensi interaksi sangat besar, tetapi jika tidak didukung oleh ketersedaiaan sarana dan prasarana transportasi, interaksi tidak akan terjadi. Untuk lebih jelasnya, perhatikan gambar diagram yang menunjukkan posisi masing-masing unsur yang berkaitan dengan proses terjadinya interaksi antar daerah, berikut ini:

Gambar 18. Diagram Kebutuhan Interaksi Antar Kawasan Sumber: Hasil kajian penulisDari gambar di atas dapat dilihat bahwa untuk memulai interaksi, dibutuhkan berbagai aspek yang dapat menggerakkan dari satu pihak ke pihak yang lain. Secara khusus, aspek tersebut meliputi kebutuhan, penyediaan dan kondisi pendukung. Beberapa aspek tersebut, diantaranya adalah:1. Ekonomi

Dari padangan ekonomi, interaksi dapat terjadi apabila salah satu atau beberapa kawasan memiliki atau mengalami kegiatan ekonomi yang berlebih, sehingga mengalirkan kelebihannya ke kawasan yang lain. Atau, sebaliknya, suatu kawasan membutuhkan interaksi karena membutuhkan dukungan dari kawasan lain untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Beberapa kondisi ekonomi yang dapat mendorong interaksi, adalah:

a. Salah satu atau beberapa kawasan mengalami kondisi kelebihan dan yang lainnya mengalami kekurangan komoditas tertentu, sehingga menimbulkan aliran komoditas dari kawasan yang berkelebihan ke yang kekurangan.

b. Perpindahan penduduk untuk memperbaiki ekonominya dari kawasan yang tidak dapat menyediakan pekerjaan, ke kawasan yang membutuhkan tenaga kerja. Pada umumnya, interaksi yang terjadi adalah perpindahan penduduk dari kawasan perdesaan atau pinggiran kota ke kawasan pusat kota.c. Karena mengalami perkembangan pengetahuan dan teknologi yang lebih baik dan cepat, suatu kawasan dapat mendorong terjadinya interaksi dengan kawasan lain, dalam bentuk transfer pengetahuan dan teknologi. d. Kebutuhan timbal balik terhadap barang kebutuhan sehari-hari antara satu kawasan dengan kawasan yang lain dapat menyebabkan timbulnya pasar ekonomi. Misalnya, kawasan perdesaan yang dapat memproduksi bahan pangan akan menjualnya ke kota. Sementara itu, kota akan mengirimkan berbagai produk barang kelontong dan barang-barang rumah tangga ke kawasan perdesaan.e. Interaksi antara dua atau lebih kawasan juga dapat terjadi karena adanya peningkatan variasi mata pencaharian penduduk. Peningkatan dari sisi kuantitas dan keberagaman mata pencaharian penduduk pada suatu kawasan dapat mendorong dibutuhkannya interaksi kegiatan yang mendukung dan mendorong kegiatan lain di kawasan lainnya.2. Sosial dan BudayaSeperti telah dikaji di depan, manusia sebagai mahkluk sosial membutuhkan interaksi dengan manusia yang lain. Kodrat ini mendorong terjadinya interaksi antar kawasan sebagai tempat hunian manusia dengan kawasan lain.a. Terjadi perubahan sosial di suatu kawasan, misalnya di kota, dapat mempengaruhi kawasan lain yang berada di sekitarnya. Sebagai pusat pengembangan peradaban, kota memiliki kemampuan sebagai perantara bagi pengembangan kebudayaan ke kawasan di sekitarnya.b. Karena memiliki sarana sosial yang lebih lengkap, seperti sarana pendidikan, kesehatan, rekreasi dan hiburan, kota dapat menstimulan terjadinya interaksi dengan kawasan lain.c. Meningkatnya sarana transportasi mendorong terjadinya interaksi antar kawasan. Kemudahan transportasi menyebabkan penduduk suatu kawasan berinteraksi dengan penduduk di kawasan lain, dan melakukan pergerakan antar kawasan.d. Interaksi antar kawasan dapat terjadi karena berkembangnya organisasi sosial dan politik. Keberadaan cabang organisasi di berbagai kawasan dapat mendorong terjadinya interaksi antar kawasan.e. Berkembangnya berbagai kebutuhan dan kepentingan manusia, baik secara kuantitas maupun secara kualitas, mendorong mereka melakukan interaksi dengan kawasan lain yang mendukung dan menyediakan kebutuhan dan kepentingan tersebut.f. Komunikasi semakin terbuka mendorong orang di suatu kawasan berinteraksi dengan orang lain yang terdapat di kawasan lain. Hubungan komunikasi dapat mendorong kegiatan selanjutnya yaitu pergerakan dari suatu kawasan ke kawasan lainnya.

g. Interaksi antar kawasan juga dapat disebabkan oleh perubahan sistim nilai dan norma. Perubahan ini menyebabkan seseorang pada suatu kawasan budaya dan tradisi tertentu untuk terbuka berinteraksi dengan orang dari kawasan dengan budaya dan tradisi yang berbeda. Interaksi antar budaya ini dapat mendorong terjadinya pergerakan dari suatu kawasan ke kawasan lain.

3. Politik dan Pemerintahan

Seperti telah dijelaskan di depan, berbagai potensi yang tinggi yang dapat mendorong terjadinya interaksi antar kawasan tidak akan menyebabkan terjadinya interaksi tanpa di dukung oleh kondisi kebijakan memungkinkan. Dalam hal ini, kondisi politik dan pemerintahan sangat mempengaruhi terjadinya interaksi antar kawasan.

a. Interaksi antar kawasan dapat didorong oleh kondisi politik. Banyak kawasan berinteraksi karena didorong oleh kesamaan partai yang menguasai pemerintahan lokalnya. Sebaliknya, banyak kawasan tidak dapat melakukan interaksi antar kawasan karena terganjal oleh kondisi politik. Suatu pemerintahan kawasan tertentu yang dikuasai oleh tokoh dari partai tertentu bisa saja menolak untuk melakukan kerjasama dengan pemerintah kawasan lain yang dikuasai oleh tokoh dari partai lain. Persaingan dan konflik politik antar partai dapat menjadi penghambat terjadinya interaksi antar kawasan.

b. Interaksi juga dapat terjadi karena didorong oleh sistem pemerintahan yang mendukung terjadinya interaksi. Sistem pemerintahan yang memberlakukan sistem desentralisasi dan penempatan otonomi lebih kuat di daerah adalah sistem pemerintahan yang mendorong terjadinya interaksi antar daerah..Sementara itu, menurut Rondinelli (1978), interaksi keruangan dalam perencanaan pengembangan wilayah terdiri dari berbagai jenis, diantaranya adalah:

a. Interaksi fisik

Interaksi fisik berbentuk integrasi manusia melalui jaringan transportasi baik rekayasa maupun alami. Sarana interaksi rekayasa berupa jalan dan jembatan beserta moda transportasinya yang secara sengaja dibangun untuk mendukung interaksi antar kawasan.b. Interaksi ekonomi

Interaksi ekonomi berkaitan erat aliran komoditas berbagai jenis bahan dan barang manufaktur, modal dan keterkaitan produksi kedepan (forward linkages) dan kebelakang (backward lingkages) diantara berbagai kegiatan ekonomi.

c. Interaksi pergerakan penduduk

Interaksi pergerakan penduduk berupa migrasi penduduk baik permanen maupun temporer. Interaksi ini merupakan gambaran dari keterkaitan wilayah pedesaan dengan keterkaitan antara pedesaan dan perkotaan.

d. Interaksi teknologiInteraksi teknologi berupa peralatan, cara dan metode produksi yang terintegrasi secara keruangan dan fungsional. Interaksi ini terjadi karena inovasi teknologi saja tidak akan memacu transformasi sosial dan ekonomi pada suatu wilayah, tanpa penyesuaian dengan dan kebutuhan kawasan tersebut.

e. Interaksi sosial

Interaksi sosial terjadi karena dampak dari interaksi ekonomi yang mempengaruhi pola hubungan sosial penduduk. f. Interaksi pelayanan sosial Interaksi perlayanan sosial, seperti rumah sakit, puskesmas, sekolah dan sebagainya terjadi karena salah satu kawasan memiliki sarana dan prasarana sosial yang lebih lengkap daripada kawasan lainnya.g. Interaksi administratif, politik dan kelembagaan

Interaksi administratif, politik dan kelembagan terjadi karena adanya keterikatan sistem pemerintahan yang berlaku pada kawasan terhadap struktur pemerintahan, batas administratif maupun sistem anggaran dan pembiayaan pembangunan.Menurut Edward Ullman (dalam Bintarto, 1989), ada 3 (tiga) faktor yang mempengaruhi interaksi antar daerah, termasuk interaksi kota dan daerah di sekitarnya, yaitu:

a. Kawasan-kawasan yang saling melengkapi (regional complementary)

Setiap kawasan memiliki potensinya sendiri, yang berbeda dengan kawasan lainnya. Karena kekhususan potensinya, setiap kawasan memiliki sekaligus kelebihan dan keterbatasan sumber daya tertentu. Untuk potensi sumber dayanya yang menonjol, kawasan mengalami kelebihan dibandingkan dengan kebutuhan internalnya. Tetapi untuk sumber daya lainnya, kawasan tersebut mengalami kekurangan. Melalui interaksi antara kawasan yang kelebihan sumber daya dan wilayah yang kekurangan sumber daya, maka akan terjadi kondisi yang saling melengkapi.

b. Kesempatan untuk berintervensi (intervening opportunity)

Seringkali, interaksi antar kawasan terjadi karena terbukanya kesempatan. Kesempatan tersebut dapat berupa kebijakan atau peraturan yang baru yang memungkinkan terjadinya interaksi. Disamping itu, kesempatan dapat berupa kebutuhan yang mendesak yang terjadi akibat suatu kawasan mengalami perubahan kegiatan yang membutuhkan pasokan sumber daya yang tidak dimilikinya, sehingga harus mengambilnya dari kawasan lain.c. Kemudahan pemindahan keruangan (spatial transfer ability)Pada akhirnya, interaksi terjadi karena adanya kemudahan pemindahan dalam ruang baik berupa manusia, gagasan maupun informasi. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah jarak mutlak dan jarak relatif antar wilayah, biaya angkutan atau transportasi antar wilayah, dan kemudahan atau kelancaran angkutan. Kemudahan-kemudahan ini mendorong terjadinya pergerakan dan perpindahan dari kota ke daerah dan kawasan lain, dan sebaliknya.Interaksi antara pusat dan pinggiran dapat terjadi karena berbagai faktor yang ada dalam wilayah pusat, wilayah pinggiran dan diantara pusat dan pinggiran. Kemajuan masyarakat, perluasan jaringan jalan, pengaruh pusat terhadap pinggiran, kebutuhan timbal-balik telah memacu interaksi secara bertahap dan efektif. Kemajuan-kemajuan di bidang perhubungan dan lalu lintas memperlancar interaksi timbal-balik antar kawasan, terutama dalam hal perpindahan penduduk dan barang dari kawasan pinggiran dan perdesaan ke kawasan pusat kota.

Dari pengkajian yang telah dilakukan di depan, dapat dirumuskan bahwa interaksi antar kawasan memiliki tiga prinsip pokok sebagai berikut:

1. Interaksi berlangsung dengan baik apabila terjadi hubungan timbal-balik antar kawasan-kawasan terkait. Interaksi tersebut harus dirasakan oleh setiap kawasan yang terkait di dalamnya.

2. Hubungan timbal-balik tersebut mengakibatkan berbagai kegiatan pergerakan, seperti: pergerakan manusia; pergerakan barang, misalnya bahan pangan, pakaian dan bahan bangunan; dan pergerakan informasi atau gagasan, misalnya: informasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi.3. Hubungan timbal-balik tersebut menimbulkan gejala dan fenomena baru, baik yang bersifat menguntungkan maupun permasalahan baru.Berbagai kajian perkotaan yang dilakukan selama ini cenderung mengkaji berbagai gejala atau kondisi baru yang disebabkan oleh terjadinya interaksi, seperti pada aspek ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Penelitian tersebut berupaya mengkaji hal-hal yang menguntungkan atau merugikan bagi kawasan-kawasan yang saling berinteraksi. Interaksi bersifat menguntungkan apabila melalui interaksi, setiap kawasan mendapatkan sesuatu sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya. Sebaliknya, interaksi bersifat merugikan apabila salah satu, beberapa atau semua pihak mendapatkan permasalahan atau kerugian dari adanya interaksi.B. Interaksi Desa-Kota

Pada masa kini dan mendatang, keterkaitan kota dengan kawasan perdesaan, khususnya yang berada di sekitar kota semakin erat. Sebagai kawasan yang memiliki keterbatasan sumber daya alam dan kapasitas untuk memproduksi bahan pangan alami, kota sangat tergantung kepada kawasan perdesaan yang mampu menyediakan berbagai kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi sendiri oleh kota tersebut (Ferranti dkk., 2005). Disamping itu, kawasan perdesaan yang terdapat di kawasan pinggiran kota merupakan kawasan yang potensian bagi pemenuhan kebutuhan lahan untuk perluasan kegiatan perkotaan. Sementara itu, sebagai pusat pelayanan dan perkembangan peradaban dan kebudayaan, kota memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap kawasan di sekitarnya. Oleh karena itu, kawasan perdesaan dan perkotaan sebenarnya mempunyai peran yang sama-sama penting dalam pengembangan ekonomi lokal, wilayah dan negara (Ferranti dkk., 2005). Jika peran kawasan perdesaan dan kota tersebut dapat berjalan dengan baik, hubungan keterkaitan ekonomi dan sosial antara kedua kawasan dapat tercapai. Pentingnya keterkaitan kedua kawasan dalam perkembangan wilayah untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial yang berkelanjutan, telah dikemukakan oleh Friedmann dan Douglass (1998) melalui konsep Agropolitan. Konsep ini menekankan bahwa pengembangan kawasan perdesaan dapat tercapai dengan baik apabila kawasan perdesaan tersebut dikaitkan dengan pengembangan kota dalam wilayah tersebut. Fungsi kota lebih dititikberatkan sebagai pusat kegiatan bukan pertanian dan pelayanan, bukan sekedar sebagai pusat pertumbuhan. Sementara itu wilayah kecamatan (district) dikembangkan dengan fungsi sebagai unit pengembangan.Pengertian desa dan perdesaan itu sendiri sering dikaitkan dengan pengertian rural dan village, dan dibandingkan dengan kota (town/ city) dan perkotaan (urban). Perdesaan (rural) menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan seperti desa atau seperti di desa; dan perkotaan (urban) diartikan seperti kota atau seperti di kota. Berdasarkan batasan tersebut, perdesaan dan perkotaan mengacu kepada karakteristik masyarakat, sedangkan desa dan kota merujuk pada suatu satuan wilayah administrasi atau teritorial. Dalam kaitan ini suatu daerah perdesaan dapat mencakup beberapa desa.

Berdasarkan kriteria Lowe and Ward (2007) dalam Galent dkk. (2008), masyarakat desa memiliki karakteristik sebagai berikut: 1) peranan kelompok primer yang mengolah produk hasil bumi sangat besar; 2) faktor geografik sangat menentukan pembentukan kelompok masyarakat; 3) hubungan lebih bersifat intim dan awet; (4) struktur masyarakat bersifat homogen; 5) tingkat mobilitas sosial rendah; (6) keluarga lebih ditekankan fungsinya sebagai unit ekonomi; 7) proporsi jumlah anak cukup besar dalam struktur kependudukan. Sementara itu Cloke et al., (2006) dalam Galent dkk. (2008) mengemukakan sejumlah faktor yang menjadi dasar dalam menentukan karakteristik desa dan kota, yaitu mata pencaharian, ukuran komunitas, tingkat kepadatan penduduk, lingkungan, differensiasi sosial, stratifikasi sosial, interaksi sosial dan solidaritas sosial. Secara lebih terperinci, menurut tujuan analisisnya, Paul H. Landis (1948) mendefinisikan desa menjadi tiga kelompok kriteria: 1) analisis statistik; desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan dengan penduduk kurang dari 2.500 orang; 2) analisis sosial-psikologik; desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan yang penduduknya memiliki hubungan yang akrab dan bersifat informal diantara sesama warganya; dan 3) analisis ekonomi; desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan dengan penduduknya tergantung kepada pertanian. Sedangkan Koentjaraningrat (1984) mendefinisikan desa dari sisi antrologi, secara singkat sebagai komunitas kecil yang menetap tetap di suatu tempat. Meskipun singkat, definisi ini mampu menggambarkan berbagai kriteria tentang kawasan perdesaan, khususnya ditinjau dari karakteristik kehidupan penduduknya.

Berbagai pengertian tersebut tidak dapat diterapkan secara universal untuk desa-desa di Indonesia karena kondisi yang sangat beragam antara satu dengan yang lainnya. Bagi daerah yang lebih maju khususnya di Pulau Jawa dan Pulau Bali, antara desa dan kota tidak lagi terdapat perbedaan yang jelas sehingga pengertian dan karakteristik tersebut menjadi tidak berlaku. Namun, bagi daerah yang belum berkembang khususnya desa-desa di luar Pulau Jawa dan Pulau Bali, pengertian tersebut masih cukup relevan.

Isu tentang interaksi desa-kota itu sendiri sudah lama mendapat perhatian kalangan pengkaji perkotaan dan perencana pembangunan (Galent dkk., 2008). Isu tersebut muncul sejalan dengan kenyataan empiris tentang ketidakterpisahannya interaksi antara kawasan perdesaan dan kota yang juga mencakup masalah urbanisasi. Keterkaitan tersebut semakin meluas di berbagai tingkat, baik antara kawasan perdesaan dan kota itu sendiri, maupun antara kota kecil dengan kota besar; antar kawasan-kawasan perdesaan; dan antar kota yang merentang di dalam satu negara maupun antar negara. Interaksi desa-kota antara lain terlihat dari realitas bahwa penduduk desa menjadi konsumen barang dan jasa pelayanan perkotaan sementara masyarakat kota juga menjadi konsumen jasa dan barang hasil produksi perdesaan. Terlepas dari banyaknya kritikan atas pola keterkaitan yang terbangun, interaksi desa-kota bersifat saling menguntungkan dalam suatu iklim simbiosis mutualisma.

Dalam kehidupan yang dipengaruhi oleh proses perekonomian yang masih sederhana, masyarakat desa cenderung memproduksi dan menjual hasil pertaniannya secara mandiri ke wilayah-wilayah sekitarnya, termasuk ke kota yang berdekatan dengan lahan pertanian mereka. Mereka juga dapat menjualnya kepada para pedagang yang kemudian menjualnya secara langsung atau dengan sedikit pengolahan ke berbagai pasar, baik pasar lokal maupun pasar yang jauh di berbagai kota-kota besar dan metropolitan. Sebaliknya, petani di kawasan pedesaan juga membutuhkan barang dan jasa yang tidak bisa dihasilkannya sendiri, seperti sabun, minyak, atau pada tingkatan perkembangan yang lebih tinggi seperti kendaraan bermotor, pelayanan perbankan atau pinjaman keuangan. Kebutuhan tersebut dipenuhi dari pelayanan kota. Dengan demikian, pola interaksi desa-kota serta dasar kebutuhan yang melandasinya selalu bersifat dinamis, bergerak dari waktu ke waktu sesuai tingkatan kemajuan suatu masyarakat.

Keterkaitan tersebut digambarkan oleh Douglass (1998) sebagaimana yang terdapat pada pada tabel dibawah.

Tabel 7. Keterkaitan dan Interdependensi Desa-KotaFungsi KotaInterdependensiFungsi Desa

Pusat transportasi & perdagangan pertanianProduksi & produktivitas pertanian.

Pelayanan pendukung pertanian (semakin kompleks dan bernilai tinggi):

Input produksi

Jasa pemeliharaan/perbaikan

Kredit produksi

Informasi tentang metode produksi (inovasi) Intensifikasi pertanian dipengaruhi oleh:

Infrastruktur desa

Insentif produksi

Pendidikan dan kapasitas untuk menerima inovasi

Pasar konsumen non-pertanian (semakin kompleks):

Produksi pertanian olahan

Pelayanan privat

Pelayanan publik (kesehatan, pendidikan, dan administrasi) Peningkatan pendapatan pedesaan akan menambah permintaan (daya beli dan pilihan konsumen):

Untuk barang2 non-pertanian

Jasa/pelayanan

Industri berbasis pertanian (mempertahankan/mengembalikan bagian terbesar nilai tambah di suatu daerah)Produksi pertanian dan diversifikasi pertanian

Pekerja non-pertanian (meningkat bersamaan dengan meningkatnya tingkat kesejahteraan dan pendidikan di desa)Melibatkan semua fungsi di atas

Sumber: Douglass (1998)

Interaksi desa-kota juga harus dipahami dalam kerangka berpikir ekonomi politik sebagai suatu hubungan budaya asli versus budaya kolonial, budaya maju (kota) versus budaya terbelakang (desa), dan sebagainya. Interaksi tersebut mengalami perubahan akibat tuntutan diversifikasi, spesialisasi, serta difusi inovasi yang melanda hampir semua wilayah. Hal ini menunjukkan baha kedua kawasan memiliki interdependensi yang tinggi dalam rantai keterkaitan permintaan dan penawaran. Di samping pertimbangan ekonomi seperti sudah diuraikan di atas, keterkaitan antara kedua wilayah tersebut juga penting untuk mengatasi masalah urbanisasi yang memiliki implikasi politik. Karenanya, interaksi desa-kota tidak sekedar membawa implikasi ekonomi tetapi juga dampak sosial, budaya dan bahkan politik.

Untuk mempermudah pemetaan interaksi desa-kota yang sangat kompleks tersebut, terdapat beberapa jenis keterkaitan sebagai basis analisis kuantitatif dan kualitatif. Keterkaitan fisik seperti jaringan jalan, irigasi, atau jaringan transportasi dan komunikasi lainnya berkaitan dengan hubungan ekonomi (konsumsi dan pelayanan). Rondinelli (1985) dan Kammeier & Neubauer (1985) menjelaskan tipe keterkaitan tersebut sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut ini:Tabel 8. Keterkaitan Utama Desa-Kota & Fasilitas Terkait di Pusat Kota

Tipe KeterkaitanElemenFasilitas

Umum KotaFasilitas Khusus untuk Pertanian, manufaktur, dan Pengolahan Pertanian

1. Interaksi Fisik Jalan

Angkutan kereta api

Penerbangan

Irigasi

Ekologis

interdependensi Keterkaitan intra dan inter sistem

Stasiun kereta, terminal bis, pelabuhan, bandara Akses desa terhadap jalan menuju dan dari kota

Akses menuju keterkaitan transportasi utama (udara, laut, darat)

2. Interaksi Ekonomi Pola pasar

Aliran bahan mentah dan barang antara

Keterkaitan produksi

Pola konsumsi dan belanja

Aliran modal dan pendapatan

Aliran komoditas sektoral dan interregional

Keterkaitan silang Pasar barang konsumsi dan pertanian, toko retail

Fasilitas penyediaan input (kulakan, penyimpanan) Pasar produksi pertanian

Koperasi pertanian

Agen penjualan, agen eksport-impor

Fasilitas penyediaan input pertanian

Fasilitas pembelian dan perawatan peralatan pertanian

Outlet kredit untuk usaha pertanian dan usaha kecil lainnya

3. Mobilitas Penduduk Pola migrasi

Perjalanan ke tempat kerja Fasilitas transportasi penumpangN.a.

4. Interaksi Teknologi Interdependensi Teknologi

Sistem irigasi

Sistem Telkom Tempat perawatan dan perbaikan

Sama dengan poin 6 dan 7 Sama dengan Poin 2 dan 6

5. Interaksi Sosial Pola kunjungan

Pola Kekera-batan

Ritus, ritual, aktivitas agama

Interaksi kelompok sosial Fasilitas komunitas

Gereja, mesjid, dsb

Fasilitas olahraga

Bioskop

Restoran, klub Tidak ada fasilitas kecuali untuk memenuhi permintaan desa yang meningkat

6. Interaksi Penyediaan Pelayanan Aliran dan jaringan energi

Jaringan kredit dan finansial

Keterkaitan pendidikan, pelatihan dan ekstensi

Sistem pelayanan kesehatan

Pola pelayanan profesional, komersial, dan teknis. Fasilitas suplai energi (listrik, depot BBM)

Fasilitas keuangan, investasi dan perbankan

Sekolah

Rumah sakit, klinik

Fasilitas telkom dan pos

Media massa

Fasilitas akomodasi Suplai energi dan fasilitas khusus untuk pengolahan dan manufaktur pertanian

Fasilitas sekolah khusus dan pelatihan pertanian.

7. Keterkaitan Politik, Administratif, dan Organisasional Keterkaitan struktural

Aliran anggaran pemerintah

Interdependensi organisasi

Pola otoritas-persetujuan-supervisi

Pola transaksi antar jurisdiksi

Rantai keputusan politik informal Otoritas dan agen-agen sub-nasional (administrasi, pemeliharaan, perencanaan, implementasi)

Kamar Dagang

Serikat Buruh

Peradilan

Polisi Kantor cabang kementerian pertanian, Kehutanan, Kesehatan, Perindustrian.

Sumber: Rondinelli (1985) dan Kammeier & Neubauer (1985)Klasifikasi jenis interaksi di atas dipergunakan sebagai dasar penggunaan pendekatan Urban Functions in Rural Development (UFRD). Interaksi tersebut terkadang bersifat satu arah seperti keterkaitan ekonomi atau fisik, tetapi bisa juga bersifat kausal seperti interaksi transportasi dengan jasa transportasi, produksi, dan fasilitas penyampaian jasa. Jenis interaksi juga berkaitan dengan tingkat kemajuan suatu masyarakat. Pada saat daerah yang relatif terbelakang masih mengandalkan interaksi konsumsi dan jasa tradisional, kawasan yang lebih maju lebih terfokus pada interaksi produksi dengan keterkaitan ke depan (forward lingkage) dan ke belakang (backward lingkage) yang kompleks. Sementara itu, interaksi finansial akan melanda semua wilayah bersamaan meningkatnya proses desentralisasi dan otonomi.

Bersamaan dengan dinamika pembangunan, interaksi desa-kota mengalami perubahan substansi dan bentuk. Karenanya selalu terdapat berbagai variasi keterkaitan, baik di dalam suatu wilayah, di dalam suatu negara, maupun antar wilayah dan antar negara. Hal itu sangat bergantung pada faktor pembangunan sosial, ekonomi, dan politik di wilayah bersangkutan. Untuk itu, keterkaitan perlu diperlakukan sesuai kondisi suatu wilayah tanpa perlu menerapkan generalisasi.

Interaksi desa-kota perlu dipahami dalam suatu rentang wilayah yang relatif tanpa batas. Karenanya, para analis pembangunan tidak perlu lagi membuat dikotomi antara pembangunan desa dan pembangunan kota. Demikian halnya dengan pemahaman yang komprehensif tentang dimensi ekonomis dan finansial, spasial dan sosial, serta dimensi-dimensi relevan lainnya dalam pembangunan regional. Semuanya harus diperhatikan dan diperlakukan sebagai satu kesatuan. Kecenderungan lama akan pengkotak-kotakan analisis perlu segera ditinggalkan.

Secara tradisional interaksi desa-kota diindikasikan dengan adanya aliran produk barang dan jasa perkotaan yang harus ditimbal-balikkan oleh masyarakat perdesaan melalui aliran dana dari kawasan perdesaan ke perkotaan. Kondisi ini secara umum dikenal dengan rendahnya nilai tukar produk barang dan jasa dalam bentuk dana dari masyarakat perdesaan terhadap produk barang dan jasa perkotaan. Hal inilah yang sering dipandang sebagai penyebab utama kemiskinan di kawasan perdesaan (Ellis dan Freeman, 2005). Untuk mengatasinya, banyak kajian pembangunan yang mengarahkan agar perlu memperkuat kapasitas penduduk perdesaan agar dapat meningkatkan nilai tukar produk barang dan jasa mereka terhadap kota.

Beberapa strategi untuk menyeimbangkan kapasitas interaksi desa-kota tersebut, diantaranya adalah sebagai berikut: 1) memindahkan proses produksi dari kota ke desa untuk meningkatkan produktivitas dan nilai tambah produk/jasa yang dihasilkan oleh masyarakat perdesaan melalui bantuan modal, sarana produksi dan pelatihan; 2) memperpendek jalur produksi, distribusi, dan pemasaran produk/jasa masyarakat perdesaan untuk mengurangi biaya ekonomi tinggi melalui pembentukan satuan partisipatif bagi pengembangan produk barang dan jasa secara spesifik. Jasa ini dibangun di perkotaan; 3) memberikan akses yang lebih besar bagi masyarakat perdesaan terhadap faktor-faktor produksi barang dan jasa seperti modal, bahan baku, teknologi, sarana dan prasarana. Hal ini akan merangsang sumber daya manusia perdesaan untuk lebih produktif dalam mengembangkan usahanya, sehingga desa memiliki daya tarik untuk investasi produksi dan tenaga kerja. Disamping itu adanya dukungan informasi khususnya informasi pasar.C. Konsep Dasar Manajemen Interaksi kota dan Daerah di Sekitarnya

Manajemen interaksi antar daerah adalah manajemen yang mengitegraksikan antar dua atau lebih daerah. Manajemen ini berbeda dengan manajemen internal daerah yang hanya mengelola satu daerah atau kawasan yang terdapat di dalam daerah saja. Karena melibatkan beberapa pihak sekaligus, yang masing-masing memiliki dan menjalankan manajemennya sendiri-sendiri, maka manajemen interaksi antar daerah menginteraksikan beberapa manajemen sekaligus. Dalam konteks interaksi tersebut, manajemen interaksi antar daerah bertujuan untuk mencapai tujuan bersama, yang tentu saja menguntungkan bagi semua daerah atau kawasan yang saling berinteraksi.

Seperti telah dijelaskan di depan, manajemen perkotaan adalah manajemen publik tentang pengelolaan pemenuhan kebutuhan dan kepentingan publik. Publik yang terdiri dari berbagai pihak tersebut, dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) kelompok besar, yaitu pemerintah sebagai pihak yang mengelola pemenuhan kebutuhan dan kepentingan publik dan masyarakat umum sebagai pihak yang memerlukan pemenuhan kebutuhan dan kepentingan publik. Dengan demikian, manajemen interaksi antar daerah dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu 1) manajemen antar daerah yang dilakukan oleh pemerintah daerah, dan 2) manajemen interaksi antar masyarakat dari daerah-daerah yang saling berinteraksi.Sebagian dari kawasan perkotaan berbentuk kota, yang memiliki sistem pemerintahan tersendiri, yang disebut pemerintah kota, yang dipimpin oleh seorang walikota. Sedangkan, di Indonesia sebagian kawasan perkotaan lainnya, yang menjadi bagian wilayah kabupaten, dikelola oleh pemerintah kabupaten. Secara formal, manajemen interaksi antar kawasan perkotaan pada lingkup pemerintahan dijalankan antar pemerintah daerah tersebut. Di Indonesia, interaksi yang terjadi adalah antara pemerintah kota dengan pemerintah kabupaten; dan antara pemerintah kabupaten dengan pemerintah kabupaten yang lain. Di Indonesia pengelola lokal kawasan perkotaan adalah pemerintah daerah. Adapun pengertian daerah atau disebut di dalam hukum dan peraturan sebagai daerah otonom, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat, menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di dalam menjalankan kewenangan tugas dan kewajibannya, pemerintah daerah berdasarkan kepada sistem otonomi daerah, yaitu hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Di Indonesia, kewenangan tugas dan kewajiban pemerintah dituangkan dalam peraturan tentang pembagian urusan pemerintahan. Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh hukum dan peraturan ditentukan menjadi urusan Pemerintah Pusat. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.Pembagian kewenangan urusan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah di Indonesia didasarkan kepada sistem desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah harus disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan. Sedangkan dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Tentu saja, urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada gubernur disertai dengan pendanaan sesuai dengan urusan yang didekonsentrasikan. Sementara itu, tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten, kota dan desa; serta dari pemerintah kabupaten dan kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.Tujuan utama dari desentralisasi dan otonomi daerah ini adalah mendekatkan pemerintah kepada masyarakat yang dilayaninya sehingga pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih baik dan kontrol masyarakat kepada pemerintah menjadi lebih kuat dan nyata. Desentralisasi dan otonomi daerah dapat dikatakan berhasil apabila pelayanan pemerintah kepada masyarakat menjadi lebih baik dan masyarakat menjadi lebih berperan dalam meningkatkan kesejahteraan bersama. Desentralisasi kewenangan tersebut akan berakhir dengan semakin meningkatnya peranserta masyarakat dan berubahnya peran pemerintah dari penyedia (provider) menjadi pemungkin (fasilitator).Dengan diterapkannya sistem desentralisasi dan otonomi daerah tersebut, daerah provinsi, kabupaten dan kota tidak mempunyai hubungan hierarki komando. Karenanya masing-masing daerah secara otonom mempunyai wewenang untuk merencanakan, melaksanakan dan mengawasi sendiri pembangunan di daerahnya. Dengan demikian pemerintah daerah kabupaten dan kota tidak lagi diatur dan tergantung kepada pemerintah provinsi. Demikian pula halnya dengan pemerintah provinsi tidak diatur dan tergantung pada pemerintah pusat, kecuali untuk tugas-tugas tertentu yang dilaksanakan dalam rangka dekonsentrasi dan pembantuan.

Meskipun secara eksplisit, hubungan hierarki tidak berlaku di dalam hubungan antar pemerintah daerah dan pemerintah daerah, tetapi hubungan fungsional dan koordinatif masih tetap diperlukan dalam konteks persatuan dan kesatuan bangsa. Di dalam pelaksanaan desentralisasi yang demokratis, perwujudan sistem otonomi yang luas tersebut, diarantaranya adalah dengan mengganti pengaraha dengan konsultasi dan koordinasi yang mendalam dan meluas, sehingga menghasilkan konsensus yang positif dan produktif.

Konsekuensinya, urusan-urusan dan kewenangan yang sudah diserahkan kepada daerah kabupaten dan kota kegiatannya tidak diusulkan ke pusat melalui provinsi. Kegiatan-kegiatan yang sudah menjadi kewenangan daerah kabupaten dan kota cukup dikoordinasikan di tingkat kabupaten dan kota bagi kecamatan, kelurahan dan desa yang ada di wilayahnya. Sedangkan usulan kegiatan yang mencakup lintas kabupaten atau kota dan atau bersifat strategis provinsi cukup dibahas di tingkat provinsi. Usulan kegiatan yang mencakup lintas provinsi dan atau bersifat kepentingan nasional dapat diusulkan dan dibahas ditingkat nasional. Konsekuensi dari sistem pemerintahan yang demikian di dalam manajemen interaksi antar daerah adalah bahwa manajemen interaksi antar daerah membutuhkan sarana mediasi yang mengatur agar interaksi yang terjadi di antara pemerintah daerah sesuai dengan koridor hukum dan peraturan yang berlaku. Bentuk sarana mediasi tersebut bervariasi, dapat berupa lembaga kerjasama antar daerah, nota atau catatan kesepahaman kerjasama, hingga berupa kegiatan pembangunan bersama. Kesemua sarana mediasi tersebut harus sesuai dengan koridor hukum dan peraturan yang berlaku.Disamping dilakukan dalam lingkup pemerintahan oleh pemerintah daerah sebagai pengelola pemenuhan kebutuhan dan kepentingan publik, manajemen interaksi antar daerah juga dilakukan oleh masyarakat sebagai pihak yang memiliki kebutuhan dan kepentingan publik tersebut. Pada tingkat masyarakat ini, masyarakat melakukan kerjasama lebih leluasa. Bentuk-bentuk mediasi yang dipergunakan dalam interaksi antar masyarakat tersebut lebih bervariasi dan bersifat tidak selalu harus bersifat formal, dibandingkan dengan yang terdapat pada interaksi antar pemerintah daerah yang dituntut bersifat formal.Hal lain yang perlu diperhatikan di dalam manajemen interaksi antar daerah adalah dibutuhkannya sarana yang dapat memediasi antar pihak-pihak yang saling berinteraksi. Seperti telah dijelaskan di depan bahwa masing-masing daerah, kawasan dan masyarakat memiliki sistem manajemennya masing-masing. Ketika manajemen-manajemen tersebut bertemu dan berinterasi dibutuhkan suatu perantara atau yang sering disebut sebagai sarana mediasi yang berfungsi menjembatani perbedaan-perbedaan yang ada sehingga dapat diinteraksikan dan dikomunikasikan diantara pihak-pihak yang saling berinteraksi. Untuk lebih jelasnya, perhatikan posisi media antar-muka di dalam interaksi antar dua atau lebih daerah atau kawasan, berikut ini:

Gambar 19. Posisi Sarana Mediasi Dalam Interaksi Antar Daerah/ KawasanSumber: Hasil kajian penulis

Dari gambar di atas dapat juga dilihat bahwa pada lingkup pemerintahan, interaksi antar pemerintah daerah dimediasi oleh suatu sarana mediasi. Sarana mediasi merupakan sarana yang dibutuhkan di dalam komunikasi antara dua atau lebih pihak yang berfungsi untuk menyamakan persepsi dan kedudukan pihak-pihak tersebut, agar mereka dapat melakukan interaksi dengan baik. Interaksi dibutuhkan karena pada umumnya setiap pihak memiliki persepsi dan karakteristik yang berbeda, sehingga ketika bertemu tidak dapat langsung berinteraksi. Melalui sarana mediasi tersebut, kegiatan komunikasi dan kerjasama akan berlangsung dengan baik. Lebih jelasnya, perhatikan kutipan berikut ini:

A number of alternative foci for communication and co-operation have proved to be successful. These include: (a) establishing a deep understanding of the alternative perspectives and their conceptual integration (this is often based upon a personal mutual trust between individuals); (b) identifying a currency for communication in the form of results or components that can be exchanged; (c) having an explicit design project or product that serves as an explicit and necessary means of mediation and understanding (Pirhonen, 2005, 5).Pada kutipan di atas dapat dirumuskan bahwa untuk membangun komunikasi dan kerjasama antar berbagai pihak dengan berhasil, perlu diperhatikan beberapa alternatif hal, yaitu: 1) penetapan kesepahaman yang mendalam terhadap intergrasi berbagai alternatif perspektif dan konsep, yang sering didasarkan pada adanya saling percaya di antara pihak-pihak yang berinteraksi; 2) mengidentifikasi sarana untuk berkomunikasi dalam bentuk hasil-hasil ataukomponen-komponen yang dapat dipertukarkan; 3) memiliki rancangan proyek atau produk yang dapat melayani dan sebagai sarana mediasi penting yang eksplisit dan kesepahaman antar pihak yang saling berinteraksi.Mediasi itu sendiri sebenarnya sering dipergunakan sebagai sarana perantara dari pihak-pihak yang berkonflik. Mediasi dipanang sebagai cara yang efektif untuk membangun kesepahaman dari pihak-pihak yang berkonflik, sehingga mereka dapat menuju pada penyelesaian konflik. Untuk memahami pengertian mediasi, perhatikan kutipan-kutipan berikut ini: [Mediation is] a reactive process of conflict management whereby parties seek the assistance of, or accept an offer of help from, an individual, group, or organization to change their behavior, settle their conflict, or resolve their problem without resorting to physical force or invoking the authority of the law (Bercovitch dan Houston, 1996, 13 dalam Huang, 2008, 148).

Mediation is a method of peaceful settlement of an international dispute where a thirdparty intervenes to reconcile the claims of the contending parties and to advance his own proposals aimed at a mutually acceptable compromise solution (United Nations 1992, 40, dalam Wilkenfeld, 2008, 45).

Di dalam kepentingan yang lebih luas, mediasi tidak hanya dibutuhkan pada saat terjadi konflik. Pada saat damai, mediasi dipergunakan untuk membangun kesepahaman dari pihak-pihak yang saling berinteraksi. Mediasi dapat dipegunakan untuk menyamakan persepsi pihak-pihak yang memiliki perbedaan cara pandang terhadap sesuatu. Di dalam proses pembentukan kerjasama, mediasi dipergunakan tidak hanya untuk membangun kesepahaman, tetapi juga untuk menegosiasikan hal-hal yang perlu disepakati di dalam kerjasama tersebut.

Pada proses mediasi, karakteristik masing-masing pihak yang berbeda-beda dipertemukan untuk diinteraksikan melalui berbagai bentuk dialog. Agar suatu dialog dapat berjalan dengan baik, setiap pihak harus memiliki kesamaan bahasa perantara yang dimengerti bersama oleh mereka. Bahasa dan berbagai bentuk sarana komunikasi dan interaksi tersebut sering disebut sebagai sarana antar-muka (interface facilities). Sarana antar-muka merupakan sarana perantara yang berfungsi menampung dialog yang dapat dimengerti dan dipahami oleh pihak-pihak yang saling berinteraksi.

Pada umumnya kegiatan mediasi merupakan kegiatan melibatkan pihak lain atau pihak ketiga untuk menjadi perantara di dalam interaksi (Liebmann, 1998). Tetapi, tergantung tingkatan intervensi dari kesepakatan yang dihasilkan dari interaksi yang menggunakan pihak ketiga ini, menurut Liebmann (1998) mediasi terdiri dari beberapa jenis, yaitu:a. Pembiaran, adalah proses ketidakpedulian pihak-pihak yang terkait dengan suatu kondisi atau permasalahan. Pada kondisi ini, tidak terjadi proses interaksi diantara mereka.b. Negosiasi, adalah istilah yang umum digunakan untuk menyebutkan kerja bersama-sama yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berinteraksi secara langsung, tanpa melibatkan pihak lain, untuk mencapai kesepakatan bersama. Jadi paa proses negoisasi tidak terdapat pihak lain di luar pihak-pihak yang berinteraksi.c. Mediasi, yaitu adalah proses keterlibatan pihak lain atau pihak ketiga di dalam proses pertemuan antar pihak-pihak yang berinteraksi, baik berbeda pendapat atau berselisih dan berkonflik, di dalam pengambilan keputusan untuk menyamakan pendapat dan menyelesaikan permasalahan. Pihak ketiga tersebut berperan sebagai mediator, bukan sebagai moderator. Moderator cenderung bersifat memberian perumusan atau keseimpulan terhadap peristiwa yang telah terjadi, sedangkan mediator bersifat membangun dan mengembangkan kesepakatan sebagai landasan menjalankan kegiatan bersama di masa depan.d. Arbitrasi, yaitu proses yang melibatkan pihak ketiga untuk membangun kesepakatan akhir yang harus dilaksanakan oleh pihak-pihak yang beriteraksi, biasanya berupa berupa keputusan yang mengikat semua pihak tersebut. Kesepakatan dan keputusan akhir tersebut diambil melalui proses terstutur, tetapi tidak diatur secara sangat formal seperti yang terjadi pada sidang-sidang pengadilan.

e. Ligigasi atau pengadlan, adalah proses penyelesaian perselisihan dan konflik melalui proses pengadilan yang formal. Pihak ketiga disini adalah para advokat yang bertindak atas nama pihak-pihak yang berinteraksi dengan menunjukkan bukti-bukti untuk menujukkan kebenarannya masing-masing. Ligigasi adalah proses interaksi antar pihak-pihak yang besifat adversarial, yang saling menunjukkan alasan-alasan masing-masing pihak yang terlibat di depan juri atau hakim. Juri atau hakim kemudian memutuskan pihak yang benar.Jenis-jenis mediasi tersebut jika diurutkan dari kegiatan yang mengandung intervensi pihak lain atau pihak ketiga yang paling sedikit yaitu proses negoisasi, hingga yang sangat ditentukan oleh pihak lain, adalah sebagai berikut:

Gambar 20. Jenis-jenis dan Hierarki Mediasi Berdasarkan Tingkat Intervensinya

Sumber: Dikembangkan dari Liebmann, 1998, 3.

Dari kajian di depan dapat dirumuskan bahwa interaksi antar daerah dan kawasan merupakan interaksi dari berbagai karakteristik manajemen daerah yang berbeda-beda yang saling berinteraksi. Untuk mengatasi perbedaan tersebut, diperlukan proses mediasi yang berfungsi dan berperan sebagai perantara untuk mengurangi perbedaan-perbedaan tersebut. Di dalam proses mediasi, berbagai perbedaan dipertemukan dengan tujuan untuk membangun dan mengembangkan kesepakatan dan keputusan yang disepakati bersama. Dengan demikian, mediasi merupakan manajemen tersendiri yang mengakomodasikan interaksi manajemen daerah-daerah yang berbeda-beda.D. Fungsi-fungsi Manajemen Interaksi kota dan Daerah di Sekitarnya

Seperti telah dijelaskan di depan, setiap manajemen memiliki fungsi-fungsi manajemen yang menyebabkan manajemen dapat berjalan sesuai dengan tujuannya. Pada dasarnya, fungsi-fungsi manajemen perkotaan mirip dengan fungsi-fungsi manajemen pada umumnya, seperti yang dijelaskan oleh Chakrabarty (1998) bahwa manajemen perkotaan memiliki fungsi-fungsi sesuai dengan fungsi-fungsi manajemen seperti yang dijelaskan oleh Koontz dan ODonnell (1976), yang terdiri dari planning, organizing, staffing, directing dan controlling. Penjelasan detail tentang masing-masing fungsi manajemen dapat dilihat pada bagian-bagian pembahasan di depan.

Pada manajemen interaksi antar daerah, masing-masing fungsi manajemen dari masing-masing daerah yang saling berinteraksi dipertemukan, dihubungkan, dikomunikasikan dan diinteraksikan. Fungsi planning pada manajemen suatu daerah diinteraksikan dengan fungsi planning pada manajemen daerah yang lain. Demikian pula fungsi-fungsi lain dari masing-masing manajemen daerah juga mengalami hal yang sama. Dalam hal ini, fungsi yang sama dari satu manajemen harus dipertemukan dengan fungsi yang sama dari manajemen yang lain. Interaksi harus dilakukan pada fungsi-fungsi yang sama atau sejenis. Interaksi yang mempertemukan suatu fungsi dari suatu manajemen dengan fungsi lain dari manajemen yang lain tidak akan menghasilkan interaksi. Sedangkan suatu fungsi diinteraksikan dengan fungsi yang lain dari manajemen yang berbeda hanya dilakukan pada saat kegiatan interaksi manajemen terjadi. Dengan kata lain, kegiatan interaksi antar fungsi manajemen di lakukan pada sarana mediasi yang menampung kegiatan interaksi manajemen.Seperti telah dijelaskan pada bagian konsep manajemen interaksi antar daerah di depan, interaksi antar fungsi manajemen ini mempergunakan suatu sarana mediasi. Sarana mediasi sangat penting sebagai perantara yang menjembatani interaksi antar fungsi-fungsi manajemen yang berasal dari berbagai pihak. Sarana mediasi itu sendiri lebih berfungsi sebagai coordinating terhadap berbagai fungsi manajemen yang berasal dari berbagai pihak tersebut. Untuk lebih jelasnya, perhatikan gambar berikut ini:

.Gambar 21. Hierarki Manajemen Interaksi Antar Daerah

Sumber: Hasil kajian penulis

Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa fungsi-fungsi manajemen dari daerah-daerah yang saling berinteraksi dipertemukan melalui sarana mediasi yang berada di tengah-tengah. Sarana mediasi sangat penting di dalam pertemuan antar fungsi manajemen, karena memiliki peran dan fungsi sebagai berikut:1. Sebagai wadah proses kegiatan mediasi antar fungsi-fungsi yang sama dari mas