116
LINGKUNGAN INDONESIA JURNAL HUKUM Vol. 2 Issue 1, Juli 2015

JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

LINGKUNGAN INDONESIAJURNAL HUKUM

Vol. 2 Issue 1, Juli 2015

Page 2: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

iii  

R E D A K S I D A N M I T R A B E B E S T A R I

Dewan Penasehat

Mas Achmad Santosa, SH. LL.M. Prof. Dr. Muhammad Zaidun, SH. M.Si. Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, SH., M.H.

Indro Sugianto, SH. M.H. Sandra Moniaga, SH., LL.M.

Yuyun Ismawati Dadang Trisasongko, S.H.

Penanggung Jawab

Henri Subagiyo, S.H., M.H.

Pemimpin Redaksi Margaretha Quina, S.H., LL.M.

Redaktur Pelaksana

Dayinta Harumanti, S.H.

Sidang Redaksi Laode M. Syarief, S.H., LL.M., Ph.D.

Wiwiek Awiati, S.H., M.Hum. Sukma Violetta, S.H., LL.M.

Josi Khatarina, S.H., LL.M. Rino Subagyo, S.H.

Windu Kisworo, S.H., LL.M. Prayekti Murharjanti, SH., M.Si.

Feby Ivalerina, SH., LL.M. Dyah Paramita, S.H., LL.M. Haryani Turnip, S.H. Dessy Eko Prayitno, S.H. Citra Hartati, S.H., M.H. Raynaldo G. Sembiring, SH. Astrid Debora, S.H.

Mitra Bebestari

Andri Gunawan Wibisana, S.H., LL.M., Ph.D. Redaksi dan segenap Penulis Artikel mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan saran yang diberikan dalam penyempurnaan Artikel Ilmiah yang diterima.

Page 3: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

iv    

P E N G A N T A R R E D A K S I Mengembalikan Kejayaan Maritim Indonesia

Berlandaskan Prinsip Pembangunan Berkelanjutan

ndonesia adalah sebuah negara yang terlahir dalam bentuk kepulauan. Meskipun konsep ini secara de jure baru dikenal sejak diumumkannya Deklarasi Juanda pada 13 Desember 1957, Indonesia telah menunjukkan potensinya sebagai negara yang memiliki kekuatan maritim sejak zaman

Kerajaan Majapahit. Peninggalan hukum Ordonantie Belanda tahun 1933 yang mengatur bahwa batas laut teritorial suatu negara diukur sejauh 3 mil laut dari garis pangkal telah lama mengusik intergitas Indonesia sebagai negara kepulauan. Pembatasan tersebut telah membuat adanya ruang kosong yang diartikan sebagai laut lepas di antara wilayah laut Indonesia yang luas sehingga banyak kapal asing yang melewati wilayah laut di antara pulau-pulau di Indonesia. Hal ini yang menimbulkan banyak pemberontakan yang ditunggangi kepentingan asing pada masa sebelum Deklarasi Juanda.

Pengakuan Negara Kepulauan Republik Indonesia oleh dunia internasional menempuh proses yang panjang selama 30 tahun. Konsep negara kepulauan yang dicantumkan di dalam Deklarasi Juanda tidak diterima di dalam pembahasan Konferensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa yang kedua pada tahun 1958. Konsep negara kepulauan baru diterima setelah diplomasi panjang selama tiga tahun persiapan Konferensi Hukum Laut yang Ketiga di Jamaika. Konsep archipelagic states (negara kepulauan) serta archipelagic waters (perairan kepulauan) akhirnya dimasukkan ke dalam norma hukum laut internasional yang tercantum di dalam the Third United Nations Convention on The Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982).

Indonesia meratifikasi UNCLOS 1982 melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985. Sejak saat itu, Indonesia menjadi negara terdepan yang mempraktikkan konsep negara kepulauan. Wilayah laut Indonesia diatur secara formal dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Indonesia juga menjadi satu-satunya negara kepulauan di dunia yang telah mengatur tentang alur laut kepulauan yang diamanatkan oleh UNCLOS 1982 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2002. Penetapan alur laut kepulauan tersebut menjamin hak negara asing untuk melintasi wilayah laut kepulauan Indonesia.

Indonesia juga adalah pasar yang besar, terletak di silang dunia, dan hingga saat ini, memiliki situasi politik yang cukup stabil. Dengan kenyataan tersebut, Indonesia memiliki nilai-nilai strategis bagi para investor untuk melakukan penanaman modal asing secara langsung (foreign direct investment), meskipun beberapa hal, utamanya infrastruktur, perlu juga diperhatikan. Karena, terlepas dari karakteristik Indonesia sebagai negara kepulauan dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, infrastruktur, industri, dan jasa maritim Indonesia belum dimanfaatkan secara maksimal. Padahal, ketiga hal tersebut

I

Page 4: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

v      

merupakan komponen operasional utama menuju negara maritim yang kuat dan katalisator pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagai negara kepulauan.

Harus diakui bahwa kekuatan sebagai negara maritim telah lama dinafikan oleh pemerintah. Pendekatan pengambilan kebijakan di masa lalu tidak banyak mengoptimalkan wilayah laut Indonesia sebagai kekuatan bangsa baik dari segi ekonomi maupun pertahanan. Akibatnya, banyak sumber daya alam kelautan yang diambil oleh pihak asing akibat lemahnya mekanisme pengawasaan dan monitoring wilayah laut Indonesia. Munculnya konflik yang menegangkan dengan negara tetangga terkait batas laut teritorial seringkali terjadi, khususnya di Perairan Laut Ambalat. Perhatian untuk pengembangan pelabuhan-pelabuhan internasional di sekitar wilayah Traffic Separation Scheme (TSS) Selat Malaka membuat Indonesia kalah bersaing dengan Pelabuhan Singapura akibat pengaturan kerangka hukum Indonesia yang tidak menguntungkan para pemilik kapal untuk menyandarkan kapalnya di pelabuhan di Indonesia. Selain itu, Indonesia belum memiliki mekanisme perlindungan lingkungan laut yang jelas. Hal ini tercermin dalam ketidakberdayaan Pemerintah Indonesia untuk menuntut kompensasi atas kasus tumpahan minyak Montara di Laut Timor pada tahun 2009. Banyak pekerjaan rumah bagi Pemerintah Indonesia dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pembentukan sistem terkait wilayah lautnya sendiri yang tidak terselesaikan selama ini.

Perubahan pendekatan geopolitik dalam masa pemerintahan Presiden Joko Widodo akan kembali menentukan posisi Indonesia di dalam peta politik dunia sebagai negara maritim yang besar. Selain itu, perlu disadari bahwa poros maritim dunia yang dicanangkan mengandung banyak aspek yang perlu diperhatikan. Hal-hal ini mendasari pemilihan tema “Menuju Poros Maritim Dunia Berkelanjutan” untuk edisi Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia Volume II Issue 1. Berbagai analisis yang terdapat di dalam tulisan-tulisan yang dimuat di dalam jurnal ini diharapkan mampu membuka pandangan khalayak ramai tentang urgensi bagi masyarakat Indonesia untuk saling bekerja sama dalam meperhatikan isu yang terjadi wilayah laut Indonesia demi mencapai kemakmuran bangsa.

Jakarta, Juli 2015,

Redaksi

Page 5: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

vi

D A F T A R I S I

Redaksi & Mitra Bebestari .......................................................................................... iii

Pengantar Redaksi ....................................................................................................... iv

Daftar Isi ........................................................................................................................ vi

Artikel Ilmiah

1. Analisis Hukum Terhadap Pengaturan Pengelolaan Perikanan Berbasis

Masyarakat Di Indonesia

Ahmad Marthin Hadiwinata, S.H., M.H. ................................................... 1

2. Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir Di Aceh

Safrina, S.H, M.H, M.EPM .......................................................................... 30

3. Tindakan Afirmatif sebagai Bentuk Keadilan pada Penegakan Hukum

Lingkungan Hidup di Laut : Studi Kasus MV Hai Fa dan Nelayan

Ujung Kulon

Rayhan Dudayev .......................................................................................... 48

4. Pengelolaan Air Balas: Kerangka Hukum Internasional dan

Perbandingan Hukum di Indonesia

Eliza Dayinta Harumanti, S.H. ................................................................... 68

Ulasan Undang-Undang No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan “Penegakan

Hukum di Laut: Peluang dan Tantangan”

Margaretha Quina & Henri Subagiyo .................................................................... 93

Penutup Redaksi ......................................................................................................... vii

Pedoman Penulisan Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia ................................ viii

Page 6: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

A N A L I S I S H U K U M TERHADAP PENGATURAN PENGELOLAAN PERIKANAN

BERBASIS MASYARAKAT DI INDONESIA

Ahmad Marthin Hadiwinata∗

Abstrak

Artikel ini bertujuan untuk menganalisis ketentuan hukum nasional dalam pengelolaan perikanan berbasis masyarakat (PPBM). Penulis menggunakan kerangka analisis Kuemlangan dan Teigene dalam artikelnya yang berjudul: “An Overview Of Legal Issues And Broad Legislative Considerations For Community Based Fisheries Management.” Tidak ada cetak biru dalam menciptakan kerangka hukum bagi PPBM namun hukum akan menentukan pengaturan mengenai PPBM. Perlu untuk melakukan penilaian terhadap penerimaan konstitusi atas PPBM dengan contoh hak kepemilikan bersama serta bagaimana desentralisasi kewenangan pengelolaan diatur. Penulis menemukan kemungkinan adanya konflik berdasarkan UU Perikanan, UU PWP3K dan UU Pemda dalam pengelolaan sumber daya perairan dan laut. Desa sebagai peluang penciptaan PPBM dapat menerapkan empat prinsip yaitu jaminan, ekslusivitas, keberlangsungan serta fleksibilitas. Tetapi terdapat hambatan dengan tidak terintegrasinya PPBM dalam kerangka hukum perikanan yang lebih luas. Penulis menyarankan adanya perubahan kebijakan menyeluruh dalam hukum perikanan yang mengakui pengelolaan oleh masyarakat dalam perikanan.

Kata kunci: Pengelolaan Perikanan Berbasis Masyarakat, Hukum Perikanan, Desentralisasi, Hak Milik Bersama.

                                                                                                                         ∗ Penulis merupakan Deputi Advokasi Hukum dan Kebijakan Hukum di Koalisi Rakyat

untuk Keadilan Perikanan (KIARA), yang berfokus terhadap isu perikanan dengan perspektif hak asasi manusia, terutama bagi nelayan tradisional dan pembudidaya.

Page 7: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

2

Abstract

This article aims to analyze the provisions of national law in a community-based fisheries management (CBFM). The author uses analytical framework Kuemlangan and Teigenen in an article entitled: “An Overview Of Legal Issues And Broad Legislative Considerations For Community Based Fisheries Management.” There is no blueprint in creating a legal framework but the law will define the arrangements regarding CBFM. There is a need to conduct an assessment of the constitutionality of CBFM, for example related to the common property rights and decentralization of management authority. The author discovered a possible conflict based on Fisheries Act, Coastal and Small Island Act and Local Government Act in the management of marine resources. Villages as opportunities for establishing CBFM can apply four principles such as: security, exclusivity, permanence and flexibility. However, there are constraints in the integration of CBFM in the wider legal framework of fisheries. The author suggests a comprehensive legal reform in the fishery law to recognize community management with regard to fisheries.

Keywords: Community Based Fisheries Management, Fisheries Law, Decentralized, Common Property

1. Pendahuluan

Menipisnya sumber daya persediaan ikan di dunia diyakini disebabkan oleh rezim akses terbuka yang menganggap bahwa persediaan ikan tidak terbatas dan dapat pulih dengan sendirinya.1 Rezim akses terbuka bergerak ke bentuk pengelolaan yang membatasi akses terhadap sumber daya ikan, antara lain dengan menggunakan pendekatan berbasis hak yang menciptakan rezim hak-hak kepemilikan (property rights) atas sumber daya.2 Salah satu bentuk rezim hak kepemilikan adalah kepemilikan bersama (common / collective property),

                                                                                                                         1 Bab 7 Bagian 3.1.1. Lihat: Food and Agriculture Organizations (FAO), “Law And

Sustainable Development Since Rio – Legal Issues And Trends In Agriculture And Natural Resources Management,” FAO Legislative Study 73, (Roma: FAO, 2002). Sumber: http://www.fao.org/docrep/005/y3872e/y3872e00.HTM, diakses pada 3 Juli 2015. Penulis menggunakan terjemahan bebas untuk property rights (hak kepemilikan).

2 Ibid. Bagian 3.1.2.

Page 8: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

3

dimana masyarakat lokal memegang hak ekslusif untuk menangkap ikan di suatu area tertentu.3

Seringkali bentuk kepemilikan bersama dalam perikanan disamakan dengan situasi akses terbuka yang ditulis oleh Hardin dalam artikelnya yang berjudul tragedy of commons.4 Capistrano dengan mengutip pendapat Lynch mengklarifikasi bahwa Hardin tidak merujuk kepada tragedy of the commons melainkan tragedy of open access yang bertolak belakang dengan pengelolaan dan pemilikan sumber daya oleh suatu kelompok tertentu.5 Bentuk pengelolaan sumber daya alam dengan akses terbuka tidak membatasi setiap orang untuk mengakses dan mengeksploitasi suatu sumber daya.6

Dalam rezim kepemilikan bersama, pengelolaan perikanan dilakukan dengan pengelolaan perikanan berbasis masyarakat sebagai pemilik sumber daya. Penulis menyadari bahwa konsep dan tema mengenai pengelolaan perikanan berbasis masyarakat (PPBM) memiliki bentuk yang beragam dengan banyak artikel memberikan pengertian dengan ide yang beragam.7 Namun hanya beberapa artikel yang

                                                                                                                         3 Ibid. Bagian 3.1.2. bentuk rezim kepemilikan terhadap sumber daya perikanan dapat

berupa (1) rezim kepemilikan negara (state property); (2) rezim kepemilikan swasta (private property); dan (3) rezim kepemilikan bersama (common (collective) property). Beberapa penulis lain berpendapat open acces sendiri adalah rezim kepemilikan dimana tidak terdapat hak kepemilikan tertentu atas sumber daya ikan. Lihat juga: Anthony Charles, “Rights-Based Fisheries Management: The Role of Use Rights in Managing Access and Harvesting” dalam Kevern L. Cochrane dan Serge M. Garcia (ed), A Fishery Manager’s Guidebook, Edisi Kedua, (Singapura: FAO dan Wiley-Blackwell, 2009), hal. 253.

4 Robert Charles G. Capistrano, Reclaiming The Ancestral Waters Of Indigenous Peoples In The Philippines: The Tagbanua Experience With fishing Rights And Indigenous Rights, (Nova Scotia, Saint Mary’s University, 2009). Lihat juga: Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, (Jakarta:Rajawali Pers, 2011), hal. 8.

5 Ibid, hal 8. 6 Ostrom mengutip Ciriacy-Wantrup and Bishop (1975) yang dengan jelas memberikan

perbedaan rezim kepemilikan open acces dimana tidak ada seorang pun memiliki hak hukum untuk mengecualikan setiap orang dalam memanfaatkan suatu sumber daya. Sementara dalam common property, anggota kelompok memiliki suatu kejelasan. Kelompok tersebut memiliki hak hukum untuk mengecualikan anggota diluar kelompok tersebut dari pemanfaatan suatu sumber daya. Lihat: Elinor Ostrom, “Private and Common Property Rights,” Sumber: http://encyclo.findlaw.com/2000book.pdf, diakses 5 Juni 2015, hal. 339-340.

7 Neil L. Andrew dan Louisa Evans menjelaskan istilah 'co-management' dan 'community-based management' dimaknai dengan banyak arti yang berbeda-beda oleh banyak penulis dan berkembang dalam ide-ide yang kompleks. Lihta: Neil L. Andrew dan Louisa Evans, “Approaches and Frameworks for Management and Research in Small-scale Fisheries” dalam Robert S. Pomeroy dan Neil L. Andrew, Small-scale Fisheries Management Frameworks and Approaches for the Developing World, (UK: CAB International, 2011), hal. 20. Perikanan berbasis masyarakat dengan penyerahan fungsi pengelolaan sumber daya dengan sebelumnya berada di pemerintah pusat disebut dengan nama yang beragam mulai ‘collaborative management’ atau ‘co-management’; desentralisasi pengelolaan, community based management. Lih: J. Purvis dan F. Sobo, “Information Aspects Of Community Participation In Fisheries” dalam S. Heck, C. T. Kirema-Mukasa, B. Nyandat and J. P. Owino, Report on: The

Page 9: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

4

menganalisis kerangka hukum mengenai PPBM. Salah satunya adalah artikel berjudul “An Overview Of Legal Issues And Broad Legislative Considerations For Community Based Fisheries Management” yang ditulis oleh Kuemlangan dan Teigenem.8 Artikel tersebut telah digunakan sebagai kerangka analisis hukum dari PPBM dan tenurial perairan adat laut (customary marine tenure) di kepulauan pasifik, tepatnya di Kepulauan Cook, Fiji, Palau, Papuan Nugini, Kepulauan Solomon dan Vanuatu.9

Kuemlangan dan Teigenem memaparkan tiga manfaat dalam PPBM. Pertama, masyarakat menikmati hak secara kolektif untuk memanfaatkan dan mengakses sumber daya, yang akan mendorong keinginan untuk menjaga dan melindungi hak-hak tersebut.10 PPBM akan meningkatkan partisipasi pemangku kepentingan perikanan dan devolusi dari fungsi-fungsi pengelolaan perikanan.11 Kedua, PPBM akan

                                                                                                                                                                                                                                                                                   International Workshop on Community Participation in Fisheries Management on Lake Victoria: BMU Development on Lake Victoria, Juli 2004, hal. 78.

8 Blaise Kuemlangan & Henning Teigenem, “An Overview of Legal Issues and Broad Legislative Considerations for Community-Based Fisheries Management” dalam Robin L. Welkomme and T. Petr. (ed), Proceedings Of The Second International Symposium On The Management Of Large Rivers For Fisheries, Volume II, (Bangkok: RAP Publication, 2004). Sumber http://www.fao.org/docrep/007/ad526e/ad526e0e.htm, hal. 151-162.

9 Kuemlangan (B), “Creating Legal Space For Community-Based Fisheries And Customary Marine Tenure In The Pacific: Issues And Opportunities,” FAO Fish Code Review. 7 (2004). Referensi lain adalah Adam Soliman yang melakukan analisis terhadap program Community Quota Entities (CQE) di Kanada dan juga menganalisis hal yang serupa terkait dasar konstitusional dan hukum yang mendukung pengelolaan perikanan berbasis masyarakat di Amerika Serikat, India dan Afrika Selatan. Lihat juga: Adam Soliman, Loc Cit.

10 Dalam konteks ini, masyarakat memiliki hak kepemilikan kolektif yang relatif luas terhadap sumber daya. Penciptaan hak-hak dan pemberian kepada anggota masyarakat sebagai kepentingan ekonomi yang akan mendorong penjagaan hak-hak tersebut untuk terus dapat dinikmati. Di sisi lain akan menghasilkan tujuan pengelolaan dari pemanfaatan berkelanjutan dari sumber daya. Lih: Kuemlangan dan Teigenem, Op Cit., hal. 152.

11 Dalam konteks ini, Kuemlangan dan Teigenem mengakui fakta ketidak efektifan pendekatan pengelolaan top-down dengan kewenangan pengelolaan pada pemerintah pusat. Tanggung jawab pengelolaan perikanan kepada pemerintah pusat dilakukan melalui kewenangan pemerintah pusat dengan pendekatan command and control (CAC). Dalam pendekatan CAC, pejabat berwenang menetapkan syarat dan ketentuan bagi keterlibatan pelaku utama dalam kegiatan yang diperbolehkan. Pendekatan ini akan efektif jika pemerintah pusat memiliki kapasitas yang cukup dan memenuhi syarat untuk melaksanakan tugasnya. Di sisi lain, pendekatan CAC hanya memberikan sedikit ruang bagi pemangku kepentingan sehingga menciptakan ketaksepahaman antara pengatur dan yang diatur dan seringkali melemahkan upaya pengelolaan efektif. Selain itu, terdapat banyak kepentingan dalam pengelolaan sumber daya perikanan sehingga pendekatan CAC harus memberikan partisipasi yang luas bagi pemangku kepentingan dalam pengelolaan perikanan untuk terlibat dalam perumusan kebijakan dan proses perumusan keputusan atau terkait aspek teknis. Pendekatan PPBM akan memberikan ruang konsultasi dari pemangku kepentingan atau bagi pemangku kepentingan untuk memiliki suatu bentuk perwakilan dalam perumusan keputusan. Kemudian akan mendorong pemerintah untuk transparan dan akuntabel dan menciptakan pemangku

Page 10: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

5

memberikan pengakuan terhadap perikanan skala kecil.12 Ketiga, PPBM dapat menyediakan berbagai sumber pengetahuan adat dan lokal untuk melengkapi informasi ilmiah, pemantauan persediaan ikan, serta meningkatkan penerapan pengelolaan secara keseluruhan.13 Hal ini dilatari bahwa pendekatan ilmiah dengan penghitungan maximum sustainable yield (“MSY”) dari jenis ikan kunci memiliki keterbatasan penerapan terhadap perikanan di negara berkembang.14 Pengetahuantradisional yang dimiliki oleh pelaku perikanan skala kecil akan mendukung pembangunan berkelanjutan dalam sektor perikanan sehingga perlu untuk dilindungi.15

Kuemlangan dan Teigenem mendefinisikan PPBM sebagai “a form of participatory and common property rights-based management which vests fishing rights in a group of individuals (communities) or involves the sharing of fisheries management and enforcement powers with local communities.”16 Dalam pengertian tersebut, PPBM melibatkan badan kolektif masyarakat nelayan sebagai kelompok yang terlibat secara langsung dalam kegiatan perikanan. Dimana masyarakat nelayan memiliki suatu fungsi kontrol, pemantauan dan pengawasan dalam kegiatan perikanan mendapatkan hak diferensial melalui partisipasi masyarakat terhadap pengelolaan barang milik publik. Pemerintah berperan dalam fungsi lain, misalnya untuk menilai aspek biologis manajemen perikanan dan keseluruhan peraturan yang mengikat. Sementara, masyarakat lokal akan bertanggung jawab atas tugas yang dapat dilakukan, misalnya mengukur

                                                                                                                                                                                                                                                                                   kepentingan yang lebih responsif dalam menerapkan pengelolaan dan penghormatan lebih bagi kepatuhan terhadap pengelolaan. Lih: Kuemlangan dan Teigenem, Loc. Cit., hal 153.

12 Dalam konteks ini, perikanan skala kecil dapat menjadi tulang punggung ekonomi nasional, berperan penting dalam penghidupan masyarakat miskin atau dengan menyediakan pangan yang tidak mahal. Di sisi lain, terdapat upaya untuk menjaga keberlangsungan dan mencegah urbanisasi nelayan ke kota. PPBM dapat memberikan alokasi yang adil dari sumber daya, menigkatkan kesadaran mengenai rapuhnya sumber daya, dan penerapan prinsip kehati-hatian dan mendorong pemanfaatan berkelanjutan. Lih: Ibid.

13 Robert S. Pomeroy, Community-Based And Co-Management Institutions For Sustainable Coastal Fisheries Management In Southeast Asia, Sumber: http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.202.7560&rep=rep1&type=pdf, diakses pada 3 Juli 2015.

14 Ibid. 15 Adam Soliman, “Achieving Sustainability Through Community Based Fisheries

Management Schemes: Legal and Constitutional Analysis,” Georgetown International Environmental Law Review Vol. 26 Issue 3 (2014), hal. 273.

16 Dalam terjemahan bebas berarti sebuah bentuk partisipasi dan pengelolaan perikanan berbasis hak kepemilikan bersama yang memberikan hak perikanan kepada sekelompok individu (masyarakat) atau melibatkan pembagian kewenangan pengelolaan perikanan dan penerapan kepada masyarakat lokal. Lih: Keumlangan dan Teigenem, Op Cit., hal. 153.

Page 11: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

6

apakah ada usaha penangkapan berlebih, aturan lokal untuk menangkap ikan, monitoring dan tingkat kepatuhan.17

Indonesia sebagai negara kepulauan terdiri dari 13.466 pulau yang memiliki garis pantai hingga mencapai 99.093 kilometer.18 Luas wilayah Indonesia mencapai 7,81 juta km2 dengan luas laut mencapai 2/3 wilayah daratan dengan 12.827 desa pesisir.19 Di sisi lain, sumber daya perikanan telah banyak mengalami tingkat over eksploitasi.20 Salah satu penyebabnya adalah lemahnya penegakan hukum terhadap sumber daya laut.21 Lebih dari 90% masyarakat yang melakukan kegiatan perikanan adalah nelayan tradisional dan skala kecil dengan ukuran kapal dibawah 5 GT.22 Nelayan tradisional dan skala kecil tidak terdata dengan baik karena tidak diwajibkan memenuhi ketentuan perizinan.23

                                                                                                                         17 Kuemlangan dan Teigenem, Op. Cit., hal. 153-154. 18 Rennisca Ray Damanti dan Mareta Nirmalanti (ed.), Kelautan dan Perikanan Dalam

Angka 2014, (Jakarta: Pusat Data, Statistik dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2014), hal. 143, Sumber: http://statistik.kkp.go.id/index.php/arsip/c/90/Kelautan-dan-Perikanan-Dalam-Angka-Tahun-2014/?category_id=3. diakses pada 7 Juli 2015.

19 Ibid. 20 Jika merujuk kepada diktum keputusan ketiga, estimasi potensi sumber daya ikan

harus ditinjau untuk diperbaharui dalam jangka waktu setahun sekali. Lih: Menteri Kelautan dan Perikanan, Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep.45/MEN/2011 tentang Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan di Wilayah Perikanan Negara RI dan Laporan Status Tingkat Eksploitasi Sumberdaya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI.

21 Salah satu kajian yang memaparkan kelemahan penegakan hukum di laut dituliskan oleh Eka Martiana Wulansari dalam artikelnya yang berjudul “Penegakan Hukum Di Laut Dengan Sistem Single Agency Multy Tasks.” Artikel tersebut memaparkan lemahnya pengawasan hukum di laut Indonesia dengan sistem multi agency single task yang dilakukan oleh tiga belas lembaga penegak hukum di laut (enam lembaga yang mempunyai satgas patroli di laut dan tujuh lembaga penegak hukum lainya tidak memiliki satuan tugas patroli di laut). Wulansari kemudian membahas bentuk Single Agency Multy Tasks yang dapat memberikan efektifitas pengawasan dan penegakan hukum di laut. Lih: Eka Martiana Wulansari, Penegakan Hukum Di Laut Dengan Sistem Single Agency Multy Tasks, Sumber: http://rechtsvinding.bphn.go.id/jurnal_online/PENEGAKAN%20HUKUM%20DI%20LAUT%20DENGAN%20SISTEM%20SINGLE%20AGENCY%20MULTY%20TASKS.pdf, diakses pada 5 Juli 2015.

22 Dari 2,7 juta jiwa orang yang bekerja di sektor perikanan tangkap baik di perairan laut maupun perairan pedalaman menggunakan kapal dengan ukuran mencapai kurang dari 5 GT mencapai 565.074 dari keseluruhan mencapai 639.708 kapal. Lih: Pusat Data, Statistik dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan, Loc. Cit., hal. 25.

23 Indonesia, Undang-undang Perikanan, UU No. 31 Tahun 2004, Lembaran Negara No. 118 Tahun 2004, Tambahan Lembaran Negara No. 4433, dalam Pasal 26 ayat (2). Lihat juga: Indonesia, Undang-Undang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, UU No. 45 Tahun 2009, Lembaran Negara No. 154 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara No. 5073, dalam Pasal 27 ayat (5) dan Pasal 28 ayat (4). Lihat juga: Hersoug mengutip Varkey et. al. yang menyatakan “As a result, small-scale fishing, which accounts for a large portion of all fishing activities in Indonesia, remains largely unreported”. Dalam terjemahan bebas: perikanan skala kecil yang menjadi bagian besar dari seluruh kegiatan penangkapan ikan di Indonesia menjadi tidak terdata dengan baik. Bjørn Hersoug, Fishing Rights To The Right People? Management Options In Crowded Small-Scale

Page 12: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

7

Masyarakat Indonesia telah mempraktikkan PPBM yang telah terbukti efektif dalam mengelola sumber daya perikanan secara berkelanjutan serta secara adil mengalokasikan sumber daya kepada masyarakat lokal.24 Praktik PPBM tidak terbatas pada wilayah perairan laut tetapi mencakup perairan pedalaman.25 PPBM dilaksanakan berdasarkan wilayah yang ditentukan secara jelas oleh lembaga masyarakat.26 Pengawasan akses terhadap sumber daya dilakukan sendiri oleh nelayan setempat dan aturan ditegakkan oleh otoritas lembaga setempat secara moral dan politik.27 Bailey dan Zerner mengidentifikasi dua hambatan hukum dalam PPBM di Indonesia.28 UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan tidak menyebutkan dan mengakui hukum adat dan hak ulayat laut (hak teritorial masyarakat).29 Selain itu, UU No. 79 Tahun 1985 tentang Pemerintahan Desa tidak mengakui kelembagaan tingkat masyarakat dan peran kepemimpinan selain struktur pemerintahan formal serta tidak mengakui kewenangan hukum selain dari pejabat yang ditunjuk pemerintah.30

Berbagai kebijakan hukum telah diundangkan termasuk revisi terhadap berbagai kebijakan yang terkait dengan pengelolaan perikanan berbasis masyarakat. UUD 1945 sebagai hukum dasar Indonesia telah mengalami empat kali amandemen, terakhir pada tahun 2002. MPR telah menerbitkan Tap MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria

                                                                                                                                                                                                                                                                                   Fisheries (2011), hal. 24, Sumber: http://www.marecentre.nl/mast/documents/ MAST10.2_Hersoug.pdf, diakses pada 7 Juni 2015.

24 C. Bailey dan C. Zerner, Community-Based Fisheries Management Institutions in Indonesia. MAST, 5(1)(1992)1-17. Sumber: http://www.marecentre.nl/mast/documents /communitybasedfisheriesmanagementinstitutioninIndonesia.pdf, diakses pada 4 Juli 2015, hal. 1.

25 Ibid, hal. 5. 26 Arif Satria dan Yoshiaki Matsuda, Decentralization Of fisheries Management In

Indonesia (2004), sumber: http://ledhyane.lecture.ub.ac.id/files/2013/02/M02_03.pdf, diakses pada 5 Juli 2015, hal. 438.

27 Ibid. 28 Bailey dan Zerner, Op. Cit., hal. 12. 29 Bailey dan Zerner menyarankan untuk merevisi Hukum Perikanan dengan (1)

adanya pengakuan secara tegas atas konsep hukum adat dan hak ulayat (wilayah); (2) prosedur hukum untuk pengakuan hak-hak tersebut harus disebutkan dengan jelas; (3) adanya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat lokal untuk mengelola dan mengalokasikan akses atas wilayah dan sumber daya sebagai dasar hukum bagi masyarakat nelayan untuk mengatur pemanfaatan sumber daya; dan (4) adanya pengaturan yang memungkinkan nelayan untuk bergabung dalam suatu badan hukum, mendorong pengembangan sistem pengelolaan perikanan lokal dan badan ekonomi mandiri lokal. Ibid.

30 Bailey dan Zerner menyarankan untuk revisi UU No. 5 Tahun 1979 dengan (1) mengakui lembaga pengelola masyarakat yang memberikan kedudukan hukum atas sistem pengelolaan berbasis masyarakat; (2) lembaga peraturan daerah diwajibkan untuk menerbitkan pengakuan formal terhadap status sistem kepemilikan bersama masyarakat dan hak pemanfaatan atas sumber daya pesisir dan laut. Ibid.

Page 13: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

8

dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa telah dicabut oleh UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah diubah terakhir dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Kemudian terbit UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa yang mengatur lembaga desa. UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan telah dicabut dan digantikan oleh UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang kemudian diperbaharui UU No. 45 Tahun 2009. Selain itu telah terbit UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (“UU PWP3K”) yang kemudian direvisi dalam UU No. 1 Tahun 2014. Terakhir telah disahkan UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan.

Tabel 1. Peraturan Perundang-undangan yang Mengatur Kegiatan Sumber Daya Perikanan

No. Peraturan Perundang-undangan Pokok Pengaturan

1. UUD 1945 Khususnya dalam Pasal 33

2. UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

Mengatur kerangka hukum umum mengenai kegiatan perikanan

3. UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Mengatur kerangka hukum mengenai pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil

4. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Mengatur desentralisasi pemerintahan daerah yang secara khusus dalam lampiran huruf Y mengatur kegiatan perikanan.

5. UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa Mengatur mengenai kelembagaan desa dan desa adat

6. UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan

Mengatur pengelolaan sumber daya kelautan secara umum

Artikel ini akan menganalisis kerangka hukum terhadap PPBM di Indonesia dengan dua pokok permasalahan.31 Pertama, bagaimana konstitusionalitas pengaturan pengelolaan perikanan berbasis masyarakat dalam hukum nasional Indonesia. Dalam hal ini, penulis menganalisis bagaimana penerimaan UUD 1945 terhadap PPBM di

                                                                                                                         31 Penulis menggunakan terjemahan bebas dari Community Based Fisheries

Management sebagai pengelolaan perikanan berbasis masyarakat. Beberapa penulis Indonesia seperti Yudi Wahyudin menggunakan istilah Pengelolaan Berbasis Masyarakat.

Page 14: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

9

Indonesia dengan menggunakan artikel Kuemlangan dan Teigenem sebagai pisau analisis.32 Kedua, penulis menganalisis peluang pengaturan PPBM di Indonesia dengan terbatas pada peraturan perundangan tingkat nasional.

2. Pedoman Analisis Kuemlangan dan Teigene

Tidak ada cetak biru pengaturan PPBM dalam kerangka hukum. Kuemlangan dan Teigenem menilai konstitusi beserta hukum turunan suatu negara akan menentukan apakah skema PPBM dapat diterapkan dengan mengkhususkan dua prasyarat terkait dengan hak kepemilikan bersama dan desentralisasi kewenangan pengelolaan.33

Hak kepemilikan dalam PPBM diartikan sebagai hak kepemilikan bersama atau penguasaan terhadap sekumpulan hak atau kekuasaan atas barang atau sumber daya yang dikelola bersama.34 Pertanyaan kuncinya adalah bagaimana konstitusi mengatur mengenai hak kepemilikan atas sumber daya dan sebagai barang milik bersama (common property) dalam skema PPBM.35 Dalam hal ini, penulis akan membahas Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 beserta tafsir Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

                                                                                                                         32 Kuemlangan dan Teigenem, Op. Cit. 33 Kuemlangan dan Teigenem menyebutkan sejumlah prasyarat seperti: Pemberian

hak-hak apa saja yang diberikan terkait dengan pengelolaan, bagaimana tingkat partisipasi masyarakat lokal apakah dalam tingkat konsultasi selama proses pengelolaan atau melalui perwakilan resmi dalam konsultasi, pendampingan atau penusunan keputusan dalam kerangka pengelolaan ataukah dalam bentuk devolusi kewenangan pengelolaan atau kekuasaan penerapan atau keduanya. Ibid., hal. 155.

34 Ibid, 156. 35 Kuemlangan dan Teigenem mendefinisikan hak kepemilikan bukanlah sebuah

barang, tetapi hak yang muncul melalui konstruksi kesepakatan sosial. Hak kepemilikan adalah sekumpulan hak atau kepentingan atas suatu aset yang dapat dibagi di antara berbagai pemangku hak. Hak-hak ini dapat dipisahkan, dipindahkan, dihapus atau ditambahkan oleh pemangku hak tersebut. Dengan keunikan bentuk pengelolaan berbasis masyarakat yang beragam, maka penting untuk memiliki pemahaman bersama mengenai konsepsi hak kepemilikan yang diatur dalam PPBM. Namun penerapannya akan bergantung pada sistem hukum dimana diterapkannya. Untuk itu, penting untuk berkolaborasi dengan masyarakat memberikan definisi, batasan dan aturan dalam pemanfaatan sumber daya yang memberikan keleluasaan kepada masyarakat untuk memimpin, menentukan dan membatasi aturan pemanfaatan terhadap sumber daya. Lih: Ibid. Selain itu, Adam Soliman menyatakan bahwa proses pendahuluan sebelum mempekenalkan dan merancang skema PPBMdengan melakukan konsultasi dan kolaborasi merupakan bagian penting dalam PPBM. Proses pendahuluan tersebut sesuai dengan prinsip meta-governance dari keterbukaan, penghormatan dan kesetaraan. Lih: Soliman, Loc. Cit., hal. 277.

Page 15: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

10

Terkait dengan desentralisasi, konstitusi suatu negara akan menentukan desentralisasi atau delegasi kewenangan pengelolaan sumber daya serta sejauh mana pemerintah daerah memiliki kekuasaan untuk membuat dan menegakkan hukum turunan dan peraturan lokal.36 Dalam konteks ini, penulis akan menganalisis Pasal 18 ayat (2), ayat (5), ayat (6) dan Pasal 18A ayat (1) dan (2) UUD 1945. Peraturan turunan mengenai desentralisasi kewenangan akan menentukan kewenangan penegakan atau pengelolaan sumber daya kepada pemerintahan daerah, masyarakat lokal atau pemangku kepentingan serta menentukan pembentukan organisasi, kewenangan, fungsi dan administrasi pemerintah daerah atas pengelolaan sumber daya alam.37 Dalam konteks ini, penulis akan menganalisis UU Perikanan, UU PWP3K dan UU Pemerintahan Daerah serta UU Desa.38

Kuemlangan dan Teigenem melanjutkan analisis terhadap jaminan dan kepastian hukum bagi PPBM dalam perundang-undangan nasional yang diperlukan agar PPBM dapat berjalan.39 Terdapat lima prinsip dasar yang harus terdapat dalam perundang-undangan nasional agar PPBM dapat berjalan yaitu jaminan (security), ekslusivitas (exclusivity), keberlangsungan (permanence), fleksibilitas (flexibility) dan keterpaduan.40

                                                                                                                         36 Lih: Kuemlangan dan Teigenem, Loc. Cit., hal. 156. Selain itu, Arif Satria dan

Yoshiaki Matsuda menjelaskan mengenai desentralisasi secara teoritis. Desentralisasi dapat diartikan sebagai pengalihan kewenangan dan tanggungjawab dalam fungsi publik dari pemerintah pusat kepada bawahan (subordinate) atau organisasi pemerintah quasi-independen atau bahkan sektor swasta dan perkumpulan masyarakat. Terdapat tiga tingkatan desentralisasi administrasi, yaitu dekonsentrasi, delegasi dan devolusi (devolution). Dekonsentrasi adalah pelimpahan kewenangan pembuatan keputusan dan tanggung jawab pengelolaan kepada pemerintah daerah. Bentuk ini seringkali di anggap sebagai bentuk terlemah dari desentralisasi dan biasanya dilaksanakan di di negara dengan bentuk kesatuan. Delegasi adalah pelimpahan kewenangan dalam perumusan kebijakan dan administrasi dari fungsi-fungsi publik kepada organisasi semi otonom dimana pemerintah pusat tetap memiliki hak untuk mengambil kekuasaan kembali. Devolusi adalah pelimpahan kewenangan untuk perumusan keputusan, keuangan dan pengelolaan semi otonom dari pemerintahan lokal dengan status badan hukum dan tanpa mengacu kembali ke pemerintah pusat. Lih: Arif Satria dan Yoshiaki Matsuda, Loc. Cit., hal. 439.

37 Kuemlangan dan Teigenem, Loc. Cit., hal. 157. 38 Penulis menilai undang-undang tersebut merupakan peraturan yang akan terkait

dengan sumber daya perikanan. 39 Tiadanya jaminan dan kepastian hukum bagi PPBM berasal dari rezim hukum yang

tidak memperbolehkan masyarakat lokal untuk menciptakan hak hukum yang dapat ditegakkan atas sumber daya atau rezim hukum yang tidak memberikan peran yang bermakna dalam perencanaan dan pengelolaan sumber daya tersebut. Lih: Kuemlangan dan Teigenem, Loc. Cit., hal. 158.

40 Pertama, jaminan (security) sebagai kemampuan masyarakat untuk menghadapi pihak lain atas hak yang di miliki. Jaminan mensyarakatn bahwa hak-hak tak bisa dirampas atau diubah sepihak dan tidak adil dan hak tersebut dapat di terapkan terhadap pemerintah. Aspek-aspeknya terdiri dari (1) batasan terhadap sumber daya yang dapat diterapkan hak-haknya, (2) siapa yang dapat ditetapkan sebagai anggota kelompok masyarakat, serta (3)

Page 16: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

11

Penulis akan membahas bagaimana jaminan kepastian dan keberlakuan hukum bagi PPBM dalam peraturan perundang-undangan nasional berdasarkan lima prinsip yang telah disebutkan sebelumnya.

3. PPBM Dalam Konstitusi Hukum

Dalam konteks Indonesia, pengaturan mengenai sumber daya alam secara khusus diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Pasal 33 ayat (3) yang berbunyi: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” terbagi dalam dua frasa utama. Pertama, “sumber daya alam dikuasai oleh negara” sebagai hak menguasai negara dan kedua “dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Menurut Mahkamah Konstitusi, makna “dikuasai oleh negara” harus diartikan secara luas. Tidak dapat hanya diartikan sebagai

                                                                                                                                                                                                                                                                                   bagaimana hukum mengakui pemegang hak-hak tersebut. Kedua, ekslusivitas sebagai kemampuan untuk menegakkan dan mengelola hak tanpa intervensi dari pihak asing diluar komunitas. Prinsip ini mensyaratkan perlindungan hak yang dapat diakses, terjangkau dan adil serta penyelesaian sengketa dan upaya hukum terhadap keputusan pemerintah. Aspek penting dari prinsip ini adalah kemampuan untuk menegakkan hak. Harus dijelaskan sejauh mana kewenangan pemerintah untuk memberikan ekslusifitas dari hak-hak dan kekuasaan bagi masyarakat lokal. Ketiga, keberlangsungan (permanence) yang terkait dengan rentang waktu dari hak yang diberikan kepada masyarakat lokal. Jangka waktu harus diberikan dan dinyatakan secara tegas serta memiliki jangka yang cukup lama agar manfaat partisipasi dapat terwujud. Keempat, fleksibilitas (flexibility) sebagai kebutuhan dari pengelola berbasis masyarakat atau sebagai ruang hukum untuk melaksanakan pilihan pengelolaan yang menggambarkan keunikan, kondisi dan aspirasi dari masyarakat. Aspek prinsip ini meliputi: (1) keleluasaan dalam menentukan tujuan dan aturan yang akan digunakan dalam mencapai tujuan, (2) sebagai syarat untuk mengakui kelompok masyarakat terkait dan (3) sebagai syarat untuk menentukan kelompok pengelolan dan wilayah yurisdiksi. Kelima, keterpaduan PPBM dalam kerangka hukum pengelolaan perikanan. PPBM harus diatur dalam kerangka manajemen hukum dan perikanan yang tercermin dalam undang-undang dan keseluruhan proses perumusan keputusan dengan memastikan peran dari pengelola komunitas dalam keseluruhan kerangka pengelolaan perikanan oleh negara. Untuk menempatkan PPBM dalam kerangka hukum perikanan terdapat lima syarat utama: (1) kerangka dan proses perumusan keputusan harus mempertimbangkan kedudukan dari pengelolan komunitas terkait dengan keseluruhan pembuat kebijakan; (2) Aturan proses keputusan dalam penetapan keseluruhan usaha perikanan seperti jumlah tangkapan yang diperlukan secara nasional harus dapat menjawab peran dari pengelola masyarakat dalam proses keputusannya; (3) adanya delegasi tanggungjawab termasuk kekuasan pengaturan kepada pengelola komunitas dan struktur dari kewenangan pengelolaan; (4) kekuasaan untuk menegakkan pengawasan dan penegakan perikanan kepada pengelolan masyarakat; (5) jika pengelola komunitas akan menggunakan kuasa kehakiman maka harus dinyatakan secara tegas. Ibid, hal. 159-160.

Page 17: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

12

pemilikan dalam arti perdata (privat) oleh negara karena tidak akan dapat mencapai tujuan pengelolaan sumber daya dan tujuan bernegara.41

Pemaknaan luas dari frasa tersebut bersumber dan berasal dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas sumber daya alam, termasuk kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan. Secara kolektif, dikonstruksikan oleh UUD 1945, rakyat memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan lima hal yaitu: (1) kebijakan (beleid); (2) melakukan pengaturan (regelendaad) yang dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan pemerintah dan regulasi oleh pemerintah (eksekutif); (3) melakukan pengurusan (bestuursdaad) yang dilakukan pemerintah dengan kewenangannya untuk menerbitkan dan mencabut fasilitas perijinan, lisensi, dan konsesi; (4) melakukan pengelolaan (beheersdaad) yang dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham dan/atau melalui keterlibatan langsung badan usaha milik negara, termasuk di dalamnya badan usaha milik daerah atau badan hukum milik negara/daerah sebagai instrumen kelembagaan di mana pemerintah mendayagunakan kekuasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu; dan (5) melakukan pengawasan (toezichthoudensdaad) yang dilakukan oleh negara c.q. pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas sumber daya alam.42

Hak menguasai tersebut dibatasi dengan ukuran konstitusional frase kedua yaitu “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” yang ditafsirkan dengan mempergunakan empat tolok ukur yaitu: (1) kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat; (2) tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat; (3) tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam; serta (4) penghormatan terhadap hak rakyat secara turun temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam.43 Di samping itu, penguasaan oleh negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus juga memperhatikan hak-hak yang telah ada, baik hak individu maupun hak kolektif yang dimiliki masyarakat hukum adat (hak ulayat), hak masyarakat adat serta hak-hak konstitusional lainnya yang dimiliki oleh masyarakat dan dijamin oleh konstitusi.44

                                                                                                                         41 Mahkamah Konstitusi merujuk kepada Putusan Mahkamah Nomor 001, 021,

022/PUU-I/2003 bertanggal 15 Desember 2004, Lih: Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-VIII/2010. 2011, hal. 156-157, paragraf 3.15.3.

42 Ibid, hal. 156-157, paragraf 3.15.3. 43 Ibid, hal. 161, paragraf 3.15.8. 44 Ibid, hal. 158, paragraf 3.15.4.

Page 18: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

13

Tafsir Mahkamah Konstitusi atas Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, menegaskan adanya hak masyarakat atas pengelolaan sumber daya alam yang dimiliki secara kolektif melalui kedaulatan rakyat. Konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas sumber daya alam mengandung hak kepemilikan publik secara kolektif atas sumber daya alam. Pemaknaan atas frasa “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” dimaknai dengan tolok ukur tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam dan penghormatan atas hak rakyat secara turun temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam sejalan dengan konsep hak kepemilikan bersama. Konsep hak kepemilikan dalam PPBM mendorong adanya partisipasi dalam menentukan bentuk pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam serta pengakuan terhadap hak rakyat yang telah secara turun-temurun berupa kepemilikan secara bersama atas sumber daya perikanan.

Terkait dengan desentralisasi pengelolaaan, UUD 1945 telah mengakui adanya otonomi daerah untuk mengatur sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas perbantuan.45 Otonomi pemerintah daerah dibatasi oleh undang-undang yang menentukan apa saja yang menjadi urusan pemerintah pusat.46 Selanjutnya, pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.47 Hubungan kewenangan dan hubungan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.48 Undang-undang yang akan terkait dengan PPBM telah disebutkan di atas, yaitu UU Perikanan, UU PWP3K, UU Pemerintahan Daerah dan UU Desa.

4. Pengelolaan Perikanan Berbasis Masyarakat dalam Peraturan Perundang-undangan

Salah satu alasan diundangkannya UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan adalah untuk mewujudkan pengelolaan perikanan yang memperhatikan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat

                                                                                                                         45 Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Amandemen ke-IV (2002), Pasal 18 ayat (2)

UUD 1945. 46 Ibid, Pasal 18 ayat (5) UUD 1945. 47 Ibid, Pasal 18 ayat (6) UUD 1945. 48 Ibid, Pasal 18A ayat (1) dan (2) UUD 1945.

Page 19: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

14

dengan pemerintah daerah.49 Namun, dalam batang tubuh pengaturannya, UU No. 31 Tahun 2004 tidak menjelaskan bentuk desentralisasi kewenangan pengelolaan perikanan secara tegas. UU Perikanan memandatkan adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur penyerahan sebagian urusan perikanan dari pemerintah kepada pemerintah daerah dan penarikannya kembali yang hingga kini belum diterbitkan.50 Hubungan dekonsentrasi antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah dalam UU Perikanan telah dilakukan melalui berbagai Peraturan Menteri.51 UU Perikanan menegaskan kewenangan menteri dalam menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya ikan.52

Salah satu kewenangan Menteri adalah menetapkan rencana pengelolaan perikanan (“RPP”) yang memuat status perikanan dan rencana strategis pengelolaan perikanan di bidang penangkapan ikan.53 RPP merupakan kesepakatan antara Pemerintah dan para pemangku

                                                                                                                         49 Indonesia, Undang-Undang Perikanan, UU No. 31 Tahun 2004, Lembaran Negara

No. 118 Tahun 2004, Tambahan Lembaran Negara No. 4433. 50 Ibid, Bab XI Penyerahan Urusan Dan Tugas Pembantuan dalam Pasal 65 ayat (1)

UU Perikanan. Berdasarkan penelusuran penulis hingga tulisan ini diturunkan Peraturan Pemerintah dimaksud belum pernah diterbitkan.

51 Beberapa peraturan menteri terkait ini yaitu: Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.30/MEN/2009 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Izin Usaha Tetap Penanaman Modal Di Bidang Kelautan Dan Perikanan Dalam Rangka Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal Kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Permen KP No. PER.08/MEN/2010 tentang Pelimpahan Sebagian Urusan Pemerintahan (Dekonsentrasi) Bidang Kelautan Dan Perikanan Tahun Anggaran 2010 Kepada Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah.

52 Pasal 7 ayat (1) UU Perikanan dengan sangat luas memberikan kewenangan kepada menteri untuk menetapkan: (a) rencana pengelolaan perikanan; (b) potensi dan alokasi sumber daya ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia; (c) jumlah tangkapan yang diperbolehkan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia; (d) potensi dan alokasi lahan pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia; (e) potensi dan alokasi induk serta benih ikan tertentu di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia; (f) jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan; (g) jenis, jumlah, ukuran, dan penempatan alat bantu penangkapan ikan; (h) daerah, jalur, dan waktu atau musim penangkapan ikan; (i) persyaratan atau standar prosedur operasional penangkapan ikan; (j) pelabuhan perikanan; (k) sistem pemantauan kapal perikanan; (l) jenis ikan baru yang akan dibudidayakan; (m) jenis ikan dan wilayah penebaran kembali serta penangkapan ikan berbasis budi daya; (n) pembudidayaan ikan dan perlindungannya; (o) pencegahan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan serta lingkungannya; (p) rehabilitasi dan peningkatan sumber daya ikan serta lingkungannya; (q) ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap; (r) kawasan konservasi perairan; (s) wabah dan wilayah wabah penyakit ikan; (t) jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan, dan dikeluarkan ke dan dari wilayah Negara Republik Indonesia; dan u. jenis ikan yang dilindungi.

53 Pasal 1 angka 5 jo. Pasal 2 ayat (2) huruf b menyatakan RPP disusun berdasarkan potensi, distribusi, komposisi jenis, tingkat pemanfaatan sumber daya ikan, lingkungan, sosial-ekonomi, isu pengelolaan, tujuan pengelolaan perikanan, dan rencana langkah-langkah pengelolaan. Lih: Menteri Kelautan dan Perikanan, Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Perikanan Di Bidang Penangkapan Ikan, Permen KP No. PER.29/MEN/2012, Berita Negara No. 46 Tahun 2013.

Page 20: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

15

kepentingan sebagai arah dan pedoman dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya ikan di bidang penangkapan ikan.54 Penyusunan RPP dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian, hukum adat dan/atau kearifan lokal, serta peran serta masyarakat.55 Konsultasi publik RPP akan melibatkan pemerintah daerah dan pemangku kepentingan yang dinilai terkena dampak langsung dari pengelolaan perikanan.56 RPP disusun di tiap Wilayah Pengelolaan Perikanan (“WPP”) yang pembagian wilayah tersebut dilakukan secara lintas batas administrasi tidak berdasarkan pembagian administrasi wilayah provinsi dan kabupaten/kota.57

RPP merupakan ruang yang terbuka bagi pemerintah untuk mengatur perikanan berbasis masyarakat dimana dalam UU Perikanan tidak menyebutkan secara tegas mengenai PPBM. RPP sebagai rencana strategis pengelolaan perikanan disusun dengan mempertimbangkan pengetahuan tradisional melalui hukum adat dan kearifan lokal, serta peran serta masyarakat.58 Dengan dasar tersebut maka RPP merupakan peluang bagi pemerintah dalam menerapkan pengelolaan perikanan berbasis masyarakat. Namun perlu membentuk kerangka skema khusus bagi masyarakat baik nelayan skala kecil serta masyarakat adat untuk dapat terlibat dalam perumusan bentuk pengelolaan serta menyampaikan usulan PPBM.

                                                                                                                         54 Ibid, Pasal 1 angka 4. 55 Terdapat lima tahap dalam penyusunan. Lih: Ibid, Pasal 13 ayat (2). 56 Pasal 14 ayat (6) menyatakan bahwa pemangku kepentingan antara lain asosiasi

perikanan, kelompok nelayan, akademisi perikanan, penegak hukum, lembaga swadaya masyarakat perikanan. Lih: Ibid.

57 Pasal 1 dan Pasal 2 menyatakan bahwa Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) merupakan wilayah pengelolaan perikanan untuk penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, konservasi, penelitian, dan pengembangan perikanan yang meliputi perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, zona tambahan, dan zona ekonomi eksklusif Indonesia. Terdapat 11 (sebelas) wilayah pengelolaan perikanan yaitu: (1) WPPNRI 571 meliputi perairan Selat Malaka dan Laut Andaman; (2) WPPNRI 572 meliputi perairan Samudera Hindia sebelah Barat Sumatera dan Selat Sunda; (3) WPPNRI 573 meliputi perairan Samudera Hindia sebelah Selatan Jawa hingga sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian Barat; (4) WPPNRI 711 meliputi perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China Selatan; (5) WPPNRI 712 meliputi perairan Laut Jawa; (6) WPPNRI 713 meliputi perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali; (7) WPPNRI 714 meliputi perairan Teluk Tolo dan Laut Banda; (8) WPPNRI 715 meliputi perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram dan Teluk Berau; (9) WPPNRI 716 meliputi perairan Laut Sulawesi dan sebelah Utara Pulau Halmahera; (10) WPPNRI 717 meliputi perairan Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik; (11) WPPNRI 718 meliputi perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur. Lih: Menteri Kelautan dan Perikanan, Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, Permen KP No. 18/PERMEN-KP/2014, Berita Negara tanpa nomor Tahun 2014.

58 Indonesia, Permen KP No. PER.29/MEN/2012, Loc. Cit. Pasal 6 ayat (2).

Page 21: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

16

Terkait kewilayahan, UU PWP3K merupakan hukum yang secara khusus mengatur tata ruang di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.59 Berdasarkan UU PWP3K, ruang lingkup wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil meliputi daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut, mencakup ke arah darat wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh dua belas mil laut diukur dari garis pantai.60 UU PWP3K mewajibkan kepada pemerintah daerah untuk menyusun perencanaan PWP3K.61 Secara khusus pemerintah daerah kabupaten/kota dimandatkan untuk menyusun Rencana Zonasi rinci yang mengatur alokasi ruang dalam Rencana Kawasan Pemanfaatan Umum, rencana Kawasan Konservasi, rencana Kawasan Strategis Nasional Tertentu, dan rencana alur dalam Zona Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.62

Skema pemanfaatan sumber daya pesisir dilakukan melalui perizinan. Setiap Orang yang melakukan pemanfaatan ruang dari sebagian Perairan Pesisir dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil secara menetap wajib memiliki Izin Lokasi yang menjadi dasar pemberian izin pengelolaan.63 Secara limitatif terhadap usaha yang meliputi produksi garam, biofarmakologi laut, bioteknologi laut, pemanfaatan air laut selain energi, wisata bahari, pemasangan pipa dan kabel bawah laut, dan/atau pengangkatan benda muatan kapal tenggelam wajib memiliki izin pengelolaan.64

UU PWP3K memandatkan Pemerintah mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak masyarakat adat, masyarakat tradisional, dan kearifan lokal atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah dimanfaatkan secara turun-temurun.65 Namun, pengecualian kewajiban memiliki izin lokasi dan izin pengelolaan dalam pemanfaatan ruang dan

                                                                                                                         59 Pasal 6 ayat (5) yang berbunyi: “Ruang laut dan ruang udara, pengelolaannya diatur

dengan undang-undang tersendiri.” Lih: Indonesia, Undang-undang Penataan Ruang, UU No. 26 Tahun 2007, Lembaran Negara No. 68 Tahun 2007, Tambahan Lembaran Negara No. 4725.

60 Pasal 2 UU PWP3K. Lih: Indonesia, Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU No. 27 Tahun 2007, Lembaran Negara No. 84 Tahun 2007, Tambahan Lembaran Negara No. 4739.

61 Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terdiri dari: (a) Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RSWP3K); (b) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K); (c) Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RPWP3K); (d) Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RAPWP3K). Lih: Ibid, Pasal 7 ayat (3).

62 Pasal 7 ayat (5) UU PWP3K, Ibid. 63 Pasal 16 UU PWP3K. Lih: Indonesia, Undang-Undang Perubahan Atas Undang-

Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU No. 1 Tahun 2014, Lembaran Negara No. 2 Tahun 2014, Tambahan Lembaran Negara No. 5490.

64 Ibid, Pasal 19 ayat (1). 65 Ibid, Pasal 61 UU PWP3K.

Page 22: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

17

sumber daya perairan pesisir hanya diberikan kepada masyarakat hukum adat.66 Subyek masyarakat lain yang akan memanfaatkan sumber daya dan wilayah pesisir tetap diwajibkan untuk memiliki izin lokasi termasuk oleh nelayan tradisional dengan kearifan lokal yang dimiliki.67 Ketentuan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat memerlukan persyaratan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang akan menunggu pengesahan undang-undang yang mengatur masyarakat hukum adat.68

Ketentuan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (“UU Pemda”) mengatur desentralisasi pengelolaan perikanan.69 Dalam UU Pemda, urusan kelautan dan perikanan termasuk ke dalam kategori urusan pemerintahan pilihan.70 Penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang kelautan dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi.71 Terkait dengan hubungan dengan pemerintahan kabupaten/kota adalah dalam bagi hasil dari penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang kelautan yang penentuannya didasarkan hasil kelautan yang berada dalam batas wilayah empat mil diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.72

UU Pemda menegaskan kewenangan daerah provinsi di laut dan daerah provinsi yang berciri kepulauan untuk mengelola sumber daya alam di laut yang ada di wilayahnya.73 Kewenangan kepada daerah

                                                                                                                         66 Ibid, Pasal 21 ayat (1) jo. Pasal 22 ayat (1). 67 Terdapat ketentuan pidana bagi setiap orang yang memanfaatkan ruang dari sebagian

Perairan Pesisir dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil yang tidak memiliki Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Lih: Ibid, Pasal 75.

68 Ibid, Pasal 22 ayat (2). 69 Indonesia, Undang-undang Pemerintahan Daerah, UU No. 23 Tahun 2014,

Lembaran Negara No. 244 Tahun 2014, Tambahan Lembaran Negara No. 5587. 70 Lih: Pasal 12 ayat (3) huruf a UU Pemerintahan Daerah. Selain itu, Pasal 9 membagi

urusan pemerintahan ke dalam tiga kategori yaitu: Pertama, Urusan Pemerintahan Absolut, adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat meliputi: a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama (Pasal 10 ayat (1) UU Pemerintahan Daerah). Kedua, Urusan Pemerintahan Konkuren, adalah urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota yang terbagi 3 kategori yaitu: (1) Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar; (2) Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar; dan (3) Urusan Pemerintahan Pilihan (Pasal 11 ayat (1) UU Pemerintahan Daerah). Terakhir, Urusan Pemerintahan Umum sebagai urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan. Lih: Ibid. Pasal 12 ayat (3) huruf a, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), Pasal 11 ayat (1).

71 Ibid, Pasal 14 ayat (1). 72 Ibid, Pasal 14 Ayat (5) dan ayat (6). 73 Ibid, Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (1). Sebelumnya dalam Pasal 18 ayat (1)

UU No. 32 Tahun 2004 tidak tegas menunjuk kepada daerah provinsi, tetapi dengan luas

Page 23: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

18

provinsi di laut dan daerah provinsi yang berciri kepulauan tersebut meliputi lima aspek: (1) eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut di luar minyak dan gas bumi; (2) pengaturan administratif; (3) pengaturan tata ruang; (4) ikut serta dalam memelihara keamanan di laut; dan (5) ikut serta dalam mempertahankan kedaulatan negara.74 Kewenangan provinsi dibatasi paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.75 Daerah provinsi yang berciri kepulauan mendapatkan mandat tugas dari pemerintah pusat untuk melaksanakan kewenangan pemerintah pusat di bidang kelautan berdasarkan asas tugas pembantuan.76

Pembagian kewenangan pengelolaan sumber daya di laut di UU Pemda dijelaskan dalam lampiran bagian huruf Y. Secara tegas, desentralisasi pengelolaan sumber daya di laut selain migas dilaksanakan oleh daerah provinsi dan/atau daerah kabupaten/kota. Dalam sub urusan Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil, Perikanan Tangkap, Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan membagi kewenangan pengelolaan sumber daya diluar minyak dan gas antara pemerintah pusat dan daerah provinsi dengan berdasar jarak 12 mil laut (lihat tabel 2). Pemerintah provinsi berwenang untuk melakukan pengaturan sumber daya diluar migas sepanjang 0 hingga 12 mil. Pemerintah pusat berwenang dalam pengaturan terhadap sumber daya diatas 12 mil laut.

Pengaturan desentralisasi dalam UU Pemda akan menimbulkan konflik dengan pengaturan WPP berdasarkan UU Perikanan dan perencanaan pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil berdasarkan UU PWP3K. Konflik pengaturan dapat terjadi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah. Konflik dapat muncul terkait kewenangan pengelolaan sumber daya antara masing-masing badan pemerintahan. Untuk itu, penting pemerintah pusat memastikan kewenangan pengelolaan.

Di sisi lain, keterbatasan akses dari wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil ke pusat-pusat pemerintahan akan kembali menimbulkan ketidakefektifan pengelolaan perikanan yang cenderung berada di wilayah yang tidak mudah diakses.                                                                                                                                                                                                                                                                                    memberi kewenangan kepada daerah yang memiliki wilayah laut untuk mengelola sumber daya di wilayah laut.

74 Ibid, Pasal 27 ayat (2). 75 Ibid, Pasal 27 ayat (3). 76 Ibid, Pasal 28 ayat (2).

Page 24: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

19

Tabel 2 Pembagian Urusan Bidang Kelautan Dan Perikanan

Sub Urusan Pemerintah Pusat Daerah Provinsi Daerah Kabupaten/Kota

Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil

a. Pengelolaan ruang laut di atas 12 mil dan strategis nasional.

b. Penerbitan izin pemanfaatan ruang laut nasional.

c. Penerbitan izin pemanfaatan jenis dan genetik (plasma nutfah) ikan antarnegara.

d. Penetapan jenis ikan yang dilindungi dan diatur perdagangannya secara internasional.

e. Penetapan kawasan konservasi.

f. Database pesisir dan pulau-pulau kecil.

a. Pengelolaan ruang laut sampai dengan 12 mil di luar minyak dan gas bumi.

b. Penerbitan izin dan pemanfaatan ruang laut di bawah 12 mil di luar minyak dan gas bumi.

c. Pemberdayaan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil.

Perikanan Tangkap

a. Pengelolaan penangkapan ikan di wilayah laut di atas 12 (dua belas) mil.

b. Estimasi stok ikan nasional dan jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan (JTB).

c. Penerbitan izin usaha perikanan

a. Pengelolaan penangkapan ikan di wilayah laut sampai dengan 12 mil.

b. Penerbitan izin usaha perikanan tangkap untuk kapal perikanan berukuran di atas 5 GT

a. Pemberdayaan nelayan kecil dalam Daerah kabupaten/kota.

b. Pengelolaan dan penyelenggaraan Tempat Pelelangan Ikan (TPI).

Page 25: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

20

tangkap untuk: (a) kapal perikanan berukuran di atas 30 GT; dan (b) di bawah 30 GT yang menggunakan modal asing dan/atau tenaga kerja asing.

d. Penetapan lokasi pembangunan dan pengelolaan pelabuhan perikanan nasional dan internasional.

e. Penerbitan izin pengadaan kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan dengan ukuran di atas 30 GT.

f. Pendaftaran kapal perikanan di atas 30 GT.

sampai dengan 30 GT.

c. Penetapan lokasi pembangunan serta pengelolaan pelabuhan perikanan provinsi.

d. Penerbitan izin pengadaan kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan dengan ukuran di atas 5 GT sampai dengan 30 GT.

e. Pendaftaran kapal perikanan di atas 5 GT sampai dengan 30 GT.

Perikanan Budidaya

a. Sertifikasi dan izin edar obat dan pakan ikan.

b. Penerbitan izin pemasukan ikan dari luar negeri dan pengeluaran ikan hidup dari wilayah Republik Indonesia.

c. Penerbitan Izin Usaha Perikanan (IUP) di bidang

Penerbitan IUP di bidang pembudidayaan ikan yang usahanya lintas daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) daerah provinsi.

a. Penerbitan IUP di bidang pembudidayaan ikan yang usahanya dalam 1 (satu) daerah kabupaten/kota.

b. Pemberdayaan usahakecil pembudidayaan ikan.

c. Pengelolaan

Page 26: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

21

pembudidayaan ikan lintas daerah provinsi dan/atau yang menggunakan tenaga kerja asing.

pembudidayaan ikan.

Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan

Pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan di atas 12 mil, strategis nasional dan ruang laut tertentu.

Pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan sampai dengan 12 mil.

Pengolahan dan Pemasaran

a. Standardisasi dan sertifikasi pengolahan hasil perikanan.

b. Penerbitan izin pemasukan hasil perikanan konsumsi dan non-konsumsi ke dalam wilayah Republik Indonesia.

c. Penerbitan izin usaha pemasaran dan pengolahan hasil perikanan lintas daerah provinsi dan lintas negara.

Penerbitan izin usaha pemasaran dan pengolahan hasil perikanan lintas Daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) Daerah provinsi.

Karantina Ikan,

Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan

Penyelenggaraan karantina ikan, pengendalian mutu dan keamanan hasil perikanan.

Pengembangan SDM Masyarakat Kelautan

dan Perikanan

a. Penyelenggaraan penyuluhan perikanan nasional.

b. Akreditasi dan

Page 27: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

22

sertifikasi penyuluh perikanan.

c. Peningkatan kapasitas SDM masyarakat kelautan dan perikanan.

Sumber: UU No. 23 Tahun 2015 Lampiran UU Pemerintahan Daerah Huruf Y

Selanjutnya terkait dengan desa, UU Desa mendefinisikan desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.77 Desa berwenang menyelenggarakan pemerintahan, melaksanakan pembangunan, melakukan pembinaan dan pemberdayaan masyarakat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat desa.78 Kewenangan desa meliputi kewenangan berdasarkan hak asal usul, kewenangan lokal berskala desa, kewenangan yang ditugaskan oleh pemerintah (pusat), pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota dan kewenangan lain berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.79 Dengan kewenangan yang luas tersebut, desa dapat berperan sebagai otoritas dalam menciptakan dan menjalankan kerangka PPBM.

                                                                                                                         77 Indonesia, Undang-undang Desa, UU No. 6 Tahun 2014, Lembaran Negara No. 7

Tahun 2014, Tambahan Lembaran Negara No. 5495. Pasal 1 angka 1. 78 Dalam penjelasan, yang dimaksud dengan “hak asal usul dan adat istiadat Desa”

adalah hak yang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ibid, Pasal 18.

79 Yang dimaksud dengan “hak asal usul” adalah hak yang merupakan warisan yang masih hidup dan prakarsa Desa atau prakarsa masyarakat Desa sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat, antara lain sistem organisasi masyarakat adat, kelembagaan, pranata dan hukum adat, tanah kas Desa, serta kesepakatan dalam kehidupan masyarakat Desa. Sementara yang dimaksud dengan “kewenangan lokal berskala Desa” adalah kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Desa yang telah dijalankan oleh Desa atau mampu dan efektif dijalankan oleh Desa atau yang muncul karena perkembangan Desa dan prakasa masyarakat Desa, antara lain tambatan perahu, pasar Desa, tempat pemandian umum, saluran irigasi, sanitasi lingkungan, pos pelayanan terpadu, sanggar seni dan belajar, serta perpustakaan Desa, embung Desa, dan jalan Desa. Ibid, Pasal 19.

Page 28: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

23

UU Desa mengatur aset desa sebagai barang milik desa.80 Aset desa disebutkan secara non-limitatif; dapat berupa tanah kas desa, tanah ulayat, pasar desa, pasar hewan, tambatan perahu, bangunan desa, pelelangan ikan, pelelangan hasil pertanian, hutan milik desa, mata air milik desa, pemandian umum, dan aset lainnya milik desa.81 Dalam pengaturannya, aset desa tidak terbatas sehingga dapat termasuk wilayah dan sumber daya perairan sebagai wilayah milik desa yang dikelola bersama dengan berdasarkan atas peraturan yang diterbitkan oleh pemerintahan desa.

Pemerintahan desa melalui kepala desa memiliki kewenangan menetapkan Peraturan Desa sebagai suatu peraturan perundang-undangan setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa (“BPD”).82 Substansi pengaturan dalam Peraturan Desa tidak terbatas pada suatu objek tertentu. Khusus mengenai rancangan peraturan desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, pungutan, tata ruang, dan organisasi Pemerintah Desa harus mendapatkan evaluasi dari Bupati/Walikota sebelum ditetapkan menjadi Peraturan Desa.83 Dalam hierarki peraturan perundang-undangan, peraturan yang ditetapkan oleh Kepala Desa atau yang setingkat merupakan bagian dari tata urutan peraturan perundang-undangan. Peraturan Desa diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.84

5. Peluang Pengaturan dan Penerapan Lima Prinsip PPBM

Desa dengan kewenangan mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat merupakan peluang bagi masyarakat untuk menciptakan pengelolaan berbasis masyarakat. Aset desa sebagai barang milik desa dapat menjadi kerangka

                                                                                                                         80 Aset Desa dapat berasal dari kekayaan asli Desa, dibeli atau diperoleh atas beban

Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa atau perolehan hak lainnya yang sah. Ibid, Pasal 1 angka 11.

81 Ibid, Pasal 76 ayat (1). 82 Ibid, Pasal 1 angka 7. 83 Ibid, Pasal 69 ayat (4) UU Desa. 84 Pasal 8. Lih: Indonesia, Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan, UU No. 12 Tahun 2011, Lembaran Negara No. 82 Tahun 2012, Tambahan Lembaran Negara No. 5234.

Page 29: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

24

hak kepemilikan bersama dari masyarakat desa atas sumber daya perikanan. Kewenangan desa untuk menetapkan peraturan desa secara luas, termasuk tata ruang, merupakan peluang dalam menetukan aturan dan hak-hak pemanfaatan sumber daya. Sangat jelas, desa merupakan peluang dan ruang untuk menciptakan PPBM. Namun, dalam pelaksanaannya dapat disertai dengan hambatan.

Prinsip jaminan dapat diterapkan dengan menentukan peraturan yang mengatur pemanfaatan atas sumber daya perikanan. Peraturan Desa dapat menetapkan pihak-pihak beserta dengan pembatasannya yang dapat memanfaatkan sumber daya serta pengaturan tata ruang perairan sebagai aset desa yang senada dengan prinsip ekslusivitas. Prinsip keberlangsungan dapat diterapkan dengan memastikan jangka waktu bagi setiap pemanfaat perikanan. Kewenangan desa dalam mengatur dan mengurus sendiri urusan rumah tangga desa merupakan penerapan prinsip fleksibilitas. Desa memiliki tantangan terkait dengan keterpaduan dalam kerangka hukum perikanan yang lebih luas.

Dalam hal prinsip integrasi PPBM dalam Manajemen Perikanan, diperlukan perhatian lebih mengingat minimnya pengaturan masyarakat dalam pengelolaan perikanan. Dalam pengelolaan perikanan terdapat mandat untuk mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat.85 Namun, tidak ada ketentuan lebih lanjut terkait dengan hukum adat dan/atau kearifan lokal dan peran serta masyarakat dalam pengelolaan perikanan. Walaupun terdapat ketentuan pelibatan masyarakat dalam pengawasan serta pemberdayaan nelayan, namun UU Perikanan memandatkan pengaturan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah yang hingga kini belum terbit.86 Hal ini ini merupakan tantangan dan hambatan dalam mengintegrasikan PPBM dalam kerangka hukum perikanan nasional.

Untuk itu, pemerintah perlu melakukan perubahan kebijakan menyeluruh yang khusus terkait dengan hukum perikanan dengan mengakui pengelolaan oleh masyarakat dalam perikanan, baik melalui kerangka hukum adat, kearifan lokal maupun sebagai peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan perikanan.

                                                                                                                         85 UU Desa, Loc. Cit., Pasal 6 ayat (2). 86 Terkait dengan peran serta masyarakat dalam pengawasan diatur dalam Pasal 67 jo.

Pasal 70. Terkait dengan pemberdayaan nelayan diatur dalam Pasal 60 ayat (1) jo. Pasal 64. Ibid.

Page 30: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

25

6. Kesimpulan

Tafsir atas konstitusi bahwa hak menguasai negara bersumber dan berasal dari konsepsi kedaulatan rakyat, termasuk kepemilikan publik atas sumber daya, merupakan gambaran penerimaan gagasan kepemilikan bersama dalam PPBM. Tafsir ini dilengkapi tolok ukur sebesar-besar kemakmuran rakyat, dengan tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam dan penghormatan atas hak rakyat secara turun temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam, yang juga sejalan dengan konsep dalam hak kepemilikan bersama yang dikandung PPBM. Terkait konteks hak kepemilikan bersama, UUD 1945 tidak membatasi dan tidak bertentangan dengan PPBM sehingga skema PPBM dapat diterima secara hukum.

Terkait desentralisasi pengelolaan, UUD 1945 telah mengakui otonomi daerah untuk mengatur urusan pemerintahan yang dibatasi undang-undang khusus mengatur pengelolaan sumber daya alam. Undang-undang khusus terkait yaitu UU Perikanan, UU PWP3K, UU Pemerintahan Daerah dan UU Desa. UU Perikanan tidak mengatur secara khusus bagaimana desentralisasi kewenangan, namun UU Pemda mengatur lebih lanjut dengan membagi kewenangan berdasarkan wilayah antara pemerintah pusat dan provinsi. Di sisi lain, UU PWP3K mengatur mandat perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dari kabupaten/kota, provinsi, hingga pemerintah pusat. UU Desa memberikan kewenangan kepada desa untuk mengatur urusan desa termasuk aset desa sebagai sumber daya milik bersama yang merupakan devolusi pengelolaan. Konflik pengelolaan dapat tercipta antara UU Perikanan melalui WPP, UU PWP3K dalam perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, serta pembagian urusan pengelolaan antara pusat, provinsi dan kabupaten/kota dalam UU Pemda.

Desa sendiri merupakan peluang bagi penciptaan PPBM dimana telah terpenuhinya empat prinsip yaitu jaminan, ekslusivitas, keberlangsungan serta fleksibilitas. Namun karena kosongnya pengaturan masyarakat dalam pengelolaan perikanan perlu ada perhatian khusus terkait dengan integrasi PPBM dalam kerangka pengelolaan perikanan.

Sebagai saran, pemerintah perlu melakukan perubahan kebijakan menyeluruh dalam hukum perikanan yang mengakui pengelolaan oleh

Page 31: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

26

masyarakat dalam perikanan. Kerangka hukum untuk mengakui pengelolaan perikanan berbasis masyarakat harus diturunkan dalam suatu kerangka kebijakan yang memberikan ruang khusus bagi masyarakat dalam pengelolaan perikanan.

Daftar Pustaka

Andrew, Neil L. dan Evans, Louisa. “Approaches and Frameworks for Management and Research in Small-scale Fisheries” di dalam Small-scale Fisheries Management Frameworks and Approaches for the Developing World, diedit oleh Robert S. Pomeroy dan Neil L. Andrew. United Kingdom: CAB International, 2011.

Bailey, C. dan C. Zerner. “Community-Based Fisheries Management Institutions in Indonesia.” MAST 5, No. 1 (1992): 1-17. Sumber: http://www.marecentre.nl/mast/documents/communitybasedfisheriesmanagementinstitutioninIndonesia.pdf.

Capistrano, Robert Charles G. Reclaiming The Ancestral Waters Of Indigenous Peoples In The Philippines: The Tagbanua Experience With fishing Rights And Indigenous Rights. Nova Scotia: Saint Mary’s University, 2009.

Charles, Anthony. “Rights-Based Fisheries Management: The Role of Use Rights in Managing Access and Harvesting” di dalam A fishery Manager’s Guidebook, Edisi Kedua, diedit oleh Kevern L. Cochrane dan Serge M. Garcia. Singapura: FAO dan Wiley-Blackwell, 2009.

Food and Agriculture Organization. Law And Sustainable Development Since Rio – Legal Issues And Trends In Agriculture And Natural Resources Management. FAO Legislative Study 73 (2002). Sumber: http://www.fao.org/docrep/005/y3872e/y3872e00.HTM.

Hersoug, Bjørn. “Fishing Rights To The Right People? Management Options In Crowded Small-Scale Fisheries”. 2011. Sumber: http://www.marecentre.nl/mast/documents/MAST10.2_Hersoug.pdf, diakses pada 7 Juni 2015.

Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945, Amandemen Keempat. 2002.

Indonesia. Undang-undang Pemerintahan Daerah. UU No. 23 Tahun 2014. LN No. 244 Tahun 2014. TLN No. 5587.

Indonesia. Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. UU No. 27 Tahun 2007. LN No. 84 Tahun 2007. TLN 4739

Page 32: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

27

Indonesia. Undang-undang Penataan Ruang. UU No. 26 Tahun 2007. LN No. 68 Tahun 2007. TLN 4725.

Indonesia. Undang-Undang Perubahan Atas Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. UU No. 1 Tahun 2014. LN No. 2 Tahun 2014. TLN 5490.

Indonesia. Undang-undang Desa. UU No. 6 Tahun 2014. LN No. 7 Tahun 2014. TLN No. 5495

Indonesia. Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. UU No. 12 Tahun 2011. LN No. 82 Tahun 2012. TLN No. 5234.

Indonesia. Undang-undang Perikanan. UU No. 31 Tahun 2004. LN No. 118 Tahun 2004. TLN No. 4433.

Indonesia. Undang-Undang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. UU No. 45 Tahun 2009. LN. No. 154 Tahun 2009. TLN No. 5073.

Kuemlangan, B. & Teigenem, H. “An Overview of Legal Issues and Broad Legislative Considerations for Community-Based Fisheries Management” di dalam Proceedings Of The Second International Symposium On The Management Of Large Rivers For Fisheries, Volume II, diedit oleh Robin L. Welkomme and T. Petr. Bangkok: RAP Publication, 2004.

Kuemlangan, B. “Creating Legal Space For Community-Based Fisheries And Customary Marine Tenure In The Pacific: Issues And Opportunities.” Fish Code Review. No. 7 (2004).

Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-VIII/2010 atas uji materiil UU No. 27 Tahun 2007. 2011.

Menteri Kelautan dan Perikanan. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan di Wilayah Perikanan Negara RI dan Laporan Status Tingkat Eksploitasi Sumberdaya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep.45/MEN/2011.

Menteri Kelautan dan Perikanan. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Izin Usaha Tetap Penanaman Modal Di Bidang Kelautan Dan Perikanan Dalam Rangka Pelayanan Terpadu Satu Pintu Di Bidang Penanaman Modal Kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. PER. 30/MEN/2009.

Page 33: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

28

Menteri Kelautan dan Perikanan. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Pelimpahan Sebagian Urusan Pemerintahan (Dekonsentrasi) Bidang Kelautan Dan Perikanan Tahun Anggaran 2010 Kepada Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. PER.08/MEN/2010.

Menteri Kelautan dan Perikanan. Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 18/PERMEN-KP/2014.

Menteri Kelautan dan Perikanan. Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Perikanan Di Bidang Penangkapan Ikan. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. PER.29/MEN/2012. Berita Negara No. 46 Tahun 2013.

Mustafa, M. G. dan A.S. Halls. Impact of the Community-Based Fisheries Management on sustainable use of inland fisheries in Bangladesh. Sumber: http://pubs.iclarm.net/resource_centre/WF_778.pdf.

Ostrom, Elinor. “Private and Common Property Rights” Sumber: http://encyclo.findlaw.com/2000book.pdf, diakses 5 Juni 2015.

Pomeroy, R. S. Ed. Proceedings of the Workshop on Community Management and Common Property of Coastal Fisheries and Upland Resources in Asia and the Pacific: Concepts, Methods and Experiences. Manila: ICLARM (tanpa tahun).

_____. Community-Based And Co-Management Institutions For Sustainable Coastal Fisheries Management In Southeast Asia. Sumber: http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.202 .7560&rep=rep1&type=pdf., diakses pada 3 Juli 2015.

Purvis, J. dan Sobo, F. “Information Aspects Of Community Participation In Fisheries. Dalam: S. Heck, C. T. Kirema-Mukasa, B. Nyandat and J. P. Owino” dalam The International Workshop on Community Participation in Fisheries Management on Lake Victoria: BMU Development on Lake Victoria, Juli 2004.

Pusat Data, Statistik dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kelautan dan Perikanan Dalam Angka 2014. Rennisca Ray Damanti dan Mareta Nirmalanti (Ed.). Jakarta: Pusat Data, Statistik dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2014. Sumber: http://statistik.kkp.go.id/index.php/arsip/c/90/Kelautan-dan-Perikanan-Dalam-Angka-Tahun-2014/?category_id=3. diakses pada 7 Juli 2015

Page 34: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

29

Rahmadi, Takdir. Hukum Lingkungan di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2011.

Satria, Arif dan Matsuda, Yoshiaki. Decentralization of Fsheries Management In Indonesia. 2004. Sumber: http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0308597X03001362, diakses pada 5 Juli 2015.

Soliman, Adam. “Achieving Sustainability Through Community Based Fisheries Management Schemes: Legal and Constitutional Analysis.” Georgetown International Environmental Law Review, Volume 26, Issue 3 (2014).

Wulansari, Eka Martiana. Penegakan Hukum di Laut Dengan Sistem Single Agency Multy Tasks. Sumber: http://rechtsvinding.bphn.go.id/ jurnal_online/PENEGAKAN%20HUKUM%20DI%20LAUT%20DENGAN%20SISTEM%20SINGLE%20AGENCY%20MULTY%20TASKS.pdf, diakses pada 5 Juli 2015.

Page 35: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

 

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DI ACEH

Safrina1

Abstrak Partisipasi masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan

hidup telah menjadi agenda negara-negara di dunia terutama setelah menjadi salah satu prinsip dalam Deklarasi Rio 1992. Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mencantumkan prinsip partisipatif sebagai salah satu asas dalam penyusunan setiap kebijakan terkait lingkungan hidup. Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan pelaksanaan Program Pengelolaan Wilayah Laut Berbasis masyarakat pada Masyarakat Ujong Pancu, Kabupaten Aceh Besar dan memahami bagaimana peran institusi adat laot (Panglima Laot) dalam pengelolaan lingkungan pesisir. Perlindungan dan pengelolaan wilayah pesisir di Aceh dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu melalui pembentukan aturan hukum yang mendukung dan penguatan kapasitas institusi masyarakat, institusi adat dan hukum adat yang dipercaya dapat menjadi wadah yang efektif untuk melibatkan masyarakat dalam proses pembangunan. Melalui program tersebut masyarakat terlibat secara langsung dalam penentuan kawasan konservasi laut dan juga ikut menentukan langkah-

1 Safrina, S.H., M.H., M.EPM mendapatkan gelar sarjana dan master hukum dari Universitas Syah Kuala, dan Master of Environmental Policy and Management dari University of Adelaide, South Australia. Sekarang Penulis merupakan Staff Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Nanggroe Aceh Darussalam, mengajar mata kuliah Hukum Dagang, Hukum Perusahaan, Hukum Jaminan, Hukum Surat Berharga, dan Hukum Lingkungan.

Page 36: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

31

langkah yang terbaik untuk melindungi kawasan pesisir tempat mereka menetap. Lebih lanjut, melalui pengelolaan wilayah pesisir berbasis masyarakat dapat meminimalkan dampak negatif dari pembangunan dan memungkinkan masyarakat untuk memperoleh informasi yang berimbang dan obyektif sehingga dapat memberikan kontribusi untuk pemecahan masalah-masalah lingkungan.

Kata Kunci: Partisipasi masyarakat, perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup

Abstract Community participation in protection and management of the environment has been on the agenda of countries in the world, especially after incorporated as a principle in the Rio Declaration of 1992. Indonesia, through Law No. 32 of 2009 on the Environmental Protection and Management included participatory principle in policy-making related to the environment. This study aims to examine the implementation of community participation in coastal management and to analyze the role of adat institution (Panglima Laot) in managing the coastal environment in Aceh. Protection and management of coastal areas in Aceh is conducted under two approaches, namely the establishment of the regulations that support the implementation process and strengthening the capacity of public institutions; and traditional institutions and customary laws that are believed can be an effective way to engage community in the development process. Through a program of community-based coastal management, community directly involved in determining the marine conservation areas and also determine the best steps to protect their region. Moreover, the program can also minimize the negative impacts of development and enable public to obtain a balanced and objective information that can contribute to solve the problems in their environment. Key words: community participation, protection and management of the environment

1. Pendahuluan

Provinsi Aceh terletak di ujung barat Pulau Sumatera, Indonesia,

yang dibatasi oleh Selat Malaka di sebelah timur dan Samudera Hindia di sebelah barat. Wilayah perairan Aceh merupakan salah satu yang

Page 37: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

32

terbesar di Indonesia dan didominasi oleh ekosistem terumbu karang yang berperan sangat signifikan terhadap keberlangsungan habitat laut dan masyarakat pesisir. Terumbu karang berfungsi sebagai pelindung pantai dari abrasi dan menjadi tempat habitat laut memperoleh makanan, sehingga fungsinya perlu dilestarikan. Di lain pihak, tekanan antropogenik (aktivitas manusia) diduga berkontribusi terhadap rusaknya ekosistem wilayah pesisir. Makin banyak terumbu karang yang penting bagi keberlanjutan kehidupan ekosistem pantai yang rusak karena maraknya penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, seperti potasium, bom, dan pukat harimau (trawl). Berdasarkan survey pendataan terumbu karang tahun 2008 hingga tahun 2010, tercatat dari 91 lokasi yang disurvey, hanya 14 lokasi yang terumbu karangnya masih dalam kondisi baik.2 Selain disebabkan oleh aktivitas manusia, kerusakan terumbu karang di wilayah Aceh juga disebabkan oleh faktor alam seperti tsunami, naiknya suhu permukaan laut dan pemutihan terumbu karang yang salah satunya disebabkan oleh perubahan iklim akibat pemanasan global.

Partisipasi masyarakat, selain menunjukkan negara mengakui pentingnya peran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan, juga berupaya untuk meningkatkan kualitas kebijakan pemerintah terkait lingkungan hidup3 sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat. Di samping itu, keterlibatan masyarakat juga dianggap penting karena masyarakat merupakan pihak yang paling rentan terhadap dampak yang ditimbulkan oleh kerusakan lingkungan sehingga bagi masyarakat konsep ini dianggap sebagai wujud dari partisipasi dalam proses pembangunan. Partisipasi juga merupakan upaya untuk meminimalkan dampak negatif pembangunan, khususnya pembangunan yang berhubungan secara langsung dengan masyarakat dan lingkungan tempat mereka menetap.4 Lebih lanjut, keterlibatan masyarakat dalam pembangunan dapat menjadi salah satu solusi dalam mengatasi dampak

2 Aceh Ocean Coral, Formasi Terumbu Karang Aceh,

http://acehoceancoral.org/artikel/formasi-terumbu-karang-aceh, diakses pada tanggal 28 Februari 2014.

3 Muhammad Akib, Politik Hukum Lingkungan: Dinamika dan Refleksinya dalam Produk Hukum Otonomi Daerah, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012), hal. 124.

4 Kim A. Johnston, “Community Engagement: A Relational Perspective”, dalam Tebbutt, Cregan, and Kate (Editor), (Prosiding dalam Australia and New Zealand Communication Association Annual Conference, 2007).

Page 38: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

33

sosial dari pembangunan dan dapat meningkatkan kualitas kebijakan dan program terkait lingkungan.5

Prinsip pembangunan partisipatif pertama kali diperkenalkan dalam Deklarasi Rio 1992 tentang Lingkungan dan Pembangunan yang menyebutkan tentang pentingnya mengedepankan partisipasi masyarakat dalam penyelesaian masalah-masalah lingkungan. Selengkapnya Prinsip 10 Deklarasi Rio menyatakan,

“Environmental issues are best handled with the participation of all concerned citizens, at the relevant level. At the national level, each individual shal have appropriate access to information concerning the environment that is held by public authorities, including information on hazardous materials and activities in their communities, and the opportunity to participate in decision-making processes. States shall facilitate and encourage public awareness and participation by making information widely available. Effective access to juducial and administrative proceedings, including redress and remedy, shall be provided.”

Kebijakan dan program pemerintah terutama yang terkait dengan isu lingkungan, akan lebih efektif diterapkan jika melibatkan banyak pihak termasuk masyarakat. Hal ini disebabkan sifat dari lingkungan yang membentuk suatu ekosistem yang terkait antara satu dengan yang lain. Selanjutnya, negara bertanggung jawab untuk membuat dan menyediakan prosedur dan mekanisme yang memungkinkan masyarakat terlibat dalam pembangunan dan menjadi bagian dari proses pembangunan.

Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup (“UUPPLH”)6 mengakui penerapan prinsip pembangunan partisipatif sebagai salah satu asas dalam pengelolaan lingkungan dalam Pasal 2 huruf k.7 Dalam penjelasan Pasal 2 huruf k disebutkan bahwa “setiap anggota masyarakat didorong untuk berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, baik

5 Reed, “Stakeholder Participation for Environmental Management: A

Literature Review,” Biological Conservation, Vol. 141 (2008), hal. 2426. 6 Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup (“UUPPLH”), No. 32 Tahun 2009, Lembaran Negara Tahun 2009 No.140, Tambahan Lembaran Negara No. 5059.

7 Pasal 2 huruf k UUPPLH, Ibid.

Page 39: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

34

secara langsung maupun tidak langsung.”8 Selanjutnya Pasal 70 ayat (1) mengatur bahwa masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.9 Adapun bentuk peran masyarakat tersebut dijelaskan dalam ayat (2) yaitu: (a) pengawasan sosial, (b) pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan, dan/atau, (c) penyampaian informasi dan/ atau laporan.10 Dalam penjelasan Pasal 70 disebutkan bahwa pemberian saran, pendapat dan usul diantaranya dalam penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).11

Dalam kaitannya dengan masyarakat pesisir, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Daerah Pesisir (UU Pengelolaan Daerah Pesisir)12 mengakui hak, kewajiban dan peran serta masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir. Pasal 62 ayat (1) mengatur bahwa “masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.”13 Selanjutnya ayat (2) mengatur bahwa “ketentuan mengenai peran serta masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri.”14 Sampai tulisan ini ditulis, belum ada peraturan menteri yang mengatur peran masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir, sehingga belum ada acuan yang jelas bagaimana bentuk peran serta masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir.

Di tengah ketiadaan peraturan pelaksana terkait peran serta masyarakat dalam perlindungan wilayah pesisir, Pemerintah Aceh melaksanakan program pengelolaan wilayah pesisir berbasis masyarakat yang merupakan kerjasama antara Dinas Kelautan dan Perikanan (“DKP”) Provinsi Aceh dan Flora Fauna Indonesia (FFI), yang salah satunya terdapat di Desa Ujong Pancu, Kabupaten Aceh Besar.

8 Ibid. 9 Pasal 70 ayat (1) UUPPLH, Ibid. 10 Pasal 70 ayat (2) UUPPLH, Ibid. 11 Ibid. 12 Indonesia, Undang-Undang tentang Pengelolaan Daerah Pesisir, UU No. 27

Tahun 2007, Lembaran Negara Tahun 2007 No. 84, Tambahan Lembaran Negara No. 4739; Lihat juga Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, UU No. 1 Tahun 2014, Lembaran Negara Tahun 2014 No. 2, Tambahan Lembaran Negara No. 5490.

13 Pasal 62 ayat (1) UU Pengelolaan Daerah Pesisir, Ibid. 14 Pasal 62 ayat (2) UU Pengelolaan Daerah Pesisir, Ibid.

Page 40: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

35

Berdasarkan hal tersebut, artikel ini bertujuan untuk memaparkan pelaksanaan Program Pengelolaan Wilayah Laut Berbasis Masyarakat pada masyarakat Ujong Pancu dan memahami bagaimana peran institusi adat laot (Panglima Laot) dalam pengelolaan lingkungan pesisir.

2. Masyarakat dan Keterlibatan Masyarakat

dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Meningkatnya pemahaman tentang pentingnya keterlibatan

masyarakat dalam pembangunan telah memunculkan diskusi tentang pengertian masyarakat dan keterlibatan masyarakat. Masyarakat berasal dari kata latin communis, yang berarti “umum, publik, dan yang dibagi dengan banyak pihak.” Menurut Sarkissian, memberikan adalah “kelompok yang berbagi wilayah, kepentingan atau kegiatan yang ditandai oleh pola interaksi antar individu, persepsi terhadap kesamaan atau kepentingan bersama dan geografi.”15 Menurut pengertian ini, masyarakat diartikan sebagai sekelompok orang yang memiliki ikatan asal usul leluhur dan geografis yang sama, dan umumnya juga dikaitkan dengan hukum (termasuk hukum adat) yang menjadi norma yang mengikat masyarakat tersebut, contohnya masyarakat perkotaan, masyarakat pedesaan, masyarakat Indonesia, atau bisa dipahami bahwa pengertian ini melihat masyarakat dalam komunitas yang kecil sampai masyarakat dunia, yang semuanya berinteraksi berdasarkan kesamaan kepentingan dan wilayah.

Pengertian lain dikemukan oleh Connor, yang mendefinisikan masyarakat sebagai “people living in a place, who develop a sense of identity and a common culture, and who create interdependence in a social system.”16 Menurut pengertian ini masyarakat dipandang sebagai sekelompok orang-orang yang memiliki kesamaan ide dan aktifitas bersama yang berkumpul untuk mencapai tujuan yang sama.17 Dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan, masyarakat yang dimaksud termasuk

15 Penulis menerjemahkan bebas dari bahasa asli, “Any group that shares a

location, interests or practices, defined by patterns of interaction among individuals, perception of commonality or common interest and geography.” Sarkissian, et al, Kitchen Table Sustainability: Practical Recipes for Community Engagement with Sustainability, (UK: Earthscan, 2009).

16 Ibid. 17 Connor dalam Sarkissian, et al, Kitchen Table Sustainability: Practical

Recipes For Community Engagement With Sustainability, (UK: Earthscan, 2009).

Page 41: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

36

diantaranya Lembaga Swadaya Masyarakat (“LSM”) nasional atau internasional yang peduli dengan isu-isu lingkungan.

UUPPLH tidak memberikan definisi apa yang dimaksud dengan masyarakat, akan tetapi memberikan definisi masyarakat hukum adat yaitu “kelompok masyarakat yang secara turun termurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik sosial, dan hukum.”18 Pengertian masyarakat dapat ditemukan dalam UU Pengelolaan Daerah Pesisir, yang membagi masyarakat ke dalam masyarakat adat, masyarakat lokal, dan masyarakat tradisional, yang definisinya adalah sebagai berikut:

“Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat pesisir yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial dan hukum.”19

“Masyarakat lokal didefinisikan sebagai kelompok masyarakat yang menjalankan tata kehidupan sehari-hari berdasarkan kebiasaan yang sudah diterima sebagai nilai-nilai yang berlaku umum tetapi tidak sepenuhnya bergantung pada sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil tertentu.”20

“Masyarakat tradisional adalah masyarakat perikanan tradisional yang masih diakui hak tradisionalnya dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan atau kegiatan lainnya yang sah didaerah-daerah tertentu yang berada dalam perairan kepulauan sesuai dengan kaidah hukum laut internasional.”21

Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa UU Pengelolaan Daerah Pesisir mendefinisikan masyarakat sebagai: (1) sekelompok orang yang berkumpul dalam satu wilayah karena adanya kesamaan adat istiadat dan nilai-nilai yang dipercaya sebagai norma

18 Pasal 1 angka 31 UUPPLH, Op. Cit. 19 Pasal 1 angka 33 UU Pengelolaan Daerah Pesisir, Op. Cit. 20 Pasal 1 angka 34 UU Pengelolaan Daerah Pesisir, Ibid. 21 Pasal 1 angka 35 UU Pengelolaan Daerah Pesisir, Ibid.

Page 42: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

37

dimana kelompok tersebut menggantungkan hidupnya dari hasil laut; (2) sekelompok orang yang tinggal diwilayah pesisir tetapi tidak menggantungkan hidupnya pada hasil laut. Yang menarik adalah adanya pemisahaan antara masyarakat adat dan masyarakat tradisional, yang jika dipahami memiliki arti yang sama yaitu kesamaan wilayah akan tetapi ada penambahan pengakuan terhadap hukum laut internasional pada kelompok masyarakat tradisional. Walaupun terdapat perbedaan dalam mendefinisikan masyarakat, dan tidak ada pengertian yang universal menyangkut konsep tersebut,22 akan tetapi dalam kaitannya dengan peran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan, partisipasi kedua tipe masyarakat menjadi penting dan saling mendukung.

Sementara itu, keterlibatan masyarakat dianggap sebagai “proses keterlibatan dimana sekelompok orang bekerja bersama untuk mencapai tujuan yang sama dengan komitmen untuk sejumlah nilai, prinsip, dan kriteria.”23 Partisipasi masyarakat diharapkan dapat dilakukan secara aktif dengan mekanisme keterlibatan yang diatur oleh pemerintah. Selanjutnya, diperlukan peranan pengambil kebijakan untuk menyediakan aturan hukum bagi keterlibatan masyarakat tersebut.

Partisipasi masyarakat dianggap sebagai salah satu langkah demokratis dalam menciptakan kebijakan yang lebih efektif, responsif, dan informatif, dan juga dapat mengembangkan aspek psikologi dan pendidikan dalam pembangunan masyarakat dan individu.24 Konsep keterlibatan masyarakat telah berkembang dalam berbagai pendekatan. Salah satu yang mengundang perhatian adalah keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan (community-based forest management) yang diperkenalkan oleh Elinor Ostrom.25 Ostrom menyatakan bahwa keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan dianggap penting

22 Terjemahan bebas Penulis dari “engagement processes and practices in

which a wide range of people work together to achieve a share goal guided by a commitment to a common set of values, principles, and criteria.” Warburton, A Passionate Dialogue: Community and Sustainable Development, 1998, dalam Warburton, Community and Sustainable Development: Participation in the future, (UK: Earthscan, 1998).

23 Aslin dan Brown, Towards Whole of Community Engagement: A Practical Toolkit, (South Australia: Murray Darling Basin Commission, 2004) hal. 3.

24 Dakin, “Challenging Old Models of Knowledge and learning: New Perspective for Participation in Environmental Management and Planning,” Environments, Vol.31, No.1, (2003), hal. 94.

25 Ostrom, “Self-Governance and Forest Resources”, (Occasional Paper No. 20, Centre for International Forestry Research, Bogor, Indonesia, 1999).

Page 43: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

38

karena sifat dari sumber daya hutan yang memiliki fungsi ekonomi, sosial, dan lingkungan. Oleh sebab itu, pengelolaan wilayah hutan idealnya juga melibatkan masyarakat karena masyarakat yang tinggal di sekitar hutan masih sangat tergantung pada manfaat hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Situasi tersebut diistilahkan oleh Ostrom sebagai “common-pool resources.” Dalam perkembangannya, teori modern dari “common-pool” menyimpulkan bahwa keterlibatan berbagai pihak (governance system) penting dalam pengelolaan sumber daya alam untuk menghindari terjadinya eksploitasi sumber daya alam yang berdampak pada rusaknya sumber alam dan menghilangkan fungsinya sebagai salah satu komponen ekosistem yang saling terkait dengan komponen lainnya.

Pengelolaan daerah pesisir juga mempunyai tantangan yang sama, karena ekosistem laut memiliki manfaat ekonomi bagi masyarakat pesisir di samping fungsinya sebagai pelindung kelestarian wilayah tersebut. Salah satu program yang dikembangkan dalam upaya pengelolaan wilayah peisir adalah penetapan kawasan perlindungan wilayah laut (Marine Protected Area, selanjutnya disebut “MPA”) dengan melibatkan masyarakat sebagai aktor utama.26 Terdapat 2 (dua) faktor yang mendasari pelaksanaan MPA, yaitu konservasi (conservation) dan solidaritas (solidarity). Konservasi dimaksudkan sebagai tindakan perlindungan kehidupan laut demi menjaga ekosistem laut dengan mempertahankan cara-cara yang ramah lingkungan dan juga melindungi kepentingan ekonomi masyarakat yang berkepentingan. Sedangkan solidaritas dimaksudkan sebagai kemauan untuk mewujudkan kebijakan konservasi melalui sebuah mekanisme yang institusional yang melibatkan banyak pihak (stakeholders), dimana proses tersebut dilakukan dengan memperhatikan faktor-faktor sosial, budaya dan ekonomi.27

Manajemen bersama (co-management) merupakan model kebijakan yang memberikan peluang kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan, termasuk dalam program dan kebijakan terkait pengelolaan lingkungan. Model kebijakan ini juga merupakan pendekatan yang potensial untuk mempromosikan konsep manajemen partisipatif dan kolaboratif dengan menekankan pada berbagai tingkat

26 Oracion, Miller, dan Christie, “Marine Protected Areas For Whom?

Fisheries, Tourism, And Solidarity In Philippine Community”, Ocean and Coastal Management, Vol. 48, (2005), hal. 394, dan Tullungan, Kussoy, dan Crawford, “Community Based Coastal Resources Management In Indonesia: North Sulawesi Early Stage Experiences”, (Makalah disampaikan dalam Convention of Integrated Coastal Management Practitioners in the Philippines, 1998), hal. 2.

27 Oracion, Miller, dan Christie, op.cit., hal. 394-395.

Page 44: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

39

keterlibatan untuk mencapai tujuan yaitu perlindungan keanekaragaman hayati dan pengakuan terhadap eksistensi budaya masyarakat lokal. Selain itu, manajemen bersama juga dapat mencerminkan kekuatan hubungan antara para pihak.28

3. Pengaturan tentang Partisipasi Masyarakat

dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir di Provinsi Aceh

Di Provinsi Aceh, peran masyarakat dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan diatur dalam beberapa Qanun, diantaranya Qanun Nomor 16 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (“Qanun Pengelolaan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan”) dan Qanun Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (“Qanun Pengelolaan Lingkungan Hidup”).

Peran masyarakat diatur dalam Pasal 9 ayat (1) Qanun Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyebutkan bahwa “Masyarakat memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam pengelolaan lingkungan hidup.” Selanjutnya, ayat (2) mengatur bahwa keterlibatan tersebut diantaranya dapat dilakukan dalam bentuk: (a) pengelolaan jasa lingkungan; (b) pengurangan risiko bencana; (c) pengawasan sosial; (d) pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan; (e) penyampaian informasi atau laporan; dan/atau (f) partisipasi aktif masyarakat dalam penyelamatan lingkungan hidup. Lebih lanjut, ayat 3 mengatur bahwa peran masyarakat bertujuan untuk, antara lain: (a) meningkatkan kepedulian dalam pengelolaan lingkungan hidup; (b) meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat dan kemitraan; (c) menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat; (d) menumbuhkembangkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial; (e) mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup; dan (f) meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pengelolaan jasa lingkungan. Walaupun qanun mengakui partisipasi aktif masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup, namun prinsip partisipatif sendiri

28 Nursey-Bray, Rist, “Co-management and protected area management:

Achieving effective management of a contested site, lessons from the Great Barrier Reef World Heritage Area(GBRWHA)”, Marine Policy, Vol. 33, (2009), hal. 118-127, dan Hill, “Towards Equity In Indigenous Co-Management Of Protected Areas: Cultural Planning By Miriuwung-Gajerrong People In The Kimberley, Western Australia”, Geographical Research, Vol. 49(10), (2011), hal. 72-85.

Page 45: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

40

tidak disebutkan sebagai salah satu prinsip yang menjadi landasan pengaturan pengelolaan lingkungan berdasarkan qanun tersebut.

Sedangkan dalam Qanun Pengelolaan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, tidak ada pasal yang khusus mengatur tentang peran masyarakat. Pasal 19 ayat (1) memandatkan “penyelenggaraan konservasi sumber daya kelautan dan perikanan melibatkan pula partisipasi aktif masyarakat nelayan dan pihak terkait lainnya.” Tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang bagaimana wujud dari partisipasi masyarakat tersebut dan apakah akan diatur tersendiri dalam peraturan pelaksanaan. Qanun tersebut juga mengakui keberadaan lembaga adat dalam pengelolaan sumber daya perikanan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 11 ayat (1) yang menyebutkan bahwa “Dalam pengelolaan sumber daya perikanan, Pemerintah Provinsi mengakui keberadaan Panglima Laot dan hukum adat laot yang telah ada dan eksis dalam kehidupan masyarakat nelayan. Pengakuan ini memperkuat keberadaan institusi adat dan hukum adat di tengah pro dan kontra terkait keberadaan dan perannya yang terus berubah dan berkembang seiring dengan perubahan masyarakat.”29

Lembaga adat Panglima Laot mendapat pengakuan secara hukum melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (“UUPA”), Qanun Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat (“Qanun Lembaga Adat”), dan Qanun Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat (“Qanun Pembinaan Kehidupan Adat”).

Pasal 1 angka 23 Qanun Lembaga Adat mendefinisikan Panglima Laot sebagai orang yang memimpin dan mengatur adat istiadat dalam bidang pesisir dan kelautan. Pengertian ini sangat umum, sehingga menimbulkan penafsiran bahwa Panglima Laot memiliki kekuasaan dan ortoritas yang sangat luas. Di samping sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, Panglima Laot juga berfungsi sebagai lembaga pembinaan masyarakat dan penyelesaian masalah-masalah sosial yang terkait dengan hukum adat laut serta sebagai pelaksana hukum adat laut. Studi Wilson dan

29 Sulaiman Tripa, “Lembaga Hukum Adat Laot dan Peran yang Terus

Berubah”, dalam Adli, et.al (ed), Kearifan Lokal di Laut Aceh, (Banda Aceh: Syiah Kuala University Press, 2010), hal. 112, dan Kamaruzzaman, “Panglima Laot di Aceh Masa Kini: Sebuah Tinjauan Sosial-Antropologi”, dalam Adli, et.al (ed), Kearifan Lokal di Laut Aceh, (Banda Aceh: Syiah Kuala University Press, 2010), hal. 5.

Page 46: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

41

Linkie menyimpulkan lembaga adat Panglima Laout terbukti dapat menciptakan lingkungan yang memungkinkan terwujudnya partisipasi masyarakat.30 Oleh karena itu, dalam upaya merealisasikan penerapan prinsip partisipatif dalam pengelolaan sumber daya laut, penting untuk menjalin kerja sama dengan lembaga adat Panglima Laot.

Sementara itu, hukum adat adalah seperangkap ketentuan tidak tertulis yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Aceh, yang memiliki sanksi apabila dilanggar.31 Sedangkan hukum adat laot adalah “hukum adat yang diberlakukan oleh masyarakat nelayan untuk menjaga ketertiban dalam penangkapan ikan dan kehidupan masyarakat nelayan di pantai.”32 Hukum adat laot memuat hak dan kewajiban yang muncul dalam kaitannya dengan kepemilikan wilayah laut. Namun demikian eksistensinya sangat beragam antara satu wilayah dengan wilayah lainnya karena sangat tergantung pada hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai wujud dari kesepakatan sehingga hukum adat itu harus ditemukan.33

Walaupun pengertian hukum adat laot masih sangat umum akan tetapi bisa dipahami bahawa hukum adat laot adalah hukum yang hidup, berkembang dan dijalankan oleh masyarakat pesisir. Masyarakat tersebut memiliki karakteristik khas yang berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Salah satu contoh hukum adat laot yang telah dijalankan oleh masyarakat secara turun temurun bisa ditemukan pada masyarakat Ujong Pancu, Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar. Adapun hukum adat laot tersebut dituangkan dalam bentuk beberapa poin aturan dan larangan yang diantaranya: (1) larangan memancing di hari Jum’at dan hari besar (Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha, Festival Laut, hari peringatan tsunami 26 Desember, dan hari kemerdekaan 17 Agustus), hari-hari yang tidak hanya dianggap sebagai hari libur bagi nelayan dan kesempatan untuk memperbaiki kapal, tetapi juga dipercaya dapat memberi kesempatan bagi habitat laut untuk berkembang biak; (2) larangan membuang sampah dan sampah

30 Wilson & Linkie, “The Panglima Laot of Aceh: a case study in large-scale

community-based marine management after the 2004 India Ocean tsunami”, Oryx, 46,(2012), hal. 495-500.

31 Pasal 1 Angka 28 Qanun Lembaga Adat, Op. Cit. 32 Rumusan dalam Musyawarah Panglima Laot se-Aceh, pada 6-7 Juni

2001 (Sulaiman Tripa, Model Kebijakan Pengelolaan Perikanan; belajar dari Masyarakat Lhok Rigaih Kabupaten Aceh Jaya, (Banda Aceh: Pusat Studi Hukom Adat Laot dan Kebijakan Perikanan Universitas Syiah Kuala, 2012), hal. 13.

33 Ibid, hal. 13-14.

Page 47: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

42

yang berupa ikan ke laut yang dikhawatirkan akan mempengaruhi kualitas terumbu karang; dan (3) larangan menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan.34 Adanya larangan melaut pada hari perayaan tsunami pada 26 Desember, dimana sebelum aturan tersebut sebelum peristiwa tsunami 26 Desember 2004 belum ada, menandakan bahwa hukum adat itu juga berkembang dan mengikuti perkembangan masyarakat sehingga eksistensinya juga perlu terus dievaluasi dan dikritisi.

Pelanggaran terhadap ketentuan hukum adat laot memiliki konsekuensi dan Panglima Laot berperan dalam memastikan keberlangsungan dan kelestarian hukum adat laot. Keberadaan hukum adat laot juga di samping menekankan pada aspek ekologi juga pada aspek ekonomi. Dengan kata lain, adanya keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan kepentingan pelestarian ekosistem laut, dan juga keseimbangan antara hubungan vertikal (hubungan dengan Tuhan sebagai pencipta alam semesta) dan hubungan horizontal (sesama manusia).35 Konsep tersebut menunjukkan bahwa dalam pelaksanaannya hukum adat laot telah menerapkan pengelolaan sumber daya laut yang berkelanjutan (sustainability) sehingga diharapkan kolaborasi antara kearifan lokal dan kebijakan pemerintah yang mengedepankan kepentingan masyarakat, berpotensi mewujudkan pengelolaan kawasan pesisir yang berkelanjutan.

4. Implementasi Program Pengelolaan Pesisir Berbasis Masyarakat

di Provinsi Aceh

Pemerintah Aceh menginisiasi pelaksanaan Program Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat (locally-managed marine areas) yang bertujuan untuk memperkuat peran masyarakat pesisir dalam pengelolaan dan perlindungan sumber daya laut secara berkeadilan dan berkelanjutan bekerjasama dengan Pemerintah Daerah. Pada tahun 2008, DKP Provinsi Aceh, sebagai leading sector pengelolaan dan perlindungan wilayah pesisir, membentuk Satuan Tugas Kelautan dan Perikanan (selanjutnya disebut “satuan tugas”) yang bertujuan untuk

34 Adli, “Model Hukum Adat Laot Menuju Keberlanjutan Lingkungan”, dalam

Adli, et.al (ed), Kearifan Lokal di Laut Aceh, (Banda Aceh: Syiah Kuala University Press, 2010), hal. 23.

35 Sulaiman Tripa, “Eksistensi Hukom Adat Laot Menuju Pengentasan Kemiskinan”, (makalah dipresentasikan dalam Forum Rembug Nasional Mahasiswa Pascasarjana, Universitas Gajah Mada , Yogyakarta, 2009).

Page 48: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

43

mengembangkan jaringan kerja pengelolaan wilayah laut secara komprehensif dengan berdasarkan pada perlindungan keanekaragaman hayati dan mengakomodir keterlibatan dan aspirasi masyarakat. Sedangkan secara khusus, satuan tugas bertujuan untuk mengidentifikasi wilayah prioritas bagi konservasi keanekaragaman hayati laut (melalui systematic conservation planning) dan pelibatan masyarakat pesisir (melalui participatory planning) untuk menjalankan program tersebut.

Pada tahapan pelaksanaan, pihak dari DKP Provinsi mengadakan serangkaian lokakarya (workshop) dengan DKP dari 8 (delapan) Kabupaten/Kota yang menjadi prioritas area konservasi. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang program pengelolaan wilayah pesisir berbasis masyarakat dan pemahaman terkait metode analisa perencanaan secara sistematik (systematic planning analysis).36 Metode ini merupakan metode yang digunakan untuk menentukan daerah-daerah yang menjadi target konservasi. Penting adanya pemahaman yang komprehensif bagi petugas lapangan, yang merupakan pihak yang paling bertanggung jawab dalam pelaksanaan program, untuk menyebarluaskan pemahaman mengenai pentingnya program dan bagaimana melaksanakan program tersebut dalam masyarakat.

Tahapan selajutnya adalah mengadakan konsultasi publik pada tingkat kabupaten/kota dan desa dengan beberapa stakeholder terkait, diantaranya: masyarakat pesisir yang tinggal di kawasan yang menjadi target konservasi (diwakili oleh kepala desa dan/atau pimpinan adat), perwakilan kelompok nelayan termasuk Panglima Laot, perwakilan dari Dinas Kelautan dan Perikanan tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota, Pemerintah Kabupaten/Kota, dan stakeholder lainnya seperti kelompok perempuan dan pimpinan keagamaan.37 Konsultasi bertujuan untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat dan menjadi langkah awal pelibatan masyarakat dalam perencanaan program.

Pasal 29 UU Pengelolaan Wilayah Pesisir menetapkan bahwa pola pengelolaan Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (“KKP3K”) dilakukan dengan sistem zonasi, yaitu: (1) zona inti, merupakan bagian dari KKP3K yang dilindungi, yang ditujukan untuk perlindungan habitat dan populasi sumber daya P3K serta pemanfaatannya hanya terbatas untuk penelitian; (2) zona pemanfaatan

36 Syakur et. al, “Ensuring local stakeholder support for marine

conservation: establishing a locally-managed marine area network in Aceh,” Oryx, 46, (2012), hal. 519.

37 Ibid, hal. 519.

Page 49: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

44

terbatas, merupakan bagian dari zona konservasi P3K yang pemanfaatannya hanya boleh dilakukan untuk budidaya pesisir, ekowisata, dan perikanan tradisional; dan/atau (3) zona lain sesuai dengan peruntukkan kawasan.

Berdasarkan aturan tersebut, DKP Provinsi Aceh membagi Kawasan Konservasi Pesisir (“KKP”), yang salah satunya berada di kawasan Ujong Pancu, Aceh Besar ke dalam beberapa zona. Pertama, zona inti / zona pelindung (Lhok Talindong), zona ini dibenarkan untuk memancing selama kegiatan tidak merusak terumbu karang. Di zona ini, setiap orang dilarang melakukan pemboman dan pembiusan, menggunakan jaring pukat dan membuang jangkar, dan melakukan budidaya dan sejenisnya. Kedua, zona penyangga / perikanan berkelanjutan (Lhok Peulindong), zona ini berjarak 100 meter dari zona inti. Dalam zona ini, terdapat larangan pemboman dan pembiusan, penggunaan berbagai jenis jaring yang dapat merusak terumbu karang, serta penggunaan kompresor dan lampu merkuri. Ketiga, zona pemanfaatan (Lhok Teumanfaat) yang dimaksudkan untuk pukat darat tradisional (traditional trawl) dan pancing tradisional, serta daerah ekosistem bakau dan budidaya air tawar. Dalam zona ini juga terdapat larangan penggunaan bom dan obat bius, penembakan ikan di malam hari, dan penangkapan ikan di daerah pukat tanpa pengawasan.

Masyarakat juga berhasil menyepakati beberapa agenda, diantaranya kesepakat bahwa desain wilayah laut berbasis masyarakat harus mempertimbangkan faktor-faktor ekonomi, sosial, ekologi, keterwakilan habitat, dan luas wilayah. Konsultasi dan diskusi berakhir sampai akhirnya menghasilkan suatu peta untuk masing-masing wilayah dan aturan pengelolaan yang berhasil disepakati oleh semua pihak yang berkepentingan.

Di samping itu, program ini juga menyadari besarnya peran institusi adat Panglima Laot, yang mempunyai pengaruh yang sangat besar pada masyarakat pesisir di Aceh. Hal ini diperkuat dengan pengakuan keberadaan lembaga adat yang diatur dalam UU Pengelolaan Wilayah Pesisir, yang pada Pasal 28 ayat (3) huruf c mengatur bahwa kawasan konservasi mempunyai ciri khas sebagai satu kesatuan ekosistem diselenggarakan untuk melindungi wilayah yang diatur oleh adat termasuk panglima laot. Keikutsertaan institusi adat ini dengan hukum adat laotnya memberi pengaruh yang besar terhadap partisipasi masyarakat yang akhirnya diharapkan dapat menyukseskan pelaksanaan program. Selain itu, tahapan konsultasi yang intensif ini juga terbukti

Page 50: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

45

menjadi media untuk menyelesaikan sengketa, terutama terkait sengketa perbatasan dan tumpang tindih perbatasan. Kegiatan ini difasilitasi oleh Panglima Laot.38

5. Pembahasan

Perlindungan dan pengelolaan wilayah pesisir di Aceh dilakukan

dengan dua pendekatan, yaitu pembentukan aturan hukum dan penguatan kapasitas institusi masyarakat, institusi adat dan hukum adat yang dipercaya dapat menjadi wadah yang efektif dalam keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan. Aceh memiliki potensi sistem pemerintahan dalam pengelolaan lingkungan, termasuk pengelolaan wilayah pesisir.

Keterlibatan masyarakat (community participation) dalam proses pembangunan dianggap penting dalam upaya untuk menghasilkan kebijakan yang efektif dan dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sebagai pihak penerima manfaat pembangunan. Konsep ini juga dipercaya dapat meminimalkan dampak negatif dari pembangunan. Selain itu, partisipasi masyarakat juga memberi kesempatan kepada masyarakat untuk memperoleh informasi yang berimbang dan obyektif, yang berkontribusi untuk pemecahan masalah dan meminimalkan konflik dalam pembangunan khususnya pembangunan masyarakat di wilayah pesisir.

Pengelolaan wilayah pesisir akan lebih efektif dilakukan dengan keterlibatan semua pihak yang berkepentingan. Hal ini disebabkan sifat dari wilayah pesisir yang tidak hanya memiliki fungsi ekologis tetapi juga fungsi sosial-ekonomi sehingga efektivitas manajemen perlindungan wilayah pesisir membutuhkan keterlibatan banyak pihak (governance system) dengan pendekatan yang multi-disiplin. Hal ini telah dicoba diwujudkan dalam program pengelolaan wilayah laut berbasis masyarakat di Aceh. Komunikasi intensif dengan pihak-pihak berkepentingan menjadi media yang diharapkan efektif mewadahi partisipasi masyarakat. Keterlibatan lembaga adat Panglima Laot, dan adat laot dapat semakin memperkuat peran masyarakat dalam proses pembangunan daerah pesisir. Kolaborasi antara stakeholders terkait

38 Wawancara, Syakur, Staff DKP Aceh (Pelaksana Program

pemberdayaan masyarakat pesisir berbasis masyarakat 2010), 29 Oktober 2014.

Page 51: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

46

membentuk suatu sistem tata kelola yang saling mendukung proses kebijakan yang mewakili banyak kepentingan.

Program pengelolaan pesisir berbasis masyarakat mengembangkan pengelolaan bersama antara pemerintah kabupaten/kota dan masyarakat. Program ini menempatkan masyarakat sebagai aktor utama dalam pelaksanaan program, dengan dukungan pemerintah kabupaten/kota. Pengembangan konsep ini dapat menjadi salah satu jawaban dalam upaya menerapkan tata kelola pemerintahan yang baik, yang tidak hanya menggambarkan demokrasi dalam pengambilan keputusan tetapi juga menggambarkan sistem jaringan antara pemerintah dan masyarakat. Sistem jaringan yang diharapkan menjadi proses penting untuk mengatasi kompleksitas dan tantangan yang dihadapi dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan.

Program co-management pengelolaan wilayah pesisir disamping memunculkan paradigma baru dalam pengelolaan wilayah pesisir juga menjadi media pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat dan hukum adat. Lebih lanjut juga dapat menjadi salah satu media penyelesaian konflik sosial dalam masyarakat, misalnya konflik terkait tumpang tindih perbatasan wilayah laut antara satu kabupaten/kota dengan yang lainnya.39

6. Kesimpulan dan Rekomendasi

Program pengelolaan pesisir berbasis masyarakat merupakan langkah nyata dalam mewujudkan partisipasi masyarakat. Walaupun sampai saat ini belum dilakukan evaluasi terhadap efektivitas program tersebut, tetapi sebagai langkah awal program tersebut telah menunjukkan adanya upaya untuk membentuk tata kelola yang baik dalam pengelolaan dan perlindungan daerah laut/pesisir. Langkah selanjutnya adalah bagaimana meyiapkan masyarakat untuk berperan lebih aktif dalam melindungi lingkungan laut tempat mereka menetap dan mencari kehidupan.

Meskipun penerapan kearifan lokal melalui kehadiran Panglima Laot menjadi salah satu perwujudan dari partisipasi masyarakat dalam program pengelolaan lingkungan, tetapi masih membutuhkan evaluasi yang lebih menyeluruh terkait dengan peran institusi adat tersebut

39 Wawancara, Syakur, Staff DKP Aceh (Pelaksana Program

pemberdayaan masyarakat pesisir berbasis masyarakat 2010, 29 Oktober 2014.

Page 52: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

47

sejalan dengan perkembangan perannya di kalangan masyarakat nelayan di Aceh. Tantangan berikutnya adalah mengolaborasikan pendekatan pengelolaan partisipatif dengan pendekatan adat laot tersebut dalam pelaksanaannya sehingga program lebih efektif. Sekalipun demikian, evaluasi dan monitoring mengenai efektivitas program masih perlu dibuktikan melalui penelitian lebih lanjut dengan metodologi yang sesuai. Penilaian mengenai efektivitas program tersebut juga sangat terkait dengan keberlanjutan program dimana pada tahapan akhir diharapkan masyarakat dapat mengelola program tersebut secara mandiri.

Terkait hal tersebut, tulisan ini merekomendasikan Pemerintah Aceh melalui DKP untuk menginisiasi evaluasi terhadap Program Pengelolaan Wilayah Pesisir. Evaluasi perlu dilakukan untuk menilai efektivitas pelaksanaan program, termasuk memastikan apakah metode partisipasi masyarakat yang dilakukan efektif untuk menyelesaikan masalah terkait lingkungan di kawasan pesisir. Lebih lanjut, penilaian terhadap program perlu dilakukan untuk memastikan masyarakat siap berperan lebih aktif dalam melindungi lingkungan laut tempat mereka menetap dan mencari kehidupan.

Daftar Pustaka

A. Syakur dkk. “Ensuring local stakeholder support for marine conservation: establishing a locally-managed marine area network in Aceh”, Oryx, 46, (2012): 516-524.

Aceh Ocean Coral, Formasi Terumbu Karang Aceh. http://acehoceancoral.org/artikel/formasi-terumbu-karang-aceh, diakses pada 28 Februari 2014.

Adli, A. “Model Hukum Adat Laot Menuju Keberlanjutan Lingkungan”, di dalam Kearifan Lokal di Laut Aceh, edited by Adli, et. Al, 23. Banda Aceh: Syiah Kuala University Press, 2010.

Aslin and Brown. Toward whole of Community Engagement: A Practical toolkit. Australia: Murray Darling Basin Commission, 2004.

Dakin, Susan. “Challenging Old Models of Knowledge and learning: New Perspective for Participation in Environmental Management and Planning”, Environments, vol.31, No.1 (2003): 93-107.

Page 53: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

48

Johnston, Kim A. Community Engagement: A relational perspective, dalam Tebbutt, J dan Cregan, Kate (Editor), Proceeding Australia and New Zealand Communication Association Annual Conference: Communication, Civics, Industry. Melbourne Australia: La Trobe University, 2007.

Hudalah, D, Winarso, H, and Woltjer, J. “Policy networking as capacity building: An analysis of regional road development conflict in Indonesia”, Planning Theory, vol. 9 (4), (2010): 315-332.

Juhola and Westerhoff, L. “Challenges of adaptation to climate change across multiple scales: A case study of network governance in two European countries”, Environmental Science & Policy, vol. 14, (2011): 239–247.

Kamaruzzaman, Bustaman, A. “Panglima Laot di Aceh Masa Kini: Sebuah Tinjauan Sosial-Antropologi”, di dalam Kearifan Lokal di Laut Aceh, edited by Adli, et al, 1-13. Banda Aceh: Syiah Kuala University Press, 2010.

Muhammad Akib. Politik Hukum Lingkungan: Dinamika dan Refleksinya dalam Produk Hukum Otonomi Daerah. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012.

Oracion, Miller, Christie. “Marine Protected Areas for whom? Fisheries, tourism, and solidarity in Philippine community”, Ocean and Coastal Management, vol. 48, (2005): 393-410.

Ostrom, E. 1999. “Self-governance and Forest Resources”, Occasional paper no. 20, Centre for International Forestry Research, (1999): 1-15.

Reed, M, S. “Stakeholder Participation for Environmental Management: A Literature Review”, Biological Conservation, vol. 141, (2008): 2417-2430.

Sarkissian, dkk. Kitchen Table Sustainability: Practical Recipes for Community Engagement with Sustainability. United Kingdom: Earthscan, 2009.

Sulaiman Tripa. Eksistensi Hukom Adat Laot Menuju Pengentasan Kemiskinan, Makalah dipresentasikan dalam Forum Rembug Nasional Mahasiswa Pascasarjana. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 2009.

---------. 2010. Lembaga Hukum Adat Laot dan Peran yang Terus Berubah’, di dalam Kearifan Lokal di Laut Aceh, edited by Adli, dkk, 95-122. Banda Aceh: Syiah Kuala University Press.

Page 54: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

49

Tullungan, Kussoy, and Crawford. Community Based Coastal Resources Management in Indonesia: North Sulawesi early stage experiences, Convention of Integrated Coastal Management Practitioners in the Philippines, 10-12 November 1998.

Warburton. A Passionate Dialogue: Community and Sustainable Development, 1998, dalam Warburton, Community and Sustainable Development: Participation in the future. United Kingdom: Earthscan, 1998.

Wilson & Linkie. 2012. “The Panglima Laot of Aceh: a case study in large-scale community-based marine management after the 2004 India Ocean tsunami”, Oryx, 46, (2012): 495-500.

Page 55: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

TINDAKAN AFIRMATIF SEBAGAI BENTUK KEADILAN PADA PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN HIDUP DI LAUT :

STUDI KASUS MV HAI FA DAN NELAYAN UJUNG KULON

Rayhan Dudayev1

Abstrak

Upaya penegakan hukum yang tegas merupakan salah satu cara untuk menjaga kelestarian lingkungan. Instrumen hukum lingkungan dibuat dan ditegakkan untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan. Namun pada pelaksanaannya, penegakan hukum lingkungan tidak senada dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Penegakan hukum lingkungan seolah hanya tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Dalam tulisan ini, akan dibahas mengenai penegakan hukum lingkungan di sektor maritim dalam dua kasus yang berbeda, berkaitan dengan pelanggaran Undang-Undang Konservasi Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Koservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. Perbedaan sebab akibat dalam kasus yang berbeda tidak membuat hukum memperlakukan kedua kasus tersebut secara berbeda karena adanya asas kesamaan (equality before the law) dalam hukum. Tulisan ini akan memaparkan penegakan hukum, terutama hukum pidana, ditinjau dengan perspektif pembangunan berkelanjutan pada kasus nelayan dan kasus illegal fishing yang melibatkan korporasi. Berangkat dari perspektif tersebut, tulisan ini mencoba menganalisis alasan pentingnya tindakan afirmatif bagi penegakan hukum di masing-masing kasus.

Kata Kunci: pembangunan berkelanjutan, penegakan hukum lingkungan, tindakan afirmatif

                                                                                                                         1 Penulis adalah peneliti di Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), mendapatkan gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Page 56: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

49

Abstract

One of the means to protect the environment is to firmly enforce the environmental law. Environmental legal instruments are made and enforced in order to prevent environmental damage. However, environmental law enforcement in practice is not always consistent with the concept of sustainable development. Environmental enforcement is sharper to the poor people, but dull to big corporations. This article attempts to discuss the enforcement of environmental law in the maritime sector in two different cases, with regard to the violation of Law no. 5 of 1990 regarding Conservation. Despite the different causation and magnitude of impacts, the law treats those cases equally due to the equality before the law principle. This article also elaborates the law enforcement, especially criminal law, with the perspective of sustainable development in the case of involving fishermen and the illegal fishing case involving a corporation. From this perspective, this paper analyzes the importance affirmative action for the law enforcement in each case.

Key Words: Sustainable Development, Enforcing Environmental Law, Affirmative Action

1. Pendahuluan

Di awal tahun 2015, beberapa media ramai memberitakan aksi massa yang didominasi oleh nelayan di depan Pengadilan Negeri Pandegelang.2 Massa meminta keadilan terhadap kasus hukum yang menimpa tiga orang nelayan yang menangkap 3 ekor udang di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon (“TNUK”).3 Mereka ditangkap oleh polisi air atas pelanggaran larangan menangkap ikan di kawasan konservasi dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990. Nelayan tersebut merasa tidak mendapatkan keadilan atas penangkapan yang menimpa mereka karena aksi penangkapan ikan sering dilakukan di kawasan tersebut. Penyidik bergeming dengan pembelaan para nelayan. Siapa yang

                                                                                                                         2 “Demo, Minta Peradilan 3 Nelayan Adil,” Banten Raya, 3 Desember 2014,

Sumber : http://bantenraya.com/banten-raya/pandeglang/8477-demo-minta-peradilan-3-nelayan -adil diakses pada 7 Juli 2015.

3 “Gelombang Ganas Nelayan Miskin Penangkap 4 Udang Terbebas dari Penjara,” Detik.com, 29 Januari 2015 http://news.detik.com/read/2015/01/29/095247/ 2817229/10/gelombang-ganas-nelayan-miskin-penangkap-4-udang-terbebas-dari-penjara, diakses pada14 April 2015.

Page 57: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

50

melanggar ketentuan hukum, harus diproses secara hukum dalam rangka penegakan hukum secara tegas.

Setelah menjalani pemeriksaan penyidikan dan persidangan, hakim memutuskan para nelayan tersebut bebas dari jeratan hukum. Namun, jaksa masih mengajukan kasasi. Kisah tiga orang nelayan ini menjadi déjà vu bagi kisah penegakan hukum lingkungan yang terkesan hanya tajam ke bawah. Sebelum kasus ini, masih lekat dalam ingatan kasus yang menimpa warga adat Semende Banding Agung di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (“TNBBS”).4

Di lain tempat dan waktu, hipotesis penegakan hukum lingkungan yang tumpul ke atas tercermin dari lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku pencurian ikan. Premis tersebut sementara dapat disimpulkan melalui kasus MVV Hai Fa. Kapal dengan bobot 4.300 GT itu membawa 900,702 ton ikan yang diduga hasil curian dengan kerugian negara diperkirakan mencapai 70 Miliar rupiah.5 Kapal MV Hai Fa yang berbendera Panama6 melanggar banyak pasal, di samping kejahatan pencurian ikan, MV Hai Fa juga melakukan kejahatan lingkungan karena melakukan penagkapan satwa dilindungi, yaitu hiu martil dan hiu konoi. Ironisnya, putusan pengadilan hanya menghukum nahkoda dan anak buah kapal (“ABK”) dengan pidana penjara selama satu tahun dan denda sebesar 250 juta rupiah.7

jaksa hanya menuntut8 berdasarkan pelanggaran Pasal 100 jo. Pasal 7 ayat (2) huruf m Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan jo. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (amandemennya, secara kolektif dirujuk sebagai “UU Perikanan”) mengenai kewajiban mematuhi ketentuan jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan, dan dikeluarkan ke dan dari wilayah Negara Republik Indonesia serta dua ketentuan lain terkait kepemilikan Surat Layak Operasional (SLO) dan aktivasi alat pemantau kapal penangkap dengan

                                                                                                                         4 “Jadi Tersangka, Empat Warga Adat Semende Banding Agung Dijerat

UU P3H,” Mongabay, 24 Desember 2013, http://www.mongabay.co.id/2013/12/24/jadi-tersangka-empat-warga-adat-semende-banding-agung-dijerat-uu-p3h/, diakses pada 7 Juli 2015.

5 “Menteri Susi Tegaskan Kapal MV Hai Fa Ilegal,” Liputan 6, 13 April 2015, http://bisnis.liputan6.com/read/2212459/menteri-susi-tegaskan-kapal-mv-Hai Fa-ilegal, diakses pada 14 April 2015.

6 Pengadilan Negeri Ambon, “Putusan No. 01/PID.SUS/PRK/2015/PN.Amb.”

7 Ibid. 8 Ibid.

Page 58: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

51

bobot tertentu. Padahal jika melihat ketentuan yang ada, kapal MV Hai Fa telah melanggar beberapa peraturan yaitu: Pasal 16 UU ayat (1) UU Perikanan (larangan ikan hasil tangkapan ke luar wilayah Indonesia), Pasal 29 ayat (1) UU Perikanan (hanya WNI atau badan hukum Indonesia yang dapat melakukan usaha perikanan di Indonesia), Pasal 35A ayat (1) UU Perikanan (nakhoda dan anak buah kapal wajib berkewarganegaraan Indonesia), Pasal 41 ayat (3) UU Perikanan (kewajiban mendaratkan ikan tangkapan di pelabuhan perikanan yang ditetapkan atau pelabuhan lainnya yang ditunjuk), Pasal 41 ayat (4) UU Perikanan (kewajiban melakukan bongkar muat ikan tangkapan di pelabuhan perikanan yang ditetapkan atau pelabuhan lainnya yang ditunjuk) dan Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (“UU No. 5 Tahun 1990”) yang melarang menangkap ikan hiu martil dan hiu koboi dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda Rp100.000.000,-.

Jaksa menuntut tegas kasus penangkapan ikan di kawasan TNUK. Sementara itu, perbedaan perlakuan jaksa terlihat pada kasus MV Hai Fa dimana jaksa tidak melakukan upaya penuntutan yang progresif. Mengingat banyaknya ketentuan hukum yang dilanggar, seharusnya jaksa dapat melakukan penuntutan lebih berat dengan ganti rugi lebih besar serta perampasan negara berdasarkan Pasal 76A UU Perikanan. Kasus MV Hai Fa dan kasus penangkapan udang oleh nelayan sama dalam hal kedua subyek hukum sama-sama bersalah melanggar hukum. Keduanya diputus dengan putusan pengadilan yang terkesan ‘ringan.’ Bedanya, kuantitas dan kerugian lingkungan yang ditimbulkan oleh kedua pihak berbeda, yang dalam konteks hukum lingkungan mempunyai pertanggungjawaban hukum yang juga berbeda.9 Pertanyaannya, adilkah putusan tersebut jika disandingkan dari perspektif lingkungan? Adilkah jika kedua pelaku diperlakukan sama?

                                                                                                                         9 Di dalam prinsip pembangunan berkelanjutan terdapat prinsip

pembangun yaitu keadilan intera generasi yang di dalamnya juga terdapat prinsip pembangun yaitu keadilan lingkungan sebagai keadilan distributif. Di dalam prinsip tersebut terdapat konsep Common-but-Differential Responsibility (CBDR) yang biasa digunakan untuk membebankan tanggung jawab pada negara-negara yang melakukan pencemaran. Dalam konsep CBDR, tanggung jawab yang dibebankan pada negara maju dan berkembang berbeda karena kontribusi terdahadap pencemaran lingkungan, kemapuan teknologi, dan kondisi keuangan yang berbeda dari masing-masing negara. Lihat: Rio Declaration on Environment and Development, 3-14 Juni 1992, United Nations Treaty Series A/CONF.151/26 (Vol. I), pasal 7; Lihat juga Andri Guna Wibisana, Elemen-Elemen Pembangunan Berkelanjutan-Keadilan Intera dan Antar Generasi, hal. 6.

Page 59: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

52

2. Menyoal Equality Before The Law dalam Penegakan Hukum Lingkungan

Hukum ada karena kekuasaan yang sah. Sebaliknya, kekuasaan yang sah menciptakan hukum. Hukum adalah kekuasaan, yang mengusahakan ketertiban yang diciptakan oleh kekuasaan yang sah.10 Walaupun begitu, pengekangan kekuasaan merupakan unsur esensial dan tiada kekuasaan yang kebal terhadap rule of law, yang berarti pengaturan oleh hukum atau lebih dikenal dengan istilah supermasi hukum.11 Menurut Albert Venn Dicey, seorang yuris asal Inggris pada abad 19-20, rule of law mengandung tiga unsur, yaitu hak asasi manusia dijamin lewat undang-undang, persamaan di muka hukum (equality before the law), dan supremasi aturan hukum serta tidak ada kesewenang-wenangan tanpa aturan yang jelas.12 Rule of law ini hadir di dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945.13

Rule of law dalam pelaksanaannya menemui kendala, terutama saat diaplikasikan pada negara bekas jajahan dan di era kapitalisme global.14 Hal tersebut berkaitan dengan karakteristik hukum yang merupakan sebuah sistem bebas di dalam ruang yang tertutup.15 Karakteristik tersebut diperkuat oleh H.L.Hart, seorang positivis hukum, dalam bukunya yang berjudul A General Concept of Law, menyatakan bahwa teori hukum harus umum dan deskriptif, tidak bergantung pada sistem budaya dan budaya hukum tertentu.16 Konsepsi keumuman hukum itu dipertegas dengan pendapat Kelsen yang menyatakan bahwa hukum

                                                                                                                         10 Sudikno Merto Kusomo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta :

Liberti, 2007), hal. 25-26. 11 Ibid. 12 Ibid., hal. 28. 13 Pasal tersebut berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara Hukum.” 14 Dalam penulisannya, Donny menggambarkan pemikiran Brian Z..

Tamanha, profesor hukum di St. John’s University School of Law, New York tetang Sosio-legal Positivis yang menyatakan bahwa teori hukum umum tersebut tidak bisa dibangun dari berbagai asumsi lama tentang relasi antara hukum dan masyarakat, terutama anggapan hukum sebagai cerminan perilaku masyarakat. Pada kenyatannya sering kali hukum menjadi tidak efektif karena kehidupan masyarakat lebih diatur oleh norma-norma lainnya. Lihat: Donny Danardo, “Mepertimbangkan Brian Z. Tamanaha: Sosio-Legal Positivis, Anti-Esensialisme, dan Pragmatisme,” dalam Sosiologi Hukum dalam Perubahan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009), hal. 314.

15 Sudikno, op.cit., hal. 201. 16 Donny, op.cit., hal. 314.

Page 60: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

53

terlepas dari nilai benar dan salah atau keadilan secara absolut, maka hukum adalah pemenuhan kepentingan individu yang setara diformulasikan sebagai kehendak mayoritas.17 Itu berarti kaidah hukum, termasuk salah satunya asas equality before the law berlaku bagi siapapun, tidak terkecuali.

Asas kesamaan menghendaki adanya keadilan, dalam arti di dalam hukum setiap orang harus diperlakukan sama (equality before the law). Perkara yang sama (sejenis) harus diputus sama (serupa) pula: similia similibus.18 Keadilan diasosiasikan dengan realisasi asas kesamaan tersebut. Frasa itu senada dengan konsepsi justice for all di Amerika Serikat (AS). Penduduk AS yang memiliki sejarah hukum dan tradisi politik yang panjang kerap menyuarakan “justice for all.” Sebaliknya, menurut, Prof. Sulistyowati, Bangsa Indonesia masih perlu menyuarakan: “justice for disavantage group,” keadilan bagi kelompok yang tidak diuntungkan, termasuk kaum miskin, perempuan dan anak.19 Nampaknya, equality before the law perlu dipersoalkan ketika prinsip tersebut menafikan adanya jurang sosial dan ketidaksetaraan di masyarakat, terutama dalam konteks Bangsa Indonesia.

Idealnya, equality before the law dapat berlaku bila setiap orang memiliki akses yang sama terhadap sumber daya dan keadilan.20 Menurut logika silogisme hukum dengan penalaran deduktif,21 berdasarkan prinsip tersebut, setiap orang yang merambah hutan atau melakukan kegiatan pemanfaatan di kawasan konservasi dapat dipidana tanpa memandang kelas sosial dan aksesibilitasnya. Hukum tidak memikirkan bahwa kemiskinan dan keadaan terpinggirkan timbul karena dampak laten konstruksi politik dan ekonomi yang sebenarnya disahkan oleh kebijakan hukum itu sendiri,22 yang menjauhkan orang miskin dari akses keadilan dan sumber daya.

3. Kasus Nelayan TNUK sebagai Kasus Struktural

                                                                                                                         17 Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dan Dr. M. Ali Sa’at, S.H., M.H., Teori

Hans Kelsen, (Jakarta: Konpress, 2012), hal. 19. 18 Sudikno,op.cit., hal. 46. 19 Sulistyowati Irianto, “Menuju Pembangunan Hukum Pro Keadilan

Rakyat,” dalam, Sosiologi Hukum dalam Pembangunan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009), hal. 11.

20 Ibid., hal. 12. 21 Tan Malaka, Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika), cet. 4, (Jakarta:

LPPM Tan Malaka, 2008), hal. 209-210. 22 Op.cit.

Page 61: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

54

Robert Merton, seorang sosiolog, mengaitkan masalah kejahatan dengan struktur sosial (strain theory) yang menawarkan tujuan yang sama untuk semua anggotanya (agen sosial) tanpa memberi sarana yang merata untuk mencapainya.23 Kekurangpaduan antara apa yang diminta oleh budaya dan kebutuhan dengan apa yang diperbolehkan oleh struktur (yang mencegah memperoleh kebutuhan itu) dapat menyebabkan norma-norma runtuh karena tidak lagi efektif untuk membimbing tingkah laku.24 Namun dalam hal ini, Merton hanya mengaitkan masyarakat dalam konteks masyarakat AS yang ia gambarkan beriorientasikan kelas; masing-masing orang didorong untuk mencapai kelas teratas namun dengan sarana yang minim. Ihwal tersebut membuat orang yang dalam tekanan besar akan melakukan kejahatan karena disparitas antara tujuan dan sarana yang tidak seimbang.

Di dalam konteks nelayan Indonesia,25 khususnya dalam kasus nelayan TNUK, nelayan mempunyai tujuan yang cukup sederhana yaitu mencari ikan untuk menyambung hidup. Namun, mereka mengalami keterbatasan sarana26 dalam mencari ikan seperti alat tangkap yang sangat sederhana serta ketiadaan alat penunjuk arah.27 Dengan keterbatasan tersebut, nelayan mencari ikan hingga ke wilayah yang tidak dapat mereka tentukan – berbeda dengan kapal besar yang memiliki GPS.28 Dikarenakan batas taman nasional yang tidak jelas, ketiga nelayan tersebut pun menangkap udang dan kepiting yang ternyata berada di kawasan TNUK. Pada saat itu juga, mereka ditangkap oleh petugas TNUK yang sedang berada di lokasi. Para nelayan tersebut dianggap dengan sengaja melakukan pemanfaatan di kawasan TNUK. Padahal, perluasan kawasan TNUK29 yang mereduksi zona pemanfaatan

                                                                                                                         23 Freda Adler, Criminology, (New York: McGraw-Hill, 2001), hal.35 . 24 Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, (Jakarta: Rajawali

Pers, 2009), hal. 61. 25 Dalam konteks struktural fungsional nelayan merupakan agen sosial

yang menjalani fungsi sosial. 26 Abdul Halim, Bukan Bangsa Kuli, (Jakarta: KIARA, 2014), hal. 39. 27 Kronologis dalam Pengadilan Negeri Pandeglang, “Putusan No.

247/Pid.B/2014/PN.Pdl.” 28 Global Positioning System merupakan Alat Pelacak untuk mengetahui

posisi keberadaan. 29Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No.

SK3658/Menhut-VII/KUH/2014.

Page 62: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

55

warga tidak ditunjang dengan batas-batas yang jelas dalam perairan taman nasional.30

Pisau analisis dari strain theory Robert K. Merthon dalam kajian kriminologi bukan untuk membenarkan perbuatan agen sosial (nelayan) untuk tidak menaati apa yang diperbolehkan oleh struktur. Alat tersebut merupakan alat bantu bagi penegak hukum untuk melihat dengan terang penyebab seseorang melakukan perbuatan yang dilarang oleh struktur (dalam hal ini norma hukum). Teori tersebut mencoba memfasilitasi penegak hukum untuk melihat akar permasalahan dari suatu kejahatan.31 Dalam kasus nelayan TNUK tersebut, jika ditelaah, permasalahan bukan semata-mata karena nelayan tersebut ingin mendapatkan tangkapan sebanyak-banyaknya, tetapi minimnya sarana seperti alat pendukung aktivitas melaut dan menangkap, serta ketiadaan komunikasi dan sosialisasi tentang batas taman nasional sehingga membuat ketiga nelayan melanggar ketentuan UU Nomor 5 Tahun 1990.

Sarana merupakan komponen utama dalam rangka penaatan hukum oleh masyarakat atau aktor lain yang dituju oleh suatu aturan hukum. Dalam kasus ini, salah satu sarana yang dibutuhkan oleh nelayan dalam penaatan ialah konsensus pada saat penetapan kawasan taman nasional, bukan lagi sekedar penetapkan aturan yang bersandarkan pada teori fiksi, yang menyatakan bahwa diundangkannya suatu peraturan perundang-undangan oleh instansi yang berwenang mengandaikan semua orang telah mengetahui peraturan tersebut.32 Konsensus tersebut penting untuk menemukan alternatif akses terhadap sumber kebutuhan selain di areal taman nasional. Konsensus tersebut dapat tercapai dengan adanya komunikasi yang pro-aktif dalam pembuatan peraturan sebagaimana yang diungkapkan Jurgen Habermas.33 Menurutnya, sebagai sebuah sistem nilai dalam suatu masyarakat majemuk, keabsahan (legitimasi) hukum tidak bisa dibuat berdasarkan filsafat moral tertentu. Hukum yang sah hanya bisa dibuat dalam komunikasi inter-subyektif antara negara dan para subyek

                                                                                                                         30 Mengacu pada Putusan No. 247/Pid.B/2014/PN.Pdl., Op. Cit. 31 Guru Besar Universitas Amsterdam, W.A. Bonger mengatakan bahwa

kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya. Lihat: W.A. Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, (Jakarta: PT. Pembangunan Ghalia Indonesia, 1982), hal. 21.

32 Ignotaria iuris neminem excusat yang berarti ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat membebaskan orang itu dari tuntutan hukum. Lihat: Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-Undangan 2, (Jakarta: Kanisius, 2007), hal. 152.

33 Jurgen Habermas merupakan salah satu tokoh teori kritis dari Jerman.

Page 63: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

56

hukum. Proses komunikasi dan konsensus yang dicapai dapat menyadari sampai sejauh mana hak-hak subyek hukum. Bagi Habermas, teori komunikasi akan membuat hukum tidak hanya melindungi kepentingan pribadi para subjek hukum, tetapi juga menjamin integrasi sosial.34 Pada saat nelayan tidak mengetahui hak-haknya dan pada saat itu melakukan pelanggaran hukum, seyogiyanya tindakan afirmatif35 perlindungan lingkungan dengan cara pembuatan kebijakan taman nasional dan penegakan hukum pada nelayan tersebut digunakan.

4. Keadilan Intra Generasi dalam Pembangunan Berkelanjutan sebagai Pintu Masuk Tindakan Afirmatif dalam Perlindungan

Lingkungan

Konsep pembangunan berkelanjutan36 mencoba memberikan tindakan afirmatif bagi masyarakat miskin untuk dapat mengakses sumber daya alam. Konsep tersebut merupakan salah satu prinsip hukum lingkungan.37 Prinsip ini identik dengan konsepsi yang

                                                                                                                         34 Donny, loc.cit., hal. 331. 35 Tindakan Afirmatif yang dimaksud yaitu perlakuan khusus yang

diberikan kepada nelayan. Perlakuan khusus tersebut diperlukan supaya posisi nelayan menjadi setara dihadapan hukum. Posisi setara dapat berupa pemberian fasilitas melalui keadilan prosedural yang akan dibahas pada halaman berikutnya untuk mendapatkan informasi, berpartisipasi, dan akses terhadap keadilan dalam pembuatan kebijakan taman nasional sehingga nelayan bukan hanya mengetahui kebijakan tersebut tetapi juga tidak dirugikan dengan dibuat kebijakan tersebut, bahkan diuntungkan. Tindakan afirmatif pada penegakan hukum nelayan yaitu perlakuan khusus yang seharusnya diberikan oleh penegak hukum terhadap nelayan yang ‘melanggar hukum’ karena keterbatasan sarana yang ia miliki untuk menaati hukum sebagaimana dijelaskan di dalam penedekatan kriminologi di atas. Tindakan afirmatif di sini sebenarnya mengadaptasi apa yang dikemukakan Ratna Kapur, profesor hukum asal India. Kapur menganalogikan pendekatan ini dengan tercapainya keadilan dalam suatu masyarakat apabila kaum cacat memperoleh fasilitas tertentu seperti parkir khusus, toilet khusus supaya mereka dapat melaksanakan fungsinya sebagai anggota masyarakat dengan baik. Perlakuan khusus tersebut bukanlah suatu diskriminasi atau keistimewaan melainkan penghargaan karena keunikan dan perbedaan yang ada. Lihat: Ratna Kapur dan Brenda Cossman, Feminist Engagement with Law in India, (New Delhi: Vedam Books, 1996), hal. 16-19.

36 Lihat “Rio Declaration on Environment and Development,” Op. Cit. 37 Prinsip ini juga tertera di dalam UU 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup salah satunya di dalam pasal 15 ayat (3) huruf c. Lihat: Indonesia, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Page 64: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

57

mengisyaratkan bahwa generasi yang akan datang seminimal mungkin harus bisa menikmati sumber daya alam seperti yang dirasakan oleh generasi yang sekarang.38 Berbicara tentang keadilan generasi yang akan datang tidak bisa dilepaskan dari konsep keadilan intra generasi. Bagaimana mungkin membicarakan keadilan yang bersifat futuristik sedangkan keadilan pada saat ini tidak dirasakan. Di dalam prinsip intra generasi,39 terdapat empat elemen turunan, salah satunya adalah aspek keadilan lingkungan sebagai keadilan sosial.

Dalam konteks keadilan tersebut, Kuehn menfasirkan keadilan sosial sebagai cabang dari keadilan yang akan mendorong kita untuk melakukan upaya terbaik guna tercapainya tatanan masyarakat yang adil, yaitu tatanan masyarakat yang mampu memenuhi kebutuhan hidup masyarakat.40 Keadilan ini juga dapat dilihat dari pandangan yang menyatakan bahwa upaya pengentasan kemiskinan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan.41 Tindakan afirmatif di sini ialah perlindungan lingkungan harus dibarengi dengan usaha pengentasan kemiskinan, bukan malah memiskinkan. Kebijakan perlindungan lingkungan melalui kebijakan TNUK yang tidak partisipatif dan minim komunikasi dapat berdampak laten viktimisasi42 terhadap nelayan, salah satu bentuknya penangkapan nelayan yang sedang menghidupi diri dan keluarganya. Untuk itu, perlu wadah dalam mewujudkan perlindungan lingkungan yang berkeadilan sosial, di dalam elemen intra generasi berikutnya, yaitu keadilan prosedural.

Keadilan prosedural merupakan keadilan untuk memperoleh perlakuan yang sama. Perlakuan yang sama ini bukanlah persamaan dalam hal distribusi barang dan kesempatan, tetapi persamaan dalam hal mendapatkan perhatian (concern and respect) ketika terjadi pengambilan

                                                                                                                                                                                                                                                                                   Hidup, UU No. 32 Tahun 2009, Lembaran Negara No. 140 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara No. 5059.

38 M. Jacobs, The Green Economy: Environment, Sustainable Develepoment and the Politics of the Future (Pluto Press, 1991), hal. 79-80 dalam buku Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup (Jakarta: ICEL, 2014), hal. 64.

39 Ibid., hal. 53. Prinsip intra generasi merupakan salah salah satu prinsip turunan pembangunan berkelanjutan.

40 Ibid., hal. 83 41 Ibid., hal. 84 42 Viktimisasi adalah suatu penimbulan penderitaan (mental, fisik, dan

sosial) pada pihak tertentu. Lihat: Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta: Akademika Presindo, 1993), hal. 139.

Page 65: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

58

keputusan politik terkait distribusi barang dan kesempatan tersebut.43 Keadilan prosedural setidaknya mencakup tiga aspek, yaitu hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, hak atas informasi, dan akses terhadap keadilan.

Terkait dengan hak untuk berpartisipasi, maka keadilan prosedural dapat dilihat dari apakah pihak yang berpotensi untuk terkena dampak dari sebuah keputusan telah terlibat dalam proses pengambilan keputusan serta menyetujui keputusan yang akan diambil. Dalam hal ini, Kuehn menyatakan bahwa keadilan prosedural tidak sekedar terkait partisipasi di dalam proses pengambilan keputusan, tetapi juga apakah proses pengambilan keputusan tersebut telah dirancang sedemikian rupa sehingga proses ini akan mengarah pada hasil (yaitu distribusi) yang adil.44 Dalam konteks ini, maka proses pengambilan keputusan secara deliberatif dianggap sebagai upaya untuk mewujudkan keadilan prosedural, di mana pihak yang lemah (baik secara ekonomi, politik, maupun sosial) diberikan bantuan sumber daya, teknis, dan hukum (tindakan afirmatif) yang akan memungkinkan mereka untuk memperoleh akses yang lebih besar terhadap pengambilan keputusan.45 Nelayan di sekitar TNUK ataupun masyarakat miskin pesisir lainnya46 perlu mendapatkan perlakuan seperti proses partisipatif dan pengambilan putusan yang deliberatif saat melakukan penetapan kawasan taman nasional di kawasan laut. Saat proses penetapan tidak mengindahkan hal tersebut, besar kemungkinan ketidaktaatan terjadi karena ketidaktahuan atau tidak tersedianya alternatif terhadap akses ekonomi. Penegak hukum perlu menyadari pentingnya proses tersebut supaya dalam melakukan penegakan hukum tidak lagi sekedar menyimpulkan premis umum dan khusus.

Terlepas dari putusan bebas yang diterima oleh ketiga nelayan tersebut, sejak awal tidak seharusnya mereka dibui oleh penyidik. Dengan kewenangan diskresi penyidik,48 pihak berwenang tidak harus

                                                                                                                         43 Andri Gunawan Wibisana, Loc. Cit., hal. 14. 44 Ibid. 45 Ibid., hal. 15. 46 Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan jumlah penduduk miskin

di 10.666 desa pesisir tersebar 300 kabupaten/kota dari total 524 kabupaten/kota se-Indonesia mencapai 7,87 juta jiwa atau 25,14% dari total penduduk miskin nasional yang berjumlah 31,02 juta jiwa. Lihat: Abdul Halim, Loc. Cit., hal. 113.

48 Di dalam pasal 18 UU 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian mengindikasikan adanya kewenangan diskresi pada Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yaitu: untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat

Page 66: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

59

memproses perkara dan dengan demikian terikat untuk menunggu putusan pengadilan,49 melainkan dapat menyelesaikan masalah ini dengan alternatif penyelesaian non-hukum dan membebaskan mereka sejak awal. Terlepas perspektif yuridis dari hasil prosesi peradilan, yang memaparkan bahwa para nelayan tidak terbukti melakukan perbuatan yang dapat merusak ekosistem,51 penetapan kawasan taman nasional yang mengacuhkan kepentingan masyarakat secara ekonomi, politik, dan sosial tidak tepat untuk menjadi dasar menghukum para nelayan jika mengacu pada elemen yang ada di prinsip intra generasi. Selain itu, jika melihat kembali dari tinjauan yuridis, dakwaan dari jaksa yang mengacu Pasal 33 ayat (3) jo. Pasal 24 Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (“PP No. 28 Tahun 2011”) tidak terpenuhi unsur-unsurnya. Akibat yang disangkakan kepada para nelayan ternyata tidak membahayakan lingkungan serta unsur “kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional” tidak terpenuhi karena tidak ada pembatasan yang jelas dalam perairan di TNUK.52 Hakim membebaskan para nelayan namun jaksa tetap bersikukuh dengan dakwaannya dan terus melakukan upaya hukum53 kasasi untuk memidanakan para nelayan.

Berbanding terbalik dengan upaya jaksa yang cukup ‘tegas’ dalam kasus penangkapan udang, kasus MV Hai Fa yang melibatkan kapal penangkap ikan berkapasitas besar, jaksa memberikan dakwaan yang                                                                                                                                                                                                                                                                                    bertindak menurut penilaiannya sendiri. Pasal tersebut menunjukan bahwa polisi punya kewenangan untuk melakukan diskresi selama tidak bertentangan dengan etika profesi. Gayus Lumbun mengaitkan diskresi di Kepolisian dengan tiga asas hukum yakni kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Menurut Gayus, anggota Polri di lapangan seringkali berada di posisi dilematis antara menegakkan asas kepastian hukum, kemanfaatan atau keadilan. Solusi atas situasi dilematis ini adalah diskresi. Lihat: “Diskresi Polisi Harus Dibatasi,” Hukum Online, 19 September 2012, Sumber: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5059b7d1c3d3c/ kabareskrim--diskresi-polisi-harus-dibatasi

49 “3 Nelayan Terancam 5 Tahun Bui karena Dituduh Curi Kepiting,” Merdeka.com, 24 November 2014, Sumber: http://www.merdeka.com/peristiwa/3-nelayan-terancam-5-tahun-bui-karena-dituduh-curi-kepiting.html diakses pada 29 April 2015.

51 Rumusan Pasal 33 ayat (3) UU Konservasi No. 5 Tahun 1990. Lihat: Indonesia, Undang-undang Konservasi, UU No. 5 Tahun 1990, Lembaran Negara No. 49 Tahun 1990, Tambahan Lembaran Negara No. 2823.

52 Pertimbangan mejelis hakim dalam pertimbangan Putusan No. 247/Pid.B/2014/PN.Pdl, Op. Cit.

53 Wawancara tertulis dengan Hendra, Pengacara LBH Jakarta, Jakarta, 29 Mei 2015.

Page 67: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

60

cukup ringan. Hakim pun mengamini keringanan yang diajukan jaksa dengan memberikan putusan yang juga ringan. Jika disandingkan dalam tinjauan yuridis dengan pisau analisis keadilan distributif,54 kasus MV Hai Fa tidak seimbang dengan kasus nelayan TNUK dari sisi putusan dan dakwaan jaksa.

Keadilan distributif memiliki kaitan yang sangat erat dengan pembangunan berkelanjutan karena tiga alasan, yaitu: pertama, lingkungan hidup merupakan sumber daya yang harus didistribusikan secara adil; kedua, keadilan bersifat fungsional bagi terciptanya keberlanjutan; dan ketiga, keberlanjutan juga membutuhkan adanya keadilan bagi lingkungan hidup itu sendiri.56 Keadilan distributif memberikan perhatian pada dampak lingkungan yang terdistribusi secara tidak adil.57 Kondisi ketidakadilan lingkungan bisa ditunjukkan dengan merujuk pada pembagian sumber daya alam dan pemanfaatan yang tidak merata, ataupun pada pembagian resiko kerusakan lingkungan yang juga tidak seimbang.58 Lebih jauh lagi, ketidakadilan lingkungan dapat terjadi dalam skala global berupa ketidakadilan terhadap negara miskin / berkembang. Misalnya, dalam persoalan lingkungan global seperti pemanasan global, negara berkembang seringkali menjadi pihak yang paling rentan dan paling menderita akibat dari persoalan tersebut, meskipun kontribusinya terhadap persoalan jauh lebih kecil dibandingkan dengan kontribusi negara maju.59 Dampak kerusakan yang disebabkan oleh tiap orang atau negara berbeda, maka tanggung jawab bagi subyek yang memberikan dampak kerusakan yang lebih besar seharusnya lebih besar. Ihwal tersebut terdefinisikan di dalam prinsip hukum yang tertera di dalam Deklarasi Rio60 mengenai common but differentiated responsibilities (“CBDR”).61

                                                                                                                         54 Andri Guna Wibisana, Op.Cit., hal. 3. 56 Ibid., hal. 3. 57 Ibid. 58 Ibid. 59 Ibid., hal. 3. 60 Prinsip 7 Deklarasi Rio menyatakan: “States shall cooperate in a spirit of

global partnership to conserve, protect and restore the health and integrity of the Earth's ecosystems. In view of the different contributions to global environmental degradation, States have common but differentiated responsibilities. The developed countries acknowledge the responsibility that they bear in the international pursuit of sustainable development in view of the pressures their societies place on the global environment and of the technologies and financial resources they command.” Lih: Deklarasi Rio, Op. Cit.

61 Andri G. Wibisana, Loc. Cit.

Page 68: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

61

5. Mengaitkan Analisis Yuridis pada Kasus MV Hai Fa dengan Elemen Keadilan Distributif

Pada kasus MV Hai Fa, jaksa hanya menuntut pidana denda atas pelanggaran terkait sistem pemantauan kapal, standar prosedur operasional, dan membawa ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukan, dan dikeluarkan dari wilayah RI.62 Tuntutan didasarkan fakta bahwa kapal tersebut tidak memilik Surat Layak Operasional (SLO), tidak mengaktifkan alat transmitter yang disebut Vessel Monitoring System (VMS) serta membawa hiu martil dan hiu koboi yang tidak boleh dibawa keluar dari wilayah RI. Padahal, perbuatan yang bertentangan dengan aturan perikanan lebih dari apa yang didakwakan. MV Hai Fa juga tidak memiliki dokumen persetujuan impor barang. Selain itu, ketentuan yang lebih berat yaitu Pasal 88 UU Perikanan serta pasal-pasal lain yang disebutkan di bagian pendahuluan tidak masuk dalam dakwaan jaksa. Terlepas dari tuntutan pidana badan yang perlu ditujukan pada pengurus korporasi pada perusahaan yang mengoperasikan kapal MV Hai Fa, satu hal yang mengecewakan dari tuntutan tersebut yaitu kapal MV Hai Fa tidak dirampas63 berdasarkan pasal 76A UU Perikanan agar dapat dimanfaatkan masyarakat Indonesia. Sebagaimana disampaikan Menteri Susi di media massa,64 mesin pendingin untuk menyimpan ikan dalam kapal MV Hai Fa merupakan aset yang berharga khususnya bagi nelayan.

Dakwaan yang diajukan jaksa hanya dakwaan alternatif yang menimbulkan konsekuensi masing-masing dakwaan tersebut saling mengecualikan satu sama lain.66 Artinya, hakim dapat memilih dakwaan mana yang telah terbukti tanpa memutuskan terlebih dahulu dakwaan lainnya, sekalipun jika dakwaan lain lebih berat. Dalam putusan MV Hai

                                                                                                                         62 Lihat pasal 100 jo. Pasal 7 ayat (2) huruf d, e, dan m UU 31 Tahun 2004

jo. UU No. 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 2004, Op. Cit.

63 “Kasus Kapal Maling Ikan Hai Fa Dituntut Ringan,” Detik.com, 29 Maret 2015, http://news.detik.com/read/2015/03/29/093954/2872642/10/kasus-kapal-maling-ikan-hai-fa-dituntut-ringan-penegak-hukum-harus-lebih-jeli, diakses pada 29 April 2015

64 Wiji Nurhayat, “Menteri Susi Ingin Kapal Terbesar dalam Sejarah Ditenggelamkan,” Detik.com, 13 Januari 2015, Sumber: http://finance.detik.com/read/2015 /01/13/105047/2801614/4/menteri-susi-ingin-kapal-pencuri-ikan-terbesar-dalam-sejarah-ditenggelamkan, diakses pada 8 Juli 2015.

66 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 185.

Page 69: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

62

Fa, hakim hanya memutuskan bahwa terdakwa terbukti melanggar pasal Pasal 100 jo. Pasal 7 ayat (2) huruf m UU Perikanan. Dalam hal ini, tuntutan jaksa sangat menentukan putusan yang akan dihasilkan hakim jika mengacu pada Pasal 182 ayat (3) dan (4),67 walaupun hakim tetap harus memutus berdasarkan keyakinan dan alasan berupa dua alat bukti, sebagaimana tertera di dalam pasal 183 KUHAP.68 Dakwaan kumulatif dan kombinasi untuk menjerat pelaku yang melanggar beberapa ketentuan pidana69 tidak digunakan oleh jaksa sehingga subyek yang dihukum hanya nakhoda kapal dan ia hanya dihukum berdasarkan satu pasal saja. Padahal, apabila dicermati, pelanggaran MV Hai Fa masuk dalam kategori concursus realis atau gabungan beberapa kejahatan.70 Artinya, nakhoda kapal MV Hai Fa dapat dihukum maksimal 10 (sepuluh) tahun 8 (delapan) bulan berdasarkan Pasal 92 UU Perikanan jika ia dituntut sesuai dengan kuantitas pasal yang dilanggar.71

                                                                                                                         67 Indonesia, Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981,

Lembaran Negara No. 76 Tahun 1981. Tambahan Lembaran Negara No. 3209, Lih: Pasal 174 KUHP.

68 Indonesia menganut teori conviction de la raison dalam pembuktian hukum pidana yaitu putusan hakim didasarkan pada keyakinan dan alasan logis. Lih: M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjuan Kembali, Edisi 2, cet. 3, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002).

69 Jika dicermati perbuatan yang dilanggar oleh subyek di dalam kasus MV Hai Fa ini memenuhi unsur beberapa pasal pada undang-undang yang berbeda yaitu UU Kelautan dan UU Konservasi yang berarti subyek tersebut memenuhi unsur pasal 66 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang perbarengan perbuatan yang berbunyi: Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang masing-masing harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri-sendiri, sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, maka dijatuhkan pidana atas tiap-tiap kejahatan, tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga.

70 Lihat pasal 66 KUHP. 71 Di dalam pasal 66 tentang concursus realis yang berbunyi: “(1) Dalam hal

perbarengan beberapa perbuatan yang masing-masing harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, maka dijatuhkan pidana atas tiap-tiap kejahatan, tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga.” Beberapa perbuatan yang dilakukan oleh subyek hukum di dalam kasus MV Hai Fa yang merupakan beberapa perbuatan pidana (seperti tidak memiliki SLO, tidak memasang VMS, menagkap hiu, dll) dapat dikatan concursus realis. Apabila diakumulasikan sanksi pidana dari pasal yang dilanggar, jumlahnya akan melebihi sepuluh (10) tahun, hukuman terberat dari pasal yang dilanggar subyek hukum dalam Mv Hai Fa. Itu berarti, bila mengacu pada pasal ini, pidana penjara maksimal selama 10 tahun dapat

Page 70: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

63

Hukuman itu, tidak hanya dapat ditujukan kepada nakhoda kapal, tetapi juga pengurus korporasi, termasuk pimpinan perusahaan.

Pasal 101 UU Perikanan menyatakan bahwa pengurus korporasi harus bertanggungjawab terhadap tindak pidana perikanan yang dilakukan oleh korporasi, bahkan pidana denda ditambah sepertiga. Sayangnya, perumusan di dalam undang-undang tersebut belum mengatur secara jelas, siapa subjek dalam korporasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Berbeda dengan undang-undang tersebut, Pasal 116 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UU No. 32 Tahun 2009”) sudah menggunakan pijakan teori vicarious liability yang memungkinkan korporasi untuk menjadi subjek hukum pidana sehingga sanksi dapat dijatuhkan padanya.72 Vicarious liability merupakan ajaran yang berasal dari hukum perdata dalam sistem common law, yaitu doctrine of respondeat superior dimana dalam hubungan karyawan dengan majikan atau antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa berlaku adagium “qui facit per alium facit per se” yang berarti seseorang yang berbuat melalui orang lain dianggap sebagai perbuatan yang dilakukan oleh ia sendiri. Dalam hal ini, majikan bertanggung jawab atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh karyawannya sepanjang kesalahan tersebut dilakukan dalam rangka pekerjaannya.73 Terkait dengan teori ini, will (keinginan) untuk memberantas illegal fishing dapat ditempuh melalui penegakan hukum hingga ke aktor utamanya selain para nelayan dari negara lain ataupun nakhoda kapal, seperti yang terjadi di kasus MV Hai Fa. Sebuah pertanyaan besar perlu dilontarkan ketika kapal yang begitu besar menangkap puluhan ton ikan yang merugikan negara kurang lebih sebesar Rp 70 miliar: apakah tindakan tersebut terencana untuk memperoleh keuntungan bagi korporasi? Dalam kasus pencurian ikan

                                                                                                                                                                                                                                                                                   dijatuhkan, yaitu pasal 92 UU 31 2004 dengan sanksi terberat yaitu delapan tahun dan ditambah sepertiga, menjadi 10 (sepuluh) tahun 8 (delapan) bulan.

72 Di dalam pasal 116 ayat (1) UU 32 Tahun 2009, badan usaha dapat dijatuhi sanksi pidana. Dalam hal ini pidana penjara dapat dijatuhkan kepada pemberi perintah atau pemimpin kegiatan, tetapi pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada korporasi hanyalah denda. Tetapi, di dalam undang-undang tersebut, korporasi dimungkinkan untuk mendapatkan pidana tambahan berupa penutupan seluruh korporasi dan pembatasan aktivitas korporasi, sehingga korporasi seolah mendapatkan pidana penjara atau kurungan sebagaimana istilah corporate imprisonment. Lih: Raynaldo Sembiring, et.al., Anotasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, (Jakarta: ICEL, 2014), hal. 274.

73 Sutan Rehmi Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Press, 2006), hlm. 84.

Page 71: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

64

skala besar, termasuk di dalamnya penangkapan ikan yang dilindungi, penegak hukum tidak boleh lagi menunjukkan perilaku fakultatif untuk menindak tegas mastermind74 atau pelaku fungsional dalam sebuah kejahatan korporasi.

Pertanggungjawaban korporasi penting, terutama dalam konteks penegakan hukum lingkungan, apabila melihat beberapa kasus kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas korporasi.75 Meminjam konsep CBDR, seperti halnya negara besar, korporasi yang memiliki kontribusi lebih besar dalam menyebabkan persoalan lingkungan memikul tanggung jawab yang lebih besar untuk mengatasi persoalan lingkungan tersebut.76 Konsep CBDR ini dapat digunakan sebagai benang merah dalam membandingkan penegakan hukum lingkungan di laut dalam kasus skala besar (kasus MV Hai Fa) dan kasus struktural (kasus nelayan TNUK) berdasarkan besarnya dampak lingkungan yang ditimbulkan dari masing-masing kasus.

Dalam putusan MV Hai Fa, hal yang memberatkan pelaku hanya sebatas akibat perbuatan yang dapat mengancam kelestarian ikan sebagai sumber daya alam. Hakim tidak mempertimbangkan bahwa kelestarian hiu martil sangat penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem laut.77 Jika hiu punah, maka tidak akan ada kontrol bagi pertumbuhan-pertumbuhan ikan besar yang memakan ikan-ikan kecil sehingga ikan-ikan kecil itu dapat mengalami ledakan populasi yang juga dapat berujung pada kepunahan.78 Punahnya ikan hiu ini akan berdampak pada hasil tangkapan nelayan dan kesejahteraannya. Terlebih, terlepas dari pernyataan yang terkesan antroposentris tersebut, keberadaan hiu ini menjadi penyeimbang keberlanjutan berbagai jenis makhuk hidup,79 terutama yang hidup di laut. Berseberangan dengan

                                                                                                                         74 Yang dimaksud mastermind yaitu pelaku fungsional orang yang

memberi perintah atau bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana. Lih: Raynaldo Sembiring dkk, Op. Cit., hal. 272.

75 Lihat Kasus Lumpur Lapindo. 76 Andri G. Wibisana, Op. Cit., hal. 6. 77 “Moratorium Ekspor Hiu Martil dan Hiu Koboy,” Maritime Magazine, 7

Januari 2015, SumberL http://maritimemagz.com/moratorium-ekspor-hiu-martil-dan-hiu-koboy/ diakses pada 17 April 2015 pukul 11:35.

78 Kharina Trianada, “Dampak Kepunahan Hiu bagi Keseimbangan Ekosistem Laut,” Berita Satu, 9 Juni 2013, Sumber: http://www.beritasatu.com/iptek/118539-dampak-kepunahan-hiu-bagi-keseimbangan-ekosistem-laut.html 19 April 2015.

79 Berdasarkan penelitian ilmuwan, hiu harimau di Hawaii mempunyai dampak positif bagi kesehatan padang lamun. Hiu ini merupakan pemangsa kura-kura, ketika hiu tidak ada, kura-kura tersebut menghabisi seluruh nutrisi

Page 72: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

65

dampak kerusakan yang dapat ditimbulkan dalam kasus tersebut, pengambilan udang dan lobster yang ternyata masuk zona TNUK tidak menyebabkan dampak masif bagi ekosistem laut, bahkan dapat dikatakan tidak merusak kawasan konservasi tersebut.

Dampak lingkungan perlu menjadi perhatian penegak hukum dalam rangka melakukan perlindungan lingkungan dengan perspektif CBDR untuk mencapai keadilan distributif. Dalam konteks lingkungan hidup, keadilan distributif ini terkait dengan persamaan perlakuan (equal treatment) atas beban dan dampak lingkungan yang dihasilkan dari kegiatan yang membahayakan lingkungan. Dengan demikian, keadilan distributif memberikan perhatian pada dampak lingkungan yang terdistribusi secara tidak adil, dimana kelompok masyarakat miskin, perempuan, dan ras tertentu sering kali merupakan kelompok yang paling merasakan dampak lingkungan tersebut.80

6. Penutup

Pada penegakan hukum kasus nelayan TNUK dan MV Hai Fa, penegak hukum belum terlihat menggunakan perspektif keadilan intra generasi. Dalam kasus nelayan TNUK, penegak hukum seperti polisi dan jaksa hanya menerapkan ketentuan hukum tanpa mempertimbangkan aspek lainnya. Hal ini terbukti dari pilihan penegakan hukum yang mengenyampingkan diskresi mulai dari proses penyidikan sampai penuntutan, yang memberikan perlakuan sama tanpa melihat kesenjangan struktural tiga orang nelayan TNUK. Dalam kasus MV Hai Fa, jaksa tidak menuntut pasal-pasal yang sebenarnya dapat ditujukan kepada pelaku dan menggunakan jenis dakwaan yang cukup lemah yaitu dakwaan alternatif. Terlebih, hakim juga memutus perkara sebatas apa yang dituntut oleh jaksa.

Penegakan hukum lingkungan dalam masalah struktural tidak bisa hanya berlandaskan prinsip legisme81 hukum semata. Ada aspek-aspek non-yuridis lain yang perlu dipertimbangkan seperti ketersediaan

                                                                                                                                                                                                                                                                                   terbaik yang membuat habitat ini hancur. Keberadaan hiu membuat kura-kura di daerah tersebut berpencar untuk makan di berbagai wilayah. “Sharks Role in The Ocean,” Sumber: http://www.sharksavers.org/en/education/the-value-of-sharks/sharks-role-in-the-ocean/ 19 April 2015.

80Andri Wibisana, Op. Cit., hal. 4. 81 Soedikno Merto Koesomo, loc.cit., hal. 76.

Page 73: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

66

sarana yang dipunyai masyarakat untuk dapat mematuhi suatu aturan hukum. Penegak hukum dalam kasus struktural terkait lingkungan hidup tidak dapat menegasikan adanya keterbatasan akses masyarakat kecil seperti nelayan terhadap SDA karena tidak terwujudkannya keadilan SDA. Pernyataan tersebut bukan pembenaran bagi siapa saja untuk merusak lingkungan di kawasan konservasi atau melanggar peraturan tetapi hanya sebagai alat bantu untuk melihat hubungan sebab-akibat dari suatu masalah. Kondisi tersebut dapat tergali apabila penegak hukum memiliki perpektif keadilan intra generasi.

Dalam penegakan hukum, untuk menghindari hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas, perbedaan tanggung jawab atas akibat yang ditimbulkan perusak lingkungan patut diaplikasikan untuk menindak pelaku-pelaku besar, terutama di kawasan laut. Penindakan tidak hanya ditujukan pada pelaku fisik tetapi juga pelaku fungsional dalam kejahatan lingkungan skala besar, dalam hal ini kejahatan yang melibatkan korporasi. Penegak hukum perlu membedakan perlakuan penanganan kasus struktural dan kasus besar. Tindakan afirmatif bukan hanya ditujukan kepada mereka yang berada di dalam kasus struktural, tetapi juga bagi mereka yang berada di kasus besar supaya pelaku ditindak tegas berdasar kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Oleh karena itu, asas kesamaan dalam penegakan hukum di dua kasus ini tidak bisa ditelan bulat. Dengan perspektif pembangunan berkelanjutan melalui elemen keadilan intra generasi, penegakan hukum lingkungan harus berpihak dengan alat perlakuan khusus atau tindakan afirmatif.

Terakhir, sebelum sampai pada tahapan penegakan hukum, sebaiknya pembuat kebijakan dapat membuat kebijakan konsensus dengan masyakat, dimana dalam pembentukannya masyarakat diberi ruang untuk berkomunikasi dan menentukan pendapat yang menentukan hasil dari suatu kebijakan melalui konsepsi komunikasi Habernas. Saat komunikasi dan pelibatan sudah berjalan, keadilan prosedural mulai tercapai. Keadilan prosedural merupakan sarana utama bagi tercapainya keadilan sosial dalam perlindungan lingkungan, sehingga perlindungan tidak memiskinkan, tetapi menyejahterakan. Sekali lagi, semua itu memerlukan tindakan khusus dalam bentuk penyediaan sarana bagi para nelayan.

Daftar Pustaka

Adler, Freda. Criminology. New York: McGraw-Hill, 2001.

Page 74: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

67

Asshiddiqie, Prof.Dr. Jimly dan M. Ali Sa’at. Teori Hans Kelsen. Jakarta: Konpress, 2012.

Binawan, Al. Andang L. Jalan Terjal Ekokrasi dalam Jurnal Hukum Lingkungan Volume-1 ICEL. Jakarta: Januari, 2014.

Bonger, W.A. Pengantar Tetang Kriminologi. cet. 6. Jakarta: PT. Pembangunan Ghalia Indonesia, 1982.

Danardo, Donny. Mepertimbangkan Brian Z. Tamanaha: Sosio-Legal Positivis, Anti- Esensialisme, dan Pragmatisme dalam Sosiologi Hukum dalam Perubahan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009.

Gosita, Arif. Masalah Korban Kejahatan. Jakarta: Akademika Presindo, 1993.

Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjuan Kembali. Edisi 2. cet. 3. Jakarta: Sinar Grafika, 2002.

Indrati, Maria Farida. Ilmu Perundang-Undangan 2. Jakarta: Kanisius, 2007.

Kusomo, Sudikno. M. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta : Liberti, 2007.

Malaka, Tan. Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika). Jakarta: LPPM Tan Malaka, 2008.Santoso, Topo dan Eva Achjani Zulfa. Kriminologi. Jakarta: Rajawali Pers, 2009.

Sembiring, Raynaldo. Anotasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta: ICEL, 2014.

Sjahdeini, Sutan Rehmi. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Jakarta: Grafiti Press, 2006.

Sulistyowati Irianto, Menuju Pembangunan Hukum Pro Keadilan Rakyat dalam Sosiologi Hukum dalam Pembangunan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009.

Tim Penulis ICEL. Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup. Jakarta: ICEL, 2014.

Wibisana, Andri G. Elemen-elemen Pembangungan Berkelanjutan: Keadilan Intra dan Antar Generasi

“Moratorium Ekspor Hiu Martil dan Hiu Koboi.” Maritime Magazine. Sumber: http://maritimemagz.com/moratorium-ekspor-hiu-martil-dan-hiu-koboy

Page 75: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

68

“Sharks Role in the Ocean.” Sharksavers. Sumber: http://www.sharksavers.org/en/education/the-value-of-sharks/sharks-role-in-the-ocean

“Kabareskrim: Diskresi Polisi Harus Dibatasi.” Hukum Online. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5059b7d1c3d3c/kabareskrim--diskresi-polisi-harus-dibatasi

“3 Nelayan Terancam 5 Tahun Bui Karena Dituduh Curi Kepiting.” Merdeka.com. Sumber: http://www.merdeka.com/peristiwa/3-nelayan-terancam-5-tahun-bui-karena-dituduh-curi-kepiting.html

“Kasus Kapal Maling Ikan Hai Fa Dituntut Ringan, Penegak Hukum Harus Lebih Jeli.” Detik.com. Sumber: http://news.detik.com/read/2015/03/29/093954/2872642/10/kasus-kapal-maling-ikan-hai-fa-dituntut-ringan-penegak-hukum-harus-lebih-jeli

“Gelombang Ganas Nelayan Miskin Penangkap 4 Udang Terbebas dari Penjara.” Detik.com. Sumber: http://news.detik.com/read/2015/01/29/095247/2817229/10/gelombang-ganas-nelayan-miskin-penangkap-4-udang-terbebas-dari-penjara

“Menteri Susi Tegaskan Kapal MV Hai Fa Ilegal.” Liputan 6. Sumber: http://bisnis.liputan6.com/read/2212459/menteri-susi-tegaskan-kapal-mv-Hai Fa-ilegal

Page 76: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

PENGELOLAAN AIR BALAS: KERANGKA HUKUM INTERNASIONAL DAN PERBANDINGAN

HUKUM DI INDONESIA Eliza Dayinta Harumanti1

Abstrak

Pembuangan air balas kapal yang tidak diolah dan dibuang di sembarang tempat berpotensi menyebabkan perpindahan beberapa organisme laut yang tidak sesuai dengan lingkungan hidup awalnya. Organisme ini akan berkembang dan mengganggu sistem rantai makanan yang pada akhirnya berdampak pada pencemaran air laut dan keseimbangan ekosistem. Perhatian dunia internasional terhadap perlindungan laut terlihat dengan adanya konvensi yang mengatur tentang pembuangan air balas pada tahun 1992 sebagai upaya mitigasi untuk mencegah menyebarnya spesies predator serta untuk menjaga keseimbangan ekosistem di suatu daerah di dunia. Tulisan ini membahas perkembangan pengaturan pengelolaan air balas di dunia sampai dengan terbentuknya Konvensi Pengelolaan Air Balas dan perbandingan penerapannya di beberapa negara termasuk di Indonesia. Mengingat Indonesia belum meratifikasi ketentuan Konvensi Pengelolaan Air Balas, tulisan ini akan mengkaji kemungkinan Indonesia menjadi negara anggota konvensi tersebut.

Kata kunci: air balas, Indonesia, UNCLOS, invasive alien species

Abstract This article attempts to discuss Indonesia’s policy on ballast water exchange with

regard to protection of the marine environment in Indonesia’s water

1 Asisten Peneliti pada Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)

Page 77: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

70

territory. The exchange of ballast water is potential to inadvertently introduce non-native species into new habitat. These species are likely to thrive and harm the existing ecosystem, turning them to be invasive species. World’s attention was gained after several disasters in some countries, calling the adoption of a new international standard as prevention and mitigation measures of such issue. This article will also address the development of Ballast Water Management Convention and compare other countries practice in their national law framework.

Keywords: ballast water, Indonesia, UNCLOS, invasive alien species

1. Pengantar

Sistem air balas adalah sistem yang sangat penting di dalam suatu kapal. Sistem air balas ini digunakan untuk menyeimbangkan kapal ketika kapal tidak membawa muatan sesuai dengan kapasitas maksimal mereka. Hal ini menjadi penting untuk menghadapi cuaca buruk ketika kapal berlayar di tengah samudera.2 International Maritime Organization atau Organisasi Maritim International (“IMO”) mengartikan air balas sebagai “water with its suspended matter taken on board a ship to control trim, list, draught, stability or stresses of the ship.”3

Banyaknya volume air yang dipompa masuk ke dalam tangki air balas bergantung pada besarnya ukuran kapal,4 yang mana pada umumnya akan mengisi 50% hingga 70% dari total kapasitas kapal.5

2 “Ballast Water”, http://www.epa.vic.gov.au/your-environment/water/ballast-water, diakses pada 20 Mei 2015.

3 “Ballast Water Management Convention,” International Convention for the Control and Management of Ships’ Ballast Water and Sediments, IMO Doc. BWM/CONF/36, 13 Februari 2004, art. 1(7).

4 Penghitungan standar ukuran kapal menggunakan banyak satuan ukur. Satuan ukur yang sering sekali digunakan untuk mengukur kapasitas kapal kargo adalah Twenty-Foot Equivalent Unit (TEU) atau Forty-Foot Equivalent Unit (FEU). Sedangkan, berat kapal diukur dengan satuan Gross Tonnage (GT) Lihat: Michael Bohlman, “ISO’s container standards are nothing but good news”, ISO Bulletin, September 2001, hal. 12-15. Adapun ukuran kapal yang digunakan di dalam Ballast Water Convention adalah GT. Lih: “Ballast Water Management Convention, art.1(7).

5A. Whitman Miller, et.al, “Geographic Limitations and Regional Differences in Ships’ Ballast Water Management to Reduce Marine Invasions in the Contiguous United States”, BioScience vol. 61, 2011, hal. 881.

Page 78: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

71

Proses pemompaan dan pembuangan biasa terjadi di daerah pelabuhan ketika muatan kargo diturunkan atau dinaikkan. Proses ini mengandung banyak isu lingkungan, antara lain pembuangan air balas yang dikategorikan sebagai limbah karena sering mengandung minyak yang terkontaminasi, patogen berbahaya, dan proses pertukaran hewan laut yang berbeda habitat.6 Potensi pencemaran disebabkan kegiatan lalu-lintas perdagangan global melalui laut juga semakin meningkat seiring berjalannya waktu.

Dampak proses penggunaan air balas dalam kegiatan pelayaran kapal kargo yang paling mendapat perhatian adalah tereksposnya hewan non-endemik (non-native species) ke suatu lingkungan baru. Penelitian pertama mengenai hal ini dilakukan pada awal tahun 1900-an. Penelitian ini dilakukan di daerah North Sea dan melaporkan terdapatnya fitoplankton spesies Odontella (Biddulphia) sinensis yang merupakan jenis fitoplankton di perairan Asia.7

Dengan asumsi bahwa suatu tangki balas dapat menampung 3,4 juta ton air, sebanyak tujuh ribu spesies berbeda diestimasikan dapat berpindah tempat dalam satu kegiatan pelayaran kapal kargo.8 Berbagai penelitian telah membuktikan tentang banyaknya spesies dalam jumlah besar ditemukan dalam sampel air balas. Sebuah studi tentang proses shipping di Eropa menemukan bahwa ada seribu spesies yang dibawa di dalam air balas yang mencakup dari spesies satu sel seperti ganggang hingga berbagai spesies ikan.9

Perhatian serius mulai banyak ditunjukkan karena akibat ini tidak dapat diprediksi sebelumnya. Spesies flora dan fauna yang baru di suatu perairan tersebut dapat terus hidup dan menjadi dominan yang

6 Simon C. Barry, et. al., “Ballast Water Risk Assessment: Principles, Processes, and Methods.” ICES Journal of Marine Science 65, (2008), hal. 121.

7 C.H. Ostenfeld, “On the Immigration of Bidulphia sinensis Grev. and its occurrence in the North Sea during 1903-1907”, Meddelelser fra Kommissionen fo Havundersogelser, Plankton Vol 1 No. 6, 1908, hal 2.

8S.G. Bullard, et al., “Abundance and Diversity of Ascidians in the Southern Gulf of Chiriquí, Pacific Panama”, Aquatic Invasions Vol 6 No. 4, (2011), hal 381.

9 S. Gollasch, et al., “Life in Ballast Tanks” di dalam Invasive Aquatic Species of Europe: Distribution, Impacts and Management, ed. E. Leppakoski, et al., (Dordecht: Kluwer Academic Publishers, 2002), hal. 217-231.

Page 79: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

72

mengakibatkan ketidakseimbangan ekosistem.10 Dominasi flora dan fauna yang terbukti resisten karena tetap hidup di dalam tangki balas akan menginvasi spesies endemik di habitat barunya dalam perebutan makanan dan habitat. Dalam tingkat yang lebih serius, invasive alien species (“IAS”) dapat mengubah kondisi lingkungan seperti mempengaruhi tingkat kejernihan air dan mengurangi keanekaragaman hayati lokal karena banyak spesies endemik yang tidak mampu bertahan hidup dengan invasi spesies baru di suatu habitat.11

Telah terjadi beberapa kasus yang mengindikasikan akibat buruk air balas di suatu lingkungan maritim. Pada tahun 1982, Mnemiopsis leidyi (American Atlantic Coast Comb Jelly) yang menjadi IAS di daerah Laut Hitam dan Laut Azov telah menyebabkan lingkungan di laut tersebut menjadi berbahaya dan beracun. Spesies tersebut menyebabkan meledaknya populasi ganggang dalam jumlah besar. Hal ini mengakibatkan berkurangnya kadar oksigen di sekitar Laut Hitam dan Laut Azov karena ganggang tersebut menutupi permukaan laut dan berbagai spesies rumput laut dan terumbu karang yang berfungsi untuk memproduksi oksigen. Ledakan populasi ganggang tersebut disebabkan oleh berkurangnya populasi zooplankton karena menjadi sumber makanan comb jelly.12

Dreissena polymorpha (zebra mussels) menginvasi habitat di Great Lakes, Kanada pada tahun 1988.Spesies ini juga membawa akibat buruk di Danau St. Clair, Detroit, Amerika Serikat pada tahun yang sama. Zebra mussels memiliki kemampuan untuk mengeliminasi berbagai mikroorganisme yang ada di perairan. Hal ini berakibat pada ketidakseimbangan rantai makanan, terutama untuk ikan-ikan tangkapan. Spesies ini terus berkembang biak dan menempel di kerang yang mengakibatkan kerang-kerang tersebut tidak bisa membuka cangkangnya untuk memperoleh nutrisi. Populasi kerang pun menurun

10Jenis flora dan fauna invasive ini dikenal dengan terminologi yang bermacam-macam, seperti alien invaders dan Invasive Alien Species (IAS). Untuk kepentingan penulisan artikel ini, terminology IAS akan digunakan untuk menghindari kebingungan di dalam pembahasan.

11 A.M. Ibrahim dan M.A. El-naggar, “Ballast water Review: Impacts, Treatments, and Management”, Middle-East Journal of Scientific Research Vol 12 No. 17, (2012), hal. 976.

12 C. Bright, Life Out of Bounds: Bioinvasion in a Borderless World , Worldwatch Environmental Alert Series (New York, NY: Norton, 1998), hal. 182.

Page 80: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

73

drastis. Kerugian ekonomis yang besar juga dirasakan karena zebra mussels menghambat aliran air dan menyebabkan pembangkit listrik tidak berfungsi dan tutupnya beberapa pabrik.13

Australia juga pernah mengalami dampak negatif air balas. Perairan Australia terpapar ganggang Gymnodimium yang merupakan spesies endemik dari Jepang pada tahun 1998. Ganggang ini berkembang biak dengan sangat cepat dan menjadi racun bagi populasi shellfish di sekitar perairan negara bagian Tasmania.14

Melihat fenomena di atas, banyak negara dengan kapasitas maritim yang besar mulai menaruh perhatian mengenai dampak lingkungan akibat aktivitas pelayaran.Terdapat perkembangan pengaturan di mana air balas harus diolah sebelum akhirnya dilepaskan kembali ke alam. Perhatian ini ditindaklanjuti oleh IMO dengan membuat berbagai pedoman dan mekanisme pengaturan untuk mencegah kerusakan lingkungan dan ekosistem oleh IAS. Di dalam perkembangannya, terdapat tiga faktor yang mempengaruhi usaha IMO di dalam pencapaian tujuan dibentuknya berbagai regulasi, yaitu pembatasan jumlah konsentrasi makhluk hidup yang diperbolehkan di dalam air balas, penggunaan teknologi, serta kemauan dan kemampuan dari operator kapal untuk menggunakan teknologi tersebut dalam usaha untuk mematuhi ketentuan yang telah diatur.15

Indonesia tentunya juga memiliki potensi pencemaran air balas akibat kegiatan pelayaran yang sibuk di daerah perairannya. Salah satu contohnya adalah Selat Malaka yang menjadi perlintasan kapal paling sibuk di dunia. Dengan 2,33 milyar kapal yang singgah di Pelabuhan Singapura,16 perairan yang berbatasan langsung dengan Selat Malaka berpotensi mengalami pencemaran akibat air balas ini.

13 “Sea Ballast and Zebra Mussels (Ballast), http://www1.american.edu/ted/ballast.htm, diakses 22 Mei 2015; J. Ellen Marsden, “Zebra Mussel Study on Lake Michigan, Annual Report to Illinois Department of Conservation”, Illinois Natural History Survey, Center for Aquatic Ecology, 1992, hal. 1.

14 G.C. Ray dan J. McCormick-Ray, “Coastal Marine Conservation: Science and Policy”, (UK: Blackwell, 2004), hal. 252.

15 DM King, et.al. “Preview of Global Ballast Water Treatment”, Journal of Marine Engineering and Technology, Vol 11, (2012), hal. 15.

16 MPA: at the Helm of New Waves, Port View Singapore, 2Q/2014, https://www.singaporepsa.com/images/PortView/2014%20PortViewQ2/HTML/files/assets/common/downloads/publication.pdf, diakses 22 Mei 2015.

Page 81: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

74

Tulisan ini membahas kepentingan Indonesia untuk meratifikasi Konvensi Air Balas. Selain membahas pengaturan dalam tingkat internasional dan nasional berbagai negara yang rentan terhadap dampak pencemaran air balas, tulisan ini juga akan menggunakan studi komparatif dalam membahas pengaturan nasional negara-negara yang pernah mengalami dampak air balas tersebut. Menyadari bahwa posisi Indonesia yang terletak di posisi silang menjadikannya sebagai jalur pelayaran yang paling sibuk berpotensi mengalami pencemaran air balas,17 maka tulisan ini juga akan mepaparkan pengaturan tingkat nasional yang sudah dimiliki oleh Indonesia dalam menanggulangi potensi pencemaran oleh air balas. Bagian kesimpulan tulisan ini akan menyimpulkan pembahasan serta menawarkan langkah-langkah mitigasi yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk melaksanakan perlindungan perairan yang rentan terhadap air balas.

2. Kerangka Pengaturan Hukum Internasional

mengenai Air Balas

Di dalam hukum internasional, terdapat berbagai macam konvensi yang mengatur mengenai perlindungan lingkungan laut dari sumber pencemaran yang berasal dari kapal, antara lain air balas, minyak, atau sampah selama pelayaran. United Nations on the Law of the Sea (UNCLOS) mengatur mengenai perlindungan lingkungan laut di dalam Bagian XII. Terdapat enam sumber pencemaran terhadap lingkungan laut yang diatur di UNCLOS, yaitu aktivitas di daerah pantai, kegiatan pengeboran minyak di landas kontinen, penambangan di daerah seabed, pembuangan limbah ke laut (dumping), pencemaran yang berasal dari kapal, dan pencemaran dari lapisan atmosfir.18 Berdasarkan konsep ini, pembuangan air balas dapat dikategorikan sebagai pencemaran yang

17 United States Department of State, Bureau of Oceans and International Environmental and Scientific Affairs, “Limits in the Seas, No. 141, Indonesia: Archipelagic and other Maritime Claims and Boundaries”, dirilis 15 September 2014, hal. 6.

18 UNCLOS, “United Nations on the Law of the Sea”, 1833 UNTS 3, art. 194.

Page 82: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

75

berasal dari kapal.19 UNCLOS mengatur mengenai kewajiban bagi negara peserta untuk menjaga dan melindungi lingkungan laut20 dengan cara melakukan serangkaian tindakan yang bertujuan untuk mencegah dan mengontrol pencemaran lingkungan laut. Tindakan ini dapat dilakukan dengan cara bekerjasama dengan negara peserta lain.21Adapun negara memiliki kewajiban untuk membuat mekanisme hukum untuk menanggulangi pencemaran yang berasal dari kapal yang sesuai dengan standar internasional.22 Selain itu, berdasarkan mekanisme hukum ini negara peserta juga dapat memberlakukan hukumnya terhadap kapal-kapal yang terbukti telah mempengaruhi kerusakan lingkungan akibat bahan pencemar yang dikeluarkannya.23Namun, UNCLOS tidak mengatur mengenai standar implementasi kewajiban tersebut.24

Pada tahun 1973, IMO mengadopsi International Convention for the Prevention of Pollution from Ships (“Konvensi Marpol”).25 Akibat minimnya jumlah ratifikasi, dibuatlah protokol pada tahun 1978 yang melengkapi ketentuan di dalam Konvensi Marpol 1973. Konvensi ini mulai berlaku sejak 2 Oktober 1983 dengan terpenuhinya ketentuan ratifikasi yang membutuhkan minimal 15 negara yang mewakili persentase shipping tonnage di dunia sebanyak lima puluh persen.26 Hingga saat ini, telah ada 162 negara yang meratifikasi Konvensi Marpol beserta enam Annex lainnya yang bersifat teknis.27

19 Daniel Bodansky, “Protecting the Marine Environment from Vessel-Source Pollution: UNCLOS III and Beyond”, Ecology Law Quarterly Vol. 18 Issue 4, (1991), hal. 724-725.

20 UNCLOS, Op. Cit., art. 192. 21 Ibid., art. 194. 22 Ibid., art. 211 23 Ibid., art. 220. 24 Myron H. Nordquist, et al. (ed), “United Nations Convention on the

Law of the Sea, 1982: A Commentary, (1991), hal. 234. 25 Konvensi ini lebih dikenal dengan nama Marpol (Marine Pollution).

Terminologi Marpol akan digunakan selanjutnya di dalam pembahasan artikel ini.

26 Marpol 73/78 Convention, “International Convention for the Prevention of Pollution from Ships”, 1340 UNTS 61, art. 15.

27 Konvensi Marpol diamandemen pada tahun 1997 sedangkan Annex keenam mulai berlaku pada tahun 2005. [International Convention for the Prevention of Pollution from Ships (MARPOL), Sumber: http://www.imo.org/About/Conventions/ListOfConventions/Pages/International-Convention-for-the-Prevention-of-Pollution-from-Ships-(MARPOL).aspx, diakses pada 27 Mei 2015.

Page 83: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

76

Konvensi Marpol bertujuan melindungi lingkungan laut dengan cara mengeliminasi pencemaran akibat minyak dan bahan beracun lainnya serta mengurangi tumpahan bahan pencemar tersebut secara tidak sengaja.28 Konvensi ini mengatur mengenai tiga tipe umum sumber pencemaran yang berasal dari laut: (1) discharge standards, atau standar pembuangan, yang diatur dengan menentukan batas maksimal pembuangan minyak dan sampah yang diizinkan. Walaupun keluarnya bahan pencemar dari kapal dapat terjadi dengan tidak disengaja, namun pembuangan yang dimaksud ketentuan ini dilakukan dengan kesengajaan dalam suatu volume tertentu; (2) construction, design, equipment, and manning standards (CDEM standards), yang bertujuan untuk meningkatkan keamanan pelayaran untuk menghindari suatu kecelakaan yang menimbulkan pencemaran laut, memfasilitasi penerapan dan pengawasan standar pembuangan; (3) navigation standard, atau standar pelayaran, yang berkaitan dengan kegiatan pelayaran kapal. Seiring berjalannya waktu, standar pelayaran ini diimplementasikan dengan pembentukan traffic separation scheme, batas kecepatan, dan prosedur keselamatan umum.

Inisiatif pengaturan air balas secara internasional di dalam suatu konvensi tersendiri muncul setelah terjadi beberapa kasus pencemaran di berbagai negara di dunia. Sejak tahun 1993, telah terjadi diskusi di IMO untuk mencari cara dalam menghadapi akibat buruk ekologis air balas. Berbagai pedoman berhasil dibuat oleh IMO, yaitu Marine Environmental Protention Committee (MEPC) Resolution (50)31 (Guidelines for Preventing the Introduction of Unwanted Organism and Pathogens from ships’ Ballast Water and Sediment Discharges); IMO Assembly Resolution A. 774 (18) (Guidelines for Preventing the Introduction of Unwanted Organism and Pathogens from Ships’ Ballast Water and Sediment Discharges),29 dan IMO Resolution A. 868(20), (Guidelines for the Control and Management of Ships’ Ballast Water to Minimise the Transfer of Harmful Organism and Pathogens).30 Pedoman-

28 Marpol 73/78 Convention, art. 1. 29 IMO Assembly Resolution A. 774 (18), Guidelines for Preventing the

Introduction of Unwanted Organism and Pathogens from Ships’ Ballast Water and Sediment Discharges, 4 November 1993, Sumber: http://www.sjofartsverket.se/upload/5121/774.pdf, diakses 29 Mei 2015.

30 IMO Resolution A. 868(20), Guidelines for the Control and Management of Ships’ Ballast Water to Minimise the Transfer of Harmful Organism and Pathogens, 27 November 1997, Sumber:

Page 84: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

77

pedoman tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh masing-masing negara dengan pembuatan standar dan prosedur dalam kegiatan pengambilan dan pembuangan air balas di zona teritorial.31

Berbagai pedoman di atas dibuat dengan usulan kepada negara berdasarkan prinsip precautionary approach. Negara diminta untuk mengidentifikasi wilayah teritorial yang memiliki kemungkinan menjadi tempat pembuangan air balas, melakukan usaha untuk memastikan bahwa air balas yang dikeluarkan bersih dari IAS, dan menentukan bahwa pengambilan air balas tidak dilakukan di daerah dangkal.32 Upaya mitigasi ini lebih banyak dibebankan kepada port state dibandingkan dengan flag state. Selain itu, terdapat pihak lain yang terlibat, sebagaimana tercantum di dalam tujuan “to assist Governments and appropriate authorities, ship masters, operators and owners, and port authorities, as well as other interested parties, in minimizing the risk of introducing harmful aquatic organism and pathogens from ships’ ballast water and associated sediments while protecting ships safety.”33

Pedoman tersebut tidak mampu menanggulangi peningkatan IAS di berbagai daerah baru yang tercemar. Berbagai negara pun menerapkan berbagai standar yang berbeda yang berlaku di dalam teritorialnya. Hal ini yang memaksa kebutuhan adanya suatu tatanan hukum baru yang mengatur mengenai standar internasional di dalam sebuah perjanjian internasional.34 Pada tahun 1999, dibentuk the Ballast Water Working Group of MEPC yang memulai penulisan rancangan perjanjian internasional yang khusus mengatur mengenai air balas.35 Terdapat pemikiran untuk menyertakan pengaturan ini sebagai annex baru dari Konvensi Marpol, tetapi berkembang pendapat bahwa perubahan ekologis lautan akibat IAS memiliki perbedaan dalam hal

http://globallast.imo.org/wp-content/uploads/2015/01/ Resolution-A.868_20_english.pdf, diakses 29 Mei 2015.

31IMO Assembly Resolution A. 774 (18), guideline 4, par. 1; IMO Resolution A. 868(20), guideline 4 par. 3.

32 IMO Assembly Resolution A. 774 (18), guideline 6, par. 1. 33 IMO Resolution A. 868(20), guideline 4 par. 1. 34 Sarah McGee, “Proposals for Ballast Water Regulations: Biosecurity in

an Insecure World”, Colorado Journal of International Environmental Law and Policy Vol 141, (2012), hal. 153.

35 Tony George Puthucherril, “Ballast Waters and Aquatic Invasive Species: A Model for India”, Colorado Journal of International Environmental Law and Policy Vol 19, (2008), hal. 394.

Page 85: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

78

akibat serta mekanisme dan metode pencegah, mitigasi, dan penanganan dibandingkan dengan tumpahan minyak.36 Selain itu, penambahan pengaturan air balas sebagai annex akan mengakibatkan kurang kuatnya implementasi di dalam hukum nasional.37 Maka, pengaturan mengenai air balas ini dibuat di dalam rezim baru hukum internasional di dalam International Convention for the Control and Management of Ships’ Ballast Water and Sediments38 atau Konvensi Pengendalian dan Pengelolaan Air Balas dan Sedimen Kapal (“Konvensi Air Balas”).

Konvensi Air Balas terdiri dari 22 pasal yang mengatur mengenai kewajiban flag states dan port states. Konvensi ini memiliki lima annex. Bagian A mengatur mengenai aturan umum (general provisions) yang menjelaskan berbagai terminologi yang digunakan di dalam konvensi. Bagian B mengatur mengenai ketentuan pengelolaan dan kontrol terhadap kapal. Setiap kapal diwajibkan untuk menerapkan konsep pengelolaan air balas. Konsep tersebut harus disetujui oleh pihak yang berwenang dan berisikan hal-hal minimum yang telah diatur oleh Konvensi Air Balas.39 Bagian C mengatur beberapa wilayah dengan aturan khusus. Hal ini berhubungan dengan ketentuan khusus yang harus dipenuhi oleh kapal untuk memenuhi persyaratan yang diatur oleh beberapa negara secara khusus. Persyaratan yang ditentukan oleh negara ini bersifat tambahan dan harus dikomunikasikan kepada IMO paling lambat 6 bulan sebelum penetapan aturan tersebut secara sah.40 Selain itu, negara yang akan memberlakukan peraturan tambahan harus berkonsultasi dengan negara lain yang akan terkena dampak serta menyesuaikan dengan ketentuan hukum internasional. Negara juga memiliki kewajiban untuk memberi notifikasi apabila perairan di suatu area tidak dapat menjadi tempat kegiatan pembuangan dan pengambilan air balas.41 Bagian D mengatur standar pengelolaan air balas, sedangkan Bagian E mengatur ketentuan tentang survei dan sertifikasi pengelolaan air balas. Di luar annex, konvensi ini memiliki 17 pedoman lain yang

36 Hellen Foncesa de Souza Rolim, The International Law on Ballast Water: Preventing Biopollution, (Leiden, Boston: Martinus Nijhoff Publishers, 2008), hal. 53.

37 Moira McConnell, GloBallast Legislative Review: Final Report GloBallast Monograph, Series No. 1, (London:IMO, 2002), hal. 32.

38 Selanjutnya akan disebut dengan BWM Convention. 39 BWM Convention, Section B, Regulation B-1. 40 Ibid, Section C, Regulation C-1. 41 Ibid,Section C, Regulation C-2.

Page 86: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

79

tidak bersifat mengikat namun memberikan pedoman teknis mengenai implementasi Konvensi Air Balas.

Berdasarkan ketentuan di dalam Konvensi Air Balas, sebuah kapal harus membuang atau mengambil air balas paling tidak 200 mil laut dari pulau terdekat dan di perairan dengan kedalaman paling sedikit 200 meter. Jika hal ini tidak memungkinkan, praktik ini dilakukan sejauh-jauhnya dari pulau tedekat atau paling sedikit sejauh 50 mil laut dari pulau terdekat dengan kedalaman perairan yang sama.42 Port states juga diberikan kewenangan untuk menentukan area khusus untuk kegiatan pengambilan atau pembuangan air balas dengan konsultasi dan kesepakatan dengan negara tetangga.43 Ketentuan yang terdapat di dalam Bagian B ini berkaitan dengan Bagian D karena kapal dengan mekanisme air balas diwajibkan untuk mempraktikkan pembuangan atau pengambilan air balas dengan prinsip efisiensi, yaitu paling tidak memenuhi 95% volume tangki.44 Selain itu, kapal wajib memastikan bahwa dalam satu meter kubik air balas yang dikeluarkan terkandung kurang dari sepuluh organisme hidup dan tidak melebihi indikator mikrobakteria yang ditentukan.45 Kapal juga wajib memenuhi standar teknologi pengolahan air balas dengan peninjauan dari IMO.46

Hingga saat ini, Konvensi Air Balas telah memiliki 44 negara anggota yang mewakili 34,86% gross ton pelayaran dunia.47 Hal ini belum memenuhi ketentuan ratifikasi untuk membuat Konvensi Air Balas menjadi berlaku karena ketentuan ratifikasi mensyaratkan negara peserta mewakili sekurang-kurangnya 35% gross ton pelayaran dunia.48 Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa justru negara-negara yang

42 Ibid, Section B, Regulation B-4. 43 Ibid. 44 BWM Convention, Section D, Regulation D-1. 45Ibid,Section D, Regulation D-2. 46Ibid,Section D, Regulation D-4.-4 47IMO, “Status of multilateral Conventions and instruments in respect of

which the International maritime organization or its Secretary-General performs depositary or other functions”, 18 May 2015.

48 “This Convention shall enter into force twelve months after the date on which not less than thirty States, the combined merchant fleets of which constitute not less than thirty-five percent of the gross tonnage of the world’s merchant shipping, have either signed it without reservation as to ratification, acceptance, or approval, or have deposited the requisite instrument of ratification, acceptance, approval or accession […]” Lih: BWM Convention, art. 18 par. 1.

Page 87: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

80

mendominasi pelayaran dunia, seperti Panama, Singapura, Finlandia, dan Amerika Serikat, tidak meratifikasi Konvensi Air Balas.

3. Praktik di Kanada dan Malaysia

Penulis melakukan studi perbandingan dengan Kanada dan Malaysia dalam hal penerapan ketentuan pengelolaan air balas sesuai dengan Konvensi Air Balas di tingkat nasional. Kedua negara tersebut adalah negara anggota konvensi ini dan menjadi negara dengan praktik terdepan di tingkat regional.

Kanada menjadi negara anggota Konvensi Air Balas pada tanggal 8 April 2010. Namun, Kanada telah memulai untuk mengembangkan konsep ini sejak tahun 1980-an. Pada tahun 1989 Kanada mempublikasikan sebuah pedoman terkait pengelolaan air balas berdasarkan studi di Grande Entrée Lagoon, Magdalen Islands. Pedoman ini mensyaratkan kapal yang masuk ke daerah perairan St. Lawrence River dan Great Lakes dari luar zona ekonomi eksklusif Kanada untuk melakukan pembuangan air balas dan kemudian mengambil kembali di tengah samudera atau di zona tertentu yang telah ditentukan berdasarkan kedalaman dan tingkat salinitas.49Hal ini didukung pembuatan peraturan serupa oleh Amerika Serikat pada tahun 1993 karena wilayah Great Lakes berada di kedua negara.50 Sejak saat itu, pengaturan air balas di wilayah Great Lakes dan St. Lawrence merupakan pengaturan yang paling ketat di dunia.51 Pedoman ini menjadi sumber pembuatan pedoman oleh IMO.52

Pedoman yang dibuat Kanada ini dibuat ke dalam suatu undang-undang pada tahun 2006 dengan nama Ballast Water Control and Management Regulations (selanjutnya disebut dengan Canada Ballast

49 Transport Canada, “Discussion Paper: Canadian Implementation of the Ballast Water Convention”, 26 Oktober 2012, hal. 5.

50 United States Ballast Water Regulations, http://el.erdc.usace.army.mil/zebra/zmis/zmishelp/united_states_ballast_

water_regulations.htm, diakses 1 Juni 2015. 51 The Great Lakes Seaway Ballast Water Working Group, “2013

Summary of Great Lakes Seaway Ballast Water Working Group February 2014”, hal. 2.

52 Transport Canada, op. cit.

Page 88: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

81

Water Regulation)53 sebagaimana diamanatkan oleh Canada Shipping Act.54 Undang-Undang ini mewajibkan setiap kapal berbendera Kanada serta semua kapal yang akan masuk ke dalam yurisdiksi Kanada untuk melakukan proses pengelolaan air sebagai berikut,

“Ballast water is managed if one or more of the following management processes are employed: (a) the ballast water is exchanged; (b) the ballast water is treated; (c) the ballast water or any sediment that has settled out of it in the vessel’s tanks is transferred to a reception facility; and 9d) the ballast water is retained on board the vessel.”55

Canada Ballast Water Regulation ini mengatur hal yang tidak berbeda dengan Konvensi Air Balas. Konvensi tersebut juga mengatur bahwa ketentuan tentang sistem air balas tidak berlaku bagi kapal yang hanya beroprasi di dalam wilayah teritorial Kanada. Kanada membedakan pengaturan bagi kapal-kapal domestik tersebut dengan pertimbangan ilmiah dari Fisheries and Oceans Canada sebagai otoritas pemerintah yang memiliki lingkup kewenangan untuk mengatur kegiatan perikanan domestik.56

Undang-undang ini juga mengatur mengenai 95% total volume air balas yang dibuang atau diambil57 serta pembahasan kandungan organisme yang terdapat di dalam air balas setelah diolah dan siap dibuang.58 Selain itu, kapal diwajibkan untuk membawa rencana pengelolaan air balas ketika berlayar.59 Dalam rencana pengelolaan ini, terdapat deskripsi tentang proses pengelolaan air balas, prosedur awak kapal dalam pengelolaan air balas, prosedur keselamatan awak kapal, prosedur pembuangan endapan hasil pencucian secara rutin tank air balas, prosedur koordinasi dengan pihak otoritas Kanada, spesifikasi

53Canada, Ballast Water Control and Management Regulations, 2006, SOR/2011-237.

54Canada, Canada Shipping Act, 2001, S.C. 20001, c. 26. 55Canada, Ballast Water Control ad Management Regulations, Pasal 4

ayat (1). 56 Transport Canada, loc. cit., hal. 7. 57 Canada, Ballast Water Control and Management Regulations, Pasal 8. 58 Ibid, Pasal 9. 59 Ibid,Pasal 11 ayat (1).

Page 89: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

82

sistem air balas masing-masing kapal, serta prosedur koordinasi dengan otoritas Kanada yang telah ditempuh.60

Pada tahun 2013, semua kapal yang masuk ke daerah Great Lakes dari luar zona ekonomi eksklusif Kanada menempuh pemeriksaan pengelolaan air balas pada saat kapal tersebut transit. Jumlah kapal yang diinspeksi mencapai 6803 tank air balas dari 371 kapal. Kapal yang tidak mengikuti prosedur yang telah diatur Canada Ballast Water Regulation diharuskan untuk tetap membawa air balas dan residunya karena tidak diperbolehkan untuk mengganti di daerah Great Lakes, mengolah air balas di wilayah lain yang aman bagi lingkungan, atau kembali ke laut untuk melakukan pembuangan dan kembali dengan air balas yang diambil dari wilayah 200 mil dari garis pantai Kanada. Proses verifikasi ini membuktikan bahwa tidak air balas yang dibuang di daerah Great Lakes yang tidak memenuhi prosedur. Di tahun itu, semua kapal yang masuk ke Great Lakes Seaway tidak dilengkapi dengan sistem pengelolaan air balas.61 Namun, sistem inspeksi dan verifikasi ini terbukti efektif karena berhasil mencegah masuknya IAS ke dalam ekosistem Great Lakes sejak tahun 2006.62

Malaysia meratifikasi Konvensi Air Balas pada tanggal 27 September 2010 dan menjadi negara anggota pertama, dan satu-satunya hingga saat ini, di Asia Tenggara. Di dalam instrumen ratifikasinya, Malaysia menyatakan bahwa ketentuan Konvensi Air Balas baru berlaku secara efektif di Malaysia pada tahun 2011.63 Namun, Pemerintah Malaysia menunda implementasi Konvensi Air Balas hingga waktu yang tidak ditentukan.64 Selain itu, Malaysia tidak memiliki undang-undang khusus tentang manajamen air balas sebagaimana Kanada.

Pada tanggal 15 Maret 2012, Jabatan Laut Malaysia sebagai otoritas yang berwenang mengeluarkan notifikasi kepada pemilik kapal, agen perkapalan, nakhkoda, pelaut, operator pelabuhan, dan pengusaha di

60 Ibid,Pasal 11(2). 61 The Great Lakes Seaway Ballast Water Working Group, loc. Cit. 62 S.A. Bailey, et.al., “Evaluating Efficacy Of An Environmental Policy to

Prevent Biological Invasions”, Environmental Science and Technology Vol. 45, (2011), 2554-2561.

63 Malaysia, Implementation of Internaitonal Convention for the Control and Mangement of Ships’ Ballast Water and Sediments, 2004 (BWM Convention), MSN 28/2011.

64 Jabatan Laut Malaysia, Installation of Ballast Water Treatment System, MSN 04/2012, angka 2.

Page 90: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

83

bidang kepelabuhanan dan industri maritim untuk menyesuaikan dengan instalasi sistem pengelolaan air balas. Kapal yang mulai dibuat setelah 1 Juni 2012 dengan kapasitas air balas sebesar 5000 meter kubik harus melaksanakan Regulasi D-2 Konvensi Air Balas, yaitu ketentuan batas mikroorganisme yang terkandung di dalam air balas yang akan dibuang.65 Hal ini berlaku bagi kapal yang berasal dari luar zona ekonomi eksklusif Malaysia yang akan memasuki pelabuhan Malaysia.66 Ketentuan ini tetap berlaku meskipun pelaksanaan Konvensi Air Balas belum berlaku efektif di Malaysia.

4. Praktik di Indonesia

Indonesia belum meratifikasi Konvensi Air Balas meskipun merupakan salah satu negara yang diproyeksikan sebagai negara anggota Konvensi Air Balas. Hal ini disebabkan kegiatan pelayaran di Indonesia yang cukup sibuk, memenuhi persentase 4,15% yang disyaratkan oleh Konvensi Air Balas.67 Indonesia dikabarkan telah menunjukkan kemauan yang kuat untuk meratifikasi Konvensi Air Balas.68

Dengan lalu lintas kapal yang padat di Selat Malaka, perairan Indonesia ditengarai rawan terhadap pencemaran yang disebabkan air balas.69 Meskipun hampir semua wilayah perairan Indonesia dilewati kapal-kapal sebagai konsekuensi sebuah negara kepulauan, tingkat pelanggaran di dalam aktivitas pembuangan air balas di wilayah jalur

65 Ibid. angka 1. 66 Installation of Ballast Water management System for the Ships Calling

at Malysian Ports, http://www.ombros-consulting.com/?p=1164, diakses tanggal 1 Juni 2015.

67 DM King, et.al, loc. cit., hal. 6. 68 More Countries Get Behind Ballast Water Convention, Sumber:

http://www.tradewindsnews.com/weekly/347257/More-countries-get-behind-ballast-water-convention, diakses 1 Juni 2015.

69 Pencemaran Air Ballast Ancam Perairan Batam, http://kepri.antaranews.com/berita/28809/pencemaran-air-ballast-ancam-perairan-batam, diakses 1 Juni 2015.

Page 91: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

84

pelayaran Samudera Hindia yang juga melewati Indonesia dikategorikan rendah.70

Walaupun Indonesia belum meratifikasi Konvensi Air Balas namun pengaturan tentang pengelolaan sistem air balas telah diatur didalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 29 Tahun 2014 tentang Pencegahan Pencemaran Lingkungan Maritim (selanjutnya disebut “PM 29/2014”). Patut digarisbawahi bahwa tujuan diberlakukannya peraturan ini mengacu pada tujuan Konvensi Marpol, yaitu mencegah pencemaran laut akibat tumpahan minyak.71 Padahal, Konvensi Air Balas bertujuan untuk mencegah pencemaran laut akibat IAS yang memerlukan mekanisme berbeda di dalam pengaturannya.

PM 29/2014 mengatur mengenai pengelolaan air balas hanya dalam 3 pasal yaitu pasal 48, pasal 49, dan pasal 50. Namun, di dalam pasal lainnya peraturan ini juga mengatur bahwa kapal tangki minyak ukuran 100 GT sampai dengan 149 GT wajib membawa oil record book yang mencatat berbagai kegiatan, salah satunya adalah pengisian air balas, pembuangan balas kotor, serta pengisian dan pembuangan tangki balas pada tangki muatan dan pada tangki balas bersih.72 Sedangkan untuk kapal yang difungsikan mengangkut muatan bahan cair beracun secara curah wajib menyediakan cargo record book untuk mencatat aktivitas yang sama.73 Selain itu diatur juga mengenai pembuangan kotoran (sewage) yang harus dilakukan pada jarak minimal 12 mil, atau 3 mil apabila sewage telah melalui alat pengolah atau alat penghancur kotoran, dari garis pantai terdekat.74

Pasal 48 PM 29/2014 menyatakan bahwa setiap kapal dengan ukuran 400 GT atau lebih yang membawa air balas dan berlayar di perairan internasional wajib memenuhi ketentuan Konvensi Air Balas. Hal ini menegaskan bahwa ketentuan Konvensi Air Balas tidak berlaku di dalam wilayah teritorial Indonesia.Terlebih di dalam Pasal 48 ayat 2

70 A.W. Miller, et. al, Status and Trends of Ballast Water Mangement in the United States, Third Biennal Report of the national Ballast Information Clearinghouse, Submitted to the United States Coast Guard, 2007, hal. 18.

71 Indonesia, PM 29 Tahun 2014, Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia tentang Pencegahan Pencemaran Lingkungan Maritim, Berita Negara Nomor 1115 Tahun 2014, Pasal 1 ayat (2).

72 Ibid, Pasal 10 huruf h. 73 Ibid, Pasal 17(a). 74 Ibid, Pasal 27.

Page 92: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

85

PM 29/2014 dinyatakan bahwa peraturan ini harus dipenuhi oleh kapal yang membawa air balas dengan kapasitas 1500 meter kubik atau lebih yang berlayar di perairan Indonesia.

PM 29/2014 mewajibkan kapal yang diatur di dalam Pasal 48 ayat (2) tersebut untuk membawa ballast water record book dan rencana pengelolaan air balas yang disahkan pejabat yang berwenang. Selain itu, kapal dengan kapasitas air balas 1500 meter kubik hingga 5000 meter kubik atau lebih diwajibkan untuk menerapkan pengelolaan air balas. Pertukaran air balas yang diperbolehkan adalah hingga 95% volume balas dengan jarak minimal pembuangan 25 mil laut dari daratan terdekat.75

Proses pengolahan air balas diwajibkan bagi kapal yang tidak membuang air balas pada jarak yang telah ditentukan di atas. Selain itu, diatur pula jumlah maksimum kandungn organisme dengan ukuran dan ketentuan yang sama sebagaimana diatur di dalam Konvensi Air Balas.76 PM 29/2014 juga mengatur klasifikasi kapal yang dibebaskan dari ketentuan pengelolaan air balas, yaitu kapal yang hanya beroperasi di area pelabuhan atau hanya berlayar tidak lebih dari 50 mil serta kapal yang digunakan sebagai unit penampungan terapung yang tidak berpindah.77

Meskipun tidak komprehensif, ketentuan yang telah diatur di Indonesia mengenai pengelolaan air balas telah mengindikasikan adanya perhatian terhadap upaya pencegahan masuknya IAS ke dalam perairan Indonesia. Selain itu, dengan pendekatan untuk memasukkan ruang lingkup pengaturan pengelolaan air balas ke dalam konsep pencegahan pencemaran laut oleh minyak tidak serta-merta membuat usaha pencegahan tersebut menjadi kurang efektif dengan berbagai pertimbangan berdasarkan segi kesiapan teknis.

5. Potensi Ratifikasi Konvesi Air Balas oleh Indonesia

Fakta bahwa beberapa bagian perairan Indonesia digunakan sebagai jalur pelayaran internasional dapat menjadi suatu ancaman

75 Ibid, Pasal 49. 76 Ketentuan ini sama dengan Regulation D BWM Convention. 77 Indonesia, PM 29 Tahun 2014, loc. cit.,Pasal 50.

Page 93: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

86

terjadinya pencemaran lingkungan akibat IAS. Adapun daerah pelayaran Indonesia yang sibuk terjadi di sekitar Selat Malaka dan daerah Alur Laut Kepulauan Indonesia (“ALKI”) I yang mencakup alur pelayaran dari Laut Tiongkok Selatan ke Samudera Hindia atau sebaliknya, melintasi Laut Natuna, Selat Karimata, Laut Jawa, dan Selat Sunda.78 Hingga saat ini, belum terdapat laporan yang menyatakan adanya pencemaran akibat IAS di perairan Indonesia. Namun, berdasarkan prinsip precautionary principle, maka Indonesia perlu menyadari kepentingannya untuk melindungi wilayah laut dengan meratifikasi Konvensi Air Balas.

Hal yang perlu diantisipasi lebih jauh adalah kesiapan Indonesia untuk menyesuaikan dengan ketentuan Konvensi Air Balas apabila konvensi ini memenuhi syarat ratifikasinya. Hal ini merupakan konsekuensi dari perumusan Pasal 211 ayat (2) UNCLOS yang berbunyi sebagai berikut.

“States shall adopt laws and regulations for the prevention, reduction and control of pollution of the marine environment from vessels flying their flag or of their registry. Such laws and regulations shall at least have the same effect as that of generally accepted international rules and standards established through the competent international organization or general diplomatic conference.”79

Indonesia perlu membuat pengaturan yang lebih spesifik mengenai visi pencegahan IAS berkembang biak dan mencemari wilayah perairan Indonesia. Perlu disadari bahwa PM 29/2014 memberikan kesan bahwa penyebab pencemaran air laut adalah akibat pencemaran minyak. Maka dari itu, adanya pengaturan yang terpisah dengan PM 29/2014 diperlukan untuk memberikan perhatian khusus mengenai ancaman kerusakan ekosistem akibat berubahnya sistem rantai makanan akibat invasive alien species.

Pembuatan tatanan baru peraturan mengenai pencegahan dampak air balas ini dapat dimulai dengan meratifikasi Konvensi Air Balas.

78 Indonesia, PP Nomor 37 Tahun 2002, Peraturan Pemerintah tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan Melalui Alur Laut Kepulauan yang Ditetapkan, LN No 71 Tahun 2002, TLN No. 4210.

79 UNCLOS, art.211 (2).

Page 94: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

87

Dengan menunjukkan keinginannya untuk terikat dengan pengaturan di dalam konvensi tersebut, Indonesia dapat dengan leluasa untuk mengadopsi ketentuan di dalam Konvensi Air Balas. Pengaturan yang terdapat di dalam konvensi ini sangat bersifat teknis, sehingga norma pengaturan yang dibutuhkan cukup setingkat peraturan menteri.

Peraturan baru ini perlu mengatur secara berbeda kapal berbendera Indonesia dan berbendera asing. Perlu juga diatur mengenai pembuangan air balas yang dilakukan kapal berbendera Indonesia karena terdapat kemungkinan kapal-kapal dalam negeri mengancam lingkungan maritim dengan adanya kekosongan hukum ini.

Selain itu, hal yang juga luput untuk diatur di dalam pengaturan mengenai pencegahan pencemaran lingkungan laut adalah tidak menyertakan Kementerian Lingkungan Hidup sebagai pihak yang terlibat dalam sistem koordinasinya. Dengan mengambil contoh pengaturan di dalam PM 29/2014, hanya Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Dirjen Hubla) Kementerian Perhubungan yang mendapatkan otoritas untuk melaksanakan fungsi pengawasan teknis terhadap pelaksanaan peraturan. Hal ini sebenarnya sesuai dengan misi Dirjen Hubla untuk menyelenggarakan perlindungan lingkungan maritim di perairan nusantara.80 Peran Kementerian Lingkungan Hidup akan sangat dibutuhkan apabila Indonesia ingin mengatur perlindungan lingkungan maritime secara komprehensif, termasuk upaya mitigasi pencemaran akibat pertukaran air balas jika diindikasikan telah terjadi.

6. Kesimpulan

Dalam sepuluh tahun sejak diadopsinya Konvensi Air Balas, konvensi ini belum juga berlaku karena belum memenuhi jumlah minimal ratifikasi negara di dunia. Mengingat bahwa ancaman mengenai IAS ini nyata dan sudah terjadi, maka perlu adanya perhatian khusus dari negara-negara lain yang berpotensi mengalami pencemaran, salah satunya Indonesia.

80 Sumber: http://hubla.dephub.go.id/profil/Pages/Visi-Misi.aspx, diakses pada tanggal 25 Juli 2015.

Page 95: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

88

PM 29/2014 bisa menjadi langkah awal untuk menanggapi kebutuhan sebuah negara dalam melindungi lingkungan maritimnya. Hal yang luput untuk untuk diatur adalah bagaimana pembedaan pengaturan mengenai pengelolaan air balas bagi kapal yang berbendera Indonesia dan kapal asing. Tidak dinyatakan dengan jelas mengenai kewajiban yang harus dipenuhi bagi kapal berbendera Indonesia, padahal kapal-kapal dalam negeri juga mungkin mengancam lingkungan maritim dengan adanya kekosongan hukum ini.

Jika Konvensi Air Balas berlaku di masa mendatang, negara-negara di dunia akan memiliki kewajiban untuk meyesuaikan hukumnya dengan ketentuan Konvensi Air Balas. Hal ini disebabkan oleh berlakunya Konvensi Air Balas menandakan bahwa konvensi ini memenuhi syarat generally accepted international rules and standards. Hal ini yang harus diantisipasi oleh Indonesia dengan merumuskan ketentuan yang mengakomodasi kepentingn nasional. Selama tidak meratifikasi konvensi, maka ketentuan yang dibuat Indonesia tidak harus mengikuti standar yang diatur Konvensi Air Balas.

Bagaimanapun juga, keberhasilan Konvensi Air Balas ditentukan semata-mata oleh kemampuan para pemilik kapal untuk menyesuaikan dengan ketentuan yang telah diatur. Selain itu, hal yang akan menjadi perhatian lebih lanjut adalah bagaimana proses pengawasan dan pendeteksian ketidaksesuaian ketentuan sistem pengelolaan air balas. Perlu ada diskusi lebih jauh mengenai kemungkinan revisi ketentuan di dalam konvensi serta adanya asistensi finansial bagi negara dan bagi perusahaan kapal jika ingin menjadi aggota dari Konvensi Air Balas.

Daftar Pustaka

Bailey, S.A. et.al.“Evaluating Efficacy Of An Environmental Policy to Prevent Biological Invasions”, Environmental Science and Technology Vol. 45. (2011).

Ballast Water Treatment Market Remains Buoyant, http://www.waterworld.com/articles/wwi/print/volume-25/issue-1/regulars/creative-finance/ballast-water-treatment-market-remains-buoyant.html, diakses 1 Juni 2015.

Ballast Water, http://www.epa.vic.gov.au/your-environment/water/ballast-water, diakses pada 20 Mei 2015.

Page 96: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

89

Barry, Simon C., et. al., “Ballast Water Risk Assessment: Principles, Processes, and Methods.” ICES Journal of Marine Science 65, (2008).

Bodansky, Daniel. “Protecting the Marine Environment from Vessel-Source Pollution: UNCLOS III and Beyond” Ecology Law Quarterly Vol. 18 Issue 4. (1991).

Bohlman, Michael. “ISO’s container standards are nothing but good news”, ISO Bulletin. 2001.

Bright, C. Life Out of Bounds: Bioinvasion in a Borderless World. Worldwatch Environmental Alert Series, New York. NY: Norton. 1998.

Bullard, S.G. et al. “Abundance and Diversity of Ascidians in the Southern Gulf of Chiriquí, Pacific Panama”Aquatic Invasions Vol 6 No. 4.(2011).

Canada. Ballast Water Control and Management Regulations (2006)

Canada. Canada Shipping Act (2001)

Gollasch, S, et al. “Life in Ballast Tanks” di dalam Invasive Aquatic Species of Europe: Distribution, Impacts and Management, ed. E. Leppakoski, et al. Dordecht: Kluwer Academic Publishers. 2002.

Ibrahim, A.M. dan M.A. El-naggar, “Ballast water Review: Impacts, Treatments, and Management”, Middle-East Journal of Scientific Research Vol 12 No. 17. (2012).

IMO Assembly Resolution A. 774 (18), Guidelines for Preventing the Introduction of Unwanted Organism and Pathogens from Ships’ Ballast Water and Sediment Discharges, 4 November 1993, http://www.sjofartsverket.se/upload/5121/774.pdf, diakses 29 Mei 2015.

IMO Assembly Resolution A. 774 (18). (1993)

IMO Resolution A. 868(20), Guidelines for the Control and Management of Ships’ Ballast Water to Minimise the Transfer of Harmful Organism and Pathogens, 27 November 1997, http://globallast.imo.org/wp-content/uploads/2015/01/ Resolution-A.868_20_english.pdf, diakses 29 Mei 2015.

Indonesia, PM 29 Tahun 2014, Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia tentang Pencegahan Pencemaran Lingkungan Maritim, Berita Negara Nomor 1115 Tahun 2014.

Page 97: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

90

Installation of Ballast Water management System for the Ships Calling at Malaysian Ports, http://www.ombros-consulting.com/?p=1164, diakses tanggal 1 Juni 2015.

International Convention for the Prevention of Pollution from Ships (MARPOL)

International Maritime Organization.“International Convention for the Control and Management of Ships’ Ballast Water and Sediments.” (2004).

International Maritime Organization.“International Convention for the Prevention of Pollution from Ships.” (1973)

International Maritime Organization.Status Of Multilateral Conventions And Instruments In Respect Of Which The International Maritime Organization Or Its Secretary-General Performs Depositary Or Other Functions. 2015.

King, DM, et.al. “Preview of Global Ballast Water Treatment” Journal of Marine Engineering and Technology Vol 11. (2012).

Malaysia. Implementation of International Convention for the Control and Management of Ships’ Ballast Water and Sediments, 2004 (BWM Convention) (2011)

Malaysia. Installation of Ballast Water Treatment System (2012)

Marsden, J. Ellen. Zebra Mussel Study on Lake Michigan, Annual Report to Illinois Department of Conservation”, Illinois Natural History Survey, Center for Aquatic Ecology. 1992.

McConnell, Moira. GloBallast Legislative Review: Final Report GloBallast Monograph, Series No. 1. London: IMO. 2002.

McGee, Sarah. “Proposals for Ballast Water Regulations: Biosecurity in an Insecure World”, Colorado Journal of International Environmental Law and Policy Vol 141. (2012).

Miller, A. Whitman, et.al. “Geographic Limitations and Regional Differences in Ships’ Ballast Water Management to Reduce Marine Invasions in the Contiguous United States” BioScience vol. 61. (2011).

Miller, A.W. et. Al. Status and Trends of Ballast Water Management in the United States, Third Biennal Report of the national Ballast

Page 98: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

91

Information Clearinghouse, Submitted to the United States Coast Guard. 2007.

More Countries get behind ballast water convention, http://www.tradewindsnews.com/weekly/347257/More-countries-get-behind-ballast-water-convention, diakses 1 Juni 2015.

MPA: at the Helm of New Waves, Port View Singapore, 2Q/2014, https://www.singaporepsa.com/images/PortView/2014%20PortViewQ2/HTML/files/assets/common/downloads/publication.pdf, diakses 22 Mei 2015.

Nordquist, Myron H., et al. Ed. United Nations Convention on the Law of the Sea, 1982: A Commentary. 1991.

Ostenfeld, C.H. “On the Immigration of Bidulphia sinensis Grev. and its Occurrence in the North Sea during 1903-1907” Meddelelser fra Kommissionen fo Havundersogelser, Plankton Vol 1 No. 6. (1908).

Pencemaran Air Ballast Ancam Perairan Batam, http://kepri.antaranews.com/berita/28809/pencemaran-air-ballast-ancam-perairan-batam, diakses 1 Juni 2015.

Puthucherril, Tony George. “Ballast Waters and Aquatic Invasive Species: A Model for India” Colorado Journal of International Environmental Law and Policy Vol 19, (2008).

Ray, G.C. dan J. McCormick-Ray, Coastal Marine Conservation: Science and Policy. UK: Blackwell. 2004.

Rolim, Hellen Foncesa de Souza. The International Law on Ballast Water: Preventing Biopollution. Leiden, Boston: Martinus Nijhoff Publishers. 2008.

Sea Ballast and Zebra Mussels (Ballast), http://www1.american.edu/ted/ballast.htm, diakses 22 Mei 2015.

Sinking Under A Big Green Wave, Sumber: http://www.economist.com/ news/business/21574517-shipowners-face-onslaught-new-environmental-laws-sinking-under-big-green-wave, diakses 1 Juni 2015.

The Great Lakes Seaway Ballast Water Working Group.2013 Summary of Great Lakes Seaway Ballast Water Working Group. 2014.

Transport Canada. Discussion Paper: Canadian Implementation of the Ballast Water Convention. 2012.

Page 99: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

92

United Nations General Assembly. “United Nations on the Law of the Sea.” (1982)

United States Ballast Water Regulations,

http://el.erdc.usace.army.mil/zebra/zmis/zmishelp/united_states_ballast_water_regulations.htm, diakses 1 Juni 2015.

http://www.imo.org/About/Conventions/ListOfConventions/Pages/International-Convention-for-the-Prevention-of-Pollution-from-Ships-(MARPOL).aspx, diakses 27 Mei 2015.

Page 100: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

U L A S A N

UNDANG-UNDANG NO. 32 TAHUN 2014 TENTANG KELAUTAN

“PENEGAKAN HUKUM DI LAUT: PELUANG DAN TANTANGAN”

Margaretha Quina dan Henri Subagiyo

Di penghujung masa jabatannya, Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono mengesahkan UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. UU ini

disambut momen yang tepat dengan prioritas agenda politik Presiden RI

selanjutnya, Joko Widodo, yang berambisi kembali membangun Indonesia

sebagai negara maritim.

UU ini, yang muncul sebagai inisiatif DPD dan membutuhkan waktu

dua tahun pembahasan di DPR, sepertinya oleh penyusunnya difungsikan

sebagai undang-undang "payung" atau umum bagi beberapa undang-

undang sektoral yang berkaitan dengan laut. Dalam bagian Penjelasan UU

Kelautan, penyusun UU menyatakan kendala pembangunan kelautan di

Indonesia disebabkan tiadanya UU yang secara komprehensif mengatur

keterpaduan berbagai kepentingan sektor di wilayah laut.1 UU ini

dimaksudkan sebagai payung hukum yang terintegrasi dan komprehensif

dalam hal pemanfaatan laut. Dengan kata lain, secara politik hukum

keberadaan UU ini telah menunjukkan pandangan negara yang melihat laut

sebagai aset strategis dalam mencapai tujuan pembangunan nasional.

Beberapa UU terkait yang dinaungi UU ini melalui banyak ketentuan

teknis yang dirujuknyaantara lain: UU No. 31 Tahun 2004 tentang

Margaretha Quina merupakan Peneliti di Indonesian Center for Environmental Law

(ICEL), sedangkan Henri Subagiyo merupakan Direktur Eksekutif ICEL. 1 Penjelasan Umum, UU Kelautan. Lih: Undang-Undang Kelautan, UU No. 32

Tahun 2014, Lembaran Negara No. 294 Tahun 2014, Tambahan Lembaran Negara No. 5603.

Page 101: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

94

Perikanan, sebagaimana diubah dengan UU No. 45 Tahun 2009 (“UU

Perikanan”); UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan

Pulau-pulau Kecil (“UU PWP2K”); UU No. 17 Tahun 2008 tentang

Pelayaran (“UU Pelayaran”); UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya (“UU Konservasi”); UU No. 32

Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Beberapa UU ini, sekalipun disahkan terlebih dahulu, namun merupakan

lex specialis, yang jika ada ketentuan yang bertentangan akan menundukkan

diri pada UU Kelautan yang merupakan legi generali. Patut diingat UU No.

32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

(“UU PPLH”) yang juga merupakan legi generali, bertalian erat dengan UU

ini, utamanya dalam hal keberlanjutan lingkungan laut. Hal lainnya bisa

juga kita lihat dari banyaknya ketentuan dalam UU Kelautan yang merujuk

pada UU lainnya, misalnya dengan rumusan seperti Pasal 21 Ayat (2) yang

menyatakan: "Pengaturan pemanfaatan sumber daya mineral sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-

undangan dan hukum internasional."

Selain hubungannya dengan UU sektoral, UU ini mencabut UU No. 6

Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (“UU Perairan Indonesia”), serta

mengganti Badan Koordinasi Keamanan Laut (“Bakorkamla”) menjadi

Badan Keamanan Laut (“Bakamla”).

Setidaknya ada dua isu besar yang selama ini muncul terkait dengan

kelautan. Pertama, tentang pengelolaan laut mulai dari kebijakan

perencanaan hingga pemanfaatan sumber daya laut. Kedua, tentang

pengawasan dan penegakan hukum di laut. Kedua isu tersebut patut kita

cermati dan sudah selayaknya harus mampu dijawab, baik secara normatif

dalam ketentuan UU dan aturan pelaksananya maupun pada tataran

empiris pelaksanaannya. Fokus tulisan ini adalah pada isu kedua, yaitu

terkait dengan penegakan hukum. Tanpa bermaksud mengesampingkan

isu pengelolaan, penegakan hukum merupakan pilar terakhir dalam

menjaga kedaulatan dan memastikan agar sumber daya laut dapat dikelola

secara berkelanjutan untuk tujuan pembangunan nasional. Meskipun

demikian, kita perlu garis bawahi bahwa penegakan hukum tidak dapat

berjalan dengan efektif jika masih banyak kelemahan pada aspek

pengelolaan.

Page 102: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

ULASAN UNDANG-UNDANG

95

Sudahkah UU Kelautan Menjawab Tantangan Penegakan Hukum di

Laut?

Persoalan penegakan hukum di laut selama ini merupakan persoalan

kelembagaan yang terkait dengan tumpang tindih kewenangan dan

lemahnya koordinasi antar lembaga dengan kewenangan yang berbeda-

beda.

Sebelum diundangkannya UU Kelautan, yurisdiksi penanganan

pelanggaran hukum di wilayah laut terbagi di berbagai lembaga, antara

lain, secara tersendiri dan terpisah, adalah TNI Angkatan Laut, Polisi

Perairan (“Polair”), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (“Ditjen Bea Cukai”),

Kejaksaan Agung RI, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Armada

PLP/KPLP), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (“KLHK”),

Kementerian Kelautan dan Perikanan (“KKP”), Kementerian Energi dan

Sumber Daya Mineral (“Kementerian ESDM”), Kementerian Kebudayaan

dan Pariwisata (“Kemenbudpar”), Kementerian Hukum dan HAM

(“Kemenhukham”), Kementerian Pertanian (“Kementan”) dan Kementerian

Kesehatan (“Kemenkes”).2 Pra-UU ini, Bakorkamla yang dimandatkan

dalam UU Perairan Indonesia3 bertugas melakukan koordinasi di antara

badan-badan ini. Bakorkamla, yang dahulu dibentuk dengan Surat

Keputusan Bersama Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima

Angkatan Bersenjata, Menteri Perhubungan, Menteri Keuangan, Menteri

Kehakiman, dan Jaksa Agung,4 kini resmi diubah menjadi Bakamla dengan

Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun 2014 tentang Bakamla.

2 Terdapat setidaknya 12 lembaga di tingkat nasional yang memiliki kewenangan

penegakan hukum di laut di luar Bakorkamla. Untuk uraian tugas masing-masing lembaga, Lih: Bambang Usadi, “Sistem Penegakan Hukum dalam RUU Kelautan,” Jurnal Maritim, diakses di http://jurnalmaritim.com/2014/09/sistem-penegakan-hukum-dalam-ruu-kelautan/ pada 8 September 2014.

3 Pasal 23 ayat (3) UU No. 6 Tahun 1996 menentukan: “Apabila diperlukan, untuk meningkatkan pemanfaatan, pengelolaan, perlindungan, dan pelestarian lingkungan Perairan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibentuk suatu badan koordinasi yang ditetapkan dengan Keputus-an Presiden.” Lih: Undang-Undang Perairan Indonesia, UU No. 6 Tahun 1996, Lembaran Negara No. 73 Tahun 1996, Tambahan Lembaran Negara No. 3647.

4 Keputusan bersama itu masing-masing Nomor: KEP/B/45/XII/1972; SK/901/M/1972; KEP.779/MK/III/12/1972; J.S.8/72/1;KEP-085/J.A/12/1972 tentang Pembentukan Badan Koordinasi Keamanan di Laut dan Komando Pelaksana Operasi Bersama Keamanan di Laut. Di tahun 2005, ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Keamanan Laut (BAKORKAMLA) yang menjadi dasar hukum dari Bakorkamla hingga digantikan oleh Bakamla pada 2014. Lih: Hukum Online, “Presiden Jokowi Resmi Bentuk Badan Keamanan Laut,” 15 Desember 2014,

Page 103: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

96

Bakamla memang memiliki fungsi yang diperluas dan diperkuat

dibandingkan institusi pendahulunya, yang ditujukan agar Bakamla dapat

mengefektifkan dan mengefisienkan tugas penegakan hukum di laut

sebagai pengelola kewenangan berbagai institusi agar dapat bekerja sama

dalam penegakan hukum.5 Tugas Bakamla, jika dibandingkan dengan

Bakorkamla, lebih dari menyinergikan dan memonitor pelaksanaan patroli

perairan oleh instansi terkait,6 melainkan juga melakukan patroli keamanan

dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi

Indonesia. Secara praktis, hal ini berarti Bakamla diharapkan dapat turun

langsung dalam penegakan hukum di laut. Sinergi hanya salah satu fungsi

yang dijalankan Bakamla, dan fungsi lainnya mencakup penyusunan

kebijakan nasional di bidang keamanan dan keselamatan di wilayah

perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia; menyelenggarakan

sistem peringatan dini keamanan dan keselamatan di wilayah perairan

Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia; melaksanakan penjagaan,

pengawasan, pencegahan, dan penindakan pelanggaran hukum di wilayah

perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia; memberikan

dukungan teknis dan operasional kepada instansi terkait; memberikan

bantuan pencarian dan pertolongan di wilayah perairan Indonesia dan

wilayah yurisdiksi Indonesia; dan melaksanakan tugas lain dalam sistem

pertahanan nasional.7 Jika dilihat secara normatif, penguatan rumusan

tugas dan fungsi Bakamla seharusnya menjadi landasan hukum yang

cukup sebagai modal awal penegakan hukum yang lebih efektif.

Bagaimanapun, hal-hal yang paling krusial justru berada dalam

tataran implementasi, khususnya harmonisasi tugas dan fungsi Bakamla

dan masing-masing lembaga. Terdapat setidaknya dua hal yang perlu

menjadi perhatian Bakamla dalam hal ini. Pertama, sekalipun dengan UU

Kelautan yang baru, Bakamla tidak lepas dari tantangan yang selama ini

juga mengganjal Bakorkamla, yaitu ego sektoral dari kedua belas lembaga

di atas khususnya dalam hal koordinasi. Secara praktis, ego sektoral

menyebabkan makin banyak otoritas berpatroli di laut dengan tugas dan

fungsi yang tidak terkoordinasi dengan baik.8 Bagi pelaku pelayaran, hal ini

berarti inspeksi yang begitu banyak dan kepastian hukum yang minim.

diakses di http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt548e81c137787/presiden-jokowi-resmi-bentuk-badan-keamanan-laut pada 15 Agustus 2015.

5 Lihat: Usadi, Op. Cit. 6 Lih: Pasal 62 UU Kelautan, Op. Cit. 7 Id. 8 Loc. Cit.

Page 104: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

ULASAN UNDANG-UNDANG

97

Bagi Bakamla, hal ini dapat berarti tumpang tindih atas tugas dan

kewenangan lembaga yang dulunya berada di bawah koordinasi

Bakorkamla; atau kebalikannya – adanya ruang penegakan hukum yang

justru tidak terjamah oleh semua instansi penegak hukum karena

kurangnya pemahaman akan pola interaksi dan koordinasi fungsi antar

lembaga.

Permasalahan di atas tidak lepas dari peran TNI dalam hubungannya

dengan instansi penegak hukum lainnya. Dalam konteks penegakan

hukum, Penulis berpendapat bahwa TNI seharusnya menjadi sistem

pelengkap dalam konteks mobilisasi alat-alat kekuatan, mengingat

kapasitas fisik TNI dalam hal alat-alat kekuatan merupakan yang paling

mumpuni. Salah satu fungsi penting Bakamla dalam hal ini seharusnya

memfasilitasi mobilisasi kekuatan TNI. Peran ini serupa dengan fungsi TNI

di bawah komando Badan Nasional Penanggulangan Bencana (“BNPB”)

dalam hal penanggulangan bencana. Sementara itu, peran intelektual dalam

pengawasan dan penegakan hukum yang tidak lepas dari justifikasi adanya

pelanggaran berdasarkan standar tertentu, tetap menjadi fungsi instansi

sektoral yang memang memiliki kewenangan dan kapasitas dalam

penegakan hukum tersebut. Dengan demikian, kewenangan original yang

merupakan mandat UU instansi-instansi tersebut tetap dijalankan

utamanya oleh instansi-instansi tersebut sendiri. Hanya saja, jika

diperlukan koordinasi dengan instansi lain, termasuk pengerahan kekuatan

TNI, maka jika dimungkinkan koordinasi tersebut dapat dilakukan melalui

Bakamla. Pada konteks penegakan hukum ini, kekuatan TNI sudah

seharusnya tunduk pada komando Bakamla.

Hal lainnya yang perlu kita cermati bahwa di laut ada banyak aspek

dan kegiatan yang menentukan pula banyaknya potensi pelanggaran.

Kondisi ini tentu harus dipertimbangkan dalam mencermati kapasitas

kelembagaan Bakamla. Sayangnya, tugas dan fungsi yang cukup besar bagi

Bakamla ternyata tidak diimbangi oleh kewenangan yang diberikan oleh

UU kepadanya. Untuk menjalankan tugas dan fungsi tersebut, baik UU

Kelautan maupun Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun 2014 tentang

Badan Keamanan Laut hanya memberikan tiga kewenangan, yaitu: (1)

melakukan pengejaran seketika; (2) memberhentikan, memeriksa,

menangkap, membawa, dan menyerahkan kapal ke instansi terkait yang

berwenang untuk pelaksanaan proses hukum lebih lanjut; dan (3)

mengintegrasikan sistem informasi keamanan dan keselamatan di wilayah

perairan Indonesia dan

Page 105: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

98

wilayah yurisdiksi Indonesia. Jika dilihat dari kewenangan ini, justru

peran penting Bakamla untuk melakukan sinergi dan koordinasi antar

sektor yang selama ini menjadi persoalan signifikan belum terjawab.

Setidaknya ada dua prasyarat agar Bakamla memiliki kemampuan

koordinasi, yaitu: (1) kewenangan yang jelas dan tegas untuk melakukan

koordinasi, tidak hanya pada tataran patroli saja melainkan juga

merumuskan kebijakan dan menjalankan tugas-tugas lainnya; (2) desain

kelembagaan yang memungkinkan Bakamla memiliki akses terhadap

pengambil keputusan tertinggi dalam pemerintahan, yaitu Presiden dan

memungkinkan melakukan koordinasi efektif dengan berbagai sektor.

Bakamla memang telah diberikan akses langsung kepada Presiden oleh

ketentuan UU maupun Perpres 178/2014. Namun untuk menjalankan

fungsi sinergi dan koordinasi ternyata Perpres 178/2014 kurang

memberikan ruang bagi jalannya koordinasi itu sendiri. Desain

kelembagaan Bakamla tidak ubahnya seperti kelembagaan yang berdiri

sendiri, terdiri dari Kepala, Sekretaris Utama, dan Deputi. Peluang

pelibatan sektor secara jelas dan tegas hanya pada tingkat unit, misalnya

Unit Penindakan Hukum yang terdiri dari personel yang merupakan

representasi kementerian/lembaga yang mempunyai kewenangan di

bidang penegakan hukum di laut. Minimnya kewenangan koordinasi dan

lemahnya desain kelembagaan ini dapat berpotensi menimbulkan benturan

kewenangan maupun pelaksanannya.

Hal kedua yang perlu Bakamla perhatikan terkait dengan tugas dan

fungsi Bakamla disuarakan dalam kaitannya dengan tugas dan fungsi

Lembaga Penjagaan Laut dan Pantai (“Sea and Coast Guard”)9 yang

dimandatkan dalam UU Pelayaran. Hingga kini, Sea and Coast Guard masih

belum terbentuk, bahkan PP yang dimandatkan oleh UU Pelayaran untuk

mengatur mengenai lembaga ini belum juga tuntas. Padahal, UU Pelayaran

memandatkan fungsi penegakan dan pengaturan peraturan perundang-

undangan di laut dan pantai kepada Sea and Coast Guard.10 Jika

disandingkan, kedua lembaga ini memiliki tugas dan fungsi yang sulit

dibedakan dalam hal penegakan hukum. Salah satu tugas koordinasi Sea

and Coast Guard bahkan dirumuskan persis dengan fungsi Bakamla, yaitu

9 Pasal 1 angka 59 UU Pelayaran mendefinisikan Penjagaan Laut dan Pantai (Sea

and Coast Guard) adalah lembaga yang melaksanakan fungsi penjagaan dan penegakan peraturan perundang-undangan di laut dan pantai yang dibentuk dan bertanggung jawab kepada Presiden dan secara teknis operasional ilaksanakan oleh Menteri.

10 Pasal 267 UU Pelayaran.

Page 106: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

ULASAN UNDANG-UNDANG

99

“penjagaan, pengawasan, pencegahan dan penindakan pelanggaran

hukum” di wilayah perairan RI.11 Selain itu, penyusunan kebijakan dan

standar prosedur operasi (“SOP”) dan pemberian dukungan teknis

administrasi penegakan hukum di laut secara terpadu sebetulnya

merupakan tugas koordinasi Sea and Coast Guard.12

Dalam hal lingkungan hidup, Sea and Coast Guard memiliki

kewenangan yang cukup kuat, karena mencakup pengawasan, pencegahan

dan penanggulangan pencemaran di laut; pekerjaan bawah air serta

eksplorasi dan eksploitasi kekayaan bawah laut.13

Mengingat beberapa kesamaan tugas, fungsi dan kewenangan

tersebut, sangat penting bagi Bakamla untuk memiliki kebijakan yang jelas

dalam hal pelaksanaan tugas dan fungsi yang sama dengan Sea and Coast

Guard yang masih belum terbentuk, serta rencana aksi pembagian tugas

pasca Sea and Coast Guard terbentuk. Selain itu, perlu juga dirumuskan

dengan jelas bagaimana Bakamla berkoordinasi dengan penegak hukum

dari semua instansi sektoral, misal mengenai kriteria kewenangan Bakamla

untuk menindak temuan inspeksi, kerja sama penanganan dengan instansi

sektoral, penyerahan kasus kepada instansi sektoral, peningkatan kapasitas

teknis dan operasional instansi sektoral, dan sebagainya.

Ketentuan Pidana dan Administrasi

Sesuai fungsinya sebagai UU payung atau umum, UU ini telah cukup

baik merujuk pada sanksi-sanksi administrasi dan pidana yang telah ada

dalam UU sektoral. Artinya, jika UU PPLH, UU Perikanan, UU PWP2K atau

UU lain yang terkait mengatur sanksi administrasi atau pidana, maka

sanksi tersebutlah yang digunakan.

Hanya ada satu pasal mengenai sanksi administrasi dalam UU ini,

yaitu dalam hal pengendalian pemanfaatan ruang laut.14 UU Kelautan

mengatur sanksi administrative bagi pelanggaran terhadap pemanfaatan

ruang laut. Sanksi administratif tersebut mencakup: (a) peringatan tertulis;

(b) penghentian sementara kegiatan; (c) penutupan lokasi; (d) pencabutan

izin; (e) pembatalan izin; dan/atau (f) denda administratif. Pemanfaatan

11 Lihat: Pasal 277 ayat (2) huruf (c) UU Pelayaran dengan 26 huruf (c) UU

Kelautan. 12 Pasal 277 ayat (2) huruf (a) dan (b) UU Pelayaran. 13 Id., huruf (b) dan (e) 14 Lihat: Pasal 47 UU Kelautan, Op. Cit.

Page 107: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

100

ruang laut memang diatur oleh UU ini, termasuk persyaratan izin lokasi

yang dibebankan kepada pemanfaat ruang laut.

Sanksi pidana yang ada dalam UU ini hanya sebatas mengenai

pemanfaatan ruang laut secara menetap yang tidak memiliki izin lokasi,15

yang mengancamkan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan

pidana denda paling banyak Rp 20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah)

bagi setiap orang yang terbukti melakukan tindak pidana ini. Konstruksi

rumusan pasal pidana ini masih sangat minim, misalnya UU ini tidak

menjelaskan siapa yang berwenang melakukan penyidikan meskipun

penyidikan merupakan tugas utama kepolisian. Selain itu, apakah memang

pendekatan sanksi pidana hanya dapat diterapkan hanya untuk izin lokasi ?

misalnya untuk kejahatan-kejahatan di laut seperti perdagangan satwa liar,

perambahan hutan, dan sebagainya yang umumnya memanfaatkan laut

sebagai jalur transportasi. Hal lain misalnya, penerapan sanksi pidana bagi

pejabat yang mengeluarkan izin usaha tanpa izin lokasi atau pengeluaran

izin usaha yang bertetangan dengan ketentuan pemanfaatan ruang laut

atau tata ruang laut.

Hal lain yang patut diwaspadai adalah pengenaan pasal pidana ini

terhadap kaum marjinal dan individu-individu dengan modal sosial yang

lemah. Belajar dari pemidanaan di sektor lingkungan hidup lain, seperti

perambahan hutan atau perlindungan satwa langka, penegakan hukum

pidana kerap tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Spirit pemidanaan yang

mendambakan penegakan hukum yang efektif dengan diskresi yang

mempertimbangkan fakor efektivitas, efek jera, dan besaran kasus harus

dipertahankan dan mampu menyasar aktor-aktor strategis. Perlu diingat

bahwa pidana merupakan ultimum remedium, dan jika upaya lain telah

terbukti tidak efektif seharusnyalah pidana dijatuhkan. Di lain pihak, orang

perorangan yang miskin, termarjinalkan, atau terhimpit pilihan terbatas

seharusnya diutamakan untuk dibina, bukan dijerat dengan pasal pidana

tanpa satupun upaya pembinaan.

Tugas ke Depan: PP yang Dimandatkan

Walaupun UU ini memberikan optimisme pengelolaan laut, tidak

serta merta semua ketentuan dalam UU ini dapat langsung dilaksanakan.

UU ini memandatkan sembilan Peraturan Pemerintah dalam

15 Pasal 49 UU Kelautan, Ibid.

Page 108: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

ULASAN UNDANG-UNDANG

101

mengimplementasikan mandat-mandat hukumnya. Kesembilan PP yang

dimandatkan tersebut adalah:

1. PP Kebijakan Pembangunan Kelautan (Pasal 13)

PP mengatur proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan pembangunan kelautan, yang mencakup (a) pengelolaan Sumber Daya Kelautan; (b) pengembangan sumber daya manusia; (c) pertahanan, keamanan, penegakan hukum, dan keselamatan di laut; (d) tata kelola dan kelembagaan; (e) peningkatan kesejahteraan; (f) ekonomi kelautan; (g) pengelolaan ruang Laut dan pelindungan lingkungan Laut; dan (h) budaya bahari.

2.

PP Industri Maritim16 & Jasa Maritim17 (Pasal 27)

PP yang ada mengatur ketentuan detail agar industri dan jasa maritime mengacu pada Kebijakan Pembangunan Kelautan dan berorientasi pada kesejahteraan rakyatsesuai kebijakan ekonomi kelautan.

3. PP Penempatan bangunan di laut (Pasal 32)

PP yang ada memastikan bangunan di laut tidak mengganggu alur pelayaran maupun Alur Laut Kepulauan Indonesia (“ALKI”) maupun inkonsisten dengan daerah keselamatan, dengan mengatur kriteria, persyaratan dan mekanisme pendirian dan/atau penempatan bangunan di laut secara detail. Perihal aspek kelestarian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil dalam pendirian bangunan laut juga merupakan aspek yang harus dijawab PP.

4. PP Kebijakan Budaya Bahari (Pasal 36)

PP mengatur lebih lanjut mengenai Kebijakan Budaya Bahari dalam bentuk KRP, a.l. melalui: (a) peningkatan pendidikan dan penyadaran masyarakat tentang Kelautan yang diwujudkan melalui semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan; (b) identifikasi dan inventarisasi nilai budaya dan sistem sosial Kelautan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bagian dari sistem kebudayaan nasional; dan (c) pengembangan

16 Industri maritim a.l. mencakup galangan kapal, pengadaan dan pembuatan

suku cadang, peralatan kapal dan/atau perawatan kapal. Lih: Pasal 27 ayat (1) UU Kelautan

17 Jasa maritime a.l. dapat berupa pendidikan dan pelatihan, pengangkatan benda berharga atas muatan kapal tenggelam, pengerukan dan pembersihan alur pelayaran, reklamasi, pencarian dan pertolongan, remediasi lingkungan, jasa konstruksi dan/atau angkutan sungai, danau, penyeberangan dan antarpulau. Lih: Pasal 27 ayat (2) UU Kelautan.

Page 109: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

102

teknologi dengan tetap mempertimbangkan kearifan lokal.

5. PP Pusat Fasilitas Kelautan (Pasal 38)

PP ini mengatur tugas, kewenangan, dan pembiayaan Pusat Fasilitas Kelautan, yang dimandatkan dibentuk oleh Pemerintah dengan bekerja sama dengan Pemerintah Daerah. Pusat Fasilitas Kelautan ini meliputi fasilitas pendidikan, pelatihan, dan penelitian yang dilengkapi dengan prasarana kapal latih dan kapal penelitian serta tenaga fungsional peneliti.

6. PP Perencanaan Ruang Laut (Pasal 43)

Mendetailkan proses dan keluaran Perencanaan Ruang Laut yang meliputi (a) perencanaan tata ruang Laut nasional (menghasilkan Rencana Tata Ruang Laut Nasional atau “RTRLN”); (b) perencanaan zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (merujuk pada UU PWP2K); dan (c) perencanaan zonasi kawasan Laut (menghasilkan rencana zonasi kawasan strategis nasional, rencana zonasi kawasan strategis nasional tertentu, dan rencana zonasi kawasan antarwilayah).

7. PP Izin Lokasi di Laut yang berada di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi dan sanksi administratifnya (Pasal 47)

PP ini mendetailkan pemrosesan izin lokasi yang merupakan kewajiban bagi setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang Laut secara menetap di wilayah perairan dan wilayah Yurisdiksi untuk memiliki izin lokasi. PP juga akan mendetailkan sanksi administrative dalam hal terjadi pelanggaran.

8. PP Kebijakan Tata Kelola dan Kelembagaan Laut (Pasal 69)

PP ini mendetailkan penetapan kebijakan tata kelola dan kelembagaan Laut oleh Pemerintah, yang meliputi rencana pembangunan sistem hukum dan tata pemerintahan serta sistem perencanaan, koordinasi, pemonitoran, dan evaluasi Pembangunan Kelautan yang efektif dan efisien. Penataan hukum laut dalam suatu sistem hukum nasional, baik melalui aspek publik maupun aspek perdata dengan memperhatikan hukum internasional juga dimandatkan dalam penyusunan kebijakan ini.

9. Bentuk dan Tata Cara Peran Serta

PP ini mendetailkan pelibatan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan

Page 110: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

ULASAN UNDANG-UNDANG

103

Masyarakat dalam Pembangunan Kelautan (Pasal 70)

kelautan. Partisipasi masyarakat ini dapat dilakukan dalam: (a) penyusunan kebijakan Pembangunan Kelautan; (b) Pengelolaan Kelautan; (c) pengembangan Kelautan; dan (d) memberikan masukan dalam kegiatan evaluasi dan pengawasan. Selain itu, partisipasi masyarakat juga dapat dilakukan dalam (a) melestarikan nilai budaya dan wawasan bahari serta merevitalisasi hukum adat dan kearifan lokal di bidang Kelautan; atau (b) pelindungan dan sosialisasi peninggalan budaya bawah air melalui usaha preservasi, restorasi, dan konservasi.

Kesembilan PP di atas merupakan pekerjaan rumah bagi pemerinah,

namun juga merupakan peluang penormaan UU Kelautan ke dalam

ketentuan-ketentuan pelaksana yang baik dan jelas. Secara umum, UU

Kelautan merupakan peluang yang dapat didayagunakan dalam

menjalankan penegakan hukum di laut apabila peratuan turunannya

berhasil memfasilitasi peningkatan koordinasi. Dengan peningkatan

koordinasi, banyak “tangan” instansi sektoral yang selama ini memiliki

keterbatasan di laut terfasilitasi dengan pemberdayaan sumber daya yang

ada dan jalur kerja sama yang saling memperkuat. Bagaimanapun, baik

tidaknya implementasi koordinasi ini tidak terlepas dari (1) jelas tidaknya

pembagian kewenangan agar tidak tumpang tindih; (2) bentuk dan

mekanisme koordinasi antar instansi; dan (3) penanggung jawab yang

memiliki otoritas memobilisasi kekuatan tersebut.

Hal lain yang juga sangat penting adalah harmonisasi peraturan

perundang-undangan yang terkait dengan UU Kelautan ini, termasuk

mengintegrasikan harmonisasi sektoral ini dalam peraturan pelaksana UU

Kelautan. DIM yang telah ada dalam proses pembuatan UU ini dapat

menjadi patokan awal harmonisasi UU sektoral selanjutnya, akan tetapi

penting dipikirkan bagaimana melakukan harmonisasi peraturan per-UU

sektoral ini dan siapa lembaga yang akan memimpin pelaksanaannya.

Kementerian Hukum dan HAM (Kemenhukham) melalui Direktorat

Jenderal Harmonisasi Perundang-undangan merupakan salah satu lembaga

yang potensial memimpin studi harmonisasi perundang-undangan sektoral

di laut, utamanya dalam hal penegakan hukum.

Akhirnya, semua kalangan perlu berperan aktif mendukung maupun

mengawasi kinerja pemerintah dalam menyelesaikan pekerjaan rumahnya

Page 111: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015

104

merumuskan semua PP yang dimandatkan UU ini. Kepentingan

masyarakat sipil utamanya tercermin dalam PP Peran Serta Masyarakat

dalam Pembangunan Kelautan. Lebih penting lagi, perlu didorong agar

pembuatan semua PP dilakukan dengan transparan, tidak memihak

kepentingan tertentu, dan dapat dipertanggungjawabkan kualitasnya untuk

mewujudkan gagasan sebagai poros maritim dunia sebagaimana telah

dicanangkan pemerintah.

Page 112: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015    

xi  

P E D O M A N P E N U L I S A N

urnal Hukum Lingkungan Indonesia (JHLI) adalah media enam bulanan yang diterbitkan oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) sebagai upaya mempublikasikan ide dan gagasan mengenai hukum lingkungan dan regulasi mengenai sumber daya alam. Jurnal Hukum

Lingkungan Indonesia ditujukan bagi pakar dan para akademisi, praktisi, penyelenggara Negara, kalangan LSM serta pemerhati dan penggiat hukum lingkungan dan permasalahan tata kelola sumber daya alam.

Tema dan Topik JHLI Volume II Issue 2, Desember 2015, bertema:

“Perlindungan dan Pengelolaan Keanekaragaman Hayati di Indonesia: Hukum dan Kebijakan”

Beberapa topik* yang dapat menjadi acuan dalam menyempitkan tema tersebut adalah: (1) perlindungan terhadap spesies terancam punah (endangered species), termasuk perburuan dan perdagangan internasional baik legal maupun illegal; (2) hak masyarakat adat dan hak asasi manusia dalam konservasi; (3) pengelolaan kawasan konservasi keanekagaraman hayati, termasuk pengamanan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya; (4) perdebatan hukum dalam preservasi versus konservasi lingkungan (nilai guna dan non-guna); (5) akses dan pembagian keuntungan sumber daya genetik; (6) perlindungan sumber daya genetik; dan (7) penegakan hukum (administrasi, pidana atau perdata). Untuk setiap topik, diharapkan ulasan dapat menjawab satu atau lebih pertanyaan kunci berikut:

1. Bagaimana potret hukum dan kebijakan lingkungan dalam topik yang bersangkutan?

2. Bagaimana persoalan-persoalan hukum dan kebijakan yang dihadapi dalam mengembangkan perlindungan & pengelolaan keanekaragaman hayati di Indonesia dalam topik ybs?

3. Bagaimana gagasan-gagasan dalam memperbaiki dan mengembangkan hukum dan kebijakan terkait perlindungan & pengelolaan kenekaragaman hayati dalam topik ybs?

J

Page 113: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

PEDOMAN PENULISAN

xii

*) Topik tidak bersifat wajib/mutlak, melainkan hanya sebagai panduan untuk mempermudah penulis dalam memilih isu terkait. Penulis dapat memilih topik apa saja yang masih relevan dan masuk dalam ruang lingkup tema besar.

Prosedur Pengiriman** Penulis diharapkan mengirimkan abstrak sebelum 15 Agustus 2015 dengan menyertakan (1) nama lengkap; (2) institusi asal; (3) nomor telepon yang dapat dihubungi. Redaksi akan menghubungi penulis yang naskahnya diterima. Naskah final diterima paling lambat 31 Oktober 2015. Abstrak maupun naskah artikel dapat dikirimkan melalui surat elektronik maupun melalui pos. Pengiriman melalui surat elektronik ditujukan ke [email protected] dengan di-cc ke [email protected]. Pengiriman melalui pos disertai dengan tulisan “Jurnal Lingkungan Hidup Indonesia” di sudut kiri atas amplop, ditujukan ke alamat berikut:

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Jl. Dempo II no. 21, Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12120 DKI Jakarta

Pemilihan Tulisan

Pemilihan abstrak bersifat prosedural untuk menyaring artikel yang relevan dengan aspek hukum dan kebijakan, dilakukan secara internal oleh para peneliti ICEL. Redaksi akan menghubungi penulis yang abstraknya diterima selambat-lambatnya pada 31 Agustus 2015. Pemilihan tulisan akhir melalui Sidang Redaksi yang terdiri dari para peneliti ICEL dan Mitra Bebestari. Tulisan yang dimuat akan diberikan honorarium yang layak, sementara tulisan yang tidak dimuat akan diberikan notifikasi pada tanggal 30 November 2015 dan merupakan hak penulis sepenuhnya. Sidang Redaksi dapat meminta penulis untuk melakukan perbaikan substansi maupun teknis terhadap tulisannya.

Persyaratan Formil

1. Abstrak ditulis dalam dua bahasa (Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris). Panjang abstrak tidak lebih dari 150 kata yang ditulis dalam

Page 114: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 2 ISSUE 1, JULI 2015    

xiii  

satu alinea. Abstrak mengandung ringkasan dari latar belakang, tujuan, metodologi, hasil dan kesimpulan;

2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan EYD dengan kalimat yang efektif;

3. Naskah diketik dengan Microsoft Word, ukuran halaman A4 dengan margin kiri 4 cm; kanan, atas, dan bawah 3 cm. Tulisan menggunakan huruf Times New Roman (TNR) 12 pt, spasi satu setengah tanpa spasi antar paragraph, dengan panjang naskah 4000 – 5000 kata.;

4. Tabel atau gambar harus jelas, dan ditempatkan di dalam naskah dengan keterangan daftar tabel dan/atau gambar pada bagian akhir naskah setelah daftar pustaka;

5. Artikel yang pernah disajikan dalam pertemuan ilmiah/seminar/lokakarya namun belum pernah diterbitkan dalam bentuk prosiding, perlu disertai keterangan mengenai pertemuan tersebut sebagai catatan kaki;

6. Judul artikel singkat dan jelas (maksimal 15 kata), diketik dengan huruf kapital. Nama ilmiah dan istilah asing lainnya diketik dengan huruf miring;

7. Semua kutipan harus mencantumkan referensi, dengan catatan kaki atau catatan akhir dengan format Chicago style sebagaimana dijelaskan dalam poin 7 dan 8, dan daftar pustaka pada bagian akhir naskah.

8. Tabel dan/atau gambar juga harus mencantumkan sumber. Untuk memudahkan koreksi naskah, diharapkan penulisan catatan kaki (footnote) mengikuti ketentuan:

a. Phillipe Sands, Principles of Environmental Law, (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), hlm. 342 – 344;

b. Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Cetakan ke-8, Edisi ke-5, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991), hlm. 201 – 208;

c. Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum, Terjemahan dari De Structuur der Rechtswetenschap, Alih bahasa: Arief Sidharta, (Bandung: PT Alumni, 2003), hlm. 7;

d. “Peningkatan Kualitas Hakim Lingkungan Mendesak”, Sinar Harapan, 15 Januari 2014;

e. Prijono Tjiptoherijanto, “Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Indonesia”, http://www.pk.ut.ac.id/jsi, diakses tanggal 2 Januari 2005.

Sedangkan untuk penulisan Daftar Pustaka sebagai berikut: a. Sands, Phillipe. 2007. Principles of Environmental Law.

Cambridge: Cambridge University Press.

Page 115: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

PEDOMAN PENULISAN

xiv

b. Burchi, Tefano. 1989. “Current Developments and Trends in Water Resources Legislation and Administration”. Paper presented at the 3rd Conference of the International Association for Water Law (AIDA). Alicante, Spain: AIDA, December 11-14.

c. Dewiel, Boris. 2000. “What Is the People? A Conceptual History of Civil Society,” dalam Democracy, A History of Ideas. Vancouver: University of British Columbia Press.

d. Rahayu, Muji Kartika. 2006. “Sistem Peradilan Kita Harus Dibenahi: Analisis Putusan MK tentang UU Komisi Yudisial,” Jurnal Konstitusi, Volume 3, Nomor 3, September 2006. Jakarta: Mahkamah Konstitusi.

e. Indonesia. Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

f. Sinar Harapan. “Peningkatan Kualitas Hakim Lingkungan Mendesak”. 15 Januari 2014.

g. Tjiptoherijanto, Prijono. Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Indonesia, http://www.pk.ut.ac.id/jsi, diakses tanggal 2 Januari 2005.

9. Identitas penulis meliputi: a. Nama lengkap penulis (dengan gelar akademis) b. Nama dan alamat lembaga penulis c. Keterangan mengenai penulis untuk korespondensi disertai

nomor telepon, handphone dan fax, serta alamat e-mail; d. Nomor rekening Bank yang masih aktif;

**) Tidak berlaku bagi Penulis dengan Undangan  

Page 116: JURNAL HUKUM - icel.or.id · kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan ... dimuat di dalam jurnal ini diharapkan ... Menipisnya sumber daya persediaan ikan di

Indonesian Center for Environment Law

Jl. Dempo II No.21, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12120

Phone: (021) 7262740, 7233390

Fax: (021) 7269331

www.icel.corid | [email protected]