Jurnal Ilmiah Madaniyah STIT Pemalang edisi VI Tahun 2014

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Jurnal Ilmiah Madaniyah STIT Pemalang vol. 1 edisi VI Januari 2014

Citation preview

  • 1

    ISLAM , MUSLIM, DAN PERILAKU POLITIK (KONSEP NATION STATE DI DUNIA ISLAM KONTEMPORER)

    Oleh :Ida Zahara Adibah1

    Abstrak

    Setiap individu yang terdapat di muka bumi ini tidak terlepas dari sebuah negara dimana ia berafiliasi kepadanya, sehingga ia berkewajiban untuk menghormati dan bahkan membelanya dengan segala kemampuannya walaupun harus mengorbankan seluruh jiwa dan raga.

    Konsep negara bangsa (nation state) merupakan salah satu konsep politik dari sebuah state ( negara) atau kelompok masyarakat yang secara bersama-sama terikat dengan loyalitas dan solidaritas umum. Pengertian ini menjelaskan nation state merupakan sebuah entitas teritorial dimana negara sama besarnya atau coextensive dengan bangsa.

    Nation state di dunia islam kontemporer ditegakkan dengan semangat nasionalisme atau semangat yang disertai dengan kesadaran tinggi untuk membangun sebuah negara bangsa. Perdebatan tentang nation state terdengar asing ketika dibenturkan dengan etik Al-Quran dan latar historis Islam (Rahman menyebutnya Islam Sejarah).

    Fakta historis menunjukkan bahwa sepanjang hidup Nabi Muhamad SAW seperti yang disimpulkan Rahman, Rasulullah adalah Nabi Penguasa hampir seluruh semenanjung Arabia, namun Beliau tidak pernah menyebut dirinya sebagai penguasa. Pada masa itu istilah negara Islam (daulat al-Islam) belum dikenal. piagam Madinah merupakan cikal bakal terbentuknya Negara Bangsa (nation state) dan menempatkan Nabi Muhammad SAW tidak sekedar sebagai pemimpin agama, tetapi juga sebagai pemimpin negara. Oleh karena itu nasionalisme dalam perspektif khasanah Islam klasik sebenarnya dapat dilihat pada pembentukan Piagam Madinah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW bersama penduduk Madinah.

    Keyword : Nation State, Islam Kontemporer, Piagam Madinah

    I. PENDAHULUAN Sistem yang dibangun oleh Rasulullah SAW dan kaum mukminin yang

    hidup bersama beliau di Madinah jika dilihat dari segi praksis dan diukur dengan variabel-variabel politik di era modern tidak disangsikan lagi dapat

    1Ida Zahara Adiba, M.S.I adalah Dosen Universitas Darul Ulum Islamic Centre Sudirman (Undaris) Semarang

  • 2

    dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem politik Par Excellenc. Dalam waktu yang sama, juga tidak menghalangi untuk dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem religius, jika dilihat dari tujuan-tujuannya, motif-motifnya dan fundamental maknawi tempat sistem itu berpijak. Kejanggalan antara nasionalisme dan Islam dalam sejarah masa lampau hampir tidak pernah terdengar, baik di era diutusnya Rasul SAW maupun setelahnya. Umat Islam dalam sejarahnya yang gemilang selalu berada dalam kehidupan yang nyaman dan tenang, walaupun mereka hidup bersama komunitas yang tidak seagama seperti Yahudi dan Nasrani. Keselarasan tersebut lahir dari adanya kegamblangan sikap dan muamalah (perlakuan) agama Islam terhadap non muslim. Karena mereka tahu bagaimana ajaran Islam akan memperlakukannya dan mereka tahu bahwa setiap muslim kala itu selalu berpegang teguh pada agamanya, dan berusaha untuk mempersembahkan Islam kepada dunia dalam bentuk yang sangat indah, sehingga Islam dapat diterima dan bahkan dijadikan sebagai pedoman hidup. Akan tetapi dewasa ini, perihal tersebut telah menjadi sebuah problem yang cukup rumit dan bahkan telah berubah menjadi bahan perdebatan yang cukup panas. Perdebatan tentang nation state terdengar asing ketika dibenturkan dengan etik Al-Quran dan latar historis Islam (Rahman menyebutnya Islam Sejarah). Fakta historis menunjukkan bahwa sepanjang hidup Nabi Muhamad SAW seperti yang disimpulkan Rahman, Rasulullah adalah Nabi-Penguasa hampir seluruh semenanjung Arabia, namun Beliau tidak pernah menyebut dirinya sebagai penguasa. Pada masa itu istilah negara Islam (daulat al-Islam) belum dikenal.

    Agama dan negara pada masa Nabi bukanlah saudara kembar atau satu sama lain saling bekerjasama. Menurut Rahman, negara adalah pantulan dari nilai-nilai moral dan spiritual serta prinsip-prinsip yang disebut Islam. Negara bukan perpanjangan dari agama tetapi sebagai instrumen Islam. Hal senada di ungkapkan oleh Karen Amrstrong :"Ketika mulai berdakwah di Makkah, Muhammad hanya memiliki konsep yang sangat sederhana tentang perannya. Dia tidak pernah bermimpi akan membangun teokrasi dan mungkin sama sekali tidak mengetahui apa teokrasi itu: dia sendiri tak mesti memiliki fungsi politik di dalam pemerintahan kecuali seorang nadzir, pemberi peringatan.2 Bahwa Nabi Muhammad tidak pernah berfikir bahwa Dia akan membangun sebuah teokrasi". Namun ada temuan lain yang ditulis oleh Harun Nasution,selama kurang lebih 13 tahun di Mekah, Nabi Muhammad dan umat Islam belum mempunyai kekuatan dan kesatuan politik yang menguasai suatu wilayah.3 Umat Islam menjadi satu komunitas yang bebas dan merdeka setelah pada tahun 622 M hijrah ke Madinah. Jika di Mekkah mereka sebelumnya merupakan umat lemah yang tertindas, maka di Madinah mereka mempunyai kedudukan yang baik, kuat dan dapat

    2KarenArmstrong, , 2006, Sejarah Tuhan, Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan oleh orang-orang Yahudi, Kristen, dan Islam selama 4.000 Tahun, Bandung, Mizan, cet.X.hal 197

    3HarunNasution, , 1985, Islam ditinjau dari beberapa Aspek, Jakarta, UI, hal 92

  • 3

    berdiri sendiri4. Selama di Makkah Nabi berfungsi sebagai kepala agama dan tidak mempunyai fungsi kepala pemerintahan, sedangkan di Madinah, selain sebagai kepala agama juga sebagai kepala pemerintahan. Beliaulah yang mendirikan kekuasaan politik yang dipatuhi dikota ini. Penulis sepakat dengan pernyataan ini, karena piagam Madinah lahir dari inisiatif Nabi. Sarjana barat yang berfikir demikian adalah R.Strothman. Beliau mengatakan bahwa Islam sendiri disamping sistem agama juga sistem politik. Dan Nabi Muhammad disamping Rasul telah pula menjadi seorang ahli agama.

    Fakta sejarah sangat berbeda dengan Islam yang diterjemahkan kaum muslim lebih kurang 14 abad. Kekuasaan Islam diteruskan oleh para khalifah. Setelah runtuhnya kekhalifahan Turki Ustmani pada tahun 1924, kaum muslim masih mengidolakan kejayaan kekhalifahan di muka bumi. Di Indonesia, slogan Hizbut Tahrir adalah tegakkan khilafah.Abu Ala Al Maududi dalam Tarjuman Al-Quran menyuarakan bahwa Negara Islam adalah yang sangat ideal dan Ali bin Muhamad Habib al-Bisri al-Mawardi masih memikirkan bahwa imamah adalah untuk harasat ad din dan harasat ad-dunya. Referensi dasar keduanya juga kekhalifahan. Bahkan Rasyid Ridho dan muridnya yaitu Hassan al-Bana menyebutkan keharusan mendirikan khilafah. Alasannya karena khawatir terjadi sekularisme seperti yang dialami agama Kristen . Dari paparan di atas, menjadi menarik membincangkan nation state dalam perspektik Al-Quran. Bagaimana sejarah masuknya nasionalisme di dunia Islam ? Bagaimana konsep Negara dalam Al-Quran ? Bagaimana Konsep Negara dalam Piagam Madinah ? Bagaimana reaksi kaum muslim terhadap nation state ?.

    II. SEJARAH MASUKNYA NASIONALISME DI DUNIA ISLAM Nasionalisme berasal dari kata nation yang berarti bangsa. Menurut Kamus

    Besar Bahasa Indonesia5, kata bangsa memiliki arti: (1) kesatuan orang yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya serta berpemerintahan sendiri; (2) golongan manusia, binatang, atau tumbuh-tumbuhan yang mempunyai asal-usul yang sama dan sifat khas yang sama atau bersamaan; dan (3) kumpulan manusia yang biasanya terikat karena kesatuan bahasa dan kebudayaan dalam arti umum, dan yang biasanya menempati wilayah tertentu di muka bumi. Beberapa makna kata bangsa di atas menunjukkan arti bahwa bangsa adalah kesatuan yang timbul dari kesamaan keturunan, budaya, pemerintahan, dan tempat. Pengertian ini berkaitan dengan arti kata suku yang dalam kamus yang sama diartikan sebagai golongan orang-orang (keluarga) yang seturunan; golongan bangsa sebagai bagian dari bangsa yang besar6. Beberapa suku atau ras dapat menjadi pembentuk sebuah bangsa dengan syarat ada kehendak untuk bersatu yang diwujudkan dalam embentukan pemerintahan yang ditaati bersama.

    4MunawirSjadzali,1993, Islam dan Tata Negara,:Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta:UI, hal 10

    5Ali Lukman Dkk. 1994.Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, hal 89 6 Ibid hal 970

  • 4

    Kata bangsa mempunyai dua pengertian: pengertian antropologis-sosiologis dan pengertian politis. Menurut pengertian antropologis-sosiologis, bangsa adalah suatu masyarakat yang merupakan persekutuan-hidup yang berdiri sendiri dan masing-masing anggota masyarakat tersebut merasa satu kesatuan suku, bahasa, agama, sejarah, dan adat istiadat. Pengertian ini memungkinkan adanya beberapa bangsa dalam sebuah negara dan sebaliknya satu bangsa tersebar pada lebih dari satu negara. Kasus pertama terjadi pada negara yang memiliki beragam suku bangsa, seperti Amerika Serikat yang menaungi beragam bangsa yang berbeda. Kasus kedua adalah sebagaimana yang terjadi pada bangsa Korea yang terpecah menjadi dua negara, Korea Utara dan Korea Selatan. Sementara dalam pengertian politis, bangsa adalah masyarakat dalam suatu daerah yang sama dan mereka tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi ke luar dan ke dalam. Bangsa (nation) dalam pengertian politis inilah yang kemudian menjadi pokok pembahasan nasionalisme7.

    Secara historis, kaum muslimin sesungguhnya tak pernah mengenal paham nasionalisme dalam sejarahnya yang panjang selama 10 abad (1000 tahun), hingga adanya upaya imperialis untuk memecah-belah negara Khilafah pada abad ke-17 M. Mereka melancarkan serangan pemikiran melalui para misionaris dan merekayasa partai-partai politik rahasia untuk menyebarluaskan paham nasionalisme dan patriotisme. Banyak kelompok misionaris -sebagian besarnya dari Inggris, Perancis, dan Amerika-- didirikan sepanjang abad ke-17, 18, dan 19 M untuk menjalankan misi tersebut. Namun hinga saat itu upaya mereka belum berhasil. Barulah pada tahun 1857, penjajah mulai memetik kesuksesan tatkala berdiri Masyarakat Ilmiah Syiria (Syrian Scientific Society) yang menyerukan nasionalisme Arab. Sebuah sekolah misionaris terkemuka --dengan nama Al-Madrasah Al-Wataniyah-- lalu didirikan di Syiria oleh Butros Al-Bustani, seorang Kristen Arab (Maronit). Nama sekolah ini menyimbolkan esensi missi Al-Bustani, yakni paham patriotisme (cinta tanah air, hubb al-wathan). Langkah serupa terjadi di Mesir, ketika Rifa'ah Badawi Rafi' At Tahtawi (w. 1873 M) mempropagandakan patriotisme dan sekularisme. Setelah itu, berdirilah beberapa partai politik yang berbasis paham nasionalisme, misalnya partai Turki Muda (Turkiya Al Fata) di Istanbul. Partai ini didirikan untuk mengarahkan gerak para nasionalis Turki. Kaum misionaris kemudian memiliki kekuatan riil di belakang partai-partai politik ini dan menjadikannya sebagai sarana untuk menghancurkan Khilafah.

    Sepanjang masa kemerosotan Khilafah Utsmaniyah, kaum penjajah berhimpun bersama, pertama kali dengan perjanjian Sykes-Picot tahun 1916 ketika Inggris dan Perancis merencanakan untuk membagi-bagi wilayah negara Khilafah. Kemudian pada 1923, dalam Perjanjian Versailles dan Lausanne, rencana itu mulai diimplementasikan. Dari sinilah lahir negara-negara dengan konsep nation-state yaitu Irak, Syria, Palestina, Lebanon, dan Transjordan.

    7BadriYatim, 2001. Soekarno, Islam, Dan Nasionalisme, Bandung: Nuansa hal.57-58

  • 5

    Semuanya ada di bawah mandat Inggris, kecuali Syria dan Lebanon yang ada di bawah Perancis. Hal ini kemudian diikuti dengan upaya Inggris untuk merekayasa lahirnya Pakistan. Jadi, semua negara-bangsa (nation state) ini tiada lain adalah buatan kekuatan-kekuatan Barat yang ada di bawah mandat mereka.

    III. NATION STATE DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN Konsep negara-bangsa (selanjutnya menggunakan istilah nation-state)

    merupakan salah satu konsep politik yang cukup sentral dan penting dalam pendiskusian wacana politik modern. Dalam kajian ilmu politik, ia menarik untuk ditelaah dengan serius. Sebuah nation (bangsa) merupakan sinonim dari sebuah state (negara) atau sebuah kelompok masyarakat yang secara bersama-sama terikat dengan loyalitas dan solidaritas umum. Pengertian ini menjelaskan bahwa nation-state merupakan sebuah entitas teritorial di mana negara sama besarnya atau coextensive dengan bangsa. Nation-state ditegakkan dengan semangat nasionalisme atau semangat yang disertai dengan kesadaran tinggi untuk membangun sebuah negara-bangsa.Nasionalisme menjadi faktor penentu untuk mempertahankan loyalitas dan memperjelas identitas politik.Semula nasionalisme merupakan sebuah doktrin politik yang digagas di Eropa yang mana umat manusia terbagi ke dalam berbagai bangsa dan masing-masing bangsa ditentukan berdasar sejarahnya, bahasanya dan lain sebagainya, untuk membangun negara-bangsa (nation-state) yang berdaulat.

    Bagaimana nation-state dalam perspektif Al-Quran, maka kita perlu melihat beberapa ayat yang selama ini populer berkaitan dengan pemerintahan.Dalam Al-Quransetidaknya ada 3 ayat terkait negara, yaitu :

    Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (An-Nisa:59).

    Pada ayat pertama ini, tidak ditemukan kata-kata tentang daulah atau negara Islam.Ayat pertama hanya berbicara tentang ketaatan kita pada ulil amri yang ditafsirkan oleh banyak orang sebagai ketaatan terhadap pemerintah.Ulil amri bisa juga dimaknai orang yang memegang amanah/urusan kemasyarakatan.Memang yang umum dimaknai pemerintah.Zaman orde baru ayat ini sering dikutip oleh para jurkam partai politik.

    Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka, sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada

  • 6

    Allah.Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.(AliImron:159).

    Ayat kedua, memberi kebebasan untuk melakukan musyawarah dalam urusan-urusan politik, ekonomi dan hal-hal duniawiyah lainnya.Pada ayat kedua juga tidak kita temukan bahasan tentang negara.Namun tafsir musyawarah memang lebih dekat dengan sistem demokrasi saat ini. Beberapa pemikir muslim menyatakan Islam tidak bertentangan dengan demokrasi, yang didasarkan pada ayat ini. Maka apa yang dilakukan Kemal Attaturk diamini oleh Ali abd Raziq karena Islam tidak menggariskan sebuah bentuk Negara. Nabi Muhamad juga tidak pernah berbicara soal bentuk Negara.

    Disisi lain, menurut penulis, penamaan Madinah dengan Madinatun Nabi memang ada kemiripan dengan ide Plato tentang Negara Kota. Namun konteks Madinatun Nabi memang terkait erat dengan bentuk masyarakat yang berkeadaban.Yang kemudian diterjemahkan oleh Nurcholis Majid sebagai masyarakat madani atau civil society atau tamadun Islam.Namun pandangan Ismail Razi al-Faruqi menyatakan Islamic State. "The Islamic state the Prophet Muhammad has founded at the hijrah was not only a state but a world order. The political systems which the world had known until then were know to him. The Empire model was embodied in Byzantium and Persia and the tribal model throughout Arabia. Beyond them, sea farers and travelers must have brought accounts of the other states living in isolation from the rest of the world. The Prophets Muhammad saw bought a new definition of man and citizens that neither the empire nor tribal model presented",.

    Menurut Karpansky, Islam lebih dekat ke sistem theokrasi daripada demokrasi meskipun Nabi Muhamad tidak melakukan sistem theokrasi. Karpansky melihat bahwa khalifah adalah perpaduan antara raja dan ahli agama. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka;

    dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka.(As-Syuro:38)

    Pada ayat ketiga, jelaslah bahwa urusan duniawiyah diserahkan pada umat manusia. Tentu dengan asas utama musyawarah. Seperti yang dilakukan Nabi Muhamad dalam menengahi pertentangan suku-suku arab ketika meletakkan Kabah.

    Kalau dicermati tulisan Dr. Yusuf Qardhawy tentang negara Islam, maka menjadi sangat aneh ketika menuliskan negara Islam bukan negara pengumpul harta namun negara petunjuk8.Memang ada ayat tentang imamah dalam surat Al-Baqarah : 124, namun dalam konteks yang berbeda dengan Negara.

    8YusufQardhawy,1997,Fiqih Negara, Jakarta, Robbani Press, hal.43

  • 7

    Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim". (Al-Baqarah : 124).

    Al-Baqarah ayat 124 diatas menegaskan bahwa Nabi Ibrahim adalah bapaknya agama Monoteis seperti tercatat dalam bukunya Karen Armstrong. Jadi kata Imam bukan dalam konteks Ibrahim sebagai pemimpin negara. Maksud ayat ini menjadi jelas ketika kita baca ayat selanjutnya.

    Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh kami Telah memilihnya di dunia dan Sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh.(Al-Baqarah:130).

    Dari bahasan diatas, penulis berkesimpulan bahwa konsep negara sangat multiinterpretasi.Meskipun banyak orientalis dan pemikir Islam seperti Maududi yang berpendapat bahwa Islam adalah agama dan negara namun pernyataan tersebut disarikan dari (meminjam istilah Rahman) Islam Sejarah. Al-Quran memberikan tuntutan global tentang negara berupa prinsip- prinsip tentang musyawarah dan tafsirnya diserahkan pada kaum muslim untuk mewujudkanya dalam dunia kontemporer.

    Penerimaan konsep nation-state oleh Dunia Islam setidaknya dikarenakan tiga hal; pertama, teori politik Islam klasik dan pertengahan tidak memberikan konsep yang jelas dan detail tentang penyelenggaraan negara secara modern yang lebih mengedepankan pluralisrne politik sehingga memberikan reinterpretasi yang varian bagi para pihak baik yang menerima atau yang menolak konsep nation-state. Konsep nation-state merupakan sebuah pilihan yang tak terhindarkan dan sebagai kenyataan yang harus dihadapi dalam politik modern.Kedua, praktek dunia Islam pascakolonialisme yang kemudian memproklamirkan diri sebagai negara yang berdaulat dengan mengakui pluralisme politik dalam wilayah teritorial tertentu, menjadi sebuah konsensus dan kesadaran bersama dalam penerimaannya terhadap konsep nation-state.Ketiga, banyaknya para 'ulama' dan pemimpin-pemimpin Islam yang mendukung penerapan nation-state secara menyeluruh atau sebagian sebagai sesuatu yang alami dalam institusi politik yang bersifat duniawi9.

    IV. KONSEP NEGARA DALAM PIAGAM MADINAH Menurut Montgomery Watt(1988) dan Bernard Lewis (1994) dalam

    bukunya piagam Madinah merupakan cikal bakal terbentuknya Negara Bangsa

    9P. James Piscatori, 1994, Islam in a World of Nation States, New York: Cambridge,hal.40

  • 8

    (nation state) dan menempatkan Nabi Muhammad SAW tidak sekedar sebagai pemimpin agama, tetapi juga sebagai pemimpin negara. Oleh karena itu nasionalisme dalam perspektif khasanah Islam klasik sebenarnya dapat dilihat pada pembentukan Piagam Madinah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW bersama penduduk Madinah. Pada waktu itu, Madinah tidak hanya dihuni oleh umat Islam saja, akan tetapi juga dihuni oleh golongan selain Islam, seperti Yahudi, Nasrani dan bahkan mereka yang masih menyembah berhala (musyrikin), serta mereka yang mempunyai kepercayaan lainya. Dari kemajemukan komunitas yang ada di Madinah waktu itu, disatukan oleh Nabi dengan piagam Madinah. Tidak dengan sentimen agama atau kepercayaan, akan tetapi mereka disatukan dengan sentimen kepemilikan bersama, yakni bagaimana mempertahankan Madinah dari segenap ancaman yang datang dari luar apapun ancamannya.

    Terdapat banyak pendapat dan ulasan para pakar terhadap isi piagam Madinah, pertama, A. Guillaume, seorang guru besar bahasa arab dan penulis The Life of Muhammad, menyatakan bahwa piagam yang telah dibuat Muhammad itu adalah suatu dokumen yang menekankan hidup berdampingan antara orang-orang Muhajirin di satu pihak dan orang-orang Yahudi di pihak lain. Kedua, H.R. Gibb dalam komentarnya menyatakan bahwa isi Piagam Madinah pada prinsipnya telah meletakkan dasar-dasar sosial politik bagi masyarakat Madinah yang juga berfungsi sebagai undang-undang, dan merupakan hasil pemikiran serta inisiatif Muhammad sendiri. Ketiga, Montgomery Watt lebih tegas lagi menyatakan bahwa piagam Madinah tidak lain adalah suatu konstitusi yang menggambarkan bahwa warga Madinah saat itu bisa dianggap telah membentuk satu kesatuan politik dan satu persekutuan yang diikat oleh perjanjian yang luhur di antara para warganya. Keempat, lebih terperinci lagi disimpulkan oleh Hasan Ibrahim Hasan, bahwa Piagam Madinah secara resmi menandakan berdirinya suatu negara, yang isinya bisa disimpulkan menjadi 4 pokok: (1) mempersatukan segenap kaum muslimin dari berbagai suku menjadi satu ikatan; (2) menghidupkan semangat gotong royong, hidup berdampingan, saling menjamin diantara warga negara; (3) memetapkan bahwa setiap warga masyarakat mempunyai kewajiban memanggul senjata, mempertahankan keamanan dan melindungi Madinah dari serbuan luar; (4) menjamin persamaan dan kebebasan bagi kaum Yahudi dan pemeluk-pemeluk agama lain dalam mengurus kepentingan mereka10.

    Menurut penulis, dari sekian banyak pendapat itu pada dasarnya mempunyai substansi yang sama, yaitu bahwa keberadaan piagam tersebut telah mempersatukan warga Madinah yang heterogen itu menjadi satu kesatuan masyarakat dalam pemenuhan hak dan penunaian kewajiban, saling menghormati terhadap suku dan agama. Piagam tersebut dianggap merupakan suatu pandangan jauh ke depan dan suatu kebijaksanaan politik yang luar biasa dari

    10MuhammadLatif Fauzi, , Konsep Negara dalam Perspektif Piagam madinah dan Piagam Jakarta ( Jurnal Al-Mawarid) , Edisi XIII, 200, hal.90

  • 9

    Nabi Muhammad dalam mengantisipasi masyarakat yang beraneka ragam latar belakangnya, dengan membentuk komunitas baru yang disebut Ummah. Mengacu pada konsep ummah inilah, penulis mengeksplorasi lebih jauh tentang konsep negara dalam Piagam Madinah.

    Dalam al-Quran, istilah ummah disebut 64 kali dalam 24 surat. Dalam frekwensi sebanyak itu, ummah mengandung sejumlah arti, umpamanya bangsa (nation), agama (religion) atau kelompok keagamaan (religious community), waktu (time) atau jangka waktu (term), juga pemimpin sinonim dengan imam. Sementara itu, didalam al-Quran sendiri terdapat istilah-istilah lain yang menunjuk pada konsep-konsep yang hampir serupa. Istilah Inggris nation atau bangsa umpamanya (disebut dengan ummah ; klan disebut dengan Asyirah dan Syab , rakyat dirujukkan dengan kata ahl, unas, al-abd, nas, qawm, dan syuub)11.

    Ali Syariati (1990:36) mengartikan kata ummat dengan jalan yang lurus, yakni sekelompok manusia yang bermaksud menuju jalan yang tidak lepas dari kata akarnya, amma. Kata ini ia artikan menuju dan berniat yang mengandung tiga arti, yaitu gerakan, tujuan dan ketetapan kesadaran12. Oleh karena itu, amma pada dasarnya bermakna kemajuan maka ia tersusun dari empat arti, yaitu ikhtiar, gerakan, kemajuan dan tujuan. Dalam Piagam Madinah ketetapan (pasal 1) ini merupakan pernyataan yang mempersatukan orang-orang mukmin dan muslim yang berasal dari dua golongan besar, Muhajirin dan Anshar, dari berbagai suku dan golongan sebagai umat yang satu. Dasar yang mengikat adalah akidah Islam, yang membedakan mereka dari umat lain.

    Konsep ummat menurut Syariati dan pasal satu ini bersifat ekslusif , hanya bagi umat Islam. Artinya, segolongan manusia yang tidak beraqidah sama, tidak dapat disebut sebagai umat yang satu. Dengan demikian, konsep ummah dalam pengertian khusus berlaku disini.

    Dilihat dari konsep ummah khusus ini, jelas bahwa kedudukan Piagam Madinah adalah untuk menyatukan suku-suku dalam umat Islamuntuk menegakkan Hukum Allah. Ini berarti bahwa bentuk negara yang dibentuk masa nabi melalui konstitusi Madinah adalah negara teokrasi, yakni teokrasi Islam13. Ummah yang dikehendaki oleh Piagam Madinah adalah umat Islam saja sebab di pasal lain kaum yahudi dan sekutunya di sebut sebagai anggota umat. Hal ini dibuktikan dalam pasal 25-35. Pasal 25 misalnya menerjemahkan:

    Kaum yahudi Bani Auf bersama dengan warga yang beriman adalah satu umah. Kedua belah pihak, kaum yahudi dan kaum

    11DawamRahardjo, 2002, Ensiklopedi Al-Quran (Tafsir sosial Berdasarkan konsep- konsep kunci), Jakarta, Paramadina, hal.483.

    12AliSyariati, 1990, Ummah wa al-Ummah, terj. M. Faishol Hasanudin, Jakarta, Penerbit yapi, hal.36

    13Sukarja, Ahmad, 1995, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian tentang Perbandingan tentang dasar hidup Bersama dalam masyarakat yang majemuk, Jakarta, Penerbit universitas Indonesia, hal 91

  • 10

    Muslimin, bebas memeluk agama masing-masing. Demikian pula halnya dengan sekutu dan diri mereka sendiri. Bila diantara mereka ada yang melakukan aniaya dan dosa dalam hal ini, maka akibatnya akan ditanggung oleh diri dan warganya.

    Dari ketetapan pada pasal 25 itu dapat dikatakan bahwa organisasi umat yang dibentuk Nabi bersifat terbuka. Beliau menghimpun semua golongan penduduk Madinah. Perbedaan keyakinan mereka tidak menjadi alasan untuk tidak bersatu dalam kehidupan bermasyarakat bernegara. Dalam hal ini berlaku konsep ummah yang bersifat umum. Dari perkataan ummah inilah tercermin paham kebangsaan dan negara yang dalam konteks teori negara lebih cenderung pada bentuk negara demokrasi. Walaupun secara historis istilah state dan nation timbul berabad-abad kemudian, tapi jiwa dan semangatnya telah tercermin dalam terminologi Ummah, suatu istilah yang sangat tepat digunakan Rasulullah untuk mempersatukan masyarakat Madinah menjadi suatu komunitas dengan menekankan kerjasama seerat mungkin dari masing-masing warganya demi keamanan dan kesejahteraan mereka bersama. Mereka sangat menyadari perlunya hidup bersama didalam koeksistensi yang damai.

    V. REAKSI KAUM MUSLIM TERHADAP NATION STATE Menurut Taha Jabir, ada tiga bentuk reaksi dalam menghadapi meresapnya

    pemikiran dunia barat kedalam negara-negara Islam,yaitu :1)Kaum Traditional; 2)Kaum Modernis; 3)Kaum Konservatif. Kaum modernis pada awalnya mempertahankan konsep dan ide tentang negara Islam.Muhammad Abduh (1894-1905) dan Muhammad Rashid Rida (1865-1935) misalnya.Menurut mereka Islam tidak bisa dipisahkan dari negara.Murid Rasyid Rida yang paling lantang adalah Hassan al-Bana yang berbicara tentang perlunya Khilafah Islamiah.

    Menurut Mulkhan, memang ada pemahaman yang berbeda antara kaum tradisionalis dan modernis serta golongan santri tentang negara Islam14.Perbedaan tersebut terletak pada pemahaman bentuk negara Islam dan strategi dakwah. Dengan kata lain apakah Islam diwujudkan dalam bentuk politik atau budaya ?Kalau politik maka perlu didirikan negara Islam.Kalau stategi budaya maka negara menjadi instrumen perwujudan nilai-nilai Islam.Namun dekade terakhir, perdebatan tentang konsep dan ide tentang negara Islam sudah mulai tabu dibicarakan, menurut Mulkhan. Negara-bangsa (nation-state) merupakan kenyataan sejarah yang tidak bisa dihindari oleh bangsa manapun, termasuk bangsa Indonesia. Selain karena tuntutan global, negara-bangsa merupakan konsep negara modern yang menjanjikan penyelesaian bagi setiap bangsa dalam menghadapi kenyataan pluralisme.

    Menguraikan hubungan antara agama dan negara dalam perspektif Islam bukanlah pekerjaan mudah. Jalinan hubungannya ternyata begitu rumit dan

    14Abduk MunirMulkhan, 1994, Runtuhnya Mitos Politik santri; stategi Kebudayaan dalam dakwah Islam, Yogyakarta, Sipress, Cet.1, hal.33

  • 11

    kompleks.Pokok soal ini telah cukup lama memancing debat dan sengketa intelektual, baik dalam pemikiran keislaman klasik maupun dalam kajian politik Islam kontemporer15. Sejauh yang dapat ditangkap dari perjalanan diskursus intelektual dan historis pemikiran dan praktik politik Islam, ada banyak pendapat yang berbeda, beberapa bahkan saling bertentangan, mengenai hubungan yang pas antara agama dan negara.

    Pengalaman umat Islam di pelbagai belahan dunia, terutama semenjak berakhirnya perang dunia kedua menunjukkan adanya hubungan yang canggung antara Islam dan negara16. Kecangungan ini kemudian berimplikasi pada lahirnya berbagai jenis eksperimentasi untuk menjuktaposisikan antara konsep dan kultur politik masyarakat Muslim; dan secara ipso facto eksperimen-eksperimen itu dalambanyak hal sangat beragam. Tingkat penetrasi Islam ke dalam negara juga berbeda-beda.

    Oleh karena itu, tidak bisa lain kecuali harus dilakukan pengkajian dan penelitian ilmiah yang serius tentang bagaimana sesungguhnya Islam mengkonsepsi negara; bagaimana hubungan antara Islam dan negara; apakah Islam sebagai agama tidak membutuhkan negara, oleh karena keduanya memang merupakan dua entitas yang berbeda; Selanjutnya, adakah sesungguhnya negara Islam (dawlah islmiyah) itu. Negara manakah yang dapat disebut sebagai negara yang betul-betul prototype Islam;Arab Saudi, Iran ataukah Pakistan sebagai representasi negara Islam17, Atau mungkin dalam pertanyaan yang berbeda, bisakah negara yang hanya mengimplementasikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam dikatakan sebagai negara Islam.

    Dari sejumlah pertanyaan di atas, upaya intelektual untuk penyelidikan doktrinal dan empirik terus dilakukan. Secara sederhana, paling tidak penyelidikan tentang negara mengandung dua maksud. Pertama, penelitian itu mencoba untuk menelusuri dan menentukan sejauhmana Islam menggariskan konsep secara clear-cut tentang negara, politik, dan sistem pemerintahan. Penghampiran yang menekankan dimensi formalisme dan skripuralisme ini bertunjang pada sebuah premis bahwa Islam memiliki konsep tentang negara.Kedua, penelusuran dilakukan untuk mengidentifikasi sebuah idealitas dari perspektif Islam terhadap proses penyelenggaraan negara. Tujuan yang kedua ini agaknya lebih beraksentuasi pada ranah praksis-substansial, yakni mencoba menjawab pertanyaan bagaimana isi negara menurut Islam. Pendekatan ini didasarkan pada asumsi bahwa Islam tidak memiliki konsep kenegaraan, tetapi hanya menawarkan prinsip-prinsip dasar berupa etik-moral tentang kenegaraan. Bentuk negara yang ada pada suatu masyarakat Muslim dapat diterima sejauh tidak menyimpang dari prinsip-prinsip pokok ajaran Islam.

    15 OpcitSadzali, hal 34

    16AzyumardiAzra,1996,Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Post-Modernisme, Jakarta: Paramadina, hal.1

    17MusdahMulia,2001,Negara Islam: Pemikiran Politik Husain Haikal, Jakarta: Paramadina, hal.3

  • 12

    Persoalannya adalah data historis tentang relasi Islam dan negara sering menampilkan fenomena kegamangan, kesenjangan sekaligus pertentangan secara frontal-diametral. Membaca sejumlah referensi kesejarahan, fenomena itu dapat disederhanakan bersumber pada dua sebab, yaitu; Pertama, adanya perbedaan konseptual antara Islam dan negara yang menimbulkan problem untuk mensinergikan secara praksis di lapangan. Dari sudut teks ajaran, Islam adalah agama multi interpretasi yang dengan mudah membuka peluang bagi terjadinya pluralitas tafsir. Konsekuensinya sudah bisa diduga, tidak akan pernah ada pandangan tunggal mengenai bagaimana seharusnya Islam dan negara dikaitkan secara pas; Kedua adanya anomali praktik politik dari etika dan moralitas agama. Pemandangan yang ditayangkan dalam sejarah kemanusiaan ternyata justru tidak berkelindan dengan acuan normatif Islam.

    VI. PARADIGMA RELASI ISLAM-NEGARA Para ahli merumuskan beberapa teori untuk menganalisa relasi antara

    negara dan agama yang antara lain dirumuskan dalam 3 (tiga) paradigma, yaitu paradigma integralistik, paradigma simbiotik, paradigma sekularistik.

    1) Paradigma Integralistik (Unified Paradigm) Secara umum teori integralistik dapat dinyatakan sebagai kesatuan yang

    seimbang dan terdiri dari berbagai entitas. Entitas disini memiliki sifat yang berbeda satu sama lain. Perbedaan itu tidak berarti saling menghilangkan justru saling melengkapi, saling menguatkan dan bersatu.Dalam kaitannya dengan relasi negara dan agama, menurut paradigma integralistik, antara negara dan agama menyatu (integrated). Negara selain sebagai lembaga politik juga merupakan lembaga keagamaan.

    Menurut paradigma ini, kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama dan kekuasaan politik. Pemerintahannya diselenggarakan atas dasar kedaulatan ilahi (divine sovereignty), karena pendukung paradigma ini meyakini bahwa kedaulatan berasal dan berada di tangan Tuhan.

    Agama (Islam) dan negara tidak dapat dipisahkan (integrated). Islam adalah din wa dawlah.Apa yang merupakan wilayah agama juga otomatis merupakan wilayah politik atau negara.

    Negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Antara keduanya merupakan totalitas utuh dan tidak dapat dipisahkan. Menurut pendekatan integralistik, Islam diturunkan sudah dalam kelengkapan yang utuh dan bulat. Dengan ungkapan lain, Islam telah memiliki konsep-konsep lengkap untuk tiap-tiap bidang kehidupan. Pandangan ini telah mendorong pemeluknya untuk percaya bahwa Islam mencakup cara hidup yang komprehensif. Bahkan, sebagian kalangan melangkah lebih jauh dari itu; mereka menekankan bahwa Islam adalah sebuah totalitas yang padu yang menawarkan pemecahan terhadap semua masalah kehidupan.

    Pada spektrum ini, beberapa kalangan Muslim terutama kalangan fundamentalisnya beranggapan bahwa Islam harus menjadi dasar negara;

  • 13

    bahwa syariah Islam harus diterima sebagai konstitusi negara; bahwa kedaulatan politik ada di tangan Tuhan; bahwa gagasan tentang negara bangsa (nation-state) bertentangan dengan konsep ummah (komunitas Islam) yang tidak mengenal batas-batas politik dan teritorial18. Singkatnya, model yang pertama ini merefleksikan adanya kecenderungan untuk menekankan aspek-aspek legalformal idealisme Islam. Konsekuensi dari paradigma ini adalah sistem politik modern diletakkan dalam posisi vis a vis dengan ajaran-ajaran Islam.

    Secara singkat dapat dikatakan bahwa inti landasan teologis paradigma pertama ini adalah keyakinan akan watak holistik Islam.Premis keagamaan ini dipandang sebagai petunjuk bahwa Islam menyediakan ajaran yang lengkap mengenai semua aspek kehidupan. Bahkan, sudut pandang khusus ini menjadi basis utama pemahaman bahwa Islam tidak mengakui pemisahan antara agama dan negara, antara yang transendental dan yang profan.

    Model pandangan holistikal ini dianut oleh dua kelompok Islam, yaitu: [1] Islam tradisional, yakni mereka yang tetap mempertahankan tradisi, praktik dan pemikiran politik Islam klasik, semisal Rasyid Ridla (1865-1935), dan [2] Islam fundamentalis, yakni mereka yang ingin melakukan reformasi sistem sosial dengan kembali kepada ajaran Islam dan tradisi Nabi secara total dan menolak sistem yang dibuat manusia, seperti Khurshid Ahmad,Muhammad Asad,Muhammad Husayn Fadhlallah,Sayyid Quthb (1906-1966),Abu al-Ala Mawdudi (1903-1979),dan Hasan Turabi.

    Model pemikiran pertama ini mempunyai beberapa implikasi. Salah satu di antaranya, pandangan ini telah mendorong lahirnya sebuah kecenderungan untuk memahami Islam dalam pengertiannya yang literal yang hanya menekankan dimensi eksteriornya. Kecenderungan literalistik ini telah dikembangkan sedemikian rupa sehingga menyebabkan terabaikannya dimensi kontekstual dan interior dari prinsip-prinsip Islam. Karena itu, apa yang mungkin tersembunyi di belakang penampilan-penampilan tekstualnya hampir terabaikan, jika bukan terlupakan maknanya. Paradigma integralistik ini memunculkan paham negara agama atau Teokrasi. Dalam paham teokrasi, hubungan Negara dan Agama digambarkan sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Negara menyatu dengan Agama, karena pemerintahan dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan, segala tata kehidupan dalam masyarakat, bangsa, dan negara dilakukan atas titah Tuhan19. Menurut Roeslan Abdoelgani, sebagaimana dikutip oleh Kaelan (2009: 9), menegaskan bahwa negara Teokrasi, menurut ilmu kenegaraan dan filsafat kenegaraan mengandung arti bahwa dalam suatu negara kedaulatan adalam berasal dari Tuhan. Dalam perkembangannya, paham teokrasi terbagi ke dalam dua bagian, yakni paham teokrasi langsung dan paham teokrasi tidak langsung. Menurut paham teokrasi langsung, pemerintahan diyakini

    18QamaruddinKhan, 1995,Pemikiran Politik Ibnu Taymiyah, Bandung: Pustaka, hal.172 19

    http://cakwawan.wordpress.com/2007/09/25/jalan-tengah-relasi-agama-dan-negara/

  • 14

    sebagai otoritas Tuhan secara langsung pula. Adanya Negara di dunia ini adalah atas kehendak Tuhan, dan oleh karena itu yang memerintah adalah Tuhan pula. Sementara menurut pemerintahan teokrasi tidak langsung yang memerintah bukanlah Tuhan sendiri, melainkan yang memerintah adalah raja atau kepala Negara atau raja yang diyakini memerintah atas kehendak Tuhan.

    2) Paradigma Simbiotik (Symbiotic Paradigm) Secara umum, teori simbiotik dapat didefinisikan sebagai hubungan

    antara dua entitas yang saling menguntungkan bagi peserta hubungan. Dalam konteks relasi negara dan agama, bahwa antara negara dan agama saling memerlukan.Dalam hal ini, agama memerlukan negara karena dengan negara, agama dapat berkembang. Sebaliknya, negara juga memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral-spiritual, Karena sifatnya yang simbiotik, maka hukum agama masih mempunyai peluang untuk mewarnai hukum-hukum negara, bahkan dalam masalah tertentu tidak menutup kemungkinan hukum agama dijadikan sebagai hukum negara20

    Marzuki Wahib dan Rumadi membagi Paradigma Simbiotik ini menjadi tiga jenis, yaitu: Agama dan negara mempunyai keterkaitan namun aspek keagamaan yang masuk ke wilayah negara sedikit, sehingga negara demikian lebih dekat ke negara sekular; Aspek agama yang masuk ke wilayah negara lebih banyak lagi, sehingga sekitar 50% konstitusi negara diisi oleh ketentuan agama; Aspek agama yang masuk ke wilayah negara sekitar 75%, sehingga negara demikian sangat mendekati negara agama.

    Dalam konteks paradigma simbiotik ini, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban Agama yang paling besar, karena tanpa kekuasaan Negara, maka Agama tidak bisa berdiri tegak. Pendapat Ibnu Taimiyah tersebut melegitimasi bahwa antara Negara dan Agama merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi saling membutuhkan. Oleh karenanya, konstitusi yang berlaku dalam paradigma ini tidak saja berasal dari adanya social contract, tetapi bisa saja diwarnai oleh hukum Agama21. Dalam kaitan ini, agama membutuhkan negara. Sebab, melalui negara, agama dapat berbiak dengan baik. Hukum-hukum agama juga dapat ditegakkan melalui kekuasaan negara. Begitu juga sebaliknya, Negara memerlukan kehadiran agama, karena hanya dengan agama suatu negara dapat berjalan dalam sinaran etik-moral.

    20Adi Sulistyono, 2008. Kebebasan Beragama dalam Bingkai Hukum. Makalah Seminar Hukum Islam dengan Tema Kebebasan Berpendapat VS Keyakinan Beragama ditinjau dari Sudut Pandang Sosial, Agama, dan Hukumyang diselenggarakan oleh FOSMI Fakultas Hukum UNS, Surakarta, tanggal 8 Mei 2008, hal.2

    21Thohir , Agus, 2009. Relasi Agama dan Negara.Makalah Diskusi Kajian Spiritual yang diselenggarakan oleh HMI Komisariat FPBS IKIP PGRI, Semarang, tanggal 4 November 2009, hal.4

  • 15

    Paradigma kedua ini memandang bahwa Islam tidak meletakkan suatu pola baku tentang teori negara yang harus dijalankan oleh ummah.Meskipun terdapat berbagai ungkapan dalam al-Qur`an yang seolah-olah merujuk pada kekuasaan politik dan otoritas, ungkapan-ungkapan ini hanya bersifat insidental dan tidak ada pengaruhnya bagi teori politik. Bagi mereka, jelas bahwa al-Qur`an bukanlah buku tentang ilmu politik. Menurut aliran pemikiran ini, istilah dawlah yang berarti negara tidak dijumpai dalam al-Qur`an. Istilah dawlah memang ada, tapi bukan bermakna negara. Istilah ini dipakai secara figuratif untuk melukiskan peredaran atau pergantian tangan dari kekayaan. Hanya dalam perjalanan waktu, makna harfiyah ini telah berkembang untuk menyatakan kekuasaan politik karena kekuasaan itu selalu berpindah tangan.

    Sungguhpun demikian, penting untuk dicatat bahwa pendapat kedua ini mengakui bahwa al-Qur`an mengandung nilai-nilai dan ajaran-ajaran yang bersifat etis yang kemudian menjadi landasan bagi aktivitas sosial dan politik umat manusia. Ajaran-ajaran ini mencakup prinsip-prinsip keadilan (al-adlah), kesamaan (al-muswah), persaudaraan (al-ukhuwwah) dan kebebasan (al-hurriyah). Untuk itu, bagi kalangan yang berpendapat demikian, sepanjang negara berpegang pada prinsip-prinsip seperti itu, maka mekanisme yang diterapkannya adalah sesuai dengan ajaran Islam (islmy).

    Dengan alur argumentasi semacam ini, menurut pandangan kedua, pembentukan sebuah negara Islam dalam pengertiannya yang formal dan ideologis tidaklah begitu penting. Sebagai kebalikan aliran dan model pemikiran yang pertama, maka yang kedua ini menekankan substansi daripada bentuk negara yang legal-formal. Bagi pendapat ini, yang pokok adalah negarakarena posisinya yang bisa menjadi instrumen dalam merealisasikan ajaran-ajaran agama--dapat menjamin tumbuhnya nilai-nilai dasar seperti itu.Para pendukung pemikiran ini, di antaranya adalah Mohamad Husayn Haykal (1888-1956),Muhammad Abduh (1849-1905),Fazlurrahman (1919-1988),dan Qamaruddin Khan.

    3) Paradigma Sekularistik (Secularistic Paradigm) Paradigma ini menolak kedua paradigma diatas.Sebagai gantinya,

    paradigma sekularistik mengajukan pemisahan (disparitas) agama atas negara dan pemisahan negara atas Agama22. Negara dan Agama merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan bidangnya masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi. Berdasar pada pemahaman yang dikotomis ini, maka hukum positif yang berlaku adalah hukum yang betul-betul berasal dari kesepakatan manusia melalui social contract dan tidak ada kaitannya dengan

    22Marzuki Wahid & Rumaidi. 2001. Fiqh Madzhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam Di Indonesia. Yogyakarta: LKiS, hal.28

  • 16

    hukum Agama23.Paradigma ini memunculkan negara sekuler.Dalam Negara sekuler, tidak ada hubungan antara sistem kenegaraan dengan agama.Dalam paham ini, Negara adalah urusan hubungan manusia dengan manusia lain, atau urusan dunia.Sedangkan agama adalah hubungan manusia dengan Tuhan.Dua hal ini, menurut paham sekuler tidak dapat disatukan. Dalam konteks Islam, paradigma sekularistik menolak pendasaran negara pada Islam, atau menolak determinasi Islam pada bentuk tertentu dari negara. Agama bukanlah dasar negara, tetapi agama lebih bersifat sebagai persoalan individual semata. Dengan perkataan lain, aliran ini berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat yang tidak bertali temali dengan urusan kenegaraan. Para pemikir politik yang masuk dalam kategori paradigma ketiga menurut adalah Ali Abdurraziq (1888-1966), Thaha Husein (1889-1973),Ahmad Luthfi Sayyid (1872-1963),kemudian disusul belakangan oleh Muhammad Sa.id al-Asymawi (Mesir, lahir 1932).

    Dalam Negara sekuler, sistem dan norma hukum positif dipisahkan dengan nilai dan norma Agama. Norma hukum ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan Agama atau firman-firman Tuhan, meskipun mungkin norma-norma tersebut bertentangan dengan norma-norma Agama. Sekalipun ini memisahkan antara Agama dan Negara, akan tetapi pada lazimnya Negara sekuler membebaskan warga negaranya untuk memeluk Agama apa saja yang mereka yakini dan Negara tidak intervensif dalam urusan urusan Agama (Syariat)24.

    Kesimpulan Dari uraian diatas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan:

    1. Dalam Al-Quran tidak ada penegasan untuk mendirikan Negara Islam. Al-Quran berbicara tentang prinsip-prinsip umum bermasyarakat.

    2. Reaksi kaum muslim menghadapi serbuan nation state terbagi menjadi3 kelompok yaitu : a. Tradisionalis b. Modernis c. Konservatif

    3. Piagam Madinah adalah sebuah konstitusi yang mendasari penyelenggaraan sebuah negara-kota yang bernama Madinah. Komponen bentuk negara terlihat pasal 2 (didasarkan pada pembagian pasal oleh A.Guillaume dalam bukunya The Life of Muhammad) yang menjelaskan Madinah adalah negara di suatu wilayah unik dan spesifik. Dalam pasal-pasal berikutnya maupun berdasarkan pada dokumen-dokumen tertulis tentang praktek Piagam Madinah, dapat dianalisis bahwa Madinah adalah negara berstruktur federal dengan otoritas terpusat. Praktek bentuk federasi mini ini adalah membagi

    23 OpcitThohir, hal.4

    24 http://cakwawan.wordpress.com/2007/09/25/jalan-tengah-relasi-agama-dan-negara.

  • 17

    Madinah dalam 20 distrik yang masing dipimpin oleh seorang Naqib, Kepala Distrik, dan Arif, sebagai wakilnya.

    Komponen pengaturan sistem pemerintahan, pembagian kekuasaan, dan wewenang badan-badan pemerintahan terlihat dengan pemberian otonomi penuh (kecuali dalam masalah pertahanan dan ketahanan negara) pada masing-masing suku dan golongan (terutama suku-suku Yahudi yang cukup dominan di Madinah ketika itu) untuk menjalankan hukumnya sendiri. Ini mirip dengan kebebasan untuk mengatur perda di negara kita dan bahkan jauh lebih bebas seperti halnya undang-undang federal di negara-negara federasi modern. Hanya masalah-masalah pelik yang tidak bisa diselesaikan oleh pihak-pihak federal bisa langsung diputuskan oleh Muhammad. Ini tergambar dalam suatu peristiwa yang dicatat ketika kaum Yahudi kebingungan untuk memutuskan hukuman pada dua orang yang terbukti berzina. Kemudian mereka pun mendatangi Muhammad untuk meminta keputusan, tetapi Muhammad menyerahkan keputusan tersebut kembali merujuk pada kitab suci Yahudi sendiri, dan akhirnya hukuman rajam diberikan pada dua orang pasangan yang berzina itu dengan dilakukan oleh kaumnya sendiri.

    DAFTAR PUSTAKA

    Abdillah, Masykuri, 1999, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual Muslim Indonesia terhadap Demokrasi (1966-1993), Yogyakarta: Tiara Wacana

    Al- Alwani, Taha Jabir, 1996, Krisis Pemikiran Moderen, IIIT.PJ.

    Al-Jawi, M.Shiddiq, KH, Nation State dan Khilafah, Makalah pada 4 Desember 2006.

    Ali Maschan Moesa, 2007, Nasionalisme Kiai Konstruksi Sosial Berbasis Agama, Jogjakarta:LKIS

    Al-Quran dan Terjemahannya,1971, Departemen Agama Republik Indonesia, Jakarta.

    Armstrong, Karen, 2006, Sejarah Tuhan, Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan oleh orang-orang Yahudi, Kristen, dan Islam selama 4.000 Tahun, Bandung, Mizan, cet.X.

  • 18

    Azra, Azyumardi, 1996, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Post-Modernisme, Jakarta: Paramadina

    Dahlan, Juwairiyah, 1999, Piagam Madinah dan konsep Ummah, Jurnal Paramedia (Jurnal Informasi Komunikasi dan Informasi Keagamaan ) Edisi XV ,Surabaya,IAIN Sunan Ampel.

    Diauddin Rais, 2001, Teori Politik Islam, Jakarta; Gema Insani Press.

    Din Syamsuddin,1992, Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam, dalam Jurnal Ulumul Qur`an, Nomor 2, Vol. IV

    FazlurRahman, 1965, Internal Religious Development in Islam, Mentor Book, cet 1

    Fazlurrahman, 1982, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago: University of Chicago Press

    Kaelan. 2009. Relasi Negara dan Agama Dalam Perspektif Filsafat Pancasila. Makalah. Yogyakarta

    Khan, Qamaruddin, 1995, Pemikiran Politik Ibnu Taymiyah, Bandung: Pustaka.

    Latif Fauzi, Muhammad, Konsep Negara dalam Perspektif Piagam madinah dan Piagam Jakarta ( Jurnal Al-Mawarid) , Edisi XIII, 2005

    Lukman Ali, Dkk. 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. M.Shiddiq, KH, Nation State dan Khilafah, 4 Desember 2004

    Marzuki Wahid & Rumadi. 2001. Fiqh Madzhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam Di Indonesia. Yogyakarta: LKiS.

    Mulia, Musdah, ,2001, Negara Islam: Pemikiran Politik Husain Haikal, Jakarta: Paramadina

    Mulkhan, Abduk Munir, 1994, Runtuhnya Mitos Politik santri; stategi Kebudayaan dalam dakwah Islam, Yogyakarta, Sipress, Cet.1

    Nasution, Harun, 1985, Islam ditinjau dari beberapa Aspek, Jakarta, UI

    Piscatori, P. James ,1994, Islam in a World of Nation States, New York: Cambridge

    Qardhawy, Yusuf, 1997, Fiqih Negara, Jakarta, Robbani Press

  • 19

    Rahardjo, Dawam2002, Ensiklopedi Al-Quran (Tafsir sosial Berdasarkan konsep- konsep kunci), Jakarta, Paramadina

    Sadzali, Munawir, 1990, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: UI Press

    Sjadzali, Munawir, 1993, Islam dan Tata Negara,:Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta:UI

    Sukarja, Ahmad, 1995, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian tentang Perbandingan tentang dasar hidup Bersama dalam masyarakat yang majemuk, Jakarta, Penerbit universitas indonesia

    Sulistyono,Adi , 2008. Kebebasan Beragama dalam Bingkai Hukum. Makalah Seminar Hukum Islam dengan Tema Kebebasan Berpendapat VS Keyakinan Beragama ditinjau dari Sudut Pandang Sosial, Agama, dan Hukum yang diselenggarakan oleh FOSMI Fakultas Hukum UNS, Surakarta, tanggal 8 Mei 2008.

    Syafii Maarif, Ahmad, 1983, Islam as the Basis of State: A Study of the Islamic Political Ideas as Reflekcted in the Constituent Assembly Debates in Indonesia, disertasi doktor, University of Chicago

    Syariati, Ali, 1990, Ummah wa al-Ummah, terj. M. Faishol Hasanudin, Jakarta, Penerbit yapi

    Thohir , Agus, 2009. Relasi Agama dan Negara. Makalah Diskusi Kajian Spiritual yang diselenggarakan oleh HMI Komisariat FPBS IKIP PGRI, Semarang, tanggal 4 November 2009.

    Yatim, Badri, 2001. Soekarno, Islam, Dan Nasionalisme, Bandung: Nuansa.

  • 20

    IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER DI SD/MI Rahmat Kamal1

    Abstrak Konsep dasar pendidikan karakter sekaligus implementasinya pada

    tingkat Sekolah Dasar (SD) / Madrasah Ibtidaiyah (MI) dengan berbagai karakteristik perkembangan psikis para peserta didik di lingkungan SD/MI tentu berbeda dengan perkembangan psikis peserta didik pada jenjang berikutnya.

    Pendidikan karakter menjadi sangat penting untuk dibahas melihat kondisi moral bangsa yang semakin hari semakin memprihatinkan. Pendidikan mempunyai peran dan tanggung jawab yang besar dalam menyelesaikan segala persoalan bangsa, terlebih persoalan yang terkait dengan karakter bangsa itu sendiri. Oleh karenanya, pendidikan karakter harus mampu menjadi ruh dari misi pendidikan secara keseluruhan dan harus terus ditumbuhkembangkan pada generasi bangsa sedini mungkin.

    Usia anak adalah usia yang sangat vital dalam menentukan perkembangan berikutnya, sehingga orang tua termasuk para pendidik sudah semestinya membekali anak-anak mereka dengan karakter yang baik dan budi pekerti yang mulia, sehingga mereka mampu menjadi generasi yang cerdas, unggul, dan mulia di masa yang akan datang.

    Dalam artikel ini, lingkup pembahasan terpusat pada tiga hal; pertama, konsep dasar pendidikan karakter secara umum; dua, karakteristik siswa SD/MI; dan yang ketiga, adalah implementasi pendidikan karakter bagi siswa SD/MI.

    Perlu adanya inspirasi bagi kita para orang tua sekaligus pendidik untuk memaksimalkan kembali pendidikan karakter dan budi pekerti sedini mungkin, harapannya tiada lain adalah agar putra-putri kita tumbuh menjadi pribadi yang cerdas tidak hanya secara intelektual akan tetapi juga secara moral dan sosial, amin.

    Kata Kunci : Pendidikan Karakter, Siswa SD/MI

    I. PENDAHULUAN Pendidikan adalah fenomena utama dalam kehidupan manusia untuk

    membantu perkembangan dan pertumbuhan peserta didik menjadi dewasa. Sesuai dengan visi dan misi pendidikan nasional, tujuan pendidikan haruslah mencerminkan kemampuan sistem pendidikan nasional untuk mengakomodasi berbagai tuntutan sakaligus tantangan zaman dengan berbagai fenomena sosial yang mengikutinya.

    Dalam riset yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Pusat Penelitian Universitas Indonesia (UI) terungkap bahwa biaya ekonomi dan

    1 Rahmat Kamal adalah dosen di STAIN Pekalongan

  • 21

    sosial penyalahgunaan narkoba di Indonesia pada tahun 2004 mencapai 23,6 triliun, dengan rincian 1,5 persen penduduk Indonesia merupakan pemakai narkoba, dan 78% korban tewas akibat narkoba berusia antara 19-21 tahun. Menurut data terbaru BNN terungkap bahwa untuk kasus narkoba di daerah provinsi Jawa Tengah saja jumlah kasusnya semakin bertambah menjadi 1485 kasus di tahun 2011, dibandingkan tahun sebelumnya pada tahun 2010 yang mencapai angka 1105 kasus. Belum lagi kehidupan seksual yang bebas dan tidak mencerminkan budaya timur ikut memperkeruh moral bangsa yang sedang mengalami dekadensi. Sumber BKKBN tahun 2010 menyebutkan bahwa angka kehamilan diluar nikah mencapai 17% pertahun dengan rincian 2,4 juta jiwa pertahun terjadi kehamilan diluar nikah.2

    Seperti yang dilansir surat kabar harian umum Kompas tertanggal 21 Desember 2011 memberitakan bahwa kekerasan antar pelajar di Jabodetabek semakin melonjak sepanjang tahun 2011 dibandingkan tahun sebelumnya. Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat pada tahun 2010 angka tawuran sebanyak 128 kasus dengan korban 40 orang meninggal dunia. Setahun kemudian, ditahun 2011 angka tawuran melonjak lebih dari dua kali lipat menjadi 339 kasus dengan jumlah korban 82 meninggal dunia.3 Fenomena sosial yang serba memprihatinkan di atas adalah sebuah renungan dan evaluasi bagi pendidikan kita selama ini, karena secara umum pendidikan harus mampu menghasilkan manusia sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat yang sehat dan cerdas dengan (1) kepribadian yang kuat dan religius serta mampu menjunjung tinggi budaya luhur bangsa, (2) kesadaran demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegra, (3) kesadaran moral hukum yang tinggi dan (4) kehidupan yang makmur dan sejahtera.4 Oleh karenanya pendidikan adalah proses pembelajaran yang harus paling bertanggung jawab untuk menjadikan seseorang tidak hanya sekedar mengenal dan paham semata akan nilai-nilai kebaikan, melainkan sadar dan mengamalkan nilai-nilai kebaikan tersebut dalam kehidupan sehari-hari sebagai karakter yang positif atau kepribadian yang mulia, karena pada dasarnya hakikat pendidikan bukan hanya sekedar transfer of knowledge akan tetapi juga transfer of values, dalam arti penanaman dan pengamalan nilai-nilai akan sangat berarti dalam kehidupan sehari-hari dibandingkan hanya sekedar hapal dan tahu. Revitalisasi pendidikan karakter sudah selayaknya bahkan seharusnya masuk dalam sebuah desain kurikulum pembelajaran di tingkat satuan pendidikan, sehingga pendidikan bangsa ini tidak kehilangan ruh dari hakikat

    2 Sukro Muhab, Makalah Desain Pendidikan Karakter Berbasis Pendidikan Berakhlak

    Mulia dalam Seminar Nasional Pendidikan Karakter 10 Mei 2011 di Hotel Quality Yogyakarta. 3 Kompas, Rabu 21 Deseember 2011, hlm.1.

    4 Jalal F & Supriyadi D, Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah,

    (Yogyakarta: Adi Citra Karya Nusa, 2001), hlm. 67.

  • 22

    tujuan yang sebenarnya seperti yang diamanatkan UUD 45 pasal 31 ayat 3 yang berbunyi:

    Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang5

    Hal serupa juga ditegaskan dalam UU Sisdiknas pasal 3 yang berbunyi: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab6

    Fungsi dan tujuan seperti di atas harus menjadi bahan renungan bagi kita selaku para pendidik atau orang yang memberikan perhatian lebih di bidang pendidikan, sehingga baik madrasah maupun sekolah dengan berbagai jenjang dan tingkat pendidikan dari mulai MI/SD sampai dengan jenjang yang lebih tinggi di atasnya, diharapkan mampu menghasilkan sebuah lulusan yang tidak hanya cerdas secara kognitif intelektual akan tetapi juga afektif spiritual.

    II. PEMBAHASAN A. PENDIDIKAN KARAKTER

    1. Pengrtian Karakter Dari segi kata, karakter dan akhlak secara bahasa mengandung makna

    yang sama yakni , kebiasaan, tabi'at, watak, sifat-sifat kejiwaan. Dan secara istilah, karakter dan akhlak mempunyai arti sama juga yaitu suatu kehendak yang sudah biasa dan sering dilakukan secara spontan. Maka maksud dan tujuan pendidikan karakter dan pendidikan akhlak semakna dan sejalan, yakni suatu usaha sadar untuk membantu individu mempunyai kehendak untuk berbuat sesuai dengan nilai dan norma (baik dalam agama maupun di masyarakat) serta membiasakan perbuatan tersebut dalam kehidupannya.

    Pendidikan karakter menurut Doni Koesoema merupakan sebuah struktur antropologis yang terarah pada proses pengembangan dalam diri manusia secara terus menerus untuk menyempurnakan dirinya sebagai manusia yang berkeutamaan, yakni dengan mengaktualisasikan nilai-nilai keutamaan seperti keuletan, tanggung jawab, kemurahan hati, dan lain-lain.

    5 UUD 45 dan Amandemen Lengkap, (Yogyakarta: Aditya Pustaka), hlm. 25.

    6 Depdiknas, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem

    Pendidikan Nasional (Jakarta: CV Eka Jaya, 2003), hlm. 7.

  • 23

    Sedangkan pendidikan karakter atau akhlak bagi Ibnu Miskawaih adalah sebuah struktur teologis untuk melakukan keutamaan dengan tanpa berfikir dan pertimbangan, dan untuk itu diperlukan pembiasaan dan latihan dengan cara diberikan pendidikan.7

    2. Unsur-unsur Karakter Fathul Muin mengatakan, bahwa karakter memiliki beberapa unsur

    baik secara psikologis maupun sosiologis, yaitu: a. Sikap

    Sikap seseorang merupakan bagian dari karakternya, bahkan dianggap sebagai cerminan dari karakter orang tersebut. Tentu tidak sepenuhnya benar, tetapi dalam hal tertentu sikap seseorang terhadap sesuatu yang dihadapinya menunjukkan bagaimana karakter dirinya. Bahkan para psikolog banyak mengembangkan perubahan diri menuju sukses melalui perubahan sikap.

    Oskamp dalam Fathul Muin mengemukakan bahwa sikap dipengaruhi oleh proses evaluatif yang dilakukan individu, dan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi proses evaluatif tersebut adalah: faktor genetik dan fisiologik, pengalaman personal, pengaruh orangtua, pengaruh kelompok sebaya atau masyarakat, dan media massa. Oskamp menambahkan, bahwa ada dua hal yang secara khusus berpengaruh dalam membentuk sikap seseorang, yaitu: pertama, peristiwa yang memberikan kesan kuat pada diri seseorang (salient incident), yaitu peristiwa traumatik yang mengubah secara drastis kehidupan individu, misalnya kehilangan anggota tubuh karena kecelakaan. Kedua, munculnya objek secara berulang-ulang (repeated exposure), misalnya tingginya frekuensi seseorang bertemu dalam berbagai hal dan pekerjaan dengan lawan jenisnya, kemungkinan akan menimbulkan antara satu dan lainnya, atau dikenal juga dengan istilah dalam bahasa Jawa witing tresno jalaran soko kulino.8

    b. Emosi Kata emosi diadopsi dari bahasa Latin emovere (e berarti luar dan

    movere artinya bergerak). Sedangkan dalam bahasa Prancis adalah emouvoir yang artinya kegembiraan. Emosi adalah gejala dinamis dalam situasi yang dirasakan manusia, yang disertai dengan efeknya pada kesadaran, perilaku, dan juga merupakan proses fisiologis. Misalnya, saat kita merespon sesuatu yang melibatkan emosi, dan kita juga megetahui makna apa yang kita hadapi (kesadaran). Saat kita marah dan tegang, jantung kita berdebar-debar dan akan berdetak cepat (fisiologis), maka kita pun akan segera melakukan reaksi terhadap apa yang menimpa kita (perilaku).

    7 Heni Zuhriyah. Pendidikan Karakter ; Studi Perbandingan Antara Konsep Doni

    Koesoema dan Ibnu Miskawaih, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2010) 8 Fathul Muin, Pendidikan Karakter; Konstruksi Teoretik dan Praktik (Yogyakarta: Ar-

    Ruzz Media, 2011), hlm. 168-170.

  • 24

    Kata emosi umumnya mendapatkan konotasi negatif, mengingat orang yang sering emosional atau terlalu berperasaan cenderung kelihatan sebagai orang yang lemah, pemarah, dan keadaan psikologisnya tidak stabil. Akan tetapi sesungguhnya emosi itu jauh dari hal-hal yang jelek seperti itu. emosi tidak segalanya negatif, dan kita lah yang harus senantiasa merawat dan memelihara emosi kita masing-masing9.

    c. Kepercayaan Kepercayaan merupakan komponen kognitif manusia dari faktor

    sosiopsikologis. Kepercayaan bahwa sesuatu itu benar atau salah atas dasar bukti, sugesti otoritas, pengalaman dan intuisi sangatlah penting untuk membangun watak dan karakter manusia. Jadi, kepercayaan itu memperkukuh eksistensi diri dan memperkukuh hubungan dengan orang lain.

    Kepercayaan memberikan perspektif pada manusia dalam memandang kenyataan dan ia memberikan dasar bagi manusia untuk mengambil pilihan dan menentukan keputusan. Jadi, kepercayaan salah satunya dibentuk oleh pengetahuan. Apa yang kita ketahui membuat kita menentukan pilihan karena kita percaya apa yang kita ambil berdasarkan yang kita ketahui.10

    d. Kebiasaan dan kemauan Kebiasaan adalah faktor konatif manusia dari faktor sosiopsikologis.

    Kebiasaan adalah aspek perilaku manusia yang menetap, berlangsung secara otomatis, tidak direncanakan. Ia merupakan hasil pelaziman yang berlangsung pada waktu yang lama atau sebagai reaksi khas yang diulangi berkali-kali. Kebiasaan memberikan pola perilaku yang dapat diramalkan.11

    e. Konsepsi diri. Hal penting lainnya yang berkaitan dengan pembangunan karakter

    adalah konsepsi diri. Konsepsi diri penting karena biasanya tidak semua orang cuek pada dirinya. Orang yang sukses biasanya adalah orang yang sadar bagaimana dia membentuk wataknya. Dalam hal kecil saja, kesuksesan sering didapat dari orang-orang yang tahu bagaimana bersikap di tempat-tempat yang penting bagi kesuksesannya.

    Proses konsepsi diri merupakan proses totalitas baik sadar maupun tidak, tentang bagaimana karakter dan diri kita dibentuk. Konsepsi diri adalah bagaimana saya harus membangun diri, dan bagaimana saya harus menempatkan diri dalam kehidupan.12

    Kelima aspek inilah yang kemudian menjadi unsur dari sebuah karakter yang ada pada diri kita. Sehingga ketika seseorang mampu membangun dan mengembangkan kelima unsur ini dengan baik maka dia akan memiliki karakter yang baik pula, dan begitupun sebaliknya.

    9 Ibid, hlm. 171-173

    10 Fathul Muin, Pendidikan Karakter...., hlm. 176-178

    11 Ibid, hlm. 178-179

    12 Ibid, hlm. 179

  • 25

    3. Pendekatan dan Metode dalam Pendidikan Karakter Mendidik karakter berarti mendidik nilai. Dalam pendidikan nilai

    terdapat beberapa pendekatan yang bisa dilakukan, antara lain: penanaman nilai (inculcation approach), pendekatan analisis nilai (values analysis approach), pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach), dan pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach).13

    Dalam bahasa yang lebih mudah Ryan dan Bohlin menyatakan bahwa agar bisa tumbuh dan berkembangnya sebuah karakter yang baik dari seseorang, maka paling tidak ada tiga tahapan metode yang harus dilalui seseorang kaitannya dengan proses pendidikan karakter, yakni: pertama, mengetahui kebaikan (knowing the good); kedua, mencintai kebaikan (loving the good); dan ketiga, melakukan kebaikan (doing the good). Dalam pendidikan karakter, kebaikan itu seringkali dirangkum dalam sederet sifat-sifat baik. 14

    Sementara Doni Koesoema lebih khusus menyampaikan lima metodologi pendidikan karakter yang bisa diterapkan di sebuah lembaga pendidikan (sekolah atau madrasah) yakni: pertama, mengajarkan pengetahuan tentang nilai (kebaikan) yang disarikan dari semua mata pelajaran; dua, memberikan keteladanan terhadap nilai (kebaikan) yang telah disampaikan; tiga, menentukan prioritas nilai (kebaikan) yang harus didahulukan; empat, praksis prioritas yakni wujud dari nilai (kebaikan) yang telah diprioritaskan guru kepada para siswa; dan lima, adanya refleksi sebagai bagian dari evaluasi terhadap berbagai nilai (kebaikan) yang telah disampaikannya kepada siswa. Semua metode tersebut dilaksanakan dalam setiap momen di sekolah, yang kemudian diaktualisasikan ke dalam lingkungan masyarakat supaya lebih bisa terkontrol dan terjaga dengan baik.15

    B. Karakteristik Perkembangan Siswa Sekolah Dasar (SD/MI) Menurut Nasution (2004) dalam Haryu (2012), bahwa masa usia sekolah dasar sebagai

    masa kanak-kanak akhir berlangsung dari usia enam tahun hingga sebelas atau dua belas tahun. Usia ini ditandai dengan mulainya anak masuk sekolah dasar, dan dimulainya sejarah baru dalam kehidupan yang kelak akan mengubah sikap-sikap dan tingkah lakunya.16

    13Zaim El Mubarok, Membumikan Pendidikan Nilai; Mengumpulkan yang

    terserak,Menyambung yang Terputus, dan Menyatukan yang Tercerai (Bandung: Alfabeta, 2006), hlm. 61-73.

    14http://www.inilahguru.com//34-pendidikan/65-apa-yang-beda-dalam-pendidikan karakter. html, di akses pada tanggal 3 Oktober 2011 pukul 12.30 WIB.

    15 Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global,

    (Jakarta: PT. Grasindo, Cet.III, 2011), hlm. 212-217 16

    Haryu Islamudin, Psikologi Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 39

  • 26

    1. Karakteristik Sifat Khas Menurut Suryabrata (1984) masa usia sekolah ini disebut dengan masa intelektual atau

    masa keserasian bersekolah, pada masa ini anak lebih mudah untuk dididik daripada masa sebelumnya dan sesudahnya. Freud memberi nama fase ini sebagai fase latent, di mana dorongan-dorongan seakan-akan mengendap (latent), tidak semenggelora masa-masa sebelumnya dan sesudahnya. Masa ini dapat dirinci lagi menjadi dua fase, yaitu: pertama, fase kelas rendah sekolah dasar (6;0/7;0 9;0/10;0); dan kedua, fase kelas tinggi sekolah dasar (9;0/10;0 12;0/13;0).

    Adapun beberapa sifat khas yang dimiliki anak pada fase kelas rendah sekolah dasar, antara lain: a. Adanya korelasi yang tinggi antara keadaaan jasmani dan prestasi sekolah sebagai bukti harus

    tercukupinya kebutuhan-kebutuhan biologis. b. Sikap tunduk kepada peraturan-peraturan permainan yang tradisional c. Adanya kecendrungan memuji diri sendiri d. Suka membanding-bandingkan dirinya dengan anak lain, kalau hal itu menguntungkan;

    dalam hubungannya dengan ini juga ada kecendrungan untuk meremehkan anak-anak lain. e. Kalau tidak dapat menyelesaikan suatu soal, maka soal itu dinggapnya tidak penting. f. Pada masa ini anak menghendaki nilai-nilai (angka rapor, skor) yang baik, tanpa mengingat

    apakah prestasinya pantas diberi nilai baik tersebut atau tidak. Sedangkan beberapa sifat khas yang dimiliki anak pada fase kelas tinggi sekolah dasar,

    antara lain: a. Adanya perhatian kepada kehidupan praktis sehari-hari yang konkret, hal ini membawa

    kecendrungan untuk membantu pekerjaan-pekerjaan yang praktis. b. Amat realistik, ingin tahu, ingin belajar. Kenyataan inilah kiranya yang mendasari pendapat

    O. Kroh yang memberi penafsiran pada masa ini sebagai masa realisme, yaitu realisme naif (8;0- 10;0) dan realisme kritis (10;0 12;0).

    c. Menjelang akhir masa ini telah ada minat pada hal-hal dan mata-mata pelajaran khusus, yang oleh para ahli pengikut teori faktor ditafsirkan sebagai mulai menonjolnya faktor-faktor s.

    d. Sampai kira-kira umur 11;0 anak membutuhkan bantuan guru atau orang-orang dewasa lainnya untuk menyelesaikan tugasnya dan memenuhi keinginannya, setelah kira-kira berumur 11;0 anak menghadapi tugas-tugas dengan bebas dan berusahamenyelesaikannya sendiri.

    e. Pada masa ini anak memandang nilai (angka rapor) adalah ukuran yang tepat mengenai prestasi sekolahnya.

    f. Anak-anak pada masa ini gemar membentuk kelompok-kelompok sebaya, biasanya untuk dapat berain-main bersama. Dalam permainan tersebut anak-anak kerap sekali tidak terikat pada peraturan-peraturan permainan tradisional, sehingga mereka membuat peraturan sendiri.

  • 27

    Masa keserasian bersekolah ini diakhiri dengan suatu masa yang biasanya disebut dengan masa pueral. Masa ini demikian khasnya, sehingga menarik perhatian para ahli, dan karenanya juga banyak dilakukan penyelidikan dan pembahasan mengenai masa ini.17

    2. Karakteristik Tahap Perkembangan Agama Apabila dilihat dari tahap perkembangan agama anak, maka Fowler merincinya menjadi

    dua masa, yaitu masa anak-anak awal dan masa anak-anak akhir. Adapun karakteristik tahap perkembangan agama anak-anak masa awal menurut teori Fowler antara lain: a. Kebaikan dan kejahatan lebih bersifat intuitif dalam pandangannya b. Antara fantasi dan kenyataan dianggapnya sama dan tidak berbeda.

    Sementara karakteristik perkembangan masa anak-anak akhir menurut Fowler, antara lain: a. Pemikiran sudah lebih logis dan konkrit tidak lagi bersifat intuisi. b. Kisah-kisah agama diinterpretasikan secara harfiyah; dan Tuhan digambarkan sebagai figur

    orangtua.18

    3. Karakteristik Tahap Perkembangan Kognitif Seiring dengan masuknya anak ke sekolah dasar, maka kemampuan kognitifnya turut

    mengalami perkembangan yang pesat. Karena dengan masuk sekolah, berarti dunia dan minat anak bertambah luas, dan dengan meluasnya minat maka bertambah pula pengertian tentang manusia dan objek-objek yang sebelumnya kurang berarti bagi anak. Dalam keadaan normal, pikiran anak usia sekolah berkembang secara berangsur-angsur. Kalau pada masa sebelumnya daya pikir anak masih bersifat imajinatif dan egosentris, maka pada usia sekolah dasar ini daya pikir anak berkembang ke arah berpikir konkrit, rasional dan objektif. Menurut teori Piaget, pemikiran anak-anak usia sekolah ini disebut dengan pemikiran operasional konkrit (concrete operational thought) yaitu aktivitas mental yang difokuskan pada objek-objek dan peristiwa-peristiwa nyata atau konkrit dapat diukur.

    Dalam upaya memahami alam sekitarnya, anak-anak tidak lagi mengandalkan informasi yang bersumber dari pancaindra, karena ia mulai mempunyai kemampuan untuk membedakan apa yang tampak oleh mata dengan kenyataan yang sesungguhnya, dan antara yang bersifat sementara dengan yang bersifat menetap. Misalnya mereka akan tahu bahwa air dalam gelas besar pendek dipindahkan ke dalam gelas kecil tinggi, jumlahnya akan tetap sama karena tidak setetes pun air yang tumpah. Hal ini adalah karena mereka tidak lagi mengandalkan persepsi penglihatannya, melainkan sudah mampu menggunakan logikanya. Mereka dapat mengukur, menimbang, dan menghitung jumlahnya, sehingga perbedaan yang nyata tidak membodohkan mereka.19

    17

    Sumadi Suryabrata. Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 204-206 18

    Desmita. Psikologi Perkembangan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet VII, 2012), hlm. 209

    19 Desmita. Psikologi....., hlm. 156

  • 28

    4. Karakteristik Tahap Perkembangan Moral Menurut hasil penelitiannya, Kohlberg mengklasifikasikan perkembangan moral atas tiga

    tingkatan (level), yang kemudian dibagi lagi menjadi enam tahap (stage). Adapun ketiga tingkatan perkembangan moral tersebut adalah: a. Prakonvensional. Pada level ini anak mengenal moralitas bedasarkan dampak yang

    ditimbulkan oleh suatu perbuatan, yaitu menyenangkan (hadiah) atau menyakitkan (hukuman). Sehingga dari sini anak tidak melanggar aturan karena takut akan ancaman hukuman dari otoritas.

    b. Konvensional. Suatu perbuatan dinilai baik oleh anak apabila mematuhi harapan otoritas atau kelompok sebaya.

    c. Pasca-konvensional. Pada level ini aturan dan institusi dari masyarakat tidak dipandang sebagai tujuan akhir, tetapi diperlukan sebagai subjek. Sehingga pada kondisi ini anak mematuhi aturan lebih karena menghindari hukuman kata hati.

    Tingkatan yang ketiga ini, menurut Piaget disebut dengan autonomous morality atau morality of cooperation yaitu tahap moral yang terjadi pada anak-anak usia kira-kira 9 hingga 12 tahun. Pada tahap ini anak mulai sadar bahwa aturan-aturan dan hukum-hukum merupakan ciptaan manusia dan dalam menerapkan suatu hukuman atas suatu tindakan harus mempertimbangkan maksud pelaku serta akibat-akibatnya.20

    C. Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah/Madrasah Konsep dasar pendidikan karakter di sekolah atau madrsah tentunya harus

    dilandaskan pada visi, misi, dan tujuan sekolah atau madrasahnya masing-masing yang selanjutnya diimplementasikan ke dalam: 1) kurikulum dan mata pelajaran, 2) budaya madrasah baik di lingkungan guru maupun siswa, dan 3) pengembangan diri melalui program pembiasaan dan pengembangan minat dan bakat siswa. Hal ini sesuai dengan prinsip implementasi pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa yang dirangcang oleh kemendiknas tahun 2010. 1. Kurikulum/Mata Pelajaran

    Adapun pengembangan kurikulum yang bisa dilakukan adalah : a. Memaksmimalkan kembali proses integrasi nilai-nilai karakter ke dalam

    semua mata pelajaran, baik mata pelajaran yang secara konten mengajarkan nilai-nilai karakter dan kebajikan seperti halnya mata pelajaran PAI, maupun materi yang tidak secara konten mengajarkan nilai-nilai karakter seperti Matematika dan lain sebagainya. Terlebih ketika kurikulum 2013 mengintegrasikan materi IPA-IPS ke dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia dan PKN untuk tingkat SD/MI (baca Dokumen Kurikulum 2013), maka hal ini memberikan kesempatan lebih kepada para guru yang bersangkutan untuk memaksimalkan kembali proses integrasi nilai-nilai karakter tersebut ke dalam materi yang diintegrasikan. Oleh karenanya desain RPP berkarakter akan sangat membantu para guru dalam merefleksikan nilai-nilai karakter ke

    20

    ibid hlm. 151-152

  • 29

    dalam sebuah materi pelajaran. Formulasi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) berbasis karakter berfungsi sebagai pengingat para guru dalam mengembangkan tiga kompetensi pembelajaran (kognitif, afektif, dan psikomotorik) secara seimbang sebagai salah satu dasar dalam pembentukan karakter siswa. Sehingga pada akhirnya memberikan kesempatan kepada semua guru dalam setiap mata pelajaran, baik mata pelajaran rumpun PAI maupun mata pelajaran umum lainnya untuk tidak melupakan diri dalam menyampaikan dan menanamkan nilai-nilai karakter (inculcation approach) yang ada di balik materi selama proses pembelajaran.

    b. Memaksimalkan kembali program pembiasaan baik yang bersifat ritual maupun non ritual selama proses pembelajaran. Kebaikan yang selalu diulang-ulang dan dibiasakan setiap hari, akan jauh lebih membekas dalam hati serta jiwa para siswa dibanding kegiatan yang sekedar insidental semata. Namun tidak juga hanya sekedar pembiasaan yang pada akhirnya terhenti dalam simbol-simbol rutinitas formal, melainkan pembiasaan yang harus disertai dengan penuh pemaknaan. Ketika guru menajalankan rutinitas kegiatan kelas misalnya tadarus bersama di setiap awal pembelajaran, maka tugas guru disamping memberikan pendampingan juga memberikan pemaknaan terhadap kegiatan tersebut, siswa diberikan pemahaman tentang arti penting dari apa yang mereka lakukan.

    c. Memberikan penekanan kembali kepada para pengajar PAI dan PKN untuk tidak terjebak pada materi-materi yang sifatnya kognitif dan hafalan semata, karena pada dasarnya materi pelajaran PAI dan PKN secara subtantif lebih pada penanaman (inculcation approach) dan pengamalan nilai-nilai karakter (action learning approach) sehingga jangan sampai ada siswa yang secara kognitif nilai ulangan PAI dan PKNnya tinggi akan tetapi tidak diimbangi dengan perilaku dan akhlak yang terpuji.Karakteristik sifat khas anak sekolah dasar seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa mereka lebih menganggap nilai rapor sebagai prestasi segala-galanya harus dikikis secara bertahap dengan memberikan penekanan bahwa nilai berbentuk angka bukanlah segalanya ketika tidak diimbangi dengan perilaku dan akhlak yang terpuji.

    Salah satu cara yang bisa digunakan untuk memaksimalkan kembali mata pelajaran PAI dalam memberikan penanaman nilai adalah dengan membuat program renungan/intropeksi diri (muhasabah) secara berkala. Program sekolah atau kelas yang bisa dilakukan berkala ini sangatlah besar peranannya dalam proses internalisasi nilai-nilai karakter, karena target utama dari program ini adalah mengasah kepekaan bathin atau afeksi para siswa yang selama ini mungkin hampa karena dipenuhi dengan muatan kognisi tanpa refleksi, dan ketika sisi ruang bathin siswa mulai terasah dengan mampu menyadari akan kekurangan dan kealfaannya, maka lambat laun keterasahan bathin ini akan membentuk sebuah karakter yang positif dikemudian hari

  • 30

    d. Memaksimalkan kembali proses pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAIKEM) dalam setiap mata pelajaran. Dengan pembelajaran seperti ini, harapannya akan memberikan kesan yang mendalam, sehingga nilai-nilai karakter yang disampaikan dengan mudahnya terinternalisasi menjadi sebuah sikap dan karakter yang kuat pada diri dan jiwa para siswa. Seperti yang telah disampaikan Oskamp (1991) sebelumnya, bahwa salah satu hal yang secara khusus berpengaruh dalam membentuk sikap seseorang, adalah adanya peristiwa yang memberikan kesan kuat pada diri seseorang (salient incident).

    e. Memaksimalkan kembali proses komunikasi antara guru dengan orangtua siswa untuk memantau sejauh mana perkembangan siswa sekaligus putra-putri mereka baik di lingkungan sekolah dengan menggunakan buku anecdotal recard yaitu buku seluruh kejadian selama di kelas atau di sekolah, maupun perkembangan siswa selama di rumah dengan menggunakan buku mutabaah yaitu buku evaluasi tentang sejumlah kegiatan siswa selama di rumah baik itu proses belajar, maupun ibadah ritual keseharian siswa. Sehingga dari data ini bisa dijadikan salah satu bahan refleksi sekolah/madrasah maupun para orangtua siswa tentang kemajuan perkembangan karakter putra-putrinya selama ini, seperti apa yang telah disampaikan Doni Koesoema di atas tentang metodologi pendidikan karakter yang terakhir.

    f. Memaksimalkan kembali reward (hadiah) terhadap sejumlah prestasi siswa tidak hanya dalam bidang akademik akan tetapi juga dalam bidang ibadah dan akhlak keseharian dengan cara mengolah sejumlah data dari buku mutabaah (evaluasi) siswa dan juga data dari hasil komunikasi aktif dengan para orang tua tentang laporan ibadah dan akhlak keseharian siswa. Sehingga setiap pertengahan semester atau akhir semester para siswa tidak hanya diberikan bintang prestasi akademik bagi mereka yang mendapatkan nilai rapor tertinggi dalam satu kelas, akan tetapi juga bintang prestasi akhlak mulia bagi mereka yang paling rajin melaksanakan shalat serta tidak pernah tercatat dalam buku anecdotal record pada masing-masing kelas. Hal ini sesuai dengan tahap perkembangan moral siswa yakni pra-konvensional dan konvensional seperti yang telah dijelaskan di atas. Dan untuk meningkatkan menjadi pasca-konvensional, maka dalam perjalanannya para guru harus mampu memberikan penyadaran diri terhadap para siswa bahwa tujuan dari semua prestasi dan kebaikan yang dilakukannya adalah semata-mata untuk kebaikannya sendiri di mata Allah Swt, dan bukan karena sekedar mendapatkan materi dari reward atau hadiah yang telah diterimanya.

    2. Budaya Sekolah atau Madrasah Anak akan belajar dari lingkungan terdekatnya, inilah yang kemudian harus

    semakin kita sadari untuk menciptakan sebuah budaya dan kultur sekolah atau madrasah yang positif bagi perkembangan karakter siswa. Hal ini sesuai dengan

  • 31

    apa yang pernah dikatakan oleh Thomas Lickona bahwa budaya moral sekolah akan berpengaruh pada fungsi moral siswa. the schools moral culture affects students moral functioning. Beliau menambahkan:

    We want students to become the kind of people who will do whats right even when they are surrounded by a rotten moral culture. But forming that sort of character is much easier in a moral environment where being honest, decent, and caring is perceived to be the norm21

    Menciptakan budaya di sekolah atau madrasah tentu harus diawali dengan adanya keteladanan (uswah) dari guru dan orang-orang yang berada di dalam lingkungan sekolah atau madrasah. Artinya keteladanan tidak hanya ditunjukkan oleh para guru akan tetapi juga seluruh karyawan yang ada di sekolah, mengapa hal ini dilakukan? karena siswa akan belajar dari lingkungan terdekatnya, ketika seorang karyawan petugas kebersihan menjalankan tugasnya menjaga kebersihan disetiap sudut dan ruangan sekolah diikuti dengan peran guru yang ikut menjaga kebersihan sekolah, maka siswa akan mulai mengamati, merasakan dan pada akhirnya akan ikut menjaga kebersihan serta merasa memiliki sekolah dimana tempat mereka belajar. Ketika disatu sekolah diadakan program pembiasaan yang bersifat ritual misalnya shalat dhuha, maka kemudian guru dan seluruh karyawan ikut mengawal program tersebut dengan membersamai para siswa dalam menjalankan program shalat dhuha, dan disaat lingkungan telah membersamainya secara positif maka dengan sendirinya sikap dan karakter positif itupun akan terbangun dari dalam diri seorang siswa dengan menjadikan guru dan lingkungan sekitar sebagai figur dan cerminannya.

    Namun tidak juga hanya sekedar pembiasaan yang pada akhirnya terhenti dalam simbol-simbol rutinitas formal, melainkan pembiasaan yang harus disertai dengan penuh pemaknaan. Ketika guru menajalankan rutinitas kegiatan sekolah misalnya jumat bersih, maka tugas guru disamping memberikan pendampingan juga memberikan pemaknaan terhadap kegiatan tersebut, siswa diberikan pemahaman tentang arti penting dari apa yang mereka lakukan. Ketika disatu sekolah diadakan kegiatan peringatan hari besar agama, maka guru dan pihak sekolah tidak hanya sekedar menjalankan rutinitas semata yang pada akhirnya terkesan formalitas, akan tetapi lebih dari itu guru mampu menyadarkan para siswa dengan makna dibalik agenda acara.

    21Kita menginginkan baha para siswa bisa menjadi jenis prbadi yang akan melakukan

    sesuatu kebaikan (kebenaran) bahkan ketika mereka dikelilingi oleh budaya moral yang busuk, akan tetapi membentuk semacam karakter jauh lebih mudah dalam lingkungan moral yang jujur, layak, dan peduli dengan sesuatu yang dianggap norma. Thomas Lickona, Educating For Character; How Our Scools Can Teach Respect and Responsibility, (USA: Bantam Book, 1991), hlm. 324-325

  • 32

    3. Pengembangan Diri Implementasi dari konsep dasar pendidikan karakter selanjutnya adalah

    melalui program pengembangan diri. Yang di maksud dengan program pengembangan diri adalah berbagai macam program tambahan atau pengembangan (di luar proses pembelajaran reguler) yang diselenggarakan oleh pihak sekolah atau madrasah guna menunjang terwujudnya karakter dan budi pekerti siswa. Program pengembangan ini terdiri dari berbagai macam kegiatan rutin madrasah seperti halnya upacara bendera hari senin, peringatan hari besar Islam (PHBI), peringatan hari besar nasional (PHBN), program pembiasaan ibadah dan budaya Islami, serta kegiatan pengembangan minat dan bakat siswa.

    Program pengembangan minat dan bakat siswa dalam bentuk kegiatan ekstrakulikuler adalah dimaksudkan untuk mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki siswa yang tentunya berbeda antara siswa satu dengan siswa yang lainnya. Oleh karenanya alangkah lebih bijaksana sekolah dan madrasah mengakomodir semua potensi yang dimiliki siswa. Hal ini sesuai yang disampaikan oleh Howard Gardner, seorang professor ilmu syaraf (neurology) dari Universitas Harvard pada tahun 1984 bahwa ada delapan kecrdasan yang dimiliki manusia, yaitu: kecerdasan lingusitik (bahasa), kecerdasan visual-spasial (gambar), kecerdasan logis-matematis (perhitungan angka dan logika), kecerdasan musikal (musik), kecerdasan kinestetik (gerak fisik), kecerdasan intra-personal (memahami dan memenej diri sendiri), kecerdasan interpersonal (memahami dan memotivasi orang lain), serta kecerdasan naturalis (alam).22

    Kegiatan pengembangan minat dan bakat siswa ini menjadi sebuah sarana sekaligus wahana yang lebih luas bagi para guru dan pihak sekolah/madrasah dalam usahanya menanamkan kembali nilai-nilai karakter para siswa melalui berbagai kegiatan ekstrakulikuler yang beraneka ragam sesuai dengan karakter dan jenis kecerdasannya masing-masing.

    Program pengembangan diri selanjutnya adalah program latihan berbuat kebajikan (riyadhah / action learning approach) , misalnya guru dan pihak sekolah/madrasah memberikan waktu dan ruang kepada siswa untuk berlatih jujur dengan mendirikan kantin kejujuran, atau dilatih untuk memiliki kepekaan sosial yang tinggi dengan cara pembentukan organisasi siswa di bidang bencana, sehingga dari sini siswa mampu dan bisa belajar berempati terhadap dunia sosial yang ada disekitarnya. Hal ini sesuai dengan apa yang pernah disampaikan Ryan dan Bohlin di atas bahwa tahapan terakhir agar bisa tumbuh dan berkembangnya sebuah karakter yang baik dari seseorang adalah melakukan kebaikan itu sendiri (doing the good). Dari sini, kita berharap segala kegiatan dan aktivitas positif itu ketika terus dilakukan dan dibiasakan akan berubah menjadi sebuah karakter positif yang kita dambakan bersama.

    22Suparlan, Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, Dari Konsepsi Sampai Dengan

    Implementasi, (Yogyakarta: Hikayat, 2004), hlm. 198.

  • 33

    III. PENUTUP Pembinaan karakter bangsa harus dilakukan sedini mungkin mengingat

    globalisasi semakin mengancam moral putera-puteri kita dengan merambah dalam berbagai aspek kehidupan. Oleh karenanya revitalisasi pendidikan karakter sudah selayaknya bahkan seharusnya masuk dalam sebuah desain kurikulum dan proses pembelajaran, budaya sekolah/madrasah, dan sejumlah program pengembangan diri siswa.

    Semua itu dilakukan agar pendidikan bangsa ini tidak kehilangan ruh dari hakikat tujuan yang sebenarnya seperti yang diamanatkan UUD 45 pasal 31 ayat 3 yakni meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

    Fungsi dan tujuan pendidikan tersebut harus kemudian menjadi bahan renungan selaku para pendidik khususnya di tingkat SD/MI untuk tidak melupakan misi dari tugasnya menghasilkan sebuah lulusan yang tidak hanya cerdas secara kognitif intelektual akan tetapi juga afektif spiritual.

    DAFTAR PUSTAKA

    Depdiknas, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: CV Eka Jaya, 2003

    Desmita. Psikologi Perkembangan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet VII, 2012

    Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, Jakarta: PT. Grasindo, Cet.III, 2011

    Fathul Muin, Pendidikan Karakter; Konstruksi Teoretik dan Praktik, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011

    Haryu Islamudin, Psikologi Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013

    Heni Zuhriyah. Pendidikan Karakter ; Studi Perbandingan Antara Konsep Doni Koesoema dan Ibnu Miskawaih (Tesis), Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2010

    Http://www.inilahguru.com//34-pendidikan/65-apa-yang-beda-dalam-pendidikan karakter. html