53

Jurnal Imajinasi

  • Upload
    others

  • View
    9

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Jurnal Imajinasi
Page 2: Jurnal Imajinasi

Jurnal Imajinasi Volume 5 Nomor 1 Juni 2021 e-ISSN: 2550-102X dan p-ISSN: 1693-3990

This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License

PENERAPAN ZAT PEWARNA ALAMI LIMBAH ORGANIK KULIT

RAMBUTAN (NEPHELIUM LAPPACEUM) PADA BAHAN KATUN

DENGAN TEKNIK SHIBORI (TIE DYES) DAN BATIK

RA. Ataswarin Oetopo1, Caecilia Tridjata Suprabanindya2, Ririn Despriliani3,

Fariz Al Hazmi2*

1,2,3Universitas Negeri Jakarta 2Institut Seni Indonesia Yogyakarta

[email protected]

[email protected]

[email protected]

[email protected]

*Corresponding author

Abstrak

Kulit Rambutan merupakan salah satu limbah organik yang belum dimanfaatkan

secara optimal. Dalam permasalahan lingkungan, sampah organik juga menjadi

permasalahan saat ini. Meskipun sampah organik merupakan limbah yang dapat

terurai, akan tetapi limbah organik juga perlu dikelola agar penumpukannya dapat

terkendali dan tidak mencemari lingkungan. Tujuan Penelitian yaitu untuk

menganalisis hasil formula zat warna alami yang dihasilkan dari limbah kulit

rambutan terhadap penerapannya pada kain dengan teknik Shibori (Tie dye) dan

Batik. Metode penelitian ini menggunakan metode praeksperimen, yaitu hanya

melakukan eksplorasi warna berupa ujicoba yang diamati tanpa adanya kelompok

kontrol yang dihasilkan oleh larutan limbah organik kulit rambutan pada karya

tekstil, dengan melakukan uji coba tehadap bahan kain katun dan berbagai larutan

fiksasi yang digunakan, seperti larutan tawas (KAI(SO4)21∙2H2O), kapur

(Ca(OH)2) dan Tunjung (FeSO4). Uji coba juga dilakukan terhadap teknik dalam

membuat motif, seperti shibori (tie dye) dan batik. Hasil menunjukan bahwa limbah

kulit rambutan menghasilkan larutan yang dapat digunanan sebagai pewarna alami

dan dapat diaplikasikan kedalam beragam teknik shibori (tie dye) dan batik dengan

fiksasi tawas yang memiliki nilai kualitas lebih baik dibanding menggunakan

fiksasi tunjung dan kapur, sehingga dapat menjadi sebuah media dalam berkreasi

seni khususnya pada bidang tekstil.

Kata Kunci: Zat Pewarna Alam, Kulit Rambutan, Shibori, Batik.

Page 3: Jurnal Imajinasi

2

Abstract

Rambutan peel is one of the organic wastes that has not been used optimally. In

terms of environmental problems, organic waste is also a problem today. Although

organic waste is biodegradable waste, organic waste also needs to be managed so

that the accumulation can be controlled and does not pollute the environment. The

aim of this research is to analyze the results of the formula for natural dyes

produced from rambutan skin waste against its application to fabrics using the

Shibori (Tie dye) and batik techniques. This research method used a pre-

experimental design is only doing color exploration in the form of trials that are

observed without a control group by produced by the organic waste solution of

rambutan peel in textile works, by conducting trials on the cotton cloth and various

fixation solutions used, such as alum (KAI (SO4) 21 ∙ 2H2O), calcium oxide (Ca

(OH) 2) and ferrous sulfate (FeSO4). Experiments were also carried out on

techniques in making motifs, such as Shibori (tie dye) and batik. The results show

that rambutan peel waste produces a solution that can be used as a natural dye and

can be applied to various techniques of Shibori (tie dye) and batik with alum

fixation which has a better quality value than using tunjung and lime fixation, so

that it can become a medium for creation. arts, especially in the field of textiles.

Keywords: Natural Dyes, Rambutan Peel, Shibori, Batik

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara

tropis dengan berbagai jenis tumbuhan

yang dapat dimanfaatkan, salah satunya

yaitu buah rambutan sebagai komoditas

hasil kebun yang biasa dikonsumsi

masyarakat. Rambutan merupakan

tumbuhan musiman yang buahnya

dipanen pada bulan November hingga

Februari. Di Indonesia sendiri

masyarakat biasanya mengonsumsi

buah rambutan bagian daging buahnya

saja dan membuang kulitnya karena

tidak memiliki manfaat bagi mereka

sehingga menjadi limbah organik.

Pada saat musim buah rambutan

terjadi, banyak para pedagang buah

yang menjual rambutan dalam jumlah

yang banyak, namun apabila tidak habis

terjual ataupun mengalami pembusukan

mereka akan membuangnya begitu saja,

Hal tersebut tentunya meningkatkan

penumpukan sampah organik yang

memicu beragam dampak buruk yang

ditimbulkan, seperti pencemaran udara

akibat pembusukan, penyumbatan

saluran air dan lain-lain.

Berdasarkan data dari dinas

lingkungan hidup DKI Jakarta tahun

2019, bahwa limbah organik merupakan

sampah terbanyak yang ada di tempat

pembuangan sampah terpadu (TPST)

Bantar Gebang Bekasi Jawa Barat

dengan presentase sebesar 47% dari

jumlah seluruh sampah yang ada seperti

sisa makanan, kayu, rumput dan sisa

buah-sayuran, sehingga tentunya bukan

hanya sampah non-organik saja yang

harus di perhatikan, tetapi sampah

organik juga menjadi permasalahan saat

ini.

Meskipun sampah organik

merupakan limbah yang dapat terurai,

akan tetapi limbah organik juga perlu di

Page 4: Jurnal Imajinasi

3

kurangi penumpukannya agar dapat

terkendali di tempat pembuangan

sampah dan tidak mencemari

lingkungan. Sampah organik, yaitu

sampah yang mudah membusuk seperti

sisa makanan, sayuran, daun-daun

kering, dan sebagainya (Purwendo dan

Nurhidayat, 2006).

Pengertian limbah menurut UU

32 tahun 2009 tentang perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup yaitu

suatu sisa yang berasal dari usaha atau

kegiatan, seperti dari industri, pertanian,

pertambangan, transportasi maupun

kegiatan rumah tangga (Bagong, 2008).

Banyak beragam cara dapat

dilakukan untuk mendaur ulang sampah

organik dan dapat bermanfaat bagi

kehidupan misalnya menjadi sebuah

pupuk kompos ataupun biogas, namun

hal tersebut tentunya belum cukup

untuk meningkatkan pemanfaatan

sampah organik. Kulit rambutan sendiri

merupakan limbah organik yang

memiliki zat tanin apabila dilakukan

proses ekstraksi, hal tersebut tentunya

larutan kulit rambutan dapat dijadikan

sebagai pewarna alam untuk bahan

tekstil.

Penggunaan pewarna alami pada

bahan tekstil telah ada sejak zaman

nenek moyang, namun sejak tahun

1960an penggunaannya telah bergeser

pada penggunaan pewarna sintetis di

mana pada tahun 1960 sudah

berkembang dalam industri tekstil (Dwi

Suheryanto, 2017). Saat ini penggunaan

pewarna alami pada kain masih jarang

dilakukan karena prosesnya yang rumit,

sehingga banyak industri tekstil yang

beralih terhadap pewarna sintetis yang

praktis dan memiliki warna yang

beragam.

Menurut Ari Wulandari (2011),

zat pewarna alam merupakan larutan

pewarna yang diperoleh dari alam, baik

yang berasal dari hewan (lac dyes)

ataupun tumbuhan dapat berasal dari

akar, batang, daun, buah kulit kayu, dan

bunga, serta warna yang di hasilkan

cenderung lebih pucat dan memiliki ciri

khas. Meningkatnya kepedulian

terhadap lingkungan dalam mengurangi

penggunaan bahan kimia sintetik telah

menekankan perlunya mengeksplorasi

sumber baru dan berkelanjutan seperti

pewarna ramah lingkungan untuk sektor

tekstil (Batool dkk, 2019)

Penggunaan pewarna sintetis

memiliki dampak yang besar terhadap

kerusakan lingkungan, salah satunya

adalah pencemaran air dan tanah,

dimana limbah hasil industri tekstil

dibuang ke sungai, sehingga perlu

adanya inovasi dan pengurangan

penggunaan pewarna sintetis. Dengan

demikian, menggunakan pewarna alami

yang dihasilkan oleh limbah kulit

rambutan tentunya menjadi salah satu

cara agar dapat mengurangi penggunaan

pewarna sintetis dalam proses berkarya,

terutama pada kerajinan batik dan

shibori (tiedye).

Kulit buah rambutan merah

mengandung pigmen antosianin yang

merupakan sub-tipe senyawa organik

dari keluarga flavonoid. Antosianin

lebih stabil dalam suasana asam

dibandingkan dalam suasana alkalis

ataupun ketahanan luntur pada

Page 5: Jurnal Imajinasi

4

penambahan zat fiksasi tawas yang

bersifat asam lebih baik jika

dibandingkan dengan zat fiksasi kapur

(basa) (Amalia dan Akhtamimi, 2016).

Pewarna alami yang

diaplikasikan pada serat kain katun

dibutuhkan proses mordanting sebagai

penguat warna yang tahan dan tidak

mudah luntur (Dolca, 2018). Dalam

proses penggunaannya, pewarna alami

membutuhkan suatu elemen untuk

membuat ikatan antara kain dengan

partikel zat pewarna alami yang disebut

dengan mordan, yang memberikan

sebuah reaksi kimia sehingga zat

pewarna dapat terserap kedalam bahan

tekstil dan memperbaiki warna pada

kain dengan meningkatkan ketahanan

warna tersebut (Singh dan Srivastava,

2015). Di Indonesia, proses fiksasi atau

mordanting biasanya menggunakan

logam mordan seperti tawas

(KAI(SO4)21∙2H2O), kapur (Ca(OH)2)

dan Tunjung (FeSO4) (Darsih., dkk,

2019).

Oleh karena itu, penelitian ini

dilakukan bertujuan untuk menganalisis

hasil pewarna alami limbah kulit

rambutan terhadap kain katun serta hasil

penerapannya terhadap produk dan

menemukan apakah kualitas yang

dihasilkan dari limbah kulit rambutan

dapat menjadi sebuah pewarna alternatif

terhadap produk batik dan shibori

(tiedye).

Shibori merupakan istilah teknik

pewarnaan kain yang berasal dari

jepang, sedangkan di Indonesia Shibori

dikenal dengan Ikat Celup atau Tie dye.

Shibori merupakan teknik pewarnaan

akin dengan cara ikat celup yang

meliputi jahitan, ikatan, lilitan, dijepit,

dan dibungkus, teknik ini telah

digunakan di Jepang sejak abad ke 8

(Suwantara Dkk, 2018). Teknik dalam

shibori memiliki berbagai lipatan dalam

proses pewarnaan kain dengan berbagai

motif yang berbeda, antara lain:

a. Teknik Kanoko, dibuat dengan cara

mengikat bagian tertentu dari kain.

b. Teknik Itajime, dibuat dengan cara

melipat dan menjepit kaindengan

dua buah kayu lalu mengikatnya

dengan tali atau benang

c. Teknik Arashi, dibuat dengan

melilitkan kain pada sebuah tiang

dan diikat kencang denganbenang

disepanjang tiang, kemudian kain

didorong hingga membentuk

kerutan.

d. Teknik Kumo, dibuat dengan

melipat kain secara halus dan

merata, kemudian diikat menjadi

bagian-bagian yang berdekatan satu

sama lain.

Secara etimologi, kata batik berasal

dari bahasa jawa dengan dua kata, yaitu

“amba” dan “titik, amba berarti lebar,

luas atau kain, sedangkan titik yang

berarti titik atau matik, yang kemudian

di kembangkan menjadi istilah “batik”

(Ari Wulandari, 2011).

Batik merupakan teknik tekstil

rekalatar dengan menggunakan alat

perintang (resist)” (Wardhani dan

Pangabean. 2003). Sedangkan kain

batik itu sendiri adalah kain bergambar,

berhiasan dengan proses pembuatan

yang khusus dengan menggunakan lilin

malam yang kemudian diproses dengan

Page 6: Jurnal Imajinasi

5

cara tertentu (Setiawati, 2004). Lilin

malam yang dilelehkan diterapkan pada

kain menggunakan aplikator semburan

kecil yang disebut canting, yang terbuat

dari tembaga yang menempel di ujung

gagang kayu atau bambu ringan sekitar

empat inci (Ishwara Dkk, 2012).

METODE PENELITIAN

Metode dalam penelitian ini

menggunakan metode praeksperimen,

yaitu hanya melakukan eksplorasi

warna berupa ujicoba yang diamati

tanpa adanya kelompok kontrol warna

yang dihasilkan oleh larutan limbah

organik kulit rambutan pada bahan

tekstil, dengan melakukan uji coba

tehadap bahan kain dan berbagai larutan

fiksasi yang digunakan, seperti larutan

Tawas, Tunjung, dan Kapur. Uji coba

juga dilakukan terhadap teknik dalam

membuat motif, seperti shibori (tie dye)

dan batik, yang kemudian dianalisis

secara deskriptif.

Alur Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan

perencanaan alur penelitiaan. Berikut

alur penelitian yang dilakukan dalam

penelitian ini:

1. Studi Pendahuluan; melakukan

pengumpulan data dan studi

literatur.

2. Studi awal pembagian tim kerja.

3. Proses penelitian; pembuatan

network planning dan membuat

perencanaan dan persiapan

penelitian.

4. Proses eksplorasi dan pengumpulan

sampel.

5. Analisis Data; Analisis data

instrumen penelitian dan uji grey

scale.

6. Penerapan terhadap produk katun.

7. Analisis data hasil eksplorasi

pewarna alami limbah kulit

rambutan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Penelitian ini dilakukan dalam

dua tahap, seperti eksplorasi warna yang

dihasilkan dari limbah kulit rambutan

dan eksplorasi terhadap teknik batik dan

shibori. Proses eksplorasi dilakukan

untuk menemukan warna yang

dihasilkan dari limbah kulit rambutan

sebagai pewarna tekstil, dengan proses

fiksasi menggunakan larutan Tawas,

Tunjung dan kapur.

Hasil tersebut diuji dengan uji

grey scale atau skala abu setelah proses

pencucian dengan detergen untuk

menentukan kualitas dan ketahanan

luntur dari zat pewarna alam limbah

kulit rambutan.

Tabel 1. Nilai Kualitas Warna Pada

Grey-scale

Nilai

Kualitas

Warna

Perubahan

Warna

Penilaian

5 0 Baik

Sekali

4-5 0,8 Baik

4 1,5 Baik

3-4 2,1 Cukup

Baik

Page 7: Jurnal Imajinasi

6

3 3,0 Cukup

2-3 4,2 Kurang

2 6,0 Kurang

1-2 8,5 Jelek

1 12,0 Jelek

a. Membuat larutan pewarna alam

kulit rambutan.

Proses membuat larutan kulit

rambutan, diperlukan sebanyak satu kilo

limbah kulit rambutan baik yang sudah

busuk maupun yang belum.

Gambar 1. Limbah kulit Rambutan.

(Sumber Pribadi, 2020)

Berikut proses pembuatan larutan

pewarna kulit rambutan:

1) Setelah dikumpulkan, kulit

rambutan di jemur selama 3hari dan

didiamkan selama 4 hari hingga

menghitam.

2) Kemudian kulit rambutan

diekstraksi dengan jumlah 1

kilogram kulit rambutan dengan 8

liter air.

3) Rebus kulit rambutan hingga air

tersisa 4-5 liter, fungsinya adalah

untuk mendapatkan zat tanin yang

berwarna kecokelatan.

4) Setelah selesai proses perebusan,

diamkan larutan hingga tiris dan

larutan pewarna dapat digunakan

untuk mewarnai kain.

Gambar 2. Larutan ZPA kulit Rambutan.

(Sumber Pribadi, 2020)

b. Hasil Eksplorasi warna

Tahap eksporasi dilakukan

setelah mendapatkan larutan kulit

rambutan dari hasil ekstraksi.

Eksplorasi dilakukan dengan

melakukan uji coba terhadap kain yang

telah di mordanting dan dilakukan

proses fiksasi untuk mendapatkan hasil

warna dari reaksi jenis fiksasi yang

digunakan. Berikut jenis fiksasi yang

digunakan yaitu, tawas (AI2(SO4)3),

kapur (Ca(OH)2), asam cuka

(CH3COOH), dan tunjung (FeSO4).

Kain yang telah di mordanting

dicelupkan pada larutan pewarna kulit

rambutan sebanyak 3 kali dengan jeda

waktu 5 menit untuk setiap pencelupan.

kemudian kain di fiksasi dengan larutan

yang berbeda. Berikut tabel hasil yang

didapat dari proses eksplorasi:

Page 8: Jurnal Imajinasi

7

Tabel 2. Hasil Eksplorasi Warna

Tawas (AI2(SO4)3)

Kapur (Ca(OH)2)

Tunjung (FeSO4)

Setelah mendapatkan warna hasil

dari fiksasi, selanjutnya dilakukan

proses uji gray scale untuk menemukan

kualitas yang dihasilkan dari pewarna

limbah kulit rambutan.

Tabel 3. Hasil Uji Grey Scale

Jenis

Fiksasi

Perubahan

Warna

Nilai

Kualitas

tawas 0,2 4-5

Kapur 0,5 4-5

Tunjung 0,3 4-5

c. Hasil Eksplorasi Teknik

Proses eksplorasi teknik

dilakukan untuk mengaplikasikan

warna terhadap berbagai teknik, baik

dalam teknik batik maupun teknik

shibori.

Berikut hasil eksplorasi yang

dilakukan dengan berbagai teknik:

Tabel 4. Hasil Eksplorasi Teknik

Batik

Kanoko

Kumo

Itajime

Arashi

Page 9: Jurnal Imajinasi

8

Pembahasan

Fiksasi tawas (AI2(SO4)3) bereaksi

terhadap larutan zat pewarna alami kulit

rambutan menghasilkan warna cokelat,

fiksasi tunjung (FeSO4) bereaksi

terhadap larutan zat pewarna alami kulit

rambutan menghasilkan warna abu-abu

(Grey), dan fiksasi Kapur (Ca(OH)2)

bereaksi terhadap larutan zat pewarna

alami kulit rambutan menghasilkan

warna cokelat. Setiap larutan pengikat

memberikan reaksi dan menghasilkan

warna yang berbeda, hal tersebut sejalan

dengan pendapat Handayani dan

Maulana (2013), bahwa kenampakan

warna yang dihasilkan oleh pewarna

alami di pengaruhi oleh zat pengikat

yang digunakan.

Hasil analisis dengan uji grey scale

ditemukan bahwa zat pewarna alami

dari limbah kulit rambutan yang telah

lama dikeringkan, menghasilkan

kualitas warna yang baik. Hal tersebut

dibuktikan dengan nilai masing-masing

dari jenis fikasasi menghasilkan kualitas

4-5 (baik) meskipun pada nilai

perubahan warna setelah dilakukan

proses pencucian memiliki nilai yang

berbeda, yaitu fiksasi tawas memiliki

nilai perubahan warna paling baik

sebesar 0,2 dibandingkan dengan fiksasi

tunjung dan kapur. Sedangkan tunjung

memiliki nilai 0,3 dan kapur 0,4.

Dengan temuan tersebut, sejalan dengan

penelitian Amalia dan Akhtamimi

(2016), bahwa zat fiksasi tawas

memberikan nilai ketahanan luntur yang

lebih baik dibandingkan dengan

penggunaan zat fiksasi kapur dan

tunjung.

Setelah mendapatkan hasil warna,

eksplorasi dilakukan terhadap teknik

shibori (tie dye) dan batik. Pada teknik

shibori (tie dye), menggunakan jenis

teknik kumo, kanoko, itajime dan

arashi, sedangkan batik menggunakan

teknik tulis. Hasil eksplorasi teknik

menghasilkan motif dan ketahanan

luntur yang baik dengan beragam

percampuran jenis fiksasi yang

digunakan, sejalan dengan pendapat

Dolca (2018) bahwa pewarna alami

yang diaplikasikan pada serat kain katun

dibutuhkan proses mordanting sebagai

penguat warna yang tahan dan tidak

mudah luntur.

Warna yang dihasilkan dari kulit

rambutan cenderung pucat, hal tersebut

sesuai dengan pendapat Wulandari

(2011), bahwa warna yang di hasilkan

pewarna alam cenderung lebih pucat

dan memiliki ciri khas.

KESIMPULAN

Limbah Organik kulit rambutan

dapat dimanfaatkan sebagai pewarna

alami untuk tekstil, terutama pada

produk dengan teknik shibori dan batik.

Larutan dari kulit rambutan yang

diekstraksi menghasilkan zat tanin

berwarna cokelat yang menghasilkan

beberapa warna tergantung dari larutan

fiksasi yang digunakan. Larutan tawas

menghasilkan warna krem kekuningan

Page 10: Jurnal Imajinasi

9

hingga cokelat, tunjung menghasilkan

warna abu-abu hingga kehitaman, dan

kapur menghasilkan warna krem pucat.

Hasil uji grey scale ditemukan

bahwa penggunaan larutan fiksasi tawas

menghasilkan warna dengan kualitas

nilai perubahan warna lebih baik dari

fiksasi tunjung dan kapur, sedangkan

tunjung memiliki nilai lebih baik dari

kapur.

Berbagai teknik yang dilakukan

juga menghasilkan beragam motif

sesuai dengan teknik yang digunakan

dan dapat digunakan pada produk

fesyen berbahan kain. Meskipun warna

yang dihasilkan oleh larutan kulit

rambutan sama seperti pewarna alami

pada umumnya, yaitu soft dan pastel

(tidak cerah dan kuat), namun hal

tersebut menjadi keunikan dalam

pewarna alami dan menambah kesan

artistik dan estetik dari karya tersebut.

REFERENSI

Amalia, Rizka dan Iqbal Akhtamimi, 2016.

Studi Pengaruh Jenis Dan

Konsentrasi Zat Fiksasi Terhadap

Kualitas Warna Kain Batik Dengan

Pewarna Alam Limbah Kulit

Buah Rambutan (Nephelium

lappaceum). Jurnal Dinamika

Kerajinan dan Batik, Vol. 33,

No.2, Hal. 85- 92.

Batool, Fatimah et all. 2019.”Sustainable

Dyeing of Cotton Fabric Using

Black Carrot (Daucus carota L.)

Plant Residue as a Source of

Natural Colorant”. J. Environ.

Stud. Vol. 28, No. 5.

Darsih, Cici dkk. 2019. “Dyeing Of Cotton

Fabric With Natural Dye From

Cudrania Javanensis Using Soka

(Ixora Javanica) Leaves Extract As

Bio-Mordant”. Dinamika

Kerajinan dan Batik: Majalah

Ilmiah, Vol. 36 No. 2, Hal 105-112.

doi: 10.22322/dkb.V36i1.4149

Dolca, Cristina. 2018.”Textiles Coloured

With Natural Dyes of Vegetal

Origin”. Scientific Bulletin of

North University Center of Baia

Mare, Volume XXXII No. 2

Handayani, Prima Astuti dan Ivon

Maulana. 2013. “Pewarna

Alami Batik Dari Kulit Soga

Tingi(Ceriops Tagal) Dengan

Metode Ekstraksi”. Jurnal

Bahan Alam Terbarukan.

Semarang : Universitas Negeri

Semarang. Purwendro, S. Nurhidayat. 2006. Mengolah

Sampah Untuk Pupuk Pestisida

Organik. Jakarta: Penebar

Swadaya.

R, Singh and Srivastava S. 2015.

“Exploration Of Flower Based

Natural Dyes - A Review”.

Research Journal of Recent

Sciences, Vol. 4, 6-8.

Setiawati, Puspita. 2004. Kupas Tuntas

Teknik Proses Membatik

Dilengkapi Teknik Menyablon.

Yogyakarta: Absolut.

Suheryanto, Dwi. 2017. NATURAL DYES –

Ensiklopedia Zat Warna Alami

Dari Tumbuhan Untuk Industri

Batik. Yogyakarta: Andi

Yogyakarta.

Suwantara, Dermawati dkk. 2018.

Eksplorasi Teknik Shibori dalam

Pengembangan Desain Motif

Tradisional Indonesia pada

Permukaan Kain Sandang. Balai

Besar Tekstil; Bandung.

Page 11: Jurnal Imajinasi

10

Suyoto, Bagong. 2008. Fenomena Gerakan

Mengelola Sampah. Jakarta: PT

Prima Media.

Whardani, Cut Kamaril dan Ratna

Pangabean. 2005. TEKSTIL Buku

Pelajaran Kesenian Nusantara

untuk Kelas VII. Jakarta: Lembaga

Pendidikan Seni Nusantara.

Page 12: Jurnal Imajinasi

Jurnal Imajinasi Volume 5 Nomor 1 Juni 2021 e-ISSN: 2550-102X dan p-ISSN: 1693-3990

This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License

ANALISIS KARYA BATIK A. MATTAROPURA HUSAIN

Aulia Evawani Nurdin1*

1Universitas Negeri Makassar

[email protected]

*Corresponding author

Abstrak

Batik merupakan salah satu unsur budaya bangsa Indonesia yang masih bertahan dan

mengalami perkembangan yang sangat pesat dewasa ini. Selama ini batik telah menunjukkan

eksistensinya dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia, dengan berbagai motif dan

ragam batik yang tumbuh seiring dengan ciri khas setiap daerah yang mengembangkannya.

Sulawesi Selatan memiliki keanekaragaman ragam hias yang dapat diterapkan menjadi karya

batik. Batik di Sulawesi Selatan sudah cukup dikenal, namun masih sedikit yang dapat

menerangkan proses pembuatannya sehingga perkembangan pembuatan batik di masyarakat

Sulawesi Selatan masih dikatakan sangat sedikit. A. Mattaropura Husain merupakan pembatik

yang berasal dari Sulawesi Selatan yang menerapkan berbagai macam ragam hias, beberapa karya

beliau bermuatan motif Sulawesi Selatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui latar

belakang penciptaan karya batik A. Mattaropura Husain. dan motif pada karya batik A.

Mattaropura Husain. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi dan

dukomentasi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Hasil

penelitian ini menunjukkan kecintaan beliau terhadap Sulawesi Selatan terlihat pada karya batik

yang diciptakannya bermuatan lokal Sulawesi Selatan. Setiap motif yang tercipta cenderung

terlahir secara spontan dari hati dan pikiran beliau. Karya yang beliau ciptakan terbuat dari bahan

kain sutera dan katun dengan teknik batik tulis. Karya yang diciptakan tersebut bermuatan motif

Sulawesi Selatan yaitu motif Bugis, Makassar dan Toraja. Motif tersebut antara lain Sulapa Appa,

Paqbombo Uai, Paq Don Lambiri, Swastika, Paqtedong dan lain-lain.

Keywords: batik, Sulawesi Selatan, motif

PENDAHULUAN

Batik adalah kain dengan hiasan yang

dibuat dengan teknik wax resist dyeing yang

menggunakan ragam hias tertentu dengan

kekhasan budaya Indonesia sebagai busana

maupun keperluan lainnya. Batik merupakan

salah satu unsur seni budaya bangsa Indonesia

yang masih bertahan dan mengalami

perkembangan yang sangat pesat dewasa ini.

Pada zaman dahulu batik hanya digunakan bagi

Raja ddan bangsawan. Seiring perkembangan

zaman kini batik sudah digunakan di seluruh

lapisan masyarakat. Bahkan tak hanya

merupakan konsumsi masyarakat Indonesia

sendiri tetapi juga masyarakat mancanegara.

United Nations Education, Scientific,

and Culture Organization (UNESCO)

merupakan organisasi tertinggi dunia di bidang

kebudayaan di bawah naungan PBB telah

mengeluarkan sertifikat pengakuan warisan

budaya Indonesia pada tanggal 2 Oktober

2009.

Selama ini batik telah menunjukkan

Page 13: Jurnal Imajinasi

12

eksistensinya dalam kehidupan sehari-hari

masyarakat Indonesia, dengan berbagai motif

dan ragam batik yang tumbuh seiring dengan

ciri khas setiap daerah yang

mengembangkannya. Upaya pengembangan

batik yang dilakukan di berbagai daerah untuk

dijadikan sebagai komoditas perdagangan,

pada gilirannya melahirkan nama jenis batik

yang diproduksinya berdasarkan ciri khas

motif dan nama daerah yang bersangkutan,

seperti batik Yogyakarta, Solo, Pekalongan,

Lasem, Cirebon, Tegal, Madura dan Papua.

Sulawesi Selatan memiliki

keanekaragaman ragam hias yang dapat

diterapkan menjadi karya batik. Batik di

Sulawesi Selatan sudah cukup dikenal, namun

masih sedikit yang dapat menerangkan proses

pembuatannya sehingga perkembangan

pembuatan batik di masyarakat Sulawesi

Selatan masih dikatakan sangat sedikit, sebab

minat masyarakat untuk dapat mempelajari

proses pembuatan batik cenderung kurang,

padahal apabila masyarakat Sulawesi Selatan

ingin mengembangkan batik di provinsi ini

maka tidak menutup kemungkinan dapat

mengangkat unsur-unsur budaya yang ada di

daerah Sulawesi Selatan. A. Mattaropura

Husain merupakan salah satu Dosen Fakultas

Seni dan Desain UNM. Beliau juga merupakan

pembatik yang berasal dari Sulawesi Selayang

yang menerapkan motif Sulawesi Selatan.

Penellitian ini bertujuan untuk

mengetahui latar belakang penciptaan karya

batik A. Mattaropura Husain. dan motif pada

karya batik A. Mattaropura Husain.

METODE

Teknik pengumpulan data yang

digunakan adalah observasi, wawancana dan

dukomentasi. Metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah metode deskriptif. Teknik

analisis data yang digunakan dalam penelitian

ini adalah teknik analisis data deskriptif

kualitatif, yaitu mendeskripsikan atau bentuk

dari gambaran yang sejelas-jelasnya mengenai

objek yang diteliti yakni motif pada karya batik

A. Mattaropura Husain.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

A. Mattaropura Husain dengan nama

lengkap Drs. A. Mattaropura Husain, M.Pd/

beliau lahir di Watansoppeng 5 Desember

1948. Beliau merupakan Purnabakti Dosen

(Seni lukis batik) pada Jurusan Seni Rupa

Fakultas Seni dan Desain Universitas Negeri

Makassar sejak tahun 1982 hingga tahun 2013.

Beliau merupakan lulusan Seni Rupa IKIP

Yogyakarta pada tahun 1981 dan

memperdalam ilmu seni lukis batiknya pada

Amri Yahya di Galeri Tobong Seni

Yogyakarta. Selanjutnya beliau melanjutkan

pendidikannya pada program Pascasarjana di

Universitas Negeri Makassar dan memperoleh

gelas Masternya pada tahun 2013.

Pada Tahun 1991 A. Mattaropura

Husain.beserta beberapa rekan beliau

melakukan diskusi mengenai perencanaan

penghapusan mata kuliah batik dalam

kurikulum. Penghapusan tersebut didasari oleh

oleh kecenderungan pemahaman masyarakat

terhadap batik yang merupakan motif dan

identitas masyarakat Jawa. Namun, menurut

beliau batik merupakan teknik dengan cara

tutup celup.

Teknik tersebut bisa digunakan untuk

menerapkan motif khas Sulawesi Selatan pada

kain. Hal tersebut merupakan salah satu latar

belakang pembuatan karya batik Sulawesi

Selatan Drs. A. Mattaropura Husain.

Berbagai macam pameran telah diikuti

oleh beliau, salah satunya adalah Pameran

tunggal pada tahun 1997 mengenai Batik

Sutera di Ujung Pandang (kini Makassar).

Pameran tersebut merupakan pameran karya

batik sutera pertama di Sulawesi Selatan.

Karya batik beliau didominasi oleh motif khas

Sulawesi Selatan yang merupakan hasil stilasi

motif Bugis, Makassar dan Toraja. Penerapan

motif tersebut bertujuan agar dapat

melestarikan motif yang ada di Sulawesi

Selatan.

Page 14: Jurnal Imajinasi

13

Gambar 1. Katalog Pameran A. Mattaropura Husain

Pada tahun 2011 A. Mattaropura

Husain mengikuti kegiatan “Word Batik

Summit” yang diadakan di Jakarta. Kegiatan

tersebut diikuti oleh peserta yang berasal dari

berbagai Negara. Beliau hadir mewakili

Indonesia (Sulawesi Selatan).

Gambar 2. Sertifikat Word Batik Summit

A. Mattaropura Husain

Karya batik yang beliau ciptakan

cenderung menerapkan batik teknik tulis

menggunakan canting dengan bahan utama

berupa kain sutera dan katun.

Adapun beberapa karya batik A.

Mattaropura Husain.sebagai berikut:

Gambar 3. Karya batik Sutera

Drs. A. Mattaropura Husain

Karya batik Sutera pada gambar

tersebut merupakan karya batik Sutera pertama

yang dibuat oleh A. Mattaropura Husain pada

tahun 1995.

Gambar 4. Karya batik Sutera

Drs. A. Mattaropura Husain

Gambar 5. Karya batik Sulawesi Selatan

A. Mattaropura Husain

Gambar 6. Karya batik Sulawesi Selatan

A. Mattaropura Husain

Gambar 7. Karya batik Sulawesi Selatan

A. Mattaropura Husain

Gambar 8. Karya batik Sulawesi Selatan

A. Mattaropura Husain

Page 15: Jurnal Imajinasi

14

Pembahasan

Kecintaan beliau terhadap Sulawesi

Selatan terlihat pada karya batik yang

diciptakannya bermuatan lokal Sulawesi

Selatan. Setiap karya beliau tidak memiliki

makna tersendiri, hanya sebatas

mengekspresikan diri pada selembar kain.

Karya yang beliau ciptakan terbuat dari bahan

kain sutera dan katun dengan teknik batik tulis.

Setiap motif yang tercipta merupakan hasil

penyederhanaan (stilasi) dari motif Sulawesi

Selatan. Motif yang tercipta yang cenderung

terlahir secara spontan dari hati dan pikiran

beliau. Dalam kajian bentuk motif, prinsip

estetika yang dianut seperti komposisi,

proporsi, harmoni, kesatuan (unity), tekstur

dan pertimbangan wujudyang memiliki

keharmonisan agar tercipta kesatuan yang tak

terpisahkan antara elemen-elemen utama

(Muhaemin, 2018: 80). Adapun beberapa motif

Sulawesi Selatan yang terdapat pada karya

batik A. Mattaropura Husain sebagai berikut:

Karya batik Sutera pada gambar 3

merupakan karya batik Sutera pertama yang

dibuat oleh A. Mattaropura Husain pada tahun

1995. Karya tersebut memiliki motif khas

Sulawesi Selatan (Toraja), diantaranya stilasi

motif Paqbombo Uai (Toraja) dan Paqdon

Lambiri (Toraja) dengan berbagai ukuran dan

komposisi. Paq Bombo Uai dan Paqdon

Lambiri merupakan motif Toraja yang

terdapat pada ukiran. Motif Paqbombo Uai

berbentuk menyerupai binatang air yang dapat

bergerak di atas air dengan halus dan sangat

cepat. Motif Paqdon Lambiri merupakan

pohon lambiri yang memiliki daun berbentuk

segi empat.

Gambar 9. Pola dasar motif Paq Bombo Uai

Gambar 10. Pola dasar motif Paqdon Lambiri

.

Karya pada gambar 4 merupakan

karya batik yang bermotifkan stilasi motif

Sulapa Appa. Sulapa Appa merupakan motif

Bugis Makasaar. Motif tersebut berbentuk

belah ketupat.

Gambar 11. Pola dasar motif Sulapa Appa

Karya pada gambar 5 memiliki motif

khas Sulawesi Selatan, diantaranya stilasi

motif Paqbombo Uai, Pilin dan Sulapa Appa

dengan komposisi yang sangat indah. Pola

dasar motif karya pada gambar 5 cenderung

sama dengan karya pada gambar 3 yakni

adanya motif Paqbombo Uai, dan Sulapa

Appa, tetapi motif tersebut memiliki bentuk

stilasi dan warna yang berbeda.

Gambar 12. Pola dasar motif Paqbombo Uai

Gambar 13. Pola dasar motif Pilin

Gambar 14. Pola dasar motif Sulapa Appa

Karya pada gambar 6 memiliki motif

khas Sulawesi Selatan (Toraja), diantaranya

stilasi motif Paq Tedong dengan berbagai

bentuk dan komposisi yang indah. Paq tedong

terdapat pada ukiran Toraja. Motif tersebut

merupakan motif memiliki bentuk menyerupai

seekor kerbau. Kerbau merupakan hewan

peliharaan utama bagi warga Toraja.

Page 16: Jurnal Imajinasi

15

Gambar 15. Pola dasar motif Paq Tedong

Karya pada gambar 7 memiliki motif

khas Sulawesi Selatan (Toraja), diantaranya

stilasi motif swastika yang merupakan motif

khas Toraja.

Gambar 16. Pola dasar motif Swastika

Karya pada gambar 8 memiliki motif

khas Sulawesi Selatan (Toraja), diantaranya

stilasi motif Paq Bombo Uai, Paq Don

Lambiri, Paq Salaqbi, Sekong dan Paqkollong

Buqkuq. Selain itu ada pula motif sekong.

Gambar 17. Pola dasar motif Paq Don

Lambiri

Gambar 18. Pola dasar motif Paq Don

Lambiri

Gambar 19. Pola dasar motif Paq Salaqbi

Gambar 20. Pola dasar motif Paq Kollong

Buqkuq

Gambar 21. Pola dasar motif Sekon atau

Sekong

SIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Latar belakang penciptaan karya batik

Sulawesi Selatan A. Mattaropura Husain

merupakan salah satu bentuk kecintaan dan

kebanggaan beliau terhadap Sulawesi Selatan

serta salah satu bentuk pelestarian terhadap

keanekaragaman motif Sulawesi Selatan.

Karya yang diciptakan bermuatan

motif Sulawesi Selatan yaitu motif Bugis,

Makassar dan Toraja. Motif tersebut antara lain

Sulapa Appa, Paqbombo Uai, Paq Don

Lambiri, Swastika, Paqtedong dan lain-lain.

Saran

Upaya untuk melestarikan budaya

bangsa Indonesia dapat ditingkatkan dengan

meningkatkan kreativitas dalam

pengembangan motif lokal agar batik yang

diciptakan menjadi lebih unik.

DAFTAR RUJUKAN

Azis Said, Abd et al. (2009). Pengembangan

Produk Akhir Kain Tenun Sutera

Berbasis Budaya Lokal, (Laporan

Hasil Penelitian Strategi Nasional),

DIPA Universitas Negeri Makassar.

Departemen Perindustrian. Teknik Membuat

Batik Tradisional dan Batik Modern.

Page 17: Jurnal Imajinasi

16

Hamzuri. (1981). Batik Klasik. Jakarta:

Djambatan.

Kusrianto, Adi. (2013). Batik. Yogyakarta:

CV. Andi Offset.

Muhaemin, M., & Lugis, M. (2020). Desain

Ragam Hias Pada Makam We

Pattekke Tana Di Kabupaten Barru.

Jurnal Pakarena, 3(2), 75-81.

doi:https://doi.org/10.26858/p.v3i2.13

063

Nurdin, Aulia Evawani. (2016). Modul

Pembelajaran Batik Ikat Celup.

Makassar: PPs UNM.

Sande, J.S. (1989). Toraja In Carving. Ujung

Pandang.

Wulandari, Ari. (2011). Batik Nusantara.

Yogyakarta: CV Andi Offset.

.

Page 18: Jurnal Imajinasi

Jurnal Imajinasi Volume 5 Nomor 1 Juni 2021 e-ISSN: 2550-102X dan p-ISSN: 1693-3990

This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License

MOTIF RAGAM HIAS SAO RAJA LA PAWAWOI KARAENG SIGERI Andi Baetal Muqadas1*

1Universitas Negeri Makassar

[email protected]

*Corresponding author

Abstrak

Salah satu bentuk arsitektur yang memiliki ciri tersendiri adalah bangunan Sao Raja

Lapawawoi Karaeng Sigeri di Watampone, dengan tiga permasalahan pokok yaitu: (1)

Bagaimana bentuk motif ragam hias, (2) Apakah fungsi dan makna yang terkandung dalam motif

ragam hias dan (3) Bagaimana ciri khas motif ragam hias pada bangunan Sao Raja Lapawawoi

Karaeng Sigeri di Watampone. Adapun tujuan penelitian ini adalah : (1) Untuk memperoleh data

yang akurat, tentang bentuk ragam hias yang terdapat pada bangunan Sao Raja Lapawawoi

Karaeng Sigeri di Watampone, (2) Untuk memperoleh data yang akurat tentang fungsi dan makna

yang terkandung dalam motif ragam hias pada bangunan Sao Raja Lapawawoi Karaeng Sigeri di

Watampone, (3) Untuk memperoleh data yang akurat mengenai ciri khas motif ragam hias pada

bangunan Sao Raja Lapawawoi Karaeng Sigeri di Watampone. Dalam mengumpulkan data

penulis menggunakan tiga metode yaitu teknik observasi, wawancara, serta dokumentasi.

Manfaat hasil penelitian ini diharapkan (1) Menjadi referensi bagi peneliti-peneliti pemula yang

mengkaji dari permasalahan yang berkaitan dengan motif ragam hias, (2) Agar masyarakat dapat

mengenal lebih dekat tentang motif ragam hias yang terdapat pada bangunan Sao Raja Lapawawoi

Karaeng Sigeri yang ada di Watampone, (3) Dapat menambah wawasan seni bagi masyarakat,

khususnya mahasiswa jurusan Pendidikan Seni Rupa dan Kerajinan. Dari hasil penelitian ini

penulis dapat menarik kesimpulan (1) Bentuk motif ragam hias yang ada pada bangunan Sao Raja

Lapawawoi Karaeng Sigeri di Watampone antara lain bentuk tumbuh-tumbuhan yang terdiri atas

jenis “bunga parenreng” (bunga matahari), “colli paku” (tumbuhan paku), “bunga tunggal”, motif

nangka serta gubahan daun. Bentuk geometris yang terdiri atas jenis swastika, dan jenis tumpal.

Bentuk Lawa Suji, bentuk Kaligrafi. Fungsi ragam hias yang terdapat pada bangunan Sao Raja

Lapawawoi Karaeng Sigeri di Watampone yaitu: (1) Berfungsi sebagai ragam hias murni yang

hanya sebagai hiasan semata, dan (2) Berfungsi sebagai ragam hias simbolis yang memiliki

beberapa makna. Ciri khas motif ragam hias pada bangunan Sao Raja Lapawawoi Karaeng Sigeri

di Watampone adalah pada ragam hias jenis “colli paku” (tumbuhan paku), lawasuji, “bunga

parenreng” (bunga matahari), bunga tunggal, buah nangka serta ragam hias kaligrafi.

Keywords: motif, ragam hias, karaeng sigeri

PENDAHULUAN

Kebudayaan memiliki pengertian yang

luas, dan tidak lagi terbatas pada pengertian

yang sempit seperti yang lazim diartikan.

Seolah-olah kebudayaan itu terbatas pada

beberapa cabang olah seni seperti seni tari, seni

musik, seni rupa dan seni lainnya. Kebudayaan

dinilai sebagai suatu yang tidak terpisahkan

dari kehidupan manusia secara keseluruhan

yang meliputi moral, etik, sikap mental tingkah

laku dan nilai hidup yang dapat disimpulkan

sebagai hubungan manusia dengan Tuhan,

hubungan manusia dengan dirinya hubungan

Page 19: Jurnal Imajinasi

18

sesama manusia serta hubungan manusia

dengan lingkungannya. Di dalam hal ini juga

kegiatan manusia di masa lampau yang lazim

disebut sejarah, merupakan bagian dari

kebudayaan. Ditinjau dari sudut sejarah, maka

pada masa lampau bangsa Indonesia pernah

mengalami atau menciptakan puncak-puncak

kreasi dan karya budaya yang sampai sekarang

masih mengundang kekaguman. Kreasi dan

karya budaya Indonesia itu bertebaran di

daerah yang apabila diteliti lebih seksama,

maka ternyata mengandung unsur kesatuan

yang kuat seperti yang terwujud di dalam

lambang “Bhineka Tunggal Ika”.

Kebudayaan nasional perlu dibina dan

dipelihara dalam rangka pembinaan dan

pemeliharaan kebudayaan nasional termasuk

usaha-usaha penggalian dan pemupukan

kebudayaan daerah, serta tradisi dan kesenian

daerah. Kesemuanya itu untuk diwariskan

kepada generasi muda. Warisan budaya bangsa

perlu diselamatkan, dalam usaha penyelamatan

itu termasuk kegiatan penelitian,

pendokumentasian dan penerbitan karya-karya

seni budaya nasional daerah. Kegiatan tersebut

merupakan usaha pembinaan, kelangsungan

dan pengembangan kebudayaan nasional, serta

pembinaan ketahanan kebudayaan nasional.

Mengenai kebudayaan bangsa Indonesia

telah diuraikan pada penjelasan Pasal 32

Undang-Undang Dasar 1945 yakni

Kebudayaan bangsa Indonesia ialah

kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha

budidaya rakyat di Indonesia seluruhnya.

Kebudayaan lama dan asli terdapat sebagai

puncak-puncak kebudayaan daerah-daerah di

seluruh Indonesia, terhitung sebagai

kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus

menuju ke arah kemajuan adab, budaya, dan

persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan

baru dari kebudayaan asing yang dapat

memperkembangkan atau memperkaya

kebudayaan bangsa sendiri. Serta

mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa

Indonesia.

Dengan demikian kebudayaan

merupakan salah satu unsur yang paling utama

dalam menarik wisatawan manca negara

sehingga perlu terus dipelihara, dibina, dan

dikembangkan guna meningkatkan kualitas

hidup masyarakat sehingga mampu menjadi

penggerak dan pengemban pembangunan bagi

perwujudan cita-cita bangsa di masa yang akan

datang. Seperti halnya yang terdapat dalam

Undang-undang Dasar 1945, yakni pasal 32

mengatakan, “Pemerintah memajukan

kebudayaan nasional Indonesia”. Dari

Undang-undang Dasar itu jelas dapat

diketahui, bahwa pemerintah memberikan

kesempatan seluas-luasnya terhadap

perkembangan dan kemajuan kebudayaan

nasional dengan tetap berpegang pada landasan

Ideologi Pancasila dan Undang-undang Dasar

1945. Untuk memajukan kebudayaan nasional,

maka langkah pertama yang harus ditempuh

adalah membangun dan mengembangkan

kebudayaan-kebudayaan daerah, dimana

kebudayaan-kebudayaan daerah tersebut

merupakan akar dari kemajuan kebudayaan

nasional, seperti apa yang dilihat dan dinikmati

sekarang.Guna mengangkat potensi budaya

daerah yang beranekaragam, maka perguruan

tinggi sebagai wadah dan pengembang

pembangunan di bidang ilmu pengetahuan dan

teknologi memiliki peranan yang sangat

penting, yaitu meliputi pendidikan, penelitian

dan pengabdian pada masyarakat. Khusus pada

bidang penelitian diharapkan dapat

mengangkat berbagai fenomena-fenomena di

dalam lingkungan pendidikan maupun dalam

lingkungan masyarakat, sehingga potensi-

potensi budaya yang ada dalam masyarakat

tersebut dapat menjadi masukan dan referensi

dalam ilmu pengetahuan.

Sebagai unsur perguruan tinggi,

mahasiswa dapat berperan aktif sebagai

penghubung antara masyarakat serta

pembangunan terhadap eksistensi ilmu

pengetahuan dan sekaligus mengangkat

peradaban budaya sebagai sumber motivasi

untuk mengembangkan pembangunan

selanjutnya.

Melalui penelitian lapangan, diharapkan

dapat memperoleh berbagai masukan berupa

kekayaan budaya antara lain: bangunan

arsitektur daerah, hasil kerajinan, kesenian dan

berbagai bentuk hasil seni budaya lainnya yang

masih terpendam. Untuk menggali hasil

potensi tersebut maka penelitian sangat

diperlukan.

Searah dengan perkembangan seni

budaya, baik dalam bentuk arsitektur yang

memiliki nilai seni keindahan dan keunikan

khas daerah sebagai warisan budaya bangsa,

maupun dalam wujud seni rupa, seni musik,

seni tari, dan seni kerajinan, maka Majelis

Page 20: Jurnal Imajinasi

19

Permusyawaratan Rakyat memutuskan dalam

sebuah ketetapan, yaitu TAP MPR

No.2/MPR/1993 yang mengamatkan bahwa

pembinaan dan pengembangan kesenian

sebagai ungkapan budaya bangsa diusahakan

agar dapat menampung dan mengembangkan

daya cipta seniman, memperkuat diri bangsa,

meningkatkan apresiasi dan kreativitas seni

bangsa memperluas kesempatan masyarakat

untuk meningkatkan dan mengembangkan seni

budaya bangsa serta memberikan inspirasi dan

gairah membangun (TAP MPR: 1993: 287).

Dengan menghayati amanat tesebut

maka pemerintah telah berusaha mendorong

serta memupuk pertumbuhan dan

perkembangan seni budaya Indonesia, melalui

penciptaan karya-karya seni. Di antara karya

seni yang hingga sekarang berkembang dengan

pesatnya adalah seni arsitektur yang tentu

dalam penciptaannya tetap mengakar pada

budaya daerah setempat. Salah satu bentuk

karyas seni arsitektur yang memiliki ciri

tersendiri adalah bangunan Sao Raja

Lapawawoi Karaeng Sigeri di Watampone

yang pada dinding bangunan tersebut secara

keseluruhan menampilkan motif ragam hias

yang sarat dengan sentuhan-sentuhan estetis

dengan berbagai motif.

Hal inilah yang mendorong penulis

untuk mengangkat judul penelitian “Motif

Ragam Hias pada bangunan Sao Raja

Lapawawoi Karaeng Sigeri di Watampone”.

Dalam kamus bahasa Indonesia

ditemukan pengertian motif, yaitu “Tindakan

seseorang, pendapat atau dasar pikiran”

(Poerwadarminto, 1982: 158). Sedangkan

menurut Bastomi (1982), bahwa motif dapat

ditinjau beberapa bagian, yaitu:

1. Motif adalah ragam hias suatu hasil karya,

atau motif ragam hias, misalnya: motif

tumbuh-tumbuhan, motif binatang dan

motif geometris.

2. Motif adalah gaya yang pada dasarnya

mengandung pengertian kekhususan atau

ciri khusus suatu karya seni, motif lahir

dan ada, karena didasarkan atas

kekhususan sifat karakteristik atau

penampilan pribadi yang dimiliki pada

hasil karya seni tersebut. Misalnya dapat

dilihat pada motif-motif ornamen pada

ukiran, seperti motif ukiran Bali, motif

Jepara, motif Madura dan sebagainya.

3. Dan selanjutnya pengertian motif juga

bisa menunjukkan suatu zaman di masa

pembuatnya, misalnya karya seni

kerajinan pada masa primitif, zaman

Hindu dan Islam kesemuanya itu masing-

masing mempunyai motif, sesuai dengan

zamannya.

Dari beberapa definisi di atas maka

dapat disimpulkan bahwa motif adalah

pendapat seseorang yang mempunyai

ragam/corak yang berbeda satu sama lainnya.

Ragam hias atau ornamen merupakan

karya seni yang diwujudkan secara visual

dalam bentuk rupa dengan maksud

memperindah dan mempercantik benda secara

fisik, ragam hias selalu dikenakan pada benda-

benda yang akan dihias agar memiliki nilai seni

(estetis) yang tinggi, di samping itu dapat juga

menuju nilai simbol atau makna tertentu.

Menurut Damit (1990: 32) pengertian

“ragam hias adalah corak/motif atau bentuk

hiasan tertentu menurut historis dan

geografisnya”. Artinya adalah motif-motif

yang ada dalam suatu hiasan sering dijumpai

pada suatu tempat dengan bentuk yang

berbeda, itu menurut letak geografisnya.

Sedangkan menurut historisnya adalah ragam

hias lahir dan berkembang karena pengaruh

sejarah suatu bangsa.

Ragam hias mungkin sama

perwujudannya dalam bentuk rupa, tapi belum

tentu mempunyai persamaan dari segi fungsi,

maknanya dari suatu tempat serta masyarakat

yang berbeda. Artinya makna adalah simbol-

simbol yang sering dijumpai dalam suatu

ragam hias, dan erat kaitannya dengan

kejiwaan dan kepercayaan masyarakat

pembuatnya. Walaupun unsur-unsur simbolis

dalam masyarakat sering berbeda, namun tidak

menutup kemungkinan terdapat kesamaan-

kesamaan dalam wujud pengungkapannya dari

segi makna atau simbolisnya, misalnya untuk

mampu membangkitkan kesan magis dan

religius, mereka mempergunakan jenis hiasan

tertentu pada patung atau tempat pemujaannya.

Jadi hiasan ini berfungsi sebagai pelengkap

kepercayaan atau religius, biasanya ragam hias

itu dapat juga dilihat pada benda-benda seperti,

porselin batu hiasan, tembikar, nekara, ukiran

dan lain-lain.

Banyak cara untuk membedakan jenis

ragam hias. Ada pembedaan berdasarkan

Page 21: Jurnal Imajinasi

20

periode sejarah atau pengaruh kebudayaan

besar. Dengan cara ini kita akan mengenal

ragam hias Dongson, ragam hias Hindu, ragam

hias Islam, ragam hias Chou, ragam hias Gotik,

ragam hias Barok dan rakoko. Ada

penggolongan ragam hias menurut asal daerah,

kita akan jumpai misalnya: ragam hias

Tapanuli, Minang, Jepara, Yogya, Madura,

Bali, Toraja, Kalimantan, Irian, Nusa Tenggara

dan sebagainya. Penggolongan lain

berdasarkan motif atau pola yang

dipergunakan misalnya: ragam hias hewan,

ragam hias tumbuh-tumbuhan, ragam hias

pinggir awan, ragam hias lidah api, bukit batu,

atau bentuk alam lainnya. Penggolongan lain

berdasarkan pemakaian ragam hias pada objek

yang dihias. Kita temui misalnya: ragam hias

pinggir, ragam hias tunggal, ragam hias

berganda, ragam hias panel, ragam hias bebas

dan sebagainya.

METODE

Metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah metode deskriptif-

kualitatif yang menekankan penjelasan

terhadap suatu obyek dengan apa adanya.

Teknik yang digunakan yaitu observasi,

wawancara dan domumentasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

1. Bangunan Sao Raja Lapawawoi Karaeng

Sigeri

Sao Raja Lapawawoi Karaeng Sigeri

yang sekarang menjadi kantor PPD (Panitian

Pemilihan Daerah) TK. II Kabupaten Bone

adalah merupakan tempat tinggal Raja Bone

yang XXXI bergelar “Lapawawoi Karaeng

Sigeri”. Mengenai tanggal dan tahun

didirikannya penulis agak sulit memperoleh

data yang akurat, hanya saja menurut Andi

Muhammad Ali, Sao Raja ini sudah ada

sebelum Bone kalah perang dari Belanda pada

tahun 1905. Dengan demikian Sao Raja

tersebut diperkirakan telah ada pada akhir abad

XIX. Bangunan Sao Raja Lapawawoi pada

umumnya terbuat dari kayu cendana yang

memiliki sepuluh jendela dan timpak laja

bersusun empat, berukuran panjang 20 meter

serta lebar 11 meter. Pada dinding bagian

depan yang dipenuhi motif ragam hias berukir

terdapat empat jendela yang memakai terali

dari besi. Sedangkan pada bagian dalam

bangunan terdapat satu dinding pemisah pada

umumnya dipenuhi motif ragam hias. Menurut

Andi Mappasissi, bahwa bangunan Sao Raja

Lapawawoi Karaeng Sigeri tersebut pada awal

dibangunnya memiliki tiang dan bentuknya

adalah rumah panggung seperti kebanyakan

rumah adat bugis Makassar. Akan tetapi

setelah Belanda menduduki Indonesia dan

mengalahkan Bone pada tahun 1905,

Lapawawoi Karaeng Sigeri ditangkap, dan

bangunan Sao Raja tersebut dibongkar oleh

Belanda lalu diangkut ke Karebosi, Makassar

pada tahun 1906 sebagai bukti kemenangan

Belanda. Setelah Lapawawoi Karaeng Sigeri

wafat pada tanggal 17 Januari 1911 di

Bandung, maka Andi Mappanyuki sebagai

pengganti beliau (Lapawawoi Karaeng Sigeri)

menjadi Raja Bone XXXII. Pada tahun 1931

barulah Sao Raja ini dikembalikan ke Bone

atas permintaan Raja Andi Mappanyuki tetapi

tiang-tiangnya sudah tidak utuh lagi sehingga

tidak dapat berdiri sebagaimana bentuk

awalnya. Maka oleh masyarakat Bone dan atas

permintaan Raja Andi Mappanyuki Sao Raja

tersebut dibangun kembali pada tempat

semula, tetapi tidak lagi menjadi tempat tinggal

raja, karena telah dibangun Sao Raja yang baru

( sekarang museum Lapawawoi), meskipun

demikian Sao Raja yang lama tetap

difungsikan. Hanya saja beralih menjadi kantor

Ade’ pitu (adat tujuh) yang fungsinya dari

tahun ke tahun sebagai tempat pertemuan raja

dengan tokoh masyarakat, agama dan adat.

Kemudian lama kelamaan bangunan tersebut

menjadi multi fungsi antara lain: KNI (Komite

Nasional Indonesia), kantor DPR, kantor

kebudayaan sekaligus menjadi sekretariat IKS

(Ikatan Kesenian Sulawesi), Kantor BP 7

hingga pada akhirnya menjadi kantor PPD II

(Panitia Pemilihan Daerah) Tingkat II

Kabupaten Bone 1998 hingga sekarang (2000).

Menurut data terakhir yang penulis dapatkan

(28/12/99) dari kepala seksi kebudayaan

Kabupaten Bone dalam hal ini Andi Sinar HL.

Gedung ini akan diserahkan lagi pada pengurus

Dewan Kesenian Bone (DKB) sebagai pusat

kegiatan seni dan budaya.

Kini bangunan Sao Raja Lapawawoi

Karaeng Sigeri yang terletak di jalan Merdeka

Watampone masih berdiri kokoh sebagai saksi

Page 22: Jurnal Imajinasi

21

sejarah bahwa bangunan tersebut pernah

menjadi Sao Raja seorang Raja bergelar

Lapawawoi Karaeng Sigeri. Hanya saja bila

diperhatikan bangunan tersebut nampaknya

tidak mendapat perawatan yang cukup

sehingga beberapa bagian penting kelihatan

rusak dan kotor.

2.Ragam Hias Pada Bangunan Sao Raja

Lapawawoi Karaeng Sigeri

Dari hasil penelitian, penulis

memperoleh data tentang ragam hias yang

terdapat pada bangunan Sao Raja Lapawawoi

Karaeng Sigeri di Watampone. Ragam hias

pada bangunan tersebut umumnya berupa

ukiran yang dipahat dan jenis ukiran yang

beraneka ragam. Mengenai siapa nama

pembuat motif ragam hias tersebut penulis

agak sulit menemukan data, tetapi menurut

Andi Muh. Ali dan Drs. H. Abd. Kahar Wahid

bahwa pembuat motif tersebut berasal dari

Desa Cenrana kurang lebih 30 kilometer dari

Kotif Watampone.

Ada beberapa cerita yang berkembang di

kalangan masyarakat Bone mengenai sejarah

pembuatan motif ragam hias pada bangunan

Sao Raja Lapawawoi Karaeng Sigeri tersebut,

yaitu setelah pembuatan motif ragam hias

rampung maka Raja Bone Lapawawoi Karaeng

Sigeri langsung memerintahkan pada

pengawal kerajaan untuk membunuh

sipembuat ragam hias tersebut, alasannya

adalah agar motif ragam hias yang terdapat

pada bangunan Sao Raja tidak memiliki

kesamaan bentuk di daerah lain. Tetapi cerita

ini sangat dibantah oleh Andi Muh. Ali bahwa

Raja Bone (Lapawawoi Karaeng Sigeri) adalah

seorang raja penganut ajaran Islam yang sangat

taat dan sangat mencintai rakyatnya, maka

sangat mustahil melakukan perbuatan yang

kejam itu (Wawancara 29/12/1999). Hal

senada juga dibantah oleh Drs. H. Abd. Kahar

Wahid (Purnabakti dosen seni rupa UNM)

bahwa cerita itu adalah dibuat-buat oleh orang

yang tidak tahu menahu tentang sejarah.

Selanjutnya motif ragam hias yang

ditemukan pada bangunan Sao Raja

Lapawawoi Karaeng Sigeri di Watampone

umumnya motif-motif yang diambil dari alam

berupa motif tumbuh-tumbuhan yang

berbentuk “bunga perenreng” (Bunga

menjalar) “colli paku” (tumbuhan paku), buah

nangka, bunga tunggal. Selain itu ditemukan

pula motif ragam hias berbentuk geometris

(tumpal, swastika), motif lawa suji dan motif

kaligrafi. Untuk lebih jelasnya berikut ini akan

dipaparkan bentuk ragam hias yang terdapat

pada bangunan Sao Raja Lapawawoi Karaeng

Sigeri di Watampone.

Pada ragam hias yang ada di Sao Raja

tidak ditemukan jenis hewani dan manusia

sebagai ragam hias pada bangunan tersebut

karena ada kaitannya dengan ajaran Islam yang

tidak menghendaki menggunakan atau

menggambarkan makhluk bernyawa sebagai

hiasan, apalagi pada saat itu (kepemimpinan

Lapawawoi Karaeng Sigeri) penduduk

kerajaan Bone sudah menjadikan Islam sebagai

agama mayoritas. Hanya saja bila melihat

bentuk dan gayanya tetap memiliki pengaruh

budaya Hindu.

Gambar 1. Bangunan Sao Raja Lapawawoi

Karaeng Sigeri di Watampone (dokumentasi

pribadi)

Gambar 2. Ragam hias yang terdapat dalam

ruangan tepatnya di atas pintu, terdiri dari

jenis lawa suji, kaligrafi, bunga tunggal,

“bunga parenreng” serta motif gubahan daun.

(dokumentasi pribadi)

Page 23: Jurnal Imajinasi

22

Gambar 3. Ragam hias dalam ruangan,

tepatnya bagian dinding pemisah, terdiri dari

jenis colli paku, “bunga parenreng”, lawa suji,

kaligrafi, motif buah nangka, bunga tunggal

serta jenis gubahan daun. (dokumentasi

pribadi)

Di atas telah dijelaskan bahwa umumnya

motif ragam hias yang digunakan pada

bangunan Sao Raja Lapawawoi tersebut adalah

berasal dari motif yang diambil dari tumbuh-

tumbuhan baik berupa tangkai maupun daun

yang sudah digubah. Gubahan tersebut di

dalam penyusunannya dapat menghasilkan

suatu bentuk yang secara keseluruhan memiliki

hubungan harmonis dan kesatuan antar unsur

yang satu dengan unsur yang lain. Berikut ini

akan dijelaskan satu persatu mengenai bentuk

ragam hias, fungsi dan makna ragam hias yang

terdapat pada Bangunan Sao Raja Lapawawoi

Karaeng Sigeri di Watampone.

Gambar 4. Motif bunga parenreng

(dokumentasi pribadi)

Colli Paku merupakan motif ragam hias

yang menyerupai bentuk bunga parenreng

hanya saja bentuknya tidak terlalu ramai.

Tetapi merupakan kombinasi antara motif

vegetal dengan motif geometris yang sudah

distilasi atau digayakan. Jenis hiasan ini dapat

dilihat pada bingkai bentuk segi empat panjang

berwarna putih di dalam ruangan dan pada

bagian dinding depan. Bila memperhatikan

motif colli paku ini, dan membandingkan

dengan motif-motif ragam hias di daerah lain

nampaknya tidak memiliki kesamaan. Motif

inilah yang menjadi ciri paling menonjol pada

dinding depan Bangunan Sao Raja Lapawawoi

Karaeng Sigeri di Watampone.

Gambar 5. Colli Paku (dokumentasi pribadi)

Jenis motif bunga tunggal dapat dilihat

dalam bentuk bunga tunggal. Pada Bangunan

Sao Raja Lapawawoi Karaeng Sigeri di

Watampone bentuk ini umumnya dapat dilihat

pada dinding depan bagian atas serta dinding

pemisah bagian dalam yang berwarna merah

dan putih. Bentuk bunga ini mirip dengan motif

patra Cina yang ada di daerah Bali terdiri dari

bunga teratai mekar besar dan kecil hanya saja

bedanya di Bali di tempatkan di atas Boma

dalam jumlah yang banyak. Sementara pada

Bangunan Sao Raja Lapawawoi Karaeng

Sigeri di Watampone di samping hiasan

perantar motif yang satu dengan motif lain,

juga sebagai hiasan yang ditempatkan di atas

motif lain dalam bentuk bunga tunggal.

Gambar 6. Motif bunga tunggal (dokumentasi

pribadi)

Motif buah nangka pada Bangunan Sao

Raja Lapawawoi Karaeng Sigeri di

Watampone dapat dilihat pada dinding

pemisah bagian dalam, bentuknya sudah

digubah menyerupai sebra, dan warnanya

merah kuning. Penempatan motif buah nangka

ini, berada pada sudut persegi empat panjang

dan sebagai perantara pada motif Colli Paku.

Page 24: Jurnal Imajinasi

23

Gambar 7. Motif buah nangka (dokumentasi

pribadi)

Selain bentuk tumbuh-tumbuhan,

terdapat pula bentuk geometris seperti bentuk

swastika, bentuk tumpal, dan pertalian (lawa

suji).

Gambar 8. Bentuk swastika (dokumentasi

pribadi)

Gambar 9. Bentuk tumpal (dokumentasi

pribadi)

Gambar 10. Bentuk swastika (dokumentasi

pribadi)

Gambar 11. Bentuk kaligrafi (dokumentasi

pribadi)

Pembahasan

Dari hasil penelitian dan wawancara

penulis dengan Andi Muh. Ali, mengenai

fungsi dan makna ragam hias yang terkandung

dan diterapkan pada Bangunan Sao Raja

Lapawawoi Karaeng Sigeri di Watampone

terdapat dua fungsi antara lain:

a.Ragam Hias Murni

Ragam hias murni artinya hanya sebagai

hiasan semata-mata tanpa adanya unsur-unsur

simbolik yang berkaitan dengan kegiatan

spiritual. Jadi fungsinya hanya memperindah

suatu bentuk atau bangunan dimana ia

ditempatkan.

b.Ragam Hias Simbolis

Jenis ragam hias ini di samping

berfungsi sebagai hiasan, fungsi yang lain

adalah fungsi simbolis yang berkaitan dengan

spiritual. Selain fungsi ragam hias tersebut juga

memiliki makna dan simbol-simbol tertentu.

Makna dan simbol tersebut dapat dijumpai

pada bentuk tumbuh-tumbuhan ‘bunga

parenreng” dan bentuk kaligrafi.

Untuk mengetahui makna ragam hias

ini dapat diuraikan berikut ini:

- “Bunga Parenreng” (bunga menjalar)

Makna yang terkandung pada ragam hias

ini adalah rezeki yang tidak putus-

putusnya, seperti menjalarnya “bunga

parenreng” tersebut dengan pemasangan

ragam hias ini di pintu, serta pada dinding

luar maka akan mudah dilihat, serta dapat

menjadi pedoman bagi penghuninya

bahwa rezeki murah dan terus menerus.

Dalam bahasa bugis diistilahkan

“Sirenreng-renreng dalle’e”. Berarti

sebagai lambang kesuburan dan

kemakmuran.

- “Motif Kaligrafi”

Motif ini bermakna bahwa pada saat

pembuatan ragam hias tersebut tidak

Page 25: Jurnal Imajinasi

24

terlepas dari pengaruh ajaran Islam, dan

mengenai bentuk/motif penempatannya

sangat ditentukan oleh norma-norma

falsafah agama yang harus ditaati betul-

betul. Hal ini sangat perlu untuk

menghindari timbulnya salah pengertian

akan makna dan maksud yang terkandung

di dalam ragam hias kaligrafi, mengenai

makna motif kaligrafi yang terdapat pada

bangunan Sao Raja Lapawawoi Karaeng

Sigeri di Watampone itu sesuai dengan

artinya: Tiada Tuhan selain Allah dan

Muhammad utusan Allah. Namun fungsi

utamanya adalah untuk mengembangkan

dan memantapkan ajaran dalam

kehidupan.

Adapun makna dari motif “Colli Paku”

(tumbuhan paku) lawa suji, motif buah nangka,

motif tumpal dan swastika penulis agak sulit

menemukan datanya. Namun secara umum

menurut Andi Muhammad Ali ia hanya

berfungsi sebagai hiasan akan tetapi dalam

setiap penempatan motif pada bangunan tetap

memiliki makna yang terkandung, berdasarkan

asal daerah dimana motif tersebut dibuat.

Ciri Khas Motif Ragam Hias

Dilihat dari seluruh motif ragam hias

yang terdapat pada bangunan Sao Raja

Lapawawoi Karaeng Sigeri di Watampone

pada umumnya adalah berupa hiasan dari

ornamen ukir kayu yang dipahat dengan bentuk

ragam hias yang berbeda. Pada bagian dalam

terdapat dinding pemisah yang dipenuhi

dengan motif ragam hias dengan bentuk timbal

balik. Pada bagian luar juga terdapat ragam

hias dengan bentuk yang berbeda.

Secara keseluruhan dari motif ragam

hias yang terdapat pada bangunan Sao Raja

Lapawawoi Karaeng Sigeri di Watampone

apabila diperhatikan dan diamati maka akan

terasa nyaman dan memperlihatkan nilai estetis

yang sangat tinggi dan bila dibandingkan

dengan bangunan-bangunan lain yang ada di

Sulawesi Selatan bahkan di Indonesia, maka

ragam hias yang ada pada bangunan Sao Raja

tersebut tidak memiliki kesamaan, khususnya

motif colli paku, lawa suji, dan buah nangka.

Selanjutnya pada bangunan Sao Raja

Lapawawoi Karaeng Sigeri di Watampone

terdapat ciri khusus yang sangat menonjol,

yaitu pada dinding bagian luar menggunakan

motif tumbuh-tumbuhan jenis “colli paku”

(tumbuhan paku). Sementara pada bagian

dalam dinding pemisah ciri yang ditonjolkan

adalah motif “lawa suji”, “bunga parenreng”

(bunga menjalar), motif buah nangka serta

motif kaligrafi. Di samping ciri tersebut

terdapat pula ciri yang lain yaitu tidak

ditemukannya motif dari jenis mahluk hidup

ini disebabkan karena pada saat dibuatnya

agama Islam telah menjadi agama mayoritas,

yang tidak menghendaki pembuatan makhluk

bernyawa dari jenis hewan dan manusia.

SIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari hasil penelitian serta pembahasan

mengenai data yang diperoleh pada bangunan

Sao Raja Lapawawoi Karaeng Sigeri di

Watampone maka penulis menarik kesimpulan

sebagai berikut:

1. Bentuk ragam hias yang terdapat pada

bangunan Sao Raja Lapawawoi Karaeng

Sigeri di Watampone memiliki bermacam-

macam bentuk yang diterapkan pada jenis

ornamen ukir kayu dengan teknik yang

berbeda, ini dapat ditemui pada ragam hias

tumbuh-tumbuhan, dari jenis bunga

parenreng (bunga menjalar), colli paku

(tumbuhan paku) bunga tunggal, motif buah

nangka, motif geometris, lawa suji dan

kaligrafi.

2. Fungsi dan makna ragam hias yang

terkandung pada bangunan Sao Raja

Lapawawoi Karaeng Sigeri di Watampone

adalah di samping berfungsi sebagai ragam

hias murni atau hiasan semata pada

bangunan tersebut, juga sebagai hiasan

simbolis yang berkaitan dengan unsur-

unsur religius. Di samping itu terkandung

beberapa makna tertentu yang

melambangkan simbol-simbol tertentu pada

ragam hias “bunga parenreng” (bunga

menjalar), “colli paku” (tumbuhan paku),

lawa suji dan kaligrafi

3. Ciri khas atau tanda-tanda khusus ragam

hias pada bangunan Sao Raja Lapawawoi

Karaeng Sigeri di Watampone pada

umumnya menggunakan ornamen ukiran

dari kayu cendana dengan motif “colli

paku” (tumbuhan paku) yang ada pada

dinding depan bangunan, motif bunga

Page 26: Jurnal Imajinasi

25

parenreng (bunga menjalar), motif lawa

suji, motif buah nangka, motif bunga

tunggal serta motif kaligrafi pada bagian

dalam bangunan. Di samping itu ciri yang

lain adalah tidak terdapatnya ragam hias

dari jenis hewani dan manusia.

Saran

Dari beberapa kesimpulan di atas maka

di bawah ini penulis akan mengemukakan

saran-saran sebagai berikut:

1. Dalam rangka usaha peningkatan apresiasi

seni bagi mahasiswa khususnya tentang

motif ragam hias Sulawesi Selatan maka

perlu kiranya diadakan wisata seni pada

bangunan Sao Raja Lapawawoi Karaeng

Sigeri di Watampone, guna mengamati

lebih mendalam tentang ragam hias yang

ada baik dari bentuknya maupun

penggarapannya.

2. Mengharapkan kepada dosen seni rupa

yang membina mata kuliah ragam hias agar

motif ragam hias pada bangunan Sao Raja

Lapawawoi Karaeng Sigeri di Watampone

dapat dijadikan bahan referensi dalam

pelaksanaan pengajaran.

3. Mengharapkan pada seksi kebudayaan

kabupaten Bone agar bangunan Sao Raja

Lapawawoi Karaeng Sigeri di Watampone

tetap dijaga kelestariannya, karena

bagaimanapun juga ragam hias yang ada

pada bangunan tersebut merupakan

kekayaan kebudayaan bangsa Indonesia,

khususnya Kabupaten Bone.

DAFTAR RUJUKAN

Bastomi, Suwaji. (1982). Ornamen Ukir Kayu,

Semarang: IKIP Semarang.

Depdikbud. (1994). Materi Penataran UUD

1945, GBHN. Jakarta: Depdikbud.

Depdikbud. 1984. Pengetahuan Ornamen.

Jakarta: Depdikbud.

Depdikbud. (1983). Ragam Hias Jawa. IA.

Jakarta: Depdikbud.

Depdikbud. (1983). Ragam Hias Jawa. IB.

Yogyakarta: Depdikbud.

Gustami, SP. (1980). Seni Ornamen Indonesia,

Yogyakarta: ASRI.

Internusa, PT. 1992. Sulawesi Selatan. Jakarta:

PT. Info Budaya Harapan.

Kayam, Umar. (1981). Seni Tradisional

Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan.

Mardanas, et. Al. (1985). Arsitektur

Tradisional Daerah Sulawesi Selatan.

Ujung Pandang: Depdikbud.

Nasir, Abdul. (1997). Motif Ragam Hias Pada

Arsitektur Bangunan Sao Mario

Kabupaten Soppeng, Skripsi:

Universitas Negeri Makassar.

Poerwadarminta, WJS. (1976) Kamus Umum

Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai

Pustaka.

Riwut, Tjilik. (1993). Kalimantan

Membangun, Alam dan Kebudayaan.

Yogyakarta: Tiara Wacana Yokya.

Rochaediet. Al. (1994). Metode Penelitian Seni

Budaya. Jakarta: Proyek Pelestarian

dan Pengembangan Kesenian

Tradisional Betawi.

Sahriah, Abdul Hamid Muchtar. (1991). Seni

Ragam Hias Kain Tenun Sulawesi

Selatan. Ujungpandang.

Sika, Wayan. (1983). Ragam Hias Bali.

Jakarta: Depdikbud.

Soeharjo, AJ. (1990). Pendidikan Seni Rupa.

Buku Guru.

Soetanto et. al. (1980). Pengetahuan Ornamen,

Jakarta: Depdikbud.

Sukmono. (1991). Pengantar Sejarah

Kebudayaan Indonesia, Jakarta:

Kanisius.

Sumarjadi et. al. (1982). Seni Dekorasi dan

Kerajinan II Untuk SMTA. Proyek

Pendidikan dan Pembinaan Tanaga

Teknis Kebudayaan, Jakarta:

Depdikbud.

Supadi, et. al. (1987). Seni Rupa 1 Untuk Kelas

1 SMP. Klaten: Intan Pariwara.

Toekio, M. Soegeng. (1981). Mengenal Ragam

Hias Indonesia. FPBS: IKIP Ujung

Pandang.

.

Page 27: Jurnal Imajinasi

Jurnal Imajinasi Volume 5 Nomor 1 Juni 2021 e-ISSN: 2550-102X dan p-ISSN: 1693-3990

This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License

PEMANFAATAN KULIT BATANG PISANG SEBAGAI KARYA

KERAJINAN PADA IBU IBU RUMAH TANGGA DESA KALIANG

KECAMATAN DUAMPANUA KABUPATEN PINRANG

Baso Indra Wijaya Aziz 1*, Rusman Rasyid2, Gawarti3 1,3Universitas Negeri Makassar

2Universitas Khairun

*Correspondency Author

[email protected], [email protected], [email protected]

Abstrak

Dari hasil survei yang telah dilakukan pada kelompok mitra sasaran, khususnya di

diperoleh informasi bahwa ibu ibu rumah tangga di Desa Kaliang Kecamatan Duampanua

Kabupaten Pinrang usaha kerajinan batang kulit pisang perajin mitra tersebut sebenarnya

sudah pernah mendapatkan pelatihan, namun mereka masih terus memerlukan pembinaan

untuk lebih mengembangkan usaha mereka. Secara rinci permasalahan utama yang

dialami oleh kelompok industri kecil mitra selama ini antara lain: Para ibu ibu rumah

tangga tidak memiliki wawasan pengetahuan tentang pentingnya pengembangan desain

kerajinan dan peningkatan kualitas produk. Pengabdian ini bertujuan meningkatan

keterampilan ibu ibu rumah tangga dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki dan

potensi SDA yang tersedia secara optimal, tidak tertutup kemungkinan ekonomi perajin

dapat ditingkatkan.

Pemberdayaan ibu ibu rumah tangga merupakan salah satu hal penting yang patut

mendapat perhatian dalam rangka membangun perekonomian nasional yang adil dan

merata, termasuk di Desa Kaliang dengan pertimbangan bahwa usaha kerajinan batang

pisang tersebut suatu saat merupakan salah satu andalan daerah setempat yang diharapkan

mampu terus menyokong pertumbuhan ekonomi masyarakatnya. Metode yang dilakukan

adalah ceramah, demonstrasii dan dokumentasi. Hasil yang diperoleh dari pengabdian iini

adalah ibu ibu Desa Kaliang dapat meningkatkan keterampilan serta pengetahuan

utamanya pemanfaatan kulit batang pisang dengan membuat tempat tissue dan erang

erang. Berdasarkan hasil pelaksanaan kegiatan PKM ini, maka dapat dirumuskan

kesimpulan bahwa pelaksanaan pelatihan pemanfaatn kult batang pisang di Desa Kaliang

Kabupaten Pinrang ini dapat meningkatan pengetahuan dan keterampilan para peserta

dalam membuat Tempat tissue dan tempat erang erang sebagai suatu kerajinan yang

dapat memberikan penghasilan tambahan bagi rumah tangga di Desa Kaliang yang

dibuktikan dengan dihasilkannya produk berupa tempat tissue dengan aneka bentuk

dasar, komposisi, estetika, dan warna.

Keywords: Keterampilan, Kerajinan, Batang Pisang

Page 28: Jurnal Imajinasi

27

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan penghasil pisang

yang cukup besar, 50% dari produksi pisang

Asia dihasilkan oleh Indonesia dan produksi

setiap tahunnya terus meningkat. Hampir

seluruh wilayah di Indonesia merupakan daerah

penghasil tanaman pisang.Tanaman pisang

banyak ditanam penduduk Indonesia. Menurut

Rohma (2016), bahwa setiap tahun lahan dan

produksi pisang semakin meningkat. Jika dikaji

lebih dalam sebenarnya pohon pisang bisa

dikatakan tanaman multi fungsi karena

mulaidari buah, pelepah, daun sampai akarnya

bermanfaat dan bernilai. Pohon pisang pada

waktu panen yang diambil hanya buah pisang

dan daunnya saja kemudian pohonnya di tebang

karena mati dan biasanya hanya dibuang saja

disekitar tanaman pisang yang masih produksi

sehingga batangnya dibiarkan busuk menjadi

sampah. Akibat dari meningkatnya produksi

pisang di Indonesia, juga akan berdampak pada

lingkungan karena pisang yang sudah dipanen

serta diambil buah dan daunnya, maka

batangnya dibuang dan tidak dimanfaatkan,

sehingga akan mengakibatkan bertumpuknya

limbah pelepah pisang yang bisa berdampak

besar pada lingkungan. Desa Kaliang Kecamata

Duampanua merupakan salah desa di

Kecamatan Duampanua. Kabupaten Pinrang

memiliki banyak populasi tanaman pohon

pisang. Pada umumnya pohon pisang tersebut

hanya buah dan daunnya yang dimanfatkan

tanpa menyadari ternyata batang atau pelapah

pisang dapat pula dimanfaatkan dan hanya

menjadi sampah atau dibiarkan menumpuk dan

membusuk jadi limbah.

Salah satu upaya kreatif dan normatif

yang dapat dilakukan untuk mengurangi

dampak negatif dari pohon pisang atau pelepah

pisang, adalah dengan PKM mitra Unversitas

Negeri Makassar. Pengelolaan limbah tersebut,

dapat pula dilakukan pada limbah lain, seperti

limbah pelepah pisang. Dengan harapan, selain

dapat mengurangi dampak lingkungan, juga

mempunyai daya guna yang dapat dimanfaatkan

kembali dalam bidang kerajinan. Limbah

pelepah pisang apabila didaur ulang (recycle),

maka akan menghasilkan produk kerajinan yang

akan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, dan

juga bagi masyarakat yang membutuhkan hasil

olahan limbah tersebut. Seperti halnya

Pengelolaan sampah dengan konsep 3R

melibatkan berbagai aspek, tidak hanya

menyangkut aspek teknik semata, namun yang

jauh lebih penting adalah menyangkut masalah

sosial dalam rangka mendorong perubahan

sikap dan pola pikir menuju terwujudnya

masyarakat yang ramah lingkungan. Proses

pemberdayaan masyarakat meliputi antara lain

sosialisasi/penyuluhan, pelatihan, percontohan,

dan pengembangan kegiatan. Pengelolaan yang

dapat memberi nilai tambah tersebut tentu harus

mendapat perlakuan tertentu, dapat berupa

pendidikan atau pelatihan yang dapat

meningkatkan keterampilan dan

keahlian.Seperti yang dikemukakan oleh

Madera (2011), bahwa pelatihan merupakan

salah satu kegiatan pokok dalampengembangan

sumberdaya manusia. Desa Kaliang Kecamatan

Duampanua menjadi salah satu Kecamatan

yang berpotensi untuk dijadikan objek dalam

kegiatan pengabdian masyarakat terutama pada

Ibu Ibu Rumah tangga dalam upaya

menngkatkan pendapatan sampingan.

Kondisi keterampilan ibu bu rumah

tangga di Desa Kaliang Kecamatan Duampanua

Kabupaten Pinrang sebagai salah satu

penyangga pertumbuhan ekonomi masyarakat

desa setempat, Pemberdayaan ibu bu rumah

tangga / untuk mendukung peningkatan

keterampilan ibu bu rumah tangga di Desa

Kaliang dan ekonomi kreatif. Potensi bahan

baku untuk pembuatan kerajinan batang kulit

pisang cukup tersedia sebagai potensin di desa

Kaliang , tanaman pisang belum dikelola secara

profesional mengenai batang atau pelepahnya

yang dihasilkan tanaman pisangnya hanya

buahnya saja sehinggga bisa maksimal. Pada

umumnya ibu bu rumah tangga di Desa Kaliang

Kecamatan Duampanua Kabupaten Pinrang

memiliki keterampilan yang cukup baik, tetapi

kurang atau tidak ada pembinaan sehingga tidak

termotivasi untuk mengembangkan potensi

yang ada di Desa sebagai penyangga

perekonomian desa. Kurangnya dukungan dari

pihak lain (pemerintah/swasta) pada pelatihan

dan pembinaan ibu bu rumah tangga di Desa

Kaliang Kecamatan Duampanua Kabupaten

Pinrang sehingga ibu ibu rumah tangga kurang

agresif dalam pengembangan keterampilan

kerajinan kulit batang pisang.

Pertumbuhan usaha kecil menengah

merupakan salah satu faktor penentu dalam

pengembangan ekonomi di banyak negera di

dunia karena merupakan sektor ekonomi (sektor

ril). Hal ini disebabkan karena daya lenturnya

Page 29: Jurnal Imajinasi

28

yang sangat kuat terhadap berbagai gejolak. Ini

telah terbukti saat terjadi krisis ekonomi yang

melanda Indonesia pada tahun 1998 silam -

dimana industri kecil berperan sebagai katup

pengaman dengan menyediakan lapangan kerja,

memproduksi output dan menjadi sumber

kehidupan bagi rakyat (Siregar, 2004). Dilihat

dari jumlah unit usahanya di semua sektor

ekonomi, kontribusinya yang sangat besar

terhadap penciptaan kesempatan kerja dan

sumber pendapatan, khususnya di daerah

pedesaan dan bagi rumah tangga berpendapatan

rendah. Fenomena ini menunjukkan betapa

pentingnya peran dari usaha kecil menengah

tersebut termasuk peningkatan keteramplan

batang kulit pisang.. Selain itu, selama ini ibu bu

tersebut juga berperan sebagai salah satu motor

penggerak bagi pembangunan ekonomi dan

komunitas lokal (Menkop dan PKM, 2000).

Berdasarkan alasan tersebut, maka

pemberdayaan ibu bu rumah tangga atau

industri/ pengusaha kecil merupakan salah satu

hal penting yang patut mendapat perhatian

dalam rangka membangun perekonomian yang

diharapkan dapat mendukung pertumbuhan

ekonomi masyarakat, termasuk di dalamnya

ekonomi kerakyatan sebagai potensi yang ada

di desa-desa. Tidak dapat dipungkiri bahwa

kehadiran keterampilan yang di tengah-tengah

masyarakat, khususnya pada masyarakat

pedesaan sangat penting karena dapat

memberikan kontribusi terhadap pembangunan

yang secara langsung bersentuhan dengan

masyarakat bawah, serta berpotensi

meningkatkan kesejahteraan masyarakat

pengelolanya. Bahkan tidak tertutup

kemungkinan dapat menjadi salah satu wadah

untuk meminimalisasi angka pengangguran bila

terus berkembang dan maju.

Pemanfaatan kulit Batang Pisang sebagai bahan

kerajinan adalah salah satu diantara sekian

banyak potensi yang perlu mendapat perhatian

secara serius. Ini didasarkan atas pertimbangan

bahwa potens Desa Kaliang yang memiliki

tanaman pohon pisang merupakan salah satu

andalan daerah setempat yang diharapkan

mampu terus menyokong pertumbuhan

ekonomi masyarakatnya. Namun pada

kenyataannya kinerja penngkan keterampilan

ibu ibu tersebut untuk menjadi sebuah industry

kerajinan kurang diperhatikan sehingga tidak

mampu memenuhi harapan pertumbuhan

ekonomi masyarakatnya. Padahal jika dilihat

dari segi potensi sumberdaya (bahan baku dan

tenaga ibu ibu rumah tangga cukup terampil),

Desa Kaliang sangat potensial untuk

pengembangan usaha kerajinanbatang kulit

pisang. Permasalahan utama yang tampak pada

ibu bu rumah tangga di Desa Kaliang

Kecamatan Duampanua Kabupaten Pinrang

usaha kerajinan batang kult pisang ini belum

dimanfaatkan hal ini disebabkan kurangnya

wawasan pengetahuan ibu ibu rumah tangga

terhadap aspek desain kerajinan, masalah

kualitas produk, manajemen produksi dan

teknik produksi, keterbatasan modal usaha, dan

informasi pasar sehingga perajin cenderung

bersikap apatis Kurangnya pemahaman

terhadap peranan dan pentingnya keterampilan

kerajinan sehingga potensi yang ada tidak

dimanfaatkan walaupun telah ada tetapi yang

dihasilkan masihmerupakan kebutuhan sendiri.

Fenomena menunjukkan bahwa kondisi

ibu ibu rumah tangga masih bertumpuh pada

hasl pertanian pisang ata buah pisangnya dari

tahun ke tahun cenderung statis sehingga tidak

mampu mengembangkan potensi yang ada.

Indonesia merupakan penghasil pisang yang

cukup besar, 50% dari produksi pisang Asia

dihasilkan oleh Indonesia dan produksi setiap

tahunnya terusmeningkat. Hampir seluruh

wilayah di Indonesia merupakan daerah

penghasil tanaman pisang.Tanaman pisang

banyak ditanam penduduk Indonesia. Menurut

Rohma (2016), bahwa setiap tahun lahan dan

produksi pisang semakin meningkat. Jika dikaji

lebih dalam sebenarnya pohon pisang bisa

dikatakan tanaman multi fungsi karena

mulaidari buah, pelepah, daun sampai akarnya

bermanfaat dan bernilai. Pohon pisang pada

waktu panen yang diambil hanya buah pisang

dan daunnya saja kemudian pohonnya di tebang

karena mati dan biasanya hanya dibuang saja

disekitar tanaman pisang yang masih produksi

sehingga batangnya dibiarkan busuk menjadi

sampah. Akibat dari meningkatnya produksi

pisang di Indonesia, juga akan berdampak pada

lingkungan karena pisang yang sudah dipanen

serta diambil buah dan daunnya, maka

batangnya dibuang dan tidak dimanfaatkan,

sehingga akan mengakibatkan bertumpuknya

limbah pelepah pisang yang bisa berdampak

besar pada lingkungan .

Selain itu, kemampuan ibu ibu dalam

mengembangkan keterampilan sangat kurang

dan terbatas sehingga untuk menjadi industri

Page 30: Jurnal Imajinasi

29

kerajinan yang maju seperti halnya dengan

industri kerajinan lain di Jokyakarta, lampung

dan Banjar misalnya, sangat lamban. Hal inilah

yang dipandang krusial untuk mendapatkan

perhatian dari pihak-pihak yang terkait,

termasuk pihak perguruan tinggi. Perlu

diketahui bahwa sementara ini, walaupun masih

dalam skala kecil, keterampilan ibu bu rumah

tangga di Desa Kaliang Kecamatan Duampanua

Kabupaten Pinrang sudah menunjukkan

andilnya dalam menanggulangi angka

pengangguran, paling tidak dalam lingkup

terbatas. Dengan keberadaannya, telah mampu

mempekerjakan sejumlah anggota keluarga dan

masyarakat sekitarnya, baik sebagai petanin

maupun sebagai pedagang pengecer yang

menjajakan produk ke pelosok desa sebagai

kebutuhan masyarakat. Bila industri kerajnan

batang kulit pisang tersebut terus berkembang,

maka peluang membawa dampak positif yang

lebih besar bagi masyarakat lingkungannya

semakin terbuka, baik dalam hal pemberian

kesempatan kerja bagi tenaga-tenaga

penganggur maupun peningkatan kesejahteraan

masyarakatnya.

Potensi bahan baku tanaman pisang

cukup tersedia, tetapi belum dikelola secara

profesional sehingga belum meningkatkan

potensi keterampilan ibu ibu yang bias menjadi

penyangga perekonomian desa. Pada umumnya

keterampilan ibu bu rumah tangga di Desa

Kaliang Kecamatan Duampanua Kabupaten

Pinrang memiliki keterampilan yang cukup

baik, tetapi kurangada pembinaan sehngga ,

tidak termotivasi untuk mengembangkan

produk inovatif; Kurangnya dukungan dari

pihak lain (pemerintah/swasta) sehingga ibu ibu

rumah tangga kurang agresif dalam

pengembangan keterampilan kerajnan batang

kulit pisang . Kondisi kehidupan sosial-ekonomi

ibu bu rumah tangga pada umumnya tergolong

dalam masyarakat ekonomi lemah dan

berpendidikan rendah.

Mitra sasaran yang akan dilibatkan

dalam kegiatan ini adalah salah satu kelompok.

keterampilan ibu bu rumah tangga di Desa

Kaliang Kecamatan Duampanua Kabupaten

Pinrang yang tergabung dalam kelompok

LKMD Desa Kaliang. PKM kegiatan pelatihan

dalam rangka peningkatan keterampilan ibu ibu

rumah tangga maka Lembaga Ketahanan

Masyarakat Desa Kaliang telah menyatakan

kesediaannya untuk menjadi mitra dan bekerja

sama dengan tim pelaksana PPM dari

Universitas Negeri Makassar. Penulis

berasumsi bahwa Jika SDM bu ibu di desa

Kaliang ini diberdayakan dengan

memanfaatkan potensi yang dimiliki dan

potensi SDA yang tersedia secara optimal, tidak

tertutup kemungkinan ekonomi perajin dapat

ditingkatkan.

Pemberdayaan ibu rumah tangga

merupakan salah satu hal penting yang patut

mendapat perhatian dalam rangka membangun

perekonomian nasional yang adil dan merata,

termasuk di Desa Kaliang dengan pertimbangan

bahwa usaha kerajinan batang pisang tersebut

suatu saat merupakan salah satu andalan daerah

setempat yang diharapkan mampu terus

menyokong pertumbuhan ekonomi

masyarakatnya. Hanya saja kinerja usaha

kerajinan tersebut untuk menjadi sebuah

industry kerajnan yang mampu memenuhi

harapan masyarakatnya dan mengikuti

perkembangan pasar masih sangat lamban..

Melalui kegiatan ini disarankan

beberapa hal, yakni: (1) Untuk pengembangan

kualitas dan citra produk, para ibu ibu rumah

tangga perlu mendapatkan pembinaan melalui

pelatihan secara berkesinambungan; dan (2)

Untuk meningkatkan kinerja ibu ibu rumah

tangga di Desa Kaliang peran pemerintah dan

pihak-pihak terkait lainnya, sangat dibutuhkan

dalam rangka pembinaan dan pengembangan

usaha kerajinan batang kulit pisang di Desa

Kaliang Kecamatan Duampaua Kabupaten

Pinrang. Salah satu faktor penyebabnya adalah

kurang mendapatkan perhatian dari pihak lain,

baik dari pemerintah maupun dari pihak swasta.

Untuk mewujudkan cita-citanya, para ibu bu

berusaha terus mengikuti perkembangan yang

telah maju di daerah-daerah lainnya. Tekad

untuk memajukan kerajinan ini telah

dibuktikannya dengan mengikuti pelatihan dan

magang usaha dalam berbagai kesempatan yang

diprakarsai oleh Dinas perdagangan dan

Perindustrian Kabupaten Pinrang

Dalam meningkatkan keterampilan

melalui pelatihan, mereka mengakui cukup

banyak tantangan yang dialami dalam berjuang

untuk meningkatkan pendapat keluarga . Ibu Ibu

berharap agar pihak-pihak luar mau

memberikan dukungan sepenuhnya dalam

rangka peningkatan keterampilan ibu ibu umah

tangga di Desa Kaliang. Dari hasil survei yang

telah dilakukan pada kelompok mitra sasaran,

Page 31: Jurnal Imajinasi

30

khususnya di diperoleh informasi bahwa ibu bu

rumah tangga di Desa Kaliang Kecamatan

Duampanua Kabupaten Pinrang usaha kerajinan

batang kulit pisang perajin mitra tersebut

sebenarnya sudah pernah mendapatkan

pelatihan, namun mereka masih terus

memerlukan pembinaan untuk lebih

mengembangkan usaha mereka. Secara rinci

permasalahan utama yang dialami oleh

kelompok industri kecil mitra selama ini antara

lain: Para ibu ibu rumah tangga tidak memiliki

wawasan pengetahuan tentang pentingnya

pengembangan desain kerajinan dan

peningkatan kualitas, tidak berani bereksplorasi

dan menawarkan prototip desain kepada

konsumen/pasar. Bahan baku batang pisang

cukup tersedia yang digunakan oleh perajin

mitra, kurang memenuhi standar (kualitas

dibawah standar), dan kurang serius mencari

upaya untuk mengatasi bagaimana memperbaiki

kualitas bahan baku yang digunakan.

Permasalahan tersebut mengakibatkan

tidak berkembangnya pengetahuan dan

keterampilan ibu ibu rumah tangga sebagai

penyangga ekonomi keluarga. Namun

demikian, atas kesediaan kelompok ibu ibu

ruma tangga di Desa Kaliang untuk bekerja

sama melalui kegiatan diharapkan anggota

kelompok ibu ibu tersebut dapat memperoleh

pengetahuan, pengalaman dan keterampilan

baru sebagai pendapatan sampingan, dengan

modal itu mereka kelak dapat berkembang, dan

bisa mandiri sehingga akan membuka lapangan

kerja untuk masyarakat lainnya.

METODE

Metode dan pendekatan yang

ditawarkan dalam kegiatan ini adalah metode

ceramah, diskusi, tanya jawab, demonstrasi,

dan pelatihan. Metode ceramah untuk

menjelaskan hal yang berhubungan dengan

pengetahuan mengenai peningkatan

keterampilan ibu ibu rumah tangga di Desa

Kaliang lebih menekuni usaha kerajinan

keterampilan batang kulit pisang Metode

diskusi akan dilakukan untuk memberikan

kesempatan kembali kepada mitra untuk

menanyakan hal-hal yang mereka belum

dipahami. Metode demonstrasi akan digunakan

untuk memperlihatkan proses pengembangan

desain sampai pada proses penyelesaian atau

finishing. Metode pendampingan dan pelatihan

akan digunakan dengan cara memberikan tugas

kepada peserta membuat prototipe yang sudah

disiapkan/direncanakan. Evaluasi pelaksanaan

penerapan pengabdian bagi Masyarakat ini

terdiri dari dua tahapan, yaitu evaluasi proses

dan evaluasi hasil kegiatan. Evaluasi proses

dilakukan pada saat pelatihan sedang

berlangsug. Evaluasi ini juga menjadi umpan

balik bagi tim pelaksana kegiatan untuk dapat

memberikan solusi bila ada hal-hal yang

kurang dipahami oleh peserta. Evaluasi hasil

kegiatan dilakukan setelah selesai kegiatan

pelatihan. Indikator yang digunakan untuk

mengukur sejauhmana keberhasilan program

ini adalah: “Jika ibu ibu rumah tangga di Desa

Kaliang yang telah dilatih mampu menerapkan

pengetahuan dan keterampilan tersebut secara

mandiri mencapai <50% dan mampu membuat

3 jenis prototip yang direncanakan dalam

kegiatan ini”.

1.

2. Pemberian Informasi (Receive knowledge)

Pelaksanaan pelatihan ini diikuti oleh 25

peserta yang keseluruhannya adalah wanita ibu

rumah tangga dengan rentang usia 25 – 60

tahun. Awalnya jumlah yang direncanakan

adalah 20 orang, namun karena tingginya minat

peserta maka untuk menghargai antusiasme ini,

kapasitas peserta ditambah menjadi 30 orang.

Pada tahapan ini, kegiatan dilakukan

dengan cara memberikan informasi berupa

materi dengan menggunakan metode ceramah.

Kegiatan ini dimulai dengan memberikan

penjelasan mengenai pengertian dan

pemanfaatannya kulit batang ppisang sebagai

sumber daya alam yang potensial bagi Desa

Kaliang. Selanjutnya juga diberikan

pengetahuan mengenai desain secara sederhana

seperti : bentuk dasar, komposisi, estetika, dan

warna. Selain itu, Peserta juga diberi wawasan

tentang alternatif bentuk, trend dan

perkembangan pasar, sehingga diharapkan

peserta dapat membuat dan menjual produk

sesuai dengan sasaran serta kebutuhan

masyarakat

Penyampaian materi (informasi)

disampaikan secara menarik dan tidak

membosankan, antara lain dengan memberikan

banyak contoh-contoh aplikasi dari teori yang

diberikan, baik berupa foto, hasil scan, dan hasil

akhir, yang dapat dijadikan contoh maupun

Page 32: Jurnal Imajinasi

31

pembanding agar mudah dipahami oleh setiap

peserta.

Selain itu, pada tahapan pemberian

informasi dan penjelasan tentang materi

tersebut, dilakukan kegiatan tanya jawab dan

diskusi yang diikuti antusias oleh para peserta

sesuai dengan tahapan informasi atau materi

yang diberikan. Berdasarkan pengamatan yang

dilakukan oleh Tim terhadap pelaksanaan

kegiatan yang telah berlangsung ini, terlihat

bahwa meskipun tingkat pendidikan peserta

cukup beragam, namun cukup mampu dalam

menangkap informasi yang disampaikan,

terbukti antara lain terlihat pada partisipasi pada

kegiatan, keseriusan dalam memperhatikan

presentasi materi pelatihan, serta banyaknya

interaksi serta pertanyaan-pertanyaan yang

disampaikan oleh masing-masing peserta,

terkait dengan materi pelatihan.

Praktek (Practice)

Pada tahapan ini, kegiatan dilakukan

dengan cara melatih peserta untuk membuat

kerajinan sepertitempat Tissu dan tempat erang

erang pengantin. Tempat tissue dipilih untuk

diajarkan dalam pelatihan dan pendampingan

ini karena permintaan di pasaran tinggi sebab

merupakan yang banyak digunakan oleh setiap

keluarga maupun pada kios, tempat makan

maupun pada mobil termasuk wanita pada

berbagai umur. Adapun langkah-langkah yang

dilakukan pada saat praktek pembuatan

kerajinan bross yaitu antara lain:

a. Mengumpulkan kulit batang pisang

b. Menjemur kulit batang pisang sebaga

bahan utama

c. Memilah kain motif kult pisang sesuai

dengan keinginan motif, yang

disesuaikan dengan desain produk yang

akan dibuat

d. Membuat pola sesuai produk yang akan

di hasilkan.

e. Potong karton atau gardus dibentuk

pola.

f. Satukan bagian-bagian pola

membentuk produk yang diinginkan.

g. Percantik tampilan produk dengan

menambah bahan pelengkap sesuai

desain.

Dari hasil pengamatan terhadap

aktivitas pada saat dilakukannya praktik

pembuatan produk kerajinan terlihat adanya

peningkatan motivasi dan kemampuan para

peserta dalam membuat tempat tissue sebagai

suatu kerajinan yang dapat memberikan

penghasilan tambahan bagi rumah tangga di

Desa Kaliang yang dibuktikan dengan

dihasilkannya produk berupa tempat tissue dan

tempat erang erang dengan aneka bentuk dasar,

komposisi, estetika, dan warna. Bahkan

beberapa peserta memberi masukan dengan

mengatakan bahwa mereka merasa kegiatan

pelatihan ini sangat bermanfaat khususnya bagi

pengembangan dan peningkatan pengetahuan

dan keterampilan masyarakat di Desa Kaliang

Kabupaten Pinrang dalam mengolah kulit

batang pisang menjadi produk kreatif yang

bernilai ekonomi yang mampu menambah

pendapatan ekonomi keluarga menuju

kemandirian ekonomi keluarga, dan sangat

disayangkan kegiatan ini hanya dilaksanakan

selama tiga hari (pertemuan secara formal).

4.1 Partisipasi Mitra

Kegiatan Program Kemitraan

Masyarakat (PKM) ini dilakukan di Desa

Kaliang Kabupaten Pinrang yang menjadi mitra

dari tim PKM Universitas Negeri Makassar.

Sebelum dilaksanakannya kegiatan ini maka tim

PKM melakukan koordinasi dan sosialisasi

dengan mendatangi dan bertemu langsung

dengan kepala Desa Kaliang dan beberapa

perwakilan masyarakat Desa Kaliang untuk

menyampaikan maksud dan tujuan tim PKM

Universitas Negeri Makassar dalam

menyelesaikan permasalahan yang dihadapi

oleh masyarakat di Desa Kaliang akan

rendahnya kesadaran masyarakat dalam

memanfaatkan kulit batang pissang sehingga

dapat meningkatkan pendapatan masyarakat

melalui pelaksanaan pelatihan. Hasil dari

kegiatan koordinasi dan sosialisai tersebut

ternyata mendapat respon yang positif dari

Pemerintah Desa Kaliang Kabupaten Pinrang

dan masyarakat dengan meminta agar pada

pelaksanaan kegiatan pelatihan tersebut bukan

hanya disampikan meteri tetapi langsung diajari

cara membuat kerajinan dari kulit batang

pisang.

Pada pelaksanaan kegiatan pelatihan,

partisipasi pemerintah Desa Kaliang cukup

baik terbukti dari ikut terlibatnya pemerintah

kepala Desa Kaliang dalam mengatur jadwal

pelaksanaan kegiatan, mendata masyarakat

yang akan menjadi peserta dalam kegiatan

Page 33: Jurnal Imajinasi

32

PKM tersebut, menyediakan tempat menginap

bagi tim PKM Universitas Negeri Makassar,

serta menyediakan ruangan sebagai tempat

pelaksanaan kegiatan berikut alat-alat

pendukung lainnya seperti sound system, LCD

(infokus) dan lainnya. Selain itu, masyarakat

Desa Kaliang juga menunjukkan animo yang

sangat besar dalam mengikuti kegiatan PKM

tesebut. Hal ini dibuktikan dengan tingginya

partisipasi masyarakat yang hadir tepat waktu

untuk mengikuti kegiatan PKM tersebut

meskipun berlangsung selama 3 hari.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Hasil yang telah dicapai pada

pelaksanaan kegiatan Program Kemitraan

Masyarakat (PKM) ini yaitu para peserta

pelatihan telah memiliki pengetahuan dan

keterampilan dalam memanfaatkan kulit

batang pisang menjadi produk yang bernilai

jual lebih tinggi, berkelas dan dapat dipasarkan

dengan mudah. Hal ini dibuktikan dengan

tingginya respon peserta terhadap kegiatan

PKM yang diamati dengan cermat oleh

observer pada tiga indikator yaitu terampil,

inovasi, dan motivasi. Untuk hasil respon yang

didapatkan dapat di lihat pada tabel berikut.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Respon Peserta

Indikato

r Tinggi Sedang

Renda

h

Terampil 1

3

52

% 9

36

% 3

12

%

Inovasi 6 24

%

1

5

60

% 4

16

%

Motivasi 1

5

60

% 8

32

% 2 8%

Berdasarkan hasil pengamatan di atas

dapat diketahui pada indikator Terampil yaitu

sebesar 52% menunjukkan kategori tinggi

dalam kemampuan ibu-ibu memanfaatkan

kulit batang pisang. Pada indikator Inovasi

yaitu sebesar 60% menunjukkan kategori

sedang, hal ini menunjukkan bahwa ibu-ibu

mampu mengembangkan bentuktempat tissue

berbagai ukuran. Pada indikator Motivasi yaitu

sebesar 60% menunjukkan kategori tinggi,

berarti tingginya antusias ibu-ibu Desa Kaliang

berpartisipasi dalam kegiatan pelatihan ini.

Selain itu, hasil yang juga dicapai pada

kegiatan PKM iniyaitu adanya produk

kerajinan tempat erang

Guna untuk mengevaluasi produk

yang dihasilkan oleh peserta pelatihan,maka

dilakukan penilaian produk dengan

menggunakan rentangan skor dari 0 sampai

100. Adapun hasil yang diperoleh pada

kegiatan tersebut yaitu antara lain:

Tabel 2. Hasil Penilaian Produk Tempat

Tissue

No Aspek Penilaian

Produk

Rerata

Nilai

1 Bentuk dasar 80

2 Komposisi bahan

penyusun 85

3 Nilai estetika

(keindahan) 80

4 Pewarnaan 85

Dari tabel tersebut terlihat bahwa para

peserta memiliki kemampuan untuk membuat

kerajinan tempat tissue dan tempat erang erang

baik itu dari segi bentuk dasar, komposisi

bahan penyusun, nilai estetika maupun

pewarnaan yang baik dan memenuhi standar

pasaran dengan rata rata nilai diatas 80. Hal ini

merupakan kemajuan luar biasa karena peserta

sebelum dilakukan pelatihan memiliki

pengetahuan an keterampilan yang rendah

dalam memanfaatkan kulit batang pisang

menjadi kerajinan yang bernilai ekonomi.

Pembahasan

Animo masyarakat Desa kaliang yang tinggi

dalam mengikuti materi yang dibuktikan

dengan tingginya partispasi kehadiran peserta

disertai dengan sikap dan rasa ingin tahu

peserta yang besar. Dukungan Pemerintah

Desa Kaliang dalam menyediakan tempat

menginap bagi tim PKM Universitas Negeri

Makassar, serta menyediakan ruangan sebagai

tempat pelaksanaan kegiatan berikut alat-alat

pendukung lainnya seperti sound system, LCD

(infokus) dan lainnya. Penyampaian materi

(informasi) disampaikan secara menarik dan

tidak membosankan, antara lain dengan

memberikan banyak contoh-contoh aplikasi

dari teori yang diberikan, baik berupa foto,

hasil scan, dan hasil akhir, yang dapat

Page 34: Jurnal Imajinasi

33

dijadikan contoh maupun pembanding agar

mudah dipahami oleh setiap peserta Produk

yang dihasilkan oleh peserta disesuaikan

dengan alternatif bentuk, trend dan

perkembangan pasar, sehingga diharapkan

peserta dapat membuat dan menjual produk

sesuai dengan sasaran serta kebutuhan

masyarakat

Faktor penghambat dalam pelaksanaan

Program Kemitraan Masyarakat (PKM) yaitu

keterbatasan dana dan waktu mengakibatkan

tim PKM tidak dapat melaksanakan kegiatan

ini secara lebih intensif sehingga masih ada

pelatihan produk lain dari pemanfaatan kulit

batang pisang yang tidak tersampaikan seperti

keset kaki, tas jinjing dan lain sebagainya.

SIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil pelaksanaan

kegiatan PKM ini, maka dapat dirumuskan

kesimpulan bahwa pelaksanaan pelatihan

pemanfaatn kult batang pisang di Desa Kaliang

Kabupaten Pinrang ini dapat meningkatan

pengetahuan dan keterampilan para peserta

dalam membuat Tempat tissue dan tempat

erang erang sebagai suatu kerajinan yang

dapat memberikan penghasilan tambahan bagi

rumah tangga di Desa Kaliang yang dibuktikan

dengan dihasilkannya produk berupa tempat

tissue dengan aneka bentuk dasar, komposisi,

estetika, dan warna.

Saran

Melihat antusiasme peserta yang

tinggi, dan terbatasnya waktu pelatihan serta

guna meningkatkan pemahaman peserta,

sebaiknya diadakan program lanjutan sejenis

dengan jangka waktu yang relatif lama

sehingga kegiatan pelatihan dapat lebih efektif

dan setiap peserta akan memperoleh

bimbingan lebih banyak dengan demikian hasil

yang diperoleh dapat lebih maksimal.

DAFTAR RUJUKAN

Bastomi, Suwaji. (1982). Seni rupa Indonesia.

Semarang IKIP Semarang.

Bahri, S. (2015). Pembuatan Pulp dari Batang

Pisang. Jurnal Teknologi Kimia Unimal

Dewi, I., et al. (2015). Ketahanan Tarik Kertas

Seni dari Serat Pelepah Nipah

(Nypa fruticans) (Kajian Proporsi

Bahan Baku dan Perekat).

Prosiding: Seminar Agroindustri dan

Lokakarya Nasional FKPT-TPI

Gustami, SP. (1987). Seni Ornamen Indonesia.

Yogyakarta: Akademi Seni Rupa

Indonesia (ASRI).

Pratomo, Prieyo. (2006). Pengembangan

Desain dan Inovasi produk

Kerajinan Indonesia. Jakarta: Materi

Pelatihan, Indonesia Australia

Spesialiced Training Proyect – Phase

III, Kerja sama Menteri Negara

Koperasi danUsaha Kecil dan

Menengah RI.

Pratomo, Prieyo. (2006). Produk Kerajinan

sebagai Unggulan Daerah. Jakarta:

Materi Pelatihan, Indonesia Australia

Spesialiced Training Proyect Phase –

III, Kerja sama Menteri Negara

Koperasi dan Usaha Kecil dan

Menengah RI.

Miyazaki, Kiyoshi. (2001). Desain Jepang:

Karakteristik Kriya dan Desain,

Seminar: Mencermati Desain Jepang.

Bandung: FSRD-ITB INDDES, 4 Juli

2001.

Semiawan ,Cony. (1988). Dimensi Kreatif

dalam Falsafah Ilmu. Bandung:

Remaja Karya CV Bandung.

Wucius Wong. (1972) Beberapa asas

Merancang Dwimatra. Terjemahan:

Drs. Adjat Sakri M.Sc. Bandung: ITB.

Zainuddin, Imam Buchori. (1990). The

Education of Art & Design, With

Special Reference to the Case Of

Indonesia. Melbourne: The National

Conference Of Art & Design Of Head

School.

Page 35: Jurnal Imajinasi

Jurnal Imajinasi Volume 5 Nomor 1 Juni 2021 e-ISSN: 2550-102X dan p-ISSN: 1693-3990

This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License

PRINSIP MONTESSORI PADA PEMBELAJARAN SENI RUPA

BAGI PESERTA DIDIK KATEGORI INKLUSIF

Muhammad Muhaemin1* 1Universitas Negeri Makassar

[email protected]

*Corresponding author

Abstrak

Tujuan pendidikan Indonesia menekankan kualitas iman dan takwa kepada Tuhan

Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi

warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pengalaman belajar dalam

pendidikan seni rupa memberikan kesempatan kepada siapapun yang menempuh jalur

pendidikan mendapatkan esensi dalam pendidikan kesenirupaan yang disebut

pengalaman estetis. Penelitian ini bertujuan untuk melihat prinsip Montessori pada

pembelajaran seni rupa dengan peserta didik kategori inklusi. Metode yang digunakan

adalah studi pustaka dengan penelusuran dokumen terkait pendidikan inklusif. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa pengalaman estetis dalam pendidikan seni rupa dengan

prinsip Montessori memberikan kesempatan kepada peserta didik kategori inklusif untuk

memiliki gaya belajar yang santai namun memiliki tujuan sesuai kurikulum yang ada.

Keywords: prinsip montessori, pembelajaran seni rupa,peserta didik inklusif

PENDAHULUAN

Sulit disangkal bahwa pendidikan

mampu melahirkan manusia yang unggul jika

dilakukan pembelajaran yang sesuai dengan

fitrah manusia tersebut. Setiap saat pendidikan

melahirkan berbagai model manusia yang

berbeda karakter, termasuk manusia Indonesia

dengan tujuan pendidikan yang telah

ditetapkan dalam hukum negara Kesatuan

Republik Indonesia.

Tujuan pendidikan Indonesia

menekankan kualitas iman dan takwa kepada

Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,

berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi

warga negara yang demokratis serta

bertanggung jawab. Hal ini bertujuan agar

pendidikan di Indonesia melahirkan manusia-

manusia unggul seperti dalam wacana manusia

yang dibutuhkan di era globalisasi seperti

sekarang ini. Model manusia Indonesia secara

ideal kemudian dirancang dalam konsep

pendidikan yang dibagi menjadi beberapa jalur

yaitu pendidikan formal, non formal, informal,

anak usia dini (AUD), pembelajaran jarak jauh

serta pendidikan berbasis masyarakat. Tidak

hanya itu, pendidikan nasional dibuat

berjenjang mulai pendidikan dasar, pendidikan

menengah dan pendidikan tinggi untuk

memenuhi fungsi pendidikan agar mampu

mengembangkan watak, kemampuan,

berperadaban dan bermartabat, serta

mencerdaskan kehidupan bangsa.

Jalur pendidikan formal menjadi banyak

diminati karena kurikulum dan luaran yang ada

akan terus ada dan berkembang. Tidak hanya

itu, jalur formal yang berjenjang seperti

pendidikan dasar, menengah dan tinggi adalah

jenjang yang secara rasionalitas dalam

masyarakat diharapkan mampu melahirkan

Page 36: Jurnal Imajinasi

35

manusia Indonesia yang sesuai dengan tujuan

pendidikan nasional.

Dalam pelaksanaan pembelajaran

terdapat beberapa mata pelajaran yang

ditawarkan dengan tujuan pembelajaran yang

berbeda-beda pula. Pada pelaksanaan

pembelajaran pendidikan seni khususnya

pendidikan seni rupa dimaksudkan untuk

mengembangkan karakter para peserta didik.

Sofyan Salam (2018) memberikan pandangan

bahwa uniknya pendidikan seni dapat dilihat

dalam pengalaman belajar yang direncanakan

yaitu pengalaman estetik dengan tiga sentuhan

aspek sekaligus yaitu aspek ekspresif, kreatif,

dan estetis.

Pengalaman belajar dalam pendidikan

seni rupa memberikan kesempatan kepada

siapapun yang menempuh jalur pendidikan

mendapatkan esensi dalam pendidikan

kesenirupaan yang disebut pengalaman estetis.

Pengalaman estetis itu sendiri merupakan

pengalaman tentang keindahan tanpa adanya

unsur lain yang mencederai rasa keindahan

tersebut. Pengalaman estetis lahir dari

keindahan yang dilihat, dinikmati dan dialami

secara langsung terhadap cerapan visual yang

ada dihadapannya. Keterlibatan peserta didik

dalam pembelajaran seni rupa yang

mengutamakan unsur visual menjadi hal

penting agar pengalaman estetis terefleksikan

di dalam dirinya. Meski pengalaman estetis

adalah hal pokok dalam pendidikan seni rupa,

namun tentu dalam intisari pembelajaran harus

tetap mencakup tiga ranah penilaian yang harus

dipenuhi yaitu kognitif, sikap dan psikomotor.

Selain sistem pendidikan formal yang

berjalan pada umumnya, muncul jenis

pendidikan baru yaitu sistem pendidikan

inklusi untuk anak berkebutuhan khusus yang

dipandang memiliki potensi kecerdasan dan

bakat istimewa. Hal tersebut dilakukan demi

terselenggaranya amanat undang-undang

tentang kesamarataan pendidikan bagi setiap

warga negara. Dalam Peraturan Menteri

Pendidikan Nasional Republik Indonesia

Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan

Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki

Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan

dan/atau Bakat Istimewa pasal 1 diterangkan

bahwa “Yang dimaksud dengan pendidikan

inklusif adalah sistem penyelenggaraan

pendidikan yang memberikan kesempatan

kepada semua peserta didik yang memiliki

kelainan dan memiliki potensi kecerdasan

dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti

pendidikan atau pembelajaran dalam satu

lingkungan pendidikan secara bersama-sama

dengan peserta didik pada umumnya.”

Uraian dalam undang-undang di atas

melihat pendidikan inklusi sebagai model

pendidikan dengan menyamaratakan peserta

didik pada umumnya dengan peserta didik

berkebutuhan khusus dalam kelas yang sama

pada sekolah formal. Hal ini juga disepakati

berbagai negara dalam World Conference yang

membicarakan Education for All (EFA) tahun

1990 di Thailand dengan peserta 115 negara

dan 150 organisasi. Kesepakatan dalam World

Conference EFA yang digagas oleh UNESCO

itu antara lain:

1. Expand and improve comprehensive

early childhood care and education,

especially for the most vulnerable and

disadvantaged children.

2. Ensure that by 2015 all children,

particularly girls, those in difficult

circumstances, and those belonging to

ethnic minorities, have access to and

complete, free, and compulsory primary

education of good quality.

3. Ensure that the learning needs of all

young people and adults are met

through equitable access to appropriate

learning and life-skills programs.

4. Achieve a 50% improvement in adult

literacy by 2015, especially for women,

and equitable access to basic and

continuing education for all adults.

5. Eliminate gender disparities in primary

and secondary education by 2005, and

achieve gender equality in education by

2015, with a focus on ensuring girls' full

and equal access to and achievement in

basic education of good quality.

6. Improve all aspects of the quality of

education and ensure the excellence of

all so that recognized and measurable

learning outcomes are achieved by all,

especially in literacy, numeracy and

essential life skills.

(https://www.worldbank.org/en/topic/edu

cation/brief/education-for-all)

Jika diterjemahkan kesepakatan

konferensi tersebut antara lain: 1) Memperluas

dan meningkatkan perawatan anak usia dini

Page 37: Jurnal Imajinasi

36

yang komprehensif dan pendidikan, terutama

bagi yang paling rentan dan anak-anak yang

kurang beruntung, 2) Memastikan bahwa pada

2015 semua anak, khususnya anak perempuan,

yang dalam keadaan sulit, dan mereka yang

termasuk etnik minoritas, memiliki akses

lengkap dan bebas ke wajib pendidikan dasar

yang berkualitas baik, 3) Memastikan bahwa

kebutuhan belajar semua pemuda dan dewasa

dipenuhi melalui akses yang adil untuk

pembelajaran yang tepat dan program

ketrampilan hidup, 4) Tercapainya 50%

peningkatan literasi pada orang dewasa pada

tahun 2015, khususnya bagi perempuan, dan

akses ke pendidikan dasar dan pendidikan

berkelanjutan bagi semua orang dewasa secara

adil, 5) Menghilangkan perbedaan gender

pada pendidikan dasar dan menengah pada

tahun 2005, dan mencapai kesetaraan gender

dalam pendidikan dengan tahun 2015, dengan

fokus pada perempuan bahwa mereka

dipastikan mendapat akses penuh dan sama ke

dalam pendidikan dasar dengan kualitas yang

baik, dan; 6) Meningkatkan semua aspek

kualitas pendidikan dan menjamin keunggulan

semua sehingga diakui dan diukur hasil

pembelajaran yang dicapai oleh semua,

khususnya dalam keaksaraan, berhitung dan

kecakapan hidup yang esensial.

Melihat adanya penyamarataan

pendidikan baik peserta didik secara umum

maupun peserta didik kategori inklusi dalam

kelas yang sama, maka terdapat tantangan yang

dihadapi bagi para pendidik khususnya

pendidik seni rupa dalam mengajarkan peserta

didik yang termasuk dalam kategori inklusi

untuk belajar seri rupa dalam hal ini Mata

Pelajaran Seni budaya dan Kerajinan. Oleh

karena itu, ditawarkan metode Montessori

untuk memenuhi tantangan terhadap

pengajaran kelas yang menyatukan antara

peserta didik secara umum dan peserta didik

kategori inklusif agar tercapai tujuan

pembelajaran.

Prinsip Montessori adalah prinsip yang

ditemukan oleh Maria Montessori tahun 1870

yang fokus pada pendidikan anak di Roma,

Italia. Prinsip pendidikan Montessori

mengadopsi kurikulum yang mebuat peserta

didik belajar sesuai kondisi lingkungan agar

anak-anak dapat mengaplikasikan hal yang

didapatkannya dari lingkungan sekitar.

METODE

Metode penelitian yang digunakan

dalam penelitian ini metode studi Pustaka yang

mengacu kepada dokumen-dokumen yang

berkaitan dengan penelitian ini. Menurut

Mardalis (1999) metode studi pustaka (library

research) merupakan suatu studi yang

digunakan dalam mengeumpulkan informasi

dan data dengan bantuan berbagai macam

material yang ada di perpustakaan seperti

dokumen, buku, majalah, kisah-kisah sejarah,

dsb.

Stempel (1983) berpendapat Penelitian

menggunakan teknik analisis isi (content

analysis) yaitu analisis terhadap kandungan

isi yang tidak akan lepas dari interpretasi

sebuah karya, sedangkan menurut Sugiyono

(2010: 335) teknik analisis data yaitu proses

mencari data, menyusun secara sistematis data

yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan

lapangan, dan dokumentasi, dengan cara

mengorganisasikan data ke dalam kategori,

menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan

sintesis, menyusun ke dalam pola memilih

mana yang penting dan yang akan dipelajari,

dan membuat kesimpulan sehingga mudah

dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

1. Peserta Didik Inklusif

Pengamatan Montessori kepada anak-

anak membawanya kepada deskripsi singkat

tentang anak bahwa tidak ingin disibukkan

pada hal-hal yang berat. Maka Barbara Isaacs

(2007:7) memberikan gambaran penjelasan

mengenai karakter anak menurut Montessori

sebagai berikut:

1. Being capable of extended periods of

concentration;

2. Enjoying repetition and order;

3. Revelling in the freedom of movement

and choice;

4. Enjoying purposeful activities

(preferred work to play);

5. Self-motivated, displaying behaviours

that did not require either

6. Punishments or rewards;

7. Taking delight in silence and harmony

of the environment;

8. Possessing personal dignity and

Page 38: Jurnal Imajinasi

37

spontaneous self-discipline;

9. Being capable of learning to read and

write.

Penjelasan di atas memberikan makna

bahwa anak-anak mampu melakukan

konsentrasi dalam waktu yang lama,

menikmati keteraturan dan pengulangan,

memiliki kebebasan bergerak, memiliki

aktivitas yang memiki tujuan, mampu

memotivasi diri, menerima hukuman dan

penghargaan, kedisiplinan diri yang cekatan,

dan mampu membaca dan menulis.

Pertama, pada umumnya pengajaran

yang dilakukan dengan peserta didik kategori

inklusi dilakukan jika peserta didik tersebut

mampu tidak memiliki cacat sempurna pada

bagian visual atau penglihatan sehingga

cerapan estetis yang dihasilkan melalui panca

indra tidak terganggu.

Kedua, peserta didik dalam keadaan

tidak terganggu. Jika peserta didik terganggu

maka konsentrasi mengerjakan pelajaran seni

tidak akan mudah.

Montessori berkeyakinan bahwa setiap

anak memiliki kemampuan yang unik untuk

belajar menjadi tangguh, memiliki kecakapan,

dan percaya diri.

Menurut

2. Pendekatan Montessori

Pendekatan Montessori dalam

pendidikan terdapat tiga komponen yaitu

peserta didik, lingkungan yang

menguntungkan, serta guru atau pendidik.

Montessori mengembangkan kurikulum

kepada anak-anak dengan tujuan agar anak-

anak menjadi santai di dalam pembelajaran

namun tujuan akhir yang akan dicapai

memenuhi target.

Angeline Stoll Lillard (2005:18)

menjelaskan bahwa ”Dr. Montessori

developed materials for education in concert

with ideas about it, and the materials were field

tested until she believed she had found

reasonably optimum ones for teaching a given

concept. She also tested materials across ages

and frequently found a material appealed to

children much younger than those for whom

she had designed it.”

Melalui penjelasan di atas dapat dilihat

bahwa kurikulum yang dikembangkan dengan

proses tes yang tidak sedikit sehingga nantinya

didapatkan materi yang cukup optimal untuk

digunakan pada berbagai usia.

Tujuan kurikulum Montessori yaitu

memberikan pengalaman kepada anak-anak

seluas-luasnya agar mendapatkan pengalaman

untuk mendukung perkembangan secara

spontan kepada anak tersebut. Fokus utama

kurikulum Montessori terletak pada

keterampilan yang manipulatif terhadap anak

tersebut sehingga tumbuh keterampilan dan

konsentrasi yang melahirkan kemandirian.

Pengajaran Holistik

Montessori melihat pendidikan sebagai

kunci perkembangan anak dan faktor yang

berkontribusi besar pada persiapan anak untuk

menjalani kehidupannya. Namun, disadari juga

bahwa anak tidak mempelajari mata pelajaran

tetapi pembelajaran yang sifatnya holistik.

Kemampuan anak untuk mengamati,

mengeksplorasi, menyelidiki, mengajukan

pertanyaan dan belajar tentang lingkungan

mereka tidak harus disusun menjadi pelajaran

atau mata pelajaran. Anak mengamati dan

mengeksplorasi hal tersebut ketika sedang

tertarik. Setiap anak membutuhkan orang

dewasa yang mampu menanggapi

keingintahuan mereka dimanapun, kapanpun

dan apapun situasinya.

Bermain adalah Alat Terbaik untuk Belajar

Landasan kedua dalam kurikulum

Montessori adalah bermain untuk belajar.

Pengamatannya terhadap anak-anak

membawanya pada sebuah pemahaman bahwa

yang dilakukan oleh anak pada dasarnya

berbeda dengan sifat pekerjaan orang dewasa.

Menurut Montessori, anak tertarik pada proses

sedangkan orang dewasa tertarik pada produk

atau hasil. Anak senang mengulanginya proses

yang dilakukannya dan menyempurnakannya

melalui pengulangan.

Area Belajar

Aktivitas di kelas Montessori memiliki

tujuan yang jelas dengan demikian hal tersebut

berpengaruh kepada pengembangan dan

pembelajaran. Para pembelajar Teori

Montessori melihat kegiatan ini sudah

mewakili kurikulum yang didampingi oleh

orang dewasa di lingkungan tersebut. Area

belajar yang digunakan bisa dimana saja

Page 39: Jurnal Imajinasi

38

namun di dalam kelas dengan berbagai alat

yang disediakan oleh pendidik atau guru sangat

memungkinkan.

Pembelajaran Kehidupan

Kegiatan di area ini mencerminkan

kebutuhan anak-anak untuk mencontoh

perilaku yang mencerminkan kehidupan

keluarga mereka. Mereka memberikan

kesempatan kepada anak-anak untuk melebur

dalam kehidupan sosial di dalam kelas agar

tumbuh rasa memiliki.

2. Prinsip-prinsip Montessori

Dalam menjalankan kelas yang menjadi

tujuan pembelajaran dengan metode

Montessori, diperlukan prinsip-prinsip untuk

menjalankan hal tersebut. Prinsip-prinsip yang

dimaksud oleh Montessori dapat dilihat di

bawah ini:

1. That movement and cognition are

closely entwined, and movement can

enhance thinking and learning

2. That learning and well-being are

improved when people have a sense of

control over their lives

3. That people learn better when they

are interested in what they are

learning

4. That tying extrinsic rewards to an

activity, like money for reading or

high grades for tests, negatively

impacts motivation to engage in that

activity when the reward is withdrawn

5. That collaborative arrangements can

be very conducive to learning

6. That learning situated in meaningful

contexts is often deeper and richer

than learning in abstract contexts

7. That particular forms of adult

interaction are associated with more

optimal child outcomes; and

8. That order in the environment is

beneficial to children.

Untuk membatasi panjangnya prinsip di

atas, maka dibuat menjadi sederhana yaitu: 1)

Gerakan dan pengetahuan, 2) Pilihan, 3) Minat,

4) Menghindari pemberian hadiah, 5) Belajar

dengan teman sebaya, 6) Belajar dengan

konteks yang bermakna, 7) Memperhatikan

cara guru dan cara anak, 8) Ketertiban dalam

kelas dan pikiran.

Delapan prinsip di atas dapat digunakan

untuk memulai kelas dengan metode

Montessori.

Pembahasan

1. Prinsip Montessori dalam Pendidikan

Inklusi dan permasalahannya

Pada kenyantaannya membuat anak

berkebutuhan khusus untuk belajar

memerlukan metode dan teknik yang tepat agar

memudahkan mereka dalam pembelajaran.

Tantangan tersebut yang akan digunakan untuk

menerapkan prinsip Montessori dalam

pembelajaran.

Jika disederhanakan dalam pelaksanaan

lapangan, prinsip Montessori tersebut

menekankan keterampilan hidup yang

membantu peserta didik untuk mandiri,

menambah konsentrasi, membantu motorik

halus, serta menambah rasa percaya diri.

Dalam pelaksanaan prinsip Montessori seperti

mencontohkan gerakan agar pengetahuan anak

berkebutuhan khusus bertambah, terlebih

dahulu prinsip tersebut ditekankan kepada

anak berkebutuhan khusus untuk tetap fokus

pada yang dilakukan. Cipta (2018) mengatakan

dalam kelas Montessori tersebut siswalah yang

menguasai panggung kelas dengan lingkungan

sebagai titik pusat kegiatan belajarnya. Maka,

model pembelajaran untuk peserta didik

inklusi terlebih dahulu dibuat berdasarkan

analisis terhadap peserta didik tersebut.

Olifia Rombot (2017) menjelaskan

kendala yang ditemukan dalam

mengimplementasikan pendidikan inklusi.

Kendala-kendala tersebut yaitu minimnya

sarana penunjang sistem pendidikan inklusi,

terbatasnya pengetahuan dan ketrampilan yang

dimiliki oleh para guru sekolah inklusi

menunjukkan betapa sistem pendidikan inklusi

belum benar – benar dipersiapkan dengan baik.

Apalagi sistem kurikulum pendidikan umum

yang ada sekarang memang belum

mengakomodasi keberadaan anak – anak yang

memiliki perbedaan kemampuan (difabel),

Sehingga sepertinya program pendidikan

inklusi hanya terkesan program eksperimental.

Meski nantinya dalam tataran

pelaksanaan anak berkebutuhan khusus terlihat

perbedaan kemampuan namun pengulangan-

pengulangan yang terjadi dalam kelas yang

dikondisikan menyebabkan anak berkebutuhan

khusus tersebut mengulangi hal yang

Page 40: Jurnal Imajinasi

39

eksperimental menjadi hal terlihat disiplin atau

telaten. Dalam

2. Konsep Pendidikan Seni Rupa dan

Pendekatan Montessori terhadap peserta

didik inklusif

Konsep pendidikan seni rupa dengan

tawaran pengalaman estetiknya diharapkan

secara sudah cukup untuk menemukan tujuan

dari pendidikan inklusif. Sofyan Salam (2018)

mengatakan bahwa pendidikan seni dalam

pengembangan kesensitifan terhadap gejala

keindahan sejalan dengan pemberian

pengalaman estetik, saat itu pula peserta didik

diberi pengalaman estetik, pada saat itu pula

kesensitifannya akan gejala keindahan terasah.

Prinsip Montessori yang menekankan

anak sebagai raja di dalam pembelajaran

namun teta terarah sangat sejalan dengan

konsep pendidikan seni rupa yang

mengutamakan pengalaman estetik terhadap

anak.

SIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Prinsip Montessori yang menekankan

anak sesuai dengan lingkungan agar tidak

disibukkan dengan hal-hal berat dan mengikuti

gaya belajar anak sesuai kemauannya sejalan

dengan konsep pendidikan seni rupa dengan

tawaran pengalaman estetik bagi peserta didik

kategori inklusif. Faktor pendukung yang dapat

membuat kelas Montessori terarah yaitu anak

di sekelilingnya, lingkungan yang mendukung

serta guru yang peduli. Sedangkan faktor

penghambatnya yaitu sarana, kurikulum dan

kemampuan anak berkebutuhan khsus itu

sendiri (difabel).

Saran

Perbaikan terhadap sarana untuk

memenuhi kebutuhan peserta didik kategori

inklusif. Di lain hal, perlu juga dipikirkan

mengenai lingkungan yang mendukung

tumbuhnya kemandirian oleh peserta didik

kategori inklusif tersebut.

DAFTAR RUJUKAN

Cipta, D. A. S. (2018). Penerapan pendekatan

montessori untuk mananamkan

pemahaman konsep bilangan cacah

pada siswa TK putera zaman. Jurnal

Matematika dan Pembelajaran, 6(1),

30-34.

http://dx.doi.org/10.33477/mp.v6i1.

440.

Dinas Pendidikan Kota Depok. Online:

https://disdik.depok.go.id/pendidik

an-inklusif

https://www.worldbank.org/en/topic/educatio

n/brief/education-for-all

Isaacs, B. (2007) Bringing The Montessori

Approach To Your Early Years

Practice. London: Routledge.

Lillard, S. L. (2005). Montessori: The Science

Behind the Genius.New York:

Oxford University Press.

Mardalis. (1999). Metode Penelitian Suatu

Pendekatan Proposal. Jakarta: Bumi

Aksara.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional

Republik Indonesia Nomor 70 Tahun

2009 tentang Pendidikan Inklusif

bagi Peserta Didik yang Memiliki

Kelainan dan Memiliki Potensi

Kecerdasan dan/atau Bakat

Istimewa. Jakarta.

Rombot, O. (2007) Pendidikan Inklusi. Online:

https://pgsd.binus.ac.id/2017/04/10/

pendidikan-inklusi

Salam, S. (2018). Potensi Unik Pendidikan

Seni Dalam Pengembangan

Karakter. Prosiding Seminar

Nasional Dies Natalis UNM Ke 57.

Makassar: Badan Penerbit UNM.

Stempel, G. H. (1983). Content Analysis.

terj. Jalaludin Rahmat dan Arko

Kasta. Bandung: Arai Komunikasi.

Sugiyono. (2010). Metode Penelitian

Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,

kualitatif, dan R&D. Bandung:

Alfabeta.

Page 41: Jurnal Imajinasi

Jurnal Imajinasi Volume 5 Nomor 1 Juni 2021 e-ISSN: 2550-102X dan p-ISSN: 1693-3990

This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License

DESAIN GRAFIS PADA PRODUKSI SABLON T-SHIRT

M. Muhlis Lugis1*, Muhammad Muhaemin2 1,2,Universitas Negeri Makassar

[email protected], [email protected]

*Corresponding author

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pemahaman dalam merancang

desain T-shirt pada produksi sablon yang harus diketahui oleh desainer. Merancang

desain T-shirt untuk kebutuhan produksi sablon tidak cukup hanya memahami dan

mampu menggunakan aplikasi desain grafis. Merancang desain T-shirt untuk produksi

sablon harus memahami beberapa hal yang saling berhubungan antara lain proses desain

grafisnya, proses film output, dan prinsip teknik produksi sablon. Merancang desain T-

shirt untuk produksi sablon perlu mengetahui bentuk dasar format desain yang dibuat

yaitu vector atau bitmap agar tidak salah dalam memilih atau menggunakan aplikasi

(software) desainnya. Desainer harus memahami pendekatan dalam proses film output

agar desain yang dibuat dapat diproduksi dengan tekhnik cetak sablon dan dapat

menyesuaikan dengan kualitas karakter visual hasil cetakan yang dinginkan. Desainer

grafis T-shirt perlu memahami prinsip teknik produksi sablon agar dalam merancang

desain dapat menyesuaikan dengan pendekatan pada proses film output yang dilakukan.

Keywords: desain grafis,produksi sablon, t-shirt

PENDAHULUAN

T-shirt atau yang lebih polpuler kita

kenal dengan istilah baju kaos merupakan salah

satu bagian dari dunia fashion yang tidak

pernah mati. T-shirt dapat digunakan oleh

seluruh lapisan usia bahkan pakaian ini

merupakan primadona para generasi muda

karena menjadi gaya busana yang fashionable,

trendi, dan keren. Adanya gambar atau desain

pada T-shirt menjadi unsur yang terpenting

sehingga eksistensinya sampai saat ini dapat

terus bertahan dan bahkan semakin

berkembang dalam dunia fashion. Gambar

yang terdapat pada T-shirt dapat memberikan

nilai etetis dengan keunikan dan karakternya

sehingga mampu menarik perhatian orang

yang melihatnya. Selain itu, adanya gambar

pada t-shirt juga dapat memberikan nilai

ekonomis karena dapat menjadi daya tarik

untuk memilki dan membelinya tanpa

mempertimbangkan harga jual.

Gambar pada T-shirt dapat dibuat

dengan berbagai teknik, baik secara manual

maupun secara digital menggunakan teknologi

komputer. Pembuatan gambar dengan teknik

manual dilakukan dengan sablon (cetak

saring/screen printing) dan secara digital dapat

dilakukan menggunakan teknik transfer paper,

teknik cutting polyflekx dan print DTG (direct

to garment). Pemilihan teknik dalam membuat

gambar pada T-Shirt menyesuaikan kebutuhan

yang berdasarkan pada efesiensi biaya dan

waktu produksinya karena secara kwalitas

kedua teknik tersebut hampir sama.

Membuat gambar pada T-shirt tidak

dapat melepaskan dari desainya. Dari semua

teknik dalam membuat gambar pada T-shirt

harus melalui proses desain. Kebutuhan desain

Page 42: Jurnal Imajinasi

41

untuk setiap teknik memilki perbedaan karena

bergantung pada teknik produksi cetaknya.

Pembuatan gambar T-shirt dengan teknik

digital lebih praktis dibanding dengan teknik

sablon karena dari desain yang dibuat dapat

dicetak secara langsung padaT-shirt. Pada

produksigambar di T-shirt dengan teknik

sablon harus melalui beberapa tahapan. Desain

yang telah dibuat harus melalui proses pisah

warna untuk membuat film diapositif,

kemudian film diafdruk untuk memindahkan

gambar ke screen barulah kemudian kita dapat

melakukan proses cetak.

Membuat desain pada T-shirt secara

digital sudah dapat dilakukan oleh banyak

orang dengan cukup menguasai aplikasi desain

grafis seperti CorelDraw, Adobe Ilutrstor dan

Photoshop. Desain yang dibuat bahkan banyak

memiliki konsep dan visual yang menarik

namun desain tersebut hanya dapat dicetak

pada T-shirt dengan menggunakan teknik print

DTG. Desain yang dibuat oleh para desainer

tidak sesuai dengan kebutuhan untuk produksi

sablon. Desain yang dibuat terlihat kurang

maksimal, sedikit blur dan tidal solid

(wujudnya yang tidak begitu jelas).

Berdasarkan beberapa hal tersebut di atas,

tulisan ini akan memberikan gambaran tentang

pemahaman dan beberapa ketentuan dalam

merancang desain T-shirt untuk kebutuhan

produksi dengan teknik sablon.

METODE

Metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah metode deskriptif. Pada

penelitian ini hanya ingin menggambarkan

gejala sosial yang terjadi pada desainer grafis

dalam merancang desain T-shirt untuk

produksi sablon. Berdasarkan hal tersebut

sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh

Sugiono bahwa metode deskriptif merupakan

metode yang digunakan untuk

menggambarkan atau menganalisis suatu hasil

penelitian tetapi tidak digunakan untuk

membuat kesimpulan yang lebih luas

(Sugiono, 2013).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

1. Bentuk format image desain sablon

Desain T-shirt yang dibuat seorang

desainer menggunakan komputer grafis belum

tentu dapat langsung diaplikasikan pada proses

produksi sablon. Hal tersebut disebabkan

karena desain yang dibuat tidak sesuai dengan

format desain untuk kebutuhan dalam prinsip

teknik cetak sablon. Format desain ini perlu

diketahui oleh seorang desainer agar dapat

disesuaikan dengan langkah kerja yang harus

dilakukan sehingga hasil kerja dapat efektif

dan efesien. Pada perancangan desain

menggunakan komputer grafis, gambar atau

desain yang kita buat secara garis besar akan

terbaca dalam 2 bentuk format yaitu vektor dan

bitmap.

Vektor

Vektor diartikan sebagai garis. Vektor

ini merupakan gambar yang terbentuk dari

titik-titik koordinat (verteks), kemudian antar

titik koordinat tersebut terdapat garis (vector)

yang menjadi penghubung. Dengan cara ini,

komputer dapat membaca dan/atau

menggambar titik, garis dan kurva (bila titik

awal gambar garis bertemu dengan titik akhir

gambar garis yang sama). Dengan demikian,

vektor ini sistem pembuatan gambarnya

menjadikan komputer tidak dapat membaca

dan/atau menggambar sebuah foto yang

memiliki multigradasi (Darmawan, 2010).

Bitmap

Bitmap yang biasa juag disebut raster

adalah gambar yang terbentuk atau tersusun

dari piksel (titik-titik) dengan jumlah ratusan,

ribuan bahkan jutaan. Dengan kata lain,

gambar yang kita lihat sebenarnya dibaca

dan/atau digambar oleh komputer sebagai

kumpulan banyak titik/piksel yang memiliki

warna-warna tertentu. Bitmap dapat

menampilkan kualitas sebuah gambar fotografi

yang memiliki multigradasi (Darmawan,

2010).

Gambar 1. Perbandingan vektor dan

bitmap

Page 43: Jurnal Imajinasi

42

Karakteristik citra berbasis bitmap

adalah apabila diperbesar melebihi ukuran

actual pixel, kepadatan (solid) citra tersebut

akan pecah dan merenggang menjadi bintik-

bintik (raster) kasar. Ukuran kepadatan unit

terkecil citra (pixel) berbasis bitmap

dinyatakan dengan dpi (dot perinchi), semakin

tinggi angka dpi berarti semakin padat citra

tersebut. Oleh sebab itu kualitas citra berbasis

bitmap sangat bergantung pada ukuran pixel-

nya dan kepadatan dpi-nya. Citra berbasis

vektor memilki karakteristik akan tetap solid

walau diperbesar berkali-kali sampai batas

kemampuan piranti komputer dalam

mengalibrasi citra. Pemahaman mendasar

karakteristik antara citra grafis berbasis bitmap

dan citra grafis berbasis vektor ini sangat

penting dikuasai oleh desainer grafis dalam

memproses atau menyiapkan desain agar

dalam proses produksi pencetakan selanjutnya

dapat dieksekusi secara tepat dengan screen

printing (Supatmo, 2015).

2. Prinsip teknik proses sablon manual

Pada proses menyablon terdapat tiga

tahapan yaitu tahap pra cetak, tahap produksi,

dan tahap finishing. Tahap pra cetak yang

dilakukan adalah proses membuat desain yang

dapat dilakukan dengan cara manual maupun

digital, kemudian proses film output memecah

desain menjadi film berdasarkan jumlah warna

pada desain, dan proses afdruk untuk

memindahkan desain pada screen yang akan

dijadikan sebagai acuan cetak. Pada tahap

produksi yang dilakukan adalah mencetak

gambar pada T-shirt menggunakan screen yang

telah diafdruk. Tahap finishing pada proses

menyablon yaitu mencuci/menghapus gambar

pada screen. (Tobroni, 2011)

Tahap pra cetak I: membuat desain

Proses pembuatan desain sablon dapat

dilakukan dengan cara manual atau digital

menggunakan komputer. Bahkan proses

pembuatan desain ini ada yang

menggabungkan ke dua cara ini, namun pada

umunya saat ini proses pembuatan desain

banyak yang finishing menggunakan komputer

karena lebih efesien dan efektif. Pembuatan

desain dengan komputer dapat menggunakan

berbagai macam aplikasi/software grafis,

namun yang umum digunakan adalah aplikasi

CorelDraw, Adobe Ilustrator, dan Adobe

Photoshop. Pemilihan aplikasi grafis tersebut

disesuaikan dengan kebutuhan dan karakter

desain yang ingin dibuat.

Pada proses desain ini juga dilakukan

proses film output untuk membuat film

diapositif. Film output merupakan tahapan

teknik memroses citra desain grafis dan

mengonversinya menjadi film. Luaran tahap

film output ini adalah citra yang tercetak pada

media tranparan (idealnya adalah plastik film),

yang disebut film. Secara prinsip, film inilah

yang berperan menciptakan bayangan citra dari

sumber cahaya menuju media peka cahaya

(emulsi yang menutup pori-pori screen) dalam

proses expose. Kualitas film akan berpengaruh

langsung terhadap kualitas hasil cetakan.

Dalam hal ini film berperan sebagai master

dalam screen printing (Supatmo, 2015)

Tahap pra cetak II: Afdruk

Proses afdruk (Exposure) merupakan

proses pemindahan gambar pada screen

melalui penyinaran. Pada tahap inilah

klise/acuan cetak yang berupa penyaring

(screen) yang berfungsi sebagai media

penggandaan (editional) dibuat. Proses afdruk

merupakan tahapan paling menentukan

kualitas hasil screen printing secara

keseluruhan.. Ketika hasil afdruk pada screen

memiliki kwalitas yang baik maka hasil

cetakan pada saat menyablon juga dapat

berkwalitas. Pada proses afdruk ini digunakan

bahan dan alat berupa screen, coating

(campuran emulsi dan sensitizer), rakel, meja

afdruk/penyinaran, hairdrayer, spon,

pemberat(batu), dan semprot air.

Proses pengelolaan exposure secara

garis besar dimulai dari penggunaan screen

yang bersih dan dalam keadaan kering.

Selanjutnya screen diolesi (coating) secara

menyeluruh untuk menutup lubang pori-

porinya lalu dikeringkan ditempat gelap

menggunakan hairdryer atau alat khusus

kabinet pengering screen untuk mempermudah

dan mempercepat prosesnya. Setelah screen

kering selanjutnya dilakukan proses

pengembangan citra dari film (developing)

dengan cara diekspos cahaya. Proses exposure

paling bagus sebenarnya adalah menngunakan

cahaya terik matahari, namun kadang-kadang

kondisi demikian sangat sulit didapatkan dan

tidak dapat dipastikan keberadaannya. Sebagai

Page 44: Jurnal Imajinasi

43

penggatinya dapat digunakan atau dapat

direkayasa sendiri menggunakan lampu neon

biasa dengan kekuatan tertentu. Setelah

terekspose selanjutnya screen dicelupkan dan

disemprot air secara lembut dan merata maka

akan terjadi proses developing (pori-pori

screen akan terbuka seperti citra bayangan

film). Screen siap dicetak setelah dalam

keadaan kering (Supatmo, 2015).

Tahap cetak I: produksi

Pada tahapan produksi ini merupakan

proses pencetakan atau penggandaan gambara

pada kaos. bahan dan alat yang digunakan

yaitu, screen yang telah diafdruk, rakel, papan

tripleks yang dilapisi lem kain (hidronol G),

tinta (rubber/plastisol), pigmen warna, binder

dan lakban. Mengawali tahapan proses cetak

degan memasang atau menyisipkan tripleks

yang telah dilapisi lem kain ke bagian dalam

kaos. Pemasangan tripleks ini agar permukaan

kaos rata dan tidak bergeser pada saat dicetak.

Selanjutnya siapkan tinta yang akan

digunakan, campurkan tinta tersebut dengan

pigmen warna secukupnya, aduk sampai warna

merata.

Selanjutnya siapkan screen yang sudah

diafdruk serta dilapisi lakban pada keempat

sisinya, kemudian letakkan screen di atas

permukaan kaos yang akan dicetak. Setelah itu

tuangkan tinta ke atas permukaan screen

bagian dalam, lalu sapukan tinta dengan

menggunakan rakel pada screen bagian dalam.

Jangan menekan rakel terlalu kuat, karena akan

banyak tinta yang keluar dari screen sehingga

dapat mengakibatkan hasil cetak mengembang.

Namun sebaliknya apabila tekanan rakel

kurang kuat, hasil cetak akan menjadi kurang

jelas dan kurang tajam.Pengeringan hasil cetak

dapat dilakukan dengan menggunakan

hairdryer atau hanya didiamkan saja untuk

sementara waktu (Luzar, 2010).

Pada proses cetak sablon ini dilakukan

dengan menyesuikan desain yang dibuat.

Ketika desain terdiri dari empat warna maka

proses pencetakan akan dilakukan empat kali

sesuai dengan warna pada desain. Setiap warna

dapat dicetak setelah warna sebelumnya telah

kering. Prinsip dalam produksi cetak ini mesti

dipahami oleh seorang desainer agar dalam

prose film output/ pisah warna sesuai dengan

warna desain dan presisinya.

Tahap cetak II: Finishing

Tahap finisning ini merupakan proses

pencucian dan pembersihan screen yang telah

digunakan pada proses cetak. Screen yang ada

gambarnya, yang sudah tidak digunakan lagi

atau diganti gambar yang baru harus dihapus

terlebih dahulu sehingga screen kembali bersih

seperti baru. Penghapusan gambar pada screen,

dapat dilakukan dengan berbagai bahan

remover dengan merek dagang ulano 5,

photoxol 199, ultrasol 2. Tetapi ada juga bahan

penghapus gambar yang murah seperti kapurit

dan kostik soda, tetapi dalam pemakain harus

hati-hati. Kapurit jika mengenai pada baju

yang kita kenakan dapat merusak, warna baju

menjadi luntur, kostik jika kena tangan

mengakibatkan gatal.

3. Film output desain sablon

Pada pembahasan sebelumnya telah

disinggung terkait film output dalam tahapan

perancangan desain sablon. Bentuk film output

ini berupa blok warna hitam solid (spot) dan

pola titik-titik (dot) warna hitam (halftone)

pada media yang transparan. Film output yang

berupa halftone merupakan pola titik-titik kecil

yang dapat mensimulasikan perbedaan warna

dengan menggunakan perbedaan persentase

tinta. Perbedaan ukuran titik-titik halftone

mampu menciptakan perbedaan antara terang

dan gelap sehingga menghasilkankan ilusi

gambar. Kedua bentuk film output tersebut

dapat mengahasilkan berbagai macam

karakteristik citra desain.

Proses film output sangat berpengaruh

terhadap hasil produksi cetak sablon sehingga

perlu melakukan pendekatan yang tepat agar

hasil produksi sesuai dengan desain yang

dibuat. Secara teknis terdapat berbagai

alternatif pendekatan dalam proses film output,

diantaranya spot color process, CMYK-four

color separation dan simulated color process.

Setiap pendekatan memiliki perbedaan

karakter masing-masing sehingga perlu untuk

diketahui dan dipahami agar dalam melakukan

proses film output sesuai dengan pendekatan

yang dilakukan.

Pendekatan spot color process

merupakan pendekatan yang digunakan untuk

citra dengan nada warna atau paduan warna-

warna blok dan solid (spot). Desain dengan

pendekatan ini biasanya berupa gambar dengan

format vektor. Teknik spot colour process ini

Page 45: Jurnal Imajinasi

44

digunakan untuk menjelaskan cara mencetak

dengan menggunakan satu per satu warna tinta

yang ada di dalam setiap gambar. Setiap warna

yang akan dicetak menggunakan film dan

screen secara tersendiri. Spot colour process

juga dapat ditemukan pada gambar yang lebih

kompleks seperti gradasi warna atau warna

dengan nada dari gelap ke terang atau

sebaliknya. Teknik ini menggunakan halftone

untuk memperoleh efek gradsi. Teknik gradasi

ini dipergunakan untuk gambar yang cukup

kompleks dengan kesulitan yang lebih tinggi

dibanding proses spot color biasa, tetapi anda

akan memperoleh hasil akhir yang tentu saja

jauh lebih baik (Rahardjo, 2018).

CMYK-four color separation biasa juga

disebut separasi 4 warna. Pendekatan CMYK-

four color separation akan membuat film

output dengan memisah dan mengalibrasi

warna nyata menjadi empat mode warna pokok

cyan, magenta, yellow, dan key (black)

berbentuk halftone menggunakan software

tertentu. Bila keempat warna dasar tersebut

disatukan kembali dalam proses produksi cetak

sablon menggunakan tinta transparan maka

akan dihasilkan gambar full color seperti warna

pada desain. Pendekatan film output CMYK-

four color separation lebih tepat digunakan

untuk mencetak gambar foto realistis berwarna

penuh (full color) yang sesungguhnya

terkalibrasi dari jutaan warna (lebih dari 16 juta

atau 32 juta, bergantung pada kemampuan

komputer dan software yang digunakan) pada

media berwarna putih (Supatmo, 2015).

Simulated color process adalah teknik

yang lebih maju dibandingkan dengan separasi

4 warna untuk menghasilkan cetakan sablon

dengan gambar realistis. Memperoleh hasil

cetakan yang maksimal sesuai dengan gambar

pada desain diperlukan beberapa film output

berbentuk halftone yang dipisahkan

berdasrakan warna-warna dominan pada

desain. Dibutuhkan minimal 6 warna dan

maksimum 12 warna untuk mencetak dengan

pendekatan ini agar menghasilkan gambar

yang maksimal sesuai dengan desainya.

Semakin banyak jumlah warna yang digunakan

kita akan mendapatkan hasil cetakan yang

semakin baik. Proses pencetakan

menggunakan pendekatan ini menggunakan

tinta yang berjenis opaque atau tinta pekat.

Teknik ini biasanya digunakan untuk mencetak

di atas dasar kain berwarna gelap. Untuk dasar

kain yang berwarna gelap, kita memerlukan

underbase atau pelapisan warna putih terlebih

dahulu (Rahardjo, 2018).

4. Ketentuan merancang desain T-shirt

untuk produksi sablon

Merancang desain untuk produksi

sablon seorang desainer harus memahami

bentuk dasar format gambar yang akan dibuat

agar tidak salah dalam menggunakan aplikasi

atau software grafis. Ketika desain yang dibuat

formatnya bebentuk vektor maka software

grafis yang harus digunakan juga harus

berbasis vektor. Begitupun ketika desain yang

dibuat formatnya bitmap maka software

grafisnya juga mesti berbasis bitmap. Software

grafis berbasis vektor yang dapat digunakan

seperti Corel Draw, Adobe illustrator, Adobe

Indesign, dan Inscape. Software grafis berbasis

bitmap dapat menggunakan software Adobe

Photoshop, GIMP, Corel Photo-Paint, dan

Corel Paint Shop Pro. Banyaknya software

grafis yang dapat digunakan untuk merancang

desain untuk T-shirt, namun yang umum

digunakan hanya ada dua software untuk

produksi cetak dengan teknik sablon yaitu

Corel Draw untuk desain berbasis vector dan

Adobe photoshop untuk desain yang berbasis

bitmap. Kedua software grafis tersebut banyak

digunakan dalam merancang desain untuk

produksi sablon karena juga dapat digunakan

dalam proses film output atau pisah warna film

secara praktis.

Pada proses film output desain T-shirt

harus menyesuaikan dengan bentuk dasar

format desainya. Film output desain yang

memilki bentuk dasar format gambar berupa

vector dilakukan dengan pendekatan spot

colour process karena desain dengan bentuk

bentuk dasar format vector ini akan

menghasilkan cetakan sablon dengan bentuk

warna blok atau solid (spot). Hasil film output

desain dengan pendekatan spot colour proses

akan menyesuaikan dengan jumlah warna yang

ada pada desain. Pada proses produksi cetak

sablon dengan pendekatan spot colour proses

ini akan dilakukan sesuai jumlah filmmnya.

Jika pada desain setelah dipisah film output

terdiri dari lima warna, maka dalam proses

cetaknya juga akan dilakukan sebanyak lima

kali untuk menghasilkan gambar yang sesuai

pada desain.

Desain dengan bentuk dasar format

Page 46: Jurnal Imajinasi

45

bitmap proses film output dapat dilakukan

dengan pendekatan CMYK-four color

separation dan Simulated color process.

Pemilihan kedua pendekatan tersebut dalam

proses film output dilakukan dengan

pertimbangan karakter visual yang dihasilkan,

efesiensi dalam produksi sablon yang

berhubungan waktu dan biaya produksinya .

Kedua pendekatan tersebut dapat dilakukan

dengan pertimbangan desain T-shirt yang

dibuat berbentuk foto realistis walaupun akan

menghasilkan gambar cetakan sablon dengan

karakteristik visual yang berbeda dari setiap

pendekatan. Desain dengan bentuk dasar

format bitmap untuk proses film output harus

memilki kualitas desain (resolusi) yang dapat

menyesuaikan dengan ukuran standar cetakan

pada T-shirt. Penggunaan resolusi standar pada

desain akan menghasilkan kwalitas gambar

yang lebih jelas/detail. Desain yang akan

dicetak pada baju dengan ukuran standar A3

maka resolusi desain yang harus digunakan

untuk proses film output sebaiknya memiliki

resolusi 300 dpi.

Pembahasan

Proses produksi sablon harus

menyesuaikan dengan pendekatan dalam

proses film output. Pendekatan dengan desain

dasar format vector dan bitmap kita akan

menggunakan alat dan bahan yang berbeda.

Desain dengan dasar format vector yang proses

film output dengan pendekatan spot colour

process kita dapat menggunakan screen yang

memilki kerapatan antara T40 sampai T70

sedangkan untuk desain dengan dasar format

bitmap dengan pendekatan CMYK-four color

separation dan Simulated color process kita

dapat menggunakan screen dengan kerapatan

T77 sampai T120.

Penggunaan screen yang berbeda secara

otomatis bahan cetak yang digunakan juga

berbeda menyesuaikan dengan kerapatan

screen. Pendekatan spot colour process dalam

proses produksi sablon mencetak

menggunakan bahan cat/tinta sablon yang

sedikit lebih kasar karena film outputnya

berupa bidang warna yang blok sedangkan

pendekatan CMYK-four color separation dan

Simulated color process menggunakan

cat/tinta yang lebih halus karena bentuk film

output-nya berupa titik-titik yang berukuran

kecil (halftone). Emulsi untuk pelapis screen

juga menggunakan bahan yang berbeda sesuai

dengan tingkat kerapatan screen.

Pemilihan pendekatan film output

dengan kedua pendekatan untuk desain dengan

bentuk dasar format bitmap harus

mempertimbangkan efesiensi dalam produksi

cetak yang terkait dengan waktu dan biaya.

Desain dengan pendekatan CMYK-four

color separation dari segi waktu proses

produksi cetaknya akan lebih efesien dari pada

Simulated color process karena jumlah film

output pasti terdiri dari empat warna yaitu

cyan, magenta, yellow, dan black, jadi untuk

proses produksi sablonya pasti melakukan

empat kali cetak untuk dapat menghasilkan

kwalitas gambar yang maksimal. Sedangkan

untuk desain dengan pendekatan Simulated

color process film output-nya akan

menghasilkan minimal enam warna bahkan

bisa lebih untuk mendapatkan gambar hasil

cetakan yang maksimal sesuai dengan desain,

jadi dalam proses produksi sablonya juga

pencetakan akan dilakukan minimal enam kali.

Efesiensi waktu produksi sablon berhubungan

langsung dengan biaya produksi karena

semakin banyak jumlah film output desain

maka biaya produksi sablonya juga akan

semakin besar.

Berdasarkan pembahasan di atas maka

dalam perancangan desain T-shirt untuk

produksi sablon seorang desainer harus

memahami beberpa ketentuan agar desain yang

di buat dapat diapalikasikan pada teknik

produksi cetak sablon. Seorang desain perlu

memahami karakter desain yang berhubungan

langsung dengan bentuk dasar format desainya

agar tidak salah dalam menggunakan aplikasi

desain grafis dalam membuat desain.

Seorang desain harus memahami proses

film output agar pendekatan yang digunakan

nantinya dalam membuat desain sesuai dengan

bentuk dasar format desainnya. Seorang

desainer juga dalam merancang desain T-shirt

untuk produksi sablon harus memahami

prinsip teknik produksi sablon agar dapat

menyesuaikan dengan pendekatan dalam

proses film output.

SIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Merancang desain T-shirt untuk

kebutuhan produksi sablon tidak cukup hanya

Page 47: Jurnal Imajinasi

46

memahami dan mampu menggunakan aplikasi

desain grafis. Desainer dalam merancang

desain untuk produksi T-shirt harus memahami

beberapa hal yang saling berhubungan antara

lain proses desain grafisnya, proses film

output, dan proses teknik produksi sablon.

Merancang desain T-shirt untuk produksi

dengan teknik sablon perlu mengetahui bentuk

dasar format desain yang dibuat yaitu vector

atau bitmap agar tidak salah dalam

menggunakan aplikasi (software) desainnya.

Desainer harus memahami pendekatan dalam

proses film output agar desain yang dibuat

dapat diproduksi dengan tekhnik cetak sablon

dan dapat menyesuaikan dengan kualitas

karakter visual hasil cetakan yang dinginkan.

Saran

Sebaiknya desainer grafis T-shirt perlu

memahami prinsip teknik produksi sablon agar

dalam merancang desain dapat menyesuaikan

dengan pendekatan pada proses film output

yang dilakukan. Selain beberapa hal terkait

ketentuan dalam proses merancang desain T-

shirt untuk produksi sablon seorang desainer

harus tetap mempertimbangkan kebutuhan

konsumen baik dari segi efesiensi dan kualitas.

DAFTAR RUJUKAN

Darmawan, James. (2010). Proses Kerja

Komputer yang dapat

Mengoptimalkan Hasil Komunikasi

Visual secara Efisien. Jurnal

Humaniora, 1(2), 187-195.

Luzar, Laura Christina. (2010). Kreasi cetak

sablon mudah dan berkualitas tinggi

pada kaos. Jurnal Humanior, 1(2),

187-810.

Rahardjo, Benny Setiawan. (2018). Desain T-

shirts dengan CorelDraw dan

Photoshop. Jakarta: PT Elex Media

Komputindo.

Sugiono. (2013). Metode Penelitian

Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.

Bandung: Alfabeta.

Supatmo. (2015). Screen printing dalam

industri grafika pada era digital.

Jurnal Seni Imajinasi, 9(2), 105-116.

Tobroni, Muhammad Imam. (2011). Teknik

Sablon Sebagai Media Apresiasi

Karya Desain ada t-shirt. Jurnal

Humaniora, 2(1), 169-181.

Page 48: Jurnal Imajinasi

Jurnal Imajinasi Volume 5 Nomor 1 Juni 2021 e-ISSN: 2550-102X dan p-ISSN: 1693-3990

This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License

PENGEMBANGAN BAHAN AJAR MATA KULIAH KAJIAN SENI RUPA

LOKAL PADA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SENI RUPA PROGRAM

PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

Pangeran Paita Yunus1* 1Universitas Negeri Makassar

[email protected]

*Corresponding author

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk 1) Mengembangkan bahan ajar seni rupa lokal

dengan tujuan untuk mengetahui kemampuan memahami, menghargai, dan

menganalisis mahasiswa pada aspek latar belakang sejarah, konsep, dan karya seni di

daerah Sulawesi Selatan 2) Mengukur kelayakan bahan ajar seni rupa lokal pada

Program Studi Pendidikan Seni Rupa Program Pascasarjana Universitas Negeri

Makassar. Penelitian ini mengacu pada prosedur pengembangan yang dikembangkan

oleh Borg & Gall yang terdiri dari sepuluh langkah yang disusun secara sistematis,

dengan penjelasan yang mudah dipahami, dan dapat mengarahkan pengembang dari

awal hingga akhir penelitian. Dalam penelitian tentang pengembangan bahan ajar,

hanya dilakukan hingga sembilan langkah, diseminasi produk atau kegiatan distribusi

tidak dilakukan karena keterbatasan dana dan waktu peneliti. Komponen paket

pembelajaran yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah buku teks, media

presentasi, dan tes apresiasi. Tahapan dalam penelitian dan pengembangan paket

instruksional ini terdiri dari empat fase: fase studi awal dan fase pengembangan, fase

implementasi, fase pengujian dan evaluasi. Paket pembelajaran Kajian Seni Rupa Lokal

berupa bahan ajar, media presentasi dan lembar tes apresiasi yang dihasilkan dalam

penelitian ini adalah paket yang layak digunakan dalam proses pembelajaran pada mata

kuliah Kajian Seni Rupa Lokal pada Program Studi Magister Pendidikan Seni Rupa

Program Pascasarjana Universitas Negeri Makassar. Hal ini dikarenakan paket yang

dikembangkan telah memenuhi kriteria kevalidan, kepraktisan, dan keefektifan.

Kata Kunci: Pengembangan, Bahan Ajar, Seni Rupa Lokal

Abstract

This study aims to 1) Develop local art teaching materials with the aim of knowing the

ability to understand, appreciate, and analyze students in aspects of historical background,

concepts, and artwork in South Sulawesi 2) Measuring the feasibility of local art teaching

materials in the Postgraduate Program in Arts Education Study Program Universitas Negeri

Makassar. This research refers to the development procedure developed by Borg & Gall which

consists of ten steps that are arranged systematically, with easy-to-understand explanations,

and can direct the developer from the beginning to the end of the study. In research on the

development of teaching materials, it was only carried out up to nine steps, product

dissemination or distribution activities were not carried out due to limited funds and time of the

Page 49: Jurnal Imajinasi

48

researcher. The components of the learning package developed in this study are textbooks,

media presentations, and appreciation tests. The stages in research and development of this

instructional package consist of four phases: the initial study phase and the development phase,

the implementation phase, the testing and evaluation phase. Learning packages for Local Art

Studies in the form of teaching materials, media presentations and appreciation test sheets

produced in this study are feasible packages to be used in the learning process in the subject of

Local Art Studies at the Universitas Negeri Makassar Postgraduate Program in Fine Arts

Education. This is because the package developed has fulfilled the validity criteria, practicality,

and effectiveness.

Keywords: Development, Teaching Materials, Local Art

PENDAHULUAN

Mata kuliah Kajian Seni Rupa Lokal

merupakan salah satu mata kuliah wajib yang

diajarkan pada program studi Magister

Pendidikan Seni Rupa. Setelah menempuh

mata kuliah ini mahasiswa diharapkan

memiliki kemampuan mengetahui, memahami,

mengapresiasi, dan menganalisis aspek latar

belakang historis, konsep, dan karya seni rupa

yang ada di daerah yang mencakup semua hasil

karya seni rupa yang ada di daerah Sulawesi

Selatan.

Pembahasan diutamakan pada aspek

kesenirupaan yang meliputi media, teknik,

bentuk, jenis, makna simbolik, fungsi, gaya,

tema, dan hiasan; kepercayaan; dan latar

budaya yang mendasarinya. Konteks hubungan

dengan pertumbuhan seni rupa Indonesia juga

menjadi bahasan mata kuliah ini. Oleh karena

itu, sangat penting untuk menyajikan mata

kuliah tersebut secara sistematis, kaya akan

materi, serta memenuhi kompetensi

pembelajaran yang telah dirumuskan untuk

mencapai tujuan pembelajaran secara

maksimal.

Salah satu masalah yang dihadapi oleh

para pengajar di Program Pasca Sarjana

Universitas Negeri Makassar adalah belum

terstandar dan seragamnya silabus mata kuliah,

sehingga masing-masing dosen pengampu

mata kuliah membuat silabus dan kontrak

perkuliahan sesuai selera masing-masing.

Akibat yang ditimbulkan adalah pencapaian

tujuan pembelajaran tidak tercapai secara

maksimal sesuai yang diharapkan. Salah satu

upaya yang dapat dilakukan untuk

memaksimalkan pencapaian tujuan

pembelajaran adalah dengan mengembangkan

bahan ajar yang mampu merespon setiap

perubahan dan mengantisipasi setiap

perkembangan, sebagaimana dikemukakan

Faturrohman dan Sutikno (2007: 14) bahwa

“bahan ajar merupakan materi yang terus

berkembang secara dinamis seiring dengan

kemajuan dan tuntutan perkembangan

masyarakat”.

Dalam kegiatan belajar mengajar, dosen

dan mahasiswa terlibat dalam sebuah interaksi

dengan bahan ajar sebagai mediumnya. Dalam

interaksi itu, mahasiswalah yang lebih aktif,

bukan dosen. Mahasiswa sebagai pusat

pembelajaran. Keaktifan mahasiswa dalam

proses pembelajaran tentu mencakup kegiatan

fisik dan mental, individual dan kelompok.

Oleh karena itu, interaksi dikatakan maksimal

apabila terjadi antara dosen dengan semua

mahasiswa, antara mahasiswa dengan dosen,

antara mahasiswa dengan mahasiswa, serta

mahasiswa dengan bahan dan media

pembelajaran. Dengan demikain, salah satu hal

yang sangat penting dalam pencapaian tujuan

pembelajaran adalah tersedianya bahan (buku)

ajar yang teruji dan bermutu sebagai salah satu

sumber belajar.

Berdasarkan beberapa hal yang telai

diuraian, maka peniliti merancang sebuah

penelitian dengan judul: pengembangan bahan

ajar mata kuliah Kajian Seni Rupa Lokal pada

Program Studi Magister Pendidikan Seni Rupa

Program Pascasarjana Universitas Negeri

Makassar.

METODE

Jenis penelitian ini adalah penelitian

pengembangan (research and Development)

yang merupakan penelitian yang berorientasi

untuk menghasilkan atau mengembangkan dan

menvalidasi sebuah produk (Borg & Gall

Page 50: Jurnal Imajinasi

49

dalam Setyosari, 2013: 237), sedangkan

menurut Sugiyono (2015: 407) bahwa

penelitian dan pengembangan adalah metode

penelitian yang digunakan untuk menghasilkan

produk tertentu, dan mengkaji keefektifan

produk tersebut. Produk yang dikembangkan

dalam peneltian ini adalah bahan ajar mata

kuliah Kajian Seni Rupa Lokal yang

merupakan salah satu mata kuliah wajib bagi

mahasiswa program studi magister Pendidikan

Seni Rupa Program Pascasarjana Universitas

Negeri Makassar.

Penelitian ini mengacu pada prosedur

pengembangan yang dikembangkan oleh Borg

& Gall yang terdiri dari sepuluh langkah yang

tersusun secara sistematis, dengan penjelasan

yang mudah dipahami, dan mampu

mengarahkan pengembang dari awal hingga

akhir penelitian. Dalam penelitian

pengembangan bahan ajar ini hanya sampai

pada sembilan langkah, kegiatan desiminasi

atau penyebarluasan produk tidak dilakukan

karena faktor keterbatasan dana dan waktu

peneliti.

Kesembilan langkah di atas kemudian

disederhanakan tanpa mengurangi esensi dari

sembilan langkah yang disarankan oleh Borg &

Gall menjadi tiga tahap, yaitu 1) tahap analisis

kebutuhan, 2) tahap pengembangan, dan 3)

tahap evaluasi. Dalam penelitian ini, semua

tahapan dilaksanakan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Model pengembangan yang diacu dalam

penelitian ini adalah model pengembangan

Borg & Gall yang terdiri dari 10 tahap, namun

dalam penelitian ini, peneliti hanya melakukan

sampai tahap 9 dengan alasan keterbatasan

dana dan waktu penelitian. Kesembilan tahap

dari model pengembangan Borg & Gall yang

ditempuh peneliti adalah: 1) mencari dan

mengumpulkan informasi, (2) membuat

perencanaan, (3) mengembangkan drafawal(4)

melaksanakan ujicoba awal, (5) melakukan

revisiuntuk uji coba skala terbatas,(6)

melaksanakan ujicoba skala terbatas, (7)

melakukan revisi untuk uji coba lapangan, (8)

melaksanakan uji coba lapangan, (9)

melakukan revisi produk akhir. Kesembilan

langkah tersebut kemudian disederhanakan

menjadi tiga tahap, yaitu (1) tahap studi

pendahuluan, (2) tahap pengembangan, dan (3)

tahap evaluasi. Ketiga tahap tersebut diuraikan

sebagai berikut:

Tahap Studi Pendahuluan

Pada tahap ini dilakukan studi literatur

dan studi lapangan. Studi literatur dilakukan

untuk mengumpulkan data dan informasi yang

berkaitan dengan pengembangan produk yang

direncanakan, yaitu sebuah paket

pembelajaran. Studi lapangan yaitu melakukan

observasi atau pengamatan langsung terhadap

pelaksanaan pembelajaran di kelas, melihat

kontrak Perkuliahan, materi pembelajaran, dan

instrumen penilaian yang digunakan oleh

dosen pengampu mata kuliah, kemudian

melakukan wawancara untuk

mendapatkanfakta dan masalah yang terjadi di

lapangan.

Dari hasil wawancara dengan dosen

pengampu mata kuliah, dapat diidentifikasi

beberapa masalah esensial yang dihadapi oleh

dosen dalam proses pembelajaran di kelas,

yaitu dosen kesulitan dalam mengajarkan mata

kuliah kepada mahasiswa karena kurangnya

referensi yang relevan, seperti buku teks dan

media pembelajaran. Hasil pengamatan

menunjukkan bahwa belum ada buku teks

sebagaibahan pembelajaran yang digunakan

oleh dosen. Materi yang disajikan merupakan

kumpulan materi yang diambil dari berbagai

sumber, sementara buku yang diacu tersebut

materi pembelajarannya kurang lengkap, tidak

sesuai dengan tujuan pembelajaran, dan tidak

dikemas menyesuaikan kondisi mahasiswa.

Berpatokan pada materi yang ada membuat

pembelajaran terkesan monoton dan membuat

mahasiswa kurang termotivasi. Atas dasar

permasalahan yang ada di atas, maka peneliti

mengembangkan paket pembelajaran yang

relevan untuk digunakan oleh dosendan

mahasiswa dalam proses pembelajaran mata

kuliah Kajian seni rupa Lokal.

Hasil observasi dan wawancara yang

diperoleh digunakan untuk menentukan materi

yang akan dikembangkan menjadi sebuah

paket. Materi yang dipilih untuk

dikembangkan menjadi paket pembelajaran

adalah seni rupa Lokal yang merupakan salah

satu mata kuliah wajib pada program studi

Pendidikan Seni Rupa Program Pascasarjana

Universitas Negeri Makassar. Alasan penulis

memilih materi seni rupa Lokal adalah karena

Page 51: Jurnal Imajinasi

50

berdasarkan hasil observasi, salah satu materi

dalam buku teks yang dipelajari mahasiswa

adalah materi seni rupa Lokal yang

pembahasannya terdapat banyak kekurangan

baik dari segi isi/konten maupun media

pembelajaran yang digunakan.

Setelah menetapkan beberapa hal yang

akan dikembangkan, selanjutnya

mengembangkan kerangka draf awal, serta

menetapkan jenis instrumen yang digunakan

dalam penelitian.

Tahap Pengembangan

Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini

terbagi atas dua, yaitu: (1) mengembangkan

draf awal dan (2) mengembangkan instrumen

penilaian, (3) melakukan validasi, dan (4)

melaksanakan uji coba.

Pada fase kedua penelitian ini, kegiatan

yang dilaksanakan adalah validasi oleh ahli

materi dan ahli media serta uji coba terhadap

buku petunjuk dosen, buku petunjuk

mahasiswa, buku ajar, media presentasi, dan

lembar tes apresiasi mahasiswa serta revisi ahli

materi terhadap buku ajar serta evaluasi

terhadap kevalidan, kepraktisan dan

keefektivan produk buku ajar.

Pada tahap evaluasi, semua data yang

diperoleh dari ahli materi, ahli media, dosen,

dan mahasiswa melalui angket, dianalisis

secara kuantitatif kemudian diekuivalenkan

menjadi data kualitatif. Kegiatan menganalisis

data mencakup seluruh kegiatan dengan

mengklasifikasi, menganalisis, dan menarik

kesimpulan dari semua data yang terkumpul

dalam proses validasi, uji coba awal, uji coba

kelompok kecil, dan uji kelayakan. Adapun

pedoman yang digunakan dalam menentukan

kualitas kevalidan dan kepraktisan paket

pembelajaran ini adalah pedoman skala 5

Sukardjo, sedangkan untuk penentuan

keefektifannya ditetapkan berdasarkan kriteria

ketuntasan minimal (KKM) yaitu nilai 75 pada

skal penilaian yang berlaku di Program

Pascasarjana Univeritas Negeri Makassar.

Pembahasan

Paket pembelajaran dalam bentuk buku

ajar mata kuliah Kajian Seni Rupa Lokal yang

dihasilkan dalam penelitian ini adalah paket

yang telah dirancang secara mendalam dan

sistematis, namun untuk mengetahui apakah

paket pembelajaran yang telah dirancang dan

dikembangkan telah memenuhi kriteria

kevalidan, kepraktisan, dan keefektifan, telah

dilakukan kegiatan validasi yang akan

dilakukan oleh validator ahli materi dan ahli

media, sedangkan untuk mengetahui kriteria

kepraktisan akan dilakukan uji coba oleh dosen

pengampu mata kuliah, dan untuk mengetahui

kriteria keefektifan maka akan dilakukan uji

kepada mahasiswa pengguna buku ajar

tersebut. Hal ini sejalan yang dikemukakan

oleh Akker (Nursyahidah, 2010:24) bahwa

kriteria kualitas produk yang telah

diujicobakan yaitu validitas, kepraktisan, dan

evektifitas (memiliki efek potensial).

Berdasarkan hasil penelusuran terhadap

materi-materi yang terkait dengan mata kuliah

kajian seni rupa lokal, menunjukkan bahwa

begitu banyak materi yang tersedia yang

membuat peneliti kewalahan dalam

menentukan materi yang sesuai dengan pokok

bahasan pada mata kuliah Kajian Seni Rupa

Lokal. Akhirnya yang dilakukan adalah

memilih beberapa karya seni rupa yang ada di

lokal berdasarkan pertimbangan keterwakilan

daerah atau suku serta bahan yang tersedia

mencukupi dan layak dijadikan sebagai materi

ajar pada mata kuliah Kajian Seni Rupa Lokal.

Kepraktisan paket ini diketahui dari

penilaian dosen dan mahasiswa terhadap paket

pembelajaran yang diujicobakan serta

keterlaksanaan kegiatan pembelajaran.

Sebelum paket pembelajaran diujicobakan di

kelas, paket pembelajaran diberikan kepada

dosen pengampu mata kuliah Kajian Seni Rupa

Lokal untuk memahami tujuan dan langkah-

langkah penggunaan paket tersebut. Dosen

berperan sebagai ahli praktisi yang

memberikan komentar dan saran tentang segi

kepraktisan dan sebagai fasilitator yang

mengujicobakan paket tersebut. Pelaksanaan

dari setiap tahapan kegiatan pembelajaran

dimulai dari kegiatan awal, kegiatan inti,

hingga kegiatan akhir merupakan komponen

yang dijadikan acuan kemampuan dosen dalam

mengelola pembelajaran.

Uji coba dilaksanakan selama tiga kali,

yaitu uji coba awal, uji coba kelompok kecil,

dan uji coba kelompok sesungguhnya. Setelah

proses pembelajaran berakhir, dilakukan tes

untuk mengetahui hasil belajar mahasiswa.

Hasil tes tersebut menentukan efektif tidaknya

paket pembelajaran yang dikembangkan. Hasil

tes apresiasi mahasiswa secara keseluruhan

Page 52: Jurnal Imajinasi

51

pada uji coba kelompok sesungguhnya

diperoleh ketuntasan nilai mahasiswa, yaitu

rerata 85,79. Nilai rerata skor yang diperoleh

mahasiswa dinyatakan tuntas karena telah

melewati nilai KKM (kriteria ketuntasan

maksimal) yang telah ditetapkan yaitu nilai 75.

Ketuntansan nilai yang diperoleh ini berkat

metode pengamatan dengan bantuan media

pembelajaran dan metode diskusi kelompok

yang digunakan dalam proses pembelajaran.

Melalui metode pengamatan dengan media

pembelajaran, mahasiswa dapat mengamati

setiap gambar yang disajikan dengan lebih

jelas, dan melalui metode diskusi kelompok,

mahasiswa dapat bekerja sama dan saling

membantu anggota kelompok yang sulit

memahami materi.

Tercapainya nilai ketuntasan dengan

rerata 85,79, maka mahasiswa yang

memprogramkan mata kuliah Kajian Seni

Rupa Lokal dianggap sudah mampu

mengapresiasi dan memahami dengan baik,

sehingga paket ini dinyatakan efektif

digunakan pada mahasiswa yang

memprogramkan mata kuliah Kajian Seni

Rupa Lokal.

SIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan

pembahasan, maka kesimpulan dalam

penelitian ini diuraikan sebagai berikut: a.

Komponen paket pembelajaran yang

dikembangkan dalam penelitian ini adalah

buku ajar, media presentasi, dan tes apresiasi.

Tahap yang dilalui dalam penelitian dan

pengembangan paket pembelajaran terdiri dari

empat tahap, yaitu tahap studi pendahuluan,

tahap pengembangan, tahap pelaksanaan uji

coba (uji coba kelomok kecil dan uji coba

kelompok sesungguhnya) dan tahap evaluasi.

b. Dalam penelitian ini, instrumen yang

dikembangkan adalah angket, lembar

observasi, dan tes apresiasi. Angket yang

dikembangkan terdiri dari angket untuk

validator (ahli materi dan ahli media), angket

untuk dosen, dan angket untuk mahasiswa.

Angket untuk validator digunakan untuk

memvalidasi paket pembelajaran, dan

memperoleh masukan atau saran untuk

merevisi paket yang dikembangkan. Angket

untuk dosen fasilitator digunakan untuk

mengetahui tanggapan dosen terhadap paket

pembelajaran yang dikembangkan, dan saran

yang diperlukan untuk merevisi paket.

Demikian pula angket untuk mahasiswa

digunakan untuk mengetahui tanggapan dan

saran mahasiswa terhadap paket pembelajaran

yang dikembangkan.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut

mengenai pengembangan paket yang telah

dibuat dengan menggunakan uji oba pada

tempat lain agar luaran yang dihasilkan lebih

bermutu.

DAFTAR RUJUKAN

Arikunto, Suharsimi. (1997). Dasar-Dasar

Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi

Aksara.

Baharuddin, Haerati. (2014). Pengembangan

Modul Pembelajaran Dasar

Menggambar Perspektif untuk Siswa

Kelas XII IPA SMA Negeri 1

Tanete Rilau Kabupaten Barru.

Makassar: Tesis Magister PPs UNM.

Borg, Walter. R & Gall. (1973). Educational

Research: An Introduction (second

edition). New York: David Mc Key

Company. Inc

Daryanto. (2013). Menyusun Modul Bahan

Ajar untuk Persiapan Guru dalam

mengajar. Yogyakarta: Penerbit

Gava Media.

Faturahhman, Pupuh dan Sutikno. (2007).

Strategi Belajar Mengajar: Strategi

Mewujudkan Pembelajaran

Bermakna Melalui Penanaman

Konsep Umum dan Islami. Bandung:

PT. Rafika Aditama.

Ghufron, Anik. (2007). Panduan dan

Pengembangan Bidang Pendidikan

dan Pembelajaran. Yogyakarta.

Lembaga Penelitian UNY.

Najamuddin, Nurhayati. (2014).

Pengembangan Paket Pembelajaran

untuk Siswa Kelas VIII SMP

Nasional Makassar. Makassar: Tesis

Magister PPs UNM.

Page 53: Jurnal Imajinasi

52

Putra, Nusa. (2013). Research & Development:

Penelitian dan Pengembangan: Suatu

Pengantar. Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada.

Setyosari. Punaji. (2001). Rancangan

Pembelajaran: Teori dan Praktik.

Malang: Elang Mas.

Setyosari. Punaji. (2013). Metode Penelitian

Pendidikan dan Pengembangan.

Jakarta: Kencana.

Sudjana, Nana. (1989). Dasar-Dasar Proses

Belajar Mengajar. Bandung. Sinar

Baru Algesindo

Sugiyono. (2015). Metode Penelitian

Pendidikan: Pendekatan Kualitatif,

Kuantitatif, dan R&D. Bandung:

Penerbit Alpabeta.

Sukarjo. (2006). Kumpulan Materi Evaluasi

Pembelajaran. Yogyakarta: Penerbit

Universitas Negeri Yogyakarta.

Suryani, Nunuk dan Agung. (2012). Strategi

Belajar Mengajar. Yogyakarta:

Penerbit Ombak.