Upload
edi-saputra
View
103
Download
13
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Auzal Halim1), Winda Rizal2),dan Erizal3)Universitas Andalas Padang
Citation preview
Pembentukan Kompleks Inklusi Famotidin dan β-siklodekstrin dengan metode kneading
Auzal Halim1), Winda Rizal2),dan Erizal3)
Universitas Andalas Padang
Abstrak
Telah dilakukan penelitian tentang pembentukan kompleks inklusi famotidin dan β-siklodekstrin dengan metode
kneading dengan variasi mol 1:1, 1:2 dan 2:1. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kelarutan dan laju
disolusi famotidin. Berdasarkan hasil karakterisasi pembentukan kompleks inklusi yang dilakukan dengan
menggunakan Scanning Microscopy electron (SEM) dan Differential Thermal Analyzer (DTA) memperlihatkan
adanya interaksi antara famotidin dan β-siklodekstrin sedangkan hasil difraksi sinar-x menunjukkan adanya
penurunan intensitas puncak difraktogram yang sangat tajam dibandingkan dengan famotidin murni. Hasil disolusi
pembentukan kompleks inklusi famotidin dan β-siklodekstrin menunjukkan terjadinya peningkatan laju disolusi
terhadap famotidin tunggal
Kata kunci: Kompleks Inklusi, famotidin, β-siklodekstrin, dan metode Kneading
PENDAHULUAN
Bioavaibilitas suatu sediaan oral dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya laju disolusi, kelarutan, dan laju
absorpsi dalam saluran cerna. Bioavaibilitas
obat yang sukar larut dapat ditingkatkan
dengan memperbaiki kelarutan dan
kecepatan disolusi (Loftsson T & Brewster
ME, 1996). Kelarutan dan kecepatan
disolusi dapat ditingkatkan melalui
pengembangan kompleks inklusi padat.
Proses pembentukan kompleks inklusi
terutama dipengaruhi oleh sifat hidrofob
senyawa obat yang berinteraksi dengan
bagian dalam rongga siklodekstrin. Selain
itu, interaksi juga dipengaruhi oleh bentuk
dan ukuran senyawa obat. Sifat fisiko kimia
senyawa obat dapat berubah karena
terbentuk kompleks inklusi. Kompleks yang
terbentuk dapat meningkatkan kelarutan,
laju disolusi, bioavabilitas, dan stabilitas
obat (Bekers et al., 1991).
Beberapa metode digunakan untuk
membuat kompleks inklusi, seperti
pengeringan beku, kopresipitasi, co-
grinding, dan kneading. Metode kneading
merupakan teknik pembentukan kompleks
inklusi yang didasarkan pada pencampuran
lebih dari satu substansi melalui pengadukan
sehingga didapatkan serbuk halus
(Chowdary KPR & Srinivas SV, 2006).
Efektivitas metoda yang digunakan sangat
dipengaruhi oleh karakteristik obat dan
siklodekstrin.
Famotidin adalah antagonis reseptor-H2.
Famotidin banyak diresepkan untuk
pengobatan gastric ulcers, duodenal ulcers,
Zollinger-Ellison syndrome, dan
gastroesofageal reflux. Untuk penanganan
gastric ulcers dan duodenal ulcers dosisnya
40 mg/hari sebelum tidur selama 4-8
minggu. Famotidin tidak diabsorpsi
sempurna di seluruh saluran pencernaan.
Bioavaibilitas rendah (40-45%), waktu
paruh biologis yang singkat (2,5-4 jam) dan
juga memiliki efek samping seperti diare,
pusing, sakit kepala, mual muntah, dan juga
efek toksik lainnya jika digunakan dalam
jangka waktu panjang (Kumar et al., 2009).
Siklodekstrin (CD), dengan kemampuan
mereka untuk membentuk molekul
kompleks inklusi dengan zat obat
mempengaruhi banyak sifat kimia fisik dari
obat tanpa mempengaruhi sifat
farmakologis. Sebagai konsekuensi dari
proses inklusi, banyak sifat fisikokimia
seperti kelarutan, laju disolusi, stabilitas, dan
bioavailabilitas siklodekstrin dapat
dipengaruhi. Dengan demikian, hal ini dapat
menawarkan harapan baru bagi para
ilmuwan formulasi dalam upaya mereka
untuk mengembangkan sistem pengiriman
obat yang efektif (Liu, 2000).
Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk
meneliti mengenai pembentukan kompleks
inklusi famotidin dan β-siklodekstrin dengan
metode kneading untuk mendapatkan laju
disolusi famotidin dan dapat meningkatkan
kelarutan dan ketersediaan hayati obat
famotidin sebagai senyawa model obat dan
pengembangan sifat fisiko kimia famotidin.
Metode Penelitian
Alat dan Bahan
Peralatan gelas standar laboratorium,
timbangan digital (Shimadzu-Aux 220),
spektrofotometer UV (Shimadzu UV-1700),
XRD (PAN Analythical, Netherland), SEM
(Jeol, Japan), DTA ( Analyzer Mettler
Toledo FP 80) dan alat uji disolusi (Hansen
Research).
Famotidin (Kimia Farma), β-
siklodekstrin (Signa Husada), kalium
dihidrogen fosfat (Bratachem), natrium
hidroksida (Bratachem), dan aquadest.
Pembuatan Kompleks Inklusi
Famotidin dan β-siklodekstrin
dicampur dalam mortir atau lumpang
dengan air sama banyak, kemudian
dilakukan penekanan setempat atau
kneading selama 1 jam kemudian hasil
penggerusan di keringkan di dalam oven
dengan suhu 45˚ - 50˚ C selanjutnya
divakumkan dan diayak dengan ayakan 100
dan ditempatkan dalam desikator.
Analisis Difraksi Sinar-X
Penetapan pola difraksi sinar-X serbuk
kompleks inklusi dilakukan dengan
menggunakan difraktometer. Analisis
difraksi sinar-X serbuk sampel dilakukan
pada suhu ruang dengan kondisi pengukuran
sebagai berikut : target logam Cu, filter Kα,
voltase 40 kV, arus 40 mA, analisis
dilakukan pada rentang 2 theta 50 – 350 .
Sampel diletakkan pada sampel holder
(kaca) dan diratakan untuk mencegah
orientasi partikel selama penyiapan sampel.
Scanning Electron Miscroscopy
Sampel serbuk diletakkan pada sampel
holder aluminium dan dilapisi dengan emas
dengan ketebalan 10 nm. Sampel kemudian
diamati berbagai perbesaran alat SEM.
Voltase diatur pada 20 kV dan arus 12 mA.
Analisis Differential Thermal Gravimetric
Analysis
Analisis dilakukan menggunakan alat
DTA-TG terhadap sampel famotidin murni
F1, F2 dan F3. Suhu pemanasan dimulai dari
30 - 350 0C, dengan kecepatan pemanasan
50C per menit. Analisis ini akan
memperlihatkan pola titik lebur dari
senyawa tunggal famotidin dan kompleks
inklusi yang terbentuk.
Uji disolusi
Penentuan disolusi famotidin dan
kompleks inklusi famotidin dilakukan
dengan metode dayung dengan kecepatan 50
rpm. Labu diisi dengan medium dapar fosfat
pH 4,5 sebanyak 900 mL dengan suhu diatur
pada 37oC ± 0,5oC, setelah suhu tersebut
tercapai, masukkan sejumlah serbuk yang
telah ditimbang setara dengan 40 mg
famotidin ke dalam labu disolusi. Setelah
itu, larutan dalam labu dipipet sebanyak 5
mL pada menit ke 5, 10, 15, 30, 45, dan 60.
Serapan larutan yang telah dipipet dari
medium disolusi diukur pada panjang
gelombang maksimum. Kadar famotidin
yang terdisolusi pada setiap waktu dapat
dihitung dengan menggunakan kurva
kalibrasi.
Hasil Dan Pembahasan
Analisis difraksi sinar-X dilakukan
pada famotidin dan β-siklodekstrin dan
kompleks inklusi famotidin – β-
siklodekstrin. Hasil difraktogram famotidin
murni menunjukkan karakteristik kristalin.
Puncak-puncak kristalin famotidin terlihat
pada sudut 2Ѳ : 10o; 12 o, 20o dan 24o
Puncak kristalin β-siklodekstrin terlihat jelas
pada 2Ѳ : 4o; 16o; 20o; 24o; dan 35o. Pada
kompleks inklusi formula 1 dengan
perbandingan molar 1:1, puncak kristalinitas
terlihat pada sudut 2Ѳ: 10o setinggi 1036.
Pada kompleks inklusi formula 2 dengan
perbandingan molar 1:2, puncak kristalinitas
terlihat pada sudut 2Ѳ: 10o setinggi 1409 ,
sedangkan pada kompleks inklusi formula 3
dengan perbandingan molar 2:1, puncak
kristalinitas yang terlihat pada sudut 2Ѳ:
10o setinggi 936. Difraktogram hasil
kompleks inklusi famotidin dan β-
siklodekstrin menunjukkan terjadinya
penurunan intensitas yang sangat tajam dari
puncak famotidin sampai mendekati profil
difraktogram β-siklodekstrin.
Hal ini menunjukkan bahwa molekul
famotidin telah masuk ke dalam struktur
rongga dari β-siklodekstrin. Sehingga yang
terlihat hanya difraktogram β-siklodekstrin.
Penurunan intensitas puncak menunjukkan
perubahan derajat kristalinitas. Pada
kompleks inklusi formula 2 dengan
perbandingan mol 1:2 menunjukkan
penurunan intensitas puncak famotidin
kurang tajam dibanding formula dan
formula 3 dengan perbandingan mol 2 : 1
menunjukkan penurunan intensitasnya yang
paling tajam dibanding formula yang lain
.Jadi dengan dilakukannya penekanan
bersama obat dengan polimer β-
siklodekstrin akan mengakibatkan ukuran
partikel menjadi lebih kecil sehingga obat
akan lebih mudah masuk ke dalam rongga β-
siklodekstrin (Colombo, G.Grassi, M.
Grassi, 2009).
Gambar 1. Difraksi Sinar-X (A) Famotidin
murni (B) β-siklodekstrin (C) Kompleks
inklusi F1 (D) Kompleks Inklusi F2 (E)
Kompleks Inklusi F3
Pada evaluasi mikroskopis
Kompleks Inklusi dilakukan dengan foto
SEM (Scanning Electron Microscope)
Famotidin, β-siklodekstrin dan Kompleks
Inklusi. Gambar famotidin ditampilkan pada
perbesaran 200 dan 2000 kali sedangkan etil
β-siklodekstrin perbesaran 100 dan 2000
kali. Hasil SEM Kompleks Inklusi dilakukan
pada perbesaran 200 dan 2000 kali untuk
masing-masing formula.
1
3
5
Gambar 2. Hasil SEM (1) Famotidi murni
(2) β-siklodekstrin (3) Kompleks Inklusi F1
(4) Kompleks Inklusi F2 (5)
Inklusi F3
Analisis bentuk partikel dengan
menggunakan alat Scanning Electron
Microscope (SEM) dengan berbagai
perbesaran memperlihatkan karakteristik
dari famotidin, β-siklodekstrin dan
kompleks inklusi. Pada hasil SEM
perbesaran 2000 kali, famotidin terlihat
seperti silinder dan β-siklodekstrin pada
perbesaran 100 kali terlihat seper
Pada kompleks inklusi F1 dengan
perbandingan 1:1 perbesaran 2000 kali
masih terlihat sebagian kecil morfologi
famotidin murni sedangkan morfologi β
siklodekstrin murni tidak terlihat lagi
2
4
Famotidi murni
Kompleks Inklusi F1
) Kompleks
Analisis bentuk partikel dengan
Scanning Electron
(SEM) dengan berbagai
perbesaran memperlihatkan karakteristik
siklodekstrin dan
kompleks inklusi. Pada hasil SEM
perbesaran 2000 kali, famotidin terlihat
siklodekstrin pada
perbesaran 100 kali terlihat seperti batang.
Pada kompleks inklusi F1 dengan
perbandingan 1:1 perbesaran 2000 kali
masih terlihat sebagian kecil morfologi
famotidin murni sedangkan morfologi β-
siklodekstrin murni tidak terlihat lagi
melainkan berubah menjadi bentuk yang
tidak beraturan atau amor
aglomerat. Dimana terlihat permukaan yang
tidak rata tersebut diperkirakan telah terjadi
interaksi antara zat aktif dengan β
siklodekstrin. Kompleks inklusi F2 dengan
perbandingan 1:2 perbesaran 2000 kali
terlihat adanya penggabungan famotidin
β-siklodekstrin membentuk suatu agregat
dengan permukaan yang lebih ka
formula 3 dengan perbandingan molar 2:1
dengan perbesaran 2000 kali menunjukkan
bentuk yang lebih halus dimana bentuk
famotidin dan β-siklodekstrin sulit
dibedakan walaupun
morfologi dari β-siklodekstrin.
menunjukkan bahwa serbuk hasil
pembentukan kompleks inklusi
menghasilkan senyawa yang sifatnya lebih
amorf karena sifat kristalinitasnya telah
berkurang.
Analisis termal menggunakan alat
DTA dilakukan untuk melihat titik lebur dan
mengevaluasi interaksi antara famotidin dan
β-siklodekstrin dalam beberapa
melainkan berubah menjadi bentuk yang
tidak beraturan atau amorf membentuk
aglomerat. Dimana terlihat permukaan yang
tidak rata tersebut diperkirakan telah terjadi
interaksi antara zat aktif dengan β-
. Kompleks inklusi F2 dengan
perbandingan 1:2 perbesaran 2000 kali
terlihat adanya penggabungan famotidin dan
siklodekstrin membentuk suatu agregat
dengan permukaan yang lebih kasar. Pada
formula 3 dengan perbandingan molar 2:1
dengan perbesaran 2000 kali menunjukkan
bentuk yang lebih halus dimana bentuk
siklodekstrin sulit
masih terlihat
siklodekstrin. Hal ini
menunjukkan bahwa serbuk hasil
pembentukan kompleks inklusi
menghasilkan senyawa yang sifatnya lebih
amorf karena sifat kristalinitasnya telah
Analisis termal menggunakan alat
an untuk melihat titik lebur dan
mengevaluasi interaksi antara famotidin dan
siklodekstrin dalam beberapa
perbandingan formula. Dari hasil
karakterisasi deengan menggunakan DTA,
famotidin menunjukkan adanya puncak
endotermik yang tajam pada suhu 168,500C
yang merupakan titik lebur dari famotidin .
Sedangkan β–siklodekstrin menunjukkan
transisi gelas pada suhu 86,700C. Pada
kompleks inklusi masing-masing formula
masih terlihat puncak endotermik dari
masing-masing bahan dengan intensitas
puncak yang tidak setajam puncak
endotermik dari hasil karakterisasi masing-
masing bahan.
Termogram DTA komplek inklusi
F1 (menunjukkan adanya puncak
endotermik yang melebar pada 72,860C
yang merupakan transisi gelas yang dimiliki
oleh β–siklodekstrin, tetapi masih muncul
puncak endotermik dari famotidin dengan
bergeser ke suhu yang lebih rendah yaitu
166,190C. Pada termogram komplek inklusi
F2 menunjukkan adanya puncak endotermik
yang melebar pada 70,630C yang merupakan
transisi gelas yang dimiliki oleh β–
siklodekstrin dan puncak endotermik dari
famotidin masih terlihat dengan bergeser ke
suhu yang lebih rendah yaitu 166,550C.
Sedangkan pada termogram kompleks
inklusi F3 juga menunjukkan adanya puncak
endotermik yang melebar pada 64,520C
yang merupakan transisi gelas yang dimiliki
oleh β–siklodekstrin, namun masih tetap
muncul puncak endotermik dari famotidin
dengan bergesernya ke suhu yang lebih
rendah dibandingkan dengan termogram F1
dan F2 yaitu pada suhu 166,090C.
Dari hasil termogram DTA kompleks
inklusi masing-masing formula dapat
dikatakan bahwa dengan bertambah
banyaknya β–siklodekstrin yang digunakan
maka titik lebur dari famotidin akan terjadi
pergeseran ke suhu yang lebih tinggi. Hal ini
menunjukkan telah terjadi kompleks inklusi
antara famotidin dengan β-siklodekstrin.
Sesuai dengan literatur, berkurangnya
puncak endotermik famotidin ini dapat
disebabkan karena terbentuknya kristal
amorf, dimana famotidin masuk ke dalam
rongga β–siklodekstrin (Jug, et al, 2005).
Struktur non kristalin akan memberikan
kurva titik lebur yang tidak tajam dan tidak
defenitif (Charumanee, 2004). Jika suatu
molekul guest masuk ke dalam rongga β–
siklodekstrin, maka titik lebur molekul guest
tersebut akan menghilang atau bergeser ke
suhu yang lebih rendah (Manca, et al, 2005).
Gambar 3. Profil Disolusi (F) famotidin
murni (f1) kompleks inklusi (1:1), (f2)
kompleks inklusi (1:2), (f3) kompleks
inklusi (2:1)
Persentase disolusi pada menit ke-5
untuk famotidin murni dan kompleks inklusi
F1, F2, F3 berturut-turut adalah 78,663%,
84,879%; 88,112% dan 83,879%. Pada
menit ke-60 adalah 89,709 % dan pada
kompleks inklusi F1 adalah 94,186%, F2
adalah 96,369% dan F3 adalah 90,994%.
Dari hasil yang diperoleh, persen terdisolusi
yang paling bagus adalah kompleks inklusi
formula 2 dengan perbandingan mol 1:2.
Literatur menyatakan bahwa semakin
banyak jumlah polimer yang digunakan,
maka persentase disolusi akan semakin
meningkat (Barzegar-Jalali, et al.,2007).
Dari hasil terlihat peningkatan persen
disolusi dibandingkan dengan famotidin
tunggal.
Penetapan model kinetika
pembentukan kompleks inklusi famotidin
dan β-siklodekstrin telah dilakukan
berdasarkan persamaan orde nol, orde satu,
persamaan Higuchi, persamaan
Langenbucher dan persamaan Korsemeyer-
peppas. Dari kelima model kinetika tersebut,
koefisien korelasi dari persamaan
Langenbucherlah yang paling mendekati
satu. Harga koefisien korelasi formula 1,
formula 2 dan formula 3 secara berturut –
turut dalam medium dapar fosfat pH 4,5
adalah 0,982; 0,964 dan 0,975 (Lampiran
10, Tabel 4.10). Berdasarkan tinjauan dari
aspek kinetika tersebut maka disolusi
pembentukan kompleks inklusi mengikuti
persamaan Langenbucher dimana nilai b > 1
sehingga kurva membentuk S atau sigmoid
dan jika nilai b < 1 maka kurva akan
berbentuk parabola dengan kemiringan
(slope) awal yang tinggi dan setelah itu
konsisten terhadap eksponensial. Nilai b ini
dapat menggambarkan proses pelepasan
obat yang terjadi (Lucida, Erizal, & Rahmi,
2006)
Analisa statistik anova satu arah
antara perbandingan formula Kompleks
inklusi dan famotidin dengan persen
efisiensi disolusi yang terlampir pada
menunjukan data bahwa F hitung lebih besar
0
25
50
75
100
0 50 100
% Z
at T
erdi
solu
si
waktu (menit)
F murni
Formula 1
Formula 2
Formula 3
dari pada F tabel. Hal ini menunjukan
adanya pengaruh yang nyata
KESIMPULAN
Dari penelitian yang dilakukan dapat
disimpulkan bahwa telah terjadi
pembentukan kompleks inklusi dengan
metoda kneading dengan variasi mol F1
(1:1), F2 (1:2) dan F3 (2:1).
1. Pembentukan kompleks inklusi
famotidin dan β-siklodekstrin
menyebabkan masuknya molekul
famotidin ke dalam molekul β-
siklodekstrin , pembentukan
kompleks inklusi dapat dilihat
dari hasil sinar X, DTA dan
meningkatnya kelarutan
famotidin pada disolusi.
2. Hasil SEM menunjukkan
terjadinya perubahan morfologi
dari masing-masing bahan dan
juga terjadinya sebagian
rekristalisasi pada waktu proses
pembentukan kompleks inklusi.
3. Hasil difraksi sinar-X
menunjukkan terbentuknya
kompleks inklusi famotidin dan
β-siklodekstrin yaitu kompleks
inklusi menunjukkan terjadinya
penurunan intensitas puncak
difraktogram yang sangat tajam
jika dibanding dengan famotidin
murni.
4. Hasil DTA menunjukkan
terbentuknya kompleks inklusi,
hal ini dapat dilihat karena
adanya interaksi antara molekul
famotidin dengan molekul β-
siklodekstrin dengan
bergesernya titik lebur famotidin
ke suhu yang lebih rendah.
5. Hasil disolusi juga menunjukkan
terjadinya peningkatan kelarutan
dan persentase terdisolusi
kompleks inklusi dibanding
dengan famotidin tunggal.
Berdasarkan hasil karakterisasi
dan uji disolusi pembentukan
kompleks inklusi yang paling
baik secara berurutan adalah
dengan F2 (1:2), F1 (1:1) dan F3
(2:1).
6. Dari hasil uji Anova satu arah
untuk persen zat terdisolusi pada
menit ke-60 memperlihatkan
hasil yang bermakna atau
berbeda nyata antara famotidin
murni dan semua formula
kompleks inklusi, dimana
signifikansi dari uji anova kecil
dari 0,05.
DAFTAR PUSTAKA
Abdou, H. M. 1989. Dissolution, bioavaibility and bioequivalence.Pennsylvania: Mack Publishing Company.
Anonim. 2001. Introduction to fourier transform infrared spectrometry. United States of America : Thermo Nicolet Corporation.
Anonim. 2003. United states pharmacopoeia XXVI (revision).Rockville : United State Pharmacopoeia Conventing Inc.
Anonim, 2008. Cavamax Cyclodexstrin Forming ang Analyzing Drug Inclusion Complexes. International Specialty Products: USA
Anonim. 2010. Scanning electron microscopy. West Lafayette: Radiological & Environmental Management, Purdue University.
Arya, Rajeshwar Kamal Kant., Ripudam Singh., Vijay Juyal. 2010. Mucoadhesive Microspheres of Famotidine : Preparation Characterization and In Vitro Evaluation. Int. J Eng Scie and Tech Vol. 2(6), 1575-1580.
Asyarie,S., Noerono,S., Yenti, R. 2007. Pengaruh Pembentukan Kompleks Inklusi Ketoprofen dalam β-siklodekstrin terhadap Laju Disolusi Ketoprofen. (Majalah Kedokteran Indonesia,vol 57, no : 1). Bandung : Institut Teknologi Bandung.
Bhagyashree A. Chavan., Kailas K. Mali., Remeth J. Dias., Laxman D. Kate., 2011 Solid state characterization of multicomponent inclusion complex domperidone with β-cyclodextrin,
polyvinyl pyrrolidone and citric acid. Der Pharmacia Lettre, 2011: 3 (5) 281-290.
Bazegar-Jalali, M., Valizadeh, H., Adibkia, K., 2007, Enhancing Dissolution Rate of Carbamazepine via Cogrinding with crosspovidone and Hydroxypropylmethylcellulose, Iranian Journal of Pharmaceutical Research, 6(3), 159-165.
Bekers, O., Uijtendaal, E.V., Beijnen, J.H., Bult, A., and Undenberg, W.J.M.,1991, Cyclodextrin in Pharmaceutical Field, Drug Dev. Ind. Pharm, 17 (11), 1503 –1549.
Ben, E. S.. 2008. Teknologi Tablet. Padang: Universitas Andalas.
Brittain, H. G. 1999. Analytical profiles of drugs substances and excipients (Volume 26). California : Academic Press.
British Pharmacopoeia Commission. 2009. British pharmacopoeia 2009. London: The Pharmaceutical Press.
Challa, C., Ahuja, A., Ali, J., Khar, R.K., 2005, Cyclodextrins In Drug Delivery An Updated Review, AAPS Pharm. Sci. Tech., 26 January 2005, hal. 13
Charumanee, S 2004, ‘Amorphization and Dissolution Studies of Acetaminophen – β siklodekstrin Inclusion Complexes, vol. 3, no. 1, pp. 13-2.
Chowdary KPR, Buchi NN. Nimesulide and β- cyclodextrin inclusion complexes: physicochemical characterization and dissolution rate studies. Drug
Dev Ind Pharm 2000; 26 (11): 1217-1220
Colombo, Grassi, G., Grassi, M. 2009. Drug Mechanochemical Activation, Journal of Pharmaceutical sciences, 98, 11.
Dachriyanus 2004, Analisis struktur senyawa organic secara spektroskopi, Padang, Universitas Andalas Press.
Dalimunthe, GI 2011, ‘Penetapan kadar famotidine dalam sediaan tablet secara spektrofotometer ultraviolet’, Kultura, vol.12, no.1.
Dokoumetzidis, A. & Macheras, P. 2006. A century of dissolution research : from noyes and whitney to the biopharmaceutics classification system, Int J. Pharms, 321, 1–11.
Ditjen POM. 1995. Farmakope Indonesia edisi IV. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta : 665-666.
Frank SG., 1975, Inclusion compound, J
Pharm Sci, 64(10), 1585- 1601.
Geneidi, AS., Elshamy, AH & Awad, GAS 2004, ‘Solid dispersion of famotidine: factorially designed capsule formulation and in vivo evaluation of antiulcer activity’,J Saudi Pharm, vol. 12, no. 4, pp. 119-129.
Katzung, B.G. 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik. (Edisi VI). Penerjemah : A. Agoes. Jakarta : EGC.
Kumar, Ravi., M.B Patil, et al. 2009. Formulation and Evaluation of Effervescent Floating Tablet of Famotidine.
Liu, Rong. 2000. Water Insoluble Drug Formulation. United States of America : CRC Press LLC.
Loftsson T, Brewster ME. 1996. Pharmaceutical applications of b-siklodekstrin I, drug solubilization and stabilization. J Pharm Sci, 85(10), 1017- 1024.
Lucida, H., Erizal, Rahmi, S. 2006. A comparative dissolution test between generic and branded name of furosemide tablets. Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi, 11 (2), 58-62.
Manca, A., Rice,N., Sculpher, M. J., and Briggs, A. 2005. Assessing generalisability by location in trial-based cost-effectiveness analysis: the use of multilevel models. Health Economics 14(5), 471–485.
Martin, A., Swarbrick, J., & Cammarata, A. 1990. Farmasi Fisika, Dasar- dasar Kimia Fisik dalam Ilmu Farmasetik. Jilid 1. Edisi II. Diterjemahkan oleh Yoshita. Universitas Indonesia Jakarta.
Martindale, 1982, The Extra Pharmacopeia 28th ed, London : The Pharmaceutical Press.
Neha, Preeti, C., Atin, K., Rajan, P., Kumar, M. R., Santanu, M., Pardeep, K., Munsab, A., & Shamim, A. 2012. Approaches to improve the solubility and bioavailability of poorly soluble drugs and different parameter to screen them, Int. J Pharm Scie, 1(4), 171-182.
Reimer, L. 1998. Scanning electron microscopy : physics of image
formation and microanalysis (Edisi 2). London : Springer.
Rowe, R. C., Sheskey, P. J., and Weller, P. J., 2009, Handbook of Pharmaceutical Excipients Sixth Edition, London : Pharmaceutical Press.
Shargel, L. & Yu, A. B. C. 1988. Biofarmasetika dan farmakokinetika terapan (Edisi 2), diterjemahkan oleh Fasich dan Siti Sjamsiah. Surabaya: Airlangga University Press.
Shavi, GV., Kumar, AR., Usha YN., Armugam, K., Ranjan, OP., Ginjupally, K & Udupa, N 2010, Enhanced dissolution and biovaibility of gliclazide using solid dispersion techniques, Int. J. Drug Deliv, vol 2, pp 49-57.
Silverstein, R.M., Bassler, G.C., Morrill, T.C., (1981). Spectrometric Identification of Organic Compounds, 4th ed., New York: John Wiley & Sons, hal. 108-120, 166-170.
Sweetman, S.C. (Ed). 2009. Martindale, The Complete Drug Reference (36th Ed). London: The Pharmaceutical Press.
Szetjli, J.: Cyclodextrins ang their Inclusion Complexes, Akademiai Kiado, Budapest, 1982,24.
Wade, A. and Paul J,W. 1994. Handbook of Pharmaceutical Excipient, (2nd Ed).London: The Pharmaceutical Press.
West, A. R. 2001. Basic solid state chemistry (Edisi 2). Toronto : John Wiley & Sons.`