84
Vol.1 No.1 April 2011

Jurnal OTORITAS Vol.1

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Jurnal Ilmu Pemerintahan

Citation preview

Page 1: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

Page 2: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan diterbitkan Program Studi Ilmu Pemerintahan

Universitas Muhammadiyah Makassar. Jurnal OTORITAS berisi artikel tulisan ilmiah dalam

bentuk hasil-hasil penelitian dan non penelitian, kajian analisis, aplikasi teori dan review

tentang masalah-masalah publik, kebijakan publik dan pemerintahan, baik di lembaga

eksekutif, legislatif, yudikatif, maupun di masyarakat. Penerbitan Jurnal ini bertujuan untuk

meningkatkan kuantitas serta menyebarluaskan kajian ilmu pemerintahan sekaligus sebagai

wahana komunikasi diantara cendikiawan, praktisi, mahasiswa, dan pemerhati masalah-

masalah publik dan praktika ilmu pemerintahan.

Page 3: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

DEWAN REDAKSI

Penerbit :

Program Studi Ilmu Pemerintahan

Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik

Universitas Muhammadiyah Makassar

Penanggung Jawab :

Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan

Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik

Universitas Muhammadiyah Makassar

Redaktur Ahli :Dr. A. Syamsu Alam, M.Si

Dr. A. Mappamadeng Dewang, M.Si

Pemimpin Redaksi :Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si

Redaktur Pelaksana :Dr. Jaelan Usman, M.Si

Andi Nuraeni Aksa, SH, MHDrs. Alimuddin Said, M.Pd

Rudi Hardi, S.Sos, M.Si

Bidang Usaha :Ihyani Malik, S.Sos, M.Si

Design Grafis :Andi Maddukelleng, S.IP

Percetakan :Hardiansyah, S.Sos

Distribusi :Jusri Adi, S.IP

PercetakanCV. Adi Perkasa

Jl.Talasalapang Ruko BPH Makassar

Alamat Redaksi :Gedung F1 Lt.1

Pusat Perkantoran FISIPUnismuh Makassar

Jl. Sultan Alauddin No. 259Makassar 90221

Telp. 0411 – 866972 ext. 107Fax. 0411 – 865588

Email: [email protected]: [email protected]

Good Governance dan Formasi

Kebijakan Publik Neo-Liberal

(Andi Luhur Prianto).....................................................Hal. 01 - 10

Agenda Setting Pengelolaan

Sampah Pasar di Kota Makassar

(Muhlis Madani).............................................................Hal. 11 - 24

Implementasi Kebijakan Peningkatan

Kompetensi Pendidik melalui

Peningkatan Rasio Pendidik

(Nuryanti Mustari).........................................................Hal. 25 - 40

Implementasi Kebijakan Tata Kelola

Pemerintahan Daerah dengan Semangat

Efouria Demokrasi Lokal

(Jaelan Usman)................................................................Hal. 41 - 50

Persepsi Masyarakat terhadap

Kebijakan Politik di Kota Parepare

(Rudi Hardi)....................................................................Hal. 51 - 59

Kebijakan Publik dalam Konstelasi

Paradigma Pembangunan

Kesejahteraan Sosial

(Ronawaty Anasiru).......................................................Hal. 60 - 64

Manajemen Kebijakan dalam

Membangun Partisipasi Publik

(Lukman Hakim)............................................................Hal. 65 - 71

Kebijakan Sertifikasi Guru :

Tawaran Solusi Pendidikan Profesi Guru(Ihyani Malik)..................................................................Hal. 72 - 76

ISSN 2088 3706

Redaksi Jurnal OTORITAS menerima tulisan yang belum pernah

diterbitkan dalam media cetak lain. Syarat, format, dan tata tulis artikel

dapat dilihat pada Petunjuk Penulisan Jurnal Ilmu Pemerintahan

OTORITAS dilembaran belakang Jurnal ini. Artikel yang masuk

ditelaah penyunting ahli untuk dinilai kelayakannya. Penyunting

dapat memodifikasi artikel untuk keseragaman format, istilah dan

kepentingan teknis lainnya tanpa merubah substansi artikel.

Vol.1 No.1 April 2011

Page 4: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

A. PENDAHULUAN

Beberapa tahun terakhir ini, terminologi

good governance telah melanda seluruh lapisan

masyarakat di seluruh pelosok nusantara.

Slogan reformasi politik yang pernah sangat

populer dan berenergi di tahun 1998-1999,

ternyata tidak berusia terlalu lama, dan

kemudian tidak banyak lagi digunakan.

Namun, wacana good governance bisa tetap

bertahan sekarang ini, dan seakan-akan

menjadi simbol dari masuknya Indonesia

dalam standar kehidupan global. Masyarakat

desa yang tidak berbahasa Inggris pun bisa

fasih untuk melafalkan good governance.

Dengan mudah kita menyaksikan atau

mendengar dari dekat bahasa santun nan elok

‘good governance’, tetapi dengan sangat

gampang pula di sekitar kita terlihat centang

perenang terjadi korupsi sistematik, legalisasi

ABSTRAK

Sejak kurun waktu beberapa tahun terakhir, diskursus good governance telah

menjajah wacana publik dalam reformasi dan demokratisasi di Indonesia.

Tulisan ini bermaksud mendekonstruksi diskursus good governance itu

sendiri, apa sesungguhnya yang keliru atau bahkan mungkin apa yang latah

diucapkan soal good governance. Tulisan ini berusaha untuk menunjukkan

masuknya gagasan neo-liberal dalam imajinasi perubahan politik, ekonomi dan

sosial yang digelindingkan di masa-masa akhir kepemimpinan Soeharto di awal

1990-an. Sebagaimana akan ditunjukkan dalam tulisan ini, gerakan yang berlabel

governance ini justru semakin menjauh dari semangat governance yang sebenarnya.

Secara singkat, gerakan good governance di Indonesia justru melenceng dari

semangat governance yang mengedepankan akomodasi, kooperasi dan sinegi

dalam kesetaraan antar pelaku. Hal ini membawa proses marginalisasi kebijakan

ekonomi, sosial, kultural dan juga politik yang sejalan dengan nilai-nilai neo-liberal.

Kata kunci : good governance, kebijakan publik dan neo liberal

GOOD GOVERNANCE DAN

FORMASI KEBIJAKAN PUBLIK

NEO-LIBERALAndi Luhur Prianto

1

Page 5: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

suap antar lembaga kekuasaan, pelanggaran

hak asasi manusia dan kebijakan imperial

lainnya. Sepertinya, beda tipis antara apa yang

disebut dengan ’good’ (baik) dengan ’bad’

(buruk) atau ‘poor’ (miskin) dalam tata kelola

pemerintahan, karena keduanya berjalan

seiring bak lintasan rel kereta yang didisain

kuat menancap dengan ‘bantalan’ teori dan

mistifikasi kekuasaan, yang keluar masuk

stasiun mengangkut (baca: memperdagangkan)

penumpang sebanyak-banyaknya. Persis

seperti ‘good governance’ yang diinjeksikan

dari negara satu ke negara lain yang menebarkan

pengaruh tentang kebenaran absolut dalam

pengelolaan administrasi dan manajemen

publik (Wiratraman, 2008).

Dalam konteks Indonesia yang bergeliat

dengan tuntutan reformasi, good governance

tampil sebagai model transplantatif baru yang

diyakini mampu mengobati birokrasi politik

yang dinilai sarat korupsi, suap, dan

penyalahgunaan kekuasan, termasuk berbagai

pelanggaran hak-hak asasi manusia. Aparat

birokrasi negara, dari Presiden di pucuk

pimpinan negara hingga pemerintahan paling

bawah, seragam mendendangkan good

governance. Di level aktor-aktor non-negara

pun tidak kalah, agenda organisasi non-

pemerintah pun bicara banyak soal good

governance, dan menjadikannya program kerja

yang signifikan pada pasca 1998. Tidak begitu

mengherankan program-program antikorupsi,

pengawasan terhadap pemerintah maupun

otonomi daerah, pengawasan peradilan, dan

lain sebagainya. Begitupun para akademisi,

lembaga ataupun negara donor, dan aktor-aktor

lainnya berbincang hal yang sama soal

pentingnya good governance.

Uniknya, lebih dari satu dekade reformasi

berjalan sejak 1998, korupsi bukannya

berkurang melainkan semakin menggurita.

Birokrasi publik masih belum banyak berubah,

dari mentalitas pelayanan yang buruk dan

inefisien, praktek suap menyuap masih subur,

dan berbagai pelanggaran hak-hak asasi

manusia masih banyak terjadi. Intinya, negara

yang korup masih belum bisa teratasi dengan

good governance.

Tulisan berikut hendak mendekonstruksi

diskursus good governance itu sendiri, apa

sesungguhnya yang keliru atau bahkan

mungkin apa yang latah diucapkan soal good

governance. Tulisan ini berusaha untuk

menunjukkan masuknya gagasan neo-liberal

dalam imajinasi perubahan politik, ekonomi

dan sosial yang digelindingkan di masa-masa

akhir kepemimpinan Suharto di awal 1990-an.

Sebagaimana akan ditunjukkan dalam tulisan

ini, gerakan yang berlabel governance ini justru

semakin menjauh dari semangat governance

yang sebenarnya. Secara singkat, gerakan good

governance di Indonesia justru melenceng dari

semangat governance yang mengedepankan

akomodasi, kooperasi dan sinergi dalam

kesetaraan antar pelaku. Hal ini membawa

proses marginalisasi ekonomi, sosial, kultural

dan juga politik yang berkepanjangan. Oleh

karena itu, di akhir tulisan ini berusaha

dilontarkan gagasan untuk mengembangkan

pola governance yang lebih demokratis dan

berkeadilan.

B. GOOD GOVERNANCE : LATAR BELAKANG

& SEJARAH PERKEMBANGAN

Sejak akhir tahun 1980-an, istilah

governance mulai digunakan untuk pengertian

yang berbeda. Tatkala istilah governance

dipopulerkan, perubahan penggunaan istilah

dari government ke governance lebih

dimaksudkan untuk menunjukkan perlunya

gelombang baru reformasi pemerintahan.

Istilah government reform, democracy dan

sejenisnya, dianggap telah mengalami inflasi

dan tidak mampu menarik perhatian untuk

menggerakkan semangat reform. Oleh karena

itu, diperlukan kemasan baru baru government

reform kali ini adalah berbeda dengan reform

yang ada sebelumnya. Menurut Rhodes

(Pratikno, 2005) Penggunaan istilah governance

digunakan untuk menegaskan perlunya arah

dan semangat baru reformasi pemerintahan.

Istilah governance telah digunakan untuk

menegaskan signifikansi perlunya perubahan

proses, metode dan capaian kepemerintahan.

Penggunaan istilah governance sebagai

konsep yang berbeda dengan government,

mulai dipopulerkan secara efektif oleh Bank

Dunia sejak tahun 1989. Dalam laporannya

yang sangat terkenal yang berjudul “Sub-

Good Governance dan Formasi Kebijakan Publik Neo-Liberal - ANDI LUHUR PRIANTO 2

Page 6: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

Saharan Africa: From Crisis to Sustainable

Growth”. Dalam laporan ini, Bank Dunia (1989)

mendefinisikan governance sebagai “exercise of

political power to manage nation”. Selanjutnya,

laporan ini menekankan bahwa legitimasi

politik dan konsensus merupakan prasyarat

bagi pembangunan berkelanjutan. Aktor negara

(pemerintah), bisnis dan civil society harus

bersinergi membangun konsensus, dan peran

negara tidak lagi bersifat regulatif, tetapi hanya

sebatas fasilitatif. Oleh karena itu, Abrahamsen

(Wiratraman, 2007) legitimasi politik dan

konsensus yang menjadi pilar utama bagi Good

Governance versi Bank Dunia ini hanya bisa

dibangun dengan melibatkan aktor non-negara

yang seluas-luasnya dan melimitasi keterlibatan

negara (pemerintah).

Dengan merujuk pada kasus Afrika,

argumen di seluruh laporan ini menekankan

pemerintah adalah sumber kegagalan

pembangunan. Oleh karena itu, untuk

membangun kepemerintahan yang baik, maka

pemerintah harus dikurangi (less government).

Pemerintahan yang besar (big government)

akan menjadi sumber dari ke-pemerintahan

yang buruk (bad governance). Kepemerintahan

yang buruk ini, dalam operasi-onalisasi Bank

Dunia (Weiss 2000: 801) adalah pemerintahan

yang tidak representatif serta sistem non-pasar

yang tidak efisien, yang dalam prakteknya

menjadi sumber kegagalan pemba-ngunan di

Afrika (Pratikno, 2005).

Sejak saat itulah awal mula gelombang

penyuntikan dalam upaya memberantas

‘penyakit’ di dunia ketiga dilakukan, dengan

cara mewajibkan sejumlah persyaratan-

persyaratan dari Bank Dunia (yang kemudian

diikuti oleh lembaga dan negara donor lainnya).

Krisis di Afrika telah membawa pesan yang jelas

dalam memperkenalkan sebuah konsep baru

untuk melawan apa yang diidentifikasi Bank

Dunia sebagai sebuah ‘crisis of governance’ atau

‘bad governance’ (World Bank 1992). Tentu,

dalam menyuntikkan ide-ide governance

semacam itu, telah diusung pula diskursus

sebagai “pemanis” agar bisa diterima dan

terlegitimasi oleh kekuasaan diktatorial yang

memang banyak berkuasa saat itu. Diskursus

“pemanis” itu adalah promosi demokrasi yang

memperkuat good governance baik sebagai

tujuan maupun sebuah persyaratan kerjasama

pembangunan. Wacana yang diinisiasi oleh

Bank Dunia ini terus menggelinding, yang

kemudian membuat good governance menjadi

slogan yang populer, termasuk di Indonesia. Ide

utama yang melihat pemerintah sebagai

sumber masalah daripada sebagai solusi ini

terus merambah, dan melahirkan pendefinisian

governance yang lebih menekankan pada peran

aktor-aktor di luar pemerintah (Wiratraman,

2007).

C. TINJAUAN KONSEP GOOD GOVERNANCE

Konsep governance menurut Stoker

(Kurniawan, 2006) pengembangan dari gaya

memerintah dimana batas-batas antara sektor

publik dan sektor privat menjadi kabur.

Pengaburan batas-batas ini sejalan dengan

kebutuhan Negara-negara modern untuk lebih

melibatkan mekanisme politik dan pengakuan

akan pentingnya isu-isu yang menyangkut

empati dan persanaan dari publik untuk

terlibat, sehingga memberikan kesempatan

untuk mobilisasi sosial dan politik. Pemerintah

akan memilki peran yang penting dalam

menciptakan lingkungan politik pemerintahan

yang kondusif, sektor swasta menciptakan

pekerjaan dan pendapatan, sedangkan

masyarakat berperan positif dalam interaksi

sosial, ekonomi dan politik (Rakhmat, 2009).

Dalam perspektif Bank Dunia (Wiratraman,

2008), governance diartikan sebagai hal

kekuasaan yang ditujukan dalam manajemen

sumberdaya sosial dan ekonomi negara untuk

pembangunan. Pengalaman Afrika pasca krisis

utang dan pasca perang dingin telah menjadi

latar belakang dan iklim yang melukiskan

desakan kekuatan pasar bebas dan demokrasi

liberal. Good governance dalam konteks

tersebut adalah imposisi politik hukum yang

dikendalikan negara-negara industrial dan agen

internasional (lembaga maupun Negara donor)

dalam membentuk ketatapemerintahan yang

berselerakan pasar (Stokke 1995; Gathii 1998).

Inilah good governance yang lahir dari rahim

agenda besar globalisasi yang dikonstruksi

ideologi neo-liberal (Wiratraman, 2008).

Untuk menunjukkan perbedaan yang

cukup tajam dengan definisi di atas, Tokyo

Institute of Technology menegaskan bahwa

Good Governance dan Formasi Kebijakan Publik Neo-Liberal - ANDI LUHUR PRIANTO 3

Page 7: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

“[t]he concept of governance refers to the set of

values, norms, processes and institutions by

which society manages its development and

resolves conflict, formally and informally.”

(www.soc.titech.ac.jp). Dalam definisi ini,

pengertian governance justru ditekankan pada

perilaku dan kapasitas masyarakat untuk

mengelola kepentingan bersama, termasuk

kapasitas dalam memanfaatkan pemerintah

dalam penyelesaian permasalahan-

permasalahan publik (Pratikno, 2005).

Negara-negara besar yang tergabung dalam

OECD mendefinisikan governance sebagai “the

use of political authority and exercise of control

in a society in relation to the management of its

resources for social and economic development”.

Lebih spesifik, pemerintah Inggris, dalam hal

ini ODA, menjelaskan karakteristik good

government mencakup legitimasi, akuntabilitas,

kompetensi, penghormatan terhadap hukum

dan hak-hak asasi manusia. Bank Dunia

mengemukakan karakteristik good governance

sebagai: masyarakat sipil yang kuat dan

partisipatoris; terbuka; pembuatan kebijakan

yang dapat diprediksi; eksekutif yang

bertanggungjawab; birokrasi yang profesional;

dan aturan hukum yang jelas. Sementara itu, The

Commission on Global Governance mengartikan

governance sebagai “the sum of the many ways

individuals and institutions, public and private,

manage their common affairs”. Dalam bahasa

komisi ini, Weiss (Pratikno, 2005) governance

merupakan proses yang berkelanjutan melalui

mana perbedaan kepentingan diakomodasi dan

diwujudkan dalam praktek.

Baik sebagai sound development

management maupun sebagai democratic

politics, reformasi ke arah good governance

menekankan pada perlunya pengecilan peran

pemerintah. Sebagaimana didefinisikan oleh

Rhodes (1996), good governance dimaknai

sebagai negara yang minimal (minimal state).

Pengurangan peran pemerintah ini menuntut

peran aktor di luar pemerintah yang lebih besar,

antara lain Civil Society Organization, dan

terutama pelaku pasar (market).

Melihat rumusan-rumusan governance di

atas, kata kunci dalam konsep governance

adalah konsensus melalui mana perbedaan

kepentingan bisa diakomodasikan, dan sinergi

bisa dibangun. Selain mengharapkan

bekerjanya institusi negara secara baik,

governance juga merujuk pada penguatan

institusi-institusi pasar dan civil society untuk

mengimbangi dominasi negara yang

sebelumnya menjadi sumber kegagalan

pembangunan. Pertanyaannya kemudian, apa

yang perlu dipermasalahkan dengan

governance? Apa kaitannya denga neo-

liberalisme dan impilkasi apa yang dilahirkan

pada praktek administrasi dan mana-jemen

publik?. Oleh karena itu, perdebatan tentang

konsep governance dan good governance perlu

didiskusikan pada level aplikasinya di dunia

ketiga, khususnya diIndonesia, dan kemudian

refleksi teoritik yang bisa dibangun dari situ.

D.GOOD GOVERNANCE & NEOLIBERALISME

Kritik terhadap good governance bukanlah

hal yang baru, karena banyak studi atau riset

yang telah dilakukan untuk membongkar

wacana ini dalam berbagai pendekatan, baik

itu pendekatan politik, ekonomi, sejarah,

hukum, sosiologi internasional, hubungan

internasional dan pendekatan disiplin ilmu

lainnya (Abrahamsen 2000; Bello 2002, 2005;

Bendana 2004; George 1995; Parasuraman, et.

al. 2004; Pieterse 2004; Quadir et al. 2001;

Robinson 2004; Selznick 1969; Gathii 1998;

Hosen 2003; Wiratraman 2007, 2008).

Bank Dunia merupakan pencetus gagasan

yang memperkenalkannya sebagai ‘program

pengelolaan sektor publik’ (public sector

management program), dalam rangka

penciptaan ketatapemerintahan yang baik

dalam kerangka persyaratan bantuan

pembangunan (Pratikno, 2005). Good

governance dalam konteks ini merupakan

“suara pembangunan”. Sebagai “suara

pembangunan”, sesungguhnya ia lebih

menampakkan pendisiplinan demokrasi atau

model ketatapemerintahan tertentu. Krisis di

Afrika telah membawa pesan demikian jelas

dalam mencetuskan suatu konsep baru

mengenai ‘governance’ untuk menentang apa

yang disebut Bank Dunia sebagai suatu ‘crisis

of governance’ atau ‘bad governance’ (World

Bank 1992). Pengalaman Afrika pasca krisis

utang dan perang dingin telah menggambarkan

Good Governance dan Formasi Kebijakan Publik Neo-Liberal - ANDI LUHUR PRIANTO 4

Page 8: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

latar dari suatu iklim umum dalam menyokong

pasar bebas dan demokrasi liberal, dan hal ini

telah secara dahsyat menunjukkan betapa

good governance sebagai pemaksaan politik

hukum oleh negara industrialisasi maju dan

agen internasional (termasuk lembaga

maupun negara donor) dalam membentuk

ketatapemerintahan pasar (Abrahamsen

2000; Stokke 1995; Gathii 1998).

Dalam konteks Asia, proyek-proyek good

governance sesungguhnya telah lama di

perkenalkan ke sejumlah negara, utamanya ke

negara-negara yang memiliki ketergantungan

atas bantuan hutang luar negeri. Proyek

tersebut sama sekali tidak mempedulikan

rezim yang berkuasa adalah rezim yang

koruptif dan diktatorial. Di Indonesia, pada

awal tahun 1990-an sudah mulai diperkenalkan

model ketatapemerintahan yang ramah

terhadap kepentingan pasar, melalui skenario

program penyesuaian struktural. Meski-pun

demikian, saat Soeharto masih berkuasa,

proyek-proyek yang dikembangkan di

Indonesia praktis gagal dan tidak bisa

dipertanggung-jawabkan. Bahkan korupsi

yang dilakukan atas bantuan hutang luar

negeri tersebut diketahui Bank Dunia, namun

Bank Dunia melakukan pembiaran atas

hutang-hutang yang dikorupsi tersebut. Inilah

yang disebut ‘criminal debt’ (hutang kriminal),

yang ironisnya harus dibayar oleh rakyat dan

dibebankan pada generasi bangsa pasca

Soeharto (Winters 1999; 2002).

Jadi apa yang disebut sebagai ‘bantuan’

oleh Bank Dunia, sebenarnya merupakan

proses sistematik penghancuran yang tidak

hanya ditujukan pada rakyat saat rezim

Soeharto berkuasa, melainkan pula ongkos

‘pelanggengan kekuasaan diktator’ yang

memiliki konsekuensi panjang terhadap jutaan

rakyat Indonesia di masa-masa berikutnya.

Dalam situasi demikian, terlihatlah dengan jelas

bahwa ‘good governance’ bersahabat dengan

mekanisme-mekanisme siluman yang tidak

berkepentingan atas demokratisasi dan hak

asasi manusia.

Tekanan Bank Dunia dalam urusan

pembaruan ketatapemerintahan kian menguat

disuntikkan setelah terjadinya krisis finansial

di Asia di paruh akhir 1990an. Praktek dan

justifikasi Bank Dunia melalui diagnosa antara

ketatapemerintahan yang ‘buruk dan baik’

menjadi wacana utama dalam mempengaruhi

faktor-faktor kegagalan dalam konteks krisis

tersebut, dan ini persis seperti apa yang telah

dilakukan sebelumnya di Afrika pada 1980-an.

Seiring bersama dengan gerakan reformasi

yang dilakukan oleh mahasiswa tahun 1998,

seolah proponen neo-liberal diberi ‘pintu

masuk’ untuk kembali menanamkan proyek-

proyeknya (juga melalui utang) kepada

pemerintah. Ratusan juta dolar dikucurkan

untuk pemerintah dalam membiayai

pembaruan kebijakan publik dan institusi

politik, hukum dan ekonomi, sehingga tak

terelakkan bahwa good governance menjadi

arus utama pembaruan birokrasi dan hukum

sebagai penopang proyek ketatapemerintahan

tersebut.

Desentralisasi yang terjadi di awal

reformasi telah memuluskan dan menyuburkan

wacana good governance, karena ia menjadi

sesuatu yang seksi, segar, populer, dan

diucapkan secara berulangkali baik oleh

pejabat tinggi hingga level yang paling rendah

di daerah. Tak terkecuali, agenda-agenda

gerakan menjadi ikut pula termoderasi dan

mempercayai good governance sebagai obat

mujarab bagi tatanan birokrasi politik-ekonomi

Indonesia.

Akademisi dan organisasi non-pemerintah

pun latah mengucapkan wacana tersebut

sebagai ikon baru yang menemani

demokratisasi. Sejak reformasi bergulir, telah

lahir banyak pusat studi maupun proyek-

proyek good governance yang dipesan melalui

perguruan tinggi, dari mulai isu yang lekat

dengan pembaruan hukum, pembaruan

peradilan, desentralisasi, penganggaran,

hingga soal legal drafting. Begitu juga

organisasi non-pemerintah yang secara kuat

pula mentransmisikan gagasan good

governance melalui isu yang tidak jauh

berbeda.

Mengapa transmisi wacana good

governance tersebut demikian kuat diusung oleh

Bank Dunia dan kemudian ditransplantasikan

dengan rapi oleh agen-agen negara maupun

non-negara? Kita bisa mulai membedahnya

dari sisi konseptual, dan lalu dilanjutkan

Good Governance dan Formasi Kebijakan Publik Neo-Liberal - ANDI LUHUR PRIANTO 5

Page 9: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

dengan memetakan bagaimana kerangka

konseptual tersebut menjadi sangat dominan

dipaksakan ke negara-negara selatan,

termasuk di Indonesia.

Dalam laporannya tahun 1989, Bank Dunia

(Wiratraman, 2007) telah mengekspresikan

gagasan “Upaya untuk menciptakan suatu

kemampuan lingkungan dan untuk membangun

kapasitas-kapasitas akan dibuang bila konteks

politik tidak mendukung. Pada akhirnya,

pemerintahan yang baik memerlukan

pembaharuan politik. Ini berarti suatu tindakan

bersama melawan korupsi dari tingkat paling

tinggi hingga paling rendah. Hal ini dapat

dilakukan dengan menata suatu contoh baik,

dengan memperkuat pertanggung-jawaban,

dengan mendukung debat publik, dengan

memelihara suatu pers bebas. Ini juga berarti

membantu perkembangan akar rumput dan

orga-nisasi non-pemerintah seperti serikat

petani, perkumpulan-perkumpulan, dan

kelompok-kelompok perempuan”.

Dengan langgam bahasa yang hampir

sama, Bank Dunia telah menyatakan pula, “Good

governance dilambangkan dengan dapat

diperkirakan (predictable), terbuka (open) dan

pembuatan kebijakan yang tercerahkan

(enlightened policy-making), suatu birokrasi

diilhami dengan ber-tindak etos professional

dalam pemajuan fasilitas publik, rule of law,

proses-proses transparan, dan masyarakat sipil

yang kuat berpartisipasi dalam kepentingan

publik. Ketatapemerintahan yang miskin (poor

governance) di sisi lain dikarakteristikan

dengan pembuatan kebijakan yang sewenang-

wenang, birokrasi yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan, sistem perundangan

yang tidak adil dan tidak bisa ditegakkan,

penyalahgunaan kekuasaan eksekutif, suatu

masyarakat sipil yang tidak bisa menikmatik

kehidupan publiknya dan korupsi yang meluas.”

(World Bank 1994: vii).

Dalam mengkampayekan good governance,

Bank Dunia telah memprogramkan suatu program

pembelajaran dan telah memperkenalkan

konsep ketatapemerintahan. Good governance

merupakan suatu manual yang didefinisikan

sebagai implementasi efektif kebijakan dan

provisi pelayanan yang responsive terhadap

kebutuhan-kebutuhan warganya. Good

governance melekat pada kualitas, seperti

akuntabilitas, responsif, transparan, dan

efisiensi. Ia mengasumsikan kemampuan

pemerintah untuk mengelola sosial, perdamaian,

jaminan hukum dan tatanan, mempromosikan

dan menciptakan kondisi-kondisi yang perlu

untuk pertumbuhan ekonomi dan mamastikan

suatu level minimum jaminan sosial (World Bank

2002). Definisi yang demikian sesuangguhnya

telah tetap dan secara kuat dipertahankan

untuk menyokong aturan main bahwa membuat

pasar bekerja secara efisien dan lebih

problematiknya, Bank Dunia mengoreksi

kegagalan pasar (Bank Dunia 1992).

Sejumlah dokumen tersebut memperlihatkan

bahwa pendekatan yang digunakan oleh Bank

Dunia, khususnya dalam menegaskan isu-isu

penting akuntabilitas, sesungguhnya ditujukan

dalam rangka mengupayakan pembaharuan

untuk stabilitas politik dan pembangunan

ekonomi yang diperlukan dalam proses

liberalisasi pasar. Konsep politik ekonomi

yang demikian sesungguhnya berfokus pada

model demokrasi liberal dan liberalisasi

ekonomi, dan good governance-nya pun

merupakan model neo-liberal, yakni ‘good

governance free market assistance’ (Wiratraman

2008).

Watak neo-liberalisme good governance

dapat dilihat dari sasaran-sasarannya yang

senantiasa berpusat pada efisiensi pengelolaan

sumberdaya dan menopang pasar bebas.

Elemen-elemen kuncinya adalah akuntabilitas,

rule of law, transparan, dan partisipasi. Sungguh,

elemen-elemen ini juga menjadi kebutuhan

masyarakat Indonesia di tengah eforia

reformasi, namun elemen kunci tersebut

sebenarnya menyimpan rencana besar untuk

melucuti peran-peran negara di sektor publik

dan menggantikannya dengan peran dominan

swasta atau privat. Urusan perlindungan hak-

hak asasi manusia bukanlah urusan yang

penting dalam skema good governance ini,

meski pun mandat tanggung jawab hak asasi

manusia bertumpu pada peran utama negara

good governance yang demikian hanya akan

menempatkan posisi pasar secara dominan,

dan urusan-urusan publik yang dimaksudkan

pun telah diseleksi (baca: dipangkas) berbasis

pada iklim liberalisasi pasar.

Good Governance dan Formasi Kebijakan Publik Neo-Liberal - ANDI LUHUR PRIANTO 6

Page 10: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

E. HEGEMONI GOOD GOVERNANCE DI

INDONESIA

Mengapa good governance tiba-tiba

muncul, lazim dan bertahan lama sebagai

model ketatapemerintahan di Indonesia yang

banyak dituturkan, diikuti dan diajarkan?

Mengapa secara cepat ‘pemerintahan yang

baik’ menjadi akrab dengan dunia birokrasi,

dunia usaha, dunia kampus dan pusat-pusat

studi (yang juga tumbuh subur bak jamur di

musim hujan), dunia aktivisme orga-nisasi

non-pemerintah (utamanya yang bergerak di

isu kebijakan publik dan antikorupsi), dan

yang paling aneh tapi nyata, hampir semua

lembaga-lembaga dana internasional dan

negara-negara donor serempak menggerojok

(baik utang maupun hibah) milyaran US

dollars untuk proyek good governance?

Padahal Bank Dunia sendiri sesung-guhnya

gagal melakukan good governance secara

internal, karena dipenuhi dengan korupsi

sistemik dan motif ekploitasi terhadap negara-

negara yang berutang kepadanya.

Pendapat mengatakan bahwa kemunculan

proyek-proyek good governance yang cukup

sukses adalah terkait dengan kesuksesan

model negara pembangunan (developmental

state model) diantara negara-negara

industrialisasi baru di Asia Timur dan Asia

Tenggara (Tshuma 1999; White 1987; Wade

1990). Pendapat lainnya mengatakan bahwa

ideologi neo-liberal telah melesat setelah

runtuhnya komunisme dan membangun suatu

suasana kondusif bagi kelahiran governance

sebagai sebuah isu pembangunan, dan karena

neo-liberalisme sebagai ideologi dominan

mencoba untuk mengkonstruksi ‘politically

lock-in neo-liberal reforms’ (Gill, 1997).

Kedua pendapat di atas relevan dengan

kemunculan good governance di Indonesia,

karena selain kebijakan pemerintah yang

berorientasikan pembangunan semasa Orde

Baru, dukungan Bank Dunia dan IMF dalam

mengguyurkan utang yang disertai

persyaratan-persyaratan khusus melengkapi

posisi Indonesia yang mengarah pada disain

liberalisasi pasar. Tetapi bila dilihat secara

lebih dalam, dengan menggunakan analisis

hegemoni, nampak bahwa good governance

bekerja dengan menggunakan rasionalitas dan

teknologi kekuasaan untuk menghasilkan

mesin yang halus dan efektif bagi upaya

liberalisasi pasar. Hukum sebagai

instrumentasi politik dipakai sebagai

legalisasi beroperasinya mesin kekuasaan

tersebut, sehingga jauh dari cerminan rasa

keadilan dan perlindungan terhadap kaum

proletar (Wiratraman, 2008).

Bank Dunia sendiri dalam mempromosikan

good governance di Indonesia melalui tiga pintu:

(i) CGI (Consultative Group on Indonesia); (ii)

Kemitraan untuk Pembaruan Tata Pemerintahan

(Partnership for Governance Reform); dan (iii)

Justice for the Poor. Dalam forum tahunan CGI,

Bank Dunia memimpin dan memiliki

kekuasaan untuk mengarahkan (mendikte)

kebijakan ekonomi (termasuk desakan

pembentukan peraturan perundang-

undangan). Ini bisa terjadi karena pemerintah

masih menerima kucuran utang sehingga

prasyarat utang tersebut harus dipenuhi

sebagai kompensasinya. Sedangkan Bank

Dunia pula bekerja secara dekat dengan UNDP

dan ADB sebagai sponsor dana utama untuk

Partnership for Governance Reform (World Bank

2003). Melalui forum kelompok multi-

stakeholder di Kemitraan ini, Bank Dunia telah

terlibat aktif dalam membuat kerangka kerja

hukum untuk pembangunan (legal framework

for development), seperti pembaruan peradilan,

pembaruan hukum, dan pembentukan lembaga

pemerintahan baru (World Bank 2003).

Pengaruh besar kemitraan ini adalah justru

peran hegemoninya sebagai lembaga dana

untuk proyek-proyek governance yang

dijalankan oleh tidak saja lembaga negara,

namun juga organisasi non-pemerintah.

Sedangkan Justice for the Poor adalah sebuah

institusi yang baru-baru saja dikreasi Bank

Dunia dalam mempromosikan pengurangan

kemiskinan di Indonesia, khususnya sebuah

strategi pemberdayaan untuk kaum miskin

melalui bantuan hukum.

Bagi Bank Dunia, program-program

pemberdayaan dan penyadaran hukum

merupakan hal penting dalam mewujudkan

kaum miskin atas akses keadilan. Dalam

urusan pemantauan korupsi, Bank Dunia

sendiri memilih menfokuskan lebih banyak

Good Governance dan Formasi Kebijakan Publik Neo-Liberal - ANDI LUHUR PRIANTO 7

Page 11: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

pada proyek-proyek yang didanainya sendiri

(World Bank, 1997), semacam kini PNPM

(Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat).

Kedua institusi terakhir menjadi kendaraan

Bank Dunia untuk ikut pula mempromosikan

hak-hak asasi manusia di Indonesia. Proyek

pembaruan ketatapemerintahan melalui good

governance cenderung untuk melayani

promosi konsensus pembaruan sosial dan

ekonomi, khususnya dengan mengaplikasikan

pemberdayaan teknokratik dan bahasa liberal

partisipasi. Di titik ini, diskursus dan arah

kecenderungan hak-hak asasi manusia lebih

menyesuaikan dengan liberalisasi pasar. Inilah

yang disebut ‘market friendly human rights

paradigm’ (paradigma hak-hak asasi manusia

yang ramah pasar) (Wiratraman, 2008).

Strategi Bank Dunia untuk mempertahankan

hegemoninya adalah dengan mereproduksi

pengetahuan soal rasionalitas good governance

sehingga memudahkan bekerjanya teknologi

kekuasaannya melalui berbagai pintu masuk

di level negara, non negara maupun kemitraan

keduanya. Realitasnya, wacana-wacana

ketatapemerintahan, pembaruan hukum dan

kebijakan publik lainnya dikonstruksi dengan

mengikutsertakan demokrasi, hak asasi

manusia, anti kemiskinan, antikorupsi, yang

kesemuanya terasa cocok dengan suasana

(perangkap) reformasi yang sudah dikendalikan

pendukung neo-liberal. Semakin lengkap

adalah teknologi kekuasaan modalnya yang

mampu memistifikasi ketidakseimbangan

kekuasaan dan menyedot perhatian arah

reformasi yang ‘good’, melalui program

pendanaan ke sejumlah institusi negara,

organisasi non-pemerintah, serta kampus-

kampus melalui pusat-pusat studi governance.

Godaan untuk mengakses dana proyek

governance tersebut terlampau besar,

sehingga tidak sedikit yang mengubah pula

rencana dan pola kerja organisasi penerima

dana tersebut. Donor-driven hegemony!

F. GOOD GOVERNANCE DAN PEMBARUAN

KEBIJAKAN PUBLIK

Selain dirumuskan dengan merujuk pada

mekanisme pasar yang dianggap paling

efisien dalam pengelolaan sumberdaya, good

governance juga dirumuskan sebagai pola

pemerintahan yang demokratis. Dalam bahasa

Bank Dunia (1989 & 1992), selain disebabkan

oleh porsi pemerintah yang terlalu besar,

kegagalan pembangunan juga diakibatkan

oleh pemerintahan yang tidak demokratis, dan

otoritas negara yang dipersonifikasi dalam diri

satu atau sedikit orang pemimpin. Oleh karena

itu, good governance juga mendorong

demokratisasi dengan cara memaksa negara

untuk berbagi kekuasaan dengan aktor-aktor di

luar negara.

Diakui memang, bahwa telah terjadi

banyak perubahan yang cukup banyak

termasuk lompatan-lompatan pembentukan

dan kerja kelembagaan negara yang kian

melengkapi percaturan politik kenegaraan

Indonesia. Proyek-proyek pembaruan tata

pemerintahan dilakukan secara serentak,

mulai dari upaya pembaruan hukum,

pembaruan standar kinerja, dan pembaruan

lembaga-lembaga negara lainnya.

Bagi Bank Dunia, pembaruan administrasi

dan manajemen sektor publik dilihat sebagai

faktor-faktor penting untuk memperkuat

pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.

Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan

sistem pasar bebas, salah satu elemen prinsip

good governance adalah ‘legal framework for

development’ (kerangka perundang-undangan

untuk pembangunan) (World Bank 1992).

Dalam kerangka perundangan yang demikian,

rule of law adalah konsep utama yang secara

instrumental dan substansial penting, karena

ia mengkonsentrasikan pada keadilan (justice),

kejujuran (fairness) dan kebebasan (liberty).

Bank Dunia menegaskan suatu sistem hukum

yang ‘fair’, yang kondusif untuk

menyeimbangkan pembangunan (World Bank

1992: 29-30). Ini sebabnya, tidak terlampau

mengejutkan, perspektif Bank Dunia dalam

good governance terkait utamanya dengan

kebutuhan-kebutuhan perundangan bagi

aktor-aktor komersial dalam pasar.

Dalam arena politik domestik, implikasi

pelaksanaan good governance juga sangat

jelas. Di satu sisi, good governance telah

terbukti mendobrak keangkuhan negara yang

selama ini menghegemoni masyarakat.

Personifikasi kekuasaan negara pada

Good Governance dan Formasi Kebijakan Publik Neo-Liberal - ANDI LUHUR PRIANTO 8

Page 12: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

sekelompok kecil elit, kebuntuan akses

masyarakat terhadap kebijakan publik, dan

lemahnya penegakan hak asasi manusia telah

bisa didobrak oleh gelombang good

governance. Namun, kekuasaan hegemonik

yang menindas rakyat tidak secara otomatis

lumpuh. Kekuasaan hegemonik hanya beralih

dari kontrol negara ke kontrol swasta (kapital),

yang oleh Korten (Pratikno, 2005) yang dalam

kasus Indonesia pasca krisis 1998-2002 adalah

perusahaan multinasional.

Implikasi dari hegemoni swasta bagi

masyarakat umum ini tidak kalah buruk

dibandingkan dengan implikasi hegemoni

negara. Walaupun terdapat banyak program

pengentasan kemiskinan, namun jumlah

penduduk di bawah garis kemiskinan tidak

mengalami pengurangan yang berarti, atau

bahkan memburuk di beberapa negara.

Penyakit busung lapar tetap dengan mudah

ditemukan tatkala praktek kepemerintahan

telah mulai menerapkan ciri-ciri good

governance, seperti partisipasi dan

transparansi. Lalu, apa makna good governance

bagi masyarakat marjinal yang tidak mampu

menjadi customer yang kuat di era liberalisasi

ekonomi ini? Di sinilah neo-liberalisme bekerja

rapi. Filho dan Johnston (Wiratraman, 2008)

mengingatkan bahwa di bawah neo-

liberalisme, pertumbuhan ekonomi telah

menurun, pengangguran meluas, ketidak-

sejajaran dalam maupun di antara negara-

negara kian memburuk menyeluruh di mana

saja, dan kaum marginal akan secara massif

tertindas dari ketidakstabilan ekonomi.

Dalam konteks Indonesia, tekanan desain

kebijakan publik neo-liberal sangat jelas

terlihat ketika upaya pembaruan hukum tidak

meletakkan arah perubahannya pada sistem

yang lebih berkeadilan bagi rakyat banyak,

melainkan lebih menuruti kepentingan atau

selera pasar dalam penciptaan iklim usaha.

Salam satunya yang paling menyakitkan bagi

buruh adalah pembentukan institusi peradilan

khusus bagi buruh melalui UU tentang

Penyelesaian Perselisihan Hubungan

Industrial (PPHI), Undang-Undang Badan

Hukum Pendidikan, UU Migas, UU Penanaman

Modal dll. Proyek pembaruan hukum yang

disponsori Bank Dunia, secara implementatif

tentu saja berdampak pada praktek

administrasi dan manajemen publik, yang oleh

Prasodjo (Kurniawan 2006) berupa

debirokratisasi organisasi internal,

modernisasi birokrasi, dan peningkatan

kapasitas aparat birokrasi.

Sektor publik di perhadapakan pada

seperangkat harapan baru dari masyarakat,

bahwa sektor publik atau pemerintah perlu

dikelola secara efisien (Rakhmat, 2009).

Kondisi ini tentu menjadi prasyarat untuk

meningkatkan kualitas pelayanan publik

disatu sisi dan pada sisi yang lain menjadi

ruang partisipasi masyarakat dalam kegiatan

publik (Kurniawan, 2006). Seluruh fenomena

ini merupakan implikasi proyek-proyek good

governance Bank Dunia, yang senantiasa

ditujukan pada pendisiplinan ketata-

pemerintahan yang berorientasikan pada

kesetiaan pada liberalisasi pasar. Mekanisme

pasar yang dikampanyekan dalam good

governance ternyata dimanipulasi menjadi

prosedur semu tanpa ada kapasitas negara

untuk mendisiplinkannya.

G. PENUTUP

Tidak semua persoalan yang digambarkan

di atas diakibatkan oleh kampanye good

governance yang ditekankan pada ‘sound

development management’ yang menjadi

“perangkap” agenda neo-liberal. Konsep dan ide

good governance disadari ataupun tidak telah

menjadi “narasi besar” reformasi birokrasi

publik di Indonesia. Namun, permasalahan

tersebut berkembang sebagai akibat dari

wacana dan praktek pembaruan kebijakan

publik di Indonesia yang tidak mengalami

kontekstualisasi secara memadai, gagasan

reformasi yang terfragmentasi, dan gagasan

reformasi yang tidak tumbuh dari pelaku-

pelaku di lapis bawah. Tulisan ini juga tidak

dimaksudkan untuk mengatakan bahwa tekanan

eksternal tidak penting dalam agenda reformasi

pemerintahan di Indonesia. Namun, agenda

reformasi yang yang terjebak pada perubahan

teknikalitas pemerintahan dan pada birokrasi

proyek akan mengakibatkan agenda kebijakan

publik tersebut kehilangan roh dan tujuan akhir

yang lebih bermakna bagi masyarakat.

Good Governance dan Formasi Kebijakan Publik Neo-Liberal - ANDI LUHUR PRIANTO 9

Page 13: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

Argumen para penganjur neo-liberal yang

menyatakan bahwa penjaminan hak-hak

politik individu dan proses demokratisasi akan

mendukung pengembangan kepemerintahan

yang baik tidaklah salah. Namun, paket ini

harus dipadukan dengan hak-hak sosial dan

ekonomi individu sebagai paket integratif

yang tidak terpisahkan. Penjaminan hak sosial

dan ekonomi ini tidak bisa diberlakukan

sebagai produk dari good governance semata,

tetapi harus menjadi bagian dari proses

pengembangan kepemerintahan yang baik.

Oleh karena itu, sebagaimana digagas oleh

Mahbub ul Haq (Pratikno, 2005), pengem-

bangan kepemerintahan yang baik perlu

dipadukan dengan konsep humane

governance yang mencakup “good political,

economic and civic governance”.

Gagasan ini perlu ditelusuri lebih jauh, dan

perlu dikontekstualisasikan dengan potensi

dan problema Indonesia kontemporer. Pada

saat yang sama, gagasan Denhart dan

Denhardt (2003) tentang The New Public

Service perlu untuk diperhitungkan sebagai

inisiatif awal. Pada intinya, mempertahankan

posisi individu sebagai citizen dan meminta

pemerintah untuk lebih bertanggung jawab

menjamin hak-hak sosial dan ekonomi adalah

sesuatu yang vital, selain hak-hak politik.

DAFTAR PUSTAKA

Birkland, Thomas A. 2005. An Introduction to

the Policiy Process: Theories, Concepts,

and Models of Public Policy making. (Ed.

2th) New York: M.E. Sharpe, Inc.

Dye, Thomas R. 2005. Understanding Public

Policy (ed. 7th).USA: Prentice Hall.

Grindle, Merilee S. 1997. Getting Good

Government: Capacity Building in the

Public Sectors of D e v e l o p i n g

Countries. Boston: Harvard

University Press.

Kurniawan, Teguh 2006. Pergeseran

Paradigma Adminsitrasi Publik :

Dari Perilaku Model Klasik dan NPM

ke Good Governance, Program Doktor

Ilmu Adminsitrasi Negara S e k o la h

Pascasarjana UGM : Komponen Tugas

Mata Kuliah Good Governance.

Putra, Fadillah (2009) Senjakala Good

Governance, Malang : Pustaka

Avveroes

Pratikno (2005) Good Governance dan

Governability, Jurnal Sosial Politik, Vol.

8 No. 3, Maret 2005 (231-248).

Rakhmat (2009) Teori Administrasi dan

Manajemen Publik, Jakarta : Pustaka

Arief.

Stoker, G., 1991. The Politics of Local

Government, (2nd Edition), London:

Mac Millan.

Wiratraman, RH Perdana (2007) Neo-

Liberalisme, Good Governance, dan

Hak Azasi Manusia, Jurnal JENTERA

XV : Januari-Maret 2007 (1-14).

Wiratraman, RH Perdana (2007) Good

Governance dan Mitos Ketatanegaraan

Neo-Liberal, Jurnal BERSATU : Mei

2008 (1-11).

*******

10Good Governance dan Formasi Kebijakan Publik Neo-Liberal - ANDI LUHUR PRIANTO

Page 14: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

Muhlis Madani

ABSTRAK

Awal munculnya isu pengelolaan sampah pasar ini dimulai dari adanya problem

kebersihan, keteraturan, kenyamanan, dan keamanan untuk berbelanja di

pasar tradisional, yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Adapun

problem isu di sini, masyarakat pengguna pasar tradisional mempunyai anggapan

adanya kejenuhan terhadap kinerja pemerintah daerah, di samping itu masyarakat

menginginkan adanya suatu perubahan yang dapat menyentuh aspek manajemen

dan teknis pengelolaan sampah pasar.

Pemerintah Kota Makassar mesti melakukan pembenahan serius terhadap

fasilitas persampahan, terutama pada kondisi pasar pasca-revitalisasi. Sistem dan

penyediaan fasilitas tersebut melibatkan partisipasi pedagang. Pendekatan secara

partisipatif dalam perencanaan, pengadaan dan pemeliharaan fasilitas akan

meningkatkan rasa memiliki di kalangan pedagang pasar. Untuk itulah penyusunan

agenda kebijakan pengelolaan sampah pasar penting untuk dilakukan.

Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang penataan Pasar Tradisional

perlu dipercepat pembahasan dan atau pemberlakuannya, terutama hal yang

berkaitan dengan sistem dan prosedur pengelolaan sampah pasar. Gagasan dan

kebijakan revitalisasi pasar tradisional diharapkan tidak hanya terfokus pada aspek

penataan spasial (keruangan), tetapi juga memperhatikan aspek sosial dan

pengelolaan lingkungan terutama aspek persampahan.

Kata Kunci : isu, agenda, agenda setting, sampah pasar

A. PENDAHULUAN

1) Latar Belakang.

Sampah pada umumnya dianggap sebagai

benda yang tidak berguna, kompleks seiring

dengan berkembangnya aktivitas ekonomik.

sehingga disikapi dengan kaidah not in my

backyard (NIMBY). Pada prinsipnya jumlah

sampah akan meningkat seiring dengan

meningkatnya aktivitas ekonomi. Selain

jumlahnya, jenis dan dampak dari sampah juga

semakin beragam, ketika dalam aktivitas

ekonomik tersebut terlibat teknologi-

AGENDA SETTING PENGELOLAAN

SAMPAH PASAR DI KOTA MAKASSAR

11

Page 15: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

teknologi baru. Misalnya, produksi bahan-

bahan transgenik akan menghasilkan sampah

transgeni, produksi bahan radioaktif akan

menghasilkan sampah radioaktif. Jadi,

permasalahan sampah akan cenderung

semakin kompleks seiring dengan

berkembangnya aktivitas ekonomik.

Pertambahan jumlah penduduk, perubahan

pola konsumsi, dan gaya hidup masyarakat

telah meningkatkan jumlah, jenis, dan

keberagaman karakteristik sampah.

Meningkatnya daya beli masyarakat terhadap

berbagai jenis bahan pokok dan hasil teknologi

serta meningkatnya usaha atau kegiatan

penunjang pertumbuhan ekonomi suatu

daerah juga memberikan kontribusi yang besar

terhadap kuantitas dan kualitas sampah yang

dihasilkan. Meningkatnya volume sampah

memerlukan pengelolaan. Pengelolaan sampah

yang tidak mempergunakan metode dan teknik

pengelolaan sampah yang ramah lingkungan

selain akan dapat menimbulkan dampak

negatif terhadap kesehatan juga akan sangat

mengganggu kelestarian fungsi lingkungan baik

lingkungan pemukiman, hutan, persawahan,

sungai dan lautan.

Sebuah pendekatan pengelolaan sampah

yang konvensional, yang masih umum

dipraktikkan, adalah yang bersifat pasif,

instruksional dengan penekanan pada

pengolahan sampah diujung proses produksi

ekonomik (dikenal sebagai endof pipe

approach). Pengelolaan sampah dengan

pendekatan seperti ini tidak mendorong

terjadinya inovasi dalam aktivitas ekonomik

yang diperlukan untuk memasukkan nilai-nilai

lingkungan dan keberlanjutan pembangunan

ke dalam aktivitas tersebut. Pengelolaan

sampah yang bersifat instruktif (top-down)

juga kurang kondusif bagi terjadinya

pembelajaran masyarakat.

Berdasarkan Undang-Undang No. 18

Tahun 2008, sampah adalah sisa kegiatan

sehari-hari manusia dan/atau proses alam

yang berbentuk padat. Pengelolaan sampah

dimaksudkan adalah kegiatan yang sistematis,

menyeluruh, dan berkesinambungan yang

meliputi pengurangan dan penanganan

sampah. Berdasarkan sifat fisik dan kimianya

sampah dapat digolongkan menjadi: 1)

sampah ada yang mudah membusuk terdiri

atas sampah organik seperti sisa sayuran, sisa

daging, daun dan lain-lain; 2) sampah yang

tidak mudah membusuk seperti plastik, kertas,

karet, logam, sisa bahan bangunan dan lain-

lain; 3) sampah yang berupa debu/abu; dan

4) sampah yang berbahaya (B3) bagi

kesehatan, seperti sampah berasal dari industri

dan rumah sakit yang mengandung zat-zat

kimia dan agen penyakit yang berbahaya.

Pengelolaan sampah bertujuan untuk

meningkatkan kesehatan masyarakat dan

kualitas lingkungan serta menjadikan sampah

sebagai sumber daya. Dari sudut pandang

kesehatan lingkungan, pengelolaan sampah

dipandang baik jika sampah tersebut tidak

menjadi media berkembang biaknya bibit

penyakit serta sampah tersebut tidak menjadi

medium perantara menyebarluasnya suatu

penyakit. Syarat lainnya yang harus dipenuhi,

yaitu tidak mencemari udara, air dan tanah,

tidak menimbulkan bau (tidak mengganggu

nilai estetis), tidak menimbulkan kebakaran

dan yang lainnya.

Ketika diamati dari berbagai rujukan dan

pengalaman berbagai negara, permasalahan

sampah sebenarnya berjalan seiring dengan

kebudayaan masyarakat itu sendiri. Semakin

maju tingkat penguasaan teknologi, industri

dan kebudayaan suatu masyarakat, diduga

sampah yang ditimbulkan semakin meningkat

juga. Volume sampah yang besar dan

beranekaragam jenisnya jika tidak dikelola

dengan baik dan benar sangat berpotensi

menimbulkan berbagai permasalahan

lingkungan yang kompleks dan serius, antara

lain: 1) pencemaran air oleh “lindi” (leachate)

yang keluar dari tumpukan sampah dan

mengalir menuju badan perairan ataupun

meresap ke dalam tanah; 2) pencemaran udara

karena adanya gas metana (CH4), salah satu

jenis gas rumah kaca, yang keluar dari tempat

penimbunan akhir sampah akibat proses

penguraian bahan organik secara anaerobik;

3) sampah merupakan habitat bagi

berkembangnya bakteri patogen tertentu

seperti Salmonella typhosa, Entamoeba coli,

Escherichia coli, Vibrio cholera, Shigella

dysentriae, Entamoeba histolytica, dan lain-lain

yang dapat menimbulkan penyakit pada

Agenda Setting Pengelolaan Sampah Pasar di kota Makassar - Muhlis Madani 12

Page 16: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

manusia; 4) menurunkan nilai estetika

lingkungan; dan 5) mengurangi kenyamanan

lingkungan.

Sampah telah menjadi masalah yang besar,

bagi kota-kota besar di Indonesia seperti

Jakarta, Surabaya, termasuk Makassar.

Cakupan pelayanan pengelolaan persampahan

yang masih rendah khususnya di perkotaan

dapat berdampak pada meningkatnya wabah

penyakit menular seperti tipus, kolera,

muntaber, disentri, pes, leptospirus,

salmonelosis, demam gigitan tikus. Selain itu,

sampah yang dibuang ke kanal dan saluran

pembuangan berpotansi menimbulkan banjir

(Percik, Vol. 5 Tahun I/Agustus 2004).

Volume sampah di Makassar tahun 2004

tercatat 4.330 ton perhari, jumlah ini meningkat

cukup signifikan dibanding tahun 2003 sebesar

3.748 ton, dengan komposisi sampah organik

87,21%, kertas 4,42%, plastik 5,84% dan

selebihnya alumunium, kaca, kayu dan jenis

lainnya. Kapasitas limbah padat Makassar

untuk saat ini mencapai 1.860 m3/hari yang

dibuang ke TPA Tamangapa. Timbulan sampah

pasar mencapai 60,10 % atau 16,69 % dari total

timbulan sampah kota Makassar (STLHD,

2006). Sebagian besar sampah tersebut adalah

sampah organik yang berasal dari pedagang

sayur-mayur dan buah-buahan serta sisa-sisa

makanan, serta dari para pembeli dan

pengunjung yang membuang sampah

sembarangan. Hal ini diakibatkan bukan saja

karena pertambahan jumlah penduduk tetapi

juga karena meningkatnya timbulan sampah

per kapita yang disebabkan oleh perbaikan

tingkat ekonomi dan kesejahteraan.

Pasar sebagai suatu tempat perdagangan

merupakan sumber timbulan sampah dan

limbah cair dari kawasan komersial. Sebagai

sebuah pusat perdagangan, pasar selalu

berada di lokasi yang strategis, bahkan banyak

dijumpai letak pasar ada di pusat kota. Pasar

mempunyai potensi yang cukup besar untuk

menimbulkan sampah dan limbah cair.

Sementara lahan TPA merupakan

permasalahan tersendiri yang dihadapi suatu

kota besar. Untuk dapat mengelola sampah dan

limbah cair pasar dengan benar, maka awal

yang paling penting diketahui adalah

pemahaman terhadap kuantitas, wujud,

karakteristik dan potensi dari sampah dan

limbah cair yang akan dikelola.

Meningkatnya volume sampah yang

dihasilkan oleh masyarakat urban maupun dari

aktivitas pasar. Sementara itu, rendahnya

pengetahuan, kesadaran, dan partisipasi

pedagang dalam pengelolaan sampah menjadi

suatu permasalahan yang perlu mendapat

perhatian dalam pengelolaan lingkungan bersih

dan sehat. Kegiatan pengolahan sampah pasar

selama ini relatif belum melibatkan masyarakat

sebagai akibat dari kebijakan pemerintah

daerah yang bersifat top down. Salah satu

indikatornya adalah kebijakan tarif retribusi

kebersihan hanya ditentukan oleh aparatur

pemerintah daerah dan relatif belum

memperhatikan aspirasi masyarakat

menyangkut berapa sesungguhnya para

pedagang bersedia membayar untuk

mendukung kegiatan pengolahan sampah di

lingkungannya.

Awal munculnya isu tentang pengelolaan

sampah pasar terakit dengan meningkatnya

volume timbulan sampah pasar sebagai akibat

dari pola penanganan yang konvensional dari

Dinas Pengolaan Lingkungan Hidup dan

Kebersihan (DPLHK) Kota Makassar.

Permasalahan persampahan di beberapa

pasar tradisional besar seperti Pasar

Pabbaeng-baeng dan Pasar Terong, hanya

berkisar pada aspek teknis operasional yaitu

sistem pewadahan dan pengangkutan yang

tidak memadai, serta peran serta masyarakat

khususnya pedagang masih kurang dalam

penanganan sampah pasar. Kurangnya

kesadaran dan perhatian para pedagang

mengakibatkan mereka membuang sampah

sembarangan, sehingga mengotori kanal, di

sekitar tempat jualan pedagang, bahkan di

ruas jalan menuju pasar juga terlihat

tumpukan sampah. Hal ini menimbulkan

kesan kekumuhan, pencemaran bau dan

merusak wajah pasar itu sendiri serta

mengganggu kesehatan. Hal inilah yang

memicu para pemangku kepentingan seperti

Assosiasi Pedagang Pasar, partai politik, media

massa, LSM, dan kalangan perguruan tinggi

untuk melemparkan isu tentang penataan

pasar tradisional, terutama sekali pada aspek

pengelolaan sampah pasar.

Agenda Setting Pengelolaan Sampah Pasar di kota Makassar - Muhlis Madani 13

Page 17: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

Meluasnya isu penataan pasar tradisional

dari hasil interaksi antar kelompok

kepentingan, partai politik, media massa, dan

pemerintah daerah berimbas pada

pembahasan Rancangan Peraturan Daerah

(Ranperda) tentang Penataan Pasar

Tradisional oleh DPRD Kota Makassar. Isu

utama yang menjadi agenda kebijakan adalah

hal yang berkaitan dengan sistem dan

prosedur pengelolaan sampah pasar. Isu

kebijakan revitalisasi pasar tradisional

diharapkan tidak hanya terfokus pada aspek

penataan spasial (keruangan), tetapi juga

memperhatikan aspek sosial dan pengelolaan

lingkungan terutama aspek persampahan.

2) Perumusan Masalah

Permasalahan yang akan di bahas dalam

kajian ini adalah bagaimana proses

transformasi isu tentang kekumuhan,

timbulan sampah, dan kemacetan di pasar

tradisional dapat berkembang menjadi isu

agenda kebijakan pada Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah (DPRD) dan Pemerintah

Daerah menyangkut pengelolaan sampah

pasar di kota Makasar.

3) Tujuan Penelitian.

Tujuan kajian ini terkait dengan beberapa

hal, yakni: (1.) melakukan identifikasi terhadap

proses tranformasi isu publik menjadi isu

agenda kebijakan terkait dengan pengelolaan

sampah pasar di kota Makasar, (2.) melakukan

pemetaan konseptual yang akan memberikan

konstribusi dalam hal pengembangan studi

formulasi kebijakan publik khususnya

mengenai tahapan agenda setting.

B. KAJIAN TEORI

1) Konsep Isu dan Agenda

Secara konseptual, suatu masalah privat

sebelum masuk ke dalam agenda kebijakan,

masalah tersebut menjadi isu terlebih dahulu.

Isu ini akan menjadi embrio awal bagi

munculnya masalah-masalah publik dan bila

masalah tersebut mendapat perhatian yang

memadai, maka ia akan masuk ke dalam agenda

kebijakan. Sebuah isu atau permasalahan

dimulai dari adanya problem isu di tengah-

tengah masyarakat. Problem isu ini berawal

dari isu yang kecil dan lama-kelamaan

mendapat tanggapan dari masyarakat luas

(publik), sehingga isu menjadi sebuah

pembicaraan di tengah-tengah masyarakat

dan menjadi isu publik. Setelah menjadi isu

publik, maka tentunya isu ini akan diakomodir

oleh kelompok-kelompok kepentingan yang ada

untuk disampaikan kepada pembuat kebijakan

di daerah untuk menjadi pembahasan

bersama. Pembahasan yang terjadi antara

pembuat kebijakan (DPRD dan Pemda)

tentang isu yang disampaikan oleh kelompok-

kelompok kepentingan tadi yang menjadi isu

agenda kebijakan.

Issues diartikan oleh Cobb & Elder (1972)

sebagai problema publik yang saling

bertentangan (konflik) satu sama lain

(controversial public problems). Issues dapat

diartikan pula sebagai perbedaan-perbedaan

pendapat di masyarakat tentang persepsi dan

solusi (policy action) terhadap suatu masalah

publik. Issues kebijakan tidak hanya

mengandung ketidaksepakatan mengenai

arah tindakan yang aktual dan potensial, tetapi

juga mencerminkan pertentangan panda-ngan

mengenai sifat masalah itu sendiri.

Isu-isu yang beredar dalam masyarakat

akan bersaing satu dengan yang lain untuk

mendapatkan perhatian dari para elit politik,

sehingga isu yang mereka perjuangkan dapat

masuk ke agenda kebijakan. Oleh karena itu

kelompok-kelompok dalam masyarakat akan

menggunakan berbagai cara untuk

memperjuangkan suatu isu agar masuk ke agenda

kebijakan, seperti misalnya memobilisasi diri,

mencari dukungan kelompok-kelompok lain

maupun menggunakan media massa.

Menurut Cobb dan Elder, (1972 : 82),

sebuah isu akan tercipta melalui beberapa

cara, yaitu :

n Isu dibuat oleh partai yang merasa

melihat ketidakadilan atau bias

(penyelewengan) dalam distribusi

kekuasaan dan sumber daya.

n Penciptaan isu demi kepentingan dan

n keuntungan personal atau kelompok

tertentu.

n Isu tercipta akibat peristiwa yang tidak

terduga.

Agenda Setting Pengelolaan Sampah Pasar di kota Makassar - Muhlis Madani 14

Page 18: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

n Isu dibuat oleh “orang yang selalu ingin

perbaikan”.

Namun pembentukan isu tidak hanya

tergantung kepada satu pemicu saja. Harus

ada kaitan antara pemicu dan keprihatinan

atau problem yang kemudian ‘mengubah isu

menjadi item agenda. Agenda tersebut oleh

Cobb dan Elder dikarakteristikkan menjadi

dua tipe : sitematik dan institusional. Agenda

sitematis terdiri dari “ semua isu yang

umumnya dirasakan oleh anggota komunitas

politik sebagai isu yang pantas mendapat

perhatian dan dianggap sebagai persolan

didalam yurisdiksi yang sah dalam otoritas

pemerintah (Cobb dan Elder, 1972 : 85).

Agenda adalah istilah yang pada umumnya

digunakan untuk menggambarkan suatu isu

yang dinilai oleh publik perlu diambil suatu

tindakan. Kegiatan membuat masalah publik

(public problems) menjadi masalah kebijakan

(policy problems) sering disebut dengan

penyusunan agenda (agenda setting).

Dengan demikian, “policy agenda” akan

memuat masalah kebijakan yang perlu

direspons oleh sistem politik yang bersumber

dari lingkungan. Agenda sebagai suatu

kesepakatan umum, belum tentu tertulis

tentang adanya suatu masalah publik yang

perlu menjadi perhatian bersama dan

menuntut campur tangan pemerintah untuk

memecahkannya. Kepemimpinan politik

merupakan faktor yang penting dalam

penyusunan agenda. Para pemimpin politik

mungkin menanggapi, menyebarluaskannya

dan mengusulkan penyelesaian terhadap

masalah-masalah tersebut. Dalam kaitan ini,

Dalam kaitan ini, eksekutif daerah atau

Pemerintah Daerah maupun anggota-anggota

lembaga legislatif daerah (DPRD) mempunyai

peran utama dalam politik dan pemerintahan

untuk menyusun agenda publik.

2) Konsep Agenda Setting

Kebijakan publik adalah suatu upaya

yang diambil untuk memecahkan masalah-

masalah publik, maka penyusunan kebijakan

publik sudah seharusnya (senantiasa) dimulai

dari adanya agenda setting yang disusun

berdasarkan partisipasi publik. Ini berarti

keterlibatan publik dalam penyusunan agenda

menjadi sangat penting. Namun demikian cara

dan mekanisme penyusunan agenda bagi suatu

negara tentu sangat dipengaruhi oleh faktor

kondisi politiknya.

Agenda setting (penyusunan agenda) adalah

tahap awal dari suatu proses kebijakan publik.

Meskipun merupakan tahap awal, tetapi

kegiatan menyusun agenda adalah kegiatan

yang sulit karena meliputi pengenalan

masalah yang benar. Hal ini dikarenakan

pembuat kebijakan tidak selalu berhadapan

dengan masalah yang akan dipecahkannya

(melalui kebijakan yang akan diputuskannya).

Meskipun terkadang pembuat kebijakan

sudah menemukan “masalah”, tetapi belum

tentu “masalah” itulah yang paling urgen dan

dituntut oleh publik untuk dipecahkan. Apalagi

biasanya “masalah” yang muncul itu sangat

kompleks dan bervariasi, baik dari segi

materinya maupun dari segi asal muasalnya.

Konsepsi agenda yang lebih mendalam

ditulis oleh Layne D. Hoppe yang berjudul

“Agenda Setting Strategies: Pollution Policy”.

Menurut Hoppe dalam bukunya yang

diterbitkan pada tahun 1969 itu, “Agenda

adalah sebuah istilah tentang pola-pola

tindakan pemerintahan yang spesifik sifatnya,

terutama dalam tahapan awal perkembangan

suatu kebijakan. Agenda bisa diartikan

sebagai analisis tentang bagaimana suatu

problem dikembangkan, didefinisikan, dan

diformulasikannya cara-cara untuk

pemecahannya” (Cobb & Elder, 1972).

Roger W. Cobb dan Charles D. Elder (1972)

membagi agenda kedalam dua macam, yaitu;

Agenda Sistematis (Systemic Agenda), dan

Agenda Institusional (Institutional Agenda).

Agenda Sistematis adalah agenda yang

memuat semua isu yang secara umum

dipersepsikan oleh anggota masyarakat

politik sebagai masalah publik dan masalah-

masalah yang berhubungan dengan kekuasaan

pemerintah yang ada. Sedangkan Agenda

Institusional adalah serangkaian masalah yang

secara eksplisit diangkat oleh lembaga

(institusi) pengambil keputusan resmi untuk

dijadikan pertimbangan aktif dan serius

dalam mengambil keputusan.

Agenda setting dengan demikian disusun

berdasarkan perebutan dan perjuangan

Agenda Setting Pengelolaan Sampah Pasar di kota Makassar - Muhlis Madani 15

Page 19: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

kelompok-kelompok yang ada tersebut,

dimana pemerintah dikelilingi oleh pengaruh

kelompok-kelompok tersebut. Issues akan

mudah tampil atau masuk dalam agenda

sistemik menurut Cobb and Elder (1972) jika:

1. Isu itu memperoleh perhatian yang

luas atau setidaknya dapat menimbulkan

kesadaran masyarakat;

2. Adanya persepsi dan pandangan atau

pendapat publik yang luas bahwa

beberapa tindakan perlu dilakukan

untuk memecahkan masalah itu; dan

3. Adanya persepsi yang sama dari

masyarakat bahwa masalah itu

merupakan suatu kewajiban dan

tanggung jawab yang sah dari

beberapa unit pemerintahan untuk

memecahkannya.

Isu politik (political issues) yang telah

masuk ke dalam agenda pemerintah tadi

kemudian masuk ke dalam sistempolitik untuk

diproses (digodok) menjadi kebijakan publik.

Secara skematis kegiatan agenda setting dapat

digambarkan sebagai berikut.

Agenda institusional atau pemerintah

terdiri dari masalah-masalah yang mendapatkan

perhatian yang sungguh-sungguh dari pejabat

pemerintah. Karena terdapat bermacam-

macam pokok agenda yang membutuhkan

keputusan-keputusan kebijakan maka

terdapat pula banyak agenda lembaga. Pada

tingkat nasional misalnya, kita akan menda-

patkan agenda kepresidenan, agenda

administratif, agenda pengadilan dan lain

sebagainya. Agenda lembaga merupakan

agenda tindakan yang mempunyai sifat lebih

khusus dan lebih konkrit bila dibandingkan

dengan agenda sistemik.

3) Konsep Pengelolaan Sampah Pasar

Berdasarkan Undang-Undang No. 18

Tahun 2008, sampah adalah sisa kegiatan

sehari-hari manusia dan/atau proses alam

yang berbentuk padat. Pengelolaan sampah

dimaksudkan adalah kegiatan yang sistematis,

menyeluruh, dan berkesinambungan yang

meliputi pengurangan dan penanganan

sampah. Berdasarkan sifat fisik dan kimianya

sampah dapat digolongkan menjadi : 1)

sampah ada yang mudah membusuk terdiri

atas sampah organik seperti sisa sayuran, sisa

daging, daun dan lain-lain; 2) sampah yang

tidak mudah membusuk seperti plastik, kertas,

karet, logam, sisa bahan bangunan dan lain-

lain; 3) sampah yang berupa debu/abu; dan

4) sampah yang berbahaya (B3) bagi kesehatan,

seperti sampah berasal dari industri dan

rumah sakit yang mengandung zat-zat kimia

dan agen penyakit yang berbahaya.

Sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan

pada dalam Pasal 5 UU No.23 Th.1997 tentang

Pengelolan Lingkungan Hidup, bahwa

masyarakat berhak atas lingkungan hidup

yang baik dan sehat. Untuk mendapatkan hak

tersebut, pada Pasal 6 dinyatakan bahwa

masyarakat dan pengusaha berkewajiban

untuk berpartisipasi dalam memelihara

kelestarian fungsi lingkungan, mencegah dan

menaggulangi pencemaran dan kerusakan

lingkungan. Terkait dengan ketentuan

tersebut, dalam UU No. 18 Tahun 2008 secara

eksplisit juga dinyatakan, bahwa setiap orang

mempunyai hak dan kewajiban dalam

pengelolaan sampah.

Dalam hal pengelolaan sampah pasal 12

dinyatakan, setiap orang wajib mengurangi

dan menangani sampah dengan cara

berwawasan lingkungan. Masyarakat juga

dinyatakan berhak berpartisipasi dalam

Agenda Setting Pengelolaan Sampah Pasar di kota Makassar - Muhlis Madani 16

SUMBER : COBB & ELDER, 1972

No

I.

II.

III.

IV.

V.

Private

Problems

Public

Problems

Political

Issues

Systemic

Agenda

Institutional

Agenda

Akibat yang terbatas, atau hanya

menyangkut satu atau sejumlah kecil orang

yang terlibat secara langsung.

Public Problems: adalah masalah-masalah

yang mempunyai akibat lebih luas

termasuk akibat-akibat yang mengenai

orang-orang yang secara tidak langsung

terlibat.

Political issues; adalah perbedaan

pendapat masyarakat tentang solusi dalam

menangani masalah (policy action)

Systematic Agenda : isu dirasakan oleh

semua warga masyarakat politik yang

patut mendapat perhatian publik dan isu

tersebut berada dalam yuridiksi

kewenangan pemerintah.

Institutional Agenda: serangkaian isu yang

secara tegas membutuhkan pertimbangan

pertimbangan yang aktif dan sering dari

pembuat keputusan yang sah

MasalahTataran

Agenda Setting Process

Page 20: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

proses pengambilan keputusan, pengelolaan

dan pengawasan di bidang pengelolaan

sampah. Cara partisipasi masyarakat dalam

pengelolaan sampah dapat dilakukan dengan

memperhatikan karakteristik dan tatanan

sosial budaya daerah masing-masing.

Berangkat dari ketentuan tersebut, tentu

menjadi kewajiban dan hak setiap orang baik

secara individu maupun secara kolektif,

demikian pula kelompok masyarakat

pengusaha dan komponen masyarakat lain

untuk berpartisipasi dalam pengelolaan

sampah dalam upaya untuk menciptakan

lingkungan perkotaan dan perdesaan yang

baik, bersih, dan sehat.

Menurut Suarna (2008), beberapa

pendekatan dan teknologi pengelolaan dan

pengolahan sampah yang telah dilaksanakan

antara lain adalah:

n Teknologi Komposting

n Teknologi Pembuatan Pupuk Kascing

n Pengolahan sampah menjadi listrik.

n Pengelolaan sampah mandiri

n Pengelolaan sampah berbasis masyarakat

Pola pengelolaan sampah berbasis

masyarakat sebaiknya dilakukan secara

sinergis (terpadu) dari berbagai elemen

(pemerintah, LSM, pengusaha/swasta,

sekolah, dan komponen lain yang terkait)

dengan menjadikan komunitas lokal sebagai

objek dan subjek pembangunan, khususnya

dalam pengelolaan sampah untuk menciptakan

lingkungan bersih, aman, sehat, asri, dan

lestari

C. METODE PENELITIAN

1) Tipe & Desain Penelitian

Tipe penelitian ini bersifat deskriptif yang

bersifat kualitatif dengan mempergunakan

data kualitatif maupun kuantitatif. Dalam

penelitian kualtitatif, prosedur sampling yang

terpenting adalah bagaimana menentukan

informan kunci (key informan) yang sarat

informasi sesuai dengan fokus penelitian

(Bungin, 2003: 53). Mengingat dasar

penelitian ini bersifat studi kasus, sehingga

metode pengumpulan data akan lebih banyak

diadakan dengan instrumen indepth

intervieuw dengan key informan yang terpilih.

2) Pendekatan dan Teknik Pengumpulan

Data

Pendekatan Pengambilan data dilakukan

dengan metode (Rural Rapid Appraisal) RRA

yaitu dengan memahami masyarakat secara

cepat. Pendekatan ini sangat kasar dalam

metode pengambilan data. Selain itu peneliti

juga melakukan pendekatan dengan metode

PRA (Participatory Rural Appraisal) yaitu

memahami masyarakat secara partisipatif.

Untuk mendapatkan data sekunder dan

data primer yang akurat maka penulis

menggunakan teknik pengumpulan data

sebagai berikut:

1. Studi Pustaka (Library Research)

Dalam studi pustaka ini penulis berusaha

menelaah berbagai bahan bacaan/pustaka

berupa buku-buku, majalah, surat kabar,

undang-undang, peraturan pemerintah serta

dokumen-dokumen lainnya yang mempunyai

relevansi dengan masalah yang akan diteliti.

2. Studi Lapangan (Field Research)

Studi lapangan ini dimaksudkan yaitu

penulis langsung melakukan penelitian pada

lokasi atau obyek yang telah ditentukan. Studi

lapangan ditempuh dengan cara sebagai berikut:

a. Wawancara, yaitu mengadakan tanya

jawab langsung kepada informan yang

memiliki informasi tentang aspek

pengelolaan sampah pasar.

a. Focussed Group Discussion (FGD), yaitu

teknik pengumpulan melalui disksusi

kelompok terarah pada beberapa key

informan.

3) Analisa Data

Data dalam penelitian ini merupakan data

primer yang diperoleh dilapang dari hasil

wawancara yang mendalam dan FGD dari

informan dan key informan. Data yang

terkumpul kemudian dianalisis secara

deskriptif sesuai dengan tujuan penelitian

melalui indikator-indikator yang telah

ditetapkan.

Agenda Setting Pengelolaan Sampah Pasar di kota Makassar - Muhlis Madani 17

Page 21: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

D. HASIL DAN PEMBAHASAN

1) Kondisi Eksisting Pengelolaan Sampah

Pasar Di Kota Makassar

Sampah masih menjadi persoalan yang

tiada hentinya. Kemampuan dan kapasitas

pemerintah yang rendah diperhadapkan

dengan kesadaran masyarakat yang masih

rendah telah menjadi kombinasi buruk

penanganan sampah di kota Makassar. Bahkan

sebagian besar masyarakat menganggap

bahwa masalah sampah tanggung jawab

pemerintah semata. Sebagian masyarakat juga

beranggapan sampah bukanlah masalah bila

tidak berada di sekitarnya.

Terkait dengan masalah pengelolaan

sampah dan upaya menciptakan lingkungan

kota yang lebih baik, akhirnya pada tanggal 15

Mei 2004 dicanangkanlah kampanye Makassar

bersih oleh Walikota Makassar, yang bertujuan

menggugah kesadaran masyarakat dan

menciptakan tanggung jawab bersama

terhadap permasalahan sampah di kota

Makassar (Status Lingkungan Hidup daerah

Kota Makassar, 2006). Selain itu, sejak tahun

2008 pemerintah kota Makassar juga

mencanangkan Program Makassar Grean and

Clean untuk menuju Makassar Bersih. Namun

upaya ini, tidak akan berhasil sepenuhnya

tanpa adanya dukungan dari masyarakat.

Sampah merupakan salah satu ekses dari

kegiatan penduduk, baik sampah padat, cair

dan gas yang berasal dari kegiatan rumah

tangga, industri dan kegiatan perkotaan

lainnya. Data mengenai kondisi umum

persampahan di kota Makassar pada Tahun

2008 disajikan pada tabel 01.

Secara umum, dari data kondisi lokasi

sumber sampah memperlihatkan bahwa

beberapa lokasi mampu mengelola sampahnya

secara keseluruhan. Pada lokasi-lokasi

tersebut, misalnya permukiman mewah,

pantai wisata dan kawasan perkantoran dapat

dikatakan bahwa timbulan sampah yang

terjadi setiap hari, hampir seluruhnya dapat

diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Sebaliknya, data juga memperlihatkan bahwa

beberapa lokasi di kota Makassar belum

mampu menangani timbulan sampah dengan

cara mengangkutnya ke TPA.

Berdasarkan tabel 01, sumber sampah

terbesar adalah dari permukiman sederhana

yang ada di Kota Makassar. Dari total timbulan

sampah harian, rata-rata persentase sampah

yang terangkut dan dibuang ke TPA berjumlah

sekitar 1093,29 m3/hari. Sedangkan total

Agenda Setting Pengelolaan Sampah Pasar di kota Makassar - Muhlis Madani 18

Tabel No.01. Timbulan Sampah Dan Yang Terangkut Di Kota Makassar Tahun 2008

Sumber Data : Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup & Keindahan Kota Makassar, 2009

Page 22: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

timbulan adalah 1.282,45 m3/hari, sehingga

total timbulan yang tidak terangkut adalah

sebesar 189, 16 m3/hari atau berkisar 14 %.

Berdasarkan tabel No. 02 di atas, komposisi

terbesar sampah di kota Makassar Periode

Desember 2008 adalah sampah organik (bio

waste) yang layak kompos sebesar 83,61 %,

dan yang terkecil adalah komposisi sampah

kayu sebesar 0,18 %. Sampah organik dengan

proporsinya yang terbesar, merupakan

permasalahan utama persampahan di kota

Makassar ; bila tidak dikelola dengan baik,

sampah organik dapat menjadi sumber

pencemar lingkungan yang potensial.

Berbeda dengan sampah organik, sampah

anorganik pada batas-batas tertentu, melalui

mekanisme pasar, dapat digunakan kembali

sebagai bahan baku industri (Kementrian

Negara Lingkungan Hidup-JICA, 2008), kecuali

jenis-jenis sampah anorganik yang sulit

didaurulang atau terlalu mahal biaya pendaur

ulangannya, misalnya kantong-kantong plastik

atau kemasan-kemasan makanan instan.

Sistem pelayanan pembuangan sampah di

kota Makassar saat ini sudah dilayani oleh

armada sampah yang pengelolaannya berada

di bawah naungan Dinas Pengelolaan

Lingkungan Hidup dan Keindahan Kota

Makassar, mulai dari daerah permukiman,

daerah perdagangan, pusat pemerintahan,

lokasi kegiatan sosial dan pendidikan. Sistem

pengelolaan sampah di kota Makassar pada

umumnya menekankan pendekatan Kumpul-

angkut-buang dan sistem pembuangan di TPA

secara terbuka (open dumping).

Dari keseluruhan TPA menerapkan sistem

pembuangan terbuka, sekitar 60 % memiliki

lokasi TPA yang dapat digolongkan sebagai

unmanaged disposal sites. Bahkan, di wialayah

tertentu seperti Kalimantan dan Sulawesi,

terdapat beberapa kota kecil yang memiliki

tempat pembuangan akhir yang sulit

dikategorikan sebagai TPA (uncategorized

disposal sites). Sistem pengelolaan sampah

yang dilakukan dengan cara pembuangan

terbuka mengindikasikan bahwa di kota

tersebut tidak dilakukan upaya pemilahan

sampah. Dengan sistem open dumping,

kemampuan pengelola untuk mengangkut

sampah cenderung menurun atau realtif tetap.

Di sisi lain, jumlah penduduk menunjukkan

gejala yang semakin meningkat. Hal ini

menyebabkan volume timbulan sampah

meningkat, sementara kemampuan

mengangkut sampah relative tidak berubah

(Status Lingkungan Hidup Daerah, 2006).

Pengelolaan pasar di kota Makassar,

umumnya dilakukan oleh perusahaan daerah

Pasar (PD Pasar) dan kepemilikan kios/toko

secara perorangan. Salah satu permasalahan

pada pasar di kota Makassar adalah masalah

pengelolaan sampah. Pasar-pasar di kota

Makassar menghasilkan sampah dalam jumlah

yang besar yaitu sekitar 574,80 m3/hari. Atau

sumber penyumbang sampah kedua terbesar

di kota Makassar setelah permukiman

sederhana.

Sebagian besar sampah tersebut berasal

dari pedagang, konsumen, baik dari barang-

barang yang dijual di pasar berupa kemasan,

kulit sayur, atau sisa olahan barang yang akan

dijual. Komposisi sampah dari sampah pasar

kota Makassar adalah berupa sampah organik

dan anorganik. Sampah organik terbesar

bersumber dari sayur mayur. Sedangkan

sampah anorganik biasanya dari kemasan

barang dagangan berupa kantung plastik,

karung, kertas, dsb.

Dalam pengelolaan persampahan skala

kota yang rumit, terdapat beragam stakeholders

yang teribat secara langsung ataupun tidak

langsung. Setiap stakeholders berperan sesuai

dengan posisinya masing-masing. Dalam skala

kota, peran pemerintah kota dalam mengelola

sampah sangat-lah penting, dan pengelolaan

sampah merupakan salah satu tugas utamanya

sebagai bentuk pelayanan yang merupakan

Agenda Setting Pengelolaan Sampah Pasar di kota Makassar - Muhlis Madani 19

Tabel No.02.

Komposisi Sampah Di Kota Makassar

Periode Desember 2008

Sumber Data : Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup & Keindahan

Kota Makassar, 2009

Page 23: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

bagian dari infrastruktur kota tersebut.

Stakeholders utama yang terdapat dalam

pengelolaan sampah pasar adalah pengelola

kota dalam hal ini dilakukan oleh Dinas

Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Keindahan

Kota Makassar.

2) Tahapan Penyusunan Agenda

Sistem pengelolaan sampah konvensional

yang masih berdasarkan prinsip Kumpul-

Angkut-Buang dan sepenuhnya tergantung dari

keberadaan TPA, diperkirakan bahwa dalam 5-

10 tahun ke depan, pengelolaan sampah di

banyak kota di Indonesia akan mengalami

persoalan dengan habisnya masa pakai TPA

sementara lokasi pengganti semakin sulit

diperoleh sehubungan dengan terbatasnya

lahan dan meningkatnya resistensi masyarakat

terhadap keberadaan TPA, khususnya yang

terletak di sekitar permukiman penduduk

(Status Lingkungan Hidup, 2006).

Pada situasi seperti inilah maka upaya

menemukenali sebuah tahapan penyusunan

agenda dalam pengelolaan sampah pasar di Kota

Makassar menjadi sangat isu yang strategis.

Transformasi isu menjadi isu agenda kebijakan

merupakan produk dari sebuah interaksi antar

aktor dan stakeholders dalam menyusun

formulasi kebijakan pengelolaan sampah pasar

di Kota Makassar. Secara kenseptual dapat di

lihat dalam tabel no. 3 di bawah ini.

1. Private Problem

Pasar sebagai suatu tempat perdagangan

merupakan sumber timbulan sampah dan

limbah cair dari kawasan komersial. Sebagai

sebuah pusat perdagangan, pasar selalu berada

di lokasi yang strategis, bahkan banyak

dijumpai letak pasar ada di pusat kota. Pasar

mempunyai potensi yang cukup besar untuk

menimbulkan sampah dan limbah cair.

Sementara lahan TPA (tempat pembuangan

akhir) merupakan permasalahan tersendiri

yang dihadapi suatu kota besar. Untuk dapat

mengelola sampah dan limbah cair pasar

dengan benar, maka awal yang paling penting

diketahui adalah pemahaman terhadap

kuantitas, wujud, karakteristik dan potensi dari

sampah dan limbah cair yang akan dikelola.

Meningkatnya volume sampah yang

dihasilkan oleh masyarakat urban maupun

dari aktivitas pasar. Sementara itu, rendahnya

pengetahuan, kesadaran, dan partisipasi

pedagang dalam pengelolaan sampah menjadi

suatu permasalahan yang perlu mendapat

perhatian dalam pengelolaan lingkungan

bersih dan sehat. Kegiatan pengolahan sampah

pasar selama ini relatif belum melibatkan

masyarakat sebagai akibat dari kebijakan

pemerintah daerah yang bersifat top down.

Salah satu indikatornya adalah kebijakan tarif

retribusi kebersihan hanya ditentukan oleh

aparatur pemerintah daerah dan relatif belum

memperhatikan aspirasi masyarakat

menyangkut berapa sesungguhnya para

pedagang bersedia membayar untuk

mendukung kegiatan pengolahan sampah di

lingkungannya.

Pola penanganan masalah sampah yang

cenderung reaktif dan parsial terbukti tidak

mampu menyelesaikan problem sampah pasar

ini secara holistik. Pada saat yang sama, akibat

nyata yang ditimbulkan telah membawa

terganggunya aktivitas penjual dan pembeli

dalam aktivitas transaksi jual-beli. Kondisi

sampah yang berserakan membuat pembeli

akan tidak nyaman untuk berbelanja di pasar

tradisonal. Pada saat yang sama, semakin

maraknya serbuan pasar retail modern yang

menawarkan kenyamanan dan kebersihan,

membuat pengujung pasar tradisional

menjadi semakin berkurang. Dengan semakin

Agenda Setting Pengelolaan Sampah Pasar di kota Makassar - Muhlis Madani 20

Tabel No. 03 Matriks Agenda Setting :

Pengelolaan Sampah Pasar di Kota Makassar

Page 24: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

berkurangnya frekuensi kunjungan pembeli

ke pasar tradisonal, maka secara agregat

pendapatan pedagang pasar pun menjadi

menurun.

2. Public Problem

Sampah telah menjadi masalah yang besar,

bagi kota-kota besar di Indonesia seperti

Jakarta, Surabaya, termasuk Makassar.

Cakupan pelayanan pengelolaan persampahan

yang masih rendah khususnya di perkotaan

dapat berdampak pada meningkatnya wabah

penyakit menular seperti tipus, kolera,

muntaber, disentri, pes, leptospirus,

salmonelosis, demam gigitan tikus. Selain itu,

sampah yang dibuang ke kanal dan saluran

pembuangan berpotansi menimbulkan banjir.

Volume sampah di Makassar tahun 2004

tercatat 4.330 ton perhari, jumlah ini

meningkat cukup signifikan dibanding tahun

2003 sebesar 3.748 ton, dengan komposisi

sampah organik 87,21%, kertas 4,42%, plastik

5,84% dan selebihnya alumunium, kaca, kayu

dan jenis lainnya. Kapasitas limbah padat

Makassar untuk saat ini mencapai 1.860 m3/

hari yang dibuang ke TPA Tamangapa.

Timbulan sampah pasar mencapai 60,10 %

atau 16,69 % dari total timbulan sampah kota

Makassar (STLHD, 2006). Sebagian besar

sampah tersebut adalah sampah organik yang

berasal dari pedagang sayur-mayur dan buah-

buahan serta sisa-sisa makanan, serta dari

para pembeli dan pengunjung yang membuang

sampah sembarangan, tentu akan membuat

kualitas lingkungan menjadi tercemar. Hal ini

diakibat-kan bukan saja karena pertambahan

jumlah penduduk tetapi juga karena

meningkatnya timbulan sampah per kapita

yang disebabkan oleh perbaikan tingkat

ekonomi dan kesejahteraan.

Sampah organik yang umumnya berasal

dari sisa sayur-sayuran dan buah-buahan

serta kantong kemasan berbahan plastik, yang

tidak terangkut dengan di Tempat

Pembuangan Sementara (TPS) sekitar pasar

menjadi berserakan hingga ke saluran

drainase dan kanal. Timbulan sampah yang

menyumbat drainase dan kanal, pada musim

penghujan dapat menimbulkan banjir. Selain

menimbulkan banjir, timbulan sampah yang

tidak terangkut dengan cepat di bak sampah,

yang juga difungsikan sebagai Tempat

Pembuangan Sementara (TPS) hingga ke

badan jalan secara nyata telah menimbulkan

kemacetan lalu lintas.

3. Policy Issues

Selama ini, metode pengelolaan sampah

pasar yang diterapkan pemerintah kota

terhadap pasar tradisional masih bersifat

konvensional. Pola kumpul-angkut-buang/

bakar sebenarnya sudah tidak memadai lagi

ditengah upaya peningkatan nilai ekonomi

dari sampah. Metode 3R (reduce, reuse, recycle)

yang memungkinkan terjadinya daur-ulang

sampah secara berkelanjutan. Dengan metode

ini, sampah bukan lagi barang yang tidak

berguna tetapi menjadi sebuah komoditi yang

bernilai ekonomi tinggi.

Permasalahan pengelolaan sampah

terutama di Pasar Pabbaeng-baeng dan Pasar

Terong terutama pada teknis operasional yaitu

sistem pewadahan dan pengangkutan yang

tidak memadai, serta peran serta masyarakat

khususnya pedagang masih kurang dalam

penanganan sampah pasar. Selama ini, pilihan

metode konvensional yang digunakan tidak

ditunjang oleh jumlah fasilitas persampahan

yang memadai. Bak sampah yang berfungsi

TPS dan mobil angkutan sampah jumlahnya

sangat tidak proporsional dengan laju

pertumbuhan sampah yang ada.

Disamping itu, aspek maintainance

(pemeliharaan) terhadap fasilitas yang ada

serta jumlah personil operator kebersihan

juga belum pada kategori yang memadai.

Dinas Pengolaan Lingkungan Hidup dan

Keindahan (DPLHK) Kota Makassar, sebagai

leading sector penanganan masalah ini masih

diperhadapkan pada problem birokrasi kronis,

seperti keterbatasan dari sisi anggaran,

personil hingga pada resistensi terhadap

perubahan metode pengeloaan sampah.

Keseluruhan problem yang dihadapi dari

sisi manajemen, pada saat yang sama tidak di

dukung oleh kesadaran yang tinggi dari

kalangan pedangang, terutama dalam

mengumpulkan sampah dagangannya.

Kurangnya kesadaran dan perhatian para

pedagang mengakibatkan mereka membuang

Agenda Setting Pengelolaan Sampah Pasar di kota Makassar - Muhlis Madani 21

Page 25: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

sampah sembarangan, sehingga mengotori

kanal, di sekitar tempat jualan pedagang,

bahkan di ruas jalan menuju pasar juga

terlihat tumpukan sampah. Situasi ini

seharusnya menyadarkan pemerintah kota

bahwa perbaikan manajemen sampah pasar

tidaka bisa dilakukan hanya dengan

memperbaiki sarana dan prasarana saja. Perlu

sentuhan pada aspek manusianya, dalam hal

ini peningkatan kesadaran melalui pembinaan

pedagang untuk berperan dalam mengelola

sampah pasar.

4. Systemic Agenda

Sampah masih menjadi persoalan yang

tiada hentinya. Kemampuan dan kapasitas

pemerintah yang rendah diperhadapkan

dengan kesadaran masyarakat yang masih

rendah telah menjadi kombinasi buruk

penanganan sampah di kota Makassar.

Sebagian masyarakat juga beranggapan

sampah bukanlah masalah bila tidak berada di

sekitarnya.

Terkait dengan masalah pengelolaan

sampah dan upaya menciptakan lingkungan

kota yang lebih baik, akhirnya pada tanggal 15

Mei 2004 dicanangkanlah kampanye

Makassar bersih oleh Walikota Makassar, yang

bertujuan menggugah kesadaran masyarakat

dan menciptakan tanggung jawab bersama

terhadap permasalahan sampah di kota

Makassar (Status Lingkungan Hidup daerah

Kota Makassar, 2006). Selain itu, sejak tahun

2008 pemerintah kota Makassar juga

mencanangkan Program Makassar Grean and

Clean (MGC) untuk menuju Makassar Bersih.

Namun upaya ini, tidak akan berhasil

sepenuhnya tanpa adanya dukungan dari

masyarakat.

Secara umum, kini fungsi pasar

bertransformasi dari fungsi sebagai arena

transaksi menjadi fungsi produsen sampah,

penyebab banjir, dan kemacetan. Langkah

sistemik yang diharus dilakukan pemerintah

kota adalah dengan segera melakukan langkah

revitalisasi pasar tradisional, dari sisi

manajemen dan penataan fisik. Langkah in

diharapkan akan mengembalikan fungsi

pasar tradisional sebagai arena jual-beli yang

egaliter serta menghadirkan suasana nyaman

dan bersih, dan mampu bersaing pasar retail

modern yang semakin menjamur.

Partisipasi pedagang dalam pengelolaan

sampah pasar menjadi sebuah keniscayaan.

Hal ini terkait dengan kesadaran bahwa di era

new governance, pemangku kepentingan

utama pembangunan buka hanya di sektor

pemerintah. Anggapan sebagian besar

masyarakat menganggap bahwa masalah

sampah tanggung jawab pemerintah semata

perlu direorientasikan. Dalam pola interaksi

new governance, pedagang tidak lagi

diposisikan hanya sebagi obyek pasif yang

hanya bisa memproduksi sampah dan

membayar retribusi, tetapi menjadi bagian dan

aktor penting dalam pengelolaan sampah pasar.

Partisipasi pedagang dapat dilakukan mulai

dilevel penyusunan rencana (perencanaan),

tindakan pelaksanaan, hingga ditahap

monitoring (pengawasan).

5. Institutional Agenda

Dari total timbulan sampah harian, rata-

rata persentase sampah yang terangkut dan

dibuang ke TPA berjumlah sekitar 1093,29

m3/hari. Sedangkan total timbulan adalah

1.282,45 m3/hari, sehingga total timbulan

yang tidak terangkut adalah sebesar 189, 16

m3/hari atau berkisar 14 % (DPLHK, 2009).

Sistem pelayanan pembuangan sampah di

kota Makassar saat ini sudah dilayani oleh

armada sampah yang pengelolaannya berada

di bawah naungan Dinas Pengelolaan

Lingkungan Hidup dan Keindahan Kota

Makassar, mulai dari daerah permukiman,

daerah perdagangan, pusat pemerintahan,

lokasi kegiatan sosial dan pendidikan. Sistem

pengelolaan sampah di kota Makassar pada

umumnya menekankan pendekatan Kumpul-

angkut-buang dan sistem pembuangan di TPA

secara terbuka (open dumping).

Dalam pengelolaan persampahan skala

kota yang rumit, terdapat beragam

stakeholders yang teribat secara langsung

ataupun tidak langsung. Setiap stakeholders

berperan sesuai dengan posisinya masing-

masing. Dalam skala kota, peran pemerintah

kota dalam mengelola sampah sangatlah

penting, dan pengelolaan sampah merupakan

salah satu tugas utamanya sebagai bentuk

Agenda Setting Pengelolaan Sampah Pasar di kota Makassar - Muhlis Madani 22

Page 26: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

pelayanan yang merupakan bagian dari

infrastruktur kota tersebut.

Stakeholders utama yang terdapat dalam

pengelolaan sampah pasar adalah Dinas

Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Keindahan

Kota Makassar dengan Pedagang pasar.

Hubungan kemitraan antar kedua aktor dan

kelembagaan ini menjadi solusi dalam

mengatisipasi laju pertumbuhan aktivitas

ekonomi pasar yang menghasilkan ribuan ton

meter-kubik jumlah sampah. Dari titik inilah,

upaya mendorong perluasan partsipasi

pedagang dalam pengelolaan sampah pasar

penting untuk menjadi agenda kebijakan

Pemerintah Kota Makassar.

E. KESIMPULAN DAN SARAN

1) Kesimpulan

Sampah telah menjadi masalah yang besar,

bagi kota-kota besar di Indonesia seperti

Jakarta, Surabaya, Bandung dan termasuk

Makassar. Timbulan sampah pasar mencapai

60,10 % atau 16,69 % dari total timbulan

sampah kota Makassar (STLHD, 2006).

Cakupan pelayanan pengelolaan persampahan

yang masih rendah khususnya di perkotaan

dapat berdampak pada menurunnya aktivitas

ekonomi pada pasar tradisional serta memicu

peningkatan penyakit menular seperti diare,

disentri, pes, dll.

Berdasarkan hasil pembahasan diatas,

maka dapat ditarik kesimpulan yakni Sistem

pengelolaan sampah yang selama ini

diterapkan di Pasar belum memberikan hasil

yang optimal karena kurangnya ketersediaan

TPS, pengangkutan sampah ke TPA belum

dilaksanakan secara rutin, penyediaan

infrastruktur persampahan yang masih minim

oleh instansi terkait. Sementara Partisipasi

pedagang masih rendah, ditandai dengan

kurangnya keterlibatan pedagang mulai dari

tahap perencanaan, pelaksanaan dan penga-

wasan pengelolaan sampah. Untuk itulah

penyusunan agenda kebijakan pengelolaan

sampah pasar penting untuk dilakukan.

2) Saran

n Setiap pasar dianjurkan menggunakan

tempat sampah dua partisi dan dilakukan

pemilahan pada tahap awal dan sampah yang

ada (organik) dibuat kompos. Untuk

pengadaan bahan dan peralatannya dapat

disediakan dan dibantu oleh pihak pengelola

pasar kerjasama dengan pihak pemerintah.

n Pemerintah Kota Makassar, yakni Dinas

Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Keindahan

agar meningkatkan infrastruktur pengelolaan

sampah baik itu berupa penambahan jumlah

bak tempat pembuangan sampah sementara

(TPS) di pasar, penambahan jumlah petugas

kebersihan, maupun peningkatan jumlah

armada pengangkutan sampah, sehingga

sampah yang tidak dapat ditangani dapat

diangkut secara keseluruhan ke tempat

pembuangan sampah akhir (TPA).

n Pemerintah Kota Makassar mesti

melakukan pembenahan serius terhadap

fasilitas persampahan, terutama pada kondisi

pasar pascarevitalisasi. Sistem dan penyediaan

fasilitas tersebut melibatkan partisipasi

pedagang. Pendekatan secara partisipatif dalam

perencanaan, pengadaan dan pemeliharaan

fasilitas akan meningkatkan rasa memiliki di

kalangan pedagang pasar.

n Peraturan Daerah (Perda) tentang

penataan Pasar Tradisional perlu dipercepat

pembahasan dan atau pemberlakuannya,

terutama hal yang berkaitan dengan sistem dan

prosedur pengelolaan sampah pasar. Gagasan

dan kebijakan revitalisasi pasar tradisional

diharapkan tidak hanya terfokus pada aspek

penataan spasial (keruangan), tetapi juga

memperhatikan aspek sosial dan pengelolaan

lingkungan terutama aspek persampahan.

DAFTAR PUSTAKA

Birkland, Thomas A. 1997. Efter Disaster :

Agenda Setting, Public Policy, and

Focusing Event, Washington : George

Town University Press.

Cobb, Roger. W. & Charles. D. Elder, 1972.

Participation in American Politics: The

Dynamics of Agenda-Building, John

Hopkins University Press.

DPLHK, 2009. Komposisi Sampah Di Kota

23Agenda Setting Pengelolaan Sampah Pasar di kota Makassar - Muhlis Madani

Page 27: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

Makassar Periode Desember 2008,

Laporan Bulanan Dinas Pengeloaan

Lingkungan Hidup & Keindahan Kota

Makassar

Dye, Thomas, R. 2005. Understanding Public

Policiy (ed.7th). New Jersey: Pearson

Prentice Hall

Gupta, Dipak K. 2001. Analyzing Public Policy,

Concepts, Tools, and Techniques,

Singapore : CQ Press.

Kementrian Negara Lingkungan Hidup, 2008.

Statistik Persampahan Indonesia. Japan

International Cooperation Agency

(JICA), Jakarta.

Kingdon, John W. 1995. Agendas, Alternatives,

and Public Policies, 2nd ed. New York :

Harper Collins

Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD).

2006, Melaui Makassar Bersih, Menuju

Kota Berkelanjutan, Buku Parameter

Basis Data, Makassar : Dinas PLHK &

CV. Globalindo Konsultama.

Shinichi Shigetomi, (2002), “The State and

NGOs: Issue &Analytical Framework”,

dalam Shinichi Shigetomi (ed.), 2002.

The State & NGOs: Perspective from

Asia, Singapore: ISEAS.

Stone, Deborah. 2002. Policy Paradox : The Art

of Political Decision Making. Rev. ed.

New York: W.W Norton)

Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang

Pengelolaan Sampah.

*******

24Agenda Setting Pengelolaan Sampah Pasar di kota Makassar - Muhlis Madani

Page 28: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENINGKATAN

KOMPETENSI PENDIDIK MELALUI PENINGKATAN

RASIO PENDIDIK & PEMERATAAN PENYEBARAN

PENDIDIK DI KABUPATEN JENEPONTO

Nuryanti Mustari

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: Implementasi Kebijakan Peningkatan rasio

pendidik dan pemerataan penyebaran pendidik di Kabupaten Jeneponto sebagai salah

satu program untuk meningkatkan kompetensi pendidik yang muaranya adalah

meningkatkan mutu pendidikan di Kabupaten Jeneponto. Sampel penelitian adalah

implementor kebijakan yaitu Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten

Jeneponto dan Objek Kebijakan yaitu guru-guru IPA, IPS dan Bahasa SMA se Kabupaten

Jeneponto yaitu 7 Sekolah Menengah Atas. Dan Informan dari institusi Dinas Pendidikan

yaitu Kepala Dinas pendidikan, Sekretaris Dinas pendidikan, Kepala Bidang Ketenagaan,

dan Kepala Bidang Kejuruan dan SLTA. Responden dipilih melalui teknik Proportional

Random Sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner,

dokumentasi, rekaman arsip, wawancara dan observasi langsung. Teknik analisas data

adalah teknik analisa siklus yang meliputi tahap-tahap reduksi data, penyajian data dan

penarikan kesimpulan.

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa implementasi kebijakan peningkatan rasio

pendidik dan pemerataan penyebaran pendidik di Kabupaten Jeneponto belum berjalan

efektif sehingga masih banyak yang perlu dibenahi dan diperhatikan oleh Pemerintah.

Kata Kunci : Implementasi Kebijakan Peningkatan peningkatan rasio pendidik dan

pemerataan penyebaran pendidik.

PENDAHULUAN

Isu sentral yang berkembang di Indonesia

dewasa ini dalam bidang pendidikan adalah

masalah rendahnya mutu pendidikan. Kualitas

pendidikan di Indonesia dinilai masih rendah

bila dibandingkan dengan negara lain. Hal ini

dibuktikan dari fakta dalam beberapa tahun

terakhir tentang mutu pendidikan di

Indonesia yang sungguh memprihatinkan.

Menurut Engkoswara dalam seminar Nasional

Kualitas Pendidikan dalam membangun

kualitas bangsa (Desember, 2006) bahwa

Indonesia hanya menempati urutan 102 dari

107 negara di dunia dan urutan 41 dari 47

negara di Asia.

Fakta lain bahwa kualitas pendidikan kita

masih rendah, tertinggal dibanding negara

lain dilihat dari Laporan United National,

Scientific, and Cultural Organisation (UNESCO),

25

Page 29: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

November 2007 menyebutkan peringkat

Indonesia di bidang pendidikan turun dari

peringkat 58 ke peringkat 62. Selain itu,

rendahnya mutu pendidikan Indonesia juga

dapat dilihat dari rendahnya daya saing

Indonesia, yang menurut World Economic

Forum, 2007-2008 berada di level 54 dari 131

negara, jauh di bawah peringkat daya saing

sesama Negara Asean seperti Malaysia yang

berada di urutan ke-21 dan Singapura berada

pada urutan ke-7. Hal yang perlu diketahui

bahwa kualitas sumber daya manusia menjadi

salah satu faktor penyebab rendahnya daya

saing selain faktor birokrasi, lingkungan serta

perangkat dan penegakan hukum (Tangkilisan,

2008).

Rendahnya mutu pendidikan di Indonesia

dapat juga dilihat dari rendannya standar

kelulusan yang ditetapkan. Data Departemen

Pendidikan Nasional menunjukkan bahwa

pada tahun 2004/2005 standar kelulusan

Ujian Akhir Nasional (UAN) adalah 4,01.

Penetapan standard tersebut adalah tergolong

rendah, jauh dari standar kelulusan Malaysia

yang mematok angka 6,00, dan standard

kelulusan Singapura yang mematok angka

8,00. Ironisnya, pada Tahun 2004 dengan

standar kelulusan yang tergolong rendah

tersebut, pada pelaksanaan Ujian Akhir

Nasional (UAN) Tahun 2004, hasilnya sangat

mengagetkan semua pihak karena masih saja

ada sekolah yang jumlah siswanya tidak lulus

100% (Depdiknas). Dunia pendidikan dalam

hal ini Departemen Pendidikan Nasional

(Depdiknas) menuai protes baik dari

masyarakat maupun dari orang tua siswa.

Siswa yang tidak lulus diberikan kesempatan

untuk mengikuti ujian ulang. Hebatnya dengan

tanpa diberikan program pengayaan dan

remedial, hasil ujian tersebut nyaris tidak

terdengar ada yang tidak lulus.

Pada Tahun 2005/2006 dilaksanakan

Ujian Nasional (UN) yang merupakan

penerapan kurikulum berbasis kompetensi

(KBK) dengan standard kelulusan sedikit

dinaikkan menjadi 4,25, tetapi juga hasilnya

tidak jauh berbeda dengan UAN tahun 2004

yang juga menuai protes dari berbagai pihak

termasuk pengamat pendidikan dan politisi

di DPR yang menginginkan ditiadakannya

UAN (Marliana, 2007). Hal ini disebabkan

karena nasib siswa SMA ditentukan oleh

empat bidang studi yang diujikan, satu bidang

studi saja yang tidak mencapai standar

kelulusan walaupun ada bidang studi lain yang

nilainya melebihi standar dan dapat menutupi

kekurangan nilai dari bidang studi yang tidak

mencapai standard tersebut, tetap saja siswa

dinyatakan tidak lulus. Contoh kasus adalah

juara olympiade Fisika yang gagal Ujian

Nasional karena nilai Matematikanya hanya

4,00. Selain itu, banyak siswa SMA yang

mengikuti penerimaan mahasiswa baru di

perguruan tinggi negeri (PTN) melalui jalur

penelusuran minat dan kemampuan (PMDK)

yang diterima di salah satu PTN, tidak bisa

melanjutkan pendidikannnya.

Rendahnya mutu pendidikan adalah

persoalan bangsa yang sangat krusial, yang

membutuhkan perhatian semua pihak

khususnya pemerintah. Demikian pula yang

terjadi di Kabupaten Jeneponto Propinsi

Sulawesi Selatan.

Rendahnya mutu pendidikan di Kabupaten

Jeneponto, kususnya pada tingkat SLTA dapat

dilihat dari prosentase kelulusan dan niali rata-

rata Ujian Akhir Nasional yang merupakan

tonggak-tonggak keberhasilan sekolah dalam

upaya peningkatan mutu pendidikan, serta

tingkat kelulusan pada perguruan tinggi negeri

yang merupakan barometer untuk mengukur

prestasi sekolah dalam memberikan pelayanan

minimal pendidikan.

Informasi yang dapat kita telah adalah

bahwa persentase kelulusan siswa Sekolah

Menengah Tingkat Atas Kabupaten Jeneponto

mengalami penurunan, kurun waktu 2006-

2008, sementara disisi lain juga

memperlihatkan persentase kelulusan yang

lebih tinggi dari persentase rata-rata kelulusan

Sekolah Menengah Atas (SMA) se-Sulawesi

Implementasi Kebijakan Peningkatan Kompetensi Pendidik Melalui Peningkatan Rasio Pendidik

dan Pemerataan Penyebaran Pendidik Di Kabupaten Jeneponto - Nuryanti Mustari26

Tabel 1.

Persentase Kelulusan Peserta Ujian Nasional Tingkat SLTA

Kabupaten Jeneponto 2006-2008

Sumber Data Sekunder Dinas Pendidikan Provinsi Sulsel, 2009

Tahun JumlahPeserta

JumlahLulus

Presentase

LulusPresentase

Kelulusan Sulsel

Peringkat

Se Sulsel

2006

2007

2008

1503

1493

1497

1499

1472

1468

99,73%

98,59%

98,06%

96,80 %

94,37 %

96,74 %

3

4

9

Page 30: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

Selatan.

Persentase kelululusan siswa Sekolah

Menengah Atas Kabupaten Jeneponto

walaupun mengalami penurunan yang cukup

signifikan kurun waktu 2006-2008, tetapi

memperlihatkan prosentase rata-rata kelulusan

yang jauh diatas prosentase rata-rata kelulusan

Sekolah Menengah Atas tingkat Sulawesi

Selatan. Ironisnya, dengan prosentase kelulusan

siswa Sekolah Menengah Atas Kabupaten

Jeneponto yang tinggi ternyata berbanding

terbalik dengan capaian Nilai Ujian Akhir

Sekolah yang memperlihatkan penurunan

yang signifikan kurun waktu 2006-2008,

khususnya untuk jurusan IPA dan IPS. Padahal,

capaian Nilai Ujian Akhir Nasional merupakan

tonggak-tonggak keberhasilan sekolah dalam

upaya peningkatan mutu pendidikan.

Rendahnya atau menurunnya mutu pendidikan

di Kabupaten Jeneponto dapat dilihat dari

penurunan capaian nilai ujian akhir nasional.

Untuk lebih jelasnya, akan diuraikan dalam

Tabel 2 berikut:

Rendahnya mutu pendidikan di

Kabupaten Jeneponto khususnya pada tingkat

SLTA, dapat pula dilihat dari rendahnya

tingkat kelulusan siswa dalam seleksi Ujian

Masuk Perguruan Tinggi Negeri yang

merupakan barometer untuk mengukur

prestasi sekolah dalam memberikan

pelayanan minimal pendidikan. Pada Tahun

2006, dari 1499 jumlah lulusan Sekolah

Menegah Atas, sekitar 824 siswa tersebar

pada perguruan tinggi swasta. Pada Tahun

2007, jumlah siswa yang terdaftar pada

perguruan tinggi swasta tersebut sebanyak

1188, dan pada tahun 2008 meningkat

sebanyak 2.131 siswa (Dinas Pendidikan

Kabupaten Jeneponto, 2009). Untuk

mengetahui jumlah lulusan Sekolah Menengah

Tingkat Atas yang lulus selekasi Ujian Masuk

Perguruan Tinggi Negeri, dengan mengambil

sampel SMA 1 Binamu sebagai sekolah

unggulan, disajikan dalam Tabel 3 berikut:

Rendahnya mutu pendidikan di Kabupaten

Jeneponto juga dapat dilihat dari animo siswa

untuk melanjutkan pendidikan pada perguruan

tinggi khususnya perguruan tinggi negeri

sangat rendah, seperti terlihat pada tabel 3

tersebut di atas, dimana pada tahun 2003

sampai dengan tahun 2006 sangat sedikit

jumlah siswa yang melanjutkan pendidikan

pada perguruan tinggi negeri, hal ini

disebabkan kurangnya pemahaman mereka

tentang pentingnya pendidikan untuk investasi

masa depan, demikian menurut LY (wakil

kepala sekolah bidang kesiswaan SMA 1

Binamu Kabupaten Jeneponto). Jumlah siswa

yang melanjutkan pendidikan ke perguruan

tinggi negeri tidak sebanding atau bahkan

menunjukkan ketimpangan yang besar jika

dibandingkan dengan jumlah siswa SMA 1

Binamu Kabupaten Jeneponto yang lulus Ujian

Akhir Nasional dari Tahun 2002 sampai dengan

Tahun 2007 yang mencapai angka kelulusan

100 persen.

Implementasi Kebijakan Peningkatan Kompetensi Pendidik Melalui Peningkatan Rasio Pendidik

dan Pemerataan Penyebaran Pendidik Di Kabupaten Jeneponto - Nuryanti Mustari27

Tabel 2.

Capaian Nilai Ujian Akhir Nasional Tingkat SLTA

Kabupaten Jeneponto Tahun 2006-2008

2006

2007

2008

IPA

25,00

22,95

46,81

IPS

22,88

21,31

45,42

BHS

24,29

22,25

46,79

IPA

23,77

23,51

46,77

IPS

22,55

21,71

46,26

BHS

22,68

21,10

42,60

IPA

2

16

15

IPS

7

11

20

BHS

2

6

1

Tahun JurusanNilai Rata-Rata

UAN Tingkat SulselPerolehan

Peringkat Sulsel

Sumber Data Sekunder Dinas Pendidikan Provinsi Sulsel, 2009

Sumber Data Sekunder, SMA 1 Binamu Kabupaten Jeneponto, 2009

Tabel 3.

Jumlah Siswa SMA 1 Binamu Kabupaten Jeneponto

yang Lulus Seleksi Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri dan

PMDK Tahun 2002-2007

Tabel 4.

Jumlah Siswa SMA 1 Binamu Kabupaten Jeneponto yang Lulus

Ujian Akhir Nasional Tahun 2002-2007

Sumber Data Sekunder, SMA 1 Binamu Kabupaten Jeneponto, 2009

Page 31: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

Tonggak-tonggak kunci keberhasilan

sekolah dari segi output yang termaktub dalam

standar nasional pendidikan, salah satu

itemnya adalah dengan melihat banyaknya

jumlah lulusan yang melanjutkan pendidikan

ke jenjang yang lebih tinggi, dalam hal ini

perguruan tinggi khususnya perguruan tinggi

negeri. Rendahnya animo masyarakat untuk

melanjutkan pendidikan juga merupakan salah

satu indikator rendahnya mutu pendidikan.

Kelompok Kerja Pengkajian, Perumusan

Filosofis kebijakan dan Strategi Pendidikan

Nasional (1999) bahwa rendahnya mutu

pendidikan di Indonesia selama ini

disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya

(1) tidak adanya relevansi pendidikan dengan

kebutuhan tenaga kerja, (2) tidak terjadinya

proses belajar dengan baik, disebabkan

kurang profesionalnya tenaga pengajar, (3)

kurang tersedianya sarana dan prasarana

yang memadai sebagai penunjang kegiatan-

kegiatan pembelajaran, (4) pelaksanaan

pendidikan selama ini bersifat sentralistik,

sehingga mematikan potensi-potensi yang

ada di daerah untuk mengembangkan

pendidikan yang akan dilaksanakan.

Walaupun guru dan pengajar bukan satu-

satunya faktor penentu keberhasilan

pendidikan tetapi pengajaran merupakan titik

sentral pendidikan dan kualifikasi atau

kompetensi sebagai cermin kualitas pendidik

memberikan andil yang sangat besar pada

kualitas pendidikan. Guru punya peran yang

sangat besar dalam menciptakan manusia–

manusia handal. Menurut Hamalik (2006: 19)

bahwa masalah pendidik dalam hal ini guru

adalah masalah yang penting. Penting oleh

sebab mutu pendidik turut menentukan mutu

pendidikan. Sedangkan mutu pendidikan

akan menentukan mutu generasi muda

sebagai generasi penerus bangsa. Michael G.

Fullan yang dikutip oleh Suyanto dan Hisyam

(2000) mengemukakan bahwa:

“Educational change depends on

what teachers do and think...”

Upaya peningkatan mutu pendidik

dilakukan oleh pemerintah dengan lahirnya

sebuah kebijakan yang tertuang dalam

Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2006 tentang

RPJM Kabupaten Jeneponto Tahun 2006-2008.

Di dalam Perda tersebut tertuang uraian

kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan

mutu atau kompetensi pendidik yaitu di

antaranya adalah peningkatan rasio pendidik

dan tenaga kependidikan melalui pengangkatan,

dan pemerataan penyebaran pendidik dan

tenaga kependidikan. Tetapi dengan kebijakan

itu, penulis melihat tidak banyak membawa

perubahan pada kualitas pendidik di

Kabupaten Jeneponto.

Berdasarkan latar belakang dan gambaran

singkat mengenai keadaan tersebut

disimpulkan bahwa kebijakan peningkatan

kompetensi pendidik di Kabupaten Jeneponto

tidak membawa perubahan yang signifikan

terhadap kompetensi guru khususnya

kompetensi profesional yang berdampak pada

kemampuan akademik dan non akademik

siswa yang rendah. Kebijakan peningkatan

kompetensi pendidik yang tertuang dalam

Perda Nomor 4 Tahun 2006 tentang RPJM

Kabupaten Jeneponto berjalan sejak Tahun

2006, ternyata selama kurun waktu 2006-

2008 kualitas anak didik menujukkan

penurunan.

LANDASAN TEORI

A. Implementasi Kebijakan Publik

Implementasi kebijakan merupakan aspek

penting dari keseluruhan proses kebijakan.

Udoji (1981,32) dengan tegas mengatakan

bahwa the execution of policies is as important

if not more important than policy-making.

Policies will remain dreams or blue prints file

jackets unless they are implemented

(Pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang

penting, bahkan jauh lebih penting daripada

pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan

akan sekedar berupa impian atau rencana

bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau

tidak diimplementasikan. Dengan kata lain

pembuatan kebijakan tidak berakhir setelah

kebijakan ditentukan atau disetujui.

Implementasi Kebijakan merupakan

langkah lanjutan berdasarkan suatu kebijakan

formulasi. Definisi yang umum dipakai

menyangkut kebijakan implementasi adalah:

Implementasi Kebijakan Peningkatan Kompetensi Pendidik Melalui Peningkatan Rasio Pendidikdan Pemerataan Penyebaran Pendidik Di Kabupaten Jeneponto - Nuryanti Mustari

28

Page 32: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

(Wahab, 1997: 63) : “Implementasi adalah

tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh

individu-individu, pejabat-pejabat, atau

kelompok-kelompok pemerintah atau swasta

yang diarahkan pada tercapainya tujuan-

tujuan yang telah digariskan dalam keputusan

kebijakan.

Dunn (1981 ; 56) menyatakan bahwa akan

halnya implementasi kebijakan, lebih bersifat

kegiatan praktis, termasuk di dalamnya

mengeksekusi dan mengarahkan. Lebih lanjut

dikemukakan sebagai berikut : “Policy

implementation involves the execution and

steering of a laws of action overtime. Policy

implementation is essentially a practical

activity, as distinguished from policy

formulation, which is essentially theoretical’.

Sehubungan dengan sifat praktis yang ada

dalam proses implementasi kebijakan di atas,

maka hal yang wajar bahwa implementasi ini

berkaitan dengan proses politik dan

administrasi. Hal tersebut disebabkan karena

ia menyangkut tujuan dari diadakannya

kebijakan tersebut (policy goals). Dan jika

dliihat dari konteks implementasi kebijakan,

maka hal tersebut berkaitan dengan

kekuasaan (power), kepentingan dan strategi

para pelaku kebijakan, disamping karakteristik

lembaga dan rezim serta ijin pelaksanaan dan

respon terhadap kebijakan.

Konteks implementasi demikian baru akan

terlihat pengaruhnya setelah kebijakan

tersebut dilaksanakan. Hal itulah yang

menunjukkan bahwa proses pelaksanaan

kebijakan merupakan salah satu tahapan

penting dan momentum dalam proses

perumusan/pembuatan kebijakan selan-

jutnya, sebab berhasil atau tidaknya suatu

kebijakan dalam mencapai tujuannya

ditentukan dalam pelaksanaannya. Oleh

karena itu, rumusan kebijakan yang telah

dibuat tidak akan mempunyai arti apa-apa

atau hanya akan merupakan rangkaian kata-

kata indah dan baku yang tersimpan rapi

dalam sebuah dokumen kalau tidak

diimplementasikan. Berkaitan dengan hal itu,

dapat dikatakan bahwa salah satu tolok ukur

keberhasilan suatu strategi atau kebijakan

terletak pada proses implementasinya.

Melihat pentingnya fase ini, maka untuk

mencermati proses implementasi dari

kebijakan tersebut, terlebih dahulu harus kita

pahami beberapa konsep dari implementasi

itu sendiri. Menurut Salusu (2002),

implementasi adalah seperangkat kegiatan

yang dilakukan menyusul satu keputusan.

Suatu keputusan selalu dimaksudkan untuk

mencapai sasaran. Guna merealisasikan

pencapaian sasaran tersebut, diperlukan

serangkaian aktivitas. Jadi dapat dikatakan

bahwa implementasi adalah operasionalisasi

dari berbagai aktivitas guna mencapai sasaran

tertentu. Masih dalam Salusu (2002), Higgins

merumuskan implementasi sebagai

rangkuman dari berbagai kegiatan yang di

dalamnya sumberdaya manusia menggunakan

sumber daya lain untuk mencapai sasaran dan

strategi. Sehingga kegiatan implementasi ini,

menyentuh semua jajaran manajemen mulai

dari manajemen puncak sampai pada

karyawan lini paling bawah.

Pemahaman lebih lanjut tentang konsep

implementasi dapat pula dilihat dari apa yang

dikemukakan oleh Lineberry dalam Putra

(2003,81) dengan menguti pendapat Van

Meter dan Van Horn (1975) yang memberikan

pernyataan bahwa, Policy implementation

encompasses those actions by public and

private individuals (and groups) that are

directed at the achievement of goals and

objectives set forth in prior policy decisions.

Pernyataan ini memberikan makna bahwa

implementasi adalah tindakan-tindakan yang

dilaksanakan oleh individu-individu, dan

kelompok-kelompok pemerintah dan swasta

yang diarahkan pada pencapaian tujuan dan

sasaran yang menjadi prioritas dalam

keputusan kebijakan. Secara sederhana dapat

dikatakan bahwa implementasi meliputi

semua tindakan yang berlangsung antara

pernyataan kebijakan dan dampak aktualnya.

Pada bagian lain, mengenai pelaksanaan

kebijakan, Hoogerwerf (1983 ; 17)

mengemukakan sebagai berikut : “Bahwa

pelaksanaan kebijakan itu hampir selalu harus

disesuaikan lagi. Hal itu disebabkan karena

tujuan dirumuskan terlalu umum, sarana tidak

dapat diperoleh pada waktunya dan faktor

waktu dipilih terlalu optimis, semua ini

berdasarkan gambaran situasi yang kurang

Implementasi Kebijakan Peningkatan Kompetensi Pendidik Melalui Peningkatan Rasio Pendidikdan Pemerataan Penyebaran Pendidik Di Kabupaten Jeneponto - Nuryanti Mustari

29

Page 33: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

tepat. Dengan perkataan lain pelaksanaan

kebijakan didalam praktek sering menjadi

suatu proses yang berbelit-belit, yang

menjurus kepada permulaan baru dari pada

seluruh proses kebijakan atau menjadi buyar

sama sekali”.

Keberhasilan atau kegagalan suatu

implementasi kebijakan dapat dievaluasi dari

sudut kemampuannya secara nyata dalam

meneruskan dan mengoperasionalkan

program-program peningkatan kualitas

pendidik secara ideal yang telah dirancang

sebelumnya.

B. Kebijakan Pendidikan dan Kompetensi

Pendidik

1. Sekilas tentang Kebijakan Pendidikan

Di dalam Pembukaan UUD 1945

dinyatakan bahwa tujuan kita membentuk

negara kesatuan Republik Indonesia ialah

untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Bangsa yang cerdas adalah bangsa yang dapat

survive di dalam menghadapi berbagai

kesulitan. Kenyataannya adalah dewasa ini

bangsa Indonesia dilanda dan masih berada di

tengah-tengah krisis yang menyeluruh. Kita

dilanda oleh krisis politik, krisis ekonomi,

krisis hukum, krisis kebudayaan, dan tidak

dapat disangkal juga di dalam bidang

pendidikan.

Pendidikan tidak terlepas dari politik

sungguhpun pendidikan tidak dapat

menggantikan fungsi politik. Kenyataannya

ialah meskipun pendidikan tidak dapat

menggantikan politik, tetapi tanpa

pendidikan, tujuan-tujuan politik sulit untuk

dilaksanakan. Oleh karena itu fungsi dan pera-

nan pendidikan di dalam kehidupan suatu

bangsa tidak terlepas dari kehidupan politik

serta juga ekonomi, hukum dan kebudayaan

pada umumnya.

Di dalam masa krisis dewasa ini ada dua

hal yang menonjol menurut Tilaar (2000; 1)

yaitu: (1) bahwa pendidikan tidak terlepas

dari keseluruhan hidup manusia di dalam

segala aspeknya yaitu politik, ekonomi, hukum

dan kebudayaan, (2) krisis yang dialami oleh

bangsa Indonesia dewasa ini merupakan pula

refleksi dari krisis pendidikan nasional.

Pada masa pra Orde Baru, politik dijadikan

sebagai panglima. Segala kegiatan diarahkan

kepada berbagai usaha untuk mencapai tujuan

politik misalnya membangkitkan

nasionalisme, rasa persatuan bangsa,

penggalangan kekuatan bangsa di dalam

kehidupan perang dingin pada waktu itu.

Kecenderungan-kecenderungan dalam

kehidupan politik, ekonomu dan kebudayaan

pada waktu itu juga memasuki dunia

pendidikan. Praktis pendidikan diarahkan

kepada proses indoktrinasi. Dengan

sendirinya pendidikan tidak difungsikan

untuk meningkatkan taraf kehidupan rakyat.

Pendidikan tida dioroientasikan pada

kebutuhan pasar, tetapi pada kebutuhan

politik. Pendidikan diarahkan bukan kepada

peningkatan kualitas tetapi dijadikan sebagai

alat kekuasaan dalam mencapai tujuan politik.

Otoriterisme di dalam segala bentuknya mulai

memasuki kehidupan bermasyarakat

termasuk di dalam bidang pendidikan. Segala

sesuatu diarahkan kepada kemauan penguasa,

sehingga kebebasan berpikir, berpikir

alternatif, berpikir kritis semakin lama

semakin dikubur. Hasilnya ialah manusia-

manusia yang tidak mempunyai alternatif

yang telah disodorkan oleh penguasa.

Selanjutnya perkembangan pendidikan di

Indonesia dapat dilihat bahwa segera setelah

memperoleh kemerdekaannya, Indonesia telah

menyatakan niatnya untuk menciptakan

sistem pendidikan yang sesuai dengan

kebutuhan dan aspirasinya. Perubahan-

perubahan yang terjadi dalam bidang

pendidikan merupakan perubahan yang

mendasar, yaitu menyangkut penyesuaian

sistem pendidikan dengan kebutuhan dan

aspirasi bangsa yang merdeka. Pada mulanya,

penekanannya pada pemberian kesempatan

yang seluas-luasnya kepada semua warga

negara memperoleh pendidikan untuk

menghasilkan sebanyak-banyaknya orang

terdidik (Tilaar, 2000). Sekalipun tidak

dimaksudkan mengabaikan mutu, tetapi dalam

proses perkembangannya dari tahun ke tahun,

tampaknya kebijakan perluasan kesempatan

untuk memperoleh pendidikan kurang

menguntungkan mutu pendidikan.

Implementasi Kebijakan Peningkatan Kompetensi Pendidik Melalui Peningkatan Rasio Pendidikdan Pemerataan Penyebaran Pendidik Di Kabupaten Jeneponto - Nuryanti Mustari

30

Page 34: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

Dari satu sisi, jumlah orang terdidik

semakin meningkat, tetapi di sisi lain mutunya

kurang memuaskan. Kita dihadapkan pada

masalah rendahnya mutu pendidikan. Pada

Tahun 1969, diadakan seminar identifikasi

masalah pendidikan, dan menemukan lima

masalah sebagai faktor kelemahan dalam

pendidikan kita selama ini antara lain : (1)

pertambahan penduduk yang demikian

besarnya, (2) ketidakcocokan hasil sekolah

dengan kebutuhan masyarakat, (3) sedikitnya

biaya yang dapat disediakan oleh negara-

negara yang sedang berkembang, (4) tidak

adanya efisiensi kerja dan (5) kurang jelasnya

arah pendidikan (Sahabuddin, 1997,42). Hasil

identifikasi masalah pendidikan ini dijadikan

landasan pelaksanaan pembaharuan

pendidikan yang dimulai sejak tahun 1970.

Usaha pembaharuan pendidikan yang

berorientasi sekolah mengarah kepada

pembaharuan kurikulum dan metode mengajar

untuk mengembangkan kemampuan rasional.

Anak didik diharapkan dapat berpikir,

berkomunikasi serta bertiindak secara logis,

analitis-sintetis, kritis dan kreatif. (Sahabuddin,

1997,43). Untuk mencapai tujuan tersebut,

dikembangkan pendekatan yang memberi

kesempatan kepada siswa-siswa untuk belajar

aktif menurut minat dan kemampuan yang

disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA).

Dalam perkembangan selanjutnya

DEPDIKBUD mengembangkan kebijakan link

and match dalam konteks strategi dasar

pendidikan nasional. Link secara harifiah

berarti ada pertautan, keterkaitan, atau

hubungan interaktif. Dan match berarti

kesesuaian. Link berarti hasil pendidikan

selayak-nya sesuai dengan apa yang

dibutuhkan oleh dunia kerja dari segi jumlah,

mutu, jenis, kualifikasi dan waktunya. Match

berarti sesuai dengan pihak lain, penguatan

atau penekanan terhadap link.

Memasuki era reformasi, dengan pengalaman-

pengalaman masa lalu yang telah membentuk

masyarakat dan budaya Indonesia yang kini

mengalami krisis, maka tujuan nasional

pendidikan diarahkan kepada tercapainya

masyarakat Indonesia baru, yaitu masyarakat

madani. Masyarakat madani adalah bentuk

yang ideal dari suatu masyarakat demokratis

dan berkedaulatan rakyat. Lahirnya UU No 32

Tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi

UU No 32 Tahun 2004 tentang otonomi daerah

dan UU No. 25 Tahun 1999 mengenai

perimbangan keuangan pemerintah pusat dan

daerah, merupakan konsekuensi dari

keinginan era reformasi untuk menghidupkan

kehidupan demokrasi (Tilaar, 2000, 12).

Dengan terbitnya Udang-Undang Otonomi

Daerah, maka dimulailah salah satu rentetan

proses demokratisasi di dalam kehidupan

masyarakat dan bangsa Indonesia. Salah satu

pelaksanaan dari Undang-Undang Otonomi

Daerah adalah dalam bidang pendidikan.

Penyelenggaraan pendidikan menjadi tugas

dan wewenang daerah. Desentralisasi

penyelenggaraan pendidikan di daerah

memberikan implikasi langsung di dalam

penyusunan dan penentuan kurikulum yang

selama orde baru sangat sentralistis. Comunity

based education serta school based education

management merupakan perwujudan nyata

dari demokratisasi dan desentralisasi

pendidikan.

Di dalam kaitan ini pendidikan yang kita

inginkan adalah pendidikan pemberdayaan

yaitu yang bertujuan memberdayakan setiap

anggota masyarakat untuk dapat berprestasi

setinggi-tingginya sesuai dengan kemampuan

yang telah dikembangkan di dalam dirinya

sendiri. Kemudian pada tahun 2004-2005

diterapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi

(KBK). Kemudian pada Tahun 2006 sampai

sekarang diterapkan Kurikulum Tingkat

Satuan Pendidikan. Perubahan-perubahan

kurikulum tersebut dilakukan sebagai salah

satu upaya untuk meningkatkan mutu

pendidikan.

Jika diperhatikan apa yang telah

dikemukakan, tampak bahwa dalam

perkembangan pendidikan di Indonesia telah

banyak upaya yang ditempuh untuk

meningkatkan mutu pendidikan. Demikian

halnya di Kabupaten Jeneponto, Upaya untuk

meningkatkan mutu pendidikan terlihat dari

lahirnya kebijakan Pemerintah Daerah yang

tertuang dalam Peraturan Daerah No. 4 Tahun

2006 tentang Rencana Pembangunan Jangka

Menengah tahun 2006-2008. Di Dalam

kebijakan tersebut termaktub program

Implementasi Kebijakan Peningkatan Kompetensi Pendidik Melalui Peningkatan Rasio Pendidikdan Pemerataan Penyebaran Pendidik Di Kabupaten Jeneponto - Nuryanti Mustari

31

Page 35: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

peningkatan kompetensi pendidik yang

terdiri dari : (1) Peningkatan rasio pendidik

dan tenaga kependidikan melalui pengangkatan,

dan pemerataan penyebaran pendidik dan

tenaga kependidikan, (2) Peningkatan kualitas

pendidik dan tenaga kependidikan melalui

Diklat dan (3) Pemberian penghargaan sesuai

dengan tugas dan prestasi pendidik dan tenaga

kependidikan.

Kebijakan tersebutlah yang akan diteliti

bagaimana implementasinya di Kabupaten

Jeneponto. Karena yang dilihat adalah

kompetensi pendidik, maka selanjutnya akan

dijelaskan sekilas tentang kompetensi.

2. Kompetensi Profesional Pendidik

Konsep Kompetensi sebagaimana yang di-

kutip Siswanto (2003) dijelaskan bahwa

konsep kompetensi yang terkait dengan

pekerjaan, pertama kali diangkat oleh David C.

McClelland pada tahun 1973, ia

mempublikasikan paper berjudul Testing for

Competence rather than Intellegence” yang

mengemukakan latar belakang dan konsep

kompetensi dalam psikologi modern. Dalam

paper tersebut, ia melakukan kajian dan

metaanalisa berbagai penelitian sebelumnya,

dan menyimpulkan bahwa pengukuran potensi

intelegensi dan pengetahuan akademik

dianggap kurang akurat untuk memprediksi

prestasi kerja maupun keberhasilan dalam

kehidupan sosial di masyarakat.

Disamping itu dikemukakan pula bahwa

hasil psikotes dan nilai prestasi akademik yang

diperoleh dari bangku sekolah dan perguruan

tinggi seringkali diskriminatif terhadap

gender, kelompok minoritas, ataupun menurut

strata sosioekonomi. Hal ini memicu

penelitian-penelitian babak baru untuk

mencari metode-metode yang lebih baik untuk

mengidentifikasikan kemampuan profesional

dan kemampuan individu di tempat kerja,

yang kemudian disebut sebagai kemampuan

atau kompetensi.

Pengertian kompetensi dapat dijelaskan

secara sederhana sebagai kemampuan

manusia yang ditemukan dari praktek dunia

nyata dapat digunakan untuk membedakan

antara mereka yang sukses (superior) dengan

yang biasa-biasa saja di tempat kerja.

Kompetensi seseorang dapat ditunjukkan

dengan hasil kerja atau karya, pengetahuan,

keterampilan, perilaku, karakter, sikap,

motivasi, dan/atau bakatnya.

Spencer and Spencer (1993: 9)

mendefenisikan kompetensi “an underlying

characteristic of individual that is causally

related to criterion-referenced effective and/or

superior performance in a job or situation”.

Sebagai karakteristik individu yang melekat

kompetensi merupakan bagian dari

kepribadian individu yang relatif dalam dan

stabil, dan dapat dilihat serta diukur dari

perilaku individu yang bersangkutan, di

tempat kerja atau dalam berbagai situasi.

Untuk itu kompetensi seseorang

mengindikasikan kemampuan berperilaku

seseorang dalam berbagai situasi yang cukup

konsisten untuk suatu perioda waktu yang

cukup panjang, dan bukan hal yang kebetulan

sesaat semata. Kompetensi memiliki

persyaratan yang dapat digunakan untuk

menduga yang secara empiris terbukti

merupakan penyebab suatu keberhasilan.

Sebagai karakteristik individu yang

melekat, kompetensi nampak pada cara

berperilaku di tempat kerja seseorang.

Spencer (1993: 9-23) mengemukakan

kompetensi dapat bersumber dari lima jenis

sumber kompetensi yang berbeda yaitu:

(1)Motif. Sesuatu yang secara konsisten

menjadi dorongan, pikiran atau keinginan

seseorang yang menyebabkan munculnya

suatu tindakan. Motif akan mengarahkan dan

menyeleksi sikap menjadi tindakan atau

mewujudkan tujuan sehingga berbeda dari

yang lain.

(2)Karakter (trait) dan unsur bawaan. Ka-

rakter dan bawaan seseorang dapat

mempengaruhi prestasi di tempat kerja.

Karakter dan unsur bawaan ini dapat berupa

bawaan fisik (seperti postur atletis,

penglihatan yang baik), maupun bawaan sifat

yang lebih kompleks yang dimiliki seseorang

sebagai karakter, seperti kemampuan

mengendalikan emosi, perhatian terhadap hal

yang sangat detail dan sebagainya.

(3)Pengetahuan (knowledge). Pengetahuan

mencerminkan informasi yang dimiliki

Implementasi Kebijakan Peningkatan Kompetensi Pendidik Melalui Peningkatan Rasio Pendidikdan Pemerataan Penyebaran Pendidik Di Kabupaten Jeneponto - Nuryanti Mustari

32

Page 36: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

seseorang pada area disiplin yang tertentu

yang spesifik. Nilai akademis atau indeks

prestasi akademis seringkali kurang

bermanfaat untuk memprediksi performansi

di tempat kerja, karena sulitnya mengukur

kebutuhan pengetahuan dan keahlian yang

secara nyata digunakan dalam pekerjaan.

Pengetahuan dapat memprediksikan apa yang

mampu dilakukan seseorang, bukan apa yang

akan dilakukan. Hal ini disebabkan

pengukuran tes pengetahuan lebih banyak

menghafal, jika yang dipentingkan adalah

kemampuan untuk mencari informasi. Ingatan

mengenai fakta spesifik, tidak lebih penting

daripada pengetahuan mengenai fakta yang

relevan, terhadap masalah spesifik dan

pengetahuan tentang sumber informasi

dimana mencarinya ketika diperlukan. Tes

pengetahuan juga sangat tergantung situasi

responden. Tes tersebut mengukur

kemampuan memilih alternatif pilihan, yang

merupakan respon yang benar, dan bukan

untuk mengukur apakah seseorang dapat

bereaksi sesuai dengan pengetahuan

dasarnya. Mengetahui sesuatu yang benar

tidaklah selalu menjamin akan melakukan

sesuatu yang benar.

(4)Keterampilan. Kemampuan untuk

melakukan aktivitas fisik dan mental.

Kompetensi keterampilan mental atau kognitif

meliputi pemikiran analitis (memproses

pengetahuan atau data, menentukan sebab

dan pengaruh, mengorganisasi data dan

rencana) serta pemikiran konseptual

(pengenalan pola data yang kompleks).

Dari penjelasan diatas, dapat dipahami

bahwa apa yang dilakukan seseorang di

tempat kerja, hasil kerja apa yang diperoleh

seseorang, dan tingkat prestasi kerja apa yang

dicapai seseorang dapat bersumber dari

karakteristik individu, yang dipengaruhi oleh

salah satu atau kombinasi dari lima tipe

sumber kompotensi yang berbeda. Dengan

kata lain, pendekatan kompetensi ini meyakini

bahwa perilaku efektif seseorang di tempat

kerja atau pada suatu situasi tertentu

merupakan cerminan kompotensi seseorang.

Jika manusia merupakan sumber daya yang

nyata, maka sumber daya yang dapat

diberikannya adalah berupa keterampilan,

pengetahuan, motivasi, dan kemampuan

membuat keputusan. Proses identifikasi dan

penilaiannya sangat komplek dan sulit

sehingga hanya dapat diukur dari kinerja,

pengalaman dan kualifikasi mereka.

Kompetensi pada dasarnya merupakan

gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat

dilakukan (be able to do) seseorang dalam

suatu pekerjaan, berupa kegiatan, perilaku dan

hasil yang seyogyanya dapat ditampilkan atau

ditunjukkan. Agar dapat melakukan (be able

to do) sesuatu dalam pekerjaannya, tentu saja

seseorang harus memiliki kemampuan

(ablity) dalam bentuk pengetahuan

(knowledge), sikap (attitude) dan kete-

rampilan (skill) yang sesuai dengan bidang

pekerjaannya. Kompetensi guru dapat

dimaknai sebagai gambaran tentang apa yang

seyogyanya dapat dilakukan seorang guru

dalam melaksanakan pekerjaannya, baik

berupa kegiatan, berperilaku maupun hasil

yang dapat ditunjukkan.

Dalam perspektif kebijakan pendidikan

nasional, pemerintah telah merumuskan

empat jenis kompetensi guru sebagaimana

tercantum dalam Penjelasan Peraturan

Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang

Standar Nasional Pendidikan, yaitu :

kompetensi pedagogik, Kompetensi kepri-

badian, Kompetensi sosial, dan kompetensi

profesional merupakan kemampuan

penguasaan materi pembelajaran secara luas

dan mendalam.

Indikator tentang kompetensi professional

guru yang disampaikan oleh Hamalik (2002)

mengandung makna bahwa guru yang

memiliki kompetensi professional adalah guru

yang mampu menciptakan lingkungan belajar

yang efektif, menyenangkan dan akan lebih

mampu mengelola kelasnya sehingga siswa

akan belajar secara optimal. Untuk itu

sehubungan dengan peranan guru sebagai

pendidik dan pengajar diperlukan

keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan

untuk kelancaran proses belajar mengajar

antara lain:

(1) keterampilan membuka pelajaran

pelajaran, (2) keterampilan menjelaskan atau

menyampaikan materi pelajaran, (3)

keterampilan member penguatan, (4)

Implementasi Kebijakan Peningkatan Kompetensi Pendidik Melalui Peningkatan Rasio Pendidikdan Pemerataan Penyebaran Pendidik Di Kabupaten Jeneponto - Nuryanti Mustari

33

Page 37: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

keterampilan menggunakan media

pembelajaran, (5) keterampilan membimbing

diskusi kelompok kecil, (6) keterampilan

menutup pelajaran. Dalam penelitian ini yang

digunakan hanya 4 indikator yaitu (1)

keterampilan membuka pelajaran, (2)

keterampilan menyampaikan materi

pelajaran, (3) keterampilan menggunakan

media pembelajaran dan (4) kete-rampilan

menutup pelajaran. (Hamalik,2002).

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada kebijakan ini, peningkatan rasio

pendidik dimaksudkan untuk menutupi

kekurangan guru dengan melakukan

rekruitment atau pengangkatan pendidik.

Kemudian Pemerataan penyebaran pendidik

dimaksudkan untuk meminimalkan atau

mengeliminir kesenjangan antara sekolah

unggulan dengan sekolah-sekolah yang tidak

diunggulkan, atau antara sekolah yang berada

di kota maupun sekolah yang ada di

Kecamatan. Kegiatan yang dapat dilakukan

untuk maksud tersebut adalah mutasi.

a. Kebijakan Rekrutmen Pendidik.

Di dalam Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 tentang guru

dikatakan bahwa rasio minimal jumlah peserta

didik terhadap guru untuk SMA atau yang

sederajat adalah 20: 1. Kemudian selanjutnya

pada Bab IV Pasal 52 Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 74 tahun 2008

tentang guru mengatur jumlah beban kerja

guru paling sedikit 24 jam tatap muka dalam

satu minggu pada satu atau lebih satuan

pendidikan yang memiliki izin pendirian dari

Pemerintah atau Pemerintah Daerah.

Sehingga jumlah kekurangan dan

kelebihan guru dapat diketahui dengan

terlebih dahulu mengetahui jumlah

rombongan belajar dan jumlah jam, dengan

tetap mengacu kepada aturan bahwa jumlah

maksimal siswa per rombongan belajar adalah

40 (empat puluh siswa), kemudian jumlah jam

wajib mengajar bagi guru adalah 24 (dua

puluh empat) jam per minggu, dan jumlah jam

pelajaran per kelas setiap minggu adalah

antara 38 sampai dengan 42 jam.

Selain itu menurut ND bahwa: Secara

kongrit jumlah kekurangan dan kelebihan guru

di setiap sekolah dapat diketahui dengan

mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor

74 Tahun 2008 tentang guru Bab IV Pasal 52.

Berikut akan diuraikan secara singkat

mengetahui jumlah kekurangan dan kelebihan

guru pada SMA 1 Tamalatea sebagai sampel.

SMA 1 Tamalatea Kabupaten Jeneponto

mempunyai 7 kelas X, 3 kelas XI IPA, 1 kelas XI

Bahasa, dan 2 kelas XI IPS, demikian pula untuk

kelas XII terdiri dari XII IPA sebanyak 3 kelas,

XII Bahasa sebanyak 1 kelas, dan XII IPS

sebanyak 3 kelas.

Sehingga jumlah rombongan belajar

secara keseluruhan adalah 20 rombel. Untuk

Mata Pelajaran Sosiologi jumlah kelasnya 12

kelas/rombongan belajar, dan jumlah jam

mengajar 36 jam per minggu, sehingga

diketahui bahwa jumlah guru yang dibutuhkan

adalah 2 orang guru sosiologi berdasarkan

aturan bahwa setiap guru wajib memenuhi 24

jam mengajar perminggu, sehingga 36 jam

dibagi dengan 24 jam sama dengan 2 orang.

Sementara di SMA 1 Tamalatea tidak

mempunyai guru mata pelajaran sosiologi

sehingga dikatakanlah bahwa SMA 1

Tamalatea Kekuarangan 2 orang guru

sosiologi. (wawancara Oktober 2009).

Berdasarkan hal tersebutlah sehingga

diketahui bahwa jumlah kekurangan guru di

Kabupaten Jeneponto kurun waktu 2006-

2008 adalah 84 orang guru, disisi lain juga

berkelebihan 20 guru. Untuk menutupi

kekurangan guru maka kegiatan yang

dilakukan adalah meningkatkan rasio

pendidik agar memenuhi standar dengan

melakukan rekrutment atau pengangkatan

pendidik.

Sebagaimana yang diatur dalam Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74

Tahun 2008 tentang Guru, Bab VI pasal 59

ayat 3 menyatakan bahwa dalam hal terjadi

kokosongan guru, pemerintah atau

pemerintah daerah wajib menyediakan guru

pengganti untuk menjamin keberlanjutan

proses pembelajaran pada satuan pendidikan

yang bersangkutan. Sehingga atas dasar

tersebut, diadakanlah pengangkatan.

Implementasi Kebijakan Peningkatan Kompetensi Pendidik Melalui Peningkatan Rasio Pendidikdan Pemerataan Penyebaran Pendidik Di Kabupaten Jeneponto - Nuryanti Mustari

34

Page 38: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

Implementasi Kebijakan Peningkatan Kompetensi Pendidik Melalui Peningkatan Rasio Pendidikdan Pemerataan Penyebaran Pendidik Di Kabupaten Jeneponto - Nuryanti Mustari

35

Tabel 5.

Jumlah Kekurangan dan Rekrutment Guru di Sekolah SMAN

Kabupaten Jeneponto Kurun Waktu 2006-2008

Sumber: Dinas Pendidikan Kabupaten Jeneponto

Berdasarkan Tabel 5 tersebut di atas,

dapat diketahui bahwa pengangkatan dan

penempatan guru dari Tahun 2006 sampai

dengan Tahun 2008 sejumlah 20 orang yang

tersebar pada 7 sekolah SMA di Kabupaten

Jeneponto. Jumlah ini sangat sedikit jika

dibandingkan dengan jumlah kekurangan

guru yang harus dipenuhi sebanyak 84 orang.

Padahal dalam standar pelayanan minimal

pendidikan ditetapkan bahwa sekolah

dikatakan memenuhi standar jumlah pendidik

jika telah memenuhi minimal 90 persen dari

kebutuhan tenaga guru dan tenaga

kependidikan lainnya. Dari Tabel 5 tersebut

di atas juga dapat dilihat bahwa guru-guru

yang direkrut tidak sesuai dengan kebutuhan

baik jumlah maupun kualifikasi mata

pelajaran.

Di SMA 1 Tamalatea misalnya, perekrutan

yang dilakukan tidak sesuai dengan

kebutuhan, dimana kekurangan 7 guru mata

pelajaran justru yang direkrut adalah Bahasa

Ingris dan Sejarah yang sebenarnya sudah

surplus guru untuk mata pelajaran tersebut.

Demikian juga di SMA 1 Bangkala yang

kekurangan 1 orang guru mata pelajaran

Ekonomi, tetapi yang direkrut tidak sesuai

dengan yang dbutuhkan yaitu 3 orang guru

mata pelajaran antara lain: PPKN, Bahasa

Daerah dan Bahasa Indonesia.

Di sekolah lainnya, walaupun sudah sesuai

dengan kebutuhan tetapi masih ada kebutuhan

guru yang tidak direkrut. Misalnya di SMA 2

Binamu yang kekurangan 15 guru mata

pelajaran, dan yang direkrut adalah guru mata

pelajaran Ekonomi, sesuai dengan kebutuhan

tetapi masih ada kebutuhan guru mata

pelajaran yang tidak direkrut sebanyak 14

orang guru.

Demikian halnya di SMA 1 Bangkala Barat

yang kekurangan 10 guru mata pelajaran,

namun yang direkrut hanya 4 orang guru mata

pelajaran. Meskipun yang direkrut sudah

sesuai dengan kebutuhan tetapi masih ada

kebutuhan guru mata pelajaran yang tidak

direkrut sebanyak 6 orang.

Pada Tabel 5 tersebut di atas juga

memperlihatkan bahwa terdapat sekolah yang

perekrutannya tidak sesuai dengan jumlah

yang dan kualifikasi guru mata pelajaran yang

Page 39: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

dibutuhkan. Hal ini terjadi pada SMA 1 Batang

yang kekurangan 16 guru mata pelajaran,

tetapi justru yang direkrut adalah guru mata

pelajaran Kimia yang sebenarnya sudah terisi.

Berdasarkan informasi yang disajikan pada

Tabel 8 tersebut dapat dicermati bahwa

perekrutan guru yang dilakukan masih

semrawut sehingga jumlah guru yang direkrut

tidak menutupi jumlah kekurangan guru dan

yang memprihatinkan adalah terjadinya

surplus guru pada satu sekolah karena yang

direkrut tidak sesuai dengan kebutuhan.

Berkaitan dengan hal tersebut, kami

konfirmasikan pada kepala bidang ketenagaan

Dinas Pendidikan Kabupaten Jeneponto, dan

beliau mengemukakan bahwa; Jumlah guru

yang diangkat tidak sesuai dengan yang

dibutuhkan karena data tentang daftar keadaan

guru setiap sekolah belum akurat.selain itu

formasi dari BKN (Badan Kepegawaian Negara)

terbatas sehingga pengangkatan guru yang

dilaksanakan bertahap. (HK, wawancara Maret

2010).

Dari hasil wawancara tersebut dapat

diketahui bahwa untuk memenuhi prinsip

sangkil mangkus dalam perekrutan guru,

keakuratan data tentang kebutuhan guru di

setiap sekolah khususnya sekolah SMA di

Kabupaten Jeneponto sangat dibutuhkan,

karena formasi pengangkatan guru dari Badan

Kepegawaian Negara (BKN) terbatas.

Berdasarkan Tabel 6 tersebut di atas,

bahwa secara umum responden yaitu 53 orang

atau sekitar 58,4 % yang mengatakan bahwa

pemerintah masih belum serius dalam

mengimplementasikan kebijakan peningkatan

kompetensi pendidik di Kabupaten Jeneponto,

melalui upaya pengangkatan dan penyebaran

guru di sekolah-sekolah SMA se Kabupaten

Jeneponto.

Pendapat tersebut didasarkan pada

kenyataan bahwa belum terjadi pemerataan

pendidik antar sekolah sehingga yang terjadi

banyak sekolah-sekolah yang kekurangan

guru, sementara disisi lain sekolah juga

mempunyai kelebihan guru mata pelajaran

yang diakibatkan karena pengangkatan guru

tidak didasarkan pada prinsip proporsional

dan profesional.

Responden yang mengatakan serius

berjumlah 37 orang atau sekitar 41,62 persen

dengan pertimbangan bahwa hampir setiap

tahun kurun waktu 2006-2008 diadakan seleksi

penerimaan guru untuk menutupi kekurangan

guru, hanya faktor anggaran yang terbatas yang

menjadi kendala terimplementasinya

kebiijakan tersebut secara efektif. Hal ini

sesuai dengan yang dikemukakan oleh Kepala

Bidang Ketenagaan dalam wawancara kami

bahwa;

Dalam setiap meeting dengan Bupati,

beliau selalu menyampaikan pentingnya

menata kembali penempatan guru. Distribusi

guru yang sembrawut menjadi salah satu

indikator penghalang peningkatan mutu

pendidikan. Sehingga pengangkatan guru

dilakukan untuk mencukupi kebutuhan guru.

Hal ini telah dilakukan kurun waktu 2006-

2008, hanya saja masih mengalami kendala

setelah pengangkatan dan penempatan

dilakukan, tidak berapa lama kemudian guru

tersebut dengan berbagai alasan misalnya jauh

dari tempat tinggal, akhirnya meminta pindah.

Keadaan seperti ini bermuara pada terjadinya

ketimpangan jumlah guru di satu sekolah

dengan sekolah lain. Padaha apabila tertata

dengan baik guru tidak lagi menumpuk di

sekolah-sekolah tertentu dan terletak di dalam

kota, tetapi sudah bisa merata ke seluruh

pelosok. (HK,Wawancara Agustus,2009).

Hal berbeda dikemukakan oleh dengan

Koordinator Pengawas SMA Kabupaten

Jeneponto dalam wawancara penulis berkaitan

dengan pengangkatan dan penyebaran guru di

Kabupaten Jeneponto yang menganggap masih

kurang serius;

Berkaitan dengan peningkatan rasio

pendidik melalui pengangkatan dan

Implementasi Kebijakan Peningkatan Kompetensi Pendidik Melalui Peningkatan Rasio Pendidikdan Pemerataan Penyebaran Pendidik Di Kabupaten Jeneponto - Nuryanti Mustari

36

Tabel 6.

Tanggapan Responden terhadap Upaya Melaksanakan

Kebijakan Peningkatan Kompetensi Pendidik melalui Upaya

Perekrutan dan Penyebaran Guru di Kabupaten Jeneponto

Sumber: Hasil Olahan Kuesioner, 2009

Page 40: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

penyebaran guru di Jeneponto, selama ini belum

proporsional, hal yang perlu dilakukan adalah

menata pemerataan guru terlebih dahulu

sehingga tersebar secara merata disemua

sekolah-sekolah SMA, sebaiknya mereposisi dulu

kemudian merekrut guru sesuai dengan

kebutuhan. (DT, Wawancara, Juli, 2009).

Pernyataan dari sebagian besar kepala

sekolah SMA Kabupaten Jeneponto, setelah

kami konfirmasikan kepada Kepala Dinas

Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten

Jeneponto juga mengakui bahwa masih

adanya masalah kekurangan guru dan belum

meratanya distribusi guru ke di setiap sekolah,

berikut petikan wawancara kami:

Salah satu kendala yang kami alami

sekarang ini adalah soal pemerataan guru,

beberapa sekolah masih kekurangan guru mata

pelajaran yang mengajar sesuai kompetensinya.

Dalam beberapa kali penerimaan CPNS, guru-

guru yang diangkat kemudian ditempatkan

sesuai dengan SK justru jauh dari harapan.

Kerena faktor kedekatan emosional sehingga

mudah meminta pindah ke sekolah lain, yang

dianggap strategi. (Wawancara, Agustus,2009).

Wawancara tersebut memberikan gambaran

bahwa pemerintah sepertinya masih kesulitan

memenuhi atau mengimplementasikan

kebijakan ini, juga menimbulkan suatu asumsi

bahwa kebijakan peningkatan kompetensi

pendidik belum menjadi masalah prioritas.

Upaya pengangkatan dan penyebaran pendidik

belum proporsional karena tidak didasarkan

pada pertimbangan kebutuhan sekolah

sehingga masih terjadi krisis guru sekaligus

surplus guru yang terjadi di semua sekolah.

Terdapat kemungkinan ada unsur kekerabatan

sehingga ditempatkan pada sekolah yang

strategis tetapi perlu diteliti lebih jauh.

Kendala lain yang dihadapi berkaitan

dengan perekrutan pendidik di Kabupaten

Jeneponto adalah tempat domisili atau letak

tempat tinggal dengan sekolah (seperti yang

dikemukakan oleh Kepala Bidang Ketenagaan

Dinas Pendidikan Kabupaten Jeneponto

dalam wawancara kami sebelumnya, halaman

150). Ada kecenderungan bahwa pendidik di

Kabupaten Jeneponto yang ditempatkan

disekolah yang jauh dari tempat tinggal

mereka akan meminta pindah. Sebagaimana

yang dikemukakan oleh AN (Agustus, 2009)

bahwa:

Guru-guru akan meminta pindah

mengajar jika letak sekolah tempatnya

mengajar jauh dari tempat tinggalnya,

sehingga diharapkan kedepan pemerintah

memperhatikan kedekatan jarak geografis

sekolah dengan tempat tinggal guru-guru

sehingga hal-hal yang tidak diinginkan bisa

dihindari, karena biasanya belum setahun

ditugaskan di sekolah bersangkutan, mereka

sudah meminta pindah dan yang

memprihatinkan adalah mereka datang dan

pergi tanpa sepengetahuan Kepala Sekolah,

secara tiba-tiba saja SK penempatan di

sekolah baru sudah ada tanpa ada informasi

awal dan sepengetahuan Kepala sekolah

sebelumnya. Di sekolah kami SMA 1 Turatea

yang hanya memiliki 9 orang guru tetap,

karena terdapat 3 orang guru tetap yang

pindah mengajar masing-masing ke SMA

khusus dan SMA 1 Binamu sehingga jumlah

kekurangan guru di sekolah kami meningkat.

Hasil wawancara tersebut menggambarkan

bahwa kebijakan penyebaran dan pemerataan

pendidik dengan memperhatikan letak

geografis tempat tinggal dengan tempat

mengajar belum dilaksanakan secara

maksimal, padahal menurut Saydam (1996:

99) penting untuk menjamin lingkungan kerja

yang mendukung, karena dengan lingkungan

pekerjaan yang nyaman membuat pegawai

bekerja tenang, bersemangat dan bergairah

dalam melaksanakan pekerjaan. Sebagaimana

tanggapan US bahwa:

Pendidik yang bekerja pada sekolah yang

jauh dari tempat tinggalnya akan merasa tidak

nyaman, sehingga semangat kerjanya

menurun. Hal ini pula yang menyebabkan

sering terlambat mengajar. (Wawancara

Agustus 2009).

Masalah lain berkaitan dengan belum

optimalnya upaya perekrutan guru, dari

olahan data sekunder dapat diketahui bahwa

pada pengangkatan guru SMA Tahun 2006

ditemukan data guru yang mengajarkan dua

mata pelajaran dan ironisnya adalah

mengajarkan mata pelajaran yang berbeda

dengan kualifikasi dan kompetensinya. Setelah

hal ini kami konfrontasikan dengan Kepala

Implementasi Kebijakan Peningkatan Kompetensi Pendidik Melalui Peningkatan Rasio Pendidikdan Pemerataan Penyebaran Pendidik Di Kabupaten Jeneponto - Nuryanti Mustari

37

Page 41: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

Sekolah SMA 1 Tamalatea Kabupaten

Jeneponto, beliau mengemukakan bahwa;

Untuk keberlangsungan Proses Belajar

Mengajar, agar kelas tidak kosong akibat

belum terpenuhinya kuota guru yang

dibutuhkan, maka selain mengandalkan guru

tidak tetap (GTT) , juga kami membebani

kepada guru yang dianggap bisa meskipun

tidak sesuai dengan basic ilmu yang

dimilikinya. (Wawancara, BM, Agustus, 2009).

Dari beberapa fenomena yang telah

dijelaskan maka dapat disimpulkan bahwa

bahwa pengangkatan guru tidak berakibat

pada terwujudanya kebijakan peningkatan

rasio pendidik pada sekolah SMA Kabupaten

Jeneponto secara optimal. Perekrutan yang

dilakukan tidak sesuai dengan kebutuhan baik

dari kuantitasanya (proporsional) maupun

kualifikasi guru mata pelajaran yang

dibutuhkan (profesional). Perlu diketahui

bahwa kebijakan pengangkatan dan

pemerataan penyebaran pendidik merupakan

salah satu faktor yang berpengaruh terhadap

peningkatan kompetensi pendidik di

Kabupaten Jeneponto. Hal ini didasarkan pada

pertimbangan bahwa apabila penataan guru

dilakukan secara proporsional, maka tidak ada

lagi sekolah yang mengalami surplus dan krisis

guru, sehingga proses belajar mengajar akan

berlangsung secara efektif dan secara tidak

langsung berakibat pada meningkatnya

kompetensi guru sesuai dengan tuntutan

perkembangan Ilmu pengetahuan dan

perkembangan masyarakat.

Sekolah yang mengalami surplus guru

mata pelajaran, terdapat kecenderungan

bahwa guru mata pelajaran akan sulit

memenuhi beban kerja kerja wajib per

minggu yaitu 24 jam yang juga merupakan

salah satu upaya meningkatkan kompetensi

profesional guru. Selanjutnya, kegiatan yang

dilakukan dalam rangka mengimplementasikan

kebijakan penyebaran pendidik adalah mutasi.

Berikut diuraikan bagaimana pelaksanaan

mutasi pendidik SMA di Kabupaten

Jeneponto. Mutasi dilaksanakan dalam upaya

pemerataan penyebaran guru, agar tidak

terjadi disparitas yang menonjol antara satu

sekolah dengan sekolah yang lain.

b. Kebijakan Mutasi Pendidik

Mutasi dilaksanakan dalam upaya

pemerataan penyebaran guru antara sekolah-

sekolah yang berada di kota maupun sekolah

yang ada di kecamatan, serta antara sekolah

yang surplus pendidiknya dengan sekolah

yang krisis pendidik.

Berdasarkan Tabel 7 tersebut di atas,

diketahui bahwa pemerataan guru masih

belum terbenahi dengan baik yang disebabkan

karena guru-guru yang direkrut tidak sesuai

dengan kebutuhan, kemudian tidak

ditempatkan pada sekolah yang kekurangan

sehingga mengakibatkan setiap sekolah

disamping kekurangan guru juga sekaligus

kelebihan guru mata pelajaran. Sebagai

penguatan atas indikasi tersebut dari laporan

bulanan sekolah SMA di Kabupaten Jeneponto

diketahui bahwa :

SMA 1 Binamu kekurangan 16 guru yang

dapat dirinci menurut mata pelajaran (lihat

Tabel 7), padahal disisi lain, SMA 1 Binamu

kelebihan 4 guru untuk Mata Pelajaran Sejarah

yang kelebihan 1 orang guru, Mata Pelajaran

Fisika kelebihan 2 orang guru, dan Mata

Pelajaran Geografi kelebihan 1 orang guru.

Sekolah SMA 2 Binamu kekurangan 15 Guru

yang dapat dirinci menurut Mata pelajaran

(lihat Tabel 7), sementara disisi lain kelebihan

2 guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia.

Sekolah SMA 1 Tamalatea kekurangan 7 orang

guru untuk Mata Pelajaran (lihat Tabel 7) disisi

lain, SMA 1 Tamalatea kelebihan 9 orang guru

Implementasi Kebijakan Peningkatan Kompetensi Pendidik Melalui Peningkatan Rasio Pendidikdan Pemerataan Penyebaran Pendidik Di Kabupaten Jeneponto - Nuryanti Mustari

38

Tabel 7.

Distribusi Jumlah kekurangan dan Kelebihan Guru Mata

Pelajaran Tingkat SMA di Kabupaten Jeneponto

Sumber: Dinas Pendidikan Kabupaten Jeneponto

Page 42: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

yang dapat dirinci untuk Mata Pelajaran

Agama kelebihan 3 orang guru, dan untuk Mata

Pelajaran Geografi, Biologi, Bahasa Ingris,

Sejarah, PPKN, dan Kimia masing-masing

kelebihan 1 orang guru. Ironisnya, terdapat

penempatan 2 guru bidang studi Bahasa Ingris

di SMA 1 Tamalatea padahal sudah kelebihan

1 guru Bahasa Inggris.

Demikian halnya di SMA 1 Bangkala

kekurangan 1 guru Mata Pelajaran Ekonomi

dan kelebihan 2 guru masing-masing untuk

mata pelajaran Bahasa Ingris dan Biologi.

Sedangkan di SMA 1 Bangkala Barat

kekurangan 10 guru mata pelajaran (lihat

Tabel 7), disisi lain SMA 1 Bangkala Barat

kelebihan 1 orang guru mata pelajaran Bahasa

Jerman. Penempatan 3 orang guru mata

pelajaran, masing-masing Bahasa Indonesia,

PPKN dan Bahasa Daerah dianggap tidak

proporsional karena SMA 1 Bangkala hanya

kekurangan 1 guru ekonomi.

Keadaan guru SMA 1 Batang juga

kekurangan 16 guru mata pelajaran (lihat

rinciannya pada Tabel 7). Disisi lain SMA 1

Batang hanya kelebihan 1 guru untuk mata

pelajaran Penjas. Pada pengangkatan Guru

kurun waktu 2006 sampai 2008 hanya 1

orang guru yaitu mata pelajaran kimia yang

ditempatkan di SMA 1 Batangi sehingga

sekolah ini masih mengalami kekurangan guru

yang signifikan. Terakhir, pada SMA 1 Kelara

yang kekurangan 19 guru (lihat rincian pada

Tabel 7) . Pengangkatan guru tidak menutupi

jumlah kekurangan guru di sekolah tersebut,

karena pada Tahun 2007 dan 2008 hanya ada

4 orang guru yang ditempatkan pada SMA 1

Kelara.

Kegiatan yang dapat dilakukan untuk

menata penyebaran pendidik agar dapat

terdistribusi secara proporsional adalah

dengan melakukan mutasi. Tetapi Kenyataan

yang peneliti temukan di lapangan, pada tahun

2006 dan 2007 mutasi tidak dilaksanakan. Hal

ini sesuai pula dengan yang dikemukakan oleh

informan bahwa;

Pada tahun 2006 dan 2007 tidak ada

mutasi untuk guru-guru, yang sering dilakukan

adalah mutasi kepala sekolah. Nanti pada

tahun 2008 baru ada mutasi guru. (NL,

wawancara, Agustus 2009)

Dari hasil wawancara tersebut diketahui

bahwa mutasi guru hanya dilakukan pada

Tahun 2008. Dari data primer diketahui

bahwa guru-guru tersebut dimutasikan ke

sekolah SMAN LB khusus Kabupaten

Jeneponto, sesuai dengan Keputusan Bupati

Jeneponto Nomor 821.25-09 tanggal 15-07-

2008 sebanyak 7 orang guru mata pelajaran

dan semuanya ditempatkan di SMAN LB

khusus Kabupaten Jeneponto. Dari fenomena

ini dapat dicermati bahwa tujuan

dilaksanakannya mutasi yaitu agar tidak

terjadi ketimpangan antara sekolah-sekolah

yang diunggulkan dengan sekolah yang tidak

diunggulkan belum terpenuhi secara optimal.

Kemudian setelah peneliti mengkonfirmasikan

hal ini pada kepala sekolah tempat mengabdi

sebelumnya, beliau mengatakan bahwa:

Guru-guru terbaik kami dipindahkan ke

sekolah SMAN LB Khusus Kabupaten Jeneponto

sehingga jumlah kekurangan guru di sekolah

kami bertambah. Seharusnya setelah dimutasi,

pemerintah mengangkat guru pengganti untuk

mata pelajaran yang lowong (AN, wawancara

Agustus, 2009).

Hasil wawancara tersebut memberikan

gambaran bahwa guru mata pelajaran yang

lowong karena adanya mutasi belum diisi

sehingga jumlah kekurangan guru semakin

bertambah. Menurut Sutarto (1995) bahwa

apapun alasan terjadi lowongan dalam suatu

organisasi, yang jelas ialah bahwa lowongan itu

harus diisi, bahkan tidak mustahil ada

lowongan yang harus diisi dengan segera, salah

satu teknik pengisiannya adalah rekruitmen.

Berdasarkan fenomena ini dapat

dicermati bahwa pelaksanaan mutasi sebagai

upaya mengimplementasikan kebijakan

penyebaran pendidik tidak serta merta

menutupi jumlah kekurangan guru SMA di

Kabupaten Jeneponto dan pemerataan

pendidik antara satu sekolah dengan sekolah

lainnya. Hal ini juga sesuai dengan tanggapan

responden ketika diminta pendapatnya atau

penilaiannya tentang upaya perekrutan dan

mutasi guru di Kabupaten Jeneponto seperti

yang telah disinggung pada Tabel 9, bahwa

mereka juga sebagian besar 58,4% yang

menganggap kurang serius atau tidak serius

upaya mutasi guru di Kabupaten Jeneponto.

Implementasi Kebijakan Peningkatan Kompetensi Pendidik Melalui Peningkatan Rasio Pendidikdan Pemerataan Penyebaran Pendidik Di Kabupaten Jeneponto - Nuryanti Mustari

39

Page 43: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

Menanggapi masalah pemerataan guru, H.

Darwis Tanar selaku Koordinator Pengawas

mengungkapkan bahwa:

Ketidakseimbangan penempatan para

guru khususnya guru mata pelajaran memang

sudah sangat memperihatinkan. Di tingkat

SLTA Kabupaten Jeneponto masih terdapat

banyak kekurangan guru mata pelajaran

khususnya di sekolah-sekolah yang jauh dari

kota seperti SMA 1 Bangkala Barat yang

kekurangan 10 guru dan SMA 1 Batang yang

kekurangan 16 Guru. Sementara disisi lain

semua sekolah mengalami kelebihan guru dan

yang paling signifikan kelebihannya adalah

pada SMA 1 Tamalatea sebanyak 9 orang.

Kurang efektifnya proses belajar mengajar

yang disebabkan karena masih banyaknya

mata pelajaran yang lowong gurunya, maka

agar proses belajar mengajar tetap

berlangsung, disiasati dengan memberikan

tanggung jawab kepada guru tertentu yang

dianggap bisa meskipun berbeda dengan

kompetensi dan kualifikasinya. Seharusnya

agar terjadi pemerataan diadakan mutasi

yang tepat, dengan menata dan mendata

kembali keadaan guru disetiap sekolah,

kemudian memutasikan guru dari sekolah

yang surplus gurunya kepada sekolah yang

kurang atau sekolah yang membutuhkan.

Setelah itu barulah dilaksanakan perekrutan

untuk memenuhi kebutuhan guru setiap

sekolah. (wawancara, Juli 2009)

Berdasarkan wawancara tersebut,

ketimpangan yang terjadi akibat penyebaran

guru yang tidak merata di seluruh sekolah SMA

di Kabupaten Jeneponto sehingga masih

terdapat surplus guru di satu sekolah

sementara sekolah lain mengalami krisis guru

mata pelajaran. Hal ini dapat dilihat pada SMA

1 Binamu yang kelebihan guru mata pelajaran

fisika 2 orang, sementara di sisi lain SMA 2

Binamu dan SMA 1 Batang masing-masing

kekurangan 1 orang guru mata pelajaran

Fisika.

Demikian pula yang terjadi di SMA 1

Tamalatea yang kelebihan guru mata pelajaran

Geografi, Biologi, Bahasa Ingris, Sejarah, PPKN

dan Kimia masing-masing 1 orang, sementara

disisi lain SMA 2 Binamu kekurangan guru

Georafi dan Kimia masing-masing 1 orang,

SMA 1 Binamu kekurangan guru mata

pelajaran Biologi dan Kimia masing-masing 1

orang, dan SMA 1 Batang kekurangan guru

Bahasa Ingris dan Sejarah masing-masing 1

orang.

Dari penjelasan beberapa fenomena yang

disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa

mutasi yang dilakukan tidak berakibat pada

terpenuhinya kebutuhan guru serta

pemerataan penyebaran guru di seluruh

sekolah SMA di Kabupaten Jeneponto. Padahal

Pemerataan Penyebaran pendidik dalam hal

ini guru sangat penting dilakukan untuk

memacu dan meningkatkan prestasi

pendidikan secara bersamaan antara sekolah-

sekolah yang ada di kota maupun yang berada

di kecamatan. Selain itu, jika terdapat

kecenderungan guru mengajarkan mata

pelajaran yang berbeda dengan

kompetensinya maka guru akan sulit

meningkatkan kompetensi profesionalnya.

(AN, wawancara Agustus 2009).

KESIMPULAN DAN SARAN

Implementasi kebijakan peningkatan

kompe-tensi pendidik yang tertuang dalam

Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2006

tentang Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Tahun 2006-2008 yang memuat

diantaranya peningkatan rasio pendidik

melalui pengangkatan dan penyebaran

pendidik belum dilaksanakan secara

proporsional dan professional sehingga masih

saja terjadi kirisis sekaligus surplus guru mata

pelajaran di sekolah SMA di Kabupaten

Jeneponto.

Hal ini disebabkan perekrutan yang

dilakukan tidak sesuai dengan kebutuhan guru

di setiap sekolah SMA di Kabupaten

Jeneponto. Selain itu dari data sekunder

diperoleh informasi bahwa terdapat guru yang

mengajarkan dua mata pelajaran berbeda yang

tidak sesuai dengan kompetensi keilmuannya.

Sehingga diharapkan Agar Pemerintah Daerah

Kabupaten Jeneponto dalam hal ini Dinas

Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten

Jeneponto secara komprehensif

mengimplementasikan kebijakan peningkatan

Implementasi Kebijakan Peningkatan Kompetensi Pendidik Melalui Peningkatan Rasio Pendidikdan Pemerataan Penyebaran Pendidik Di Kabupaten Jeneponto - Nuryanti Mustari

40

Page 44: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

kompetensi pendidik melalui perekrutan,

penempatan dan penyebaran tenaga pendidik

secara proporsional dan profesional sesuai

dengan kebutuhan sekolah sehingga keadaan

surplus dan krisis guru yang terjadi secara

simultan pada sekolah SMA di Kabupaten

Jeneponto dapat diminimalkan.

DAFTAR PUSTAKA

Danim. 2002. Inovasi Pendidikan: Dalam

Upaya Meningkatkan Profesionalisme

Tenaga Kependidikan, ‘Bandung:

Pustaka Setia.

Depdikbud, 1999. Filosofi, Kebijakan dan

Strategi Pendidikan Nasional. Jakarta:

Depdikbud.

Dunn, William N. 1981. Public Policy Analysis:

An Introduction. New Jersey:

Englewood Cliffs.

Islamy, Irfan M. Prinsip-Prinsip Perumusan

Kebijakan Negara. Jakarta: Bumi

Aksara, 1997.

Jones, Charles O. 1996. Pengantar Kebijakan

Publik. Diterjemahkan oleh Ricky

Ismanto. Jakarta: Raja Grafindo

Persada.

Putra, Fadillah. 2003. Paradigma Kritis Dalam

Studi Kebijakan Publik. Surabaya:

Pustaka Pelajar, 2003.

Salusu, J. 2000. Pengambilan Keputusan

Stratejik, (Cet. Ketiga).. Jakarta:

Grasindo.

Spencer, M., Lyle and Spencer, M. Signe. 1992.

Competence at Work: Models for

Superrior Performance. New York USA:

John Wiley & Son, Inc.

Tangkilisan, Wim, 2008, Mutu Pendidikan Kita,

(Online). (www.Koran Indonesia)

Diakses 12 Desember 2009.

Tilaar, 2000. Paradigma Baru Pendidikan

Nasional. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Udoji, Chief J.O. 1981. The African Public Srvant

As a Public Policy in Africa. Addis

Abeba: African Association for Public

Administration and Management.

Wahab, Solichin Abdul. 1997. Analisis

Kebijaksanaan. Jakarta: Bumi Aksara.

Implementasi Kebijakan Peningkatan Kompetensi Pendidik Melalui Peningkatan Rasio Pendidikdan Pemerataan Penyebaran Pendidik Di Kabupaten Jeneponto - Nuryanti Mustari

40

*******

Page 45: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

PENDAHULUAN

Perjalanan sistem desentralisasi di

Indonesia jika dirunut sepanjang sejarah

perjalanan bangsa ini cukup panjang dan

berliku. Perubahan politik di tahun 1990-an

menjadi arus balik perjalanan bangsa Indonesia

yang membawa beberapa dampak positif.

Perubahan tersebut di antaranya mengubah

tata hubungan antara Pemerintah Pusat dan

Daerah ke arah yang lebih demokratis dengan

memperbesar porsi desentralisasi. Dengan

perubahan sistem pemerintahan tersebut,

otomatis berbagai pranata pendukung sistem

yang selama ini bersifat sentralistik juga

mengalami perubahan.

Sistem pemerintahan desentralisasi

sebenarnya telah digagas oleh para pendiri

negara ini dengan menempatkan satu pasal

dalam UUD 1945 (pasal 18). Implementasi

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN TATA KELOLA

PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN SEMANGAT

EFOURIA DEMOKRASI LOKAL

Jaelan Usman

ABSTRAK

Perjalan reformasi kurang lebih 13 tahun pasca pemerintahan rezim Orde Baru

32 tahun; menimbulkan beberapa pertanyaan kritis yang harus dijawab dalam

konteks “Tata Kelola Pemerintahan Daerah, dengan semangat Efouria

Demokrasi Lokal”. Beberapa pertanyaan kritis dimaksud, timbul dari praktek

desentralisasi dan otonomi daerah, antara lain: Sejauh mana desentralisasi dan

otonomi daerah mendorong tumbuhnya demokrasi lokal yang kokoh dan beradab?

Bagaimana nasib perkembangan demokrasi lokal pasca Pemilihan Umum Legislatif

dan Pemilihan Presiden 2009? Desentralisasi, secara teoretis, merupakan upaya

untuk membawa negara lebih dekat dengan masyarakat lokal serta mendorong

tumbuhnya tata pemerintahan lokal yang lebih demokratis. Dengan kata lain, tanpa

diikuti dengan demokrasi lokal, desentralisasi dan otonomi daerah tidak lebih hanya

memindahkan sentralisasi dan korupsi dari pusat ke daerah. Tata pemerintahan

lokal yang demokratis, mengedepankan prinsip pemerintahan “dari” masyarakat,

dikelola secara akuntabel dan transparan “oleh” masyarakat dan dimanfaatkan

secara responsive “untuk” kepentingan masyarakat luas.

Kata Kunci : Tata Kelola Pemerintahan Daerah, Efouria Demokrasi Lokal.

41Implementasi Kebijakan Tata Kelola Pemerintahan Daerah dengan Semangat Efouria Demokrasi Lokal - Jaelan Usman

Page 46: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

pasal tersebut selalu menimbulkan persoalan

sejak tahun-tahun awal kemerdekaan.

Pergulatan mencari makna kebangsaan yang

dipandang sebagai identitas sekunder, selalu

menghadapi persoalan identitas primer

berupa kuatnya solidaritas etnik, agama, adat

dan bahasa serta tradisi lokal. Faktor-faktor

ini pula yang menyebabkan timbulnya

pemberontakan kedaerahan selain faktor

ketidakadilan dalam pembagian sumberdaya

ekonomi antara Pusat dan Daerah (Maryanov,

1958; Harvey, 1983).

Sejak tahun 1945 itu pula, Pemerintah

Pusat memandang pluralitas secara ambivalen.

Di satu sisi mempromosikan Bhinneka Tunggal

Ika sebagai semboyan resmi negara, di sisi lain

menerapkan kebijakan sentralisasi karena

kebhinekaan dilihat sebagai ancaman

disintegrasi. Selama masa kepemimpinan

Soekarno berlangsung 16 kali pergantian

kabinet. Yang menarik dari proses tersebut

adalah program-program kabinet yang

menempatkan “desentralisasi”, “otonomi

daerah” atau “memperbaiki hubungan Pusat-

Daerah” sebagai prioritas. Meskipun usaha

tersebut mengalami kegagalan, tetapi

menunjukkan betapa penting dan mendesak

mewujudkan hubungan Pusat-Daerah yang

seimbang dan proporsional. Perpaduan antara

tuntutan Daerah dan kehendak Pusat inilah

yang terus menerus dicari. Oleh sebab itu

sepanjang kepemimpinannya berlangsung 4

kali perubahan undang-undang pemerintahan

daerah.

Di bawah undang-undang no. 1/1945

dilakukan pembentukan daerah-daerah

otonom yang masih terbatas di Jawa.

Jangkauan undang-undang ini sangat terbatas,

mengingat sebagai negara baru masih

mencari-cari bentuk, termasuk susunan

pemerintahan daerah yang pluralistik sebagai

warisan penjajahan. Belanda menerapkan dua

sistem yang berbeda, yaitu indirect rule untuk

Jawa dan direct rule untuk luar Jawa. Dampak

kedua sistem ini cukup besar dalam susunan

pemerintahan lokal. Jika di Jawa otoritas

tradisional dalam batas-batas tertentu masih

kuat, maka di luar jawa kesatuan sosial dalam

bentuk suku, wilayah, kepulauan saling

memotong (cross cutting). Gejala ini di satu sisi

menumbuhkan kuatnya identitas primer

(primordialisme) di sisi lain berlangsung

besaran (magnitude) oleh proses ekonomi

kapitalistik yang mengintegrasikan ekonomi

luar jawa secara langsung dengan pasar

internasional.

Undang-undang No. 22/1948 memberi

ruang gerak daerah yang lebih luas dibanding

sebelumnya. Guna menghidupkan

pemerintahan lokal dan kesatuan sosial,

dibentuk daerah tingkat III yang satuannya

dapat berupa desa atau satuan yang setingkat.

Akibatnya kontrol Pusat terhadap Daerah

berkurang tajam. Tidak mengherankan di

bawah undang-undang tersebut berlangsung

berbagai pemberontakan daerah (DI, TII,

PERMESTA, RMS), selain pemberontakan PKI

di Madiun. Guna mencegah menguatnya

daerahisme, provinsialisme dan memperkuat

kontrol Pusat, dikeluarkan undang-undang No.

1/1957. Di bawah undang-undang baru ini

kandungan keseimbangan antara.

Pusat dan Daerah lebih mengemuka.

Meski-pun bukan produk DPR hasil pemilu

1955 secara penuh, hubungan Pusat-Daerah

lebih demokratis. Tetapi kemacetan-

kemacetan segera terjadi, yang penyebab

utamanya adalah pembagian hasil hutan,

pertambangan dan perkebunan yang lebih

berpihak ke Pusat.

Romantisme agama turut mempengaruhi

ketegangan Pusat-Daerah, sehingga undang-

undang tersebut tidak dapat

diimplementasikan secara optimal. Selain itu

konflik ideologi partai dan politisasi massa

untuk keperluan partai-partai, menguras

energi dan tidak terdapat kesempatan untuk

mengoptimalkan undang-undang tersebut.

Ketegangan antar partai, khususnya antara

PKI dan kekuatan oponennya, melahirkan

undang-undang No. 18/1965. Aturan ini tidak

banyak mewarnai hubungan Pusat-Daerah,

sebab kekacauan segera terjadi. Di bawah

kepemimpinan Soeharto, sentralisasi

setengah hatinya Soekarno dikonkritkan.

Soeharto tanpa ragu-ragu melihat

keanekaragaman budaya, geopolitik

kepulauan dan kemajemukan ideologi sebagai

ancaman persatuan dan kesatuan bangsa.

Integrasi nasional dalam visi Soeharto harus

42Implementasi Kebijakan Tata Kelola Pemerintahan Daerah dengan Semangat Efouria Demokrasi Lokal - Jaelan Usman

Page 47: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

dimulai dari integrasi wilayah (keutuhan

wilayah) dan merasuk ke integrasi bangsa

(Soeharto, 1989). Dalam visi demikian,

perbedaan ideologi tidak dapat ditoleransi.

Itulah sebabnya mengapa kepemimpinan

Soeharto anti partai, anti kemajemukan

ideologi dan menyatukan ideologi dalam asas

tunggal.

Kekhawatiran akan lahirnya daerahisme

dan provinsialisme, dipertegas dengan

membatasi masa jabatan kepala daerah dan

mekanisme pemilihan. Kepala Daerah tidak

sepenuhnya dipilih oleh Dewan. Secara formal

mekanismenya adalah perpaduan antara

kehendak Daerah (mengusulkan tiga nama)

dan kehendak Pusat (menentukan/memilih

satu dari tiga yang diusulkan Dewan). Tetapi

secara substantif, Kepala Daerah adalah orang

Pusat yang ditempatkan di daerah. Selain

didesain untuk mengendalikan Daerah,

undang-undang No. 5/1974 tidak memberi

ruang gerak yang memadai bagi tokoh-tokoh

Daerah untuk membangun kekuatan dengan

identitas Daerah.

Pembunuhan massal yang berlangsung

pertengahan tahun 1960-an, merupakan

kendala struktural bagi kekuatan masyarakat

termasuk kekuatan-kekuatan di Daerah untuk

melakukan tawar menawar dengan Pusat.

Menguatnya sentralisasi di awal

kepemimpinan Soeharto sesungguhnya

memiliki argumen empirik yang kuat, seperti

konflik ideologi global, geopolitik Indonesia

yang berbentuk kepulauan dan pluralitas

kultural. Latar belakang sebagai seorang

militer yang sebelumnya terlibat secara aktif

dalam memadamkan pemberontakan daerah

dan sebagai orang Jawa yang tidak menempuh

pendidikan tinggi, tidak memiliki referensi

lain selain kebudayaan jawa. Dalam konsep

kebudayaan jawa, kekuasaan itu utuh dan

konkrit (Anderson, 1985), sehingga

menerapkan desentralisasi berarti

mengurangi kekuasaan pemimpin Pusat.

Pertimbangan empiris lainnya adalah

kebutuhan akan kemajuan ekonomi yang

mendesak. Syarat untuk itu adalah stabilitas

sosial politik yang dimaknai sebagai

terwujudnya keamanan dan ketertiban

masyarakat. Berdasarkan pertimbangan-

pertimbangan tersebut, dilakukan penataan

struktur politik di awal tahun 1970-an.

LANDASAN TEORITIS

Landasan teoritis tentang hubungan Pusat

de-ngan Daerah, penataan tersebut

mengkristal pada pembentukan sistem

pemerintahan daerah yang tanggap terhadap

komando Pusat (Mas’oed, 1989). Jenjang

pemerintahan didesain bertingkat dengan

kepemimpinan berlatar belakang militer

untuk memastikan dipatuhinya perintah

Jenderal berbintang empat kepada jenderal

berbintang dua di provinsi dan kepada para

kolonel di kabupaten atau kota. Serentak

dengan itu, birokrasi digunakan sebagai

kekuatan utama perencana dan pelaksana.

Pilihan itu untuk menjamin rantai komando

dari Jakarta ke pelosok tanah air, mengingat

hanya birokrasi kekuatan yang tersebar ke

pelosok tanah air. Namun, setelah

pembangunan menunjukkan bukti-bukti

konkrit seperti meningkatnya usia harapan

hidup dari 44 tahun (1965) menjadi 59 tahun

(1995), meningkatnya angka partisipasi

sekolah dasar yang mencapai 100 persen sejak

tahun 1993, meningkatnya pendapatan

perkapita masyarakat dari negara miskin

(1965) ke negara berpendapatan menengah

(1995) dan menurunnya angka kemiskinan

dari 45 persen penduduk Indonesia (1965)

menjadi 13,5 persen (1995), ternyata format

hubungan Pusat dengan Daerah tidak

mengalami perubahan. Padahal dalam teori

pembangunan, perubahan-perubahan yang

mengarah ke semakin meningkatnya

kesejahteraan masyarakat, diperlukan ruang

yang lebih terbuka untuk memberi wadah

partisipasi masyarakat (Huntington, 1968).

Kegagalan membangun institusi yang mampu

memberi tempat partisipasi masyarakat, akan

menghancurkan hasil-hasil pembangunan

yang telah dicapai. Ruang dan institusi yang

dimaksud adalah partisipasi, transparansi,

keadilan dan kompetisi (demokratisasi).

Secara politik, desentralisasi merupakan

langkah menuju demokratisasi. Dengan

desentralisasi, pemerintah lebih dekat dengan

rakyat, sehingga kehadiran pemerintah lebih

43Implementasi Kebijakan Tata Kelola Pemerintahan Daerah dengan Semangat Efouria Demokrasi Lokal - Jaelan Usman

Page 48: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

dirasakan oleh rakyat dan keterlibatan rakyat

dalam perencanaan, pelaksanaan dan

pengawasan pembangunan dan pemerintahan

semakin nyata. Secara sosial, desentralisasi

akan mendorong masyarakat ke arah

swakelola dengan memfungsikan pranata

sosial yang merupakan social capital dalam

menyelesaikan persoalan-persoalan yang

mereka hadapi. Dengan pranata yang telah

internalized, mekanisme penyelesaian mereka

pandang lebih efektif, efisien dan adil.

Sedangkan secara ekonomi, desentralisasi

diyakini dapat mencegah eksploitasi Pusat

terhadap daerah, menumbuhkan inovasi

masyarakat dan mendorong motivasi

masyarakat untuk lebih produktif.

Secara administratif akan mampu

meningkatkan kemampuan daerah dalam

melakukan perencanaan, pengorganisasian,

meningkatkan akuntabilitas atau pertanggung

jawaban publik. Baik Undang-Undang No. 22/

1999 maupun amandemennya UU No. 32/

2004 tentang Perintahan Daerah menganut

pemikiran seperti itu. Bahwa peningkatan

kualitas kehidupan masyarakat, kualitas

pelayanan pemerintah dan optimalisasi peran

serta masyarakat dalam pembangunan,

merupakan trimatra yang mendasari lahirnya

UU No. 22/1999 dan amandemennya yaitu UU

No. 32/2004.

Gagasan pemerintah sebagai fasilitator

dalam pembangunan masyarakat, masih jauh

dari harapan, jika memperhatikan kinerja

birokrasi selama beberapa tahun terakhir.

Selain format ideal bagi keberadaan birokrasi

di berbagai level pemerintahan belum

menemukan bentuknya, tarik menarik antara

pemerintah daerah propinsi dengan

kabupaten dan dengan Pusat, masih mewarnai

penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia.

Selain itu, kecenderungan semua level

pemerintahan untuk menjalankan semua

fungsi pelayanan juga masih dominan,

sehingga kecenderungan masyarakat sebagai

obyek penerima pelayanan juga masih

menonjol. Intervensi pemerintah di masa

yang lalu telah menimbulkan masalah

rendahnya kapabilitas dan efektivitas

pemerintah daerah dalam mendorong proses

pembangunan dan demokrasi. Arahan dan

statutory requirement yang terlalu besar dari

Pemerintah Pusat menyebabkan inisiatif dan

prakarsa daerah cenderung mati, sehingga

pemerintah daerah seringkali menjadikan

pemenuhan peraturan sebagai tujuan, dan

bukan sebagai alat untuk meningkatkan

pelayanan kepada masyarakat (Mardiasmo,

2002).

Besarnya arahan dari Pusat itu didasarkan

atas pertimbangan menjamin stabilitas

nasional dan kondisi sumberdaya manusia di

daerah. Hal ini dapat dipahami, sebab konteks

sosial dan politik dirumuskannya UU No. 5/

1974 adalah penegakan stabilitas nasional dan

pemberantasan kemiskinan serta

keterbelakangan masyarakat.

Tetapi dalam jangka panjang, sentralisasi

seperti itu telah menimbulkan rendahnya

akuntabilitas, memperlambat pembangunan

infrastruktur sosial, rendahnya tingkat

pengembalian proyek-proyek publik, serta

memperlambat pengembangan kelembagaan

sosial ekonomi di daerah (Bastin dan Smoke,

1992). Apalagi sejak tahun 1990-an

berlangsung new game di fora internasional

di mana negara tidak akan mampu lagi sebagai

pemain tunggal dalam menghadapi hyper

competitive. Pemerintah akan terlalu besar

untuk menyelesaikan masalah kecil dan terlalu

kecil untuk dapat menyelesaikan masalah yang

dihadapi oleh masyarakat.

Secara tegas dapat dikatakan bahwa,

desentralisasi tidak semata-mata untuk

membentuk pemerintahan daerah yang

menjalankan kekuasaan dan menghasilkan

kebijakan, tetapi yang lebih penting adalah

untuk membangkitkan kompetensi warga

terhadap urusannya sendiri, komunitas dan

pemerintah lokal. Dengan demikian, secara

akademik banyak pelajaran dan argumen yang

kuat bahwa desentralisasi menumbuhkan

modal sosial dan tradisi kewargaan di tingkat

lokal. Partisipasi demokratis warga telah

membiakkan komitmen warga yang luas

maupun hubungan-hubungan horizontal:

kepercayaan (trust), toleransi, kerja-sama, dan

solidaritas yang membentuk apa yang disebut

komunitas sipil (civic community). Indikator-

indikator civic engagement solidaritas sosial

dan partisipasi massal yang merentang luas

Implementasi Kebijakan Tata Kelola Pemerintahan Daerah dengan Semangat Efouria Demokrasi Lokal - Jaelan Usman 44

Page 49: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

pada gilirannya berkorelasi tinggi dengan

kinerja pembangunan ekonomi dan kualitas

kehidupan demokrasi.

Pada dasarnya, desentralisasi bertujuan

membangun partisipasi masyarakat dan

mengundang keterlibatan publik seluas-

luasnya dalam proses perencanaan,

implementasi dan evaluasi pembangunan yang

dijalankan. Untuk itu, desentralisasi

memberikan ruang yang lebih luas kepada

daerah untuk secara demokratis mengatur

pemerintahannya sendiri sebagai manifestasi

dari cita-cita sistem desentralisasi. Tetapi,

pelaksanaan sistem ini mendapatkan

tantangan yang cukup besar. Kendala-kendala

tersebut diantaranya adalah (1) mindset atau

mentalitas aparat birokrasi yang belum

berubah; (2) hubungan antara institusi pusat

dengan daerah; (3) sumber daya manusia yang

terbatas; (4) pertarungan kepentingan yang

berorientasi pada perebutan kekuasaan,

penguasaan aset dan adanya semacam gejala

powershift syndrom yang menghinggapi

aparat pemerintah; dan (5) keinginan

pemerintah untuk menjadikan desa sebagai

unit politik di samping unit sosial budaya

dimana desa memiliki tatanan sosial budaya

yang otonom.

Pada kenyataannya, mindset atau

mentalitas menjadi kendala yang cukup besar

bagi pelaksanaan tata pemerintahan yang baru

ini. Selama kurang lebih 5 tahun pelaksanaan

otonomi daerah (2000-2005), timbul

berbagai persoalan yang disebabkan karena

pola pikir dan mentalitas yang belum berubah.

Di masa lalu, sistem sentralistik mengebiri

inisiatif lokal dan menempatkan pemerintah

pusat sebagai penguasa yang memiliki

wewenang sangat besar atas berbagai bentuk

kebijakan pembangunan. Keseragaman dan

kepatuhan daerah terhadap pusat menjadi

kata kunci sekaligus sebagai mainstream dan

ideologi pembangunan yang dijalankan.

Karenanya, pada masa itu kritik menjadi

sesuatu yang tabu dan jika terlontar akan

sangat mudah untuk dijerat secara hukum

sebagai tindakan subversi atau anti

pemerintah.

Setidaknya selama 32 tahun rezim orde

baru proses ini berlangsung secara terus-

menerus sehingga tidak mengherankan jika

mentalitas birokrasi pada akhirnya mengikuti

pola tersebut. Konflik menjadi sesuatu yang

tabu dan keberagaman dipandang sebagai

ancaman dan sumber disintegrasi bangsa.

Pola pemerintahan yang diterapkan dalam

struktur kekuasaan dikenal sebagai

pemerintahan yang harmoni tanpa gejolak

dengan mengembangkan ideologi ‘Triple S’

yaitu; Serasi, Selaras dan Seimbang.

Pada akhirnya terbentuklah subordinasi

hubungan antara pemerintah pusat–daerah

dengan kekuasaan sepenuhnya berada di

pemerintah pusat. Subordinasi yang

berlangsung lama menjadi penyebab

ketergantungan daerah sangat tinggi. Maka,

pada saat terjadi perubahan sistem yang

sentralistik menjadi desentralisasi, daerah

kurang memiliki kesiapan terutama dalam hal

mengambil inisiatif dalam menentukan

kebijakan. Tentu saja desentralisasi dan

otonomi daerah mengandung berbagai

konsekuensi, diantaranya adalah mentalitas

dan kapasitas pemerintah daerah yang harus

memadai sehingga dapat menjamin

pelaksanaan desentralisasi secara maksimal.

Kewenangan yang cukup besar berada di

tangan pemerintah daerah, berarti pemerintah

daerah memiliki keleluasaan sekaligus

tanggung jawab yang lebih besar daripada

sistem yang berlangsung sebelumnya. Hanya

saja, kendala sumber daya manusia hingga saat

ini masih membayangi-bayangi kinerja aparat

pemerintah daerah.

Maka, tidak mengherankan jika pada saat

ini, muncul persoalan-persoalan seperti batas

wilayah, ketidakharmonisan hubungan antar

institusi pusat-daerah, berbagai konflik

horizontal yang dipengaruhi oleh konfigurasi

etnis atau sentimen primordial dan berbagai

kebijakan untuk meningkatkan pendapatan

daerah yang cenderung memberatkan rakyat.

Dalam situasi yang serba terkungkung

selama lebih dari tiga puluh tahun, tiba-tiba

daerah memiliki kewenangan yang

sedemikian besar. Implikasi dari pelimpahan

wewenang tersebut di sebagian daerah

menimbulkan munculnya kembali chauvinisme

kedaerahan seperti munculnya kekuatan-

kekuatan kelompok aristokrasi dalam politik

Implementasi Kebijakan Tata Kelola Pemerintahan Daerah dengan Semangat Efouria Demokrasi Lokal - Jaelan Usman 45

Page 50: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

lokal, kekuatan yang di masa Orde Baru

ditekan.

Kepentingan yang berorientasi kekuasaan

politis dan penguasaan aset daerah menjadi

persoalan yang kerap mencuat dalam masa

transisi pelaksanaan desentralisasi dan

otonomi daerah. Konflik kepentingan berupa

penguasaan aset seringkali menjadi kerikil

dalam perjalanan proses desentralisasi. Gejala

etno-sentrisme mulai muncul pada saat

meledaknya kerusuhan berlatar belakang etnis

di beberapa wilayah seperti Sampit, Poso,

Ambon dan di beberapa daerah pemekaran.

Bahkan pada saat dipilihnya kepala

daerah berdasarkan UU No. 22/1999 di tahun

2000, isu PAD (Putra Asli Daerah) merebak.

Tuntutan dipilihnya gubernur, bupati serta

walikota Putra Asli Daerah bahkan masuk ke

dalam tata tertib DPRD. Ini menunjukkan

bahwa isu putra daerah merupakan isu yang

paling sentisitf dan berpotensi mengganggu

hubungan baik antara pendatang tetapi telah

lama berdomisili di tempat tersebut dan

mengenal secara baik daerah tersebut. Orang-

orang yang potensial dan berkualitas tetapi

bukan putra daerah akan cenderung tersingkir

dalam proses politik di daerah dan hanya akan

mendapat peran pinggiran saja.

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Selama 32 tahun rezim Orde Baru dan 13

tahun Reformasi, sentralisasi dan desentralisasi

politik di Indonesia telah secara luas

mentransformasikan kultur politik elite dalam

suatu arah yang demokratis, meskipun masih

jauh dari harapan dan kepuasan semua pihak.

Pembentukan pemerintahan regional, yang

kemudian mendapatkan sejumlah kekuasaan

otonom yang signifikan dan kontrol atas

sumberdaya lokal, menghasilkan suatu tipe

perpolitikan yang secara ideologis tidak terlalu

terpolarisasi, lebih moderat, toleran, pragmatis,

lebih fleksibel dan suatu penerimaan mutual

yang lebih besar di antara hampir semua

partai’.

Secara berangsur-angsur warga

mengidentifikasi diri dengan level

pemerintahan lokal dan bahkan lebih

menghargainya ketimbang pemerintahan

nasional. Selain itu, harus dipahami bahwa

desentralisasi dan demokratisasi lokal

memiliki potensi besar untuk merangsang

pertumbuhan organisasi-organisasi, serta

jaringan masyarakat sipil (civil society).

Arena kehidupan komunitas dan lokal

lebih menawarkan cakupan terbesar bagi

organisasi-organisasi independen untuk

membentuk dan mempengaruhi kebijakan.

Pada level lokal, rintangan-rintangan sosial dan

organisasional terhadap aksi kolektif lebih

rendah maupun problem-problem yang

menuntut perhatian dari layanan sosial

sampai transportasi serta lingkungan yang

berdampak langsung pada kualitas hidup

masyarakat. Keterlibatan langsung warga

dalam penyelenggaraan layanan publik pada

level lokal menghasilkan suatu peluang

penting untuk memperkuat keterampilan para

warga secara individual dan akumulasi modal

sosial, seraya membuat penyampaian layanan

publik lebih accountable.

Sorotan terhadap reformasi sejak 1998

telah membangkitkan desentralisasi dan

demokrasi lokal, yang menggerogoti struktur

politik yang hirarkhis, sentralistik, feodalistik

dan otoriter. Locus politik telah bergeser dari

pusat ke daerah, dari sentralisasi ke

desentralisasi, dari bureaucratic government

ke party government, dan dari executive heavy

ke legislative heavy. Tetapi, seperti akan

diuraikan di bawah, demokrasi lokal yang

berlangsung masih sebatas efouria, bukan

sebagai proses konsolidasi menuju demokrasi

lokal yang kokoh, beradab dan terpercaya.

Efouria demokrasi lokal sangat bermasalah,

dan tetap akan bermasalah sampai pasca

pemilu 2009 karena fondasi yang sangat

rapuh. Praktik demokrasi lokal selama ini lebih

banyak diwarnai dengan sejumlah efouria

yang masih sangat rapuh.

Pertama, efouria demokrasi elektoral.

Masyarakat Indonesia, kini, tengah terjangkit

demam perayaan demokrasi elektoral. Ada

kesan kuat bahwa demokrasi hanya terfokus

pada pemilihan, sebuah perayaan politik yang

sarat dengan pesta, kompetisi, sensasi,

mobilisasi, money politics, intrik, caci-maki,

perdukunan, dan seterusnya. Di zaman dulu,

penentuan kepala daerah berlangsung secara

Implementasi Kebijakan Tata Kelola Pemerintahan Daerah dengan Semangat Efouria Demokrasi Lokal - Jaelan Usman 46

Page 51: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

tertutup dan memperoleh pengawasan yang

ketat dari Jakarta. Hanya tentara dan birokrat

yang punya peluang untuk menduduki jabatan

kepala daerah. DPRD dalam posisi yang sangat

lemah, tidak mempunyai otoritas untuk

menentukan pilihan mereka.

Sekarang proses pemilihan lebih terbuka,

yang membuka kesempatan bagi hadirnya

aktor-aktor baru di luar tentara dan birokrat.

DPRD mempunyai kuasa penuh untuk

menentukan pilihan mereka terhadap kepala

daerah. Tetapi proses dan hasil pemilihan

kepala daerah tidak lebih baik daripada

sebelumnya. Setiap pemilihan selalu diwarnai

dengan permainan politik uang, kekerasan,

mobilisasi massa dan seterusnya. Proses yang

buruk itu mesti membuahkan hasil yang

buruk. Tidak sedikit kepala daerah yang

bermasalah dan korup untuk mengembalikan

modal yang telah dimainkan melalui politik

uang.

Rakyat kecewa, tetapi setiap pemilihan

politik uang tetap bermain. Dari kasus-kasus

ini dapat dipahami bahwa, demokrasi lokal

bukan sekadar proses elektoral, atau proses

pemilihan kepala daerah, tetapi yang lebih

penting adalah relasi yang demokratis sehari-

hari antara pemerintah daerah dengan warga

masyarakat. Akuntabilitas, transparansi dan

responsivitas pemerintah dae-rah jauh lebih

penting dari sekadar proses elektoral. Proses

elektoral sebenarnya merupakan langkah awal

untuk menghasilkan pemimpin lokal yang

memiliki visi dan komitmen serius pada

akuntabilitas, transparansi dan responsivitas

pemerintah daerah. Tetapi kalau isu-isu ini

dikalahkan oleh jumlah massa, popularitas,

apalagi oleh politik uang, maka demokrasi

lokal akan hancur dan rakyat terus-menerus

akan kecewa.

Kedua, efouria semangat keasilan

(nativisme). Di setiap daerah bergelora isu

“putera daerah” terutama ketika terjadi

pemilihan kepala daerah. Masyarakat lokal

sekarang secara keras berani menentang

kehadiran calon-calon yang bukan putera

daerah untuk menduduki jabatan kepala

daerah. Di masa Orde Baru, istilah itu memang

sangat berguna untuk menentang intervensi

Jakarta atau menolak calon titipan dari Jakarta.

Tetapi yang berkembang sekarang, istilah

putera daerah tidak mempunyai otentisitas

yang kuat, karena istilah itu cenderung hanya

sebagai pasport politik untuk menjustifikasi

kedudukan seseorang, tanpa melihat visi dan

kualifikasinya. Setelah “putera daerah” itu

berkuasa, ternyata bertindak menyimpang dari

prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi, dan

responsivitas.

Ketiga, efouria parlemen lokal. Di bawah UU

No. 22/1999, DPRD sangat powerful

ketimbang kepala daerah. Publik berharap,

bahwa DPRD yang powerful itu menjadi modal

politik untuk memainkan check and balances

dengan baik di hadapan kepala daerah,

sehingga pemerintahan daerah bisa berjalan

secara akuntabel, transparan dan responsif.

Tetapi DPRD yang kuat itu justru menimbulkan

banyak masalah: DPRD menjadi oligarki baru

yang korup, berkapasitas rendah, tidak

bertanggungjawab, tidak peka pada aspirasi

rakyat, lebih mengutamakan kepentingan

sendiri. DPRD, kata publik, bukan sebagai

panggilan hidup dan komit-men untuk

berjuang, melainkan seperti lowongan kerja

untuk mencari nafkah dan kedudukan.

Akibatnya, rakyat kecewa dan tidak percaya

pada DPRD. Sayangnya, besok dalam pemilihan

umum 2004, rakyat tetap akan memilih lagi

calon-calon DPRD. Besok kecewa lagi.

Keempat, efouria kepialangan politik.

Otonomi daerah memang telah member

kesempatan yang terbuka bagi hadirnya

aktor-aktor politik baru, termasuk para

broker politik. Latar belakang mereka sangat

bermacam-macam: bisa kyai, akademisi,

mahasiswa, LSM, pengusaha, tokoh adat,

tokoh masyarakat, preman, dan seterusnya.

Setiap ada pemilihan kepala daerah, para

broker politik itu menjadi pemain yang

penting, entah dalam membuat opini publik

atau mengerahkan massa, dengan tujuan

untuk mencari kedudukan atau kekayaan.

Mengikuti pendapat para filsuf zaman Yunani

Kuno, massa yang digerakkan oleh para broker

tersebut bukan rakyat, warga atau publik yang

sejati, melainkan gerombolan massa (the mob)

yang sebenarnya merusak demokrasi lokal,

misalnya dengan cara permainan politik uang

maupun kekerasan.

Implementasi Kebijakan Tata Kelola Pemerintahan Daerah dengan Semangat Efouria Demokrasi Lokal - Jaelan Usman 47

Page 52: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

Kelima, efouria NGO lokal. Era reformasi

dan otonomi daerah telah melahirkan begitu

banyak NGO lokal yang bersifat instan.

Sebagian besar NGO lokal lahir bukan dalam

konteks gerakan sosial dan jaringan sosial

yang luas, tetapi sebagai bentuk respons atas

proyek-proyek pemerintah sejak JPS maupun

sebagai bentuk “gerakan politik” untuk

memainkan kepialangan politik. NGO lokal

yang berorientasi proyek selalu kasak-kusuk

mencari proyek, entah melalui lobby atau

melontarkan kritik keras kepada Pemda agar

mereka memperoleh proyek. NGO “gerakan

politik” sangat rajin melakukan kasak-kusuk

menjadi broker politik dalam pemilihan

kepala daerah, pemilihan DPRD maupun

pejabat teras di daerah.

Keenam, efouria protes sosial atau

pembangkangan sipil. Sejak Soeharto jatuh di

tahun 1998, protes sosial (pembangkangan

sipil) mengalami perluasan, sebagai senjata

untuk menggerakkan reformasi politik. Protes

sosial atau pembang-kangan sipil memang

merupakan kekuatan alternatif bagi civil

society untuk melawan penguasa. Tetapi harap

diingat, bahwa protes sosial yang terjadi di

Indonesia selama ini lebih bersifat

kegembiraan sesaat atau sebagai partisipasi

ad hoc yang hanya sangat efektif untuk

menjatuhkan penguasa otoriter bermasalah,

tetapi tidak efektif untuk membangun

demokrasi lokal. Membangun demokrasi lokal

tentu membutuhkan penguatan gerakan sosial

masyarakat sipil dan partisipasi warga

masyarakat secara berkelanjutan.

Keenam efouria di atas memberi

gambaran yang suram tentang demokrasi

lokal, yang tampaknya masih akan berlanjut,

terutama terhadap pemilihan kepala daerah

yang dipilih secara langsung sejak tahun 2005,

yang kian menyuburkan efouria politik.

Efouria adalah kegembiraan sesaat, yaitu

proses politik hanya berlangsung dalam situasi

darurat jangka pendek. Kegembiraan jangka

pendek itu tidak bakal membuahkan

demokrasi lokal yang kokoh dan berkelanjutan,

kalau tidak dikatan gagal; kecuali hanya

membuahkan kekecewaan dan

ketidakpercayaan. Efouria akan come and go

berbarengan dengan pesta politik. Eforia akan

berubah menjadi kekecewaan bila pesta sudah

usai, tetapi ia akan datang lagi kalau pesta bakal

digelar kembali.

KESIMPULAN

Bertitik tolok dari uraian terdahulu

tentang kebijakan tata kelola pemerintahan

daerah, dengan semangat efouria demokrasi

lokal yang merupakan lingkaran setan yang

tidak pernah terselesaikan secara tuntas. Hal

ini karena fondasi yang betul-betul rapuh,

terutama beberapa indikator yang disoroti

dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Perubahan belum sempurna dari floating-

mass society menuju civil society. Sekarang

Indonesia masih dalam sekuen masyarakat

transisi, atau sering disebut sebagai mass-

politics society. Proses politik dan demokrasi

di Indonesia lebih banyak ditentukan oleh

kuantitas massa yang dimobilisir (mobilized

mass), bukan oleh visi, kebajikan maupun

organized mass.

2. Umumnya daerah di Indonesia mewarisi

kuatnya tradisi politik feodal, otoritarian,

birokratis dan sentralistik. Tradisi yang

relatif kekal ini membentuk paradigma kolot

para elite dalam mengelola kekuasaan,

mengatur rakyat dan menguasai

sumberdaya ekonomi. Para gubernur

misalnya, sangat berang karena

kekuasaannya atas bupati-bupati dipreteli

oleh UU No. 32/2004. Gubernur sekarang

tidak bisa lagi memerintah bupati,

memanipulasi DAU, atau mengutip pajak-

pajak daerah seperti dulu. Bahkan sekadar

undangan pun diabaikan oleh bupati.

Karena itu para gubernur menuntut agar

otonomi daerah diletakkan di provinsi atau

meminta agar kekuasaan dan kewenangan

mereka dipulihkan seperti sedia kala.

Sementara, bupati sekarang mempunyai

kekuasaan dan kewenangan yang sangat

besar. Mereka di atas angin, ibarat raja-raja

kecil yang secara leluasa bisa menguasai

sumberdaya politik dan ekonomi daerah.

“Otonomi daerah berhenti di tangan saya”,

demikian ungkap arogan seorang bupati

ketika menanggapi masalah otonomi desa.

Implementasi Kebijakan Tata Kelola Pemerintahan Daerah dengan Semangat Efouria Demokrasi Lokal - Jaelan Usman 48

Page 53: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

3. Seorang Bupati bukan pemimpin yang

betul-betul mengayomi masyarakat,

melainkan hanya seorang pejabat yang

pekerjaannya adalah tandatangan, marah-

marah dan jalan-jalan”, demikian ungkap

seorang pegawai yang minta identitasnya

dirahasiakan. DPRD kabupaten dan/atau

kota sekarang mempunyai kekuasaan dan

kewenangan yang luar biasa, karena mereka

gunakan untuk menekan bupati/walikota

dengan senjata ampuh Laporan

Pertanggungjawaban. Namun, ulah anggota

DPRD yang tidak bertanggungjawab itu

dengan mudah bisa dipadamkan oleh

bupati/walikota setelah memperoleh

kucuran dana, proyek, dan fasilitas.

4. Paradigma ‘K-3’ (kekuasaan, kewenangan

dan kekayaan) dipegang betul oleh para

pemegang jabatan politik. Mereka tidak

mempunyai visi bagaimana memanfaatkan

kekuasaan untuk memperjuangkan nilai,

melainkan hanya berorientasi bagaimana

mencari dan mempertahankan kekuasaan.

Setiap penguasa, dari presiden hingga

bupati dan kepala desa, selalu berupaya

keras agar tetap menduduki jabatan yang

kedua kalinya. Ini tidak lain hanya untuk

memelihara status quo. Kalau dinalar secara

sehat, setiap penguasa sebenarnya tidak

mempunyai alasan lagi untuk menduduki

jabatan yang kedua kalinya. Kalau mereka

menampilkan visi, publik bisa bertanya: lalu

ngapain selama lima tahun berkuasa.

5. Fragmentasi masyarakat sipil dan modal

sosial. Organisasi masyarakat sipil dan

modal sosial yang kian semarak, memang

tidak tunggal. Di balik kemajuan dalam

organisasi nonpemerintah, juga

menyaksikan banyak sisi paradoksal dalam

modal sosial. Secara horizontal

kemajemukan masyarakat menyajikan

konflik ketimbang pluralisme dan

kohesivitas. Ruang publik civil society

memang menghadirkan wacana dan

gerakan demokratisasi yang semarak, tetapi

polarisasi ideologis dan kepentingan adalah

sajian yang jauh lebih menonjol. Inilah yang

penulis sebut sebagai fragmented social

capital. Gerakan demokratisasi yang

didorong oleh aktor-aktor civil society harus

berhadapan dengan praktik-praktik

kekerasan yang dimainkan oleh elemen

masyarakat lainnya. Bahkan gerakan

demokratisasi yang terus maju tidak didu-

kung oleh elemen-elemen partai oposisi

yang pro perubahan.

6. Baik di tingkat pusat maupun di daerah,

partai politik bukanlah pendukung otentik

demok-ratisasi melainkan sebagai bagian

dari pemeliharaan status quo yang harus

direformasi. Di banyak daerah, gerakan

demokratisasi civil society terus bergelora

menentang “raja-raja kecil” yang

bermasalah, tetapi gerakan itu dengan

mudah dilumpuhkan oleh para preman

bayaran maupun paramiliter yang

dipelihara oleh partai politik. Semua ini

memang tidak mengehentikan gerakan

demokratisasi meski harus dibayar dengan

risiko kekerasan, tetapi gerakan civil society

terseok-seok, tunggang-langgang dan

menghadapi anomalie yang serius.

DAFTAR PUSTAKA

Elisabeth, Adriana , dkk, 2004, Pemetaan

Peran dan Kepentingan Para Aktor

dalam Konflik di Papua, Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta.

Fakih, Mansour. 1996. Masyarakat Sipil untuk

Transformasi Sosial. Pergolakan Ideologi

LSM Indonesia. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Hagul, Peter, ed. 1992. Pembangunan Desa dan

Lembaga Swadaya Masyarakat,

Rajawali Press, Jakarta.

Johnson, Doyle Paul, 1986, Teori Sosiologi

Klasik dan Modern, PT Gramedia,

Jakarta.

Haba, John, dkk, 2003, Konflik di Kawasan

Ilegak Logging di Kalimantan Tengah,

Jakarta, LIPI. Kasiepo, Manuel, 1987,

Dari Perpolitikan Birokratik ke

Korporatisme Negara: Birokrasi dan

Politik di Indonesia Era Orde Baru,

49Implementasi Kebijakan Tata Kelola Pemerintahan Daerah dengan Semangat Efouria Demokrasi Lokal - Jaelan Usman

Page 54: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

Jurnal Ilmu Politik 2, Gramedia

bekerjasama dengan Asosiasi Ilmu

Politik Indonesia (AIPI), Jakarta.

Ndara, Talizuduhu, 1986, Birokrasi dan

Pembangunan, Dominasi atau Alat

Demokratisasi: Suatu Telaah

Pendahuluan, Jurnal Ilmu Politik 1,

Gramedia bekerjasama dengan

Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI),

Jakarta.

Piliang, Indra J, dkk (ed.), 2003, Otonomi

Daerah, Evaluasi dan Proyeksi, Yayasan

Harkat Bangsa bekerjasama dengan

Partnership Governance Reform in

Indonesia, Jakarta.

Ratnawati, Tri (ed.), 2000, Otonomi Daerah

dalam Perspektif Lokal, Kasus Jawa

Timur, Sumatera Barat dan Nusa

Tenggara Timur, Puslitbang Politik dan

Kewilayahan LIPI, Jakarta.

Zulkarnaen, Iskandar, dkk, 2003, Potensi

Konflik di Daerah Pertambangan, Kasus

Pongkor dan Cilandak, Jakarta, LIPI.

Clark, John.1995. NGO dan

Pembangunan Demokrasi. Tiara

Wacana, Yogyakarta.

Huntington, Samuel P dan Joan Nelson. 1992.

Partisipasi Politik di Negara Berkembang.

Rineka Cipta, Jakarta.

Isdijoso, Brahmantio, et. al. 2001. Prospek

Penerapan Budget Tranparency dalam

Pelaksanaan otonomi Daerah dan

Desentralisasi Fiskal Di Daerah

Kabupaten dan Kota di Indonesia.

Center for Economic and Social

Studies, Jakarta.

Jeff Haynes, Demokrasi dan Masyarakat Sipil

di Dunia Ketiga. 2000. Gerakan Politik

Baru Kaum Terpinggir. Yayasan Obor

Indonesia, Jakarta.

Kuncoro, Mudrajad. 2004. Otonomi dan

Pembangunan Daerah; Reformasi,

Perencanaan, Strategi, dan Peluang,

Erlangga, Jakarta.

Pilliang, Indra J. et. al. 2003. Otonomi Daerah;

Evaluasi dan Proyeksi. Yayasan Harkat

Bangsa Bekerjasama dengan

Partnership for Governance Reform in

Indonesi, Jakarta.

Prodjodikoro, Wirjono. 1981. Asas-asas Ilmu

Negara dan Politik. PT Eresco,

Bandung.

Sarundajang. 1999. Arus Balik Kekuasaan

Pusat ke Daerah. Pustaka Sinar

Harapan, Jakarta.

Implementasi Kebijakan Tata Kelola Pemerintahan Daerah dengan Semangat Efouria Demokrasi Lokal - Jaelan Usman 50

*******

Page 55: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP

KEBIJAKAN POLITIK DI KOTA PAREPARE

Rudi Hardi

ABSTRAK

Dalam dunia politik, peranan etika politik tidak dapat diabaikan. Hal ini terkait dengan,

moralitas politik berguna untuk menyelidiki apa yang mengkonstitusi baik-buruk,

keutamaan, keabsahan hukum, kebenaran suara hati, kewajiban moral politik dan

sebagainya. Realitas persoalan yang dihadapi dalam budaya politik adalah adanya gap antara

campur tangan Politik dengan indenpendensi birokrat (Administrator) tentang pengelolaan

pelayanan pada Masyarakat. Kemudian, terdapat sikap dan perilaku yang “negatif”, baik politisi

mau pun birokrat dalam melaksanakan fungsi masing-masing.. Tujuan penelitian ini adalah

untuk mengidentifikasi etika budaya politik dan tanggapan/sikap masyarakat terhadap

perkembangan kondisi dan situasi budaya politik di Kota Parepare.

Metode yang digunakan adalah Survey sampel dengan unit analisis masyarakat pemilih.

Responden diambil dengan stratified random sampling dari masyarakat kota Parepare. Instrumen

penelitian adalah pedoman wawancara dan kuesioner. Analisa yang digunakan adalah deskriptif

pada data kualitatif.

Hasil penunjukkan bahwa secara keseluruhan, baik lapisan bawah, menengah, dan lapisan

atas, menilai bahwa etika politisi di kota Parepare relatif buruk, yaitu 191 (63,67%) dari 300

responden. Dan alasan responden adalah bahwa setelah menjadi politisi, mereka cenderung

individual atau memikirkan kepentingan diri, keluarga dan atau partainya yang terlihat dari

kebijakan-kebijakan yang mereka lahirkan. Hal itu sangat berbeda dengan waktu kampanye.

Kesimpulan, dalam mewujudkan partisipasi politik di kota Parepare, masyarakat memiliki

dua ciri atau bentuk dari partisipasi politik berdasarkan sifat yaitu dimobilisasi dan otonom.

Kemudian, untuk menilai bagaimana etika politik di Kota Parepare, ada tiga pola pola sikap dan

orientasi individu terhadap politik, yakni: (1). Orientasi Kognitif : pengetahuan, keyakinan (2).

Orientasi Afektif : perasaan terkait, keterlibatan, penolakan dan sejenisnya tentang obyek politik,

dan (3). Orientasi Evaluasi : penilaian dan opini tentang obyek politik yang biasanya melibatkan

nilai-nilai standar terhadap obyek politik dan kejadian-kejadian.

Kata Kunci: Persepsi, Masyarakat, Etika, Kebijakan, Etika Politik

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perubahan UUD 1945 telah mewujudkan

konstitusi Indonesia yang memungkinkan

terlaksananya penyelenggaraan negara yang

modern dan demokratis. Semangat yang

diemban dalam perubahan konstitusi tersebut

adalah supremasi konstitusi, keharusan dan

pentingnya pembatasan kekuasaan,

pengaturan hubungan dan kekuasaan

antarcabang kekuasaan negara secara lebih

tegas, penguatan sistem checks and balances

antar cabang kekuasaan, penguatan

perlindungan dan penjaminan hak asasi

manusia, dan pengaturan hal-hal mendasar di

berbagai bidang kehidupan.

Semangat tersebut di atas dapat terlihat

dari adanya penegasan yang mengatur

pelaksanaan kedaulatan rakyat; pernyataan

bahwa Indonesia adalah negara hukum;

kesejajaran kedudukan antarlembaga negara

sehingga tidak dikenal lagi adanya lembaga

51

Page 56: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

tertinggi negara dan tinggi Negara tetapi

setiap lembaga negara melaksanakan tugas

dan wewenangnya sesuai UUD 1945;

pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil

Presiden hanya maksimal dua kali masa

jabatan; seluruh anggota lembaga perwakilan

dipilih dan tidak ada lagi yang diangkat;

pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara

langsung oleh rakyat; kekuasaan membentuk

undang-undang di tangan lembaga legislatif;

pembentukan lembaga perwakilan baru

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang

memperkuat posisi daerah dalam sistem

ketatanegaraan kita; dan pembentukan

lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman baru

Mahkamah Konstitusi (MK).

Selain itu juga dimuat ketentuan mengenai

pemilihan umum setiap lima tahun dan

diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan

umum yang bersifat nasional, tetap, dan

mandiri; pengaturan mengenai wilayah

negara; ketentuan mengenai hak asasi

manusia yang sangat rinci, dan pengaturan

hal-hal mendasar berbagai bidang kehidupan

seperti ekonomi, pendidikan, pertahanan dan

keamanan, ilmu pengetahuan, kesejahteraan

sosial, kebudayaan, dan lain-lain.

Perubahan-perubahan budaya politik di

atas merupakan elemen penting dalam sebuah

sistem politik. Perubahan tersebut juga

menjadi wajah baru sistem demokrasi yang

diterapkan di Indonesia. Meskipun ada

perbedaan pandangan mengenai derajat

pentingnya pengaruh budaya dalam proses

membangun demokrasi, namun hampir

semua ahli politik sependapat bahwa budaya

merupakan faktor yang mempengaruhi

terkonsolidasinya demokrasi.

Pada sisi lain, dalam dunia politik, peranan

etika politik sangat penting. Terkait dengannya,

moralitas politik berguna untuk menyelidiki

apa yang mengkonstitusi baik-buruk,

keutamaan, keabsahan hukum, kebenaran

suara hati, kewajiban moral politik dan

sebagainya. Apa yang disebut sebagai dasar

pertimbangan bukanlah berada pada cakupan

jurisprudence atau pedagogy dari moral politik

saja, tetapi seharusnya berdasarkan pada etika.

Tatkala kondisi moralitas politik

memungkinkan apa yang dianggap benar

untuk kasus pada waktu tertentu tetapi menjadi

salah pada kasus lain di waktu lain, maka sistem

kenegaraan ini sedang mengabaikan

kemungkinan bahwa seorang diktator akan

muncul kembali untuk menyalahgunakan

kekuasaannya, atau mempertahankan

kekuasaan berdasarkan moralitas personalnya

(dalam arti beyond his term of office).

Sebaliknya, semakin banyak kekuasaan yang

membebaninya, sementara kekuasaan itu

menjadi baju untuk lebih berkuasa, maka ia

akan menyalahgunakan sekaligus tetap

mempertahankan kekuasaan itu.

Kedua sisi ini, budaya politik dan etika

politik menjadi hal penting dalam era otonomi.

Karena itu, kajian ini terfokus pada etika politik

di kota Parepare. Realitas persoalan yang

dihadapi dalam budaya politik adalah adanya

gap antara campur tangan Politik dengan

indenpendensi birokrat (Administrator)

tentang pengelolaan pelayanan pada

Masyarakat. Kemudian, terdapat sikap dan

perilaku yang “negatif”, baik politisi mau pun

birokrat dalam melaksanakan fungsi masing-

masing. Serta berkembangnya dalam

kehidupan masyarakat toleransi dan antipati

masyarakat terhadap etika politisi.

Sehingga kegiatan kajian etika budaya

politik menjadi suatu kebutuhan realistik

untuk diwujudkan dalam membangun sosial

politik di Kota Parepare.

Dengan demikian, hal-hal yang menjadi

per-tanyaan penting untuk dijawab melalui

kajian yang mendalam adalah :

1. Bagaimana realitas budaya politik di

Kota Parepare?

2. Bagaimana etika politik yang berkembang

di Kota Parepare?

3. Bagaimana masyarakat menyikapi

perkembangan etika politik di kota

Parepare?

TINJAUAN TEORITIS

Untuk mendukung studi ini digunakan

beberapa teori yang relevan serta berkaitan

dengan pokok bahasan dalam studi sebagai

berikut:

Persepsi Masyarakat Terhadap Kebijakan Politik di Kota Parepare - Rudi Hardi 52

Page 57: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

Sistem Politik

Dalam perspektif sistem, sistem politik

adalah subsistem dari sistem sosial. Perspektif

atau pendekatan sistem melihat keseluruhan

interaksi yang ada dalam suatu sistem yakni

suatu unit yang relatif terpisah dari

lingkungannya dan memiliki hubungan yang

relatif tetap diantara elemen-elemen

pembentuknya. Kehidupan politik dari

perspektif sistem bisa dilihat dari berbagai

sudut, misalnya dengan menekankan pada

kelembagaan yang ada kita bisa melihat pada

struktur hubungan antara berbagai lembaga

atau institusi pembentuk sistem politik.

Hubungan antara berbagai lembaga negara

sebagai pusat kekuatan politik misalnya

merupakan satu aspek, sedangkan peranan

partai politik dan kelompok-kelompok

penekan merupakan bagian lain dari suatu

sistem politik. Dengan merubah sudut

pandang maka sistem politik bisa dilihat

sebagai kebudayaan politik, lembaga-lembaga

politik, dan perilaku politik.

Model sistem politik yang paling

sederhana akan menguraikan masukan

(input) ke dalam sistem politik, yang

mengubah melalui proses politik menjadi

keluaran (output). Dalam model ini masukan

biasanya dikaitkan dengan dukungan maupun

tuntutan yang harus diolah oleh sistem politik

lewat berbagai keputusan dan pelayanan

publik yang diberian oleh pemerintahan untuk

bisa menghasilkan kesejahteraan bagi rakyat.

Dalam perspektif ini, maka efektifitas sistem

politik adalah kemampuannya untuk

menciptakan kesejahteraan bagi rakyat.

Namun dengan mengingat Machiavelli

maka tidak jarang efektifitas sistem politik

diukur dari kemampuannya untuk

mempertahankan diri dari tekanan untuk

berubah. Pandangan ini tidak membedakan

antara sistem politik yang demokratis dan

sistem politik yang otoriter.

Partisipasi Politik

Partisipasi politik oleh para sarjana di

negara Barat sering hanya dipandang sebagai

kegiatan yang dilakukan untuk memberikan

input bagi pengambil kebijakan menuruti

aturan main yang berlaku. Definisi yang

demikian membuat partisipasi politik di

negara-negara berkembang sulit

dikategorikan sebagai bentuk partisipasi

politik. Untuk mengatasi hal tersebut,

Huntington mencoba mengatasi dengan

mengatakan bahwa partisipasi yang tergolong

negatif di mata para sarjana di negara-negara

berkembang pada dasarnya termasuk pula

bentuk partisipasi politik. Kecenderungan

mobilisasi di masyarakat negara-negara

berkembang menjadi ciri khas yang melekat

karena karakteristiknya yang khas selain tidak

bekerjanya sistem politik secara baik untuk

memberikan kesempatan kepada masyarakat

memberikan input tanpa takut diintimidasi

oleh pemerintah.

Apatisme juga menjadi persoalan

tersendiri dalam studi mengenai partisipasi

politik. Secara harfiah apatisme tidak dapat

dikatakan sebagai suatu bentuk partisipasi

karena seseorang tidak melakukan tindakan

apa pun untuk mempengaruhi kebijakan

ataupun memberikan input bagi pengambil

kebijakan. Akan tetapi, apabila itu dilakukan

dengan sadar sebagai bentuk protes atau

ketidaksukaan terhadap apa yang dilakukan

oleh pengambil kebijaksanaan, tindakan

apatisme dapat pula dikategorikan sebagai

satu bentuk input dan dengan demikian dapat

dinilai sebagai suatu tindakan partisipasi.

Pembangunan Politik

Sejak awal kehidupan manusia–berjuta

tahun yang lampau–manusia dihadapkan pada

berbagai macam perubahan aktual alam

semesta di mana dia hidup. Lambat laun,

respon atas fenomena alam ini bertransformasi

menjadi sikap mengatasi perbedaan-

perbedaan yang terjadi di antara umat

manusia, respon atas interaksi sosial ini

kemudian mengubah cara dan kebiasaan

hidup mereka. Hal ini terus berkembang

secara evolutif sekaligus revolutif, hingga

sampai pada diketemukannya model

pelembagaan pengaturan masyarakat dalam

bingkai negara, beserta ilmu yang

menyertainya, politik.

Kondisi politik pasca Reformasi

menjadikan masyarakat dihidangkan dengan

dengan sistem baru yang menuntut

Persepsi Masyarakat Terhadap Kebijakan Politik di Kota Parepare - Rudi Hardi 53

Page 58: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

masyarakat untuk lebih terlibat secara

proaktif didalamnya. Dalam penerapannya

tidaklah semudah membalikkan telapak

tangan, sehingga dalam mewujudkannya perlu

ada langkah-langkah yang harus dilakukan

secara bertahap. Peningkatan kesadaran

politik masyarakat serta penanaman nilai

tidak boleh diabaikan, hal inilah yang kita

inginkan dalam proses pembangunan politik.

Lucian W. Pye menyimpulkan tiga tema

besar yang berhubungan dengan makna

pembangunan politik. Pertama, terjadinya

pertambahan persamaan (equality) antara

individu dalam kaitannya dengan sistem

politik, kedua pertambahan kemampuan

(capacity) dalam hubungannya dengan

lingkungannya, dan yang ketiga pertambahan

pembedaan (differentation and spesia-litation)

lembaga dan strukur didalam sistem politik

tersebut. Pembangunan politik dalam hal ini

erat kaitannya dengan budaya politik, struktur-

struktur politik yang berwenang serta proses

politik.

 

Budaya Politik

Kebudayaan politik Indonesia pada

dasarnya bersumber pada pola sikap dan

tingkah laku politik yang majemuk. Namun dari

sinilah masalah-masalah biasanya bersumber.

Mengapa? Dikarenakan oleh karena golongan

elite yang mempunyai rasa idealisme yang

tinggi. Akan tetapi kadar idealisme yang tinggi

itu sering tidak dilandasi oleh pengetahuan yang

mantap tentang realita hidup masyarakat.

Sedangkan masyarakat yang hidup di dalam

realita ini terbentur oleh tembok kenyataan

hidup yang berbeda dengan idealisme yang

diterapkan oleh golongan elit tersebut.

Corak pertama terdapat pada golongan

elite strategis, yakni kecenderungan untuk

memaksakan subyektifisme mereka agar

menjadi obyektifisme, sikap seperti ini

biasanya melahirkan sikap mental yang

otoriter/totaliter. Corak kedua terdapat pada

anggota masyarakat biasa, corak ini bersifat

emosional-primordial. Kedua cirak ini

tersintesa sehingga menciptakan suasana

politik yang otoriter/totaliter.

Sejauh ini kita sudah mengetahui adanya

perbedaan atau kesenjangan antara corak-

corak sikap dan tingkah laku politik yang

tampak berlaku dalam masyarakat dengan

corak sikap dan tingkah laku politik yang

dikehendaki oleh Pancasila dan Undang-

Undang Dasar 1945. Kita tahu bahwa manusia

Indonesia sekarang ini masih belum

mencerminkan nilai-nilai Pancasila itu dalam

sikap dan tingkah lakunya sehari-hari.

Kenyataan tersebutlah yang hendak kita rubah

dengan nilai-nilai idealisme pancasila, untuk

mencapai manusia yang paling tidak mendekati

kesempurnaan dalam konteks Pancasila.

Dua faktor yang memungkinkan

keberhasilan proses pembudayaan nilai-nilai

dalam diri seseorang yaitu sampai nilai-nilai

itu berhasil tertanam di dalam dirinya dengan

baik. Kedua faktor itu adalah; 1. Emosional

psikologis, faktor yang berasal dari hatinya. 2.

Rasio, faktor yang berasal dari otaknya

Klasifikasi budaya politik oleh Gabriel A.

Almond dan G. Bingham Powell, terdiri atas

budaya politik parokial, budaya politik

subjek/kaula, dan budaya politik partisipan.

Sedangkan budaya politik menurut Austin

Ranney dibedakan atas orientasi kognitif dan

preferensi politik.

Ada beberapa unsur yang berpengaruh

atau melibatkan diri dalam proses

pembentukan budaya politik nasional, yaitu

sebagai berikut.

1. Unsur sub-budaya politik yang berbentuk

budaya politik asal.

2. Aneka rupa sub-budaya politik yang

berasal dari luar lingkungan tempat budaya

politik asal itu berada.

3. Budaya politik nasional itu sendiri.

Tahapan perkembangan budaya politik

nasional menurut Sjamsuddin, antara lain

sebagai berikut (Rahman, 1998: 58).

1. Budaya politik nasional yang tengah berada

dalam proses pembentukannya.

2. Budaya politik nasional yang sedang

mengalami proses pematangan. Dalam

tahapan ini, pada dasarnya budaya politik

nasional sudah ada, tetapi masih belum

matang.

3. Budaya politik nasional yang sudah mapan,

yaitu budaya politik yang telah diakui

keberadaannya secara nasional.

Persepsi Masyarakat Terhadap Kebijakan Politik di Kota Parepare - Rudi Hardi 54

Page 59: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

4. Ada dua sudut pandang untuk melihat

budaya politik yang dikaitkan dengan

struktur sosial, yaitu secara vertikal maupun

horizontal.

Terakhir ada tiga kelompok yang

mempunyai pengaruh yang sangat kuat

terhadap sistem politik Indonesia, yaitu

kelompok agama, kelompok suku bangsa, dan

kelompok ras.

METODE PENELITIAN

Kegiatan kajian etika budaya politik

dilakukan dengan menggunakan metode survey

sampel. Populasinya adalah pelaku politik di

Kota Parepare. Pada pengkajian ini, yang akan

diteliti, ditelaah dan diterangkan adalah etika

budaya politik di kota Parepare. Karena itu,

metode yang digunakan adalah metode

kualitatif, metode kuantitatif, dan ataupun

gabungan antara keduanya, terutama nampak

pada analisanya. Metode kuantitatif

menggunakan angka-angka (Tabulasi, statistik

inferensial), menghubungkan antara angka

yang satu dengan angka yang lainnya kemudian

menarik makna. Sedang metode kualitatif

menggunakan makna: menghubungkan antara

makna yang satu dengan makna yang lainnya

kemudian menarik yang lebih luas atau lebih

dalam, atau yang lebih tinggi tingkatannya.

Pada dasarnya ada beberapa jenis studi

dan teknik pengumpulan data yang diterapkan

untuk kajian ini, sebagai berikut:

Stakeholders studies, dimaksudkan untuk

mendapatkan data dan informasi mengenai

pandangan/penilaian para pemangku

kepentingan atau stakeholders (Pemerintah,

DPRD, Partai Politik, kalangan Lembaga non

pemerintah, pakar/akademisi dan tokoh-

tokoh masyarakat lainnya tentang berbagai

regulasi, kebijakan maupun implementasi dari

kebijakan yang berhubungan dengan berbagai

aspek etika budaya politik. Ada dua teknik

pengumpulan data yang diterapkan untuk

stakeholder studies, yaitu indepth interview dan

FGD.

Policy Impact Studies (PIS). Policy impact

studies atau studi dampak kebijakan

dimaksudkan untuk melihat dampak

kebijakan berupa Peraturan Daerah dan Surat

Keputusan Walikota dalam mengatur usaha

kecil Kota Parepare.

Studi literatur. Sebelum penelitian

lapangan dilakukan, tim peneliti terlebih

dahulu telah melakukan kajian terhadap

laporan-laporan studi mengenai etika budaya

politik. Beberapa hal yang ditelaah antara lain

adalah kacamata analisis/cara pandang dan

indikator-indikator yang digunakan dalam

rangka melakukan kajian/studi. Di samping itu

ditelaah pula hasil-hasil utama (termasuk

rekomendasi-rekomendasi) yang diperoleh

dari studi. Hasil telaahan ini kemudian

dituliskan dalam bentuk overview singkat. Dari

hasil overview tersebut peneliti ahli kemudian

akan menulis “kajian kepustakaan/literatur

review” dengan memasukkan telahaan teori

dan konsep mengenai etika budaya politik.

Kajian historis mengenai etika budaya

politik. Kegiatan ini dilakukan dengan metode

analisis dokumen dan in-depth interview

kepada pihak-pihak yang dipandang memiliki

pengetahuan mengenai topik kajian yang

dilakukan yang kemudian dianalisis dan

disusun dalam bentuk position paper.

Teknik Pengumpulan Data, yaitu :

1. Data yang bersifat keterangan dikumpulkan

melalui teknik wawancara dengan

menggunakan pedoman wawancara

(interview guide),

2. Data yang bersifat distribusi/frekuensi

dikumpulkan melalui teknik perhitungan

atau pencacahan dengan menggunakan

kuesioner atau skedul.

3. Data yang bersifat nilai-nilai, norma-norma,

kepercayaan (adat dan agama), tingkah laku

yang laten (cover behaviuor), dan sejenisnya

dikumpulkan melalui teknik pengamatan

terlibat secara terbatas dan wawancara

dilakukan secara face to face dengan

menggunakan catatan lapang (field notes).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karasteristik Masyarakat Kota Parepare

Berdasarkan hasil kajian, maka

karateristik masyarakat kota Parepare

memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

Persepsi Masyarakat Terhadap Kebijakan Politik di Kota Parepare - Rudi Hardi 55

Page 60: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

a. Pengaruh alam terhadap masyarakat kota

kecil

b. Mata pencahariannya sangat beragam

sesuai dengan keahlian dan

ketrampilannya.

c. Corak kehidupan sosialnya bersifat gessel

schaft (patembayan), lebih individual dan

kompetitif.

d. Keadaan penduduk dari status sosialnya

sangat heterogen

e. Stratifikasi dan diferensiasi sosial sangat

mencolok. Dasar stratifikasi adalah

pendidikan, kekuasaan, kekayaan,

prestasi, dan lain-lain.

f. Interaksi sosial kurang akrab dan kurang

peduli terhadap lingkungannya. Dasar

hubungannya adalah kepentingan.

g. Keterikatan terhadap tradisi sangat kecil

h. Masyarakat umumnya berpendidikan

lebih tinggi, rasional, menghargai waktu,

kerja keras, dan kebebasan.

i. Jumlah warga lebih banyak, padat, dan

heterogen.

j. Pembagian dan spesialisasi kerja lebih

banyak dan nyata.

k. Kehidupan sosial ekonomi, politik dan

budaya amat dinamis, sehingga

perkembangannya sangat cepat.

l. Masyarakatnya terbuka, demokratis,

kritis, dan mudah menerima unsur-

unsur pembaharuan.

m. Pranata sosialnya bersifat formal sesuai

dengan undang-undang dan peraturan

yang berlaku.

n. Memiliki sarana–prasarana dan fasilitas

kehidupan yang sangat banyak.

Partisipasi Politik Masyarakat Kota Parepare

Berdasarkan pada bentuk-bentuk

Partisipasi Politik menurut Almond (table 1),

maka partisipasi politik masyarakat di Kota

Parepare, sebagai berikut:

Dari table 2, nampak bahwa partisipasi

politik dari sisi pemberian suara pada setiap

pemilihan umum, baik pemilihan legislatif

(DPR/DPD/DPRD) maupun pemilihan

presiden (walikota). Ternyata dari 300

responden, 263 (88%) responden menjawab

sangat aktif dan hanya 9 (3%) responden yang

menjawab tidak aktif.

Kemudian, partisipasi politik dari bentuk

“diskusi politik”, ternyata responden

menjawab tidak aktif sebanyak 195 (65%), 75

(25%) menjawab sangat aktif, dan hanya 31

(10%) menjawab kadang-kadang aktif. Dan

setelah dikonfirmasi, alasan mereka antara

lain; sibuk bekerja, tidak dilibatkan dan

menghindari perbedaan pendapat dengan

orang lain. Sedangkan alasan responden

menjawab sangat aktif adalah karena teman

atau tetangga mereka yang pengurus partai

atau simpatisan melibat dalam pembicaraan

politik.

Selanjutnya pendapat responden tentang

kegiatan kampanye, mereka cenderung aktif,

dan hanya 48 (16%) yang tidak aktif. Alasan

mereka adalah menginginkan baju dan atau

bahkan uang dari tim sukses. Berbeda dengan

partisipasi politik berbentuk bergabung

dengan kelompok kepentingan, terdapat 242

(81%) responden tidak bergabung secara resmi

dalam dalam suatu organisasi yang berkaitan

dengan politik. Namun demikian, responden

menginginkan adanya komunikasi dengan

pejabat politik 102 (34%) dan 51 (17%). Dan

selebihnya 149 (49%) mangatakan malu-malu

“tidak aktif ” berkomunikasi dengan para

pejabat politik.

Dengan demikian, partisipasi politik

masyarakat di Kota Parepare sangat beragam,

dan sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan

dan jenis pekerjaan yang digeluti. Makin tinggi

Persepsi Masyarakat Terhadap Kebijakan Politik di Kota Parepare - Rudi Hardi 56

Tabel 1:

Bentuk-bentuk partisipasi politik menurut Almond (1984:107).

Tabel 2:

Bentuk Partisipasi Politik Responden di Kota Parepare

Sumber: Hasil Olahan Kuesioner

Page 61: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

tingkat pendidikan, masyarakat juga cenderung

terlibat dalam partisipasi politik, demikian

sebaliknya, makin rendah pendidikan makin

kecil tingkat partisipasi mereka dalam politik.

Etika Politik Masyarakat

Orientasi kognitif, yang merupakan

pengetahuan masyarakat tentang sistem

politik, peran, dan segala kewajibannya.

Termasuk di dalamnya adalah pengetahuan

mengenai kebijakan-kebijakan yang dibuat

oleh pemerintah.

Orientasi afektif, merupakan perasaan

masya-rakat terhadap sistem politik dan

perannya, serta para pelaksana dan

penampilannya. Perasaan masyarakat tersebut

bisa saja merupakan perasaan untuk menolak

atau menerima sistem politik atau kebijakan

yang dibuat.

Orientasi evaluatif, merupakan keputusan

dan pendapat masyarakat tentang objek-objek

politik yang secara tipikal melibatkan nilai

moral yang ada dalam masyarakat dengan

kriteria informasi dan perasaan yang mereka

miliki.

Secara keseluruhan, tanggapan responden

tentang perilaku politisi di kota Parepare

dapat dilihat pada table berikut (Tabel 3):

Dari tabel 3, nampak bahwa secara keselu-

ruhan, baik lapisan bawah, menengah, dan

atas menilai bahwa etika politisi di kota

Parepare relatif buruk, yaitu 191 (63,67%).

Dan alasan responden adalah bahwa setelah

menjadi politisi, mereka cenderung individual

atau memikirkan kepentingan diri keluarga

dan atau partainya yang terlihat dari

kebijakan-kebijakan yang mereka lahirkan.

Hal itu sangat berbeda dengan waktu

kampanye.

KESIMPULAN

1. Di kota Parepare, dalam mewujudkan

partisipasi politik, masyarakat memiliki

dua ciri atau bentuk dari partisipasi

politik berdasarkan sifat yaitu yang

dimobilisasi dan otonom. Dimobilisasi

adalah banyak diantara orang-orang

yang memberikan suara, dan kampanye

yang kelihatannya sebagai partisipasi

politik tidaklah bertindak dengan niat

pribadi. Sedangkan partisipasi politik

otonom mengikuti dengan seksama,

menganalisa baik buruknya dan pilihan

atau kebijaksanaan yang diambil.

2. Etika politik termasuk lingkup etika

sosial yang berkaitan dengan bidang

kehidupan politik, politik juga memiliki

makna bermacam-macam kegiatan

dalam sistem politik dan menyangkut

proses penentuaan tujuan dari sebuah

sitem yang diikuti oleh pelaksananya,

yang menyangkut kepentingan

masyarakat dan bukan tujuan pribadi.

Untuk menilai bagaimana etika politik di

Kota Parepare, ada tiga pola pola sikap

dan orientasi individu terhadap politik

diantara anggota sistem politik.

Orientasi individu itu memiliki sejumlah

komponen yakni: (1). Orientasi Kognitif:

pengetahuan, keyakinan

(2). Orientasi Afektif : perasaan terkait,

keterlibatan, penolakan dan sejenisnya

tentang obyek politik, dan (3). Orientasi

Evaluasi : penilaian dan opini tentang

obyek politik yang biasanya melibatkan

nilai-nilai standar terhadap obyek politik

dan kejadian-kejadian. Dari hasil

analisa, nampak bahwa etika politisi di

Kota Parepare relatif buruk.

Karena itu, disarankan:

1. Agar fungsi politik di kota Parepare

berjalan dengan baik, semestinya, politik

adalah mekanisme yang digunakan

untuk mengatur lalu-lintas distribusi

kekuasaan. Subyek sekaligus obyek

dalam siklus politik modern adalah

rakyat, sementara para elit pejabat

berposisi sebagai pelayan mereka.

Persepsi Masyarakat Terhadap Kebijakan Politik di Kota Parepare - Rudi Hardi 57

Tabel 3:

Tanggapan Responden tentang perilaku politisi

Sumber: Hasil Olahan Kuesioner

Page 62: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

Politik harus diabdikan untuk

menggapai tujuan daerah, yakni untuk

memakmurkan, menyejahterakan dan

membahagiakan setiap waga. Struktur

kelembagaan daerah, dengan demikian,

berfungsi sebagai problem solver bagi

berbagai bentuk persoalan yang muncul

di masyarakat.

2. Sebaiknya, kekuasaan haruslah

impersonal. Artinya, struktur

kelembagaan daerah tidak dijalankan

atas dasar pola relasi kekerabatan yang

bisa menimbulkan bias dan

penyelewengan kekuasaan. Loyalitas

bawahan dalam sistem semacam ini

tidak ditujukan kepada orang-perorang

yang berkuasa, tetapi kepada sistem dan

struktur kelembagaan daerah. Para elit

pejabat hanya menjalankan tugas dan

fungsinya dalam rangka merealisasikan

terbentuknya daerah berbasis pada

kemaslahatan bersama.

DAFTAR PUSTAKA

Amal, Ickhlasul. 1998. Teori-Teori Mutakhir

Partai. Tiara Wacana. Yogyakarta

Apter, E. David. 1998. Pengantar Analisa

Politik. PT. Gramedia Pustaka utama.

Jakarta

BPS Kota Parepare, 2007/2008. Kota Parepare

Dalam Angka, Kota Parepare

BPS Kota Parepare, 2009. Indikator Ekonomi

Kota Parepare, Kota Parepare

BPS Kota Parepare, 2010. Kota Parepare

Dalam Angka, Kota Parepare

Budiardjo, Miriam. 1980. Partisipasi dan

Partai Politik. PT. Gramedia Pustaka

Utama. Jakarta

Dahl, A. Robert. 2001. Perihal Demokrasi.

Yayasan Obor Indonesia. Jakarta

Davey, K.J., 1988, Pembiayaan Pemerintahan

Daerah: Praktek dan Relevansi bagi

Dunia Ketiga, Jakarta: Universitas

Indonesia.

Erani Yustika, Ahmad Kontestasi Politik dan

UMKM, http://ww.ahmadheryawan.com

Faisal, Sanafiah. 1989. Sistem Politik Indonesia.

CV. Rajawali. Jakarta

Fakih, mansour, 1996. Masyarakat sipil

menuju transformasi sosial, yogyakarta

: pustaka pelajar.

Gabriel A. Almond dan Sydney Verba, The Civic

Culture: Political Attitudes and

Democracy in Five Nations (Princeton:

Princeton University Press, 1963)

Gabriel Almond, “Comparative Political

Sistem,” Journal of Politics, 18 (1956).

Gabriel Ben-Dor, “Political Culture Approach to

Middle East Politics,” International

Journal of Middle East Studies, Vol. 8,

No. 1 (Jan., 1977).

Hikam, A.S. 1999. Politik Kewarganegaraan.

Erlangga. Jakarta

Kartasasmita, Ginanjar, 1996, Pembangunan

untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan

dan Pemerataan, Cetakan I, Pustaka

Cidesindo, Jakarta.

Mahendra, Oka, A.A. dan Soekady. 2004. Sistem

Multi Partai Prospek Politik Pasca 2004.

Yayasan Pancur Siwah. Jakarta

Mannheim, K. 1991. Ideologi and Utopia:

Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik.

Penerbit Kanisius. Jakarta.

Margiono, Ari. Membangun Partai Politik yang

Demokrati, www.wordpress.ariblog.com

Mas’oed, Mochtar. 1998. Perbandingan Sistem

Politik. Gadjah Mada University Press.

Yogyakarta

Maswood, Javed, 2000, International Political

Persepsi Masyarakat Terhadap Kebijakan Politik di Kota Parepare - Rudi Hardi 58

Page 63: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

*******

Economy and Globalization, London:

World Scientific Publishing Co.

Muhaimin, Y.A. 1990. Bisnis dan Politik:

Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia

1950-1980. LP3ES. Jakarta.

Obsborne, David and Ted Gaebler, 1992,

Reinventing Government: How The

Enterpreneurial Spirit is Transforming

the Public Sector, Mass: Addison-Wesley

Publishing.

Patton, Carl V. & Sawicki, David S., 1986, Basic

Methods of Policy Analysis and

Planning, New Jersey: Prentice-Hall

Englewood Cliffs.

Pembangunan Jangka Menengah Daerah

(RPJMD) Kota Parepare Tahun 2008-

2013), Parepare: Bappeda Parepare.

Permadani, Wahyu, popularitas dan suara

terbanyak: pilihan terbaik dari partai

politik. www.addpress2007.com

Robbins, S.P. , 1998, Organizational Behavior;

Concepts, Controversies, Applications,

8th Edition, Prentice-Hall

Rubin & rubin, 1986, organization theory :

structure, design and applications, new

jersey : prentice hall.

Sanit, Arbi. 1995. Sistem Politik Indonesia. PT.

Raja Grafindo Persada. Jakarta

Santoso, Topo dan Supriyanto, Didik. 2004.

Mengawasi Pemilu Mengawal

Demokrasi. PT. Raja Grafindo Persada.

Jakarta

Sepandji, Kosasih Taruna, 2000, Manajemen

Pemerintahan Daerah: Era Reformasi

Menuju Pembangunan Otonomi

Daerah, Bandung: Penerbit Universal.

Stewart, M. Aileen, 1994, Empowering People,

Singapore: Pitman Publishing.

Wicipto Setiad, Peran partai politik Dalam

penyelenggaraan pemilu Yang aspiratif

dan demokratis, www.legalitas.org

Yusnita H, SH, Sistem Pemilu Ideal, Adakah.

www.wordpress.nitablog.com

Persepsi Masyarakat Terhadap Kebijakan Politik di Kota Parepare - Rudi Hardi 59

Page 64: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

KEBIJAKAN PUBLIK DALAM KONSTELASI

PARADIGMA PEMBANGUNAN

KESEJAHTERAAN SOSIAL

Ronawaty Anasiru

ABSTRAK

Tulisan ini akan menyampaikan beberapa gagasan mengenai peran Negara

dalam kebijakan publik dan pembangunan sosial, khususnya yang menyangkut

pembangunan kesejahteraan sosial di Indonesia. Tulisan ini dilandasi argumen

bahwa menguatnya arus globalisasi dan liberalism ekonomi melahirkan kesempatan-

kesempatan dan pilihan-pilihan baru dalam berbagai bidang pembangunan. Namun

demikian, kapitalisme sebagai anak kandung globalisasi dan sekaligus poros dari

liberalisme ekonomi juga menciptakan tantangan-tantangan baru bagi pembangunan

Indonesia. Kebijakan publik yang pro pembangunan sosial diperlukan guna me-

rebounding dominasi globalisasi dan kapitalisme sehingga tidak menabrak keadilan

dan kesejahteraan sosial.

Kata Kunci: Kebijakan publik, pembangunan, kesejahteraan sosial

PENDAHULUAN

Menurut Undang-Undang No.11 tahun

2009 tentang kesejahteraan sosial.

Kesejahteraan sosial adalah kondisi

terpenuhinya kebutuhan spiritual, material

dan sosial warga Negara agar dapat hidup

layak dan mampu mengembangkan diri,

sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya

Kesejahteraan sosial adalah bagian tak

terpi-sahkan dari cita-cita kemerdekaan dan

muara dari agenda pembangunan ekonomi.

Pasal 33 UUD 1945 yang merupakan pasal

mengenai ekonomi berada pada bab.XIV UUD

45 yang berjudul “kesejahteraan sosial”.

Menurut Sri Edi Swasono (2001), dengan

menempatkan pasal 33 1945 dibawah judul

bab “kesejahteraan sosial” itu berarti

pembangunan ekonomi nasional haruslah

bermuara pada peningkatan kesejahteraan

sosial. Dengan demikian, dilihat dari

perspektif pembangunan sosial, Indonesia

menganut Negara kesejahteraan, Indonesia

menganut prinsip keadilan sosial (sila kelima

Pancasila) dan secara eksplisit konstitusinya

(pasal 27 dan 34 UUD 1945) mengamanatkan

tanggungjawab pemerintah dalam

pembangunan sosial.

60

Page 65: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

Namum demikian, baik pada masa Orde

Baru maupun era reformasi saat ini,

pembangunan sosial baru sebatas jargon dan

belum terintegrasi dengan strategi

pembangunan ekonomi. Penanganan masalah

sosial masih belum menyentuh persoalan

mendasar. Program-program jaminan sosial

masih bersifat parsial dan karitatif serta belum

didukung oleh kebijakan publik yang

memadai. Orang miskin masih dipandang

sebagai sampah pembangunan yang harus

dibersihkan. Kalaupun dibantu, baru sebatas

bantuan uang, barang, pakaian atau mie instan

berdasarkan prinsip belas kasihan (harity)

tanpa konsep dan visi yang jelas.

Bahkan kini terdapat kecenderungan

pemerintah enggan terlibat mengurusi

permasalahan sosial. Dengan menguatnya

liberalisme dan kapitalisme, pemerintah lebih

tertarik pada bagaimana memacu pertumbuhan

ekonomi setinggi-tingginya termasuk menarik

pajak dari rakyat sebesar-besarnya. Sedangkan

tanggungjawab menangani masalah sosial dan

memberikan jaminan sosial diserahkan

sepenuhnya kepada masyarakat.

Bergulirnya otonomi daerah juga bukan

semakin memperkuat komitmen pemerintah

daerah untuk lebih memperhatikan masyarakat

kelas bawah. Pemberian wewenang yang lebih

besar kepada pemerintah daerah dalam

mengelola pembangunan daerah belum diikuti

dengan penguatan piranti kebijakan dan

strategi pembangunan sosial. Bahkan terdapat

ironi di beberapa daerah institusi-institusi

kesejahteraan sosial yang sudah mapan, alih-

alih dibina kembangkan malahan dibumi

hanguskan begitu saja.

Terkesan kuat, pengalihan pembangunan

sosial hanya dianggap sebagai beban tambahan

bagi anggaran pemerintah daerah. Tidak sedikit

pemerintah daerah yang hanya mau menerima

penguatan dan peralihan wewenang dalam

pengelolaan dan peningkatan sumber-sumber

“Pendapatan Asli Daerah (PAD)” sedangkan

peralihan tugas dan peran menangani

“Permasalahan Sosial Asli Daerah (PSAD)

inginnya diserahkan kepada masyarakat,

lembaga-lembaga sosial dan keagamaan.

Indonesia bisa menimba pengalaman dari

Negara-negara maju ketika mereka

memanusiawikan kapitalisme. Kemiskinan

dan kesenjangan sosial ditanggulangi oleh

kebijakan publik, seperti berbagai skim

jaminan sosial yang benar-benar dapat

dirasakan manfaatnya secara nyata terutama

oleh masyarakat kelas bawah.

KEBIJAKAN PUBLIK

Istilah kebijakan adalah suatu kemampuan

atau kemahiran, sedangkan kebijakan publik

adalah suatu pernyataan atau kehendak dari

pemerintah mengenai suatu kegiatan yang

dilakukannya dalam suatu bidang tertentu

untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Literatur mengenai kebijakan publik telah

banyak menyajikan berbagai definisi kebijakan

publik, baik dalam arti luas maupun sempit. Dye

yang dikutip Young dan Quinn (2005:2),

memberikan definisi kebijakan publik secara

luas, yakni sebagai “whatever governments

choose to do or not to do”. Untuk memahami

berbagai definisi kebijakan publik ada baiknya

jika kita membahas beberapa konsep kunci

yang termuat dalam kebijakan publik.

a. Kebijakan publik adalah Tindakan

pemerintah yang berwewenang. Kebijakan

publik adalah tindakan yang dibuat dan

diimplementasikan oleh badan pemerintah

yang memiliki kewenangan hukum, politis

dan finansial untuk melakukannya.

b. Kebijakan publik adalah sebuah reaksi

terhadap kebutuhan dan masalah dunia

nyata. Kebijakan publik berupaya merespon

masalah atau kebutuhan kongkrit yang

berkembang di masyarakat.

c. Kebijakan publik adalah seperangkat

tindakan yang berorientasi pada tujuan.

Kebijakan publik biasanya bukanlah sebuah

keputusan tunggal melainkan terdiri dari

beberapa pilihan tindakan atau strategi

yang dibuat untuk mencapai tujuan tertentu

demi kepentingan orang banyak.

d. Kebijakan publik adalah sebuah keputusan

untuk melakukan atau tidak melakukan

sesuatu. Kebijakan publik pada umumnya

merupakan tindakan kolektif untuk

memecahkan masalah sosial. Namun,

kebijakan publik bisa juga dirumuskan

61Kebijakan Publik dalam Konstelasi Paradigma Pembangunan Kesejahteraan Sosial - Ronawaty Anasiru

Page 66: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

berdasarkan keyakinan bahwa masa-lah

sosial akan dapat dipecahkan oleh kerangka

kebijakan yang sudah ada dan karenannya

tindakan memerlukan tindakan tertentu.

PARADIGMA PEMBANGUNAN

KESEJAHTERAAN SOSIAL

Saat ini terjadi pergeseran paradigma

dalam ketatanegaraan dan kebijakan publik

dari goverment (pemerintahan) ke governance

(tata kelola), kebijakan publik dipandang

bukan lagi sebagai dominasi pemerintah.

Makna publik juga bergeser dari “penguasa

orang banyak” yang diindentik dengan

pemerintah ke “bagi kepentingan orang

banyak dengan istilah stakeholder atau

pemangku kepentingan. Para analis kebijakan

dan kelompok pemikir yang independen

kemudian muncul sebagai profesi baru yang

banyak berperan mengkritisi beroperasinya

kebijakan sosial dan kemudian mengajukan

saran-saran perbaikannya demi terwujudnya

good governance sejalan dengan menguatnya

semangat demokratisasi, civil society dan

transparansi.

Secara konseptual, pembangunan

kesejahteraan sosial merupakan bagian

integral dari pembangunan sosial. Dalam

Pembangunan Nasional kesejahteraan sosial

merupakan bagian integral dari pembangunan

bidang kesejahteraan rakyat, pendidikan dan

kebudayaan. Oleh karena itu, di Indonesia

kesejahteraan sosial secara luas merujuk pada

pembangunan sosial, sedangkan secara sempit

mengacu pada pembangunan kesejahteraan

sosial.

Edi Soeharto dalam bukunya Analisis

kebijakan publik menyatakan bahwa

“Pembangunan kesejahteraan sosial adalah

usaha yang terencana dan terarah yang

meliputi berbagai bentuk intervensi sosial dan

pelayanan sosial untuk memenuhi kebutuhan

manusia, mencegah dan mengatasi masalah

sosial, serta memperkuat institusi-institusi

sosial. Ciri iutama pembangunan kesejahteraan

sosial adalah holistik-komprehensif dalam arti

setiap pelayanan sosial yang diberikan

senantiasa menempatkan penerima pelayanan

(beneficiaries) sebagai manusia, baik dalam

arti individu maupun kolektifitas, yang tidak

terlepas dari sistem lingkungan sosio-

kulturalnya.

Perkembangan globalisasi dan menguatnya

interaksi antar peradaban dunia telah

memperkuat masuknya paham ekonomi

kapitalisme dalam berbagai pendekatan

pembangunan. Secara makro, masuknya faham

ekonomi kapitalisme ini telah mdelahirkan

kritikan tajam terhadap faham welfare state

(Negara kesejahteraan). Sehingga berkembang

anggapan bahwa negara kesejahteraan

merupakan sistem yang boros, tidak mampu

memberdayakan masyarakat, menimbulkan

stigmatisasi dan bahkan jebakan kemiskinan

(poverty trap) terhadap populasi sasarannya.

Meskipun kritik tersebut tidak sepenuhnya

akurat anggapan ini telah menyebabkan

menurunnya anggaran pembangunan yang

dialokasikan untuk usaha kesejahteraan sosial.

Usaha ini dipandang sebagai kegiatan yang

tidak memiliki indikator keberhasilan yang

terukur secara ekonomis. Menghadapai

tantangan ini pembangunan kesejahteraan

sosial mengalami pergeseran paradigma

(paradigm shift) yakni :

a. Dari masalah ke kebutuhan

Selama ini pembangunan kesejahteraan

sosial lebih berorientasi pada penanganan

masalah, khususnya masalah kesejahteraan

soaial. Meskipun bukan kekeliruan, pendekatan

semacam ini seringkali menggiring pada

pembuat keputusan dan pelaku pembangunan

kesejahteraan sosial kepada pendekatan

bersifat reaktif. Program pembangunan

kesejahteraan sosial dirancang hanya untuk

mengatasi masalah yang sudah ada diwilayah

hilir. Hal ini sejalan dengan teori “gunung es”

atau “Iceberg theory” dari Anderson dimana

melihat suatu permasalahan hanya dari

permukaan saja yang bersifat reaktif, tidak

melihat masalah yang mendasar yang ada

dibawah gunung es tersebut. Sebagaimana

dicontohkan para pekerja sosial berperilaku

seperti “tukang sampah” yang setiap hari

membersihkan sampah tanpa pernah

merespon sumber penghasil sampah.

Disadari bahwa kesejahteraan sosial

bersifat multidimensional, penanganannya

62Kebijakan Publik dalam Konstelasi Paradigma Pembangunan Kesejahteraan Sosial - Ronawaty Anasiru

Page 67: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

membutuhkan pendekatan terpadu yang tidak

hanya difokuskan pada gejala masalah,

melainkan pada berbagai determinan yang

mempengaruhinya. Perspektif penanganan

masalah sosial yang berorientasi pada

kebutuhan dapat dilihat dari program-

program kesejahteraan sosial yang bersifat

pencegahan dan pengembangan yang kini

banyak dikembangkan di negara maju dan

berkembang.

b. Dari stigmatisasi ke hak azasi manusia

Pada masyarakat barat, sejarah

perkembangan usaha kesejahteraan sosial

tidak dapat dilepaskan dari kegiatan-kegiatan

karitatif untuk menolong keluarga miskin. Para

penerima pelayanan diberi bantuan uang,

barang atau pelayanan sosial untuk menunjang

hidupnya, karena prasyarat menerima bantuan

adalah memenuhi kriteria “miskin” dan “tidak

mampu, para penerima pelayanan ini dengan

sendirinya termasuk ke dalam kelompopk

khusus. Mereka mengalami stigmatisasi sebagai

warga kelas dua pada struktur sosial

masyarakat. Konsep kesejahteraan kemudian

sangat identik dengan pemberian tunjangan

pendapatan (doll) atau tunjangan pengangguran

(unemployment benefits) bagi golongan

masyarakat yang papa, cacat atau menganggur.

Dewasa ini dengan diratifikasinya

berbagai konvensi hak azasi mananusia,

bantuan terhadap kaum papa sekalipun tidak

lagi dilihat sebagai usaha belas kasihan

(charity). Melainkan sebagai hak mereka

sebagai warga negara untuk menerima

pelayanan sosial dasar dari Negara sebagai

representasi masyarakat. Beberapa istilah

yang telah bertahun-tahun digunakan dalam

arena kesejahteraan sosial mengalami

berbagai penyelarasan. Misalnya orang miskin

(the poor) menjadi “pemerlu” (the needy),

orang cacat (handicapped disabled people)

menjadi “orang dengan kecacatan” (people

withdisabilities) atau “orang dengan

kemampuan khusus (people with specific

capacities). Kelompok sasaran ini yang tadinya

hanya dipandang sebagai “penerima

pelayanan” (beneficiares) atau “klien”(client),

kemudian ada yang sering dinamakan

“pengguna” (user). Istilah pengguna

dimasukkan sebagai salah satu populasi dan

“kelompok yang berkepentingan” (stakeholders)

dan dipandang sebagai kelompok penentu

proses keberhasilan pertolongan.

c. Dari penerima positif ke pelaku aktif

Salah satu kritik yang sering dilontarkan

kepada sistem welfare state adalah terlau

dominannya peran Negara dalam merancang

dan sekaligus melakukan intervensi terhadap

populasi yang mengalami masalah. Selain

meninmbulkan beban pada anggaran negara,

pendekatan ini sering menimbulkan

ketergantungan pada penerima pelayanan

sosial. Dalam praktek pekerjaan sosial, pekerja

sosial dipandang sebagai penolong yang serba

bisa. Sementara klien dilihat sebagai penerima

bantuan yang seakan-akan tidak memiliki

kemampuan untuk menolong dirinya.

Pandangan diatas kini telah banyak

bergeser. Negara kini banyak menyerahkan

sebagian peran sosialnya kepada Lembaga

Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai mitra

kerjasama pembangunan kesejahteraan sosial.

Klien kini dipandang sebagai aktor yang juga

memiliki potensi yang dapat dikembangkan

untuk menghadapi masalahnya sendiri. Konsep

pemberdayaan menyeruk sebagai strategi

pembangunan kesejahteraan sosial yang

menempatkan penerima pelayanan bukan

semata-mata “klien” melainkan “partisipan”

dan “pelaku aktif ” pemenuhan kebutuhan

mereka sendiri.

d. Dari bantuan sosial ke pemberdayaan.

Dengan menguatnya embusan demokrasi

dan semangat civil society, konsep mengenai

pemberdayaan masyarakat (community

empowerment) semakin mendapat tempat

dalam relung kesadaran publik. Pembangunan

kesejahteraan sosial yang semula didominasi

negara, kini dilakukan dengan melibatkan

masyarakat dan organisasi-organisasi sosial.

Karena belanja negara untuk program

kesejahteraan sosial mengalami kontraksi,

program-program jaminan sosial dan

pelayanan sosial yang semula bersifat

universal, kini semakin bergeser menjadi

selektif berdasarkan pendekatan means-test.

Isu-isu mengenai stigma, kergantungan dan

Kebijakan Publik dalam Konstelasi Paradigma Pembangunan Kesejahteraan Sosial - Ronawaty Anasiru 63

Page 68: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

*******

“jebakan kemiskinan” (poverty trap) yang

sering dianggap melekat pada pelayanan dan

bantuan sosial, telah menjadi justifikasi logis

bagi masuknya nuansa pemberdayaan pada

mainstream pembangunan kesejahteraan

sosial

KONSTELASI PARADIGMA

PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

Pandangan di atas mencerminkan bahwa

pembangunan kesejahteraan sosial

berorientasi dan berwawasan ke depan searah

dengan perubahan dan perkembangan

masyarakat. Pembangunan kesejahteraan

sosial bukan hanya bersifat residual, reaktif dan

karitatif dalam arti hadir hanya sebagai pelipur

lara terhadap para penyandang masalah sosial

dan memainkan peran hanya sebagai “penyapu

sampah-sampah pembangunan”. Pendekatan

pembangunan kesejahteraan sosial bersifat

universal. Institusional dan proaktif terhadap

kondisi kehidupan masyarakat dan masalah

sosial. Sasaran pembangunan kesejahteraan

sosial adalah seluruh masyarakat dari berbagai

latar dan golongan dengan prioritas utama para

penyandanga masalah sosial Pemerlu Pelayanan

Kesejahteraan Sosial (PPKS). Pembangunan

kesejahteraan sosial dilaksanakan secara

bertahap, terarah, terpadu, berkelanjutan,

berencana, terorganisasi dan melembaga.

Pembangunan kesejahteraan sosial

menekankan pada keberfungsian sosial (social

functioning) manusia dalam kehidupan sosial

masyarakat. Tujuan pembangunan

kesejahteraan sosial adalah tercapainya kondisi

kesejahteraan sosial yang adil dan merata serta

berjalannya suatu sistem kesejahteraan sosial

yang mapan dan melembaga sebagai salah satu

piranti kehidupan masyarakat Indonesia dalam

upaya menjadi bangsa yang maju, mandiri dan

mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sesuai

dengan standard kemanusiaan.

Pembangunan akan memberikan hasil

yang optimal apabila memperhatikan berbagai

dimensi secara seimbang dan proporsional.

Untuk memacu dan mempertahankan

pertumbuhan ekonomi serta mewujudkan

kesejahteraan sosial yang adil, pendekatan

pembangunan harus mempertimbangkan

aspek-aspek sosial. Pendekatan sosial perlu

diterapkan bersamaan dengan pendekatan

ekonomi dalam strategi pembangunan.

Keduanya harus dirancang dan dilaksanakan

secara seimbang, saling mengisi, saling

melengkapi, dan saling memperkuat satu sama

lain. Pembangunan sosial dan kebijakan sosial

kemudian muncul sebagai konsep baru yang

mewarnai konstelasi paradigma pembangunan

sebelumnya yang terlalu didominasi oleh

pembangunan ekonomi dan tentunya oleh

kebijakan ekonomi.

PENUTUP.

Demikianlah ulasan tentang Kebijakan

publik dalam konstelasi pareadigma

pembangunan kesejahteraan sosial. Terlepas

dari kelemahan dan kelebihannya memberi

pesan betapa sebuah naskah kebijakan adalah

produk akademis yang tidak kaku. Bila isi dan

tampilannya menarik, ia dapat mengundang

perhatian publik dan berpengaruh pada

perubahan masyarakat, for better or worst.

Karenanya, naskah kebijakan adalah piranti

pembangunan sosial yang sangat penting

menjadi bagian strategi pembangunan

nasional.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson. E. James (1984) Public Police

Making, Holt, Rinehart and Winston,

CBS College Publishing, New York.

Suharto, Edi. (2005) Analisis Kebijakan Publik

(Panduan Praktis Mengkaji Masalah

dan Kebijakan Sosial) Bandung:

Alfabeta.

64Kebijakan Publik dalam Konstelasi Paradigma Pembangunan Kesejahteraan Sosial - Ronawaty Anasiru

Page 69: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

PENDAHULUAN

Berdasarkan penilaian “ The Fajar Institute

of Pro Otonomi (FIPO), Kabupaten Takalar

mendapat Tropi Otonomi Award 2010 kategori

daerah dengan profil menonjol partisipasi

publik dan kesinambungan politik lokal. Hal

tersebut berkaitan dengan kebijakan

pemerintah daerah yang terus berinovasi dan

melakukan terobosan di bidang partisipasi

masyarakat dalam pembangunan. Salah satu

program unggulannya adalah Sistem

Dukungan Terpadu Pembangunan di Desa

yang disingkat Sisduk (Usman, 2010).

Kabupaten Takalar yang berpenduduk miskin

31.17 juta jiwa atau 16,6 persen dari total

jumlah penduduk (BPS, 2009) harus bersaing

dengan empat daerah lainnya yang

didominasikan untuk kategori yang sama

yakni Kabupaten Luwu Utara, Soppeng, Sinjai

dan Kepulauan Selayar. Menurut peneliti FIPO,

Usman (2010) Kabupaten Takalar meraih skor

tertinggi dari 23 kabupaten/kota lainnya yakni

730 poin, sementara Luwu Utara dan Soppeng

memperoleh nilai sama 727 poin, Sinjai dan

Selayar masing-masing 722 dan 721 poin.

MANAJEMEN KEBIJAKAN DALAM

MEMBANGUN PARTISIPASI PUBLIK

Lukman Hakim

ABSTRAK

Partisipasi publik merupakan komponen vital bagi segenap lapisan masyarakat

termasuk kelompok miskin dalam suatu proses pembangunan yang

mendorong terciptanya masyarakat yang mandiri. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa pembangunan tidak hanya menjadi tumpuan pemerintah saja

secara top down, tetapi harus dilakukan dengan kemampuan membangun partisipasi

publik. Partisipasi publik sebagai gerakan masyarakat untuk terlibat dalam proses

pembuatan keputusan, dalam pelaksaanaan kegiatan, ikut menikmati hasil dari

kegiatan tersebut, dan ikut serta dalam mengevaluasinya. Oleh sebab itu dalam

membangun partisipasi publik tersebut maka pemerintah daerah perlu melakukan

terobosan dengan mengembangkan manajemen kebijakan diantaranya kebijakan

Sisduk, Pemberdayaan Masyarakat, dan Peningkatan Kinerja aparat pemerintah.

Tulisan ini menggunakan metode content analysis terhadap informasi hasil

penelitian The Fajar Institute of Pro Otonomi (FIPO) yang telah dipublikasikan, serta

analysis terhadap hasil penelitian tesis dua orang mahasiswa pascasarjana

Universitas Muhammadiyah Makassar yang penulis sendiri bimbing dalam proses

penelitiannya.

Kata Kunci: Manajemen Kebijakan, Pemberdayaan dan Peningkatan Kinerja.

65

Page 70: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

Fenomena tersebut sangat menarik

terlebih bagi daerah yang sementara

membangun sebuah pemerintahan yang baik

(good governance), dimana proses

pembangunan tidak hanya menjadi tumpuan

pemerintah saja secara top down, tetapi harus

dilakukan dengan kemampuan membangun

partisipasi publik. Oleh sebab itu fenomena

tersebut perlu menjadi sebuah pembelajaran

untuk dikaji lebih mendalam mengenai fakta-

fakta apa saja yang menjadi faktor dominan

dalam membangun partisipasi publik.

Keberhasilan dalam membangun partisipasi

publik selain terkait dengan adanya kegiatan

dalam kebijakan Sisduk pemerintah daerah

Kabupaten Takalar, terkait pula dengan

strategi peningkatan kinerja aparat (Sukri,

2010) dan kemampuan mengembangkan

pemberdayaan masyarakat (Dewi, 2010).

Hasil penelitian dua orang mahasiswa

Pascasarjana Unismuh Makassar tersebut

menjadi tambahan rujukan analisis tulisan ini.

Sedangkan analisis hasil penelitian FIPO

dilakukan penulis dengan menggunakan

metode content analysis.

LANDASAN TEORI

Partisipasi Publik

Pengembangan partisipasi publik

merupakan sebuah pendekatan dalam

program pemberdayaan masyarakat. Menurut

Ndraha (1990) pada fase permulaan gerakan

pembangunan desa di berbagai negara,

parakarsa (initiative) yang disebut partisipasi

sebagai salah satu elemen proses

pembangunan desa, tida segera tergerak. Oleh

sebab itu partisipasi masyarakat dalam

pembangunan desa perlu dibangkitkan

terlebih dahulu oleh pihak lain. Berbagai

sumber menyatakan, penggerakan partisipasi

masyarakat desa merupakan salah satu

sasaran pembangunan desa itu sendiri (PBB;

Bhattacharyya, ADB dan Bhattacharyya dalam

Ndraha, 1990).

Beberapa ahli mendefinisikan partisipasi

sebagai gerakan masyarakat untuk terlibat

dalam proses pembuatan keputusan, dalam

pelaksaanaan kegiatan, ikut menikmati hasil

dari kegiatan tersebut, dan ikut serta dalam

mengevaluasinya (Uphoff, 1992). Partisipasi

adalah suatu proses dimana berbagai pelaku

(stakeholders) dapat mempengaruhi serta

membagi wewenang dalam menentukan

inisiatif-inisiatif pembangunan, keputusan

serta pengalokasian berbagai sumberdaya

yang berpengaruh terhadap mereka (Bank

Dunia, 2007).

Mubyarto (1984) mendefinisikan

partisipasi sebagai kesediaan untuk

membantu berhasilnya setiap program sesuai

kemampuan setiap orang tanpa berarti

mengorbankan kepentingan diri sendiri.

Sedangkan Nelson dalam Bryant dan White

(1982) menyebut dua macam partisipasi,

yaitu partisipasi antara sesama warga atau

anggota suatu perkumpulan yang dinamakan

partisipasi horizontal, dan partisipasi yang

dilakukan oleh bawahan dan atasan atau

antara masyarakat sebagai suatu keseluruhan

dengan pemerintah, yang diberi nama

partisipasi vertikal. Keterlibatan dalam

berbagai kegiatan politik seperti pemberian

suara dalam pemilihan, kampanye dan

sebagainya, disebut partisipasi dalam partai

politik. Sedangkan keterlibatan dalam kegiatan

perencanaan dan pelaksanaan pembangunan

disebut partisipasi dalam proses administrasi.

Keterlibatan kelompok atau masyarakat

sebagai suatu kesatuan disebut partisipasi

kolektif, sedangkan keterlibatan individu

dalam kegiatan kelompok disebut partisipasi

individual. Pengembangan partisipasi

masyarakat dalam pembangunan bertujuan

membangun prakarsa dimana setiap orang

atau kelompok masyarakat berpartisipasi

horizontal antara satu dengan lainnya baik

dalam melakukan usaha bersama maupun

dalam rangka melakukan kegiatan dengan

pihak lain.

Dalam pembangunan pedesaan di

Indonesia, partisipasi sepenuhnya dari

segenap lapisan masyarakat termasuk

kelompok miskin adalah komponen vital dalam

suatu proses pembangunan yang mendorong

terciptanya masyarakat yang mandiri. Oleh

sebab itu seringkali diperlukan pendekatan

partisipatif dalam pengembangan masyarakat,

karena memberi manfaat dalam pelaksanaan

program, antara lain; efisien, efektif, menjalin

Manajemen Kebijakan dalam Membangun Partisipasi Publik - Lukman Hakim 66

Page 71: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

kemitraan, memberdayakan kapasitas,

memperluas ruang lingkup, meningkatkan

ketepatan kelompok sasaran, berkelanjutan,

memberdayakan kelompok marjinal dan

meningkatkan akuntabilitas.

Salah satu sisi masalah dalam pendekatan

partisipatif ini adalah membutuhkan biaya

yang besar dan lambatnya proses pengambilan

keputusan. Namun demikian, pengembangan

partisipasi tersebut akan mendukung

keberhasilan dari pelaksana program yang

didampingi dan memperoleh legitimasi dari

masyarakat.

Pengembangan partisipasi masyarakat

dalam pembangunan tergantung kemauan

politik (political will) dari pemerintah yang

berkuasa. Dalam pelaksanaannya, proses

partisipatif seharusnya dimulai sejak

identifikasi dan analisis stakeholders,

konsultasi tingkat daerah, penyusunan

program pembangunan (strategi program,

program investasi, program pembiayaan, dan

program pengembangan kelembagaan),

proses pengawasan hingga monitoring dan

evaluasi. Dengan demikian pengembangan

partisipatif dalam pengembangan masyarakat

diharapkan selalu muncul dalam setiap

penggalian aspirasi dan kebutuhan, konsultasi,

penyepakatan, dan pengambilan keputusan.

Keuntungan-keuntungan lainnya dalam

pengembangan partisipasi dalam proses

pemberdayaan masyarakat, antara lain:

(1) Mampu merangsang timbulnya swadaya

masyarakat yang merupakan dukungan

penting bagi pembangunan

(2) Mampu meningkatkan motivasi dan kete-

rampilan masyarakat dalam membangun

(3) Pelaksanaan pembangunan semakin

sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan

masyarakat

(4) Jangkauan pembangunan menjadi lebih

luas, meskipun dengan dana yang terbatas

(5) Tidak menciptakan ketergantungan

masyarakat terhadap pemerintah dan

pihak lain.

Prinsip-prinsip tersebut dikembangkan

sesuai dengan kondisi lokalitas dan komunitas

untuk mengembangkan kreativitas dalam

upaya mengembangkan partisipasi dan

aspirasi masyarakat.

Manajemen Kebijakan

Manajemen kebijakan di lingkungan

pemerintahan akan banyak berkaitan dengan

pengalokasian kekuasaan dan sumberdaya,

pendelegasian wewenang mengambil

keputusan, penggalian sumber-sumber

keuangan dan pemanfaatan dana dari rakyat

berupa pajak dengan cara yang paling efisien

dan efektif (Bryson, 1988). Kebijakan dalam

membangun partisipasi publik berawal dari

adanya awareness of a problem (kesadaran

akan adanya masalah tertentu). Misalnya,

gagalnya kebijakan tertentu dalam upaya

mengatasi suatu masalah pada suatu tingkat

yang dianggap memuaskan, atau ada masalah

tertentu yang sudah sekian lama dipersepsikan

belum pernah tersentuh oleh kebijakan

pemerintah (Wahab, 1997). Pada kasus

membangun partisipasi publik yang bertujuan

membangun prakarsa setiap orang atau

kelompok masyarakat berpartisipasi

horizontal dalam suatu proses pembangunan

seringkali diperlukan agenda kebijakan publik.

Kebijakan Sisduk pemerintah daerah

Kabupaten Takalar merupakan salah satu

terobosan yang perlu menjadi pembelajaran

bagi pemerintah daerah lainnya, sepanjang

memenuhi kriteria tertentu.

Hogwood dan Gunn (1986) menyebutkan

bahwa secara teoritis, suatu isu akan cenderung

memperoleh respons dari pembuat kebijakan

untuk dijadikan agenda kebijakan publik kalau

memenuhi beberapa kriteria tertentu, antara

lain: a) isu tersebut telah mencapai suatu titik

kritis tertentu, b) isu tersebut menyangkut

kepentingan orang banyak, c) isu tersebut

menjangkau dampak yang amat luas, dan d) isu

tersebut mudah dirasakan kehadirannya.

Kriteria tersebut dapat menjadi kerangka

acuan dalam praktek kebijakan di Indonesia.

Kebijakan pemerintah daerah dalam

membangun prakarsa masyarakat merupakan

aplikasi nilai-nilai keadilan, kebebasan dan

kesejahteraan. Nilai-nilai tersebut merupakan

tiga dari lima nilai kebaikan publik yang

disebutkan oleh Fisterbusch (1983)

diantaranya nilai keamanan (security), hukum

dan ketertiban umum (law and order), keadilan

(justice), kebebasan (liberty), dan

kesejahteraan (welfare).

Manajemen Kebijakan dalam Membangun Partisipasi Publik - Lukman Hakim 67

Page 72: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

Para pemikir kebijakan publik

berpendapat bahwa kesejahteraan umum itu

haruslah dimaksimalkan dengan jalan

memberikan kebahagiaan yang sebesar-

besarnya bagi sejumlah besar orang. Dalam

teori kebijakan publik dikenal prinsip

utilitarian sebagai prinsip yang etis karena

memperjuangkan manfaat yang sama bagi

setiap orang untuk merumuskan manfaat,

kebahagiaan, dan kemaslahatan menurut

keinginannya sendiri. Demikian pula perlu

adanya kebebasan dan persamaan yang penuh

serta memberikan perlakuan yang adil dan

sederajat terhadap si lemah yakni mereka yang

tak beruntung dalam masyarakat. Menurut

pandangan Rawls dalam Wahab (1997),

kebebasan itu adalah dalam artian hak-hak

politik dasar, sedangkan keadilan adalah

persamaan memperoleh kesempatan serta

perlakuan yang positif terhadap si lemah.

Berdasarkan pemikiran tersebut, maka

kebijakan sistem dukungan (Sisduk)

merupakan nilai tambah terhadap upaya

untuk memaksimasi kebaikan sosial atau

kemaslahatan umum bagi warga miskin dan

sebagai upaya untuk membuat kebijakan

publik yang lebih etis.

Kebijakan Sistem Dukungan Terpadu

dalam Pembangunan

Sistem Dukungan (Sisduk) merupakan

terobosan kebijakan pemerintah daerah

Kabupaten Takalar. Kebijakan Kegiatan Sisduk

menurut Usman (2010) antara lain:

pertama, pelatihan-pelatihan yang

ditujukan bagi para pelaksana pembangunan

masyarakat desa yaitu aparat pemerintahan

desa dan Lembaga Swadaya Masyarakat

(LSM), dan pelatihan-pelatihan khusus untuk

para anggota kelompok masyarakat.

Kedua, pelaksa-naan sistem dukungan

melalui pendampingan pada kelompok

masyarakat agar mereka mengetahui ciri khas

daerahnya sendiri, masa depannya, serta

pengorganisasian masyarakat melalui

berbagai aktivitas-aktivitas kecil yang dititik

beratkan pada kemampuan dan kebutuhan

mereka.

Ketiga, memberi dana stimulan

(perangsang) sebagai tambahan dari swadaya

masyarakat untuk kelompok-kelompok agar

mereka berpartisipasi dalam melakukan

kegiatan-kegiatan berdasarkan kebutuhan

mereka. Tujuan utama kebijakan ini adalah

membangun kemampuan masyarakat lokal

agar mereka dapat mandiri dan mampu

mengidentifikasi, memecahkan, dan

melaksanakan kegiatan untuk mengatasi

masalah yang dihadapi. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa program Sisduk mampu

mendorong partisipasi dan swadaya

masyarakat yang melebihi dana yang

dikeluarkan pemerintah. Berikut tabel

pengeluaran pemerintah Kabupaten Takalar

untuk kegiatan Program Sisduk

Dana pengeluaran pemerintah sebanyak

7,9 milyar rupiah maupun pengeluaran

masyarakat sebanyak 11,59 milyar rupiah

pada tahun 2003-2006 digunakan untuk

membantu 17.957 Kepala Keluarga (KK) dan

3.017 kelompok masyarakat. Sedangkan

pengeluaran pemerintah tahun 2009

sebanyak 1 milyar rupiah dan 1,69 milyar

rupiah dana partisipasi masyarakat mampu

membangkitkan partisipasi bidang ekonomi

dan sosial masyarakat yang diperuntukkan

untuk kegiatan bidang ekonomi seperti

pengadaan pompa air untuk pertanian,

pupuk, perikanan mesin alat tangkap, rumput

laut, dan industri rumah tangga. Sedangkan

dana pengeluaran untuk kegiatan bidang

sarana dan prasarana seperti pengadaan air

bersih, jamban keluarga, pengairan tersier,

dan jalan tani/jembatan hingga kegiatan sosial

seperti rehabilitasi masjid/musalah, dan

pembangunan TK/TPA. Kegiatan tersebut

telah membawa banyak perubahan di Takalar

seperti tumbuhnya kelompok-kelompok di

dalam masyarakat sebagai wadah kerja sama

untuk memenuhi kebutuhan bersama. Hingga

tahun 2008 telah terbentuk sebanyak 4.653

kelompok.

Managemen Kebijakan dalam Membangun Partisipasi Publik - Lukman Hakim

Tabel 1.

Pengeluaran Pemerintah untuk Program Sisduk (Milyard)

Sumber: Hasil Olahan Data Sekunder, 2010

TAHUN PENGELUARANPEMERINTAH

PENGELUARAN MASYARAKAT(DANA PARTISIPASI)

2003 – 2006

2009

7,91

11, 591,69

68

Page 73: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

Kebijakan Program Nasional

Pemberdayaan Masyarakat Mandiri

Perdesaan (PNPM-MP).

Salah satu keberhasilan dalam membangun

partisipasi publik di Kabupaten Takalar adalah

keberhasilan mengimplementasikan program

nasional pemberdayaan masyarakat mandiri

pedesaan (PNPM-MP)di sebagian perdesaan.

Program PNPM Mandiri Perdesaan yang

dimulai sejak tahun 2007 dengan program

pengembangan masyarakat mulai diperluas

tahun 2008 dengan melibatkan program

pengembangan infrastruktur sosial ekonomi

wilayah (PISEW) untuk mengingrasikan pusat-

pusat pertumbuhan ekonomi dengan daerah

lainnya. Untuk meningkatkan pemberdayaan

masyarakat, maka di daerah ini dilaksanakan

pelatihan kader pemberdayaan masyarakat

desa (KPMD) dan pendamping lokal (PL)

program PNPM mandiri. Sesuai dengan visi

dan misi PNPM mandiri maka strategi yang

dikembangkan di daerah ini adalah

menjadikan rumah tangga miskin (RTM)

sebagai kelompok sasaran, menguatkan

sistem pembangunan partisipatif serta

mengembangkan kelembagaan kerjasama

antar desa. PNPM mandiri pedesaan lebih

menekankan pentingnya pemberdayaan

sebagai pendekatan yang dipilih.

Menurut hasil penelitian Dewi (2010),

PNPM Mandiri Perdesaan sangat berpengaruh

menekan permasalahan sosial sebagai

dampak kemiskinan, antara lain permasalahan

lapangan kerja, menekan rendahnya tingkat

pendidikan, menekan peningkatan angka

kriminalitas, dan menekan berkembangnya

konflik-konflik sosial antar masyarakat, dan

menekan rendahnya akses masyarakat

terhadap kebutuhan hidup.

Dengan adanya PNPM Mandiri Perdesaan

kegiatan bidang ekonomi seperti kerajinan

rumah tangga (home industri) membangkitkan

kembali peluang masyarakat mengembangkan

lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan

rumah tangga seperti pembuatan keramik,

pembuatan kursi tamu, dan pembuatan kue

dan makanan jadi lainnya. Dengan dana

bergulir pada program PNPM mandiri, maka

tingkat kriminalitas seperti pencurian ternak

dan kecemburuan sosial antar desa/kampung

dapat ditekan. Hal ini menunjukkan bahwa

meningkatnya kriminalitas dan persoalan

sosial lainnya tidak terlepas dari kondisi

kemiskinan yang dialami oleh masyarakat.

Meskipun demikian menurut Dewi (2010),

Indeks Pembangunan Manusia (human

Development index) di daerah ini masih sangat

rendah, dibandingkan dengan kualitas

manusia di daerah/negara lainnya.

Kebijakan Peningkatan Kinerja Aparat

Pemerintah

Aparat pemerintah merupakan motor

penggerak utama dalam membangkitkan

partisipasi publik dalam pembangunan, dan

oleh karena itu aparat harus bersikap sebagai

pelayan atau memberi pelayanan, dan bukan

sebagai penguasa (Tjokroamijoyo. 1987).

Pemerintah adalah pengambil prakarsa

terlebih dahulu dalam bentuk pembangunan

untuk masyarakat (Hanson, Bhattacharyya

dalam Ndraha, 1990). Dengan catatan tidak

mematikan inisiatif masyarakat itu sendiri.

Pemerintah dengan aparat yang dimiliki

berperan memberi bimbingan dan bantuan

teknis kepada masyarakat desa dengan

maksud agar pada suatu saat masyarakat

mampu melakukannya sendiri. Misalnya

dalam hal perencanaan, pada awalnya

pemerintah melakukan perencanaan untuk

masyarakat (planning for community),

kemudian perencanaan bersama masyarakat

(planning with community). Dan akhirnya

perencanaan oleh masyarakat (planning by

community).

Menurut Sukri (2010) salah satu

keberhasilan dalam membangun partisipasi

publik dalam pembangunan di Takalar adalah

adanya langkah-langkah strategis peningkatan

kinerja aparat pemerintah, antara lain: (1)

meningkatkan kualitas aparatur pemerintah

yang profesional, disiplin dan penuh tanggung

jawab, (2) mewujudkan pelayanan umum

masyarakat yang prima dan penyelengaraan

pemerintahan yang transparan dan akuntabel,

(3) meningkatkan sistem informasi

pelaksaanaan kegiatan, dan (4) mewujudkan

kebijakan yang mendorong pertumbuhan

ekonomi dan pembangunan yang berpihak

kepada rakyat. Kebijakan strategis tersebut di

69Managemen Kebijakan dalam Membangun Partisipasi Publik - Lukman Hakim

Page 74: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

dukung oleh (1) adanya dukungan dan

komitmen dari pimpinan, (2) adanya jaminan

ketersediaan anggaran untuk pelaksanaan

kegiatan, (3) ketersediaan sarana dan

prasarana, (4) kemampuan aparat dalam

mengelola teknologi informasi, dan (4) adanya

hubungan kerja yang baik antar aparat.

Namun demikian peningkatan kinerja

aparat menghadapi pula beberapa kendala

atau kelemahan diantaranya masih rendahnya

kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia,

terbatasnya kemampuan keuangan daerah,

kurangnya pemahaman pegawai terhadap

rencana pembangunan pemerintah daerah,

serta belum tersusunnya indikator kinerja

aparat pemerintah.

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan sebelumnya,

maka beberapa kesimpulan dikemukakan

dalam tulisan ini, yaitu:

1. Partisipasi publik merupakan komponen

vital dalam suatu proses pembangunan

yang mendorong terciptanya masyarakat

yang mandiri.

2. Kebijakan pemerintah daerah yang terus

berinovasi dan melakukan terobosan di

bidang partisipasi masyarakat dalam

pembangunan merupakan kebijakan yang

akan berdampak pada terciptanya

pemerintahan yang baik (good governance)

3. Kebijakan sistem dukungan terpadu dalam

pembangunan mampu membangkitkan

partisipasi masyarakat dalam berprakarsa

baik di bidang ekonomi maupun sosial

4. Kebijakan program nasional pemberdayaan

masyarakat (PNPM) mandiri mampu

meningkatkan pemberdayaan masyarakat

khususnya kelompok masyarakat miskin

sebagai sasaran

5. Peningkatan kinerja aparat pemerintah

mampu berperan memberi bimbingan dan

bantuan teknis perencanaan pembangunan

kepada masyarakat desa dengan maksud

agar pada suatu saat masyarakat mampu

melakukannya sendiri.

SARAN

Agar pemerintah daerah dapat lebih

mampu mengembangkan partisipasi publik

dalam pembangunan, maka beberapa

masukan sebagai saran dikemukakan sebagai

berikut:

1. Pemerintah daerah perlu lebih berperan

membuat terobosan kebijakan, agar

pelaksanaan program pembangunan tidak

lagi bertumpu pada peran pemerintah,

tetapi mampu melibatkan peran serta

masyarakat baik dalam perencanaan

program maupun dalam pelaksanaan

2. Partisipasi publik tidak akan berjalan

sendiri, melainkan perlu adanya komitmen

dan dukungan finansial dan ketersediaan

sarana dan prasarana serta dukungan

kemampuan aparat baik kualitas maupun

kuantitas.

DAFTAR PUSTAKA

Bank Dunia. 2007. Era Baru dalam

Pengentasan Kemiskinan di Indonesia.

(Terjemahan) Penerbit: The World

Bank

Badan Pusat Statistik, 2009. Takalar dalam

Angka, Takalar: Badan Pusat Statistik

Tjokroamijoyo, Bintoro. 1987. Administrasi

Pembangunan, Jakarta: LP3ES.

Bryant, C and White, L.G, 1982. Managing

Development in The Third World,

Boulder Colorado: Westview Press.

Bryson, John, 1988. “Strategic Planning for

Publik and Nonprofit Organizations”.

Jossey Bass Publishers, San Fransisco

Dewi, Ratna. 2010. Efektivitas Implementasi

Program Nasional Pemberdayaan

Masyarakat (PNPM) mandiri Pedesaan

Di Kecamatan Polombangkeng Selatan

Kabupaten Takalar (Tesis), Pascasarjana

Universitas Muhammadiyah Makassar

Fisterbusch, Kurt. 1983. Evaluation Methods,

dalam Social Impact Assesment

Methods, Kurt fisterbusch et all (eds).

London: Sage Publication Ltd.

70Managemen Kebijakan dalam Membangun Partisipasi Publik - Lukman Hakim

Page 75: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

*******

Hogwood, Brian W and Lewis A. Gunn (1986).

Policy Analysis for the Real World.

Oxford University Press.

Mubyarto. 1984. Strategi Pembangunan

Pedesaan. Yokyakarta: P3PK UGM

Ndraha, Taliziduhu. 1990. Pembangunan

Masyarakat, Jakarta: Rineka Cipta

Sukri, Muhammad. 2010. Strategi Peningkatan

Kinerja Organisasi Pada Badan

Perencanaan Pembangunan Daerah

Kabupaten Takalar (Tesis), Pascasarjana

Universitas Muhammadiyah Makassar

Uphoff, N. 1988. Local Institutional

Development. Fransisco: Cornell

University Press

Usman, Sunda r i . 2 0 1 0 . Meng galang

Potensi, Membangun Kemandirian

L o k a l ( L a p o r a n P e n e l i t i a n ) ,

A r t i k e l O t o n o m i Awa r d, T h e

Fajar Inst itute of Pro Otonomi

( F I P O ) , H a r i a n Fa j a r, 2 1 J u l i

2010, Hal. 29

Wahab, Solichin Abdul, 1987. Analisis

Kebijaksanaan, Edisi Kedua, Bumi

Aksara, Jakarta.

71Managemen Kebijakan dalam Membangun Partisipasi Publik - Lukman Hakim

Page 76: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

PENDAHULUAN

Sejak pertama digulirkan, istilah sertifikasi

telah membuat “gerah” beberapa LPTK

(Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan)

di Tanah Air. Sertifikasi dianggap sebagai

bentuk keraguan dari pihak pemerintah

terhadap kredibilitas alumni dari LPTK yang

telah banyak menghasilkan tenaga guru dan

dosen. Lembaran negara berupa “Ijazah Akta”

tidak menjadi sebuah jaminan kompetensi bagi

setiap guru. Mengapa?

Issu tentang rendahnya mutu pendidikan

yang seakan tak pernah selesai menjadi fakta

tak terbantahkan sebagai indikator bahwa

kompetensi guru perlu ditelusuri lebih jauh.

Upaya untuk menelusuri pun “digodok” dalam

rangka mendeteksi layak tidaknya seorang

KEBIJAKAN SERTIFIKASI GURU

(Tawaran Solusi Pendidikan Profesi Guru)

Ihyani Malik

ABSTRAK

Issu sertifikasi guru dan dosen telah lama digulirkan. Sertifikasi sebagai upaya

legal dan pengakuan negara terhadap status profesional bagi guru. Undang-

undang RI No.14 tahun 2005 dan PP No.74 tahun 2008 memberikan batasan

bahwa sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat untuk guru dan dosen.

Pengakuan sebagai seorang profesional dikuatkan dengan terbitnya lembaran negara

yang bernama “sertifikat pendidik”. Sebuah impian yang dinantikan oleh kaum “Umar

Bakri” di Tanah Air. Namun menjadi sebuah tanda tanya, “apakah menjadi guru

profesional cukup dengan sertifikasi?” Menjawab pertanyaan ini perlu dilakukan

analisis lebih jauh.

Kata Kunci: Kebijakan, pendidikan, sertifikasi guru

72

Page 77: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

guru dianggap profesional. Tarik ulur sistem

pendeteksian melahirkan sebuah instrumen

yang disebut dengan “Penilaian Porto Folio”

yang dianggap “lebih murah” saat ini sebagai

“alat deteksi” bagi keprofesionalan bagi

seorang guru.

Menyikapi pertanyaan utama di atas

dikaitkan dengan “alat deteksi” berupa porto

folio memang secara sederhana dapat

menjawab pertanyaan tersebut. Porto Folio

yang terbagi ke dalam 10 komponen besar

yang dipersyaratkan dapat memberi jaminan

bahwa seorang guru yang memenuhi standar

poin minimal dari isi porto folio mereka layak

dianggap profesional. Namun tentu saja

semua yang menjadi item penilaian tersebut

secara faktual merupakan pengalaman guru/

dosen yang benar-benar dilakoni dalam

kehidupan nyata. Bagaimana ini?

Dengan persyaratan skor minimal dari isi

porto folio (skor minimal 850) dan imbalan

finansial yang cukup menggiurkan, berbagai

upaya ditempuh oleh guru untuk mencapai

derajat “profesional” tersebut. Dari berbagai

sumber yang diperoleh (dari guru ataupun

asesor) terdeteksi adanya usaha yang tidak

“halal” dilakukan oleh calon profesional

tersebut. Hal seperti ini memberi catatan

tersendiri bahwa sebagian guru mengidap

“penyakit moral” yang perlu diobati. Dari

tangan asesor yang telah terlatih lahirlah guru

yang layak dan tidak layak menyandang gelar

“profesional”. Guru yang layak diberi sertifikat,

yang tidak layak di upgrade dalam suatu diklat

khusus.

Penyakit moral yang disebutkan di atas

muncul karena dua alasan yang berbeda. Ada

yang bisa dibenarkan dan ada yang memang

salah. Yang dapat dibenarkan adalah, mereka

(guru/dosen) yang telah lama mengabdi

secara benar atau “profesional” menurut

penilaian lapangan, namun semua bukti fisik

keprofesionalan yang telah diraih tidak dapat

diperlihatkan (salah satu kelemahan penilaian

porto folio). Yang tak dapat dibenarkan adalah

guru yang melengkapi bukti isi porto folio

mereka dengan cara yang tidak benar (pemalsuan,

plagiat, jual-beli piagam/sertifikat dsb).

Sertifikasi yang sedang terlaksana saat ini,

dengan semua kelebihan dan kelemahannya

harus diakui telah mampu menyaring

beberapa guru/dosen yang layak dan tidak

layak menyandang gelar profesional. Dari

semua fenomena di atas, penilaian portofolio

dan diklat adalah suatu upaya yang praktis dan

cenderung lebih realistis sebagai langkah awal

sertifikasi. Menyikapi semua hasil yang telah

dicapai dari sertifikasi, memotivasi baik user

ataupun stakeholder untuk memberikan

sumbangan ide pemikiran demi

menyempurnakan sistem yang sementara

diberlakukan.

KRITERIA GURU PROFESIONAL

Mulyasa dalam bukunya “Menjadi Guru

Profesional” (2006) menyoroti keprofesionalan

guru dari segi proses pembelajaran. Mulyasa

menekankan bahwa guru profesional harus

mampu menciptakan pembelajaran kreatif

dan menyenangkan. Dua kata terakhir

“kreatif” dan “menyenangkan” diungkapkan

dengan kata hubung “dan”. Menurut logika

bahasa kata “dan” mencakup dua hal yang

tidak boleh berpisah. Kreatif dapat bermakna

variatif, inovatif, atau baru dan harus

dinikmati secara menyenangkan oleh

pebelajar. Tuntutan kreatif dan menyenangkan

terkesan sederhana tetapi dalam aplikasinya

bukanlah hal yang gampang.

UU Sisdiknas 2003 pasal 39 (2)

menyebutkan, pendidik merupakan tenaga

profesional yang bertugas merencanakan dan

melaksanakan proses pembelajaran, menilai

hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan

dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan

pengabdian kepada masyarakat, terutama

bagi pendidik pada perguruan tinggi.

Kriteria profesional yang disebutkan ini

sudah sangat memadai apabila dimiliki oleh

seorang guru/dosen. Kemampuan guru, mulai

dari perencanaan sampai pada penilaian

adalah kemampuan proses evaluasi untuk

mendeteksi hasil yang akan dan telah dicapai.

Sedangkan pelaksanaan penelitian merupakan

upaya mengatasi masalah jika didapati adanya

kesenjangan antara harapan dan kenyataan

(anjuran pelaksanaan Penelitian Tindakan

Kelas). Komponen inilah yang sebaiknya

menjadi pantauan secara intensif pasca

sertifikasi guru/dosen. Bagaimana perlakuan

Kebijakan Sertfikasi Guru (Tawaran Solusi Pendidikan Profesi Guru) - Ihyani Malik 73

Page 78: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

pasca sertifikasi? Jawabannya adalah

tergantung user/stakeholder (masyarakat,

pemegang kewenangan, dan semua yang

berkepentingan dalam bidang pendidikan).

SERTIFIKASI UNTUK MENJADI

PROFESIONAL : SUATU TAWARAN SOLUSI

ALTERNATIF

Dua kriteria besar yang diungkapkan di

atas menjadi acuan untuk mengajukan solusi

merelevankan antara sertifikasi dengan

profesionalisme. Mengajukan solusi dari suatu

masalah haruslah bersifat realistis. Artinya

dapat menjawab masalah dan terjangkau dari

segi aplikasi, waktu, maupun dana. Dengan

pertimbangan itulah sertifikasi guru yang

dianggap dapat berdampak terhadap

profesionalisme adalah sebagai berikut: (1)

perlakuan pasca sertifikasi, (2) sistem

pendidikan yang manusawi, (3) perekrutan

tenaga pendidik profesional eksklusif, (4)

pemberlakuan sistem kontrak secara

profesional.

PERLAKUAN PASCA SERTFIKASI

Sertifikasi sudah bergulir dan yang dapat

dilakukan untuk mewujudkan guru profesional

adalah tindak lanjut pasca sertifikasi.

Mewujudkan cita-cita tersebut, sangat

tergantung bagaimana user/stakeholder

meberikan perlakuan pasca sertifikasi.

Sekurang-kurangnya ada 6 hal yang dapat

dilakukan mengenai perlakuan pasca

sertifikasi, yaitu: (1) bagaimana user/

stakeholder menempatkan, memberikan, dan

menugaskan guru profesional dengan

opstimal, (2) mengawasi penyandang “guru

profesional” tersebut membuktikan gelar baru

yang disandangnya, (3) mengevaluasi dampak

perlakuan user/stakeholder (kelebihan dan

kekurangan) dengan melihat proses maupun

hasil pendidikan yang telah dicapai, (4)

mengidentifikasi masalah (kekurangan) dari

hasil evaluasi, (5) merancang solusi alternatif

yang dianggap dapat megurangi kekurangan/

kelemahan sertifikasi, (6) memberikan syarat

kemudahan untuk mendapatkan imbalan

finansial. Cara ini meskipun sifatnya klasik,

namun bila dilakukan dengan tulus akan

efektif.

SISTEM KURIKULUM PENDIDIKAN

YANG MANUSIAWI

Sistem kurikulum pendidikan di Indonesia

cenderung tidak manusiawi. Berikut ini

beberapa sorotan yang patut dipertimbangkan

oleh stakeholder pendidikan yaitu:

Pertama, muatan kurikulum. Dalam

sebuah simposium reformasi pendidikan, Dr.

Hafid Abbas, mengemukakan sebuah hasil

analisis tentang kurikulum pendidikan dasar

dan menengah bahwa, “Indonesia menempati

posisi kedua kurikulum paling rumit di dunia

sesudah negara Turki”. Lebih lanjut dikatakan

bahwa kerumitan kurikulum yang dimaksud

adalah banyaknya cakupan kompetensi yang

harus dicapai oleh peserta didik (siswa). Selain

itu adalah jumlah mata pelajaran yang sangat

banyak. Prof. Dr. Saleh Pallu, mengungkapkan

bahwa Sekolah Dasar di Jepang hanya

mengajarkan 2 mata pelajaran yaitu

Matematika dan Fisika. Bandingkan dengan

kurikulum pendidikan di Indonesia.

Kedua, kurikulum yang terkesan memaksa.

Berdasarkan mata pelajaran dan standar isi,

kurikulum pendidikan tidak memberikan

pilihan yang lebih leluasa kepada peserta didik

untuk menentukan pilihan berdasarkan minat

dan bakat yang dimilikinya.

Ketiga, standar kompetensi lulusan yang

tumpang-tindih dengan kriteria kelulusan ujian

nasional. Penetapan KKM (Kriteria Ketuntasan

Minimal) adalah otonomi penuh bagi guru mata

pelajaran. Secara rasional siswa yang telah lulus

KKM dari semua mata pelajaran setiap jenjang

kelas sudah dianggap kompeten untuk lulus.

Tetapi secara nasional melalui Ujian Nasional

secara sepihak dapat menggagalkan semua itu

dengan kriterianya sendiri.

Sistem kurikulum ini sangat mempengaruhi

keprofesionalan guru sebab terkait dengan

hasil belajar yang menjadi tolok ukur utama

mutu pendidikan. Meskipun guru sudah

dianggap profesional tetapi dengan sistem

kurikulum seperti ini akan terpatahkan oleh

fakta hasil belajar siswa akibat kerumitan

muatan kurikulum yang dihadapinya.

Kebijakan Sertfikasi Guru (Tawaran Solusi Pendidikan Profesi Guru) - Ihyani Malik 74

Page 79: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

PEREKRUTAN TENAGA PENDIDIK

PROFESIONAL EKSKLUSIF

Melahirkan profesional memerlukan

perlakuan eksklusif (tidak umum). Eksklusif

dalam perekrutan calon profesional (sistem

seleksi), perlakuan calon profesional, dan

apresiasi user/stakeholder setelah menjadi

profesional. Salah satu kesalahan besar yang

dilakukan pemerintah di negeri ini adalah

perubahan IKIP (Institut Keguruan Ilmu

Pendidikan) menjadi Universitas. IKIP adalah

institusi eksklusif yang diformat untuk

memproduksi guru. Dengan menggunakan

nama IKIP maka secara rasio hanya

“memanggil” secara eksklusif untuk mereka

yang bercita-cita menjadi guru. Kebijakan

mengubah IKIP menjadi Universitas berakibat

pada tidak jelasnya institusi apa yang

bertanggung jawab terhadap mutu guru.

Prof. Dr. Djaali (anggota BSNP), bahkan

membuat wacana yang lebih eksklusif lagi

tentang perekrutan guru. Dikatakan bahwa

guru sebaiknya dieksklusifkan seperti

pendidikan AKABRI (seleksi ketat, terpusat,

dan diasramakan). Prof. Dr. Djaali meyakini

hipotesis bahwa rendahnya mutu pendidikan

bukan disebabkan oleh kompetensi guru,

melainkan lebih pada “keikhlasan menjadikan

profesi guru sebagai panggilan jiwa.”

PEMBERLAKUAN SISTEM GURU

KONTRAK SECARA PROFESIONAL

“Pemaksaan” meskipun terkesan bernilai

negatif, namun sering membuahkan hasil

yang optimal. Sistem kontrak secara

profesional akan “memaksa” guru untuk selalu

produktif. Dengan ancaman sanksi

administratif sampai pada pemutusan kontrak,

guru yang telah lulus seleksi dan dianggap

layak, dengan serta-merta akan meningkat-kan

kemampuannya. Sistem ini memang harus

diimbangi dengan gaji yang cukup

menjanjikan. Seperti sistem yang berlaku pada

bidang profesional seperti, perusahaan, sepak

bola, dunia hiburan, dan fashion.

MENGINTIP SERTIFIKASI NEGARA

SINGAPURA

Sebagai negara yang berhasil dalam

menuai hasil pendidikan Singapura cukup

layak menjadi sorotan dalam hal sertifikasi.

Sebuah paper berjudul “what the United States

of America can learn from Singapore’s world

class mathematics system (and what Singapore

can learn from the United States of America): An

exploratory study”, di dalamnya diungkapkan

mengenai sertifikasi guru menjadi bagian dari

kerangka kerja analitik selain entri, penyiapan,

dan pelatihan profesional. Dalam paper

tersebut dikemukakan bahwa di Singapura

dukungan terhadap guru berkualitas

dipersyaratkan untuk kualifikasi sarjana

(Strata-1).

Kementrian Pendidikan Singapura

menawarkan pengembangan profesionalisme

melalui program pre-service learning, effective

pedagogy, dan learn to understand new

technologies and incorporate them into teaching

(American Institutes for Research, 2005). Baik

pre-service learning atau effective pedagogy, di

Indonesia pun telah diprogramkan PPG

(Pendidikan Profesi Guru) yang memiliki ide

yang serupa.

Secara garis besar, sertifikasi yang

dilakukan di Singapura tidaklah jauh berbeda

dengan apa yang dilakukan di Indonesia. Tetapi

membandingkan hasil pendidikan Singapura-

Indonesia menunjukkan mutu yang berbeda.

Padahal menurut hitungan, jumlah jam

pelajaran yang dimiliki sistem persekolahan di

Indonesia berada di atas rata-rata dibandingkan

dengan negara lain yang maju di bidang

pendidikan. Semestinya “jam belajar yang

banyak” berbanding lurus dengan “mutu hasil

belajar yang dicapai.” Lalu di mana akar

masalahnya? Untuk menjawabnya dibutuhkan

eksperimen “berani” untuk mencoba tawaran-

tawaran alternatif yang telah dikemukakan di

atas.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Said Zainal. 2009. Peran Pemerintah

dalam Pembangunan. Ilmu Administrasi

Vol. 4. No. 2 hlm.54 – 55.

Ahmad, H.Muh. Syarif. 2009. Pelaksanaan

Otonomi Daerah Sangat Diperlukan

Kebijakan Sertfikasi Guru (Tawaran Solusi Pendidikan Profesi Guru) - Ihyani Malik 75

Page 80: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

Manajemen Sumber Daya Manusia

yang Berkualitas. Adminstrasi Negara

Vol. 15. No. 3. Hlm. 24.

Ahmadi, Abu. 1999. Psikologi Sosial. Jakarta:

Rinneka Cipta

Ali, M. Sidin, Jaali, Syamsuddin Nonci. 1986.

Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Depdikbud

Proyek Sisdiklat BKS PTN, Indonesia

Timur.

Bycio, P., Hackett, R.D., and Allen, J.S. 1995.

Further Assessments of Bass’s (1985).

Conceptualization of Transactional

and Trans-formational Leadership.

Journal of Applied Psychology, 80 (4):

468-478.

Dessler, Gary, 1997. Human Resource

Management. Terjemahan Benyamin

Molan. Jakarta : Prenhallindo.

Donaldson dan Scannel, 1993. Human

Resources Development. Terjemahan

Ya’kub dan Eno. Jakarta : Gaya Media

Pratama.

Eisenbach, R., Watson, K., and Pillai, R.

1999. Transformational Leadership

in The Context of Organizational

Change. Journal of Organizational

Change Management , 12 (2): 80-

88.

Himpunan Peraturan Peundang-undangan

Pegawai Negeri Sipil, 2003. Bandung :

Fokus Media.

Judge, T.A., and Bono, J.E. 2000. Five-factors

Model of Personality and transactional

Leadership. Journal of Applied

Psychology, 85 (5): 751-765.

Jalaluddin dan Abdullah, 1997. Filsafat

Pendidikan. Jakarta : Gaya Media

Pratama.

Jessup, G., Jessup, H. (1975). Selection and

Assesssment, London, Matheuen.

Koh, W.L., Steers, R.M., and Terborg, J.R.

1995. The Effect of Transformational

Leadership on Teacher Attitudes and

Student Performance in Singapore.

Journal of Organizational Behavior,

16: 319-333.

Stolovitch, Keeps. 1992. Strategy Formulation

in Complex Organization. New York: Mc

Graw Hill Book Company

Suhartono, S. 1994. Filsafat Ilmu Pengetahuan.

Ujungpandang: PPs UNHAS

Winkel, W.S. Psikologi Pengajaran. Jakarta: PT.

Gramedia

Winarno, Budi. 2002. Apakah Kebijakan

Publik : dalam Teori dan Proses

Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media

Pressindo.

Yukl, G.A. 1998. Leadership in Organization.

Second Edition. Englewood Clifs, New

Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Yuki, Gary 1998. Kepemimpinan Dalam

Organisasi. Jakarta : Prenhallindo.

Zainun, Buchari, 1995a. Administrasi dan

Mananajemen Kepegawaian Pemerintah

Negara Indonesia. Jakarta : Gunung

Agung.

*******

76Kebijakan Sertfikasi Guru (Tawaran Solusi Pendidikan Profesi Guru) - Ihyani Malik

Page 81: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

68

Page 82: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

Petunjuk PenulisanJurnal Ilmu Pemerintahan OTORITAS

ISI ARTIKEL

Artikel yang dipublikasikan Jurnal Ilmu Pemerintahan

OTORITAS meliputi hasil penelitian dan non

penelitian (kajian analisis, aplikasi teori dan review)

tentang masalah-masalah publik, kebijakan publik,

administrasi publik baik pada lembaga-lembaga

pemerintahan, swasta/perusahaan maupun dalam

masyarakat. Artikel yang dimuat dalam jurnal

diprioritaskan artikel hasil penelitian dan belum

pernah atau akan diterbitkan dalam media cetak lain.

Isi artikel diketik spasi ganda dalam bahasa Indonesia

dan Inggris, dengan ukuran kertas A4 (21x29,7cm)

minimal 15 halaman dan maksimal 20 halaman.

Berkas naskah (file) dibuat pada program olah data

Microsof Word dilengkapi dengan nama penulis, judul

artikel, nama dan alamat lembaga, kode pos, beserta

nomor telepon/faks.

ARTIKEL HASIL PENELITIAN

Judul

Maksimal 14 Kata dalam Bahasa Indonesia atau 10

Kata dalam Bahasa Inggris, lugas dan menarik

Nama Penulis

Lengkapi dengan nama dan alamat lembaga tempat

kegiatan penelitian, kode pos, telp/faks, dan telp/faks

untuk koresponden dengan penulis.

Abstrak

Merupakan miniatur (segala sedikit) isi dari kese-

luruhan tulisan, meliputi masalah, tujuan, metode,

hasil, simpulan dan signifikan maksimal 200 kata.

Key Word (Kata Kunci)

Memuat konsep yang terkandung dalam artikel terdiri

dari 3 hingga 5 konsep.

Pendahuluan (tanpa sub judul)

Memuat latar belakang maslah penelitian, uraian dan

fokus permasalahan, tujuan penelitian, landasan teori

dan hasil penelitian terdahulu yang nyata-nyata

mendukung pemecahan permasalahan dan tujuan

penelitian.

Metode

Menjelaskan bagaimana prosedur penelitian di-

lakukan design penelitian, populasi, sampel,

instrumen, skala pengukuran, dan teknik analisis data.

Hasil

Hasil (bersih) analisis data yang dilengkapi dengan

illustrasi (gambar, foto, tabel, dan grafik).

Pembahasan

Menginterpretasikan hasil penelitian dan mengkaitkan

dengan konsep dasar. Bandingkan dengan teori, hasil

penelitian dengan orang lain yang relevan dan implikasi

dan praktisnya. Dalam pembahasan diperlukan,

ketajaman analisis dan sintesis secara kritis.

Simpulan

Ditulis dalam bentuk essay memuat esensi dari

perpaduan antara hasil dengan pembahasan dan

bukan hanya rangkuman.

ARTIKEL NON PENELITIAN

Judul, nama penulis, abstrak, key word, sama

dengan format hasil penelitian

Pendahuluan (tanpa sub judul)

Sub Judul

Sub Judul

Sub Judul

Tabel

Angka dan huruf menggunakan huruf bertipe Times

New Roman berukuran 10 point. Singkatan yang ada

di dalam tabel diberikan kepanjangan singkatan

tersebut dibawah tabel.

Gambar

Gambar grafik maksimun lebar 10,5 cm dibuat dalam

program pengolahan data (Microsoft Office). Angka

dan huruf keterangan gambar menggunakan huruf

bertipe Arial berukuran 9 point.

Daftar Pustaka/Rujukan

Daftar Rujukan diharapkan lebih 80 % bersumber

dari pustaka primer (Jurnal, hasil penelitian, disertasi,

tesis, skripsi) dari pustaka skunder (buku, majalah)

dan tahun terbitan lebih 80 % adalah 10 tahun

terakhir, diurutkan secara alphabet dan kronologis.

Kutipan dalam artikel

Kutipan dalam artikel dapat berupa kutipan langsung

atau tidak langsung. Yang penting setiap kutipan

harus mencerminkan, nama pengarang, tahun terbitan

dan nomor halaman.

sesuai dengan kebutuhan}

Page 83: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011

Naskah dapat dikirim melalui E-mail, CD, atau via pos,

paling lambat 1 (satu) bulan sebelum bulan penerbitan

kepada:

Redaksi Jurnal Ilmu Pemerintahan OTORITAS

Alamat Redaksi :

Gedung F1 Lt.1

Pusat Perkantoran FISIP

Unismuh Makassar

Jl. Sultan Alauddin No. 259

Makassar 90221

Telp. 0411 – 866972 ext. 107

Fax. 0411 – 865588

Email: [email protected]

Email: [email protected]

Page 84: Jurnal OTORITAS Vol.1

Vol.1 No.1 April 2011