Upload
mutiara-kristiani-putri
View
20
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
THT
Citation preview
ABSTRAK
Otitis media supuratif kronis merupakan masalah kesehatan utama di negara
berkembang karena gizi buruk, tingkat kebersihan yg buruk dan kurangnya pendidikan
akan kesehatan. Karena munculnya antibiotic yang lebih baru, flora microbial juga ikut
berkembang. oleh karena itu diperlukan penilaian kembali terhadap flora dari otitis
media supuratif kronis dan kultur invitro bacteri terhadap antibiotic. Pada kasus otitis
media supuratif kronis yang tidak berespon terhadap pemberian antibiotic local, infeksi
superimposed jamur harus dicurigai. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui
hubungan bacteri dan jamur terhadap otitis media supuratif kronis dan pola antibiotic
pada pasien-pasien yang menghadiri ENT OPD di Universitas Kedokteran Maharaja
Agrasen, Agroha, Hisar. Penelitian ini meliputi pasien otitis media supuratif kronis yang
menghadiri ENT OPD di Universitas Kedokteran Maharaja Agrasen, Agroha, Hisar.
Sampel-sampel ini kemuduan dikirim ke laboratorium mikroba untuk penelitian jamur
dan bakteri. Metode standart isolasi dan identifikasi diikuti. Kerentanan dari bacteri
yang diisolasi terhadap obat antimicroba dibuktikan dengan metode Kriby-Beuer’s disc
diffusion.Analisis terhadap bacteri dari penelitian ini menujukkan dominasi dari basil
gram negative (59, 74%).
INTRODUCTION
Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) adalah penyakit persisten pada telinga
tengah, yang mampu mengakibatkan kerusakan parah dan gejala sisa, dengan
manifestasi ketulian, discharge, dan perforasi permanen (Shenoi, 1968). Insiden otitis
media supuratif kronis lebih tinggi di negara berkembang, terutama pada penduduk
dengan strata ekonomi-sosial rendah dan menengah (perkotaan: pedesaan = 1:2) karena
gizi buruk, kebersihan yang tidak tepat dan kurangnya pendidikan kesehatan.
Karakteristik dasar yang umum terjadi pada semua kasus otitis media supuratif kronik
adalah adanya membran timpani yang tidak intak. Pada penyakit ini terutama
diklasifikasikan menjadi dua jenis: tubotympanic dan atticoantral, tergantung pada
apakah proses penyakit mempengaruhi pars Tensa atau pars flaccida dari membran
timpani. Biasanya penyakit ini mengikuti infeksi virus pada saluran pernapasan bagian
atas, tapi kondisi tersebut kemudian membuat telinga tengah diinvasi oleh organisme
piogenik (Fliss) [2]
Banyak penulis telah memusatkan perhatian mereka pada flora bakteri otitis
media supuratif kronis, tapi sangat sedikit yang diketahui tentang aspek mikologi dari
penyakit tersebut. Aspek mikologi memegang peranan penting dalam beberapa tahun
terakhir karena penggunaan Antibiotik spectrum luas, kortikosteroid dan kemoterapi
sitotoksik secara berlebihan dan peningkatan jumlah kondisi defisiensi imun.
Penggunaan antibiotik secara luas telah menimbulkan banyak strain bakteri
resisten yang dapat memproduksi infeksi primer maupun pasca-operasi. Penggunaan
antibiotik yang sembarangan, serampangan, dan tidak hati-hati serta buruknya follow up
pasien telah mengakibatkan infeksi derajat rendah yang menetap. Perubahan flora
mikrobiologis seiring dengan penemuan antibiotik sintetis, telah meningkatkan
pengaruh penilaian flora modern pada otitis media supuratif kronis. Penilaian pola
sensitivitas antibiotik flora tersebut secara in vitro memegang peranan penting untuk
perencanaan panduan umum pengobatan bagi pasien yang mengeluarkan discharge
telinga secara kronis.
Penilaian klinis telinga dalam otitis media supuratif kronis memerlukan evaluasi
sejarah dan pemeriksaaan pasien dengan cermat, Keduanya sangat penting dalam
menentukan jenis, lokasi, dan sudah sejauh mana penyakit berkembang, sebelum
kemudian menentukan manajemen strategi. Artikel ini menyajikan penelitian mengenai
bakteri dan flora jamur dalam 100 kasus otitis media supuratif kronik yang terdapat di
Departemen THT Maharaja Agrasen Medical College, Agroha (Hisar) selama periode
dua bulan.
TUJUAN PENELITIAN :
Untuk mengetahui etiologi dari OMSK (Otitis Media Supuratif Kronis) baik
bakteri maupun jamur dan memberikan terapi antibiotika yang spesifik di ENT
Department of Maharaja Agrasen Medical College.
METODE
Seratus subjek penelitian adalah pasien dengan diagnosis OMSK. Spesimen
yang digunakan adalah sekret (discharge) dari telinga tengah yang diambil dengan
pungsi dan ditempatkan ke dalam vial steril. Subjek penelitian adalah pasien yang tidak
dalam pengobatan baik sistemik maupun topical dalam 7 hari terakhir. Sampel langsung
diproses di laboratorium mikrobiologi untuk dilakukan pengamatan di bawah
mikroskop dengan fiksasi KOH 10% untuk melihat adanya sel-sel epitel, hifa, spora,
atau budding yeast.
Sedangkan untuk isolasi bakteri diinokulasikan di dalam blood agar,
MacConkey’s agar, dan Chocolate agar untuk selanjutnya diinkubasi dalam suhu 370
C.selama 24 jam. Beberapa sampel lain dikultur dalam Saburoud’s dextrose agar slant
(dengan Kloramfenikol 0.05) dan diamati gross dan morfologi jamur di bawah
mikroskop
Tes sensitivitas bakteri diamati dengan metode Kirby-Bauer’s disc.
Diantara 100 kasus otitis media supuratif kronik yang dipelajari, 47 kasus positif
pada decade kedua dan ketiga dan 17 positif pada anak usia dibawah 10 tahun. Positif
berarti kasus dengan hasil kultur bakteri dan jamur positif. Rasio laki laki :perempuan
3:2, dominasi laki-laki karena disebabkan oleh gaya hidup laki-laki yang lebih rentan
untuk terekspos infeksi. Penyakit ini cenderung menyerang pasien di daerah pedesaan
daripada kota (2:1). Hampir semua kasus omsk memiliki lebih dari satu gejala : otorea,
penurunan daya dengar, dan nyeri telinga, serta ada riwayat pengobatan antibiotik dan
steroid tetes telinga.
Hasil penelitian kultur jamur dan bakteri menunjukkan kultur jamur 15%, dan
9% hanya infeksi jamur saj, 6% infeksi campuran (jamur dan bakteri). Infeksi bakteri
saja, ada pada 69% pasien. 16% pasien hasil kultur negative pada keduanya (jamur dan
bakteri).
PEMBAHASAN
Analisis flora bacteria pada penelitian ini menunjukkan predominan bakteri
gram negative (59,7%). Insiden tertinggi (45,5%) adalah Pseudomonas aeroginosa,
diikuti oleh Staphylococcus aureus (37,7%). Isolate bakteri yang lain yaotu Kliebsiella
(9,1%), Streptococcus beta hemolitikus dan Citrobacter (masing-masing 2,9%).
Penelitian pada 569 kasus otitis media di Nigeria, Osazuwa F dan kawan-kawan (2011)
menemukan bahwa Pseudomonas aeruginosa (28,3%) merupakan bakteri peneybab
otitis media yang dominan, diikuti oleh Staphylococcus aereus (21,0%), Kliebsiella sp
(8,9%), Proteus sp (8,2%), Alkaligenes spp (4,3%), Streptococcus pneumonia (3,9%),
E. coli (3%), Citrobacter freundi (1,7%). Konsisten dengan penelitian kami, Sharma dan
kawan-kawan (2004) di Nepal selatan, menemukan predominan P. euroginosa (36,4%),
diikuti S. aureus (30,2%). Sebaliknya Ojala dan kawan-kawan (1981) menemukan
predominan S. aureus (22%) dan P. aeruginosa (22%). Peningkatan isolasi P. aeruginosa
mempunyai implikasi karena organisme ini penyebab utama infeksi nosocomial dan
telah resisten bahkan terhadap banyak antibiotic yang poten.
Dari 15 isolate, 60% merupakan Candida albicans. 40% lainnya adalah isolate
Aspergillus. Dan diantara Spergilus spesies paling banyak adalah Aspergilus fumigatus.
Sejalan dengan penelitian kami, Proctor dan kawan-kawan (1973) meneliti 215 kasus
dan melaporkan bahwa maksimum pertumbuhan Candida pada 42,8 kasus dan
makximum pertumbuhan Apergilus pada 30,9% kasus, sedangkan di Singapura
penelitian pada 90 pasien otitis media, Loy dan kawan-kawan (2002) menemukan
bahwa jamur berkontribusi sebesar 8,8% dari isolate dan jamur yang paling banyak
pada isolate adalah Spergilus sp (33,3%), diikuti oleh Candida sp (22,2%). Hal ini
mungkin dipengaruhi oleh lingkungan (panas dan lembab) pada kasus otitis media yang
diteliti di area ini.
Pseudomonas menunjukkan hubungan dengan S. aureus dan Streptokokus beta
hemolitikus pada 50% kasus. Diantara 5 isolat bakteri dan jamur, Candida albicans
berhubungan dengan bakteri pada 66,7% kasus dan Aspergillus fumigatus dan
Aspergilus niger masing-masing berhubungan dengan bakteri pada 16,7% kasus.
Semua strain pathogen yang diisolasi pada penelitian dilakukan uji sensitivitas
dari berbagai macam antibiotic. Amikasin merupakan obat yang paling efektif, diikuti
oleh ciprofloksasin, piperacin, tazobactam, ceftazidime, piperasin dan kotrimoksazol.
Antibiotic baru Ciprofloksasin dan cefotaxim lebih efektif melawan semua organisme
yang diisolasi. (tabel VII). Oguntibeju dan kawan-kawan (2003), pada penelitiannya
pada 88 sampel dengan perhatian pada pola sensitivitas antibiotic, menemukan bahwa
organisme-organisme tersebut menunjukkan derajat sensitivitas maksimum terhadap
gentamicin diantara antibiotik yang berbeda yang digunakkan untuk melawan
organisme-organisme tersebut. Pada penelitian tentang spectrum sensitivitas pada 275
isolat bakteri, Mansoor dan kawan-kawan menunjukkan bahwa amikasin aktif melawan
96% isolate Pseudomonas, diikuti oleh ceftazidim (89%). Hasil ini meunjukkan bahwa
pola bakteriologi dan senitivitas antibiotic pada otitis media suppuratif kronik telah
berubah dari waktu ke waktu.
Tabel 1. Distribusi usia pada OMSK
Table 2. Hasil kultur mikroorganisme
KESIMPULAN
Dari 100 kasus yang telah diteliti, pertumbuhan pure bacterial ditemukan di 69%
kasus, pertumbuhan pure fungi di 6 % kasus dan 18 % tidak ditemukan pertumbuhan.
Hanya backteri anaerobic yang di isolasi. Pseudomonas aeuroginosa menjadi
orgasim yang diisolasi 45,%, lalu staphyloccoccus auerus 37,7%, klebisella 9,1%,
profeus mirabilis dan Escherichia coli masing masing 1,3$. Sedangkan untuk fungi,
Candida albicans menjadi fungus yang paling banyak diisolasi 60%, diikuti Aspergillus
fumigatus 20%, Aspergillus niger 13,3% dan Aspergillus flavus 6,%.
Dari penelitian menunjukan amikacin menjadi antibiotic paling efektif, dan
diikuti berturut-turut oleh ciprofloxacin, pipercilintazobactam dan ceftazidime.
RINGKASAN
penelitian ini menunjukan bahwa dari pemeriksaan laboratorium, penggunaan
antibiotik spektrum luas dan tetes telinga steroid dapat menyebabkan menghilangnya
flora bakteri tetapi memunculkan flora fungi
Oleh karena itu, tidak dibenarkan penggunaan rutin antibiotics topikal pada
otitis media supuratif kronis. karena pengobatan yang tidak sesuai anjuran dapat
memunculkan mikroorganisme resisten.