Upload
dinhnhu
View
216
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
JURNAL SKRIPSI
PELAKSANAAN TERHADAP PENJATUHAN SANKSI PIDANA MATI UNTUK PELAKU TINDAK PIDANA
KORUPSI
Disusun oleh :
FX. Ady Tri Setyo Nugroho
NPMP : 090510180 Program Studi : Ilmu Hukum Bidang Kekhususan : Peradilan dan Penyelesaian Sengketa Hukum
UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA
FAKULTAS HUKUM
2014
2
I. Judul : Pelaksanaan Terhadap Penjatuhan Sanksi Pidana Mati Untuk Pelaku Tindak Pidana Korupsi
II. Nama : FX. Ady Tri Setyo Nugroho III. Program Studi : Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Atma
Jaya Yogyakarta IV. Abstract
Corruption is a crime act that could harm the country economy.
In Indonesia, corruption has been increasingly practice and even spread
into all aspects of life either at the local or central levels. Corruption is
called an extra ordinary crime because its practice has resulted in
people’s poverty and suffering.
In this era reformation, criminal punishment for the corruptor
is developing in line with the bringing out of the plea for the
pronounching of death penalty for corruptor although in fact is still in
pro and contra situation.
The imposition of the death penalty for corruptor to scare
and provide a deterrent effect on corruptor, so that people’s who
had intended to commit corruption was afraid to do it.
Keyword : Corruption, death penalty, corruptor, extra ordinary crime
3
V. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan salah satu negara yang masih
mempertahankan dan mengakui legalitas pidana mati sebagai salah satu
cara untuk menghukum pelaku tindak kejahatan. Pidana mati disamping
sebagai hukuman yang paling berat juga merupakan hukuman yang
umumnya sangat menakutkan terutama bagi terpidana yang sedang
menanti eksekusi. Salah satu tindak pidana yang dapat dipidana mati
adalah tindak pidana korupsi.
Menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, pengertian tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang
secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Polemik hukuman mati (Death Penalty) bagi koruptor
merupakan obyek rutinitas kontroversial di Indonesia. Hukuman mati di
Indonesia tidak menjadi polemik kontroversial apabila pelaksanaannya
segera dilakukan sejak putusan berkekuatan tetap, sehingga terpidana
4
tidak perlu menunggu bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun. Tindak
pidana korupsi sudah dianggap sebagai serious crimes, karena itu
diperlukan upaya pencegahan dengan memberlakukan hukuman mati 1.
Hukuman bagi para koruptor seharusnya lebih berat dan tanpa toleransi
dengan mengadopsi aturan dan contoh yang diterapkan di negara-negara
yang sudah berhasil memberantas korupsi, seperti di China dengan cara
penyediaan peti mati bagi koruptor yang merupakan simbol perlawanan
terhadap korupsi, apalagi China kerap kali menjatuhkan vonis mati
kepada pelaku korupsi 2. Hingga saat ini, banyak perangkat hukum yang
tidak bermuara pada keadilan dan tidak melindungi rakyat. Secara
sadar, hukum dibuat tidak berdaya untuk menyentuh pejabat tinggi yang
korup mendapat dan menikmati privilege karena diperlakukan istimewa.
Merajalelanya korupsi adalah karena faktor perangkat hukumnya lemah
3.
Perkembangan tindak pidana korupsi di Indonesia terus
meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan
jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak
pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang
memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat 4. Meningkatnya tindak
pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja
terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan
berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang
1 Indriyanto Seno Adji, 2009, Korupsi dan Penegakan Hukum, Diadit Media, Jakarta, hlm.12 2 Faisal. 2012. Kepemimpinan Nasional Anti Korupsi Dalam Menegakkan Kedaulatan Hukum. Kedaulatan Rakyat. 20 Maret, No.559, hal. 9. Yogyakarta 3 Evi Hartanti, 2012, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.3 4 Ermansjah Djaja, 2008, Memberantas Korupsi bersama KPK, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.182
5
meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak
sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, maka tindak pidana korupsi
tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah
menjadi suatu kejahatan yang luar biasa 5. Korupsi tidak lagi dilakukan
oleh perorangan bahkan sudah dilakukan secara kolektif, terorganisir
dan sistematis. Jumlah yang dikorupsi pun sudah gila, tidak lagi juta
atau milyard, bahkan triliun terhadap keuangan negara. Untuk Pelaku
tindak pidana korupsi di Indonesia dapat dijatuhkan hukuman pidana
mati yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan
bahwa dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat
dijatuhkan. Sudah waktunya tindak pidana korupsi yang luar biasa ini
harus diberantas dengan cara yang luar biasa juga yaitu Hukuman Mati.
Hukuman mati diakui oleh sebagian besar hukum kebiasaan (customary
law) dari masyarakat tradisional tidak hanya di Indonesia, bahkan di
dunia. Jadi, untuk menghambat laju bahkan menghentikan tindak pidana
korupsi di Indonesia sudah selayaknya para jaksa dan para hakim di
sidang tingkat pengadilan negeri, tinggi, banding, dan kasasi berani
dengan berdasarkan keadilan dan kebenaran untuk memberikan
hukuman dan vonis maksimal yaitu hukuman mati bagi pelaku tindak
pidana korupsi 6.
5 Ibid, hlm.183 6 http://m.kompasiana.com/post/read/619364/2/hukuman-mati-bagi-koruptor-bisa-segera-diterapkan-di-indonesia.html..14, Mas Wahyu, Hukuman Mati Bagi Koruptor Bisa Segera Diterapkan di Indonesia, 14 December 2013
6
Hukum pidana yang mengatur tindak pidana korupsi
bersumber pada hukum pidana khusus, disamping memuat hukum
pidana materiil juga memuat hukum pidana formil 7. UU tindak pidana
korupsi secara khusus adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
dan disertai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme. Sedangkan hukum umum tetap berlaku hukum pidana
dalam KUHP dan hukum pidana formil.
Hal ini berhubungan dengan tidak adanya sinkronisasi antar
peraturan secara vertikal, yaitu menurut Pasal 2 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan
bahwa dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat
dijatuhkan. Dalam peraturan lain terdapat delik-delik sebagai berikut 8:
1. Delik yang tersebut dalam Pasal 3 yang berasal dari Pasal 1 ayat
(1) sub b UU PTPK 1971 masih tetap sama ancaman pidananya,
yaitu maksimum penjara seumur hidup, tetapi dendanya
(dan/atau) naik menjadi satu milyar.
7 Adami Chazawi, 2006, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, P.T. Alumni, Bandung, Hlm.5 8 Tim Redaksi Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI, 2002, Pengkajian Masalah Hukum Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta, hlm.23
7
2. Pasal 5 yang rumusannya diadopsi dari Pasal 209 KUHP oleh
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, ancaman pidana
penjaranya turun menjadi maksimum lima tahun, tetapi
dendanya (dan/atau) naik menjadi 250 juta rupiah.
3. Pasal 6 yang rumusannya diadopsi dari Pasal 210 KUHP
(menyuap hakim) oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001,
pidana penjaranya juga turun menjadi maksimum lima belas
tahun, tetapi dendanya (dan/atau) naik menjadi 750 juta rupiah.
4. Pasal 7 yang rumusan deliknya diadopsi dari Pasal 387 dan 388
KUHP oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, ancaman
pidana penjaranya juga turun menjadi maksimum tujuh tahun,
tetap dendanya naik menjadi maksimum 350 juta rupiah.
5. Pasal 8 yang rumusan deliknya diadopsi dari Pasal 415 KUHP
oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, ancaman pidana
penjaranya juga turun menjadi maksimum lima belas tahun,
tetapi dendanya naik menjadi maksimum 750 juta rupiah.
6. Pasal 9 yang rumusan deliknya diadopsi dari Pasal 416 KUHP
oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, ancaman pidana
penjaranya juga turun menjadi maksimum lima tahun, tetapi
dendanya naik menjadi maksimum 250 juta rupiah.
7. Pasal 10 yang rumusan deliknya diadopsi dari Pasal 417 KUHP
oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, ancaman pidana
penjaranya juga turun menjadi maksimum tujuh tahun, tetapi
dendanya juga naik menjadi maksimum 350 juta rupiah.
8
8. Pasal 11 yang rumusan deliknya diadopsi dari Pasal 418 KUHP
oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, ancaman pidana
penjaranya juga turun menjadi maksimum lima tahun, tetapi
dendanya juga naik menjadi maksimum 250 juta rupiah.
9. Pasal 12 yang rumusan deliknya diadopsi dari Pasal 419, 420,
423, 425, dan 435 KUHP oleh Undang-Undang No. 20 Tahun
2001, tetap maksimum seumur hidup, dan dendanya juga naik
menjadi maksimum satu milyar rupiah.
10. Rumusan Pasal 12 berasal dari 1 ayat (1) sub d UU PTPK 1971,
yang ancaman pidana penjaranya turun drastis dari maksimum
seumur hidup menjadi maksimum tiga tahun tetapi dendanya
juga naik dan/atau maksimum 150 juta rupiah.
Selain tidak adanya sinkronisasi antar peraturan secara
vertikal, ada kekecewaan masyarakat mengenai vonis hukuman yang
dijatuhkan hakim terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Hal ini bisa
dilihat pada kasus-kasus korupsi besar seperti contoh kasus Mantan
Deputi Bank Century, Budi Mulya, Mantan Ketua Mahkamah
Konstitusi, Akil Mochtar, dan Gayus Tambunan. Budi Mulya divonis
hukuman 10 tahun dan pidana denda Rp 500 juta dengan ketentuan
diganti pidana kurungan 5 bulan oleh Hakim Pengadilan Tipikor. Budi
Mulya didakwa telah menyalahgunakan kewenangannya dalam kasus
korupsi pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan
penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.
Akibatnya, dalam pemberian FPJP, keuangan negara dan perekonomian
9
negara dirugikan sekitar 689 miliar, sementara untuk penetapan Century
sebagai bank gagal berdampak sistemik, uang negara dirugikan
sebanyak Rp 6.782 triliun 9. Akil Mochtar dinyatakan terbukti bersalah
menerima hadiah dan tindak pidana pencucian uang terkait kasus
sengketa Pilkada di Mahkamah Konstitusi. Akil Mochtar divonis
hukuman seumur hidup dan diwajibkan membayar denda sebesar Rp 10
milyar dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum oleh Hakim Tipikor. Hal
yang memberatkan Akil adalah seorang pejabat negara yang telah
menyalahgunakan kewenangannya di lembaga yang menjadi benteng
terakhir keadilan rakyat Indonesia dan memanfaatkan benteng
konstitusi untuk memperkaya diri 10. Sedangkan, Gayus Tambunan
divonis hukuman selama 30 tahun setelah kasasinya ditolak Mahkamah
Agung 11. Korupsi Gayus Tambunan mencapai Rp 1,7 triliun. Disinyalir
potensi uang negara yang hanyut ke kantong-kantong petugas pajak dan
gangnya karena kasus Gayus mencapai Rp 300 triliun 12.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka dirumuskan
masalah, yaitu:
1. Mengapa jenis sanksi pidana mati belum/tidak pernah
dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana korupsi?
2. Apakah hambatan hakim dalam penjatuhan sanksi pidana
mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi?
9 www.kompas.com 10 www.detik.com 11 www.tribun.com 12 www.kompasiana.com
10
VI. Isi Makalah
1. HALAMAN JUDUL 2. HALAMAN PERSETUJUAN 3. HALAMAN PENGESAHAN 4. HALAMAN MOTO 5. KATA PENGANTAR 6. ABSTRAK 7. DAFTAR ISI 8. PERNYATAAN KEASLIAN
Bab I Pendahuluan
Bab ini berisi uraian tentang latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian, batasan
konsep, metode penelitian, serta sistematika penulisan skripsi.
Bab II Pembahasan
Bab ini berisi uraian tentang pro dan kontra terhadap sanksi pidana
mati, pandangan yuridis terhadap sanksi pidana mati, tindak pidana
korupsi, pengaturan dan sanksi terhadap pelaku tindak pidana korupsi,
pandangan masyarakat terhadap tindak pidana korupsi dan penerapan
sanksi pidana mati, pandangan hakim terhadap sanksi pidana mati, serta
kendala penerapan sanksi pidana mati terhadap pelaku tindak pidana
korupsi.
Bab III Penutup
Bab ini berisi uraian tentang kesimpulan dan saran.
11
VII. Kesimpulan
1. Sanksi pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi belum/tidak
pernah dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana korupsi karena
belum/tidak pernah ada pelaku tindak pidana korupsi yang
melakukan tindak pidana korupsi dalam keadaan tertentu, yaitu:
a. Melakukan tindak pidana korupsi pada saat
negara dalam keadaan bahaya/perang.
b. Melakukan tindak pidana korupsi pada saat
negara dalam bencana alam nasional.
c. Melakukan tindak pidana korupsi pada saat
negara dalam keadaan krisis moneter.
d. Ada pengulangan tindak pidana korupsi.
2. Hambatan yang dialami oleh hakim dalam penjatuhan sanksi
pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi adalah dalam
penjatuhan putusan hakim itu apakah harus dijatuhkan pidana mati
atau dijatuhkan sanksi pidana lain, karena hakim dalam
memutuskan suatu tindak pidana ditentukan dengan Dissenting
Opinion Hakim dan memenuhi rasa keadilan.
VIII. Saran
1. Bagi hakim, harus menjatuhkan putusan sanksi pidana mati
terhadap pelaku tindak pidana korupsi, baik pelaku yang
melakukan tindak pidana korupsi dalam keadaan tertentu maupun
pelaku yang melakukan tindak pidana korupsi yang besar.
12
2. Bagi hakim, hambatan-hambatan yang menjadi tantangan besar
dalam menjatuhkan sanksi pidana mati harus dijadikan resiko
sebagai hakim, yang perlu dan harus diperhatikan adalah
memenuhi rasa keadilan dan kebenaran demi penegakan hukum.
IX. Daftar Pustaka
Buku: Adami Chazawi, 2006, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi,
P.T. Alumni, Bandung. Ermansjah Djaja, 2008, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Sinar
Grafika, Jakarta.
Evi Hartanti, 2012, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta.
Indriyanto Seno Adji, 2009, Korupsi dan Penegakan Hukum, Diadit Media, Jakarta.
Website: Mas Wahyu, 2013. Hukuman Mati Bagi Koruptor Bisa Segera
Diterapkan di Indonesia, http://m.kompasiana.com/post/read/619364/2/hukuman-mati-bagi-koruptor-bisa-segera-diterapkan-di-indonesia.html..14, 14 December 2013.