Upload
others
View
9
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN
HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA MAKAR DALAM
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HAK ASASI MANUSIA
DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh :
Ihsan Harivy ‘Addas
NIM : 1112045200004
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA (SIYASAH)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
2019 M/1440 H
iv
ABSTRAK
IHSAN HARIVY ‘ADDAS; NIM 1112045200004, “PROBABILITAS
PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK
PELAKU TINDAK PIDANA MAKAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM
ISLAM DAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA”, Skripsi Program Studi
Hukum Tata Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2019 M/ 1440 H, ix + 95 halaman 24 lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui kemungkinan dijatuhkannya sanksi
pencabutan hak politik terhadap terpidana makar. Variabel kajian skripsi ini yakni
hukum Islam dan hak asasi manusia yang memiliki pemahaman koheren terhadap
substansi makar. Awalnya makar yang sanksi maksimalnya adalah hukuman mati,
dapat dijatuhi hukuman tambahan pencabutan hak politik tanpa harus dihukum
mati. Maka dari itu penulis berupaya mengkaji kemungkinan jatuhnya sanksi
pidana tambahan pencabutan hak politik bagi terpidana makar.
Penelitian ini merupakan tipe penelitian normatif atau disebut sebagai
penelitian hukum doktriner. Skripsi ini menggunakan 3 jenis metode pendekatan
yakni pendekatan perundang-undang (statute approache), pendekatan
perbandingan (comparative approache), dan yang terakhir pendekatan konseptual
(conceptual approach). Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini
bersumber dari bahan hukum primer yang berupa peraturan perundang-undangan,
bahan hukum sekunder yang berupa tulisan-tulisan, artikel serta jurnal hukum yang
berkaitan dengan tema penelitian. Terakhir penelitian ini menggunakan bahan
nonhukum yakni wawancara dengan beberapa ahli yang terkait.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sangat besar kemungkinan
dicabutnya hak politik seseorang bila terbukti melakukan tindak pidana makar. Bila
dilihat dari berbagai perspektif termasuk perspektif Islam bahwa pencabutan hak
politik dapat dilakukan sebab hak politik merupakan hak yang dapat direstriksi
(dibatasi). Dalam hukum Islam sanksi yang berkaitan dengan pencabutan hak
politik dikategoraikan dalam jenis hukuman takzir dan dapat diputuskan kepada
pelaku tindak pidana makar melalui waliyul amri. Sementara itu hak asasi manusia
melalui konvensi internasional tentang hak politik juga membenarkan bahwa hak
politik seseorang dapat dicabut demi kepentingan keamanan negara sesuai dengan
undang-undang yang berlaku di negara tersebut.
Kata Kunci : Makar, Hak Politik, Hak Asasi Manusia
Pembimbing : Prof. Dr. M. Arskal Salim, GP., MA.
Daftar Pustaka : Tahun 1967 Sampai Tahun 2016
v
حي م من الرح م هللا الر
ب س
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur tak hentinya terucap
kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, berkat nikmat dan karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Shalawat serta salam
penulis limpah curahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam
yang telah memimpin umat Islam menuju jalan yang hanif. Dalam menyelesaikan
skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan, arahan, doa serta bimbingan dari
berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
yang amat besar kepada:
1. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Para Wakil Dekan.
2. Ibu Sri Hidayati, M. Ag., selaku Ketua Program Studi Hukum Tata Negara dan
juga kepada Ibu Masyrofah, M. Si, selaku Sekretaris Program Studi Hukum Tata
Negara (Siyasah) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Prof. Dr. M. Arskal Salim GP, M.A., Dosen pembimbing yang telah bersedia
meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran serta kesabaran dalam membimbing,
sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian skripsi ini.
4. Pimpinan dan segenap staf Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, Pimpinan dan segenap staf Perpustakaan Utama
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, juga Pimpinan dan segenap staf Perpustakaan
Nasional yang telah menyediakan fasilitas yang memadai untuk mengadakan
studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
5. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
khususnya dosen Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah), semoga ilmu
yang telah disampaikan menjadi kebaikan dan amal jariyah.
vi
6. Kedua orang tuaku tercinta, Buya Zul ‘Addas Zasid dan Ummi Muharaniyati,
yang selalu tulus memberikan semangat, doa serta dorongan moril sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, dan untuk adik-adikku.
7. Ust. Ridha Humaidy ‘Addas, M. Ikram ‘Addas, dan Akrimah Al-khansa ‘Addas
yang memberikan penulis support dan muharrikah dalam menuntaskan
penulisan skripsi ini.
8. Seluruh Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Fakultas
Syariah dan Hukum (HMI KOMFAKSY) Cabang Ciputat. Kanda, Yunda dan
Adinda tanpa mengurangi rasa hormat saya, mohon maaf bila tidak tersebutkan
satu persatu. Segenap jiwa raga saya melekat di tubuh Himpunan, saya bangga
pernah berada di sini.
9. Para Kucing Sekret yang memberikan suntikan motivasi untuk penulis; M.
Khoerul Ilham Rosyada, Luthfi Ardiansyah, Khairan Abdul Mahmud, Mardani,
M. Aly Fikri, dan Fadillah Osama.
10. Keluarga besar Siyasah Jinayah Syar’iyyah angkatan 2012, terima kasih atas
pengalaman bertemu orang-orang dari berbagai latar belakang.
11. Begitu juga dengan seluruh pihak yang telah membantu penyususnan skripsi ini,
mohon maaf bila tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak demi peningkatan
khazanah ilmu pengetahuan serta memperluas cakrawala informasi, khususnya bagi
penulis dan umumnya bagi para pembaca. Jazakumullah Ahsanul Jaza’.
Jakarta, 12 Juli 2019
Ihsan Harivy ‘Addas
vii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING......................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iii
ABSTRAK ............................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................ v
DAFTAR ISI ........................................................................................................ vii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................................... 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah .................................................................... 5
1. Pembatasan Masalah ....................................................................................... 5
2. Rumusan Masalah ........................................................................................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................................ 6
1. Tujuan Penelitian ............................................................................................ 6
2. Manfaat Penelitian .......................................................................................... 6
D. Tinjauan Penelitian Terdahulu ............................................................................ 6
E. Metode Penelitian ................................................................................................ 9
1. Jenis Penelitian ............................................................................................... 9
2. Sumber Data ................................................................................................. 10
3. Teknik Pengumpulan Data ........................................................................... 11
4. Metode Analisis Data ................................................................................... 11
5. Teknik Penulisan .......................................................................................... 12
F. Sistematika Penulisan ........................................................................................ 13
BAB II TINDAK PIDANA MAKAR ................................................................. 14
A. Makar Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam ............................................ 14
1. Defenisi Makar dan Hukum Positif .............................................................. 14
2. Pengertian Makar dan Bughat dalam Hukum Islam ..................................... 15
B. Unsur Makar Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam ................................. 22
1. Unsur-Unsur Makar dalam Hukum Positif ................................................... 22
2. Unsur-Unsur Bughat dalam Hukum Islam ................................................... 26
viii
C. Aturan dan Sanksi Makar dalam Hukum Positif dan Hukum Islam ................. 29
1. Aturan dan Sanksi makar dalam Hukum Positif........................................... 29
2. Dalil Ahkam dan Jarimah Bughat dalam Hukum Islam............................... 35
BAB III PENCABUTAN HAK POLITIK ......................................................... 42
A. Tinjauan Umum Mengenai hak Asasi Manusia dan Hak Politik ...................... 42
1. Hak Asasi Manusia dan Hak Politik Internasional ....................................... 43
a. Sejarah DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia/Universal
Declaration of Human Rights) ................................................................. 43
b. Konfigurasi Internasional Mengenai Hak Politik: ICCPR (International
Covenant of Civil and Political Rights) ................................................... 45
2. Islam, Hak Asasi Manusia dan Hak Politik .................................................. 49
a. Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam ............................................ 49
b. Hak Politik dalam Islam........................................................................... 57
c. Sanksi Pencabutan Hak Politik dalam Hukum Pidana Islam................... 62
3. Hak Politik dalam Perundang-Undangan HAM di Indonesia ...................... 64
a. Instrumen Hak Asasi Manusia di Indonesia ............................................ 64
b. Hak Politik dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia ............ 71
BAB IV RAMIFIKASI DAN URGENSI PENERAPAN SANKSI
PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA MAKAR .... 75
A. Analisis Pencabutan Hak Politik Pelaku Tindak Pidana Makar Menurut
Hukum Islam ..................................................................................................... 75
B. Analisis Pencabutan Hak Politik Pelaku Tindak Pidana Makar Menurut
Hukum Positif dan Hak Asasi Manusia ............................................................ 78
BAB V PENUTUP ................................................................................................ 88
A. Kesimpulan ........................................................................................................ 88
B. Saran-saran ........................................................................................................ 90
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 91
LAMPIRAN-LAMPIRAN .................................................................................. 96
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kehidupan sosial masyarakat tidak terlepas dari aspek politik dan kekuasaan.
Dalam negara yang berdaulat seperti Indonesia aspek-aspek tersebut diatur dalam
sebuah regulasi yang disebut sebagai undang-undang. Kebijakan dalam negara
hukum yang bersifat kekuasaan politik harus mengacu kepada suatu bentuk hukum
yang berlaku, adapun bentuk hukum tersebut yakni konstitusi. Hal tersebut
dikarenakan dalam hierarki perundang-undangan, konstitusi merupakan dasar
negara atau yang disebut juga staat fundamental norm dan menjadi acuan dalam
kehidupan bernegara. Negara sebagai suatu organisasi membutuhkan hukum
sebagai instrumen dalam menciptakan keteraturan dan ketertiban. Disamping itu
sebagaimana pendapat Hans Kelsen hukum juga butuh kekuasaan untuk dapat
ditegakkan di tengah-tengah masyarakat. Oleh sebab itu integrasi antara hukum dan
kekuasaan haruslah berjalan selaras.
Dalam negara demokrasi peralihan kekuasaan dalam suatu negara haruslah
mengacu kepada aturan yuridis suatu negara. Ada beberapa hal yang menjadi faktor
beralihnya suatu kekuasaan seperti; kematian, habisnya masa jabatan, keturunan
(darah biru), dan ada pula yang melalui proses makar (kudeta). Proses-proses inilah
yang menjadi perbincangan seputar dinamika dunia politik, bila politik diartikan
menjadi alat memperoleh kekuasaan. Mekanisme peralihan sebagaimana yang
disebutkan berdampak langsung terhadap keutuhan sebuah negara. Agar dapat
meminimalisir peralihan kekuasaan yang berdampak negatif terhadap masyarakat
seperti makar maka hukum harus menjadi panglima dalam menggawangi proses
peralihan kekuasaan. Kebutuhan akan tindakan preventif terhadap peralihan
kekuasaan yang merugikan masyarakat sangat diperlukan, seperti pelaksanaan
hukum pidana dengan memberikan sanksi yang berat bagi pihak-pihak yang
berupaya melakukannya.
Penerapan sanksi pidana merupakan sarana mencapai tujuan dari hukum
pidana untuk mencegah terjadinya tindak pidana. Dari zaman ke zaman pemidanaan
2
selalu berkembang seiring perkembangan umat manusia. Berawal dari makna
pemidanaan berarti pembalasan (retributive) sampai dengan bermakna
perlindungan (restorative). Hal ini didukung deduktif tujuan pemidanaan dari yang
bersifat klasik sampai dengan ke arah yang modern. Perkembangan dunia ke arah
globalisasi dapat mempengaruhi kebijakan kriminal (criminal policy) suatu negara
untuk menetapkan jenis pidana yang sesuai untuk negaranya. Bahkan hukum pidana
suatu bangsa menunjukkan peradaban suatu bangsa. Hal ini karena setiap negara
atau masyarakat mempunyai sistem hukum pidana sendiri dari yang paling modern
sampai yang primitif.1
Makar merupakan perbuatan yang menentang terhadap pemerintah dengan
maksud untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah. Makar adalah istilah lain dari
subversi yang berasal dari bahasa Inggris Subvertion artinya gerakan bawah tanah
untuk menggulingkan pemerintahan yang sah. Dalam American Encyclopedia
sebagaimana yang dikutip Andi Hamzah, bahwa subversi merupakan gerakan bawah
tanah dari kelompok totaliter untuk menggulingkan pemerintahan demokrasi.2
Fenomena makar ini bukan merupakan hal asing dan baru bagi perjalanan
pemerintahan Republik Indonesia pasca Proklamasi kemerdekaan tahun 1945.
Perilaku makar banyak mewarnai etape berjalannya pemerintahan. Semisal
peristiwa yang terjadi pada tanggal 18 September 1948 gerakan Partai Komunis
Indonesia (PKI) secara terbuka dan resmi mengadakan perebutan resmi terhadap
kekuasaan pemerintahan Republik Indonesia yang sah. Menyusul kemudian
Maluku Selatan yang memproklamir wilayahnya sebagai negara yang merdeka
pada tanggal 25 April 1950. Selanjutnya peristiwa Cikini yang terjadi pada tanggal
30 November 1957 yakni penembakan atas Presiden Republik Indonesia
(Soekarno). Lalu peristiwa PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik
Indonesia) di Sumatera pada tanggal 15 Februari 1958, dan di belahan timur negara
Indonesia yakni Sulawesi berdiri pula Perjuangan Semesta (PERMESTA).
1 Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1991), h. 1.
2 Andi Hamzah, Delik-delik Tersebar di Luar KUHP: Dengan Komentarnya, (Jakarta:
Pradnya Paramita, 1992), h. 79.
3
Terakhir peristiwa yang sangat berbekas di ingatan bangsa ini yaitu
Pemberontakan G/30. S/PKI yang terjadi pada tanggal 30 September 1965. Pada
dasarnya peristiwa-peristiwa tersebut merupakan perebutan kekuasaan atas
pemerintah yang sah.3
Pada dasarnya embrio makar merupakan bentuk ketidaksepahaman sebagian
rakyat kepada pemerintah yang berkuasa hingga akhirnya berujung pada
ketidaksepakatan dan tindak perlawanan terhadap kebijakan pemerintah yang
berkuasa. Munculnya tindak pidana makar di Indonesia tidak terlepas dari adanya
pertentangan-pertentangan ataupun gejolak-gejolak sosial, hukum, maupun politik
di dalam negeri. Banyak faktor yang mempengaruhi mengapa seseorang itu
melakukan makar, umumnya adalah sebab adanya rasa ketidakpuasan terhadap
kekuasaan yang sedang berlangsung. Perbuatan tersebut pada umumnya dilakukan
sekelompok orang yang mempunyai maksud dan tujuan yang sama, tetapi tidak
tertutup kemungkinan juga dilakukan oleh satu atau dua orang saja.4 Oleh karena
itu, instrumen hukum pengaturan tindak pidana makar di Indonesia harus
disesuaikan dengan konsep negara hukum dan demokrasi sehingga di dalam
pengaturan tindak pidana makar tidak menciderai hak-hak asasi warga negara untuk
tetap ikut pada proses demokrasi dalam mengemukakan pendapat maupun proses
berbangsa dan bernegara.
Sanksi menjadi sangat primer bilamana perbuatan makar mengancam
stabilitas sebuah negara. Hukuman terhadap para pelaku makar terkadang tidak
dinilai sebagai hukuman yang menjerakan juga dinilai sangat tidak manusiawi.
Makar yang merupakan gerakan dengan basis politik haruslah dihukum sesuai
dengan ketentuan pidana yang berlaku. Dalam ketentuan umum hukum pidana di
Indonesia pencabutan hak politik merupakan salah satu sanksi disistematikakan
dalam undang-undang. Dewasa ini di Indonesia sanksi pencabutan hak politik
banyak dijatuhkan kepada terpidana korupsi yang merupakan extra ordinary
crime. Hukum pidana di Indonesia mengategorikan makar sebagai kejahatan
3 Djoko Prakoso, Tindak PIdana Makar Menurut KUHP, (Jakarta Ghalia Indonesia, 1986),
h. 9-10.
4 Djoko Prakoso, Tindak Pidana Makar Menurut KUHP, h. 12.
4
terhadap keamanan negara. Maka apakah ada kemungkinan keberlakuan sanksi
pencabutan hak politik yang tertulis dalam ketentuan umum hukum pidana di
Indonesia dapat di dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana makar demi menjaga
stabilitas negara?
Bagir Manan dalam Bukunya Ex Post Facto Law menjelasakan, pencabutan
hak mengingatkan kembali adanya hukuman-hukuman yang merendahkan
martabat manusia (onterende straffen). Kesepakatan-kesepakatan internasional
sudah menegaskan penghapusan terhadap hukuman yang merendahkan martabat
manusia. Meniadakan atau mengurangi hak asasi terpidana kasus korupsi
merupakan tindakan diskriminasi yang sewenang-wenang dan bertentangan dengan
prinsip keadilan manusia.5 Menurut Saldi Isra “Hak konstitusional warga negara
untuk memilih dan dipilih adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-
undang dan konvensi internasional, sehingga pembatasan penyimpangan dan
peniadaan serta penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap
hak asasi warga negara.”
Pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu itu sifatnya adalah
untuk sementara.6 Prinsip keadilan terhadap hak asasi manusia juga harus dilihat
menyoal pencabutan hak politik ini terhadap pelaku tindak pidana makar. Hak
politik yang seyogyanya dimiliki oleh setiap individu masyarakat yang cakap
hukum dinegasi sebab tindakan makar yang notabene makar juga dilakukan karena
bentuk ketidak sepahaman terhadap kebijakan pemerintah.
Berdasarkan penjelasan diatas penulis bermaksud menuangkannya dalam
bentuk skripsi dengan judul: “PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA
TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA
MAKAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HAK ASASI
MANUSIA DI INDONESIA”.
5 Aji Lukman Ibrahim, Jurnal Supremasi Hukum Vol 3, No 1, (Yogyakarta; UIN Sunan
Kalijaga, 2014), h. 245.
6 P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2012), h. 85.
5
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Sejauh ini tindak pidana makar dalam hukum positif dan hukum Islam
mengalami kontra interpretasi. Dalam hukum Islam sanksi jatuh bila pelaku
tidak menyesali (tobat) atas perbuatannya. Sementara dalam hukum positif jika
unsur-unsur pidana telah didapatkan maka sanksi akan dijatuhkan. Sanksi yang
dijatuhkan kepada pelaku dalam hukum positif dan hukum Islam bisa sampai
kepada hukuman mati. Padalah cikal bakal dari makar adalah kritik terhadap
pemerintah atau melawan pemerintahan yang otoriter. Bila sanksi hukuman mati
ini terus berlanjut maka bisa jadi hak asasi manusia dalam menyuarakan
pendapat bisa dirampas lewat sanksi maksimal tindak pidana makar yang
berujung pada hukuman mati.
Dalam penulisan skripsi ini penulis akan meneliti penerapan sanksi yang
adil dan tidak merampas hak asasi manusia baik. Penulis juga akan menganalisa
urgensi sanksi penerapan pencabutan hak politik terhadap hak asasi manusia.
Apakah penerapan sanksi ini merampas hak politik seseorang atau tidak?
Untuk dapat mengkaji masalah yang berkaitan dengan judul, penulis
melakukan sebuah pembatasan pada ruang lingkup tema yang akan dibahas,
yakni;
1. Bagaimana konsep sanksi penerapan hukum pidana makar dalam
perspektif hukum Islam dan hukum positif?
2. Seberapa jauh kemungkinan sanksi pencabutan hak politik diterapkan
kepada pelaku tindak pidana makar menurut HAM dan Hukum Islam.
2. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis mempunyai beberapa
rumusan masalah yang dapat dijadikan sebagai bahan pembahasan dalam
penulisan skripsi ini, yaitu:
a. Bagaimana hukum Islam dan hukum positif mengatur sanksi terhadap
tindak pidana makar?
b. Bagaimana probabilitas penerapan sanksi pidana tambahan pencabutan
hak politik bagi terpidana makar?
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Dari paparan latar belakang dan perumusan masalah diatas, maka dapat
diketahui bahwa tujuan penelitian adalah :
a. Memberikan gambaran atau perspektif baru mengenai sanksi pidana
tambahan pencabutan hak politik bagi terpidana makar.
b. Untuk menganalisa urgensi penerapan pidana pencabutan hak politik
bagi terpidana makar
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Sebagai syarat memperoleh gelar sarjana strata satu dalam program studi
Hukum Tata Negara (Siyasah)
2. Diharapkan bermanfaat untuk menambah khazanah baru dalam
penjatuhan sanksi tindak pidana makar yaitu sanksi pidana pencabutan
hak politik.
3. Memberikan pengetahuan secara spesifik mengenai makar secara
etimologi dan terminologi serta elemen-elemen yang terkandung
didalamnya.
4. Dapat mengetahui urgensi dari penerapan sanksi tambahan pencabutan
hak politik bagi pelaku tindak pidana makar.
D. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian yang sudah ada, belum memaparkan substansi yang sama
tentang masalah yang dikaji dalam skripsi ini. Namun terdapat beberapa aspek atau
penjelasan-penjelasan umum yang banyak ditemukan dalam literatur turut pula
digunakan dalam penelitian ini sebagai referensi. Sepanjang pengetahuan penulis,
terdapat beberapa karya tulis yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu:
1. “Sanksi Bughat dan Makar: Menurut Perspektif Hukum Islam dan Hukum
Positif” oleh Imam Maulana, mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum
Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah), Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2015. Secara umum skripsi tersebut
menjelaskan defenisi Makar/Bughat berikut komparasi interpretasi antara
7
Makar/Bughat. Selain itu skripsi tersebut menjelaskan prihal jenis-jenis
sanksi yang dijatuhkan kepada terpidana dalam dua persepsi yakni
perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif.
Kelemahan; Berbeda dengan penelitian yang dilakukan penulis dalam
judul proposal ini. Spesifikasi penelitian penulis yakni mengenai sanksi
pencabutan hak politik dalam tindak pidana kejahatan makar, sebab sanksi
yang dijatuhkan kepada terpidana dinilai cenderung memaksakan dan
penulis bermaksud memberikan masukan mengenai sanksi yang tidak
melanggar hak asasi manusia serta menibulkan efek jera.
2. “Delik Terhadap Keamanan Negara (Makar) di Indonesia (Suatu Analisis
Yuridis Normatif pada Studi Kasus Sultan Hamid II)” Tesis yang ditulis oleh
Anshari pada tahun 2012 Fakultas Hukum Pascasarjana Magister Ilmu
Hukum Universitas Indonesia.
Spesifikasi penelitian ini mengenai kasus tertuduhnya Sultan Hamid II
sang penggagas lambang garuda sebagai pelaku tindak pidana makar.
Namun dalam proses hukumnya, tersangka tidak terbukti melakukan tindak
pidana makar. Maka dari itu penulis tesis ini berupa mengkaji substansi
(berikut juga dengan kelemahan) dari aturan makar yang dikaitkan dengan
kasus tertuduhnya Sultan Hamid II sebagai pelaku tindak pidana makar
Kelemahan; Penelitian ini merupakan kajian yuridis normatif pada
materi Delik Terhadap Keamanan Negara (Makar) di Indonesia, kemudian
delik tersebut dikomparasikan dengan sebuah studi kasus; tuduhan ‘makar’
atau ‘pemberontakan’ terhadap Sultan Hamid II pada tahun 1950-1953.
Perbedaan dengan penelitian penulis adalah, penelitian ini lebih spesifik
pada kajian historis, sementara penilitian penulis lebih kearah menerpkan
sanksi yang adil untuk terpidana makar.
3. “Tindak Pidana Makar Dalam KUHP dan Hukum Pidana Islam” oleh
Muhammad, mahasiswa Fakultas Syariah Institut Agama Islam Sunan
Ampel Surabaya pada tahun 2000. Secara umum penelitian ini lebih spesifik
mengenai komparasi delijk makar dalam Hukum Pidana Islam dan Hukum
Positif (KUHP). Selain delijk makar, penelitian ini juga mengembangkan
8
pengetahuan tentang makar ke arah sanksi, pencegahan, serta efek jera dari
sanksi yang dijatuhkan. Terakhir, penelitian skripsi ini mengkomparasi
sudut pandang dari Hukum Pidana Islam dan KUHP tentang delijk makar
dari berbagai aspeknya.
Kelemahan; Berbeda dengan skripsi yang diajukan oleh penulis,
spesifikasi skripsi ini lebih ke arah dimana upaya penerapan sanksi
pencabutan hak politik dapat diposisikan dalam hukuman terhadap pelaku
tindak pidana makar. Selanjutnya penelitian penulis mengarah pada studi
komparasi sanksi pencabutan hak politik dalam perspektif Hukum Islam dan
HAM yang lebih spesifik.
4. “Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Pencabutan
Hak Pilih Aktif Dan Pasif Terhadap Terpidana Tindak Pidana Korupsi
Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia” oleh Yosy Dewi Mahayanthi,
mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang pada tahun
2015.
Menjelaskan perihal dasar pertimbangan hakim menjatuhkan pidana
tambahan pencabutan hak politik dalam kasus tindak pidana korupsi. Selain
itu kajian mengenai pencabutan hak politik juga dikaji dalam perspektif
HAM, dengan maksud apakah pencabutan hak politik bertentangan dengan
hak asasi manusia dalam aspek politik. Menurut penyusun berdasarkan
analisis yuridis bahwa pencabutan hak-hak tertentu yang dimaksud dalam
UU TIPIKOR tidak melanggar prinsip HAM.
Kelemahan; Perbedaan penelitian penulis dengan jurnal diatas adalah
perihal tindak pidana yang dilakukan. Pada jurnal di atas, substansi
penelitiannya terhadap tindak pidana korupsi sementara itu penulis
melakukan penelitian dalam domain tindak pidana yang berbeda yakni
tindak pidana makar. Selain itu juga penulis tidak bermaksud mengkaji
dasar pertimbangan hakim sebagaimana yang dilakukan pada jurnal diatas.
Terakhir, penulis bukan hanya menganalisa pencabutan hak politik dalam
segmen HAM. Penulis juga memasukkan perspektif Islam prihal sanksi
pencabutan hak politik.
9
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif atau disebut
sebagai penelitian hukum doktriner, karena penelitian ini dilakukan atau
ditujukan hanya pada peraturan-peraturan tertulis atau bahan -bahan hukum
yang lain. Dikatakan sebagai penelitian kepustakaan (Library Research) atau
studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data
dengan sifat sekunder yang ada diperpustakaan.7
Selain itu penelitian ini dilakukan dengan menggunakan 3 metode
pendekatan (approaching metodh); Pertama, pendekatan perundang-undangan
(statute approach), yaitu melakukan penelaahan terhadap seluruh undang-
undang dan regulasi terkait dengan isu hukum yang sedang diteliti. Adapun
undang-undang yang berkaitan dengan tema ini adalah: UUD 1945, KUHP, UU
Hak Asasi Manusia, ICCPR, dan DUHAM. Kedua, pendekatan perbandingan
(comparative approach), pada dasarnya pendekatan ini dilakukan untuk
membandingkan suatu term dengan term lainnya untuk dapat memperoleh
persamaan dan perbedaan pada suatu tema atau isu yang sedang diteliti. Dalam
hal ini penulis mencoba membandingkan antara sanksi pencabutan hak politik
terhadap pelaku tindak pidana makar dalam hukum Islam dengan Hak Asasi
Manusia dan hukum positif di Indonesia. Ketiga, pendekatan konseptual
(conceptual approach), pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandangan dan
doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari
perkembangan pandangan dan doktrin tersebut peneliti dapat menemukan ide-
ide yang melahirkan konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum yang relevan
dengan persoalan yang dihadapi. Pemahaman akan doktrin-doktrin tersebut
merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum
dalam memecahkan isu yang dihadapi. Melalui penjelasan mengenai pendekatan
konseptual ini penulis berupaya menghadirkan konsep sanksi pencabutan hak
7 Suratman dan Phillips Dillah, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: Alfabeta, 2015), h.
51.
10
politik bagi pelaku tindak pidana makar berdasarkan informasi yang penulis gali
dari berbagai pihak.8
2. Sumber Data
Dalam penelitian hukum tidak mengenal adanya data. Untuk memecahkan
isu hukum sekaligus memberikan perskripsi mengenai apa yang seyogyanya,
diperlukan sumber-sumber penelitian diantara sumber-sumber berikut
dibedakan menjadi dua, yakni: Sumber penelitian yang berupa bahan hukum
primer dan sumber penelitian bahan hukum sekunder.9
Adapun bahan hukum yang digunakan pada sumber data penelitian ini
adalah bahan hukum primer, sekunder, dan nonhukum yang terdiri dari;
a. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan,
catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-
undangan, dan putusan-putusan hakim. Dalam hal ini bahan primer
penulis diperoleh dari Al-Qur’an, Hadis, Undang-Undang Dasar
Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945, Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP), Universal Declaration of Human Rights,
International Covenant on Civil and Political Rights, Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
b. Bahan-bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum
yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang
hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal-
jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.
Adadpun bahan hukum sekunder dalam skripsi ini, meliputi; Buku-
buku teks hukum Islam maupun hukum positif yang berkaitan dengan
tema penelitian (Makar, Pencabutan Hak dan Hukum Islam). Terdapat
pada jurnal yang beredar di institusi-institusi penegakan hukum serta
pengkajian hukum seperti jurnal FH UNBRAW, Majalah Info Singkat
8 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2005), h. 133-136.
9 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 181
11
yang beredar di lingkungan DPR, Jurnal MA dan MK. dan kitab-kitab
fikih yang berkaitan dengan makar seperti buku; al tasyri’u al jina’i, al
ahkam al shulthoniyyah dan lain sebagainya.
c. Wawancara; pada dasarnya hasil wawancara bukan merupakan bahan
hukum. Akan tetapi dapat dimasukkan sebagai bahan nonhukum dan
ada baiknya kalua peneliti menyusun beberapa pertanyaan atau
mengemukakan isu hukum secara tertulis sehingga narasumber dapat
memberikan pendapatnya seacara tertulis.10 Dalam penelitian ini
penulis menggunakan wawancara sebagai penunjang kepada pihak
yang terkait dengan judul penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumenter yaitu
dengan cara memanfaatkan dokumen, buku-buku tertentu atau arsip yang ada di
lembaga pemerintahan setempat sebagai objek penelitian serta data-data yang
diperoleh dari literatur dan referensi yang berhubungan dan berkenaan dengan
judul skripsi ini. Selain itu sumber penelitian ini juga berasal dari wawancara
langsung (in-depth interview) terhadap para pakar dan ahli pada bidang studi ini.
Adapun sumber wawancara terhadap ahli yang penulis himpun berasal dari
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Agus Suntoro., SH.; Analis Perlindungan
Hak Sipil dan Hak Asasi Manusia), Majelis Ulama Indonesia (Dr. Maneger
Nasution., S. Ag., MA.; Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan),
dan terakhir Hakim Pengadilan Negeri (Saifudin Zuhri., SH., M. Hum.; Hakim
Madya Utama)
4. Metode Analisa Data
Dalam penelitan kualitatif, data diperoleh dari berbagai sumber, dengan
menggunakan teknik pengumpulan data yang bermacam-macam (triangulasi),
dan dilakukan secara terus menerus sampai datanya jenuh. Dengan pengamatan
yang terus menerus tersebut mengakibatkan variasi data yang tinggi sekali. Data
yang diperoleh pada umumnya adalah data kualitatif (walaupun tidak menolak
10 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 181-206.
12
data kuantitatif), sehingga teknik analisis data yag digunakan belum ada polanya
yang jelas. Oleh karena itu sering mengalami kesulitan dalam melakukan
analisis. Seperti dinyatakan oleh Miles dan Huberman (1984), bahwa "yang
paling serius dan sulit dalam analisis data kualitatif adalah karena metode
analisisi belum dirumuskan dengan baik"11.
Selain itu dalam metode analisis ini teknik analisis data yang penulis
lakukan yakni teknik analisis deskriptif artinya penelitian ini bertujuan
menjelaskan suatu variable (telaah intensif).12
Berdasarkan ulasan singkat diatas penulis akan menyantumkan muatan
metode analisis data peneltian sebagai berikut:
1. Mencari literatur-literatur yang berkaitan dengan makar, pencabutan
hak politik, hak asasi manusia serta kaidah hukum Islam sebagai
sumber data penelitian ini.
2. Menelaah isi literatur yang relevan; adapun maksud dari penelaahan ini
adalah menyortir substansi yang sesuai untuk dimasukkan kedalam
penelitian.
3. Melakukan proses kategorisasi dari bahan hukum primer, sekunder dan
nonhukum. Data yang telah dihimpun akan dikategorisasi berdasarkan
subbahasan dari penelitian. Hal demikian dilakukan guna mencapai
korelasi pada subbahasan penelitian.
4. Merekonstruksi konsep yang ditemukan dari data-data yang terhimpun,
dengan maksud agar konsep-konsep yang sudah ada linear dengan
objek penelitian.
5. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini, mengacu pada buku "Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2012."
11 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, Cet XXIII, (Bandung:
Alfabeta, 2016), h. 243.
12 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, h. 58.
13
F. Sistematika Penulisan
Sebagai pertimbangan dalam mempermudah penulisan skripsi ini, penelitian
menyusun melalui sistematika penulisan yang terdiri dari beberapa bab, di mana
pada setiap babnya dibagi atas sub-sub bab, dengan penjelasan yang terperinci, agar
memudahkan pembaca.
Berdasarkan pada materi skrispi yang penulis bahas, secara sistematis
penyusunan skripsi ini terbagi sebagai berikut.
BAB I : Pendahuluan
Merupakan latar belakang yang membahas materi pada masalah,
pembatasan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan,
metode penelitian, tinjauan pustaka, diakhiri dengan penjelasan
mengenai sistematika penulisan.
BAB II : Tindak Pidana Makar
Memberikan deskripsi mengenai makar, pengertian makar dari
konteks Islam dan hukum positif. Modus operandi tindak pidana
makar, sanksi tindak pidana makar dalam hukum positif dan
jinayah, serta dalil-dalil ahkam mengenai Makar dan Bughat.
BAB III : HAM dan Pencabutan Hak Politik
Membahas hal-hal yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia
dalam berbagai perspektif (Islam, DUHAM, dan UU HAM no 39
thn 1999), Hak Politik dalam pandangan Islam dan DUHAM.
BAB IV : Ramifikasi dan Urgensi Penerapan Sanksi Pencabutan Hak
Politik
Pada bab ini penulis akan menganalisa penerapan pencabutan hak
politik bagi terpidana makar. Efektivitas pencabutan hak politik
bagi terpidana makar beserta dampak positif dan negatifnya. Serta
dasar hukum hakim memutuskan pidana tambahan pencabutan
hak politik.
BAB V : Penutup
Merupakan bab penutup yang di dalamnya berisi kesimpulan dan
saran terhadap permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.
14
BAB II
TINDAK PIDANA MAKAR
A. Makar Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam
1. Defenisi Makar dalam Hukum Positif
Makar merupakan suatu tindak pidana yang diatur dalam ketentuan hukum
pidana di Indonesia. Pada dasarnya makar merupakan sebuah kata yang diadopsi
dari Kitab Undang-udang Hukum Pidana Indonesia yang merupakan warisan
dari Belanda. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), makar memiliki
arti: akal busuk, tipu muslihat, perbuatan (usaha) dengan maksud hendak
menyerang (membunuh) orang dan sebagainya, perbuatan (usaha) menjatuhkan
pemerintah yang sah.1 Kemudian, dalam Kamus Politik yang disusun oleh BN
Marbun, mengartikan makar dengan istilah kudeta yang merupakan terjemahan
dari Bahasa Perancis yakni: Coup d’etat arti adalah pengambilan kekuasaan
dalam pemerintahan dengan menggunakan kekerasan atau paksaan, atau
pengambilan kekuasaan yang dilakukan dengan tiba-tiba dan inkonstitusional.2
Definisi makar dapat ditemukan juga dalam Black’s Law Dictionary,
bahwa makar adalah:
“(Treason) The offense of attempting to overthrow the government of the
state to which the offender owes allegiance; or of betraying the state into
the hands of a foreign power”.3 (Pelanggaran yang dilakukan dengan upaya
menggulingkan pemerintah negara yang dilakukan dengan pengkhianatan
kesetiaan;atau mengkhianati negara ke tangan kekuatan asing).
Lebih lanjut, makar dapat dikategorikan sebagai tindak pidana terhadap
keamanan Negara yakni kejahatan terhadap sistem kekuasaan yang di dalamnya
terdapat beberapa macam tindak pidana lain, salah satunya adalah
kejahatan Politik. Menurut Black's Law Dictionary, definisi kejahatan politik
adalah: “Political Crime is A crime (such as treason) directed against the
1 WJS. Purwodarminto, Kamus umum bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), h.
623. 2 BN. Marbun, Kamus Politik, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), h. 361.
3 https://thelawdictionary.org/treason/, diakses pada 02 April 2018, Pukul 14.39.
15
government” (Kejahatan Politik adalah kejahatan -seperti makar- yang ditujukan
terhadap pemerintah)
Makar berasal dari kata “aanslag” (bahasa Belanda), yang menurut arti
harfiah adalah penyerangan atau serangan. Istilah aanslag ini juga terdapat dalam
KUHP yakni pada Pasal-Pasal 87, 104, 105, 106, 107, 130, 139a, 139b, 140.
(Pasal 105 dan 130 dianggap tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1946, Pasal VIII, butir 13). Aanslag telah lazim diterjemahkan dengan
makar dalam pembendaharaan hukum pidana di Indonesia.4 Pengertian ini
terdapat pada Pasal 107 KUHP, dimana redaksi aslinya ialah:
“De aanslag ondernomen men het oogmerk om omventelingteweeg
tebrengen, wordt gestraf met gevangenisstraf van ten hoogste vifftien
jaren.”
Djoko Prakoso mengutip pendapat Engelbrecht dalam penterjemahan
pasal tersebut dengan: “Makar yang dilakukan dengan maksud untuk
meruntuhkan pemerintahan, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya
lima belas tahun.” Terjemahan Engelbrecht tersebut dapat diketahui bahwa
terjemahan kata aanslag itu sama dengan kata “makar”.5 Sedangkan Wiryono
Prodjodikoro menggunakan terjemahan kata makar sebagai kata aanslag yang
menurut beliau berarti serangan.6
2. Pengertian Makar dan Bughat dalam Hukum Islam
Pada uraian sebelumnya penulis telah mengemukakan teori-teori yang
berkaitan dengan tindak pidana makar dalam hukum positif. Kemudian, pada
poin ini penulis akan mengutarakan teori-teori yang berkaitan dengan makar
dalam perspektif Hukum Islam. Namun terdapat perbedaan dari segi makna dari
tindak pidana yang penulis maksud ini (makar). Bila dikemukakan dalil-dalil
4 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2002), Cet I, h. 7.
5 Djoko Prakoso, Tindak Pidana Makar Menurut KUHP, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986),
h. 15.
6 Wiryono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung: PT.
Eresco, 1980), h. 187.
16
dalam Al-Qur’an, kata makar banyak sekali ditemukan didalam seperti contoh
pada Al-Qur’an Surat Al-An’am ayat 123, Al-Anfal ayat 30, dan Surat Yunus
ayat 21. Dalil dalam al-Qur’an tersebut memiliki kata “makar” didalamnya.
Namun dalam konsep Pidana Islam (Jinayah), tindak pidana yang penulis
maksud bukanlah “makar” yang sebagaimana dikemukakan dalam al-Qur’an,
akan tetapi yang akan penulis kupas lebih spesisifik adalah tindak pidana
(jarimah) bughat. Hal ini sebagaimana yang ada pada konsep Hukum Pidana
Islam (Jinayah). Agar tidak mengalami polarisasi pemaknaan dari bahasan yang
akan penulis kemukakan, penulis juga akan mengulas serta mengupas pengertian
dari makar dan jarimah bughat.
Makar menurut bahasa adalah akal buruk, tipu muslihat. BN Marbun
dalam kamus politik mengartikan makar dengan istilah kudeta yang merupakan
terjemahan dari kata Prancis Coud’etat, yaitu pengambilan kekuasaan dalam
pemerintahan dengan menggunakan kekerasan atau paksaan, atau pengambilan
kekuasaan yang dilakukan dengan tiba-tiba dan inkonstitusional.7 Makar juga
bisa diartikan sebagai perbuatan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah.8
Makar dalam prespektif Islam biasa disebut dengan bughat, yang menurut
bahasa merupakan jamak dari lafaz “Baaghin” yang artinya menganiaya dan
melampaui batas, yang dalam pengertian lain, adalah keluar dari menaati imam
adil untuk melakukan suatu kezaliman.9 Sementara menurut istilah, sebagian
ulama berpendapat bahwa bughat adalah suatu aktifitas yang dilakukan untuk
merubah tata aturan yang telah ditentukan oleh suatu hukum atau perlawanan
terhadap keputusan hakim dengan kekuatan atau enggan melaksanakan
ketaatan.10 Menurut Ulama Syiah modern, Muhammad Husain Tabataba’i dalam
tafsirnya, bughat adalah kezaliman dan perubahan tanpa melalui prosedur yang
7 B. N. Marbun, Kamus Politik, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), h. 361.
8 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1988), h. 618.
9 Eldin H. Zainal, Fiqh Jina’iy Al-Islamiy, (Medan: Diktat IAIN, 1990), h. 48.
10 Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri’i Al-Jina’i Al-Islami, (Beirut: Al-Risalah, Tt), h. 545.
17
benar, sehingga diperangi kelompok yang memberontak itu sehingga kembali
kepada apa yang diperintahkan Allah.11
Sementara menurut Abdurrahman al-Maliki, bughat adalah orang-orang
yang keluar menentang daulah Islamiyah, dan mereka memiliki kekuatan.
Artinya, mereka adalah orang-orang yang membangkang dan tidak mau taat
pada imam, menghunus senjata melawan dan mengumumkan perang. Dari
defenisi ini menurut fuqaha, bughat adalah kelompok yang menentang
pemimpin yang sah dengan cara menolak setiap kewajiban sebagai rakyat dan
berupaya dengan menghimpun kekuatan untuk menggulingkannya.12
Bila membedah pengertian makar secara spesifik dan difenitif, makar
dalam hukum positif mengalami banyak interpretasi. Makar dalam KUHP
merupakan kata yang diadopsi dari bahasa arab (yang merupakan bahasa al-
quran) kemudian dimasukkan kedalam perbendaharaan Bahasa Indonesia.
Sebagai mana yang penlis kutip dari kamus Munjid, makar yang diadopsi
kedalam Bahasa Indonesia bermakna: menipu, memperdaya, tipu daya dan tipu
muslihat dalam melakukan segala penipuan.13 Selain itu kata makar makar
memiliki silsilah bahasa arab dari kata مكر – ميكر - مكرا yang berarti menipu.14
Dalam perbendaharaa bahasa Arab terminologi makar temaktub didalam surat
Al-Anfal ayat 30:
لل ا ر وميك رون وميك وك رج ي و أ وك ل ت ق ي و أ وك ت ب ث ي ل وا ر ف ن ك ي لذ ا ك ب ر ميك ذ إ و لل واا م ل ا ي ن خ ري (30 األنفال) ك
11 Rudi Iswadi, Bugat Dalam Prespektif Al-Qur’an, Tesis Universitas Islam Negeri
Sumatera Utara Meda 2016, h. 5.
12 Rudi Iswadi, Bughat Dalam Prespektiof Al-Qur’an, h. 23.
13 Luis Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughah wal Al-‘Ala, (Lebanon, Daar Al-Masyriq Beirut,
1983), h. 770.
14 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hida Karya Agung, 1989), h. 427.
18
Artinya: “Dan ingatlah tatkala telah mengatur tipu daya orang-orang kafir
terhadap engkau, buat menahan engkau atau membunuh engkau, atau
mengeluarkan engkau. Seraya mengatur tipu daya, Sedang Allah mengatur tipu
daya, dan Allah itu adalah sepandai-pandai mengatur tipu daya". (Q. S. Al-
Anfal: 30)15
Dari dalil diatas seorang cendekia Mesir Muh. Husain Haikal berpendapat
bahwa pengertian makar secara terminologis adalah Merencanakan kejahatan
terhadap orang lain secara rahasia, agar dapat menimpakan kesulitan/kepayahan
kepadanya.
Kemudian, dalam Tafsir Jalalain, ayat tersebut dapat ditarsirkan sebagai
berikut:
“(Dan) ingatlah hai Muhammad (ketika orang-orang kafir Quraisy
merencanakan tipu muslihat terhadap dirimu) mereka mengadakan
pertemuan di Darun Nadwah tempat mereka bermusyawarah guna
mengadakan makar terhadap dirimu (untuk menangkapmu) untuk
mengikatmu dan memenjarakanmu (atau membunuhmu) di mana mereka
secara beramai-ramai membunuhmu (atau mengusirmu) dari Kota
Mekah. (Mereka merencanakan tipu muslihat) terhadap dirimu (akan
tetapi Allah menggagalkan rencana mereka dengan cara memberikan
pemberitahuan kepadamu melalui wahyu-Nya akan rencana mereka dan
Dia memerintahkan kamu untuk keluar terlebih dahulu. (Dan Allah
sebaik-baik pembalas tipu muslihat). Dia Maha Mengetahui tentang tipu
muslihat.”16
Senada dengan penjelasan defenisi makar dalam hukum positif, salah
seorang mufassir terkemuka di Indonesia –Hamka- mengungkapkan bahwa kata
makar dipakai dalam bahasa hukum di Indonesia dan dijadikan sebagai bahasa
Indonesia yaitu segala tindak pidana untuk maksud yang jahat.17
15 Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panji Mas: 1984), h. 296-297.
16 https://tafsirq.com/8-al-anfal/ayat-30#tafsir-jalalayn, diakses pada tanggal 01 Juni 2018,
Pukul 12.41.
17 Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 36.
19
Penjelasan mengenai makar yang lebih spesifik kearah perbuatan
menggulingkan pemerintahan, terdapat pada Ensiklopedia Hukum Islam. Makar
berasal dari Bahasa Arab yakni al-makru, yang berarti tipu daya atau hal-hal
yang berkaitan dengan rencana jahat. Namun secara semantik makar
mengandung arti: akal busuk, perbuatan hendak menyerang orang, dan
perbuatan menjatuhkan pemerintahan yang sah.18 Namun yang menjadi
pertanyaan apakah makar sama halnya dengan baghyu atau malah sebaliknya?
Adapun penjelasannya akan penulis ulas lebih rinci agar dapat menemukan
korelasi serta diferensiasi dari maksud pemberontakan.
Makar yang sebagai mana dimaksud pada penjelasan diatas atau dalam
KUHP mengalami multi interpretasi. Sebab maksud dari makar sendiri dalam
KUHP mengalami pergeseran makna bila kita melakukan korelasi makna
terhadap bughot dalam kata hukum pidana Islam (jinayah).
Bughat secara etimologi berarti melakukan perbuatan zalim atau
melakukan penindasan.19 Pada dasar katanya bughat sendiri berasal dari Bahasa
Arab بغى - يبغى - بغيا yang artinya menginginkan sesuatu20. Pada defenisi
etimologi yang berbeda dan lebih rinci kepada perbuatan pidana, bughat sendiri
memiliki maksud بغي على الناس بغيا yang berarti ظلم و اعتدى (berbuat zalim dan
menganiaya). Kata بغي sendiri bisa diartikan dengan تكب (sombong), dikatakan
demikian sebab pelaku jarimah bersikap takabbur menuntut sesuatu yang bukan
haknya dan melampaui batas.
Sebagaimana yang termaktub dalam firman Allah SWT dalam Surat Al-
Hujarat ayat 9:
18 Tim Redaksi, Ensiklpoedi Hukum Islam, (PT. Ichtiar Baru Van Houve: 1996), h 123.
19 Ali Muthohar, Kamus Arab–Indonesia, (Jakarta: PT Mizan Publika, 2005), h. 228
20 Mahmud Yunus, Kamus Arab–Indonesia, (Jakarta: Hida Karya Agung, 1989), h. 69
20
ن م ن ا ت ف ئ ا ط ن إ رى و ألخ ا ى ل ع ها ا د ح إ ت غ ب ن إ ف ا م ه ن ي ب وا ح ل ص أ ف وا ل ت ت ق ا ني ن م ؤ م ل ا
ل د ع ل ب ا م ه ن ي ب وا ح ل ص أ ف ت ء ا ف ن إ ف لل ا ر م أ ل إ ء ي ف ت ت ح ي غ ب ت لت ا وا ل ت ا ق ف
ب ي لل ا ن إ وا ط س ق ني وأ ط س ق م ل ت) ا را ج حل (9 ا
Artinya: “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu
berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu
melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar
perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau
dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan
hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang
yang berlaku adil”. (Q. S. Al-Hujarat: 9)
Selain itu baghyu juga memiliki beberapa pengertian seperti: zalim/aniaya,
perbuatan jahat, durhaka, menyimpang dari kebenaran dan melanggar atau
menentang.21 Secara harfiah baghyu berati melanggar atau menanggalkan.22
Secara terminologi ulama fuqaha memiliki polarisasi terhadap makna
istilahy dari baghyu. Hal ini sebagaimana yang dikutip Abdul Qadir Audah
dalam kitabnya Tasyri’ al-Jina’i, yaitu:23
a. Pendapat Ulama Malikiy
Bughat atau pemberontakan sebagai sekelompok kaum muslimin yang
berseberangan dengan al-Imam al-A’dzhom (Kepala/Pemimpin
Negara) atau wakilnya, dengan menolak hak dan kewajiban atau
bermaksud menggulingkannya.
b. Pendapat Ulama Hanafiy
Bughat ialah keluar dari kedudukan terhadap penguasa yang benar.
Sementara itu al-baghiy ialah orang yang keluar dari ketaatan terhadap
pemerintah yang sah dengan jalan yang tidak benar.
21 Ahmad Mukri Aji, Rasionalitas Ijtihad Ibnu Rusyd, (Bogor: Pena Ilahi, 2007), h. 218.
22 Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 73.
23 Abdul Qadir Audah, at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islam Muqaranan bil Qanunil Wad’iy (Terj.
Tim Tsalisah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam), (Bogor: PT. Kharisma Ilmu, 2007), h. 234-235.
21
c. Pendapat Ulama Syafi'iy
Para pemberontak (al-baghiy) ialah orang-orang Islam yang melakukan
pembangkangan terhadap penguasa atau pemerintah yang sah dengan
cara keluar dan meninggalkan ketundukan atau menolak kebenaran
yang ditunjukkan kepada mereka, dengan syarat adanya kekuatan serta
adanya tokoh yang diikuti dikalangan mereka. Pemberontakan dalam
pandangan Ulama Syafiiyah adalah keluaranya sekelompok orang yang
mempunyai kekuatan dan pemimpin yang ditaati dari imam dengan
alasan (takwil) yang salah.
Sementara itu, Imam Nawawi (ulama madzhab Syafii) me-nukil-
kan pendapat yang berbeda yakni “Menurut fuqaha, pemberontak
(baghyu) ialah seseorang yang menentang penguasa. Orang tersebut
keluar dari ketundukan dengan cara menolak melakukan kewajiban-
kewajiban yang seharusnya ia lakukan dengan cara lain.
d. Pendapat Ulama Hambali
Para Ulama Hanabilah mendefenisikan pemberontakan (bughat)
sebagai orang-orang yang keluar dari imam meski imam tersebut tidak
adil sekalipun dengan alasan yang layak dan mereka mempunyai
kekuatan walaupu diantara mereka tidak ada orang yang dipatuhi.
e. Pendapat Ulama Zahiriy dan Syiah Zaidiyah
Defenisi pemberontakan (bughat) menurut Ulama Zahiriyah dan Syiah
Zaidiyah adalah orang yang menganggap dirinya benar dan imam
sebagai pemimpin/penguasa adalah salah. Mereka adalah sekolompok
orang yang memiliki power. Sederhananya mereka yang disebut
pemberontak atau al-baghiy adalah sekelompok orang yang memiliki
kekuatan yang keluar dari imam yang sah.
Mengingat ulama madzhab ini memiliki kekuatan politik di Negara
Iran yang menganut sistem pemerintahan Imamiyah maka keputusan
atau kebijakan Imam (pemimpin) mutlak benar sebab pemimpin adalah
wakil tuhan di dunia dan barang siapa menentang pemimpin maka
disebut menentang tuhan dan layak diperangi.
22
Sebagaimana defenisi yang telah dijabarkan diatas mengenai
pendapat para ulama fiqh mengenai pengertian (istilahiy) dari baghyu.
Banyak terdapat perbedaan dari pendapat para ulama tersebut.24 Selain
dari banyaknya perbedaan pandangan ulama mengenai bughat ada pula
kesamaan perspektif mengenai bughat itu sendiri.25
Dapat disimpulkan sebagaimana pendapat dari Prof. Dr. Amin
Suma, bahwa yang dimaksud dengan al-baghyu adalah Tindakan
sekelompok orang yang memiliki kekuatan untuk menentang
pemerintah, dikarenakan terdapat perbedaan paham mengenai masalah
kenegaraan.26
B. Unsur Makar Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam
1. Unsur-Unsur Makar dalam Hukum Positif
Pada umunya setiap tindak pidana (delijk) dapat dijatuhkan bila terdapat
unsur-unsur didalamnya. Adapun unsur-unsur makar dalam hukum pidana diurai
menjadi dua yakni: unsur objektif dan unsur subjektif.
a) Unsur Objektif
1. Perbuatan manusia dimana yang termasuk adalah:
a. Act ialah perbuatan aktif yang disebut juga perbuatan positif.
b. Omission ialah tidak aktif berbuat dan disebut juga perbuatan negatif.
24 Dari segi perbedaan, definisi diantara beberapa madzhab fikih disebabkan perbedaan
syarat yang wajib dipenuhi oleh bughat. Perbedaan tersebut tidak terletak pada unsur-unsur
pemberontakan yang mendasar. Para fukaha madzhab-madzhab ini mencoba mengumpulkan
definisi dengan definisi yang mengandung unsur-unsur dan syarat-syarat tindak pidana
pemberontakan agar definisinya bisa bersifat jami‟ (komprehensif) dan mani‟ (mencegah
pengertian lain masuk kedalam esensi pengertian yang dimaksud). Dikutip dari Abdul Qadir
Audah, at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islam Muqaranan bil Qanunil Wad’iy, h. 235.
25 Persamaan mengenai definisi bughat, mungkin bisa dibuatkan definisi bersama yang
disesuaikan dengan definisi semua madzhab, yang didasarkan atas unsur yang paling mendasar.
Definisi tersebut adalah pembangkangan terhadap imam (pemimpin tertinggi) dengan perlawanan.
Dikutip dari Abdul Qadir Audah, at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islam Muqaranan bil Qanunil Wad’iy, h.
235.
26 Muhammad Amin Suma, Pidana Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h.
60.
23
2. Akibat perbuatan manusia.
Hal ini erat hubungannya dengan kausalitas. Akibat yang dimaksud adalah
membahayakan atau menghilangkan kepentingan-kepentingan yang
dipertahankan oleh hukum, seperti nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik
atau harta benda, dan kehormatan.
3. Keadaan-keadaan.
Pada umumnya keadaan-keadaan dibedakan atas beberapa hal
sebagaimana dibawah ini:
a. Keadaan saat perbuatan dilakukan;
b. Keadaan setelah perbuatan dilakukan;
c. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum.
b) Unsur Subjektif
Unsur Subyektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau
yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya yaitu
segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.
Asas pokok hukum pidana ialah “tidak ada hukuman kalau tidak ada
kesalahan (actus non facit reum nisi mens sit rea)/(an act does not make a
person guilty unless the mind is guilty). Kesalahan dimaksud disini yakni
sengaja (dolus) dan kealpaan (culpa).27
1. Kesengajaan (dolus)
Menurut para pakar ada tiga bentuk kesengajaan, yaitu:
a. sengaja sebagai maksud (dolus directus);
b. sengaja sebagai kepastian;
c. sengaja sebagai kemungkinan (dolus eventualis).
2. Kealpaan (culpa), adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan dari pada
kesengajaan. Ada dua bentuk kealpaan, yaitu:
a. tidak berhati-hati; dan
b. tidak menduga-duga akibat perbuatan itu.
27 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung, Citra Aditya
Bakti, 1997), h. 193.
24
Bilamana mengacu pada pasal 53 KUHP unsur-unsur makar terdiri dari 3
bagian yakni:
1) Niat
2) Permulaan pelaksanaan
3) Tidak selesainya pelaksanaan itu disebabkan bukan karena
kehendaknya sendiri
Maksud sebenarnya dari Pasal 53 (1) KUHP itu agar pelaku (dader) yang
belum selesai mewujudkan kejahatan juga dapat dipidana, yakni dengan
ketentuan bahwa pidana yang dapat dijatuhkan kepada si pembuat yang tidak
selesai itu setinggi-tingginya ialah pidana yang ditetapkan pada kejahatan itu
dikurangi sepertiganya. Mengapa harus dikurangi sepertiga dari ancaman
maksimumnya? Karena menurut pembentuk Undang-Undang percobaan
kejahatan itu belum berupa penyerangan/pelanggaran terhadap kepentingan
hukum yang dilindungi, akan tetapi telah membahayakan terhadap kepentingan
hukum yang dilindungi Undang-Undang. Nyatalah pula bahwa
pertanggungjawaban pidana bagi pelaku percobaan itu lebih ringan dari pada
pertanggungjawaban pidana pada kejahatan yang telah selesai.28
Sebagimana dalam KUHP buku kedua bab I dijelaskan bahwa makar
termasuk kejahatan terhadap keamanan negara.29 Ada beberapa teori atau aliran
tentang penyebab terjadinya kejahatan yaitu:30
1) Teori /Aliran Antropologi
Teori ini menyatakan bahwa sebab-sebab orang melakukan kejahatan adalah
tergantung pada orang atau individunya, yang berarti orang itu seolah
mempunyai tipe-tipe tertentu sebagai orang jahat. Jadi orang melakukan
kejahatan tersebut memang sudah ada dari dalam pribadinya sendiri sebagai
seorang yang jahat.
28 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, Keamanan
dan Keselamatan Negara, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), Cet I, h. 8-9
29 Moelyatno, KUHP, (Jakarta; Bumi Aksara, 1996), h. 43.
30 M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, (Jakarta; Raja Grafindo Persada), h. 44.
25
2) Teori/Aliran Sosiologi
Teori ini menyatakan bahwa sebab orang melakukan kejahatan karena
dipengaruhi atau ditentukan oleh lingkungan sekitarnya, baik lingkungan
alam maupun Iingkungan masyarakat.
3) Teori Aliran Bio-Sosiologi
Teori ini adalah gabungan antara teori antropologi dan teori sosiologi. Teori
ini menyatakan bahwa sebab-sebiab orang melakukan kejahatan karena
faktor individu orang yang bersangkutan ditambah dengan adanya pengaruh
lingkungan masyarakat.
Ditinjau dari teori sebab-sebab terjadinya tindak pidana kejahatan di atas,
ada dua gejala yang menyebabkan terjadinya tindak pidana makar yakni:
1) Ketidak Puasan Terhadap Pemerintahan yang ada
Didalam teori sosiologi dinyatakan bahwa diantara sebab terjadinya makar
adalah lingkungan. Stratifikasi sosial melahirkan hierarki (tingkat)
penggolongan sosial menciptakan perbedaan tingkat kemakmuran,
kekuasaan dan pengaruh (prestise).31
Tindakan semacam ini biasanya merpakan gerakan massa. Gerakan ini
pada umumnya bermaksud untuk merubah yang kurang sesuai dengan
dirinya maupun situasi dengan mengerahkan orang banyak, Lebin
berpendapat bahwa gerakan massa itu selalu bersifat negati desktruktif.32
2) Ambisi mengambil alih kekuasaan
Pasal yang menjelaskan tindak pidana ini adalah pasal 107 dan 108,
diperjelas lagi dengan pasal 88 bis yaitu: “dengan penggulingan
pemerintahan dimaksud meniadakan atau mengubah secara tidak sah
bentuk pemerintahan menurut undang-undang dasar.33
31 B. Simanjuntak, Pengantar kriminologi dan pantologi sosial,(Bandung; Tarsito, 1981), h.
34.
32 Soelaiman Joesoef, Ilmu jiwa massa, (Surabaya; Usaha Nasional, 1979), h. 28.
33 Moelyatno, KUHP, (Jakarta; Bumi Aksara, 1996), h. 36.
26
Kadang kala tindakan penggulingan pemerintahan ini dilakukan oleh sipil
yang mementingkan diri sendiri tidak mementingkan kepentingkan
bangsa. Ia telah menggerakkan atau mengkoordinir massa untuk
kepentingannya. Kadang kala hal ini juga dilakukan oleh militer yang
berkhianat dan melakukan koordinasi dengan militer lainnya, dan
selanjutnya melakukan pemberontakan, hal ini yang disebut dengan
kudeta.34
2. Unsur-Unsur Bughat dalam Hukum Islam
Setelah penjelasan mengenai defenisi bughat sebelumnya, bughat
dijatuhkan sebagai bentuk tindak pidana juga harus melalui kualifikasi unsur-
unsur didalamnya. Unsur-unsur tersebut berbeda halnya dengan unsur-unsur
makar pada hukum positif yang dibagi menjadi dua unsur. Adapun unsur-unsur
bughat dalam Hukum Pidana Islam (Jinayah) adalah sebagai berikut.
a) Pembangkangan terhadap kepala negara
Jatuhnya jarimah bughat dalam unsur ini bilamana didalamnya terdapat
upaya pembangkangan terhadap kepala negara. Pembangkangan dalam artian
menentang kepala negara dan berupaya untuk menghentikannya, atau menolak
untuk melaksanakan kewajiban sebagai warga negara. Berdasarkan kesepakatan
para ulama fiqh penolakan untuk tunduk kepada pemerintah yang menjurus
kepada kemaksiatan, bukan merupakan pemberontakan melainkan merupakan
suatu kewajiban. Hal ini sebagaimana yang di-nukil-kan oleh Rasulullah SAW
dalam hadist yang diriwayatkan oleh Nasa’i nomor hadist 4135:
ث نا الليث عن عب يد الل بن أب جعفر عن نفع عن ابن عمر ق بة قال حد أخبن ق ت ي ال قال رسول الل صلى الل
مع والطاعة فيما أحب وكر ه إل أن ي ؤمر بعصية فإذا أمر بعصية فل سع عليه وسلم على المرء المسلم الس
)رواه أمام نسائي( ول طاعة
34 Sahat Siammora, Militer dalam politik kudeta dan pemerintahan (terj), (Jakarta; Rineke
Cipta, 1990), h. 277.
27
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami (Qutaibah), ia berkata; telah
menceritakan kepada kami (Al Laits) dari ('Ubaidullah bin Abu Ja'far) dari
(Nafi') dari (Ibnu Umar) ia berkata; Rasulullah SAW bersabda: " Wajib bagi
seorang muslim mendengar dan taat dalam perkara yang ia sukai dan ia benci
kecuali jika ia diperintah untuk berbuat maksiat, jika ia diperintah untuk berbuat
maksiat maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat." (H. R. Nasa’i)
Dengan demikian, jika seorang pemimpin tidak memerintahkan rakyatnya
untuk berbuat maksiat, walaupun kebijakannya tidak selalu membawa
kebajikan, maka tetap wajib didengar dan ditaati.35
Adil merupakan salah satu syarat yang harus dimiliki seorang kepala
negara (Imam), akan tetapi Imam Fiqh emapat madzhab dan Syiah Zaidiyah
berpendapat, haram hukumnya melakukan insubordinasi terhadap imam yang
fasik, walaupun hal tersebut dilakukan dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar.
Alasannya, sebab pembangkangan terhadap kepala negara (imam) biasanya
berdampak pada hal yang lebih munkar seperti; timbulnya fitnah, pertumpahan
darah, merebaknya kerusakan, dan kekacauan dalam negara, serta terganggunya
ketertiban dan keamaan. Selain itu, menurut pendapat yang lemah (marjuh),
bilamana seorang pemimpin itu fasik, zalim dan mengabaikan hak-hak
masyarakat maka ia harus diberhentikan oleh dari jabatannya.36
Jika dilihat dari cara dan alasan pemberontakan ini dilakukan, Imam Abu
Hanifah, Syafii dan Ahmad Bin Hanbal membedakannya menjadi tiga kategori,
yaitu:
a. Kategori kaum pemberontak yang memiliki argumentasi mengapa mereka
memberontak, baik mereka mempunyai kekuatan senjata maupun tidak.
b. Kategori kaum pemberontak yang memiliki argumentasi mengapa mereka
memberontak, tetapi mereka tidak memiliki kekuatan persenjataan.
c. Kategori kaum pemberontak yang mempunyai argumentasi dan juga
memiliki kekuatan persenjataan.
35 M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 63.
36 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 113.
28
Dari penjelasan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemberontakan
hanya dilakukan terhadap pemimpin negara yang sah dan berdaulat. Apabila
pemberontakan dilakukan oleh sekelompok orang ketika di suatu negara yang
tidak berjalan atau terjadi kekosongan pemimpin yang legitimate, maka hal itu
tidak disebut sebagai pemberontakan.37
b) Pembangkangan dilakukan dengan menggunakan kekuatan
Maksud dari unsur ini adalah adanya dukungan kekuatan bersenjata. Oleh
sebab itu menurut ulama fiqh, sikap sekedar menolak kepala negara yang telah
diangkat secara aklamasi, tidak disebut dengan al-baghyu.
Mayoritas Ulama seperti Imam Malik, Imam Syafii, Imam Ahmad Bin
Hanbal dan ulama kalangan Zahiriyah berpendapat bahwa selama para
pembangkang tidak menyusun kekuatan bersenjatata dan tidak bersikap
demonstratif maka mereka bukanlah pemberontak. Oleh sebab itu mereka juga
sepatutnya untuk diperlakukan selayanya warga negara, tidak boleh diserang dan
dibunuh. Imam Abu Hanifah memiliki pandangan lain terkait hal ini, mereka
yang melakukan perkumpulan dapat dikatakan sebagai pemberontak sebab
perkumpulan tersebut bisa saja mengarah kepada perencanaan untuk menyerang.
Hal tersebut bisa menjadi indikator adanya jarimah baghyu, walaupun tidak
bersifat demonstratif dengan menggunakan senjata. Hal ini juga senada dengan
pendapat Syiah Zaidiyah.38
Adapaun perbedaan pendapat ini bermuara pada tolak ukur dan kapan
sikap pembangkangan sebuah kelompok dapat dianggap sebagai
pemberontakan. Namun demikian, para ulama tetap sepakat bahwa para
pemberontak tidak boleh segera disergap dan dibunuh, jika mereka tidak
melancarkan aksinya terlebih dahulu.39
37 M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 67.
38 M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 70.
39 M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 70.
29
c) Niat melawan hukum (qasd al-jina’iy)
Penjelasan mengenai niat menjadi sangat vital bila berkaitan dengan
perbuatan tindak pidana. Hal ini sudah penulis jelaskan juga pada unsur-unsur
tindak pidana makar dalam hukum positif. Untuk terwujudnya tindak pidana al-
baghyu, diisyaratkan adanya niat melawan hukum dari mereka yang
membangkang. Unsur ini dapat terpenuhi bila seseorang bermaksud
menggunakan kekuatan untuk menjatuhkan imam atau tidak menaatinya.
Apabila tidak ada maksud untuk keluar dari imam atau tidak ada maksud untuk
menggunakan kekuatan maka perbuatan perbuatan pembangkangan itu belum
dikategorikan sebagai pemberontakan (bughat).
Seseorang dapat dianggap keluar dari imam bila bermaksud untuk
mencopot (menggulingkan) imam, atau tidak menaatinya, atau menolak untuk
melaksanakan kewajiban yang dibebankan kepada syara’. Dengan demikian,
apabila niat dan tujuan pembangkangan itu untuk menolak kemaksiatan, maka
pelaku tidak dianggap sebagai pemberontak. Namun apabila seorang
pembangkang melakukan jarimah-jarimah sebelum mughalabah (penggunaan
kekuatan) atau setelah selesainya pemberontakan maka di sini tidak diperlukan
adanya niat untuk memberontak, karena dalam hal ini ia tidak dihukum sebagai
pemberontak, melainkan sebagai jarimah biasa.40
C. Aturan dan Sanksi Makar dalam Hukum Positif dan Hukum Islam
1. Aturan dan Sanksi Makar dalam Hukum Positif
Tindak pidana makar untuk merobohkan pemerintah, tentunya disikapi
pemerintah dengan membuat beberapa aturan maupun instrumen hukum dalam
meminimalisir tindak pidana makar.41 Tidak hanya itu, tindak pidana makar
menyebabkan munculnya beberapa pengaturan-pengaturan tindak pidana makar
yang dibuat pemerintah sebagai upaya untuk mengamankan jalannya
40 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 116.
41 Abdul Latif dan Hasbi Ali, Politik Hukum, Sinar Grafika, Cetakan II, Jakarta, 2011, h.
19.
30
pemerintahan yang sedang berlangsung. Adapun pengaturan tindak pidana
makar di Indonesia tertuang pada Undang Undang Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 1946 Tentang KUHP, dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
27 Tahun 1999 Tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang
Berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara.
Dalam KUHP Negara Indonesia pengaturan tindak pidana makar tertulis
pada Bab I mengenai kejahatan terhadap keamanan negara yakni pada pasal 104
sampai 129.42 Namun pasal-pasal yang akan penulis ulas adalah beberapa pasal
yang spesifik mengenai makar.
Pengaturan makar dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)
sebagaimana dimuat dalam Bab I Buku II KUHP, terdiri dari 3 bentuk, yaitu:
1) Makar yang menyerang terhadap kepentingan hukum bagi keamanan
Kepala Negara atau Wakilnya (Pasal 104 KUHP);
2) Makar yang menyerang terhadap kepentingan hukum bagi keamanan,
keselamatan, dan keutuhan wilayah negara (Pasal 106 KUHP);
3) Makar yang menyerang terhadap kepentingan hukum bagi tegaknya
pemerintahan negara atau menggulingkan pemerintahan (Pasal 107
KUHP).43
Dalam pengaturan makar atau kejahatan yang berhubungan dengan makar
yang mengancam keamanan, keselamatan, dan keutuhan negara. Penulis
mencoba membuat rumusan kejahatan yang berkaitan dengan keamanan,
keselamatan dan keutuhan negara dengan memfokuskan pada Pasal 104 KUHP,
Pasal 106 KUHP, Pasal 107 KUHP, Pasal 108 KUHP dan Pasal 110 KUHP.
Berikut uraian pasal tersebut:
42 Dikutip dari makalah Bambang Widjojanto, Pasal-pasal makar,
https://mazhoinside.files.wordpress.com/2010/04/bw_pasal-pasal_makar.pdf. Diakses pada
tanggal 11 April 2018, Pukul 13.00.
43 Moelyatno, KUHP, (Jakarta; Bumi Aksara, 1996), h. 11
31
1) Kejahatan Makar
Dalam kejahatan makar terhadap negara, makar terhadap nyawa atau
kemerdekaan Kepala Negara atau Wakilnya tercantum dalam Pasal 104
KUHP, makar terhadap/untuk memisahkan wilayah negara tercantum dalam
Pasal 106 KUHP dan makar untuk menggulingkan pemerintahan yang sah
tercantum dalam Pasal 107 KUHP.44
Rumusan pasal 104 KUHP:
“Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas
kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil
Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua
puluh tahun.”45
Rumusan pasal 106 KUHP:
“Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah
negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dari wilayah
negara, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara sementara paling lama dua puluh tahun.”
Rumusan pasal 107 KUHP:
a. “Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.”
b. “Para pemimpin dan para pengatur makar tersebut dalam ayat
(1), diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara sementara paling lama dua puluh tahun.”46
2) Kejahatan Pemberontakan
Kejahatan pemberontakan dirumuskan dalam Pasal 108 KUHP:
“Barangsiapa bersalah karena pemberontakan, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima belas tahun:
1. orang yang melawan Pemerintah Indonesia dengan senjata;
44 Djoko Prakoso, Tindak Pidana Makar menurut KUHP, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986),
h. 9.
45 Moelyatno, KUHP, (Jakarta; Bumi Aksara, 1996), h. 43
46 Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, h. 45
32
2. orang yang dengan maksud melawan Pemerintahan Indonesia
menyerbu bersama-sama atau menggabungkan diri pada
gerombolan yang melawan Pemerintahan dengan senjata.
3. para pemimpin dan para pengatur pemberontakan diancam dengan
penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama
dua puluh tahun.”47
3) Pemufakatan Jahat Untuk Melakukan Kejahatan
Pemufakat jahat untuk melakukan kejahatan tercantum pada pasal 110
KUHP, adapun bunyi rumusannya:
1. Permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan menurut pasal 104,
106, 107 dan 108 diancam berdasarkan ancaman pidana dalam
pasal-pasal tersebut.
2. Pidana yang sama diterapkan terhadap orang-orang yang dengan
maksud berdasarkan pasal 104, 106, 107 dan 108, mempersiapkan
atau memperlancar kejahatan:
a. berusaha menggerakan orang lain untuk melakukan, menyuruh
melakukan atau turut serta melakukan agar memberi bantuan
pada waktu melakukan atau memberi kesempatan, sarana atau
keterangan untuk melakukan kejahatan;
b. berusaha memperoleh kesempatan, sarana atau keterangan
untuk melakukan kejahatan bagi diri sendiri atau orang lain;
c. memiliki persediaan barang-barang yang diketahuinya berguna
untuk melakukan kejahatan;
d. mempersiapkan atau memiliki rencana untuk melaksanakan
kejahatan yang bertujuan untuk diberitahukan kepada orang
lain;
e. berusaha mencegah, merintangi atau menggagalkan tindakan
yang diadakan oleh pemerintah untuk mencegah atau menindas
pelaksanaan kejahatan.
3. Barang-barang sebagaimana yang dimaksud dalam butir 3 ayat
sebelumnya, dapat dirampas.
4. Tidak dipidana barang siapa yang ternyata bermaksud hanya
mempersiapkan atau memperlancar perubahan ketatanegaraan
dalam artian umum.
5. Jika dalam salah satu hal seperti yang dimaksud dalam ayat 1 dan
2 pasal ini, kejahatan sungguh terjadi, pidananya dapat dilipatkan
dua kali.48
47 Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, h. 46 48 Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, h. 47.
33
Selain Undang-Undang diatas, melalui Undang-Undang Nomor 27
Tahun 1999 Tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang
berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara,49 telah
ditambahkan 6 Pasal tentang kejahatan baru kedalam 6 Bab, menjadi Pasal
107 a, 107 b, 107 c,107 d, 107 e, dan 107 f KUHP. Kejahatan kejahatan
mengenai keamanan negara yang baru ini, dapat dikelompokkan ke dalam 3
macam, yakni:
a. Kejahatan-kejahatan mengenai dan dalam hal larangan ajaran atau
paham Komunisme/Marxisme-Leninisme (107 a, 107 c, 107 d, dan
107 e KUHP).
b. Kejahatan mengenai menyatakan keinginan untuk meniadakan
atau mengganti dasar negara Pancasila. (107 b KUHP).
c. Kejahatan sabotase (107 f KUHP).50
Rumusan dari 6 Pasal berikut diantaranya adalah:
Pasal 107 a KUHP, bunyi rumusannya, ialah:
“Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan
lisan, tulisan, dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau
mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam
segala bentuk dan perwujudannya, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 12 (dua belas) tahun.”51
Pasal 107 b KUHP, bunyi rumusannya, ialah:
“Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan
lisan, tulisan, dan atau melalui media apapun, menyatakan keinginan
untuk meniadakan atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara
yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau
menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana dengan
penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.”
49 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara.
50 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, h. 173.
51 Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, h. 45.
34
Pasal 107 c KUHP, bunyi rumusannya, ialah:
“Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan
lisan, tulisan, dan atau melalui media apapun menyebarkan atau
mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme yang
berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan
korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.”52
Pasal 107 d KUHP, bunyi rumusannya, ialah:
“Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan
lisan, tulisan, dan atau melalui media apapun menyebarkan atau
mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan
maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.”53
Pasal 107 e KUHP, bunyi rumusannya, ialah:
“Dipidana dengan penjara paling lama 15 (lima belas) tahun: a.
barangsiapa yang mendirikan organisasi yang diketuai atau patut
diduga menganut ajaran Komunisme/MarxismeLeninisme atas dalam
segala bentuk dan perwujudannya; atau b. barangsiapa yang
mengadakan hubungan dengan atau memberikan bantuan kepada
organisasi, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diketahuinya
berasaskan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atau dengan
segala bentuk dan perwujudannya dengan maksud mengubah dasar
negara atau menggulingkan pemerintahan yang sah.”54
Pasal 107 f KUHP, bunyi rumusannya, adalah:
“Dipidana karena sabotase dengan pidana penjara seumur hidup
atau paling lama 20 (dua puluh) tahun: a. barang siapa yang secara
melawan hukum merusak, membuat tidak dapat dipakai,
menghancurkan, atau memusnahkan instalasi negara atau militer; atau
b. barangsiapa yang secara melawan hukum menghalangi atau
menggagalkan pengadaan atau distribusi bahan pokok yang
menguasai hajat hidup orang banyak sesuai dengan kebijakan
pemerintah.”55
52 Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, h. 45.
53 Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, h. 46.
54 Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, h. 46
55 Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, h. 46
35
Dalam hal ini penulis menspesifikasi kajian sanksi mengenai makar
dalam perspektif hukum positif. Adapun kajian mengenai sanksi ini penulis
persempit dalam ruang lingkup Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Karena kajian sanksi ini akan lebih rinci dijelaskan dalam frame pencabutan
hak politik pada bab selanjutnya.
Adapun kajian tentang sanksi bagi pelaku makar penulis memfokuskan
sanksi hukum yang terdapat dalam Pasal 104 KUHP, Pasal 106 KUHP, Pasal
107 KUHP dan menambahkan dengan Pasal 108 KUHP. Dalam ketentuan
Pasal 104 KUHP jelas dinyatakan bahwa sanksi pidana bagi pelaku makar
diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara sementara paling lama dua puluh tahun. Sedangkan ketentuan sanksi
pidana pada Pasal 106 KUHP adalah bahwa pelaku makar diancam dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua
puluh tahun.
Selanjutnya ketentuan sanksi pidana pada Pasal 108 KUHP dijelaskan
bahwa pelaku kejahatan pemberontakan sesuai dengan ayat 1 diancam
dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Dalam ketentuan ayat 2
disebutkan bahwa pemimpin dan pengatur pemberontakan dijatuhi hukuman
yang lebih berat yaitu pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
lama dua puluh tahun. Rumusan kejahatan dalam Pasal 108 KUHP ini tidak
terdapat dalam WvS Belanda, namun hanya ada didalam WvS Hindia
Belanda yang dimuat dalam tahun 1930. Hal ini karena untuk menjamin
keselamatan pemerintah Hindia Belanda dari kemungkinan dari serangan-
serangan seperti itu, maka dimasukanlah kejahatan pemberontakan pada
Pasal 108.56
2. Dalil Ahkam dan Jarimah Bughat dalam Hukum Islam
Pada pemaparan diatas penulis menjelaskan bahwa bughat adalah
sekelompok orang yang tidak taat lagi kepada pemimpin dan berusaha
menggulingkan pemerintahan yang sah. Hal ini menunjukan bahwa adanya
56 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, h. 28
36
konflik yang terjadi antara rakyat dan penguasa (pemimpin) atau yang disebut
dengan konflik vertikal. Perintah Allah S. W. T di dalam Al-Qur’an menjelaskan
tentang keharusan untuk taat terhadap pemimpin. Namun, ketaatan terhadap
pemimpin ini dibatasi tidak dalam konteks kemaksiatan sebagaimana yang telah
penulis jelaskan diatas. Ayat Al-Qur’an yang dimaksud adalah ayat yang
terdapat dalam Q.S. An-Nisaa ayat 59:
ف م ت زع ا ن ت ن إ ف م ك ن م ر ألم ا ول وأ ول س ر ل ا وا ع ي ط وأ لل ا وا ع ي ط أ وا ن م آ ن ي لذ ا ا ه ي أ ي
و س ر ل وا لل ا ل إ وه رد ف ء ي ن ش س ح وأ ي خ ك ل ذ ر خ ل ا م و ي ل وا لل ب ون ن م ؤ ت م ت ن ن ك إ ل
ل ي (59)النساء تو
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
RasulNya dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran)
dan RasulNya (sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”. (Q. S. An-Nisa: 59)
Pada dasarnya dalil di atas merupakan perintah untuk menaati pemimpin
setelah ketaatan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Tetapi penjelasan bahwa batas
menaati pemimpin juga mengikuti perintah Allah dan Rasul yakni mengikuti
pemimpin yang tidak menyeru pada kemaksiatan seperti penjelasan penulis pada
unsur-unsur bughat.
Menurut Ulama Tafsir Mustafa Al-Maraghi dalam Kitabnya Tafsir al-
Maraghiy maksud dari surat An-Nisa ayat 59 ini ketataan terhadap ulil amri yang
wajib dilakukan oleh; ahli-ahli hukum, ulama, panglima militer, para pemimpin
dan para zu ama’.
Sehubungan dengan bughat ini, Sayyid Sabiq berpendapat bahwa suatu
golongan dikatakan Bughat jika terdapat sifat-sifat sebagai berikut:
a. Keluar dari ketaatan kepada pemerintah yang adil yang diwajibkan Allah
atas kaum muslimin sebagai waliyyul amri.
37
b. Bahwa yang keluar itu adalah jama’ah yang kuat dan bersenjata, sehingga
untuk mengembalikan mereka kepada ketaatan pemerinta membutuhkan
persiapan tenaga, manusia dan materil (baik persenjataan maupun
finansial).
c. Mereka mempunyai alasan yang kuat untuk keluar dari imam, jika mereka
tidak mempunyai alasan yang kuat maka mereka tidak bisa digolongkan
bughat tapi mereka termasuk perusuh.
d. Mereka mempunyai pemimpin yang ditaati sebagai sumber kekuatan,
karena tidak ada kekuatan bagi jamaah yang tidak memiliki pemimpin.57
Dalam hal pemberontakan (bughat) dan ketaatan terhadap pemimpin para
ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. Menurut sebagaian ulama yang
sepakat bahwa tidak boleh menentang pemimpin walaupun zalim, hal ini
didasari oleh Hadist Rasulullah SAW:
م ل س و ه ي ل ع لل ا ى ل ص لل ا ول رس ل ا ق ل ا ق ه ي رو ي س با ع ن ب ا ن يه :ع م أ ن م ى رأ ن م
ية ل ه ا ج ة ت ي م ف ت ا م ف با ش ة ع ا لم ا رق ا ف ن م نه إ ف ب ص ي ل ف ه ره ك ي ا ئ ي ش
) م ل س م ه روا (
Artinya: “Dari Ibn Abbas R. A, Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa
yang merasa benci terhadap pemimpinnya maka bersabarlah
terhadapnya, apabila memisahkan diri dari jama‟ah (penguasa yang
direstui rakyat), maka orang tersebut bila mati, matinya tergolong mati
dalam keadaan jahiliyyah.” (H. R. Muslim).58
Adapun ulama yang berpendapat bahwa sah-sah saja melakukan
pemberontakan terhadap pemimpin, mereka mendasarkan pendapatnya dengan
firman Allah pada surat Ali Imran ayat 104:
57 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Bandung: Al-Ma’arif, 1987), h. 12.
58 Ibn Hajar Al-Asqalani, Bulughu al-Maram, (Beirut: Pustaka Darul Ihya al-Kutub
alArabiyah, t.th), hal. 253.
38
ر ك ن م ل ا ن ع ن و ه ن ي و روف ع م ل ب رون يم و لي ا ل إ ون ع د ي ة م أ م ك ن م ن ك ت ل و
م ه ك ئ ول ون وأ ح ل ف م ل (104 ل عمران)آا
Artinya: “Hendaklah ada diantar kamu segolongan ummat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang
mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” (Q. S. Ali Imran: 104).
Selain itu ulama yang sepakat memerangi pemimpin yang zalim
menguatkan pendapatatnya dengan hadist Rasulullah SAW:
ب ل ق ب ف ع ط ت س ي ل ن إ ف ه ن ا س ل ب ف ع ط ت س ي ل ن إ ف ه د ي ب ه ي غ ي ل ف را ك ن م م ك ن م ى رأ ن ه م
ل ا ف ع ض أ ك ل ذ ن و ا ( مي م ل س م ه روا (
Artinya: “Barang siapa diantara kamu melihat kemungkaran maka gantilah
dengan tangannya (kekuatannya), jika tidak mampu maka dengan lidahnya
(ucapannya), bila tidak mampu lakukan dengan hati, maka hal itu
merupakan selemah-lemah iman.” (H. R. Muslim)59
Dalam hukum pidana Islam tujuan pokok pemidanaan adalah untuk
pencegahan (al-Ra’du wa al-Tahdzib). Adapun maksud daripada pencegahan ini
adalah agar pelaku tidak mengulangi perbuatan jarimahnya dan menjadi
peringatan bagi orang lain yang mungkin akan melakukan perbuatan jarimah.60
Hukuman (sanksi) dalam Islam disebut al-Uqubat, berdasarkan berat
ringannya hukuman yang ditentukan oleh hakim maka hukuman dibagi dua:
a. Hukuman yang hanya mempunyai satu batas yang tidak bisa
dikurangi atau ditambah oleh hakim walaupun pada tabiatnya bisa
dikurangi atau ditambah.
59 Imam Abu Al-Husain Bin Al-Hujjaj Al-Husain Al-Qusyairi Al-Naisaburi, Shahih
Muslim, h. 19.
60 A. Hanafi, Azas-azas Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), h. 196.
39
b. Hukuman yang mempunyai dua batas yaitu batas terendah dan batas
tertinggi, dah hakim diberi kebebasan untuk memilih antara kedua batas
tersebut yang dipandang sesuai.61
Mengenai hukuman terhadap jarimah bughat para ulama mendasarinya pada
firman Allah pada surat Al-Hujarat ayat 9. Dalam ayat tersebut Allah SWT
menerangkan bahwa bagaimana para mukmin mendamaikan dua golongan yang
bersengketa dan menyuruh para mukmin memerangi golongan yang bebuat
aniaya supaya mereka kembali pada perdamaian.62
Selain itu dalil mengenai hukuman bughat juga didasari pada hadist Nabi
Muhammad SAW:
يع وأمركم أتكم من مسلم( ها)رو فاق ت لوه جاعتكم، ي فرق أو عصاكم يشق أن يريد واحد، رجل على ج
Artinya: “Dari A’fazah ibn Suraihin: Rasulullah SAW bersabda: "Siapa
yang mendatangi kalian dalam keadaan kalian telah berkumpul/bersatu
dalam satu kepemimpinan kemudian dia ingin memecahkan persatuan
kalian atau ingin memecah belah jamaah kalian, maka
perangilah/bunuhlah orang tersebut.”(H.R. Muslim)63
Ulama berbeda pendapat tentang hukuman bagi pemberontak dari kaum
mukmin. Menurut pendapat mayoritas ulama bahwa pelaku pemberontakan
(bughat) yang keluar dari imam wajib dihukum mati. Namun bila pemberontak
itu berdamai maka tidak wajib dihukum mati. Menurut pendapat sebagian ulama,
pemberontak yang berasal dari kaum muslimin tidak boleh dihukum mati.64
Mereka mendasari pendapatnya dengan Hadist Nabi Muhammad SAW:
61 Abdul Qadir Audah, h. 633.
62 Hasbi Al-Shiddiqi, Tafsir Al-Quran Al-Nur, (Jakarta: Bulan Bintang), h. 140.
63 Muhammad bin Isma’il Al-Kahlani Al-Shan’ani, Subul Al-Salam, (Indonesia, Dahlan),
jilid IV, h. 254, dikutip dari M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 7.
64 Muhammad Ali Al-Shabuni, Tafsir Ayat Ahkam III, h. 490.
40
سلم فسو ق ووقتاله كفر
عن عبد هلل مسعد قال, قال رسول هلل ص.م سباب امل
ة)رواه ج ا م ن ب (ا
Artinya: “Mencaci orang mukmin itu fasiq dan membunuhnya kafir”
(H.R. Ibnu Majah).65
Sehubungan dengan hukuman tindak pidana bughat Imam Muslim
dalam Shahih-nya (no. 1844) meriwayatkan dari Abdullah ibn Amr ibn Al Ash
dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda:
ده عطاه صفقة ي ماما فأ ع إ ن بي وا وم نازعه فاضرب ر ي ن جاء آخ طاع فإ طعه إن است لي لبه ف رة ق وث
ر نق الخ ع
Artinya:“Barangsiapa telah membai’at seorang imam lalu dia telah
memberikan jabatan tangan dan kerelaan hatinya, maka hendaknya dia
taat kepadanya dalam batas kemampuannya. Jika datang seorang yang
mengaku pemimpin lainnya, maka penggallah leher yang lain itu.”
(H. R. Muslim).66
Hadist ini menunjukkan bahwa hukuman bagi pemberontak tidak lain
adalah hukuman mati. Ijma’ ulama menunjukkan kebolehan menghukum mati
pemberontak karena merujuk pada perbuatan dua imam yaitu: Abu Bakar
menghukum orang yang enggan membayar zakat dan Ali bin Abi Thalib
menghukum mati orang yang menanggalkan ketaatannya.67
Namun menurut Abu Bakar al-Jabir dalam bukunya Minhaj al-muslim
menjelaskan, jika pemerintah mengirim utusan untuk memerangi kelompok
pelaku bughat maka tidak boleh menghabisinya (membunuhnya). Seperti misal
65 Ibnu Majah, Sunan II, h. 475.
66 Imam Abu Al-Husain Bin Al-Hujjaj Al-Husain Al-Qusyairi Al-Naisaburi, Shahih Muslim
II, h. 196.
67 Al-Imam Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad bin Al-Habib Al-Mawardi, Hawi al-Kabir
XXII, (Beirut: Daar al-Fikr, 1994M/1414H), h. 101.
41
menyerang dengan pesawat tempur, atau dengan meriam pengahancur, tetapi
diperangi dengan peperangan yang mematahkan kekuatan mereka dan memaksa
menyerahkan diri saja. Anak-anak dan perempuan mereka tidak boleh dibunuh,
serta harta mereka tidak boleh dirampas sesuai dengan ketentuan daar al-harbi,
daar al-‘ahdi dan daar al-Islam. Pelaku bughat yang terluka tidak boleh
dibunuh, dan siapa saja di antara mereka yang mundur dan lari dari perang juga
tidak boleh dibunuh. Ali Bin Abi Thalib berkata pada saat perang Jamal, “Orang
yang mundur dari perang sama sekali tidak boleh dibunuh, orang yang terluka
tidak boleh dibunuh, dan siapa saja yang menutup pintunya maka ia aman”.68
68 Asadullah al-Faruq, Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2009) h. 66.
42
BAB III
PENCABUTAN HAK POLITIK
A. Tinjauan Umum Mengenai Hak Asasi Manusia dan Hak Politik
Istilah Hak Asasi Manusia (HAM) dalam kamus hukum yang disusun oleh J.
C. T. Simorangkir, merupakan terjemahan dari istilah droits de'l homme (Perancis)
yang berarti Hak-hak Asasi Manusia, atau disebut Human Rights (Inggris),
Menselijke Rechter (Belanda). Di Indonesia, biasanya digunakan istilah hak-hak
asasi, yang berarti hak yang melekat pada martabat manusia yang melekat padanya
sebagai insan ciptaan Tuhan, atau hak-hak dasar yang prinsip sebagai anugerah
Ilahi.1
Menurut buku Teaching Human Right yang diterbitkan oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB), HAM adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia,
bila tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai orang yang cakap (recht
person). Seperti contohnya hak hidup, hal ini merupakan klaim untuk memperoleh
dan melakukan segala sesuatu yang dapat membuat seseorang tetap hidup, karena
tanpa hak tersebut eksistensinya sebagai manusia akan hilang.2
Senada dengan pernyataan di atas, Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia dalam Pasal 1 secara eksplisit menjelaskan bahwa “Hak
Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum,
pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia”.3
1 Najid Jauhar, Islam, Demokrasi dan HAM: Sebuah Benturan Filosofis dan Teologis,
(Yogyakarta: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, XI, 2007), h. 31.
2 A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi,
Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), h.
148.
3 Undang-Undang No. 39 tahun 1999 Mengenai Hak Asasi Manusia (HAM), (Jakarta:
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2000), h. 2.
43
Selain itu Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama
Islam juga memiliki cara pandang yang berbeda terhadap HAM yang diratifikasi
oleh Undang-undang melalui Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).
Cara pandang tersebut didasari pada doktrin agama yakni syariat Islam. Penjelasan
dibawah akan sangat berkaitan erat dengan bagaimana cara Islam memandang hak
politik dalam perspektif syariat Islam. Selanjutnya HAM juga berbicara perihal hak
politik yang juga menjadi bagian dari HAM. Pertanyaannya adalah apa yang
dimaksud dengan hak politik? Mujar Ibnu Syarif dalam bukunya Hak-Hak Politik
Minoritas Non Muslim dalam Komunitas Islam memberikan pengertian bahwa hak
politik adalah hak-hak yang diperoleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai
seorang anggota organisasi politik, seperti hak memilih dan dipilih, mencalonkan
diri dan memegang jabatan umum dalam negara. Hak politik juga dapat
didefenisikan sebagai hak-hak dimana individu dapat memberi andil, melalui hak
tersebut, dalam mengelola masalah-masalah negara atau pemerintahnya.4
Oleh sebab itu penulis akan meneliti lebih dalam, teori serta informasi yang
penulis kumpulkan mengenai hak politik dari berbagai perspektif dalam bab ini,
untuk dapat menarik benang merah dari hak politik sebagaimana penjelasan di atas.
1. Hak Asasi Manusia dan Hak Politik Internasional
a. Sejarah DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia/
Universal Declaration of Human Rights)
Ide tentang HAM yang berlaku saat ini merupakan senyawa yang
dimasak di kancah Perang Dunia II. Selama perang tersebut, dipandang
dari segi apa pun akan terlihat bahwa, satu aspek berbahaya dari
pemerintahan Hitler adalah tiadanya perhatian terhadap kehidupan dan
kebebasan manusia. Karenanya, perang melawan kekuatan poros dibela
dengan mudah dari segi perlindungan HAM dan kebebasan yang
mendasar. Negara sekutu menyatakan di dalam Deklarasi Perserikatan
Bangsa-Bangsa (Declaration by United Nation) yang terbit pada 1 Januari
4 Mujar Ibnu Syarif, Hak-Hak Politik Minoritas Non-Muslim Dalam Komunitas Islam,
(Bandung: Angkasa, 2003), h. 49.
44
1942, bahwa kemenangan adalah penting untuk menjaga kehidupan,
kebebasan, independensi, serta mempertahankan HAM dan keadilan.5
Semangat tersebutlah yang akhirnya menggugah kebulatan tekad untuk
membangun organisasi internasional guna meminimalisir bahkan
menghilangkan peperangan dan berdirilah organisasi tersebut dengan
nama PBB (United Nation). Adapun peran pertama yang diemban oleh
PBB adalah memikul upaya pengentasan peperangan, penindasan serta
mengembalikan dan perlindungan HAM yang direbut dalam penjajahan
dan peperangan, tertulis pada Piagam PBB (1942-1943).6
Jika dilihat dari konteks sejarah, dapat ditegaskan bahwa gagasan
mengenai HAM merupakan ide buatan manusia yang muncul dari konsep
hak kodrati (natural rights theory) dimana pada zaman kuno yaitu filsafat
stoika hingga ke zaman modern dengan tulisan-tulisan hukum kodrati
Thomas Aquinas, Hugo de Groot dan selanjutnya pada zaman pasca
Renaisans John Locke mengajukan pemikiran tentang hukum kodrati
sehingga melandasi munculnya revolusi yang terjadi di Inggris, Amerika
Serikat dan Perancis pada abad 17 dan 18.7
Sebenarnya pada abad pertengahan, masalah HAM sudah mulai
mencuat di Inggris. Kala itu, pada tahun 1215 Masehi, ditandatangani
suatu perjanjian, Magna Charta, antara Raja John dari Inggris dan
sejumlah bangsawan. Raja John dipaksa mengakui beberapa hak dari para
bangsawan sebagai imbalan untuk dukungan mereka membiayai
penyelenggaraan pemerintahan dan kegiatan perang. Hak yang dijamin
mencakup hak politik dan sipil yang mendasar, seperti hak untuk diperiksa
5 Naskah “Declaration by United Nation” dikutip dari James W. Nickel, Hak Asasi
Manusia, Refleksi Filosofis atas Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia terj, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1996). h. 1.
6 James W. Nickel, Hak Asasi Manusia, Refleksi Filosofis atas Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia terj. h. 2.
7 Rhona. K.M. Smith et. al. Hukum Hak Asasi Manusia, cet. 1. (Yogyakarta: PUSHAM UII,
2007), h. 12.
45
di muka hakim (habeas corpus).8 Sekalipun pada awalnya hanya berlaku
pada bangsawan, hak-hak itu kemudian menjadi bagian dari sistem
konstitusi Inggris yang berlaku bagi semua warga negara.
Dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan HAM di barat tidak lain
adalah hasil perjuangan kelas sosial tertentu dalam masyarakat barat yang
menuntut tegaknya nilai-nilai dasar kebebasan dan persamaan dalam
sistem sosial. Karena dengan begitu, penghargaan terhadap individu lebih
dikedepankan dimana ia menjadi bagian dari proses pembentukan watak
manusia sehingga dapat diselaraskan dengan keberadaan manusia itu
sendiri yang relatif dipengaruhi oleh faktor sosial-budaya.9 Pandangan
seperti ini menganut paham antroposentris, dimana manusia dijadikan
ukuran terhadap gejala sesuatu dan sebagai sasaran akhir dari pelaksanaan
HAM.
b. Konfigurasi Internasional Mengenai Hak Politik: ICCRP
(International Covenant of Civil and Political Rights)
Usaha dalam mencapai kata sepakat mengenai kovenan Hak Sipil
dan Hak Politik mengalami kesukaran sebab implementasi hak tersebut
menyangkut masalah hukum internasional yang sangat rumit sifatnya,
seperti masalah kedudukan individu sebagai hukum internasional,
kedaulatan suatu negara, soal domestic yurisdiction. Pasal 2 Piagam PBB
menentukan bahwa badan itu tidak diperkenankan campur tangan dalam
hal-hal yang berkenaan dengan yurisdiksi domestik masing-masing
negara:
“Tiada dalam Piagam ini yang memberi wewenang kepada PBB
untuk campur tangan dalam hal-hal yang pada hakikatnya termasuk
yurisdiksi domestik setiap negara” (Nothing contained in the present
Charter shall authorize the UN to intervene in matters which are
essentially within the domestic jurisdiction of any state).
8 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007),
h. 212-213.
9 Dedi Sumardi, HAM Dalam Dua Tradisi: Refleksi Perbandingan HAM Barat dan Islam,
Jurnal Pascasarja IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, Vol. 14, No. 1, h. 4.
46
Pasal ini secara tidak langsung mengurangi bobot dari hak politik
karena dalam pelaksanaanya harus diperhatikan keadaan perundang-
undangan dalam negara masing-masing. Hak asasi yang dalam deklarasi
dirumuskan dengan gaya yang gamblang, seolah-olah tanpa batas,
dianggap perlu untuk dapat diberi batasan atau restriksi.10 Banyak negara
khawatir bahwa kebebasan tanpa batas dapat mengganggu stabilitas dalam
negeri dan menggerogoti wewenang sistem perundang-undangannya.
Maka dari itu, hak-hak perlu dirumuskan sedemikian rupa agar tidak
melanggar yurisdiksi domestik ini. Perdebatan mengenai masalah
“pembatasan” memerlukan waktu lama karena jika tidak dimasukkan
dalam rumusan Kovenan, banyak negara tidak akan meratifikasinya.
Pelaksanaan hak-hak politik secara khusus diberi pembatasan yaitu
perundang-undangan yang menyangkut ketertiban dan keamanan nasional
dalam negara masing-masing. Misalnya, dalam Kovenan Sipil dan Politik
ditentukan bahwa hak berkumpul secara damai terkena pembatasan yang
sesuai dengan Undang-undang nasional dan yang dalam masyarakat
demokratis diperlukan demi kepentingan keamanan nasional atau
keselamatan umum, ketertiban umum, perlindungan terhadap kesehatan
dan kesusilaan umum atau perlindungan terhadap hak-hak dan kebebasan-
kebebasan orang lain (Pasal 21). Hak atas kebebasan mempunyai dan
mengeluarkan pendapat dinyatakan terbatas oleh Undang-undang nasional
yang berlaku yang perlu untuk;
10 Restriksi merupakan sifat HAM yang artinya hak tersebut dapat dibatasi. Adapun
beberapa sifat hak asasi adalah sebagai berikut:
1.Hak asasai umumnya tidak terkena restriksi (batasan);
2.Hak asasi boleh direstriksi dalam keadaan darurat;
3.Ada hak asasi yang boleh direstriksi oleh Undang-Undang: Pasal 19 (mempunyai
pendapat), Pasal 21 (berkumpul secara damai), Pasal 22 (berserikat);
4.Ada hak asasi yang tidak boleh direstriksi dalam keadaan apapun (non-derogable): Pasal 6
(hak atas hidup), Pasal 7 (siksaan), Pasal 8 (anti perbudakan), Pasal 11 (anti pasang badan), Pasal
15 (non-retroaktif), Pasal 16 (pribadi atau person dihadapan hukum), Pasal 18 (berpikir,
berkeyakinan, beragama).
47
a. Menghormati hak dan nama baik orang lain,
b. Menjaga keamanan nasional atau ketertiban umum atau
kesehatan atau kesusilaan umum (Pasal 19).
Disamping itu Pasal 4 Kovenan Sipil dan Politik memberi
wewenang kepada negara-negara Pihak (contendinf parties) untuk dalam
keadaan darurat yang megancam kehidupan bangsa dan eksistensinya,
mengurangi kewajiban-kewajibannya menurut Kovenan ini. Akan tetapi
agar wewenang tersebut tidak disalahgunakan oleh pemerintah, kekuasaan
khusus itu pada gilirannya dibatasi oleh ketentuan bahwa ada beberapa hak
yang sama sekali tidak boleh dikurangi (derogate). Hak-hak ini antara lain
hak atas hidup (Pasal 6), hak atas kebebasan beragama (Pasal 18), dan hak
untuk tidak dinyatakan bersalah atas tindakan yang bukan merupakan
tindakan tindak pidana pada saat dilakukannya (asas non retroaktif atau
tidak berlaku surut) (Pasal 7). Hak-hak tersebut bersifat tidak boleh
dikurangi (non derogable).11
Hak Politik mencakup antara lain:
Pasal Isi
Pasal 9 Hak atas kebebasan dan kemanan dirinya – right to liberty
and security of person.
Pasal 14 Hak atas kesamaan di muka badan-badan peradilan – right to
equality before the court and tribunals.
Pasal 15 Hak untuk dikenal konsep retroaktif (kedaluwarsaan) (hak
non-derogable) – no one shall be held quilty of any criminal
office which did not costitute a crime at the time it was
commited.
Pasal 18 Hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama
(hak non-derogable) – right to freedom of thought,
conscience and religion.
11 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 222.-224.
48
Pasal 19 Hak untuk mempunyai pendapat tanpa mengalami gangguan
(hak yang dapat direstriksi) – right to hold opinions without
interference.
Pasal 21 Hak atas kebebasan berkumpul secara damai (hak yang dapat
direstriksi) – right to peaceful assembly.
Pasal 22 Hak atas kebebasan untuk berserikat (hak yang dapat
direstriksi) – right to freedom of association.
Negara-negara modern saat ini mulai mengakui adanya hak memilih
yang dimiliki oleh seluruh warga negara dengan alasan-alasan seperti
dikemukakan oleh A. Appadorai, yaitu sebagai berikut12:
1. It is a personal injustice to withold from any one, unless from the
prevention of greater evils, the ordinary privilege of having his voice
reckoned in the disposal of affairs in which he has the same interest
as other people;
2. Political equality is a basic principle of democracy; any form of
restricted franchise necessarily infringes the principle of equality
between individuals in some degree;
3. If the right to vote is denied to some, their interests may be
overloaded by the Legislature.
Menurut ICCPR, perwujudan dari hak politik yaitu dengan:
1. Kebebasan berekspresi, berpendapat serta akses kepada informasi;
2. Hak berpartisipasi dalam kehidupan budaya;
3. Hak berpartispasi dalam kehidupan publik dan politik.
12 Janedjri M. Gaffar. Demokrasi dan Pemilu di Indonesia. (Jakarta: Konstitusi Press,
2013), h. 42.
49
2. Islam, Hak Asasi Manusia dan Hak Politik
a. Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam
Dalam kacamata Islam, hak asasi telah ada sejak manusia dilahirkan
hingga meninggal dunia. Hak kodrati merupakan anugerah Tuhan yang
diberikan-Nya kepada semua umat manusia bersifat universal. Di satu sisi
keuniversalan hak asasi ini menganut ajaran, bahwa semua umat manusia
diciptakan Allah dengan kelengkapan seperangkat kapasitas berupa
potensi untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kehendaknya13. Namun,
di samping itu manusia sebagai hamba Allah mempunyai beban tanggung
jawab dalam mengemban tugas-tugas yang telah diamanahkan kepadanya
selaku khalifah Allah di muka bumi.
ون د ب ع ي ل ل س إ ن ت الن وال ق ل ا خ (56 ت ري الذ ٱ) وم
Artinya: Dan tidaklah kami ciptakan jin dan manusia kecuali untuk
menyembah” (Q. S. Ad-dzariyat: 56).
Dalil diatas menerangkan bahwa manusia terlahir dengan hak dan
kewajibannya masing-masing, seimbang dengan adanya ada hak dan
kewajiban. Konsekuensi logis dari penjelasan ini, bahwa manusia
dihadapkan pada dua tanggung jawab, yaitu tanggung jawab menjalankan
amanah Allah selaku hamba-Nya dan sekaligus bertanggung jawab
sebagai penentu kebijakan dan pengatur kehidupan. Maka bila
disentesiskan, yang dimaksud dengan HAM dalam Islam adalah semua
hak yang melekat pada diri manusia yang dibawanya sejak lahir yang
secara kodrati ditetapkan Allah SWT dan wajib dijunjung tinggi, dipenuhi
dan dijaga, juga karena peruntukan berupa fasilitas hidup yang ada di dunia
ini termasuk hak memelihara dan memanfaatkan dunia ini.14
13 Baharuddin Lopa, Al-Qur’an dan Hak-Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: Dana Bhakti
Prima Yasa, 1996), h. 17.
14 Jahada, Hak Asasi Manusia Menurut Al-Qur’an, Jurnal Al-Adl, VI, Nomor 1, Januari
2013, h. 42.
50
HAM sebagaimana yang dipahami sekarang, telah ada dan pernah
dipraktekkan oleh Nabi Muhammad SAW selaku pemimpin Negara
Madinah. Pada masa awal Islam, hak-hak ini belum diberi nama HAM
sebab sebagaimana dikemukakan Abid al-Jabiri,15 HAM termasuk ke
dalam wilayah yang tidak terpikirkan, atau apa yang diistilahkan M.
Arkoun adalah bidang kajian untought. Artinya, konsepsi mengenai HAM
telah langsung dipraktekkan pada masa itu. Misalnya, perihal kebebasan
berkeyakinan dan menjalankan ritual ibadah, Islam memberikan
keleluasaan setiap umat manusia untuk berkeyakinan sesuai dengan
kepercayaan masing-masing individu dan memiliki hak untuk melakukan
ritual peribadatan. Hal ini senada dengan Firman Allah SWT dalam surat
al-Baqarah ayat ke 256:
ين ٱل إكراه ف لعروة ٱب ستمسك ٱف قد لل ٱوي ؤمن ب لطغوت ٱفمن يكفر ب لغي ٱمن لرشد ٱقد ت بي لد
قى ٱ ( ٢56) البقرة ليم سيع ع لل ٱلا و نفصام ٱل لوث
Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);
sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.
Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman
kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali
yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui”. (Al-Baqarah: 256)
Dalil diatas dipertegas dengan surat al -Kafirun ayat 6:
(6)الكافرون لكم دينكم ول دين
Artinya: “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku".
(Al-Kafirun: 6)
15 Mohammed Arkoun, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2001), h. 14.
51
Sebagai jaminan perlindungan terhadap HAM, para ulama fiqh
merumuskan sebuah teori yang dikenal dengan maqashid syari’ah.16 Bagi
al-Syatibi, tujuan disyariatkan atau diundangkan hukum Islam adalah
untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.
Hadirnya konsep maqashid syari’ah dianggap sebagai nilai fundamental
sehingga sangat memungkingkan terpeliharanya hak-hak asasi dalam
konteks perubahan sosial demi terwujudnya kemaslahatan.17 Maqashid
syari’ah menekankan terpeliharanya lima aspek jaminan hidup manusia
(al-kulliyyat al-khams), yaitu memelihara agama, akal, jiwa, keturunan
dan memelihara harta, Dalam upaya mewujudkan dan memelihara 5 unsur
pokok itu, Maqashid Syarî’ah dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu: al-
daruriyyat al-hajiyyat dan al-tahsiniyyat.18 Daruriyyat dimaksudkan
untuk memelihara lima unsur pokok dalam kehidupan manusia tersebut di
atas. Hajiyyat dimaksudkan untuk menghilangkan kesulitan atau
menjadikan pemeliharaan terhadap lima unsur pokok menjadi lebih baik
lagi. Sedangkan Tahsiniyyat dimaksudkan agar manusia dapat melakukan
yang terbaik untuk penyempurnaan pemeliharaan terhadap lima unsur
pokok itu.
Pengelompokkan ini didasarkan pada tingkat kepentingannya dan
skala prioritasnya. Urutan peringkat ini akan terlihat kepentingannya
16 Al-Syatibi mencatat bahwa tujuan Allah SWT. mensyariatkan hukum-Nya untuk
memelihara maslahah bagi manusia sekaligus untuk menghindari mafsadat, baik di dunia maupun
di akhirat. Tujuan tersebut hendak dicapai melalui taklif (pembebanan), yang pelaksanaannya
sangat tergantung pada pemahaman sumber hukum yang utama, Alquran dan Hadis. Dalam rangka
mewujudkan maslahah di dunia dan di akhirat, ada lima unsur pokok (al-kulliyyat al-khams) yang
harus dipelihara dan diwujudkan. Kelima unsur pokok tersebut ialah: agama, jiwa, akal, keturunan,
dan harta. Seseorang akan memperoleh maslahah manakala ia dapat memelihara kelima unsur
pokok itu. Sebaliknya, ia akan merasakan adanya mafsadah manakala ia tidak dapat memelihara
kelima unsur pokok itu dengan baik. Abu Ishaq Ibrahim al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-
Syari’ah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.), Juz I, h. 5.
17 Muhammad Khalid Mas’ud, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, Penerjemah
Yudian W Asmin, (Surabaya: al-Ikhlas, 1995), h. 24.
18 Abu Ishaq Ibrahim al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah, (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, t.th.), Juz II, h. 8.
52
manakala maslahah yang ada pada masing-masing peringkat itu satu sama
lain bertentangan. Dalam hal ini peringkat daruriyyat menempati urutan
pertama, disusul oleh peringkat hajiyyat, kemudian diikuti oleh peringkat
tahsiniyyat. Namun, dari sisi lain dapat dilihat bahwa peringkat tahsiniyyat
melengkapi peringkat hajiyyat, dan peringkat hajiyyat melengkapi
peringkat daruriyyat. Terlihat jelas, tingkat hajiyyat adalah penyempurna
tingkat daruriyyat; dan tingkat tahsiniyyat merupakan penyempurna lagi
bagi tingkat hajiyyat; sedang daruriyyat menjadi pokok hajiyyat dan
tahsiniyyat. Kategorisasi ketiga macam maqashid itu menunjukkan betapa
pentingnya pemeliharaan lima unsur pokok itu dalam kehidupan manusia.
Kategorisasi ini mengacu bukan hanya kepada pemeliharaan lima unsur
pokok, tetapi juga kepada pengembangan dan dinamika pemahaman
hukum yang ditetapkan oleh Tuhan dalam rangka mewujudkan maslahah
bagi umat manusia.
Tidak terwujudnya aspek daruriyyat dapat merusak kehidupan
manusia di dunia dan di akhirat secara keseluruhan. Pengabaian terhadap
aspek hajiyyat tidak sampai merusak keberadaan lima unsur pokok, tetapi
hanya membawa kepada kesulitan bagi manusia sebagai mukalaf dalam
merealisasikannya. Pengabaian aspek tahsiniyyat membawa upaya
pemeliharaan lima unsur pokok tidak sempurna.
Muhammad Tahir ibn ‘Asyur menjelaskan bahwa maslahah itu
dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu maslahah ‘ammah dan
maslahah khassah. Adapun maslahah ‘ammah adalah sesuatu yang
mengandung kebaikan bagi keseluruhan atau mayoritas umat manusia,
tanpa mengacu kepada individu perindividu. Adapun maslahah khassah
adalah sesuatu yang mengandung kebaikan bagi individu per individu,
hanya dengna itu akan terwujud kebaikan bagi keseluruhan atau mayoritas
umat manusia.19
19 Muhammad Tahir Ibn ‘Asyur, Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah, (Kairo: Dar al-
Salâm, 1427 H/2006 M, h. 63.
53
Muhammad Tahir ibn ‘Asyur mencatat bahwa untuk menentukan
sesuatu itu maslahah atau tidak, harus terpenuhi salah satu dari lima hal:
1. Kemanfaatan atau kemudaratan itu benar-benar nyata dan
meluas;
2. Kemanfaatan atau kemudaratan itu nampak nyata;
3. Ketidakmungkinan memilah kemanfaatan yang terwujud dengan
keburukan yang juga terwujud;
4. Adanya unsur penguat bagi satu dari dua kemanfaatan atau
kemudaratan yang saling setara;
5. Adanya satu yang tegas dan nyata dari dua kemanfaatan atau
kemudaratan yang ada.20
Yang dimaksud dengan memelihara kelompok daruriyyat ialah
memelihara kebutuhan-kebutuhan yang bersifat esensial bagi kehidupan
manusia. Kebutuhan yang esensial itu ialah memelihara agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta, dalam batas tidak terancamnya eksistensi kelima
unsur pokok itu. Tidak terpenuhinya atau tidak terpeliharanya kebutuhan-
kebutuhan itu akan berakibat terancamnya eksistensi kelima unsur pokok
di atas. Sedangkan kebutuhan dalam kelompok hajiyyat tidak termasuk
kebutuhan yang esensial, tetapi termasuk kebutuhan yang dapat
menghindarkan manusia dari kesulitan dalam hidupnya. Tidak
terpenuhinya atau tidak terpeliharanya kelompok kebutuhan ini tidak akan
mengancam eksistensi kelima unsur pokok di atas, tetapi hanya akan
menimbulkan kesulitan bagi mukalaf. Kelompok kebutuhan ini erat
kaitannya dengan rukhsah atau keringanan (dispensasi) yang ditetapkan
syariat Islam. Sementara kebutuhan dalam kelompok tahsiniyyat ialah
kebutuhan yang menunjang peningkatan martabat seseorang dalam
masyarakat dan di hadapan Tuhannya, sesuai dengan kepatutan.
Pada hakikatnya, baik kelompok daruriyyat, hajiyyat, maupun
tahsiniyyat dimaksudkan untuk memelihara atau mewujudkan kelima
20 Muhammad Tahir Ibn ‘Asyur, Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah, h. 65-66.
54
unsur pokok di atas. Hanya saja peringkat kepentingannya berbeda satu
sama lain. Kebutuhan dalam kelompok daruriyyat dapat dikatakan sebagai
kebutuhan primer, yang kalau kelima unsur pokok itu diabaikan maka akan
berakibat terancamnya eksistensi kelima unsur pokok itu. Kebutuhan
dalam kelompok hajiyyat dapat dikatakan sebagai kebutuhan sekunder.
Artinya, kalau kelima pokok itu diabaikan maka tidak akan mengancam
eksistensinya, tetapi akan mempersulit dan mempersempit kehidupan
manusia. Sedangkan kebutuhan dalam kelompok tahsiniyyat erat
kaitannya dengan upaya untuk mematuhi etiket sesuai dengan kepatutan,
dan tidak akan mempersulit, apalagi mengancam, eksistensi kelima unsur
pokok itu. Maka, dapat dikatakan bahwa kebutuhan dalam kelompok
tahsiniyyat lebih bersifat komplementer (pelengkap).
Mengetahui urutan peringkat maslahah di atas menjadi penting
apabila dihubungkan dengan skala prioritas penerapannya ketika
maslahah yang satu berbenturan dengan maslahah yang lain. Dalam hal
ini, peringkat pertama (daruriyyat), harus didahulukan dari pada peringkat
kedua (hajiyyat) dan peringkat ketiga (tahsiniyyat). Ketentuan ini
menunjukkan bahwa dibenarkan mengabaikan hal-hal yang termasuk
peringkat kedua dan ketiga manakala maslahah yang masuk peringkat
pertama terancam eksistensinya.
Keadaan di atas hanya terbatas pada yang berbeda peringkat.
Adapun dalam kasus yang peringkatnya sama, seperti peringkat daruriyyat
dengan peringkat daruriyyat, dan seterusnya, maka kemungkinan
penyelesaiannya adalah sebagai berikut:
a. Jika perbenturan itu terjadi dalam urutan yang berbeda dari lima
pokok maslahah tersebut maka skala prioritas didasarkan pada
urutan yang sudah baku, yakni agama harus didahulukan daripada
jiwa, dan jiwa harus didahulukan daripada akal, dan begitu
seterusnya. Tegasnya, urutan kelima unsur pokok maslahah itu
sudah dianggap baku dan mempunyai pengaruh atau akibat
tersendiri.
55
b. Jika perbenturan itu terjadi dalam peringkat dan urutan yang
sama, seperti sama-sama memelihara harta atau memelihara jiwa
dalam peringkat daruriyyat, maka mujtahid berkewajiban untuk
meneliti dari segi cakupan maslahah itu sendiri atau adanya
faktor lain yang menguatkan salah satu maslahah yang harus
didahulukan.21
Selain dalam maqashid syari’ah, ada nomenklatur HAM yang
diratifikasi oleh negara-negara Islam pada tahun 1993 (Deklarasi Kairo).
Dokumen ini penting dan menjadi dasar berkenaan dengan HAM dalam
Islam. Kunci dari ratifikasi nomenklatur kontemporer mengenai HAM dalam
Islam ini terdapat pada Deklarasi Madinah.22 Deklarasi ini menjadi dasar
DUHAM dalam Islam yakni Deklarasi Kairo.
Deklarasi ini membawa misi mengenai HAM yang lebih sesuai
dengan ketentuan Al-Quran dan Hadist. Piagam Madinah sebagai salah
satu sumber rujukan dan semnagat pembentukan Deklarasi Kairo
merupakan konstitusi yang berfungsi menjadi dasar hidup bersama yang
disepakati masyarakat Madinah yang heterogen di bawah kepemimpinan
Nabi Muhammad SAW pada paruh akhir tahun 1 Hijriyah. Sementara
Deklarasi Kairo merupakan common platform yang disepakati negara-
negara muslim anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada tahun
1993. Piagam Madinah dan Deklarasi Kairo mengandung prinsip-prinsip
HAM dan punya relevansi dengan universalitas HAM. Prinsip- prinsip
HAM yang dikandung oleh Piagam Madinah dan punya relevansi dengan
universalitas HAM, ialah: (1) Hak atas kebebasan beragama; (2) Hak atas
21 Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1997), h. 40-47.
22 Deklarasi Madinah ini disusun oleh Nabi Muhammad SAW untuk masyarakat Madinah.
Pada zamannya dokumen ini penting untuk mengatur, bagaimanakah masyarakat Madinah harus
hidup. Ada berbagagai suku bangsa, agama serta budaya di Madinah. Masyarakat yang plural itu
diatur dengan terstruktur oleh Nabi Muhammad SAW, dan dapat berjalan dengan baik. Hubungan
antar umat beragama sangat ideal, tiada diskriminasi dan semuanya berjalan dengan semangat
egaliter, Martino Sardi, Mengenal Deklarasi Kairo (Yogyakarta: Pusat Internasional Pengembangan
Hak Asasi Manusia, 2005), h. 3.
56
persamaan di hadapan hukum; (3) Hak untuk hidup; dan (4) Hak
memperoleh keadilan. Adapun prinsip-prinsip HAM yang dikandung oleh
Deklarasi Kairo dan punya relevansi dengan universalitas HAM, ialah: (1)
Landasan Dasar HAM, (2) Hak untuk hidup, (3) Hak berkeluarga dan
melanjutkan keturunan, (4) Hak atas pendidikan, (5) Hak atas kebebasan
berpendapat, (6) Hak memperoleh keadilan, (7) Hak atas kebebasan
beragama, (8) Hak atas kemerdekaan diri, (9) Hak atas kebebasan
berdomisili dan bermigrasi, (10) Hak memperoleh suaka negara lain, (11)
Hak atas rasa aman, (12) Hak atas kesejahteraan, (13) Hak atas
kepemilikan, (14) Hak turut serta dalam pemerintahan, (15) Hak
perempuan, dan (16) Hak anak.23
Sudah saatnya, dokumen ini menjadi fokus penting dan adanya
gerakan untuk memperkenalkannya. Deklarasi Kairo bukan hanya
menjadi dokumen penting saja, tetapi harus mampu unrtuk menumbuhkan
budaya baru, yakni membangun budaya HAM dalam Islam.
Dokumen ini bagaikan menindaklanjuti deklarasi universal HAM
dalam Islam (1981) dan semakin praktis. Dokumen Deklarasi Kairo
disahkan dalam pertemuan internasional negara-negara Islam di Kairo
tahun 1991 oleh para menteri luar negri. Para menteri luar negri menyadari
betapa penting dan mendesaknya memperbaharui dokumen mengenai
HAM yang lebih Islami, praktis, aplikatif dan cocok dengan dunia Islam.
Oleh karena itu Deklarasi Kairo ini menggunakan dua prinsip penting:
Pasal 24
“Semua hak-hak dan pernyataan kebebasan yang ditetapkan dalam
Deklarasi ini adalah sesuai dengan syariat Islam”,
Pasal 25
”Syariat Islam adalah satu-satunya sumber acuan untuk penjelasan
atau uraian pasal-pasal dalam Deklarasi ini”.
23 Tim Penulis Fakultas Syariah dan Hukum. Syariah, Hukum Islam dan HAM. (Ciputat:
UIN Jakarta Press. 2015). h. 71-72.
57
Dengan dua prinsip ini, sangatlah mendesak dunia Islam untuk
mengenal, mendalami, mempromosikan dan mengimplementasikannya
dalam kehidupan bermasyarakat.24
b. Hak Politik dalam Islam
Pada dasarnya Islam mengatur hak politik setiap manusia yang hidup
dalam lingkup sosial. Hal ini dikemukakan oleh Abu al-A’la al-Madudi
didalam tulisannya mengenai hak politik warga negara. Al-Maududi
berpendapat ada beberapa hak yang dimiliki warga negara dalam
kehidupan bernegara termasuk dalam berpolitik di antaranya:
1. Hak untuk Menentang Tirani
Diantara hak-hal yang diberikan Islam kepada ummat manusia
termasuk diantaranya hak untuk menentang pemerintahan tiran.
Sebagaimana firman Allah:
ا يم ل ا ع ع ي س ان الل م وك ل ن ظ ل م ول إ ق ل ن ا وء م لس ر ب له ا ل يب الل
لنساء (148)ا
Artinya: “Allah tidak menyukai ucapan buruk yang diucapkan
secara terang-terangan kecuali dilakukan oleh orang yang
terzalimi”. (Q. S. An-Nisa: 148)
Hak ini tidak terbatas kepada individu. Kalimat pada ayat diatas
mempunyai daya berlaku umum. Apabila seorang individu atau
sekelompok rakyat atau partai merebut kekuasaan dan, setelah
memegang kendali kekuasaan, mulai menganiaya individu-individu
atau kelompok-kelompok orang atau seluruh penduduk negeri, maka
suara protes yang dikemukakan adalah hak ini dapat disamakan
dengan menentang Tuhan. Mungkin peraturan perundang-undangan
24 Martinus Sardi, Mengenal Deklarasi Kairo, h. 4.
58
dapat melanggengkan perbuatan zalim ini dan selamat di dunia, tapi
hal tersebut tidak di hari pembalasan.25
2. Kebebasan Mengeluarkan Pendapat
Islam memberikan hak kebebasan berpikir dan mengeluarkan
pendapat kepada seluruh warga negara Islam dengan syarat bahwa
hak itu digunakan untuk menyebarkan kebaikan dan bukan untuk
menyebar keburukan. Memang hak untuk kebebasan mengeluarkan
pendapat guna menyebarkan kebaikan dan kebajikan bukan hanya
semata-mata hak, tetapi suatu kewajiban. Siapapun yang berusaha
menyangkal hak ini terhadap rakyatnya secara terang-terangan
menentang Tuhan Yang Maha Kuasa.
Hak itu sama dengan hak dan kewajiban terhadap individu
untuk berusaha menghentikan kejahatan, baik kejahatan ini
dilakukan oleh individu atau kelompok orang atau pemerintah salah
satu negara atau pemerintah negara lain. Terhadap hal ini ia harus
mengutuk kejahatan secara terbuka dan menunjukkan kepada jalan
moral yang benar yang harus dilakukan.
Al-Qur’an telah menjelaskan kualitas ketakwaan dalam surat at-
Taubah, ayat 17, dengan kata-kata berikut: “Mereka menganjurkan
perbuatan yang baik dan melarang perbuatan yang mungkar”.
Sebaliknya menjelaskan kualitas munafik Al-Qur’an mengatakan:
“Mereka menyuruh perbuatan mungkar dan melarang perbuatan
baik” (At-Taubah (9) :67). Tujuan utama suatu pemerintah Islam
telah ditentukan oleh Tuhan dalam Al-Qur’an surat al-Hajj, ayat 41:
“Jika Kami beri kekuasaan kepada orang-orang ini di bumi mereka
mengerjakan sholat dan menunaikan zakat, menyuruh berbuat
kebaikan, melarang berbuat kemungkaran”. Rasul mengatakan:
“Apabila ada seseorang diantara kalian menyaksikan perbuatan
tercela, maka ia harus merubah dengan tangannya, apabila ia tidak
25 Abu al A’la al Maududi, Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Islam (terj), Bambang Iriana
Djaja Atmaja, (Jakarta: Bina Aksara, 2000), h. 31.
59
mampu maka dengan lidahnya, apabila tidak mampu maka dengan
hatinya, dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman”. Setiap
pemerintah yang menghilangkan hak ini dari warga negaranya
secara tidak langsung telah menentang perintah Allah SWT.
Pemerintah demikian memang tidak bertentangan dengan rakyatnya,
tetapi dengan Allah. Pemerintah itu berusaha untuk mencabut hak
rakyatnya yang diberikan olen Tuhan yang bukan saja berupa hak
berikut juga suatu kewajiban.26
3. Kebebasan Berserikat
Islam juga telah memberikan hak kepada rakyat untuk bebas
berserikat dan membentuk partai atau organisasi. Hak ini tunduk
kepada aturan-aturan umum tertentu. Hak ini harus dilaksanakan
untuk menyebarkan kebaikan dan kebenaran dan bukan untuk
menyebarkan kejahatan dan kekacauan. Kita bukan saja telah
diberikan hak untuk menyebarkan kebenaran dan kebaikan, kitapun
telah diperintahkan untuk melaksanakannya. Dengan ditujukan
kepada kaum Muslim, sebagaimana Firman Allah SWT: “Kamu
adalah umat pilihan yang telah dilahirkan untuk seluruh umat
manusia. Kemu menyuruh berbuat kebaikan dan melarang
kemungkaran serta beriman kepada Allah” (Ali Imran (3): 110).
Ini berarti bahwa merupakan kewajiban seluruh umat Islam
untuk mencegah kemungkaran. Namun bila umat Islam tidak
melaksanakan tugas ini maka “Hendaklah ada di antara kalian,
segolongan umat penyebar dakwah untuk mengerjakan kebaikan,
menyuruh berbuat kebaikan dan melarang berbuat mungkar.
Merekalah orang-orang yang beruntung” (Ali Imran (3): 104). Ini
jelas menunjukkan bahwa apabila masyarakat semuanya mulai
26 Abu al A’la al Maududi, Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Islam, h. 31.
60
melalaikan kewajiban-kewajibannya, maka mutlak minimal ada
sekelompok masyarakat yang bersedia melaksanakannya.27
4. Persamaan Kedudukan di Hadapan Hukum
Islam mensyariatkan bahwa seseorang memiliki kedudukan
yang sama di hadapan hukum. Rasulullah SAW bersabda
“Perlindungan yang diberikan oleh seorang muslim adalah sama,
pun seseorang biasa dari mereka dapat memberikan perlindungan
kepada orang lain”. (H.R. Bukhari, Abu Daud, Muslim) selain itu
dalam sebuah riwayat persamaan dihadapan hukum lainnya
Rasulullah sampaikan bahwa sekalipun anaknya yang mencuri dia
akan memberi hukuman yang sama dengan muslim lainnya.
Persamaan ini sebagaimana firman Allah SWT surat al-Hujarat, ayat
13 “ Hai manusia sesungguhnya kamu dari seorang laki-laki dan
perempuan dan kami jadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-
bangsa untuk saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa
diantara kamu, sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha
mengenal”. Persamaan dihadapan hukum juga tertulis di dalam Al-
Qur’an surat al-Maidah, ayat 8 : “ Hai orang-orang yang beriman
hendaklah kamu menjjadi orang-orang yang selalu menegakkan
kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu
untuk berlaku tidak adil. Berlaku adil lah karena adil itu lebih dekat
kepada takwa, dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah
maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.28
Dalam skema hak politik persamaan kedudukan di hadapan
hukum tidak hanya melibatkan muslim saja akan tetapi begitu juga
dengan non muslim. Dalam sebuah negara Islam, Imam Ali Ra
27 Abu al A’la al Maududi, Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Islam, h. 32.
28 Abu al A’la al Maududi, Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Islam, h. 36.
61
pernah berkata “Mereka telah menerima perlindungan kita semata-
mata karena hidup mereka mungkin sebagaimana hidup kita dan
milik mereka sebagaimana milik kita” (Abu Daud). Dengan kata
lain, bahwa kehidupan dan harta benda mereka (non-muslim) sama
halnya dengan muslim, diskriminasi yang didasarkan atas golongan
adalah suatu kejahatan yang besar menurut Al-Qur’an sebagimana
yang telah dilakukan oleh Fir’aun.
5. Hak Untuk Ikut Serta Dalam Urusan Negara
Menurut Islam, pemerintah adalah wakil (khalifah) dari yang
maha pencipta, tanggungjawab ini tidak hanya dipercayakan oleh
individu atau kelompok-kelompok tertentu melaikan seluruh
masyarakat. Allah SWT berfirman dalam Qur’an, surat An-nur (24):
55: “Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan
yang berbuat baik bahwa dia akan diangkat sebagi wakil Allah
dimuka bumi”.
Adapun metode yang dianjurkan untuk menjalankan
prosesnya adalah dengan musyawarah sebagaimana dalam Al-
Qur’an surat as-Syura, ayat 38. Prinsip ini merupakan hak setiap
muslim untuk menjadi pemilih atau yang dipilih agar dapat ikut serta
dalam menjalankan dalam urusan negara.29
Seorang muslim memiliki dua hak dalam proses politik yakni
hak untuk memilih dan hak untuk dipilih. Setiap warga negara
memiliki hak untuk memilih sebagai penyambung lidah dalam
menyampaikan aspirasi serta menjadi pelayan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Selanjutnya selain hak memilih seseorang
juga memiliki hak untuk dipilih sebagi perwakilan masyarakat untuk
menduduki suatu jabatan dan menjadi pelayan masyarakat. Adapun
kedua hak tersebut terelaborasi dalam prinsip musyawarah
29 Abu al A’la al Maududi, Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Islam, h. 39.
62
sebagaimana yang disyariatkan dalam Islam. Prinsip tersebut sangat
relevan dengan sistem demokrasi yang terjadi di era modern ini.30
Dalam keadaan apapun Islam tidak membolehkan individu
atau komunal mencabut hak-hak sebagian besar muslim dan merebut
kekuasaan negara, juga Islam tidak membenarkan praktik
kecurangan, Korupsi, Kolusi, Nepotisme, genosida, pernyataan
palsu untuk menduduki suatu pemerintahan. Tindakan ini
merupakan pengkhianatan terhadap rakyat dan hak-haknya yang
dirampas secara ilegal juga merupakan perbuatan dosa dihadapan
Allah SWT.31
c. Sanksi Pencabutan Hak Politik dalam Hukum Pidana Islam
Sanksi pencabutan hak politik merupakan hal yang baru dalam hukum
pidana Islam. Bukan berarti segala hal yang baru dalam hukum Islam tidak
ada hukum yang menaunginya terlebih kepada sanksi pencabutan hak
politik. Dalam hukum pidana Islam sanksi yang menyangkut tindak pidana
kriminal terbagi atas tiga yaitu; jarimah hudud, jarimah kisas dan jarimah
takzir. Sementara itu penulis menyimpulkan bahwa sanksi pencabutan hak
politik dimasukkan dalam kategori jarimah takzir berdasarkan penjelasan
berikut.
Secara bahasa kata takzir berasal dari lafaz azzara yang berarti
menolak, mencegah, dan juga bisa bermakna mendidik, mengagungkan
dan menghormati, membantunya, menguatkan, dan menolong.32 Secara
terminologis takzir ialah bentuk hukuman yang tidak disebutkan
ketentuan kadar hukumnya oleh syara‟ serta menjadi kekuasaan
30 Subhi Mahmassani. Konsep Dasar Hak-hak Asasi Mnusia. (Jakarta: Tinta Mas
Indonesia, 1993), h.63-65.
31 Abu al A’la al Maududi, Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Islam, h. 39-40.
32 Ahmad Wardhi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika 2005), h. 248.
63
waliyyul amri atau hakim.33 Menurut Al-Mawardi, takzir didefinisikan
sebagai berikut:
“Takzir adalah hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa
yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara”.
Sebagian ulama mengartikan takzir sebagai hukuman yang berkaitan
dengan pelanggaran terhadap hak Allah dan hak hamba yang tidak
ditentukan oleh Al-Qur’an dan Hadist. Takzir berfungsi memberikan
pengajaran kepada pelaku dan sekaligus mencegah untuk tidak
mengulangi perbuatannya.34
Ulama sepakat menetapkan bahwa takzir semua kejahatan yang tidak
diancam dengan hukuman hudud dan bukan pula termasuk jenis jinayat.
Hukuman takzir diterapkan pada dua kejahatan, yaitu kejahatan
meninggalkan kewajiban atau kejahatan melanggar larangan.35 Adapun
ciri-ciri tindak pidana takzir yaitu: landasan dan ketentuan hukumnya
didasarkan pada ijma, mencakup semua bentuk kejahatan/ kemaksiatan
selain hudud dan qishash, takzir terjadi pada kasus-kasus yang belum
ditetapkan ukuran sanksinya oleh syara’. Meskipun jenis sanksinya telah
tersedia, hukumannya ditetpkan oleh penguasa atau qadhi (hakim), dan
di dasari pada ketentuan umum syariat Islam dan kepentingan keseluruhan.
Selain hukuman pokok, pelaku jarimah takzir dapat dikenai hukuman
tambahan yakni berupa: peringatan keras dan dihadirkan dihadapan
sidang, dicela, dikucilkan, di nasehati, dipecat dari jabatannya, dan
diumumkan kesalahannya Hukuman takzir dilihat dari hak yang dilanggar
jarimah takzir dapat dibagi kepada dua bagian yaitu, Pertama Jarimah takzir
yang menyinggung hak Allah. Kedua Jarimah takzir yang menyinggung
33 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, h. 151.
34 Rahmad Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), (Bandung: CV Pustaka Setia,
2000), h. 141.
35 Asadulloh Al Faruq, Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Ghalia
Indonesia 2009), h. 54. Cet I.
64
hak individu. Sedangkan jika dilihat dari segi sifatnya dapat dibagi kepada
tiga bagian yaitu:36
a. Takzir karena melakukan perbuatan maksiat;
b. Takzir yang melakukan perbuatan yang membahayakan kepentingan
umum;
c. Takzir karena melakukan pelanggaran.
Disamping itu, dilihat dari segi hukum (penetapannya), takzir juga
dapat dibagi kepada tiga bagian yaitu, Pertama, jarimah takzir yang
berasal dari jarimah-jarimah hudud atau kisas, tetapi syarat-syaratnya
tidak terpenuhi, atau ada syubhat seperti pencurian tidak mencapai
nishab, atau oleh keluarga. Kedua, jarimah takzir yang jenisnya
disebutkan dalam nash syara‟ tetapi hukumannya belum ditetapkan
seperti riba, suap, dan mengurangi takaran dan timbangan. Ketiga,
jarimah takzir yang baik jenis maupun sanksinya belum ditentukan oleh
syara’, jenis ketiga ini sepenuhnya diserahkan kepada ulil amri, seperti
pelanggaran disiplin pegawai pemerintah.37
3. Hak Politik dalam Perundang-Undangan HAM di Indonesia
a. Instrumen HAM di Indonesia
Konstitusi atau Undang-Undang Dasar sebagai pemberi pegangan
dan pemberi batas, sekaligus tentang bagaimana kekuasaan negara harus
dijalankan. Apabila mempelajari konstitusi yang berlaku di setiap negara,
didalamnya secara umum selalu terdapat 3 (tiga) kelompok muatan, yaitu:
1. Pengaturan tentang jaminan dan perlindungan terhadap HAM.
2. Pengaturan tentang susunan ketatanegaraan yang bersifat
mendasar.
36 Ahmad Wardhi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 225.
37 Ahmad Wardhi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 225
65
3. Pengaturan tentang pembagian dan pembatasan tugas-tugas
ketatanegaraan yang bersifat mendasar.38
Apabila dilakukan pengkajian hubungan antara hukum dan politik,
setidaknya ada tiga macam jawaban yang dapat memberikan penjelasan,
yaitu: Pertama, hukum determinan atas politik yang diartikan bahwa
kegiatan kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan
hukum. Kedua, politik determinan atas hukum. Karena hukum merupakan
hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling
berinteraksi dan (bahkan) saling bersaing. Ketiga, politik dan hukum
sebagai subsistem kemasyarakatan yang berada pada posisi sederajat
dengan determinasi seimbang antara yang satu dengan yang lain. Ketika
hukum muncul, semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan-aturan
hukum, meskipun hukum merupakan produk keputusan politik.39
Pembahasan mengenai HAM dalam ranah hukum positif mengarah
pada bagaimana negara sebagai institusi formal memberi ruang
perlindungan HAM pada masyarakatnya agar tidak terenggut. Salah satu
instrumen perlindungan terhadap HAM adalah melalui hukum. Maka
dapat dikatakan, tanpa adanya hukum yang berlaku dan diberlakukan,
HAM tidak ubahnya hanya bualan atau formalitas semata. Sebab melalui
hukum, permbatasan yuridis terhadap kekuasaan negara dapat dilakukan.
Di sinilah konstitusi dijadikan sebagai perwujudan tertinggi yang harus
dipatuhi oleh negara dan pejabat-pejabat pemerintah, sesuai dengan dalil,
government by laws, not by man (pemerintah berdasarkan hukum bukan
berdasarkan manusia).40
38 Yulia Netta. Partisipasi Masyarakat dalam Penegakan Hak Asasi Manusia, (Fakultas
Hukum Universitas Lampung: Monograf; Negara Hukum Kesejahteraan, I. PKKPUU, 2013), h.
50.
39 Moh. Mahfud MD. Politik Hukum di Indonesia. (Jakarta: LP3ES, 1998). h. 8.
40 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 57.
66
Namun perlu untuk ditegaskan, bahwa disebutkannya hukum (dalam
artian hukum yang dibuat oleh negara) sebagai instrumen pelindung HAM,
sebab keduanya merupakan dua hal yang sumber dan muaranya berbeda.
HAM sebagaimana diungkapkan oleh John Austin, adalah hak kodrati.
Bahwa seluruh individu telah dikaruniai oleh alam berupa hak yang
inheren atas kehidupan, kebebasan, dan harta yang merupakan milik
mereka dan tidak dapat dicabut oleh negara. Melalui suatu kontrak sosial,
penggunaan hak mereka yang tidak dapat dicabut itu diserahkan kepada
penguasa, apabila penguasa memutuskan kontrak sosial itu dengan
melanggar hak-hak kodrati individu, rakyat dapat menggantikannya
dengan penguasa yang mampu menghormati hak-hak tersebut.
Gagasan ini ditentang oleh Jeremy Bentham, bagi Bentham teori hak
kodrati itu tidak bisa dikonfirmasi dan diverifikasi kebenarannya. Hak
menurutnya adalah anak kandung hukum, dari fungsi hukum lahirlah hak.
Kritik Bentham mendapat dukungan dari kaum positivistik seperti yang
dikembangkan oleh John Austin bahwa eksistensi dan isi hak hanya dapat
diturunkan dari hukum negara. Satu-satunya hukum yang sahih adalah
perintah dari negara yang berdaulat. Ia tidak datang dari alam atau moral,
melainkan dari negara.41
Bila perdebatan ini ditelaah pada konteks negara Indonesia, kiranya
pernyataan Moh. Hatta pada waktu sidang BPUPKI dapat memberi
jawaban. Menurutnya, “walaupun yang dibentuk itu negara kekeluargaan,
tetapi masih perlu ditetapkan beberapa hak dari warga negara agar jangan
sampai timbul negara kekuasaan” (machsstaat atau negara penindas).42
Pernyataan yang disampaikan pada sidang BPUPKI ini menyuratkan
bahwa hak asasi itu melekat secara alami dan kodrati kepada individu.
41 Retno Kusniati, Sejarah Perlindungan Hak Hak Asasi Manusia dalam Kaitannya dengan
Konsepsi Negara Hukum, Makalah disampaikan pada Bimbingan Teknis HAM Kantor Wilayah
Kementrian Hukum dan HAM Jambi di Hotel Ceria Jambi, Tanggal 24 Mei 2011, h. 34.
42 Yeni Handayani, Penhgaturan Hak Asasi Manusia Dalam Konstiusi Indonesia dan
Konstitusi Amerika, Jurnal Rechtsvinding Online, h. 2.
67
Hanya bagaimana negara melalui instrumen hukumnya memberi
perlindungan terhadap hak atas individu tersebut.
Sejak negara Indonesia diproklamirkan menjadi negara merdeka,
para pendiri sepakat bahwa negara Indonesia berlandaskan pada konstitusi
yang diartikan sebagai hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis
(termasuk adat dan kebiasaan dalam masyarakat yang mengikat) yang
substansinya mencerminkan pernghormatan terhadap HAM. Undang-
Undang Dasar ialah piagam tertulis yang sengaja diadakan dan memuat
segala apa yang dianggap oleh pembuatnya menjadi asas fundamental atas
hukum dari negara.
Sebagai asas fundamental negara Indonesia, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) lebih dahulu
terumuskan daripada DUHAM, sebab pembukaan UUD 1945 dan pasal-
pasalnya diundangkan pada tanggal 18 Agustus 1945, sementara Deklarasi
PBB pada tahun 1948. Hal ini merupakan fakta bahwa bangsa Indonesia
sebelum tercapainya DUHAM yang merupakan deklarasi HAM sedunia
oleh PBB, telah mengangkat dan melindunginya dalam kehidupan
bernegara.
Pada masa Orde Lama, rumusan Pasal 27 sampai 31 UUD 1945,
yang mencakup bidang politik, ekonomi sosial dan budaya, hanya berisi
dalam konteks yang terbatas. Hal ini dapat dimaklumi sebab melihat
kondisi pada saat itu, tergolong genting. Sebab pada waktu yang
bersamaan, Jepang masih membayangi penjajahannya, ditambah lagi
acuan DUHAM belum dicetuskan. Pada saat perumusan Undang-Undang
Dasar 1949-1950, telah banyak dimasukkan beberapa segmen yang
sebelumnya dirumuskan oleh PBB. Karena itu, menurut Miriam
Budiardjo, ini adalah fase dimana HAM mendekati kesempurnaan.
Hanya saja, pada era demokrasi terpimpin masa Orde Baru, perilaku
pemerintah cenderung hegemonic, menyatakan pendapat dibatasi, surat
kabar banyak dibungkam, dan partai politik dibubarkan. Meskipun
sebenarnya, sempat dimunculkan wacana agar adanya penambahan jumlah
68
hak asasi melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS)
yang kemudian akan diperbincangkan dalam sidang MPRS V tahun 1968.
Karena terdapat beberapa kendala, akhirnya wacana tersebut tidak pernah
terpenuhi. Bila mencermati seksama, kejadian ini disebabkan karena pada
era Orde Baru, Presiden Soeharto ingin kembali untuk menggali khazanah
leluhur yang kepemimpinannya bersifat integralistik, negara
kekeluargaan, gotong royong, musyawarah mufakat, anti individualisme,
dan kewajiban yang tidak dapat dilepaskan dari hak. Hasil penggalian
tersebut tercermin dalam prilaku pemerintah pada saat itu.43
Memasuki transisi reformasi, timbul keinginan kuat dari masyarakat
sipil untuk mengusung pentingnya penegakan HAM dan diwujudkan
dalam berbagai produk hukum dan kebijakan pemerintah melalui Rencana
Aksi Nasional Hak Asasi Manusia. Pada hal ini, yang diinginkan adalah
penyelesaian berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu, serta
berupaya mencegah agar tidak terjadi pengulangan pelanggaran HAM.
Beberapa kasus yang terjadi di masa lampau antara lain: kasus Tanjung
Priok 12 September 1984, Pembunuhan Misterius atau disingkat PETRUS,
pelanggaran berat HAM di Aceh, Abepura dan Timor-Timur, kasus
Talangsari 7 Februari 1989, kasus penghilangan orang secara paksa, kasus
Trisakti, Semanggi I dan II, dan kasus kerusuhan Mei 1998. Karena itulah
salah satu tuntunan agenda reformasi adalah penghormatan dan penegakan
HAM.44
Objek pertama yang difokuskan agar cita-cita itu tercapai adalah
menjamin perlindungan HAM dengan memasukkan rumusan hak asasi
dalam UUD 1945. Pada perubahan kedua UUD 1945, telah ditambahkan
ketentuan jaminan perlindungan HAM secara lebih mendetail. Jika dalam
UUD 1945 (sebelum perubahan) hanya terdapat 7 butir ketentuan tentang
43 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 73
44 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Permasyarakatan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakara: Sekertariat Jenderal MPR RI,
2005), h. 3.
69
HAM dan hak konstitusional warga negara, maka pada perubahan UUD
1945 memuat 37 butir ketentuan mulai dari Pasal 28A sampai Pasal 28J,
yang dapat diklasifikasi menjadi empat kelompok yaitu hak sipil dan
politik, hak ekonomi, sosial dan budaya, hak atas pembangunan dan hak
khusus lain serta tanggung jawab negara dan kewajiban asasi manusia.
Dari klasifikasi itu, terdapat hak yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun (non-derogable rigths) yaitu hak untuk hidup, hak untuk
tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak
untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan
hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar yang berlaku surut.
Sebaliknya, hak yang dapat dikurangi adalah hak yang tidak disebutkan
dalam non-derogable rights tersebut.45
Dalam rangka memperkuat komitmen perlindungan dan penegakkan
HAM, diwujudkan dengan terbitnya Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998
Tentang Hak Asasi Manusia, yang kemudian diikuti dengan diterbitkannya
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Kemudian dilanjutkan dengan
diterbitkannya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia, dan diikuti lagi dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Penguatan instrumen HAM
dilanjutkan dengan diratifikasinya sejumlah perjanjian internasional
tentang HAM. Pada tahun 2005, Dewan Perwakilan Rakyat meratifikasi
International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dengan
diterbitkannya Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan
International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan
Internasioanl tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).
Selain itu, merujuk pada ratifikasi atas dua kovenan tersebut,
Undang-Undang mengamanatkan pembentukan Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (Komnas HAM), dan beberapa lembaga non-struktural
45 Yeni Handayani, Pengaturan Hak Asasi Manusia Dalam Konstiusi Indonesia dan
Konstitusi Amerika, h. 3-4.
70
yang terkait dengan perlindungan HAM, seperti Komnas Perempuan,
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Ombudsman.
Sementara peran civil society dalam penegakan HAM adalah dengan
munculnya beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat dalam melakukan
advokasi, seperti Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindakan Kekerasan
(KONTRAS), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), dan
lain sebagainya.46
Namun demikian, ratifikasi tersebut melahirkan perbedaan pendapat
dalam pelaksanaan perlindungan HAM. Kelompok liberal umumnya
berpendapat bahwa Indonesia harus melaksanakan semua ketentuan HAM
yang terdapat dalam kovenan tersebut tanpa disertai dengan penyesuaian-
penyesuaian dengan konteks Indonesia, karena HAM itu bersifat
universal. Bagi mereka yang tidak sependapat menyatakan, bahwa konsep
universal HAM yang ada sekarang ini termasuk yang terdapat dalam
perjanjian-perjanjian tersebut berasal dari budaya dan peradaban Barat
yang sekuler. Sementara Indonesia, yang bukan merupakan negara
sekuler, melainkan berdasar pada Pancasila yang mengakui keberadaan
agama dalam kehidupan masyarakat dan negara. Oleh karena itu, HAM
didefenisikan dengan beberapa penyesuaian sebagaimana disebutkan pada
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yakni seperangkat hak
yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa.
Selain perbedaan pendapat tersebut, muncul pula rasa pesimis pada
banyak kalangan bahwa sebenarnya proses penegakan HAM di Indonesia
dipenuhi dengan ketidak-pastian. Dalam peraturan perundang-undangan,
yaitu Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
yang merupakan serangkaian produk hukum yang penuh dengan
pergulatan kepentingan politik. Mulai dari aspek filosofis hingga aspek
46 Masykuri Abdillah, Islam dan Hak Asasi Manusia: Penegakan dan Problem HAM di
Indonesia, (Jakarta: Jurnal Miqot VOL.XXXVIII No. 2), h. 385.
71
teknis-redaksional, terdapat banyak kelemahan fundamental. Kelemahan
tersebut antara lain: pertama, kelemahan substansial dimana Undang-
Undang Pengadilan HAM merupakan adaptasi parsial dari Statuta Roma
tentang Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal
Court (ICC). Kedua, ketidaksempurnaan hukum acara Pengadilan HAM.
Ketiga, penelikungan penerjemahan Statuta Roma yang berdampak pada
pengaburan substansi pelanggaran HAM yang menjadi yurisdiksi
Pengadilan HAM.
Permasalahan tersebut ditenggarai oleh tidak berpihaknya elit lama
terhadap arah perubahan baru dalam perumusan regulasi. Patut diduga, ada
pertarungan antara kepentingan elit lama dan elit baru dalam perumusan
Undang-Undang tersebut. Misalnya, dalam eksistensi Pengadilan HAM di
wilayah nasional dan adopsi parsial Statuta Roma, merupakan ekspresi
keinginan untuk memberikan proteksi atas elit lama (Soeharto dan
rezimnya) dari kemungkinannya untuk diadili melalui ICC atas kejahatan-
kejahatan kemanusiaan yang telah dilakukan.47 Maka dari itu, dalam
penegakan HAM, sangat dibutuhkan adanya kesadaran dan konsistensi
yang pasti baik itu oleh masyarakat terlebih oleh para elit. Tanpa hal itu,
HAM hanyalah sebuah omong kosong belaka.
b. Hak Politik dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas bahwa hubungan hukum
dengan politik sangat erat kaitannya. Determinasi hukum atas politik atau
sebaliknya, serta hukum dan politik yang menjadi sebuah subsistem,
membuat keduanya menjadi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Bila
kita berbiacara tentang produk hukum yang bersumber dari keputusan-
keputusan politik maka aturan perundang-undangan di Indonesia juga
mengatur HAM sebagai zoon politicon.
47 Halili, “Politik Penegakan Hak Asasi Manusia Pada Masa Transisi Di Indonesia”,
Jurnal Civics, XIII, No. 2, (Desember, 2016), h. 200-201.
72
Adapun instrumen hak politik secara spesifik terdapat pada:48
Pada prinsipnya hak-hak politik yang tercantum pada UUD 1945
terbagi menjadi 3 bagian yakni:
1. Hak Memilih dan Dipilih
Pasal 1 ayat 2:
“Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar”.
Pasal 2 ayat 1:
“Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-
anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan anggota Dewan
Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan
diatur lebih lanjut dengan undang-undang”.
Pasal 6A ayat 1:
”Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan
secara langsung oleh rakyat”.
Pasal 19 ayat 1:
“Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui Pemilihan
Umum”.
Pasal 22C ayat 1:
“Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih setiap provinsi
melalui pemilihan umum”.
Pasal 28C ayat 2:
“Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa dan negaranya”
2. Persamaan di Hadapan Hukum dan Pemerintahan
Pasal 27 ayat 1
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Pasal 28D ayat 1
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan
dan kepastian hukum yang adil serta pengakuan yang sama di
hadapan hukum”.
Pasal 28D ayat 3
“Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang
sama dalam pemerintahan”.
3. Hak Berserikat, Berkumpul dan menyatakan Pendapat
Pasal 28
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan
dengan undang-undang”.
48 Lihat di Lampiran 4, h. 199.
73
Pasal 28E ayat 2
“Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”.
Pasal 28E ayat 3
“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan
mengeluarkan pendapat”.
Selain aturan mengenai Hak Politik, aturan mengenai pencabutan
hak politik juga di atur dalam KUHP. Hukum pidana Indonesia telah
memberikan dasar yuridis untuk melakukan pencabutan hak tertentu itu
salah satunya berupa pencabutan hak menduduki jabatan publik, hal ini
dilakukan agar memberikan perlindungan kepada masyarakat dari
perilaku pejabat yang menyimpang. Pengaturan tersebut tertulis pada
pasal 10 KUHP mengenai pada Pidana Tambahan, Menurut Andi
Hamzah pidana tambahan adalah pidana yang hanya dapat dijatuhkan
di samping pidana pokok. Jenis pidana tambahan yaitu pencabutan
beberapa hak tertentu dan pengumuman putusan hakim.
Pengaturan pencabutan hak-hak, itu diatur dalam Pasal 10 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), maka ada beberapa jenis
Pidana tambahan terdiri atas:
1. Pencabutan Hak-Hak tertentu
Diatur dalam di atur sebagaimana yang tercantum dalam Pasal
35 KUHP, yaitu:
a. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu;
b. Hak memasuki angkatan bersenjata;
c. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan
berdasarkan aturan- aturan umum;
d. Hak menjadi penasehat (roadmans), atau pengurus menurut
hukum (gerechtelijk bewindvperder), hak menjadi wali, wali
pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, terhadap
orang yang bukan anaknya sendiri;
e. Hak menjalankan pencaharian (beroep) yang tertentu.49
2. Perampasan barang tertentu
Diatur dalam pasal 39 KUHP, yaitu:
a. Barang kepunyaan si terhukum yang diperolehnya dengan
kejahatan atau yang dengan sengaja telah dipakainya untuk
melakukan kejahatan, beleh dirampas;
49 Andi Hamzah, KUHP & KUHAP, h. 19.
74
b. Dalam menjatuhkan hukuman karena melakukan kejahatan tidak
dengan sengaja atau karena melakukan pelanggaran dapat juga
dijatuhkan perampasan, tetapi dalam hal-hal yang telah
ditentukan oleh undang-undang;
c. Hukuman perampasan itu dapat juga dijatuhkan atas orang yang
bersalah yang oleh hakim diserahkan kepada pemerintah, tetapi
hanyalah atas barang yang disita.
3. Pengumuman Putusan Hakim
a. Hukuman tambahan ini dimaksudkan untuk mengumumkan
kepada khalayak ramai (umum) agar dengan demikian
masyarakat umum lebih berhati- hati terhadap si terhukum.
Biasanya ditentukan oleh hakim dala surat kabar yang sama,
atau berapa kali, yang semuanya atas biaya si terhukum.50
Cara - cara menjalankan pengumuman putusan hakim dimuat
dalam putusan (Pasal 43 KUHP);
b. Kata tertentu dalam pencabutan hak berarti pencabutan itu
tidak dapat dilakukan terhadap semua hak, hanya hak tertentu
saja yang bisa dicabut. Apabila semua hak yang dicabut, akan
membawa konsekuensi terpidana kehilangan semua;
c. Haknya termasuk kesempatan untuk hidup. Dalam ayat (2) Pasal
35 tersebut berbunyi Hakim tidak berkuasa akan memecat
seorang pegawai dari jabatannya, apabila dalam Undang-
undang umum telah ditunjuk pembesar lain yang semata-mata
berkuasa untuk melakukan pemecatan. Dalam Pasal 36 KUHP,
pencabutan hak dapat dilakukan terhadap orang-orang yang
melanggar kewajiban-kewajiban khusus atau mempergunakan
kekuasaan kesempatan atau daya upaya yang diperoleh dari
jabatannya melakukan tindak pidana.51
Mengenai lamanya pencabutan hak terdapat dalam Pasal 38 KUHP:
1) Bila dijatuhkan hukuman pencabutan hak, maka hakim
menentukan lamanya sebagai berikut:
1. Dalam hal pidana mati atau pidana penjara seumur hidup,
lamanya penjatuhan seumur hidup;
2. Dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu atau pidana
kurungan, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan
paling banyak lima tahun lebih lama dari pidana pokoknya;
3. Dalam hal pidana denda, lamanya pencabutan paling sedikit
dua tahun dan paling banyak lima tahun.
2) Pencabutan hak mulai berlaku pada hari putusan hakim dapat
dijalankan.
50 Laden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika,
2005), h. 112-113.
51 P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier di Indonesia. (Bandung: Armico, 1984), h. 12.
75
BAB IV
RAMIFIKASI DAN URGENSI PENERAPAN SANKSI PENCABUTAN
HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA MAKAR
A. Analisis Pencabutan Hak Politik Pelaku Tindak Pidana Makar Menurut
Hukum Islam
Pertimbangan syariat Islam membatasi HAM juga mengacu pada prinsip
maqasidu al-syari’ah atau yang disebut al-kulliyat al-khamsah. Maqashidu al-
syari’ah menjadi dasar hukum umaro untuk memutuskan sanksi pencabutan hak
politik terhadap terpidana. Hal ini sudah menjadi prinsip yang dibakukan ulama-
ulama terdahulu melalui proses ijtihad. Seseorang dapat dijatuhkan hukuman
pidana bila terbukti melakukan tindak pidana, akan tetapi sanksi yang dijatuhkan
juga tidaklah boleh merenggut hak-haknya kecuali bila pelaku merenggut hak orang
lain atau yang disbut qishas dalam hukum pidana Islam (jinayah). Pada dasarnya
prinsip-prinsip di dalam masqashid al-syari’ah bertujuan untuk mewujudkan
keadilan dan melahirkan kemaslahatan, begitupun bila kita kontekstualisasikan
dalam persoalan makar. Artinya pelaku tindak pidana makar dapat diberi hukuman
yang adil dan ideal serta kondisi negara menjadi aman dan tentram.
Pencabutan hak politik dalam hukum Islam sebagaimana yang telah penulis
uraikan diatas mengacu pada Al-Qur’an dan Sunnah sehingga pada akhirnya para
ilmuan hukum Islam (ulama) mengeluarkan sebuah kesimpulan hukum yang
disebut maqashidu al-syari’ah. Persoalan ini bukan persoalan yang mudah untuk
diputuskan apalagi berkaitan dengan kemerdekaan seorang muslim atau manusia
pada umumnya. Dalam hukum pidana Islam tujuan utama dari pemidanaan adalah
untuk pencegahan (arra'du wa al-zajru) dan pengajaran serta pendidikan (al-ishlah
wa al-tahdzib).
Selain itu tujuan dari hukum pidana Islam yang merupakan dari syariat
Islam untuk melindungi kebutuhan hidup manusia atau bisa disebut dengan istilah
Al maqashid al syari'ah al khamsah. Kelima tujuan tersebut adalah, memelihara
agama (hifz al- din), memelihara jiwa (hifz al- nafsi), memelihara harta (hifz al-
76
maal), memelihara keturunan (hifz al-mashli), dan memelihara akal (hifz al-‘aqli).1
Mengenai kaitannya dengan sanksi pencabutan hak politik bagi pelaku
tindakan makar, bahwa sanksi tersebut adalah sama dengan bentuk takzir dalam
hukum pidana Islam. Mengingat di dalam Islam hukuman pencabutan hak politik
bagi pelaku tindak pidana makar memang tidak diatur secara eksplisit, baik dalam
al-Qur'an maupun hadis, selain daripada memerangi dan membunuh para pelaku
yang melakukan perbuatan makar (bughat). Namun demikian dalam hukum pidana
Islam (jinayah), jarimah yang ditetapkan berdasarkan dalil al-Qur'an adalah hudud
yakni hukuman mati atau diperangi, adapun selanjutnya bila pelaku makar (bughat)
mengakui kesalahannya dan bertaubat maka dapat di beri sanksi (jarimah) takzir.2
Dapat dijatuhi sanksi penjara atau sanksi lainnya termasuk pencabutan hak politik
dan itu diserahkan kepada ulil amri.
Secara umum hukuman bagi tindak pidana makar adalah takzir, yaitu
hukuman yang setimpal dan menjerakan menurut ijtihad hakim, dari yang terberat
(hukuman mati) hingga yang teringan (penjara) sesuai dengan berat dan ringannya
tindakan dan dampak makar yang dilakukan. Karena itulah, hukuman bagi pelaku
makar yang ringan adalah dengan diberikan teguran atau peringatan, dimasukan
kedalam daftar tercela, dinasihati, dan dipecat dari jabatannya. Adapun yang cukup
berat adalah diberi hukuman dera atau cambuk dan pengasingan satu tahun. Jumlah
cambuknya minimal 39 kali dan maksimal 100 kali sesuai dengan kondisi.3
Sanksi hukum bagi pelaku tindak pidana makar dalam hukum Islam terdapat
pada fikih jinayah, adapun hukuman tersebut yakni takzir. Takzir itu sendiri berarti
hukuman terhadap pelaku yang tidak ditentukan secara tegas bentuk sanksinya di
dalam nash. Hukuman ini dijatuhkan untuk memberikan pelajaran terhadap
1 Asadulloh Al Faruq, Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2009), Cet. I, h. 12
2 Takzir menurut Al-Mawardi adalah hukuman yang bersifat Pendidikan atas perbuatan
dosa yang hukumannya belum ditetapkan oleh syariat. Sementara itu menurut terminologinya
takzir ialah bentuk hukuman yang tidak disebutkan ketentuannya dalam syariat dan menjadi
kekuasaan hakim atau ulil amri.
3 Sukron Kamil, Pemikiran Politik Islam Tematik, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group
2013), h. 298
77
terpidana agar ia tidak mengulangi kejahatan yang pernah ia lakukan, jadi jenis
hukumannya disebut dengan Uqubah Mukhayyarah (hukuman pilihan). Dilihat dari
segi sifatnya takzir yang termasuk dalam sanksi pencabutan hak politik pelaku
makar/bughat ini adalah takzir yang melakukan perbuatan yang membahayakan
kepentingan umum.
Pencabutan hak politik merupakan salah satu bentuk hukuman yang baru di
Indonesia dan dalam hukum pidana Islam jenis sanksi ini masuk kedalam jarimah
takzir. Dalam hukum Islam sendiri sanksi pencabutan hak politik yang ditakzirkan
kepada pelaku tindak pidana makar dapat diputuskan atau diringankan kepada
pelaku sebab pencabutan hak politik juga tidak bertentangan dengan maqashid al-
syariah. Tentu saja apabila tujuan dari penerapan takzir pencabutan hak politik
terhadap pelaku tidak pidana makar menjadi jalan tengah atas sanksi hukuman mati
dan dapat menimbulkan kemaslahatan maka sanksi ini dilaksanakan atau
diputuskan oleh ulil amri terhadap pelaku tindak pidana makar (bughat).
Bila melihat dari cara pandang syari’ah terhadap hukuman pencabutan hak
politik, Maneger Nasution Ketua Bidang Hukum dan Undang-undang Majelis
Ulama Indonesia berpendapat bahwa secara norma apa yang disebut makar dan
bughat (dalam syariat Islam) memiliki kesamaan substansi didalamnya. Namun bila
ingin menetapkan hukuman mati atau memerangi pelaku tindak pidana makar hal
itu merupakan paradoks. Sebab pada hakikatnya (dalam konteks politik) pelaku
makar atau bughat akan dihukum bila si pelaku mengalami kekalahan dalam
tindakannya. “Coba kita lihat kasus perang shiffin, sekte syi’ah dianggap sebagai
pemberontak karena membela Imam Ali R.A., dan melawan Mu’awiyah Bin Abi
Sufyan. Andai kata Imam Ali yang mengalahkan Mu’awiyah, maka Mu’awiyah dan
pengikutnya akan dianggap dan dihukum sebagai pemberontak. Maka dalam tindak
pidana ini konteks politik juga menjadi hal yang vital”. Sementara bila menjatuhkan
sanksi pencabutan hak politik kepada pelaku hal itu bisa saja dibenarkan bila kita
mengacu kepada aturan dan dalam konstitusi negara kita hal ini dibenarkan asal
sesuai dengan proses dan prosedur.4
4 Wawancara penulis dengan bapak Maneger Nasution, jabatan sebagai bidang hukum dan
undang-undang Majelis Ulama Indonesia, Jakarta 3 Mei 2019.
78
Mencabut hak politik dalam Islam merupakan hal yang mungkin dilakukan
bila hal tersebut merupakan kebutuhan penegakan hukum dan memberikan
maslahat umat apalagi bila tindak pidana makar dilakukan dan menyebabkan
suasana negara tidak kondusif. Sebab bila kita menelaah lebih spesifik dengan sudut
pandang maqashidu al-syari’ah, bahwa hifzu al-nafs memelihara agama lebih
dharuri sifatnya daripada menjaga hak politik seseorang. Sebagaimana penjelasan
penulis diatas bahwa pencabutan hak politik ini merupakan takzir dan hal ini
diserahlan kepada ulil amri, tidak ada dalil yang spesifik mengatur tentang
pencabutan hak politik dalam al-Qur’an maupun hadiz. Akan tetapi titik tekannya
adalah bila hak politik seseorang dijatuhkan karena perilakunya maka hakim (yang
memutuskan suatu perkara) hendaknya berlaku adil. Sementara itu Hukum Islam
selain mendasarkan hukum pada al-Qur’an dan hadis juga memberikan
kewenangan kepada para ulama untuk menentukan suatu hukum serta diputuskan
oleh hakim sebagaimana yang dilakukan oleh negara-negara Islam pada saat ini.
Menurut penulis Hukuman pencabutan hak politik ini secara substansi dapat
diterapkan. Mengingat kajiannya sudah tertulis di dalam fikih jinayah sehingga
tiada lagi penolakan oleh para pelaku bila terbukti melakukan tindak pidana makar.
Selain itu hukuman tambahan pencabutan hak politik yang derajatnya diletakkan
pada jarimah takzir selaras dengan tujuan pokok penerapan hukum pidana dalam
Islam yakni pendidikan bagi masyarakat agar tidak melakukan tindak pidana makar
juga menimbulkan efek jera bagi pelaku serta tidak mengulanginya lagi. Hal ini
senada dengan pendapat Imam Al-Mawardi yang dikutip oleh Sayyid Sabiq;
"Takzir merupakan hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa".
B. Analisis Pencabutan Hak Politik Pelaku Tindak Pidana Makar Menurut
Hukum Positif dan Hak Asasi Manusia
Undang-undang Dasar 1945 menegaskan bahwa Negara Republik Indonesia
adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat). Idealnya sebagai
negara hukum, Indonesia menganut sistem kedaulatan hukum atau supermasi
hukum. Maksudnya adalah hukum harus mempunyai kekuasaan tertinggi di dalam
79
negara.5 Penegakan hukum harus menyelaraskan antara legal substance dan legal
structure. Dalam hal ini, selain aturan yang tepat tertuang dalam peraturan
perundang-undangan putusan pengadilan juga merupakan tonggak penting bagi
cerminan keadilan, termasuk putusan pengadilan yang berupa penjatuhan pidana
dan pemidanaan.
Lahirnya penjatuhan pidana dan pemidanaan bukan muncul begitu saja,
melainkan melalui proses peradilan. Seperti yang dikutip oleh Bambang Waluyo,
G.P. Hoefnageles mengatakan bahwa sanksi dalam hukum pidana adalah semua
reaksi terhadap pelanggaran hukum yang ditentukan undang- undang dimulai dari
penahanan tersangka dan penuntutan terdakwa sampai pada penjatuhan vonis oleh
hakim.6 Oleh karena itu pembatasan terhadap hak asasi manusia baik yang dapat
direstriksi dan tidak dapat direstriksi hanya dapat dilakukan melalui jalur yang
konstitusional dan dibenarkan oleh negara.
Dalam perspektif yuridis perbuatan makar terhadap negara merupakan
perbuatan yang berbahaya, karenanya kedaulatan negara dan pemerintahan dapat
rusak. Keutuhan nasional yang diproklamasikan sebagai kesatuan (unity) dapat
hilang, cita-cita sebagai bangsa dalam nation pun hilang. Namun hal ini tidak pula
menjadikan alibi bahwa pelaku yang terjerat pasal makar harus dihukum mati atas
dasar dakwaan jaksa yang misalnya mengacu pada aturan hukuman makar. Negara
melalui kekuasaan legislatifnya harus melakukan reformasi hukum serta kajian-
kajian yang mengenai kemungkinan diterapkannya alternatif lain hukuman pidana.
Maka dari itu penulis menilai pencabutan hak politik merupakan salah satu
alternatif penerapan sanksi bagi pelaku tindak pidana makar.
Piranti perundang-undangan di Indonesia sangat kompatibel untuk
diterapkannya sanksi pencabutan hak politik terhadap pelaku tindak pidana makar.
Sebab sebagaimana yang telah penulis jelaskan perilaku makar merupakan
kejahatan yang tidak dapat ditolerir karena makar memiliki dampak besar terhadap
5 Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 33.
6 Teguh Prasetyo, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, (Bandung: Nusa Media, 2010), h.
79.
80
keutuhan suatu bangsa. Perbuatan dengan maksud menggulingkan pemerintahan
yang sah atau mengganti bentuk pemerintahan dengan cara apapun baik secara
tertulis ataupun lisan adalah termasuk perbuatan makar, karena wujud perbuatan itu
ditujukan pada maksud yang lebih jauh yakni menggulingkan pemerintahan atau
mengganti bentuk pemerintahan.
Perlu dipahami juga bahwa makar dengan maksud menggulingkan
pemerintahan, tidaklah harus dilakukan dengan kekerasan dan persenjataan.
Asalkan perbuatan itu dapat dipandang sebagai permulaan pelaksanaan dari suatu
kegiatan yang lebih besar dalam rangka mencapai tujuan yang lebih jauh yaitu
meniadakan bentuk pemerintahan atau bentuk pemerintahan maka hal tersebut
dapat dikatakan sebagai perbuatan makar sebagaimana yang telah penulis jelaskan
dalam bab sebelumnya. Sementara itu demi tegaknya hukum dan terciptanya
ketertiban maka tugas dari hukum pidana harus diselenggarakan agar perilaku
inkonstitusional ini dalam diselesaikan dan dicegah.
Semangat penegakan aturan pidana di Indonesia bukanlah semangat
membalas perbuatan pelaku pidana. Akan tetapi memberikan keadilan,
menciptakan ketertiban umum dan menanggulangi kejahatan. Namun bila setiap
perilaku pidana diadili dengan tujuan membalas perbuatan pelaku maka tidak
terdapat pendidiakn bagi masyarakat bahkan hamper dapat dipastikan bahwa
masyarkat menilai pemerintah tidak dapat menyelesaikan persoalan pidana terlebih
pidana yang mengancam keutuhan negara.
Hukum Pidana di Indonesia telah memberikan dasar yuridis untuk melakukan
pencabutan hak tertentu, salah satunya berupa pencabutan hak menuduki jabatan
publik dan hak memilih dan dipilih. Hal ini dilakukan agar memberikan
perlindungan kepada masyarakat dari perilaku pejabat atau calon pejabat yang
menyimpang. Dalam aturan pidana di Indonesia pencabutan hak-hak tertentu itu
dimuat dalam ketentuan umum mengenai pidana tambahan. Menurut Andi Hamzah,
pidana tambahan adalah pidana yang hanya dapat dijatuhkan disamping pidana
pokok.
Pada buku kedua Kitab Undang-undang Hukum Pidana pencabutan hak-hak
tertentu tersebut termuat pada pasal 35 yaitu:
81
1) Hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam hal-hal
yang ditentukan dalam kitab undang-undang ini, atau dalam aturan umum
yang lain adalah:
1. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatn tertentu.
2. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan
aturan-aturan umum.
Mengenai durasi pencabutan hak-hak tertentu dimuat dalam pasal 38 KUHP
yang berbunyi:
1) Bila dijatuhkan hukuman pencabutan hak, maka hakim menentukan lamanya
sebagai berikut;
• Dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu atau pidana kurungan,
lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun
lebih lama dari pidana pokoknya.
Sanksi pencabutan hak politik ini memiliki preseden aturan yang tertulis
secara spesifik di dalam Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada pasal 17 dan pasal 18 huruf d sebagai
berikut:
Pasal 17:
Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 2, pasal
3, pasal 5 sampai dengan pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 18.
Pasal 18
(1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-
undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah:
b. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan
seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat
diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.
Hak politik yang merupakan salah satu dari rumpun hak asasi manusia
sebagaimana yang diatur dalam ICCPR (International Covenant Civil and Political
Right). Dalam ratifikasi kovenan sipil dan politik ini, pembatasan hak politik
terdapat pada; pasal 19 (kebebasan menyatakan pendapat), pasal 21 (hak berkumpul
secara damai), pasal 22 (kebebasan berserikat) dan pasal 25 (ikut serta dalam
pelaksanaan pemerintahan dan hak memilih dan dipilih). Pembatasan hak
juga diatur dalam Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia pasal 73, dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa pembatasan atau
pencabutan hak asasi manusi hanya diperkenankan berdasarkan undang-undang.
82
Tujuannya, menjamin pengakuan dan penghormatan hak asasi manusia serta
kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.
Penerapan sanksi pencabutan hak politik ini dalam perspektif penulis dapat
menjadi alternatif aturan sanksi bila diterapkan, sebab perilaku dan unsur-unsur
makar juga berasal dari kekuatan politik dapat diputus mata rantainya dengan
penerapan sanksi pencabutan hak politik ini. Sehingga dikemudian hari eks
pemimpin atau pelaku tindak pidana makar mendapatkan efek jera.
Komnas HAM menilai bahwa penerapan hukuman pencabutan hak politik ini
secara prinsip dapat ditegakkan namun yang menjadi keraguan dari penerapan ini
adalah bahwa upaya makar berawal dari polarisasi perspektif penguasa dan oposisi.
Hal tersebut rentan disalah gunakan oleh pemerintah. Artinya dari sekian banyak
aturan yang telah dibuat tidak menjamin penegakan keadilan berjalan sebagaimana
yang dicita-citakan. Agus Suntoro seorang analis hak sipil Komnas HAM
berpendapat bahwa fungsi legal structure dalam penerapan aturan menjadi pr besar
penegakan hukum di negara ini. Menurut beliau semakin banyak aturan yang dibuat
justru akan semakin membuat aturan tersebut bertambah kacau bila tidak diiringi
dengan semangat reformasi hukum yang ideal.7
Dalam wawancara penulis dengan salah seorang hakim pengadilan negeri,
narasumber menyatakan bahwa otoritas hakim dalam memutuskan pidana
tambahan pencabutan hak politik harus melalui ketentuan khusus atau aturan yang
spesifik (lex specialist) seperti yang terdapat dalam undang-undang tindak pidana
korupsi. Sebab aturan yang terdapat pada KUHP mengenai pencabutan hak tertentu
yakni pasal 10 dan pasal 35 merupakan ketentuan yang bersifat umum. Walaupun
hakim dapat memutuskan sanksinya tetapi itu hal yang mustahil dilakukan untuk
saat ini sebab urgensi dari penerapan pidana tambahan pencabutan hak politik
terhadap pelakuk makar tidak terlalu mendesak, kecuali bila hal ini didorong oleh
publik atau dijadikan ketentuan khusus pemidanaan dalam kasus makar melalu
7 Wawancara penulis dengan bapak Agus Suntoro, jabatan sebagai anggota komisioner
bidang pengkajian dan penelitian Komnas HAM, Jakarta 25 April 2019.
83
proses legislasi di DPR.8
Hakim Saifudin Zuhri, menambahkan bahwa sangat sulit kemungkinan
melakukan yurisprudensi penjatuhan pidana pencabutan hak politik bagi pelaku
tindak pidana makar sebab tiada satupun hakim yang pernah melakukan hal tersebut
kecuali bila itu merupakan desakan publik yang sangat urgent dan bersifat darurat
demi menjaga keutuhan dan kedaulatan negara.9
Setiap penjatuhan pidana harus benar-benar dipertimbangkan dan putusan
hakim yang kurang pertimbangan dapat dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA)
hal ini diatur dalam Pasal 39 ayat 1 Undang-undang nomor 48 tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman yang menjelaskan bahwa pengawasan tertinggi terhadap
penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
Mahkamah Agung.
Penjatuhan pidana (sanksi) kepada pelaku tindak pidana merupakan salah
satu sarana untuk menanggulangi kejahatan secara penal. Tindak pidana makar
merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Oleh karena itu, hakim
dalam memutuskan perkara harus mempertimbangkan sebab dan akibat dari
putusan yang akan dijatuhkannya. Jadi, dasar pembenaran adanya pidana menurut
teori ini adalah terletak pada tujuannya. Hakikat, teori pemidanaan tersebut
ditransformasikan melalui kebijakan pidana (criminal policy) pada kebijakan
legislatif.10
Adapun dalam realitanya sanksi pencabutan hak politik tertulis dalam UU
Tipikor yang diatur pada pasal 18 ayat (1) huruf d, berupa pencabutan seluruh atau
sebagian hak-hak tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada
terpidana. Salah satu pencabutan hak yang dijatuhkan oleh Hakim kepada terpidana
8 Wawancara penulis dengan bapak Saifudin Zuhri, jabatan sebagai hakim madya utama
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Kelas IA, Jakarta 24 Mei 2019
9 Wawancara penulis dengan bapak Saifudin Zuhri, jabatan sebagai hakim madya utama
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Kelas IA, Jakarta 24 Mei 2019
10 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2002), h. 128.
84
korupsi adalah pencabutan hak pilih aktif dan pasif. Dimana ketentuan umum dari
sanksi ini tertulis pada pasal 35 KUHP.
Pada hakikatnya latar belakang diterapkan sanksi pencabutan hak politik bagi
terpidana korupsi mengingat sebagian besar bahkan seluruh tindak pidana
dilakukan oleh pejabat publik dan ini menjadi sebuah penyakit menular. Maka dari
itu upaya pemberantasan serta pencegahan terhadap extraordinary crime ini
dilakukan agar penyakit ini dapat diminimalisir bahkan dihilangkan agar tercipta
situasi good and clean government. Dalam pertimbangan UU nomor 31 tahun 1999
point (a) disebutkan bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara serta menjadi penghambat pembangunan
nasional, selain itu dibentuknya undang-undang ini dalam rangka mewujudkan
masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Upaya penerapan sanksi pencabutan hak politik terhadap tindak pidana makar
ini tidak dapat terealisasi bila tidak ada regulasi spesifik (lex spesialist) yang
mengatur soal pencabutan hak politik maka dari itu hakim tidak dapat memutuskan
perkara makar ini dengan menjatuhkan pidana tambahan pencabutan hak politik.
Secara filosofis, penjatuhan putusan pidana tambahan berupa pencabutan hak
aktif dan pasif kepada terpidana (dalam hal ini makar) merupakan upaya preventif
dan menjadi menifestasi dari upaya penegak hukum dalam mewujudkan cita-cita
luhur dari pemidanaan atau pemberian sanksi bagi pelaku kejahatan yaitu keadilan.
John Rawls dalam bukumya A Theory of Justice, membagi keadilan dalam dua
bentuk:
Pertama, asas kebebasan (liberty principle), yakni setiap orang mempunyai
hak-hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, sama luasnya
dengan kebebasan yang dimiliki orang lain. Kedua, asas perbedaan
(difference principle), yakni hukum bertujuan untuk mengatur adanya
realitas ketimpangan sosial dan ekonomi di dalam masyarakat. Oleh karena
itu, hukum harus mampu mewujudkan nilai-nilai keadilan untuk lebih
mengutamakan dan berpihak pada masyarakat yang diuntungkan dari aspek
sosial, ekonomi dan politik supaya dapat mencapai tujuan keadilan.11
11 Yosy Dewi Mahayanthi, “Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan
Pencabutan Hak Pilih Aktif dan Pasif terhadap Terpidana Tindak Pidana Korupsi dalam Perspektif
Hak Asasi Manusia” (Malang: jurnal Universitas Brawijaya, 2015), h. 8.
85
Penegakan keadilan menjadi tugas hukum atau merupakan kegunaan hukum.
Keadilan yang menjadi tugas hukum merupakan hasil penyerasian atau keserasian
antara kepastian hukum dan kesebandingan hukum. Secara ideal kepastian hukum
merupakan pencerminan azas tidak merugikan orang lain, sedangkan
kesebandinagn hukum merupakan pencerminan azas bertindak sebanding. Oleh
karena keserasian antara kepastian hukum dengan kesebandingan hukum
merupakan inti penegakan hukum, maka penegakan hukum sesungguhnya
dipengaruhi oleh struktur dan individu-individunya.
Keadilan hukum dalam Islam bersumber dari Tuhan yang Maha Adil, karena
pada hakikatnya Allah-lah yang menegakkan keadilan (qayyiman bil qisth), maka
harus diyakini bahwa Allah tidak berlaku aniaya (zalim) kepada hamba-hamba-
Nya. Dalam prinsip keadilan ini Rasulullah SAW menegaskan adanya persamaan
mutlak (egaliterisme absolut/ al-musawah al-muthlaqah) di hadapan hukum-
hukum syariat. Keadilan dalam hal ini tidak membedakan status sosial seseorang.12
Dalam upaya mengkonversi hukum Islam yang sangat komperhensif menjadi
sebuah keadilan para ulama fiqh melakukan upaya penemuan hukum (ijtihad)
dengan merumuskan maqashid al-syari’ah. Dengan maqashid al-syari’ah ini para
hakim dapat mendasari putusannya dalam menjatuhkan suatu pidana terhadap
seseorang.13
Akhirnya pencabutan hak politik terhadap pelaku tindak pidana makar dapat
dinilai adil dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana bila menimbang dari tujuan
hukum pidana baik dalam Islam maupun dalam hukum positif. Hanya saja hakim
selaku orang yang memutuskan perkara berdasarkan kewenangannya yang
diamanatkan oleh undang-undang bisa berlaku adil sesuai dengan UU Nomor 48
Tahun 2009. Bahwa pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara diharap tidak
diintervensi oleh pihak manapun, tidak tebang pilih (egaliter) dan tidak sewenang-
wenang dalam memutuskan perkara. Pada dasarnya pidana tambahan pencabutan
12 Mahir Amin, “Konsep Keadilan dalam Perspektif Filsafat Hukum Islam”, Al-Daulah, IV,
2 (Oktober, 2014), h. 334.
13 Yusuf Qardhawi, Fiqh Maqashid Syari’ah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), h. 18.
86
hak politik dapat dijatuhkan kepada pelaku bila memenuhi unsur-unsur yang telah
dilegalisasi dalam undang-undang.
Mengenai pencabutan hak-hak tertentu ini peneliti berpendapat bahwa
dimensi keadilannya adalah bilamana pelaku tindak pidana merupakan orang yang
memiliki legitimasi publik seperti tokoh masyarakat atau yang lainnya bila orang
tersebut melakukan makar dengan mengangkat senjata yang menyebabkan
terancamnya stabilitas nasional seperti keamanan dan lain sebagainya maka pelaku
dapat dihukum dengan mencabut hak politiknya agar pelaku memiliki efek jera
terhadap apa yang telah dia lakukan dan menjadi upaya preventif untuk menjaga
stabilitas nasional. Hal ini senada sebagaimana yang di kemukakan oleh Agus
Suntoro, divisi penelitian dan pengembangan Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia.14
Keadilan itu sendiri mengacu pada upaya hakim untuk menemukan
kebenaran dan memberikan hukuman jika ada pelanggaran yang tidak ada aturan
tegasnya secara formil. Hal tersebut adalah bentuk dari keadilan prosedural.
Keadilan prosedural adalah aspek eksternal hukum, tempat keadilan substantif
direalisasikan. Tanpa adanya keadilan prosedural, keadilan substantif hanya akan
menjadi teori-teori yang tidak menyentuh realitas mesyarakat. Meskipun demikian,
selain keadilan, nilai kepastian dan kemanfaatan hukum juga penting untuk
dipertimbangkan dalam penegakan hukum.15
Sementara itu hasil wawancara penulis dengan Hakim Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat Bapak Hakim Saifudin Zuhri bahwa penegakan hukum merupakan
upaya pendistribusian keadilan bagi pelaku tindak pidana, sebab upaya hakim untuk
memutuskan perkara juga berdasarkan ketentuan yang sudah ditetapkan dan
diawasi oleh Peratuan Mahkamah Agung tentang Kekuasaan Kehakiman. Artinya
independensi hakim dalam memutuskan perkara juga berdasar pada aturan yang
14 Wawancara penulis dengan bapak Agus Suntoro, jabatan sebagai anggota komisioner
bidang pengkajian dan penelitian Komnas HAM, Jakarta 25 April 2019.
15 Theo Hujibers, Filsafat Hukum dalam Lintas Sejarah¸ (Yogyakarta: Kanisius: 1993), h,
161.
87
mengikat.16 Hal ini juga senada dengan apa yang diucapkan oleh pihak Komnas
HAM bahwa secara normatif dimungkinkan untuk diterpakannya sanksi
pencabutan hak politik bagi pelaku tindak pidana makar karena pencabutan hak
politik merupakan derogable right namun keraguan yang menjadi masalah dalam
penerapan sanksi ini apakah hakim dapat memutuskan perkara dengan adil,
independen dan tanpa intervensi dari pemerintah yang memiliki kepentingan dalam
kekuasaannya.
16 Wawancara penulis dengan bapak Saifudin Zuhri, jabatan sebagai hakim madya utama
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Kelas IA, Jakarta 24 Mei 2019.
88
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Melihat hasil analisa serta uraian yang penulis bahas dalam karya tulis ilmiah
ini. Penulis memiliki beberapa konklusi terhadap bahasan mengenai makar dana
sanksi pencabutan hak politik dalam Islam, HAM dan Hukum Positif di Indonesia.
Adapun kesimpulan adalah sebagai berikut;
1. Aturan dalam hukum Islam mengenai makar dan pencabutan hak politik
merupakan satu dimensi yang dapat dipadukan sebagai sebuah aturan. Hal ini
jelas bahwa terdapat prinsip dan norma yang koheren bila sanksi pencabutan hak
politik diterapkan atau dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana makar.
Penulis menilai agar memutus mata rantai dari kejahatan terhadap keamanan
negara ini perlu ada formulasi penjatuhan pidana yang sesuai dengan tujuannya
yakni pencegahan (al-Ra’du wa al-Tahdzib). Juga menghasilkan upaya preventif
terhadap tindak pidana ini. Pada dasarnya sebagaimana yang termaktub dalam
Al-Qur'an sanksi bagi pelaku tindak pidana bughat/makar adalah hukuman mati
atau diperangi namun belum terdapat aturan yang spesifik bila pelaku bertaubat
dan berjanji untuk tidak mengulangi perbuatannya. Hal ini merupakan domain
para ulama fikih untuk berijtihad dan memutuskan jarimah takzir sebagai
hukuman terhadap pealu tindak pidana makar/bughat. Bentuk hukuman
pencabutan hak politik menurut penulis adalah hukuman yang sesuai sebagai
takzir bagi pelaku tindak pidana makar/bughat. Sebab hal ini dapat menjadi
alternatif sanksi untuk menciptakan keamanan dan ketertiban suatu wilayah juga
untuk menjaga nyawa manusia dari hukuman mati sebagaimana tujuan dari
hukum pidana itu sendiri dan berdasarkan maqashil al-syariah.
Sementara itu dalam hukum positif penerapan sanksi pencabutan hak politik
dapat diterapkan dengan catatan adanya upaya legislasi dalam Kitab Undang-
undang Hukum Pidana untuk merevisi pasal makar dan menambahkan sanksi
pencabutan hak politik didalamnya. Secara prinsip pencabutan hak politik di
89
Indonesia dapat dibenarkan karena tidak bertentangan dengan konvensi
internasional mengenai hak asasi manusia sebab hak politik merupakan hak yang
dapat dibatasi. Selain itu sanksi pencabutan hak politik ini memiliki preseden
aturan yakni undang-undang tindak pidana korupsi yang lebih dahulu memuat
sanksi pencabutan hak politik didalamnya. Menurut KUHP sanksi pencabutan
hak politik terdapat pada bab ketentuan umum yang dapat diberlakukan bagi
seluruh tindak pidana dengan catatan terdapat muatan aturan khusus tentang
pencabutan hak politik didalamnya.
2. Menurut prinsip Hak Asasi Manusia penerapan sanksi pencabutan hak politik
dalam perspektif HAM sangat dimungkinkan untuk diterapkan mengingat hak
politik merupakan hak yang dapat dibatasi (derogable right) hal ini sesuai
dengan konsensus internasional akan tetapi dalam penegakannya harus mengacu
pada siracusa principle. Selain itu menurut preseden aturan pencabutan hak
politik ini juga telah diterapkan dalam undang-undang tindak pidana korupsi.
Sementara itu untuk memutuskan sanksi atau menjatuhkan pidana terhadap
perkara ini haruslah ada ketentuan khusus yang mengatur penjatuhan sanksi
terhadap tindak pidana ini. Hakim tidak dapat memutuskan bila di dalam tindak
pidana ini tidak terdapat ketentusan khusus. Dalam konsensus internasional
mengenai hak asasi manusia penerapan sanksi ini harus mengacu pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Faktor lain yang memungkinkan penerapan
sanksi pencabutan hak politik ini berdasarkan hak asasi manusia adalah bila
dengan penerapan sanksi ini berimplikasi pada.
Melalui 2 point kesimpulan diatas bahwa pencabutan hak politik terhadap
pelaku tindak pidana makar sangat mungkin untuk dijatuhkan dengan diperlukan
adanya ketentuan khusus yang mengatur sanksi pencabutan hak politik bagi pelaku
tindak pidana makar.
90
B. Saran
Berdasarkan analisa penulis dalam penelitian yang telah diurai dalam
beberapa bab ini, penulis menuangkan beberapa saran yang berkaitan dengan
pencabutan hak politik pelaku tindak pidana makar:
1. Untuk instrumen penegak hukum; sanksi pencabutan hak politik ini dapat
menjadi alternatif tambahan bagi pelaku tindak pidana makar sama seperti
korupsi sebab sanksi ini bertujuan untuk menimbulkan efek jera dan tindakan
preventif bagi tindak pidana makar.
2. Untuk DPR-RI; wacana mengenai makar ini sudah banyak dikaji dan diteliti
namun hal ini hanya menjadi kajian teoritis saja tanpa ada dorongan atau upaya
implementasi. Maka dari itu penulis mendorong DPR untuk mengkaji issue
peneletian hukum yang implementatif terutama dalam bidang hukum pidana
mengingat pemerintah sedang mendorong pengesahan RUU KUHP,
3. Selain itu kajian politik hukum tindak pidana ini sangat luas sehingga saran
penulis agar kajian mengenai tindak pidana makar ini jangan sampai menurun
dan penulis mengharapkan tema makar ini harus menjadi penelitian yang bersifat
continue baik berdasarkan studi kasus maupun dalam sebuah wacana.
91
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Alqur’an dan Terjemahannya, Kementrian Agama RI, Bandung: Jabal Raudlatul
Jannah, 2010
Aji, Ahmad Mukri, Rasionalitas Ijtihad Ibnu Rusyd, Bogor: Pena Ilahi, 2007.
Ali, Zainudin, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Asqalani, al, Ibn Hajar, Bulugh al-Maram, Beirut: Pustaka Daru al-Ihya al-Kutub
al-Arabiyah, t.th.
Amin, Mahir, Konsep Keadilan dalam Perspektif Filsafat Hukum Islam, Jakarta:
Al-Daulah, 2014.
Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2002.
Arkoun, Mohammed, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Asyur, Muhammad Tahir Ibn, Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah, Kairo: Daar al-
Salam, 2006.
Audah, Abdul Qadir, Al-Tasyri’ al-Jina’i al-Islam Muqaranan bil Qanunil Wad’iy,
Terj. Tim Tsalisah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam. Bogor: PT. Kharisma
Ilmu, 2007.
Budiharjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2008.
Chazawi, Adami, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 1988.
Djamil, Fathurrahman, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah, Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1997.
Faruq, al, Asadullah, Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam. Bogor: Ghalia
Indonesia, 2009.
Hakim, Rahmad, Hukum Pidana Islam Fiqih Jinaya, Bandung: CV. Pustaka Setia,
2000.
92
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1984.
Hamzah, Andi, Delik-delik Tersebar di Luar KUHP: Dengan Komentarnya,
Jakarta: Pradnya Paramita, 1992.
Hamzah, Andi, Korupsi di Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1991.
Hamzah, Andi, KUHP dan KUHAP, Cet. 1, Jakarta: Rineka Cipta, 2011.
Hanafi, A, Azas-azas Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1967.
Hujibers, Theo, Filsafat Hukum dalam Lintas Sejarah Yogyakarta: Kanisius,
1993.
Irfan, M. Nurul dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, Jakarta: Amzah, 2013.
Joesoef, Soelaiman, Ilmu Jiwa Massa, Surabaya; Usaha Nasional, 1979.
Kamil, Sukron, Pemikiran Politik Islam Tematik, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2013.
Latif, Abdul dan Hasbi Ali. Politik Hukum, Cet II, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Lamintang , P.A.F. dan Theo Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Jakarta:
Sinar Grafika, 2012.
Lamintang, P.A.F., Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1997.
Lopa, Baharuddin, Al-Qur’an dan Hak-Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: Dana
Bhakti Prima Yasa, 1996.
M. Gaffar, Janedjri, Demokrasi dan Pemilu di Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press,
2013.
Hamdan, M, Politik Hukum Pidana, Jakarta; Raja Grafindo Persada. 1997.
Ma’luf, Luis, Al-Munjid fi Al-Lughah wal Al-‘Ala, Beirut: Daar Al-Masyriq, 1983.
Mahfud MD, Mohammad, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1998.
Mahmassani, Subhi, Konsep Dasar Hak-hak Asasi Manusia, Jakarta : Tinta Mas
Indonesia, 1993.
Marbun, BN, Kamus Politik, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2005.
93
Mas’ud, Muhammad Khalid, Penerjemah Yudian W Asmin, Filsafat Hukum Islam
dan Perubahan Sosial, Surabaya: al-Ikhlas, 1995.
Maududi, al, Abu al A’la, Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Islam (terj), Penerjemah
Bambang Iriana Djaja Atmaja, Jakarta: Bina Aksara, 2000.
Mawardi, al, Al-Imam Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad bin Al-Habib, Hawi al-
Kabir XXII, Beirut: Daar al-Fikr, 1994.
Moelyatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
Muslich, Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Muthohar, Ali, Kamus Arab–Indonesia, Jakarta: PT Mizan Publika, 2005.
Prakoso, Djoko, Tindak Pidana Makar Menurut KUHP, Jakarta: Ghalia Indonesia,
1986.
Prasetyo, Teguh, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Bandung: Nusa Media, 2010
Prodjodikoro, Wiryono, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Bandung:
PT. Eresco, 1980.
Purwodarminta, WJS, Kamus umum bahasa Indonesia,diolah kembali oleh Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jakarta: Balai Pustaka, 1993.
Rhona. K.M. Smith et. al., Hukum Hak Asasi Manusia, Cet. 1. Yogyakarta:
PUSHAM UII, 2007.
Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Bandung: Al-Ma’arif, 1987.
Sardi, Martino, Mengenal Deklarasi Kairo, Yogyakarta: Pusat Internasional
Pengembangan Hak Asasi Manusia, 2005.
Siammora, Sahat, Militer dalam politik kudeta dan pemerintahan (terj), Jakarta;
Rineke Cipta, 1990.
Simanjuntak, B. Pengantar Kriminologi dan Pantologi Sosial, Bandung; Tarsito,
1981.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Cet. III., Jakarta: Universitas
Indonesia, 2010.
Sugandhi, R. KUHP dan Penjelasannya. Surabaya: Usaha Nasional Offset Printing.
1980.
Sugiyono. Metode Penelitian, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Penerbit Alfabeta.
2011.
94
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, Cet XXIII,
Bandung: Alfabeta, 2016.
Suma, Muhammad Amin, Pidana Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Firdaus,
2001.
Suratman dan Phillips Dillah, Metode Penelitian Hukum, Bandung: Alfabeta, 2015.
Syatibi, al, Abu Ishaq Ibrahim, al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah, Beirut: Dar al-
Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th., Juz II.
Syarif, Mujar Ibnu, Hak-Hak Politik Minoritas Non-Muslim Dalam Komunitas
Islam, Bandung: Angkasa, 2003.
Tim Redaksi, Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru Van Houve: 1996.
Tim Penulis Fakultas Syariah dan Hukum. Syariah, Hukum Islam dan HAM.
(Ciputat: UIN Jakarta Press. 2015.
Ubaedillah, A. dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewargaan (Civic Education)
Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2012.
W. Nickel, James, Hak Asasi Manusia, Refleksi Filosofis atas Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia terj, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hida Karya Agung, 1989.
Qardhawi, Yusuf, Fiqh Maqashid Syari’ah, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007.
Zainal, Eldin H. Fiqh Jina’iy Al-Islamiy, Medan: Diktat IAIN, 1990.
JURNAL, MAKALAH dan HASIL PENELITIAN
Abdillah, Masykuri, “Islam dan Hak Asasi Manusia: Penegakan dan Problem HAM
di Indonesia”. Jurnal Miqot, Vol. XXXVIII, 2, (2014).
Dedi Sumardi, “HAM Dalam Dua Tradisi: Refleksi Perbandingan HAM Barat dan
Islam”. Jurnal Pascasarja IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, Vol 14, 1, (2012).
Ibrahim, Aji Lukman, Jurnal Supremasi Hukum Vol III, 1, (2014).
Iswadi, Rudi. “Bugat Dalam Prespektif Al-Qur’an” Tesis S2 Universitas Islam
Negeri Sumatera Utara Medan, (2016).
Jahada, ”Hak Asasi Manusia Menurut Al-Qur’an”, Jurnal Al-‘Adl, Vol. VI, 1,
(2013).
95
Jauhar, Najid, “Islam, Demokrasi dan HAM: Sebuah Benturan Filosofis dan
Teologis”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada,Vol.
XI, (2007).
Mahayanthi, Yosy Dewi. “Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan
pencabutan hak pilih aktif dan pasif terhadap terpidana tindak pidana korupsi
dalam perspektif Hak Asasi Manusia”, Jurnal Pasca Sarjana Universitas
Brawijaya, (2015).
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, “Panduan Permasyarakatan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945”, Jakarta: Sekertariat
Jenderal Majelis MPR RI, (2005).
Netta, Yulia, “Partisipasi Masyarakat dalam Penegakan Hak Asasi Manusia”,
Fakultas Hukum Universitas Lampung: Monograf; Negara Hukum
Kesejahteraan, I. PKKPUU, (2013).
Yeni Handayani, “Pengaturan Hak Asasi Manusia Dalam Konstiusi Indonesia dan
Konstitusi Amerika”, Jurnal Rechtsvinding Online, Oktober (2014).
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan
Terhadap Keamanan Negara.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi ICCPR (International
Covenant on Civil an Polirical Rights)
INTERNET
http//:www.hukumonline.comberita/baca/lt5853bad292be4/mk-diminta-luruskan-
definisi-makar-dalam-kuhp, diakses pada 02 April 2018, Pukul 14.39 WIB.
https://thelawdictionary.org/treason/, diakses pada 02 April 2018, Pukul 14.39
WIB.
https://tafsirq.com/8-al-anfal/ayat-30#tafsir-jalalayn, diakses pada tanggal 01 Juni
2018, Pukul 12.41 WIB.
https://mazhoinside.files.wordpress.com/2010/04/bw_pasal-pasal_makar.pdf,
diakses pada 11 April 2018, Pukul 13.00 WIB.
96
LAMPIRAN
97
98
LAMPIRAN 1
Hasil Observasi/Wawancara dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Nama : Dr. Maneger Nasution., S. Ag., M. A.
Jabatan : Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan
1. Bagaimana pendapat anda tentang keberlakuan hukuman pencabutan
hak politik bagi terpidana, apakah hukuman tersebut merupakan
bagian dari pelanggaran HAM?
Jawaban: Dalam keyakinan kita, sebetulnya norma makar menurut KUHP
bila dikaitkan dengan realitas politik sebenarnya tidak memenuhi unsur
untuk disebut sebagai makar, terlebih bila contohnya kasus 19 tokoh seperti
Al-Khottot, Rahmawati Soekarno Putri, Kivlan Zein dan lain-lain. Makar
itu selalu ada unsur yang harus dipenuhi dan selalu dikaitkan dengan kudeta
bersenjata terhadap pemerintahan yang sah. Lalu, apakah di unsur utama
tersebut ada upaya kudeta yang dilakukan dengan kekuatan persenjataan.
Misalnya contoh kasus terakhir, bagaimana mungkin seorang Rahmawati
Soekarno Putri yang dalam keadaan berjalan pun dibantu oleh kursi roda
melakukan tindak pidana makar? Untuk dapat memperoleh keterangan
maka kita datang ke rumahnya, dan beliaupun tidak memiliki akses
kekuatan persenjataan. Adapun yang paling memungkinkan melakukan
kudeta itu, adalah tentara (didukung oleh tentara) sebab mereka memiliki
kekuatan persenjataan. Jadi, saya berkeyakinan bahwa tuduhan makar itu
berlebihan, karena tidak berdasar dan tidak realistis. Kemudian, bagaimana
dengan pencabutan hak politik? Saya melihat prinsip HAM yang paling
elementer itu universal artinya dimanapun dapat diterima oleh nilai-nilai
kemanusiaan meskipun misalnya di Indonesia, rumusan HAM nya sesuai
dengan mengadopsi, mengapresiasi sekian banyak kultur budaya di
masyarakat kita termasuk agama. Oleh karena itu, HAM di Indonesia sudah
99
rinci diatur, ada hak boleh dan tidak boleh dikurangi karena itu misalnya
regulasi di bidang HAM, dahulu pada konstitusinya terbatas oleh UUD
Pasal 29 tentang Hak Pendidikan dan lain sebagainya. Kemudian setelah
amandemen itu ada Pasal 28 A-J bicara tentang HAM yang berisi 10 poin.
Lalu UU no 39 tahun 1999 mengatur tentang HAM. Lalu, HAM yang berat
yang diatur dalam pengadilan HAM ada di UU no 26 tahun 2000. Lalu,
tentang diskriminasi juga sudah diatur dalam UU no 40 tahun 2008. Di
Indonesia sudah jelas tentang hak mana yang tidak boleh dicabut, mana hak
yang boleh dibatasi oleh negara. Pembatasan hak dalam UU Pasal 28 J,
semua orang punya hak dan boleh dibatasi oleh UU dengan beberapa
pertimbangan. Misalnya pertimbangan keamanan, moralitas, kesehatan,
susila, agama, dan seterusnya. Tapi, pembatasan tersebut harus dengan UU.
Lalu apakah ada UU yang kemudian mengatur pembatasan hak hingga dapat
mencabut hak tersebut? Dalam kasus korupsi misalnya, dalam UU tindak
pidana korupsi memang ada batas tertentu yang membolehkan hukuman
maksimal, misalnya korupsi dana bantuan bencana alam, boleh hukuman
mati walaupun sampai sekarang tidak ada yurispedensinya jangankan
dihukum mati karena korupsi, dituntut matipun belum. Lalu, terkait
pencabutan hak politik memang di beberapa kasus telah terjadi misalnya
seorang pejabat publik lalu dia memanfaatkan kewenangan yang dimiliki
untuk melakukan korupsi atau mempengaruhi dan seterusnya. Pada
beberapa kasus yang dijatuhi masa hukuman 10-20 tahun bahkan seumur
hidup dan kemudian dijatuhi hukuman pencabutan hak politik. Saya
berpendapat bahwa pencabutan hak politik itu pembatasannya harus dengan
UU, tidak boleh dengan PP, Kepres atau di bawah UU (dalam hierarki
perundang-undangan) karena itu merupakan mandat konstitusi. Sepanjang
itu diatur oleh undang-undang, pembatasan bahkan pencabutan hak politik
sebetulnya tidak melanggar HAM selama itu memenuhi unsur yang oleh UU
dibolehkan memutuskan pembatasan tersebut. Selama sesuai dengan UU
yang dibatasi itu boleh. Sama halnya seperti hukuman mati menurut HAM
dalam perspektif liberal tidak boleh mencabut itu (nyawa seseorang) dengan
100
alasan apapun karena itu merupakan hak yang absolut yang tidak bisa
dikurangi dalam kondisi apapun, dan di beberapa negara ada moratorium
(soal hukuman mati), walaupun HAM di Indonesia dalam putusan MK tidak
menganut kemutlakan HAM. Oleh karena itu, UU kita masih membolehkan
hukuman mati sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Bahkan dalam UU
nomor 26 tahun 2000, kejahatan kemanusiaan boleh dihukum mati, seperti
narkotika, korupsi dan lain sebagainya. Oleh sebab itu menurut saya selagi
ada undang-undang yang mengatur dan dilakukan melalui pengadilan yang
adil maka hal tersebut sah-sah saja, dalam kasus tertentu semisal kasus
korupsi saya sepakat bila pelaku dicabutan hak politik bila terbukti secara
sah dan meyakinkan telah menggunakan pengaruh politiknya untuk
melakukan korupsi dengan catatan harus sesuai dengan aturan yang berlaku
(UU Tipikor). Tetapi dalam tindak pidana makar saya tidak sepakat sebab
saya tidak menemukan terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana makar yang
ada hanya tentang perbedaan pandangan politik bila kita melihat beberapa
kasus yang terjadi belakangan ini tetapi mungkin beda halnya bila yang
melakukan adalah militer.
2. Apa perbedaan dan bughat dan makar dalam hukum Islam, mengingat
kata makar juga diadopsi dari bahasa Arab, apakah ada persamaan
bughat dan makar secara terminologi dan etimologi menurut anda?
Jawaban: Dalam normanya terdapat persamaan antara bughat dan makar
yakni sama-sama melakukan pemberontakan atau hal-hal lainnya terhadap
pemerintahan yang sah dalam suatau negara. Namun apakah sama, makar
yang dimaksud oleh KUHP dengan bughat dalam Islam?, dalam aturannya
tentu saja berbeda sebab KUHP kita merupakan warisan kolonial dan
bughat sendiri sumber hukumnya berasal dari al-Qur’an dan Hadis. Jika kita
melihat itu dari perspektif sejarah maka jelaslah terjadi perbedaan yang
cukup signifikan dimana Hukum Islam melalui al-Qur’an dan Hadis
mendahului hukum yang dibuat oleh pemerintahan kolonial Belanda tentu
saja substansinya juga berbeda begitu juga dengan sanksi dan mekanisme
101
peradilannya. Lalu bagaimana kita menterjemahkan sebagai fakta?
Kemudian melihat kasus itu saya melihat tidak dapat dikatakan sebagai
makar walaupun secara norma sama. Hal ini sama seperti hukuman mati
dalam Islam dengan hukuman mati dalam KUHP itu berbeda. Jika dalam
Islam selalu dikaitkan dengan hukuman akhir tetapi tidak mutlak seperti
misalnya diyat dapat mengurangi bahakan menghilangkan tuntutan
maksimal. Jika dalam KUHP ada grasi, misalnya kejahatan terhadap negara
kemudian presiden memberikannya itu sebagai penghargaan terhadap
kemanusiaan. Hal ini memiliki persamaan secara norma tetapi memiliki
perbedaan dalam mekanismenya, dimana penghapusan hukuman mati
terhadap pelaku diberikan oleh keluarga korban, sementara dalam konteks
KUHP penghapusan hukuman mati diberikan oleh penguasa. Dalam norma
makar ingin menjatuhkan kekuasaan yang sah lalu menggunakan kekuatan
bersenjata. Tetapi bukan dalam konteks berbeda pendapat. Jika berbeda
pendapat, itu tidak memenuhi syarat. Pada dasarnya makar berasal dari
bahasa Arab (المكر). Namun kemudian konteksnya menjadi berbeda dari
Bahasa Arabnya sendiri. Sementara dalam praktiknya memang berbeda.
Rumusan norma yang jelas telah dibahas.
3. Dalam Al-Qur’an sanksi untuk para pelaku bughat yakni dengan
memeranginya sementara itu di literatur yang berbeda menyebutkan
sanksi bagi pelaku bughat merupakan ta’zir yang ditentukan oleh ulil
amri. Bagaimana pendapat anda tentang hukuman bughat menurut
hukum pidana Islam?
Jawaban: Mekanisme pemidanaan sudah diatur sedemikian rupa oleh para
ulama dalam hukum pidana Islam. Pencabutan hak politik dapat dilakukan
bila ada mekanismenya, seperti misalnya ta’zir hukumannya diserahkan
kepada ulil amri. Namun sebagaimana yang kita ulas sebelumnya bila
konteks bughat atau makar dalam hukum di Indonesia maka memerangi
pelaku makar sama halnya dengan menjerat pelaku yang kalah dalam
perebutan kekuasaan hal ini harus kita clear-kan. Konteks penjelasan dalam
102
al-Qur’an merupakan penjelasan yang general (‘am) dan peran para ahli fiqh
mensimetriskan menjadi ketentuan khusus dan aplikatif bagi kehidupan
yang normal artinya konteks memerangi dalam al-Qur’an merupakan
hukuman dalam kondisi peperangan. Namun bila kita mengacu pada hukum
pidana Islam maka mekanisme penjatuhan pidananya melalui ta’zir. Bila
konteksnya adalah Hukum Islam di Indonesia, qanun Aceh cukup relatif
mengusung syariat dalam konteks Indonesia walaupun belum sempurna.
Seingat saya, ta`zir di Aceh itu ada beberapa, tetapi qanun itu tidak memuat
soal bughat. Mereka lebih kepada jinayah biasa tidak sampai pada jinayah
politik. Jika pada jinayah pidana Islam mereka lebih ke hudud dan ada ta`zir
juga didalamnya. Pengaturannya ta’zir harus sesuai dengan regulasi seperti
di Aceh regulasinya adalah melalui qanun. Di Indonesia yang kemudian
dapat dijadikan contoh adalah Aceh, bagaimana diserahkan kepada ulil amri
tapi ada basis undang-undangnya. Kontektualisasi Al-Qur`an dalam konteks
Indonesia, bisa diobjektifikasi melalui mekanisme regulasi yang masuk
konstitusi dan undang-undang yang kemudian dipositifkan. Upaya-upaya
itu kemudian ada meski baru sebatas yang sifatnya non jinayah seperti
waqaf, haji, zakat. Paling tinggi itu ada Komplikasi Hukum Islam (KHI).
Tapi lebih banyak hubungan keperdataan. Saya setuju bila pelaku tindak
pidana makar dicabut hak politiknya, tetapi harus didasarkan pada undang-
undang. Secara politis bughat benar atau salahnya pelaku ditentukan pada
hasil akhir yakni persoalan menang atau kalah. Jika dia menang maka
kemudian dia benar dan jika pemberontakan itu kalah maka dia dinyatakan
bersalah. Atau misalnya, jika PKI menang maka PKI itu tidak salah dan
kemudian dalam tarikh kasus perang shiffin misalnya jika Imam Ali RA
memenangi peperangan itu dan tidak melakukan arbitrase maka pasti
kelompok Mu’awiyah Bin Abi Sufyanlah yang dianggap sebagai pelaku
bughat sebab Imam Ali Bin Abi Thalib merupakan khalifah yang dipilih
berdasarkan konsensus yang legitimate. Namun kenyataannya siapa yang
dianggap menjadi pemberontak? Jelas sekali pengikut Ali Bin Abi Thalib
yakni dari golongan syi’ah yang diperangi Muawiyah dan pasukannya, hal
103
ini terjadi karena Mu’awiyah Bin Abi Sufyan memenangi perang shiffin dan
membangun Dinasti Umayyah. Sebetulnya bughat itu sangat dominan
dimensi politiknya.
4. Mungkinkah ulil amri memberikan ta’zir berupa pencabutan hak
politik seperti menduduki jabatan publik dan atau memiliki hak
memilih serta dipilih kepada terpidana makar?
Jawaban: Bila kita melihat ta’zir pencabutan hak politik bagi pelaku tindak
pidana makar di Indonesia maka hal ini belum tepat sebab dalam qanun
jinayah di Aceh saja -sebagaimana yang kita bahas sebelumnya- belum
memuat perihal tindak pidana bughat atau makar di negara kita. Jadi belum
tepat bila hakim sebagai perpanjang tanganan pemerintah memutuskan
ta’zir bagi pelaku tindak pidana makar sebab mekanisme sanksinya juga
belum diatur di dalam qanun jinayah di Aceh misalnya. Oleh sebab itu
hakim di Aceh tidak bisa memutuskan bila kita mengacu kepada undang-
undang kekuasaan kehakiman. Sementara itu bila kita melihat dalam
perspektif Islam maka hal itu mungkin saja dilakukan bila mengedepankan
penegakan hukum yang modern sebab sanksi ini merupakan sanksi
kontemporer. Akan tetapi bila mengacu pada Al-Qur’an dan Hadist
sebagaimana yang tadi kita diskusikan bahwa memang tidak ada sanksi lain
dalam tindak pidana bughat selain memerangi, penjara atau bahkan
dihukum mati. Intinya adalah bahwa penjatuhan pidana ini merupakan hal
yang baru dalam konteks hukum pidana Islam, akan tetapi bila hakim
bersepakat untuk melakukan ijtihad untuk mencabut hak politik seseorang
naka hal itu sah-sah saja. MUI telah mengeluarkan fatwa kebangsaan
mengenai bughat atau pemberontakan ini dimana kesimpulannya adalah
segala sesuatu yang mengarah kepada upaya makar, bughat atau
pemberontakan maka hukumnya adalah haram adapun mengenai sanksinya
maka dikembalikan kepada negara sebagai pemilik otoritas.
104
5. Apakah sanksi pencabutan hak politik melanggar hak asasi manusia
dalam pandangan hukum pidana islam dan maqoshidu al-syari’ah, dan
dimana letak dimensi keadilan dalam hukuman tersebut?
Jawaban: Makar atau bughat ini untuk masuk ke maqoshidu al-syari’ah
masih menuai problem menurut saya, apalagi bila hukumannya mengenai
pencabutan hak politik ataupun hukuman lainnya seperti penjara bahkan
hukuman mati. Sebab dimensi politik (perebutan kekuasaan) dalam kasus
makar atau bughat ini masih lebih dominan dari pada mengenai pencarian
keadilan. Maqashidu al-syari’ah ini merupakan ruh dari tegaknya syariat
Islam dan sangat filosofis, dia tidak mengenal kalah atau menang.
Maqoshidu al-syari’ah berbicara pada konteks keadilan, kebenaran dan
kesetaraan. Namun bila berbicara perihal keadilan saya sepakat bila pelaku
makar dicabut hak politik itupun kalau kasusnya tidak dipolitisir.
Selanjutnya bila kita mengacu pada maqoshidu al-syari’ah kita lihat aja
mana yang lebih maslahat mencabut nyawa seseorang atau mencabut hak
politik seseorang. Apalagi dalam hukum pidana Islam sanksi hukuman mati
sendiri dijatuhkan bila pelaku juga melakukan pembunuhan terhadap
korbannya. Sejauh sanksi tersebut dalam due proccess of law-nya berjalan
dengan baik sesuai dengan prosedur maka pencabutan hak politik bagi
pelaku tindak pidana makar saya kira tidak melanggar ketentuan hak asasi
manusia secara prinsip. Bila kita melihat maqoshidu al-syari’ah mengenai
sanksi pencabutan hak politik terhadap pelaku tindak pidana makar kalau
saya melihat ini sebagai dua konteks yang berbeda seperti yang saya
jelaskan tadi. Akan tetapi bila seseorang dicabut hak politiknya sebagai
konsekuensi atas perbuatannya dan hal tersebut diatur dalam undang-
undang maka saya sepakat terhadap pencabutan hak politik.
105
106
LAMPIRAN 2
Hasil Observasi/Wawancara dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(KOMNAS HAM)
Nama : Agus Suntoro., S. H.
Jabatan : Analis Perlindungan Hak Sipil dan Hak Asasi Manusia
1. Bagaimana pendapat anda tentang keberlakuan hukuman pencabutan
hak politik bagi terpidana, apakah hukuman tersebut merupakan
bagian dari pelanggaran HAM?
Jawaban: Begini, mau sampai pada konteks pencabutan atau hak
pencabutan kita harus melihat rumusan pembatasan hak, dalam konteks
internasional ada hak yang harus ditunaikan dan ada hak yang dapat
dikurangi dalam kondisi tertentu. Itu yang terkait derogable right dan
underogable right salah satunya memang soal penghukuman. Hal itu
ditegaskan kembali dalam UU 39 Tahun 1999 tentang HAM salah satu pasal
70 mengatur tentang pembatasan hak yang harus diatur melalui UU dengan
beberapa klausul, adanya penghormatan terhadap kebebasan hak orang lain,
pertimbangan moral, ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Untuk melihat konteks itu, maka kita melihat Apakah definisi pembatasan
dalam konteks Siracusa Principle. Siracusa prinsip merupakan salah satu
prinsip yang di adopsi dari PBB, cuma pembatasan itu dibenarkan atau
tidak.
Pertama, ketetapan oleh hukum, itu harus clear hukum nasional harus
mengatur ke sana dan yang kedua Tidak boleh ada kesewenang-wenangan
dalam penetapan hukum. Jadi kita harus melihat bahwa hukum itu bukan
untuk tindakan pembalasan dan lain-lain sebagainya, tapi ini dalam
kerangka menjamin situasi yang diperlukan dalam keadaan nasional.
107
Kedua, terkait dengan mempertahankan masyarakat dalam konteks
demokratis, demokratis itu kita harus lihat secara lebih detail, di Indonesia
misalnya kita tidak hanya negara hukum menempatkan HAM dalam
kerangka Undang-undang Dasar.
Ketiga, Soal ketertiban umum, apakah pengaturan melalui bersifat
membatasi ketertiban umum, yaitu memang agak susah, ada indikasi untuk
ketertiban umum bisa dikontrol, artinya lembaga-lembaga negara yang
melakukan pembatasan dalam konteks ini kepolisian, kejaksaan itu kita bisa
kontrol jadi dia tidak sewenang-wenang menjatuhkan hukuman terhadap
kejahatan ini
Keempat, moral politik, itu menjadi prinsip yang harus dipenuhi yaitu
melihat niatan dari rumusan/kebijakan penagturan soal pembatasan-
pembatasan ini untuk apa? Itu juga penting untuk dilakukan, tidak boleh lah
niat kita untuk pembalasan, niat kita untuk menghancurkan seseorang, itu
tidak diperbolehkan.
Terakhir, keamanan nasional, lebih ditekankan pada dua aspek pertama,
integrasi nasional dan yang kedua, soal kebebasan berpolitik, itu juga tetap
harus diatur, jangan sampai karena orang berbeda pandangan politik kita
tetapkan sebagai makar, juga agak riweuh, dia tetap harus pada koridor.
Jadi secara keseluruhan prinsip-prinsip itu tetap harus ada dan dianggap
memenuhi unsur, kalau hanya misalnya kita tidak suka, lalu di cari-cari
rumusan dan diproses melalui kebijakan makar kan itu repot, karena kalau
kita mengacu pada makar unsurnya susah kan, dia punya otoritas, dia punya
senjata, jangan hanya karena orang beda pendapat, kritik keras, berkumpul
dan segala macam kemudian dianggap makar, itu penting untuk dilakukan,
itu yang perlu kita pikirkan, dan apakah pembatasan itu melanggar HAM?
Dari norma membatasi hak politik itu bisa dibenarkan, tapi apakah itu tepat
dilakukan dalam konteks makar atau tidak itu yang perlu kita perdalam
kembali. Bahwa pembatasan secara normatif mengacu pada konvensi
108
internasional, dan aturan-aturan hak internasional itu dibenarkan dan juga
aturan-aturan nasional juga dibenarkan, sepanjang tadi yang bersifat
derogable right dibenarkan, tapi prinsipnya tadi, lima tentang itu yang harus
ada.
2. Kasus ini harus melalui the process of law, setelah dia masuk tahapan
persidangan, hakim mempunyai kekuasaan dan kewenangan untuk
memutuskan suatu perkara. Pada beberapa kasus belakangan sanksi
ini hanya diputuskan pada kasus korupsi saja. Sebagaimana statement
dari Saldi Isra beliau berpendapat “setiap pembatasan hak itu tidak
dibenarkan, karena setiap orang memiliki hak yang sifatnya kodrati
lantas mengapa harus dibatasi haknya?”. Bagaimana pendapat anda
mengenai hal ini?
Jawab: Kita harus melihat dua konteks, pertama, soal pembatasan dalam
kerangka hukum dan HAM ini, artinya dari norma-norma internasional dan
nasional memungkinkan, sepanjang tidak bertentangan dengan siracusa
prinsip, misalnya soal keamanan, moral politik dan lain sebagainya,
sepanjang ini dipenuhi, pembatasan melalui UU itu dibenarkan. Bahwa
Apakah ini tepat diberlakukan dalam kejahatan makar? Kalau kita mengacu
pada Pasal 35 KUHP itu masih mencantumkan soal bagaimana hukuman
tambahan diatur, secara norma dibenarkan, yang tidak betul adalah apakah
ini dikontekstualisasikan dalam kasus-kasus makar, artinya dimungkinkan.
Tadi disampaikan Makar unsurnya banyak, betul-betul mengancam jiwa
otoritas negara, dan unsurnya harus terpenuhi. Bahwa apakah ini tepat
menjadi ancaman? Inilah kasus yang lebih berdimensi politik hukum,
politik hukumnya yang lebih dominan artinya baik dari kepolisian,
kejaksaan, pengadilan masuk pada prinsip siracusa, dia bisa dikontrol
tidak? Artinya dia independen menjatuhkan putusan ini, atau diperintahkan
oleh penguasa, penyimpangan hukumnya di situ. Kalau dia menjalankan
kerangka ini sesuai dengan aturannya, dan segala macam pertimbangan-
pertimbangan yuridisnya dia masuk, serta ada keyakinan hal itu
109
dimungkinkan. Namun kalau sudah ada indikasi menjadi bagian dari alat
politik negara untuk melawan oposisi (lawan politik) hal itu yang tidak
boleh terjadi, itulah pentingnya kajian politik di sana. Hukum itu harus
netral, harus berdasarkan pada konteks politik. Dari konsep itu sebetulnya
yang perlu dilihat; Satu, norma artinya normanya tidak ada problem -
sepanjang normatif- yaitu dimungkinkan, dimungkinkan apakah kebijakan
makar itu mungkinkan challenge-nya, tentunya pembatasan itu boleh tapi
keputusan yang diambil tidak untuk menjatuhkan, menjamin prinsip negara
yang berdemokrasi itu jangan sampai dilakukan untuk menghancurkan
lawan politik dalam kerangka untuk pembungkaman. Sebetulnya
pembatasan-pembatasan dalam konteks korupsi, dalam kejahatan makar
relatif tidak ada, dan ini tentu sensitif, karena bisa dianggap sebagai
pembungkaman, tapi secara norma tadi saya sampaikan dimungkinkan
dengan aturan internasional maupun nasional, tapi penerapannya harus
melihat indepedensi dari aparatur negara yaitu yang bisa dikontrol, yang
bisa menjatuhkan secara independen dan itu merupakan bagian dari proses
tujuan hukum (keadilan, kemanfaatan dan lain-lain). Artinya pemerintah
sebagai aparatur negara dan segala aparaturnya tidak boleh intervensi,
meskipun kejaksaan dan kepolisian bagian dari eksekutif. Inilah saya kira
challenge untuk penelitian ini bahwa jangan sampai kedepannya kejahatan-
kejahatan makar menjadi alat abuse of power, sanksi tambahan mengenai
tindak bisa dicantumkan di RUU KUHP dan dispesifikasi pastinya terhadap
keajahan apa saja selain korupsi. Pasal 35 KUHP ini sebenarnya berpotensi
sekali untuk dijatuhkan kepada terpidana apapun selain korupsi bila
kepentingan politiknya besar sebab ini merupakan ketentuan umum. Intinya
pembatasan harus diatur melalui UU, termasuk KUHP itu sendiri. Agak
riskan kalau semisal hakim memutuskan suatu hukum beradasarkan
ketentuan umum. Maka daripada itu bila ingin menerapkam sanksi
pencabutan hak politik bisa saja kita menjadikan UU tipikor sebagai role
model.
110
3. Beberapa tahun belakangan banyak terjadi kesimpang siuran tentang
laporan mengenai tindak pidana makar, mengingat pasal ini
merupakan pasal karet, apakah menurut anda pasal mengenai tindak
pidana makar ini merupakan pasal yang dapat mereduksi hak
masyarakat untuk mengkritisi kebijakan pemerintah?
Jawab: Pada dasarnya kalau kita mengacu pada konteks HAM, sanksi itu
bukan penghukuman, tetapi pembinaan kepada narapidana dan orang-orang
bersalah, hal itu dilakukan untuk kemaslahatan hukum kemudian untuk
perbaikan kedepan terhadap person-nya. Kita mengamini bila pelaku atau
terpidana menciderai komitmennya terhadap publik atau mengingkari
norma-norma moral, tapikan ada mekanisme lain yang dapat dilakukan
untuk membatasi hak dia mengajukan diri sebagai pejabat publik, seperti di
KPU. KPU melalui PKPUnya telah membatasi hak seseorang mencalonkan
diri sebagai pejabat publik sebab kasus korupsi, kejahatan seksual terhadap
anak. Tapi kenapa saya katakan makar sulit? Karena selain aspek politiknya
dominan dia juga sangat berpengaruh terhadap stabilitas nasional bahkan
mungkin internasional. Menentukan seseorang makar atau tidak itu saya
kira sangat sulit dan sangat sensitif. Karena tidak hanya kebebasan dia
menyampaikan ekpresi misalnya self determinition atau keingin untuk
merdeka seperti Papua maupun Aceh, tapi ini soal aspek-aspek dibenturkan
integritas, nasionalisme, dan perebutan kekuasaan. Itu menjadi sensitif,
ketika ada pembatasan soal hak politik untuk terlibat dalam pemerintahan
kan gitu. Jadi dimensi itu kalau kita mengacu normanya dalam konteks
HAM dimungkinkan untuk dicabut hak politik seseorang (walaupun dalam
kasus makar saya kira sangat rumit), karena ini bersifat derogable right
seperti; penyiksaan, kebebasan beragama dan lain-lain. Hal ini
diperbolehkan, maksud diperbolehkan dalam konteks HAM itu bersifat
necessity artinya harus proporsional dan tujuannya sebanding dengan
manfaatnya. Membatasi hak seseorang manfaatnya harus lebih besar
manfaatnya dari pada tujuan mencabut hak seseorang, jangan sampai tidak
proporsional. Apakah dalam makar ini seperti itu? Itu tergantung dari
111
otoritas para penegak hukum. Jangan sampai hal itu terjadi (tidak
proporsional). Bila mengacu pada data KOMNAS HAM laporan terkait
pencabutan hak politik ini banyak kami terima dari para pelaku tindak
pidana korupsi itupun soal hak mereka mendapatkan remisi tetapi belum
ada yang minta dicabut sanksi pembatasan hak politiknya, adapun laporan
mengenai makar banyak kami terima soal kriminalisasi seseorang sebab
menyampaikan pandangannya yang tidak sepaham dengan pemerintah.
Seperti kasus 212 contohnya, para pihak yang diduga melakukan tindak
pidana makar sebagian besar melapor kepada kami untuk diadvokasi.
4. Beberapa waktu silam pasal makar dalam KUHP di-judicial review
oleh salah satu institusi yakni ICJR (Institute for Criminal Justice
Reform) tetapi ditolak oleh MK. Sebenarnya yang jadi pertanyaan
besar buat saya itu pasal ini pasal karet, bisa saja djatuhkan oleh
siapapun yang tidak dikehendaki oleh pemerintah, nah kalau
seandainya tadi secara pure seseorang melakukan pemberontakan
dengan dasar tidak sepakat dengan kebijakan pemerintah/eksekutif
dan dicabut hak politiknya, apakah hal itu sebenarnya tidak melanggar
HAM, walaupun sanksi pencabutan/pembatsan hak politiki itu
derogable right?
Jawaban: Tentu penegak hukum sangat hati-hati untuk menentukan
pelanggaran atau tidak dalam kasus makar ini. Makar, unsurnya banyak
yang harus dipenuhi, bukan bersifat alternatif tapi dia harus kumulatif.
Seperti pada peristiwa 212, saya yang kebetulan mendampingi para terduga
makar ini ketika menemui beberapa ahli seperti; Prof. Mahfud, kemudian
ketua Peradi, dan ahli hukum pidana dari beberapa kampus. Semua
menyimpulkan bahwa peristiwa 212 bukan merupakan tindak pidana
makar, makanya polisi tidak bisa masuk dan semua terduga bebas. Massa
aksi 212 menuntut ingin menggulingkan pemerintah dalam hal ini presiden
sebagai kepala negara akan tetapi fakta lapangannya tidak ditemukan unsur
112
makar seperti kekuatan persenjataan, mengancam keselamatan presiden
atau unsur lainnya. Selanjutnya mereka bergerak ke gedung DPR/MPR dan
meminta MPR bersidang untuk meng-impeach Pak Jokowi selaku presiden
misalnya, hal itu secara norma/HTN dibenarkan, maka dari itu kalau ingin
terpenuhinya unsur makar itu susah sekali, kecuali dalam negara yang
otoriter mungkin. Pasal inikan merupakan warisan kolonial, memang
Belanda menempatkan itu untuk melindungi penguasa dan kekuasaannya
kan. Celakanya MK dalam hal ini (judicial review) tidak memenuhi harapan
kita. Paling tidak kejahatan-kejahatan seperti ini diatur dan penerpannya
dikontrol misalnya; studi kasus (kebetulan banyak laporan yang masuk
karena mereka tidak bisa pulang ke negaranya) Turki antara Erdogan dan
Fethullah Gulen, sebenarnya seperti itu kan (pencabutan hak politik
terhadap pelaku makar), orang yang di luar koalisi Erdogan dituduh sebagai
makar, berikut juga organisasi-organisasi yang mengkritik pemerintah
seperti organisasinya Fetullah Gulen, semua haknya dibatasi, hak politiknya
dicabut, tentu itu tidak boleh secara HAM. Tapi dalam konteks norma dan
aturan itu dibenarkan ada soal pembatasan, tapi penerapannya seperti apa
itulah dua hal yang berbeda.
5. Dalam literatur akademik mengenai HAM, kita mengenal istilah
derogable right dan underogable right. Hak politik merupakan bagian
dari derogable right, apakah pembatasan hak memilih dan dipilih
sesuai kiranya dijatuhkan kepada terpidana yang menyalahgunakan
kewenangan politiknya?
Jawab: Secara prinsip dibenarkan tetapi bagaimana itu tidak dilakukan
secara sewenang-wenang, siracusa principles itu yang menjadi acuannya,
dan memang seperti itu, norma internasionalnya. Dalam ICCPR pembatasan
dilakukan bukan dalam rangka mengingkari hak-hak itu, tetapi yang kita
sebut tadi necessity. Memang masih ada polemik didalamnya tapikan dia
bersifat ajuan. Mengenai pelaksanaan pemerintahlah yang
mengundangkannya. Harapan kita meskipun ada pembatasan, kerangka
113
pelaksanaannya yang harus bisa dikontrol, dikontrolnya melalui apa? Satu,
dalam tujuan-tujuan tertentu misalnya kita merumuskan dalam RUU KUHP
kejahatan apa saja bisa dicabut haknya. Kedua, lembaga-lembaga ini harus
bisa dikontrol. Dan ketiga, harus ada pembatasan sebagaimana presiden
sebagai kepala negara tidak melakukan intervensi terhadap jajaran-
jajarannyanya, itu memang agak subyektif tetapi ini yang harus
dicantumkan. Hak politik dalam hal ini merupakan derogable right artinya
bila mekanismenya diatur maka hal itu tidak melanggar HAM. Hak dalam
hal ini yang kita kenal sebagai underogable right-lah tidak boleh direduksi
dalam keadaan apapun, meskipun di negara kita masih mengenal hukuman
mati. Pada dasarnya sekalin saya menjawab pertanyaan urgensi penerapan
sanksi ini, intinya mencabut hak politik seseorang secara norma
internasional disahkan, sejauh hal tersebut diatur dalam undang-undang.
Namun yang menjadi persoalan adalah putusan hakim apakah adil atau tidak
terus telah diintervensi atau tidak, inilah yang harus menjadi tugas kita
bersama terlebih aparatur pemerintahan baik eksekutif, yudikatif dan
legislatif. Jangan sampai ini menimbulkan celah ketidak adilan. Saya kira
untuk konteks sekarang tidak urgent ya menjatuhkan hukuman tambahan
kepada pelaku tindak pidana makar sebab itu tadi pidananya saja sulit untuk
dipenuhi unsur-unsurnya.
114
115
116
LAMPIRAN 3
Hasil Observasi/Wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Nama : Saifudin Zuhri., S. H., M. Hum.
Jabatan : Hakim Madya Utama
1. Bagaimana pendapat anda sebagai hakim mengenai sanksi tambahan
pencabutan hak politik bagi pelaku tindak pidana, mungkinkah sanksi
tersebut menjadi preseden hakim untuk menjatuhkan pidana
tambahan tersebut kepada pelaku tindak pidana makar?
Jawaban: Tuupoksi saya disini sebagai praktisi dan kapasitas saya
menjawab ini sesuai dengan legal formil. Tentunya bila aturannya ada maka
bisa saja diterapkan dan begitu juga sebaliknya. Sementara itu secara proses
sebagai seorang hakim kami menunggu perkara yang dilimpahkan oleh
pihak jaksa setelah penyidikan dan penyelidikan oleh kepolisian. Sementara
itu mengenai pendakwaan terhadap suatu perkara hal ini dilakukan oleh
jaksa. Sejauh ini ketentuan mengenai pencabutan hak politik hanya diatur
pada tindak pidana korupsi namun mengenai makar belum ada ketentuan
(khusus) yang mengatur. Adapun bila terdapat sanksi pencabutan hak-hak
tertentu didalam pasal 35 KUHP hal tersebut merupakan ketentuan umum.
Artinya pasal tersebut merupakan legi generali tapi bila kita merujuk
kepada UU Tipikor maka hal tersebut sudah masuk kepada lex specialis
artinya terdapat ketentuan khusus yang mengatur pemberian sanksi
pencabutan hak politik, hal tersebut sesuai dengan dakwaan dan setelah itu
jaksapun akan menuntut dengan aturan yang sama dan tidak boleh
menambah tuntutan yang lain bila tidak ada ketentuannya. Bila ingin
menambahkan pencabutan hak politik dalam tindak pidana makar maka
harus melalui mekanisme yang sudah diatur dalam perundang-undangan
yakni melalui legislatif atau mengajukan judicial review atau mekanisme-
117
mekanisme lainnya yang konstitusional. Adapun kapasitas hakim disini
hanya memutuskan sesuai dengan aturan yang tertulis. Bila kita melihat
pasal mengenai makar seperti pasal 87, 87, 104, 105, 106, 107, 130, 139a,
139b dan 104 tidak ada nomenklatur yang mengatur perihal pidana
pencabutan hak politik pelaku pidana makar dan hakim tidk dapat
menambah-nambah putusan atau menjatuhkan sanksi.
2. Bila sanksi pencabutan hak politik tidak dimungkinkan untuk
dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana makar, dapatkah hakim
melakukan yurisprudensi untuk menjatuhkan sanksi tersebut?
Jawaban: Memang hakim memiliki wewenang untuk melakukan
yurisprudensi karena itu sumber hukum artinya hakim berijtihad untuk
menjatuhkan hukuman baagi terpidana. Namun hal ini tidak mudah, kita
harus membertimbangkan aspek sosial, filosofis, yuridisnya serta historis.
Kalau misalnya aspek yuridis sudah terpenuhi termasuk yang tadi
(ketentuan umum KUHP pasal 35) akan tetapikan ada aspek lainnya seperti
aspek sosial. Bila kasus ini menjadi sorotan publik dan mendapat pressure
dari masyarakat ya saya kira tergantung urgensi ya. Apakah ini mendesak
atau tidak, sejauh ini memang tidak ada dan sedik sekali memang hakim
melakukan yurispridensi terhadap suatu kasus tindak pidana.
3. Pada beberapa waktu belakangan bapak menjatuhkan pidana kepada
Irwandi Yusuf dalam kasus TIPIKOR, apa dasar pertimbangan hakim
secara umum menjatuhkan pidana tambahan bagi tersangka.
Jawaban: Pendapat pribadi saya adalah sebagian besar pertimbangan hakim
menjatuhkan putusan pencabutan hak politik ini adalah penegakan hukum
dan implementasi good and clean governanvce (dalam kasus tipikor).
Seperti pada kasus yang baru saya putus dan ini masih ada upaya hukum;
“Majelis Hakim mempertimbangkan bahwa hak masyarakat untuk
mendapat pemimpin daerah yang bersih dan berintegritas tinggi lebih
118
diutamakan, sehingga pemintaan agar terdakwa Irwandi Jusuf dicabut hak
untuk dipilih dalam jabatan publik, dikabulkan oleh majelis hakim. Selain
dari pada itu pencabutan hak politik untuk dipilih dalam jabatan publik
adalah hak yang dikecualikan dari hak-hak dasar manusia (Hak Asasi
Manusia)”.
Seperti yang saudara sampaikan juga mengenai pertimbangan Hakim
Artidjo Alkostar, nah maka dari itu kami selaku hakim juga berupaya
melakukan tugas kami dengan baik berdasarkan aturan dan pertimbangan
keadilan. Dalam kasus ini memang tidak ada ketentuan yang mengatur
perihal pencabutan hak politik terpidana makar namun saya kira bila
saudara melalui penelitian ini bisa mengajukannya sebagai pertimbangan
akademik.
4. Apakah menurut anda sanksi pencabutan hak politik merupakan
pelanggaran hak asasi manusia?
Jawaban: Hakim tidak bisa menanggapi seperti itu, kalau pasalnya ada,
misalnya seperti korupsi, bisa dihukum dengan pidana tambahan
pencabutan hak politik. Yang kami lakukan selaku hakim adalah
menjatuhkan putusan sesuai dengan tuntutan yang diajukan jaksa penuntut
umum. Selanjutnya kami tidak bisa menambah sanksi yang dituntutkan oleh
penuntut umum dan itupun harus sesuai dengan aturan yang tertulis. Maka
dari itu adapun kajian mengenai pelanggaran hak atau lain sebagainya itu
adalah tupoksi dari para ahli bukan tupoksi kami sebagai hakim dalam
memutuskan suatu perkara.
5. Sebagai sebagai seorang hakim selain kasus korupsi apakah ada kasus
lain yang pelakunya dapat atau pernah dijerat dengan pidana
tambahan pencabutan hak politik?
Jawaban: Sejauh saya menjadi hakim memang belum ada sanksi pencabutan
hak politik yang dijatuhkan kecuali pada tindak pidana korupsi. Ya, seperti
yang saya bilang tadi sebab ketentuan tersebut hanya terdapat pada tindak
pidana korupsi dan tidak pada tindak pidana lainnya.
119
LAMPIRAN 4
Tabel Undang-Undang Hak Asasi Manusia
Peraturan Pasal Ketetangan
Undang-Undang
Dasar RI 1945
1 (2), 2 (1), 6A (1), 19 (1),
22C (1), 28, 28C (2), 28D
(1, 3, 4), 28E (1, 2, 3),
28G (2), 28I (1).
Pasal-pasal yang dikutip
merupakan pasal yang berkaitan
dengan hak politik.
Undang-Undang
No. 9 tahun
1998.
1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8.
Tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Opini di Muka
Umum.
Undang-Undang
No. 39 tahun
1999.
18 (1, 2, 3, 4, 5), 23 (1, 2),
24 (1, 2), 25, 39, 43 (1, 2,
3), 44, 46, 49 (1), 73, 74.
Tentang Hak Asasi Manusia.
Adapun pasal-pasal yang
terlampir berkaitan dengan hak-
hak politik.
Undang-Undang
No 26. tahun
2000.
7 (b), 9 (h), Tentang Pengadilan HAM dan
penguatan instrumen HAM.
Undang-Undang
No. 12 tahun
2005.
Seluruh pasal.
Tentang Pengesahan ICCPR
(Kovenan Internasioanl tentang
Hak-Hak Sipil dan Politik).
Undang-Undang
No. 2 tahun
1999.
1 dan 8. Tentang Partai Politik
Undang-Undang
No. 3 tahun
1999.
1 (1, 2, 6), 28, 29 (1 dan
2), 30, 31, 32 (1), 41, 42,
43 (1, 2).
Tentang Pemilihan Umum.
Undang-Undang
No. 4 tahun
1999.
3 (1e).
Tentang Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR dan
DPRD.
120