Upload
vohanh
View
220
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Jurnal Tugas Akhir
1
Studi Pengaruh Variasi Jarak pada Konfigurasi Oscillating Parts
Pembangkit Listrik Energi Vortex
Hana Qudsiyah(1)
, Mukhtasor (2)
, Rudi Walujo(3)
1Mahasiswa Teknik Kelautan,
2,3Staf Pengajar Teknik Kelautan
Abstrak
Selama ini para peneliti berusaha untuk meredam Vortex Induced Vibration (VIV) karena menyebabkan terjadinya getaran pada struktur. Disamping mempunyai dampak buruk, ternyata VIV juga dapat membangkitkan listrik
dengan memanfaatkan energi kinetik dari vibrasi struktur yang ditimbulkan. Pembangkit listrik energi vortex
adalah konsep baru dalam bidang renewable energy. Tugas akhir ini memfokuskan bahasan tentang oscillating part majemuk pada pembangkit listrik energi vortex. Variasi jarak antar konfigurasi oscillating part akan
menghasilkan perbedaan amplitudo yang terjadi. Konfigurasi yang dibandingkan adalah sejajar vertikal dan
segitiga. Variasi nilai rasio jarak, G/D mulai dari 2 sampai 5 dengan kecepatan arus 0,5; 0,75 dan 1 m/s. Dengan
bantuan software Computational Fluida Dynamic dilanjutkan dengan perhitungan manual menggunakan persamaan dinamika struktur, akan didapatkan nilai amplitudo pada oscillating part. Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa
nilai G/D berbanding lurus dengan amplitudo yang dihasilkan. Semakin besar G/D, amplitudo yang dihasilkan juga
semakin besar. Sedangkan nilai frekuensi konstan terhadap variasi G/D. Uji hipotesis mengenai rataan dua populasi menunjukan bahwa konfigurasi vertikal sejajar dan segitiga mempunyai kinerja yang sama.
Kata-kata kunci : Oscillating part, Cross-flow, Vortex Induced Vibration, Konfigurasi sejajar vertikal, Konfigurasi segitiga
1. PENDAHULUAN
Era energi terbarukan telah tiba (Sims,
2004). Sebuah konsep inovatif untuk memanfaatkan air menjadi tenaga listrik telah
ditemukan oleh Michael Bernitsas, dkk dari Dept. of
Naval Architecture and Marine Engineering,
University of Michigan (Bernitsas and Raghavan 2004).Konsep tersebut dinamakan Vortex Induced
Vibration Aquatic Clean Energi (VIVACE). Sruktur
paling sederhana dari pembangkit listrik energi vortex ini terdiri dari satu rigid silinder yang
ditopang oleh elastis support semisal pegas.
Silinder, yang selanjutnya akan disebut oscillating part, dihubungkan dengan power take-off
system dan di tempatkan pada aliran steady
(Bernitsas dkk, 2006). Gaya lift yang ditimbulkan
oleh VIV membuat silinder mengalami vibrasi cross-flow sehingga menghasilkan energi kinetik
yang oleh generator akan diubah menjadi energi
listrik. Permasalahan akan semakin kompleks untuk mencari energi maksimal yang dihasilkan pada
beberapa oscillating part dengan susunan tertentu.
Jarak antar silinder menjadi salah satu faktor yang sangat penting untuk memaksimalkan energi
listrik yang dihasilkan pada pembangkit lisrtrik
energi vortex. Penelitian yang telah dilakukan
selama ini terfokus pada pembangkit listrik energi vortex dengan oscillating part tunggal. Padahal,
untuk menghasilkan energi listrik yang lebih besar tentunya dibutuhkan energi kinetik yang lebih besar
pula.
Konsep tersebut dapat dicapai dengan cara menambah jumlah silinder pada pembangkit listrik
energi vortex. Jarak antar silinder, akan
mempengaruhi gaya yang mengenai masing-masing
oscillating part. Sehingga faktor jarak jugalah yang menentukan besarnya amplitudo yang terjadi pada
oscillating part (Gracia, 2008).
Tugas akhir ini akan menganalisa pengaruh variasi jarak , G/D ( G = gap antar oscillating part
dan D = diameter oscillating part ), pada konfigurasi
oscillating parts. Dua Konfigurasi yang diteliti adalah konfigurasi sejajar vertikal dan segitiga.
Nantinya akan dibandingkan kinerja antara dua
konfigurasi tersebut. Simulasi numerik dilakukan
pada nilai kisaran nilai Re 0,44 – 1,34 x 105.
2. DASAR TEORI
2.1. Vortex Induced Vibration
Vortex adalah suatu aliran dimana fluida
tersebut partikelnya berotasi pada aliran rotasinya terhadap titik pusatnya. Pelepasan vortexnya disebut
dengan vortex shedding, yang mempunyai kecepatan
transversal dan tangensialnya konstan dan bervariasi
terhadap radiusnya (Indiyono, 1994). Akibat adanya vortex shedding ini, pipa yang dilalui aliran fluida
Jurnal Tugas Akhir
2
terkena distribusi tekanan lokal akibat adanya
tekanan tersebut, maka pipa akan bergetar atau berosilasi dengan frekuensi tertentu. Osilasi ini akan
menyebabkan kelelahan dan dapat mengakibatkan
kegagalan. Dengan adanya pelepasan vortex dapat
menimbulkan gaya angkat (lift force) dan gaya drag
(drag force) pada silinder. gaya angkat mempunyai
arah tegak lurus terhadap silinder sedangkan gaya drag mempunyai arah sejajar dengan silinder.
Karena pergantian vortex wake (Karman Street)
maka osilasi gaya angkat terjadi pada frekuensi pelepasan vortex dan gaya drag terjadi pada dua kali
frekuensi pelepasan vortex.
2.2. VIVACE Converter (Vortex Induced
Vibration Aquatic Clean Energi)
Untuk seluruh alat konversi energi, terdapat
enam kriteria yang harus dipenuhi. Yaitu dapat menangkap energy desity yang cukup besar, terdiri
dari kompenen yang simpel, membutuhkan
perawatan yang seminimal mungkin, harus cocok dengan kondisi lingkungan, dana yang dikeluarkan
harus lebih rendah dari target, umur operasi alat
konversi harus berkisar diantara sepuluh hingga dua
puluh tahun (Bernitsas dkk, 2006). Percobaan fisik yang telah dilakukan
menunjukan VIVACE dapat memenuhi enam kriteri
tersebut. Dimulai dari terjadinya VIV pada Oscillating part mengakibatkan timbulnya gaya
angkat sehingga silinder mulai bergerak tegak lurus
terhadap arah datang arus. Gerakan osilasi tersebut terhubungkan dengan bearing yang berguna menjaga
kehalusan gerakan Oscillating part terhadap gear
belt. Karena gear belt terhubung dengan ujung gear
yang berbentuk lingkaran. Generator yang mendapatkan gerakan rotasi dari gear langsung
dihubungkan dengan rotor, sehingga mampu
menghasilkan listrik. Percobaan fisik mengenangi VIVACE telah
dilakukan oleh (Bernitsas dkk, 2006). Pengujian ini
dilakukan pada Marine Hydrodynamics Laboratory
of the University of Michigan. Pada percobaan ini didapatkan pada arus sebesar 0,84 m/s, energi listrik
yang berhasil dihasilkan oleh VIVACE adalah
sebesar 51W/m3. Ini berarti listrik yang dihasilkan
lebih tinggi 3-10 kali dari alat konversi energi arus
dan 2-5 kali lebih tinggi dari alat konversi energi
lainnya. Pada penelitian ini, tercatat energi listrik yang paling maksimal dihasilkan sebesar 86W/m
3.
Gambar 1. VIVACE dengan Oscillating Part
tunggal (Raghavan, 2006).
Sruktur paling sederhana dari pembangkit listrik
energi vortex ini terdiri dari satu rigid silinder yang
ditopang oleh elastis support semisal pegas. Dapat dilihat pada gambar 1.
2.3. Respon Dinamis
Pada dasarnya struktur yang bergetar akan
mengalami 2 macam getaran yaitu, getaran alami
dan getaran paksa, persamaannya adalah (Craig,1981) :
u = uc + up (1)
dengan
u = respon total uc = respon alami
up = respon paksa
Hukum newton yang digunakan untuk menurunkan persamaan gerak adalah hukum newton
I dan II, dengan menggunakan persamaan sebagai
berikut:
Σ Fx = 0 dan Σ Fx = m ü (2)
Dengan :
Σ Fx = resultan gaya (N)
m = massa (kg)
ü = percepatan (m/s2)
dari persamaan diatas akan mendapatkan persamaan
gerak umum
m . ü + c . ů + k. u = P(t) (3)
Jurnal Tugas Akhir
3
Sistem yang ada dianggap memiliki massa dalam satu kesatuan terpusat serta gerakan yang
digunakan adalah one degree of freedom. Untuk
mencari total respon dinamis silinder digunakanlah persamaan harmonic steady state respon, yaitu :
u=U cos (Ωt-α) + ( cos t + cos t )
(4)
Dengan:
u = total respons (m)
U = steady state response (m) Ω = frekuensi eksitasi (rad/s)
t = waktu (s)
α = sudut fase (rad)
= frekuensi angular teredam (rad/s)
= kostanta riil
= frekuensi angular tak teredam (rad/s)
= kostanta riil
2.4. Analisis FFT (Fast Fourier Transform)
Proses pembentukan gelombang secara
kontinyu menunjukkan bahwa suatu time history
gelombang yang diambil dalam waktu TH dapat
dinyatakan dalam deret Fourier:
(5)
Dengan harga-harga frekuensi:
(6)
Koefisien An dan Bn diberikan sebagai:
(7)
Sehingga, Persamaan (7) dapat disederhanakan menjadi :
(8)
Dengan :
(9)
2.5 Uji Hipotesis mengenai nilai rata-rata dua
variabel Hipotesis merupakan kebenaran sementara yang
perlu diuji kebenarannya oleh karena itu hipotesis
berfungsi sebagai kemungkinan untuk menguji kebenaran suatu teori.
Jika hipotesis sudah diuji dan dibuktikan
kebenaranya, maka hipotesis tersebut menjadi suatu
teori. Jadi sebuah hipotesis diturunkan dari suatu teori yang sudah ada, kemudian diuji kebenarannya
dan pada akhirnya memunculkan teori baru.
Pada kasus perbandingan kinerja antara konfigurasi sejajar vertikal dan segitiga uji statistik
yang digunakan adalah Uji dua sample independen.
Karena jumlah sample kurang dari tiga puluh maka digunakanlah uji t, atau disebut juga 2-sample t.
(10)
Dengan
(11)
3. METODOLOGI
3.1. Identifikasi parameter
Data-data yang digunakan bersumber dari jurnal
yang sekaligus digunakan untuk proses validasi yaitu The VIVACE Converter: Model Test at High
Damping and Reynolds Number Around 105 oleh
Bernitsas dkk, 2006. Data – data tersebut adalah :
Parameter oscillating part :
a. Panjang = 0,9144 m
b. Diameter = 0,1257 m c. Aspek rasio =7,274
d. Massa =16,79 kg
e. Massa tambah =11,58 kg
f. Konstanta pegas = 518 N/m g. Damping = 0.005939
Parameter lingkungan: a.Viskositas kinematis =1,13899 x 10
-6 m
2/s
b. Suhu fluida = 150 C
1
)sin()cos()(n
nnnn tBtAt
H
n
H
n dtttT
A0
)cos()(2
H
n
H
n dtttT
B0
)sin()(2
......3,2,1)/(2
nuntuksradT
n
H
n
1
0 )cos()(n
nnn tt
)( 22
0 nnn BA
n
nn A
Ba tan
Jurnal Tugas Akhir
4
kecepatan arus : 0,5; 0,75; 1 m/s
c. Massa jenis fluida = 1000 kg/m3
d. Reynold number = 0,44 – 1,34 x 105
3.2. Konfigurasi Model
Terdapat dua konfigurasi oscillating parts yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu, sejajar
vertikal dan segitiga. Pada Gambar 2 dan 3
ditunjukan skema dua dimensi model dilihat dari
potongan menyamping.
. Gambar 2. Komputer Domain Konfigurasi Sejajar
Vertikal.
Gambar 3. Komputer Domain Konfigurasi Segitiga.
3.2. Pemodelan
Setelah didapatkan data geometri dan variasi yang dibutuhkan, dilakukan pemodelan struktur
yang meliputi oscillating part dan domain fluida.
Bentuk geometri model 3D dilakukan pada software CAD. Penggambaran surface model dilakukan pada
program ANSYS ICEM. Setelah itu dilakukanlah
proses meshing masih dengan menggunakan
ANSYS ICEM. Pada ANSYS CFX ditentukanlah boundary
coundition dan parameter yang akan digunakan.
Boundary condition atau kondisi batas merupakan
parameter inputan yang menggambarkan kondisi
dari objek. Pemberian boundary condition tersebut dimaksudkan agar simulasi atau pemodelan yang
dilakukan dapat menggambarkan kondisi yang rill
atau sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Oleh karena itu pada tahap awal simulasi atau pemodelan
diperlukan boundary condition yang ideal.
Metode matematis yang digunakan
menggunakan lump parameter model dengan satu derajat kebebasan. Untuk lebih dalamnya dapat
dipelajari pada buku Structural Dynamic (Craig, 81)
pada Bab Respon of SDOF System to Harmonic Excitation. Untuk mencari besarnya frekuensi,
dignakanlah software MATLAB 14.0 Proses analisa
data juga dibantu dengan software MINITAB 7.0
yang berfungsi untuk mempermudah pengambilan keputusan kinerja yang lebih baik. Pada Gambar 3.1
dan 3.2 akan ditunjukan skema VIVACE dengan
oscillating part formasi sejajar vertikal dan segitiga.
Tabel 1. Boundary Condition yang Digunakan pada
Model.
Boundary
type Location Boundary detail
Inlet Inlet
Mass and momentum >> Normal speed >>
masukan masing-masing
variasi kecepatan arus
Outlet Outlet Mass and momentum >> Relatif presuree >> 0 Pa
Wall Wall No slip
Wall OP1 Free slip
Wall OP2 Free slip
Wall OP3 Free slip
4. Analisa Hasil
4.1 Validasi Model
Validasi model dilakukan dengan
membandingkan besarnya amplitudo pada setiap variasi kecepatan arus antara percobaan fisik dan
numerik. Model berupa oscillating part , yang
selanjutnya akan disebut OP, tunggal dari percobaan
fisik yang dilakukan oleh (Bernitsas dkk, 2006). Percobaan numerik menggunakan bantuan ANSYS
11.0.
Dari Gambar 4. dapat dilihat bahwa percobaan fisik dan numerik mempunyai trenline
yang sama. Semakin besar arus, amplitudo yang
dihasilkan juga semakin besar.
Pada percobaan fisik, end-plates didesain untuk mengurangi efek aliran tiga dimensi di ujung
Jurnal Tugas Akhir
5
OP dalam kondisi nilai Re tinggi (Bernitsas dkk,
2006). Sementara itu, untuk proses validasi pada kecepatan arus 0,65 m/s, hasil percobaan numerik
dan fisik mempunyai selisih yang paling besar. Hal
ini disebabkan pada kecepatan arus 0,65 m/s harga Re rendah. Karenanya amplitudo pada percobaan
fisik masih dipengaruhi oleh efek aliran tiga
dimensi. Sedangkan pada percobaan numerik, aliran
hanya dianggap sebagai dua dimensi.
Gambar 4. Validasi Amplitudo.
4.2 Kinerja Oscillating Part Konfigurasi Sejajar
Vertikal
Gaya lift dan kecepatan eksitasi yang berupa
output dari ANSYS 11.0 akan diolah secara numerik menggunakan persamaan . Setelah Gaya lift dan
kecepatan eksitasi diolah menggunakan persamaan
respon dinamis SDOF, akan didapatkan besarnya amplitudo pada masing-masing OP.
Misalnya saja pada perhitungan konfigurasi
sejajar OP1 dengan G/D=2 pada kecepatan arus 0,5 m/s. Output yang didapat dari ANSYS berupa gaya
lift sebesar 18,39 dan kecepatan eksitasi sebesar 1,03
m/s. data tersebut diolah menggunakan persamaan 4.
Pada Tabel 2. akan dipaparkan hasil perhitungan manual.
Tabel 2. Variable perhitungan persamaan harmonic steady state respon
Variabel Nilai
steady state response (U) 0,035 m
frekuensi eksitasi (Ω) 1,773 rad/s
sudut fase (α) 0,059 rad
frekuensi angular 4,265 rad/s
teredam ( )
kostanta riil -0,042
frekuensi angular tak
teredam ( )
4,273 rad/s
kostanta riil -0,003
Dari hasil perhitungan manual pada Tabel 2. Akan
didapat besaran amplitudo dengan fungsi waktu seperti yang terlihat pada gambar 5.
Gambar 5. Respon dinamis OP1 konfigurasi sejajar
terhadap fungsi waktu
Untuk lebih mudah, harga amplitudo aakan
diwkilkan oleh harga Root Mean Square (RMS)
amplitudo dibagi dengan diameter OP (ARMS/D),
sehingga didapatkan amplitudo rasio yang merupakan besaran tidak berdimensi. ARMS sendiri
didapatkan dari persamaan 11, yaitu :
ARMS = (11)
Dengan :
n = Jumlah data
A = besar amplitudo (m) D = Diameter OP (m)
Dari Gambar 6. (a) dapat dilihat bahwa besarnya rasio amplitudo cenderung naik seiring
naiknya nilai G/D. Walaupun pada G/D = 4 nilai
rasio amplitudo menurun. Tetapi keadaan ini tidak berlangsung lama karena pada G/D = 4,5 nilai rasio
amplitudo kembali meningkat. rasio amplitudo pada
OP 1 selalu lebih besar dari rasio amplitudo di OP 2
dan 3 pada setiap nilai G/D. Nilai ARMS
rasio amplitudo maksimal terjadi di OP 2
dengan nilai 0,24 pada G/D = 5. Sedangkan rasio
Jurnal Tugas Akhir
6
amplitudo minimum terjadi pada OP 1 pada G/D = 2
dengan nilai 0,43. Trenline dan fenomena yang terjadi pada
kecepatan arus 0,75 m/s mirip dengan yang terjadi
ketika kecepatan arus 0,5 m/s. Besarnya rasio amplitudo pada OP1 dan OP3 relatif sama. Hal ini
disebabkan oleh gaya dan fenomena aliran yang
terjadi pada kedua OP tersebut juga sama. Hal ini
terjadi karena letak kedua OP adalah simentri satu sama lain. Walaupun pengaruh perbedan kedalaman
antar OP1 dan OP3 tidak bisa diabaikan begitu saja.
Tetapi, pada penelitian kali ini, perbedaan kedalaman antar OP1 dan OP3 tidak begitu
signifikan.
Seperti yang terlihat pada gambar 6. (b)
rasio amplitudo maksimal pada kecepatan arus 0,75 m/s terjadi di OP 2 dengan nilai 0,99 pada G/D = 5.
Sedangkan rasio amplitudo minimum terjadi pada
OP 1 pada G/D = 2 dengan nilai 0,64. Dari Gambar 6. (a,b,c) dapat dilihat bahwa
fenomena yang sama terjadi pada kecepatan arus 0,5
m/s; 0,75 m/s dan 1 m/s. Satu hal yang berbeda adalah besarnya amplitudo OP pada masing-masing
kecepatan arus. Hal ini terjadi karena, makin besar
kecepatan arus, gaya yang mengenai OP juga
semakin besar. Dapat diambil kesimpulan bahwa pada
rentang G/D=2 hingga G/D=5, semakin besar
Reynold Number, rasio amplitudo OP konfigrasi sejajar vertikal juga semakin besar. Pada konfigurasi
sejajar vertikal juga didapatkan rasio amplitudo OP2
lebih besar dari OP1 dan OP3. Walaupun perbedaan besarnya tidak terlalu signifikan.
rasio amplitudo maksimal pada kecepatan
arus 1 m/s terjadi di OP 2 dengan nilai 03,1 pada
G/D = 5. Sedangkan rasio amplitudo minimum terjadi pada OP 1 pada G/D = 2 dengan nilai 1,44.
(a)
(b)
(c)
Gambar 6. Amplitudo OP Konfigrasi Sejajar
Vertikal untuk Setiap Variasi G/D (a) kecepatan arus
0,5 m/s (b) kecepatan arus 0,75 m/s (c) kecepatan
arus 1 m/s
Selain besarnya amplitudo, kinerja OP juga
dapat dinilai dari besarnya frekuensi. Frekuensi
sendiri adalah banyaknya getaran yang terjadi per detik. Jika frekuensi makin besar, maka OP bergetar
makin cepat. Frekuensi dihitung menggunkan
persamaan FFT pada MATLAB 14.0. Output dari MATLAB dapat dilihat pada Gambar 7.
Dari tabel 3. dapat dilihat bahwa frekuensi
tidak terpengaruh dengan perubahan G/D. Pada
kecepatan arus 0,5 m/s besarnya frekuensi pada setiap variasi G/D relatif konstan dengan rentang
0,26 Hz sampai 0,29 Hz . Tetapi dapat dilihat bahwa
semakin besar kecepatan arus, makin besar juga frekuensi yang terjadi.
Jurnal Tugas Akhir
7
Gambar 7. Output frekuensi dari MATLAB 14.0
Tabel 3. Frekuensi yang Terjadi pada OP Konfigurasi Sejajar Vertikal.
G/D Nama
OP
Frekuensi (Hz)
Kecepatan
arus
0.5 m/s
Kecepatan
arus
0.75 m/s
Kecepatan
arus
1 m/s
2
OP1 0,29 0,40 0,44
OP2 0,29 0,40 0,44
OP3 0,29 0,40 0,44
2,5
OP1 0,28 0,39 0,44
OP2 0,28 0,39 0,44
OP3 0,28 0,39 0,44
3
OP1 0,26 0,39 0,46
OP2 0,26 0,39 0,46
OP3 0,26 0,39 0,46
3,5
OP1 0,26 0,39 0,49
OP2 0,26 0,39 0,49
OP3 0,26 0,39 0,49
4
OP1 0,26 0,39 0,49
OP2 0,26 0,39 0,49
OP3 0,26 0,39 0,49
4,5
OP1 0,26 0,39 0,48
OP2 0,26 0,39 0,48
OP3 0,26 0,39 0,48
5
OP1 0,26 0,39 0,50
OP2 0,26 0,39 0,50
OP3 0,26 0,39 0,50
Frekuensi yang relatif konstan juga terjadi
pada kecepatan arus 0,75 m/s dan 1 m/s. Pada penelitian ini didapatkan frekuensi minimal sebesar
2,6 Hz yang terjadi pada kecepatan arus 0,5.
Sedangkan frekuensi maksimal didapat pada kecepatan arus 1 m/s dengan nilai 0,5 Hz.
4.2 Kinerja Oscillating Part Konfigurasi Sejajar
Vertikal Secara umum, pada Gambar 8 (a) trenline
yang masing-masing OP menunjukan pola yang
sama. Yaitu terus naik seiring naiknya nilai G/D. Tetapi, terdapat pula fenomena unik masing-masing
OP. Pada G/D = 2, rasio amplitudo pada OP2 lebih
kecil dari OP1 dan OP3. Pada G/D = 3,5 rasio
amplitudo ketiga OP nyaris mempunyai nilai yang sama. Namun, amplitudo pada OP2 terus bertambah
besar secara signifikan. Sehingga pada nilai G/D =
4, rasio amplitudo OP2 lebih besar dari pada OP1 dan OP3. Hal tersebut terus terjadi hingga nilai
G/D=5.
Dapat dilihat bahwa rasio amplitudo yang terjadi pada OP akan naik seiring dengan naiknya
nilai G/D. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa
nilai G/D mempengaruhi besarnya rasio amplitudo
yang terjadi. Pada kecepatan arus 0,5 m/s didapat rasio
amplitudo minimum yang terjadi pada OP2 senilai
0,18 pada G/D = 2. Sedangkan, rasio amplitudo maksimal terjadi ketika nilai G/D= 5 pada OP2
dengan nilai 0,31.
Trenline dan fenomena yang terjadi pada kecepatan arus 0,75 m/s dapat dikatakan mirip
dengan yang terjadi ketika kecepatan arus 0,5 m/s.
Besarnya amplitudo pada OP1 dan OP3 relatif sama.
Hal ini disebabkan oleh gaya dan fenomena aliran yang terjadi pada kedua OP tersebut relatif sama
karena letak kedua OP adalah simentri satu sama
lain. Walaupun pengaruh perbedan kedalaman antar OP1 dan OP3 tidak bisa diabaikan begitu saja.
Tetapi, pada penelitian kali ini, perbedaan
kedalaman antar OP1 dan OP3 tidak begitu
signifikan. Pada kecepatan arus 0,75 m/s didapat rasio
amplitudo minimum yang terjadi pada OP2 senilai
ARMS/D = 0,52 pada G/D = 2. rasio amplitudo maksimal didapat ketika nilai G/D = 5 pada OP2
dengan nilai ARMS/D = 0,95.
Jurnal Tugas Akhir
8
(a)
(b)
(c)
Gambar 8. Amplitudo OP Konfigrasi Segitiga
untuk Setiap Variasi G/D (a) Kecepatan arus 0,5 m/s. (b) kecepatan arus 0,75 m/s (c) Kecepatan arus
1 m/s
Sedangkan, dapat dilihat pada Gambar 8 (c)
dengan kecepatan arus 1 m/s didapat rasio amplitudo
minimum yang terjadi pada OP2 senilai ARMS/D = 1,12 pada G/D = 2. Rasio amplitudo maksimal
didapat ketika nilai G/D = 5 pada OP2 dengan nilai
ARMS/D = 2,89. Dari Gambar 8 (a,b,c) dapat dilihat bahwa
fenomena yang sama terjadi pada kecepatan arus 0,5
m/s, 0,75 m/s dan 1 m/s. satu hal yang berbeda adalah besarnya rasio amplitudo OP pada masing-
masing kecepatan arus. Hal ini terjadi karena, makin
besar kecepatan arus, gaya yang mengenai OP juga
semakin besar. Dapat diambil kesimpulan bahwa pada rentang G/D=2 hingga G/D=5, semakin besar
Reynold Number dan nilai G/D, rasio amplitudo
pada OP konfigrasi segitiga juga semakin besar.
Tabel 4. Frekuensi yang Terjadi pada OP
Konfigurasi Segitiga.
G/D Nama
OP
Frekuensi (Hz)
Kecepatan
arus
0,5 m/s
Kecepatan
arus
0,75 m/s
Kecepatan
arus
1 m/s
2
OP1 0,26 0,39 0,48
OP2 0,26 0,39 0,48
OP3 0,26 0,39 0,48
2,5
OP1 0,25 0,39 0,41
OP2 0,25 0,39 0,41
OP3 0,25 0,39 0,41
3
OP1 0,25 0,39 0,50
OP2 0,25 0,39 0,50
OP3 0,25 0,39 0,50
3,5
OP1 0,25 0,39 0,50
OP2 0,25 0,39 0,50
OP3 0,25 0,39 0,50
4
OP1 0,26 0,39 0,49
OP2 0,25 0,39 0,49
OP3 0,26 0,39 0,49
4,5
OP1 0,25 0,39 0,50
OP2 0,25 0,39 0,50
OP3 0,25 0,39 0,50
5
OP1 0,25 0,39 0,50
OP2 0,25 0,39 0,50
OP3 0,25 0,39 0,50
Dari tabel 4. dapat dilihat bahwa
frekuensi tidak terpengaruh dengan perubahan
G/D. Pada kecepatan arus 0,5 m/s besarnya
frekuensi pada setiap variasi G/D relatif konstan
dengan rentang 0,25 Hz sampai 0,26 Hz . Makin
Jurnal Tugas Akhir
9
besar kecepatan arus, makin besar juga
frekuensi yang terjadi.
Frekuensi yang relatif konstan juga
terjadi pada kecepatan arus 0,75 m/s dan 1 m/s.
Pada penelitian ini didapatkan frekuensi
minimal sebesar 2,5 Hz yang terjadi pada
kecepatan arus 0,5. Sedangkan frekuensi
maksimal didapat pada kecepatan arus 1 m/s
dengan nilai 0,5 Hz.
4.4. Perbandingan Kinerja Oscillating Part
antara Konfigurasi Sejajar Vertikal dan
Segitiga Pada uji hipotesis mengenai rataan dua
populasi, sampel harus berupa nilai rata-rata dari
ARMS/D OP pada setiap nilai G/D. Sehingga digunakanlah persamaan 12 untuk menghitung nilai
rata-rata tersebut.
= (12)
= rata-rata sampel konfigurasi segitiga
(populasi 1)
= rata-rata sampel konfigurasi vertikal sejajar
(populasi 2)
Jumlah data dalam masing-masing populasi adalah 21 sampel. Selisih rataan populasi satu
dengan lainya adalah 0,029. Standart deviasi kedua
populasi adalah 0,931.
Tingkat kepercayaan yang digunakan 95 %
Tingkat ketidak percayaan (α) = 5 %
: - = 0
: - ≠ 0
Pada penelitian ini digunakan hipotesis awal
bahwa tidak ada perbedaan rataan antata dua populasi. Karenanya perhitungan standart deviasi
menggunakan Assume equal variances. Nilai
standard deviasi kedua populasi adalah 0,932 selanjutnya akan digunakan untuk menghitung tes
statistik dan rentang kepercayaan.
Dengan tingkat kepercayaan 95 %
mempunyai rentang -0,610 hingga 0,551. Nilai tes
statistik adalah -0,10 dengan P-value sebesar 0,92
dan 40 degree of freedom. Dari output dapat dilihat bahwa P-value lebih kecil dari α. Sehingga
keputusan adalah menerima , tidak ada perbedaan
rataan amplitudo yang dihasilkan oleh konfigurasi
vertikal sejajar dengan segitiga. Dapat diambil
kesimpulah bahwa kinerja OP pada konfigurasi vertikal sejajar dan segitiga adalah sama.
5. KESIMPULAN
5.1. Kesimpulan
Dari penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan
beberapa hal sebagai berikut :
1. Pada konfigurasi sejajar vertikal dengan rentang rasio jarak G/D=2 hingga 5, semakin besar
Reynold Number dan nilai G/D, amplitudo pada
OP konfigrasi sejajar vertikal akan semakin besar. Rasio amplitudo maksimal terjadi pada
nilai G/D=5 dengan arus 1 m/s sebesar 5,42.
Sedangkan, besarnya frekuensi tidak
terpengaruh dengan variasi nilai G/D. Pada kecepatan arus yang sama frekuensi relatif
konstan walaupun nilai G/D berubah-ubah.
Tetapi, semakin besar arus yang mengenai OP, frekuensi yang terjadi juga semakin besar.
Frekuensi maksimal terjadi pada kecepatan arus
1 m/s sebesar 0,5 Hz. 2. Pada konfigurasi segtiga dengan rentang rasio
jarak G/D=2 hingga 5, semakin besar Reynold
Number dan nilai G/D, amplitudo pada OP
konfigrasi segitiga juga semakin besar. Besar rasio amplitudo maksimal adalah 5,6. Terjadi
pada nilai G/D=5 dengan arus 1 m/s. Sedangkan,
pada kecepatan arus yang sama frekuensi relatif konstan walaupun nilai G/D berubah-ubah .
Sementara itu, semakin besar arus yang
mengenai OP konfigurasi segitiga, frekuensi yang terjadi juga semakin besar. Sehingga dapat
diambil kesimpulan bahwa besarnya frekuensi
tidak terpengaruh dengan variasi nilai G/D.
Melainkan dipengaruhi oleh besarnya arus yang mengenai OP. frekuensi maksimal terjadi pada
kecepatan arus 1 m/s 0,5 Hz.
3. Dengan tingkat kepercayaan 95 % tidak ada perbedaan nilai rata-rata amplitudo yang
dihasilkan konfigurasi sejajar vertikal dan oleh
konfigurasi segitiga. Walau tidak dapat
dipungkiri terdapat perbedaan nilai amplitudo OP pada masing-masing konfigurasi, tetapi
perbedaan tersebut tidaklah signifikan. Dari uji
hipotesis mengenai dua rataan populasi, dapat diambil kesimpulan bahwa kinerja OP pada
konfigurasi sejajar vertikal dan segitiga adalah
sama.
Jurnal Tugas Akhir
10
5.1. Saran
Saran yang diberikan untuk penelitian selanjutnya yaitu:
1. Dengan menggunakan konfigurasi yang sama,
variasikan aspek rasio dan kedalaman peletakan OP. Sehingga didapat parameter-parameter yang
lebih lengkap untuk dapat mencari konfigurasi
mana yang dapat menghasilkan kinerja lebih
baik. 2. Penelitian dilanjutkan hingga system power take
off. Nantinya akan didapatkan jumlah tenaga
listrik yang akan dihasilkan oleh masing-masing silinder
3. Melakukan percobaan fisik dengan model yang
sama untuk memvalidasi hasil-hasilyang telah
didapat pada percobaan numerik. Dengan adanya percobaan fisik diharapkan VIVACE
dapat segera diaplikasikan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Bernitsas, M. M. and K. Raghavan .2004. Converter
of Current/TideWave Energy. Provisional
Patent Application 60/628,252, United States
Patent and Trademark Office.
Bernitsas, M. M., Y. Ben-Simon, K. Raghavan, and
E. M. H. Garcia. 2006, Jun. The VIVACE Converter: Model Tests at High Damping and
Reynolds Number Around 105. In Proceedings
of OMAE 2006, Number OMAE06-92652. 25th International OMAE Conference.
Blevins, R. D.1990. Flow-Induced Vibration
(Second ed.). New York: Van Nostrand Reinhold.
Craig, Roy R. 1981. Structural Dynamics. New
York Chicester Brisbane Toronto Singapore.
Gracia, H. 2008. Prediction by Energy
Phenomenology for Harnessing Hydrokinetic
Energy Using Vortex-Induced Vibrations. PhD
dissertation, Naval Architecture and Marine Engineering, The University of Michigan,
Michigan, 2008.
Indiyono, Paul, 2004, Hidrodinamika Bangunan
Lepas Pantai, SIC, Surabaya.
Raghavan, K. 2007. Energy Extraction from a
Steady Flow Using Vortex Induced Vibration, PhD dissertation. Naval Architecture and
Marine Engineering, The University of
Michigan, Michigan.
Sims, R. E. H. 2004. Renewable Energy: A
Response to Climate Change. Solar Energy.
76, 9-17.