Upload
zikri-putra-lan-lubis
View
214
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8/20/2019 K-23 Filaria Di Indonesia
1/9
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
242
DINAMIKA FILARIASIS DI INDONESIA
DYAH HARYUNINGTYAS S dan DIDIK T SUBEKTI
Balai Penelitian Veteriner
Jalan R.E. Martadinata 30, P.O Box 151, Bogor 16114
ABSTRAK
Filariasis limfatik yang juga dikenal dengan penyakit kaki gajah ( Elephantiasis) beresiko pada lebih dari1miliar orang pada lebih 80 negara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 120 juta orang sudahterinfeksi dan 40 juta orang tidak teratasi secara serius. Daerah endemis filariasis tersebar luas di daerahtropis dan subtropis diseluruh dunia termasuk didalamnya Asia, Afrika, Cina, Pasifik dan sebagian Amerika.Di Indonesia kasus filariasis telah dilaporkan terjadi di berbagai daerah antara lain di Sumatera Selatan,Bangka Belitung, Papua, Kalimantan Timur, Jawa Tengah, Tangerang, dan lebih dari 17 Kabupaten di JawaBarat. Filariasis limfatik disebabkan oleh 3 spesies utama cacing filaria yaitu Wuchereria bancrofti, Brugiamalayi dan Brugia timori Wuchereria bancrofti dan. Brugia Timori tidak memerlukan hewan sebagaireservoir. Brugia malayi diketahui bersifat zoonosis karena dapat ditularkan dari hewan ke manusia atau darimanusia ke manusia melalui vektor nyamuk. Diduga lebih dari 73 spesies nyamuk dari genus Anopheles,
Aedes, Culex dan Mansonia dapat mendukung perkembangan cacing filaria. Pengendalian penyakit filariasisini adalah perlu segera dilaksanakan mengingat kejadinnya adalah terus meningkat setiap tahunnya. Salahsatu kontrol yang dilakukan adalah deteksi dini pada orang di daerah endemis dan pengobatan dengan segera
bagi orang yang sudah terinfeksi. Dalam makalah ini akan dibahas etiologi, transmisi, patogenesis, gejalaklinis, dan strategi kontrol dalam penanggulangannya.
Kata kunci: Filariasis, kaki gajah, vektor, zoonosis
PENDAHULUAN
Filariasis di dunia dilaporkanmenghabiskan dana 5 juta US $ setiap tahununtuk penanggulangannnya dan mendudukiranking 3 setelah malaria dan tubercolosis(A NONIM, 2002a). Pada daerah tropis dansubtropis kejadiannya terus meningkatdisebabkan oleh karena perkembangan kotayang cepat dan tidak terencana, yang mencetak berbagai sisi perkembangbiakan nyamuk yangakan menularkan penyakit ini. Penyakit inimenjadi persisten karena kurangya alat kontroldan strategi yang efektif dan mudah diterapkan pada negara endemis (A NONIM., 2000).
Tiga spesies cacing filaria penyebabfilariasis limfatik adalah Wuchereria bancrofti,
Brugia malayi dan Brugia timori. Wuchereriabancrofti merupakan spesies yang palingumum ditemukan pada kasus infestasi olehcacing ini (SCHMIDT dan R OBERT, 2000).Penyebaran penyakit diperantarai oleh nyamuksebagai vektor. Cacing dewasa filaria hidup pada pembuluh limfasedangkan mikrofilariahidup dalam darah (MCMAHON dan SIMONSEN,1996). Cacing betina melepaskan mikrofilariadalam pembuluh darah tepi dan dihisap oleh
nyamuk yang selanjutnya agen infeksi inidisebarkan dari hewan ke manusia atau darimanusia ke manusia (A NONIM., 1996;SCHMIDT dan R OBERT, 2000).
Filariasis di Indonesia sepanjang tahun2004-2005 ini telah dilaporkan terjadi diSumatera Selatan sebanyak 48 kasus(A NONIM., 2005a), Tangerang 32 kasus(A NONIM., 2005b), Depok 1 kasus, dan lebih17 Kabupaten di Jawa Barat termasuk Bogor (5kasus), Sukabumi (6), Cianjur (6), Garut (7),Tasikmalaya (7), Ciamis (7), Kuningan (4),Cirebon (4), Majalengka (1), Subang (6) ,Purwakarta (5), Krawang (2), Bekasi (61),kota bekasi (18), kota Sukabumi (4), kotaBandung (1) (A NONIM., 2004).
Pengendalian yang perlu adalah peningkatan pemantauan (surveilans) untukmenemukan penderita kaki gajah akut dankronis, serta penatalaksankan pengobatan agar penderita mampu merawat dirinya sendiri(A NONIM., 2005d). Pengobatan dilakukandengan albendazole dan diethylcarbamazine(DEC) tetapi pengobatan yang lebih idealmasih perlu diteliti lebih lanjut (A NONIM.,2000; SCHMIDT dan R OBERT, 2000).
8/20/2019 K-23 Filaria Di Indonesia
2/9
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
243
ETIOLOGI
Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori sebagai penyebab filariasis
limfatik hidup eksklusif dalam tubuh manusia.Cacing berada pada sistem limfatik pada“network ” antara pembuluh limfe dan pembuluh darah yang memeliharakeseimbangan cairan tubuh dan merupakankomponen yang essensial untuk sistem pertahanan imun tubuh. Cacing hidup selama4-6 tahun menghasilkan larva (mikrofilaria)yang akan ikut dalam sirkulasi darah(A NONIM., 2000).
SIKLUS HIDUP
Siklus hidup ketiga spesies cacing filaria(Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan
Brugia timori ) adalah hampir mirip. Larvainfektif stadium 3 (L3i) masuk ke dalam darahmelalui luka oleh gigitan nyamuk. Larva bermigrasi ke kelenjar limfe yang terrdekatselanjutnya menjadi cacing dewasa dalamwaktu kira-kira 3 bulan-1 tahun. Rata- ratawaktu inkubasi sebelum menjadi infektifadalah 15 bulan. Cacing dewasa dapat hidup 5-10 tahun dan menyebabkan berbagai masalahkarena kerusakan pembuluh limfe dan responsistem imun yang dihasilkan (A NONIM.,1996).W. bancrofti dan B. timori tidak memerlukan
reservoir hewan. Sebaliknya pada B.malayi dilaporkan dapat menginfeksi kera ataupunmamalia lain sehingga bersifat zoonosis(BUCK , 1991).
Masing masing penyebab filaria memiliki periodisitas yang berbeda yang terkait dengan prilaku vektor, siklus sikardian inang sertawilayah kasus (MCMAHON dan SIMONSEN,1996). Periodisitas akan dapat berubaha jika prilaku vektor utama juga berubah akibattekanan terhadap siklus hidupnya. Tekananrevolusioner terhadap hidupnya diperkirakanakan mempercepat perubahan prilaku vektorsehingga akan mempengaruhi perubahan penularan dan periodisitas mikrofilaria. Siklussikardian inang justru terkait dengan aktivitasdari inang. Perubahan aktivitas iang juga akanmempengaruhi siklus sikardian dan periodisitasmikrofilaria.
PENULARAN
Diperkirakan kurang lebih 77 spesiesnyamuk dari genus Anopheles, Aedes, Culex,
dan Mansonia dapat mendukung perkembangan Wuchereria bancrofti, tetapisecara alami hanya sebagian kecil yang dapat berlaku sebagai vektor (SCHMIDT dan R OBERT,2000). Nyamuk Culex dan anophelesmerupakan vektor utama bentuk periodik“nocturnal ”, sedang bentuk sub periodikditransmisikan nyamuk Aedes polynesiensis.Pada B. malayi, bentuk periodik nocturnal ditemukan pada area dengan banyak sawahsedangkan bentuk sub periodik nocturnal ditemukan di desa terpencil, perkebunan danhutan-hutan disekitar sungai. Nyamuk yang berlaku sebagai vektor B. malayi adalah
nyamuk malam dari genus Mansonia, Aedesdan Culex. Anopheles barbirostris yang berkembang biak pada area persawahandiketahui sebagai vektor Brugia timori(A NONIM., 1996 )
GEJALA KLINIS
Perkembangan penyakit itu sendiri padamanusia adalah masih merupakan teka-teki bagi para peneliti. Infeksi umumnya mula-muladiperoleh pada masa anak-anak selanjutnya penyakit memerlukan waktu beberapa tahun
untuk menjadi mantap. Beberapa orang tidakmemperlihatkan manifestasi gejala klinis yangnyata Kadang-kadang memang tidak ada gejalaklinis, penderita tampak sehat tetapi padakenyataannnya mempunyai kerusakan limfatikyang tersembunyi dan kerusakan ginjal. Bentukasimtomatik dari infeksi ini paling seringmempunyai karakteristik dengan adanya ribuansampai jutaan mikrofilaria dan cacing dewasayang berlokasi pada sistem limfatik.
Gejala klinis yang paling parah dari penyakit bentuk kronik umumnya tampak padaorang dewasa. Pada laki-laki lebih seringdaripada wanita. Pada komunitas, 10-50%menderita kerusakan genital terutamahidocoele (pembengkakan kantong testes berisicairan) dan elephantiasis pada penis danscrotum (SCHMIDT dan R OBERT, 2000).
8/20/2019 K-23 Filaria Di Indonesia
3/9
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
244
Gambar 1. Siklus hidup Wuchereria bancrofti dan Brugia malayi.
Bentuk inflamasi lokal yang akutmelibatkan kulit, kelenjar limfe dan pembuluhlimfatik dan sering diikuti lymphoedema atauelephantiasis. Beberapa dari ini disebabkanoleh respon imun tubuh terhadap parasit tetapisebagian disebabkan infeksi bakteri pada kulitdimana pertahanan normalnya sebagian hilang
karena kerusakan limfatik dibawahnya .Pada daerah endemik, manifestasi akut dan
kronik dari filariasis cenderung berkembanglebih sering dan cepat pada orang barudaripada populasi lokal yang telah terusmenerus terekspose infeksi. Odema limfatik(lymphoedema) mungkin berkembang dalam 6
bulan dan elephantiasis 1 tahun setelahkedatangan (A NONIM., 2002a). Secara umumterdapat keserupaan gejala klinis antarafilariasis yang disebabkan oleh W. bancrofti dengan B. malayi. Namun diantara keduanyaterdapat gajala klinis yang khas yang dapatdigunakan untuk diferensiasi. Gejala klinis
yang khas pada B. malayi adalah terjadinyakaki gajah pada kaki dibawah lutut sedangkan pada W. bancrofti pada kaki atas maupun bawah. Pada B. malayi umumnya jarangditemukan hidrokel (hydrocoele) dan tidakditemukan siluria (chyluria) sedangkan padaW. bancrofti kedua gejala klinis tersebut umum
8/20/2019 K-23 Filaria Di Indonesia
4/9
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
245
ditemukan. Filariasis brugian (filariasis yangdisebabkan B. malayi) di Indonesia jugadilaporkan disertai dengan pernanahan( suppurative) pada kelenjar limfe (MCMAHON
dan SIMONSEN, 1996).Simptom pada filariasis brugian muncul
lebih awal kurang lebih 1 bulan daripadafilariasis bancroftian. Respon imun terhadapcacing dengan cepat menyebabkanlymphoedema dan pembengkakan kakisimptom awal yang utama. Demam danlymphangitis adalag umum dan lebih seringditemukan. Berbeda dengan filariasis bancroftian, lymphoedema pada kaki adalah di bawah lutut dan pada lengan di bawah siku.Elephantiasis adalah sangat umum dan lebihcepatr berkembang (1-2 tahun). Pada filariasis bancroftian elephantiasis terjadi lebih dari 3
tahun (A NONIM., 1996).Filariasis okult (Occult filariasis)
merupakan suatu kondisi dimana filariasisterjadi didaerah endemik namun gejala patologis klasik dari filaria tidak terlihat danmikrofilaria tidak ditemukan dalam darah tepi. Namun sesungguhnya cacing dewasa maupunstadium larva dan mikrofilaria ditemukandalam jaringan atau organ. Contoh klasik darifilariasis okult adalah TPE (tropical pulmonaryeosinophilia). Gejala klinis TPE adalah batuk paroksismal, bersin bersin yang semakin parah pada malam hari, demam, berkurangnyakapasitas vital paru paru, volume tatal dan
residual paru paru (MCMAHON dan SIMONSEN,1996). Diagnosa banding pada TP adalah TBC paru dan miliar, astma bronkiale dan leukemiaeosinofilia serta alergi helmitiasis.
PATOLOGI DAN IMUNOLOGI
Pada filariasis, sebagian besar kerusakanterjadi pada pembuluh limfe yang disebabkanoleh cacing dewasa maupun oleh respon imuninang terhadap cacing dewasa yang hidupdidalamnya. Kondisi patologis yangdisebabkan oleh parasit dan respon imun ataukombinasi diantara keduanya agak berbeda.
Pada percobaan menggunkan mencitdiperoleh informasi bahwa cacing dewasamenginduksi proliferasi sel endotel dan dilatasilimfatik (MCMAHON dan SIMONSEN, 1996).Selanjutnya dilatasi limfatik tersebut akandiikuti dengan odema limfatik (lymphoedema).
Disisi lain respon imun terhadap cacing dewasamenyebabkan terbentuknya granulomainflamatorik (inflammatory granulomareaction) disekitar parasit (MCMAHON dan
SIMONSEN, 1996) yang diinisiasi oleh reaksiantigen-antibodi.
Foki granuloma inflamatorik dan kompekantigen-antibodi menyebabkan tyerjadinyaobstruksi limfatik dan odema limfa. Gabungandari dua kondisi patologis yang disebabkanoleh parasit dan respon imun menyebabkanterjadinya kaki gajah. Kaki gajahtermanifestasi sebagai konsekuensi karenaadanya obstruksi limfatik yang menyebabkan pembengkakan saluran limfe akibat odem (baikakibat sensitisasi parasit, respon imun ataukeduanya).
Gambar 2. Infeksi oleh W. bancrofti menyebabkan pembengkakan unilateral
8/20/2019 K-23 Filaria Di Indonesia
5/9
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
246
Gambar 3. Gambaran patologi filariasis yangdisebabkan B. malayi.
Lymphoedema pada kaki di bawahlutut (PETERS dan GILLES, 1991)
Gambar 4. Gambaran patologi filariasis timoriansangat mirip dengan malayan denganlymphangitis akut dan abses filarial
pada saluran limfatik pada kaki(PETERS dan GILLES, 1991)
Kaki gajah tidak terbentuk seketika secaraakut tetapi terbentuk akibat edema limfatikintermiten yang terkait dengan reinfeksikontinyu (berulang ulang) periodikal yang
menyebabkan kerusakan kolateral pembuluhlimfa dan pembentukan jaringan fibrosa sertakalsifikasi (A NONIM., 1996, MCMAHON danSIMONSEN, 1996).
Terdapat perbedaan imunopatogenesis padalimfatik filariasis terkait dengan stadium parasit. Cacing dewasa hidup dalam limfasampai beberapa tahun sedangkan mikrofilariahanya hidup beberapa bulan dalam darah danakan mati jika tidak segera terhisap oleh vektor(nyamuk). Respon imun yang mucul terhadap pada cacing dewasa berbeda dengan responimun pada mikrofilaria. Implikasi yangditimbulkan oleh respon imun diantara kedua
stadium tersebut juga berbeda. Pada cacingdewasa respon imun akan terkait denganformasi kaki gajah sebagai ciri klinis klasikdari limfatik filariasis. Sebaliknya respon imun pada mikrofilaria cenderung berimplikasi padakejadian amikrofilaremia dan terjadinnya TPE.Didaerah endemik, individu yangmenunjukkan amikrofilaremia dan tanpa gejalaklinis memiliki antibodi terhadap selubungmikrofilaria lebih tinggi dibanding individuyang menunjukkan mikrofilaremia (MCMAHON dan SIMONSEN, 1996). Didaerah endemik paparan dan reinfeksi terjadi secara berulangdan periodik serta bervariasi dalam hal
kuantitas parasit sehingga stimulasi antibodi berlangsung kontinyu. Namun demikian, jumlah individu resisten tidak selalu lebih besar dibanding yang peka. Amikrofilaremiatidak selalu berarti bahwa mikrofilaria dapatterliminasi sempurna tetapi mungkin juga bermigrasi ke jaringan atau organ. Tampaknyainteraksi parasit – inang merupakan kunci dariimunopatogenesis tersebut, terlebih meskipunamikrofilaremia, individu tersebut masihmungkin mengalami TPE.
Meskipun antibodi pada paparan berulangdalam waktu lama dapat terbentuk tetapitampaknya pada awal awal paparan respon
imun terhadap mikrofilaria cenderung tidak protektif. Hasil penelitian in vitro dengan seldendritik manusia memperlihatkan bahwaMFAg (antigen solubel dari mikrofilaria)mampu menginduksi sel dendritik untukmengalami maturasi tanpa disertai peningkatankemampuan sekresi IL 12 dan IL 10 secara
8/20/2019 K-23 Filaria Di Indonesia
6/9
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
247
bermakna dan tidak optimalnya presentasiantigen pada limfosit (SEMNANI et al ., 2001).Kedua sitokin tersebut bersama dengan presentasi antigen pada limfosit sangat esensial
untuk regulasi dan aktivasi komponen selulerdan humoral pada respon imun adaptif maupunnatural. Fenomena tersebut memberi penjelasan atas kemapuan mikrofilaria untuk bertahan hidup dalam darah sampai beberapa bulan tanpa dapat dieliminasi sempurna olehantibodi. Terstimulasinya sistem imun untuk berespon dan menghasilkan antibodi ataukomponen seluler adaptif spesifik terhadapmikrofilaria diduga terjadi akibat paparan berulang pada individu tersebut dalam jangkawaktu lama seperti terlihat pada sebagianindividu yang tinggal didaerah endemik.
Di daerah endemik, terjadi kenaikan titer
IgG4 yang lebih tinggi dibanding IgG1, IgG2dan IgG3 pada individu yang amikrofilaremia,mikrofilaremia dan elefantiasis (SUYOKO,komunikasi pribadi). Hal ini tidak mengejutkanmengingat bahwa regulasi pembentukan IgG4dibawah kendali IL4 sedangkan IgG1 dan IgG3dibawah kendali IL 10 yang produksinya relatifrendah pada paparan MFAg seperti dilaporkanSEMNANI et al . (2001). Sebalinya IgG2 yangcenderung kurang protektif dan kurangterstimulasi pada filariasi juga dipandang wajarmengingat sintesis antibodi tersebut dibawahregulasi IFNg yang rendah seperti dinyatakanoleh SEMNANI et al . (2001). Namun pada
individu yang mengalami elefantiasis tingkatkenaikan IgG3 dan IgG1 lebih tinggi dibandingindividu yang tidak mengalami elefantiasis.Demikian pula dengan IgE yang meningkat pada individu amikrofilaremia simtomatikdibanding individu mikrofilaria asimtomatik(SUYOKO, komunikasi pribadi).
Terdapat perbedaan umum sifat subklasIgG terkait dengan proteksi dan progresifitas patologi. Peningkatan IgG3 dan IgG1 pada penderita elefantiasis sangat korelatif denganterjadinya granuloma inflamatorik yangobstruktif pada pembuluh limfe. Hal inidisebabkan karena IgG3 dan IgG1 sangat
mudah membentuk komplek antigen-antibodidan berikatan secara sangat kuat dengankomponen seluler (monosit, makrofag,
neutrofil) melalui reseptor FcγRI ataupun
berekasi lemah dengan FcγRIII (pada monosit,makrofag, sel NK dan limfosit T). Disisi lain,IgG3 dan IgG1 mampu mengaktivasi
kompleman melalui jalur klasik yang secaraalamiah akan menghasilkan efek samping produk C2a, C3a dan C5a yang bersifatanafilotoksin. Sifat sifat tersebut secara
keseluruhan dan integratif sangat terkaitdengan pembentukan granuloma inflamatorik pada penderita filariasis dan memicu terjadinyaelefantiasis. Walaupun IgG4 juga dapat berikatan dengan komponen seluler dari sistemimun sepertihalnya IgG3 dan IgG1 namunkemampuannya sangat rendah dibanding keduasubklas IgG tersebut sehingga diperkirakantidak banyak terlibat dalam formasi kaki gajah(elefantiasis).
Adapun TPE tampaknya terkait dengan IgE(dominan) dan IgG4 yang telah diketahuikemampuannya menembus jaringan lebihtinggi dibanding subklas IgG lainnya. Hal
tersebut digeneralisir dari sifat IgG4 dan IgG2yang mampu menembus plasenta sedang IgG3dan IgG1 tidak mampu menembus plasenta(S NAPPER dan FINKELMAN, 1998). Reaksiinflamasi jaringan dan persistenhipereosinofilia yang menyertai TPEmerupakan penghubung keterkaitan gejalatersebut dengan keberadaan IgE maupun IgG4yang mampu mengaktivasi komplemen melalui jalur alternatif.
EPIDEMIOLOGI
Wuchereria bancrofti didistribusikan secaraluas di daerah tropis termasuk di dalamnyaAfrika sub sahara, India, Asia Timur,kepulauan Pasifik Barat, kepulauan Karibia,dan Asia Tenggara. Daerah endemis B. malayi adalah Asia Selatan dan Asia Tenggara dariIndia di barat sampai korea di timur. Infestasioleh B. timori ditemukan di sebagian kecilkepulauan di Timur Indonesia (A NONIM,1996).
Di Indonesia penyakit kaki gajah tersebarluas hampir di seluruh propinsi. Berdasarkanhasil survey pada tahun 2000 tercatat sebanyak1553 desa di 647 Puskesmas tersebar di 231Kabupaten 26 propinsi sebagai lokasi yang
endemis, dengan jumlah kasus kronis 6233orang. Hasil survey laboratorium, melalui pemeriksaan darah jari rata-rata mikrofilariadalam darah (microfilaria rate = Mf rate)3,1%, berarti 6 juta orang sudah terinfeksi dansekitar 100 juta orang mempunyai resiko tinggiuntuk tertular (A NONIM, 2002).
8/20/2019 K-23 Filaria Di Indonesia
7/9
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
248
DIAGNOSIS
Terdapat beberapa teknik diagnosis yangtelah dikembangkan dan digunakan secararutin untuk diagnosis filariasis dengan sasaranyang beragam. Umumnya diagnosis diarahkanuntuk mendeteklsi mikrofilaria atau antigenyang bersirkulasi dalam darah mengingatsulitnya menemukan cacing dewasa dalamdarah. Beberapa diagnosis yang dikembangkandiantaranya adalah pemeriksaan mikroskopisdan serologis serta miolekuler. Pemeriksaanserologis dan molekuler umumnya kurang praktis untuk dilapangan terutama didaerahendemik karena ketidakmampuannyamenentukan status infeksi dan reaksi silang(untuk serologis) dengan parasit cacinglainnya. Namun untuk apliksi didaerah yang
non endemik uji serologis merupakan suatu ujiyang bermanfaat.
Pada daerah endemik deteksi yang sangat bermanfaat dan memiliki sensitivitas yangtinggi serta aplikatif dilaboratorium maupundilapangan adalah finger prick test dan The
DEC provocative test (MCMAHON danSIMONSEN, 1996) yang m,enjadi standar emas pengujian. Oleh karena parasit mempunyai periode nokturnal yang membatasi penampakannya dalam darah hanya beberapa jam disekitar tengah malam, maka finger pricktest hanya efektif dilakukan pada malam hari. Namun keterbatasan finger prick test dapat
diatasi The DEC provocative test dengan yangmemprovokasi mikrofilaria agar bermigrasi kedarah tepi dalam waktu sekitar 1 jam setelah pemberian DEC sehingga dapat dideteksidengan finger prick test .
Namun demikian saat ini telah tersedia danditawarkan berbagai alat diagnostik baru
diantaranya yang sangat simple yaitu “cardtest ” untuk mendeteksi antigen parasit yang bersirkulasi tanpa memerlukan fasilitaslaboratorium dan hanya perlu tetesan darahdari ujung jari telah banyak digunakan untukalat diagnosis (A NONIM, 2000). Pada dasarnyateknik tersebut berbasis serologis yang secarariil lebih lem,ah sensitivitas dan spesifisitasnyadibanding ELISA. Teknik lain yang ditawarkanuntuk dapat diterapkan adalah menggunakan
Polymerase Chain Reaction yang dapatmendeteksi 1 pikogram DNA filaria (ZHONG etal ., 1996). Beberapa kasus terjadi infeksiamikrofilaremia, sehingga teknik untukmendeteksi antigen dari cacing dewasa adalahsangat bermanfaat (NICHOLAS, 1997; WEIL etal ., 1996).
PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN
Strategi umum untuk mengeliminasifilariasis adalah secara ekstrem relatif sulit,walaupun parasit dapat dideteksi secaramikroskopis pada darah. Pencegahan utamayang dilakukan adalah melindungi dari gigitannyamuk pada daerah endemis (SCHMIDT danR OBERT, 2000). Untuk memberantas penyakitfilariasis ini sampai tuntas WHO sudahmenetapkan Kesepakatan Global, yaitu TheGlobal Goal of Elimination of Lymphatic
Filariasis as a Public Health problem by The
Year 2020 (A NONIM, 2002). Program eliminasidilaksanakan melalui pengobatan masal dengandengan kombinasi diethyl carbamazine (DEC)dan albendazole (Alb) yang direkomendasikansetahun sekali selama lima tahun. Indonesiamelaksanakan eliminasi penyakit kaki gajahsecara bertahap mulai tahun 2002. Tahun 2002
8/20/2019 K-23 Filaria Di Indonesia
8/9
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
249
Kecamatan Long Ikis di Propinsi KalimantanTimur, ditunjuk sebagai percontohan pelaksanaan Eliminasi Penyakit Kaki Gajahtingkat Nasional (A NONIM, 2004b) .Kegiatan
ini dilaksanakan atas dasar kesepakatan GlobalWHO pada tahun 2002. Kegitan ini bertujuanmenurunkan angka mikrofilaria (MF. Rate)menjadi kurang 1% sehingga tidak menjadimasalah kesehatan masyarakat di pedesaan.
Untuk melaksanakan Eliminasi ini WHOmenetapkan 2 strategi utama yaitu:
1.
Pemutusan rantai penularan dengan cara pengobatan massal kepada penduduk diKecamatan Endemis, denganmenggunakan DEC dan Albendazolesetahun sekali, selama 5 – 10 tahun.
2. Penatalaksanaan kasus klinis untukmencegah kecacatan.
Hasil kegiatan menunjukkan bahwa darisasaran penduduk di atas 2 tahun sebanyak29.205 jiwa di Kecamatan Long Ikis, 24.700 jiwa mendapat pengobatan (84,57%), danreaksi samping sebanyak 3.624 jiwa (14,79%).Sedang tata laksana kasus diberikan kepada penderita akut maupun kronik sebanyak 34orang. Evaluasi Epidemiologi dilakukansetahun kemudian (tahun 2003) dengan pemeriksaan darah jari ( spot check ), dari jumlah sediaan darah diperiksa sebanyak 2.026sediaan darah, tidak ditemukan kasus positifmikrofilaria (MF. Rate = 0%)
Hasil penelitian oleh OQUEKA et al. (2005)
pengobatan dengan DEC (6 mg/kg) danAlbendazole (400 mg) pada kasus filariasis di pulau Alor adalah efisien pada filariasis yangdisebabkan W. bancrofti, B. malayi dan
B.timori. Penggunaan single dosis dengankombinasi dua macam obat yaitu albendazoledengan DEC atau albendazole denganivermectin, adalah 99% efektif mengeliminasimikrofilaria dalam darah selama setahun penuhsetelah pengobatan (A NONIM 2000; SCHMIDT dan R OBERT, 2000)
DAFTAR PUSTAKA
A NONIM. 1996. Wuchereria bancrofti : Thecausative agent of Bancroftian Filariasishttp://maven.smith.edu/~sawlab/fgn/pnb/wuch ban.html#bioandepid
A NONIM. 2000. Lymphatic Filariasis. WHOMediacentre.http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs102/en/index.html
A NONIM. 2002a. Disease burden andepidemiological trends. WHO TropicalDiseases Research.
A NONIM, 2002b. Si Kaki Gajah Yang Bikin Gundah.http://www.hanyawanita.com/_health/article.php?article_id=3688
A NONIM, 2004a. “Kaki Gajah” Serang 17 Daerah.Pikiran Rakyat, Sabtu 5 Juni 2004.
A NONIM, 2004b. Eliminasi Penyakit Kaki Gajah(Filariasis) di Kecamatan Long ikis,Kabupaten Pasir, Propinsi Kalimantan Timur.Republika, 14 Januari 2004.
A NONIM,, 2005a. Ditemukan 48 Kasus Kaki Gajahdi Sumsel. Kompas, 16 Mei 2005
A NONIM, 2005b. Tangerang Endemis Kaki Gajah.Republika, 23 April 2005.
A NONIM, 2005c. Tes Darah Penderita Kaki Gajah.Suara Merdeka. 12 Mei 2005.
A NONIM, 2005d. Pemerintah Berupaya TurunkanJumlah Penderita Kaki Gajah.http://www.depkes.go.id/index.php
BUCK , A.A. 1991. Filariasis. In G.T. Strikland (Ed.).Hunter’s tropical medicine. (7th ed.; pp. 713-727). Philadhelpia: W.B. Saunders Company.
MAIZELS, R.M., and R.A. LAWRENCE. 1991.Immunological tolerance: The key feature inhuman filariasis? Parasitol.Today 11:50-56
MC MAHON, J.E and P.E. SIMONSEN. 1996.Filariases. dalam COOK, G. (Eds). Manson’s
Tropical Diseases 20th. ELBS – W.B.Saunders, London.
NICHOLAS,L. 1997. New tools for diagnosis andmonitoring of branchoftian filariasis
parasitism: The polinesian experience.Parasitol. Today 13:370-375.
OLSZEWSKI , W.L., S. JAMAL, G. MANOKARAN, S. PANI, V. K UMARASWAMI, U. K UBICKA, B. LUCOMSKA, A. DWOREZYNSKY , E. SWOBODA,and F. MEISEL MIKOLAJCZYK . 1997.Bacteriologic studies of skin, tissue, fluid,lymph, and lymph nodes in patients withfilarial lymphedema. Am. J. Trop. Med. Hyg.57:7-15.
8/20/2019 K-23 Filaria Di Indonesia
9/9
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
250
OQUEKA, T, T. SUPALI , I. I. ISMID , PURNOMO, P. R UCKERT, M. H BRADLEY and PETER FISCHER .2005. Impact of two rounds of mass drugadministration using diethylcarbamazine
combined with albendazole on the prevalenceof Brugia timoriand of intestinal helminths onAlor Island, Indonesia.
SCHIMDT, G.D., R OBERTS, L.S., 2000. Foundation of Parasitolog y. 6thed. The McGraw HillCompanies, Inc.
SEMNANI, R.T., H. SABZEVARI, R. IYER and T.B. NUTMAN. 2001. Filarial Antigens Impair theFunction of Human Dendritic Cells duringDifferentiation. Infect. Immun. 69: 5813 –5822.
S NAPPER , C.M. and F.D. FINKELMAN. 1998.Immunoglobulin Class Switching. In PAUL, W.E. (Ed.) Fundamental Immunology. J.W.Lippincot Williams and Wilkin Co. USA.
WEIL, G.J., R.M.R. R AMZY, R. CHANDRASHEKAR , A.M. GAD, R.C. LOWRIE, J.R. and R. FARIS.1996. Parasite Antigenemia withoutmicrofilaremia in bancroftian Filariasis. Am.J.Trop.Med.Hyg. 54:357-363.
ZHONG, M., J. MC CARTHY, L. BIERWERT, M. LIZOTTE-WANIEWSKI, S. CHANTEU, T.B.
NUTMAN, E.A. OTTESEN, and S.A. WILLIAMS.1996. A polymerase chain reaction assay fordetection of the parasite Wuchereria bancroftiin human blood samples. Am. J. Trop Med.
Hyg. 54: 357 – 363.