Upload
others
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS ‘AQDU AL-IDZ’AN DALAM PERJANJIAN AKAD
MUDHARABAH DI BANK NEGARA INDONESIA SYARI’AH
DITINJAU DARI FIKIH MUAMALAT
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)
Oleh:
FITRIA NIM: 106046101619
K O N S E N T R A S I P E R B A N K A N S Y A R I A H PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A 1431 H/2010 M
i
ii
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) syarif Hidayatullah
Jakarta.
Ciputat, 27 Ramadhan 1431 6 September 2010
FITRIA
iv
ABSTRAK Fitria. NIM 106046101619. Analisis Aqdu Al-Idz’an Dalam Perjanjian Akad Mudharabah Di Bank Negara Indonesia Syari’ah Ditinjau Dari Fikih Muamalat. Program Studi Muamalah (Ekonomi Islam), Konsentrasi Perbankan Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1431 H / 2010 M. Isi: ix+79 halaman+34 lampiran, 31 literatur (1945-2009) Dalam kaitannya di perbankan syari’ah untuk mengikat suatu perjanjian di perlukan adanya kontrak,sehingga keberadaan kontrak sangat dibutuhkan. Kontrak yang biasanya digunakan adalah kontrak standart atau kontrak baku dimana nasabah diharuskan untuk tunduk dan patuh terhadap semua ketentuan kontrak, bahkan pihak nasabah perbankan sering merasa terdzalimi karena mereka kurang memahami atau bahkan tidak mengetahui substansi akad, mereka terpaksa untuk menyetujui karena mereka membutukan dana untuk modal usaha dan konsumsi. Penelitian ini menganalisis Aqdu Al-Idz’an (Kontrak Standart) Bank Negara Indonesia Syari’ah ditinjau dari Fikih Muamalat. Tujuannya agar Bank, nasabah dan pihak terkait mendasarkan semua tindakan mereka sesuai dengan ketetuan Syari’ah berdasarkan teori fikih muamalat. Penelitian ini menggunakan pendekatan fikih muamalat dengan mencantumkan ayat-ayat al-qur’an maupun hadist nabi dan pendapat ulama dan pakar ekonom syari’ah terkait masalah kontrak standart. Disamping itu penelitian ini juga mencantumkan ayat alqur’an dan beberapa hadist nabi sebagai fondasi dalam pengambilan hokum Islam. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa kontrak pembiayaan Mudharabah di Bank Negara Indonesia Syari’ah terdapat beberapa pasal yang mengandung idz’an, namun tidak menyebabkan kontrak ini batal, dan substansi akad pada dasarnya tidak bertentangan dengan kaidah fikih muamalat. Kata kunci : Kontrak Standart (Aqdu Al-Idz’an), Kontrak Mudharabah, Fikih
Muamalat Pembimbing I : Prof. Dr. H. Fathurrahman Djamil, MA NIP. 196011071985051001 Pembimbing II : A. Chaerul Hadi, MA NIP. 150411184
v
KATA PENGANTAR
Puji Syukur Penulis tidak henti-henti hanturkan kepada Allah SWT, tiada
Tuhan selain Allah yang telah mempermudahkan penulis untuk menyelesaikan
skripsi ini walaupun melalui proses yang tidak sebentar, Alhamdulilla, Salawat serta
salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya, sahabat
dan para pengikutnya yang telah mengajarkan kepada kita arti sebuah keimanan,
kesabaran dan keikhlasan untuk berbuat dan beramal dengan hanya mengharapkan
redha-Nya, Semoga Skripsi ini, bernilai ibadah dihadapan Allah SWT, Amiiiiiin ya
Rabbal ‘Alamin.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada semua pihak
yang telah membantu penulis untuk merampungkan skripsi ini, kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, selaku Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Dr. Euis Amalia, M. Ag dan Bapak H. Ah. Azharuddin Lathif, M. Ag., MH,
selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Muamalat.
3. Bapak Prof. Dr. H. Fathurrahman Djamil, MA dan A. Chaerul Hadi, MA. Selaku
dosen pembimbing atas segenap waktu, arahan, motivasi dan kesabarannya
dalam membimbing penulis hingga akhir penulisan skripsi ini.
vi
4. Segenap Dosen serta segenap Civitas Akademika Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Segenap Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta atas pelayanannya dalam melengkapi penelitian.
6. Segenap Pimpinan dan Staf Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah atas pelayanan dan bantuannya dalam mengumpulkan
berbagai literatur yang dibutuhkan dalam penelitian.
7. Pihak Bank Negara Indonesia Syari’ah Cabang Jakarta Selatan, Perpustakaan
Iman Jama’. Yang telah banyak membantu penulis dalam memperoleh data dan
informasi yang penulis butuhkan dalam menyelesaikan skripsi ini.
8. Ayah dan Ibu serta semua anggota keluarga yang telah mendoakan dan memberi
motivasi kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan
baik, Jasa Ayah dan Ibu serta semua anggota keluarga akan selalu penulis kenang
hingga di ujung usia.
9. Bapak Agustianto Mingka sekeluarga yang sudah banyak membantu penulis baik
waktu, tenaga, dan pikiran, akan dibalas oleh Allah SWT dengan ganjaran pahala
yang berlipat ganda.
10. Bapak Gustian Djuanda, Bapak Hasanuddin AF, Bapak Nuzul Wibawa dan Ibu
Erika Amelia yang telah memberikan pengarahan kepada penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
vii
11. Kepada semua adik kelas penulis di Pesantren Darus-Sunnah yang telah banyak
meluangkan waktuny untuk menemani penulis dan memberi motivasi penulis
untuk menyelesaikan skripsi ini.
12. Teman-teman mahasiswa Perbankan Syariah Angkatan 2006, khususnya
keluarga besar PS D yang tidak bisa disebutkan namanya satu persatu, yang telah
menemani penulis selama menimba ilmu di Fakultas tercinta ini, dan memotivasi
penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
13. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas bantuan dan
motivasi yang telah diberikan kepada penulis hingga skripsi ini selesai.
Semoga Skripsi ini berguna bagi penulis khususnya dan pembaca pada
umumnya.
Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
Jakarta: 6 September 2010 M
15 Syawal 1431 H
Fitria
viii
DAFTAR ISI
Halaman Judul.......................................................................................................... i
lembar Persetujuan Pembimbing ............................................................................. ii
Lembar Pengesahan Panitia Ujian ........................................................................... iii
Lembar Pernyataan................................................................................................... iv
Abstrak ..................................................................................................................... v
Kata Pengantar ......................................................................................................... vi
Daftar Isi .................................................................................................................. ix
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .............................................. 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 6
D. Review studi terdahulu .................................................................... 8
E. Metode Penelitian ............................................................................ 13
F. Sistematika Penulisan ...................................................................... 15
BAB II LANDASAN TEORI .............................................................................. 16
A. Prinsip dan ketentuan kontrak dalam Islam..................................... 16
B. Mudharabah dalam Perbankan Syari’ah........................................... 32
C. ‘Aqdu Al-Idz’an dan ketentuannya ................................................... 42
BAB III PROFIL PT BANK NEGARA INDONESIA SYARI’AH Tbk ............. 49
A. Sejarah PT BNI Syari’ah Tbk ................................................................... 49
B. Visi dan Misi PT BNI Syari’ah Tbk.......................................................... 52
C. Produk Pembiayaan PT BNI Syari’ah Tbk ............................................... 53
BAB IV HASIL ANALISIS .................................................................................. 64
A. Design Kontrak Mudharabah .................................................................... 64
B. Isi Kontrak Mudharabah............................................................................ 66
C. Analisis Design Kontrak Mudharabah ...................................................... 72
ix
x
D. Analisis Isi Kontrak Mudharabah.............................................................. 73
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 75
A. Kesimpulan .............................................................................................. 75
B. Saran.......................................................................................................... 76
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 79
LAMPIRAN-LAMPIRAN....................................................................................... 81
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Industri perbankan memiliki peranan yang strategis untuk menunjang
pembangunan nasional serta perekonomian nasional. Pelaksanaan visi dan misi
perbankan nasional sebagai sarana untuk pelaksanaan pembangunan nasional
mencapai kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat sebagaimana yang
dimaksudkan dalam Pancasila dan UUD 1945 (Agent of Development) sangat
berkaitan erat dengan jaminan kepastian perlindungan hukum nasabah bank dalam
sistem perbankan nasional.1
Bank adalah suatu lembaga kepercayaan yang merupakan lembaga perantara
bidang keuangan (financial intermediary), yang memberikan jasa kepada mereka
yang membutuhkannya, baik penyimpan maupun kepada peminjam uang. Dengan
demikian dalam bisnis perbankan terdapat 3 pihak yang terkait, yaitu bank sebagai
pemberi jasa perantara, nasabah penyimpan uang dan kreditur bank dan nasabah
peminjam uang (debitur). Selain itu terdapat juga orang-orang yang menggunakan
jasa bank secara insidental, seperti pengirim uang atau pemakai jasa melalui lalu
lintas giro, dan lain-lain.
1 Djuhaendah Hasan, Masalah Hukum Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang
Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, 2004), h.2
1
2
Dalam Perbankan ditemukan adanya suatu perjanjian yaitu suatu peristiwa di
mana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji
untuk melaksanakan sesuatu hal dari peristiwa itu, timbullah suatu hubungan antara
dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu
perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya perjanjian itu berupa
suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang
diucapkan atau ditulis.2
Dengan demikian hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa
perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, di
sampingnya sumber-sumber lain. Suatu perjanjian juga di namakan persetujuan,
karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua
perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya. Perkataan kontrak
(akad), lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang
tertulis.
Dalam dunia usaha, akad usaha itu menduduki posisi yang amat penting,
karena perjanjian itulah yang membatasi hubungan antara dua pihak yang terlibat
dalam pengelolaan usaha, dan akan mengikat hubungan itu di masa sekarang dan
dimasa yang akan datang, dan karena dasar hubungan itu adalah pelaksanaan apa
yang menjadi orientasi kedua orang yang melakukan perjanjian, dijelaskan dalam
perjanjian oleh keduanya, kecuali bila menghalalkan yang haram atau mengharamkan
2 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermas, 2005), h.1.
3
yang halal, atau mengandung unsur pelanggaran terhadap hukum-hukum Allah3
sebagaimana yang termaktub dalam kitab hadist Abu Daud ra4:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم الصلح جائز بين المسلمين زاد أحمد إلا صلحا وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم أحل حراما أو حرم حلالا وزاد سليمان بن داود
المسلمون على شروطهم Artinya: Bersabda Rasulullah SAW berdamai itu dibolehkan antara sesama
muslim, (lalu Ahmad menambahkan) kecuali berdamai dengan cara menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal (lalu Sulaiman bin Daud) menambahkan telah bersabda Rasulullah SAW orang Muslim itu berdasarkan perjanjian yang mereka buat.
Kontrak (akad) yang berlaku dalam perbankan syariah merupakan wujud
nyata yang seharusnya dapat melahirkan prinsip-prinsip syari’ah. Dimana secara
teoritis kontrak yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang dituangkan dalam klausa
akad bersifat transparan sehingga nasabah dan bank sama-sama diuntungkan
(simbiosis mutualisme), karena dalam syariah kontrak di buat atas kemauan dan
kesadaran kedua pihak jadi kemungkinan terjadinya pihak yang dirugikan sangat
kecil.
Dalam melakukan sebuah bisnis biasanya kontrak dibuat untuk menghindari
hal-hal yang merugikan salah satu atau kedua belah pihak yang melakukan bisnis. Di
era transaksi keuangan modern yang semakin kompleks, dibutuhkan design kontrak
atau akad dalam bentuk kombinasi beberapa akad yang disebut dengan multiakad
(hibryd contract), atau biasa disebut al-ukud al-murakkabah hal ini karena dimana
3 Shalah ash-Shawi dan Abdullah al-Mushlih, Fikih Ekonomi Keuangan Islam. Penerjemah
Abu Umar Basyir, (Jakarta: Darul Haq, 2004), h.25 4 Ibnu Al-Ash Abu Daud Ashsijistani al Azhdi, Sunan Abi Daud, Tahqiq: Shiddiq
Muhammad Jamil (Beirut: Dar’ Al-Fikr, 2003 M, 1424 H), Juz 9, H. 491
4
bentuk dan nama kontrak yang dibuat oleh kedua pihak dalam syariah tidak ada
bentuk bakunya akan tetapi kontrak yang dibuat harus mengikuti prinsip-prinsip
kontrak dalam Islam5.
Prinsip dasar kontrak dalam Islam meliputi hak pihak kreditur dan debitur,
dimana keadilan dapat ditegakkan, tidak ada yang terzhalimi, tidak ada paksaan,
dilakukan dengan sukarela (voluntary) serta terpenuhinya syarat dan rukun kontrak.
Menurut Mayoritas ulama, rukun akad terdiri atas: Shighat (pernyataan ijab
dan qabul), ‘Aqidain (Dua pihak yang melakukan akad), dan Ma’qud ‘alaih (obyek
akad). Menurut Mazhab Hanafi, rukun akad hanya terdiri atas Ijab dan Kabul
(shighat). Sedangkan hal lain yang oleh jumhur dipandang sebagai rukun, bagi
Mazhab Hanafi hanya dipandang sebagai lawazim al-‘aqd (hal-hal yang mesti ada
dalam setiap pembentukan akad) dan terkadang disebut juga dengan muqawwimat al-
‘aqad (pilar-pilar akad). Selain itu, ulama Mazhab Hanafi menambahkan satu hal lagi
pada lawazim al-‘aqad, yaitu maudhu’ al-‘aqad (tujuan akad)6.
Para ulama fikih menetapkan bahwa akad yang telah memenuhi rukun dan
syaratnya mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak-pihak yang melakukan
akad. Di samping itu dalam hukum Islam yang melandasi untuk terjadinya kontrak
yang sah adalah terpenuhinya akad, tidak ada pihak yang dirugikan, dan objek
kontrak yang dilakukan adalah halal dan sah menurut Syari’at Islam.
5 Wawancara pribadi dengan Agustianto Mingka di klinik Bank Muamalat Indonesia. Jakarta
14 Mei 2010. 6 Azharuddin Latif dan Nahrowi, Pengantar Hukum Bisnis, Pendekatan Hukum Positif dan
Hukum Islam, cet.1, (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), h.67
5
Kontrak standart atau perjanjian baku adalah kontrak-kontrak yang telah
dibuat secara baku (form standart), atau dicetak dalam jumlah yang banyak dengan
blanko untuk beberapa bagian yang menjadi objek transaksi, jenis dan jumlah barang
yang ditransaksikannya dan sebagainya. Sehingga dengan kontrak standart ini,
lembaga pembiayaan yang mengeluarkannya tidak membuka kesempatan kepada
pihak lain untuk melakukan negosiasi mengenai apa yang akan disepakati untuk
dituangkan dalam kontrak.
Dalam praktek kontrak di bank, biasanya kontrak yang akan di sepakati sudah
terkonsep dan bentuknya baku di mana pihak nasabah tinggal menerima dan menanda
tangani kontrak yang ada sehingga di sana tidak ada tawar menawar tentang syarat
akad, rusaknya akad, batalnya akad, denda akad dan akibat akad7.
Dalam perkembangannya para cendekiawan muslim yang tergabung dalam
Majelis Ulama Fikih Islam Masa kini di Doha Qatar dalam seminar keempat belas
yang diadakan di Doha Qatar pada 8 - 13 dzulqo’dah 1423 H, bertepatan dengan 11-
16 Januari, tahun 2003 meneliti persoalan tentang kontrak standart atau yang mereka
istilahkan dengan aqdu al-idz’an, lalu mereka mendefinisikannya dengan “Sebuah
kontrak di mana bentuk yang akan di sepakati sudah terkonsep dan baku, pihak
nasabah diminta untuk menyetujui draft yang telah di buat oleh bank8”.
7 Wawancara pribadi dengan Hasanuddin , di IIQ (institute ilmu Al-Qur’an) Jakarta 8 Hasan Al Jawahiri,“Aqdu al-Idz’an”,artikel di akses pada 13 Maret 2010 dari
http://www.islamicfeqh.com/magazines/Feqh34a/arabi307.htm
6
Aqdu al-idz’an ini dinamakan oleh ulama fikih sehingga di kategorikan
kepada al-‘uqud ghair al-musammah, yaitu akad-akad yang penamaannya dilakukan
oleh masyarakat sesuai dengan keperluan mereka di sepanjang zaman dan tempat.
Mengingat banyaknya permasalahan yang terjadi dalam hal kontrak standart
ini maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan pemilihan judul
“ANALISIS ‘AQDU AL-IDZ’AN DALAM PERJANJIAN KONTRAK
MUDHARABAH DI BANK NEGARA INDONESIA SYARI’AH DITINJAU
DARI FIKIH MUAMALAT”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dari beberapa permasalahan yang ada, maka penulis membatasi penelitian ini
pada Kajian Aqdu Al-Idz’an dalam kontrak mudharabah menurut fikih muamalat.
Untuk mempermudah pembahasan maka penulis membuat perumusan
masalah, yakni:
1. Bagaimanakah konsep ‘aqdu al-idz’an dalam perspektif fikih muamalat?
2. Bagaimanakah implementasi ‘aqdu al-idz’an pada kontrak mudharabah di
perbankan syari’ah?
3. Apakah ‘aqdu al-idz’an tersebut sudah sesuai dengan fikih muamalat?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
7
a. Untuk mengetahui konsep ‘aqdu al-idz’an dalam perspektif fikih
muamalat
b. Untuk mengetahui implementasi ‘aqdu al-idz’an pada kontrak mudharabah
di perbankan syari’ah?
c. Untuk mengetahui apakah ‘aqdu al-idz’an tersebut sudah sesuai dengan
fikih muamalat atau tidak?
2. Manfaat Penelitian:
a. Bagi Penulis
Dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang konsep ‘aqdu al-
‘idz’an pada pembiayaan Mudharabah di BNI Syari’ah dan mengetahui
pandangan hukum Islam terhadap akad pembiayaan Mudharabah di BNI
Syari’ah.
b. Bagi kalangan akademisi
Khususnya mahasiswa konsentrasi perbankan syariah, skripsi ini
diharapkan dapat menjadi salah satu referensi dalam peningkatan dan
pengembangan pengetahuan mengenai ‘aqdu al-‘idz’an pada akad
pembiayaan mudharabah di BNI Syari’ah.
c. Bagi pihak bank syari’ah
Diharapkan dapat menerapkan prinsip ekonomi syariah secara kaffah.
8
d. Bagi masyarakat umum
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dan
menambah wawasan masyarakat mengenai ‘aqdu al-‘idz’an pada kontrak
mudharabah.
D. Review Studi Terdahulu
Dari beberapa literatur yang ada di perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang penulis kutip untuk dijadikan sebagai acuan
mengenai judul skripsi penulis, yaitu,
1. Tesis, Penelitian yang dilakukan oleh Indira Estiyanti Nurjadin
Mahasiswi Universitas Indonesia, Program Magister Kenotariatan, Tahun
2006. “Perjanjian-perjanjian Yang Melandasi Kontrak Investasi
Kolektif Efek Beragun Asset”. Tesis ini membahas mengenai
Perjanjian-perjanjian yang melandasi kontrak Investasi Kolektif EBA,
Metode Penelitian yang digunakan tidak disebutkan dalam penelitian.
Hasil penelitian dari Tesis ini adalah:
1. Perjanjian-perjanjian yang melandasi kontrak Investasi Kolektif EBA
adalah sebagai berikut:
a. Perjanjian pemberian fasilitas pinjaman atau perjanjian hutang
piutang antara kreditur awal dengan debitur.
b. Perjanjian pemberian Jaminan
9
2. Aset keuangan yang telah dijual kepada kontrak Investasi kolektif
EBA akan menjadi miliknya kontrak investasi kolektif EBA. Namun
demikian, asset keuangan tetap didaftarkan atas nama bank custodian,
bukan atas nama kontrak investasi kolektif EBA. Dengan demikian
pemegang legal title dari asset keuangan adalah bank custodian, namun
segala manfaat ekonomis dari asset keuangan adalah untuk
kepentingan investor EBA.
3. Kontrak investasi kolektif EBA sudah melindungi investor pemegang
EBA sehubungan dengan resiko-resiko di bawah ini:
a. Resiko pailitnya kreditur Awal dapat diminimalkan dengan
perjanjian untuk memperoleh underlying asset yang mendasari
kontrak investasi kolektif EBA yang harus berupa perjanjian jual
putus atas asset keuangan kreditur awal.
b. Resiko gagal bayar dari pihak Debitur dapat dikurangi dengan
adanya barang jaminan dan Sarana Peningkatan Kredit.
c. Resiko pailitnya manajer investasi dan bank kustodian serta
penyelewengan oleh manajer investasi dan bank custodian yang
menjalankan dan mewakili kontrak investasi kolektif EBA, dapat
diminimalkan dengan pengawasan dari badan pengawas pasar
modal dan bursa efek.
10
Perbedaan Penelitian Penulis dengan penelitian ini adalah:
1. Fokus penelitian Penulis adalah kesesuaian draft kontrak dengan
standart kontrak yang berlaku, dan Fokus penelitian pada tesis ini
adalah pada Kontrak Investasi Kolektif EBA (Efek Beragun Asset).
2. Metode Penelitian penulis adalah Metode Kualitatif yang
menghasilkan data Deskriptif Analisis. Sedangkan Metode
penelitian yang digunakan dalam tesis ini tidak disebutkan dalam
penulisan.
2. Skripsi, Penelitian yang dilakukan oleh Diah Pitaloka Mahasiswi Jurusan
Muamalah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pada tahun 2005 yang berjudul “Tinjauan Kontrak Bagi Hasil
Menurut Hukum Positif Dan Hukum Islam”. Skripsi ini membahas
tentang kesesuaian kontrak mudharabah dilihat dari segi hukum positif
dan hukum Islam. Metode penelitian yang digunakan adalah metode
library research dan deskriptif analitis. Kesimpulan dari penelitian
tersebut adalah:
a. Kontrak bagi hasil, baik ditinjau dari hukum positif maupun Islam
pada umumnya berisi hal-hal yang mengatur tentang ketentuan hak
dan kewajiban kedua belah pihak yang berkontrak.
11
b. Bagi hasil menurut hukum positif hanya mengenal perhitungan aman
dan untung dalam setiap transaksi yang dilakukan sedangkan dalam
Islam mengandung unsur keadilan kedua belah pihak.
Perbedaan Penelitian penulis dengan penelitian ini adalah :
1. Fokus penelitian penulis adalah kesesuaian antara draft kontrak
mudharabah di BNI Syari’ah dengan standart kontrak menurut fikih
muamalat, dan Fokus Penelitian pada skripsi ini adalah Kontrak Bagi
Hasil ditinjau dari hukum positif maupun Islam.
2. Metode penelitian penulis adalah Metode Penelitian Kualitatif yang
menghasilkan data deskriptif dan tertulis, sedangkan metode penelitian
yang digunakan pada skripsi ini adalah metode library research dan
deskriptif analitis.
3. Tesis, Penelitian yang dilakukan oleh Rejeki Wijiastuti, Mahasiswa
Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, “Azas kebebasan Berkontrak
dalam kontrak karya PT Newmont Minahasa Raya dengan
pemerintah Republik Indonesia” tahun 2006.
Tesis ini membahas mengenai Azas kebebasan berkontrak berkaitan
dengan kebebasan para pihak yang terlibat dalam suatu kontrak untuk
mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian, kebebasan untuk
menentukan dengan siapa mengadakan perjanjian, kebebasan untuk
menentukan isi perjanjian dan kebebasan dalam menentukan bentuk
12
perjanjian. Adanya keseimbangan hak dan kewajiban para pihak dalam
kontrak karya dilihat dari perbuatan para pihak, isi kontrak dan
pelaksanaan kontrak yang telah disepakati. Metode penelitian yang
digunakan adalah metode yuridis normatif.
Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah:
1. Azas kebebasan berkontrak berkaitan dengan kebebasan para pihak
yang terlibat dalam suatu kontrak untuk mengadakan atau tidak
mengadakan perjanjian, kebebasan untuk menentukan dengan siapa
mengadakan perjanjian, kebebasan untuk menentukan isi perjanjian
dan kebebasan dalam menentukan bentuk perjanjian.
2. Adanya keseimbangan hak dan kewajiban para pihak dalam kontrak
karya dilihat dari perbuatan para pihak, isi kontrak dan pelaksanaan
kontrak yang telah disepakati.
3. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui Putusan No.
94/PDT.G/2005/PN. Jakarta Selatan dalam perkara antara Negara
Republik Indonesia c.q. Menteri Negara Lingkungan Hidup
(penggugat) melawan PT Newmont Minahasa Raya (Tergugat I) dan
Richard Bruce Ness (tergugat II) berpendapat bahwa kontrak karya
adalah perjanjian antara pemerintah Republik Indonesia dengan PT
Newmont Minahasa Raya yang tidak dipermasalahkan keabsahannya.
Perbedaan Penelitian Penulis dengan penelitian ini adalah:
13
1. Fokus penelitian Penulis adalah pada kesesuaian antara draft kontrak
perjanjian di BNI Syari’ah dengan prosedur dalam standart kontrak
yang berlaku. Sedangkan fokus penelitian pada tesis ini adalah Azas
kebebasan berkontrak berkaitan dengan kebebasan para pihak yang
terlibat dalam suatu kontrak untuk mengadakan atau tidak mengadakan
perjanjian, kebebasan untuk menentukan dengan siapa mengadakan
perjanjian, kebebasan untuk menentukan isi perjanjian dan kebebasan
dalam menentukan bentuk perjanjian.
2. Metode Penelitian penulis adalah Metode Penelitian Kualitatif yang
menghasilkan data deskriptif dan tertulis, sedangkan metode penelitian
yang digunakan pada skripsi ini adalah metode yuridis normatif.
E. Metode dan teknik Penulisan
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan Metode Penelitian Kualitatif yang menghasilkan
data deskriptif dan tertulis dengan informasi dari pakar-pakar ekonomi Islam dan juga
dari lembaga yang terlibat dalam objek penelitian. Jenis pelaporan yang digunakan
adalah metode deskriptif analisis, yaitu penulis menggambarkan permasalahan
dengan didasari pada data yang ada lalu dianalisis lebih lanjut untuk kemudian
diambil suatu kesimpulan. Proses analisa dimulai dari membaca, mempelajari, dan
menela’ah teori-teori yang didapat secara seksama, selanjutnya dari proses analisa
14
tersebut penulis mengambil kesimpulan dari masalah yang bersifat umum kepada
masalah yang bersifat khusus.
2. Teknik pengumpulan data
a. Penelitian Kepustakaan (Library research), penulis mengadakan penelitian
terhadap beberapa literatur yang ada kaitannya dengan penulisan skripsi ini. Literatur
itu berupa buku, majalah, surat kabar, artikel, internet, dan lain sebagainya. Langkah
dalam melaksanakan study pustaka ini adalah dengan cara membaca, mengutip serta
menganalisa dan merumuskan hal-hal yang dianggap perlu dalam memenuhi data
penelitian ini.
b. Penelitian Lapangan (Field Research), untuk mendapatkan data-data dan
informasi, penulis langsung terjun ke objek penelitian, yaitu lembaga yang diteliti
dengan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
1. Interview, yaitu melakukan wawancara dengan pihak DSN, Pakar dan
Lembaga yang menangani Draft Kontrak dalam Perbankan Syari’ah.
2. Dokumentasi yaitu mengumpulkan data berdasarkan laporan yang didapat
dari lembaga yang diteliti dan laporan lainnya yang berkaitan dengan
masalah penelitian.
3. Teknik Penulisan.
Dalam Penyusunannya secara teknis penulisan, semua berpedoman pada
prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam pedoman penulisan skripsi
yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tahun 2007.
15
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dalam penulisan skripsi ini, penulis menyusun
sistematika penulisan menjadi beberapa bab:
Bab I : Pendahuluan
Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review study terdahulu, kerangka teori,
metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II: Landasan Teori
Bab ini terdiri dari 3 bahasan, bahasan pertama, prinsip dan ketentuan kontrak dalam
Islam. kedua, Mudharabah dalam perbankan syari’ah. ketiga, ‘Aqdu Al-idz’an dan
ketentuannya.
Bab III: Profil PT Bank Negara Indonesia Syari’ah Tbk
Bab ini membahas mengenai sejarah Bank Negara Indonesia Syari’ah, Tujuan
Pendirian , Visi dan Misi, Produk-produk Bank Negara Indonesia Syari’ah.
Bab IV: Hasil Analisis
Bab ini membahas mengenai Design Kontrak Mudharabah di BNI Syari’ah, Isi
Kontrak Mudharabah BNI Syari’ah, Analisis Design Kontrak Mudharabah, Analisis
Isi Kontrak Mudharabah BNI Syari’ah.
Bab V: Penutup
Bab ini membahas mengenai kesimpulan dan saran.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Prinsip dan ketentuan kontrak dalam Islam.
1. Pengertian kontrak
Dalam kajian hukum Islam yang berkaitan dalam hal muamalah, masalah
akad (‘aqad) atau perjanjian menempati posisi sentral, karena akad merupakan cara
paling penting yang digunakan untuk memperoleh suatu maksud, terutama yang
berkenaan dengan harta atau manfaat sesuatu secara sah.
Lafal akad berasal dari lafal Arab (العقد) yang secara etimologi berarti
perikatan, perjanjian, dan permufakatan. Dalam fiqh didefinisikan dengan irtibathu
ijabin bi qabulin ‘ala wajhin masyruin’ yatsbutu atsaruhu fi mahallihi, yakni
pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan
ikatan) sesuai dengan kehendak syari’at yang berpengaruh pada obyek perikatan.9
Secara terminologi, akad memiliki arti umum (al-ma’na al-am) dan khusus
(al-ma’na al-khas). Adapun arti umum dari akad adalah “Segala sesuatu yang
dikehendaki seseorang untuk dikerjakan, baik yang muncul dari kehendaknya sendiri,
seperti kehendak untuk wakaf, membebaskan hutang, thalak, dan sumpah, maupun
yang membutuhkan pada kehendak dua pihak dalam melakukannya seperti jual beli,
9 Bank Indonesia Direktorat Perbankan Syari’ah, Kamus Istilah Keuangan dan Perbankan
Syari’ah, (Jakarta: Direktorat Perbankan Syari’ah, 2006), h.4
16
17
sewa menyewa, perwakilan, dan gadai/jaminan10” Sedangkan arti khusus (al-ma’na
al-khas) akad adalah:
التراضيت بلى وجه مشروع يثارتبط ايجاب بقبول ع Artinya: Pertalian atau keterikatan antara ijab dan qabul sesuai dengan kehendak
syari’ah (Allah dan Rasulnya) yang menimbulkan persetujuan kedua belah pihak11.
Ijab dan qabul dimaksudkan untuk menunjukkan adanya keinginan dan
kerelaan timbal balik para pihak yang bersangkutan terhadap isi akad. Oleh karena
itu, ijab dan qabul menimbulkan hak dan kewajiban atas masing-masing pihak secara
timbal balik. Ijab adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang
diinginkan, sedangkan qabul adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya12.
Mustafa Ahmad Az-Zarqa’ seorang pakar fiqih Yordania asal Siria,
menyatakan bahwa tindakan hukum yang dilakukan oleh manusia terdiri atas dua
bentuk, yaitu:
a. Tindakan berupa perbuatan
b. Tindakan berupa perkataan, dibagi lagi pada perkataan yang bersifat
kontrak dan tidak bersifat kontrak13
2. Rukun dan Syarat kontrak (‘Aqad)
Suatu akad harus memenuhi beberapa rukun dan syarat akad. Rukun akad
adalah unsur yang harus ada dan merupakan esensi dalam setiap akad. Jika salah satu
rukun tidak ada menurut hukum Islam akad dipandang tidak pernah ada. Sedangkan
10 Azharuddin Lathif, Fiqh Mumalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h.60 11 TM.Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra,
1999), h.26 12 Azharuddin Lathif, Fiqh Mumalat, h.60 13 Nasroen Haroen, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), cet, ke-1, h.97.
18
syarat adalah suatu sifat yang mesti ada pada setiap rukun, tetapi bukan merupakan
esensi14.
a) Rukun Akad
Menurut Mazhab Hanafi, rukun akad hanya terdiri atas ijab dan qabul
(shigat). Sedangkan hal lain yang oleh jumhur dipandang sebagai rukun, bagi mazhab
Hanafi hanya dipandang sebagai pilar-pilar akad (lawazim al-‘aqd). Selain itu, ulama
Mazhab Hanafi menambahkan satu hal lagi pada lawazim al-‘aqad, yaitu tujuan akad
(maudhu’ al-‘aqad). Sedangkan menurut Jumhur Ulama Fiqh rukun aqad terdiri dari
tiga, yaitu:
1) Pernyataan untuk mengikatkan diri (shigatul Aqdi)
Shigatul aqdi merupakan rukun akad yang terpenting, karena melalui
pernyataan ini dapat diketahui maksud dari masing-masing pihak yang mengadakan
akad. Shigatul ‘aqdi diwujudkan dalam bentuk ijab dan kabul. Adapun yang
melakukan ijab adalah pihak yang berkuasa dalam transaksi dan yang melakukan
kabul adalah pihak yang membayar harga.
Shigatul aqdi ini memerlukan tiga syarat, yaitu
a) Harus terang pengertiannya, artinya harus ada kejelasan maksud dari kedua belah
pihak yang mengadakan kontrak, dan tidak ada hal yang dapat menimbulkan
kerugian bagi salah satu pihak. Shigatul ‘aqdi harus diungkapkan secara jelas dan
menunjukkan kehendak kedua pihak yang berakad. Isi lafadz haruslah
menunjukkan kepada jenis kontrak yang dikehendaki oleh kedua belah pihak.
14 Ibid., h.64
19
b) Harus ada kesesuaian antara ijab dan kabul, artinya kabul itu harus sesuai dengan
ijab. Kabul harus mengikuti ketentuan ijab, sama pada setiap barang atau perkara
yang diakadkan dan sama pada kadar pertukaran dalam perkara kontrak
pertukaran dengan ijab.
c) Memperlihatkan kesungguhan dari pihak-pihak yang bersangkutan. Ijab dan
kabul harus diucapkan dengan sungguh-sungguh tanpa ada keragu-raguan.
2) Pihak-pihak yang mengadakan ‘aqad (Al-Muta’aqidain)
Al-muta’aqidain adalah pihak-pihak yang mengadakan kontrak. Al-
Muta’aqidain ini bisa terdiri dari satu orang atau lebih dan telah dianggap cakap
untuk melakukan tindakan hukum. Dalam Mazhab Maliki dan Hanafi, orang yang
mengadakan akad harus seorang yang berakal, yaitu mumayyiz yang telah sempurna
umurnya tujuh tahun.
Dalam rukun akad orang yang melakukan ‘aqad disyaratkan harus telah akil
baliq, artinya ia memiliki kecakapan untuk melakukan akad, tidak dungu, idiot, atau
gila.
3) Objek akad (Al-Ma’qud’Alaih)
Al-Ma’qud ‘alaih adalah benda yang menjadi obyek akad. Dalam rukun ini,
barang yang dijanjikan wujudnya dapat berupa komoditi, dapat pula berupa manfaat
atau jasa.
Ada 5 syarat yang akan dijadikan ma’qud ‘alaih, yaitu:
a) Barang yang dijanjikan harus sudah ada ketika dilakukan akad
b) Barang yang akan dijadikan haruslah dibenarkan oleh syari’at hukum.
20
Barang tersebut dapat diserahkan ketika dilaksanakan akad.
c) Barang yang akan dijanjikan harus jelas dan diketahui oleh pihak-pihak yang
mengadakan akad agar tidak terjadi silang sengketa di kemudian hari.
d) Para ulama (kecuali Mazhab Hanafi) menetapkan bahwa barang yang dijanjikan
harus barang yang suci, bukan barang yang najis atau terkena najis.
3. Azas- azas perjanjian dalam Islam
Azas-azas perjanjian dalam Islam adalah:
1.) Kebebasan (Al-Hurriyah)
Azas ini merupakan prinsip dasar dalam hukum perjanjian Islam, dalam
artian para pihak bebas membuat suatu perjanjian atau akad (freedom of making
contract). Bebas dalam menentukan obyek perjanjian dan bebas menentukan
dengan siapa ia akan membuat perjanjian, serta bebas menentukan bagaimana
cara menentukan penyelesaian sengketa jika terjadi dikemudian hari.
Azas kebebasan berkontrak di dalam hukum Islam dibatasi oleh ketentuan
syari’ah Islam. Dalam membuat perjanjian ini tidak boleh ada unsur paksaan,
kekhilafan, dan penipuan.
Dasar hukum mengenai asas ini tertuang dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah
ayat 256, sebagai berikut:
ال إآراه في الدين قد تبين الرشد من الغي فمن يكفر بالطغوت ويؤمن باهللا فقد )256: البقرة ( استمسك بالعروة الوثقى ال انفصام لها واهللا سميع عليم
Artinya: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak
21
akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui (Al-Baqarah: 256)
2.) Persamaan dan Kesetaraan (Al-Musawah)
Asas ini mengandung pengertian bahwa para pihak mempunyai kedudukan
(bargaining position) yang sama, sehingga dalam menentukan term and
condition dari suatu akad atau perjanjian setiap pihak mempunyai kesetaraan atau
kedudukan yang seimbang.
Dasar hukum mengenai asas persamaan ini tertuang di dalam ketentuan Al-
Qur’an Surat Al-Hujurat ayat 13:
يأيها الناس إنا خلقنكم من ذآر وأنثى وجعلناآم شعوبا وقبائل لتعارفوا إن )13: الحجرات ( أآرامكم عند اهللا أتقكم إن اهللا عليم خبير
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal (Al-Hujurat: 13)
3.) Keadilan (Al-‘Adalah)
Pelaksanaan azas ini dalam suatu perjanjian atau akad menuntut para pihak
untuk melakukan yang benar dalam pengungkapan kehendak dan keadaan,
memenuhi semua kewajibannya. Perjanjian harus senantiasa mendatangkan
keuntungan yang adil dan seimbang. Serta tidak boleh mendatangkan kerugian
bagi salah satu pihak.
4.) Kerelaan (Al-Ridha)
22
Azas ini menyatakan bahwa segala transaksi yang dilakukan harus atas dasar
kerelaan antara masing-masing pihak, harus didasarkan pada kesepakatan bebas
dari para pihak dan tidak boleh ada unsur paksaan, tekanan, penipuan, dan mis
statement.
Dasar hukum adanya asas kerelaan dalam pembuatan perjanjian dapat dibaca
dalam Al-Qur’an Surat an-Nisa ayat 29:
يأيها الذين ءامنوا ال تأآلوا أموالكم بينكم بالباطل إال أن تكون تجرة عن تراض ) 29: النساء( منكم وال تقتلوا أنفسكم إن اهللا آان بكم رحيما
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu ( An-Nisa’ :29)
Kata suka sama suka menunjukkan bahwa dalam hal membuat perjanjian,
khususnya di lapangan perniagaan harus senantiasa didasarkan pada asas
kerelaan atau kesepakatan para pihak secara bebas15.
5.) Kebenaran dan Kejujuran (Ash-Shidq)
Bahwa di dalam Islam setiap orang dilarang melakukan kebohongan dan
penipuan, karena dengan adanya penipuan atau kebohongan sangat berpengaruh
dalam keabsahan perjanjian atau akad. Perjanjian yang didalamnya mengandung
unsur kebohongan atau penipuan, memberikan hak kepada pihak lain untuk
menghentikan proses pelaksanaan perjanjian tersebut.
15 Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syari’ah Di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2007), cet 1, h.56
23
Dasar hukum mengenai Ash-Shidiq, dapat kita baca dalam Al-Qur’an Surat
Al-Ahzab ayat 70:
)70: األحزب(يأيها الذين ءامنوا تقوا اهللا وقولوا قوال سديداArtinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah
dan Katakanlah perkataan yang benar (Al-Ahzab: 70)
6.) Tertulis (Al-Kitabah)
Bahwa setiap perjanjian hendaknya dibuat secara tertulis, lebih berkaitan
demi kepentingan pembuktian jika dikemudian hari terjadi sengketa.
Dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 282-283:
يأيها لذين ءامنوا إذا تداينتم بدين إلى أجل مسمى فاآتبوه وليكتب بينكم آاتب وليملل الذي عليه الحق بالعدل وال يأب آاتب أن يكتب آما علمه اهللا فليكتب
وليتق اهللا ربه وال يبخس منه شيأ، فإن آان الذى عليه الحق سفيها أو ضعيفا أو ال يستطيع أن يمل هو فليملل وليه بالعدل وستشهدوا شهيدين من رجالكم فإن لم
...يكونا رجلين فرجل ومرأتان ممن ترضون من الشهداء )283-282: البقرة (
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai (Al-Baqarah:282-283)
Ayat ini mengisyaratkan agar akad yang dilakukan benar-benar berada
dalam kebaikan bagi semua pihak. Bahkan juga di dalam pembuatan perjanjian
24
hendaknya juga disertai dengan adanya saksi-saksi (syahadah), gadai (rahn,
untuk kasus tertentu), dan prinsip tanggung jawab individu16.
7.) Asas Konsensualisme
Suatu Kontrak sudah sah dan mengikat ketika tercapai kata sepakat, selama
syarat-syarat lainnya sudah terpenuhi. Azas konsensualisme ini merupakan salah
satu syarat untuk sahnya suatu perjanjian sebagaimana yang ditentukan dalam
pasal 1320 KUPerdata. Tanpa adanya kesepakatan ini, perjanjian tersebut batal
demi hukum. Kesepakatan maksudnya adalah seiya-sekata tentang apa yang
diperjanjikan. Dan kesepakatan ini dicapai dengan penuh kesadaran, tanpa
paksaan dan tekanan salah satu pihak.
8.) Asas Pacta Sunt Servanda (Azas Kepastian Hukum)
Secara harfiyah berarti janji itu mengikat. Yang dimaksudkan adalah bahwa
jika suatu kontrak sudah dibuat secara sah oleh para pihak, maka kontrak tersebut
sudah mengikat para pihak, bahkan mengikatnya kontrak yang dibuat oleh para
pihak sama kekuatannya dengan mengikatnya sebuah undang-undang yang
dibuat oleh parlemen dan pemerintah.
9.) Asas Iktikad Baik
Asas iktikad baik dapat disimpulkan dari pasal 11338 ayat (3) KUH Perdata
yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.” Asas
iktikad merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus
16 Ibid, h.60
25
melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang
teguh atau kemauan baik dari para pihak.
Iktikad baik dibagi menjadi dua macam, yaitu iktikad baik nisbi dan iktikad
baik mutlak. Pada iktikad baik nisbi, orang memperhatikan sikap dan tingkah
laku yang nyata dari subjek. Pada iktikad baik mutlak, penilaiannya terletak pada
akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan
(penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.
10.) Asas Kepribadian
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang
akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya kepentingan perorangan saja.
11.) Perjanjian Batal demi hukum
Yaitu, suatu asas yang menyatakan bahwa suatu perjanjian akan batal demi
hukum jika tidak memenuhi syarat objektif.
12.) Keadaan memaksa (overmacht)
Yaitu suatu kejadian yang tak terduga dan terjadi di luar kemampuannya
sehingga terbebas dari keharusan membayar ganti kerugian.
13.) Asas Canseling
Yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa perjanjian yang tidak memenuhi
syarat objektif dapat dimintakan pembatalan.
14.) Asas Obligatoir
26
Asas obligatoir suatu kontrak maksudnya bahwa setelah sahnya suatu
kontrak, Kontrak tersebut sudah mengikat, tetapi baru sebatas menimbulkan hak
dan kewajiban di antara para pihak.
15.) Azas Zakwaarneming
Dimana bagi seseorang yang melakukan pengurusan terhadap benda orang
lain tanpa diminta oleh orang yang bersangkutan, ia harus mengurusnya sampai
selesai17.
4. Hal-hal yang dapat merusak akad
Akad dipandang tidak sah atau sekurang-kurangnya dapat dibatalkan apabila
terdapat hal-hal sebagai berikut:
a. Keterpaksaan atau Dures (al-Ikrah)
Salah satu asas akad menurut hukum Islam adalah kerelaan (al-ridha) dari
para pihak yang melakukan akad. Implementasi asas ini diwujudkan dalam
bentuk ijab-kabul yang merupakan unsur terpenting dalam akad. Jika sebuah
akad dilakukan tanpa adanya kerelaan, berarti akad tersebut dibuat dengan
secara terpaksa.
Dilihat dari akibat yang ditimbulkannya, para ulama membagi ikrah
menjadi dua macam, yaitu:
17 Azharuddin Lathif dan Nahrowi, Pengantar Hukum Bisnis Pendekatan Hukum Positif
dan Hukum Islam ( Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), cet 1, h.44
27
1. Pemaksaan sempurna (ikhrah tam), yaitu yang berakibat pada hilangnya
jiwa, atau anggota badan, atau pukulan keras yang bisa mengakibatkan
cacat fisik pada dirinya atau kerabatnya.
2. Pemaksaan tidak sempuna (ikhrah naqish), yaitu mengakibatkan rasa sakit
yang ringan atau berupa pukulan yang ringan.
Para ulama mensyaratkan bahwa pemaksaan yang berpengaruh pada
akad adalah pemaksaan yang tidak disyari’atkan (tidak dibenarkan secara
hukum). Namun jika pemaksaan itu dikehendaki secara hukum, maka
pemaksaan itu tidak berpengaruh. Misalnya, pemaksaan hakim terhadap
seseorang yang berhutang untuk menjual kelebihan hartanya (dari
kebutuhan) untuk membayar utang.
b. Kesalahan mengenai obyek akad (Ghalath)
Ghalath berarti kesalahan, yakni kesalahan orang yang berakad dalam
menggambarkan obyek akad, baik kesalahan dalam menyebutkan zat (jenis)
maupun dalam menyebutkan sifatnya. Misalnya, seseorang membeli
perhiasaan yang diduganya adalah emas, namun ternyata tembaga. Akad
seperti ini sama dengan akad pada sesuatu yang tidak ada obyeknya. Dengan
demikian, status hukum jual beli tersebut adalah batal, karena obyek akad
yang dikehendaki oleh pembeli tidak ada.
c. Penipuan (tadlis) atau ketidakpastian (taghrir) pada obyek akad
28
Tadlis adalah suatu upaya untuk menyembunyikan cacat obyek akad dan
menjelaskan dengan gambaran yang tidak sesuai dengan kenyataannya untuk
menyesatkan pihak yang berakad dan berakibat merugikan salah satu pihak
yang berakad tersebut.
d. Ketidak seimbangan obyek akad (Ghaban) disertai tipuan (taghrir)
Pengertian Ghaban dikalangan fuqaha adalah tidak terwujudnya
keseimbangan antara obyek akad (barang) dengan harganya, Seperti harganya
lebih rendah atau lebih tinggi dari harga yang sesungguhnya. Sedangkan
taghrir (penipuan) adalah menyebutkan keunggulan pada barang tidak sesuai
dengan keadaan yang sebenarnya.
5. Macam-macam Akad
Dilihat dari aspek sifat dan hukumnya akad dibagi menjadi akad sah (shahih)
dan akad yang tidak sah (ghair shahih). Akad sah adalah akad yang memenuhi
rukun dan syarat-syaratnya. Hukum akad ini adalah berlakunya seluruh akibat
hukum akad (baik yang bersifat khusus maupun yang bersifat umum) yang
ditimbulkan oleh akad itu, Saat itu juga, dan mengikat bagi para pihak yang
melakukannya. Sebagai contoh, jual beli yang sah dalam arti telah terpenuhi
semua rukun dan syaratnya, setelah terjadi ijab dan kabul, Barang yang dijual
menjadi milik pembeli dan harga penjualan barang menjadi milik penjual,
kecuali apabila ada syarat khiyar. Perpindahan kepemilikan itu dipandang sudah
terjadi walaupun belum dilakukan serah terima.
6. Berakhirnya akad (Intiha’ al-‘aqad)
29
Menurut ulama Islam akad berakhir disebabkan terpenuhinya tujuan akad
(tahqiq gharadh al-‘aqd), Fasakh, infisakh, kematian, dan ketidak-izinan (‘adal
al-ijazah) dari pihak yang memilki kewenangan dalam akad mauquf.
a. Suatu akad dipandang berakhir apabila tujuan akad telah tercapai. Dalam akad
jual beli misalnya, akad dipandang telah berakhir apabila barang telah
berpindah tangan kepada pembeli dan harganya telah menjadi milik penjual.
Dalam akad gadai (rahn) dan jaminan (kafalah) akad dipandang telah berakhir
apabila utang telah dibayar. Demikian juga, akad berakhir disebabkan
berakhirnya masa akad (intiha’ muddah al-‘aqad). Jika masa kontrak sudah
berakhir misalnya, maka akad sewa menyewa sudah habis dan akad menjadi
berakhir atau selesai dengan sendirinya.
b. Faskah. Sebuah akad berakhir disebabkan fasakh (pemutusan). Dalam akad
yang mengikat bagi para pihak, ada beberapa alasan yang menyebabkan akad
dapat atau bahkan harus di fasakh:
1. Disebabkan akad dipandang fasad, misalnya menjadi sesuatu yang tidak
jelas spesifikasinya atau menjual sesuatu dengan dibatasi waktu. Jual beli
semacam itu dipandang fasad, dan karenanya harus (wajib) di fasakh, baik
oleh para pihak yang berakad maupun hakim, kecuali terdapat hal-hal yang
menyebabkan fasakh tidak dapat dilakukan seperti pihak pembeli telah
menjual barang yang dibelinya.
30
2. Disebabkan adanya khiyar. Pihak yang memiliki hak khiyar, baik khiyar
syarat, khiyar ‘aib, khiyar ru’yah maupun lainnya dibolehkan untuk
melakukan fasakh akad yang telah dilakukannya.
3. Disebabkan iqalah. Iqalah adalah fasakh terhadap akad berdasarkan
kerelaan kedua belah pihak ketika salah satu pihak menyesal dan ingin
mencabut kembali akad yang telah dilakukannya.
4. Disebabkan ‘adam al-tanfidz, yakni kewajiban yang ditimbulkan oleh akad
tidak dipenuhi oleh para piihak atau salah satu pihak bersangkutan. Jika hal
itu terjadi, akad boleh fasakh. Misalnya dalam akad yang mengandung
khiyar naqd (khiyar pembayaran).
c. Infisakh, yakni putus dengan sendirinya (dinyatakan putus, putus demi
hukum). Sebuah akad dinyatakan putus apabila isi akad tidak mungkin dapat
dilaksanakan (istihalah al-tanfidz) disebabkan afat samawiyah (force
majeure). dalam akad jual-beli misalnya barang yang dijual rusak di tangan
penjual sebelum diserahkan kepada pembeli. Dengan demikian, akad jual beli
misalnya barang yang dijual rusak ditangan penjual sebelum diserahkan
kepada pembeli. Dengan demikian, akad jual beli dinyatakan putus dengan
sendirinya (infisakh), karena pelaksanaan akad yang dalam hal ini
menyerahkan barang mustahil dapat dilakukan.
d. Kematian
Beberapa bentuk akad berakhir disebabkan kematian salah satu pihak yang
berakad. berikut contoh-contoh akad dimaksud:
31
1) Akad sewa menyewa (ijarah). Menurut Hanafiyah, akad ijarah berakhir
disebabkan kematian salah satu pihak, namun tidak berakhir menurut
mazhab yang lain.
2) Akad rahn dan kafalah. Kedua akad ini adalah bentuk akad yang hanya
mengikat satu pihak yaitu pihak kreditur (da’in, pemegang gadai) dan
makful lah (penerima manfaat kafalah).
3) Jika pemberi gadai meninggal, akad menjadi berakhir dan barang gadaian
dijual (oleh washiy, pengampu) untuk membayar utangnya apabila ahli
waris masih di bawah umur. Akan tetapi, jika ahli warisnya orang dewasa,
mereka bisa membayarkan utang pewaris pemberi gadai guna
menyelamatkan barang gadaian.
4) Dalam akad kafalah ( kafalah bi al-dain), akad tidak berakhir disebabkan
kematian debitur (madin). Akad baru berakhir dengan pembayaran utang
kepada kreditur (dain) atau pembebasan utang (ibra’). Jika kafil (pemberi
garansi) meninggal dunia, utang yang digaransinya dibayar dari harta
peninggalannya.
B. Mudharabah dalam Perbankan Syari’ah
1. Pengertian
Mudharabah berasal dari kata Dharb, berarti memukul atau berjalan.
Pengertian berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan
32
kakinya dalam menjalankan usahanya.18 Mudharabah disebut juga Muqorodoh,
asal kata qiradh yang berarti memotong, karena pemilik harta memotong
sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh keuntungan19.
Sedangkan pengertian Mudharabah sangat banyak diungkapkan oleh para
pemikir ekonomi Islam maupun ulama fiqh. Diantaranya Drs Rasyad Hasan,
memberikan pengertian Mudharabah dengan cukup representative. Mudharabah
yaitu suatu akad (kontrak) yang memuat penyerahan modal khusus atau
semaknanya tertentu dalam jumlah jenis dan karakter (sifat) dari orang yang
diperbolehkan dewasa dan bijaksana, yang ia pergunakan untuk berdagang
dengan pembagiannya dalam kesepakatan20.
Pengertian lain diungkapkan yaitu Mudharabah adalah suatu perjanjian usaha
antara pemilik modal dengan pengusaha, dimana pemilik modal menyediakan
seluruh dana yang diperlukan dan pihak pengusaha melakukan pengelolaan usaha
atas hasil usaha, bersama ini dibagi sesuai dengan kesepakatan pada waktu
pembiayaan ditandatangani yang dituangkan dalam bentuk nisbah misalnya
60:40 atau 65:3521.
Menurut Afzalurrahman, Mudharabah adalah suatu kontrak kemitraan
(Patnership) yang berlandaskan bagi hasil usaha dengan cara seseorang
18 M.Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani Press,
2001), h.95 19 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung: PT Al Ma’rif, 1997), h.31 20 Hertanto Widodo, dkk., PAS (Panduan Akutansi Syari’ah) Panduan Praktis Operasional
Baitul Maal wa Tamwil, (Bandung : Mizan, 1999), h.51 21 Drs. H. Karnaen Perwataatmadja, MPA, dan H. Syafi’I Antonio, Apa dan Bagaimana Bank
Syari’ah,(Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1992), h. 22
33
memberikan modalnya kepada yang lain untuk melakukan bisnis dan kedua
belah pihak membagi keuntungan dan memiliki kerugian berdasarkan isi
perjanjian bersama. Pihak pertama sebagai supplier harta atau pemilik modal dan
pihak kedua, pengelola atau mudhorib22.
Dengan demikian, apabila ada kerja sama dalam menggerakkan roda
perekonomian, maka kedua belah pihak akan mendapatkan keuntungan modal
dan skill (keterampilan) dipadukan menjadi satu. Kerja sama dalam bentuk ini
disebut mudharabah ( المضاربة( oleh ulama Irak, dan disebut Qiradh (ضارقلا)
oleh ulama Hijaz. Sedangkan Ulama fikih mendefinisikan Mudharabah atau
Qiradh dengan: “Pemilik modal menyerahkan modalnya kepada pekerja
(pedagang) untuk diperdagangkan, sedangkan keuntungan dagang itu dibagi
menurut kesepakatan bersama”. Apabila terjadi kerugian, maka kerugian itu
sepenuhnya ditanggung oleh pemilik modal. Hal ini hendaknya dapat dipahami,
bahwa yang rugi tidak hanya pemilik modal saja, tetapi juga pekerja (pelaksana),
yaitu rugi pikiran dan tenaga23.
2. Hukum dan Dasar Hukum Mudharabah
Akad Mudharabah dibenarkan dalam Islam, karena bertujuan selain
membantu antara pemilik modal dan orang yang memutarkan uang. Sebagian
landasannya adalah Firman Allah:
22 Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1996), Jilid-
4, h.380 23 Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, Fiqh Muamalat, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2004), cet 2, h.169
34
)20: المزمل..... (وأخرون يضربون في األرض يبتغون من فضل اهللا....
Artinya:….. dan orang-orang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah (Al-Muzammil: 20)
Firman Allah:
)198: البقرة... (ليس عليكم جناح أن تبتغوا فضال من ربكم
Artinya: Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu…. (Al-Baqarah:198)
Kedua ayat tersebut di atas secara umum memperbolehkan Mudharabah24.
Disamping itu ada alasan lain yang dipergunakan oleh para ulama, yaitu kasus
Mudharabah yang dilakukan oleh Abbas bin Abd.Muthalib dan Rasulullah SAW
pun mengakui akad tersebut. Dasar hukum lainnya yang bersumber dari al-
Qur’an , Hadist, Ijma’ dan Qiyas sebagai pendukung kebolehan Mudharabah,
yaitu25:
Firman Allah QS. al-Nisa’: 29:
إال ان تكون تجارة عن تراض يأيها الذين امنوا التأآلوا أموالكم بينكم بالباطل ) 29:النساء( منكم
Artinya:“Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu….(An-Nisa’: 29)
Firman Allah QS. al-Maidah: 1
)1: المائدة...(يا أيها الذين امنوا أوفوا بالعقودArtinya: “Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu…. (Al-
Maidah)”
24 Ibid, h.170 25 DSN-MUI, Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional MUI, Edisi Revisi Tahun 2006,
(Jakarta: Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia, 2006), cet 3, h.42
35
Firman Allah QS. al-Baqarah 283
البقرة ....(فاليؤد الذي اؤتمن أمانته، وليتق اهللا ربهفإن أمن بعضكم بعضا ..... :283 (
Artinya: ….Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya…(Al-Baqarah:283).
Hadist Nabi riwayat Thabrani: آان سيدنا العباس بن عبد المطلب إذا دفع المال مضاربة عن ابن عباس قال
اشترط على صاحبه أن ال يسلك به بحرا، وال ينزل به واديا، وال يشتري به دابة ذات آبد رطبة، فإن فعل ذالك ضمن، فبلغ شرطه رسول اهللا صلى اهللا عليه واله
). اني في األوسط عن ابن عباسرواه الطبر( وسلم فأجازه Artinya: Dari Ibnu ‘Abbas dia berkata Abbas bin Abdul Mutahlib jika
menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung resikonya. ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah SAW, beliau membenarkannya.” (HR. Thabrani dari Ibnu Abbas)26.
Hadist Nabi Riwayat Ibnu Majah dari Shuhaib: دثنا الحسن بن علي الخالل حدثنا بشر بن ثابت البزار حدثنا نصر بن القاسم ح
عن عبد الرحمن بن داود عن صاليح بن صهيب عن أبيه قال رسول صلى اهللا : عليه وسلم ثالث فيهن البرآة
رواه ابن ماجه (البيع إلى أجل، والمقارضة، وخلط البر بالشعير للبيت ال للبيع )عن صهيب
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Hasan bin ali al khilal lalu menceritakan kepada kami Bisyr bin Al-Bazzari lalu telah menceritakan kepada kami Nasr bin Qashim dari Abdurrahaman bin Daud dari Shalih bin Shuhaib dari bapaknya Rasulullah Saw bersabda ada tiga perkara yang terdapat keberkahan didalamnya: jual-beli tidak secara tunai, muqaradhah
26 Baihaqi, Sunan Al-Kubra LilBaihaqi, (Beirut: Darul Fikr), Juz 6, hal.111
36
(Mudharabah), dan mencampurkan gandum dengan jejawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.” (HR.Ibnu Majah dari Shuhaib)27.
Hadist Nabi riwayat Tirmidzi dari ‘Amar bin ‘Auf:
حدثنا آثير بن عبد اهللا بن حدثنا الحسن بن علي الخالل حدثنا أبو عامر العقديعمرو بن عوف المزني عن أبيه عن جده أن رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم قال
حالال أو أحل حراما والمسلمون على الصلح جائز بين المسلمين إال صلحا حرم و أحل حراماشروطهم إال شرط حرم حالال أ
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Hasan bin Ali Al-Khilal lalu telah menceritakan kepada kami Abu Amir Al-Aqdi lalu telah menceritakan kepada kami katsir bin Abdullah bin Umar bin Auf Al-Mazni dari bapaknya dari kakeknya bahwa Rasulullah Saw bersabda: Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, dan kaum muslimin terikat dengan syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram (HR. Tirmidzi dari ‘Amar bin ‘Auf)28”
Hadist Nabi: حدثنا محمد بن يحيى حدثنا عبد الرزاق أنبأنا معمر عن جابر الجعفي عن عكرمة عن ابن عباس قال قال رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم ال ضرر وال
)رواه ابن ماجه والدرقطني وغيرهها عن أبي سعيد الخدري(ضرارArtinya: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya lalu telah
menceritakan kepada kami Abdurrazaq lalu telah menceritakan kepada kami Ma’mar dari Jabir al Ja’fi dari Ikrimah dari Ibnu Abbas dia berkata bersabda Rasulullah Saw: Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain” (HR, Ibnu Majah dari Ibnu Abbas)29.
Ijma’: Diriwayatkan, sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang,
mudharib) harta anak yatim sebagai mudharabah dan tak ada seorang pun
mengingkari mereka . karenanya, hal itu dipandang sebagai ijma’
Qiyas: Transaksi Mudharabah diqiyaskan kepada transaksi musaqah.
Kaidah fikih:
27 Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Darul Fikr), Juz 7, Hal.68 28 Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, (Beirut: Darul Fikr), Juz 5, hal.199 29 Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Darul Fikr), juz 7, hal.144
37
األصل في المعامالت اإلباحة إال أن يدل دليل على تحريمهاArtinya: “Pada dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali
ada dalil yang mengharamkannya.30”
3. Rukun dan Syarat Mudharabah
Menurut ulama Mazhab Hanafi rukun Mudharabah hanya ijab (dari pemilik
modal) dan kabul (dari pedagang/pelaksana). Jumhur ulama berpendapat lain,
bahwa rukun mudharabah adalah: orang yang berakal, modal, keuntungan, kerja
dan akad31.
Sedangkan menurut Adiwarman Karim bahwa faktor-faktor yang harus ada
(rukun) dalam akad mudharabah adalah32:
1. Pelaku (Mudharib maupun Shahibul Maal)
2. Objek Mudharabah (Modal dan kerja)
3. Persetujuan kedua belah pihak (Ijab-Qabul)
4. Nisbah Keuntungan.
Pelaku: Pihak pertama bertindak sebagai pemilik modal (shahib al-mal),
sedangkan pihak kedua bertindak sebagai pelaksana usaha (mudharib atau
‘amil). Tanpa dua pelaku ini, maka akad Mudharabah tidak ada.
Objek: Objek Mudharabah merupakan konsekuensi logis dari tindakan yang
dilakukan oleh para pelaku. Pemilik modal menyerahkan modalnya sebagai
objek Mudharabah, sedangkan pelaksana usaha menyerahkan kerjanya sebagai
30 DSN-MUI, Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional MUI, Edisi Revisi Tahun 2006 31 Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, Fiqh Muamalat, ( Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2004), cet 2, h.170 32 Adiwarman A.Karim, Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2007), edisi, 3, h.206
38
objek mudharabah. Modal yang diserahkan bisa berbentuk uang atau barang
yang dirinci berapa nilai uangnya. Sedangkan kerja yang diserahkan bisa
berbentuk keahlian, keterampilan, selling skill, management skill, dan lain-lain.
Tanpa dua objek ini, akad Mudharabah pun tidak akan ada.
Persetujuan: Yakni persetujuan kedua belah pihak merupakan konsekuensi
dari prinsip an-taraddin minkum (sama-sama rela). Disini kedua belah pihak
harus secara rela bersepakat untuk mengikatkan diri dalam akad mudharabah. Si
pemilik dana setuju dengan perannya untuk mengkontribusikan dana, sementara
di pelaksana usaha pun setuju dengan perannya untuk mengkontribusikan kerja.
Nisbah Keuntungan: Nisbah ini mencerminkan imbalan yang berhak diterima
oleh kedua pihak yang bermudharabah. Mudharib mendapatkan imbalan atas
kerjanya, sedangkan shahib al-maal mendapatkan imbalan atas kerjanya,
sedangkan shahib al-maal mendapat imbalan atas penyertaan modalnya. Nisbah
keuntungan inilah yang akan mencegah terjadinya perselisihan antara kedua
belah pihak mengenai cara pembagian keuntungan.
4. Nisbah Keuntungan33
1. Prosentase
Nisbah keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk prosentase antara kedua
belah pihak, bukan dinyatakan dalam nilai nominal Rp tertentu. Jadi nisbah
keuntungan itu misalnya adalah 50:50, 70:30, atau 60:40, atau bahkan 99:1. Jadi
nisbah keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan porsi
33 Ibid, h.206
39
setoran modal, tentu dapat saja bila disepakati ditentukan nisbah keuntungan
sebesar porsi setoran modal. Nisbah keuntungan tidak boleh dinyatakan dalam
bentuk nominal Rp tertentu, misalnya shahib al-maal mendapat Rp 50 ribu,
mudharib mendapat Rp 50 ribu.
2. Bagi Untung dan Bagi Rugi.
Ketentuan di atas merupakan konsekuensi logis dari karakteristik akad
mudharabah itu sendiri, yang tergolong ke dalam kontrak investasi (natural
uncertainty contracts). Dalam kontrak ini return dan timing cash flow kita
tergantung kepada kinerja sektor riilnya. Bila laba bisnisnya besar, kedua belah
pihak mendapat bagian yang lebih pula. Bila laba bisnisnya kecil, mereka
mendapat bagian yang kecil juga. Filosofi ini dapat berjalan jika nisbah laba
ditentukan dalam bentuk prosentase, bukan dalam bentuk nominal Rp tertentu.
3. Jaminan.
Ketentuan pembagian kerugian hanya berlaku bila kerugian yang terjadi
murni diakibatkan oleh risiko bisnis (business risk), bukan karena risiko
karakter buruk mudharib (character risk). Bila kerugian terjadi karena
karakter buruk, misalnya karena mudharib lalai dan atau melanggar
persyaratan-persyaratan kontrak mudharabah, maka shahib al-maal tidak
perlu menanggung kerugian. Para fuqaha berpendapat bahwa pada prinsipnya
tidak perlu dan tidak boleh mensyaratkan agunan sebagai jaminan,
sebagaimana dalam akad syirkah lainnya. Jelas hal ini konteksnya adalah
business risk.
40
Sedangkan untuk character risk, mudharib pada hakikatnya menjadi wakil
dari shahibul maal dalam mengelola dana dengan seizin shahibul maal,
sehingga wajiblah baginya berlaku amanah. Jika mudharib melakukan
keteledoran, kelalaian, kecerobohan dalam merawat dan menjaga dana, yaitu
melakukan pelanggaran, kesalahan, dan kelewatan dalam perilakunya yang
tidak termasuk bisnis mudharabah yang disepakati, atau ia keluar dari
ketentuan yang disepakati, mudharib tersebut harus menanggung kerugian
mudharabah sebesar bagian kelalaiannya sebagai sanksi dan tanggung
jawabnya.
Ia telah menimbulkan kerugian karena kelalaian dan perilaku zhalim karena
ia telah memperlakukan harta orang lain yang dipercayakan kepadanya di luar
ketentuan yang disepakati. Mudharib tidak pula berhak untuk menentukan
sendiri mengambil bagian dari keuntungan tanpa kehadiran atau
sepengetahuan shahibul maal sehingga shahibul maal dirugikan. Jelas hal ini
konteksnya adalah character risk.
4. Menentukan Besarnya Nisbah. Besarnya nisbah ditentukan berdasarkan
kesepakatan masing-masing pihak yang berkontrak. Jadi angka besaran nisbah
ini muncul sebagai hasil tawar-menawar antara shahib al-maal dengan
mudharib. Dengan demikian, angka nisbah ini bervariasi, bisa 50:50,
60:40,70:30, 80:20, bahkan 99:1. Namun para ahli fiqih sepakat bahwa nisbah
100:0 tidak diperbolehkan.
5. Cara menyelesaikan kerugian
41
a. Jika terjadi kerugian, cara menyelesaikannya adalah:
b. Diambil terlebih dahulu dari keuntungan, karena keuntungan merupakan
pelindung modal.
c. Bila kerugian melebihi keuntungan, baru diambil pokok modal.
5. Penerapan Mudharabah dalam Perbankan Syari’ah
Skema Mudharabah yang berlaku antara dua pihak secara langsung, yakni
shahibul al-maal berhubungan langsung dengan mudharib. Skema ini adalah
skema yang standart yang dapat dijumpai dalam kitab-kitab klasik fiqih Islam.
Dan ini sesungguhnya praktek mudharabah yang dilakukan oleh Nabi dan para
Sahabat serta umat muslim sesudahnya. Dalam kasus ini, yang terjadi adalah
investasi langsung (direct financing) antara shahib al-mal (sebagai surplus unit)
dengan mudharib (sebagai deficit unit). Dalam direct financing seperti ini, peran
bank sebagai lembaga perantara (intermediary) tidak ada.
Mudharabah klasik seperti ini tidak efisien lagi dan kecil kemungkinannya
untuk dapat diterapkan oleh bank, karena beberapa hal:
1. Sistem kerja pada bank adalah investasi berkelompok, dimana mereka tidak
saling mengenal. Jadi kecil sekali kemungkinannya terjadi hubungan yang
langsung dan personal.
2. Banyak investasi sekarang ini membutuhkan dana dalam jumlah besar,
sehingga diperlukan puluhan bahkan ratus ribuan shahib al-maal untuk sama-
sama menjadi penyandang dana untuk satu proyek tertentu.
42
3. Lemahnya disiplin terhadap ajaran Islam menyebabkan sulitnya bank
memperoleh jaminan keamanan atas modal yang disalurkannya34.
C. ‘Aqdu Al- idz’an dan ketentuannya
1. Definisi Idz’an
Idz’an ) إذعان atau إنقياد ( berasal dari bahasa Arab yang berarti ketundukan dan
kepatuhan.35Istilah idz’an adalah sebuah istilah yang ditujukan kepada undang-
undang yang dibuat oleh orang barat (dalam artian draft baku). Sifat dari kontrak
ini bahwa tidak adanya kebebasan dalam melakukan kontrak dimana perusahaan
sudah menyediakan standar baku dalam kontrak, nasabah hanya diharuskan
untuk melampirkan tanda tangan pada kolom yang telah disediakan.
Definisi yang diberikan dalam kitab Nazhariyatul ‘Aqdi, mengenai ‘Aqdu Al-
Idz’an yaitu Suatu kontrak yang berlangsung antara 2 pihak, dimana nasabah
menerima kontrak yang diajukan kepadanya tanpa adanya negosiasi dan tawar-
menawar, sehingga posisi nasabah tunduk dan patuh idz’an menerima segala
ketentuan yang tercantum di dalam klausul-klausul kontrak. Padahal kondisi
seperti ini belumlah dianggap sebagai redha, karena tidak terdapat negosiasi dan
tawar-menawar syarat, nisbah bagi-hasil, atau segala sesuatu yang berkenaan
34 Ibid, h.210 35 Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, edisi 2, (Surabaya:Pustaka
Progressif, 2002), h.447
43
dengan kebutuhan dari kedua belah pihak. Pilihan terbatas pada menerima atau
menolak kontrak dengan segala resikonya take it or leave it36.
Kerelaan atau keredhaan yang melandasi perikatan antara kedua belahpihak
dalam kontrak ini secara zhahir (nyata) dapat ditemukan, tetapi apabila di
pelajari secara mendalam ternyata disadari atau tidak, dirasakan adanya kesan
ikrah (keterpaksaan) oleh nasabah yang menjadi penyebab tidak ditemukannya
azas kebebasan dalam berkontrak.37
2. Sejarah kemunculan ‘Aqdu Al- Idz’an
Sejarah kemunculan ‘Aqdu Al-Idz’an tidak dapat terlepas dari sejarah
perkembangan kemajuan kontrak standart (kontrak baku) di ranah perekonomian.
Model kontrak baku telah mempunyai sejarah ribuan tahun yang lalu di Mesir
dan Negara Dua Sungai dibuat tulisan-tulisan pertama, Hampir pada saat yang
sama muncul syarat-syarat kontrak yang dibakukan pertama kali. Sesudah itu di
banyak perdaban ada gejala untuk melepaskan formalisme dari model-model
kontrak yang ditetapkan oleh para rohaniwan. Sebaliknya kita melihat bahwa
penggunaan syarat-syarat baku saat ini justru akan bertambah lagi. Kebutuhan
akan syarat-syarat kontrak baku di Eropa Barat, terutama dalam abad ke-19
menjadi besar.
36 Abdurrazak Ahmad Ahsahwi, Nazariyatul Aqdi, hal.279 37 Syekh Hasan Al-Jawahiri, “Uqudul Idz’an” artikel di akses pada 13 Mei 2010 dari
Http://www.IslamicFeqh.Com/Magazines/Feqh24a/Arabi307.htm
44
Kongsi-kongsi (gilden) dengan peraturan-peraturan yang melindungi mereka
ditiadakan. Revolusi industri menyebabkan pertambahan jumlah transaksi-
transaksi perdagangan. Juga timbulnya konsentrasi-konsentrasi modal yang
semakin besar menjadikan pemakaian formulir-formulir perlu, karena pembuatan
transaksi-transaksi penting, Sekarang harus diserahkan kepada pejabat-pejabat
rendahan, kepada siapa perumusan isi kontrak tidak dapat diserahkan. Dalam
abad ke-20 pembakuan syarat-syarat kontrak makin meluas38.
Perkembangan kontrak baku ini membawa pengaruh terhadap pemberian
istilah-istilah yang digunakan di berbagai Negara bagian Eropa maupun Asia. Di
dalam pustaka hukum ada beberapa istilah bahasa Inggris yang dipakai untuk
perjanjian baku tersebut yaitu” standardized agreement”,“standardized
contract”, “pad contract”, “standart contract”, dan “contract of adhesion”39.
Istilah “contract of adhesion” diimpor ke Amerika Serikat oleh Patterson
melalui karangannya The Delivery of Life-Insurance Policy yang diterbitkan
tahun 1919. Istilah tersebut aslinya ditemukan oleh Saleiles dengan istilah
“contract d’adhesion” dalam karangannya De la Declaration de Volonte 229
yang diterbitkan tahun 1901. Istilah tersebut lebih lanjut dipopulerkan di
Amerika Serikat oleh para ilmuwan yang belajar di Eropa dan kemudian
mengajar di negara tersebut antara lain oleh Kessler melalui tulisannya yang
38 Salim, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2006), ed 1, hal.148 39 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi
Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indoesia, 1993), hal.66
45
berjudul Contracts of Adhesion Some Thoughts about Freedom of contact yang
diterbitkan tahun 1943. Di dalam tulisan Kessler tersebut, sebagaimana halnya
juga di dalam buku Contracts yang ditulis oleh Calamari dan Perillo, istilah
“contract of adhesion” dan “standardized contract” dipakai sebagai istilah yang
saling mengganti. Kessler juga memakai istilah “standardized contract” dan
“standart contract” dalam tulisannya tersebut40.
Menanggapi hal diatas Prof Dr Sanhuri seorang ilmuan Arab mengistilahkan
kontrak baku dengan istilah ‘Aqdu Al-Izd’an (kontrak kepatuhan), dengan alasan
bahwa kontrak ini memberi kesan keterpaksaan si qabil untuk menerima segala
ketentuan yang diajukan oleh si mujib dalam kontrak perjanjian, qabil hanya bisa
tunduk dan patuh terhadap persyaratan yang ada.
Selain itu, Majelis Ulama Fikih Islam kontemporer di Doha Qatar dalam
seminar keempat belas yang diadakan di Doha Qatar pada tanggal 8 - 13
dzulqo’dah 1423 H, bertepatan dengan tanggal 11-16 Januari tahun 2003 meneliti
persoalan tentang kontrak standart atau yang mereka istilahkan dengan (‘aqdu al-
idz’an)41.
Majelis Ulama Fikih Islam Kontemporer ini akhirnya mengeluarkan beberapa
ketetapan terkait mengenai masalah ‘aqdu al-idz’an sebagai berikut42:
1. ‘Aqdu Al-Idz’an adalah Istilah yang ditujukan untuk kontrak standart yang
memiliki ciri-ciri dan ketentuan khusus, diantaranya:
40 Ibid 41 Abdurrazak Ahmad Ahsahwi, Nazariyatul Aqdi, hal.279 42 Ibid h. 279
46
a. Objek kontrak ini adalah barang atau manfaat yang dibutuhkan oleh
masyarakat pada umumnya, seperti polis asuransi, konosemen perkapalan
(bill of lading), perjanjian jual-beli mobil, perjanjian credit card, transaksi-
transaksi perbankan seperti perjanjian rekening Koran dan perjanjian kredit
bank, perjanjian jual beli rumah dari perusahaan real estate, perjanjian
sewa, dan masih banyak lagi contoh-contoh lainnya.
b. Adanya Monopoli terhadap objek Akad oleh salah satu pihak, yang mana
hal ini akan menutup kemungkinan untuk diterimanya tawar-menawar
harga.
c. Adanya salah satu pihak yang menetapkan syarat baku untuk kemudian
harus dipatuhi oleh pihak yang lainnya.
2. ‘Aqdu Al-Idz’an berdasarkan pandangan fikih dibagi menjadi 2 bagian43:
a. ‘Aqdu Al-Idz’an dengan harga yang Adil, dimana pasal-pasal yang
tercantum dalam klausul akad tidak terdapat unsur kezhaliman terhadap
salah satu pihak. Dalam hal ini, tidak boleh ada intervensi pemerintah serta
penguasa, bahkan apabila ada harga yang ditawarkan memiliki Ghaban
Yasir (Ketidak seimbangan antara objek akad dengan harga yang tidak
sampai kepada Ghabab Fahisy) serta sekalipun tidak ada tawar-menawar
harga. Sehingga tidak dapat dikatakan bahwa dalam akad ini terdapat unsur
kedzaliman karena harga yang ditawarkan seimbang dengan manfaat yang
diterima.
43 Ibid h.279
47
b. ‘Aqdu Al-Idz’an dengan harga yang tidak adil, atau memiliki Ghaban Fahisy
yaitu ketidak seimbangan antara objek akad dengan harga yang memberatkan
salah satu pihak. Dalam keadaan ini diperlukan intervensi atau ikut campur
tangan pemerintah dalam menetapkan harga agar tidak terjadi tindakan monopoli
oleh salah satu pihak kepada pihak yang lemah.
3. Keabsahan Aqdu Al-Idz’an (kontrak kepatuhan)
‘Aqdu Al-Idz’an sebagai kontrak yang banyak di perselisihkan oleh para
ulama memiliki tingkat keabsahan yang berbeda yaitu44:
1. Pendapat pertama mengatakan bahwa ‘aqdu al-idz’an itu adalah kontrak yang
tidak sebenarnya. Karena dalam kontrak ini tidak ada kebebasan dalam
berkontrak, sesuai dengan penamaannya idz’an yang berarti tunduk dan patuh,
nasabah hanya bisa mematuhi semua ketentuan yang disodorkan. Kontrak
lebih dipandang sebagai undang-undang yang memiliki kekuatan hukum yang
mengikat antara kedua belah pihak yang bertransaksi, legalitas hukumnya
disetarakan dengan undang-undang, sehingga tidak boleh ada yang
mengingkarinya dan akad tidak dapat dibatalkan.
2. Pendapat kedua mengatakan bahwa ‘aqdu al-idz’an itu adalah kontrak yang
sebenarnya, karena kontrak ini atas kesepakatan kedua belah pihak dimana
ketika persyaratan-persyaratan yang diajukan oleh Bank diterima oleh
Nasabah. Keadaan seperti ini adalah permasalahan ekonomi bukan perumusan
dari undang-undang yang diselesaikan dengan cara menguatkan kedudukan
44 Ibid h.279
48
pihak yang lemah dari pihak yang kuat, bukan dengan cara menghilangkan
substansi akad.
BAB III
PROFIL PT BANK NEGARA INDONESIA SYARI’AH (BNI Syari’ah) Tbk
A. Sejarah PT Bank Negara Indonesia Syari’ah Tbk
Pada awalnya PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, merupakan bank
umum pemerintah pertama yang berdiri pada tanggal 5 Juli 1946. Namun seiring
dengan perkembangan zaman dan untuk mewujudkan cita-cita BNI menjadi
Universal Banking.
BNI menjadi salah satu pelopor dalam pengembangan Bank Syari’ah di
Indonesia. Sesuai dengan Undang-undang NO.10 Tahun 1998 yang memungkinkan
bank-bank umum untuk membuka layanan syari’ah. BNI membuka layanan
perbankan yang sesuai dengan prinsip syari’ah dengan konsep dual banking system,
yakni penyediaan dua layanan perbankan, umum dan syari’ah sekaligus. Diawali
dengan pembentukan tim bank syari’ah di tahun 1999, Bank Indonesia kemudian
mengeluarkan izin prinsip dan usaha untuk beroperasinya Unit Usaha Syari’ah BNI
menerapkan strategi pengembangan jaringan cabang syari’ah45.
Pendirian BNI Syari’ah diawali dengan pembentukan Tim Bank Syari’ah pada
tahun 1999, di antaranya yaitu Maryono, Mungin, Endan Kusnadi dan lain-lain.
Kemudian Bank Indonesia mengeluarkan izin prinsip dan usaha beroperasionalnya
Unit Usaha Syari’ah BNI. Keputusan BNI untuk membuka divisi usaha syari’ah
merupakan jawaban terhadap tuntutan pasar. Hal ini ditunjang dengan landasan
45 BNI Syari’ah, Profil Perusahaan, (Jakarta: BNI Syari’ah), h.2.
49
50
hukum yang jelas dan kondisi yang memungkinkan mengingat pengalaman BNI
beroperasi sebagai bank umum konvensional selama lebih 58 tahun, hal tersebut
merupakan modal awal yang baik dalam upaya mengembangkan usaha divisi baru
ini. Sistem Syari’ah yang terbukti dapat bertahan dalam tempaan krisis moneter 1997,
yang mana dapat meyakinkan masyarakat bahwa sistem tersebut kokoh dan mampu
menjawab kebutuhan perbankan yang transparan.
Sistem Syariah yang terbukti dapat bertahan dalam tempaan krisis moneter
1997, meyakinkan masyarakat bahwa sistem tersebut kokoh dan mampu menjawab
kebutuhan perbankan yang transparan. Berdasarkan hal itu dan mengacu pada UU no
10 Tahun 1998, mulailah PT Bank Negara Indonesia (Persero ) merintis Divisi Usaha
Syariah.
BNI Syari’ah beroperasi pertama kali pada tanggal 29 April 2000 yang
ditandai dengan dibukanya 5 kantor cabang sekaligus di Malang, Yogyakarta,
Pekalongan, Jepara, dan Banjarmasin. Pada tanggal 29 April tersebut sekaligus
diperingati sebagai hari lahir atau milad BNI Syari’ah, kini BNI Syariah memiliki
lebih dari 20 Cabang di seluruh Indonesia. Untuk memperluas layanan pada
masyarakat, masing-masing kantor cabang utama tersebut membuka kantor-kantor
cabang pembantu syariah (KCPS), sehingga keseluruhan kantor cabang syariah
sampai tahun 2007 berjumlah 54 buah. Selanjutnya berlandaskan peraturan Bank
Indonesia No 8/3/ PBI/2006 tentang pemberian ijin bagi kantor cabang Bank
konvensional yang memiliki unit usaha syariah untuk melayani pembukaan rekening
produk dana syariah, BNI Syariah merespon ketentuan ini dengan cara bersinergi
51
dengan cabang konvensional guna melakukan “office channelling”. Hingga saat ini
outlet layanan syariah pada kantor cabang konvensional berjumlah 636 outlet.
Dari awal operasi hingga kini, BNI Syari’ah menunjukkan pertumbuhan yang
cukup signifikan. Aset meningkat dari Rp 169 Milyar di tahun 2001 menjadi Rp 460
Milyar di tahun 2002. Seiring dengan itu, kinerja usaha juga mengalami peningkatan
dengan pencapaian laba sebesar Rp 3,1 milyar. Dana pihak ketiga yang dapat
dihimpun meningkat menjadi Rp 205 milyar, naik sebesar 88 % disbanding tahun
2001. Sektor pembiayaan juga meningkat dari 163% menjadi Rp 292,9 milyar.
Kinerja BNI Syari’ah dari tahun ke tahun memperlihatkan pertumbuhan yang
positif dengan posisi semester 1 juni 2008, aset BNI Syari’ah mencapai Rp 3.38
triliun dan dana pihak ketiga sebesar Rp 2,63 triliun. Sedangkan pertumbuhan
pembiayaan BNI Syari’ah didukung oleh keberhasilan penyaluran produk BNI
wirausaha syari’ah sekitar Rp 55,52 milyar dan BNI Tunas Usaha sebesar Rp 18,82
milyar. Data di atas menunjukkan bahwa perbankan syari’ah memiliki prospek yang
cukup signifikan dan akan terus berkembang pada masa yang akan datang. Melalui
kerja keras dan dukungan dari seluruh stakeholders serta tetap berpedoman pada
prinsip prudential banking, BNI Syari’ah mengalami perkembangan bisnis yang baik
dan memperoleh beberapa penghargaan di antaranya, sebagai berikut:
1. The Most Profitable Islamic Banking 2000 dari Karim Businnes Consulting
dan Majalah Modal dan Bank Syari’ah dengan kerja terbaik 2004 dari Majelis
Ulama Indonesia (MUI).
52
2. Pada 2006 dan 2007, BNI Syari’ah juga memperoleh Indonesian Bank
Loyalitity Award 2008 sebagai Champion untuk kategori The Best Loyality
Program For Sharia Banking, hasil penilaian INFO BANK dan MARKPLUS
RESEARCH.
3. Pada Januari 2008 BNI Syari’ah memperoleh penghargaan dari Bank
Indonesia Aceleration Award kategori: “The Best Market Share Expansion”.
4. Tanggal 10 Mei 2008 BNI Syari’ah Memperoleh penghargaan Islamic Finace
Award Consulting yang terdiri dari:
a. The Best Syari’ah Division Asset > Rp 500 Milyar
b. The Most Earning Asset Expansion, Unit Usaha Syari’ah asset > Rp 500
Milyar.
c. The Most Third Fund Expansion, Unit Usaha Syari’ah asset > Rp 500
Milyar.
B. Visi dan Misi
VISI
Menjadi Bank Syariah yang unggul dalam layanan dan kinerja dengan menjalankan
bisnis sesuai kaidah sehingga insya Allah membawa berkah.
MISI
Secara istiqomah melaksanakan amanah untuk memaksimalkan kinerja dan layanan
53
perbankan dan jasa keuangan syariah sehingga dapat menjadi bank syariah
kebanggaan anak negeri.46
C. Produk Pembiayaan di BNI Syari’ah
1. Pembiayaan Modal Kerja
Pembiayaan Modal Kerja dengan akad Mudharabah/ Musyarakah aplofend
dapat diberikan s/d 5 tahun atau dapat diperpanjang setiap tahun.
2. Pembiayaan Investasi
Pembiayaan Investasi memiliki jangka waktu maksimal 7 tahun dengan
angsuran kewajiban tetap selama periode pembiayaan sehingga terbebas dari fluktuasi
suku bunga pasar.
3. Pembiayaan Beragunan Tunai (Cash Collateral Financing)
Pembiayaan Beragunan Tunai merupakan jenis pembiayaan yang
memungkinkan investor memperoleh pembiayaan dengan menjaminkan agunan
dalam bentuk tunai yaitu deposito ataupun giro.
4. Pembiayaan Pola Kerjasama
46 Artikel diakses pada 20 Agustus 2010 dari Http://www.BNI.co.id
54
BNI Syariah merupakan pembiayaan melalui pola kerjasama dengan
multifinance, sekuritas dan asuransi syariah.
5. BNI iB Trade Finance
BNI memiliki jaringan korespondensi yang luas sehingga memudahkan
nasabah untuk bertransaksi dengan mitra usaha di seluruh dunia. BNI Trade Finance
Syariah meliputi L/C, SKBDN dan Bank Garansi. Dengan reputasi BNI yang telah
dikenal baik di dunia usaha, BNI Garansi Bank Syariah dapat meningkatkan
kepercayaan mitra usaha nasabah institusi. Bagi perusahaan yang bergerak di bidang
konstruksi umumnya membutuhkan adanya Surat Keterangan Bank yang diperlukan
sebagai syarat dalam tender BNI Syariah menerbitkan Surat Keterangan Bank yang
dapat mendukung kredibilitas perusahaan karena BNI Syariah sebagai Bank dengan
mayoritas saham dimiliki oleh pemerintah akan memberi kesan/ image positif bagi
pemilik proyek.
Keunggulan:
1. Rasa tenteram dan tenang karena pembiayaan syariah terhindar dari transaksi
ribawi. Bagi pengusaha yang sangat memperhatikan aspek syariah dapat
menggunakan pembiayaan ini, karena setiap produk yang diluncurkan akan
melalui prosedur persetujuan Dewan Pengawas Syariah dan dalam aplikasinya
akan secara periodik dipantau nilai syar’i nya.
55
2. Akad murabahah akan memudahkan dalam mengelola keuangan karena jumlah
yang diangsur tetap selama masa pembiayaan.
3. Dengan akad mudharabah/musyarakah akan memberikan rasa keadilan.
4. Setoran dapat dilakukan di seluruh kantor Cabang BNI
5. Variasi produk keuangan Syariah yang lengkap untuk mendukung kegiatan
usaha.
6. Pembiayaan dapat diberikan dalam mata uang Rupiah dan USD.
7. Mampu membiayai permohonan dengan nominal sama dengan Bank korporasi
lainnya.
PRODUK TRADE FINANCE
1. TRANSAKSI LC EKSPOR
BNI Syariah menangani LC yang diterbitkan oleh Bank Koresponden untuk
kepentingan nasabah seperti advising dan negotiating LC. Transaksi akan diproses
melalui Trade Processing Center.
a. Advising LC
BNI Syariah dapat bertindak sebagai ’advising’ atas setiap LC yang
diterbitkan oleh bank koresponden yang dikirimkan melalui telex, surat atau SWIFT.
LC dapat dikirimkan langsung kepada cabang-cabang BNI Syariah dan akan diproses
dengan cepat dan efisien, administrasi yang akurat serta respon yang tepat.
56
b. Negotiating LC
BNI Syariah selalu siap menegosiasi LC yang diterbitkan oleh bank
koresponden untuk kepentingan nasabah. BNI Syariah memiliki staf yang terlatih dan
siap untuk menjawab kebutuhan nasabah dengan nyaman, cepat dan aman. Nasabah
dapat mengkonversikan hasil ekspor ke dalam mata uang lain.
c. Confirming LC
BNI Syariah siap untuk mengkonfirmasi LC yang diterbitkan oleh bank
koresponden untuk kepentingan nasabah.
Keuntungan transaksi ekspor melalui BNI Syariah:
1. BNI Syariah menggunakan SWIFT dalam transaksi LC ekspor sehingga proses
memnjadi tepat dan akurat.
2. BNI Syariah telah membina hubungan baik dengan bank koresponden ternama di
seluruh dunia.
IMPORT SERVICES
BNI Syariah memberikan layanan transaksi impor termasuk penanganan LC
seperti pembukaan LC dan pembayaran LC.
57
Reimbursement
LC yang diterbitkan oleh BNI Syariah, pembayaran tagihan kepada negotiating bank
akan dilakukan melalui bank koresponden utama BNI Syariah.
Keuntungan impor melalui BNI Syariah
1. BNI Syariah menggunakan SWIFT dalam transaksi LC ekspor sehingga proses
memnjadi tepat dan akurat.
2. BNI Syariah telah membina hubungan baik engan bank koresponden ternama di
seluruh dunia.
2. BANK GUARANTEE
Untuk membantu nasabah dalam melakukan transaksi dengan mitra usaha di
dalam maupun luar negeri, BNI Syariah dapat menerbitkan bank garansi untuk
menjamin nasabah seperti: bid bonds, performance bonds dan advance payment. BNI
Syariah dapat membuka bank garansi dengan jaminan LC (counter guarantee) yang
diterbitkan oleh bank koresponden.
3. SKBDN
Untuk mendukung bisnis nasabah di dalam negeri, BNI Syariah dapat menerbitkan
maupun menerima SKBDN dari bank koresponden di dalam negeri. Dengan reputasi
BNI Syariah yang telah dikenal di dalam negeri, SKBDN BNI Syariah dapat diterima
oleh seluruh bank di dalam negeri.
58
PEMBIAYAAN PERSONAL
Dalam kehidupan banyak hal-hal yang harus dipilih dan dipilah secara bijak.
Kita harus membedakan antara “needs” dan ‘wants”. Kebutuhan dan keinginan.
Kebutuhan adalah segala sesuatu yang dibutuhkan untuk melengkapi hidup dan
prasarana hidup. Keinginan adalah segala sesuatu yang dapat memuaskan selera, gaya
dan level kepuasan tertentu. Untuk itu BNI Syariah menyajikan rangkaian jenis
pembiayaan yang dikelola secara syariah diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan
personal anda.
1. BNI iB Griya
Melalui pembiayaan BNI iB Griya nasabah dapat mewujudkan kebutuhan
perumahan, kavling siap bangun ataupun renovasi rumah. Pembayaran dengan cara
diangsur dalam periode waktu sampai dengan 15 tahun. Bentuk pembiayaan adalah
jual beli ataupun ijarah.
Keunggulan:
1. Rasa tenteram dan tenang karena dengan pembiayaan syariah terhindar dari
transaksi yang ribawi.
2. Selama masa pembiayaan besarnya angsuran tetap dan tidak berubah sampai
lunas.
3. Proses persetujuan pembiayaan yang mudah dan relatif cepat.
59
4. Uang muka ringan, minimum 10 % khusus untuk pembelian rumah
5. Pembayaran angsuran melalui debet rekening secara otomatis dan dapat
dilakukan di seluruh kantor cabang BNI.
6. Jangka waktu pembiayaan sampai dengan 15 tahun
7. Maksimum pembiayaan sampai Rp 5 miliar.
8. Tarif bersaing.
Persyaratan Umum :
1. Pemohon minimal berusia 21 tahun, pada saat pembiayaan lunas berusia
maksimum 55 tahun untuk pegawai atau 60 tahun untuk pengusaha.
2. Karyawan/wiraswasta/profesional dengan masa kerja minimal 2 tahun
3. Mempunyai penghasilan tetap dan mampu mengangsur
4. Memenuhi persyaratan dan kelayakan berdasarkan penilaian Bank.
2. BNI iB Oto
BNI iB Oto merupakan pembiayaan untuk pembelian kendaraan dengan
proses yang mudah dan cepat berdasarkan syariah. Uang muka relatif ringan dan
pembayaran dapat dilakukan secara debet otomatis.
60
Keunggulan:
1. Rasa tenteram dan tenang karena dengan pembiayaan syariah terhindar dari
transaksi yang ribawi.
2. Selama masa pembiayaan besarnya angsuran tetap dan tidak berubah sampai
lunas.
3. Proses persetujuan pembiayaan yang mudah dan relatif cepat.
4. Uang muka ringan, minimum 20 % dari harga kendaraan.
5. Pembayaran angsuran melalui debet rekening secara otomatis dan dapat
dilakukan di seluruh kantor cabang BNI.
6. Khusus mobil buatan Jepang jangka waktu pembiayaan sampai dengan 8
tahun.
7. Maksimum pembiayaan sampai Rp 1 miliar.
Persyaratan Umum :
1. Pemohon minimal berusia 21 tahun, pada saat pembiayaan lunas berusia
maksimum 55 tahun untuk pegawai atau 60 tahun untuk pengusaha.
2. Karyawan/wiraswasta/profesional dengan masa kerja minimal 2 tahun.
3. Mempunyai penghasilan tetap dan mampu mengangsur.
4. Memenuhi persyaratan dan kelayakan berdasarkan penilaian Bank.
61
3. BNI iB Gadai Emas
BNI iB Gadai Emas atau juga disebut Rahn merupakan pembiayaan dengan
jaminan berupa emas (lantakan atau perhiasan) yang secara fisik dikuasai oleh Bank.
Proses pembiayaan cepat dan sangat membantu bagi mereka yang membutuhkan
dana jangka pendek untuk kebutuhan yang mendesak.
Keunggulan :
1. Cepat, karena seluruh proses hanya 30 menit.
2. Mudah, karena dengan prosedur yang sederhana dan diperuntukkan untuk
segenap lapisan masyarakat.
3. Murah, karena tarif jasa penyimpanan dihitung secara harian.
4. Menenteramkan karena dikelola secara syariah.
Persyaratan Umum :
1. Memiliki identitas diri (KTP/Paspor).
2. Memiliki rekening tabungan/ giro BNI Syariah sebagai rekening penampung
dana gadai.
3. Menyerahkan emas perhiasan/ lantakan (khusus emas lantakan harus di sertai
sertifikat).
4. Pembiayaan dapat diberikan maksimal 90 % dari nilai taksiran untuk emas
lantakan atau 80 % dari nilai emas perhiasan dengan minimal Rp 1 juta.
62
4. BNI iB Multijasa
BNI iB Multijasa (iB dibaca aibi, = islamic Banking) adalah pembiayaan jasa
konsumtif yang diberikan kepada masyarakat untuk memperoleh manfaat suatu jasa
misalnya pembiayaan untuk jasa pernikahan, jasa pendidikan, jasa kesehatan, wisata
umroh/haji, dan jasa lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah, dengan
menggunakan akad ijarah. Akad ijarah adalah sewa menyewa untuk mendapatkan
imbalan atas barang/jasa yang disewakan.
Keunggulan :
1. Rasa tenteram dan tenang karena dengan pembiayaan syariah terhindar dari
transaksi yang ribawi
2. Proses persetujuan pembiayaan yang mudah dan relatif cepat.
3. Uang muka ringan, minimum 20 % dari manfaat jasa yang diinginkan.
4. Pembayaran angsuran melalui debet rekening secara otomatis, dan dapat
dilakukan di seluruh kantor cabang BNI.
5. Jangka waktu pembiayaan sampai dengan 3 tahun.
6. Maksimum pembiayaan sampai Rp 500 juta.
7. Tarif bersaing.
63
Persyaratan Umum :
1. Pemohon minimal berusia 21 tahun, pada saat pembiayaan lunas berusia
maksimum 55 tahun untuk pegawai atau 60 tahun untuk pengusaha.
2. Karyawan/wiraswasta/profesional dengan masa kerja minimal 2 tahun
3. Mempunyai penghasilan tetap dan mampu mengangsur
4. Memenuhi persyaratan dan kelayakan berdasarkan penilaian Bank.
BAB IV
ANALISIS ‘AQDU AL-IDZ’AN DALAM PERJANJIAN
KONTRAK MUDHARABAH DI BANK NEGARA INDONESIA SYARI’AH
DITINJAU DARI FIKIH MUAMALAT
A. Design Akad Mudharabah di BNI Syari’ah
Dalam Pembuatan kontrak mudharabah di BNI Syari’ah melalui beberapa
tahapan, di mulai dari awal terjadinya akad sampai akad dapat diberlakukan kepada
kedua belah pihak, pihak nasabah dan pihak bank, yaitu:
1. Pihak nasabah mengajukan permohonan pembiayaan Mudharabah kepada
BNI Syari’ah dengan memenuhi persyaratan yang harus dipenuhi
berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam fikih muamalat.
2. Bank akan menganalisa kelayakan nasabah untuk memperoleh
pembiayaan mudharabah dari bank, dengan analisa 5C: Character,
Capacity, Capital, Collateral, Condition of economi.
3. Bank dan Nasabah melakukan tawar-menawar pembiayaan mudharabah.
4. Kesepakatan terjadi antara bank dan nasabah masih dalam bentuk ucapan
belum terealisasi dalam bentuk tulisan.
5. Sebagai bukti yang akan mengikat perjanjian antara Bank dan nasabah,
kesepakatan dicantumkan dalam bentuk kontrak standart pembiayaan
mudharabah.
Alur Design Kontrak Mudharabah di BNI Syari’ah
64
65
1 2
3
4
Keterangan:
NASABAH
BNI SYARI”AH
ESEPAKATAN PEMBIAYAAN
KONTRAK PERJANJIAN
1. Pihak nasabah mengajukan permohonan pembiayaan Mudharabah
kepada BNI Syari’ah dengan memenuhi persyaratan yang harus
dipenuhi berdasarkan ketentuan BNI Syari’ah.
2. Bank akan menganalisa kelayakan nasabah memperoleh pembiayaan
dengan analisa 5C: Character, Capacity, Capital, Collateral,
Condition of economi.
3. Terjadinya negosiasi sampai kepada kesepakatan para pihak.
4. Kesepakatan direalisasikan dalam bentuk kontrak perjanjian tertulis.
66
B. Isi Kontrak Mudharabah BNI Syari’ah
Isi kontrak Mudharabah dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Bagian Pendahuluan
Pada bagian pendahuluan kontrak Mudharabah ini, dibagi menjadi tiga
sub bagian yang terdiri dari:
a. Sub bagian pembuka. Dalam sub bab bagian ini memuat judul
perjanjian adalah “Akad Pembiayaan Mudharabah”. Sudah jelas
bahwa judul tersebut mencakup isi dari kontrak yang akan dilakukan.
b. Sub bagian identitas para pihak
Pada sub bagian ini dicantumkan identitas para pihak yang
mengikatkan diri dalam kontrak dan siapa saja yang menandatangani
kontrak mudharabah.
c. Sub bagian penjelasan
Pada sub bagian ini, alasan pembiayaan mudharabah dijelaskan, yakni:
1) Bahwa dalam rangka menjalankan dan memperluas kegiatan
usahanya, nasabah meminta kepada bank untuk menyediakan
dana/modal yang akan dipergunakan untuk modal kerja dalam
rangka pembiayaan modal kerja, pendapatan/keuntungan usaha itu
akan dibagi antara bank dan nasabah secara proporsional sesuai
dengan kontribusi dana/modal dari masing-masing pihak.
67
2) Bahwa bank menyetujui untuk memberikan dana/modal untuk
nasabah selaku pengelola dana dalam kegiatan usaha.
2. Bagian isi
Pada bagian isi, ada empat hal yang dicantumkan,
a. Klausula definisi
Klausula ini mencantumkan berbagai definisi untuk keperluan kontrak
Mudharabah. Klausula definisi ini bertujuan untuk mengefisienkan klausula
selanjutnya karena tidak perlu diadakan pengulangan definisi, pada kontrak
mudharabah ini klausula definisi dicantumkan pada pasal 1 ayat 1 sampai
ayat 8, yakni:
1. Agunan adalah jaminan yang diserahkan Penerima Pembiayaan
kepada Bank dalam rangka pemberian Pembiayaan Mudharabah
sebagaimana dimaksud dalam UU tentang Perbankan.
2. Mudharabah adalah penanaman dana dari Bank selaku pemilik dana
(shahibul maal) kepada Penerima Pembiayaan selaku pengelola dana
(Mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan
pembagian keuntungan menggunakan metode bagi pendapatan (revenue
sharing) antara Para Pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati.
3. Nisbah bagi hasil adalah rasio/perbandingan pembagian keuntungan
(bagi hasil) berdasarkan kesepakatan antara Bank dan Penerima
Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Akad Pembiayaan ini.
68
4. Bagi Pendapatan adalah pendapatan (revenue sharing) adalah
pendapatan yang dihitung dari total pendapatan pengelolaan
mudharabah.
5. Prinsip Syari’ah adalah prinsip syari’ah sebagaimana dimakud
dalam Pasal 1 angka 13 Undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang
perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10
Tahun 1998.
6. Hari Kerja Bank Adalah hari kerja bank Indonesia
7. Cidera Janji adalah Peristiwa-peristiwa sebagaimana yang
tercantum dalam Pasal 20 akad Pembiayaan ini yang menyebabkan
Bank dapat menghentikan seluruh atau sebagian Dana/Pokok
Pembiayaan, menagih dengan seketika dan sekaligus jumlah kewajiban
Penerima Pembiayaan sebelum berakhirnya jangka waktu dalam akad
pembiayaan ini.
8. Pembiayaan adalah pembiayaan mudharabah.
b. Klausula transaksi
Klausula transaksi adalah klausula-klausula yang berisi tentang transaksi
yang akan dilakukan, klausula transaksi ini dicantumkan pada pasal 2 sampai
pasal 25 yang berisi tentang maksimum Pembiayaan, Tujuan Pembiayaan,
Bentuk Pembiayaan, Jangka Waktu, Realisasi Pembiayaan, Nisbah Bagi
Hasil, Pengembalian Pembiayaan, Denda dan Ganti Rugi, Agunan, Asuransi
69
Barang Agunan, Beban Biaya-biaya, Penyelenggaraan Rekening, Hak Bank
untuk Menolak Realisasi Dana Pembiayaan dan Mengakhiri Jangka Waktu,
Kuasa Atas Rekening Penerima Pembiayaan, Hak dan Kewajiban Bank, Hak
dan Kewajiban Penerima Pembiayaan, Pernyataan dan Jaminan Penerima
Pembiayaan, Pembatasan Terhadap Penerima Pembiayaan, Peristiwa Cidera
Janji (Wanprestasi), Korespondensi, Penyelesaian Sengketa, Addendum, Pasal
Tambahan.
c. Klausula spesifik
Klausula ini mengatur hal-hal yang spesifik dalam transaksi
mudharabah, hal-hal yang spesifik dalam kontrak adalah:
1) Pokok pinjamam dalam kontrak ini sebesar Rp. 300.000.000,- (tiga
ratus juta rupiah)
2) Jangka waktu pembiayaan berlangsung selama 12 bulan
3) Nisbah bagi hasil ditentukan berdasarkan EBR, EBR saat ini sebesar
14% pertahun.
4) Agunan dalam kontrak adalah:
a) Sebidang tanah dan bangunan gudang, a/n Ny. X Asmanah yang
beralamat di JL. Damai Raya No. 5 Cipete Utara JAKSEL, senilai
Rp. 350.000.000,- (tiga ratus juta rupiah)
d. Klausula ketentuan umum
Klausul ini antara lain mengatur tentang penyelesaian sengketa, pilihan
hukum, pemberitahuan dan lain-lain, klausula ini diatur di pasal 19 dan 20,
70
yakni:
1. Para pihak sepakat apabila dalam memahami atau melaksanakan
Akad pembiayaan ini terjadi sengketa maka para pihak akan
menyelesaikan secara musyawarah untuk mufakat.
2. Apabila dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak cara musyawarah
untuk mufakat telah diupayakan tetapi tidak dapat menyelesaikan
perbedaan pendapat atau perselisihan yang terjadi maka para pihak
sepakat untuk bersama-sama menunjuk dan member kuasa kepada
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) untuk
memberikan keputusannya berdasarkan keadilan dan kepatutan
menurut hukum Islam yang dilakukan menurut prosedur berarbitrase
yang ditetapkan oleh BASYARNAS.
3. Putusan BASYARNAS tersebut bersifat final dan mengikat Para
Pihak (final and biding).
4. Para Pihak bersepakat memilih tempat pelaksanaan arbitrase dikota
tempat cabang Bank berada atau BASYARNAS yang berdomisili
paling dekat dengan Kantor Bank atau yang ditunjuk sesuai
kesepakatan Bank dan Penerima Pembiayaan.
5. Pelaksanaan (eksekusi) putusan BASYARNAS sesuai dengan
ketentuan pasal 59 Undang-undang No 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengkata, Para Pihak sepakat
bahwa Bank dapat meminta pelaksanaan (eksekusi) putusan
71
BASYARNAS tersebut pada setiap Pengadilan Negeri diwilayah
hokum Republik Indonesia.
3. Pada bagian penutup, ada dua hal yang dicantumkan dalam kontrak
mudharabah ini, yaitu:
a. Sub bagian kata penutup
Sub bagian kata penutup menerangkan bahwa kontrak mudharabah ini
dibuat dan ditandatangani oleh:
1) Pihak bank, yang diwakili oleh Tuan Fauzan, Wakil Kepala
Divisi I, Divisi Perbankan Syariah PT. Bank BNI Syari’ah tbk.
2) Pihak nasabah, Tuan Ujang Wahydin Direktur Utama dari PD.
Almuawanah Sentosa.
3) Saksi-saksi, saksi pertama Imam Asmuni, bertempat tinggal di
Kelurahan Cipete Utara, Kecamatan Kebayoran Baru Jaksel. Saksi
kedua Mia Muliawati, bertempat tinggal di Kelurahan Cipete
Utara, Kecamatan Kebayoran Baru Jaksel.
b. Sub bagian ruang penempatan tanda tangan,
Pada bagian ini, terdapat ruang penempatan tanda tangan para pihak yang
terkait dalam kontrak mudharabah, yaitu ruang taanda tangan untuk:
a) Bank, yang di wakili oleh Tuan Fauzan
b) Nasabah: Tuan Ujang Wahyudin
c) Saksi-saksi, Imam Asmuni dan Mia Muliawati
d) Notaris, Dadang, S.H
72
C. Analisis Design Kontrak
Menurut pengamatan penulis pada prakteknya desaign kontrak mudharbah di
BNI Syari’ah adalah sebagai berikut:
1. Bargaining position antara bank dan nasabah
Kedudukan bank dalam setiap kegiatan kontrak pembiayaan
khususnya pembiayaan mudharabah tidak bisa dibantah bahwasanya
berada dalam posisi yang kuat, sebaliknya nasabah dalam pengajuan
pembiayaan yang direalisasikan dalam kontrak tidak dapat dipungkiri
selalu berada dalam posisi yang lemah.
Dalam perspektif Islam dan fikih muamalah kesetaraan antara mudharib
dan shahibul maal harus berada dalam posisi yang seimbang sehingga
dalam tawar menawar atau kegiatan apapun sebelum kontrak terjadi dapat
dilakukan dengan seadil mungkin.
Adapun apabila kedua posisi antara bank dan nasabah tidak seimbang
dalam arti bank berada dalam posisi yang kuat dan nasabah berada dalam
posisi yang lemah maka dalam kontrak posisi yang kuat terkesan semena-
mena dan posisi yang lemah terkesan terdesak dan memiliki ruang yang
sempit.
2. Negosiasi kontrak
Dalam kontrak apapun selayaknya para pihak menegosiasikan isi kontrak
sedemikian rupa sehingga kontrak terjadi dengan azas suka sama suka.
Menurut pengamatan penulis sebelum kontrak terjadi pada pengajuan
73
pembiayaan mudharabah di BNI Syari’ah tidak terjadi negosiasi yang jelas
dan detail antara calon mudharib dengan shahibul maal dikarenakan pihak
BNI Syari’ah telah membuat draft baku yang tidak dapat dirubah. Adapun
isi-isi kontrak yang dapat dirubah hanya sebatas pengisian yang
disesuaikan dengan kebutuhan kontrak seperti, jenis, harga, jumlah,
warna, tempat, waktu dan beberapa hal lainnya yang spesifik dari objek
yang diperjanjikan.
Menurut perspektif Islam keadaan seperti ini tidak sesuai dengan dalil al-
qur’an:
ن يأيها الذين ءامنو ال تأآلوا أموالكم بينكم بالباطل إال أن تكون تجرة ع)29: النساء (تراض منكم وال تقتلوا أنفسكم إن اهللا آان بكم رحيما
Artinya: Hai orang-orang beriman janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu dan janganlah kamu membunuh dirimu.sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.47
D. Analisis Isi kontrak Mudharabah
1. Pasal 7 tentang nisbah bagi hasil, disebutkan pembagian keuntungan
berdasarkan kesepakatan antara bank dan penerima pembiayaan.
Pasal ini tidak sesuai dengan praktek kontrak pembiayaan mudharabah
karena pembagian bagi hasil adalah baku ditentukan oleh bank bukan
kesepakatan bersama antara bank dan nasabah, meskipun pada akhirnya
47 Qs An-Nisa’ ayat 29
74
angka pembagian hasil seperti contoh 65 % dan 35 % adalah menjadi
kesepakatan para pihak, namun angka tersebut ditetapkan oleh bank bukan
nasabah.
2. Pasal 8 (Pengembalian Pembiayaan)
Tidak adanya negosiasi, karena nasabah hanya diminta memilih jangka
waktu angsuran dengan bagi hasil yang telah ditentukan oleh pihak bank
tanpa adanya opsi untuk menentukan selain dari apa yang telah ditentukan
oleh pihak bank .
3. Pasal 10 (Agunan)
Tidak ada proses negosiasi dalam menentukan harga barang agunan, dan
agunan boleh dieksekusi apabila kesalahan disebabkan oleh kesalahan
nasabah tapi apabila kerugian disebabkan oleh business risk maka jaminan
tidak boleh dieksekusi dan tetap milik nasabah.
4. Pasal 11 (Asuransi Barang Agunan)
Premi asuransi dibebankan kepada nasabah, padahal akad yang digunakan
adalah bagi hasil (mudharabah) yang seharusnya ditanggung bersama.
5. Pasal 12 (Bebab Biaya-Biaya)
Pengalihan tanggung jawab yaitu pembebanan biaya-biaya kepada
nasabah, dan tidak ada negosiasi dalam menentukan biaya mana yang
ditanggung oleh nasabah dan biaya mana yang ditanggung oleh bank.
6. Pasal 14 (Hak Bank untuk menolak Realisasi dana Pembiayaan dan
mengakhiri jangka waktu)
75
Bank semena2 terhadap nasabah, karena apabila tidak sesuai dengan
keinginan bank, bank dapat sewaktu2 menolak realisasi tanpa adanya
konfirmasi dengan pihak nasabah kapanpun bank merasa tidak sesuai.
Bank seperti menerapkan prinsip capital yaitu pemilik dana lebih
berkuasa dan dapat melakukan tindakan apapun yang dirasa tidak sesuai.
7. Pasal 15 (Kuasa Bank atas Rekening Penerima Pembiayaan)
Bank berprilaku dengan prinsip kapital. yang menguasai rekening
nasabah secara universal.
8. Pasal 20 (Peristiwa Cidera Janji/Wanprestasi)
Bank bertindak sepihak dalam memutuskan untuk menarik dana
pembiayaan nasabah, tanpa adanya kesepakatan mengenai pilihan
pengambilan tindakan oleh bank apabila terjadi wanprestasi.
9. Pasal 24 (Pasal Tambahan)
Nasabah terkadang merasa tertipu pada pasal tambahan ini,karena nasabah
tidak mengetahui isi dari pasal tambahan, isi yang tercantum dalam pasal
tambahan dibuat oleh bank.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa dan penelitian penulis, baik pustaka maupun
lapangan, serta dari uraian dan penjelasan pada bab-bab terdahulu, maka penulis
menyimpulkan hasil akhir dari apa yang ingin diketahui dari penulisan skripsi ini,
yaitu:
1. ‘Aqdu Al-Idz’an (kontrak kepatuhan) adalah sebuah kontrak dimana bentuk
yang akan disepakati sudah terkonsep dan baku, pihak nasabah hanya diajukan untuk
menyetujui draft yang telah di buat oleh bank. Pada umumnya BNI Syari’ah di
sebagian klausulnya ditemui adanya klausul yang mengindikasikan bahwa nasabah
diwajibkan untuk tunduk dan patuh (idz’an) terhadap pasal dalam kontrak yang
memberi kesan keterpaksaan (ikrah) kepada nasabah sehingga tertutupnya peluang
untuk tawar-menawar yang seharusnya ada sebelum penerimaan akad (ijab-qabul)
dilakukan.
Pasal akad yang memberi kesan idz’an menurut penulis berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan adalah terbatas pada beberapa pasal diantaranya: 1.)
Pasal 7 tentang Nisbah Bagi-Hasil. 2.) Pasal 9 mengenai Denda dan ganti rugi. 3.)
Pasal 10 tentang Agunan. 4.) Pasal 11 tentang Asuransi Barang Agunan. 5.) Pasal 12
tentang Beban Biaya-Biaya. 6.) Pasal 14 tentang Hak Bank untuk menolak Realisasi
76
77
Dana Pembiayaan dan mengakhiri jangka waktu. 7.) Pasal 15 mengenai Kuasa Bank
Atas Rekening Penerima Pembiayaan.
2. Pada sebagian ‘aqdu Al-idz’an (kontrak kepatuhan) pada kontrak pembiayaan
mudharabah BNI Syari’ah, ada terdapat unsur keterpaksaan terhadap nasabah
walaupun unsur keterpaksaan ini masih dalam taraf yang dapat ditolerir dan masih
dalam ghaban yasir (ketidak seimbangan antara objek akad dengan harganya yang
dapat diterima). Seperti pasal 15 mengenai Kuasa Bank Atas Rekening Penerima
Pembiayaan untuk mendebet, memotong dan memindahbukukan tabungan nasabah
apabila dia tidak bisa memenuhi kewajibannya.
3. Pada umumnya pasal dalam kontrak pembiayaan di BNI Syari’ah
mengindikasikan kepatuhan (idz’an) oleh nasabah dengan memiliki keberimbangan
terhadap kemashlahatan, yaitu kemaslahatan bank, nasabah pengguna dana dan
nasabah yang menyimpan uangnya di bank untuk kemudian dikelola dan digunakan
oleh nasabah mudharib. Akad al- Idz’an dalam pasal perjanjian pembiayaan di BNI
Syari’ah pada umumnya tidak bertentangan dengan konsep Fikih Muamalat.
B. Saran
1. Bank sebagai lembaga intermediasi antara nasabah penyimpan dana dengan
nasabah pengguna dana harusnya lebih transparan, dan tidak ada yang ditutupi
kepada nasabah mudharib dalam menjelaskan isi perjanjian yang harus
ditandatangani oleh nasabah.
78
2. Bank dalam membuat perjanjian harus memprioritaskan maslahat ketiga
pihak, yaitu pihak pemilik dana (nasabah penyimpan dana), pihak pengguna dana
(nasabah mudharib), dan maslahat bank sendiri.
3. Bank dalam mengembangkan prinsip prundential harus lebih bijak dalam
menilai nasabah karena tidak semua nasabah harus dicurigai dan memiliki I’tikad
yang tidak baik, seharusnya antara bank dan nasabah harus terjalin koneksi hubungan
yang saling percaya.
4. Nasabah seharusnya dapat menempatkan posisi untuk menerima amanah yang
diembankan kepadanya dalam mengelola harta dengan sebaik-baiknya dan
mengedepankan amanah.
5. Karena keterbatasan penulis dalam menganalisis skripsi ini berdasarkan
pembatasan masalah yang ada, maka penulis mengharapkan untuk peneliti-peneliti
setelah ini mengembangkan tulisan ini dalam bentuk penelitian lainnya.
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 29 A.Karim, Adiwarman, Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2007), edisi, 3 Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1996),
Jilid-4 Ahsahwi Abdurrazak Ahmad, Nazariyatul Aqdi Al-Jawahiri, Syekh Hasan, “Uqudul Idz’an” artikel di akses pada 13 Mei 2010 dari
Http://www.IslamicFeqh.Com/Magazines/Feqh24a/Arabi307.htm Anshori, Abdul Ghofur, Perbankan Syari’ah Di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 2007), cet 1 Antonio, M.Syafi’I, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2001) Artikel diakses pada 20 Agustus 2010 dari http://www.bni.co.id Ash-Shawi, Shalah dan al-Mushlih, Abdullah, Fikih Ekonomi Keuangan Islam.
Penerjemah Abu Umar Basyir, (Jakarta: Darul Haq, 2004) Ash-Shiddieqy, TM.Hasbi, Pengantar Fiqh Muamalah, (Semarang: PT Pustaka Rizki
Putra, 1999) Ashsijistani al Azhdi, Ibnu Al-Ash, Abu Daud, Sunan Abi Daud, Tahqiq: Shiddiq
Muhammad Jamil (Beirut: Dar’ Al-Fikr, 2003 M, 1424 H), Juz 9 Baihaqi, Sunan Al-Kubra LilBaihaqi, (Beirut: Darul Fikr), Juz 6 BNI Syari’ah, Profil Perusahaan, (Jakarta: BNI Syari’ah) Direktorat Perbankan Syari’ah, Bank Indonesia, Kamus Istilah Keuangan dan
Perbankan Syari’ah, (Jakarta: Direktorat Perbankan Syari’ah, 2006) DSN-MUI, Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional MUI, Edisi Revisi Tahun
2006 (Jakarta: Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia, 2006), cet 3
79
80
Haroen, Nasroen, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), cet, ke-1 Hasan, Ali, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, Fiqh Muamalat, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2004), cet 2 Hasan, Djuhaendah, Masalah Hukum Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang
Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, 2004)
Lathif, Azharuddin, Fiqh Mumalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005) Latif, Azharuddin dan Nahrowi, Pengantar Hukum Bisnis, Pendekatan Hukum Positif
dan Hukum Islam, cet.1, (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009) Majah, Ibnu, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Darul Fikr), Juz 7 Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, edisi 2,
(Surabaya:Pustaka Progressif, 2002) Perwataatmadja, Drs. H. Karnaen, MPA, dan H. Antonio, Syafi’I, Apa dan
Bagaimana Bank Syari’ah,(Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1992) Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, (Bandung: PT Al Ma’rif, 1997) Salim, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2006), ed 1 Sjahdeini Sutan Remy, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang
Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993)
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermas, 2005) Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, (Beirut: Darul Fikr), Juz 5 Wawancara pribadi dengan Agustianto Mingka di klinik Bank Muamalat Indonesia.
Jakarta 14 Mei 2010. Wawancara pribadi dengan Hasanuddin , di IIQ (institute ilmu Al-Qur’an) Jakarta Widodo, Hertanto,dkk., PAS (Panduan Akutansi Syari’ah) Panduan Praktis
Operasional Baitul Maal wa Tamwil, (Bandung : Mizan, 1999)
81
LAMPIRAN-LAMPIRAN
82
Akad Pembiayaan Mudharabah Perorangan Bismillahirrahmanirrahim
“Hai orang-orang yang beriman penuhilah akad/perjanjian itu” QS. Al-Maidah ayat 1
AKAD PEMBIAYAAN MUDHARABAH Nomor:
Yang bertandatangan dibawah ini:………………………………………………………… I. ………………….Pemimpin………..PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, dalam
hal ini bertindak dalam jabatannya tersebut berdasarkan Surat Kuasa Direksi…………
untuk selanjutnya :……………………………………………………………………....
……………………………………….BANK48 ………………………………………...
II. ……………………………._untuk selanjutnya disebut :……………………………… ……………………………..PENERIMA PEMBIAYAAN49………………………….
Bank dan Penerima Pembiayaan selanjutnya disebut Para Pihak, bertindak dalam kedudukannya masing-masing sebagaimana tersebut diatas, terlebih dahulu menerangkan hal-hal sebagai berikut:
a. Bahwa dalam rangka menjalankan dan memperluas kegiatan usahanya, Penerima Pembiayaan memerlukan sejumlah dana untuk modal usaha……dan untuk memenuhi hal tersebut, Penerima Pembiayaan mengajukan permohonan kepada Bank untuk menyediakan dana/modal, yang mana dari pendapatan/keuntungan usaha itu akan dibagi antara Bank dan Penerima Pembiayaan secara proposional sesuai dengan kontribusi dana/modal dari masing-masing pihak.
b. Bahwa terhadap permohonan Penerima Pembiayaan tersebut Bank selaku Shahibul Maal yang menyediakan dana secara penuh, telah menyetujui untuk menyalurkan pembiayaan kepada Penerima Pembiayaan selaku mudharib yang mengelola dana dalam kegiatan usaha, sebagaimana ternyata dengan surat keputusan pembiayaan nomor ……….
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Para Pihak sepakat mengikatkan diri untuk mengadakan Akad Pembiayaan Mudharabah yang selanjutnya disebut “Akad Pembiayaan” dengan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat sebagai berikut:
48 Agar dipedomani Buku Pedoman Hukum Bidang Pembuatan Perjanjian, bab III, halaman 3.a s/d 3.d berikut perubahannya. 49 Agar dipedomani Buku Pedoman Hukum Bidang Pembuatan Perjanjian, bab III, halaman 3.d s/d 15.c berikut perubahannya.
83
Pasal 1
DEFINISI Dalam akad Pembiayaan ini yang dimaksud dengan :
(1) Agunan Adalah jaminan yang diserahkan Penerima Pembiayaan kepada Bank dalam rangka pemberian Pembiayaan Mudharabah sebagaimana dimaksud dalam UU tentang Perbankan.
(2) Mudharabah Adalah penanaman dana dari Bank selaku pemilik dana (shahibul maal) kepada Penerima Pembiayaan selaku pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan menggunakan metode bagi pendapatan (revenue sharing) antara Para Pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati.
(3) Nisbah bagi-hasil Adalah rasio/perbandingan pembagian keuntungan (bagi-hasil) berdasarkan kesepakatan antara Bank dan Penerima Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Akad Pembiayaan ini.
(4) Bagi Pendapatan Adalah pendapatan (revenue sharing) adalah pendapatan yang dihitung dari total pendapatan pengelolaan Mudharabah.
(5) Prinsip Syari’ah Adalah prinsip syari’ah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1angka 13 Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diuabah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
(6) Hari Kerja Bank Adalah hari kerja Bank Indonesia
(7) Cidera Janji Adalah peristiwa-peristiwa sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 20 Akad Pembiayaan ini yang menyebabkan Bank dapat menghentikan seluruh atau sebagian Dana/Pokok Pembiayaan, menagih dengan seketika dan sekaligus jumlah kewajiban Penerima Pembiayaan sebelum berakhirnya jangka waktu dalam akad pembiayaan ini.
(8) Pembiayaan adalah Pembiayaan Mudharabah Pasal 2
MAKSIMUM PEMBIAYAAN
84
(1) Bank sebagai pemilik dana berjanji dan mengikatkan diri untuk menyediakan dana pembiayaan dalam bentuk uang kepada Penerima Pembiayaan sampai sejumlah Rp….(…..) secara sekaligus atau secara bertahap untuk dikelola dan dipergunakan sebagai modal usaha………..sesuai dengan rencana kerja Penerima Pembiayaan yang telah disetujui Bank, yang dilampirkan pada dan karenanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari Akad Pembiayaan ini.
(2) Bank akan menyerahkan dana pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini setelah Penerima Pembiayaan memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud Pasal 6 Akad Pembiayaan ini.
Pasal 3
TUJUAN PEMBIAYAAN (1) Tujuan Pembiayaan adalah untuk membiayai……………………… (2) Untuk maksud sebagaimana ayat (1) pada Pasal ini, Bank menunjuk Penerima
Pembiayaan untuk mengelola dana pembiayaan dalam kegiatan usaha sebagaimana tujuan pembiayaan pada ayat (1) Pasal ini.
Pasal 4
BENTUK PEMBIAYAAN
Pembiayaan ini diberikan kepada Penerima Pembiayaan dalam bentuk dana tunai
Pasal 5
JANGKA WAKTU
Jangka waktu pembiayaan adalah …………(………..) bulan/tahun50 terhitung sejak tanggal Akad ini sampai dengan tanggal…….dan dapat diperpanjang dengan persetujuan para Pihak.
Pasal 6
REALISASI PEMBIAYAAN
50 Pilih salah satu sesuai Surat Keputusan Pembiayaan (SKP)
85
(1) Realisasi pembiayaan dilakukan setelah Penerima Pembiayaan memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: -
-
(2) Realisasi Pembiayaan dapat dilakukan secara sekaligus atau bertahap, dengan persetujuan terlebih dahulu dari Bank.
(3) Penerima Pembiayaan terlebih dahulu harus memberikan Surat Pemberitahuan Realisasi Pembiayaan (SPRP) dengan menyebutkan jumlah dan jadwal dari setiap penarikan pembiayaan yang dikehendaki dan disertai dengan rincian/daftar dari rencana penggunaan pembiayaan beserta bukti-bukti yang dapat diterima oleh Bank.
Pasal 7
NISBAH BAGI HASIL
Bank dan Penerima Pembiayaan sepakat bahwa atas pembiayaan yang diberikan berdasarkan Akad Pembiayaan ini, berlaku Nisbah Bagi-Hasil atau pembagian keuntungan dari pengelolaan dana dengan ketentuan sebagai berikut:
(1) Nisbah bagi hasil ditentukan sebagai berikut: - …….%(……..persen) untuk Bank dan - …….%(…….persen) untuk Penerima Pembiayaan
Yang dihitung berdasarkan …………….51 sebagaimana Proyeksi Pendapatan terlampir yang merupakan satu kesatuan dengan Akad Pembiayaan ini.
(2) Pembayaran nisbah bagi hasil dilakukan tiap-tiap bulan dna dibayarkan oleh Penerima Pembiayaan kepada Bank setiap tanggal ……….dengan cara…..pada setiap bulannya.
(3) Ketentuan Nisbah Bagi Hasil sebagaimana dimaksudkan dalam ayat 1 Pasal ini adalah berdasarkan hasil usaha sesuai dengan laporan keuangan Penerima Pembiayaan, dan perhitungan Nisbah bagi hasil ini dapat diubah sewaktu-waktu sesuai dengan Kesepakatan Para Pihak.
(4) Dalam hal terdapat ketidaksepakatan dalam menentukan besarnya hasil usaha, Bank dapat menunjuk pihak ketiga untuk melakukan penghitungan kembali atas hasil usaha, dan atas hasil usaha yang dilakukan oleh Pihak Ketiga
51 Diisi sesuai Surat Keputusan Pembiayaan, menggunakan Revenue Sharing atau Profit and Loss Sharing
86
tersebut, Para Pihak wajib untuk menerima perhitungan tersebut tanpa adanya suatu kualifikasi tertentu.
Pasal 8
PENGEMBALIAN PEMBIAYAAN (1) Penerima Pembiayaan wajib mengembalikan pembiayaan dengan cara…………52 (2) Pengembalian pembiayaan oleh Penerima Pembiayaan, dilakukan pada Bank
melalui Kantor Cabang Syari’ah ………. Melalui rekening Penerima Pembiayaan yang dibuka untuk dan atas nama Penerima Pembiayaan.
(3) Untuk pelaksanaan pengembaliaan Pembiayaan sebagaimana dimaksud ayat (2) Pasal ini, maka dengan ini Penerima Pembiayaan member kuasa kepada Bank, kuasa mana tidak dapat berakhir karena sebab-sebab sebagaimana diatur Pasal 1813 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, untuk mendebet rekening Penerima Pembiayaan.
(4) Apabila pada tanggal pengembalian pembiayaan jatuh pada hari libur, maka pembayaran dilakukan pada tanggal dan hari kerja berikutnya.
(5) Dalam hal Penerima Pembiayaan mengembalikan seluruh pembiayaan lebih awal dari jangka waktu yang telah ditentukan, maka tidak berarti pengembalian dana pembiayaan tersebut akan menghapuskan atau mengurangi bagian dari keuntungan yang menjadi hak Bank sebagaimana ditetapkan dalam Akad Pembiayaan ini.
Pasal 9
DENDA DAN GANTI RUGI
(1) Apabila Penerima Pembiayaan tidak atau terlambat melakukan pengembalian pokok pembiayaan dan bagi-hasil sebagaimana diatur dalam ayat 2 Pasal 7 dan Pasal 8 ayat 1 Akad ini, maka Penerima Pembiayaan dikenakan denda sebesar 5 % pertahun dan harus dibayar lunas oleh Penerima Pembiayaan kepada Bank yang selanjutnya akan digunakan untuk kepentingan social.
(2) Apabila Penerima Pembiayaan dengan sengaja atau karena kelalaian terlambat atau tidak melakukan pembayaran nisbah bagi hasil yang merupakan bagian keuntungan Bank maka Penerima Pembiayaan dikenakan ganti rugi sebesar 100 % (seratus persen) dari jumlah kerugian riil yang diderita Bank.
Pasal 10 52 Diisi sesuai Surat Keputusan Pembiayaan -secara sekaligus pada saat jatuh tempo pembiayaan atau, - diangsur sebagaimana jadwal angsuran terlampir yang merupakan satu kesatuan dengan akad ini.
87
AGUNAN
(1) Guna lebih menjamin ketertiban pengembalian pembiayaan dan nisbah bagi hasil dalam menjalankan amanah berdasarkan Akad Pembiayaan ini dan untuk mengantisipasi risiko apabila Penerima Pembiayaan tidak dapat memenuhi kewajiban sebagaimana diatur dalam Akad Pembiayaan ini karena kecurangan, lalai atau menyalahi Akad Pembiayaan ini sehingga mengakibatkan kerugian usaha maka Penerima Pembiayaan memberikan Agunan yang jenis dan pengikatannya sebagai berikut:
(2) Sebagai dasar pengikatan agunan oleh Bank maka Penerima Pembiayaan wajib menyerahkan bukti pemilikan barang-barang agunan sebagaimana dimaksud ayat 1 Pasal ini kepada Bank.
(3) Bukti-bukti Pemilikan Barang-Barang agunan sebagaimana dimaksud ayat (2) Pasal ini harus sudah diserahkan dan Akta-akta pengikatan agunan yang berkaitan dengan barang-barang agunan tersebut harus telah ditandatangani Pemegang Hak dan Bank serta diterima oleh Bank sebelum dilakukan realisasi pembiayaan.
(4) Setelah pembiayaan ini dinyatakan lunas oleh Bank, atau berdasarkan pertimbangan Bank barang-barang agunan sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal ini sudah tidak diperlukan lagi sebagai agunan, Bank wajib mengembalikan bukti-bukti pemilikan barang-barang jaminan tersebut kepada Penerima Pembiayaan atau kepada pemilik barang agunan tersebut.
Pasal 11
ASURANSI BARANG AGUNAN
(1) Selama Akad pembiayaan ini berlaku barang-barang agunan yang dapat diasuransikan wajib diasuransikan oleh Penerima Pembiayaan terhadap resiko kerugian yang macam risiko, nilai dan jangka waktunya ditentukan oleh Bank kepada perusahaan Asuransi berdasarkan Prinsip Syari’ah yang disetujui oleh Bank.
(2) Dalam perjanjian Asuransi (polis) harus dicantumkan klausula yang menyatakan bahwa apabila terjadi pembayaran klaim/ganti rugi dari Perusahaan Asuransi, maka Bank berhak untuk memperhitungkan hasil pembayaran klaim tersebut dengan seluruh kewajiban Penerima Pembiayaan kepada Bank (Banker’s Clause).
(3) Premi Asuransi atas barang-barang agunan sebagaimana tersebut pada ayat (2) Pasal ini harus sudah dibayar lunas atau dicadangkan oleh Penerima Pembiayaan di bawah penguasaan Bank sebelum dilakukan penarikan pembiayaan atau perpanjangan jangka waktu pembiayaan.
88
Pasal 12 BEBAN BIAYA-BIAYA
(1) Penerima Pembiayaan berjanji dan dengan ini mengikatkan diri untuk menanggung segala biaya yang diperlukan berkenaan dengan pelaksanaan Akad Pembiayaan ini termasuk biaya yang yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam hal penerima pembiayaan tidak melakukan pembayaran pembiayaan /melunasi kewajibannya kepada Bank baik pokok pembiayaan maupun Nisbah Bagi Hasil maupun biaya-biaya lainnya yang timbul karena akad pembiayaan ini, sehingga Bank perlu menggunakan jasa penasihat Hukum/kuasa untuk menagihnya, maka Penerima Pembiayaan berjanji dan dengan ini mengikatkan diri untuk membayar seluruh biaya jasa Penasehat Hukum, Jasa penagihan dan jasa jasa lainnya yang dapat dibuktikan dengan sah menurut hokum.
(3) Penerima Pembiayaan wajib membayar kepada Bank secara bayar di muka biaya-biaya sebagai berikut: a. Biaya administrasi pembiayaan sebesar Rp ,- b. Biaya Notaris/PPAT; c. Biaya lainnya yang timbul karena dna untuk pelaksanaan Akad pembiayaan
ini.
Pasal 13 PENYELENGGARAAN REKENING
Sebagai pelaksanaan Akad Pembiayaan ini, Penerima Pembiayaan wajib membuka rekening tersendiri atas nama Penerima Pembiayaan yang penyelenggaranya dilakukan oleh PT. BANK NEGARA INDONESIA (Persero) Tbk. Kantor Cabang Syari’ah……….
Pasal 14 HAK BANK UNTUK MENOLAK REALISASI
DANA PEMBIAYAAN DAN MENGAKHIRI JANGKA WAKTU Menyimpang dari jangka waktu yang telah ditentukan dalam Akad Pembiayaan ini, Bank berhak menolak merealisasikan dana pembiayaan lebih lanjut kepada penerima pembiayaan dan mengakhiri jangka waktu penggunaan pembiayaan ini, sehingga penerima pembiayaan wajib membayar lunas seketika dan sekaligus atas dana pembiayaan yang telah diterimanya dalam tenggang waktu seperti yang akan ditetapkan dalam Surat Pemberitahuan oleh Bank kepada Penerima Pembiayaan dengan mengesampingkan berlakunya ketentuan Pasal 1266 KUH Perdata, apabila penerima pembiayaan menurut pertimbangan Bank ternyata tidak memenuhi ketentuan-ketentuan dalam Akad Pembiayaan ini sebagaimana mestinya.
Pasal 15 KUASA BANK ATAS REKENING PENERIMA PEMBIAYAAN
Penerima Pembiayaan dengan ini memberikan hak dan kuasa bank, kuasa mana merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Akad pembiayaan ini, dan karenanya
89
kuasa ini tidak akan berakhir karena sebab-sebab dan menyimpangi berlakunya ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1813 KUH Perdata, dan sewaktu-waktu tanpa persetujuan terlebih dahulu dari Penerima Pembiayaan untuk mendebet, memindahbukukan, memblokir, membebani rekening-rekening atas nama penerima pembiayaan yang ada pada bank untuk pembayaran kewajiban penerima pembiayaan yang timbul karena dan untuk pelaksanaan Akad pembiayaan ini.
Pasal 16 HAK DAN KEWAJIBAN BANK
(1) Disamping hak-hak sebagaimana diatur dalam pasal-pasal lain dalam Akad Pembiayaan ini, Bank berhak untuk: a. Memperoleh kembali dana pembiayaan dan nisbah bagi hasil sesuai dengan
ketentuan dalam akad pembiayaan ini. b. Mengawasi dan membina jalannya usaha Penerima Pembiayaan baik langsung
maupun melalui jasa pihak ketiga, dalam hal menggunakan jasa Pihak Ketiga seluruh biaya yang timbul menjadi beban Penerima Pembiayaan.
c. Menagih nisbah bagi hasil dan pengembalian dana pembiayaan. d. Melakukan penilaian/review terhadap laporan keuangan yang disampaikan
penerima pembiayaan, selambat lambatnya
Pasal 14 HAK BANK UNTUK MENOLAK REALISASI
DANA PEMBIAYAAN DAN MENGAKHIRI JANGKA WAKTU Menyimpang dari jangka waktu yang telah ditentukan dalam Akad Pembiayaan ini, Bank berhak menolak merealisasikan dana pembiayaan lebih lanjut kepada Penerima Pembiayaan dan mengakhiri jangka waktu penggunaan pembiayaan ini, sehingga Penerima Pembiayaan wajib membayar lunas seketika dan sekaligus atas dana pembiayaan yang telah diterimanya dalam tenggang waktu seperti yang akan ditetapkan dalam Surat Pemberitahuan oleh Bank kepada Penerima Pembiayaan dengan mengesampingkan berlakunya ketentuan Pasal 1266 KUH Perdata , apabila Penerima Pembiayaan menurut pertimbangan Bank ternyata tidak memenuhi ketentuan-ketentuan dalam Akad Pembiayaan ini sebagaimana mestinya.
Pasal 15 KUASA BANK ATAS REKENING PENERIMA PEMBIAYAAN
Penerima Pembiayaan dengan ini memberikan hak dan kuasa kepada Bank, Kuasa mana merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Akad pembiayaan ini, dan karenanya kuasa ini tidak akan berakhir karena sebab-sebab dan menyimpangi berlakunya ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1813 KUHPerdata, dan sewaktu-waktu tanpa persetujuan terlebih dahulu dari Penerima Pembiayaan untuk mendebet, memindahbukukan, memblokir, membebani rekening-rekening atas nama Penerima Pembiayaan yang ada
90
pada Bank untuk pembayaran kewajiban Penerima Pembiayaan yang timbul karena dan untuk pelaksanaan Akad pembiayaan ini.
Pasal 16 HAK DAN KEWAJIBAN BANK
(1) Disamping hak-hak sebagaimana diatur dalam pasal-pasal lain Akad Pembiayaan ini, Bank berhak untuk: a. Memperoleh kembali dana pembiayaan dan nisbah bagi hasil sesuai dengan
ketentuan dalam akad pembiayaan ini. b. Mengawasi dan membina jalannya usaha Penerima Pembiayaan baik langsung
maupun melalui jasa Pihak Ketiga, dalam hal menggunakan jasa Pihak Ketiga seluruh biaya yang timbul menjadi beban Penerima Pembiayaan.
c. Menagih nisbah bagi hasil dan pengembalian dana pembiayaan. d. Melakukan penilaian/review terhadap laporan keuangan yang disampaikan
penerima pembiayaan, selambat lambatnya pada hari ke 10 (kesepuluh) sesudah Bank menerima laporan Keuangan tersebut, disertai dengan data dan bukti-bukti lengkap dari Penerima Pembiayaan.
e. Menolak atau menyetujui hasil perhitungan usaha yang telah dilakukan penilaian/Review oleh Bank kepada Penerima Pembiayaan selambat-lambatnya pada hari ke 10 (sepuluh) setelah Bank menerima laporan keuangan dari Penerima Pembiayaan.
f. Mengelola/mengambilalih jalannya usaha apabila Penerima Pembiayaan tidak menjalankan usahanya sesuai dengan Akad Pembiayaan ini.
g. Mengakhiri Akad Pembiayaan ini secara sepihak apabila Penerimaan dalam menjalankan usahanya telah lalai, tidak jujur/Curang, waprestasi dan atau melanggar ketentuan-ketentuan dalam Akad Pembiayaan ini.
h. Menerima pengembalian dana pembiayaan
Pasal 17 HAK DAN KEWAJIBAN PENERIMA PEMBIAYAAN
(1) Disamping hak-hak sebagaimana dalam Pasal-pasal lain dalam Akad Pembiayaan ini, Penerima Pembiayaan berhak untuk: a. Menerima pembiayaan sebagaimana diatur dalam Akad Pembiayaan ini. b. Mendapatkan Nisbah bagi-hasil sesuai kesepakatan.
(2) Disamping kewajiban-kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal-pasal lain dalam Akad Pembiayaan ini, Penerima Pembiayaan berkewajiban untuk: a. Melakukan kegiatan usaha sesuai dengan Akad Pembiayaan ini berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan cara se-efektif dan se-efisien mungkin dan dengan praktek usaha yang etis dan benar.
b. Menjaga eksistensi dan kelangsungan usahanya dan tidak akan melakukan perubahan kepemilikan tanpa persetujuan terlebih dahulu dari Bank.
c. Menanggung biaya operasional perusahaan.
91
d. Bertanggung jawab terhadap segala akibat hokum dari hubungan bisnis dengan Pihak lainnya.
e. Menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan usaha yang sehat, jujur, hati-hati, beriktikad baik, bertanggungjawab dan professional untuk mencapai keuntungan usaha yang maksimal.
f. Membayar nisbah bagi hasil sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. g. Mengembalikan seluruh jumlah dana pembiayaan, kepada Bank sesuai dengan
yang diisyaratkan dalam Akad Pembiayaan ini. h. Menyerahkan Laporan Keuangan tiap-tiap bulan, atas usaha yang dibiayai
dengan akad pembiayaan ini selambat-lambatnya hari ke-10 (kesepuluh) bulan berikutnya.
i. Membayar denda apabila terlambat melakukan pembayaran kembali dana pembiayaan dan Nisbah bagi hasil pada Bank.
j. Menanggung seluruh kerugian yang timbul apabila melakukan kecurangan, lalai, tidak jujur dan atau wanprestasi dalam menjalankan usahanya.
k. Jika pada akhir jangka waktu akad pembiayaan ini, Penerima Pembiayaan belum melunasi dana pembiayaan, Penerima Pembiayaan wajib tetap membayar nisbah bagi hasil keuntungan sebagaimana diatur pada ayat 1 Pasal 7 sampai dengan dilunasinya dana pembiayaan tersebut oleh Penerima Pembiayaan.
l. Memenuhi permintaan Bank, apabila pada saat Akad Pembiayaan ini berakhir, sedangkan sebagian dana pembiayaan masih dalam bentuk barang dan/atau dalam bentuk hutang Pihak Ketiga, dan Bank meminta barang tersebut dijual untuk melunasi dana pembiayaan yang telah diserahkannya atau meminta pihak ketiga untuk segera melunasi hutangnya.
m. Mengelola dan menyelenggarakan administrasi pembukuan secara jujur dan benar dengan iktikad baik dalam pembukuan tersendiri.
n. Segera memberitahukan kepada Bank tentang: i. Adanya perkara yang terjadi antara Penerima Pembiayaan dengan pihak lain. ii. Adanya kerusakan, kerugian atau kemusnahan atas harta kekayaan Penerima Pembiayaan serta barang agunan.
o. Menyampaikan dalam bentuk dan dengan perincian yang dapat diterima oleh Bank: i.Neraca dan perhitungan rugi laba periodik berikut penjelasannya yang telah disahkan oleh direksi perusahaan secepat mungkin tetapi tidak lebih lambat dari 30 (tiga puluh) hari sejak akhir masanya.
92
ii. Neraca dan perhitungan rugi laba dari perusahaan penerima pembiayaan secepat mungkin, akan tetapi tidak lebih lama dari 30 (tiga pulu) hari sejak penutupan tahun buku.
iii. Laporan aktivitas usaha dalam bentuk Laporan Rugi-Laba bulanan guna penentuan pembayaran nisbah bagi hasil sesuai Akad Pembiayaan ini.
p. Memenuhi kewajiban membayar seluruh pajaknya. q. Mengirimkan setiap keterangan atau dokumen-dokumen yang diminta oleh
Bank. r. Mengijinkan Bank atau wakilnya pada setiap waktu apabila dianggap perlu
untuk memeriksa seluruh fasilitas-fasilitas, kegiatan-kegiatan, pembukuan dan catatan-catatan Penerima Pembiayaan dan semua biaya yang timbul menjadi beban Penerima Pembiayaan.
Pasal 18
PERNYATAAN DAN JAMINAN PENERIMA PEMBIAYAAN
Penerima Pembiayaan dengan ini menyatakan dan menjamin mengenai kebenaran hal-hal sebagai berikut:
a. Semua dokumen, data dan keterangan yang telah diberikan oleh Penerima Pembiayaan adalah lengkap dan benar.
b. Penerima Pembiayaan pada waktu ini tidak tersangkut dalam perkara dan sengketa berupa apapun juga yang dapat mengancam harta kekayaan Penerima Pembiayaan.
Pasal 19
PEMBATASAN TERHADAP PENERIMA PEMBIAYAAN
Tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Bank, Penerima Pembiayaan tidak diperkenankan untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:
(1) Menjual, menyewakan, mengalihkan semua atau bagian terbesar hartanya, kecuali untuk kegiatan bisnis yang lazim.
(2) Menjual, Mengalihkan, menjaminkan atau membebankan saham-saham dari pemegang saham kepada pihak manapun.
(3) Melakukan investasi/pernyataan pada dan dengan Pihak lain. (4) Memasukkan modal dalam usaha yang berjalan. (5) Menggunakan dana pembiayaan dan keuntungan usaha untuk kepentingan diluar
perusahaan.
93
(6) Memindahtangankan usaha/barang modal/menyewakan perusahaan atau usaha yang dibiayai dengan dana pembiayaan ini kepada Pihak Ketiga.
(7) Menerima pinjaman dan/atau pembiayaan dari pihak lain, kecuali pinjaman dan/atau pembiayaan tersebut diterima dalam rangka transaksi dagang yang berkaitan langsung dengan usahanya.
(8) Mengambil lease dari perusahaan leasing. (9) Mengikatkan diri sebagai Penjamin (Borg), menjaminkan harta kekayaan dalam
bentuk dan maksud apapun kepada pihak lain. (10) Mengalihkan tagihan-tagihan yang telah diikat Fidusia. (11) Lain-lain yang ditetapkan dalam Pasal tambahan akad pembiayaan ini.
Pasal 20 PERISTIWA CIDERA JANJI (WANPRESTASI)
(1) Penerima Pembiayaan dianggap telah cidera janji (wanprestasi) jika melanggar dan atau menyimpangi salah satu peristiwa berdasarkan Akad Pembiayaan ini jika: a. Penerima Pembiayaan menggunakan pembiayaan diluar tujuan
sebagaimana Pasal 3 Akad Pembiayaan ini. b. Penerima Pembiayaan tidak membayar jumlah kewajiban pembiayaan
sesuai dengan ketentuan dalam Akad Pembiayaan ini atau jumlah-jumlah lain yang harus dibayar berdasarkan Akad Pembiayaan ini dan atau dokumen lainnya yang dibuat berdasarkan Akad Pembiayaan ini.
c. Laporan Keuangan yang disampaikan kepada Bank tidak benar. d. Penerima Pembiayaan lalai memenuhi atau tidak memenuhi syarat-syarat
dan ketentuan-ketentuan lainnya dalam Akad Pembiayaan ini (dan atau suatu penambahan, perubahan, Pembaharuan atau penggantinya) dan atau terjadinya pelanggaran terhadap atau kealpaan menurut syarat-syarat yang tertera dalam perjanjian agunan yang dibuat berkenaan dengan Akad Pembiayaan ini.
e. Penerima Pembiayaan melakukan pengalihan usahanya dengan cara apapun termasuk pengagbungan, konsolodasi ataupun akuisisi dengan pihak lain.
f. Seluruh kekayaan penerima Pembiayaan disita oleh pemerintah atau pengadilan.
g. Ijin atau persetujuan yang diberikan atau dikeluarkan oleh instansi yang berwenang terhadap penerima pembiayaan dicabut atau dinyatakan tidak berlaku, sehingga penerima pembiayaan tidak berhak untuk membangun atau menyelesaikan pembangunan atau melaksanakan proyek.
94
h. Penerima Pembiayaan tidak memenuhi salah satu ketentuan dalam akad pembiayaan ini atau Penerima Pembiayaan lalai melaksanakan atau mematuhi syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban lain dalam Akad Pembiayaan ini atau dokumen transaksi lainnya.
(2) Apabila terjadi salah satu peristiwa Cidera janji oleh Penerima Pembiayaan, sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal ini makan Bank berhak untuk: a. Menarik kembali dana pembiayaan dan semua jumlah uang yang harus
dibayar berdasarkan Akad Pembiayaan ini secara seketika dan sekaligus karena Akad Pembiayaan ini menjadi jatuh tempo, tanpa Pemberitahuan lebih lanjut dan tanpa diperlukan adanya putusan dari Basyarnas atau pengadilan.
b. Melakukan upaya hokum untuk melaksanakan hak Bank dalam Akad Pembiayaan ini, tidak terbatas pada mengambil pelunasan, melakukan eksekusi agunan serta upaya-upaya hokum lainnya untuk kepentingan pelunasan pembiayaan.
Pasal 21 KORESPODENSI
(1) Setiap pemberitahuan/korespodensi mengenai Akad Pembiayaan in idari salah satu pihak kepada pihak lainnya harus disampaikan secara tertulis dan dapat melalui (a) kurir (b) surat tercatat, dan (c) faksimili, kepada alamat sebagai berikut:
Bank
PT. BANK NEGARA INDONESIA (PERSERO)Tbk
Kantor Cabang Syari’ah……………..
Telepon………………………………..
Faksimili………………………………
Penerima Pembiayaan
………………………………………..
………………………………………..
95
Telepon :……………………………...
Faksimili :…………………………….
(2) Kecuali jika ditentukan lain dalam Akad Pembiayaan ini, maka segala pemberitahuan dan korespodensi sehubungan dengan Akad Pembiayaan ini dianggap telah disampaikan : a. Pada tanggal penerimaan surat tersebut apabila dikirim melalui
kurir atau diantar sendiri. b. Apabila melalui surat tercatat, 5 (lima) hari kerja setelah
pengiriman surat tersebut. c. Apabila melalui faksimili, pada saat berita tersebut diterima
dengan baik oleh pihak yang bersangkutan. Apabila dilakukan lebih dari satu cara tersebut diatas, maka pemberitahuan tersebut dianggap telah disampaikan melalui cara yang paling efektif, segala pemberitahuan dan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan Akad Pembiayaan ini dilaksanakan dalam Bahasa Indonesia.
(3) Setiap pemberitahuan alamat yang tercantum/diatur dalam ayat (1) Pasal ini wajib diberitahukan secara tertulis oleh Pihak yang besangkutan kepada pihak lainnya selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sebelumnya. Apabila tidak ada pemberitahuan secara tertulis, maka alamat yang tercantum/diatur dalam Akad Pembiayaan ini alamat terakhir yang tercatat pada masing-masing pihak.
Pasal 22 PENYELESAIAN SENGKETA
(1) Para Pihak sepakat apabila dalam memahami atau melaksanakan Akad
Pembiayaan ini terjadi sengketa maka para pihak akan menyelesaikan secara musyawarah untuk mufakat.
(2) Apabila dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak cara musyawarah untuk mufakat telah diupayakan tetapi tidak menyelesaikan perbedaan pendapat atau perselisihan yang terjadi maka para pihak sepakat untuk bersama-sama menunjuk dan member kuasa kepada Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) untuk memberikan keputusannya berdasarkan keadilan dan kepatutan menurut hokum Islam yang dilakukan menurut prosedur berarbitrase yang ditetapkan oleh BASYARNAS.
(3) Putusan BASYARNAS tersebut bersifat final dan mengikat Para Pihak (final and biding)
96
(4) Para Pihak bersepakat memilih tempat pelaksanaan arbitrase dikota tempat cabang Bank berada atau BASYARNAS yang berdomisili paling dekat dengan Kantor Bank atau yang ditunjuk sesuai kesepakatan Bank dan Penerima Pembiayaan.
(5) Pelaksanaan (eksekusi) putusan BASYARNAS sesuai dengan ketentuan Pasal 59 Undang-undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Para Pihak sepakat bahwa Bank dapat meminta pelaksanaan (eksekusi) putusan BASYARNAS tersebut pada setiap Pengadilan Negeri diwilayah hokum Republik Indonesia.
Pasal 23 ADDENDUM
Hal-hal yang belum diatur dan/atau belum cukup diatur dan/atau diperlukan perubahan syarat-syarat dalam Akad Pembiayaan ini, para pihak sepakat untuk menuangkan dalam suatu addendum yang ditandatangani oleh Para Pihak yang merupakan satu kesatuan serta bagian yang tidak terpisahkan dari Akad ini.
Pasal 24 PASAL TAMBAHAN
………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………53
Pasal 25 PASAL PENUTUP
Demikian Akad Pembiayaan ini ditandatangani di…………pada tanggal………, dibuat dalam rangkap 2 (dua) masing-masing bermaterai cukup dan mempunyai kekuatan pembuktian yang sama bagi para pihak. BANK PENERIMA PEMBIAYAAN
53 Yang diisikan pada Pasal Tambahan adalah ketentuan-ketentuan yang bermaksud menyimpangi
ketentuan-ketentuan dalam Akad Pembiayaan ini dan atau ketentuan tambahan yang belum diatur dalam
Pasal-pasal Akad Pembiayaan. Dalam hal terdapat pasal yang disimpangi maka dalam redaksi Pasal
Tambahan harus secara tegas menyatakan bahwa pasal tersebut tidak diberlakukan.