Upload
aspahni-gt
View
53
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
era
Citation preview
KAIDAH LIMA ASASI USHUL FIQH
BAB I
PENDAHULUAN
Sebagai umat Islam, kita mengakui bahwa banyak masalah baru yang
tidak terdapat penyelesaiannya di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah sehingga
para pakar hokum Islam harus berijtihad untuk memecahkannya. Meskipun
demikian, perlu diingat bahwa mereka itu dalam berijtihad tidaklah secara
acak, tetapi selalu berpegang kepada dasar-dasar umum yang terdapat
dalam kitab suci itu sehingga hukum-hukum yang mereka rumuskan melalui
ijtihad itu tidak boleh menyimpang dari dasar-dasar umum tersebut.
Untuk menjawab masalah-masalah baru yang belum ada penegasan
hokum-hukumnya di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, maka para pakar
hokum Islam (fuqaha) berupaya memecahkan dan mencari hukum-
hukumnya dengan menggunakan ijtihad. Namun ijtihad itu tidak boleh lepas
dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Dikatakan demikian, karena ijtihad tersebut
dilaksanakan dengan cara mengkiaskan kepada yang sudah ada di dalam al-
Qur’an dan as-sunnah, menggalinya dari aturan-aturan umum (al-qawanin
al-‘ammah) dan prinsip-prinsip yang universal (al mabadi’ al-kulliyah) yang
terdapat dalam al-Qur’an dan as-sunnah dan menyesuaikannya dengan
maksud dan tujuan syariat (al-maqashid al-syari’ah) yang juga terkandung
dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Aturan-aturan umum dan prinsip-prinsip yang universal itulah yamg
disebut dengan al-qawanin al-fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqh). Dalam
pembahasan kaidah-kaidah fiqh banyak terdapat macam-macam kaidah
salah satunya tentang kaidah-kaidah asasi ( al-Qawaid al-Khamsah). Dalam
kaidah-kaidah asasi terdapat 5 macam kaidah, sehingga untuk lebih
mengetahui macam-macam kaidah dalam al-Qawaid al-Khamsah akan
dibahas dalam bab selan jutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kaidah Asasi
Kaidah Asasi semula dinamakan kaidah ushul, yakni kaidah pokok dari
segala kaidah fiqhiyah yang ada. Setiap permasalahan furu’iyah dapat
diselesaikan dengan kalimat kaidah tersebut walaupun seorang mujtahid
belum sempat memperhatikan dasar-dasar hukum secara tafshili.
Kaidah Asasi itu digali dari sumber-sumber hukum baik melalui al-
Qur’an dan as-Sunnah maupun dalil-dalil istinbath. Karena itu, setiap kaidah
didasarkan atas nash-nash pokok yang dapat dinilai sebagai standar hukum
fiqih, sehingga sampai dari nash itu dapat diwakili dari sekian populasi nash-
nash ahkam.
B. Al-Qawaid al - Khamsah (Lima Kaidah Asasi)
Kelima kaidah tersebut dibawah ini sangat masyhur dikalangan
mazhab al-Syafi’I khususnya dan di kalangan mazhab-mazhab lain umumnya
meskipun urutannya tidak selalu sama.
1. Kaidah yang berkaitan dengan niat
a. Teks kaidahnya
0م0ق.ا ص0د0ه.ا ب 6م6و8ر6 األArtinya: “Segala perkara tergantung kepada niatnya”.
b. Dasar-dasar nash kaidah
Firman Allah SWT:
!$tBur (#ÿrâ�ÉDé& žwÎ) (#r߉ç6÷èu‹Ï9 ©!$# tûüÅÁÎ=øƒèC ã&s! tûïÏe!$$#
Artinya: “ Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama
yang lurus…” (QS. al-Bayyinah [98]: 5).
Sabda Nabi SAW:
.و. ى 6ل ام8ر0 ئ] م.ا ن 0ك bم.ا ل 0 ن .ا ت0 و.ا 0ا لنب . ع8م.ا ل6 ب bم.ا اال8 0ن إArtinya: “Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat, dan
sesungguhnya bagi seseorang itu hanyalah apa yang ia niati.”
c. Eksistensi niat
Niat dikalangan ulama-ulama Syafi’iyah diartikan dengan bermaksud
melakukan sesuatu disertai dengan pelaksanaannya.
8ف0ع8ل0 0ل الم6ق.ار0ن6 ل .والق.ص8ر6 0ه0 أ 0ف0ع8ل sا ب .ر0ن 8ئ0 م6ق8ت ي الش. ق.ص8ر6Didalam shalat misalnya yang dimaksud dengan niat adalah
bermaksud didalam hati dan wajib niat disertai dengan takbirat al-ihram.1[1]
8ر0 0ي 8ب .ك .ةs للت .ة6 م6ق.ار6 ن 6و8ن. الني .ك ن8 ت. .ج0ب. أ 0ا لق.ل8ب0 و.ي الق.ص8د6 ب
1[1] Drs. H.Muhlish Usman, MA., Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, (Jakarta: Raja Grafindo, 1996), h. 107-109.
Dikalangan mazhab Hambali juga menyatakan bahwa tempat niat ada
didalam hati karena niat adalah perwujudan dari maksud dan tempat dari
maksud adalah hati. Jadi apabila meyakini/beritikad didalam hatinya. Itu pun
sudah cukup dan wajib niat didahulukan dari perbuatan. Yang lebih utama,
niat bersama-sama dengan takbirat al-ihram didalam shalat, agar niat ikhlas
menyertainya dalam ibadah.
Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna
perbuatan seseorang, apakah seseorang melakukan suatu perbuatan itu
dengan niat ibadah kepada Allah dengan melakukan perbuatan yang
diperintahkan atau yang disunnahkan agama ataukah dia melakukan
perbuatan tersebut bukan dengan niat ibadah kepada Allah, tetapi semata-
mata karena kebiasaan saja. Apabila seseorang mampir disebuah mesjid,
kemudian duduk atau tiduran dimesjid tersebut, maka apakah dia berniat
I’itikap ataukah tidak. Apabila dia berniat ihtikaf dimesjid tersebut, maka dia
mendapat pahala dari ibadah ikhtikafnya.
Dikalangan para ulama ada kesepakatan bahwa suatu perbuatan
ibadah adalah tidak sah tanpa disertai niat, kecuali untuk beberapa hal saja,
yang termasuk kekecualian dari kaidah-kaidah tersebut diatas.
Dari penjelasan diatas bisa disimpulkan bahwa fungsi niat adalah:
1. Untuk membedakan antara ibadah dan adat kebiasaan.
2. Untuk membedakan kualitas perbuatan, baik kebaikan ataupun kejahatan.
3. Untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta
membedakan yang wajib dari yang sunah.
Secara lebih mendalam lagi para fuqaha (ahli hukum islam) merinci
masalah niat ini baik dalam bidang ibadah mahdlah, seperti thaharah
(bersuci), wudhu, tayamum, mandi junub, shalat, qasar jamak, wajib,
sunnah, zakat, haji, saum ataupun didalam muamalah dalam arti luas atau
ibadah ghair mahdlah, seperti pernikahan, talak, wakaf, jual beli, hibah,
wasiyat, sewa-menyewa, perwakilan, utang-piutang, dan akad-akad lainnya.
Diantara kekecualian kaidah diatas antara lain:
1. Suatu perbuatan yang sudah jelas-jelas ibadah bukan adat, sehingga tidak
bercampur dengan yang lain. Dalam hal ini tidak diperlukan niat, seperti
iman kepada Allah, makrifat, khauf, zikir dan membaca al-Qur’an kecuali
apabila membacanya dalam rangka nazar.
2. Tidak diperlukan niat didalam meninggalkan perbuatan, seperti
meninggalkan perbuatan zina dan perbuatan-perbuatan lain yang dilarang
karena dengan tidak melakukan perbuatan tersebut maksudnya sudah
tercapai.
3. Keluar dari shalat tidak diperlukan niat, karena niat diperlukan dalam
melakukan suatu perbuatan bukan untuk meninggalkan suatu perbuatan.2[2]
Dikalangan mazhab Hanafi ada kaidah:
.ة0 0ي 0الن ب 0ال. .و.اب. إ . ث الArtinya: “Tidak ada pahala kecuali niat”.
Kaidah ini dimasukkan ke dalam al-qawa’id al-kulliyah yang pertama
sebelum al-umur bimaqashidiha.
Sedangkan dikalangan mazhab Maliki, kaidah tersebut menjadi cabang
dari kaidah al-umur bimaqashidiha, seperti diungkapkan oleh Qadhi Abd
Wahab al-Baqdadi al-Maliki. Tampaknya pendapat mazhab Maliki ini bisa
lebih diterima karena kaidah diatas asalnya.
.ة0 0ي 0ا الن .ب 0ال .ع0ق.اب. إ .و.اب. و.ال .ث الArtinya: “Tidak ada pahala dan tidak ada siksa kecuali karena niatnya”.
2. Kaidah yang berkenaan dengan keyakinan
a. Teks kaidahnya
ك0 0ا لش. ال6 ب 6ز. .ي 8ن6 ال .ق0ي 8ي .ل اArtinya: “Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan kerugian”.
Didalam kitab-kitab fikih banyak dibicarakan tentang hal yang
berhubungan dengan kenyakinan dan keraguan. Misalnya: orang yang sudah
yakin suci dari hadas, kemudian dia ragu, apakah sudah batal wudhunya
atau belum? Maka dia tetap dalam keadaan suci. Hanya saja untuk ihtiyath
(kehati-hatian), yang lebih utama adalah memperbarui wudhunya.
2[2] A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), h. 35-37.
Contoh lain dalam fiqh jinayah, apabila seseorang menyangka kepada
orang lain melakukan kejahatan, maka sangkaan tersebut tidak dapat
diterima. Kecuali ada bukti yang sah dan menyakinkan bahwa orang tersebut
telah melakukan kejahatan.
b. Dasar-dasar nash kaidah
Sabda Nabi SAW:
ج.ن. م0ن. .خ8ر6 . ي .ف.ال .م8 ال ي8 ء�أ 8ه6 ش. ج. م0ن .خ.ر. 8ه0 ا .ي .ل. ع.ل ك . ش8 sا ف.آ 8ئ ي 0ه0 ش. .ص8ن 6م8 ف0ي ب .ح.د6 ك 0ذ.او.ج.د. أ ا8حsا (رواه مسلم عن أبى هريرة) .ج0د8ر0ي و8ي
. sاأ م.ع. ص.و8ت .س8 .ى ي ج0د0 ح.ت 8م.س8 الArtinya: “Apabila seseorang diantara kalian merasakan sesuatu dalam
perutnya. Kemudian dia ragu apakah sesuatu itu telah keluar dari perutnya
atau belum. Maka orang tersebut tidak boleh keluar dari mesjid sampai dia
mendengar suara (kentut) atau mencium baunya”. (HR. Muslim dari Abu
Hurairah).
6ك. 8ب 6ر0ي .ي 0ل.ى م.اال 6ك. إ 8ب 6ر0ي د.ع8 م.ايArtinya: “Tinggalkanlah apa yang meragukanmu, berpindahlah kepada yang
tidak meragukanmu”. (HR. al-Nasai dan al-Turmudzi dari Hasan bi Ali).
Yang dimaksud dengan yakin disini adalah:
8ل 0ي .واالدb ل .ظ.رأ 0الن sاب 0ت .اب .ان. ث ه6و.م.اكArtinya: “Sesuatu yang menjadi tetap karena penglihatan panca indra atau
dengan adanya dalil”.
Adapula yang mengertikan yakin dengan ilmu tentang sesuatu yang
membawa kepada kepastian dan kemantapan hati tentang hakikat sesuatu
itu dalam arti tidak ada keraguan lagi.
Adapun yang dimaksud dengan al-Syak disini adalah:
8ع0 ي .ر8 ج0 ف.ر0الص.و.اب0 و.الخ.ط.اء0 د6و8ن. ت او0ى ط.ر. .س. 6و8ت0 و.ع.د. م0ه. م.ع. ت 6ب 8ن. الث .ي sاب دد .ر. .ان. م6ت ه6و.م.اك.ح.ر0 ه0م.اع.ل.ى االح.ر0 ا
Artinya: “Suatu pertentangan antara kepastian dengan ketidakpastian
tentang kebenaran dan kesalahan dengan kekuatan yang sama dalam arti
tidak dapat ditarjihkan salah satunya”.
Ada kekecualian dari kaidah tersebut diatas, misalnya wanita yang
sedang menstruasi yang meragukan, apakah sudah berhenti atau belum.
Maka ia wajib mandi besar untuk shalat. Contoh lain: baju seseorang terkena
najis, tetapi ia tidak tahu bagian mana yang terkena najis maka ia wajib
mencuci baju seluruhnya.
Sesungguhnya contoh-contoh diatas menunjukkan kepada ihtiyath
dalam melakukan ibadah tidak langsung merupakan kekecualian. Mazhab
Hanafi mengecualikan dari kaidah tersebut dengan menyebut 7 macam
contoh. Sedangkan mazhab Syafi’I menyebut 11 contoh.
Sedangkan materi-materi fikih yang terkandung dalam kaidah al-yaqin
la yuzal bi al-syak, tidak kurang dari 314 masalah fikih.
Mazhab yang tidak mau menggunakan hal-hal yang meragukan adalah
mazhab Maliki dan sebagian ulama Syafi’iyah, karena mereka menerapkan
konsep ihtiyath-nya. Memang dalam ibadah memerlukan kepastian dan
kepuasan batin hanya bisa dicapai dengan ihtiyah (kehati-hatian).
Tentang syak atau keraguan ini barangkali perlu dikemukan disini
pendapat Ibnu Qayyim al-Jauziyah: “Perlu diketahui bahwa didalam syariah
tidak ada sama sekali yang meragukan. Sesungguhnya syak (keraguan) itu
datang kepada mukallaf (subyek hukum) karena kontradiksinya dua
indikator atau lebih, maka masalahnya menjadi meragukan baginya
(mukallaf).
Dari kaidah asasi al-yaqin la yuzal bi al-syak ini kemudian muncul
kaidah-kaidah yang lebih sempit ruang lingkupnya, misalnya:
0ه0 .1 8ل 8ن0 م0ث .ق0ي 0الي ال6 ب 6ز. 8ن6 ي .ق0ي اليArtinya: “Apa yang yakin bisa hilang karena adanya bukti lain yang
menyakinkan pula”.
Kita yakin sudah berwudhu, tetapi kemudian kita yakin pula telah buang air
kecil, maka wudhu kita menjadi batal.
8ن] .2 .ق0ي 0ي .ب 0ال .ف.ع6 إ ت 6ر8 .ي 8ن0 ال .ق0ي 0ي .ت. ب .ب .نb م.اث أArtinya: “Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kacuali
dengan keyakinan lagi”.
Thawaf ditetapkan dengan dasar dalil yang menyakinkan yaitu harus tujuh
putaran. Kemudian dalam keadaan thawaf, seseorang ragu apakah yang
dilakukannya putaran keenam atau kelima. Maka yang menyakinkan adalah
jumlah yang kelima, karena putaran yang kelima itulah yang menyakinkan.
اءة6الذ0م.ة0 .3 .ر. .ص8ل6 ب .آل اArtinya: “Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab”.
Pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dari tuntutan, baik
yang berhubungan dengan hak Allah maupun dengan hak Adami. Setelah dia
lahir muncullah hak dan kewajiban pada dirinya.
ه6 .4 0ر6 6غ.ي 6ن8 م.اي .ك .م8 ي .ان. م.ال .ان. ع.ل.ى م.اك .ص8ل6 بق.اء6م.اك اآلArtinya: “Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal
lain yang mengubahnya”.
.ص8ل6 ف0ي8 الص0ف.ات0 الع.ار0ض.ة0الع.د.م6 .5 .آل اArtinya: “Hukum asal pada sifat-sifat yang datang kemudian adalah tidak
ada”.
0ه0 .6 .وق.ات ب0 أ .ق8ر. أ 0لر. 0ض.اف.ة6الح.اد0ث0 إ .ص8ل6 إ .آل اArtinya: “Hukum asal adlah penyandaran suatu peristiwa kepada waktu yang
lebih dekat kejadiannya”.
Apabila terjadi keraguan karena perbedaan waktu dalam suatu peristiwa,
maka hokum yang ditetapkan adalah menurut waktu yang paling dekat
kepada peristiwa tersebut, karena waktu yang paling dekat yang menjadikan
peristiwa itu terjadi, kecuali ada bukti lain yang menyakinkan bahwa
peristiwa tersebut terjadi pada waktu yang lebih jauh.
7. 0 8م .ح8ر0ي 8ل6 ع.ل.ى الت 0ي .د6ل. الد.ل .ى ي .اح.ة6ح.ت 0ب .اء0اإل ي .ش8 .ص8ل6 ف0ي اآل .آل اArtinya: “Hukum asal segala sesuatu itu adalah kebolehan sampai ada dalil
yang menunjukkan keharamnya”.
Contohnya: apabila ada binatang yang belum ada dalil yang tegas tentang
keharamannya, maka hukumnya boleh dimakan.
8ق.ة6 .8 ق0ي 0 الح. .م .ال ص8ل6 ف0ي الك. .أل ا
Artinya: “Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti yang sebenarnya”.
9. Qadhi Abd al-Wahab al-Maliki menyebutkan dua kaidah lagi yang
berhubungan dengan kaidah,” al-yaqin la yuzal bi al-syak”, yaitu:
خ.ط.اء6ه6 .ظ8ه.ر6 .ذ0ي ي 0الظ.ن0 ال ة.ب 8ر. ب .ع0 الArtinya: “Tidak dianggap (diakui) persangkaan yang jelas salahnya”.
10. 0 .و. ه6م 0لت ة. ل 8ر. ب .ع0 الArtinya: “Tidak diakui adanya waham (kira-kira)”.
Bedanya zhann dan waham adalah didalam zhann yang salah itu
persangkaannya. Sedangkan dalam waham, yang salah itu zatnya.
.ف0ه0 .11 8ل6 ع.ل.ى خ0ال 0ي .ق6م8 الد.ل .م8 ي .ق.اء0ه0 م.ال .ب .م6 ب 6ح8ك م.ن] ي 0ز. .ت. ب .ب .ت م.اثArtinya: “Apa yang ditetapkan berdasarkan waktu, maka hukumnya
ditetapkan berdasarkan berlakunya waktu tersebut selama tidak ada dalil
yang bertentangan dengannya”.3[3]
3. Kaidah yang berkenaan dengan kondisi menyulitkan
a. Teks kaidahnya
8ر6 ي 8س0 .ي .ج8ل0ب6 الت ق.ة6 ت الم.ش.Artinya: “Kesulitan mendatangkan kemudahan”.
b. Dasar-dasar nash kaidah
Firman Allah SWT:
8ع6سر. 6م6 ال 0ك 8د6 ب 6ر0ي .ي ر0و.ال 6س8 8ي 6م8 ال 0ك 8د6 الله6 ب 6ر0ي يArtinya: “Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan Dia tidak
menghendaki kesulitan bagi kalian”. (QS. al-Baqarah[2]: 185).
Sabda Nabi SAW:
م8ح.ة. (رواه البخر) .ة. الس. 8ن0 إل.ى الله0 الخف0ي اخ6ب6 الد0ي ر� 6س8 8ن6 ي الد0يArtinya: “Agama itu memudahkan, agama yang disenangi Allah adalah
agama yang benar dan mudah”. (HR. Bukhari dari Abu Hurairah).4[4]
Dalam ilmu fikih, kesulitan yang membawa kepada kemudahan itu
setidaknya ada tujuh macam yaitu:
1. Sedang dalam perjalanan, misalnya boleh qasar shalat, buka puasa, dan
meninggalkan shalat jum’at.
2. Keadaan sakit, misalnya boleh tayamum ketika sulit memakai air shalat
fardhu sambil duduk.
3. Keadaan terpaksa yang membahayakan kepada kelangsungan hidupnya.
3[3] A. Djazuli, op. cit, h. 47-54.
4[4] Ibid, h. 123
4. Lupa, misalnya seseorang lupa makan dan minum pada waktu puasa, lupa
membayar utang tidak diberi sanksi tetapi bukan pura-pura lupa.
5. Ketidaktahuan, misalnya orang yang baru masuk Islam karena tidak tahu,
kemudian makan makanan yang diharamkan, maka dia tidak dikenai sanksi.
6. Umum al-Balwa, misalnya kebolehan bai al-salam (Uangnya dahulu,
barangnya belum ada). Kebolehan dokter melihat kepada bukan mahramnya
demi untuk mengobati sekadar yang dibutuhkan dalam pengobatan.
7. Kekuranganmampuan bertindak hukum (al-naqsh), misalnya anak kecil,
orang gila, orang dalam keadaan mabuk.5[5]
c. Klasifikasi kesulitan
Dr. Wahbah az-Zuhaili mengklasifikasikan kesulitan dalam 2 kategori,
yaitu:
1. Kesulitan Mu’tadah
Kesulitan mu’tadah adalah kesulitan yang alami, dimana manusia
mampu mencari jalan keluarnya sehingga ia belum masuk pada
keterpaksaan. Kesulitan model ini tidak dapat di hilangkan taklif dan tidak
menyulitkan untuk melakukan ibadah. Misalnya seseorang kesulitan mencari
pekerjaan, ia dapat pekerjaan yang sangat berat, keberatan ini bukan berarti
diperbolehkan keringanan dalam melakukan shalat atau puasa dan
sebagainya, atau karena kesulitan mencari ma’isah ittu menggugurkan
hukum qishas.
2. Kesulitan Qhairu Mu’tadah
Kesulitan qhairu mu’tadah adalah kesulitan yang tidak pada kebiasaan,
dimana manusia tidak mampu memikul kesulitan itu. Karena jika ia
melakukannya niscaya akan merusak diri dan memberatkan kehidupannya,
dan kesulitan-kesulitan ini dapat diukur oleh criteria akal sehat. Syariat
sendiri serta kepentingan yang dicapainya, kesulitan semacam ini
diperbolehkan menggunakan dispensasi (rukhsah).
d. Tingkatan kesulitan dalam ibadah
5[5] A. Djazuli, op. cit, h. 56-58
Dr. Wahbah az-Zuhaili membagi tingkatan kesulitan dalam ibadah
menjadi 3 macam, yaitu:
1. Kesulitan Adhimah
Yaitu kesulitan yang dikhawatirkan akan rusaknya jiwa ataupun jasad
manusia.
2. Kesulitan Khofifah
Yaitu kesulitan karena sebab yang ringan, seperti kebolehan
menggunakan muza jika sangat dingin menyentuh air.
3. Kesulitan Mutawasithah
Yaitu kesulitan yang tengah-tengah antara yang berat dan yang
ringan. Berat ringannya kesulitan tergantung pada persangkaan manusia,
sehingga tidak diwajibkan memilih rukhshah juga tidak dilarang memilihnya.6
[6]
e. Bentuk-bentuk keringanan dalam kesulitan
Syekh Izzudin bin Abdis salam menyatakan bahwa bentuk-bentuk
keringanan dalam kesulitan itu ada 6 macam, yaitu:
1. Tahfitul isqoth (meringankan dengan menggugurkan)
Misalnya menggugurkan kewajiban shalat jum’at, ibadah haji dan
umrah serta jihad jika ada uzur.
2. Tahfitul tanqish (meringankan dengan mengurangi)
Misalnya bolehnya menggashar shalat dari 4 rakaat menjadi 2 rakaat.
3. Tahfitul ibdal (meringankan dengan mengganti)
Misalnya dengan mengganti wudhu dengan tayamum, mengganti
berdiri dengan duduk atau berbaring ketika shalat.
4. Tahfitul taqdim (meringankan dengan mendahulukan waktunya)
Misalnya kebolehan jamak taqdim, yakni shalat ashar dilakukan shalat
zuhur, mendahulukan zakat sebelum setahun, mendahulukan zakat fitrah
sebelum akhir ramadhan.
5. Tahfitul ta’khir (meringankan dengan mengakhirkan waktu)
6[6] Ibid, h. 126-127.
Misalnya jamak takhir, yakni shalat zuhur dapat dilakukan pada waktu
shalat ashar, mengakhiri puasa ramadhan bagi yang bepergian dan yang
sakit.
6. Tahfitul tarkhsih (meringankan dengan kemurahan)
Misalnya kebolehan menggunakan benda najis atau khomr untuk
keperluan berobat.
4. Kaidah yang berkenaan dengan kondisi membahayakan
a. Teks kaidahnya
ال6 6ز. ي ر6 الض.ر.Artinya: “Kemudaratan harus dihilangkan”.
Seperti dikatakan oleh Izzuddin Ibn Abd al-Salam bahwa tujuan syariah
itu adalah untuk meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan. Kaidah
tersebut di atas kembali kepada tujuan untuk merealisasikan maqashid al-
syari’ah dengan menolak yang mafsadah, dengan cara menghilanhkan
kemudaratan atau setidaknya meringankannya.
Contoh-contoh dibawah ini antara lain memunculkan kaidah diatas:
- Larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat karena
perbuatan tersebut mengakibatkan kemudaratan bagi rakyat.
- Adanya berbagai macam sanksi dalam fiqh jinayah (hukum pidana Islam)
adalah juga untuk menghilangkan kemudaratan.
- Adanya aturan al-Hajr (kepailitan) juga dimaksudkan untuk menghilangkan
kemudaratan.7[7]
b. Dasar-dasar nash yang berkaitan
Firman Allah SWT:
.ر8ض0 (االعراف: ه ه) و.اف0ى اال8 ر6 6ف8س0 .ت و.الArtinya: “Dan jangan kamu sekalian membuat kerusakan dibumi. “. (QS. al-
A’raf : 55).
Sabda Nabi SAW:
ار. .ض0ر. و.ال ر. .ض.ر. ال
7[7] A. Djazuli. Op. cit, h. 67.
Artinya: “…Tidak boleh membuat kerusakan pada diri sendiri serta membuat
kerusakan pada orang lain”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas).
c. Kaidah-kaidah yang berkenaan dengan kondisi mudarat
Kaidah pertama:
ات0 8م.ح8ظ6و8ر. 8ح6 ال 0ي 6ب ات6 ت و8ر. .ض.ر6 ا
Artinya: “Kemudaratan-kemudaratan itu dapat memperbolehkan
keharaman”.
Batasan kemudaratan adalah suatu hal yang mengancam eksistensi
manusia yang terkait dengan lima tujuan, yaitu memelihara agama,
memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan dan memelihara
keturunan dan memelihara kehormatan atau harta benda.
Kaidah kedua:
0ق.د.ر0ه.ا ب 6ق.د.ر6 ات0 ي ور. 8ع. للض.ر6 0ي ب6 م.اأ
Artinya: “ Apa yang dibolehkan karena darurat diukur sekadar
kedaruratannya”.
Kebolehan berbuat atau meninggalkan sesuatu karena darurat adalah
untuk memenuhi penolakan terhadap bahaya, bukan selain ini. Dalam kaitan
ini Dr. Wahbah az-Zuhaili membagi kepentingan manusia akan sesuatu
dengan 4 klasifikasi, yaitu:
1. Darurat
2. Hajah
3. Manfaat
4. Fudu
Kaidah ketiga:
0ه0 .ز. و.ال .ط.ل. ب 0ع6ذ8ر] ب م.اج.از. لArtinya: “Apa yang diizinkan karena adanya udzur, maka keizinan itu hilang
manakala udzurnya hilang”.
Kaidah keempat:
و8ر0 8م.ع8س6 0ا ل ق.ط6 ب 6س8 .ي ال و8ر6 8س6 8م.ي .ل اArtinya: “Kemudahan itu tidak dapat digugurkan dengan kesulitan”.
Kaidah kelima:
8ر0 8غ.ي 8ط0ل6 ح.ق. ال 6ب ي ار6 0 ض8ط.ر. .ال8 اArtinya: “Keterpaksaan itu tidak dapat membatalkan hak orang lain”.
Kaidah keenam:
.ح.ة� ق6د0 م. د. ف8ع6 د.ة� و.م.ص8ل .ع.ار.ض. م.ف8س. 0ذ.ا ت 0ع0 ف.ا 8م.ص.ال 0ى ال 8ب ل .و8ل.ى م0ن8 ج. د0ا 8م.ف.اس0 ء6ال د.ر8sا 0ب د.ة0 غ.ا ل 8م.ف8س. ال
Artinya: “Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada menarik mashlahah
dan apabila berlawanan antara yang mafsadah dan mashlahah maka yang
didahulukan adalah menolak mafsadahnya”.
Kaidah ketujuh:
ر0 0ا لض.ر. ال6 ب 6ز. .ي ال ر6 .لض.ر. اArtinya: “Kemudaratan itu tidak dapat dihilangkan dengan kemudaratan
yang lain”.
Kaidah kedelapan:
8خ.ف^ه0م.ا .ا ب0 ال 0ك 0ار8 ت اب sر .ع8ظ.م6ه.ا ض.ر. و8 ع0ي8 ا .ان0 ر6 د. ت .ع.ار.ض. م.ف8س. 0ذ.ات اArtinya: “Apabila dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan mana yang
lebih besar mudaratnya dengan memilih yang lebih ringan mudaratnya”.
Kaidah kesembilan:
ة0 و8ر. .ة. الض.ر6 8ز0 ل 8ز0ل6 م.ي .ن 8خ.ا ص.ة6 ت .و0ال 8ع8ا م.ة6 ا ا ج.ة6 ال 8ح. .ل اArtinya: “Kebutuhan umum atau khusus dapat menduduki tempatnya
darurat”.8[8]
5. Kaidah yang berkenaan adat kebiasaan
a. Teks kaidahnya
.م.ة� .لع.ا د.ة6 م6ح.ك اArtinya: “Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”.
Sebelum Nabi Muhammad SAW diutus, adat kebiasaan sudah berlaku
di masyarakat baik di dunia Arab maupun dibagian lain termasuk di
Indonesia. Adat kebiasaan suatu masyarakat dibangun atas dasar nilai-nilai
yang dianggap oleh masyarakat tersebut. Nilai-nilai tersebut diketahui,
dipahami, disikapi, dan dilaksanakan atas dasar kesadaran masyarakat
tersebut.
b. Dasar-dasar nash kaidah
8[8] Jaih, Sejarahan Kaidah Asasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. 1, h. 153.
Firman Allah SWT:
و8ف0 8م.ع8ر6 0ا ال و.ه6ن. ب ر6 و.ع.ا ش0Artinya: “ Dan pergaulilah mereka (istri-istrimu) dengan cara yang
ma’ruf(baik)”. (HR. Ahmad dari Ibnu Mas’ud).
Sabda Nabi SAW:
6خ8ر.ى .ع8د.ا ةs ب 8ه0 م.ر. .ي 0ل 8م.ع8ق6و8 ل0 و.ع.اد6و8ا ا 0 ال 8م 8ه0 ع.ل.ى ح6ك .ي .اس6 ع.ل الن .م.ر. ت 8ع.اد.ة6م.ا اس8 .ل اArtinya: “Apa yang dipandang baik oleh muslim maka baik pula disisi Allah”.
(HR. Ahmad dari Ibnu Mas’ud).
c. Pengertian ‘Adah atau ‘uruf
Jumhur ulama mengidentikkan term ‘adah dengan ‘uruf, keduanya
mempunyai arti yang sama. Namun sebagai fuqaha membedakannya. Al-
Jurjani misalnya mendefinisikan ‘adah dengan:
Adah adalah suatu (perbuatan) yang terus menerus dilakukan
manusia, karena logis dan dilakukan secara terus menerus. Sedangkan ‘uruf
adalah:
‘Uruf tidak hanya merupakan perkataan, tetapi juga perbuatan atau
juga meninggalkan sesuatu. Karena itu dalam terminology bahasa Arab
antara ‘uruf dan ‘adah tiada beda.
Misalnya ‘uruf / ‘adah adalah menggunakan kalender haid bagi wanita,
setiap bulan seseorang wanita mengalami menstruasi dan cara
perhitungannya ada yang menggunakan metode tamyiz dan ada juga
metode ‘adah (yakni menganggap haid atas hari-hari kebiasaan keluarnya
darah tiap bulan). Bagi Imam hanafi mewajibkan penggunaan metode adah
sedang Imam Syafi’I menguatkan metode tamyiz.
d. Syarat diterimanya ‘uruf /‘adah
Menurut pengertian diatas, maka adah dapat diterima jika memenuhi
syarat sebagai berikut:
1. Perbuatan yang dilakukan logis dan relevan dengan akal sehat.
2. Perbuatan, perkataan yang dilakukan selalu terulang-ulang boleh dikata
sudah mendarah daging pada perilaku masyarakat.
3. Tidak bertentangan dengan ketentuan nash, baik al-Qur’an maupun as-
Sunnah
4. Tidak mendatangkan kemudaratan serta sejalan dengan jiwa dan akal yang
sejahtera.9[9]
e. Kaidah yang berkaitan dengan adah
Diantara kaidah-kaidah cabang dari kaidah al-adah muhkamah adalah
sebagai berikut:
1. Kaidah pertama:
0ه.ا .ج0ب6 الع.م.ل6 ب .اس0 ح6ج.ة� ي 0ع8م.ا ل6 الن ت 0س8 إArtinya: “Apa yang biasa diperbuat orang banyak adalah hujjah yang wajib
diamalkan”.
2. Kaidah kedua:
.ت8 .ب و8غ.ل. 0ذ.ا اض8ط.ر. د.ت8 أ .ر6 الع.اد.ة6 إ .ب 6ع8ت .م.ا ت 0ن إ
Artinya: “Adat yang dianggap(sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah
adat yang terus menerus berlaku atau berlaku umum”.
3. Kaidah ketiga:
.ا د0ر0 0لن . ل 0ع0 ال ا ئ 0لف.ا ل0ب0 الش. ة6 ل 8ر. الع0بArtinya: “Adat yang diakui adalah yang umumnya terjadi yang dikenal oleh
manusia bukan dengan yang jarang terjadi”.
4. Kaidah keempat:
sر8 ص و8 ط0 ش. ر6 .م.ش8 .ا ل و8ف6 ع6ر8 فsا ك 8م.ع8ر6 الArtinya: “Sesuatu yang telah dikenal karena ‘urf seperti yang disyaratkan
dengan suatu syarat”.
5. Kaidah kelima:
.ه6م8 8ن .ي و8 ط0 ب ر6 ار0 ك. لم.ش8 6ج. 8ن. الت .ي و.ف6 ب 8م.ع8ر6 الArtinya: “Sesuatu yang telah dikenal diantara pedagang berlaku sebagai
syarat diantara mereka”.
6. Kaidah keenam:
0ا لن.ص 8ن0 ب 0ي .ع8ب .ا لت 0ا لع6ر8 ف0 ك 8ن6 ب 0ي .ع8ي التArtinya: “Ketentuan berdasarkan ‘urf seperti ketentuan berdasarkan nash”.
9[9] Ibid, h. 140-141.
7. Kaidah ketujuh:
s8ق.ة .ع0 ح.ق.ي .ن .ا لم6م8ت .ع6 ع.ا د.ةs ك .ن 8م6م8ت الArtinya: “Sesuatu yang tidak berlaku berdasarkan adat kebiasaan seperti
yang tidak berlaku dalam kenyataan”.
8. Kaidah kedelapan:
.ة0ا لع.ا د.ة0 . ل 0د. ال 8ر. ك6 ب 6ت 8ق.ة6 ت ق0ي الح.Artinya: “Arti hakiki ditinggalkan karena ada petunjuk arti menurut adat”.
9. Kaidah kesembilan:
.ف8ظ0ى 0ذ8 ن0 الل .ا إل 0ذ8 ن6 الع6ر8 ف0ى ك اإلArtinya: “ Pemberian izin menurut adat kebiasaan adalah sama dengan
pemberian izin menurut ucapan”.10[10]
BAB III
PENUTUP
Simpulan:
Kaidah asasi dinamakan kaidah ushul, yaitu kaidah pokok dari segala
kaidah fiqhiyah yang ada. Lima kaidah asasi yaitu:
1. Kaidah yang berkaitan dengan niat
a. Teks kaidahnya
0م0ق.ا ص0د. ه.ا 6 م6ور6 ب األ
10[10] A. Djazuli. Op. cit. h. 85-87.
“Segala perkara tergantung kepada niatnya”
b. Dasar-dasar nash kaidahnya yaitu al-Qur’an surah al-Bayyinah ayat 5 dan
Hadits Nabi SAW.
2. Kaidah yang berkenaan dengan keyakinan
a. Teks kaidahnya
ك0 0ا لش. ال6 ب 6ز. .ي 8ن6 ال .ق0ي 8ي .ل ا
“Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan kerugian”.
b. Dasar-dasar nash kaidahnya yaitu Hadits Nabi
3. Kaidah yang berkenaan dengan kondisi menyulitkan
a. Teks kaidahnya
8ر6 ي 8س0 .ي .ج8ل0ب6 الت ق.ة6 ت الم.ش.
“Kesulitan mendatangkan kemudahan”.
b. Dasar-dasar nash kaidahnya yaitu al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 185 dan
Hadits Nabi SAW.
4. Kaidah yang berkenaan dengan kondisi membahayakan
a. Teks kaidahnya
ال6 6ز. ي ر6 الض.ر.
“Kemudaratan harus dihilangkan”.
b. Dasar-dasar nash kaidahnya yaitu al-Qur’an surah al-A’raf ayat 55 dan
Hadits Nabi SAW.
5. Kaidah yang berkenaan adat kebiasaan
a. Teks kaidahnya
.م.ة� .لع.ا د.ة6 م6ح.ك ا
“Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hokum”.
b. Dasar-dasar nash kaidahnya yaitu al-Qur’an surah an-Nisa ayat 19 dan
Hadits Nabi SAW.
DAFTAR PUSTAKA
� A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, Jakarta, Prenada Media Group, 2006.
� Usman Muhlish, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta, Raja
Grafindo, 1996.
� Jaih, Sejarahan Kaidah Asasi, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002.