Upload
others
View
15
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Perjanjian No. III/LPPM/2019-01/16-P
KAJIAN AWAL PEWARNA BERBASIS BAHAN ALAM SEBAGAI
SUBSTISTUSI PEWARNA SINTESIS DALAM INDUSTRI TEKSTIL
BERKELANJUTAN
Disusun Oleh:
Putri Ramadhany, S.T., M.Sc., PDEng
Dr. Ir. Judy Retti B. Witono, M.App.Sc.
UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN
2019
i
ABSTRAK
Dalam 15 tahun terakhir, industri tekstil meningkat dua kali lipat dan diprediksi akan terus
meningkat akibat peningkatan populasi kelas menengah. Setiap harinya industri tekstil
memproduksi limbah cair berwarna yang berasal dari bahan kimia (pewarna sintesis, mordant)
yang merusak ekosistem dan membahayakan kesehatan manusia. Permasalahan lingkungan dan
kesehatan yang dihadapi ini telah memicu beberapa peneliti dan praktisi industri untuk mencari
solusi nyata, salah satunya adalah penggunaan pewarna alami. Pewarna alami adalah pewarna
yang sustainable, namun sayangnya masih belum bisa memenuhi permintaan yang besar dari
industri tekstil. Hal ini dikarenakan oleh keterbatasan teknologi dalam mengekstrak pewarna
alami, ketidakcocokan pewarna alami dengan mesin dan material kain yang sudah ada, warna yang
kurang beragam dan lemahnya kekuatan warna alami jika dibandingkan dengan pewarna sintesis.
Penelitian ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pewarna alami siap pakai yang memiliki
kekuatan warna seperti pewarna sintesis. Penelitian mencakup ekstraksi pewarna alami dari kunyit
dengan pelarut air dan formulasi larutan zat warna siap pakai. Ekstrak kunyit ditambahkan dengan
komponen fixative atau pengikat berupa emulsifier dan mordan (mordant), dimana rasio
konsentrasi emulsifier dan mordan akan divariasikan. Mordan yang digunakan adalah jeruk nipis
dan kapur (CaCO3). Emulsifier yang digunakan adalah Tween 80. Formulasi zat warna kemudian
digunakan dalam proses pencelupan kain. Kain pewarnaan kemudian dianalisa lebih lanjut
mengenai koordinasi warna, kekuatan warna, dan ketahanan warnanya.
Hasil menunjukkan bahwa mordan jeruk nipis menghasilkan warna yang lebih cerah dibandingkan
kapur, dengan ketahanan warna setelah proses pencucian sebesar 82%. Penambahan emulsifier
dianggap memberikan efek yang kurang baik terhadap kekuatan dan ketahanan warna.
Kata Kunci: pewarna alami, natural dye, curcuma, kunyit, color coordination, color strength,
coclor fastness
ii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ....................................................................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1
1.1 LATAR BELAKANG .......................................................................................................... 1
1.2 PERUMUSAN MASALAH ................................................................................................. 2
1.3 TUJUAN PENELITIAN ....................................................................................................... 2
1.4 RENCANA HASIL LUARAN ............................................................................................. 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................... 4
2.1 TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................................... 4
2.1.1 Pewarna Sintesis dan Jenisnya ........................................................................................... 4
2.1.2 Pewarna Alami ................................................................................................................... 6
2.1.3 Kunyit Sebagai Pewarna Alami ......................................................................................... 7
2.1.4 Mordan ............................................................................................................................... 9
2.1.5 Interaksi Zat Warna, Kain, dan Fixative .......................................................................... 11
2.1.6 State of The Art ................................................................................................................ 13
BAB III METODE PENELITIAN .............................................................................................. 15
3.1 PENELITIAN PENDAHULUAN ...................................................................................... 15
3.2 PENELITIAN UTAMA ..................................................................................................... 15
BAB IV JADWAL PELAKSANAAN ........................................................................................ 16
4.1 JADWAL PENELITIAN .................................................................................................... 16
4.2 PETA RENCANA .............................................................................................................. 16
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................................... 18
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................................... 20
REFERENSI ................................................................................................................................. 21
LAMPIRAN .................................................................................................................................. 22
A. BIAYA PENELITIAN ......................................................................................................... 22
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Industri fesyen (fashion) adalah industri yang melekat pada kehidupan manusia modern dan akan
terus meningkat seiring dengan perkembangan zaman. Keberlangsungan industri fesyen tidak
lepas dari industri tekstil. Seperti dilihat pada Gambar 1, dengan meningkatnya penjualan pakaian,
maka industri tekstil pun akan meningkat. Dalam 15 tahun terakhir, industri pakaian meningkat
dua kali lipat. Peningkatan ini disebabkan oleh fenomena fast-fashion, dimana pakaian siap pakai
dijual dalam siklus yang lebih pendek dan harga murah. Namun, fenomena ini memberikan
dampak yang tidak baik bagi ekosistem. Sejumlah besar bahan (contoh: pewarna sintesis, kain
sintesis) yang tidak terbarukan diproduksi dalam jumlah besar, menyebabkan pengeluaran limbah
dan polusi besar-besaran ke lingkungan. Saat ini industri tekstil global menggunakan sekitar 98
juta ton bahan tidak terbarukan (seperti minyak, pupuk, dan pewarna sintesis) per tahunnya.
Footprint industri tekstil mencakup 1,2 milyar ton CO2 dan juga limbah cair, dimana 20% polusi
air di dunia bersumber dari proses pewarnaan dalam industri tekstil (Elle MacArthur Foundation,
2017). Pembuangan limbah oleh industri tekstil yang memprihatinkan menyebabkan konsumen,
beberapa ilmuwan, dan praktisi industri untuk mencari alternatif solusi yang dapat meminimalkan
pencemaran lingkungan.
Gambar 1. Peningkatan Industri Tekstil Secara Global (Elle MacArthur Foundation, 2017)
Indonesia adalah negara yang kaya akan keanekaragaman hayati. Sejak jaman nenek moyang,
keanekaragaman hayati ini dapat terlihat dalam budaya Indonesia yang kaya akan warna. Aneka
2
ragam warna ini berasal dari bahan pewarna alami yang bersumber dari tanaman, mineral, dan
hewan. Pewarna alami sering diaplikasikan dalam kain, makanan, dan material lain. Namun,
seiring dengan berjalannya waktu dan kemajuan teknologi, pewarna alami ini mulai dilupakan dan
beralih kepada pewarna sintesis yang lebih ekonomis dan memiliki rentang warna yang lebih
beragam. Tetapi dengan munculnya permasalahan lingkungan dan kesehatan yang diakibatkan
oleh pewarna sintesis, konsumen mulai beralih kembali pada pewarna alami. Berbeda dengan
pewarna sintesis yang merupakan turunan dari bahan kimia, pewarna alami adalah pewarna
sustainable berasal dari bahan alam. Tetapi bahan alam ini tidak dapat langsung digunakan untuk
mewarnai tekstil, selain itu bahan alam yang tersedia bergantung pada musim. Karena keterbatasan
ini, pewarna alami masih belum bisa memenuhi permintaan yang besar dari industri tekstil.
Pewarna alami hanya mencakup sekitar 1% dari total share industri tekstil (Elle MacArthur, 2017).
Selain itu, keterbatasan teknologi dalam mengekstrak pewarna alami, ketidakcocokan pewarna
alami dengan mesin dan kain yang sudah ada, warna yang kurang beragam dan lemahnya kekuatan
pewarna alami; juga menjadi kelemahan penggunaan pewarna alami dalam industri tekstil.
Dalam proses industri tekstil, pewarna alami harus dalam keadaan murni, karena pengotor akan
menyebabkan penyebaran warna yang tidak merata dan penggumpalan yang dapat merusak mesin.
Selain itu, beberapa kain/material yang berbahan selulosa tidak memiliki afinitas terhadap pewarna
alami karena pewarna alami tidak memiliki gugus amino dan karboksil. Akibatnya warna yang
dihasilkan menjadi lebih pudar. Oleh karena itu, kain biasanya dipersiapkan terlebih dahulu
dengan zat fixative atau mordant melalui proses mordanting, sebelum akhirnya dilakukan proses
pewarnaan.
1.2 PERUMUSAN MASALAH
Penelitian ini difokuskan memformulasikan pewarna alami yang diekstrak dengan cara ekstraksi
sederhana dengan penambahan zat fixative (emulsifier dan mordan). Komposisi pewarna alami dan
komponen fixative akan diinvestigasi untuk mengetahui pengaruhnya terhadap kekuatan zat warna.
1.3 TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk membuat zat warna berbasis bahan alam yang memiliki kekuatan
warna seperti pewarna sintesis yang dapat digunakan dalam industri tekstil.
3
1.4 RENCANA HASIL LUARAN
Hasil keluaran dari penelitian ini adalah berupa penerbitan dalam satu Jurnal Internasional, yaitu
International Journal of Textile Science.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Pewarna Sintesis dan Jenisnya
Zat warna memiliki keanekaragaman fungsi dan aplikasi dalam berbagai industri. Sebelum
pewarna sintesis ditemukan, pewarna alami ditemukan dalam tanaman, hewan, dan mineral.
Pewarna sendiri dapat dibagi menjadi menjadi beberapa klasifikasi berdasarkan struktur kimia dan
metode aplikasinya. Tidak seperti komponen organik lainnya, zat warna menghasilkan warna
dikarenakan beberapa hal, yaitu: (1) mengabsorp cahaya tampak (400 – 700 nm), (2) memiliki
setidaknya satu chromophore (ikatan kimia yang menghasilkan zat warna), (3) memiliki sistem
konjugasi (struktur yang dapat beralternatif antara ikatan rangkap dan tunggal), dan (4)
menghasilkan resonansi elektron yang merupakan gaya yang menstabilkan komponen organik.
Ketika salah satu dari komponen parameter tersebut tidak ada, maka warna akan pudar (IARC,
2010). Selain chromopore, zat warna juga dapat mengandung grup fungsi auxochrome (color
helpers) seperti gugus asam karboksilat, asam sulfonat, amino, dan hidroksil. Auxochrome tidak
mengeluarkan warna tetapi dapat merubah suatu warna, selain itu auxochrome juga berpengaruh
terhadap kelarutan zat warna.
Gambar 2. Resonansi Elektron pada Malachite Green (CI Basic Green 4) (Nelson, 2017)
Pewarna berdasarkan struktur kimia atau chromopore-nya, yaitu: Azo, Anthraquinone, Indigoid,
Phthalocyanine, Sulfur, Nitro dan Nitroso. Pewarna berdasarkan metode aplikasinya, yaitu:
pewarna reaktif (reactive dyes), pewarna disperse (disperse dyes), pewarna asam (acid dyes),
pewarna basa (basic dyes), pewarna langsung (direct dyes), dan pewarna tak larut dalam air (vat
dyes).
5
Hampir 60% pewarna di dunia adalah pewarna tipe azo. Pewarna ini setidaknya memiliki satu
ikatan rangkap nitrogen-nitrogen (N=N). Pewarna azo adalah pewarna sintesis yang memiliki
banyak substituen dan menghasilkan banyak variasi warna tergantung pada substituennya.
Pewarna anthraquinone adalah pewarna terbanyak kedua yang digunakan di industri setelah
pewarna azo. Tidak seperti pewarna azo yang merupakan produk hasil sintesis, anthraquinone
adalah produk alami yang dihasilkan bakteri dan jamur. Pewarna indigoid adalah salah satu
pewarna yang telah digunakan sejak 5000 tahun yang lalu. Pewarna tipe indigoid memiliki ikatan
–NH dan ikatan rangkap oksigen (=O). Pewarna sulfur adalah pewarna yang mengandung ikatan
sulfide (-S-), disulfide (-S-S-), atau polisulfida (-Sn-) yang membentuk cincin heterosiklik.
Tabel 1. Tipe Pewarna Berdasarkan Chromopore (Gürses, 2016)
Chromopore Contoh Struktur
Azo
Anthraquinone
Indigoid
Phthalocyanine
6
Sulfur
Nitro
2.1.2 Pewarna Alami
Pewarna alami didapatkan dari bahan alam dan proses pembuatannya melibatkan reaksi kimia
yang minim. Kebanyakan pewarna alami tidak berbahaya dan tidak beracun, sehingga produk dan
limbah dari pewarna alami aman untuk ekosistem. Namun, beberapa pewarna alami juga
mengandung logam berat, sehingga pewarna alami perlu dicek toksisitasnya. Sebagai contoh
logwood yang mengandung haematoxylum dan hematein.
Pewarna alami berpotensi sebagai pewarna bersahabat dalam industri tekstil, namun pewarna
alami memiliki beberapa keterbatasan, yaitu: (1) rentang warna yang terbatas, (2) yield zat warna
yang rendah, (3) reproduksi gradasi warna yang sulit, (4) proses pembuatan yang kompleks, (5)
ketersediaan di alam yang bergantung musim, (6) ketidakcocokan zat warna dengan jenis kain, (7)
standarisasi warna yang berbeda dengan pewarna sintesis, dan (8) membutuhkan mordan dalam
jumlah besar agar zat warna dapat terikat dengan kain (Clark, 2011).
Pewarna alami terdiri dari dua jenis, yaitu: pewarna aditif (membutuhkan mordan) dan substantif
(tidak membutuhkan mordan) (Chakraborty, 2014). Mordan diberikan ke dalam pewarna alami
agar warna lebih kuat terikat dengan kain. Pada sub-bab sebelumnya dijelaskan tipe-tipe pewarna
berdasarkan struktur kimianya, seperti sulfur dan azoic. Pewarna alami tidak memiliki ikatan-
ikatan kimia yang terdapat dalam pewarna sintesis, sehingga warna yang dihasilkan oleh pewarna
alami bergantung pada kondisi proses pewarnaan dan mordan yang digunakan.
7
Berdasarkan Spesifikasi Color Index, terdapat 32 pewarna merah alami, 28 pewarna kuning alami,
3 pewarna biru alami, dan 1 pewarna hitam alami (Clark, 2011). Berikut adalah daftar pewarna
alami.
Tabel 2. Pewarna alami terdaftar dalam Color Index (Clark, 2011)
Warna Jenis Pewarna Sumber
Kuning Flavanoid French marigold, nangka, bawang, dll.
Carotenoid Saffron, mahogany india, dll.
Diaroyl methane Kunyit, barberry
Quinanoid Hena
Merah Quinone (contoh:
anthraquinone)
Saffron, secang/sepang
Biru Indigotin Indigo, woad
Hitam Tannin Logwood
2.1.3 Kunyit Sebagai Pewarna Alami
Kunyit (Curcuma domestica) adalah salah satu sumber alami yang umum digunakan untuk
menghasilkan warna kuning. Kandungan utama dari kunyit adalah curcuminoids yang mencakup
sekitar 1 – 6% berat. Curcuminods adalah jenis polyphenol yang memberikan efek warna kuning
dari kunyit. Kandungan dalam kunyit dapat dilihat pada Tabel 3. Kunyit sendiri terdiri dari tiga
komponen utama, yaitu: curcumin (diferuloymethane), demethoxycurcumin, dan
bisdemethoxycurcumin (Gambar 3).
Tabel 3. Kandungan Kunyit (Nelson, 2017)
Kandungan Komposisi
(%-berat)
Curcuminoids 1 – 6
Volatile (essential) oils 3 – 7
Serat kain 2 – 7
Mineral 3 – 7
Protein 6 – 8
8
Lemak 5 – 10
Karbohidrat 60 – 70
Air 6 – 13
Gambar 3. Tiga komponen utama curcumin (Nelson, 2017)
Curcumin (C21H20O6) yang memiliki berat molekul 368,37 g/mol adalah komponen polyphenol
dengan titik didih 183ºC. Curcumin memiliki 2 cincin aryl yang mencakup grup ortho methoxy
phenolic OH-, dimana 2 cincin aryl ini tehubung secara simetrik dengan β-diketone. Pada kondisi
asam dan netral (pH 3 -7), komponen utama yang muncul adalah molekul curcumin dalam bentuk
bis-keto, dimana curcumin bertindak sebagi donor proton. Hal ini dikarenakan adanya atom karbon
aktif pada ikatan heptadienone di antara dua cincin methoxy phenol kurkumin bis-keto. Ketika
pH>8, bentuk enol lebih dominan, curcumin bertindak sebagai donor elektron (Lee, 2013).
Curcumin memiliki sifat hidrofobik akibatnya tidak begitu larut dalam air, kelarutan curcumin
dalam air dapat ditingkatkan dengan meningkatkan kondisi operasi (misal: temperatur). Curcumin
memiliki kelarutan yang tinggi dalam pelarut organik (methanol, ethanol, isopropanol, aseton, dan
DMSO). Absorpsi curcumin menunjukkan nilai yang kuat pada λmax pada rentang 408 – 434 nm
(Lee, 2013).
9
Gambar 4. Bentuk curcumin sebagai keto-enol (Lee, 2013)
Curcumin, tidak seperti kebanyakan pewarna alami lainnya, mampu berikatan dengan kain
berbahan selulosa (misal: kain katun) tanpa bantuan mordant atau fixative. Hal ini dikarenakan
kunyit mengandung tannin (tannic acid) yang merupakan mordan alami (Chakraborty, 2014).
Untuk kain berbahan serat hewani (sutra dan wol), curcumin bisa ditambahkan dengan mordan
untuk memperkuat zat warna dalam kain. Kemampuan kunyit sebagai pewarna tekstil hanya
bersifat sementara atau biasa disebut fugitive dye yang artinya warna kuning yang dihasilkan dari
kunyit akan pudar seiring dengan waktu (Yoshizumi, 2003). Proses ekstraksi kunyit pun dianggap
tidak terlalu sulit, kunyit yang telah dicacah kecil dicampurkan dalam air distilasi hingga mendidih
dalam waktu 1,5 jam. Ekstrak kemudian difilter dan dapat digunakan untuk proses pewarnaan
(Vankar, 2017).
2.1.4 Mordan
Penggunaan mordan dalam proses pewarnaan tergantung pada jenis kain dan warna yang ingin
dihasilkan. Tujuan dari mordan adalah menciptakan afinitas antara serat kain dengan zat warna,
membuka membuka pori-pori serat kain sehingga zat warna dapat berdifusi ke dalam serat kain,
selain itu mordan juga dapat berfungsi sebagai stabilizer yang tidak terlarut dalam air untuk
menjaga kekuatan warna. Pada awalnya mordan adalah komponen yang berbasis garam metal,
namun saat ini mordan pada dasarnya terbagi menjadi tiga, yaitu: (1) garam metal/mordan metal,
(2) tannin, dan (3) mordan minyak. Mordan juga dapat digunakan sekaligus, sebagai contoh kain
katun diberi perlakukan mordan tannin untuk mempermudah absorpsi mordan metal ke dalam
kain. Sehingga warna yang dihasilkan memiliki kekuatan warna yang cukup baik.
Jenis mordan metal yang digunakan beragam, diantaranya alum, Cu2SO4, FeSO4, dan lain-lain.
Hampir semua pewarna alami dapat membentuk ikatan metal kompleks dengan mordan metal dan
10
menghasilkan warna dengan gradasi yang berbeda. Akan tetapi, penggunaan mordan metal saat
ini dibatasi agar tidak merusak lingkungan.
Tannin adalah mordan yang penting digunakan untuk pewarna alami untuk memproduksi warna
kuning, coklat, abu-abu, dan hitam (Clark, 2011). Tannin mampu meningkatkan afinitas zat warna
dengan kain. Tannin mengandung grup phenolic hydroxyl yang dapat membuat ikatan cross-link
antara protein dan makro molekul lainnya. Tannin juga mengandung grup o-dihydroxy (cathecol)
yang dapat membentuk chelates. Chelates menghasilkan gradasi warna yang beragam tergantung
pada metal yang digunakan (Clark, 2011).
Mordan minyak biasanya digunakan untuk menghasilkan warna merah. Mordan minyak biasanya
digunakan untuk membentuk ikatan kompleks dengan alum (alum sebagai mordan primer). Alum
mudah terlarut dalam air dan memiliki afinitas rendah dengan kain katun, sehingga mudah terbawa
oleh air pada proses pencucian. Grup karboksil (-COOH) dalam asam lemak bereaksi dengan
garam metal (M) membentuk –COOM.
Gambar 5. Tannin sebagai Mordan
11
Jenis kain yang digunakan juga mempengaruhi mordan yang dipilih. Sebagai contoh, alum biasa
digunakan dalam kain katun, namun sebelum menggunakan alum sebagai mordan primer, kain
terlebih dahulu diberi perlakukan mordan sekunder seperti minyak dan tannin. Garam SnCl2 adalah
agen pereduksi yang kuat, sehingga tidak bisa dikombinasikan dengan mordan oksidasi, Cu2SO4.
Garam SnCl2 biasanya digunakan sebagai mordan pada kain katun. Kain wol lebih reseptif
terhadap pewarna alami dibandingkan kain katun. Kain wol dapat menyerap pewarna asam atau
basa karena sifatnya yang amfoterik.
2.1.5 Interaksi Zat Warna, Kain, dan Fixative
Proses pewarnaan dalam industri tekstil adalah suatu proses kompleks yang terjadi dalam sistem
heterogen. Banyak teori mengenai proses pewarnaan pada serat kain (Gürses, 2016), diantaranya
adalah: (a) pewarnaan dipengaruhi oleh kondisi zat warna saat proses pewarnaan dan setelah
proses pewarnaan, (b) pewarnaan dipengaruhi oleh laju pewarnaan: apakah proses pewarnaan
dipengaruhi oleh perpindahan massa zat warna dari larutan zat warna menuju permukaan serat
kain atau difusivitas zat warna dari permukaan serat menuju kain, (c) pewarnaan akibat adanya
fenomena antar zat warna dan permukaan serat kain yang bergantung pada proses adsorpsi molekul
zat warna dan surface potential, (d) pewarnaan bergantung pada interaksi natural antara zat warna
dan serat kain, (e) pewarnaan bergantung pada termodinamika proses pewarnaan, dan (f)
pewarnaan bergantung pada struktur serat kain terhadap laju pewarnaan dan kesetimbangan.
Namun, secara garis besar proses adsorpsi pewarnaan terjadi dalam empat tahap proses (Gürses,
2016): (1) perpindahan massa zat warna terhadap permukaan serat kain, (2) perpindahan massa zat
warna pada interface larutan bulk dan permukaan serat kain, (3) difusi molekul zat warna dari
permukaan serat kain menuju bulk serat kain, dan (4) interaksi antar zat warna dengan komponen
pengikat pada serat kain.
Pada proses pewarnaan, zat warna dapat terikat dengan serat kain secara fisika atau kimia. Zat
warna biasanya berikatan dengan serat kain melalui ikatan hidrogen dan gaya tarik menarik Van
der Waals (Chakraborty, 2014). Kekuatan warna pada kain bergantung pada ukuran molekul zat
warna dan solubilitasnya terhadap air. Untuk meningkatkan kekuatan warna, tidak jarang juga
membuat zat warna yang dapat bereaksi dengan kain.
12
Efisiensi pewarnaan bisa dikatakan proporsional dengan proses difusi zat warna terhadap serat
kain. Zat warna yang memiliki afinitas terhadap serat kain memiliki laju difusivitas yang baik.
Laju difusi zat warna dapat ditingkatkan dengan membuka struktur serat kain melalui proses termal
atau kimia, yang menyebabkan pergerakan Brownian dalam serat kain yang dapat memutuskan
ikatan rantai polimer serat kain. Akibatnya serat kain memiliki resistansi yang rendah terhadap zat
warna. Zat warna sendiri dapat terikat langsung dengan kain atau terikat pada kain dengan bantuan
mordan (Chakraborty, 2014). Interaksi antara mordan, kain, dan zat warna dapat dilihat pada
Gambar 7.
Serat selulosa (katun, linen, rayon) memiliki sifat hidrofilik, sehingga membutuhkan zat warna
yang bersifat hidrofilik untuk proses pewarnaannya. Selain itu, zat warna juga harus memiliki
afinitas yang tinggi dengan serat kain agar tidak luntur saat dikontakkan dengan air. Zat warna
yang digunakan pada kain katun biasanya adalah tipe pewarna langsung (direct dyes), azoic, vat,
sulfur, dan reaktif. Untuk meningkatkan kekuatan ikatan antara zat warna dan serat selulosa adalah
dengan menggunakan pewarna yang tidak larut dalam air.
Gambar 6. Ikatan hydrogen antara serat selulosa (A) dengan pewarna benzidine tanpa mordan (B)
Gambar 7. Ikatan antara serat selulosa (A), pewarna alami bixin (B), dan mordan (Al)
Selain membuka serat kain, laju difusi molekul zat warna dapat ditingkatkan dengan membentuk
zat warna dalam bentuk droplet-droplet kecil dengan bantuan emulsifier. Droplet zat warna yang
13
berukuran kecil dapat berdifusi ke dalam serat kain lebih mudah dibandingkan molekul berukuran
makro. Bergantung pada sifat emulsifier, emulsifier yang juga dapat berfungsi sebagai stabilizer
zat warna, sehingga zat warna dapat terikat pada serat kain lebih lama. Emulsi yang terbentuk
tergantung dari sifat zat warna dan medium yang digunakan. Jika zat warna merupakan minyak
alami, maka emulsi O/W adalah emulsi yang terbentuk.
Gambar 8. Kemungkinan zat warna dalam emulsi O/W
2.1.6 State of The Art
Saat ini penelitian mengenai pewarna alami sedang mendapat perhatian karena sifatnya yang
sustainable. Beberapa penelitian berfokus pada teknologi ekstraksi bahan alam atau pada teknologi
pewarnaan. Teknologi pewarnaan yang telah dilakukan adalah ultrasonik (Kamel dkk, 2005),
microwave (Nourmohammadian dan Gholami, 2008), radiasi gamma (Bhatti, 2010), dan high
temperature high pressure (Bhattacharrya dan Lohiya, 2002). Vankar (2008) telah melakukan
penelitian dengan menggunakan kunyit sebagai pewarna alami dan teknologi pewarnaan sonikator
untuk melihat kualitas warna yang dihasilkan pada kain katun, sutra, dan wol. Penelitian yang
dilakukan Vankar (2008) menunjukkan bahwa kualitas warna dan tekstur hasil pewarnaan
sonikator lebih baik dibandingkan dengan pewarnaan biasa. Walaupun kunyit memiliki potensi
sebagai pewarna alami dalam tekstil, hanya saja terdapat kekurangan, yaitu: warna kuning yang
dihasilkan kunyit cepat memudar (Yoshizumi, 2003). Yoshizumi (2003) melakukan analisa
dengan memotret sampel di bawah cahaya tampak dan Cahaya UV, kemudian spektrum refleksi,
CIELAB, dan perbedaan warna dievaluasi. Dong Kyung-Lee dari Korea melakukan penelitian
yang berhubungan dengan formulai zat warna alami dalam bentuk emulsi W/O. Dong (2008)
mencampurkan zat warna Sappan dengan larutan emulsifier tetraethyl orthosilicate 98% dan
cyclomethicone/dimethycon copolyl. Dong (2008) juga memasukkan mordan berbasis metal untuk
14
memperkuat zat warna. Warna yang dihasilkan memiliki kekuatan warna yang baik saat
menggunakan mordan alum dan konsentrasi emulsi yang tinggi.
Pemelitian yang akan dilakukan menggunakan beberapa referensi dari penelitian sebelumnya,
yaitu proses pewarnaan dengan metoda sonikator. Zat warna dari kunyit akan diekstrak dengan air
kemudian disaring. Zat warna yang diperoleh kemudian diformulasikan dengan zat fixative yang
terdiri dari mordan dan emulsifier dengan metoda sonicator. Bahan mordan yang dapat digunakan
diantaranya adalah kapur, jeruk nipis, dan tannin.
15
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian ini mencakup penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan
mencakup proses ekstraksi curcumin dan analisis ekstrak kunyit. Penelitian utama mencakup
formulasi zat warna dengan zat fixative (mordan dan emulsifier) dan analisis kekuatan warna pada
kain katun.
3.1 PENELITIAN PENDAHULUAN
Kunyit dibersihkan, dikupas, dan diblender dengan sedikit campuran air. Hasil blender kunyit
kemudian disaring untuk mendapatkan kunyit ekstrak. Ekstrak curcumin kemudian dianalisis
kandungan curcuminnya dengan UV-Vis Spectra dan thin layer chromatography. Ekstrak
curcumin dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya.
3.2 PENELITIAN UTAMA
Penelitian utama mencakup formulasi zat warna dengan bahan fixative yang mengandung mordan
dan emulsifier. Kondisi yang digunakan menggunakan kondisi yang digunakan oleh Dong (2008).
Mordan yang dipilih adalah kapur dan jeruk nipis. Emulsifier yang digunakan adalah Tween 80.
Metode yang digunakan adalah metode sonicator pada suhu ruangan selama 30 menit. Sampel zat
warna kemudian dianalisis kandungan zat warna dengan metode thin layer chromatography (TLC)
dan spectrophotometry. Zat warna kemudian diaplikasikan ke dalam kain katun dan ketahanan
warnanya dianalisis dengan metode grey change untuk mengetahui kualitas pewarnaan setelah
pencucian dan grey staining untuk mengetahui kualitas warna ketika ada noda. Prinsip kerja
metoda grey change dan grey staining merupakan metode advanced spectrophotometers. Metode
grey staining ini dilakukan di suatu pabrik tekstil di Bandung. Kekuatan warna yang dihasilkan
pewarna curcumin dianalisis denga metode UV Vis atau colorimeter atau scanning kain katun dan
dibandingkan dengan RGB color yang tersedia dalam software photoshop.
.
16
BAB IV
JADWAL PELAKSANAAN
4.1 JADWAL PENELITIAN
Jadwal perencanaan penelitian dalam waktu satu tahun ke depan dapat dilihat dalam Tabel 5.
Rencana hasil luaran berupa penerbitan jurnal internasional, International Journal of Textile
Science.
Tabel 4. Jadwal Penelitian Tahun Pertama
Kegiatan Des
18
Jan
19
Fe
b1
9
Mar
19
Apr
19
Mei
19
Jun
19
Jul
19
Aug
19
Sep
19
Okt
19
Nov
19
Des
19
1. Membuat proposal
2. Studi pustaka
3. Studi banding
4. Pembelian bahan
5. Penelitian Pendahuluan
6. Analisis produk
7. Membuat laporan
8. Mempersiapkan hasil
luaran
4.2 PETA RENCANA
Penelitian direncanakan berjalan selama satu tahun dengan pembagian sebagai berikut: (1) Tahap
demonstrasi teori dan (2) Tahap aplikasi. Tahap demonstrasi teori terdiri dari proses kajian awal,
penelitian pendahuluan, dan penelitian dasar. Tahap aplikasi terdiri dari proses pengembangan
produk.
17
Gambar 9. Peta rencana penelitian
18
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh mordan emulsifier terhadap color strength, color coordination, dan color fastness
dapat dilihat di Tabel berikut.
Tabel 5. Nilai color strength dan color coordination pada kain saat menggunakan kapur sebagai mordan
Var. Formulasi (%vol) Sebelum pencucian Setelah pencucian
Kur-
kumin
Mordan Tween
80
K/S L* a* b* K/S L* a* b*
1 1 0 0 8,51 50,611 33,393 23,077 0,84 58,561 -0,404 4,132
2 2 1 0 7,95 41,93 8,164 27,285 3,85 43,699 3,485 27,148
3 2 1 1 5,22 42,700 9,586 27,200 0,76 55,292 -0,286 8,362
4 1 1 1 5,67 43,502 9,498 27,105 0,59 58,311 -0,204 4,121
5 1 2 1 4,12 47,091 3,746 32,097 0,55 56,845 -0,291 8,315
Tabel 6. Nilai color strength dan color coordination pada kain saat menggunakan jeruk nipis sebagai mordan
Var. Formulasi (%vol) Sebelum pencucian Setelah pencucian
Kur-
kumin
Mordan Tween
80
K/S L* a* b* K/S L* a* b*
1 1 0 0 8,51 50,611 33,393 23,077 0,84 58,561 -0,404 4,132
2 2 1 0 8,52 71,874 5,331 62,078 7,03 70,451 8,158 60,581
3 2 1 1 7,77 76,038 0,621 65,543 0,71 57,045 -1,847 14,908
4 1 1 1 7,17 76,402 -2,612 61,895 0,81 66,990 0,284 12,886
5 1 2 1 7,88 68,203 8,979 59,859 0,67 77,704 0,004 -0,008
Color strength menunjukkan kedalaman penetrasi zat warna ke dalam kain, color coordination
menunjukkan warna yang dihasilkan berdasarkan warna CIELAB yang ditunjukkan dengan tiga
parameter, yaitu: L*, a*, dan b*, dan color fastness menunjukkan ketahanan warna terhadap proses
pencucian.
19
Gradasi warna kurkumin bergantung pada kondisi pH larutan zat warna. Saat kapur digunakan
sebagai mordan, larutan zat warna memiliki pH 8 - 9, sedangkan jeruk nipis menghasilkan zat
warna dengan pH 3 – 4. Kurkumin stabil pada kondisi asam dan cenderung berbentuk enol yang
menghasilkan warna kuning. Pada saat kondisi basa, hidrogen pada grup phenol terdisosiasi dan
menghasilkan warna yang lebih gelap (Schneider, dkk, 2015). Hal ini terbukti pada warna yang
dihasilkan, kurkumin yang menggunakan kapur sebagai mordan menghasilkan warna orange gelap
hampir kecoklatan, sedangkan jeruk nipis menghasilkan warna kuning cerah. Penambahan
emulsifier juga dapat mempercerah warna yang dihasilkan.
Gambar 10. Bentuk enol kurkumin
Mordan selain mempengaruhi warna yang dihasilkan, juga mempengaruhi color strength. Color
strength ditunjukkan dengan nilai K/S (Kubelka Munk) yang diasosiasikan dengan nilai refleksi
kain.
Terlihat bahwa kekuatan warna atau color strength meningkat dengan penambahan mordan kapur.,
namun fenoimena ini tidak terjadi pada morda jeruk nipis. Mordan dapat berikatan dengan kain
dan zat warna membentuk senyawa kompleks yang memperkuat afinitas zat warna terhadap kain.
Penambahan emulsifier “melarutkan” kurkumin ke dalam air dan mempermudah difusi zat warna
terhadap kain.
Pada Tabel 5 dan Tabel 6 terlihat bahwa hampir seluruh zat warna memiliki color fastness yang
lemah, terlihat dengan nilai K/S (color strength) yang menurun setelah melalui proses pencucian.
Penambahan emulsifier (Tween 80) memperburuk nilai K/S karena tween bertindak sebagai
detergen sehingga dapat mengangkat kurkumin dari kain
20
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan dari penelitian ini adalah:
Mordan dapat meningkatkan color strength kurkumin pada kain.
Mordan kapur menghasilkan warna orange gelap pada kain, sedangkan mordan jeruk
nipis menghasilkan warna kuning cerah pada kain.
Emulsifier dapat “melarutkan” kurkumin dalam air dan menghasilkan warna cerah pada
kain, tetapi menghasilkan color fastness yang buruk.
Saran dari penelitian ini adalah:
Diperlukan zat additive baru untuk memperkuat color fastness pada kain.
Parameter operasi seperti Temperatur pada proses pewarnaan kain perlu dianalisa lebih
lanjut.
21
REFERENSI
Bechtold, T., Mussak, R., 2009, Handbook of Natural Colorants, John Wiley and Sons: Austria.
Bhati, I, et.al., 2010, Influence of Gamma Radiation on The Color Strength and Fastness Properties
of fabric using Turmeric (Curcuma longa) as Natural Dye, Radiation Physics and Chemistry Vol
79, Elsevier: 622-625.
Chakraborty, J.N., 2014, Fundamentals and Practices in Coloration Textiles Vol.2. Woodhead
Publishing: New Delhi.
Clark, M., 2011, Handbook of Textile and Industrial Dyeing Vol.1, Woodhead Publishing: UK.
Dong, K.L., 2008, Fabrication of Nontoxic Natural Dye from Sappan Wood, Korean Journal
Chemical Engineering 25(2): 354 – 358
Ellen MacArthur Foundation, 2017, A New Textiles Economy: Redesigning Fashion’s Future,
(http://www.ellenmacarthurfoundation.org/publications).\
Gürses, A, et al., 2016, Dyes and Pigments, Springer: Turkey.
International Agency for Research and Cancer (IARC), 2010, Some Aromatic Amines, Organic
Dyes, and Related Exposures.
Lee, W.H., dkk., 2013, Curcumin and its Derivatives: Their Application in Neuropharmalogy
and Neuroscience in the 21st Century, Current Neuropharmacology 11(4): 338 – 378.
Nelson, M.K., et.al., 2017,The Essential Medicinal Chemistry of Curcumin, Journal Medicinal
Chemistry, ACS Publication:1620-1637
Saxena, S., Raja, A.S.M., 2014, Natural Dyes: Sources, Chemistry, Application and Sustainability
Issues, Textile Science and Clothing Technology, Springer: Singapore.
Schneider C, Gordon ON, Edwards RL and Luis PB, 2015, Degradation of Curcumin: From
Mechanism to Biological Implications. J Agric Food Chem 63: 7606-7614.
Vankar, P.S., 2017, Natural Dyes for Textiles: Sources, Chemistry, and Applications, Elsevier:
UK.
22
LAMPIRAN
A. BIAYA PENELITIAN
Tabel A. Format Ringkasan Anggaran Biaya Insinas Riset Pratama yang Diajukan Setiap Tahun
Keterangan Total
Transportasi 923.215
- Transportasi (Tol, Parkir, Bensin, Taksi) 923.215
- Sewa Kendaraan (Kena Pajak Pph23) -
Makanan Berat 1.310.340
Makanan Ringan 515.450
Minuman -
Penginapan -
ATK 210.910
Pengeluaran untuk Barang cetakan -
- Photo Copy, Print & Jilid -
- Pustaka -
Benda Pos
Voucher 1.057.500
Honor di Luar Tim Peneliti -
- Honor Surveyor (Mahasiswa / Orang Luar) Untuk Mahasiswa Cantumkan NPM – Tidak Kena Pajak Pph 21 Untuk Orang Luar Cantumkan NIK KTP dan atau NPWP – Kena Pajak Pph 21 5.000.000
- Honor Asisten Peneliti (Mahasiswa / Orang Luar) Untuk Mahasiswa Cantumkan NPM – Tidak Kena Pajak Pph 21 Untuk Orang Luar Cantumkan NIK KTP dan atau NPWP – Kena Pajak Pph 21 -
- Honor Tukang -
Jasa teknik, jasa manajemen, jasa lain (Pembayaran Atas Pekerjaan Jasa Contoh Analisis, Uji Sample Kenapa Pajak Pph 23 apabila bukan institusi yang mengerjakan)
1.275.000
Alat / Media Teknologi - Hardisk - USB - Mouse - Printer - Keyboard
(Untuk Pembelian Barang harus ada Surat Pernyataan Menjadi Aset Fakultas)
-
Bahan Penelitian (Bahan untuk kegiatan penelitian) -
23
Alat dan Suku Cadang Penelitian (Peralatan untuk kegiatan penelitian) -
Media Publikasi (brosur, spanduk, leaflet, baligho) -
Honor Peneliti Non Dosen UNPAR
TOTAL 10.292.415