Upload
others
View
42
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
Kajian Etnokoreologi Tari Topeng Banjar
Oleh
Putri Yunita Permata Kumala Sari
Dosen Prodi Pendidikan Seni Drama, Tari dan Musik
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Lambung Mangkurat
Abstrak
Artikel ini secara umum untuk mengetahui informasi kompleks dan mendalam mengenai karakteristik
Tari Topeng Banjar melalui mengetahui gerak khas dan karakter Topeng Topeng Banjar, sehingga
dapat memberikan pemahaman wiraga, wirama, dan wirasa yang baik dan benar.Artikel ini
merupakan kajian tari dengan disiplin ilmu Etnokoreologi dengan objek artikel Tari Topeng Banjar
yang ada dalam Upacara Manuping di Desa Banyiur Luar, Banjarmasin, Kalimantan Selatan yang
bergenre tari klasik. Etnokoreologi merupakan pendekatan multidisipliner untuk mengkaji tari etnis
dari segi tekstual dan kontekstual. Melalui proses artikel ini, diharapkan dapat memberikan
pemahaman teks dan kontekstual. Artikel ini menggunakan pendekatan kualitatif melalui metode
triangulasi dengan wawancara, observasi dan dokumentasi bersama pelaku seni yang berhubungan
langsung dengan pertunjukan Tari Topeng Banjar dan budayawan Kalimantan Selatan serta
pengumpulan data melalui beberapa literasi yang terkait dengan artikel ini. Tari topeng di Banyiur
Luar ini memiliki keunikan yang menjadi karakteristiknya, dimana tari topeng dengan tokoh
perempuan menggunakan ragam gerak yang merupakan akulturasi ragam gerak tari klasik Banjar dan
ragam gerak japin Banjar. Hal tersebut dikarenakan lokasi situs merupakan daerah pesisir sungai dan
konon di daerah tersebut juga merupakan daerah pertama hidupnya komunitas penjapinan di
Kalimantan Selatan.
Kata kunci : Karakteristik, Tari Topeng Banjar, Upacara Manuping, Etnokoreologi.
Abstract
This article is generally aimed to find complex and in-depth information about the
characteristics of Banjarese Mask Dance through knowing the typical movements and
characters of the Banjarese Mask, so as to provide an understanding of wiraga, wirama, and
wirasa well. This article is a study on dance with Ethnocoreology discipline with the object of
the Banjarese Mask Dance articles in the Manuping Ceremony in Banyiur Luar Village,
Banjarmasin, South Kalimantan which has a classical dance genre. Ethnocoreology is a
multidisciplinary approach to studying ethnic dance in terms of textual and contextual.
Through this article, it is expected to provide text and contextual understanding. This article
uses a qualitative approach through the method of triangulation with interviews, observation
and documentation with artists who are directly related to the performance of Banjarese
Mask Dance and South Kalimantan cultural observer, as well as data collection through
several literacysources related to this article. The mask dance in Banyiur Luar has a unique
characteristic, where mask dance with famale characters uses a variaty of motion which is an
acculturation of various classical Banjarese dance movements and various japin Banjarese
dance movements. This is because the location of site is a coastal area of the river and
2
supposedly in the area is also the first area of life of the ‘penjapinan’ community in South
Borneo.
Keyword : Characteristic, Banjarese Maks Dance, Manuping Ceremony,
Ethnochoreology
PENDAHULUAN
Topeng bukanlah benda yang asing bagi setiap orang, dan bahkan sudah menjadi
bagian dari tradisi masyarakat Indonesia, bahkan di dunia. Di Kalimantan Selatan seni topeng
tradisi disini dipertunjukan dalam bentuk upacara ritual yang dinamakan
Manopeng/Manopeng. Pada upacara Manopeng ini terdapat beberapa ritual yang
dilaksanakan, seperti pembersihan peralatan warisan seperti wayang, tombak, keris, topeng
dan sebagainya. Kemudian topeng-topeng tesebut pertunjukan dalam bentuk Tari Topeng
dengan berbagai tujuan, ada yang ditujuan untuk pemberian makan kepada roh-roh yang
dipercaya terdapat pada topeng; sebagai ritual pengobatan penyakit gaib yang diderita juriyat
panopengan; rasa syukur setelah panen; ritual pembersihan kampung; dan lain sebagainya.
Tari Topeng biasanya dipergelarkan pada upacara Manopeng/Manopeng itu ada yang
diharuskan juriyat langsung yang membawakan tari tersebut dan ada juga beberapa tari
topeng yang diperbolehkan untuk ditarikan oleh orang diluar garis juriyat. Apabila
diperhatikan secara seksama maka akan nampak perbedaan dalam membawakan tarian yang
memang sangat signifikan, dimana biasanya para penari yang juriyat menari merupakan
kegiatan turun-temurun dan mereka menari dengan spontanitas, karena mereka belajar secara
absorbed action dalam ruang lingkup pendidikan informal. Seperti yang dijelaskan oleh
Morris dalam Narawati (2003:32), absorbed action merupakan perilaku yang dilakukan oleh
seseorang karena ia merasa perlu melakukan perilaku yang sama yang dilakukan oleh orang
lain. Kegiatan menari topeng sudah mendarah-daging dalam kehidupan mereka.
Berbeda halnya dengan penari yang bukan juriyat, biasanya mereka memiliki
perbendaharaan gerak, karena latihan dalam ruang lingkup pendidikan formal (akademik
pendidikan tari) maupun non formal (sanggar), sehingga kalau dilihat wiraga dan wirama
secara sekilas lebih bagus yang diluar juriyat. Namun untuk wirasa jauh lebih bisa merasakan
yang juriyat langsung, karena mereka memahami karakteristik topeng tersebut, dari historis
hingga silsilah pewarisan ilmu tersebut. Lain halnya dengan yang diluar juriyat yang tidak
memahami karakteristiknya, sehingga mereka hanya menari tanpa mampu menjiwai tarian
tersebut.
3
Pengkajian ini akan dilakukan lebih mendalam dengan menggunakan pendekatan
Etnokoreologi sebagai pijakannya. Etnokoreologi merupakan ilmu kajian ilmiah yang
multidisipliner untuk mengupas sebuah tari etnis secara tekstual dan kontekstual. Heddy Shri
Ahimsa-Putra (dalam Hendra, 2018:160) yang mengatakan, bahwa dalam menganalisis seni
yaitu dengan memfokuskan pada dua bentuk kajian yaitu tekstual dan kontekstual. Dipilihnya
etnokoreologi, karena disiplin ilmu ini merupakan penyempurnaan semua disiplin terdahulu,
seperti antropologi tari, etnologi tari, koreologi, etnokoreografi dan lain sebagainya. Oleh
karena itu digunakanlah etnokoreologi ini, dimana masalah teks dikaji mendalam dengan
mengidentifikasi Tari Topeng Banjar berdasarkan karakterisasi, deskripsi, analisis, dan
pemaknaan dari bentuk penyajian, sedangkan wilayah konteksnya adalah berkenaan dengan
nilai-nilai kearifan lokal dan makna simbolik yang terkandung dalam gerak berdasarkan pada
pola pikir, sikap serta pandangan hidup urang Banjar di Kalimantan Selatan, sehingga
pemahaman akan sebuah tari etnis akan maksimal, dan pengkomunikasiannya pun akan
maksimal.
Berdasarkan pandangan tersebut, maka teknik pengumpulan data yang akan
digunakan dalam artikel ini adalah teknik triangulation (triangulasi), yakni kombinasi
metodologi untuk memahami sebuah fenomena. Menurut Alwasilah (2002:106), triangulasi
menguntungkan peneliti dalam dua hal, yaitu (1) mengurangi resiko terbatasnya kesimpulan
pada metode dan sumber data tertentu; dan (2) meningkatkan validitas kesimpulan, sehingga
lebih menambah pada ranah yang lebih luas. Artikel ini menggunakan beberapa metodologi,
seperti: observasi; metode perekaman; teknik wawancara; teknik pengumpulan data
dokumen.
Soedarsono (2009:49) menyatakan Etnokoreologi (dalam Fitriana dkk, 2018:2) yang
terdiri tiga kata yaitu ethno yang berarti bangsa atau suku bangsa, choros yang bararti tari
(tari kelompok), dan logos yang berarti ilmu, lebih tepat, karena yang diteliti oleh
etnokoreologi adalah tari-tarian dari bangsa-bangsa atau suku bangsa. Etnokoreologi
(Ethnochoreology) merupakan pendekatan atau metode multidisiplin yang digunakan untuk
mengupas sebuah seni tari etnis secara tekstual dan kontekstual tersebut. Etnokoreologi
merupakan istilah yang bisa dikatakan baru dalam sebuah kajian tari. Pendekatan
etnokoreologi digunakan sebagai pengganti istilah-istilah disiplin ilmu tari untuk mengkaji
sebuah karya seni tari etnis sebelumnya. Istilah Koreologi (Choreology) dicetuskan pertama
kali oleh Getrude Prokosch Kurath pada tahun 1956, yang kemudian diikuti oleh Joan
Kealiinohomoku, Adrienne L. Keappler, Anya Peterson Royce, Claire Holt, dll. Setelahnya,
istilah yang selalu digunakan oleh para sarjana tari untuk menamakan studi tari adalah
4
Etnologi Tari (Dance Ethnology) atau Antropologi Tari (Dance Anthropology). Hal ini tentu
saja masih meminjam istilah disiplin ilmu etnologi atau antropologi (Masunah dan Narawati,
2012:47).
Istilah etnokoreologi mengandung empat pengertian, yakni pertama tari adalah produk
sebuah masyarakat. Kedua, tari sebagai produk masyarakat mengandung nilai-nilai yang
dianut masyarakat. Ketiga, nilai yang dianut masyarakat satu dengan masyarakat lainnya itu
berbeda. Keempat, menilai/mengapresiasi sebuah tari etnis tidak bisa berlaku umum harus
dengan acuan nilai yang dianut masyarakat pemilik budaya tarinya. Dengan demikian, maka
teori etnokoreologi lebih menekankan bahwa tari merupakan produk masyarakat yang
tentunya terkandung nilai-nilai etnis di dalamnya (Narawati, 2013:70-71 dalam Wahyudi dkk,
2018:136).
Konsep etnokoreologi ini juga dijadikan pisau bedah dalam mengkaji tari Topeng
Banjar yang diharapkan mampu menguak karakteristik Tari Topeng Banjar dalam penelitian
ini. Dibia (2007:14 dalam Restela dan Narawati, 2017:188) menjelaskan bahwa selain
mengandung pesan-pesan tertentu (naratif, simbolik, kinestetik), sajian tari selalu dipengaruhi
bahkan dipolakan oleh nilai-nilai atau konsep seni dan budaya kelompok etnis yang
melahirkannya. Tentunya karakteristik masyarakat etnis Banjar akan terefleksi dalam tari
Topeng yang dimilikinya. Selanjutnya, karakteristik juga dibangun oleh ketiga aspek
kemanusiaan berikut dalam perspektif tari yang melebur dalam bangunan rasa sebagai
suasana dramatik (Wahyudiyanto, 2006:126-127):
1. Sikap untuk memenuhi kebutuhan hidup yang lebih baik dan sikap yang melatar
belakangi manusia berbudaya. Dengan demikian wujud suatu kesenian sebagai
pengalaman berbudaya merupakan salah satu ungkap kehidupan yang melingkupinya.
2. Konstitusi jasmaniah, yaitu keadaan jasmaniah secara fisiologi merupakan sifat
bawaan sejak lahir.
3. Keindahan rasa yang terpancar dari nilai-nilai normatif yang hidup dalam masyarakat.
Berdasarkan teori-teori tersebut untuk menguak karakteristik tari Topeng Banjar , maka
pengkajian dilakukan melalui historis dan eksistensi tari Topeng Banjar; karakterisasi tokoh-
tokoh Topeng Banjar; analisis gerak khas pada tari Topeng Banjar; busana yang digunakan
penari; musik iringan tari Topeng Banjar; kelengkapan; waktu serta tempat pelaksanaan
upacara Manopeng di Banyiur Luar, Banjarmasin. Selain itu juga diharapkan dapat
memberikan kontribusi pemahaman akan pembawaan sebuah tari etnis yang bukan hanya
menonjolkan wiraga dan wirama saja, tetapi juga wirasa yang merupakan hal terpenting
dalam pengekspresian dan pengkomunikasian pesan tari dengan baik dan benar. Sebab hal
5
tersebut berkaitan dengan pengekspresian sebuah interpretasi budaya yang menjadi identitas
masyarakat Banjar.
PEMBAHASAN
Kalimantan Selatan bermayoritaskan suku Banjar dan bermayoritaskan muslim serta
merupakan daerah yang tingkat religiusitasnya tinggi. Suku Banjar merupakan asimilasi dari
tiga kebudayaan, yakni budaya Dayak yang merupakan suku asli Kalimantan, budaya Jawa
yang dibawa oleh kerajaan Majapahit, Mataram dan Demak, serta Melayu yang dibawa oleh
kerajaan Sriwijaya dan pedagang-pedagang Arab (Disporabudpar dan UPTD Taman Budaya
KalSel, 2009:2-3).
Sejarah kesenian Banjar tidak terlepas dari sejarah kebudayaannya yang paralel
dengan sejarah perkembangan urang Banjar. Ideham, dkk (2005:387) dalam bukunya yang
berjudul“Urang Banjar dan Kebudayaannya” menyebutkan bermula dari adanya pembauran
etnik Melayu sebagai etnik dominan, dengan unsur etnik Dayak Bukit, Ngaju dan Maanyan.
Perpaduan etnik lama-kelamaan menimbulkan perpaduan kultural; unsur Melayu sangat
dominan dalam Bahasa Banjar. Demikian pula dengan kesenian Banjar tentu saja merupakan
kesenian yang dihasilkan oleh asimilasi dari pengaruh sosial politik kesejarahan dalam kurun
waktu yang sangat lama.Sejarah Banjar secara sistematis terbagi menjari 3 zaman, yaitu
Prasejarah, Hindu-Budha dan Islam.
Pada zaman prasejarah, bentuk gerakan berdasarkan suatu tujuan yang mengandung
nilai lain, sekalipun semua itu diungkapkan dari emosi kejiwaan bersifat sentimental penuh
perasaan. Sampai sekarang masih dikenal tarian perang, tarian saat berburu, tarian untuk
arwah dan sebagainya yang masih ditemukan khususnya pada masyarakat Dayak di
Kalimantan (Ideham, dkk, 2005:388-389). Mulai dari zaman prasejarah oleh bangsa primitif
inilah munculnya mitos-mitos, sehingga menjadi identitas yang spesifik dari masyarakat
primitif animisme, yaitu adanya kegiatan-kegiatan mistis dan aktivitas ritual. Mitos ini dapat
diwariskan dengan diceritakan kembali kepada generasi penerus maupun diwujudkan dalam
suatu kegiatan dalam bentuk tarian atau lakon. Kegiatan tersebut sering ditemui pada upacara
ritual yang sakral. Pelaksanaan upacara tersebut sebagai ungkapan pengabdian dan pemujaan
terhadap sesuatu yang gaib dan sesuatu yang melebihi kemampuan dan kekuatan mereka,
dengan tujuan untuk meraih keselarasan dan keseimbangan hidup, pemohonan restu, dan
menghindari murka arwah leluhur dalam garis keturunnnya (Maman, 2012:36).
Memasuki zaman peradaban, pada zaman Hindu-Budha, kebudayaan Jawa dalam
kehidupan masyarakat istana sekitarnya berpadu dengan kebudayaan Melayu dan kebudayaan
6
Dayak Maanyan, akan tetapi karena keraton Dipa lebih mendominasi adat tradisi Budaya
Jawa, maka masyarakat sekitar juga dipengaruhi hal demikian (Ideham, dkk, 2005:391).
Dalam catatan sejarah Kalimantan Selatan, pada abad XII berdiri kerajaan Tanjungpuri yang
merupakan kerajaan migrasi orang-orang Melayu Sriwijaya dengan membawa kebudayaan
dan ajaran Budhisme. Kemudian pada abad XIII muncul pula kerajaan Negara Dipa yang
merupakan migrasi orang-orang Jawa Timur, akibat peperangan antara Ken Arok dengan
Raja Kertajaya yang disebut perang Ganter pada tahun 1222. Mereka membawa kebudayaaan
dan ajaran Hinduisme (Maman, 2012:28-29).
Seiring peradaban masyarakat Kalimantan Selatan, kebudayaan Islam secara perlahan
tumbuh, namun kesenian lama tidak dimusnahkan karena terjadi akulturasi positif. Istana
sejak dahulu memang menjadi pusat kebudayaan. Demikian juga dengan istana kerajaan
Banjar yang dibangun oleh Sultan Suriansyah, yang direbut olehnya ketika masih bernama
Pangeran Samudera (Ideham, dkk, 2005:397). Kerajaan Banjar ini muncul pada abad XVI,
sebagai akibat perpecahan yang disebutkan kekuasaan kerajaan Negara Daha, yang
sebelumnya bernama Kerajaan Negara Dipa oleh Pangeran Samudera dengan pamannya
Pangeran Temanggung. Akhirnya melalui proses politik, Pangeran Samudera beserta
pengikutnya berhasil mengalahkan Negara Daha dan memenuhi janji untuk memeluk agama
Islam, serta merubah nama menjadi Sultan Suriansyah. Banjarmasin menjadi ibukota
merangkap bandar dari Kerajaan Banjar, sedangkan rakyatnya dinamai Urang (Orang)
Banjar. Bagi Urang Banjar, agama Islam menjadi pendukung kewarganegaraan, dan status
daerahnya (Ideham dkk, 2005:19-20).
Topeng salah satu warisan budaya bangsa hingga sekarang masih memiliki peran
penting dalam kehidupan masyarakat, terutama dalam aspek kehidupan kultural dan spritual
dibeberapa mayoritas daerah di Indonesia, termasuk Kalimantan Selatan. Beragam topeng
yang dimiliki Kalimantan Selatan yang disebut Topeng Banjar, atau bila diselenggarakan
dalam bentuk sajian dikatakan Manopeng/Manopeng. Secara umum Topeng Banjar dalam
Manopeng diklasifikasikan dalam bentuk sajian Wayang Topeng atau yang lazim dikenal
oleh masyarakat dengan Tari Topeng yang dibawakan oleh penari-penari dengan memakai
topeng sebagai pengganti riasan dan diiringi seperangkat gamelan salendro (Maman,
2012:13-15).
Kemudian Amka dan Hartini (1986) dalam bukunya yang berjudul Upacara
Manopeng Di Kelurahan Basirih Banjarmasin menambahkan, di daerah Kalimantan Selatan
tari topeng lahir sejak zaman kerajaan Negara Dipa, yaitu abad XI. Pada saat itu jenis
kesenian ini tidak hanya berupa tari lepas tapi juga berupa teater, yang di Kalimantan Selatan
7
disebut teater Topeng Dalang. Tari topeng itu sendiri biasanya merupakan pemenuhan
kebutuhan hiburan dikalangan istana atau keraton.
Berdasarkan beberapa studi pustaka tersebut, kita dapat membandingkan dengan
topeng-topeng yang terdapat dibeberapa daerah di Indonesia, yang menunjukan bahwa setiap
topeng yang memiliki karakter ketokohan terbagi menjadi dua bentuk penyajian, yaitu
Wayang Topeng atau Tari Topeng dan Topeng Dalang dengan ceritera beserta dialog. Namun
hingga sekarang ini yang berkembembang atau yang masih lestari hanya Tari Topeng saja,
sedang Topeng Dalang sudah bisa dikatakan hampir punah, karena sudah sangat jarang
dipergelarkan.
Di Kalimantan Selatan terdapat lima titik situs seni Topeng, yakni: (1) di Desa
Barikin, Kabupaten Hulu Sungai Tengah; (2) di Pantai Hambawang, Kabupaten Hulu Sungai
Tengah ; (3) di Rantau, Kabupaten Tapin; (4) di Kabupaten Barito Kuala dan (5) di daerah
Kampung Melayu, Sungai Mesa, Banjarmasin (sudah tidak aktif); dan (5) di Desa Banyiur
Luar, Banjarmasin. Pertunjukan topeng biasanya dilaksanakan dalam upacara
Manopeng/Manopeng, yakni upacara ritual pembersihan peralatan warisan seperti wayang,
tombak, keris, topeng dan sebagainya. Tujuan diadakannya pertunjukan tari Topeng adalah:
(1) untuk pemberian makan kepada roh-roh yang dipercaya terdapat pada topeng; (2) sebagai
ritual pengobatan penyakit gaib yang diderita juriyat panopengan; (3) berdo’a untuk
memohon keselamatan, terlepas dari bencana dan lain sebagainya. (Amka & Hartini, 1986:9)
Artikel ini difokuskan pada pengkajian karakteristik tari Topeng Banjar dalam
upacara Manopeng di Desa Banyiur Luar ini berada di kawasan kota Banjarmasin dan dapat
ditempuh dengan mudah. Selain itu eksistensinya hingga sampai sekarang masih terjaga di
tengah-tengah masyarakat perkotaan Banjarmasin, yang sudah mulai mengalami transisi
sebagai dampak globalisasi dan modernisasi tadi. Meskipun terjaga, namun pelaksanaannya
masih sering diadakan dengan alakadarnya atau seadanya. Hal ini disebabkan minimnya
perhatian dari pihak masyarakat Banjarmasin secara umum, penyelenggaraan hanya
mengandalkan sumbangan suka rela dari juriyat panopengan (para pelaku kegiatan
Manopeng) dan masyarakat sekitar Kelurahan Basirih, tempat dilaksanakannya kegiatan
upacara.
Lokasi situs yang merupakan daerah bandar, yakni daerah sungai besar, memberikan
pengaruh yang cukup besar untuk perkembangan Tari Topeng di Desa Banyiur Luar ini.
Mayoritas penduduk desa bermatapencaharian sebagai pekerja pelabuhan, karena desa dekat
dengan pelabuhan Trisakti Banjarmasin. Selain itu, menurut studi lapangan, konon daerah
tersebut merupakan pusat panjapinan pertama di Kalimantan Selatan, sehingga dalam
8
gerakan tari Topeng Banjar di Desa Banyiur Luar sudah terkontaminasi dengan gerakan-
gerakan japin. Namun sayangnya, komunitas japin ini sudah tidak ada lagi, dan hanya
meninggalkan jejak pada Tari Topeng Banjar yang terdapat dalam upacara Manopeng.
Meskipun dengan kondisi yang minim, penyelenggaraan Manopeng ini masih dapat hidup
hingga sekarang.
Karakterisasi topeng yang terdapat di Kalimantan Selatan ditinjau dengan
etnokoreologi yang merupakan multidisiplin berdasarkan sosial budaya setempat. Analisis
yang berkaitan dengan bentuk topeng adalah pendekatan ikonografi. Pendekatan ikonografis
dikokohkan oleh Alessandra Iyer dalam bukunya yang berjudul “Prambanan Sculpture and
Dance in Ancient Java: A Study in Iconography” yang data utamanya mempergunakan
bentuk ikonografis patung atau relief Candi Prambanan yang merekam berbagai bagian
karana tari India. Clare Holt, dalam bukunya “Malacak Jejak Perkembangan Seni di
Indonesia”, juga menggunakan istilah ikonografi untuk mengulas tentang berbagai
perwatakan tokoh-tokoh wayang kulit dari segi bentuk wajahnya (Narawati, 2003:76).
Selain itu juga, digunakan pendekatan fisiognomi untuk menganalisis dari garis-garis
alis, mata, mulut, kumis, serta bentuk hidung seperti yang diutarakan Richard Corson
(1975:13) dalam bukunya Stage Make Up. Fisiognomi (physiognomy) adalah ilmu yang
menghubungkan antara bentuk fisik dengan karakter dan sifat, seperti yang dikemukakannya
dalam pernyataan berikut: “The practice of relating physical appearance to character and
personality traits is defined by the dictionary as physiognomy”, “Praktek yang berkaitan
dengan penampilan fisik pada karakter dan kepribadian yang didefinisikan oleh kamus
fisiognomi”.
Analisis topeng pun juga ditentukan dari warna topeng tersebut. Setiap masyarakat
disuatu daerah pasti memiliki penafsiran tersendiri terhadap sebuah warna. Analisis warna
menggunakan pendekatan semiotik, yang merupakan ilmu yang berhubungan dengan sistem
tanda, lambang atau simbol dalam konteks kehidupan masyarakat yang memiliki sistem
kebudayaan tertentu. Ferdinand de Saussure (1916) dalam Hoed (2011:3), menerangkan
bahwa melihat tanda sebagai pertemuan antara bentuk (yang tercitra dalam kognisi
seseorang) dan makna (atau isi, yakni yang dipahami oleh manusia sebagai tanda). Warna
merupakan simbol dalam kehidupan, seperti dalam lalu lintas, lampu merah merupakan
tanda harus berhenti.
Beragam karakter Topeng Banjar berdasarkan tingkat fungsi dan perannya yang
terdapat di Kalimantan Selatan. Namun ada sekitar 20 topeng yang dimiliki para juriyat
9
panopengan di Desa Banyiur Luar, Banjarmasin. Namun dalam upacara Manopeng di sini
hanyalah berikut ini:
Topeng 7 Bidadari
Tari Topeng ini merupakan manifestasi dari mitologi 7 bidadari yang turun dari
kayangan ke bumi. Di dalam mitologi urang Banjar, para bidadari ini turun ke bumi untuk
menapungtawari yang berarti mendo’akan agar diberikan keselamatan oleh Tuhan Yang
Maha Esa. Sesuai dengan namanya, topeng ini terdapat 7 buah, yang semuanya perempuan,
dan tarian topeng ini juga ditarikan oleh 7 orang penari puteri. Tari Topeng ini bukan hanya
boleh ditarikan oleh para juriyat panopengan saja, tetapi juga boleh ditarikan oleh siapa saja
yang ingin menari dalam uparaca Manopeng tersebut.
Di dalam Ensiklopedi Musik dan Tari Daerah Kalimantan Selatan, (Soenarto dkk,
1977/1978:185) menerangkan mengenai Hikayat Lambung Mangkurat yang menuliskan
mengenai upacara Puja Bantan (memuja mendo’a), ketika Kapal Prabayaksa yang
ditumpangi Pangeran Suryanata (Pengeran dari Majapahit) bersama pasukannya kandas di
Pambatanan Lok Baintan, Sungai Martapura. Demi melepaskan kandasnya kapal Prabayaksa,
Pangeran Suryanata menceburkan diri ke sungai, dan bertarung dengan buaya-buaya yang
menghalau kapalnya. Para penumpang kapal mengadakan upacaran pemujaan kepada Tuhan
Yang Maha Kuasa, hingga turunlah para bidadari dari kayangan untuk menapungtawari
Pangeran Suryanata dan kapalnya agar selamat. Topeng 7 Bidadari ini tidak terdeteksi
namanya secara personal, sehingga peneliti menandai dengan huruf “a” sampai “g”. Semua
topeng rata-rata memiliki ciri-ciri warna, bentuk, dan garis yang hampir mirip. Ketujuh
topeng ini berwarna kuning tua atau kuning kunyit, warna ini merupakan warna khas etnis
Banjar yang menggambarkan kesakralan, seperti yang terdapat dalam mitologi urang Banjar
tentang 7 bidadari turun ke bumi untuk mendo’akan.
Topeng (a) memiliki bentuk wajah yang cenderung bulat menunjukan watak dan aktifitas
mental yang sangat kuat, dapat terlihat dari mata yang kecil namun berani menatap ke depan
dengan alis menggunung yang bersegi, serta memiliki hidung sedikit mancung ke atas. Dahi
sempit menunjukan sifat yang hangat, dan mulut tipis dengan sedikit tebuka memberikan
kesan senyuman hangat. Topeng (b) memiliki bentuk wajah dengan rahang sempit berdahi
lebar, cenderung agresif dan keras kepala, memutuskan sesuatu harus melihat hasilnya
secepat mungkin, dan siap bertempur sampai titik darah penghabisan demi tercapainya
kehendak. Hal tersebut juga diperkuat dengan bentuk alis menggunung yang bersegi, mata
terkesan acuh, hidung agak lebar, mulut besar dengan senyum lebar. Topeng (c) dengan
bentuk wajah berlian yang memiliki dahi sempit dan dagu lancip, menunjukan seseorang
10
yang memiliki sikap yang hangat, kemauan yang besar, pemberani, namun cenderung egois
dan ambisius. Sikap hangat terlihat dari alis yang cenderung lurus dan mulut yang agak kecil
dengan senyum sejuk. Keberanian telihat dari mata yang tegas dan benari menatap ke depan
dan hidung yang agak mancung ke atas. Topeng (d) juga berbentuk berlian dengan dagu
lancip, namun berdahi lebarmenunjukan sikap yang hangat dan siap bertempur sampai titik
darah penghabisan demi tercapainya kehendak. Kerendahan hati, pemalu tetapi kuat bisa
dilihat dari mata kecil yang menatap ke bawah dan alis yang cenderung rata namun bersegi,
hidung sedikit mancung ke bawah, mulut tipis dengan senyum yang menyejukan. Topeng (e)
memiliki bentuk wajah segitiga dengan dahi yang sempit, dagu lancipmenunjukan sosok yang
bersemangat tak kenal lelah dengan kemauan besar, ambisius, namun cenderung memikirkan
segala hal dengan seksama. Hal tersebut dipertegas dengan mata yang menatap tajam dengan
alis sedikit melengkung. Hidung sedikit lebar dan senyum yang tak luwes menunjukan
cenderung kurang ramah. Topeng (f) memiliki bentuk wajah oval dengan alis lurus
cenderung berperawakan baik. Dahi lebar menunjukan sosok yang cerdas. Mata kecil dengan
pandangan ke depan, menunjukan keramahan dan berani mengambil keputusan. Mulut tipis
dengan senyum yang manis, menunjukan keikhlasan. Topeng (g) agak mirip dengan topeng
(f) namun pandangan topeng ini cenderung ke bawah yang menunjukan tidak begitu berani
mengambil keputusan.
Berdasarkan analisis tersebut di atas, secara garis besar penggambaran sosok dengan
kecantikan dan kehalusan sosok bidadari yang diliputi dengan kemistisannya dengan simbol
warna kuning kunyitnya.
Topeng Panji
Panji merupakan tokoh ksatria yang sangat tampan, kakak Raden Gunung Sari yang juga
lemah lembut namun berwibawa. Berbeda halnya dengan dengan topeng Panji yang biasa
terdapat di Jawa yang berwarna putih, topeng Panji yang terdapat di Desa Banyiur Luar,
Banjarmasin ini berwarna biru kehijauan muda. Namun bentuk alis tipis, mata kecil melihat
ke bawah, terkesan menunduk, mulut tipis agak membuka yang mengesankan senyum yang
sejuk, hidung agak kecil dan sedikit mancung sama dengan yang terdapat di Jawa. Ornamen
kepala berbentuk gigi haruan yang mencerminkan ketajaman pemikiran atau cerdas Ciri-ciri
tersebut memberikan kesan watak ksatria halus.
Topeng Gunung Sari
11
Merupakan tokoh ksatria Raden Samba yang tampan, lemah lembut, namun ksatria
tangguh.Berdasarkan analisis yang ditinjau dari idientifikasi penamaaan, warna, garis, dan
bentuk Topeng Gunung Sari, yang terdapat didua situs di Kalimantan Selatan, yakni di Desa
Banyiur Luar dan di Desa Barikin, serta Topeng Rumyang yang terdapat di Jawa, memiliki
beberapa kemiripan. Raden Gunung Sari disebut juga Raden Samba, sama halnya dengan
Rumyang yang bernama lain Raden Samba juga.
Pada Topeng Gunung Sari di Desa Barikin memiliki rambut-rambut ikal di bagian atas
seperti topeng Rumyang yang terdapat di Jawa, tetapi Topeng di Banyiur Luar tidak ada.
Meskipun demikian, ciri bentuk wajah yang berlian dengan mata sama kecil dan terkesan
melihat ke bawah atau menunduk yang menunjukan kerendahan hati. Alis kecil dan
cenderung lurus, hidung mancung, bibir tipis dengan senyum kecil, menunjukan kelembutan
dan kehangatan sosok Gunung Sari yang sama halnya dengan sosok Panji.
Topeng Kelana
Topeng ini merupakan manifestasi tokoh Rahwana sebagai raja yang sakti, kaya raya,
gagah perkasa, namun congkak. Topeng kelana berwarna merah yang menyimbolkan
kegarangan dan kejahatan. Hal tersebut dikuatkan dengan mata yang besar, alisnya tidak
terlalu tebal, tapi lebih melengkung tinggi, mulutnya tersenyum lebar dengan terlihat gigi
bagian atas yang terkesan congkak. Hidung agak besar menunjukan kemampuan mencari
uang dan bentuk wajah yang oval adalah sosok pekerja keras, makadari itu tidak heran kalau
sosok Kelana seorang yang kaya raya. Hal tersebut juga tergambar dari ornamen kepala yang
cenderung mewah dengan warna emas dan berbentuk gigi haruan yang merefleksikan
ketajaman berfikir atau cerdas. Kumis yang dimiliki tergolong lebat yang menunjukan
kegagahan.
Topeng Patih
Merupakan tokoh yang mempunyai sifat yang arif dan bijaksana sebagai pendamping
raja, gagah dan berwibawa. Topeng Patih berwarna putih krem dengan mata besar, tetapi alis
kecil yang mencerminkan ketegasan, namun bijaksana. Hidung agak mancung, mulut
tesenyum lebar dengan kumis agak besar, tidak terlalu tipis dan tidak terlalu tebal.
Topeng Tumenggung
Merupakan tokoh topeng yang gagah berani dan selalu siap jika ada perintah raja, namun
gegabah sehingga dalam tugasnya sering mengalami kegagalan. Topeng Tumenggung Banjar
juga memiliki sedikit berbedaan dari warnanya dengan Topeng Tumenggung Jawa, dimana
Topeng Tumenggung Jawa berwarna merah tua atau merah muda, sedangkan Topeng
Tumanggung Banjar yang terdapat di Desa Banyiur Luar, Banjarmasin berwarna kuning
12
kecoklatan. Mata besar dan terbuka lebar dan hidung pendek menunjukan keberanian dan
pekerja keras. Namun dahi sempit menunjukan sering mendapat kesulitan dalam
menguraikan maksud dan tujuan, sehingga gegabah mengambil keputusan. Alis berbentuk
sedang dan melengkung, mulut tersenyum lebar hingga giginya tampak, kumis lebat sampai
ujung, menggambarkan keberanian dan kepercayaan diri. Tokoh ini termasuk tokoh pria
gagahan.
Topeng Lambang Sari
Tokoh topeng ini manifestasi tokoh Sekar Tajiyang cantik, lemah lembut, baik budi,
sopan santun, sehingga para ksatria pasti jatuh hati padanya. Topeng ini berwarna putih krem
atau warna kulit dengan bentuk wajah berlian, dahi sempit dan dagu lancip, memiliki sikap
yang hangat dan menandakan individu yang mudah bergaul, sangat penyabar, serta
mengambil keputusan sangat cepat dan tepat. Mata kecil dengan pandangan ke bawah, yang
memberikan kesan santun, alis kecil tapi tegas. Hidung mancung dan bibir tidak terlalu tebal
dan tidak terlalu tipis dengan tersenyum agak lebar yang memberi kesan keceriaan, namun
lemah lembut, serta menunjukan sifat kesetiaan dan loyalitas tinggi.
Topeng Tambam dan Pantul
Adalah tokoh jenaka dan merupakan tokoh “jembatan” untuk mengundang roh Sangkala,
sehingga tari topeng ini selalu ditampilkan sebelum tari Topeng Sangkala. Penampilan ini
pun bisa dibilang penampilan menuju klimak dari upacara Manopeng di Desa Banyiur Luar
tersebut. Kedua tokoh ini menggambarkan dua orang ksatria yang sedang bersuka cita dan
becanda gurau. Oleh karena itulah gerakan-gerakan yang digunakan cenderung jenaka. Dua
tokoh ini selalu tampil bersama, karena pada mulanya tari Topeng Pantul dan Tambam ini
sehubungan dengan adanya seorang dukun yang sedang mengobati seseorang yang sakit,
dimana dukun itu memerlukan perantara. Melalui perantara Pantul dan Tambam ini, dukun
berusaha mengobati orang yang sakit tersebut.
Topeng ini hanya menutupi setengah wajah, bagian mulut tidak tertutup, sehingga penari
bisa berdialog. Pada tarian ini kedua tokoh berdialog sambil menyantap sesajian yang telah
disediakan. Tarian ini ditampilkan sebelum tari Topeng Sangkala muncul, karena penari
Topeng Sangkala adalah salah satu dari penari tersebut yang nantinya dipercaya akan dirasuki
oleh roh Sangkala yang akan mengobati orang yang sakit dengan tapung tawar.
Kedua topeng ini sama-sama berwarna putih krem. Bentuk topeng Tambam lebih
panjang, sedang Pantul lebih bulat. Mata Tambam lebih panjang terlihat miring ke atas dan
alis juga miring ke atas, maka orang ini cenderung mengetahui apa yang dia inginkan,
dibanding Pantul yang bermata lebih kecil bulat dan beralis tebal yang menunjukan perilaku
13
cerdik dan intelektual. Alis Pantul lebih tebal dibanding Tambam. Hidung kedua tokoh ini
sama-sama besar, namun Tambam lebih panjang yang menunjukkan keterampilan
perencanaan dan strategi yang istimewa, sedang Pantul lebih pendek yang menunjukkan
bakat kerja keras. Mereka juga sama-sama terdapat kumis, namun kumis Tambam lebih tebal
dibanding Pantul, dan pada topeng Tambam terdapat satu gigi yang menambah kesan jenaka
pada tokoh ini.
Topeng Sangkala
Sangkala merupakan sosok Raja Jin yang merupakan manifestasi dari segala perbuatan
jahat yang sombong, angkara murka dan suka mengganggu. Sangkala juga sering disebut
Batara Kala atau Gajah Barung. Topeng berwarna merah yang menyimbolkan kekuatan,
keberanian sekaligus kejahatan. Hal tersebut juga diperkuat dengan hidung besar, mulut
terbuka lebar dengan gigi terlihat semua dan terdapat dua taring di ujung kiri dan kanan atas.
Wajah berbentuk bulat dengan mata besar membelalak dan alis melengkung, menunjukan
watak, aktivitas mental yang sangat kuat, wajah ini pada umumnya cerdas, panjang umur, dan
umumnya juga dimiliki oleh para raja atau kaisar. Maka dari itulah sosok ini raja para jin
yang ditakuti. Pada topeng ini terdapat kumis tebal dan jenggot yang menambah kegarangan
sosok raja jin.
Tari Topeng Sangkala inilah yang menjadi tari topeng yang utama dalam upacara
Manopeng di Desa Banyiur Luar, Banjarmasin, sehingga tari Topeng Sangkala biasanya
terdapat diakhir upacara, atau merupakan klimaks dari upacara tersebut. Roh Sangkala
dipercaya merasuki salah satu penari Topeng Pantul atau Tambam yang sebelumnya tampil
dengan berdialog dan menyantap sesajian yang telah disediakan untuk mereka. Namun tidak
menutup kemungkinan juga dari penonton yang ada di sekitar tempat penyelenggaraan
upacara. Sosok Sangkala ini yang dipercaya masyarakat dapat mengobati orang yang sakit
non medis atau penyakit gaib, serta dipercaya menjaga juriyat panopengan dan masyarakat
desa dari makhluk-makhluk gaib, karena Sangkala ini adalah Raja dari para jin. Setelah
beberapa saat penari topeng menari, kemudian penari menapungtawari orang yang sakit atau
para juriyat dan masyarakat yang ikut menonton penyelenggaraan upacara (Soenarto,
1977/1978; Narawati, 2003; Maman, 2011).
Tari Topeng Banjar bersumber dari wayang kulit dan wayang orang (Wayang Gung),
yang masih hidup sampai sekarang.Walaupun menggunakan bentuk gerak dan pakem ceritera
yang berbeda, dimana tari topeng dengan pakem ceritera Panji dan wayang gung dengan
pekem ceritera Ramayana (Maman, 2012:14-15). Namun sama-sama memiliki gerak khas
14
dengan esensi nilai kearifan lokal urang Banjar. Kalau tari topeng mengkomunikasikan pesan
dengan simbolisasi gerak, berbeda halnya dengan Wayang Gung yang mengkomunikasikan
pesan melalui gerak dan dialog dengan bahasa Banjar, yang terdiri dari kosa kata bahasa
Dayak dan Melayu lama, serta beberapa kosa kata bahasa Kawi (Maman, 2012:62).
Berbeda halnya dengan tari topeng yang ada di Jawa yang sudah menjadi tari bentuk
yang terstruktur. Tari Topeng Banjar Kalimantan Selatan yang terdapat di Desa Banyiur luar
ini bersifat spontanitas, tidak baku dalam tari bentuk. Meskipun begitu, terdapat beberapa
gerak khas yang selalu muncul disetiap tari Topeng Banjar.Pembedanya hanya disesuaikan
dengan karakter topeng yang dibawakan, sehingga berdampak pada volume gerak, bentuk
gerak dan sikap pembawaan. Gerak khas tersebut diklasifikasikan berdasarkan kategorisasi
gerak. Hawkins dan Soedarsono dalam Narawati (2003:118) ada tiga kategori gerak yang
selalu dipergunakan dalam sebuah komposisi tari, yakni gerak berpindah tempat (locomotion
movement), gerak murni (pure movement), dan gerak maknawi (gesture movement).
Ada 7 gerak khas berdasarkan kategori gerak dalam tari Topeng Banjar Kalimantan
Selatan dengan pendekatan etnokoreologi tersebut adalah:
Locomotion movement (gerak berpindah tempat)
Kijik
Berupa gerak menghentak-hentakkan ujung kaki atau tapak kaki. Gerak ini adalah simbol
himung (kegembiraan atau kebanggaan). Ada dua jenis kijik, yaitu: bajingkit dengan
menghentakan sebelah ujung kaki dan posisi kaki yang dihentakkan di belakang kaki satunya;
dan badapak dengan menghentakan sebelah telapak kaki dan posisi kaki yang dihentakkan di
samping kaki satunya.
Gerak Kijik terdapat pada hampir setiap tari-tari klasik, termasuk tari Topeng Banjar.
Gerak Kijik Bajingkit biasanya digunakan pada tari-tari topeng karaktertokoh
perempuan,sedangkan gerak Kijik Badapak untuk tari-tari topeng dengan karakter tokoh laki-
laki.
Lagoreh
Gerak ini merupakan gerakan jalan dalam tari Banjar klasik.Gerak lagoreh memiliki
fungsi sebagai pembuka dan penutup dalam struktur tari. Gerak ini merupakan manifestasi
dari adap, tata krama bersikap yang penuh dengan etika. Berawal dari konsep dualitas yang
menciptakan kesempurnaan, dimana di dunia ini saling berpasang-pasangan. Pada gerak
lagoreh ini mencerminkan kesempurnaan manusia yang memiliki kedua tangan dan kedua
kaki. Kanan dan kiri bergerak berpasangan dan bergantian, yang menciptakan keharmonisan.
15
Kaki kanan melangkah ke depan sambil tangan kiri bergerak ke depan dada dengan
telapak tangan ke arah kanan, jari-jari ke atas dan tangan kanan bergerak lurus ke samping
kanan bawah dengan telapak tangan ke arah kanan, jari-jari ke atas. Setiap perpindahan gerak
langkah kaki, tangan diukal (diputar ke dalam). Kaki kiri melangkah ke depan sambil tangan
kanan bergerak ke depan dada dengan telapak tangan ke arah kiri, jari-jari ke atas dan tangan
kiri bergerak lurus ke samping kiri serong bawah dengan telapak tangan ke arah kiri, jari-jari
ke atas. Begitu seterusnya bergerak hingga sampai ke posisi.
Melangkah dengan kaki kanan terlebih dahulu adalah mencerminkan setiap ingin
melakukan sesuatu harus dimulai dengan yang sebelah kanan dan membaca do’a, dimana
kanan perlambang kebaikan. Apabila memulai dengan hal yang baik, akan memetik hasil
yang baik pula dengan ridho Tuhan Yang Maha Kuasa.
Pure movement (gerak murni)
Lu’lu
Gerak Lu’lu juga biasa disebut gulak gulu (menggerakan dengan tumpuan leher). Gerak
ini membentuk angka delapan horizontal dalam lingkaran tipis dengan dagu. Berdasarkan
wawancara, gerak ini merupakan simbolisasi proses berfikir atau berbicara dengan mata hati.
Lu’lu juga sebagai simbol perenungan. Lu’lu ada dua jenis, yaitu Lu’lu melihat ke dua arah
(kanan-kiri) dan Lu’lu melihat ke tiga arah (kanan-tengah-kiri-tengah).
Gerakan Tumpang Daun
Adalah gerakan kedua telapak tangan saling menutup berhadapan vertikal, dengan arah
yang berlawanan. Gerak ini merupakanmanifestasi dari dualisme alam semesta. Di dalam
buku Wayang Gung Kalimantan Selatan, Maman (2012:82) menjelaskan mengenai filosofi
dualistis dalam dialog narasi yang mengatakan.
Alalia pun apa karsani, jadi sekarang tukang dalang manjalasakan bahwasanya
alam semesta ini diciptakan oleh Sang Hyang Sukmawaswara dalam timbangan
pindu pin pindu dua pin dua, apa artinya pindu pin pindu dua pin dua, artinya
Sang Hyang Sukmaswara ma-ada-akan serba dua,mulai bumi lawan langit,
siang lawan malam, bulan lawan matahari,binatang lawan kayu-kayuan, tunggul
lawan batang, kijang lawan menjangan, sapi kalih banteng, bini-bini lawan laki-
laki, diwantanakan lagi jagat alam pewayangan mulai kulon lawan wetan,
jumbina lawan mandakara, nagara Pancawati kalih nagara Alengka Diraja’.
Makna yang terkandung dalam dialog narasi itu mengatakan bahwa Tuhan menciptakan
alam dan seluruh isinya dalam timbangan yang selaras, seimbang, dan sangat adil, serta
bijaksana.
16
Gesture movement (gerak maknawi)
Jumanang
Merupakan posisi awal penari. Posisi ini ada yang berdiri dan ada yang duduk. Bentuk
Jumanang ini pun tergantung karakter tokoh yang dibawakan. Jumanang merupakan simbol
kehidupan bahwa “dia” adalah hidup. Pada posisi berdiri posisi kaki V (viktor), walau
berjalan tetap posisi kaki seperti itu. Artinya adalah kemenangan, dimana manusia
“menguasai” alam, bukan alam yang “menguasai” manusia. Arti manusia dapat
memanfaatkan alam dengan baik, bukan manusia yang tidak bisa memanfaatkan alam dengan
baik.
Posisi Jumanang berdiri manifestasi kehidupan dalam pergerakan yang luas atau lebih
bebas, sedangkan Jumanang dalam posisi duduk berarti kehidupan dengan pergerakan yang
terbatas. Posisi ini juga berarti bersiap atau bersiaga. Berikut ini bentuk Jumanang
berdasarkan karakter dan posisinya:
Posisi berdiri pria halus. Karakter ini terdapat pada tokoh Panji dan Gunung Sari.
Jumanang ini dengan posisi kaki kanan di tengah, atau di lekukan kaki kiri dengan posisi
kaki kanan diagonal 45o, lutut ditekuk ¼ atau 25% dari posisi tegak, dan jarak kedua kaki
satu tapak.
Posisi berdiri laki-laki gagahan. Karakter ini terdapat pada tokoh Patih, Tumenggung,
Kelana dan Sangkala. Jumanang ini posisinya sama dengan pria halus, dengan posisi kaki
kanan di tengah, atau di lekukan kaki kiri dengan posisi kaki kanan diagonal 45o, dan lutut
ditekuk ¼ atau 25% dari posisi tegak. Namun jarak kedua kaki sekitar dua tapak.
Posisi berdiri perempuan halus. Karakter ini terdapat pada tokoh Lambang Sari dan 7
Bidadari. Jumanang ini juga digunakan pada tari-tari klasik Banjar perempuan lainnya Posisi
kaki. Jumanang perempuan halus ini sama dengan posisi Jumanang berdiri yang lain, yakni
posisi kaki kanan di tengah, atau di lekukan kaki kiri dengan posisi kaki kanan diagonal 45o,
dan lutut ditekuk ¼ atau 25% dari posisi tegak, namun posisi kedua kaki rapat.
Posisi berdiri perempuan gagahan. Posisi Jumanang ini sama dengan posisi Jumanang
laki-laki halus. Jumanang ini biasanya digunakan oleh penari perempuan untuk menarikan
dengan tokoh laki-laki halus seperti Panji dan Gunung Sari.
Posisi duduk pria halus. Tumpuan lutut kiri di lantai, kaki kanan di posisi dengan jarak satu
tapak di tengah tungkai, telapak kaki hadap depan. Jumanang ini biasanya digunakan oleh
tokoh-tokoh halus, seperti Panji dan Gunung Sari.
17
Posisi duduk laki-laki gagahan. Tumpuan lutut kiri di lantai, kaki kanan di posisi dengan
jarak dua tapak di tengah tungkai, telapak kaki hadap depan. Jumanang ini digunakan oleh
tokoh-tokoh gagah, seperti Tumanggung, Kelana, Sangkala.
Posisi duduk perempuan halus. Ada dua jenis Jumanang duduk wanita halus,
yakni:dungkul (kedua lutut dilantai dan rapat) dan lutut kaki kanan di angkat tidak menyentuh
lantai. Jumanang pada tari Topeng Banjar digunakan pada tari Topeng 7 Bidadari.
Posisi duduk perempuan gagahan. Posisi kaki rapat, kaki kanan ke arah depan vertikal.
Posisi jumanang duduk perempuan gagahan ini sama seperti Jumanang duduk laki-laki halus,
yakni digunakan untuk karakter-karakter tokoh ksatria perempuan atau penari perempuan
yang menarikan tokoh laki-laki halus, seperti Panji dan Gunung Sari.
Sembah
Merupakan manifestasi do’a, permohonan, dan penghormatan. Posisi gerak Sembah
adalah kedua telapak tangan dipertemukan di depan dada atau di depan matahagi, kedua
lengan berbentuk V (viktor). Gerak ini selalu ada disetiap tari klasik Banjar, dan tak
terkecuali tari Topeng Banjar.Gerak ini merupakan refleksi dari tanda penghormatan, baik
kepada Tuhan, alam semesta maupun kepada sesama manusia. Makna posisi ini tersirat
dalam tutur Lamut berbentuk narasi bersajak yang tersebut dalam untaian syair.
“...sapuluh jari batangkup, sebelas lawan tangan, duabelas lawan matahagi, satu
pang tali, duwa pang lalaran, katiga tungkat, ampat pang ukuran, kalima jarum,
anam kulindan, tujuh kompa, dalapan padoman, kasambilan tiori politik nang
kasapuluh lawan aturan...”(Maman, 2011).
(Artinya)”.....jari bertangkup, sebelas dengan tangan, duabelas dengan matahagi,
satu adalah tali dua adalah menjalar, ketiga tongkat empat adalah ukuran, kelima
jarum enam kulindan, tujuh kompas delapan pedoman, kesembilan teori politik
yang kesepuluh dengan aturan....”
Berdasarkan wawancara mendalam yang dilakukan, maka diperoleh informasi mengenai
maksa dari sajak dalam syair tersebut di atas. Sepuluh jari dan tangan tadi membentuk
piramid, yang berarti kehidupan menuju pada Yang Maha Agung. Urang Banjar pun
melakukan sesuatu tetap ada batasan, dan batasan tersebut adalah aturan yang dibuat oleh
Tuhan untuk mendapatkan keselamatan di dunia dan di akhirat.
Sisilau
Gerak ini merupakan gerakan yang menggambarkan sedang melihat sesuatu. Gerakan
Sisilau,dalam posisi Jumanang dengan meletakan salah satu tangan dibagian atas mata
dengan jarak sejengkal. Sisilau dengan asal silau (dalam kata sifat) dan melihat (dalam kata
18
kerja). Filosofi dari gerak ini adalah menentukan tujuan yang akan dicapai atau menentukan
kemana arah yang akan dituju. Gerakan sisilau ada dua, yaitu bermakna melihat sesuatu yang
berjarak dekat, dan melihat sesuatu yag berjarak dekat. Untuk gerak Sisilau tidak digunakan
pada setiap tari klasik, hanya tari-tari tertentu saja seperti tari Topeng dan Wayang Gung.
Hal unik dari tari Topeng Banjar yang ada di Desa Banyiur Luar ini adalah terjadirnya
pergerseran di sana yang mempengaruhi dan menjadi kekhasannya, dimana menurut
informasi yang didapat dari berbagai sumber, konon di Desa Banyiur Luar pernah hidup dan
berkembang komunitas panjapinan pertama di Banjarmasin. Japin adalah tari pesisir Banjar,
atau di daerah Sumatera disebut dengan Zapin. Hal tersebut sedikit banyaknya telah
mempengaruhi tari topeng yang berkembang di sana, sehingga untuk tari topeng dengan
karakter perempuan menggunakan gerakan dan iringan musik japin, seperti tari Topeng 7
Bidadari. Gerakan japin Banjar yang menjadi gerak khas ditarian ini adalah step 4.
Step 4 merupakan stilisasi dari cara berjalan manusia sebagaimana berjalan dengan 4
hitungan dalam tempo 4/4. Pergerakan tangan, badan dan kepala mengikuti alunan irama
langkah pada gerak step 4 tersebut. Step 4 biasanya dimulai dengan kaki kanan, yang
menggambarkan bahwa segala sesuatu yang dimulai dengan sebelah kanan merupakan hal
yang diniatkan baik dan menjadikan sesuatu yang baik pula.
Step 4 termasuk locomotion movement (gerak berpindah) dan stilisasi cara berjalan
manusia, dimana apabila kaki kanan melangkah, tangan kiri membarengi sesuai anatomi
tubuh manusia. Pergerakan tersebut adalah pergerakan makhluk paling sempurna di muka
bumi. Di dalam filsafat hidup orang Indonesia, segala sesuai di jagat raya ini diciptakan
berpasang-pasangan, sama halnya dengan tubuh manusia. Pasangan ini lah yang menciptakan
harmonisasi kehidupan. Adapun deskripsi geraknya sebagai berikut:
Posisi badan berdiri tegap ke depan. Pada hitungan 8 (dalam instruksi 5,6,7,8) angkat
kaki kanan ke depan dengan menekuk paha, kurang lebih sejengkal dari lantai. Pergelangan
tangan kanan dikepal, letakkan tangan kanan lurus sejajar paha kanan dengan jempol tangan
mengarah ke lutut. Tangan kiri di samping kanan pinggang dengan pergelangan tangan kiri
juga dikepal dan jempol mengarah ke pinggang. Pada hitungan 1, kaki kanan melangkah
dengan dibarengi ayunan tangan kiri ke depan (dengan posisi pergelangan tangan masih
dikepal). Pada hitungan 2, kaki kiri melangkah dengan dibarengi ayunan tangan kanan ke
depan. Pada hitungan 3, kaki kanan jalan di tempat dibarengi ayunan tangan kiri ke depan.
Kebalikan dari awal. Pada hitungan 4, kaki kiri diangkat ke depan dengan menekuk paha,
kurang lebih sejengkal dari lantai. Pergelangan tangan kiri dikepal, letakkan tangan kanan
lurus sejajar paha kiri dengan jempol tangan mengarah ke lutut. Tangan kanan di samping
19
kiri pinggang dengan pergelangan tangan kiri juga dikepal dan jempol mengarah ke
pinggang. Pada hitungan 5, kaki kiri melangkah dengan dibarengi ayunan tangan kanan ke
depan (dengan posisi pergelangan tangan masih dikepal). Pada hitungan 6, kaki kanan
melangkah dengan dibarengi ayunan tangan kiri ke depan. Pada hitungan 7, kaki kiri jalan di
tempat dibarengi ayunan tangan kanan ke depan. Pada hitungan 8, kembali kaki kanan
diangkat ke depan dengan menekuk paha, kurang lebih sejengkal dari lantai. Pergelangan
tangan kanan dikepal, letakkan tangan kanan lurus sejajar paha kanan dengan jempol tangan
mengarah ke lutut. Tangan kiri di samping kanan pinggang dengan pergelangan tangan kiri
juga dikepal dan jempol mengarah ke pinggang dan begitu seterusnya.
Tarian-tarian topeng yang dibawakan di Desa Banyiur Luar ini bersifat spontanitas,
bahkan ada tarian yang bergerak di bawah alam sadar penari, karena dirasuki oleh roh halus,
seperti Tari Topeng Sangkala dan juga yang lain. Namun tanpa disadari tercipta sebuah
desain atau pola yang terbentuk dari pergerakan penari. Penggunaan garis lantai terlihat
sangat sederhana dan simetris. Garis-garis lantai yang diciptakan dari pergerakan maju,
mundur, bergaser ke kiri, bergeser ke kanan, berputar, jalan melingkar, dan sebagainya
menurut keinginan yang diungkapkan penari. Pola yang sering dibuat oleh penari adalah
bentuk tanda tambah (+), yang terjadi dari proses perpindahan maju, mundur, ke kiri dan ke
kanan oleh penari. Hal ini dapat diketahui suatu simbol yang sangat kuno dan tua sekali
dalam peradaban manusia, yang mengandung makna empat penjuru mata angin yang dalam
bahasa setempat disebut dengan masyrik, maghrib, paksina dan daksina, yang berarti arah
yang menunjukan Timur, Barat, Utara, dan Selatan. Kemudian juga bentuk lingkaran, yang
terjadi pada saat penari berjalan mengelilingi panggung, yang mengandung makna dalam,
yakni adanya alam semesta ini pada tatanan satu dengan yang lain saling bergantungan, dan
perlambang satu kesatuan yang utuh, meskipun terjadi beragam sistem yang ada di alam
semesta ini.
Kostum yang digunakan penari laki-laki adalah baju kuning lengan panjang berwarna
kuning hijau, dimana kuning merupakan warna keramat bagi masyarakat Banjar. Ada pula
laung (tutup kepala) yang juga berwarna kuning dengan runtaian bunga melati yang
disematkan di kiri dan kanan sisi depan laung. Selain itu juga selendang berwarna hijau yang
menyimbolkan kesuburan.
Adapun kostum yang digunakan oleh penari perempuan tidak banyak perbedaan
dengan kostum penari laki-laki, yang membedakan hanya menggunakan baju kurung sisit
berwarna kuning pula dan tapih bahalai.
20
Musik iringan yang digunakan dalam tari Topeng Banjar adalah Gamelan Banjar.
Gamelan Banjar terdiri dari dua tipe, yaitu tipe keraton yang terbuat dari perunggu, dan tipe
rakyat yang terbuat dari besi baja. Gamelan yang berkembang sampai sekarang adalah
gamelan tipe rakyat, sedangkan gamelan kraton sudah hampir punah, karena mendapatkannya
cukup sulit, dimana harus didatangkan langsung dari Jawa, dan harganya pun cukup mahal.
Adapun perangkat gamelan Banjar, antara lain: Sarun (saron), Sarantam (sarentem), Dawu
(bonang), Kanung (kenong), Babun (gendang), Agung halus (gong kecil), Agung ganal (gong
besar) dan Kangsi.
Melodi yang dimainkan menggunakan tangga nada salendro Banjar. Penabuh yang
memainkan gamelan Banjar ini terdiri dari 9 sampai 10 orang. Musik iringan yang digunakan
pada setiap tari topeng itu berbeda-beda sesuai karakter topeng yang dibawakan. Namun
secara garis besar dapat diklasifikasikan dalam sub-sub lagu Ayakan, Mirung, Pangkur,
Jangklung, Jajaka, Liung, Peperangan Lima, dan lain-lain.
Selain itu, menurut informasi yang didapat dari berbagai sumber, konon di Desa
Banyiur Luar pernah hidup dan berkembang komunitas panjapinan pertama di Banjarmasin.
Japin adalah tari pesisir Banjar. Hal tersebut sedikit banyaknya telah mempengaruhi tari
topeng yang berkembang di sana, sehingga untuk tari topeng dengan karakter perempuan
menggunakan gerakan dan iringan musik japin, seperti tari Topeng 7 Bidadari. Fenomena ini
menjadikan penambahan dan pengurangan perangkat musik, yakni: 1 buah babun, 1 buah
agung, 1 buah piul (biola), 1 buah tarbang (rebana besar), 1 buah kangsi.
Kelengkapan yang digunakan dalam pergelaran tari Topeng Banjar dalam upacara
Manopeng di Desa Banyiur Luar, Banjarmasin ini cukup banyak, selain topeng-topeng yang
akan dipergelarkan. Membuat sesajian pun juga ada aturannya, yaitu yang boleh membuat
sesajian ini adalah wanita yang masih suci atau tidak dalam keadaan kotor (seperti halnya
menstruasi) dan sesajian ini sering dikerjakan oleh kaum wanita saja yang rata-rata sudah
berumur atau tua, karena upacara ini bersifat sakral maka dari itu semuanya harus bersih
termasuk orang yang membuat perlengkapan dan sesajian dalam upacara topeng ini.
Pembagian sesajian ke dalam beberapa nyiru tersebut disesuaikan dengan tingkatan
tinggi rendahnya kedudukan roh-roh halus. Tingkat-tingkat menyajikan sesajian itu
disesuaikan dengan tingkatan-tingkatan tersebut yang dikenal dengan istilah “Naik”, yang
berarti jumlah yang harus disajikan per-item-nya, seperti:naik 9 untuk Sangkala; naik 7 untuk
Tumenggung; naik 5 untuk Panji; naik 3 untuk Pantul dan Tambam.
Sebelum memulai acara tidak lupa juga bagi warga juriyat panopengan untuk
menyediakan piduduk supaya bagi yang terlibat terhindar dari gangguan yang bersifat jahat,
21
sehingga tidak menimbulkan bahaya. Menurut kepercayaan roh-roh halus yang datang pada
saat pelaksanaan bukan hanya yang diundang oleh tokoh panopengan saja, namun banyak
roh-roh halus lain yang tidak diundang pun yang datang dengan berbagai macam sosok, ada
yang baik dan yang jahat. Oleh karena itulah disediakan piduduk agar yang jahat tidak
mengganggu pelaksaan upacara maupun penonton yang ada disana.
Parapen merupakan tempat membakar kemeyan dan dupa. Fungsinya untuk
memanggil roh-roh halus untuk datang selain dengan do’a-do’a yang dibacakan oleh juru
kunci panopengan, sebab roh-roh halus menyukai aroma wewangian dari dupa dan kemenyan
tersebut.
Tapung tawar merupakan sesuatu untuk menghilangkan atau menghindarkan dari hal-
hal yang tidak baik pada diri seseorang atau benda atau sesuatu yang dianggap tidak baik.
Tapung tawar berupa campuran banyu (air) kembang, kemeyan, baras kuning (beras yang
dicampur dengan parutan kunyit), minyak likat baboreh (sejenis minyak kental dari bunga-
bungaan yang dimasak dengan lilin dan minyak wangi). Ada pula daun pucuk nyiur (kelapa)
dibentuk dan diikat yang digunakan untuk mamapai (memercikan) air tapung tawar tadi.
Selain itu ada perapen didalamnya berisi harang (arang) yang telah dibakar, kemudian
ditaburi dupa dan ditambahkan kemenyan.
Topeng-topeng, wayang, sesajen empat puluh satu macam, piduduk dan penari
ditapungtawari dan diasapi dengan parapen sebelum acara pertunjukan tari topeng di mulai.
Tapung tawar juga merupakan properti penari Topeng Sangkala saat mengobati juriyat
panopengan yang sakit atau untuk menapungtawari orang yang ingin dijauhkan dari bala dan
menapunggtawari air kembang yang direbutkan masyarakat sekitar saat akhir acara.
Di samping topeng di atas terdapat pula beberapa benda pusaka, seperti keris tiga
buah dan tombak, wayang, kambang barenteng, mayang ma’urai, janur yang dianyam yang
menjadi kelengkapan upacara ini. Semua benda pusaka ini pada waktu pelaksanaan upacara
sudah dibersihkan dan diletakan bersama sesaji yang dikelilingi empat sudut tombak pusaka
peninggalan tersebut.
Upacara Manopeng di Desa Banyur Luar ini dilaksanakan setiap tahun sekali,
tepatnya setiap bulan Muharram/setelahnya atau saat turun bulan, karena pada bulan itu
merupakan habis katam (setelah panen padi). Tanggal pelaksanaan tidak ditentukan, namun
pada umumnya upacara selalu dilaksanakan setiap malam senin (minggu malam). Konon
menurut wawancara hal itu merupakan permintaan dari roh halus diwaktu dulunya.
Kemudian mengapa diadakan pada malam hari, sebab menurut kepercayaan bahwa malam
hari tersebut bersifat dinginan (dingin).
22
Ada beberapa tahapan dalam pelaksanaan upacara ini. Diawali dengan malabuh dan
mawajik oleh 5 orang dari juriyat panopengan pada hari Jum’at. Malabuh adalah ritual
melabuhkan sesajian ke sungai dimana daerah sekitar mereka berhuni, yakni aliran sungai
Martapura. Ini bertujuan untuk memberi makan kepada makhluk halus yang ada di sungai
agar tidak mengganggu juriyat dan kampung mereka berhuni. Ritual ini dilaksanakan pada
pagi hari setelah subuh sehari sebelum upacara ritual Manopeng. Setelah malabuh, 5 orang
tadi akan memakan wajik (makanan tradisional dari beras ketan, santan dan gula merah)
secara bersama-sama dan harus habis pada saat itu juga.
Pada hari Sabtu pagi dilakukan persiapan-persiapan seperti membuat anyaman-
anyaman janur, membangun panggung dan lain sebagainya. Pada Minggu pagi dilakukan
pembersihan topeng. Siang hari hingga sore dilaksanakan pembuatan wadai-wadai 41 macam
untuk sesajian dan penyusunan kelengkapan upacara di atas panggung.Sore harinya setelah
shalat Ashar dimulai pengasapan topeng, wayang dan pusaka-pusaka dengan diiringi musik
gamelan Banjar. Konon prosesi ini merupakan prosesi awal pemanggilan roh-roh juriyat
untuk datang ke tempat upacara. Ketika masuk waktu maghrib, semua kegiatan dihentikan
dan disambung lagi setelah shalat Isya. Dimulai dari tari topeng 7 bidadari hingga terakhir
tari Tambam dan Pantul untuk menuju tari Topeng Sangkala.
Pada hari Senin, tepatnya setelah shalat Subuh dilaksanakan upacara terakhir, yakni
mambulikakan. Upacara ini dilakukan untuk mengantar kembali para roh yang telah diundang
untuk kembali ke alamnya masing-masing. Upacara ini tidak lagi diiringi gamelan Banjar,
namun diiringi alat musik tarbang (terbang) dan piul (biola) sembari juru kunci membaca
do’a-do’a. Setelah itu semua yang ada di panggung berdo’a bersama dan memakan sesajian
yang disediakan. Berharap kegiatan yang dilakukan ini akan menjaga kedamaian semesta dan
selalu mendapat perlindungan dari Tuhan Yang Maha Esa.
Upacara Manopeng dulunya sangat tertutup, dimana hanya diadakan oleh juriyat
panopengan saja di dalam rumah keluarga besar H. Andin Ujang (Alm) di Kampung Banyiur
Luar No.63 RT.10 (yang sekarang RT.12), Kelurahan Basirih, Kecamatan Banjar Selatan
(yang sekarang Banjarmasin Barat), Kota Banjarmasin. Hal itu dikarenakan kesakralan
upacara tersebut. Namun seiring perjalanan waktu, anak cucu semakin bertambah dan
keadaan rumah pun tidak memungkinkan untuk ditinggali lagi karena sudah tua, maka
disepakati untuk mengadakan upacara di luar. Rumah yang rusak itu dirobohkan dan dibuat
panggung untuk melaksanakan pergelaran tari Topeng dalam upacara Manopeng.
23
PENUTUP
Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat ditarik kesimpulan bahwasanya tari Topeng
Banjar merupakan kesenian asimilasi budaya yang ada di Kalimantan Selatan, yakni budaya
animisme dari suku Dayak, budaya Hinduisme dan Budhaisme dari masuknya kerajaan-
kerajaan dari daerah Jawa dan Sriwijaya, serta budaya Islam dari suku Melayu dan pedagang-
pedagang Arab yang melahirkan suku Banjar seperti sekarang ini.
Tari Topeng Banjar yang merupakan bagian dari upacara ritual masyarakat
panopengan Desa Banyiur Luar yang dilaksanakan setiap satu tahun sekali yang sudah
dilaksanakan secara turun-temurun selama bertahun-tahun pada bulan Muharram dan selalu
dilaksanakan pada minggu malam.Tujuan dari upacara ritual ini adalah memberi makan pada
roh-roh halus, terutama Sangkala yang bisa membuat bala kepada para juriyat panopengan.
Pada ritual ini dilaksanakan pelabuhan sesajian ke sungai, membersihkan dan mengasap
topeng, wayang serta pusaka dengan parapen, yang kemudian dipertunjukan tari-tari topeng
yang ada. Dari topeng 7 Bidadari, topeng Panji, topeng Patih, topeng Tumenggung, topeng
Lambang Sari, topeng Pantul dan Tambam hingga topeng Sangkala yang dipercaya dapat
memberikan keselamatan dan menyembuhkan penyakit non medis. Upacara Manopeng ini
diakhiri dengan perebutan air yang ada di dalam tajau oleh masyarakat sekitar dan
pengembalian roh-roh yang telah diundang subuh hari besoknya serta membaca do’a selamat
bersama-sama hingga memakan bersama sesajian yang telah disediakan.
Tari Topeng Banjar yang ada di Desa Banyiur Luar ini memiliki keunikan, dimana
tari topeng yang merupakan tari klasik Banjar yang notabenenya merupakan peninggalan
keraton Banjar berakulturasi dengan budaya Melayu, sehingga melahirkan beberapa tari
topeng yang menggunakan gerak khas japin. Memang tidak semua, hanya tari topeng dengan
karakter perempuan seperti tari tari Topeng 7 Bidadari. Maka iringannya pun tidak
menggunakan gamelan Banjar, tetapi menggunakan tarbang (terbang) dan piul (biola)
dengan irama japin 4/4. Adapun gerak khas lain yang selalu muncul dalam setiap tari topeng
Banjar, seperti kijik, lagoreh, lu’lu, tumpang daun, jumanang, sembah, sisilau dengan iringan
musik utama gamelan Banjar.
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, A. Chaedar. (2002). Pokoknya Kualitatif. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.
Corson, Richard. (1975). Stage Make Up. [edisi kelima]. Englewood Cliffs, New Jersey:
Prientice-Hall
24
Disporabudpar. (2009). Sekilas Tentang Seni Tradisi Kalimantan Selatan. Banjarmasin:
Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata bekerja sama dengan UPTD
Taman Budaya Prop. KalSel.
Fitriana, Yola dkk. (2018). Bentuk Penyajian Tari Ratib Saman dalam Tepung Tawar di Dusun
Sebadi Kabupaten Sambas. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Khatulistiwa. Vol. 7, No.
11, November, 2018 (hlm. 1-9).
http://jurnal.untan.ac.id/index.php/jpdpb/article/view/29832/75676579294
Hendra, Doni Febri. (2018). Tari Inla Membangkit Nilai Spiritualitas Manusia dengan
Pendekatan Etnokoreologi. Jurnal Pendidikan dan Kajian Seni. ISSN Online: 2528-
2387, Vol. 3, No. 2, (hlm. 149-165).
http://jurnal.untirta.ac.id/index.php/JPKS/article/view/4578
Hoed, B. H. (2011). Semiotik & Dinamika Sosial Budaya. [Edisi kedua]. Depok: Komunitas
Bambu.
Ideham, M. S. dkk. (2005). Urang Banjar Dan Kebudayaannya. Banjarmasin: Badan
Penelitian dan Pengembangan Daerah Propinsi Kalimantan Selatan dan Pustaka
Banua.
Maman, M. (2012). Topeng Banjar. Banjaramasin: UPT Taman Budaya KalSel,
Disporabudpar Prop. KalSel bekerjasama dengan Pustaka Banua.
Maman, M. (2011). Lamut. Banjarbaru: Skripta Cendikia.
________. (2012). Topeng Banjar. Banjaramasin: UPT Taman Budaya KalSel,
Disporabudpar Prop. KalSel bekerjasama dengan Pustaka Banua.
________. (2012). Wayang Gung Kalimantan Selatan. Banjarmasin: UPT Taman Budaya
KalSel, Disporabudpar Prop. KalSel bekerjasama dengan Pustaka Banua.
Masunah, Juju dan Tati Narawati. (2012). Seni dan Pendidikan Seni. Bandung: Pusat Artikel
dan Pengembangan Pendidikan Seni Tradisional (P4ST) UPI.
Narawati, Tati. (2003). Wajah Tari Sunda dari Masa ke Masa. Bandung: P4ST UPI (Pusat
Artikel dan Pengembangan Pendidikan Seni Tradisional Universitas Indonesia).
_______. (2009). Etnokoreologi sebagai Disiplin Kajian Tari. Dalam Pidato Pengukuhan
Prof. Dr. Tati Narawati, M. Hum sebagai Guru Besar dalam bidang Pendidikan
Seni pada Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas Pendidikan Indonesia.
Bandung: UPI.
Restela, Rika & Tati Narawati. (2017). Tari Rampoe sebagai Cerminan Karakteristik
Masyarakat Aceh. Panggung Jurnal Seni Budaya. ISSN Online: 2502-3640, Vol.
27, No. 2, (hlm.187-200).
25
https://jurnal.isbi.ac.id/index.php/panggung/article/view/260/259
Soenarto, dkk. (1977/1978). Ensiklopedi Musik dan Tari Daerah Kalimantan Selatan.
Banjarmasin: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Kalimantan
Selatan.
Wahyudi, Ayu Vinlandari dkk. (2018). Penanaman Nilai-Nilai Kasundaan Berbasis
Pembelajaran Tari Pakujajar di SMP Negeri 5 Sukabumi. Panggung Jurnal Seni
Budaya. ISSN Online: 2502-3640, Vol. 28, No. 2, (hlm. 133-146).
https://jurnal.isbi.ac.id/index.php/panggung/article/view/462/pdf
Wahyudianto. (2006). Karakteristik Ragam Gerak dan Tata Rias-Busana Tari Ngremo
Sebagai Wujud Presentasi Simbolis Sosio Kultural. Imaji Jurnal Seni dan
Pendidikan Seni. ISSN Online: 2580-0175, Vol. 4, No. 2, Agustus 2006, (hlm.
124-144). https://journal.uny.ac.id/index.php/imaji/article/view/6707/5763