16

Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Lawdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/...GakLaw...Ketenagakerja… · Ketenagakerjaan dan Sifat Hukum Publik dan Privat”, Volume 29,

  • Upload
    others

  • View
    4

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Lawdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/...GakLaw...Ketenagakerja… · Ketenagakerjaan dan Sifat Hukum Publik dan Privat”, Volume 29,
Page 2: Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Lawdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/...GakLaw...Ketenagakerja… · Ketenagakerjaan dan Sifat Hukum Publik dan Privat”, Volume 29,

Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Law

Jilid III: Pembahasan Investasi dan Ketenagakerjaan

disusun oleh:

Danastri Puspitasari

Muhammad Ardiansyah

Muhammad Rayhan

Natalische Ramanda Ricko Aldebarant

Ricky Raytona

Shafira Dinda

Yoseph Satria Adiatma

Page 3: Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Lawdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/...GakLaw...Ketenagakerja… · Ketenagakerjaan dan Sifat Hukum Publik dan Privat”, Volume 29,

Quick Review

RUU Cipta Kerja (RUU Cipker) memiliki dua kebijakan besar yang menjadi benang merah

mengapa RUU ini dibentuk, yaitu pertama mendorong peningkatan investasi di Indonesia melalui

kemudahan berusaha yang lebih ramah investasi, meningkatkan daya saing dan menciptakan

lapangan kerja. Kedua mengembangkan sektor UMK melalui dukungan riset dan inovasi sehingga

UMK dapat berkembang dan mampu bersaing di dunia usaha.1 Dua kebijakan utama tersebut

diharapkan nantinya dapat menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya. Kita dapat melihat semangat

dan ruh secara filosofis RUU Cipker dibuat dan ditujukan kepada siapa, namun dari situ terjadi

dilematis karena investasi dalam RUU Cipta ini menjadi “anak emas”. Beberapa peraturan yang

dirasa menghambat investasi direvisi karena dianggap tidak sejalan dengan paradigma pertumbuhan

yang sedang diemban.2

Upaya ini dilakukan pemerintah dalam rangka mencapai mimpi Indonesia sebagai negara

maju dan menjadi 5 (lima) besar kekuatan ekonomi dunia, oleh karena itu pemerintah akan memacu

pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dalam logika pemerintah memerlukan investasi baru.

Investasi ini diharapkan mampu menyerap angkatan kerja baru dalam mengatasi masalah

pengangguran dan berkorelasi pada produktivitas, upah dan kesejahteraan. Khusus dalam

ketenagakerjaan, RUU ini dinilai akan mendorong fleksibilitas ketenagakerjaan. Muatan dari RUU

ini yang mungkin masih menimbulkan diskursus publik yaitu memperluas sistem kerja kontrak dan

outsourcing serta mengganti ketentuan umum terkait upah minimum, hak cuti dan pesangon. Melihat

kondisi seperti ini, maka perlu nya kita mengkaji kembali materi muatan yang ada di dalam RUU

Cipker dan mengetahui dampaknya terhadap kelas pekerja di Indonesia.

1 Draft Naskah Akademik Rancangan Undang-undang Cipker, hlm. 219 2 Prof. Ari Hernawan, 2020, Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja: Peluang dan Tantangan (Perspektif Hukum

Ketenagakerjaan, Seminar Nasional Dies Natalis FH UGM “Peluang dan Tantangan Menuju Omnibus Law di Indonesia

Page 4: Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Lawdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/...GakLaw...Ketenagakerja… · Ketenagakerjaan dan Sifat Hukum Publik dan Privat”, Volume 29,

RUU Cipker Sebagai Hukum Pembangunan

Dalam masyarakat yang membangun apalagi secara berencana, maka justru hukumlah yang

mengarahkan dan membentuk kebiasaan. Jadi pembentukan hukum justru harus mendahului

pelaksanaan pemmbangunan di bidang-bidang lainnya agar pembangunan itu dapat membawa akibat

berbagai perubahan masyarakat (sosial changes) dan tidak mengakibatkan ketidakadilan atau

merugikan masyarakat.3

Pembentukan undang-undang ini tentu mempunyai raison d’etre. Pembuat undang-undang

menghendaki naiknya nlai investasi dengan cara perbaikan ekosistem investasi dan daya saing

bangsa, diantaranya dengan RUU Cipker. Hal ini bukanlah tanpa alasan, kondisi Investasi di

Indonesia memiliki nilai yang masih sangat kurang dibandingkan negara-negara tetangganya. Sebagai

contoh , berdasarkan riset dari World Bank, dalam lima tahun terakhir rata- rata arus masuk PMA ke

Indonesia hanya 1,9% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), jauh di bawah Kamboja (11,8%

PDB), Vietnam (5,9% PDB), Malaysia (3,5% PDB), dan Thailand (2,6% PDB).Vietnam berhasil

mencatatkan pertumbuhan PMA tertinggi sejak tahun 2015 dengan nilai ±USD16,7 miliar4

Pertumbuhan ekonomi negara ini melesat dari 5,03% pada 2012 menjadi 7,1% pada 2018. Kondisi

itu antara lain didorong oleh pesatnya peningkatan investasi langsung. Investasi asing langsung

atau foreign direct investment (FDI) dalam lima bulan pertama 2019 ke Vietnam mencapai US$16,74

miliar. Namun, Pemerintah telah menghadirkan draft RUU Cipker sebagai suatu langkah yang berani

sekaligus nekat dalam memudahkan perizinan investasi di Indonesia dengan menggunakan dalih

membantu percepatan pembangunan negara untuk menyambut Indonesia Emas 2045.

Penyusunan satu peraturan perundang-undagan perlu didasarkan atas penglihatan pada

persepektif ke depan, pendekatannya diarahkan kepada dua fungsi yaitu5 :

1. Memantapkan hukum yang sudah berlaku sekaligus menetapkan hukum yang baru sesuai

dengan kebutuhan. Dengan demikikan perubahan hukum akan dapat memenuhi

kebutuhan pada masa mendatang

3 Sumantoro, 1987, Aspek-Aspek Hukum dan Potensi Pasar Modal di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 35 4 Meilani, Hilma,”Hambatan Dalam Meningkatkan Investasi Asing Di Indonesia dan Solusinya”, Info Singkat Kajian

Strategis Terhadap Isu Aktual dan Strategis , Vol. XI, No.19/I/Puslit/Oktober/2019 5 Ibid, hlm. 37

Page 5: Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Lawdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/...GakLaw...Ketenagakerja… · Ketenagakerjaan dan Sifat Hukum Publik dan Privat”, Volume 29,

2. Mengkonkritkan citra dan kehendak masyarakat ke dalam rumusan norma-norma hukum.

Dari segi sosiologis, dapat dikatakan RUU Cipker ini harus memperhatikan hukum yang ada

di masyarakat dalam penerapannya. Hukum yang baik adalah hukum yang materinya diambil dari

masyarakat yang diatur atau terdampak.6 Dampak yang dapat dirasakan secara langsung adalah ketika

risiko yang datang tidak didukung dengan data dan persiapan yang matang, hal itu akan berdampak

terhadap hubungan industrial. Hal ini sesuai dengan sifat dan hakikat fungsi hukum yang disusun

untuk berperanan menampung kebutuhan masyarakat dan sekaligus mengarahkan sehingga oleh

Roscoe Found disebutnya Hukum sebagai alat pembangunan dan pembaharuan masyarakat (Law as

a tool of social engineering).7 Penerapan pendekatan ini perlu memperhatikan stakeholders yang ada

sehingga tidak ada pihak yang dirugikan, daya dukung baik itu faktor internal maupun eksternal harus

secara terintegrasi didukung demi tercapainya tujuan bersama, hak-hak pekerja juga perlu

diakomodasi dengan baik, karena seperti yang kita tahu isu ketenagakerjaan memiliki sensitivitas

yang tinggi di masyarakat, jangan sampai hanya karena ego sektoral yang ada di RUU ini menjadi

boomerang yang membawa malapetaka.

Kilas Balik Kemudahan Perizinan Investasi di Indonesia

Semangat pemerintah dalam memberikan mekanisme untuk meningkatkan kemudahan

perizinan investasi sudah muncul dari tahun 2007 yaitu melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun

2007 tentang Penanaman Modal (UU Penanaman Modal) melalui salah terobosannya dengan

memperkenalkan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yaitu kegiatan penyelenggaraan suatu

perizinan dan nonperizinan yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga

atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan non perizinan yang proses pengolahannya

dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen yang dilakukan dalam satu

tempat.8 Selanjutnya, dalam peraturan tersebut pemerintah mengkoordinasikan kebijakan penanaman

modal dan melaksanakan PTSP melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM). UU

Penanaman Modal memberikan kewenangan koordinasi dan melaksanakan PTSP kepada BKPM,

6 Ibid, Hlm. 36 7 Ibid. 8 Vide Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal ((Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 67,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4724)

Page 6: Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Lawdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/...GakLaw...Ketenagakerja… · Ketenagakerjaan dan Sifat Hukum Publik dan Privat”, Volume 29,

namun kewenangan memberikan perizinan berusaha tetap berada pada menteri, pimpinan lembaga,

gubernur, atau bupati/walikota.

Demi menyempurnakan PTSP, pada tahun 2018 pemerintah memperkenalkan mekanisme

perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik atau One Single Submission (OSS) dengan

menerbitkan PP No. 24/2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintergrasi Secara Elektronik.

OSS merupakan perizinan berusaha yang diterbitkan oleh Lembaga OSS untuk dan atas nama

menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/walikota kepada pelaku usaha melalui sistem

elektronik yang terintegrasi. Melalui peraturan ini, pemerintah telah memangkas sebanyak tiga ratus

izin dan dan seratus empat puluh tujuh non izin.9

Walaupun penerapan OSS telah berhasil memangkas berbagai bentuk perizinan, tetapi

pemerintah menyatakan bahwa sampai sekarang masih terjadi obesitas peraturan perundang-

undangan yang saling tumpang tindih. Selanjutnya, pada akhir tahun 2019 Komite Pemantauan

Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menilai bahwa pelaksanaan OSS mendapatkan berbagai

kendala khususnya antara regulasi dari pemerintah pusat dan regulasi pemerintah daerah yang tidak

sinkron, salah satunya terkait kewenangan pemberian izin yang semula dimiliki pemerintah daerah

diubah sehingga Lembaga OSS yang menerbitkan izin atas nama pemerintah daerah tersebut.10 Lebih

lanjut, KPPOD menilai bahwa masih ada keterbatasan fasilitas penyelenggaraan OSS di berbagai

daerah dan sistem perizinan daerah mandiri berbasis-aplikasi melalui pelayanan terpadu satu pintu

(PTSP) yang belum terintegrasi dengan lembaga OSS.11

Penguatan Kemudahan Investasi melalui Kekuatan Sentralistik

Pemerintah dalam Naskah Akademik RUU Cipker menjelaskan bahwa pendelegasian

kewenangan pelaksanaan Undang- Undang kepada kementerian/lembaga atau badan dan/atau

pemerintah daerah dapat menimbulkan fenomena ego sektoral pada kementerian/lembaga atau badan

dan/atau pemerintah daerah sehingga terjadi obesitas peraturan perundang-undangan yang saling

tumpang tindih. Oleh karena itu, dalam RUU Cipker diperlukan suatu ketentuan yang menguatkan

9 Vide Naskah Akademik RUU Cipker, hlm. 24 10 Mochamad Januar Rizki, Dinilai Tak Maksimal, Aturan OSS Perlu Dievaluasi,

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d78d3507a42d/dinilai-tak-maksimal-aturan-oss-perlu-dievaluasi/, diakses

11 Maret 2020. 11 Ibid.

Page 7: Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Lawdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/...GakLaw...Ketenagakerja… · Ketenagakerjaan dan Sifat Hukum Publik dan Privat”, Volume 29,

kewenangan presiden sebagai kepala pemerintahan untuk mengontrol peraturan perundang-undangan

kemudahan berusaha.

Berkaitan dengan otonomi Daerah, Pasal 166-170 RUU Cipker telah mengubah berbagai

ketentuan dalam UU Pemerintah Daerah sehingga menibulkan penumpukkan kekuasaan di

pemerintah pusat.12 Zainal Arifin Mochtar menyatakan bahwa walaupun Indonesia merupakan

negara kesatuan dan menganut sistem presidensial sehingga presiden memiliki kewenangan yang

cukup luas sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan layaknya seorang raja, tetapi

sekiranya kita perlu mengingat nukilan Alexander Hamilton yang menyatakan bahwa presiden dalam

sistem presidensial merupakan raja yang diberi batasan kekuasaan oleh konstitusi.13 Apabila

penumpukkan penguasaan yang diberikan kepada presiden tidak dibatasi secara jelas, maka itu akan

memberikan kewenangan yang berlimpah dan cenderung menuju kekuasaan otoriter yang dimiliki

oleh presiden.14

Reformasi Ketenagakerjaan

Reformasi ketenagakerjaan diharapkan dapat timbul dengan adanya RUU Cipker, isu

ketenagakerjaan dibahas dalam Bab IV tentang ketenagakerjaan pasal 88-92. Bab ini mengubah,

menghapus atau menetapkan peraturan baru dari UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,

UU No. 40 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan

Penyelenggaraan Jaminan Sosial. Dapat disimpulkan kurang lebih ada 6 aspek reformasi

ketenagakerjaan dalam RUU Cipker yaitu mengenai upah minimum, alih daya (outsourcing),

pesangon, durasi kerja dan sanksi. Sebagaimana kita ketahui bahwa pada hakikatnya hubungan antara

majikan dengan pekerja/buruh merupakan hubungan yang bersifat privat,15 selain itu, salah satu pihak

yaitu pekerja/buruh, berada di bawah perintah pihak yang lain, majikan, yang menandakan adanya

kedudukan subordinate,16 yang menunjukan bahwa posisi buruh/pekerja lemah.17 Oleh karena itu,

12 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2020, Kertas Kebijakan: Catatan Kritis dan Rekomendasi Terhadap RUU

Cipker, hlm. 14 13 Zainal Arifin Mochtar, Politik Hukum RUU Cipker, Kompas, 9 Maret 2020. 14 Ibid. 15 Eka Wijaya dan Ari Hernawan, “Tinjauan Yurididis Mengenai Keberadaan Karyawan Berdasarkan Perjanjian Kerja

Waktu Tertentu dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu di Koperasi Mahasiswa Universitas Gadjah Mada”, Jurnal

Hukum Perdata, Volume 2, No.2, November 2013 16 Wiwoho Sudjono, 1970, Persetujuan Perburuhan, Yayasan Badan Penerbit Gadjah Mada Yogyakarta, Yogyakarta 17 Susilo Andi Darma, “Kedudukan Hubungan Kerja: Berdasarkan Sudut Pandang Ilmu Kaidah Hukum

Ketenagakerjaan dan Sifat Hukum Publik dan Privat”, Volume 29, No. 2, Juni 2017

Page 8: Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Lawdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/...GakLaw...Ketenagakerja… · Ketenagakerjaan dan Sifat Hukum Publik dan Privat”, Volume 29,

untuk mendukung posisi yang tidak seimbang perlu adanya socialisering proses (campur tangan

pemerintah)18 agar tercapainya kesejahteraan yang merata dan adil bagi kedua belah pihak. Profesor

Ketenagakerjaan FH UGM, Ari Hernawan yang kerap disapa Prof. Ari mengatakan bahwa dalam

hukum ketenagakerjaan tidak mengenal adanya keadaan mengurangi.19 Keadaan mengurangi yang

dimaksud adalah ketentuan yang berkurang baik secara formil maupun materiil UU Ketenagakerjaan

itu sendiri. Mudah dimaknai sebagai proses menghadirkan regulasi yang akan menggantikan atau

merubah ketentuan seperti pengupahan, hak-hak pekerja dalam bekerja, dan jaminan-jaminan sosial

yang lainnya dalam UU ketenagakerjaan itu harus bersifat meningkat, progresif, lebih mampu untuk

melindungi, dan pada intinya adalah tidak menurun dan maupun berkurang.

Pada bab ketenagakerjaan, terdapat 17 (tujuh belas) ketentuan yang perlu diatur lebih lanjut

dalam Peraturan Pemerintah, dan 2 (dua) ketentuan yang perlu diatur lebih lanjut dalam Peraturan

Presiden.20 Tentunya hal ini menjadi masalah dikarenakan kehadiran RUU Cipker yang menyapu

‘jagad’ berbagai ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan, justru tidak dapat memberikan pengaturan

secara tuntas.21 Apabila dibandingkan dengan pemberi harapan untuk menyelesaikan masalah

ketenagakerjaan seperti perlindungan hak-hak pekerja dan peningkatan kesempatan lapangan kerja,

RUU Cipker terlihat lebih memfokuskan peningkatan ekonomi nasional melalui kemudahan

investasi.22

Permasalahan Pengupahan

Pasal 89 RUU Cipker telah mengubah Pasal 88 yang menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut

kebijakan pengupahan nasional diatur dalam Peraturan Pemerintah, padahal Pasal 88 ayat (3) UU

Ketenagakerjaan telah mengatur ketentuan-ketentuan dasar dalam kebijakan pengupahan yang

melindungi pekerja dan buruh yang isinya sebagai berikut :

(3) Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) meliputi:

a. upah minimum;

b. upah kerja lembur;

18 Repository UGM, Tanpa Judul, http://etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74496/potongan/S2-2014-338217-

chapter1.pdf, diakses 24 Februari 2020 19 Ari Hernawan, 2020, Dalam seminar Omnibus Law Cipker di MAP Corner FISIPOL UGM. 20 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Loc.cit. 21 Ibid. 22 Ibid.

Page 9: Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Lawdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/...GakLaw...Ketenagakerja… · Ketenagakerjaan dan Sifat Hukum Publik dan Privat”, Volume 29,

c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan;

d. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;

e. upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;

f. bentuk dan cara pembayaran upah;

g. denda dan potongan upah;

h. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;

i. struktur dan skala pengupahan yang proporsional;

j. upah untuk pembayaran pesangon; dan

k. upah untuk perhitungan pajak penghasilan.

Mengapa Pemerintah menghapuskan ketentuan mengenai ketentuan mengenai hal-hal yang

dasar yang harus dicantumkan dalam kebijakan pengupahan nasional, sehingga harus diatur lebih

lanjut oleh PP. Perubahan tersebut akan menjadi masalah karena jika PP yang mengatur lebih lanjut

tersebut menemukan kendala dalam penyusunannya sehingga tidak kunjung diterbitkan, maka dapat

memunculkan ketidakpastian hukum dalam menjamin kebijakan pengupahan nasional di berbagai

daerah. Pemerintah juga menambahkan Pasal 88 B yang mengatur penetapan upah berdasarkan satuan

waktu dan/atau satuan hasil, sebelumnya ketentuan ini telah diatur dalam PP No. 78 Tahun 2015.

Penambahan Pasal ini cukup bermasalah karena PP No. 78 Tahun 2015 sebenarnya telah ditolak oleh

serikat buruh selama bertahun-tahun dan ketentuan sistem pengupahan tersebut dapat menyebabkan

pengusaha yang ingin memanfaatkan pasal ini untuk menurunkan pembayaran upah ketika kapasitas

produksi berkurang.

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK)

Pasal 151 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa pengusaha, pekerja, serikat

pekerja, dan pemerintah dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi PHK dan jika

upaya tersebut tidak berhasil maka ada kewajiban untuk merundingkan antara pihak pengusaha dan

pihak buruh. Adapun pada RUU Cipker menghilangkan frasa-frasa tersebut dan merubahnya sebagai

berikut

(1) Pemutusan hubungan kerja dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan

pekerja/buruh.

Perubahan tersebut tidak hanya menghilangkan kewajiban untuk menghindari PHK tetapi

juga dapat membuka kesempatan terjadinya PHK yang dilakukan secara sepihak oleh pengusaha

dikarenakan pekerja/buruh merupakan pihak yang lemah dalam kesepakatan tersebut, maka

Page 10: Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Lawdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/...GakLaw...Ketenagakerja… · Ketenagakerjaan dan Sifat Hukum Publik dan Privat”, Volume 29,

kesepakatan terkait PHK juga akan sangat sulit mewujudkan keadilan bagi pekerja/buruh karena

dapat menghilangkan peran serikat buruh dalam melakukan negosiasi PHK dengan pihak perusahaan.

RUU Cipker juga menghilangkan aturan pada pasal 152 UU Ketenagakerjaan yang mengatur

rincian permohonan PHK. Aturan mengenai PHK ini juga dibuat lebih general dan menghilangkan

kepastian untuk pihak yang di PHK dengan banyaknya pengurangan pasal-pasal terkait sehingga

PHK lebih mudah untuk dilakukan.

Prof Ari mengatakan dalam UU 13/2003 diatur tentang kompensasi ketika terjadinya PHK

dan kompensasi tersebut dapat dibagi dalam 3 jenis, yakni:

1. Memperoleh pesangon

2. Penghargaan masa kerja

3. Penggantian hak pekerja

Poin pertama yaitu terkait dengan perolehan pesangon sejauh ini belum terdapat masalah karena di

dalam RUU CiKa yang berkaitan dengan memperoleh pesangon relatif sama pengaturannya dengan

yang sudah diatur dalam UU Ketenagakerjaan sebelumnya. Poin kedua kedua terkait dengan

penghargaan masa kerja pada Pasal 89 RUU CiKa yang mengubah Pasal 156 ayat (3) UU

Ketenagakerjaan telah memunculkan pengurangan nilai maksimal penghargaan masa kerja yang

sebelumnya 10 bulan upah menjadi maksimal 8 bulan upah. Tentu maksud pemerintah yang demikian

dengan jelas tidak menunjukan orientasinya untuk melindungi kepentingan pekerja/buruh apalagi

diperparah dengan tidak ter klasifikasinya maksud pemerintah mengubah ketentuan penghargaan

masa kerja yang sudah ada sebelumnya menjadi lebih rendah lagi. Seperti disebutkan pada bagian

awal oleh Prof Ari, sehiarusnya dalam pengaturan dalam hukum ketenagakerjaan tidak diperbolehkan

mengurangi atau seminimalnya adalah sama dengan pengaturan yang sudah ada sebelumnya. Poin

ketiga terkait dengan penggantian hak pekerja adalah suatu hal yang wajib dan seharusnya tidak dapat

dikurangi karena hal itu dalam ketentuannya merupakan sebuah hak dan hak sejauh wawasan kita

adalah bersifat utuh dan tidak dapat dikurangi.

Permasalahan Outsourcing

Selanjutnya terkait dengan permasalahan outsourcing yang bersumber dari RUU Cipker.

Outsourcing atau Alih Daya adalah bentuk hubungan kerja yang pekerja/buruhnya tidak berada

Page 11: Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Lawdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/...GakLaw...Ketenagakerja… · Ketenagakerjaan dan Sifat Hukum Publik dan Privat”, Volume 29,

dibawah tanggung jawab perusahaan yang berkepentingan langsung sebagai pihak pertama namun

diperoleh melalui kontrak dari suatu perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang berbadan hukum

dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.23 Menurut

penuturan Prof. Ari hanya ada 5 jenis pekerjaan di Indonesia yang dilegalkan untuk menjalankan alih

daya, yakni; cleaning service, jasa pengamanan, catering, jasa pertambangan, dan jasa transportasi.24

Ditambah dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan kejelasan terkait

pekerjaan yang dapat dilakukan yakni tidak boleh merupakan pekerjaan pokok atau pekerjaan yang

berhubungan langsung dengan proses produksi.25

Namun, dalam RUU Cipker ini justru seperti ingin menghadirkan bentuk hubungan kerja alih

daya sebagai jenis pekerjaan yang semakin legal untuk dijalankan di Indonesia yang itu diinisiasi

dengan dihilangkannya ketentuan materiil pasal 64 dan 65 UU Naker padahal di dalam pasal tersebut

secara khusus dan mendetail mengatur perihal alih daya.26 Kemudian aturan mengenai outsourcing

hanya diatur pada satu pasal yaitu pada pasal 66, Pada pasal a quo diberlakukan aturan yang lebih

general sehingga lebih fleksibel. RUU Cipker juga tidak menyebutkan jenis pekerjaan serta waktunya

sehingga penggunaan pekerja dari perusahaan penyedia jasa buruh ini bisa meliputi semua jenis

pekerjaan serta waktunya. Menilik materiil yang ada di dalam RUU Cipker justru menimbulkan

kekhawatiran karena pembatasan seperti apa alih daya itu menjadi tidak jelas dan itu menjadi masalah

jika bentuk hubungan kerja alih daya ini menjangkau pekerjaan pokok. Melalui bentuk Omnibus Law

yang seperti ini terdapat indikasi pemerintah memberikan kelonggaran bagi pelaku usaha untuk lebih

fleksibel dalam melakukan rekrutmen karyawan terutama melalui mekanisme alih daya

(outsourcing).27 Oleh karena itu, yang patut dipertanyakan adalah kemana nantinya hak-hak pekerja,

jaminan-jaminan sosial, serta tunjangan-tunjangan yang sepatutnya dimiliki oleh seorang pekerja.

23 Vide Pasal 64, 65, dan 66, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 24 Ari Hernawan, Loc. Cit. 25 Lihat Pasal 66, Ayat (1), Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 26 Lihat Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipker dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan 27 Tirta Citradi, Februari 18, 2020, CNBC Indonesia, Ini Jeroan RUU Cipker yang Bikin Pekerja Resah,

https://www.cnbcindonesia.com/news/20200218160526-4-138750/ini-jeroan-ruu-cipta-kerja-yang-bikin-pekerja-

resah/2, Diakses tanggal Februari 24, 2020

Page 12: Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Lawdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/...GakLaw...Ketenagakerja… · Ketenagakerjaan dan Sifat Hukum Publik dan Privat”, Volume 29,

Pengaturan TKA

Pasal 89 RUU Cipker mengganti ketentuan pada pasal 42 UU no 13 tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan, RUU a quo merubah ayat (1) sebagai berikut :

(1) “Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki pengesahan

rencana penggunaan tenaga kerja asing dari Pemerintah Pusat. “

Ketentuan dalam pasal tersebut sudah pernah diatur dalam Perpres 20/2018 yang pada awalnya

menuai kontroversi karena pemberi kerja cukup memiliki RPKTA untuk memperkerjakan TKA, hal

tersebut bertentangan Pasal 43 ayat (1) UU Ketenagakerjaan dan penjelasannya dikarenakan izin

pemberika kerja kepada TKA dan RPKTA diatur dalam pasal yang berbeda.28 Dengan perubahan

tersebut, maka pemerintah menghilangkan penerbitan izin yang diperlukan pemberi kerja tenaga

asing dan menggantinya dengan RPTKA dari pemerintah pusat.

Kemudian terdapat perluasan pengecualian pemberi kerja yang harus mendapatkan

pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing dari pemerintah pusat Pada pasal 42 ayat (3)

sebagai berikut:

a. anggota direksi atau anggota dewan komisaris dengan kepemilikan saham sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. pegawai diplomatik dan konsuler pada kantor perwakilan negara asing; atau

c. tenaga kerja asing yang dibutuhkan oleh Pemberi Kerja pada jenis kegiatan pemeliharaan

mesin produksi untuk keadaan darurat, vokasi, startup, kunjungan bisnis, dan penelitian untuk

jangka waktu tertentu.

Perluasan pengecualian tersebut juga sudah pernah diatur dalam Perpres Nomor 20 Tahun 2018

tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing,29 namun hal tersebut bertentangan dengan Pasal 43 ayat (3)

28 Monika Suhayati, Kontroversi Perpres Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing, Info Singkat,

Vol. X, No. 09, Mei, 2018. 29 Vide Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Berita Negara Tahun 2018

Nomor 39

Page 13: Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Lawdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/...GakLaw...Ketenagakerja… · Ketenagakerjaan dan Sifat Hukum Publik dan Privat”, Volume 29,

UU Ketenagakerjaan yang pada awalnya awalnya hanya pegawai diplomatik dan konsuler pada

kantor perwakilan negara asing saja30.

Pada intinya RUU Cipker berusahan untuk mengadopsi pengaturan yang sudah tercantum

dalam Perpres 20/2018 yang ketentuannya bertentangan dengan UU Ketenagakerjan dikarenakan

dalam hierarki peraturan perundang-undangan dalam UU P3, Perpres tidak boleh bertentangan

dengan norma atau aturan hukum diatasnya termasuk UU. Selain itu, Pemerintah merasa bahwa

fungsi kontrol dan pengawasan TKA di dalam negeri dapat lebih optimal ketika dilakukan satu pintu

oleh pemerintah pusat. Namun, bagaikan pisau bermata dua jika mekanisme tersebut tidak

dimanfaatkan oleh pemerintah pusat untuk kepentingan rakyatnya seperti contoh membuka kuota

TKA untuk sektor-sektor industri dengan komoditas tinggi akan menyebabkan terjadinya penguasaan

TKA di sektor tersebut. Tentunya permasalahan tersebut semakin menjauhkan kesejahteraan rakyat

karena seolah-olah rakyat hanya dapat menguasai sektor bawah daripada sektor atas dan secara

otomatis juga akan berdampak pada pendapatan perkapita maupun GNP.

30 Ibid.

Page 14: Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Lawdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/...GakLaw...Ketenagakerja… · Ketenagakerjaan dan Sifat Hukum Publik dan Privat”, Volume 29,

Melalui pembahasan terhadap RUU Cipta Kerja, maka dapat disimpulkan bahwa peningkatan

investasi telah dijadikan ‘anak emas’ untuk merevisi segala peraturan yang dirasa menghambat

kemudahan berinvestasi di Indonesia karena dianggap tidak sejalan dengan paradigma pertumbuhan

ekonomi yang sedang diemban melalui kacamata pemerintah. Oleh karena itu, berdasarkan kajian

Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Law Jilid I - Jilid III, Dema Justicia FH UGM mengambil sikap

sebagai berikut:

1. Menolak draft RUU Cipta Kerja yang diajukan oleh Pemerintah;

2. Mendesak DPR RI untuk menghentikan pembahasan dan mengembalikan draft

RUU Cipta Kerja kepada Pemerintah; atau

3. Mendesak Pemerintah untuk menarik kembali draft RUU Cipta Kerja dari DPR

RI; dan

4. Mendesak Pemerintah untuk melakukan perbaikan permasalahan formil dan

materiil RUU Cipta Kerja secara terbuka dengan menampung aspirasi

masyarakat secara menyeluruh.

Page 15: Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Lawdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/...GakLaw...Ketenagakerja… · Ketenagakerjaan dan Sifat Hukum Publik dan Privat”, Volume 29,

Referensi

A. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Tahun

2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4724)

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun

2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4279)

Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Berita

Negara Tahun 2018 Nomor 39

Rancangan Undang-Undang Cipker

Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Cipker

B. Buku

Sudjono, Wiwoho, 1970, Persetujuan Perburuhan, Yayasan Badan Penerbit Gadjah Mada

Yogyakarta, Yogyakarta

Sumantoro, 1987, Aspek-Aspek Hukum dan Potensi Pasar Modal di Indonesia, Ghalia

Indonesia, Jakarta

C. Jurnal

Darma, Susilo Andi, “Kedudukan Hubungan Kerja: Berdasarkan Sudut Pandang Ilmu Kaidah

Hukum Ketenagakerjaan dan Sifat Hukum Publik dan Privat”, Volume 29, No. 2, Juni

2017

Hilma, Meilani,,”Hambatan Dalam Meningkatkan Investasi Asing Di Indonesia dan

Solusinya”, Info Singkat Kajian Strategis Terhadap Isu Aktual dan Strategis , Vol. XI,

No.19/I/Puslit/Oktober/2019

Suhayati, Monika, Kontroversi Perpres Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga

Kerja Asing, Info Singkat, Vol. X, No. 09, Mei, 2018.

D. Kajian

Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2020, Kertas Kebijakan: Catatan Kritis dan

Rekomendasi Terhadap RUU Cipker,

Repository UGM, Tanpa Judul,

http://etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74496/potongan/S2-2014-338217-

chapter1.pdf, diakses 24 Februari 2020

E. Berita

Page 16: Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Lawdemajusticia.org/wp-content/uploads/2020/...GakLaw...Ketenagakerja… · Ketenagakerjaan dan Sifat Hukum Publik dan Privat”, Volume 29,

Citradi, Tirta, Februari 18, 2020, CNBC Indonesia, Ini Jeroan RUU Cipker yang Bikin Pekerja

Resah, https://www.cnbcindonesia.com/news/20200218160526-4-138750/ini-jeroan-ruu-

cipta-kerja-yang-bikin-pekerja-resah/2, Diakses tanggal Februari 24, 2020

Mochtar, Zainal Arifin, Politik Hukum RUU Cipker, Kompas, 9 Maret 2020.

Rizki, Mochamad Januar, Dinilai Tak Maksimal, Aturan OSS Perlu Dievaluasi,

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d78d3507a42d/dinilai-tak-maksimal-

aturan-oss-perlu-dievaluasi/, diakses 11 Maret 2020.

F. Seminar

Hernawan, Ari, 2020, Dalam seminar Omnibus Law Cipker di MAP Corner FISIPOL UGM.

Hernawan, Ari, 2020, Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja: Peluang dan Tantangan (Perspektif

Hukum Ketenagakerjaan, Seminar Nasional Dies Natalis FH UGM “Peluang dan

Tantangan Menuju Omnibus Law di Indonesia.