Upload
doantuyen
View
226
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KAJIAN PENERAPAN STRATEGI PRODUKSI BERSIH DI
SENTRA INDUSTRI KECIL TAPIOKA: KASUS KELURAHAN
CILUAR, KECAMATAN BOGOR UTARA
oleh
AINY RAHMAWAKHIDA
F34103013
2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul:
”Kajian Penerapan Strategi Produksi Bersih di Sentra Industri Kecil Tapioka:
Kasus Kelurahan Ciluar, Kecamatan Bogor Utara” adalah karya asli saya sendiri
dengan arahan dari dosen pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan
rujukannya.
Bogor, September 2007
Ainy Rahmawakhida
F34103013
Ainy Rahmawakhida. F34103013. Kajian Penerapan Strategi Produksi Bersih di Sentra Industri Kecil Tapioka: Kasus Kelurahan Ciluar, Kecamatan Bogor Utara. Di bawah bimbingan: Anas M. Fauzi. 2007
RINGKASAN Pengelompokan industri kecil pada suatu sentra akan menyebabkan
terakumulasinya limbah industri yang dapat mencemari lingkungan. Salah satu sentra industri kecil yang berpotensi menimbulkan masalah lingkungan adalah industri tapioka. Sentra industri kecil tapioka di Bogor dapat dijumpai antara lain di Ciluar, Kecamatan Bogor Utara.
Permasalahan lingkungan sebagai dampak dari kegiatan industri dapat ditangani dengan menerapkan strategi produksi bersih. Produksi bersih bertujuan meningkatkan efisiensi penggunaan bahan baku dan meminimalisir limbah, pencemaran dan resiko lingkungan langsung pada sumbernya. Penelitian ini mempelajari potensi penerapan produksi bersih dan pengelolaan lingkungan industri serta merumuskan alternatif strategi produksi bersih dalam rangka mengembangkan sentra industri kecil tapioka di Ciluar. Data yang digunakan terdiri dari data primer (hasil pengamatan di lapangan, wawancara, kuisioner untuk ahli) dan data sekunder.
Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada kajian terhadap usulan opsi strategi produksi bersih yang dapat diterapkan. Kajian penelitian meliputi analisis penerapan produksi bersih yang terdiri dari aspek teknologi, finansial dan politis; serta strategi implementasi produksi bersih untuk mengembangkan sentra industri kecil tapioka di Ciluar. Metode analisis yang digunakan adalah AHP (Analytical Hierarchy Process) dengan software Expert Choice 2000.
Industri kecil tapioka di Ciluar memproduksi tapioka kasar untuk dijual ke pabrik pengayakan tapioka halus. Ampas dari ekstraksi ubi kayu parut yang dikeringkan disebut onggok. Onggok tersebut dijual ke pabrik tapioka besar sedangkan limbah cair dari pengolahan tapioka langsung dialirkan ke sungai.
Usulan aktivitas perbaikan yang diprioritaskan terdiri dari good hausekeeping (penyuluhan pekerja, pemantauan pemakaian air); meningkatkan efisiensi proses dengan alat gobegan, menjaga kualitas dengan pencucian bak pengenapan pati setiap hari, dan pemantauan pekerja. Usulan aktivitas perbaikan tersebut membutuhkan modal sebesar Rp.10.052.000 dengan PBP (Payback Period) 1 tahun 7 bulan.
Hasil analisis AHP dengan tujuan memaksimalkan efisiensi produksi tapioka kasar dengan penerapan produksi bersih memperlihatkan bahwa teknologi (0,434) merupakan faktor terpenting, diikuti oleh modal (0,377) dan kebijakan pemerintah daerah (0,189). Urutan program produksi bersih adalah sosialisasi dan pelatihan penerapan produksi bersih (0,429), penanganan limbah terpadu (0,328), dan sosialisasi dan cara-cara peningkatan kualitas tapioka kasar (0,243).
Strategi implementasi produksi bersih terdiri dari: (1) sosialisasi dan pelatihan produksi bersih dengan cara: a) meningkatkan kesadaran dan motivasi pengusaha dalam mempertahankan kualitas lingkungan, b) memberikan pendampingan kelompok, (2) meningkatkan efisiensi produksi, (3) meningkatkan peran pemerintah, (4) meningkatkan vokalitas pengusaha kecil tapioka di Ciluar.
Ainy Rahmawakhida. F34103013. Study of Cleaner Production Strategy Application in Centralized Small Scale Tapioca Industry: A Case Study in Kelurahan Ciluar, North Bogor Sub-District. Under the direction of Anas M. Fauzi. 2007.
ABSTRACT
The centralization of small scale industry has caused accumulation of industrial wastes being able to pollute the surrounding environment. One of centralization of small scale industry having the potential to cause environment problems is tapioca industry. One of tapioca small industry centers in Bogor can be found in Ciluar, North Bogor Sub-District. Environment problems as the impact of industrial activities can be solved by applying cleaner production strategy. Cleaner production is aimed to increase the efficiency of material usage and minimizing wastes, pollution, and environmental risks directly to the source. This research was aimed to study (1) the potentials of cleaner production application and industrial environment management, (2) to formulate alternatives of the cleaner production strategy for centralized small scale tapioca industry in Ciluar. The data being used consists of primary data (field observation, interviews, and questionnaires for experts) and secondary data. The implementation of cleaner production was analyzed based on technological, financial, and political aspects. The method of analysis being used was AHP (Analytical Hierarchy Process). The centralized small scale tapioca industry in Ciluar produces crude tapioca to be sold to tapioca sieving industry. The solid wastes being produced is dried (onggok) to be sold. Meanwhile the waste water is drained to river without treatment.
The suggestion for improvement activities consist of good housekeeping (worker training, water usage monitoring); increasing the rendemen with gobegan, keeping the quality by washing settling tanks everyday, and workers monitoring. Those activities need Rp.10.052.000 of capital with PBP 1 year and 7 months. AHP analysis resulted in the recommendation to maximize crude tapioca production efficiency by applying cleaner production has denoted that technology (0,434) is the most important factor, followed by capital (0,377) and regional government policy (0,189). The priority of cleaner production program is socialization and training of cleaner production application (0,429), integrated waste management (0,328), and socialization and training of crude tapioca quality increasing procedures (0,243). The strategy of cleaner production implementation consists of: (1) socialization and training of cleaner production by: a) increasing the awareness and motivation of businessman in maintaining environmental quality, b) accompanying group development; (2) accelerating production efficiency, (3) increasing the role of government; (4) increasing vocalism of tapioca producer in Ciluar.
KAJIAN PENERAPAN STRATEGI PRODUKSI BERSIH DI
SENTRA INDUSTRI KECIL TAPIOKA: KASUS KELURAHAN
CILUAR, KECAMATAN BOGOR UTARA
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
oleh
AINY RAHMAWAKHIDA
F34103013
2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
KAJIAN PENERAPAN STRATEGI PRODUKSI BERSIH DI
SENTRA INDUSTRI KECIL TAPIOKA:KASUS KELURAHAN
CILUAR, KECAMATAN BOGOR UTARA
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
oleh
AINY RAHMAWAKHIDA
F34103013
Dilahirkan pada tanggal 5 Februari 1985
Di Cilacap, Jawa Tengah
Tanggal Lulus: September 2007
Menyetujui,
Bogor, September 2007
Dr. Ir. Anas Miftah Fauzi, MEng. Dosen Pembimbing
PRAKATA
Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala atas segala karunianya
sehingga penulis berhasil menyelesaikan karya ilmiah ini. Penelitian yang
dilaksanakan sejak bulan Maret 2007 ini berjudul: Kajian Penerapan Strategi
Produksi Bersih di Sentra Industri Kecil Tapioka: Kasus Kelurahan Ciluar,
Kecamatan Bogor Utara. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari potensi
penerapan teknologi produksi bersih dan potensi pengelolaan lingkungan industri
serta merumuskan alternatif strategi produksi bersih dalam rangka
mengembangkan sentra industri kecil tapioka.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Anas M. Fauzi, MEng.
selaku pembimbing, Ibu Dr. Ir. Nastiti dan Bapak Ir. Sugiarto selaku penguji. Di
samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Gupuh Samirono,
BBA. dari Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kota Bogor, Kantor
Kelurahan Ciluar, Bapak Aji Sanjaya beserta keluarga, Bapak A. Syarif Hidayat,
Bapak Sutrisno serta pengusaha kecil tapioka di Desa Tarikolot dan Desa
Bubulak, Ciluar yang telah membantu selama pengumpulan data.
Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Ir. Aan
Yulistia, M.App.Sc. dari Balai Besar Industri Agro, Bapak Prof. Dr. Ir. Endang
Gumbira Sa`id, MADev., Bapak Dr. Ir. Sutrisno, MAgr., Bapak Prof. Dr. Ir.
Djumali M., DEA., dan Dr. Ir. Titi C. Sunarti, Msi. atas kesediaannya menjadi
responden ahli dan saran-saran yang telah diberikan. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada bapak, ibu dan adik tercinta, serta seluruh keluarga dan
sahabat, teman-teman TIN 40, dan keluarga Wisma Balio 19 atas doa dan kasih
sayangnya.
Penulis mengharap kritik dan saran yang membangun demi peningkatan
kualitas karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2007
Ainy Rahmawakhida
RIWAYAT HIDUP
Ainy Rahmawakhida lahir di Cilacap pada tanggal 5 Februari
1985 dari ayah Drs. H. Zainal Abidin dan ibu Hj. Mubarokah.
Penulis adalah putri pertama dari dua bersaudara. Pendidikan
Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Umum ditempuh di
Perguruan Islam Al-Irsyad Al-Islamiyyah Cilacap dan lulus
pada tahun 2003. Pada tahun yang sama, penulis diterima di Departemen
Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB.
Pada tahun 2006, penulis melaksanakan Praktek Lapangan di PT. Industri
Sandang Nusantara II Cilacap untuk mempelajari aspek produksi dan manajemen
limbah. Penulis juga mengikuti Short Course Perbankan Syariah Angkatan II
yang diadakan oleh Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Yogyakarta. Karya ilmiah
berjudul ”Kajian Penerapan Strategi Produksi Bersih di Sentra Industri Kecil
Tapioka: Kasus Kelurahan Ciluar, Kecamatan Bogor Utara” telah diselesaikan
oleh penulis pada tahun 2007 sebagai bagian dari program sarjana S1 di IPB.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ................................................................................................. vii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... ix
I. PENDAHULUAN ........................................................................................... 1 A. Latar Belakang ............................................................................................ 1 B. Tujuan ......................................................................................................... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... 3 A. Definisi Usaha Kecil ................................................................................... 3 B. Industri Kecil Tapioka ................................................................................ 3 C. Limbah Industri Kecil Tapioka ................................................................... 5 D. Produksi Bersih ........................................................................................... 6 E. Penelitian Terdahulu ................................................................................... 9
III. METODE PENELITIAN ................................................................................ 12 A. Kerangka Pemikiran ................................................................................. 12 B. Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................... 12 C. Pengumpulan Data .................................................................................... 12 D. Teknik Analisis ......................................................................................... 13
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................... 15 A. Keadaan Umum Wilayah .......................................................................... 15 B. Sentra Industri Kecil Tapioka ................................................................... 15 C. Status Penerapan Produksi Bersih ............................................................ 22 D. Analisis Penerapan Produksi Bersih ......................................................... 26
a. Aspek teknologi penerapan produksi bersih ..................................... 27 b. Aspek finansial penerapan produksi bersih ....................................... 29 c. Aspek politis penerapan produksi bersih .......................................... 31
E. Implementasi Penerapan Produksi Bersih ............................................... 35
V. KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 38 A. Kesimpulan ............................................................................................... 38 B. Saran ......................................................................................................... 38
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 39
LAMPIRAN .......................................................................................................... 41
vii
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Standar kualitas tapioka dan tapioka kasar ....................................................... 4
2 Komposisi ampas tapioka .................................................................................. 6
3 Karakteristik limbah cair pada berbagai industri tapioka (rata-rata) ................. 6
4 Karakteristik industri kecil tapioka di Ciluar .................................................. 17
5 Rendemen dari industri kecil tapioka di Ciluar yang menggunakan alat gobegan .................................................................................................... 23
6 Rendemen dari industri kecil tapioka di Ciluar yang tidak menggunakan alat gobegan (manual) ..................................................................................... 23
7 Produksi bersih dan pengelolaan lingkungan pabrik yang sudah dilakukan oleh industri kecil tapioka di Ciluar ................................................................ 25
8 Opsi produksi bersih yang dapat diterapkan oleh industri kecil tapioka di Ciluar ............................................................................................................... 27
9 Analisis biaya penerapan produksi bersih dan pengelolaan lingkungan industri ............................................................................................................. 30
10 Alternatif program produksi bersih dalam pengembangan sentra industri kecil tapioka di Ciluar ..................................................................................... 31
viii
DAFTAR GAMBAR Halaman
1 Definisi dan ruang lingkup produksi bersih ......................................................... 7 2 Industri-industri kecil tapioka yang letaknya saling berdekatan ........................ 16 3 Gobegan ukuran lima meter (5 bingkai saringan) .............................................. 21 4 Struktur hierarki AHP pengembangan sentra industri kecil tapioka di Ciluar ... 32
5 Hasil perhitungan bobot faktor, aktor dan program dengan metode AHP ......... 33 6 Posisi industri kecil tapioka pada matriks SWOT (Hidetoshi, 2006) ................. 36
ix
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
1 Batasan / kriteria usaha kecil dan menengah menurut beberapa organisasi (www.menlh.go.id.) ......................................................................................... 43
2 Analisis proksimat umbi ubi kayu dan tapioka (Balagopalan et al., 1988) ..... 45
3 Diagram alir pembuatan tapioka kasar (Eris, 2006) ........................................ 46
4 Diagram alir penelitian .................................................................................... 47
5 Neraca massa industri kecil tapioka di Ciluar milik pengusaha nomor 6 ....... 48
6 Neraca massa industri kecil tapioka di Ciluar milik pengusaha nomor 10 ..... 49
7 Neraca massa industri kecil tapioka di Ciluar milik pengusaha nomor 12 ..... 50
8 Perhitungan biaya aktivitas perbaikan penerapan produksi bersih ................. 51
9 Penilaian pakar terhadap alternatif program produksi bersih dalam pengembangan sentra industri kecil tapioka di Ciluar .................................... 52
10 Analisis faktor internal dan eksternal matriks SWOT (Hidetoshi, 2006) ....... 53
11 Dokumentasi penelitian ................................................................................... 54
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Permasalahan lingkungan yang terjadi akhir-akhir ini membuat industri
dan masyarakat mulai menyadari arti penting dari perlindungan lingkungan.
Industri selalu berpotensi menghasilkan limbah yang berdampak negatif bagi
lingkungan. Industri kecil juga berkontribusi terhadap pencemaran lingkungan.
Terlebih lagi pengelompokan industri kecil pada suatu sentra akan menghasilkan
limbah yang lebih banyak bila dibandingkan dengan limbah dari sebuah industri
kecil. Namun demikian, sentra industri kecil memudahkan pengelolaan limbah.
Hal ini dikarenakan praktek pengendalian lingkungan dari sentra industri kecil
dapat dirancang secara terpusat. Oleh karena itu, biaya pengelolaan limbah juga
dapat diminimalisir (Sofyar, 2004).
Salah satu sentra industri kecil yang berpotensi menimbulkan masalah
lingkungan adalah industri tapioka. Industri tapioka membutuhkan banyak air
dalam proses produksinya sehingga menghasilkan limbah cair. Sentra industri
kecil tapioka dapat dijumpai antara lain di Ciluar, Kecamatan Bogor Utara.
Kegiatan penanganan limbah tidak hanya dilakukan dengan pengolahan
limbah saja, namun kegiatan pengendalian dan pengurangan jumlah limbah yang
dihasilkan juga merupakan suatu langkah yang dapat membantu menurunkan
beban pencemaran. Salah satu cara untuk mengendalikan dan mengurangi jumlah
limbah yang dihasilkan adalah dengan mengefisienkan proses produksi. Produksi
yang tidak efisien dapat menyebabkan pemborosan sumber daya, kerugian
ekonomi, kondisi kerja yang buruk dan pencemaran lingkungan.
Efisiensi produksi adalah bagian dari konsep produksi bersih. Produksi
bersih bertujuan meningkatkan efisiensi penggunaan bahan baku dan
meminimalisir limbah, pencemaran dan resiko lingkungan langsung pada
sumbernya. Pengalaman internasional membuktikan bahwa produksi bersih dapat
diterapkan pada industri-industri kecil. Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada
kajian terhadap usulan opsi strategi produksi bersih yang dapat diterapkan dalam
rangka mengembangkan sentra industri kecil tapioka di Ciluar.
2
B. Tujuan Penelitian
1. Mempelajari potensi penerapan teknologi produksi bersih dan pengelolaan
lingkungan di industri kecil tapioka di Ciluar
2. Merumuskan alternatif strategi produksi bersih untuk mengembangkan sentra
industri kecil tapioka di Ciluar
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Usaha Kecil
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1995 tentang
Usaha Kecil menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan usaha kecil adalah
kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan
bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan sebagaimana diatur dalam
undang-undang ini. Kriteria usaha kecil yang dimaksud adalah (a) memiliki
kekayaan bersih paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), tidak
termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau (b) memiliki hasil penjualan
tahunan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah); (c) milik Warga
Negara Indonesia; (d) berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau
cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun
tidak langsung dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar; (e) berbentuk usaha
orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha
yang berbadan hukum, termasuk koperasi. Kriteria usaha kecil menurut Badan
Pusat Statistik (BPS), Menneg Koperasi & PKM, Bank Indonesia, dan Bank
Dunia dapat dilihat pada Lampiran 1.
B. Industri Kecil Tapioka
Tapioka merupakan pati yang diperoleh dari ekstraksi umbi ubi kayu
(Manihot esculenta Crantz atau Manihot utilissima Pohl) (Grace, 1977). Menurut
Balagopalan et al. (1988), kebanyakan industri pati memproduksi pati dari ubi
kayu. Ubi kayu adalah salah satu produk pertanian yang paling banyak
mengandung pati. Umbinya mengandung 30 % pati dan hanya sedikit protein,
karbohidrat dan lemak. Oleh karena itu, ekstraksi pati dari ubi kayu lebih mudah
dilakukan dibandingkan ekstraksi pati dari jagung, gandum, atau pun serealia.
Kandungan nutrisi umbi ubi kayu dan tapioka dapat dilihat pada Lampiran 2.
Sedangkan standar kualitas tapioka dan tapioka kasar dapat dilihat pada Tabel 1.
4
Tabel 1 Standar kualitas tapioka dan tapioka kasar
SNI 0-3451-1994 Dianalisis oleh
LJAP* (2006/7/4)
satuan Kualitas
I Kualitas
II Kualitas
III Tapioka Tapioka
kasar
Kadar air % max. 17 max. 17 max. 17 9,41 12,45
Kadar abu % max. 0,60
max. 0,60
max. 0,60 0,1 0,07
Keputihan (BaSO4 = 100) %
min. 94,5
min. 92,0 < 92,0 93,85 91,61
Viscositas oEngler 3-4 2,5-3 <2,5 4,08 1,35
Derajat asam ml 1N NaOH
/100g 3,0 3,0 3,0 0,453 0
Kadar HCN % negatif negatif negatif 0,0012 0,0016
* Laboratorium Jasa Analisis Pangan IPB Hidetoshi (2006)
Menurut Thaib (1985), dari segi ukuran dan umur singkong yang
digunakan untuk pembuatan tapioka, singkong yang digunakan adalah umbi
dengan ukuran dan umur yang maksimal untuk dikonsumsi. Bila dipilih umbi dari
singkong muda, kandungan pati sangat rendah. Tetapi bila menggunakan
singkong yang terlalu tua maka umbi keras seperti kayu. Umur singkong yang
dipilih untuk tapioka adalah sekitar 8-11 bulan.
Kualitas tapioka yang dihasilkan akan ditentukan dari keseluruhan proses.
Mulai dari pemanenan umbi hingga pengeringan harus dilakukan secepat
mungkin. Ubi kayu harus segera diproses dalam waktu kurang dari 24 jam setelah
dipanen. Tahapan proses pembuatan tapioka terdiri dari: (1) pencucian dan
pengupasan ubi kayu untuk membersihkan dan membuang kulit umbi, (2)
pemarutan atau penghancuran dinding dan struktur sel untuk mengeluarkan pati,
(3) penyaringan ekstraksi untuk memisahkan bubur pati menjadi dua fraksi yaitu
ampas dan pati (starch milk), (4) pemurnian atau penghilangan air untuk
memisahkan padatan granula pati dengan air, dengan cara pengenapan
(sedimentasi atau sentrifugasi), (5) pengeringan untuk mengurangi kadar air dari
14-35% menjadi 12-14% agar dapat disimpan dalam waktu lama, (6) penyelesaian
akhir seperti penggilingan, pengayakan dan pengemasan (Balagopalan et al.,
1988).
5
Menurut penelitian Irawan (1989) yang dilakukan di Provinsi Lampung
dan Jawa Barat, tapioka yang dihasilkan dapat dibagi atas tapioka halus dan
tapioka kasar. Kedua jenis tapioka ini pada dasarnya dapat memiliki kegunaan
yang sama dan hanya berbeda dalam bentuk produk yang dihasilkan. Tapioka
halus merupakan hasil proses lanjutan dari tapioka kasar.
Meskipun tapioka kasar dapat pula langsung diproses menjadi jenis
krupuk tertentu, namun pemasaran tapioka pada umumnya dilakukan dalam
bentuk tapioka halus. Industri kecil tapioka melakukan pengolahan ubi kayu
menjadi tapioka kasar (Irawan, 1989). Proses pembuatan tapioka kasar pada
dasarnya sama dengan pembuatan tapioka halus. Akan tetapi, prosesnya berhenti
setelah tapioka kasar dihasilkan dan tidak dilanjutkan lagi dengan penggilingan
atau penepungan dan pengayakan seperti pada pembuatan tapioka halus. Urutan
proses produksi tapioka dapat dilihat pada Lampiran 3.
C. Limbah Industri Kecil Tapioka
Menurut Balagopalan et al. (1988), proses pembuatan tapioka
membutuhkan banyak air sehingga akan selalu menghasilkan limbah cair. Banyak
dari industri tapioka yang lokasinya dekat dengan perairan seperti sungai atau pun
danau. Limbah cair dari industri tapioka yang dibuang langsung ke sungai akan
mencemari sungai atau pun danau tersebut. Limbah cair ini memerlukan
perlakuan karena dapat mempengaruhi lingkungan dan kualitas hidup masyarakat
sekitar.
Limbah industri tapioka apabila tidak diolah dengan baik dan benar dapat
menimbulkan berbagai masalah yaitu: timbulnya penyakit, misalnya: gatal-gatal;
timbul bau yang tidak sedap; matinya ikan; dan berubahnya estetika sungai
(www.menlh.go.id.). Menurut Balagopalan et al. (1988) limbah cair tapioka akan
mengakibatkan peningkatan COD, BOD, dan padatan terlarut, turunnya pH dan
total Nitrogen. Selain itu, limbah cair tapioka juga mengandung mikroorganisme
antara lain: bakteri, dan fungi. Hal ini dikarenakan limbah tapioka yang belum
diolah mengandung selulosa, dan gula bebas.
Proses ekstraksi pati dari ubi kayu juga menghasilkan ampas (onggok).
Tabel 2 menunjukkan bahwa komponen yang paling banyak terkandung dalam
6
ampas dari tapioka adalah karbohidrat. Tabel 3 menunjukkan besarnya debit
limbah cair berbagai industri tapioka dan karakteristiknya.
Tabel 2 Komposisi ampas tapioka
Komponen Persen
Lemak 0,22 - 0,30
Protein 1,45 - 1,70
Serat kasar 9,42 - 0,54
Air 19,70 - 20,30
Karbohidrat 67,93 - 68,30 BPPI Semarang (1983) di dalam Retnani (1999)
Tabel 3 Karakteristik limbah cair pada berbagai industri tapioka (rata-rata)
Karakteristik Satuan Industri Kecil Menengah Besar
Bahan baku ton/hari 5,00 20,00 200-600
Debit m3/hari 22,00 80,00 1200,00
BOD5 ppm 5055,82 5439,45 3075,84
COD ppm 16202,30 25123,33 5158,78
MPT ppm 3415,45 3422,00 1342,00
pH - 5,50 4,50 5,00
Sianida (CN) ppm 0,1265 0,117 0,200BPPI Semarang (1983) di dalam Retnani (1999)
D. Produksi Bersih Produksi bersih adalah strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat
pencegahan dan terpadu yang diterapkan pada seluruh siklus produksi untuk
meningkatkan produktivitas dengan memberikan tingkat efisiensi yang lebih baik
pada penggunaan bahan mentah, energi dan air; mendorong performansi
lingkungan yang lebih baik melalui pengurangan sumber-sumber pembangkit
limbah dan emisi serta mereduksi dampak produk terhadap lingkungan dari siklus
hidup produk dengan rancangan yang ramah lingkungan, namun efektif dari segi
7
biaya (Osuna, 2007). Gambar 1 menunjukkan definisi dan ruang lingkup produksi
bersih.
Gambar 1 Definisi dan ruang lingkup produksi bersih
Menurut Fresner dan Schnitzer (1997), produksi bersih dapat diterapkan
pada semua industri. Adapun langkah-langkah yang umum dilakukan dalam
penentuan opsi minimisasi limbah adalah sebagai berikut: (1) menetapkan
material atau komponen yang akan ditelusuri, (2) menetapkan batasan sistem, (3)
menetapkan target waktu, (4) menetapkan tahapan-tahapan proses, (5) membuat
flowchart, (6) membuat neraca keseluruhan dan neraca tiap satuan proses, (7)
menginterpretasikan hasil dan memformulasikannya dalam grafik.
Produksi Bersih
Strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat terpadu dan preventif
Diterapkan dalam produksi dan siklus pelayanan
Produk: - reduksi limbah
melalui rancangan yang lebih baik
- penggunaan limbah untuk produksi baru
Proses: - konservasi bahan
baku, energi dan air
- pengurangan jumlah atau tingkat toksisitas emisi pada sumber
- evaluasi dari pilihan teknologi
- reduksi biaya dan teknologi
Pelayanan: - efisiensi
manajemen lingkungan dalam rancangan dan pengiriman
Dampak : - perbaikan efisiensi - performansi lingkungan yang lebih baik - peningkatan keuntungan yang kompetitif
8
Pada umumnya teknik minimisasi limbah dapat dikelompokkan ke dalam
empat kategori yaitu manajemen persediaan dan perbaikan proses, modifikasi
peralatan, penggantian proses produksi, dan daur ulang. Masing-masing teknik
dapat diterapkan pada berbagai industri (Eckenfelder, 2000).
Menurut penelitian Weston dan Stuckey (1994), produksi bersih dapat
diimplementasikan saat mulai mendesain proses atau pun dengan reformulasi
produk. Teknik teknologi yang sederhana seperti good housekeeping (tata laksana
yang baik) dapat diterapkan dan dapat menekan biaya.
Usaha pengembangan konsep produksi bersih diharapkan dapat
menimbulkan perubahan pada masyarakat. Perubahan ini mencakup perubahan
kesadaran, pengetahuan, cara pandang, sikap dan tingkah laku. Terdapat sejumlah
pihak yang secara khusus terkait dengan promosi dan penerapan konsep produksi
bersih. Pihak-pihak tersebut antara lain: (a) pemerintah: pusat, daerah dan desa,
(b) pelaku bisnis (swasta-BUMN, industri-nonindustri, kecil-besar), (c)
masyarakat para ahli (perguruan tinggi, lembaga penelitian, perusahaan
konsultan), (d) Lembaga Swadaya Masyarakat, (e) masyarakat luas (konsumen
dan anggota masyarakat lain) (Raka, 1999).
Bagaimanapun, nampak bahwa tidak mudah sama sekali untuk
mengimplementasikan konsep produksi bersih dalam suatu perusahaan. Menurut
penelitian Weston dan Stuckey (1994) pada sejumlah kasus di Inggris,
pengembangan produksi bersih memiliki banyak kendala yang bervariasi. Pada
penelitian di Amerika, kendala-kendala tersebut dikelompokkan menjadi tiga
yaitu: kendala teknis (10%), kendala finansial (30%), kendala politis (60%).
Kendala politis terdiri dari kendala organisasional dan legislatif. Sedangkan
kendala teknis terjadi akibat kurangnya data dan informasi detail teknis yang
dibutuhkan.
Menurut Frijns dan Vliet (1999) terdapat empat tipe hambatan pada level
perusahaan dan level kelembagaan, di antaranya: pola sikap, organisasional,
teknis, dan ekonomis. Pola sikap berkaitan dengan kurangnya perhatian terhadap
permasalahan lingkungan, resistensi terhadap perubahan, pandangan bahwa
ketentuan lingkungan memerlukan biaya mahal, dan suatu penekanan pada
ketentuan teknologi end of pipe. Kesadaran di antara pekerja dan majikan
9
terhadap permasalahan kesehatan pekerjaan dan lingkungan pada umumnya masih
rendah. Hambatan teknis disebabkan oleh informasi dan teknologi yang tersedia
sulit diakses oleh industri berskala kecil. Hambatan ekonomis disebabkan oleh
kurangnya pendanaan. Beberapa hambatan pada level perusahaan terkait pula
dengan lingkungan kelembagaan dimana industri berskala kecil beroperasi. Tidak
hanya faktor internal seperti biaya dan komitmen manajemen yang terpenting,
tetapi juga harus disokong oleh pendorong eksternal yang memotivasi industri
untuk melakukan produksi bersih.
Industri kecil memiliki peluang kecil untuk mengendalikan pencemaran
akibat keterbatasan yang dimiliki. Oleh karena itu, industri kecil membutuhkan
dukungan tambahan yang spesifik untuk menerapkan upaya-upaya minimisasi
limbah. Menurut Frijns dan Vliet (1999), dalam mendorong produksi bersih pada
industri kecil, terdapat empat elemen kunci dari strategi pendukung yang
diajukan, yaitu: (1) meningkatkan kesadaran pengusaha mengenai isu-isu
keamanan dan lingkungan, dan mendidik pekerja serta pejabat dalam sektor skala
kecil mengenai isu-isu lingkungan; (2) menyediakan insentif teknis dan finansial
untuk produksi bersih di industri berskala kecil; (3) meningkatkan kemungkinan
representasi dari pengusaha berskala kecil dalam badan-badan pembuat
keputusan; dan (4) mengkoordinasi upaya-upaya kebijakan yang tersebar saat ini,
program LSM bagi industri berskala kecil, dan isu-isu lingkungan.
E. Penelitian Terdahulu
Hidetoshi (2006) telah melakukan penelitian kepada industri kecil tapioka
di Bogor. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi faktor-faktor penjaminan
mutu dan mengembangkan strategi penting untuk meningkatkan penjaminan mutu
pada industri kecil tapioka. Analisa data dilakukan dengan QFD (Quality Function
Deployment) dan SWOT (Strength Weakness Opportunity Threat). Penelitian ini
menunjukkan bahwa persyaratan atribut ubi kayu adalah kesegaran perubahan
warna, pencemar, jenis dan ukuran.
Penelitian Hidetoshi (2006) juga menyimpulkan bahwa industri kecil
tapioka berada pada Kuadran I dalam matrik SWOT. Hal ini menunjukkan bahwa
strategi agresif dapat digunakan untuk memperbaiki kemampuan penjaminan
mutu industri kecil tapioka, seperti sistem pengadaan ubi kayu dan persyaratan
10
mutunya, perbaikan teknologi proses dan diversifikasi pemasaran tapioka kasar.
Salah satu faktor kondusif adalah pengembangan standar mutu tapioka kasar, baik
untuk industri kecil tapioka maupun pengguna. Faktor-faktor eksternal harus
dikaji untuk memperluas dukungan untuk menyediakan lingkungan yang lebih
baik bagi industri kecil tapioka.
Kurniarto (2006) telah melakukan penelitian kepada industri kecil tapioka
di Ciluar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi pengusaha terhadap
pengelolaan limbah cair industri kecil tapioka; mengkaji faktor-faktor yang
mempengaruhi kesediaan/ketidaksediaan membayar (Willingness to Pay/ WTP)
terhadap pengelolaan limbah dan pemeliharaan lingkungan; mencari besarnya
nilai WTP dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhinya. Pendekatan
penilaian ekonomi yang digunakan adalah CVM (Contingent Valuation Method).
Penelitian Kurniarto (2006) dilakukan dengan membuat empat skenario.
Masing-masing skenario dianalisis agar diperoleh skenario yang optimal.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa pengelolaan limbah industri kecil tapioka
Kelurahan Ciluar yang sebaiknya dilakukan adalah IPAL pengenapan mekanis
dimana manajemen operasionalnya dilakukan oleh pemerintah (pihak kelurahan),
dan pengusaha membantu dengan membayar iuran pembangunan dan retribusi per
bulan untuk perawatan IPAL.
Sofyar (2004) telah melakukan penelitian yang bertujuan untuk
merumuskan kebijakan usaha kecil yang berbasis produksi bersih. Obyek
penelitian adalah tiga jenis usaha kecil yaitu usaha kecil tapioka yang berlokasi di
Kabupaten Lampung Tengah Provinsi Lampung; pembatikan di Kabupaten Klaten
dan Sukoharjo Provinsi Jawa Tengah; serta penyamakan kulit di Kabupaten Garut
Provinsi Jawa Barat.
Hasil penelitian Sofyar (2004) mengindikasikan bahwa (1) ketiga
kelompok usaha kecil tidak berbeda secara signifikan dalam persepsinya terhadap
faktor-faktor pengembangan kebijakan, sehingga faktor-faktor pertimbangan
kebijakan tersebut dapat bersifat inklusif, (2) ketiga kelompok usaha kecil
cenderung berperilaku lebih mementingkan aspek bisnis dibanding pada aspek
lingkungan. Hasil penelitian tersebut diperoleh dari serangkaian kombinasi
metode analisis yang terdiri atas: metode statistik inferensi, metode analisis MEP
11
(Measurement Environmental Performance). Alternatif strategi kebijakan dan
prioritas kebijakan dalam pengembangan usaha kecil berbasis produksi bersih
didapatkan melalui analisis SWOT (Strength Weakness Opportunity Threat) dan
AHP (Analytical Hierarchy Process).
Salah satu kesimpulan dari penelitian Sofyar (2004) adalah strategi yang
diperlukan dalam pencapaian sasaran pembangunan usaha kecil yang berbasis
produksi bersih terdiri dari (1) sosialisasi konsep produksi bersih dan pelatihan
manajemen, produksi dan pemasaran, yang mendukung penerapan produksi bersih
pada kegiatan usaha kecil, (2) penyusunan kebijakan bersama lintas Departemen/
Instansi, (3) bantuan permodalan bagi Sentra Usaha Kecil (kelompok usaha yang
sejenis) untuk mendukung penerapan produksi bersih, (4) pemberian penghargaan
dan insentif bagi pelaku produksi bersih.
Kusarpoko (2003) telah melakukan penelitian yang bertujuan
mengoptimalkan proses pengenapan pati dengan mengamati ukuran serat parutan,
jumlah air untuk ekstraksi, fenomena pengenapan butiran pati dan ukuran
pengenapan. Penelitian dilakukan untuk mengamati korelasi antara laju alir, tinggi
permukaan dan panjang bak pengenapan. Penelitian juga dilakukan untuk
menghitung pengaruh konsentrasi suspensi tapioka terhadap kecepatan
pengenapan.
III. METODE PENELITIAN
A. Kerangka Pemikiran
Limbah yang dihasilkan oleh industri kecil tapioka dapat menimbulkan
permasalahan lingkungan. Limbah tersebut hendaknya dapat dikurangi dengan
ditangani lebih lanjut agar tidak membahayakan lingkungan dan kualitas hidup
masyarakat sekitar.
Kegiatan penanganan pencemaran oleh limbah tidak hanya dilakukan
dengan pengolahan limbah saja, namun kegiatan pengendalian dan pengurangan
jumlah limbah yang dihasilkan juga merupakan suatu langkah yang dapat
membantu menurunkan beban pencemaran. Salah satu cara untuk mengendalikan
dan mengurangi jumlah limbah yang dihasilkan adalah dengan mengefisienkan
proses produksi. Produksi yang tidak efisien dapat menyebabkan pemborosan
sumber daya, kerugian ekonomi, kondisi kerja yang buruk dan pencemaran
lingkungan.
Efisiensi produksi adalah bagian dari konsep produksi bersih. Produksi
bersih merupakan strategi untuk meningkatkan efisiensi pemakaian bahan baku
dan meminimisasi limbah, dan polusi sehingga dapat mengurangi dampak
lingkungan. Oleh karena itu, strategi produksi bersih dirasakan tepat untuk dapat
melakukan perbaikan pada industri kecil tapioka.
B. Waktu Dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan selama dua bulan, dimulai pada bulan Maret 2007.
Penelitian dilakukan di Sentra Industri Kecil Tapioka Kelurahan Ciluar,
Kecamatan Bogor Utara yaitu di wilayah RT 01 dan RT 03 Desa Bubulak serta
RT 03 Desa Tarikolot.
C. Pengumpulan Data
1. Data Primer
Data primer diperoleh dari industri kecil tapioka di Ciluar, dan Dinas
Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kota Bogor. Kantor Kelurahan
Ciluar. Data primer merupakan hasil pengamatan di lapangan, wawancara, dan
kuisioner ahli. Data primer terdiri dari pengusaha industri kecil tapioka di
13
Ciluar (karakteristik pengusaha industri, dan masyarakat; neraca massa,
rendemen, dan harga/nilai ekonomis untuk kebutuhan perhitungan analisis
finansial); hasil wawancara dengan Dinas Perindustrian Perdagangan dan
Koperasi Kota Bogor terhadap industri kecil.
2. Data Sekunder
Data sekunder didapatkan dari BPS, Dinas Perindustrian Perdagangan
dan Koperasi Kota Bogor, Kantor Kelurahan Ciluar, dan penelitian terdahulu.
Data sekunder terdiri dari jumlah dan lokasi industri kecil agro yang ada di
Kota Bogor, Keadaan umum wilayah Kelurahan Ciluar, Peta dan lokasi
industri kecil tapioka Ciluar.
D. Teknik Analisis
1. Analisis Teknologi
Analisis teknologi mengkaji pilihan program produksi bersih. Kajian
tersebut ditinjau dari kemungkinan penerapan, kelemahan, kemudahan, dan
kesesuaian opsi yang diusulkan dengan kondisi lingkungan industri kecil
tapioka di Ciluar. Dari hasil analisis teknologi akan diperoleh alternatif
perbaikan teknologi produksi bersih untuk industri kecil tapioka di Ciluar.
2. Analisis Finansial
Aspek finansial memperkirakan biaya atau kemungkinan penghematan
dan keuntungan yang dapat diperoleh dari penerapan opsi produksi bersih dan
pengelolaan lingkungan industri kecil tapioka di Ciluar. Analisis finansial
menghitung periode kembalinya modal investasi (payback period).
Payback period (PBP) atau Periode Pengembalian adalah waktu
minimum untuk mengembalikan investasi awal dalam bentuk aliran kas yang
didasarkan atas total penerimaan dikurangi semua biaya kecuali biaya
penyusutan. Ukuran ini menunjukkan jumlah tahun yang diperlukan untuk
memperoleh kembali semua modal yang telah diinvestasikan. Usaha yang
dapat menghasilkan periode pengembalian yang lebih singkat dibandingkan
dengan periode pengembalian industri rata-rata dianggap sebagai usaha yang
menguntungkan.
14
total investasi PBP =
ekstra cash flow
Periode pengembalian ini dirumuskan sebagai berikut :
3. Analytical Hierarchy Process (AHP)
Menurut Marimin (2005), AHP adalah metode yang digunakan dalam
proses pengambilan keputusan suatu masalah yang disederhanakan dalam
suatu kerangka berpikir yang terorganisisr, sehingga memungkinkan dalam
pengambilan keputusan yang efektif. Prinsip kerja AHP adalah
penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, stratejik, dan
dinamik menjadi bagian-bagiannya, serta menatanya dalam suatu hierarki.
Tingkat kepentingan setiap elemen diberi nilai numerik secara subjektif
tentang arti penting elemen tersebut secara relatif dibandingkan dengan
elemen yang lain. Sintesa kemudian dilakukan untuk menetapkan elemen yang
memiliki prioritas tinggi dan mempengaruhi hasil pada sistem.
AHP memiliki banyak keunggulan dalam menjelaskan proses
pengambilan keputusan karena dapat digambarkan secara grafis. Selain itu,
AHP dapat menguji konsistensi penilaian. AHP juga bisa dipakai untuk
mengolah data dari beberapa ahli (Marimin, 2005). Software yang digunakan
untuk mengolah data nilai tingkat kepentingan dengan metode AHP adalah
Expert Choice 2000.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Keadaan Umum Wilayah
Luas Wilayah Kelurahan Ciluar berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
2 Tahun 1995 dan Inmendagri Nomor 30 Tahun 1995 tanggal 24 Agustus 1992
tentang Perubahan Batas Wilayah Kotamadya Bogor dan Kabupaten Bogor adalah
220 ha. Kelurahan Ciluar terdiri dari 10 RW dan 49 RT. Kelurahan ini dibagi
menjadi lima desa yaitu: Ciluar (RW 1), Babakan (RW 2), Bubulak (RW 3),
Tarikolot (RW 4), Rambai (RW 5 dan RW 6); serta empat perumahan KPR BTN
yaitu: Pondok Aren (RW 7), Bumi Ciluar Indah (RW 8), Ciluar Asri (RW 9) dan
Taman Kenari (RW 10) (Monografi Kelurahan Ciluar, 2006).
Kelurahan Ciluar sebelah utara berbatasan dengan Desa Cimandala
Kecamatan Sukaraja Kabupaten Bogor; sebelah selatan dan barat berbatasan
dengan Kelurahan Cimahpar Kecamatan Bogor Utara Kota Bogor; serta sebelah
timur berbatasan dengan Desa Pasir Raja Kecamatan Sukaraja. Kelurahan Ciluar
berada pada ketinggian 300 m dari permukaan laut. Curah hujan rata-rata 3500-
4000 mm per tahun dan temperatur rata-rata 23-32 oC. Topografinya berupa
dataran dengan kesuburan tanah yang relatif sedang (Monografi Kelurahan Ciluar,
2006).
B. Sentra Industri Kecil Tapioka
Kelurahan Ciluar merupakan daerah yang banyak terdapat industri kecil
tapioka yang letaknya saling berdekatan atau disebut dengan sentra industri kecil
tapioka. Tabel 4 menunjukkan bahwa antara bangunan pabrik yang satu dan
bangunan pabrik yang lain bersebelahan (berjarak sekitar 4 m) atau dibatasi oleh
area jemur masing-masing pabrik (berjarak sekitar 20-50 m).
Gambar 2 memperlihatkan bahwa pada umumnya industri kecil tapioka di
Ciluar tersebar di wilayah desa yang dilalui aliran sungai. Jarak yang dekat
dengan sungai membuat industri-industri kecil tapioka langsung mengalirkan
limbah cairnya ke sungai, kecuali pengusaha nomor 7, 14 dan 17 (Tabel 4).
Pengusaha nomor 7 dan 14 mengenapkan limbah cairnya selama beberapa waktu
terlebih dahulu sebelum membuangnya ke sungai. Pengusaha nomor 17
16
1
2 3
456
7
8910
11
12
13
1415
16
17
18
19 20
21
menampung limbah cair yang dihasilkannya dan mengalirkannya ke sekitar pabrik.
Ini disebabkan oleh letak pabriknya yang jauh dari sungai.
Keterangan:
sungai kecil
jalan desa
batas wilayah
industri kecil tapioka
Gambar 2 Industri-industri kecil tapioka yang letaknya saling berdekatan
U
17
Tabel 4 Karakteristik industri kecil tapioka di Ciluar
No. Nama pengusaha
Kapasitas rata-rata
(pikul* ubi kayu)
Teknologi
Penanganan limbah
Jarak dengan rumah
penduduk (meter)
Jarak dengan pabrik tapioka kasar terdekat
(meter) Ekstraksi Pengenapan Penghancuran
1. Iin 15 manual 1 tahap mesin langsung ke sungai 10 90
2. Ace 15 manual 1 tahap mesin langsung ke sungai 20 90
3. Sa’i 20 manual 1 tahap mesin langsung ke sungai 10 80
4. Abdul Jais 25 gobegan 1 tahap mesin langsung ke sungai 10 40
5. H. Amin 20 manual 1 tahap mesin langsung ke sungai 20 10
6. Ibu Erum 15 manual 1 tahap mesin langsung ke sungai 30 10
7. Kanang 20 gobegan 1 tahap & disaring
mesin dienapkan dulu, lalu ke sungai
30 20
8. H. Imar 20 manual 1 tahap manual langsung ke sungai 20 4
9. Idris 10 manual 1 tahap manual langsung ke sungai 4 4
10. Janur 20 manual 1 tahap mesin langsung ke sungai 2 20
11. Ajum 27 manual 1 tahap mesin langsung ke sungai 25 20
12. Nurhadi 25 manual 1 tahap manual langsung ke sungai 45 40
13. Zakariya 25 manual 1 tahap mesin langsung ke sungai 55 50 *1 pikul = ±72 kg ubi kayu kupas
17
18
Tabel 4 Karakteristik industri kecil tapioka di Ciluar (lanjutan)
No. Nama pengusaha
Kapasitas rata-rata
(pikul* ubi kayu)
Teknologi
Penanganan limbah
Jarak dengan rumah
penduduk (meter)
Jarak dengan pabrik tapioka kasar terdekat
(meter) Ekstraksi Pengenapan Penghancuran
14. Lili Dumyati 30 gobegan 2 tahap mesin dienapkan dulu lalu ke sungai
20 20
15. Udin 20 manual 1 tahap manual langsung ke sungai 20 20
16. H. Dayat 27 manual 1 tahap manual langsung ke sungai 30 70
17. Suminta 1 10 manual 1 tahap mesin ditampung, tidak ke sungai
40 500
18. Suminta 2 10 manual 1 tahap mesin langsung ke sungai 100 100
19. Edi 10 manual 2 tahap manual langsung ke sungai 100 40
20. Mansur 10 manual 2 tahap manual langsung ke sungai 65 40
21. Atus 10 manual 2 tahap manual langsung ke sungai 5 60 * 1 pikul = ±72 kg ubi kayu kupas
18
19
1. Keadaan umum industri
Produk utama yang dihasilkan oleh industri kecil tapioka di Ciluar
adalah tapioka kasar. Tapioka kasar tersebut dijual ke pabrik pengayakan atau
pabrik tapioka halus (untuk selanjutnya disebut sebagai pabrik tapioka besar).
Menurut Falcon et al. (1984), pabrik tapioka besar memiliki peranan yang
esensial karena sebagian besar konsumen tapioka tidak dapat menggunakan
tapioka kasar tanpa diolah dulu menjadi tapioka halus. Pabrik tapioka besar
membeli tapioka kasar dari beberapa industri kecil tapioka lalu
memisahkannya menjadi dua atau tiga kualitas. Tapioka kasar tersebut digiling
dan diayak dalam sebuah mesin.
Ampas dari ekstraksi ubi kayu parut yang dikeringkan disebut onggok.
Ampas tersebut dikeringkan oleh industri kecil tapioka lalu dijual ke pabrik
tapioka besar. Pabrik tapioka besar menggiling onggok menjadi tepung
onggok (tepung asia), dan tepung serah. Tepung onggok dapat dimanfaatkan
sebagai bahan campuran kerupuk dan saos. Tepung serah dapat digunakan
untuk bahan campuran dalam pembuatan oncom dan saos. Hasil samping dari
proses penggilingan onggok berupa serat-serat kasar yang tidak dapat hancur,
dapat juga dimanfaatkan sebagai bahan campuran makanan ternak.
2. Produksi
Pada dasarnya produksi dilakukan setiap hari. Namun demikian,
adanya fluktuasi persediaan bahan baku ubi kayu dan kurangnya modal yang
dimiliki oleh pengusaha menyebabkan produksi terhambat. Naiknya harga ubi
kayu menyebabkan pengusaha yang modalnya kecil tidak mampu membeli
bahan baku sehingga tidak dapat melaksanakan produksi. Ketersediaan ubi
kayu antara lain dipengaruhi oleh musim, persediaan ubi kayu yang ada di
petani, dan permintaan terhadap ubi kayu. Fluktuasi persediaan ubi kayu akan
mengakibatkan naik turunnya harga ubi kayu di tingkat petani.
Selain kemampuan pengusaha dalam pengadaan ubi kayu dan
pemilikan modal, berlangsungnya proses produksi juga dipengaruhi oleh cuaca.
Ketika turun hujan, penjemuran tidak dapat dilakukan. Apabila hujan
berlangsung terus-menerus selama beberapa hari, proses produksi tidak dapat
dilaksanakan.
20
3. Kapasitas produksi
Kapasitas produksi yang dilakukan oleh pengusaha kecil tapioka setiap
harinya tergantung pada kemampuan untuk membeli bahan baku ubi kayu.
Kebanyakan dari industri mengolah sebanyak 20 pikul ubi kayu per hari.
Namun, ada juga yang hanya mengolah 10 pikul ubi kayu per hari. Hal ini
disebabkan juga oleh kecilnya bak pengenapan yang dimiliki.
4. Bahan baku
Ubi kayu terdiri dari ubi kayu manis dan ubi kayu pahit. Hal ini
berdasarkan pada kandungan asam hidrosianida beracun (HCN) yang berbeda.
Varietas yang kurang beracun disebut ubi kayu manis. Varietas yang lebih
beracun disebut ubi kayu pahit. Kedua jenis ubi kayu tersebut dapat digunakan
sebagai bahan baku tapioka. Menurut Coursey (1973) di dalam Falcon et al.
(1984) HCN dapat dihilangkan melalui proses perendaman dan pemanggangan
atau pengeringan. Ubi kayu pahit dapat digunakan dalam pembuatan tapioka
karena perendaman dan pengeringan merupakan bagian dari tahapan proses
produksi tapioka.
Industri kecil tapioka biasanya memperoleh ubi kayu dari petani
melalui pedagang perantara. Namun terkadang ada pula yang menggunakan
ubi kayu hasil kebun sendiri. Jika jarak antara kebun dan pabrik pengolahan
relatif dekat, pengupasan dilakukan di kebun. Ubi kayu dikupas terlebih
dahulu oleh pekerja pikul dari pihak pengusaha. Pembelian ubi kayu kupas
dihitung menggunakan satuan pikul (1 pikul = ±72 kg ubi kayu kupas). Ubi
kayu kupas kemudian diangkut ke pabrik oleh pekerja pikul dengan cara
meletakkannya pada dua buah karung yang dikaitkan pada pikulan. Jika ubi
kayu diperoleh dari tempat yang jauh maka, ubi kayu diangkut ke pabrik
dalam keadaan belum dikupas. Pengupasan kemudian dikerjakan oleh anggota
keluarga atau pun masyarakat sekitar pabrik yang diupah.
5. Teknologi proses
Proses pembuatan tapioka kasar yang dilakukan oleh industri kecil
tapioka di Ciluar terdiri dari pengupasan, pencucian, pemarutan, ekstraksi,
pengenapan pati, dan penjemuran. Pengupasan dilakukan secara manual
21
menggunakan pisau yang tajam. Ubi kayu yang sudah dikupas kemudian
dicuci dalam sebuah bak rendam. Ubi kayu tersebut dicuci oleh 2-3 orang
pekerja secara manual dengan kaki. Ubi kayu bersih kemudian dipindahkan ke
bak bilas. Setelah itu, dilakukan pemarutan memakai alat parut berputar yang
dihubungkan dengan sebuah mesin diesel.
Pada umumnya ekstraksi dilakukan secara manual dengan mengaduk-
aduk bubur ubi kayu di atas saringan bambu yang dilapisi kain dan dialiri air.
Namun ada juga yang menggunakan gobegan (Gambar 3) untuk ekstraksi.
Gobegan atau saringan goyang terdiri dari 5 atau 6 bingkai saringan 80-100
mesh berukuran 1×1 m yang dipasang secara horizontal pada sebuah kerangka
kayu yang bergerak maju mundur. Di atasnya diberi selang atau pipa untuk
menyemprotkan air. Gobegan biasanya digerakkan oleh sebuah mesin diesel
yang sama, yang juga menggerakkan alat pemarut dan pompa air. Gerakan
maju mundur akan membuat ubi kayu parut berjalan ke belakang. Semakin
lama ubi kayu parut kontak dengan air, maka pati yang terlarutkan dan
terbawa oleh air akan semakin benyak. Oleh karena itu, semakin ke belakang
kadar pati ubi kayu parut semakin berkurang.
Gambar 3 Gobegan ukuran lima meter (5 bingkai saringan)
Proses ekstraksi menghasilkan susu pati yang langsung dialirkan ke
dalam bak pengenapan. Ada pula yang menyaringnya lagi dengan saringan
150 mesh sebelum susu pati tersebut masuk ke dalam bak pengenapan. Hal ini
supaya ubi kayu parut yang lolos dari saringan ketika proses ekstraksi, dapat
dikumpulkan untuk diekstrak kembali.
22
Pengenapan akan mengakibatkan terjadinya pemisahan antara air di
bagian atas dengan enapan pati yang memadat di dasar bak. Diantara dua
lapisan tersebut terdapat partikel-partikel bukan pati yang berwarna
kekuningan yang biasa disebut dengan lindur atau elot. Lindur biasanya masih
mengandung sisa protein dan pati (Kusarpoko, 2003).
Pada pengenapan satu tahap, lapisan air beserta lindur yang telah
terpisah kemudian dibuang sehingga diperoleh enapan pati. Pada pengenapan
dua tahap, dilakukan pengenapan pendahuluan sebagai sarana pencucian pati
dari elot atau lindur sehingga diperoleh enapan pati yang lebih putih. Enapan
pati kemudian dikeruk dan dipadatkan pada sebuah keranjang bambu yang
dialasi karung.
Sebelum pengeringan, perlu dilakukan proses persiapan yaitu proses
penghancuran enapan pati. Penghancuran dapat dilakukan secara manual
dengan kawat atau pun mesin berupa silinder berpaku. Butiran pati yang
dihasilkan kemudian ditebarkan di atas tampir/ tampah dan dijemur di atas rak
bambu setinggi 1 m.
C. Status Penerapan Produksi Bersih
Pengamatan lebih lanjut dilakukan terhadap industri kecil tapioka di Ciluar.
Pengamatan terdiri dari: rata-rata rendemen yang dihasilkan, prinsip produksi
bersih yang sudah dilakukan, dan opsi produksi bersih yang dapat diterapkan di
industri kecil tapioka di Ciluar.
1. Rendemen
Rendemen merupakan nilai perbandingan antara bobot tapioka kasar
kering yang dihasilkan dengan bobot ubi kayu kupas. Rendemen yang
dihasilkan oleh industri kecil tapioka di Ciluar dapat dilihat pada Tabel 5 dan
Tabel 6. Tabel 5 memperlihatkan rendemen dari tiga orang pengusaha yang
menggunakan alat gobegan dalam proses ekstraksinya sedangkan, Tabel 6
memperlihatkan rendemen yang biasa dihasilkan oleh delapan belas
pengusaha yang melakukan ekstraksi secara manual.
23
Tabel 5 Rendemen dari industri kecil tapioka di Ciluar yang menggunakan alat gobegan
Nama Pengusaha
Rata-rata produksi (pikul* ubi kayu)
Tapioka kasar kering yang dihasilkan (kg ) Rendemen (%)
a b (b/a) × 100% Abdul jaiz 25 5 20 Kanang 20 4 20 Lili dumyati 30 6 20 Jumlah pengusaha = 3 Total rendemen 60
Rata-rata rendemen 20 * 1 pikul = ±72 kg ubi kayu kupas
Tabel 6 Rendemen dari industri kecil tapioka di Ciluar yang tidak menggunakan alat gobegan (manual)
Nama pengusaha
Rata-rata produksi (pikul* ubi kayu)
Tapioka kasar kering yang dihasilkan (kg ) Rendemen (%)
a b (b/a) × 100% Iin 15 1,5 10 Ace 15 3 20 Sa’i 20 4 20 A. Amin 20 3 15 Ibu Erum 15 2 13,3 H. Imar 20 3 15 Idris 10 2 20 Janur 20 2,5 12,5 Ajum 27 4,5 16,67 Nurhadi 25 5 20 Zakariya 25 4,5 18 Udin 20 3,5 17,5 H. Dayat 27 4 14,82 Suminta 1 10 2 20 Suminta 2 10 2 20 Edi 10 2 20 Mansur 10 2 20 Atus 10 2 20 Jumlah pengusaha = 18 Total rendemen 312,79
Rata-rata rendemen 17,4 * 1 pikul = ±72 kg ubi kayu kupas
24
Menurut Thaib (1985), rendemen tapioka berkisar antara 19% dan 24%.
Berdasarkan pada Tabel 5 dan Tabel 6, dapat dilihat bahwa terdapat 12 orang
pengusaha (total 21 orang pengusaha) yang biasa memproduksi tapioka kasar
dengan rendemen di atas 19%. Hal ini berarti bahwa lebih dari separuh
pengusaha kecil tapioka di Ciluar memproduksi tapioka kasar dengan
rendemen yang cukup baik.
Tabel 5 dan Tabel 6 juga memperlihatkan perbedaan rata-rata
rendemen yang dihasilkan oleh pengusaha yang mengunakan gobegan dengan
pengusaha yang tidak menggunakan gobegan (manual). Perbedaan ini
menghasilkan selisih rata-rata rendemen sebesar 2,6%. Selisih tersebut
dipergunakan sebagai landasan asumsi bahwa penggunaan gobegan dapat
meningkatkan rendemen sebesar 2,6%.
2. Produksi bersih yang telah dilakukan
Produksi bersih dan pengelolaan lingkungan pabrik yang sudah
dilakukan oleh industri kecil tapioka di Ciluar dapat dilihat pada Tabel 7. Pada
Tabel 7 disebutkan bahwa industri kecil tapioka di Ciluar telah memanfaatkan
kulit kupasan ubi kayu untuk pupuk dan pakan kambing. Kulit kupasan yang
dihasilkan berkisar antara 20% dan 23% (neraca massa Lampiran 5, 6, dan 7).
Menurut Grace (1977), kulit ubi kayu terdiri dari lapisan kulit luar yang
biasanya lebih gelap dan lapisan kulit bagian dalam. Lapisan kulit luar
berkisar antara 0,5% dan 2%, sedangkan lapisan kulit bagian dalamnya
berkisar antara 8% dan 15% dari bobot keseluruhan umbi. Menurut Falcon
(1984), kulit kupasan ubi kayu lebih kurang 20% atau lebih dari bobot umbi
segar. Bila dibandingkan dengan Grace (1977) dan Falcon (1984) maka,
pengupasan yang dilakukan oleh industri kecil tapioka (Lampiran 5, 6, dan 7)
cukup baik.
Lampiran 5, 6, dan 7 adalah neraca massa tiga industri kecil tapioka di
Ciluar yang diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai kondisi
pengolahan dan tingkat efisiensinya. Dengan membandingkan neraca massa
dari Lampiran 5, dan 7 dapat diketahui bahwa masing-masing pengusaha
tersebut memiliki perbedaan pada banyaknya air untuk proses pencucian ubi
kayu dan ekstraksi padahal, jumlah ubi kayu yang diolah hampir sama.
25
Tabel 7 Produksi bersih dan pengelolaan lingkungan pabrik yang sudah dilakukan oleh industri kecil tapioka di Ciluar
Faktor Produksi bersih dan pengelolaan lingkungan pabrik yang
sudah dilakukan
Air • Air yang dipompa dari sumur bor dienapkan terlebih dahulu dalam bak penampungan
Energi • Penggunaan mesin diesel yang sama untuk menggerakkan pompa air dan mesin pemarut sekaligus
Pengupasan • Pemanfaatan kulit untuk pupuk
• Pemanfaatan kulit untuk pakan kambing
Pencucian • Penggunaan bak bilas untuk proses pencucian
Pemarutan • Penggunaan mesin pemarut
• Perawatan silinder pemarut secara rutin
Ekstraksi • Penggunaan alat gobegan*
Pengenapan pati
• Pencucian bak: tiga hari sekali
• Pemasangan jam dinding di pabrik**: ketepatan waktu pengenapan
Penghancuran
• Penggunaan mesin
• Penggunaan alas untuk menampung butiran pati yang tercecer
Penjemuran
• Penggunaan tampir/ tampah: memudahkan pengangkutan dan penjemuran
• Penggunaan pengaman kepala oleh pekerja jemur
Produk samping • Penjualan onggok
• Penjualan tapioka kasar kotor (hasil sapuan)
Limbah Cair • Pengenapan lindur/ elot***
Layout • Product layout: sesuai urutan proses produksi
• Lantai plester semen, keramik * baru dilakukan oleh pengusaha nomor 4, 7 dan 14 (Tabel 4) ** tidak dilakukan oleh pengusaha nomor 6 (Tabel 4) *** baru dilakukan oleh pengusaha nomor 7 (Tabel 4)
26
Perbedaan tersebut dikarenakan banyaknya air pencucian yang
digunakan tergantung pada jumlah ubi kayu, ukuran dan banyaknya kotoran
yang melekat pada ubi kayu tersebut. Jumlah ubi kayu yang lebih banyak,
dengan ukuran yang lebih kecil dan kotoran yang lebih banyak akan
membutuhkan air pencucian yang lebih banyak bila dibandingkan dengan
jumlah ubi kayu yang lebih sedikit, ukuran yang lebih besar, dan kotoran yang
lebih sedikit. Banyaknya air untuk ekstraksi yang digunakan tergantung pada
banyaknya pati yang terkandung pada ubi kayu. Semakin banyak patinya
maka semakin banyak air yang dibutuhkan.
3. Opsi produksi bersih yang dapat diterapkan
Produksi bersih meningkatkan efisiensi produksi dan memberikan
manfaat positif bagi lingkungan (Weston dan Stuckey, 1994). Pada dasarnya
pengusaha kecil tapioka di Ciluar sudah mengetahui opsi-opsi yang dapat
memperbaiki produksi tapioka kasar. Namun, hal itu belum dapat dilakukan
karena berbagai alasan. Pengetahuan pengusaha tersebut dirangkum dalam
Tabel 8. Selain itu, Tabel 8 juga memuat opsi-opsi dari hasil pengamatan dan
sumber lain yang sekiranya sesuai dan dapat memperbaiki produksi dan
lingkungan industri kecil tapioka di Ciluar.
D. Analisis Penerapan Produksi Bersih
Analisis penerapan produksi bersih terdiri dari aspek teknologi, finansial
dan politis. Aspek teknologi dan finansial digunakan untuk menentukan prioritas
dari usulan opsi penerapan produksi bersih. Dalam aspek teknologi, dilakukan
kajian terhadap opsi-opsi yang diusulkan pada Tabel 8. Kajian tersebut ditinjau
dari kelemahan, kemudahan, kemungkinan penerapan dan kesesuaian opsi yang
diusulkan dengan kondisi industri kecil tapioka di Ciluar. Aspek finansial
memperkirakan biaya atau kemungkinan penghematan dan keuntungan yang
dapat diperoleh dari penerapan opsi produksi bersih dan pengelolaan lingkungan
industri. Sedangkan aspek politis berbicara tentang alternatif program produksi
bersih dan prioritasnya dalam pengembangan sentra industri kecil tapioka di
Ciluar.
27
Tabel 8 Opsi produksi bersih dan pengelolaan lingkungan pabrik yang dapat diterapkan oleh industri kecil tapioka di Ciluar
Faktor Produksi bersih yang dapat diterapkan
Air Good housekeeping: penghematan air
Pencucian
• Penggunaan alat pencuci mekanis
• Recovery limbah cair dari proses pengenapan dan proses lainnya untuk proses pencucian dua tahap*
Ekstraksi • Penggunaan alat gobegan
Pengenapan pati • Pencucian bak: setiap hari
Limbah
• Pembuatan IPAL penampungan dan pengolahan limbah cair terpusat**
• Pengendalian lingkungan terpusat*** * Eris (2006), ** Kurniarto (2006), *** Sofyar (2004)
a. Aspek teknologi penerapan produksi bersih
Teknik teknologi yang sederhana seperti good housekeeping dapat
diterapkan dan dapat menekan biaya dengan tidak melakukan pemborosan
energi dan bahan baku (Weston dan Stuckey, 1994). Good housekeeping yang
bertujuan untuk menghemat pemakaian air dapat dilakukan dengan tidak
membiarkan air meluber dari bak penampungan dengan sengaja. Good
housekeeping juga dianjurkan untuk diterapkan pada keseluruhan proses untuk
mencegah kehilangan bahan dengan cara melakukan pemindahan bahan
dengan hati-hati.
Proses pencucian mekanis menggunakan alat berupa bilah kayu yang
dipasang secara melintang pada poros kayu sehingga menyerupai jeruji sepeda
dan diputar oleh mesin. Alat ini sebenarnya sudah berhasil dilakukan oleh
industri kecil tapioka di daerah lain. Pengusaha nomor 7 juga telah mencoba
menerapkan proses ini. Namun, tidak digunakan dalam proses produksi karena
adanya kesalahan konstruksi pada bak pencuciannya. Untuk itu, rencana
pemasangan alat yang baru harus memperhatikan ketepatan desain dari
konstruksi alat agar kegagalan dapat diminimalisir.
Pencucian dua tahap dari recovery limbah cair proses pengenapan dan
proses lainnya dikhawatirkan akan merubah kualitas tapioka kasar yang
28
dihasilkan. Menurut Falcon et al. (1984), kualitas tapioka yang kurang baik
dipengaruhi oleh bakteri dan pencemaran yang diakibatkan oleh air pencuci.
Pengusaha kecil tapioka di Ciluar sendiri selalu memperhatikan air pencuci
yang digunakan. Pengusaha kecil tapioka di Ciluar tidak mau
mempergunakan air sungai yang sudah dialiri limbah. Air pencuci yang
digunakan berasal dari mata air atau sumur bor maupun dari air sungai yang
belum terkena limbah. Dari sumber air bersih tersebut, masih harus dilakukan
pengenapan pada bak-bak penampungan agar diperoleh kualitas air yang lebih
baik.
Penggunaan alat gobegan yang sudah berhasil dilakukan oleh
pengusaha nomor 4, 7 dan 14 belum dapat membuat pengusaha lainnya
mengikuti dengan melakukan proses ekstraksi yang sama. Hal ini disebabkan
oleh kurangnya modal yang dimiliki pengusaha kecil tersebut. Penggantian
proses ekstraksi dari manual ke gobegan membutuhkan biaya yang tidak
sedikit. Selain diperlukan biaya untuk membeli alat gobegan, diperlukan pula
perombakan layout pabrik. Luas bangunan pabrik dan lahan yang tidak
memadai juga menjadi alasan para pengusaha kecil tersebut untuk tidak
beralih ke gobegan.
Pada dasarnya industri kecil tapioka di Ciluar sudah melakukan
pencucian bak pengenapan pati. Hal ini dilakukan karena menurut pengalaman
pengusaha kecil tapioka di Ciluar, pati yang menempel di bak dari sisa
pengenapan sebelumnya dapat mempengaruhi kualitas tapioka yang akan
dihasilkan berupa derajat putih dan bau. Selain itu, pati sisa tersebut dapat
mengikis bak yang terbuat dari plester semen dan membuat bak menjadi
berwarna kuning. Pendapat tersebut sesuai dengan Kusarpoko (2003) yang
menyatakan bahwa proses kontaminasi limbah oleh mikroorganisme dapat
terjadi setelah 12 jam. Menurut Grace (1977), kandungan gula dan nutrien
lainnya menyebabkan mikroorganisme melakukan fermentasi dan
menghasilkan alkohol dan asam organik penyebab bau.
Opsi pembuatan IPAL penampungan dan pengolahan limbah cair
terpusat didasarkan pada penelitian Kurniarto (2006) yang dilakukan di
industri kecil tapioka di Ciluar. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa
29
pengelolaan limbah industri kecil tapioka Kelurahan Ciluar yang sebaiknya
dilakukan adalah IPAL pengenapan mekanis dimana manajemen
operasionalnya dilakukan oleh pemerintah (pihak kelurahan), dan pengusaha
membantu dengan membayar iuran pembangunan dan retribusi per bulan
untuk perawatan IPAL.
Opsi pengendalian lingkungan terpusat didasarkan pada penelitian
Sofyar (2004). Penelitian tersebut salah satunya menghasilkan model
kebijakan sentra industri kecil dengan limbah sejenis yang dirancang secara
menyeluruh dalam penanganan limbah. Opsi pembuatan IPAL penampungan
dan pengolahan limbah cair terpusat (Kurniarto, 2006) dan pengendalian
lingkungan terpusat (Sofyar, 2004) tersebut digunakan sebagai alternatif
program produksi bersih.
b. Aspek finansial penerapan produksi bersih
Aspek finansial berupa perkiraan biaya dan kemungkinan penghematan
dan keuntungan dari penerapan produksi bersih dan pengelolaan lingkungan
industri dapat dilihat pada Tabel 9. Pada Tabel 9, penilaian prioritas dengan
tanda bintang tiga (***) diberikan untuk aktivitas perbaikan yang lebih mudah
dan penting untuk dilaksanakan. Prioritas yang cukup penting dan kurang
penting dinilai dengan tanda bintang dua (**) dan tanda bintang satu (*).
Perincian biaya dari aktivitas perbaikan dapat dilihat pada Lampiran 8.
30
Tabel 9 Analisis biaya penerapan produksi bersih dan pengelolaan lingkungan industri
No. Aspek kegiatan Aktivitas perbaikan Biaya Prioritas
1. Good housekeeping
• Penyuluhan pekerja • Pemantauan pemakaian air
Rp. 12.000 Rp. 0
*** ***
2. Efisiensi tenaga kerja
• Penggunaan alat baling yang diputar oleh mesin Rp. 3.000.000 *
3. Efisiensi proses • Penggunaan alat gobegan Rp.10.000.000 *** 4. Menjaga
kualitas • Pencucian bak pengenapan
pati setiap hari • Pemantauan pekerja
selama proses produksi berlangsung
Rp. 40.000
Rp.0
*** ***
5. Mengurangi dampak lingkungan
• Pembuatan IPAL penampungan dan pengolahan limbah cair terpusat
Rp.10.000.000 **
• = kurang, ** = cukup, *** = penting
Pada kondisi yang ada di lapangan, terdapat perbedaan nilai/harga dari
suatu benda, contohnya harga jual tapioka kasar yang dihasilkan oleh suatu
industri kecil tapioka harganya tidak selalu sama, harga jual tapioka kasar
antara industri kecil tapioka yang satu dengan yang lain mungkin juga tidak
sama. Hal ini tergantung pada berbagai faktor. Misalnya pada contoh yang
telah disebutkan, perbedaan harga jual tapioka kasar dapat disebabkan oleh
perbedaan kualitas tapioka kasar yang dihasilkan, permintaan dan penawaran
tapioka di pasar. Oleh karena itu, dalam perhitungan biaya untuk penerapan
opsi, dilakukan pematokan salah satu nilai/ harga yang dianggap dapat
mewakili kisaran harga yang sebenarnya. Hal ini dimaksudkan untuk
memudahkan perhitungan.
Apabila aktivitas perbaikan dengan prioritas penting (***)
dilaksanakan, dan perhitungan dilakukan dengan patokan sebagai berikut:
• penggunaan alat gobegan dapat meningkatkan perolehan rendemen
sebanyak 2,6%,
• harga jual tapioka kasar sebesar Rp. 2.500 per kg (didasarkan pada harga
jual terendah), dan
31
• tapioka kasar yang dihasilkan per bulan sebanyak 12 ton (didasarkan pada
produksi minimum per bulan),
maka dapat dilakukan perhitungan sebagai berikut:
Total biaya aktivitas perbaikan dengan
prioritas penting (***) = Rp. 10.052.000
Penghematan dari pemantauan pemakaian air per bulan = Rp. 10.000
Keuntungan per bulan dari peningkatan rendemen
pada pemakaian alat gobegan = Rp. 780.000
10.052.000 1 PBP = ×
(780.000 + 10.000) 12 bulan
= 1 tahun 7 bulan
c. Aspek politis penerapan produksi bersih
Aspek politis berbicara tentang alternatif program produksi bersih dan
prioritasnya dalam pengembangan sentra industri kecil tapioka di Ciluar.
Penentuan alternatif program mempertimbangkan usulan strategi penerapan
produksi bersih, antara lain dari Frijns dan Vliet (1999), Sofyar (2004), dan
Hidetoshi (2006), yang kemudian disesuaikan dengan kondisi industri kecil
tapioka di Ciluar. Terdapat enam alternatif program produksi bersih dalam
pengembangan sentra industri kecil tapioka di Ciluar seperti pada Tabel 10.
Tabel 10 Alternatif program produksi bersih dalam pengembangan sentra
industri kecil tapioka di Ciluar
1 Pemberian insentif modal bagi pelaku produksi bersih
2 Pengembangan dan transfer teknologi
3 Sosialisasi dan pelatihan penerapan produksi bersih
4 Penanganan limbah terpadu
5 Penyediaan kemudahan informasi mengenai teknologi baru, kondisi pasar, dan kebijakan pemerintah
6 Sosialisasi dan pelatihan cara-cara peningkatan kualitas tapioka kasar
Alternatif program produksi bersih pada Tabel 9 selanjutnya diberi nilai
tingkat kepentingan dengan skala 1-5 (sangat kurang penting, kurang penting,
32
cukup penting, penting dan sangat penting). Penilaian dilakukan oleh tiga
orang pakar. Penentuan peringkat (rangking) diperoleh dari rata-rata geomean
dari penilaian ketiga pakar tersebut (Lampiran 9). Alternatif program produksi
bersih dengan peringkat tiga besar kemudian dianalisis dengan AHP
(Analytical Hierarchy Process). Ketiga alternatif program tersebut antara lain
sosialisasi dan pelatihan penerapan produksi bersih, penanganan limbah
terpadu, dan sosialisasi dan pelatihan cara-cara peningkatan kualitas tapioka
kasar.
Prinsip kerja AHP adalah menyelesaikan masalah dengan cara
menguraikannya menjadi unsur-unsurnya, kemudian disusun menjadi struktur
hierarki (Marimin, 2005). Gambar 4 merepresentasikan struktur hierarki
pengembangan sentra industri kecil tapioka di Ciluar. Tujuan yang ingin
dicapai adalah memaksimalkan efisiensi produksi tapioka kasar dengan
penerapan produksi bersih. Faktornya antara lain: modal, teknologi, dan
kebijakan pemerintah daerah. Sedangkan aktornya antara lain: pengusaha kecil,
pengusaha besar, pemerintah daerah dan masyarakat.
Gambar 4 Struktur hierarki AHP pengembangan sentra industri kecil tapioka di
Ciluar
Berdasarkan struktur hierarki pada Gambar 4, maka dilakukan
penentuan nilai tingkat kepentingan antara satu elemen dengan elemen yang
TUJUAN
FAKTOR
AKTOR
PROGRAM
memaksimalkan efisiensi produksi tapioka kasar dengan penerapan produksi bersih
modal teknologi kebijakan pemda
pengusaha kecil pengusaha besar pemda masyarakat
penanganan limbah terpadu sosialisasi dan pelatihan penerapan produksi bersih
sosialisasi dan pelatihan cara-cara peningkatan kualitas tapioka kasar
33
lain berdasarkan prinsip perbandingan berpasangan (pairwise comparisons).
Skala perbandingan yang digunakan adalah skala 1-9 menurut Saaty.
Analisis AHP menghasilkan perolehan nilai bobot keseluruhan seperti
pada Gambar 5. Hasil pengolahan tersebut mengidentifikasikan bahwa secara
keseluruhan, faktor teknologi (0,434) merupakan faktor terpenting. Sedangkan
urutan ke dua dan ke tiga adalah faktor modal (0,377) dan kebijakan
pemerintah daerah (0,189). Ini menunjukkan bahwa untuk memaksimalkan
efisiensi produksi tapioka kasar dengan penerapan produksi bersih, faktor
teknologi mendapat prioritas tertinggi untuk diperhatikan. Hal ini berbeda
dengan anggapan selama ini yang berpendapat bahwa modal finansial adalah
faktor terpenting dalam melaksanakan proses produksi.
Gambar 5 Hasil perhitungan bobot faktor, aktor dan program dengan metode
AHP
C.1. Faktor teknologi
Analisis AHP menunjukkan bahwa berkaitan dengan faktor
teknologi, pengusaha kecil (0,482) merupakan aktor yang memiliki
prioritas tertinggi. Sedangkan urutan ke dua, ke tiga, dan ke empat adalah
pengusaha besar (0,332), masyarakat (0,109) dan pemerintah (0,078). Hal
ini berarti bahwa pengusaha kecil paling penting untuk ditingkatkan
teknologinya.
memaksimalkan efisiensi produksi tapioka kasar dengan penerapan produksi bersihmodal (L: .377)
pengusaha kecil (L: .583) pengusaha besar (L: .219) pemerintah daerah (L: .079) masyarakat (L: .119)
teknologi (L: .434) pengusaha kecil (L: .482) pengusaha besar (L: .332) pemerintah daerah (L: .078) masyarakat (L: .109)
kebijakan pemda (L: .189) pengusaha kecil (L: .462) pengusaha besar (L: .338) pemerintah daerah (L: .124) masyarakat (L: .076)
sosialisasi dan pelatihan penerapan produksi bersih .429penanganan limbah terpadu .328sosialisasi dan pelatihan cara-cara peningkatan kualitas tapioka kasar .243
34
C.2. Faktor modal
Berkaitan dengan faktor modal, pengusaha kecil (0,482) merupakan
aktor yang memiliki prioritas tertinggi. Sedangkan urutan ke dua, ke tiga,
dan ke empat adalah pengusaha besar (0,219), masyarakat (0,119) dan
pemerintah (0,079). Hampir sama dengan faktor teknologi, hal ini berarti
bahwa pengusaha kecil paling penting untuk ditingkatkan modalnya.
C.3. Faktor kebijakan pemerintah daerah
Analisis AHP menunjukkan bahwa berkaitan dengan faktor
kebijakan pemerintah daerah, pengusaha kecil (0,462) merupakan aktor
yang memiliki prioritas tertinggi. Sedangkan urutan ke dua, ke tiga, dan ke
empat adalah pengusaha besar (0,338), pemerintah (0,124), dan masyarakat
(0,076). Artinya, pengusaha kecil paling penting untuk ditingkatkan
pengetahuannya mengenai kebijakan pemerintah daerah.
Selain menduduki prioritas tertinggi pada masing-masing faktor,
pengusaha kecil juga memiliki tingkat kepentingan tertinggi dari keseluruhan
bobot. Dengan demikian, untuk mengoptimalkan efisiensi produksi tapioka
kasar dengan penerapan produksi bersih, pengusaha kecil paling penting untuk
ditingkatkan. Hal ini dikarenakan pengusaha kecil masih dianggap lemah
dalam faktor peningkatan teknologi, kepemilikan modal dan akses terhadap
kebijakan pemerintah daerah. Kelemahan tersebut kemungkinan dipengaruhi
oleh tingkat pendidikan.
Menurut Kurniarto (2006), pengusaha kecil tapioka dengan tingkat
pendidikan lebih tinggi akan cenderung memiliki persepsi terhadap
pengelolaan limbah dan lingkungan yang lebih baik bila dibandingkan dengan
pengusaha kecil tapioka dengan tingkat pendidikan lebih rendah. Padahal,
kebanyakan pengusaha kecil tapioka di Ciluar berpendidikan rendah.
Rendahnya tingkat pendidikan pengusaha kecil tapioka perlu mendapat
perhatian dalam penyusunan strategi implementasi produksi bersih untuk
mengembangkan industri kecil tapioka di Ciluar. Menurut Raka (1999), usaha
pengembangan konsep produksi bersih diharapkan dapat menimbulkan
perubahan kesadaran, pengetahuan, cara pandang, sikap dan tingkah laku.
35
Strategi yang dapat dilakukan adalah dengan program pelatihan bagi
pengusaha kecil tapioka di Ciluar.
AHP juga digunakan untuk mengurutkan alternatif program produksi
bersih. Urutan program produksi bersih tersebut adalah sosialisasi dan
pelatihan penerapan produksi bersih (0,429), penanganan limbah terpadu
(0,328), dan sosialisasi dan cara-cara peningkatan kualitas tapioka kasar
(0,243). Seperti halnya pada penentuan peringkat tiga besar program produksi
bersih (Lampiran 9), sosialisasi dan pelatihan produksi bersih pada pengolahan
dengan metode AHP juga menduduki urutan pertama. Sosialisasi dan
pelatihan produksi bersih juga sesuai dengan kondisi pengusaha kecil tapioka
di Ciluar. Dengan ini, dapat disimpulkan bahwa untuk mengoptimalkan
efisiensi produksi tapioka kasar dengan penerapan produksi bersih, program
sosialisasi dan pelatihan produksi bersih perlu menjadi program prioritas untuk
dilaksanakan.
E. Implementasi Penerapan Produksi Bersih
Implementasi penerapan produksi bersih berupaya memadukan strategi
produksi bersih untuk mengembangkan sentra industri kecil tapioka di Ciluar
yang lebih efisien dari sisi produksi dan pengurangan dampak lingkungan. Dalam
pengembangan sentra industri kecil tapioka di Ciluar, diperlukan langkah
implementasi yang sesuai dengan kondisi dan lingkungannya. Untuk itu
diperlukan pengetahuan mengenai situasi internal yang dimilki dan kondisi
eksternal yang dihadapi oleh industri kecil tapioka di Ciluar.
Mengacu pada evaluasi faktor eksternal dan internal yang dirumuskan oleh
Hidetoshi (2006), kedudukan industri kecil tapioka Bogor berada pada kuadran
pertama matriks SWOT. Identifikasi yang lebih luas dilakukan oleh Sofyar (2004)
mengenai pengembangan kebijakan usaha kecil yang berbasis produksi bersih
juga menempatkan posisi usaha kecil pada kuadran pertama matriks SWOT.
Kuadran pertama matriks SWOT mengindikasikan bahwa langkah implementasi
yang dilakukan dapat menggunakan strategi yang bersifat agresif dengan tetap
mempertimbangkan kendala maupun sumber daya yang tersedia (Marimin, 2005).
Posisi industri kecil tapioka pada matriks SWOT dapat dilihat pada Gambar 6.
36
(2.54, 2.81)
Gambar 6 Posisi industri kecil tapioka pada matriks SWOT (Hidetoshi, 2006)
Implementasi penerapan produksi bersih ditentukan dengan
menggabungkan hasil analisis AHP dan hasil analisis SWOT oleh Hidetoshi
(2006) yang mengidentifikasi faktor internal yaitu kekuatan dan kelemahan serta
evaluasi faktor eksternal yaitu peluang dan ancaman. Kekuatan, kelemahan,
peluang dan ancaman hasil identifikasi dan evaluasi Hidetoshi (2006) dapat dilihat
pada Lampiran 10. Strategi bagi pengembangan industri kecil tapioka di Ciluar
dengan implementasi produksi bersih yang diwujudkan dari penggabungan hasil
analisis AHP, SWOT, dan kondisi lapangan, adalah sebagai berikut:
1. Sosialisasi dan pelatihan produksi bersih dengan cara:
a) meningkatkan kesadaran pengusaha terhadap isu-isu lingkungan dan
meningkatkan motivasi untuk terlibat dalam mempertahankan kualitas
lingkungan
b) memberikan pendampingan kelompok untuk konsultasi, penyelesaian
masalah, dan pengawasan terhadap kemajuan pelaksanaan program
produksi bersih
(faktor eksternal) peluang
(faktor internal) kelemahan
(faktor eksternal) ancaman
(faktor internal) kekuatan
kuadran I kuadran III
kuadran IV kuadran II
37
2. Meningkatkan efisiensi produksi (meminimalkan energi dan bahan baku)
dengan cara memperbaiki teknologi proses untuk meningkatkan perolehan
rendemen dan mengurangi kehilangan (loss)
3. Meningkatkan peran pemerintah dalam mengkoordinasikan keterlibatan pihak
swasta, lembaga pembiayaan, lembaga penelitian atau perguruan tinggi,
media massa, dan masyarakat untuk menyukseskan program produksi bersih
4. Meningkatkan vokalitas pengusaha kecil tapioka di Ciluar melalui sarana
rembug warga untuk memanfaatkan Sarasehan Rencana Pembangunan
(program pemberdayaan industri kecil Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Kota Bogor) yang bersifat bottom-up
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Industri kecil tapioka di Ciluar memproduksi tapioka kasar untuk dijual ke
pabrik pengayakan tapioka halus. Ampas dari ekstraksi ubi kayu parut yang
dikeringkan (onggok) dijual ke pabrik tapioka besar. Limbah cair dari pengolahan
tapioka kasar tersebut langsung dialirkan ke sungai.
Potensi produksi bersih dan pengelolaan lingkungan industri kecil tapioka
di Ciluar terdiri dari kegiatan pengendalian dan pengurangan jumlah limbah yang
dihasilkan dengan memperbaiki efisiensi proses produksi. Usulan aktivitas
perbaikan yang diprioritaskan terdiri dari good housekeeping (penyuluhan pekerja,
pemantauan pemakaian air); meningkatkan rendemen dengan alat gobegan,
menjaga kualitas dengan pencucian bak pengendapan pati setiap hari, dan
pemantauan pekerja. Usulan aktivitas perbaikan tersebut membutuhkan modal
sebesar Rp.10.052.000 dengan PBP (Payback Period) 1 tahun 7 bulan.
Hasil analisis AHP memperlihatkan bahwa teknologi merupakan faktor
terpenting, diikuti oleh modal dan kebijakan pemerintah daerah. Urutan program
produksi bersih adalah sosialisasi dan pelatihan penerapan produksi bersih,
penanganan limbah terpadu, dan sosialisasi dan cara-cara peningkatan kualitas
tapioka kasar. Strategi implementasi produksi bersih yang diunggulkan adalah
sosialisasi dan pelatihan produksi bersih.
B. Saran
1. Pemerintah daerah perlu menyediakan akses bagi industri kecil tapioka
terhadap teknologi proses, penyediaan bahan baku, dan permodalan melalui
kelembagaan seperti koperasi. Selain itu, pemerintah daerah juga perlu
merencanakan sistem penanganan limbah terpadu untuk industri kecil tapioka.
2. Diperlukan sosialisasi terhadap penggunaan alat gobegan, mulai dari cara
kerja, kebutuhan energinya, sampai pada pemesanan dan pemasangan
konstruksi yang tepat.
3. Diperlukan kajian yang lebih lengkap untuk penggunaan limbah cair dari
proses pengenapan, agar dapat mengurangi penggunaan sumber daya air
bersih.
LAMPIRAN
43
Lampiran 1 Batasan / kriteria usaha kecil dan menengah menurut beberapa organisasi (www.menlh.go.id.)
Organisasi Jenis Usaha Keterangan Kriteria
Undang-Undang No. 9/1995 tentang Usaha Kecil
Usaha Kecil • Aset Rp. 200 Juta diluar tanah dan bangunan
• Omzet tahunan Rp. 1 Milyar • Dimiliki oleh orang Indonesia
• Independen, tidak terafiliasi dengan usaha menengah-besar
• Boleh berbadan hukum, boleh tidak
Badan Pusat Statistik(BPS)
Usaha Mikro Pekerja < 5 orang termasuk tenaga keluarga yang tidak dibayar
Usaha Kecil Pekerja 5-19 orang
Usaha menengah Pekerja 20-99 orang
Menneg Koperasi & PKM
Usaha Kecil (UU No. 9/1995)
Aset Rp. 200 Juta diluar tanah dan bangunan
• Omzet tahunan Rp. 1 Milyar
Usaha Menengah (Inpres 10/1999)
Aset Rp. 200 - Rp. 10 Milyarn
Bank Indonesia Usaha Mikro (SK Dir BI No. 31/24/KEP/DIR tgl 5 Mei 1998)
Usaha yang dijalankan oleh rakyat miskin atau mendekati miskin.
• Dimiliki oleh keluarga Sumberdaya lokal dan Teknologi sederhana
• Lapangan usaha mudah untuk exit dan entry
Usaha Kecil (UU No. 9/1995)
Aset Rp. 200 Juta diluar tanah dan bangunan
• Omzet tahunan Rp. 1 Milyar
44
Lampiran 1 Batasan / kriteria usaha kecil dan menengah menurut beberapa organisasi (www.menlh.go.id.) (lanjutan)
Organisasi Jenis Usaha Keterangan Kriteria
Bank Indonesia Menengah (SK Dir BI No. 30/45/Dir/UK tgl 5 Januari 1997)
Aset Rp. 5 Milyar untuk sektor industri
• Aset Rp. 600 Juta diluar tanah dan bangunan. untuk sektor non industri manufacturing
• Omzet tahunan < Rp. 3 Milyar
Bank Dunia Usaha Mikro Kecil-Menengah
Pekerja < 20 Orang
• Pekerja 20-150 orang • US$. 500 Ribu diluar tanah
dan bangunan
45
Lampiran 2 Analisis proksimat umbi ubi kayu dan tapioka (Balagopalan et al., 1988)
satuan umbi ubi kayu tapioka
kadar air (g/100g) 59,4 9,5
protein (g/100g) 0,7 1,6
lemak (g/100g) 0,2 0,4
serat kasar (g/100g) 0,6 0,8
karbohidrat (g/100g) 38,1 84,9
abu (g/100g) 1,0 1,8
kalsium (mg/100g) 50,0 60,0
fosfor (mg/100g) 40,0 80,0
thiamin (mg/100g) 0,05 0,08
iron (mg/100g) 0,9 3,5
vitamin C (mg/100g) 25,2 -
kalori (kcal/100g) 157,0 338,0
46
Lampiran 3 Diagram alir pembuatan tapioka kasar (Eris, 2006)
umbi ubi kayu
pengupasan
pencucian
pemarutan
penyaringan
pengenapan pati
penjemuran
tapioka kasar
pati
47
Lampiran 4 Diagram alir penelitian
mulai
Mengidentifikasi keseluruhan tahapan proses unit-unit operasi
Menganalisa kuantitas dan
kualitas material input
Menganalisa kuantitas dan
kualitas produk
Menganalisa kuantitas dan
kualitas material output
Analisis teknologi
Alternatif teknologi produksi
bersih
Analisis finansial
Mengidentifikasi peranan
pemerintah, dan masyarakat
Alternatif strategi
implementasi
AHP
Urutan prioritas alternatif strategi produksi bersih
selesai
Neraca massa
SWOT (Hidetoshi,
2006)
Program produksi
bersih
48
Lampiran 5 Neraca massa industri kecil tapioka di Ciluar milik pengusaha nomor 6
22 kg tapioka kasar kering
Rendemen = (22 kg : 80 kg) × 100% = 27,5%
pengupasan
pencucian
pemarutan
pemerasan (ekstraksi)
pengenapan pati
penjemuran
80 kg ubi kayu kupas
umbi ubi kayu 100 kg
0,139 m3 air
kulit + kotoran 20 kg (20%)
0,159 m3 kotoran + air cucian
75 kg ubi kayu bersih
2 kg loss
73 kg ubi kayu parut
1,116 m3 air
1,0902 m3 limbah cair
54,5 kg ampas basah
1,116 m3 susu pati
36 kg enapan pati
14 kg loss + uap air
49
Lampiran 6 Neraca massa industri kecil tapioka di Ciluar milik pengusaha nomor 10
71 kg tapioka kasar kering
Rendemen = (71 kg : 300 kg) × 100% = 23,67%
pengupasan
pencucian
pemarutan
pemerasan (ekstraksi)
pengenapan pati
penjemuran
300 kg ubi kayu kupas
umbi ubi kayu 389 kg
0,1773 m3 air
kulit + kotoran89 kg (23%)
0,136 m3 kotoran + air cucian
297 kg ubi kayu bersih
5 kg loss
292 kg ubi kayu parut
2,48 m3 air
2,426 m3 limbah cair
182 kg ampas basah
2,48 m3 susu pati
132 kg enapan pati
61 kg loss + uap air
50
Lampiran 7 Neraca massa industri kecil tapioka di Ciluar milik pengusaha nomor 12
20 kg tapioka kasar kering
Rendemen = (20 kg : 76 kg) × 100% = 26,32%
pengupasan
pencucian
pemarutan
pemerasan (ekstraksi)
pengenapan pati
penjemuran
76 kg ubi kayu kupas
umbi ubi kayu 99 kg
0,1590 m3 air
kulit + kotoran 23 kg (23%)
0,1703 m3 kotoran + air cucian
74 kg ubi kayu bersih
8 kg loss
66 kg ubi kayu parut
0,723 m3 air
0,6927 m3 limbah cair
45 kg ampas basah
0,723 m3 susu pati
33.9 kg enapan pati
13,9 kg loss + uap air
51
Lampiran 8 Perhitungan biaya aktivitas perbaikan penerapan produksi bersih
Total biaya aktivitas perbaikan dengan prioritas penting = Rp.10.052.000
diperoleh dari:
1. biaya penyuluhan pekerja untuk penggantian kehilangan waktu kerja
(dihitung dari upah harian 3 orang pekerja) = Rp.4.000 × 3 = Rp.12.000
2. investasi untuk pemasangan alat gobegan Rp. 10.000.000 (pembulatan)
dengan rincian sebagai berikut:
1. pemesanan, transportasi dan pembuatan = Rp. 3.500.000
kerangka gobegan
2. kain ayakan 80 – 100 mesh per 5 m2 = Rp. 1.000.000
3. kain ayakan 150 mesh per m2 = Rp. 200.000
4. kayu untuk ayakan (untuk 5 ayakan) = Rp. 750.000
5. mesin diesel second (1 buah) = Rp. 2.500.000
6. penyesuaian layout bangunan pabrik = Rp. 2.000.000 +
= Rp. 9.950.000
3. biaya pencucian bak pengenapan pati selama 1 bulan (20 hari kerja)
Rp.40.000 diperoleh dari biaya air dan peralatan pencucian bak pengenapan:
1. pemakaian air = Rp. 1000 per hari × 20 hari = Rp. 20.000
2. ember = Rp. 15.000
3. sikat cuci = Rp. 5.000 +
= Rp. 40.000
Penghematan dari pemantauan pemakaian air per bulan = Rp.10.000
diperoleh dari asumsi penghematan pemakaian pompa (energi: listrik atau
solar) per bulan.
Keuntungan per bulan dari peningkatan rendemen pada pemakaian alat
gobegan = 2,6 % × 12.000 kg per bulan × Rp.2.500 per kg = Rp.780.000
52
Lampiran 9 Penilaian pakar terhadap alternatif program produksi bersih dalam pengembangan sentra industri kecil tapioka di Ciluar
No. Program Pakar Geo Mean
(n√a×b×c) rank a b c
1 Pemberian insentif modal bagi pelaku produksi bersih 4 3 4 3,6342 3
2 Pengembangan dan transfer teknologi 3 3 5 3,5569 4
3 Sosialisasi dan pelatihan penerapan produksi bersih 5 4 5 4,6416 1
4 Penanganan limbah terpadu 4 5 4 4,3089 2
5 Penyediaan kemudahan informasi mengenai teknologi baru, kondisi pasar, dan kebijakan pemerintah
3 3 4 3,3019 5
6 Sosialisasi dan pelatihan cara-cara peningkatan kualitas tapioka kasar 4 5 4 4,3089 2
53
Lampiran 10 Analisis faktor internal dan eksternal matriks SWOT (Hidetoshi, 2006)
1. Kekuatan
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Tenaga kerja yang dibutuhkan tersedia di sekitar industri
Ubi kayu mudah didapatkan dan tersedia dari petani
Proses pengolahan ubi kayu sangat mudah
Fasilitas dan peralatan yang dibutuhkan dalam skala kecil
Dukungan kebijakan dan program pemerintah daerah
2. Kelemahan
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Masih menggunakan teknologi lama dan sederhana
Fasilitas, teknologi dan peralatan tidak berkembang dengan baik
Efisiensi dan rendemen rendah
Kualitas tapioka kasar bervariasi dan tidak ada standarisasi
Akses informasi harga pasar masih terbatas
3. Peluang
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Tapioka kasar dapat diserap olah pasar lokal
Segmen pasar domestik masih sangat luas
Tapioka kasar merupakan komoditi untuk memproduksi makanan lokal
Industri kecil tapioka berperan dalam pengembangan ekonomi daerah
Dukungan kebijakan dari pemerintah daerah dan instansi terkait untuk
kemajuan industri kecil tapioka
4. Ancaman
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Kebijakan pemerintah seperti kenaikan tarif BBM, transportasi, dan tarif dasar listrik menyebabkan penambahan biaya operasional
Fasilitas bisnis industri kecil tapioka kurang dibandingkan industri lain
Perbedaan interpretasi terhadap terhadap otonomi daerah: dikhawatirkan iklim dunia usaha kurang baik
Persaingan yang kuat dari produk dalam negeri dan impor
Daya saing produk tapioka kasar rendah
54
Lampiran 11 Dokumentasi penelitian
Bahan baku tapioka: ubi kayu
Tahapan proses ekstraksi secara manual
Rangkaian tahapan proses pengenapan
Onggok
Alat dan mesin yang digunakan
Penjemuran tapioka kasar Saluran pembuangan limbah cair