70
KAJIAN PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL BERBASIS UBIKAYU DI DESA NEGARA BUMI, KECAMATAN SUNGKAI TENGAH, KABUPATEN LAMPUNG UTARA (Skripsi) Oleh DEDDY KURNIAWAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2018

KAJIAN PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL BERBASIS …digilib.unila.ac.id/54311/17/SKRIPSI FULL TANPA BAB PEMBAHASAN.pdf · prospek yang paling potensial di Desa Negara Bumi. ... (KKN) yang

Embed Size (px)

Citation preview

KAJIAN PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL BERBASIS UBIKAYU

DI DESA NEGARA BUMI, KECAMATAN SUNGKAI TENGAH,

KABUPATEN LAMPUNG UTARA

(Skripsi)

Oleh

DEDDY KURNIAWAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2018

ABSTRACT

STUDY OF DEVELOPMENT CASSAVA-BASED SMALL INDUSTRIES

IN NEGARA BUMI VILLAGE, CENTRAL SUNGKAI DISTRICT,

NORTH LAMPUNG REGENCY

By

DEDDY KURNIAWAN

Negara Bumi Village has abundant potential of cassava resources. The availability

of abundant raw materials can encourage the development of cassava-based small

industries. The aim of this research was to determine alternative cassava-based

small industries and to determine the financial feasibility of alternative cassava-

based small industries selected based on the most potential prospects in Negara

Bumi Village. The method used in this research is survey method. Information

and data obtained were processed and analyzed using process hierarchy analysis

(AHP) and business financial analysis based on investment criteria, i.e. Net

Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net B / C Ratio, Payback

Period (PBP), Break Even Point (BEP), and sensitivity analysis to see the level of

business feasibility if there is a price change. AHP calculation results showed that

alternative gaplek is the first priority with the final value is 0.155; alternative

renggining with the final value is 0.129; and alternative cassava chips with the

final value is 0.128. The results of the financial analysis showed that the

Deddy Kurniawan

development plan for small-scale industry is renggining in Negara Bumi Village

with the value of the investment eligibility criteria NPV of Rp20,292,617,636; Net

B / C Ratio of 249.53; IRR of 9,011.09%; and PBP for 0.1 years (0.7 months).

Keywords : analytic hierarchy process, cassava, financial analysis, North

Lampung, small industries

ABSTRAK

KAJIAN PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL BERBASIS UBIKAYU

DI DESA NEGARA BUMI, KECAMATAN SUNGKAI TENGAH,

KABUPATEN LAMPUNG UTARA

Oleh

DEDDY KURNIAWAN

Desa Negara Bumi memiliki potensi sumber daya ubikayu yang cukup melimpah.

Ketersediaan bahan baku yang cukup berlimpah dapat mendorong pengembangan

industri kecil berbasis ubikayu. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan

alternatif industri kecil berbasis ubikayu dan untuk menentukan kelayakan secara

finansial dari alternatif industri kecil berbasis ubikayu yang terpilih berdasarkan

prospek yang paling potensial di Desa Negara Bumi. Metode yang digunakan

pada penelitian ini adalah metode survei. Informasi dan data yang didapatkan

diolah dan dianalisis menggunakan analisis hierarki proses (AHP) dan analisis

finansial usaha berdasarkan kriteria investasi, yaitu Net Present Value (NPV),

Internal Rate of Return (IRR), Net B/C Ratio, Payback Period (PBP), Break Even

Point (BEP), dan analisis sensitivitas untuk melihat tingkat kepekaan kelayakan

usaha apabila terjadi perubahan harga. Hasil perhitungan AHP menunjukkan

bahwa alternatif gaplek merupakan prioritas pertama dengan nilai akhir adalah

0,155; alternatif renggining dengan nilai akhir adalah 0,129; dan alternatif keripik

Deddy Kurniawan

singkong dengan nilai akhir adalah 0,128. Hasil analisis finansial menunjukkan

bahwa rencana pembangunan industri kecil renggining di Desa Negara Bumi

dengan nilai kriteria kelayakan investasi yakni NPV sebesar Rp20.292.617.636;

Net B/C Ratio sebesar 249,53; IRR sebesar 9.011,09%; dan PBP selama 0,1 tahun

(0,7 bulan).

Kata Kunci : analisis finansial, analisis hierarki proses, industri kecil, Lampung

Utara, ubikayu

KAJIAN PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL BERBASIS UBIKAYU

DI DESA NEGARA BUMI, KECAMATAN SUNGKAI TENGAH,

KABUPATEN LAMPUNG UTARA

Oleh

Deddy Kurniawan

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada

Jurusan Teknologi Hasil Pertanian

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2018

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Negara Bumi pada tanggal 14 Juni 1995, sebagai anak

pertama dari dua bersaudara buah hati pasangan Bapak Sai’un dan Ibu Surati.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di TK Desa Negara Bumi (2000-2001)

dan SDN Negara Bumi pada (2001-2007). Pada tahun yang sama, penulis

melanjutkan pendidikan menengah di SMPN 02 Baru Raharja (2007-2010) dan

SMAN 02 Kotabumi (2010-2013). Penulis diterima sebagai mahasiswa Jurusan

Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung pada tahun

2014 melalui jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN).

Pada bulan Januari-Februari 2017, penulis melaksanakan kegiatan Kuliah Kerja

Nyata (KKN) yang bertema “Pemberdayaan Kampung Berbasis Informasi dan

Teknologi” di Kelurahan Gunung Sugih Raya, Kecamatan Gunung Sugih,

Kabupaten Lampung Tengah. Pada Juli-Agustus 2017, penulis melaksanakan

Praktik Umum (PU) di PT. Bumi Menara Internusa Tanjung Bintang, Lampung

Selatan. Selama di perguruan tinggi, penulis tergabung dalam Tim Media Center

Dakwah FOSI FP Unila pada kepengurusan tahun 2015/2016. Penulis juga pernah

menjadi anggota Panitia Pengawas Pemilihan Raya FP Unila pada tahun

2015/2016, dan menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Jurusan Teknologi Hasil

Pertanian pada tahun 2015/2016.

SANWACANA

Puji syukur kepada Allah SWT atas segala berkat dan rahmat-Nya sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kajian Pengembangan

Industri Kecil Berbasis Ubi Kayu di Desa Negara Bumi, Kecamatan Sungkai

Tengah, Kabupaten Lampung Utara”. Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari

keterlibatan berbagai pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis ingin

mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Irwan Sukri Banuwa, M.Si., selaku Dekan Fakultas

Pertanian Universitas Lampung.

2. Ibu Ir. Susilawati, M.Si., selaku Ketua Jurusan Teknologi Hasil Pertanian

Fakultas Pertanian Universitas Lampung atas arahannya dalam proses

penyelesaian skripsi penulis.

3. Bapak Ir. Harun Al Rasyid, M.T., selaku Dosen Pembimbing Utama dan

Dosen Pembimbing Akademik atas segala bantuan, pengarahan, nasihat,

masukan dan saran selama penyusunan skripsi ini.

4. Bapak Dr. Ir. Erdi Suroso, S.T.P., M.T.A., selaku Dosen Pembimbing Kedua

atas segala bantuan, pengarahan, masukan dan saran selama penyusunan

skripsi ini.

5. Bapak Wisnu Satyajaya, S.T.P., M.M., M.Si., selaku Pembahas atas segala

pengarahan, nasihat, saran, dan masukan selama penyusunan skripsi ini.

6. Seluruh Bapak dan Ibu dosen pengajar, staff administrasi, dan laboratorium di

Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

7. Keluargaku tercinta (Bapak Sai’un, Ibu Surati, Adikku Adellia Nirmala Putri)

yang telah memberikan dukungan, motivasi, nasihat, dan doa yang selalu

menyertai penulis untuk melaksanakan dan menyelesaikan skripsi.

8. Rekan-rekan seperjuangan Keluarga Besar THP, THP 2014, FP Unila, Bidik

Misi 2014, KKN 2017 Gunung Sugih Raya, dan Rusunawan Unila yang telah

memberikan kesempatan, motivasi, support, dan kebersamaannya selama ini.

9. Rekan-rekan seperjuangan SMA (Komang Suarme dan M. Erig R) yang telah

memberi semangat dan bantuan serta memotivasi perjuangan mencari ilmu

sampai jenjang perkuliahan.

10. Segenap pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi

penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk kita semua.

Bandar Lampung, Oktober 2018.

Penulis

Deddy Kurniawan

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL .................................................................................... xv

DAFTAR GAMBAR ............................................................................... xvi

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ........................................................................... 1

1.2. Tujuan Penelitian ....................................................................... 3

1.3. Kerangka Pemikiran .................................................................. 3

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gambaran Umum Desa Negara Bumi ........................................ 7

2.2. Industri Pengolahan ................................................................... 7

2.3. Ubikayu ..................................................................................... 10

2.4. Potensi Ubikayu ......................................................................... 11

2.5. Gambaran Umum Alternatif Olahan Ubikayu ........................... 13

2.5.1. Tepung Tapioka ............................................................. 13

2.5.2. Beras Analog ................................................................. 14

2.5.3. Tepung Mocaf ................................................................ 17

2.5.4. Tiwul .............................................................................. 18

2.5.5. Keripik Singkong ........................................................... 19

2.5.6. Kelanting ....................................................................... 21

2.5.7. Renggining ..................................................................... 22

2.5.8. Opak ............................................................................... 24

2.5.9. Emping Singkong .......................................................... 25

2.5.10. Gaplek ............................................................................ 27

2.6. Analisis Hierarki Proses (AHP) ................................................. 28

2.7. Analisis Finansial ...................................................................... 31

2.8. Analisis Sensitivitas ................................................................... 33

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian .................................................... 36

3.2. Alat dan Bahan Penelitian ......................................................... 36

3.3. Metode Penelitian ...................................................................... 36

3.4. Pelaksanaan Penelitian .............................................................. 37

3.4.1. Pengumpulan Data ........................................................ 37

3.4.2. Analisis Data ................................................................ 38

3.4.2.1. Analisis Hierarki Proses (AHP) .................................... 38

3.4.2.2. Analisis Finansial ......................................................... 43

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Perencanaan ............................................................................ 47

4.1.1. Analisis Masalah ........................................................... 47

4.1.2. Identifikasi Kebutuhan Data ......................................... 49

4.1.3. Pengumpulan Data ........................................................ 49

4.2. Analisis ............................................................................. 50

4.2.1. Identifikasi Sistem ........................................................ 50

4.2.2. Penentuan Alternatif Industri Kecil Berbasis Ubikayu

dengan Metode Analisis Hierarki Proses (AHP) ......... 52

4.2.3. Analisis Finansial Industri Kecil Berbasis Ubikayu

di Desa Negara Bumi ................................................... 57

V. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan ................................................................................ 69

4.2. Saran .......................................................................................... 70

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) .................... 9

2. Perkembangan produksi ubikayu di Indonesia Tahun 2011-2016 ..... 11

3. Perkembangan ubikayu di Provinsi Lampung Tahun 2010-2015 ...... 12

4. Perkembangan ubikayu menurut Kecamatan di Lampung Utara

dalam Angka Tahun 2015 dan 2017 ................................................. 12

5. Matriks perbandingan alternatif berpasangan ........................................... 39

6. Skala kuantitatif dalam sistem pendukung keputusan ............................... 40

7. Nilai rata-rata konsistensi ................................................................... 42

8. Asumsi dasar analisis finansial industri kecil gaplek ......................... 58

9. Analisis finansial usaha industri kecil gaplek .................................... 60

10. Analisis finansial seluruh alternatif industri kecil berbasis

Ubikayu ............................................................................................. 62

11. Hasil analisis finansial seluruh alternatif industri kecil

Ubikayu ............................................................................................. 63

12. Analisis sensitivitas kelayakan usaha industri kecil renggining ........ 67

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka Pemikiran .......................................................................... 6

2. Diagram alir proses pembuatan tepung tapioka ................................ 14

3. Proses penepungan bahan ubikayu untuk pembuatan beras analog. 15

4. Proses pembuatan beras siger (beras tiruan berbahan baku ubikayu). 16

5. Diagram alir proses pembuatan tepung mocaf. .................................. 18

6. Diagram alir proses pembuatan tiwul instan. ..................................... 19

7. Diagram alir proses pembuatan keripik singkong. ............................. 20

8. Diagram alir proses pembuatan kelanting. ......................................... 22

9. Diagram alir proses pengolahan renggining berbahan baku ubikayu. 23

10. Diagram alir proses pembuatan opak. ................................................ 25

11. Diagram alir proses pembuatan emping singkong. ............................ 26

12. Diagram alir proses pembuatan gaplek kering. .................................. 27

13. Pohon industri pengolahan ubikayu. .................................................. 48

14. Pemanfaatan hasil pertanian lokal menjadi produk industri. ............. 51

15. Struktur hierarki dan bobot prioritas penentuan alternatif industri

kecil berbasis ubikayu. ...................................................................... 53

16. Proses pembuatan olahan gaplek. ...................................................... 59

17. Proses pengolahan renggining. .......................................................... 65

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan industri berbasis pertanian di perdesaan dianggap strategis, karena

di Indonesia selama ini industrialisasi umumnya berlangsung di kota-kota besar

dengan pertimbangan ketersediaan infrastruktur (prasarana) yang memadai.

Padahal, industri berbasis pertanian sendiri merupakan industri yang memerlukan

pasokan hasil pertanian karena sebagai bahan dasar atau bahan baku industri

umumnya dihasilkan di daerah pedesaan (Mangunwidjaja dan Saillah, 2009).

Berdasarkan hasil penelitian Gandhi et al. (2001), sektor industri berbasis

pertanian di India berkontribusi menciptakan lapangan kerja, meningkatkan

pendapatan petani kecil di perdesaan, khususnya di kalangan masyarakat

berpenghasilan rendah yang tidak memiliki lahan, dan juga mengurangi

kemiskinan. Abbas dan Suhaeti (2016) menambahkan bahwa industri berbasis

pertanian di perdesaan diharapkan dapat mendukung terciptanya kawasan

perdesaan yang dapat meningkatkan produktivitas, daya saing produk, nilai

tambah produk pertanian, dan pendapatan masyarakat perdesaan.

Soekarwati (2001) menjelaskan Indonesia merupakan salah satu negara

berkembang yang memiliki potensi di bidang pertanian yang dapat dikembangkan

menuju ke arah industri salah satunya di pengolahan hasil pertanian. Indonesia

2

memiliki unggulan pertanian yaitu tanaman pangan. Tanaman pangan merupakan

salah satu komoditas terpenting, karena pangan merupakan salah satu kebutuhan

pokok masyarakat Indonesia. Salah satu tanaman pangan yang dapat dijadikan

sebagai bahan baku industri di bidang pertanian adalah ubikayu. Ketersediaan

lahan di Indonesia tersedia cukup luas untuk pengembangan areal budidaya/usaha

tani ubikayu. Menurut data tahun 2011-2016, Indonesia memiliki luas panen

ubikayu sebesar 1.003.269 Ha, dengan jumlah produksi sebesar 22.819.484 ton

(Pusdatin, 2016).

Desa Negara Bumi, merupakan salah satu wilayah Indonesia yang berada di

Kecamatan Sungkai Tengah Lampung Utara yang memiliki potensi

pengembangan industri berbasis pertanian. Hal ini didasari dari ketersediaan hasil

produksi ubikayu yang cukup melimpah, yang tidak diimbangi oleh kebijakan

pemerintah pada kegiatan pengolahan pascapanen dan pemasaran. Luas panen

tanaman ubikayu di Kecamatan Sungkai Tengah pada tahun 2017 mencapai 1.294

Ha (BPS Kabupaten Lampung Utara, 2017). Sedangkan, di Desa Negara Bumi

memiliki luas ladang sebesar 400 Ha (Kemendagri, 2017) yang sebagian kecil

ditanami dengan ubikayu. Pengusahaan hasil panen ubikayu oleh petani umumnya

dilakukan secara tradisional, yaitu dijual dalam bentuk mentah ke pabrik tapioka

atau pengumpul (tengkulak). Pada saat tahun 2017, harga ubikayu sempat dihargai

dengan harga Rp. 650/kg (Anonim1, 2018; Anonim2, 2018). Keadaan tersebut

dapat merugikan petani, karena menyebabkan biaya usaha tani menjadi tinggi

sedangkan harga jual kurang bersaing dan berakibat pada rendahnya nilai tambah

yang diterima oleh petani ubikayu. Ubikayu dapat dijadikan produk industri

berbasis pertanian, tidak hanya untuk bahan baku pabrik tapioka. Ubikayu dapat

3

diolah menjadi mocaf (modified cassava flour), gaplek, keripik, tiwul, kelanting,

dan lain sebagainya (Koswara, 2013).

Di Desa Negara Bumi, masih sedikit industri yang mengelola ubikayu menjadi

produk olahan. Ubikayu yang diolah menjadi produk olahan memiliki keuntungan

yang lebih, misalnya menaikkan nilai tambah dari produk aslinya. Selain itu,

penjualan ubikayu dalam bentuk produk olahan dapat digunakan dalam berbagai

aspek kehidupan. Potensi tanaman pangan ubikayu yang ada di Desa Negara

Bumi, maka berpeluang besar untuk dikembangkan menjadi produk industri,

khususnya membangun suatu industri kecil berbasis ubikayu di Desa Negara

Bumi.

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menentukan produk industri kecil potensial berbasis ubikayu di Desa Negara

Bumi, Kecamatan Sungkai Tengah, Kabupaten Lampung Utara.

2. Menentukan kelayakan secara finansial dari industri kecil berbasis ubikayu

yang terpilih berdasarkan prospek yang paling potensial di Desa Negara Bumi,

Kecamatan Sungkai Tengah, Kabupaten Lampung Utara.

1.3. Kerangka Pemikiran

Isu strategis wacana pembangunan nasional adalah bagaimana upaya

memperbesar skala kegiatan ekonomi pertanian, industri dan perdagangan dalam

rangka mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat. Salah satu konsep yang

4

digunakan adalah memanfaatkan potensi sumber daya lokal melalui kegiatan

industri berbasis pertanian. Pengkajian potensi sumber daya alam lokal khususnya

di perdesaan merupakan strategi jitu untuk mengetahui potensi yang ada dan

bernilai ekonomi untuk dapat dijadikan alat gerak ekonomi daerah. Selain itu,

adanya industri di perdesaan juga diharapkan dapat menciptakan lapangan

pekerjaan lebih cepat dibandingkan sektor usaha lainnya, dimana dapat

menghasilkan produk beragam diversifikasi memberikan kontribusi penting dalam

ekspor dan perdagangan.

Industri merupakan kegiatan mengubah atau mentransformasi bahan baku menjadi

produk yang siap diperdagangkan dan dikonsumsi guna menghasilkan nilai

tambah (added value). Industri kecil berbasis pertanian merupakan kegiatan yang

memanfaatkan sumber daya pertanian untuk dimanfaatkan menjadi produk.

Industri kecil atau usaha kecil merupakan salah satu jenis UMKM (Usaha Mikro,

Kecil, dan Menengah) yang dapat menjadi kekuatan pendorong terdepan dan

pembangunan ekonomi. Gerak sektor UMKM amat vital untuk menciptakan

pertumbuhan dan lapangan pekerjaan. Menurut Al Rasyid (2017), industri di

bidang pertanian merupakan generasi ketiga pembangunan pertanian, sehingga

peranannya sangat penting sebagai pasar bagi produk-produk pertanian dan

memacu pembangunan pertanian menuju kesejahteraan petani.

Komoditas pertanian ubikayu dalam industri dipandang punya peran strategis

dalam menghasilkan produk primer maupun sekunder, baik untuk kebutuhan

ekspor dan perdagangan. Ubikayu dapat dikembangkan menjadi produk olahan

pangan dan non-pangan. Pengolahan ubikayu sebagai pangan umumnya masih

5

mudah diaplikasikan pada masyarakat desa. Penelitian ini menguraikan pemilihan

produk olahan ubikayu untuk pangan yang diprioritaskan untuk dikembangkan

khususnya di Desa Negara Bumi, Kecamatan Sungkai Tengah, Provinsi Lampung.

Metode Analisis Hierarki Proses (AHP) digunakan sebagai salah satu teknik untuk

mendukung proses pengambilan keputusan dalam menentukan pilihan terbaik dari

beberapa pilihan alternatif industri kecil berbasis ubikayu. Menurut Marimin

(2004), metode AHP digunakan untuk penilaian setiap alternatif terhadap kriteria

yang mendukung dalam pengembangan produk olahan ubikayu. Metode AHP

digunakan untuk menguji konsistensi penilaian oleh ahli/pakar, apakah terjadi

penyimpangan yang terlalu jauh atau tidak. Perhitungan dengan metode AHP

dalam penelitian ini dapat digunakan untuk menentukan prioritas olahan ubikayu

yang dapat direkomendasikan menjadi alternatif produk olahan industri kecil.

Suatu agroindustri yang akan dibangun, perlu juga dilakukan pengkajian terhadap

aspek finansial usaha yang mungkin membantu dalam penilaian bisnis terkait

permodalan. Komoditi alternatif prioritas yang terpilih akan dilakukan analisis

kelayakan secara finansial. Analisis ini dilakukan untuk melihat sejauh mana

kekuatan usaha ini secara finansialnya. Analisis kelayakan finansial ini dilakukan

alat analisis yaitu NPV, IRR, Net B/C Ratio, PBP, dan BEP serta analisis

sensitivitas.

6

Model kerangka pemikiran yang diajukan penulis disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka pemikiran.

Sumber : Fajrin (2017) yang dimodifikasi.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gambaran Umum Desa Negara Bumi

Desa Negara Bumi adalah salah satu desa yang saat ini termasuk dalam wilayah

Kecamatan Sungkai Tengah, Kabupaten Lampung Utara, Provinsi Lampung.

Secara Geografis, Desa Negara Bumi terletak pada ketinggian 300 meter diatas

permukaan laut, dengan topografi dataran rendah dan suhu udara rata-rata 32°C,

serta curah hujan 25 mm/tahun. Desa Negara Bumi memiliki luas lahan 1.537,20

Ha. Mayoritas lahan dimanfaatkan untuk pemukiman, persawahan, dan

perladangan. Potensi pertanian yang ada di Desa Negara Bumi adalah padi sawah,

karet, jagung, kedelai, ubikayu, dan kacang tanah (Kemendagri, 2017). Batas-

batas wilayah terdekat dari desa Negara Bumi adalah:

Sebelah Utara : Desa Baru Raharja;

Sebelah Selatan : Desa Gedung Ketapang;

Sebelah Timur : Desa Melungun Ratu;

Sebelah Barat : Desa Baru Raharja (Kemendagri, 2017).

2.2. Industri Pengolahan

Perusahaan atau usaha industri adalah suatu unit (kesatuan) usaha yang

melakukan kegiatan ekonomi, bertujuan menghasilkan barang atau jasa, terletak

8

pada suatu bangunan atau lokasi tertentu, dan mempunyai catatan administrasi

tersendiri mengenai produksi dan struktur biaya serta ada seorang atau lebih yang

bertanggung jawab atas usaha tersebut (Badan Pusat Statistik, 2018). Sedangkan

industri pengolahan merupakan suatu kegiatan ekonomi yang melakukan kegiatan

mengubah suatu barang dasar secara mekanis, kimia, atau dengan tangan sehingga

menjadi barang jadi/setengah jadi, dan atau barang yang kurang nilainya menjadi

barang yang lebih tinggi nilainya, dan sifatnya lebih dekat kepada pemakai atau

pengguna akhir. Perusahaan industri pengolahan dibagi dalam 4 golongan yaitu :

1. Industri Besar (banyaknya tenaga kerja 100 orang atau lebih).

2. Industri Sedang (banyaknya tenaga kerja 20-99 orang).

3. Industri Kecil (banyaknya tenaga kerja 5-19 orang).

4. Industri Rumah Tangga (banyaknya tenaga kerja 1-4 orang).

Penggolongan perusahaan industri pengolahan ini semata-mata hanya didasarkan

kepada banyaknya tenaga kerja yang bekerja, tanpa memperhatikan apakah

perusahaan itu menggunakan mesin tenaga atau tidak, serta tanpa memperhatikan

besarnya modal perusahaan itu. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, jenis-jenis

usaha dibedakan menjadi empat jenis yaitu:

1. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau

badan usaha perorangan.

2. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang

dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan

anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai,

9

atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha

Menengah atau Usaha Besar.

3. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri,

yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan

merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki,

dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung

dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan jumlah kekayaan bersih atau

hasil penjualan tahunan.

4. Usaha Besar adalah usaha ekonomi produktif yang dilakukan oleh badan

usaha dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan lebih

besar dari Usaha Menengah, yang meliputi usaha nasional milik negara

atau swasta, usaha patungan, dan usaha asing yang melakukan kegiatan

ekonomi di Indonesia.

Berdasarkan definisi di atas maka pada intinya Usaha Mikro, Kecil, dan

Menengah adalah suatu bentuk usaha ekonomi produktif yang dilakukan oleh

orang perseorangan atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha

Mikro, Kecil, dan Menengah. Kriteria UMKM menurut Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)

Kriteria Usaha Kekayaan Tahunan (Aset) Hasil Penjualan Tahunan

(Omset)

Usaha Mikro Maksimal Rp50.000.000,00 Maksimal Rp300.000.000,00

Usaha Kecil Rp50.000.000,00 -

Rp500.000.000,00

Rp300.000.000,00 -

Rp2.500.000.000,00

Usaha Menengah Rp500.000.000,00 -

Rp10.000.000.000,00

Rp2.500.000.000,00 -

Rp50.000.000.000,00

10

2.3. Ubikayu

Ubikayu atau sering disebut singkong merupakan tanaman tropis yang menjadi

salah satu sumber energi kaya karbohidrat namun memiliki kadar protein rendah.

Ubikayu dikenal ada dua macam, yaitu ubikayu kuning dan ubikayu putih.

Ubikayu kuning sering disebut ubikayu mentega. Ubikayu ini pada saat dimasak

cenderung lembut atau pulen, layaknya mentega. Sedangkan ubikayu putih

memiliki susunan lebih padat dan keras, contohnya adalah ubikayu jenis kasesa.

Ubikayu ini lebih tepat untuk keripik. Ubikayu banyak digunakan pada berbagai

macam masakan. Ubikayu rebus dapat disantap sebagai pengganti kentang atau

sebagai pelengkap masakan. Bila diolah menjadi tepung, ubikayu dapat digunakan

sebagai pengganti tepung terigu (Balitbang Pertanian, 2012).

Ubikayu juga mengandung bahan tertentu yang bermanfaat bagi industri dan

pakan ternak. Ubikayu mengandung air sekitar 60%, pati sekitar 25-35%, protein,

mineral, serat, kalsium, dan fosfat. Ubikayu merupakan sumber energi yang lebih

tinggi dibanding padi, jagung, ubi jalar, dan sorgum. Ubikayu mengandung HCN

(asam sianida) yang terdapat didalam umbi dan daun. Bahan ubikayu untuk

keperluan makanan dan pakan ternak digunakan ubikayu dengan kadar HCN

rendah atau kurang dari 50 ppm (1 mg per liter). Ubikayu yang memiliki kadar

HCN tinggi, yang dapat digunakan sebagai bahan baku industri (Balitbang

Pertanian, 2012).

Ubikayu memiliki kemampuan untuk tumbuh di tanah yang tidak subur, tahan

terhadap serangan hama penyakit, dan dapat diatur masa panennya. Selain sebagai

bahan pangan sumber karbohidrat, ubikayu juga dapat digunakan sebagai bahan

11

pakan ternak dan bahan baku industri. Oleh karena itu, pengembangan ubikayu

sangat penting artinya didalam upaya penyediaan bahan pangan karbohidrat

nonberas, diversifikasi/penganekaragaman konsumsi pangan lokal, pengembangan

industri pengolahan hasil dan agroindustri dan sebagai sumber devisa melalui

ekspor serta upaya mendukung peningkatan ketahanan pangan dan kemandirian

pangan (Pusdatin, 2016).

2.4. Potensi Ubikayu

Indonesia memiliki potensi ubikayu yang cukup banyak. Pada tahun 2016, luas

panen ubikayu di Indonesia diproyeksikan seluas 1,03 juta hektar dengan

produktivitas 228,16 ku/ha, perkiraan produksi ubikayu nasional diharapkan

mencapai 23 juta ton. Perkembangan produksi ubikayu di Indonesia disajikan

pada Tabel 2. Indonesia masih memiliki banyak ketersediaan lahan pertanian yang

kosong, sehingga produksi ubikayu setiap tahunnya mengalami peningkatan.

Sentra lahan ubikayu di Provinsi Lampung dengan luas lahan panen dan produksi

pada tahun 2010 hingga 2015 menunjukkan tren peningkatan produktivitas yang

disajikan pada Tabel 3.

Tabel 2. Perkembangan produksi ubikayu di Indonesia Tahun 2011-2016

Wilayah Tahun Luas Panen (Ha) Produksi (Ton) Produktivitas

(Ku/Ha)

Jawa 2011 – 2016 467.079 10.491.705 225,60

Luar Jawa 2011 – 2016 536.190 12.327.779 230,43

Indonesia 2011 – 2016 1.003.269 22.819.484 228,16

Sumber : Pusdatin (2016).

12

Tabel 3. Perkembangan ubikayu di Provinsi Lampung Tahun 2010-2015

Tahun Luas Panen (Ha) Produktivitas (Ku/Ha) Produksi (Ton)

2010 346.217 249,48 8.637.594

2011 368.096 249,76 9.193.676

2012 324.749 258,27 8.387.351

2013 318.107 261,84 8.329.201

2014 304.468 263,87 8.034.016

2015 279.337 264,45 7.384.099

Sumber : Badan Pusat Statistik (2016).

Data perkembangan luas panen dan produksi ubikayu tingkat kecamatan di

Lampung Utara dalam angka pada publikasi tahun 2015 dan 2017 menunjukkan

tren penurunan luas panen yang disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Perkembangan ubikayu menurut Kecamatan di Lampung Utara dalam

Angka Tahun 2015 dan 2017

No. Kecamatan

Ubikayu

(Tahun 2015)

Ubikayu

(Tahun 2017)

Luas Panen (Ha) Produksi

(Ton) Luas Panen (Ha)

1 Bukit Kemuning 250 6.503 130

2 Abung Tinggi 190 4.982 321

3 Tanjung Raja 224 5.826 62

4 Abung Barat 1.214 32.208 543

5 Abung Tengah 1.559 40.550 2.189

6 Abung Kunang 930 24.189 426

7 Abung Perkurun 732 19.039 395

8 Kotabumi 2.231 62.215 1.395

9 Kotabumi Utara 3.896 99.348 1.210

10 Kotabumi Selatan 2.794 72.672 3.205

11 Abung Selatan 5.665 173.522 2.591

12 Abung Semuli 1.160 36.679 2.875

13 Blambangan Pagar 8.382 270.340 8.902

14 Abung Timur 4.294 131.528 4.142

15 Abung Surakarta 5.811 189.908 4.925

16 Sungkai Selatan 4.327 141.410 3.617

17 Muara Sungkai 19.838 577.905 1.485

18 Bunga Mayang 3.837 117.412 2.073

19 Sungkai Barat 280 7.283 947

20 Sungkai Jaya 1.341 41.855 1.556

21 Sungkai Utara 4.874 136.915 3.467

22 Hulu Sungkai 235 6.601 379

23 Sungkai Tengah 1.045 32.617 1.294

Lampung Utara 75.109 2.231.467 48.129

Sumber : BPS Kabupaten Lampung Utara (2015); BPS Kabupaten Lampung

Utara (2017).

13

Luas panen tanaman ubikayu di Kecamatan Sungkai Tengah Lampung Utara

dalam angka tahun 2015 mencapai 1.045 Ha dengan jumlah produksi ubikayu

mencapai 32.617 ton (BPS Kabupaten Lampung Utara, 2015). Sedangkan luas

panen ubikayu di Kecamatan Sungkai Tengah Kabupaten Lampung Utara dalam

angka tahun 2017 mengalami peningkatan menjadi 1.294 Ha (BPS Kabupaten

Lampung Utara, 2017).

2.5. Gambaran Umum Alternatif Olahan Ubikayu

2.5.1. Tepung Tapioka

Menurut Koswara (2013), pembuatan tepung tapioka menggunakan bahan dasar

ubikayu. Alat yang dapat digunakan adalah pisau, panci, parutan, kain saring,

tampah, dan alat penumbuk (alu). Tepung tapioka pada umumnya dibagi menjadi

dua, yaitu tapioka halus dan tapioka kasar. Pembuatan tepung tapioka halus

biasanya dari tapioka kasar yang mengalami penggilingan kembali. Secara

tradisional pembuatan tepung tapioka kasar ini memerlukan jumlah air yang

banyak sekali yaitu untuk mengolah 1 ton ubikayu segar diperlukan air sebanyak

14.000 – 18.000 liter. Kapasitas daripada setiap industri ini biasanya sekitar 20 ton

ubikayu segar per hari yang dapat menghasilkan rendemen 15 sampai 25%

tapioka kasar dengan kadar air 18%. Sedangkan pembuatan tepung tapioka halus

biasanya menggunakan perlengkapan alat penggiling. Tapioka kasar yang akan

digiling, disortasi terlebih dahulu menurut mutunya berdasarkan derajat keputihan

serta kadar kotorannya. Diagram alir proses pembuatan tepung tapioka secara

tradisional disajikan pada Gambar 2.

14

Gambar 2. Diagram alir proses pembuatan tepung tapioka.

Sumber : Koswara (2013); Suroso (2011).

2.5.2. Beras Analog

Beras analog merupakan sebutan lain dari beras tiruan (artificial rice). Menurut

Yuwono et al. (2013), beras tiruan merupakan salah satu bentuk diversifikasi

makanan pokok yang diolah dari bahan baku berbasis karbohidrat dengan

penambahan zat-zat tertentu untuk memperbaiki kualitas makanan pokok. Bahan

baku dalam pembuatan beras tiruan dapat berasal dari modified cassava flour

(mocaf), tepung beras dan tepung porang/suweg. Beras siger merupakan salah

satu beras tiruan yang dibuat dengan menggunakan bahan baku ubikayu.

Berdasarkan hasil penelitian Saptomi (2017), penambahan asam askorbat dan

lama pengukusan berpengaruh terhadap kualitas beras siger. Beras siger dengan

penambahan asam askorbat 0,2% dengan pengukusan selama 35 menit

15

menghasilkan kualitas beras siger terbaik dengan karakteristik warna cenderung

putih, agak mirip beras padi, agak pulen, kadar air 10,62%, abu 0,88%, protein

3,82%, lemak 2,42%, serat kasar 1,13%, karbohidrat 81,12%, dan vitamin C 0,61

mg/g. Diagram alir proses pembuatan diawali dengan mengolah ubikayu menjadi

tepung terlebih dahulu (Gambar 3). Setelah proses penepungan, kemudian

dilakukan pembuatan beras siger (Gambar 4).

Gambar 3. Proses penepungan bahan ubikayu untuk pembuatan beras analog.

Sumber : Saptomi (2017).

16

Gambar 4. Proses pembuatan beras siger (beras tiruan berbahan baku ubikayu).

Sumber : Saptomi (2017).

17

2.5.3. Tepung Mocaf

Tepung mocaf (modified cassava flour) merupakan tepung ubikayu modifikasi

Pembuatan tepung mocaf dilakukan proses khusus yang disebut dengan

fermentasi yang melibatkan jasa mikrobia atau enzim tertentu, sehingga selama

proses fermentasi berlangsung terjadi perubahan yang luar biasa dalam massa ubi

baik dari aspek perubahan fisik, kimiawi, dan mikrobiologis serta inderawi. Tanpa

pemecahan selulosa, proses pengolahan ubikayu sekadar menghasilkan tepung

gaplek. Cara fermentasi yang dilakukan menggunakan asam laktat tidak hanya

didapat mocaf yang bertekstur halus karena selulosa hancur tapi juga aroma

ubikayu hilang dan warna tepung putih. Pembuatan tepung mocaf memerlukan

starter awal untuk proses fermentasi dari ubikayu yang sudah dikeringkan, starter

yang umum digunakan adalah berupa tepung starter Bimo CF. Penggunaan starter

ini yaitu setiap 1 kg starter Bimo-CF bisa diaplikasikan pada 1 ton ubikayu yang

sudah dikupas. Keuntungan menggunakan tepung mocaf yaitu dapat digunakan

sebagai pengganti bahan baku terigu pada beberapa produk olahan, salah satunya

adalah roti/kue (Widiyanto dan Prabowo, 2015). Diagram alir proses pembuatan

mocaf disajikan pada Gambar 5.

18

Gambar 5. Diagram alir proses pembuatan tepung mocaf.

Sumber : Widiyanto dan Prabowo (2015); Mikasari et al. (2014); Kelompok

Karunia Semesta (2012).

2.5.4. Tiwul

Tiwul merupakan salah satu makanan tradisional yang terbuat dari ubikayu. Tiwul

sangat dikenal khususnya oleh masyarakat Jawa sejak dulu, dimana seringkali

dijadikan sebagai makanan pengganti nasi. Tiwul yang dibuat secara tradisional

mempunyai kapasitas yang kecil, selain itu mutu yang rendah baik dari segi

kualitas maupun nilai gizinya. Proses Pengolahan tiwul agar bermutu perlu ada

perbaikan-perbaikan dalam proses pembuatannya. Ubikayu yang dipilih sebagai

bahan baku tiwul harus yang berkualitas baik, agar hasilnya juga bermutu baik.

19

Selain bahan baku yang bermutu, proses pengolahannya juga harus higienis agar

produk tiwul yang dihasilkan bermutu baik juga (Koswara, 2013). Diagram alir

proses pembuatan tiwul disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6. Diagram alir proses pembuatan tiwul.

Sumber : Koswara (2013); Anonim4 (2011).

2.5.5. Keripik Singkong

Keripik singkong merupakan makanan ringan, gurih, dan renyah. Keripik

singkong dibuat dari irisan tipis ubikayu, digoreng, dengan diberi bumbu tertentu

20

atau hanya diberi garam. Pada pembuatannya ubikayu dikupas, dicuci bersih,

kemudian diiris tipis-tipis (dapat menggunakan alat pemotong atau slicer). Irisan

ubikayu kemudian direndam dalam larutan Natrium bisulfit (NaHSO3) 2000 ppm,

atau dalam air garam. Ubikayu kemudian digoreng dalam minyak yang panas.

Setelah ditiriskan keripik singkong dapat langsung dikemas (Koswara, 2013).

Diagram alir proses pembuatan keripik singkong disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Diagram alir proses pembuatan keripik singkong.

Sumber : Koswara (2013) yang dimodifikasi; data primer dari responden (2018).

21

2.5.6. Kelanting

Kelanting merupakan salah satu makanan khas tradisional yang terbuat dari

ubikayu. Kelanting pada umumnya berbentuk angka delapan sebagai ciri khas

kelanting dari Kebumen dengan warna merah dan putih. Kelanting memiliki

keunikan pada bentuk dan tekstur. Tekstur kelanting yang dihasilkan dipengaruhi

oleh bahan baku dan bahan tambahannya. Proses pembuatan untuk menghasilkan

kelanting yang memiliki tekstur renyah maka perlu penambahan tepung singkong,

pengembang, dan bumbu basah/kering (Nurudin, 2015). Diagram alir proses

pembuatan kelanting disajikan pada Gambar 8.

Bumbu-bumbu yang digunakan dalam pengolahan adonan kelanting, dapat

berguna untuk meningkatkan konsistensi, nilai gizi, cita rasa, serta untuk

menetapkan bentuk dan warna produk. Pada proses pembuatan kelanting

memerlukan bahan pembantu seperti gula, garam, merica dan bawang putih.

Penggunaan garam dan bahan pembantu lainnya dapat juga berfungsi sebagai

penegas cita rasa sekaligus bahan pengawet. Berdasarkan penelitian Nurudin

(2015), penggunaan bahan baku singkong pada salah satu agroindustri kelanting

di Desa Gatimulyo sebanyak 1000 kg dan mengalami penyusutan sehingga

menjadi produk akhir sebanyak 250,3 kg. Kelanting yang sudah digoreng dikemas

menggunakan plastik besar dengan berat 5 kg per kantong plastik.

22

Gambar 8. Diagram alir proses pembuatan kelanting.

Sumber : Nurudin (2015).

2.5.7. Renggining

Renggining merupakan salah satu alternatif pangan olahan selain rengginang yang

menggunakan bahan baku beras ketan. Renggining merupakan menggunakan

bahan baku ubikayu. Sedangkan cara pengolahannya, sesuai dengan penelitian

23

yang dilakukan oleh Elida dan Hamidi (2009) mengenai rengginang ubikayu.

Diagram alir proses pembuatan renggining disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9. Diagram alir proses pengolahan renggining berbahan baku ubikayu.

Sumber : Elida dan Hamidi (2009).

Proses pembuatannya adalah pengadonan ubikayu yang telah dihancurkan dan

dihilangkan kulitnya, pembuatan lembaran tipis, pencetakan lembaran sesuai

bentuk yang diinginkan, penjemuran hingga kering. Keripik ini dapat bertahan

24

lama hingga beberapa bulan bila belum digoreng atau dalam keadaan mentah.

Akan tetapi, bila sudah digoreng, keripik hanya dapat bertahan sekitar seminggu

asalkan disimpan dan dikemas dalam wadah tertutup. (Balitbang Pertanian, 2012).

Menurut salah satu pelaku usaha renggining di Desa Negara Bumi (2018), 100 kg

ubikayu dapat dijadikan olahan renggining sebanyak 70 kg.

2.5.8. Opak

Opak merupakan makanan kering berbahan baku ubikayu. Opak merupakan

makanan camilan yang digemari masyarakat karena rasanya yang enak, harganya

murah, dan cara pembuatannya yang mudah. Opak merupakan salah satu makanan

olahan yang terbuat dari ubikayu/singkong rebus yang ditumbuk, diberi garam dan

daun kucai, dibentuk tipis-tipis, dijemur lalu digoreng. Namun tidak semua opak

diberi daun kucai. Diagram alir proses pembuatan opak disajikan pada Gambar

10.

Proses pembuatan opak dimulai dari pengupasan dan pencucian ubikayu. Ubikayu

kemudian dikukus dengan dandang. Ubikayu yang telah matang kemudian

dibersihkan seratnya selanjutnya digiling sampai halus. Ubikayu yang telah halus

dicampur dengan bumbu yaitu garam, bawang, dan kucai. Adonan ubikayu

kemudian digiling kembali agar bumbu merata. Selanjutnya dilakukan pencetakan

dengan menggunakan papan penggilas, berupa pipa kecil. Ukuran opak

disesuaikan dengan permintaan konsumen. Opak basah kemudian dijemur sampai

kering. Penjemuran kurang lebih 2-3 hari. Opak yang telah kering kemudian

dimasukkan plastik dan siap dijual (Yunus dan Utami, 2012).

25

Gambar 10. Diagram alir proses pembuatan opak.

Sumber : Yunus dan Utami (2012); Harahap dan Mujiatun (2017).

2.5.9. Emping Singkong

Emping merupakan pangan olahan yang umumnya berbahan baku melinjo.

Singkong/ubikayu juga dapat diolah menjadi emping. Bentuk emping singkong

menyerupai opak, namun berukuran kecil. Emping singkong dapat bertahan

26

hingga beberapa hari bila dikemas dan tidak terkena udara dalam waktu lama.

Emping singkong juga dapat bertahan lama hingga beberapa bulan bila belum

digoreng atau dalam keadaan mentah (Balitbang Pertanian, 2012). Diagram alir

proses pembuatannya disajikan pada Gambar 11.

Gambar 11. Diagram alir proses pembuatan emping singkong.

Sumber : Balitbang Pertanian (2012) yang dimodifikasi; Didi (2013).

Emping singkong memiliki kemiripan dengan produk olahan renggining.

Perbedaannya terletak pada proses pengukusan dan ukuran bentuknya. Menurut

Didi (2013), ubikayu yang digunakan pada pembuatan emping adalah ubikayu

kukus. Ubikayu kukus juga sebelumnya digunakan dalam pembuatan opak Yunus

27

dan Utami (2012); Harahap dan Mujiatun (2017). Penulis berasumsi bahwa 100

kg ubikayu, dapat diolah menjadi ±32 kg emping singkong mentah.

2.5.10. Gaplek

Gaplek merupakan salah satu hasil pengawetan ubikayu dengan cara pengeringan.

Cara pengeringan ini dapat memakan waktu dari 1 sampai 3 Minggu, tergantung

dari keadaan cuaca. Kadar air gaplek yang umumnya masih lebih tinggi dari 20%,

biasanya gaplek mengalami penjamuran. Gaplek yang berjamur ini pada

umumnya mempunyai mutu pasar yang rendah. Namun demikian di daerah-

daerah seperti Karang Anyar (Jawa Tengah), pembuatan gaplek berjamur kadang-

kadang sengaja dibuat terutama dalam usaha pembuatan gatot atau disebut juga

gambleh (Koswara, 2013). Diagram alir proses pembuatan gaplek kering disajikan

pada Gambar 12.

Gambar 12. Diagram alir proses pembuatan gaplek kering.

Sumber : Koswara (2013); Triatmoko (2015).

28

Pembuatan gaplek yang bermutu tinggi telah dicoba di berbagai daerah dengan

menggunakan sistem chipping, maksudnya untuk mempercepat proses

pengeringan. Berbagai alat chipper telah dikembangkan di beberapa negara

dengan berbagai kapasitas. Pada umumnya alat-alat tersebut digerakkan dengan

mesin. Ubikayu yang digunakan untuk konsumsi manusia dianjurkan untuk

dikupas terlebih dahulu dan dibebaskan dari tanah dan batu. Ubikayu yang

ditanam pada tanah yang berpasir lebih mudah dibersihkan daripada yang ditanam

di tanah liat. Sedangkan ubikayu untuk makanan ternak tidak perlu dikupas

terlebih dahulu. Gaplek yang dibuat dari ubikayu yang tidak dikupas mengandung

banyak silikat (Si) dan serat-serat kasar yang tinggi, karena itu nilai gaplek

sebagai bahan ekspor tidak begitu tinggi (Koswara, 2013).

2.6. Analisis Hierarki Proses (AHP)

Analisis Hierarki Proses (AHP) adalah metode pengambilan keputusan yang

komprehensif serta memperhitungkan hal-hal kuantitatif dan kualitatif sekaligus.

AHP dikembangkan dan dipopulerkan sejak 1980 oleh Thomas L. Saaty, seorang

Guru Besar Matematika dari University of Pittsburgh, Amerika Serikat (Sauian,

2010). Penerapan metode ini adalah sebagai alat bantu sistem pendukung

keputusan (DSS) untuk masalah multi-kriteria. Metode AHP memakai persepsi

manusia yang dianggap ahli sebagai input utamanya. Penggunaan persepsi

manusia menjadi keunggulan utama metode ini sehingga mampu mengolah

kualitatif, kuantitatif atau kombinasi keduanya. Kemampuan metode seperti ini

menjadi hal sangat penting mengingat semakin kompleksnya situasi, tingkat

29

ketidakpastian yang makin tinggi dan dinamika yang cepat yang dihadapi dalam

menyelesaikan permasalahan rantai pasok.

Menurut Saaty (1993), prinsip dasar dalam proses penyusunan model hierarki

analitik dalam AHP, meliputi:

1. Problem Decomposition (Penyusunan Hierarki Masalah), dalam

penyusunan hierarki ini perlu dilakukan perincian atau pemecahan dari

persoalan yang utuh menjadi beberapa unsur/komponen yang kemudian

dari komponen tersebut dibentuk suatu hierarki. Pemecahan unsur ini

dilakukan sampai unsur tersebut sudah tidak dapat dipecah lagi sehingga

didapat beberapa tingkat suatu persoalan. Penyusunan hierarki merupakan

langkah penting dalam model analisa hierarki. Adapun langkah-langkah

penyusunan hierarki adalah diawali dengan identifikasi tujuan keseluruhan

dan subtujuan, mencari kriteria untuk memperoleh subtujuan dari tujuan

keseluruhan, menyusun subkriteria dari masing-masing kriteria, dimana

setiap kriteria dan subkriteria harus spesifik dan menunjukkan tingkat nilai

dari parameter atau intensitas verbal, menentukan pelaku yang terlibat,

kebijakan dari pelaku, dan penentuan alternatif sebagai output tujuan yang

akan ditentukan prioritasnya.

2. Comparative Judgement (Penilaian Perbandingan Berpasangan), prinsip

ini dilakukan dengan membuat penilaian perbandingan berpasangan

tentang kepentingan relatif dari dua elemen pada suatu tingkat hierarki

tertentu dalam kaitannya dengan tingkat diatasnya dan memberikan bobot

numerik berdasarkan perbandingan tersebut. Hasil penelitian ini disajikan

dalam matriks yang disebut pairwise comparison.

30

3. Synthesis of Priority (Penentuan Prioritas), sintesa adalah tahap untuk

mendapatkan bobot bagi setiap elemen hierarki dan elemen alternatif.

Karena matriks pairwise comparison terdapat pada setiap tingkat untuk

mendapatkan global priority, maka sintesis harus dilakukan pada setiap

local priority. Prosedur pelaksanaan sintesis berbeda dengan bentuk

hierarki. Sedangkan pengurutan elemen-elemen menurut kepentingan

relatif melalui prosedur sintesis dinamakan priority setting.

4. Logical Consistensy (Konsistensi Logis), Konsistensi berarti dua makna

atau obyek yang serupa. Konsistensi data didapat dari rasio konsistensi

(CR) yang merupakan hasil bagi antara indeks konsistensi (CI) dan indeks

random (RI).

Saaty (2008) telah merumuskan pembuatan keputusan dengan penentuan prioritas

dapat dilakukan berdasarkan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Mendefinisikan masalah dan menentukan macam pengetahuan yang

relevan.

2. Membuat struktur dari hierarki keputusan dari puncak dengan sasaran

keputusan, kemudian obyektif dari perspektif luas, diikuti kriteria-kriteria

dan sub kriteria turunannya sampai dengan level terbawah.

3. Mengonstruksi sekumpulan matriks pairwise comparison.

4. Setiap elemen secara berpasangan akan dinilai masing-masing satu kali.

Misalnya, jika ada empat elemen maka banyak perbandingan berpasangan

adalah enam proses.

5. Menggunakan hasil perbandingan berpasangan untuk memperoleh

prioritas. Setiap level dari hierarki keputusan mempunyai nilai prioritas

31

yang disebut prioritas lokal, sintesa dari seluruh prioritas disebut prioritas

global.

2.7. Analisis Finansial

Suatu usaha dapat dikatakan layak atau tidak untuk dilakukan dapat dilihat dari

efisiensi penggunaan biaya dan besarnya perbandingan antara total penerimaan

dengan total biaya (Maulidah, 2012). Kelayakan usaha yang direncanakan dapat

dianalisis kelayakan finansial ditentukan dengan menggunakan tiga kriteria, yaitu

analisis NPV, IRR dan analisis Net B/C. Menurut Kadariah (1999), untuk

mengetahui daya tarik suatu proyek, ada tiga kriteria investasi yang dapat

dipertanggungjawabkan yaitu: Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return

(IRR), dan Net Benefit per Cost Ratio (Net B/C Ratio). Suatu proyek dikatakan

layak bila proyek tersebut memenuhi kriteria yaitu NPV lebih besar dari nol, IRR

lebih besar dari discount rate yang sedang berlaku.Net B/C lebih besar dari 1.

Menurut Maulidah (2012), studi kelayakan terhadap aspek keuangan perlu

menganalisis bagaimana perkiraan aliran kas akan terjadi. Beberapa kriteria

investasi yang digunakan untuk menentukan diterima atau tidaknya sesuatu usulan

usaha sebagai berikut :

a. Net Present Value (NPV)

Net Present Value (NPV) atau nilai sekarang bersih adalah analisis

manfaat finansial yang digunakan untuk mengukur layak tidaknya suatu

usaha dilaksanakan dilihat dari nilai sekarang (present value) arus kas

bersih yang akan diterima dibandingkan dengan nilai sekarang dari jumlah

32

investasi yang dikeluarkan. Arus kas bersih adalah laba bersih usaha

ditambah penyusutan, sedang jumlah investasi adalah jumlah total dana

yang dikeluarkan untuk membiayai pengadaan seluruh alat-alat produksi

yang dibutuhkan dalam menjalankan suatu usaha. Jadi, untuk menghitung

NPV dari suatu usaha diperlukan data tentang: (1) jumlah investasi yang

dikeluarkan, dan (2) arus kas bersih per tahun sesuai dengan umur

ekonomis dari alat-alat produksi yang digunakan untuk menjalankan usaha

yang bersangkutan.

b. Internal Rate of Return (IRR)

Internal Rate of Return (IRR) menunjukkan kemampuan suatu investasi

atau usaha dalam menghasilkan return atau tingkat keuntungan yang bisa

dipakai. Kriteria yang dipakai untuk menunjukkan bahwa suatu usaha

layak dijalankan adalah jika nilai IRR lebih besar dari tingkat suku bunga

yang berlaku pada saat usaha tersebut diusahakan. Jadi, jika IRR lebih

tinggi tingkat bunga bank, maka usaha yang direncanakan atau yang

diusulan layak untuk dilaksanakan, dan jika sebaliknya usaha yang

direncanakan tidak layak untuk dilaksanakan.

c. Net Benefit per Cost Ratio (Net B/C Ratio)

Net benefit cost ratio (Net B/C Ratio) adalah perbandingan antara present

value yang dari net benefit yang positif dengan present value dari net

benefit yang negatif (Kadariah et al., 1976 dalam Gerba et al., 2015). Jika

Net B/C Ratio >1, maka proyek tersebut layak untuk diusahakan karena

setiap pengeluaran sebanyak Rp. 1,- maka akan menghasilkan manfaat

sebanyak Rp. 1,-. Jika Net B/C Ratio < 1 maka proyek tersebut tidak layak

33

untuk diusahakan karena setiap pengeluaran akan menghasilkan

penerimaan yang lebih kecil dari pengeluaran.

d. Payback Period (PBP)

Payback period (PBP) digunakan dengan tujuan untuk menghitung jangka

waktu pengembalian modal investasi yang digunakan untuk membiayai

bisnis. Payback period adalah suatu periode yang menunjukkan berapa

lama modal yang ditanamkan dalam bisnis tersebut dapat dikembalikan.

e. Break Event Point (BEP)

Break Event Point (BEP) adalah suatu keadaan dimana perusahaan dalam

operasinya tidak memperoleh laba dan juga tidak menderita kerugian atau

dengan kata lain total biaya sama dengan total penjualan sehingga tidak

ada laba dan tidak ada rugi. Hal ini bisa terjadi apabila perusahaan didalam

operasinya menggunakan biaya tetap dan biaya variabel, dan volume

penjualannya hanya cukup menutupi biaya tetap dan biaya variabel.

Apabila penjualan hanya cukup menutupi biaya variabel dan sebagian

biaya tetap, maka perusahaan menderita kerugian. Sebaliknya, perusahaan

akan memperoleh keuntungan, apabila penjualan melebihi biaya variabel

dan biaya tetap yang harus dikeluarkan.

2.8. Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas merupakan suatu analisa untuk dapat melihat pengaruh-

pengaruh yang akan terjadi akibat keadaan yang berubah-ubah. Pada bidang

pertanian, bisnis sangat sensitif untuk berubah-ubah akibat empat masalah utama

yaitu perubahan harga jual produk, keterlambatan pelaksanaan usaha, kenaikan

34

biaya dan perubahan volume produksi. Analisis sensitivitas dapat dikatakan suatu

kegiatan menganalisis kembali suatu proyek untuk melihat apakah yang akan

terjadi pada proyek tersebut bila suatu proyek tidak berjalan sesuai rencana.

Analisis sensitivitas ini mencoba melihat suatu realitas proyek yang didasarkan

pada kenyataan bahwa proyeksi dari suatu rencana proyek sangat dipengaruhi

oleh unsur-unsur ketidakpastian mengenai apa yang terjadi di masa mendatang

(Gittinger, 1986).

Secara umum, analisis sensitivitas dilakukan pada arus penerimaan dan

pengeluaran. Hal-hal yang biasa dikaji pada analisis sensitivitas adalah

perubahan-perubahan kenaikan biaya produksi yang telah terjadi dan batas

kelayakan produksi serta penurunan penerimaan yang diakibatkan karena gagal

produksi atau produk rusak yang telah terjadi dan batas kelayakan usaha. Tingkat

kenaikan biaya suatu produksi, penurunan produksi, dan penurunan harga jual

suatu produk akan menyebabkan nilai Net B/C Ratio, NPV, IRR, dan PBP tidak

meyakinkan, maka itulah batas kelayakan proyek. Analisis sensitivitas dihitung

dengan mencari beberapa nilai pengganti pada komponen biaya dan manfaat yang

terjadi, yang masih memenuhi kriteria minimum kelayakan investasi atau masih

mendapatkan keuntungan normal. Keuntungan normal terjadi apabila nilai NPV

sama dengan nol (NPV=0). NPV sama dengan 0 akan membuat IRR sama dengan

tingkat suku bunga dan Net B/C sama dengan 1 (cateris paribus). Artinya, sampai

tingkat berapa usaha yang akan dijalankan menoleransi peningkatan harga atau

penurunan input dan penurunan harga atau jumlah output (Gittinger,1986).

35

Parameter harga jual produk, jumlah penjualan dan biaya dalam analisis finansial

diasumsikan tetap setiap tahunnya (cateris paribus). Namun, dalam keadaan nyata

ketiga parameter dapat berubah-ubah sejalan dengan pertambahan waktu. Untuk

itu, analisis sensitivitas perlu dilakukan untuk melihat sampai berapa persen (%)

penurunan harga atau kenaikan biaya yang terjadi dapat mengakibatkan perubahan

dalam kriteria kelayakan investasi dari layak menjadi tidak layak. Batas-batas

maksimal perubahan parameter ini sangat mempengaruhi dalam hal layak atau

tidaknya suatu usaha untuk dijalankan. Semakin besar persentase yang diperoleh

misalnya persentase kenaikan harga bahan, maka menunjukkan bahwa usaha

tersebut tidak peka atau tidak sensitif terhadap perubahan parameter yang terjadi

(Gittinger,1986).

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Negara Bumi, Kecamatan Sungai Tengah,

Kabupaten Lampung Utara, Provinsi Lampung. Penelitian ini dilakukan pada

bulan Maret 2018 – Mei 2018.

3.2. Alat dan Bahan Penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis, alat perekam

(recorder atau handphone), dan seperangkat komputer dengan program aplikasi

Expert Choice 2000 (2nd edition) dan Microsoft Excel 2016. Sedangkan bahan

yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar kuesioner dan berbagai

sumber pustaka terkait analisis yang dilakukan.

3.3. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode survei, yaitu penelitian dilakukan terhadap

sampel yang terpilih untuk mewakili seluruh populasi dengan unit analisanya

adalah individu. Jenis data yang digunakan yaitu data primer dan data sekunder.

Data primer adalah data yang informasinya didapatkan langsung dari responden

yaitu pakar/ahli melalui hasil wawancara, dan pengisian kuesioner. Data sekunder

37

dikumpulkan melalui penelusuran pustaka seperti hasil penelitian sebelumnya,

artikel, surat kabar, jurnal, serta laporan dari instansi pemerintahan daerah terkait.

3.4. Pelaksanaan Penelitian

3.4.1. Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data

sekunder yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Pengumpulan seluruh data yang

diperlukan dalam penelitian ini dilakukan melalui beberapa cara meliputi:

1. Wawancara. Pihak yang diwawancarai adalah ahli/pakar yang ada di Desa

Negara Bumi. AHP atau analisis hierarki proses adalah metode

pengambilan keputusan yang memanfaatkan persepsi responden yang

dianggap ahli sebagai input utamanya. Kriteria ahli yang dimaksud adalah

orang yang mengerti benar permasalahan yang diajukan, merasakan akibat

suatu masalah atau punya kepentingan terhadap masalah tersebut.

2. Observasi. Observasi dilakukan untuk melihat langsung obyek yang diteliti

terutama semua aspek yang mendukung perencanaan pengembangan

industri kecil berbasis ubikayu.

3. Studi literatur dan kepustakaan. Studi literatur dan kepustakaan dilakukan

dengan melakukan pencarian sumber-sumber terkait dengan penelitian

berupa hasil penelitian sebelumnya, artikel, surat kabar, jurnal, serta

laporan dari instansi pemerintahan daerah terkait.

38

3.4.2. Analisis Data

Data yang diperoleh diolah dan dianalisis yang diawali dengan mengidentifikasi

apa saja kriteria dan alternatif dalam perencanaan membangun suatu industri kecil

berbasis ubikayu di Desa Negara Bumi, Kecamatan Sungkai Tengah, Kabupaten

Lampung Utara, Provinsi Lampung. Metode yang digunakan untuk menentukan

alternatif olahan ubikayu yang akan dijadikan produk industri kecil berbasis

ubikayu yaitu analisis hierarki proses (AHP). Data dari hasil perhitungan AHP

dengan prioritas tertinggi, datanya digunakan untuk analisis secara finansial

berdasarkan kriteria kelayakan investasi yaitu NPV, IRR, Net B/C Ratio, PBP,

BEP, dan analisis Sensitivitas.

3.4.2.1. Analisis Hierarki Proses (AHP)

Analisis tahap pertama menggunakan metode Analytic Hierarchy Process (AHP),

dengan menggunakan alat bantu berupa program aplikasi Expert Choice 2000

(2nd Edition). Menurut Saaty (1993), metode AHP dapat digunakan untuk

membantu pengambilan keputusan dengan cara sebagai berikut:

1) Menentukan tujuan, kriteria, dan alternatif keputusan.

2) Membuat “pohon hierarki” untuk berbagai kriteria dan alternatif

keputusan.

3) Menentukan prioritas elemen dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Membuat perbandingan berpasangan. Langkah pertama dalam

menentukan prioritas elemen adalah membuat perbandingan

berpasangan, yaitu membandingkan elemen secara berpasangan sesuai

39

kriteria yang diberikan. Untuk perbandingan berpasangan digunakan

bentuk matriks. Matriks bersifat sederhana, berkedudukan kuat yang

menawarkan kerangka untuk memeriksa konsistensi, memperoleh

informasi tambahan dengan membuat semua perbandingan yang

mungkin dan menganalisis kepekaan prioritas secara keseluruhan

untuk merubah pertimbangan (Suryadi dan Ramdhani, 2000). Proses

perbandingan berpasangan dimulai dari level paling atas hierarki untuk

memilih kriteria, misalnya C, kemudian dari level dibawahnya diambil

elemen-elemen yang akan dibandingkan, misal A-1, hingga A-n, maka

susunan elemen-elemen pada sebuah matriks seperti disajikan pada

Tabel 5.

Tabel 5. Matriks perbandingan alternatif berpasangan

Pilihan Alternatif 1 Alternatif 2 Alternatif 3 Alternatif n

Alternatif 1 1

Alternatif 2 1

Alternatif 3 1

Alternatif n 1

b. Mengisi matriks perbandingan berpasangan. Pengisian matriks

perbandingan berpasangan dilakukan dengan menggunakan bilangan

untuk merepresentasikan kepentingan relatif dari satu elemen terhadap

elemen lainnya yang dimaksud dalam bentuk skala dari 1 sampai

dengan 9. Skala ini mendefinisikan dan menjelaskan nilai 1 sampai 9

untuk pertimbangan dalam perbandingan berpasangan elemen pada

setiap level hierarki terhadap suatu kriteria di level yang lebih tinggi.

40

Apabila suatu elemen dalam matriks dan dibandingkan dengan dirinya

sendiri, maka diberi nilai 1. Jika i dibanding j mendapatkan nilai

tertentu, maka j dibanding i merupakan kebalikannya. Pada Tabel 6

memberikan definisi dan penjelasan skala kuantitatif 1 sampai dengan

9 untuk menilai tingkat kepentingan suatu elemen dengan elemen

lainnya.

Tabel 6. Skala kuantitatif dalam sistem pendukung keputusan

Intensitas

Kepentingan Keterangan Penjelasan

1 Kedua elemen sama

penting.

Dua elemen mempunyai

pengaruh yang sama

besarnya.

3

Elemen yang satu sedikit

lebih penting daripada

elemen lainnya.

Pengalaman dan penilaian

sedikit menyokong satu

elemen dibanding elemen

lainnya.

5

Elemen yang satu lebih

penting daripada elemen

lainnya.

Pengalaman dan penilaian

sangat kuat menyokong

satu elemen dibanding

elemen lainnya.

7

Satu elemen jelas lebih

mutlak penting daripada

elemen lainnya.

Satu elemen yang kuat

disokong dan dominan

terlihat dalam praktek.

9 Satu elemen mutlak penting

daripada elemen lainnya.

Bukti mendukung elemen

satu terhadap elemen lain

memiliki tingkat

penegasan tertinggi yang

mungkin terkuat.

2, 4, 6, 8

Nilai-nilai antara dua nilai

pertimbangan yang

berdekatan

Nilai ini diberikan bila ada

dua kompromi diantara 2

pilihan.

Kebalikan

Jika aktivitas i mendapat satu angka dibanding aktivitas j,

maka j mempunyai nilai kebalikannya dibanding dengan

i

Sumber : Saaty (2008).

41

c. Sintesis. Pertimbangan-pertimbangan terhadap perbandingan

berpasangan disintesis untuk memperoleh keseluruhan prioritas dengan

langkah-langkah sebagai berikut:

1. Menjumlahkan nilai-nilai dari setiap kolom pada matriks.

2. Membagi setiap nilai dari kolom dengan total kolom yang

bersangkutan untuk memperoleh normalisasi matriks.

3. Menjumlahkan nilai-nilai dari setiap matriks dan membaginya

dengan jumlah elemen untuk mendapatkan nilai rata-rata.

4. Mengukur konsistensi.

Pembuat Keputusan perlu mengetahui seberapa baik konsistensi yang

ada, karena kita tidak ingin keputusan berdasarkan pertimbangan

dengan konsistensi yang rendah. Karena dengan konsistensi yang

rendah, pertimbangan akan tampak sebagai sesuatu yang acak dan

tidak akurat. Konsistensi penting untuk mendapatkan hasil yang valid

dalam dunia nyata. AHP mengukur konsistensi pertimbangan dengan

rasio konsistensi (Consistency Ratio). Nilai Konsistensi rasio harus

kurang dari 5% untuk matriks 3×3, 9 % untuk matriks 4×4 dan 10 %

untuk matriks yang lebih besar. Jika lebih dari rasio dari batas tersebut

maka nilai perbandingan matriks dilakukan kembali. Langkah-langkah

menghitung nilai rasio konsistensi yaitu:

i. Mengalikan nilai pada kolom pertama dengan prioritas relatif

elemen pertama, nilai pada kolom kedua dengan prioritas relatif

elemen kedua, dan seterusnya.

ii. Menjumlahkan setiap baris.

42

iii. Hasil dari penjumlahan baris dibagikan dengan elemen prioritas

relatif yang bersangkutan.

iv. Membagi hasil diatas dengan banyak elemen yang ada, hasilnya

disebut eigen value (λ max).

v. Menghitung indeks konsistensi (consistency index) dengan rumus:

CI = (λmax-n)/n ....................................................................... (1)

Dimana: CI : Consistency Index

λmax : Eigen Value

n : Banyak elemen

vi. Menghitung konsistensi ratio (CR) dengan rumus:

CR=CI/RC ............................................................................... (2)

Dimana : CR : Consistency Ratio

CI : Consistency Index

RC : Random Consistency

Pemberian nilai konsistensi ditentukan sesuai pada Tabel 7.

Tabel 7. Nilai rata-rata konsistensi

Ukuran Matriks Konsistensi Acak (Random Consistensy)

1 0,00

2 0,00

3 0,58

4 0,90

5 1,12

6 1,24

7 1,32

8 1,41

9 1,45

10 1,49

Sumber : Sasikumar dan Haq (2008).

43

Matriks random dengan skala penilaian 1 sampai 9 beserta

kebalikannya sebagai Random Consistency (RC). Berdasarkan

perhitungan Saaty dalam Suryadi dan Ramdhani (2000) dengan

menggunakan 500 sampel, jika pertimbangan memilih secara acak dari

skala 1/9, 1/8, … , 1, 2, … , 9 akan diperoleh nilai rata-rata konsistensi

untuk matriks yang berbeda seperti pada Tabel 7.

3.4.2.2. Analisis Finansial

Informasi dan data yang didapatkan dari hasil analisis hierarki proses, kemudian

diolah dan dianalis lebih lanjut menggunakan analisis finansial dan analisis

sensitivitas. Alat analisis finansial dalam penelitian ini adalah analisis usaha

berdasarkan kriteria kelayakan investasi yaitu nilai PBP, NPV, IRR, Net B/C

Ratio, dan BEP (Maulidah, 2012). Penentuan kriteria kelayakan investasi dapat

dilakukan dengan formulasi sebagai berikut:

a. Net Present Value (NPV)

Net Present Value (NPV) adalah perbedaan antara nilai sekarang dari

benefit (keuntungan) dengan nilai biaya sekarang, yang besarnya dapat

dihitung dengan rumus sebagai berikut :

n

0t 1NPV

ti

CtBt ................................................................... (3)

Kriteria :

NPV > 0, maka proyek yang menguntungkan dan layak dilaksanakan.

NPV = 0, maka proyek tidak untung dan tidak rugi.

NPV < 0, maka proyek rugi dan lebih baik tidak dilaksanakan.

44

Keterangan dari rumus 3 adalah sebagai berikut :

Bt = Benefit atau penerimaan pada tahun t.

Ct = Cost atau biaya pada tahun t.

i = Biaya modal proyek dengan faktor bunga.

t = Umur ekonomis.

b. Internal Rate of Return (IRR)

Internal Rate of Return (IRR) dari suatu investasi adalah suatu nilai tingkat

bunga yang menunjukkan bahwa nilai sekarang netto (NPV) sama dengan

jumlah seluruh ongkos investasi proyek. Perhitungan IRR dapat

dirumuskan sebagai berikut:

12

21

11 ii

NPVNPV

NPViIRR

............................................ (4)

Keterangan :

i1 = tingkat discount rate yang menghasilkan NPV1.

i2 = tingkat discount rate yang menghasilkan NPV2.

Kriteria :

IRR > tingkat bunga, maka usaha layak dijalankan.

IRR = tingkat bunga, maka usaha berada pada titik impas.

IRR < tingkat bunga, maka usaha tidak layak dijalankan.

c. Net Benefit per Cost Ratio (Net B/C Ratio)

Analisis Net B/C Ratio bertujuan untuk mengetahui beberapa besarnya

keuntungan dibandingkan dengan pengeluaran selama umur ekonomisnya.

Net B/C Ratio yaitu membagi jumlah nilai sekarang aliran kas manfaat

45

bersih positif dengan jumlah nilai sekarang aliran kas manfaat bersih

negatif pada tahun-tahun awal proyek. Perhitungan Net B/C Ratio

dirumuskan sebagai berikut:

n

tt

n

tt

i

BtCt

i

CtBt

CBNet

1

1

1

1/ …..................................................... (5)

Keterangan :

Bt = Manfaat (Benefit) pada tahun ke-t (Rp).

Ct = Biaya (Cost) pada tahun ke-t (Rp).

N = Umur ekonomis Usaha (Tahun).

I = Discount Factor (tingkat suku bunga) (%).

t = Periode Investasi (i= 1,2,…n).

Kriteria Net B/C Ratio yakni :

Jika Net B/C > 1, maka usaha layak dilaksanakan.

Jika Net B/C = 1, maka usaha berada pada titik impas.

Jika Net B/C < 1, maka usaha tidak layak dilaksanakan.

d. Payback Period (PBP)

Faktor yang menentukan penerimaan atau penolakan suatu usulan

investasi adalah dengan melihat jangka waktu yang dibutuhkan kembali

untuk mengembalikan atau menutup investasi. Payback Period (PBP)

merupakan teknik penilaian terhadap jangka waktu (periode)

pengembalian investasi suatu proyek atau usaha.

46

Formulasi penentuan PBP yakni sebagai berikut:

PP =Nilai Investasi

Kas Masuk Bersih× 1 Tahun ................................................. (6)

Keterangan/indikator :

PP > Periode maksimum, maka usaha tidak layak

PP = Periode maksimum, maka usaha berada pada titik impas

PP < Periode maksimum, maka usaha layak

e. Break Even Point (BEP)

Titik pulang pokok atau Break Even Point (BEP) proyek adalah jumlah

unit yang harus dijual atau nilai minimal yang harus diperoleh dari sebuah

gagasan bisnis agar dapat mengembalikan semua investasi yang

dikeluarkan. Formulasi penentuan titik impas dengan teknik persamaan

dapat dilakukan dengan dua cara yakni sebagai berikut:

1) Break Even Point (BEP) Penjualan dalam Unit

𝐵𝐸𝑃 (𝑄) = 𝐹𝐶

𝑃−𝑉 .................................................................. (7)

Keterangan :

P = harga jual per unit FC = biaya tetap

V = biaya variabel per unit Q = jumlah unit/kuantitas produk

yang dihasilkan dan dijual.

2) Break Even Point (Penjualan) dalam Rupiah

𝐵𝐸𝑃 =𝐹𝐶

1−𝑉𝐶

𝑆

............................................................................... (8)

Keterangan :

FC = biaya tetap

S = volume penjualan.

VC = biaya variabel

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah:

1. Hasil analisis potensi dengan metode AHP menunjukkan bahwa agroindustri

perdesaan berbasis ubikayu menghasilkan produk gaplek sebagai unggulan

pertama dengan skor akhir 0,155, produk renggining sebagai unggulan kedua

dengan skor akhir 0,129, produk keripik singkong sebagai unggulan ketiga

dengan skor akhir 0,128, dan selanjutnya diikuti dengan produk kelanting

(skor akhir 0,119) dan produk tiwul (skor akhir 0,118).

2. Hasil analisis finansial menunjukkan bahwa rencana pembangunan

agroindustri perdesaan berbasis ubikayu di Desa Negara Bumi yang paling

layak dikembangkan adalah renggining dengan nilai kriteria kelayakan

investasi yakni NPV sebesar Rp20.292.617.636; Net B/C Ratio sebesar

249,53; IRR sebesar 9.011,09%; dan PBP selama 0,1 tahun (0,7 bulan). Hasil

analisis sensitivitas agroindustri perdesaan produk renggining absolut sensitif

terhadap perubahan harga bahan baku, bahan pembantu, dan harga jual

produk. Hasil analisis sensitivitas untuk perubahan harga bahan baku yang

mengalami kenaikan sampai 75% menunjukkan bahwa usaha masih layak

untuk dijalankan. Kombinasi kenaikan bahan baku 50% dan bahan pembantu

sebesar 50%, usaha renggining juga masih tetap layak untuk dijalankan.

70

Kombinasi kenaikan bahan baku sebesar 50% dan penurunan harga jual

sebesar 50%, usaha masih dapat dikatakan layak untuk dilaksanakan jika

dilihat dari nilai kriteria kelayakan yaitu NPV, IRR, Net B/C Ratio dan PBP.

Produk renggining absolut sensitif terhadap kenaikan harga bahan baku dan

harga produk, dilihat dari penurunan margin keuntungan yang didapat.

5.2. Saran

Saran pada penelitian ini adalah:

1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai strategi pemasaran renggining.

2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan yang bertujuan untuk analisis ketersediaan

ubikayu/singkong, karena sumber bahan baku ubikayu termasuk tanaman

dengan panen musiman.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, A., dan R. N. Suhaeti. 2016. Pemanfaatan Teknologi Pascapanen untuk

Pengembangan Agroindustri Perdesaan di Indonesia. Forum Penelitian Agro

Ekonomi. 34 (1): 21-34.

Al Rasyid, H. 2017. Pembangunan Agroindustri Pedesaan dan Beras Siger Di

Propinsi Lampung Menuju Kesejahteraan Petani. In: Bunga Rampai

Pemikiran Anggota Dewan Riset Daerah (DRD) Provinsi Lampung. AURA,

Bandar Lampung. Hlm 206-216.

Anonim1. 2018. Harga Komoditas Ekspor: Harga Singkong. (Online)

Tersedia pada: http://hargabarangterbaru.top/harga-singkong/.

Diakses pada 10 Januari 2018. Hlm 1.

Anonim2. 2018. Harga Singkong Terbaru Januari 2018. (Online)

Tersedia pada: https://www.hargabulanini.com/harga-singkong-terbaru/.

Diakses pada 10 Januari 2018. Hlm 1.

Anonim3. 2017. Aspek-aspek Studi Kelayakan. (Online)

Tersedia pada: https://grapadimedan.blogspot.co.id/2017/07/aspek-aspek-

studi-kelayakan.html/. Diakses pada 8 Maret 2018. Hlm 1.

Anonim4. 2011. Kuliner dari Singkong: Tiwul Instan. (Online)

Tersedia pada: http://kebun-singkong.blogspot.sg/2011/11/kuliner-dari-

singkong-tiwul-instan.html. Diakses pada 1 Juli 2018. Hlm 1.

Anonim5. 2018. Harga Ubi. (Online)

Tersedia pada: https://www.harga.top/harga-ubi/. Diakses pada 9 September

2018. Hlm 1.

72

(Balitbang Pertanian) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2011.

Teknologi Budidaya Ubikayu Untuk Mencapai Produksi Optimal.

Agroinovasi Sinar Tani. Edisi 29 Juni - 5 Juli 2011 No.3412 Tahun XLI. 4

hlm.

(Balitbang Pertanian) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2012.

Aneka Olahan Umbi. IAARD Press. Jakarta. 52 hlm.

(BPS) Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Utara. 2015. Kabupaten

Lampung Utara dalam angka 2015. (Online) Tersedia pada:

https://lampungutarakab.bps.go.id/. Diunduh : 4 November 2017. 220 hlm.

Badan Pusat Statistik. 2016. Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Tanaman

Pangan Menurut Provinsi (Dinamis). (Online) Tersedia pada:

http://www.bps.go.id. Diunduh : 4 November 2017.

(BPS) Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Utara. 2017. Kabupaten

Lampung Utara dalam angka 2017. (Online) Tersedia pada:

https://lampungutarakab.bps.go.id/. Diunduh : 12 Februari 2018. 199 hlm.

Badan Pusat Statistik. 2018. Industri Besar dan Sedang. (Online)

Tersedia pada: https://www.bps.go.id/subject/9/industri-besar-dan-

sedang.html. Diakses pada 31 Agustus 2018. Hlm 1.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 2008. Teknologi

Budidaya Ubi Kayu. Seri Buku Inovasi: TP/03/2008. 21 hlm.

Didi, D. 2013. Emping Telo. (Online) Tersedia pada:

http://www.diahdidi.com/2013/08/emping-telo.html#.W0KkP7_BJ0s.

Diakses pada 1 Juli 2018. Hlm 1.

Elida, S., dan Hamidi, W. 2009. Analisis Pendapatan Agroindustri Rengginang

Ubi Kayu di Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Jurnal Ekonomi. Vol. 17(2):

11 hlm.

Fajrin, N. 2017. Kajian Pengembangan Agroindustri Minyak Atsiri Berbasis

Bunga Di Provinsi Lampung. (Skripsi). Jurusan Teknologi Hasil Pertanian

Fakultas Pertanian Universitas Lampung, Bandar Lampung. 83 hlm.

73

Fauziah, A. 2016. Peluang Investasi Emas Jangka Panjang Melalui Produk

Pembiayaan BSM Cicil Emas (Studi Pada Bank Syariah Mandiri K.C.

Purwokerto). (Skripsi). Hukum Ekonomi Syariah FAI, Universitas

Muhammadiyah Purwokerto. Hlm 14–22.

Gandhi, V., Kumar, G., dan Marsh, R. 2001. Agroindustry for Rural and Small

Farmer Development: Issues and Lessons from India. Int Food Agribus

Manage Rev. 2(3/4): 331-344.

Gerba, S. V., F. Agustriani, dan Isnaini. 2015. Analisis Finansial Penangkapan

Ikan dengan Alat Tangkap Drift Gillnet di Kecamatan Toboali Kabupaten

Bangka Selatan Bangka Belitung. Maspari Journal. 7 (2):19-24.

Gittinger, J. P. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-proyek Pertanian. Universitas

Indonesia Press. Jakarta. 579 hlm.

Harahap, M., dan S. Mujiatun. 2017. Keragaan Ekonomi Usaha Kecil dan

Menengah (UKM) Pengolahan Opak Singkong di Desa Tuntungan II

Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara. Jurnal Publikasi Fakultas

Pertanian Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Medan. 12 hlm.

Kelompok Karunia Semesta. 2012. Produksi Tepung MOCAF Sebagai Pengganti

Terigu Peluang Usaha Berprospek Cerah. (Artikel). Sleman. 2 hlm.

Kemendagri. 2017. Data Pokok Desa/Kelurahan. Kementrian Dalam Negeri

Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa. (Online)

Tersedia pada: http://prodeskel.binapemdes.kemendagri.go.id/. Diunduh : 20

November 2017. Hlm 1.

Koswara, S. 2013. Modul Teknologi Pengolahan Umbi-Umbian Bagian 6:

Pengolahan Singkong. USAID Tropical Plant Curriculum (TPC) Project,

Southeast Asian Food and Agricultural Science and Technology

(SEAFAST) Center, Research and Community Service Institution, Bogor

Agricultural University. Bogor. 24 hlm.

Kotler, P. 1997. Manajemen Pemasaran Analisis Perencanaan, Implementasi dan

Pengendalian (terjemahan Jaka Wasana). Salemba Empat. Jakarta. 546 hlm.

74

Lakitan, B. 2011. Membangun Agroindustri dan Mewujudkan Sistem Inovasi:

agar teknologi berkontribusi pada kesejahteraan rakyat. (Makalah Ilmiah).

Seminar dan Lokakarya Nasional Pengembangan Agroindustri Kalimantan

Selatan 23 Juni 2011. Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat.

Banjarbaru. 13 hlm.

Mangunwidjaja, D., dan I. Saillah. 2009. Pengantar Teknologi Pertanian. Penebar

Swadaya. Jakarta. 232 hlm.

Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk.

Grasindo. Jakarta. 203 hlm.

Maulidah, S. 2012. Pengantar Usaha Tani: Kelayakan Usaha Tani. Modul 13 UB

Distance Learning, Brawijaya University. Malang. 10 hlm.

Mikasari, W., T. Hidayat, dan L. Ivanti. 2014. Kajian Analisis Usaha dan Nilai

Tambah Agroindustri Tepung Mocaf di Kelompok Tani Sungai Suci

Kabupaten Bengkulu Tengah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)

Bengkulu. Bengkulu. Hlm 757-764.

Nurudin, M. 2015. Analisis Usaha dan Strategi Pengembangan Agroindustri

Kelanting (Studi Kasus di Desa Gantimulyo Kecamatan Pekalongan

Kabupaten Lampung Timur). (Skripsi). Jurusan Teknologi Hasil Pertanian

Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung. 64 hlm.

(Pusdatin) Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2016. Outlook Komoditas

Pertanian Tanaman Pangan Ubi Kayu. Jakarta. 76 hlm.

Ryan. 2016. Perbedaan Amdal, UKL-UPL dan SPPL. Dinas Perumahan Rakyat,

Kawasan Permukiman dan Lingkungan Hidup Kabupaten Ketapang.

(Online) Tersedia pada: http://lhketapang.wixsite.com/. Diakses pada 13

Mei 2018. Hlm 1.

Saaty, T. L. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin, Proses Hierarki

Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks.

Setiono L, penerjemah; Peniwati K, editor. PT. Pustaka Binaman Pressindo,

Jakarta. Terjemahan dari: Decision Making for Leaders The Analytical

Hierarchy Process for Decisions in Complex World. 270 hlm.

75

Saaty, T. L. 2008. Decision making with the analytic hierarchy process.

University of Pittsburgh: United States of America. 16 hlm.

Saptomi, A. 2017. Kajian Penggunaan Asam Askorbat Dan Lama Pengukusan

Terhadap Kualitas Beras Siger Dari Ubi Kayu. (Skripsi). Jurusan Teknologi

Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung, Bandar Lampung.

55 hlm.

Sasikumar, P, dan A. Noorul Haq. 2010. ―A Multi Criteria Decision Making

Methodology for The Selection of Reverse Logistics Operating Models.

International Journal of Enterprise Network Management. 4 (1): 68-79.

Satyajaya, W., E. Suroso., H. Al Rasyid., dan T. P. Utomo. 2016. Kajian

Penentuan Komoditas Unggulan dalam Pengembangan Teknologi

Agroindustri Rakyat di Kabupaten Tulang Bawang. Jurnal Kelitbangan. 04

(1): 22–36.

Sauian, M. S. 2010. MCDM: A practical approach in making meaningful

decisions. Proceedings of the Regional Conference on Statistical Sciences

2010 (RCSS’10). Hlm 139–146.

Soekartawi. 2001. Pengantar Agroindustri. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 152

hlm.

Sormin, A. 2018. Harga Singkong Naik Tajam ke Rp1.100-Rp1.250/kg, Petani

Tersenyum. (Online)

Tersedia pada: https://lampungpro.com/post/9708/harga-singkong-naik-

tajam-ke-rp1100-rp1250kg-petani-tersenyum. Diakses pada 24 Februari

2018. Hlm 1.

Suroso, E. 2011. Model Proses Produksi Industri Tapioka Ramah Lingkungan

Berbasis Produksi Bersih (Studi Kasus di Provinsi Lampung). (Tesis).

Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. 145 hlm.

Suryadi, K.. dan M. A. Ramdhani. 2000. Sistem Pengambilan Keputusan: Suatu

Wacana Struktural Idealisasi dan Implementasi Konsep Pengambilan

Keputusan. Edisi 1. Penerbit Rosda. Bandung. 195 hlm.

76

Triatmoko, A. 2015. Kenapa jual Gaplek?. (Online)

Tersedia pada: https://www.kompasiana.com/. Diakses pada 3 Juni 2018.

Hlm 1.

Widiyanto, J., dan Prabowo, S. A. 2015. Pembuatan Tepung Mocaf dari Ketela

Pohon pada Kelompok Tani “Kampung Idiot”Desa Karangpatihan sebagai

Upaya Diversifikasi Olahan Makanan. Seminar Nasional Universitas PGRI

Yogyakarta 2015. 5 hlm.

Yunus, H. A. R., dan Utami, D. P. 2012. Keragaan Agroindustri Opak Singkong

Di Desa Jolontoro Kecamatan Sapuran Kabupaten Wonosobo. Surya

Agritama. Volume 1: 12 hlm.

Yuwono, S. S., K. Febrianto, dan N. S. Dewi. 2013. Pembuatan Beras Tiruan

Berbasis Modified Cassava Flour (Mocaf): Kajian Proporsi Mocaf : Tepung

Beras Dan Penambahan Tepung Porang. Jurnal Teknologi Pertanian. 14 (3):

175-182.