7 KAJIAN PUSTAKA A. Berpikir Kritis Berpikir kritis merupakan kemampuan yang sangat penting untuk dimiliki, karena berpikir kritis mampu mendorong siswa untuk mampu menyelesaikan permasalahan dari yang sederhana sampai yang kompleks (Snyder dan Snyder, 2018; Stedman dan Adams, 2012). Menurut Dewanti (2011) Perkins dan Murphi, (2006) keterampilan berpikir adalah kegiatan memberikan penjelasan yang sederhana, membangun keterampilan dasar, menyimpulkan, memberikan penjelasan dan penyusunan strategi serta taktik dalam menyelesaikan permasalahan. Kurniasih (2010) dan Ramalisa (2013) juga menambahkan bahwa berpikir kritis adalah proses yang tidak hanya berpikir saja, namun juga diikuti oleh kemampuan memecahkan masalah, mengenali konsistensi, dan menentukan kesimpulan dari data. Kemampuan berpikir kritis dapat diukur dengan mengetahui kemampuan siswa mengidentifikasi apa yang diketahui dan dibahas dalam materi, membuat model matematika dari materi yang diberikan dan dapat menjelaskan dengan tepat, menggunakan strategi yang tepat dalam pemecahan soal yang terkait dengan materi dan melakukan perhitungan dengan benar, serta dapat menarik kesimpulan dari masalah yang diberikan (Karim dan Normaya, 2015). Selain itu kemampuan berpikir kritis siswa dapat dikembangkan apabila guru mampu menciptakan pembelajaran yang memacu siswa terlibat aktif (Iman dkk, 2017). Indikator berpikir kritis menurut Ennis dalam Hassoubah (2004) adalah sebagai berikut: menginterpretasikan, menganalisis dan mengidentifikasi, mengevalusi, menarik kesimpulan, penjelasan, dan kemandirian. Menginterpresasikan yaitu mengkategorikan dan mengklasifikasi. Menganalisis, menguji dan mengidentifikasi. Mengevaluasi yaitu mempertimbangkan dan menyimpulkan. Menarik kesimpulan yaitu menyaksikan data dan menjelaskan kesimpulan. Penjelasan yaitu menuliskan hasil dan menghadirkan argumen. Kemandirian yaitu melakukan koreksi dan melakukan pengujian. Facione dalam Filsaime (2008) menyatakan bahwa terdapat empat kecakapan berpikir kritis yaitu interpretasi, analisis, evaluasi, dan inferensi. Intepretasi adalah memahami makna dari berbagai penilaian. Analisis adalah mengidentifikasi
permasalahan dari yang sederhana sampai yang kompleks (Snyder dan
Snyder,
2018; Stedman dan Adams, 2012). Menurut Dewanti (2011) Perkins dan
Murphi,
(2006) keterampilan berpikir adalah kegiatan memberikan penjelasan
yang
sederhana, membangun keterampilan dasar, menyimpulkan,
memberikan
penjelasan dan penyusunan strategi serta taktik dalam
menyelesaikan
permasalahan. Kurniasih (2010) dan Ramalisa (2013) juga menambahkan
bahwa
berpikir kritis adalah proses yang tidak hanya berpikir saja, namun
juga diikuti
oleh kemampuan memecahkan masalah, mengenali konsistensi, dan
menentukan
kesimpulan dari data.
siswa mengidentifikasi apa yang diketahui dan dibahas dalam materi,
membuat
model matematika dari materi yang diberikan dan dapat menjelaskan
dengan
tepat, menggunakan strategi yang tepat dalam pemecahan soal yang
terkait
dengan materi dan melakukan perhitungan dengan benar, serta dapat
menarik
kesimpulan dari masalah yang diberikan (Karim dan Normaya, 2015).
Selain itu
kemampuan berpikir kritis siswa dapat dikembangkan apabila guru
mampu
menciptakan pembelajaran yang memacu siswa terlibat aktif (Iman
dkk, 2017).
Indikator berpikir kritis menurut Ennis dalam Hassoubah (2004)
adalah
sebagai berikut: menginterpretasikan, menganalisis dan
mengidentifikasi,
mengevalusi, menarik kesimpulan, penjelasan, dan kemandirian.
Menginterpresasikan yaitu mengkategorikan dan mengklasifikasi.
Menganalisis,
menguji dan mengidentifikasi. Mengevaluasi yaitu mempertimbangkan
dan
menyimpulkan. Menarik kesimpulan yaitu menyaksikan data dan
menjelaskan
kesimpulan. Penjelasan yaitu menuliskan hasil dan menghadirkan
argumen.
Kemandirian yaitu melakukan koreksi dan melakukan pengujian.
Facione dalam Filsaime (2008) menyatakan bahwa terdapat empat
kecakapan
berpikir kritis yaitu interpretasi, analisis, evaluasi, dan
inferensi. Intepretasi adalah
memahami makna dari berbagai penilaian. Analisis adalah
mengidentifikasi
8
hubungan antara persoalan dan konsep yang diberikan. Evaluasi
adalah menaksir
kebenaran dari identifikasi persoalan dan hasil dari pemecahannya.
Inferensi
adalah membuat kesimpulan yang masuk akal dari data-data yang
diperoleh.
Empat kecakapan ini masih relevan digunakan untuk mengukur
kemampuan
berpikir kritis matematis siswa saat ini.
Facione (2015) menyatakan, berpikir kritis adalah pemikiran yang
memiliki
tujuan yaitu membuktikan suatu hal, menafsirkan apa arti sesuatu,
memecahkan
masalah. Namun inti kemampuan berpikir kritis menurut Facione
(2015) yaitu
interpretasi, analisis, inferensi, evaluasi, penjelasan, dan
pencocokan. Hal ini
berarti berpikir kritis yaitu (1) interpretasi untuk memahami suatu
makna dari
suatu hal, (2) analisis untuk memahami lebih dalam suatu hal dapat
melalui data,
informasi dll, (3) inferensi untuk menarik kesimpulan dari
pengumpulan data dan
informasi, (4) evaluasi untuk menilai kredibilitas dari kesimpulan
yang dihasilkan,
(5) penjelasan untuk menyatakan kebenaran, alasan, serta bukti, dan
(6)
pencocokan sebagai tahap akhir yakni validasi.
Dari beberapa pendapat di atas maka indikator yang digunakan
dalam
penelitian ini adalah menurut Facione (2015). Inti berpikir kritis
menurut Facione
(2015) yaitu :
1. Interpretasi, Untuk memaknai suatu hal dan juga poin penting
dari suatu
keadaan, sumber, kejadian, penskoran, kesepakatan,
kepercayaan,
ketentuan, tahapan, yaitu yang dibuktikan dengan kemampuan
mengkategorikan, mencari poin penting dari sebuah makna, dan
menjelaskan makna akan suatu hal.
2. Analisis, Untuk mengidentifikasi hubungan inferensial yang
dimaksudkan
dan aktual antara pernyataan, pertanyaan, konsep, deskripsi, atau
bentuk
representasi lainnya yang dimaksudkan untuk mengekspresikan
kepercayaan, penilaian, pengalaman, alasan, informasi, atau
pendapat,
yaitu dibuktikan dengan kemampuan mengusulkan ide, mengajukan
pendapat, mengajukan alasan dan klaim.
3. Inferensi, Untuk mengidentifikasi dan mengamankan elemen
yang
diperlukan untuk menarik kesimpulan yang masuk akal; untuk
membentuk dugaan dan hipotesis; untuk mempertimbangkan
informasi
9
dari data, pernyataan, prinsip, bukti, penilaian, kepercayaan,
pendapat,
konsep, deskripsi, pertanyaan, atau bentuk representasi lainnya,
yaitu
dibuktikan dengan kemampuan menanyakan bukti , alternatif
dugaan,
menarik kesimpulan yang sah secara logis atau dibenarkan.
4. Evaluasi, Untuk menilai tingkat kepercayaan dan kelogisan dari
suatu hal
bisa berupa suatu pengalaman, kondisi, penskoran atau argumen,
yaitu
dibuktikan dengan kemampuan nilai kredibilitas klaim, nilai
kualitas
argumen yang dibuat menggunakan penalaran induktif atau
deduktif.
5. Penjelasan, Untuk menyatakan dan membenarkan alasan dengan
pertimbangan pertimbangan, secara konsep, metodologi, kriteria,
dan
konteks yang menjadi dasar hasil seseorang; dan untuk menyajikan
alasan
seseorang dalam bentuk argumen yang meyakinkan, yaitu
dibuktikan
dengan kemampuan menyatakan hasil, justifikasi prosedur, dan
argumen
yang kekinian.
hasil, terutama dengan menerapkan keterampilan dalam analisis,
dan
evaluasi terhadap penilaian inferensial seseorang dengan
mempertanyakan, mengonfirmasi, memvalidasi, atau mengoreksi
salah
satu alasan atau hasil seseorang, yaitu dibuktikan dengan
kemampuan
monitor diri, mengoreksi diri.
B. Soal Aljabar bertipe PISA (Program for International Student
Assessment)
Beberapa studi telah dilakukan untuk mengukur kemampuan berpikir
siswa,
yakni melalui beberapa jenis tipe soal diantaranya yaitu TIMSS
(Trends in
International Mathematics and Science Study), PISA (Programme
for
Internasional Student Assessment), dan PIRLS (Program in
International Reading
Literacy Study). Tipe PISA, menurut Cambridge Assesment
International
Education PISA fokus menilai kemampuan membaca, matematika, sains,
dan
pemecahan masalah, untuk usia 15 tahun yakni untuk kelas 9 SMP,
pengukuran
PISA ini terfokus pada keterampilan.
10
menilai sejauh mana pembelajaran di sekolah mampu di aplikasikan
dalam
kehidupan nyata dan mampu membawa manfaat untuk masyarakat,
cara
pengukuran dari PISA ini dengan menyebarkan questionnaire kepada
siswa.
Fokus dari pengukuran ini ada pada karakter dari siswa, perilaku
siswa terhadap
soal pembelajaran, motivasi belajar siswa dan strategi belajar
siswa. PISA sudah
dimulai sejak tahun 2000 dan penilaian dilakukan setiap 3 tahun
sekali, dan
berdasarkan data PISA 2015 PISA Results in Focus oleh OECD (2018)
rata-rata
Indonesia pada Matematika ada pada peringkat 65 dari 70 Negara yang
mengikuti.
Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan pembelajaran matematika
mampu
diukur menggunkan tipe soal PISA yang memiliki fokus penelitian
kepada
keterampilan siswa dalam memecahkan masalah dalam pembelajaran
matematika
khususnya pada materi Aljabar.
Soal-soal bertipe PISA memiliki domain yang telah dinyatakan oleh
Johar
(2012) dimana domain tersebut meliputi konten, konteks, dan
kelompok
kompetensi yang akan diberikan kepada siswa. Menurut Johar (2012)
konten
perubahan dan hubungan merupakan kejadian/peristiwa dalam setting
yang
bervariasi seperti pertumbuhan organisasi, musik, siklus dari
musim, pola dan
cuaca, dan kondisi ekonomi konten ini sangat berkaitan dengan
konten
matematika pada kurikulum yaitu bentuk aljabar, persamaan,
pertidaksamaan,
yang mampu memodelkan dan menginterpretasikan perubahan dari
suatu
fenomena, konteks umum adalah konteks yang berkaitan dengan
penggunaan
pengetahuan matematika dengan kehidupan sehari-hari dimana siswa
mampu
mencocokkan kehidupan nyata dengan pemahaman pada matematika,
dan
kelompok kompetensi koneksi ialah dimana siswa mampu mengkoneksikan
antara
fenomena non-rutin pada kehidupan sehari-hari ke dalam model
matematika.
Materi aljabar memuat sub materi berupa operasi hitung pada bentuk
aljabar,
berikut adalah contoh soal aljabar bertipe PISA pada Ujian Nasional
(UN)
Matematika 2014
Contoh soal berikut berjudul koran, dengan soal yang berbunyi
“di
Zedland ada dua media massa koran yang sedang mencari orang untuk
bekerja
11
sebagai penjual koran. Iklan di bawah ini menunjukkan bagaimana
mereka
membayar gaji penjual koran:
Joko memutuskan untuk melamar menjadi penjual koran. Ia perlu
memilih
bekerja pada Media Zedland atau Harian Zedland. Grafik manakah di
bawah ini
yang menggambarkan bagaimana koran membayar
penjual-penjualnya?”
Gambar 2.2 Jawaban Contoh Soal PISA
Penyelesaian dari soal diatas yang dijabarkan dalam bentuk aljabar
ialah, jika
dimisalkan perolehan setiap minggunya sebagai yang mana adalah
jumlah
12
koran yang mampu djual pada pekan tersebut.jika dilihat dari
pernyataan iklan
dari koran media zedland :
“ zed per koran sampai koran yang terjual per minggu, ditambah
zed
per koran selebihnya yang terjual” maka nya yaitu:
Dimana grafik yang dihasilkan adalah sebuah gabungan dari dua garis
yang lurus
tapi memiliki dua kemiringan yang berbeda. Dari jawaban yang
tersedia di atas
hanya A, B, dan E yang tidak memenuhi, karena hanya terdiri dari
satu setrip atau
garis saja, sehingga hanya menyisakan dua jawaban yaitu C dan D.
Selanjutnya
sesuai pernyataan iklan pada harian Zedland yaitu: “ zed per
minggu, ditambah
bonus zed per koran yang terjual” jadi fungsi gaji yang diperoleh
nya
adalah:
Grafik yang dihasilkan linier, yaitu satu garis lurus. Dari jawaban
yang tersisa
yakni C dan D, maka yang sesuai dengan hasil yaitu berupa garis
yang lurus
adalah C maka dapat disimpulkan bahwa jawabannya adalah C.
C. Pembelajaran Berdasarkan Teori APOS (Aksi, Proses, Objek,
Skema)
Soal aljabar bertipe PISA dapat dimunculkan melalui sebuah
pembelajaran. Pembelajaran adalah proses yang menghasilkan dampak
pada siswa
setelah mempelajari suatu hal melalui proses belajar. Hal ini
didukung oleh
Winataputra (2014) yang menyatakan bahwa hubungan yang dimiliki
oleh belajar
dan pembelajaran yaitu mereka memiliki hubungan substansif dan
fungsional,
hubungan substansif artinya adalah adanya perubahan pada individu
dan
hubungan fungsionalnya yakni belajar merupakan parameter
pembelajaran.
Definisi pembelajaran menurut Gasong (2018) adalah sebagai
seperangkat
peristiwa yang dirancang untuk memprakarsai, menggiatkan dan
mendukung
kegiatan belajar siswa (manusia yang belajar) yang dirancang ,
direncanakan dan
disajikan agar memberikan efek pada si belajar. Melalui
pembelajaran pula siswa
dituntut untuk berpartisipasi aktif didalamnya, sehingga siswa
dapat melatih
kemampuannya untuk berpikir. Salah satu upaya memfasilitasi siswa
agar mampu
13
dimana pembelajaran tersebut harus berangkat dari pembelajaran yang
membuat
siswa aktif sehingga leluasa untuk berpikir dan mempertanyakan
kembali apa
yang mereka terima dalam pembelajaran (Istianah, 2013).
Winataputra (2014) juga meringkas sifat khas dari belajar dari
beberapa
teori belajar kotemporer dan dampak yang dihasilkan bagi
pembelajaran
diantaranya yaitu, teori belajar Conditions of Learning oleh Robert
Gagne yang
memiliki asumsi dasar yakni belajar bukan hanya satu proses tunggal
saja, pola
dasar pada pembelajaran yakni dengan mengenali potensi yang
dimiliki,
menyelidiki ketepatan tugas yang akan diberikan agar belajar jadi
efektif lalu
teori ini akan dijabarkan melalui model pembelajaran yang terdiri
dari langkah-
langkah pembelajaran yang dinamakan dengan model kondisi belajar.
Selanjutnya
yakni teori belajar Social Learning oleh Albert Bandura yang
memiliki asumsi
dasar yakni belajar adalaah hubungan yang berupa segitiga yaitu
antara
lingkungan, alasan pribadi, serta perilaku, yang memiliki pola
dasar pembelajaran
yakni dengan penggunaan model, menguatkan materi ajar, remidial,
dan
mengembangkan potensi siswa. lalu teori ini akan dijabarkan menjadi
strategi
pembelajaran dikelas dengan model belajar sosial. Dari hal tersebut
maka
dibutuhkan teori tertentu untuk membantu proses penerapan
pembelajaran melalui
suatu langkah-langkah pembelajaran.
Salah satu teori yang dapat digunakan untuk menganalisis
kemampuan
berpikir kritis siswa terhadap pembelajaran matematika khususnya
materi aljabar
tipe PISA adalah teori APOS. Teori APOS menjabarkan tahapan siswa
dari
bagaimana ia menggunkan struktur kognitif yang ia miliki untuk
mengkonsep
suatu pengetahuan melalui aksi, proses, objek dan skema(Arnon dkk,
2014).
Selanjutnya Dubinsky dan Mcdonald (2001) mengatakan teori ini
berasal dari
perkiraan awal yang dibuat tentang pengetahuan yang telah dimiliki
oleh siswa
tentang permasalahan dalam matematika, hal ini dilihat dari
kemampuan siswa
dalam memahami dan memecahkan masalah matematika sehingga
dapat
terkonstruk menjadi aksi, proses, objek, dan skema
14
1. Aksi
Aksi adalah suatu reaksi yang timbul karena adanya rangsang
eksternal
secara tesrirat yang mengharuskan individu untuk mengambil langkah
yang
menjadi tahapan-tahapan (Dubinsky dan McDonald, 2001). Mulyono
dalam
Zuhair (2014) menjelaskan aksi sebagai:
a. Subyek hanya menerapkan rumus atau langsung menggunakan
rumus
yang diberikan
c. Subyek memerlukan langkah-langkah rinci untuk melakukan
transformasi
d. Kinerja subyek berupa kegiatan prosedural
2. Proses
memikirkan untuk mengulang aksi tersebut, namun aksi yang timbul
dinamakan
proses apabila ia tidak harus menerima rangsang eksternal (Dubinsky
&
McDonald, 2001). Mulyono dalam Zuhair (2014) mengartikan proses
sebagai:
a. Untuk melakukan transformasi subyek tidak perlu diarahkan
dari
rangsangan eksternal
langkah-langkah tersebut secara nyata
langkah-langkah secara nyata
e. Sebuah proses dirasakan oleh subyek sebagai hal yang internal
dan di
bawah kontrol subyek tersebut
g. Subyek belum paham secara konseptual
3. Objek
(Dubinsky & McDonald, 2001). Objek diartikan oleh Mulyono dalam
Zuhair
(2014) sebagai berikut:
b. Subyek dapat melakukan de-encapsulating suatu obyek kembali
menjadi
proses dari mana obyek itu berasal atau mengurai sebuah skema
yang
ditematisasi mejadi berbagai komponen
d. Subyek dapat menentukan sifat-sifat suatu konsep
4. Skema
Gabungan sebuah aksi, proses, dan obyek yang terhubung secara sadar
dan
individu menggunkan ini sebagai suatu langkah dalam menyelesaikan
suatu
persoalan (Dubinsky & McDonald, 2001). Mulyono dalam Zuhair
(2014) juga
menjelaskan bahwa seorang siswa telah mencapai tahapa skema adalah
sebgai
berikut:
a. Subyek dapat menghubungkan aksi, proses, subyek, suatu konsep
dengan
konsep lainnya
bermacam cara
sifat-sifat lain yang telah dipahaminya
d. Subyek memahami berbagai aturan/rumus yang perlu
dilihatkan/digunakan
teori APOS adalah sebagai berikut:
1. Diawal pembelajaran guru hendaknya memotivasi siswa untuk
menggunakan
pengetahuan dan konsep-konsep awal yang telah dimilikinya
untuk
menganalisis suatu masalah sehingga terbentuklah suatu aksi
2. Selama pembelajaran berlangsung guru harus bertindak sebgai
fasilitator untuk
mendorong siswa menemukan konsep yang lebih mendalam dan
umum.
Kegiatan ini akan memicu siswa untuk memiliki proses selama
pembelajaran.
Selanjutnya jika dirasa perlu, guru harus memberikan intervensi
kepada siswa
yang bersifat tidak langsung sehingga siswa mampu menemukan
dan
16
mensitesis konsep dalam matematika. Kegiatan ini akan memicu siswa
untuk
memiliki obyek konsep pada matematika.
3. Seusai pembelajaran, guru harus memberikan tugas kepada siswa
agar siswa
mampu menerapkan konsep matematika yang telah ia miliki menjadi
sebuah
langkah-langkah penyelesaian. Kegiatan ini akan memicu siswa
untuk
memiliki skema terhadap konsep matematika.
Teori di atas dapat di integrasikan dengan indikator berpikir
kritis Facione
(2015) yaitu interpretasi, analisis, inferensi, evaluasi,
penjelasan, pencocokan. Ke
enam indikator ini akan saling berhubungan dalam proses
pembelajaran. Diawali
dengan kemampuan interpretasi kemudian kemampuan yang lainnya
akan
menyusul. Berikut adalah keterangan dari setiap indikator berpikir
kritis (1)
interpretasi atau memaknai suatu hal, (2) analisis untuk memahami
lebih dalam
suatu hal dapat melalui data, informasi dll, (3) inferensi untuk
menarik
kesimpulan dari pengumpulan data dan informasi, (4) evaluasi untuk
menilai
kredibilitas dari kesimpulan yang dihasilkan , (5) penjelasan untuk
menyatakan
kebenaran, alasan, serta bukti, dan (6) pencocokan sebagai tahap
akhir yakni
validasi.
dengan teori Suryadi (2005) terkait pembelajaran APOS. Berikut
adalah hubungan
pengembangan indikator berpikir kritis dengan teori APOS dalam
pembelajaran :
17
Teori APOS
Keterangan
Tahap
suatu hal, terdorong untuk
dapat melalui data, informasi dll,
Inferensi menarik kesimpulan dari
pengumpulan data dan informasi
kesimpulan yang dihasilkan
yakni validasi
penelitian ini, antara lain sebagai berikut :
1. Penelitian yang dilakukan oleh Mahmuzah (2015) dengan judul
”Peningkatan
kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMP melalui pendekatan
problem
posing”. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mahmuzah (2015)
menyatakan
bahwa, model pembelajaran dan tingkat kepandaian siswa berpengaruh
secara
signifikan terhadap kemampuan berpikir kritis siswa. Pembelajaran
student
center lebih baik digunakan jika dibandingkan dengan
pembelajaran
konvensional dalam upaya peningkatan kemampuan berpikir kritis
siswa baik
dilihat dari segi level siswa atau secara keseluruhan.
18
2. Penelitian yang dilakukan oleh Putri (2018) dengan judul
“Kemampuan
berpikir kritis matematis siswa dalam pembelajaran matematika
menggunakan
teori APOS”. Hasil penelitian ini adalah mengetahui tahapan
berpikir kritis
yang dicapai siswa dengan memakai teori APOS (Action, Process,
Object,
Scheme) adalah terkategori cukup. Persentase yang diperoleh dari
hasil tes
adalah: 36% siswa adalah siswa yang baik dalam berpikir kritis, 9%
cukup,
45% kurang, 9% sangat kurang.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Novitasari (2018) dengan judul
“Analisis
Kemampuan Siswa dalam Menyelesaikan Soal-soal PISA konten Change
and
Relationships pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Puhpelem”.
Hasil
penelitian ini adalah kemampuan siswa dalam menyelesaiakan soal
level
rendah yaitu level 1 dan 2 soal PISA adalah sebesar 28,33% dan
23,33%,
selanjutnya pada level tengah yaitu level 3 dan 4 soal PISA adalah
sebesar
18,33% dan 11,67%, selanjutnya pada level tinggi yaitu level 5 dan
6 soal
PISA adalah 16,67% dan 1,67% sehingga berdasarkan penelitian
tersebut dapat
disimpulkan bahwa rata-rata siswa belum sampai level tinggi.