Upload
others
View
50
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
10
BAB IIKAJIAN PUSTAKA
2.1. Asam Salisilat
Asam salisilat, dikenal juga dengan asam 2-hidroksi benzoat atau asam-
ortohidrobenzoat yang memiliki struktur kimia C7H6O3. Asam salisilat telah
digunakan sebagai bahan terapi topikal lebih dari 100 tahun yang lalu. Dalam
bidang dermatologi, asam salisilat telah lama dikenal dengan khasiat utamanya
sebagai bahan keratolitik. Hingga saat ini asam salisilat masih digunakan dalam
terapi veruka, kalus, psoriasis, dermatitis seboroik pada kulit kepala, dan iktiosis.
Penggunaannya semakin berkembang sebagai bahan peeling dalam terapi penuaan
kulit, melasma, hiperpegmentasi pasca inflamasi, dan akne (Lee dan Kim, 2003;
Muhammad et al., 2016). Struktur asam salisilat digambarkan seperti Gambar 2.1.
2.1. Struktur asam salisilat
Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa terdapat tiga faktor yang
berperan penting pada mekanisme keratolitik asam salisilat yaitu melarutkan
ikatan korneosit, menurunkan ikatan korneosit, melarutkan semen interselluler
dan melonggarkan serta mendisintegrasikan korneosit. Asam salisilat bekerja
11
sebagai pelarut organik dan menghilangkan ikatan kovalen interselluler yang
berikatan dengan cornified envelope di sekitar keratinosit. Mekanisme kerja zat
ini adalah pemecahan struktur desmosom yang menyebabkan disintegrasi ikatan
antar sel korneosit. Terminologi desmolitik lebih menggambarkan mekanisme
kerja asam salisilat topikal. Efek desmolitik asam salisilat meningkat seiring
dengan peningkatan konsentrasi ( Levequ dan Saint, 2002).
Secara umum penggunaan terapi topikal relatif lebih aman dan memiliki
efek samping minimal dibandingkan dengan rute pemberian secara oral, namun
pemberian topikal memiliki potensi toksisitas sistemik, efek teratogenik, dan
interaksi obat akibat absorpsi sistemik yang harus diwaspadai. Pada pemberian
oral, sebagian salisilat diabsorpsi dengan daya absorpsi 70% dalam bentuk utuh
dalam lambung, tetapi sebagian besar absorpsi terjadi dalam usus halus bagian
atas. Sebagian asam salisilat dihidrolisis kemudian didistribusikan ke seluruh
tubuh dan segera menyebar ke seluruh tubuh dan cairan transeluler setelah
diabsorpsi. Kecepatan absorpsi tergantung dari kecepatan disintegrasi dan
disolusi tablet, pH, permukaan mukosa, dan waktu pengosongan lambung.
Salisilat dapat ditemukan dalam cairan sinovial, cairan spinal, liur, dan air susu.
Kadar tertinggi dicapai kira-kira 2 jam setelah pemberian (Sulistyaningrum et al.,
2012).
Asam salisilat memiliki efek analgetik tetapi jarang digunakan secara oral
karena toksisitasnya relatif tinggi, sehingga yang lebih sering digunakan adalah
senyawa turunannya. Turunan asam salisilat diperoleh dengan mengubah struktur
melalui pengubahan gugus karboksil, substitusi pada gugus hidroksil, modifikasi
12
pada gugus karboksil dan hidroksil, serta memasukkan gugus hidoksil atau gugus-
gugus lain pada cincin aromatik, tujuan dari modifikasi asam salisilat adalah
meningkatkan aktivitas analgesiknya dan mengurangi efek toksiknya.
Asam asetil salisilat atau yang lebih dikenal dengan aspirin merupakan
salah satu turunan dari asam salisilat. Asam asetil salisilat adalah obat yang paling
sering digunakan untuk meredakan nyeri ringan sampai sedang yang sebabnya
beragam, tetapi tidak efektif untuk menghilangkan nyeri organ dalam (visceral
pain), seperti infarktus miokardium atau kolik batu ginjal atau empedu (Darsono,
2002).
Setelah ingesti asam asetil salisilat secara cepat diubah menjadi asam
salisilat. Pada dosis teraphy asam salisilat dimetabolisme oleh hati dan dieliminasi
dalam waktu 2-3 jam. Keracunan salisilat dimanifestasikan dengan kerusakan
beberapa sistem organ, meliputi central nervous system (CNS), cardiovascular,
paru-paru, hati, dan sistem metabolisme. Salisilat secara langsung maupun tidak
langsung mempengaruhi sistem organ dalam tubuh melalui phosphorilasi oksidatif
tunggal, menghambat enzim siklus krebbs, dan menghambat sintesis asam amino
(Muhammad dan Timothy, 2016).
Asam salisilat memiliki efek samping berupa iritasi mukosa lambung
dengan resiko tukak lambung dan perdarahan. Hal ini disebabkan oleh beberapa
faktor antara lain tablet yang tidak larut, penyerapan non-ionisasi oleh lambung
dan hambatan produksi prostaglandin yang protektif. Asam salisilat jika
digunakan dalam dosis besar dapat mengiritasi mukosa lambung karena hilangnya
efek perlindungan dari prostasiklin (PgI2) terhadap mukosa lambung, yang
13
sintesisnya turut dihalangi oleh blokade siklooksidase (Randjelovic et al., 2015).
Selain itu asam salisilat juga dapat menimbulkan efek spesifik seperti
reaksi alergi kulit dan telinga berdengung pada dosis yang lebih tinggi. Efek yang
lebih serius yang dapat ditimbulkan akibat penggunaan asam salisilat adalah
kejang-kejang hebat yang pada pasien asma dapat menimbulkan serangan,
walaupun dalam dosis rendah. Pada anak-anak yang terserang cacar air atau flu,
pemberian asam salisilat dapat menyebabkan berisiko terkena sindrom Rye yang
berbahaya (Raman et al., 2014).
2.2. Biosintesis dan Metabolisme Asam Salisilat
Asam salisilat sebagai suatu regulator endogen dari resistensi penyakit
merupakan produk dari metabolisme fenilpropanoid yang dibentuk melalui
dekarboksilasi dari asam trans-sinamat kemudian membentuk asam benzoat dan
subsekuensinya 2-hidroksilasi menghasilkan asam salisilat. Terdapat dua jenis
enzim yang terlibat dalam biosintesis dan metabolisme asam salisilat yaitu
benzoic acid 2-hidroxylase yang mengubah asam benzoat menjadi asam salisilat,
dan enzim Salicylic acid glucosylterase yang mengkatalisis konversi dari asam
salisilat ke salycilic acid glukoside ( Lee et al., 1995). Skema biosintesis dan
metabolisme asam salisilat terlihat pada gambar 2.2
14
Gambar 2.2.Skema biosintesis dan metabolisme asam salisilat
2.3. Tinjauan Tentang Lempung
Lempung adalah bagian dari mineral tanah dengan struktur berlapis yang
mempunyai ukuran partikel lebih kecil dari 2 μm. Masing-masing lapisan
15
lempung memiliki ketebalan berkisar 1 nm . Terdapat beberapa jenis lempung
dengan perbedaan pada rumusan, struktur, sifat yang meliputi swelling, dan
ekfoliasi. Lempung memainkan peranan yang cukup penting bagi lingkungan
melalui fungsinya sebagai natural scavenger melalui proses pertukaran kation
atau adsorpsi. Lempung memiliki berbagai kation dan anion yang bisa
dipertukarkan yang ada pada permukaannya, seperti Ca 2+, Mg 2+, H+, NH4+, Na+,
SO42-, Cl-,PO4
3-, dan NO3-. Ion-ion tersebut dapat tertukar dengan ion yang lain
dengan relatif mudah tanpa berpengaruh terhadap struktur mineralnya. Luas
permukaan yang tinggi, stabilitas mekanik dan kimia, struktur berlapis, kapasitas
tukar kation yang tinggi menjadikan lempung sebagai material adsorben yang
excellent (Srinivasan, 2011).
Di alam lempung (Clay) adalah salah satu mineral yang sangat berlimpah
keberadaannya, terdiri dari beberapa jenis mineral seperti kaolinit,
montmorillonit, ilit, haloisit, dan klorit. Di antara mineral-mineral tersebut,
montmorillonit adalah mineral yang paling banyak dimodifikasi. Di alam mineral
montmorillonit ditemukan dalam tanah bentonit. Tanah lempung bentonit
mengandung kurang lebih 85% mineral montmorillonit. Tanah tersebut memiliki
ciri-ciri antara lain jika diraba terasa licin, lunak, memiliki kilap lilin, berwarna
pucat dengan penampakan putih, hijau muda, kelabu, merah muda dalam
keadaan segar dan jika telah lapuk berwarna coklat kehitaman (Carretero et al.,
2006).
Dilihat dari strukturnya montmorillonit disebut liat lapis 2:1 karena
strukturnya terdiri dari dua lembar tetrahedral silikat yang mengapit satu lembar
16
oktahedral aluminium. Dua tipe struktur montmorillonit yang dikenal yaitu
struktur menurut Hofman-Endell dan Edelman Favajee . Kedua struktur ini
menunjukkan kemiripan yaitu dalam struktur unit sel yang simetris, ikatan antar
lapisan relatif lemah , dan mempunyai ruang antar lapis yang dapat mengembang
jika kandungan air meningkat (Morgan, 2006).
Muatan negatif montmorillonit disebabkan adanya substitusi isomorfik,
perubahan muatan yang terjadi relatif sedikit karena semua kation hidroksi
terletak pada bidang bawah permukaan yang tertutup oleh suatu jaringan oksigen.
Substitusi isomorfik terjadi karena sebagian silika dalam lapisan tetrahedral dapat
digantikan oleh ion lain yang berukuran sama, biasanya Al3+. Dengan cara yang
sama pula sebagian dari Al3+ dalam lembaran oktahedral dapat digantikan oleh
Mg2+ tanpa mengganggu strukturnya (Morgan, 2006).
Srinivasan (2011) menyebutkan bahwa montmorillonit mempunyai
kapasitas tukar kation sebesar 80-100 miliekivalen per seratus gram dengan luas
permukaan spesifik mencapai 700-800 m2/gram. Jika montmorillonit kontak
dengan air atau uap air, molekul air akan masuk di antara lapisan-lapisan silikat
sehingga mengakibatkan pengembangan antar lapis yang menyebabkan
volumenya meningkat. Dengan demikian jarak dasar (basal spacing)
montmorillonit meningkat secara seragam berkisar antara 12,5-20Å. Peningkatan
jarak dasar terjadi secara bertahap karena terbentuknya kulit hidrasi di sekeliling
antar lapis. Kemampuan mengembang dari montmorillonit menyebabkan mineral
ini dapat menerima ion-ion logam dan senyawa organik. Ikatannya dengan
senyawa organik menghasilkan senyawa kompleks organik-mineral. Ion-ion
17
organik diyakini mampu menggantikan kation-kation anorganik pada posisi antar
lapis. Lapisan tunggal dan kadang-kadang lapisan ganda yang terikat bergantung
pada ukuran kation yang digantikan dan defisit muatan pada lapisan mineralnya.
Stuktur montmorillonit terlihat seperti Gambar 2.3.
Gambar 2.3.Struktur montmorillonit
Lempung digunakan secara luas dalam dunia farmasi sebagai excipient,
shielding dan agen adsorben. Interaksi lempung-obat (senyawa organik)
merupakan fenomena yang lebih kompleks karena melibatkan gaya van der waals,
ikatan hidrogen, pertukaran ion, ikatan koordinasi dan kemisorpsi (Bonina et al.,
2007).
Javiera et al., (2015) melaporkan aktivitas anti inflamasi, anti bakteri, dan
aktivitas sitotoksik dari lempung. Aktivitas antiinflamasi ditentukan dengan
18
menggunakan senyawa 12-O-tetradecanoylphorbol-13-acetate (TPA) dan metode
myeloperoksidase (MPO). Potongan histologi diperlukan untuk mendapatkan
jumlah leukosit pada epidermis. Dari penelitiannya didapatkan bahwa lempung
palygorkite dan sepiolite menyebabkan penghambatan edema sebesar 68,64 %
dan 45,54 % serta penghambatan terhadap migrasi neutrofil berturut-turut sebesar
80 % dan 65%.
Silva et al (2015) mempelajari tentang aktivitas anti-inflamasi bentonit
menggunakan edema telinga tikus dan metode 12-O-tetradecanoylphorbol-13-
acetate(TPA). Dari penelitiannya itu didapatkan bahwa bentonit menghambat
udema sesudah 4 jam.
2.4. Nanokomposit Lempung Bentonit - Asam Salisilat
Komposit adalah material yang dibuat lebih dari satu komponen. Material
komposit merupakan material multiphase padatan yang terbentuk melalui
kombinasi material dengan sifat kimia, fisika, dan struktur yang berbeda. Ini
menjadikan komposit berbeda dengan sistem multi komponen lain seperti alloy
atau blends. Pada komposit, satu fase kontinu disebut dengan matrik ( host) dan
fase lainnya disebut dengan filler (guest). Komposit yang fase matriknya
berbasis material alam dibagi menjadi komposit polimerik, komposit keramik,
dan komposit metalik ( Olad, 2011).
Nanokomposit didefinisikan sebagai material komposit dimana dimensi
partikel fillernya, ketebalan platelet atau diameter seratnya berada pada
rentangan 1-100 nm.
19
Gambar 2.4. Tipe nanofiller dengan dimensi nm
Sifat akhir dari nanokomposit ditentukan oleh sifat komponen, komposisi,
mikrostruktur, dan interaksi antar mukanya, tetapi sudah terbukti bahwa sifat
nanokomposit sangat dipengaruhi oleh dimensi dan mikrostruktur dari fase
fillernya, dengan kata lain sifat filler sangat menentukan morfologi dan sifat
polimer nanokomposit ( Sheng et al.,2004).
Lempung merupakan fraksi tanah dengan ukuran partikel lebih kecil dari 2
μm. Ketebalan lapisan lempung sekitar 1 nm sehingga dikelompokkan ke dalam
material berskala nanometer. Kemampuan swelling dan tereksfoliasi dari
lempung khususnya bentonit menjadikannya sebagai matrik yang bisa diisi oleh
polimer atau monomer untuk membentuk komposit yang stabil (Olad, 2011).
Mineral lempung digunakan secara luas di bidang farmasi konvensional
sebagai excipient maupun sebagai zat aktif. Mineral lempung dapat berinteraksi
dengan molekul obat dan juga dengan komponen inaktif dari produk medis
seperti polimer. Berdasar pada interaksi tersebut mineral lempung dan bentuk
20
modifikasinya dapat secara efektif digunakan untuk sistem penghantar obat
termodifikasi (modify drug delivery system (MDDS). Secara umum semua
bentuk dosis farmasi adalah sistem penghantar obat. Sistem penghantaran obat
(drug delivery system) adalah istilah yang menggambarkan bagaimana suatu obat
sampai ke tempat target aksinya (Salcedo et al., 2012).
Sistem penghantar obat termodifikasi (Modify drug delivery
system(MDDS)) merupakan pengembangan dari sistem penghantar obat
konvensional. Modifikasi meliputi perubahan laju dan atau waktu pelepasan obat,
atau tempat (site) lepasnya obat. Modifikasi ini dapat dilakukan dengan beberapa
mekanisme yang memungkinkan seperti modifikasi formulasi farmasi, atau
metode preparasi. Modifikasi dilakukan untuk beberapa tujuan seperti
menurunkan atau meningkatkan laju pelarutan, memperlambat pelepasan obat,
targeting drug release, mencegah atau mengurangi efek samping, dan
meningkatkan stabilitas (Viseras et al., 2010).
Di antara berbagai senyawa organik yang berasosiasi dengan lempung,
kompleks salisilat telah dipelajari oleh beberapa peneliti. Okamura, 1997
mempelajari pengaruh perubahan pH dan konsentrasi terhadap adsorpsi
konsekutif dari asam salisilat pada lempung allophanic.
Kubicki et al., 1997; Okamura (1997), mempelajari mekanisme terikatnya
asam salisilat yang teradsorpsi pada illit dan menemukan bahwa formasi Al-O-C
terikat di antara anion salisilat dan Al3+ oktahedral. Peneliti yang sama
menemukan juga adsorpsi terbatas dari asam karboksilat pada lempung tanpa
kehadiran logam Fe pada matrik lempung.
21
Penelitian yang relatif banyak terhadap senyawa salisilat merupakan
konsekuensi dari pentingnya aksi farmakologi dan efek samping yang
ditimbulkannya. Asam salisilat adalah komponen yang penting dari aspirin
(asetil-asam salisilat) dan merupakan asam hidroksi benzoat yang penting yang
memiliki sifat sebagai senyawa antiinflamasi, antiseptik, antiradikal, analgesik,
antirematik, antioksidan, dan anti karsinogenik. Penggunaan dalam waktu yang
relatif lama dapat menimbulkan efek toksisitas sistemik (Bonina et al., 2007).
Mineral lempung dapat digunakan untuk mengurangi efek negatif dari
asam salisilat yaitu keasamannya dengan beberapa variabel yang harus dibatasi
selama interaksi lempung-asam salisilat. Pada pH rendah molekul tersebut tidak
dapat terdisosiasi, namun pada pH yang lebih tinggi berada dalam bentuk anion.
Selain itu, asam salisilat mempunyai kelarutan dalam air yang sangat rendah
yaitu 0,011 M pada 20 °C (Pena et al., 2004).
Sementara itu penggunaan lempung dalam bidang farmasi memerlukan
jumlah yang signifikan dengan obat yang teradsorpsi. Untuk mengatasi keadaan
tersebut, dalam penelitian ini lempung ditreatmen dengan larutan asam salisilat
dalam air dengan kation bervalensi tinggi seperti Fe3+ karena asam salisilat
merupakan pengkelat Fe yang kuat, membentuk kompleks kation dalam
lingkungan asam aquatik( Bonina et al., 2007).
Masuknya asam salisilat ke dalam ruang antar lapis lempung melalui
mekanisme interkalasi. Interkalasi adalah penyisipan suatu atom atau molekul
yang mempunyai spesies berbeda ke dalam suatu bahan yang mempunyai struktur
berlapis dengan tidak merusak struktur lapisan tersebut. Molekul yang disisipkan
22
disebut dengan interkalat (guest) sedangkan material yang berstruktur lapisan
sebagai tempat masuknya interkalat disebut dengan interkalan (host). Lempung
yang biasa diinterkalasi adalah mineral lempung montmorillonit yang
keberadaannya di alam merupakan fraksi terbesar dari lempung bentonit.
Lempung montmorillonit memiliki kombinasi sifat antara kapasitas tukar kation
yang tinggi dan kemampuan mengembang (swelling) yang menjadikannya
material yang paling mudah untuk diinterkalasi (Morgan, 2006).
Mineral lempung, baik yang alam maupun sintetik merupakan material
multiguna yang memiliki rentangan aplikasi yang luas di bidang teknologi
farmasi. Kajian teoritis tentang peran lempung dalam sistem penghantar dan
pelepasan obat telah banyak dilaporkan oleh berbagai publikasi.
Pada tahun belakangan ini interkalasi lempung montmorillonit oleh
senyawa obat sangat menarik perhatian para peneliti karena menghasilkan
material baru dengan sifat kimia dan fisika yang lebih baik. Zheng et al (2007)
meneliti interkalasi ibuprofen ke dalam montmorillonit dan diperoleh hasil bahwa
sistem pelepasan ibuprofen ( the release system) dari nanokomposit
montmorillonit-ibuprofen dipengaruhi oleh pH dispersi. Laju pelepasan pada
larutan intestinal simulasi (pH =7,4) lebih besar dibandingkan gastrik simulasi.
Hasil tersebut mengindikasikan bahwa montmorillonit dapat digunakan sebagai
carrier ibuprofen pada pemakaian secara oral. Viseras et al (2010) meneliti
tentang pemanfaatan mineral lempung sebagai material baru dalam sistem
pengantar obat ( delivery drug system). Khatem et al., 2015 mempelajari tentang
23
kemampuan lempung sintetik untuk menggantikan aktivitas antiinflamasi dari
senyawa declofenac.
Salihi dan Mahramanhoglu (2014) mempelajari kinetika dan
kesetimbangan adsorpsi dari beberapa jenis obat seperti promethazine,
triflupromazine, trimethoprim, carbamazepine, dan ibuprofen pada lempung
bentonit. Didapatkan hasil bahwa adsorpsi senyawa obat tersebut dalam larutan
berair dan dengan kehadiran surfaktan anionik sodium dodecyl sulfate (SDS) dan
surfaktan kationik dodecyl trimetylammonium bromide (DTAB) merupakan
fungsi waktu, konsentrasi awal dan suhu. Kinetika adsorpsi promethazine,
triflupromazine, trimethoprim, carbamazepine oleh lempung bentonit mengikuti
pseudo second order dan kinetika adsorpsi ibuprofen merupakan Lagergren first
order . Kesetimbangan adsorpsi dari semua jenis obat tersebut diperoleh dalam 24
jam dan kehadiran surfaktan tidak mengubah waktu kesetimbangan.
(a) (b)
23
kemampuan lempung sintetik untuk menggantikan aktivitas antiinflamasi dari
senyawa declofenac.
Salihi dan Mahramanhoglu (2014) mempelajari kinetika dan
kesetimbangan adsorpsi dari beberapa jenis obat seperti promethazine,
triflupromazine, trimethoprim, carbamazepine, dan ibuprofen pada lempung
bentonit. Didapatkan hasil bahwa adsorpsi senyawa obat tersebut dalam larutan
berair dan dengan kehadiran surfaktan anionik sodium dodecyl sulfate (SDS) dan
surfaktan kationik dodecyl trimetylammonium bromide (DTAB) merupakan
fungsi waktu, konsentrasi awal dan suhu. Kinetika adsorpsi promethazine,
triflupromazine, trimethoprim, carbamazepine oleh lempung bentonit mengikuti
pseudo second order dan kinetika adsorpsi ibuprofen merupakan Lagergren first
order . Kesetimbangan adsorpsi dari semua jenis obat tersebut diperoleh dalam 24
jam dan kehadiran surfaktan tidak mengubah waktu kesetimbangan.
(a) (b)
23
kemampuan lempung sintetik untuk menggantikan aktivitas antiinflamasi dari
senyawa declofenac.
Salihi dan Mahramanhoglu (2014) mempelajari kinetika dan
kesetimbangan adsorpsi dari beberapa jenis obat seperti promethazine,
triflupromazine, trimethoprim, carbamazepine, dan ibuprofen pada lempung
bentonit. Didapatkan hasil bahwa adsorpsi senyawa obat tersebut dalam larutan
berair dan dengan kehadiran surfaktan anionik sodium dodecyl sulfate (SDS) dan
surfaktan kationik dodecyl trimetylammonium bromide (DTAB) merupakan
fungsi waktu, konsentrasi awal dan suhu. Kinetika adsorpsi promethazine,
triflupromazine, trimethoprim, carbamazepine oleh lempung bentonit mengikuti
pseudo second order dan kinetika adsorpsi ibuprofen merupakan Lagergren first
order . Kesetimbangan adsorpsi dari semua jenis obat tersebut diperoleh dalam 24
jam dan kehadiran surfaktan tidak mengubah waktu kesetimbangan.
(a) (b)
24
(b) (d)
(e)
Gambar 2.5. Struktur (a)promethazine,(b) triflupromazine, (c) trimethropine, (d)carbamazepine, (e) ibuprofen
Joshi et al., (2009) melakukan interkalasi timolol maleat ke dalam ruang
antar lapis lempung pada pH yang berbeda. Komposit Montmorillonit-Timolol
Maleat (MMT-TM) yang terbentuk dikarakterisasi dengan metoda difraksi sinar
X, FTIR, dan analisis termal (TG-DTA). Hasil yang didapat membuktikan bahwa
interkalasi TM (timolol maleat) ke dalam ruang antar lapis montmorillonit
merupakan proses yang cepat dan kesetimbangan dicapai dalam waktu 1 jam.
Jumlah maksimum TM yang terinterkalasi sebesar 217 mg/gram MMT pada pH
5,7 dan suhu 30 ˚C. Studi pelepasan secara in vitro (in vitro release study)
menunjukkan sekitar 43-48% TM dilepaskan dari komposit MMT-TM pada
simulated gastric fluid ( pH 1,2) dan intestinal fluid (pH 7,4) dan ini membuktikan
25
bahwa montmorillonit dapat digunakan sebagai sistem penghantar TM dalam
administrasi secara oral.
Montmorillonit dapat meningkatkan laju kelarutan in vitro dari obat non-
ionik dan obat-obat yang tidak terlarut dalam asam. Pelepasan obat dari
permukaan lempung dipermudah oleh ikatan yang lemah di antaranya dan secara
bersamaan wettability (keterbasahan) obat didukung oleh sifat hidrofilik
lempung (Aguzzi et al., 2007).
Gambar 2.6. Struktur Komposit MMT-TM
26
2.5. Analisis Potensial Zeta Pada Nanokomposit
Potensial Zeta dalam sistem koloid didefinisikan sebagai suatu potensial
elektrokinetik yang berasal dari akumulasi muatan elektrik pada permukaan
partikel ketika tersuspensi dalam medium polar yang menyebabkan pembentukan
lapisan ganda elektrik akibat fenomena ionisasi, adsorbsi ion, atau dissolusi ion.
Potensial zeta digunakan untuk memprediksi dan mengontrol stabilitas
koloid. Kestabilan sistem koloid dijelaskan oleh Derjaguin, Landau, Verwey, dan
Overbeek pada tahun 1940 yang dikenal dengan teori DLVO. Teori ini
menyebutkan bahwa stabilitas koloid dari partikel-partikel dalam suspensi
bergantung pada gaya tolak-menolak (gaya lapisan rangkap elektrik) untuk
melawan gaya tarik-menarik (gaya Van der Walls) yang dapat menyebabkan
agregasi ireversibel (Honary et al., 2013) .
Analisis potensial zeta merupakan salah satu teknik untuk menentukan
muatan permukaan nanopartikel dalam larutan atau pada fase koloid.
Nanopartikel memiliki muatan permukaan yang menarik lapisan tipis dari ion
yang muatannya berlawanan ke permukaan nanopartikel. Lapisan ganda (double
layer) ion mengelilingi nanopartikel sama seperti terdifusi ke dalam larutan
(Gambar 2.7.)
27
Gambar 2.7. Lapisan ganda listrik di sekitar nanopartikel
Potensial listrik pada daerah batas dari double layer dikenal dengan
potensial zeta dari partikel yang memiliki nilai dengan rentangan tertentu berkisar
dari +100Mv sampai dengan -100Mv. Besarnya nilai potensial zeta dapat
memprediksi stabilitas koloid. Nanopartikel dengan nilai potensial zeta yang lebih
besar dari + 25 Mv atau lebih kecil dari -25mV memiliki derajat stabilitas yang
tinggi, karena setiap partikel akan saling tolak menolak satu sama lainnya
sehingga tidak terjadi kecenderungan untuk beragregasi (Niriella & Carnahan,
2006) .
Lapisan ganda elektrik terdiri atas dua bagian yaitu compact layer pada
region dalam dan diffuse layer pada region luar yang mengelilingi compact
27
Gambar 2.7. Lapisan ganda listrik di sekitar nanopartikel
Potensial listrik pada daerah batas dari double layer dikenal dengan
potensial zeta dari partikel yang memiliki nilai dengan rentangan tertentu berkisar
dari +100Mv sampai dengan -100Mv. Besarnya nilai potensial zeta dapat
memprediksi stabilitas koloid. Nanopartikel dengan nilai potensial zeta yang lebih
besar dari + 25 Mv atau lebih kecil dari -25mV memiliki derajat stabilitas yang
tinggi, karena setiap partikel akan saling tolak menolak satu sama lainnya
sehingga tidak terjadi kecenderungan untuk beragregasi (Niriella & Carnahan,
2006) .
Lapisan ganda elektrik terdiri atas dua bagian yaitu compact layer pada
region dalam dan diffuse layer pada region luar yang mengelilingi compact
27
Gambar 2.7. Lapisan ganda listrik di sekitar nanopartikel
Potensial listrik pada daerah batas dari double layer dikenal dengan
potensial zeta dari partikel yang memiliki nilai dengan rentangan tertentu berkisar
dari +100Mv sampai dengan -100Mv. Besarnya nilai potensial zeta dapat
memprediksi stabilitas koloid. Nanopartikel dengan nilai potensial zeta yang lebih
besar dari + 25 Mv atau lebih kecil dari -25mV memiliki derajat stabilitas yang
tinggi, karena setiap partikel akan saling tolak menolak satu sama lainnya
sehingga tidak terjadi kecenderungan untuk beragregasi (Niriella & Carnahan,
2006) .
Lapisan ganda elektrik terdiri atas dua bagian yaitu compact layer pada
region dalam dan diffuse layer pada region luar yang mengelilingi compact
28
layer. Compact layer (Stern layer atau fixed layer) yaitu suatu lapisan kation yang
menempel kuat pada permukaan anion dan tidak dapat bergerak (immobile) secara
normal karena kekuatan gaya elektrostatik, sedangkan diffuse layer merupakan
suatu lapisan dengan kation yang kurang kuat menempel pada permukaan anion
sehingga dapat bergerak atau berpindah-pindah dan bergabung dengan anion
disekitarnya. Dalam diffuse layer, ion-ion yang terpisah dari kation-
kation compact layer disebut shear plane atau slipping plane. Potensial
pada shear plane diketahui sebagai potensial zeta ( Nanocomposix, 2012).
Analisis potensial zeta pada suatu sampel akan berhasil jika sampel
memenuhi beberapa persyaratan, antara lain terdispersi dalam satu ukuran
(monodisperse in size), berada pada konsentrasi yang cukup tinggi untuk
menghamburkan sinar pada 633 nm, konsentrasi garamnya rendah yang
ditunjukkan dengan konduktivitas lebih kecil dari 1Ms/cm ((Niriella & Carnahan,
2006).
2.6. Pengukuran Potensial Zeta
Potensial zeta tidak terukur secara langsung tetapi dapat dihitung dengan
menggunakan model teoritis dan eksperimen melalui mobilitas elektroforesis atau
mobilitas elektroforesis dinamis. Fenomena elektrokinetik dan fenomena
elektroakuostik merupakan sumber data yang selalu digunakan untuk menghitung
potensial zeta (Fairhurst, 2013)
29
2.6.1.Fenomena Elektrokinetik
Elektroforesis digunakan untuk memperkirakan potensial zeta partikulat,
sedangkan streaming potensial digunakan untuk materi berpori dan permukaan
datar. Dalam prakteknya potensial zeta dari disperse diukur dengan menggunakan
medan listrik di seluruh dispersi. Partikel dalam dispersi dengan potensial zeta
akan bermigrasi ke arah elektroda yang muatannya berlawanan dengan kecepatan
yang sebanding dengan besarnya potensial zeta. Kecepatan ini diukur dengan
menggunakan teknik Laser Doppler Anemometer. Pergeseran frekuensi atau fase
pergeseran dari sinar laser yang disebabkan oleh pergerakan partikel diukur
sebagai mobilitas partikel, dan mobilitas ini diubah menjadi potensial zeta dengan
memasukkan viskositas dispersant dan permitivitas dielektrikum, dan penerapan
teori Smaluchowski ( Pek-Ing Au &Yee-Kwong Leong, 2016).
Kecepatan elektroforesis sebanding dengan mobilitas elektroforesis yang
merupakan parameter yang terukur. Dari sudut pandang instrument, ada dua
teknik eksperimental yang berbeda yakni mikroelektroforesis dan elektroforesis
hamburan cahaya. Mikroelektroforesis memiliki keuntungan karena menghasilkan
gambar partikel bergerak. Di sisi lain ini rumit untuk elektroosmosis pada dinding
sel sampel. Elektroforesis hamburan cahaya berdasarkan pada hamburan cahaya
dinamis. Hal ini memungkinkan pengukuran dalam sel terbuka yang meniadakan
aliran elektro –osmotik untuk kasus Uzgris, tetapi tidak untuk sel kapiler dan hal
tersebut dapat digunakan untuk mengkarakterisasi partikel yang sangat kecil,
namun tidak dapat menampilkan gambar dari partikel bergerak. Kedua teknik
pengukuran tersebut memerlukan pengenceran sampel yang kadang-kadang dapat
30
mempengaruhi sifat-sifat sampel dan perubahan potensial zeta. Untuk mengatasi
efek pengenceran tersebut, pengukuran dilakukan pada kesetimbangan
supernatant. Pada keadaan keseimbangan, antar muka antara permukaan partikel
dan cairan akan dipertahankan sehingga potensial zeta akan sama untuk semua
fraksi volume partikel pada suspensi ( Pek-Ing Au & Yee-Kwong Leong, 2016).
2.6.2. Fenomena Elektroakustik
Ada dua efek elektroakustik yang banyak digunakan untuk karakterisasi
potensial zeta yaitu aliran vibrasi koloid (colloid vibration current) dan amplitude
sonic elektrik (electric sonic amplitude). Terdapat instrument yang tersedia secara
komersial yang mengeksploitasi kedua efek tersebut untuk mengukur mobilitas
elektroforesis dinamis yang bergantung pada potensial zeta. Teknik elektrokaustik
memiliki keuntungan untuk dapat melakukan pengukuran pada sampel utuh tanpa
pengenceran. Perhitungan potensial zeta dari mobilitas elektroforesis dinamis
membutuhkan informasi tentang kepadatan untuk partikel dan cairan
(Nanocomposix, 2012).
2.6.3. Perhitungan Potensial Zeta
Metode yang paling banyak digunakan untuk menghitung potensial zeta
dari data eksperimental adalah yang dikembangkan oleh Marian Smoluchowski
pada tahun 1903. Teori ini awalnya dikembangkan untuk elektroforesis namun
sekarang untuk elektroakustik juga bisa. Teori Smoluchowski cukup kuat karena
valid untuk partikel terdispersi untuk semua bentuk dan konsentrasi. Teori ini juga
memiliki keterbatasan antara lain: (Fairhus, 2013)
31
1. Analisis teoritis rinci membuktikan bahwa teori Smoluchowski ini hanya
berlaku untuk lapisan ganda yang sangat tipis, ketika panjang Debye , 1/ĸ
jauh lebih kecil dari jari-jari partikel α.
ĸ .α >> 1
model lapisan tipis ganda menawarkan penyederhanaan yang luar biasa
tidak hanya untuk teori elektroforesis tapi bagi banyak teori elektrokinetik
dan elektrokaustik lainnya. Model ini berlaku untuk sebagian besar model
sistem berair karena panjang debye biasanya hanya beberapa nanometer
dalam air. Model break hanya untuk nanokoloid dalam larutan dengan
kekuatan ion mendekati air murni.
2. Teori Smoluchowski mengabaikan kontribusi konduktivitas permukaan.
Hal ini diungkapkan dalam teori modern sebagai kondisi Dukhin nomor
kecil:
Ɗư << 1
2.7. Inflamasi
Inflamasi adalah respon pertahanan tubuh untuk mengeliminasi penyebab
jejas pada jaringan atau sel (cell injury), membersihkan jaringan dari sisa-sisa
kerusakan, dan membangun jaringan baru. Penyebab inflamasi adalah agen
infeksi, benda asing, jejas sel misalnya trauma fisik, suhu, kimiawi, serta iskemis
yang menimbulkan kerusakan jaringan. Tujuan akhir dari proses inflamasi adalah
menarik protein plasma dan fagosit ke tempat yang mengalami cidera atau
terinvasi agar ke duanya dapat mengisolasi, menghancurkan, atau menginaktifkan
agen yang masuk, membersihkan debris dan mempersiapkan jaringan untuk
32
proses penyembuhan. Sel-sel dan protein yang berperan dalam inflamasi adalah
yang berada dalam darah (neutrofil, monosit, limfosit, trombosit, basofil, faktor
pembekuan, komplemen, kininogen), komponen pembuluh darah (sel endotel dan
membrana basalis), yang berada dalam jaringan konektif (sel mast, makrofag,
fibroblast dan matriks berupa serat kolagen dan proteoglikan) (Corwin, 2008).
2.7.1. Respon Inflamasi Akut
Inflamasi akut adalah reaksi cepat jaringan dan pembuluh darah lokal yang
dipicu berbagai penyebab inflamasi. Inflamasi akut melibatkan respon pembuluh
darah, sel-sel pertahanan, dan matriks ekstraseluler seperti jaringan ikat kolagen,
elastin, glikoprotein, dan proteoglikogen. Inflamasi akut dikarakterisasi oleh
vasodilatasi, cairan eksudat, dan infiltrasi neutrofil. Proses ini diaktivasi oleh
serangkaian faktor intraselluler dan ekstraselluler yang berkoordinasi dengan
proses inflamasi ( Edward & Tracy, 2004).
Terdapat dua stadium pada reaksi inflamasi akut yaitu vaskuler dan
seluler. Stadium vaskuler pada respon inflamasi dimulai segera setelah jaringan
mengalami cidera. Perubahan vaskuler merupakan bagian penting dari respon
inflamasi yang melibatkan arteriole, kapiler, dan venule dari microcirculation.
Oleh karena berperan untuk memfasilitasi pelepasan sel dan protein inflamasi
dari aliran darah ke jaringan maka perubahan vaskuler ini merupakan reaksi awal
inflamasi yang terjadi dengan cepat. Vasodilatasi mulai terjadi pada arteriol di
daerah cidera sehingga terjadi peningkatan aliran darah ke tempat cedera. Hal ini
menyebabkan timbulnya gejala rubor (kemerahan) dan kalor (panas). Vasodilatasi
33
ini terutama akibat pelepasan bahan kimia dari degranulasi sel mast dan pelepasan
mediator-mediator kimia lain selama inflamasi. Peningkatan aliran darah lokal
tersebut menyebabkan lebih banyak leukosit fogositik dan protein plasma di
tempat cidera. Pada saat yang bersamaan histamin dan mediator kimia yang
dibebaskan selama inflamasi menyebabkan membesarnya pori-pori kapiler (ruang
antar sel endotel) sehingga permiabilitas kapiler meningkat. Protein plasma yang
dalam keadaan normal tidak dapat ke luar dari pembuluh darah dapat lolos ke
ruang interstisium. Peningkatan tekanan osmotik koloid di ruang interstisium yang
disebabkan oleh kebocoran protein plasma dan peningkatan tekanan darah kapiler
akibat peningkatan aliran darah lokal dapat menimbulkan udem lokal yang disebut
turgor (pembengkakan) ( Sherwood & Kinsky, 2004; Edward & Tracy, 2004).
Stadium seluler dimulai setelah peningkatan aliran darah ke bagian yang
mengalami cidera. Leukosit dan trombosit tertarik ke daerah karena bahan kimia
yang dilepaskan oleh sel yang cedera, sel mast, dan produksi sitokin. Penarikan
leukosit yang meliputi neutrofil dan monosit di daerah cidera disebut kemotaksis.
Satu jam setelah cidera, daerah cidera sudah dipadati leukosit yang ke luar dari
pembuluh darah. Neutrofil adalah sel yang pertamakali tiba diikuti oleh monosit
yang dapat membesar dan berubah menjadi makrofag dalam periode delapan
hingga dua belas jam berikutnya. Emigrasi leukosit dari darah ke jaringan
melibatkan proses marginasi, diapedesis, dan gerakan amuboid. Marginasi adalah
melekatnya leukosit darah, terutama neutrofil dan monosit ke bagian dalam
lapisan endotel kapiler pada jaringan yang cidera. Leukosit segera ke luar dari
darah ke dalam jaringan dengan berperilaku seperti amuba dan menyelinap
34
melalui pori-pori kapiler yang disebut sebagai diapedesis. Gerakan leukosit ini
juga dibantu oleh adanya kemokin, yaitu suatu mediator kimiawi yang bersifat
kemotaksis yang dapat menarik leukosit ke daerah inflamasi. Neutrofil dan
makrofag membersihkan daerah yang meradang dari zat-zat toksik dan debris
jaringan dengan cara fagositosis, dilanjutkan dengan fusi lisosom dan lisosom
mengeluarkan enzim hidrolitiknya ke dalam vesikel membran tersebut. Trombosit
yang masuk ke daerah cedera merangsang pembekuan untuk mengisolasi infeksi
dan mengontrol pendarahan. Sel-sel yang tertarik ke daerah cedera akhirnya akan
berperan melakukan penyembuhan (Sherwood & Kinsky, 2004; Edward & Tracy,
2004; Corwin, 2008).
2.7.2. Respon Inflamasi kronis
Inflamasi kronik terjadi sebagai akibat dari inflamasi akut yang tidak sembuh
atau dari awal memang sudah merupakan inflamasi kronik (tidak diawali
inflamasi akut). Perubahan umum yang terjadi pada inflamasi kronik adalah
berkaitan dengan perubahan respon imun dari imunitas innate menjadi imunitas
adaftif sehingga ditemukan pula limfosit T dan sel plasma di daerah inflamasi.
Makrofag tetap berfungsi terutama untuk membuang sisa jaringan dan neutrofil
yang mati dan sering membentuk formasi khas mengelilingi pathogen atau benda
asing penyebab inflamasi yang disebut granuloma. Makrofag juga bisa bersatu
membentuk satu sel besar dengan inti yang banyak yang disebut Giant cell. Sinus
dan fistel dapat juga terbentuk pada inflamasi kronik untuk membuang jaringan
nekrotik. Jika peradangan kronik mengenai jaringan di permukaan misalnya kulit
atau saluran cerna, dapat terjadi kelainan yang disebut ulkus yaitu hilangnya
35
sebagian jaringan, dimana pada dasar ulkus ditemukan jaringan granulasi yang
terdiri atas sel-sel radang kronik, fibrin dan pembuluh darah baru. Respon
vaskuler bukan lagi vasodilatasi tetapi sudah terjadi pembentukan pembuluh
darah baru (angiogenesis), sehingga pada inflamasi kronik ditemukan proses
angiogenesis dan pembentukan jaringan ikat yang hebat dan berakhir dengan
terbentuknya jaringan fibrosis yang prominen((Sherwood & Kinsky, 2004) .
2.8. Penanda Inflamasi
Inflamasi adalah respon dari suatu organisme
terhadap patogen dan alterasi mekanis dalam jaringan, berupa rangkaian reaksi
yang terjadi pada tempat jaringan yang mengalami cedera, seperti karena terbakar,
atau terinfeksi. Inflamasi distimulasi oleh faktor kimia (histamin,
bradikinin, serotonin, leukotrien,dan prostaglandin) yang dilepaskan oleh sel yang
berperan sebagai mediator radang di dalam sistem kekebalan untuk melindungi
jaringan sekitar dari penyebaran infeksi. Pada inflamasi selalu disertai suatu
perubahan sistemik yang dikenal sebagai respon fase akut yang tersusun dari
respon fisiologis yang nonspesifik maupun respon biokimia yang biasanya , IL-6
berupa kerusakan jaringan, infeksi, inflamasi neoplasia maglinan (Pepys dan
Hirschfiel, 2003).
Mediator lain yang dilepaskan selama respon inflamasi yaitu faktor
kemotaktik neutrofil dan eusinofil, yang dilepaskan leukosit yang dapat menarik
sel-sel ke daerah cedera. Selain itu juga dilepaskan prostaglandin terutama seri E.
Saat membran sel mengalami kerusakan, fosfolipid akan diubah menjadi asam
arakidonat dikatalisis oleh fosfolipase A2. Asam arakidonat ini selanjutnya akan
36
dimetabolisme oleh lipooksigenase dan siklooksigenase (COX). Pada jalur
sikloosigenase inilah prostaglandin disintesis. Prostaglandin dapat meningkatkan
aliran darah ke tempat yang mengalami inflamasi, meningkatkan permiabilitas
kapiler dan merangsang reseptor nyeri. Leukotrien merupakan produk akhir dari
metabolisme asam arakidonat pada jalur siklooksigenase (Corwin, 2008).
Penanda inflamasi yang lain adalah sitokin. Sitokin adalah polipeptida
penanda intercellular yang dihasilkan oleh sel yang diaktivasi. Kebanyakan
sitokin memiliki sumber-sumber ganda, target ganda, dan juga fungsi ganda.
Sitokin yang dihasilkan saat terjadi inflamasi merupakan chief stimulator dari
protein fase akut. Sitokin bekerja seperti hormon dengan merangsang sel-sel lain
pada sistem imun untuk berproliferasi atau menjadi aktif selama infeksi dan
inflamasi. Sitokin terdiri dari dua katagori yaitu yang bersifat pro-inflamasi dan
anti-inflamasi. Sitokin proinflamasi antara lain interleukin-1 yang berasal dari
makrofag dan monosit; interleukin-2, interleukin-6, tumor necrosis factor dan
interferon gamma yang berasal dari aktivasi limfosit. Sitokin proinflamasi
berperan dalam merangsang makrofag untuk meningkatkan fagositosis dan
merangsang sumsum tulang untuk meningkatkan produksi leukosit dan eritrosit.
Sitokin anti-inflamasi meliputi interleukin-4 dan interleukin-10 yang berperan
dalam menurunkan sekresi sitokin pro-inflamasi. Sitokin-sitokin ini dihasilkan
oleh sejumlah sel yang berbeda, namun yang terpenting adalah makrofag dan
monosit pada tempat terjadinya inflamasi (Petersen & Pedersen, 2005).
37
2.8.1. Interleukin-6
Interleukin-6 merupakan salah satu mediator inflamasi yang disekresikan
oleh sel T dan Makrofag untuk menstimulasi respon imun selama infeksi dan
pasca trauma, khususnya luka bakar atau kerusakan jaringan lainnya yang
mengarah kepada inflamasi. Interleukin-6 memainkan peranan dalam melawan
infeksi seperti yang ditunjukkan pada tikus, interleukin-6 dibutuhkan sebagai
faktor resistan untuk melawan serangan streptococcus pneumonia (Matthwew et
al., 2012 ; Kamimura et al., 2014).
Interleukin-6 merupakan salah satu sitokin proinflamasi yang bersifat
meningkatkan feritin dalam sel makrofag dan menginduksi pelepasan hepsidin
yaitu suatu peptide protein fase akut yang dihasilkan hepatosit yang bekerja
mengatur absorbsi besi usus halus, menghambat eritrosit pada sumsum tulang dan
menurunkan feroportin 1 yaitu protein eksporter besi pada membran sel makrofag.
Selain itu, osteoblasts mensekresi IL-6 untuk menstimulasi pembentukan
osteoclast. Sel-sel otot halus di tunika medoa dari beberapa pembuluh darah juga
menghasilkan IL-6 sebagai sitokin proinflamasi. Interleukin-6 dapat berperan
sebagai sitokin antiinflamasi dimediasi melalui efek hambatnya terhadap TNF-α
dan IL-1 dan aktivitasnya terhadap IL-1ra dan IL-10 (Kamimura, et al., 2014).
Interleukin-6 merupakan glikopeptida 26–kDa, suatu gen yang ditemukan
pada kromosom 7 dihasilkan oleh berbagai tipe sel, seperti sel T, sel B, monosit,
fibroblast, osteoblast, keratinosit, sel endotel, sel mesangial dan beberapa sel
tumor. Interleukin-6 merupakan salah satu anggota dari famili sitokin IL-6 yang
meliputi leukaemia inhibitory factor, ciliary neutrophic factor, IL-11, dan
38
cardiotrophin-1. Sebelumnya IL-6 dikenal sebagai hepatocyte stimulating factor,
B-cell stimulatory factor-2, cytotocix T-cell differentiation factor, B-cell
differentiation factor, hybridoma/plasmacytoma growth factor, monocyte
granulocyte inducer type 2 dan thrombopoietin. Beberapa nama tersebut
merefleksikan pleiotropism dari IL-6 dengan efek penting terhadap hati, sel B,
sel T, monosit dan fibroblas (Srinivasan & Ernest, 2010).
Interleukin-6 adalah sitokin yang disekresi dari jaringan tubuh ke dalam
plasma darah, terutama pada fase infeksi akut atau kronis, dan menginduksi
respon peradangan transkriptis melalui pencerap IL-6 RA, menginduksi maturasi
sel B dan pencerap gp130. Interleukin-6 merupakan sitokin pleiotropik yang
diproduksi oleh banyak tipe sel seperti monosit, fibroblas, sel-sel endotel, dan
limfosit T dan B. Interleukin-6 tidak diekspresikan secara terus-menerus,
melainkan banyak diinduksi dan diproduksi sebagai respon terhadap sejumlah
rangsangan inflamasi seperti IL-1, TNF-α, produk-produk bakteri, dan infeksi
virus. Sitokin ini mempunyai fungsi yang berbeda, meliputi differensiasi dan
atau aktivasi makrofag dan sel-sel T, sel-sel pertumbuhan dan differensiasi sel-
sel B, stimulasi hematopoesis dan differensiasi neural (Roldan, et al., 2003).
39
Gambar 2.8. Mekanisme inflamasi yang diaktivasi IL-6
2.8.2. High sensitivity C-Reactive Protein dan C-Reactive Protein
High sensitivity C-Reactive Protein merupakan metode pengukuran
kadar CRP yang sangat rendah sehingga metode pengukuran ini bersifat sangat
sensitif.
C - reactive protein ( CRP ) adalah suatu protein fase akut dalam darah
yang konsentrasinya meningkat 1000 kali lipat atau lebih selama terjadinya
cedera, peradangan atau kematian jaringan. C-Reactive Protein terlibat dalam
konjugasi patogenesis untuk menginduksi kerusakan oleh sistem komplemen dan
juga dipelajari sebagai penanda inflamasi. Respon yang tepat dan assay yang
relatif mudah menjadikan CRP sebagai marker inflamasi yang ideal. C-Reactive
Protein ditemukan pada tahun 1930 oleh William Tillett dan Thomas Francis dari
Rockefeller University (Chandrashekara, 2014).
40
C-Reactive Protein diproduksi di banyak situs dalam tubuh manusia
seperti hati sebagai respon terhadap IL-6. Produk dari aktivasi monosit dalam
sel Help 3B menginduksi produksi potein serum amyloid A (SAA) dan CRP,
juga diproduksi dalam konsentrasi yang sangat terbatas oleh sel non-hati seperti
neuron, plak aterosklerotik, monosit, sel Kupffer dan lymphocytes. Beberapa
penelitian telah menunjukkan bahwa sel-sel epitel dari saluran pernapasan dan
epitel ginjal juga dapat menghasilkan CRP. Studi terbaru menunjukkan bahwa
arteri koroner sel otot polos manusia juga bisa mensintesis CRP dengan stimulasi
oleh sitokin inflamasi (Shrivastava et al., 2015).
C-reactive protein merupakan suatu pentameric protein annular yang
terdapat dalam plasma darah. Diberikan nama CRP karena kemampuannya
mengendapkan C-polysaccharide somatik dari Streptococcus pneumoniae, dan
me rupakan protein fase akut pertama yang diidentifikasi. Protein ini merupakan
penanda sistemik yang sensitif pada inflamasi dan kerusakan jaringan. Gen CRP
terletak pada kromosom pertama (1q21-1q23) merupakan anggota dari famili
pentraxin, memiliki 224 asam amino dengan massa molekul monomernya 25.106
Da (Mantovani et al., 2008).
C-reactive protein terikat pada phosphocholine yang terekspresikan pada
sel yang mati atau menua dan sel mikroba. Protein fase akut lainnya yang
menunjukkan sensitivitas, kecepatan respon, dan dinamis yang menyerupai C-
reactive protein adalah protein serum amyloid A (SAA). Perhatian difokuskan
pada CRP karena protein ini stabil baik di serum maupun plasma demikian juga
41
immunoassays untuk protein ini sudah ada, terstandarisasi dengan baik, dan
reproducible (Brindle et al., 2006; Mantovani et al., 2008).
2. 9. Fisiologi Lambung
Lambung memiliki dua fungsi utama yaitu fungsi pencernaan dan fungsi
motorik. Fungsi pencernaan dan sekresi lambung berkaitan dengan pencernaan
protein, sintesis, dan sekresi enzim-enzim pencernaan. Selain mengandung sel-sel
yang mensekresi mucus, mukosa lambung juga mengandung dua tipe kelenjar
tubular yang penting yaitu kelenjar oksintik (gastric) dan kelenjar pirolik.
Kelenjar oksintik terletak pada bagian corpus dan fundus lambung, meliputi 80%
bagian proksimal lambung. Kelenjar pirolik terletak pada bagian antral lambung.
Kelenjar oksintik berfungsi dalam pembentukan asam dengan mensekresikan
mucus, asam klorida, faktor intrinsic dan pepsinogen. Kelenjar pirolik berfungsi
mensekresikan mucus untuk melindungi mukosa pylorus, juga beberapa
pepsinogen, rennin, lipase lambung, dan hormon gastrin (Guyton & Hall, 1997).
Fungsi motorik lambung terdiri atas (1)penyimpanan sejumlah besar
makanan sampai makanan dapat diproses di duodenum, (2)pencampuran makanan
dengan sekresi asam lambung hingga membentuk campuran yang disebut kimus
(chyme) dan (3) pengosongan makanan dari lambung ke dalam usus dengan
lambat dan absorbsi dalam usus halus (Guyton & Hall, 1997).
Mukosa lambung merupakan barrier antara tubuh dengan berbagai bahan,
termasuk makanan, produk-produk pencernaan, toksin, obat-obatan, dan
mikroorganisme yang masuk melalui saluran pencernaan yang dengan kondisi
tertentu dapat menimbulkan kerusakan terhadap lambung. Oleh karena itu
42
lambung mempunyai system perlindungan yang berlapis-lapis dan sangat efektif
untuk mempertahankan keutuhan mukosa lambung. Sistem pertahanan mukosa
lambung tersebut sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :
1. Faktor pre-epitelial
Faktor pre-epitelial merupakan faktor proteksi terdepan dari
saluran pencernaan yang terletak secara merata di permukaan sel epitel
mukosa saluran pencernaan. Cairan mucus dan bikarbonat yang
disekresikan oleh kelenjar-kelenjar dalam mukosa lambung berfungsi
sebagai faktor pre-epitelial terhadap enzim-enzim proteolitik asam
lambung. Bikarbonat berfungsi menetralkan keasaman di sekitar lapisan
sel epitel. Suasana netral diperlukan agar enzim-enzim dan transport aktif
di sekeliling dan dalam lapisan sel epitel mukosa dapat bekerja dengan
baik.
Menurut Guyton dan Hall (1997) mucus adalah sekresi kental yang
terutama terdiri dari air, elektrolit dan campuran berbagai glikoprotein,
yang terdiri dari sejumlah besar polisakarida yang berikatan dengan
protein dalam jumlah yang lebih sedikit.
2. Faktor epithelial
Integritas dan regenerasi lapisan sel epitel berperan penting dalam
fungsi sekresi dan absorpsi dalam saluran pencernaan.penggantian sel-sel
epitel yang rusak terjadi dalam waktu yang relatif singkat yakni 1-3 hari.
3. Faktor sub-epitelial
43
Integritas mukosa lambung terjadi akibat penyediaan glukosa dan
oksigen secara terus menerus. Aliran darah mukosa mempertahankan
mukosa lambung melalui oksigenasi jaringan yang memadai dan sebagai
sumber energi. Selain itu, aliran darah mukosa berfungsi untuk membuang
atau sebagai buffer difusi balik ion H+.
4. Proteksi oleh sistem imun lokal dan sistemik
Lambung juga diproteksi oleh sistem imun lokal maupun sistemik
serta sistem limfe terhadap berbagai toksin, obat dan bahan lainnya.
Sistem imun lokal terdapat pada saluran pencernaan, sedangkan sistem
imun sistemik terdapat dalam sistem peredaran darah. Komponen dari
sistem dalam saluran pencernaan adalah sel-sel radang lokal saluran
pencernaan ( sel plasma, limfosit, monosit) dan jaringan lipoid yang
bersifat sistemik.
Selain beberapa faktor pertahanan di atas, pada selaput lendir saluran
pencernaan juga terdapat komponen protektif mukosa yaitu prostaglandin yang
merupakan kelompok senyawa turunan asam lemak arakhidonat yang dihasilkan
melalui jalur siklooksigenase (COX) (Kartasasmita, 2002). Prostaglandin
meningkatkan resistensi selaput lendir terhadap iritasi mekanis, osmotis, termis,
atau kimiawi dengan cara regulasi sekresi asam lambung, ekresi mucus,
bikarbonat, dan aliran darah mukosa (Kartasasmita, 2002).
2.10. Histopatologi Lambung
Lambung merupakan bagian dari saluran percernaan yang banyak
mendapatkan paparan bahan-bahan yang merusak mukosanya. Kerusakan
44
mukosa lambung banyak disebabkan karena penggunaan obat antiinflamasi non
steroid (OAINS). Absorbsi OAINS ke dalam mukosa lambung dapat
meningkatkan kemungkinan terjadinya efek samping obat khususnya pada saluran
pencernaan bagian atas. Kelainan terbanyak terjadi pada lambung dan duodenum,
dalam stadium ringan terjadi hyperemia, stadium sedang terjadi erosi/ lesi mukosa
lambung dan pada stadium berat muncul ulkus tanpa atau dengan hemorrhagi.
Asam salisilat dan senyawa turunannya merupakan obat antiinflamasi
yang paling sering digunakan masyarakat. Obat ini merupakan bahan yang dapat
menembus barrier mukosa lambung sehingga sering dilaporkan menimbulkan
efek iritasi pada lambung. Asam salisilat dapat menyebabkan pengelupasan pada
sel epitel permukaan dan mengurangi mucus yang merupakan barrier protektif
terhadap asam. Asam salisilat bekerja dengan cara menekan produksi
prostaglandin. Adanya hambatan terhadap sintesis prostaglandin dapat
menyebabkan penurunan kemampuan pertahanan mukosa lambung terhadap
iritan. Efek iritasi pada mukosa lambung ini dapat menyebabkan gastritis akut
(Robbins et al., 2010).
Pada gambaran makroskopik gastritis akut terlihat hyperemia dan edema
yang sedang dan kadang-kadang disertai dengan pendarahan. Pada gambaran
mikroskopik tampak edema lamina propia dan sebukan sel netrofil pada
permukaan epitel atau dalam mukosa (Nagah et al., 2014).
2.11. Karagenan
Karagenan merupakan polisakarida yang diekstraksi dari rumput laut
merah dari jenis Chondrus, Euchema, Gigartina, Hypnea, Iradea, Phyllophora.
45
Sebagian besar karagenan mengandung natrium, magnesium, dan kalsium yang
dapat terikat pada gugus ester sulfat dari galaktosa dan kopolimer 3,6-anhydro-
galaktosa (Mohan et al., 2013).
Karagenan dibedakan dengan agar berdasarkan kandungan sulfatnya.
Jumlah dan posisi sulfat membedakan berbagai polisakarida Rhodophyceae, di
mana polisakarida tersebut harus mengandung 20% sulfat berdasarkan berat
kering untuk diklasifikasikan sebagai karagenan. Berdasarkan kandungan gugus
sulfatnya, karagenan dikelompokkan menjadi tiga yaitu Kappa - karagenan
memiliki satu gugus sulfat per disakarida, Iota karagenan memiliki dua sulfat per
disakarida, Lambda karaginan memiliki tiga sulfat per disakarida. Kappa
karagenan mempunyai struktur yang rigid, kuat, bentuk gelnya kaku disebabkan
karena adanya ion kalium, bereaksi dengan protein susu. Karagenan jenis ini
bersumber terutama dari rumput laut famili Kappaphycus alvarezii. Karagenan
iota mempunyai struktur yang lebih lunak dibandingkan dengan kappa karagenan,
membentuk gel lembut yang disebabkan karena adanya ion kalsium. Karagenan
jenis ini dihasilkan terutama dari famili Eucheuma denticulatum Lambda
karagenan tidak dapat membentuk gel, fungsinya lebih banyak digunakan untuk
mengentalkan produk olahan susu (Van de Velde et al, 2002).
Perbedaan utama yang mempengaruhi sifat kappa, iota, dan lambda
karagenan adalah jumlah dan posisi kelompok ester sulfat pada pengulangan unit
galaktosa . Tingkat yang lebih tinggi dari ester sulfat menurunkan suhu kelarutan
karagenan dan menghasilkan kekuatan gel yang lebih rendah dalam pembentukan
gel (lambda karaginan). Beberapa spesies alga merah menghasilkan berbagai
46
jenis karagenan selama pertumbuhannya. Misalnya, genus Gigartina
menghasilkan karagenan kappa terutama selama tahap gametophyticnya, dan
karagenan lambda selama tahap sporofitnya (Van de Velde et al., 2002).
Kappa-karagenan dan iota-karagenan merupakan fraksi yang mampu
membentuk gel dalam air. Karagenan memiliki kemampuan membentuk gel pada
saat larutan panas menjadi dingin. Proses pembentukan gel
bersifat thermoreversible, artinya gel dapat mencair pada saat pemanasan dan
membentuk gel kembali pada saat pendinginan. Proses pemanasan dengan suhu
yang lebih tinggi dari suhu pembentukan gel akan mengakibatkan polimer
karagenan dalam larutan menjadi random coil (acak). Bila suhu diturunkan, maka
polimer akan membentuk struktur double helix (pilinan ganda) dan apabila
penurunan suhu terus dilanjutkan polimer-polimer ini akan terikat silang secara
kuat dan dengan makin bertambahnya bentuk heliks akan terbentuk agregat yang
bertanggung jawab terhadap terbentuknya gel yang kuat. Jika diteruskan, ada
kemungkinan proses pembentukan agregat terus terjadi dan gel akan mengerut
sambil melepaskan air. Proses terakhir ini disebut sineresis (Omote et al., 2001;
Necas dan Bartosikova, 2013).
Kemampuan pembentukan gel pada kappa dan iota karagenan terjadi pada
saat larutan panas yang dibiarkan menjadi dingin karena mengandung gugus 3,6 -
anhidrogalaktosa. Adanya perbedaan jumlah, tipe dan posisi gugus sulfat akan
mempengaruhi proses pembentukan gel. Kappa karagenan dan iota karagenan
akan membentuk gel hanya dengan adanya kation-kation tertentu seperti K+, Rb+
dan Cs+. Potensi membentuk gel dan viskositas larutan karagenan akan menurun
47
dengan menurunnya pH, karena ion H+ membantu proses hidrolisis ikatan
glikosidik pada molekul karagenan (Omote et al., 2001)
Karagenan memiliki kemampuan untuk membentuk gel atau larutan kental
secara thermoreversible jika ditambahkan ke dalam larutan garam sehingga
banyak dimanfaatkan sebagai pembentuk gel, pengental, dan bahan penstabil di
berbagai industri seperti pangan, farmasi, kosmetik, percetakan dan tekstil (Van
de Velde et al., 2002; Compo et al., 2009). Karagenan bukan biopolimer tunggal,
tetapi campuran dari galaktan-galaktan linear yang mengandung sulfat dan larut
dalam air. Galaktan-galaktan tersebut terhubung oleh 3-β-D-galaktopiranosa (G-
units) dan 4-α-D-galktopiranosa (D-units) atau 4-3,6-anhidrogalaktosa (DA-units),
membentuk unit pengulangan disakarida dari karagenan. Galaktan yang
mengandung sulfat diklasifikasikan berdasarkan adanya 3,6-anhidrogalaktosa
serta posisi dan jumlah golongan sulfat pada strukturnya. Kappa karagenan
tersusun dari α(1,3)-D-galaktosa-4-sulfat dan β(1,4)-3,6 anhidro-D-galaktosa.
Karagenan juga mengandung D-galaktosa-2-sulfat ester ((Van de Velde et al.,
2002; Compo et al., 2009).
48
Gambar 2.9. Berbagai struktur Karagenan
Induksi agen inflamasi, karagenan pada kaki belakang tikus merupakan
suatu model inflamasi akut yang sering dilakukan untuk mempelajari inflamasi
dan mengevaluasi aktivitas antiinflamasi dari berbagai senyawa. Jenis karagenan
yang sering digunakan sebagai iritan inflamasi adalah karagenan kappa karena
jenis karagenan ini mudah diperoleh dan mampu menimbulkan udema yang
berarti walaupun membutuhkan waktu yang lebih lama untuk melarutkannya
(Jothi et al., 2012).
Beberapa penelitian sebelumnya yang menggunakan karagenan sebagai
iritan inflamasi menggambarkan mekanisme inflamasi sebagai berikut. Pertama
karagenan menstimulasi pelepasan TNF-α yang selanjutnya menginduksi IL-1β
dan IL-6, kemudian menstimulasi produksi produk siklooksigenase (COX) dan
menginduksi sitokin lainnya, IL-8 sehingga menstimulasi produksi lokal
49
symphatic amina. Dengan demikian cascade pelepasan sitokin mendahului
pelepasan produk siklooksidase (COX) dan sympathomimetic amina (Necas &
Bartosikova, 2013).
Tz-Chong Chou (2003) menggunakan karagenan sebagai iritan inflamasi
untuk mempelajari aktivitas anti inflamasi dan analgesik dari senyawa paeonol
pada penyakit thermal hyperalgesia. Didapatkan hasil bahwa setelah injeksi
karagenan, paeonol menghambat pembentukan TNF-α dan IL-1β, tetapi
meningkatkan produksi IL-10 baik pada fase awal (1,5 jam) maupun pada fase
akhir (4 jam) dan menghambat pembentukan IL-6 pada fase akhir. Peonol
menurunkan pembentukan prostaglandin E2 (PGE2) pada fase awal namun
penghambatan produksi nitrat teramati hanya pada fase akhir ( 4 jam setelah
injeksi karagenan) disertai dengan menurunnya sintesis nitrat oksida terinduksi
(iNOS) dan ekspresi protein siklooksigenase-2 (COX2). Teramati juga aktivitas
dari myeloperoksidase yang tinggi sebagai indikator infiltrasi neutrofil pada kaki
tikus yang terinjeksi karagenan.
Mediator penting yang lain pada inflamasi akut adalah nitrat oksida (NO)
yang diproduksi pada kondisi patologi oleh tiga isoform dari nitrat oksidasintase
(NOS) yaitu endotel NOS (Enos), neuronal NOS (NNOS) dan inducible NOS
(iNOS). Karagenan menyebabkan produksi dan pelepasan NO di lokasi cedera.
Perfusi dari NOS inhibitor non selektif, NG monomethyl-arginin asetat (L-
NMMA) yang menunjukkan beberapa selektivitas untuk penghambatan isoform
neural dan endotel, menekan pelepasan NO setelah injeksi karagenan. Perfusi dari
inhibitor NOS diinduksi, Aminoguanidin hemisulfat (AG), menekan pelepasan
50
NO 2,5-8 jam setelah injeksi karagenan. Neurectomy menekan pelepasan NO
hingga 3 jam dan sebagian menekan pelepasan NO 4,5-8 jam setelah injeksi
karagenan. Temuan ini menunjukkan bahwa nNOS berkontribusi terhadap
produksi NO di kedua fase baik awal maupun akhir, dan bahwa iNOS hanya
berkontribusi pada fase akhir. Produksi dan pelepasan NO oleh NOS-NOS ini
diduga berkontribusi terhadap kerusakan jaringan dan inflamasi udema yang
diinduksi karagenan (Omote et al., 2001; Yakui-Ma et al., 2014).