23
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Kepuasan Kerja 2.1.1.1 Pengertian Kepuasan Kerja Kepuasan kerja adalah suatu perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari sebuah evaluasi karakteristiknya. (Robbins dan Judge, 2008 : 107). Mathis dan Jackson (2006 : 98) pada pikiran yang paling mendasar, kepuasan kerja adalah keadaan emosi yang positif dari mengevaluasi pengalaman kerja seseorang. Ketidakpuasan kerja muncul saat harapan-harapan ini tidak terpenuhi. Sebagai contoh, jika seorang tenaga kerja mengharapkan kondisi kerja yang aman dan bersih, maka tenaga kerja mungkin bisa menjadi tidak puas jika tempat kerja tidak aman dan kotor. “Kepuasan kerja merupakan suatu sikap umum terhadap pekerjaan seseorang, selisih antara banyaknya ganjaran yang diterima seorang pegawai dan banyaknya yang mereka yakini apa yang seharusnya mereka terima, “(Stephen P. Robbins, 2006 : 26). Kepuasan kerja merupakan: “Suatu pernyataan rasa senang dan positif yang merupakan hasil penilaian terhadap suatu pekerjaan atau pengalaman kerja “(Wan et al., 2013). Menindak lanjuti definisi para ahli tersebut, dapat dikatakan kepuasan kerja adalah keadaan emosi yang positif dari pengalaman kerja seseorang terhadap pekerjaannya dengan ganjaran yang seharusnya mereka terima.

KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN · PDF fileKepuasan kerja adalah suatu perasaan positif tentang pekerjaan seseorang ... Tidak ada rumusan sederhana untuk ... kekontinuan faktor

Embed Size (px)

Citation preview

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Kepuasan Kerja

2.1.1.1 Pengertian Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja adalah suatu perasaan positif tentang pekerjaan seseorang

yang merupakan hasil dari sebuah evaluasi karakteristiknya. (Robbins dan Judge,

2008 : 107). Mathis dan Jackson (2006 : 98) pada pikiran yang paling mendasar,

kepuasan kerja adalah keadaan emosi yang positif dari mengevaluasi pengalaman

kerja seseorang. Ketidakpuasan kerja muncul saat harapan-harapan ini tidak

terpenuhi. Sebagai contoh, jika seorang tenaga kerja mengharapkan kondisi kerja

yang aman dan bersih, maka tenaga kerja mungkin bisa menjadi tidak puas jika

tempat kerja tidak aman dan kotor.

“Kepuasan kerja merupakan suatu sikap umum terhadap pekerjaan

seseorang, selisih antara banyaknya ganjaran yang diterima seorang pegawai dan

banyaknya yang mereka yakini apa yang seharusnya mereka terima, “(Stephen P.

Robbins, 2006 : 26). Kepuasan kerja merupakan: “Suatu pernyataan rasa senang

dan positif yang merupakan hasil penilaian terhadap suatu pekerjaan atau

pengalaman kerja “(Wan et al., 2013).

Menindak lanjuti definisi para ahli tersebut, dapat dikatakan kepuasan

kerja adalah keadaan emosi yang positif dari pengalaman kerja seseorang terhadap

pekerjaannya dengan ganjaran yang seharusnya mereka terima.

2) Kepuasan kerja dan komitmen organisasi

Kepuasan kerja mempunyai banyak dimensi. Secara umum tahap

yang diamati adalah kepuasan dalam pekerjaan itu sendiri, gaji, pengakuan,

hubungan antara supervisor dengan tenaga kerja, dan kesempatan untuk maju.

Setiap dimensi menghasilkan perasaan puas secara keseluruhan dengan

pekerjaan itu sendiri, namun pekerjaan juga mempunyai definisi yang

berbeda (Mathis dan Jackson, 2006 : 100).

Tidak ada rumusan sederhana untuk memperkirakan kepuasan

tenaga kerja. Lagipula, hubungan antara produktivitas dan kepuasan kerja

tidak jelas seluruhnya. Faktor kritisnya adalah apa yang diharapkan tenaga

kerja dari pekerjaannya dan apa yang mereka terima sebagai penghargaan

dari pekerjaan mereka. Meskipun kepuasan kerja itu sendiri menarik dan

penting, hal yang paling mendasar adalah pengaruh kepuasan kerja terhadap

komitmen organisasi yang mempengaruhi tujuan produktivitas, kualitas, dan

pelayanan.

Jika tenaga kerja berkomitmen pada organisasi, mereka mungkin

lebih produktif. Komitmen organisasi adalah tingkat kepercayaan dan

penerimaan tenaga kerja terhadap tujuan organisasi dan mempunyai

keinginan untuk tetap ada di dalam organisasi tersebut. Rizwan (2010) dalam

penelitiannya menyatakan bahwa kepuasan kerja dan komitmen organisasi

cenderung pengaruhi satu sama lain. Apa yang disarankan dari penemuan ini

adalah orang-orang yang relatif puas dengan pekerjaannya akan lebih

berkomitmen pada organisasi dan orang-orang yang berkomitmen terhadap

organisasi lebih mungkin untuk mendapatkan kepuasan yang lebih besar.

Komitmen organisasional memberi titik berat secara khusus pada

kekontinuan faktor komitmen yang menyarankan keputusan tersebut untuk

tetap atau meninggalkan organisasi yang pada akhirnya tergambar dalam

statisik ketidakhadiran dan masuk-keluar tenaga kerja. Seorang yang tidak

puas akan pekerjaannya atau yang kurang berkomitmen pada organisasi akan

terlihat menarik diri dari organisasi baik melalui ketidakhadiran atau masuk-

keluar.

2.1.1.2 Variabel dan Indikator Kepuasan Kerja

Variabel yang berpengaruh terhadap kepuasan kerja adalah ganjaran

yang pantas (imbalan finansial dan promosi), kondisi kerja yang mendukung

(lingkungan kerja fisik, fasilitas dan peralatan), rekan sekerja yang

mendukung dan kesesuaian pribadi pada pekerjaan (Robbins, 2007 : 181).

Manajemen menggunakan pengaruhnya terhadap perilaku kelompok melalui

kepemimpinan dan pada akhirnya menghasilkan kepuasan kerja karyawan

(Robbins, 2007 : 46).

Berdasarkan pendapat tersebut dapat diuraikan secara ringkas faktor-

faktor yang berpengaruh terhadap kepuasan kerja sebagai berikut.

1) Ganjaran yang pantas (imbalan finansial dan promosi)

Para karyawan menginginkan imbalan finansial dan kebijakan

promosi yang mereka persepsikan sebagai adil, dan segaris dengan

harapan mereka. Bila imbalan finansial dilihat sebagai adil yang

didasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat ketrampilan individu, dan

standar pengupahan komunitas, kemungkinan besar akan menghasilkan

kepuasan. Demikian pula dengan promosi, karyawan berusaha

mendapatkan kebijakan dan praktik promosi yang adil. Promosi

memberikan kesempatan untuk pertumbuhan pribadi, tanggung jawab

yang lebih banyak, dan status sosial yang ditingkatkan. Individu-individu

yang mempersepsikan bahwa keputusan promosi dibuat secara adil

kemungkinan besar akan mengalami kepuasan.

(1) Imbalan Finansial

Imbalan finansial, sesuatu yang diterima oleh karyawan

dalam bentuk seperti gaji atau upah, bonus, premi, pengobatan,

asuransi, dan lain-lain yang sejenis yan dibayar oleh organisasi

(Umar, 2007 : 16). Imbalan finansial adalah penghargaan/ganjaran

dalam bentuk uang yang mencakup upah (wage) dan gaji (salary)

ditambah tunjangan-tunjangan (benefit) (Boone dan Kurtz,

2007:327). Imbalan finansial bagi organisasi atau perusahaan berarti

penghargaan atau ganjaran berupa uang pada para pekerja yang telah

memberikan kontribusi dalam mewujudkan tujuan perusahaan

(Nawawi, 2008:315).

Dari pendapat para ahli tersebut maka dapat dikatakan

imbalan finansial adalah balas jasa yang diterima karyawan dari

perusahaan atas hasil kerjanya berupa uang mencakup upah (wage)

dan gaji (salary) ditambah tunjangan-tunjangan (benefit).

(2) Promosi

Promosi terjadi apabila seorang karyawan dipindahkan dari

satu pekerjaan ke pekerjaan lain yang lebih tinggi dalam

pembayaran, tanggung jawab dan atau level (Rivai, 2007:211).

Promosi adalah perpindahan seorang karyawan dari satu jabatan ke

jabatan lain yang lebih tinggi baik dari segi penghasilan, fungsi dan

tugas, tanggung jawab, persyaratan jabatan ataupun level organisasi.

Promosi bisa dilakukan pada arah vertikal ataupun diagonal (Wungu

dan Brotoharsojo, 2007:120). Promosi adalah perpindahan dari suatu

jabatan ke jabatan yang lain yang mempunyai status dan tanggung

jawab yang lebih tinggi (Martoyo, 2008:63). Berdasarkan pendapat

tersebut dapat dikatakan bahwa promosi adalah suatu kegiatan yang

dilakukan perusahaan dalam kaitannya dengan pemindahan

karyawan dari satu jabatan ke jabatan yang lain yang mempunyai

status dan tanggung jawab yang lebih tinggi.

2) Kondisi kerja yang mendukung (lingkungan kerja fisik, fasilitas dan

peralatan)

Karyawan peduli akan lingkungan kerja baik untuk kenyamanan

pribadi maupun untuk memudahkan mengerjakan tugas yang baik.

Karyawan lebih menyukai keadaan sekitar fisik yang tidak berbahaya

atau merepotkan. Temperatur, cahaya, dan faktor-faktor lingkungan lain

seharusnya tidak terlalu ekstrem (terlalu banyak atau terlalu sedikit).

Disamping itu, karyawan lebih menyukai bekerja dekat dengan rumah,

dalam fasilitas yang bersih dan relatif modern, dan dengan alat-alat dan

peralatan yang memadai (Robbins, 2007:181).

3) Rekan sekerja yang mendukung

Bagi kebanyakan karyawan, kerja juga mengisi kebutuhan

akan interaksi sosial. Mempunyai rekan sekerja yang ramah dan

mendukung akan menghantar ke kepuasan kerja yang meningkat.

Perilaku atasan juga merupakan determinan utama dari kepuasan.

Umumnya kepuasan dapat ditingkatkan, bila atasan bersifat ramah dan

memahami, menawarkan pujian untuk kinerja yang baik, mendengarkan

pendapat karyawan, dan menunjukkkan suatu minat pribadi pada mereka

(Robbins, 2007:181).

4) Kesesuaian pribadi pada pekerjaan

Karyawan yang tipe kepribadiannya sama dan sebangun

dengan pekerjaannya seharusnya mendapatkan bahwa mereka

mempunyai bakat dan kemampuan yang tepat untuk memenuhi tuntutan

dari pekerjaan mereka, dengan demikian lebih besar kemungkinan untuk

berhasil pada pekerjaan yang berakibat adanya pencapaian kepuasan

yang tinggi dari dalam kerja mereka (Robbins, 2007:181).

5) Manajemen

Manajemen adalah seperangkat kegiatan yang mencakup

pengkoordinasian, pengintegrasian dan penggunaan sumber daya guna

mencapai tujuan organisasi melalui manusia-manusia, teknik-teknik,

berbagai informasi dalam suatu struktur organisasi (Sirait, 2006:2).

Manajemen adalah seni dan ilmu perencanaan,

pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian dan pengontrolan

terutama human resources untuk mencapai tujuan yang telah

ditentukan terlebih dahulu. (Manullang, 2004:2).

Manajemen adalah ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan

sumber daya manusia dan sumber daya lainnya secara efektif dan efisien

untuk mencapai suatu tujuan tertentu (Hasibuan, 2007:2).

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat dikatakan

manajemen adalah ilmu dan seni perencanaan, pengorganisasian,

pengkoordinasian, pengarahan dan pengawasan melalui pengembangan

sumber daya manusia dan sumber daya lainnya secara efektif dan efisien

untuk mencapai tujuan organisasi.

2.1.2 Kepemimpinan Transformasional

2.1.2.1 Gaya Kepemimpinan Transformasional

Wahjosumidjo (2003:172) kepemimpinan mempunyai kaitan yang erat

dengan motivasi karena keberhasilan seorang pemimpin dalam menggerakkan

orang lain dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan sangat tergantung kepada

kewibawaan, selain itu bagaimana menciptakan motivasi dalam diri setiap

karyawan, kolega maupun pimpinan itu sendiri.

Berdasarkan uraian tersebut, maka kepemimpinan adalah aktivitas untuk

mempengaruhi pengikutnya guna mencapai tujuan organisasi, oleh sebab itu

setiap pemimpin memiliki gaya (style) yang berbeda-beda dalam memimpin

perusahaan (Demet, 2012). Salah satu gaya kepemimpinan yang dibahas dalam

penelitian ini adalah gaya kepemimpinan transformasional. Kepemimpinan

transformasional yaitu pemimpin yang mencurahkan perhatiannya kepada

persoalan-persoalan yang dihadapi oleh para pengikutnya dan kebutuhan

pengembangan dari masing-masing pengikutnya dengan cara memberikan

semangat dan dorongan untuk mencapai tujuannya (Robbin,2007:473).

2.1.2.2 Komponen dan Dimensi Kepemimpinan Transformasional

Thomas et al. (2007) menyatakan komponen-komponen kepemimpinan

transformasional dapat dinilai dari :

a) Tingkat kepercayaan bawahan terhadap pemimpin

b) Keyakinan bawahan terhadap pemimpin.

c) Rasa hormat bawahan terhadap pemimpin.

d) Pimpinan mampu mendelegasikan wewenang.

e) Pimpinan jelas dalam penyampaian tugas dengan job base.

Burns (1978) dalam Bass dan Avolio (2003) menyatakan komponen dari

kepemimpinan transformasional terdiri atas empat dimensi kepemimpinan yaitu :

1) Kharisma

Mengarah pada perilaku kepemimpinan transformasional yang mana

pengikut berusaha bekerja keras melebihi apa yang dibayangkan. Para

pengikut khususnya mengagumi, menghormati dan percaya sebagaimana

pemimpinnya. Mereka mengidentifikasi pemimpin sebagai seseorang,

sebagaimana visi dan nilai-nilai yang mereka perjuangkan.

2) Motivasi inspiratif

Dimana pemimpin menggunakan berbagai simbol untuk memfokuskan

usaha atau tindakan dan mengekspresikan tujuan dengan cara-cara

sederhana. Ia juga membangkitkan semangat kerja sama tim, antuasiasme

dan optimisme di antara rekan kerja dan bawahannya.

3) Stimulasi intelektual

Upaya memberikan dukungan kepada pengikut untuk lebih inovatif dan

kreatif dimana pemimpin mendorong pengikut untuk menanyakan asumsi,

memunculkan ide-ide dan metode-metode baru, dan mengemukakan

pendekatan lama dengan cara perspektif baru.

4) Konsiderasi yang bersifat individual

Pemimpin transformasional memberikan perhatian khusus pada kebutuhan

setiap individu untuk berprestasi dan berkembang, dengan jalan sebagai

pelatih, penasehat, guru, fasilitator, orang terpercaya, dan konselor.

Bass dan Avolio (2003) menambahkan satu komponen pada

kepemimpinan transformasional yakni :

5) Tingkah laku

Mendapatkan penghargaan dan kehormatan dari pengikut mereka dengan

baik – baik mempertimbangkan kebutuhan pengikutnya di atas kebutuhan

mereka sendiri, membicarakan tentang nilai dan kepercayaan mereka yang

paling utama dan menekankan pentingnya konsekuensi moral dan etika

dari keputusan kunci.

2.1.2.3 Pengaruh Kepemimpinan Transformasional terhadap Kepuasan Kerja Karyawan

Bass dan Avolio (2003) menegaskan bahwa kepemimpinan

transformasional merupakan salah satu faktor penentu kepuasan kerja, dimana

kepemimpinan transformasional adalah gaya kepemimpinan di mana seorang

pemimpin menfokuskan perhatiannya pada transaksi interpersonal antara

pemimpin dengan karyawan yang melibatkan hubungan pertukaran. Pertukaran

tersebut didasarkan pada kesepakatan mengenai klasifikasi sasaran, standar kerja,

penugasan kerja, dan penghargaan. Agusthina et al. (2012), mengungkapkan

bahwa keluarnya karyawan lebih banyak disebabkan oleh ketidakpuasan terhadap

kondisi kerja karena karyawan merasa pimpinan tidak memberi kepercayaan

kepada karyawan, tidak ada keterlibatan karyawan dalam pembuatan keputusan,

pemimpin berlaku tidak objektif dan tidak jujur pada karyawan. Pendapat ini

didukung oleh Rifki (2012) yang mengemukakan bahwa alasan utama karyawan

meninggalkan perusahaan disebabkan karena pemimpin gagal memahami

karyawan dan pemimpin tidak memperhatikan kebutuhan-kebutuhan karyawan.

Yulinda (2013) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa kendala yang

menghambat perkembangan perusahaan adalah keterbatasan tenaga kerja yang

terampil dan tingginya turnover yang disebabkan karena kepemimpinan yang

tidak baik sehingga berdampak terhadap kepuasan kerja karyawan.

2.1.3 Konflik Pekerjaan-Keluarga (Work Family Conflict)

2.1.3.1 Pengertian Konflik Pekerjaan-Keluarga (Work Family Conflict)

Marquise dan Huston (dalam Madziatul, 2011) mendefinisikan konflik

sebagai masalah internal dan eksternal yang terjadi sebagai akibat dari perbedaan

pendapat, nilai –nilai, keyakinan dari dua orangatau lebih. Menurut Littlefield

(dalam Dwi, 2012) bahwa konflik dapat dikategorikan sebagai suatu kejadian atau

proses. Sebagai kejadian, konflik terjadi dari suatu ketidaksetujuan antara dua atau

orang atau oragnisasi, dimana orang tersebut menerima sesuatu yang akan

mengancam kepentingannya. Sebagai suatu proses, konflik dimanifestasikan

sebagai suatu rangkaian tindakan yang dilakukan oleh dua atau lebih kelompok

berusaha menghalangi atau mencegah kepuasan dari seseorang.

Peran adalah pola perilaku yang diharapkan dari individu dalam suatu

posisi tertentu. Peran bisa terdiri dari sikap, nilai, serta perilaku tertentu (Rana and

Ajmal, 2012). Peran ganda muncul ketika individu menjalankan posisi yang

berbeda dari organisasi atau kelompok (missal rumah, tempat kerja, perkumpulan

dan sebagainya). Menurut Davis dan Newstrom (dalam Triana, 2010) bahwa

peran diwujudkan dalam perilaku. Individu yang terlibat dalam peran ganda bisa

menghadapi pilihan perilaku yang rumit. Hal ini terjadi karena mereka harus

menjalani berbagai peran yang berbeda, sementara dalam masing-masing peran

itu sendiri bisa terjadi dari serangkaian peran yang kompleks. Oleh karena itu

peran ganda seringkali menimbulkan konflik peran yang bersangkutan (Jennifer et

al., 2015).

Penelitian dari Aminah (2008) menemukan bahwa wanita cenderung

menghabiskan lebih banyak waktu dalam hal urusan keluarga sehingga wanita

dilaporkan lebih banyak mengalami konflik pekerjaan keluarga khususnya family

interference with work. Sebaliknya pria cenderung untuk menghabiskan lebih

banyak waktu untuk menangani urasan pekerjaan daripada wanita sehingga pria

dilaporkan lebih banyak mengalami konflik pekerjaan keluarga khususnya work

interference with family daripada wanita.

2.1.3.2 Dimensi dan Indikator Konflik Pekerjaan-Keluarga (Work Family Conflict)

Work Family Conflict (WFC) adalah salah satu dari bentuk interrole

conflict yaitu tekanan atau ketidakseimbangan peran antara peran dipekerjaan

dengan peran didalam keluarga (Greenhaus & Beutell, 1985). Jam kerja yang

panjang dan beban kerja yang berat merupakan pertanda langsung akan terjadinya

konflik pekerjaan-keluarga (WFC), dikarenakan waktu dan upaya yang berlebihan

dipakai untuk bekerja mengakibatkan kurangnya waktu dan energi yang bisa

digunakan untuk melakukan aktivitas-aktivitas keluarga (Greenhaus & Beutell,

1985).

Menurut (Greenhaus dan Beutell, 1985) (dalam Dwi, 2012) ada tiga

macam konflik peran ganda yaitu :

1) Time based conflict

Waktu yang dibutuhkan untuk menjalankan salah satu tuntutan (keluarga –

pekerjaan) dapat mengurangi waktu untuk menjalankan .

2) Strain based conflict

Terjadi tekanan dari salah satu peran mempengaruhi kinerja peran lainnya

3) Behavior based conflict

Berhubungan dengan ketidak sesuaian antara pola perilaku dengan yang

diinginkan oleh kedua bagian (pekerjaan – keluarga).

Work family conflict dapat didefiniskian sebagai bentuk konflik peran

dimana tuntutan peran dari pekerjaan dan keluarga secara mutlak tidak dapat

disejajarkan dalam beberapa hal. Hal ini biasanya terjadi pada saat seseorang

berusahan memenuhi tuntutan peran dalam pekerjaan dan usaha tersebut

dipengaruhi oleh kemampuan orang yang bersangkutan untuk memenuhi

tuntutankeluarganya atau sebaliknya dimana pemenuhan tuntutan peran dalam

keluarga dipengaruhi oleh kemampuan orang tersebut dalam memenuhi tuntutan

pekerjaannya (Triana, 2010). Konflik dalam suatu organisasi dapat disebabkan

oleh :

1) Terbatasnya sumber daya yang harus dibagi.

Hal ini disebabkan karena suatu organisasi memiliki sumber daya yang

terbatas yang harus dialokasikan. Konflik akan timbulbila anggota-anggota

dalam organisasi tersebut bersaing untuk mendapatkan sumber daya yang

ada.

2) Adanya perbedaan tujuan.

Timbul karena setiap anggota dalam organisasi mengembangkan berbagai

tujuan, tugas, dan personalia yang tidak sama sehingga tujuan yang akan

dicapainya juga akan berbeda.

3) Adanya saling ketergantungan antar kegiatan kerja.

Saling ketergantungan kerja ada bila dua atau lebih anggota/kelompok

saling tergantung satu dengan yang lain untuk menyelesaikan tugas

mereka. Konflik akan meningkat jika suatu bagian tidak dapat memulai

pekerjaan karena harus menunggu penyelesaian pekerjaan dari bagian lain.

4) Adanya perbedaan nilai-nilai atau persepsi diantara dua individu.

Konflik akan timbul bila pekerjaan didistribusikan secara sama tapi

penghargaan diberikan secara berbeda.

5) Tanggung jawab kerja dan tujuan yang ingin dicapai tidak dirumuskan

dengan jelas.

6) Gaya-gaya individual maksudnya ada orang yang menyukai konflik, debat

dan adu argumentasi, dan bila hal ini bisa dikendalikan akan dapat

menstimulasi anggota dalam suatu organisasi untuk meningka tkan atau

memperbaiki prestasi.

2.1.3.4 Pengaruh Work Family Conflict terhadap Kepuasan Kerja Karyawan

Frone, Rusell & Cooper (1992) mendefinisikan konflik pekerjaan keluarga

sebagai konflik peran yang terjadi pada karyawan, dimana di satu sisi ia harus

melakukan pekerjaan di kantor dan di sisi lain harus memperhatikan keluarga

secara utuh, sehingga sulit membedakan antara pekerjaan mengganggu keluarga

dan keluarga mengganggu pekerjaan. Pekerjaan mengganggu keluarga, artinya

sebagian besar waktu dan perhatian dicurahkan untuk melakukan pekerjaan

sehingga kurang mempunyai waktu untuk keluarga. Sebaliknya keluarga

mengganggu pekerjaan berarti sebagian besar waktu dan perhatiannya digunakan

untuk menyelesaikan urusan keluarga sehingga mengganggu pekerjaan. Konflik

pekerjaan-keluarga ini terjadi ketika kehidupan rumah seseorang.

Jadi WFC merupakan salah satu bentuk dari konflik peran dimana secara

umum dapat didefinisikan sebagai kemunculan stimulus dari dua tekanan peran.

Kehadiran salah satu peran akan menyebabkan kesulitan dalam memenuhi

tuntutan peran yang lain. Sehingga mengakibatkan individu sulit membagi waktu

dan sulit untuk melaksanakan salah satu peran karena hadirnya peran yang lain.

Ketika seseorang mengalami konflik pekerjaan-keluarga, pemenuhan

peran yang satu akan mengganggu pemenuhan peran yang lainnya sehingga akan

berdampak terhadap kepuasan kerja (Triana, 2010). Sebuah konflik biasanya

terjadi pada saat seseorang berusaha memenuhi tuntutan peran dalam pekerjaan

dan usaha tersebut dipengaruhi oleh kemampuan orang yang bersangkutan untuk

memenuhi tuntutan keluarganya, atau sebaliknya, di mana pemenuhan tuntutan

peran dalam keluarga dipengaruhi oleh kemampuan orang tersebut dalam

memenuhi tuntutan pekerjaannya (Jennifer et al., 2005). Work family conflict ini

termasuk dalam bentuk konflik inter role di mana tekanan peran dari pekerjaan

dan keluarga saling bertentangan, sehingga partisipasi dalam satu peran

membuatnya lebih sulit untuk berpartisipasi yang berdampak terhadap kepuasan

kerja. Konflik peran terjadi ketika terdapat kebijakan atau tuntutan berbeda dan ini

dapat menyebabkan ketidakpuasan individu bahkan berdampak pada penurunan

kinerja karyawan. Work family conflict ini dapat menurunkan kepuasan kerja

karyawan, sementara menurunnya kepuasan kerja dapat memberi dampak pada

meningkatnya keinginan untuk keluar, meningkatnya absensi, dan menurunya rasa

ingin bekerja (dalam penelitiannya yang dilakukan oleh Rana and Ajmal, 2012).

2.1.4 Komitmen Organisasional

2.1.4.1 Pengertian Komitmen Organisasional

Komitmen organisasional menurut Rivai (2006:67) dapat diartikan sebagai

“identifikasi, loyalitas, dan keterlibatan yang dinyatakan oleh karyawan oleh

organisasi atau unit dari organisasi”. Komitmen organisasional merupakan”

respon afektif pada organisasi secara menyeluruh, yang kemudian menunjukkan

suatu respon afektif pada aspek khusus pekerjaan sedangkan kepuasan kerja

merupakan respon afektif individu didalam organisasi terhadap evaluasi masa lalu

dan masa sekarang, serta penilaian yang bersifat individual bukan kelompok atau

organisasi Siagian (2007:52). komitmen organisasional sebagai “derajat seberapa

jauh karyawan mengidentifikasikan dirinya dengan organisasi dan keterlibatannya

dalam organisasi tertentu” (Windy dan Gunasti, 2012).

2.1.4.2 Dimensi Komitmen Organisasional

Hal menarik dalam pengertian komitmen organisasional adalah apa yang

dikemukakan oleh Durkin (1999:127), bahwa komitmen organisasional

merupakan perasaan yang kuat dan erat dari seseorang terhadap tujuan dan nilai

suatu organisasi dalam hubungannya dengan peran mereka terhadap upaya

pencapaian tujuan dan nilai-nilai tersebut. Kemudian dinyatakan bahwa gambaran

yang lebih jelas mengenai definisi komitmen organisasional adalah yang

dikemukakan oleh Allen and Meyer (1993), yang mengemukakan: "commitment

organizational is identified three types of commitment; affective commitment,

continuance commitment, and normative commitment as a psychological state

“that either characterizes the employee’s relationship with the organization or

has the implications to affect whether the employee will continue with the

organization".

Lebih lanjut Cut (2010) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa pendapat

Allen and Meyer (1993) ini sering digunakan oleh para peneliti di bidang Ilmu

Perilaku Organisasi dan Ilmu Psikologi. bahwa komitmen organisasional sebagai

sebuah keadaan psikologi yang mengkarakteristikkan hubungan karyawan dengan

organisasi atau implikasinya yang mempengaruhi apakah karyawan akan tetap

bertahan dalam organisasi atau tidak, yang teridentifikasi dalam tiga komponen

yaitu:

1) Komitmen afektif (affective commitment), yaitu: keterlibatan emosional

seseorang pada organisasinya berupa perasan cinta pada organisasi.

2) Komitmen kontinyu (continuance commitment), yaitu: persepsi seseorang

atas biaya dan resiko dengan meninggalkan organisasi saat ini. Artinya,

terdapat dua aspek pada komitmen kontinyu, yaitu: melibatkan

pengorbanan pribadi apabila meninggalkan organisasi dan ketiadaan

alternatif yang tersedia bagi orang tersebut.

3) Komitmen normatif (normative commitment), yaitu: sebuah dimensi moral

yang didasarkan pada perasaan wajib dan tanggung jawab pada organisasi

yang mempekerjakannya.

2.1.4.3 Pengukuran Komitmen Organisasional

Tiga komponen utama mengenai komitmen organisasional (Handoko,

2007:55) yaitu: Affective commitmen (komitmen afektif), terjadi apabila karyawan

ingin menjadi bagian dari organisasi karena adanya ikatan emosional atau

psikologis terhadap organisasi. Continuance commitmen (komitmen

berkelanjutan) muncul apabila karyawan tetap bertahan pada suatu organisasi

karena membutuhkan gaji dan keuntungan-keuntungan lain, atau karyawan

tersebut tidak menemukan pekerjaan lain. Dengan kata lain, karyawan tersebut

tinggal di organisasi tersebut karena dia membutuhkan organisasi tersebut.

Normative commitmen (komitmen normatif) timbul dari nilai-nilai diri karyawan.

Karyawan bertahan menjadi anggota suatu organisasi karena memiliki kesadaran

bahwa komitmen terhadap organisasi tersebut merupakan hal memang harus

dilakukan. Jadi, karyawan tersebut tinggal di organisasi itu karena ia merasa

berkewajiban untuk itu.

2.1.4.4 Pengaruh Komitmen Organisasional terhadap Kepuasan Kerja Karyawan

Teman (2005) dalam penelitiannya menyatakan secara teoritis komitmen

organisasi merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi individu dalam

bekerja untuk meningkatkan kepuasan kerja. Karyawan yang puas akan lebih

dapat berbicara positif tentang organisasi, membantu orang lain, dan jauh

melebihi harapan normal dari pekerjaan mereka. Seseorang dengan tingkat

komitmen organisasi tinggi menunjukkan sikap yang positif terhadap

pekerjaannya. Bukti empiris yang dilakukan oleh Durrotun (2006) menyatakan

bahwa tingkat komitmen berhubungan dengan kepuasan kerja, berimplikasi pada

dugaan bahwa rendahnya kepuasan kerja saat ini tidak hanya disebabkan karena

belum diikutsertakannya karyawan dalam pengambilan keputusan ataupun

penerapan gaya kepemimpinan, namun juga dipicu oleh rendahnya komitmen

karyawan. Apabila hal ini terjadi maka sulit bagi perusahaan untuk mewujudkan

tujuan-tujuan yang telah ditetapkan, karena perusahaan tidak hanya membutuhkan

seorang karyawan yang pintar dan cerdas tetapi juga bagaimana ia mempunyai

sikap komitmen terhadap organisasi, karena tanpa itu semua akan sulit bagi

perusahaan untuk dapat mencapai tujuannya.

Menurut Sopiah (2008) dalam penelitiannya komitmen organisasional

merupakan identifikasi dan keterlibatan seseorang yang relatif kuat terhadap

perusahaan. Karyawan yang memiliki komitmen kuat terhadap organisasinya

merupakan suatu modal dalam mencapai tujuan perusahaan. Komitmen yang kuat

memungkinkan setiap karyawan untuk berusaha menghadapi tantangan dan

tekanan yang ada. Keberhasilan dalam menghadapi tantangan tersebut akan

menumbuhkan rasa kepuasan tersendiri terhadap perusahaan.

2.1.5 Teori Pendukung

Adapun teori pendukung yang digunakan dalam penelitian ini ialah teori

tentang kepuasan kerja yang disebut dengan Two factor theory (teori dua faktor)

dari Herzberg’s. Teori ini mengemukakan bahwa kepuasan kerja dan

ketidakpuasan kerja itu merupakan hal yang berbeda dan bukan variabel yang

kontinu. Menurut Rivai (2006:857) teori ini terdiri dari dua kelompok yaitu:

1) Satisfies ialah faktor-faktor atau situasi yang dibutuhkan sebagai sumber

kepuasan kerja yang terdiri dari: pekerjaan yang menarik, penuh

tantangan, ada kesempatan untuk berprestasi, kesempatan memperoleh

penghargaan dan promosi. Terpenuhinya faktor tersebut akan

menimbulkan kepuasan, namun tidak terpenuhinya faktor ini tidak selalu

mengakibatkan ketidakpuasan.

2) Dissatisfies (hygiene factors) ialah faktor-faktor yang menjadi sumber

ketidakpuasan, yang terdiri dari: gaji/upah, pengawasan pimpinan,

hubungan antarpribadi, komitmen kerja dan status.

Berdasarkan kedua kelompok teori diatas yang akan digunakan dalam

penelitian ini ialah Dissatisfies (hygiene factors) dimana terdapat hubungan antar

pribadi dalam hal ini keluarga dan pekerjaan, pengawasan pimpinan dan

komitmen kerja yang akan mempengaruhi kepuasan kerja.

2.2 Model Konseptual Penelitian

Leliyana (2008) dalam penelitiannya menyatakan model konseptual

penelitian dinyatakan dalam bentuk skema sederhana tetapi utuh memuat pokok-

pokok unsur penelitian dan tata hubungan antara pokok-pokok unsur penelitian,

seperti pada gambar 2.1 sebagai berikut.

Ket :

H1 : Agusthina et al. (2012), Rezvan et al. (2013), Furkan et al. (2012)

H2 : Triana (2010), Rana and Ajmal (2012), Jennifer et al (2005)

H3 : Ehsan et al. (2012), Muhammad Rafiq et al. (2012), Farid, (2008)

Gambar 2.1 Model Konseptual Penelitian

2.3 Hipotesis Penelitian

2.3.1 Pengaruh Kepemimpinan Transformasional terhadap Kepuasan Kerja Karyawan

Penelitian Agusthina et al. (2012) menyimpulkan bahwa kepemimpinan

partisipatif secara parsial merupakan variabel yang mampu meningkatkan

kepuasan kerja karyawan. Rezvan et al. (2013) menyimpulkan kepemimpinan

partisipatif berpengaruh secara parsial dengan kepuasan kerja karyawan. Furkan et

al. (2012) menyimpulkan kepemimpinan partisipatif berpengaruh secara parsial

dengan kepuasan kerja karyawan. Pernyataan ini didukung oleh Rifki (2012)

menyatakan kepemimpinan partisipatif berpengaruh secara parsial dengan

kepuasan kerja karyawan. Yulinda (2013) menemukan dalam penelitiannya

Kepemimpinan Transformasional (X1)

Work family conflict (X2)

Komitmen organisasional (X3)

Kepuasan kerja (Y)

kepemimpinan partisipatif berpengaruh secara parsial dengan kepuasan kerja

karyawan. Dari pemahaman diatas ditarik hipotesis sebagai berikut.

H1 : Kepemimpinan transformasional berpengaruh signifikan terhadap kepuasan

kerja karyawan.

2.3.3 Pengaruh Work Family Conflict terhadap Kepuasan Kerja Karyawan

Penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa kepuasan kerja dapat

dipengaruhi work family conflict (Triana, 2010). Work family conflict merupakan

salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja karaywan (Rana and

Ajmal, 2012) work family conflict memiliki pengaruh dengan kepuasan kerja. Hal

ini didukung oleh Jennifer et al., (2005) work family conflict memberikan dampak

negatif pada kepuasan kerja karyawan. Berdasarkan pemahaman tersebut dapat

dirumuskan hipotesis ke dua sebagai berikut.

H2 : Work family conflict berpengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja

karyawan.

2.3.3 Pengaruh Komitmen Organisasional terhadap Kepuasan Kerja Karyawan

Penelitian Teman (2005) mengatakan bahwa komitmen organisasional

melalui uji parsial berpengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan. Susilo dan

Durrotun (2006) menyimpulkan komitmen organisasional berpengaruh secara

parsial terhadap kepuasan kerja seseorang untuk bekerja. Robbins (2006)

menemukan dalam penelitiannya bahwa komitmen organisasional secara parsial

berpengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan. Rizwan et al, (2010) menyatakan

dalam penelitiannya secara parsial kepuasan kerja dipengaruhi oleh komitmen

organisasional. Dipertegas oleh Nadia (2011) dalam penelitiannya komitmen

organisasional secara parsial berpengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan. Dari

pemahaman diatas ditarik hipotesis sebagai berikut.

H3 : Komitmen organisasional berpengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja

karyawan.