Upload
trinhlien
View
219
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
KAJIAN TENTANG TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH
DEBT COLLECTOR YANG DIPERINTAH BANK MENAGIH UTANG
NASABAH KARTU KREDIT
90%
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1
dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Oleh
Mat Rofi’i
NIM. E0007162
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
KAJIAN TENTANG TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH
DEBT COLLECTOR YANG DIPERINTAH BANK MENAGIH UTANG
NASABAH KARTU KREDIT
Oleh
MAT ROFI’I
NIM. E0007162
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
KAJIAN TENTANG TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH
DEBT COLLECTOR YANG DIPERINTAH BANK MENAGIH UTANG
NASABAH KARTU KREDIT
Oleh:
MAT ROFI’I
NIM. E0007162
Telah diterima dan disahkan oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada :
Hari : Jumat
Tanggal : 13 Juli 2012
DEWAN PENGUJI
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : Mat Rofi’i
NIM : E0007162
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul:
KAJIAN TENTANG TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH
DEBT COLLECTOR YANG DIPERINTAH BANK MENAGIH UTANG
NASABAH KARTU KREDIT adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang
bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan
ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan
saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa
pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan
hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 08 Mei 2012
yang membuat pernyataan
Mat Rofi’i
NIM. E0007162
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRAK
MAT ROFI’I. E0007162. KAJIAN TENTANG TINDAK PIDANA YANG
DILAKUKAN OLEH DEBT COLLECTOR YANG DIPERINTAH BANK
MENAGIH UTANG NASABAH KARTU KREDIT. Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penelitian hukum ini bertujuan untuk mengetahui mengenai tentang tinjauan
hukum pidana terhadap perbuatan yang dilakukan debt collector kepada nasabah
dalam menagih utang kartu kredit dan mengetahui pertanggungjawaban menurut
hukum pidana pihak bank sebagai pemberi perintah debt collector apabila
penagihan utang kartu kredit dilakukan dengan cara melawan hukum. Penelitian
ini merupakan termasuk dalam penelitian hukum normatif dengan menggunakan
sumber bahan sekunder. Sumber bahan sekunder terdiri dari bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan hukum sekunder
diperoleh dari studi kepustakaan yaitu melalui buku-buku teks, kamus-kamus
hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas tindak pidana yang
dilakukan oleh debt collector dalam menagih utang kartu kredit.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan ini, dapat ditarik kesimpulan
bahwa perbuatan debt collector dalam menagih utang kartu kredit yang
meresahkan nasabah bila dikaji dari hukum pidana termasuk dalam perbuatan
pidana yang dapat dijerat dengan pasal didalam Kitab Undang-Undang Pidana.
Pasal-pasal itu antara lain adalah Pasal 167 KUHP (memaksa masuk ke dalam
rumah, ruangan, atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain dengan
melawan hukum), Pasal 333 KUHP (perampasan kemerdekaan, penyanderaan
debitur dengan melawan hukum), Pasal 351 KUHP (penganiayaan), Pasal 362,
363, dan 365 KUHP (pencurian, bila debt collector mengambil barang apa saja
milik debitur), Pasal 362 dan 369 KUHP, serta Pasal 406 KUHP (perusakan
barang).
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak mengenal
pertanggungjawaban pidana korporasi . tetapi dalam dalam Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1988 tentang Perbankan dan Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/2/PBI/2012 pasal 21 ayat (1) Dalam hal Penerbit melakukan kerja sama dengan
pihak-pihak di luar pihak maka Penerbit bertanggung jawab atas kerja sama
tersebut. Hal ini diperjelas oleh bagian penjelasan yang mengatakan: Yang
dimaksud dengan pihak-pihak di luar pihak lain dalam ayat ini misalnya
perusahaan jasa pengiriman dokumen, agen pemasaran(sales agent) atau jasa
penagihan (debt collector). Sehingga pihak bank, yang merupakan si penyuruh,
dapat dikenai pasal 55 KUHP. Menurut ketentuan ini, orang yang menyuruh
melakukan tindak pidana (doen plegen) ikut bertanggungjawab atas perbuatan
yang dilakukan orang disuruh. Dalam hal ini meskipun majikan tidak melakukan
sendiri perbuatan pidana dan yang melakukan adalah bawahannya, maka majikan
dipandang sebagai pelaku dan dihukum sebagai pelaku.
Kata kunci : Tindak Pidana, Kartu kredit, Debt Collector
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
ABSTRACT
MAT ROFI’I. E0007162. THE STUDY OF CRIME BY BANK DEBT
COLLECTOR COLLECT DEBTS GOVERNED CREDIT CARD
CUSTOMERS. Faculty of Law University of Sebelas Maret.
The study aims to determine the law on judicial review of criminal acts
committed against debt collectors to customers in charge of credit card debt and
find criminal liability according to law by the bank as a debt collector giving the
orders if the credit card debt collection is done by illegal means. This study is
included in the normative legal research using secondary source material.
Secondary source material consists of primary legal materials, legal materials
and secondary legal materials tertiary. Secondary legal materials obtained from
the literature study through textbooks, legal dictionaries, law journals, and
comments for the same offenses committed by the debt collector to collect credit
card debt.
Based on the results of research and discussion, it can be concluded that
the acts of debt collectors collect debts in the credit card customer troubling when
examined from the criminal law including the criminal act that can be charged
with the article in the Book of Criminal Law. Those articles include Article 167 of
the Criminal Code (breaks into the house, room, or enclosed yard which is used
by someone else against the law), Article 333 of the Criminal Code (deprivation
of liberty, hostage-taking against the debtor with the law), Article 351 of the
Criminal Code (abuse ), Article 362, 363, and 365 of the Criminal Code (theft,
when a debt collector take away any item owned by the debtor), Article 362 and
369 of the Criminal Code, and Article 406 of the Criminal Code (destruction of
the goods).
Book of the Criminal Justice Act (Penal Code) does not recognize
corporate criminal liability. but in the Act No. 10 of 1988 concerning Banking
and Bank Indonesia Regulation Number 11/2/PBI/2012 article 21 paragraph (1)
The Issuer cooperation with parties outside the party, the Issuer is responsible for
co-operation them. This is made clear by the explanation that says: What is meant
by the parties outside of the other party in this paragraph such as document
delivery service companies, marketing agencies (sales agent) or billing services
(debt collector). So that the bank, which is the principal, subject to Article 55 of
the Criminal Code. According to this provision, the person who ordered a
criminal offense (doen plegen) share responsibility for the acts committed were
ordered. In this case even if the employer does not conduct its own criminal acts
and who is his subordinate, the employer is seen as a principal and punishable as
a principal.
Keywords: Crime, Credit Cards, Debt Collector
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
MOTTO
“Dan mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan mengerjakan sholat.
Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat,
kecuali bagi orang-orang yang khusyuk”
(QS. Al-Baqarah(2):45)
“Raihlah ilmu, dan untuk meraih ilmu belajarlah untuk tenang dan sabar”
(Khalifah Umar Bin Khatab)
“Orang hebat bukan yang berani mati tetapi yang mampu hidup dalam segala situasi”
(Penulis)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada:
1. Allah Subhanahu wa-ta'ala
2. Ayah dan Ibuku tersayang
3. Adikku Zahrul Yunus dan Riza Pramiditya
4. Teman-teman yang saya banggakan
5. Almamaterku tercinta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkah, rahmat,
serta karunia-Nya yang telah diberikan kepada Penulis, sehingga Penulis mampu
menyelesaikan tugas penulisan hukum (skripsi) dengan judul KAJIAN
TENTANG TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH DEBT
COLLECTOR YANG DIPERINTAH BANK MENAGIH UTANG
NASABAH KARTU KREDIT Penulisan skripsi ini bertujuan untuk melengkapi
dan memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan dalam Ilmu
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penulis menyadari bahwa terselesainya penulisan hukum (skripsi) ini tidak
lepas dari bantuan serta dukungan yang telah diberikan oleh berbagai pihak. Oleh
karena itu, dalam kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
setulus-tulusnya kepada :
1. Prof.Dr.Hartiwiningsih,S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Bapak R. Ginting, S.H.,M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana.
3. Bapak Ismunarno, S.H.,M.Hum., selaku Dosen Pembimbing Skripsi I yang
telah banyak membantu dan memberikan bimbingan dalam penulisan hukum
ini.
4. Bapak Sabar Slamet, S.H.,M.H. selaku Dosen Pembimbing Skripsi II yang
telah banyak membantu dan memberikan bimbingan serta mengarahkan dalam
penulisan hukum ini.
5. Ibu Sunny Ummul Firdaus, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing Akademik
penulis.
6. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama
penulis menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
7. Seluruh karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang
telah banyak membantu segala kepentingan Penulis selama Penulis menempuh
studi di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
8. Bapak dan Ibuku tercinta, yang tidak pernah lelah untuk memberikan doa,
motivasi dan kasih sayang selama ini.
9. Beta Wulansari yang selalu mendampingi dan memberi dukungan kepada
penulis.
10. Teman-teman angkatan tahun 2007 yang selama ini selalu setia
kebersamaannya serta dalam memberikan dukungan dan masukan.
11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu disini yang telah
membantu Penulis dalam menyelesaikan Penulisan Hukum (skripsi) ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini masih jauh dari
kesempurnaan, mengingat kemampuan Penulis yang masih sangat terbatas. Oleh
karena itu, dengan besar hati penulis mengharapkan segala kritik dan saran yang
bersifat membangun. Semoga Penulisan Hukum ini dapat bermanfaat bagi penulis
maupun para pembaca.
Surakarta, 2 Mei 2012
Penulis
Mat Rofi’i
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul .............................................................................................. i
Halaman Persetujuan Pembimbing ............................................................... ii
Halaman Pengesahan Penguji ....................................................................... iii
Halaman Pernyataan ...................................................................................... iv
Abstrak .......................................................................................................... v
Motto ............................................................................................................ vii
Persembahan .................................................................................................. viii
Kata Pengantar .............................................................................................. ix
Daftar Isi ....................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................... 4
C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 4
D. Manfaat Penelitian ................................................................... 5
E. Metode Penelitian .................................................................... 6
F. Sistematika Penulisan Hukum ................................................. 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 12
A. Kerangka Teori ........................................................................ 12
1. Tinjauan Umum Tentang Hukum Pidana ............................ 12
a. Pengertian Hukum Pidana ............................................. 12
b. Pengertian Jenis-Jenis Hukum Pidana .......................... 13
c. Asas-Asas Hukum Pidana ............................................. 14
2. Tinjauan Umum Tentang .................................................... 18
a. Istilah Tindak Pidana .................................................... 18
b. Pengertian Tindak Pidana ............................................. 18
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
c. Jenis-Jenis Tindak Pidana ............................................. 19
d. Unsur-Unsur Tindak Pidana.......................................... 20
3. Tinjauan Umum Tentang Debt Collector ............................ 23
a. Pengertian Debt Collector ............................................. 23
b. Dasar Hukum ................................................................ 24
c. Cara Kerja Debt Collector ............................................ 25
4. Tinjauan Umum Tentang Bank ............................................ 27
a. Pengertian Bank ............................................................ 27
b. Jenis dan Kegiatan Usaha Bank .................................... 27
c. Larangan Kegiatan Usaha Bank .................................... 32
5. Tinjauan Umum Tentang Kartu Kredit ................................ 33
a. Pengertian Kartu Kredit ................................................ 33
b. Dasar Hukum Kartu Kredit ........................................... 34
c. Macam Kartu Kredit ..................................................... 36
d. Para Pihak Dalam Kartu Kredit .................................... 37
B. Kerangka Pemikiran ................................................................ 39
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................... 40
A. Tinjauan hukum pidana tentang perbuatan debt collector
yang melakukan tindak pidana kepada nasabah dalam
menagih utang kartu kredit ....................................................... 40
B. Pertanggung Jawaban Pidana Pihak Bank Sebagai Pemberi
Perintah Debt Collector Apabila Penagihan Utang Kartu
Kredit Dilakukan Dengan Cara Melawan Hukum .................... 64
BAB IV PENUTUP ...................................................................................... 82
A. Simpulan .................................................................................. 82
B. Saran ........................................................................................ 83
Daftar Pustaka .............................................................................................. 85
Lampiran......................................................................................................... 88
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejak zaman dahulu manusia menggunakan barang sebagai media
pembayaran yang kita kenal sebagai sistem barter dimana untuk mendapatkan
suatu barang harus ditukarkan dengan barang lain, seiring dengan perkembangan
zaman cara ini mulai ditinggalkan setelah ditemukannya suatu alat pembayaran
yang lebih praktis yang kita kenal saat ini dengan nama uang. Dengan uang kita
bisa membeli semua kebutuhan yang kita inginkan, sehingga tak heran jika setiap
orang berusaha untuk mendapatkan uang.
Kehidupan manusia, ada seseorang yang ketahanan mental yang tinggi dan
stabil, meskipun kondisi ekonominya sulit, ia tidak sampai menempuh jalan yang
menyimpang dan melanggar hukum untuk menghadapi pergaulan sosialnya, akan
tetapi ada komunitas yang gagal menyesuaikan diri dengan norma-norma positif
sehingga untuk menyesuaikan pergaulan sosial digunakanlah cara-cara yang
menyimpang dan melanggar hukum. Perbuatan yang menyimpang ini ada yang
merugikan kehidupan masyarakat secara langsung ke masyarakat. Perusakan
terhadap suatu kawasan hutan misalnya seringkali menimbulkan kerugian pada
masyarakat secara tidak langsung, tetapi kerugiannya dapat dirasakan di kemudian
hari. “Begitupun ketika suatu masyarakat gagal beradaptasi di tengah pengaruh
informasi global dan menyerah menjadi budak globalisasi. Ada akibat yang
langsung dirasakan, namun juga ada yang berjangka panjang” (Yahya Harahap,
2006 : 10).
Perkembangan teknologi baru selalu mempengaruhi evolusi peradaban
manusia. Penemuan-penemuan besar keilmuan telah mengakibatkan perubahan
kebiasaan, sistem nilai, cara pandang sampai ketentuan hukum suatu negara.
Dalam ilmu sosial, perubahan perilaku sosial (social behavior) bukanlah suatu hal
yang harus ditakuti, sebab perubahan sosial itu selalu akan memberi warna baru
dalam perjalanan sejarah peradaban umat manusia. Terlepas dari kekhawatiran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
apakah kemajuan tersebut akan bermanfaat atau malah akan menimbulkan
malapetaka terhadap peradaban manusia itu sendiri.
Modus dalam kejahatan dalam masyarakat merupakan salah satu bentuk
kejahatan mengikuti perkembangan teknologi dan cara hidup manusia. Memahami
makna dari kejahatan dalam hal perkembangan kehidupan perlu kiranya untuk
mencermati perkembangan yang terjadi dalam praktik bisnis dengan berbagai
modus di antaranya adalah dalam bidang kompertisi yang dikenal dengan unfair
competion berupa tindakan tying contract, exclusive dealing, price discrimination,
price fixing, penggabungan perusahaan, false advertising (penipuan iklan) dan
kejahatan lingkungan hidup (environmental crime) penyelenggara jasa keuangan
dan bank (Endah Lestari,2010:14).
Secara tidak langsung seluruh bidang kehidupan manusia terkena dampak
dari teknologi, tidak terkecuali bidang perdagangan dan perbankan. Teknologi
dimanfaatkan sebagai penunjang dalam transaksi perdagangan dan perbankan
demi mewujudkan sistem perdagangan yang mudah dilakukan dan praktis. Pada
era teknologi ini, alat pembayaran yang efektif dan efisien sangat diperlukan. Alat
pembayaran yang berukuran kecil dan terbuat dari bahan plastik tersebut yang
kemudian dikenal dengan sebutan kartu kredit.
Awal mula pemikiran menciptakan alat pembayaran yang canggih, efektif
dan efisien bermula di New York Tahun 1950. Pada saat seorang wiraswastama
terkenal mengundang mitra bisnisnya untuk bersantap bersama dalam melakukan
negosiasi bisnis. Setelah selesai dan akan melakukan pembayaran, wiraswastawan
tersebut mendapati dompetnnya tertinggal. Dengan perasaan malu ia memberikan
kartu identitas kepada restoran yang bersangkutan sebagai jaminan untuk ditagih
di kantornya keesokan harinya. Kejadian tidak terduga dalam kasus yang
direstoran itu kemudian dikenal dengan nama Frank Mc Namara, sehingga
mengilhaminya untuk menciptakan mekanisme pembayaran dengan menggunakan
instrument kartu. Sejak itulah muncul kartu kredit yang digunakan sebagai alat
pembayaran yang menggantikan uang tunai ( Johannes Ibrahim, 2004:13).
Masalah yang timbul saat ini adalah bagaimana jika seseorang tidak
memiliki uang sedangkan harus memenuhi kebutuhan yang terdesak,
Dengan kemajuan yang ada, hal ini dapat diatasi dengan kehadiran suatu sistem
pembayaran yang mana seseorang dapat membeli barang tanpa harus membayar
pada saat itu juga yang dalam kehidupan sehari-hari biasa disebut kredit. Dengan
kredit, seseorang dapat membayar barang sesuai dengan waktu dan kemampuan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
yang dapat disesuaikan , sehingga memudahkan untuk dapat memiliki sesuatu
yang diinginkan tanpa harus mempersiapkan uang tunai dalam jumlah besar.
Hadirnya sistem kredit sangat membantu kehidupan masyarakat bahkan
pertumbuhan ekonomi dalam suatu negara, namun keterbatasan saat ini adalah
tidak semua barang yang dijual di pasar atau toko menawarkan system kredit
terhadap barang yang mereka jual. Kerena disamping faktor kepercayaan , faktor-
faktor lain dijadikan pedagang sebagai petimbangan untuk lebih nyaman jika
menjual dengan cara tunai daripada kredit. Dalam perkembangannya untuk
mengatasi akan hal ini, pihak perbankan berlomba-lomba menawarkan jasa
pembayaran kredit kepada nasabahnya dimana bank siap menjadi jaminan untuk
membayar barang-barang nasabahnya, yang bisanya nanti akan ditagih pada akhir
bulan. Dengan suatu sistem canggih yang saat ini dikenal dengan kartu kredit.
Kartu kredit merupakan alternative untuk memudahkan pembayaran jika
kita kehabisan uang sewaktu-waktu, hanya dengan sebuah kartu seseorang bisa
membeli kebutuhan-kebutuhan kita ditoko-toko tertentu tanpa harus membawa
uang tunai. Namun dibalik kemudahan-kemudahan tersebut, jika tidak digunakan
secara bertanggung jawab kartu kredit dapat membawa masalah bagi para
pengguna layanan tersebut kerena hadirnya kartu kredit membuat masyarakat
terbiasa dengan sifat hedonisme yang mengarakan ke arah pemborosan dan
akhirnya menghadapkan kepada debt collector bank untuk menagih sejumlah
hutang. Dalam penagihan hutangnya biasanya pihak bank menyerahkan kuasanya
kepada pihak ketiga yang biasa disebut debt collector. Atas kuasa tersebutlah para
debt collector sering melakukan sejumlah cara bahkan sampai menggunakan
ancaman dan kekerasan dalam penagihan hutangnya kepada debitur-debitur nakal.
Terjadinya beberapa kasus tentang tindak pidana yang dilakukan debt
collector beberapa waktu yang lalu membuat profesi ini menjadi pokok
pembicaraan masyarakat, sejumlah seluk beluk profesi ini terus dibahas, mulai
dari kewenangan, kuasa bahkan sampai pengaruh terhadap kepercayaan
masyarakat terkait bank yang mempekerjakan mereka. Atas hal-hal inilah yang
melatarbelakangi penulis untuk membahas seputaran debt collector dalam
penagihan hutang kartu kredit para debitur bank. Dari uraian diatas penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
tertarik untuk menulis penulisan hukum dalam bentuk skripsi dengan judul:
“KAJIAN TENTANG TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH
DEBT COLLECTOR YANG DIPERINTAH BANK MENAGIH UTANG
NASABAH KARTU KREDIT”.
B. Rumusan Masalah
Perumusan masalah dalam suatu penelitian dimaksudkan untuk membatasi
masalah yang akan dikaji dalam pembahasan agar tidak memberikan penafsiran
yang bermacam-macam serta sebagai upaya pemecahan masalah yang ingin
dicapai dari uraian latar belakang di atas.
Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis merumuskan permasalahan
dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana tinjauan hukum pidana tentang perbuatan debt collector yang
melakukan tindak pidana kepada nasabah dalam menagih utang kartu kredit?
2. Bagaimana tanggung jawab pidana pihak bank sebagai pemberi perintah debt
collector apabila penagihan utang kartu kredit dilakukan dengan cara melawan
hukum?
C. Tujuan Penelitian
Dalam penyusunan penulisan hukum ini, ada beberapa tujuan yang ingin
dicapai. Tujuan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui tentang tinjauan hukum pidana terhadap perbuatan debt
collector yang melakukan tindak pidana terhadap nasabah kartu kredit.
b. Untuk mengetahui pertanggungjawaban menurut hukum pidana pihak bank
sebagai pemberi perintah debt collector apabila penagihan utang kartu kredit
dilakukan dengan cara melawan hukum hukum.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2. Tujuan Subyektif
Untuk memperoleh bahan-bahan dan data-data yang diperlukan dalam
menyusun penulisan hukum, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
D. Manfaat Penelitian
Suatu penelitian tentunya diharapkan akan dapat memberikan manfaat
yang berguna terutama pada ilmu pengetahuan di bidang penelitian tersebut.
Adapun manfaat dari penelitian ini sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini, menggunakan pendekatan normatif maka hasilnya
diharapkan berguna untuk kepentingan pengembangan teori-teori hukum
tentang penegakan hukum yang harus dicapai, strategi penegakan hukum
pidana yang efektif, hubungan peranan penegak hukum dan peran serta
masyarakat dalam mencapai efektivitas hukum.
b. Menambah literatur, referensi, dan bahan-bahan informasi ilmiah serta
pengetahuan bidang hukum yang telah ada sebelumnya, khususnya untuk
memberikan suatu deskripsi jelas mengenai pemecahan permasalah yang
akan di pecahkan penulis.
c. Untuk mendalami dan mempraktekan teori-teori yang telah diperoleh
penulis selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
2. Manfaat Praktis
a. Penelitian ini diharapkan mempunyai nilai kemanfaatan untuk kepentingan
penegakan hukum guna mewujudkan ketertiban hukum dan ketertiban
sosial.
b. Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran,
membentuk pola pikir ilmiah sekaligus mengetahui kemampuan penulis
dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
c. Menjadi wawasan dan pengetahuan hukum bagi masyarakat luas terkait
mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh debt collector dalam menagih
utang kartu kredit.
E. Metode Penelitian
“Penelitian Hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum,
prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum
yang dihadapi” (Peter Mahmud Marzuki, 2009: 35). Penelitian hukum dilakukan
untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul. Oleh karena itu,
“penelitian hukum merupakan suatu penelitian di dalam kerangka know-how di
dalam hukum. Hasil yang dicapai adalah untuk memberikan preskripsi dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi” (Peter Mahmud Marzuki, 2009: 41).
Ada dua syarat yang harus dipenuhi sebelum mengadakan penelitian
dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan adalah “peneliti harus terlebih
dahulu memahami konsep dasar ilmunya dan metodologi penelitian disiplin
ilmunya” (Johnny Ibrahim, 2006: 26). Dalam penelitian hukum, “konsep ilmu
hukum dan metodologi yang digunakan di dalam suatu penelitian memainkan
peran yang sangat signifikan agar ilmu hukum beserta temuan-temuannya tidak
terjebak dalam kemiskinan relevansi dan aktualitasnya” (Johnny Ibrahim, 2006:
28).
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai
berikut :
1. Jenis Penelitian
Ditinjau dari sudut penelitian hukum sendiri, maka pada penelitian ini
penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum
normatif memiliki definisi yang sama dengan penelitian doktrinal (doctrinal
research) yaitu penelitian berdasarkan bahan-bahan hukum (library based)
yang fokusnya pada membaca dan mempelajari bahan-baan hukum primer dan
sekunder. Sehingga penelitian hukum menurut Johnny Ibrahim ialah “suatu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
prosedur ilmiah untk menemukan kebenaran bedasarkan logika keilmuan
hukum dari sisi normatifnya” (Johnny Ibrahim, 2006: 57).
Pendapat ini kemudian dipertegas oleh Sudikno Mertokusumo yang
menyatakan bahwa disiplin ilmiah dan cara kerja ilmu hukum normatif adalah
pada obyeknya, obyek tersebut adalah hukum yang terutama terdiri atas
kumpulan peraturan-peraturan hukum yang bercampur aduk merupakan chaos:
tidak terbilang banyaknya peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan
setiap tahunnya. “Ilmu hukum (normatif) tidak melihat hukum sebagai suatu
chaos atau mass of rules tetapi melihatnya sebagai suatu Istructured whole of
system”(Johnny Ibrahim, 2006: 57).
Penulis memilih penelitian hukum yang normatif, karena menurut
penulis sumber penelitian yang digunakan adalah bahan hukum sekunder, yang
terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum
tersier. Selain itu, menurut penelitian penulis bahwa sesuai dengan pendapat
Johnny Ibrahim, berkenaan dengan penelitian yang dilakukan penulis
mengenai tindak pidana yang dilakukan debt collector atas perintah bank
kepada nasabah dalam menagih utang kartu kredit, sehingga dibutuhkan
“penalaran dari aspek hukum normatif, yang merukan ciri khas hukum
normatif” (Johnny Ibrahim, 2006: 127). Jadi berdasarkan uraian tersebut, dapat
disimpulkan bahwa jenis penelitian hukum normatif yang dipilih oleh penulis
sudah sesuai dengan obyek kajian atau isu hukum yang diangkat.
2. Sifat Penelitian
“Sifat penelitian hukum ini sejalan dengan sifat ilmu hukum itu sendiri.
Ilmu hukum mempunyai sifat sebagai ilmu yang preskriptif, artinya sebagai
ilmu yang bersifat preskriptif ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, konsep-
konsep hukum, dan norma-norma hokum” (Peter Mahmud Marzuki, 2009: 22).
Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis akan memberikan
preskriptif mengenai pengaturan tindak pidana yang dilakukan debt collector
bank kepada nasabah kartu kredit.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3. Pendekatan Penelitian
Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, oleh karena penelitian bertujuan untuk
mengungkapkan kebenaran untuk mengungkap kebenaran secara sistematis,
metodologis dan konsisten, dengan mengadakan analisa dan konstruksi.
Penelitian hukum senantiasa harus diserasikan dengan disiplin hukum yang
merupakan suatu sistem ajaran tentang hukum sebagai norma dan kenyataan
(Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, 2003:20).
Menurut Johnny Ibrahim, dalam penelitian hukum terdapat beebeerapa
pendekatan, yaitu “pendekatan perundang-undangan (satute approach),
pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan analitis (analytical
approach), pendekatan perbandingan (comparative approach), pendekatan
historis (historical approach), pendekatan filsafat (philosophical approach),
dan pendekatan kasus (case approach)” (Johnny Ibrahim, 2006: 300).
Dari ketujuh pendekatan tersebut, pendekatan yang relevan dengan
penelitian hukum ini adalah pendekatan perundang-undangan (satute
approach) dan pendekatan analitis (analytical approach).
4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
Jenis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian hukum yang
dilakukan oleh penulis adalah bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoriatif yang artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari
perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
perundang-undangan dan putusan hakim. Sedangkan “bahan hukum sekunder
berupa semua publikasi tentang hukum yang bukkan merupakan dokumen-
dokumen resmi, yan meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-
jurnal hukum dan komentar atas putusan pengadilan” (Peter Mahmud Marzuki,
2009: 141).
Dalam penelitian ini penulis menggunakan bahan hukum primer yakni
perundang-undangan, sedangkan bahan hukum sekunder berupa semua
publikasi tentang hukum hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
resmi, yang meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum dan jurnal-jurnal
hukum.
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder.
Dalam bukunya, Penelitian Hukum, Peter Mahmud mengatakan, bahwa pada
dasarnya penelitian hukum tidak mengenal adanya data. Sehingga yang
digunakan adalah bahan hukum, dalam hal ini adalah bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder.
a. Bahan Hukum Primer
“Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoriatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri
dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah dalam
pembuatan peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim”
(Peter Mahmud Marzuki, 2009: 141).
b. Bahan Hukum Sekunder
“Bahan hukum sekunder berupa publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi” (Peter Mahmud Marzuki,
2009: 141). Bahan hukum sebagai pendukung dari data yang akan
digunakan di dalam penelitian ini yaitu buku-buku teks yang ditulis para
ahli hukum, jurnal hukum, artikel, internet, dan sumber lainnya, yang
memiliki korelasi untuk mendukung penelitian ini.
6. Teknik Analisis Bahan Hukum
Penelitian yang dilakukan oleh penulis merupakan penelitian normatif
dimana teknik analisis yang penulis gunakan adalah dengan metode silogisme
dan interpretasi, dengan menggunakan pola berpikir deduktif. Interpretasi atau
penafsiran merupakan metode penemuan hukum yang memberi penjelasan
yang gamblang terkait teks undang-undang agar lingkup kaidah dapat
ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Dalam penelitian ini, penulis juga akan menggunakan metode silogisme
dengan teknik analisis deduksi. Metode deduksi adalah metode yang
berpangkal dari pengajuan premis mayor, kemudian diajukan premis minor
dari kedua premis ini kemudian ditarik kesimpulan atau conclusion. Artinya
bahwa melakukan pengolahan analisis bahan dengan menarik kesimpulan dari
suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang
diteliti.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Sistematika penulisan hukum untuk memberikan gambaran secara
keseluruhan tentang isi dari penelitian sesuai dengan aturan yang sudah ada dalam
penulisan hukum. Sistematika penulisan hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab yang
tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang saling berhubungan dimaksudkan
untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Adapun
sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab satu akan diuraikan mengenai latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi
penelitian dan sistematika penulisan hukum untuk memberikan
pemahaman mendalam terhadap isi penelitian secara garis besar.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab dua penulis akan menguraikan hal-hal yang berhubungan
dengan kerangka teori dan kerangka pemikiran dari penelitian ini.
Dalam kerangka teori, akan diuraikan mengenai tinjauan umum tentang
hukum pidana, yang meliputi pengertian hukum pidana; pemaparan
jenis-jenis hukum pidana, pemaparan asas-asas hukum pidana, tinjauan
umum tentang tindak pidana yang meliputi istilah tindak pidana,
pengertian tindak pidana, pemaparan jenis-jenis tindak pidana dan
pemaparan unsur-unsur tindak pidana. Kemudian, diuraikan mengenai
tinjauan umum tentang Debt Collector, yang meliputi pengertian Debt
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Collector, cara kerja Debt Collector ;. Pemaparan mengenai tinjauan
umum tentang bank, yang meliputi pengertian bank; jenis-jenis dan
kegiatan usaha bank, dan larangan kegiatan usaha bank. Dilanjutkan
dengan tinjauan umum tentang kartu kredit yang meliputi pengertian
kartu kredit, macam kartu kredit dan para pihak dalam kartu kredit.
Keseluruhan uraian dapat memudahkan pembaca untuk membaca dan
memahami mengenai kajian tentang tindak pidana yang dilakukan oleh
Debt Collector atas perintah bank kepada nasabah dalam menagih utang
kartu kredit.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab tiga, penulis akan menyajikan pembahasan dari hasil
penelitian yang telah dilakukan oleh penulis, yaitu berupa kajian
tentang tindak pidana yang dilakukan oleh Debt Collector atas
perintah bank kepada nasabah dalam menagih utang kartu kredit.
Dalam kajian tersebut akan diuraikan tentang tinjauan hukum pidana
terhadap perbuatan yang dilakukan debt collector kepada nasabah
dalam menagih utang kartu kredit dan pertanggungjawaban menurut
hukum pidana pihak bank sebagai pemberi perintah debt collector
apabila penagihan utang kartu kredit dilakukan dengan cara melawan
hukum hokum
BAB IV : PENUTUP
Bab keempat ini merupakan bab terakhir dari keseluruhan penulisan
hukum. Pada bab ini, berisikan simpulan dari pembahasan rumusan
masalah hasil penelitian dalam penulisan hukum dan disertai saran
yang didasari dari simpulan hasil penelitian tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Tentang Hukum Pidana
a. Pengertian Hukum Pidana
Rumusan mengenai pengertian hukum pidana mempunyai lebih dari
satu rumusan. Tidak ada rumusan mengenai pengertian hukum pidana
yang sempurna yang dapat diberlakukan secara umum. Rumusan hukum
pidana ini sulit dibatasi karena isi dari hukum pidana itu sendiri sangat luas
dan mencakup banyak aspek yang tidak mungkin untuk dimuat dalam
suatu batasan dengan suatu kalimat tertentu. Para sarjana ternyata
mempunyai pendapat yang berbeda-beda mengenai pengertian hukum
pidana ini.
Hukum pidana menurut Moeljatno, bahwa hukum pidana adalah
bagian dari pada keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang
mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :
1) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan
yang dilarang dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana
tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut;
2) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu, dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan;
3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar
larangan tersebut (Moeljatno,2008 : 1).
Sedangkan menurut Lemaire telah merumuskan hukum pidana
sebagai berikut :
Het strafrecht is samengesteld uit die normen welke geboden en
verboden bevatten en waaraan (door de wetgever) als sanctie straf,
d.i. een bijzonder leed, is gekoppeld. Men kan dus ook zeggen dat het
strafrecht het normen stelse is, dat bepaalt op welke gedragingen
(doen of niet-doen waar handelen verplicht is) en onder welke
omstandigheden het recht met straf reageert en waaruit deze straf
bestaat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Artinya adalah Hukum pidana itu terdiri dari norma-norma yang
berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang (oleh
pembentuk undang-undang) telah dikaitkan dengan suatu sanksi
berupa hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus.
Dengan demikian dapat juga dikatakan, bahwa hukum pidana itu
merupakan suatu sistem norma-norma yang menetukan terhadap
tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu dimana terdapat suatu keharusan untuk
melakukan sesuatu) dan dalam keadaan-keadan bagaimana hukuman
itu dapat dijatuhkan, serta hukuman yang bagaimana yang dapat
dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut (Lemaire dalam P.A.F.
Lamintang, 1996:1).
Sedangkan menurut Wirjono Projodikoro hukum pidana adalah
“peraturan hukum mengenai pidana berarti hal yang dipidanakan yaitu
yang oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan kepada seorang oknum
sebagai hal yang tidak enak dirasakannya” (Wirjono Prodjodikoro,
1999:1).
b. Jenis-Jenis Hukum Pidana
Hukum pidana dapat dibedakan menjadi beberapa jenis antar lain
sebagai berikut :
1) Hukum pidana dalam keadaan diam dan keadaan bergerak yaitu:
a) Hukum pidana materiil, memuat aturan-aturan yang menetapkan
dan merumuskan perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana, aturan-
aturan yang memuat syarat-syarat untuk dapat menjatuhkan pidana
dan ketentuan mengenai pidananya.
b) Hukum pidana formil, memuat aturan-aturan bagaimana negara
dengan perantaraan alat perlengkapannya melaksanakan haknya
untuk mengenakan pidana, hukum pidana formil disebut juga
hukum acara pidana.
2) Hukum pidana dalam arti Obyektif dan Subyektif yaitu :
a) Hukum Pidana Obyektif atau Ius Poenale diartikan sebagai hak
dari negara atau alat-alat pelengkapan negara untuk mengenakan
atau mengancam pidana terhadap perbuatan tertentu.
b) Hukum Pidana Subyektif atau Ius Puniendi hak untuk menuntut
perkara-perkara pidana, menjatuhkan dan melaksanakan pidana
terhadap orang yang melakukan perbuatan yang dilarang.
3) Hukum pidana atas dasar siapa berlakunya hukum pidana yaitu:
a) Hukum Pidana Umum adalah hukum pidana yang ditujukan dan
berlaku untuk semua warga negara (subjek hukum) dan tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
membeda-bedakan kualitas pribadi subjek hukum tertentu, contoh :
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
b) Hukum Pidana khusus adalah hukum pidana yang dibentuk oleh
negara yang hanya dikhususkan berlaku bagi subjek hukum tertentu
saja, contoh : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentara
(KUHPT).
4) Hukum pidana atas dasar wilayah berlakunya hukum yaitu :
a) Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang dibentuk oleh
pemerintah negara pusat yang berlaku bagi subjek hukum yang
berada dan berbuat melanggar larangan hukum pidana di seluruh
wilayah hukum negara.
b) Hukum pidana lokal adalah hukum pidana yang dibuat oleh
Pemerintah Daerah yang berlaku bagi subjek hukum yang
melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana di dalam
wilayah hukum pemerintah daerah tersebut.
Atas dasar wilayah berlakunya hukum, hukum pidana masih juga
dapat dibedakan antara hukum pidana nasional dan hukum pidana
internasional.
5) Hukum pidana atas dasar bentuknya yaitu :
a) Hukum pidana tertulis disebut juga hukum pidana undang-undang.
b) Hukum pidana tidak tertulis atau disebut dengan hukum pidana
adat (Adami Chazawi,2002 : 14).
6) “Hukum Pidana yang dikodifikasikan (KUHP dan KUHPT) dan
hukum pidana yang tidak dikodifikasikan yakni yang terdapat di luar
KUHP tersebar dalam berbagai undang-undang dan peraturan lain”
(Sudarto,1990 : 11).
c. Asas-Asas Hukum Pidana
Hukum pidana disusun dan dibentuk dengan maksud untuk
diberlakukan dalam masyarakat agar dapat dipertahankan segala
kepentingan hukum yang dilindungi dan terjaminnya kedamaian serta
ketertiban. Dalam pemberlakuan hukum pidana di Indonesia terdapat
batasan berlakunya.
Berlakunya hukum pidana tidak hanya dibatasi oleh ruang dan waktu
saja tetapi juga dibatasi oleh tempat atau wilayah hukum tertentu. Dalam
hal mengenai berlakunya hukum pidana terdapat beberapa asas hukum
pidana adalah sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1) Asas Legalitas
Asas ini berlaku mutlak bagi negara-negara yang hukum
pidananya telah dikodifikasi dalam satu wetboek seperti negara yang
menganut sistem hukum Eropa kontinental termasuk Indonesia. Asas
legalitas dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi :
“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan
aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum
perbuatan dilakukan” (R.Soesilo, 1995:27).
Asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut dikenal
dengan asas “nulum delictum nulla poena sina praevia legepoenali”
yang artinya tidak ada tindak pidana dan tidak ada pidana tanpa
adanya ketentuan hukum yang lebih dulu menentukan demikian.
Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut, terdapat tiga
pengertian dasar dalam asas legalitas, yaitu :
a) Ketentuan hukum pidana itu harus ditetapkan lebih dulu secara
tertulis;
b) Dalam hal untuk menentukan suatu perbuatan apakah berupa tindak
pidana ataukah bukan tidak boleh menggunakan penafsiran
analogi;
c) Ketentuan hukum pidana tidak berlaku surut (terugwerkend atau
retro aktif).
Berdasarkan asas legalitas ini timbul suatu asas yang disebut
lex temporis delicti, artinya suatu perbuatan pidana harus diadili
berdasarkan peraturan yang ada pada waktu perbuatan tersebut
dilakukan.
2) Asas lex specialis derogate legi generali
Secara sederhana asas ini berarti aturan yang bersifat khusus
(specialis) mengesampingkan aturan yang bersifat umum (generali).
Apabila dihubungkan dengan pandangan Dworkin, dengan asas ini
maka aturan yang bersifat umum itu tidak lagi sebagai hukum ketika
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
telah ada aturan yang bersifat khusus. Dengan kata lain, aturan yang
khusus itulah sebagai hukum yang valid, dan mempunyai kekuatan
mengikat untuk diterapkan terhadap peristiwa-peristiwa konkrit.
Dalam hukum pidana Indonesia asas ini didasarkan pada
ketentuan Pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
yang berbunyi :
“ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VII
buku ini berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan
perundang-undangan yang lainnya diancam dengan pidana,
kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain” (R.Soesilo,
1995:107)
3) Asas geen straf sonder schuld atau asas tiada pidana tanpa kesalahan
Asas tiada pidana tanpa kesalahan artinya untuk dapatnya
dipidana pada seseorang yang perbuatannya nyata melanggar larangan
hukum pidana diisyaratkan bahwa perbuatannya itu dapat
dipersalahkan padanya ialah si pembuat itu mempunyai kesalahan.
Perwujudan dari asas tiada pidana tanpa kesalahan itu terdapat
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yakni Pasal 44
tentang tidak mampu bertanggung jawab bagi si pembuat atas
perbuatannya dan Pasal 48 tentang tidak dipidananya si pembuat
karena dalam keadaan daya paksa (overmacht).
4) Asas actus non facit reum nisi mens sit rea
Asas ini mempunyai maksud bahwa sesuatu perbuatan tidak
dapat membuat orang bersalah kecuali bilamana dilakukan dengan
niat jahat. Asas ini meliputi kata actus reus yang artinya menyangkut
perbuatan yang melawan hukum dan kata mens rea mencakup unsur-
unsur pembuat delik yaitu sikap batin.
5) Asas berlakunya hukum pidana menurut tempat, ini dikenal ada empat
asas yaitu :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
a) Asas teritorial (territorialiteits-beginsel)
Asas berlakunya hukum pidana suatu negara semata-mata
digantungkan pada tempat dimana suatu tindak pidana itu telah
dilakukan, dan tempat tersebut haruslah terletak di dalam wilayah
negara yang bersangkutan. Asas ini dirumuskan secara tegas dalam
Pasal 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
b) Asas kebangsaan (personaliteits-beginsel)
Asas berlakunya hukum pidana bergantung atau mengikuti subjek
hukum atau orangnya yakni warga negara di manapun
keberadaannya. Asas ini terdapat dalam Pasal 5 dan Pasal 7 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
c) Asas perlindungan atau Asas nasional pasif (beschermings-
beginsel)
Asas berlakunya hukum pidana tidak bergantung pada tempat
seorang pelaku telah melakukan tindak pidananya, melainkan pada
kepentingan hukum yang telah menjadi sasaran tindak pidana
tersebut. Negara yang kepentingan hukumnya menjadi sasaran
tindak pidana itu berwenang menghukum pelaku tindak pidana
tersebut.
d) Asas persamaan (universaliteits-beginsel)
“Asas persamaan bertumpu pada kepentingan hukum yang lebih
luas yaitu kepentingan hukum penduduk dunia atau bangsa-bangsa
dunia. Menurut asas ini berlakunya hukum pidana tidak dibatasi
oleh tempat atau wilayah tertentu dan bagi orang-orang tertentu,
melainkan berlaku dimanapun dan terhadap siapapun” (P.A.F.
Lamintang, 1996 : 89-90).
6) Asas ne bis in idem
Asas ne bis in idem menyatakan bahwa seseorang tidak boleh
dituntut terhadap suatu delict, apabila terhadap delict yang
dilakukannya itu telah diberikan putusan oleh hakim dan putusan
tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Asas ne bis in idem
ini tercermin dalam Pasal 76 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) (H.Zamhari Abidin, 1986 : 74).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana
a. Istilah Tindak Pidana
Tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum
pidana Belanda yaitu Strafbaar feit. Dalam perundang-undangan dan
kepustakaan Belanda hanya ada satu istilah yaitu Strafbaar feit yang
merupakan istilah resmi dalam KUHP Belanda. Sedangkan dalam
perundang-undangan di Indonesia sering dijumpai istilah tindak pidana
walaupun masih dapat diperdebatkan juga ketepatannya. Banyak istilah
yang pernah digunakan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang
ada maupun dalam literatur hukum sebagai terjemahan dan istilah
Strafbaar feit antara lain tindak pidana, peristiwa pidana, delik,
pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan yang dapat
dihukum dan perbuatan pidana.
Strafbaar feit, terdiri dari tiga kata, yakni straf, baar dan feit. Dari
istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari Strafbaar feit itu,
terjemahkan juga dengan hokum ternyata Straf diterjemahkan dengan
pidana dan hukum. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh.
Sementara itu, untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa,
pelanggaran dan perbuatan (Adami Chazawi, 2002 : 69).
Secara literlijk, kata Straf artinya pidana, baar artinya dapat atau
boleh dan feit adalah perbuatan. Dalam kaitannya dengan istilah Strafbaar
feit secara utuh, ternyata Straf diterjemahkan juga dengan kata hukum.
Padahal sudah lazimnya hukum itu adalah terjemahan dari kata recht,
seolah-olah arti Straf sama dengan recht, yang sebenarnya tidak demikian
halnya. Untuk terjemahan dari kata baar dan feit secara literlijk bisa
diterima secara lazim.
b. Pengertian Tindak Pidana
Para ahli hukum memberikan pengertian yang berbeda-beda
mengenai tindak pidana menurut pandangannya. Pengertian tindak pidana
dalam hukum pidana terdapat dua pandangan yang berbeda yaitu
pandangan monisme dan pandangan dualisme.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Pandangan monisme merupakan pandangan dari para ahli hukum
mengenai tindak pidana yang tidak memisahkan antara unsur-unsur
mengenai perbuatan dengan-unsur-unsur mengenai diri orangnya. Ada
banyak ahli hukum yang berpandangan monisme ini terhadap tindak
pidana, antara lain adalah :
1) Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa tindak pidana itu adalah
suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.
2) Simons, merumuskan Strafbaar feit adalah suatu tindakan melanggar
hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang yang
dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya, yang dinyatakan
sebagai dapat dihukum (Adami Chazawi, 2002 : 72).
Sedangkan pandangan dualisme adalah pandangan yang
memisahkan antara perbuatan dan orang yang melakukan. Pandangan
monisme juga dianut banyak ahli, antara lain adalah :
1) Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana, yang
didefinisikan beliau sebagai perbuatan yang dilarang oleh
suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi)
yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar
larangan tersebut.
2) Pompe merumuskan bahwa suatu strafbaar feit itu sebenarnya
adalah tidak lain daripada suatu tindakan yang menurut sesuatu
rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan
yang dapat dihukum (Adami Chazawi, 2002 : 71-72).
c. Jenis-Jenis Tindak Pidana
Tindak pidana dapat dibeda-bedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu
sebagai berikut :
1) Menurut sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan (misdrijven)
dimuat dalam buku II dan pelanggaran (overtredingen) dimuat dalam
buku III;
2) Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil
(formeel delicten) dan tindak pidana materiil (materieel delicten);
3) Berdasarkan bentuk kesalahannya, dibedakan antara tindak pidana
sengaja (doleus delicten) dan tindak pidana tidak dengan sengaja
(culpose delicten);
4) Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak
pidan aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana komisi (delicta
commissionis) dan tindak pidana pasif/negatif, disebut juga tindak
pidana omisi (delicta omissionis);
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5) Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat dibedakan
antara tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam
waktu lama atau berlangsung lama/berlangsung terus;
6) Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum
dan tindak pidana khusus;
7) Dilihat dari sudut subyek hukumnya, dapat dibedakan antara tindak
pidana communia (delicta communia, yang dapat dilakukan oleh siapa
saja), dan tindak pidana propria (dapat dilakukan hanya oleh orang
memiliki kualitas pribadi tertentu);
8) Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan, maka
dibedakan antara tindak pidana biasa (gewone delicten) dan tindak
pidana aduan (klacht delicten);
9) Berdasarkan berat ringannya pidana yang diancamkan, maka dapat
dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok (eenvoudige delicten),
tindak pidana yang diperberat (gequalificeerde delicten) dan tindak
pidana yang diperingan (gepriviligieerde delicten);
10) Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak pidana
tidak terbatas macamnya bergantung dari kepentingan hukum yang
dilindungi, seperti tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh, terhadap
harta benda, tindak pidana pemalsuan, tindak pidana terhadap nama
baik, terhadap kesusilaan dan lain sebagainya;
11) Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan,
dibedakan antara tindak pidana tunggal (enkelvoudige delicten) dan
tindak pidana berangkai (samengestelde delicten.) (Adami Chazawi,
2002 : 121-122).
d. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Pada dasarnya agar suatu perbuatan memenuhi syarat-syarat untuk
disebut sebagai tindak pidana, maka harus memenuhi beberapa unsur-
unsur. Unsur-unsur tindak pidana ada yang terdapat di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ada pula yang terdapat diluar
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu menurut pendapat
para sarjana.
1) Unsur-Unsur Tindak Pidana Dalam KUHP
Tindak pidana yang terdapat didalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) itu pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam
unsur-unsur subyektif dan unsur-unsur obyektif. Unsur-unsur yang
bersifat subyektif dan obyektif ini juga diperoleh dari rumusan tindak
pidana.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
“Unsur yang bersifat subyektif adalah semua unsur yang
mengenai batin atau melekat pada keadaan batin orangnya” (Adami
Chazawi, 2002 : 83). Unsur-unsur subyektif dari sesuatu tindak pidana
itu adalah :
a) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);
b) Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti
yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;
c) Macam-macam atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di
dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan,
pemalsuan dan lain-lain;
d) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang
misalnya yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut
Pasal 340 KUHP;
e) Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam
rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.
“Unsur yang bersifat objektif adalah semua unsur yang berada
diluar keadan batin manusia atau si pembuat, yakni semua unsur
mengenai perbuatannya, akibat perbuatan dan keadaan-keadaan
tertentu yang melekat (sekitar) pada perbuatan dan obyek tindak
pidana” (Adami Chazawi, 2002 : 83). Unsur-unsur obyektif dari suatu
tindak pidana itu adalah :
a) Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;
b) Kualitas dari si pelaku misalnya keaadaan sebagai seorang pegawai
negeri di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau
kewadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan
terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP;
c) Kausalitas yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai
penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.
Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP
itu, dapat diketahui adanya 11 unsur tindak pidana yaitu :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
a) Unsur tingkah laku;
b) Unsur melawan hukum;
c) Unsur kesalahan;
d) Unsur akibat konstitutif;
e) Unsur keadaan yang menyertai;
f) Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana;
g) Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana;
h) Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana;
i) Unsur obyek hukum tindak pidana;
j) Unsur kualitas subyek hukum tindak pidana;
k) Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana (Adami
Chazawi, 2002 : 82).
2) Unsur-Unsur Tindak Pidana di Luar KUHP
Unsur-unsur tindak pidana di luar KUHP dibedakan
berdasarkan sudut pandang teoritis. Teoritis artinya berdasarkan
pendapat para ahli hukum, yang tercermin pada bunyi rumusannya.
Menurut Moeljatno, unsur tindak pidana adalah :
a) Perbuatan;
b) Yang dilarang (oleh aturan hukum);
c) Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan) (Adami Chazawi,
2002 : 79).
“Menurut Van Hamel, unsur-unsur strafbaar feit adalah :
a) Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang;
b) Melawan hukum;
c) Dilakukan dengan kesalahan; dan
d) Patut dipidana” (Van Hamel dalam Sudarto, 1990 : 41).
Dari batasan yang dibuat Jonkers dapat dirinci unsur-unsur
tindak pidana adalah :
" a) Perbuatan;
b) Melawan hukum (yang berhubungan dengan);
c) Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat);
d) Dipertanggungjawabkan” (Adami Chazawi, 2002 : 81).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3. Tinjauan Umum Tentang Debt Collector
a. Pengertian Debt Collector
Kualitas penjualan dapat dikatakan baik apabila penjualan tersebut
dapat menghasilkan dana kembali dari penagihan. Penjualan yang tinggi
tidak akan ada arti apa-apa apabila pada akhirnya tidak bisa dikumpulkan.
Sehingga pada saat ini banyak perusahaan mulai menaruh perhatian besar
terhadap penerimaaan dan penagihan. Fungsi penjualan tidak dapat berdiri
sendiri dengan hanya ingin mencapai target penjualan saja.
Perusahaan harus dapat menyeimbangkan antara target penjualan
dan collectibility dari client. Artinya perusahaan harus dapat menganalisa
calon dan existing customer/klien.Ada customer yang mampu membayar
tetapi tidak mau membayar (bed character). Pengelolaan piutang dan
penagihan (collection) bila dilakukan secara profesional akan membantu
Lokakarya ini dirancang secara khusus untuk membekali Anda dengan
konsep dan metode dalam menganalisa customer (analisa kredit),
pengelolaan piutang beserta sistem yang efektif dalam penagihannya
sebagai bagian dari penataan arus kas di perusahaan perbankan.
Apabila dalam menyelenggarakan kegiatan APMK Penerbit
dan/atau Financial Acquirer melakukan kerjasama dengan pihak lain di
luar penerbit dan/atau financial acquirer tersebut, seperti kerjasama dalam
kegiatan marketing, penagihan, dan/atau pengoperasian sistem, penerbit
dan/atau financial acquirer tersebut wajib memastikan bahwa tata cara,
mekanisme, prosedur, dan kualitas pelaksanaan kegiatan oleh pihak lain
tersebut sesuai dengan tata cara, mekanisme, prosedur, dan kualitas apabila
kegiatan tersebut dilakukan oleh penerbit dan/atau financial acquirer itu
sendiri. Debt collector adalah pihak ketiga yang menghubungkan antara
kreditur dan debitur dalam hal penagihan kredit. Penagihan tersebut hanya
dapat dilakukan apabila kualitas tagihan kartu kredit dimaksud telah
termasuk dalam kategori kolektibilitas diragukan atau macet berdasarkan
kolektibilitas yang digunakan oleh industri kartu kredit di Indonesia.Hal
ini tercantum dalam Surat Edaran Bank Indonesia No.7/60/DASP Tahun
2005 Bab IV angka 1 dan 2 yang isinya berbunyi sebagai berikut :
Dalam hal Penerbit menggunakan jasa pihak lain dalam melakukan
penagihan transaksi Kartu Kredit, maka
a. penagihan oleh pihak lain tersebut hanya dapat dilakukan apabila
kualitas tagihan Kartu Kredit dimaksud telah termasuk dalam kategori
kolektibilitas diragukan atau macet berdasarkan kriteria kolektibilitas
yang digunakan oleh industri Kartu Kredit di Indonesia, dan
b. Penerbit wajib menjamin bahwa penagihan oleh pihak lain tersebut,
selain wajib dilakukan dengan memperhatikan ketentuan pada angka 1,
juga wajib dilakukan dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum
(Purbantoro, Debt Collector: http://purbantoro. wordpress.com/2008
/11/13/debt collector/).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
b. Cara Kerja Debt Collector
Pada umumnya dunia collector sering dianggap negatif seperti apa
yang dibayangkan oleh masyarakat pada umumnya. Dunia collector
sebenarnya cukup luas dan memiliki cara kerja yang berbeda pula. Cara
kerja tersebut,berdasarkan pada lama tunggakan debitur.
Cara kerja atau tingkatan collector secara umum adalah sebagai
berikut :
1) Desk collector
Pada level bagian penagihan (desk collector), level ini adalah
level yang pertama dari dunia collector, dan cara kerja yang dilakukan
oleh collector-collector ini adalah hanya mengingatkan tanggal jatuh
tempo dari cicilan debitur dan dilakukan dengan media telepon. Pada
level ini collector hanya berfungsi sebagai pengingat (reminder) bagi
debitur atas kewajiban membayar cicilan. Bahasa yang di gunakan
pun sangat sopan dan halus, mengingat orientasinya sebagai pelayan
nasabah.
2) Debt collector
Level ini merupakan kelanjutan dari level sebelumnya, apabila
ternyata debitur yang telah dihubungi tersebut belum melakukan
pembayaran, sehingga terjadi keterlambatan pembayaran. Cara yang
dilakukan oleh penagih utang (debt collector) pada level ini adalah
mengunjungi debitur dengan harapan mengetahui kondisi debitur
beserta kondisi keuangannya. Pada level ini collector memberikan
pengertian secara persuasif mengenai kewajiban debitur dalam hal
melakukan pembayaran angsuran. Hal hal yang dijelaskan biasanya
mengenai akibat yang dapat ditimbulkan apabila keterlambatan
pembayaran tersebut tidak segera diselesaikan. Selain memberikan
pengertian mengenai hal tersebut diatas, collector juga memberikan
kesempatan atau tenggang waktu bagi debitur untuk membayar
angsurannya,dan tidak lebih dari tujuh hari kerja. Meskipun
sebenarnya bank memnerikan waktu hingga maksimal akhir bulan dari
bulan yang berjalan,karena hal tersebut berhubungan dengan target
collector. Collector diperbolehkan menerima pembayaran langsung
dari debitur,namun hal yang perlu diperhatikan oleh debitur adalah
memastikan bahwa debitur tersebut menerima bukti pembayaran dari
collector tersebut,dan bukti tersebut merupakan bukti pembayaran dari
perusahaan dimana debitur tersebut memiliki kewajiban kredit bukan
bukti pembayaran berupa kwitansi yang dapat diperjual belikan begitu
saja diwarung warung.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3) Collector remedial
Apabila ternyata debitur masih belum melakukan pembayaran,
maka tunggakan tersebut akan diberikan kepada level yang
selanjutnya yaitu juru sita (collector remedial). Pada level ini yang
memberikan kesan negatif mengenai dunia collector, karena pada
level ini sistem kerja collector adalah dengan cara mengambil barang
jaminan (bila kredit yang disepakati memiliki jaminan) debitur. Cara
yang dilakukan dan perilaku collector pada level ini tergantung dari
tanggapan debitur mengenai kewajibannya, dan menyerahkan
jaminannya dengan penuh kesadaran, maka dapat dipastikan bahwa
collector tersebut akan bersikap baik dan sopan. Namun apabila
debitur ternyata tidak memnberikan itikad baik untuk menyerahkan
barang jaminannya, maka collector tersebut dengan sangat terpaksa
akan melakukan kewajibannya dan menghadapi tantangan dari debitur
tersebut.Yang dilakukannya pun bervariasi mulai dari membentak,
merampas dengan paksa dan lain sebagainya, dalam menggertak
debitur (Purbantoro, Debt Collector (http:// purbantoro.wordpress.com
/2008/11/13/debt-collector).
4. Tinjauan Umum Tentang Bank
a. Pengertian Bank
“Bank adalah badan usaha di bidang keuangan yang menarik uang
dari masyarakat dan menyalurkannya kembali ke masyarakat, terutama
dengan cara memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran
dan peredaran uang” (Malayu SP Hasibuan, 2001 : 4). Pada umumnya
bank melakukan kegiatan usahanya berupa menghimpun dana dari
masyarakat dan menyalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk
kredit atau pinjaman maupun dalam bentuk lain.
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan, berbunyi :
”Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-
bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”
(Lukman Santoso, 2011:18).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
b. Jenis dan Kegiatan Usaha Bank
1) Jenis Bank
Dalam Pasal 5 angka (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perbankan, dijelaskan bahwa :
”Menurut jenisnya bank terdiri dari :
a) Bank Umum
b) Bank Perkreditan Rakyat”.
Dalam Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perbankan, dijelaskan mengenai bank umum adalah
sebagai berikut :
“Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam
kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran”.
Sedangkan dalam Pasal 1 angka (4) Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998 tentang Perbankan, dijelaskan mengenai bank
perkreditan rakyat adalah sebagai berikut :
“Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang
dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran”.
Berbeda dengan Undang-Undang Perbankan yang hanya
membagi bank menjadi dua jenis seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya. Secara umum jenis bank dapat dibedakan menjadi
beberapa jenis berdasarkan karakter bank masing-masing. Jenis
perbankan dewasa ini dapat ditinjau dari berbagai segi karakter antara
lain adalah :
(1) Bank dilihat dari segi fungsinya yaitu :
(a) Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran.
(b) Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah bank yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau
berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
(2) Bank dilihat dari segi kepemilikannya yaitu :
(a) Bank Milik Pemerintah adalah dimana baik akte pendririan
maupun modalnya dimiliki oleh pemerintah, sehingga seluruh
keuntungan bank ini dimiliki oleh pemerintah pula. Contoh :
Bank Tabungan Negara (BTN), BRI.
(b) Bank Milik Swasta Nasional adalah seluruh atau sebagian
besarnya dimiliki oleh swasta nasional serta akte pendiriannya
didirikan oleh swasta, begitu pula pembagian keuntungannya
untuk keuntungan swasta pula. Contoh : Bank Central Asia,
Bank Lippo, Bank Danamon.
(c) Bank Milik Koperasi adalah kepemilikan saham-saham bank
ini dimiliki oleh perusahaan yang berbadan hukum koperasi.
Contoh : Bank Umum Koperasi Indonesia.
(d) Bank Milik Asing adalah bank ini merupakan cabang dari
bank yang ada di luar negeri, baik milik swasta asing atau
pemerintah asing. Contoh : City Bank, Bank of Tokyo.
(e) Bank Milik Campuran adalah kepemilikan saham bank
campuran dimiliki oleh pihak asing dan swasta nasional,
kepemilikan sahamnya secara mayoritas dipegang oleh warga
negara Indonesia. Contoh : Ing Bank, Sumitomo Niaga Bank.
(3) Bank dilihat dari segi statusnya yaitu :
(a) Bank Devisa adalah bank yang dapat melaksanakan transaksi
ke luar negeri atau yang berhubungan dengan mata uang asing
secara keseluruhan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(b) Bank Non Devisa adalah bank yang belum mempunyai izin
untuk melaksanakan transaksi sebagai bank devisa sehingga
tidak dapat melaksanakan transaksi seperti halnya bank devisa.
(4) Bank dilihat dari segi cara menentukan harga yaitu :
(a) Bank yang berdasarkan prinsip konvensional adalah bank
dalam mencari keuntungan dan menentukan harga kepada para
nasabahnya, bank berdasarkan prinsip konvensional misalnya
menetapkan bunga sebagai harga.
(b) Bank yang berdasarkan prinsip syariah adalah bank dalam
menentukan harga atau mencari keuntungan bagi bank
berdasarkan prinsip syariah misalnya pembiayaan berdasarkan
prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan
prinsip penyertaan modal (musharakah) (Kasmir, 2004:36).
2) Kegiatan Usaha Bank
Bagi perbankan sebelum melakukan kegiatannya harus
memperoleh izin dari Bank Indonesia. Artinya jika ingin mendirikan
bank serta melakukan kegiatan usaha bank ataupun pembukaan
cabang baru maka diharuskan untuk memenuhi berbagai persyaratan
yang telah ditentukan Bank Indonesia.
Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan, dijelaskan bahwa :
Usaha bank umum meliputi :
a) Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan
berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito,
tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan
dengan itu;
b) Memberikan kredit;
c) Menerbitkan surat pengakuan hutang;
d) Membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun
untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya:
(1) surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh
bank yang masa berlakunya tidak lebih lama daripada
kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(2) surat pengakuan hutang dan kertas dagang lainnya yang
masa berlakunya tidak lebih lama dari kebiasaan dalam
perdagangan surat-surat dimaksud;
(3) kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan
pemerintah;
(4) Sertifikat Bank Indonesia (SBI);
(5) obligasi;
(6) surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu)
tahun;
(7) instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu
sampai dengan 1 (satu) tahun;
e) Memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun
untuk kepentingan nasabah;
f) Menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau
meminjamkan dana kepada banklain, baik dengan
menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan
wesel unjuk, cek atau sarana lainnya;
g) Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan
melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga;
h) Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat
berharga;
i) Melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain
berdasarkan suatu kontrak;
j) Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah
lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di
bursa efek;
k) Melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan
kegiatan wali amanat;
l) Menyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain
berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia;
m) Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank
sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Adapun kegiatan usaha tambahan yang dapat dilakukan oleh
Bank Umum sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan adalah sebagai berikut :
Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6, Bank Umum dapat pula :
a) Melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan memenuhi
ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
b) Melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank atau
perusahaan lain di bidang keuangan, seperti sewa guna
usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi, serta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan, dengan
memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
c) Melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk
mengatasi akibat kegagalan kredit atau kegagalan
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, dengan syarat
harus menarik kembali penyertaannya, dengan memenuhi
ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan
d) Mertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus dana
pensiun sesuai dengan ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan dana pensiun yang berlaku.
Kegiatan usaha dari Bank Perkreditan Rakyat diatur dalam
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan,
adalah sebagai berikut :
Usaha Bank Perkreditan Rakyat meliputi:
a) Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan
berupa deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk
lainnya yang dipersamakan dengan itu;
b) Memberikan kredit;
c) Menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan
Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia;
d) Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank
Indonesia (SBI), deposito berjangka, sertifikat deposito,
dan/atau tabungan pada bank lain.
Kegiatan usaha bank umum dan bank perkreditan rakyat telah
diatur secara jelas dalam undang-undang perbankan. Dewasa ini
banyak muncul bank umum campuran dan bank asing di Indonesia,
maka dalam kegiatan usahanya bank-bank ini lebih di khususkan
antara lain :
a) Dalam mencari dana bank asing dan bank campuran dilarang
menerima simpanan dalam bentuk simpanan tabungan;
b) Kredit yang diberikan lebih diarahkan ke bidang-bidang tertentu
seperti perdagangan internasional, bidang industri dan produksi,
penanaman modal asing atau campuran, kredit yang tidak dapat
dipenuhi oleh bank swasta nasional;
c) Untuk jasa-jasa bank lainnya juga dapat dilakukan oleh bank
umum campuran dan asing sebagaimana layaknya bank umum
yang ada di Indonesia seperti ini (Kasmir, 2004 : 43).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
c. Larangan Kegiatan Usaha Bank
Bank dalam melakukan kegiatan usahanya diberikan suatu larangan
yang tidak boleh dilakukan oleh peraturan perundang-undangan, baik
untuk Bank Umum maupun Bank Perkreditan Rakyat. Dalam Pasal 10
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, disebutkan
mengenai kegiatan usaha Bank Umum yang dilarang adalah :
”Bank umum dilarang :
1) Melakukan penyertaan modal;
2) Melakukan usaha perasuransian;
3) Melakukan usaha lain diluar kegiatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 dan Pasal 7”.
Dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan, disebutkan mengenai larangan kegiatan usaha Bank
Perkreditan Rakyat adalah sebagai berikut :
Bank Perkreditan Rakyat dilarang:
a) Menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas
pembayaran;
b) Melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing;
c) Melakukan penyertaan modal;
d) Melakukan usaha perasuransian;
e) Melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13.
5. Tinjauan Umum Tentang Kartu Kredit
a. Pengertian Kartu Kredit
Dewasa ini untuk melakukan transaksi, dapat digunakan berbagai
sarana pembayaran, mulai dari cara yang paling tradisional, sampai dengan
cara yang modern sekalipun. Pada awal mula sebelum dikenalnya uang
sebagai alat pembayaran, setiap transaksi pembayaran dilakukan melalui
cara pertukaran, baik antara barang dengan barang, atau barang dengan
jasa, atau jasa dengan jasa. Transaksi semacam ini dikenal dengan nama
sistem barter.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Dalam perkembangan selanjutnya, ditemukan cara yang paling
efisien dan efektif untuk melakukan transaksi pembayaran yaitu dengan
menggunakan uang. Penggunaan uang sebagai alat untuk melakukan
pembayaran dewasa ini sudah dikenal luas. Disamping itupenggunaan
uang sebagai sarana pembayaran sudah merupakan kebutuhan pokok
dihampir setiap kegiatan.
Dalam perjalanannya, penggunaan uang juga mengalami berbagai
hambatan, terutama jika penggunaannya dalam jumlah besar.
Hambatannya yang pertama adalah resiko membawa uang tunai terutama
dalam jumlah besar. Disamping resiko membutuhkan tempat, juga resiko
keamanan, seperti kehilangan dan perampokan. Oleh karena itu dicarilah
sarana pengganti uang tunai sebagai sarana pembayaran yang dapat
meminimalkan segala resiko di atas dengan tidak mengurangi fungsi uang
tunai itu sendiri (Kasmir, 2004:174).
Kartu kredit adalah merupakan suatu kartu yang umumnya dibuat
dari bahan plastik, dengan dibubuhkan identitas pemegang dan
penerbitnya, yang memberikan hak terhadap siapa kartu kredit diisukan
untuk menandantangai tanda pelunasan pembayaran harga dari jasa atau
barang yang dibeli dari tempat-tempat tertentu, seperti toko, hotel,
restoran, penjualan tiket pengangkutan, dan lain-lain.
Selanjutnya membebankan kewajiban kepada pihak penerbit kartu
kredit untuk melunasi harga barang atau jasa tersebut ketika ditagih oleh
pihak penjual barang atau jasa. Kemudian kepada pihak penerbitnya
diberikan hak untuk menagih kembali pelunasan harga tersebut dari pihak
pemegang kartu kredit plus biaya-biaya lainnya, seperti bunga, biaya
tahunan, uang pangkal, denda dan sebagainya (Munir Fuadi, 1999 : 4).
“Kartu kredit juga dapat diartikan sebagai uang plastik yang
diterbitkan oleh suatu instansi yang memungkinkan pemegang kartu untuk
memperoleh kredit atas transaksi yang dilakukannya dan pembayarannya
dapat dilakukan secara angsuran dengan membayar sejumlah bunga
(finance charge) atau sekaligus pada waktu yang telah ditentukan”
(Johannes Ibrahim, 2004: 111).
Kartu kredit muncul pertama kali di Amerika Serikat, dimana kartu
kredit digunakan pertama kali pada dekade 1920-an, yang diberikan oleh
departement-departement store besar kepada para pelanggannya.
Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi pelanggannya yang ingin
berbelanja tetapi dengan pembayaran bulanan. Karena itu kartu kredit
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
seperti ini berbentuk kartu pembayaran lunas (charge card) yang dibayar
bulanan setelah ditagih tanpa kewajiban membayar bunga. Menurut
Ronald Baker dalam bukunya Munir Fuadi menyatakan bahwa
kemunculan kartu kredit untuk yang pertama kali ini dapat dikatakan yang
terlibat hanya dua pihak, yaitu pihak toko sebagai penerbit dan pihak
pelanggan sebagai pemegang kartu kredit (Munir Fuadi, 1999 : 173).
b. Dasar Hukum Kartu Kredit
Pengaturan mengenai kartu kredit belum secara tegas disebutkan
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) maupun Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) namun dalam didalam
KUHPerdata terdapat ketentuan yang dapat dijadikan dasar hukum
pelaksanaan kegiatan bisnis kartu kredit diindonesia yaitu adanya asas
kebebasan berkontra. Pengertian dari asas ini adalah setiap orang bebas
untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian dengan orang lain
baik yang sudah diatur maupun yang belum diatur oleh undang-undang,
kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjian, kebebasan untuk
menentukan isi perjanjian, dan kebebasan untuk menerima atau
menyimpangi hukum perjanjian yang bersifat pelengkap. Tetapi kebebasan
tersebut dibatasi oleh tiga hal yaitu : tidak dilarang oleh undang-undang,
tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan
dengan kesusilaan.
Selain dalam KUHPerdata sekarang terdapat beberapa peraturan
yang dapat dijadikan landasan hukum penerbitan kartu kredit di Indonesia,
yaitu :
a. Keppres Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan
Pasal 2 ayat (1) dari Keppres ini antara lain menyebutkan bahwa
salah satu kegiatan dari lembaga pembiayaan adalah melakukan usaha
kartu kredit. Sementara itu dalam Pasal 1 ayat (7) disebutkan bahwa
yang dimaksud dengan perusahaan kartu kredit adalah badan usaha
yang melakukan usaha pembiayaan dalam rangka pembelian
barang/jasa dengan mempergunakan kartu kredit. Selanjutnya dalam
Pasal 3 yang dapat melakukan kegiatan pembiayaan tersebut, termasuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
kartu kredit adalah bank, lembaga keuangan bukan bank, dan
perusahaan pembiayaan. Namun sekarang lembaga keuangan bukan
bank sudah tidak ada lagi dalam system hukum keuangan kita.
b. Keputusan Menteri Keuangan No. 1251/KMK.013/1998 tentang
Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan
sebagaimana telah berkali-kali diubah, terakhir dengan Keputusan
Menteri Keuangan RI No. 448/KMK.017/2000 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
Dalam Pasal 2 dari Keputusan Menteri Keuangan tersebut juga
menyebutkan bahwa salah satu dari kegiatan pembiayaan adalah usaha
kartu kredit. Dan dalam Pasal 7 ditentukan bahwa pelaksanaan kegiatan
kartu kredit dilakukan dengan cara penerbitan kartu kredit yang dapat
digunakan oleh pemegangnya untuk pembayaran pengadaan
barang/jasa.
c. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankkan yang telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
Dalam Pasal 6 huruf 1 juga dengan tegas dinyatakan bahwa
salah satu kegiatan bank adalah melakukan usaha kartu kredit.
c. Macam Kartu Kredit
Pengkategorian kartu kredit dapat dilakukan dengan melihat
kriteria, sebagai berikut:
1) Kriteria lokasi penggunaan
a) Kartu kredit international
Kartu kredit international merupakan kartu kredit yang
penggunannya dapat dilakukan dimana saja, tanpa terikat dengan
batas antar negara. Walaupun kartu kredit itu diterbitkan di
Indonesia, pemegang kartu kredit tersebut dapat menggunakannya
di luar Indonesia.
b) Kartu kredit lokal
Kartu kredit lokal hanya dapat digunakan dalam wilayah tertentu
atau di suatu negara tertentu saja. Kartu kredit yang demikian tidak
mempunyai jaringan operasional international. Apabila diterbitkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
di Indonesia, maka kartu kredit tersebut hanya dapat digunakan di
Indonesia misal BNI Card.
2) Kriteria sistem pembayaran
a) Kartu kredit (dalam arti sempit)
Kartu kredit ini sering disebut juga dengan credit card. Dengan
kartu seperti ini, pembayaran yang dilakukan oleh pemegangnya
dapat dilakukan secara cicilan. Walaupun tidak tertutup
kemungkinan jika dilakukan pembayaran secara lunas sekaligus.
b) Kartu pembayaran lunas
Kartu pembayaran lunas ini sering disebut juga dengan charge
card. Kartu pembayaan lunas ini penggunaannya tidak jauh
berbeda dengan kartu kredit (dalam arti sempit). Pihak pemegang
kartu pembayaran lunas melakukan pembayaran seluruh transaksi
yang dibuatnya pada waktu ditagih oleh penerbitnya, jadi tidak
dibayar secara cicilan.
3) Kriteria afiliansinya
a) Co-branding card
Co-branding card adalah kartu plastik yang dikeluarkan atas
kerjasama antara institusi pengelolaan kartu kredit dengan satu atau
beberapa bank, misalnya bank BCA dengan Bank Mandiri.
b) Affinity Card
Affinity Card adalah kartu plastik yang digunakan oleh sekelompok
atau segolongan tertentu, misalnya kelompok profesi, kelompok
mahasiswa dan lain-lain. Contohnya adalah IMA Card yang
dkeluarkan oleh Bank Lippo.
4) Kartu kredit yang sering digunakan adalah:
a) VISA Card
VISA Card adalah kartu kredit yang diterbitkan oleh bank atau
lembaga keuangan lainnya yang telah mendapat lisensi dari Visa
International, Inc. Logo visa dengan pola berbeda tiga strip biru
tua, putih dan emas serta hologram burung merpati tertera di
sebelah kanan kartu.
b) Master Card
Master Card adalah kartu kredit yang diterbitkan oleh bank atau
lembaga keuangan lain yang mendapat lisensi dari Master Card
international Inc. Logo Master Card dengan pola gambar lingkaran
merah dan kuning yang saling berkaitan dengan tulisan ”Master
Card” serta hologram bola dunia tertera di sebelah kanan kartu
(www.bi.go.id).
d. Para pihak dalam kartu kredit
Para pihak dalam kartu kredit adalah :
1) Pihak penerbit (issuer)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Pihak penerbit (issuer) adalah pihak (bank atau lembaga
keuangan yang lain) yang mempunyai ijin untuk menerbitkan kartu
kredit. Pihak penerbit diberikan hak:
a) Menagih dan menerima dari pemegang kartu kredit pembayaran
kembali uang harga pembelian barang dan jasa;
b) Menagih dan menerima dari pemegang kartu kredit pembayaran
lainnya, seperti bunga, uang pangkal, uang tahunan, denda dan
sebagainya;
c) Menerima komisi dari pembayaran tagihan kepada perantara
penagihan atau kepada penjual.
Pihak penerbit dibebankan kewajiban.
a) Memberikan kartu kredit kepada pemegangnya;
b) Melakukan pelunasan pembayaran harga barang atau jasa atas
tagihan yang disodorkan oleh penjual;
c) Memberitahukan kepada pemegang kartu kredit terhadap setiap
tagihannya dalam periode tertentu;
d) Memberitahukan kepada pemegang kartu kredit berita-berita
lainnya.
Penerbit kartu kredit dapat berupa:
a) Bank;
b) Lembaga keuangan yang khusus bergerak di bidang penerbitan
kartu kredit;
c) Lembaga keuangan yang disamping bergerak dalam penerbitan
kartu kredit juga dibidang kegiatan lembaga keuangan lainnya.
2) Pihak pemegang kartu kredit (card holder)
Pihak pemegang kartu kredit (card holder) adalah seorang atau
nasabah yang telah memenuhi prosedur dan persyaratan yang telah
ditetapkan sehingga berhak untuk memegang kartu kredit dan
menggunakannya sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.
Pemegang kartu kredit diberikan hak:
a) Membeli barang atau jasa dengan kartu kredit;
b) Mengambil yang cash pada mesin teller atau pada bank penerbit
atau bank lainnya;
c) Mendapat informasi dari penerbit tentang perkembangan kreditnya
dan kemudahan yang diperuntukkan kepadanya.
Pemegang kartu kredit dibebankan kewajiban:
a) Tidak melakukan pembelian dengan kartu kredit yang melebihi
batas maksimum;
b) Menandatangani slip pembelian yang disodorkan oleh pihak
penjualan barang atau jasa;
c) Melakukan pembayaran kembali harga pembelian sesuai dengan
tagihan pihak penerbit;
d) Melakukan pembayaran-pembayaran lainnya.
3) Pihak penjual barang dan jasa (merchant)
Pihak penjual barang dan jasa (merchant) adalah pihak yang
telah ditunjuk atau disetujui oleh pihak pengelola kartu kredit untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dapat melakukan transaksi dengan pemegang kartu kredit yang
menggunakan kartu kredit sebagai pengganti uang tunai.
Pihak penjual diberikan hak:
a) Meminta pelunasan harga barang dan jasa yang dibeli pembelinya
dengan memakai kartu kredit;
b) Meminta pembeli atau pemegang kartu kredit menandatangani slip
pembelian;
c) Menolak untuk menjual barang dan jasa jika terdapat otorisasi dari
penerbit.
Pihak penjual dibebankan kewajiban:
a) Memperkenalkan pemegang kartu kredit membeli barang dan jasa
menggunakan kartu kredit;
b) Melakukan pengecekan otorisasi keabsahan kartu kredit yang
bersangkutan;
c) Menginformasikan kepada pembeli atau pemegang kartu kredit
tentang charge tambahan yang jika;
d) Menyodorkan slip pembelian untuk ditandatangani pembeli atau
pemegang kartu kredit (Johannes Ibrahim, 2004: 111).
B. Kerang ka Pemikiran
Tindak Pidana
Nasabah Debt Collector Bank
Tanggung jawab pidana pihak bank
sebagai pemberi perintah debt
collector apabila penagihan utang
kartu kredit dilakukan dengan cara
melawan hukum?
Bagaimana tinjauan hukum pidana
tentang perbuatan debt collector yang
melakukan tindak pidana kepada
nasabah dalam menagih utang kartu
kredit?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Keterangan:
Berdasarkan bagan diatas, dapat dije;askan bahwa, bank sebagai pemberi
kredit pada nasabah maka terjadi hubungan antara debitur dan kreditur dengan
klausul perjanjian sesuai kesepakatan antara kedua belah pihak yaitu dalam
bentuk kartu kredit. Pihak bank sebagai pemberi kredit merasa perlu melakukan
peringatan dan penagihan pada nasabah sebagai pemegang kartu kredit apabila
sudah jatuh tempo pembayaran kredit maupun peringatan lain sesuai isi
perjanjian. Dalam hal penagihan utang pada nasabah pihak bank menggunakan
jasa penagihan utang (debt collector). Atas perintah bank maka pihak jasa
penagihan utang (debt collector) melakukan peringatan dan penagihan kepada
nasabah dengan cara melawan hukum. Dari kerangka berpikir tersebut penulis
berusaha menemukan pengaturan mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh
debt collector dan pihak bank sebagai pemberi perintah pada debt collector.
Kemudian penulis berusaha menyusun suatu kesimpulan yang menunjukkan
tentang tinjauan hukum pidana mengenai perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh debt collector atas perintah bank dalam menagih utang kartu
kredit.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB III
HASIL PENELITAN DAN PEMBAHASAN
A. Kajian Hukum Pidana Tentang Perbuatan Debt Collector Yang
Melakukan Tindak Pidana Terhadap Nasabah Kartu Kredit.
Tindak pidana yang dilakukan debt collector terkait pelunasan kartu kredit
pada masa sekarang ini sering terjadi akibat berkembangnya produk bank dengan
pemberian kredit dalam bentuk kartu elektronik tentu harus menjadi perhatian
bersama. Kasus yang menunjukkan benturan kepentingan entitas bisnis dengan
aspek pidana semakin terlihat ketika debt collector ditengarai menjadi penyebab
nasabah mengalami tindak kekerasan baik secara fisik dan mental secara langsung
maupun tidak langsung. Di satu sisi, kehadiran debt collector menunjukkan bahwa
mekanisme penyelesaian berlandas hukum perdata antara bank dan nasabah tidak
berjalan efektif dan efisien. Sementara di sisi yang lain menunjukkan kerancuan
pengaturan yang patut dikaji dan ditelaah berkait masuknya debt collector dalam
ranah perikatan perdata bank dan nasabah yang menjadikan celah tindak pidana
yang dilakukan debt collector dalam menagih utang pada nasabah.
Ditilik dari produk perbankan yang potensial menghadirkan campur tangan
debt collector, kartu kredit menjadi salah satu rujukannya. Pihak perbankan saat
ini berlomba-lomba untuk menawarkan kartu kredit, karena produk perbankan ini
jauh lebih menguntungkan dibanding produk lain. Gencarnya penggunaan kartu
kredit ternyata berpeluang pula menimbulkan permasalahan baru, berwujud kredit
macet. “Agar penyelesaian masalah kredit macet demikian tidak terjerembab pada
pusaran masalah yang lain, sejatinya telah ada ketentuan dalam PBI 14/2/2012
peraturan tersebut menjelaskan bahwa penggunaan jasa pihak lain dalam proses
penagihan utang harus digunakan untuk kredit dengan kolektibilitas macet”
(http://politik.kompasiana.com/2012/01/30/persfektif-kejahatan-korporasi/).
Masalah kredit macet sebenarnya dapat diselesaikan secara hukum perdata,
akan tetapi efektifitas dan efisiensi mekanistik penyelesaian litigatif demikian
masih menyisakan masalah bagi bank yang mempunyai volume kredit macet
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
besar. Guna mengatasi problem efektifitas inilah, debt collector dilibatkan dalam
penagihan kredit macet.
Mencermati uraian di atas dapat diketahui bahwa debt collector setidaknya
mempunyai 3 (tiga) payung hukum berdasarkan perspektif hukum di Indonesia
dalam menjalankan profesinya. Adapun uraian lebih lanjut mengenai payung
hukum tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kedudukan dan Pengaturan Hukum Debt collector Pasal 13 Peraturan Bank
Indonesia Nomor 14/2/PBI/2012.
Pasal 13 Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/2/PBI/2012 yang
menyebutkan:
(1) Dalam hal Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring
dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir bekerjasama dengan pihak
lain yang menyediakan jasa penunjang di bidang sistem dan teknologi
informasi dalam penyelenggaraan APMK, maka Prinsipal, Penerbit,
Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian
Akhir wajib:
a. memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
prinsip kehati-hatian bagi Bank umum yang melakukan penyerahan
sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain;
b. memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penerapan manajemen risiko dalam penggunaan teknologi
informasi oleh Bank umum;
c. memiliki bukti mengenai keandalan dan keamanan sistem yang
digunakan oleh pihak lain, yang antara lain dibuktikan dengan:
1. hasil audit teknologi informasi dari auditor independen; dan
2. hasil sertifikasi yang dilakukan oleh Prinsipal, jika
dipersyaratkan oleh Prinsipal.
d. mensyaratkan kepada pihak lain untuk menjaga kerahasiaan data
dan informasi;
e. melaporkan rencana dan realisasi kerjasama dengan pihak lain
kepada Bank Indonesia.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku pula bagi
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang berasal dari Lembaga Selain
Bank Berdasarkan Pasal tersebut dapat diketahui bahwa dalam
hubungan kerjasama antara pihak bank dengan nasabah, debt collector
bertindak sebagai pihak ketiga.
Debt collector merupakan pihak ketiga yang direkrut bank untuk
menjalankan pekerjaan penagihan kewajiban nasabah kepada bank. Perikatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
debt collector dengan bank bukan hanya berdasarkan peraturan perjanjian
dalam hukum perdata, namun juga terdapat berbagai kewajiban. Kewajiban
tersebut diantaranya, pihak ketiga harus: melaporkan rencana dan realisasi
kerjasama dengan pihak lain kepada Bank yang merekrut, yang selanjutnya
oleh pihak bank akan dilaporkan kepada pihak Bank Indonesia; memiliki
bukti mengenai keandalan dan keamanan sistem yang digunakan; menjaga
kerahasiaan data.
2. Kedudukan dan Pengaturan Hukum Debt collector Pasal 17B Peraturan Bank
Indonesia Nomor 14/2/PBI/2012.
Pasal 17B Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/02/PBI/2012 yang
menyebutkan :
1) Dalam melakukan penagihan Kartu Kredit, Penerbit wajib mematuhi
pokok-pokok etika penagihan utang Kartu Kredit.
2) Penerbit Kartu Kredit wajib menjamin bahwa penagihan utang Kartu
Kredit, baik yang dilakukan oleh Penerbit Kartu Kredit sendiri atau
menggunakan penyedia jasa penagihan, dilakukan sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia serta peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Mencermati bunyi Pasal 17B dapat diketahui bahwa debt collector
berfungsi sebagai pihak ketiga. Ditegaskan pula bahwa mengenai kartu kredit,
debt collector dilibatkan oleh pihak bank guna melakukan tugas penagihan
terhadap nasabah.
3. Kedudukan dan Pengaturan Hukum Debt collector Pasal 1320 Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Perdata.
Hubungan kerjasama antara pihak bank dengan debt collector
dilakukan berdasarkan perjanjian tertentu dengan kesepakatan kedua belah
pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Perdata. Dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
diatur mengenai syarat sahnya suatu perjanjian. Dalam kaitan ketika
kemudian bank meminta bantuan debt collector, sepenuhnya nasabah harus
mengetahui, karena pada akhirnya akan berkaitan dengan kepentingan
nasabah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Dalam hal hubungan antara nasabah dan debt collector sebenarnya
tidak ada koelasi dalam perjanjian, setidaknya kehadiran debt collector,
menimbulkan keresahan bagi nasabah. Dalam hal ini nasabah merasa tidak
ada perjanjian dengan debt collector melainkan dengan pihak bank, sehingga
nasabah tidak berkenan membayar sejumlah uang tagihan. Berdasarkan
uraian demikian, penulis akan mengkaji perbuatan yang dilakukan debt
collector dalam menagih utang kartu kredit berdasarkan hukum pidana yang
berlaku di Indonesia.
Kebijakan formulasi hukum pidana yang berkaitan dengan masalah
perbuatan yang sering dilakukan oleh debt collector dalam menagih utang kartu
kredit kepada nasabah kartu kredit dapat diidentifikasikan dalam tindak pidana
berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam pasal-pasal sebagai
berikut :
1. Pasal 167 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
(1) Barang siapa memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau
pekarangan tertutup yang dipakai orang lain dengan me- lawan hukum
atau berada di situ dengan melawan hukum, dan atas permintaan yang
berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera, diancam dengan
pidana penjara paling lema sembilan bulan atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Barang siapa masuk dengan merusak atau memanjat, dengan
menggunakan anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jahatan
palsu, atau barang siapa tidak setahu yang berhak lebih dahulu serta
bukan karena kekhilafan masuk dan kedapatan di situ pada waktu
malam, dianggap memaksa masuk.
(3) Jika mengeluarkan ancaman atau menggunakan sarana yang dapat
menakutkan orang, diancam dengan pidana penjara paling lama satu
tahun empat bulan.
(4) Pidana tersebut dalam ayat 1 dan 3 dapat ditambah sepertiga jika yang
melakukan kejahatan dua orang atau lebih dengan bersekutu (R.
Soesilo, 1995:143).
Kejahatan ini biasanya disebut huisvredebreuk (pelanggaran hak
kebebasan rumah tangga). Perbuatan yang diancam hukuman dalam pasal ini
adalah :
a. Dengan melawan hak masuk dengan ke dalam rumah, ruangan tertutup dan
sebagainya;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
b. Dengan melawan hak berada di dalam rumah, ruangan tertutup dan
sebagainya, tidak dengan segera pergi dari tempat itu atas permintaan
orang yang berhak atau atas nama yang berhak.
Masuk begutu saja belum berarti masuk dengan paksa. Yang artinya, masuk
dengan paksa ialah masuk dengan melawan kehendak yang dinyatakan lebih
dahulu dari orang yang berhak. Pernyataan kehendak ini bisa terjadi dengan
jalan beraneka ragam, misalnya: dengan perkataan, dengan perbuatan, dengan
tanda tulisan atau tanda-tanda lain yang sama artinya dan dapat dimengerti
oleh orang di daerah itu. Pintu pagar atau rumah yang hanya tertutup begitu
saja belum berarti, bahwa orang tidak boleh masuk. Apabila pintu dikunci
degan kunci atau alat pengunci lain dan ditempel dengan tulisan: “dilarang
masuk”, maka barulah berarti, bahwa orang tidak boleh masuk ke tempat
tersebut (R. Soesilo, 1995:144).
Unsur-unsur dalam Pasal 167 KUHP adalah:
a. Perbuatan : dengan melawan hak orang lain
b. Obyek : rumah, ruangan atau perkarangan yang tertutup
c. Orang yang berhak : orang yang berkuasa menghalang-halangi atau
melarang untuk masuk atau berada di tempat tersebut.
Seorang penagih hutang (debt collector) yang masuk ke dalam
pekarangan atau rumah orang lain yang tidak memakai tanda dilarang masuk.
Berarti belum tentu masuk dengan paksa tetapi jika penagih hutang (debt
collector) masuk ke dalam pekarangan atau rumah orang lain sedangkan yang
punya rumah melarang menggunakan kata-kata atau jalan menghalang-
halangi pintunya, akan tetapi penagih hutang (debt collector) memaksa untuk
masuk, itu tidak boleh dan dikatakan masuk dengan paksa.
Perbuatan yang sering dilakukan debt collector dalam menagih utang
kartu kredit dengan cara memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan, atau
pekarangan tertutup yang dipakai orang lain dengan melawan hukum jelas
telah memenuhi unsur-unsur pasal diatas dan dapat dipidana
2. Pasal 333 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
(1) Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas
kemerdekaan seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan
yang demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan
tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat maka yang bersalah
diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(3) Jika mengakibatkan mati diancam dengan pidana penjara paling lama
dua belas tahun.
(4) Pidana yang ditentukan dalam pasal ini diterapkan juga bagi orang yang
dengan sengaja dan melawan hukum memberi tempat untuk
perampasan kemerdekaan (R. Soesilo, 1995:237).
Menurut pasal 12 undang-undang sementara RI, seorang tidak boleh
ditangkap atau ditahan selain atas perintah untuk itu oleh kekuasaan yang sah
menurut aturan-aturan undang-undang dalam hal dan menurut cara yang
diterangkan didalamnya. Peraturan undang-undang itu ialah H.I.R,LM.1941
Nomor 44. Menahan (merampas kemerdekaan orang) itu dapat dijalankan
misalnya dengan mengurung, menutup dalam kamar, rumah, mingikat dan
sebagainya, akan tetapi tidak perlu, bahwa orang itu tidak dapat bergerak
sama sekali. Disuruh tinggal dalam suatu rumah yang luas tetapi bila dijaga
dan dibatasi kebebasan hidupnya juga masuk arti kata menahan. Penahanan
orang itu hanya dianggap sah, jika dilakukan oleh instansi-instansi
pemerintah yang berhak, misalnya hakim, jaksa, polisi sebagai
hulpmagistraat yang dilakukan menurut cara dan hal-hal termaktup dalam
undang-undang (H.I.R). tidak hanya orang yang sengaja menahan atau
merampas kemerdekaan yang dihukum menurut pasal ini. Orang yang
sengaja memberi tempt untuk menahan itupun dihukum juga (R. Soesilo,
1995:238).
Tindak pidana ini menurut pasal 333 KUHP, yaitu barang siapa
dengan sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan (menahan)
orang atau meneruskan tahanan itu dengan melawan hak.
Istilah dari kata menahan dan meneruskan penahanan dari pasal di atas,
adalah:
a. Menahan; menunjukkan aflopende-delicten (delik yang sekilas atau
sekejap).
b. Meneruskan penahanan; menunjukkan voor tdurende delicten (delik yang
selalu/ terus-menerus diperbuat).
Unsur-unsur dari Pasal 333 KUHP, yaitu:
1) Perbuatan menahan/ merampas kemerdekaan;
2) Yang ditahan orang;
3) Penahanan terhadap orang itu untuk melawan hak dan
4) Adanya unsur kesengajaan dan melawan hukum.
Pasal 333 KUHP ini hanya melindungi kemerdekaan badan seseorang, bukan
kemerdekaan jiwa. Jadi, harus adanya perbuatan yang menyentuh badan
seseorang yang ditahan, misalnya diikat tangannya sehingga sulit bergerak
(R. Soesilo, 1995:239).
Cara penagihan utang yang dilakukan (debt collector) apabila dalam
melakukan penagihan utang kartu kredit terhadap nasabah melakukan
penahanan atau penyekapan dengan cara menahan atau menyekap didalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
rumah agar tidak bepergian jelas telah merampas kemerdekaan seseorang
yang memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 333 KUHP dan debt collector telah
melakukan kejahatan terhadap nasabah sehingga dapat dihukum secara
pidana.
3. Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah,
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama
tujuh tahun.
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana (R. Soesilo,
1995:244).
Undang-undang tidak memberi pengrtian secara rinci tentang
penganiayaan. Menurut yurisprudensi , maka yang diartikan dengan
penganiayaan adalah: sengaja menyebabkan perasaan tidak enak
(penderitaan), rasa sakit, atau luka. Dalam hal termasuk pengertian
penganiayaan adalah merusak kesehatan orang lain. Semua harus dilakukan
dengan sengaja dan dengan maksud yang patut atau melewati batas yang
diizinkan. Penganiayaan ini dinamakan penganiayaan biasa. Dicam hukuman
lebih berat apabila penganiayaan berakibat luka berat atau mati, luka berat
atau mati disini harus hanya merupakan akibat yang tidak dimaksud oleh si
pembuat. Percobaan dengan melakukan penganiayaan biasa tidak dihukum.
Akan tetapi, percobaan penganiayaan yang disebut dalam Pasal 353, 354, 355
dihukum (R. Soesilo, 1995:245).
Secara umum tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP disebut
“penganiayaan, mengenai arti dan makna kata penganiayaan tersebut banyak
perbedaan diantara para ahli hukum dalam memahaminya. Penganiayaan
diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk
menimbulkan rasa sakit (pijn) atas luka (letsel) pada tubuh orang lain”
(Satochid Kartanegara dalam http://makmum-anshory.blogspot.com/2008/
06/pidana-penganiayaan.html).
Adapula yang memahami penganiayaan adalah dengan sengaja
menimbulkan rasa sakit atau luka, kesengajaan itu harus dicantumkan dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
surat tuduhan. Sedangkan dalam doktrin/ilmu pengetahuan hukum pidana
penganiayaan mempunyai unsur sebagai berikut.
a) Adanya kesengajaan;
b) Adanya perbuatan; dan
c) Adanya akibat perbuatan (yang dituju), yakni :
(1) rasa sakit pada tubuh
(2) luka pada tubuh
Unsur pertama adalah berupa unsur subjektif (kesalahan), unsur kedua dan
ketiga berupa unsur objektif (Soenarto Soerodibroto dalam Tirtaamidjaja,
1995: 211).
Penganiayaaan yang dimuat dalam BAB XX II, pasal 351 s/d 355
KUHP adalah sebagai berikut:
(a) Penganiayaan biasa pasal 351 KUHP;
(b)Penganiayaan ringan pasal 352 KUHP;
(c) Panganiayaan berencana pasal 353 KUHP;
(d)penganiayaan berat pasal 354 KUHP; dan
(e) penganiayaan berat pasal 355 KUHP.
Dari beberapa macam penganiayaan diatas penulis mencoba untuk
menjelaskaannya satu persatu :
a. Penganiayaan biasa Pasal 351 KUHP
Pasal 351 KUHP telah menerangkan penganiayaan ringan sebagai berikut:
1) Penganiayaan dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah;
2) Jika perbuatan itu menyebabkan luka-luka berat, yang bersalah
dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun;
3) Jika mengakibatkan mati, dipidana dengan pidana penjara paling lama
tujuh tahun;
4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan; dan
5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak di pidana.
Kembali lagi dari arti sebuah penganiayaan yang merupakan suatu
tindakan yang melawan hukum, memang semuanya perbuatan atau
tindakan yang dilakukan oleh subyek hukum akan berakibat kepada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dirinya sendiri. Mengenai penganiayaan biasa ini merupakan suatu
tindakan hukum yang bersumber dari sebuah kesengajaan. Kesengajaan ini
berari bahwa akibat suatu perbuatan dikehendaki dan ini ternyata apabila
akibat itu sungguh-sungguh dimaksud oleh perbuatan yang dilakukan itu.
yang menyebabkan rasa sakit, luka, sehingga menimbulkan kematian.
Tidak semua perbuatan memukul atau lainnya yang menimbulkan rasa
sakit dikatakan sebuah penganiayaan.
Oleh karena mendapatkan perizinan dari pihak terkait dalam
melaksanakan tugas dan fungsi jabatannya. Seperti contoh: seorang guru
yang memukul anak didiknya, atau seorang dokter yang telah melukai
pasiennya dan menyebabkan luka, tindakan tersebut tidak dapat dikatakan
sebagai penganiayaan, karena ia bermaksud untuk mendidik dan
menyembuhkan penyakit yang diderita oleh pasiennya. Adapula timbulnya
rasa sakit yang terjadi pada sebuah pertandingan diatas ring seperti tinju,
pencak silat, dan lain sebagainya.
Tetapi perlu digaris bawahi apabila semua perbuatan tersebut diatas
telah malampui batas yang telah ditentukan karena semuanya itu meskipun
telah mendapatkan izin dari pemerintah ada peraturan yang membatasinya
diatas perbuatan itu, mengenai orang tua yang memukili anaknya dilihat
dari ketidak wajaran terhadap cara mendidiknya.
Oleh sebab dari perbuatan yang telah melampaui batas tertentu
yang telah diatur dalam hukum pemerintah yang asalnya pebuatan itu
bukan sebuah penganiayaan, karena telah melampaui batas-batas aturan
tertentu maka berbuatan tersebut dimanakan sebuah penganiayaan yang
dinamakan dengan penganiayaan biasa. Yang bersalah pada perbuatan ini
diancam dengan hukuman lebih berat, apabila perbuatan ini
mengakibatkan luka berat atau matinya sikorban. Mengenai tentang luka
berat lihat Pasal 90 KUHP. Luka berat atau mati yang dimaksud disini
hanya sebagai akibat dari perbuatan penganiayaan itu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Mengenai tindakan hukum ini yang akan diberikan kepada yang
bersalah untuk menentukan Pasal 351 KUHP penulis mencoba
merumuskan dalam penganiayaan biasa dapat di bedakan menjadi:
1) Penganiayaan biasa yang tidak menimbulkan luka berat maupun
kematian
2) Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat
3) Penganiayaan yang mengakibatkan kematian
4) penganiayaan yang berupa sengaja merusak kesehatan.
b. Penganiayaan ringan Pasal 352 KUHP
Disebut penganiayaan ringan Karena penganiayaan ini tidak
menyebabkan luka atau penyakit dan tidak menyebabkan si korban tidak
bisa menjalankan aktivitas sehari-harinya. Rumusan dalam penganiayaan
ringan telah diatur dalam Pasal 352 KUHP sebagai berikut:
1) Kecuali yang tersebut dalam Pasal 353 dan 356, maka penganiayaan
yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan
pekerjaan jabatan atau pencaharian, dipidana sebagai penganiayaan
ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana
denda paling banyak empat ribu lima ratus.
Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan
kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya atau menjadi
bawahannya.
2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Melihat Pasal 352 ayat (2) bahwa “percobaan melakukan kejahatan itu
(penganiyaan ringan) tidak dapat di pidana” meskipun dalam
pengertiannya menurut para ahli hukum, percobaan adalah menuju
kesuatu hal, tetapi tidak sampai pada sesuatu hal yang di tuju, atau
hendak berbuat sesuatu dan sudah dimulai akan tetapi tidak sampai
selesai. Disini yang dimaksud adalah percobaan untuk melakukan
kejahatan yang bisa membahayakan orang lain dan yang telah diatur
dalam Pasal 53 ayat (1). Sedangkan percobaan yang ada dalam
penganiyaan ini tidak akan membahayakan orang lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3) Penganiyaan berencarna Pasal 353 KUHP
Pasal 353 mengenai penganiyaan berencana merumuskan sebagai
berikut :
a) Penganiayaan dengan berencana lebih dulu, di pidana dengan
pidana penjara paling lama empat tahun.
b) Jika perbutan itu menimbulkan luka-luka berat, yang bersalah di
pidana dengan pidana penjara palang lama tujuh tahun
c) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah di
pidana dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Menurut Tiirtamidjaja Menyatakan arti di rencanakan lebih dahulu
adalah : “bahwa ada suatu jangka waktu, bagaimanapun pendeknya untuk
mempertimbangkan, untuk berfikir dengan tenang”. Apabila kita fahami
tentang arti dari di rencanakan diatas, bermaksud sebelum melakukan
penganiayaan tersebut telah di rencanakan terlebih dahulu, oleh sebab
terdapatnya unsur direncanakan lebih dulu (meet voor bedachte rade)
sebelum perbuatan dilakukan, direncanakan lebih dulu (disingkat
berencana), adalah berbentuk khusus dari kesengajaan (opzettielijk) dan
merupakan alas an pemberat pidana pada penganiayaan yang bersifat
subjektif, dan juga terdapat pada pembunuhan berencana (Tirtaamidjaja,
1995: 215).
Perkataan berpikir dengan tenang, sebelum melakukan
penganiayaan, si pelaku tidak langsung melakukan kejahatan itu tetapi ia
masih berfikir dengan bating yang tenang apakah resiko/akibat yang akan
terjadi yang disadarinya baik bagi dirinya maupun orang lain, sehingga si
pelaku sudah berniat untuk melakukan kejahatan tersebut sesuai dengan
kehendaknya yang telah menjadi keputusan untuk melakukannya. Maksud
dari niat dan rencana tersebut tidak di kuasai oleh perasaan emosi yang
tinggi, takut, tergesa-gesa atau terpaksa dan lain sebagainya.
Penganiayaan berencana yang telah dijelaskan diatas dan telah diatur dala
Pasal 353 KUHP apabila mengakibatkan luka berat dan kematian adalah
berupa faktor atau alasan pembuat pidana yang bersifat objektif,
penganiayaan berencana apabila menimbulkan luka berat yang di
kehendaki sesuai dengan ayat (2) bukan disebut lagi penganiayaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
berencana tetapi penganiayaan berat berencana sesuai Pasal 355 KUHP,
apabila kejahatan tersebut bermaksud dan ditujukan pada kematian dalam
ayat (3) bukan disebut lagi penganiayaan berencana tetapi pembunuhan
berencana pada Pasal 340 KUHP.
c. Penganiayaan berat Pasal 354 KUHP
Penganiayaan berat dirumuskan dalam Pasal 354 yang rumusannya
adalah sebgai berikut :
1) Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, dipidana kerena
melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama
delapan tahun
2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah di pidana
dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.
Perbuatan berat (zwar lichamelijk letsel toebrengt) atau dapat
disebut juga menjadikan berat pada tubuh orang lain. Haruslah dilakukan
dengan sengaja. Kesengajaan itu harus mengenai ketiga unsur dari tindak
pidana yaitu: pebuatan yang dilarang, akibat yang menjadi pokok alas an
diadakan larang itu dan bahwa perbuatan itu melanggar hukum.Ketiga
unsur diatas harus disebutkan dalam undang-undang sebagai unsur dari
perbuatan pidana, seorang jaksa harus teliti dalam merumuskan apakah
yang telah dilakukan oleh seorang terdakwah dan ia harus menyebukan
pula tuduhan pidana semua unsur yang disebutkan dalam undang-undang
sebagai unsur dari perbuatan pidana. Apabila dihubungkan dengan unsur
kesengajaan maka kesengajaan ini harus sekaligus ditujukan baik tehadap
perbuatannya, (misalnya menusuk dengan pisau), maupun terhadap
akibatnya, yakni luka berat. Mengenai luka berat disini bersifat abstrak
bagaimana bentuknya luka berat, kita hanya dapat merumuskan luka berat
yang telah di jelaskan pada Pasal 90 KUHP sebagai berikut:
Luka berat berarti :
1) Jatuh sakit atau luka yang tak dapat diharapkan akan sembuh lagi
dengan sempurna atau yang dapat mendatangkan bahaya maut;
2) Senantiasa tidak cakap mengerjakan pekerjaan jabatan atau pekerjaan
pencaharian;
3) Didak dapat lagi memakai salah satu panca indra;
4) Mendapat cacat besar;
5) Lumpuh (kelumpuhan);
6) Akal (tenaga faham) tidak sempurna lebih lama dari empat minggu;
dan
7) Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan.
Pada Pasal 90 KUHP diatas telah dijelaskan tentang golongan yang
bisa dikatakan sebagi luka berat, sedangkan akibat kematian pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
penganiayaan berat bukanlah merupakan unsur penganiayaan berat,
melainkan merupakan faktor atau alasan memperberat pidana dalam
penganiayaan berat (Moeljatno dalam http://raypratama.blogspot.com/
2012/02/pengertian-dan-unsur-unsur-tindak.html).
d. Penganiayaan berat berencana Pasal 355 KUHP
Penganiyaan berat berencana, dimuat dalam Pasal 355 KUHP yang
rumusannya adalah sebagai berikut :
1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu,
dipidana dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun
2) Jika perbuatan itu menimbulkan kematian yang bersalah di pidana
dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Bila kita lihat penjelasan yang telah ada diatas tentang kejahatan yang
berupa penganiayaan berencana, dan penganiayaan berat, maka
penganiayaan berat berencana ini merupakan bentuk gabungan antara
penganiayaan berat (Pasal 354 ayat (1) KUHP) dengan penganiyaan
berencana (Pasal 353 ayat (1) KUHP), dengan kata lain suatu
penganiayaan berat yang terjadi dalam penganiayaan berencana,
kedua bentuk penganiayaan ini haruslah terjadi secara
serentak/bersama. Oleh karena harus terjadi secara bersama, maka
harus terpenuhi baik unsur penganiayaan berat maupun unsur
penganiayaan berencana.
Berdasarkan uraian tentang kejahatan penganiayaan diatas maka
dalam hal cara yang digunakan debt collector untuk menagih utang kepada
nasabah kartu kredit, debt collector diberi kewenangan penuh dalam
penagihan kepada nasabah namun apabila dilakukan dengan cara
penganiayaan terhadap nasabah jelas tidak ada dalam perintah secara
langsung dari bank tetapi pihak bank secara tidak langsung mengetahui
cara-cara yang dilakukan debt collector dalam menjalankan tugasnya,
apabila cara penagihan yang dilakukan memenuhi unsur-unsur dalam Pasal
KUHP tentang penganiayaan diatas maka debt collector dapat dihukum
secara hukum pidana.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4. Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
“Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum,
diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun
atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah” (R. Soesilo,
1995:249).
Perbuatan ini adalah disebut pencurian biasa. Unsur-unsur sebagai
berikut:
a. perbuatan mengambil
b. yang diambil harus suatu barang
c. barang utu harus, seluruhnya atau sebgaian kepunyaan orang lain
d. pengambilan itu harus dilaukan dengan maksud untuk memilki barang
tersebut dengan melawan hukum (melawan hak).
Mengambil untk dikuasainya mengnadung pengertian pencuri mengambil
barang itu, barang tersebut belum dalam kekuasaannya, apabila waktu
memiliki barangnya sudah ada di tagannya, maka perbuatan itu bukan
perbuatan pencurian, tetapi pengelapan (melanggar Pasal 372 KUHP).
Pengambilan (pencurian) itu bisa dikatakan selesai apabila barang tersebut
sudah pindah tempat. Bila orang baru memegang barang itu, dan belum
berpindah tempat maka orang itu belum bisa dikatakan mencuri (R. Soesilo,
1995:250).
5. Pasal 363 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
(1)Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:
1) pencurian ternak;
2) pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir gempa bumi, atau
gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar,
kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan atau bahaya perang;
3) pencurian di waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan
tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang ada di
situ tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak;
4) pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih:
5) pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan, atau
untuk sampai pada barang yang diambil, dilakukan dengan merusak,
memotong atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu,
perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.
(2)Jika pencurian yang diterangkan dalam butir 3 disertai dengan salah satu
hal dalam butir 4 dan 5, maka diancam dengan pidana penjara paling lama
sembilan tahun (R. Soesilo, 1995:251).
Pencurian dalam pasal ini disebut dengan pemberatan atau pencurian
dengan kualifikasi dan diancam dengan hukuman yang lebih berat. Pencurian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dengan pemberatan ini adalah pencurian biasa (Pasal 362 KUHP) tetapi
diserai dengan salah satu keadaan seperti berikut:
a. Bila barang yang dicuri adalah hewan peliharaan yang dianggap hewan
terpenting bagi pemiliknya
b. Bila pencurian itu dilakukan pada waktu kejadian macam-macam
malapetaka misalnya kebakaran
c. Apabila pencurian itu dilakukan pada malam hari, dalam rumah atau
pekarangan tertutup yang ada rumahnya
d. Apabila pencurian itu dilakukan oleh dua orang atau lebih
e. Apabila pencurian itu, pencuri masuk ketempat kejahatan atau mencapai
barang yang dicurinya dengan jalan membongkar, memecah, dan
sebagainya. Pengertian membongkara dalam hal ini adalah merusak barang
yang agak besar, misal membongkar tembok, pintu, jendela dan lain
sebagainya.
Dalam pasal ini termasuk juga pencurian dengan menggunakan perintah palsu
yaitu surat perintah yang kelihatannya seperti surat perintah asli oleh pihak
yang berwajib tetapi sebenarnya bukan(R. Soesilo, 1995:252)
6. Pasal 365 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun pencurian
yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atsu
mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk
memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk
tetap menguasai barang yang dicuri.
(2) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun:
a. jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah
atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di berjalan;
b. jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan
bersekutu;
c. jika masuk ke tempat melakukan kejahatan dengan merusak atau
memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, periniah palsu
atau pakaian jabatan palsu.
d. jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.
(3) Jika perbuatan mengakibatkan kematian maka diancam dengan pidana
penjara paling lama lima belas tuhun.
(4) Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan
mengakihntkan luka berat atau kematian dan dilakukan oleh dua orang
atau lebih dengan bersekutu, disertai pula oleh salah satu hal yang
diterangkan dalam nomor 1 dan 3 (R. Soesilo, 1995:253)..
Menurut R. Soesilo, analisa Pasal 365 KUHP sebagai berikut :
a. Perbuatan dalam Pasal 365 KUHP ini disebut dengan pencurian kekerasan,
tentang kekerasan dapat dilihat dalam Pasal 89 KUHP. Ancaman
kekerasan ini hanya ditunjukan pada orang bukan barang dan dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dilakukan bersamaan, sebelum atau sesudah pencurian itu dilakukan, asal
tujuannya untuk menyiapkan atau mempermudah pencurian itu, dan jika
tertangkap tangan atau untuk mencoba melarikan diri atau barang yang
dicuri agar tetap ditangannya.
b. Ancaman hukuman dapat diperberat jika pencurian dengan kekerasan ini
disertai dengan salah satu dari syarat-syarat tersebut pada sub 1 sampai
dengan 4. Tentang rumah, pekarangan tertutup, membongkar, memanjat,
perintah palsu dan pakaian palsu pasal (lihat Pasal 363 KUHP), tentang
malam (lihat Pasal 98 KUHP), tentang anak kunci palsu (lihat Pasal 100
KUHP), sedang memanjat (Pasal 99 KUHP) dan luka berat Pasal 90
KUHP.
c. Jika pencurian dengan kekerasan berakibat mati seseorang, ancaman
hukumannya diperberat. Kematian disini bukan dimaksudkan oleh
pembuat, apabila kematian itu dimaksud (diniat) oleh si pembuat maka ia
dikenakan Pasal 339 KUHP.
d. Bandingkan pecurian dengan kekerasan (Pasal 365 KUHP) dengan
pemerasan (Pasal 368 KUHP). Jika karena kekerasan atau ancaman
kekerasan itu si pemilik barang menyerah lalu memberikan kepada orang
yang mengancam maka hal ini masuk pemerasan (Pasal 368 KUHP). Akan
tetapi apabila pemilik barang itu dengan adanya kekerasan atau ancaman
tersebut tetap ridak menyerah dan kemudian pencuri mengambil
barangnya, maka ini masuk pencurian dengan kekerasan (Pasal 365
KUHP) (R. Soesilo, 1995:254).
Dalam hal cara penagihan utang yang dilakukan debt collector kepada
nasabah kartu kredit yang disertai dengan pengambilan barang milik nasabah
maka telah memenuhi unsur-unsur obyektif dan subyektif dalam Pasal
362,362 dan 365 KUHP tentang tindak pidana pencurian sebagai berikut :
a. Mengambil
Perbuatan mengambil itu haruslah ditafsirkan sebagai setiap
perbuatan untuk membawa sesuatu benda dibawah kekuasaannya yang
nyata atau het brengen van eenig goed onder zijn absolute en feitelijke
heerschappij. Untuk dapat membawa sesuatu benda dibawah
kekuasaannya yang nyata dan mutlak, seseorang itu pertama-tama haruslah
mempunyai maksud demikian, kemudian dilanjutkan dengan mulai
melaksanakan maksudnya misalnya dengan mengulurkan kedua tangannya
ke arah benda yang ingin diambil, mengambl benda tersebut dari tempat
semula. Dengan demikian selesailah apa yang dikatakan membawa suatu
benda dengan dibawah kekuasaannya yang nyata dan mutlak (Lamintang
dan Djisman Samosir, 2010:48).
Menurut hemat penulis cara penagihan utang yang dilakukan oleh
debt collector kepada nasabah kartu kredit yang disertai pengambilan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
barang milik nasabah dapat disebut dengan membawa suatu benda
dibawah kekuasaannya yang nyata dan mutlak. Sebenarnya peristiwa
semacam itu hanyalah mempunyai nilai teoritis karena di dalam pratek
adalah sulit untuk membuktikan apakah seseorang itu mengambil benda
dengan maksud mengambil atau tidak karena perbuatan seperti itu sering
disebut masyarakat umum dengan istilah sita dalam hal utag piutang.
b. Benda
Menurut Memorie Van Toelichting, mengenai pembentuka Pasal
362 KUHP haruslah diartikan sebagai stoffelijk goed dat vatbaar is voor
verplaatsing atau benda berwujud menurut sifatnya bisa dipindahkan. Oleh
karena itu, benda yang dimaksud dengan pasal tersebut adalah benda-
benda yang menurut sifatnya dapat berpindah sendiri atau dapat
dipindahkan. Namun ditinjau dari penafsiran acontrario maka orang akan
berpegang pada benda berwuju dan bergerak atau benda yang dapat
menjadi objek kejahatan pencurian (Memorie Van Toelichting dalam
Lamintang dan Djisman Samosir, 2010:50).
Cara penagihan utang yang dilakukan oleh debt collector kepada
nasabah kartu kredit yang disertai pengambilan barang milik nasabah dapat
disebut dengan membawa suatu benda dibawah kekuasaannya yang nyata
dan mutlak. Benda yang dimaksud disini adalah benda yang dapat menjadi
objek dari kejahatan pencurian atau benda-benda yang dapat menjadi objek
kejahatan yang ditujukan terhadap hak milik dan lain-lain hak yang timbul
dari hak milik dalam hal ini yang dijadikan objek adalah benda milik
nasabah kartu kredit yang diambil secara paksa oleh debt collector.
c. Seluruh atau sebagaian kepunyaan orang lain
Dilihat dari pengertian menurut tata bahasa ataupun menurut
pengertian sehari-hari tidak begitu sulit untuk mengerti yang dimaksud
dengan kepunyaan itu. Akan tetapi pengertian kepunyaan haruslah
ditafsirkan menurut hukum, sehngga akan sulitlah bagi mereka yang hanya
setengah-setengah mengetahui hukum untuk menafsirkannya secara tepat.
Hal ini disebabkan karena bagi penduduk Indonesia tidak hanya
berlaku satu macam hukum yang berlaku di Indonesia. Seperti yang terjadi
banyak dalam dunia usaha terdapat berbagai istilah kepunyaan tersebut.
Maka haruslah ditafsirkan menurut hukum yang pasti yaitu melalui isi
perjanjian yang disepakati oleh para pihak (Lamintang dan Djisman
Samosir, 2010:56).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Mengenai cara penagihan utang yang dilakukan oleh debt collector
kepada nasabah kartu kredit yang disertai pengambilan barang milik
nasabah dapat disebut kejahatan yang ditujukan terhadap hak milik orang
lain sepanjang tidak terdapat dalam perjanian antara para pihak namun
apabila tidak dipermasalahkan dan orang yang mempunyai utang itupun
menerima kenyataan bahwa ia tidak memenuhi kewajibannya sesuai
kewajibannya maka kepunyaan atau ak milik atas benda itu akan beralih
kepada orang yang berpiutang tetapi benda tersebut beralih ke debt
collector dan tidak diberikan kepada pihak berpiutang sebagai pemilik hak
penuh maka debt collector dapat disebut sebagai pelaku kejahatan yang
ditunjukan terhadap hak pemilik (pencurian).
Setelah mencermati penjelasan tentang Pasal 362, 363 dan 365
KUHP diatas, perbuatan penagih utang (debt collector) dalam menagih
utang kartu kredit terhadap nasabah yang disertai dengan pengambilan
barang milik nasabah sesuai dengan unsur-unsur Pasal 362,363 dan 365
KUHP maka penagih utang (debt collector) dapat dihukum atas tuduhan
pencurian ringan, pencurian dengan pemberatan,pencurian dengan kategori
atau pencurian dengan kekerasan sesuai dengan perbuatan debt collector
dan kondisi yang dialami nasabah.
7. Pasal 368 dan 369 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
(1) Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan
atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang
seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain,
atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam
karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan.
(2) Ketentuan pasal 365 ayat kedua, ketiga, dan keempat berlaku bagi
kejahatan ini) (R. Soesilo, 1995:256).
Kejadian ini dinamakan pemerasan dengan kekerasan (afpersing).
Pemeras itu pekerjaannya:
a. memaksa orang lain;
b. untuk memberikan barang yang sama sekali atau sebagian termasuk
kepunyaan orang itu sendiri atau kepunyaan orang lain, atau membuat
utang atau menghapuskan piutang;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
c. dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan
melawan hak (pada Pasal 335 KUHP, elemen ini bukan syarat).
Memaksanya dengan memakai kekerasan atau ancaman kekerasan;
1) Memaksa adalah melakukan tekanan kepada orang, sehingga orang itu
melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kehendak sendiri.
Memaksa orang lain untuk menyerahkan barangnya sendiri itu masuk
pula pemerasan;
2) Melawan hak adalah sama dengan melawan hukum, tidak berhak atau
bertentangan dengan hukum; 3) Kekerasan berdasarkan catatan pada
Pasal 89 KUHP, yaitu jika memaksanya itu dengan akan menista,
membuka rahasia maka hal ini dikenakan Pasal 369 KUHP.
3) Pemerasan dalam kalangan keluarga adalah delik aduan (Pasal 370
KUHP), tetapi apabila kekerasan itu demikian rupa sehingga
menimbulkan penganiayaan, maka tentang penganiayaannya ini
senantiasa dapat dituntut (tidak perlu ada pangaduan);
4) Tindak pidana pemerasan sangat mirip dengan pencurian dengan
kekerasan pada Pasal 365 KUHP. Bedanya adalah bahwa dalam hal
pencurian si pelaku sendiri yang mengambil barang yang dicuri,
sedangkan dalam hal pemerasan si korban setelah dipaksa dengan
kekerasan menyerahkan barangnya kepada si pemeras) (R. Soesilo,
1995:257).
Pasal 369 KUHP :
(1) Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum dengan ancaman pencemaran baik
dengan lisan maupun tulisan, atau dengan ancaman akan membuka
rahasia, memaksa seorang supaya memberikan barang sesuatu yang
seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang itu atau orang lain atau
supaya membuat hutang atau menghapuskan piutang, diancam dengan
pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Kejahatan ini tidak dituntut kecuali atas pengaduan orang yang terkena
kejahatan (R. Soesilo, 1995:257).
Menurut R.Soesilo analisa Pasal 369 KUHP adalah sebagai berikut :
a. kejahatan ini dinamakan pemerasan dengan menista (adreiging atau
chantage) perbedaan Pasal 368 dan 369 KUHP adalah alat yang digunakan
dalam pemerasana yaitu dalam Pasal 368 KUHP digunakan kekerasan
sedangkan Pasal 369 KUHP digunakan akan menista atau menista dengan
surat atau akan membuka rahasia.
b. Kejahatan chantage ini adalah delik aduan absolut (Pasal 369 alenia 2
KUHP).
Penagih utang (debt collector) apabila dalam melakukan penagihan utang
kartu kredit terhadap nasabah melakukan pemerasan atau pengancaman
terhadap nasabah maka nasabah dapat mengadukan atas tuduhan pada
Pasal 368 dan 369 KUHP, apabila nasabah melapor tentang perbuatan
penagih utang (debt collector) secara hukum pidana Penagih utang (debt
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
collector) dapat diancam hukuman dalam Pasal 368 dan 369 KUHP
tersebut (R. Soesilo, 1995:257).
Apabila merinci unsur-unsur dalam kejahatan pemerasan tersebut,
maka diperoleh :
a. Unsur-unsur obyektif :
1) Memaksa atau dwingen;
2) Orang lain atau iemand;
3) Untuk menyerahkan sesuatu benda atau tot afgifte van eenig goed;
4) Untuk membuat suatu pinjaman atau tot het aangaan van eene schuld;
5) Untk meniadakan suatu piutang atau tot hed tenietdoen van eene
inschuld; dan
6) Dengan cara kekerasan atau ancaman kekerasan atau door geweld of
bedreiging met geweld.
b. Unsur-unsur subyektif :
1) Dengan maksud atau met het oogmerk dan
2) Untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau om zich of een
ander te bevoordelen (Lamintang dan Djisman Samosir, 2010:104).
Berdasarkan unsur-unsut diatas maka kejahatan pemerasan yang
dilakukan debt collector kepada nasabah haruslah memenuhi hal-hal sebagai
berikut :
a. Untuk menyerahkan suatu benda
Dalam hal ini perlu dicatat bahwa benda yang dimaksud tidaklah
perlu harus diserahkan sendiri oleh orang yang diperas kepada orang yang
memeras. Dapat saja penyerahan tersebut dilakukan dengan perantaraan
orang ketiga untuk diserahkan kepada orang yang melakukan pemerasan.
Untuk dapat dikatakan bahwa disitu terjadi penyerahan suatu benda seperti
yang dikehendaki oleh orang yang melakukan pemerasan, benda tersebut
telah terlepas dari kekuasaan orang yang yang diperas dengan tidak perlu
memperhatikan apakah benda tersebut sudah benar-benar dikuasai oleh
orang yang memeras atau belum, sehingga cukuplah apabila orang yang
diperas itu telah menyerahkan benda yang dimaksudkan oleh orang yang
memeras sebagai akibat dari pemerasan yang dilakukan terhadap dirinya.
b. Untuk membuat suatu pinjaman
Yang dimaksud dengan pinjaman disini bnkanlah untuk mendapat
uang pinjaman dari orang yang diperas melainkan memaksa orang tersebut
untuk memberikan atau membayar sejumlah uang tertentu atau membuat
suatu perikatan yang menyebabkan ia harus membayar sejumlah uang
tertentu. Demikianlah yang dimaksud dengan meniadakan piutang dan
juga meniadakan perikatan yang sudah ada dari orang lain yang diperas
kepada seseorang tertentu.
c. Untuk menguntungkan diri sendiri
Yang dimaksud dengan mengundurkan diri sendiri dalam
menambah kekayaan semula. Seperti ternyata dari unsur-unsur selanjutnya
perbuatan memeras tersebut tidaklah perlu ditujukan untu menambah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
kekayaan diri sendiri, melainkan dapat juga ditujukan untuk menambah
kekayaan orang lain.
Pasal 368 ayat (2) KUHP menentukan, bahwa ketentuan-ketentuan
yang terdapat dalam ayat (2), (3), dan (4) Pasal 365 KUHP juga berlaku bagi
kejahatan pemerasan. Ini berarti bahwa:
1) Jika kejahatan pemerasan itu dilakukan pada malam hari di dalam sebuat
tempat kediaman atau dilakukan di atas sebuah pekarangan tertutup yang
diatasnya berdiri sebuah tempat kediaman ataupun jika kejahatan
pemerasan tersebut dilakukan dijalan umum atau diatas kereta api atau
tram yang sedang bergerak;
2) Jika kejahatan pemerasan itu dilakukan oleh dua orang atau lebih secara
bersama-sama;
3) Jika kejahatan pemerasan itu untuk dapat masuk ke tempat kejahatan
dilakukan dengan perbuatan-perbuatan membongkar, merusak, memanjat,
memakai kinci-kunci palsu, dengan perintah palsu atau memakai seragam
palsu; dan
4) Jika kejahatan pemerasan itu menyebabkan terjadinya luka berat pada
seseorang.
Maka kejahatan pemerasan tersebut diperberat ancaman hukumannya
dengan ancaman hukuman penjara duabelas tahun. Selanjutnya kejahatan
pemerasan itu, apabila menyebabkan matinya orang lain, maka pelakunya
diancam penjara selama-lamanya limabelas tahun.akhirnya orang yang
melakukan pemerasan itu diancam dengan hukuman mati, penjara seumur
hidup ataupun dengan hukuman penjara sementara selama-lamanya duapuluh
tahun, jika kejahatan tersebut telah menimbulkan luka berat atau sesuatu
kematian, di mana kejahatan itu telah dilakukan oleh dua orang atau lebih
secara bersama-sama dengan disertai lain-lain hal yang memberatkan seperti
yang diatur di dalam Pasal 365 ayat (1) dan (2) KUHP (Lamintang dan
Djisman Samosir, 2010:104).
Dewasa ini marak terjadi kekerasan yang dilakukan terhadap nasabah
kartu kredit suatu bank, kekerasan ini biasanya disertai dengan pemerasan
agar nasabah diberi kelonggaran waktu dalam hal penyelesaian utang-piutang
dengan bank dalam hal penagihan dilakukan pihak ketiga yaitu debt collector.
Apabila hal itu terjadi maka cara debt collector dalam menagih utang kepada
nasabah kartu kredit maka dapat digolongkan sebagai kejahatan pemerasan.
8. Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang
lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat
palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan
orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
memberi hutang rnaupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan
dengan pidana penjara paling lama empat tahun (R. Soesilo, 1995:260).
Menurut R.Soesilo analisis Pasal 378 KUHP adalah sebagai berikut:
a. Kejahatan ini dinamakan penipuan, penipuan itu pekerjaannya;
1) membujuk orang supaya memberikan barang , membuat utang atau
menghapuskan piutang.
2) Maksud pembujukan itu ialah : hendak menguntungkan diri sendiri atau
orang lain dengan melawan hak.
3) Membujuk yaitu dengan memakai:
a) Nama palsu atau keadaan palsu
b) Akal cerdik (tipu muslihat)
c) Karangan perkataan bohong
b. Membujuk melakukan pengaruh dengan kelicikan terhadap orang,
sehingga orang itu menurutinya berbuat sesuatu yang apabila mengetahui
duduk perkara yang sebenarnya ia tidak akan berbuat demikian itu.
c. Tentang barang tidak disebutkan pembatasan, bahwa barang itu kepunyaan
orang lain jadi membujuk orang untuk menyerahkan barang sendiri, jga
masuk dalam penipuan asalkan elemen-elemen lain terpenuhi.
Seperti halnya pencurian maka penipuan pun jika dilakukan dalam kalangan
keluarga berlaku peraturan dalam pasal 367 jo. 394 KUHP (R. Soesilo,
1995:261).
Sedangkan unsur-unsur tindak pidana penipuan menurut Moeljatno
adalah sebagai berikut :
a. Ada seseorang yang dibujuk atau digerakkan untuk menyerahkan suatu
barang atau membuat hutang atau menghapus piutang. Barang itu
diserahkan oleh yang punya dengan jalan tipu muslihat. Barang yang
diserahkan itu tidak selamanya harus kepunyaan sendiri, tetapi juga
kepunyaan orang lain.
b. Penipu itu bermaksud untuk menguntungkan dirinya sendiri atau orang
lain tanpa hak. Dari maksud itu ternyata bahwa tujuannya adalah untuk
merugikan orang yang menyerahkan barang itu.
c. Yang menjadi korban penipuan itu harus digerakkan untuk menyerahkan
barang itu dengan jalan :
1) Penyerahan barang itu harus akibat dari tindakan tipu daya.
2) Si penipu harus memperdaya si korban dengan satu akal yang tersebut
dalam Pasal 378 KUHP (Moeljatno, 2003:122).
Sebagai akal penipuan dalam Pasal 378 KUHP mengatur bahwa :
a. Menggunakan akal palsu
Nama palsu adalah nama yang berlainan dengan nama yang sebenarnya,
meskipun perbedaaan itu tampak kecil, misalnya orang yang sebenarnya
bernama Ancis, padahal yang sebenarnya adalah orang lain, yang hendak
menipu itu mengetahui, bahwa hanya kepada orang yang bernama Ancis
orang akan percaya untuk memberikan suatu barang. Supaya ia
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
mendapatkan barang itu, maka ia memalsukan namanya dari Anci menjadi
Ancis. Akan tetapi kalau sipenipu itu menggunakan nama orang lain yang
sama dengan namanya sendiri, maka ia tidak dikatakan menggunakan
nama palsu tetapi ia tetap dipersalahkan.
b. Menggunkan kedudukan palsu
Seseorang yang dapat dipersalahkan menipu dengan menggunakan
kedudukan palsu, misalnya : X menggunakan kedudukan sebagai
pengusaha dari perusahaan P, padahal ia sudah diberhentikan, kemudian
mendatangi sebuah toko untuk dipesan kepada toko tersebut, dengan
mengatakan bahwa ia X disuruh oleh majikannya untuk mengambil
barang-barang itu. Jika toko itu menyerahkan barang-barang itu kepada X
yang dikenal sebagai kuasa dari perusahaan P, sedangkan toko itu tidak
mengetahuinya, bahwa X dapat dipersalahkan setelah menipu toko itu
dengan menggunakan kedudukan palsu.
c. Menggunakan tipu muslihat
Yang dimaksud dengan tipu muslihat adalah perbuatan-perbuatan yang
dapat menimbulkan gambaran peristiwa yang sebenarnya dibuat-buat
sedemikian rupa sehingga kepalsuan itu dapat mengelabui orang yang
biasanya hati-hati.
d. Menggunakan susunan belit dusta
Kebohongan itu harus sedemikian rupa berbelit-belitnya sehingga
merupakan suatu atau seluruhnya yang nampaknya seperti benar dan tidak
mudah ditemukan di mana-mana (Moeljatno, 2003: 124).
Tipu muslihat yang digunakan oleh seorang penipu itu harus
sedemikian rupa, sehingga orang yang mempunyai taraf pengetahuan yang
umum (wajar) dapat dikelabui. Jadi selain kelicikan penipu, harus pula
diperhatikan keadaan orang yang kena tipu itu. Tiap-tiap kejahatan harus
dipertimbangkan dan harus dibuktikan, bahwa tipu muslihat yang digunakan
adalah begitu menyerupai kebenaran, sehingga dapat dimengerti bahwa orang
yang ditipu sempat percaya. Suatu kebohongan saja belum cukup untuk
menetapkan adanya penipuan. Bohong itu harus disertai tipu muslihat atau
susunan belit dusta, sehingga orang percaya kepada cerita bohong itu.
Unsur-unsur tindak pidana penipuan juga dikemukakan oleh Togat,
sebagai berikut :
a. Unsur menggerakkan orang lain ialah tindakan-tindakan, baik berupa
perbuatan-perbuatan mupun perkataan-perkataa yang bersifat menipu.
b. Unsur menyerahkan suatu benda. Menyerahkan suatu benda tidaklah harus
dilakukan sendiri secara langsung oleh orang yang tertipu kepada orang
yang menipu. Dalam hal ini penyerahan juga dapat dilakukan oleh orang
yang tertipu itu kepada orang suruhan dari orang yang menipu. Hanya
dalam hal ini, oleh karena unsur kesengajaan maka ini berarti unsur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
penyerahan haruslah merupakan akibat langsung dari adanya daya upaya
yang dilakukan oleh si penipu.
c. Unsur memakai nama palsu. Pemakaian nama palsu ini akan terjadi
apabila seseorang menyebutkan sebagai nama suatu nama yang bukan
namanya, dengan demikian menerima barang yang harus diserahkan
kepada orang yang namanya disebutkan tadi.
d. Unsur memakai martabat palsu. Dengan martabat palsu dimaksudkan
menyebutkan dirinya dalam suatu keadaan yang tidak benar dan yang
mengakibatkan si korban percaya kepadanya, dn berdasarkan kepercayaan
itu ia menyerahkan suatu barang atau memberi hutang atau menghapus
piutang.
e. Unsur memakai tipu muslihat dan unsur rangkaian kebohongan. Unsur tipu
muslihat adalah rangkaian kata-kata, melainkan dari suatu perbuatan yang
sedemikian rupa, sehingga perbuatan tersebut menimbulkan keprcayaan
terhadap orang lain. Sedangkan rangkaian kebohongan adalah rangkaian
kata-kata dusta atau kata-kata yang bertentangan dengan kebenaran yang
memberikan kesan seolah-olah apa yang dikatakan itu adalah benar adanya
(Togat dalam Moeljatno, 2003:72).
.
Berdasarkan penjelasan dan semua pendapat yang telah dikemukakan
tersebut di atas, maka apabila perbuatan penagihan debt collector dalam
menagih utang kartu kredit menggunakan cara-cara yang ada dalam unsur-
unsur tindak pidana penipuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378
KUHP, apabila unsur-unsur yang disebut di dalam pasal tersebut telah
terpenuhi, maka debt collector sebagai pelaku tindak pidana penipuan
tersebut dapat dijatuhi pidana sesuai perbuatannya.
9. Pasal 406 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan,
merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu
yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, diancam dengan pidana
penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak
empat ribu lima ratus rupiah” (R. Soesilo, 1995:278).
Unsur-unsur pasal 406 KUHP adalah sebagai berikut :
a. Unsur Subyektif :
Dengan sengaja (opzettelijk):
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1) Perbuatan merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau
menghilangkan barang harus dilakukan dengan sengaja;
2) Pelaku harus mengetahui bahwa yang dirusakkan, dibikin tak dapat
dipakai atau dihilangkan adalah suatu barang yang seluruhnya atau
sebagian adalah kepunyaan orang lain; dan
3) Pelaku harus mengetahui perbuatan merusakkan, membikin tak dapat
dipakai atau menghilangkan barang itu bersifat melawan hukum
b. Unsur Obyektif :
1) Merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan;
2) Suatu benda;
3) Yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain; dan
4) Secara melawan hukum (wederrechtlijk).
Menurut R.Soesilo analisis Pasal 406 KUHP sebagai berikut :
a. Supaya dapat dihukum menurut pasal ini harus dibuktikan :
1) Bahwa terdakwa telah membinasakan, merusak, membuat sehingga
tidak dapat dipakai lagi atau menghilangkan suatu barang.
2) Bahwa pembinasaan dan sebagainya, itu harus dilakukan dengan
sengaja dan dengan melawan hukum
3) Bahwa barang itu harus sama sekali atau sebagian kepunyaan orang lain
b. Yang dihukum dalam pasal ini tidak saja mengenai barang, tetapi juga
mengenai binatang.
c. Pembinasaan dan perusakan dan sebagainya. Barang disini hanya
mengenai barang-barang biasa kepunyaan orang lain. Jika yang dirusakan
dan sebagainya. Itu bangunan-bangunan kepentingan umum dikenai Pasal
408 KUHP
d. Jika pengrusakan dilakukan oleh dua orang atau lebih diancam hukuman
yang lebih berat (Pasal 412 KUHP)
e. Pada waktu mengusut perkara ini polisi senantiasa harus menyelidiki
berapakah uang kerugian yang diderita oleh pemilik barang yang telah
dirusak itu (R. Soesilo, 1995:279).
Berdasarkan pasal ini debt collector dapat dituntut secara hukum
apabila dalam menagih utang kartu kredit terhadap nasabah melakukan
tindakan yang dapat berakibat rusaknya barang nasabah misalnya merusak
pintu rumah, meja maupun hal lain yang memenuhi unsur Pasal 406 KUHP
tentang kejahatan perusakan barang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Dari berbagai identifikasi pasal-pasal KUHP diatas jelaslah bahwa
perbuatan debt collector yang dilakukan saat menagih utang kartu kredit
kepada nasabah sangat rawan akan terjadinya tindak pidana. Apabila terjadi
pelampauan batas kewenangan, maka pasal-pasal di dalam Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (KUHP) dapat di identfikasikan ke dalam perbuatan
yang dilakukan debt collector kepada nasabah kartu kredit. Pasal-pasal itu
antara lain adalah Pasal 167 KUHP (memaksa masuk ke dalam rumah,
ruangan, atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain dengan melawan
hukum), Pasal 333 KUHP (perampasan kemerdekaan, penyanderaan debitur
dengan melawan hukum), Pasal 351 KUHP (penganiayaan), Pasal 362, 363,
365 KUHP (pencurian, bila debt collector mengambil barang apa saja milik
debitur), Pasal 368 dan Pasal 469 KUHP (pemerasan dan pengancaman), (378
KUHP (penipuan) serta Pasal 406 KUHP (perusakan barang).
B. Pertanggungjawaban Pidana Pihak Bank Sebagai Pemberi Perintah
Debt Collector Apabila Penagihan Utang Kartu Kredit Dilakukan Dengan
Cara Melawan Hukum.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan telah memuat
berbagai ketentuan pidana yang mengkriminalisasi berbagai perbuatan yang
dilakukan oleh pegawai bank. Namun, masih banyak perilaku pidana oleh orang
dalam dan pihak-pihak yang berkaitan dengan bank seperti halnya debt collector
bank belum diatur. Undang-Undang Perbankan juga belum banyak
mengkriminalisasi kejahatan terhadap nasabah bank yang dilakukan oleh orang
luar. Kejahatan terhadap nasabah bank, baik yang dilakukan oleh orang dalam
maupun orang luar sebagai pihak terkait dengan bank seperti penggunaan jasa
penagihan utang (debt collector) .
Masifnya bisnis kartu kredit membuat bank menyerahkan pekerjaan
promosi dan pemasaran sampai penagihan kepada pihak ketiga. Di sinilah
masalah muncul. Meskipun secara normatif pihak ketiga diminta mengikuti norma
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dan ketentuan berlaku, perilaku melanggar hak dan privasi konsumen pengguna
kartu semakin sering terjadi. Pemahaman atas risiko perhitungan bunga kartu
kredit penting agar konsumen paham konsekuensi setiap gesekan kartu kreditnya
dan bank tidak bisa lagi menyembunyikan informasi yang seharusnya diketahui
konsumen, seperti opsi pembebasan bunga cicilan dan penjadwalan ulang
pembayaran Potensi pasar kartu kredit atau kredit konsumsi lainnya tentu akan
semakin meningkat seiring dengan membaiknya kesejahteraan masyarakat.
Tetapi, peningkatan itu bukan tanpa risiko bagi bank penyalur kredit. Risiko yang
dihadapi berupa kredit macet atau bermasalah. Sebagian kecil (22 persen) pemilik
kartu kredit yang diwawancarai mengaku pernah menunggak atau alpa membayar
tagihan kredit. Alasannya beragam, mulai dari lupa, tidak punya dana, hingga
malas. Untuk mengantisipasi hal itu, bank biasanya mengetatkan pengawasan
terhadap pembayaran tagihan nasabah agar tidak melampaui batas jatuh tempo.
Tak jarang bank menggunakan jasa pihak ketiga (debt collector). Sekitar 20
persen pemilik kartu kredit atau keluarganya pernah dihubungi oleh penagih
utang. Cara umum yang dilakukan oleh tukang tagih ini biasanya dengan
menelepon dan mendatangi rumah responden atau keluarga responden. Terkait
keberadaan tukang tagih utang ini, lebih dari separuh responden yang mempunyai
kartu kredit menekankan, peran penagih utang tidak diperlukan. Masyarakat
berharap ada cara lain menegosiasikan utang yang macet selain harus berhadapan
dengan tukang tagih yang disewa bank. (http://verbeetlaw.
wordpress.com/2011/04/18/ perbankan-2011-debat-eksistensi-debt-collector-aksi-
gugatan-idr-3triliun-irzen-octa-pembobolan-bank/).
Dalam hal menjalankan tugasnya debt collector secara hukum sebetulnya
tidak ada hubungan antara konsumen dan debt collector. Pemberian kuasa sesuai
Pasal 1797 KUH-Perdata tidak boleh melampaui batas wewenang yang
dikuasakan. Pelampauan batas dimaksud dalam kasus debt collector yang sering
terjadi adalah berupa tindak kekerasan, penyanderaan, perusakan barang,
perampasan,bahkan dapat menjurus pada penganiayaan/ penyiksaan maupun
perbuatan-perbuatan lainya yang dapat dikatagorikan sebagai perbuatan melawan
hukum.
Mengenai pertanggungjawaban bank dalam hal perbuatan pidana yang
dilakukan karyawan atau pihak lain atas perintah bank untuk menagih utang kartu
kredit kepada nasabah, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
Tentang Perbankan (selanjutnya disebut Undang-Undang Perbankan) mengatur
bahwa salah satu bentuk hukum Bank Umum ataupun Bank Perkreditan Rakyat
(BPR) adalah Perseroan (PT) Terbatas sesuai pasal 21 Undang-Undang
Perbankan. Oleh sebab itu, konstruksi hukum organ Perseroan Terbatas (PT)
Perbankan sudah tentu sama dengan yang diatur di dalam Undang-Undang PT
(Perseroan Terbatas). Jika Undang-Undang Perbankan termasuk peraturan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
pelaksanaannya, termasuk Peraturan Bank Indonesia (PBI) telah dan/atau akan
mengatur sendiri hal-hal yang berkaitan dengan organ PT, misalnya: persyaratan
pencalonan Direksi PT. Bank, yang tidak hanya mengacu pada ketentuan Ps 93
UUPT, tapi ditambahkan syarat tambahan, misalnya: harus lulus fit and proper
test yang dilakukan oleh Bank Indonesia, harus mempunyai latar belakang
keahlian di bidang perbankan, ekonomi, hukum, lulus sertifikasi manajemen
risiko dan sebagainya, hal ini boleh saja dilakukan dan dibenarkan menurut Pasal
93 ayat (2) Undang-Undang Perseroan Terbatas (Nindyo Pramono, 2010:19).
Pertanggungjawaban Perseroan dan tanggung jawab Direksi timbul,
apabila Direksi yang memiliki wewenang atau Direksi yang menerima kewajiban
untuk melaksanakan pengurusan Perseroan, mulai menggunakan wewenangnya
tersebut. Agar wewenang atau kewajiban Direksi tersebut dilaksanakan untuk
kepentingan Perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan, maka
idealnya wewenang itu dapat dilaksanakan sesuai dengan tanggung jawabnya dan
sebaliknya tanggung jawab harus diberikan sesuai dengan wewenang yang ada
sebagaimana bunyi Pasal 98 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang
Perseroan Terbatas sebagai berikut :
(1) Direksi mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan.
(2) Dalam hal anggota Direksi terdiri lebih dari 1 (satu) orang, yang berwenang
mewakili Perseroan adalah setiap anggota Direksi, kecuali ditentukan lain
dalam anggaran dasar.
Dari uraian tersebut diatas jelas bahwa yang bertanggung jawab dalam
Perseroan Terbatas (PT) adalah direksi atau yang telah ditentukan dalam
Anggaran Dasar (AD) suatu Perseroan Terbatas (PT) termasuk dalam hal ini
adalah bank yang berbentuk Perseroan Terbatas.
Sebelum membahas tentang tanggung jawab pidana pihak bank sebagai
pemberi perintah debt collector maka akan dijelaskan terlebih dahulu tentang
prinsip-prinsip pertanggungjawaban, Agus Santoso dalam Jurnal Legislasi
Indonesia mengemukakan beberapa prinsip tanggung jawab pelaku usaha dalam
hukum yang dibedakan sebagai berikut:
1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan (fault
liability/liability based on fault)
Prinsip ini menyatakan bahwa seseorang baru dapat dimintai
pertanggung jawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dilakukannya. Prinsip ini tergambar dalam ketentuan Pasal 1365,1366 dan
Pasal 1367 KUH-Perdata. Pasal 1365 KUH-Perdata mengharuskan adanya 4
(empat) unsur pokok untuk dapat dimintai pertanggungjawaban hukum dalam
perbuatan melawan hukum, yaitu adanya perbuatan, unsur kesalahan,
kerugian yang diderita, dan hubungan kausalita antara kesalahan dan
kerugian. Pengertian perbuatan melawan hukum yang lebih luas dapat dilihat
dalam yurisprudensi Arrest Hoge Raad kasus Cohen-Lindenbaum, yaitu suatu
perbuatan melawan (onrechmatige daad) sebagai suatu perbuatan atau
kealpaan yang bertentangan dengan hak orang lain, atau atau bertentangan
dengan kesusilaan dan keharusan dalam pergaulan hidup. Dengan demikian
terdapat 4 (empat) unsur suatu perbuatan dikategorikan sebagai perbuatan
melawan hukum, yaitu :
a) perbuatan tersebut bertentangan dengan hak orang lain;
b) bertentangan dengan kewajiban hukum sendiri;
c) bertentangan dengan kesusilaan;
d) bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaula
masyarakat.
Berkenaan dengan prinsip ini, akan mengemuka persoalan mengenai
subyek hukum pelaku kesalahan (Pasal 1367 KUH-Perdata). Dalam doktrin
hukum dikenal adanya vicorious liability dan corporate liability. Vicorious
liability merupakan pertanggung jawaban atas kesalahan orang yang berada
dibawah pengawasan majikan. Jika orang tersebut dipindahkan pada
penguasaan pihak lain, maka tanggung jawabnya juga beralih kepada pihak
lain tersebut. Sementara itu corporate liability lebih menekankan pada
tanggung jawab lembaga/korporasi terhadap tenaga yang dipekerjakannya.
Misalnya hubungan hukum antara bank nasabah, semua tanggung jawab atas
pekerjaan pegawai bank yang dilakukan di bank tersebut adalah menjadi
beban tanggung jawab bank.
2. Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggung Jawab (presumption of liability
principle)
Prinsip ini menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap bertanggung
jawab sampai ia dapat membuktikan ia tidak bersalah (pembuktian terbalik).
Pasal 22 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen menegaskan bahwa beban pembuktian (ada tidaknya kesalahan)
berada pada pelaku usaha dalam perkara pidana pelanggaran Pasal 19 ayat
(4), Pasal 20, dan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
3. Prinsip Praduga Untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab
Prinsip ini merupakan kebalikan dari prinsip kedua dan hanya dikenal
dalam lingkup transaksi yang sangat terbatas yang secara common sense
dapat dibenarkan. Misalnya seseorang yang minum air di kali tanpa dimasak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
terlebih dahulu, apabila sakit tidak dapat menuntut pabrik yang terletak
disekitar sungai tersebut. Seharusnya ia memasak air itu terlebih dahulu.
4. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (strict liability).
Prinsip ini menetapkan bahwa suatu tindakan dapat dihukum atas
dasar perilaku berbahaya yang merugikan (harmful conduct) tanpa
mempersoalkan ada tidaknya kesengajaan (intention) atau kelalaian
(negligence). Prinsip ini menegaskan hubungan kausalitas antara subyek yang
bertanggung jawab dan kesalahan dibuatnya, dengan memperhatikan adanya
force majeur sebagai faktor yang dapat melepaskan diri dari tanggung jawab.
Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlidungan konsumen
diterapkan pada produsen yang memasarkan produk cacat sehingga dapat
merugikan konsumen (product liability).
5. Prinsip Tanggung Jawab Dengan Pembatasan
Prinsip ini sering dipakai pelaku usaha untuk membatasi beban
tanggung jawab yang seharusnya ditanggung oleh mereka, yang umumnya
dikenal dengan pencantuman klausa ekonerasi dalam perjanjian standar yang
dibuatnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bentuk-bentuk tanggung
jawab dari pelaku usaha adalah sebagai berikut:
a) Contractual liability
Yaitu tanggung jawab perdata atas dasar perjanjian atau kontrak dari
pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi
barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau memanfaatkan jasa yang
diberikannya.
b) Product liability
Adalah tanggung jawab perdata secara langsung (strict liability) dari
pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen akibat menggunakan
produk yang dihasilkannya. Pertanggung jawaban ini diterapkan dalam hal
tidak terdapat hubungan perjanjian (no privity of contract) antara pelaku
usaha dan konsumen.
c) Professional liability
Dalam hal hubungan perjanjian merupakan prestasi yang terukur sehingga
merupakan perjanjian hasil, tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada
pertanggung jawaban profesional yang menggunakan tanggung jawab
perdata atas perjanjian/kontrak (contractual liability) dari pelaku usaha
sebagai pemberi jasa atas kerugian yang dialami konsumen.
d) Criminal liability
Dalam hubungan pelaku usaha dengan negara dalam memelihara
keamanan masyarakat, tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada
pertanggungjawaban pidana (Agus Santoso, 2008:7).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Berdasarkan prinsip-prinsip tanggung jawab diatas penulis akan
membahas tentang tanggung jawab pidana (criminal liability) yang harus
ditanggung pihak bank terhadap perbuatan melawan hukum yang dilakukan debt
collector dalam melaksanakn tugas pengihan utang kepada nasabah kartu kredit.
Untuk melindungi nasabah kartu kedit pihak bank mempunyai kewajiban
dalam hal meminimalisir terhadap resiko yang terjadi yang dapat merugikan
kedua belah pihak sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
14/2/PBI/2012 tentang alat pembayaran menggunakan kartu kredit. Hal ini juga
disebut oleh Victorya Iyashina dalam Journal Bisnis of Venturing :
“Attempt to shed more light on the bank’s motives for transferring
information about the target. In particular, a bank might transmit
information about one client to another so as to increase the probability of
transferring loans from an ex-ante bad borrower to an ex-ante good
borrower so as to reduce its overall credit risk” (Victorya Iyashina,
2011:32).
Inti dari kutipan diatas adalah bank mempunyai kewajiban memberi
informasi yang jelas dan secara rutin dalam hal target tentang perjanjian dan
transaksi yang dilakukan oleh nasabah agar terjadi hubungan baik serta mencegah
resiko yan kredit antara kedua belah pihak. Berikutnya upaya untuk menjelaskan
lebih lanjut tentang motif bank untuk mentransfer informasi mengenai target.
Secara khusus, bank wajib mengirimkan informasi kepada klien tentang resiko
buruk kredit agar menjadi sebuah sistem kredit yang tidak merugikan kedua belah
pihak.
Peraturan Bank Indonesia yang ada mengatur tentang pertanggungjawaban
bank atas eksistensi penggunaan jasa ketiga dalam penagihan hutang debt
collector adalah Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/2/PBI/2012 Pasal 21 ayat
(1) yang berbunyi:
“Dalam hal Penerbit melakukan kerja sama dengan pihak-pihak di luar
pihak maka Penerbit bertanggung jawab atas kerja sama tersebut”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Hal ini diperjelas oleh bagian penjelasan yang mengatakan:
“Yang dimaksud dengan pihak-pihak di luar pihak lain” dalam ayat ini
misalnya perusahaan jasa pengiriman dokumen, agen pemasaran (sales
agent) atau jasa penagihan (debt collector)”.
Jika menilik lebih jauh, jikalau kita melihat beberapa asas penagihan
hutang yang ada di beberapa negara seperti di Victoria, Australia dalam debt
collection act 1999 ditegaskan adanya beberapa asas dan petunjuk tentang
hubungan tiga pihak tersebut ( Pengguna Kartu, Perbankan dan Jasa Pihak Ketiga)
yang meliputi : Communicating with the consumer, Personal visits, Frequency of
contact, Communicating with the consumer at work, Communication where a
payment agreement has been entered into, Communication where the consumer
has denied liability, stated an intention to defendlegal proceedings brought in
relation to the debt or verified that he or she has no capacity to repay the debt,
Communication where the consumer is bankrupt or has entered into an
arrangement under the Bankruptcy Act, Communication in relation to statute
barred debts, Communication with a consumer's personal representative,
Communicating with third parties, Coercion, Language, violence and physical
force. Misleading and deceptive conduct (Jun Cai, 2011:12).
Di dalam Victoria Debt Collection Act ini melarang debt collector
melakukan panggilan telepon, sms, email bahkan surat ke debitur lebih dari 3
(tiga) kali seminggu dan maksimal 10 (sepuluh) kali sebulan kepada konsumen,
melakukan panggilan secara terus menerus, melibatkan seseorang dalam
percakapan secara berulang kali dan terus menerus. Hal ini sebagaimana diatur
dalam Section 4 Guiding Principle dalam Undang-undang tersebut.
Amerika Serikat mempunyai Undang-undang yang mengatur praktek
penagihan hutang. Undang-undang ini disebut The Fair Debt Collection Practices
Act (FDCPA) yang diterbitkan pada Tahun 1978 yang pembaruannya yang terkini
adalah pada Tahun 2006. Undang-undang ini merupakan panduan tentang
bagaimana seharusnya para debt collector melakukan pekerjaannya sehingga
diharapkan dapat mengurangi bahkan menghilangkan tindakan-tindakan yang
melanggar peraturan dalam penagihan hutang kepada konsumen. FDCPA ini pada
prakteknya di lapangan diterapkan untuk debt collector daripada pihak ketiga.
Kegiatan debt collecting yang diserahkan pada pihak ketiga ini senada dengan
yang dimaksud dalam penjelasan Pasal 21 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia
Nomor 14/2/PBI/2012 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran
Dengan Menggunakan Kartu mengenai apa itu pihak-pihak di luar pihak lain.
Undang-undang ini sebagai contoh melarang debt collector untuk melakukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
panggilan telepon kepada debitur diluar dari jam 8 pagi hingga jam 9 malam,
melakukan teror panggilan secara terus menerus kepada Debitur, larangan untuk
melakukan panggilan ke tempat kerja debitur dan larangan untuk mengucapkan
kata-kata kasar kepada debitur. Tindakan meneror debitur dengan melakukan
panggilan telepon diluar jam kantor dan secara terus menerus serta dibarengi
dengan kata-kata kasar akan memberikan efek tekanan psikologis terhadap debitur
yang berujung kepada ketakutan debitur dalam menjalani kehidupannya. Setiap
orang memiliki hak untuk bebas dari rasa ketakutan sebagaiman diatur dalam
pasal 9 ayat 2 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi
Manusia (Jun Cai, 2011:15).
Bahkan FDCPA ini mengharuskan para debt collector sewaktu bertugas
untuk selalu menunjukkan identitas dirinya secara jelas kepada klien,
memberitahukan kepada debitur kalau mereka mempunyai hak untuk
memperdebatkan tagihan kredit mereka, dan juga debt collector berhak untuk
mengajukan gugatan ke pengadilan yang berkompetensi. Hal-hal di atas
merupakan dasar bagi peletakan aturan yang jelas akan hubungan dengan pihak-
pihak terkait akan pola peranan masing-masing yang akan ditempuh misalnya
tidak boleh melakukan panggilan telepon dari debt collector kepada pemegang
kartu kredit pada jam-jam yang tidak normal dan atau yang menggangu pemegang
kartu dan atau melakukan kunjungan secara langsung sebelum diijinkan oleh
pemegang kartu dana tau melakukan kunjungan yang dapat menggangu privasi
pemegang kartu kredit. Apa yang terjadi saat ini di Indonesia adalah hal yang
mungkin saja bertentangan dengan kepatutan dan atau bahkan bertentangan
dengan hukum misalnya seorang debt collector mendatangi pemegang kartu kredit
yang sudah menunggak dan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
hukum dan bahkan melanggar huikum Pidana.
Jadi jelas bahwa, pengaturan hubungan antar pihak (tiga pihak) ini harus
dan sudah sewajarnya mendapatkan prioritas terpenting untuk mengatur pengguna
kartu kredit. Bahkan kerahasian informasi nasabah perlu mendapat pengaturan
yang lebih jelas, bukan saja sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia Bab III Pasal 9 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/6/PBI/ 2005 tentang
Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah
secara tegas – tegas menyatakan :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(1) Bank wajib meminta persetujuan tertulis dari Nasabah dalam hal Bank akan
memberikan dan atau menyebarluaskan Data Pribadi Nasabah kepada Pihak
lain untuk tujuan komersial, kecuali ditetapkan lain oleh peraturan
perundang-undangan lain yang berlaku.
(2) Dalam permintaan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank
wajib terlebih dahulu menjelaskan tujuan dan konsekuensi dari pemberian
dan atau penyebarluasan Data Pribadi Nasabah kepada Pihak Lain
Transparansi tentang informasi produk bank ini sangat penting untuk
diperhatikan oleh para penyelenggara jasa keuangan dalam hal ini adalah bank
dengan nasabah sehingga mengurangi risiko kredit secara keseluruhan termasuk
penggunaan jasa debt collector oleh bank yang berujung adanya tindak pidana
yang dilakukan dalam hal penagihan utang kartu kredit terhadap nasabah.
Pasal-pasal dalam KUHP dapat diterapkan terhadap tindakan pelampauan
batas wewenang tersebut, yaitu Pasal 167 KUHP (memaksa masuk ke dalam
rumah, ruangan, atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain dengan
melawan hukum), Pasal 333 KUHP (perampasan kemerdekaan, penyanderaan
debitur dengan melawan hukum), Pasal 351 KUHP (penganiayaan), Pasal 362,
363, Pasal 362 dan 369 KUHP, serta Pasal 406 KUHP (perusakan barang).
Pemaksaan penegakan hukum dengan cara itu sejatinya bisa menempatkan pejabat
bank sebagai tersangka dan/atau terdakwa.
Memperhatikan satu persatu pasal-pasal dalam KUHP, maka dapat dilihat
bahwa yang dapat melakukan tindak pidana serta yang dapat dituntut
pertanggungjawabannya adalah orang perorang atau manusia secara fisik dan
individual. Tidak ada satu pasal pun dalam KUHP yang mengatur pelaku pidana
bukan manusia atau orang, demikian juga tidak ada satu pasal pun dalam KUHP
yang mengatur tindak pidana dapat dilakukan oleh Perseroan atau badan hukum.
Oleh karena itu, KUHP tidak mengenal pertanggungjawaban pidana korporasi.
Untuk menjembatani jurang ketidakadilan tersebut, maka hukum pidana harus
mengadopsi doktrin vicarious liability sesuai dengan konstruksi respondent
superior. Responden superior adalah prinsip pertanggungjawaban atas perbuatan
melawan hukum yang dilakukan agen atau bawahannya. Doktrin ini diterapkan
dalam kerangka hubungan hukum antara majikan atau principal dengan pegawai
atau agen dalam rangka pelaksanaan tugas (Lukman Santoso, 2011:126).
Pengadopsian konstruksi responden superior dari bidang perdata ke
bidang pidana harus berpatokan pada syarat yang sangat terbatas, sebagaimana
dijelaskan sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1. Majikan memberi izin atau persetujuan atas perbuatan itu. Selain itu
diperlukan lagi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Izin atau persetujuan itu dalam kerangka otoritasnya
b. Perbuatan yang dilakukan oleh bawahan merupakan pelaksanaan pekerjaan
yang ditugaskan oleh majikan kepadanya.
2. Majikan ikut berpatisipasi atas perbuatan yang dilakukan bawahan. Majikan
dianggap ikut berpatisipasi dalam tindakan pidana yang dilakukan bawahan
apabila terpenuhi unsur turut serta melakukan perbuatan yang digariskan oleh
Pasal 55 dan 56 KUHP. Bisa dalam kedudukan orang yang menyuruh
melakukan (doen pleger), bersama-sama melakukan (medepleger) atau
membantu melakukan (medepletigheit)
3. Bawahan melakukan perbuatan atas perintah majikan.
Mengenai bentuk ini dapat diterapkan ketentuan Pasal 55 ayat (1) KUHP.
Menurut ketentuan ini, orang yang menyuruh melakukan tindak pidana
(doen plegen) ikut bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan orang
disuruh. Dalam hal ini meskipun majikan tidak melakukan sendiri
perbuatan pidana dan yang melakukan adalah bawahannya, maka majikan
dipandang sebagai pelaku dan dihukum sebagai pelaku.
4. Berdasarkan pendelegasian
Pelanggaran yang dilakukan oleh bawahan, bertitik tolak dari pendelegasian
dari majikan. Dalam hal ini majikan bertanggungjawab atas tindak pidana
yang dilakukan oleh bawahannya, apabila perbuatan itu dalam kerangka
pendelegasian (Lukman Santoso, 2011:127).
Konstruksi respondent superior dapat digunakan untuk mengadopsi
doktrin vicarious liability adalah suatupertanggungjawaban yang dipaksakan
kepada seseorang atas perbuatan orang lain karena perbuatan atau kelalaian
pelaku dianggap bertalian atau dikonstruksikan berhubungan dengan orang lain.
Berbagai alasan dan kajian yang dapat mendukung penggunaan
doktrin vicarious liability adalah:
1. Perbuatan dan kesadaran orang yang mengontrol dan menjalankan kegiatan
korporasi, menjelma dan menyatu menjadi perbuatan dan kesadaran
korporasi.Menurut pendapat ini, setiap orang yang bertindak mengontrol dan
melaksanakan kegiatan Perseroan untuk tujuan dan kepentingan Perseroan,
maka:
a. Perbuatan dan kesadaran dari Direksi atau pegawai, menyatu menjadi
perbuatan dan kesadaran korporasi.
b. Berdasarkan konstruksi ini, pertanggungjawaban pidana yang melekat
pada diri pelaku tersebut, dengan sendirinya menurut hukum menjadi
tanggungjawab pidana Perseroan yang bersangkutan.
2. Dewan Direksi, Manajer, dan Pejabat Tinggi yang melaksanakan fungsi
manajemen, berbicara dan berbuat seperti korporasi itu sendiri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3. Personalitas perseroan adalah fiksi hukum, kesadaran dan tindakannya identik
dengan kesadaran dan perbuatan Direksi atau Pejabat Senior Korporasi
(Munir Fuadzi, 2009:112).
Menurut pendapat diatas, siapa yang secara nyata memegang kekuasaan
untuk melaksanakan fungsi operasional Perseroan, maka tindakan yang
dilakukannya adalah sama dengan tindakan korporasi. Oleh karena itu, jika orang
yang memegang fungsi operasional perusahaan melanggar hukum maka tanggung
jawab pidana atas perbuatanya tidak terbatas kepada mereka, tetapi juga menjadi
tanggungjawab pidana Perseroan.
Berdasarkan konstruksi ini, perseroan bertanggungjawab atas konspirasi
yang dilakukan oleh Direksi dan Manajer, karena setiap tujuan dan kemauan atau
kehendak Direksi atau Manajer dianggap sebagai tujuan dan kemauan
korporasi.Yang perlu ditekankan dalam mendukung pendapat-pendapat diatas
adalah Perseroan hanya identik dengan tindakan pegawainya apabila hal itu dalam
kerangka pelaksanaan tugas. Suatu perbuatan atau peristiwa yang dilakukan oleh
pegawai tidak identik dengan perbuatan Perseroan jika hal itu berada di luar
kerangka fungsi yang di tugaskan.
Pada dasarnya hukuman yang dapat dijatuhkan kepada perseroan dalam
rangka pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh pegawainya hanya
hukuman denda, oleh karena itu, tindak pidana pembunuhan sulit untuk
dipertanggungjawabkan kepada Perseroan sebagai principal atas tindak pidana
yang dilakukan pegawainya. Mengenai kasus ini, terdapat salah satu contoh
dalam Blackstone’s Criminal Practice. Perusahaan OLL Ltd, didakwa melakukan
tindak pidana yang menyebabkan matinya 4 orang dalam tragedi sampan di Hyme
Bay. Dalam kasus ini Direktur dan Manajer di hukum 3 tahun dan Perusahaan di
hukum denda sebesar £ 60.000.000,-. Dari contoh kasus diatas dapat dilihat bahwa
Perseroan dapat dituntut pertanggungjawaban pidana, dan bentuk
pertanggungjawabannya berupa hukuman denda (Lukman santoso, 2011:137).
Berdasarkan uraian diatas dapat dicermati bahwa pertanggungjawaban
pidana Perseroan merupakan tambahan pertanggungjawaban individual pegawai
korporasi. Dalam hal ini, pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada
Perseroan atas perbuatan pidana yang dilakukan oleh pegawai Perseroan yang
bersangkutan tidak menimbulkan hilangnya tanggungjawab individual pelakunya.
Sehubungan dengan itu, tidak ada alasan hukum untuk menggugurkan tanggung
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
jawab pribadi pelaku dengan dalil seolah-olah tanggungjawab pribadinya telah
diambil atau dialihkan kepada Perseroan. Tanggung jawab Perseroan hanya
sebagai tambahan terhadap tanggungjawab pribadi.
Hubungan pihak perbankan dan perusahaan outsourching debt collector
tidak pernah jelas. Akibat ketidakjelasan ini maka seringkali urusan yang pada
awalnya hanya urusan perdata kemudian berubah menjadi urusan
pidana. Masyarakat sebagai nasabah tidak pernah tahu hubungan kerja antara bank
dan perusahaan debt collector yang mereka pekerjakan apakah itu hubungan
pengalihan hutang atau hubungan pemberian kuasa.
Dengan demikian debt collector pun cenderung bekerja semaunya sendiri
dan disini nasabahlah yang paling dirugikan, sebab jika hubungan bank dengan
perusahaan debt collector itu bersifat pemberian kuasa atau berdasarkan hukum
atas nama, maka nasabah harus diberitahu bahwa bank telah memberikan
kuasanya kepada pihak debt collector dan debt collector harus membuktikan di
depan nasabah bahwa mereka diberikan kuasa. Dengan demikian maka tidak bisa
seorang debt collector datang ke nasabah dan mengaku-ngaku sebagai utusan
bank tanpa memperlihatkan surat kuasanya. Selama ini itu tidak dilakukan oleh
pihak debt collector. Pihak bank juga bisa memberitahukan secara tertulis kepada
nasabah bahwa mereka telah menguasakan penagihan kepada pihak A misalnya.
Jika ada seseorang yang mengaku dari bank terus dibayar hutangnya padahal dia
bukan dari bank, tidak ada kepastian pihak yang nanti akan bertanggung jawab.
Karena itu nasabah bisa menolak kehadiran debt collector yang tidak membawa
surat kuasa. Dan jika mereka tetap melakukan intimidasi, maka bisa
melaporkannya kepada pihak kepolisian, masalah lain yang muncul sejak awal
dengan penggunaan debt collector itu sudah menyalahi undang-undang. Pasalnya,
dengan menggunakan jasa debt collector, bank sudah jelas dengan sengaja
menggunakan cara intimidasi atau kekerasan dalam penagihan kredit. penggunaan
jasa debt collector merupakan bukti permulaan adanya niat untuk menggunakan
cara intimidasi. Sehingga pihak bank, yang merupakan si penyuruh, dapat dikenai
KUHP Pasal 55. Pasal 55 berbunyi :
(1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang
turut serta melakukan perbuatan;
2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu
dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan
kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi
kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan
orang lain supaya melakukan perbuatan.
(2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah
yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya (R.Soesilo,1995:72).
Penjelasan pasal 55 KUHP :
1. Orang yang melakukan (pleger). Orang ini ialah seseorang yang
sendirian berbuat mewujudkan segala analisir atau elemen dari
peristiwa pidana. Dalam peristiwa pidana yang dilakukan dalam
jabatan misalnya orang itu harus memenuhi elemen sebagai pegawai
suatu instansi tertentu.
2. Orang yang menyuruh melakukan (doen plegen). Disini sedikitnya ada
dua orang, yang menyuruh (doen plegen) dan yang disuruh (pleger).
Jadi bukan orang itu sendiri yang melakukan peristia pidana, akan
tetapi ia menyuruh orang lain. Disuruh (pleger) itu harus hanya
merupakan suatu alat (instrument) saja (R.Soesilo,1995:72).
Pengaturan mengenai penyertaan dalam melakukan tindak pidana terdapat
dalam KUHP yaitu Pasal 55 dan Pasal 56. Dari ketentuan dalam KUHP tersebut
dapat disimpulkan bahwa antara yang menyuruh maupun yang membantu suatu
perbuatan tindak pidana dikategorikan sebagai pembuat tindak pidana.
Berkaitan dalam asas hukum pidana yaitu Geen straf zonder schuld, actus
non facit reum nisi mens sir rea, bahwa tidak dipidana jika tidak ada kesalahan,
maka pengertian tindak pidana itu terpisah dengan yang dimaksud
pertanggungjawaban tindak pidana.
Tindak pidana hanyalah menunjuk kepada dilarang dan diancamnya
perbuatan itu dengan suatu pidana, kemudian apakah orang yang melakukan
perbuatan itu juga dijatuhi pidana sebagaimana telah diancamkan akan sangat
tergantung pada soal apakah dalam melakukan perbuatannya itu si pelaku juga
mempunyai kesalahan.
Dalam kebanyakan rumusan tindak pidana, unsur kesengajaan atau yang
disebut dengan opzet merupakan salah satu unsur yang terpenting. Dalam
kaitannya dengan unsur kesengajaan ini, maka apabila didalam suatu rumusan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
tindak pidana terdapat perbuatan dengan sengaja atau biasa disebut dengan
opzettelijk, maka unsur dengan sengaja ini menguasai atau meliputi semua unsur
lain yang ditempatkan dibelakangnya dan harus dibuktikan.
Sengaja berarti juga adanya kehendak yang disadari yang ditujukan untuk
melakukan kejahatan tertentu. Maka berkaitan dengan pembuktian bahwa
perbuatan yang dilakukannya itu dilakukan dengan sengaja, terkandung
pengertian menghendaki dan mengetahui atau biasa disebut dengan willens en
wetens. Yang dimaksudkan disini adalah seseorang yang melakukan suatu
perbuatan dengan sengaja itu haruslah memenuhi rumusan willens atau haruslah
menghendaki apa yang ia perbuat dan memenuhi unsur wettens atau haruslah
mengetahui akibat dari apa yang ia perbuat.
Disini dikaitkan dengan teori kehendak yang dirumuskan oleh Von Hippel
maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksudkan dengan sengaja adalah kehendak
membuat suatu perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan suatu akibat dari
perbuatan itu atau akibat dari perbuatannya itu yang menjadi maksud dari
dilakukannya perbuatan itu. Jika unsur kehendak atau menghendaki dan
mengetahui dalam kaitannya dengan unsur kesengajaan tidak dapat dibuktikan
dengan jelas secara materiil -karena memang maksud dan kehendak seseorang itu
sulit untuk dibuktikan secara materiil- maka pembuktian adanya unsur
kesengajaan dalam pelaku melakukan tindakan melanggar hukum sehingga
perbuatannya itu dapat dipertanggungjawabkan kepada si pelaku seringkali hanya
dikaitkan dengan keadaan serta tindakan si pelaku pada waktu ia melakukan
perbuatan melanggar hukum yang dituduhkan kepadanya tersebut. Disamping
unsur kesengajaan diatas ada pula yang disebut sebagai unsur kelalaian atau
kelapaan atau culpa yang dalam doktrin hukum pidana disebut sebagai kealpaan
yang tidak disadari atau onbewuste schuld dan kealpaan disadari atau bewuste
schuld. Dimana dalam unsur ini faktor terpentingnya adalah pelaku dapat
menduga terjadinya akibat dari perbuatannya itu atau pelaku kurang berhati-hati.
Wilayah culpa ini terletak diantara sengaja dan kebetulan. Kelalaian ini dapat
didefinisikan sebagai apabila seseorang melakukan sesuatu perbuatan dan
perbuatan itu menimbulkan suatu akibat yang dilarang dan diancam dengan
hukuman oleh undang-undang, maka walaupun perbuatan itu tidak dilakukan
dengan sengaja namun pelaku dapat berbuat secara lain sehingga tidak
menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang, atau pelaku dapat tidak
melakukan perbuatan itu sama sekali (Von Hippel dalam Lamintang, 1996:10).
.
Dalam culpa atau kelalaian ini, unsur terpentingnya adalah pelaku
mempunyai kesadaran atau pengetahuan yang mana pelaku seharusnya dapat
membayangkan akan adanya akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya, atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dengan kata lain bahwa pelaku dapat menduga bahwa akibat dari perbuatannya itu
akan menimbulkan suatu akibat yang dapat dihukum dan dilarang oleh undang-
undang.
Maka dari uraian tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa jika ada hubungan
antara batin pelaku dengan akibat yang timbul karena perbuatannya itu atau ada
hubungan lahir yang merupakan hubungan kausal antara perbuatan pelaku dengan
akibat yang dilarang itu, maka hukuman pidana dapat dijatuhkan kepada si pelaku
atas perbuatan pidananya itu.
Van Hamel mengemukakan ajaran mengenai penyertaan itu adalah
Sebagai suatu ajaran yang bersifat umum, pada dasarnya merupakan suatu ajaran
mengenai pertanggungjawaban dan pembagian pertanggungjawaban, yakni dalam
hal dimana suatu delik yang menurut rumusan undang-undang sebenarnya dapat
dilakukan oleh seseorang secara sendirian, akan tetapi dalam kenyataannnya telah
dilakukan oleh dua orang atau lebih dalam suatu kerja sama yang terpadu baik
secara psikis (intelektual) maupun secara material (Van Hamel dalam Lamintang,
1996:11).
Berdasarkan pasal-pasal dalam KUHP, penyertaan dibagi menjadi 2 (dua)
pembagian besar, yaitu:
1. Pembuat atau Dader
Pembuat atau dader diatur dalam Pasal 55 KUHP. Pengertian dader itu
berasal dari kata daad yang di dalam bahasa Belanda berarti sebagai hal
melakukan atau sebagai tindakan. Dalam ilmu hukum pidana, tidaklah lazim
orang mengatakan bahwa seorang pelaku itu telah membuat suatu tindak
pidana atau bahwa seorang pembuat itu telah membuat suatu tindak pidana,
akan tetapi yang lazim dikatakan orang adalah bahwa seorang pelaku itu telah
melakukan suatu tindak pidana. Pembuat atau dader sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 55 KUHP, yang terdiri dari :
a. Pelaku (pleger). Menurut Hazewinkel Suringa yang dimaksud dengan
Pleger adalah setiap orang yang dengan seorang diri telah memenuhi
semua unsur dari delik seperti yang telah ditentukan di dalam rumusan
delik yang bersangkutan, juga tanpa adanya ketentuan pidana yang
mengatur masalah deelneming itu, orang-orang tersebut tetap dapat
dihukum.
b. Yang menyuruhlakukan (doenpleger). Mengenai doenplagen atau
menyuruh melakukan dalam ilmu pengetahuan hukum pidana biasanya di
sebut sebagai seorang middelijjke dader atau seorang mittelbare tater yang
artinya seorang pelaku tidak langsung. Ia di sebut pelaku tidak langsung
oleh karena ia memang tidak secara langsung melakukan sendiri tindak
pidananya, melainkan dengan perantaraan orang lain. Dengan demikian
ada dua pihak, yaitu pembuat langsung atau manus ministra/auctor
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
physicus), dan pembuat tidak langsung atau manus domina/auctor
intellectualis. Untuk adanya suatu doenplagen seperti yang dimaksudkan
di dalam Pasal 55 ayat (1) KUHP, maka orang yang disuruh melakukan itu
haruslah memenuhi beberapa syarat tertentu. Menurut Simons, syarat-
syarat tersebut antara lain:
1) Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu
adalah seseorang yang ontoerekeningsvatbaar seperti yang
tercantum dalam Pasal 44 KUHP.
2) Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana
mempunyai suatu kesalahpahaman mengenai salah satu unsur dari
tindak pidana yang bersangkutan (dwaling).
3) Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu sama
sekali tidak mempunyai schuld, baik dolus maupun culpa ataupun
apabila orang tersebut tidak memenuhi unsur opzet seperti yang telah
disyaratkan oleh undang-undang bagi tindak pidana tersebut.
4) Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu tidak
memenuhi unsur oogmerk padahal unsur tersebut tidak disyaratkan
di dalam rumusan undang-undang mengenai tindak pidana.
5) Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu telah
melakukannya di bawah pengaruh suatu overmacht atau di bawah
pengaruh suatu keadaan yang memaksa, dan terhadap paksaan mana
orang tersebut tidak mampu memberikan suatu perlawanan.
6) Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana dengan
itikad baik telah melaksanakan suatu perintah jabatan padahal
perintah jabatan tersebut diberikan oleh seorang atasan yang tidak
berwenang memberikan perintah semacam itu.
7) Apabila orang yang disuruh melakukan suatu itndak pidana itu tidak
mempunyai suatu hoedanigheid atau suatu sifat tertentu seperti yang
telah disyaratkan oleh undng-undang yaitu sebagai suatu sifat yang
harus dimiliki oleh pelakunya sendiri.
c. Yang turut serta (medepleger). Menurut MvT adalah orang yang dengan
sengaja turut berbuat atau turut mengerjakan terjadinya sesuatu. Oleh
karena itu, kualitas masing-masing peserta tindak pidana adalah sama.
d. Penganjur (uitlokker) adalah orang yang menggerakkan orang lain untuk
melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang
ditentukan oleh undang-undang secara limitatif, yaitu memberi atau
menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat,
kekerasan, ancaman, atau penyesatan, dengan memberi kesempatan,
sarana, atau keterangan.
2. Pembantu atau medeplichtige
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 56 KUHP, pembantuan ada 2 (dua)
jenis, yaitu :
a. Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan. Cara bagaimana
pembantuannya tidak disebutkan dalam KUHP. Pembantuan pada saat
kejahatan dilakukan ini mirip dengan turut serta (medeplegen), namun
perbedaannya terletak pada :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1) Pada pembantuan perbuatannya hanya bersifat membantu atau
menunjang, sedang pada turut serta merupakan perbuatan
pelaksanaan.
2) Pada pembantuan, pembantu hanya sengaja memberi bantuan tanpa
diisyaratkan harus kerja sama dan tidak bertujuan atau berkepentingan
sendiri, sedangkan dalam turut serta, orang yang turut serta sengaja
melakukan tindak pidana, dengan cara bekerja sama dan mempunyai
tujuan sendiri.
3) Pembantuan dalam pelanggaran tidak dipidana (Pasal 60 KUHP),
sedangkan turut serta dalam pelanggaran tetap dipidana.
4) Maksimum pidana pembantu adalah maksimum pidana yang
bersangkutan dikurangi 1/3 (sepertiga), sedangkan turut serta dipidana
sama.
b. Pembantuan sebelum kejahatan dilakukan, yang dilakukan dengan cara
memberi kesempatan, sarana atau keterangan. Pembantuan dalam rumusan
ini mirip dengan penganjuran (uitlokking). Perbedaannya pada niat atau
kehendak, pada pembantuan kehendak jahat pembuat materiel sudah ada
sejak semula atau tidak ditimbulkan oleh pembantu, sedangkan dalam
penganjuran, kehendak melakukan kejahatan pada pembuat materiel
ditimbulkan oleh si penganjur.penjara maksimal 15 tahun (Lamintang,
1996:13).
Namun ada beberapa catatan pengecualian Berbeda dengan
pertanggungjawaban pembuat yang semuanya dipidana sama dengan pelaku,
pembantu dipidana lebih ringan dari pada pembuatnya, yaitu dikurangi sepertiga
dari ancaman maksimal pidana yang dilakukan (Pasal 57 ayat (1) KUHP). Jika
kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, pembantu
dipidana. Pembantu dipidana sama berat dengan pembuat, yaitu pada kasus tindak
pidana :
" a) Membantu merampas kemerdekaan (Pasal 333 ayat (4) KUHP) dengan
cara memberi tempat untuk perampasan kemerdekaan,
b) Membantu menggelapkan uang atau surat oleh pejabat (Pasal 415 KUHP),
c) Meniadakan surat-surat penting (Pasal 417 KUHP)” (Lamintang,
1996:14).
3. Gabungan tindak pidana (samenloop van starfbare feiten) terdiri atas tiga
macam gabungan tindak pidana, yaitu :
a. Seorang dengan satu perbuatan melakukan beberapa tindak pidana, yang
dalam ilmu pengetahuan hukum dinamakan “gabungan berupa satu
perbuatan” (eendaadsche samenloop), diatur dalam Pasal 163 KUHP.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
b. Seorang melakukan bebrapa perbuatan yang masing-masing
merupakan tindak pidana, tetapi dengan adanya hubungan antara satu
sama lain, dianggap sebagai satu perbuatan yang dilanjutkan
(Voortgezette handeling), diatur dalam Pasal 64 KUHP.
c. Seorang melakukan beberapa perbuatan yang tidak ada hubungan satu
sama lain, dan yang masing-masing merupakan tindak pidana; hal
tersebut dalam ilmu pengetahuan hukum dinamakn “gabungan beberapa
perbuatan “(meerdaadsche samenloop), diatur dalam Pasal 65 dan 66
KUHP (Lamintang, 1996:15).
Dari uraian tentang penyertaan dalam melakukan kejahatan diatas jelaslah
tidak ada dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1988 tentang Perbankan,
didalam Undang – Undang Perbankan juga tidak menjelaskan secara rinci tentang
tanggung jawab pidana bank, tetapi Peraturan Bank Indonesia Nomor
14/2/PBI/2012 Pasal 21 ayat (1). Dalam hal Penerbit melakukan kerja sama
dengan pihak-pihak di luar pihak maka Penerbit bertanggung jawab atas kerja
sama tersebut. Sehingga pihak bank, yang merupakan penyuruh atau pemberi
perintah debt collector, dapat dikenai Pasal 55 KUHP tentang penyertaan dalam
melakukan tindak pidana. Menurut ketentuan dalam Pasal 55 KUHP, orang yang
menyuruh melakukan tindak pidana (doen plegen) ikut bertanggungjawab atas
perbuatan yang dilakukan orang disuruh. Dalam hal ini meskipun majikan (pihak
bank) tidak melakukan sendiri perbuatan pidana dan yang melakukan adalah
bawahannya (debt collector), maka majikan atau dalam hal ini adalah pihak bank
dipandang sebagai pelaku dan dapat dihukum sebagai pelaku yaitu pihak yang
bertanggung jawab dalam struktur perseroan bank.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dan pembahasan
terhadap masalah-masalah yang diangkat dalam penulisan ini mengenai kajian
tentang tindak pidana yang dilakukan oleh debt collector atas perintah bank
kepada nasabah dalam menagih utang kartu kredit maka diperoleh simpulan
sebagai berikut :
1. Pemberian kuasa sebagaimana dimaksud Pasal 1792 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata. Dalam hubungan hukum ini, hubungan perdata hanya
mengikat antara pihak bank dengan debt collector. Tidak ada hubungan hukum
antara konsumen (nasabah) dengan pihak debt collector. Pemberian kuasa
tersebut tidak boleh melampaui batas wewenang yang dikuasakan kepada debt
collector, seperti tindak kekerasan, pelanggaran kebebasan rumah tangga,
penyanderaan, perusakan barang, pencurian, bahkan dapat menjurus pada
penganiayaan/penyiksaan dan perbuatan melawan hukum yang lain. Apabila
terjadi pelampauan batas kewenangan, maka pasal-pasal di dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dapat di identfikasikan ke dalam
perbuatan yang dilakukan debt collector kepada nasabah kartu kredit. Pasal-
pasal itu antara lain adalah Pasal 167 KUHP (memaksa masuk ke dalam
rumah, ruangan, atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain dengan
melawan hukum), Pasal 333 KUHP (perampasan kemerdekaan, penyanderaan
debitur dengan melawan hukum), Pasal 351 KUHP (penganiayaan), Pasal 362,
363, 365 KUHP (pencurian, bila debt collector mengambil barang apa saja
milik debitur), Pasal 368 dan 369 KUHP (pemerasan dan pengancaman), 378
KUHP (penipuan) serta Pasal 406 KUHP (perusakan barang).
2. Memperhatikan satu persatu pasal-pasal dalam KUHP, maka dapat dilihat
bahwa yang dapat melakukan tindak pidana serta yang dapat dituntut
pertanggungjawabannya adalah orang perorang atau manusia secara fisik dan
individual. Tidak ada satu pasal pun dalam KUHP yang mengatur pelaku
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
pidana bukan manusia atau orang, demikian juga tidak ada satu pasal pun
dalam KUHP yang mengatur tindak pidana dapat dilakukan oleh Perseroan
atau badan hukum. Oleh karena itu, KUHP tidak mengenal
pertanggungjawaban pidana korporasi . tetapi dalam Undang-undang Nomor
10 Tahun 1988 tentang Perbankan dan Peraturan Bank Indonesia Nomor
14/2/PBI/2012 Pasal 21 ayat (1) Dalam hal Penerbit melakukan kerja sama
dengan pihak-pihak di luar pihak maka Penerbit bertanggung jawab atas kerja
sama tersebut. Hal ini diperjelas oleh bagian penjelasan yang mengatakan:
Yang dimaksud dengan pihak-pihak di luar pihak lain dalam ayat ini antara lain
perusahaan jasa pengiriman dokumen, agen pemasaran (sales agent) atau jasa
penagihan (debt collector). Pihak bank yang merupakan penyuruh, dapat
dikenai Pasal 55 KUHP. Menurut ketentuan ini, orang yang menyuruh
melakukan tindak pidana (doen plegen) ikut bertanggungjawab atas perbuatan
yang dilakukan orang disuruh. Dalam hal ini meskipun majikan tidak
melakukan sendiri perbuatan pidana dan yang melakukan adalah bawahannya,
maka majikan dipandang sebagai pelaku dan dihukum sebagai pelaku.
B. Saran
Berdasarkan simpulan yang didapat penulis, pada akhirnya penulis dapat
mengajukan saran kepada para pihak yang terkait diantaranya sebagai berikut:
1. Menurut hemat penulis, seharusnya ada peraturan perundang-undangan yang
mengatur khusus tentang jasa penagihan utang dalam bidang penyelengara jasa
keuangan bank dan lembaga pembiayaan lainnya seperti halnya di negara-
negara maju keberadaan debt collector semacam ini diatur dalam sebuah
undang-undang. Di AS misalnya, ada Fair Debt Collection Practice Act yang
populer disebut FDCPA, yang ditetapkan Tahun 1966 dan diamandemen
terakhir Tahun 2006. Perangkat hukum ini mengatur lembaga dan cara
pelaksanaan penagihan. Alasan dari diterbitkannya FDCPA sama dengan
kejadian di Indonesia saat ini, yaitu banyaknya agen penagihan yang
menggunakan cara-cara yang tidak etis. Regulasi itu dibuat untuk mengatur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
debt collector sekaligus melindungi debitur. Sepanjang belum ada undang-
undang yang mengatur tentang jasa debt collector maka langkah terbaik yang
harus segara diambil pemerintah saat ini adalah menghentikan pelibatan jasa
debt collector dalam penagihan utang debitur.
2. Dalam KUHP Indonesia harus memuat aturan mengenai tindak pidana pidana
korporasi. Yaitu aturan khusus dalam pasal tersendiri yang mengatur tentang
tindak pidana yang dilakukan oleh suatu korporasi. Jadi siapa yang secara
nyata memegang kekuasaan untuk melaksanakan fungsi operasional perseroan,
maka tindakan yang dilakukannya adalah sama dengan tindakan korporasi.
Oleh karena itu, jika orang yang memegang fungsi operasional perusahaan
melanggar hukum, maka tanggungjawab pidana atas perbuatanya tidak terbatas
kepada mereka, tetapi juga menjadi tanggungjawab pidana perseroan atau
tanggung jawab pidana korporasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana (Stelsel Pidana, Tindak
Pidana, Teori-Teori Pemidanaan, dan Batas Berlakunya Hukum Pidana)
(Bagian 1). Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
__. 2005. Pelajaran Hukum Pidana (Penafsiran Hukum Pidana,
Dasar Peniadaan, Pemberatan & Peringanan Kejahatan Aduan,
Perbarengan & Ajaran Kausalitas)(Bagian 2). Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada.
Barda Nawawi Arief. 2010. Kebujakan Legislatif Dalam Penanggulangan
Kejahatan Dengan Pidana Penjara. Yogyakarta : Genta Publishing.
Johanes Ibrahim. 2004. Kartu Kredit Dilematis Antara Kontrak dan Kejahatan.
Bandung: Refika Aditama.
Johnny Ibrahim. 2006. Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif.
Malang : Banyumedia Publishing.
Kasmir. 2004. Bank Dan Perbankan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Malayu SP Hasibuan. 2001. Dasar-Dasar Perbankan. Jakarta : Bumi Akasara.
Moeljatno. 2003. Kitab Undang-undang hukum Pidana. Jakarta : Bumi Aksara.
_. 2008. Azas-Azas Hukum Pidana. Jakarta : Bina Aksara.
Munir Fuadi. 1999. Hukum Tentang Pembiayaan Dalam Teori dan Praktek.
Bandung: Citra Aditya Bakti.
P. A. F. Lamintang. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : PT.
Citra Aditya Bakti.
Peter Mahmud Marzuki. 2009. Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana Prenada
Media Group.
R.Soesilo, 1995. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-
Komentarnya Lengkap pasal Demi Pasal. Bogor : Politea.
Soerjono Soekanto, Sri Mamudji. 2003. Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Sudarto. 1990. Hukum Pidana I. Semarang: Yayasan Sudarto.
Tirtaamidjaja. 1995. Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa. Jakarta: Fasco.
W.A. Bonger. 1995. Pengantar Tentang Kriminologi. Jakarta: Pembangunan.
Wirjono Projodikoro. 1999. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung :
PT. Eresco.
Zamhari Abidin. 1986. Pengertian Dan Asas Hukum Pidana. Jakarta : Ghalia
Indonesia.
Jurnal
Agus Santosa. 2008. “Tanggung Jawab Penyelenggaraan Sistem Perbankan
Dalam Kegiatan Transaksi Kartu Kredit”. Jurnal Legislasi
Indonesia.Vol.5 No.4.
Endah Lestari. 2011. “Tinjauan Yuridis Kejahatan Kartu Kredit di Indonesia”.
Jurnal Hukum Narotama. Vol.14. no.2.Surabaya: Yayasan Pawiyatan
Gita Patria.
Nancy Huyghebaert. 2007. “The Choice between Bank Debt and Trace Credit in
Business Start-ups” Springer Journal of Law. DOI 10.1007/s11187-006-
9005-2.
Victoria Ivashina. 2011. “Bank Debt and Corporate Governance” Journal of
Business Venturing (JBV). Vol: 16(2), 165–180.
Artikel
Nindyo Pramono. “Tanggung Jawab dan Kewajiban Pengurus PT (Bank Menurut
UU NO. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas”. 29 November
2011.
Yahya Harahap . “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi”. 6 April 2011.
Peraturan Perundang – Undangan
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (KUHP) Terjemahan Resmi,
BPHN Departemen Kehakiman. Jakarta : Sinar Harapan, 1985.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Indonesia. Undang-Undang tentang Perbankan. Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 juncto Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor : 182.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan konsumen
Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/02/PBI/2012 tentang Perubahan Atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu.
Peraturan Bank Indonesia No. 7/6/PBI/ 2005 tentang Transparansi Informasi
Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah.
Keppres Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan.
Keputusan Menteri Keuangan RI No. 448/KMK.017/2000 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
Internet
http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2011/04/08/bad-debt-collector-di-dunia-
perbankan-nasional/ (1 Desember 2011 pukul 20.00 WIB).
http://legalakses.com/penyitaan-paksa-barang-oleh-debt-collector-melanggar-
hukum/ (1 Desember 2011 pukul 20.43 WIB).
http://www.beproseminar.com/index.php?option=com_content&task=view&id=4
3&Ite (1 Desember 2011 pukul 20.55 WIB).
http://purbantoro.wordpress.com/2008/11/13/debt collector/ (1 Desember 2011
pukul 21.15 WIB).
Purbantoro, Debt Collector: http://purbantoro. wordpress.com/2008/11/13/debt
collector/ (1 Desember 2011 pukul 20.15 WIB).
www.bi.go.id. (1 Desember 2011 pukul 21.25 WIB)
http://politik.kompasiana.com/2012/01/30/persfektif-kejahatan-korporasi/
(13 Februari 2012 pukul 22.23 WIB).
Makmum Anshory, Pidana Penganiayaan. http://makmum-anshory.blogspot.
com/2008/06/pidana-penganiayaan.html (07 Maret 2012 pukul 18.23 WIB).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user