Upload
dinhdung
View
262
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KARAKTERISASI FENOTIPIK DAN MOLEKULER BAKTERI PATOGEN SERTA EPIDEMI PENYAKIT HAWAR DAUN BAKTERI
PADA BIBIT TANAMAN Acacia crassicarpa
NI MADE LAKSMI ERNAWATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Karakterisasi Fenotipik dan Molekuler Bakteri Patogen Serta Epidemi Penyakit Hawar Daun Bakteri Pada Bibit Tanaman Acacia crassicarpa adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Juli 2008
Ni Made Laksmi Ernawati NRP. A461030041
ABSTRACT
NI MADE LAKSMI ERNAWATI. Phenotypic and Molecular Characterizations of Bacterial Pathogen and Epidemy of Bacterial Leaf Blight on Acacia crassicarpa Seedlings. Under the directions of Budi Tjahjono, Muhammad Machmud, Sientje Mandang Sumaraw, and Giyanto.
Bacterial leaf blight (BLB) disease is a new and deadly disease on Acacia crassicarpa nursery in Pelalawan Riau and never been reported either in Indonesia or in other countries. This research was designed to study etiology of BLB disease on A. crassicarpa seedlings and other factors that triggered epidemy of BLB disease. The results showed that the first symptom of BLB appeared on 5-6 weeks-old seedlings and blight was formed within 1-2 weeks. Early symptoms appeared as small red streaks on tip, middle, or basal leaf that increase in length and width along the leaf veins and later turned into brownish red color. The streaks were then turned into dark brown in color which was surounded by a yellow halo, and finally, they might united and dried that made blight syndrome. Generally, colonies of the bacterial leaf blight pathogen on YDCA or NA media were yellow, round shape, wet appearance, smooth surface, and colony diameters 1.0-2.0 mm. The Koch’s postulate test has been conducted and pure isolates were further physiologically, morphologically, and molecularly characterized. Characteristics of the bacterial were Gram negative, aerobic growth, yellow colonies and mucoid on YDCA, positive growth on 33-35oC, positive in starch and esculin hydrolysis, positive in protein digestion and litmus milk, and positive utilization of arabinose, glycerol, and melibiose. Morphologically, the bacterial cells were rod-shape with cell sizes 0,5-0,7 x 0,8-1,7 µm. Based on phenotypic and molecular characterizations the bacterial pathogen belongs to Xanthomonas campestris. Since host range of the pathogen is limited on Acacia sp., the proposed name of the bacterium is Xanthomonas campestris pv. acaciae.
Some epidemiological factors, i.e., cultural techniques, initial inoculum around its host, rainfall, and source of seedlings, were examined for their effects on bacterial leaf blight disease development. The results showed that disease incidence and severity were decreased in 2007 than those in 2004 due to changes in cultural techniques applied. Generally, Xanthomonas campestris pv. acaciae can be detected either from seeds, culture media, or water sources of A. crassicarpa seedlings. Total of Xanthomonas campestris pv. acaciae population isolated from seeds, peat soil, oil palm compost, coconut powder, rice husk, and water sources were 9.0 x 105, 1.36 x 105, 1.033 x 107, 2.03 x 105, 1.17 x 104, and 8.2 x 102 CFU/ml respectively. The BLB disease incidence and severity were influenced by rainfall, but not the early initiation of the disease symptom. Disease developments on seedlings grown from seeds were slower than those on seedlings grown from cuttings. Percentages of BLB disease incidences and disease severities on seedlings were lower than those on seedlings grown from cutting.
Keywords: Bacterial leaf blight, A. crassicarpa seedlings, phenotypic characterization, molecular identification, epidemy of BLB, Xanthomonas campestris.
RINGKASAN
NI MADE LAKSMI ERNAWATI. Karakterisasi Fenotipik dan Molekuler Bakteri Patogen serta Epidemi Penyakit Hawar Daun Bakteri pada Bibit Tanaman Acacia crassicarpa. Dibimbing oleh Budi Tjahjono, Muhammad Machmud, Sientje Mandang Sumaraw, dan Giyanto.
Penyakit hawar daun bakteri pada pembibitan tanaman A. crassicarpa di Pelalawan Riau merupakan penyakit baru dan mematikan yang belum dilaporkan keberadaannya baik di Indonesia maupun negara lain yang menanam tanaman A. crassicarpa. Sampai sekarang ini belum dikarakterisasi dan diidentifikasi bakteri patogen yang menyebabkan penyakit hawar daun pada bibit tanaman A. crassicarpa ini. Untuk itu penelitian ini bertujuan untuk mengkarakterisasi dan mengidentifikasi bakteri penyebab penyakit hawar daun pada bibit tanaman A. crassicarpa baik karakteristik fenotipik dan molekulernya serta beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya epidemi penyakit hawar daun bakteri.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa gejala awal penyakit hawar daun bakteri muncul pada bibit tanaman A. crassicarpa berumur 5-6 minggu dan hawar terbentuk dalam waktu 1-2 minggu. Gejala awal berupa garis merah kecil pada bagian ujung, tengah, atau pangkal daun dan berkembang memanjang sejajar tulang daun dan garis berubah warna menjadi merah kecoklatan. Garis selanjutnya berubah menjadi coklat tua dan ada halo berwarna kuning disekitarnya. Pada perkembangan penyakit tahap akhir garis dapat menyatu dan kering sehingga terbentuk hawar.
Secara umum bakteri patogen hawar daun pada media YDCA atau NA koloninya berwarna kuning, bentuk bulat, penampakan basah, permukaan halus, dan diameter koloni 1,0-2,0 mm. Pengujian selanjutnya menunjukkan bahwa semua isolat adalah patogen karena menunjukkan reaksi hipersensitivitas pada tanaman tembakau. Semua isolat menunjukkan gejala pada uji patogenisitas pada bibit A. crassicarpa. Gejala awal dapat berupa klorosis atau garis merah kecil, perkembangan selanjutnya klorosis makin jelas atau berubah menjadi klorosis kemerahan, berkembang dan menyatunya garis merah. Semua isolat yang diujikan dapat direisolasi dari tanaman yang bergejala dan menghasilkan isolat yang sama dengan yang pertama. Dengan demikian isolat bakteri yang diisolasi dari daun yang terinfeksi hawar memang benar merupakan organisme penyebab penyakit hawar daun pada bibit tanaman A. crassicarpa. Semua isolat yang didapatkan dari hasil uji Postulat Koch diidentifikasi secara fisiologi dan biokimia untuk mengetahui genus dan spesiesnya. Salah satu isolat hasil identifikasi secara fisiologi dan biokimia dikarakterisasi morfologi bakterinya dengan menggunakan SEM (Scanning Electron Microscope). Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik dari bakteri patogen berdasarkan uji fisiologi dan biokimianya adalah bersifat gram negatif, pertumbuhan aerobik, koloni berwarna kuning dan mukoid pada media YDCA, dapat tumbuh pada suhu 33-35oC, dapat menghidrolisis pati dan esculin, dapat melisiskan protein dan litmus milk, dapat menggunakan arabinose, gliserol, dan melibiose. Pengamatan morfologi menunjukkan sel bakteri berbentuk batang dengan ukuran 0,5-0,7 x 0,8-1,7 µm. Berdasarkan uji secara morfologi, fisiologi dan biokimia bakteri penyebab penyakit hawar daun pada bibit A. crassicarpa adalah Xanthomonas
campestris. Berdasarkan kisaran inangnya yang spesifik pada genus Acacia sp., maka nama patogen diusulkan Xanthomonas campestris pv. acaciae.
Isolat bakteri yang menunjukkan hasil uji fisiologi dan biokimia yang paling stabil dipilih 2 isolat untuk diidentifikasi lebih lanjut secara molekuler berdasarkan gen 16S rRNA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan sekuensing gen 16S rRNAnya isolat bakteri yang diisolasi dari daun A. crassicarpa termasuk ke dalam Xanthomonas campestris dengan tingkat kesamaan yang tinggi yaitu >90 %. Berdasarkan phylogenetic tree Xanthomonas campestris pv. acaciae merupakan patovar baru karena berada pada kelompok yang berbeda dengan patovar Xanthomonas campestris yang sudah ada di GeneBank. Dengan demikian baik identifikasi secara molekuler maupun non-molekuler menghasilkan spesies yang sama yakni Xanthomonas campestris. Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya epidemi penyakit hawar daun bakteri pada bibit tanaman A. crassicarpa telah dipelajari diantaranya pengaruh kultur teknis, inokulum awal dari patogen yang berada di sekitar tanaman inang, pengaruh curah hujan, dan asal bibit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan kultur teknis yang diterapkan secara terpadu seperti penggunaan media cocopeat, pupuk NPK hidrokompleks dan M-phospat, penjarangan tanaman, tabung dengan lubang hanya di bagian bawah, penambahan sodium hipoklorid pada air sumber irigasinya, sanitasi lingkungan, lamanya bibit di bedengan dengan naungan, dan sistim penyiraman, dapat menekan terjadinya epidemi penyakit sehingga kejadian dan keparahan penyakit hawar daun bakteri pada bibit tanaman A. crassicarpa di pembibitan Riau pada tahun 2007 (15,79 % dan 2,04 %) menurun dibandingkan tahun 2004 (59,5 % dan 9,64 %).
Secara umum Xanthomonas campestris pv. acaciae dapat diisolasi baik pada benih, media tanam maupun sumber air penyiraman bibit A. crassicarpa. Jumlah populasi Xanthomonas campestris pv. acaciae hasil isolasi dari benih, tanah gambut, kompos kelapa sawit, serbuk kelapa, sekam padi, dan sumber air berturut-turut adalah 9,0 x 105; 1,36 x 105; 1,033 x 107; 2,03 x 105; 1,17 x 104; dan 8,2 x 102 CFU/ml. Dengan terdeteksinya inokulum awal bakteri patogen di sekitar tanaman inang yang cukup tinggi maka bila faktor lingkungan mendukung perkembangan dan penyebaran inokulum maka epidemi akan terjadi.
Curah hujan sangat mempengaruhi terjadinya epidemi penyakit. Semakin tinggi jumlah curah hujan semakin tinggi persentase keparahan dan kejadian penyakit hawar daun bakteri, perkembangan penyakit juga lebih cepat, namun tidak ada perbedaan munculnya gejala awal penyakit hawar daun bakteri.
Asal bibit juga mempengaruhi terjadinya epidemi penyakit. Bibit asal stek memicu terjadinya epidemi penyakit dibandingkan bibit asal biji jika faktor lingkungan mendukung. Pada bibit asal biji gejala awal penyakit hawar daun bakteri muncul dua minggu lebih lambat dibandingkan dengan bibit asal stek. Perkembangan gejala penyakit pada bibit asal biji lebih lambat dibandingkan bibit asal stek. Persentase kejadian dan keparahan penyakit hawar daun bakteri lebih rendah pada bibit asal biji dibandingkan dengan bibit asal stek. Kata kunci: Penyakit hawar daun bakteri, bibit tanaman A. crassicarpa, karakterisasi fenotipik, identifikasi molekuler, epidemi penyakit, Xanthomonas campestris.
@ Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau
seluruhnya karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KARAKTERISASI FENOTIPIK DAN MOLEKULER BAKTERI PATOGEN SERTA EPIDEMI PENYAKIT HAWAR DAUN BAKTERI
PADA BIBIT TANAMAN Acacia crassicarpa
NI MADE LAKSMI ERNAWATI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada Departemen Proteksi Tanaman
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2008
Judul Disertasi : Karakterisasi Fenotipik dan Molekuler Bakteri Patogen serta Epidemi Penyakit Hawar Daun Bakteri pada Bibit Tanaman Acacia crassicarpa Nama Mahasiswa : Ni Made Laksmi Ernawati NRP : A461030041
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Budi Tjahjono, M.Agr. Dr. Muhammad Machmud, M.Sc. APU Ketua Anggota
Prof. Dr. Ir. Sientje Mandang Sumaraw Dr. Ir. Giyanto, MSi Anggota Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Entomologi-Fitopatologi Dr.Ir. Sri Hendrastuti H, M.Sc. Prof. Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS. Tanggal Lulus: 15 Juli 2008 Tanggal Lulus:
Sesungguhnya ilmu lebih baik dari kebiasaan, meditasi lebih baik dari ilmu, meningkatkan karma pala lebih baik dari meditasi, dari meninggalkan (pala karma itu) kedamaian akan datang kemudian (Bhagawad Gita XII-13).
Kupersembahkan karya ilmiah ini kepada Ayahnda dan ibunda tercinta
Ayahnda dan alm. ibunda mertua tercinta Belahan jiwaku alm. Made Wetan Suwena terkasih
Kedua buah hatiku Gena dan Eyis tersayang
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa,
Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga disertasi yang
berjudul Karakterisasi Fenotipik dan Molekuler Bakteri Patogen serta Epidemi
Penyakit Hawar Daun Bakteri pada Bibit Tanaman Acacia crassicarpa dapat
terselesaikan.
Penulis menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih kepada yang
terhormat Bapak Dr. Ir. Budi Tjahjono, M.Agr. selaku Ketua Komisi
Pembimbing; Bapak Dr. Muhammad Machmud, M.Sc. APU., Ibu Prof. Dr. Ir.
Sientje Mandang Sumaraw, dan Bapak Dr. Ir. Giyanto, MSi. selaku Anggota
Komisi Pembimbing atas bimbingan, arahan, nasehat, dan dorongan moral yang
telah diberikan kepada penulis dari sejak awal sampai terselesaikannya karya
ilmiah ini.
Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada seluruh staf
di pembibitan Riau yang telah membantu penulis selama melakukan percobaan di
lapang. Sahabat di Lab. Bakteriologi Ibu Asih, Ibu Ivone, Bapak Kikin, Adit,
Diana, Yuni, Didi, Deden, Budi, Dako, Winda, Heri,Izmi, Raina dll. terima kasih
atas bantuan dan persahabatan yang telah diberikan pada penulis. Rasa terima
kasih juga penulis sampaikan kepada mba Tuti, Pak Rai, Pak Irwan dll. atas
bantuan yang diberikan sehingga semuanya berjalan lancar. Rekan-rekan Gardu
Raya terima kasih atas persaudaraan dan bantuan yang diberikan sehingga penulis
merasa tidak sendiri.
Terima kasih disampaikan kepada Unram, IPB, Pemda NTB, Departemen
Pendidikan Nasional, Yayasan Dana Mandiri atas pelayanan dan bantuan
dananya. Sujud dan terimakasih yang dalam penulis persembahkan kehadapan
ayahnda Wayan Wira, ibunda Made Sukerti, ibu-bapak mertua Ketut Redianing
dan Ketut Wetan tercinta atas dorongan, kebijaksanaan, dan doa. Ucapan terima
kasih secara khusus penulis sampaikan kepada almarhum suami terkasih atas
kesetiaan, pengertian yang dalam, dorongan yang tiada habisnya, bimbingan, dan
doa. Juga kedua buah hatiku tersayang yang setia menunggu dan berdoa agar
ibunda cepat selesai dan berkumpul kembali. Om shanti, shanti, shanti om.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Denpasar Bali pada tanggal 24 Januari 1962 sebagai
anak kedua dari tujuh bersaudara dari pasangan I Wayan Wira dan Made Sukerti.
Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas
Pertanian Universitas Mataram pada tahun 1981 dan lulus pada tahun 1986.
Sebelum melanjutkan ke pendidikan S2 di Program Studi Ilmu Tanaman,
Universitas Brawijaya Malang, penulis berkesempatan menempuh Program
Master di University of British Columbia, Vancouver Canada melalui program
OTO BAPPENAS dengan beasiswa dari CIDA tahun 1990 sampai 1992 namun
tidak sampai tuntas. Penulis selanjutnya berkesempatan menempuh pendidikan
Pascasarjana (S2) di Program Studi Ilmu Tanaman, Universitas Brawijaya Malang
pada tahun 1998 dan lulus tahun 2001. Tahun 2003 penulis melanjutkan ke
Program Doktor pada Program Studi Entomologi-Fitopatologi Sekolah
Pascasarjana IPB Bogor. Selama menempuh pendidikan S2 dan S3 penulis
memperoleh dana Bantuan Pendidikan Pascasarjana (BPPS) dari Departemen
Pendidikan Nasional.
Selama menempuh pendidikan S1 penulis mendapatkan beasiswa dari
Tunjangan Ikatan Dinas (TID) dan pada tahun 1988 diangkat sebagai tenaga
edukatif di Program Studi Hama Penyakit Tumbuhan, Jurusan Budidaya
Pertanian, Universitas Mataram sampai sekarang.
Pada tahun 1990 penulis menikah dengan Made Wetan Suwena dan telah
dikaruniai seorang putra Gde Wetan Pragena Anggara dan seorang putri Ni Made
Willa Clarissa.
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Achmad, MS.
Penguji pada Ujian Terbuka: Dr. Ir. Iskandar Zulkarnaen Siregar, M.For.Sc. Dr. Erdy Santoso, MS.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL…………………………………………………… DAFTAR GAMBAR………………………………………………… DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………… PENDAHULUAN ………………………………………………….. Latar Belakang ………………………………………………….... Tujuan Penelitian …………………………………………………. Manfaat Penelitian………………………………………………… Strategi Penelitian………………………………………………….
TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………… Pertelaan Tanaman Akasia ……………………………………….. Identifikasi Berdasarkan Karakter Fisiologi dan Morfologi……… Identifikasi Berdasarkan Karakter Molekuler…………….………. Epidemiologi Penyakit Tumbuhan………………………………..
GEJALA PENYAKIT DAN UJI POSTULAT KOCH BAKTERI PENYEBAB PENYAKIT HAWAR DAUN PADA BIBIT Acacia crassicarpa…………………………………………………………… Abstrak……………………………………………………………. Abstract…………………………………………………………… Pendahuluan………………………………………………………. Tujuan Penelitian…………………………………………………. Bahan dan Metode………………………………………………… Hasil………………………………………………………………. Pembahasan………………………………………………………. Simpulan…………………………………………………………. Daftar Pustaka…………………………………………………….
IDENTIFIKASI BAKTERI PATOGEN HAWAR DAUN SECARA BIOKIMIA DAN FISIOLOGI SERTA KARAKTERISASI MORFOLOGI BAKTERI…………………………………………… Abstrak…………………………………………………………… Abstract…………………………………………………………… Pendahuluan………………………………………………………. Tujuan Penelitian…………………………………………………. Bahan dan Metode………………………………………………… Hasil………………………………………………………………. Pembahasan………………………………………………………. Simpulan…………………………………………………………. Daftar Pustaka…………………………………………………….
xii xiii xvi 1 1 5 6 6
8 8 10 12 14
17 17 17 18 18 19 23 30 35 35
37 37 37 37 38 38 40 43 45 45
IDENTIFIKASI BAKTERI HAWAR DAUN SECARA MOLEKULER BERDASARKAN SEKUENSING GEN 16S rRNA.. Abstrak……………………………………………………………. Abstract……………………………………………………………. Pendahuluan………………………………………………………. Tujuan Penelitian…………………………………………………. Bahan dan Metode………………………………………………… Hasil………………………………………………………………. Pembahasan………………………………………………………. Simpulan…………………………………………………………. Daftar Pustaka…………………………………………………….
PENGARUH KULTUR TEKNIS TERHADAP PERKEMBANGAN PENYAKIT HAWAR DAUN BAKTERI PADA BIBIT TANAMAN Acacia crassicarpa……………………………………. Abstrak……………………………………………………………. Abstract…………………………………………………………… Pendahuluan………………………………………………………. Tujuan Penelitian…………………………………………………. Bahan dan Metode………………………………………………… Hasil………………………………………………………………. Pembahasan……………………………………………………….. Simpulan…………………………………………………………... Daftar Pustaka……………………………………………………..
ISOLASI BAKTERI PATOGEN HAWAR DAUN DARI BENIH, MEDIA TANAM, DAN AIR SUMBER PENYIRAMAN BIBIT A. crassicarpa………………………………………………………… Abstrak……………………………………………………………. Abstract…………………………………………………………… Pendahuluan………………………………………………………. Tujuan Penelitian…………………………………………………. Bahan dan Metoda………………………………………………… Hasil………………………………………………………………. Pembahasan……………………………………………………….. Simpulan………………………………………………………….. Daftar Pustaka……………………………………………………..
PENGARUH CURAH HUJAN TERHADAP PERKEMBANGAN PENYAKIT HAWAR DAUN BAKTERI PADA BIBIT TANAMAN A. crassicarpa………………………………………….. Abstrak……………………………………………………………. Abstract…………………………………………………………… Pendahuluan………………………………………………………. Tujuan Penelitian…………………………………………………. Bahan dan Metoda………………………………………………… Hasil………………………………………………………………. Pembahasan……………………………………………………….. Simpulan…………………………………………………………..
47 47 47 47 48 49 54 61 64 64
66 66 66 66 67 67 70 72 79 79
81 81 81 81 82 82 84 90 92 92
94 94 94 94 95 95 96 99 101
x
Daftar Pustaka……………………………………………………..
PENGARUH BIBIT Acacia crassicarpa ASAL BIJI DAN STEK TERHADAP PERKEMBANGAN PENYAKIT HAWAR DAUN BAKTERI…………………………………………………………….. Abstrak……………………………………………………………. Abstract…………………………………………………………… Pendahuluan………………………………………………………. Tujuan Penelitian………………………………………………….. Bahan dan Metoda………………………………………………… Hasil………………………………………………………………. Pembahasan………………………………………………………. Simpulan………………………………………………………….. Daftar Pustaka……………………………………………………..
PEMBAHASAN UMUM…………………………………………….
SIMPULAN UMUM DAN SARAN…………………………………
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………
LAMPIRAN…………………………………………………………..
101
103 103 103 103 104 104 105 107 109 109
110
117
119
127
xi
DAFTAR TABEL
Halaman 1
2
3
4
5 6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Hasil pengamatan koloni bakteri patogen hawar yang diisolasi dari daun A. crassicarpa dua hari setelah inkubasi terhadap bentuk, warna, diameter, dan permukaan koloni bakteri…………. Uji reaksi hipersensitivitas pada daun tembakau terhadap 12 isolat bakteri patogen hawar daun A.crassicarpa............................ Patogenisitas 12 isolat bakteri hawar daun pada bibit tanaman A. crassicarpa……………………………………………………...... Keparahan dan kejadian penyakit pada A. crassicarpa yang di- inokulasi dengan 8 isolat bakteri patogen hawar daun (6 minggu setelah inokulasi…………………………………………………. Karakteristik hasil reisolasi dari isolat yang menunjukkan gejala pada uji patogenisitas…………………………………………….. Hasil uji genus dari 12 isolat hasil isolasi dari daun tanaman A. crassicarpa…………………………………………………….. Hasil uji spesies dari 12 isolat hasil isolasi dari daun A. crassicarpa…………………………………………………….. Hasil penelusuran kesamaan antara isolat Xnml061 dengan 10 patovar Xanthomonas campestris yang ada di GeneBank……….. Hasil penelusuran kesamaan antara isolat Xnml061 dengan 10 patovar Xanthomonas campestris yang ada di GeneBank……….. Hasil penelusuran kesamaan antara isolat Xnml061 dengan 15 Xanthomonas sp. yang ada di GeneBank………………………… Hasil penelusuran kesamaan antara isolat Xnml061 dengan 15 Xanthomonas sp. yang ada di GeneBank………………………… Kultur teknis yang diterapkan pada pembibitan A. crassicarpa tahun 2004 dan 2007……………………………………………… Rerata populasi koloni bakteri (CFU/ml) hasil isolasi dari benih, media tanam, dan sumber air penyiraman A. crassicarpa………... Uji reaksi hipersensitivitas 11 isolat bakteri pada tanaman tembakau hasil isolasi dari benih, media tanam, dan sumber air penyiraman……………………………………………………….. Uji genus dari 11 isolat hasil isolasi dari benih, media tanam, dan sumber air penyiraman……………………………………………. Uji spesies dari 11 isolat hasil isolasi dari benih, media tanam, dan sumber air penyiraman………………………………………..
25
26
27
29
30
40
41
57
58
58
59
78
87
88
89
90
DAFTAR GAMBAR
Halaman1 2
3
4
5
6 7
8
9 10
11 12
13
14 15 16 17
Bagan kerangka alur penelitian…………………………………… A. Gejala awal penyakit. B-H. Perkembangan gejala penyakit hawar daun bakteri pada bibit tanaman A. crassicarpa..................... Isolat murni hasil isolasi bakteri hawar daun dari bibit tanaman A. crassicarpa kecuali Xnml061 (isolasi dari A. mangium)………. Gejala reaksi hipersensitivitas pada daun tembakau yang di- inokulasi dengan isolat uji (B), dan kontrol dengan air steril (A)…. Perkembangan gejala penyakit hawar daun bakteri pada bibit tanaman A. crassicarpa yang diinokulasi buatan(C→D→E→F). A. Inokulasi dengan air steril, dan B. Inokulasi dengan E. coli DH5α………………………………………………………………. Gejala akhir dari penyakit hawar daun bakteri pada tanaman A. crassicarpa yang diinokulasi dengan isolat Xnml051…………….. Hasil uji Gram (A), oksidatif/fermentatif (B), dan pigmen fluoresens (C, kanan=isolat uji, kiri=Pseudomonas fluorescens)…. Hidrolisis pati isolat bakteri hasil isolasi dari daun A. crassicarpa yang terinfeksi hawar. A. Kontrol (gelap), B dan C. Reaksi positif A. Hasil uji esculin hidrolisis, B. Hasil uji proteolisis, dan C. Hasil uji litmus milk……………………………………………………… A. Hasil uji produksi asam dari arabinose, B. Hasil penggunaan senyawa gliserol dan melibiose…….……………………………… Morfologi sel isolat bakteri Xnml061 menggunakan SEM dengan perbesaran 7500x………………………………………………….. DNA genom total dari bakteri Xnml061 (lajur 1) dan Xnml062 (lajur 2) menggunakan gel agarose 1% dan divisualisasikan dengan ethidium bromide………………………………………….. Hasil amplifikasi gen 16S rRNA dari bakteri Xnml061 (lajur 1) dan Xnml062 (lajur 2), ukuran fragmen 1500 bp. Primer yang digunakan 27F dan 142R. Sampel dipisahkan menggunakan gel agarose 1% dan divisua;isasikan dengan ethidium bromide………. Sekuen lengkap dari isolat Xnml061……………………………… Sekuen lengkap dari isolat Xnml062………………………………. Dendogram 2 isolat bakteri (Ac-PK=Xnml061, Ac-PK1= Xnml062) hasil isolasi dari daun A. crassicarpa yang terinfeksi hawar dengan 10 patovar X. campestris yang ada pada GeneBank (AE012540= campestris, AY604178= coriandri, AJ811695= Poinsetticola, X99297= LMG62, AY605124= zantedestiae, EU089712= raphani, EU089711= armoraciae, L24791= translucens, EU089713= barbareae, dan EU089710= abberans) hasil analisis menggunakan program PAUP………………………. Dendogram 2 isolat bakteri (Ac-PK=Xnml061,Ac-PK1=Xnml062) hasil isolasi dari daun A. crassicarpa yang terinfeksi hawar dengan 15 Xanthomonas sp. yang ada pada GeneBank (AY288080= vesicatoria, AY288083= gardneri, Y10764= bromi, Y10758= pisi, Y10755= vasicola, Y10762= cassavae, Y10759= hortorum,
7
24
25
26
28
29
40
42
42
42
43
54
555657
60
18
19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
32 33
34
35
36
Y10757= arboricola, X95921= oryzae, EF989733= citri, X95920= fragariae,Y10765= codiaei, DQ991194= axonopodis, AF208315= cynarae, X95918= albilineans) hasil analisis menggunakan program PAUP…………………………………………………….. Skoring penyakit yang digunakan untuk menghitung keparahan penyakit hawar daun bakteri pada A. crassicarpa……………….... Persentase kejadian penyakit hawar daun bakteri pada tahun 2004 dan tahun 2007…………………………………………………….. Persentase keparahan penyakit hawar daun bakteri pada tahun 2004 dan tahun 2007………………………………………………. Kejadian penyakit hawar daun bakteri pada tanaman A. crassicarpa lebih parah pada tahun 2004 (A) dibandingkan tahun 2007 (B)……………………………………………………... Jenis tabung yang digunakan dan pertumbuhan bibit A.crassicarpa A. Tabung dengan lubang di bawah (poly tube), B. Tabung dengan lubang dikeempat sisinya (site slide tube), C. Pertumbuhan bibit dengan poly tube, dan D. Pertumbuhan bibit dengan site slide tube A. Membuang bagian yang sakit, B. Bak cuci kaki, C dan D. saluran air………………………………………………………….. A. Bedeng pembibitan dengan naungan, B. Pertumbuhan bibit pada bedeng dengan naungan, C. Bedeng pembibitan tanpa naungan, D. Pertumbuhan bibit pada bedeng tanpa naungan……… A. Sistim penyiraman pada bedeng pembibitan dengan sistim sprinkler (terpancang di lantai), B. Sistim boom (tergantung di atas)………………………………………………………………… A. Hasil isolasi bakteri dari benih A. crassicarpa, B. Isolat murni dari XB1….………………………………………………………... A. Hasil isolasi bakteri dari tanah gambut, B. Isolat murni dari XG1, XG2, dan XG3…..…………………………………………... A. Hasil isolasi bakteri dari kompos kelapa sawit, B. Isolat murni dari XK1 dan XK2………………………………………………… A. Hasil isolasi bakteri dari serbuk kelapa, B. Isolat murni dari bakteri XS1 dan XS2…..…………………………………………... A. Hasil isolasi bakteri dari sekam padi, B. Isolat murni dari bakteri XP1dan XP2..……………………………………………… Hasil isolasi bakteri dari A. Boom, B. Springkel, C. Irigasi, dan D. Selokan……………………………...………………………….. Isolat murni dari bakteri A3…………...…………………………... Hidrolisis pati dari beberapa isolat bakteri hasil isolasi dari media tanam. A. Kontrol (gelap), B.C.D. Isolat bakteri dari media tanam.. Skor penyakit hawar daun bakteri. A. Skor 2 (26-50 % daun terserang hawar bakteri, B. Skor 3 (51-75 % daun terserang hawar bakteri).............................................................................................. Persentase kejadian penyakit hawar daun bakteri pada bulan April-Juni 2006 (a) dan bulan Oktober-Desember 2006 (b) pada bibit A. crassicarpa umur 6-9 minggu………………………………….. Persentase keparahan penyakit hawar daun bakteri pada bulan April-Juni 2006 (a) dan bulan Oktober-Desember 2006 (b) pada
61
69
71
72
72
76
76
77
78
84
85
85
86
86
8787
90
97
97
xiv
37
38 39 40
A. crassicarpa umur 6-9…………………………………………... Gejala awal penyakit hawar daun bakteri. A. Pada bibit asal biji; B. Pada bibit asal stek………...…………………………………… Gejala penyakit hawar daun bakteri pada bibit A. crassicarpa asal stek. A. Pada daun awal; B. Pada daun baru………………………. Persentase kejadian penyakit hawar daun bakteri pada bibit A. crassicarpa asal biji dan stek yang berumur 9 minggu............... Persentase keparahan penyakit hawar daun bakteri pada bibit A. crassicarpa asal biji dan stek yang berumur 9 minggu................
98
105
106
107
107
xv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
1 2 3 4 5
6
7
8
9
10
11
12
13 14
15
16
17
18
19
20 21
Sekuen DNA berdasarkan primer 27F dari isolat Xnml061……... Sekuen DNA berdasarkan primer 27F dari isolat Xnml062……... Sekuen DNA berdasarkan primer 142R dari isolat Xnml061…… Sekuen DNA berdasarkan primer 142R dari isolat Xnml062…… Hasil pengamatan persentase kejadian penyakit (KP) hawar daun bakteri (tahun 2004)……………………………………………… Hasil pengamatan persentase kejadian penyakit (KP) hawar daun bakteri (tahun 2007)……………………………………………… Hasil pengamatan persentase keparahan penyakit (PP) hawar daun bakteri (tahun 2004)………………………………………... Hasil pengamatan persentase keparahan penyakit (PP) hawar daun bakteri (tahun 2007)………………………………………... Hasil pengamatan persentase kejadian penyakit (KP) hawar daun bakteri pada bulan April-Juni 2006 pada bibit umur 6-9 minggu... Hasil pengamatan persentase kejadian penyakit (KP) hawar daun bakteri pada bulan Oktober-Desember 2006 pada bibit umur 6-9 minggu………………………………………………………........ Hasil pengamatan persentase keparahan penyakit (PP) hawar daun bakteri pada bulan April-Juni 2006 pada bibit umur 6-9 minggu…………………………………………………………… Hasil pengamatan persentase keparahan penyakit (PP) hawar daun bakteri pada bulan Oktober-Desember 2006 pada bibit umur 6-9 minggu………………………………………………… Hasil pengamatan persentase kejadian penyakit (KP) hawar daun bakteri pada bibit asal biji dan stek……………………………… Hasil pengamatan persentase keparahan penyakit (PP) hawar daun bakteri pada bibit asal biji dan stek………………………… Pengamatan suhu dan kelembaban untuk uji patogenisitas dari isolat (24-7-05 s/d 4-9-05)………………………………………………………. Pengamatan curah hujan harian (mm) bulan Juli, Agustus, dan September 2005 untuk uji patogenisitas dari isolat Xnml051, Xnml052, Xnml053, dan Xnml054……………………………… Pengamatan suhu dan kelembaban untuk uji patogenisitas dari isolat Xnml061, Xnml062, Xnml063, Xnml064, Xnml065, Xnml066, Xnml067, dan Xnml068 (11-4-06 s/d 23-5-06)……… Pengamatan curah hujan harian (mm) bulan April dan Mei 2006 untuk uji patogenisitas dari isolat Xnml061, Xnml062, Xnml063, Xnml064, Xnml065, Xnml066, Xnml067, dan Xnml068………. Pengamatan curah hujan harian (mm) pada bulan April, Mei, dan Juni tahun 2006………………………………………………….. Pengamatan curah hujan harian (mm) bulan Oktober, Nopember, dan Desember tahun 2006……………………………………….. Pengamatan curah hujan harian (mm) bulan Januari, Februari, dan Maret 2007 untuk percobaan bibit asal biji dan stek…………
127127128 128
129
130
130
131
131
131
132
132
132
133
134
135
136
137
138
139
140
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penghutanan kembali (reforestation) dengan menggunakan spesies tanaman
yang tumbuh cepat (fast-growing) merupakan salah satu solusi untuk mengatasi
masalah menurunnya area hutan, degradasi lingkungan hutan, dan menurunnya
suplai kayu dikarenakan eksploitasi hutan. Spesies tanaman yang tumbuh cepat
dapat bersifat indigenus maupun eksotik. Salah satu spesies tanaman indigenus
yang tumbuh cepat yang dengan intensif dikembangkan sebagai Hutan Tanaman
Industri (HTI) di Indonesia adalah tanaman akasia.
Menurut Hadi dan Nuhamara (1996) Pemerintah Indonesia telah memulai
program penanaman tanaman akasia dalam perkebunan skala besar sejak tahun
1984. Hal ini untuk mendukung penyediaan kayu secara berkesinambungan bagi
industri yang berbasiskan kayu dan juga mengurangi tekanan terhadap hutan
tropika. Kayu merupakan sumber energi biomassa utama bagi jutaan orang di
negara sedang berkembang. Permintaan akan kayu meningkat setiap tahunnya
seiring meningkatnya jumlah penduduk (World Wide Wattle 2004).
Tanaman akasia (Acacia sp.) telah ditanam di lebih dari 80 negara di dunia
termasuk Indonesia. Tanaman akasia ini dapat digunakan untuk berbagai
keperluan seperti diambil kayunya, diolah menjadi bubur kayu (wood pulp),
kertas, bahan bakar (fuel), dan sebagainya (Eldoma dan Awang 1999). Daya
adaptasinya yang luas baik pada ekosistem sangat basah maupun sangat kering,
kemampuannya bersimbiosis dengan bakteri tanah yang dapat menfiksasi
nitrogen, pertumbuhan, hasil, dan kualitas yang lebih baik, menjadikan tanaman
akasia sebagai tanaman yang sangat menjanjikan untuk diusahakan secara luas
(Eldoma dan Awang 1999; Old et al. 1999).
Beberapa spesies tanaman akasia yang dikembangkan di Indonesia adalah
Acacia auriculiformis, A. mangium, A. crassicarpa, dan A. aulacocarpa (Zulfiyah
dan Gales 1996; Hadi dan Nuhamara 1996). Dalam usaha pembibitannya banyak
kendala yang dihadapi dan salah satunya adalah gangguan serangan hama dan
patogen. Beberapa penyakit yang sering menyebabkan kerusakan pada
pembibitan tanaman akasia adalah karat tumor (gall rusts), embun tepung
2
(powdery mildew), becak daun (leaf spot), rebah semai (damping-off), nekrosis
pucuk (tip necrosis) (Hadi dan Nuhamara 1996), dan hawar daun (Budi Tjahjono
2004, komunikasi pribadi). Berdasarkan pengamatan mikroskopik terhadap
jaringan daun yang terinfeksi hawar didapatkan tanda penyakit berupa aliran ooze
bakteri dari potongan daun yang bergejala.
Penyakit hawar daun bakteri (bacterial leaf blight) merupakan salah satu
penyakit yang dijumpai pada pembibitan tanaman Acacia crassicarpa di Riau.
Penyebab penyakit hawar daun bakteri ini hanya menyerang bibit tanaman
A. crassicarpa (inang spesifik) dan tidak menyerang spesies tanaman akasia yang
lain termasuk tanaman eucalyptus, meskipun mereka ditanam secara
berdampingan di pembibitan (Budi Tjahjono 2004, komunikasi pribadi).
Penyakit hawar daun bakteri ini merupakan penyakit baru pada pembibitan
tanaman A. crassicarpa di Indonesia (khususnya ditemukan di pembibitan
tanaman akasia di Riau) karena belum dilaporkan keberadaannya baik di
Indonesia maupun negara lain yang menanam tanaman akasia. Penyakit ini
muncul sejak tahun 2003 dan menyebabkan kerugian yang cukup signifikan
dalam pengadaan bibit tanaman akasia.
Beberapa usaha pengendalian terhadap penyakit hawar daun bakteri sudah
dilakukan di pembibitan tanaman A. crassicarpa diantaranya penjarangan
(spacing), perlakuan benih, penggunaan bakterisida, sanitasi lingkungan,
penggunaan mikrob antagonis Pseudomonas fluorescens, Trichoderma spp. dan
Bacillus subtilis. Usaha pengendalian yang dilakukan dengan menggunakan
bakterisida antara lain Agrept 20 WP dan Kasumin 5/75 WP dengan interval
penyemprotan seminggu dan konsentrasi 2,5 - 5,0 g/l belum mampu menekan
perkembangan penyakit ini (Budi Tjahjono Agustus 2004, komunikasi pribadi).
Usaha pengendalian yang telah dilakukan nampaknya belum menunjukkan
hasil yang optimal. Hal ini terlihat dari masih tingginya kejadian penyakit di
pembibitan sehingga dari 5 juta bibit yang harus disediakan per bulan hanya 3-4
juta (tahun 2004) dan 1 (satu) juta (tahun 2005) yang mampu diproduksi (Budi
Tjahjono Juni 2005, komunikasi pribadi). Kerugian yang ditimbulkan ini berkisar
20 - 80%. Bagi perusahaan yang harus menyediakan bibit dalam jumlah besar
angka ini sangat meresahkan. Meskipun serangan patogen penyebab penyakit
3
hawar daun ini tidak mengakibatkan matinya bibit tanaman akasia, namun
kerugian yang ditimbulkan cukup besar karena menurunnya kualitas bibit yang
dihasilkan. Tanaman akasia di pembibitan yang terinfeksi hawar daun sampai
20% masih tetap dapat ditanam di lapang dan tanaman menjadi tahan terhadap
penyakit ini dengan semakin bertambahnya umur tanaman.
Sampai sekarang ini belum dikarakterisasi dan diidentifikasi bakteri patogen
yang menyebabkan penyakit hawar daun pada bibit tanaman A. crassicarpa ini.
Untuk itu perlu dilakukan karakterisasi dan identifikasi dari bakteri penyebab
penyakit hawar daun pada bibit tanaman A. crassicarpa baik karakteristik
fenotipik maupun molekulernya.
Diagnosis suatu penyakit baru atau yang belum terdapat dalam daftar
penyakit yang sudah baku dapat dilakukan dengan dua cara (Hayward 1983;
Lelliott dan Stead 1987). Pertama, cara diagnosis pendugaan (presumtive
diagnosis) untuk mendapatkan informasi yang cepat tentang penyakit baru
tersebut sehingga metode pengendalian yang memadai dapat direkomendasikan.
Cara diagnosis pendugaan yang cepat ini biasanya sangat dibutuhkan oleh petani
hortikultura. Pengamatan berdasarkan pada gejala, karakteristik koloni patogen
pada media isolasi, dan sejumlah kecil uji kunci termasuk dalam cara diagnosis
pendugaan yang cepat. Kedua, cara diagnosis konfirmasi (confirmatory diagnosis)
untuk mendapatkan identifikasi yang akurat sehingga memenuhi standar daftar
penyakit dan diterima oleh komunitas keilmuan yang ada. Identifikasi patogen
baik secara fisiologi maupun molekuler dan pengujian pada inang termasuk dalam
cara diagnosis konfirmasi ini.
Pengamatan gejala dan tanda penyakit merupakan langkah awal dalam
diagnosis suatu penyakit baru. Akan tetapi, pengamatan gejala penyakit saja tidak
cukup untuk mengidentifikasi suatu penyakit. Oleh karena itu, untuk memperoleh
hasil diagnosis yang akurat perlu dilakukan uji postulat Koch. Postulat Koch
bertujuan untuk mengetahui apakah suatu patogen yang diisolasi dari tanaman
yang terinfeksi penyakit baru tersebut memang benar merupakan penyebab dari
gejala penyakit yang ditimbulkannya. Langkah postulat Koch tersebut antara lain:
patogen harus ditemukan berasosiasi dengan tanaman sakit yang diuji, patogen
harus dapat diisolasi dan ditumbuhkan sebagai kultur murni pada media nutrisi
4
(untuk parasit non-obligat) atau harus ditumbuhkan pada tanaman inang rentan
(untuk parasit obligat), patogen dari kultur murni tersebut harus diinokulasikan
pada tanaman sehat dari spesies yang sama atau varietas yang menunjukkan gejala
penyakit tersebut dan harus menghasilkan penyakit yang sama pada tanaman yang
diinokulasikan, dan langkah terakhir adalah patogen harus dapat diisolasi kembali
sebagai kultur murni dengan karakteristik yang sama seperti isolasi pertama
(Agrios 1997).
Karakterisasi bakteri patogen secara fenotipik penting untuk mendapatkan
gambaran tentang bakteri patogen seperti morfologi sel dan koloni maupun
karakter fisiologi dan biokimianya. Identifikasi secara biokimia dan fisiologi
berdasarkan pada metabolisme senyawa-senyawa tertentu seperti uji reaksi gram,
uji fluoresens, uji oksidase, uji oksidatif/fermentatif, uji urease, dan sebagainya
bertujuan untuk mengetahui identitas genus dan spesies bakteri penyebab penyakit
hawar daun pada bibit tanaman A. crassicarpa (Hayward 1983a; Schaad 2001).
Selain analisis fenotipik, analisis secara molekuler perlu dilakukan untuk
konfirmasi identifikasi secara non-molekuler yang telah dilakukan. Menurut
Suwanto (1994) hasil analisis fenotipik seperti uji fisiologi atau biokimia sering
sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau kondisi sel itu sendiri. Metoda
molekuler yang berbasiskan DNA memiliki keuntungan karena keakuratan
identifikasi tidak tergantung pada kondisi lingkungan, umur, atau sifat fisiologi
dari patogen, namun lebih tergantung pada kualitas DNA yang diekstraksi (Louws
dan Cuppels 2001). Identifikasi secara molekuler ini penting untuk mendapatkan
gambaran yang akurat tentang penyebab penyakitnya. Selain itu, untuk tujuan
jangka panjang informasi ini akan berguna sebagai dasar untuk penelitian
selanjutnya.
Teknik molekuler yang digunakan untuk mendukung identifikasi bakteri
secara non-molekuler adalah menggunakan sekuensing gen 16Sr-RNA. Hal ini
karena ribosomal RNA ada pada semua organisme dan merupakan target molekul
yang baik. Sekuensing gen 16Sr-RNA dapat dilakukan dengan mengamplifikasi
bagian 16Sr-RNA dari DNA dengan menggunakan teknik PCR (polymerase chain
reaction) dan primer universal untuk prokaryot. Produk amplifikasi PCR dapat
langsung disekuen atau dipurifikasi dahulu dan diligasikan ke dalam vektor. Hasil
5
sekuensing dapat dianalisis dengan menggunakan database internet dengan
menggunakan fasilitas program BLAST (Dickstein et al. 2001). Hasil analisis
dengan program BLAST ini dapat menunjukkan apakah spesies bakteri yang
menyebabkan penyakit hawar daun pada bibit tanaman A. crassicarpa sama
dengan spesies yang sudah ada atau merupakan spesies baru.
Deteksi dan identifikasi secara non-molekuler berdasarkan pada
karakterisasi morfologi sel maupun koloni, uji fisiologi dan biokimia termasuk uji
patogenisitas dari patogen biasanya membutuhkan waktu yang lama. Dengan
makin berkembangnya teknik identifikasi patogen baik teknik serologi maupun
teknik molekuler maka waktu yang dibutuhkan untuk deteksi dan identifikasi
patogen jauh lebih cepat, akurat, spesifik, dan sensitif. Contohnya, untuk
mendeteksi Pseudomonas avellanae agen penyebab menurunnya hazelnut di
Northern Greece dan central Italy membutuhkan sedikitnya 6-7 bulan untuk
identifikasi patogen secara lengkap berdasarkan teknik tradisional, sedangkan
dengan menggunakan teknik repetitive-PCR dengan primer ERIC hanya
dibutuhkan 4-6 hari (Scortichini dan Marchesi 2001).
Pengadaan bibit tanaman A. crassicarpa dalam jumlah banyak dan secara
terus menerus sepanjang tahun dapat memicu ledakan (epidemi) penyakit di
pembibitan tanaman akasia. Menurut Sinaga (2003) beberapa faktor yang dapat
menyebabkan terjadinya epidemik penyakit adalah tersedianya inang secara
berkesinambungan dan bersifat rentan, adanya patogen yang virulen, dan adanya
faktor lingkungan yang mendukung perkembangan patogen. Untuk itu perlu dikaji
beberapa faktor yang dapat meningkatkan perkembangan penyakit di pembibitan
tanaman A. crassicarpa.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mendeskripsikan perkembangan gejala
penyakit hawar daun bakteri serta pembuktian uji Postulat Koch, (2) mengetahui
morfologi bakteri dan mengidentifikasi bakteri penyebab penyakit hawar daun
pada bibit tanaman A. crassicarpa dengan cara uji fisiologi dan biokimia, (3)
mengidentifikasi bakteri penyebab penyakit hawar daun pada bibit tanaman
A. crassicarpa dengan teknik molekuler, (4) mengetahui pengaruh kultur teknis
6
terhadap perkembangan penyakit hawar daun bakteri pada bibit tanaman
A. crassicarpa, (5) mengetahui populasi bakteri patogen hawar daun di sekitar
tanaman inang, (6) mengetahui pengaruh curah hujan dan bibit asal biji dan stek
terhadap perkembangan penyakit hawar daun bakteri pada bibit tanaman
A. crassicarpa.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan berguna dalam menyediakan informasi dasar
tentang bakteri penyebab penyakit hawar daun pada bibit tanaman
A. crassicarpa terutama tentang spesies yang menyerang, karakteristik fenotipik
dan molekuler, serta faktor yang mempengaruhi terjadinya epidemi penyakit.
Informasi ini diharapkan dapat membantu dalam menyusun pengelolaan penyakit
yang tepat.
Strategi Penelitian
Strategi penelitian yang ditempuh untuk mencapai tujuan penelitian yang
sudah diuraikan tersebut meliputi kelompok tahapan penelitian sebagai berikut:
(1) survei, koleksi, isolasi dan uji postulat Koch bakteri penyebab penyakit hawar
daun pada bibit tanaman A. crassicarpa, (2) karakterisasi dan identifikasi bakteri
penyebab penyakit hawar daun pada bibit tanaman A. crassicarpa dengan uji
fisiologi dan biokimia dan dengan teknik molekuler, (3) kajian faktor epidemik
penyakit hawar daun bakteri. Bagan alur dari strategi penelitian disajikan pada
Gambar 1.
7
Penyakit Hawar Daun Bakteri
Pada Tanaman Acacia crassicarpa
Masalah di Pembibitan
Pengamatan Gejala dan Perkembangan Penyakit
Identifikasi Bakteri Patogen Hawar Daun
Kajian Epidemi Penyakit
Koleksi tanaman sakit dan isolasi bakteri patogen hawar daun
Uji morfologi, Uji Fisilogi
dan Biokimia
Uji Molekuler
Uji Postulat Koch
Isolat Murni Patogen Hawar daun
Uji Genus
Uji Spesies
Spesies teridentifikasi
Isolasi DNA
PCR dan Purifikasi DNA
Sekuen Gen 16S-rRNA
Program BLAST
Spesies Sama/Baru
*Pengaruh kultur teknis *Deteksi patogen pada benih, air, dan media tanam *Pengaruh curah hujan *Pengaruh bibit asal biji & stek
Informasi Dasar
Gambar 1. Bagan kerangka alur penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Pertelaan Tanaman Akasia
Tanaman akasia (Acacia sp.) termasuk tanaman legum berkayu yang
merupakan tanaman indigenus untuk Australia, Papua New Guinea, dan Indonesia
(Eldoma dan Awang 1999). Klasifikasi tanaman akasia berdasarkan data dari
GRIN (2005) dan Caine (2005) sebagai berikut:
Ordo : Acacieae (atau Mimosaceae)
Subfamili : Mimosoideae
Famili : Fabaceae (atau Leguminosae)
Genus : Acacia
Di dunia ada kurang lebih 1500 spesies tanaman akasia yang dikenal dan
1200 spesies diantaranya endemik bagi Australia. Kebanyakan spesies ini
merupakan tanaman pionir di lingkungannya dan ukurannya sangat bervariasi dari
semak kecil sampai tanaman hutan yang besar (Old et al. 1999).
Kebanyakan tanaman akasia memiliki biji yang dapat bertahan sangat
lama, memiliki ketahanan terhadap kebakaran dan tetap hidup dalam kurun waktu
yang lama dalam tanah pada kondisi di bawah pertanaman akasia atau lingkungan
alaminya (Old et al. 1999). Acacia crassicarpa contohnya, crassicarpa berasal
dari bahasa latin yaitu crassus yang artinya tebal dan carpus yang artinya buah
(Doran dan Turnbull 1997). Jadi Acacia crassicarpa memiliki buah yang tebal
dan bijinya juga sangat tebal dan keras. Untuk pembenihan, sebelum ditanam
biasanya biji diperlakukan dahulu dengan menggunakan air panas atau asam (Old
et al. 1999).
Sejak tahun 1984 Pemerintah Indonesia mencanangkan program
pengembangan perkebunan kayu skala besar di luar pulau Jawa. Setiap tahunnya
direncanakan akan dilakukan penanaman sebanyak 300.000 ha (Hadi et al. 1996).
Untuk tujuan ini maka dibutuhkan tanaman yang tumbuh cepat dan tetap memberi
keuntungan secara ekonomi dan lingkungan. Salah satu tanaman cepat tumbuh
yang dikembangkan secara intensif dalam skala besar adalah Acacia spp.
9
Tanaman akasia memberikan keuntungan yang luas baik secara ekonomi
maupun untuk lingkungan. Secara ekonomi tanaman akasia menguntungkan
karena dapat diambil kayunya, diolah menjadi bubur kayu (wood pulp), kertas,
dan bahan bakar (fuel) yang potensial untuk produksi charcoal. Menguntungkan
bagi lingkungan karena dapat berfungsi untuk memperbaiki tanah (soil improver),
potensial untuk mengontrol erosi, dan sebagai revegetator (Eldoma dan Awang
1999; GRIN 2005).
Di Indonesia ada 4 spesies tanaman akasia yang ditanam secara luas yaitu
Acacia auriculiformis, A. mangium, A. crassicarpa, dan A. aulacocarpa (Zulfiyah
dan Gales 1996; Hadi dan Nuhamara 1996). Diantara keempat spesies ini
A. crassicarpa merupakan spesies tanaman yang paling produktif dibandingkan
yang lain (Lau 1999). Penelitian Jayusman et al. (1992) dalam Andes (1998)
menyebutkan bahwa dari 12 spesies tanaman yang cepat tumbuh yang diuji
didapatkan bahwa A. crassicarpa mempunyai persentase hidup, pertambahan
tinggi dan diameter batang terbaik. Hasil penelitian Roongrattanakul et al. (2005)
menunjukkan bahwa A. crassicarpa pertumbuhannya paling cepat dan A. oraria
pertumbuhannya paling lambat.
Secara umum A. crassicarpa dapat tumbuh pada ketinggian antara 0- 700
m dpl. Daya adaptasinya tinggi, dapat dijumpai baik pada ekosistem sangat basah
ataupun sangat kering. Pada habitat alaminya, curah hujan tahunan yang
dibutuhkan A. crassicarpa bervariasi antara 900-4000 mm, namun di Australia
bagian utara, A. crassicarpa dapat dijumpai pada daerah dengan curah hujan
tahunan hanya 500 mm (Eldoma dan Awang 1999; Old et al. 1999). Di Irian Jaya
dan Papua New Guinea, A. crassicarpa dapat tumbuh pada tanah yang agak
bergelombang dan berdrainase baik atau kurang baik, tanah yang tergenang waktu
hujan dan kering pada musim kemarau, pada tanah sangat masam, tanah latosol,
dan tanah yang kesuburannya rendah (Rettob 1994).
Tanaman akasia seperti tanaman legum lainnya dapat berasosiasi simbiosis
dengan bakteri tanah untuk memfiksasi nitrogen. Hal ini menyebabkan tanaman
akasia mampu untuk beradaptasi dengan lingkungan yang kualitas haranya rendah
(Old et al. 1999).
10
Tanaman A. crassicarpa pada tempat asalnya di North Queensland dan
Papua New Guinea dapat mencapai tinggi 30 m (Midgley 2000). Tanaman
A. crassicarpa dapat mencapai tinggi 30 m dengan batang yang besar dan
diameter mencapai 50 cm pada hutan terbuka, sedangkan pada hutan tertutup
tingginya berkisar antara 5-20 m dan berbatang lurus. Pada lahan yang terbuka
A. crassicarpa banyak bercabang dan membentuk naungan (Rettob 1994).
Identifikasi Patogen Berdasarkan Karakter Fisiologi dan Morfologi
Bakteri patogen tumbuhan dapat diidentifikasi berdasarkan karakteristik
fisiologinya. Secara umum, karakteristik fisiologi yang diamati terhadap koloni
bakteri hasil dari isolasi adalah uji metabolisme senyawa-senyawa tertentu dan
beberapa karakteristik kultur misalnya bentuk dan ukuran sel, warna koloni,
diameter koloni, dan flagela (Hayward 1983a). Beberapa uji fisiologis yang
dilakukan untuk membedakan genera dari prokaryot patogenik tumbuhan adalah
uji oksidase, urease, oksidatif/fermentatif, pigmen fluoresen, reaksi gram, dan
sebagainya (Hayward 1983a; Schaad 2001).
Secara sederhana beberapa genus prokariot yang dapat menyebabkan
penyakit tumbuhan dapat dibedakan. Cara tersebut adalah menggunakan metode
Schaad (2001): (1) mengisolasi bakteri patogen tumbuhan dengan media umum
NA, jika bakteri dapat tumbuh maka dilanjutkan dengan uji pewarnaan Gram; (2)
melakukan pewarnaan Gram, jika bersifat gram positif maka kemungkinan bakteri
tersebut termasuk genus Coryneform, Bacillus, Clostridium, atau Streptomyces,
sedangkan jika menunjukkan gram negatif maka kemungkinan termasuk genus
Erwinia, Pantoea, Xylophilus, Acidovorax, Burkholderia, Ralstonia,
Pseudomonas, Xanthomonas, atau Agrobacterium; (3) untuk bakteri gram negatif
dilanjutkan dengan uji pertumbuhan anaerobik, jika positif maka kemungkinan
masuk genus Pantoea atau Erwinia, sedangkan jika negatif termasuk genus
Xylophilus, Acidovorax, Burkholderia, Ralstonia, Pseudomonas, Xanthomonas,
atau Agrobacterium; (4) untuk membedakan genus Erwinia dan Pantoea dapat
ditumbuhkan pada media YDC, jika koloni kuning termasuk genus Pantoea dan
jika tidak kuning termasuk Erwinia; (5) uji pigmen fluoresen pada KB, jika positif
11
maka kemungkinan termasuk genus Pseudomonas, sedangkan jika negatif
termasuk genus Xylophilus, Acidovorax, Burkholderia, Ralstonia, Xanthomonas,
atau Agrobacterium; (6) dilanjutkan dengan menumbuhkan pada media YDC/NA,
jika koloni berwarna kuning kemungkinan masuk genus Xylophilus atau
Xanthomonas, sedangkan jika koloni tidak kuning termasuk genus , Acidovorax,
Burkholderia, Ralstonia, atau Agrobacterium; (7) genus Xylophilus atau
Xanthomonas dapat dibedakan dengan uji urease atau menumbuhkan pada media
YDC pada suhu 33oC, jika urease negatif dan dapat tumbuh pada 33oC maka
termasuk genus Xanthomonas dan jika urease positif dan tidak tumbuh pada 33oC
maka masuk Genus Xylophilus; (8) ke empat genus yang lain ditumbuhkan pada
media D1M agar, jika tumbuh maka termasuk genus Agrobacterium sedangkan
jika tidak tumbuh kemungkinan masuk genus Acidovorax, Burkholderia, atau
Ralstonia; (9) ke tiga genus diuji lebih lanjut dengan bisa atau tidak menggunakan
arginin dan betaine, jika positif masuk genus Burkholderia sedangkan jika negatif
masuk genus Acidovorax atau Ralstonia; (10) uji dilanjutkan dengan
menumbuhkan pada suhu 40oC, jika tumbuh masuk genus Acidovorax dan jika
tidak tumbuh masuk genus Ralstonia.
Bakteri gram positif dapat dibedakan genusnya dengan cara Schaad
(2001): (1) uji pembentukan endospora, jika membentuk endospora kemungkinan
termasuk genus Bacillus atau Clostridium, sedangkan jika tidak membentuk
endospora termasuk genus Coryneform atau Streptomyces; (2) genus Bacillus atau
Clostridium dapat dibedakan dengan uji pertumbuhan anaerobik, jika positif
masuk genus Clostridium dan jika negatif masuk genus Bacillus ; (3) genus
Coryneform atau Streptomyces dapat dibedakan dengan uji pembentukan
miselium aerial, jika membentuk miselium aerial masuk genus Streptomyces dan
jika tidak membentuk miselium aerial masuk genus Coryneform.
Cara membedakan beberapa genus prokariot yang dapat menyebabkan
penyakit tumbuhan dapat juga dilakukan sebagai berikut (Sinaga 2003) : (1)
mengisolasi bakteri patogen tumbuhan dengan media umum NA, jika bakteri
dapat tumbuh maka dilanjutkan dengan uji pewarnaan gram, jika tidak tumbuh
maka kemungkinan bakteri tersebut adalah Spiroplasma, Fitoplasma,
Actinomycetes, atau Rickettsia; (2) melakukan pewarnaan gram, jika bersifat gram
12
positif maka termasuk genus Corynebacterium dan jika bersifat gram negatif
maka kemungkinan termasuk genus Erwinia, Xanthomonas, Pseudomonas, atau
Agrobacterium; (3) menumbuhkan bakteri pada media YDC agar, jika koloni
berwarna kuning maka termasuk genus Erwinia atau Xanthomonas; sedangkan
jika tidak berwarna kuning kemungkinan termasuk genus Pseudomonas, atau
Agrobacterium; (4) menumbuhkan pada media MS agar atau CVP agar, jika
tumbuh maka termasuk genus Erwinia dan jika tidak tumbuh maka termasuk
genus Xanthomonas; (5) menumbuhkan pada media D-t, jika tumbuh termasuk
genus Agrobacterium dan jika tidak tumbuh termasuk genus Pseudomonas.
Identifikasi Patogen Berdasarkan Karakter Molekuler
Identifikasi bakteri patogen tumbuhan selain dengan cara analisis
fenotipik, dapat juga dilakukan dengan menggunakan analisis genotipik secara
molekuler. Menurut Suwanto (1994) hasil analisis fenotipik seperti uji fisiologis
atau biokimia sering sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau kondisi sel
itu sendiri. Metoda molekuler yang berbasiskan DNA memiliki keuntungan
karena keakuratan identifikasi tidak tergantung pada kondisi lingkungan, umur,
atau sifat fisiologi dari patogen, namun lebih tergantung pada kualitas DNA yang
diekstraksi (Louws dan Cuppels 2001).
Salah satu teknik standar yang digunakan untuk identifikasi bakteri yang
belum diketahui spesiesnya (unknown bacteria) adalah menggunakan sekuensing
gen 16S rRNA. Kreuze et al. (1999) menyebutkan bahwa sekuen gen 16S-rRNA
merupakan kriteria penting dalam taksonomi mikrobia. Semua organisme
memiliki ribosomal RNA dan merupakan molekul target yang baik. Hal ini karena
sekuen gen 16S rRNA sering spesifik spesies dan memiliki copy ganda dalam
genom mikrob (Dickstein et al. 2001). Gutell et al. (1994) menambahkan bahwa
molekul RNA merupakan kerangka dari ribosomal yang sangat berperan dalam
proses translasi. Peran fungsional semua rRNA identik yakni berperan dalam
produksi protein, namun ada bagian tertentu dari sekuen tersebut terus berevolusi
dan mengalami perubahan pada tingkat struktur primer sambil terus
mempertahankan struktur sekunder dan tersier yang homologus.
13
Gen 16S rRNA pada bakteri sangat konserf dengan variasi sangat kecil.
Adapula beberapa segmen RNA sangat lambat evolusinya sehingga filogeni dari
taksa yang berdekatan dapat dikonstruksi kembali. Dengan demikian, kombinasi
dari persamaan dan sekuen yang bervariasi ini sangat berguna dalam identifikasi
genus dan spesies bakteri (Alizadeh et al. 1997).
Sekuensing gen 16S-rRNA dapat dilakukan pertama-tama dengan
mengamplifikasi bagian 16S-rRNA dari DNA dengan menggunakan teknik PCR
(polymerase chain reaction) dan primer universal untuk prokaryot. Teknik PCR
merupakan teknik yang dapat mengamplifikasi DNA secara in vitro dengan
sensitivitas dan spesifitas yang tinggi (Mullis et al. 1986). Setiap siklus pada
amplifikasi DNA secara in vitro ini terdiri dari 3 tahap yaitu denaturasi, pelekatan
(annealing), dan pemanjangan (elongation). Tahap denaturasi merupakan
pembentukan DNA utas tunggal dari DNA utas ganda yang umumnya terjadi pada
suhu lebih besar atau sama dengan 95oC. Selanjutnya diikuti tahapan pelekatan
primer pada DNA yang biasanya berlangsung pada suhu 35-65oC tergantung pada
panjang pendeknya oligonukleotida primer yang digunakan. Tahap pemanjangan
primer biasanya terjadi pada suhu 72oC yang merupakan hasil polimerisasi dengan
bantuan dari kerja enzim Taq DNA polimerase. Ketiga tahap ini akan berlangsung
secara terus menerus sampai beberapa siklus (Madigan et al. 1997).
Berhasil tidaknya amplifikasi gen 16S-rRNA yang telah dilakukan dapat
divisualisasikan dengan elektroforesis gel. Elektroforesis adalah suatu teknik
pemisahan molekul bermuatan dalam medan listrik. Penggunaan teknik
elektroforesis gel dapat digunakan untuk memisahkan dan menentukan ukuran
fragmen DNA (Agus 2002).
Elektroforesis dapat menggunakan dua macam gel yaitu gel agarosa
(memisahkan fragmen DNA dengan ukuran 0,1-2 kb) dan gel poliakrilamida
(memisahkan fragmen DNA dengan ukuran 0,006-0,1 kb) (Agus 2002). Menurut
Hoy (1994) dan Agus (2002) mobilitas DNA dalam gel tergantung pada ukuran
fragmen, arus yang diberikan, komposisi buffer elektroforesis, konformasi DNA,
konsentrasi gel, komposisisi basa dan suhu, dan keberadaan senyawa
intercalating.
14
Produk amplifikasi PCR dapat langsung disekuen atau dipurifikasi dahulu
dan diligasikan ke dalam vektor. Sel E. coli ditransformasikan dengan plasmid
yang berisi insersinya. Sel ini kemudian ditumbuhkan pada kultur cair dan
selanjutnya plasmid diisolasi dan dipurifikasi kembali. Hasil klon atau produk
amplifikasi dapat disekuensing menggunakan kit sekuensing yang tersedia secara
komersial atau menggunakan sistim sekuensing otomatis. Primer universal dapat
digunakan untuk PCR maupun sekuensing. Hasil sekuensing dapat dianalisis
dengan menggunakan database internet dengan menggunakan fasilitas program
BLAST. Program BLAST ini disediakan oleh NCBI (National Center for
Biotechnology Information) (Dickstein et al. 2001).
Epidemiologi Penyakit Tumbuhan
Epidemiologi penyakit tumbuhan merupakan ilmu yang mempelajari
tentang epidemi penyakit tumbuhan. Dalam hal ini epidemiologi merupakan
analisis komprehensif dari interaksi antara tiga komponen segitiga penyakit yaitu
inang, patogen, dan lingkungan (Jones 1998).
Beberapa definisi telah diberikan oleh para pakar mengenai epidemiologi
penyakit tumbuhan. Van der Plank (1963) menyebutkan bahwa epidemik adalah
peningkatan per luasan terjadinya penyakit (disease incidence) dalam suatu
populasi tumbuhan per satuan waktu per satuan luas atau secara singkat dikatakan
epidemiologi adalah ilmu tentang penyakit dalam populasi. Sedangkan Zadock
dan Schein (1979) menyebutkan bahwa epidemi merupakan pertambahan
penyakit dalam suatu populasi tumbuhan per satuan waktu per satuan luas.
Dengan demikian, dalam epidemiologi dibahas mengenai cara-cara penyebaran
penyebab penyakit, berbagai faktor yang mempengaruhi patogen maupun populasi
tumbuhan, dan juga dipelajari faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi antara
populasi patogen dengan populasi tumbuhan (Semangun 1996).
Ada tiga faktor utama yang dapat menyebabkan terjadinya epidemi
penyakit tumbuhan dan ketiga faktor tersebut harus terjadi secara bersamaan.
Ketiga faktor tersebut adalah: inang harus berada dalam fase rentan, populasi
patogen harus dalam tingkat tertentu dan inokulum patogennya harus virulen, dan
15
kondisi lingkungan harus sesuai untuk reproduksi, penyebaran, dan infeksi
patogen, terutama faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban, pH, angin, vektor,
dan keberadaan agen antagonis yang bersifat mematikan atau menyebabkan statis
(Sinaga 2003).
Inang sebagai salah satu faktor dalam terjadinya epidemi sangat
dipengaruhi oleh keadaan internal maupun eksternal dari inang itu sendiri.
Beberapa faktor internal dari inang antara lain tingkat ketahanan atau kerentanan
inang, tipe tanaman, keragaman genetik inang, umur tanaman, kandungan nutrisi,
dan sebagainya. Jika tanaman inang yang memiliki tingkat keragaman genetik
tinggi dan memiliki gen ketahanan terhadap penyakit ditanam pada suatu areal,
maka epidemi penyakit dapat terjadi jika ada ras atau strain baru patogen yang
dapat mematahkan ketahanan inang tersebut (Sinaga 2003). Epidemi penyakit
akan mudah juga terjadi jika tanaman rentan ditanam secara luas dan monokultur
(Semangun 1996). Umumnya, epidemik penyakit lebih cepat terjadi pada tanaman
semusim dibandingkan dengan tanaman tahunan. Dalam hubungannya dengan
umur tanaman, epidemik penyakit dapat terjadi pada berbagai fase tanaman antara
lain pada fase awal pertumbuhan, pada fase pematangan dan pengusangan, dan
pada fase masih sangat muda dan setelah mencapai fase pematangan (Sinaga
2003).
Perkembangan epidemi juga sangat dipengaruhi oleh faktor patogen.
Faktor tersebut antara lain tingkat virulensi, jumlah inokulum di sekitar inang, tipe
reproduksi patogen, ekologi patogen, dan tipe penyebaran patogen. Kondisi
inokulum yang dapat mendukung terjadinya perkembangan epidemi penyakit
adalah: inokulum ada dalam jumlah yang banyak, ada dalam fase yang dapat
berkembang biak dengan cepat, dalam kondisi sangat vigor, dapat menyebar
dengan efisien dan dapat kontak dengan inang yang rentan (Sinaga 2003).
Penyebaran inokulum yang efisien sangat mempengaruhi perkembangan epidemi
penyakit. Angin dapat menyebarkan patogen dalam jarak yang sangat jauh namun
belum tentu efisien karena bisa saja inokulum diendapkan di laut, di padang pasir,
pada tanaman atau bagian tanaman yang tidak rentan. Meskipun air kurang
penting dalam penyebaran patogen, beberapa penyakit sangat dipengaruhi oleh
percikan air hujan maupun air irigasi untuk penyebarannya. Selain angin dan air,
16
serangga juga memerankan peranan yang penting dalam penyebaran, penularan,
pembiakan, dan pertahanan patogen. Semakin efisien serangga sebagai vektor
penularan dan penyebaran patogen maka semakin besar kemungkinan terjadinya
epidemi. Selain ketiga faktor yang membantu penyebaran patogen, manusia
merupakan agen penyebaran patogen yang paling efektif dibandingkan yang lain.
Hal ini karena manusia dapat mengatasi barier alam yang membatasi agen
penyebaran yang lain (Semangun 1996). Manusia selain efektif sebagai
pengintroduksi patogen baru, beberapa aktivitas manusia secara langsung atau
tidak langsung dapat mempengaruhi terjadinya epidemi penyakit. Aktivitas
tersebut antara lain: seleksi lokasi dan persiapan, seleksi bahan tanaman, teknik
budidaya, dan teknik pengendalian penyakit (Sinaga 2003).
Faktor lain yang dapat mempengaruhi terjadinya epidemi penyakit selain
inang dan patogen adalah faktor lingkungan. Komponen faktor lingkungan yang
dapat membantu terjadinya epidemi penyakit adalah: kelembaban yang tinggi
(biasanya di atas 85%), temperatur yang tinggi, faktor lingkungan yang membantu
penyebaran patogen, dan faktor lingkungan biotik misalnya adanya agen
antagonis yang mematikan atau menyebabkan statis (Sinaga 2003).
PEMBAHASAN UMUM
Sampai saat ini penyakit hawar daun bakteri hanya menyerang bibit
tanaman A. crassicarpa di pembibitan Riau dan belum dilaporkan di tempat
pembibitan yang lain. Namun di awal tahun 2006 gejala penyakit yang sama
ditemukan pada bibit tanaman A. mangium meskipun kerusakan yang
ditimbulkannya tidak parah dan tidak berkelanjutan seperti pada A. crassicarpa.
Hal ini karena sebelum gejala menyebar lebih lanjut telah dilakukan eradikasi.
Ada sedikit perbedaan gejala yang nampak pada pada bibit tanaman
A. mangium jika dibandingkan dengan A. crassicarpa yakni hawar pada
A. mangium terlihat lebih basah dan A. crassicarpa hawarnya kering. Dengan
ditemukannya penyakit hawar daun bakteri ini pada spesies tanaman A. mangium
maka penyakit ini tidak lagi inangnya spesifik hanya pada A. crassicarpa. Hal ini
kemungkinan karena di pembibitan A. mangium ada bibit A. crassicarpa yang
diletakkan bersebelahan dengan A. mangium. Penyakit hawar daun bakteri pada
bibit tanaman A. crassicarpa telah muncul akhir tahun 2003 sehingga seiring
dengan berjalannya waktu bakteri patogen juga mengalami evolusi bersama-sama
dengan tanaman. Dengan demikian meskipun awalnya tidak menyerang tanaman
A. mangium namun kemungkinan dengan terbentuknya strain baru dari patogen
hasil evolusinya maka berhasil menginfeksi tanaman A. mangium.
Jika diamati koloni dari isolat yang diisolasi dari daun bibit tanaman
A. crassicarpa dan A. mangium maka warna koloni dari isolat A. mangium kuning
muda pada awalnya. Setelah beberapa kali subkultur dan mengalami penyimpanan
dalam gliserol maka warna koloninya sama dengan isolat dari A. crassicarpa pada
umumnya (berwarna kuning).
Penyakit hawar daun bakteri pada bibit tanaman A. crassicarpa ditandai
dengan munculnya garis kecil berwarna merah berukuran kurang lebih 1-3 mm
baik pada daerah ujung daun, bagian tengah daun, bagian pangkal daun atau
variasinya pada bibit yang berumur 5-6 minggu. Jika faktor lingkungan
mendukung garis akan berkembang memanjang sejajar dengan tulang daun dan
berubah warna menjadi merah kecoklatan. Garis selanjutnya berubah menjadi
coklat tua dan ada halo berwarna kuning disekitarnya. Pada perkembangan
111
penyakit tahap akhir garis dapat menyatu dan kering sehingga terbentuk hawar.
Perkembangan penyakit dari gejala awal sampai terbentuk hawar membutuhkan
waktu lebih kurang satu sampai dua minggu. Perkembangan penyakit ini sangat
dipengaruhi oleh faktor lingkungan khususnya curah hujan. Jika curah hujan
tinggi (>20 mm/hari) maka perkembangan penyakit cepat sehingga hawar
terbentuk kurang dari 2 minggu.
Isolat murni hasil isolasi bakteri dari daun bibit tanaman A. crassicarpa
benar-benar merupakan bakteri yang bertanggung jawab terhadap terjadinya
penyakit hawar daun. Hal ini didukung oleh hasil uji Postulat Koch yang telah
dilakukan yakni patogen ditemukan berasosiasi dengan tanaman sakit yang diuji
(A. crassicarpa), patogen dapat diisolasi dan ditumbuhkan sebagai kultur murni
pada media YDCA atau NA, patogen dari kultur murni tersebut diinokulasikan
pada tanaman A. crassicarpa sehat dan menghasilkan penyakit yang sama pada
tanaman yang diinokulasikan meskipun gejalanya tidak separah seperti di lapang,
dan terakhir adalah patogen dapat diisolasi kembali sebagai kultur murni dengan
karakteristik yang sama seperti isolasi pertama.
Hasil identifikasi baik secara non-molekuler maupun molekuler
membuktikan bahwa isolat bakteri patogen yang diisolasi dari daun yang
terinfeksi hawar termasuk ke dalam spesies Xanthomonas campestris.
Karakteristik fenotipiknya antara lain sel berbentuk batang dengan ukuran 0,5-0,7
x 0,8-1,7 µm (menggunakan mikroskop elektron), bersifat gram negatif,
pertumbuhan aerobik, tidak menghasilkan pigmen fluoresens, koloni berwarna
kuning dan mukoid pada media YDCA, dapat tumbuh pada suhu 33-35 ºC, dapat
menghidrolisis pati, dapat menghidrolisis esculin, dapat melisiskan protein,
bersifat alkalin, memproduksi asam dari arabinose, dan dapat menggunakan
senyawa gliserol dan melibiose. Kriteria ini sesuai untuk genus dan spesies
Xanthomonas campestris. Untuk nama patovarnya diusulkan acaciae karena
disamping dapat menimbulkan penyakit pada Acacia crassicarpa juga dapat
menginfeksi Acacia mangium. Dengan demikian nama lengkap yang diusulkan
untuk spesies bakteri yang menginfeksi daun bibit A. crassicarpa dan dapat
menimbulkan penyakit hawar adalah Xanthomonas campestris pv. acaciae.
112
Karakterisasi molekuler dengan menggunakan sekuensing gen 16S rRNA
dan penelusuran sekuen dengan menggunakan program BLAST didapatkan hasil
yang sama dengan karakterisasi secara non-molekuler yakni Xanthomonas
campestris dengan tingkat kesamaan ≥90 %. Jika dibandingkan kesamaan
Xanthomonas campestris pv. acaciae dengan patovar Xanthomonas campestris
maupun dengan Xanthomonas sp. yang lain yang ada di GeneBank tinggi juga
berkisar antara 90-93 %. Dengan demikian bakteri patogen yang didapatkan dari
hasil isolasi daun bibit tanaman A. crassicarpa yang terinfeksi hawar merupakan
patovar baru meskipun tingkat kesamaannya tinggi.
Sejak kemunculan penyakit hawar daun bakteri pada pembibitan tanaman
A. crassicarpa akhir tahun 2003 di Riau telah berulangkali terjadi epidemi
penyakit hawar daun bakteri ini. Pengertian epidemi penyakit tumbuhan menurut
orang awam adalah terjadinya ledakan penyakit yang mendadak dalam jumlah
yang besar pada suatu area. Padahal menurut ahli fitopatologi tidaklah demikian
halnya. Epidemi penyakit merupakan pertambahan penyakit dalam populasi
tumbuhan baik pertambahannya sedikit atau banyak, lambat ataupun cepat.
Karenanya, ahli fitopatologi selalu memonitor perkembangan dan pertambahan
penyakit di lapang sehingga bila diperlukan tindakan segera dapat diambil.
Faktor yang memicu terjadinya epidemi penyakit tumbuhan adalah interaksi
antara inang, patogen, dan faktor lingkungan. Jika salah satu faktor tidak
mendukung maka epidemi penyakit tidak akan terjadi. Beberapa telah dicoba
untuk diamati sehubungan dengan epidemi penyakit hawar daun bakteri pada
pembibitan tanaman A. crassicarpa ini baik yang menyangkut patogennya,
inangnya, maupun faktor lingkungannya.
Kultur teknis yang diterapkan di pembibitan A. crassicarpa dapat
mempengaruhi baik pertumbuhan bibit maupun penyakit hawar daun bakteri.
Secara umum penyakit hawar daun bakteri pada bibit tanaman A. crassicarpa di
pembibitan Riau pada tahun 2007 mengalami penurunan dibandingkan tahun
2004. Hal ini didukung oleh fakta dengan munculnya gejala awal penyakit yang
lebih lambat, kejadian dan keparahan penyakit yang menurun. Penurunan ini
disebabkan oleh diterapkannya pengendalian secara terpadu khususnya dari segi
kultur teknis seperti penggunaan media tanam yang berbeda (100% cocopeat atau
113
75% cocopeat dan 25% peat compost), pemupukan (M-phospat dan NPK
hidrokompleks), jarak antar tabung dalam baki (penjarangan tanaman dengan
pengosongan selang seling tiap baris), jenis tabung yang dipergunakan (lebih
banyak yang hanya berlubang di bagian bawah atau poly tube), perlakuan sumber
air penyiraman (penambahan sodium hipoklorid), sanitasi lingkungan (membuang
bagian tanaman yang terserang penyakit, perbaikan drainase, penyemprotan
dengan bakterisida, dan penempatan bak cuci kaki yang sudah ditambahkan
sodium hipoklorid), lamanya bibit dalam naungan (seminggu lebih lama), dan
sistim penyiraman (penggunaan sistim boom). Perubahan penggunaan media
tanam, jenis tabung, dan pemupukan mendorong pertumbuhan bibit lebih baik
sehingga disamping bibit lebih tahan terhadap penyakit juga dapat dipindah ke
lapang 3 minggu lebih cepat dari biasanya. Perlakuan lainnya lebih
menitikberatkan pada memperlambat atau mencegah perkembangan dan
penyebaran penyakit hawar daun. Lebih tahannya bibit tanaman karena
pertumbuhan yang lebih baik, tertekannya penyebaran dan perkembangan
penyakit pada akhirnya akan menurunkan kejadian dan keparahan penyakit hawar
daun bakteri di pembibitan sehingga kebutuhan bibit A. crassicarpa di lapang
dapat terpenuhi.
Hasil penelitian dari segi patogennya menunjukkan bahwa sumber inokulum
awal selalu ada di pembibitan A. crassicarpa. Ini terbukti dari terdeteksinya
bakteri patogen dari benih, media tanam (tanah gambut, sekam padi, serbuk
kelapa, kompos kelapa sawit), maupun sumber air penyiramannya (air irigasi,
boom, springkel) dengan populasi cukup tinggi yaitu 2,9 x 102 sampai 9,9 x 106
CFU/ml. Keberadaan inokulum awal yang cukup tinggi di sekitar tanaman inang
ini memberi peluang untuk terjadinya epidemi penyakit jika faktor lingkungan
lebih mendukung perkembangan dan penyebaran inokulum patogen namun
melemahkah pertumbuhan tanaman inang. Sistim penanaman dan pemeliharaan
bibit tanaman A. crassicarpa dari tahun 2004 sampai tahun 2007 telah banyak
mengalami perubahan. Pengelolaan yang menyeluruh terhadap penyakit hawar
daun bakteri di pembibitan telah dilakukan. Setidaknya usaha untuk
meminimalkan sumber inokulum awal telah dilakukan. Beberapa hal yang telah
dilakukan dalam rangka mengurangi jumlah inokulum awal ini adalah mengganti
114
media tanam yang digunakan yakni awal tahun 2007 telah diganti menggunakan
100% cocopeat atau 75% cocopeat dan 25% peat compost. Dengan beberapa
kelebihan yang dimiliki oleh media tanam ini maka lebih mendukung
pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik sehingga lebih tahan terhadap penyakit
hawar daun. Namun yang lebih penting menurut spesifikasinya media ini juga
bebas dari patogen tular tanah dan gulma karena merupakan medium bebas tanah
sehingga sumber inokulum awal dapat diminimalkan karena tidak terbawa media
tanam lagi. Untuk sumber air penyiraman beberapa hal juga telah dilakukan
diantaranya sumber air irigasinya sebelum disalurkan lebih lanjut ke sistim boom
atau springkel dari akhir tahun 2005 telah ditambahkan sodium hipoklorid untuk
sterilisasi airnya. Hal ini diharapkan dapat mengurangi sumber inokulum awal di
sekitar tanaman inang sehingga laju infeksi dapat ditekan. Untuk benih,
sebenarnya sudah dilakukan perlakuan benih sebelum benih disemaikan misalnya
perlakuan perendaman benih dengan bakterisida atau campuran bakterisida dan
fungisida, perendaman dengan air panas atau asam sulfat. Namun mungkin
perlakuan ini belum efektif, karena dari benih yang telah direndam dengan air
panas setelah diisolasi masih didapatkan bakteri patogen hawar daun meskipun
belum diidentifikasi sampai tingkat spesies namun dari morfologi koloninya sama
seperti yang diisolasi dari benih tanpa perlakuan perendaman air panas. Hal ini
kemungkinan patogen yang terbawa benih lokasinya tidak pada permukaan benih
tapi mungkin pada jaringan di bawah selubung benih atau pada bagian embrio.
Menurut Rennie (1998) secara umum kebanyakan patogen yang terbawa benih
secara pasif terbawa pada permukaan benih, namun ada juga lokasinya di bawah
jaringan selubung benih atau pada bagian embrio. Dengan demikian, meskipun
telah dilakukan sterilisasi permukaan tidak akan efektif menghilangkan inokulum
patogen yang ada jika lokasinya bukan pada permukaan benih. Karena itu sangat
penting untuk menggunakan benih yang bebas patogen sehingga sumber
inokulum awal dapat diminimalkan.
Hasil penelitian dari faktor lingkungan terutama curah hujan ternyata juga
berpengaruh terhadap penyebaran dan perkembangan inokulum patogen serta
ketahanan tanaman terhadap penyakit hawar. Perkembangan gejala penyakit pada
bibit yang ditanam pada bulan April-Juni 2006 lebih cepat dibandingkan yang
115
ditanam pada bulan Oktober-Desember 2006. Hal ini juga didukung dengan
persentase kejadian dan keparahan penyakit dari bibit yang ditanam pada bulan
April-Juni 2006 dan bulan Oktober-Desember 2006. Pada bibit yang ditanam pada
bulan April-Juni 2006 persentase kejadian penyakitnya 2 minggu lebih cepat
mencapai 100% dibandingkan bibit yang ditanam pada bulan Oktober-Desember
2006. Demikian juga dengan persentase keparahan penyakitnya, pada akhir
pengamatan (9 minggu setelah tanam) keparahan penyakit dari bibit yang ditanam
pada bulan April-Juni 2006 lebih tinggi dari bibit yang ditanam pada bulan
Oktober-Desember 2006. Hal ini berhubungan dengan curah hujan yang lebih
tinggi pada bulan April-Juni 2006 dibandingkan pada bulan Oktober-Desember
2006 yang penting bagi penyebaran atau diseminasi dari bakteri patogen hawar
daun. Dengan adanya percikan air hujan maka penyebaran inokulum bakteri
semakin cepat karena bakteri membutuhkan air untuk multiplikasi dan
penyebarannya ke daun yang sehat. Curah hujan yang tinggi juga menyebabkan
kelembaban yang tinggi, pada kelembaban udara yang tinggi ooze bakteri dalam
jumlah yang besar akan keluar dari permukaan daun tanaman yang terinfeksi
hawar. Dengan demikian penyebaran inokulum bakteri semakin tinggi dengan
adanya curah hujan yang tinggi. Kelembaban yang tinggi juga berpengaruh
terhadap pertumbuhan tanaman. Kelembaban yang terlalu tinggi berpengaruh
terhadap sukulentis tumbuhan sehingga ketahanan tanaman berkurang terhadap
patogen.
Jika ditinjau dari faktor inangnya, terjadinya epidemi penyakit hawar daun
bakteri ternyata bibit A. crassicarpa yang berasal dari biji daya tahannya terhadap
penyakit hawar daun bakteri lebih tinggi dibandingkan dengan bibit asal stek. Hal
ini didukung dengan tertundanya kemunculan gejala awal pada bibit asal biji
yakni 2 minggu lebih lambat dibandingkan bibit asal stek. Perkembangan gejala
penyakit pada bibit asal stek lebih cepat dibandingkan dengan bibit asal biji.
Demikian pula dengan kejadian dan keparahan penyakit hawar daun bakteri juga
lebih rendah pada bibit asal biji dibandingkan dengan bibit asal stek. Beberapa hal
yang menyebabkan lebih tahannya bibit asal biji terhadap penyakit hawar daun
bakteri adalah kemungkinan masuknya atau penetrasi bakteri patogen pada daun
bibit asal biji hanya dari lubang alami sedangkan pada bibit asal stek disamping
116
lewat lubang alami juga dapat melalui luka. Luka pada bibit asal stek berasal dari
daun yang dipotong 2/3 bagian dari atas sehingga terjadi pelukaan disepanjang
potongan daun tersebut. Bakteri patogen tanaman tidak dapat mempenetrasi
langsung tanaman yang tidak terluka dan hanya masuk melalui lubang alami dan
luka. Dengan keadaan inang yang lebih rentan, jumlah inokulum awal yang lebih
banyak, dan faktor lingkungan yang mendukung maka perkembangan penyakit
hawar daun bakteri lebih cepat pada bibit yang berasal dari stek.
117
SIMPULAN UMUM DAN SARAN
SIMPULAN
Secara umum dari penelitian yang sudah dilakukan maka dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Penyakit hawar daun bakteri pada bibit tanaman A. crassicarpa hanya
menyerang di pembibitan Riau dan belum dilaporkan dari tempat lain.
2. Gejala awal penyakit muncul pada bibit tanaman berumur 5-6 minggu bisa
pada bagian pangkal, tengah, atau ujung daun atau kombinasinya dan
perkembangan gejalanya lengkap dalam waktu 1-2 minggu.
3. Secara umum bakteri patogen hawar daun pada media YDCA atau NA
koloninya berwarna kuning, bentuk bulat, penampakan basah, permukaan
halus, dan diameter koloni 1,0-2,0 mm.
4. Dengan uji Postulat Koch terbukti bahwa patogen yang diisolasi pertama
kali benar-benar merupakan penyebab dari penyakit hawar daun bakteri
pada pada bibit tanaman A. crassicarpa.
5. Berdasarkan identifikasi secara non-molekuler dan molekuler spesies
bakteri yang menyebabkan penyakit hawar daun pada bibit tanaman A.
crassicarpa adalah Xanthomonas campestris pv. acaciae.
6. Xanthomonas campestris dapat dideteksi baik pada benih, media tanam
maupun sumber air penyiraman bibit A. crassicarpa dengan jumlah
populasi berkisar antara 2,9 x 102 sampai 9,9 x 106 CFU/ml.
7. Kultur teknis berpengaruh terhadap munculnya gejala awal, kejadian dan
keparahan penyakit hawar daun bakteri pada pembibitan tanaman A.
crassicarpa.
8. Perkembangan penyakit, persentase kejadian dan keparahan penyakit hawar
daun bakteri lebih tinggi dan lebih cepat pada bibit yang ditanam pada
bulan April-Juni 2006 dibandingkan pada bulan Oktober-Desember 2006.
9. Gejala awal dan perkembangan gejala penyakit lebih lambat pada bibit asal
biji dibandingkan bibit asal stek. Demikian pula persentase kejadian dan
keparahan penyakit hawar daun bakteri lebih rendah pada bibit asal biji
dibandingkan bibit asal stek.
118
SARAN
Dari keseluruhan percobaan yang telah dilakukan maka dapat disarankan
beberapa hal sebagai berikut:
1. Uji Postulat Koch (khususnya uji patogenisitas) sebaiknya dilakukan di
pembibitan Riau, sehingga faktor lingkungan lebih mendukung
perkembangan penyakit.
2. Untuk lebih stabilnya hasil uji fisiologi dan biokimia, lebih baik jika
menggunakan Biolog kit.
3. Untuk isolat yang hasil uji fisiologi dan biokimianya belum stabil bisa di
sekuensing gen 16S rRNAnya atau dipotong dengan enzim restriksi
sehingga jelas spesiesnya.
4. Diperlukan penelitian lebih lanjut terhadap benih A. crassicarpa untuk
mengetahui lokasi dari inokulum bakteri patogen hawar daun dan cara
mendeteksinya.
DAFTAR PUSTAKA
Agus R. 2002. Kursus singkat teknik dasar preparasi DNA genom pada organisme prokariotik (Teknik elektroforesis DNA). Kerjasama FMIPA Universitas Hasanuddin Makasar dengan Bagro Pengembangan dan Peningkatan SDM, DIKTI Departemen Pendidikan Nasional.
Agrios GN. 1997. Plant Pathology. Fourth edition. Academic Press. Inc. San diego California.
Alizadeh A, Arlat M, Sarrafi A, Barrault G. 1997. Restriction fragment length polymorphism analyses of Iranian strains of Xanthomonas campetris from cereals and grasses. Plant Dis. 81:31-35.
Alvarez AM. 2004. Integrated approches for detection of plant pathogenic bacteria and diagnosis of bacterial diseases. Annu. Rev. Phytopathol 42: 339-366.
Andes HEP. 1998. Efektifitas inokulasi fungi ektomikorisa Pisolithus tintorius dan Scleroderma columnare dan fungi endomikorisa campuran terhadap pertumbuhan semai Acacia crassicarpa pada media tanah podzolik merah kuning. Skripsi. Jurusan Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor.
Babadoost M. 2000. Bacterial diseases of beans. Department of Crop Science. University of Illionis. Urbana-Champaign. http://web.aces.uiuc.edu/vista/ pdf_pubs/921.pdf (Kamis, 25-10-2007).
Bavykin SG, Yuri PL, Vladimir Z, John JK, Joany J, David AS, Alexey C. 2004. Use of 16S rRNA, 23S rRNA, and gyrB gene sequence analysis to determine phylogenetic relationships of Bacillus cereus group microorganism. Journal of Clinical Microbiology 42(8): 3711-3730.
Beattie GA, Lindow SE. 1999. Bacterial colonization of leaves: A spectrum of strategies. Phytopathology 89: 353-359.
Berg T, Tesoreiro L, Hailstones DL. 2005. PCR-based detection of Xanthomonas campetris patovars in Brassica seed. Plant Pathology 54: 416-427.
Bodman SB von, Bauer WD, Coplin DL. 2003. Quorum sensing in palnt-pathogenic bacteria. Annu. Rev. Phytopathol 41: 455-482.
Bouzar H, Jones JB, Stall RE, Louws FJ, Schneider M, Rademaker JLW, Bruijn FJ de, Jackson LE. 1999. Multiphasic analysis of Xanthomonads causing bacterial spot disease on tomato and pepper in the Caribbean and Central America: evidence for common lineages within and between countries. Phytopathology 89: 328-335.
120
Braun-Kiewnick, Sands DC. 2001. Gram-negative bacteria. Pseudomonas. Di dalam : Schaad NW. et al., editor. Laboratory Guide for Identification of Plant Pathogenic Bacteria. Third Edition. APS Press. St. Paul Minnesota. Hlm 84-120.
Caine S. 2005. Acacia - Acacia sp. http://translate.google.com/translate?hl=en &sl=ja&u (Senin, 7 Februari 2005).
Cocopeat Canada. 2007. What is Cocopeat? htpp://www.cocopeat.us/ whatiscocopeat.html (28 Maret 2007).
Cocopeat Canada & USA. 2007. The benefits of sun-cocopeat. htpp://www.cocopeat.us/ cocopeatbenefits.html (28 Maret 2007).
Coplin DL, Kado CI. 2001. Gram-negative bacteria. Pantotea. Di dalam : Schaad NW. et al., editor. Laboratory Guide for Identification of Plant Pathogenic Bacteria. Third Edition. APS Press. St. Paul Minnesota. Hlm 73-83.
Dickstein ER, Jones JB, Stead DE. 2001. Appendix. automated techniques. Di dalam : Schaad NW. et al., editor. Laboratory Guide for Identification of Plant Pathogenic Bacteria. Third Edition. APS Press. St. Paul Minnesota. Hlm 343-358.
Doran JC, Turnbull JW. 1997. Australian Trees and Shrubs: Spesies for Land Rehabilitation and Farm Planting in The Tropic. ACIAR Monograph No.24. 384p.
Dwijoseputro D. 1985. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Penerbit Djambatan. Jakarta Pusat.
Eldoma A, Awang K. 1999. Site Adaptability of Acacia mangium, Acacia auricoliformis, Acacia crassicarpa, and Acacia aulacocarpa. CIFOR Publication.
Fahy PC, Hayward AC. 1983. Media and methods for isolation and diagnostic tests. Di dalam : Fahy PC dan Persley GJ, editor. Plant Bacterial Diseases. A Diagnostic Guide. Academic Press. Hlm 337-378.
Franc GD. 2007. An Introduction to Plant Pathology and Plant Disease Management. Cooperative Extension Service. College of Agriculture. University of Wyoming. http://www.uwyo.edu/plants/wyopest/Training
Manuals/Plantpath.pdf (Rabu, 30 Mei 2007).
Francl L.J. 2001. The Disease Triangle: A Plant Pathologycal Paradigm Revisited. Department of Plant Pathology. North Dakota State University. http://www.apsnet.org/education/InstructorCommunication/TeachingArticles/Francl/Top.html (Senin, 21 Mei 2007).
121
Fukui R, Fukui H, Alvarez AM. 1999. Effect of temperature on the incubation period and leaf colonization in bacterial blight of anthurium. Phytopathology 89:1007-1014.
Galugu Pty Ltd. 2002. Cocopeat. htpp://www.cocopeat.com.au/using/using.asp (28 Maret 2007).
Goldberg NP. 2007. Plant Disorders and Disease. NMSU Extension Plant Pathologist. http://www.ppdc.osu.edu/plantdis.html (Rabu, 30 Mei 2007).
Goto M. 1990. Fundamentals of Bacterial Plant Pathology. Academic Press, INC. San Diego, New York, Boston, London, Sydney, Tokyo, Toronto.
GRIN 2005. Germplasm Resources Information Network (GRIN Taxonomy for Plants). United States Department of Agriculture. Agriculture Research Service, Bettsville area. http:/www.ars.grin.gov/cgi-bin/npgs/html/tax-search (Selasa, 28 Juni 2005).
Gutell RR, Larsen N, Woese CR. 1994. Lessons from an evolving rRNA: 16S and 23S rRNA structures from a comparative perspective. Microb. Rev. 58:10-26.
Hadi S, Nuhamara ST. 1996. Diseases of species and provenances of acacias in West and South Kalimantan, Indonesia. Di dalam : Old KM et al., editor. Proceedings of an International Workshop held at Subanjeriji (South Sumatra), 28 April - 3 Mei 1996. CIFOR Special Publication. Hlm 23-47.
Hadi S, Nuhamara ST, Santoso E. 1996. Disease problems associated with the large scale establishment of timber estates in Indonesia. Di dalam : Nair KSS et al., editor. Proc. IUFRO Symp. On Impact of Diseases and Insect Pests in Tropical Forest, 1996. Hlm 105-110.
Hayward AC. 1983. Preliminary diagnosis of plant diseases caused by bacteria. Di dalam : Fahy PC dan Persley GJ, editor. Plant Bacterial Diseases. A Diagnostic Guide. Academic Press. Hlm 1-12.
Hayward AC. 1983a. Primary differentiation of genera of plant pathogenic bacteria. Di dalam : Fahy PC dan Persley GJ, editor. Plant Bacterial Diseases. A Diagnostic Guide. Academic Press. Hlm 13-26.
Hoy MA. 1994. Insect Moleculer Genetics. An Introduction to Principles and Application. San Diego, New York, Boston, London, Sydney, Tokyo, Toronto: Academic Press.
Innis MA, Gelfand DH. 1990. Optimization of PCRs. Di dalam : Innis MA. et al., editor. PCR Protocols. A Guide to Methods and Applications. Academic Press INC. San Diego, New York, Boston, London, Sydney, Tokyo, Toronto. Hlm 3-12.
122
Jayampathi Lanka. 2007. Cocopeat. htpp://www.jayampathi.com/coco-peat-cocopeat-coco-usage.htm (28 Maret 2007).
Johnson LF, Curl EA. 1972. Methods for Research on the Ecology of Soil-Borne Plant Pathogens. Burgess Publishing Company. Minneapolis, Minnesota.
Jones DG. 1998. An introduction to plant disease erpidemiology. Di dalam : Jones DG, editor. The Epidemiology of Plant Diseases. Kluwer Academic Publishers. Dordrecht/Boston/London. Hlm 3-13.
Jones AL, Geider K. 2001. Gram-negative bacteria. Erwinia amylovora group. Di dalam : Schaad NW. et al., editor. Laboratory Guide for Identification of Plant Pathogenic Bacteria. Third Edition. APS Press. St. Paul Minnesota. Hlm 40-55.
Kerr A. 1980. Media and methods for plant bacteriology. Appendix 1. Di dalam : Brown JF. Et al., editor. A course Manual in Plant Protection. Australian Vice Chancellors Commttee. Hlm 339-408.
Koenning S. 2004. Bacterial blight (angular leaf spot) of cotton. Cotton Disease Information Note no 3. North Carolina State University. http://www.ces.
ncsu.edu/ depts/pp/notes/Cotton/ cdin3/cdin3.html (Rabu, 14 Februari 2007).
Kreuze JF, Suomlainen S, Paulin L, Valkonen JPT. 1999. Phylogenetic analysis of 16S rRNA genes and PCR analysis of the nec1 gene from Streptomyces spp. causing common scab, pitted scab, and netted scab in Finland. Phytopathology 89: 462-469.
Lafontaine DLJ, Tollervey D. 2007. Ribosomal RNA. Wikipedia, free Encyclopedia. http://www.wikipedia/free.encyclopedia.html (Selasa, 20 Februari 2007).
Lau YY. 1999. Comparative evaluation of physiological of provenance of Acacia auricoliformis, Acacia mangium, Acacia crassicarpa, and Acacia aulacocarpa. Thesis (abstract). Faculty of Forestry. University of Putra Malasya.http:/www.geocities.com/Enchantedforest/Palace/1170/ablau.html (Selasa, 28 Juni 2005).
Lazo GR, Gabriel DW. 1987. Conservation of plasmid DNA sequences and pathovar identification of strains of Xanthomonas campetris. Phytopathology 44: 448-453.
Lelliott RA, Stead DE. 1987. Methods for the Diagnosis of Bacterial Diseases of Plants. Blackwell Scientific Publications. London.
Louws FJ, Cuppels DA. 2001. Appendix. Molecular techniques. Di dalam : Schaad NW. et al., editor. Laboratory Guide for Identification of Plant
123
Pathogenic Bacteria. Third Edition. APS Press. St. Paul Minnesota. Hlm 321-337.
Madigan MT, Martinko JM, Parker J. 1997. Brock, the Biology of Microorganisms. 8th Edition. Prentice Hall. Upper Saddle River. New Jersey.
Maffi G. 1994. Master Class in Microbial and Plant Molecular Genetics. Australian Center for International Agricultural Research. Crawford Fund for International Agricultural Research.Monash Center for Agricultural Biotechnology.
Marchesi MT, Sato T, Weightman AJ, Martin TA, Fry JC, Hiom SJ, Wade GR. 1998. Design and evaluation of useful bacterium-specific PCR primers that amplify genes coding for bacterial 16S-rRNA. App. Environ. Microbiol. 64: 795-799.
Meek GA. 1976. Practical Electron Microscopy for Biologists. 2nd Edition. Awiley-Interscience Publication. John Wiley & Sons. London, New York, Sydney, Toronto.
Mew T. 1992. Seedling, Sheath, and Grain Diseases. Di dalam: Webster RK, Gunnell PS, editor. Compedium of Rice Diseases.APS Press. hlm. 6-7.
Midgley S. 2000. Acacia crassicarpa : a tree in the domestication fast lane. Australian Tree Resources News. Forestry and Forest Products Number 6, October 2000. http://translate.google.com/translate?hl=en&sl=ja&u (Senin, 7 Februari 2005).
Mitsumori M, Xu L, Kajikawa H, Kurihara M, Tajima K, Hai J, Takenaka A. 2002. Possible quorum sensing in the rumen microbial community: detection of quorum-sensing signal molecules from rumen bacteria. FEMS Microbiology Letters 219 (2002): 47-52. www.fems-microbiology.org (Selasa, 9 Januari 2007).
Mullis KB, Faloona FA, Scharf SJ, Saiki RK, Horn GT, and Erlich HA. 1986. Spesific enzymatic amplification of DNA in vitro: The polymerase chain reaction. Cold Spring Harbor. Symp. Quant. Biol. 51:263-273.
Oisat. 2005. Bacterial leaf blight. htpp://www.oisat.org/pests/ diseases/bacterial/bacterial_ leaf_blight.html (22 Maret 2005).
Old KM, Vercoe TK, Floyd RB, Wingfield MJ, Roux J, and Neser S. 1999. FAO/IPGRI Technical Guidelines for the Save Movement of Gerplasm. Acacia spp. Future Harvest No. 20. www.futureharvest.org (Sabtu, 15 Januari 2005).
124
Pfledger FL, Gould SL. 2005. Bacterial Leaf Diseases of Foliage Plants. Communication and Educational Technology Services, University of Minnesota, Extension Service. http://www.extension.umn.edu/ distribution/horticulture/DG1170.html (14 Februari 2007).
Poplawsky AR, Urban SC, Chun W. 2000. Biological role of xanthomonadin pigments in Xanthomonas campetris pv. campetris. Appl. Environ. Microbiol. 66: 5123-5127.
Rennie WJ. 1998. Seedborne diseases. Di dalam: Jones DG., editor. The Epidemiology of Plant Diseases. Kluwer Academic Publisher. Dordrecht. Boston. London. Hlm 295-307.
Rettob BB. 1994. Hubungan tipe hujan dengan komposisi dan produksi hutan musim dataran rendah di Merauke, Irian Jaya. Program Pascasarjana IPB. Bogor.
Roongrattanakul P, Nimpila S, Thai-ngam R. 2005. In different spacing for control Imperata cylindrica. Forest Plantation Research. http://www.forest.go.th/Research/English/abstracts_silvic/Plantation.html (Selasa, 26 Juli 2005).
Sambrook J, Fritsch EF, Maniatis T. 1989. Molecular Cloning. A Laboratory Manual (Second edition). Cold Spring Harbor Laboratory Press. USA.
Sastrosuwignyo S, Sumaraw SM, Sinaga MS, Sutakaria J. 1991. Penuntun Praktikum Simtomatologi dan Metode Percobaan di Bidang Ilmu Penyakit Tumbuhan. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Schaad NW. 2001. Initial identification of common genera. Di dalam : Schaad NW. et al., editor. Laboratory Guide for Identification of Plant Pathogenic Bacteria. Third Edition. APS Press. St. Paul Minnesota. Hlm 1-16.
Schaad NW, Jones JB, Lacy GH. 2001. Gram-negative bacteria. Xanthomonas. Di dalam : Schaad NW. et al., editor. Laboratory Guide for Identification of Plant Pathogenic Bacteria. Third Edition. APS Press. St. Paul Minnesota. Hlm 175-200.
Schwartz H, Gent DH. 2007. Xanthomonas leaf blight of onion. Colorado State University Extension. http://www. http://www.ext.colostate.edu/pubs/
garden/02951.html (Rabu, 14 Februari 2007).
Scortichini M, Marchesi U. 2001. Sensitive and specific detection of Pseudomonas avellanae using primers based on 16S rRNA gene sequences. J. Phytopathology 149: 527-532.
Semangun H. 1996. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta.
125
Setiawan DP dkk. 2003. Standar Pelayanan Pengujian Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT). Badan Karantina Pertanian. Jakarta.
Sigel DC. 1993. Bacterial Plant Pathology: Cell and Molecular Aspects. Cambridge University Press. Great Britain.
Sinaga MS. 2003. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Seri Agriteks. Penebar Swadaya. Jakarta.
Suryono. 2003. Bacterial leafblight. htpp://www.knowledgebank.irri.org/ riceDoctor_MX /Fact_Sheets/Diseases/Bacterial_Leaf_Blight.html (22 Maret 2005).
Suwanto A. 1994. Strategies in molecular biology techniques for studying phytopathogenic bacteria. Biotrop. Spec. Publ. 54:227-232. SEAMEO-BIOTROP, Bogor.
The Scotts Company. 2002. Osmocote. htpp://www.osmocote.com/index. cfm/event/ article.detail/documentId (28 Maret 2007).
Thiel T, Bissen S, Lyons EM. 2002. Biotechnology: DNA to Protein. A Laboratory Project in Molecular Biology. McGraw Hill. Boston. BurrRidge. IL Dubuque. IA Madison. WI New York. San Francisco. St. Louis. Bangkok. Bogota. Caracas. Kuala Lumpur. Lisbon. London. Madrid. Mexico City. Milan. Montreal. New Delhi. Santiago. Seoul. Singapore. Sydney. Taipei. Toronto.
Van Der Plank JE. 1963. Plant Diseases: Epidemics and Control. Academic Press. New York.
Wheeler H. 1973. Plant Pathogenesis. Springer-Verlag. Berlin Heidelberg (Germany). New York.
White TJ, Bruns T, Lee S, Taylor J. 1990. Amplification and direct sequencing of fungal ribosomal RNA genes for phylogenetics. Di dalam : Innis MA. et al., editor. PCR Protocols. A Guide to Methods and Applications. Academic Press INC. San Diego, New York, Boston, London, Sydney, Tokyo, Toronto. Hlm 315-322.
World Wide Wattle. 2004. Wood products. http://www.ffp.csiro.au/ (Senin, 7 Februari 2005).
Yara Australia. 2007. HydrocomplexTM-Formulation. htpp://www.ruralco. com.au/gfanew/Agricultural/soluble_fertilizers/Yara-Fertilizers/Yara Hydrocomplex.pdf (28 Maret 2007).
Zadock JC, Schein RD. 1979. Epidemiology and Plant Disease Management. Oxford University Press. New York, Oxford.
126
Zulfiyah A, Gales K. 1996. Diseases of tropical acacias in South Sumatra. Di dalam : Old KM et al., editor. Proceedings of an International Workshop held at Subanjeriji (South Sumatra), 28 April - 3 Mei 1996. CIFOR Special Publication. Hlm 48-52.
127
Lampiran 1. Sekuen DNA berdasarkan primer 27F dari isolat Xnml061 1 GACACTCAAATCGCCTGATTCCCATGCGGGTTGGCACAACGCCTT 45 46 CGGGTGAATCCAACTCCCATGGTGTGACGGGCGGTGTGTACAAGG 90 91 CCTGGGCAACGTATTCACCGCGGCATGCTGATCCGCGATTACTAG 135 136 CGATTCCGCCTTCATGCTCTCGAGTTGCAGAGAACAATCCGAACT 180 181 GAGACAACTTTTGGGGATTAGCTCGCCCTCGCAGGGTCGCTGCCC 225 226 ACTGTAGTTGCCATTGTAGCACGTGTGTAGCCCAGCGCGTAAGGG 270 271 CCATGAGGACTTGACGTCATCCCCACCTTCCTCCGGCTTATCACC 315 316 GGCGGTTATCTTAGAGTCCCCAACTAAATGATGGTAACTAAGATC 360 361 GAGGAGTTGCGCTCGTTGCGGGACTTAACCCAACATCTCACGACA 405 406 CGAGCTGACGACAGCCATGCAGCACCTGTGTGCAGGTCCCCGAAG 450 451 GGAAGAAAGGCATCTCTGCCAGTCGTCCTGCCATGTCAAACGCTG 495 496 GTAAGGTTCTGCGCGTTGCTTCGAATTAAACCACATGCTCCACCG 540 541 CTTGTGCAGGCCCCGTCAATTCCTTTGAGTTTTAACCTTGCGGCC 585 586 GTACTCCCCAGGCGGATAACTTAATGCGTTAGCTGCGCCACCAAA 630 631 AAACCAGTCCCCGGACAGCTAAGTTATCATCGTTTACGGGGGGAA 675 676 TACCAGGGTATCTAATCCTGTTTGCTCCCACGCTTTCGGACCCTC 720 721 AGAGTAAAAACAGTCAGCAAGCGCCCTTCACCACTGGGTTCTTCA 765 766 GAAATATACAAATTCCCTCTAAGATTGGAATCCCTAACCTCTTCT 810 811 GGATTAAGCAAGCACCCCGGGGATTTGAGATGAAATCAGGTTTTC 855 856 CCCCCAAAAAAAAAACCTTAGGAGAGCATAAGCCAGGAAAACAAA 900 901 AACTTGCCCTCTCCAATCCCAAACTTAGGAAAGAAAAATCCGGAA 945 946 TTTATGCAAGAGGAGTATAATTCCCAGAGAAAAAATAAGCAAGCA 990 991 GATTTAGATAAGAAAAATTACAGGCCAGTAATAAAATGGATAAGG 1035 1036 AAATTGGCTTATAATATACCGTTCAGCGGACAAATCTGGAAAAAA 1080 1081 AATAACCAGTGGACCATAAAAACAAATAAAAATAAATATGACGAG 1125 1126 CAAGATTGGGAGTAGGGTGATTTGAAAAAAAGTCAGACATCGCAG 1170 1171 TCACAAGGAATGACCGAATTAATACGATGAGATTTATAAAGAAGC 1215 1216 AATAAGATCGACCGATA 1232 Lampiran 2. Sekuen DNA berdasarkan primer 27F dari isolat Xnml062 1 TCATCTTGTAGATCTGATTCCCATGCGGGTTGGCACAACGCCTTC 45 46 GGGTGAATCCAACTCCCATGGTGTGACGGGCGGTGTGTACAAGGC 90 91 CTGGGAACGTATTCACCGCGGCATGCTGATCCGCGATTACTAGCG 135 136 ATTCCGCCTTCATGCTCTCGAGTTGCAGAGAACAATCCGAACTGA 180 181 GACAACTTTTGGGGATTAGCTCGCCCTCGCAGGGTCGCTGCCCAC 225 226 TGTAGTTGCCATTGTAGCACGTGTGTAGCCCAGCGCGTAAGGGCC 270 271 ATGAGGACTTGACGTCATCCCCACCTTCCTCCGGCTTATCACCGG 315 316 CGGTTATCTTAGAGTCCCCAACTAAATGATGGTAACTAAGATCGA 360 361 GGGTTGCGCTCGTTGCGGGACTTAACCCAACATCTCACGACACGA 405 406 GCTGACGACAGCCATGCAGCACCTGTGTGCAGGTCCCCGAAGGGA 450 451 AGAAAGGCATCTCTGCCAGTCGTCCTGCCATGTCAAACGCTGGTA 495 496 AGGTTCTGCGCGTTGCTTCGAATTAAACCACATGCTCCACCGCTT 540 541 GTGCATGCCCCCGTCAATTCCCTTTGAGTTTTAACCTTGCGGCCG 585 586 TACTCCCCAGGCGGAATAACTTAATGCGTTAGCTGCGCCACCCAA 630 631 AAACAAGTCCCCGGACAGCTAGTTATCATCGTTTAGGGCGTGGGA 675 676 ATACCAAGGGTATCTAATTTTGTTTGCTCCCCCCGCTTATCCACC 720 721 TCATCGCAATACAAGGCAGGAAGCCGCCTTCCCCCCTGGAGTTCT 765 766 TCAATAATCTACCAATTTTCACGCTACCCTCGGAATTCCATTGAC 810 811 CTCCTCCGGGAATCCATGCAAGGCTTTCCCAAAGGAGATATGGGA 855 856 GTTAACTCACAGGTTTCACCCTTAAAAAAAGACCCCAACTGGGTA 900 901 TTACCTCGGAATATCAAAAACGTTCCTCCTCGGTAAAAGGCTGGT 945 946 GGAAGAATAAATCGGGTTTTTCCCGGGCAGTTAAATATCAGGGAA 990 991 AAAAGATTAATAACTAAAGGTTAACAATAGAGAATGAGAAACTTA 1035 1036 TGATACTTAGAAAAATCACATGGAATTCAAGATATATAGAGGCTT 1080 1081 TATATACGTTCTCTAATATTACAAAAATGATTGAGATAGTATGAT 1125 1126 AAAGAAAAGCTACAGATCTTCTAAGCGCCTTATCAGAAGGACTCA 1170 1171 CTATCGAAACAGTCCCTGATATACTTAAACATAAATCACACTATC 1215
128
1216 TATTTCAATTTTTGGTAGCATTAAATGACTATCCATTACTCTCAG 1260 1261 ACGTATACAAAGTACCTAAAGAAACAGACATAAAATATAATTAGT 1305 1306 CTTAATTAGGAAGAGTT 1322
Lampiran 3. Sekuen DNA berdasarkan primer 142R dari isolat Xnml061 1 GCCTGAGGTACCAACCATGCAAGTCGAACGATTGCCTTCGGGTGA 45 46 TAGTGGCGCACGGGTGCGTAACGCGTGGGAATCTGCCCTTAGGTT 90 91 CGGAATAACAGCTGGAAACGGCTGCTAATACCGGATGATATCGCG 135 136 AGATCAAAGATTTATCGCCTGAGGATGAGCCCGCGTTGGATTAGG 180 181 TAGTTGGTGGGGTAAAGGCCTACCAAGCCGACCATCCATAGCTGG 225 226 TCTGAGAGGATGATCAGCCACACTGGGACTGAGACACGGCCCAGA 270 271 CTCCTACGGGAGGCAGCAGTGGGGAATATTGGACAATGGGCGCAA 315 316 GCCCTGATCCAGCAATGCCGCGTGAGTGATGAAGGCCCTAGGGTT 360 361 GTAAAGCTCTTTTACCCGGGAAGATAATGACTGTACCGGGAGAAT 405 406 AAGCCCCGGCTAACTCCGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGGAGGG 450 451 GGCTAGCGTTGTTCGGAATTACTGGGCGTAAAGCGCACGTAGGCG 495 496 GCTTTGTAAGTCAGAGGTGAAAGCCTGGAGCTCAACTCCAGAACT 540 541 GCCTTTGAGACTGCTCGCTTGAATCCAGGAGAGGTCAGTGGAATT 585 586 CCGAGTGTAGAGGTGAAATTCGTAGATATTCGGAAGAACACCAGT 630 631 AGCCGAAGGCGGCTGACTGGACTGGTATTGACGCTGAGGTGCAAA 675 676 GCGTGGGAAGCAACAGGATTTAGATACCCTGGGTATCCACCCCTA 720 721 AAACAATGATGACTTGCTAGCCAGGGACCTCGTTGTTGAGAGGGC 765 766 GCCGTTTAAGCTTTTAATCTATCCCCCTGGGGAATTACGCCCCAA 810 811 AGTTAAAACTCAAAGAAATTGACCAGGGCCTGCCAAAGCGGGGAA 855 856 CAAGGTGTTTACTTGGAATCACACTCAAGAACTTACACGCGGTTA 900 901 ATTGGCAAGAGACTGAAAAGAGCTTTTCTAACCTTCGGGATCCGC 945 946 AAAGGATGTGGTGGTTGTCACACCAAAGTCATAATGTGGGTATCC 990 991 TCTGAGAAGCAAATTATCTTTAATTACGCTTTTATTGGAAGTCAC 1035 1036 ACCCCCCGATAACCAGATAAGAGGTTCCCTTTACTTTACCGCTCA 1080 1081 CCCGAGGCTACTATAAGTCAGGGAAAATATAATCAGAACATTGAA 1125 1126 AATTTGTTACAATTTTATAAGTTGTTAGGGGTAGCGTCAAACAAC 1170 1171 TTGTTTAATGACCGATCTCGTCACCCCCTACTCACTAGAGACCCC 1215 1216 TTGTACGAAGACCCTGTAATAG 1237
Lampiran 4. Sekuen DNA berdasarkan primer 142R dari isolat Xnml061 1 TCGTAAGGTACAAACCTTGCTGTCGAACGATTGCCTTCGGGTGAT 45 46 AGTGGCGCACGGGTGCGTAACGCGTGGGAATCTGCCCTTAGGTTC 90 91 GGAATAACAGCTGGAAACGGCTGCTAATACCGGATGATATCGCGA 135 136 GATCAAAGATTTATCGCCTGAGGATGAGCCCGCGTTGGATTAGGT 180 181 AGTTGGTGGGGTAAAGGCCTACCAAGCCGACGATCCATAGCTGGT 225 226 CTGAGAGGATGATCAGCCACACTGGGACTGAGACACGGCCCAGAC 270 271 TCCTACGGGAGGCAGCAGTGGGGAATATTGGACAATGGGCGCAAG 315 316 CCTGATCCAGCAATGCCGCGTGAGTGATGAAGGCCCTAGGGTTGT 360 361 AAAGCTCTTTTACCCGGGAAGATAATGAAGGTACCGGGAGAATAA 405 406 GCCCCGGCTAACTCCGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGGAGGGGG 450 451 CTAGCGTTGTTCGGAATTACTGGGCGTAAAGCGCACGTAGGCGGC 495 496 TTTGTAAGTCAGAGGTGAAAGCCTGGAGCTCAACTCCAGGAACTG 540 541 CCTTTGAGACTGCATCGCTTGAATCCAGGAGAGGTCAGTGGAAGT 585 586 CCGAGTGTAGAGGTGAAATTCGTAAATATTCGGAAGAACACCAGT 630 631 GGCGAAGGCGGCTGACTGGACTGGTATTGACGCTGAGGTGCAAAA 675 676 GCCTTGGGGAGCAAAACTGGATAAAATACCCTGGTAGTCCCACGC 720 721 CGAAAACCGATGATATCTAGCTTGTCCCGGGGACTTGGTCTTTCG 765 766 GTGGTCCCACTTAACCCATTAAGTTATCCCCCTGGGGAATACGGC 810 811 CCGCAAGGGTAAAACTCCAAAGAATTTACCGGGGCCTCCCTAAGC 855
129
856 GGGGGAACTTGTGGTTTATTTCAAACCACCCCCCAACCCATTACC 900 901 ACCTTTAACTTGCAAGAACAACTGGAAAAATTCCCTTTCTTCCCT 945 946 CCGGGGAACGGCCCCCGGGGCAGATGGCTTCCTCCAAACCCGTCC 990 991 GGAAATTTGGTTAATCTCCCCCAGGCCCACCCCCGACTTATTACC 1035 1036 CACCTTATTGGAGAACTAAAACCCCCCCGGATACACCGGAGAAGG 1080 1081 GGGAGACGCAGTCACTTGGCCTACCCGTGGTTACTTATATCATGT 1125 1126 AAAAAGGGGCAACCATCAGTAGGAAAGATACCCAAATTGTTCTAT 1170 1171 AAATTTTCTAACTATAGAAGGAGTGAACATTAAAATAAAAATTCG 1215 1216 GAGAATTGTCAGTTTATTCGCATAACAAAATTGTTTCCAAGTTGA 1260 1261 ACCTCCCTGAGTACCTTATGTAAGCCTGCATTCAAGTCAAGCCAT 1305 1306 TAGGAAGCTGCGGAGATAACGAAGAAATCATTCTGCGTACACTAT 1350 1351 CTAAGAGAG 1359 Lampiran 5. Hasil pengamatan persentase kejadian penyakit (KP) hawar daun bakteri (tahun 2004)
Baki Bedengan 1(%) Bedengan 2(%) Rata-rata (a) 1 60,00 50,00 55,00 2 90,00 40,00 65,00 3 90,00 70,00 80,00 4 50,00 70,00 60,00 5 30,00 80,00 55,00 6 80,00 60,00 70,00 7 60,00 70,00 65,00 8 60,00 60,00 60,00 9 50,00 50,00 50,00
10 60,00 40,00 50,00 11 80,00 30,00 55,00 12 10,00 50,00 30,00 13 70,00 60,00 65,00 14 60,00 40,00 50,00 15 70,00 60,00 65,00 16 80,00 30,00 55,00 17 70,00 70,00 70,00 18 70,00 60,00 65,00 19 50,00 80,00 65,00 20 80,00 40,00 60,00
Lampiran 6. Hasil pengamatan persentase kejadian penyakit (KP) hawar daun
130
bakteri (tahun 2007)
Baki % kejadian penyakit Baki % kejadian penyakit 1 40,00 20 0,00 2 0,00 21 0,00 3 0,00 22 20,00 4 60,00 23 40,00 5 0,00 24 0,00 6 0,00 25 0,00 7 0,00 26 0,00 8 20,00 27 0,00 9 0,00 28 40,00
10 20,00 29 20,00 11 40,00 30 0,00 12 20,00 31 20,00 13 60,00 32 20,00 14 20,00 33 20,00 15 0,00 34 20,00 16 0,00 35 20,00 17 0,00 36 0,00 18 60,00 37 20,00 19 20,00 38 0,00
Lampiran 7. Hasil pengamatan persentase keparahan penyakit (PP) hawar daun bakteri (tahun 2004)
Baki Bedengan 1 (%)
Bedengan 2 (%)
Rata-rata (a) (%)
1 11,90 7,30 9,60 2 18,50 6,00 12,25 3 20,50 11,00 15,75 4 8,75 12,03 10,39 5 5,00 17,90 11,45 6 10,60 9,30 9,95 7 7,30 8,65 7,975 8 13,50 5,80 9,65 9 6,80 8,00 7,40
10 10,00 6,25 8,125 11 13,10 5,00 9,05 12 2,70 6,25 4,475 13 14,40 8,00 11,20 14 12,50 6,25 9,375 15 10,40 9,60 10,00 16 11,50 9,00 10,25 17 9,60 12,04 10,82 18 7,80 9,30 8,55 19 6,20 10,40 8,30 20 11,60 5,00 8,30
Lampiran 8. Hasil pengamatan persentase keparahan penyakit (PP) hawar daun
131
bakteri (tahun 2007)
Baki % keparahan penyakit (a)
Baki % keparahan penyakit
1 5,00 20 0,00 2 0,00 21 0,00 3 0,00 22 11,67 4 8,33 23 3,33 5 0,00 24 0,00 6 0,00 25 0,00 7 0,00 26 0,00 8 2,27 27 0,00 9 0,00 28 5,00 10 2,08 29 4,55 11 5,00 30 0,00 12 2,27 31 2,27 13 6,82 32 2,27 14 1,92 33 1,92 15 0,00 34 4,55 16 0,00 35 3,85 17 0,00 36 0,00 18 10,42 37 2,08 19 2,08 38 0,00
Lampiran 9. Hasil pengamatan persentase kejadian penyakit (KP) hawar daun bakteri pada bulan April-Juni 2006 pada bibit umur 6-9 minggu
Baki 6 minggu 7 minggu 8 minggu 9 minggu 1 100,00 100,00 100,00 100,00 2 100,00 100,00 100,00 100,00 3 100,00 100,00 100,00 100,00 4 100,00 100,00 100,00 100,00
Rata-rata 100,00 100,00 100,00 100,00 Lampiran 10. Hasil pengamatan persentase kejadian penyakit (KP) hawar daun bakteri pada bulan Oktober-Desember 2006 pada bibit umur 6-9 minggu
Baki 6 minggu 7 minggu 8 minggu 9 minggu 1 16,67 97,92 100,00 100,00 2 16,67 100,00 100,00 100,00 3 20,83 100,00 100,00 100,00 4 2,08 100,00 100,00 100,00
Rata-rata 14,06 99,48 100,00 100,00 Lampiran 11. Hasil pengamatan persentase keparahan penyakit (PP) hawar daun
132
bakteri pada bulan April-Juni 2006 pada bibit umur 6-9 minggu
Baki 6 minggu 7 minggu 8 minggu 9 minggu 1 10,06 12,78 17,51 22,44 2 11,11 14,88 19,56 22,87 3 12,59 14,49 19,32 21,64 4 9,89 15,83 21,04 22,92
Rata-rata 10,91 14,50 19,36 22,47 Lampiran 12. Hasil pengamatan persentase keparahan penyakit (PP) hawar daun bakteri pada bulan Oktober-Desember 2006 pada bibit umur 6-9 minggu
Baki 6 minggu 7 minggu 8 minggu 9 minggu 1 1,14 7,07 8,76 9,19 2 1,12 7,09 8,48 9,17 3 1,38 6,64 8,69 9,38 4 0,15 7,34 8,77 9,35
Rata-rata 0,95 7,03 8,68 9,27 Lampiran 13. Hasil pengamatan persentase kejadian penyakit (KP) hawar daun bakteri pada bibit asal biji dan stek
Bibit asal biji Bibit asal cutting Baki (b) % kejadian penyakit (a) Baki (b) % kejadian penyakit (a)
1 20,0 1 40,0 2 0,0 2 20,0 3 0,0 3 20,0 4 20,0 4 40,0 5 20,0 5 20,0 6 0,0 6 0,0 7 0,0 7 20,0 8 0,0 8 20,0 9 0,0 9 0,0
10 20,0 10 0,0 11 0,0 11 0,0 12 0,0 12 40,0 13 0,0 13 0,0 14 20,0 14 20,0 15 0,0 15 20,0 16 0,0 16 0,0 17 0,0 17 20,0 18 0,0 18 0,0 19 20,0 19 20,0 20 0,0 20 20,0
Lampiran 14. Hasil pengamatan persentase keparahan penyakit (PP) hawar daun
133
bakteri pada bibit asal biji dan stek
Bibit asal biji Bibit asal cutting Baki (b) % keparahan penyakit (a) Baki (b) % keparahan penyakit (a)
1 1,67 1 3,57 2 0,00 2 1,92 3 0,00 3 2,08 4 1,56 4 5,36 5 1,56 5 2,27 6 0,00 6 0,00 7 0,00 7 2,5 8 0,00 8 2,27 9 0,00 9 0,00
10 1,47 10 0,00 11 0,00 11 0,00 12 0,00 12 3,85 13 0,00 13 0,00 14 1,56 14 2,08 15 0,00 15 4,17 16 0,00 16 0,00 17 0,00 17 2,08 18 0,00 18 0,00 19 1,47 19 2,08 20 0,00 20 1,92
Lampiran 15. Pengamatan suhu dan kelembaban untuk uji patogenisitas dari isolat
134
Xnml051, Xnml052, Xnml053, dan Xnml054 (24-7-05 s/d 4-9-05)
Tanggal tº pagi tº siang tº sore Rh pagi Rh siang Rh sore 24-7-05 - - 30 - - 70 25-7-05 25 32 30 81 59 70 26-7-05 25 30 30 81 54 70 27-7-05 26 34 32 73 57 62 28-7-05 25 32 30 81 59 70 29-7-05 26 33 29 73 51 58 30-7-05 26 33 30 73 57 70 31-7-05 25 32 30 81 59 70 1-8-05 25 30 30 81 58 70 2-8-05 25 32 29 81 56 67 3-8-05 25 31 29 81 62 67 4-8-05 25 31 29 81 62 67 5-8-05 25 30 29 82 61 67 6-8-05 25 32 30 81 59 70 7-8-05 24 33 31 81 57 62 8-8-05 24 33 31 81 57 62 9-8-05 25 32 30 81 59 70 10-8-05 25 32 30 81 59 70 11-8-05 24 31 29 81 62 75 12-8-05 25 32 30 81 59 70 13-8-05 25 32 30 81 59 70 14-8-05 25 31 29 81 62 75 15-8-05 24 32 30 81 59 70 16-8-05 25 31 29 81 62 75 17-8-05 24 30 29 81 59 67 18-8-05 24 31 28 81 52 63 19-8-05 25 32 29 82 59 67 20-8-05 24 31 28 82 52 67 21-8-05 24 30 28 82 68 74 22-8-05 23 29 26 81 63 75 23-8-05 24 30 26 82 58 75 24-8-05 23 31 27 80 52 78 25-8-05 23 29 26 81 63 75 26-8-05 24 30 28 81 68 74 27-8-05 25 31 28 81 68 74 28-8-05 24 28 26 81 74 82 29-8-05 23 31 28 81 68 74 30-8-05 24 30 28 74 58 69 31-8-05 23 30 28 81 68 74 1-9-05 23 29 26 80 63 82 2-9-05 24 31 28 81 59 74 3-9-05 25 29 27 81 63 74 4-9-05 24 30 28 81 68 75 Rerata 23,0 29,74 27,1 85,86 67,24 81,35 Lampiran 16. Pengamatan curah hujan harian (mm) bulan Juli, Agustus,
135
dan September 2005 untuk uji patogenisitas dari isolat Xnml051, Xnml052, Xnml053, dan Xnml054
Bulan Tanggal Juli Agustus September
1 52,0 0,0 0,0 2 0,0 25,0 0,0 3 0,0 0,0 0,0 4 19,0 0,0 0,0 5 0,0 43,0 0,0 6 154,0 0,0 21,0 7 0,0 0,0 0,0 8 0,0 0,0 27,0 9 24,0 0,0 0,0 10 3,0 0,0 13,0 11 27,0 0,0 0,0 12 0,0 28,0 153,0 13 0,0 0,0 0,0 14 54,0 0,0 38,0 15 0,0 0,0 0,0 16 0,0 0,0 13,0 17 43,0 3,0 28,0 18 0,0 0,0 6,0 19 26,0 0,0 0,0 20 10,0 0,0 2,0 21 0,0 0,0 11,0 22 0,0 8,0 0,0 23 0,0 0,0 9,0 24 0,0 0,0 0,0 25 0,0 18,0 9,0 26 0,0 53,0 0,0 27 0,0 9,0 0,0 28 0,0 0,0 0,0 29 16,0 7,0 0,0 30 0,0 34,0 38,0 31 0,0 0,0 -
Total 428,0 228,0 368,0 Rerata 13,81 7,35 12,27
Σ Hari hujan 11 10 13 Σ Hari kering 20 21 17
Lampiran 17. Pengamatan suhu dan kelembaban untuk uji patogenisitas dari isolat
136
Xnml061, Xnml062, Xnml063, Xnml064, Xnml065, Xnml066, Xnml067, dan Xnml068 (11-4-06 s/d 23-5-06)
Tanggal tº pagi tº siang tº sore Rh pagi Rh siang Rh sore 11-4-06 - - 25 - - 90 12-4-06 23 29 25 90 76 90 13-4-06 24 29 25 90 69 70 14-4-06 24 23 24 90 81 95 15-4-06 23 29 25 90 69 90 16-4-06 21 29 27 90 69 83 17-4-06 24 29 27 90 63 83 18-4-06 23 30 27 90 64 75 19-4-06 23 30 27 90 64 91 20-4-06 24 28 25 86 75 90 21-4-06 23 29 26 90 75 82 22-4-06 24 30 26 86 70 91 23-4-06 24 30 28 90 64 75 24-4-06 24 31 25 90 64 90 25-4-06 23 30 25 90 64 90 26-4-06 23 29 26 90 66 82 27-4-06 24 29 25 90 76 90 28-4-06 23 30 29 90 64 75 29-4-06 24 31 26 82 64 82 30-4-06 24 30 26 90 76 82 1-5-06 23 30 26 90 64 82 2-5-06 23 29 27 90 63 75 3-5-06 23 30 29 81 70 76 4-5-06 24 30 27 82 64 75 5-5-06 23 31 28 90 59 75 6-5-06 23 30 27 81 64 83 7-5-06 23 31 28 81 64 75 8-5-06 23 30 29 81 70 69 9-5-06 24 30 28 90 70 75 10-5-06 24 30 28 82 70 75 11-5-06 24 30 26 82 70 91 12-5-06 24 31 25 82 64 82 13-5-06 24 31 28 82 64 75 14-5-06 24 30 28 74 64 75 15-5-06 22 31 29 81 64 69 16-5-06 24 29 28 82 69 75 17-5-06 24 29 29 82 76 83 18-5-06 23 31 30 81 54 70 19-5-06 24 30 29 82 64 83 20-5-06 24 30 28 81 70 83 21-5-06 24 30 29 82 70 83 22-5-06 23 31 30 81 54 70 23-5-06 24 30 29 82 70 83 Rerata 24,45 30,98 28,79 80,33 60,29 70,70 Lampiran 18. Pengamatan curah hujan harian (mm) bulan April dan Mei
137
2006 untuk uji patogenisitas dari isolat Xnml061, Xnml062, Xnml063, Xnml064, Xnml065, Xnml066, Xnml067, dan Xnml068
Bulan Tanggal April Mei
1 0,0 0,0 2 0,0 0,0 3 1,0 0,0 4 2,0 0,0 5 0,0 7,0 6 0,0 2,0 7 0,0 0,0 8 0,0 40,0 9 0,0 0,0 10 0,0 0,0 11 11,0 0,0 12 34,0 0,0 13 0,0 0,0 14 83,0 0,0 15 0,0 28,0 16 62,0 0,0 17 0,0 0,0 18 36,0 0,0 19 24,0 0,0 20 57,0 42,0 21 0,0 0,0 22 0,0 0,0 23 25,0 0,0 24 24,0 0,0 25 23,0 0,0 26 0,0 125,0 27 0,0 78,0 28 7,0 0,0 29 0,0 0,0 30 0,0 0,0 31 - 0,0
Total 389,0 322,0 Rerata 13,97 10,39
Σ Hari hujan 13 7 Σ Hari kering 17 24
Lampiran 19. Pengamatan curah hujan harian (mm) pada bulan April, Mei, dan
138
Juni tahun 2006
Bulan Tanggal April Mei Juni
1 0,0 0,6 22,0 2 21,2 0,4 0,0 3 0,2 11,2 0,0 4 0,0 23,5 0,0 5 0,0 1,6 6,6 6 101,1 24,6 2,2 7 2,0 0,1 39,4 8 12,6 0,2 3,6 9 0,1 1,0 0,0 10 37,0 0,0 50,4 11 0,1 0,0 4,0 12 31,4 3,4 6,8 13 0,0 0,0 0,0 14 3,2 2,6 3,2 15 0,0 15,2 43,1 16 14,0 0,0 3,4 17 72,4 0,0 0,0 18 6,8 0,0 13,8 19 2,0 0,0 30,4 20 3,0 0,0 0,0 21 0,0 0,1 8,0 22 0,0 38,6 22,2 23 2,8 0,0 62,7 24 0,0 0,0 0,0 25 0,1 0,0 0,0 26 8,8 5,4 0,0 27 0,0 22,0 0,0 28 0,1 0,0 0,0 29 30,8 0,0 3,0 30 0,0 0,0 0,0 31 - 0,0 -
Total 349,7 150,5 324,8 Rerata 11,7 4,9 10,8
Σ Hari hujan 20 16 17 Σ Hari kering 10 15 13
Lampiran 20. Pengamatan curah hujan harian (mm) bulan Oktober, Nopember,
139
dan Desember tahun 2006
Bulan Tanggal Oktober Nopember Desember
1 0,1 0,0 0,1 2 0,0 4,4 13,6 3 0,0 2,2 21,2 4 0,0 13,6 0,0 5 0,0 0,0 1,3 6 0,4 0,6 0,0 7 0,0 5,8 0,0 8 0,0 2,4 3,4 9 0,0 13,4 30,6 10 0,8 4,4 7,2 11 0,0 0,4 11,0 12 7,0 5,2 89,6 13 0,0 0,0 16,2 14 0,0 0,0 2,2 15 2,2 5,6 12,8 16 0,0 7,4 2,2 17 0,0 3,0 8,5 18 0,1 1,0 35,8 19 7,4 8,2 1,6 20 2,4 0,6 1,4 21 8,4 8,6 29,0 22 0,0 0,1 2,6 23 10,2 3,7 1,2 24 0,0 0,0 4,2 25 11,8 0,0 0,0 26 0,0 0,0 2,2 27 6,6 1,2 49,0 28 14,4 0,0 32,8 29 8,4 0,0 0,1 30 0,0 1,8 0,0 31 0,0 - 0,0
Total 80,2 93,6 379,8 Rerata 2,6 3,1 12,3
Σ Hari hujan 14 21 25 Σ Hari kering 17 9 6
Lampiran 21. Pengamatan curah hujan harian (mm) bulan Januari, Februari,
140
dan Maret 2007 untuk percobaan bibit asal biji dan stek
Bulan Tanggal Januari Februari Maret
1 0,00 0,00 4,80 2 5,60 0,00 0,00 3 6,20 0,00 0,00 4 0,00 0,90 0,40 5 0,00 0,00 0,00 6 0,00 0,00 20,60 7 0,00 0,00 3,50 8 7,00 0,00 0,00 9 15,50 0,00 0,00 10 8,60 0,00 0,00 11 12,80 0,00 0,00 12 0,20 9,80 0,00 13 2,00 0,50 0,00 14 1,80 0,00 0,00 15 0,00 0,00 30,20 16 12,80 10,70 1,20 17 7,80 0,00 3,10 18 53,00 0,00 40,60 19 3,40 2,10 1,60 20 9,20 26,20 2,00 21 0,80 36,10 0,00 22 0,00 35,40 0,00 23 0,00 0,00 0,00 24 17,80 20,50 0,00 25 64,00 0,20 0,00 26 13,20 0,60 0,00 27 1,20 0,10 0,00 28 0,00 1,10 2,40 29 0,00 - 0,00 30 0,00 - 10,00 31 0,00 - 0,00
Total 242,90 144,20 120,40 Rerata 7,84 5,15 3,88
Σ Hari hujan 19 13 12 Σ Hari kering 12 15 19