Upload
vuonglien
View
230
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
KARAKTERISTIK FISIK BIJI BEBERAPA VARIETAS KEDELAI
(Glycine max) DAN PENGARUH LAMA FERMENTASI TERHADAP
KARAKTERISTIK KIMIA TEMPE
Skripsi
Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana S1 Teknologi Hasil Pertanian
di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta
Jurusan/Program Studi Teknologi Hasil Pertanian
Oleh
Pratiwi Dwi Suhartanti
H 0606058
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2010
2
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut para ahli botani, kedelai merupakan tanaman yang berasal
dari Manchuria dan sebagian Cina, di mana terdapat banyak jenis kedelai liar.
Kemudian menyebar ke daerah-daerah tropika dan subtropika. Setelah
dilakukan pemuliaan, dihasilkan jenis-jenis kedelai unggul yang
dibudidayakan. Umur panen tanaman kedelai berbeda-beda tergantung
varietasnya tetapi umumnya berkisar antara 75 dan 105 hari. Dilihat dari segi
pangan dan gizi, kedelai merupakan sumber protein yang paling murah di
dunia, disamping menghasilkan minyak dengan mutu yang baik
(Koswara, 2005)
Kedelai merupakan bahan baku utama pembuatan tempe. Selama ini
produsen tempe menggantungkan kebutuhan bahan baku tempe pada jenis
kedelai impor. Padahal harga kedelai impor semakin hari semakin meningkat.
Menurut Sisworo (2008), dari kebutuhan dalam negeri terhadap kedelai
sebesar dua juta ton per tahun, sebanyak 1,4 juta ton dipenuhi dari impor.
Apabila harga kedelai dunia melonjak hingga di atas 100% dari normalnya Rp
2.500,00 per kg (Agustus-September 2007) maka harga kedelai menjadi Rp
7.500,00 per kg (Awal Januari 2008).
Indonesia mengembangkan varietas-varietas kedelai untuk mengatasi
ketergantungan terhadap kedelai impor. Varietas kedelai tersebut diharapkan
dapat diolah menjadi tempe yang memiliki sifat fisik, kimia, dan aktivitas
antioksidan yang lebih baik daripada kedelai impor. Varietas kedelai lokal
yang digunakan dalam penelitian ini adalah Grobogan, Argomulyo, Seulawah,
Anjasmoro, Burangrang, dan Galunggung. Indonesia memiliki banyak varietas
kedelai lokal karena adanya individual variability. Individual variability ini
disebabkan oleh faktor dalam yaitu faktor genetis dan faktor luar yaitu
lingkungan tempat tumbuh seperti keadaan dan jenis tanah, nutrisi, iklim,
suhu, kelembaban, dan sebagainya. Tempe merupakan salah satu makanan asli
3
Indonesia yang dibuat dari kedelai dengan proses fermentasi. Dalam proses
fermentasi tempe kedelai, bahan yang digunakan adalah biji kedelai yang telah
direbus, mikroorganisme berupa kapang tempe Rhizopus oligosporus,
Rhizopus oryzae, Rhizopus stolonifer (kombinasi dua/tiga spesies), dan
lingkungan pendukung yang terdiri dari suhu 30 oC, pH awal 6,8 serta
kelembaban nisbi 70-80% (Sarwono, 1996).
Menurut SNI 01-3144-1992, tempe kedelai adalah produk makanan
hasil fermentasi biji kedele oleh kapang tertentu, berbentuk padatan kompak
dan berbau khas serta berwarna putih atau sedikit keabu-abuan
(Anonim, 2010a).
Tempe merupakan makanan bergizi tinggi sehingga makanan ini
mempunyai arti strategis dan sangat penting untuk pemenuhan gizi. Selain itu,
tempe mempunyai keunggulan-keunggulan lain, yaitu mempunyai kandungan
antioksidan; teknologi pembuatannya sederhana; harganya murah; mempunyai
citarasa yang enak; dan mudah dimasak.
Kandungan antioksidan tempe dapat menangkal radikal bebas antara
lain vitamin E, karotenoid, superoksida dismutase, isoflavon dan sebagainya..
Oleh karena itu konsumsi antioksidan yang terdapat dalam tempe dapat
memobilisasi aktivitas antioksidan didalam tubuh. Ada tiga senyawa
antioksidan di dalam kedelai berupa senyawa isoflavon yaitu daidzein,
genistein, dan glistein yang diduga dapat mencegah penyakit yang disebabkan
oleh adanya radikal bebas di dalam tubuh (atherosklerosis, jantung koroner,
diabetes melitus, kanker, dan lain-lain), karena dapat berfungsi sebagai
penangkal radikal bebas (radical scavenger)(Haslina dan Pratiwi, 1996).
Penggunaan beberapa varietas kedelai lokal sebagai bahan baku
pembuatan tempe ini dimaksudkan sebagai alternatif bahan baku pengganti
kedelai impor dengan karakteristik fisik, dan kimia yang sama atau bahkan
lebih baik dari kedelai impor dan dengan harga yang terjangkau.
4
B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut:
1. Apakah berbagai varietas kedelai (Grobogan, Argomulyo, Seulawah,
Anjasmoro, Burangrang, dan Galunggung) mempunyai karakteristik fisik
biji (bobot, warna kulit biji, kualitas tanak (cooking quality) seperti daya
bengkak (swelling power) dan daya absorpsi air (water absorption)) yang
bervariasi?
2. Apakah perlakuan lama fermentasi (30 jam, 42 jam, dan 54 jam)
mempengaruhi karakteristik kimia tempe yang dihasilkan yaitu kadar
protein, lemak, air, abu dan karbohidrat dengan penggunaan berbagai
varietas kedelai lokal (Grobogan, Argomulyo, Seulawah, Anjasmoro,
Burangrang, dan Galunggung)?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui pengaruh perbedaan varietas terhadap karakteristik fisik biji
dari beberapa kedelai (Grobogan, Argomulyo, Seulawah, Anjasmoro,
Burangrang, dan Galunggung) meliputi bobot, warna kulit biji, kualitas
tanak (cooking quality) seperti daya bengkak (swelling power) dan daya
absorpsi air (water absorption).
2. Mengetahui pengaruh lama fermentasi (30 jam, 42 jam, dan 54
jam)terhadap karakteristik kimia tempe(kadar protein, lemak, air, abu dan
karbohidrat) dari beberapa kedelai (Grobogan, Argomulyo, Seulawah,
Anjasmoro, Burangrang, dan Galunggung).
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah mengangkat nilai
kedelai sebagai bahan baku tempe untuk menggantikan kedelai impor dengan
harga yang terjangkau dalam pembuatan tempe dan dapat diterima
masyarakat.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Pustaka
1. Karakteristik Fisik Kedelai
Menurut Adisarwanto (2005), kedudukan kedelai dalam
sistematika tumbuhan (taksonomi) dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyte
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Rosales
Famili : Leguminosae (papilinoceae)
Sub famili : Papilionoideae
Genus : Glycine
Spesies : Glycine max (L.) dan Soya max
Kedelai (Glycine max) sudah dibudidayakan sejak 1500 tahun SM
dan baru masuk Indonesia, terutama Jawa sekitar tahun 1750. Kedelai
mempunyai perawakan kecil dan tinggi batangnya dapat mencapai 75 cm.
Bentuk daunnya bulat telur dengan kedua ujungnya membentuk sudut
lancip dan bersusun tiga menyebar (kanan-kiri-depan) dalam satu untaian
ranting yang menghubungkan batang pohon. Kedelai berbuah polong yang
berisi biji-biji.
Kedelai memiliki nama Latin yang bermacam-macam, namun
menurut ketetapan dalam Kongres Botani Internasional, kedelai memiliki
nama botani Glycine max (L.) Merrill. Kedelai termasuk dalam golongan
kacang-kacangan, yang memiliki bagian-bagian antara lain bagian hilum
(bintik/tonjolan biji) berbentuk linear elliptica. Bagian akhir dari hilum ini
membentuk suatu alur kecil yang disebut kalaza (chalaza); dan bagian
ujung yang lain yang disebut mikrofil (microphyle), serta hypocotyl pada
bagian luar alur (Williams, L.F., dalam Markley(ed.),1950).
6
Di Indonesia, kedelai menjadi sumber gizi protein nabati utama,
meskipun Indonesia harus mengimpor sebagian besar kebutuhn kedelai.
Ini terjadi karena kebutuhan Indonesia yang tinggi akan kedelai putih.
Kedelai putih bukan asli tanaman tropis sehingga hasilnya selalu lebih
rendah daripada di Jepang dan Tiongkok. Pemuliaan serta domestikasi
belum berhasil sepenuhnya mengubah sifat fotosensitif kedelai putih. Di
sisi lain, kedelai hitam yang tidak fotosensitif kurang mendapat perhatian
dalam pemuliaan meskipun dari segi adaptasi lebih cocok bagi Indonesia
(Anonim, 2010b).
Biji kedelai mempunyai nilai gizi yang terbaik diantara semua
sayuran yang dikonsumsi di seluruh dunia. Karena kedelai kaya akan
sumber protein, karbohidat, lemak nabati, mineral dan vitamin (Anonim,
2006). Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel I.
Tabel 1. Kandungan Gizi Kedelai
Kandungan gizi Kedelai hitam Kedelai kuning Air 11,3 g 5 -9,4 g Protein (Nx6,25) 37,3 29,6 – 50,3 Lemak 13,4 13,5 – 24,3 Karbohidrat 68,0 16,6 – 40,2 Abu 4,8 3,3 – 6,4 Ca 595 220 Fe 9,9 11
Sumber : Endang (1993)
Biji kedelai terdiri dari 7,3 persen kulit, 90,3 persen kotiledon (isi
atau "daging" kedelai) dan 2,4 persen hipokotil. Kedelai mengandung
protein rata-rata 35 persen, bahkan dalam varietas unggul kandungan
proteinnya dapat mencapai 40 - 44 persen. Protein kedelai sebagian besar
(85 - 95 persen) terdiri dari globulin dan dibandingkan dengan kacang-
kacangan lain, susunan asam amino pada kedelai lebih lengkap dan
seimbang (Anonim, 2010c).
Kedelai mengandung sekitar 18 - 20 persen lemak dan 25 persen
dari jumlah tersebut terdiri dari asam-asam lemak tak jenuh yang bebas
kolesterol. Disamping itu di dalam lemak kedelai terkandung beberapa
7
posfolipida penting yaitu lesitin, sepalin dan lipositol. Kedelai
mengandung karbohidrat sekitar 35 persen, dari kandungan karbohidrat
tersebut hanya 12 - 14 persen saja yang dapat digunakan tubuh secara
biologis. Karbohidrat pada kedelai terdiri atas golongan oligosakarida dan
golongan polisakarida. Golongan oligosakarida terdiri dari sukrosa,
stakiosa, dan raffinosa yang larut dalam air. Sedangkan golongan
polisakarida terdiri dari erabinogalaktan dan bahan-bahan selulosa yang
tidak larut dalam air dan alcohol (Anonim, 2010d).
Secara umum kedelai merupakan sumber vitamin B, karena
kandungan vitamin B1, B2, niasin, piridoksin dan golongan vitamin B
lainya banyak terdapat di dalamnya. Vitamin lain yang terkandung dalam
jumlah cukup banyak ialah vitamin E dan K. Kedelai banyak mengandung
kalsium dan fosfor, sedangkan besi terdapat dalam jumlah relatif sedikit.
Mineral-mineral lain terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit (kurang
dari 0,003 persen) yaitu boron, magnesium, berilium dan seng. Kulit
kedelai mengandung 87 serat makanan (dietary fiber), 40 - 53 persen
selulosa kasar, 14 - 33 persen hemiselulosa kasar dan 1 - 3 persen serat
kasar (Anonim, 2010e).
Serat kedelai adalah bukan kulit atau sekam kedelai, tetapi produk
kedelai yang tidak berbau, tawar dan bentuknya dapat disesuaikan dengan
tujuan penggunaanya, yang terutama sebagai sumber serat makanan. Efek
fisiologis dan manfaat klinis serat kedelai pada manusia telah banyak
diteliti, dan dapat disimpulkan bahwa serat kedelai dapat menurunkan
kolesterol pada penderita hiperkolesterolamia, memperbaiki toleransi
terhadap glukosa dan respon insulin pada penderita hiperlipidemia dan
diabetes, meningkatkan volume tinja, sehingga mempercepat waktu transit
makanan (waktu yang diperlukan sejak dimakan sampai dikeluarkan
berupa tinja), dan tidak berakibat negatif terhadap retensi mineral
(penyerapan mineral) (Anonim, 2010f).
Kedelai dengan kandungan gizi dan manfaat farmakologinya, telah
banyak digunakan untuk mencegah berbagai jenis penyakit seperti stroke,
8
osteoporosis, diabetes mellitus, jantung koroner, serta mengatasi fattyliver.
Selain itu kedelai juga diketahui bisa mencegah anemia, menekan kasus
gigi berlubang dan pundak kaku, mencegah epilepsi, mengatasi dyspepsia,
dan memperlancar ASI. Selanjutnya membantu pengobatan saluran
pernapasan, mengobati gangguan system pencernaan seperti diare, tukak
lambung, radang lambung, mengobati system tulang dan sendi seperti
rematik. Manfaat lainnya, mengobati gangguan kulit seperti jerawat,
peremajaan kulit, mengobati gangguan ginjal dan hati seperti hepatitis,
radang ginjal, mengobati gangguan jantung, autisme, dan sebagainya
(Dewi, 2009).
Kualitas atau sifat fisik dan kimia kacang-kacangan dapat
bervariasi, tergantung pada faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam atau
factor genetic dapat berupa varietas atau kultivar, sedang faktor luar antara
lain meliputi daerah tempat tumbuh dan saat panen. Salunkhe dan Kadam
(1990) mengatakan bahwa terdapat variasi cukup besar untuk protein dan
asam amino pada berbagai jenis kacang-kacangan, disebabkan oleh faktor
genetis dan lingkungan. Diduga perbedaan atau variasi sifat tersebut juga
dapat meliputi sifat lain, misalnya prosentasi biji kecil, kekerasan, kualitas
tanak, protein, dan kandungan mineralnya.
Di antara kacang-kacangan utama dan umbi-umbian utama, di
Jawa Tengah hanya kedelai yang produksinya menurun dari tahun 2004 ke
2006. Hal ini disebabkan sangat rendahnya harga kedelai lokal, terhantam
oleh harga kedelai import yamg sangat murah. Menurut Statistik Indonesia
2005/2006 luas panen kedelai di Jawa Tengah sebesar 87.651,80 ha
dengan total produksi 134.520,60 ton. Penurunan produksi kedelai dari
17,4 % menjadi 15,7 %. Di Jawa Timur juga terjadi penurunan produksi
kedelai dari 44,6 % menjadi 44,1 %.
Sebagai penyedia pangan, kebutuhan komoditas kacang-kacangan
dan umbi-umbian tidak dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri.
Menurut Pusat Data dan Informasi Departemen Pertanian pada Juli 2008
Indonesia mengimport kedelai sebanyak 395.285.633,00 kg dengan nilai
9
96.310.161,00 US$. Turunnya kepekaan masyarakat tentang perlunya
menggunakan produksi dalam negeri mendorong untuk tetap terus
melakukan import kedelai. Peningkatan produksi kedelai beserta kacang-
kacangan penyubstitusinya perlu dikembangkan untuk menekan import
kedelai.
Ketersediaan benih unggul bermutu dan bersertifikat terus
diupayakan guna memenuhi kebutuhan petani. Sebagai contoh adalah
upaya untuk menyediakan benih kedelai melalui pembinaan penangkaran.
Pemerintah provinsi Jawa Tengah telah melakukan kerja sama dengan
Balai Penelitian tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian dan
pemerintah kabupaten Grobogan untuk memurnikan varietas kedelai yang
berkembang di wilayah kabupaten Grobogan dan sekitarnya. Kerja sama
ini telah menghasilkan varietas Grobogan dan telah dilepas oleh Menteri
Pertanian sebagai varietas unggul nasional.
Varietas unggul sangat menentukan tingkat produktifitas
pertanaman dan merupakan komponen teknologi yang relatif mudah
diadopsi petani jika benihnya tersedia. Di Indonesia, hingga kini telah
berhasil dilepas sekitar 70 varietas kedelai dengan karakter yang beragam
diantaranya dalam hal umur panen, potensi hasil, ukuran dan warna kulit
biji, dan kesesuaiannya terhadap lahan spesifik. Varietas yang dilepas pada
dasarnya merupakan perbaikan varietas sebelumnya. Dari sejumlah
varietas yang dilepas tersebut, sebagian besar adalah yang kuli bijinya
berwarna kuning sampai kuning kehijauan . Pemerintah Indonesia terus
berupaya untuk meningkatkan produksi kedelai, dalam rangka pemenuhan
dalam negeri baik untuk bahan pangan maupun bahan baku industri.
Inovasi teknologi mampu meningkatkan produktivitas kedelai dari rata-
rata sekitar 1,3 t/ha di tingkat petani menjadi sekitar 2,0 t/ha di tingkat
penelitian (Nugrahaeni dkk, 2008).
10
2. Karakteristik KimiaTempe
Menurut SNI 01-3144-1992, tempe kedelai adalah produk
makanan hasil fermentasi biji kedelai oleh kapang tertentu, berbentuk
padatan kompak dan berbau khas serta berwarna putih atau sedikit keabu-
abuan (Anonim, 2009a).
Tempe adalah salah satu produk fermentasi. Bahan bakunya
umumnya kedelai. Fermentasi pada tempe dapat menghilangkan bau langu
kedelai yang disebabkan oleh aktivitas enzim lipoksigenase. Jamur yang
berperanan dalam proses fermentasi tersebut adalah Rhizopus oligosporus.
Beberapa sifat penting Rhizopus oligosporus antara lain meliputi: aktivitas
enzimatiknya, kemampuan menghasilkan antibiotika, biosintesa vitamin-
vitamin B, kebutuhannya akan senyawa sumber karbon dan nitrogen,
perkecambahan spora, dan penetrasi miselia jamur tempe ke dalam
jaringan biji kedelai (Widianarko dkk., 2000).
Inokulum tempe merupakan inokulum spora kapang dan
memegang peranan penting dalam pengolahan tempe karena dapat
mempengaruhi mutu tempe yang dihasilkan. Jenis kapang yang memegang
peranan utama dalam pembuatan tempe adalah Rhizopus oryzae dan
Rhizopus oligosporus. Kapang-kapang lain yang terdapat pada tempe
adalah R. stolonifer dan R. arrhizus (Rachman, 1989).
Miselium R. oryzae jauh lebih panjang daripada R. oligosporus,
sehingga tempe yang dihasilkan kelihatan lebih padat daripada
menggunakan R. oligosporus. Akan tetapi, bila diutamakan peningkatan
nilai gizi protein maka R. oligosporus memegang peranan terbesar. Hal ini
karena selama proses fermentasi tempe R. oligosporus mensintesa enzim
protease lebih banyak, sedangkan R. oryzae mensintesa enzim amilase
lebih banyak. Oleh karena itu, sebaiknya dipakai keduanya dengan kadar
R. oligosporus lebih banyak (1 : 2) (Rachman, 1989).
Tempe mempunyai ciri-ciri berwarna putih, tekstur kompak dan
flavour spesifik. Warna putih disebabkan adanya miselia jamur yang
tumbuh pada permukaan biji kedelai. Tekstur yang kompak juga
11
disebabkan oleh miselia-miselia jamur yang menghubungkan antara biji-
biji kedelai. Sedangkan flavour yang spesifik disebabkan oleh terjadinya
degradasi komponen-komponen dalam kedelai selama fermentasi
(Kasmidjo, 1990 dalam Supriyadi, 1998 dalam Rokhmah, 2008).
Tempe kedelai mempunyai flavour yang lebih baik daripada
kedelai mentah, kandungan bahan padatan terlarutnya lebih tinggi oleh
karena selama penempean terjadi perubahan senyawa kompleks menjadi
senyawa sederhana yang sifatnya lebih mudah larut, sehingga tempe lebih
mudah dicerna. Tempe juga banyak mengandung vitamin B12, mineral
seperti Ca dan Fe, tidak mengandung kholesterol dan relatif bebas dari
racun kimia (Yanwar dan Saparsih, 1978 dalam Rokhmah, 2008).
Perkembangan tempe dapat dibagi menjadi 3 generasi, yaitu:
generasi 1, bentuk tempe dan rasa tempe masih tetap dan segar; generasi
ke 2, tempe sudah diolah sehingga bentuknya berubah, namun rasanya
tetap; dan generasi ke 3, tempe diproses lebih canggih dalam industri
farmasi dengan mengisolasi senyawa-senyawa bioaktif yang ada, seperti;
isoflavonoid, superoksida desmutase dan asam amino (Bekti, 2008).
Fermentasi tempe mampu menghilangkan zat-zat yang tidak
diinginkan yang terdapat pada kedelai. Tempe memiliki kandungan
vitamin B12 yang sangat tinggi, yaitu 3,9-5,0 g/100 g. Selain vitamin B12,
tempe juga mengandung vitamin B lainnya, yaitu niasin dan riboflavin
(vitamin B2). Tempe juga mampu mencukupi kebutuhan kalsium sebanyak
20% dan zat besi 56% dari standar gizi yang dianjurkan. Kandungan
protein dalam tempe dapat disejajarkan dengan daging. Dengan demikian
tempe dapat menggantikan daging dalam susunan menu yang seimbang
(Hidayat dkk., 2006).
Fermentasi kedelai menjadi tempe menimbulkan perubahan pada
protein menjadi asam amino, lemak menjadi asam lemak, karbohidrat, dan
vitamin. Selain itu, zat-zat anti gizi dalam kedelai akan rusak selama
fermentasi sehingga tidak menimbulkan masalah pada kesehatan
(Somaatmadja dkk., 1985).
12
Fermentasi kedelai menjadi tempe akan meningkatkan kandungan
fosfor. Hal ini disebabkan oleh hasil kerja enzim fitase yang dihasilkan
kapang Rhizophus oligosporus yang mampu menghidrolisis asam fitat
menjadi inositol dan fosfat yang bebas (Koswara, 1995).
Fermentasi ternyata dapat menurunkan kadar asam fitat dalam biji
kedelai. Asam fitat adalah senyawa fosfor yang dapat mengikat mineral
(kalsium, besi, fosfor, magnesium, seng) sehingga tidak dapat diserap oleh
tubuh. Dengan berurainya asam fitat karena perebusan, dan oleh enzim
fitase yang dihasilkan cendawan Rhizopus oligosporus, fosfornya dapat
dimanfaatkan tubuh dan penyerapan mineral lain pun tidak terganggu
(Somaatmadja dkk., 1985).
Menurut Supriyono (2008), tempe merupakan makanan asli
Indonesia, namun sekarang bahan baku kedelai sebagian besar merupakan
kedelai import. Penggalakan budidaya kedelai dan kacang-kacangan yang
lain, termasuk tanaman sejenis koro dapat mengurangi laju import kedelai
yang pada gilirannya akan meningkatkan perekonomian Jawa Tengah
khususnya dan Indonesia pada umumnya.
3. Fermentasi Proses Pembuatan Tempe
Fermentasi merupakan proses perubahan kimia dalam substrat
organik oleh adanya biokatalisator yaitu enzim yang dihasilkan oleh jenis
mikroorganisme tertentu (Hudaya dan Daradjat, 1982). Secara teknik
fermentasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses oksidasi anaerobik
atau parsial anaerobik dari karbohidrat dan menghasilkan alkohol serta
beberapa asam. Namun banyak proses fermentasi yang menggunakan
substrat protein dan lemak (Muchtadi, 1997).
Sedangkan menurut Sardjono dkk. (1999), secara biokimia
fermentasi diartikan sebagai pembentukan energi melalui katabolisme
senyawa organik; sedangkan aplikasinya ke dalam industri, fermentasi
diartikan sebagai suatu proses untuk mengubah bahan dasar menjadi suatu
produk oleh massa sel mikroba. Dalam pengertian ini juga termasuk
proses anabolisme pembentukan komponen sel secara aerob.
13
Proses pengolahan tempe pada umumnya meliputi tahap
pencucian, perendaman bahan mentah, perebusan, pengulitan, pengukusan,
penirisan dan pendinginan, inokulasi, pengemasan, kemudian fermentasi
selama 2-3 hari. Perendaman mengakibatkan ukuran biji menjadi lebih
besar dan struktur kulit mengalami perubahan sehingga lebih mudah
dikupas. Perebusan dan pengukusan selain melunakkan biji dimaksudkan
untuk membunuh bakteri kontaminan dan mengurangi zat anti gizi.
Penirisan dan pendinginan bertujuan mengurangi kadar air dalam biji dan
menurunkan suhu biji sampai sesuai dengan kondisi pertumbuhan jamur
(Purwadaksi, 2007 dalam Rokhmah, 2008).
Proses pembuatan tempe melibatkan 3 faktor pendukung, yaitu
bahan baku yang dipakai (kedelai), mikroorganisme (kapang tempe), dan
keadaan lingkungan tumbuh (suhu, pH, dan kelembaban). Dalam proses
fermentasi tempe kedelai, substrat yang digunakan adalah keping-keping
biji kedelai yang telah direbus dan mikroorganisme yang digunakan
berupa kapang antara lain Rhizopus oligosporus, Rhizopus oryzae,
Rhizopus stolonifer (kombinasi dua/tiga spesies) dan lingkungan yang
mendukung yang terdiri dari suhu 30 oC, pH awal 6,8%, dan kelembaban
nisbi 70-80%.
Di lapangan dijumpai banyak variasi dalam pembuatan tempe.
Hampir setiap pengrajin mempunyai caranya sendiri dan seringkali tidak
konsisten pelaksanaanya. Amatlah mengagumkan bahwa kegagalan di
lapangan relatif kecil. Kasmidjo (1990) dalam Steinkraus (1983),
melaporkan 9 daftar alir pembuatan tempe, 2 diantaranya masing-masing
memiliki lagi 2 variasi. Jadi seluruhnya ada 11 cara pembuatan tempe.
Tahap awal pembuatan tempe menurut Syarief (2002) adalah
sortasi bahan baku kedelai. Sortasi dapat dilakukan dengan mesin
pengayak, yang bertujuan untuk menghilangkan kedelai rusak, kotoran,
dan lain-lain, sehingga mutu bahan baku dapat terjamin. Selain itu sortasi
juga bisa dilakukan secara tradisional. Tahap selanjutnya yaitu pencucian.
Pencucian bertujuan untuk menghilangkan kotoran yang masih menempel
14
pada kedelai seperti tanah, dan lain-lain dan juga untuk mengurangi
kontaminan awal pada kedelai, seperti residu bahan kimia ataupun beban
mikroba. Tahap selanjutnya yaitu perendaman semalam atas biji kedelai
yang telah dibersihkan, dalam air yang berlebihan. Selama perendaman ini
terjadi proses pengasaman biji kedelai akibat kegiatan fermentasi oleh
bakteri. Tahap selanjutnya yaitu perebusan bertujuan untuk melunakkan
biji kedelai, memudahkan dalam pengupasan kulit, bertujuan untuk
menonaktifkan tripsin inhibitor yang ada dalam biji kedelai, serta
mengurangi bau langu kedelai. Tahap selanjutnya yaitu pengupasan kulit,
dapat dilakukan dengan meremas-remas biji kedelai. Pengupasan kulit
bertujuan untuk membuang kulit kedelai, sebab bila kulit kedelai tidak
dibuang maka kapang tempe tidak dapat tumbuh pada biji kedelai. Tahap
selanjutnya yaitu penirisan, dimaksudkan untuk mendinginkan kedelai dan
juga untuk meniriskan air. Air perlu ditiriskan untuk mengurangi kadar air
pada kedelai, yang akan mempengaruhi aw dari bahan. Pada water activity
yang tinggi kemungkinan pertumbuhan mikroorganisme termasuk di
dalamnya adalah bakteri sangat memungkinkan, sehingga pertumbuhan
kapang tempe akan kalah bersaing, sehingga proses pembuatan tempe
akan gagal, seperti berasa asam, busuk atau bahkan kapangnya tidak
tumbuh sama sekali. Kadar air optimum saat penaburan ragi tempe adalah
sekitar 45-55 %. Tahap selanjutnya yaitu penirisan, penginokulasian. Pada
tahap ini terjadi fermentasi oleh Rhizopus sp. yang diperoleh ragi tempe
maupun tepung ragi. Bahan tempe yang telah diinokulasi kemudian
dibungkus menggunakan daun pisang atau plastik polietilen dan diperam
selama 48 jam.
Menurut Kasmidjo (1990) proses fermentasi tempe dapat
dibedakan atas tiga fase yaitu: (a) Fase pertumbuhan cepat (0-30 jam
fermentasi), pada fase ini terjadi kenaikan jumlah asam lemak bebas,
kenaikan suhu, pertumbuhan kapang cepat dan menghasilkan miselia pada
permukaan biji kedelai semakin lama semakin lebat, sehingga membentuk
massa yang lebih kompak; (b) fase transisi (30-50 jam fermentasi), fase ini
15
merupakan fase optimal fermentasi tempe dan siap untuk dipasarkan. Pada
fase ini terjadi penurunan suhu, jumlah asam lemak yang dibebaskan dan
pertumbuhan kapang hampir tetap atau bertambah dalam jumlah kecil,
flavor spesifik tempe optimal, serta tekstur lebih kompak; (c) fase
pembusukan atau fermentasi lanjut (50-90 jam fermentasi), pada fase ini
terjadi kenaikan jumlah bakteri dan jumlah asam lemak bebas,
pertumbuhan kapang mulai menurun dan pada kadar air tertentu
pertumbuhan kapang terhenti serta terjadi perubahan flavor karena
degradasi protein lanjut sehingga terbentuk amonia.
Babu et al. (2009) menyatakan bahwa pada prinsipnya ada 2 hal
penting yang terjadi selama fermentasi kedelai menjadi tempe yaitu
miselium menyelubungi permukaan kedelai hingga menjadi produk yang
kompak dan kedelai dicerna oleh enzim yang dihasilkan kapang.
Keuntungan dari fermentasi tempe antara lain meningkatkan nilai gizi dan
aktivitas antioksidan makanan, makanan hasil fermentasi lebih mudah
dicerna dan cita rasanya lebih baik (Hudaya dan Daradjat, 1982).
16
B. Kerangka Berpikir
C. Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah:
1. Diduga perbedaan varietas kedelai akan mempengaruhi karakteristik fisik
dari bijinya.
2. Diduga pengaruh lama fermentasi dalam pembuatan tempe akan
mempengaruhi karakteristik kimia tempe pada beberapa varietas kedelai.
Bahan baku kedelai
Perlakuan lama fermentasi (30, 42, 54 jam)
Uji laboratorium
Terpilih varietas yang
terbaik
Kedelai lokal
Terbatas Mutu rendah
Harga mahal
Kedelai impor
Hambatan teknis
Harga fluktuaktif
Tempe terbaik
17
III. METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pedan, Klaten dan CV. Chem-Mix Pratama,
Kretek, Jambidan, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta dalam jangka waktu 6
bulan.
B. Bahan dan Alat
1. Bahan
Bahan utama yang digunakan dalam pembuatan tempe adalah
kedelai lokal varietas Grobogan, Seulawah, Burangrang, Galunggung dan
varietas introduksi Anjasmoro dan Argomulyo yang diperoleh dari Balai
Penelitian Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian Malang,, ragi tempe merk
Raprima yang diproduksi oleh PT. Aneka Fermentasi Industri (Bandung),
dan air bersih.
Bahan yang digunakan dalam analisa kadar protein adalah larutan
HCl 0,02 N, H2SO4, HgO, larutan NaOH-Na2S2O3, K2SO4,
Na2B4O7.10H2O, H3BO3, indikator (campuran 2 bagian metil merah 0,2%
dalam alkohol dan 1 bagian metilen blue 0,2% dalam alkohol), aquadest,
sampel tempe. Bahan yang digunakan dalam analisa kadar lemak adalah
petroleum ether, sampel tempe.
2. Alat
Alat yang digunakan untuk analisa kadar air adalah cawan
porselen, desikator (RRC), oven (Memmert) dan neraca analitik (Denfer
Instrumen buatan USA). Alat yang digunakan untuk analisa kadar abu
adalah cawan pengabuan, oven (Memmert), desikator (RRC), tanur dan
neraca analitik (Denfer Instrumen buatan USA). Alat yang digunakan
untuk analisa kadar protein adalah pemanas kjeldahl, labu kjeldahl
berukuran 30 ml/50 ml, alat distilasi lengkap dengan erlenmeyer
berpenampung berukuran 125 ml, dan buret 25 ml/50 ml dan neraca
analitik (Denfer Instrumen buatan USA). Alat yang digunakan untuk
18
analisa kadar lemak adalah alat ekstraksi Soxhlet, desikator, kertas saring
bebas lemak Whatman 41 dan neraca analitik (Denfer Instrumen buatan
USA).
Alat yang digunakan dalam pembuatan tempe adalah panci,
baskom, pisau, talenan, pengukus, kompor, plastik dan tampah.
C. Rancangan Penelitian
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak
Lengkap (RAL) pola faktorial yang terdiri dari 2 faktor yang diulang 2 kali.
Faktor 1: Varietas kedelai (Grobogan, Argomulyo, Seulawah, Anjasmoro,
Burangrang, dan Galunggung) (K1, K2, K3, K4, K5, K6)
Faktor 2: Lama fermentasi ( 30 jam, 42 jam, dan 54 jam) ( P1, P2, P3)
Kombinasi dua faktor dapat disusun sebagai berikut:
K1P1 U1
K2P1 U1
K3P1 U1
K4P1 U1
K5P1 U1
K6P1 U1
K1P1 U2
K2P1 U2
K3P1 U2
K4P1 U2
K5P1 U2
K6P1 U2
K1P2 U1
K2P2 U1
K3P2 U1
K4P2 U1
K5P2 U1
K6P2 U1
K1P2 U2
K2P2 U2
K3P2 U2
K4P2 U2
K5P2 U2
K6P2 U2
K1P3 U1
K2P3 U1
K3P3 U1
K4P3 U1
K5P3 U1
K6P3 U1
K1P3 U2
K2P3 U2
K3P3 U2
K4P3 U2
K5P3 U2
K6P3 U2
19
D. Tata Laksana Penelitian
1. Uji Karakteristik Fisik Biji Kedelai
a. Bobot
Analisa bobot dilakukan dengan menimbang 100 biji menggunakan
timbangan analitik secara duplo.
b. Warna kulit biji secara visual.
c. Kualitas tanak (cooking quality)seperti:
1. Daya bengkak (swelling power)(Plhak et al., dalam Handajani
1993).
2. Daya absorpsi air (water absorption) (Plhak et al., dalam
Handajani 1993)
Analisa kualitas tanak:
1. Masing-masing sampel dihitung beratnya (a gram) dan volumenya (b
ml)
2. Selanjutnya biji dimasukkan dalam gelas yang telah diisi dengan 10
kali volume biji dan dilakukan perendaman selama 12 jam.
3. Biji tersebut kemudian direbus dengan panas yang konstan selama 20
menit.
4. Biji kemudian ditiriskan dan dihitung beratnya (d gram) dan
volumenya (e ml).
Daya absorbsi air = %100a
a-dx
Daya bengkak = %100a
b-ex
20
2. Skema Pembuatan Tempe
Disortasi
Direndam (I) (500 ml, 12 jam)
Direndam (II) (500 ml, 12 jam)
Dibungkus
Difermentasi (30 jam, 42 jam, 54 jam)
Direbus (II) (500 ml, 20 menit)
Ditiriskan dan didinginkan
Diragikan
Dicuci (air bersih)
Direbus (I) (500 ml, 20 menit)
Tempe
Ragi tempe (Raprima 1,5
gram)
Dikupas kulitnya dan dirajang
Kedelai
21
Tahap pembuatan tempe yang digunakan menurut Syarief (2002)
yaitu:
1. Sortasi bahan baku kedelai
Sortasi dilakukan secara tradisional dengan memilih biji kedelai
yang bagus dan padat berisi. Biasanya di dalam biji kedelai tercampur
kotoran seperti pasir atau biji yang keriput dan keropos (Ali, 2008).
2. Pencucian
Pencucian menggunakan air bersih yang mengalir.
3. Perendaman I
Perendaman I menggunakan air bersih sebanyak 500 ml selama 12
jam.
4. Perebusan I
Perebusan I menggunakan air bersih sebanyak 500 ml selama 20
menit.
5. Perendaman II
Perendaman II menggunakan air bersih sebanyak 500 ml selama 12
jam.
6. Pengupasan kulit
Pengupasan kulit ari dilakukan dengan meremas-remas biji kedelai.
Pada pembuatan tempe kulit kedelai ditambahkan.
7. Perebusan II
Perebusan II menggunakan air bersih sebanyak 500 ml selama 20
menit.
8. Penirisan
Penirisan dilakukan dengan meletakkan kedelai di tampah.
9. Penginokulasian (Peragian)
Kedelai diinokulasi menggunakan ragi tempe merk Raprima.
10. Pembungkusan
Pembungkusan menggunakan daun pisang.
11. Pemeraman (Fermentasi)
22
Fermentasi dilakukan dengan tiga macam perlakuan yaitu selama
30 jam, 42 jam, dan 54 jam.
3. Metode Analisis
Analisis yang dilakukan meliputi 5 macam (lampiran halaman
46-48) meliputi:
a. Kadar air dengan metode gravimetri (Apriyantono dkk., 1989).
b. Kadar abu dengan tanur (Apriyantono dkk., 1989).
c. Kadar protein dengan metode Kjeldahl-mikro (Apriyantono dkk.,
1989).
d. Kadar lemak dengan metode Soxhlet (Apriyantono dkk., 1989).
e. Kadar karbohidrat dengan metode by difference (Apriyantono dkk.,
1989).
E. Analisis Data
Data hasil penelitian dianalisis dengan SPSS, menggunakan analisis
varians (ANOVA) untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan perlakuan pada
tingkat α = 0,05. Kemudian dilanjutkan dengan DMRT (Duncan Multiple
Range Test) pada tingkat α 0,05.
23
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Fisik
Berdasarkan data pada Tabel 2, dapat diketahui bahwa warna biji kedelai
adalah kuning dan kuning kehijauan. Warna kulit biji kedelai tidak
berpengaruh terhadap warna tempe yang dihasilkan. Jamur Rizhopus sp untuk
bisa tumbuh dan berkembang memerlukan energi serta zat gizi agar terjadi
perubahan biji kedelai yang berwarna kuning menjadi tertutup dengan miselia
jamur yang berwarna putih.
Tabel 2. Karakteristik Fisik Biji dari Beberapa Varietas Kedelai Karakteristik Karakteristik
Warna Kulit Biji Bobot 100 biji (gram)
Daya Serap Air (%)
Daya Bengkak (%)
Grobogan kuning 24,14d 188f 150f Argomulyo kuning 13,44b 144c 110c Seulawah kuning kehijauan 7,66a 106b 82b
Anjasmoro kuning 14,02b 175e 132e Burangrang kuning 13,44b 157,5d 120d Galunggung kuning 16,01c 119a 100a
Keterangan: Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak beda nyata (α < 0,05).
Tempe yang dihasilkan pada penelitian kali ini berwarna putih karena
tertutup oleh miselia jamur. Tempe yang baik dicirikan oleh permukaan yang
ditutupi oleh miselium kapang (benang-benang halus) secara merata, kompak
dan berwarna putih. Antar butiran kacang kedelai dipenuhi oleh miselium
dengan ikatan yang kuat dan merata, sehingga bila diiris tempe tersebut tidak
hancur.
Bobot biji 100 kedelai berkisar 7,66 gram - 24,14 gram, bervariasi
untuk beberapa varietas kedelai. Pada umumnya berat 100 biji 7-10 gram dan
tidak berbeda nyata untuk varietas Argomulyo, Anjasmoro, Burangrang.
Bobot yang paling besar yaitu varietas Grobogan sebesar 24,14 gram
dan yang paling kecil varietas Seulawah sebesar 7,66 gram. Ukuran biji
mempunyai pengaruh pada banyaknya tempe yang dihasilkan. Semakin besar
ukuran biji semakin banyak tempe yang dihasilkan atau semakin babar.
24
Daya serap air tertinggi adalah kedelai varietas Grobogan sebesar
188% dan yang terendah kedelai varietas Seulawah sebesar 106% (Gambar 1).
Semua varietas menunjukkan beda nyata. Selama perendaman, kedelai akan
menyerap air.
Kecepatan penyerapan air oleh biji kedelai dipengaruhi oleh suhu
perendaman. Makin tinggi suhu perendamannya, makin besar pula kecepatan
penyerapan air. Sebaliknya, kecepatan absorbsi air akan menurun sebanding
dengan kenaikan kadar air biji kedelai dan nampaknya kecepatan penyerapan
juga tak terlalu dipengaruhi oleh keadaan biji.
0
20
4060
80
100
120
140160
180
200
Grobogan Argomulyo Seulawah Anjasmoro Burangrang Galunggung
varietas
(%) daya serap air
daya bengkak
Gambar 1. Histogram Daya Serap Air dan Daya Bengkak Kedelai
Daya absorbsi air oleh biji kacang-kacangan sangat penting dalam
kaitannya dengan usaha pemanfaatannya. Besarnya daya absorbsi air ada
hubungannya dengan pelunakan biji kacang-kacangan. Menurut Kamil dalam
Handajani (1993), beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan penyerapan
air adalah permeabilitas kulit biji/membran biji, konsentrasi larutan, suhu,
tekanan hidrostatik, luas permukaan biji yang kontak dengan air, daya
intermolekuler,spesies, varietas, tingkat kemasakan dan komposisikimia serta
umur dari biji. Sedang menurut Bewley and Black dalam Handajani (1993),
beberapa faktor yang mempengaruhi absorbsi air adalah anatomi kulit biji,
lingkungan luar (tanah, cahaya, kelembaban), faktor genetik dan faktor lain
termasuk ukuran biji.
Pada Gambar 1 juga dapat diketahui bahwa nilai daya bengkak yang
tertinggi pada kedelai varietas Grobogan 150 % atau 1,5 kali volume mula-
25
mula kedelai. Pada Gambar 1 juga terlihat bahwa nilai daya bengkak yang
paling kecil kedelai varietas Seulawah 82 %. Semua varietas menunjukkan
beda nyata. Daya bengkak biji kacang-kacangan, merupakan penambahan
volume suatu biji karena udara yang terabsorbsi digantikan oleh air selama
terjadinya absorbsi air. Dalam hal ini daya bengkak lebih banyak ditentukan
oleh pembengkakan kulit biji, dan bukan oleh daging biji, sehingga akan
terjadi pelunakan biji.
Korelasi antara daya serap air dengan daya bengkak dapat dilihat
bahwa semakin besar daya serap air juga diiringi dengan semakin besarnya
daya bengkak. Hal ini sesuai yang Nabessa et al., dalam Handajani (1993)
yaitu bahwa terjadi pembengkakan biji selama terjadi absorbsi air, yang
merupakan penambahan volume biji.
B. Kadar Air
Kadar air merupakan salah satu karakteristik yang sangat penting
pada bahan pangan, karena air dapat mempengaruhi kenampakan, tekstur, dan
citarasa pada bahan pangan. Kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan
kesegaran dan daya awet bahan pangan tersebut, kadar air yang tinggi
mengakibatkan mudahnya bakteri, kapang, dan khamir untuk berkembang
biak, sehingga akan terjadi perubahan pada bahan pangan (Winarno, 1997
dalam Wiryadi, 2007). Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kadar air
(%)dalam beberapa varietas kedelai dengan beberapa perlakuan lama
fermentasi yang ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Kadar Air (% bb) Tempe dengan Berbagai Lama Fermentasi
Lama Fermentasi (jam) Varietas Kedelai 30 42 54
Grobogan 64,73fg 65,65i 67,33j
Argomulyo 65,77h 65,96i 66,24i
Seulawah 64,77fg 62,72d 64,19ef Anjasmoro 64,58fg 64,92h 65,94i
Burangrang 59,03a 62,07c 63,72e
Galunggung 61,16b 62,12c 62,15c
Keterangan : Angka diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak beda nyata (α < 0,05)
26
Kadar air tempe berkisar 55,80% - 67,33%, dan bervariasi dengan
perlakuan lama fermentasi dan perbedaan varietas kedelai. Tabel 3.
memperlihatkan bahwa semakin lama waktu fermentasi semakin tinggi kadar
air tempe beberapa varietas kedelai
Pada semua lama fermentasi menunjukkan beda nyata, kecuali pada
varietas Galunggung pada lama fermentasi 42 jam dan 54 jam. Pada varietas
Seulawah fermentasi 42 jam mengalami penurunan. Penurunan disebabkan
oleh kadar air pada saat inokulasi masih cukup besar, sulit dalam penirisan
untuk biji yang kecil dan keras.
54
56
58
60
62
64
66
68
Grobogan Argomulyo Seulaw ah Anjasmoro Burangrang Galunggung
varietas
kad
ar
air
(%
)
30 jam
42 jam
54 jam
Gambar 2. Histogram Kadar Air Kedelai dengan Berbagai Lama Fermentasi
Kadar air tertinggi pada tempe kedelai varietas Grobogan 54 jam
sebesar 67,33%. Sedangkan kadar air terendah pada tempe kedelai varietas
Burangrang 30 jam sebesar 59,03% (Gambar 2).
Kadar air tempe mengalami peningkatan dengan bertambahnya waktu
fermentasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Sudarmaji (1977), selama proses
fermentasi tempe kedelai terjadi perubahan kadar air setelah 40 jam fermentasi
akan meningkat.
Menurut Steinkrauss (1995), selama fermentasi tempe air dihasilkan
sebagai hasil dari pemecahan karbohidrat oleh mikrobia. Menurut Rochmah
(2008) air merupakan salah satu produk hasil fermentasi aerob. Selama
fermentasi tempe, mikrobia mencerna substrat dan menghasilkan air,
27
karbondioksida dan sejumlah besar energi (ATP). Selama fermentasi, kapang
Rhizopus akan menghancurkan matriks antara sel bakteri dimana pada hari ke
tiga untuk kedelai akan menjadi empuk, tapi pada fermentasi selanjutnya sel
pada kedelai hancur ditambah air hasil pemecahan karbohidrat yang
menyebabkan tempe menjadi lembek dan berair (Syarief dkk.,1999).
Waktu fermentasi adalah salah satu faktor terpenting penyebab
meningkatnya kadar air sehingga dengan meningkatnya waktu fermentasi
maka kadar air akan meningkat pula (Mulato, 2003, dalam Wiryadi, 2007).
Air sebagai salah satu hasil metabolisme, sangat berpengaruh
terhadap komponen – komponen lain termasuk pertumbuhan kapang sebagai
mikroorganisme yang berperan dalam fermentasi tempe (Rochmah, 2008).
C. Kadar Protein
Pada penelitian ini dilakukan uji penentuan kadar protein dengan
metode Mikro-Kjeldahl untuk menentukan kandungan protein total yang
terhitung sebagai N total. Kadar protein total tempe dari beberapa varietas
kedelai dengan variasi perlakuan lama fermentasi dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Kadar Protein (%) Tempe dengan Berbagai Lama Fermentasi
Lama Fermentasi (jam) Varietas Kedelai 30 42 54
Grobogan 16,65a 17,93abcd 18,61cde
Argomulyo 16,8ab 18,28bcd 21,06ghi
Seulawah 17,70abc 17,75abc 18,69cde
Anjasmoro 19,35def 19,87efg 20,21fgh
Burangrang 20,21fgh 21,51hi 22,47ij
Galunggung 21,96i 23,47j 25,19k
Keterangan : Angka diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak beda nyata (α < 0,05)
Kadar protein tempe berkisar 16,65% - 25,19%, bervariasi antar
perlakuan lama fermentasi dan perbedaan varietas kedelai. Pada semua
varietas dan lama fermentasi cenderung mengalami kenaikan tetapi
menunjukkan tidak beda nyata, kecuali varietas Argomulyo dan Galunggung
lama fermentasi 42 dan 54 jam menunjukkan berbeda nyata.
28
Tempe kedelai Galunggung dengan perlakuan lama fermentasi 54 jam
memiliki kadar protein tertinggi yaitu sebesar 67,33%, namun tempe dalam
kondisi over fermented sehingga kurang disukai. Sedangkan kadar protein
terendah pada tempe kedelai varietas Grobogan fermentasi 30 jam sebesar
16,65% (Tabel 4).
0
5
10
15
20
25
30
Grobogan Argomulyo Seulaw ah Anjasmoro Burangrang Galunggung
varietas
kad
ar p
rote
in (
%)
30 jam
42 jam
54 jam
Gambar 5. Histogram Kadar Protein Tempe dengan Berbagai Lama Fermentasi
Kadar protein tempe cenderung mengalami kenaikan dengan
bertambahnya waktu fermentasi (30 jam, 42 jam dan 54 jam). Hasil tersebut
sesuai dengan pendapat Astuti dkk, (2000), akibat pengolahan kedelai menjadi
tempe, kadar nitrogen totalnya semakin bertambah, juga kadar selulosa dan
kadar abu meningkat secara nyata.
Pada fermentasi tempe kedelai, terjadi pembentukan vitamin B
kompleks, kecuali thiamin yang mengalami penurunan (Astuti, 2000). Vitamin
B12 diproduksi oleh bakteri Klebsiella pneumoniae yang merupakan
mikroorganisme yang diinginkan dan mungkin diperlukan ada dalam proses
fermentasi tempe secara alami (Steinkraus dalam Steinkraus 1983). Diduga
selama fermentasi tempe juga mengalami pembentukan vitamin B12, sehingga
kenaikan jumlah protein diduga berasal dari nitrogen – nitrogen yang
terkandung dalam vitamin B kompleks tersebut.
Banyak sekali jamur yang aktif selama fermentasi tempe, tetapi
umumnya para peneliti menganggap bahwa Rhizopus sp merupakan jamur
29
yang paling dominan. Jamur yang tumbuh pada kedelai tersebut menghasilkan
enzim-enzim yang mampu merombak senyawa organik kompleks menjadi
senyawa yang lebih sederhana sehingga senyawa tersebut dengan cepat dapat
dipergunakan oleh tubuh (Pangastuti, 1996). Rhizopus oligosporus
menghasilkan enzim – enzim protease. Perombakan senyawa kompleks
protein menjadi senyawa – senyawa lebih sederhana adalah penting dalam
fermentasi tempe, dan merupakan salah satu faktor utama penentu kualitas
tempe, yaitu sebagai sumber protein nabati yang memiliki nilai cerna tinggi
(Pangastuti, 1996).
D. Kadar Abu
Unsur mineral juga dikenal sebagai zat anorganik atau kadar abu
(Winarno, 2002). Menurut Sudarmadji dkk (1989) dan Winarno (2002), abu
adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik.
Tabel 5. Kadar Abu (%) Tempe dengan Berbagai Lama Fermentasi Lama Fermentasi (jam) Varietas
Kedelai 30 42 54 Grobogan 1,29bc 1,28bc 1,34bcd
Argomulyo 1,45cd 1,69de 1,97f
Seulawah 0,99ab 1,06ab 1,24abc
Anjasmoro 0,92a 1,35bcd 1,52cde
Burangrang 1,34bcd 1,47cd 1,59cde Galunggung 1,29bc 1,54cde 1,84ef
Keterangan : Angka diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak beda nyata (α < 0,05)
Kadar abu tempe berkisar 0,92% - 1,97%, bervariasi selama
fermentasi. Semakin lama waktu fermentasi kadar abu tempe secara umum
cenderung mengalami kenaikan. Walaupun pada sampel tempe varietas
Grobogan kadar abu mengalami penurunan pada fermentasi 42 jam, akan
tetapi penurunan tersebut tidak signifikan.
Pada semua lama fermentasi menunjukkan tidak beda nyata, kecuali
pada varietas Argomulyo pada lama fermentasi 42 jam dan 54 jam. Demikian
juga pada varietas Anjasmoro 30 jam dan 42 jam menunjukkan berbeda nyata.
30
0
0,5
1
1,5
2
2,5
Grobogan Argomulyo Seulawah Anjasmoro Burangrang Galunggung
varietas
kad
ar
abu
(%
)
30 jam
42 jam
54 jam
Gambar 3. Histogram Kadar Abu Tempe dengan Berbagai Lama Fermentasi
Peningkatan kadar abu selama fermentasi tempe ini sesuai dengan
pendapat Astuti dkk. (2000), yang menyatakan akibat dari pengolahan kedelai
menjadi tempe, kadar nitrogen totalnya sedikit bertambah, kadar selulosa dan
kadar abu meningkat secara nyata. Peningkatan kadar abu ini kemungkinan
disebabkan selama fermentasi kapang menghasilkan enzim – enzim untuk
metabolismenya. Enzim merupakan senyawa protein yang mengandung unsur
mineral nitrogen (N), dan N tersebut terhitung sebagai abu.
Selain itu peningkatan kadar abu diduga berasal dari vitamin yang
terbentuk oleh bakteri yang tumbuh selama fermentasi tempe seperti
Klebsiella pneumoniae (Ferlina, 2009), khususnya vitamin B. Astuti dkk
(2000), menyebutkan bahwa selama fermentasi tempe jumlah vitamin B
kompleks meningkat kecuali thiamin. Seperti disebutkan di depan bahwa
vitamin B12 diproduksi oleh bakteri Klebsiella pneumoniae dalam proses
fermentasi tempe (Steinkraus dalam Steinkraus 1983). Kenaikan kadar
vitamin B12 meningkat sampai 33 kali selama fermentasi dari kedelai,
riboflavin naik sekitar 8 – 47 kali, piridoksin 4 – 14 kali, niasin 2 – 5 kali,
biotin 2 – 3 kali, asam folat 4 – 5 kali dan asam pantotenat 2 kali lipat (Ferlina,
2009); senyawa – senyawa tersebut kesemuanya mengandung unsur nitrogen
(N). Vitamin B12 juga mengandung sebuah atom cobalt (Co) yang terikat
mirip dengan besi terikat dalam hemoglobin atau magnesium dalam klorofil
(Winarno, 2002). Dengan demikian kenaikan jumlah abu diduga berasal dari
31
nitrogen – nitrogen dan cobalt (Co pada vitamin B12) yang terkandung dalam
vitamin B kompleks tersebut.
Kadar abu tertinggi pada tempe kedelai varietas Anjasmoro perlakuan
30 jam sebesar 0,92%% dan kadar abu terendah pada tempe kedelai varietas
Argomulyo perlakuan 54 jam sebesar 1,97%.
E. Kadar Lemak
Pada Tabel 6 kadar lemak total sampel tempe beberapa varietas
kedelai lokal varietas Grobogan, Seulawah, Burangrang, Galunggung dan
varietas introduksi Anjasmoro dan Argomulyo dengan variasi perlakuan lama
fermentasi pada penelitian ini berkisar antara 6,33% - 8,89%.
Tabel 6. Kadar Lemak (%) Tempe dengan Berbagai Lama Fermentasi
Lama Fermentasi (jam) Varietas Kedelai 30 42 54
Grobogan 8,22hi 7,82f 7,48e
Argomulyo 8,31i 8,19ghi 7,39de
Seulawah 7,24cde 7,04bc 6,87b
Anjasmoro 8,40i 6,52a 6,33a Burangrang 8,43i 8,43i 7,87fg
Galunggung 8,89j 7,95fgh 7,07bcd
Keterangan : Angka diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak beda nyata (α < 0,05)
Dari Tabel 6 dapat dilihat perlakuan lama fermentasi memberikan
pengaruh terhadap kadar lemak sampel tempe. Pada varietas Grobogan,
Argomulyo, dan Galunggung menunjukkan beda nyata pada semua lama
fermentasi. Sedangkan pada varietas Anjasmoro menunjukkan beda nyata
pada lama fermentasi 30 dan 42 jam. Sedangkan pada varietas Burangrang
menunjukkan beda nyata pada lama fermentasi 42 dan 54 jam. Pada varietas
dan lama fermentasi yang lain menunjukkan tidak beda nyata.
Pada varietas Grobogan terjadi penurunan kadar lemak pada semua
lama fermentasi 30, 42, dan 54 jam dan ketiganya menunjukkan berbeda
nyata. Pada varietas Argomulyo juga terjadi penurunan kadar lemak pada
semua lama fermentasi 30, 42, dan 54 jam. Pada lama fermentasi 30 jam dan
32
42 jam tidak menunjukkan beda nyata sedangkan pada lama fermentasi 54 jam
menunjukkan beda nyata.
Penurunan kadar lemak juga terjadi pada varietas Seulawah pada semua
lama fermentasi 30, 42, dan 54 jam dan menunjukkan tidak beda nyata.
Pada varietas Anjasmoro juga terjadi penurunan kadar lemak pada lama
fermentasi 30, 42, dan 54 jam. Pada lama fermentasi 42 jam dan 54 jam tidak
menunjukkan beda nyata sedangkan pada lama fermentasi 30 jam
menunjukkan beda nyata.
Penurunan kada lemak juga terjadi pada varietas Burangrang pada lama
fermentasi 42, dan 54 jam (8,43%, dan 7,87%)dan menunjukkan beda nyata.
Pada varietas Galunggung terjadi penurunan kadar lemak pada lama
fermentasi 30, 42, dan 54 jam dan menunjukkan berbeda nyata.
0
1
23
4
5
6
78
9
10
Grobogan Argomulyo Seulawah Anjasmoro Burangrang Galunggung
varietas
kada
r le
mak
(%)
30 jam
42 jam
54 jam
Gambar 4. Histogram Kadar Lemak Tempe dengan Berbagai Lama
Fermentasi
Kadar lemak tempe pada beberapa varietas varietas kedelai lokal
varietas Grobogan, Seulawah, Burangrang, Galunggung dan varietas
introduksi Anjasmoro dan Argomulyo dengan variasi perlakuan lama
fermentasi (30, 42, dan 54 jam) pada penelitian ini cenderung mengalami
penurunan yang tidak signifikan (Gambar 4). Hal ini dikarenakan lemak tidak
mudah langsung digunakan oleh mikroba jika dibandingkan dengan protein
dan karbohidrat (Ketaren, 1986 dalam Wiryadi 2007). Penurunan kadar lemak
yang signifikan terjadi pada tempe varietas Anjasmoro fermentasi 42 jam.
Dalam Kasmidjo (1990), menyebutkan kadar lemak kedelai akan mengalami
33
penurunan akibat fermentasi menjadi tempe. Lebih dari 1/3 lemak netral dari
kedelai terhidrolisis oleh enzim lipase selama 3 hari fermentasi oleh
R.oligosporus pada suhu 37oC. Setelah 48 jam fermentasi, lemak akan
terhidrolisis.
Pada penelitian ini diketahui kadar lemak tertinggi terdapat pada sampel
tempe varietas Galunggung dengan lama fermentasi 30 jam (8,89%),
sedangkan kadar lemak terendah terdapat pada sampel tempe varietas
Anjasmoro lama fermentasi 54 jam (6,33%).
F. Kadar Karbohidrat
Kadar karbohidrat tempe dari beberapa varietas kedelai dengan variasi
perlakuan lama fermentasi dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Kadar Karbohidrat (%) Tempe dengan Berbagai Lama Fermentasi
Lama Fermentasi (jam) Varietas Kedelai 30 42 54
Grobogan 9,11e 7,32o 5,24e
Argomulyo 7,63m 5,89f 3,34a Seulawah 9,29p 11,43r 9,02n Anjasmoro 6,77j 7,39l 6,00g Burangrang 10,99q 6,52h 4,36c Galunggung 6,70i 4,92d 3,76b
Keterangan : Angka diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak beda nyata (α < 0,05)
Dari hasil analisis statistik dapat diketahui bahwa perlakuan lama
fermentasi dan perbedaan varietas kedelai memberikan pengaruh yang
berbeda nyata terhadap kadar karbohidrat sampel tempe. Hal ini dapat dilihat
dari notasi yang berbeda di belakang angka kadar karbohidrat.
Kadar karbohidrat tertinggi pada tempe varietas Seulawah perlakuan 42
jam yaitu 11,43% dan kadar karbohidrat terendah pada tempe varietas
Grobogan perlakuan 54 jam sebesar 3,34%.
Menurut Kim, Smit dan Nakayma dalam Kasmidjo (1990), selama
proses perendaman terjadi peningkatan monosakarida, tetapi perendaman
selama 24 jam pada suhu 25 oC dengan perbandingan biji:air adalah 1:3 dan
1:10 tidak mengakibatkan penurunan oligosakarida. Menurut Mulyowidarso
34
(1988), sukrosa turun sebesar 84 %, sedangkan stakhiosa, rafinosa dan
melibiosa secara bersama-sama turun sebesar 64 %, dari kadar dalam biji
selama perendaman.
Pengurangan senyawa stakhiosa, rafinosa, melibiosa dan meningkatnya
monosakarida, selain memiliki keuntungan dari sudut nutrisi, juga
memberikan keuntungan mikrobiologis dalam pembuatan tempe. Rhizopus
oligosporus tidak memiliki kemampuan untuk memetabolisasikan senyawa-
senyawa tersebut, sebaliknya dapat memanfaatkan monosakarida dengan baik.
Di samping itu glukosa juga merupakan senyawa gula yang mendorong
terjadinya perkecambahan spora Rhizopus oligosporus.
0
2
4
6
8
10
12
Grobogan Argomulyo Seulaw ah Anjasmoro Burangrang Galunggung
varietas
kad
ar k
arb
oh
idra
t(%
)
30 jam
42 jam
54 jam
Gambar 6. Histogram Kadar Karbohidrat Tempe dengan Berbagai Lama
Fermentasi
Stakhiosa, rafinosa, dan sukrosa yang merupakan sumber karbohidrat
utama pada kacang-kacangan meupakan sumber karbon bagi ragi tempe untuk
tumbuh. Perlakuan perendaman dan perebusan dapat menyebabkan
pengurangan kandungan gula utama. Penurunan kadar karbohidrat selama
proses fementasi diduga karena penggunaan monosakarida oleh ragi tempe
untuk bisa tumbuh sehingga proses fermentasi bisa berjalan. Stakhiosa akan
berkurang lebih lanjut selama fermentasi oleh jamur tempe, menjadi 30 %nya
kadar stakhiosa kedelai mentah setelah 48 jam, dan tinggal 7 % setelah 72 jam
fermentasi. Sedangkan kadar rafinosa relatif akan tetap selama proses
fermentasi.
35
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan pada penelitian yang telah dilakukan, dapat diketahui:
1. Perbedaan varietas tidak berpengaruh terhadap warna tempe yang
dihasilkan. Perbedaan varietas mempunyai pengaruh terhadap bobot biji,
daya serap air, dan daya bengkak kedelai. Semakin besar bobot biji
semakin banyak tempe yang dihasilkan. Semakin besar daya serap air juga
diiringi dengan semakin besarnya daya bengkak. Varietas kedelai yang
mempunyai karakteristik fisik terbaik adalah Grobogan.
2. Variasi perlakuan lama fermentasi memberikan pengaruh terhadap sifat
kimia tempe. Semakin lama waktu fermentasi, kadar air, kadar abu dan
kadar protein total sampel tempe semakin meningkat, sedangkan kadar
lemak dan karbohidrat mengalami penurunan. Varietas kedelai yang
mempunyai karakteristik kimia terbaik adalah Galunggung.
B. Saran
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan disarankan beberapa hal
berikut ini:
1. Sebaiknya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai proses
biokimiawi selama fermentasi tempe dan perubahan sifat kimia tempe
yang lebih spesifik, seperti kandungan dan jenis asam amino, asam lemak,
serta mineralnya dengan variasi lama fermentasi yang lebih lanjut atau
dengan variasi perlakuan yang lain.
2. Sebaiknya perlu dilakukan persilangan kedelai varietas Grobogan dan
Galunggung.
3. Untuk mendapatkan tempe bernilai gizi tinggi, sebaiknya dilakukan
produksi tempe varietas Galunggung dan Grobogan.
36
DAFTAR PUSTAKA
Adisarwanto,T. 2005. Kedelai. Penebar Swadaya. Jakarta.
Ali, I. 2008. Buat Tempe Yuuuuk. http://iqbalali.com/2008/05/07/buat-tempe-yuuuuk/. diakses tanggal 4 Februari 2010.
Anonim. 2006. Karakteristik Kedelai Sebagai Bahan Pangan Fungsional. eBookPangan.com. diakses tanggal 2 Februari 2010.
Anonim. 2010a. Standar Mutu Tempe Kedelai SNI 01-3144-1992. http://agribisnis.deptan.go.id/layanan_info/view.php?file=STANDARD-MUTU/Standard-Nasional-Indonesia/SNI_Horti/Produk+olahan/SNI+01-3144++-1992.pdf&folder=MUTU-STANDARDISASI. diakses tanggal 2 Februari 2010.
. 2010b. Potensi Kedelai. http://id.wikipedia.org/wiki/Kedelai. diakses tanggal 2 Februari 2010.
. 2010c. Mutu Kedelai Nasional Lebih Baik dari Kedelai Impor.http://www.litbang.deptan.go.id.diakses tanggal 4 Februari 2010.
. 2010d. Kandungan Gizi Kedelai. . http://agribisnis.deptan.go.id/. diakses tanggal 4 Februari 2010.
. 2010e. Vitamin Kedelai. . http://id.wikipedia.org/wiki/Varietas Kedelai. diakses tanggal 4 Februari 2010.
. 2010f. Kandungan Serat Kedelai. . http://id.wikipedia.org/wiki/Serat Kedelai. diakses tanggal 4 Februari 2010.
. 2009g. Membuat Tempe. http://tempecorner.multiply. com/journal/item/12/Membuat_Tempe. diakses tanggal 6 Februari 2010.
AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of Association of Official Analytical Chemis. Washington DC, 27p
Apriyantono, A. Fardiaz, N. Puspitasari, L. Sedarnawati dan Budiyanto, S. 1989. Analisis Pangan. IPB Press. Bogor.
Astuti, M., Meliala,A., Fabien, D., Wahlq, M. 2000. Tempe, a nutritious and healthy food from Indonesia. Asia Pasific J Clin Nutr (2000) 9 (4): 322 – 325. http://iqbalali.com/2008/05/07/buat-tempe-yuuuuk/. Didownload pada tanggal 29 Juli 2009. 20.45 WIB.
Azeke, M A., Barbara Fretzdorff, Hans Buening-Pfaue, Thomas Betsche. 2006. Comparative Effect Boiling and Solid Substrate Fermentation Using The Tempeh Fungus (Rhizopus oligosporus) on The Flatulance
37
Potential of African Yambean (Sphenostylis stenocarpa L.) Seeds. Food Chemistry 103 (2007) 1420-1425.
Babu, D. P., Bhakyaraj, R., dan Vidhyalakshmi. 2009. A Low Cost Nutritious Food “Tempeh”. World Journal of Dairy & Food Sciences. 4 (1): 22-27.
Bekti. 2008. Jangan Takut Dibilang Bermental Tempe. http://bektigamartil.wordpress.com/2008/09/08/jangan-takut-dibilang-bermental-tempe/. diakses tanggal 4 Februari 2010.
BPS Jateng. 2006. Statistik Indonesia 2005/2006. Hlm 168, 179-182,184-187,162-163.
Dewi, E. L. 2009. Superfood: Yang Perlu Kita Ketahui Dari Produk Kedelai. “Chinese Natural Cures” – Henry C.Lu, “, The Soy Connection, Volume 10, nomor 4, “Soy, Vitamin E Alternatives for Hormone Treatment”-Prepared Food newsletter edisi 2 Desember 2002, Newest Research On Why You Should Avoid Soy, Sally Fallon dan Mary Enig, Ph.D http://griyalarasati.blogspot.com/2009/02/yang-perlu-kita-ketahui-dari-produk.html. diakses tanggal 4 Februari 2010.
Endang, Sr, Indrati, R, Utami, T, Harmayani, E., dan Cahyanto, MN. 1993. Bahan Pangan Hasil Fermentasi. Food and Nutrition Culture Collection, PAU Pangan dan Gizi UGM, Jogjakarta.
Ferlina, F. 2009. Tempe. http://www.adln.lib.unair.ac.id/go.php. Didownload pada tanggal 29 Juli 2009. pukul 20.45 WIB.
Handajani, S. 1992. Pengaruh Larutan Perendam dan Perebus terhadap Kekerasan, Kualitas Tanak dan Kandungan Mineral Biji Kacang-Kacangan. Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret. Surakarta
Handajani, S dan Atmaka, W. 1993. Analisis Sifat Phisis-Khemis Beberapa Biji Kacang – kacangan; Kekerasan, Kualitas Tanak, Protein, dan Kandungan Mineralnya (Lanjutan). Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret. Surakarta
Haslina & E. Pratiwi. 1996. Manfaat Tempe Bagi Gizi dan Kesehatan Manusia. Sainteks Vol. III No. 4 September 2009.
Hidayat, N. Masdiana C. Padaga dan Sri Suhartini. 2006. Mikrobiologi Industri. Andi. Yogyakarta.
, N. 2009. Tahapan Proses Pembuatan Tempe. http://lecture.brawijaya. ac.id/nurhidayat/?cat=386. diakses tanggal 6 Februari 2010.
Hudaya, S., dan Daradjat, S.S. 1982. Dasar-Dasar Pengawetan 2. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan. Jakarta.
Kasmijo, Dr. Ir.R.B. 1990. Tempe Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan Serta Pemanfaatannya. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi UGM. Yogyakarta.
38
Koswara, S. 2005. Teknologi Pengolahan Kedelai (Teori dan Praktek). EbookPangan.com
, S. 2009. Kacang-Kacangan, Sumber Serat yang Kaya Gizi. http://www.ebookpangan.com/ARTIKEL/Kacang-kacangan,%20Sumber %20Serat%20yang%20Kaya%20Gizi.pdf. diakses tanggal 4 Februari 2010.
Rachman, A. 1989. Teknologi Fermentasi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Bogor.
Rokhmah, L. N. 2008. Kajian Kadar Asam Fitat dan Kadar Protein Selama Pembuatan Tempe Kara Benguk (Mucuna Pruriens) dengan Variasi Pengecilan Ukuran dan Lama Fermentasi. Skripsi. Fakultas Pertanian UNS. Surakarta.
Markley, K.S., ed., 1950. Soybeans and Soybean Products. Volume 1, Interscience Publishers, inc., New York.
Muchtadi, Tien R. 1997. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. IPB Press. Bogor.
Nugrahaeni N, T. Sundari, Subandi, Marwoto. 2008. Inovasi Teknologi mendukung pengembangan tanamna kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Balitkabi. Malang.
Pangastuti, H.P dan Triwibowo, S. 1996. Proses Pembuatan Tempe Kedelai: III.Analisis Mikrobiologi. Cermin Dunia Kedokteran No. 109.
Plhak, L.C., Cadwell, K.B. and Stanley, D.W. 1989. Comparison of Methods Used to Characterise Water Imhibibition in Hard-to-Cook Beans. J. Food Sci. 54, 326-329.
Salunkhe D.K. and Kadam S.S. 1990. Handbook of World Food Legumes: Nutritional Chemistry, Processing Technology, and Utilization. Volume I. CRC Press.
Sarwono, B. 1996. Membuat Tempe dan Oncom. Penebar Swadaya. Jakarta.
Sardjono., B.H., dan Wibowo, D. 1999. Handout Teknologi Fermentasi. UGM Press. Yogyakarta.
Sisworo,W.H. 2008. Produktivitas Kedelai Rendah Akibat Penanaman Tidak Intensif. http://www.media-indonesia.com/berita.asp?id=155737 (diakses pada tanggal 11 April 2009).
Somaatmadja, S. dkk. 1985. Kedelai. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Pengembangan Tanaman Pangan Jalan Merdeka 99 Bogor. Bogor.
Steinkraus, K.H. 1983. Handbook of Indegenous Fermented Foods. Marcel Dekker, Inc. New York. 131-146.
, K.H.,1995. Handbook of Indigenous Fermentef food, Second Edition Revised and Expanded, Marcel dekker dalam Nurhikmat, Asep. 2008.
39
Pengaruh Suhu dan Kecepatan Udara terhadap nilai Konstanta pengeringan tempe kedelai. Thesis. UGM.Yogyakarta.
Sudarmaji, S. 1977. Perubahan selama Fermentasi dan Mikroorganisme yang Terlibat. Gramedia. Jakarta
, S. 1989. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Edisi ke-3. Liberty. Yogyakarta.
Supriyono. 2008. Memproduksi Tempe. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.
Syarief, R. 1999. Wacana Tempe Indonesia. Universitas Katolik Widya Mandala Press. Surabaya.
Widianarko, B. Rika P. dan Retnaningsih. 2000. Tempe, Makanan Populer dan Bergizi Tinggi. Seri Iptek Pangan Volume 1: Teknologi, Produk, Nutrisi dan Keamanan Pangan. Jurusan Teknologi Pangan. Unika Soegijapranata. Semarang.
Wiryadi, R. 2007. Pengaruh Waktu Fermentasi dan Lama Pengeringan terhadap Mutu Tepung Cokelat (Theobroma cocoa L). Skripsi. Universitas Syah Kuala. Aceh.
Yoneya, T. 2009. Fermented Soy Products: Tempeh, Nattos,Miso, and Soy Sauce. http://enniek.wordpress.com/2009/05/30/tempe/. diakses tanggal 6 Februari 2010.