53

KATA PENGANTAR Baturape Cindako merupakan batuan dari hasil erupsi gunungapi baik berupa efusif maupun eksplosif. Satuan ini tidak kurang dari 1250 m tebalnya dan berdasarkan posisi

  • Upload
    vobao

  • View
    246

  • Download
    9

Embed Size (px)

Citation preview

KATA PENGANTAR

Pembaca yang budiman,

Pada edisi Januari – Juni 2014 ini, Jurnal Penelitian Geosains kembali hadir dengan sajian materi yang memuat 5 makalah dari berbagai topik dalam bidang geologi terutama geologi teknik dan sumberdaya mineral.

Makalah pertama memuat topik tentang konstruksi sumur bor berdasarkan hasil cutting Daerah Fakultas Ekonomi di Universitas Hasanuddin, Tamalanrea Makassar. Makalah kedua membahas tentang karakteristik ignimbrit pada Daerah Bulu Kunyi di Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan. Makalah ketiga membahas tentang analisis stabilitas lereng Daerah Tabbingjai pada KM 114 + 460 m di Sulawesi Selatan. Makalah selanjutnya menyajikan topik tentang alterasi pada batuan gunungapi Pangkajene pada Daerah Watangpulu, Sulawesi Selatan. Makalah terakhir membahas tentang keterdapatan bijih besi di Daerah Balanalu, Limbong Luwu Utara, Provinsi Sulawesi Selatan.

Akhir kata, kami dari Dewan Redaksi mengucapkan selamat membaca dan semoga mendapatkan manfaat dari tulisan yang tersaji.

Salam,

Dewan Redaksi

JURNAL PENELITIAN GEOSAINS

Pembina

Dekan Fakultas Teknik

Penanggung Jawab

Ketua Jurusan Teknik Geologi

Dewan Redaksi

Ketua

Dr.Eng. Adi Maulana, ST., M.Phil

Anggota

Dr. Adi Tonggiroh, ST., MT

Aryanti Virtanti Anas, ST., MT

Dr.Eng. Asran Ilyas, ST., MT

Mitra Bestari Edisi ini

Prof. Dr.rer.nat. Ir. A. M. Imran

Dr. Phil.nat. Sri Widodo, MT

Dr. Halmar Halide, M.Sc

Dr. Ir. Safri Burhanuddin, DEA

ALAMAT REDAKSI

Jurusan Teknik Geologi Universitas Hasanuddin

Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10 Tamalanrea

Makassar. Telp./Fax. (0411) 580202

Email: [email protected]

GEOSAINS

Vol. 10. No. 01 2014 - 1

KONSTRUKSI SUMUR BOR BERDASARKAN HASIL CUTTING DAERAH FAKULTAS EKONOMI UNHAS PROVINSI SULAWESI SELATAN

Desthina Baso Sakke*,M. Fauzi Arifin*, Jamal Rauf Husein*

*) Teknik Geologi Universitas Hasanuddin

Abstrack: Administratively, the study area is included in the faculty of economy, Hasanuddin University, Regional Tamalanrea, Makassar, South Sulawesi. While geographically 5° 7”45’ - 5° 8”15’ LS and 119° 28”45’ - 119° 29”30’ BT. Purpose of implementation of this study was to conduct drilling on groundwater. This study is to build artesian well construction by cutting analysis and analyze groundwater for water utilization means consumed on the location of the economy faculty. The research method is a method of drilling include cutting and lithological analyzed and laboratory analysis include chemical analyzed and microbiology analyzed. The drilling reached a depth of 125 meters and drilling cutting analysis of the results shows lithological variations: fine tuffs, coarse tuff, and clay. Based on the analysis of the lithology by cutting and drilling the wells in Faculty of economiy can be made the construction plans as follows: Bearing the well made as an amplifier (pedestal) and borehole construction to close (prevent) the entry of surface water (the water) into length of casing pipe through the filter of well pads is 10 meters, Construction use filter is the the litology consist by coarse tuff. Construction There are not used filter is the lithology which consist find tuff and clay. Based on the results of the Groundwater Analyst Laboratory of Chemical Oceanography Marine Science Department, the results of chemical analysis and biological still qualifies as clean water with reference by Ministry of Public Health No.416/1990.

Keywords: groundwater, drilling, cutting, grain size, and well construction

1. PENDAHULUAN

Secara Administratif daerah penelitian terletak pada daerah Fakultas Ekonomi UNHAS, Kecamatan Tamalanrea, Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan. Berdasarkan posisi Astronomis daerah penelitian terletak pada koordinat 5° 7”45’ - 5° 8”15’ LS dan 119° 28”45’ - 119° 29”30’ BT . Daerah penelitian termasuk dalam Peta Lembar Ujung Pandang (2010-54) sekala 1:50.000 yang diterbitkan oleh Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) edisi I tahun 1991.Pelaksanaan pengeboran ini dilakukan selama kurang lebih 1 bulan dari tanggal 20 November – 19 Desember 2011 yang dilakukan di Fak. Ekonomi UNHAS, Kecamatan Tamalanrea Kota Makassar.Daerah penelitian dapat ditempuh dengan menggunakan sarana transportasi darat. Daerah penelitian sebagian dapat dicapai dengan semua jenis kendaraan

bermotor, dan juga dapat dicapai dengan berjalan kaki.

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

Lokasi Penelitian

GEOSAINS

Vol. 10. No. 01 2014 - 2

1.1 Maksud dan Tujuan Penelitian ini dimaksudkan untuk melakukan pengeboran air tanah pada daerah Fakultas Ekonomi Kampus Unhas Kecamatan Tamalanrea Kota Makassar dengan kedalaman pengeboran 125 meter. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah membuat model konstruksi sumur bor berdasarkan analisis data cutting pada lokasi Fakultas Ekonomi Kampus Unhas Kecamatan Tamalanrea Kota Makassar guna pemanfaatan air tanah secara maksimal bagi berbagai pihak di Fakultas Ekonomi. 1.2 Batasan Masalah

Penulis membatasi pembahasan dari penelitian ini hanya untuk membahas konstruksi sumur bor dengan memperhatikan data cutting, litologi, debit air, dan hasil analisis kimia sampel air tanah. untuk mengetahui lapisan akuifer air tanah, sehingga hasil dari analisa air tanah tersebut diperoleh air bersih yang dapat dikonsumsi pada daerah ini.

2. GEOMORFOLOGI DAERAH PENELITIAN

a. Geomorfologi

Berdasarkan bentuk relief, topografi, serta batuan penyusun daerah penelitian dan sekitarnya dapat dibagi atas beberapa satuan geomorfologi, yaitu : Satuan geomorfologi perbukitan bergelombang lemah, satuan geomorfologi pedataran berlekuk genangan dan satuan geomorfologi pedataran dan pesisir.

Satuan geomorfologi perbukitan bergelombang lemah menempati areal yang tidak luas di bagian Timur Kota Makassar, meliputi perbukitan kecil dengan kesan umum sebagai suatu dataran tinggi. Elevasi berkisar antara 10 – 35 meter diatas permukaan laut, dengan kemiringan lereng kurang dari 10%, berangsur melandai dengan gelombang halus dari arah perbukitan Utara ke Selatan atau dari perbukitan Selatan ke arah Utara yang kemudian bersatu di pusat cekungan sekitar daerah Sungai Tallo. Satuan ini menempati daerah – daerah sekitar Perumahan Dosen Unhas Tamalanrea, Perumnas Antang, Perumahan Bukit Baruga, dan perbukitan sekitar Kampus UVRI Antang. Morfologi perbukitan bergelombang lemah ini dibentuk

oleh endapan hasil kegiatan gunungapi, dengan konsolidasi dan sedimentasi tingkat sedang, walau dibeberapa tempat telah dijumpai sebagian lapuk berupa pasir lempungan, breksi tufa, dan perselingan tufa dengan pasir. Lembah – lembah secara setempat – setempat dijumpai dengan ciri – ciri lebar dan dangkal. Pola tata guna tanahnya beragam, mulai dari kebun, persawahan, sampai berbagai sarana untuk perkotaan, kecuali dibagian Utara kota yang umumnya berupa perumahan dan sebagian kecil masih merupakan tanah kosong, tegalan yang telah gundul.

Satuan geomorfologi pedataran ini dibeberapa tempat menunjukkan lereng yang hampir horizontal dan secara setempat berlekuk genangan, merupakan ciri umum topografinya, antara lain menempati daerah Borong, sebagian kawasan Antang bagian Barat, bagian Timur Perumnas BTP dan bagian Barat Kampus Unhas Tamalanrea. Elevasi rata – rata 5 -10 meter diatas permukaan laut dengan beda tinggi 1,5 meter, mempunyai tempat berupa lekuk atau lekuk yang tampak kurang begitu jelas disaat kemarau, tetapi nampak sebagai daerah genangan air di musim hujan. Batuan penyusun didominasi oleh endapan alluvial yang merupakan campuran antara tufa, pasir, dan pasir lempungan yang telah lapuk dibagian permukaan. Satuan ini sebagian besar merupakan daerah persawahan dan rawa – rawa yang disekelilingnya terdapat pemukiman dengan tingkat kepadatan sedang sampai sangat padat.

Satuan geomorfologi pedataran dan pesisir menempati areal yang cukup luas di bagian Barat Kota Makassar, sebagai pusat kota, dalam kesan umum sebagai daerah pesisir. Elevasi dapat terabaikan namun dapat terlihat disaat musim penghujan dimana sebagian daerah ini telah terendam air. Pedataran ini dibentuk oleh endapan endapan alluvial yang merupakan endapan sungai berupa sirtu (pasir batu) dan endapan pantai yang merupakan hasil pekerjaan gelombang air laut. Sedimen yang terendapkan ini berupa pasir dan sebagian kecil lempung dan lanauan, telah dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan bangunan. Pola tata guna tanahnya bervariasi namun umumnya telah dibangun berupa sarana perkotaan dan perumahan, dan sebagian lagi dimanfaatkan sebagai sarana pembangunan dalam Kawasan Industri (KIMA).

GEOSAINS

Vol. 10. No. 01 2014 - 3

2.2 Stratigrafi

Berdasarkan litologinya, batuan penyusun Kota Makassar terdiri dari 3 (tiga) satuan batuan, yakni : Formasi Camba, Formasi Baturape – Cindako, dan satuan alluvial.

Satuan batuan berumur Miosen Tengah sampai Pliosen menyusun Formasi Camba (Tmc) yang tebalnya mencapai 4.250 m dan menindih tak selaras batuan – batuan yang lebih tua. Formasi Camba, merupakan batuan sedimen laut yang berselingan dengan batuan gunungapi, menyebar dari Utara ke Selatan bagian sebelah Timur Kota Makassar. Satuan batuan ini dapat dijumpai didaerah Kawasan Industri Makassar, lapangan golf Baddoka, Sudiang (Polda), Daya (dekat Jembatan), PLTU (Komplek ID) dan Terminal Panaikang. Batuan Vulkanik Camba merupakan batuan yang terbentuk pada sekuens pengendapanTersier, yaitu berumur Miosen Akhir hingga Pliosen, terdiri dari tufa halus, tufa pasir, dan berselingan dengan lapili, dibeberapa tempat dijumpai breksi vulkanik. Breksi vulkanik terdiri dari pecahan batuan andesit dengan ukuran komponen pasir sampai bongkah, dengan masa dasar tufa halus hingga kasar, tersemen oleh oksida besi dan karbonat. Warna segar kelabu kecokelatan sampai kehitaman, dibeberapa tempat dijumpai fragmen batugamping.

Formasi Baturape – Cindako merupakan batuan dari hasil erupsi gunungapi baik berupa efusif maupun eksplosif. Satuan ini tidak kurang dari 1250 m tebalnya dan berdasarkan posisi stratigrafinya kira – kira berumur Pliosen Akhir. Menyebar dibagian Selatan Kota Makassar dan dapat dijumpai disekitar Perumnas Antang, Diklat Kesehatan dan Bukit Nepo – Nepo. Satuan ini merupakan satuan batuan gunungapi yang berumur Kuarter (Plistosen), yang terdiri dari lelehan lava dan tersisip tufa halus sampai kasar, breksi vulkanik dengan kedudukan lapisan batuan Timur Laut – Barat Daya dengan kemiringan berkisar 120 - 140

3. METODE PENELITIAN

kearah Tenggara. Aliran lava basal tersingkap berwarna abu – abu gelap, kompak dan pada bagian atasnya dijumpai lubang – lubang bekas pelepasan gas. Breksi vulkanik berwarna cokelat kehitaman, terkonsolidasikan, komponen terdiri dari pecahan andesit sampai basal dan batuapung, dan sangat lulus air, bagian permukaan bersifat lepas. Tufa berbutir kasar berwarna putih kekuningan, tersusun dari fragmen

bahan beku, dengan masa dasar gelas, lunak, lulus air. Pelapukan dan batuan gunungapi Baturape – Cindako tampak berupa bahan bersifat lepas, dan terkonsolidasi sangat rendah. Kenampakan penyebaran batuan sedimen vulkanik Kuarter itu mencerminkan kuatnya pengaruh erupsi gunungapi dari bagian Timur, yaitu sebagai sumber induknya (source rock) (Sukamto dan Supriatna, 1982).

2.3. Struktur

Struktur geologi yang menonjol secara regional di daerah penelitian adalah struktur patahan dan struktur kekar. Struktur patahan dapat dijumpai di daerah Buttateanang yang memanjang dari Barat Laut ke Tenggara, berupa patahan mendatar dengan arah sinistral. Patahan lainnya dapat dijumpai di daerah Antang yang memanjang dari arah Barat kea rah Timur, berupa patahan mendatar dengan arah destral. Struktur kekar berupa kekar terbuka dan kekar tertutup, dan dibeberapa tempat dijumpai pula kekar tiang (columnar jointing). Kekar terbuka terdapat pada batuan breksi vulkanik (PLTU), sedangkan kekar tertutup terdapat pada tufa (Bulurokeng Permai), dan kekar tiang terdapat pada batuan beku basal sebagai anggota batuan gunungapi Baturape – Cindako, dapat dijumpai disebelah Selatan Leko Paccing.

Metode yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan metode pengeboran, pengolahan data, dan analisis laboratorium.

Metode Pengeboran Metode pengeboran merupakan metode yang digunakan dalam pembuatan sumur air tanah dalam. Metode ini melalui beberapa tahapan yaitu : 1. Tahap persiapan meliputi Pekerjaan

Mobilisasi, Pekerjaan Persiapan Lokasi : Pembersihan, Pembuatan bak lumpur, Penanaman casing pengaman, Penyetelan (setting) mesin bor beserta menara (tripot), Penyedian air serta pengadukan lumpur bor untuk sirkulasi pemboran.

2. Tahap pengeboran Sistem pemboran yang diterangkan disini adalah menggunakan system bor putar (rotary drilling) dan tekanan bawah (pull down pressure) yang dibarengi dengan

GEOSAINS

Vol. 10. No. 01 2014 - 4

sirkulasi Lumpur bor (mud flush) kedalam lubang bor sampai kedalaman yang dikehendaki, diameter pilot hole biasanya antara 4 sampai dengan 8 inchi, Selain itu juga ditentukan dengan kemampuan atau spesifikasi mesin bor yang digunakan. Hal - hal yang perlu diamati dalam pekerjaan pemboran pilot hole adalah :Kekentalan (viskositas) Lumpur bor & perubahan volume air pengeboran, Kecepatan mata bor dalam menebus lapisan setiap meternya, Pengambilan data pada tiap – tiap kedalaman pengeboran, Contoh gerusan (pecahan) formasi lapisan dalam setiap meternya. Contoh (sample) pecahan formasi lapisan tanah (cutting) dimasukkan dalam plastik kecil atau kotak sample dan masing-masing diberi nomor sesuai dengan kedalamannya. Adapun maksud pengambilan sample cutting adalah sebagai data pendukung hasil geolistrik untuk menentukan posisi kedalaman sumber air (akuifer)

3. Tahap Konstruksi Pipa Casing Dan Saringan (Screen), Pada tahap ini peletakan pipa casing dan saringan (screen) harus sesuai dengan gambar konstruksi yang telah direncanakan. Terutama peletakan konstruksi saringan (screen) harus didasarkan atas hasil interpretasi data geolistrik dan analisa cutting.

4. Tahap Pencucian Dan Pembersihan (Well Development); Tahap pekerjaan pencucian dan pembersihan sumur dalam dilakukan dengan maksud untuk dapat membersihkan dinding zona akuifer dari partikel halus, agar seluruh bukaan pori atau celah akuifer dapat terbuka penuh sehingga air tanah dapat mengalir kedalam lubang saringan (screen) dengan sempurna.

3.2 Pengolahan Data Pengolahan Data diperoleh dari data pengeboran yaitu berupa :Cutting, Analisa Cutting pengeboran merupakan salah satu metode analisa yang dapat membantu interpretasi jenis batuan atau lapisan tanah pada saat pelaksanaan pemboran. Analisa cutting ini dilakukan setiap terjadi perubahan litologi pemboran, dengan melihat warna, ukuran material serta ukuran butir berdasarkan skala wentworth.Kualitas air tanah: Untuk mengetahui kualitas air tanah pada lokasi pengeboran dilakukan

pengambilan conto sampel air untuk keperluan analisis kimia dan biologi. Adapun standar kualitas air minum berdasarkan pada peraturan Menteri Kesehatan No. 416 Tahun 1990 Tentang Persyaratan Kualitas Air bersih.

3.3 Analisis Laboratorium

Analisis laboratorium yang dilakukan dalam

pengolahan data yaitu berupa analisis kimia dan analisis batuan 1. Analisis Kimia dan Mikrobiologi

Analisis ini dilakukan untuk mengetahui kualitas airtanah dari conto/sampel yang diambil dari lapangan yang biasanya diambil pada saat dilakukan uji pemompaan/pumping test, apakah mampu memenuhi kualitas standar penyediaan air bersih atau tidak. 2. Analisis litologi Analisis ini dilakukan untuk mengetahui kondisi susunan secara vertikal dan jenis batuan reservoar pada akuifer (batuan penampung) air tanah di daerah yang dilakukan eksplorasi sumur bor yaitu dengan memperhatikan ukuran butir hasil cutting pengeboran

4. HASIL & PEMBAHASAN

4.1 Analisis Litologi Hasil Pengeboran

Analisis Cutting Kedalaman 0 - 8 meter

Pada kedalaman 0 - 8 meter merupakan soil (lapisan tanah) dengan warna merah kecoklatan, terdiri atas kerikil, kerakal dan pasir.

Analisis Cutting Kedalaman 8 - 15 meter

Pada kedalaman 8 meter (Foto 5.5) batuan penyusunnya berukuran pasir sedang, bentuk butir sub angular – sub rounded warna cutting abu-abu kecoklatan.

Pada kedalaman 11,39 meter (Foto 5.6) batuan penyusunnya berukuran pasir kasar, warna cutting abu-abu kecoklatan, dijumpai banyak fragmen batuan yaitu tufa, bentuk butir sub angular – sub rounded warna air jernih ketika diendapkan.

Analisis Cutting Kedalaman 15 - 30 meter

Pada kedalaman 15 meter (Foto 5.7) batuan penyusunnya berukuran pasir sedang, bentuk

GEOSAINS

Vol. 10. No. 01 2014 - 5

butir sub angular – sub rounded warna cutting abu-abu kehitaman.

Pada kedalaman 29,6 meter (Foto 5.8) batuan penyusunnya berukuran pasir kasar, warna cutting abu-abu kehitaman, pada meteran ke 21 dijumpai pecahan-pecahan cangkang fosil, bentuk butir sub angular – sub rounded.

Analisis Cutting Kedalaman 30 – 37 meter

Pada kedalaman 30 meter (Foto 5.9 ) batuan penyusunnya berukuran lempung, warna cutting abu-abu kehitaman, ada pecahan cangkang, bentuk butir rounded – well rounded.

Analisis Cutting Kedalaman 37 - 41 meter

Pada kedalaman 37 meter (Foto 5.10) batuan penyusunnya berukuran pasir kasar, dijumpai pecahan cangkang, warna cutting abu-abu kehitaman, bentuk butir sub angular – sub rounded

Analisis Cutting Kedalaman 41 – 58,1 meter Pada kedalaman 41 meter (Foto 5.11) batuan penyusunnya berukuran pasir sedang, dijumpai pecahan cangkang dan semakin melimpah pada kedalam ke 45,7 - 47 meter, warna cutting abu-abu, bentuk butir sub angular – sub rounded Pada kedalaman 58,51 (Foto 5.12) batuan penyusunnya berukuran pasir kasar, warna cutting abu-abu, sangat sedikit pecahan cangkang, bentuk butir sub angular – sub rounded Analisis Cutting Kedalaman 58,51 - 68 meter Pada kedalaman 68 meter (Foto 5.13) batuan penyusunnya berukuran lempung, warna cutting abu-abu kehitaman, mineral yang dapat dilihat secara megaskopis adalah biotit dalam jumlah yang cukup banyak, bentuk butir rounded – well rounded. Analisis Cutting Kedalaman 68 - 82,6 meter Pada kedalaman 80,85 meter (Foto 5.14) batuan penyusunnya berukuran pasir sangat kasar, warna cutting abu – abu, tidak dijumpai pecahan cangkang, mineral yang dapat dikenali secara megaskopis adalah biotit, pecahan koral. bentuk butir sub angular – sub rounded. Pada kedalaman 82,1 meter (Foto 5.15) batuan penyusunnya berukuran

pasir sedang, warna cutting abu – abu, bentuk butir sub angular – sub rounded Analisis Cutting Kedalaman 82,6 - 83,5 meter Pada kedalaman 82,6 meter (Foto 5.16) batuan penyusunnya berukuran lempung, warna cutting abu-abu, bentuk butir rounded – well rounded. Analisis Cutting Kedalaman 83,5 - 84,8 meter Pada kedalaman 84,5 meter (Foto 5.17) batuan penyusunnya berukuran pasir halus, warna cutting abu-abu. bentuk butir sub rounded- rounded Analisis Cutting Kedalaman 84,8 - 90,4 meter Pada kedalaman 85,9 meter batuan penyusunnya berukuran lempung, bentuk butir rounded – well rounded banyak dijumpai pecahan cangkang pada meteran ke 85,4 meter dan semakin melimpah pada kedalaman 88,5 meter (Foto 5.18). Analisis Cutting Kedalaman 90,4 – 105 meter Pada kedalaman 90,4 (Foto 5.19) meter batuan penyusunnya berukuran pasir kasar, banyak dijumpai pecahan-pecahan cangkang yang hancur, warna cutting abu-abu putih, bentuk butir sub angular – sub rounded. Pada kedalaman 104 (Foto 5.20) batuan penyusunnya berukuran pasir halus, banyak dijumpai pecahan cangkang yang hancur, warna cutting abu-abu putih, bentuk butir sub rounded - rounded. Analisis Cutting Kedalaman 105 - 120 meter Pada kedalaman 105 m (Foto 5.21) batuan penyusunnya berukuran pasir kasar, banyak dijumpai pecahan-pecahan cangkang, warna cutting abu-abu putih, bentuk butir sub angular – sub rounded. Pada kedalaman 119 m (Foto 5.22) meter batuan penyusunnya berupa pasir halus, warna cutting abu-abu putih, banyak dijumpai pecahan cangkang, bentuk butir sub rounded- rounded. Pada kedalaman 120 m (Foto 5.23) meter batuan penyusunnya berukuran pasir kasar, warna cutting abu – abu putih, banyak

GEOSAINS

Vol. 10. No. 01 2014 - 6

dijumpai pecahan cangkang, bentuk butir sub angular – sub rounded Dari hasil analisis cutting pemboran, dengan melihat ukuran butirnya maka dapat dikelompokkan menurut variasi litologinya sebagai berikut : Kedalaman 0 – 8 meter : Lapisan penutup (soil)

Kedalaman 8 – 11,39 meter : Tufa kasar

Kedalaman 11,39 – 15 meter : Tufa kasar

Kedalaman 15 – 20 meter : Tufa kasar

Kedalaman 20 – 30 meter : Tufa kasar

Kedalaman 30 – 37 meter : Lempung

Kedalaman 37 - 41 meter : Tufa kasar

Kedalaman 41 - 53 meter : Tufa kasar

Kedalaman 53 – 58,1 meter : Tufa kasar

Kedalaman 58,1 – 68 meter : Lempung

Kedalaman 68 – 80 meter : Tufa kasar

Kedalaman 80 – 82,6 meter : Tufa kasar

Kedalaman 82,6 – 83,5 meter : Lempung

Kedalaman 83,5 – 84,8 meter : Tufa halus

Kedalaman 84,8 - 90 meter : Lempung

Kedalaman 90 – 93,3 meter : Tufa kasar

Kedalaman 93,3 - 105 meter : Tufa halus

Kedalaman 105 – 115 meter : Tufa kasar

Kedalaman 115 - 118 meter : Tufa kasar

Kedalaman 118 – 120 meter : Tufa halus

Kedalaman 120 – 125 meter : Tufa kasar

Dari hasil cutting litologi batuan diperkirakan lapisan yang dapat bertindak sebagai lapisan pembawa air tanah ( lapisan aquifer) adalah :

Perselingan antara tufa kasar dan tufa halus kedalaman 68 – 82,6 m potensial kecil

Perselingan antara tufa kasar dan tufa halus kedalaman 37 – 58,1 m potensial besar

Perselingan antara tufa kasar dan tufa halus 90 – 120 m potensi sangat besar.

Soil Tufa Kasar

Tufa Halus Lempung

4.2 Pengaruh Ukuran Butir dan Bentuk Butir terhadap lapisan akuifer

Berdasarkan hasil analisis cutting, terlihat bahwa pada kedalaman tertentu memperlihatkan variasi ukuran butir dan bentuk butir yang berbeda. Pada umumnya lapisan yang tersusun atas tufa kasar memiliki ukuran butir pasir sangat kasar hingga pasir sedang dengan bentuk butir pada umumnya berbentuk sub angular – subrounded. Lapisan yang tersusun atas tufa halus pada umumnya memiliki ukuran butir pasir halus dengan bentuk butir pada umumnya berbentuk subrounded – rounded. Sedangkan lapisan yang tersusun atas lempung memiliki ukuran butir lempung dengan bentuk butir rounded – well rounded. Hal tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut :

tufa

tufa

lempung

GEOSAINS

Vol. 10. No. 01 2014 - 7

Lapisan yang tersusun atas tufa kasar, memiliki kemampuan untuk menyimpan air lebih baik karena memiliki ruang untuk menyimpan dan meloloskan air lebih besar yang dipengaruhi oleh hubungan antar butir dan bentuk butir penyusun lapisan ini. Lapisan yang tersusun atas tersusun atas tufa halus, kemampuan untuk menyimpan dan meloloskan air kurang baik, dan lapisan yang tersusun atas lempung sulit untuk menyimpan dan meloloskan air karena ukuran butir dan bentuk butir yang relatif seragam. Fakta ini memperlihatkan bahwa lapisan yang paling baik untuk menjadi lapisan akuifer adalah lapisan yang tersusun atas tufa kasar. Hal tersebut diatas, juga didukung oleh hasil analisa geolistrik oleh peneliti sebelumnya.

4.3 Analisis Lapisan Batuan Penyusun Akuifer Pada Pengukuran Geolistrik

Berdasarkan hasil geolistrik tersebut terlihat bahwa pengukuran geolistrik di sebelah Timurlaut Fakultas hukum lapisan akuifer terdapat pada kedalaman 98 – 120 meter dan pada pengukuran geolistrik di sebelah Barat Baruga A. P. Pettarani lapisan akuifer terdapat pada kedalaman 96 – 120 meter yang ditunjukkan dengan warna biru. Nilai resistivitas yang ditunjukkan memperlihatkan bahwa lapisan tersebut nilai resistivitasnya rendah sehingga bisa diasumsikan bahwa resistivitas yang rendah menunjukkan kepadatan batuan yang tidak terlalu padat dalam artian batuan tersebut memiliki ruang yang kosong atau rongga/pori sehingga daya hantar listrik batuan tersebut rendah, berbeda dengan lapisan yang tidak mengandung air nilai resistivitasnya tinggi karena batuan atau lapisan tersebut cukup padat sehingga daya hantar listriknya cepat dibanding dengan yang memiliki rongga. Rongga atau pori inilah yang terisi oleh air sehingga lapisan yang memiliki nilai resistivitas rendah memiliki kemampuan menyimpan air lebih besar. Jika disesuaikan dengan hasil cuting pada kedalaman tersebut terlihat bahwa kedalaman tersebut dominan disusun oleh tufa kasar yang merupakan lapisan yang bertindak sebagai lapisan akuifer. Jadi berdasarkan hasil tersebut penempatan pipa saringan pada konstruksi sumur bor lebih akurat dengan adanya kombinasi data geolistrik sebelumnya dengan hasil cutting.

Penampang geolistrik pada sebelah Barat Baruga A.P.Pettarani

4.4 Konstruksi Sumur Bor

Berdasarkan hasil uraian cutting pemboran dan analisis litologi maka dapat diketahui lapisan yang mudah dilalui air tanah adalah lapisan permeable seperti pada lapisan yang terdapat pada tufa kasar.

Dari hasil analisis cutting pemboran, kondisi besar butir lapisan pembawa air (lapisan aquifer) dan litologi batuan, maka sumur bor di Fakultas Ekonomi UNHAS dapat dibuat rencana konstruksi sumur bor sebagai berikut :

1. Konstruksi Saringan

Saringan merupakan tempat masuknya air pada lubang bor yang digunakan untuk menyaring kotoran yang masuk dan menjaga agar air tetap bersih. Konstruksi saringan ini terdapat pada kedalaman 37 – 58,1 m, 68 – 82,6 m, 90 – 93,3 m dan 105 – 118 m yang litologinya terdiri tufa kasar yang memiliki ukuran butir antara pasir sedang – pasir kasar dengan bentuk butir sub angular - subrounded. Pada kedalaman dengan melihat ukuran butir dan bentuk butir, batuannya memiliki lapisan batuan yang mudah

Penampang geolistrik pada sebelah Timur Laut Fakultas Hukum

GEOSAINS

Vol. 10. No. 01 2014 - 8

meloloskan/dilalui air. Lapisan ini disebut lapisan Permeable, sehingga pada kedalaman ini dibuat saringan.

2. Konstruksi Tanpa Saringan

Terdapat pada kedalaman 8 – 37 m, 58,1 – 68 m, 82,6 – 90 m, 93,3 – 105 m dan 118 – 120 meter yang litologinya terdiri atas tufa halus juga terdapat sisipan lempung yang memiliki ukuran butir antara lempung – pasir halus. Pada kedalaman ini memiliki lapisan yang kedap air (aquiclude) yang hanya menyimpan air tetapi tidak meloloskan/dilalui air yang mana dapat dilihat dari grain size batuannya. Sehingga pada kedalaman ini tidak digunakan saringan.

Adapun rangkaian pembuatan konstruksi sumur bor dan bahan yang digunakan sebagai berikut :

Pipa konstruksi sumur bor sebagai casing menggunakan jenis pipa PVC tipe AW dengan diameter 4 inchi. Panjang setiap 1 batang pipa jenis PVC yang digunakan adalah 4 meter. Jumlah pipa yang digunakan adalah 31 buah.

Pipa PVC dengan diameter 4 inchi merk wavin digunakan sebagai pipa casing dalam konstruksi sumur bor.

Pipa Jambang berupa pipa casing dan pipa saringan (screen) dengan diameter 4 inchi dipasang mulai dari kedalaman 125 m sampai pada kedalaman 10 meter setelah itu dilakukan penyambungan dengan menggunakan pipa PVC ukuran (5 inchi sbagai pipa jambang) hingga permukaan tanah. Pipa saringan (screen) dipasang mulai dari kedalaman 125 - 120 m, 118 – 105 m, 93,3 – 90 m, 82,6 – 68 m, dan 58,1 – 37 meter

Pipa PVC dengan diameter 4 inchi merk wavin dililit dengan serat ijuk yang berfungsi sebagai penyaring pada lapisan aquifer

Yang digunakan sebagai penyaring pada pipa saringan berupa lilitan serat ijuk Pemasangan pompa submercible merek grundfos pada pipa besi berdiameter 1,25 inchi yang merupakan pipa isap saluan air bersih saat dipompa. Panjang setiap pipa isap yang digunakan adalah 6 m Sebelum disambungkan ke pipa, mesin pompa terlebih dahulu dirangkai dengan kabel listrik yang nantinya akan mengalirkan arus sebagai sumber energi untuk menjalankan pompa.

5. Pompa yang telah dihubungkan dengan kabel listrik dan telah disambungkan ke pipa besi kemudian dimasukkan kedalam lubang bor dan disambungkan lagi dengan pipa besi berikutnya dengan diameter yang sama hingga kedalaman 120 m

6. Dari permukaan tanah sampai kedalaman 10 meter antara pipa konstruksi dengan lubang bor dilakukan pengecoran untuk mencegah merembesnya air permukaan ke dalam sumur bor

Pipa besi sebagai saluran air bersih pada saat dipompa, diameter 1,25 inchi dengan panjang 6 meter

GEOSAINS

Vol. 10. No. 01 2014 - 9

mesin pompa submersible merek “Grundfos” dengan panjang 95,5 cm yang akan diletakkan pada kedalaman 120 m.

7. Antara pipa konstruksi dengan lubang bor pada sumur tersebut diberikan lapisan ”gravel pack” (kerikil) sebagai lapisan saringan air dan di bagian atas atau permukaan sumur bor di daerah ini dibuat appron/bantalan sumur dari cor beton.

mesin pompa submersible merek “Grundfos” dihubungkan dengan kabel listrik dan disambungkan dengan pipa besi.

3. Bantalan Sumur Bor Bantalan sumur bor merupakan lapisan atas penutup pada konstruksi sumur bor yang digunakan untuk menyambungkan pipa ke mesin pompa yang ditarik ke penampungan.

4. Grouting Grouting adalah suatu lapisan buatan (berupa lapisan semen) yang berfungsi untuk menahan konstruksi lubang bor. Grouting ini digunakan untuk penguat (tumpuan) konstruksi sumur bor dan untuk menutup (mencegah) masuknya air permukaan (air atas) kedalam pipa casing melalui saringan. Panjang dari grouting ini 10 meter.

4.5 Pembersihan Sumur Bor

Tahap Pekerjaan Pembersihan Sumur di daerah ini pada dasarnya dilakukan pertama-tama sebelum konstruksi sumur dibuat yaitu saat setelah pemboran selesai dilakukan, yaitu membersihkan air bilasan dan lumpur pemboran yang tertinggal dalam sumur dengan secara kontinu mengganti air bilasan di bak sirkulasi dengan air bersih dan mensirkulasi dengan air yang di dalam sumur. Setelah agak jernih kemudian stan bor diangkat dan dikeluarkan dari sumur bor.

Secara umum tahap pembersihan sumur bor sebelum konstruksi dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Sirkulasi air pembilas dengan air yang bersih untuk menguras lumpur bor yang terendapkan dan menempel pada dinding sumur bor.

2. Menyemprot dinding sumur bor dari permukaan sampai pada kedalaman 125 meter lewat pipa secara bertahap dari permukaan sampai kedalaman dasar.

3. Tetap menyemprotkan air bersih dari dasar hingga kepermukaan sambil mengangkat pipa semprot dari dalam sumur bor.

Sedangkan tahapan pembersihan sumur bor setalah dilakukan konstruksi sumur bor secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Menyemprot dinding sumur bor dari permukaan sampai pada kedalaman 125 meter lewat pipa secara bertahap dari permukaan sampai kedalaman dasar.

2. Tetap menyemprotkan air bersih dari dasar hingga kepermukaan sambil mengangkat pipa semprot dari dalam sumur bor.

3. Melakukan pemompaan secara kontinyu untuk menguras air yang berada dalam sumur bor sampai air yang sudah keluar sudah jernih dan tidak mempunyai bau atau rasa.

Setelah sumur bor dinyatakan bersih dan bisa dikonsumsi maka selanjutnya dilakukan test pengujian debit dan kemampuan sumur bor di daerah ini.

GEOSAINS

Vol. 10. No. 01 2014 - 10

4.6 Uji Pemompaan (Pumping Test)

Uji pemompaan (Pumping test) merupakan salah satu cara untuk mengetahui debit air dari sumur bor saat pompa dijalankan. secara umum pelaksanaan kegiatan ini menggunakan peralatan antara lain : pompa submercible, kabel listrik, wadah/ember dengan volume tampung 20 liter.

Muka air tanah pada sumur bor sebelum pompa dijalankan adalah 32 meter dari

permukaan tanah. Uji pemompaan yang dilaksanakan pada sumur bor di lokasi ini dimulai dengan menjalankan mesin pompa submersible, melalui pipa isap air yang keluar kemudian ditadah dengan ember kapasitas 20 liter sambil stopwatch dijalankan. Pengukuran dilakukan sebanyak 4 kali saat pompa mulai dijalankan. Pompa dijalankan selama 1 jam (60 menit). Pengukuran dilakukan setip 15 menit saat pompa dinyalakan. Sehingga diperoleh data sebagai berikut :

Debit total aliran air dari pemompaan sumur bor dapat dirata – ratakan dengan menjumlahkan debit air pengukuran I, II, III dan IV dibagi jumlah tahap pengukuran :

Q total = 1,05 L/detik + 1,08 L/detik + 1,07 L/detik + 1,07 L/detik

= 1,067 L/detik atau 0,001 m

3/detik

Dalam 24 jam pemompaan, kuantitas air yang dapat diperoleh yaitu : 0,001 m3/detik x 3600 detik x 24 jam = 86,48 m3

4.7 Kualitas Air Tanah

Sesuai dengan hasil analisis parameter kimia yang diperoleh conto air pada daerah penelitian yang disebandingkan dengan standar yang dikeluarkan oleh Peraturan Menteri Kesehatan No.492/Menkes/PER/IV/2010 dan 416/MENKES /PER/IX/ 1990, maka diperoleh data kandungan unsur – unsur dan total koliform pada air tanah memenuhi standar kualitas air bersih yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri Kesehatan.

/ hari.

Penurunan muka air tanah pada sumur setelah dipompa selama 24 jam mencapai 112 meter maka kita bisa berasumsi kemampuan debit sumur tidak dapat ditingkatkan lagi ke debit yang lebih besar karena dapat mengakibatkan kuantitas air yang ada pada sumur tidak memenuhi kemampuan pompa.

Kegiatan uji pemompaan ini dilaksanakan dilokasi sumur bor sebelum dimasukkan pada bak reservoar. Setelah pemompaan dilakukan selama satu minggu maka contoh air diambil untuk dianalisa kualitas air tanah sumur bor.

Waktu/ Jmlh tertampung

PENGUKURAN

I PENGUKURAN II PENGUKURAN III

PENGUKURAN

IV

20 LITER

18,52 detik 18,26 detik 18,49 detik 18,32 detik

18,53 detik 18,57 detik 19,03 detik 19,05 detik

19,72 detik 18,46 detik 18,37 detik 18,58 detik

4

GEOSAINS

Vol. 10. No. 01 2014 - 11

5. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dari pelaksanaan pengeboran air tanah di lokasi Fak. Ekonomi UNHAS dapat disimpulkan sebagai berikut :

Dari pengamatan hasil cutting di lapangan, yang menjadi lapisan akuifer dari sumur bor adalah pada kedalaman 37 – 58,1 meter, 70 – 80 meter, 115 – 118 meter dan pada kedalaman 120 – 125 meter yang disusun oleh tufa kasar dengan porositas yang baik untuk menyimpan dan meloloskan air. Berdasarkan dari analisis cutting pemboran, kondisi besar butir lapisan pembawa air (lapisan aquifer) dan litologi batuan, maka sumur bor di Fak. Ekonomi UNHAS dapat dibuat rencana konstruksi sumur bor dengan bagian- bagiannya sebagai berikut :

1. konstruksi dengan saringan pada kedalaman 37 – 58,1 m, 70 – 80 m, 90 – 93,3 m, 105 – 118 m dan 120 -125 m dengan litologi berupa tufa kasar.

2. Konstruksi Tanpa Saringan terdapat pada kedalaman 0 – 37meter, 58,1 – 68 meter, 82,6 – 90 meter, 93,3 – 105 meter dan 118 – 120 meter yang litologinya terdiri atas tufa halus dan lempung.

3. Grouting, Grouting adalah suatu lapisan buatan (berupa lapisan semen) yang berfungsi untuk menahan konstruksi lubang bor. Panjang dari grouting ini 10 meter.

4. Bantalan Sumur Bor, Bantalan sumur bor merupakan bagian atas penutup pada konstruksi sumur bor yang digunakan untuk menyambungkan pipa ke mesin pompa yang ditarik ke penampungan.

5. Penurunan muka air tanah pada sumur setelah dipompa selama 24 jam mencapai 112 meter.

6. Berdasarkan hasil Analis Air tanah pada Laboratorium Oseanografi Kimia Jurusan Ilmu Kelautan maka hasil analisa kimia dan biologi masih memenuhi syarat sebagai air bersih dengan mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan No.416/1990 tentang air bersih .

5.2 Saran

1. Mengingat dalam upaya pengadaan sarana air bersih melalui pemboran air tanah dalam membutuhkan biaya yang cukup tinggi, maka perlu diperhatikan perawatan dan pemeliharaan peralatan sumur bor khususnya pada mesin pompa secara berkala.

2. Pada daerah di sekitar sumur bor perlu dibuatkan beberapa sumur resapan sehingga suplay air ke dalam lapisan akuifer seimbang dengan kuantitas air yang dikeluarkan dari sumur bor.

3. Pemeriksaan terhadap unsur-unsur kimia dan mikrobiologi dari air tanah perlu dilakukan secara berkala untuk mengantisipasi bahaya yang timbul jika terjadi pencemaran terhadap air tanah.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan lancar. Secara khusus penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Ir. M. Fauzi Arifin, MSi. Dan Bapak Ir. Jamal Raur Husein, MT. selaku pembimbing skripsi dan kedua orang tuaku tercinta atas segala bantuannya selama ini.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Standarisasi Nasional, 2006. Cara uji mikrobiologi-Bagian 1: Penentuan coliform dan Escherichia coli pada produk perikanan. SNI 01-2332.1-2006.

Baharun, Herlina. 2012. Studi Lingkungan Pengendapan Batuan Penyusun Akuifer Daerah Tamalanrea Kota Makassar. Universitas Hasanuddin; Makassar.

GEOSAINS

Vol. 10. No. 01 2014 - 12

Bakosurtanal, 1991, Peta Rupa Bumi Lembar Ujung Pandang nomor 2010-54, Cibinong, Bogor.

Boogs sam, 1987, Principles of Sedimentology and Stratigraphy, Meril Publishing Company A bell and Howell Company Colombus, Melbourne

Departemen Kesehatan (1990). Peraturan Menteri Kesehatan No.416/MENKES/PER/IX/1990 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air. Jakarta

Halliday, David, 1991 “Fundamentals of Physics” 6th

Kumar, 1979, Kualitas air tanah,

Edition. John Wiley & Sons, Inc.

Irham M, dkk, 2006. Pemetaan Sebaran Air Tanah Asin pada Akuifer dalam Wilayah Semarang Bawah. FMIPA UNDIP. Semarang

Kementerian Energi & SDM, 2000. Pedoman Teknis Pengawasan Pelaksanaan Konstruksi Sumur Produksi Air Bawah Tanah; Jakarta.

Koesoemadinata, 1981, Prinsip – Prinsip Sedimentasi, Departemen Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung, Bandung.

http://google.com, (diakses : 10 April 2013)

Mainu, Meylani, 2012. Analisis Urutan Pengendapan Sedimen Berdasarkan Analisis Cutting (Studi Kasus Kampus Unhas Tamalanrea) Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan. Universitas Hasanuddin; Makassar

Mualimin & Irham, 2004. Inversi Impedansi Akustik & Seismik 3D untuk estimasi Porositas Batuan. Geofisika FMIPA. Universitas Diponegoro; Semarang

Santoso, urip. 2009. Pengaruh Kadar Klorida pada Air Sumur. Jurnal Lingkungan Hidup. http//: uwitiyangyuyo. wordpress. com

Suharyadi,1984, Geohidrologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia

Sukamto, Rab., S. Supriatna, 1982, Geologi Lembar Ujungpandang, Benteng, dan Sinjai, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.

Suyanta. 2012. Pengolahan Air Sumur untuk Bahan Baku air minum. http//: staff. uny. ac. id

Suyono, 1983, Zona Akuifer, http://google.com, (diakses : 8 April 2013).

Takeda dan Sosradarsono, 1993, Siklus Hidrologi, http://google.com, (diakses : 8 April 2013).

Todd, 1995, Kondisi akuifer secara ideal, http://google.com, (diakses : 8 April 2013)

Todd, David.Keith, 1976, “Groundwater Hydrology”.2nd

,2013, Hidrogeologi Umum, Konstruksi Sumur Bor ,http://google.com, (diakses : 6 april 2013)

Edition. New York:

Jhon Wiley & Sons)

Utaya, Sugeng. 1990. Pengantar Hidrogeologi : Konsep Dasar Hidrologi. Universitas Negeri Malang.

GEOSAINS

Vol. 10. No. 01 2014 - 13

lampiran :

GEOSAINS

Vol. 10. No. 01 2014 - 14

GEOSAINS

Vol. 10. No. 01 2014 - 15

KARAKTERISTIK IGNIMBRIT DAERAH BULU KUNYI KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG PROVINSI SULAWESI SELATAN

Aladin*, Kaharuddin MS*, Ulva Ria Irfan*

*) Teknik Geologi Universitas Hasanuddin

Abstrack: Administratively, the research area belongs to Bulu Kunyi region, District of Wattangpulu, Sidenreng Rappang Regency, South Sulawesi. Geographically, it is located at 119o43'57" - 119o44'47" East Longitude and 3o55'8" - 3o55'38" South Latitude on Pinrang topographic map quadrangle number 2012-31 issued by Bakosurtanal. The research aims to determine the physical characteristics of the ignimbrite rocks. Based on microscopic and megascopis observations, the Bulu Kunyi area composed by lithology sandstone of Walanae Formation, ignimbrite and trachyte lava dome that is part of the caldera Pangkajene. Physical characteristics of ignimbrite from the research area generally is grayish white, with fragments of igneous component angular shaped - subrounded lapilli size ( 4 mm ) - 15 cm. Microscopic analysis showed that the dominant minerals are biotite, orthoclase and sanidine with special porphyritic texture. Based on mineralogical composition, the characteristic of ignimbrite is trachytic. Ignimbrite rocks in the research area relative spread from West, North, East to South.

Keywords: ignimbrite, trachytic

1. PENDAHULUAN Ignimbrit merupakan campuran antara pumice lapili dan vitric ash yang tidak tersortasi. Pumice merupakan bahan hamburan berwarna terang, berstruktur vesikuler, bersifat gelasan, dan berasal dari magma felsik yang kaya gas yang pada saat dilemparkan ke atas gas-gas tersebut menguap (Alzwar, dkk., 1988).

Kebanyakan ignimbrit komposisinya bersifat riolitik dan dasitik, beberapa juga ada yang bersifat andesitik. Lapili kemungkinan jarang tersebar pada matriks ash, tapi biasanya melimpah dan bahkan beberapa mencapai ukuran bomb.

Batuan piroklastik yang tersingkap di sebelah Selatan daerah Sidenrengrappang, memperlihatkan deretan perbukitan yang merupakan formasi batuan dari hasil erupsi gunungapi berupa tufa, breksi vulkanik dan trakit. Satuan batuan yang berada pada daerah penelitian termasuk dalam formasi batuan Gunungapi Pare-pare (Yuwono, 1990). Batuan piroklastik yang tersingkap pada daerah tersebut mempunyai karakteristik khusus. Karakteristik yang ditemukan pada

singkapan adalah dominan batuapung dengan atau tanpa mengalami pengelasan. Dengan karakteristik yang terdapat pada singkapan tersebut, sehingga peneliti terdahulu memberikan nama singkapan tersebut dengan batuan ignimbrit. Menurut peneliti terdahulu (Kaharuddin, 2012), singkapan ignimbrit pada daerah Bulu Kunyi bersifat trakitik yang mana berbeda dengan singkapan ignimbrit pada Daerah Bulu Batumpara Kecamatan Watang Pulu Kabupaten Sidenreng Rappang Provinsi Sulawesi Selatan yang bersifat riolitik.

Oleh karena itu, penulis tertarik melakukan penelitian terhadap karakteristik fisik batuan ignimbrit pada daerah Bulu Kunyi dalam hubungannya untuk mengetahui arah aliran batuan serta penyebaran ignimbrit. Penulis melakukan penelitian dengan memfokuskan pada batuan ignimbrit yang tersingkap pada daerah Bulu Kunyi tersebut.

Penelitian ini dimaksudkan untuk mengalisa karakteristik batuan ignimbrit pada daerah penelitian. Tujuan dari penelitian ini adalah: Menentukan karakteristik fisik batuan ignimbrit pada daerah penelitian, Menentukan penyebaran batuan ignimbrit

GEOSAINS

Vol. 10. No. 01 2014 - 16

pada daerah penelitian, Mengetahui arah aliran batuan ignimbrit.

Lokasi penelitian secara administratif termasuk dalam wilayah Bulu Kunyi Kecamatan Wattang Pulu Kabupaten Sidenreng Rappang Provinsi Sulawesi Selatan (Gambar. 1), dan secara geografis adalah 03o55’8” LS – 03o55’38” LS dan 119o43’57” BT – 119o44’47” BT.

Daerah penelitian pada peta sekala 1:50.000 yang dikeluarkan oleh Bakosurtanal Cibinong–Bogor, edisi pertama tahun 1991 termasuk dalam Lembar Pinrang dengan nomor lembar 2012-31. Peta 1:50.000 tersebut yang kemudian diperkecil sekalanya menjadi 1:7.500 untuk kemudian dijadikan sebagai peta dasar untuk daerah penelitian.

Daerah penelitian terletak di sebelah Timur Laut dari Kota Makassar dan dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat kurang lebih 4 jam perjalanan untuk mencapai ibukota Sidenreng Rappang.

2. METODE PENELITIAN

Teknik Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode penelitian lapangan dan metode analisis laboratorium.

Metode penelitian lapangan dilakukan dengan melakukan pengambilan data geologi permukaan secara langsung pada daerah penelitian.

Metode analisis laboratorium meliputi pengamatan conto batuan dari masing-masing stasiun pengambilan conto yang telah dipreparasi dalam bentuk sayatan tipis secara petrografi di Laboratorium mineral optik Jurusan Teknik Geologi. Pengamatan secara petrografi dimaksudkan untuk mengetahui karakteristik batuan ignimbrit berdasarkan kandungan mineral yang terdapat pada batuan tersebut.

2. HASIL DAN PEMBAHASAN

Geologi Daerah Penelitian

Geologi daerah penelitian sebagai bahasan dalam penelitian ini meliputi geomorfologi, stratigrafi dan struktur geologi pada daerah penelitian.

Geomorfologi Daerah Penelitian

Daerah penelitian termasuk dalam daerah kaldera Pangkajene. Morfologi pada daerah ini terbentuk oleh aktivitas vulkanisme pada masa lampau, dan terpengaruh oleh Patahan Walanae (tidak terpetakan) serta erosi lanjutan. Dalam Kaharuddin, 2012, klasifikasi bentangalam batuan gunungapi pada daerah kaldera menurut Thornbury (1964) berdasarkan atas genetik berupa pengaruh gaya endogen (vulkanisme) dan eksogen (erosi dan denudasi). Berdasarkan hal tersebut diatas, maka daerah penelitian dapat dibagi dalam 2 (dua) satuan geomorfologi yaitu:

1. Satuan geomorfologi pedataran 2. Satuan geomorfologi perbukitan aliran

lava

Satuan Geomorfologi Pedataran Satuan geomorfologi pedataran menempati sekitar 309,2 m atau sekitar 56,77% dari luas keseluruhan daerah penelitian. Satuan

Gambar 1.1 Peta Tunjuk Daerah Penelitian

X

GEOSAINS

Vol. 10. No. 01 2014 - 17

bentangalam ini tersebar dari arah Utara BaratLaut – Timur dan Tenggara daerah penelitian. Satuan bentang alam ini mempunyai kenampakan relief yang datar dan mempunyai vegetasi yang jarang dengan tataguna lahan yang dimanfaatkan oleh penduduk setempat sebagai lahan pesawahan (Gambar 4.1). Pada daerah penelitian, litologi penyusun satuan geomorfologi ini terdiri dari ignimbrit

Gambar 4.1 Satuan geomorfologi pedataran pada daerah penelitian, difoto ke arah N 70o E.

Satuan Geomorfologi Perbukitan Aliran Lava Satuan geomorfologi perbukitan aliran lava menempati sekitar 272,3 m atau sekitar 43,23% dari luas daerah penelitian. Satuan geomorfologi ini tersebar dari arah BaratLaut – Selatan daerah penelitian. Bentuk relief memperlihatkan perbukitan, terdapat bukit kerucut yang tersusun atas lava dan ignimbrit dan tonjolan atau menara volcanic neck. Proses geomorfologi yang berkembang adalah pelapukan dan denudasi. Pada daerah penelitian, litologi penyusun satuan geomorfologi ini terdiri dari trakit, ignimbrit dan batupasir.

Gambar 4.2 Kenampakan satuan geomorfologi perbukitan aliran lava A dan B pada daerah Bulu Kunyi, volcanic neck (X) difoto ke arah N 54o E (A) dan N 174o E (B).

Stratigrafi Daerah Penelitian

Pengelompokan dan penamaan satuan batuan pada daerah penelitian didasarkan atas litostatigrafi tidak resmi dengan bersendikan pada ciri litologi, dominasi batuan, keseragaman gejala litologi, hubungan stratigrafi antara batuan yang satu dengan batuan yang lain (Sandi Stratigrafi Indonesia, 1996).

Berdasarkan pengelompokan dan penamaan satuan batuan berdasarkan atas litostratigrafi tidak resmi, maka daerah penelitian dibagi atas 3 satuan batuan, dari muda sampai yang tertua terdiri dari:

1. Satuan trakit 2. Satuan ignimbrit 3. Satuan batupasir

Pembahasan dan uraian mengenai urut-urutan stratigrafi pada daerah penelitian dari masing-masing satuan batuan dari tua ke muda meliputi meliputi dasar penamaan, penyebaran dan ketebalan, ciri litologi, lingkungan pembentukan dan umur serta hubungan stratigrafi dengan satuan batuan lainnya.

Satuan batupasir

Batupasir tersingkap dengan baik di sebelah Selatan BaratDaya pada daerah penelitian. Menempati sekitar 50,256 m atau sekitar 12,885% dari keseluruhan luas daerah penelitian. Kenampakan lapangan singkapan batupasir berwarna abu-abu hingga kecoklatan bersifat karbonatan, struktur berlapis (Gambar 4.3) dengan ketebalan perlapisan sekitar 1 – 20 cm, kedudukan N 103o E/52 pada stasiun 5, dan N 132o E/44o

pada stasiun 4. Kedudukan lapisan batuan pada daerah ini mendapat pengaruh dari sesar geser Walanae yang berarah Utara – Selatan.

Gambar 4.3 Singkapan batupasir pada stasiun 5 yang terdapat pada daerah Bulu Kunyi. Difoto dari arah N 65o E

X

GEOSAINS

Vol. 10. No. 01 2014 - 18

Hasil analisis petrografi terhadap batupasir pada stasiun 5 dengan conto sayatan AL/ST5/BPS, Gambar 4.4. Kenampakan sayatan pada nikol sejajar adalah berwarna kuning kecoklatan, dan pada nikol silang berwarna coklat kehitaman, ukuran mineral <0,02 mm – 0,2 mm, tekstur klastik, bentuk mineral anhedral – subhedral, komposisi berupa mineral kuarsa (30%), biotit (10%), mineral lempung (25%), dan mineral kalsit (35%). Nama batuan Calcareous sandstone (Pettijohn, 1987).

Gambar 4.4 Kenampakan mikrofotograf dari batupasir pada contoh sayatan AL/ST5/BPS yang memperlihatkan mineral kuarsa (5K), biotit (4H), mineral lempung (5C), dan mineral kalsit (3L dan 7G). Perbesaran 50X nikol silang.

Penentuan umur Satuan batupasir ini secara relatif ditentukan berdasarkan ciri fisik litologi dan penyebaran geografisnya yang disebandingkan dengan umur batuan secara regional. Berdasarkan kesamaan ciri fisik litologi dan letak geografis yang relatif dekat dengan lokasi penelitian, maka Satuan batupasir ini mempunyai nilai kesebandingan yang sama dengan Satuan Walanae, yang berumur Miosen Atas. Sedangkan berdasarkan komposisi kimia berupa karbonatan, maka diinterpetasikan bahwa batupasir pada daerah penelitian terendapkan di lingkungan laut dangkal (Sukamto, 1982). Hubungan stratigrafi Satuan batupasir ini dengan satuan batuan yang lebih muda di atasnya (Satuan ignimbrit) adalah kontak ketidakselarasan.

Satuan ignimbrit

Penyebaran satuan ini tersingkap pada bagian BaratLaut, sebelah Utara – Timur dan Tenggara daerah penelitian. Menempati sekitar 327,132 m atau sekitar 83,874% dari

keseluruhan luas daerah penelitian. Pengamatan lapangan batuan ignimbrit ini mempunyai kenampakan megaskopis antara lain warna segar putih keabu-abuan, warna lapuk kecoklatan – kehitaman, tekstur piroklastik, sortasi jelek, kemas terbuka, komponen penyusun batuan terdiri atas fragmen berupa batuan beku dengan ukuran yang bervariasi antara 0,5 cm - 15 cm (foto 4.5).

Gambar 4.5 Singkapan ignimbrit yang tersingkap pada daerah Bulu Kunyi, stasiun 1. Difoto ke arah N 3000 E.

Penentuan lingkungan pengendapan dan umur satuan ignimbrit ini ditentukan secara relatif dengan berdasarkan ciri fisik litologi dan penyebaran geografisnya yang disebandingkan dengan umur batuan secara regional.

Berdasarkan kesamaan ciri fisik litologi dan letak geografis yang relatif dekat dengan lokasi penelitian, maka Satuan ignimbrit ini mempunyai nilai kesebandingan yang sama dengan Satuan Batuan Gunungapi Pare-pare (Tppv), yang berumur Miosen Atas – Pliosen dan terendapkan di lingkungan laut dangkal (Sukamto, 1982). Hubungan stratigrafi Satuan ignimbrit ini dengan satuan batuan yang lebih tua di bawahnya (Satuan batupasir) adalah kontak ketidakselarasan sedangkan dengan satuan batuan muda di atasnya (Satuan trakit) adalah kontak lelehan.

Satuan trakit

Satuan ini menempati sekitar 12,637 m atau sekitar 3,240% dari keseluruhan luas daerah penelitian. Satuan trakit membentuk kubah lava dan volcanic neck pada daerah Bulu Kunyi. Pembentukan kubah lava dan volcanic neck merupakan proses akhir dari pada aktivitas erupsi gunungapi di daerah kaldera atau pusat erupsi. Diinterpretasikan bahwa tidak lama setelah peristiwa runtuhnya

GEOSAINS

Vol. 10. No. 01 2014 - 19

kaldera menyusul terjadinya intrusi kecil pada celah-celah retakan batuan sumbat (trakit dan ignimbrit membentuk penerobosan magma menghasilkan volcanic neck dan kubah lava bersifat trakitik.

Batuan trakit menempati daerah perbukitan (kubah) dan volcanic neck daerah Bulu Kunyi yang merupakan bukit kecil di daerah kaldera. Di daerah Bulu Kunyi (Gambar 4.6) merupakan volcanic neck yang tersusun oleh batuan trakit dengan tekstur porfiroafanitik, struktur masif dan sebagian vesicle.

Gambar 4.6 Kenampakan volcanic neck trakit pada Bulu Kunyi pada stasiun 7, difoto ke arah N200oE.

Hasil analisis petrografi terhadap batuan pada stasiun 7 dengan conto sayatan AL/ST7/TR, Gambar 4.7. Kenampakan sayatan pada nikol sejajar adalah berwarna kuning kecoklatan – hitam, dan pada nikol silang berwarna abu-abu kehitaman, tekstur khusus porfiritik, ukuran mineral <0,02 mm – 0,4 mm, bentuk mineral anhedral – subhedral, komposisi berupa mineral ortoklas (10%), biotit (15%) dan massa dasar mikrolit serta massa dasar gelas (75%). Indeks warna 15. Nama batuan Trakit Porfiri (Travis, 1955).

Gambar 4.7 Kenampakan mikrofotograf dari trakit pada conto sayatan AL/ST7/TR yang memperlihatkan mineral biotit (4L, 2H), ortoklas (7G, 3A), massa dasar mikrolit (4M,

6E), serta gelas (1A, 2N, 8G). Perbesaran 50X nikol silang.

Penentuan lingkungan pengendapan dan umur Satuan trakit ini ditentukan secara relatif dengan berdasarkan ciri fisik litologi dan penyebaran geografisnya yang disebandingkan dengan umur batuan secara regional.

Berdasarkan kesamaan ciri fisik litologi dan letak geografis yang relatif dekat dengan lokasi penelitian, maka Satuan trakit ini mempunyai nilai kesebandingan yang sama dengan Satuan Batuan Gunungapi Pare-pare (Tppv), yang berumur Miosen Atas – Pliosen dan terbentuk di daerah yang kaldera (Sukamto, 1982 dalam Kaharuddin, 2012). Hubungan stratigrafi Satuan trakit ini dengan satuan batuan yang lebih tua dibawahnya (Satuan ignimbrit) adalah kontak lelehan.

Struktur Geologi Daerah Penelitian

Keberadaan struktur geologi pada daerah penelitian diindikasikan oleh adanya ciri-ciri primer pada batupasir, serta ciri-ciri sekunder lainya berupa kedudukan batuan yang bervariasi pada batupasir dan ignimbrit yang dipengaruhi oleh kontrol struktur regional dari sesar geser Walanae (tidak terpetakan). Berdasarkan penciri struktur geologi yang dijumpai di lapangan, dapat diketahui bahwa struktur geologi yang berkembang pada daerah penelitian adalah struktur sesar geser Bulu Kunyi. Struktur sesar geser pada daerah penelitian memanjang dari arah Selatan BaratDaya – Barat BaratDaya, (Gambar 4.8).

Gambar 4.8 Kenampakan drag fold pada batupasir di sungai Alekarajae sebagai penciri pada sesar Bulu Kunyi (dextral) difoto ke arah N55oE.

GEOSAINS

Vol. 10. No. 01 2014 - 20

Karakteristik Fisik Batuan Ignimbrit Daerah Bulu Kunyi

Penyebaran Batuan ignimbrit

Daerah penelitian sebagian besar tersusun oleh batuan ignimbrit dengan penyebaran yang cukup luas. Penyebaran satuan ignimbrit tersebar di berbagai titik daerah penelitian. Secara keseluruhan, litologi ini tersingkap baik di sebelah Barat Laut, sebelah Utara – Timur dan Tenggara pada daerah penelitian. Secara umum, semua batuan ignimbrit yang dijumpai pada daerah penelitian memperlihatkan karakteristik yang sama dengan kenampakan dalam keadaan segar berwarna putih keabu-abuan dan dalam keadaan lapuk berwarna kecoklatan – kehitaman, tersusun oleh fragmen batuan beku berupa trakit, bentuk fragmen angular – subrounded, sortasi jelek, kemas terbuka, struktur berlapis. Pengamatan Batuan Ignimbrit pada Daerah Penelitian Pengamatan lapangan dilakukan pada 4 stasiun pengamatan dan 1 stasiun measuring section. Penelitian terfokus pada batuan ignimbrit yang tersingkap dengan baik pada daerah Bulu Kunyi, yang meliputi stasiun 1, 2, 3, 6 dan stasiun MS.

Pengamatan Lapangan

Pengamatan lapangan yang dilakukan pada stasiun 1, 2, 3, 6 dan stasiun measuring section, ignimbrit memperlihatkan warna putih keabu-abuan dalam keadaan segar. Jika lapuk akan memperlihatkan warna kecoklatan – kehitaman. Ignimbrit ini tersusun oleh fragmen litik berupa batuan beku trakit yang berukuran lapili hingga yang berukuran 15 cm, dengan bentuk material angular – subrounded, sortasi jelek, kemas terbuka, komposisi mineral penyusun umumnya berupa biotit, dan feldspar (sanidin dan ortoklas), serta menunjukan adanya kesan berlapis yang disebut dengan layer (sheeting joint) oleh pengaruh diferensiasi dan degassing selama pembekuan aliran lava, sehingga menunjukkan variasi/konsentrasi tertentu membentuk struktur menyerupai perlapisan (perlapisan semu), (Gambar 4.9).

Dalam Kaharuddin, 2012, di daerah kaldera Pangkajene dan sekitarnya tersusun oleh

batuan vulkanik yang bersifat asam beranggotakan basal dan andesit yang kurang silika. Kelompok batuan vulkanik ini mencirikan proses aktivitas magma yang berulang, baik melalui suatu proses erupsi maupun dalam bentuk diferensiasi magma.

Dalam perkembangan aktivitas gunungapi, dikenal sebagai perkembangan berulang (recurrent). Artinya pada saat erupsi, magma yang keluar dari dapur bersifat asam – intermediet, kemudian menyusul magma sisa pada dasar dapur bersifat basa keluar membentuk batuan basal, selanjutnya magma basa pada dapur magma mengalami diferensiasi membentuk magma asam kemudian terjadi erupsi membentuk batuan asam. Kondisi seperti ini biasanya terjadi pada magma kaya gas dan terjadi secara berulang-ulang.

Berakhirnya kegiatan lava basaltik yang membentuk breksi basaltik, maka tampaknya kondisi dapur magma menjadi relatif tenang dan memungkinkan terjadinya diferensiasi membentuk magma asam (trakitik), kemudian menyusul kegiatan efusif lava menghasilkan lelehan lava trakitik disertai dengan sedikit letusan piroklastik bercampur lelehan lava dan membentuk ignimbrit

Gambar 4.9 Singkapan ignimbrit yang terdapat di sekitar daerah Bulu Kunyi dengan kedudukan N 20oE/40o (stasiun 1), N 80oE/50o

(stasiun 2), N 5oE/14o(stasiun 3), dan N 189oE/51o (stasiun 6). Difoto dari arah N 320oE (a), N 60o E (b), N 300o E (c), N 200o E (d) dan N 100oE (e), menunjukan adanya arah perlapisan.

GEOSAINS

Vol. 10. No. 01 2014 - 21

Pada kenampakan lapangan, ignimbrit pada daerah di sekitar Bulu Kunyi lebih dominan tersusun oleh lava trakitik yang berasal dari magma asam dengan kenampakan fisik yang terlihat lebih massif. Hal ini akibat pengaruh letak ignimbrit terhadap sumber erupsi (volcanic neck), dimana ignimbrit pada daerah penelitian dekat dengan volcanic neck sehingga memiliki komposisi yang didominasi oleh lava dan sedikit material piroklastik yang terikat membentuk ignimbrit (Gambar 4.9). Arah aliran fragmen pada kenampakan lapangan ignimbrit relatif berarah N 340o E – N 50o E atau ke arah Utara – TimurLaut menjauhi pusat erupsi (lihat peta pola aliran (lampiran)).

Berdasarkan model mekanisme erupsi ignimbrit (Freud and Schmincke (1985, 1986) dan Cole, et. al., (1993) dalam Pribadi, dkk., (2006), maka ignimbrit pada daerah penelitian terbentuk pada mekanisme B (Gambar 2.5) yaitu terjadi erupsi kaldera yang diawali oleh proses pembongkaran kepundan erupsi dan disertai dengan runtuhan kolom erupsi kemudian meluncur melalui lereng bagian atas gunungapi membentuk arus turbulen, proses ini menghasilkan endapan basesurge (a). Kemudian disusul oleh pengendapan satuan ignimbrit (b), yang merupakan salah satu ciri khas dari sebuah letusan kaldera.

Jika dibandingkan dengan profil vertikal urutan yang umum pada endapan piroklastik (Best, 2003) (Gambar 2.2), maka ignimbrit pada daerah penelitian diinterpretasikan terdapat pada bagian zona simple cooling unit (ignimbrite)/Lithic Clast yang ditandai dengan keterdapatan lithic dalam ignimbrit yaitu berupa batuan beku trakit hal ini juga menandai bahwa ignimbrit pada daerah penelitian terbentuk tidak jauh dari pusat erupsi (Gambar 4.10).

Diinterpretasikan pula bahwa ignimbrit pada daerah penelitian merupakan jenis endapan aliran dan jatuhan. Hal ini dicirikan dengan adanya kedudukan pada batuan, serta dan keterdapatan fragmen berupa trakit yang sebagian tidak beraturan.

Gambar 4.10 Profil vertikal endapan ignimbrit pada daerah Bulu Kunyi (Stasiun MS)

GEOSAINS

Vol. 10. No. 01 2014 - 22

Analisis Petrografi

Hasil analisis petrografis fragmen ignimbrit pada sayatan tipis batuan dengan nomor conto AL/MS1/BWH/FR, AL/MS2/TNG/FR, AL/MS3/TNG/FR, AL/MS4/TNG/FR, AL/ST6/IGM/FR, AL/ST3/IGM/FR, AL/ST2/IGM/FR, AL/MS1/ATS/FR, AL/MS5/ATS/FR, AL/MS5/BWH/FR, AL/ST1/IGM/FR, memperlihatkan kenampakan sayatan pada nikol sejajar adalah berwarna kuning – coklat kehitaman, dan pada nikol silang berwarna abu-abu kehitaman, memiliki tekstur yang terdiri dari kristalinitas hipokristalin karena tersusun oleh kristal dan gelas, tekstur khusus berupa porfiritik, granularitas glomeroporfiritik yaitu memiliki fenokris yang lebih dari satu mineral penyusun (sanidin dan ortoklas), dan relasi inequigranular karena memiliki ukuran kristal yang beragam, dengan ukuran mineral (<0,02 – 2,1) mm, bentuk mineral anhedral – euhedral, tersusun oleh mineral sanidin (5-20%), ortoklas (5-30%), biotit (15-25%), dan massa dasar kristalit (10-20%), mikrolit (20-40%), dan gelas (20-30%) dengan Indeks warna 15-25, nama batuan Trakit Porfiri (Travis, 1955).

Gambar 4.11. Mikrofotograf fragmen trakit pada Ignimbrit dengan komposisi mineral biotit (Bt), sanidin (Sn), ortoklas (Or) dan massa dasar berupa kristalit, mikrolit dan gelas, pada nikol silang perbesaran 50 kali.

Dilihat dari kenampakan petrografi matriks ignimbrit pada stasiun MS1 dan MS5 bagian atas dengan nomor conto AL/MS1/ATS/MAT dan AL/MS5/ATS/MAT, memiliki karakteristik yang berbeda dengan matriks ignimbrit pada stasiun 1 dan 6 dengan nomor conto AL/ST1/IGM/MAT dan AL/ST6/IGM/MAT (Gambar 4.12) dimana

ignimbrit pada stasiun 1 dan 6 tampak lebih massif (welded) dibandingkan ignimbrit pada stasiun MS1 dan MS5 bagian atas yang kurang massif (non welded). Hal ini dikarenakan ignimbrit pada stasiun 1 dan 6 lebih banyak mengandung lava dibandingkan dengan ignimbrit pada stasiun MS1 dan MS5 bagian bawah yang lebih banyak mengandung material-material vulkanik.

Gambar 4.12. Mikrofotograf perbedaan karakteristik fisik matriks Ignimbrit (welded/W dan non welded/NW) pada nikol silang dengan perbesaran 50 kali.

GEOSAINS

Vol. 10. No. 01 2014 - 23

No. Conto Komposisi mineral/material (%)

Struktur batuan Tekstur Tipe

batuan Kelompok Batuan Ortoklas Biotit Sanidin

Massa dasar Gelas Kristalit Mikrolit

AL/MS1/BWH/FR 5 20 - 30 15 40

MA

SSIF

POR

FIR

ITIK

BA

TUA

N B

EKU

IGN

IMB

RIT

TRAKIT PORFIRI (Travis,

1955)

AL/MS2/TNG/FR - 20 5 30 20 25

AL/MS3/TNG/FR - 20 5 20 15 40

AL/MS4/TNG/FR - 15 20 20 15 20

AL/ST6/IGM/FR 15 10 - 20 25 30

AL/ST3/IGM/FR 10 15 - 20 10 35

AL/ST2/IGM/FR - 20 20 20 10 30

AL/MS1/ATS/FR 10 20 - 20 20 30

AL/MS5/BWH/FR 10 15 - 30 15 30

AL/MS5/ATS/FR 30 10 - 20 15 25

AL/ST1/IGM/FR - 25 - 25 15 35

Tabel 4.2 Hasil pengamatan petrografis komposisi matriks pada ignimbrit daerah Bulu Kunyi.

No. Conto

Komposisi mineral/material (%) Struktu

r batuan

Tekstur Tipe batuan

Kelompok Batuan Ortokl

as Bioti

t Sanidi

n

Massa dasar Gelas vulkanik

Rock fragm

ent Gelas

Kristalit

Mikrolit

AL/ MS1/BWH/MA

T 5 15 - - 15 35 30 -

Non welded Piroklas

tik Piroklas

tik Ig

nim

brit

Ignimbrit AL/MS5/BWH/

MAT 10 20 - - - - 70 -

AL/ST1/IGM/MAT 5 20 - 20 5 5 - 45 Welde

d Ignimbrit trakitik

AL/MS5/ATS/MAT 25 - - 75 - -

Massif -

Batuan beku

Trakit

AL/MS1/ATS/MAT 5 20 - 25 20 30 - - Porfiriti

k Trakit porfiri

AL/ST2/IGM/MAT 5 10 - 15 5 5 - 60

Welded

Piroklastik

Piroklastik

Ignimbrit trakitik

AL/ST3/IGM/MAT 5 10 - 10 5 5 - 65

AL/ST6/IGM /MAT 5 15 - 10 5 5 - 60

Tabel 4.1 Hasil pengamatan petrografis komposisi fragm

GEOSAINS

Vol. 10. No. 01 2014 - 24

3. PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengamatan megaskopis dari singkapan yang dijumpai di lapangan dan hasil analisis petrografi dari batuan ignimbrit, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa: karakteristik ignimbrit pada daerah penelitian berwarna putih keabu-abuan dalam keadaan segar, bila lapuk berwarna coklat kehitaman, tersusun atas fragmen litik berupa batuan beku trakit berukuran 0,4 cm – 15 cm, bentuk angular – subrounded, sortasi jelek, kemas terbuka dan terlihat adanya kesan perlapisan (sheeting joint/perlapisan semu). Memiliki struktur massif atau welded yang dijumpai pada fragmen stasiun 1, 2, 3, 6, MS2, MS3, MS4 dan non welded pada matriks stasiun MS1 dan MS5 bagian bawah. Arah

penyebaran ignimbrit di daerah penelitian yaitu pada bagian Barat Laut, Utara, Timur dan Tenggara. Aliran batuan ignimbrit pada daerah penelitian relatif ke arah N 350o E – N 50o E atau ke arah Utara – TimurLaut menjauhi pusat erupsi.

Saran

Pada penelitian selanjutnya, sebaiknya peneliti melakukan penelitian lebih detail untuk mengetahui mekanisme erupsi ignimbrit pada daerah penelitian serta tahapan evolusi pengendapannya.

DAFTAR PUSTAKA

Alzwar. M., Samodra H. dan Tarigan J. I., 1988, Pengantar Dasar Ilmu Gunungapi, Nova, Bandung

Best M.G and Christiansen Eric.H, 2001, “ Igneous Petrology” Department of Geology Brigham Young University, USA, Blackwell Science: 271-275.

Djuri, dkk., 1998, Geologi Lembar Majene dan Bagian Barat Palopo, Sulawesi Selatan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Direktorat Jendral Pertambangan Umum dan Energi, Bandung.

Ekawati, Dia, 2011, Karakteristik Ignimbrit Daerah Watang Pulu dan sekitarnya Kabupaten Sidenreng Rappang Provinsi Sulawesi Selatan, Makassar.

Fisher, R.V. and H-U.Schmincke, 1984, Pyroclastic Rocks, Springer verlag Berlin Heidelberg, New York, Tokyo.

Ikatan Ahli Geologi Indonesia. 1996, Sandi Stratigrafi Indonesia. Bidang Geologi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta, Indonesia.

Kaharuddin, MS, 2012, Studi Karakteristik Kaldera Pangkajene Kabupaten Sidenreng Rappang Sulawesi Selatan, Makssar.

Sukamto, 1982, Geologi Lembar Pangkajene dan Bagian Barat Sulawesi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Direktorat Jendral Pertambangan Umum dan Energi, Bandung.

Pribadi A, dkk., 2006, Mekanisme erupsi ignimbrit Kaldera Meninjau, Sumatera Barat, Jurnal Geologi Indonesia, Volume 2 no 1 Maret 2007.

Thornbury, W.D., 1964, Principles of Geomorphology, John Willey and Sons Inc., New York, London. Travis, R.B., 1955, Classification of Rocks, The Colorado School of Mines. Golden Colorado, USA. p. 1-

12. Williams, H, Turner, F and Gilbert C.M, 1982, Petrography An Introduction to the Study of Rocks in

Thin Section, Second Edition, W.H. Freeman and Company, New York 267-271

Yuwono. S Y, 1990, Produk Volkanik Pare-pare (Sulawesi Selatan), Ikatan Ahli Geologi Indonesia, Bandung.

57

GEOSAINS

Vol. 10. No. 01 2014 - 25

ANALISIS STABILITAS LERENG DAERAH TABBINGJAI (KM 114 +460 M) PROVINSI SULAWESI SELATAN

Intan Chalid*

*) Teknik Geologi Universitas Hasanuddin

Abstrack: Administratively, the study area is located in Tabbingjai, Tombolo Pao District, Gowa Regency, South Sulawesi, at coordinate of 119°59’21,7” East Longitude and 05°12’010 South Latitude. The purpose of this study are to do a geological observation, to measure discontinuity field and and to do soil mechanic test in laboratory. The discontinuity field was analysed by rosset diagram and polar plot using software Dips 5. In addition, slope stability analysis was calculated using software SLIDE in Tabbiingjai (KM 114+460 M) Tombolo Pao District, Gowa Regency, South Sulawesi Province. Discontinuity field and slope stability were analysed by using Bishop Method. Morphology of the studied area is denudational mountain, showing drainage pattern of radial pattern. Based on morphological aspect, the developement stage of the studied area is classified as young to mature stage. Lithology of the studied consists of Pliocene tuff with fault and joints. Slope geometry in the bottom of the road length slope is a 30 meters with 65° slope where as in the upper road length slope is 6,50 meters with 75° and maximum frequency distribution of the scarp is 310°E/60°NE showing dip orientation/discontinuity field in line with slope orientation distribution resulting scarp with 40°NE as slip plane. Slope classification from surface analyses from the rock mass is plane failure with strike of glide plane is N 320°E almost parallel to the strike of slope surface which is N 310°E, slope of the glide plane is 40° NE lower than slope surface field which is 60° NE, but higher that inner share angel which is 31°. Soil type is anorganic clay with high-medium plasticity (OH), plasticity index is 80,27 % and soil properties are cohesive clay. With cohesiveness value of 29,45 kN/m³,unit weight value of 16,93 kN/m³, slope geometry model using Bishop Method showing safety factor value of 1,3 which means the slope is unstable and hence the slide type is slides.

Keywords: landslide, slope, safety factor, discontinuity plane, Bishop

1. PENDAHULUAN

Informasi geologi dan bidang diskontinuitas merupakan input yang sangat dibutuhkan dalam menganalisis kestabilan suatu lereng. Pengumpulan data geologi secara lengkap dan pengambilan sampel geoteknik dapat menginformasikan karakteristik dari material longsoran untuk selanjutnya dilakukan analisis laboratorium (sifat fisik dan uji mekanik), Ketersediaan data ini sangat menunjang penelitian terutama yang berkaitan dengan analisis kestabilan lereng. Menganalisis dan mengevaluasi dari bencana alam yang berhubungan dengan ketidakstabilan lereng, sangat penting untuk mengerti dan memahami proses dan mekanisme daripada gaya penggeraknya (driving the instability). Pergerakan material longsoran dapat berupa jatuhan, gelinciran,

ataupun aliran. Mekanisme yang kompleks dan aktual menghasilkan investigasi dan karakterisik dari suatu lereng. Salah satu daerah yang rawan longsor adalah pada ruas jalan akses ke Gowa – Sinjai (Sulawesi Selatan) dimana pegunungan di Kabupaten Gowa secara garis besar terletak di daerah dengan kemiringan lereng > 55%, material atau batuan pembentuk lerengnya terdiri dari material hasil erupsi Parasit, Gunungapi Lompobattang, dan Gunungapi Baturape Cindako dimana tanahnya merupakan hasil pelapukan (residual soil) batuan tufa yang mana merupakan massa tanah atau batuan yang rentan terhadap longsoran terutama apabila kemiringan lapisan tanah atau batuan searah dengan kemiringan lereng.

GEOSAINS

Vol. 10. No. 01 2014 - 26

2. METODE PENELITIAN

Metode penelitian di daerah longsor terdiri atas tahap riset (research), survey yang meliputi survey lapangan, survey citra, survey peta topografi, dan peta geologi. Selanjutnya untuk tahapan analisis meliputi Desk analysis yang meliputi rosset diagram analysis dan analisis kutub dengan menggunakan software Dips 5, analisis laboratorium mekanika tanah, analisis faktor keamanan lingkaran gelincir dengan memakai cara Bishop, Software ArcGis v.9.3 dalam proses digitasi peta dan software SLIDE untuk menganalisis kestabilan lereng.

2.1 Research

Sebagai bahan pertimbangan dalam melaksanakan suatu penelitian, perlu dilakukan persiapan dengan cara mempelajari data yang telah tersedia. Data yang tersedia dapat berupa peta topografi, peta geologi, peta citra, dan data curah hujan. Informasi lain yang sangat penting adalah memanfaatkan Geografi Informasi Sistem (GIS) dan sangat berguna apabila mempelajari terlebih dahulu laporan-laporan yang telah ada, sehingga diperoleh gambaran umum mengenai gerakan tanah.

Peta topografi, dapat memberikan gambaran mengenai kemiringan lereng, relief, kerapatan sungai, pola aliran, ketinggian, dan bentuk morfologi. Dari peta topografi dapat ditafsirkan juga mengenai tingkat erosi suatu daerah.

Peta geologi, yang tersedia di daerah longsoran dapat memberikan keterangan mengenai keadaan geologi. Keadaan yang perlu dicatat dalam hal ini adalah sebaran batuan baik vertikal maupun lateral, struktur geologi, dan sejarah geologi.

Peta citra, foto udara yang tersedia dapat dibuat penafsirannya dan menghasilkan data untuk menentukan penelitian gerakan tanah. Dari penafsiran tersebut akan diperoleh sebaran jenis batuan, tingkat erosi, struktur geologi, pola pematusa (drainage pattern), tempat gerakan tanah, dan potensinya yang akan membahayakan bangunan. Dengan mengetahui hal tersebut akan diperoleh sasaran yang lebih sempit, sehingga penelitian dapat terencanakan dengan tepat.

2.2. Survey

Survey penelitian longsor merupakan salah satu metode pengumpulan data dalam penelitian yang memerlukan data lapangan selengkap-lengkapnya untuk mendukung hasil penelitian. Survey lapangan ditujukan untuk memperoleh data atau informasi primer yang dilakukan melalui pengamatan, pengukuran dan kondisi geologi di lapangan guna memperoleh data yang valid dalam suatu penelitian.

Survey lapangan terdiri atas pengambilan data topografi dan geomorfologi, data geologi daerah longsor yang meliputi batuan penyusun dan unsur struktur geologi yang ada pada daerah longsor, geometri lereng berdasarkan aspek geologi teknik dan geohidrologi lereng.

Cara menghitung intensitas bidang diskontinu, yaitu :

1. Menghitung jumlah kekar dalam luas 1 m². daerah yang diukur dapat berbentuk bujur sangkar

2. Jumlah kekar dalam bentangan 1 meter. Dalam hal ini kekar yang dihitung adalah kekar yang memotong pita ukur dengan panjang 1 meter. Misalnya dalam bentangan pita 1 meter dijumpai 15 kekar, maka intensitas kekarnya adalah 15

3. Dengan cara memproyeksikan bidang diskontinuitas ke dalam rosset diagram dan proyeksi kutub

2.3 Rosset Diagram Analysis dan Proyeksi Kutub

Desk analysis meliputi rosset diagram analysis dan proyeksi kutub. Rosset diagram analysis digambarkan dalam lingkaran penuh atau setengah lingkaran dengan jaring-jaring sebagai fungsi dari kerapatan dan busur lingkaran sebagai arahnya (Gambar 3.1).

Analisis proyeksi kutub dikenal juga dengan istilah proyeksi streografi. streografi dengan menggunakan jaring stereografi meredional (Wulf Net) menggambarkan proyeksi streografi dari beberapa kemiringan bidang pada arah Utara - Selatan. Untuk itu pada penggambaran streogram bidangnya, selalu diletakkan pada arah Utara - Selatan, dan kemiringannya diukur pada arah Barat-Timur.

GEOSAINS

Vol. 10. No. 01 2014 - 27

Analisis streografi dengan menggunakan jaring proyeksi sama luas (Schmidt Net) dimana suatu bidang dengan jurus Utara - Selatan dan kemiringan ke arah Timur akan digambarkan sebagai titik pada garis pusat lingkaran ke arah barat. Harga kemiringan lingkaran besar makin membesar ke tepi lingkaran. Suatu garis dengan penunjaman ke arah Utara akan diproyeksikan pada garis utara ke pusat lingkaran. Harga penunjaman makin membesar ke arah pusat lingkaran.

2.4 Analisis Lingkaran gelincir dengan memakai cara Bishop

Cara analisa yang dibuat oleh A.W. Bishop (1955) menggunakan cara elemen dimana gaya yang bekerja pada tiap elemen. Persyaratan keseimbangan diterapkan pada elemen yang membentuk lereng tersebut.

Kondisi geometri lereng diolah dengan menggunakan software Slide untuk menentukan bagian lereng yang rawan longsor dan mengetahui nilai faktor keamanan.

2.5 Software

Peta topografi diambil dari citra SRTM, seluruh peta yang digunakan dalam skripsi ini dikerjakan dengan menggunakan program ArcGis v 9.3, untuk pengolahan bidang diskontinuitas menggunakan software Dips 5 dan untuk pemodelan geometri lereng dengan memakai cara Bishop didasarkan pada analisis kemantapan lereng dengan menggunakan software Slide, Sofware ini digunakan untuk menghitung faktor keamanan lereng.

2.6 Analisis Laboratorium

Analisis physic properties material dan uji mekanik. Parameter geoteknik yang dilakukan seperti pengujian tanah di laboratorium (Tabel 1) sedangkan pengujian tanah di laboratorium bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengetahui sifat teknisnya, dengan menggunakan acuan yang sudah baku yakni Unified Soil Classification System (USCS).

Tabel 1. Parameter Geoteknik

3. HASIL PENELITIAN

3.1 Bentang alam pegunungan denudasional

Bentang alam ini menempati Daerah Tabbingjai yang berdasarkan topografinya memiliki ketinggian sekitar 600 – 800 meter di atas permukaan laut, sedangkan berdasarkan hasil pengolahan data morfometri dengan persentase sudut lereng sekitar (14 – 20)% dengan beda tinggi sekitar 200 meter, sehingga morfologi lereng dapat digolongkan ke dalam bentuk terjal. Dengan bentuk umum puncak relatif tumpul - runcing dengan lereng yang terjal dan lembah berbentuk “V” sempit, dengan demikian maka bentang alam ini termasuk ke dalam relief “Pegunungan”

Berdasarkan pengamatan secara langsung di lapangan serta interpretasi peta geologi dengan melihat pola pengaliran sungai, maka aliran-aliran sungainya membentuk pola radial dimana hulunya yakni berasal dari Gunung Bawakaraeng dan Gunung Lompobattang yang menyebar secara centrifugal ke bagian barat, timur, dan selatan (Lihat Peta Geologi). Kemiringan lereng pada pada bagian hulu sungai adalah 56 – 140 % dan bermuara di Sungai Tanggara dengan persentase sudut lereng 14 – 20 %. Sungai yang mengalir pada bentang alam ini yaitu sungai Tanggara. Sungai ini mempunyai stadia dewasa yang dicirikan oleh adanya dataran banjir (Flood Plain) yang luas dan endapan tepi sungai dengan bentuk lembah sungai yang menyerupai huruf “V”.

GEOSAINS

Vol. 10. No. 01 2014 - 28

Pelapukan yang terjadi pada morfologi lereng berupa pelapukan kimia dan fisik dimana jelas terlihat dari hasil material longsoran yaitu yang didomininasi oleh pelapukan kimia, Dimana pelapukan kimia dan fisik yang bekerja bersama-sama menghasilkan rekahan pada permukaan lereng dan soil jenis residual soil yang dicirikan oleh perubahan warna batuan yang mulai tampak jelas berwarna abu-abu menjadi abu-abuan kecokelatan, terjadi pada hampir sebagian besar permukaan bidang rekahan yakni dari tufa halus yang mengalami pelapukan kimia menjadi lempung halus lanauan. Pada retakan batuan masih terlihat warna asli batuannya dan perubahan warna yang terjadi secara umum masih kurang dari setengah tebal retakan, sehingga determinasi batuan asal masih dapat dilakukan dengan baik.

Berdasarkan uraian karakteristik morfogenesa pada daerah penelitian, maka asal pembentukan genetik pada morfologi pegunungan ini berupa proses denudasional. Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa stadia daerah penelitian adalah muda menjelang dewasa (Thornbury 1969).

3.2 Litologi daerah penelitian

Berdasarkan pada hasil penelitian Sukamto dan Supriatna (1982) daerah penelitian termasuk ke dalam wilayah Gunungapi Lompobattang yang disusun oleh batuan vulkanik yang relatif masih muda yang terdiri atas Batuan Vulkanik Baturape-Cindako (Tpbv) berumur Pliosen. Batuan penyusun daerah penelitian adalah batuan Vulkanik Lompobattang dengan satuan batuan berupa tufa.

Satuan ini umumnya tersingkap pada tebing-tebing jalan dalam bentuk perlapisan. Secara megaskopis, maka batuan dasar terdiri dari tufa halus yang didasarkan atas pengamatan geologi teknik, berwarna abu-abu, sangat lapuk. tersemen sedang-lemah, tanah pelapukan berupa lempung halus lanauan dengan ukuran butiran lebih kecil dari 0,002 mm sampai 0,06 mm. Bagian lempung konsistensinya lunak, plastisitas sedang-tinggi dengan warna kecokelatan. Dinamakan tufa halus karena berasal dari material vulkanik berukuran debu. Batuan ini umumnya dijumpai sangat lapuk, dan mudah lepas.

3.3 Struktur patahan

Struktur patahan yang dijumpai di lapangan terindikasi dengan ditemukannya zona-zona lemah (weakness zones) yaitu tebing (Scarp) yang juga merupakan titik longsor daerah penelitian, hasil interpretasi foto udara yang menunjukkan pelurusan topografi di daerah penelitian, dan bidang patahan, maka struktur patahan yang ada di daerah penelitian merupakan sesar naik. 3.4 Kekar

Hasil pengukuran scanline bidang diskontunuitas pada litologi tufa di stasiun titik longsor dapat disimpulkan bahwa kekar yang ada di titik longsor merupakan kekar gerus (shear joint) yang dijumpai dengan ciri-ciri yaitu permukaan bidang rekahan yang relatif rata dan lurus, rapat dan tidak dijumpai adanya pengisian dan pada umumnya bidang rekahan saling berpotongan antara satu dengan yang lain dimana pengamatan spasi kekar 2 cm hingga 10 cm dan bukaan kekar 0,3 cm hingga 0,6 cm. 3.5 Geometri Lereng Titik Longsor

Keadaan geometri lereng (Gambar 1) yaitu Lereng di bawah badan jalan cukup terjal yakni merupakan lembah dengan panjang kemiringan mencapai sekitar 30 meter berbentuk curam (slope sekitar 65°), sedang di atas badan jalan juga merupakan lereng dengan panjang kemiringan 6,50 meter (slope 75°), dijumpai juga adanya crest pada bagian atas lereng yang merupakan indikasi longsor, badan jalan merupakan aspal dengan kondisi sedang yang berfungsi baik (dengan slope 0°) namun, pada bahu jalan terjadi sedikit kerusakan berupa retak-retak di jalan poros Malino-Manipi.

Gambar 1. Pengukuran geometri lereng dari scarp sampai pada lembah yang ada di bawah badan jalan km 114 +460 M.

Tinggi

Crest Bidang Diskontinuitas

Jalan

GEOSAINS

Vol. 10. No. 01 2014 - 29

3.6 Analisis Bidang Diskontinuitas

Berdasarkan hasil pengukuran Analisis permukaan dengan menggunakan Dips 5 yang memanfaatkan data dari pengukuran bidang diskontinuitas dengan menggunakan garis bentangan/ scanline (Gambar 2 dan gambar 3) menunjukkan distribusi frekuensi maksimal kedudukan bidang diskontinuitas atau kedudukan scarp N 310°E/60°NE maka arah orientasi dip/ kemiringan bidang diskontinuitas searah dengan distribusi arah orientasi kemiringan lereng sehingga akan menghasilkan bidang patahan yang bertindak sebagai bidang gelincir yakni 40°NE

Gambar 2. Rosset diagram yang menunjukkan distribusi frekuensi sebaran maksimal kedudukan bidang scarp N 310°E/ 60°NE dengan arah orientasi kemiringan yakni 40°NE pada bidang diskontinuitas

Gambar 3. Distribusi plot kutub yang menunjukkan distribusi frekuensi sebaran maksimal kedudukan bidang scarp N 310°E/60°NE dengan arah orientasi kemiringan yakni 40°NE pada bidang diskontinuitas.

Menurut Hoek & Bray, 1981, jenis longsoran dari analisis permukaan pada massa batuan merupakan longsoran bidang (plane failure) dengan strike bidang luncur N 320°E mendekati parallel terhadap strike bidang

permukaan lereng yakni N 310°E, kemiringan bidang luncur 40° NE lebih kecil daripada kemiringan bidang permukaan lereng 60° NE, kemiringan bidang luncur 40°NE lebih besar daripada sudut geser dalam 31°, dan juga terdapat bidang bebas yang merupakan batas lateral dari massa batuan atau tanah yang longsor

3.7 Pengujian Laboratorium

Pengujian laboratorium yang dilakukan dalam pengolahan data adalah phisic properties material dan mekanik yaitu berat jenis, berat isi, batas-batas atterberg, analisa saringan dan hidrometer, dan kuat geser.

3.8 Hasil Pengujian Laboratorium

Hasil penyelidikan lapangan di titik longsor pada Km 114 +460 M diperoleh data yang telah dikorelasikan dengan hasil uji laboratorium. Dari sampel pada titik ini diperoleh jenis tanah adalah lempung anorganik dengan plastisitas sedang-tinggi (OH), nilai IP (Indeks Plastisitas) adalah 80,27 % sehingga diketahui bahwa sifat plastisnya adalah plastisitas tinggi dengan macam tanah berupa lempung dan kohesif. Dengan nilai kohesi 29,45 kN/m³, sudut geser dalam adalah 31°dan berat isi 16,93 kN/m³.

3.9 Pemodelan Geometri Lereng dengan Metode Bishop

Analisis kestabilan lereng yang dilakukan dengan metode Bishop merupakan analisis yang telah melewati tahap pengambilan data lapangan, pengambilan sampel serta pengujian laboratorium dan pemodelan bentuk geometri lereng yang dilakukan dengan menggunakan software SLIDE. Dimana : kohesi = 29,45 kN/m³, sudut geser dalam 31,153°, berat isi 16,93 kN/m³, dan toleransi iterasi = 0,005

Pada pemodelan geometri lereng dengan metode Bishop (Gambar 4) memperlihatkan model lereng dan model kestabilan lereng pada Desa Tabbingjai (KM 114 +460 M) menghasilkan nilai faktor keamanan 1,3 yang berarti lereng kritis.

GEOSAINS

Vol. 10. No. 01 2014 - 30

Gambar 4. Model kestabilan lereng dengan metode Bishop menghasilkan faktor keamanan 1,3 yang berarti lereng kritis.

Berdasarkan klasifikasi longsoran (landslide) oleh Varnes, 1978 maka tipe longsoran adalah longsoran gelinciran (slides) translasi dimana jenis material dengan batuan dasar adalah rock slide dengan engineering soils pada butir kasarnya (coarse) adalah luncuran bahan rombakan (debris slide) dan berbutir halus (predominantly fine) adalah luncuran tanah (earth slide).

3.10 Kejadian Longsor

Berdasarkan kondisi geologi, geomorfologi, dan struktur patahan, yang berkembang pada daerah penelitian maka daerah longsoran merupakan daerah yang rawan mengalami kelongsoran dimana batuan penyusunnya merupakan material vulkanik yang berasal dari Formasi Baturape Cindako yang berumur Pliosen sehingga belum mengalami kekompakan yang kuat, serta proses denudasional juga struktur geologi yang relative muda yakni post pliosen menyebabkan daerah ini sangat rentan mengalami longsoran.

Maka berdasarkan data aktual yang dijumpai di lapangan, dapat diprediksikan bahwa longsoran yang memiliki tanah pada tingkat kelerengan curam tanpa penutupan vegetasi yang memadai dengan penggunaan lahan persawahan tanpa penanaman tanaman yang keras dengan tipe infrastruktur berupa pemukiman yang banyak dijumpai di sekitar tebing di daerah penelitian dapat menghujam batuan induk sebagai bidang gelincir dan juga dengan jenis batuan yang relatif peka

terhadap pelapukan akan menyebabkan longsoran mudah terjadi dengan material longsoran berupa soil yang lebih luas lagi.

3.11 Rekomendasi Lereng Aman

Berdasarkan hasil analisis kestabilan lereng dengan metode Bishop, diperoleh rekomendasi lereng dengan overall slope adalah 54°

4. KESIMPULAN

yang menghasilkan nilai factor keamanan lereng adalah 1,585 (Gambar 4.7).

Gambar 5. Model kestabilan lereng dengan metode Bishop menghasilkan faktor keamanan 1,5 yang berarti lereng aman.

Berdasarkan pada hasil penelitian di Daerah Tabbingjai (KM 114 +460 M), maka pada skripsi ini diperoleh suatu simpulan bahwa kondisi geologi merupakan faktor penyebab kejadian tanah longsor, dan hasil pengukuran bidang diskontinuitas pada daerah penelitian menghasilkan kemiringan bidang patahan yang bertindak sebagai bidang gelincir yaitu 40° NE selain itu diperoleh kestabilan lereng di daerah longsor dengan faktor keamanan 1,3 yang berarti lereng kritis.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pembimbing Bapak Prof. Dr. rer. nat. Ir. A. M. Imran, Bapak Ir. H. Djamaluddin, MT, atas bimbingan, dukungan, serta waktunya dalam membantu menyelesaikan penelitian ini. Kepada Bapak Dr. Ir. Muhammad Ramli, MT yang telah membimbing dalam menyelesaikan tulisan ini.

GEOSAINS

Vol. 10. No. 01 2014 - 31

DAFTAR PUSTAKA

Anggelier, J. 1994: Fault slip analysis and palaeostress reconstruction. In: Hancock, P.l. (Eds):

Continental deformation, 53-100 Pergamon Press Bakosurtanal., 1993. Peta Rupa Bumi Indonesia Skala 1:500.000, Bogor Bowles, J.E. 1993, Sifat-Sifat Fisis dan Geoteknis Tanah (Mekanika Tanah)(terjemahan), edisi 2,

Erlangga, Jakarta Brown, E.T. 1981. Rock Characterization Testing & Monitoring. Royal School of Mines. Imperial

College of Science and Technology. England Hancock, P.L. 1985: Brittle microtectonics: principles and practice. Journal of Structural Geology

7(3/4), 437–457.

Hansen, M.J., 1984, Strategies for Classification of Landslides, (ed. : Brunsden, D, & Prior, D.B., 1984, Slope Instability, John Wiley & Sons, p.1-25)

Hardyatmo H.C 2002. Mekanika Tanah 1. Gadjah Mada University Press. Jakarta Hoek, E., and Bray, J.W., 1981. Rock Slope Engineering, 3 edition, Instution of Mining and

Metallurgy. London Karyono. 2004. Kemantapan Lereng Batuan. Universitas Islam Bandung, Bandung

Priest, S.D. 1993: Discontinuity Analysis for Rock Engineering. Chapman & Hall, London, 473 pp.

Sukamto Rab & Sam Supriatna. 1982. Geologi Lembar Ujung Pandang, Benteng, dan Sinjai, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. Bandung

Thornbury, W.D., 1969, “Principles of Geomorfology”, John Billey, and Sons Inc., Landon, New York,

Sidney.

Todd D.K, 1980, Groundwater Hydrology, New York Varnes D.J., 1978, Slope Movement types and Processes. Special report 176; Landslide; Analisis and

Control, Eds; R.I., Schuster dan R.J. Krizek, Transport Research Board, National Research Council, Washington, D.C.

Varnes, D.J. and the International Association of Engineering Geology Commission on Landslides and Other Mass Movements (1984). Landslide hazard zonation: A review of principles and practice. Natural Hazards, vol.3, Paris, France. UNESCO, 63p.

Wesley, L.D., 2012. Fundamentals of Soil Mechanics for Sedimentary and Residual Soils, 1 edition. Hoboken, New Jersey.

Zakaria, Z.,2009. Analisis Kestabilan Lereng Tanah. Laboratorium Geologi Teknik UNPAD.

Bandung.

GEOSAINS

Vol. 10. No. 01 2014 - 32

ALTERASI PADA BATUAN GUNUNGAPI PANGKAJENE DAERAH WATANGPULU PROVINSI SULAWESI SELATAN

RISKA PUSPITA*

*) Teknik Geologi Universitas Hasanuddin

Abstrack: The research area is located at Wattang Pulu region, District of Wattang Pulu, Sidenreng Rappang Regency, South Sulawesi. Astronomically, it is located between 119°44’03’’ - 119°46’20’’ East Longitude and 03°55’03 - 03°58’47’’ South Latitude. The research aims to know the type of lithology, the type of alteration, the texture and structure of alteration, and determine the alteration system, which use field research and petrographic analysis methode. Stratigraphically, the research area is include of Walanae Formation consist of sandstone, unconformity with the formation above it is Pare-Pare Volcanic Rock consists of ignimbrite, lava dome, and syenit intrusion. Based on field and petrographic analysis , the study area consists of three volcanic rocks, that is syenite, ignimbrite, and trachite (lava dome). The type of alteration in the study area is divided into three types, which are propylitic type (chlorite - sericite – calcite – clay minerals), argillic type (clay minerals - muscovite - chlorite – quartz), and phyllic type (sericite – quartz). Structure of alteration in the study area is dominated by dissiminated structure (spread) and other structure is cavity filling and stock work. Texture of alteration were observed in the study area is generally vugs and cavities. Hydrothermal alteration system in the study area include low sulphidation ephitermal, where temperature is 140C - 245C and depths of 30 m – 420 m.

Keywords: volcanic rock, alteration, epithermal

1. PENDAHULUAN

Daerah penelitian terletak di Kecamatan Wattang Pulu Kabupaten Sidenreng Rappang Provinsi Sulawesi Selatan dan secara astronomis terletak antara 119°44’03’’ - 119°46’20’’ BT dan 03°55’03 - 03°58’47’’ LS. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis litologi, tipe alterasi, tekstur dan struktur alterasi, serta sistem alterasi pada daerah penelitian dengan menggunakan metode penelitian lapangan dan analisis petrografi. Gunung api Pangkajene terletak sekitar 220 km sebelah utara Kotamadya Makassar atau sekitar 30 km sebelah timurlaut Kotamadya Pare-pare, termasuk wilayah ibukota Kabupaten Sidenreng Rappang. Gunung api Pangkajene merupakan gunung api purba atau gunung api mati akibat aktivitas sesar Walanae yang memotong kaldera dan dapur magma sehingga pembentukan magma di dalam kerak bumi yang menyuplai dapur magma tidak terjadi lagi (Kaharuddin, 2012). Pada daerah fasies sentral gunung

api Pangkajene dapat dijumpai gejala-gejala alterasi berupa perubahan warna, tekstur, dan struktur pada batuan asalnya. Alterasi merupakan perubahan di dalam komposisi mineralogi suatu batuan (terutama secara fisik dan kimia), khususnya diakibatkan oleh aksi dari larutan hidrotermal. Larutan hidrotermal terbentuk pada fase akhir siklus pembekuan magma. Interaksi antara larutan hidrotermal dengan batuan yang dilewati akan menyebabkan terubahnya mineral-mineral penyusun batuan samping dan membentuk mineral alterasi.

GEOSAINS

Vol. 10. No. 01 2014 - 33

Gambar 1. Lokasi daerah penelitian

2. TINJAUAN PUSTAKA

Secara geomorfologi, daerah penelitian terbagi dalam empat (4) satuan geomorfologi, yaitu satuan geomorfologi perbukitan tersayat tajam, satuan geomorfologi bergelombang, satuan geomorfologi kubah lava, satuan geomorfologi pedataran. Stratigrafi daerah penelitian disusun oleh Formasi Walanae yang terdiri dari satuan batupasir, tidak selaras dengan formasi di atasnya yaitu Batuan Gunung api Pare-Pare yang terdiri dari satuan ignimbrite, satuan kubah lava dan intrusi sienit. Adapun struktur geologi yang dijumpai pada daerah penelitian antara lain lipatan, kekar, dan sesar. Lipatan berupa antiklin dan lipatan seret (drag fold), kekar berupa kekar sistematik, dan sesar berupa sesar geser.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Alterasi Pada Batuan Gunung Api Pangkajene Batuan gunung api Pangkajene terdiri dari tiga (3) jenis litologi yaitu ignimbrit, trakit (kubah lava), dan syenit. Penentuan alterasi pada batuan gunung api Pangkajene dilakukan dengan menggunakan dua cara yaitu pengamatan secara megaskopis dan mikroskopis. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut, maka alterasi pada batuan gunung api Pangkajene dapat dibagi menjadi terbagi menjadi tiga tipe alterasi yaitu Tipe Propilitik, Tipe Argilik, dan Tipe Filik. 1. Tipe Propilitik

Gejala alterasi tipe propilitik dapat dijumpai pada stasiun 1A, 1B,1C, dan 4, terletak pada bagian Utara daerah penelitan yaitu daerah Bulu Kunyi. Batuan yang mengalami alterasi

Gambar 2. Peta geologi daerah penelitian (skala tidak sebenarnya).

GEOSAINS

Vol. 10. No. 01 2014 - 34

propilitik yaitu ignimbrit dan trakit. Telah mengalami alterasi sekitar 30% - 90% dan termasuk dalam intensitas ubahan sedang – kuat dengan pola ubahan selectively pervasive (Sutarto, 2002).

Himpunan mineral alterasi yang dominan adalah klorit (15%) – serisit (5% - 20%) – kalsit (10% - 15%) – mineral lempung (40%). Klorit merupakan mineral ubahan dari mineral mafik seperti biotit atau hornblende. Serisit merupakan mineral ubahan dari feldspar. Kalsit merupakan mineral ubahan dari mineral yang mengandung unsur Ca. Mineral lempung merupakan hasil dari perubahan dari plagioklas atau massa dasar. Adapun vein hematit yang dijumpai pada stasiun 4, merupakan mineral yang mengalami alterasi membentuk urat-urat (vein) yang erat kaitannya dengan tipe alterasi propilitik (Sutarto, 2002).

Gambar 3. Fotomikrograf conto sayatan batuan (RP/ALT/11) dengan perbesaran 50x. Terdiri dari mineral alterasi klorit (5B), serisit (3E), mineral lempung (3G)

Berdasarkan himpunan mineral alterasi yang didominasi oleh mineral klorit – serisit – kalsit - mineral lempung, maka tipe alterasi ini dapat disebandingkan dengan tipe alterasi propilitik (Corbett dan Leach, 1996). Terbentuk pada temperatur 200°C - 300°C pada Ph near-netral dengan salinitas beragam, umumnya berada pada daerah permeabilitas rendah (Sutarto, 2002).

2. Tipe Argilik Gejala alterasi tipe argilik dapat dijumpai pada stasiun 5,6, dan 11, terletak pada bagian Timur daerah penelitian yaitu daerah

Batullapa, Cenranae, dan Pasadae. Batuan yang mengalami alterasi tipe argilik yaitu ignimbrit trakitik. Telah mengalami alterasi sekitar 90% - 100%, termasuk intensitas ubahan intens – total dengan pola ubahan selectively pervasive (Sutarto, 2002). Himpunan mineral alterasi yang dominan yaitu mineral lempung (35% - 98%), muskovit (30%), klorit (10%), dan kuarsa (15% -20%). Mineral lempung merupakan ubahan dari massa dasar. Muskovit merupakan mineral ubahan dari feldspar. Klorit merupakan mineral ubahan dari feldspar atau mineral mafik seperti biotit. Kuarsa merupakan mineral ubahan dari mineral kuarsa primer.

Gambar 4. Fotomikrograf conto sayatan batuan (RP/ALT/221B) dengan perbesaran 50x. Terdiri dari mineral alterasi mineral lempung (6D), muskovit (7B), klorit (5F), dan kuarsa (2E).

Berdasarkan himpunan mineral alterasi yang didominasi oleh mineral lempung - muskovit – klorit – kuarsa, maka tipe alterasi ini dapat disebandingkan dengan tipe alterasi argilik (Corbett dan Leach, 1996). Terbentuk pada temperatur 100°C - 300°C (Pirajno, 1992, dalam Sutarto, 2002), fluida asam hingga netral dan salinitas rendah (Sutarto, 2002).

3. Tipe Filik Gejala alterasi tipe filik dapat dijumpai pada stasiun 7, terletak pada bagian Selatan daerah penelitian yaitu daerah Topobatu. Batuan yang mengalami alterasi tipe filik

GEOSAINS

Vol. 10. No. 01 2014 - 35

adalah ignimbrit riolitik. Batuan ini telah mengalami alterasi sekitar 30% dan termasuk intensitas ubahan sedang dengan pola ubahan selectively pervasive (Sutarto, 2002), mineral alterasi yaitu serisit (10%) dan kuarsa (20%). Mineral serisit terbentuk pada proses hidrogen metasomatis yang merupakan dasar dari alterasi serisit yang menyebabkan mineral feldspar yang stabil menjadi rusak dan teralterasi menjadi serisit dengan penambahan unsur H+, menjadi mineral phylosilikat atau kuarsa. Bentuk mineral subhedral - anhedral.

Gambar 5. Fotomikrograf conto sayatan batuan (RP/ALT/18) dengan perbesaran 50x. Terdiri dari mineral alterasi filik (4E) dan kuarsa (6A). Berdasarkan himpunan mineral alterasi yang didominasi oleh mineral serisit dan kuarsa, maka tipe alterasi ini dapat disebandingkan dengan tipe alterasi filik (Lowell and Gilbert, 1970). Terbentuk pada temperatur sedang-tinggi (230°-400°C), fluida asam-netral, salinitas beragam, pada zona permeabel, dan pada batas dengan urat (Sutarto, 2002).

3.2 Struktur dan Tekstur Alterasi

Struktur ubahan / alterasi yang dijumpai pada daerah penelitian umumnya berkaitan dengan proses magmatik, didominasi oleh struktur dissiminate (tersebar) dan sebagiannya lagi berstruktur cavity filling dan stock work (Gambar 5.7) dalam bentuk urat yang mempunyai lebar 0,5 cm – 1 cm dan panjang 1 cm – 1,2 m. Disusun oleh mineral kuarsa yang berwarna putih bening dan adapula yang diisi oleh hematit yang

berwarna merah. Tekstur ubahan / alterasi dibentuk oleh mengkristalnya fluida pada ruang terbuka. Tekstur ubahan yang dijumpai pada daerah penelitian umumnya berupa tekstur vugs dan cavities, sebagai rongga sisa karena pengisian yang tidak selesai (Guilbert dan Park, 1986; Taylor, 1992, dalam Sutarto, 2002).

3.3 Interpretasi Temperatur dan Sistem Alterasi Hidrotermal Interpratasi temperatur alterasi pada daerah penelitian dapat dilihat dari himpunan mineral alterasi yang hadir. Berdasarkan hal tersebut, temperatur alterasi pada daerah penelitian dapat diinterpretasikan berkisar antara 140°C - 245°C dengan kedalaman 30 m – 420 m (Guilbert dan Park, 1986). Sistem alterasi daerah penelitian dapat ditentukan dari reaksi yang terjadi dan keterdapatan mineral-mineral alterasi. Berdasarkan pengamatan dilapangan dan hasil analisis pada data yang telah dikumpulkan, daerah penelitian mempunyai karakteristik tertentu. Karakteristik tersebut antara lain larutan hidrotermal bersifat asam-netral dan mengisi celah-celah batuan. Berasosiasi dengan mineral alterasi klorit – serisit – kalsit, mineral lempung - muskovit – klorit – kuarsa, dan serisit – kuarsa. Struktur yang berkembang berupa urat, cavity filling, dan stock work. Berdasarkan hal tersebut maka daerah penelitian termasuk sistem alterasi epitermal sulfidasi rendah (low sulphidation ephitermal) (Hedenquist et al., 1996;2000 dalam Sibarani, 2008).

Tabel 1. Parameter dan hasil analisis alterasi pada daerah penelitian.

GEOSAINS

Vol. 10. No. 01 2014 - 36

4.KESIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Batuan Gunung Api Pangkajene pada

daerah penelitian disusun oleh tiga jenis litologi, yaitu sienit, ignimbrit, dan trakit (kubah lava).

2. Tipe alterasi pada daerah penelitian terbagi menjadi tiga tipe, yaitu tipe propilitik (klorit – serisit – kalsit - mineral lempung), tipe argilik (mineral lempung - muskovit – klorit – kuarsa), dan tipe filik (serisit – kuarsa).

3. Struktur ubahan /alterasi pada daerah penelitian didominasi oleh struktur dissiminated (tersebar) dan sebagiannya lagi berstruktur cavity filling dan stock work. Tekstur ubahan yang dijumpai pada daerah penelitian umumnya berupa tekstur vugs dan cavities.

4. Sistem alterasi hidrotermal pada daerah penelitian termasuk low sulphidation ephitermal dengan suhu pembentukan 140°C - 245°C dengan kedalaman 30 m – 420 m (Guilbert dan Park, 1986).

DAFTAR PUSTAKA Bateman, AM., 1950, Econimic Mineral Deposits, Second Edition, John Willey & Sons Inc, New York. Bronto, S., 2006, Fasies Gunung Api dan Aplikasinya, Jurnal Geologi Indonesia, Bandung. Bronto, S.,

Isnawan, D., 1997, Penentuan Sumber Erupsi Batuan Gunung Api Tersier dan Implikasinya Terhadap Bahan Tambang. Prosiding Ikatan Ahli Geologi Indonesia.

Chen, et al., 2003, Laumonititization as an Exploration Indicator of Epithermal Gold Deposits: A

Case Study of Axi and Other Epithermal System in West Tianshan, China. Chinese Journal of Geochemistry.

Corbett, G.J., and Leach, T.M., 1993, A Guide To Pacific rim Au/Cu Exploration,

Exploration Workshop, edisi 12/93. Corbett, G.J., and Leach, T.M., 1998, Southwest Pacific Rim Gold-Copper Systems:

Structure, Alteration, and Mineralization, SEG Special Publication No.6, 237 p. Evans, A.M. 1987. An Introduction to Ore Geology. Blackwell Scientific publications. Fisher, R.V., Schmincke, H.U, 1991, PyroclasticRocks, Springer-Verlag, Berlin,

Heidelberg, New York, Tokyo. Guilbert, J.M., and Park, C.P., 1986, The Geology Of Ore Deposits, W. H. Freeman and company, New

York. Hedenquist, J.W., White, N.C., 1990, Epithermal Environments And Styles Of

Mineralization: Variations And Their Causes, And Guidelines For Exploration, Journal of Geochemical Exploration, 36:

445-474. Ikatan Ahli Geologi Indonesia. 1996. Sandi Stratigrafi Indonesia, Bidang Geologi dan Sumber

Daya Mineral. Jakarta. Indonesia. Kaharuddin, 2012, Studi Karakteristik Kaldera Pangkajene Kabupaten Sidenreng Rappang

Provinsi Sulawesi Selatan, Makassar. Kerr, P.F., 1959, Optical Mineralogy (3rd Edition), The Mc Graw Hill Book Company Inc, New York, Toronto, London. Nemeth, K., Martin, U., 2007, Practical Vulcanologi, Geological Institute of Hungary, Budapest.

GEOSAINS

Vol. 10. No. 01 2014 - 37

Maiza, P., Marfil, S., 2012, Geochemistry of Hydrotermal Alteration in Volcanic

Rocks, Geochemistry – Earth’s System Procceses, Intech, Argentina. Pettijohn, F. J., 1969, Sedimentary Rocks Second Edition, Oxford & IBH Publisihing Co., New

Delhi, Bombay, Calcutta. Pirajno, F., 1992, Hydrothermal Mineral Deposits; Prinsiples and Fundamental Concepts for

the Exploration Geologist, Springer-Verlag Berlin Heidelberg, Germany. Pirajno, F., 2009, Hidrotermal Processes and Mineral Systems, Springer-Verlag Berlin

Heidelberg, Germany, p. 120-122. Sirajuddin, H., dkk., 2011, Menguak Keberadaan Kaldera Gunung Api Tersier Kota

Pangkajene Kabupaten Sidrap Propinsi Sulawesi Selatan, Proceedings JSM Makassar, Makassar.

Sukamto, R., Supriatna, 1982, Geologi Lembar Ujung Pandang, Benteng dan Sinjai, Pusat

Penelitian dan Pengembangan Geologi Direktorat Jenderal Pertambangan Umum Depatemen Pertambangan dan Energi, Bandung, Indonesia.

Sutarto, 2002, Endapan Mineral, Laboratorium Endapan Mineral, Jurusan Teknik Geologi,

Fakultas Teknologi Mineral UPN “Veteran”, Yogyakarta. Thompson, A.J.B., dan Thompson, J.F.H. 1996. Atlas of Alteration A Field

and Petrographic Guide To Hydrothermal Alteration Minerals. Geological Association of Canada-Mineral Deposits Division, Department of Earth Sciences. Travis, R.B., 1955, Classification Of Rocks Vol. 50, No. 1 Colorado School of Minens, Goldon

Colorado, USA, 1 – 12p. Wohletz, et al., 1992, Vulcanology and Geothermal Energy, University of

California Press, Barkeley.

GEOSAINS

Vol. 10. No. 01 2014 - 38

IRON ORE OCCURENCE IN BALANALU AREA LIMBONG DISTRICT NORTH LUWU SOUTH SULAWESI

Adi Maulana*

*) Teknik Geologi Universitas Hasanuddin

Abstrack: The occurence of iron ore in Balanalu area, Limbong district North Sulawesi was studied. The iron ore occur in three (3) prospect areas, including Panyiwangan, Se’pon and Salu Nase prospect. However, only the first two showed the promising prospect to be examined into the next stage of exploration. The iron ore found is as delluvial ore, in the form of boulder ranges from 10 x 20 cm to 30 x 60 cm in size, massive, blackish to reddish and sometimes brownish in color due to weathering and black inside with fine crystal size. The occurences of the iron ore was produced by the alteration and mineralisation process within the strongly altered, mineralised and weathered andesitic – dacitic tuff as wall rock and associated with sulhide minerals e.g pyrite, chalcopyrite and bornite. The iron ore in Panyiwangan prospect were estimated to be 10,125 ton whereas in Se’pon area is 6480. The iron ore in Panyiwangan is localised and covered by thick overburden, approximately 100 x 30 m in the surface with 1,25 meter thickness and the resources were estimated to be 10,125 ton. In Se’pon prospect, it is more limited to approximately 80 x 20 meter in the surface with 1 – 1,5 meter in thickness and the resources were estimated to be 6480 ton. However, based on field observation it is predicted that the main body of the iron is still covered by overburden and to be wider with depth. The more pricese reserved calculation of the iron ore is still tentative and are estimated to be higher since the continuation to the bottom is unknown yet until the drilling or other subsurface mapping take progress.

Keywords: Iron ore, Limbong, North Sulawesi.

1. INTRODUCTION

1.1 Background

Iron is one of the most important natural resources for the industrial needed which plays an important rule in human daily life. The stability of economic and political situation in Indonesia has triggered the development of mining industry to a better condition which finally can stimulate the investment in this industry, particularly iron ore mining.

Based on regional geology reported by The Indonesian Geological Survey Report (1993) the iron ore resources in Indonesia, including Sulawesi, is very prospective. One of the prospective area in Sulawesi is Limbong Area, North Luwu regency. However, the occurence of the iron ore in this area has never been studied in detail hence the condition and distribution of the ore is still questionable.

In order to figure out the resources of the iron ore, survey on this need to be carried out. This report will first deals with iron ore condition in Balanalu area, Limbong including its geological setting, iron ore resources, and geochemistry. Secondly, deals with recommendation to the next stage of exploration in order to find out the mining possibility of the iron ore

1.2. Location, access and time schedule

Administravely, prospect area is located in Balanalu area, Limbong District, North Luwu Regency, South Sulawesi. In topographic map issued by Bakosurtanal (1991) on scale 1 : 50.000, it is included in Map no 2013-34 (Limbong sheet). Studied area can be shown in fig. 1.

Geographically, research area is laid on 2°34’00’’- 2°39’00’’ S dan 119°57’20’’ - 120°0’00’’ E and which can be reached either with bus or car from Makassar to Masamba (the capitol of

GEOSAINS

Vol. 10. No. 01 2014 - 39

North Luwu Regency) with approximately ± 440 km in distance and 12 hours trip. Aeroplane service is also available irregularly with only twice a week and takes approximately 1 hour time from Makassar to Masamba. From Masamba, the journey can be continued by only motorcycle of four wheel drive car through unfinished asphalt road until Limbong area and by only motorcycle through pathway to Balanalu area as shown by photo 1.

The distance from Masamba to Balanalu is approximately 40 km and will takes 3 hours trip. Research area consits of 3 (three) block or prospective area, namely Panyiwangan, Se’pon

and Salu Nase and all are remore area which located far from main resident settlement.

Panyiwangan prospect is located approximately 4 km westward from Banalalu village which needs 3 to 4 hours time whereas Se’pon and Salu Nase are located approximately 10 km Southward. The first will takes 6 to 7 hours time from time Panyiwangan while the letter will takes 4 to 5 hours from Se’pon. Detail position on these three prospective can be shown in fig.1

This exploration activity was carried out in 8 (eight) days, commenced from May 5th until May 12nd 2010 with detail activity as depicted in table 1.

Figure. 1. Location and accesibility map

GEOSAINS

Vol. 10. No. 01 2014 - 40

Table 1. Field Activitity schedule

2. REGIONAL GEOLOGY

According to Sukamto (1975) Sulawesi can be divided into three geological provinces, namely West Sulawesi Province, East Sulawesi Province and Banggai - Sula Province. Each Province is characterised by different rock variation, structure and geological history. Research area is included in West Sulawesi Province.

Most of the Mountain ranges in the research area were formed by volcanic product with the average high of 1500 m from sea level. To the north this mountain range is narrowing and lower, forming low to strong wavy morphology. The easthern side is bordered by Bone Gulf which is lowland and consists of alluvium.

Based on geology map Mamuju Quadrangle (Ratman and Atmawinata, 1993) the oldest rock in this area was formed by Cretaceous Latimojong Formation (KLs) with 1000 meter in thickness. This metamorphosed formation consists of phyllite, shale, chert, marble and quartzite intruded by medium to basic igneous in the rock or sills. This formation unconformably overlain by Toraja Formation which consist of Tertiary Eocene Toraja (Tet) including shale, limestone and sandstone with coal seam in certain place, and tertiary Eocene Toraja Limestone (Tetl). Oligocene Lamasi volcanic (Tolv) overlaid the Toraja Formation, consits of basaltic to andesitic lava flow, volcanic breccia, sandstone and siltsone, in certain place composed of feldspatoid. Most of the rocks has been propilitised and chloritised.

The younger rock unit is Tmb and Tmps which composed lower to Middle Miocene marland limestone which partly consists of sandy limestone, conglomerate and breccia.

These three rock units interfingered with Tmpl which consists of Early Miocene to Pliocene andesite – basaltic lava flow. In some places andesitic breccia, trachite – andesite and feldsphatoid were found. This rock unit was dated Early Miocene to Pliocene in age an occur as high as 500 – 1000 m.

Two different granitic intrusion also found, the first is Late Miocene and the other is Pliocene in age. In Palopo area the late Miocene Granite intruded Latimojong and Toraja Formation and produced hydrothermal mineralisation.

Structural feature of research study is very complex. intra Miocene Orogenic stage dominated in some areas, mainly in the middle part of West Sulawesi Province. Orogenic process prior to Miocene took place twice, before and after Eocene. Larami orogenic took place in Late Cretaceous to Early Miocene which uplifted and folded mesozoikum rock unit and other old sediments, and terminated by horizontal movement and generated north – south or north north west – south south east thrust fault. It was also successeded by the block fault which formed graben and hog back morphology. Strong fold was followed by thrust fault which occured in Middle Miocene in the Middle part of Sulawesi province caused the Latimojong and Toraja Formation to be folded and later faulted.

Activity Year 2010

Month Mei Day 5 6 7 8 9 10 11 12

Depart from Makassar to Masamba Depart from Makassar to Balanulu Exploration in Panyiwangan Prospect Exploration in Se'pon Prospect Exploration in Salu Nase Prospect Arrive in Banalulu Back to Makassar

GEOSAINS

Vol. 10. No. 01 2014 - 41

In Plio – Plistocene, graben and hog back were influenced by northwest – south east transform fault which was in line with Palu – Koro fault movement trend in central Sulawesi. This fault is interpreted as an active fault and has the same movement trend with Matano Fault and Sorong Fault trend while the trust fault pattern showed the concequenced trend to Banggai – Sula Province. The regional structural and tectonic pattern of Sulawesi is explained by Maulana (2009) and is depicted in Fig.3

Fig. 2 Regional geology map Mamuju quadrangle (Ratman and Atmawinata 1993)

Fig. 3 Regional structural and tectonic pattern map of Sulawesi (Maulana,2009)

GEOSAINS

Vol. 10. No. 01 2014 - 42

3. METHOD

Two methods were used in this study, including;

3.1 Secondary and primary data colection

Prior to collecting primary data in the field, the secondary data collecting was done by literature review from previous geological and other report on iron ore in the study area. The primary data collection was carried out in the field including surface geological mapping, trenching and rock chip and rock float collection in the river section. GPS tools used to get the coordinate of iron ore location as well as to deliniate the lateral and vertical distribution of the iron ore occurance whereas the vertical distribution was determined by trenching and test pit.

3.2 Laboratory analyse

Some representative samples were analysed to determine the geochemical (Fe₂O₃, Fe₃O₄, TiO₂, and Fe Total) and other essential element content using AAS method. Analysed process are carried out in Tekmira, Bandung. The result can be seen in table 1.

4. RESULT

4.1 Morphology

Morphology of the research area can only be divided into one morphology unit, steep mountain with 1340 to 19889 m above sea level in height. The exogen process are dominated by erosion and weathering level is moderate – strong which shown by the red brown to reddish surface soil with the average thickness between 0,5 – 1 m. This morphology unit displays stiff top with steep and irregular hill and gully and rill erosion found along the hill. Generally the rill erosion occured in upper part whereas the gully erosion in lower part (Photo 3).

Vegetations are dominated by bush and rain forest, however limited coffee and cocoa plantation as well as paddy fields are still found in some areas. River in research area is permanent which is flowing along the year, showing rectangular drainage pettern and how to the main river i.e Rongkong River in the northern part of the area.

Photo 3. High steep morphology of most research area

4.2 Stratigraphy

Rock unit in research area consists of andesitic – dasitic volcanic rock and schist which later intruded by granitic rock. The discussion on the stratigraphy will be commenced by the older to the younger unit as follow.

Schist

Schist unit found in the south eastern part of the researh area which covered approximately 10% of total area. It consists of phyllite, shale, schist and gneiss. Generally all the rocks in this unit display a moderate to strong weathering level. Phyllite show grey to brownish in color, consists of clay and minor mica whereas schist occur as chloritic to mika schist.

Andesitic – dacitic tuff volcanic rock

It consists of tuff with andesitic – dacitic in composition and in certain place trachyte, andesite and dacite intrution also found. This unit covered almost 80 % from total research area, lying from Balanalu area in the north to southern part of Salu Nase. Generally this unit occured in moderately to strongly weathered, showing grey to yellowish, propilitized and cut by quartz veins (Photo 4) and also known by strong oxidation process indicated by reddish image in the rock surface.

Andesitic – dacitic tuff are highly altered and weathered with grey to brownish in color, consist of quartz, plagioclase, pyroxene and

GEOSAINS

Vol. 10. No. 01 2014 - 43

hornblende set in pyroclastic microcrystalline mass. Detail description.

Andesite crops out in Se’pon and along Salu Nase River which partly altered mineralaised and weathered. In Se’pon this rock display a highly weathered outcrop which contain some mineralisation, grey to brown in color and greenish to brownish if weathered, consists of plagioclase (60-70%), hornblende (15-20%), pyroxene (10%), biotite (5-10%) and chlolrite (5%) (Photo 5). Alteration process was indicated by strong chlorisation as shown by the occurance of chlorite and epidote replacing pyroxene. Mineralisation found generally in the form of veinlet cut the rock which containing mainly iron ore, sulphide mineral, namely pyrite and chalcopyrite as well as quartz.

Dacite has been strongly weathered, indicated by the thickness of surface soil (up to 50 cm). Found in Banalalu and Salu Nase either as outcrop or boulder, composed of plagioclase (50-60%), quartz (20-30%), biotite (5-10%), and pyroxene (<5%). Sometimes the rocks underwent alteration and mineralisation process as found in the northern part of research area (Photo 6).

Photo 4. Strongly weathered andesitic – dacitic tuff outcrops in Panyiwangan prospect.

Photo 5. Heavily weathered, mineralised and altered andesite outcrop in Se’pon area.

GEOSAINS

Vol. 10. No. 01 2014 - 44

Photo 6. Altered an oxidised dacite boulder in Salu Nase which indicating the intensive alteration process.

Granite

Distribution of granite covered almost 25% of the total research area, trending to the north along the road to Limbong and along the pathway to Balanalu area.

It showed grey color in fresh condition and brownish if weathered, holocrystalline, phaneritic with biotite occured as phenocryst, euhedral – subhedral and massive structure. Composed of orthoclase (40-50%), mica (5-7%). More basic xebolith (andesitic-dacitic) composition were also found in some places.

4.3 Structure

Research area is controlled by structure in the form of fault and joint which influenced by the regional structure. Generally the faults border can be easily known by steep hill morphology, triangular faces and fault scrap morphology and locally water fall. The fault also controlled the formation Rongkong River in the northern part as the main river. Joints are found in the rock surface intensively and usually filled by mineralisation and quartz veins.

Photo 7. Structurally controlled morphology of most research area which indicated by the occurences of triangular facet and fault scrap.

GEOSAINS

Vol. 10. No. 01 2014 - 45

4.4 Iron ore mineralisation

Panyiwangan prospect

From the field observation, iron ore occur as boulder in andesitic – dacitic tuff and found in two separated location in the form of delluvial ore, ranges from 20 – 35 cm, reddish to red greyish in color, sub angular – sub rounded and moderate to highly weathered as shown in photo 8. Most of the iron dominated by magnetite than hematite as shown by medium to strong magnetism when tested with magnetic detector (Photo 9). They occupy low angle slope and steep slope and covered by 10 – 20 cm of surface soil. The ore has soil as a cement and iron ore as matrix associated with other sulphide minerals such as pyrite and chalcophyrite as well as quartz veins.

Iron ore bolder distributed is localised area with direction of N 55° E with 100 m in lenght, 30 meter in width and 1 m in thickness as proven by manual test pit as shown in Fig. 4 and 5. It is very likely that the iron ore distribution followed the vein system in the wall rock produced by hydrothermal alteration process. The main body of the iron ore are predicted to be covered by main rock body as well as soil surface and assumed to be wider with depth.

The magnetite (Fe₂O₃) content ranges from 72 to 74 % FeO total ranges from 64 to 69% while Au and Ag content ranges from 0,001 to 0,47 Gr/ton and from 2 to 16,9 Gr/ton, respectively. The Cu content is low which only ranges from 0,0001 to 0,005% (see appendix).

Photo 8. Iron ore occurences in Panyiwangan prospect showing boulder with 20 – 35 in size.

Photo 9. Moderate to strong magnetism of iron ore in Panyiwangan prospect.

GEOSAINS

Vol. 10. No. 01 2014 - 46

Fig. 5 Trenching 2 in Panyiwangan prospect

Se’pon prospect

Iron ore in Se’pon prospect found in the hill with high angle steep, very dense tropical forest vegetation with combination of bush. Basicallly, the iron ore occured as delluvial ore with no primary ore body was found. The shallow trenching in this prospect showed that the iron occur as big boulder up to 60 x 40 cm set in strongly weathered andesitic – dacitic tuff covered by dense soil surface as overburden as shown in photo 10.

The trenching indicates that the boulder of iron ore was product of disentegration of massive iron body in vein system (Fig.6). the iron ore are dominated by hematite FeO as shown by low to moderate magnetism, grey to blackwish and brownish in color, sub angular-angular, heavily brecciated with fine to coarse texture as shown in photo 11. The iron ore were associated with other sulphide mineral (pyrite, chalcopyrite, bornite), iron oxide as well as quartz veins ( photo 12)

The iron ore distribution predicted to follow the vein system trend to the west and north west as shown as by boulder and morphology appearance, covered at least 80 m in lenght with 20 m in width and 150 cm in thickness. However due to the thickness overburden and vegetation, no obvious strike and dip of the iron ore can be detected so the exact calculation can not be verified .

Photo 10. Iron ore boulder in Se’pon prospect (red polygon) set in heavily weathered andesitic – dacitif tuff.

Photo 11. Heavily weathered and brecciated andesitic – dacitic tuff which contain iron ore and iron oxide with low to medium magnetism.

GEOSAINS

Vol. 10. No. 01 2014 - 47

Photo 12. Iron ore associated with sulphide mineral as pyrite, chalcopyrite and bornite in Se’pon prospect.

Magnetite (Fe₂O₃) content of the rion ore from this prospect ranges from 24 to 44% with total Fe ranges from 22 to 35% and FeO 5 to 10.2% whereas Au and Ag content have a significant values which ranges from 0,22 to 0,28 Gr/ ton and from 8 to 38 Gr/ton, respectively. Similar to Panyiwangan prospect the Cu content is also low which only ranges from 0.002 to 0,005% (see appendix).

Salu nase prospect

Iron ore in Salu Nase generally found not in the form of ore, but occured as oxide iron and iron (Fe) enrichment in the rock as shown by strong magnetism. It seems the iron mineralisation did not produce ore but only enriched the Fe content of the mineralised rock body .

Test pit in this prospect failed to find the ore (Photo 13) and tracing along the river also proved that the iron ore was absent. However, unlike other prospect, most rock chip and rock float indicate strong megnetism and strong alteration and mineralisation process. Alteration as evidence by the occurance of clay mineral, quartz and chlorite.

Although iron ore is absent in this prospect there are some other economic mineral (e.g gold, copper). Indication as shown by the intensive alteration and mineralisation. However, further work need to be done in order to confirm the presents of this mineral.

Photo 13. Test pit in Salu Nase Prospect

4.5 Alteration

The iron ore occurence in research area is strongly controlled by the alteration process within wall rock. Two types alteration which responsible with the iron ore formation were examined including argilic and prophylitic alteration. These two alteration were formed by hidrothermal fluid which supported by structural control.

Argillic alteration

This alteration type occur in Panyiwangan and Se’pon prospect outcrop and partly found in Salu Nase prospect, indicated by the abundance (up to 45 %) of dissaminated clay mineral in andesitic – dacitic tuff and tracyte as well rock as shown in photo 14. It was caused by interaction of hydrothermal fluid and wall rock which later variably altered the andesitic – dacitic tuff. Altered mineral found as chlorite and quartz and epidote, orthoclase and sericite found in certain amount. The alteration also changed the texture of the wall rock into fine-grained texture which can be clearly examined in the contract zone.

GEOSAINS

Vol. 10. No. 01 2014 - 48

Photo 14. Photomicrograph of highly altered trachyte in Se’pon. Plagioclase (Pg), Biotite (Bt), Chlorite (Chl) and Clay.

Prophylitic alteration

Prophilitic alteration intensevely developed in Se’pon and Salu Nase Prospect, indicated by the occurences of chlorite an epidote replacing pyroxene and other Fe-Mg rich minerals. Silicification process also detected and contributed to altered certain mineral. Quartz vein were also found in some outcrops containing sulphide rich minerals as depicted in Photo 15.

Photo 15. Photomicrograph of prophylitic alteration which developed in wall rock in Se’pon area note that the quartz vein occur along the thin section as well as the replacement of pyroxene by chlorite. Chlorite (Chl), Quartz (Qz) and Epidote (Ep).

4.6 Iron Ore Resources

Panyiwangan prospect

The iron ore Panyiwangan prospect has never been explored yet by drilling activity to know the vertical iron ore continuation. Therefore, the estimation of iron ore resources will be based on surface observation, trenching as well

as pit. However, the estimation of the iron ore will be increasing significantly after drilling data is taken into account the estimated resources is 10,125 ton which only based on the covered area.

Se’pon prospect

The calculation of the iron ore in Se’pon prospect will be based on surface observation, trenching as well as test pit. The estimated resources is 6480 ton which only based on the covered area.

5. CONCLUSION AND RECOMMENDATION

Based on field observation some of conclusions can be drawn as folllows.

1. The iron ore occur in three (3) prospect areas, including Panyiwangan, Se’pon and Salu Nase prospect. However, only the first two showed the promising prospect to be examined into the next stage of exploration.

2. The iron ore found is as delluvial ore, in the form of boulder ranges from 10 x 20 cm to 30 x 60 cm in size, massive, blackish to reddish and sometimes brownish in color due to weathering and black inside with fine crystal size.

3. The occurences of the iron ore was produced by the alteration and mineralisation process within the strongly altered, mineralised and weathered andesitic – dacitic tuff as wall rock and associated with sulhide minerals e.g pyrite, chalcopyrite and bornite.

4. The iron ore in Panyiwangan prospect were estimated to be 10,125 ton whereas in Se’pon area is 6480

5. The iron ore in Panyiwangan is localised and covered by thick overburden, approximately 100 x 30 m in the surface with 1,25 meter thickness and the resources were estimated to be 10,125 ton. In Se’pon prospect, it is more limited to approximately 80 x 20 meter in the surface with 1 – 1,5 meter in thickness and the resources were estimated to be 6480 ton. However, based on field observation it is predicted that the main body of the iron is still covered by overburden and to be wider with depth.

Pg

Chl

Bt

Clay

Chl

Quartz Vein

Sulfide Ep

Qz

GEOSAINS

Vol. 10. No. 01 2014 - 49

6. The more pricese reserved calculation of the iron ore is still tentative and are estimated to be higher since the continuation to the bottom is unknown yet until the drilling or other subsurface mapping take progress.

Recommendation following these conclusion are as follows;

1. More detail and deeper trenching and test pit need to be made in Panyiwangan and Se’pon prospect

2. Subsurface mapping such as geoelectric or geomagnetic are needed to figure out the continuation to the bottom or vertical distibution of the iron ore.

3. Drilling activity to be run in selected area within these two prospects soon after detail test pit and geoelectric or geomagnetic has been accomplished in order to get the more precise reserve calculation.

Table 1. Result of Chemical Analyses

REFERENCES

Sukamto, R, 1975. Geological map of indonesia, Ujung Pandang sheet – scale 1:1.000.000. Geological Survey of Indonesia.

Ratman S., Atmawinata ., 1993. Peta Geologi Lembar Mamuju Sulawesi Selatan, skala 1:250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi

Maulana, A., 2009. Petrology , Geochemistry and Methamorphic Evolution of the South Sulawesi Basement Rock Complexes, Indonesia. Master Thesis. Australian National University, Canberra, Australia.

ATURAN PENULISAN MAKALAH ILMIAH

JURNAL PENELITIAN GEOSAINS

1. Naskah merupakan hasil penelitian yang belum dan tidak akan dipublikasikan dalam media cetak lain

2. Naskah dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris yang baik dan benar, dilengkapi dengan Sari dalam Bahasa Indonesia dan Abstract dalam Bahasa Inggris.

3. Naskah berupa rekaman dalam CD dan disertai dua eksemplar cetakannya, dengan panjang maksimum lima belas halaman A4 ketikan 1 spasi, format font Century ukuran 10 pt.

4. Sistematika penulisan adalah:

a. Bagian awal: judul, nama penulis, sari dan abstract

b. Bagian utama: Pendahuluan, Metode Penelitian, Hasil dan Pembahasan, Kesimpulan dan Saran

c. Bagian akhir: Ucapan Terimakasih dan Daftar Pustaka

5. Judul tulisan singkat tapi jelas, menunjukkan dengan tepat masalah yang hendak dibahas, tidak member peluang penafsiran yang beraneka ragam, ditulis seluruhnya dengan huruf kapital

6. Nama penulis ditulis:

a. Di bawah judul tanpa gelar, diawali huruf kapital, ditulis simetri, tidak diawali dengan kata “oleh”. Apabila lebih dari satu orang, nama-nama ditulis pada satu baris.

b. Intstansi penulis bekerja ditulis pada bagian bawah nama penulis

7. Sari/Abstract memuat inti permasalahan, cara pemecahan dan hasil yang diperoleh, menggunakan 200-250 kata, diketik 1 spasi dilengkapi dengan kata kunci (keywords) paling banyak 5 kata terpenting dalam makalah.

8. Teknik Penulisan:

a. Kata asing menggunakan huruf miring

b. Alinea baru dimulai rata dari alinea sebelumnya, diberi paragraph setelahnya 9 pt.

c. Batas pengetikan: tepi atas 1”, tepi bawah 1”, tepi dalam 1” dan tepi luar 0,7”.

d. Tabel dan gambar harus diberi keterangan (nomor dan judul) yang jelas dan diletakkan didekat bagian tulisan yang pertama kali merujuknya. Jika ukuran terlalu besar, table atau gambar dicantumkan pada kertas tersendiri. Gambar/foto berwarna dapat diterima dengan catatan biaya pencetakannya ditanggung penulis dan perlu mendapat persetujuan redaksi terlebih dahulu.

e. Sumber rujukan dituliskan dalam uraian hanya terdiri dari nama penulis dan tahun penerbitan. Nama penulis tersebut harus sama dengan nama yang ditulis dalam daftar rujukan. Contoh: menurut Katili (1987).

f. Daftar rujukan ditulis dalam urutan abjad nama penulis dan secara kronologis:

• Untuk buku: nama pokok dan inisial pengarang, tahun terbit, judul buku (diketik miring), jilid, edisi, nama penerbit, tempat terbit.

• Untuk karangan dalam buku: nama pokok dan inisial pengarang, tahun, judul karangan, inisial dan nama editor: judul buku (diketik miring), nomor halaman permulaan dan akhir karangan tersebut, nama penerbit, tempat terbit.

• Untuk karangan dalam majalah/jurnal: nama pokok dan inisial pengarang, tahun, judul karangan, singkatan nama majalah/jurnal, inisial dan nama editor: judul buku (diketik miring), nomor halaman permulaan dan akhir karangan tersebut, nama penerbit, tempat terbit.

• Untuk karangan dalam pertemuan: nama pokok dan inisial pengarang, tahun, judul karangan, singkatan nama pertemuan (diketik miring), penyelenggara (bila perlu), waktu dan tempat pertemuan.

9. Persyaratan dan kepastian pemuatan atau penolakan naskah akan diberitahukan secara tertulis. Penulis yang akrtikelnya dimuat akan mendapat imbalan berupa nomor bukti pemuatan sebanyak 2 (dua) dan cetak lepas sebanyak 3 (tiga) eksemplar, setelah yang bersangkutan menyelesaikan proses dan persyaratan administrasi pemuatan naskah. Artikel yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan, kecuali atas permintaan penulis.