Upload
voque
View
219
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
KATA PENGANTAR
Assalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Salam sejahtera untuk kita semua.
Kajian merupakan bagian dari pelaksanaan fungsi dan tugas Bappenas sebagai lembaga perencanaan pembangunan agar dapat terus meningkatkan sensitivitas terhadap berbagai permasalahan yang terjadi di lapangan dan menetapkan alternatif kebijakan publik yang perlu diambil secara tepat dan cepat. Kegiatan kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Berbasis Kinerja yang dilakukan oleh Kantor Staf Ahli Bidang Reformasi Hukum dan Reformasi Birokrasi yang sangat ditunggu dan diharapkan dapat menjadi landasan untuk melakukan perbaikan dan penyempurnaan dalam rangka meningkatkan kualitas pembentukan peraturan perundang-undangan.
Kajian dimaksud tidak terlepas dari bagian upaya untuk mendukung pelaksanaan RPJMN 2010-2014 yang pada tahun 2011 akan ada penerapan secara penuh Penganggaran Berbasis Kinerja (Performance Based Budgeting); Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (Medium Term Expediture Framework); dan penganggaran Terpadu (Unified Budget) sebagaimana perintah UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan pelaksanaan UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN).
Kajian yang dilakukan oleh Staf Ahli Menteri Bidang Reformasi Hukum dan Reformasi Birokrasi dimaksud dibantu oleh dua orang tenaga ahli yaitu Sdr. Oka Mahendra S.H., dan Sdr. Sony Maulana S.H., MH.,. Di samping itu dalam proses penyusunan hasil kajian ini juga telah dilakukan seminar, diskusi melalui fokus group discussion (FGD) dengan melibatkan beberapa nara sumber baik yang terkait dengan masalah peraturan perundang-undangan maupun masalah kinerja keuangan seperti pejabat dari Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Keuangan, maupun praktisi evaluasi kinerja. Di samping itu, kajian ini juga ditujukan untuk dapat memperoleh gambaran praktik dari proses penyusunan suatu undang-undang, dengan mengirimkan questioner kepada 50 (limapuluh) Kementerian/LPND, namun hanya 35 (tigapuluh lima) Kementerian/LPND yang telah memberikan jawaban. Hasil yang diperoleh dari FGD dan pengiriman quesioner tersebut kemudian diperdalam melalui diskusi intensif pada internal tim kajian.
Kami berharap hasil akhir kajian ini akan dapat membantu semua pihak terutama bagi Bappenas maupun Kementerian/Lembaga dalam rangka penyusunan suatu rancangan undang-undang baik dalam rangka perencanaan kegiatan maupun dalam rangka untuk memperkirakan kebutuhan anggaran pembentukan undang-undang sehingga dapat lebih realistis dan efisien. Meskipun hasil kajian ini masih jauh dimaksudkan sebagai standar
ii
acuan biaya penyusunan suatu undang-undang sebagaimana yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan, namun dengan diidentifikasinya tahapan-tahapan pembentukan undang-undang dan komponen kegiatan dari masing-masing tahapan tersebut diharapkan akan dapat membantu Kementerian/Lembaga mengidentifikasi kebutuhan biaya yang akan dialokasikan.
Akhirnya kepada semua pihak yang terlibat dalam Tim Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Berbasis Kinerja, kami ucapkan terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya sehingga kajian dimaksud dapat diselesaikan dengan baik, dan Insya Allah dapat menjadi dasar pengambilan keputusan yang lebih tepat, efektif dan efisien, khususnya dalam menetapkan kebijakan penganggaran pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Wabillahitaufiq walhidayah Wassalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.
Jakarta, Desember 2010
Deputi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan Bambang Sutedjo, MSc
iii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ……………………………………………………………... i
Daftar Isi …………………………………………………………………… iii
Executive Summery ………………………………………………………... vi
BAB I PENDAHULUAN …………………………………............................. 1
1. Latar Belakang ....................................................................................... 1
2. Rumusan Masalah ................................................................................. 7
3. Maksud dan Tujuan .............................................................................. 8
4. Keluaran ................................................................................................. 8
5. Metodologi ............................................................................................. 9
6. Ruang Lingkup Kajian ........................................................................... 10
7. Pelaksanaan Kajian ................................................................................ 11
8. Jangka Waktu ......................................................................................... 11
BAB II KEBIJAKAN PENGANGGARAN DALAM PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANGAN .........................................................
12
1. Pengantar ................................................................................................ 12
2. Keterkaitan Kinerja Dengan Pernecanaan dan Anggaran ................. 13
3. Penerapan Standar Biaya Dalam Rangka Penganggaran Berbasis Kinerja .....................................................................................................
16
BAB III TAHAPAN DAN KEGIATAN DALAM PROGRAM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG .....................................................................
29
A. Pada Lingkungan Pemerintah ............................................................... 29
1. Perencanaan Pembentukan Undang-undang.............................. 31
a. Penyusunan Pada Lingkungan Pemerintah ............................ 32
iv
b. Penyusunan Bersama dengan DPR........................................... 35
2. Penyiapan Rancangan Undang-undang....................................... 35
a. Penyusunan Rancangan Undang-undang .............................. 36
b. Pengharmonisasian dan Pemantapan Rancanang Undang-undang ......................................................................................
37
c. Penyempurnaan Rancangan Undang-undang .................... 38
d. Pengajuan Rancangan Undang-undang Kepada Pimpinan DPR …………………………………………………………
38
3. Pembahasan Undang-undang....................................................... 39
a. Rancangan Undang-undang Usul Prakarsa Pemerintah ....... 39
b. Rancangan Undang-undang Usul Prakarsa DPR ................... 39
4. Pengesahan .................................. .................................................. 41
5. Pengundangan ................................. ............................................. 41
6. Penyebarluasan undang-undang ................................................. 42
7. Peran Serta Masyarakat ................................................................. 42
8. Teknik Penyusunan Undang-undang .......................................... 43
B. Di Lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat ......................................... 44
1. Perencanaan Pembentukan Undang-undang ............................. 44
a. Penyusunan Di Lingkungan DPR ............................................. 44
b. Penyusunan Bersama Dengan Pemerintah ............................. 45
2. Penyiapan Rancangan Undang-undang ...................................... 46
a. Pengajuan Usul Inisiatif Pembentukan Undang-undang ...... 46
b. Penyusunan Rancangan Undang-undang .............................. 46
c. Pengharmonisasian, dan pemanfaatan Rancangan Undang-undang ......................................................................
47
d. Penyempurnaan Rancangan Undang-undang ....................... 48
e. Pengajuan Rancangan Undang-undang Kepada Presiden .... 50
3. Pembahasan Rancangan undang-undang ................................... 51
a. Pembicaraan Tingakat I ............................................................ 51
b. Pembicaraan Tingkat II ............................................................ 52
v
C. Di Lingkungan Dewan Perwakilan Daerah......................................... 53
1. Penyiapan Rancangan Undang-undang ...................................... 53
a. Pengajuan Usul Pembentukan Rancangan Undang-undang dan Usulan Rancangan Undang-undang..............................
53
b. Penyusunan Rancangan Undang-undang usulan .................. 54
c. Penyempurnaan Rancangan Undang-undang ....................... 54
d. Pembahasan Rancangan Undang-undang .............................. 55
2. Pembahasan Rancangan Undang-undang dari DPR atau Presiden di DPR ..............................................................................
55
BAB IV. TEMUAN DAN ANALISA ............................................................... 57
A. Temuan dan Analisa di Lingkungan Pemerintah ................................ 57
B. Temuan dan Analisa di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat ….. 75
BAB V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ............................................. 84
A. Kesimpulan ............................................................................................. 84
B. Rekomendasi .......................................................................................... 85
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 89
LAMPIRAN-LAMPIRAN...................................................................................... 91
SK TIM KAJIAN .................................................................................................. 101
vi
Executive Summary
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Berbasis Kinerja
Outline Kajian
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Berbasis Kinerja terdiri dari 5 (lima) bab yaitu (i) Pendahuluan; (ii) Kebijakan Penganggaran dalam Penyusunan Peraturan Perundang-undangan; (iii) Tahapan Kegiatan Pembentukan Undang-undang yang terdiri dari 3 (tiga) sub bagian yaitu di lingkungan Pemerintah, lingkungan DPR dan lingkungan DPD; (iv) Temuan dan Analisa; (v) Kesimpulan dan Rekomendasi.
PENDAHULUAN
Undang-undang sebagai salah satu bentuk produk hukum pada dasarnya merupakan sarana baik bagi pemerintah maupun lembaga legislatif untuk menuangkan kebijakan-kebijakan publik dalam bentuk hukum. Kedudukan undang-undang sebagai salah satu sumber hukum tertulis sangat penting mengingat Indonesia adalah Negara hukum sehingga setiap orang termasuk setiap penyelenggara Negara harus patuh dan tunduk terhadap hukum. Dilihat dari materi muatannya, suatu undang-undang berisi aturan lebih lanjut ketentuan dalam UUD 1945 dan ketentuan yang diamanatkan oleh suatu undang-undang.1
Salah satu ukuran kuantitatif yang digunakan untuk melihat capaian pembangunan hukum dari sisi materi nya (legal substance), adalah jumlah undang-undang yang telah ditetapkan pada suatu periode tertentu. Hasil evaluasi terhadap kegiatan pembentukan hukum sampai dengan empat tahun RPJMN 2004-2009 sebagai berikut. Pada tahun 2004 telah ditetapkan sebanyak 33 (tigapuluh tiga) undang-undang dan dari jumlah tersebut, terdapat 4 (empat) undang-undang tentang pembentukan daerah. Sementara itu pada tahun 2005 telah ditetapkan 12 undang-undang, Dari jumlah tersebut terdapat empat undang-undang tentang pembentukan pengadilan tinggi, dua penetapan perpu menjadi undang-undang, dan dua pengesahan internasional covenan. Selanjutnya pada tahun 2006 telah ditetapkan 23 undang-undang, Dari jumlah tersebut terdapat lima undang-undang mengenai pengesahan internasional convention. Pada tahun 2007 telah ditetapkan 48 undang-undang, Dari jumlah tersebut terdapat 25 undang-undang tentang pengesahan daerah baru. Sementara pada tahun 2008 telah ditetapkan 56 undang-undang, Dari jumlah tersebut 30 undang-undang pembentukan daerah baru, dan 2 undang-undang pengesahan convention. Dari data tersebut menunjukan bahwa sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 jumlah undang-undang yang ditetapkan mengalami peningkatan kecuali untuk tahun 2005 mengalami penurunan lebih dari 50% dibandingkan tahun 2004. 1 Pasal 7 dan 8 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
vii
Dilihat dari sudut kualitas suatu undang-undang, salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas suatu undang-undang adalah pada jumlah permohonan pengujian undang-undang ke Mahkamah Konstitusi. Pada periode 2003 sampai dengan 2009 jumlah perkara pengujian undang-undang adalah sebanyak 247 dan yang telah diputus adalah sebanyak 208 buah. Dari jumlah perkara yang telah diputus tersebut 58 putusan menyatakan permohonan dikabulkan, 70 putusan menolak permohonan, 56 putusan tidak menerima alasan permohonan, dan 24 permohonan ditarik kembali oleh pemohon. Khusus pada tahun 2009 dari total 152 perkara yang diregistrasi, Mahkamah Konstitusi telah memutus 78 perkara pengujian undang-undang ditambah dengan 12 perkara tahun 2008. Dari jumlah tersebut hasil putusan Mahkamah Konstitusi adalah 15 perkara dikabulkan, 17 perkara ditolak, 12 perkara tidak dapat diterima dan 7 perkara ditarik kembali. Sehingga masih ada 39 perkara tahun 2009 yang akan diselesaikan pada tahun 2010. Jumlah perkara perkara pengujian undang-undang tidak identik dengan jumlah undang-undang yang dianggap bertentangan dengan konstitusi, karena ada kalanya satu undang-undang dapat dimintakan pengujian undang-undang dalam beberapa perkara. Dari data yang ada jumlah undang-undang yang dimintakan pengujian undang-undang adalah sebanyak 108 undang-undang selama periode 2003-2009. dari jumlah tersebut undang-undang yang banyak dimintakan pengujian adalah UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD sebanyak 15 kali, UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPD, DPR, dan DPRD, da UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, masing-masing diuji sebanyak 5 kali.
Terkait dengan perencanaan undang-undang yang menjadi prioritas untuk dibahas dalam suatu periode, maka Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) melalui forum Program Legislasi Nasional (Prolegnas) telah melakukan identifikasi kebutuhan undang-undang untuk suatu periode tertentu. Prolegnas ini pada dasarnya merupakan kesepakatan dari pemerintah dengan DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif. Di dalam Prolegnas 2008 yang telah disepakati 95 Rancangan Undang-undang yang menjadi prioritas untuk dibahas pada tahun 2008. Dari jumlah tersebut dikelompokan menjadi tiga kelompok yaitu (i) daftar RUU yang menjadi prioritas RUU tahun anggaran 2008 sebanyak 31 RUU; (ii) Daftar RUU Komulatif terbuka yang terdiri dari (a) daftar RUU komulatif terbuka tentang Ratifikasi Perjanjian Internasional sebanyak 6 RUU, (b) Daftar RUU Komulatif terbuka akibat putusan MK sebanyak 7 RUU, (c) Daftar RUU Komulatif terbuka tentang Reformasi Agraria sebanyak 9 RUU; (iii) Daftar RUU yang diluncurkan pembahasannya dari tahun 2007 ke tahun 2008 sebanyak 42 RUU. Meskipun pada tahun 2008 dan 2009 telah ditetapkan 71 UU, namun dari total jumlah UU tersebut hanya 10 UU atau kurang dari 10% yang merupakan prioritas UU dalam Prolegnas 2008. Dari jumlah tersebut terdiri dari 7 UU yang telah ditetapkan pada tahun 2008 dan 3 UU yang telah ditetapkan tahun 2009.
Apabila melihat pada fungsi dan posisi dalam tata urutan peraturan perundang-undang, undang-undang mempunyai peran yang sangat penting dan strategis. Bahkan dalam praktek pemerintahan dan bernegara seringkali muncul pandangan bahwa segala permasalahan akan selesai apabila sudah diatur dengan suatu undang-undang. Kondisi ini menimbulkan permasalahan baru karena banyaknya undang-undang yang sudah ditetapkan dan seringkali antara satu undang-undang dengan undang-undang lainnya saling tumpang tindih atau bahkan bertentangan yang menyebabkan timbulnya ketidakpastian hukum di Indonesia. Sementara itu dalam proses pembuatan suatu undang-
viii
undang seringkali ego sektoral/departemental atau kepentingan pribadi/kelompok lebih sering kelihatan daripada kepentingan bangsa dan negara. Dalam proses tersebut seringkali terjadi ‘lobby’ yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kualitas dari hasil pembahasan suatu rancangan undang-undang. Adanya kenyataan bahwa proses pembuatan suatu undang-undang membutuhkan waktu yang relatif cukup panjang dan lama menimbulkan implikasi pada kebutuhan akan ketersediaan anggaran. Dalam prakteknya suatu kementerian atau lembaga yang akan menyusun suatu undang-undang mengalokasikan anggaran untuk kegiatan ini sangat bervariasi. Hal ini mengakibatkan alokasi biaya antar Kementrian/Lembaga menjadi berbeda, sehingga suatu undang-undang yang mengatur hal-hal yang secara ekonomi strategis mendapatkan alokasi biaya yang sangat besar, apabila dibandingkan dengan undang-undang lain. Tidak adanya standar baik dilihat dari komponen biaya maupun standar satuan biaya untuk kegiatan penyusunan dan pembahasan rancangan undang-undang menyebabkan disatu sisi kualitas dari suatu rancangan undang-undang menjadi berkurang karena alokasi biayanya terlalu minim akan tetapi disisi yang lain ketika alokasi anggaran untuk membiayai kegiatan ini besar, bukan menjadi jaminan kualitas rancangan undang-undang tersebut juga baik. Oleh karenanya dilihat dari sudut efisiensi dan akuntabilitas kadangkala proses penyusunan dan pembahasan rancangan undang-undang kurang dapat dipertanggungjawabkan.
Maksud dan Tujuan
Kajian ini dimaksudkan untuk memberikan masukan dalam rangka proses perencanaan dan anggaran dalam menyusun suatu perencanaan yang terkait dengan tahapan dalam penyusunan, pembahasan dan harmonisasi dan pembahasan di DPR atas suatu suatu rancangan undang-undang. Secara umum kajian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam rangka untuk penyusunan rencana pembangunan nasional khususnya terkait dengan pembangunan materi hukum khususnya terkait dengan kegiatan penyusunan undang-undang. Secara khusus kajian ini bertujuan untuk : pertama Membantu Bappenas dalam memperkirakan kebutuhan awal anggaran yang akan dituangkan dalam dokumen perencanaan untuk penyusunan kerangka regulasi khususnya undang-undang pada bidang pembangunan yang ada; kedua Membantu kementrian/lembaga terutama dalam penyusunan rancangan undang-undang di masa yang akan datang. Dengan adanya identifikasi komponen-komponen yang diperlukan pada setiap tahapan dalam proses pembentukan rancangan undang-undang akan membantu Kementrian/Lembaga yang bersangkutan untuk merencanakan kebutuhan anggaran yang diperlukan dalam rangka penyusunan rancangan undang-undang yang menjadi kewenangannya; ketiga Dengan adanya pedoman ini diharapkan proses penyusunan, pembahasan antar departemen, harmonisasi dan pembahasan di DPR atas suatu rancangan undang-undang dapat dilakukan dengan lebih efisien dan akuntabilitasnya dapat dipertanggungjawabkan.
Metodologi
Dalam menyusun hasil kajian ini menggunakan baik data data primer yang berupa hasil jawaban questioner yang dibagikan kepada responden maupun data sekunder berupa dokumen-dokumen hukum seperti peraturan perundang-undangan dan buku, makalah, serta literatur lainnya. Dari 50 Kementerian/Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang dikirimi questioner, 35 Kementerian/Lembaga (70%) memberikan jawaban, sedangkan 16
ix
Kementerian/Lembaga tidak memberikan jawaban (30%). Questioner tersebut dikirimkan kepada unit-unit yang mempunyai tugas fungsi untuk melakukan penyusunan peraturan perundang-undangan pada Kementerian/Lembaga, hampir sebagian besar unit tersebut adalah biro hukum dari Kementerian/Lembaga. Respondennya adalah pejabat-pejabat di lingkungan biro-biro hukum tersebut sehingga diharapkan jawabannya dapat menggambarkan kondisi dan pengalaman yang selama ini dialami dalam proses pembentuan suatu undang-undang.
Ruang Lingkup Kajian
Kajian ini membahas mengenai tahapan dalam proses penyusunan dan pembahasan rancangan undang-undang. Secara garis besar tahapan tersebut dimulai dari proses pengkajian hukum, penelitian hukum, penyusunan naskah akademis, penyusunan dokumen rancangan undang-undang, harmonisasi rancangan undang-undang, dan pembahasan rancangan undang-undang di DPR yang akan dilanjutkan dengan identifikasi komponen atau variabel kegiatan dari masing-masing tahapan dalam proses pembentukan rancangan suat undang-undangan.
KEBIJAKAN PENGANGGARAN DALAM PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Permasalahan yang dihadapi dalam rangka penetapan kebijakan perencanaan penganggaran dalam penyusunan peraturan perundang-undangan adalah sulitnya menentukan besarnya anggaran yang didasarkan pada kebutuhan riil dari kementerian/ lembaga yang akan menyusun dan membahas suatu rancangan undang-undang. Penentuan besarnya anggaran untuk penyusunan dan pembahasan rancangan undang-undang seharusnya dapat didasarkan pada tahapan-tahapan pembentukan suatu rancangan undang-undang yang disepakati oleh setiap kementrian/lembaga berdasarkan proses sebagaimana UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Ketersediaan anggaran pada setiap tahapan untuk membiayai semua komponen atau variabel yang diperlukan dalam kegiatan penyusunan dan pembahasan suatu undang-undang merupakan salah satu variabel yang menentukan kualitas suatu undang-undang.
Salah satu tugas dari Kementerian Keuangan dalam rangka perencanaan penganggaran adalah menetapkan Standar Biaya Umum (SBU) yang berlaku untuk semua Kementrian/Lembaga dan Standar Biaya Khusus (SBK) yang hanya berlaku untuk satu kementrian/lembaga tertentu. SBU pada dasarnya merupakan pedoman bagi semua kementerian/lembaga untuk menghitung kebutuhan biaya kegiatan dalam penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga. PMK No. 01/PM.2/2009 tentang Standar Biaya Umum tahun 2010 antara lain mengatur besarnya honorarium tim, biaya perjalanan dll. Disamping itu Kementerian Keuangan telah menetapkan SBK tahun 2009 melalui PMK No. 108/PM.2/2009. SBK pada dasarnya merupakan standar biaya yang akan digunakan untuk suatu kegiatan khusus dilaksanakan oleh K/L tertentu untuk wilayah tertentu. SBK meskipun dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan merupakan
x
usulan dari masing-masing K/L untuk menentukan kebutuhan biaya kegiatan internal mereka sendiri.
Meskipun keberadaan SBU dan SBK untuk kegiatan penyusunan peraturan perundang-undangan telah ditetapkan, namun kenyataan dalam pelaksanaannya variasi biaya dalam penyusunan suatu undang-undang sangat beragam karena variabel kegiatan dan volume dalam pembuatan suatu RUU dapat sangat bervariasi, meskipun indeks biayanya mengacu kepada SBU. Suatu KL yang akan melakukan kegiatan terkait dengan penyusunan suatu undang-undang akan menggunakan indeks yang ada dalam SBU dengan mengacu kepada komponen kegiatan berupa komponen honor, komponen bahan, dan komponen perjalanan. Namun demikian meskipun ketiga komponen tersebut sudah ada standar satuan biayanya, dalam pelaksanaannya sering kali alokasi anggaran untuk biaya penyusunan suatu undang-undang dari satu lembaga dengan lembaga lain bisa sangat bervariasi. Adanya perbedaan biaya penyusunan undang-undang tersebut disebabkan karena adanya perbedaan komponen dalam setiap tahapan penyusunan undang-undang. Sebagai contoh untuk penyusunan satu undang-undang dalam rangka pembuatan naskah akademisnya diperlukan studi banding ke beberapa Negara akibatnya biaya yang dibutuhkan akan lebih besar dari undang-undang yang tidak memerlukan studi banding.
TAHAPAN KEGIATAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG YANG TERDIRI DARI 3 (TIGA) SUB BAGIAN YAITU DI LINGKUNGAN PEMERINTAH, LINGKUNGAN DPR DAN LINGKUNGAN DPDT
Tahapan pembentukan undang-undang, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang ada maka usulan suatu rancangan undang-undang dapat datang dari pemerintah maupun DPR. Disamping itu pengajuan suatu undang-undang juga dapat dilakukan oleh DPD. Bab ini pada dasarnya merupakan gambaran dari proses pembentukan undang-undang sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undang, Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional, Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden, Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan Peraturan Perundang undangan, dan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-01.PP.01.01 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Perundang undangan.
TEMUAN DAN ANALISA
Temuan dan analisa dari hasil questioner yang dikirimkan ke responden. yang tersebar di 50 (lima puluh) Kementerian/Lembaga, meskipun dari jumlah tersebut hanya 35 (tiga puluh lima) Kementerian/Lembaga yang memberikan jawaban atas questioner tersebut. Dari jumlah Kementerian/Lembaga tersebut terdapat 6 (enam) Kementerian yang
xi
pada periode 2005-2009 telah menyusun RUU paling banyak yaitu Kementerian Keuangan dengan jumlah RUU sebanyak 86 RUU; Kementerian Hukum & HAM dengan jumlah RUU sebanyak 57 RUU; Kementerian Dalam Negeri dengan jumlah RUU sebanyak 56 RUU; Kementerian Pertahanan dengan jumlah RUU sebanyak 43 RUU; Kementerian PAN & Reformasi Birokrasi dengan jumlah RUU sebanyak 30 RUU; dan Kementerian Sosial dengan jumlah RUU sebanyak 20 RUU. Terkait dengan peran Prolegnas sebagai acuan dalam proses perencanaan pembuatan suatu rancangan undang-undang 81,92% responden menyatakan bahwa RUU yang disusun sesuai dengan Prolegnas sementari 18,08% menyatakan bahwa RUU yang disusun tidak sesuai dengan Prolegnas. Terkait dengan sejauh mana RUU yang telah disusun oleh Kementerian/Lembaga ditindaklanjuti untuk disampaikan kepada Presiden atau bahkan sampai ke DPR dan disyahkan menjadi UU, hanya 17,98% RUU yang disyahkan menjadi UU, dan 45,22% RUU yang telah diajukan ke Presiden telah disyahkan. Bahkan apabila dibandingkan antara RUU yang sudah disusun dengan yang kemudian diajukan ke Presiden angkanya hanya mencapai 39,75%. Dilihat dari sudut pandang efisiensi perencanaan dan penganggaran menunjukan bahwa telah terjadi inefisiensi karena investasi negara yang tidak sedikit untuk penyusunan suatu RUU ternyata tidak mencapai output yang optimal. Dilihat dari sudut waktu yang diperlukan untuk pembuatan undang-undang pada masing-masing tahapan sangat bervariatif namun demikian sebagian besar responden menjawab untuk masing-masing tahapan sekitar 10-12 bulan (hal ini mungkin terkait dengan periode tahun anggaran dimana kegiatannya akan menyesuaikan dengan periode tersebut). Namun demikian pada tahapan pembahasan RUU di DPR relatif cukup banyak yang menjawab antara 13 – 18 bulan. Terkait dengan pengalokasian anggaran untuk pembahasan 1 RUU nilainya sangat bervariasi dari Rp.120 juta sampai dengan Rp.6-10 milyar. Dari 29 Kementerian/Lembaga yang menjawab questioner hanya 3 Kementerian/Lembaga yang menjawab alokasi biayanya di bawah Rp.500 juta, sementara terdapat 18 Kementerian/Lembaga yang mengalokasikan anggarannya untuk pembahasan satu RUU di atas Rp.500 juta. Bahkan dari jumlah tersebut terdapat 11 Kementerian/Lembaga yang mengalokasikan anggarannya sebesar Rp.3-10 milyar.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Sampai dengan saat ini belum ada penetapan indikator kinerja yang dapat mencerminkan tolok ukur pencapaian sasaran program atau kegiatan pembentukan peraturan perundang-undangan, karena K/L tidak memiliki persamaan persepsi tentang implementasi UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Pelaksanaannya. Di sisi lain, berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, penerapan penganggaran berbasis kinerja (Performance Based Budgeting); Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (Medium Term Expenditure Framework); dan Penganggaran Terpadu (Unified Budget) sudah diterapkan sejak RPJMN 2010-2014 bagi semua lembaga yang menggunakan uang negara (APBN-APBD).
xii
2. Belum adanya standar biaya yang dapat menggambarkan kebutuhan dana untuk menghasilkan suatu output secaran efisien dengan tetap memperhatikan kualitas, karena K/L tidak/belum memahami secara baik tahapan kegiatan pembahasan RUU di DPR RI sesuai dengan Peraturan DPR RI No. 01/DPR RI/2009-2010 tentang Tata Tertib dan mekanisme rapat pembahasan RUU yang disepakati oleh Komisi/Gabungan Komisi/Badan Legislasi/Badan Anggaran/Panitia Khusus DPR RI. Di samping itu UU No. 10 Tahun 2004 dan Peraturan Pelaksanaannya tidak jelas mengatur kegiatan pembahasan RUU pada setiap tahapan, sehingga koordinasi antar K/L belum berjalan dengan baik. Masing-masing K/L menafsirkan sendiri-sendiri kegiatan dalam pembentukan Undang-undang pada setiap tahapan, sehingga akibatnya masih terjadi duplikasi penganggaran.
3. Bentuk pelaksanaan evaluasi kinerja yang selama ini dilakukan untuk menilai keberhasilan suatu program atau kegiatan dimana hasilnya akan digunakan sebagai bahan masukan (feedback) untuk proses perencanaan periode berikutnya, adalah sejalan dengan pelaksanaan PP Nomor 39 Tahun 2006 tentang tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan. Namun dalam pelaksanaannya juga masih belum optimal, karena minimnya data yang dikelola oleh K/L tentang capaian kualitatif dan kuantitatif pelaksanaan pembentukan peraturan perundang-undangan. Salah satu sebab adalah K/L yang mengajukan RUU tidak mengacu pada kebutuhan yang tertuang dalam perencanaan pembangunan jangka menengah, saat ini ditetapkan dengan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014; Rencana Stategis K/L dan Rencana Kerja Tahunan yang tertuang dalam Rencana Kerja Pemerintah, serta Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga. Praktik yang selama ini dilakukan adalah K/L biasanya mengkonsolidasikan unit-unit kerjanya untuk mengajukan RUU berdasarkan kepentingan masing-masing.
B. Saran
1. Memperketat syarat-syarat suatu KL untuk mengajukan RUU yang sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Rencana Tahunan Pemerintah serta Rencana Strategis K/L sendiri.
2. Meningkatkan komunikasi antra Kementerian Keuangan dan Kementerian Hukum dan HAM, Biro Hukum K/L, dan Sekretariat Jenderal DPR untuk dalam menetapkan Standar Biaya Umum (SBU) dan Standar Biaya Khusus (SBK) untuk pembentukan peraturan perundang-undangan, yang tidak semata-mata hanya pada standar komponen harga namun juga pada standar kualitatif yang ingin dicapai sejalan dengan rencana pembangunan nasional (RPJMN, RKP dan Renstra K/L).
3. Melakukan sosialiasi kepada K/L terhadap tahapan kegiatan pembahasan RUU di DPR RI sesuai dengan Peraturan DPR RI No. 01/DPR RI/2009-2010 tentang Tata Tertib dan mekanisme rapat pembahasan RUU yang disepakati oleh Komisi/Gabungan Komisi/Badan Legislasi/Badan Anggaran/Panitia Khusus DPR RI.
4. Menyempurnakan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dengan mengatur kegiatan pembahasan RUU pada setiap tahapan, baik pada DPR maupun Pemerintah.
xiii
5. Meningkatkan kualitas SBU dan SBK dengan menetapkan variabel kegiatan dan volume dalam pembuatan suatu RUU dengan memperjelas komponen dalam setiap tahapan penyusunan undang-undang sejalan dengan Program Legislasi Nasional, sehingga dapat menghindari inefisiensi dan tidak efektif nya penggunaan anggaran negara, melalui pembagian tugas yang jelas antara pelaksanaan Prolegnas yang berasal dari inisiatif DPR dan insiatif Pemerintah. Sebagai contoh: dalam rangka pembuatan naskah akademis RUU dari usul inisiatif DPR yang memerlukan studi banding ke Negara best practice, maka wajib mengikutsertakan unsur/wakil dari Pemerintah, demikian pula sebaliknya. Dengan demikian, tidak akan terjadi anggaran dobel yang selama ini terjadi, karena masing-masing mengalokasikan anggaran studi banding dan melaksanakan kegiatannya sendiri-sendiri, sehingga tidak terwujud persamaan persepsi, dan dalam praktiknya terjadi permintaan untuk melakukan studi banding tambahan meskipun sudah dalam proses pembahasan di DPR. Diharapkan hal tersebut juga dapat semakin meningkatkan check and balance antara DPR dan Pemerintah sebagai Lembaga Tinggi Negara dan seagai perwujudan akuntabilitas penyelenggara Negara kepada rakyat yang telah semakin menyadari artinya demokratisasi.
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Undang-undang sebagai salah satu bentuk produk hukum pada dasarnya merupakan
sarana baik bagi pemerintah maupun lembaga legislatif untuk menuangkan kebijakan-
kebijakan publiknya dalam bentuk hukum (peraturan perundang-undangan). Kedudukan
undang-undang sebagai salah satu sumber hukum tertulis sangat penting mengingat Indonesia
adalah Negara hukum sehingga setiap orang termasuk aparat Negara harus patuh dan tunduk
terhadap hukum. Dilihat dari materi muatannya, suatu undang-undang berisi aturan lebih lanjut
dari ketentuan dalam Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI
1945) dan ketentuan yang diamanatkan oleh suatu undang-undang.1
Salah satu ukuran yang digunakan untuk melihat keberhasilan dari pembangunan materi
hukum (legal substance) adalah jumlah undang-undang yang telah ditetapkan pada suatu
periode tertentu. Hasil evaluasi terhadap kegiatan pembangunan materi hukum sampai dengan
tahun keempat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2008,
adalah sebagai berikut: pada tahun 2004 telah ditetapkan 33 (tiga puluh tiga) undang-undang.
Dari jumlah tersebut terdapat 4 (empat) undang-undang tentang pembentukan daerah.
Sementara itu pada tahun 2005 telah ditetapkan 12 (dua belas) undang-undang, Dari jumlah
tersebut terdapat 4 (empat) undang-undang tentang pembentukan pengadilan tinggi, 2 (dua)
penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) menjadi undang-undang,
dan 2 (dua) pengesahan international covenant. Selanjutnya pada tahun 2006 telah ditetapkan
23 (dua puluh tiga) undang-undang. Dari jumlah tersebut terdapat 5 (lima) undang-undang
mengenai pengesahan international convention. Pada tahun 2007 telah ditetapkan 48(empat
puluh delapan) undang-undang. Dari jumlah tersebut terdapat 25 (dua puluh lima) undang-
undang tentang pengesahan daerah baru. Sementara pada tahun 2008 telah ditetapkan 56 (lima
puluh enam) undang-undang. Dari jumlah tersebut 30 (tiga puluh) undang-undang
pembentukan daerah baru, dan 2 (dua) undang-undang pengesahan international convention.
1 Pasal 7 dan 8 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
2
Dari data tersebut menunjukan bahwa sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 jumlah
undang-undang yang ditetapkan mengalami peningkatan kecuali untuk tahun 2005 mengalami
penurunan lebih dari 50persen (lima puluh per seratus) dibandingkan tahun 2004. Gambaran
dari capaian pembentukan undang-undang dari tahun 2004-2008 adalah sebagai berikut:
Tabel 1
PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG
2004-2008
Tahun
Jumlah
Pembentukan
Daerah
Baru
Pembentukan
Pengadilan Tinggi
Penetapan
Perpu
Penetapan
International
Covenant
Keterangan
2004 (33) 4 - - - Selebihnya merupakan pembentukan undang-undang
2005 (12) - 4 2 2 Selebihnya merupakan pembentukan undang-undang
2006 (23) - - - 5 Selebihnya merupakan pembentukan undang-undang
2007 (48) 25 - - - Selebihnya merupakan pembentukan undang-undang
2008 (56) 30 - - 2 Selebihnya merupakan pembentukan undang-undang
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
3
Dilihat dari sudut kualitas suatu undang-undang, salah satu indikator yang dapat
digunakan untuk mengukur kualitas suatu undang-undang adalah pada jumlah permohonan
pengujian undang-undang ke Mahkamah Konstitusi. Pada periode 2003 sampai dengan 2009
jumlah perkara pengujian undang-undang adalah sebanyak 247 (dua ratus empat puluh tujuh)
dan yang telah diputus adalah sebanyak 208 (dua ratus delapan) buah. Dari jumlah perkara
yang telah diputus tersebut, 58 (lima puluh delapan) putusan menyatakan permohonan
dikabulkan, 70 (tujuh puluh) putusan menolak permohonan, 56 (lima puluh enam) putusan
tidak menerima alasan permohonan, dan 24 (dua puluh empat) permohonan ditarik kembali
oleh pemohon. Khusus pada tahun 2009 dari total 152 (seratus lima puluh dua) perkara yang
diregistrasi, Mahkamah Konstitusi telah memutus 78 (tujuh puluh delapan) perkara pengujian
undang-undang ditambah dengan 12 (dua belas) perkara tahun 2008. Dari jumlah tersebut
hasil putusan Mahkamah Konstitusi adalah 15 (lima belas) perkara dikabulkan, 17 (yujuh
belas) perkara ditolak, 12 (dua belas) perkara tidak dapat diterima dan 7 (tujuh) perkara ditarik
kembali. Sehingga masih ada 39 (tiga puluh sembilan) perkara tahun 2009 yang akan
diselesaikan pada tahun 2010. Jumlah perkara perkara pengujian undang-undang tidak identik
dengan jumlah undang-undang yang dianggap bertentangan dengan konstitusi, karena ada
kalanya satu undang-undang dapat dimintakan pengujian undang-undang dalam beberapa
perkara. Dari data yang ada jumlah undang-undang yang dimintakan pengujian undang-undang
adalah sebanyak 108 (seratus delapan) undang-undang selama periode 2003-2009. Dari
jumlah tersebut undang-undang yang banyak dimintakan pengujian adalah Undang-undang No.
10 tahun 2008 tentang Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD sebanyak 15 (lima belas) kali,
UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPD, DPR, dan DPRD, dan Undang-undang No. 42
Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, masing-masing diuji sebanyak 5
(lima) kali.
Terkait dengan perencanaan undang-undang yang menjadi prioritas untuk dibahas
dalam suatu periode, maka Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) melalui forum
Program Legislasi Nasional (Prolegnas) telah melakukan identifikasi kebutuhan undang-
undang untuk suatu periode tertentu. Prolegnas ini pada dasarnya merupakan kesepakatan dari
pemerintah dengan DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif. Di dalam Prolegnas 2008
yang telah disepakati 95 (sembilan puluh lima) Rancangan Undang-undang (RUU) yang
menjadi prioritas untuk dibahas pada tahun 2008. Dari jumlah tersebut dikelompokan menjadi
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
4
tiga kelompok yaitu (i) daftar RUU yang menjadi prioritas RUU tahun anggaran 2008
sebanyak 31 (tiga puluh satu) RUU; (ii) Daftar RUU Kumulatif terbuka yang terdiri dari (a)
daftar RUU kumulatif terbuka tentang Ratifikasi Perjanjian Internasional sebanyak 6 (enam)
RUU, (b) Daftar RUU Kumulatif terbuka akibat putusan MK sebanyak 7 (tujuh) RUU, (c)
Daftar RUU Kumulatif terbuka tentang Reformasi Agraria sebanyak 9 (sembilan) RUU; (iii)
Daftar RUU yang diluncurkan pembahasannya dari tahun 2007 ke tahun 2008 sebanyak 42
(empat puluh dua) RUU. Meskipun pada tahun 2008 dan 2009 telah ditetapkan 71 (tujuh puluh
satu) undang-undang (UU), namun dari total jumlah UU tersebut hanya 10 (sepuluh) UU atau
kurang dari 10 persen yang merupakan prioritas UU dalam Prolegnas 2008. Dari jumlah
tersebut terdiri dari 7 (tujuh) UU yang telah ditetapkan pada tahun 2008 dan 3 (tiga) UU yang
telah ditetapkan tahun 2009.
Apabila melihat pada fungsi dan posisi dalam tata urutan peraturan perundang-undang,
undang-undang mempunyai peran yang sangat penting dan strategis. Dalam praktik
pemerintahan dan bernegara seringkali muncul pandangan bahwa segala permasalahan akan
selesai apabila sudah diatur dengan suatu undang-undang. Kondisi ini menimbulkan
permasalahan baru karena banyaknya undang-undang yang sudah ditetapkan dan seringkali
antara satu undang-undang dengan undang-undang lainnya saling tumpang tindih atau bahkan
bertentangan yang menyebabkan timbulnya ketidakpastian hukum. Pada poses pembuatan
suatu undang-undang pun seringkali ego sektoral/kementerian atau kepentingan
pribadi/kelompok lebih sering kelihatan daripada kepentingan bangsa dan negara. Dalam
proses tersebut seringkali terjadi ‘lobby’ yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kualitas dari
hasil pembahasan suatu rancangan undang-undang. Adanya kenyataan bahwa proses
pembuatan suatu undang-undang membutuhkan waktu yang relatif cukup panjang dan lama
menimbulkan implikasi pada kebutuhan akan ketersediaan anggaran. Dalam praktiknya suatu
kementerian atau lembaga yang akan menyusun suatu undang-undang mengalokasikan
anggaran untuk kegiatan ini sangat bervariasi. Hal ini mengakibatkan alokasi biaya antar
Kementerian/Lembaga menjadi berbeda, sehingga suatu undang-undang yang mengatur hal-hal
yang secara ekonomi strategis mendapatkan alokasi biaya yang sangat besar, apabila
dibandingkan dengan undang-undang lain. Tidak adanya standar, baik dilihat dari komponen
biaya maupun standar satuan biaya untuk kegiatan penyusunan dan pembahasan rancangan
undang-undang menyebabkan disatu sisi kualitas dari suatu rancangan undang-undang menjadi
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
5
berkurang karena alokasi biayanya terlalu minim, akan tetapi disisi yang lain ketika alokasi
anggaran untuk membiayai kegiatan ini besar, bukan menjadi jaminan kualitas rancangan
undang-undang tersebut juga baik. Dilihat dari sudut efisiensi dan akuntabilitas pun
kadangkala proses penyusunan dan pembahasan rancangan undang-undang kurang dapat
dipertanggungjawabkan.
Sementara itu dalam rangka perencanaan penganggaran, permasalahan yang dihadapi
adalah kesulitan dalam menentukan besarnya anggaran yang didasarkan pada kebutuhan riil
dari Kementerian/Lembaga yang akan menyusun dan membahas suatu rancangan undang-
undang. Penentuan besarnya anggaran untuk penyusunan dan pembahasan rancangan undang-
undang seharusnya dapat didasarkan pada tahapan-tahapan pembentukan suatu rancangan
undang-undang yang disepakati oleh setiap Kementerian/Lembaga berdasarkan proses
sebagaimana Undang-undang No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan. Ketersediaan anggaran pada setiap tahapan untuk membiayai semua komponen atau
variabel yang diperlukan dalam kegiatan penyusunan dan pembahasan suatu undang-undang
merupakan salah satu variabel yang menentukan kualitas suatu undang-undang.
Salah satu tugas dari Kementerian Keuangan dalam rangka perencanaan penganggaran
adalah menetapkan Standar Biaya Umum (SBU) yang berlaku untuk semua
Kementerian/Lembaga dan Standar Biaya Khusus (SBK) yang hanya berlaku untuk satu
Kementerian/Lembaga tertentu. SBU pada dasarnya merupakan pedoman bagi semua
Kementerian/Lembaga untuk menghitung kebutuhan biaya kegiatan dalam penyusunan
Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga. Peraturan Menteri Keuangan No.
01/PM.2/2009 tentang Standar Biaya Umum tahun 2010 antara lain mengatur besarnya
honorarium tim, biaya perjalanandan lain-lain. Di samping itu Kementerian Keuangan telah
menetapkan SBK tahun 2009 melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 108/PM.2/2009.
Standar Biaya Khusus pada dasarnya merupakan standar biaya yang akan digunakan untuk
suatu kegiatan khusus dilaksanakan oleh Kementerian/Lembaga tertentu untuk wilayah
tertentu. SBK meskipun dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan merupakan usulan dari
masing-masing K/L untuk menentukan kebutuhan biaya kegiatan internal mereka sendiri.
Untuk tahun anggaran 2010, beberapa kegiatan yang terkait dengan penyusunan peraturan
perundang-undangan di dalam SBK tahun 2010 adalah sebagai berikut:
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
6
1. Pada lingkungan Sekretarian Jendral Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terdapat kegiatan
(a) penyusunan kajian/analisa RUU dengan indeks Rp.137.267.000/kajian (b) Pengkaiian
dan Penyusunan Naskah Akademis dan Draft RUU dengan indeks Rp.193.596.000/draft;
(c) Pengkajian dan Penyusunan Naskah Akademik dan Draft RUU tentang UU yang
diamandemen MK dengan indeks Rp.227.460.000/draft; (d) Kajian/Penelitian individu
Untuk Memenuhi kebutuhan Anggota DPR RI pada Data dan Informasi dengan indeks
Rp.50.911.000/kajian; (e) Kajian/Penelitian kelompok Untuk Memenuhi kebutuhan
anggota DPR RI pada Data dan Informasi dengan indeks Rp.278.222.000/kajian
2. Pada lingkungan Direktorat Jendral Peraturan Perundang-undangan, Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia (HAM), terdapat kegiatan (a) Penyusunan Naskah RUU dengan
indeks Rp.405.774.000/RUU; (b) Penyusunan Naskah Rancangan Peraturan Pemerintah
(RPP) dengan indeks Rp.306.774.000/RPP; (c) Pembahasan RUU dan Penyusunan Daftar
Investasi Masalah (DIM) dengan indeks Rp.459.452.000/RD; Penyusunan Keterangan
Pemerintah atas Pengujian UU terhadap UUD 1945 dengan indeks Rp.84.712.000/KP.
3. Pada lingkungan Badan Pembinaan Hukum dan Nasional (BPHN), terdapat kegiatan (a)
Analisa dan Evaluasi Peraturan Perundang-undangan, dengan indeks
Rp.147.372.000/laporan; (b) Pengkajian Hukum dengan indeks Rp.156.116.000/laporan;
(c) Penelitian dalam rangka Pembentukan/Pengembangan Hukum, dengan indeks
Rp.181.688.000/laporan; (d) Penyusunan Naskah Akademik Peraturan Perundang-
undangan, dengan indeks Rp.292.768.000/RUU
Dari kondisi tersebut di atas meskipun keberadaan SBK untuk DPR dan Kementerian
Hukum dan HAM terkait dengan kegiatan penyusunan peraturan perundang-undangan telah
ditetapkan, namun tidak menutup kemungkinan adanya variasi biaya dalam penyusunan suatu
undang-undang karena variabel kegiatan dan volume dalam pembuatan suatu RUU dapat
sangat bervariasi, meskipun indeks biayanya mengacu kepada SBU. Di samping itu K/L lain
yang akan melakukan kegiatan terkait dengan penyusunan suatu undang-undang akan
menggunakan indeks yang ada dalam SBU dengan mengacu kepada komponen kegiatan
berupa komponen honor, komponen bahan, dan komponen perjalanan. Namun demikian
meskipun ketiga komponen tersebut sudah ada standar satuan biayanya, dalam pelaksanaannya
sering kali alokasi anggaran untuk biaya penyusunan suatu undang-undang dari satu lembaga
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
7
dengan lembaga lain bisa sangat bervariasi. Adanya perbedaan biaya penyusunan undang-
undang tersebut disebabkan karena adanya perbedaan komponen dalam setiap tahapan
penyusunan undang-undang. Sebagai contoh untuk penyusunan satu undang-undang dalam
rangka pembuatan naskah akademisnya diperlukan studi banding ke beberapa negara akibatnya
biaya yang dibutuhkan akan lebih besar dari undang-undang yang tidak memerlukan studi
banding. Sebagai contoh untuk penyusunan RUU Pemilihan Presiden dilakukan studi banding
ke Argentina dan Rusia.2 Dalam rangka penyempurnaan Rancangan Undang-Undang Penataan
Ruang, Panitia Khusus (Pansus) RUU Penataan Ruang DPR-RI melakukan studi banding ke
tiga kota di Australia, yakni Sydney, Canberra, dan Melbourne.3
2. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah yang diuraikan sejalan dengan latar belakang masalah dalam
penyusunan kajian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kesepakatan mengenai tahapan-tahapan pembentukan rancangan undang-
undang beserta kegiatan-kegiatan yang terkait?;
2. Variabel-variabel apa yang berpengaruh pada kegiatan dalam pembentukan rancangan
undang-undang sehingga akan mempengaruhi biaya yang dikeluarkan untuk
penyusunan suatu undang-undang?;
3. Bagaimana menentukan komponen harga yang dapat berpengaruh kepada biaya
penyusunan suatu perundang-undang?.
Melihat pada permasalahan yang ada tersebut, maka perlu adanya suatu kajian yang
komprehensif tentang standar tentang komponen yang diperlukan dalam setiap tahapan proses
pembentukan rancangan undang-undangan yang efisien dan akuntabel sehingga dapat
menghasilkan peraturan perundang-undangan yang lebih berkualitas di masa yang akan datang.
2 http://www.partaigerindra.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=311&Itemid=37 3 http://www.jkpp.org/Content.asp?id=172&mid=131
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
8
3. MAKSUD DAN TUJUAN
Kajian ini dimaksudkan untuk memberikan masukan dalam rangka proses perencanaan
dan anggaran dalam menyusun suatu perencanaan yang terkait dengan tahapan dalam
penyusunan, pembahasan dan harmonisasi dan pembahasan di DPR atas suatu suatu rancangan
undang-undang.
Tujuan umum: hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam rangka untuk
penyusunan rencana pembangunan nasional khususnya terkait dengan pembangunan materi
hukum khususnya terkait dengan kegiatan penyusunan undang-undang.
Tujuan khusus :
1. Membantu Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas) mengidentifikasi awal kebutuhan anggaran yang
akan dituangkan dalam dokumen perencanaan untuk penyusunan kerangka regulasi
khususnya undang-undang pada bidang pembangunan yang ada.
2. Membantu Kementerian/Lembaga terutama dalam penyusunan rancangan undang-
undang di masa yang akan datang. Dengan adanya identifikasi komponen-komponen
yang diperlukan pada setiap tahapan dalam proses pembentukan rancangan undang-
undang akan membantu Kementerian/Lembaga yang bersangkutan untuk
merencanakan kebutuhan anggaran yang diperlukan dalam rangka penyusunan
rancangan undang-undang yang menjadi kewenangannya.
3. Dengan adanya pedoman ini diharapkan proses penyusunan, pembahasan antar
kementerian, harmonisasi dan pembahasan di DPR atas suatu rancangan undang-
undang dapat dilakukan dengan lebih efisien dan akuntabilitasnya dapat
dipertanggungjawabkan.
4. KELUARAN
Kajian ini diharapkan akan menghasilkan rekomendasi dalam rangka penyusunan
kebijakan program perencanaan pembangunan nasional yang terkait dengan penyusunan dan
pembahasan rancangan undang-undang, dimana di dalamnya akan mengatur mengenai:
(1) Identifikasi tahapan pembentukan rancangan undang-undang;
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
9
(2) Identifikasi variabel atau komponen biaya dalam setiap tahapan proses
pembentukan rancangan undang-undang termasuk di dalamnya pelaksanaan studi
banding ke luar negeri (jika diperlukan);
(3) Identifikasi indikator keluaran yang terukur untuk kegiatan-kegiatan dalam
dokumen perencanaan yang sifatnya adalah penyusunan peraturan perundang-
undangan.
Kajian ini juga dapat digunakan oleh sektor pembangunan lain dalam rangka
merencanakan kegiatan yang terkait dengan penyusunan suatu undang-undang pada sektornya
masing-masing, untuk memperkirakan kemungkinan kebutuhan biaya dan alokasi anggaran
yang dibutuhkan untuk menunjang kegiatan tersebut. Dengan demikian diharapkan dalam
melakukan perencanaan kebutuhan anggaran untuk kegiatan penyusunan suatu undang-undang
dapat lebih efisien dengan tetap memperhatikan unsur kualitas dari rancangan undang-undang
yang dibuat.
5. METODOLOGI
Kajian ini akan menggunakan dua jenis data yaitu data primer yang berupa hasil
wawancara dan kuesioner maupun data sekunder berupa dokumen-dokumen perencanaan
pembangunan termasuk penganggaran serta literatur lainnya. Metodologi yang digunakan
dalam kajian ini adalah:
5.1 Metode Pengumpulan Data :
1) Melaksanakan studi dokumentasi berkaitan dengan data awal yang menunjukan
tahapan-tahapan pembentukan rancangan undang-undang serta satuan-satuan harga
yang selama ini digunakan oleh Kementerian/Lembaga dalam kegiatan
pembentukan suatu rancangan undang-undang;
2) Melaksanakan in-depth interview dan pengisian kuesioner dengan responden atau
informan penelitian (key informan) yang dilakukan secara terstruktur dengan
menggunakan pedoman wawancara berupa daftar pertanyaan yang bersifat tertutup
untuk memperoleh data primer yang relevan dan sistematis. Studi pustaka: dengan
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
10
mempelajari referensi untuk memperoleh kerangka teoritis maupun teknis yang
dapat dijadikan bahan acuan dalam analisis dan pembahasan selanjutnya.
3) Melakukan pertemuan Focus Group Discussion (FGD) dengan mengundang para
narasumber/pakar yang berprofesi sebagai akademisi maupun praktisi. Pemilihan
kepada narasumber didasarkan pada upaya untuk memperoleh perspektif dari setiap
stakeholder yang relevan dengan permasalahan yang ada, untuk merumuskan
menjadi rekomendasi kebijakan yang berlaku secara nasional. Hasil-hasil diskusi
dalam FGD akan digunakan sebagai masukan dalam penyusunan rekomendasi
kebijakan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan.
5.2 Metode Analisis Data :
Metode analisis data yaitu yuridis-normatif dengan pertimbangan semua ketentuan
normatif merupakan landasan untuk pelaksanaan pembentukan rancangan suatu undang-
undang. Untuk itu langkah-langkah yang dilakukan adalah dengan menganalisis data atau
informasi yang diperoleh melalui konsep-konsep teori dan praktik. Untuk lebih
menguatkan pengujian dari hasil analisis secara normatif akan diupayakan untuk
mengamati secara empiris perkembangan situasi dan kondisi yang terjadi di masyarakat,
agar dapat diperoleh rekomendasi yang yang komprehensif.
6. RUANG LINGKUP KAJIAN
Kajian ini akan membahas mengenai tahapan dalam proses penyusunan dan
pembahasan rancangan undang-undang. Secara garis besar tahapan tersebut dimulai dari proses
pengkajian hukum, penelitian hukum, penyusunan naskah akademis, penyusunan dokumen
rancangan undang-undang, harmonisasi rancangan undang-undang, dan pembahasan rancangan
undang-undang di DPR yang akan dilanjutkan dengan penyusunan satuan harga atas komponen
atau variabel kegiatan yang termasuk di dalam proses pembentukan rancangan peraturan
perundang-undangan.
Kajian
7.
diban
secar
PPN/
Birok
diliba
Penan
anggo
8.
dihar
n Kebijakan Pe
PELAKSA
Pelaksana
ntu oleh dua
ra swakelola
/Bappenas k
krasi dalam
atkan dalam
nggung Jaw
ota TPRK da
JANGKA
Kajian ini
rapkan dapat
enganggaran
ANA KAJIA
a kegiatan a
a orang kon
a untuk leb
khhususnya u
m melaksana
kegiatan ini
ab kegiatan,
an 3 (tiga) o
A WAKTU
i akan dilaks
t selesai pada
Pembentukan
AN
adalah unit k
nsultan dan
bih member
unit kerja St
akan tugas
i sebanyak 1
, Direktur Hu
rang tenaga
sanakan dala
a akhir tahun
n Peraturan Pe
11
kerja Staf A
satu sekret
rikan pembe
taf Ahli Me
dan fungsi
11 (sebelas)
ukum dan H
pendukung.
am jangka w
n 2010.
erundang-und
Ahli Hukum
taris konsul
elajaran dan
enneg PPN B
inya. Sumbe
orang, deng
HAM sebaga
waktu 12 (dua
dangan Yang B
dan Reform
tan. Kegiata
n pengalama
Bidang Huk
er daya ma
gan perincian
i Ketua TPR
a belas bulan
Berbasis Kine
masi Birokra
an akan dil
an bagi Ke
kum dan Ref
anusia yang
n Staf Ahli s
RK, 6 (enam)
n) bulan, seh
erja
asi dan
akukan
emeneg
formasi
g akan
sebagai
) orang
hingga
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
12
BAB II
KEBIJAKAN PENGANGGARAN DALAM PENYUSUNAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
1. PENGANTAR
Salah satu upaya untuk melakukan reformasi perencanaan dan penganggaran adalah
dengan menerapkan konsep penganggaran yang berbasis kinerja (performance based
budgeting). Hal tersebut antara lain telah diamanatkan baik dalam undang-undang Keuangan
Negara maupun pelaksanaan dari undang-undang sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
Meskipun upaya untuk melakukan penganggaran yang berbasis kinerja ini sudah diatur sejak
tahun 2004 dalam undang-undang Keuangan Negara, namun upaya untuk melaksanakannya
secara utuh baru akan dimulai pada tahun 2011. Tahun 2011 merupakan tahun kedua dari
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 yang merupakan
tahun pertama dari pelaksanaan Restrukuturisasi Program dan Kegiatan sebagai salah satu
upaya untuk lebih mengukur kinerja dari suatu program dan kegiatan yang menjadi tanggung
jawab dari suatu unit dalam suatu kementerian/lembaga.
Penganggaran yang berbasis kinerja akan melihat sejauh mana keterkaitan antara
investasi Negara melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan kinerja
yang akan dicapai oleh Kementerian/Lembaga yang memperoleh dana tersebut. Dengan
adanya hal tersebut diharapkan akan tercapai efisiensi dan transparansi dalam penganggaran.
Adanya keterkaitan antara dana dengan kinerja akan mendorong adanya alokasi anggaran yang
beroritntasi pada kinerja baik pada tataran output maupun outcome.
Restrukturisasi program dan kegiatan sebagai bagian dari upaya untuk mendorong
adanya pelaksanaan anggaran yang berbasis kinerja menerapkan prinsip “money follow
function” dimana alokasi anggaran yang dituangkan dalam bentuk program
pembangunan/kegiatan didasarkan pada tugas fungsi unit kerja yang dilekatkan pada struktur
organisasi dariKementerian/Lembaga. Di samping itu juga diupayakan untuk meningkatkan
fleksibilitas dan akuntabilitas unit dalam melaksanakan tugas dan pengelolaan anggaran,
karena diasumsikan bahwa yang paling mengetahui situasi dan kondisi yang terjadi adalah unit
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
13
yang secara tupoksi bertanggungjawab terhadap tugas tersebut. Diharapkan fleksibilitas
tersebut tetap menjaga adanya prinsip akuntablitas (let the manager ménages).
Dalam rangka melaksanakan penganggaran yang berbasis kinerja, tiga hal penting yang
perlu dilaksanakan adalah: pertama penetapan indikator kinerja yang dapat mencerminkan
tolok ukur pencapaian sasaran program atau kegiatan; kedua adanya standar biaya yang dapat
menggambarkan kebutuhan dana untuk menghasilkan suatu output secaran efisien dengan tetap
memperhatikan kualitas; ketiga perlunya pelaksanaan evaluasi kinerja untuk menilai
keberhasilan suatu program atau kegiatan dimana hasilnya akan digunakan sebagai bahan
masukan (feedback) untuk proses perencanaan periode berikutnya.
2. KETERKAITAN KINERJA DENGAN PERENCANAAN DAN ANGGARAN
Restrukturisasi program dan kegiatan merupakan salah satu cara agar lebih mudah
melakukan monitoring dan evaluasi terhadap capaian suatu program pembangunan. Sebelum
adanya restrukturisasi ini, pada suatu program tidak ada satu institusi yang bertanggung jawab
atas capaian program tersebut, karena satu program dapat digunakan oleh banyak
Kementerian/Lembaga dan sifatnya ”keroyokan” sehingga ketika akan dilakukan evaluasi
terhadap program tersebut tidak ada yang bertanggung jawab sepenuhnya. Di samping itu dari
sudut Kementerian/Lembaganya belum ada upaya untuk menghubungkan antara kinerja dari
instansi tersebut dengan alokasi anggaran yang diterima oleh instansi tersebut karena model
evaluasi yang dikembangkan untuk melihat kinerja dari lembaga tersebut tidak mengacu
kepada dokumen perencanaan maupun penganggaran.
Restrukturisasi program dan kegiatan ini berusaha untuk menghubungkan antara
struktur organisasi dari suatu kementerian/lembaga dengan struktur anggarannya, struktur
perencanaan kebijakan dan struktur manajemen kinerja dari kementerian/lembaga tersebut.
Dalam kaitannya dengan perencanaan dan penganggaran suatu unit eselon 1 (satu) dari suatu
Kementerian akan bertanggung jawab terhadap satu program yang secara spesifik akan
menggambarkan ruang lingkup dan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dari unit tersebut.
Sementara untuk menunjang pencapaian dari sasaran program tersebut akan dicapai dengan
kegiatan yang menjadi tanggung jawab dari unit eselon 2 (dua) yang ada di bawah unit eselon
1 (satu) tersebut. Sasaran dari program tersebut sifatnya adalah outcome sementara untuk
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
14
mencapainya dengan kegiatan-kegiatan yang masing-masing ada output-nya. Namun demikian
tidak semua program sifatnya spesifik menggambarkan tupoksi unit eselon 1 (satu). Terkait
dengan hal tersebut ada beberapa program yang dapat digunakan oleh beberapa unit eselon 1
(satu) yang mempunyai karakteristik sejenis. Kondisi tersebut juga terjadi pada level kegiatan,
hal tersebut disebut program atau kegiatan generik. Beberapa contoh program generik yang
hampir digunakan oleh semua Kementerian/Lembaga yaitu:
1. Program Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya (nama K/L)
menjadi tanggung jawab Sekretariat Jendral (Sekjen).
2. Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Aparatur (nama K/L) menjadi tanggung
jawab Sekretariat Jendral.
3. Program Pengawasan dan Peningkatan Akuntabilitas Aparatur (nama K/L) menjadi
tanggung jawab Inspektorat Jendral.
4. Program Penelitian dan Pengembangan (nama K/L) menjadi tanggung jawab Penelitian
dan Pengembangan.
5. Program Pendidikan dan Pelatihan Aparatur (nama K/L) menjadi tanggung jawab
Pendidikan dan Latihan.
Salah satu yang membedakan antara penganggaran yang berbasis kinerja dengan yang
tidak adalah penentuan visi misi organisasi Kementerian/Lembaga menjadi titik awal yang
penting untuk menetapkan perencanaan dan alokasi anggaran yang akan dituangkan dalam
bentuk program dan kegiatan yang akan dilaksanakan oleh organisasi tersebut. Identifikasi visi
misi ini sangat penting karena akan menentukan sasaran kinerja dan atau bentuk pelayanan
publik apa yang akan dicapai oleh organisasi tersebut. Selanjutnya kinerja tersebut akan
menjadi ukuran pencapaian visi, misi, dan sasaran strategis dari Kementerian/Lembaga
tersebut. Indikator kinerja Kementerian/Lembaga dalam kerangka akuntabilitas organisasi
merupakan indikator dampak (impact).
Indikator kinerja program yang menjadi tanggung jawab unit eselon 1 (satu)
Kementerian/Lembaga adalah sifatnya outcome. Indikator tersebut harus mencerminkan
sasaran kenerja unit tersebut sesuai dengan visi misi dan tupoksi dari unit tersebut. Karena
merupakan bagian dari Kementerian/Lembaga yang sasaran kinerja maka outcome program
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
15
tersebut harus sesuai dengan visi, misi, dan sasaran strategis Kementerian/Lembaga. Di
samping itu juga sebagaimana penuntuan suatu indikator maka outcome program harus dapat
dievaluasi berdasarkan periode waktu tertentu.
Sebagaimana pada level program, kegiatan yang merupakan turunan dari suatu program
menjadi tanggung jawab dari unit eselon 2 (dua) dimana indikator yang ditetapkan adalah
bersifat output. Perumusan output kegiatan harus mencerminkan sasaran kinerja unit eselon 2
(dua) sesuai tupoksinya; sebagaimana persyaratan untuk membuat suatu indikator yang baik,
indikator output dari kegiatan harus bersifat spesifik dan terukur, sehingga dapat dilakukan
evaluasi berdasarkan periode tertentu. Output kegiatan harus dapat mendukung pencapaian
outcome program dan/atau outcome fokus prioritas dalam rangka pelaksanaan Perencanaan
Kebijakan.
Dalam merumuskan output harus meliputi jenis output, volumenya, dan satuannya.
Jenis output adalah gambaran dari keluaran yang dihasilkan dari suatu kegiatan yang
mencerminkan tugas fungsi unit eselon 2 (dua)/satuan kerja (satker) tertentu. Volume output
adalah jumlah atau banyaknya output yang dihasilkan. Sedangkan satuan output adalah uraian
mengenai satuan ukur yang digunakan dalam rangka pengukuran kuantitas (volume) output
sesuai dengan karakteristiknya.
Secara garis besar keterkaitan output dengan penerapan penganggaran berbasis kinerja
dan kerangka pengeluaran jangka menengah (KPJM)4 adalah sebagai berikut:
4 Made Arya Wijaya, “Kebijakan Penganggaran yang Berbasis Kinerja”, Direktorat Jenderal Anggaran- Kementerian Keuangan, tahun 2010
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
16
3. PENERAPAN STANDAR BIAYA DALAM RANGKA PENGANGGARAN BERBASIS
KINERJA
Sebagaimana amanat Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara, yang menyatakan bahwa Keuangan Negara harus dikelola secara tertib, taat pada
peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab
dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan, maka Kementerian Keuangan menetapkan
Standar Biaya Umum (SBU) dan Standar Biaya Khusus pada setiap tahun anggaran. Standar
biaya tersebut kemudian digunakan oleh Kementerian/Lembaga (K/L) bersama dengan
Direktorat Jenderal Anggaran, Kementerian Keuangan untuk menyusun dokumen anggaran
dalam bentuk Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKAKL).
Setiap Kementerian/Lembaga dalam rangka penyusunan anggaran berbasis kinerja
harus dapat menetapkan indikator kinerja dari setiap program dan kegiatannya, Di samping itu
masing-masing kegiatan tersebut juga harus dapat diidentifikasi standar biaya satuannya dan
target sasaran pertahunnya sehingga akan terlihat total kebutuhan anggaran untuk masing-
masing kegiatan tersebut. Adanya indikator kinerja, satuan biaya dan target sasaran merupakan
variable yang akan digunakan untuk melakukan monitoring dan evaluasi kinerja.
Struktur Pengalokasian
Angggaran
Penghitungan Prakiraan
Maju
Penyusunan dan
Penetapan SBK
Penghitungan Prakiraan Maju unt sebuah Kegiatan dilakukan pada level output
Hasil penghitungan kebutuhan anggaran unt menghasilkan sebuah output dpt ditetapkan menjd SBK pd thn berikutnya
Struktur pengalokasian anggaran terdiri atas 3 level: -Program -Kegiatan
output
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
17
Standar biaya ini pada dasarnya merupakan besaran biaya yang ditetapkan sebagai
acuan penghitungan kebutuhan biaya dari suatu kegiatan dimana dibedakan antara standar
biaya umum (SBU) yang dapat digunakan oleh semua Kementerian/Lembaga sebagai bahan
acuan untuk menyusunan dokumen anggarannya dan standar biaya khusus (SBK) yang bersifat
khusus karena hanya Kementerian/Lembaga tertentu saja yang menggunakan satuan biaya atas
suatu kegiatan tertentu yang masih dalam lingkup tugas pokok dan fungsi dari
Kementerian/Lembaga yang bersangkutan.
Standar Biaya Umum merupakan satuan biaya yang dapat berupa harga satuan, tarif,
dan indeks yang digunakan untuk menyusun biaya komponen masukan kegiatan, yang
ditetapkan sebagai biaya masukan (input). Biasanya satuan biaya yang ada dalam SBU
merupakan satuan biaya paling tinggi, dimana penetuannya menggunakan komposisi standar
biaya pada tahun anggaran sebelumnya, dengan tetap melakukan penyesuaian-penyesuaian
sesuai dengan kondisi yang ada seperti tingkat inflasi/kewajaran atau hasil penelitian di
lapangan.
Harga satuan merupakan nilai suatu barang yang ditentukan pada waktu tertentu untuk
perhitungan biaya komponen masukan kegiatan, misalnya satuan biaya konsumsi rapat, satuan
biaya pakaian dinas/kerja resmi pegawai. Sementara itu tarif merupakan nilai suatu jasa yang
ditentukan pada waktu tertentu untuk perhitungan biaya komponen masukan kegiatan.
Termasuk dalam kelompok tarif ini antara lain adalah standar honorarium, satuan biaya
konsumsi rapat, satuan biaya pemeliharaan gedung/bangunan dalam negeridan lain-lain. Indeks
biaya masukan adalah satuan biaya yang merupakan gabungan beberapa barang/jasa masukan
untuk perhitungan biaya komponen masukan kegiatan. Contoh untuk indeks biaya masukan
antara lain adalah satuan biaya uang harian (uang saku, transport lokal, uang makan dan uang
penginapan), satuan biaya paket kegiatan rapat di luar kantordan lain-lain.
Standar Biaya Khusus adalah standar biaya yang digunakan untuk kegiatan yang
khusus dilaksanakan oleh Kementerian/Lembaga tertentu dan/atau wilayah tertentu. Standar
Biaya Khusus ini merupakan besaran biaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan sebuah
keluaran kegiatan yang merupakan akumulasi biaya komponen masukan kegiatan, yang
ditetapkan sebagai biaya keluaran. Standar Biaya Khusus dapat berupa indeks biaya satuan
yang merupakan total biaya dari suatu kegiatan untuk menghasilkan suatu keluaran, contoh
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
18
penanganan pengaduan pada Kejaksaan Tinggi, penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan
pembentukan jaksa, biaya penyuluhan hukum dan lain-lain. Di samping itu, SBK juga dapat
merupakan indeks biaya kegiatan yang merupakan satuan biaya dari gabungan komponen
masukan kegiatan yang membentuk biaya keluaran kegiatan, contoh penyusunan
kajian/analisa RUU, pengkajian dan penyusunan naskah akademik dan draft RUU dan lain-
lain.
Untuk penyusunan dokumen RKAKL tahun anggaran 2010 Kementerian Keuangan
melalui PMK No. 01/PM.2/2009 telah menetapkan Standar Biaya Umum tahun 2010 dan
menetapkan PMK No. 108/PM.2/2009 tentang Standar Biaya Khusus tahun 2010. Kementerian
Keuangan mengikutsertakan K/L lain untuk memberikan masukan dalam rangka penyusunan
standar biaya tersebut. Beberapa kegiatan yang terkait dengan penyusunan peraturan
perundang-undangan di dalam SBK tahun 20105 adalah sebagai berikut:
TABEL 2
KEGIATAN-KEGIATAN DALAM STANDAR BIAYA KHUSUS TAHUN 2010
INSTANSI/UNIT KEGIATAN STANDAR BIAYA
Sekjen DPR Penyusunan kajian/analisa RUU Rp.137.267.000/kajian
Pengkaiian dan Penyusunan Naskah Akademis dan Draft RUU
Rp.193.596.000/draft
Pengkajian dan Penyusunan Naskah Akademik dan Draft RUU tentang UU yang diamandemen MK
Rp.227.460.000/draft
Kajian/Penelitian individu Untuk Memenuhi kebutuhan Anggota DPR RI pada Data dan Informasi
Rp.50.911.000/kajian
Kajian/Penelitian kelompok Untuk Memenuhi kebutuhan anggota DPR RI pada Data dan Informasi
Rp.278.222.000/kajian
5Lihat Peraturan Menteri Keuangan Nomor 108/PM.2/2009
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
19
Ditjen Peraturan Perundang-undangan, Kementerian Hukum dan HAM
Penyusunan Naskah RUU Rp.405.774.000/RUU
Penyusunan Naskah RPP Rp.306.774.000/RPP
Pembahasan RUU dan Penyusunan DIM
Rp.459.452.000/RD
Penyusunan Keterangan Pemerintah atas Pengujian UU terhadap UUD 1945
Rp.84.712.000/KP
Badan Pembinaan Hukum dan Nasional (BPHN), Kementerian Hukum dan HAM
Analisa dan Evaluasi Peraturan Perundang-undangan
Rp.147.372.000/laporan
Pengkajian Hukum Rp.156.116.000/laporan
Penelitian dalam rangka Pembentukan/Pengembangan Hukum
Rp.181.688.000/laporan
Penyusunan Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan
Rp.292.768.000/RUU
Standar biaya yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan tersebut pada dasarnya
merupakan standar biaya tertinggi yang digunakan sebagai pedoman dalam penyusunan
dokumen anggaran sehingga dapat melakukan estimasi kebutuhan biaya yang diperlukan untuk
melakukan suatu kegiatan. Oleh karena sifatnya adalah standar biaya tertinggi yang merupakan
batas atas dalam menentukan satuan biaya maka dalam pelaksana masing-masing K/L dapat
memperhitungkan antara total pagu anggaran yang diterima dalam satu tahun anggaran dengan
sasaran yang akan dicapai serta standar biaya untuk masing-masing kegiatan. Tidak dapat
dipungkiri bahwa kenyataan mengenai keterbatasan anggaran negara menyebabkan sering kali
Kementerian/Lembaga harus melakukan suatu kegiatan yang menjadi tugas pokok dan
fungsinya dengan menggunakan standar satuan di bawah standar biaya yang telah ditetapkan
oleh Kementerian Keuangan.
Dalam rangka pelaksanaan penganggaran yang berbasis kinerja (PBK) yang akan
dilaksanakan mulai tahun anggaran 2011, maka peran dari standar biaya menjadi sangat
penting karena tidak hanya terkait dengan penyusunan dokumen anggaran saja (RKAKL), akan
tetapi pada tahap penyusunan dokumen perencanaan pun juga harus mulai diperhitungkan.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014 dan RKP 2011 selain telah
menerapkan restrukturisasi program dan kegiatan juga telah menetapkan prakiraan maju
kebutuhan anggaran untuk jangka waktu lima tahun ke depan. Demikian juga pada saat
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
20
penyusunan RKP 2011 dimana pada saat penyusunan pagu anggarannya merupakan
breakdown/rincian dari alokasi anggaran yang ada dalam dokumen RPJMN. Masing-masing
kegiatan prioritas yang ada dalam dokumen perencanaan telah ditetapkan indikator kinerjanya
serta target sasaran setiap tahun dengan disertai rincian kebutuhan biaya setiap tahunnya
selama periode 2010-2014.
Standar biaya yang telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan tersebut harus
dapat mencerminkan kebutuhan dana untuk menghasilkan sebuah output atas pelaksanaan
sebuah kegiatan. variabel dalam menentukan standar biaya dari suatu kegiatan harus dapat
memperhitungkan seluruh komponen yang harus dibiayai. Penetapan unit cost untuk setiap
komponen, menggunakan harga yang paling efisien dengan tetap memperhatikan kualitas
produk yang bersangkutan. Gambaran mengenai bagaimana penyusunan suatu standar biaya
dalam penentuan SBU dan SBK sebagaimana yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan
adalah sebagai berikut:6
6 Table dari Paparan Sosialisasi Standar Biaya Tahun 2011, Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Anggaran, 10 Mei 2010.
Kajian
ME
4. PP
terdap
Kelol
Penan
Infras
Progr
Tertin
Tekn
nasio
Polhu
n Kebijakan Pe
EKANISME
PROGRAM PERATURA
Rencana
pat 11 (sebe
la Pemerinta
nggulangan
struktur; (7)
ram Aksi b
nggal, Terde
nologi. Di sa
onal lainnya
ukhankam.
enganggaran
E PENYUSU
DAN KAN PERUND
Pembangun
elas) priorita
ahan; (2) Pro
Kemiskinan
) Iklim Inve
bidang Lin
epan, Terlua
amping 11 (s
a yaitu: (1
Pembentukan
UNAN STAN
KEGIATANDANG-UND
nan Jangka
as pembangu
ogram Aksi
n; (5) Progra
estasi dan Ik
ngkungan H
ar, dan Pasc
sebelas) prio
) bidang K
n Peraturan Pe
21
BAGAN 1
NDAR BIA
SBK
YANG TDANGAN
Menengah
unan nasiona
Pendidikan
am Aksi Bid
klim Usaha;
Hidup dan
ca Konflik;
oritas nasion
Kesra; (2)
erundang-und
1
AYA DALAM
TERKAIT
Nasional 2
al yaitu: (1)
; (3) Rencan
dang Pangan
; (8) Progra
Penanggula
(11)Kebuda
nal tersebut j
bidang Per
dangan Yang B
M PENENT
DENGAN
010-2014 m
Reformasi
na Aksi Bida
n; (6) Progra
m Aksi di b
ngan Benca
ayaan, Kreat
juga terdapa
rekonomian;
Berbasis Kine
TUAN SBU
PENYUSU
menyatakan
Birokrasi da
ang Kesehat
am Aksi di
bidang Ener
ana; (10) D
tivitas, dan I
at 3 (tiga) p
; dan (3)
erja
DAN
UNAN
bahwa
an Tata
tah; (4)
bidang
rgi; (9)
Daerah
Inovasi
rioritas
bidang
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
22
Masing-masing bidang pembangunan tersebut terdiri dari beberapa substansi inti dan
masing-masing terdapat kegiatan prioritas. Dalam rangka untuk memudahkan monitoring dan
evaluasi dari kegiatan tersebut maka dalam dokumen RPJMN telah ditetapkan sasaran,
indikator, target per tahun serta alokasi anggarannya selama kurun waktu lima tahun. Dengan
telah ditetapkannya indikator output dan alokasi anggaran dari setiap kegiatan maka
diharapkan masing-masing kegiatan akan dapat dinilai baik dari sudut efisiensi maupun
efektivitas.
Terkait dengan indikator output dari prioritas nasional dalam RPJMN beberapa
indikator terkait dengan penyusunan peraturan perundang-undangan atau penyusunan regulasi.
Namum demikian harus diakui bahwa masing-masing indikator tersebut belum secara jelas
menggambarkan bentuk peraturan perundang-undangan apa yang dihasilkan dari kegiatan
tersebut. Di samping itu juga dilihat dari sudut target yang akan dicapai juga tidak ada
keseragaman, sebagian menggunakan ukuran paket, jumlah peraturan perundang-undangan,
atau bahkan ada yang menggunakan prosentase.
Sebagai gambaran beberapa kegiatan prioritas yang menggunakan indikator terkait
dengan peraturan perundang-undangan,7 sebagai berikut:
Tabel 3
KEGIATAN PRIORITAS YANG MENGGUNAKAN INDIKATOR TERKAIT DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Prioritas Kegiatan Indikator Target
2011 Satuan
Biaya
Prioritas I
II.1 Pembinaan dan koordinasi penyiapan produk hukum dan penataan organisasi KKP
Persentase pemenuhan peraturan perundang-undangan serta efektivitas dan kemutakhiran hukum laut, perjanjian, peirizinan,
60persen 11,8
7 Perpres No.29 Tahun 2010 tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2011, Buku 1, matrik kegiatan prioritas nasional
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
23
organisasi dan tata laksana sesuai kebutuhan nasional dan tantangan global serta pelayanan bantuan hukum yang akuntabel
VI.3 Pengembangan Kebijakan Kesejahteraan SDM Aparatur
Jumlah UU/PP 1UU/ PP 3,8
VI.2 Pengembangan kebijakan pemantapan pengembangan SDM aparatur
Tersusunnya kebijakan tentang manajemen ke-pegawaian (UU tentang SDM Aparatur Negara).
1 RUU ten tang SDM Aparatur Negara,
1 PP tentang Diklat Jabatan PNS,
1 PP tentang Pengangkatan PNS dalam Jabatan Struktural
2,7
Prioritas 5
II.1 Pengembangan Peraturan Perundang-Undangan Bidang Pertanahan dan Hubungan Masyarakat
Jumlah paket rancangan peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang pertanahan dalam rangka mendukung pelaksanaan Undang-undang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
1 paket 3,68
Prioritas 6
III.1 Pengembangan Peraturan Perundang-Undangan Bidang Pertanahan dan Hubungan Masyarakat
Tersusunnya peraturan perundangan pengadaan tanah untuk kepentingan umum
1 Paket 1,98
XIV.1 Fasilitasi Penerapan dan Pengembangan E-Government
Prosentase penyelesaian penyusunan / pembahasan RPP Penyelenggaraan Sistem Elektronik Instansi Pemerintah Pusat dan Daerah (e-Government) dan Master Plan e-Government Nasional
40persen 86,18
Fasilitasi Penerapan dan Pengembangan Sistem
Prosentase penyelesaian pembahasan dan perbaikan
100persen 16,00
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
24
Keamanan Informasi Elektronik
materi RUU Rencana Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cyber Crime)
Prosentase penyelenggaraan sistem pengamanan Elektronik dapat memenuhi kebutuhan masyarakat
40persen
Prioritas 7
I.1 Kegiatan Perancangan Peraturan Perundang- undangan
• Persentase Rancangan Perat perUUan di bawah UU yg mampu menjawab kebutuhan masyarakat dan perkembangan,
• Persentase pembahasan RUU di DPR secara tepat waktu,
• Persentase tenaga fungsional perancang peraturan perUU yang mendapat kualifikasi dan promosi sesuai standar secara tepat waktu dan akuntabel
• Persentase kelengkapan dokumentasi dan pustaka secara akurat dan up to date
• Peraturan perUUan di bidang mekanisme Perlindungan Saksi dan Pelapor
• Peraturan perUUan di bidang yang mendorong pembe-rantasan korupsi
40persen
14,4
I.2 Kegiatan Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan
• Persentase di bidang politik, hukum dan keamanan
• Persentase di bidang keuangan dan perbankan
• Persentase di bidang industri dan yang harmonis
• Persentase di bidang Kesra
• Pembenahan Peraturan per-uuan di bidang
40persen 6,7
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
25
Pertanahan, tata ruang, dan LH
• Peraturan Perundang-undangan di bidang mekanisme Perlindungan Saksi dan Pelapor
• Peraturan per-uuan yg mendorong pemberantasan korupsi
V.1 Pengembangan Penyelenggaraan Pos
Persentase penyelesaian penyusunan peraturan pelaksana UU No. 38 Tahun 2009 tentang Pos
100persen 17,06
V.2 Pengembangan Penyelenggaraan Telekomunikasi
Persentase pembahasan dan perbaikan materi RUU Multimedia (Konvergensi Telematika) sebagai pembaharuan UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
40persen 21,28
V.3 Pengembangan Penyelenggaraan Penyiaran
Persentase pencapaian terhadap pembaharuan kebijakan, regulasi dan kelembagaan akibat adanya digitalisasi dan perkembangan industri
70persen 15,06
XII.1 Perumusan Kebijakan dan Bimbingan Teknis Fasilitas Kepabeanan
• Persentase penyelesaian rancangan peraturan di bidang fasilitas kepabeanan
• Persentase penyelesaian rancangan PMK dan aturan pelaksanaan lainnya terkait sistem pelayanan kepabeanan yang menunjang Sistem Logistik Nasional (Customs Advance Trade Systems)
• Persentase penyelesaian peraturan terkait sistem pelayanan kepabeanan dan cukai di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
• Persentase penyelesaian rancangan PMK untuk
75persen
100persen
1,0
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
26
pengembangan sistem elektronik terkait dengan perijinan investasi di bidang kepaeanan dan perpajakan
• Persentase penyelesaian rancangan PMK untuk memadukan Kawasan Pelayanan Pabean Terpadu (KPPT) dengan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di 5 lokasi (Jawa dan Sumatra)
100persen
25persen
100persen
XXI.1 Perumusan kebijakan di bidang PPN, PBB, BPHTB, KUP, PPSP, dan Bea Materai
1. Persentase penyelesaian usulan pembuatan / Revisi peraturan perundangan terhadap peraturan perundangan yang harus dibuat / direvisi
100persen
4,76
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
27
2. Tersedianya PMK-PMK ttg Pemberian Fasilitas Fiskal sesuai Peraturan Per-UU-an dan skema Pembiayaan Infrastruktur ke & di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
40persen
XXI.2 Perumusan kebijakan di bidang PPh dan perjanjian kerjasama perpajakan internasional
1. Persentase penyelesaian usulan pembuatan / Revisi peraturan perundangan terhadap peraturan perundangan yang harus dibuat / direvisi
2. Tersedianya PMK-PMK ttg Pemberian Fasilitas Fiskal sesuai Peraturan Per-UU-an dan skema Pembiayaan Infrastruktur ke & di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
100persen
40persen
2,37
XXIV.1 Penyempurnaan Peraturan Ketenagakerjaan
Tersusunnya peraturan kompensasi & penetapan PHK, hubungan kerja (PKWT & outsourcing), pengupahan, perlindungan pekerja, mogok kerja
1 aman demen 40,0
Peraturan tentang organisasi pekerja/ buruh
Kajian/NA
Peraturan tentang penyelesaian perselisihan HI
Kajian/NA 2011
XXIV.2 Sinkronisasi Kebijakan Ketengakerjaan (Pusat) dengan Kebijakan / Peraturan Daerah
Harmonisasi kebijakan jaminan sosial
4 rancangan Naskah
5,0
Selarasnya peraturan bidang HI
Review assessment
20,0
Prioritas 8
I.1 Penyediaan dan Pengelolaan EBT dan Pelaksanaan Konservasi Energi
Jumlah regulasi 5 1,25
I.1 Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Dukungan Teknis Lainnya Ditjen LPE
(KESDM)
• Jumlah aturan perundang-undangan: PP
• Aturan Lain
3
3
10,0
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
28
Prioritas lain Perekonomian
VII.2 Pembinaan Penempatan dan Perlindungan TKI Luar Negeri
Ratifikasi konvensi buruh migran dan keluarganya
Penyiapan ratifikasi konvensi buruh migran
1,2
Amandemen UU 39/2004
Persiapan amandemen UU 39/2004
Persiapan amandemen UU
1,0
Persentase peraturan turunan amandemen UU
- 2,0
Prioritas bidang Polhukhankam
XVIII.1 Kegiatan Kerjasama HAM Persentase harmonisasi rancangan peraturan perUUan dalam perspektif HAM
100persen
1,8
Jumlah analisis laporan pelaksanaan instrument HAM Internasional dan Naskah Akademik instrmnt HAM Internasional
6 instrmnt. HAM Internasional dan 2 N.A
Jumlah Kerjasama LN dalam rangka pemajuan HAM
14
Jumlah Kerjasama dalam Negeri dalam rangka implementasi HAM/RAN HAM
50
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
29
BAB III
TAHAPAN DAN KEGIATAN DALAM PROGRAM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG
A. PADA LINGKUNGAN PEMERINTAHAN
Sejak perubahan pertama Undang Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 kekuasan
membentuk Undang undang dipegang oleh DPR.8 Meskipun demikian peranan Presiden dalam
pembentukan undang undang tetap penting. Presiden berhak mengajukan rancangan undang
undang kepada DPR.9Presiden mengesahkan rancangan undang undang yang telah disetujui
bersama untuk menjadi undang undang.10Kemudian Presiden diberi hak konstitusional untuk
menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang undang, dalam hal ihwal
kegentingan yang memaksa.11
Pada Bab ini akan diuraikan tahapan kegiatan yang dilakukan di lingkungan Pemerintah
untuk pembentukan undang undang baik prakarsa Presiden maupun prakarsa DPR.Tahapan
kegiatan tersebut mencakup kegiatan perencanaan, persiapan/penyusunan, penyampaian
rancangan undang undang kepada DPR atau penyiapan pandangan, pendapat dan daftar
inventarisasi masalah, penugasan menteri untuk mewakili pemerintah, pembahasan bersama
DPR, pengesahan dan pengundangan. Selain itu dilengkapi pula dengan teknik penyusunan ,
peran serta masyarakat dan penyebarluasan. Pada bagian ini diuraikan tahapan kegiatan
pembentukan undang undang prakarsa Presiden di lingkungan Pemerintah mulai dari tahap
perencanaan, persiapan/penyusunan, penyampaian Rancangan undang undang kepada DPR,
pembahasan bersama DPR, pengesahan sampai pengundangan. Kegiatan penyebarluasan
undang undang tidak dimasukkan ke dalam tahapan kegiatan pembentukan undang undang,
meskipun dalam Undang undang Nomor 10 Tahun 2004, kegiatan penyebarluasan dimasukkan
8 Undang Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, Pasal 20 ayat(1) menentukan ”DPR memegang kekuasaan membentuk undang undang.”
9 Ibid Pasal 5 ayat(1).
10 Ibid Pasal 20 ayat (4)
11 Ibid Pasal 22 ayat(1) menentukan”Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa,Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang undang.
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
30
sebagai salah satu tahapan kegiatan pembentukan undang undang. Kegiatan penyebarluasan
undang undang diatur dalam satu Bab dengan kegiatan pengundangan yaitu dalam Bab IX
yang mengatur mengenai Pengundangan dan Penyebarluasan. Penyebarluasan undang undang
yang wajib dilakukan oleh Pemerintah akan diuraikan tersendiri, karena kegiatan tersebut
merupakan kegiatan setelah pengundangan undang undang yang merupakan rangkaian terahir
dari kegiatan pembentukan undang undang.
Tahapan kegiatan yang harus dilalui dalam proses pembentukan undang undang diatur
dalam undang undang dan beberapa peraturan pelaksanaannya,sebagai berikut.
1. Undang undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang
undangan.
2. Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan
Program Legislasi Nasional.
3. Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan
Undang undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang undang, Rancangan
Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden.
4. Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan, dan
Penyebarluasan Peraturan Perundang undangan.
5. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-01.PP.01.01 Tahun 2008
tentang Pedoman Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Perundang
undangan.
Pengaturan tata cara pembentukan undang undang tersebar dalam beberapa peraturan
pelaksanaan, disusun dalam kurun waktu yang berbeda, oleh instansi yang berbeda. Hal itu
menyebabkan tidak mudah untuk menyusun alur tahapan kegitan yang harus dilalui dalam
pembentukan undang undang. Lebih lebih lagi dalam beberapa hal terjadi inkonsistensi
pengaturan dalam peraturan pelaksanaan Undang undang Nomor 10 tahun 2004. Tidaklah
mengherankan apabila dalam praktik belum dapat diwujudkan standar baku mengenai tahapan
kegiatan pembentukan undang undang di lingkungan pemerintah. Masing masing
Kementertian atau Lembaga Pemerintah Non Kementerian memberi tafsir tersendiri terhadap
ketentuan peraturan perundang undangan tersebut.
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
31
Dalam Bab ini diupayakan untuk mensistimatisir tahapan kegiatan pembentukan
undang undang di lingkungan pemerintah dengan berpedoman kepada peraturan perundang
undangan tersebut diatas. Tahapan kegiatan pembentukan undang undang merupakan proses
konversi input –berupa konsepsi atau ide mengenai materi muatan yang akan diatur –menjadi
rancangan undang undang-yang menjadi input untuk pembahasan bersama antara DPR dengan
Presiden dan akhirnya menghasilkan out put berupa undang undang.12
Proses pembentukan undang undang mempengaruhi kualitas suatu undang undang.
Suatu undang undang yang baik dapat dihasilkan apabila materi muatan yang diatur secara
konsepsional memenuhi nilai filosofis, yuridis, dan sosiologis, serta diproses sesuai dengan tata
cara yang ditentukan dalam peraturan perundang undangan. Maria Farida Indrati Soeprapto
mengemukakan:”…untuk membuat suatu peraturan perundang undangan yang baik sangat
diperlukan adanya persiapan persiapan yang matang dan mendalam, antara lain pengetahuan
mengenai materi muatan yang akan diatur dalam perundang undangan, dan pengetahuan
tentang bagaimana menuangkan materi muatan tersebut di dalam suatu peraturan perundang
undangan secara singkat tetapi jelas, dengan suatu bahasa yang baik serta mudah dipahami,
disusun secara sistimatis, tanpa meninggalkan tata cara yang sesuai dengan kaidah bahasa
Indonesia dalam penyusunan kalimat kalimatnya.”13
1. Perencanaan Pembentukan Undang-Undang
Perencanaan penyusunan Undang undang dilakukan dalam suatu Program Legislasi
Nasional.14 Penyusunan Program Legislasi Nasional antara DPR dan Pemerintah
dikoordinasikan oleh DPR melalui Badan Legislasi DPR.15 Penyusunan Program Legislasi
nasional di lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh Menteri Hukum dan HAM.16
Tahapan kegiatan penyusunan Program Legislasi nasional di Lingkungan Pemerintah
diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara
12 Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang undangan,Pasal 1 angka 3 menentukan”Undang undang adalah Peraturan Perundang undangan yang dibentuk DPR dengan persetujuan bersama Presiden”
13 Maria Farida Indrati Soeprapto,”Ilmu Perundang undangan”, Yogyakarta, 1998,hal134.
14 Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004,op cit,Pasal 15 ayat (1).
15 Undang undang Nomor 10 Tahun 2004,loc cit,Pasal 16 ayat (1)
16 Ibid, Pasal 16 ayat(3).
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
32
Penyusuanan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional dan Peraturan Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-01.PP.01.01 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan
Naskah Akademik Peraturan Perundang undangan.
Secara garis besar tahapan kegiatan penyusunan Program Legislasi Nasional sebagai
berikut.
a. Penyusunan Pada Lingkungan Pemerintah
• Penyusunan Naskah Akademik.
Penyusunan Naskah Akademik dalam hal ini menurut Peraturan Presiden Nomor 61 tahun
2005 bersifat opsional.17Menteri atau Pimpinan Lembaga Non Kementerian sebagai
pemrakarsa dapat menyusun Naskah Akademik Rancangan Undang undang yang akan
diusulkan menjadi prioritas dalam Program Legislasi Nasional. Sedangkan dalam Peraturan
Menteri Hukum dan HAM dikemukakan bahwa”Naskah Akademik merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari proses pengajuan usul Prolegnas RUU Prioritas Tahunan
Pemerintah”.18
• Menteri Hukum dan HAM meminta perencanaan Rancangan Undang undang dari Menteri
lain dan Pimpinan Lembaga Pemerintahan Non Kementerian.
Menteri Hukum dan HAM meminta kepada Menteri lain dan Pimpinan Lembaga Non
Kementerian perencanaan pembentukan Rancangan Undang undang di lingkungan
instsansinya masing masing sesuai dengan lingkup bidang tugas dan tanggungjawabnya.19
• Penyampaian Perencanaan Pembentukan Rancangan Undang undang.
Menteri lain dan Pimpinan Lembaga Non Kementerian menyampaikan perencanaan
pembentukan Rancangan Undang undang kepada Menteri Hukum dan HAM.
17 Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Prgram Legislasi Nasional,Pasal 13 menentukan:”Dalam hal Menteri lain atau pimpinan Lembaga Pemerintah Non Depeartemen telah menyusun Naskah Akademik Rancanangan Undang undang ,maka Naskah Akademik tersebut wajib disertakan dalam penyampaian perencanaan pembentukan Rancangan Undang undang”.
18 Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor:M.HH.01.PP.01.01 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Perundang undangan,Pasal 5 ayat(1).
19 Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005,op cit,Pasal 11.
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
33
Penyampaian perencanaan pembentukan Rancangan Undang undang kepada Menteri
Hukum dan HAM disertai dengan pokok materi yang akan diatur serta keterkaitannya
dengan peraturan perundang undangan lainnya.20
Dalam hal Menteri lain atau Pimpinan Lembaga Pemerintahan Non Kementerian telah
menyusun Naskah Akademik Rancangan Undang Undang ,maka Naskah Akademik
tersebut wajib disertakan dalam penyampaian perencanaan pembantukan Rancangan
Undang undang.21
• Menteri Hukum dan HAM mengkoordinasikan pelaksanaan forum konsultasi.
Menteri Hukum dan HAM melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan
konsepsi rancangan Undang undang yang diterima dengan Menteri lain atau Pimpinan
Lembaga Pemerintah Non Kementerian penyusun perencanaan pembantukan Rancangan
Undang undang dan Pimpinan Instansi Pemerintah terkait lainnya.22
Upaya pengharmonisan, pembulatan, dan pematapan konsepsi Rancangan Undang undang
dimaksud, diarahkan pada perwujudan keselarasan konsepsi tersebut dengan falsafah
Negara, tujuan nasional berikut aspirasi yang melingkupinya,UUD Negara RI Tahun
1945,Undang undang lain yang telah ada berikut segala peraturan pelaksanaannya dan
kebijakan lainnya yang terkait dengan bidang yang diatur dalam rancangan Undang undang
tersebut.23
Dalam hal konsepsi Rancangan Undang undang tersebut disertai dengan Naskah
Akademik,maka Naskah Akademik dijadikan bahan pembahasan dalam forum konsultasi.24
Dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM tentang Pedoman Penyusunan Naskah
Akademik Rancangan Peraturan Perundang undangan dikemukakan:”Naskah Akademik
RUU sebagaimana dimaksud pada ayat(1) dapat dipaparkan oleh pemrakarsa dalam rangka
persiapan Rapat Koordinasi Penyusunan Prolegnas Prioritas Tahunan dengan DPRRI.25
20 Ibid,Pasal 12.
21 Ibid,Pasal 13.
22 Ibid,Pasal 14.
23 Ibid,Pasal 15.
24 Ibid,Pasal 16 ayat(2).
25 Peraturan Menteri Hukum dan HAM,opcit,Pasal 5 ayat(2).
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
34
Pelaksanaan pemaparan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikoordinasikan oleh Badan
Pembinaan Hukum Nasional.26
Permasalahannya adalah apakah forum konsultasi yang ditentukan dalam Peraturan
Presiden Nomor 61 Tahun 2005 sama atau berbeda dengan Rapat Koordinasi Penyusunan
Prolegnas Prioritas Tahunan dengan DPR RI sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
Hukum dan HAM? Mengenai hal ini tidak ada penjelasan resminya. Dalam praktik Badan
Pembinaan Hukum Nasional setiap tahun melaksanakan Rapat Koordinasi Penyusunan
Prolegnas Prioritas Tahunan. Rapat Koordinasi tersebut dilaksanakan menjelang
dilaksanakannya rapat koordinasi penyusunan Program Legislasi Nasional antara
Pemerintah dengan DPR RI.
• Menteri Hukum dan HAM mengajukan permintaan persetujuan Presiden.
Konsepsi Rancangan Undang undang yang telah memperoleh keharmonisan,kebulatan dan
kemantapan konsepsi,oleh Menteri Hukum dan HAM wajib dimintakan persetujuan
terlebih dahulu kepada Presiden sebagai Prolegnas yang disusun di lingkungan Pemerintah
sebelum dikoordinasikan dengan DPR.27
• Menteri Hukum dan HAM melakukan koordinasi kembali.
Dalam hal Presiden memandang perlu untuk mendapatkan kejelasan lebih lanjut atas
dan/atau memberikan arahan terhadap konsepsi Rancangan Undang undang,Presiden
menugaskan Menteri Hukum dan HAM untuk mengkoordinasikan kembali konsepsi
Rancangan Undang undang dengan Menteri lain atau Pimpinan Lembaga Non Kementerian
penyusun Rancangan Undang undang dan Pimpinan instansi Pemerintah terkait
lainnya.28Hasil koordinasi tersebut oleh Menteri Hukum dan HAM dilaporkan kepada
Presiden.29
26 Ibid,Pasal 5 ayat(3). 27 Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005,op cit Pasal 17.
28 Ibid,Pasal 18 ayat(1).
29 Ibid,Pasal 18 ayat(2).
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
35
b. Penyusunan Bersama Dengan DPR
Hasil penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah oleh Menteri Hukum dan HAM
dikoordinasikan dengan DPR dalam rangka sinkronisasi dan harmonisasi Prolegnas.30
2. Penyiapan Rancangan Undang-Undang
Undang undang Nomor 10 Tahun 2004 menentukan tahap berikutnya setelah tahap
perencanaan adalah tahap persiapan.31 Sedangkan Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005
menggunakan istilah penyusunan untuk tahap persiapan tersebut.32 Dalam Undang undang
Nomor 10 Tahun 2004 diatur pokok pokok tahap persiapan pembentukan Undang
undang.Pengaturan lebih lanjut tata cara memperiapkan rancangan Undang undang diatur
dengan Peraturan Presiden.33
Rancangan Undang undang baik yang berasal dari DPR,Presiden,maupun dari DPD
disusun berdasarkan Program Legislasi Nasional.34
Dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan rancangan undang undang
di luar Program Legislasi Nasional.35 Tahapan kegiatan persiapan pembentukan Undang
undang yang diajukan oleh Presiden secara garis besar ditentukan sebagai berikut:
30 Ibid,Pasal 19.
31 Undang undang Nomor 10 Tahun 2004,op cit,Pasal 1 angka 1 menentukan: ”Pembentukan Peraturan Perundang undangan adalah proses pembuatan Peraturan Perundang undangan yang pada dasarnya dimualai dari perencanaan,persiapan,teknik penyusunan,perumusan,pembahasan,pengesahan,pengundangan dan penyebarluasan”.
32 Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005,op cit,Bab II dengan judul Penyusunan Rancangan Undang undang.
33 Undang undang Nomor 10 Tahun 2004,loc cit,Pasal 18 ayat(3).
34 Undang undang Nomor 10 Tahun 2004,loc cit,Pasal 17 ayat (1).Periksa juga ayat(2) yang menentukan sbb.”Rancangan Undang undang yang diajukan oleh DPD sebagaimana dimaksud pada ayat(1) adalah rancangan undang undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,hubungan pusat dan daerah,pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.”
35 Ibid,Pasal 17 ayat(3).Periksa juga Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005,op cit,Pasal 3 ayat(2) yang menentukan:”Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat(1) adalah:a.untuk menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang undang menjadi Undang undang;b.untuk meratifikasi konvensi atau perjanjian internasional;c.untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi;d.untuk mengatasi keadaan luar biasa,keadaan konflik,atau bencana alam;e.keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanay urgensi atas suatu Rancangan Undang undang yang dapat disetujuai bersama oleh Badan Legislasi DPR dan Menteri.”
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
36
a. Penyusunan Rancangan Undang-Undang
• Menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non kementerian menyiapkan rancangan
undang undang sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya.36
Kegiatan perancangan yang meliputi penyiapan, pengolahan, dan perumusan Rancangan
Undang undang dilaksanakan oleh biro hukum atau satuan kerja yang menyelenggarakan
fungsi di bidang peraturan perundang undangan pada lembaga pemrakarsa.37
• Pembentukan Panitia Antar Kementerian.
Dalam penyusunan Rancangan Undang undang, Pemrakarsa membentuk Panitia Antar
Kementerian yang keanggotaannya terdiri atas unsur kementerian,dan lembaga pemerintah
non kementerian yang terkait dengan substansi Rancangan Undang undang. Panitia tersebut
dipimpin oleh seorang ketua yang ditunjuk oleh Pemrakarsa.Panitia tersebut dibentuk
setelah Program Legislasi Nasional ditetapkan DPR.38 Panitia Antar Kementerian menitik
beratkan pembahasan pada permasalahan yang bersifat prinsip mengenai objek yang akan
diatur, jangkauan dan arah pengaturan.39 Rancangan undang undang yang dibahas adalah
hasil rumusan biro hukum atau satuan kerja yang menyelenggarakan fungsi di bidang
peraturan perundang undangan.Dalam pembahasan Rancangan Undang undang di tingkat
Panitia Antar Kementerian, Pemrakarsa dapat pula mengundang para ahli dari lingkungan
perguruan tnggi atau organisasi di bidang sosial, politik, profesi, dan kemasyarakatan
lainnya sesuai dengan kebutuhan dalam penyusunan Rancangan Undang undang.40
Untuk penyusunan Rancangan Undang undang di luar Program Legislasi
Nasional,sebelum pembentukan Panitia Antar Kementerian,Pemrakarsa wajib
mengkonsultasikan konsepsi tersebut kepada Menteri Hukum dan HAM.Konsultasi
tersebut dilakukan dalam rangka pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi
Rancangan Undang undang.41 Dalam hal korordinasi telah menghasilkan keharmonisan,
36 Ibid,Pasal 18 ayat (1).
37 Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005,op cit,Pasal 10 ayat(2).
38 Ibid ,Pasal 6
39 Ibid,Pasal 10 ayat(1).
40 Ibid,Pasal 10 ayat(5). 41 Ibid, Pasal 21
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
37
kebulatan, dan kemantapan konsepsi, Pemrakarsa menyampaikan konsepsi rancangan
Undang undang kepada Presiden guna mendapat persetujuan, dengan tembusan kepada
Menteri Hukum dan HAM. Berdasarkan persetujuan Presiden tersebut Pemrakarsa
membentuk Panitia Antar Kementerian.42
• Penyampaian perumusan akir Rancangan Undang undang kepada Pemrakarsa.
Ketua Panitia Antar Kementerian menyampaikan perumusan akir Rancangan Undang
undang yang telah mendapat persetujuan Panitia Antar Kementerian kepada Pemrakarsa
disertai penjelasan secukupnya.43
• Penyebarluasan Rancangan Undang undang.
Dalam rangka penyempurnaan Rancangan Undang undang, Pemrakarsa menyebarluaskan
rancangan Undang undang kepada masyarakat. Hasil penyebarluasan dijadikan bahan oleh
Panitia Antar Kementerian untuk penyempurnaan Rancangan Undang undang.44
b. Pengharmonisan dan Pemantapan Rancangan Undang-Undang
Menteri Hukum dan HAM mengkoordinasikan pengharmonisasian, pembulatan dan
pemantapan konsepsi rancangan undang undang.45 Rancangan Undang undang yang telah
disepakati dalam Panitia Antar Kementerian disampaikan oleh Pemrakarsa kepada Menteri
Hukum dan HAM untuk harmonisasi konsepsi dan teknik perancangan peraturan perundang
undangan.46 Dalam pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi Rancangan
Undang undang yang dikoordinasikan oleh Menteri Hukum dan HAM tersebut juga
diselesaikan perbedaan yang terdapat dalam pertimbangan yang disampaikan oleh menteri dan
lembaga yang terkait.47 Hasil pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi
42 Ibid, Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) 43 Ibid,Pasal 12.
44 Ibid ,Pasal 13.
45 Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004,op cit Pasal 18 ayat(2).
46 Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005,op cit Pasal 14 ayat(2) menentukan”Pertimbangan dan paraf persetujuan dari Menteri diutamakan pada harmonisasi konsepsi dan teknik perancangan perundang undangan.”Teknik penusunan peraturan perundang undangan tercantum dalam Lampiran Undang undang Nomor 10 Tahun 2004,yang meliputi:Kerangka Peraturan Perundang undangan,Hal hal Khusus,Ragam Bahasa Peraturan Perundang undangan,dan Bentuk Rancangan Peraturan Perundang undangan.
47 Ibid,Pasal 16 menentukan”Dalam hal Pemrakarsa melihat adanya perbedaan diantara pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pemrakarsa bersama dengan Menteri menyelesaikan perbedaan tersebut dengan menteri/pimpinan lembaga terkait yang bersangkutan”.
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
38
disampaikan oleh Menteri Hukum dan HAM kepada Pemrakarsa. Pemrakarsa selanjutnya
meminta paraf persetujuan kepada menteri dan/atau pimpinan lembaga terkait. Apabila upaya
penyelesaian perbedaan yang terdapat dalam pertimbangan menteri/lembaga terkait tidak
memberikan hasil, Menteri Hukum dan HAM melaporkan secara tertulis permasalahan tersebut
kepada Presiden untuk memperoleh keputusan.48 Perumusan ulang Rancangan Undang undang
dilakukan oleh Pemrakarsa bersama-sama dengan Menteri Hukum dan HAM.49
c. Penyempurnaan Rancangan Undang-Undang
• Pemrakarsa menyampaikan Rancangan Undang undang kepada Presiden.
Apabila Rancangan Undang undang hasil pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan
konsepsi tersebut sudah tidak memiliki permasalahan lagi baik dari segi substansi maupun
dari segi teknik perancangan perundang undangan,Pemrakarsa mengajukan Rancangan
Undang undang tersebut kepada Presiden guna penyampaiannya kepada
DPR.Tembusannya disampaikan kepada Menteri Hukum dan HAM.50
• Apabila Presiden berpendapat Rancangan Undang undang masih mengandung
permasalahan, Presiden menugaskan Menteri Hukum dan HAM dan Pemrakarsa untuk
mengkoordinasikan kembali penyempurnaan Rancangan Undang undang tersebut.
Rancangan Undang undang yang telah disempurnakan disampaikan oleh Pemrakarsa
kepada Presiden dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
diterimanya penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan tembusan kepada
Menteri Hukum dan HAM.51
d. Pengajuan Rancangan Undang-Undang kepada Pimpinan DPR
Rancangan undang undang yang telah disiapkan oleh Presiden diajukan dengan surat
Presiden kepada Pimpinan DPR.Dalam surat Presiden tersebut ditegaskan antara lain tentang
menteri yang ditugasi mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan rancangan undang
48 Ibid,Pasal 17.
49 Ibid,Pasal 18.
50 Ibid,Pasal 19.
51 Ibid,Pasal 20.
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
39
undang di DPR.52 Untuk keperluan pembahasan rancangan undang undang di DPR,menteri
atau pimpinan lembaga pemrakarsa memperbanyak naskah rancangan undang undang tersebut
dalam jumlah yang diperlukan.53
Perlu dikemukakan bahwa penyebarluasan rancangan undang udang yang berasal dari
Presiden dilaksanakan oleh instansi pemrakarsa.54
3. Pembahasan Rancangan Undang-Undang
a. Rancangan Undang-Undang Usul Prakarsa Pemerintah
DPR mulai membahas rancangan undang undang yang diajukan oleh Presiden,dalam
jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh)hari sejak surat Presiden diterima.55
Apabila dalam satu masa sidang, DPR dan Presiden menyampaikan Rancangan undang
undang mengenai materi muatan yang sama,maka yang dibahas adalah rancangan undang
undang yang disampaikan oleh DPR,sedangkan rancangan undang undang yang disampaikan
oleh Presiden digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.56
Dalam praktik kemungkinan terjadi hal seperti tersebut diatas sangat tipis,karena dalam
Program Legislasi Nasional telah ditentukan pembagian tugas antara DPR dan Presiden untuk
memprakarsai rancangan undang undang yang tercantum dalam Program Legislasi Nasional.57
Pembahasan rancangan undang undang di DPR secara lebih rinci dibahas dalam Bab
IV.
b. Rancangan Undang-Undang Usul Prakarsa DPR
• Presiden menugaskan Menteri.
52 Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004 op cit,,Pasal 20 ayat(1) dan(2).
53 Ibid,Pasal 20 ayat(4).
54 Ibid,Pasal 22 ayat(2).
55 Ibid,Pasal 20 ayat(3).
56 Ibid,Pasal 23.
57 Keputusan DPRRI Nomor:41 A/DPR RI/I/2009-2010 tentang Persetujuan Penetapan Program Legislasi Nasional tahun 2010-2014.ditetapkan sebanyak 247 RUU dan 5 RUU Kumulatif Terbuka menjadi prioritas, disertai keterangan pemrakarsa masing masing RUU oleh DPR atau Pemerintah.
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
40
Terhadap Rancangan Undang undang yang disusun dan disampaikan oleh DPR,Presiden
menugaskan menteri yang tugas pokoknya membidangi Rancangan Undang undang
tersebut untuk mengkoordinasikan pembahasannya dengan Menteri Hukum dan HAM dan
menteri/lembaga pemerintah non kementerian terkait.58
• Menteri yang ditugasi menyiapkan pandangan dan pendapat pemerintah.
Menteri yang ditugasi oleh Presiden menyiapkan pandangan dan pendapat pemerintah serta
menyiapkan saran penyempurnaan yang diperlukan dalam bentuk Daftar Infentarisasi
Masalah,dengan berkoordinasi dengan Menteri Hukum dan HAM dan menteri/pimpinan
lembaga non kementerian terkait.59
Dalam hal terdapat perbedaan pendapat dalam penyiapan pandangan dan pendapat serta
saran penyempurnaan yang diperlukan, Menteri Hukum dan HAM serta menteri yang
ditugasi melapor kepada Presiden untuk memperoleh keputusan atau arahan.60
• Penyampaian pandangan dan pendapat serta Daftar Inventarisasi Masalah kepada Presiden.
Pandangan dan pendapat serta Daftar Inventarisasi Masalah yang telah disiapkan oleh
menteri yang ditugasi oleh Presiden, disampaikan kepada Presiden.61
• Presiden menunjuk menteri untuk mewakili dan menyampaikan penunjukan tersebut
kepada Pimpinan DPR. Presiden menugasi atau menunjuk menteri yang mewakili
Pemerintah untuk pembahasan di DPR dan menyampaikan penunjukan tersebut kepada
Pimpinan DPR.Penugasan/penunjukan menteri dimaksud dilakukan dalam jangka waktu
paling lambat 60(enam puluh) hari sejak surat Pimpinan DPR diterima.62
Dalam penunjukan menteri yang mewakili Pemerintah tersebut sekaligus juga disampaikan
pendapat Pemerrintah terhadap rancangan Undang undang.63
58 Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005,op cit,Pasal 31.
59 Ibid,Pasal32 ayat(1).
60 Ibid,Pasal32 ayat(2).
61 Ibid,Pasal 33.
62 Undang undang Nomor 10 Tahun 2004,op cit,Pasal 21 ayat(2), junto Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005,op cit,Pasal 34 ayat (1) dan ayat(3).
63 Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005,op cit,Pasal 34 ayat(2).
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
41
4. Pengesahan
Tata cara pengesahan Rancangan Undang undang yang telah disetujui bersama oleh
DPR dan Presiden, untuk disahkan menjadi undang undang sebagai berikut:
• Pimpinan DPR menyampaikan kepada Presiden Rancangan Undang undang yang telah
disetujui bersama oleh DPR dan Presiden, untuk disahkan menjadi Undang undang.64
Penyampaian Rancangan Undang undang tersebut dilakukan dalam jangka waktu paling
lambat 7(tujuh)hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.65
• Rancangan Undang undang yang telah disetujui bersama menjadi Undang undang disahkan
oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lambat 30
(tiga puluh) hari sejak rancangan undang undang tersebut disetujui bersama oleh DPR dan
Presiden,66atau
• Dalam hal rancangan undang undang tersebut diatas tidak ditanda tangani oleh Presiden
dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh)hari sejak rancangan undang undang tersebut
disetujuai bersama, maka rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang
dan wajib diundangkan. Kalimat pengesahannya berbunyi:”Undang undang ini dinyatakan
sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat(5)Undang Undang Dasar Negara RI Tahun
1945”.67Kalimat pengesahan tersebut harus dibubuhkan pada halaman terakhir Undang-
undang sebelum Pengundangan naskah Undang undang ke dalam Lembaran Negara RI.68
5. Pengundangan
Undang-undang yang telah disahkan harus diundangkan dengan menempatkannya
dalam Lembaran Negara RI. Pengundangan tersebut dimaksudkan agar setiap orang
mengetahui Undang undang tersebut.69 Penjelasan Undang-undang dimuat dalam Tambahan
64 Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004,op cit,Pasal 37 ayat(1).
65 Ibid,Pasal 37 ayat(2).
66 Ibid,Pasal 38 ayat(1).
67 Ibid,Pasal 38 ayat(2) dan ayat(3).
68 Ibid,Pasal 38 ayat(4).
69 Ibid,Pasal 45,yang menentukan antara lain”Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundang undangan harus diundangkan dengan menempatkannya dalam:a.Lembran Negara RI”,yunto Pasal 46 ayat (1)
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
42
Lembaran Negara RI.70 Pengundangan Undang-undang dalam Lembaran Negara RI
dilaksanakan oleh Menteri Hukum dan HAM.
6. Penyebarluasan Undang undang.
Pemerintah wajib menyebarluaskan Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan
dalam Lembaran Negara RI.71 Yang dimaksud dengan “menyebarluaskan” adalah agar
khalayak ramai mengetahui Peraturan Perundang undangan tersebut dan mengerti/memahami
isi serta maksud maksud yang terkandung di dalamnya. Penyebarluasan Peraturan Perundang
undangan tersebut dilakukan,misalnya,melalui media elektronik seperti TVRI,RRI atau media
cetak.”72 Dalam Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007 ditentukan penyebarluasan
Peraturan Perundang undangan dilakukan melalui:73 media cetak, media elektronik, dan cara
lain.
Perlu dikemukakan bahwa penyebarluasan Peraturan Perundang undangan dengan cara
lain dapat dilaksanakan dengan melakukan sosialisasi peraturan perundang undangan baik
sendiri sendiri maupun bekerjasama dengan Menteri Hukum dan HAM dan/atau lembaga
terkait lain. Sosialisasi dilakukan dengan cara tatap muka atau dialog langsung,berupa
ceramah,workshop/seminar,pertemuan ilmiah,konferensi pers dan cara lain.74
7. Peran Serta Masyarakat.
Dalam negara demokratis atau Negara yang berkedaulatan rakyat, pembentukan
Undang undang dilakukan secara transparan dan akses bagi rakyat untuk berpartisipasi dibuka
secara luas. Dengan demikian pembentukan Undang undang tidak lagi berpusat pada lembaga
huruf a yang menentukan antara lain”Peraturan Perundang undangan yang diundangkan dalam Lembaran Negara RI,meliputi:a.Undang undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang undang;”
70 Ibid,Pasal 47 ayat(1) menentukan “Tambahan Lembaran Negara RI memuat Penjelasan Peraturan Perundang undangn yang dimuat dalam Lembaran Negara RI.”
71 Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004,Pasal 51.
72 Ibid,Penjelasan Pasal 51.
73 Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengesahan,Pengundangan,dan Penyebarluasan Peraturan Perundang undangan,Pasal 29 ayat(6).
74 Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007,loc cit,Pasal 34.
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
43
Negara yang berwenang, tetapi mempertimbangkan dengan seksama aspirasi arus bawah dari
rakyat.
Undang undang Nomor 10 Tahun 2004 menyatakan”Masyarakat berhak memberikan
masukan secara lisan atau teryulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan
undang undang dan rancangan peraturan daerah”.75 Tata cara melaksanakan hak masyarakat
untuk berperan serta dalam pembentukan undang undang ditentukan sebagai berikut.76
1. Dalam rangka penyiapan dan pembahasan Rancangan Undang-undang masyarakat dapat
memberikan masukan kepada Pemrakarsa.
2. Masukan dilakukan dengan menyampaikan pokok pokok materi yang diusulkan.
3. Masyarakat dalam memberikan masukan harus menyebutkan identitas secara lengkap dan
jelas.
Peran serta masyarakat dalam pembentukan undang undang,selain memperkuat
pelembagaan demokrasi juga bermanfaat untuk:
1. meningkatkan legitimasi dan kualitas undang undang;
2. meningkatkan peluang untuk keberhasilan dalam penerapannya;
3. meningkatkan ketaatan terhadap pelaksanaan undang undang secara sukarela;dan
4. memperluas bentuk partnership dengan warga Negara.
8. Teknik Penyusunan Undang undang.
Teknik penyusunan undang-undang merupakan bagian dari teknik penyusunan
Peraturan Perundang undangan.Hal tersebut diatur dalam Lampiran Undang Undang Nomor 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam teknik penyusunan
peraturan perundang undangan diatur hal hal sebagai berikut:
1. Kerangka peraturan perundang undangan;
2. Hal hal khusus; 75 Undang undang Nomor 10 Tahun 2004,op cit,Pasal 53.
76 Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005,op cit,Pasal 41.
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
44
3. Ragam Bahasa Peraturan Perundang undangan; dan
4. Bentuk Rancangan Peraturan Perundang undangan.
Teknik Penyusunan Peraturan Perundang undangan tersebut sangat membantu
pemrakarsa dalam menyusun Peraturan Perundang undangan.Meskipun patut diakui bahwa
pedoman teknik yang termuat di dalam Lampiran undang undang Nomor 10 Tahun 2004
bukanlah merupakan panacea yang dapat menjawab segala persoalan yang ditemukan dalam
praktik penyusunan Undang undang.
Penyusunan Undang undang merupakan proses yang dinamis,melibatkan berbagai
bidang keahlian, berbagai instansi, harus mampu menampung berbagai aspirasi dari pemangku
kepentingan, menjamin kepastian hukum dan keadilan serta mampu mengantisipasi kemajuan
jaman. Selain itu penyususnan Undang undang merupakan proses politik yang penuh
dinamika.Oleh karena itu teknik penyusunan undang undang perlu terus menerus
dikembangkan agar mampu memenuhi tuntutan jaman. Selain itu tenaga perancang peraturan
perundang undangan yang professional, dan memiliki integritas yang tinggi sangat penting
peranannya dalam mendukung pembentukan Undang-undang yang baik.
B. PADA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
1. Perencanaan Pembentukan Undang-Undang
a. Penyusunan Di Lingkungan DPR
Pasal 103 ayat (2) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 2009 tentang Tata Tertib menetapkan bahwa Badan Legislasi mengkoordinasikan
penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR. Kegiatan pengkoordinasian tersebut
diselenggarakan oleh Badan Legislasi dengan melakukan hal-hal sebagai berikut: meminta,77
menginventarisasi, dan membahas usulan judul rancangan undang-undang78 dari fraksi,
77 Pasal 104 ayat (1) menyebutkan, bahwa permintaan usulan kepada fraksi, komisi, atau DPD dilakukan oleh Badan Legislasi paling lambat 1 (satu) masa sidang sebelum dilakukan penyusunan Prolegnas.
78 Pasal 104 ayat (7) menentukan, bahwa usulan disampaikan secara tertulis dengan menyebutkan judul rancangan undang-undang disertai dengan alasan yang memuat: a. urgensi dan tujuan penyusunan; b. sasaran yang ingin diwujudkan; c. pokok pikiran, lingkup, atau obyek yang akan diatur; dan d. jangkauan serta arah pengaturan.
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
45
komisi, dan DPD yang disampaikan oleh pimpinan masing-masing,79serta usulan yang dari
masyarakat. Hasil pembahasan ditetapkan untuk menjadi bahan koordinasi dengan Pemerintah.
Dalam koordinasi penyusunan di lingkungan DPR tersebut, Pasal 105 membolehkan
Badan Legislasi untuk mengundang pimpinan fraksi, pimpinan komisi, pimpinan alat
kelengkapan DPD yang khusus menangani bidang legislasi, dan/atau masyarakat.
b. Penyusunan Bersama Dengan Pemerintah
Menurut Pasal 106 ayat (1) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib, Badan Legislasi berkoordinasi dengan menteri yang
tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan dalam penyusunan dan
penetapan Prolegnas Jangka Panjang,80Jangka Menengah yang dilakukan pada awal masa
keanggotaan DPR,81 dan Prolegnas Prioritas Tahunan yang dilakukan pada akhir tahun82
bersamaan dengan pengevaluasian atas Prolegnas jangka menengah. Penyusunan dan
penetapan ketiga macam Prolegnas tersebut dapat dilakukan dalam kegiatan rapat kerja, rapat
panitia kerja, rapat tim perumus; dan/ataurapat tim sinkronisasi.83
Badan Legislasi diwajibkan oleh Pasal 106 ayat (10) untuk melaporkan hasil
kesepakatan dari rapat (-rapat) penyusunan dan penetapan ketiga macam Prolegnas tersebut
dalam rapat paripurna DPR,yang kemudian ditetapkan sebagai Keputusan DPR.84
Berdasarkan Pasal 107 ayat (1) dan (2), Keputusan DPR tersebut disampaikan oleh
Pimpinan DPR kepada Presiden dan pimpinan DPD. Badan Legislasi menyampaikan
Keputusan DPR tersebut kepada anggota, fraksi, dan komisi di lingkungan DPR, serta 79 Pasal 104 ayat (3), (4), dan (5) mengatur, bahwa usulan harus disampaikan oleh pimpinan fraksi atau komisi kepada Badan Legislasi, dan pimpinan DPD kepada pimpinan DPR paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja dalam masa sidang sebelum dilakukan penyusunan Prolegnas.
80 Pasal 106 ayat (2) dan (3) menyebutkan, bahwa penyusunan dan penetapan Prolegnas Jangka Panjang dilakukan sekali dalam 20 (dua puluh) tahun sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
81 Pasal 106 ayat (2) dan (5) menerangkan, bahwa penyusunan dan penetapan Prolegnas Jangka Menengah dilakukan sekali dalam 5 (lima) tahun, dan dapat dievaluasi pada setiap akhir tahun bersamaan dengan penyusunan dan penetapan Prolegnas Prioritas Tahunan.
82 Pasal 106 ayat (6) menentukan, bahwa penyusunan dan penetapan Prolegnas Prioritas Tahunan dilakukan sebelum penetapan rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara.
83 Pasal 106 ayat (7).
84 Pasal 106 ayat (11).
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
46
menyebarluaskannya kepada masyarakat melalui media cetak, media elektronik, atau media
lainnya.85
2. Penyiapan Rancangan Undang-Undang
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009
tentang Tata Tertib membagi tahapan penyiapan rancangan undang-undang di lingkungan DPR
dalam 4 (empat) langkah, yaitu: pengajuan usul inisiatif pembentukan undang-undang;
penyusunan rancangan undang-undang usulan; pengharmonisasian, pembulatan, dan
pemantapan rancangan undang-undang; dan penyempurnaan rancangan undang-undang.
a. Pengajuan Usul Inisiatif Pembentukan Undang-Undang
Pasal 109 ayat (1) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 2009 tentang Tata Tertib menentukan, bahwa usul inisiatif pembentukan undang-
undang dapat diajukan oleh satu atau lebih anggota,86 komisi, gabungan komisi, atau Badan
Legislasi.87 Menurut Pasal 110, pengajuan usulan tersebutharus berdasarkan Prolegnas
Prioritas Tahunan.88
b. Penyusunan Rancangan Undang-Undang Usulan
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009
tentang Tata Tertib mengatur mengenai kegiatan penyusunan rancangan undang-undang usulan
sebagai berikut:
85 Pasal 107 ayat (2) dan (3).
86 Pasal 109 ayat (3) menentukan, bahwa anggota lain dapat mendukung usulan yang diajukan oleh satu atau lebih anggota dengan cara membubuhkan tandatangan mereka.
87 Pasal 109 ayat (4) mensyaratkan adanya persetujuan rapat komisi, rapat gabungan komisi, atau rapat Badan legislasi atas pengajuan usulan yang mengatasnamakan alat (-alat) kelengkapan tersebut.
88 Pasal 108 ayat (3) menyebutkan, bahwa undang-undang yang dapat diajukan usul pembentukannya walaupun tidak berdasarkan Prolegnas Prioritas Tahunan meliputi: a. ratifikasi konvensi atau perjanjian internasional; b. pengisian kekosongan hukum akibat putusan Mahkamah Konstitusi; c. penanggulangan keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; atau d. penanganan keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu rancangan undang-undang yang dapat disepakati oleh Badan Legislasi dengan menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan.Selain itu, berdasarkan Pasal 108 ayat (4), usul inisiatif pembentukan undang-undang tersebut harus disepakati terlebih dahulu oleh Badan Legislasi yang selanjutnya akan berkoordinasi dengan menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan untuk mendapatkan persetujuan bersama. Hasil koordinasi tersebut dilaporkan oleh Badan Legislasi dalam rapat paripurna untuk ditetapkan.
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
47
• Pengusul harus menyusun naskah akademis89 dan rancangan awal undang-
undang.90Pengusul dapat dibantu oleh badan fungsional dalam pengerjaan penyusunan
tersebut.91
• Komisi, gabungan komisi, atau Badan legislasi dapat membentuk dan menetapkan panitia
kerja92 yang beranggotakan paling banyak separuh dari jumlah anggota alat kelengkapan
yang bersangkutan.93
• Sebagai bahan untuk menyempurnakan konsepsi rancangan undang-undang, panitia kerja
dapat meminta masukan dari masyarakat.94
Pasal 120 ayat (1) mengatur, bahwa usul pembentukan undang-undang dari DPD
harus diajukan berdasarkan Prolegnas Prioritas Tahunan. Pengajuan usulan tersebut
disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR disertai penjelasan atau
keterangan dan/atau naskah akademik. 95
c. Pengharmonisasian dan Pemantapan Rancangan Undang-Undang
Pasal 116 Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2009 tentang Tata Tertib, menyebutkan, bahwa pengharmonisasian, pembulatan, dan
pemantapan konsepsi rancangan undang-undang dilakukan dalam jangka waktu paling lama 10
(sepuluh) hari sejak rancangan undang-undang diterima Badan Legislasi.96 Pasal 120 ayat (3)
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata
Tertib mengatur, bahwa usul pembentukan undang-undang dari DPD disampaikan oleh 89 Berdasarkan Pasal 108 ayat (2) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib, kewajiban untuk menyusun naskah akademis berlaku juga bagi usul inisiatif pembentukan undang-undang yang tidak berdasarkan Prolegnas Prioritas Tahunan, sedangkan Pasal 112 ayat (2) memberikan kemungkinan untuk tidak melakukan penyusunan naskah akademis bagi rancangan undang-undang tentang APBN, rancangan undang-undang tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang, rancangan undang-undang tentang pengesahan perjanjian internasional, atau rancangan undang-undang yang hanya terbatas mengubah beberapa materi.
90 Pasal 112 ayat (4).
91 Pasal 113 ayat (4). 92 Pasal 113 ayat (1) dan (2). 93 Pasal 113 ayat (3). 94 Pasal 114. 95 Pasal 120 ayat (2). 96 Pasal 116 ayat (1), (2), dan (3) menentukan, bahwa jangka waktu tersebut dihitung berdasarkan hari (kerja) dalam masa sidang.
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
48
pimpinan DPR kepada Badan Legislasi untuk dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan
pemantapan konsepsi rancangan undang-undang.
Selanjutnya, kegiatan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi
rancangan undang-undang diatur sebagai berikut:
• Badan Legislasi dapat membentuk panitia kerja;97
• Badan Legislasi mengundang pengusul98 untuk membahas permasalahan yang ditemui;
• Berdasarkan keputusan rapat, Badan Legislasi dapat melakukan perumusan ulang atas
rancangan undang-undang99 bersama dengan unsur pengusul100 dalam dalam jangka waktu
2 (dua) kali dalam masa sidang;
• Pengusul101 mengajukan rancangan undang-undang yang telah dilakukan
pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi102 kepada pimpinan DPR103
untuk selanjutnya disampaikan dalam rapat paripurna.
d. Penyempurnaan Rancangan Undang-Undang
Pasal 122 ayat (1) dan Pasal 121 ayat (1) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib menyebutkan, bahwa rapat
paripurna melakukan pembahasan untuk menjadikan usulan rancangan undang-undang yang
diajukan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi, dan DPD sebagai
97 Pasal 117 ayat (1)
98 Pasal 117 ayat (3) dan (4) menentukan, bahwa unsur pimpinan dan/atau anggota komisi atau gabungan komisi sebagai wakil alat kelengkapan yang mengusulkan rancangan undang-undang,dan paling banyak 4 (empat) orang sebagai wakil anggota yang mengusulkan rancangan undang-undang adalah. Sementara Pasal 120 ayat (4) menyebutkan, bahwa pimpinan alat kelengkapan DPD yang mempunyai tugas di bidang perancangan undang-undang sebagai wakil dari DPD.
99 Pasal 118 ayat (1) dan (2).
100 Pasal 118 ayat (3) menentukan, bahwa jumlah unsur pengusul paling banyak 4 (empat) orang anggota.
101 Pasal 120 ayat (5) menyebutkan, bahwa rancangan undang-undang dari DPD yang telah dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi diajukan oleh Badan Legislasi.
102 Pasal 119 ayat (2) menyebutkan bahwa rancangan undang-undang yang diajukan oleh Badan Legislasi dianggap telah dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang.
103 Pengajuan tersebut dilengkapi dengan keterangan pengusul dan/atau naskah akademik.
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
49
rancangan undang-undang usul DPR. Keputusan atas hal tersebut dapat berupa: a. persetujuan
tanpa perubahan; b. persetujuan dengan perubahan; atau c. penolakan. 104
Pasal 122 ayat (5) dan (8) menentukan, bahwa usulan rancangan undang-undang yang
diajukan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasiyang dinyatakan
disetujui tanpa perubahan oleh fraksi atau yang tidak tegas diputuskan disetujui dengan
perubahan oleh rapat paripurna sebagai rancangan undang-undang usul DPR,disampaikan oleh
pimpinan DPR kepada Presiden. Penyampaian tersebut disertaidengan permintaan penunjukan
menteri yang akan mewakili Presiden untuk melakukan pembahasan rancangan undang-undang
tersebut bersama DPR.105
Usulan rancangan undang-undang dari DPD yang diputuskan disetujui tanpa perubahan
oleh rapat paripurna sebagai rancangan undang-undang usul DPR, disampaikan oleh pimpinan
DPR kepada Presiden beserta permintaan penunjukan menteri yang akan mewakili Presiden
untuk melakukan pembahasan rancangan undang-undang tersebut serta kepada pimpinan DPD
beserta permintaan penunjukan alat kelengkapan DPD yang akan ikut membahas rancangan
undang-undang tersebut.106
Pasal 123 ayat (1) serta Pasal 122 ayat (6) dan (7) mengatur, bahwa untuk
menyempurnakan usulan rancangan undang-undang yang diajukan oleh anggota, komisi,
gabungan komisi, atau Badan Legislasi yang dinyatakan disetujui dengan perubahan oleh
fraksi sebagai rancangan undang-undang usul DPR,Badan Musyawarah menugaskan kepada
komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi,107 atau panitia khusus.108Penyempurnaan dilakukan
dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari masa sidang, dan dapat diperpanjang
paling lama 20 (dua puluh) hari masa sidang.109Rancangan undang-undang hasil
104 Pasal 122 ayat (2), dan Pasal 121 ayat (1). 105 Pasal 122 ayat (9). 106 Pasal 121 ayat (3) dan (5).
107 Pasal 124 ayat (2), (3), dan (4).
108 Pasal 124 ayat (5). Pasal 126 membolehkan Komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, atau panitia khusus untuk mengadakan rapat dengar pendapat umum untuk mendapatkan masukan bagi penyempurnaan rancangan undang-undang
109 Pasal 125 ayat (1) dan (3).Pasal 125 ayat (2) menyebutkan, bahwa perpanjangan waktu dilakukan oleh Badan Musyawarah berdasarkan permintaan tertulis pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi, pimpinan Badan Legislasi, atau pimpinan panitia khusus. Pasal 125 ayat (4) menentukan, bahwa apabila setelah perpanjangan waktu penyempurnaan rancangan undang-undang belum selesai, rancangan undang-
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
50
penyempurnaan yang diajukan oleh Komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, atau panitia
khusus kepada pimpinan DPR di sampaikan kepada Presiden beserta permintaan agar Presiden
menunjuk menteri yang akan mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan rancangan
undang-undang tersebut.110
Untuk menyempurnakan usulan rancangan undang-undang dari DPD yang diputuskan
disetujui dengan perubahan oleh rapat paripurna sebagai rancangan undang-undang usul DPR,
pimpinan DPR menugaskan penyempurnaan rancangan undang-undang tersebut kepada
komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, atau panitia khusus.111
e. Pengajuan Rancangan Undang-Undang Kepada Presiden
Rancangan undang-undang hasil penyempurnaan yang diajukan oleh Komisi,
gabungan komisi, Badan Legislasi, atau panitia khusus kepada pimpinan DPR disampaikan
kepada Presiden beserta permintaan penunjukan menteri yang akan mewakili Presiden untuk
melakukan pembahasan rancangan undang-undang tersebut serta kepada pimpinan DPD
beserta permintaan penunjukan alat kelengkapan DPD yang akan ikut membahas rancangan
undang-undang tersebut112
Pasal 128 ayat (2) menentukan, bahwa apabila dalam waktu 60 (enam puluh) hari
penunjukan menteri yang akan mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan rancangan
undang-undang belum dilakukan, maka pimpinan DPR melaporkan dalam rapat paripurna
untuk menentukan tindak lanjut.
Pasal 121 ayat (6) menentukan, bahwa apabila dalam waktu 60 (enam puluh) hari
penunjukan alat kelengkapan DPD yang akan ikut membahas rancangan undang-undang belum
dilakukan, maka pembahasan rancangan undang-undang tetap dilaksanakan.
undang hasil keputusan rapat paripurna dianggap telah disempurnakan dan selanjutnya dikirimkan kepada Presiden.
110 Pasal 127 ayat (1) dan (2).
111 Pasal 121 ayat (4).
112 Pasal 121 ayat (5).
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
51
3. Pembahasan Rancangan Undang-Undang
Pasal 129 ayat (1), (2), dan (3) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib menentukan, bahwa pembahasan rancangan undang-
undang dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan, yaitu: a. Tingkat I dalam rapat komisi,
rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat panitia khusus,atau rapat Badan
Anggaran113 bersama dengan menteri yang mewakili Presiden; dan b. Tingkat II dalam rapat
paripurna.
Pasal 130 ayat (1) menentukan bahwa komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi,114
panitia khusus, atau Badan Anggaran membahas paling banyak 2 (dua) rancangan undang-
undang dalam waktu yang bersamaan115berdasarkan penugasan Badan Musyawarah.116
a. Pembicaraan Tingkat I
Pasal 136 ayat (1) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 2009 tentang Tata Tertib menentukan, bahwa kegiatan dalam Pembicaraan Tingkat I
meliputi: pengantar musyawarah; pembahasan daftar inventarisasi masalah; penyampaian
pendapat mini sebagai sikap akhir; dan pengambilan keputusan.117 Berdasarkan Pasal 138 ayat
(1), pembicaraan pada tingkat ini dilakukan dalam: rapat kerja; rapat panitia kerja; rapat tim
113 Pasal 129 ayat (4) menyebutkan, bahwa Badan Anggaran membahas rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara. Sementara, Pasal 137 menyebutkan bahwa komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, Badan Anggaran, dan panitia khusus dibantu oleh badan fungsional.
114 Pasal 131 ayat (1) menentukan, bahwa komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi yang mengajukan usulan rancangan undang-undang diprioritaskan untuk ditugaskan membahas rancangan undang-undang.Pasal 133 ayat (1) dan (3) mengatur, bahwa apabila penugasan pembahasan rancangan undang-undang diserahkan kepada bukan anggota atau alat kelengkapan pengaju usulan, maka komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, atau panitia khusus yang mendapatkan penugasan wajib mengundang paling banyak 4 (empat) orang anggota atau pimpinan alat kelengkapan sebagai wakil pengusul.
115 Pasal 134 ayat (1) menyebutkan pengecualian atas hal pembatasan tersebut adalah menyangkut pembahasan atas rancangan undang-undang mengenai: a. pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah; b. pembentukan pengadilan tinggi; c. ratifikasi perjanjin internasional; d. rancangan undang-undang paket; dan e. rancangan undang-undang tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang.Sementara, Pasal 135 menyebutkan bahwasetiap anggota mendapatkan penugasan paling banyak 3 (tiga) rancangan undang-undang dalam waktu yang bersamaan, dengan pengecualian yang sama sebagaimana diatur dalam Pasal 134 ayat (1) huruf a,b, c, dan d.
116 Pasal 131 ayat (2) mengatur, bahwa komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, atau panitia khusus yang mendapat tugas penyempurnaan rancangan undang-undang langsung bertugas membahas rancangan undang-undang.
117 Pasal 136 ayat (2) menerangkan, bahwa Pembahasan rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dilakukan sesuai dengan mekanisme pembahasan dalam rapat Badan Anggaran.
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
52
perumus/tim kecil; dan/atau rapat tim sinkronisasi. Menurut Pasal 136 ayat (8), dalam
pembicaraan pada tingkat ini dapat diundang pimpinan lembaga negara atau lembaga lain
apabila materi rancangan undang-undang berkaitan dengan lembaga negara atau lembaga lain.
Pasal 136 ayat (4) menguraikan kemungkinan kegiatan dalam pengantar musyawarah,
yaitu: DPR memberikan penjelasan dan Presiden menyampaikan pandangan apabila rancangan
undang-undang berasal dari DPR; DPR memberikan penjelasan serta Presiden dan DPD
menyampaikan pandangan apabila rancangan undang-undang berasal dari DPR yang berkaitan
dengan kewenangan DPD; Presiden memberikan penjelasan dan fraksi memberikan
pandangan apabila rancangan undang-undang berasal dari Presiden; atau Presiden memberikan
penjelasan serta fraksi dan DPD menyampaikan pandangan apabila rancangan undang-undang
berasal dari Presiden yang berkaitan dengan kewenangan DPD.118
Berdasarkan Pasal 136 ayat (5), daftar inventarisasi masalah diajukan oleh Presiden
atas rancangan undang-undang usul DPR; atau DPR atas rancangan undang-undang usul
Presiden. Menurut Pasal 136 ayat (6), penyampaian pendapat mini disampaikan pada akhir
Pembicaraan TingkatI oleh fraksi;DPD, apabila rancangan undang-undang berkaitan dengan
kewenangan DPD; dan Presiden.
Pengambilan keputusan, sebagaimana diatur dalam Pasal 149 dilakukan dengan acara
sebagai berikut: pengantar pimpinan komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, panitia
khusus, atau Badan Anggaran; laporan panita kerja; pembacaan naskah RUU; pendapat akhir
mini sebagai sikap akhir; penandatanganan naskah RUU; dan pengambilan keputusan untuk
melanjutkan pada Pembicaraan Tingkat II.
b. Pembicaraan Tingkat II
Pasal 150 ayat (1) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 2009 tentang Tata Tertib menentukan, bahwa hasil pembicaraan tingkat I atas
118 Pasal 136 ayat (3) meyebutkan, bahwa DPD ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Menurut Pasal 136 ayat (7), Pembicaraan TingkatI tetap dilaksanakan walaupun DPD tidak memberikan pandangan dan pendapat dalam pengantar musyawarah.
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
53
pembahasan rancangan undang-undang dilanjutkan dengan Pembicaraan Tingkat II dalam
rapat paripurna yang meliputi kegiatan sebagai berikut:
• penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan
hasil Pembicaraan TingkatI;
• pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota secara lisan yang
diminta oleh pimpinan rapat paripurna.Apabila persetujuan secara lisan tidak bisa dicapai
secara musyawarah untuk mufakat, pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara
terbanyak;119 dan
• pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh menteri.
Berdasarkan Pasal 150 ayat (4) dan (5), pimpinan DPR menyampaikan rancangan
undang-undang yang telah disetujui bersama dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari
kerja terhitung sejak tanggal persetujuan bersama kepada Presiden untuk disahkan menjadi
undang-undang.
C. PASA DEWAN PERWAKILAN DAERAH
1. Penyiapan Rancangan Undang-Undang
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009
tentang Tata Tertib membagi tahapan penyiapan rancangan undang-undang di lingkungan DPD
dalam 4 (empat) langkah, yaitu: pengajuan usul pembentukan rancangan undang-undang dan
usulan rancangan undang-undang; penyusunan rancangan undang-undang usulan; dan
penyempurnaan rancangan undang-undang; dan pembahasan rancangan undang-undang di
DPR.
a. Pengajuan Usul Pembentukan Rancangan Undang-Undang dan Usulan Rancangan Undang-Undang
Pasal 127 Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor
2/DPD/2004 tentang Tata Tertibmenentukan, bahwa usul pembentukan rancangan undang-
undang dapat diajukan oleh sekurang-kurangnya ¼ (seperempat) dari jumlah anggota DPD,
119 Pasal 150 ayat (2).
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
54
sementara usulan rancangan undang-undang dapat diajukan oleh Panitia Perancang Undang-
Undang dan/atau Panitia Ad Hoc.
b. Penyusunan Rancangan Undang-Undang Usulan
Berdasarkan Pasal 128 Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia
Nomor 2/DPD/2004 tentang Tata Tertib, usul pembentukan rancangan undang-undang beserta
latar belakang, tujuan, dan pokok-pokok pikiran serta daftar nama, nama provinsi dan tanda
tangan pengusul disampaikan secara tertulis kepada Panitia Perancang Undang-Undang.Panitia
Perancang Undang-Undang melakukan pembahasan, harmonisasi, pembulatan, dan
pemantapan konsepsi usul pembentukan rancangan undang-undang.120 Hasil kegiatan tersebut
disampaikan secara tertulis oleh pimpinan Panitia Perancang Undang-Undang kepada
pimpinan DPD sebagai Usul Rancangan Undang-Undang disertai penjelasan/keterangan
dan/atau naskah akademis.
Sementara usulan rancangan undang-undang beserta penjelasan/keterangan
dan/atau naskah akademis disampaikan secara tertulis kepada pimpinan Panitia Perancang
Undang-Undang yang kemudian mengkonsultasikannya kepada Pimpinan DPD.
c. Penyempurnaan Rancangan Undang-Undang
Pasal 130 Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor
2/DPD/2004 tentang Tata Tertib menyebutkan, bahwa usulan rancangan undang-undang yang
diterima oleh pimpinan DPD selanjutnya diberitahukan dan dibagikan kepada seluruh anggota
DPD dalam sidang paripurna berikutnya. Dalam sidang paripurna tersebut, Panitia Perancang
Undang-Undang menyampaikan penjelasan dan pemrakarsa diberi kesempatan untuk
memberikan pendapatnya. Sidang paripurna tersebut melakukan pembahasan untuk
menjadikan usulan rancangan undang-undang yang diajukan sebagai rancangan undang-
undang usul DPD. Keputusan atas hal tersebut dapat berupa: diterima tanpa perubahan;
diterima dengan perubahan; atau ditolak.
Panitia Perancang Undang-Undang ditugaskan oleh DPD untuk menyempurnakan
usulan rancangan undang-undang yang diterima dengan perubahan oleh sidang paripurna 120 Pasal 129 menyebutkan, bahwa anggota, Panitia Perancang Undang-Undang, atau Panitia Ad Hoc pengusul dapat terlebih dahulu menyusun rancangan naskah akademis mengenai Rancangan Undang-Undang yang akan disusun yang pelaksanaannya dapat diserahkan kepada perguruan tinggi atau pihak ketiga lainnya.
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
55
sebagai rancangan undang-undang usul DPD.Usulan rancangan undang-undang yang telah
disempurnakan tersebut, atau usulan rancangan undang-undang yang telah diterima tanpa
perubahan sebagai rancangan undang-undang usul DPD beserta penjelasan/keterangan
dan/atau naskah akademis disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada DPR dan
Presiden dengan surat pengantar pimpinan DPD.121 Surat pengantar tersebut menyebutkan juga
tentang alat kelengkapan yang mewakili DPD dalam melakukan pembahasan rancangan
undang-undang tersebut di DPR.122
d. Pembahasan Rancangan Undang-Undang di DPR
Pasal 133 Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor
2/DPD/2004 tentang Tata Tertib menentukan, bahwa atas undangan DPR, DPD melakukan
pembahasan usulan rancangan undang-undang dari DPD di DPR. Dalam pembahasan tersebut,
DPD diwakili oleh Panitia Perancang Undang-Undang dan/atau Panitia Ad Hoc yang
membidangi materi muatan rancangan undang-undang yang dibahas.123
Menurut Pasal 134, usulan rancangan undang-undang dari DPD yang diputuskan
disetujui sebagai rancangan undang-undang usul DPR disampaikan oleh pimpinan DPR kepada
Presiden beserta permintaan penunjukan menteri yang akan mewakili Presiden untuk
melakukan pembahasan rancangan undang-undang tersebut serta kepada pimpinan DPD
beserta permintaan penunjukan alat kelengkapan DPD yang akan ikut membahas rancangan
undang-undang tersebut pada awal pembicaraan tingkat I sesuai Peraturan Tata Tertib DPR.
2. Pembahasan Rancangan Undang-Undang dari DPR atau Presiden di DPR
Berdasarkan Pasal 6 huruf c Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia
Nomor 2/DPD/2004 tentang Tata Tertib, tugas dan wewenang DPD antara lain adalah
memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan
121 Penyampaian secara tertulis rancangan undang-undang beserta penjelasan/ keterangan dan/atau naskah akademis dilakukan selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak usul rancangan undang-undang tersebut telah disempurnakan , atau usulan rancangan undang-undang tersebut telah diterima tanpa perubahan sebagai rancangan undang-undang usul DPD.
122 Pasal 132
123 Pasal 135 menentukan, bahwa dalam pembahasan usulan rancangan undang-undang dari DPD di DPR, alat kelengkapan DPD yang ditugasi wajib menyampaikan laporan perkembangan pembahasan rancangan undang-undang tersebut secara berkala kepada seluruh Anggota dan Pimpinan DPD.
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
56
dan Belanja Negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan,
dan agama.
Menurut Pasal 136, usulan rancangan undang-undang dari DPR atau Pemerintah yang
diterima oleh pimpinan DPD selanjutnya diberitahukan dan dibagikan kepada seluruh anggota
DPD dalam sidang paripurna berikutnya. Selanjutnya DPD akan menugaskan Panitia
Perancang Undang-Undang atau Panitia Ad Hock untuk membahas dan/atau menyempurnakan
rancangan undang-undang tersebut sebagai bahan dalam pembahasan bersama DPR dan
Pemerintah.124
Berdasarkan Pasal 137, pada awal Pembicaraan Tingkat I, berdasarkan Peraturan Tata
Tertib DPR, DPD atas undangan DPR akan melakukan pembahasan usulan rancangan undang-
undang bersama DPR dan Pemerintah. Pada pembahasan tersebut DPD akan diwakili oleh
Panitia Perancang Undang-Undang atau Panitia Ad Hoc. Menurut ketentuan dalam Pasal 138,
apabila dalam pembahasan tersebut DPR dan/atau Pemerintah menolak masukan yang
disampaikan oleh DPD, maka DPD meminta penjelasan kepada DPR dan/atau Pemerintah.
Setelah Pimpinan DPD menerima penjelasan secara tertulis dari Pimpinan DPR dan/atau
Pemerintah, penjelasan tersebut akan disampaikan kepada seluruh Anggota DPD. Selanjutnya
DPD akan menyampaikan jawaban atas penjelasan DPR tersebut.
124 Selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak penugasan oleh Sidang Paripuma DPD tersebut, Panitia Perancang Undang-Undang atau Panitia Ad Hoc akan menyampaikan laporan pelaksanaan tugas tersebut kepada Sidang Paripurna DPD
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
57
BAB IV
TEMUAN DAN ANALISA
A. TEMUAN DAN ANALISA DI LINGKUNGAN PEMERINTAH
Tim Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
yang Berbasis Kinerja yang dibentuk Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), telah menyebarkan
questioner ke 50 (lima puluh) Kementerian/Lembaga Pemerintah Non Kementerian. Dari 50
Kementerian/Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang dikirimi questioner, 35
Kementerian/Lembaga atau 70 persen memberikan jawaban, sedangkan 16
Kementerian/Lembaga 30 persen tidak memberikan jawaban. 35 (tigapuluh lima) Kementerian
dan Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang memberikan jawaban terdiri dari 23
Kementerian dan 12 Lembaga Pemerintah Non Kementerian sebagai berikut:
Tabel 4
Daftar Kementerian/Lembaga Yang Dikirim Questionaire
No. Kode Kementerian/Lembaga Pemerintah Non Kementerian
I. Kementerian Dalam Negeri
II. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata
III. Kementerian Perindustrian
IV. Kementerian Hukum dan HAM
V. Kementerian Perumahan Rakyat
VI. Kementerian Negara Pendaya Gunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
VII. Kementerian Pemuda dan Olah Raga
VIII. Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
58
No. Kode Kementerian/Lembaga Pemerintah Non Kementerian
IX. Kementerian Komunikasi dan Informasi
X. Kementerian Pekerjaan Umum
XI. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
XII. Kementerian Pertahanan
XIII. Kementerian Koperasi dan UKM
XIV. Kementerian Perhubungan
XV. Kementerian Agama
XVI. Kementerian Lingkungan Hidup
XVII. Kementerian Pendidikan Nasional
XVIII. Kementerian Sosial
XIX. Kementerian Keuangan
XX. Kementerian Kehutanan
XXI. Kementerian Kelautan dan Perikanan
XXII. Kementerian Perdagangan
XXIII. Badan Standarisasi Nasional
XXIV. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
XXV. Lembaga Sandi Negara
XXVI. Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (Bakorsutanal)
XXVII. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
XXVIII. Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT)
XXIX. Arsip Nasional
XXX. Lembaga Administrasi Negara
XXXI. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
XXXII. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
XXXIII. Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN)
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
59
No. Kode Kementerian/Lembaga Pemerintah Non Kementerian
XXXIV. Badan Pusat Statistik (BPS)
XXXV. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
Dari 35 (tiga puluh lima) Kementerian dan Lembaga Pemerintah Non Kementerian
yang memberikan tanggapan terhadap questioner, ada 5 (lima) Lembaga Pemerintah Non
Kementerian yang memberikan jawaban bahwa Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang
bersangkutan dalam 5 (lima) tahun terakhir tidak membuat Rancangan Undang-undang (RUU),
sehingga lembaga yang bersangkutan tidak mengisi jawaban atas pertanyaan yang diajukan.
Kelima Lembaga Pemerintah Non Kementerian tersebut adalah:
1. Lembaga Administrasi Negara
2. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
3. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
4. Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN)
5. Badan Pusat Statistik (BPS)
Salah satu kementerian, yaitu Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
memberikan jawaban bahwa kementerian yang bersangkutan tugas dan fungsinya tidak
melakukan penyusunan rancangan undang-undang.
Dari data-data tersebut, responden yang memberikan tanggapan atas questioner dan
menjawab pertanyaan yang diajukan cukup representatif untuk mewakili Kementerian dan
Lembaga Pemerintah Non Kementerian.
Setelah mempelajari dan mengevaluasi jawaban atas 12 pertanyaan yang diajukan,
dapat dikemukakan temuan bahwa jumlah RUU yang disusun K/L dalam periode tahun 2005 –
2009 sebanyak 395 RUU, dengan rincian sebagai berikut:125
a. Kementerian Keuangan : 86 RUU
b. Kementerian Hukum & HAM : 57 RUU
c. Kementerian Dalam Negeri : 56 RUU
d. Kementerian Pertahanan : 43 RUU 125 Data detail apat dilihat dalam Lampiran
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
60
e. Kementerian PAN & Reformasi Birokrasi : 30 RUU
f. Kementerian Sosial : 20 RUU
g. 1 K/L : 15 RUU
h. 1 K/L : 13 RUU
i. 2 K/L : 11 RUU
j. 1 K/L : 10 RUU
k. 1 K/L : 6 RUU
l. 1 K/L : 4 RUU
m. 1 K/L : 3 RUU
n. 1 K/L : 2 RUU
o. 1 K/L : 1 RUU
1. Dari data-data tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Hasil kebutuhan K/L dalam menyusun RUU tidak merata. Pada kurun waktu 5
(lima) tahun, terdapat 3 K/L yang menghasilkan lebih dari 50 RUU; 3 K/L
sekitar 20 – 43 RUU; 5 K/L menghasilkan antara 6 – 15 RUU, dan 4 K/L
menghasilkan antara 1 – 4 RUU; serta 5 K/L yang sama sekali tidak
menghasilkan RUU.
b. Banyak/sedikitnya RUU yang disusun oleh K/L disebabkan karena masing-
masing K/L mempunyai kebutuhan yang berbeda, sesuai dengan luasnya ruang
lingkup tugas pokok dan fungsi masing-masing K/L.
c. Penyusunan RUU oleh masing-masing K/L mengacu kepada Prolegnas dan
hanya dalam keadaan tertentu diajukan RUU di Luar Prolegnas
2. Berkaitan dengan jumlah RUU yang disusun berdasarkan Prolegnas (P) dan di Luar
Prolegnas (LP) dapat dikemukakan sebagai berikut:126
a. Jumlah RUU yang disusun berdasarkan Prolegnas sebesar 145 RUU atau 81.92
persen dari total RUU
b. Jumlah RUU yang disusun di Luar Prolegnas 32 RUU atau 18.08 persen dari total
RUU
126 Data detail dapat dilihat dalam Lampiran
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
61
Dari temuan tersebut dapat dikemukakan bahwa perbandingan antara RUU yang
disusun berdasarkan Prolegnas dan di Luar Prolegnas dapat dikatajan masih dalam batas wajar.
3. Dari hasil temuan dapat dikemukakan alasan K/L mengajukan RUU di Luar Prolegnas yaitu: a. Untuk menyusun rancangan undang-undang yang terkait dengan RAPBN,
RAPBNP, RUU Pertanggungjawaban APBN sebanyak 13 RUU
b. Untuk meratifikasi konvensi/perjanjian internasional sebanyak 8 RUU
c. Untuk menetapkan Perpu menjadi Undang-undang sebanyak 3 RUU
d. Keadaan tertentu lainnya sebanyak 5 RUU
4. Jumlah RUU yang diajukan ke DPR RI oleh Presiden dalam periode 2005-2009,
sebanyak 154 RUU yang disampaikan K/L kepada Presiden dengan rincian sebagai
berikut:
a. Kementerian Keuangan menyampaikan 50 RUU
b. Kementerian Hukum dan HAM menyampaikan 47 RUU
c. Kementerian Dalam Negeri menyampaikan 14 RUU
d. Kementerian Pertahanan menyampaikan 7 RUU
e. Kementerian Pendidikan Nasional menyampaikan 5 RUU
f. 1 K/L menyampaikan 4 RUU
g. 1 K/L menyampaikan 3 RUU
h. 1 K/L menyampaikan 2 RUU
i. 1 K/L menyampaikan 1 RUU
5. RUU yang diajukan ke DPR RI dan disahkan menjadi Undang-undang dalam periode
2005-2009, RUU yang diajukan ke DPR RI dan disahkan menjadi Undang-undang
sebanyak 71 RUU dengan rincian sebagai berikut:
a. Kementerian Keuangan mengajukan 24 RUU
b. Kementerian Hukum dan HAM mengajukan 9 RUU
c. Kementerian Dalam Negeri mengajukan 8 RUU
d. Kementerian Perhubungan mengajukan 4 RUU
e. 5 K/L mengajukan 3 RUU
f. 3 K/L mengajukan sebanyak 2 RUU
g. 5 K/L mengajukan sebanyak 1 RUU
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
62
h. 12 K/L tidak mengajukan RUU
6. Perbandingan antara RUU yang berhasil disusun K/L dengan yang diajukan kepada
Presiden, dan yang diajukan ke DPR RI, serta disahkan menjadi Undang-undang dalam
periode Tahun 2005-2009 sebagai berikut:
a. RUU yang disusun K/L : 395 RUU
b. RUU yang diajukan kepada Presiden : 157 RUU
c. RUU yang diajukan kepada DPR RI dan
disahkan menjadi UU : 71 RUU
Perbandingan :
a. b : a = 39,75 persen, jauh dari yang diharapkan
b. c : a = 17,98 persen, sangat jauh dari yang diharapkan
c. c : b = 45,22 persen, jauh dari yang diharapkan
temuan tersebut menunjukkan adanya 2 (dua) kemungkinan, yaitu:
a. Perencanaan yang kurang mantap, atau
b. Kemampuan untuk membentuk undang-undang yang terbatas.
7. Kegiatan yang dilakukan K/L dalam pembentukan Undang-undang pada tiap tahapan
kegiatan, terdapat 4 (empat) kementerian/lembaga yang dijadikan model, dengan
pertimbangan sebagai berikut:
a. Kementerian Keuangan mewakili Kementerian yang menyusun sangat banyak
RUU
b. Kementerian Hukum dan HAM sebagai Kementerian yang membidangi urusan
peraturan perundang-undangan
c. Kementerian Pertahanan mewakili Kementerian yang menyusun banyak RUU
d. Kementerian ESDM mewakili kementerian yang menyusun sedikit RUU
Hasil temuan terhadap tahapan kegiatan yang dilakukan oleh 4 (empat)
kementerian/lembaga sangat bervarisasi, karena tidak ada standar yang baku untuk diikuti oleh
K/L.127
127 Detail dapat dilihat pada Lampiran
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
63
Temuan terhadap tahapan tersebut menunjukkan bahwa:
a. K/L tidak memiliki persamaan persepsi tentang implementasi
UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
dan Peraturan Pelaksanaannya;
b. K/L tidak memahami secara baik tahapan kegiatan pembahasan RUU di DPR
RI sesuai dengan Peraturan DPR RI No. 01/DPR RI/2009-2010 tentang Tata
Tertib dan mekanisme rapat pembahasan RUU yang disepakati oleh
Komisi/Gabungan Komisi/Badan Legislasi/Badan Anggaran/Panitia Khusus
DPR RI;
c. Koordinasi antar K/L belum mantap sehingga masing-masing K/L menafsirkan
sendiri-sendiri kegiatan dalam pembentukan Undang-undang pada setiap
tahapan; dan/atau
d. UU Nomor 10 Tahun 2004 dan Peraturan Pelaksanaannya tidak jelas mengatur
kegiatan pembahasan RUU pada setiap tahapan.
Sebagai konsekuensi bervariasinya kegiatan dalam setiap tahapan pembentukan
Undang-undang pada setiap K/L, maka komponen yang dibiayai juga bervariasi.
8. Terkait waktu yang diperlukan untuk tahapan masing-masing dari temuan menunjukan
hal-hal sebagai berikut:
a. Penyusunan Naskah Akademik
1) 15 K/L menjawab 10 – 12 bulan
2) 5 K/L menjawab > 25 bulan
3) 4 K/L menjawab 4 – 6 bulan
4) 2 K/L menjawab 7 – 9 bulan
5) 2 K/L menjawab 13 – 24 bulan
6) 1 K/L menjawab 1 – 3 bulan
b. Dalam rangka penyusunan Prolegnas, hasil temuan memperlihatkan:
1) 10 K/L menjawab 1 – 3 bulan
2) 6 K/L menjawab 10 – 12 bulan
3) 5 K/L menjawab 4 – 6 bulan
4) 2 K/L menjawab > 25 bulan
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
64
5) 1 K/L menjawab 7 – 9 bulan
6) 1 K/L menjawab 13 – 24 bulan
7) 4 K/L tidak menjawab
c. Waktu yang diperlukan untuk persiapan pembentukan Undang-undang bagi K/L
adalah sebagai berikut:
1) 9 K/L menjawab 10 – 12 bulan
2) 9 K/L menjawab 13 – 24 bulan
3) 6 K/L menjawab > 25 bulan
4) 4 K/L menjawab 4 – 6 bulan
5) 1 K/L menjawab 7 – 9 bulan
d. Waktu untuk melakukan pengharmonisasian RUU oleh K/L adalah sebagai
berikut:
1) 9 K/L menjawab 4 – 6 bulan
2) 6 K/L menjawab 10 – 12 bulan
3) 5 K/L menjawab 1 – 3 bulan
4) 5 K/L menjawab 7 – 9 bulan
5) 2 K/L menjawab > 25 bulan
6) 3 K/L tidak menjawab
e. Waktu pembahasan RUU antara Pemerintah dan DPR adalah sebagai berikut:
1) 7 K/L menjawab 7 – 12 bulan
2) 7 K/L menjawab 13 – 18 bulan
3) 4 K/L menjawab 3 – 6 bulan
4) 4 K/L menjawab 25 – 36 bulan
5) 3 K/L menjawab 19 – 24 bulan
6) 1 K/L menjawab > 37 bulan
7) 3 K/L tidak menjawab
9. Terkait dengan personil yang terlibat dalam setiap tahapan pembentukan Undang-
undang adalah sebagai berikut:
a. Jumlah personil yang terlibat dalam rangka penyusunan naskah akademik
adalah sebagai berikut:
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
65
1) 9 K/L menjawab 21 – 35 orang
2) 7 K/L menjawab 5 – 10 orang
3) 7 K/L menjawab 11 – 20 orang
4) 5 K/L menjawab > 36 orang
5) 1 K/L menjawab diserahkan kepada Perguruan Tinggi
Mewakili:
1) 11 K/L menjawab 3 – 5 instansi
2) 7 K/L menjawab 6 – 10 instansi
3) 5 K/L menjawab 11 – 15 instansi
4) 3 K/L menjawab 1 – 5 instansi
5) 2 K/L menjawab 16 – 21 instansi
6) 1 K/L menjawab > 22 instansi
b. Jumlah personil yang terlibat dalam rangka persiapan pembentukan undang-
undang adalah sebagai berikut:
1) 11 K/L menjawab 21 – 35 orang
2) 8 K/L menjawab 11 – 20 orang
3) 8 K/L menjawab > 36 orang
4) 2 K/L menjawab 5 – 10 orang
Mewakili:
1) 13 K/L menjawab 6 – 10 instansi
2) 8 K/L menjawab 3 – 5 instansi
3) 3 K/L menjawab 11 – 15 instansi
4) 3 K/L menjawab 16 – 21 instansi
5) 2 K/L menjawab > 22 instansi
c. Jumlah personil yang terlibat dalam proses pengharmonisasian RUU adalah
sebagai berikut:
1) 12 K/L menjawab 21 – 35 orang
2) 8 K/L menjawab 11 – 20 orang
3) 7 K/L menjawab > 36 orang
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
66
4) 1 K/L menjawab 5 – 10 orang
5) 1 K/L tidak menjawab
Mewakili:
1) 16 K/L menjawab 6 – 10 instansi
2) 4 K/L menjawab 11 – 15 instansi
3) 3 K/L menjawab 16 – 21 instansi
4) 3 K/L menjawab > 22 instansi
5) 2 K/L menjawab 3 – 5 instansi
6) 1 K/L menjawab 1 – 5 instansi
d. Jumlah personil yang terlibat dalam pembahasan RUU di DPR RI adalah
sebagai berikut:
1) 11 K/L menjawab > 36 orang
2) 8 K/L menjawab 21 – 35 orang
3) 6 K/L menjawab 11 – 20 orang
4) 2 K/L menjawab 5 – 10 orang
5) 2 K/L tidak menjawab
Mewakili:
1) 13 K/L menjawab 6 – 10 instansi
2) 8 K/L menjawab 3 – 5 instansi
3) 3 K/L menjawab 11 – 15 instansi
4) 3 K/L menjawab > 22 instansi
5) 2 K/L menjawab 16 – 21 instansi
10. Terkait jumlah atau besaran anggaran yang dialokasikan untuk pembahasan 1 (satu)
RUU sangat bervariasi, sebagai berikut:
a. 1 K/L menjawab Rp. 120 juta
b. 2 K/L menjawab Rp. 300 – 400 juta
c. 6 K/L menjawab Rp. 500 juta – Rp. 1,5 milyar
d. 1 K/L menjawab Rp. 2,5 milyar
e. 4 K/L menjawab Rp. 3 – 3,5 milyar
f. 1 K/L menjawab Rp. 4 milyar
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
67
g. 3 K/L menjawab Rp. 5 milyar
h. 3 K/L menjawab Rp. 6 – 10 milyar
i. 8 K/L menjawab tidak tentu/tidak ada standar/tergantung bobot RUU/bertahap
Komponen yang dibiayai sangat bervariasi untuk tiap tahapan. Tidak ada standar
jenis komponen yang dibiayai, dan masing-masing K/L menggunakan nomenklatur yang
berbeda-beda.
Jenis-jenis komponen yang dibiayai:
a. Tahap persiapan
1) Pendataan
2) Penyusunan Kajian Akademik
b. Penyusunan Naskah Akademik
c. Penyusunan RUU
d. Pembahasan internal
e. Pembahasan antar instansi/dengan DPR RI
f. Harmonisasi
g. Temu pakar/Workshop/lokakarya
h. Uji/konsultasi publik/sosialisasi
i. Belanja sewa/akomodasi/ruang rapat
j. Belanja administrasi
k. Belanja perjalanan dinas
l. Studi banding
m. Honor Tim/Panitia/Pokja/narasumber/jasa profesi/honor rapat
n. Publikasi
o. Paket meeting/konsumsi
p. Pelaporan
q. Penggandaan bahan
11. Berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi lamanya waktu pembahasan suatu
RUU, dapat dikemukakan temuan sebagai berikut:128
a. 25 K/L menjawab faktor materi muatan RUU sangat kompleks
128 Detail dapat dilihat pada Lampiran 4.
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
68
b. 23 K/L menjawab faktor materi muatan RUU sarat dengan konflik kepentingan
c. 18 K/L menjawab faktor tingginya bobot politik RUU
d. 18 K/L menjawab faktor pembahasan di DPR RI tidak fokus pada hal-hal yang
prinsip
e. 17 K/L menjawab faktor RUU yang dibahas menimbulkan pro dan kontra dalam
masyarakat
f. 14 K/L menjawab faktor banyaknya pasal yang dibahas
g. 14 K/L menjawab faktor materi muatan RUU merupakan hal yang baru
h. 13 K/L menjawab faktor mekanisme pembahsan di DPR RI lamban, karena
banyaknya fraksi
i. 1 K/L menjawab faktor anggota DPR RI tidak memahami UU No. 10 Tahun
2004
j. 1 K/L menjawab faktor anggota DPR RI tidak aktif mengikuti rapat-rapat kerja
sehingga mengganggu jalannya pembahasan
Lamanya waktu pembahasan suatu RUU tidak ditentukan oleh faktor tunggal,
namun tergantung pada berbagai faktor.
a. 8 K/L menjawab kombinasi 8 faktor
b. 6 K/L menjawab kombinasi 6 – 7 faktor
c. 15 K/L menjawab kombinasi 2 – 4 faktor
12. Berikut adalah hasil temuan yang berkaitan dengan hubungan antara jumlah RUU yang
disusun, diajukan ke DPR dan disahkan menjadi Undang-undang dengan waktu dan
jumlah personalia yang dilibatkan, serta besaran anggaran yang dialokasikan untuk 1
RUU.
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
69
TABEL 5
HUBUNGAN ANTARA JUMLAH RUU YANG DISUSUN, DIAJUKAN KE DPR
DAN DISAHKAN MENJADI UNDANG-UNDANG DENGAN WAKTU DAN JUMLAH PERSONALIA YANG DILIBATKAN, SERTA BESARAN
ANGGARAN YANG DIALOKASIKAN UNTUK 1 RUU.
K/L
RUU Waktu dan Jumlah Personil
Anggaran
(Rp) Disusun
(a)
Diajukan
(b) persen (b:a)
Disahkan
(c) persen (c:b)
Persiapan Pembentuka
n RUU
Pembahasan di DPR
I 56 14 25persen 8 57,14persen 7-9 bulan
5-10 orang
-
5-10 orang
-
II 2 0 0persen 0 0persen >2,5 bulan
21-35 orang
7-12 bulan/
25-36 bulan
>36 bulan
6 – 10 milyar
III 4 1 25persen 1 100persen >25 bulan
>36 orang
7-12 bulan
11-20 orang
Bertahap
IV 57 47 82,46persen 9 19,15persen 13-24 bulan
21-35 orang
3-6 bulan
21-35 orang
600 juta –
1 milyar
V 10 0 0persen 0 0persen 13-24 bulan
21-35 orang
13-18 bulan
11-20 orang
Tidak ada standar
VI 30 1 3,33persen 2* 200persen 13-24 bulan
21-35 orang
13-18 bulan
11-20 orang
500 juta –
1 milyar
VII 2 2 100persen 2 100persen 10-12 bulan
21-35 orang
25-36 bulan
21-35 orang
-
VIII 3 2 66,66persen 3* 15persen 10-24 bulan
>36 orang
25-36 bulan
>36 orang
1 milyar
IX 6 2 33,33persen 2 100persen 10-12 bulan
11-20 orang
19-24 bulan
>36 orang
3 milyar
X 1 1 100persen 0 0persen >25 bulan
>36 orang
>37 bulan
>36 orang
3,1 milyar
XI 1 1 100persen 1 100persen 13-24 bulan
21-35 orang
7-12 bulan
11-20 orang
1 milyar
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
70
K/L
RUU Waktu dan Jumlah Personil
Anggaran
(Rp) Disusun
(a)
Diajukan
(b) persen (b:a)
Disahkan
(c) persen (c:b)
Persiapan Pembentuka
n RUU
Pembahasan di DPR
XII 43 7 16,28persen 3 42,86persen >25 bulan
11-20 orang
>25 bulan
11-12 orang
300 juta
XIII 11 4 36,36persen 1 25persen 4-6 bulan
21-35 orang
7-12 bulan
21-35 orang
3 milyar
XIV 5 4 80persen 4 100persen 13-24 bulan
>36 orang
13-18 bulan
>36 orang
5 milyar
XV 13 4 30,77persen 3 75persen 10-12 bulan
21-35 orang
13-18 bulan
21-35 orang
1 milyar
XVI 4 2 50persen 3* 150persen 10-12 bulan
5-10 orang
13-18 bulan
11-20 orang
5-10 milyar
XVII 11 5 45,45persen 3 60persen 13-24 bulan
>36 orang
13-18 bulan
>36 orang
7 milyar
XVIII 20 0 0persen 0 0persen >25 bulan
21-35 orang
13-18 bulan
>36 orang
Tidak tentu
XIX 86 50 58,14persen 24 48persen 10-12 bulan
21-35 orang
13-18 bulan
21-35 orang
2,5 milyar
XX 15 1 6,66persen 0 0persen 13-24 bulan
11-20 orang
19-24 bulan
11-20 orang
120 juta
XXI 4 3 75persen 0 0persen 10-12 bulan
21-35 orang
7-12 bulan
>36 orang
Tergantung bobot
rancangan undang-undang
XXII 3 1 33,33persen 0 0persen 10-12 bulan
>36 orang
19-24 bulan
>36 orang
4 milyar
XXIII 1 0 0persen 0 0persen > 25 bulan
21-35 orang
>37 bulan
>36 orang
1,4 milyar
XXIV 2 0 0persen 0 0persen 4-6 bulan
>36 orang
3-6 bulan
Belum pernah
3-5 milyar
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
71
K/L
RUU Waktu dan Jumlah Personil
Anggaran
(Rp) Disusun
(a)
Diajukan
(b) persen (b:a)
Disahkan
(c) persen (c:b)
Persiapan Pembentuka
n RUU
Pembahasan di DPR
XXV 1 0 0persen 0 0persen 13-24 bulan
>36 orang
>37 bulan
>36 orang
460 juta
XXVI 1 0 0persen 0 0persen 13-24 bulan
11-20 orang
Dalam proses
>36 orang
3,5 milyar
XXVII 1 1 100persen 1 100persen >25 bulan
>36 orang
>37 bulan
21-35 orang
-
XXVIII 1 0 0persen 0 0persen 4-6 bulan
11-20 orang
3-6 bulan
5-10 orang
Belum tahu
XXIX 1 1 100persen 1 100persen >25 bulan
>36 orang
>37 bulan
>36 orang
5 milyar
*) 1 RUU berasal dari usul inisiatif DPR RI
Dari tabel di atas, dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:
a. Untuk pembahasan 1 RUU yang dibiayai dengan anggaran Rp. 1 milyar ke
bawah:
1) Waktu yang diperlukan berkisar antara 13-24 bulan. Hanya beberapa
K/L memerlukan waktu yang lebih singkat, antara 4-12 bulan dan
selebihnya memerlukan waktu yang lebih lama, yaitu antara 19-lebih
dari 36 bulan.
2) Pembahasan melibatkan rata-rata 10-20 orang dan hanya beberapa K/L
yang melibatkan >36 orang.
b. Untuk pembahasan 1 RUU yang dibiayai dengan anggaran Rp. 2-10 milyar:
1) Waktu yang diperlukan berkisar antara 13-24 bulan. Hanya beberapa
K/L memerlukan waktu yang lebih singkat, antara 4-12 bulan dan
selebihnya memerlukan waktu yang lebih lama, yaitu antara 25-lebih
dari 36 bulan.
2) Pembahasan melibatkan rata-rata 21-35 orang atau lebih dari 36 orang.
Beberapa K/L melibatkan 10-20 orang.
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
72
c. Lamanya waktu dan jumlah personalia yang dilibatkan dalam proses
pembentukan RUU tidak signifikan hubungannya dengan penentuan besaran
anggaran yang dialokasikan untuk pembahasan 1 RUU
d. Faktor yang berpengaruh signifikan dalam penentuan anggaran adalah
komponen kegiatan dan jenis anggaran yang ditenukan dalam proses
pembentukan Undang-undang.
13. Saran-saran untuk meningkatkan kinerja pembentukan Undang-undang dimasa
mendatang
Dari 35 (tiga puluh lima) K/L yang memberikan jawaban tertulis, dapat dihimpun 40
(empat puluh) saran untuk meningkatkan kinerja pembentukan Undang-undang dimasa
mendatang. Saran-saran tersebut ditujukan untuk peningkatan penyusunan Prolegnas,
perbaikan kinerja K/L, perbaikan mekanisme pembahasan di DPR RI, materi muatan
RUU, kualitas SDM/kelembagaan, pendanaan, sosialisasi dan peran serta masyarakat,
serta saran lainnya sebagai berikut:
a. Untuk peningkatan penyusunan Prolegnas
1) Pengajuan RUU harus didasari Naskah Akademik yang disusun melalui
proses penelitian/pengkajian mendalam dengan mengacu kepada
Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan
dan Pengelolaan Prolegnas.
2) Pemenuhan persyaratan yang diwajibkan bagi penyusunan RUU yang
masuk daftar Prolegnas agar diterapkan secara tegas dan konsisten.
3) Agar diprioritaskan RUU yang mendesak atau yang diperlukan untuk
masa sekarang maupun untuk mengantisipasi kondisi yang akan datang.
4) Jumlah RUU yang akan diselesaikan dalam 5 tahun agar dibatasi.
b. Untuk perbaikan kinerja K/L dalam penyusunan RUU
1) Perlu konsensus antar sektor untuk mengurangi ego sektoral.
2) Setiap komponen dalam K/L agar lebih persuasif dalam menyikapi
pembentukan Undang-undang.
3) Perlu kemudahan mekanisme dan prosedur penyusunan RUU.
4) RUU inisiatif Pemerintah agar tidak dijadikan inisiatif DPR RI.
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
73
5) Pembahasan revisi Undang-undang agar tidak melibatkan 2
instansi/lebih.
6) Perlu koordinasi yang intensif.
7) Perlu pembedaan yang jelas antara Rapat Panitia antar Kementerian
dengan Rapat Harmonisasi.
8) Meningkatkan forum konsultasi dan harmonisasi RUU dengan
pemangku kepentingan.
9) Penjabat yang diundang untuk menghadiri Rapat Panitia antar
Kementerian agar tidak diwakilkan kepada staf dan tidak berganti-ganti.
Apabila penggantian harus dilakukan, maka yang ditugasi sebagai
pengganti harus kompeten, menguasai masalah dan diberi arahan.
10) Perlu ada kejelasan mekanisme dan jangka waktu Rapat Panitia antar
Kementerian dan Rapat Harmonisasi.
11) Pimpinan K/L Pemrakarsa dalam mengusulkan RUU disertai komitmen
jadwal waktu penyelesaiannya.
12) Tenggang waktu dalam jadwal rapat-rapat agar tidak terlalu lama.
c. Untuk perbaikan mekanisme pembahasan di DPR RI
1) Kemampuan legislasi dan pemahaman terhadap UU No. 10 Tahun 2004
dikalangan anggota DPR RI.
2) Pimpinan sidang/rapat dalam pembahasan RUU agar mengendalikan
rapat-rapat dan pembahasan RUU supaya tidak bertele-tele.
3) Kehadiran anggota DPR RI dalam pembahasan RUU harus lengkap.
4) Keikutsertaan anggota DPR RI dalam Pansus dan Panja Pembahasan
RUU perlu dibatasi.
5) Perlu dibentuk Tim Teknis yang solid dan menguasai substansi RUU
pada saat pembahasan di DPR RI.
6) Perlu ada tenggat waktu pembahsan dengan DPR RI tanpa mengurangi
kualitas RUU.
7) Kegiatan pembahasan RUU di DPR RI agar lebih terjadwal dan tepat
pelaksanaannya.
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
74
8) Perlu ada pengecekan bersama antar instansi Pemrakarsa dengan
Sekretariat DPR RI untuk menghindari adanya perbedaan draft RUU
yang telah mengalami perubahan (draf di instansi pemrakarsa dan draf di
DPR RI).
9) Pembahasan RUU antara Pemerintah dan DPR RI tidak perlu dilakukan
di hotel dan cukup di DPR RI untuk menghemat biaya.
d. Untuk materi muatan RUU
1) Perlu mencermati norma dan subyek hukum yang diatur dalam RUU.
2) Perlu pemantapan harmonisasi materi muatan RUU secara vertikal dan
horizontal.
3) Inventarisasi dan penyelasaran Undang-undang yang menghambat
pembangunan.
e. Untuk kualitas SDM/kelembagaan
1) Perlu peningkatan kualitas Tenaga Fungsional Perancang Peraturan
Perundang-undangan.
2) Peningkatan kinerja lembaga hukum, serta kapasitas dan akuntabilitas
aparat hukum.
3) BAPPENAS setiap tahun sekali memantau perkembangan pembahasan
RUU pada masing-masing K/L.
4) Perlu ada unit khusus yang membahas RUU yang disusun Pemeintah
(semacam Badan Legislasi DPR RI).
f. Untuk pendanaan
1) Perlu tambahan dana pembahasan RUU di lingkungan Pemerintah, agar
dapat menyelaraskan dengan kegiatan pembahasan di DPR RI.
2) Anggaran pembahasan RUU harus diperbesar.
3) Perlu ada stardar pembiayaan yang sama dalam pembentukan dan
penyusunan RUU.
4) Dibuat regulasi yang memungkinkan penambahan dukungan biaya dan
pengalihan sasaran program yang diperlukan dalam pembahasan RUU.
g. Untuk sosialisasi dan peran serta masyarakat
1) Agar RUU disosialisasikan lebih dahulu.
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
75
2) Peran serta masyarakat dalam politik peraturan perundang-undangan.
h. Saran lainnya
1) Peningkatan kualitas pelayanan publik.
2) Peningkatan, penghormatan, dan pemajuan HAM.
B. PADA LINGKUNGAN DPR
Pada lingkungan DPR, dari 10 (sepuluh) berkas questioner masing-masing kepada
Badan Legislasi dan Fraksi-fraksi DPR-RI, hanya 4 (empat) berkas questioner yang
mendapatkan jawaban, yaitu dari Badan Legislasi (R-1), Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (R-
2), Fraksi Partai Amanat Nasional (R-3), dan Fraksi Gerindra (R-4).
Meskipun sulit untuk mengatakan cukup representatif, namun berdasarkan data tersebut
dicoba untuk memaparkan temuan dan menyusun analisa atas tahapan dan kegiatan dalam
program pembentukan Undang-undang di lingkungan DPR ini sebagai berikut.
1. Menurut keempat data responden yang terkumpul, setiap RUU Usul Prakarsa Presiden
yang diajukan kepada DPR untuk selalu disertai dengan Naskah Akademik.
2. Setengah dari data responden tersebut berpendapat bahwa Naskah Akademis dari RUU
Usul Prakarsa Presiden memiliki kualitas yang baik, sementara sisanya mengatakan
bahwa Naskah Akademis tersebut berkualitas sedang.
3. Di antara ketiga pilihan manfaat, yaitu sangat berguna, berguna, dan tidak berguna,
semua responden yang data-nya terkumpul mengakui, bahwa Naskah Akademis dari
RUU Usul Prakarsa Presiden berguna.
4. Keempat data responden yang terkumpul memberikan jawaban yang agak beragam
mengenai jumlah RUU dalam daftar Program Legislasi Nasional dan yang disahkan
menjadi UU selama rentang waktu 2005-2009, yaitu:
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
76
TABEL 5
JUMLAH RUU DALAM DAFTAR PROGRAM LEGISLASI NASIONAL DAN YANG DISAHKAN MENJADI UU SELAMA RENTANG WAKTU 2005-2009
R-1 R-2 R-3 R-4
RUU dalam daftar Prolegnas 284 284 279 284
RUU yang menjalani pembahasan 247 196 164 130
RUU yang disetujui menjadi UU 193 173 104 76
5. Keragaman jawaban responden yang data yang terkumpul lebih terlihat saat menjawab
pertanyaan mengenai jumlah RUU di luar daftar Program Legislasi Nasional yang dibahas dan
disetujui menjadi UU selama rentang waktu 2005-2009, yaitu:
TABEL 6
JUMLAH RUU DI LUAR DAFTAR PROGRAM LEGISLASI NASIONAL YANG DIBAHAS DAN DISETUJUI MENJADI UU SELAMA RENTANG WAKTU 2005-2009
R-1 R-2 R-3 R-4
RUU di luar daftar Prolegnas 27 NA 174 27
RUU yang disetujui menjadi UU 11 NA 63 11
6. Data responden yang terkumpul menunjukkan bahwa kelima pilihan jawaban pernah
menjadi alasan dilakukannya pembahasan atas RUU di luar daftar Program Legislasi
Nasional.
TABEL 7
ALASAN DILAKUKANNYA PEMBAHASAN ATAS RUU DI LUAR DAFTAR PROGRAM LEGISLASI NASIONAL
R-1 R-2 R-3 R-4
Menetapkan PERPU menjadi UU √ √ √ √
Me-ratifikasi atas Perjanjian Internasional √ -- √ √
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
77
Melaksanakan Putusan MK √ -- -- √
Mengatasi kondisi luar biasa, konflik dsb √ √ -- --
Mengatasi keadaan tertentu lainnya √ -- -- --
Meskipun demikian, ditemui keragaman saat menjawab mengenai jumlah RUU terkait
hal tersebut, yaitu:
TABEL 8
KERAGAMAN SAAT MENJAWAB MENGENAI JUMLAH RUU
R-1 R-2 R-3 R-4
Menetapkan PERPU menjadi UU 13 NA 1 12
Me-ratifikasi atas Perjanjian Internasional 11 NA 2 9
Melaksanakan Putusan MK 10 NA -- 7
Mengatasi kondisi luar biasa, konflik dsb -- NA -- --
Mengatasi keadaan tertentu lainnya -- NA -- --
7. Keempat data responden yang terkumpul menunjukkan kenyataan yang menarik
mengenai beberapa kendala, terdapat delapan pilihan jawaban plus satu jawaban terbuka
yang mereka hadapi dalam pembentukan Undang-undang di Lingkungan DPR, yaitu:
TABEL 9
KENDALA YANG DIHADAPI DALAM PEMBENTUKAN
UNDANG-UNDANG DI DPR
No Kendala Jumlah
1 Ketidakcukupan besaran anggaran 1
2 Beban pelaksanaan fungsi-fungsi DPR yang lain 3
3 Kesulitan memenuhi quorum 1
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
78
4 target Prolegnas yang ambisius --
5 Kekurangan tenaga ahli 3
6 Kekurangan legislative drafter berpengalaman 3
7 Kompleksitas materi muatan RUU 1
8 Jumlah fraksi yang terlalu banyak 1
9 Ketiadaan batasan waktu dalam penyelesaian R-3
8. Data responden yang terkumpul menunjukkan kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan
dalam tiap tahapan pembentukan Undang-undang di Lingkungan DPR, yaitu:
a. Perencanaan Pembentukan UU, yang meliputi: (1). Penyusunan Dalam Lingkungan
DPR; dan (2). Penyusunan Bersama Dengan Pemerintah.
TABEL 10
KEGIATAN-KEGIATAN YANG DILAKUKAN DALAM TIAP TAHAPAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG DI DPR
Responden Kegiatan
R-1 • Penelitian • RDPU dengan pakar, ormas, dan lsm • Penyerapan aspirasi melalui kunjungan ke daerah
R-2 • Pengumpulan dan pengajian data • RDPU dengan stakeholder • Penyusunan Naskah Akademis
R-3 • Pembahasan RUU di tingkat Panja (sic) • RDPU dengan stakeholder • Melakukan harmonisasi bersama Baleg (sic)
R-4 • Meminta masukan kepada fraksi dan komisi • Meminta masukan kepada DPD • Membentuk Panja bersama dengan Pemerintah
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
79
b. Penyiapan RUU, yang meliputi: (1). Pengajuan Usul Pembentukan Rancangan
Undang-Undang; (2). Penyusunan Rancangan Undang-Undang; (3). Pengharmonisan
dan Pemantapan Rancangan Undang-Undang; dan (4). Penyempurnaan Rancangan
Undang-Undang.
c.
TABEL 11
PROSES PENYIAPAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG DI DPR
RESPONDEN KEGIATAN
R-1 • Penyusunan Draft RUU melalui Rapat Konsinyering • Rapat Pengambilan Keputusan • Harmonisasi melalui rapat dengan pengusul RUU, Rapat Panja, dan Rapat
Pengambilan Keputusan
R-2 NA
R-3 • Pembahasan RUU di tingkat Pansus • RDPU dengan stakeholder • Diskusi Staf Ahli dan Anggota • Harmonisasi melalui penyesuaian ketentuan UUD dan bahasa hukum, serta
format UU
R-4 • Membuat Naskah Akademis • Menentukan forum pembahasan • Menyusun Draft RUU • Harmonisasi melalui peyesuaian bahasa hukum dan membandingkan dengan UU
yang berkaitan
d. Pembahasan RUU, yang meliputi: (1). Pembicaraan Tingkat I; dan Pembicaraan
Tingkat II.
TABEL 12
PROSES PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG DI DPR
RESPONDEN KEGIATAN
R-1 • Raker dengan Menteri terkait • RDPU dengan pakar, lsm, dan masyarakat • Rapat Panja • Rapat Pansus/Komisi/Baleg untuk pengambilan keputusan
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
80
• Rapat Paripurna untuk pengambilan keputusan
R-2 • Pemandangan Umum Fraksi • Jawaban Pemerintah • Pembahasan lanjutan berdasarkan DIM • Penyampaian laporan hasil Pembicaraan Tingkat I • Pendapat akhir Fraksi • Penyampaian tanggapan Pemerintah • Pengambilan Keputusan
R-3 • Penyampaian pandangan akhir • Harmonisasi dan Sinkronisasi • Persetujuan bersama atas RUU
R-4 • Pembahasan pasal per-pasal • Pembahasan di Baleg atau Komisi • Pembahasan bersama Pemerintah dalam Rapat Pembicaraan Tingkat II
9. Tiga dari empat data responden yang terkumpul menyebutkan, bahwa pembahasan atas
suatu RUU memerlukan waktu selama 7-12 bulan, sementara sisanya, yaitu data dari
Baleg mengatakan memerlukan waktu hanya 3-6 bulan.
Informasi yang menarik ditunjukkan oleh data dari R-3 yang juga mengakui bahwa waktu
yang diperlukan untuk pembahasan suatu RUU sulit ditentukan limitasinya, bahkan bisa
lebih dari 37 bulan.
10. Keempat data responden yang terkumpul menunjukkan tiga alasan paling dominan
mengenai penyebab -- terdapat empat pilihan jawaban plus satu jawaban terbuka – dari
kecepatan pembahasan suatu RUU, yaitu: (a). sedikitnya jumlah pasal; (b). minimnya
bobot politis; dan (c). tidak adanya konflik kepentingan.
Pilihan alasan bahwa materi muatan RUU tersebut bersifat rutin hanya ditemui pada data
dari R-2. Sementara itu, tidak ada satupun data reponden yang mengajukan alasan lain di
luar keempat pilihan jawaban yang tersedia.
11. Paralel dengan temuan dari pertanyaan nomor 10, empat alasan paling dominan sebagai
penyebab panjangnya waktu yang diperlukan dalam pembentukan suatu RUU adalah: (a).
tingginya tingkat kompleksitas materi muatan; (b). banyaknya jumlah pasal; (c).
minimnya bobot politis; dan (d). tingginya muatan konflik kepentingan.
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
81
Informasi yang menarik ditunjukkan oleh data dari R-1 yang mengatakan, bahwa
banyaknya jumlah pasal bukan menjadi alasan yang menjadi penyebab panjangnya waktu
yang diperlukan dalam pembentukan suatu RUU. Sama seperti temuan dari pertanyaan
nomor 10, tidak ada satupun data reponden yang mengajukan alasan lain di luar keempat
pilihan jawaban yang tersedia.
12. Keempat data responden menjawab ‘ya’ untuk pertanyaan mengenai kegiatan kunjungan
ke luar negeri dalam pelaksanaan pembentukan Undang-undang, baik dalam penyiapan
maupun pembahasan. Tiga dari empat data responden menunjukkan, bahwa negara-
negara di Eropa merupakan tujuan favorit kunjungan luar negeri.
R-1 mengunjungi berbagai negara di semua benua, yaitu: Eropa, Amerika, Asia dan
Timur Tengah, serta Afrika. Sangat mungkin, bila masuk dalam daftar pilihan, mereka
juga mengunjungi Australia. Data mengenai hal ini tidak didapat dari R-2. Sementara, R-
3 pernah mengunjungi beberapa negara di Eropa dan Amerika sedangkan R-4, selain ke
beberapa negara di Eropa, juga pernah mengunjungi Jepang dan India.
Beberapa alasan mengenai pilihan negara tujuan terpapar dari data responden, yaitu:
TABEL 13
ALASAN PERLUNYA MELAKUKAN STUDI BANDING OLEH ANGGOTA DPR
Alasan R-1 R-2 R-3 R-4
Sistem hukum yang maju √ -- NA --
Kesamaan sistem hukum √ √ NA --
Pengalaman dalam masalah terkait √ √ NA √
Kesamaan masalah yang akan diatur √ √ NA --
Kesamaan kondisi sosekbud dan politik √ √ NA --
Keperluan untuk studi banding √ -- NA √
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
82
Kenyataan yang sama ditunjukkan oleh keempat data responden yang menjawab
‘ya’ untuk pertanyaan mengenai kegiatan sosialisasi ke daerah dalam pelaksanaan
pembentukan Undang-undang. Terlihat bahwa hampir seluruh wilayah di
Indonesia merupakan tujuan kunjungan dari kegiatan ini.
Beberapa alasan mengenai pilihan daerah tujuan terpapar dari data responden,
yaitu:
TABEL 14
ALASAN MEMILIH DAERAH TUJUAN SOSIALISASI RANCANGAN UNDANG-UNDANG
Alasan R-1 R-2 R-3 R-4
Terdapat Perguruan Tinggi terkait √ -- √ --
Terkait dengan masalah yang akan diatur √ √ √ √
Permintaan daerah yang bersangkutan -- -- -- --
13. Keempat data responden yang terkumpul menunjukkan bahwa kegiatan RDPU
dilakukan dengan mengundang semua kalangan yang disebutkan dalam enam
pilihan jawaban, yaitu: (a). pakar/ahli; (b). perguruan tinggi; (c). organisasi
profesi; (d). organisasi masyarakat; (e). lembaga swadaya masyarakat; dan (e).
stakeholder lainnya. Mudah untuk menyimpulkan, bahwa kegiatan RDPU banyak
dilaksanakan dalam pembentukan Undang-undang di Lingkungan DPR.
Berdasarkan keempat data responden, masukan dari kalangan-kalangan tersebut
dipertimbangkan secara selektif bagi perumusan ulang RUU.
14. Keragaman jawaban responden yang data yang terkumpul terlihat saat menjawab
pertanyaan mengenai besaran anggaran yang dialokasikan bagi pembentukan
Undang-undang di Lingkungan DPR, yaitu: sebesar Rp. 3-7 milyar menurut data
dari R-1, dan Rp. 2-4 milyar berdasarkan data dari R-2. Sementara, R-3 dan R-4
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
83
tidak memberikan data mengenai hal ini.
Besaran anggaran tersebut, menurut data dari R-1 dan R-2 untuk membiayai
beberapa kegiatan, sebagai berikut:
TABEL 15
KEGIATAN YANG DIDANAI DALAM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG DI DPR
RESPONDEN KEGIATAN
R-1 • Penelitian
• Kerjasama dengan perguruan tinggi dan lembaga kajian
• Rapat dengan pakar, perguruan tinggi, dan lsm
• Rapat Konsinyering
• Honor pakar
• Honor Anggota
• Kegiatan Kunjungan Kerja
R-2 • Rapat Konsultasi
• Kunjungan Kerja ke luar negeri dan daerah
• Penyusunan Naskah Akademis
15. Beberapa saran yang disampaikan dalam data responden yang terkumpul terkait
dengan peningkatan kinerja dalam pembentukan Undang-undang di lingkungan
DPR antara lain:
a. Pelaksanaan tugas dan fungsi-fungsi DPR dipisahkan kepada tiap Anggota
sehingga masing-masing bisa lebih fokus pada tugas dan fungsi tertentu; dan
b. Penguatan dukungan tenaga ahli, perpustakaan, dan anggaran.
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
84
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. KESIMPULAN
1. Sampai dengan saat ini belum ada penetapan indikator kinerja yang dapat
mencerminkan tolok ukur pencapaian sasaran program atau kegiatan pembentukan
peraturan perundang-undangan, karena Kementerian/Lembaga tidak memiliki
persamaan persepsi tentang implementasi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan
Pelaksanaannya. Di sisi lain, berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara, penerapan penganggaran berbasis kinerja (Performance
Based Budgeting); Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (Medium Term
Expenditure Framework); dan Penganggaran Terpadu (Unified Budget) sudah
diterapkan sejak RPJMN 2010-2014 bagi semua lembaga yang menggunakan uang
negara (APBN-APBD).
2. Belum adanya standar biaya yang dapat menggambarkan kebutuhan dana untuk
menghasilkan suatu output secaran efisien dengan tetap memperhatikan kualitas,
karena Kementerian/Lembaga tidak/belum memahami secara baik tahapan kegiatan
pembahasan RUU di DPR RI sesuai dengan Peraturan DPR RI No. 01/DPR
RI/2009-2010 tentang Tata Tertib dan mekanisme rapat pembahasan RUU yang
disepakati oleh Komisi/Gabungan Komisi/Badan Legislasi/Badan Anggaran/Panitia
Khusus DPR RI. Di samping itu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dan
Peraturan Pelaksanaannya tidak jelas mengatur kegiatan pembahasan RUU pada
setiap tahapan, sehingga koordinasi antar Kementerian/Lembaga belum berjalan
dengan baik. Masing-masing Kementerian/Lembaga menafsirkan sendiri-sendiri
kegiatan dalam pembentukan undang-undang pada setiap tahapan, sehingga
akibatnya masih terjadi duplikasi penganggaran.
3. Bentuk pelaksanaan evaluasi kinerja yang selama ini dilakukan untuk menilai
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
85
keberhasilan suatu program atau kegiatan dimana hasilnya akan digunakan sebagai
bahan masukan (feedback) untuk proses perencanaan periode berikutnya, adalah
sejalan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2006 tentang
tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan.
Namun dalam pelaksanaannya juga masih belum optimal, karena minimnya data
yang dikelola oleh Kementerian/Lembaga tentang capaian kualitatif dan kuantitatif
pelaksanaan pembentukan peraturan perundang-undangan. Salah satu sebab adalah
Kementerian/Lembaga yang mengajukan RUU tidak mengacu pada kebutuhan yang
tertuang dalam perencanaan pembangunan jangka menengah, saat ini ditetapkan
dengan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014;
Rencana Stategis Kementerian/Lembaga dan Rencana Kerja Tahunan yang tertuang
dalam Rencana Kerja Pemerintah, serta Rencana Kerja dan Anggaran
Kementerian/Lembaga. Praktik yang selama ini dilakukan adalah
Kementerian/Lembaga biasanya mengkonsolidasikan unit-unit kerjanya untuk
mengajukan RUU berdasarkan kepentingan masing-masing.
B. REKOMENDASI
1. Memperketat syarat-syarat suatu Kementerian/Lembaga untuk mengajukan RUU
untuk dijadikan prioritas Prolegnas, dengan berpedoman kepada amanat UUD
Negara RI Tahun 1945, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional, Rencana
Pembangunan Jangka Menengah dan Rencana Tahunan Pemerintah serta Rencana
Strategis Kementerian/Lembaga sendiri.
2. Meningkatkan komunikasi antra Kementerian Keuangan dan Kementerian Hukum
dan HAM, Biro Hukum K/L, dan Sekretariat Jenderal DPR untuk dalam menetapkan
Standar Biaya Umum (SBU) dan Standar Biaya Khusus (SBK) untuk pembentukan
peraturan perundang-undangan, yang tidak semata-mata hanya pada standar
komponen harga namun juga pada standar kualitatif yang ingin dicapai sejalan
dengan rencana pembangunan nasional (RPJMN, RKP dan Renstra
Kementerian/Lembaga).
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
86
3. Melakukan sosialiasi kepada Kementerian/Lembaga terhadap tahapan kegiatan
pembahasan RUU di DPR RI sesuai dengan Peraturan DPR RI No. 01/DPR
RI/2009-2010 tentang Tata Tertib dan mekanisme rapat pembahasan RUU yang
disepakati oleh Komisi/Gabungan Komisi/Badan Legislasi/Badan Anggaran/Panitia
Khusus DPR RI.
4. Menyempurnakan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan dengan mengatur secara jelas kegiatan pembahasan
RUU pada setiap tahapan, baik pada DPR maupun Pemerintah. Adapun rekomendasi
tim terkait kegiatan dalam tiap tahapan pembentukan undang-undang adalah sebagai
berikut:
(1) Penyusunan Naskah Akademik
a. Melakukan inventarisasi data dan perundangan terkait RUU
b. Indentifikasi masalah
c. Melakukan penelitian pustaka/lapangan
d. Melakukakan kajian/analisis
e. Penyusunan dan rapat pembahasan Naskah Akademik
(2) Penyusunan Prolegnas
a. Rapat antar unit untuk menentukan skala prioritas sesuai RPJP dan
pembangunan
b. Rapat koordinasi dengan BPHN
c. Rapat bersama DPR untuk menyusun Prolegnas
(3) Persiapan Pembentukan Undang-undang
a. Koordinasi Rapat Internal dan Penyiapan bahan, biro hukum menyiapkan
draft RUU
b. Rapat antar kementerian
c. Pembentukan panitia dan rapat-rapat
d. Penyusunan draft RUU
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
87
e. Uji publik
f. Penyempurnaan draft RUU
(4) Pengharmonisasian
a. Kementerian/Lembaga menyampaikan RUU ke Kementerian Hukum dan
HAM
b. Rapat-rapat harmonisasi dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia dengan pemrakarsa dan instansi terkait
c. Penyusunan RUU hasil harmonisasi
(5) Penyampaian RUU ke DPR
Presiden menyampaikan RUU kepada DPR disertai surat dan naskah RUU
(6) Pembahasan RUU Usul Inisiatif DPR
a. Rapat internal menyusun Daftar Inventarisasi Masalah
b. Rapat antar kementerian untuk koordinasi Daftar Inventarisasi Masalah
(7) Pembahasan RUU di DPR
Rapat-rapat di DPR
(8) Pengesahan
(9) Pengundangan (di Kementerian Hukum dan HAM)
a. Menerbitkan Lembaran Negara, Tambahan Lembaran Negara, Berita Negara
dalam bentuk lembaran lepas
b. Mendistribusikan ke sistem informasi untuk disebarluaskan
(10) Penyebarluasan UU yang telah diundangkan (dilakukan oleh semua
Kementerian/Lembaga)
a. Mengadakan sosialisasi UU
b. Penyebarluasan melalui media massa dan internet
5. Meningkatkan kualitas SBU dan SBK dengan menetapkan variabel kegiatan dan
volume dalam pembuatan suatu RUU dengan memperjelas komponen dalam setiap
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
88
tahapan penyusunan undang-undang sejalan dengan Program Legislasi Nasional,
sehingga dapat menghindari inefisiensi dan tidak efektif nya penggunaan anggaran
negara, melalui pembagian tugas yang jelas antara pelaksanaan Prolegnas yang
berasal dari inisiatif DPR dan insiatif Pemerintah. Sebagai contoh: dalam rangka
pembuatan naskah akademis RUU dari usul inisiatif DPR yang memerlukan studi
banding ke negara best practice, maka wajib mengikutsertakan unsur/wakil dari
Pemerintah, demikian pula sebaliknya. Dengan demikian, tidak akan terjadi
anggaran dobel yang selama ini terjadi, karena masing-masing mengalokasikan
anggaran studi banding dan melaksanakan kegiatannya sendiri-sendiri, sehingga
tidak terwujud persamaan persepsi, dan dalam praktiknya terjadi permintaan untuk
melakukan studi banding tambahan meskipun sudah dalam proses pembahasan di
DPR. Diharapkan hal tersebut juga dapat semakin meningkatkan check and balance
antara DPR dan Pemerintah sebagai Lembaga Tinggi Negara dan seagai perwujudan
akuntabilitas penyelenggara Negara kepada rakyat yang telah semakin menyadari
artinya demokratisasi.
6. Meningkatkan peran Badan Pembinaan Hukum Nasional dalam mengkoordinasikan
penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah.
Meningkatkan kualitas dan kuantitas tenaga fungsional perancang peraturan
perundang-undangan pada setiap Kementerian/Lembaga untuk mendukung
pembentukan undang-undang yang memenuhi persyaratan teknis dan substantive
suatu undang-undang yang baik.
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
89
DAFTAR PUSTAKA
1. Made Arya Wijaya, Kebijakan Penganggaran yang Berbasis Kinerja, Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, tahun 2010.
2. Maria Farida Indrati Soeprapto,Ilmu Perundang undangan, Yogyakarta, 1998,hal134.
3. http://www.partaigerindra.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=311&1temid=37
4. http://www.jkpp.org/Content.asp?id=172&mid=131
5. Undang-undang No. 10 Tahun 2004, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
6. Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945, Pasal 20 ayat (1) menentukan “DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang.”
7. Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang undangan,Pasal 1 angka 3 menentukan”Undang undang adalah Peraturan Perundang undangan yang dibentuk DPR dengan persetujuan bersama Presiden”
8. Perpres No. 29 Tahun 2010 tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2011, Buku I, matrik kegiatan prioritas nasional.
9. Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Prgram Legislasi Nasional, menentukan:”Dalam hal Menteri lain atau pimpinan Lembaga Pemerintah Non Depeartemen telah menyusun Naskah Akademik Rancanangan Undang undang ,maka Naskah Akademik tersebut wajib disertakan dalam penyampaian perencanaan pembentukan Rancangan Undang undang”.
10. Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005,op cit,Bab II dengan judul Penyusunan Rancangan Undang undang.
11. Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005,
12. Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor:M.HH.01.PP.01.01 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Perundang undangan
13. Tabel dari Paparan Sosialisasi Standar Biaya Tahun 2011, Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Anggaran, 10 Mei 2010.
14. Keputusan DPRRI Nomor:41 A/DPR RI/I/2009-2010 tentang Persetujuan Penetapan Program Legislasi Nasional tahun 2010-2014 ditetapkan sebanyak 247
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
90
RUU dan 5 RUU Kumulatif Terbuka menjadi prioritas,,disertai keterangan pemrakarsa masing masing RUU oleh DPR atau Pemerintah.
Kajian Kebijakan Penganggaran Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Berbasis Kinerja
91