34
Kawal Konsistensi Revisi UU KPK - 19 Juni 2015 08:32 wib UNDANG-UNDANG Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi atau UU KPK sebenarnya cukup efektif sebagai landasan hukum pemberantasan korupsi. KPK telah

Kawal Konsistensi Revisi UU KPK

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Revisi UU KPK?

Citation preview

Kawal Konsistensi Revisi UU KPK- 19 Juni 2015 08:32 wib

UNDANG-UNDANGNomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi atau UU KPK sebenarnya cukup efektif sebagai landasan hukum pemberantasan korupsi. KPK telah menjadi lembaga yang sangat ditakuti koruptor.

Ditakuti koruptor karena KPK selalu berhasil menggiring koruptor ke balik jeruji besi. Akan tetapi, kita tidak boleh menutup mata atas rentetan fakta belakangan ini bahwa KPK kalah di praperadilan. Atas dasar itulah, wacana merevisi UU KPK patut dipertimbangkan secara bijak dan selektif.

Revisi UU KPK yang bijak dilandasi niat mulia untuk lebih memperkuat lagi peran dan fungsi kelembagaan KPK. Tujuan akhir revisi ialah menjadikan lembaga antirasywah itu lebih kuat dan berwibawa.

Adalah fakta bahwa sudah banyak upaya hukum yang dilakukan untuk merevisi UU KPK, misalnya lewat uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). Sejauh ini, sudah 12 kali MK menolak permohonan uji materi UU KPK. MK menolak karena adanya indikasi pelemahan kewenangan KPK.

Cara lain merevisi UU KPK ialah penggunaan hak legislasi oleh DPR. Penggunaan hak itu mestinya dilakukan secara selektif karena kuat kesan DPR sangat bernafsu merevisi UU KPK. Revisi UU KPK telah menjadi prioritas sejak 2011.

Kali ini muncul lagi keinginan untuk merevisi UU KPK. Rapat kerja Badan Legislasi DPR dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonangan Laoly pada Selasa (16/6) menyepakati revisi UU KPK masuk Program Legislasi Nasional 2015.

Tampak sekali DPR sangat konsisten. Bukan hanya ajek dalam niat untuk merevisi UU KPK, DPR juga konsisten mengusung pasal-pasal yang hendak direvisi.

Ada korelasi yang sangat signifikan antara pasal-pasal yang diuji di MK dan pasal-pasal yang diusulkan untuk diubah di Senayan. Salah satunya pasal yang memberikan kewenangan kepada KPK untuk menyadap. Selama ini KPK melakukan penyadapan terhadap seseorang sebelum orang itu diproses hukum. Wacana yang berkembang di kalangan anggota dewan ialah KPK hanya boleh menyadap seseorang yang sudah diproses hukum setelah meminta izin ke pengadilan.

Sulit menepis anggapan bahwa wacana yang berkembang itu sebagai reaksi atas banyaknya anggota DPR yang tertangkap tangan setelah KPK melakukan penyadapan. Kewenangan penyadapan pada tahapprojustitiapada dasarnya meniadakan wewenang KPK melakukan operasi tangkap tangan.

Harus tegas dikatakan revisi UU KPK sebenarnya bukan sebuah kesalahan, apalagi hal yang haram dilakukan. Revisi hendaknya dilakukan untuk membuat terang benderang pasal-pasal yang selama ini dianggap abu-abu.

Atas dasar itulah kita menyambut baik kesepakatan Komisi III DPR dengan KPK dalam rapat kerja, kemarin. Kedua pihak sepakat merevisi UU secara terbatas terhadap empat hal.

Pertama, menegaskan posisi hukum KPK, yaitu undang-undanglex specialis. Kedua, memperluas kewenangan KPK untuk mengangkat dan mendidik penyidik. Ketiga, masalah keberadaan dan kewenangan komite pengawas. Terakhir, berkenaan dengan penataan kembali organisasi KPK.

Tugas masyarakat untuk mengawasi dan mengawal DPR agar tetap konsisten dengan kesepakatan tersebut. Bukankah DPR dipilih rakyat untuk mewakili kepentingan rakyat? Rakyat mewakilkan atau menitipkan revisi UU KPK kepada wakil rakyat agar KPK diperkukuh, bukan diamputasi.

Abdullah Hehamahua: Penyadapan Perlu Diatur dalam UU KPKYogi Bayu Aji - 18 Juni 2015 20:18 wib

Mantan Penasihat KPK Abdullah Hehamahua/MI/Susanto Metrotvnews.com, Jakarta: Mantan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua menilai penyadapan yang dilakukan lembaga antikorupsi perlu diatur dalam undang-undang (UU). Namun, pengaturan ini bukan berarti menghilangkan kewenangan KPK dalam penyadapan.

"Perlu diatur ke Undang-undang untuk mengatur dan menertibkannya. Kalau untuk menghilangkannya, tidak," kata Abdullah usai berkunjung ke Gedung KPK, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Kamis (18/6/2015).

Menurut dia, selama ini masalah penyadapan ini tak pernah disebutkan dalam Undang-undang KPK. Pada 2005, KPK pernah mengaudit penyadapan. Mereka mencontohkan bagaimana aparat penegak hukum Inggris menyadap tanpa bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM).

Dalam penyadapan, kata dia, lembaga antikorupsi juga berpedoman dari surat edaran yang pernah dikeluarkan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Untuk itu, masalah penyadapan perlu diatur secara serius di UU KPK.

Abdullah yakin, penyadapan yang dijalankan KPK sudah memenuhi prinsip-prinsip HAM. KPK tidak akan sembarangan 'menguping' pembicaraan orang lain.

"Kalau penyidik mau sadap, pertama dia surat dulu ajukan ke direktur. Kalau direktur menyetujui diteruskan ke deputi lalu ke pimpinan. Yang ditranskrip juga soal korupsi, yang pribadi enggak. Di Anggodo Widjojo itu terputus-putus karena itu pribadi," contoh dia.

Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2015. Ini merupakan hasil rapat antara Badan Legislasi DPR dab Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly.

Yasonna menilai RUU KPK perlu dimasukan dalam Prolegnas prioritas 2015 lantaran aturan dapat menimbulkan masalah dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Dia menitikberatkan pada kewenangan penyadapan milik KPK.

"Perlu dilakukan peninjauan kembali seperti penyadapan yang tidak melanggar HAM, dibentuk dewan pengawas, pelaksanaan tugas pimpinan, dan sistem kolektif kolegial," kata Yasonna di Gedung DPR, Jakarta, Selasa 16 Juni. OJE

Johan Budi Keukeuh Minta DPR Tunda Revisi UU KPK

Wakil Ketua KPK Johan Budi (Foto: Okezone)Qur'anul HidayatJurnalis Share on Facebook Share on Twitter Share on GoogleA A A JAKARTA - Pelaksana Tugas (Plt) Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Johan Budi keukeuh meminta DPR untuk menunda revisi Undang-Undang (UU) KPK. Menurutnya, perubahan baru tepat dilakukan jika sudah ada harmonisasi dengan beberapa peraturan dalam Undang-Undang KPK."Pada kesimpulan yang disampaikan (KPK), berkait dengan Revisi Undang-Undang KPK, sudah disebutkan, minta ke Komisi III (revisi) itu ditunda sebelum ada sinkronisasi Undang-Undang," ungkapnya di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (18/6/2015).Sebagai subjek pengguna Undang-Undang, Johan meminta agar masukan tersebut didengar oleh DPR. Terlebih, perubahan poin tentang penyadapan dinilai akan melemahkan lembaga ad hoc tersebut.Johan menjelaskan, DPR harusnya tak khawatir KPK akan melakukan penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power dengan wewenang penyadapan. Sebaliknya, parlemen seharusnya ikut mendorong sistem audit dari salah satu proses penyelidikan itu."Gini, kalau ada ketakutan, ada abuse of power, bukan soal itu, kan harus dilakukan audit pelaksanaan kewenangan itu," tegasnya.

Pernyataan tegas Johan ini sekaligus membantah ucapan Wakil Ketua Komisi III DPR Benny Kabur Harman yang mengklaim bahwa KPK sudah deal untuk merevisi Undang-Undang KPK."Revisi terbatas itu sangat diinginkan dan KPK setuju hal itu," klaim Benny.

Abdullah Hehamahua: Jokowi Terancam Tak Dipilih Lagi Jika Setujui Revisi UU KPKJumat, 19 Juni 2015 05:30 WIB

KOMPAS.com/Sabrina AsrilPresiden Joko Widodo bersama Panglima TNI Jenderal Moeldoko dan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Gatot Nurmantyo di sela-sela acara peletakan batu pertama RS Moh. Ridwan Meureuksa, Rabu (13/5/2015).TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo terancam tak dipilih lagi dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2019, jika pemerintah bersama DPR merevisi Undang-Undang KPK yang pada ujungnya membuat KPK lemah.Pernyataan itu dilayangkan mantan penasihat KPK, Abdullah Hehamahua. Ia mengkritisi sejumlah poin yang akan ditinjau dalam revisi UU KPK. Rakyat, kata Abdullah, akan memberi sanksi kepada pemerintah maupun DPR."Sanksinya pemilukada, rakyat bisa beri sanksi. Calon bupati, dan lain-lain tidak dipilih lagi. Jokowi 2019 tidak dipilih lagi," kata Abdullah di gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (18/6/2015) malam.Poin yang disorot Abdullah terkait kewenangan penyadapan. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyatakan, agar tidak melanggar HAM, kewenangan penyadapan hanya ditujukan kepada pihak yang telah diproses projustitia atau melalui mekanisme hukum."Pejabat publik tidak ada privasi. Rakyat berhak tahu. Seseorang disadap kalau sudah ada indikasi korupsi," kata Abdullah.Penyadapan tersebut juga tidak disebarluaskan secara bebas saat masih dalam tahap penyelidikan mau pun penyidikan, hanya ditangani oleh bagian penindakan. Menurut Abdullah, pemerintah semestinya belajar dari Inggris terkait penyadapan yang tidak melanggar HAM, bukan dengan memangkas kewenangan KPK."Orang boleh bilang (penyadapan) melanggar HAM atau tidak, menurut saya tidak," kata Abdullah.

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengajukan revisi UU KPK ke dalam Program Legislasi Nasional 2015. Ia menilai pelaksanaan UU KPK masih menimbulkan masalah sehingga mengganggu upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi."Undang-undang ini sudah masuk dalam long list Prolegnas 2015-2019 sebagai inisiatif DPR dan perlu didorong untuk dimajukan sebagai prioritas 2015," kata Yasonna.Setidaknya, ada lima peninjauan yang harus dilakukan dalam revisi UU KPK ini. Pertama, kewenangan penyadapan agar tidak menimbulkan pelanggaran HAM, yaitu hanya ditujukan kepada pihak-pihak yang telah diproses pro justitia. Kedua, peninjauan terkait kewenangan penuntutan yang perlu disinergikan dengan kewenangan Kejaksaan Agung.Ketiga, dewan pengawas perlu dibentuk untuk mengawasi KPK dalam menjalankan tugasnya. Keempat, perlu ada pengaturan mengenai pelaksanaan tugas pimpinan jika berhalangan. Kelima, mengenai penguatan terhadap pengaturan kolektif kolegial.Namun, Yasonna kemudian membantah pemerintah yang berinisiatif melakukan revisi. Menteri yang berasal dari PDI Perjuangan ini kemudian mengatakan bahwa sebenarnya Dewan Perwakilan Rakyat yang menginginkan adanya revisi terhada UU KPK. (

Rapat KPK-DPR Hasilkan Tiga Poin Kesimpulan

Wakil Ketua Komisi III DPR, Benny K Herman (Foto: Okezone)Qur'anul HidayatJurnalis Share on Facebook Share on Twitter Share on GoogleA A A

JAKARTA - Setelah menggelar rapat dengar pendapat (RDP) selama lima jam lebih dengan jajaran Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Wakil Ketua Komisi III DPR Benny K Harman akhirnya membacakan tiga poin kesimpulan.Kesimpulan pertama, Komisi III meminta KPK untuk memberikan masukan yang lebih detail dan komprehensif tentang hal-hal yang perlu direvisi dalam rangka memperkuat KPK."Kedua, yang disetujui yaitu Komisi III mendesak KPK agar bisa menyusun dan mematuhi Standard Operational Procedure (SOP), dan perundang-undangan lainnya dalam menjalankan tugas dan kewenangan. Hal ini untuk melakukan peningkatan pengawasan internal yang bertujuan mencegah penyalahgunaan kewenangan," kata Benny di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (18/6/2015).Kesimpulan ketiga adalah, Komisi III meminta KPK untuk bisa menyusun sistem pencegahan korupsi yang lebih terukur dan sistematis di seluruh Kementerian atau lembaga."Ini untuk dipatuhi dan mencegah serta mengurangi praktek korupsi," simpulnya.

Revisi UU KPK, Ancaman atau HarapanKPK dianggap terlalu powerfull. Pimpinan KPK menolak.Jum'at, 19 Juni 2015 | 00:23 WIBOleh : Harry Siswoyo, Agus Rahmat, Eka Permadi

Sejumlah aktivis dari Warga Pendukung Pemberantasan Korupsi menggelar aksi damai di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jakarta(VIVAnews/Ikhwan Yanuar)

VIVA.co.id - Wacana revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi kembali mencuat setelah hampir tiga tahun tertunda di Dewan Perwakilan Rakyat.

Sejak lama revisi ini menuai polemik. Namun kini sudah tak terbendung lagi. DPR resmi menetapkan rancangan revisi Undang-undang UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK masuk dalam prioritas program legislasi nasional.

Wakil Ketua DPR Fadli Zon berpendapat, saat dilahirkannya UU KPK, kala itu Indonesia sedang dalam situasi euforia setelah reformasi. Sebab itu, terbentuklah sebuah payung hukum yang membuat KPK menjadi lembaga powerfull.

"Tapi tidak terkontrol. (Akhirnya) mereka pun bisa bertindak seenaknya," ujar Fadli. (Baca: Fadli Zon: Revisi UU KPK Cegah Penyelewengan Kekuasaan)

Kemelut KPK vs PolriSepanjang 2015 ini, kemelut konflik memang mendera KPK. Keputusan mereka menetapkan tersangka terhadap calon Kapolri, Komjen Budi Gunawan, dan kemudian berhasil dimentahkan di dalam sidang praperadilan, menjadi mimpi buruk.

Secara berturut, KPK pun menerima imbas buruk. Sejumlah pimpinannya pun ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian yang kemudian berimbas pada kemudi KPK yang akhirnya terpaksa dipegang oleh pelaksana tugas hingga Desember 2015.

Tak sampai disitu, bak menuai karma, KPK kembali menelan pil pahit dengan dua kekalahan lain mereka di sidang praperadilan. Yakni di sidang mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin dan tersangka kasus dugaan korupsi pajak BCA, Hadi Poernomo.

Meski KPK mengklaim tiga kekalahan di praperadilan itu tak sebanding dengan jumlah kemenangan KPK. Namun, nahas putusan ketiga praperadilan yang dihasilkan dari putusan Komjen Budi Gunawan, Ilham Arief dan Hadi Purnoemo, betul-betul mengubah keadaan.

Bahkan Pelaksana tugas Ketua KPK Taufiqurrachman Ruki, sempat secara emosional mengarakan bahwa putusan yang mengalahkan KPK tersebut telah mengancam 371 kasus yang sedang dan dalam proses penyelidikan KPK.

"Putusan praperadilan memiliki implikasi luas bagi penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Kasus-kasus yang sedang dan dalam proses penanganan KPK pun menjadi mentah," ujar Ruki.

Pertimbangan RevisiAwal Februari silam, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Firman Soebagyo mengakui revisi UU KPK memang dilandasi munculnya konflik antara KPK dan Polri.

Menurutnya, ada keinginan DPR untuk menata hukum baik itu di tubuh KPK, kejaksaan maupun kepolisian. "Coba kita evaluasi kembali, bagaimana menata kembali masalah penegak hukum ini, jangan satu sama lain saling membunuh seperti ini," katanya. (Baca: Undang-undang KPK Akan Direvisi, Efek Konflik dengan Polri)Diketahui, terdapat beberapa poin yang hendak di rumus ulang dalam UU Nomor 30 Tahun 2002. Setidaknya, pertama terkait perizinan penyadapan. Dirancang, KPK ke depan harus dapat izin pengadilan sebelum menyadap.

Kedua, terkait Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP3). Dirancang, KPK akan seragam dengan kepolisian dan kejaksaan, yakni memiliki kewajiban SP3.

Dan ketiga, berkaitan dengan kewenangan penuntutan yang disinergikan dengan kejaksaan, dewan pengawas KPK dan pengaturan berkaitan dengan kolektif kolegial.

"Mengembalikan pada fungsi KPK agar tidak ada institutional problem," ujar Wakil Ketua DPR Fadli Zon.

Sejauh ini, seluruh unsur pimpinan KPK memang mengaku keberatan dengan rencana poin revisi tersebut. Mereka menuding bahwa perombakan UU tersebut hanya menjadi alat untuk melemahkan kemampuan KPK dalam melakukan penindakan. (Baca: Revisi UU KPK Akan Hilangkan Kewenangan OTT)

Taji KPK yang selama ini dimiliki dipaksa dibuang dan diseragamkan dengan lembaga yang sudah memiliki kewenangan yang lain.

"Jika tujuan merevisi UU KPK dimaksudkan untuk menghilangkan kewenangan penuntutan dan juga mereduksi kewenangan penyadapan, maka persepsi publik bahwa ada upaya sistematis untuk melemahkan KPK sekaligus upaya pemberantasan korupsi menjadi nyata adanya," kata Pelaksana tugas (Plt) Pimpinan KPK, Johan Budi, Selasa 16 Juni 2015.

Revisi DiapresiasiSejak dimasukkannya dalam prolegnas, rancangan revisi UU KPK beserta sejumlah poin krusialnya, menuai reaksi banyak pihak.

Wakil Presiden Jusuf Kalla mengaku menyetujui agar ada batasan kewenangan bagi KPK agar tidak melampaui batas. "Sesuatu kewenangan memang harus ada batas-batasnya, tidak bisa ada kekuatan mutlak," kata Kalla.

Ia bahkan meyakini, bila dalam praktiknya nanti, justru perevisian UU KPK justru akan memperkuat posisi KPK. (Baca: Wapres Setuju Kewenangan KPK Dibatasi)Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Masinton Pasaribu juga berpendapat serupa. Menurutnya, revisi murni untuk menghindari penyalahgunaan wewenang.

"(Jadi) Tidak membatasi tapi mengatur kewenangan KPK," kata Masinton.

Terlepas dari itu, UU KPK sejak dilahirkan pada tahun 2002, harus diakui sudah berumur 13 tahun. UU KPK memang bukan kitab nabi. Karena itu, sangat memungkinkan ada kekurangan ataupun mungkin hal-hal yang dianggap tak relevan lagi.

Namun demikian, perombakan ini tetap harus berdasarkan kepentingan publik. Bukan karena unsur 'balas dendam' ataupun karena ada yang ingin menyamakan KPK dengan lembaga lain yang tak memiliki kewenangan tersendiri.

Ruhut: Di saat Negara Amburadul, KPK Lahir

Anggota Komisi III DPR, Ruhut Sitompul (foto: Okezone)Regina FiardiniJurnalis Share on Facebook Share on Twitter Share on GoogleA A A

JAKARTA - Politikus dari Partai Demokrat, Ruhut Sitompul memberikan semangat ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di tengah-tengah rapat dengar pendapat (RDP) Komisi III DPR. Berdasarkan agenda, rapat tersebut untuk membahas tentang pengawasan terhadap lembaga antirasuah tersebut.Dalam rapat yang berlangsung di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (18/6/2015), Ruhut memanfaatkan sesi tanya-jawab tersebut, untuk meyakinkan bahwa gerakan #saveKPK masih ada."Bagi saya tetap, 'save KPK'. Kita harus ingat kembali, lahirnya KPK karena negara ini sudah amburadul terkait dengan korupsi, rakyat miskin karena ulah koruptor, dan KPK bantu atasi itu," Tegas Ruhut.Menurutnya, UU yang dimiliki KPK sudah baik. Jika ada yang ingin direvisi, sebaiknya revisi UU Polisi dan Kejaksaan, yakni UU yang tidak dimiliki KPK bisa ditambahkan di UU Polisi dan Kejaksaan."Mengenai penyadapan itu harus ada, kalau enggak ada penyadapan bisa lari para koruptor ini," jelasnya."Saya rasa kita perlu memperjuangkan KPK. Tidak usah khawatir kawan-kawan, bekerja lah. Karena bagi saya bapak-bapak adalah pahlawan untuk pencegahan korupsi," tutupnya dengan semangat.

Johan Budi: Tunjukkan, Pernah Enggak KPK Abuse of Power?

(Foto: Antara)Qur'anul HidayatJurnalis Share on Facebook Share on Twitter Share on GoogleA A A

JAKARTA - Pelaksana tugas (Plt) Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Johan Budi SP, tak terima dengan tudingan Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon yang menyebutkan bahwa lembaganya sering melakukan penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power.Ucapan itu sendiri disampaikan Fadli menanggapi rencana revisi Undang-Undang (UU) KPK. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu menganggap KPK punya kekuatan yang tak terkontrol, sehingga berpotensi terjadi penyalahgunaan kekuasaan."Tunjukkan pernah enggak KPK lakukan abuse of power? Pernah enggak kita lakukan abuse of power soal penyadapan?" tantang Johan saat berada di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (18/6/2015).Kata Johan, setiap penyadapan yang dilakukan oleh lembaganya selalu melewati proses audit. Selain itu, wewenang untuk menyadap juga tidak hanya dimiliki oleh KPK."Siapa yang punya wewenang penyadapan, tidak hanya KPK. Kepolisian, Kejaksaan dan lembaga negara lain juga punya wewenang penyadapan. Jadi bisa menyadap itu bukan monopoli KPK," tegasnya.Bagi Johan, revisi UU KPK dapat mereduksi dan melemahkan kekuatan lembaganya. Terutama dalam hal prosedur proses penyelidikan yang akan ditempuh ke depannya. "Saya kira kalau revisi UU KPK tujuannya mereduksi kewenangan KPK, penuntutan, dan penyadapan, saya kira itu bukan tujuan penguatan KPK, tapi justru melemahkan KPK, kalau itu direduksi," bebernya.

Revisi UU KPK, Komisi III akan Libatkan KPK- 18 Juni 2015 19:44 wib

Metrotvnews.com, Jakarta: Setelah sempat terhenti karena menjadi polemik, UU KPK akhirnya akan direvisi pada tahun ini. Di dalam setiap tahapannya, DPR akan melibatkan KPK untuk memberi masukan untuk memperkuat sepak terjang pemberantasan korupsi.

Di dalam rapat di Gedung Parlemen, Kamis (18/6/3015), Komisi III memastikan masukan dari KPK akan sangat diperhatikan. Maka tak perlu KPK ragu untuk menyampaikan usul dan saran kepada DPR.

"Komisi III meminta KPK memberi masukan detail dan komprehensif mengenai hal-hal yang perlu direvisi demi memperkuat KPK," kata Waka Komisi III Benny K Harman.

Di dalam kaitan itu Komisi III DPR mendesak KPK menyusun dan mematuhi prosedur dan perundang-undangan dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Pimpinan KPK dituntut meningkatkan pengawasan internal untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan.

"KPK agar menyusun menyusun sistem pencegahan korupsi yang lebih terukur dan sistematis bagi seluruh kementerian lembaga/badan dan pemda," sambung politikus Demokrat itu.

Sementara itu, pimpinan KPK John Budi SP mengaku setuju dengan tiga kesimpulan tersebut. Hanya saja, Johan tak mengetahui usulan undang-undang KPK untuk direvisi atas usulan siapa bahkan sudah masuk dalam prolegnas.

"Kami sebagai user memberi masukan, tapi sebelum sinkronisasi jangan dulu revisi," ujarnya.

Sinkronisasi yang dimaksud Johan adalah tentang Revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (R-KUHAP) yang juga bakal direvisi di tahun 2015 sebagai lex generalis. "Iya yang terkait. KUHP KUHAP UU 31/99 baru omongan Undang-undang KPK Nomor 30 Tahun 2002," ujarnya.

Alasan Ruki Tetap Ngotot soal Kewenangan SP3

Plt Ketua KPK Taufiqurrahman Ruki (Foto: Okezone)Qur'anul HidayatJurnalis Share on Facebook Share on Twitter Share on GoogleA A A

JAKARTA - Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Taufiequrachman Ruki tetap ngotot ingin agar wewenang mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dimiliki oleh lembaga antirasuah itu.Padahal, niatnya tersebut sudah ditentang langsung oleh Plt Wakil Ketua KPK Johan Budi, yang memandang bahwa KPK tidak boleh diberikan kewenangan tersebut.Dikonfirmasi usai melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR RI, sambil terus berjalan Ruki menyebut bahwa wewenang tersebut diperlukan untuk memutus perkara tersangka korupsi yang sudah meninggal dunia atau yang kasusnya sudah kedaluwarsa."Kalau orangnya mati. Pertanyaan saya, kalau tersangkanya mati mau diapain?," kata dia di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (18/6/2015) malam.Ruki berkeyakinan, wewenang tersebut tidak lantas membuat KPK punya kekuatan yang sama dengan lembaga hukum lainnya. Terlebih, SP3 akan dikeluarkan setelah adanya bukti yang cukup.

"Berbeda, tetap berbeda (dengan lembaga hukum lainnya-red). Tapi tidak pernah punya pikiran untuk menghentikan SP3 karena kurang bukti. Itu tidak boleh," tegas Ruki.Lebih jauh, dia juga yakin bahwa wewenang tersebut tidak akan disalahgunakan oleh KPK."Enggak bisa, kalau kurang bukti tidak akan keluar. Tapi kalau orangnya mati atau kedaluwarsa kan harus dihentikan," tutupnya.

Buwas Temui Baleg DPR di Tengah Isu Revisi UU KPK, Ada Apa?433DILIHAT /19:2017 JUN 2015

Dok: Kabareskrim Komjen Budi Waseso, yang akrab disapa Buwas. Foto: Antara

ReporterAndika Dwi AnnurUpdateWisnu Cipto NugrohoSumberRimanewsRimanews - Kabareskrim Komisaris Jenderal Pol Budi Waseso tiba-tiba datang menemui Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Sareh Wiyono di saat alat kelengkapan dewan itu santer tengah membahas Revisi Undang Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sponsored5 (LIMA) Kesalahpahaman Fighting Sports Pantauan di lokasi, Kabareskrim datang ke datang ke DPR sekitar pukul 13.00 WIB, masuk melalui Gedung Nusantara I DPR. Jenderal yang akrab disapa Buwas itu datang tanpa mengenakan seragam kepolisian dikawal dua ajudannya dan langsung menuju lantai II Nusantara I ruang Sektetariat Baleg.Sekitar dua jam Buwas berada di dalam ruangan Sekretariat Baleg. Setelah itu, Buwas langsung keluar tanpa memberi sedikit pun komentar kepada wartawan yang sudah menunggu di depan pintu ruangan sedari tadi.Sementara itu, Ketua Baleg Sareh Wiyono mengaku kedatangan Buwas ke DPR hanya sekedar mampir saja. Menurut Saleh, dirinya dengan Buwas tidak membicarakan apapun pertemuannya termasuk soal Revisi UU KPK. "Enggak ada sama sekali. Ini kan urusan pemerintah. Enggak ada urusan sama polisi. Say Hello aja," katanya.Sareh menegaskan soal Revisi UU KPK itu belum ada pembicaraan lebih jauh. Dia mengaku tidak mengundang Buwas untuk membahas hal tersebut. "Enggak undang. Biasa mampir. Enggak ada yang penting dibicarakan. Enggak ada KPK, belum sampai ke sana," tandas mantan Ketua Pengadilan Tinggi Jawa Tengah itu.

PPP Ingin RUU KUHAP Dibahas Sebelum Revisi UU KPKRabu, 17 Juni 2015 17:49 WIB

WARTA KOTA/HENRY LOPULALANKetua Peneliti Perludem, Didik Supriyanto (kiri) bersama Peneliti Perludem Fadli Ramadhanil (dua kanan) dan Anggota fraksi PPP DPR Arsul Sani (kanan), menjadi nara sumber pada diskusi publik beranikah KPU melanggar Undang-undang, di Jakarta Pusat, Senin, (27/4/2015). Dalam diskusi tersebut mereka mengimbau Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak terbawa pada arus politik yang diperdebatkan di Komisi II DPR RI dan KPU terkait perihal rekomendasi Pilkada. WARTA KOTA/HENRY LOPULALANTRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) angkat bicara mengenai hal tersebut.Juru Bicara PPP Arsul Sani mengatakan revisi UU KPK sudah masuk dalam prolegnas 2015-2019. Sehingga telah menjadi keputusan DPR. "Jadi secara hukum dan politik itu bisa diterima," kata Arsul ketika dikonfirmasi, Rabu (17/6/2015).PPP, kata Arsul, berpendapat pelaksanaan amandemen UU KPK dilakukan setelah pembahasan RUU KUHAP."Paling tidak bersamaan," kata anggota Komisi III DPR itu.Partai berlambang Ka'bah itu menilai RUU KUHAP sebagai lex generalis harus dibahas lebih dahulu. Kemudinan RUU KPK sebagai lex spesialis dibahas belakangan atau bersamaan. Mengenai adanya aturan soal wewenang penyadapan dan penuntuttan akan melemahkan KPK, Arsul menilai hal itu harus dilihat dari draft RUU-nya dahulu."Saya tidak ingin buru-buru menilai akan terjadi pelemahan KPK melalui revisi ini," ujarnya.

Wapres Sebut Revisi UU KPK Tidak MemperlemahRabu, 17 Juni 2015 - 21:10

Wakil Presiden RI Jusuf KallaTERKAIT

RI Bidik Kerjasama Perusahaan Minyak Pelumas Nigeria

Presiden buka puasa bersama anak yatim

Presiden Beri Perhatian Khusus Soal Kerawanan Pangan

Presiden terbitkan perpres pengendalian harga kebutuhan pokok

Utang Luar Negeri 2015 Relatif Stabil

Jakarta, Seruu.com- Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi bukan berarti memperlemah keberadaan lembaga antirasuah tersebut.

"Revisi itu tergantung apanya yang dianggap perlu, dan direvisi tidak berarti memperlemah, itu bisa berarti memperkuat," kata Kalla di Kantor Wakil Presiden Jakarta, Rabu.

Terkait adanya pasal soal penyadapan yang dinilai sejumlah pihak melemahkan upaya pemberantasan korupsi, Wapres mengatakan hal itu justru untuk memperketat pengaturan upaya pencegahan.

"(Penyadapan) Itu bukan dikurangi, tetapi diperketat aturannya," tambahnya.

Sebelumnya, Pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM mengajukan revisi atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi masuk dalam Proyeksi Legislasi Nasional 2015.

"Undang-Undang ini sudah masuk dalam longlist Prolegnas 2015-2019 sebagai inisiatif DPR dan perlu didorong untuk dimajukan sebagai prioritas 2015," kata Menkumham Yasona H. Laoly.

Yasona menjelaskan pelaksanaan UU KPK masih menimbulkan masalah yang menyebabkan terganggunya upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Menurut dia perlu dilakukan peninjauan terhadap beberapa ketentuan dalam upaya membangun negara yang bersih dan penguatan terhadap lembaga terkait dengan penyelesaian kasus korupsi yaitu Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK.

"Peninjauan itu terkait, pertama kewenangan penyadapan agar tidak menimbulkan pelanggaran HAM yaitu hanya ditujukan kepada pihak-pihak yang telah diproses pro-justicia," ujarnya.

Kedua menurut Yasona, peninjauan terkait kewenangan penuntutan yang perlu disinergikan dengan kewenangan Kejaksaan Agung.

Dia menjelaskan peninjauan ketiga terkait perlu dibentuknya dewan pengawas, dan keempat mengenai pengaturan terkait pelaksanaan tugas pimpinan jika berhalangan.

"Peninjauan kelima mengenai penguatan terhadap pengaturan kolektif kolegial," jelasnya. [ant]

Ruhut Sitompul: Bukan UU KPK, Mestinya UU Polri yang DirevisiAchmad Zulfikar Fazli - 18 Juni 2015 15:27 wib

Ruhut Sitompul. Foto: Puspa Perwitasari/Antara

Metrotvnews.com, Jakarta: Anggota Komisi III DPR Ruhut Sitompul mengkritisi wacana revisi Undang-undang KPK. Revisi yang mereduksi kewenangan KPK, kata dia, justru akan melemahkan lembaga antikorupsi itu.

Menurut politikus Partai Demokrat itu, DPR tak perlu membatasi kewenangan KPK, terutama dalam hal penyadapan. "UU KPK ini sudah sangat baik. Penyadapan harus tetap ada, jangan kita ganggu KPK," ujar Ruhut dalam Rapat Dengar Pendapat di Komisi III, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (18/6/2015). Rapat dengar pendapat dihadiri oleh lima pimpinan KPK.

Ia khawatir jika kewenangan KPK dibatasi, terutama dalam hal penyadapan, bakal membuat korupsi semakin merajalela. Bahkan efek paling parahnya, mereka bisa lepas dari jeratan hukum.

"Kalau penyadapan ini diatur-atur dengan izin dulu ke pengadilan, pada lari semua rampok-rampok dan pencuri aset-aset ini," kata dia.

Ruhut menilai DPR lebih baik merevisi UU Polri dan UU Kejaksaan, agar memiliki kewenangan yang sama dengan KPK.

"Yang perlu direvisi itu, UU Polri dan UU Kejaksaan, biar bisa menyadap juga dan tidak bisa mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3)," tegas dia.Dia menegaskan taji tajam KPK masih dibutuhkan untuk menindak para koruptor yang masih merajalela di Indonesia. Selain juga untuk mencegah perilaku korup aparatur negara.

"Masih banyak yang belum terungkap masalah korupsi ini. Saya rasa harus memperjuangkan KPK dengan anggaran yang sudah disiapkan ini. Kita lupakan saja Abraham Samad dan Bambang Widjajanto. Kita masih perlu KPK ini. Bapak-bapak ini pahlawan dalam pencegahan kasus korupsi," tandas dia. KRI