23
341 Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan X PERENCANAAN DAN PENGELOLAAN KA- WASAN KONSERVASI PERAIRAN Sampai saat ini kita sudah mempelajari secara singkat beberapa aspek dari laut kita, keterkaitannya dengan pengambilan (penangkapan) sumber daya ikan, dan peranan Kawasan Konservasi Perairan sebagai pendamping dari sistem pengelolaan perikanan tangkap yang sudah berkembang sampai saat ini. Bagian yang akan kita pelajari selanjutnya ialah Bab terakhir dari buku ini – suatu bagian tersendiri yang membahas seluruh aspek perencanaan dan pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan secara menyeluruh. Sebelum itu, ada baiknya kalau kita melakukan penyegaran, refreshment, pada hal-hal yang sudah kita selesaikan pada bagian sebelumnya, sebagai berikut: Mengenal laut sebagai bagian integral dari planet bumi – laut dipengaruhi oleh aktifitas yang terjadi di darat. Namun sebaliknya, kehidupan di darat juga dipengaruhi oleh dinamika yang terjadi di laut. Setiap perubahan yang terjadi di laut pada akhirnya akan berdampak pada manusia yang tinggal di darat; Biodiversity , Keanekaragaman hayati di laut – laut menampung kehidupan dari berbagai spesies yang sangat beragam, terutama laut wilayan tropis seperti Indonesia. Sebagian besar wilayah laut Indonesia telah diidentifikasi oleh berbagai ahli kelautan sebagai “Coral Triangle”, pusat keanekaragaman sumber daya hayati laut dunia. “Coral Triangle” ialah wilayah yang mempunyai spesies karang penyusun terumbu lebih dari 500 jenis atau spesies. Kondisi ini menempatkan Indonesia dalam posisi penting secara global terkait dengan keanekaragaman hayati laut. Threats, ancaman – laut di wilayah pusat keanekaragaman hayati, “Coral Triangle” , mengalami ancaman serius, baik dari ancaman yang terjadi secara global maupun ancaman Tujuan pembelajaran: Memahami proses-proses peren- canaan, pengelolaan dan monitoring keberhasilan program konservasi pada kawasan konservasi, terutama Kawasan Konservasi Perairan (KKP). Keseluruhan proses mencakup: selek- si calon kawasan, penetapan, penen- tuan zonasi, identifikasi para pihak ( stakeholder) yang terlibat, rencana pengelolaan, badan pengelola dan pemilihan strategi monitoring untuk mengukur keberhasilan program konservasi. Hasil monitoring merupa- kan alat ukur bagi sistem pengelolaan adaptif.

Kawasan Konservasi Perairan (KKP). PERENCANAAN · PDF filelarva ialah dua mekanisme dasar yang sudah terbukti bisa mempertahankan dan ... melakukan moratorium penangkapan pada wilayah

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kawasan Konservasi Perairan (KKP). PERENCANAAN · PDF filelarva ialah dua mekanisme dasar yang sudah terbukti bisa mempertahankan dan ... melakukan moratorium penangkapan pada wilayah

341 Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan

X

PERENCANAAN DAN PENGELOLAAN KA-

WASAN KONSERVASI PERAIRAN

Sampai saat ini kita sudah mempelajari secara singkat beberapa aspek dari laut kita,

keterkaitannya dengan pengambilan (penangkapan) sumber daya ikan, dan peranan Kawasan

Konservasi Perairan sebagai pendamping dari sistem pengelolaan perikanan tangkap yang sudah

berkembang sampai saat ini. Bagian yang akan kita pelajari selanjutnya ialah Bab terakhir dari buku

ini – suatu bagian tersendiri yang membahas seluruh aspek perencanaan dan pengelolaan Kawasan

Konservasi Perairan secara menyeluruh. Sebelum itu, ada baiknya kalau kita melakukan penyegaran,

refreshment, pada hal-hal yang sudah kita selesaikan pada bagian sebelumnya, sebagai berikut:

• Mengenal laut sebagai bagian integral dari planet bumi – laut dipengaruhi oleh aktifitas yang

terjadi di darat. Namun sebaliknya, kehidupan di darat juga dipengaruhi oleh dinamika yang

terjadi di laut. Setiap perubahan yang terjadi di laut pada akhirnya akan berdampak pada

manusia yang tinggal di darat;

• Biodiversity, Keanekaragaman hayati di laut – laut menampung kehidupan dari berbagai

spesies yang sangat beragam, terutama laut wilayan tropis seperti Indonesia. Sebagian besar

wilayah laut Indonesia telah diidentifikasi oleh berbagai ahli kelautan sebagai “Coral

Triangle”, pusat keanekaragaman sumber daya hayati laut dunia. “Coral Triangle” ialah

wilayah yang mempunyai spesies karang penyusun terumbu lebih dari 500 jenis atau

spesies. Kondisi ini menempatkan Indonesia dalam posisi penting secara global terkait

dengan keanekaragaman hayati laut.

• Threats, ancaman – laut di wilayah pusat keanekaragaman hayati, “Coral Triangle”,

mengalami ancaman serius, baik dari ancaman yang terjadi secara global maupun ancaman

Tujuan pembelajaran:

Memahami proses-proses peren-

canaan, pengelolaan dan monitoring

keberhasilan program konservasi

pada kawasan konservasi, terutama

Kawasan Konservasi Perairan (KKP).

Keseluruhan proses mencakup: selek-

si calon kawasan, penetapan, penen-

tuan zonasi, identifikasi para pihak

(stakeholder) yang terlibat, rencana

pengelolaan, badan pengelola dan

pemilihan strategi monitoring untuk

mengukur keberhasilan program

konservasi. Hasil monitoring merupa-

kan alat ukur bagi sistem pengelolaan

adaptif.

Page 2: Kawasan Konservasi Perairan (KKP). PERENCANAAN · PDF filelarva ialah dua mekanisme dasar yang sudah terbukti bisa mempertahankan dan ... melakukan moratorium penangkapan pada wilayah

342 Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan

lokal. Asidifikasi, intensitas badai, banjir dan peningkatan suhu permukaan air laut sudah

nyata dirasakan dan mengancam kelangsungan sumber daya hayati di laut. Bleaching dan

erosi terumbu ialah dua dampak paling dominan dari ancaman global. Sedangkan

penangkapan berlebih dan penangkapan destruktif ialah dua ancaman lokal yang paling

dominan akan mempengaruhi habitat dan sumber daya laut, terutama di dalam wilayah

“Coral Triangle”.

• Mengenal perikanan laut: alat tangkap dan jenis ikan hasil tangkap – walaupun sangat

beragam, alat tangkap ikan di Indonesia bisa dibedakan paling tidak dalam 10 kelompok,

beberapa diantaranya sangat efektif dan menyebabkan kerusakan habitat sekaligus

penangkapan berlebih (over-fishing). Indonesia mungkin merupakan satu-satunya negara

yang memiliki perikanan dengan komposisi spesies ikan hasil tangkap yang paling beragam.

Temuan FishBase menunjukkan total jumlah spesies yang tertangkap di Indonesia mencapai

3.240 jenis. Sebagian besar diantaranya bukan termasuk kelompok ekonomis penting.

• Perikanan tangkap dan Kawasan Konservasi Perairan – pendekatan dalam pengelolaan

perikanan laut sangat menyulitkan untuk mempertahakan stok sumber daya pada kondisi

lestari. Sebagian besar perikanan di Indonesia sudah mengalami tangkap lebih (over-fishing).

Kawasan Konservasi Perairan bisa digunakan sebagai pendekatan tambahan untuk

memperbaiki kondisi perukanan yang sedang mengalami degradasi. Spill-over dan ekspor

larva ialah dua mekanisme dasar yang sudah terbukti bisa mempertahankan dan

memperbaiki perikanan tangkap. Hal ini dilakukan dengan mencadangkan sebagian habitat

penting di laut sebagai wilayah larang-ambil atau No-Take Zone.

• Kategori Kawasan Konservasi Perairan – paling tidak terdapat 6 (enam) kategori Kawasan

Konservasi Perairan yang umum dikenal secara global. Perbedaan kategori terjadi karena

perbedaan dalam fokus atau tujuan utama pembentukan kawasan. Tipe Kawasan Konservasi

Perairan yang bertujuan (utama) untuk melindungi dan pemanfaatan berlanjut dari

perikanan termasuk dalam kategori VI (protected area with sustainable use of natural

resources). Namun apapun kategori kawasan konservasi, sedikit atau banyak dia akan

memberikan kontribusi pada tujuan lainnya, seperti perlindungan keanekaragaman hayati,

perbaikan habitat, penelitian ataupun eko-wisata.

• RoadMap Kawasan Konservasi Perairan – Indonesia mempunyai pengalaman panjang dalam

perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi, termasuk di laut. Pada periode pra-

penjajahan, wilayah nusantara sudah mengembangkan beberapa kawasan konservasi

berbasis masyarakat. Sasi laut, awig-awig, nyale atau panglima laot ialah beberapa contoh

yang bisa disebutkan. Pada periode kolonialisasi, pengembangan kawasan konservasi lebih

banyak dilakukan melalui kerja sama antara penguasa lokal (Dewan Raja-Raja) dengan

Pemerintah Hindia Belanda. Pada masa kemerdekaan, inisiatif Kawasan Konservasi Perairan

terutama dilakukan melalui survei intensif yang dilakukan oleh IUCN/WWF program dengan

pemerintah. Survei menghasilkan atlas sumber daya kelautan (marine data atlas) dan

rekomendasi calon kawasan konservasi yang sangat komprehensif. Pada masa reformasi

setelah tahun 1998, insiatif pengembangan kawasan konservasi berkembang pesat dari

berbagai komponen dan institusi;

• Zonasi Kawasan Konservasi Perairan – tujuan penetapan Kawasan Konservasi Perairan

tertuang melalui zonasi. Zonasi menjadi penentu dalam menetapkan kategori kawasan

menurut klasifikasi internasional (IUCN). Jenis zona pada dasarnya bisa dibedakan menjadi 4

(empat) bentuk, ialah: zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan terbatas, dan zona lain

Page 3: Kawasan Konservasi Perairan (KKP). PERENCANAAN · PDF filelarva ialah dua mekanisme dasar yang sudah terbukti bisa mempertahankan dan ... melakukan moratorium penangkapan pada wilayah

343 Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan

sesuai dengan keperluan namun sejalan dengan tujuan penetapan kawasan. Zona inti

umumnya setara dengan wilayah dengan kunjungan terbatas (No-Go Zone), sedangkan zona

rimba ialah wilayah larang-ambil atau No-Take Zone. Zona perikanan berkelanjutan ialah

salah satu wilayah yang ditujukan untuk memantau dampak kawasan konservasi (terutama

perairan) pada perikanan tangkap;

• Hukum dan kebijakan Kawasan Konservasi Perairan – tonggak pengembangan Kawasan

Konservasi Perairan di Indonesia secara formal dimulai sejak tahun 1958 ketika pemerintah

berpartisipasi dalam adopsi konvensi Jenewa – Convention on Fishing and Conservation of

the Living Resources of the High Seas. Kedudukan Kawasan Konservasi Perairan di dalam

hukum formal mulai jelas ketika pemerintah menetapkan Undang-Undang No. 5 tahun 1990

dan meratifikasi UNCBD melalui Undang-Undang No. 5 tahun 1994. Namun perkembangan

peraturan selanjutnya membuat kategori Kawasan Konservasi Perairan tidak konsisten.

Beberapa peraturan formal saling tumpang tindih (overlap) dan memunculkan nomenklatur

kawasan konservasi yang beragam. Pemerintah bersama pihak terkait harus segera

melakukan harmonisasi peraturan agar tidak menyulitkan pengelola kawasan pada tingkat

lapang.

Pada bab akhir ini, kita akan membahas Kawasan Konservasi Perairan secara menyeluruh,

dari ide awal, seleksi dan penetapan, zonasi, rencana pengelolaan, badan pengelola, monitoring

keberhasilan program dan pengelolaan adaptif.

10.1 Kawasan Konservasi Perairan: Suatu Kebutuhan

Saat ini, Kawasan Konservasi Perairan (KKP) yang efektif, sebagai alat pengelolaan perikanan

tangkap berkelanjutan (sustainable fisheries) sangat mendesak dibutuhkan. Ada beberapa alasan

untuk segera menerapkan pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan secara efektif. Alasan pertama

ialah ancaman pada sumber daya hayati laut yang bisa berdampak buruk pada ekonomi masyarakat

pesisir. Alasan kedua ialah usaha untuk menjadikan sumber daya alam hayati sebagai milik bersama.

Sedangkan alasan yang terakhir ialah adanya peluang peran kelembagaan dan peraturan yang lebih

mengakomodasi kepentingan bersama. Masing-masing alasan dibahas secara tersendiri sebagai

berikut.

10.1.1 Perikanan Mengalami Tangkap Lebih

Hasil studi oleh peneliti perikanan menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah pengelolaan

perikanan (WPP) di Indonesia sudah mengalami tangkap penuh (fully exploited) maupun tangkap

lebih (over-exploited) (lihat juga bab V tentang perikanan dan Kawasan Konservasi Perairan) –

perikanan skala kecil yang beroperasi di pantai terus mengalami penurunan biomass hasil tangkap.

Catatan nelayan dari berbagai daerah (recall period 20 tahun) menunjukkan penurunan hasil

tangkapan mereka. Konflik antar nelayan lokal meningkat dalam mengambil peluang memanfaatkan

sumber daya yang tersisa. Perikanan tuna. (pelagic oceanic) di wilayah Samudera Hindia diduga kuat

mengalami penurunan hasil tangkap-per-satuan-usaha. Rekomendasi Komisi Nasional Pengkajian

Stok Sumber Daya Ikan (KomNas KaJisKan) meminta Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk

melakukan moratorium penangkapan pada wilayah pengelolaan perikanan Laut Banda. Jika kondisi

Page 4: Kawasan Konservasi Perairan (KKP). PERENCANAAN · PDF filelarva ialah dua mekanisme dasar yang sudah terbukti bisa mempertahankan dan ... melakukan moratorium penangkapan pada wilayah

344 Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan

ini terus dibiarkan, sangat dikhawatirkan kita akan segera kehilangan salah satu sumber mata

pencaharian masyarakat pesisir dari usaha penangkapan ikan.

Kevin L. Rhodes, ialah pegiat konservasi dan ahli perikanan dari Universitas Hawai yang

beberapa kali berkunjung ke Indonesia dan menelusuri tempat-tempat pemijahan ikan karang. Pada

suatu pertemuan dia mengatakan bahwa Indonesia seharusnya mempunyai banyak tempat-tempat

pemijahan ikan karang (Spawning Aggregation Sites). Namun kenyataan, sedikit sekali lokasi yang

bisa dia konfirmasi sebagai tempat pemijahan yang potensial. Bagi usaha perikanan, hal ini sangat

berbahaya karena bisa menyebabkan recruitment over-fishing – ikan karang bisa menghilang secara

mendadak tanpa kita sadari.

Sistem pengelolaan perikanan spesies-tunggal memerlukan data dengan tingkat akurasi yang

tinggi untuk bisa ditransformasi kedalam bentuk Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan (JTB). Data

ini sering kali tidak tersedia dari lapang, atau jika tersedia, tidak menunjukkan kondisi riil di lapang.

Karakteristik wilayah Indonesia: dengan lebih dari 17.000 pulau yang tersebar di wilayah nusantara,

beragam alat tangkap dan berbagai jenis ikan hasil tangkap, membuat model spesies-tunggal terlalu

sulit untuk diinterpretasi. Sementara itu stok sumber daya terus menurun dan nelayan berpindah ke

tempat yang lebih jauh untuk mencari ikan yang tersisa.

Kemampuan sumber daya, biaya dan lembaga tidak memungkinkan untuk melakukan

inspeksi pada seluruh wilayah perairan Indonesia yang luasnya mencapai ± 3,1 juta km2, tidak

termasuk Zona Ekonomi Eksklusif. Akibatnya, seluruh peraturan perikanan tangkap hanya menjadi

peraturan di atas kertas, tidak mempunyai kekuatan hukum pada tingkat lapang. Sementara itu,

pemerintah terus mengembangkan sistem subsidi bagi perikanan tangkap untuk mendapatkan yang

tersisa, yang sebenarnya sudah tidak ekonomis lagi untuk diambil saat ini. Kawasan Konservasi

Perairan (KKP) harusnya bisa kita gunakan sebagai alat untuk membalikkan (reverse) dari

penangkapan berlebih menjadi sistem usaha penangkapan yang berkelanjutan.

10.1.2 Degradasi Habitat Penting Bagi Perikanan

Laporan resiko kerusakan Terumbu Karang di Asia Tenggara oleh World Resource Institute

(WRI) menghasilkan temuan bahwa lebih dari 50% Terumbu Karang kita sudah mengalami kerusakan

pada tingkat sedang, tinggi, maupun sangat tinggi. Hutan Bakau di wilayah pesisir juga mengalami

nasib yang tidak berbeda. Penelusuran melalui Google Earth, bisa dengan cepat kita buktikan

terjadinya kerusakan pada hutan Bakau tersebut, terutama di wilayah Pesisir Utara Jawa dan Selat

Madura. Sumber daya habitat, seperti umumnya sumber daya hayati mempunyai kemampuan untuk

pulih, namun sangat tergantung dari cakupan (scope) wilayah yang mengalami degradasi dan tingkat

keparahan (severity) dari kerusakan pada scope. Jika tingkat keparahan tinggi dan terjadi pada

wilayah yang sangat luas bisa saja dia tidak mampu untuk melakukan pemulihan (reversible). Bahkan

jika ya, kita harus menunggu dalam waktu yang sangat lama sampai dia bisa pulih, dibandingkan

dengan waktu yang kita butuhkan untuk merusaknya. Sebelum hal ini terjadi, atau sebelum

terlambat, harus ada usaha bersama untuk paling tidak mempertahakan beberapa habitat yang

penting bagi perikanan. Konservasi kawasan ialah alat yang tepat untuk mengatasi hal ini.

Page 5: Kawasan Konservasi Perairan (KKP). PERENCANAAN · PDF filelarva ialah dua mekanisme dasar yang sudah terbukti bisa mempertahankan dan ... melakukan moratorium penangkapan pada wilayah

345 Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan

10.1.3 Komitmen Kepada Ketentuan Global (Biodiversity)

Pada Bab IX sudah kita diskusikan bahwa pemerintah Indonesia mempunyai komitmen yang

mengikat kita secara hukum, untuk mengembangkan sistem kawasan konservasi termasuk

konservasi perairan. Komitmen ini berlaku sejak pemerintah meratifikasi UNCBD melalui UU No. 5

tahun 1994. UU No. 5 tahun 1990 (PP No. 68n tahun 1998) dan UU No. 31 tahun 2004 (PP No. 60

tahun 2007) secara nasional juga mengikat kita untuk mengembangkan Kawasan Konservasi Perairan

untuk perlindungan keanekaragaman hayati dan pemanfaatan berkelanjutan dari sumber daya

perikanan. Ketentuan nasional ini, sebagian merupakan ekspresi dari komitmen untuk memenuhi

ketentuan dan prinsip-prinsip global dalam implementasi konservasi keanekaragaman hayati.

10.1.4 Mempertahankan Habitat Asli yang Tersisa

Saat ini, mungkin kita tidak punya lagi habitat asli yang tersisa di Indonesia. Habitat tersebut

sangat diperlukan untuk mengetahui perbedaan respons perubahan yang terjadi pada habitat alami

dengan habitat yang sudah mengalami tekanan oleh manusia. Sebagai contoh, besarnya daya

dukung alami terumbu karang untuk menghasilkan biomass dalam satu ha hamparan, tidak akan kita

ketahui kalau tidak ada terumbu karang yang masih asli yang bisa dipertahankan. Herman Cesar,

dalam tulisannya tentang terumbu karang di Indonesia yang dibuat pada tahun 1996 menyatakan

bahwa terumbu karang yang sehat mampu mendukung produksi ikan setara 10 – 20 ton km-2

(tahun)-1

. Nilai ini tidak menunjukkan kondisi yang sebenarnya selama titik acuan pada habitat

terumbu karang yang asli tidak diketahui.

Kawasan konservasi mempunyai kategori yang berbeda sesuai dengan tujuan atau fungsi

utamanya. Beberapa kawasan konservasi bisa berfungsi untuk mempertahankan ekosistem atau

habitat asli bagi perikanan. Jenis lainnya berfungsi untuk mempertahankan pemanfaatan

berkelanjutan dari sumber daya perikanan. Kategori pertama lebih banyak berfungsi sebagai

penelitian dan pendidikan, sedangkan ketagori kedua lebih ditujukan pada manfaat ekonomi

langsung bagi pengguna.

10.1.5 Peninggalan Kepada Generasi Berikut

Pelibatan stakeholder ialah topik diskusi yang selalu hangat, bahkan cenderung panas

terutama dalam era reformasi seperti saat ini. Semakin tinggi intensitas untuk pelibatan stakeholder

atau para pihak, akan semakin banyak pula para pihak yang merasa belum terwakili. Setiap

kelompok, sekecil apapun, akan selalu meminta pendapatnya untuk diakomodasi. Dalam kaitannya

dengan pemanfaatan sumber daya di laut, kita tidak pernah melibatkan para pihak dari seseorang

yang akan lahir 20 tahun dari sekarang – suara dari para pihak yang diam. Diantara para pihak

tersebut, sebagian ialah cucu kita yang akan menuntut hak kepada kita secara komunal. Jika hal ini

ditanyakan dalam diskusi stakeholder, peserta diskusi sering tersenyum dan suara generasi

mendatang tidak pernah terwakili.

Hampir setiap dokumen politis, bahkan dokumen operasional pun memuat istilah

“Pemanfaatan Sumber daya Secara Berkelanjutan”. Namun anehnya, istilah tersebut tidak pernah

dibuat terukur atau tangible. Pada akhirnya setiap orang akan menyertakan kata “pemanfaatan

berkelanjutan” pada dokumen-dokumen penting dan setelah itu dokumen selesai. Pemanfaatan

berkelanjutan ialah ekspresi dari tuntutan para pihak yang yang akan lahir 20 tahun dari sekarang,

Page 6: Kawasan Konservasi Perairan (KKP). PERENCANAAN · PDF filelarva ialah dua mekanisme dasar yang sudah terbukti bisa mempertahankan dan ... melakukan moratorium penangkapan pada wilayah

346 Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan

seperti disebutkan di atas. Kita tidak bisa mengabaikan tuntutan tersebut dengan alasan mereka

belum terlibat dalam diskusi stakeholder. Masyarakat dan pemerintah Indonesia harus bisa merubah

pandangan ini. Generasi mendatang mempunyai hak yang sama untuk menikmati apa yang bisa kita

lihat dan nikmati sekarang. Kesempatan itu bisa kita lakukan melalui konservasi. Pada kondisi

sumber daya seperti saat ini, konservasi akan selalu bermanfaat bagi generasi sekarang maupun

generasi 20 tahun dari sekarang dan seterusnya. Jadi usaha konservasi ialah bentuk peninggalan

kepada generasi berikut.

10.1.6 Sumber daya Milik Bersama, Bukan Milik Umum

Masyarakat di negara kita, seperti juga kebanyakan masyarakat dunia, masih berpandangan

bahwa laut dengan segala isinya ialah milik umum. Setiap orang mempunyai kesempatan yang sama,

kalau mau, untuk melakukan apa saja pada laut. Pandangan lama ini harus segera kita tinggalkan,

paling tidak untuk masyarakat Indonesia. Laut Indonesia mempunyai terumbu karang yang terluas di

dunia (sekitar 48.000 km2). Terumbu karang menjadi sumber penghidupan dan mata pencaharian

nelayan. Kalkulasi yang dilakukan Y.J. Sadovy mendapatkan bahwa total nilai impor ikan karang

hidup ke Hongkong mencapai 486 juta USD pada tahun 2002 (dari total impor dunia yang mencapai

810 juta USD). Sebagian besar dari ikan tersebut berasal atau diambil dari wilayah terumbu karang di

Indonesia. Terumbu karang ialah lingkungan yang sangat sensitif. Kerusakan pada terumbu karang

akan menurunkan kemampuannya menyediakan sumber daya (ikan) secara berkelanjutan. Jika kita

tetap berpandangan bahwa laut atau terumbu karang ialah milik umum, setiap orang akan

menggunakan kesempatan untuk mengambil ikan karang, melupakan dampak yang akan terjadi

setelah ikan karang berkurang dan terkuras.

Sumber daya milik kita bersama, bukan milik umum – perlindungan atau konservasi

terhadap habitat di laut ialah terutama untuk mempertahankan agar kita bisa memanfaatan sumber

daya tersebut secara berkelanjutan. Pemerintah yang bertindak sebagai wali dari sumber daya harus

mempunyai kekuatan untuk mengatur pemanfaatan tersebut, dan setiap orang harus memiliki

tanggung jawab yang sama untuk mematuhi aturan yang ditetapkan. Setiap orang yang merusak

terumbu karang atau mengambil ikan karang secara berlebihan, atau mengambil ikan karang pada

wilayah larang-ambil, sebagian atau sepenuhnya bisa dikatakan sebagai mengambil milik orang lain.

Ketika mengambil ikan karang, dia tidak pernah berbagi hak kepada orang lain untuk juga bisa

mengambil ikan tersebut. Sebaliknya, sebagai milik bersama, nelayan akan merasa mempunyai

keharusan untuk menyisakan sumber daya bagi orang lain. Dengan cara yang sama, pemerintah juga

mempunyai kewajiban besar menjadi wali dan mengatur pemanfaatan dari milik kita bersama.

Hanya dengan Revolusi Kultural seperti inilah kita bisa mempertahankan kekayaan sumber daya

hayati kita bersama secara berkelanjutan.

10.1.7 Peraturan dan Kelembagaan yang Mendukung

Saat ini, paling tidak ada tiga kerangka hukum yang bisa digunakan sebagai dasar

pengembangan Kawasan Konservasi Perairan. Kerangka peraturan yang pertama ialah UU No. 5

tahun 1990 tentang konservasi keanekaragaman sumber daya hayati dan ekosistemnya, yang

didukung oleh PP No. 68 tahun 1998. Peraturan kedua ialah UU No. 31 tahun 2004 tentang

Perikanan diikuti dengan PP No. 60 tahun 2007. Peraturan ketiga ialah UU No. 27 tahun 2007

tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya diperjelas melalui

Page 7: Kawasan Konservasi Perairan (KKP). PERENCANAAN · PDF filelarva ialah dua mekanisme dasar yang sudah terbukti bisa mempertahankan dan ... melakukan moratorium penangkapan pada wilayah

347 Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan

PerMen Kelautan dan Perikanan No. 17 tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir

dan Pulau-Pulau Kecil. Dari ketiga peraturan ini, seharusnya Indonesia sudah bisa menunjukkan

contoh pengelolaan kawasan konservasi yang efektif.

Gambar 10.1. Jenis ikan hasil tangkap yang dulu termasuk kategori hasil samping, sekarang

mempunyai nilai ekonomis untuk dijual di Tempat Pelelangan Ikan, karena

tidak ada lagi yang tersisa (Foto oleh Setyohadi – diambil dari Desa Gelondong

Gede, Tuban – Jawa Timur).

Pengelola Kawasan Konservasi Perairan bisa dilakukan oleh kombinasi dua Kementerian dan

Pemerintah Daerah. Sampai saat ini, beberapa Kawasan Konservasi Perairan sudah dikelola oleh

Kementerian Kehutanan (DitJen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam). Kementerian Kelautan

dan Perikanan mengelola kawasan konservasi terutama dengan tujuan perikanan berkelanjutan

(walaupun belum ada contoh yang sudah efektif). Melalui UU No. 32 tahun 2004, Pemerintah

Daerah juga bisa mengelola Kawasan Konservasi Perairan yang berada didalam wilayah

kewenangannya (4 mil untuk Pemerintah Kabupaten / Kota Madya dan 12 mil untuk Pemerintah

Propinsi).

10.1.8 Bonus dari Eko-wisata

Bagi kepentingan perikanan, Kawasan Konservasi Perairan ialah strategi untuk

mempertahakan perikanan tangkap secara berkelanjutan dan menghindari kemungkinan

terkurasnya sumber daya ikan. Jika hal ini bisa dilakukan dengan efektif, kawasan konservasi sangat

Page 8: Kawasan Konservasi Perairan (KKP). PERENCANAAN · PDF filelarva ialah dua mekanisme dasar yang sudah terbukti bisa mempertahankan dan ... melakukan moratorium penangkapan pada wilayah

348 Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan

berpeluang untuk mendapat bonus dari eko-wisata bahari. Eko-wisata bahari bisa didefinisikan

sebagai suatu perjalanan bertanggung jawab ke kawasan konservasi untuk mendapat pembelajaran

yang unik dan pengalaman yang berkualitas tinggi (high-end experience). Untuk mendapat

kesempatan ini, wisatawan mau membayar harga yang lebih tinggi karena mendapatkan

pengalaman yang belum tentu bisa didapat oleh orang kebanyakan (melakukan kunjungan ke

tempat yang tidak istimewa).

Pengunjung Taman Nasional Galapagos di Equador harus membayar karcis masuk (entrance

fee) senilai 100 USD (setara sekitar Rp. 860.000). Survei “willingness to pay” yang pernah dilakukan

di Taman Nasional Komodo menunjukkan bahwa wisatawan mau membayar karcis masuk sampai 50

USD per kunjungan. Taman Nasional Bunaken sudah lama menerapkan tiket masuk setara Rp.

75.000 atau melalui pin yang berharga Rp. 150.000. Keberhasilan pengelolaan Kawasan Konservasi

Perairan akan memberikan dampak dalam dua bentuk, ialah: pertama, tumbuhnya peluang ekonomi

baru sebagai bonus dari keberhasilan konservasi; kedua, manfaat ekonomi akan lebih banyak

diterima oleh masyarakat lokal sesuai dengan prinsip pengembangan eko-wisata.

10.2 Seleksi Kawasan Konservasi

Seleksi calon kawasan ialah satu dari sekian banyak elemen dalam proses pengelolaan

Kawasan Konservasi Perairan secara keseluruhan. Kawasan konservasi ditujukan untuk mencapai

satu atau beberapa tujuan utama dari pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Oleh karena itu, sistem

Kawasan Konservasi Perairan seharusnya menjadi bagian integral dari rencana pengelolaan wilayah

pesisir dan laut secara terpadu. Rencana pengelolaan kawasan konservasi tidak bisa dibuat secara

terpisah dari tujuan yang lebih besar. Oleh karena itu, seleksi calan Kawasan Konservasi Perairan

harus memperhatikan rencana pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu.

Jika memungkinkan, seleksi calon kawasan konservasi lebih baik dilakukan secara nasional

dibandingkan dengan sistem yang terpisah secara individu. Paling tidak, dia dilakukan pada wilayah

regional tertentu atau satuan bentang laut yang lebih kecil. Dengan sistem ini, lebih memungkinkan

untuk menyusun kawasan konservasi melalui jejaring yang akan berdampak lebih baik dibandingkan

kawasan yang terpisah secara individu.

Seleksi calon kawasan juga menghargai inisiatif lokal. Dalam implementasi, kawasan yang

berasal dari inisiatif lokal umumnya akan mendapat dukungan yang lebih kuat. Oleh karena itu,

sistem nasional juga memperhatikan inisiatif yang berkembang dari pemerintah atau masyarakat

lokal. Kategori kawasan bisa dibedakan berdasarkan fungsi dan tujuan utama pengelolaan. Inisiatif

lokal ini kemungkinan termasuk dalam salah satu kategori yang dibutuhkan dalam sistem nasional.

Ringkasnya, seleksi calon kawasan harus mempertimbangkan tiga hal pokok, ialah: keberadaan

sistem pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terintegrasi dalam suatu wilayah; seleksi calon

kawasan sebaiknya menggunakan sistem nasional atau unit regional maupun kesatuan unit bentang

alam tertentu; dan mempertimbangkan atau menghargai insiatif lokal.

10.2.1 Mulai dari yang Sudah Ada

Seleksi calon kawasan tidak mulai dari kertas kosong, harus mulai dari kawasan konservasi

yang sudah ada dan dikelola dengan baik. Seleksi calon kawasan baru diambil dari lokasi dengan

jarak tertentu dari kawasan yang sudah dibangun. Kawasan yang sudah ada memiliki karakteristik,

Page 9: Kawasan Konservasi Perairan (KKP). PERENCANAAN · PDF filelarva ialah dua mekanisme dasar yang sudah terbukti bisa mempertahankan dan ... melakukan moratorium penangkapan pada wilayah

349 Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan

tipe habitat, spesies maupun jenis pemanfaatan tertentu. Seleksi calon selanjutnya

mempertimbangkan karakteristik kawasan yang sudah ada tersebut.

Kawasan konservasi sebaiknya dibuat tersebar, namun masing-masing harus bisa

dihubungkan satu sama lainnya dalam sistem jejaring (MPA network). Kawasan konservasi yang

mengumpul atau terkonsentrasi pada suatu wilayah akan menurunkan wilayah perairan untuk

penangkapan sehingga berdampak negatif bagi usaha perikanan tangkap. Kawasan konservasi yang

memusat juga kurang baik dalam menyebar faktor resiko. Jika terjadi kerusakan karena faktor alami

atau faktor yang tidak bisa dikendalikan oleh pengelola, kita bisa kehilangan sebagian besar Kawasan

Konservasi Perairan. Sebaliknya, sistem tata letak yang tersebar akan menurunkan resiko tersebut.

10.2.2 Gunakan Informasi yang Sudah Tersedia

Seleksi calon Kawasan Konservasi Perairan di wilayah Indonesia bukan pekerjaan yang rumit

dan memerlukan bantuan ilmiah yang terlalu tinggi. Sebagai wilayah yang terletak pada pusat

keanekaragaman hayati laut, “Coral Triangle”, hampir semua wilayah perairan laut Indonesia bisa

dikatakan sebagai calon kawasan yang istimewa. Tidak ada alasan untuk tidak mengembangkan

kawasan konservasi karena kurangnya informasi ilmiah yang tersedia. Sementara itu, sumber daya

hayati laut terus mendapat ancaman dan mengalami degradasi sesuai dengan perkembangan waktu.

Sering tidak kita sadari bahwa informasi ilmiah yang ada sudah cukup dan bisa digunakan

sebagai informasi awal untuk melakukan seleksi calon kawasan. Marine Data Atlas dan rekomendasi

yang dibuat oleh R. Salm dan M. Halim pada tahun 1984 mungkin lebih dari cukup untuk bahkan

melakukan seleksi calon kawasan konservasi berdasarkan skala prioritas (lihat kembali Tabel 7.3

pada bab terdahulu). Belum lagi beberapa hasil penelitian lain yang dilakukan kemudian pada

hampir seluruh wilayah Indonesia, walaupun secara terpisah dan terpusat pada area yang lebih

sempit. Hampir semua informasi tersebut sudah dibuat tersedia melalui situs-situs yang terkait

dengan konservasi.

10.2.3 Prinsip Dasar Dalam Seleksi

Dalam proses seleksi calon kawasan, Rodney Salm, peneliti yang sering berkunjung ke

Indonesia, menyarankan 3 (tiga) prinsip dasar yang perlu diperhatikan, ialah:

• Prinsip pertama, kebutuhan, prioritas dan kemampuan mengelola kawasan akan menuntun

tujuan dan cakupan (jumlah) Kawasan Konservasi Perairan – suatu wilayah Kabupaten

merencanakan untuk menetapkan 10 Kawasan Konservasi Perairan dalam waktu relatif

singkat. Pada saat ini, kabupaten tersebut tidak mempunyai cukup staf dan sumber daya

yang trampil untuk mengelola kawasan. Akibatnya, 10 Kawasan Konservasi Perairan yang

baru ditetapkan menjadi tidak efektif dan hanya berfungsi sebagai “paper park”. Pada

kondisi seperti ini, pemerintah harusnya bisa membuat prioritas agar pengelolaan kawasan

bisa efektif;

• Perinsip kedua, tujuan penetapan Kawasan Konservasi Perairan menjadi dasar dalam proses

seleksi. Sistem Kawasan Konservasi Perairan memerlukan pernyataan tujuan yang jelas dan

terfokus. Sebagai contoh, suatu kawasan konservasi dikembangkan dengan tujuan untuk

melindungi ikan tertentu yang menjadi target penangkapan. Pada kasus ini, kita harus

memilih jenis habitat yang menjadi tempat pemijahan ikan tersebut, tempat membesarkan

Page 10: Kawasan Konservasi Perairan (KKP). PERENCANAAN · PDF filelarva ialah dua mekanisme dasar yang sudah terbukti bisa mempertahankan dan ... melakukan moratorium penangkapan pada wilayah

350 Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan

larva dan habitat lain yang tersedia untuk memenuhi seluruh siklus hidup ikan target,

sebelum akhirnya bisa ditangkap (sebagian) oleh nelayan;

• Prinsip ketiga, cakupan program Kawasan Konservasi Perairan (nasional, propinsi,

kabupaten, jumlah dan ukuran) menjadi pembatas dalam proses seleksi. Perencana harus

membuat batasan dari program kawasan yang mampu dicakup dalam program. Umumnya,

batas wilayah cakupan berada dalam satuan ekologi dibandingkan satuan administrasi,

seperti propinsi atau kabupaten;

Setiap wilayah mempunyai karakteristik parameter sosial, ekonomi, politik dan lingkungan

tersendiri – tidak ada satu sistem yang bisa berlaku untuk semua daerah di Indonesia. Oleh karena

itu kriteria seleksi tidak harus bersifat baku dan dipaksakan pada semua wilayah. Namun panduan

kriteria selalu diperlukan sebagai langkah awal untuk selanjutnya dilakukan modifikasi berdasarkan

situasi lokal.

10.2.4 Kriteria Seleksi

Adanya peluang, tekanan politis maupun tekanan masyarakat umumnya menjadi faktor

utama dalam menentukan suatu kawasan. Pada kondisi seperti ini, kriteria seleksi menjadi menjadi

tidak penting lagi. Penerapan kriteria lebih banyak ditujukan dalam pemilihan kategori kawasan dan

kriteria dalam zonasi. Beberapa Kawasan Konservasi Perairan yang ditetapkan belakangan di

Indonesia mungkin lebih banyak terjadi karena faktor peluang dibandingkan dengan perencanaan

secara matang pada tingkat nasional. Berikut adalah beberapa kriteria yang bisa dipertimbangkan

dalam seleksi calon Kawasan Konservasi Perairan.

(1) Kriteria Sosial

Manfaat sosial bisa dikaji dalam beberapa bentuk sebagai berikut:

1) Penerimaan secara sosial (social acceptance): menunjukkan tingkat jaminan dukungan dari

masyarakat lokal. Setiap usaha harus dibuat untuk mendapat dukungan masyarakat lokal.

Wilayah yang sudah dilindungi melalui aturan tradisi setempat harus ditegakkan kembali,

dan wilayah tersebut mendapat prioritas yang lebih tinggi. Penunjukkan kawasan

konservasi secara resmi mungkin masih dibutuhkan, bahkan pada kondisi dukungan

masyarakat yang cukup tinggi, untuk menjamin pengakuan pemerintah terhadap wilayah

tersebut. Sebagai contoh, Daerah Perlindungan Laut Blongko dikuatkan oleh Wakil Bupati

dan Ketua BAPPEDA Kabupaten Minahasa;

2) Kesehatan masyarakat: Pembentukan kawasan perlindungan laut bisa ditujukan untuk

mengurangi polusi dan berkembangnya agen-agen penyakit yang mempengaruhi

kesehatan masyarakat. Pemberian status kawasan konservasi pada wilayah yang

terkontaminasi, seperti daerah yang didominasi oleh kerang-kerangan atau wilayah pantai

untuk mandi, bisa menjadi faktor pendorong menurunnya polusi karena sumber pencemar

bisa teridentifikasi dan usaha pengendalian terhadap pencemar bisa menjadi bagian dari

rencana pengelolaan di lokasi

3) Rekreasi: tingkatan dimana suatu wilayah digunakan, atau sebaiknya digunakan untuk

rekreasi oleh penduduk sekitarnya. Tempat-tempat dimana masyarakat lokal bisa

memanfaatkan, untuk kesenangan, dan belajar tentang lingkungan alami mereka,

sebaiknya mendapat prioritas lebih tinggi dalam kriteria ini.

Page 11: Kawasan Konservasi Perairan (KKP). PERENCANAAN · PDF filelarva ialah dua mekanisme dasar yang sudah terbukti bisa mempertahankan dan ... melakukan moratorium penangkapan pada wilayah

351 Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan

4) Budaya: lokasi yang mempunyai nilai religius, sejarah, seni, atau nilai budaya lainnya.

Lingkungan alami yang mengandung ciri khas atau keunikan budaya yang penting harus

mendapat nilai yang lebih tinggi, karena manfaat dukungan dari masyarakat setempat, dan

perlindungan mereka akan membantu mempertahankan integritas dari ekosistem di

sekitarnya.

5) Keindahan: suatu bentang laut yang mempunyai pemandangan alam sangat indah.

Lingkungan alam yang juga mengandung ciri khas pemandangan alam mendapat nilai yang

lebih tinggi, karena penjagaan terhadap pemandangan alam seperti itu sering kali

memerlukan pemeliharaan secara integral dari wilayah ekosistem pantai atau laut di

sekitarnya. Namun, jika keragaman spesies dan nilai konservasi biologis dari wilayah

tersebut rendah, area tersebut hanya mendapat nilai tinggi untuk rekreasi dan pariwisata.

6) Konflik kepentingan: batas dimana kawasan konservasi akan mempengaruhi aktifitas

masyarakat setempat. Jika suatu wilayah digunakan untuk tujuan rekreasi misalnya, lokasi

yang dipilih sebaiknya bukan daerah penangkapan ikan yang utama dan hanya beberapa

nelayan saja yang tergantung pada wilayah tersebut. Dalam beberapa kasus, minimalisasi

konflik bisa dilakukan melalui penerapan zonasi secara hati-hati.

7) Keselamatan: tingkat keselamatan bagi masyarakat dari arus yang kuat, ombak, rintangan

bawah air, gelombang, dan hal-hal berbahaya lainnya. Karakteristik wilayah seperti itu

sebaiknya dihindari untuk ditetapkan sebagai wilayah pariwisata atau lokasi yang akan

mendapat kunjungan masyarakat. Perencana harus mengutamakan keselamatan dalam

aktifitas yang dilakukan.

8) Pencapaian lokasi/Aksesibilitas: kemudahan untuk mencapai lokasi melalui dukungan

sarana transportasi. Kawasan yang digunakan oleh pengunjung seperti, siswa sekolah,

peneliti, dan nelayan harus bisa dicapai dengan mudah. Semakin mudah mencapai lokasi,

semakin tinggi nilainya, namun tingkat pemanfaatan akan semakin tinggi. Hal ini membuka

peluang kemungkinan munculnya konflik kepentingan, serta semakin tingginya dampak

dari pengguna. Kemudahan mencapai lokasi mendapat nilai yang tinggi pada kawasan

konservasi dengan tujuan utama pertimbangan sosial, tidak begitu tinggi kalau untuk

kepentingan ekonomi, dan nilainya rendah untuk pertimbangan ekologi (lihat di bawah)

9) Penelitian dan pendidikan: kondisi dimana suatu wilayah mewakili berbagai karakteristik

ekologi dan berfungsi untuk penelitian serta penerapan metodologi ilmiah. Wilayah yang

dengan jelas menunjukkan perbedaan tipe habitat dan hubungan ekologis serta

mempunyai ukuran yang cukup besar, akan sangat bermanfaat untuk konservasi dan

pembelajaran (seperti praktek lapang atau tempat-tempat pusat studi), dan mendapat nilai

yang lebih tinggi untuk dipilih.

10) Penyadaran masyarakat: tingkatan dimana monitoring, penelitian, pendidikan, atau

pelatihan di dalam suatu kawasan memberi sumbangan yang nyata terhadap pengetahuan

dan penghargaan terhadap nilai lingkungan serta tujuan konservasi. Wilayah-wilayah yang

bisa menjadi kombinasi antara kegiatan untuk memonitor pencemaran dengan pendidikan

sebaiknya mendapat nilai yang lebih tinggi.

11) Konflik dan keharmonisan: tingkatan dimana suatu kawasan bisa membantu memecahkan

konflik/pertikaian antara nilai sumber daya alam dengan kegiatan manusia, atau tingkatan

dimana kecocokan atau keharmonisan diantara keduanya bisa ditingkatkan. Jika suatu

wilayah bisa digunakan sebagai contoh dalam penyelesaian konflik di lingkungan tersebut,

Page 12: Kawasan Konservasi Perairan (KKP). PERENCANAAN · PDF filelarva ialah dua mekanisme dasar yang sudah terbukti bisa mempertahankan dan ... melakukan moratorium penangkapan pada wilayah

352 Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan

dia harus dipertimbangkan untuk mendapat nilai yang lebih tinggi. Kawasan konservasi

yang telah membuktikan manfaat, nilai, atau metode perlindungan atau pengawetan

sumber daya alam seharusnya mendapat nilai yang lebih tinggi.

12) Batu mulai (benchmark): kondisi dimana suatu wilayah berfungsi sebagai ‘lokasi kontrol’

untuk penelitian ilmiah, ialah suatu lokasi (cukup besar) yang tidak terganggu, proses-

proses alami bisa berlangsung tanpa manipulasi dan bisa digunakan untuk mengukur

adanya perubahan di tempat lain. Wilayah batu mulai merupakan komponen yang esensial

bagi program monitoring ekologi, dan seharusnya mendapat nilai yang lebih tinggi.

Contoh penerapan: suatu wilayah akan dibuat menjadi tempat rekreasi memerlukan kriteria

1-3 dan 6-8, dan masing-masing point tersebut harus mempunyai skor yang tinggi. Dalam proses

analisis atau seleksi, mungkin tidak perlu untuk mempertimbangkan kriteria 4 dan 9-12. Sebaliknya,

wilayah yang difokuskan untuk konservasi cagar budaya, harus memasukkan kriteria 1 dan 4, dengan

3, 7 dan 8 juga perlu jika kemudahan mencapai lokasi serta pemanfaatan sebagai tempat rekreasi

juga manjadi salah satu tujuan.

(2) Kriteria Ekonomi

Manfaat ekonomi bisa dikaji dari hal-hal sebagai berikut:

1) Nilai penting suatu spesies: kondisi dimana spesies tertentu yang bernilai ekonomis penting

sangat tergantung dari daerah tersebut untuk kelengkapan siklus hidupnya. Terumbu

Karang, estuaria, bakau, dasar berpasir dan padang lamun misalnya, mungkin menjadi

habitat kritis untuk memijah, istirahat, bernaung, atau mencari makan bagi spesies

tertentu dan hal ini menjadi modal bagi perikanan setempat dan wilayah di sekitarnya.

Habitat-habitat tersebut memerlukan bentuk pengelolaan untuk mendukung keberlanjutan

stok yang tereksploitasi;

2) Nilai penting bagi perikanan tangkap: jumlah nelayan yang tergantung pada sumber daya

tersebut dan besarnya hasil perikanan tangkap. Semakin tinggi ketergantungan nelayan

kepada wilayah tersebut, dan semakin tinggi hasil tangkapan ikan, semakin penting artinya

untuk mengelola wilayah tersebut dengan benar dan menjamin hasil yang berkelanjutan.

3) Karakteristik ancaman: kondisi dimana perubahan pola pemanfaatan akan mengancam

kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Habitat bisa terancam secara langsung oleh

kegiatan yang merusak, seperti penangkapan ikan dengan peledak dan/atau pukat harimau

dasar, atau pengambilan sumber daya secara berlebihan. Wilayah-wilayah yang diambil

oleh masyarakat setempat secara tradisional sangat penting untuk dikelola. Jumlah nelayan

pada daerah penangkapan ini kemungkinan akan meningkat, membuat tekanan berlebih

pada stok ikan dan habitat. Bahkan jika jumlah nelayan tidak berubah, metode

penangkapan tradisional kemungkinan akan diganti dengan alat lain yang menghasilkan

lebih banyak ikan per satuan usaha (contoh yang ekstrem ialah penggunaan alat peledak).

Stok beberapa jenis ikan mungkin tidak mampu bertahan karena berkurangnya populasi

induk. Dengan cara ini spesies secara keseluruhan menghilang dari daerah penangkapan

atau menjadi sangat jarang.

4) Manfaat ekonomi: kondisi dimana perlindungan akan mempengaruhi ekonomi setempat

dalam jangka panjang. Pada awalnya, beberapa kawasan konservasi akan menyebabkan

pengaruh kerugian akonomi jangka pendek. Wilayah-wilayah yang sudah memberikan

Page 13: Kawasan Konservasi Perairan (KKP). PERENCANAAN · PDF filelarva ialah dua mekanisme dasar yang sudah terbukti bisa mempertahankan dan ... melakukan moratorium penangkapan pada wilayah

353 Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan

pengaruh positif mendapat nilai yang lebih tinggi (sebagai contoh, untuk melindungi

tempat mencari makan ikan-ikan yang bernilai komersial tinggi atau wilayah-wilayah yang

mempunyai nilai rekreasional)

5) Pariwisata: nilai pariwisata dari suatu wilayah, baik yang masih potensial maupun yang

sudah berkembang. Wilayah-wilayah yang dipinjamkan untuk membentuk pariwisata yang

sejalan dengan tujuan konservasi mendapat nilai yang lebih tinggi.

Contoh penerapan: suatu wilayah yang ditunjuk untuk mendukung perikanan tangkap perlu

memasukkan kriteria 1-4, sementara untuk tujuan pariwisata harus memasukkan kriteria 2-5.

(3) Kriteria Ekologi

Nilai ekosistem dan spesies yang terdapat di dalamnya bisa dikaji dari hal-hal sebagai

berikut:

1) Keanekaragaman hayati: variasi atau kekayaan ekosistem, habitat, komunitas, dan spesies.

Wilayah dengan keragaman tertinggi mendapat nilai lebih tinggi. Namun, kriteria ini kurang

tepat untuk ekosistem yang sederhana, seperti misalnya komunitas pionir atau komunitas

yang sudah klimaks, atau wilayah yang mendapat tekanan dari kekuatan yang merugikan,

seperti misalnya pantai yang terbuka terhadap energi gelombang tinggi;

2) Kealamian (naturalness): kurangnya gangguan atau degradasi. Sistem yang rusak akan

mempunyai manfaat yang rendah bagi perikanan atau pariwisata, dan hanya akan

memberikan kontribusi biologis yang relatif rendah. Semakin tinggi nilai kealamian-nya

harus mendapat nilai yang lebih tinggi. Jika tujuan kita untuk menyimpan habitat yang

sudah rusak, tingkat kerusakan yang lebih tinggi tentu saja akan mendapat nilai yang tinggi.

3) Ketergantungan (dependency): kondisi dimana suatu spesies tergantung pada wilayah,

atau tingkat dimana ekosistem tergantung pada proses ekologi yang terjadi di dalam

wilayah tersebut. Jika suatu wilayah merupakan tempat yang sangat kritis bagi lebih dari

satu spesies atau proses, atau terhadap spesies atau ekosistem yang bernilai tinggi, dia

mendapat nilai yang lebih tinggi.

4) Keterwakilan (representativeness): tingkat dimana suatu wilayah mewakili tipe habitat,

proses ekologi, komunitas biologis, penampakan geologi atau karakteristik alami. Jika suatu

habitat tertentu yang khas belum dilindungi, dia mendapat nilai yang lebih tinggi. Sebuah

skema klasifikasi biogeografi ekosistem pantai dan laut sangat baik untuk menerapkan

kriteria ini.

5) Keunikan: apakah wilayah tersebut merupakan tempat ‘satu-satunya’. Habitat dari spesies

endemik atau spesies yang hampir punah hanya terdapat pada wilayah tertentu.

Kepentingan keunikan bisa melewati batas negara, dengan pertimbangan kondisi regional

dan internasional. Untuk menjaga agar pengaruh pengunjung tetap rendah, aktifitas

pariwisata bisa dilarang, namun penelitian dan pendidikan terbatas bisa diijinkan. Lokasi

yang unik harus mendapat nilai yang tinggi.

6) Integritas: kondisi dimana wilayah tersebut merupakan sebuah unit fungsional – secara

keseluruhan merupakan ekologi yang bertahan secara mandiri dan efektif. Semakin suatu

wilayah mengandung proses-proses ekologi yang mandiri, semakin tinggi kemungkinan

Page 14: Kawasan Konservasi Perairan (KKP). PERENCANAAN · PDF filelarva ialah dua mekanisme dasar yang sudah terbukti bisa mempertahankan dan ... melakukan moratorium penangkapan pada wilayah

354 Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan

nilai tersebut bisa dilindungi secara efektif, dan dengan demikian area seperti ini mendapat

nilai yang semakin tinggi.

7) Produktifitas: kondisi dimana proses produktif di dalam wilayah tersebut memberikan

manfaat kepada spesies atau manusia.Wilayah produktif yang memberikan kontribusi

terhadap keberlanjutan ekosistem mendapat nilai yang lebih tinggi. Pengecualian adalah

eutrofikasi yang menyebabkan dampak negatif.

8) Sifat mudah terancam (vulnerable): Wilayah yang mudah terdegradasi karena pengaruh

kejadian alami atau aktifitas manusia. Komunitas biotik yang terkait erat dengan habitat

pesisir mungkin mempunyai toleransi perubahan kondisi lingkungan yang sempit

(ditentukan oleh suhu air, kadar garam, kekeruhan, atau kedalaman). Komunitas tersebut

bisa rusak dari tekanan secara alami seperti badai atau lainnya yang menentukan tingkat

perkembangan komunitas tersebut. Tekanan lainnya (seperti pencemaran limbah rumah

tangga atau industri, kadar garam, kekeruhan karena kesalahan pengelolaan badan air)

bisa menentukan apakah wilayah tersebut rusak total atau sebagian, atau tidak bisa pulih

dari tekanan alami atau bahkan mengalami rusak total

Contoh penerapan: jika tujuan kita adalah untuk melakukan konservasi terhadap

keanekaragaman hayati, kriteria 1-5 menjadi sangat penting, sementara faktor-faktor pada kriteria 6

dan 8 akan mentukan aktifitas pengelolaan.

(4) Kriteria Regional

Kontribusi suatu area terhadap konservasi sumber daya yang dimanfaatkan secara bersama

dan terhadap jejaring Kawasan Konservasi Perairan yang terkait secara regional, tergantung dari

beberapa hal sebagai berikut:

1) Arti penting secara regional: tingkat dimana wilayah mewakili karakteristik regional, baik

dalam bentuk karakteristik alami, proses ekologi, atau sebagai tempat dengan tampilan

budaya. Peran wilayah dalam memberikan nutrient atau penyubur, material, atau

mendukung spesies (terutama spesies bermigrasi) didalam wilayah regional, secara

keseluruhan harus dievaluasi. Baik proses ekologi maupun sumber daya alam sering kali

terbagi berdasarkan negara, sehingga wilayah yang memberikan kontribusi terhadap

pemeliharaan ekosistem spesies yang ada di luar wilayah negaranya mendapat nilai yang

lebih tinggi.

2) Arti penting secara subregional: tingkat dimana wilayah bisa mengisi kekosongan jarak

jejaring Kawasan Konservasi Perairan dari sisi perspektif subregional. Kontribusi ini bisa

dikaji dengan membandingkan distribusi Kawasan Konservasi Perairan dengan karakteristik

subregional. Jika suatu wilayah dengan karakteristik tertentu dilindungi pada suatu

subregional tertentu, tipe tersebut harus juga dilindungi pada subregional yang lain.

Contoh penerapan: kriteria 1 sangat penting dalam pengembangan kolaborasi regional

untuk konservasi terhadap sumber daya yang dimanfaatkan secara bersama, dan menjadi faktor

penentu dalam seleksi lokasi komponen Kawasan Konservasi Perairan.

Page 15: Kawasan Konservasi Perairan (KKP). PERENCANAAN · PDF filelarva ialah dua mekanisme dasar yang sudah terbukti bisa mempertahankan dan ... melakukan moratorium penangkapan pada wilayah

355 Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan

(5) Kriteria Pragmatis

Kelayakan dan penentuan waktu yang tepat untuk penetapan Kawasan Konservasi Perairan

bisa dikaji dari hal-hal sebagai berikut:

1) Kemendesakan/keadaan mendesak (urgency): tingkat dimana kita harus mengambil

langkah yang segera, kalau tidak nilai yang ada di dalam wilayah tersebut akan berubah

atau hilang. Rendahnya nilai kemendesakan tidak harus mendapat nilai lebih rendah,

karena sering kali penetapan kawasan lebih strategis dilakukan ketika belum terjadi

ancaman, sehingga membutuhkan biaya (pengorbanan) yang relatif kecil;

2) Ukuran: habitat mana dan seberapa besar (ukuran) suatu habitat dibutuhkan untuk

dimasukkan dalam kawasan konservasi. Ukuran merupakan faktor yang sangat penting

dalam merancang kawasan konservasi. Hal ini sering dilupakan yang mengakibatkan

degradasi cukup parah, bahkan kerusakan total dari kawasan konservasi. Kawasan

konservasi harus cukup besar untuk berfungsi sebagai unit ekologi agar mendapat nilai

yang tinggi.

3) Besarnya ancaman: ancaman yang sudah terjadi maupun yang masih potensial dari

kegiatan pemanfaatan secara langsung maupun yang sedang berkembang. Semakin jauh

kawasan dari sumber potensi pencemar (seperti pelabuhan besar, deposit minyak, atau

mulut sungai), maka semakin tinggi prospek spesies atau komunitas akan bertahan.

Namun, jika suatu habitat penting mendapat ancaman yang serius, mungkin penting juga

untuk menerapkan rencana pengelolaan, untuk menurunkan ancaman pada tingkat yang

bisa diterima atau ditoleransi.

4) Efektifitas: kelayakan untuk melaksanakan program pengelolaan. Lokasi yang memenuhi

banyak kriteria, namun tidak bisa dikelola dengan tepat (misalkan dimonitor, didiawasi dan

dipertahankan) tidak akan bermanfaat banyak. Nilai yang lebih tinggi bisa diberikan kepada

lokasi yang bisa/memungkinkan untuk dikelola.

5) Peluang/kesempatan: tingkat dimana kondisi yang ada atau aksi tindak sudah akan

dijalankan atau sudah mendapat dukungan di tingkat lapang sehingga memerlukan aksi

lebih lanjut. Perluasan terhadap kawasan konservasi yang sudah ditetapkan mendapat nilai

yang lebih tinggi.

6) Ketersediaan: kondisi dimana wilayah yang ada bisa diambil alih atau bisa dikelola dengan

baik berdasarkan persetujuan dengan pihak pemilik. Masalah kepemilikan lahan jarang

terjadi pada wilayah laut. Pantai juga sering kali merupakan milik (kewenangan) dari

pemerintah pusat atau propinsi. Dengan demikian mengambil alih kepemilikan perairan,

lahan basah, dan sempadan pantai mungkin tidak perlu dilakukan. Namun, lahan atau

pulau di sekitarnya mungkin dimiliki oleh perseorangan atau disewakan. Umumnya, untuk

menjamin kontrol secara berkelanjutan dari wilayah seperti ini, kepemilikan atau hak sewa

perlu dibeli dari pemilik perseorangan saat itu. Wilayah yang menjadi milik (kewenangan)

negara atau pemerintah mendapat nilai yang lebih tinggi.

7) Kemampuan pemulihan/restorasi: kondisi dimana suatu wilayah bisa kembali ke dalam

bentuk alami seperti kondisi sebelumnya. Wilayah yang bisa meningkatkan produktifitas

atau nilai dari proses atau spesies yang penting mendapat nilai lebih tinggi.

Page 16: Kawasan Konservasi Perairan (KKP). PERENCANAAN · PDF filelarva ialah dua mekanisme dasar yang sudah terbukti bisa mempertahankan dan ... melakukan moratorium penangkapan pada wilayah

356 Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan

Contoh penerapan: pada tingkat lapang, kriteria nomor 1, 3, 5 dan 6 sering merupakan

faktor penentu dalam seleksi dan penentuan lokasi. Kriteria 2-4, 6, dan 7 sering menjadi parameter

dalam menurunkan nilai dari suatu lokasi tertentu.

Walaupun bermanfaat, berbagai kriteria tersebut di atas lebih banyak bersifat intuitif,

menggunakan perasaan. Manfaat yang paling tinggi adalah kriteria ini memberikan peluang bagi kita

untuk menetapkan apa yang sudah kita ketahui dan untuk membangun sebuah kasus dalam

pengusulan seleksi lokasi atau rencana zonasi. Aplikasi dan kuantifikasi kriteria secara tegas biasanya

tidak berlaku pada wilayah dengan penduduk yang masih jarang. Dia penting pada wilayah dekat

dengan pusat penduduk dan masyarakat nelayan dimana pemanfaatan yang ada saat ini diganti atau

dimodifikasi menjadi tujuan baru yang lebih sesuai.

10.2.5 Contoh dari PHKA

Pemerintah Indonesia (PHKA) menggunakan beberapa kriteria yang mempunyai kemiripan

dengan ketentuan tersebut di atas dalam proses seleksi calon kawasan konservasi, sebagai berikut:

• Diversity – keanekaragaman hayati, dalam bentuk variasi kekayaan ekosistem, habitat dan

spesies;

• Naturalness – keaslian, gangguan atau tingkat degradasi relatif rendah, atau sebaliknya,

integritas lingkungan alamiah masih relatif tinggi;

• Representativeness, keterwakilan, tingkatan suatu lokasi bisa mewakili tipe habitat, proses

ekologi dan komunitas biologi

• Uniqueness – keunikan, wilayah yang secara biologis atau fisik mempunyai ciri dengan

keunikan tertentu

• Rareness – kelangkaan, habitat yang spesifik atau spesies langka

• Size – ukuran, harus cukup besar sedemikian rupa sehingga berfungsi sebagai unit ekologi

• Accessibility – terjangkau, kawasan yang ditujukan untuk mengakomodasi kepentingan

pengunjung wisata, pelajar (mahasiswa), peneliti, nelayan harus terjangkau;

• Effectiveness – keefektifan, feasibilitas untuk implementasi aktifitas pengelolaan cukup

tinggi

10.3 Proses Penetapan Kawasan

Proses penetapan kawasan sering kali membutuhkan waktu yang jauh lebih lama dari tata

waktu yang dijadwalkan sebelumnya. Pengalaman setiap kawasan akan berbeda antara kawasan

satu dengan yang lainnya. Kondisi pilitik, dukungan dari masyarakat dan kebutuhan bersama

merupakan kombinasi faktor yang sulit untuk diramalkan dan ditentukan dalam tata waktu

penetapan. Fish Habitat Area (FHA) di Negara Bagian Queensland Australia, hanya membutuhkan

waktu tidak lebih dari 18 bulan. Hal ini terjadi karena dukungan masyarakat dan kebutuhan akan

kawasan. Sebagian besar masyarakat pengguna ialah pemancing rekreasi. Di dalam wilayah FHA,

kegiatan memancing tidak dilarang menurut aturan pengelolaan. Pada kondisi seperti ini, deklarasi

FHA akan cepat mendapat dukungan dari masyarakat pengguna.

Kawasan Konservasi Laut Daerah Raja Ampat membutuhkan waktu sekitar 4 (empat) tahun

sampai proses penetapan. Kawasan Nusa Penida di Bali bahkan membutuhkan waktu sampai 7

(tujuh) tahun sebelum ditunjuk oleh Bupati sebagai Kawasan Konservasi Perairan. Secara

Page 17: Kawasan Konservasi Perairan (KKP). PERENCANAAN · PDF filelarva ialah dua mekanisme dasar yang sudah terbukti bisa mempertahankan dan ... melakukan moratorium penangkapan pada wilayah

357 Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan

keseluruhan proses-proses persiapan terdiri dari: identifikasi stakeholder (para pihak), training

tentang manfaat kawasan konservasi, pembentukan panitia pengarah, training panitia pengarah,

pembuatan rencana sosialisasi, implementasi sosialisasi, penelusuran hukum dan kebijakan serta

penunjukan melalui Peraturan Bupati (mengambil pembelajaran dari KKP Nusa Penida Bali). Oleh

karena itu, pengalaman dari suatu lokasi tidak bisa dijadikan acuan untuk diterapkan pada lokasi

yang lain. Masing-masing lokasi kawasan mempunyai karakteristik tersediri yang berbeda dengan

lokasi lainnya.

Pada kondisi di Indonesia saat ini, proses penetapan Kawasan Konservasi Perairan sebaiknya

memperhatikan paling tidak 4 (empat) hal sebagai berikut: ketentuan hukum formal yang akan

digunakan sebagai dasar; pelibatan para pihak dalam proses penetapan; pengakuan dan dukungan

dari sebagian besar pengguna, dan dokumentasi semua proses penetapan.

10.3.1 Ketentuan Hukum Formal

Seperti telah kita diskusikan pada bab terdahulu, sistem kawasan konservasi bisa didekati

dari beberapa peraturan formal yang berbeda. Pemilihan peraturan yang akan digunakan sebagai

dasar penentapan akan menentukan nomenklatur atau penamaan kawasan konservasi. Jika

menggunakan peraturan dari Kementerian Kehutanan, nama yang dipilih ialah salah satu kategori

dari Kawasan Suaka Alam (KSA) atau Kawasan Pelestarian Alam (KPA). Sebaliknya, ketentuan

menurut UU No. 31 tahun 2004 menggunakan nomenklatur Kawasan Konservasi Perairan (KKP).

Sedangkan suatu kawasan yang akan ditetapkan melalui mekanisme lokal (menggunakan UU No. 32

tahun 2004) bisa menggunakan kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) atau Daerah Perlindungan

Laut (DPL).

10.3.2 Pelibatan Stakeholder

Kawasan Konservasi Perairan pada dasarnya harus dikenal oleh masyarakat nelayan.

Kelompok nelayanlah yang paling banyak bersinggungan dan terkena dampak dari konsekuensi

implementasi kawasan konservasi. Oleh karena itu, sebelum penetapan, rencana kawasan

konservasi harus sudah dibicarakan pada pertemuan nelayan. Namun rencana ini tidak bisa

dibicarakan langsung dalam proses diskusi secara terbuka. Pelibatan harus dilakukan secara

bertahap melalui perwakilan kelompok. Perwakilan kelompok harus mendapat penjelasan (melalui

training atau lokakarya) tentang manfaat kawasan dan dampaknya bagi sebagian besar nelayan.

Strategi ini ditujukan untuk menghindari penolakan oleh masyarakat karena ide dasar dari kawasan

belum disadari.

10.3.3 Pengakuan Berbagai Pihak

Sampai saat ini, ada beberapa ketentuan hukum tentang Kawasan Konservasi Perairan yang

berbeda – UU No. 5 tahun 1990, UU No. 31 tahun 2004, UU No. 27 tahun 2007 dan UU No. 32 tahun

2004. Kawasan Konservasi Perairan yang akan dibentuk kemungkinan harus memilih salah satu dari

ketentuan hukum di atas. Namun harus diusahakan agar rencana kawasan mendapat pengakuan

dari instansi yang berbeda. Bahkan jika diperlukan, sistem yang dibuat menjadi bagian integral dari

sistem yang dikembangkan oleh berbagai instansi pemerintah – Kawasan Konservasi Perairan Nusa

Page 18: Kawasan Konservasi Perairan (KKP). PERENCANAAN · PDF filelarva ialah dua mekanisme dasar yang sudah terbukti bisa mempertahankan dan ... melakukan moratorium penangkapan pada wilayah

358 Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan

Penida ditunjuk melalui Peraturan Bupati Klungkung No. 12 tahun 2010. Kawasan ini menggunakan

dasar hukum UU No. 31 tahun 2004 dan UU No. 32 tahun 2004. Namun Tim yang menyiapkan

kawasan berasal dari berbagai instansi pemerintah, termasuk Balai Konservasi Sumber daya Alam

(BKSDA) Bali. BKSDA ialah instansi yang berada di bawah PHKA dan Kementerian Kehutanan.

Ketentuan peraturan pada sistem kawasan yang dikelola Kementerian Kehutanan ialah UU No. 5

tahun 1990, berbeda dengan peraturan yang digunakan untuk penetapan kawasan konservasi Nusa

Penida.

10.3.4 Dokumentasi

Semua tahapan, dari awal sampai penetapan harus dibuat dokumentasi secara lengkap dan

tertulis. Oleh karena itu, proses pengajuan kawasan harus dikawal oleh salah satu instansi atau

kelompok, atau panitia kerja untuk membuat dokumentasi semua proses yang terjadi. Pada tingkat

lapang, pekerjaan ini bisa dilakukan melalui koordinasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat),

terutama yang bekerja dalam bidang konservasi kawasan.

Akhir-akhir ini, sebagian besar inisiatif pembentukan kawasan konservasi di Indonesia lebih

banyak dikawal oleh LSM yang bekerja dengan masyarakat pada tingkat lapang. Mereka lebih mudah

untuk melakukan pengorganisasian masyarakat dalam kegiatan training, lokakarya maupun

pertemuan sosialisasi. Pemerintah lebih banyak bertindak sebagai penentu dalam proses akhir ketika

kawasan akan ditetapkan. Penetapan Kawasan Konservasi Laut Berau dikawal oleh berbagai

komponen LSM secara bersama. Mereka membentuk Sekretariat Bersama dan menamakan sebagai

Program Bersama. Komponen LSM ada yang berskala lokal (Kabupaten), nasional maupun

internasional. KKLD Raja Ampat terutama dikawal oleh Conservation International (CI) dan The

Nature Conservancy (TNC). Pengusulan Kawasan Konservasi Perairan Laut Sawu terutama dikawal

oleh WWF dan TNC. Sedangkan Kawasan Konservasi Perairan Nusa Penida dilakukan oleh Panitia

Kerja yang diinisiasi oleh Coral Triangle Center (CTC).

10.3.5 Contoh pembelajaran dari PHKA

Contoh proses penetapan kawasan konservasi yang sudah ada saat ini ialah sistem yang

dikembangkan oleh Kementerian Kehutanan, melalui Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan

Konservasi Alam (PHKA). Sistem ini dikembangkan sebelum era reformasi (Gambar 10.2) dan

pelibatan masyarakat dilakukan melalui perwakilan Kepala Daerah (Gubernur dan Bupati) dan Badan

Perencana Pembangunan Daerah (BAPPEDA).

Sistem ini dimulai dari konsultasi dua arah antara PHKA di pusat dengan Pemerintah di

daerah (BAPPEDA, Gubernur dan/atau Bupati). Konsultasi ini menghasilkan usulan calon kawasan.

Selanjutnya, kantor wilayah regional PHKA melakukan konsultasi lebih detail dengan Pemerintah

Daerah (melalui BAPPEDA) tentang rencana penetapan. Pada tahap akhir dilakukan konsultasi tiga

pihak antara Pemerintah Daerah, PHKA dan Kantor Wilayah regional, seperti BKSDA (Balai

Konservasi Sumber Daya Alam). Pada rencana yang paling matang, akhirnya Gubernur membuat

rekomendasi kepada Kementerian Kehutanan. Kementerian Kehutanan membuat disposisi kepada

BAPLAN (Badan Planologi) dan SubDirektorat Konservasi Kawasan untuk menyelesaikan peta tata

batas kawasan yang akan ditetapkan. Peta dan laporan detail dari calon kawasan disampaikan

kepada Biro Hukum untuk penyusunan peraturan penetapan. Draft Surat Keputusan atau Peraturan

Page 19: Kawasan Konservasi Perairan (KKP). PERENCANAAN · PDF filelarva ialah dua mekanisme dasar yang sudah terbukti bisa mempertahankan dan ... melakukan moratorium penangkapan pada wilayah

359 Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan

Menteri disampaikan kembali kepada Kementerian Kehutanan untuk ditanda tangani. Pada saat

ditanda tangani, secara formal suatu kawasan konservasi disebut sudah ditetapkan.

Secara sepintas, sistem ini dirasakan kurang mengakomodasi pelibatan dan partisipasi

masyarakat lokal. Pada era reformasi sistem ini dianggap kurang sesuai untuk diterapkan.

Sebenarnya, persepsi tersebut kurang tepat. Pelibatan masyarakat lokal sangat dimungkinkan

melalui BAPPEDA yang selalu melakukan MUSRENBANG (Musyawarah Rencana Pengembangan) di

tingkat desa dan kecamatan. Rapat yang biasanya dilakukan setiap bulan Februari ini bisa digunakan

sebagai media untuk mengakomodasi pelibatan masyarakat terkait dengan rencana penetapan

kawasan konservasi.

Gambar 10.2. Proses panjang penetapan Kawasan Konservasi Perairan berdasarkan sistem yang

dikembangkan oleh PHKA (Sumber: Alder et al., 1994).

10.4 Tata Batas dan Zonasi

Batas terluar suatu Kawasan Konservasi Perairan biasanya diukur dengan dua cara. Cara

pertama dan detail ialah dengan menentukan titik koordinat melalui GPS (Geographical Positioning

System). Sistem ini dibutuhkan untuk penyelesaian peta yang akan dicantumkan pada surat

Page 20: Kawasan Konservasi Perairan (KKP). PERENCANAAN · PDF filelarva ialah dua mekanisme dasar yang sudah terbukti bisa mempertahankan dan ... melakukan moratorium penangkapan pada wilayah

360 Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan

penetapan kawasan. Metode kedua ialah dengan memilih tanda-tanda alam di lapang yang mudah

dikenali, tanpa menggunakan alat bantu seperti tersebut di atas. Tanda-tanda alam ini bisa berupa

taka (karang), pulau kecil atau tanda lainnya. Jika memungkinkan tanda batas dibuat secara

permanen, seperti pemasangan pelampung. Pengalaman lapang menunjukkan bahwa pelampung

sering tidak efektif karena tidak berusia lama.

Langkah yang sangat penting setelah penetapan kawasan ialah menyelesaikan zonasi,

sebagai bagian dari rencana pengelolaan kawasan. Zonasi ialah usaha untuk membagi seluruh

kawasan ke dalam ruang-ruang untuk peruntukan berbeda sesuai dengan fungsi dan tujuan

pembentukan kawasan konservasi. Proses penyusunan zonasi pada dasarnya terdiri dari 4 (empat)

langkah utama, ialah: penentuan tujuan kawasan, penentuan parameter yang mendukung tujuan

kawasan, penggunaan teknik zonasi dan negosiasi atau kompromi dengan para pihak, terutama

pengguna kawasan.

10.4.1 Tentukan Tujuan Pembentukan Kawasan

Tujuan penetapan awalnya bisa dibedakan atas tiga kategori, ialah: (1) perlindungan habitat

atau spesies yang sudah langka (keanekaragaman hayati), (2) pemanfaatan berkelanjutan, dan (3)

perlindungan bentang alam dengan kombinasi pemanfaatan secara tradisional. Dari ketiga tujuan ini,

selanjutnya bisa dijabarkan beberapa tujuan yang lebih detail, seperti: eko-wisata, penelitian non-

ekstraktif, pendidikan, perikanan tangkap, perlindungan budaya dan spiritual, dan pemanfatan

secara terbatas oleh masyarakat lokal. Pada Bab VIII kita sudah diskusikan bahwa tujuan penetapan

kawasan akhirnya akan menentukan kategori kawasan dan yang diekspresikan di dalam zonasi.

10.4.2 Prioritas Parameter yang Mendukung Tujuan Pengelolaan

Tujuan penetapan kawasan akan menentukan wilayah prioritas yang akan dipilih untuk

mendapat perlindungan yang lebih ketat. Sebagai contoh, suatu Kawasan Konservasi Perairan

ditujukan untuk melindungi perikanan tangkap. Dari tujuan ini, prioritas habitat yang penting untuk

perikanan antara lain ialah kombinasi dari berikut: terumbu karang, hutan bakau, padang lamun,

substrat dasar berpasir, substrat dasar berlumpur dan lokasi pemijahan ikan. Hasil penelusuran

melalui Fish Base (Froese & Pauly, 2011) mendapatkan bahwa lebih dari 68% ikan hasil tangkap

nelayan di Indonesia, sebagian atau seluruh hidupnya tergantung dari habitat terumbu karang. Ikan-

ikan ini dikatakan termasuk dalam kategori reef associated. Jika ingin mempertahankan keberlajutan

perikanan komersial di Indonesia, habitat terumbu karang ialah komponen utama yang mendapat

prioritas tinggi untuk dilindungi. Dengan cara yang sama, bisa didapat bahwa bakau dan padang

lamun ialah dua jenis habitat yang penting bagi perikanan komersial. Bahkan tempat-tempat

pemijahan ikan (SAPGs, Spawning Aggregation Sites) termasuk lokasi yang mutlak harus dilindungi

karena perannya sebagai pendukung perikanan tangkap.

Langkah selanjutnya ialah memberikan prioritas atau nilai penting dari masing-masing

parameter. Misalkan, lokasi SPAG diberi skor = 9, terumbu karang = 6, hutan bakau = 3 dan padang

lamun = 1. Pada kasus tertentu, lokasi pemijahan ikan bisa disebut sebagai lock-in factor. Artinya,

setiap lokasi perkawinan ikan, akan langsung mendapat perlindungan paling ketat. Ada beberapa

faktor lain yang bisa mendapat skor negatif. Misalkan daerah penangkapan ikan, sebanyak mungkin

untuk tidak dipilih, karena peluangnya sangat besar untuk ditolak oleh masyarakat sebagai kawasan

Page 21: Kawasan Konservasi Perairan (KKP). PERENCANAAN · PDF filelarva ialah dua mekanisme dasar yang sudah terbukti bisa mempertahankan dan ... melakukan moratorium penangkapan pada wilayah

361 Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan

yang dilindungi. Sebagai contoh, daerah penangkapan ikan mendapat skor = -2. Hal ini memberikan

indikasi bahwa kita sejauh mungkin tidak akan memilih wilayah yang menjadi tempat penangkapan

ikan untuk dijadikan wilayah penting yang dilindungi.

10.4.3 Teknik Tumpang Susun (Over-Lay Technique)

Metode tumpang susun ialah salah satu teknik paling sederhana namun mudah, sebagai

salah satu strategi untuk memilih wilayah prioritas didalam kawasan dengan tingkat perlindungan

yang lebih tinggi. Metode lain yang berkembang belakangan, dengan bantuan perangkat lunak yang

lebih modern juga menggunakan prinsip dasar dari teknik tumpang susun.

Misalkan suatu wilayah perairan yang sudah ditetapkan sebagai kawasan konservasi.

Wilayah tersebut (di dalam peta) dibagi menjadi grid atau kotak-kotak, masing-masing berukuran

sama. Masing-masing kotak kita sebut sebagai unit perencanaan (UP) – unit perencanaan ialah

satuan wilayah terkecil dari suatu Kawasan Konservasi Perairan (Gambar 10.3 – bagian kiri). Pada

peta dengan unit perencanaan (grid), dimasukkan data spasial (peta) dari masing-masing habitat

atau spesies yang menjadi parameter terpilih. Masing-masing dilakukan secara tumpang susun (over-

lay technique). Suatu unit perencanaan bisa mengandung beberapa nilai habitat penting sekaligus.

Sementara unit perencanaan lain bisa saja tidak mengandung habitat yang penting sama sekali.

Masing-masing habitat mempunyai nilai penting berdasarkan skor yang diberikan oleh perencana.

Sebagai contoh teknik tumpang susun disajikan pada Gambar 10.3 – zonasi atau seleksi

prioritas wilayah yang akan dipilih untuk dilindungi ditentukan secara bersama oleh informasi lokasi

pemijahan ikan (SPAGs) dengan nilai skor = 8, terumbu karang (skor = 4), dan bakau (skor = 1).

Pemilihan lokasi prioritas yang berdekatan dengan pemukiman akan menyulitkan karena menutup

akses masyarakat pada perairan di sekitarnya. Oleh karena itu keberadaan penduduk diberi skor = -

4. Artinya, wilayah dekat dengan lokasi penduduk cenderung tidak dipilih sebagai prioritas wilayah

untuk dilindungi. Pemilihan daerah penangkapan (fishing ground) juga berdampak negatif pada

penolakan nelayan sehingga diberi nilai = -1. Jika dalam satu unit perencanaan mempunyai semua

ke-lima parameter yang menjadi pertimbangan, maka jumlah nilai pada unit perencanaan itu

menjadi = 7.

Jika semua nilai dari masing-masing unit perencanaan dijumlahkan, kita bisa mendapat nilai

rata-rata dengan membagi total nilai pada unit perencanaan dibagi dengan jumlah unit

perencanaan. Misalkan diambil ketentuan, setiap unit perencanaan yang mempunyai nilai

akumulatif lebih besar dari nilai rata-rata diputuskan bahwa wilayah tersebut ialah daerah prioritas

untuk mendapat perlindungan yang lebih tinggi (wilayah larang-ambil). Jika semua nilai pada setiap

unit perencanaan kita evaluasi, maka masing-masing unit perencanaan yang prioritas untuk dipilih

sebagai wilayah larang-ambil ialah seperti disajikan pada Gambar 10.4.

Page 22: Kawasan Konservasi Perairan (KKP). PERENCANAAN · PDF filelarva ialah dua mekanisme dasar yang sudah terbukti bisa mempertahankan dan ... melakukan moratorium penangkapan pada wilayah

362 Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan

Gambar 10.3. Metode tumpang susun untuk menentukan pentingnya suatu wilayah terpilih

sebagai prioritas area untuk dilindungi, misalkan sebagai wilayah larang-ambil

(Gambar dibuat oleh Muhammad Barmawi sebagai materi training Kawasan

Konservasi Perairan).

Gambar 10.4. Daerah (unit perencanaan) yang berwarna merah ialah lokasi prioritas untuk dipilih

sebagai wilayah yang dilindungi (wilayah larang-ambil).

10.4.4 Software MARXAN

Metode tumpang susun sangat baik dan mudah dilakukan pada wilayah yang relatif kecil

dengan unit perencanaan tidak terlalu banyak. Sebagai contoh ialah seleksi wilayah larang-ambil dari

suatu Kawasan Konservasi Perairan pada skala desa dengan luas kawasan maksimal sekitar 200 ha.

Kenyataannya, luas Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia sangat bervariasi. Taman Nasional

Teluk Cendrawasih misalnya, mempunyai luas total perairan ± 1.453.500 ha. Pada kondisi seperti ini,

metode tumpang susun memerlukan alat bantu tambahan, kalau tidak, proses seleksi akan sangat

rumit dan memerlukan waktu yang sangat lama.

MARXAN (Marine Spatially Explicit Annealing) ialah suatu perangkat lunak yang bisa

digunakan untuk menghitung dan memilih prioritas area untuk dijadikan wilayah larang-ambil.

MARXAN merupakan perkembangan dari SPEXAN (Spatially Explicit Annealing) yang sudah

berkembang lebih dulu untuk kawasan konservasi di darat. Teknik dan perangkat lunak ini

Page 23: Kawasan Konservasi Perairan (KKP). PERENCANAAN · PDF filelarva ialah dua mekanisme dasar yang sudah terbukti bisa mempertahankan dan ... melakukan moratorium penangkapan pada wilayah

363 Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan

dikembangkan pertama kali oleh Ian R. Ball dari University of Adelaide, Australia, dibantu oleh Hugh

Possingham (University of Queensland). Prinsip dasar dalam MARXAN pada dasarnya sama dengan

teknik tumpang susun tersebut di atas. Proses tumpang susun dilakukan melalui digitasi peta dengan

program ArcView GIS (geographical Information System).

Gambar 10.5. Ialah hasil analisis yang dilakukan dengan program MARXAN untuk memilih

prioritas area pada Kawasan Konservasi Perairan Nusa Penida Bali, sebagai wilayah larang ambil.

Luas total Kawasan Konservasi Perairan mencapai 20.000 ha. Jenis parameter yang digunakan

sebagai data input ialah terumbu karang, bakau dan padang lamun – ketiga paremeter ini, pada

program MARXAN disebut conservation features. Pemilihan prioritas area untuk wilayah larang-

ambil dilakukan pada 4 (empat) tingkat skenario yang berbeda. Skenario pertama ialah wilayah

larang-ambil diseleksi dari 60% total habitat yang penting untuk perikanan. Skenario kedua ialah

40%, selanjutnya 30% dan skenarion keempat ditentukan pada 20% luas total masing-masing

habitat. Warna pink pada Gambar 10.5 menunjukkan lokasi terbaik yang dipilih oleh program

MARXAN untuk dijadikan wilayah larang-ambil.

Luas Kawasan Konservasi Perairan Nusa Penida mencapai ± 20.000 ha. Luas unit

perencanaan masing-masing ialah 5 ha. Dengan demikian, jumlah total unit perencanaan di dalam

kawasan mencapai 4.000 unit. Tergantung dari kemampuan komputer, running program MARXAN

pada wilayah ini umumnya bisa dilakukan dalam beberapa menit saja. Semakin kecil ukuran dalam

unit perencanaan, akan semakin detail wilayah yang didapat. Namun hal ini akan memerlukan

jumlah unit perencanaan yang semakin banyak. Pada kondisi seperti ini, dibutuhkan kemampuan

komputer yang lebih tinggi. Kalau tidak, running program bisa membutuhkan waktu lama (> 30

menit). Program MARXAN sudah banyak digunakan di Indonesia dalam proses zonasi suatu Kawasan

Konservasi Perairan – zonasi dalam wilayah Taman Nasional Wakatobi diselesaikan dengan bantuan

program ini, dan rencana zonasi sudah ditetapkan dan menjadi bagian tak terpisahkan dari Rencana

Pengelolaan Jangka Panjang (RP 25TN).

Gambar 10.5. Hasil analisis seleksi prioritas wilayah larang-ambil pada Kawasan Konservasi

Perairan Nusa Penida, Bali dengan menggunakan perangkat lunak MARXAN

(ditunjukkan dengan warna pink pada gambar). Seleksi dilakukan pada 4 (skenarion)

skenario: wilayah larang-ambil 60%; 40%; 30% dan 20% (Running Program dilakukan

oleh Arief Darmawan).