Upload
lyliem
View
222
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KEALERGENIKAN SERBUK SARI INDONESIA
PADA MANUSIA
IRIS RENGGANIS
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Kealergenikan Serbuk Sari
Indonesia pada Manusia adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi di mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Juni 2009
Iris Rengganis
NIM G361040081
ABSTRAK
IRIS RENGGANIS. Kealergenikan Serbuk Sari Indonesia pada Manusia. Dibimbing oleh ALEX HARTANA, EDI GUHARDJA, MIEN A. RIFAI, SAMSURIDJAL DJAUZI, dan SRI BUDIARTI.
Alergi adalah reaksi hipersensitivitas tipe cepat pada manusia terhadap
alergen. Alergi terjadi ketika tubuh membuat antibodi IgE secara berlebihan sebagai tanggapan atas suatu alergen. Serbuk sari merupakan alergen lingkungan penting di negara subtropik yang dapat menyebabkan penyakit alergi pada musim berbunga. Meskipun tumbuhan berbunga terjadi sepanjang tahun di Indonesia, namun alergi serbuk sari belum banyak dipelajari. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi serbuk sari dari tumbuhan di suatu wilayah di Indonesia yang dapat menyebabkan alergi pada manusia. Alat penangkap serbuk sari Burkard dipasang selama tujuh hari di Lebak Bulus, Jakarta Selatan, sedangkan penangkap serbuk sari pasif dengan gelas objek berperekat dipasang di wilayah Darmaga Bogor, Pasar Minggu dan Jagakarsa di Jakarta Selatan. Serbuk sari yang tertangkap diidentifikasi dibawah mikroskop cahaya dan scanning electron microscope (SEM), yaitu serbuk sari akasia (Acacia auriculiformis), alang-alang (Imperata cylindrica), kelapa genjah (Cocos nucifera), kelapa sawit (Elaeis guineensis), jagung (Zea mays), padi (Oryza sativa), dan pinus (Pinus merkusii). Bobot molekul profil protein ekstrak serbuk sari didominasi oleh pita-pita berukuran 10-70 kD pada analisis sodium dodecyl sulfate-polyacrylamide gel electrophoresis (SDS-PAGE). Ekstrak protein serbuk sari tersebut dan ekstrak serbuk sari campuran rumput komersial (Grasses mix) digunakan sebagai pembanding, diuji pada orang dengan riwayat alergi dan tanpa riwayat alergi, masing-masing 69 orang dengan menggunakan metode uji tusuk kulit. Ketujuh serbuk sari dari tanaman yang tertangkap di Indonesia bersifat alergenik. Sensitivitas orang terhadap serbuk sari alang-alang dan akasia lebih banyak dibandingkan dengan serbuk sari lainnya, tetapi masih lebih sedikit dibandingkan dengan sensitivitas orang terhadap Grasses mix. Sensitivitas orang terhadap serbuk sari alang-alang pada kelompok dengan riwayat alergi lebih banyak dibandingkan dengan kelompok tanpa riwayat alergi, sedangkan terhadap serbuk sari akasia tidak berbeda pada kedua kelompok tersebut. Serbuk sari alang-alang dan akasia berpotensi sebagai bahan alergen untuk uji tusuk kulit di Indonesia. Akasia perlu dipertimbangkan kembali sebagai pohon peneduh, karena serbuk sarinya ternyata berpotensi menyebabkan reaksi sensitivitas pada manusia. Kata kunci: serbuk sari, alergen, sensitivitas, uji tusuk kulit
ABSTRACT
IRIS RENGGANIS. Allergenicity of Indonesian Pollen in Human. Supervised by ALEX HARTANA, EDI GUHARDJA, MIEN A.RIFAI, SAMSURIDJAL DJAUZI, and SRI BUDIARTI.
Allergy is a human immediate hypersensitive reaction to allergens. It occurs
when the body produces an excess of IgE antibody as response to allergen. Pollens are important environmental allergens in subtropical countries which contribute to significant morbidity especially during the pollination period. Despite the all year long of plants flowering in Indonesia, pollen allergy has not been well studied. The objectives of this study were to identify pollen from plants in a given area in Indonesia which may cause allergy in human. A Burkard spore trap was set for seven days sampling in Lebak Bulus, district in South Jakarta, while a passive collectors with adhesive object glass were placed in Darmaga Bogor, Pasar Minggu and Jagakarsa in South Jakarta. Using light and scanning electron microscopes (SEM), pollens that were trapped and identified were acacia (Acacia auriculiformis), cogon grass (Imperata cylindrica), coconut (Cocos nucifera), palm trees (Elaeis guineensis), maize (Zea mays), rice (Oryza sativa), and pine (Pinus merkusii). Molecular weight of protein profiles from those pollen extract using sodium dodecyl sulfate-polyacrylamide gel electrophoresis analysis (SDS-PAGE) were dominated by 10-70 kD bands. Allergenicity in human to those pollen commercial Grasses mix extract was also included in the test to people with and without history of allergy, 69 people each, using the skin prick test method. The seven pollen of plants trapped in Indonesia are allergenic. Human sensitivity to Cogon grass and acacia pollen are more severe than to the rest of other pollen, however, the sensitivity was most found to commercial allergens of Grasses mix. People with respiratory allergy was more sensitive than people without history of allergy. Meanwhile, human sensitivity to acacia was the same in those two groups of people. Pollen of Cogon grass and acacia are potential allergens to be used for skin prick test in Indonesia. Acacia trees are not recommended to be utilized as a shading tree since their pollen showed sensitivity reaction in human.
Keywords: pollen, allergen, sensitivity, skin prick test.
RINGKASAN
Alergi adalah suatu penyakit yang berupa perubahan reaksi tubuh yang berlebihan terhadap suatu bahan di lingkungan yang disebut alergen. Reaksi alergi timbul segera dalam beberapa menit setelah ada rangsangan alergen pada seseorang yang hipersensitif. Salah satu bentuk alergi adalah alergi pernapasan, misalnya rinitis alergi dan asma bronkial. Alergi merupakan penyakit yang diturunkan dan muncul akibat interaksi antara faktor genetik dan lingkungan. Oleh karena itu, alergi tidak dapat diobati secara tuntas, tetapi pemicu yang terdapat di lingkungan dapat dikontrol dan dihindari dengan cara memberi penyuluhan pada pasien. Salah satu alergen lingkungan yang penting namun terabaikan adalah serbuk sari tumbuhan. Di negara dengan empat musim, alergi pernapasan yang ditimbulkan serbuk sari biasanya kambuh secara musiman saat dengan berbunganya tumbuhan di musim semi sampai musim panas. Penyebaran serbuk sari ini sangat bergantung dari geografi, iklim, dan vegetasi. Sebagian besar serbuk sari yang menyebabkan alergi di negara empat musim berasal dari rumput-rumputan. Di Indonesia, tumbuhan berbunga sepanjang tahun dan penyebaran serbuk sari terjadi setiap saat. Namun sampai kini belum terdapat studi yang menyeluruh tentang serbuk sari tumbuhan mana saja yang berpotensi menyebabkan alergi pernapasan pada manusia, yaitu rinitis alergi dan asma bronkial. Kondisi ini cukup memprihatinkan karena Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman flora yang tinggi, sehingga kemungkinan terjadinya pajanan terhadap serbuk sari sangat besar. Diketahui serbuk sari kelapa sawit, kelapa genjah, jagung dan pinus alergenik pada hewan. Oleh karena itu diperlukan penelitian tentang sensitivitas terhadap serbuk sari tumbuhan yang ada di Indonesia pada manusia.
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi serbuk sari tumbuhan yang berada di suatu daerah di Indonesia yang dapat menimbulkan reaksi alergi pada manusia dan membuat ekstrak serbuk sari, serta melihat profil bobot molekul (BM) protein alergen serbuk sari dengan analisis sodium dodecyl sulfate-polyacrylamide gel electrophoresis (SDS-PAGE), untuk mengetahui potensi kealergenikannya dilakukan uji klinis pada manusia dengan cara uji tusuk kulit, baik pada orang dengan riwayat alergi maupun tanpa riwayat alergi.
Kegiatan penelitian ini meliputi penangkapan serbuk sari dengan alat penangkap pasif dan alat penangkap Burkard, identifikasi serbuk sari menggunakan mikroskop cahaya dan scanning electron microscope (SEM), penentuan BM protein serbuk sari alergenik menggunakan analisis SDS-PAGE. Alergen serbuk sari diuji secara klinis pada kelompok orang dengan riwayat alergi dan tanpa riwayat alergi, masing-masing 69 orang dengan cara uji tusuk kulit. Penangkapan serbuk sari dilakukan di wilayah Darmaga, Bogor dan Jakarta Selatan, yaitu Lebak Bulus, Pasar Minggu dan Jagakarsa. Alat penangkap Burkard yang dipasang selama satu tahun dari bulan Januari sampai Desember 2006 di Lebak Bulus berhasil menangkap serbuk sari akasia, kelapa genjah, pinus, dan rumput-rumputan. Rumput yang banyak tumbuh di daerah tersebut adalah alang-alang. Di Kecamatan Pasar Minggu dan Jagakarsa tertangkap serbuk sari akasia, kelapa genjah, kelapa sawit, jagung, rumput-rumputan (terbanyak alang-alang) dan pinus. Serbuk sari padi, jagung, dan alang-alang tertangkap di Darmaga Bogor. Serbuk sari diidentifikasi dengan menggunakan mikroskop cahaya di Laboratorium Anatomi Tumbuhan Departemen Biologi IPB Baranangsiang, Laboratorium Biologi Tumbuhan
Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati Bioteknologi (PPSHB) IPB dan Laboratorium Morfologi Anatomi dan Sitologi Tumbuhan, Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong. Pengamatan ultrastruktur serbuk sari dengan SEM dilakukan di Laboratorium Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong. Ukuran serbuk sari yang didapat berkisar antara 20-100 µm. Pembuatan ekstrak alergen serbuk sari untuk uji tusuk kulit dilakukan di Laboratorium Kelompok Penelitian Rekayasa Protein Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Cibinong. Uji tusuk kulit dilakukan di Poliklinik Alergi Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit (RS) Cipto Mangunkusumo, Klinik Alergi Imunologi RS Pondok Indah, Klinik Bulog dan Klinik Alergi Imunologi Sisingamangaraja, Jakarta. Analisis SDS-PAGE dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia PPSHB IPB. Bahan untuk ekstrak protein berupa serbuk sari yang dipilih adalah akasia (Acacia auriculiformis), alang-alang (Imperata cylindrica), jagung (Zea mays), kelapa genjah (Cocos nucifera), kelapa sawit (Elaeis guineensis), padi (Oryza sativa), dan pinus (Pinus merkusii). Selain itu digunakan alergen ekstrak serbuk sari Grasses mix 1. Bent grass (Agrostos sp), 2. Bermuda grass (Cynodon dactylon), 3. Bromus (Bromus sp), 4. Cocksfoot grass (Dactylis glomerata), 5. Meadow fescue (Festuca elatior), 6. Meadow grass (Poa pratensis), 7. Oat grass (Arrhenatherum elatius), 8. Rye grass (Lolium perenne), 9. Sweet vernal grass (Anthoxanthum odoratum), 10. Timothy grass (Phleum pratense), 11. Wild oat (Avena fatua), dan 12. Yorkshire fog (Holcus lanatus). Juga digunakan alergen tungau debu rumah jenis Dermatophagoides pteronisinnus (Der.p) dan Dermatophagoides farinae (Der.f), kontrol positif histamin, dan untuk kontrol negatif dipakai phosphate buffer saline (PBS) yang digunakan sebagai pelarut. Responden penelitian untuk uji tusuk kulit terdiri dari kelompok orang dengan riwayat alergi dan tanpa riwayat alergi, masing-masing 69 orang dengan rentang usia antara 19-55 tahun. Derajat sensitivitas dikategorikan berdasarkan besarnya bentol pada uji tusuk kulit, yaitu positif (+) 1 bila bentol berukuran 3-5 mm, +2: 6-10 mm, +3: 11-20 mm dan + 4: > 20 mm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa serbuk sari alang-alang dan akasia paling banyak menghasilkan reaksi positif pada uji tusuk kulit yang menunjukkan telah terjadi sensitisasi. Selain itu, alergen komersial Grasses mix menghasilkan sensitivitas yang lebih tinggi pada kedua kelompok dibanding terhadap serbuk sari alang-alang dan akasia. Di dalam ekstrak alergen Grasses mix terdapat serbuk sari Cynodon dactylon, yang ternyata merupakan salah satu jenis rumput yang banyak terdapat di Indonesia. Karena itu sebaiknya dilakukan uji sensitivitas juga terhadap Cynodon dactylon untuk mengetahui seberapa besar telah terjadi sensitisasi. Hasil analisis SDS-PAGE protein serbuk sari, mendapatkan rentang BM antara 10-70 kD, yang merupakan rentang BM protein alergenik. Sebagai simpulan, penelitian ini berhasil mendapatkan ekstrak alergen serbuk sari dari tujuh jenis tumbuhan di Indonesia, yaitu alang-alang, akasia, jagung, kelapa genjah, kelapa sawit, padi, dan pinus. Uji tusuk kulit terhadap serbuk sari alang-alang pada kelompok dengan riwayat alergi menunjukkan sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok tanpa riwayat alergi. Selain itu, sensitivitas terhadap serbuk sari akasia sama tingginya pada kedua kelompok. Dengan demikian, serbuk sari alang-alang dan akasia berpotensi sebagai bahan alergen untuk uji tusuk kulit di Indonesia. Akasia perlu dipertimbangkan kembali sebagai pohon peneduh, karena serbuk sarinya ternyata berpotensi menyebabkan reaksi sensitivitas pada manusia. Kata kunci: serbuk sari, alergen, sensitivitas, uji tusuk kulit
vi
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh Disertasi ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Disertasi dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
KEALERGENIKAN SERBUK SARI INDONESIA
PADA MANUSIA
IRIS RENGGANIS
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada Program Studi Biologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2009
Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup: Dr. Rita Megia, DEA Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor Ujian Terbuka: Prof. Dr. dr. Putu Gede Konthen, SpPD, K-AI Divisi Alergi Imunologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Prof. Dr. dr. Heru Sundaru, SpPD, K-AI Divisi Alergi Imunologi Klinik Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Judul Disertasi : Kealergenikan Serbuk Sari Indonesia pada Manusia Nama : Iris Rengganis NIM : G361040081
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof.Dr.Ir.Alex Hartana, MSc. Prof.Dr.Ir.Edi Guhardja, MSc. Ketua Anggota
Prof.Dr.Mien A.Rifai, MSc. Prof.Dr.dr.Samsuridjal Djauzi, SpPD, KA-I, FACP Anggota Anggota
Dr.dr.Sri Budiarti Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Biologi Dekan Sekolah Pascasarjana Dr.Ir.Dedy Duryadi Solihin, DEA Prof.Dr.Ir.Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: 10 Juli 2009 Tanggal Lulus: 17 Juli 2009
Disertasi ini kudedikasikan kepada
Kedua Orang tuaku tercinta
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang, atas rahmat dan karunia Nya sehingga Disertasi ini berhasil diselesaikan. Penelitian dimulai sejak bulan Maret 2005 hingga Mei 2008, dengan judul Kealergenikan Serbuk Sari Indonesia pada Manusia.
Pada kesempatan ini, pertama-tama penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada para pembimbing, Prof. Dr. Ir. Alex Hartana MSc, Prof. Dr. Ir. Edi Guhardja, MSc, Prof. Dr. Mien A. Rifai, MSc, Prof. Dr. dr. Samsuridjal Djauzi, Sp.PD, K-AI, FACP, dan Dr. dr. Sri Budiarti atas bimbingan, kesabaran, pengkayaan wawasan, kritik, saran dan dukungan moril yang sangat besar dalam penyelesaian Disertasi ini.
Begitu juga ucapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA, Ketua Program Studi Biologi Pasca Sarjana IPB yang banyak memberi pengarahan pada awal penelitian ini. Kepada Dr. Ir. Kiagus Dahlan selaku Wakil Dekan dan Dr. Rita Megia, DEA selaku penguji luar komisi yang telah berkenan dan meluangkan waktu pada saat ujian tertutup.
Selain itu ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan pula kepada: Prof. Pakit Vichyanond, MD dari Faculty of Medicine Mahidol University, Siriraj Hospital, Bangkok Thailand yang telah memberi pengarahan pada awal penelitian ini. Prof. Boonchua Dhorranintra, MD dan Kanda Kasetsinsombat dari Palinology Siriraj Hospital, Bangkok Thailand yang telah memberi pengarahan mengenai cara penangkapan serbuk sari dan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pelatihan serbuk sari di Bangkok.
Chew Fook Tim, PhD dan Ong Tan Ching dari Department of Biological Sciences, National University of Singapore yang telah memberi informasi dan pengarahan mengenai pembuatan alergen serbuk sari.
Prof. Dr. dr. Putu Gede Konthen, SpPD, K-AI dari Divisi Alergi Imunologi, Departemen Penyakit Dalam RS Dr.Sutomo, Dra. Siti Farida, SpFRS, Apt dan Ibu Wiwid di Bagian Produksi Alergen Laboratorium Instalasi Farmasi, RS Dr.Sutomo Surabaya yang telah mengijinkan penulis untuk mengikuti prosedur berbagai jenis pembuatan alergen.
Dr. Ir. Juliarni, MAgr. dari Departemen Biologi FMIPA IPB yang telah membimbing dengan sabar selama penulis mengikuti mata kuliah khusus Uji Penangkapan Serbuk Sari. dr. Murdiati Umbas dari Dinas Kesehatan Kota DKI yang telah membantu dalam melengkapi data penyakit di Puskesmas DKI.
Ir. Catharina Suryowati, MSi, Dra. Marfuah, MSi, Nuning Hendria Sari, SP, Sdri.Wijiastuti SSi, Bapak Tono, dan Bapak Ivan Nurcahyo dari Dinas Pertamanan DKI yang telah membantu melengkapi data tanaman di wilayah Jakarta dan telah mengijinkan pemasangan alat penangkap serbuk sari pasif di Kebun Bibit Ciganjur, Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Dra. Titisari Puntorini (Kasubid. Tata Lingkungan), Drh. H. Bambang Triana (Kabid.Konservasi), dan Berliana, DSc. (Staf Bid.Konservasi) dari Taman Margasatwa Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan yang telah mengijinkan pemasangan alat penangkap serbuk sari pasif di area tersebut.
Dr. Arief Budi Witarto, MEng. dari Laboratorium Kelompok Penelitian Rekayasa Protein Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Cibinong, Nina Maryana, SSi. dan Suwarti, MSi. dari Protein Indonesia Institute, Ibu Ika Malikhah dan Bapak Iwa Sutiwa dari Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati Bioteknologi (PPSHB) IPB, Ibu Dewi dari Laboratorium Bioteknologi Hewan dan Biomedis PPSHB IPB, serta Bapak Sutiyo dari Laboratorium Tumbuhan PPSHB IPB yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini. Ir. Endang Purwaningsih, Kartika Dewi, MSi, dan Yuni Apriyanti yang telah membantu pembuatan foto SEM dari Laboratorium Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong. Juga kepada Himmah Rustiami, MSc. dan Eka Fatmawati T, SSi. yang telah membantu pembuatan preparat serta foto serbuk sari dengan mikroskop cahaya di Laboratorium Morfologi Anatomi dan Sitologi Tumbuhan, Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong. Kepada teman sejawat dr. H. Muh. A. Aristyawan yang mengijinkan uji tusuk kulit pada pasien alergi di Klinik Bulog Jakarta Selatan. Juga kepada Bapak Moh. Thamrin dan Ibu Asri Wahyuni dari Klinik Alergi Imunologi Sisingamangaraja yang telah membantu pelaksanaan uji tusuk kulit, serta Bapak H. Firdaus Alamhudi yang banyak memberi motivasi dan pengembangan wawasan pada penelitian ini.
Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng yang telah memberi dorongan untuk dapat mempergunakan internet serta komputer secara mandiri sejak awal penulis mengikuti S3 di IPB. Dr. Ir. Y. Purwanto, APU dan Dr. Rugayah, MSc. dari Herbarium Bogoriense LIPI Bogor yang banyak memberi masukan pada saat mulainya penelitian ini, serta rekan-rekan di IPB, Nor Sholekhah Damayanti, SSi, MSi, Dr. Fitmawati SSi, MSi, Dr. Nunik Sri Ariyanti, MSi, Dr. Ir. Amin Retnoningsih, Msi, Dr.Ir.Donata S.Pandin, MSi. dan Ir. Dorly yang telah banyak membantu selama penulis menjalani penelitian ini. Juga kepada Ibu Henny Nurhayati dari Bagian Akademik IPB, Ibu Yenny Rosmalawaty, Ibu Eti Suhaeti dan Bapak Djoni Sudjadi di Departemen Biologi yang membantu dalam penyelesaian Disertasi ini. Dr. drh. Retno D.Soejoedono, MS, dan Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS, dari Fakultas Kedokteran Hewan IPB yang telah banyak memberi wawasan di bidang Imunologi.
Prof. Dr. Azis Rani, SpPD, K-GEH yang telah memberi izin kepada penulis untuk masuk dalam program S3 di IPB dan Dr.dr.C.Heriawan Soejono, SpPD, K-Ger, M.Epid selaku Kepala Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM yang selalu memberi dorongan untuk menyelesaikan Disertasi ini. Prof.Dr.dr. Dina Mahdi, SpPD, K-AI, SH dan Prof.Dr.dr.Heru Sundaru,SpPD, K-AI, guru saya, dr. Nanang Sukmana, SpPD, K-AI, selaku Ketua Divisi Alergi Imunologi Klinik, rekan-rekan sejawat dr. Teguh HK, SpPD, K-AI, dr. Sukamto Koesnoe, SpPD, dr.Evy Yunihastuti, SpPD, dr. Okki Ramadian, SpPD, dr. Moch. Iqbal Hassarief Putra, dr. Budi Amarta Putra, juga kepada Enna Meilina, S.Si, Mutiaz Hayati, SST, Upi Fitria Diana, Skom, Parama Puspita, Tini Rohmani, Elva Afianti, Moh.Yunus serta semua perawat Zr.Wiwi Wahyuni, AMK, Zr.Maryati, Zr.Sumirah di Divisi Alergi Imunologi Klinik yang telah banyak membantu dan memberi semangat kepada penulis.
Ungkapan terima kasih yang mendalam dan penghargaan sebesar-besarnya penulis haturkan kepada ayahanda Karnen Garna Baratawidjaja, ibunda Wachjuni Baratawidjaja, kepada suami R. Putra dan keempat anak saya Gladys, Andrew, Zaki, Yasser, juga kepada ketiga adik saya Ambara, Prasna Pramita, Farah Prashanti, serta seluruh keluarga, atas segala doa, kasih sayang, pengertian, kesabaran, pengorbanan serta semua bantuan moril maupun materiil hingga terselesaikannya studi doktor ini.
Semoga Allah SWT membalas seluruh kebaikan dengan berlipat ganda. Sebagian dari penelitian ini telah ditulis dan diterbitkan dalam Majalah Kedokteran Indonesia, Volume: 58, Nomor: 9, September 2008 dengan judul Sensitivitas terhadap Serbuk Sari
xii
pada Pasien Alergi Pernapasan. Mudah-mudahan Disertasi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat. Bogor, Juni 2009
Iris Rengganis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 29 Juni 1958 sebagai anak sulung dari empat bersaudara, dari pasangan Prof. Dr. dr. Karnen Garna Baratawidjaja, SpPD, K-AI, FAAAAI dan dr. Wachjuni Baratawidjaja, MHA. Pendidikan sarjana ditempuh di FKUI (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia) pada tahun 1977 dan lulus pada tahun 1983. Pada tahun 1984, penulis mengawali tugas dari Departemen Kesehatan sebagai dokter Puskesmas Kelurahan Cikoko, Kecamatan Mampang Prapatan di Jakarta Selatan, DKI. Pada tahun 1988 penulis mendapat penghargaan sebagai dokter teladan Jakarta Selatan. Setelah menyelesaikan ikatan dinas dari Departemen Kesehatan selama 5 tahun, pada tahun 1989 penulis diterima di Program Studi Spesialis 1 Pascasarjana FKUI bidang Ilmu Penyakit Dalam dan menamatkannya pada tahun 1994. Kemudian penulis diterima sebagai staf pengajar di Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI dan sekaligus meneruskan ke Program Studi Spesialis 2 (Konsultan) di bidang Alergi Imunologi.
Pada tahun 1995, penulis menjalankan ikatan dinas yang kedua dari Departemen Kesehatan sebagai Internis di RS Haji Jakarta selama 2,5 tahun. Selama bertugas di RS Haji Jakarta, penulis mendirikan Klinik Alergi dan Edukasi Asma, serta Klub Senam Asma. Setelah selesai tugas pemerintah pada tahun 1998, penulis kembali ke FKUI sebagai staf pengajar dan menamatkan Konsultan Alergi Imunologi pada tahun 2000. Pada tahun yang sama, penulis bertugas sebagai Tenaga Kesehatan Haji Indonesia (TKHI) dari RSCM (RS dr.Cipto Mangunkusumo), dan ditugaskan sebagai Dokter Kloter selama 40 hari di Arab Saudi. Pada tahun 2002, penulis bertugas kembali sebagai TKHI Non Kloter dari RSCM, dan menduduki jabatan sebagai Kepala Balai Pengobatan Haji Indonesia (BPHI) di Madinah selama 70 hari.
Kesempatan untuk melanjutkan ke Program Doktor pada Program Studi Biologi, Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2004, dengan biaya sendiri. Penulis adalah anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Pengurus Besar Perhimpunan Alergi Imunologi Indonesia (PERALMUNI), Pengurus Besar Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) serta Pengurus Dewan Asma Indonesia (DAI). Saat ini penulis bertugas sebagai staf pengajar di Divisi Alergi Imunologi Klinik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI/RSCM.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ................................................................................................xv
DAFTAR GAMBAR ...........................................................................................xvi
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................xvii
DAFTAR SINGKATAN ...................................................................................xviii
1. PENDAHULUAN .............................................................................................1
2. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................5
Penyakit Alergi ...........................................................................................5
Rinitis Alergi ....................................................................................... 8
Asma Bronkial ................................................................................... 11
Dermatitis Atopi ..................................................................................12
Diagnosis dan Penatalaksanaan Penyakit Alergi.................................12
Serbuk Sari ................................................................................................14
Penangkapan Serbuk Sari ....................................................................15
Identifikasi Serbuk Sari .......................................................................16
Serbuk Sari sebagai Alergen Penting di Udara ...................................18
3. BAHAN DAN METODE ............................................................................... 22
Waktu dan Tempat Penelitian ...................................................................22
Penangkapan, Identifikasi, dan Pengumpulan Serbuk Sari ......................23
Pembuatan Alergen .................................................................................. 26
Analisis SDS-PAGE Protein Serbuk Sari................................................. 27
Etika Penelitian ….................................................................................... 27
Uji Klinis.................................................................................................. 28
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 30
Identifikasi Serbuk Sari ............................................................................32
Analisis Bobot Molekul (BM) Protein Serbuk Sari .................................34
Uji Klinis Sensitivitas terhadap Serbuk Sari.............................................36
Perbedaan hasil uji tusuk kulit antara kelompok riwayat alergi dan kelompok tanpa riwayat alergi ................................................................. 45
5. SIMPULAN .....................................................................................................52
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................53
LAMPIRAN ......................................................................................................... 65
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Jenis-jenis reaksi hipersensitivitas menurut Gell dan Coombs………..... 6
Tabel 2 Perbedaan persentase uji tusuk kulit positif terhadap alergen berbeda
antara kelompok riwayat alergi dan kelompok tanpa riwayat alergi…..45
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Pajanan alergen yang memacu produksi IgE dan degranulasi sel mast 7
Gambar 2 Alat penangkap serbuk sari yang dipasang di Darmaga ………........ 24
Gambar 3 Alat Burkard volumetric spore trap yang dipasang di Lebak Bulus.. 24
Gambar 4 Drum yang dilengkapi pita transparan “Melinex” dan perekat silikon.. ........................................................................................................... 25 Gambar 5 Alat penangkap dengan gelas objek berperekat silikon yang dipasang di Pasar Minggu dan Jagakarsa.......................................................... 26
Gambar 6 Uji Tusuk Kulit................................................................................... 28
Gambar 7 Serbuk sari akasia dilihat di bawah mikroskop cahaya dan SEM …. 32
Gambar 8 Serbuk sari kelapa genjah dan kelapa sawit dilihat di bawah mikroskop cahaya dan SEM ................................................................................ 32
Gambar 9 Serbuk sari pinus dilihat di bawah mikroskop cahaya dan SEM ....... 33
Gambar 10 Serbuk sari alang-alang, jagung dan padi dilihat di bawah mikroskop cahaya dan SEM …………………………………………………... 33
Gambar11 SDS-PAGE protein serbuk sari dengan pulasan CBB ....................... 34
Gambar12 SDS-PAGE protein serbuk sari dengan pulasan perat nitrat...............34
Gambar 13 Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap serbuk sari akasia.37
Gambar 14 Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap serbuk sari alang- alang................................................................................................... 38
Gambar 15 Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap serbuk sari jagung 39
Gambar 16 Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap sewrbuk sari kelapa genjah ……………………………………………………………… 40
Gambar 17 Perbedaan derajat sensitivitas kedua kelompok terhadap serbuk sari
kelapa sawit ..................................................................................... 41
Gambar 18 Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap serbuk sari padi ...42
Gambar 19 Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap serbuk sari pinus..42
Gsmbar 20 Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap Grasses mix..........43
Gambar 21 Derajat sensitivitas uji tusuk kulit pada kelompok riwayat alergi......48
Gambar 22 Derajat sensitivitas uji tusuk kulit pada kelompok tanpa riwayat alergi ............................................................................................................ 48 Gambar 23 Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap alang-alang, akasia dan Grasses mix ................................................................................ 49
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Peta DKI Jakarta ............................................................................ 66
Lampiran 2 Peta Jakarta Selatan ........................................................................ 67
Lampiran 3 Lembar Informasi Penelitian........................................................... 68
Lampiran 4 Lembar Persetujuan Menjadi Peserta Penelitian ............................ 69
Lampiran 5 Keterangan Lolos Kaji Etik (Ethical Clearence).............................70
DAFTAR SINGKATAN
AAAAI American Academy of Allergy, Asthma and Immunology
BM bobot molekul
CBB coomassie brilliant blue
CDC Center for Disease Control
C. dactylon Cynodon dactylon
Cyn d 1 Cynodon dactylon 1
Cyn d 7 Cynodon dactylon 7
Der.p Dermatophagoides pteronyssinus
Der.f Dermatophagoides farinae
D. glomerata Dactylis glomerata
DKI Daerah Khusus Ibu Kota
DKK Dinas Kesehatan Kota
FKUI Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
GINA Global Initiative for Asthma
IDI Ikatan Dokter Indonesia
IgE Imunoglobulin E
IgG Imunoglobulin G
IgM Imunoglobulin M
IL-4 Interleukin-4
IL-13 Interleukin-13
IPB Institut Pertanian Bogor
ISAAC International Study of Asthma and Allergies in Childhood
kD kilo Dalton
KNAA Konsensus Nasional Asma pada Anak
LMW low molecule weight
L. perenne Lolium perenne
mA mili Amper
mm milimeter
μm mikrometer
PAPDI Perkumpulan Ahli Penyakit Dalam Indonesia
PERALMUNI Perhimpunan Alergi Imunologi Indonesia
Phl p 1 Phleum pratense 1
PPSHB Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati Bioteknologi
RAST radioallergosorbent test
RS Rumah Sakit
RSCM Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo
SEM scanning electron microscope
SDS-PAGE sodium dodecyl sulphate polyacrilamide gel electrophoresis
Th2 T helper 2
tris-HCl tris(hydroxymethyl)aminomethane hydrochloride
WAO World Allergy Organization
w/v weight per volume
Zea m 1 Zea mays 1
xix
1. PENDAHULUAN
Alergi adalah suatu penyakit yang berupa perubahan reaksi tubuh yang
berlebihan terhadap suatu bahan di lingkungan yang disebut alergen. Reaksi alergi
timbul segera dalam beberapa menit setelah ada rangsangan alergen pada
seseorang yang hipersensitif. Efeknya terlihat dalam bentuk rinitis alergi, asma
bronkial (asma) dan dermatitis atopi (Rabson et al. 2005; Kuby et al. 2007).
Dalam dua dekade akhir, penyakit alergi meningkat di hampir semua
negara di dunia, terutama negera-negara maju (Singh & Kumar 2003; Folletti et
al. 2008). Setelah tahun 1990, jumlah pasien asma yang berobat ke dokter dan
dirawat di rumah sakit juga tak menurun (Akinbami & Schoendorf 2002).
Berdasarkan penelitian International Study of Asthma and Allergies in Childhood
(ISAAC), prevalensi penyakit alergi di negara-negara maju lebih tinggi
dibandingkan di negara-negara berkembang. Penelitian ISAAC menemukan
sekitar 20-30% kasus alergi berupa rinitis alergi, 5-15% asma dan 0,33-20,5%
dermatitis atopi pada populasi di dunia (Beasley et al. 1998). Namun penelitian
seperti ini belum banyak dilakukan di Indonesia, sehingga pengetahuan alergi di
sini sangat minim, informasi akurat tentang seberapa besar prevalensi penyakit
alergi dan statistik insiden penyakit alergi juga jarang diperoleh di negeri ini.
Beberapa penelitian yang sudah dilaporkan di antaranya penelitian di Utan
Kayu, Jakarta Pusat, menunjukkan persentase prevalensi asma pada penduduk
berusia lebih dari 14 tahun sebesar 6,9% (Sundaru & Sukmana 1990). Selain itu,
penelitian ISAAC di Indonesia tahun 1996 dilakukan pada anak usia 13-14 tahun,
melibatkan tujuh kota besar yaitu Medan, Palembang, Jakarta, Bandung,
Denpasar, Manado, dan Ujung Pandang. Penelitian ini menyimpulkan, bahwa
prevalensi di berbagai daerah tersebut menunjukkan rentang yang cukup
besar, yaitu rinitis alergi berkisar 22,57-61,94%, asma 2,09-9,01%, dan
dermatitis atopi 0,39-18,8% (Baratawidjaja et al. 2006).
Kini penderita alergi ditemukan di semua lapisan masyarakat di dunia,
dengan tingkat keparahan berbeda-beda, mulai dari yang ringan, sedang sampai
berat. Pada kasus kronis yang berat, alergi mengganggu aktivitas sehari-hari
pasien, dan akhirnya menurunkan kualitas hidupnya. Tak hanya itu, pengobatan
alergi dengan menggunakan jasa dokter, obat, kunjungan gawat darurat, atau
perawatan rumah sakit perlu biaya yang tidak sedikit (Wijk 2002). Masalah ini
tentunya akan sangat memberatkan masyarakat menengah ke bawah yang menjadi
mayoritas penduduk kita.
Penyebab alergi ditimbulkan oleh interaksi antara faktor genetik dan
lingkungan. Faktor genetik merupakan faktor bawaan yang diwarisi penderita dari
salah satu atau kedua orang tuanya. Orang tua penderita alergi cenderung
memiliki anak yang berbakat alergi pula. Selain hal tersebut, ada faktor lain yang
tidak kalah pentingnya yaitu pola hidup penderita serta keadaan lingkungan yang
banyak dipenuhi alergen. Alergen itu sendiri bisa berasal dari dalam rumah
(indoor allergens) atau dari luar rumah (outdoor allergens). Alergen dalam rumah
bermacam-macam, antara lain tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, atau
serpihan kulit hewan piaraan seperti anjing dan kucing, sedangkan alergen luar
rumah dapat berupa spora jamur dan serbuk sari (pollen) yang bersifat musiman,
terutama di negara yang mempunyai 4 musim (Church & Holgate 1995; Lilly
2005; Schoefer et al. 2008).
Penyakit alergi adalah penyakit inflamasi yang berjalan kronis dan sulit
disembuhkan selama masih ada pemicunya. Terapi yang diberikan pada saat
kambuh umumnya bersifat simptomatik, artinya ditujukan untuk mengurangi
gejala saja. Rekomendasi penting penanganan penyakit alergi dimulai dengan
menghindari alergen. Oleh karena itu penatalaksanaan penyakit alergi selain
pengobatan, ditekankan pada kontrol lingkungan agar terhindar kontak dengan
alergen (Luskin 2005; Bacharier et al. 2008; Bateman et al. 2008). Untuk itu,
sebagai dasar antisipasi alergi, setiap pasien alergi perlu mengetahui bahan-bahan
apa yang dapat memicu reaksi alergi pada dirinya. Hingga kini belum ada terapi
yang dapat menghilangkan atau menyembuhkan penyakit alergi sampai tuntas.
Pengobatan alergi hanya dapat mengendalikan penyakitnya agar tidak kambuh
dengan cara menghindari pemicu. Penanganan memerlukan kontrol lingkungan
yang ketat melalui penyuluhan pada pasien (Bateman et al. 2008). Di negara dengan empat musim, alergi pernapasan seperti rinitis alergi dan
asma yang ditimbulkan serbuk sari biasanya kambuh secara musiman. Dalam arti,
penyakitnya muncul bergantung dari geografi, iklim, dan vegetasi (D’Amato et al.
2007; Mandal et al. 2008). Penelitian di lapangan menunjukkan, penyebaran
serbuk sari di udara berfluktuasi sesuai musim, sehingga dapat dibuat kalender
yang menunjukkan fluktuasi jumlah serbuk sari di udara dalam satu tahun.
Kalender tersebut diperlukan oleh pasien alergi dalam upaya menghindari
pajanan, sehingga kekambuhan penyakit alergi akan dapat diperkirakan
berdasarkan jenis serbuk sari di musim tertentu (Platt-Mills et al. 1998; Gossage
2000; Kuhl 2001). Penelitian epidemiologi yang banyak dilakukan para peneliti telah
meningkatkan pemahaman dan penanganan penyakit alergi. Berbagai penelitian
itu membuktikan, serbuk sari rumput merupakan penyebab penyakit alergi penting
di seluruh dunia, sehingga perlu diwaspadai serbuk sari sebagai salah satu alergen
utama pemicu alergi pernapasan (Phanichyakam et al. 1989, Silvestri et al. 1996;
Bufe et al. 1998; Sridhara et al. 2002).
Di Amerika dan Eropa, berbagai alergen baik dalam maupun luar rumah
sudah banyak diteliti dan diketahui (Gossage 2000; Kuhl 2001). Ekstrak serbuk
sari rumput-rumputan sebagai alergen pada uji tusuk kulit telah digunakan sebagai
gold standard dalam diagnosis penyakit alergi (Wodehouse 1965; Nelson 2000;
Koshak 2006). Dewasa ini di Indonesia umumnya dipakai alergen komersial
untuk uji tusuk kulit, yang berarti hanya terbatas pada bahan yang dibuat di Eropa
atau Amerika. Walau alergen komersial cukup banyak dan bervariasi untuk
mendeteksi pencetus alergi yang umum, namun alergen serbuk sari tumbuhan
tropik tidak tersedia sehingga besar kemungkinan akan tetap tidak terdeteksi.
Sebuah penelitian uji sensitivitas yang dilakukan pada pasien alergi
pernapasan di sebuah Klinik Alergi Imunologi di Jakarta terhadap 8 jenis alergen
dalam rumah asal Singapura, dengan hasil positif tinggi pada uji tusuk kulit
terhadap jenis tungau debu rumah Dermatophagoides farinae, Dermatophagoides
pteronyssinus, dan Blomia tropicalis (Baratawidjaja et al. 1998a). Penelitian
selanjutnya uji tusuk kulit dilakukan di klinik yang sama di Jakarta terhadap
alergen regional asal Singapura pada pasien alergi pernapasan dengan persentase
reaksi positif terhadap Dermatophagoides pteronyssinus 77,57%, Blomia
tropicalis 71,96%, Austroglycyphagus malaysiensis 33,64%, Elaeis guineensis
22,43%, Acacia auriculiformis 12,15%, Dicranopteris spp 11,21%, Curvularia
fallax 8,41%, dan Exserohilum rostratum 13,08% (Baratawidjaja et al. 1999).
Pada sisi lain, hasil penelitian tersebut belum banyak memberikan
informasi tentang alergi secara menyeluruh di Indonesia. Untuk faktor alergen
misalnya, selama ini yang lebih banyak diteliti adalah faktor alergen dalam
rumah, sedangkan faktor alergen di luar rumah seperti terabaikan. Padahal di
daerah tropis seperti Indonesia ini, rumput-rumputan tumbuh tersebar di mana-
mana sepanjang tahun. Serbuk sari yang disebarkan angin dari berbagai pohon
dan rumput mengandung sejumlah alergen terutama protein (Gossage 2000; Puc
2003).
Berdasarkan latar belakang tersebut, tampaknya sampai saat ini belum
terdapat studi tentang alergen serbuk sari tumbuhan di Indonesia dan
kemungkinannya sebagai penyebab alergi pada manusia. Kondisi ini cukup
memprihatinkan karena Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman
flora yang memiliki sumber serbuk sari yang tersedia sepanjang tahun,
kemungkinan terjadinya sensitisasi terhadap serbuk sari sangat besar. Oleh karena
itu penelitian khusus tentang sensitivitas terhadap serbuk sari asal tumbuhan
Indonesia sangat perlu dilakukan untuk dapat mengungkapkan dan
mengidentifikasi serbuk sari yang tersebar di udara serta seberapa jauh manusia
telah tersensitisasi.
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi serbuk sari tumbuhan yang
berada di suatu daerah di Indonesia yang dapat menimbulkan reaksi alergi pada
manusia dan membuat ekstrak serbuk sari, serta melihat profil bobot molekul
(BM) protein alergen serbuk sari dengan analisis sodium dodecyl sulfate
polyacrylamide gel electrophoresis (SDS-PAGE), untuk mengetahui
kealergenikannya dilakukan uji klinis pada manusia dengan cara uji tusuk kulit,
baik pada orang dengan riwayat alergi maupun tanpa riwayat alergi.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi tentang seberapa
besar telah terjadi pajanan terhadap alergen serbuk sari pada manusia. Serbuk sari
yang berpotensi tinggi sebagai alergen dapat digunakan dalam panel uji tusuk
kulit sebagai upaya pencegahan penyakit alergi di Indonesia.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit Alergi
Dalam imunologi, banyak istilah yang kerap tumpang tindih untuk
menggambarkan penyakit alergi. Selain istilah alergi, dikenal istilah atopi dan
hipersensitivitas. Ketiga istilah sering dipakai bergantian tanpa mempengaruhi
makna kalimat, meskipun sebenarnya masing-masing mempunyai batasan
tersendiri. Istilah alergi diperkenalkan pertama kali pada tahun 1906 oleh Clemens
Peter Freiherr von Pirquet, seorang dokter anak dari Austria yang mendalami
bidang bakteriologi dan imunologi. Alergi berasal dari bahasa Yunani allos
(artinya: perubahan atau penyimpangan) dan ergon (artinya: reaksi). Oleh karena
itu, alergi didefinisikan sebagai reaksi penyimpangan sistem imun terhadap
bahan-bahan alergen yang tidak berbahaya. Pengaktifan sistem imun yang tidak
diinginkan serta berpotensi merusak jaringan tubuh disebut hipersensitivitas.
Bakat atau kecenderungan seseorang untuk mengalami reaksi hipersensitivitas
disebut atopi, yang berasal dari bahasa Yunani atopia yang berarti tanpa tempat,
karena reaksi hipersensitivitas dapat bermanifestasi secara menyeluruh pada tubuh
(sistemik). Kata atopi pertama diperkenalkan oleh Coca pada tahun 1928, yaitu
istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada orang yang mempunyai
kepekaan dalam keluarganya.
Penyakit-penyakit alergi sering dihubungkan dengan organ tertentu, yaitu
hidung (rinitis alergi), mata (konjungtivitis alergi), rongga hidung di belakang
wajah (sinusitis), paru (asma bronkial/asma), kulit (dermatitis atopi/ekzema dan
urtikaria/kaligata) (Rabson et al. 2005; Kuby et al. 2007).
Dahulu semua jenis hipersensitivitas disebut alergi, tetapi sekarang alergi
hanya merupakan satu dari empat jenis reaksi hipersensitivitas (Tabel 1). Alergi
adalah reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang disebut juga tipe cepat atau anafilaksis,
ditandai dengan produksi antibodi Imunoglobulin E (IgE) berlebihan sebagai
respons atas rangsangan alergen yang memicu aktivasi sel-sel imun tertentu untuk
melepaskan zat perantara (mediator) kimiawi seperti histamin, dan menimbulkan
respons inflamasi berupa asma, rinitis alergi, dan dermatitis atopi (Platt-Mills et
al. 2006).
6
Tabel 1 Jenis reaksi hipersensitivitas menurut Gell dan Coombs (Platt-Mills 2006)
Tipe Nama reaksi Perantara Contoh penyakit 1 Alergi/cepat/anafilaksis IgE Asma, rinitis alergi, dermatitis atopi 2 Sitotoksik IgG, IgM Anemia hemolitik autoimun 3 Kompleks imun IgG, IgM Lupus eritematosus sistemik 4 Lambat Sel T Dermatitis kontak
Suatu alergen akan menimbulkan gejala klinik bila seseorang telah
mengalami sensitisasi yang merupakan hasil interaksi antara kemampuan
seseorang secara genetik untuk merespons pemajanan oleh alergen. Sensitisasi
ditandai dengan produksi IgE, sebagai petanda respons imun terhadap alergen
yang merangsang. Pemajanan oleh alergen kepada orang yang tidak sensitif,
meskipun dalam jumlah besar tidak akan menimbulkan gejala, sementara bagi
orang yang sensitif, hanya dibutuhkan sejumlah kecil alergen untuk menimbulkan
gejala alergi. Sensitisasi terhadap alergen dapat terjadi sejak masa kandungan,
kanak-kanak, dan bahkan dewasa (Rabson et al. 2005; Kuby et al. 2007).
Penyakit alergi ditandai oleh respons imun terhadap alergen dalam
lingkungan yang menimbulkan inflamasi imunologik di jaringan dan kelainan
fungsi organ dengan dibentuknya antibodi IgE spesifik. Alergen masuk ke dalam
tubuh melalui beberapa cara, yaitu alergen hirup melalui saluran napas (tungau
debu rumah, serpihan kulit binatang, serbuk sari, dan spora jamur), alergen
ingestan melalui mulut (makanan dan obat-obatan), alergen injektan (obat suntik)
dan alergen kontaktan seperti logam, karet, dan wangi-wangian (Al-Frayh &
Hasnain 2000). Manifestasi alergi dapat terjadi di organ pernapasan berupa asma
dan rinitis alergi, di kulit berupa dermatitis atopi dan urtikaria (kaligata/biduran),
serta reaksi alergi yang mengancam nyawa bersifat sistemik yang disebut
anafilaksis (Rabson et al. 2005, Chapel et al. 2006; Kuby et al. 2007).
Alergen yang masuk tubuh akan memacu sel limfosit B untuk
memproduksi IgE yang kemudian diikat oleh reseptornya pada sel mast yang
terdapat di jaringan tubuh dan basofil yang berada dalam sirkulasi. Selanjutnya
alergen yang sama masuk tubuh pada pajanan ulang akan diikat oleh IgE tersebut.
Ikatan IgE dan alergen spesifiknya akan mengaktifkan sel mast dan basofil untuk
melepas histamin dan mediator lainnya yang berperan dalam timbulnya gejala
alergi (Gambar 1).
7
Gambar 1 Pajanan alergen yang memacu produksi IgE dan degranulasi sel mast (dimodifikasi dari Rabson et al. 2005)
Pasien alergi yang sudah tersensitisasi terhadap alergen spesifik akan
menunjukkan reaksi kulit positif berupa bentol dan merah pada uji tusuk kulit. Sel
limfosit B dan produknya yang berupa antibodi IgE merupakan elemen utama
respons imun humoral. Produksi antibodi oleh sel limfosit B dikendalikan dan
dirangsang oleh sel limfosit T dengan profil sitokin T helper2 (Th2),
meningkatkan sintesis Interleukin-4 (IL-4) dan Interleukin-13 (IL-13) yang
memacu sintesis antibodi IgE. Sel mast ditemukan dalam berbagai jaringan seperti
kulit, konjungtiva mata, saluran cerna serta saluran napas bagian atas dan bawah.
Di tempat-tempat tersebut sel mast terpajan dengan berbagai bahan eksternal. Sel
mast juga ditemukan sekitar saraf dan pembuluh darah. Sebaliknya basofil tetap
dalam sirkulasi yang merupakan sekitar 0,5% dari leukosit (sel darah putih). Bila
sel mast dan basofil diaktifkan, akan berdegranulasi dan melepas berbagai
mediator baik yang sudah ada dalam sel (preformed) yang menimbulkan awal
respons alergi dan yang dibentuk baru (newly generated/synthesize) (Rabson et al.
2005; Platt-Mills 2006).
Respons alergi dibagi menjadi fase dini dan fase lambat. Sel mast
merupakan sel utama yang berperan dalam fase dini, melepas mediator yang
sudah terbentuk sebelumnya seperti histamin dan Platelet Activating Factor
(PAF), dan mediator yang baru disintesis seperti leukotrin. Efek histamin adalah
bronkokonstriktor, meningkatkan sekresi mukus dan kontraksi otot polos saluran
napas, vasodilatasi, dan peningkatan permeabilitas vaskular (Bachert 2002;
MacGlashan 2003). Leukotrin merupakan kemoatraktan leukosit poten,
menginduksi kontraksi otot polos, bronkokonstriksi dan peningkatan sekresi
mukus, sedangkan mediator PAF berfungsi sebagai kemoatraktan eosinofil poten
Alergen IgE Sel Mast Mediator Reaksi hipersensitivitas tipe 1/alergi/cepat
Rinitis alergi
Asma bronkial Dermatitis atopi dan urtikaria
Alergi makanan
Histamin
Serbuk Sari IgE
Sel Mast
8
(Edwards 2003). Eosinofil ditemukan pada tahun 1879 oleh Paul Ehrlich, sel ini
dianggap berperan penting dalam inflamasi alergi. Eosinofil memproduksi dan
melepas berbagai mediator, salah satunya Protein Dasar Utama (Major Basic
Protein) yang merusak jaringan dan memacu inflamasi pada penyakit alergi
(Romagnini 2004).
. Rinitis alergi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi kronik lapisan lendir (mukosa)
hidung yang terletak di saluran napas atas, diperantarai antibodi IgE setelah
dipicu oleh pajanan alergen. Gejala-gejalanya dapat berupa bersin-bersin, hidung
berair, hidung tersumbat dan gatal, seringkali disertai mata gatal, merah dan
berair. Berdasarkan kemunculannya, rinitis alergi dibagi menjadi rinitis
intermiten dan persisten. Berdasarkan keparahannya, rinitis alergi dibagi menjadi
ringan, sedang, dan berat. Rinitis alergi adalah penyakit multifaktorial dengan
banyak faktor risiko yang dipicu oleh interaksi gen dan lingkungan. Rinitis alergi
dan asma adalah penyakit alergi pernapasan, dengan konsep one airway one
disease, yang berarti pada orang yang menderita rinitis alergi seringkali disertai
asma, karena merupakan satu saluran pernapasan. Rinitis alergi adalah penyakit
alergi pada saluran pernapasan atas, sedangkan asma pada saluran pernapasan
bawah (Huang 2007).
Pencetus rinitis alergi adalah alergen, baik alergen dalam rumah atau luar
rumah di daerah beriklim sedang. Alergen dalam rumah terpenting adalah tungau
debu rumah, kecoa, serpihan kulit hewan piaraan seperti kucing dan anjing.
Alergen luar rumah terpenting adalah serbuk sari. Spora jamur merupakan alergen
dalam dan luar rumah, Aspergillus dan Penicillium adalah spesies yang paling
banyak ditemukan dalam rumah, sedang Alternaria dapat ditemukan di dalam
maupun luar rumah (Matsui & Wood 2007). Penyakit rinitis yang dicetuskan
serbuk sari disebut polinosis. Sejak lama masyarakat di negara 4 musim
menyadari bahwa pada musim panas, orang-orang tertentu akan mengalami rinitis
alergi yang dikenal dengan istilah hay fever. Semula mereka menganggap
penyakit ini disebabkan oleh bunga mawar pada awal musim panas dan oleh
tanaman goldenrod di akhir musim panas. Kenyataannya, hay fever dicetuskan
oleh serbuk sari rumput-rumputan yang tumbuh di sekitar bunga mawar dan
9
serbuk sari gulma ragweed yang tumbuh di sekitar goldenrod. Hay fever pada
awal musim panas berbarengan dengan berbunganya rumput-rumputan,
sedangkan pada akhir musim panas sejalan dengan berbunganya ragweeds dan
goldenrods. Selain rumput-rumputan dan ragweed, banyak tumbuhan lain
penyebab hay fever (Wodehouse 1965). Di Amerika Utara, ragweed jenis
Ambrosia artimisifolia (Asteraceae) merupakan serbuk sari gulma terpenting oleh
karena dapat disebarkan dengan jarak ratusan kilometer. Reaksi alergi terhadap
serbuk sari tersebut terjadi pada akhir musim panas dan berlangsung sampai bulan
Oktober. Sekalipun demikian, di Florida Selatan orang yang tersensitisasi dapat
menunjukkan gejala alergi di luar musim tersebut. Hal ini disebabkan di daerah
pantai itu, serbuk sari di produksi sepanjang tahun. Dewasa ini ragweed juga
ditemukan di Korea, Jepang, Australia dan Eropa (Gossage 2000).
Cynodon dactylon disebut juga Bermuda grass, serbuk sarinya merupakan
sumber polinosis yang sangat banyak di seluruh dunia, pencetus asma, rinitis
alergi, dan konjungtivitis alergi yang kuat, dikenal sebagai salah satu spesies
rumput yang sering menyebabkan reaksi alergi dan terdapat di berbagai wilayah
seperti Eropa, Amerika, Afrika Selatan, Australia, India, dan Jepang
(Sompolinsky et al.1984; Adler et al.1985; Weber 2002). Serbuk sari C. dactylon
merupakan alergen tersering penyebab rinitis alergi pada anak-anak yang
dibuktikan dengan uji IgE spesifik (Halonen et al. 1997) dan juga berhubungan
bermakna dengan sinusitis (Lombardi et al. 1996).
Selain di daerah beriklim sedang, reaksi alergi terhadap serbuk sari
C. dactylon juga ditemukan di Asia Tropik. Pada penelitian di Thailand, 17% dari
100 orang pasien alergi rinitis menunjukkan uji IgE spesifik terhadap alergen
C. dactylon (Pumhirun 1997). Di Semenanjung Malaysia, serbuk sari C. dactylon
dilaporkan merupakan serbuk sari yang paling alergenik di antara serbuk sari
rumput-rumputan (Sam 1998). Bahkan di Kuwait, negara yang terdapat di gurun
pasir, mendapatkan serbuk sari C. dactylon sebagai salah satu alergen yang paling
sering ditemukan pada 505 orang dewasa muda dengan prevalensi 53,6%, sedikit
lebih banyak dari tungau debu rumah (52,7%) (Ezeamuzie 1997). Dari 810 pasien
asma atau rinitis alergi di Kuwait, IgE spesifik terhadap C. dactylon terdeteksi
pada 54,6% serum pasien (Ezeamuzie 2000). Pada 706 pasien rinitis alergi berusia
10
6-64 tahun, IgE spesifik terhadap C. dactylon didapatkan pada 55% orang
(Dowaisan 2000). Di Uni Emirat Arab, 33% dari 263 pasien alergi pernapasan
didapatkan sensitif terhadap C. dactylon (Lestringant et al. 1999). Di Arab Saudi,
IgE spesifik terhadap C. dactylon merupakan salah satu alergen yang sering
dijumpai pada pasien dewasa maupun anak-anak dengan asma dan rinitis alergi
(Al-Anazy 1997; Sorensen 1986). C. dactylon juga merupakan alergen yang
menonjol di Afrika Selatan pada anak-anak dengan asma dan rinitis alergi (Green
1997; Potter 1991).
Alergen Serbuk Sari Poaceae pencetus rinitis alergi. Protein serbuk sari
poaceae yang dapat mencetuskan alergi telah diteliti luas dan dibagi menjadi 13
grup. Alergen grup 1 meliputi glikoprotein yang mempunyai BM antara 27-35
kD. Alergen ini berada baik di sitoplasma maupun di eksin butir serbuk sari dan
merupakan alergen utama dari ekstrak serbuk sari rumput. Sekitar 90% orang
yang alergi serbuk sari rumput memperlihatkan reaktivitas antibodi IgE terhadap
alergen grup 1 (Matthiesen et al. 1991; Han et al. 1993; Schramm et al. 1996).
Alergen ini merupakan glikoprotein yang sering menyebabkan reaktivitas silang
dengan serbuk sari berbagai rumput lainnya (Grobe et al. 1999; Schenk et al.
1996; Hiller et al. 1997). Pada serbuk sari C. dactylon terpenting adalah alergen
grup 1 (Cyn d 1) dengan BM 30 kD (Shen et al. 1988; Ford & Baldo 1987;
Matthiesen et al. 1991) dan grup 7 (Cyn d 7) (Smith et al. 1997; Suphioglu et al.
1997).
Alergen grup 2 dan 3 meliputi protein non-glikosilat dengan kisaran BM
10-12 kD. Alergen grup 4 merupakan glikoprotein pengikat IgE dengan BM 50-
67 kD dan awalnya diidentifikasi dari rumput Phleum pratense yang sering
disebut Timothy grass, Lolium perenne dikenal dengan nama Perennial rye grass,
dan Dactylis glomerata atau Orchard grass (Brodard et al. 1993). Sebanyak 80%
orang yang alergi terhadap serbuk sari rumput memperlihatkan reaktivitas IgE
terhadap alergen grup 4, sehingga kelompok ini dianggap sebagai alergen mayor
(Leduc-Brodard et al. 1996). Alergen grup 5 mirip dengan grup 1, mempunyai
BM antara 27-33 kD. Alergen grup 6 adalah sitokrom, sejauh ini hanya ditemukan
pada P. pratense, yang merupakan protein non-glikosilat bersifat asam dengan
BM sekitar 13 kD (Lowenstein et al. 1978). Alergen grup 7 merupakan
11
sekelompok protein kecil dengan BM 8,7-8,8 kD, ditemukan pada rumput C.
dactylon dan P. pratense (Smith et al. 1997, Niederberger et al. 1996, Puc 2003).
Alergen grup 11 pertama ditemukan dari serbuk sari L. perenne yang merupakan
glikoprotein pengikat IgE berukuran 18 kD (Ree et al 1995). Alergen grup 12
merupakan keluarga protein yang disebut profilin berukuran 14 kD (Sohn et al
1994), dan grup 13 merupakan kelompok terakhir yang ditemukan pada serbuk
sari rumput-rumputan dengan BM sekitar 55-60 kD (Sohn et al. 1994).
Asma bronkial
Asma bronkial adalah penyakit inflamasi kronik di paru yang terletak di
saluran napas bawah, berupa episode penyempitan dan peradangan jalan napas
yang disertai produksi lendir (mukus) berlebihan sebagai respons terhadap satu atau
lebih pencetus. Batasan teknis dari Global Initiative for Asthma (GINA)
mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronik saluran napas dengan
peran berbagai sel, terutama sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Inflamasi pada
orang yang peka mengakibatkan episode mengi berulang, sesak napas, rasa dada
tertekan, dan batuk terutama malam dan dini hari (Bateman et al. 2008). Batasan
praktis dari Pedoman Nasional Penanganan Asma Anak adalah mengi berulang dan
atau batuk persisten dengan karakteristik timbul secara episodik, cenderung pada
malam dan dini hari, musiman, setelah aktivitas fisik, dan dapat membaik dengan
atau tanpa pengobatan serta adanya riwayat asma atau atopik lain pada pasien dan
atau keluarganya [UKK Pulmonologi IDAI 2002].
Faktor pencetus serangan asma antara lain adalah alergen (tungau debu
rumah, kecoa, serpihan kulit hewan piaraan, spora jamur, serbuk sari), asap rokok,
polusi udara, dan infeksi virus. Alergen merupakan faktor terpenting tidak hanya
dalam mencetuskan asma, tetapi juga menentukan keparahan dan menetapnya
gejala-gejala asma (Nelson 2000). Secara patologis, asma ditandai oleh
hiperreaktivitas bronkus. Orang atopi adalah orang yang rentan untuk mengalami
hiperreaktivitas bronkus, tetapi hanya 10-30% yang akhirnya mengalami asma.
Bukti bahwa asma memiliki komponen genetik berasal dari studi pada keluarga,
yang memperkirakan bahwa kontribusi faktor genetik terhadap atopi dan asma
secara relatif adalah sekitar 40-60%. Asma adalah penyakit genetik yang kompleks
12
dan melibatkan banyak gen, sehingga kerentanan terhadap asma melibatkan
interaksi berbagai faktor genetik dan lingkungan (Kuby et al. 2007).
Dermatitis atopi
Dermatitis atopi atau ekzema adalah peradangan kronik kulit dengan
gejala gatal yang seringkali mengganggu tidur. Pada bayi, ekzema umumnya
berupa ruam merah yang sangat gatal di wajah, kulit kepala, belakang telinga,
badan, lengan dan tungkai. Pada anak balita, ruam sering kali ditemukan di lipatan
kulit sekitar lutut dan siku. Menjelang remaja ekzema umumnya menghilang dan
dapat bermanifestasi menjadi asma. Alergen pemicu biasanya berupa makanan
(susu, makanan laut, kacang tanah, coklat, dan lain-lain). Reaksi alergi makanan
selain berupa dermatitis atopi, dapat juga berupa reaksi bentol, kemerahan dan
gatal yang dikenal dengan sebutan urtikaria, nama lainnya biduran atau kaligata
(Rabson et al. 2005).
Diagnosis dan Penatalaksanaan Penyakit Alergi
Terjadinya alergi ditentukan faktor atopi, yaitu predisposisi genetik
seseorang untuk memproduksi antibodi IgE dalam tubuhnya bila terpajan alergen
yang terdapat di lingkungannya. Atopi tidak selalu menimbulkan gejala alergi,
tetapi cenderung untuk berkembang menjadi penyakit alergi. Atopi dapat
diketahui dengan pemeriksaan IgE (Bousquet et al. 2008). Ditemukannya antibodi
IgE spesifik terhadap alergen tertentu merupakan uji terpenting dalam diagnosis
dan penatalaksaan penyakit alergi dalam upaya pencegahan. Pemeriksaan adanya
IgE dapat dilakukan dengan cara uji tusuk kulit (skin prict test) dan pemeriksaan
darah cara radioallergosorbent test (RAST) (Rusznak & Davies 1998; Jarvis &
Burney 2004; Koshak 2006)
Diagnosis penyakit alergi terutama ditegakkan berdasarkan wawancara
(anamnesis) tentang riwayat penyakit. Anamnesis yang cermat merupakan kunci
keakuratan diagnosis, meliputi riwayat timbulnya gejala, frekuensi serangan,
intensitas gejala, riwayat berbagai faktor pencetus, dan kondisi rumah serta
lingkungan (Church & Holgate 1995). Pada pemeriksaan fisis rinitis alergi dapat
ditemukan rinore atau ingusan, penurunan atau hilangnya indera penciuman.
13
Pemeriksaan fisis pasien asma pada masa di luar serangan umumnya normal. Pada
saat serangan dapat ditemukan sesak napas disertai bunyi napas mengi yang khas
(Rabson et al. 2005). Setiap pasien yang dicurigai menderita asma atau rinitis
alergi harus dievaluasi adanya sensitisasi terhadap alergen dengan cara uji tusuk
kulit guna mengetahui faktor pencetus yang ada di lingkungannya (Church &
Holgate 1995).
Uji tusuk kulit pertama kali diperkenalkan oleh Lewis dan Grant pada
tahun 1924, namun baru dipergunakan secara luas setelah dimodifikasi oleh Pepys
pada tahun 1974. Ekstrak alergen dan cairan kontrol diteteskan pada permukaan
volar lengan bawah. Bagian superfisial kulit ditusuk menggunakan jarum khusus
tanpa berdarah. Untuk setiap alergen harus digunakan jarum yang berbeda untuk
menghindari tercampurnya cairan uji. Dalam melakukan uji tusuk kulit, sebagai
kontrol positif dipakai histamin dan untuk kontrol negatif dipakai bahan pelarut
(Mygind et al. 1994). Tes dibaca setelah 15 menit, reaksi positif dinyatakan
adanya kemerahan dan bentol pada kontrol positif histamin dengan minimal
diameter 3 mm lebih besar dibanding dengan kontrol negatif. Keunggulan uji
tusuk kulit adalah sederhana, pembacaan dapat dilakukan dengan cepat,
mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi serta dapat menguji sejumlah
besar alergen sekaligus (Rusznak & Davies 1998; Jarvis & Burney 2004).
RAST merupakan pemeriksaan darah yang akurat untuk mengukur kadar
IgE spesifik dalam darah. Umumnya, terjadinya alergi akan ditandai dengan
adanya peningkatan kadar IgE yang spesifik. Pada RAST, alergen akan
ditempatkan di suatu paper discs atau polyurethane caps dan kemudian
direaksikan dengan sampel serum yang diambil dari pembuluh darah vena pasien.
Pengikatan IgE spesifik terhadap alergen tersebut terdeteksi melalui enzyme
linked-human IgE antibody pada reaksi kolorometrik. Pemeriksaan RAST spesifik
untuk menentukan alergen penyebab reaksi alergi, digunakan bila uji tusuk kulit
tidak dapat dilakukan pada orang-orang dengan penyakit kulit tertentu seperti
ekzema berat, atau pada orang yang mendapat terapi obat-obatan yang
mengganggu akurasi hasil uji tusuk kulit. Keuntungan RAST tidak perlu
menghentikan obat-obat tertentu dan tidak ada risiko anafilaksis, hanya harganya
lebih mahal dibanding uji tusuk kulit. Meski demikian, hasil RAST perlu
14
diinterpretasikan bersama dengan hasil pemeriksaan alergi lainnya seperti
anamnesis dan uji tusuk kulit untuk memperoleh diagnosis yang lebih baik
(Chapel et al. 2006).
Serbuk Sari
Serbuk sari adalah alat reproduksi tumbuhan guna mempertahankan
jenisnya dari kepunahan. Serbuk sari berupa butiran halus yang mengandung
mikrogametofit, yang menghasilkan gamet jantan tumbuhan berbiji. Dinding
serbuk sari terdiri atas 2 lapisan yaitu lapisan luar yang disebut eksin dan lapisan
dalam intin. Lapisan eksin terdiri dari bahan yang sangat kuat disebut
sporopolenin, dibagi menjadi lapisan seksin eksternal dan neksin internal. Seksin
merupakan lapisan yang memiliki ornamen berupa lubang-lubang sirkular atau
galur-galur longitudinal atau keduanya, dan neksin tidak. Struktur eksin
merupakan salah satu karakter yang digunakan dalam mengidentifikasi, dan
memiliki aviditas untuk zat pewarna dasar (fuchsin dan phenosaffranin).
Pelepasan serbuk sari atau antesis biasanya terjadi pasif, karena anter pecah bila
menjadi kering (Faegri et al. 1964).
Studi terhadap serbuk sari disebut palinologi dan istilah palinologi
diperkenalkan oleh Hyde dan Williams pada tahun 1945. Palinologi juga berkaitan
dengan bidang ilmu lainnya seperti biologi polinasi dan biologi reproduktif.
Untuk kepentingan taksonomi, penekanan diberikan pada ciri-ciri komparatif
serbuk sari, khususnya pada apertura dan struktur dinding (Stuessy 1990).
Aplikasi studi serbuk sari di bidang kedokteran antara lain dalam mengidentifikasi
alergen sebagai pencetus penyakit alergi dan imunoterapi (Mildenhall et al. 2006).
Penyerbukan pada tumbuhan dapat melalui beberapa cara yaitu anemofili
(dibantu angin) seperti padi, jagung, rumput, akasia dan pinus, hidrofili (dibantu
air) seperti tanaman air, entomofili (dibantu serangga) seperti pada anggrek,
ornitofili (dibantu burung) seperti benalu, kiropterofili (dibantu kelelawar) seperti
durian, malakofili (dibantu siput) dan antropofili (dibantu manusia) seperti pada
vanili. Serbuk sari tumbuhan anemofili biasanya kecil, halus, amat ringan, dan
diproduksi dalam jumlah yang sangat besar. Di antara tumbuhan entomofili,
terdapat beberapa tumbuhan yang memproduksi serbuk sari sangat banyak,
15
memiliki anter terbuka, serbuk sari yang kurang lengket dapat melepaskan cukup
banyak serbuk sari ke udara; tumbuhan seperti ini disebut amfifili karena secara
parsial dapat menggunakan angin sebagai cara penyebaran serbuk sari
(Wodehouse 1965; Sornsathapornkul & Owens 1998; Smith 2000).
Aerobiologi adalah ilmu tentang partikel biologis yang terdapat di udara.
Aerobiologi antara lain bertujuan untuk memahami penyebaran partikel biologis
yang terdapat di udara yang menyebabkan penyakit pada manusia, hewan, dan
tumbuhan sebagai upaya pencegahan. Sebagai contoh, banyak orang mengalami
reaksi alergi karena partikel biologis yang dihirup, adakalanya bersifat alergen
terhadap manusia. Serbuk sari merupakan salah satu contoh dari partikel biologis
yang terdapat di udara yang menjadi objek aerobiologi (Lacey & West 2006).
Penangkapan Serbuk Sari
Untuk mengetahui serbuk sari apa yang ada di udara, dapat dilakukan
penangkapan dengan beberapa cara, yaitu dengan menggunakan kolektor pasif
berupa kolektor aeroalergen dasar yang secara total tergantung pada angin dan
gravitasi untuk membawa objek di udara ke permukaan pengumpul. Yang paling
banyak dipakai adalah gelas objek berperekat yang ditempatkan tak terlindung
dalam posisi terpajan terhadap udara bebas dalam waktu singkat (Smith 2000).
Alat penangkap lain seperti slit-type volumetric spore trap merupakan cara
terbaik pengumpulan serbuk sari dengan mesin slit-type yang menggunakan alat
penghisap. Alat ini mengeluarkan udara melalui satu atau beberapa ventilasi agar
udara terhisap ke dalam mesin melalui celah sempit berukuran 0,04x0,55 inci.
Kipas dan pompa udara digunakan untuk mengeluarkan udara dan menciptakan
kondisi bertekanan rendah yang memungkinkan udara masuk dan berganti melalui
celah. Slit-type volumetric spore trap yang banyak dipakai adalah alat Burkard.
Alat Burkard volumetric spore trap terdiri dari bagian luar dan bagian dalam
dengan drum yang dapat berputar dengan mekanisme pengaturan waktu 7 hari
terus-menerus. Drum ini dilengkapi dengan pita plastik transparan “Melinex”
yang dilekatkan di sekelilingnya. Alat Burkard juga dilengkapi dengan sebuah
pompa vakum yang dapat menarik udara sebanyak 10 liter per menit, sehingga
dapat menarik serbuk sari maupun spora dari udara melalui celah, yang kemudian
akan membentur dan melekat pada “Melinex”. Alat ini dapat diandalkan, mudah
16
dibawa, dapat digunakan dalam segala cuaca, dan mudah dioperasikan. Burkard
merupakan alat yang direkomendasikan oleh World Allergy Organization
(WAO) dan mendapat sertifikasi dari The American Academy of Allergy,
Asthma and Immunology (AAAAI) (Lacey & West 2006, Hasnain et al. 2007).
Identifikasi Serbuk Sari
Untuk mengidentifikasi serbuk sari dapat dilakukan dengan mikroskop
cahaya dan pengamatan ultrastruktur dengan SEM, identifikasi berdasarkan
karakteristik berupa ukuran, bentuk, apertura, dan permukaan eksin (Faegri et al.
1964; Smith 2000).
Ukuran. Ukuran dan volume serbuk sari bervariasi secara alamiah karena
faktor genetik dan lingkungan yang berbeda. Ukuran dapat berubah dari bunga ke
bunga atau dari anter ke anter pada bunga yang sama. Temperatur dan
ketersediaan air juga dilaporkan mempengaruhi ukuran serbuk sari. (Smith 2000).
Bentuk. Bentuk serbuk sari ditentukan secara genetik dan lingkungan.
Bentuk butir serbuk sari dapat dilihat dari pandangan polar dan equatorial,
ditentukan berdasarkan perbandingan antar panjang aksis polar (P) dan diameter
ekuatorial (E), diekspresikan dalam bentuk indeks polar/ekuatorial (P/E Index),
yaitu rasio panjang dari kutub ke kutub dibandingkan lebar ekuatorial. Ekuator
adalah zona berjarak sama (equidistant) di antara kutub-kutub (Kapp 1969).
Serbuk sari dari spesies tumbuhan yang sama atau berkerabat dekat cenderung
memiliki morfologi yang serupa. Faktor lingkungan internal dan eksternal juga
turut berperan membentuk serbuk sari. Jika lingkungan internal tidak sama,
bentuk serbuk sari dari spesies yang berkerabat dekat atau bahkan sama mungkin
menghasilkan perbedaan nyata. Serupa dengan itu, jika faktor lingkungan
eksternal tidak sama, serbuk sari akan sangat berbeda tanpa memandang
kedekatan kekerabatannya. Kecenderungan kemiripan serbuk sari antar spesies
yang berkerabat dapat ditekan oleh perkembangan karakter yang dicetuskan oleh
pengaruh luar sehingga sedikit kemiripan yang dapat dikenali (Wodehouse 1965;
Smith 2000).
Apertura. Apertura atau bukaan adalah suatu area tipis pada eksin yang
berhubungan dengan perkecambahan serbuk sari, berfungsi sebagai titik keluar
tabung serbuk sari yang mengakomodasi perubahan volume di dalam serbuk sari
17
ketika mengalami hidrasi atau pengeringan. Apertura melintas dari eksin ke intin,
dan dibedakan menjadi dua tipe yang bermanfaat untuk mengidentifikasi, yaitu
berupa celah memanjang disebut kolpi/kolpus (furrow) dan yang celah pendek
atau berbentuk bulat disebut porus/pori (pore). Pada bagian tengah pori beberapa
serbuk sari tampak suatu tudung sirkular (operkulum) yang merupakan sisa
perkembangan dinding serbuk sari sebelumnya, dan seringkali gugur saat
penyebaran serbuk sari yang telah matang. Pori pada serbuk sari dikelompokkan
berdasarkan jumlahnya. Serbuk sari inapertura tidak mempunyai pori pada
permukaannya. Serbuk sari yang mempunyai satu, dua, atau tiga pori-pori
berturut-turut disebut monoporat, diporat, dan triporat. Serbuk sari lainnya
mempunyai kolpus di permukaannya, dengan satu, dua, tiga, dan empat kolpi,
berturut-turut disebut monokolpat, dikolpat, trikolpat, dan tetrakolpat (Faegri et
al. 1964; Smith 2000).
Permukaan eksin. Serbuk sari juga mempunyai karakteristik permukaan
berdasarkan tipe ornamentasi eksin yang menjadi alat mengidentifikasi. Tipe
ornamentasi dapat dibedakan berdasarkan ukuran, bentuk, dan susunan
ornamentasinya, yaitu: psilat, perforat, foveolat, skabrat, verukat, gernat, klavat,
pilat, ekinat, rugulat, striat, dan retikulat. Permukaan psilat (Yunani: psilos-halus,
rata) tidak menampakkan gambaran apa pun di permukaannya dan tampak halus
rata, contohnya serbuk sari rumput. Di luar itu, ciri permukaan serbuk sari
digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu yang tampak sebagai penekanan atau
ridges pada eksin (retikulata, rugulata, dan striata), dan gambaran yang
merupakan tonjolan dari eksin (bakulata, klavata, ekinata, gemata, skabrata, dan
verukata). Permukaan retikulata (Latin: rete=jaring) adalah permukaan serbuk sari
yang mirip jaring. Permukaan rugulata (Latin: ruga=keriput) mempunyai
permukaan yang tidak teratur dengan garis-garis keriput yang tidak paralel.
Permukaan striata (Latin: stria=garis) mempunyai permukaan bergaris halus yang
tersusun hampir sejajar. Permukaan eksin bakulata (Latin: baculum=batang)
adalah tonjolan berbentuk batang dengan diameter terbesar kurang dari tinggi
tonjolan. Permukaan klavata (Latin: clava=gada) berbentuk tonjolan gada atau
raket tenis yang apeks-nya lebih lebar dari dasarnya. Permukaan ekinata (Latin:
echinatus-duri) adalah tonjolan berbentuk duri dan meruncing tajam dari dasar ke
18
ujungnya. Permukaan gemata (Latin: gemma=tunas) adalah tonjolan berbentuk
tombol pintu atau tonjolan bulat dengan dasar menyempit. Permukaan skabrata
(Latin: scaber-bercak kecil) cenderung tampak sebagai permukaan kasar yang
tersusun dari tonjolan-tonjolan sangat kecil berdiameter kurang dari satu mikron.
Permukaan verukata (Latin: verucca-kutil) tampak tidak rata dengan tonjolan-
tonjolan bulat yang tidak menyempit di dasarnya (Faegri et al. 1964; Smith 2000).
Serbuk Sari sebagai Alergen Penting di Udara
Alergen adalah antigen yang memacu produksi antibodi IgE. Alergen
dalam udara masuk tubuh melalui inhalasi, terdiri dari partikel organik
(aeroalergen) dan inorganik. Serbuk sari tumbuhan merupakan sumber alergen
yang sangat penting dan dapat menimbulkan penyakit alergi pada kisaran 10-20%
populasi manusia, biasanya berupa rinitis alergi (Thompson & Stewart 1993).
Kadar dan jenis serbuk sari dapat berbeda bergantung pada jenis tumbuhan, angin,
dan faktor meteorologik lainnya. Kadar alergen di udara harus cukup tinggi,
dengan ukuran yang kecil dan ringan. Serbuk sari yang bersifat alergenik
umumnya berukuran 10-100 µm. Ukuran serbuk sari dapat dibagi menjadi
kategori: sangat kecil bila < 10 um, kecil 10-25 um, sedang 25-50 um, besar 50-
100 um, sangat besar 100-200 um (Weber 1998; Taylor et al. 2002).
Kebanyakan partikel aeroalergen mengandung campuran protein atau
glikoprotein yang dapat menimbulkan sensitivitas pada orang yang alergi. Secara
klinis aeroalergen mempunyai 3 ciri utama yaitu mengandung determinan antigen
spesifik yang dapat memacu respons alergi melalui antibodi IgE pada orang yang
sensitif. Pajanan dengan kadar ambien yang cukup untuk menimbulkan respons
alergi pada orang yang sensitif, berukuran kecil sehingga dapat mencapai mukosa
saluran napas (Gossage 2000). Bila serbuk sari menempel di mukosa orang yang
alergi, protein alergen yang disimpan dalam seksin dan lapisan intin bergerak
melalui lubang-lubang dan lajur-lajur lapisan eksin dan memacu respons alergi
(Ring 2005).
Serbuk sari di udara merupakan sumber alergen hirupan. Distribusi
musiman aeroalergen bervariasi di berbagai lokasi di satu negara. Rumput-
rumputan merupakan tanaman alergenik terpenting di Eropa dan Amerika (Jelks
19
1987; Wodehouse 1965). Di Malaysia telah dilakukan penelitian penangkapan
serbuk sari dengan alat penangkap “Rotorod” yang menunjukkan serbuk sari
rumput merupakan 40% dari seluruh jumlah serbuk sari yang tertangkap dalam 1
tahun. Serbuk sari di udara Malaysia menunjukkan variasi musim, puncaknya di
bulan Maret dan paling sedikit di bulan Januari ketika musim hujan dan
kelembaban udara relatif tinggi (Ho et al. 1995). Serbuk sari rumput di Thailand
juga merupakan serbuk sari alergenik penting yang tertangkap di antara berbagai
alergen serbuk sari lainnya (Tuchinda et al. 1983, Phanichyakarn et al. 1989).
Serbuk sari alergenik berdasarkan sumbernya dapat dibagi menjadi tiga
kelompok, yaitu serbuk sari pohon (tree pollen), serbuk sari gulma (weed pollen),
dan serbuk sari rumput (grass pollen). Serbuk sari pohon berasal dari 2 kelas
tumbuhan utama yaitu Angiosperma (tumbuhan berbiji tertutup), dan
Gymnosperma (tumbuhan berbiji terbuka, contoh pinus-pinusan). Kebanyakan
reaksi alergi yang berarti ditimbulkan oleh serbuk sari Angiosperma, sedang
serbuk sari kerabat-kerabat Pinus secara klinis tidak dianggap penting karena
ukurannya besar, antara 50-90 µm dan bersifat antigenik lemah (Gossage 2000).
Serbuk sari Poaceae sering menimbulkan penyakit alergi karena serbuk sari ini
disebarkan angin dan ditemukan di seluruh dunia. Poaceae dapat ditemukan di
semua benua, mulai dari gurun sampai kutub, dalam air tawar maupun air laut,
yang seluruhnya merupakan 25-35% dari vegetasi dunia (Esch 2004).
Di daerah tropik dan subtropik, serbuk sari suku Poaceae dapat ditemukan
sepanjang tahun. Orang yang sensitif terhadap satu jenis serbuk sari suku
Poaceae, biasanya juga menunjukkan reaksi silang terhadap banyak jenis serbuk
sari suku Poaceae lainnya. Serbuk sari Poaceae terbanyak mempunyai diameter
antara 20-60 μm dan dapat menimbulkan gejala alergi pada banyak orang. Serbuk
sari yang masuk ke dalam saluran napas dapat menimbulkan gejala mengi,
fragmen serbuk sari dengan ukuran <10 um dapat terhirup dan masuk ke saluran
napas bagian bawah (Gossage 2000).
Tampaknya rinitis alergi dicetuskan serbuk sari pada saat kontak dengan
saluran napas atas dan mata. Pasien mengalami iritasi atau gatal, bersin-bersin dan
kemerahan pada mata atau rinorea segera setelah terkena serbuk sari. Ketika
20
masuk ke dalam saluran napas atas, gejala-gejala asma dapat terjadi akibat
akumulasi cairan dan sekresi di bronkiol terminal (Al-Frayh & Hasnain 2000).
Sebagian besar studi tentang gejala-gejala alergi umumnya dilakukan
terhadap alergen tunggal. Protein alergenik yang spesifik serbuk sari telah
diisolasi dan diidentifikasi (Verdino 2006). Alergen serbuk sari mengandung
protein atau glikoprotein, tetapi tidak semua protein serbuk sari menyebabkan
sensitisasi pada manusia. Molekul yang dapat menyebabkan sensitisasi pada
manusia disebut atopen, memiliki BM antara 10-70 kD dan cenderung terdapat di
dinding luar serbuk sari. Protein alergenik ini bersifat larut air, sehingga mudah
tersedia secara biologis dan dapat mencetuskan reaksi alergi yang diperantarai IgE
dalam hitungan detik (Suphioglu 1998; Behrendt et al. 2001, Puc 2003). Bila
mengalami hidrasi, serbuk sari dapat melepaskan sejumlah enzim dengan
konsentrasi tinggi, termasuk protease yang ketika terdeposisi di permukaan
mukosa jalan napas atas, dapat merusak integritas epitel (Robinson et al. 1997,
Sehqul et al. 2005).
Sensitivitas terhadap alergen lingkungan tidak sama pada setiap individu.
Sebagian orang dapat tersensitisasi dengan kadar yang tinggi atau waktu pajanan
yang lama, tetapi sebagian lainnya dapat memperlihatkan sensitivitas luas
terhadap berbagai alergen dengan kadar rendah (Taylor et al. 2002; Traidl-
Hoffman et al. 2002; Grote et al. 2003; Bacsi et al. 2006). Kemampuan berespons
terhadap alergen, yang disebut kecenderungan atopi ini, ditentukan secara genetis.
Terjadinya alergi pada seseorang yang memiliki predisposisi, harus ada pajanan
aeroalergen yang cukup untuk menimbulkan sensitisasi, dan pajanan aeroalergen
yang berkesinambungan pada orang yang tersensitisasi untuk menimbulkan gejala
klinis (Metzger et al. 1987; Leung 1996).
Sensitisasi terhadap pajanan alergen sudah dimulai sejak tahun pertama
kehidupan. Penelitian di Swedia memperlihatkan bahwa sensitisasi terhadap
serbuk sari birch (Betula spp) adalah 25% lebih tinggi pada bayi yang lahir selama
musim serbuk sari birch dibandingkan bayi yang lahir setelah musim tersebut dan
tidak terpajan sampai usia 9 bulan (Suonemi et al. 1981). Pajanan dini ketika bayi
terhadap alergen poten seperti serbuk sari dan tungau debu rumah pada individu
21
sensitif merupakan faktor risiko untuk terkena penyakit alergi di kemudian hari
(Sporik et al. 1990).
Penelitian tentang serbuk sari tumbuhan di Indonesia yang berpotensi
menyebabkan penyakit alergi pernah dilakukan di Jakarta (Djalil et al. 1987).
Penangkapan serbuk sari dilakukan dengan alat penangkap Burkard volumetric
spore trap yang dipasang di daerah Jakarta Pusat selama satu minggu. Pada bulan
November 1985 mendapatkan beberapa spesies spora jamur dan serbuk sari yang
berpotensi alergenik, yaitu Alternaria, Cladosporium, Acacia auriculiformis dan
Myrtaceae. Pada bulan Agustus 1987, penelitian serupa diulang kembali dan
mendapatkan beberapa jenis serbuk sari yang banyak ditemukan di Jakarta, yaitu
dari suku Poaceae (Gramineae), Moraceae, A. auriculiformis, dan Myrtaceae.
Spora jamur terbanyak yang didapat adalah Cladosporium, Drechslera,
Nigrospora, Alternaria, dan Cercospora. Penangkapan pada bulan November
1985 dianggap mewakili musim hujan, sedangkan pada bulan Agustus 1987
mewakili musim kemarau. Dari pengamatan tersebut, tampak dominasi spora
Cladosporium di musim kemarau dan Alternaria di musim hujan. Namun tidak
tampak ada perbedaan jumlah serbuk sari yang bermakna antara musim hujan dan
kemarau. Untuk meneliti serbuk sari yang berpotensi alergenik, perlu diketahui
serbuk sari mana yang memiliki konsentrasi tinggi di udara.
Serbuk sari A. auriculiformis mencapai konsentrasi puncak pada pukul 11
pagi, sedangkan serbuk sari Poaceae mencapai konsentrasi puncak antara pukul
13-15 siang. Dari perhitungan, tampak bahwa konsentrasi berbagai serbuk sari
yang ditangkap sangat rendah untuk menyebabkan gangguan alergi, kecuali
konsentrasi serbuk sari Poaceae dan A. auriculiformis.
3. BAHAN DAN METODE
Kegiatan penelitian ini meliputi penangkapan serbuk sari dengan alat
penangkap, identifikasi serbuk sari dengan mikroskop cahaya dan scanning
electron microscope (SEM), penentuan jenis serbuk sari dan pengumpulan serbuk
sari, membuat ekstrak alergen serbuk sari untuk mengetahui kealergenikannya
baik pada orang dengan riwayat alergi maupun tanpa riwayat alergi dengan cara
uji tusuk kulit, serta melihat profil bobot molekul (BM) alergen serbuk sari yang
diuji dengan analisis sodium dodecyl sulfate polyacrylamide gel electrophoresis
(SDS-PAGE).
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan sejak bulan Maret 2005 sampai dengan Mei
2008.
Penangkapan serbuk sari dilakukan sesuai dengan kemungkinan serbuk sari
sebagai alergen di daerah Darmaga Bogor, Lebak Bulus Cilandak, Ragunan Pasar
Minggu dan Ciganjur Jagakarsa di Jakarta Selatan (Lampiran 1,2). Untuk
mengetahui sebaran serbuk sari, penelitian pendahuluan dilakukan di daerah
Darmaga Bogor dan Lebak Bulus Cilandak di Jakarta Selatan. Penelitian
pendahuluan pada tahun 2005 dengan pemasangan alat penangkap serbuk sari
pasif di Darmaga Bogor didasarkan atas serbuk sari suku Poaceae seperti alang-
alang, jagung dan padi. Alat dipasang selama 6 hari antara tanggal 30 Maret
sampai 4 April 2005 serta antara 9 Juni sampai 12 Juni 2005. Sedangkan
penelitian awal di daerah Lebak Bulus Cilandak, Jakarta Selatan dilakukan untuk
mengetahui serbuk sari apa yang tertangkap di daerah tersebut dengan
menggunakan Burkard volumetric spore trap selama 1 tahun, dari 1 Januari
sampai 31 Desember 2006.
Penangkapan serbuk sari dilanjutkan pada tahun 2007 dengan memilih
Kecamatan Pasar Minggu berdasarkan kejadian kasus Infeksi Saluran Pernapasan
Atas (ISPA) termasuk rinitis paling tinggi di area tersebut (DKK DKI Jakarta
2006), dan juga dari Peta Peruntukan Tanah yang dikeluarkan Dinas Tata Kota
Jakarta tahun 2005, Kecamatan Pasar Minggu Jakarta Selatan memiliki area
23
penghijauan yang sangat luas. Di wilayah ini diketahui berbagai tanaman seperti
tanjung, pinus, akasia, cempaka, dadap merah, jagung, pisang, kelapa sawit,
kelapa genjah, rambutan, jambu, mangga, alang-alang, dan rumput gajah.
Berdasarkan data tersebut diatas, maka ditentukan area penelitian adalah daerah
Pasar Minggu dan sekitarnya. Penangkapan serbuk sari dilakukan pada bulan
Januari 2007 sampai Mei 2007 dengan gelas objek yang dioles perekat silikon dan
digantung pada batang bambu di Taman Margasatwa Ragunan Pasar Minggu dan
Kebun Bibit Dinas Pertamanan Ciganjur Jagakarsa (Lampiran 1,2).
Serbuk sari diidentifikasi menggunakan mikroskop cahaya di Laboratorim
Anatomi Tumbuhan Departemen Biologi IPB Baranangsiang, Laboratorium
Biologi Tumbuhan Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati Bioteknologi (PPSHB)
IPB dan Laboratorium Morfologi Anatomi dan Sitologi Tumbuhan, Bidang
Botani Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong. Pengamatan ultrastruktur serbuk
sari dengan SEM dilakukan di Laboratorium Bidang Zoologi Pusat Penelitian
Biologi LIPI Cibinong.
Pembuatan ekstrak alergen serbuk sari untuk uji tusuk kulit dilakukan di
Laboratorium Kelompok Penelitian Rekayasa Protein Pusat Penelitian
Bioteknologi LIPI Cibinong. Uji klinis dengan cara uji tusuk kulit dilakukan di
Poli Alergi Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSCM, Poli Alergi
Imunologi RS Pondok Indah, Klinik Bulog dan Klinik Alergi Imunologi
Sisingamangaraja, Jakarta. Analisis SDS-PAGE untuk penentuan BM dilakukan
di Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia PPSHB IPB.
Penangkapan, Identifikasi, dan Pengumpulan Serbuk Sari
Penangkapan serbuk sari pada penelitian ini menggunakan tiga jenis alat.
Jenis alat yang pertama berupa alat penangkap serbuk sari pasif yang dibuat dari
papan tripleks yang diberi atap kecil agar terlindung dari hujan, digunakan untuk
menangkap serbuk sari alang-alang, jagung dan padi. Papan untuk menangkap
serbuk sari alang-alang dan jagung berukuran 60x40 cm, sedangkan papan untuk
serbuk sari padi berukuran 80x20 cm. Pada setiap alat penangkap, ditempel pita
transparan “Melinex” sepanjang 20 cm dengan double tape di kedua ujungnya,
kemudian diatas pita “Melinex” diberi perekat silikon. Pita “Melinex” ditempel
sebanyak tiga baris di bagian depan dan tiga baris di bagian belakang papan. Alat
24
penangkap ini dipasang di areal yang banyak alang-alang, ladang jagung dan
persawahan di Darmaga (Gambar 2). Setelah beberapa hari, pita “Melinex”
diangkat dari papan tripleks dan digunting sepanjang gelas objek berukuran
7,5x2,5 cm. Serbuk sari yang menempel di pita “Melinex” diletakkan di atas gelas
objek dalam posisi terbalik, kemudian sediaan diperiksa di bawah mikroskop
cahaya.
Gambar 2 Alat penangkap serbuk sari yang dipasang di Darmaga: a. di ladang
jagung dan b. di sawah
Jenis alat penangkap kedua berupa alat Burkard volumetric spore trap
(Gambar 3) yang terdiri dari bagian luar dan bagian dalam dengan drum yang
dapat berputar dengan mekanisme pengaturan waktu 7 hari terus-menerus.
Gambar 3 Alat Burkard volumetric spore trap yang dipasang di Lebak Bulus
a b
Bagian luar Bagian dalam (letak drum)
25
Drum ini dilengkapi dengan pita transparan “Melinex” yang diolesi
perekat silikon (Gambar 4) dan yang diletakkan di sekelilingnya, dilengkapi juga
dengan sebuah pompa vakum yang dapat menarik udara sebanyak 10 liter per
menit, sehingga dapat menarik serbuk sari maupun spora dari udara melalui celah,
yang kemudian akan membentur dan melekat pada pita “Melinex”. Alat ini dapat
digunakan dalam segala cuaca, dan dipasang di Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
Gambar 4 Drum yang dilengkapi pita transparan “Melinex” dan perekat silikon
Jenis alat penangkap ketiga menggunakan gelas objek yang dioles perekat
silikon, kemudian dijepit dengan penjepit kertas dan digantung pada tiang dari
bambu (Gambar 5a dan 5b). Alat penangkap pasif ini tidak dapat digunakan bila
hujan, hanya bisa bila cuaca tidak hujan dan ada angin. Diharapkan serbuk sari
yang beterbangan akan menempel pada gelas objek yang tergantung (Gambar 5c).
Alat ini dipasang pagi hari sekitar pukul 07.00 dan diangkat sore hari sekitar
pukul 17.00. Alat ini dipasang di Taman Margasatwa Ragunan Pasar Minggu dan
Kebun Bibit Ciganjur Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Serbuk sari yang berhasil tertangkap oleh alat penangkap di empat lokasi,
kemudian diidentifikasi guna mengetahui spesies tumbuhannya. Identifikasi
serbuk sari yang tertangkap diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya,
tanpa pulasan atau diwarnai dengan zat warna safranin. Identifikasi dilakukan
dengan membandingkan serbuk sari yang tertangkap dengan serbuk sari kontrol
yang diambil dari bunga yang diketahui.
Drum
Perekat silikon
Pita transparan “Melinex”
26
Gambar 5 Alat penangkap (a dan b) dengan gelas objek berperekat silikon (c)
yang dipasang di Pasar Minggu dan Jagakarsa, Jakarta Selatan
Struktur permukaan serbuk sari diamati dengan menggunakan SEM tipe
JEOL JSM-5310LV. Dari serbuk sari yang tertangkap tidak semuanya ditindak
lanjuti untuk pengujian alergi. Serbuk sari yang dilanjutkan untuk uji klinis
dengan cara uji tusuk kulit ada 7 jenis, yaitu akasia, alang-alang, kelapa genjah,
kelapa sawit, pinus, jagung dan padi. Setelah ditentukan jenis serbuk sari yang
akan dipakai untuk uji tusuk kulit, selanjutnya dilakukan pengumpulan serbuk sari
mengikuti metode Ching & Ching (1964). Semua jenis serbuk sari diambil dan
dikumpulkan langsung dari bunganya sekitar pukul 8 pagi. Bunga kelapa beserta
serbuk sarinya berdasarkan modifikasi Santos (1995) dikeringkan di ruang
bersuhu 19°C selama 2 hari. Semua serbuk sari diayak dengan saringan
bertingkat, sehingga serbuk sari terpisah dari bagian bunga lainnya, kemudian
disimpan pada suhu –20°C dan siap di ekstraksi untuk pembuatan alergen.
Pembuatan Alergen
Setiap serbuk sari yang akan diekstrak dimasukkan dalam cryotube
Corning, lalu direndam semalam dalam tabung cryofab yang berisi nitrogen cair.
Hari berikutnya, berat serbuk sari ditimbang dengan timbangan analitik dan
ditumbuk halus dengan mortar, lalu disuspensi dalam 10% (w/v) etanol 96%,
dikocok menggunakan stirrer selama 30 menit pada suhu ruang. Suspensi serbuk
sari dipindahkan ke dalam eppendorf 1,5 ml, disentrifugasi menggunakan
refrigerated microcentrifuge dengan kecepatan 14.000 rpm selama 20 menit pada
suhu 4oC. Supernatan berisi etanol 96% dengan kandungan lemak terlarut,
a b c
27
dibuang, endapan dikeringkan di atas tisu. Selanjutnya disuspensi dalam 5% (w/v)
NaCl 0,5 M, dengan menggunakan vortex pada suhu ruang selama 30 menit untuk
melarutkan protein. Setelah itu ekstrak protein didialisis dalam phosphat buffer
saline (PBS) menggunakan membran dialisis semalam pada suhu 4ºC untuk
menghilangkan mikromolekul non-protein. Konsentrasi protein diukur dengan
metode Lowry (1951) dan untuk uji tusuk kulit konsentrasi disamakan pada 0,2
mg/ml (Ong 2005). Kemudian disaring dengan filter membran syringe steril 0,22
µm dan siap dipakai untuk uji tusuk kulit. Ekstraktan dari setiap jenis serbuk sari
yang digunakan sebagai alergen untuk uji tusuk kulit disimpan pada suhu 4ºC.
Analisis SDS-PAGE Protein Serbuk Sari
Ekstrak serbuk sari yang dipakai untuk uji tusuk kulit, diukur BM
proteinnya dengan analisis sodium dodecyl sulfate polyacrylamide gel
electrophoresis (SDS-PAGE). Elektroforesis merupakan teknik pemisahan
komponen-komponen protein dengan pengaruh arus listrik dalam medan listrik,
sehingga terjadi laju perpindahan. Gel yang digunakan terbuat dari tris-HCl, SDS,
bis-akrilamida, amonium persulfat, dan temed mengikuti metode Laemmli (1970)
yang dimodifikasi. Resolving (running) gel yang digunakan dengan konsentrasi
12% akrilamid, dan stacking gel 4% akrilamid. Pulasan pita protein dilakukan
dengan pewarnaan coomassie brilliant blue (CBB) dan perak nitrat (silver
staining). Marker BM yang digunakan adalah standar protein dengan BM rendah
atau low molecular weight (LMW). Sampel didenaturasi dengan pemanasan dan
penambahan b-mercapto-ethanol. Pada saat running, besar voltase yang dipakai
75 volt dengan kuat arus 40 mili Amper (mA), lama running 3 jam. Setelah proses
running selesai, dilakukan pewarnaan dengan melarutkan gel dalam larutan
pewarna. Kemudian didiamkan semalam dan keesokan harinya dilakukan proses
destaining.
Etika Penelitian
Berdasarkan Deklarasi Helsinki tentang etik penelitian yang menggunakan
uji klinis pada manusia, semua peserta penelitian harus mendapat penjelasan yang
cukup (Lampiran 3) dan menyatakan persetujuannya secara tertulis (informed
consent) untuk diikutsertakan dalam penelitian (Lampiran 4). Data peserta
28
penelitian dilaporkan secara anonim. Pada penelitian ini, potensi masalah etik
terletak pada penggunaan bahan alergen yang belum dibakukan untuk uji tusuk
kulit. Kajian etik telah dilakukan dan disetujui oleh Panitia Tetap Etik Penelitian
Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada tanggal 29 Oktober
2007 dengan Surat Keputusan No: 359a/PT02.FK/ETIK/20 (Lampiran 5).
Uji Klinis
Uji klinis dilakukan dengan cara uji tusuk kulit untuk mengetahui
sensitivitas seseorang terhadap alergen tertentu. Uji tusuk kulit mengikuti metode
Rusznak dan Davies (1998) dilakukan di lengan bawah bagian dalam, batas-batas
tempat penetesan alergen yang akan diuji ditandai dengan tinta. Alergen maupun
kontrol diteteskan sebanyak 1 tetes di setiap batas tersebut, lalu ditusuk dengan
jarum khusus (Gambar 6a, 6b). Puncak respons uji tusuk kulit terjadi antara 10-15
menit setelah penusukan alergen (Gambar 6c). Dalam praktik, uji tusuk kulit
ditunggu 15 menit, kemudian dikeringkan dengan tisu dan diamati.
Gambar 6 Uji Tusuk Kulit: a. Jarum uji tusuk kulit, b. Cara uji tusuk kulit, c. Hasil uji tusuk kulit
Reaksi uji tusuk kulit terhadap alergen dianggap positif bila terbentuk
bentol berukuran 3 milimeter (mm) atau lebih dengan catatan tidak terjadi reaksi
pada kontrol negatif. Hasil positif berarti ada alergen yang bereaksi dengan IgE
spesifik pada permukaan sel mast kulit. Reaksi positif dapat terjadi pada
seseorang tanpa gejala klinis. Interpretasi tes kulit positif tergantung dari riwayat
pasien dan gejala klinis yang dipacu pajanan dengan alergen. Evaluasi sulit
dilakukan pada mereka yang tidak menyadari terhadap pajanan rendah. Derajat
sensitivitas dapat dikategorikan berdasarkan diameter bentol: positif 1 (+1): 3-5
mm, +2: 6-10 mm, +3: 11-20 mm, dan + 4: > 20 mm (Gambar 6c).
a b c
29
Pemilihan dan jumlah sampel pasien untuk uji tusuk kulit diambil
berdasarkan pada urutan kedatangan pasien yang sudah terdiagnosis asma dan
rinitis alergi (kelompok riwayat alergi), mereka yang kontrol antara bulan
Oktober-November 2007 ke Rumah Sakit (RS) atau Klinik yang sudah ditentukan
untuk penelitian, yaitu 1.Poliklinik Alergi Imunologi Departemen Ilmu Penyakit
Dalam (IPD) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) - RS Dr. Cipto
Mangunkusumo (RSCM), 2.Poliklinik Alergi Imunologi RS Pondok Indah,
3.Klinik Bulog, dan 4.Klinik Alergi Imunologi Sisingamangaraja, Jakarta.
Kriteria kelompok riwayat alergi yang ikut penelitian adalah pasien yang
sudah terdiagnosis asma, rinitis alergi atau keduanya, berusia 19-55 tahun, jenis
kelamin tidak dibedakan, perempuan tidak hamil, bebas obat (antihistamin dan
steroid) yang dapat mengganggu penilaian uji tusuk kulit dalam 7 hari sebelum
dilakukan uji tusuk kulit, dan bersedia ikut serta dalam penelitian. Selain itu
diikutsertakan juga kelompok tanpa riwayat alergi dengan kriteria umur, jenis
kelamin, tidak hamil, tidak makan obat seperti kelompok pasien alergi.
Banyaknya sampel dari masing-masing kelompok 69 orang. Pada kelompok
riwayat alergi umurnya berkisar antara 20-52 tahun, dan sebagian besar (74%)
adalah perempuan, sedangkan kelompok tanpa riwayat alergi antara 19-54 tahun
dengan banyaknya laki-laki 37 dan perempuan 32 orang. Alergen serbuk sari yang
dipakai berasal dari alang-alang, akasia, kelapa sawit, kelapa genjah, jagung, padi
dan pinus. Sebagai alergen pembanding digunakan alergen komersial ekstrak
serbuk sari campuran 12 jenis rumput yang terdiri dari serbuk sari; 1. Bent grass
(Agrostos sp), 2. Bermuda grass (Cynodon dactylon), 3. Bromus (Bromus sp), 4.
Cocksfoot grass (Dactylis glomerata), 5. Meadow fescue (Festuca elatior), 6.
Meadow grass (Poa pratensis), 7. Oat grass (Arrhenatherum elatius), 8. Rye
grass (Lolium perenne), 9. Sweet vernal grass (Anthoxanthum odoratum), 10.
Timothy grass (Phleum pratense), 11. Wild oat (Avena fatua), dan 12. Yorkshire
fog (Holcus lanatus). Selain itu dipakai 2 jenis alergen tungau debu rumah, yaitu
Dermatophagoides pteronyssinus (Der.p) dan Dermatophagoides farinae (Der.f)
yang merupakan pencetus alergi terbesar di seluruh dunia. Sebagai kontrol positif
digunakan histamin (zat penyebab alergi pada semua orang), sedangkan untuk
kontrol negatif dipakai phosphat buffer saline (PBS) yang berfungsi sebagai
pelarut dan tidak menimbulkan reaksi positif pada uji tusuk kulit.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Serbuk sari adalah gametofit jantan tumbuhan berbunga yang berperan
dalam proses pembuahan, dan merupakan salah satu sumber alergen yang dapat
mencetuskan penyakit alergi pada manusia (Faegri et al. 1964, Gossage 2000).
Untuk mengetahui serbuk sari yang dapat menimbulkan alergi pada manusia,
perlu dilakukan penangkapan dan identifikasi serbuk sari yang tumbuh di suatu
daerah di Indonesia. Serbuk sari yang akan diuji diekstraksi proteinnya dan
untuk melihat kealergenikannya pada manusia, maka dilakukan uji klinis dengan
cara uji tusuk kulit (Church & Holgate 1995). Sebagian besar serbuk sari adalah
protein yang bobot molekulnya dapat diukur dengan analisis SDS-PAGE. Bobot
molekul (BM) protein serbuk sari juga dapat membantu mengkonfirmasi serbuk
sari yang berpotensi alergenik (Puc 2003; Jiang et al. 2005).
Dari berbagai laporan, diketahui bahwa serbuk sari rumput-rumputan
paling banyak menyebabkan alergi pada manusia, seperti Rye grass, Timothy
grass, Bermuda grass, dan alang-alang (Jelks 1987, Singh & Kumar 2003). Rye
grass dan Timothy grass tidak ada di Indonesia, sehingga penelitian untuk
mengetahui serbuk sari rumput-rumputan apa saja di Indonesia yang
menyebabkan alergi pada manusia perlu dilakukan. Pada penelitian awal tahun
2005, hasil tangkapan serbuk sari di daerah Darmaga Bogor, didapatkan serbuk
sari padi (Oryza sativa), jagung (Zea mays), alang-alang (Imperata cylindrica),
dan rumput gajah (Pennisetum purpureum). Serbuk sari rumput gajah tidak diteliti
lebih lanjut dalam penelitian ini, karena laporan tentang alergi akibat serbuk sari
rumput gajah tidak banyak.
Mengingat uji klinis akan dilakukan terhadap pasien yang berdomisili di
wilayah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, maka penangkapan serbuk sari
juga dilakukan di wilayah Jakarta. Sebagai daerah penelitian penangkapan serbuk
sari dengan alat Burkard, dipilih lokasi di Lebak Bulus berbatasan dengan Bogor
yang masih banyak ditanami pohon-pohonan, rumput-rumputan, dan tumbuhan
lainnya. Alat Burkard dipasang selama satu tahun dari bulan Januari sampai
Desember 2006, serbuk sari yang tertangkap adalah serbuk sari akasia, kelapa
31
genjah, pinus, dan rumput-rumputan (yang terbanyak tumbuh adalah alang-alang),
serta didapatkan pula jenis jamur Curvularia dan Alternaria.
Berdasarkan Laporan Tahunan Data Angka Kesakitan dari berbagai
Puskesmas Kecamatan di DKI Jakarta kejadian kasus Infeksi Saluran Pernapasan
Atas (ISPA) termasuk rinitis paling tinggi (18,06%) adalah di Kecamatan Pasar
Minggu, Jakarta Selatan (DKK DKI Jakarta 2006).
Data dari Dinas Tata Kota DKI Jakarta (2005) menunjukkan bahwa
Kecamatan Pasar Minggu memiliki area penghijauan yang sangat luas dengan
berbagai tanaman seperti tanjung, pinus, akasia, cempaka, dadap merah, jagung,
pisang, kelapa sawit, kelapa genjah, rumput-rumputan terbanyak alang-alang,
rambutan, jambu, dan mangga. Dengan demikian kemungkinan tingginya kasus
ISPA tersebut diduga berkaitan dengan banyaknya serbuk sari yang beterbangan
di udara Pasar Minggu. Dari alat penangkap serbuk sari yang dipasang di
Kecamatan Pasar Minggu dan sekitarnya (Kecamatan Jagakarsa), tertangkap
serbuk sari akasia, kelapa genjah, kelapa sawit, pinus, jagung, dan rumput-
rumputan terbanyak alang-alang.
Di negara-negara Asia, diketahui bahwa serbuk sari tanaman akasia dan
kelapa sawit alergenik bagi penduduk Singapura (Lee et al. 1995; Chew et al.
2000), kelapa sawit bagi penduduk Malaysia (Kimura et al. 2002), alang-alang
bagi penduduk India (Singh & Kumar 2003). Serbuk sari tanaman jagung, padi,
Bermuda grass, alang-alang, dan akasia dilaporkan merupakan serbuk sari
alergenik bagi penduduk Filipina (Cua-Lim et al. 2006). Di Thailand dilaporkan
hasil uji tusuk kulit serbuk sari penyebab alergi pada manusia meliputi akasia
19%, kelapa genjah 12%, dan Bermuda grass 17% (Visitsunthorn & Vichyanond
2006).
Pada penelitian lain oleh Damayanti (2008) yang menggunakan hewan percobaan
tikus Wistar, penyuntikan subkutan ekstrak serbuk sari kelapa genjah, kelapa
sawit, jagung, dan pinus berhasil mencetuskan reaksi alergi pada tikus tersebut,
sehingga diduga ekstrak serbuk sari tanaman-tanaman tersebut dapat juga
menimbulkan reaksi alergi pada manusia. Oleh karena itu, pada penelitian ini
keempat serbuk sari tersebut serta serbuk sari akasia (A. auriculiformis), alang-
32
alang (I. cylindrica), dan padi (O. sativa) dipilih untuk pengujian pada manusia.
Hasil tangkapan serbuk sari diidentifikasi di bawah mikroskop cahaya dan SEM.
Identifikasi Serbuk Sari
Identifikasi serbuk sari dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya dan
SEM.
Serbuk sari akasia. Termasuk suku Leguminoceae, ukurannya berkisar
20-70 µm, dapat terdiri dari 8, 16, atau 32 sel yang disebut polyad, dindingnya
tektat dengan ornamentasi skabrat (Gambar 7 a,b,c).
Gambar 7 Serbuk sari akasia dilihat di bawah mikroskop cahaya (a) dan SEM (b,c)
Serbuk sari kelapa genjah dan kelapa sawit. Serbuk sari kelapa genjah
(Palmae/Arecaceae), berukuran sekitar 60 µm, bersifat monad, monokolpat
dengan ornamentasi psilat (Gambar 8 a,b,c). Serbuk sari kelapa sawit
(Arecaceae), berukuran sekitar 30 µm, bersifat monad, trikolpat dengan
ornamentasi psilat (Gambar 8 d,e,f).
Gambar 8 Serbuk sari kelapa genjah (atas) dan kelapa sawit (bawah) dilihat di bawah mikroskop cahaya (a,d) dan SEM (b,c,e,f)
33
Serbuk sari pinus. Termasuk suku Pinaceae, ukurannya berkisar antara
20-35 µm, mempunyai dua kantong udara sehingga bentuknya menyerupai
Mickey Mouse. Berbentuk sferoidal, berstruktur dinding tektat dengan
ornamentasi psilat atau vesikulat dan inaperturat. Gambar 9a serbuk sari pinus
dilihat dengan mikroskop cahaya. Gambar 9b dan 9c yang diamati dengan SEM.
Gambar 9 Serbuk sari pinus dilihat di bawah mikroskop cahaya (a) dan SEM (b, c)
Serbuk sari alang-alang, jagung dan padi. Termasuk suku Poaceae,
mempunyai sifat yang sama; monoporat, monad, bentuk steroidal (Gambar 10)
Gambar 10 Serbuk sari alang-alang (atas), jagung (tengah), dan padi (bawah) dilihat di bawah mikroskop cahaya (a,d,g) dan SEM (b,c,e,f,h,i)
34
Pada penampakan SEM tampak struktur dindingnya tektat dengan
ornamentasi psilat dan porus yang jelas pada ketiga jenis serbuk sari suku
Poaceae (Gambar 10). Khusus untuk serbuk sari jagung, ukurannya berkisar
antara 90-110 µm (Gambar 10 d,e,f), sedangkan serbuk sari suku Poaceae lainnya
memiliki rentang ukuran antara 20-60 µm (Weber 1998; Taylor et al. 2002).
Analisis Bobot Molekul (BM) Protein Serbuk Sari
Pengukuran BM polipeptida protein serbuk sari dapat dipakai untuk
mengetahui apakah protein tersebut termasuk protein alergenik. Analisis SDS-
PAGE dapat menduga BM polipeptida suatu protein. Ekstrak protein serbuk sari
dari tujuh tanaman dianalisis dengan SDS-PAGE pewarnaan CBB (Gambar 11)
dan perak nitrat (Gambar 12).
Gambar 11 SDS-PAGE protein serbuk sari dengan pulasan CBB. Lajur 1 dan 9:
Marker LMW, 2: Kelapa sawit, 3: Jagung, 4: Kelapa genjah, 5: Pinus 6: Akasia, 7: Alang-alang, 8: Padi
Gambar 12 SDS-PAGE protein serbuk sari dengan pulasan perak nitrat. Lajur 1
dan 6: Marker LMW, 2: Kelapa sawit, 3: Jagung, 4: Kelapa genjah, 5: Pinus, 7: Akasia, 8: Alang-alang, 9: Padi
35
Pita polipeptida menunjukkan protein dalam keadaan terdenaturasi. Pada
kedua gambar tersebut tampak tanda panah yang menunjukkan pita protein yang
selalu muncul disetiap lajur protein serbuk sari yang dianalisis dengan BM 31 kD.
BM kelapa sawit. Elektroforesis ekstrak serbuk sari kelapa sawit
menghasilkan beberapa pita antara 15-67 kD. Intensitas terkuat tampak pada pita
dengan BM sekitar 26 dan 31 kD yang terlihat pada lajur 2 (Gambar 11, 12).
Purifikasi ekstrak kelapa sawit mendapatkan glikoprotein dengan BM 31 kD yang
bereaksi terhadap IgE dari pasien polinosis kelapa sawit (Kimura 2002).
BM kelapa genjah. Elektroforesis ekstrak serbuk sari kelapa genjah
menghasilkan beberapa pita dengan intensitas pulasan terkuat pada BM 15 dan 25
kD yang tampak pada lajur 4 (Gambar 11, 12).
BM jagung. Pada SDS-PAGE serbuk sari jagung, terdapat delapan pita,
intensitas terkuat tampak pada pita berukuran sekitar 24 kD dan 35 kD terlihat
pada lajur 3 (Gambar 11, 12). Penelitian Western blot serbuk sari jagung
menghasilkan pita reaktif IgE yang kuat pada BM 35 kD dan 55 kD (Petersen
2006). Kedua pita tersebut sesuai dengan alergen protein Zea m 1 dan Zea m 13.
Perbandingan imunologis dan biokimiawi memperlihatkan bahwa alergen
dari serbuk sari jagung mengandung empat grup alergen serbuk sari rumput-
rumputan, yaitu grup 1, 3, 12, dan 13. Namun, hanya dua grup alergen yang
paling kuat mencetuskan reaksi IgE, yaitu grup 1 dan 13. Zea m 1 adalah
glikoprotein yang merupakan alergen grup 1 dan merupakan 4% dari seluruh
protein yang diekstrak dari serbuk sari. Glikoprotein ini cepat disekresi ketika
serbuk sari terhidrasi dan memiliki aktivitas wall-loosening yang spesifik untuk
dinding sel rumput (Cosgrove 1997; Li 2003). Zea m 1 mewakili kelompok
protein yang disebut expansin, yaitu protein yang terlibat dalam peregangan
dinding sel dalam pertumbuhan tabung serbuk sari ketika fertilisasi (Cosgrove
1997). Alergen Zea m 13 diketahui berfungsi sebagai poligalaturonase (Niogret
1991; Suck 2000).
BM alang-alang. Elektroforesis protein serbuk sari alang-alang pada lajur
7 (Gambar 11) hanya menampakkan pita-pita di bawah 33 kD dengan pewarnaan
CBB, sedangkan dengan pewarnaan perat nitrat pada lajur 8 (Gambar 12)
memperlihatkan tiga pita utama berukuran sekitar 16 kD, 33 kD, dan 67 kD.
36
Pemeriksaan imunoblot ekstrak serbuk sari alang-alang menghasilkan 7 protein
alergenik utama dengan BM 16, 28, 40, 43, 57, 62 dan 85 kD (Kumar et al.
1998). BM padi. Hasil elektroforesis protein serbuk sari padi (Gambar 11, 12)
menunjukkan pita protein yang dominan pada BM 16 dan 32 kD. Penelitian Tsai
(1990) dengan pemeriksaan darah immunoblot pada pasien alergi menghasilkan 3
pita polipeptida utama serbuk sari padi dengan BM 16, 26, dan 32 kD.
BM akasia. Elektroforesis protein serbuk sari akasia memperlihatkan dua
pita protein dominan berukuran 16 kD dan 30 kD pada Gambar 12 lajur 7.
BM pinus. Elektroforesis serbuk sari pinus menghasilkan beberapa pita
dan terkuat pada BM 26 dan 31 kD seperti tampak pada lajur 5 (Gambar 11, 12)
Secara keseluruhan, BM protein dari 7 tanaman serbuk sari yang diteliti,
didapatkan BM berkisar antara 10-70 kD yang menunjukkan bahwa protein dalam
kisaran tersebut merupakan protein alergenik (Puc 2003; Jiang 2005).
Uji Klinis Sensitivitas terhadap Serbuk Sari
Pengujian ini mempergunakan ekstrak serbuk sari sebagai alergen dalam
uji tusuk kulit. Hasil reaksi positif terhadap alergen yang diuji, ditentukan dengan
munculnya bentol histamin pada kulit yang berukuran ≥ 3 mm dibandingkan
dengan kontrol negatif.
Sensitivitas terhadap serbuk sari akasia. Hasil penelitian pada kelompok
riwayat alergi, derajat sensitivitas terhadap akasia didapatkan 7 orang positif 1,
3 orang positif 2 dan hanya 1 orang positif 3, sedangkan kelompok tanpa
riwayat alergi, didapatkan 8 orang positif 1, 3 orang positif 2, dan tidak
didapatkan positif 3 (Gambar 13). Walaupun persentase reaksi positif terhadap
serbuk sari akasia tidak berbeda pada kedua kelompok, tetapi derajat
sensitivitasnya berbeda. Pada kelompok riwayat alergi, terdapat variasi derajat
positif 1 sampai 3, sedangkan pada kelompok tanpa riwayat alergi terutama
didapatkan positif 1 dan tidak didapatkan positif 3. Ada kemungkinan alergen ini
telah menimbulkan hipersensitivitas yang tidak disadari oleh orang tanpa riwayat
alergi, karena gejala klinisnya yang ringan, seperti bersin-bersin, yang dapat
dianggap sebagai penyakit flu biasa (common cold) oleh orang tersebut.
Berdasarkan temuan diatas, identifikasi reaksi hipersensitivitas terhadap serbuk
37
sari pohon peneduh jalan perlu dipertimbangkan dalam pemilihan jenis pohon
selanjutnya, jika pohon akasia akan diganti dengan pohon lain. Hal ini penting
dilakukan guna memilih pohon peneduh yang tepat dan aman dari pajanan
alergen, mengingat pohon-pohon tersebut biasanya berada di pinggir-pinggir jalan
dan disekitar pemukiman penduduk.
Gambar 13 Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap serbuk sari akasia
Hasil temuan lain yang memperkuat yaitu uji tusuk kulit di Singapura
mendapatkan sensitivitas sebesar 27,7% untuk serbuk sari akasia (Chew 2000).
Penelitian di Bengal India, pada tahun 2000 mendapatkan uji tusuk kulit positif
terhadap serbuk sari akasia (Boral & Bhattacharya 2000), dan pada tahun 2004
sebesar 20,4% dari 147 orang pasien alergi pernapasan yang diperiksa dengan
derajat sensitivitas pada umumnya adalah positif 1 (17,8%) (Boral et al. 2004).
Spesies akasia lainnya telah dilaporkan menyebabkan asma, yaitu Acacia
melanoxylon di Tasmania (Wood-Baker 1997) dan Acacia floribunda di
Mediteranea (Ariano 1991). Akasia merupakan genus yang besar dan meliputi
lebih dari 1000 spesies. Pohon A.auriculiformis adalah tumbuhan asli Australia,
Indonesia dan Papua New Guinea (Sornsathapornkul & Owens 1998). Selama ini
belum ada alergen serbuk sari akasia yang diketahui karakteristiknya. Namun,
dapat terjadi reaktivitas silang antara serbuk sari akasia dan serbuk sari rumput rye
(Howlett 1982). Penelitian lain, serbuk sari akasia juga menunjukkan reaksi
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Frekuensi kasus
Positif 1 Positif 2 Positif 3 Derajat Sensitivitas
riwayat alergi tanpa riwayat alergi
38
positif juga pada uji tusuk kulit di negara Thailand (Pumhirun et al. 1997) dan
Arab Saudi (Suliaman et al. 1997).
Sensitivitas terhadap serbuk sari alang-alang. Reaksi positif terhadap
serbuk sari alang-alang pada kelompok alergi menunjukkan persentase tertinggi
dibandingkan terhadap serbuk sari yang diteliti lainnya. Derajat sensitivitas
terhadap serbuk sari alang-alang pada kelompok riwayat alergi terutama adalah
positif 2, sedangkan pada kelompok tanpa riwayat alergi kebanyakan positif 1
(Gambar 14). Alang-alang merupakan tumbuhan liar yang tidak ditanam dan
tersebar luas hampir di seluruh wilayah Jabotabek. Hal ini merupakan salah satu
dasar pemilihan serbuk sari alang-alang untuk pemeriksaan kealergenikannya.
Gambar 14 Perbedaan derajat sensitivitas kedua kelompok terhadap serbuk sari alang-alang
Alang-alang pada umumnya mudah tumbuh dimana-mana, serbuk sarinya
ringan, mudah disebarkan angin sehingga orang lebih berisiko untuk terpajan pada
waktu musim berbunga (Bijli 2003). Alang-alang juga banyak terdapat di wilayah
bersuhu panas di Asia, Afrika Selatan dan Australia. Penelitian di India
mendapatkan bahwa alang-alang secara klinis lebih kuat mencetuskan reaksi
alergi pada pasien atopik dibandingkan suku Poaceae lainnya (Sridhara et al.
1995). Penelitian klinis selanjutnya mendapatkan sensitivitas (uji tusuk kulit
positif) pada 8,9% dari 303 pasien alergi pernapasan (Kumar 1998).
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Frekuensi kasus
Positif 1 Positif 2 Positif 3 Derajat sensitivitas
riwayat alergi tanpa riwayat alergi
39
Tampak bahwa serbuk sari alang-alang merupakan alergen dengan tingkat
sensitivitas tertinggi pada kelompok riwayat alergi, sehingga berpotensi
dimasukkan dalam panel pemeriksaan uji tusuk kulit.
Sensitivitas terhadap serbuk sari jagung. Derajat sensitivitas terhadap
serbuk sari jagung pada kelompok riwayat alergi terutama adalah positif 2,
sedangkan pada kelompok tanpa riwayat alergi terutama didapatkan positif 1
(Gambar 15)
Gambar 15 Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap serbuk sari jagung
Alergi terhadap serbuk sari jagung telah dilaporkan di Filipina (Cua Lim et
al. 2006), tetapi belum pernah dilaporkan di Indonesia. Pada penelitian ini tingkat
sensitivitas terhadap serbuk sari jagung tergolong sedang, baik pada kelompok
riwayat alergi maupun kelompok tanpa riwayat alergi (7,2%), kemungkinan
disebabkan karena perbedaan wilayah penangkapan serbuk sari dan tempat tinggal
responden penelitian. Penangkapan serbuk sari dilakukan di Darmaga Bogor,
sedangkan responden penelitian tinggal di Jakarta. Oleh karena itu, tidak tertutup
kemungkinan bahwa tingkat sensitivitas yang lebih tinggi akan ditemukan pada
penduduk di wilayah perkebunan jagung atau pada komunitas petani jagung.
Diperlukan penelitian lanjutan untuk mengetahui potensi alergenik serbuk sari
tanaman jagung khusus di wilayah perkebunan jagung.
Sensitivitas terhadap serbuk sari kelapa genjah. Pada kelompok riwayat alergi,
derajat sensitivitas terhadap serbuk sari kelapa genjah, didapatkan 4 orang positif
1 dan 3 orang positif 2. Pada kelompok tanpa riwayat alergi hanya ditemukan
0
1
2
3
4
Frekuensi kasus
Positif 1 Positif 2 Positif 3 Derajat sensitivitas
riwayat alergi tanpa riwayat alergi
40
positif 1 sebanyak 6 orang (Gambar 16). Persentase tingkat sensitivitas serbuk sari
kelapa genjah 10,1% pada kelompok riwayat alergi dan 8,7% pada kelompok
tanpa riwayat alergi, menunjukkan bahwa alergen tersebut berada di udara bebas
wilayah Jakarta yang terbawa oleh angin. Serbuk sari tanaman kelapa genjah
merupakan serbuk sari alergenik bagi penduduk negara India (Sridhara et al.
1995; Mandal et al. 2008).
Gambar 16 Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap serbuk sari kelapa genjah
Sensitivitas terhadap serbuk sari kelapa sawit. Uji sensitivitas terhadap
serbuk sari kelapa sawit mendapatkan 4 orang riwayat alergi positif 1 dan 1 orang
positif 2, sedangkan pada kelompok tanpa riwayat alergi hanya ditemukan 2 orang
yang masing-masing terdiri dari positif 1 dan 2 (Gambar 17).
Tingkat sensitivitas yang didapat dari penelitian ini tidak terlalu tinggi
pada kelompok riwayat alergi dan bahkan tergolong rendah pada kelompok tanpa
riwayat alergi. Tanaman kelapa sawit banyak ditanam di Jakarta sebagai pohon
peneduh dan elemen pertamanan kota serta real estate besar, sehingga ada
kemungkinan pajanan serbuk sari kelapa sawit sudah terjadi pada penduduk
Jakarta. Adapun areal perkebunan kelapa sawit yang sangat luas di Indonesia,
terdapat di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Sebagai perbandingan, sensitivitas
terhadap serbuk sari kelapa sawit dilaporkan sebesar 39,8% dan merupakan
alergen luar rumah yang tertinggi di Singapura (Chew 2000). Diduga serbuk sari
0
1
2
3
4
5
6
Frekuensi kasus
Positif 1 Positif 2 Positif 3 Derajat sensitivitas
riwayat alergi tanpa riwayat alergi
41
tersebut terbawa angin dari Malaysia di mana terdapat perkebunan kelapa sawit
yang luas sekali.
Gambar 17 Perbedaan derajat sensitivitas kedua kelompok terhadap serbuk sari kelapa sawit
Penelitian sebelumnya mendapatkan komponen alergenik multipel dari
serbuk sari kelapa sawit (Lee et al. 1995). Perlu penelitian lebih lanjut apakah
tingkat sensitivitas protein serbuk sari kelapa sawit lebih tinggi pada penduduk di
areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
Sensitivitas terhadap serbuk sari padi. Derajat sensitivitas positif 1
terhadap serbuk sari padi, didapatkan pada 3 orang riwayat alergi dan 1 orang
tanpa riwayat alergi, sedangkan positif 2 hanya didapatkan pada 1 orang dalam
masing-masing kelompok (Gambar 18)
Hasil penelitian menunjukkan rendahnya tingkat sensitivitas terhadap
serbuk sari padi, hanya sedikit orang yang terpapar alergen serbuk sari padi.
Kemungkinan disebabkan karena areal persawahan di Jakarta saat ini hampir tidak
ada dan penangkapan serbuk sari padi dilakukan di Bogor. Penelitian terhadap
alergi serbuk sari padi sangat jarang dilaporkan. Pada suatu penelitian di Taiwan,
sebanyak 312 pasien asma anak menjalani uji tusuk kulit, dan 29 (9,3%) orang di
antaranya menghasilkan reaksi positif dengan ukuran bentol > 6 mm (Tsai 1990).
0
1
2
3
4
Frekuensi kasus
Positif 1 Positif 2 Positif 3 Derajat sensitivitas
riwayat alergi tanpa riwayat alergi
42
Gambar 18 Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap serbuk sari padi
Sensitivitas terhadap serbuk sari pinus. Derajat sensitivitas terhadap
serbuk sari pinus pada kelompok riwayat alergi hanya ditemukan positif 2
sebanyak 3 orang, sedangkan kelompok tanpa riwayat alergi hanya ditemukan
positif 1 sebanyak 1 orang (Gambar 19). Meskipun serbuk sari pinus tertangkap di
wilayah Jakarta, pohon pinus bukan merupakan tanaman khas di Jakarta. Pohon
pinus banyak ditanam di daerah perumahan dalam jumlah terbatas, sehingga
pajanannya tidak terlalu banyak seperti tanaman lain.
Gambar 19 Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap serbuk sari pinus
0
1
2
3
Frekuensi kasus
Positif 1 Positif 2 Positif 3 Derajat sensitivitas
riwayat alergi
tanpa riwayat alergi
0
1
2
3
Frekuensi kasus
Positif 1 Positif 2 Positif 3 Derajat sensitivitas
riwayat alergi tanpa riwayat alergi
43
Pohon pinus dari spesies Pinus merkusii disebut pula dengan pinus
Sumatra (Sumatran pine). Alergi terhadap serbuk sari pinus jarang dilaporkan dan
tampaknya tidak bermakna secara klinis.
Sebuah penelitian di Spanyol Selatan melaporkan adanya reaksi uji kulit
positif terhadap serbuk sari cemara Australia (Casuarina equisetifolia) pada 6
orang dari 210 pasien non-atopi dengan riwayat rinitis, asma, atau rinitis asma
hanya pada musim gugur. Lima orang di antaranya menunjukkan reaksi IgE
positif dari darah dengan cara RAST (Garcia 1997). Penelitian lain di Arizona,
Amerika Serikat mendapatkan 12 dari 826 pasien atopik (1,5%) yang
menghasilkan uji kulit positif terhadap serbuk sari pohon Pinus ponderosa
(Freeman 1993). Belum ada laporan tentang alergi serbuk sari pohon Pinus
merkusii.
Sensitivitas terhadap serbuk sari Grasses mix. Uji sensitivitas terhadap
serbuk sari Grasses mix pada kelompok riwayat alergi mendapatkan 18 orang
positif 1 dan 7 orang positif 2, sedangkan pada kelompok tanpa riwayat alergi
ditemukan 12 orang positif 1 dan 4 orang positif 2 (Gambar 20).
Dalam sediaan alergen 12 Grasses mix, salah satunya adalah Bermuda
grass (C.dactylon) yang umum dijumpai di Indonesia, sehingga reaksi positif
dapat terjadi karena pajanan dengan jenis rumput tersebut.
Gambar 20 Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap Grasses mix
0 2 4 6 8
10 12 14 16 18
Frekuensi kasus
Positif 1 Positif 2 Positif 3 Derajat sensitivitas
riwayat alergi tanpa riwayat alergi
44
Selain itu, diduga adanya kandungan protein yang epitopnya (bagian
alergen yang merangsang pembentukan antibodi IgE) sama dalam Grasses mix
dengan serbuk sari Poaceae lainnya, yang umum terdapat di lingkungan tempat
tinggal responden. Reaksi silang sering ditemukan di antara suku Poaceae karena
adanya kandungan epitop protein yang serupa (Sridhara et al. 2000; Jutel 2005).
Sensitivitas terhadap tungau debu rumah. Alergen tungau debu rumah
merupakan alergen terbanyak yang menimbulkan reaksi uji tusuk kulit positif
pada hampir semua orang di seluruh dunia, karena pada umumnya orang lebih
lama berada di dalam rumah atau ruangan, sehingga lebih sering dan lama
terpajan dengan tungau debu rumah (Pumhirun et al. 1997, Baratawidjaja et al.
1998b). Oleh karena itu, alergen tungau debu rumah termasuk salah satu yang
harus ada dalam panel uji tusuk kulit dan sebagai petunjuk ada tidaknya atopi
pada seseorang.
Berdasarkan uji tusuk kulit dengan alergen tungau debu rumah, diketahui
bahwa atopi ditemukan pada sekitar ≥25 % populasi manusia tanpa memandang
riwayat alerginya (Bousquet et al. 2008). Namun dalam penelitian ini, proporsi
orang tanpa riwayat alergi yang terbukti atopik (positif salah satu tungau) jauh
lebih besar, yaitu 47,8%. Timbulnya reaksi positif terhadap serbuk sari yang
diteliti, pada kelompok tanpa riwayat alergi diduga kelompok tersebut pernah
terpajan dengan serbuk sari tersebut, tetapi tidak cukup memberikan gejala
penyakit alergi.
Dari hasil uji tusuk kulit pada penelitian ini, didapatkan hasil positif
tertinggi terhadap tungau debu rumah untuk kedua kelompok dibanding dengan
alergen yang lainnya, hanya saja berbeda dalam derajat sensitivitasnya. Perbedaan
sensitivitas seseorang kemungkinan dapat disebabkan oleh tingginya proporsi
kelompok tanpa riwayat alergi yang terbukti atopik. Secara klinis, pada umumnya
diagnosis atopik antara lain dibuktikan dengan reaksi uji tusuk kulit positif
terhadap Dermatophagoides pteronyssinus (Der.p) dan atau Dermatophagoides
farinae (Der.f) yang merupakan alergen dalam rumah.
45
Perbedaan hasil uji tusuk kulit antara kelompok riwayat alergi dan
kelompok tanpa riwayat alergi
Hasil uji tusuk kulit pada kelompok riwayat alergi menunjukkan bahwa
persentase reaksi positif terhadap serbuk sari alang-alang dan akasia lebih tinggi
dibanding terhadap serbuk sari lainnya (Tabel 2). Persentase kelompok riwayat
alergi bereaksi positif terhadap ekstrak serbuk sari alang-alang 20,3%, akasia
15,9%, dan kelapa genjah 10,1%, sedangkan terhadap ekstrak serbuk sari yang
diteliti lainnya memberikan reaksi positif kurang dari 10%. Dari 7 jenis alergen
serbuk sari yang diuji, perbedaan persentase sensitivitas uji tusuk kulit yang
bermakna antara kelompok riwayat alergi dan tanpa riwayat alergi hanya tampak
pada serbuk sari alang-alang, akan tetapi dibandingkan terhadap alergen Grasses
mix, persentase kelompok riwayat alergi bereaksi positif terhadap ekstrak serbuk
sari tanaman yang diteliti masih lebih rendah (Tabel 2).
Tabel 2 Perbedaan persentase uji tusuk kulit positif terhadap alergen berbeda
antara kelompok riwayat alergi dan kelompok tanpa riwayat alergi
Jenis alergen Riwayat
alergi Tanpa
riwayat alergi n % N %
Akasia 11 15,9 11 15,9 Alang-alang 14 20,3 6 8,7 Jagung 5 7,2 5 7,2 Kelapa genjah 7 10,1 6 8,7 Kelapa sawit 5 7,2 2 2,9 Padi 4 5,8 2 2,9 Pinus 3 4,3 1 1,4 Campuran rumput (Grasses mix) 25 36,2 16 23,2 Dermatophagoides pteronisinnus (Der. p) 54 78,3 19 27,5 Dermatophagoides farinae (Der. F) 54 78,3 30 43,5
Demikian pula jika dibandingkan terhadap alergen tungau debu rumah
(Der. p dan Der. f) kelompok riwayat alergi yang memberikan reaksi positif
sangat tinggi. Kecenderungan sensitivitas terhadap alergen serbuk sari Grassess
mix dan tungau debu rumah (Der. p dan Der. f) lebih banyak pada kelompok
riwayat alergi dibandingkan tanpa riwayat alergi.
Kelompok riwayat alergi ditentukan berdasarkan pada kedatangan pasien
ke rumah sakit atau klinik, umur pasien yang datang berkisar 20-52 tahun,
kebanyakan di bawah atau berumur 30 tahun (42%). Kelompok riwayat alergi
46
sebagian besar menderita rinitis alergi 51 orang (74%), 14 orang (20%) asma, dan
4 orang (6%) menderita keduanya. Kelompok ini sebagian besar perempuan (51
orang). Umur kelompok riwayat alergi dalam penelitian ini serupa dengan umur
pasien rinitis alergi yang dilaporkan beberapa negara di Eropa, yaitu 36 tahun
dengan kisaran antara 31-42 tahun (Bauchau & Durham 2005).
Penelitian di Thailand mendapatkan prevalensi hiperreaktivitas bronkus
dan asma tertinggi pada kelompok usia 30-39 tahun (Dejsomritrutai et al. 2006).
Di Amerika Serikat (AS) prevalensi asma pada perempuan hampir dua kali lipat
dari penderita laki-laki (CDC 2001), gejala perbedaan penyakit alergi pada
perempuan dibandingkan pada laki-laki di AS telah tampak dalam 20 tahun
terakhir (Anderson et al. 1992). Perbedaan ini kemungkinan karena perbedaan
hormon seks (Barr et al. 2004; Zimmerman et al 2000), perbedaan ukuran jalan
napas dan responsivitasnya (Pagtakhan et al. 1984), atau obesitas (Chen et al.
2002; Thomson et al. 2003). Fluktuasi hormon perempuan (estrogen dan
progesteron) berhubungan dengan gejala-gejala rinitis alergi musiman (Stübner et
al. 1999). Perubahan-perubahan di hidung diketahui terjadi selama siklus
menstruasi, pubertas, dan kehamilan (Kalogeromitros et al. 1995; Ellegard 2004).
Reaksi positif uji tusuk kulit terhadap alergen dapat dibedakan derajat
sensitivitasnya berdasarkan diameter bentol, positif 1 (3-5 mm), positif 2 (6-10
mm), positf 3 (11-20 mm), dan positif 4 bila > 20 mm. Dalam pengujian ini,
pasien yang diuji tidak ada yang memperlihatkan derajat positif 4. Derajat
sensitivitas masing-masing alergen pada kelompok riwayat alergi dan tanpa
riwayat alergi disajikan pada Gambar 21 dan 22.
Derajat sensitivitas terhadap akasia, baik pada kelompok riwayat alergi
maupun tanpa riwayat alergi umumnya bereaksi positif 1 yang berarti telah terjadi
pajanan serbuk sari pada kedua kelompok. Tampaknya pajanan yang terjadi pada
kedua kelompok masih rendah.
Derajat sensitivitas terhadap serbuk sari kelapa genjah pada kelompok
riwayat alergi didapatkan positif 1 (4 orang) dan positif 2 (3 orang). Pada
kelompok tanpa riwayat alergi hanya didapatkan positif 1 sebanyak 6 orang.
Terhadap serbuk sari kelapa sawit, pada kelompok riwayat alergi
didapatkan 4 orang bereaksi positif 1 dan 1 orang positif 2, sedangkan pada
47
kelompok tanpa riwayat alergi hanya ditemukan 2 orang yang masing-masing
positif 1 dan 2 (Gambar 21 dan 22). Seperti diketahui tanaman kelapa sawit
banyak ditanam di Jakarta sebagai tanaman penghijauan dan elemen pertamanan,
sehingga ada kemungkinan telah terjadi pajanan serbuk sari kelapa sawit pada
penduduk Jakarta.
Sensitivitas terhadap serbuk sari alang-alang bereaksi positif 2, didapatkan
pada 9 orang dengan riwayat alergi dan hanya 1 orang tanpa riwayat alergi. Di
India alang-alang secara klinis lebih kuat mencetuskan reaksi alergi pada pasien
atopik dibandingkan spesies lain dalam suku Poaceae (Sridhara et al. 1995).
Penelitian klinis lebih lanjut memperlihatkan uji tusuk kulit bereaksi positif pada
8,9% dari 303 pasien alergi pernapasan (Kumar et al. 1998). Serbuk sari alang-
alang tampaknya merupakan alergen penyebab sensitivitas tinggi pada kelompok
riwayat alergi, sehingga berpotensi sebagai bahan alergen dalam panel
pemeriksaan uji tusuk kulit.
Reaksi sensitivitas terhadap serbuk sari jagung bereaksi positif 2 pada
kelompok riwayat alergi ada 4 orang, sedangkan pada kelompok tanpa riwayat
alergi hanya 1 orang. Ekstrak serbuk sari padi menghasilkan reaksi positif 2 pada
3 orang riwayat alergi dan 1 orang tanpa riwayat alergi. Penelitian sensitivitas
terhadap serbuk sari jagung dan padi menunjukkan rendahnya tingkat sensitivitas
pada kedua kelompok (Gambar 21 dan 22), ini dapat disebabkan orang yang
terpapar hanya sedikit mengingat area ladang jagung tidak banyak dan
persawahan di Jakarta hampir tidak ada. Sensitivitas terhadap serbuk sari pinus
sangat sedikit, hanya ditemukan positif 2 pada tiga orang riwayat alergi dan 1
orang tanpa riwayat alergi dengan positif 1.
Umumnya serbuk sari kerabat-kerabat pinus secara klinis tidak dianggap
penting karena ukurannya sangat besar, antara 50-90 µm dan bersifat antigenik
lemah. Uji sensitivitas terhadap serbuk sari Grasses mix pada kedua kelompok
kebanyakan menghasilkan sensitivitas positif 1, ini menyatakan banyak orang
yang sudah terpapar walaupun tidak menunjukkan gejala, sedangkan terhadap
tungau debu rumah sebagian besar memperlihatkan sensitivitas positif 2 pada
kelompok riwayat alergi.
48
7
3
1
5
9
1
4 43
4
1
3
1
3
18
7
18
31
5
21
29
5
0
5
10
15
20
25
30
35
Juml
ah O
rang y
ang S
ensit
if
(+)1
(+)2
(+)3
(+)1
(+)2
(+)3
(+)1
(+)2
(+)3
(+)1
(+)2
(+)3
(+)1
(+)2
(+)3
(+)1
(+)2
(+)3
(+)1
(+)2
(+)3
(+)1
(+)2
(+)3
(+)1
(+)2
(+)3
(+)1
(+)2
(+)3
Akasia Alang-alang
Jagung K_genjah K_sawit Padi Pinus Grass_mix Der_p Der_f
(+) 1
(+) 2
(+) 3
Gambar 21 Derajat sensitivitas uji tusuk kulit pada kelompok riwayat alergi
8
3
5
1
4
1
6
1 1 1 1 1
12
4
12
7
18
12
0
5
10
15
20
25
30
35
Jumlah
Oran
g yan
g Sen
stif
(+)1
(+)2
(+)3
(+)1
(+)2
(+)3
(+)1
(+)2
(+)3
(+)1
(+)2
(+)3
(+)1
(+)2
(+)3
(+)1
(+)2
(+)3
(+)1
(+)2
(+)3
(+)1
(+)2
(+)3
(+)1
(+)2
(+)3
(+)1
(+)2
(+)3
Akasia Alang-alang
Jagung K_genjah K_sawit Padi Pinus Grass_mix Der_p Der_f
(+) 1
(+) 2
Gambar 22 Derajat sensitivitas uji tusuk kulit pada kelompok tanpa riwayat alergi
49
Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap serbuk sari alang-alang,
akasia dan Grasses mix
Reaksi positif terhadap serbuk sari alang-alang dan akasia baik pada
kelompok alergi menunjukkan persentase lebih tinggi dibandingkan terhadap
serbuk sari yang diteliti lainnya. Akan tetapi bila dibandingkan terhadap Grasses
mix yang bereaksi positif masih lebih rendah (Gambar 23). Serbuk sari alang-
alang merupakan satu-satunya alergen yang memberikan perbedaan hasil
bermakna pada uji klinis antara kelompok riwayat alergi dan kelompok tanpa
riwayat alergi. Alang-alang merupakan tumbuhan liar yang tidak ditanam dan
tersebar luas hampir di seluruh wilayah Jabotabek, ini merupakan salah satu dasar
pemilihan serbuk sari alang-alang untuk diperiksa potensi kealergenikannya.
Alang-alang pada umumnya mudah tumbuh di mana-mana, serbuk sarinya ringan
dan mudah disebarkan angin, sehingga orang lebih berisiko untuk terpajan pada
waktu musim berbunga (Bijli et al. 2003). Alang-alang juga banyak terdapat di
wilayah bersuhu panas di Asia, Afrika Selatan, dan Australia.
Gambar 23 Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap alang-alang, akasia dan Grasses mix
Walaupun persentase reaksi positif terhadap serbuk sari akasia tidak
berbeda pada kedua kelompok responden, tetapi derajat sensitivitasnya berbeda.
Pada kelompok riwayat alergi, bervariasi derajat sensitivitasnya positif 1 sampai
0 2 4 6 8
10 12 14 16 18 20
Positif 1
Positif 2
Positif 3
Positif 1
Positif 2
Positif 3
Positif 1
Positif 2
Positif 3
Riwayat alergi Tanpa riwayat alergi
Grasses mix Alang-alang Akasia
50
3, sedangkan pada kelompok tanpa riwayat alergi tidak ada yang positif 3.
Kemungkinan alergen ini telah menimbulkan hipersensitivitas yang tidak disadari
oleh orang tanpa riwayat alergi karena gejala klinis yang ringan seperti bersin-
bersin, yang dapat dianggap sebagai penyakit flu biasa dan bukan alergi oleh
kebanyakan orang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa serbuk sari akasia
merupakan alergen pencetus alergi pada manusia, sebaiknya dipikirkan untuk
mengganti dengan pohon peneduh lain, yang telah diidentifikasi serbuk sarinya
bukan penyebab alergi pada manusia.
Hasil uji tusuk kulit terhadap campuran rumput (Grasses mix)
menunjukkan persentase dari masing-masing kelompok responden lebih tinggi
dari persentase serbuk sari yang diuji (Gambar 21, 22, 23).
Dalam sediaan alergen Grasses mix, salah satunya adalah Bermuda grass
(C.dactylon) yang umum dijumpai di Indonesia, sehingga dapat menghasilkan
reaksi positif akibat adanya pajanan. Dari hasil penelitian ini tampak bahwa
serbuk sari Poaceae, Grasses mix dan alang-alang, memberikan sensitivitas yang
cukup bermakna secara klinis. Artinya dalam populasi studi, pasien alergi juga
memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami sensitivitas terhadap serbuk
sari Poaceae dibandingkan orang tanpa riwayat alergi. Dua serbuk sari Poaceae
lainnya, yaitu jagung dan padi, tidak banyak menghasilkan sensitivitas pada
kelompok studi, yang kemungkinan disebabkan perbedaan antara tempat tinggal
orang yang diteliti dan area penangkapan serbuk sari.
Alergen serbuk sari yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari
ekstrak kasar protein serbuk sari. Alergen komersial untuk uji tusuk kulit telah
diketahui susunan polipeptidanya yang menghasilkan reaksi alergenik, yaitu
reaksi yang memproduksi IgE. Produksi antibodi IgE pada pasien alergi akan
mengakibatkan munculnya gejala-gejala alergi dari rinitis sampai asma. Untuk
pembuatan vaksin imunoterapi, perlu dilakukan analisa polipeptida yang ada
dalam ekstrak kasar serbuk sari.
Alang-alang, jagung, padi dan Grasses mix termasuk suku Poaceae. Antar
suku Poaceae sering terjadi reaksi silang karena adanya protein yang sejenis,
sehingga dapat memberikan reaksi yang serupa (Weber 2003). Dari hasil
penelitian ini tampak bahwa serbuk sari Grasses mix dan alang-alang,
51
memberikan perbedaan sensitivitas yang cukup bermakna secara klinis. Artinya
dalam populasi studi, pasien alergi juga memiliki risiko yang lebih tinggi untuk
mengalami sensitivitas terhadap serbuk sari Poaceae dibandingkan orang tanpa
riwayat alergi.
Serbuk sari jagung dan padi tidak banyak menghasilkan sensitivitas pada
kelompok studi, yang kemungkinan disebabkan perbedaan antara tempat tinggal
responden penelitian dan area penangkapan serbuk sari. Penelitian klinis oleh
Petersen et al. (2006) pada pasien polinosis rumput memperlihatkan adanya reaksi
silang (cross-reactivity) antara alergen dari serbuk sari Timothy grass (Phl p1) dan
serbuk sari jagung (Zea m1). Namun reaktivitas alergen Zea m1 jauh lebih rendah
dibandingkan Phl p1. Hampir semua serbuk sari Poaceae memiliki reaktivitas
silang derajat tinggi, karena banyak epitop yang sama di sebagian besar spesies
(Lieferman & Gleich 1976). Komponen alergenik utama pada sebagian besar,
yaitu alergen Gp1, merupakan glikoprotein yang memicu gejala-gejala alergi pada
individu yang sensitif serbuk sari Poaceae. Respons uji tusuk kulit positif dapat
terjadi sampai 43% pada orang tanpa gejala penyakit alergi (Kerkhof et al. 1996).
Studi longitudinal memperlihatkan bahwa adanya uji tusuk kulit positif pada
orang tanpa gejala dapat memprediksi munculnya gejala-gejala alergi di kemudian
hari, termasuk asma (Horak 1985, Bodtger et al. 2003), terutama jika kadar
alergen tinggi.
Uji tusuk kulit positif pada orang yang tersensitisasi tanpa gejala dapat
terjadi pada 1-5% alergen tunggal dan 8-30% panel aeroalergen. Ciri penting yang
ditemui pada orang tersensitisasi tanpa gejala adalah kemampuan menghasilkan
reaksi alergi fase dini (Bodtger et al. 2003), tetapi tidak fase lambat yang ditandai
dengan inflamasi eosinofilik (Durham et al. 1996). Studi lain pada sampel mukosa
saluran napas (hidung dan bronkhus) mendapatkan bahwa pada orang tanpa gejala
dengan uji tusuk kulit positif terhadap tungau debu rumah, tidak terjadi proses
inflamasi di saluran napas. Pada orang-orang ini, tidak tampak timbunan sel-sel
eosinofil dan basofil serta tidak tampak penebalan membran basal di mukosa
saluran napas. Selain itu, hitung eosinofil darah secara bermakna lebih rendah
dibandingkan pasien rinitis alergi dan asma (Braunsthal et al. 2003). Gejala-gejala
alergi dapat muncul pada 20-60% orang setelah 2-24 tahun (Bodtger 2004).
5. SIMPULAN Serbuk sari alang-alang, akasia, jagung, kelapa genjah, kelapa sawit, padi
dan pinus yang tertangkap di Indonesia bersifat alergenik pada manusia,
berukuran antara 20-100 um dengan BM protein yang terekstrak berkisar 10-70
kD. Serbuk sari alang-alang dan akasia berpotensi sebagai sumber alergen untuk
bahan uji tusuk kulit. Protein dari serbuk sari alang-alang memperlihatkan pita
protein berukuran BM 16, 33 dan 67 kD pada SDS-PAGE, sedangkan serbuk sari
akasia memperlihatkan dua pita protein dominan berukuran 16 dan 30 kD.
Ketujuh serbuk sari dari tanaman yang tertangkap tersebut di Indonesia bersifat
alergenik. Sensitivitas orang terhadap serbuk sari alang-alang dan akasia lebih
banyak dibandingkan dengan serbuk sari lainnya, tetapi masih lebih sedikit
dibandingkan dengan sensitivitas orang terhadap Grasses mix, diduga
kemungkinan telah terjadi sensitisasi terhadap serbuk sari C.dactylon yang
terdapat dalam alergen Grasses mix. Sensitivitas orang terhadap serbuk sari alang-
alang pada kelompok dengan riwayat alergi lebih banyak dibandingkan dengan
pada kelompok tanpa riwayat alergi, sedangkan terhadap serbuk sari akasia tidak
berbeda pada kedua kelompok orang tersebut. Alergen dari serbuk sari alang-
alang dan akasia dapat direkomendasikan sebagai bahan panel uji tusuk kulit di
Indonesia. Sifat alergenik pada serbuk sari akasia perlu menjadi bahan
pertimbangan agar tanaman akasia tidak lagi digunakan sebagai pohon
penghijauan dan pohon peneduh jalan. Musim berbunga pada pohon buah-buahan
yang bersifat serempak di suatu daerah seperti rambutan, jambu dan mangga perlu
juga ditelaah kemungkinan sebagai pencetus alergi pada manusia, demikian juga
serbuk sari dari berbagai spesies rumput seperti C.dactylon yang banyak
digunakan sebagai tanaman penutup tanah dan yang tumbuh liar di sekitar kita.
53
DAFTAR PUSTAKA
Adler TR, Beall GN, Heiner DC, Sabharwal UK, Swanson K. 1985. Immunologic and clinical correlates of bronchial challenge response to Bermuda grass pollen extracts. J Allergy Clin Immunol 75:31-36.
Akinbami LJ, Schoendorf HC. 2002. Trends in childhood asthma: prevalence, health care utilization and mortality. Pediatrics 110:315-322.
Al-Anazy FH, Zakzouk SM. 1997. The impact of social and environmental changes on allergic rhinitis among Saudi children. A clinical and allergological study. Int J Pediatr Otohinolaryngol 42:1-9.
Al-Frayh AR, Hasnain SM. 2000. Pollen allergy in Saudi Arabia. Curr Pediatr Res 4(1):1-5.
Anderson HR, Pottier AC, Strachan DP. 1992. Asthma from birth to age 23: incidence and relation to prior and concurrent atopic disease. Thorax 47:537-542.
Ariano R, Panzani RC, Amedeo J. 1991. Pollen allergy to mimosa (Acacia floribunda) in a Mediterranean area: an occupational disease. Ann Allergy 66:253-256.
Bacharier LB et al. 2008. Diagnosis and treatment of asthma in
childhood: a PRACTALL consensus report. Allergy 63:5-34. Bachert S. 2002. The role of histamine in allergic disease: re-appraisal of its
inflammatory potential. Allergy 57:287-296. Bacsi A, Choudhury BK, Dharajiya N, Sur S, Boldogh I. 2006. Subpollen
particles: carriers of allergenic proteins and oxidases. J Allergy Clin Immunol 118:844-850.
Baratawidjaja IR, Baratawidjaja PP, Darwis A, Baratawidjaja KG. 1998a. Allergy profile study in patients attending a private allergy clinic. Med J Indonesia 7:204-211.
Baratawidjaja IR et al. 1998b. Mites in Jakarta Homes. Allergy Net. Allergy 53:
1226-1235. Baratawidjaja IR et al. 1999. Prevalence of Allergic Sensitization to Regional
Inhalants among Allergic Patients in Jakarta, Indonesia. Asian Pacific J Allergy Immunol 17:9-12.
54
Baratawidjaja KG et al. 2006. Allergy and Asthma Scenario in Indonesia. Di dalam: Shaikh WA, Shaikh SW, editor. Principles and Practice of Tropical Allergy and Asthma. Vikas Medical Publishers. Mumbai, India. hlm. 707-736.
Barr RG, Wentowski CC, Grodstein F. 2004. Prospective study of post menopausal hormone use and newly diagnosed asthma and chronic obstructive pulmonary disease. Arch Intern Med 164:379-386.
Bateman et al. 2008. Global Initiative for Asthma (GINA). Global strategy for asthma management and prevention. NHLBI/WHO Workshop Report. National Institute of Health Publication.
Bauchau V, Durham SR. 2005. Epidemiological characterization of the intermittent and persistent types of allergic rhinitis. Allergy 60:350-353.
Beasley R et al. 1998. The International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) Steering Committee. Worldwide variation in prevalence of symptoms of asthma, allergic rhinoconjunctivitis, and atopic eczema: ISAAC. Lancet 351:1225-1232.
Behrendt H et al. 2001. Secretion of proinflammatory eicosanoid-like substances precedes allergen release from pollen grains in the initiation of allergic sensitization. Int Arch Allergy Immunol 124:121-125.
Bijli KM, Singh BP, Sridhara S, Gaur SN, Arora N. 2003. Effects of various stabilizing agents on Imperata cylindrical grass pollen allergen extract. Clin Exp Allergy 33:65-71.
Bodtger U, Poulsen LK, Malling HJ. 2003. Asymptomatic skin sensitization to birch predicts later development of birch pollen allergy in adults: a 3-year follow-up study. J Allergy Clin Immunol 111:149-154.
Bodtger U. 2004. Prognostic value of asymptomatic skin sensitization to
aeroallergen. Curr Opin Allergy Clin Immunol 4:5-10.
Boral D, Bhattacharya K. 2000. Aerobiology, allergenicity and biochemistry of three pollen types in Berhampore town of West Bengal, India. Aerobiologia 16(3):417-422.
Boral D, Chatterjee S, Bhattacharya K. 2004. The occurrence and allergising potential of airborne pollen in West Bengal, India. Ann Agric Environ Med 11:45-52.
Bousquet J, Chatzi L, Jarvis D, Burney P. 2008. Assessing skin prick tests reliability in ECRHS-I. Allergy 63:341-346.
55
Braunstahl GJ, Fokkens WJ, Overbeek SE. 2003. Mucosal and systemic inflammatory changes in allergic rhinitis and asthma: a comparison between upper and lower airways. Clin Exp Allergy 33:579-587.
Brodard V, David B, Gorg A, Peltre G. 1993. Two-dimensional gel
electrophoresis analysis with immobilized pH gradients of Dactylis glomerata pollen allergens. Int Arch Allergy Immunol 102;72-80.
Bufe A, Gehlhar K, Schramm G, Schlaak M, Becker WM. 1998. Allergenic activity of a major grass pollen allergen is elevated in the presence of nasal secretion. Am J Respir Crit Med 157:1269-1276.
[CDC] Center for Disease Control. 2001. Self-reported asthma prevalence among adults – United States, 2000. MMWR 50:682-686.
Chapel H, Haeney M, Misbah S, Snowden N. 2006. Essentials of Clinical Immunology. Oxford: Blackwell Publishing Inc. hlm.78-94.
Chen Y, Dales R, Tang M, Krewski D. 2002. Obesity may increase the incidence of asthma in women but not in men: longitudinal observations from the Canadian national population health surveys. Am J Epidemiol 155:191-197.
Chew FT et al. 2000. Evaluation of the allergenicity of tropical pollen and airborne spores in Singapore. Allergy 55:340-347.
Ching TM, Ching KK. 1964. Freeze-drying pine pollen. Plant Physiol 39:705-709.
Church MK, Holgate ST. 1995. Allergy. London: Mosby-Wolfe.
Cosgrove DJ, Bedinger P, Durachko DM. 1997. Group I allergens of grass pollen as cell wall-loosening agents. Proc Natl Acad Sci USA 94:6559-6564.
Cua-Lim F et al. 2006. Allergy and Asthma - The Scenario in The Philippines. Di dalam: Shaikh WA, Shaikh SW editor. Principles and Practice of Tropical Allergy and Asthma. Vikas Medical Publishers. Mumbai, India. hlm. 763-817.
Damayanti NS. 2008. Alergenisitas Polen di Udara Bebas Pasar Minggu Jakarta Selatan pada Tikus Wistar (Rattus norvegicus). Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
D’Amato G et al. 2007. Allergenic pollen and pollen allergy in Europe. Allergy 62:976-990.
Dejsomritrutai W et al. 2006. Prevalence of bronchial hyperresponsiveness and asthma in the adult population in Thailand. Chest 129:602-609.
56
[DKK DKI Jakarta] Dinas Kesehatan Kota Daerah Khusus Ibukota Jakarta. 2006. Data Angka Kesakitan dari Berbagai Puskesmas Kecamatan di DKI Jakarta.
Dinas Tata Kota Jakarta. 2005. Tata Ruang Wilayah Kecamatan Ibukota Jakarta Tahun 2005. Jakarta: Dinas Tata Kota DKI Jakarta.
Djalil A, Keith-Lucas DM, Baratawidjaja KG. 1987. Pollen and spore trapping from the air of Jakarta. Interim Report. Department of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, University of Indonesia and Allergy Unit, Faculty of Medicine, University of Indonesia.
Dowaisan A et al. 2000. Sensitization to aeroallergens among patients with allergic rhinitis in a desert environment. Ann Allergy Asthma Immnol 84:433-438.
Durham SR, Ying S, Varney VA. 1996. Grass pollen immunotherapy inhibits allergen-induced infiltration of CD4+ T lymphocytes and eosinophils in the nasal mucosa and increases the number of cells expressing messenger RNA for interferon-gamma. J Allergy Clin Immunol 97:1356-1365.
Edwards A. 2003. Mechanism of allergic diseases. Di dalam: Holgate ST, Arshad
SH, editor. The Year in Allergy. Oxford: Clinical Publishing Services, hlm. 81-94.
Ellegard EK. 2004. Clinical and pathogenetic characteristics of pregnancy rhinitis. Clin Rev Allergy Immunol 26:149-159.
Esch RE. 2004. Grass pollen allergen. Di dalam: Lockey RF, Bukantz SC, Bousquet J, editor. Allergens and Allergen Immunotherapy. New York: Marcel Dekker, hlm. 185-205.
Ezeamuzie CI et al. 2000. IgE-mediated sensitization to mould allergens among patients with allergic respiratory disease in a desert environment. Int Arch Allergy Immunol 121:300-307.
Ezeamuzie CI et al. 1997. Prevalence of allergic sensitization to inhalant allergens among blood donors in Kuwait - a desert country. Allergy 52:1194-1200.
Faegri K, Iversen J, Waterbolk HT. 1964. Textbook of Pollen Analysis. New York: Hafner Publishing Company.
Folletti I, Forcina A, Marabini A, Bussetti A, Siracusa A. 2008. Have the prevalence and incidence of occupational asthma and rhinitis because of laboratory animals declined in the last 25 years? Allergy 63:834-841.
Ford SA, Baldo BA. 1987. Identification of Bermuda grass (Cynodon dactylon) pollen allergens by electroblotting. J Allergy Clin Immunol 79:711-720.
57
Freeman GL. 1993. Pine pollen allergy in northern Arizona. Ann Allergy 70:491-494.
Garcia JJ et al. 1997. Pollinosis due to Australian pine (Casuarina): An aerobiologic and clinical study in southern Spain. Allergy 52:11-17.
Gossage DL. 2000. Airborne allergens. Di dalam: Altman LC, Becker JW, Williams PV, editor. Allergy in Primary Care. Philadelphia: WB Saunders Company, hlm. 65-76.
Green R, Luyt D. 1997. Clinical characteristics of childhood asthmatics in Johannesburg. S Afr Med J 87:872-882.
Grobe K, Becker WM, Schlaak M, Petersen A. 1999. Grass gorup I allergens (beta-expansins) are novel, papain-related proteinase. Eur J Biochem 263:33-40.
Grote M, Valenta R, Reichelt R. 2003. Abortive pollen germination: a mechanism of allergen release in birch, alder, and hazel revealed by immuno-gold electron microscopy. J Allergy Clin Immunol 111:1017-1023.
Han S-H, Chang Z-N, Chi C-W, Peng H-J, Liu C-C, Tsai J-J. 1993. Use of monoclonal antibodies to isolate and characterize Cyn d I, the major allergen of Bermuda grass pollen. J Allergy Clin Immunol 92;249-58.
Hasnain SM, Katelaris C, Newbegin E, Singh AB. 2007. Aeroallergen monitoring standard for the Asia Pacific Region. A World Allergy Organization (WAO) manual for the use of the Burkard Volumetric Spore Trap and Burkard Personal Volumetric Air Sampler.
Halonen M, Stern DA, Wright AL, Taussig LM, Martinez FD. 1997. Alternaria as a major allergen for asthma in children raised in a desert environment. Am J Respir Crit Care Med 155:1356-1361.
Hiller KM, Esch RE, Klapper DG. 1997. Mapping of an allergenically important determinant of grass group I allergens. J Allergy Clin Immunol 100:335-340.
Ho TM, Tan BH, Ismail S, Bujang MK. 1995. Seasonal prevalence of air-borne pollen and spores in Kuala Lumpur, Malaysia. Asian Pacific J Allergy Immunol 13:17-22.
Horak F. 1985. Manifestation of allergic rhinitis in latent-sensitized patients. A prospective study. Arch Otorhinolaryngol 242:239-245.
Howlett BJ, Hill DJ, Knox RB. 1982. Cross-reactivity between Acacia (wattle)
and rye grass pollen allergens. Detection of allergens in Acacia (watlle pollen). Clin Alergy 12:259-268.
58
Huang SW. 2007. Nasal allergy and sinus infection: The link and therapeutic implications. Medical Progress 34:326-329.
Jarvis D, Burney R. 2004. Diagnosing allergy. Di dalam: Durham ES, editor. ABC of Allergies. London: BMJ Publishing, hlm. 4-7.
Jelks M. 1987. Allergy plants that cause sneezing and wheezing. Tampa: World-Wide Publications.
Jiang SY, Jasmin PXH, Ting YY, Ramachandran S. 2005. Genome-wide identification and molecular characterization of ole_e_I, allerg_1 and allerg_2 domain-containing pollen-allergen-like genes in Oryza sativa. DNA Research 12:169-179.
Jutel M, Jaeger L, Roland S, Meyer H, Fiebig H, Cromwell O. 2005. Allergen-specific immunotherapy with recombinant grass pollen allergens. J Allergy Clin Immunol 116;608-613.
Kalogeromitros D et al. 1995. Influence of the menstrual cycle on skin-prick test
reactions to histamine, morphine and allergen. Clin Exp Allergy 25:461-466.
Kapp RO. 1969. How to Know Pollen and Spore. WMc. Brown Company Publisher. Dubuque, Iowa. hlm.3-16.
Kerkhof M, Droste JH, de Monchy JG, Schouten JP, Rijcken B. 1996. Distribution of total serum IgE and specific IgE to common aeroallergens by sex and age, and their relationship to each other in a random sample of the Dutch general population aged 20–70 years. Dutch ECRHS Group, European Community Respiratory Health Study. Allergy 51:770-776.
Kimura Y et al. 2002. Purification and characterization of 31-kDa palm pollen
glycoprotein (Ela g Bd 31 K), which is recognized by IgE from palm pollinosis patients. Biosci Biotechnol Biochem 66:820-827.
Koshak E. 2006. Do in Vitro IgE tests have a role in identifying atopic asthma?
Allergy & Clinical Immunology 19(1):3-7.
Kuby J, Kindt TJ, Goldsby RA, Osborne BA. 2007. Hypersensitivity Reaction. Di dalam: Kindt TJ, Goldsby RA, Osborne BA, editor. Immunology. New York: WH Freeman and Company, hlm. 371-400.
Kuhl S. 2001. Aeroallergens and Other Environmental Allergens. Di dalam: Naguwa SM, Gershwin ME, editor. Allergy and Immunology Secrets. Philadelphia: Hanley and Belfus. hlm. 33-44.
59
Kumar L, Sridhara S, Singh BP, Gangal SV. 1998. Characterization of cogon grass (Imperata cylindrica) pollen extract and preliminary analysis of grass group 1, 4, and 5 homologues using monoclonal antibodies to Phleum pratense. Int Arch Allergy Immunol 117:174-9.
Lacey ME, West JS. 2006. A Manual for Catching and Identifying Airborne Biological Particles. Dordrecht, The Netherlands: Springer.
Laemmli UK. 1970. Cleavage of structural proteins during the assembly of the head of bacteriophage T4. Nature 227:680-685.
Leduc-Brodard V, Inacio F, Jaquinod M, Forest E, David B, Peltre G. Characterization of Dac g 4, a major basic allergen from Dactylis glomerata pollen. 1996. J Allergy Clin Immunol 98:1065-1072.
Lee BW et al. 1995. Characterization of oil palm pollen (Elaeis guineensis Jacq.) allergens. J Allergy Clin Immunol 95:261.
Lestringant GG, Bener A, Frossard PM, Abdulkhalik S, Bouix G. 1999. A clinical study of airborne allergens in the United Arab Emirates. Allerg Immnol (Paris) 31(8):263-267.
Leung R. 1996. The role of allergens in asthma and allergic rhinitis. Hong Kong Med J 2:307-314.
Li LC, Bedinger PA, Volk C, Jones AD, Cosgrove DJ. 2003. Purification and characterization of four beta-expansins (Zea m 1 isoforms) from maize pollens. Plant Physiol 132:2073-2085.
Lieferman KM, Gleich GJ. 1976. The cross-reactivity of IgE antibodies with pollen allergens: i. Analysis of various species of grass pollens. J Allergy Clin Immunol 58:123-139.
Lilly CM. 2005. Diversity of asthma: Evolving concepts of pathophysiology and
lessons from genetics. J Allergy Clin Immunol 115:S526-S531.
Lowenstein H. 1978. Immunological partial identity and in vitro inhibitory effect of two major timothy pollen allergens to whole pollen extract of four grasses. Int Arch Allergy Appl Immunol 57;379-83.
Lombardi E, Stein RT, Wright AL, Morgan WJ, Martinez FD. 1996. The relation between physician-diagnosed sinusitis, asthma, and skin test reactivity to allergens in 8-year-old children. Pediatr Pulmonol 22:141-146.
Lowry OH, Rosebrough NJ, Farr AL, Randall RJ. 1951. Protein measurement with the Folin phenol reagent. J Biol Chem 193:265-275.
60
Luskin AT. 2005. What the asthma end points we know and love do and do not tell us. J Allergy Clin Immunol 115:S539-S545.
MacGlashan D. 2003. Histamine mediator of inflammation. J Allergy Clin Immunol 112:S53-S59.
Mandal J, Roy I, Chatterjee S, Bhattacharya SG. 2008. Aerobiological investigation and in vitro studies of pollen grains from 2 dominant avenue trees in Kolkata, India. J Investig Allergol Clin Immunol 18: 22-30.
Matthiesen F, Schumacher M, Lowenstein H. 1991. Characterisation of the major allergen of Cynodon dactylon (Bermuda grass) pollen, Cyn d 1. J Allergy Clin Immunol 88:763-774.
Matsui EC, Wood RA. 2007. Question physicians often ask about allergens that trigger asthma. Medical Progress 34:330-336.
Metzger WJ et al. 1987. Local allergen challenge and bronchoalveolar lavage of allergic asthmatic lungs – description of the model and local airway inflammation. Am Rev Resp Dis 135:433-440.
Mildenhall DC, Wiltshire PE, Bryant VM. 2006. Forensic palynology: why do it and how it works. Forensic Sci Int 163:163-172.
Mygind N, Dahl R, Pedersen S, Thestrup-Pedersen K. 1994. Skin testing, the cornestone in allergy diagnosis. Di dalam: Mygind N, Dahl R, Pedersen S, Thestrup-Pedersen K, editor. Essential Allergy, edisi ke-2. Blackwell Science. hlm. 111-116.
Nelson HS. 2000. The importance of allergens in the development of asthma and the persistence of symptoms. J Allergy Clin Immunol 105:S628-S632.
Niederberger V et al. 1999. Calcium-dependent immunogloblin E recognition of the apo- and calcium-bound form of a cross-reactive two EF-hand timothy grass pollen allergens, Phl p 7. FASEB J 13:843-856.
Niogret MF, Dubald M, Mandaron P, Mache R. 1991. Characterization of pollen polygalacturonase encoded by several cDNA clones in maize. Plant Mol Biol 17:1155-1164.
Ong TC. 2005. Allergen for skin prick test. Department of Biological sciences, National University of Singapore.
Pagtakhan RD et al. 1984. Sex differences in growth patterns of the airways and lung parenchyma in children. J Appl Physiol: Respirat Environ Exercise Physiol 56:1204-1210.
61
Petersen A, Dresselhaus T, Grobe K, Becker WM. 2006. Proteome analysis of maize pollen for allergy-relevant components. Proteomics 6:6317-6325.
Phanichyakarn P, Kraisarin C, Sasisakulporn C. 1989. Atmospheric pollen and mold spores in Bangkok: A 15 year survey. Asian Pac J Allergy Immunol 7:113-118.
Platt-Mills TAE, Woodfolk JA, Wheatley LN. 1998. Environmental Allergens. Di dalam: Denburg JA, editor. Allergy and Allergic Disease. Humana Press. Totowa. hlm. 41-60.
Platt-Mills TAE. 2006. Immediate hypersensitivity. Di dalam: Male D, Brostoff J, Roth DB, Roitt I, editor. Immunology. Philadelphia: Mosby-Elsevier. hlm. 423-446.
Potter PC, Berman D, Toerien A, Malherbe D, Weinberg EG. 1991. Clinical significance of aero-allergen identification in the Western Cape. S Afr Med J 79:80-84.
Puc M. 2003. Characterisation of pollen allergens. Ann Agric Environ Med 10:143-149.
Pumhirun P, Towiwat P, Mahakit P. 1997. Aeroallergen sensitivity of Thai patients with allergic rhinitis. Asian Pac J Allergy Immunol 15:183-185.
Rabson A, Roitt IM, Delves PJ. 2005. Really Essential Medical Immunology, Blackwell Publishing. hlm. 148-163.
Ree van R et al. 1995. Lol p XI, a new major grass pollen allergen; is a member of a family of soybean trypsin inhibitor-related proteins. J Allergy Clin Immunol 95:970-978.
Ring J. 2005. Allergy in Practice. New York: Springer. hlm. 42-49.
Robinson C, et al. 1997. On the potential significance of the enzymatic activity of mite allergens to immunogenicity. Clues to structure and function revealed by molecular characterization. Clin Exp Allergy 27:10-21.
Romagnini S. 2004. Allergy: Is it a Th2-predominant disease? Di dalam: Isolauri E, Walker WA, editor. Allergic Diseases and the Environment. Basel: Karger, hlm. 69-96.
Rusznak C, Davies RJ. 1998. ABC of allergies: Diagnosing allergy. BMJ 316:686-689.
Sam CK et al. 1998. A study of pollen prevalence in relation to pollen alergy in Malaysian asthmatics. Asian Pac J Allergy Immunol 16:1-4.
62
Santos GA, Batugal PA, Othman A, Baudouin L, Labouisse JP. 1995. Di dalam: Manual on Standardized Research Techniques in Coconut Breeding. Manado: Balitka.
Schenk S et al. 1996. T cell epitopes of PHL p 1, major pollen allergen of timothy grass (Phleum pratense). Cross-reactivity with group I allergens of different grasses. Adv Exp Med Biol 409:141-146.
Schoefer Y, Schafer T, Meisinger C, Wichmann HE, Heinrich J. 2008. Predictivity of allergic sensitization (RAST) for the onset of allergic diseases in adults. Allergy 63:81-86.
Schramm G, Petersen A, Bufe A, Schlaak M, Becker WM. 1996. Identification and characterization of the major allergens of velvet grass (Holcus lanatus), Hol l 1 and Hol l 5. Int Arch Allergy Immunol 110:354-63.
Sehqul N, Custovic A, Woodcock A. 2005. Potential roles in rhinitis for protease and other enzymatic activities of allergens. Curr Allergy Asthma Rep 5:221-226.
Shen HD et al. 1998. Identification of allergens and antigens of Bermuda grass (Cynodon dactylon) pollen by immunoblot analysis. Clin Allergy 18:401-409.
Silvestri M, Oddera S, Rossi GA, Crimi P. 1996. Sensitisation to airborne allergens in children with respiratory symptoms. Ann Allergy Asthma Immunol 76:239-244.
Singh AB, Kumar P. 2003. Aeroallergens in clinical practice of allergy in India. An overview. Ann Agric Environ Med 10:131-136.
Smith EG. 2000. Sampling and Identifying Allergenic Pollens and Molds. San Antonio: Blewstone Press.
Smith PM, Xu H, Swoboda I, Singh MB. 1997. Identification of a Ca2+ binding protein as a new Bermuda grass pollen allergen Cyn d 7: IgE cross-reactivity with oilseed rape pollen allergen Bra r 1. Int Arch Allergy Immunol 114:265-271.
Sohn RH, Goldschmidt-Clermont PJ. 1994. Profilin: At the crossroads of signal transduction and the actin cytoskeleton. Bioessays 16:465-472.
Sompolinsky D, Samra Z, Zavaro A, Barishak Y. 1984. Allergen-spesific immunoglobulin E antibodies in tears and serum of vernal conjunctivitis patients. Int Arch Allergy Appl Immunol 75:317-321.
Sorensen H, Ashoor AA, Maglad S. 1986. Perennial rhinitis in Saudi Arabia. A prospective study. Ann Allergy 56:76-80.
63
Sornsathapornkul P, Owens JN. 1998. Pollination biology in a tropical Acacia hybrid (A. mangium Willd.x A. auriculiformis A. Cunn. ex Benth.). Annals of Botany 81: 631-645.
Sporik R, Holgate ST, Platts-Mills TA, Cogswell JJ. 1990. Exposure to house-
dust mite allergen (Der p 1) and the development of asthma in childhood: a prospective study. N Engl J Med 323:502-507.
Sridhara S et al. 2002. Immunobiochemnical characterization of Sorghum vulgare pollen allergens prevalent in tropical countries. Indian J Allergy Asthma Immunol 16(1):33-39.
Sridhara S et al. 1995. A study of antigenic and allergenic relationship among grass pollen grains prevalent in India. Ann Allergy Asthma Immunol 74:73-79.
Stübner UP et al. 1999. The influence of female sex hormones on nasal reactivity in seasonal allergic rhinitis. Allergy 54:865-871.
Stuessy TF. 1990. Plant Taxonomy. The Systematic Evaluation of Comparative Data. New York: Columbia University Press. hlm. 267-287.
Suck R et al. 2000. The high molecular mass allergen fraction of timothy grass pollen (Phleum pratense) between 50-60 kD is comprised of two major allergens: Phl p 4 and Phl p 13. Clin Exp Allergy 30:324-332.
Suliaman FA, Holmes WF, Kwick S, Khour F, Ratard R. 1997. Pattern of immediate type hypersensitivity reactions in the Eastern Province, Saudi Arabia. Ann Allergy Asthma Immunol 78:415-441.
Sundaru H, Sukmana N. 1990. Epidemiologi asma di Indonesia. Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia 3:17-18.
Suonemi I, Bjorksten F, Haahtela T. 1981. Dependence of immediate hypersensitivity in the adolescent period on factors encountered in infancy. Allergy 36:263-268.
Suphioglu C, Ferreira F, Knox RB. 1997. Molecular cloning and immunological characterization of Bermuda grass pollen. FEBS Lett 402:167-172.
Suphioglu C. 1998. Thunderstorm asthma due to grass pollen. Int Arch Allergy Immunol 116:253-260.
Taylor PE, Flagan R, Valenta R, Globsky MM. 2002. Release of allergens in respirable aerosols: a link between grass pollen and asthma. J Allergy Clin Immunol 109:51-56.
64
Thompson PJ, Stewart GA. 1993. Allergens. Di dalam: Holgate ST, Church MK editor. Allergy. Boston: Mosby-Wolfe. hlm.1.1-1.14.
Thomson CC, Clark S, Camargo CA. 2003. Body mass index and asthma severity among adults presenting to the emergency department. Chest 124:795-802.
Traidl-Hoffman C et al. 2002. Lipid mediators from pollen act as chemoattractants and activators of polymorphonuclear granulocytes. J Allergy Clin Immunol 109:831-838.
Tsai YT, Chen SH, Lin KL, Hsieh KH. 1990. Rice pollen allergy in Taiwan. Ann Allergy 65:459-462.
Tuchinda M, Theptaranon Y, Limsathayourat N. 1983. A Ten-year surveillance of atmospheric pollens and moulds in the Bangkok area. Asian Pacific J Allergy Immune 1:7-9.
[UKK Pulmonologi IDAI]. Unit Kerja Koordinasi Pulmonologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2002. Pedoman Nasional Penanganan Asma Anak. Revisi. Jakarta.
Visitsunthorn N, Vichyanond P. 2006. Allergy and asthma - The Thailand scenario. Di dalam: Shaikh WA, Shaikh SW, editor. Principles and Practice of Tropical Allergy and Asthma. Vikas Medical Publishers. Mumbai, India. hlm. 833-871.
Verdino P. 2006. Structural characterization of pollen allergens. Clin Rev Allergy Immunol 30:73-95.
Wijk van RG. 2002. Allergy: a global problem, quality of life. Allergy 57:1097-1110.
Weber RW. 1998. Pollen identification. Ann Allergy Asthma Immunol 80:141-145.
Weber RW. 2003. Bermuda grass. Ann Allergy Asthma Immunol 88(3):A-6.
Wodehouse RP. 1965. Pollen Grains. Their structure, identification and significance in science and medicine. New York: Hafner Publishing Company, Inc. hlm. 134-152.
Wood-Baker R, Markos J. 1997. Occupational ashtma due to blackwood (Acacia melanoxylon). Aust Z J Med 27:452-453.
Zimmerman JL, Woodruff PG, Clark S, Camargo CA. 2000. Relation between phase of menstrual cycle and emergency department visits for acute asthma. Am J Respir Crit Care Med 162:512-515.
LAMPIRAN
66
Lampiran 1
PETA DKI JAKARTA
http://www.geocities.com/gozaliarief/peta_jakarta_gede.jpg
Penelitian dilakukan di Jakarta Selatan (warna dasar hijau), Kecamatan Cilandak (lingkaran merah), Kecamatan Pasar Minggu (lingkaran kuning), dan Kecamatan
Jagakarsa (lingkaran hija
67
Lampiran 2
PETA JAKARTA SELATAN
http://selatan.jakarta.go.id/kesmas/media/map.jpg
Penelitian dilakukan di Kecamatan Cilandak, Pasar Minggu dan Jagakarsa
68
Lampiran 3
Lembar Informasi Penelitian
Yth. Bapak/Ibu/Saudara/Saudari,
Dengan ini kami jelaskan bahwa akan diadakan penelitian tentang alergi,
untuk mengetahui sensitisasi atau kepekaan terhadap bahan-bahan yang dapat
mencetuskan alergi pada pasien asma dan rinitis alergi yang tidak dalam serangan.
Pada penelitian ini akan dilakukan uji tusuk kulit di lengan bawah yang berkisar 30
menit. Persiapan uji tusuk kulit adalah tidak minum obat anti alergi/ antihistamin,
obat-obatan flu atau obat golongan steroid satu minggu sebelumnya. Hasil uji positif
akan ditandai dengan adanya bentol.
Keikutsertaan Bapak/Ibu/Saudara/Saudari di dalam penelitian ini bersifat
sukarela, dan dapat menolak selama proses penelitian berlangsung. Semua data pada
penelitian ini bersifat rahasia.
Apabila Bapak/Ibu/Saudara/Saudari bersedia ikut serta pada penelitian ini,
kami mohon kesediaan untuk dapat menandatangani lembar persetujuan menjadi
peserta penelitian yang berjudul:
“Sensitivitas terhadap Serbuk Sari pada Pasien Alergi Pernapasan di Jakarta”
Hal-hal yang belum jelas dalam penelitian ini dapat ditanyakan langsung/via telepon
pada penanggung jawab penelitian ini:
dr. Iris Rengganis, SpPD, KAI
Divisi Alergi Imunologi Klinik,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM
HP : 0816-728045
K : 021-3141160
Atas kesediaan Bapak/Ibu/Saudara/Saudari, kami ucapkan terima kasih.
69
Lampiran 4
Lembar Persetujuan Menjadi Peserta Penelitian
(Informed Consent)
Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : ..........................................................................
Usia : ............... tahun
Jenis kelamin : Laki-laki / Perempuan
Telepon/HP : ..........................................................................
Setelah mendapat keterangan secukupnya tentang penelitian yang berjudul :
“Sensitivitas terhadap Serbuk Sari pada Pasien Alergi Pernapasan di Jakarta“ Dengan sukarela menyetujui diikutsertakan dalam penelitian di atas. Mengetahui Jakarta, ........................... 2007 Peneliti, Yang menyetujui,
(dr.Iris Rengganis, SpPD, KAI) (................................................)
70
Lampiran 5
KETERANGAN LOLOS KAJI ETIK
(ETHICAL CLEARANCE)