Upload
vothuan
View
242
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI HUTAN DESA CUGUNGKESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG MODEL RAJABASA
KECAMATAN RAJABASA KABUPATEN LAMPUNG SELATAN
(Skripsi)
Oleh
FRANS HAMONANGAN NAINGGOLAN
FAKULTAS PERTANIANUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG2017
ABSTRAK
KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI HUTAN DESA CUGUNGKESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG MODEL RAJABASA
KECAMATAN RAJABASA KABUPATEN LAMPUNG SELATAN
Oleh
FRANS HAMONANGAN NAINGGOLAN
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Model Rajabasa merupakan
wilayah yang mempunyai banyak potensi flora dan fauna. Hutan Desa Cugung
merupakan salah satu langkah yang dilakukan pemerintah dalam
mengoptimalisasikan pemanfaatan sumberdaya hutan di KPHL Model Rajabasa.
Hutan Desa Cugung tersebut menjadi habitat bagi keberadaan burung-burung.
KPHL Model Rajabasa belum memiliki data dan informasi tentang
keanekaragaman burung pada kawasan tersebut, sehingga penelitian ini penting
dilaksanakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman jenis
burung dan status konservasi burung berdasarkan tiga kriteria, yaitu status jenis
burung dilindungi menurut PP No.7 Tahun 1999, status peraturan perdagangan
internasional menurut CITES (Convention on International Trade in Endangered
Species of Wild Fauna and Flora) dan status keterancaman menurut IUCN Red
List (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources).
Frans Hamonangan NainggolanPengamatan keanekaragaman jenis burung dilakukan dengan metode IPA
(Induces Ponctuel d’Abodance /indeks kelimpahan pada titik) atau point count
dengan menggunakan lima point count selama 18 hari pada bulan November
2016. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di hutan Desa Cugung KPHL
Model Rajabasa terdapat 30 spesies burung dengan total 3.556 individu yang
berasal dari 14 famili dengan 10 jenis tergolong dalam status burung dilindungi
(PP No.7/1999), tujuh jenis burung yang termasuk dalam kategori Appendix II
CITES dan satu jenis burung termasuk kategori Near Threatened menurut status
keterancaman IUCN Red List. Tingkat keanekaragaman jenis burung tergolong
dalam kategori yang sedang (H’= 2,810) dengan kondisi tingkat kesamarataan
yang stabil (J= 0,826).
Kata kunci: burung, hutan Desa Cugung, keanekaragaman spesies, KesatuanPengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Model Rajabasa.
Frans Hamonangan Nainggolan
ABSTRACT
DIVERSITY OF BIRDS IN CUGUNG VILLAGE FORESTKESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG MODEL RAJABASA
RAJABASA REGENCY DISTRICT SOUTH LAMPUNG
By
FRANS HAMONANGAN NAINGGOLAN
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Model Rajabasa is an area that has
many potential flora and fauna. Cugung Village forest was one of the steps taken
by the government in optimizing the utilization of forest resources in KPHL
Model Rajabasa. Cugung Village forest became a habitat for the existence of
birds. KPHL Model Rajabasa did not have data and information yet of the
diversity of birds in the area, so this research was important to implement. This
study aimed to determine the diversity of bird species and bird conservation status
based on three criterias, they were the status of protected bird species according to
Government Regulation No. 7 of 1999, the status of international trade regulations
according to CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of
Wild Fauna and Flora) and IUCN status of vulnerability according to IUCN Red
List (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources).
Frans Hamonangan NainggolanObservation of bird species diversity was by IPA method (Induces Ponctuel
d'Abodance) or point count by using five point count for 18 days in November
2016. Based on the results of the research that had been conducted in the Cugung
Village forest KPHL Model Rajabasa, there were 30 species of birds with a total
of 3.556 individuals from 14 families with 10 species included into protected bird
status (PP No. 7/1999), seven bird species included in the category Appendix II
CITES and one bird species including Near Threatened category according to the
IUCN Red List status of vulnerability. The level of diversity of bird species was
in moderate category (H '= 2,810) with stable level of equality (J = 0,826).
Keywords: bird, Cugung Village Forest, diversity of bird, Kesatuan PengelolaanHutan Lindung (KPHL) Model Rajabasa.
KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI HUTAN DESA CUGUNGKESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG MODEL RAJABASA
KECAMATAN RAJABASA KABUPATEN LAMPUNG SELATAN
Oleh
FRANS HAMONANGAN NAINGGOLAN
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai GelarSARJANA KEHUTANAN
Pada
Jurusan KehutananFakultas Pertanian Universitas Lampung
FAKULTAS PERTANIANUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG2017
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kecamatan Natar Kabupaten
Lampung Selatan pada tanggal 18 April 1992 dari
pasangan Bapak H. Nainggolan dan L. Samosir. Penulis
merupakan anak ke dua dari empat bersaudara. Jenjang
pendidikan penulis bersekolah di Sekolah Dasar Negeri 2
Branti Raya Kecamatan Natar pada tahun 1998,
kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Natar
Kecamatan Natar pada tahun 2004 dan tamat sekolah pada tahun 2007. Penulis
melanjutkan pendidikan pada Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Natar Kecamatan
Natar dan lulus pada tahun 2010. Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan
Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung melalui jalur Seleksi
Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).
Kegiatan penulis sebagai mahasiswa bergabung sebagai anggota IMABATOBA
(Ikatan Mahasiswa Batak Toba), Pengurus Himasylva (Himpunan Mahasiswa
Kehutanan) dan anggota UKMK UNILA (Unit Kegiatan Mahasiswa Kristen
Universitas Lampung). Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa
Penengahan Kecamatan Penengahan Kabupaten Lampung Selatan pada tahun
2014 selama 40 hari. Kegiatan Praktek Umum penulis dilaksanakan di Bagian
Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Malimping Kesatuan Pemangkuan Hutan
(KPH) Banten Perum Perhutani unit III Jawa Barat dan Banten. Penulis selama
menjadi mahasiswa pernah menjadi asisten dosen dalam mata perkuliahan Silvika,
Wisata Hutan Berkelanjutan (WHB) dan Pengelolaan Hutan Rakyat (PHR).
Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, kupersembahkan karya
ini kepada kedua orang tuaku Bapak H. Nainggolan dan Ibu L. Samosir tercinta
yang selalu mendoakan, memberikan nasehat dan kasih sayang sampai saat ini.
Semoga Tuhan selalu memberkati kami senantiasa.
SANWACANA
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat karunia dan anugerah-Nya,
penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini.
Skripsi dengan judul “Keanekaragaman Jenis Burung di Hutan Desa Cugung
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Model Rajabasa Kecamatan Rajabasa
Kabupaten Lampung Selatan” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan di Universitas Lampung.
Kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Dr. Hj. Bainah Sari Dewi, S.Hut., M.P., selaku pembimbing pertama dan
Bapak Dr. Arief Darmawan, S.Hut., M.Sc., selaku pembimbing kedua yang
telah memberikan pengarahan, bimbingan dan motivasi kepada penulis
sehingga dapat terselesaikan penelitian dan penulisan skripsi.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S., selaku dosen penguji yang telah
memberikan masukan, nasehat dan kritik yang membangun.
3. Bapak Prof. Dr. Ir. Irwan Sukri Banuwa, M.Si., selaku Dekan Fakultas
Pertanian Universitas Lampung.
4. Ibu Dr. Melya Riniarti, S.P., M.Si., selaku Ketua Jurusan Kehutanan Fakultas
Pertanian Universitas Lampung.
iii5. Bapak dan Ibu Dosen beserta Staf Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian
Universitas Lampung.
6. Pihak Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Model Rajabasa, Bapak
Khairul Anwar sebagai Pimpinan KPHL Model Rajabasa, Bang Iqbal
Amiruddin Ihsanu selaku Bakti Sarjana Rimbawan (Basarhut) KPHL Model
Rajabasa.
7. Bapak Ali Muhaimin sebagai Lurah Desa Cugung Kecamatan Rajabasa
Kabupaten Lampung Selatan.
8. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi.
Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini masih kurang sempurna, maka dari
itu penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang sifatnya membangun agar
langkah penulis berikutnya semakin baik lagi. Harapannya bahwa skripsi ini
dapat bermanfaat bagi pembaca. Amin. Terima kasih.
Bandar Lampung, 18 September 2017
Penulis
Frans Hamonangan Nainggolan
DAFTAR ISI
HalamanDAFTAR TABEL .................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ x
I. PENDAHULUAN ................................................................................ 1A. Latar Belakang ................................................................................. 1B. Tujuan Penelitian ............................................................................. 4C. Manfaat Penelitian ........................................................................... 4D. Kerangka Pemikiran ........................................................................ 5
II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 8A. Keanekaragaman Hayati .................................................................. 8B. Burung ............................................................................................. 10C. Habitat Burung ................................................................................. 13D. Penyebaran Burung ......................................................................... 15E. Status Konservasi Burung ................................................................ 18
1. Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1990Tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya ..... 18
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7 Tahun 1999Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa ...................... 19
3. IUCN (International Union for Conservation of Natureand Natural Resources) .............................................................. 20a. Extinct (EX: Punah) .............................................................. 21b. Extinct in the Wild (EX: Punah di Alam Liar) ...................... 21c. Critically Endangered (CR: Kritis) ....................................... 21d. Endangered (EN: Genting atau Terancam) .......................... 21e. Vulnerable (VU: Rentan) ...................................................... 22f. Near Threatened (NT: Hampir Terancam) ............................ 22g. Least Concern (LC: Berisiko Rendah) ................................. 22h. Data Deficient (DD: Informasi Kurang) ............................... 23i. Not Evaluated (NE: Belum dievaluasi) ................................. 23
4. CITES (Convention on International Trade in EndangeredSpecies of Wild Fauna and Flora) .............................................. 23
F. Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Model Rajabasa ................. 24G. Hutan Desa ...................................................................................... 26
vHalaman
III. METODOLOGI PENELITIAN ...................................................... 28A. Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................ 28B. Alat dan Bahan Penelitian ............................................................. 29C. Jenis Data ...................................................................................... 29
1. Data Primer .............................................................................. 292. Data Sekunder .......................................................................... 30
D. Batasan Penelitian ......................................................................... 30E. Metode Pengumpulan Data ........................................................... 30
1. Pengumpulan Data Primer ....................................................... 30a. Metode Survei Pendahuluan ............................................... 30b. Metode Titik Hitung (Point Count) .................................... 31c. Metode Rapid Assessment .................................................. 32
2. Pengumpulan Data Sekunder ................................................... 32F. Analisis Data .................................................................................. 33
1. Indeks Keanekaragaman (Diversity Index) .............................. 332. Indeks Kesamarataan (Evennes Index) ..................................... 333. Indeks Kesamaan Komunitas (Index of Similarity) .................. 344. Analisis Deskriptif .................................................................... 34
IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ............................... 35A. Data Administratif Lokasi Penelitian ........................................... 35B. Topografi ....................................................................................... 36C. Iklim .............................................................................................. 37D. Tanah ............................................................................................. 37
1. Tanah Latosol ........................................................................... 372. Tanah Podsolik ......................................................................... 383. Tanah Andosol ......................................................................... 38
E. Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat ........................ 381. Jumlah Penduduk ..................................................................... 382. Tingkat Pendidikan dan Matapencaharian ............................... 383. Sosial Budaya Masyarakat ....................................................... 39
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................... 40A. Hasil Penelitian ............................................................................. 40
1. Keanekaragaman Jenis Burung ................................................ 402. Tingkat Keanekaragaman Jenis Burung ................................... 413. Indeks Kesamaan Jenis ............................................................. 434. Jenis Tumbuhan Penyusun Vegetasi ........................................ 44
B. Pembahasan ................................................................................... 451. Keanekaragaman Jenis Burung ................................................ 452. Tingkat Keanekaragaman Jenis Burung ................................... 81
a. Indeks Keanekaragaman Jenis Burung (Diversity Index) ... 81b. Indeks Kesamarataan Jenis Burung (Evennis Index) .......... 84c. Tingkat Kesamaan Jenis (Similarity Index) ........................ 85
3. Vegetasi dan Peranan Habitat Bagi Burung ............................. 874. Status Konservasi Jenis Burung ............................................... 90
a. Status Lindung .................................................................... 90
viHalaman
b. Status Perdagangan Internasional Menurut CITES ............ 92c. Status Keterancaman Menurut IUCN ................................. 92
5. Upaya Konservasi Terhadap Jenis Burung ............................... 94
VI. SIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 97A. Simpulan ....................................................................................... 97B. Saran .............................................................................................. 98
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 99
LAMPIRAN
Tabel 8-19 .................................................................................................. 105-116
vii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman1. Tally sheet yang digunakan pada penelitian keanekaragaman
jenis burung di hutan Desa Cugung KPHL Model RajabasaKecamatan Rajabasa Kabupaten Lampung Selatan ............................ 29
2. Jenis-jenis burung yang terdapat di hutan Desa CugungKesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Model RajabasaKecamatan Rajabasa Kabupaten Lampung Selatan ............................. 40
3. Tingkat keanekaragaman jenis burung yang terdapatdi hutan Desa Cugung Kesatuan Pengelolaan Hutan LindungModel Rajabasa Kecamatan Rajabasa Kabupaten Lampung Selatan .. 42
4. Indeks keanekaragaman dan indeks kesamarataan jenis burungdi lima titik hitung (point count) hutan Desa CugungKesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Model RajabasaKecamatan Rajabasa Kabupaten Lampung Selatan ............................. 43
5. Tingkat kesamaan jenis burung di hutan Desa CugungKesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Model RajabasaKecamatan Rajabasa Kabupaten Lampung Selatan ............................. 43
6. Jenis tumbuhan penyusun vegetasi yang terdapatdi hutan Desa Cugung Kesatuan Pengelolaan Hutan LindungModel Rajabasa Kecamatan Rajabasa KabupatenLampung Selatan .................................................................................. 44
7. Klasifikasi jenis burung berdasarkan jenis pakan di hutan DesaCugung Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Model RajabasaKecamatan Rajabasa Kabupaten Lampung Selatan ............................. 89
8. Indeks keanekaragaman (Diversity Index) per point countpada pengamatan keanekaragaman jenis burung di hutan DesaCugung Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Model RajabasaKecamatan Rajabasa Kabupaten Lampung Selatan(titik pengamatan/point count 1) .......................................................... 105
viiiTabel Halaman9. Indeks keanekaragaman (Diversity Index) per point count
pada pengamatan keanekaragaman jenis burung di hutan DesaCugung Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Model RajabasaKecamatan Rajabasa Kabupaten Lampung Selatan(titik pengamatan/point count 2) .......................................................... 106
10. Indeks keanekaragaman (Diversity Index) per point countpada pengamatan keanekaragaman jenis burung di hutan DesaCugung Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Model RajabasaKecamatan Rajabasa Kabupaten Lampung Selatan(titik pengamatan/point count 3) .......................................................... 107
11. Indeks keanekaragaman (Diversity Index) per point countpada pengamatan keanekaragaman jenis burung di hutan DesaCugung Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Model RajabasaKecamatan Rajabasa Kabupaten Lampung Selatan(titik pengamatan/point count 4) .......................................................... 108
12. Indeks keanekaragaman (Diversity Index) per point countpada pengamatan keanekaragaman jenis burung di hutan DesaCugung Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Model RajabasaKecamatan Rajabasa Kabupaten Lampung Selatan(titik pengamatan/point count 5) .......................................................... 109
13. Indeks kesamarataan (Evennes Index) per point countpada pengamatan keanekaragaman jenis burung di hutan DesaCugung Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Model RajabasaKecamatan Rajabasa Kabupaten Lampung Selatan(titik pengamatan/point count 1) .......................................................... 110
14. Indeks kesamarataan (Evennes Index) per point countpada pengamatan keanekaragaman jenis burung di hutan DesaCugung Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Model RajabasaKecamatan Rajabasa Kabupaten Lampung Selatan(titik pengamatan/point count 2) .......................................................... 111
15. Indeks kesamarataan (Evennes Index) per point countpada pengamatan keanekaragaman jenis burung di hutan DesaCugung Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Model RajabasaKecamatan Rajabasa Kabupaten Lampung Selatan(titik pengamatan/point count 3) .......................................................... 112
16. Indeks kesamarataan (Evennes Index) per point countpada pengamatan keanekaragaman jenis burung di hutan DesaCugung Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Model RajabasaKecamatan Rajabasa Kabupaten Lampung Selatan(titik pengamatan/point count 4) .......................................................... 113
ixTabel Halaman17. Indeks kesamarataan (Evennes Index) per point count
pada pengamatan keanekaragaman jenis burung di hutan DesaCugung Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Model RajabasaKecamatan Rajabasa Kabupaten Lampung Selatan(titik pengamatan/point count 5) .......................................................... 114
18. Indeks keanekaragaman (Diversity Index) total pada pengamatankeanekaragaman jenis burung di hutan Desa CugungKesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Model RajabasaKecamatan Rajabasa Kabupaten Lampung Selatan ............................. 115
19. Indeks kesamarataan (Evennes Index) total pada pengamatankeanekaragaman jenis burung di hutan Desa CugungKesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Model RajabasaKecamatan Rajabasa Kabupaten Lampung Selatan ............................. 116
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman1. Diagram alir kerangka pemikiran keanekaragaman jenis burung
di hutan Desa Cugung KPHL Model RajabasaKecamatan Rajabasa Kabupaten Lampung Selatan ............................ 7
2. Peta lokasi penelitian menggunakan metode titik hitung(point count) pada penelitian keanekaragaman jenis burungdi hutan Desa Cugung KPHL Model RajabasaKecamatan Rajabasa Kabupaten Lampung Selatan ............................ 28
3. Titik pengamatan burung (point count) di hutan Desa CugungKPHL Model Rajabasa Kecamatan Rajabasa KabupatenLampung Selatan ................................................................................ 32
4. Elang-alap jambul (Accipiter trivirgatus) ........................................... 46
5. Elang bondol (Haliastur indus) .......................................................... 47
6. Elang brontok (Spizaetus cirrhatus) ................................................... 48
7. Elang gunung (Spizaetus alboniger) ................................................... 49
8. Elang hitam (Ictinaetus malayensis) ................................................... 50
9. Elang ikan kepala kelabu (Ichthyophaga ichthyaetus) ....................... 51
10. Elang ular bido (Spilornis cheela) ...................................................... 52
11. Cekakak belukar (Halcyon symrnensis) .............................................. 53
12. Cekakak sungai (Todirhamphus chloris) ............................................ 54
13. Walet palem asia (Cypsiurus balasiensis) .......................................... 55
14. Walet sapi (Collocalia esculenta) ....................................................... 56
15. Cica daun sayap biru (Chloropsis cochinchinensis icterocephala) .... 57
xiGambar Halaman16. Tekukur biasa (Streptopelia chinensis) ............................................... 58
17. Gagak hutan (Corvus enca) ................................................................. 59
18. Bubut alang-alang (Centropus bengalensis) ....................................... 60
19. Cabai gunung (Dicaeum sanguinolentum) .......................................... 61
20. Cabai perut kuning (Dicaeum ignipectus) .......................................... 62
21. Kicuit batu (Motacilla cinerea) ........................................................... 63
22. Kicuit hutan (Dendronanthus indicus) ................................................ 64
23. Burung madu polos (Anthreptes simplex) ........................................... 65
24. Caladi tilik (Dendrocopos moluccensis) ............................................. 66
25. Bondol jawa (Lonchura leucogastroides) ........................................... 67
26. Bondol peking (Lonchura punctulata) ................................................ 68
27. Cucak gunung (Pycnonotus bimaculatus) ........................................... 69
28. Cucak kuning (Pycnonotus melanicterus) .......................................... 70
29. Cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster) ............................................ 71
30. Merbah cerukcuk (Pycnonotus goiavier) ............................................ 72
31. Cici padi (Cisticola juncidis) .............................................................. 73
32. Cinenen belukar (Orthotomus atrogularis) ........................................ 74
33. Cinenen kelabu (Orthotomus ruficeps) ............................................... 75
34. Grafik famili, jenis dan jumlah burung yang dijumpaipada penelitian di hutan Desa Cugung Kesatuan PengelolaanHutan Lindung Model Rajabasa Kecamatan RajabasaKabupaten Lampung Selatan .............................................................. 80
35. Histogram indeks keanekaragaman jenis burungpada masing-masing point count di hutan Desa CugungKesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Model RajabasaKecamatan Rajabasa Kabupaten Lampung Selatan ............................ 83
xiiGambar Halaman36. Histogram indeks kesamarataan jenis burung pada masing-masing
point count di hutan Desa Cugung Kesatuan PengelolaanHutan Lindung Model Rajabasa Kecamatan RajabasaKabupaten Lampung Selatan .............................................................. 85
37. Histogram jenis burung yang dilindungi menurut PeraturanPemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang PengawetanJenis Tumbuhan dan Satwa di hutan Desa Cugung KesatuanPengelolaan Hutan Lindung Model Rajabasa Kecamatan RajabasaKabupaten Lampung Selatan .............................................................. 91
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumberdaya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari
sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan sumberdaya alam hewani (satwa) yang
bersama dengan unsur non hayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk
ekosistem (Departemen Kehutanan, 1990).
Burung adalah salah satu bagian dari keanekaragaman hayati. Berabad-abad
burung menjadi sumber inspirasi dan memberikan kesenangan kepada masyarakat
Indonesia karena keindahan suara dan bulunya. Burung juga merupakan indikator
yang sangat baik untuk kesehatan lingkungan dan nilai keanekaragaman hayati
lainnya (Rombang dan Rudyanto, 1999 dalam Rusmendro, 2009).
Keanekaragaman jenis burung yang dapat dijadikan sebagai indikator kualitas
lingkungan perlu mendapatkan perhatian khusus, karena kehidupannya
dipengaruhi oleh faktor fisik, kimia dan hayati (Hidayat, 2013). Penyebaran yang
luas hampir pada setiap lingkungan bervegetasi mencakup berbagai tipe
ekosistem, mulai dari ekosistem alami sampai ekosistem buatan menjadikan
burung sebagai salah satu sumber kekayaan hayati Indonesia yang potensial
(Hadinoto, dkk., 2012).
2Satwa burung (avifauna) merupakan salah satu margasatwa yang mudah dijumpai
di berbagai tempat dan mempunyai posisi yang penting sebagai salah satu
kekayaan satwa di Indonesia. Jenisnya sangat beranekaragam dan masing-masing
jenis memiliki nilai keindahan tersendiri (Wisnubudi, 2009). Arumasari (1989
dalam Rusmendro, 2009) menyatakan bahwa sebagai salah satu komponen
ekosistem, burung mempunyai hubungan timbal balik dan saling tergantung
dengan lingkungannya, atas dasar peran dan manfaat ini maka kehadiran burung
dalam suatu ekosistem perlu dipertahankan.
Keberadaan burung mempunyai peranan yang penting bagi kehidupan manusia
baik ditinjau dari segi penelitian, pendidikan dan kebudayaan, maupun untuk
kepentingan rekreasi dan pariwisata (Alikodra, 1990). Burung mempunyai
manfaat diantaranya adalah membantu mengontrol populasi serangga, membantu
penyerbukan bunga dan pemencaran biji, mempunyai nilai ekonomi, memiliki
suara khas dan sumber plasma nutfah.
Faktor yang menentukan keberadaan burung adalah ketersediaan pakan, tempat
untuk beristirahat, bermain, kawin, bersarang, bertengger dan berlindung.
Kemampuan areal menampung burung ditentukan oleh luasan, komposisi dan
struktur vegetasi, banyaknya tipe ekosistem dan bentuk areal serta keamanan.
Penyebaran burung tidak terbatas pada areal suaka alam, tetapi hampir di berbagai
tempat. Burung merasa betah tinggal di suatu tempat apabila terpenuhi tuntutan
hidupnya, antara lain habitat yang mendukung dan aman dari gangguan (Hernowo
dan Prasetyo, 1989).
3Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Model Rajabasa Kabupaten Lampung
Selatan dibentuk berdasarkan surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik
Indonesia Nomor: SK. 367/Menhut–II/2011 tentang Penetapan Wilayah Kesatuan
Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Model Rajabasa (Unit XIV) yang terletak
di Kabupaten Lampung Selatan Provinsi Lampung (Kementerian Kehutanan,
2011) dan hutan Desa Cugung berdasarkan Keputusan Nomor: SK. 415/Menhut-
II/2014 tentang Penetapan Areal Kerja Hutan Desa Cugung, Desa Kunjir dan
Desa Batu Balak (Kementerian Kehutanan, 2014).
KPHL Model Rajabasa difungsikan dalam mengoptimalisasikan pemanfaatan
sumberdaya hutan dan merupakan wilayah yang mempunyai banyak potensi, yaitu
flora dan fauna termasuk satwa burung. Kegiatan KPHL Model Rajabasa dimulai
dengan pemantapan pengelolaan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya serta
optimalisasi pemanfaatan sumberdaya hutan secara lestari dan berkelanjutan
(KPHL Model Rajabasa, 2014).
Pemanfaatan sumberdaya hutan dapat dilaksanakan secara lestari dan
berkelanjutan dengan dilakukan langkah-langkah yang bersifat konservatif
sehingga sumberdaya hutan yang di dalamnya termasuk burung dapat terpelihara
serta seimbang. Pentingnya keberadaan burung di dalam ekosistem dan data serta
informasi mengenai keanakaragaman jenis burung yang terbatas, maka dari itu
perlu dilakukannya penelitian mengenai keanekaragaman jenis burung di hutan
Desa Cugung KPHL Model Rajabasa sebagai sumber data dan informasi sehingga
menjadi dasar dalam rangka tindakan pelestarian dan upaya perlindungan terhadap
keanekaragaman jenis burung dan jenis burung yang termasuk dilindungi.
4B. Tujuan Penelitian
1. Menganalisis tingkat keanekaragaman jenis burung berdasarkan indeks
keanekaragaman jenis Shannon-Wienner (Diversity Index), indeks
kesamarataan (Evennes Index) dan indeks kesamaan komunitas (Index of
Similarity) di hutan Desa Cugung KPHL Model Rajabasa.
2. Menganalisis jumlah jenis burung, jumlah famili, jumlah individu dari tiap
jenis burung dan status konservasi burung berdasarkan tiga kriteria, yaitu
status jenis burung dilindungi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun
1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa (Departemen
Kehutanan, 1999), status peraturan perdagangan internasional menurut
CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild
Fauna and Flora) (2012) dan status keterancaman menurut IUCN
(International Union for Conservation of Nature and Natural Resources)
(2012) di hutan Desa Cugung KPHL Model Rajabasa.
C. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan data dan informasi tentang:
1. Keanekaragaman jenis burung di hutan Desa Cugung KPHL Model Rajabasa.
2. Status konservasi burung berdasarkan tiga kriteria, yaitu status jenis burung
dilindungi menurut PP No. 7 Tahun 1999 (Departemen Kehutanan, 1999),
status peraturan perdagangan internasional menurut CITES (2012) dan status
keterancaman menurut IUCN (2012) sebagai dasar ilmiah dalam rangka
pelestarian dan perlindungan burung di hutan Desa Cugung.
5D. Kerangka Pemikiran
Permasalahan utama yang dihadapi oleh pemerintah dalam mengelola sumberdaya
hutan adalah permasalahan sosial-ekonomi, budaya dan kelembagaan masyarakat
desa di dalam/sekitar kawasan hutan seperti: perambahan kawasan, penebangan
illegal, klaim okupasi berupa desa/pemukiman, klaim sebagai tanah adat. KPHL
Model Rajabasa adalah salah satu pengelolaan hutan lindung yang ada
di Indonesia. Salah satu upaya yang dilakukan untuk meminimalisir
permasalahan tersebut adalah dengan memadukan antara keinginan masyarakat
dan pemerintah dalam mengambil suatu kesepakatan kebijakan terhadap
pengelolaan kawasan hutan/KPH (KPHL Model Rajabasa, 2014).
Hutan Desa Cugung merupakan model pembangunan yang dilakukan pemerintah
dalam mengoptimalisasikan pemanfaatan sumberdaya hutan di KPHL Model
Rajabasa. Hutan desa menurut Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 89 Tahun
2014 tentang Hutan Desa (Kementerian Kehutanan, 2014) adalah hutan negara
yang belum dibebani izin/hak, yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk
kesejahteraan desa. Pemanfaatan sumberdaya hutan secara berkelanjutan untuk
meningkatan kesejahteraan masyarakat harus disertakan dengan upaya
perlindungan terhadap sumberdaya hutan tersebut. Sumberdaya hutan yang perlu
dilindungi di hutan Desa Cugung KPHL Model Rajabasa adalah burung.
Informasi dan data mengenai keanekaragaman jenis burung dan status jenis
burung penting diketahui dalam rangka pengelolaan hutan desa yang lebih baik
dan dalam rangka tindakan pelestarian dan upaya perlindungan, maka dari itu
6perlu dilakukannya penelitian keanekaragaman jenis burung di hutan Desa
Cugung Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Model Rajabasa.
Pengamatan keanekaragaman jenis burung dilakukan dengan metode point count
(titik hitung) atau IPA (Induces Ponctuel d’Abodance/indeks kelimpahan pada
titik). Pengamatan burung menggunakan lima point count selama 18 hari (Bibby,
dkk., 2000). Pengamatan dilakukan secara langsung pada pagi hari pukul 06.00-
09.00 WIB dan sore hari 15.00-18.00 WIB dengan berdiam pada titik-titik yang
telah ditentukan dan mencatat perjumpaan terhadap burung. Point count memiliki
ukuran panjang ± 1.300 meter dengan pengamatan di point count sejauh mata
memandang dengan jarak radius 50 meter.
Jarak pengamatan keanekaragaman jenis burung antara point count adalah 300
meter dengan waktu antara point count satu dengan point count selanjutnya ± 35
menit, 20 menit untuk pengamatan di point count dan ± 15 menit untuk berjalan
menuju ke point count selanjutnya. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui jumlah dan jenis burung yang ada di lokasi penelitian. Setiap jenis
burung yang ditemukan diidentifikasi menggunakan buku panduan lapangan
identifikasi jenis burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan” (MacKinnon,
dkk., 1998). Parameter yang diukur adalah jenis burung, jumlah individu dari tiap
jenis burung dan waktu perjumpaan antara pengamat dengan burung. Gambaran
secara umum komposisi penyusun tipe vegetasi diperoleh menggunakan metode
rapid assessment. Hasil penelitian diharapkan menjadi sumber informasi dan
dasar ilmiah dalam upaya perlindungan dan pelestariannya. Diagram alir
kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
7
Gambar 1. Diagram alir kerangka pemikiran keanekaragaman jenis burungdi hutan Desa Cugung KPHL Model Rajabasa Kecamatan RajabasaKabupaten Lampung Selatan.
KPHL Model Rajabasa
Hutan Desa Cugung
Data dan Informasi Jenis Burung Terbatas
Penelitian
Burung
Indeks Keanekaragaman Jenis (Diversity Index)Indeks Kesamarataan (Evennes Index)
Indeks Kesamaan Komunitas (Index of Similarity)
Perlindungan dan Konservasi Burung
Metode Point Count(Titik Hitung)Point Count
Metode RapidAssessment
Studi Literatur
Lima Titik HitungPagi dan Sore Hari
Pengenalan SecaraLangsung
MacKinnon dkk.(1998), dan lain-lain
Total Individu, Jenisdan Famili
Identifikasi JenisBurung
KomposisiPenyusun Vegetasi
Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999IUCN (2012)CITES (2012)
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Keanekaragaman Hayati
Indonesia secara geografis termasuk ke dalam dua rumpun biogeografi, yaitu
Indo-Melayu dan Australasia dan di antara keduanya terdapat zona transisi
Wallacea. Kondisi geografis tersebut menyebabkan Indonesia memiliki
keanekaragaman hayati tinggi (KLH dan KONPHALINDO, 1994 dalam
Setiawan, dkk., 2006).
Keanekaragaman memiliki nilai-nilai lingkungan, budaya dan sosial yang penting.
Keanekaragaman hayati adalah semua kehidupan di atas bumi ini baik tumbuhan,
hewan, jamur, mikroorganisme serta berbagai materi genetik yang dikandungnya
dan keanekaragaman sistem ekologi dimana mereka hidup (Baiquni, 2007 dalam
Utama, dkk., 2011).
Keanekaragaman hayati merupakan keanekaragaman di antara makhluk hidup
dari semua sumber di antaranya daratan, lautan dan sistem akuatik lainnya serta
kompleks-kompleks ekologi yang merupakan bagian dari keanekaragamannya,
mencakup keanekaragaman di dalam spesies, antar spesies dan ekosistem
(Sujatnika, dkk., 1995 dalam Utama, dkk., 2011).
9Sumberdaya alam hayati dengan segenap keanekaannya adalah kekayaan alam
yang mengemban fungsi produksi/ekonomi sekaligus fungsi ekologis, sosial dan
budaya yang harus dimanfaatkan untuk kepentingan bangsa dan negara secara
lestari. Keanekaragaman hayati yang dikandung sumberdaya hutan dan perairan
di Indonesia termasuk sangat tinggi dan sebagian bersifat endemik, sehingga
Indonesia disebut sebagai negara megabiodiversity.
Berdasarkan hasil-hasil penelitian, keanekaragaman hayati Indonesia terdiri dari:
mamalia 515 spesies (12 % dari jenis mamalia dunia), reptilia 511 jenis (7,3 %
dari jenis reptilia dunia), burung 1.531 jenis (17 % dari jenis burung dunia),
ampibi 270 jenis, binatang tak bertulang belakang 2.827 jenis dan tumbuhan
sebanyak ± 38.000 jenis, diantaranya 1.260 jenis yang bernilai medis
(fitofarmaka) (Departemen Kehutanan, 2005).
Menurut data Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan (2010, dalam
Watalee, dkk., 2013), Indonesia memiliki kekayaan flora dan fauna serta hidupan
liar lainnya yang mengundang perhatian dan kekaguman bebagai pihak baik
di dalam maupun di luar negeri. Tercatat tidak kurang dari 515 spesies mamalia
(terbanyak di dunia), 1.519 spesies burung (keempat terbanyak), 270 spesies
amfibia (kelima terbanyak), 600 spesies reptilia (ketiga terbanyak), 121 spesies
kupu-kupu (terbanyak) dan 20.000 spesies tumbuhan berbunga (ketujuh
terbanyak) menghuni habitat–habitat daratan dan lautan di kepulauan.
Indonesia telah ditetapkan sebagai negara megadiversity kedua terbesar di dunia
(Mittermeier dan Mittermeir, 1997 dalam Sulistyadi, 2010). Setiap jenis hayati
memiliki fungsi dalam melestarikan ekosistem yang ditempatinya, maka setiap
10jenis hayati harus dipertahankan keberadaan dan fungsinya. Kelompok jenis
hayati akan rawan menjadi punah jika ada perubahan lingkungan pendukungnya.
Kelompok hayati rawan punah tersebut antara lain yang bersifat endemik, migran,
pemangsa puncak, megaherbivora dan berbiak dalam kelompok. Jenis hayati
yang termasuk dalam kelompok rawan punah perlu tetap memiliki habitat dengan
luasan yang cukup dalam bentuk kawasan konservasi (Sulistyadi, 2010).
B. Burung
Indonesia merupakan negara keempat di dunia yang memiliki keanekaragaman
jenis burung setelah Columbia, Peru dan Brazil. Data penelitian jenis-jenis
burung di Indonesia ini sangat luar biasa, terdapat 1.531 jenis burung, 381 jenis
di antaranya adalah endemik. Sumatera merupakan salah satu pulau yang sangat
kaya dengan jenis burung setelah Irian Jaya. Pulau Sumatera terdapat 464 jenis
burung, 138 jenis di antaranya juga dijumpai di kawasan Sunda, 16 jenis burung
hanya ditemui di Pulau Jawa dan Sumatera serta 11 jenis di Kalimantan dan
Sumatera. Dari hal tersebut dapat diketahui bahwa burung memiliki kekayaan
jenis yang tinggi (Iskandar, 1989). Burung adalah salah satu kekayaan hayati
yang dimiliki oleh Indonesia. Struktur vegetasi merupakan salah satu faktor kunci
yang mempengaruhi kekayaan spesies burung pada tingkat lokal (Purnomo, dkk.,
2009 dalam Rohadi dan Harianto, 2011).
Burung merupakan kelompok terbesar vertebrata yang banyak dikenal,
diperkirakan ada sekitar 8.600 jenis yang tersebar di dunia. Burung berdarah
panas seperti binatang menyusui, tetapi sebenarnya lebih berkerabat dengan reptil
yang mulai berevolusi sekitar 135 juta tahun yang lalu. Semua jenis burung
11dianggap berasal dari sesuatu yang mirip dengan fosil burung yang pertama yaitu
Archaeoptery. Tercatat terdapat 9.040 jenis burung di dunia, 1.531 jenis
diantaranya terdapat di Indonesia dengan 397 jenis (26%) endemik. Terdapat 12
jenis burung endemik daratan rendah Pulau Jawa dan 12 jenis burung daratan
rendah Pulau Jawa yang terancam punah (Van Ballen, 1999 dalam Sulistyadi,
2010).
Satwa liar dalam hal ini burung adalah pengguna ruang yang cukup baik, yang
terlihat dari penyebarannya, baik secara horizontal maupun vertikal. Berdasarkan
stratifikasi penggunaan ruang pada profil hutan maupun penyebarannya secara
horizontal pada berbagai tipe habitat, menunjukkan adanya kaitan yang erat antara
burung dengan lingkungan hidupnya terutama dalam pola adaptasi dan strategi
untuk memperoleh sumber pakan (Peterson, 1980 dalam Wisnubudi, 2009).
Indikator yang baik untuk menilai biodiversitas dalam suatu wilayah salah satunya
adalah burung, karena mereka dapat menempati habitat yang luas juga mendekati
puncak dari rantai makanan. Jika burung dihilangkan dari suatu ikatan mata rantai
pakan, tentu serangga-serangga yang menjadi sumber pakan burung akan
berkembang biak tanpa terkendali dan menjadi hama, yang pada akhirnya akan
terjadi ketidakseimbangan dalam suatu mata rantai kehidupan (Wechsler dan
Wheeler, 2012 dalam Widodo, 2013).
Setidaknya terdapat delapan hal bahwa burung dinyatakan berperanan sebagai
spesies indikator lingkungan, yaitu (1). Burung mudah dideteksi dan diobservasi;
(2). Taxonomi burung sudah mudah diidentifikasi dilapangan; (3). Burung
tersebar luas dan menempati habitat dan relung ekologi yang bervariasi;
12(4). Distribusi, ekologi, biologi dan sejarah hidup burung diketahui dengan baik
dibanding taxa yang lain; (5). Burung dalam rantai pakan menempati posisi pada
bagian top sehingga lebih sensitif terhadap perubahan adanya kontaminasi
lingkungan; (6). Banyak burung berfungsi sebagai polinator dan penyebar biji
tanaman; (7). Teknik survei burung lebih simple dan (8). Untuk memonitor relatif
lebih tidak mahal dari pada taxa lain seperti reptil dan mamalia (Chambers, 2008
dalam Widodo, 2013).
Klasifikasi ilmiah burung menurut Brotowidjoyo (1990) adalah sebagai berikut:
Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Aves
Aves merupakan satu-satunya kelas dalam kelompok chordata yang cukup unik
dengan memiliki bulu dan berbagai macam tipe kaki. Bulu adalah modifikasi dari
sisik yang berkembang secara evolusioner dari reptilia. Jantung burung terdiri
dari empat ruang dan tergolong hewan berdarah panas. Semua burung
menggunakan paruh dan tidak memiliki gigi. Struktur modifikasi untuk terbang
meliputi tulang lengkung, rangka apendikular depan berubah menjadi sayap,
kantung udara, mata yang lebar dan cerebellum yang berkembang dengan sangat
baik (Iskandar, 1989).
Aves memiliki kemampuan mobilitas yang tinggi sehingga penyebarannya sangat
luas. Penyebaran itu didukung oleh kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap
13berbagai faktor-faktor lingkungan dimana mereka dapat hidup dan menyesuaikan
diri dengan lingkungan yang mereka tempati (Iskandar, 1989).
Kelas Aves adalah kelas hewan vertebrata yang berdarah panas dengan memiliki
bulu dan sayap. Tulang dada tumbuh membesar dan memipih, anggota gerak
belakang beradaptasi untuk berjalan, berenang dan bertengger. Mulut sudah
termodifikasi menjadi paruh, punya kantong hawa, jantung terdiri dari empat
ruang, rahang bawah tidak mempunyai gigi karena gigi-giginya telah menghilang
yang digantikan oleh paruh ringan dari zat tanduk dan berkembang biak dengan
bertelur. Kelas ini dimanfaatkan oleh manusia sebagai sumber makanan, hewan
ternak dan hobi dalam peliharaan. Bidang industri, bulu dari burung dapat
dimanfaatkan antara lain sebagai baju, hiasan dinding dan lainnya (Brotowidjoyo,
1990).
C. Habitat Burung
Selama proses evaluasi dan perkembangan kehidupan berlangsung, burung selalu
beradaptasi dengan berbagai faktor, baik abiotik (fisik) maupun biotik. Hasil
adaptasi ini mengakibatkan burung hadir atau menetap di suatu wilayah yang
sesuai dengan kehidupannya dan tempat untuk kehidupannya tersebut secara
keseluruhan disebut sebagai habitat (Rusmendro, 2004 dalam Rusmendro, 2009).
Alikodra (1990), menyatakan bahwa habitat adalah kawasan yang terdiri dari
beberapa komponen, baik fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan
dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembang biaknya satwa liar. Habitat
suatu organisme pada umumnya mengandung faktor ekologi yang sesuai dengan
14persyaratan hidup organisme yang menghuninya. Persyaratan hidup setiap
organisme merupakan kisaran faktor-faktor ekologi yang ada dalam habitat dan
diperlukan oleh setiap organisme mempertahankan hidup.
Keanekaan jenis burung di suatu wilayah dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai
berikut: (1). Ukuran luas habitat, semakin luas habitatnya, cenderung semakin
tinggi keanekaan jenis burungnya; (2). Struktur dan keanekaan jenis vegetasi,
daerah yang keanekaan jenis tumbuhan tinggi, keanekaan hewannya (termasuk
burung) juga tinggi; (3). Keanekaan dan tingkat kualitas habitat secara umum
di suatu lokasi, semakin majemuk habitat cenderung keanekaan burung semakin
tinggi; (4). Pengendali ekosistem yang dominan. Keanekaan jenis burung
cenderung rendah dalam ekosistem yang terkendali secara fisik dan cenderung
tinggi dalam ekosistem yang diatur secara biologi (Fachrul, 2008).
Kehadiran suatu jenis burung tertentu, pada umumnya disesuaikan dengan
kesukaannya terhadap habitat tertentu. Secara umum, habitat burung dapat
dibedakan atas habitat di darat, air tawar dan air laut serta dapat dibagi lagi
menurut tanamannya seperti hutan lebat, semak dan rerumputan (Rusmendro,
2004 dalam Rusmendro, 2009).
Penyebaran vertikal pada jenis-jenis burung dapat dilihat dari stratifikasi ruang
pada profil hutan. Berdasarkan stratifikasinya profil hutan maka dapat diperoleh
gambaran mengenai burung dalam memanfaatkan ruang secara vertikal, yang
terbagi dalam kelompok burung penghuni bagian atas tajuk hutan, burung
penghuni tajuk utama, burung penghuni tajuk pertengahan, penghuni tajuk bawah,
15burung penghuni semak dan lantai hutan, selain itu juga terdapat kelompok
burung yang sering menghuni batang pohon.
Struktur vertikal vegetasi dalam suatu habitat akan mempengaruhi penyebaran
jenis-jenis burung yang menempatinya. Komposisi jenis pada struktur vertikal
vegetasi tidak terlihat pengelompokan jenis secara tajam pada lapisan tertentu,
tetapi tersebar secara bervariasi pada kesinambungan struktur vegetasi dan
penampakan fisik suatu habitat. Penggunaan habitat oleh tiap jenis burung
berlangsung pada beberapa titik yang berkesinambungan, karena itu berubah-ubah
tergantung pada penampakan habitat yang menyediakan kesempatan berkompetisi
pada jenis-jenis burung dalam komunitasnya. Burung di dalam habitatnya sering
menggunakan sumberdaya spesifik dan mempertahankan sumberdaya tersebut
dari jenis lainnya. Kaitannya dengan penggunaan habitat, burung tidak
menggunakan seluruh strata habitatnya, tidak digunakannya suatu bagian habitat
oleh jenis satwa tertentu ditentukan oleh perilaku individu dalam menyeleksi
habitat (Jarulis, 2007).
D. Penyebaran Burung
Penyebaran jenis-jenis burung sangat dipengaruhi oleh kesesuaian tempat hidup
burung, meliputi adaptasi burung terhadap lingkungan, kompetisi, strata vegetasi,
ketersediaan pakan dan seleksi alam (Peterson, 1980 dalam Wisnubudi, 2009).
Menurut Wisnubudi (2009), pola penyebaran burung secara vertikal
memperlihatkan bahwa penyebaran jenis-jenis burung berkaitan secara ekologi
antara jenis burung dengan kebutuhan pakan yang terdapat pada stratum tersebut.
16Penyebaran ini menyebabkan terjadinya perbedaan dalam menggunakan stratum
oleh burung. Beberapa jenis burung menggunakan lebih dari satu stratum,
sedangkan jenis-jenis burung yang lain hanya menggunakan stratum tunggal.
Penyebaran vertikal berkaitan juga dengan kemampuan jenis burung tersebut.
Beberapa spesies burung tinggal di daerah-daerah tertentu tetapi banyak spesies
yang bermigrasi secara teratur dari suatu daerah ke daerah yang lain sesuai dengan
perubahan musim. Jalur migrasi yang umum dilewati oleh burung yaitu bagian
utara dan selatan bumi yang disebut latitudinal. Pada musim panas, burung-
burung bergerak atau tinggal di daerah sedang dan daerah-daerah sub Arktik
di mana terdapat tempat-tempat untuk makan dan bersarang serta kembali ke
daerah tropik untuk beristirahat selama musim salju. Beberapa spesies burung
melakukan migrasi altitudinal yaitu ke daerah-daerah pegunungan selama musim
panas dan ini terdapat di Amerika Utara bagian Barat (Pratiwi, 2005).
Persebaran burung di beberapa Pulau di Indonesia antara lain di Pulau Jawa relatif
sedikit, hanya 289 jenis dari jumlah seluruh jenis. Sebanyak 57% di antaranya
(164 jenis) juga terdapat di pulau-pulau lainnya, dengan perincian: 176 jenis
(61%) juga terdapat di Kalimantan, 251 jenis (74%) juga terdapat di Pulau
Sumatera, 49 jenis (17%) terdapat di pulau di luar Sunda Besar dan 30 jenis (10%)
merupakan jenis yang endemik (MacKinnon, dkk., 1998).
Kalimantan memiliki 358 jenis jumlah burung atau 66% dari jumlah burung
penetap di darat. Sebanyak 164 jenis (46% dari jumlah total) juga terdapat di
semua pulau yang lain. Sejumlah 306 jenis (85%) terdapat di Sumatera. Jumlah
yang hampir sama (297 jenis atau 83%) juga terdapat di Semenanjung Malaysia,
17hanya 177 jenis (49%) juga terdapat di Pulau Jawa dan 42 jenis (12%) terdapat
di pulau-pulau di luar Sunda Besar. Sebanyak 37 jenis (10%) merupakan burung
endemik (MacKinnon, dkk., 1998).
Pulau Sumatera lebih beruntung karena hubungannya dekat dengan dataran Asia
dan memiliki 397 jenis (dari total 541 jenis di Kalimatan, Jawa, Sumatera, Bali,
Malaysia dan pulau-pulau lain sekitar), tetapi karena kurang terisolasi, maka jenis
endemiknya menjadi sedikit, hanya 22 jenis (6%), termasuk jenis burung endemik
di beberapa pulau kecil. Jenis burung endemik tersebut tidak ada di antaranya
yang merupakan jenis endemik daratan rendah. Sumatera memiliki 306 jenis
(77%) juga terdapat di Kalimantan, 345 jenis (87%) juga terdapat di Semenanjung
Malaysia dan 211 jenis (53%) terdapat di Jawa (MacKinnon, dkk., 1998).
Pergerakan adalah suatu strategi dari individu ataupun populasi untuk
menyesuaikan dan memanfaatkan keadaan lingkungannya agar dapat hidup dan
berkembang biak secara normal. Pergerakan populasi satwa liar secara alam
banyak terganggu karena adanya aktivitas manusia, terutama yang telah
mengubah habitat mereka menjadi sempit. Pergerakan satwa liar baik yang
dilakukan secara soliter maupun dalam kelompok sangat menentukan prospek
kelestarian mereka. Sesuai dengan tujuan, faktor penyebab dan prosesnya
pergerakan satwa liar dapat digolongkan menjadi (1). Invasi dan pemencaran; (2).
Nomad; (3). Migrasi (Alikodra, 1990).
Invasi dan pemencaran merupakan tipe pergerakan populasi yang dilakukan
secara perlahan-lahan terutama untuk menyesuaikan dirinya dengan keadaan iklim
18ataupun perubahan lingkungan. Pergerakan individu ataupun populasi yang tidak
tetap dan sulit untuk dikenali secara pasti disebut dengan nomad (Alikodra, 1990).
Migrasi merupakan pola adaptasi perilaku yang dilakukan oleh beberapa jenis
satwa lair. Migrasi dapat dibedakan menjadi tiga (Alikodra, 1990), yaitu
1. Migrasi musiman adalah migrasi yang disebabkan oleh perubahan iklim.
Migrasi ini dapat dilakukan menurut garis lintang, ketinggian tempat maupun
secara lokal.
2. Migrasi harian biasanya disebut juga pergerakan harian, karena berbagai jenis
satwa liar termasuk burung dalam jangka waktu 24 jam melakukan pergerakan
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka mempunyai tempat-tempat
yang jelas untuk tempat tidur, berlindung, mencari makan dan air serta tempat
berkembang biak.
3. Migrasi perubahan bentuk adalah migrasi yang biasa terdapat pada serangga
yang mempunyai beberapa tingkat kehidupan (telur-larva-stadium dewasa).
E. Status Konservasi Burung
1. Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1990 TentangKonservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
Konservasi sumberdaya alam hayati adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati
yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan
persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas
keanekaragaman dan nilainya. Konservasi sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumberdaya alam
hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya
19peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia (Departemen
Kehutanan, 1990). Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya
dilakukan melalui kegiatan:
1. Perlindungan sistem penyangga kehidupan;
2. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;
3. Pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.
Alikodra (1990) menyatakan bahwa konservasi sumberdaya alam adalah kegiatan
yang meliputi perlindungan, pengawetan, pemeliharaan, rehabilitasi, introduksi,
pelestarian, pemanfaatan dan pengembangan. Tujuan kegiatan konservasi adalah
terjaminnya kelangsungan hidup mereka (satwa liar) dan terjaminnya kebutuhan
masyarakat untuk memanfaatkannya baik langsung ataupun tidak langsung
berdasarkan prinsip kelestarian.
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7 Tahun 1999 TentangPengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa
Tumbuhan dan satwa adalah bagian dari sumberdaya alam yang tidak ternilai
harganya sehingga kelestariannya perlu dijaga melalui upaya pengawetan jenis.
Pengawetan adalah upaya untuk menjaga agar keanekaragaman jenis tumbuhan
dan satwa beserta ekosistemnya baik di dalam maupun di luar habitatnya tidak
punah. Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya adalah upaya
menjaga keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa agar tidak punah.
Inventarisasi jenis tumbuhan dan satwa adalah upaya mengetahui kondisi dan
status populasi secara lebih rinci serta daerah penyebarannya yang dilakukan
di dalam dan di luar habitatnya maupun di lembaga konservasi. Pengawetan jenis
20tumbuhan dan satwa bertujuan untuk menghindarkan jenis tumbuhan dan satwa
dari bahaya kepunahan, menjaga kemurnian genetic dan keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa serta memelihara keseimbangan dan kemantapan ekosistem
yang ada agar dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia secara
berkelanjutan (Departemen Kehutanan, 1999).
Jenis tumbuhan dan satwa ditetapkan atas dasar golongan tumbuhan dan satwa
yang dilindungi dan tumbuhan dan satwa yang tidak dilindungi.
Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dilakukan melalui upaya: (a). Penetapan
dan penggolongan yang dilindungi dan tidak dilindungi; (b). Pengelolaan jenis
tumbuhan dan satwa serta habitatnya; (c). Pemeliharaan dan pengembangbiakan.
Suatu jenis tumbuhan dan satwa wajib ditetapkan dalam golongan yang dilindungi
apabila telah memenuhi kriteria: (a). Mempunyai populasi yang kecil; (b). Adanya
penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam; (c). Daerah penyebaran yang
terbatas (endemik).
3. IUCN (International Union for Conservation of Nature and NaturalResources)
Kategori status konservasi IUCN Red List merupakan kategori yang digunakan
oleh IUCN dalam melakukan klasifikasi terhadap spesies-spesies berbagai
makhluk hidup yang terancam kepunahan. Kategori konservasi berdasarkan
IUCN Red List versi 3.1 meliputi Extinct (EX: Punah), Extinct in the Wild (EW:
Punah di alam liar), Critically Endangered (CR: Kritis), Endangered (EN:
Genting atau Terancam), Vulnerable (VU: Rentan), Near Threatened (NT:
21Hampir Terancam), Least Concern (LC: Berisiko Rendah), Data Deficient (DD:
Informasi Kurang) dan Not Evaluated (NE: Belum dievaluasi) (IUCN, 2012).
a. Extinct (EX: Punah)
Status konservasi yang diberikan kepada spesies yang terbukti (tidak ada
keraguan lagi) bahwa individu terakhir spesies tersebut sudah mati. IUCN
Red List mencatat 723 hewan dan 86 tumbuhan yang berstatus punah.
Contoh satwa Indonesia yang telah punah di antaranya adalah: harimau jawa
dan harimau bali.
b. Extinct in the Wild (EX: Punah di Alam Liar)
Status konservasi yang diberikan kepada spesies yang hanya diketahui berada
di tempat penangkaran atau di luar habitat alami mereka. IUCN Red List
mencatat 38 hewan dan 28 tumbuhan yang berstatus Extinct in the Wild.
c. Critically Endangered (CR: Kritis)
Status konservasi yang diberikan kepada spesies yang menghadapi risiko
kepunahan di waktu dekat. IUCN Red List mencatat 1.742 hewan dan 1.577
tumbuhan yang berstatus kritis. Contoh satwa Indonesia yang berstatus kritis
antara lain: harimau sumatra, badak jawa, badak sumatera, jalak bali,
orangutan sumatera, elang jawa, trulek jawa dan rusa bawean.
d. Endangered (EN: Genting atau Terancam)
Status konservasi yang diberikan kepada spesies yang sedang menghadapi
risiko kepunahan di alam liar yang tinggi pada waktu yang akan datang.
IUCN Red List mencatat 2.573 hewan dan 2.316 tumbuhan yang berstatus
22terancam. Contoh satwa Indonesia yang berstatus terancam antara lain:
banteng, anoa, mentok rimba, maleo, tapir, trenggiling, bekantan dan tarsius.
e. Vulnerable (VU: Rentan)
Status konservasi yang diberikan kepada spesies yang sedang menghadapi
risiko kepunahan di alam liar pada waktu yang akan datang. IUCN Red List
mencatat 4.467 hewan dan 4.607 tumbuhan yang berstatus rentan. Contoh
satwa Indonesia yang berstatus rentan antara lain: kasuari, merak hijau dan
kakak tua maluku.
f. Near Threatened (NT: Hampir Terancam)
Status konservasi yang diberikan kepada spesies yang mungkin berada dalam
keadaan terancam atau mendekati terancam kepunahan, meski tidak masuk ke
dalam status terancam. IUCN Red List tercatat 2.574 hewan dan 1.076
tumbuhan yang berstatus hampir terancam. Contoh satwa Indonesia yang
berstatus hampir terancam antara lain: alap-alap doria dan punai sumba.
g. Least Concern (LC: Berisiko Rendah)
kategori IUCN yang diberikan untuk spesies yang telah dievaluasi namun
tidak masuk ke dalam kategori manapun. IUCN Red List tercatat 17.535
hewan dan 1.488 tumbuhan yang berstatus berisiko rendah. Contoh satwa
Indonesia yang berstatus berisiko rendah antara lain: ayam hutan merah,
ayam hutan hijau dan landak.
23h. Data Deficient (DD: Informasi Kurang)
Sebuah takson dinyatakan “informasi kurang” ketika informasi yang ada
kurang memadai untuk membuat perkiraan akan risiko kepunahannya
berdasarkan distribusi dan status populasi. IUCN Red List tercatat 5.813
hewan dan 735 tumbuhan yang berstatus informasi kurang. Contoh satwa
Indonesia yang berstatus informasi kurang antara lain: punggok papua dan
Todirhamphus nigrocyaneus.
i. Not Evaluated (NE: Belum dievaluasi)
Sebuah takson dinyatakan “belum dievaluasi” ketika tidak dievaluasi untuk
kriteria-kriteria di atas. Contoh satwa Indonesia yang berstatus belum
dievaluasi adalah punggok togian.
4. CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of WildFauna and Flora)
CITES adalah kesepakatan internasional antar negara dalam perdagangan flora
dan fauna dan bagian-bagiannya secara internasional. Tujuan kesepakatan
internasional ini adalah untuk menjamin bahwa perdagangan burung secara
internasional tidak akan mengancam kelestarian jenis-jenis burung yang
diperdagangkan (CITES, 2012). CITES bekerja dengan menetapkan kategori
tumbuhan dan satwa liar yang dapat diperdagangkan secara internasional.
Kategori inilah yang kemudian dikenal dengan istilah Appendix CITES.
Berdasarkan kategori perlakuan perlindungan dari eksploitasi perdagangan
internasional dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu Appendix I, Appendix II dan
Appendix III.
24a. Appendix I adalah memuat lampiran daftar dan melindungi seluruh spesies
tumbuhan dan satwa liar yang terancam dari segala bentuk perdagangan
internasional secara komersial.
b. Appendix II adalah memuat lampiran daftar dari spesies yang tidak terancam
kepunahan, tetapi mungkin akan terancam punah apabila perdagangan terus
berlanjut tanpa adanya pengaturan.
c. Appendix III adalah memuat lampiran daftar spesies tumbuhan dan satwa liar
yang telah dilindungi di suatu negara tertentu dalam batas-batas kawasan
habitatnya dan memberikan pilihan (option) bagi negara-negara anggota
CITES bila suatu saat akan dipertimbangkan untuk dimasukkan ke Appendix
II, bahkan mungkin ke Appendix I.
F. Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Model Rajabasa
Menurut Pasal 17 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
(Departemen Kehutanan, 1999), untuk kepentingan pengelolaan hutan agar
terwujudnya keberlangsungan fungsi ekonomi, ekologi dan sosial, seluruh
kawasan hutan akan dibagi menjadi unit-unit kewilayahan dalam skala
manajemen dalam bentuk KPH. Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang
Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan
(Kementerian Kehutanan, 2007) Kesatuan Pengelolaan Hutan yang selanjutnya
disebut KPH adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan
peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari.
25KPH Model menurut Peraturan Menteri Kehutanan No. 6 Tahun 2009 tentang
Pembentukan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan (Kementerian Kehutanan,
2009) adalah wujud awal dari KPH yang secara bertahap dikembangkan menuju
situasi dan kondisi aktual organisasi KPH di tingkat tapak.
KPH dirancang sesuai dengan fungsi hutan dan sesuai pasal 6 ayat 1 dalam UU
No. 41 Tahun 1999 (Departemen Kehutanan, 1999) menyatakan bahwa hutan
mempunyai tiga fungsi, yaitu fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi
produksi, maka KPH dibentuk mengikuti nomenklatur tersebut, sehingga terdapat
tiga bentuk KPH, yaitu Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK),
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) dan Kesatuan Pengelolaan Hutan
Produksi (KPHP). Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung selanjutnya disebut
KPHL adalah KPH yang luas wilayahnya seluruh atau sebagian besar terdiri dari
kawasan hutan lindung (Kementerian Kehutanan, 2014).
Unit KPHL Model Rajabasa telah dibentuk sebagai KPHL Model yang ditetapkan
dengan SK Menteri Kehutanan No. 367/Menhut-II/2011 tanggal 7 Juli 2011
tentang Penetapan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Model
Rajabasa (XIV) seluas ± 5.200 hektar yang terletak di Kabupaten Lampung
Selatan Provinsi Lampung (Kementerian Kehutanan, 2011)
Berdasarkan data administrasi pemerintahan, areal KPHL Model Rajabasa berada
di dalam empat wilayah kecamatan yaitu Kecamatan Kalianda, Kecamatan
Rajabasa, Kecamatan Bakauheni dan Kecamataan Penengahan Kabupaten
Lampung Selatan Provinsi Lampung. Menurut luasan wilayahnya KPHL Model
26Rajabasa dibagi ke dalam tiga resor pengelolaan, yaitu resor I mencakup wilayah
Penengahan, resor II wilayah Kalianda dan resor III wilayah Rajabasa.
G. Hutan Desa
Hutan desa pada prinsipnya adalah hutan negara yang dikelola oleh masyarakat
dalam organisasi administratif pedesaan yang dimanfaatkan untuk kesejahteraan
masyarakat desa itu sendiri. Hutan desa dibentuk dengan bermaksud untuk
memberikan akses kepada masyarakat setempat melalui lembaga desa dalam
memanfaatkan sumberdaya hutan secara lestari dengan tujuan adalah
meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat secara berkelanjutan.
Menurut UU No. 41 Tahun 1999 pada penjelasan pasal 5, hutan desa adalah hutan
negara yang di kelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa
(Departemen Kehutanan, 1999). Hutan desa menurut PP No. 6 Tahun 2007
(Kementerian Kehutanan, 2007) didefinisikan sebagai hutan negara yang belum
dibebani izin atau hak, yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk
kesejahteraan desa.
Hutan desa merupakan salah satu wujud kebijakan untuk pemberdayaan
masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan serta mewujudkan pengelolaan
hutan yang adil dan lestari. Kebijakan ini perlu disosialisasikan pada masyarakat
dan institusi terkait agar tujuan yang diharapkan dapat dicapai. Program
pemberdayaan masyarakat desa hutan merupakan salah satu program terobosan
strategis yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan memberikan akses
yang luas kepada masyarakat di dalam atau sekitar hutan untuk mengelola
27sumberdaya hutan. Pengelolaan hutan desa pada prinsipnya adalah bagaimana
melibatkan masyarakat di sekitar hutan agar ikut memperoleh manfaat dari
keberadaan hutan tanpa mengubah fungsi dan status kawasan hutan tersebut.
Menurut Prasetyo (2013), pembangunan hutan desa dapat memberi kontribusi
untuk pengembangan keamanan matapencaharian bagi masyarakat yang memiliki
ketergantungan terhadap sumberdaya hutan, melalui tanggung jawab dan
akuntabilitas yang lebih besar terhadap kebijakan dan institusi publik dalam
penguasaan sumberdaya alam. Pendampingan pembangunan hutan desa mesti
dikawal dengan baik, tidak cukup hanya sampai mendapatkan akses terhadap
kelola hutan, namun juga penguatan tata kelola hutan yang transparan.
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2016 di hutan Desa Cugung
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Model Rajabasa Kecamatan Rajabasa
Kabupaten Lampung Selatan Provinsi Lampung. Peta lokasi penelitian dapat
dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Peta lokasi penelitian menggunakan metode titik hitung (point count)pada penelitian keanekaragaman jenis burung di hutan Desa CugungKPHL Model Rajabasa Kecamatan Rajabasa Kabupaten LampungSelatan.
29B. Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian meliputi: tally sheet, binokuler Vanguard
ZF-104050, jam tangan, perekam suara, kamera digital Fujifilm Finepix SL300,
Global Positioning System (GPS) Garmin GPS 78S, Kompas Joyko CO-44 LM
dan buku panduan lapangan identifikasi jenis burung seri “Panduan Lapangan
Identifikasi Jenis Burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan”. Bahan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah jenis burung yang terdapat di dalam lokasi
penelitian.
C. Jenis Data
1. Data Primer
Data primer merupakan data yang secara langsung diambil dari lokasi pengamatan
yaitu jenis burung yang ditemukan di lokasi pengamatan/penelitian dan kondisi
vegetasinya. Meminimalisir bias dalam identifikasi jenis burung dapat dilakukan
metode pengenalan langsung bersama masyarakat yang paham dan mengerti jenis
burung yang terdapat di lokasi tersebut. Tally sheet yang digunakan dalam
penelitian ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Tally sheet yang digunakan pada penelitian keanekaragaman jenisburung di hutan Desa Cugung KPHL Model Rajabasa KecamatanRajabasa Kabupaten Lampung Selatan
No Jenis Burung Famili Jumlah Pukul Aktivitas Keterangan
302. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data penunjang penelitian yang diperoleh dari berbagai
sumber atau studi literatur, meliputi buku Panduan Lapangan Identifikasi Jenis
Burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan, karakteristik lokasi penelitian
berupa kondisi umum lokasi penelitian dan data penunjang yang sesuai dengan
topik penelitian.
D. Batasan Penelitian
Batasan penelitian ini meliputi:
1. Sampel burung yang digunakan adalah burung yang dijumpai secara audio
dan visual di area pengamatan penelitian.
2. Penelitian dilakukan selama 18 hari merupakan waktu yang efektif selama
pengamatan penelitian.
3. Penelitian dilakukan sesuai dengan kondisi cuaca yaitu cuaca cerah dan
mendung, apabila hujan tidak dilakukan penelitian.
E. Metode Pengumpulan Data
1. Pengumpulan Data Primer
a. Metode Survei Pendahuluan
Metode survei pendahuluan bertujuan untuk menentukan lokasi penelitian yang
refresentatif berdasarkan habitat dengan frekuensi perjumpaan berbagai jenis
burung serta menentukan metode yang tepat untuk pengumpulan data.
31b. Metode Titik Hitung (Point Count)
Pengamatan keanekaragaman jenis burung dilakukan dengan metode titik hitung
(point count) atau IPA (Induces Ponctuel d’Abodance /indeks kelimpahan pada
titik) dengan koordinat GPS titik 1, X=573269, Y=9356923; titik 2, X=573142,
Y=9357111; titik 3, X=573040, Y=9357156; titik 4, X=573003, Y=9357358; titik
5, X=572993, Y=9357510 (Bibby, dkk., 2000). Pengamatan burung
menggunakan lima point count dengan waktu 18 hari pengamatan. Pengamatan
dilakukan secara langsung pada pagi hari pukul 06.00- 09.00 WIB dan sore hari
15.00-18.00 WIB, dengan berdiam pada titik-titik yang telah ditentukan dan
mencatat perjumpaan terhadap burung. Titik hitung memiliki ukuran panjang
keseluruhan ± 1.300 meter dengan pengamatan di titik hitung sejauh mata
memandang dengan jarak radius 50 meter.
Jarak pengamatan keanekaragaman jenis burung antara titik hitung adalah 300
meter dengan waktu antara titik hitung satu dengan titik hitung selanjutnya ± 35
menit, 20 menit untuk pengamatan di titik hitung dan ± 15 menit untuk berjalan
menuju ke titik hitung selanjutnya. Parameter yang diukur adalah jenis burung,
jumlah individu dari tiap jenis burung dan waktu perjumpaan antara pengamat
dengan burung. Data yang didapat dianalisis berdasarkan indeks keanekaragaman
jenis Shannon-Wienner (Diversity Index), indeks kesamarataan (Evennes Index),
indeks kesamaan komunitas (Index of Similarity) dan dianalisis secara deskriptif.
Titik pengamatan burung (point count) di hutan Desa Cugung dapat dilihat pada
Gambar 3.
32
Gambar 3. Titik pengamatan burung (point count) di hutan Desa Cugung KPHLModel Rajabasa Kecamatan Rajabasa Kabupaten Lampung Selatan.
c. Metode Rapid Assessment
Kondisi umum areal pengamatan diamati dengan metode rapid assessment yang
merupakan modifikasi dari habitat assessment untuk mendapatkan gambaran
secara umum tipe vegetasi ditemukannya burung. Kegiatan ini bertujuan untuk
mengetahui jenis tumbuhan penyusun habitat secara umum (Brower dan Zar, 1998
dalam Rohiyan, dkk., 2014).
2. Pengumpulan Data Sekunder
Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan studi pustaka diperoleh dari
berbagai sumber atau studi literatur, yaitu data KPHL Model Rajabasa dari Kantor
Dinas Kehutanan Kabupaten Lampung Selatan, buku Panduan Lapangan
Identifikasi Jenis Burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan (MacKinnon,
dkk., 1998). Studi literatur lainnya dalam mendukung penelitian seperti studi
literatur mengenai karakteristik lokasi penelitian dan data pendukung lainnya yang
r: 50 M
300 M
1.300 M
jarak
titik pengamatan
batas wilayah pengamatan
Keterangan
PC 4 PC 5PC 3PC 2PC 1
33sesuai topik penelitian. Metode ini digunakan untuk mengumpulkan dan
menganalisis data penunjang penelitian yang terdapat dalam dokumen resmi
sebagai bahan refrensi.
F. Analisis Data
1. Indeks Keanekaragaman (Diversity Index)
Keanekaragaman jenis dapat diketahui dengan indeks keanekaragaman jenis
Shannon-Wienner (Odum, 1996) yaitu dengan rumus:
H' = -ΣPi ln (Pi), dimana Pi = (ni/N)
Keterangan :
H' = Indeks keanekaragaman jenis,Pi = Jumlah proporsi kelimpahan satwa spesies i,N = Jumlah individu seluruh jenis,ln = Logaritma natural,ni = Jumlah individu jenis ke-i.
Kriteria nilai indeks keanekaragaman Shannon – Wienner apabila:
H' < 1 : Keanekaragaman rendah,1 < H' ≤ 3 : Keanekaragaman sedang,H' > 3 : Keanekaragaman tinggi.
2. Indeks Kesamarataan (Evennes Index)
Indeks kemerataan digunakan untuk mengetahui kemerataan setiap spesies dalam
setiap komunitas yang dijumpai, dengan mengunakan rumus:
J = H’ / H max atau J = -∑Pi ln (Pi) / ln (S)
Keterangan :
J = Indeks kesamarataan,S = Jumlah spesies.
34Rumus ini digunakan karena nilai H’ sudah diperoleh sebelumnya sehingga lebih
mudah dalam perhitungannya. Kriteria indeks kemerataan (J) (Daget, 1976 dalam
Rohiyan, dkk., 2014) adalah sebagai berikut:
0 < J ≤ 0,5 : Komunitas tertekan,0,5 < J ≤ 0,75 : Komunitas labil,0,75 < J ≤ 1 : Komunitas stabil.
3. Indeks Kesamaan Komunitas (Index of Similarity)
Indeks kesamaan komunitas diperlukan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan
komposisi jenis burung berdasarkan antara dua habitat atau antara titik hitung
yang satu dengan titik hitung lainnya di lokasi penelitian. Indeks kesamaan
komunitas (Indriyanto, 2006) dihitung dengan menggunakan rumus:
IS = 2C/(A+B)
Keterangan :
C = Jumlah spesies yang sama dan terdapat pada kedua komunitas,A = Jumlah spesies yang dijumpai pada lokasi 1,B = Jumlah spesies yang dijumpai pada lokasi 2.
4. Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif digunakan terhadap jenis-jenis burung dijumpai berdasarkan
tiga kriteria, yaitu status jenis burung dilindungi menurut PP No. 7 Tahun 1999
(Departemen Kehutanan, 1999), status peraturan perdagangan internasional
menurut CITES (2012), status keterancaman menurut IUCN (2012) dan
penggunaan habitat dan vegetasi oleh burung, ditabulasikan dan diuraikan secara
deskriptif berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di hutan Desa Cugung
KPHL Model Rajabasa.
IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Data Administrasif Lokasi Penelitian
Gunung Rajabasa merupakan kawasan lindung yang telah ditetapkan oleh
pemerintah sebagai register 3. Gunung Rajabasa berada di wilayah Kabupaten
Lampung Selatan. Sesuai Keputusan Menteri Kehutanan No. 367/Menhut-II/2011
tanggal 7 Juli 2011 tentang Penetapan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan
Lindung (KPHL) Model Rajabasa (XIV) (Kementerian Kehutanan, 2011), maka
ditetapkan peta kerja wilayah KPHL Model Rajabasa berada dalam areal seluas ±
5.200 hektare. Kelompok hutan KPHL Model Rajabasa berada dalam wilayah
kerja Dinas Kehutanan Kabupaten Lampung Selatan Dinas Kehutanan Provinsi
Lampung.
Berdasarkan data administrasi pemerintahan, areal KPHL Model Rajabasa berada
di dalam empat wilayah kecamatan yaitu Kecamatan Kalianda, Kecamatan
Rajabasa, Kecamatan Bakauheni dan Kecamataan Penengahan Kabupaten
Lampung Selatan Provinsi Lampung. Menurut luasan wilayahnya KPHL Model
Rajabasa dibagi ke dalam tiga resor pengelolaan yaitu resor I mencakup wilayah
Penengahan, resor II wilayah Kalianda dan resor III wilayah Rajabasa.
36Desa Cugung secara administratif terletak di Kecamatan Rajabasa Kabupaten
Lampung Selatan. Luas wilayah Desa Cugung adalah 831 ha yang terdiri dari
lokasi pemukiman 50 ha, lokasi pertanian 125 ha, lokasi perkebunan 250 ha,
lokasi perkantoran dan prasarana umum dan lainnya 6 ha serta hutan lindung yang
dapat dikelola masyarakat sebagai hutan desa berdasarkan Keputusan No. SK.
415/Menhut-II/2014 tentang Penetapan Areal Kerja Hutan Desa Cugung, Desa
Kunjir dan Desa Batu Balak seluas ±127 ha.
Batas-batas wilayah Desa Cugung Kecamatan Rajabasa Kabupaten Lampung
Selatan dengan wilayah yang lain adalah sebagai berikut:
1. Sebelah utara berbatasan dengan Gunung Rajabasa
2. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Kunjir
3. Sebelah barat berbatasan dengan Gunung Rajabasa
4. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Kerinjing
Lokasi hutan Desa Cugung terletak di sebelah utara dan barat Desa Cugung
(Profil Desa Cugung, 2014).
B. Topografi
Topografi wilayah KPHL Model Rajabasa terdiri dari beberapa group vulkan
andestik yang terdiri dari lereng tengah, lereng bawah dan dataran vulkan
bergelombang. Wilayah pegunungan di KPHL Model Rajabasa memiliki ,
topografi tergolong berat dengan kelerengan berkisar ± 25 – 45 % atau termasuk
ke dalam kelas lereng 4 (curam) dan 5 ( sangat curam).
37Topografi di sekitar Gunung Rajabasa secara garis besar dapat dibagi menjadi dua
bagian, yaitu dataran rendah umumnya terletak di daerah sekitar pantai dan
dataran tinggi yang bergunung dengan ketinggian di atas permukaan laut antara
6,2 mdpl sampai dengan 1.280 mdpl (puncak Gunung Rajabasa) (Balai
Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah II Palembang, 2012).
C. Iklim
Berdasarkan kategori tipe iklim Schmidt dan Ferguson, hutan Desa Cugung
KPHL Model Rajabasa termasuk ke dalam wilayah dengan kategori iklim B
dengan rata-rata curah hujan 2.000 mm/tahun dengan intensitas 17 mm/hari dan
suhu rata-rata harian sekitar 300 C (Schmidt dan Ferguson, 1951 dalam Balai
Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah II Palembang, 2012). Wilayah KPHL
Model Rajabasa merupakan sumber air bagi penduduk Kalianda dan sekitarnya
dan termasuk ke dalam wilayah daerah aliran sungai (DAS) Way Sekampung
(KPHL Model Rajabasa, 2014).
D. Tanah
Jenis tanah yang terdapat di hutan Desa Cugung wilayah KPHL Model Rajabasa
antara lain:
1. Tanah Latosol
Jenis tanah ini paling banyak terdapat hampir menutupi seluruh wilayah barat dan
sebagian besar dari bagian tengah. Tanah latosol berwarna coklat tua sampai
kemerah-merahan adalah hasil pelapukan bahan induk komplek turfinmedier.
Penyebaran pada daerah bertopografi bergelombang sampai bergunung.
382. Tanah Podsolik
Jenis tanah ini adalah hasil pelapukan dari bahan induk turfazam sedimen batuan
plotonik yang bersifat asam, tersebar pada wilayah yang bertopografis berbukit
sampai bergunung. Tanah podsolik berwarna merah kuning terdapat di daerah ini
tersebar pada wilayah bagian utara KPHL Model Rajabasa.
3. Tanah Andosol
Jenis tanah ini adalah pelapukan dari bahan induk komplek turfinmedier dan
basah, berwarna coklat sampai coklat kuning. Penyebarannya terdapat pada
daerah bertopografis bergelombang sampai bergunung. Jenis tanah ini tidak
begitu banyak di KPHL Model Rajabasa (Balai Pemantapan Kawasan Hutan
Wilayah II Palembang, 2012).
E. Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat
1. Jumlah Penduduk
Penduduk Desa Cugung berjumlah 539 KK atau 1.787 orang yang terdiri dari 890
orang laki-laki dan 897 orang perempuan. Penduduk Desa Cugung yang
seluruhnya beragama islam ini sebagian besar penduduk berasal dari etnis Sunda
yang mendominasi dan sisanya berasal dari etnis Lampung, Jawa, Betawi dan
Minang (Profil Desa Cugung, 2014).
2. Tingkat Pendidikan dan Matapencaharian
Secara formal tingkat pendidikan masyarakat Desa Cugung rata-rata tamatan SMP
dan SMA sederajat. Tingkat pendidikan mulai dari tingkat D-1 sampai dengan S-
1 sebanyak 27 penduduk.
39Sumber matapencaharian utama masyarakat adalah sebagai petani dan buruh tani,
sedangkan sisanya terdiri PNS, nelayan, pedagang, buruh dan pembantu rumah
tangga (Profil Desa Cugung, 2014).
3. Sosial Budaya Masyarakat
Sosial budaya di desa sekitar wilayah KPHL Model Rajabasa cukup baik
khususnya di Desa Cugung, Desa Kerinjing dan Desa Way Muli Kecamatan
Rajabasa serta Desa Way Kalam Kecamatan Panengahan. Masyarakat desa-desa
tersebut mempunyai sosial budaya yang sangat tinggi, seperti budaya
kebersamaan atau kekompakan dalam menjaga keamanan dan kelestarian
lingkungan, bergotong royong dalam melaksanakan kegiatan apapun baik untuk
kebutuhan/kepentingan sarana umum (membuat jalan, sarana ibadah, dll.) maupun
untuk kepentingan pribadi, sehingga kegiatan seperti itu akan sangat mendukung
terhadap perkembangan kelestarian kawasan hutan yang ada di sekitarnya (Profil
Desa Cugung, 2014).
VI. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di hutan Desa Cugung Kesatuan
Pengelolaan Hutan Lindung Model Rajabasa Kecamatan Rajabasa Kabupaten
Lampung Selatan didapatkan kesimpulan meliputi.
1. Hutan Desa Cugung KPHL Model Rajabasa terdapat 30 spesies burung
dengan jumlah total 3.556 individu yang berasal dari 14 famili.
Keanekaragaman jenis burung di hutan Desa Cugung KPHL Model Rajabasa
tergolong dalam kategori keanekaragaman yang sedang (H’= 2,810) dengan
kondisi tingkat kesamarataan yang stabil (J= 0,826).
2. Berdasarkan status jenis burung dilindungi menurut PP No. 7 Tahun 1999
terdapat sepuluh jenis burung dilindungi, menurut status peraturan
perdagangan internasional CITES terdapat tujuh jenis burung yang termasuk
dalam kategori Appendix II dan tercatat 29 jenis burung masuk kategori Least
Concern (resiko rendah) serta satu jenis burung termasuk kategori Near
Threatened (hampir terancam) menurut status keterancaman IUCN Red List.
98B. Saran
Saran yang diberikan dari hasil penelitian ini meliputi.
1. Instansi pemerintah khususnya pihak KPHL Model Rajabasa dan Dinas
Kabupaten Lampung Selatan perlu melakukan kegiatan monitoring dalam
rangka mencegah perburuan satwa liar khususnya burung dan perdagangan
berbagai jenis burung.
2. Masyarakat diharapkan berperan serta dalam usaha konservasi satwa liar
khususnya burung dan perlu adanya kegiatan sosialisasi terhadap masyarakat
setempat mengenai peran burung terhadap ekosistem lingkungan yang dapat
berdampak terhadap kelestarian hutan desa.
3. Perlu adanya regulasi atau aturan yang dibuat dan disepakati antara kepala
desa, masyarakat dan pihak terkait mengenai perburuan terhadap satwa yang
dianggap sebagai hama dan satwa dengan status dilindungi.
4. Penelitian keanekaragaman jenis burung perlu dilakukan secara berkala
di hutan Desa Cugung KPHL Model Rajabasa sehingga didapatkan data dan
informasi yang baru dan perlu ada penelitian yang sama pada hutan desa
lainnya di KPHL Model Rajabasa yang nantinya dapat menjadi bahan
evaluasi mengenai kegiatan pengelolaan hutan desa dari aspek ekologi.
DAFTAR PUSTAKA
Alikodra, H. S. 1990. Pengelolaan Satwa Liar Jilid I. Buku. Fakultas KehutananInstitut Pertanian Bogor. Bogor. 303 hlm.
Arumasari, R. 1989. Komunitas Burung Pada Berbagai Habitat di Kampus UIDepok. Skripsi. Universitas Indonesia. Jakarta. 5 hlm.
Ayat, A. 2011. Panduan Lapangan Burung-Burung Agroforest di Sumatera.Laporan. World Agroforestry Centre. Bogor. 122 hlm.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. 2010. Rencana PenelitianIntegratif 2010-2014. Kementerian Kehutanan. Jakarta. 70 hlm.
Baiquni, H. 2007. Pengelolaan Keanekaragaman Hayati. Social EconomicEnvironmental. Australia. 149 hlm.
Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah II Palembang. 2012. Laporan HasilInventarisasi Sosial Budaya Masyarakat di dalam/sekitar KawasanHutan/KPHL Model Rajabasa Kabupaten Lampung Selatan ProvinsiLampung. Laporan. BPKH Wilayah II Palembang. Palembang. 72 hlm.
Basuni, S. 1988. Studi Relung Ekologi Tiga Jenis Burung Srangengeng (FamiliNectariniidae) Di Hutan Gunung Walet, Sukabumi. Tesis. Institut PertanianBogor. Bogor. 7 hlm.
Bibby, C., Jones, M. dan Marsden, S. 2000. Teknik-Teknik Ekspedisi Lapangan.Survei Burung. Buku. BirdLife International. Indonesia Programme.Bandung. 179 hlm.
Brotowidjoyo, M. D. 1990. Zoologi Dasar. Buku. Erlangga. Jakarta. 349 hlm.
Brower, J. E., Ende, C. N. V. dan Zar, J. H. 1998. Field and Laboratory Methodsfor General Ecology. Buku. Wm. C. Brown, Dubuque, 1A. Boston. 273hlm.
Chambers, S. A. 2008. Birds as Environmental Indicators Review of Literature.Parks Victoria Technical Series. No. 55. Melbourne: Parks Victoria. 57 hlm.
100CITES. 2012. Daftar Jenis Burung dilindungi dalam Appendix CITES. Kutilang
Indonesia. 6 Oktober 2012. http://www.kutilang.or.id. Diakses tanggal 28Desember 2016.
Daget, J. 1976. Les modèles mathématiques en écologie. Buku. Masson. Paris.172 hlm.
Darmawan, M. P. 2006. Keanekaragaman Jenis Burung Pada Beberapa TipeHabitat di Hutan Lindung Gunung Lumut Kalimantan Timur. Skripsi.Institut Pertanian Bogor. Bogor. 138 hlm.
Departemen Kehutanan. 1990. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya.Departemen Kehutanan. Jakarta. 12 hlm.
Departemen Kehutanan. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41Tahun 1999 tentang Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta. 25 hlm.
Departemen Kehutanan. 1999. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. DepartemenKehutanan. Jakarta. 25 hlm.
Fachrul, M. F. 2008. Metode Sampling Bioekologi. Buku. Bumi Aksara. Jakarta.198 hlm.
Firdaus, A. B., Setiawan, A. dan Rustiati, E. L. 2014. Keanekaragaman spesiesburung di Repong Damar Pekon Pahmungan Kecamatan Pesisir TengahKrui Kabupaten Lampung Barat. Jurnal Sylva Lestari. 2(2) : 1-6.
Hadinoto, Mulyadi, A. dan Siregar, YI. 2012. Keanekaragaman jenis burung diHutan Kota Pekanbaru. Jurnal Ilmu Lingkungan. 6(1) : 25-42.
Hernowo, J. B. dan Prasetyo, L. B. 1989. Konsepsi ruang terbuka hijau di kotasebagai pendukung pelestarian burung (The concept of green space area intown to support bird conservation). Jurnal Media Konservasi. 2(4) : 61-71.
Hidayat, O. 2013. Keanekaragaman spesies avifauna di KHDTK Hambala NusaTenggara Timur (Avifauna species diversity in KHDTK Hambala East NusaTenggara). Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea. 2(1) : 12-25.
Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Buku. Bumi Aksara. Jakarta. 210 hlm.
Iskandar, J. 1989. Jenis Burung yang Umum di Indonesia. Buku. Djambatan.Jakarta. 116 hlm.
IUCN. 2012. The IUCN Red List Categories and Criteria. Version 3.1.http://www.iucnredlist.org/. Diakses tanggal 28 Desember 2016.
101IUCN. 2016. The IUCN Red List of Threatened Species. Version 2016-1.
http://www.iucnredlist.org/. Diakses tanggal 28 Desember 2016.
Jarulis. 2007. Pemanfaatan ruang secara vertikal oleh burung-burung di hutanKampus Kandang Limun Universitas Bengkulu. Jurnal Gradien. 3(1) : 237-242.
Kementerian Kehutanan. 2011. Keputusan Menteri Kehutanan RepublikIndonesia Nomor : SK.376/Menhut-II/2011 tentang Penetapan WilayahKesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Model Rajabasa Unit (XIV)yang terletak di Kabupaten Lampung Selatan Provinsi Lampung.Kementerian Kehutanan. Jakarta. 4 hlm.
Kementerian Kehutanan. 2014. Keputusan Menteri Kehutanan RepublikIndonesia Nomor : SK.415/Menhut-II/2014 tentang Penetapan Areal KerjaHutan Desa Cugung, Desa Kunjir dan Desa Batu Balak seluas ±127 Ha,pada Kawasan Hutan Lindung di Kec. Rajabasa Kab. Lampung Selatan,Prov. Lampung. Direktorat Bina Perhutanan Sosial. Jakarta. 4 hlm.
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Model Rajabasa. 2014. RencanaPengelolaan Hutan Jangka Panjang Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung(RPHJP KPHL) Model Rajabasa Kabupaten Lampung Selatan ProvinsiLampung Tahun 2014-2023. KPHL Model Rajabasa. Lampung. 58 hlm.
KLH dan KONPHALINDO. 1994. Keanekaragaman Hayati di Indonesia.Laporan Studi Nasional yang disiapkan untuk Laporan Program LingkunganHidup PBB (UNEP). Jakarta: KLH dan KONPHALIDO. 57 hlm.
MacKinnon, J., Philipps, K. dan Van Balen, B. 1998. Burung-burung diSumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Buku. LIPI Seri Panduan Lapangan.Bogor. 509 hlm.
Martin, F., Harianto, S. P. dan Dewi, B. S. 2012. Keanekaragaman Jenis Burungdi Pulau Anak Krakatau Kawasan Cagar Alam Kepulauan Krakatau.Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 112 hlm.
Mittermeier, R. A. dan Mittermeier, C. G. 1997. Megadiversity (Earth BiologicalyWeatlhiest Nations). Quebecor Printing Inc. Cimex. Canada. 501 hlm.
Odum, E. P. 1996. Dasar-Dasar Ekologi. Buku. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta. 697 hlm.
Peraturan Menteri Kehutanan. 2005. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor :P.04/Menhut-II/2005 tentang Rencana Strategis Kementerian Negara/Lembaga (RENSTRA-KL) Departemen Kehutanan Tahun 2005-2009.Kementerian Kehutanan. Jakarta. 16 hlm.
102Peraturan Menteri Kehutanan. 2009. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor :
P.6/Menhut-II/2009 tentang Pembentukan Wilayah Kesatuan PengelolaanHutan. Kementerian Kehutanan. Jakarta. 11 hlm.
Peraturan Menteri Kehutanan. 2014. Peraturan Menteri Kehutanan RepublikIndonesia Nomor : P.89/Menhut-II/2014 tentang Hutan Desa. KementerianKehutanan. Jakarta. 22 hlm.
Peraturan Pemerintah. 2007. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana PengelolaanHutan, Serta Pemanfaatan Hutan. Kementerian Kehutanan. Jakarta. 20 hlm.
Peterson, R. T. 1980. Burung. Buku. Pustaka Alam Life, Tiara Pustaka. Jakarta.188 hlm.
Prasetyo, A. B. 2013. Serba Serbi Hutan Desa. 28 November 2013.http://bp2sdmk.dephut.go.id/emagazine/index.php/teknis/1-serba-serbi-hutan-desa.html. Diakses tanggal 28 Desember 2016.
Pratiwi, A. 2005. Pengamatan Burung di Resort Bama Seksi Konservasi WilayahII Bekol dalam Upaya Reinventarisasi Potensi Jenis. Laporan KegiatanPengendali Ekosistem Hutan, Taman Nasional Baluran. Jawa Timur. 12hlm.
Profil Desa Cugung. 2014. Gambaran Umum Profil Desa Cugung KabupatenLampung Selatan. Laporan. Desa Cugung Kabupaten Lampung Selatan.Lampung. 10 hlm.
Purnomo, H., Jamaksari, H. R., Bangkit, N., Pradityo, T. dan Syafrudin. D. 2009.Hubungan Antara Struktur Komunitas Burung Dengan Vegetasi di TamanNasional Bukit Baka Bukit Raya. Departemen Konservasi SumberdayaHutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.8 hlm.
Rohadi, D. dan Harianto, S. P. 2011. Keanekaragaman Jenis Burung di RawaUniversitas Lampung. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung.83 hlm.
Rohiyan, M., Setiawan, A. dan Rustiati, E. L. 2014. Keanekaragaman jenisburung di hutan pinus dan hutan campuran Muarasipongi KabupatenMandailing Natal Sumatera Utara (Diversity of bird species on pine andmixed forest Muarasipongi Mandailing Natal Regency North Sumatera).Jurnal Sylva Lestari. 2(2) : 89-98.
Rombang, W. M. dan Rudyanto. 1999. Daerah Penting Bagi Burung di Jawa danBali (Important Bird Area in Java and Bali). PKA/Birdlife InternationalIndonesia Programme. Bogor. 113 hlm.
103Rusmendro, H. 2004. Bahan Kuliah Ornithology. Buku. Fakultas Biologi
Universitas Nasional. Jakarta. 53 hlm.
Rusmendro, H. 2009. Perbandingan keanekaragaman burung pada pagi hari dansore hari di empat tipe habitat di wilayah Pangandaran, Jawa Barat. JurnalVis Vitalis. 2(1) : 8-16.
Rusmendro, H., Ruskomalasari, Khadafi, A., Prayoga, H. B. dan Apriyanti. 2009.Keberadaan jenis burung pada lima stasiun pengamatan di sepanjang daerahaliran sungai (DAS) Ciliwung, Depok-Jakarta. Jurnal Vis Vitalis. 2(2) : 50-64.
Schmidt, F. H. dan Ferguson, J. H. A. 1951. Rainfall type based on wet and dryperiod ratio for Indonesia with Western New Gurinea. KementerianPerhubungan. Https://geograph88.blogspot.co.id/2013/03/klasifikasi-iklim-schmidt-ferguson.html. Diakses tanggal 28 Desember 2016.
Setiawan, A., Alikodra, H. S., Gunawan, A. dan Darnaedi, D. 2006.Keanekaragaman jenis pohon dan burung di beberapa areal hutan KotaBandar Lampung (Tree and birds species diversity in several urban forestarea of Bandar Lampung City). Jurnal Manajemen Hutan Tropika. 7(1) : 1-13.
Sujatnika, Jepson, P., Soehartono, T. R., Crosby, M. dan Mardiastuti, A. 1995.Melestarikan Keanekaragaman Hayati Indonesia: Pendekatan BurungEndemik (Conserving Indonesian Biodiversity: the Endemic Bird Areaapproach). PHPA & Bird Life International Indonesia Programme. Jakarta.221 hlm.
Sukmantoro, W., Irham, M., Novarino, W., Hasudungan, F., Kemp, N. danMuchtar, M. 2007. Daftar Burung Indonesia No.2. Buku. IndonesianOrnithologists‘Union. Bogor. 157 hlm.
Sulistyadi. E. 2010. Kemampuan kawasan nir-konservasi dalam melindungikelestarian burung endemik dataran rendah Pulau Jawa studi kasus diKabupaten Kebumen. Jurnal Biologi Indonesia. 6(2) : 237-253.
Utama, M. T., Dewi, B. S. dan Darmawan, A. 2011. Keanekaragaman JenisBurung di Beberapa Tipe Lahan Mangrove Desa Sungai Burung,Kecamatan Dente Teladas Kabupaten Tulang Bawang. Skripsi. UniversitasLampung. Bandar Lampung. 112 hlm.
Van Balen, B. 1999. Birds on Fragmented Islands : Persistence in The Forest ofJava and Bali. Tropical Resource Management Papers, No. 30. WageningenUniversity. 181 hlm.
104Watalee, H., Ningsih, S. dan Ramlah, S. 2013. Keanekaragaman jenis burung di
hutan rawa Saembawalati Desa Tomui Karya Kecamatan Mori AtasKabupaten Morowali. Jurnal Warta Rimba. 1(1) : 1-8.
Wechsler, D. dan Wheeler. B. K. 2012. Bird Cast: Why you Should Care: Bird asBioindicators. 46 hlm.
Widodo. W. 2013. Kajian fauna burung sebagai indikator lingkungan di hutanGunung Sawal, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Prosiding SeminarNasional X Pendidikan Biologi FKIP UNS. FKIP Univ. Negeri SebelasMaret Surakarta. Surakarta, 6 Juli 2013. 245-255 hlm.
Wisnubudi, G. 2009. Penggunaan strata vegetasi oleh burung di Kawasan WisataTaman Nasional Gunung Halimun-Salak. Jurnal Vis Vitalis. 2(2) : 41-49.