Kearifan Lokal Dalam Mengelola Hutan Rakyat

  • Upload
    izhom

  • View
    51

  • Download
    2

Embed Size (px)

Citation preview

  • KEARIFAN LOKAL DALAM MENGELOLA HUTAN RAKYAT

    Mata Kuliah Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

    Muhammad Baried Izhom (1306493423)

  • KEARIFAN LOKAL DALAM MENGELOLA HUTAN RAKYAT

    Studi Kasus Tradisi Lembo (Suku Dayak Kalimantan Timur)

    Sumberdaya hutan merupakan kebutuhan penting manusia sejak awal peradaban yang

    digunakan untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar manusia akan makanan, air, udara

    bersih, tempat tinggal, dan lain sebagainya. Semakin bertambahnya populasi penduduk yang

    mengakibatkan kebutuhan manusia berkembang, keberadaan sumberdaya hutan semakin

    terancam keberadaannya. Sebagai negara tropis, sumberdaya hutan menjadi sumber devisa

    yang potensial untuk modal pembangunan Indonesia. Atas dasar tersebut eksploitasi hutan di

    Indonesia semakin berkembang yang berakibat meningkatnya laju deforestasi.

    Deforestasi yang merupakan usaha mengkonversi hutan ataupun melakukan

    penebangan hutan dapat menyebabkan penurunan kualitas dan kuantitas hutan. Dari segi

    kualitas, deforestasi dapat mengakibatkan berkurangnya keanekaragaman hayati. Deforestasi

    dilihat dari kuantitas menunjukan menurunnya luasan hutan. Berikut peta wilayah-wilayah

    yang terjadi deforestasi di Indonesia:

    Peta menggunakan dari penginderaan jarak jauh Landsat antara tahun 2000-2009.

    Sumber: MOFOR 2011

    Deforestasi selain memberikan pengaruh terhadap kualitas dan kuantitas juga

    memberikan implikasi terhadap masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan yang

    semakin sulit akses terhadap sumberdaya hutan. Terlebih pada masa era tahun 1960-an

  • muncul kebijakan pengelolaan hutan yang menunjuk pemerintah sebagai penyelenggara

    pengurusan hutan, banyak pola penguasaan hutan skala besar yang umumnya kurang

    bersahabat dengan masyarakat asli sehingga sering kali menghasilkan banyak konflik hingga

    saat ini. Potensi terjadinya konflik dapat dikurangi dengan adannya pelaksanaan praktek-

    praktek kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya hutan.

    Praktek kearifan lokal yang merupakan suatu hukum adat, diatur dalam undang-

    undang negara. Undang Undang Dasar 1945 menjamin perlindungan keberadaan masyarakat

    hukum adat, kearifan lokal dan hak-hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan

    perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dalam hal kearifan lokal, Negara dapat

    bertindak sebagai Custodian atau pengampu dari kearifan lokal. Selain itu, Pasal 3 UUPA

    Nomor 5 Tahun 1960 Tentang UUPA menegaskan pengakuan hak ulayat dan hak-hak yang

    serupa yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat.

    Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

    Lingkungan Hidup (PPLH) juga memberi perhatian terhadap pentingnya peran masyarakat

    hukum adat (MHA) dalam pelestarian lingkungan. Pasal 2 misalnya, mengatur bahwa

    perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas partisipatif

    dan kearifan lokal. Demikian pula halnya dengan Pasal 10 ayat 2 yang antara lain mengatur

    bahwa penyusunan rencana PPLH harus memperhatikan kearifan lokal dan aspirasi

    masyarakat. Peran strategis tersebut diakui dan terakomodasi dalam kebijakan, rencana dan

    program. Pasal 63 ayat 1 mengamanatkan bahwa pemerintah bertugas dan berwenang

    menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat,

    kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan

    pengelolaan lingkungan hidup.

    Definisi kearifan lokal Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 adalah nilai-nilai

    luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan

    mengelola lingkungan hidup secara lestari. Menurut Putu Oka Ngakan dalam Andi M.

    Akhmar dan Syarifudin (2007) kearifan lokal merupakan tata nilai atau perilaku hidup

    masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan lingkungan tempatnya hidup secara arif.

    Sementara itu Keraf (2002) menegaskan bahwa kearifan lokal adalah semua bentuk

    pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang

    menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Kearifan lokal

    dalam pengelolaan sumberdaya hutan dapat dipahami sebagai pengelolaan oleh masyarakat

    lokal baik sebagai perorangan ataupun kelompok menggunakan aturan adat yang turun-

    menurun. Pengelolaan hutan dengan kearifan lokal telah terbukti dapat memelihara

  • lingkungan dan kelestarian fungsi hutan. Hal ini disebabkan sistem pengelolaan berbasis

    kearifan lokal tidak mengabaikan nilai ekologi yang ada pada hutan meskipun tetap

    berorientasi pada nilai ekonomi. Kearifan lokal dalam memelihara lingkungan di setiap

    daerah tidaklah sama, bergantung kepada tantangan alam dan kebutuhan hidup masing-

    masing. Salah satu kearifan lokal dalam memelihara sumberdaya hutan di Indonesia terdapat

    pada suku Dayak di Kalimantan Timur dengan tradisi membuat Lembo/Simpuk Munan.

    Simpuk Munan atau yang lebih dikenal sebagai Lembo merupakan lahan yang

    ditumbuhi berbagai jenis tanaman yang didominasi oleh pohon-pohonan khususnya pohon

    buah-buahan dan obat tradisional (agroforestry), sedangkan untuk jenis pohon kayu-kayuan

    seperti meranti jarang ditanam karena banyak tumbuh dengan sendirinya. Lembo adalah

    tradisi lokal yang dimiliki oleh masyarakat Dayak khususnya di Kabupaten Kutai Barat,

    Kalimantan Timur. Lembo biasanya berada di dekat permukiman seperti di samping rumah

    ataupun di ladang. Meskipun menggunakan sistem ladang, kegiatan perladangan dilakukan

    dengan sistem gilir balik. Sistem gilir balik ini merupakan sistem memanfaatkan lahan

    dengan siklus penanaman, artinya pada siklus tertentu mereka akan kembali pada lahan garap

    pertama yang diperkirakan sudah cukup subur untuk digarap kembali. Dengan sistem ini

    masyarakat peladang tidak melakukan pembukaan lahan di hutan secara terus menerus.

    Memanfaatkan lahan dengan tradisi Lembo juga bermanfaat dalam melestarikan

    keanekaragaman hayati, khususnya buah-buahan. Manfaat makro dengan adanya lembo

    adalah tetap terjaganya keberlangsungan habitat suatu ekosistem, flora dan fauna yang ada di

    hutan. Juga meningkatkan kualitas udara, air, tanah, dan memperbanyak area tutupan lahan

    yang berdampak kepada tercegahnya bahaya banjir dan tanah longsor. Pada dasarnya

    mempertahankan Lembo sama halnya juga telah mempertahankan kelangsungan hutan tropis

    yang menyimpan karbon di tanah dan pepohonan sebagai sumber oksigen dan menyerap

    karbondioksida (CO2) yang kita hasilkan, karena Lembo terdiri dari pohon-pohon besar

    beserta tumbuhan yang berdampingan manfaatnya, Lembo pun dapat mengurangi emisi

    karbon sebagai upaya memerangi perubahan iklim serta kerusakan hutan. Dilihat dari segi

    perekonomian Lembo dapat meningkatkan kesejahteraan baik untuk kebutuhan sendiri atau

    pun dijual, meskipun hasilnya tidak terlalu banyak.

    Keberadaan Lembo saat ini sudah semakin berkurang. Hal ini disebabkan banyak

    lahan yang dijual atau disewakan kepada perusahaan untuk perkebunan sawit, karet, serta

    untuk pertambangan. Sehingga perlu dukungan terhadap kearifan lokal sebagai inisiatif yang

    dibangun oleh masyarakat dalam pengelolaan SDA hutan. Pada dasarnya pola-pola adaptasi

    terhadap lingkungan yang dikembangkan oleh masyarakat adat merupakan faktor penting

  • dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup. Seharusnya hal tersebut dapat menjadi

    pendorong bagi masyarakat untuk selalu berupaya agar potensi kearifan lokal terhadap

    lingkungan yang ada dapat terus dipelihara dan dilestarikan sebagai jaminan bagi generasi

    yang akan datang.

    Refrensi:

    Rahmayana. 19 Maret 2014. Bangkitnya Lembo (Hutan Buah-Buahan) Tradisi Masyarakat

    Dayak Indonesia. http://www.greenpeace.org/seasia/id/blog/bangkitnya-lembo-

    hutan-buah-buahan-tradisi-ma/blog/48569/. Diakses pada 24 Maret 2014.

    Suhartini. 2009. Kajian Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam

    dan Lingkungan. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan

    MIPA. Universitas Negeri Yogyakarta: Yogyakarta.

    Widiarti, Asmanah. 2010. Modal Sosial-Budaya Dalam Social Forestry. Kebijakan Sosial

    Forestry: Menuju Masyarakat Sejahtera. Pusat Penelitian dan Pengembangan

    Perubahan Iklim dan Kebijakan: Bogor.

    Wihardandi, Aji. 29 September 2012. Sektor Pertanian Sebabkan 80% Deforestasi di

    Kawasan Tropis. http://www.mongabay.co.id/2012/09/29/sektor-pertanian-

    sebabkan-80-deforestasi-di-kawasan-tropis/. Diakses pada 23 Maret 2014.

    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

    Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).