29
109 Bab Enam Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara dan Masyarakat dalam Wujud Budaya Sasi Pengantar Melindungi dan menjaga sumber daya alam sebagai modal dari pembangunan yang berkelanjutan adalah sebuah keharusan. Sebab tanpa sumber daya alam tentu tidak akan pernah ada yang namanya pembangunan. Berbagai cara dapat dilakukan untuk melindungi sumber daya alam yang dimiliki sebuah daerah. Demikian juga dengan kabupaten Raja Ampat yang merupakan daerah pemekaran baru. Raja Ampat membutuhkan upaya perlindungan untuk tetap menjaga ekosistem dan sumber daya alamnya. Mengapa demikian? Setelah pemekaran kabupaten Raja Ampat mengalami pertumbuhan penduduk cukup pesat. Menurut catatan Badan Pusat Statistik Kabupaten Raja Ampat dari tahun 2011- 2013, Raja Ampat mengalami pertambahan penduduk 1.248 jiwa dari tahun 2011 yang berjumlah 43.320 jiwa menjadi 44.568 jiwa pada

Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/6/T2_092009110_BAB VI...jumlah penduduk semakin tinggi resiko krisis sumber

  • Upload
    vutu

  • View
    226

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/6/T2_092009110_BAB VI...jumlah penduduk semakin tinggi resiko krisis sumber

109

Bab Enam

Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA,

Perlawanan Negara dan Masyarakat dalam Wujud

Budaya Sasi

Pengantar

Melindungi dan menjaga sumber daya alam sebagai modal dari

pembangunan yang berkelanjutan adalah sebuah keharusan. Sebab

tanpa sumber daya alam tentu tidak akan pernah ada yang namanya

pembangunan. Berbagai cara dapat dilakukan untuk melindungi

sumber daya alam yang dimiliki sebuah daerah.

Demikian juga dengan kabupaten Raja Ampat yang merupakan

daerah pemekaran baru. Raja Ampat membutuhkan upaya

perlindungan untuk tetap menjaga ekosistem dan sumber daya

alamnya. Mengapa demikian? Setelah pemekaran kabupaten Raja

Ampat mengalami pertumbuhan penduduk cukup pesat. Menurut

catatan Badan Pusat Statistik Kabupaten Raja Ampat dari tahun 2011-

2013, Raja Ampat mengalami pertambahan penduduk 1.248 jiwa dari

tahun 2011 yang berjumlah 43.320 jiwa menjadi 44.568 jiwa pada

Page 2: Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/6/T2_092009110_BAB VI...jumlah penduduk semakin tinggi resiko krisis sumber

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam

110

tahun 2013.82 Ini berarti pertambahan penduduk tentu akan

berdampak pada meningkatnya konsumsi sumber daya alam. Ketika

sumber daya alam yang dipergunakan sebagai konsumsi tanpa ada

pemberdayaan dan pemeliharaan dapat dipastikan semakin bertambah

jumlah penduduk semakin tinggi resiko krisis sumber daya alam. Selain

itu, meningkatnya pengunjung wisatawan yang berkunjung ke Raja

Ampat menambah daftar ancaman terhadap kerusakan lingkungan

oleh pariwisata. Penulis bersepakat bahwa dunia pariwisata adalah

salah satu cara meningkatkan kualitas hidup ekonomi masyarakat,

tetapi itu bukan berarti bahwa efek negatif dari pariwisata menjadi

tidak ada. Ketut Gede Dharma Putra (2006) dalam sebuah tulisannya

mengungkapkan :83

“Keramaian wisatawan memberikan dampak kepada perubahan perilaku binatang yang ditunjukkan dengan tingkah agresif yang seringkali membahayakan. Pembangunan fasilitas kepariwisataan (akomodasi, dan sarana penunjang lainnya), selain menyebabkan kerusakan bentang alam, potensi peningkatan longsor dan banjir, ternyata memunculkan daerah-daerah kumuh di sekitarnya. Hal ini sebagai akibat datangnya pencari kerja yang tidak memiliki keterampilan yang terjebak dengan mimpinya tentang keindahan dunia gemerlap pariwisata. Namun, setelah sadar dengan kesukaran lapangan kerja tidak berani pulang karena malu. Akhirnya mereka menyambung hidup dengan tinggal di daerah kumuh dan terperangkap dengan pekerjaan yang amoral.

Dibutuhkan sebuah pengelolaan pariwisata oleh pemerintah

yang bertanggungjawab untuk menjawab semua tantangan ini. Tidak

hanya itu saja, masyarakat pun dituntut juga untuk mengambil peran

serta dalam menjawab tantangan ini. Arus jumlah wisatawan di Raja

Ampat dalam 2 tahun belakangan ini meningkat sangat drastis. Dari

catatan BPS Kabupaten Raja Ampat, dari tahun 2011-2013, jumlah

82 Badan Pusat Statistik Kabupaten Raja Ampat, 2014. “Statistik Daerah Kabupaten

Raja Ampat 2014”, Hal. 7, BPS Kabupaten, Raja Ampat. 83 http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2006/2/28/o2.htm

Page 3: Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/6/T2_092009110_BAB VI...jumlah penduduk semakin tinggi resiko krisis sumber

Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara dan Masyarakat dalam Wujud Budaya Sasi

111

wisatawan yang datang ke Raja Ampat meningkat sebanyak 3.884

wisatawan. Dengan data dasar jumlah wisatawan pada tahun 2011

berjumlah 7.253 wisatawan dan pada tahun 2013 bertambah menjadi

11.137 wisatawan. Maka ancaman terhadap kerusakan lingkungan juga

akan berpotensi semakin besar.

Tidak hanya itu saja, seperti yang telah penulis ungkapkan

dalam bab sebelumnya tentang bagaimana perilaku nelayan dari luar

Raja Ampat, dan juga nelayan lokal, yang menangkap ikan dengan

cara-cara yang tidak ramah lingkungan juga menjadi persoalan serius.

Bom ikan, akar bore, pukat harimau, dan semua jenis cara tangkap ikan

yang mengabaikan ekosistem lingkungan adalah ancaman yang serius

dihadapi Raja Ampat.

Lalu apakah yang seharusnya dilakukan masyarakat dan

pemerintah untuk menghadapi tantangan dan ancaman ini? Pada bab

sebelumnya, penulis telah memaparkan tentang temuan penelitian

lapangan yang berlangsung di kampung Warsambin, distrik Teluk

Mayalibit, kabupaten Raja Ampat tentang bagaimana budaya sasi

dilaksanakan. Budaya sasi yang dilakukan oleh masyarakat adalah salah

satu cara untuk memproteksi sumber daya alam yang mereka miliki.

Dan pada bab ini, penulis akan melakukan analisa dan pembahasan

terhadap objek penelitian (budaya sasi) dengan memakai teori yang

sudah tersampaikan pada bab II.

Budaya Sasi, Kearifan Lokal Masyarakat Kampung

Warsambin Jika merujuk pada sejarah bagaimana budaya sasi bisa

dilakukan oleh masyarakat di kampung Warsambin, tidak ada

informasi yang sangat akurat untuk menjawab kapan sasi mulai

pertama dilakukan. Yang dapat diketahui tentang budaya sasi adalah

jauh sebelum istilah itu digunakan masyarakat kampung Warsambin

sudah memiliki budaya yang sama dengan sasi yaitu kabus. Kehadiran

gereja menjadi salah satu faktor terjadinya pergantian istilah dari Kabus menjadi sasi.

Page 4: Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/6/T2_092009110_BAB VI...jumlah penduduk semakin tinggi resiko krisis sumber

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam

112

Perubahan nama dari kabus menjadi sasi, bukan berarti sasi itu

bukan produk dari sebuah kearifan lokal. Ayatroheidi (1986)

mengatakan salah satu ciri-ciri dari kearifan lokal adalah mempunyai

kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya

asli.84 Dan ini juga terjadi dengan budaya sasi, dimana ada integrasi

nilai budaya sasi di Maluku ke dalam budaya kabus yang sudah dimiliki

oleh masyarakat kampung. Walaupun pada akhirnya nama yang

digunakan adalah budaya sasi, tetapi pada beberapa tatanan

pelaksanaan sasi dilakukan sesuai dengan kebiasaan adat di kampung

Warsambin. Misalnya sesembahan yang disebut masyarakat dengan

kakes tetap dipakai dalam pelaksanaan sasi.

Budaya sasi dapat dikatakan sebagai sebuah kearifan lokal

masyarakat kampung Warsambin. Kehadiran budaya sasi yang ingin

menjawab tantangan dan ancaman terhadap kerusakan lingkungan

serta eksploitasi oleh nelayan dari luar Raja Ampat dan nelayan lokal

sendiri. Budaya sasi yang dilakukan oleh masyarakat kampung

Warsambin, juga dapat dikatakan sebagai usaha untuk mengatur

tatanan kehidupan masyarakat dalam persoalan pemanfaataan sumber

daya alam. Sehingga kemudian terciptanya keseimbangan kehidupan

dengan alam, dimana masyarakat menjadi arif dan bijaksana untuk

menggunakan hasil sumber daya alam. Itulah yang kemudian

diutarakan oleh Sibarani (2012) tentang kearifan lokal, bahwa kearifan

lokal juga dapat didefinisikan sebagai nilai budaya lokal yang dapat

dimanfaatkan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat secara

arif atau bijaksana.85

Sasi Hadir Ditengah Ancaman

Dalam bab V, penulis menyampaikan temuan di lapangan

tentang bagaimana budaya sasi itu hadir dalam kehidupan

masyarakat Raja Ampat. Ketika kabus kemudian dihilangkan oleh

gereja dengan alasan sangat sarat dengan praktek penyembahan

84 Lihat BAB II Hal. 11 85 Lihat BAB II Hal. 11

Page 5: Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/6/T2_092009110_BAB VI...jumlah penduduk semakin tinggi resiko krisis sumber

Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara dan Masyarakat dalam Wujud Budaya Sasi

113

berhala, bersamaan itu pula ancaman eksploitasi dan kerusakan

ekosistem pun mulai terjadi.

Terbukanya sebuah daerah yang sebelumnya sudah di

kabus lalu kemudian terbuka dan bisa diakses oleh siapa saja, hal

ini menjadi „makanan empuk‟ bagi para nelayan yang berasal dari

sekitar Raja Ampat untuk mengeruk hasil alam yang ada, bahkan

dengan cara tangkap ikan yang tidak ramah dengan lingkungan.

Itupun berlaku bagi daerah daratan, ketika kabus mulai

dihilangkan untuk sebuah wilayah hutan, maka saat itupula para

penjarah kayu mulai menguras isi hutan dengan melakukan

penebangan ilegal (Illegal logging).

Nah, ditengah kondisi inilah kemudian gereja bersama

dengan masyarakat mulai berpikir kembali untuk bagaimana

mampu menahan ancaman terhadap eksploitasi ini. Lahirlah

sebuah kesadaran etis baru dalam gereja dan masyarakat untuk

bertanggungjawab terhadap keberlangsungan sumber daya alam.

Memberikan rasa hormat dan peduli terhadap kelangsungan semua

kehidupan di alam semesta serta mengubah cara pandang

antroposentrisme ke cara pandang biosentrisme dan ekosentrisme, adalah makna dibalik budaya sasi. Kesadaran baru inilah yang

menurut Keraf (2002) yang melahirkan sebuah kearifan lokal

(budaya sasi) yang berasal dari semua bentuk pengetahuan,

keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau

etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam

komunitas ekologis.86

Dengan kata lain bahwa sasi adalah sebuah kearifan lokal

yang lahir di tengah-tengah ancaman eksploitasi dan kerusakan

lingkungan. Lahir dengan sebuah kesadaran baru untuk melihat

bahwa alam adalah bagian dari kehidupannya yang seharusnya

dilindungi dan dijaga kelestariannya. Dan gereja pada saat itu

merekonstruksi sebuah nilai-nilai baru dalam masyarakat dalam

setiap ajaran kekristenan yaitu memandang alam sebagai sesama

86 Lihat BAB II Hal. 12

Page 6: Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/6/T2_092009110_BAB VI...jumlah penduduk semakin tinggi resiko krisis sumber

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam

114

ciptaan Tuhan yang sudah sepantasnya dihormati dan dihargai

dengan perilaku menjaga dan melindungi alam. Pemahaman ini

juga yang memperkokoh keberadaan budaya sasi sebagai kearifan

lokal masyarakat di kampung Warsambin.

Budaya Sasi Riwayatmu Kini

Ketika berada di lapangan untuk mengumpulkan informasi

dan data terkait dengan pelaksanaan budaya sasi. Kesulitan penulis

saat itu adalah mencari narasumber-narasumber yang memiliki

kapasitas dan kapabilitas dalam menjelaskan tentang budaya sasi

ini.

Sekalipun budaya sasi ini adalah kearifan lokal yang

seharusnya bersifat historis dan terus diwariskan kepada generasi

muda lewat tradisi lisan, ternyata itu tidak berlangsung maksimal

di kampung Warsambin. Para pemuda di kampung ini hampir

semua yang saya temui mengatakan bahwa mereka tidak bisa

menjelaskan apa itu budaya sasi. Tapi mereka pernah tahu, bahwa

di kampungnya tersebut ada sebuah budaya yang disebut sasi yang

sering dilakukan oleh masyarakat pada jaman dahulu. Bahkan ada

yang menolak untuk diwawancarai oleh karena benar-benar tidak

mengetahui apa itu budaya sasi.

Menurut Ataupah (2004) seharusnya kearifan lokal yang

bersifat historis itu, harus menjadi informasi penting dalam bentuk

nilai-nilai yang ditanamkan kepada generasi selanjutnya dan tidak

diterima secara pasif melainkan melakukan inovasi sehingga

warisan tersebut akan menjawab persoalan dengan kontekstual.

Namun berbeda dengan budaya sasi di kampung Warsambin ini,

proses transfer informasi berlangsung sangat tidak maksimal.

Faktor lain yang membuat generasi muda di kampung

Warsambin ini tidak mengetahui secara pasti apa itu budaya sasi,

oleh karena sudah jarang sekali praktek sasi itu dilakukan oleh

masyarakat. Terakhir masyarakat melakukan sasi pada tahun 2010

dalam deklarasi sasi Mon. Setelah diselenggarakan deklarasi sasi

Mon itulah generasi muda di kampung Warsambin mengetahui

Page 7: Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/6/T2_092009110_BAB VI...jumlah penduduk semakin tinggi resiko krisis sumber

Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara dan Masyarakat dalam Wujud Budaya Sasi

115

bagaimana budaya sasi itu dilakukan. Namun tetap saja, hal-hal

mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi budaya sasi itu,

tidak pernah diketahui dan dipahami oleh generasi muda di

kampung Warsambin.

Kesimpulan Sementara

Budaya sasi dalam sejarah perjalanannya di kampung

Warsambin memang mengalami pasang surut. Di awal

kehadirannya ingin mengatasi ancaman berupa eksploitasi dan

kerusakan lingkungan oleh perilaku oknum yang melakukan

penangkapan ikan dengan cara-cara yang tidak ramah lingkungan

dan oknum yang melakukan penebangan liar, sempat tidak

mendapatkan perhatian serius oleh masyarakat. Ketidakseriusan

dapat terlihat dari intensitas pelaksanaan budaya sasi yang semakin

jarang dilakukan oleh masyarakat. Ditambah juga dengan

ketidaktahuan generasi muda tentang apa itu budaya sasi dan

pelaksanaannya. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat

untuk menghidupkan kembali budaya sasi ini. Dikarenakan

ancaman terhadap sumber daya alam berupa eksploitasi dan

kerusakan lingkungan ternyata masih menjadi problem yang sama

sampai hari ini.

Tetap menjadikan budaya sasi sebagai kearifan lokal yang

harus dipertahankan serta juga diwariskan kepada generasi

selanjutnya adalah cara yang paling tepat untuk melakukan

perlindungan terhadap sumber daya alam di Raja Ampat, terlebih

khusus di kampung Warsambin.

Budaya Sasi itu Konservasi Sumber Daya Alam “Ade Edo, coba bapa tanya ko?” sergah Abraham Goram disela-

sela wawancara penulis bersama beliau. “Iya apa itu bapa?” jawab

penulis. “Coba ade ko bayangkan, bapa kasih tugas ko pi ke

masyarakat di kampung. Dan bapa minta ko jelaskan ke mereka

tentang apa itu konservasi? Apa ade ko bilang ke mereka?” tanya

Bambang sambil tersenyum. Penulis tertegun sejenak dan berpikir. “Sa

Page 8: Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/6/T2_092009110_BAB VI...jumlah penduduk semakin tinggi resiko krisis sumber

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam

116

akan jelaskan ke mereka tentang konsep konservasi lebih dahulu.

Bahwa konservasi itu adalah usaha untuk mengelola, melindungi, dan

mempergunakan sumber daya alam dengan arif dan bijaksana” jawab

penulis dengan lancar. “Kira-kira kalo ade kasih penjelasan kayak

begitu dong paham atau tidak?” tanya Bambang selanjutnya. “Tra tau e bapa, mungkin paham mungkin juga dong bingung” jawab penulis lalu

diikuti gelak tawa kami berdua yang memenuhi ruang meeting di

kantor Conservation International, perwakilan cabang Sorong. “Kalau

sa yang disuruh pergi ke masyarakat kampung untuk menjelaskan apa

itu konservasi, maka sa cuma bilang ke mereka kalau konservasi itu

budaya sasi” lanjut Bambang. Sejenak ruang meeting tersebut jadi

senyap seketika. Penulis menatap tajam kepada nara sumber sambil

mengernyitkan dahi. “Sasi?” tanya kembali penulis kepada sosok yang

ada dihadapan penulis untuk memastikan apa yang baru saja penulis

dengarkan. “Iya budaya sasi, sasi yang sekarang ade datang mo lakukan

penelitian itu” jawab Bambang dengan suara penuh keyakinan sambil

menyunnggingkan senyuman yang khas.87

Seketika pikiran penulis pun mulai mencari-cari jawaban,

bagaimanakah untuk menjelaskan tentang konservasi kepada

masyarakat di kampung, cukup dengan menjawab konservasi itu

budaya sasi. “Ade ingat, untuk memberikan pemahaman kepada

masyarakat dikampung jang pake bahasa yang tinggi-tinggi atau

konsep yang dong tidak pernah ketahui. Cukup ade ambil contoh dari

sekitar kehidupan mereka saja sehari-hari itu justru lebih relevan dan

mudah dimengerti” lanjut Bambang.

Setelah penulis turun ke lapangan untuk mencari segala

informasi tentang budaya sasi, penulis baru memahami mengapa

jawaban yang diberikan Bambang Goram tentang konservasi

sesederhana itu. Ya! Budaya sasi itulah konservasi.

87 Wawancara dengan Bambang, Kamis, 18 Agusutus 2011, Pukul. 11.00 WIT.

Page 9: Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/6/T2_092009110_BAB VI...jumlah penduduk semakin tinggi resiko krisis sumber

Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara dan Masyarakat dalam Wujud Budaya Sasi

117

Pengertian Sasi dan Konservasi Sumber Daya Alam

Dalam pengertiannya sasi adalah suatu bentuk larangan

pengambilan sumber daya alam baik darat maupun laut dalam

kurun waktu tertentu sehingga memungkinkan sumberdaya alam

dapat tumbuh, berkembang dan dilestarikan (Renjaan dkk, 2013).88

Sedangkan konservasi sumber daya alam menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia adalah pengelolaan sumber daya alam (hayati)

dengan pemanfaatannya secara bijaksana dan menjamin

kesinambungan persediaan dengan tetap memelihara dan

meningkatkan kualitas nilai dan keragamannya.89

Berdasarkan kedua pengertian diatas, maka secara garis

besar budaya sasi dan konservasi SDA sama-sama berbasis pada

pemanfaatan dan pengelolaan SDA secara arif dan bijaksana. Kedua

konsep diatas menekankan pada bagaimana menggunakan SDA

yang dimiliki tanpa kehilangan sistem ketahanan sumber daya, dan

memperhatikan keberlangsungan sumber daya tersebut. Hal ini

juga berarti bahwa budaya sasi dan konservasi SDA secara bersama

melawan perilaku eksploitatif terhadap SDA yang berdampak pada

krisis SDA itu sendiri.

Budaya Sasi Mencapai Sasaran, Tujuan dan Manfaat Konservasi Jika kita mengamati pelaksanaan budaya sasi dan dampak

yang ditimbulkan, maka kita akan menemukan bahwa keseluruhan

budaya sasi itu sudah mencakup keseluruhan dari sasaran, tujuan

dan manfaat konservasi itu sendiri. Secara sederhana dapat penulis

katakan bahwa dengan melaksanakan budaya sasi sebetulnya

masyarakat kampung Warsambin sudah melakukan aktifitas

konservasi itu sendiri.

Misalnya dapat kita ambil contoh pada sasaran konservasi.

Salah satu sasaran konservasi adalah menjamin terpeliharanya

keanekaragaman sumber genetik dan tipe-tipe ekosistemnya

sehingga mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan dan

88 Lihat Bab. V Hal. 78 89 Lihat Bab. II Hal 14

Page 10: Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/6/T2_092009110_BAB VI...jumlah penduduk semakin tinggi resiko krisis sumber

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam

118

teknologi yang memungkinkan pemenuhan kebutuhan manusia

yang menggunakan sumber daya alam hayati bagi kesejahteraan.

Lewat pelaksanaan budaya sasi pun sasaran ini dapat tercapai.

Berbicara tentang terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik

dan tipe-tipe ekosistemnya ternyata dalam budaya sasi sangat

terperhatikan. Pelarangan pengambilan sumber daya berdasarkan

salah satu jenis biota adalah bagian dari upaya untuk memelihara

keanekaragaman sumber genetik. Dengan adanya pelarangan ini,

kita memberikan kesempatan bagi sumber genetik tersebut untuk

bertumbuh dan kemudian bereproduksi, yang pada akhirnya

perilaku ini justru meminimalisir kepunahan sumber genetik yang

dimaksudkan.

Begitu pula jika kita memperhatikan makna dari tujuan

dilaksanakan konservasi. Secara sederhana kita dapat melihat

tujuan dari konservasi itu meliputi proteksi SDA, pemulihan

terhadap kondisi yang mengancam produktifitas SDA, penentuan

lokasi yang tepat guna dan integrasi sehingga pelaksanaan

konservasi tidak mengabaikan kepentingan yang lainnya.

Tujuan dari konservasi ini termuat dan terakomodir dalam

budaya sasi. Misalnya persoalan proteksi SDA, budaya sasi adalah

cara tradisional yang digunakan masyarakat untuk melindungi

SDA. Lewat sasi sebenarnya proteksi itu dapat berlangsung lebih

kuat karena berangkat dari nilai budaya lokal, dan dengan sanksi

yang lebih kuat, melihat masyarakat di kampung Warsambin

adalah masyarakat tradisional yang terikat kuat dengan akar

budaya. Dengan proteksi yang dilakukan budaya sasi terhadap

salah satu sumber daya alam juga sekaligus terjadi pemulihan

terhadap kondisi lingkungan yang bisa meningkatkan produktifitas

SDA. Misalnya sasi taripang yang dilakukan oleh masyarakat

Kalitoko di Distrik Tiplol Mayalibit, masyarakat merasakan

bertambahnya jumlah produksi taripang selepas melakukan budaya

sasi. Jika melihat sasi Mon yang dilaksanakan oleh masyarakat

kampung Warsambin, karena belum dibuka memang belum ada

kepastian apakah terjadi peningkatan hasil produksi ikan ataukah

Page 11: Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/6/T2_092009110_BAB VI...jumlah penduduk semakin tinggi resiko krisis sumber

Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara dan Masyarakat dalam Wujud Budaya Sasi

119

tidak. Namun lewat wawancara penulis pada Januari 2015,

beberapa masyarakat mengutarakan bahwa memang sekarang hasil

tangkapannya lumayan mudah dan tinggi, terlebih ketika mereka

memancing pada wilayah di pinggiran yang di sasi.

Pemulihan kondisi terhadap produktifitas SDA ini juga

nampak pada pemulihan terumbu karang. Budaya sasi yang

menutup beberapa area laut sangat membantu proses pemulihan

terumbu karang. Dan ini juga berdampak pada bertambahnya

jumlah populasi ikan, sebab ekosistemnya yaitu terumbu karang

yang semakin membaik. Walaupun untuk terumbu karang pulih

dan baik kembali memakan waktu yang sangat panjang, tetapi jika

budaya sasi dilakukan dengan rutin dan berkelanjutan maka sangat

membantu proses pemulihan terumbu karang.

Selain itu, persoalan penentuan lokasi dan integrasi dalam

konservasi ternyata berlaku juga dalam budaya sasi. Misalnya

pemilihan lokasi untuk sasi Mon. Awalnya alasan budaya, oleh

karena wilayah yang disasi masuk dalam wilayah adat masyarakat

Ansan. Dan selaku salah satu pelopor serta penopang deklarasi sasi

Mon, LSM Conservation International juga mendukung wilayah

yang diajukan oleh masyarakat sebagai wilayah sasi. Alasan

dukungannya oleh karena wilayah yang dimaksud termasuk

wilayah hutan mangrove pesisir, dimana wilayah ini memiliki

ekosistem yang mendukung proses reproduksi ikan. Soal integrasi,

pelaksanaan budaya sasi pun tidak mengabaikan/mengganggu

kepentingan masyarakat dalam mata pencaharian. Sebab masih

tetap ada wilayah yang dipergunakan oleh masyarakat sebagai

lahan pencaharian. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi pemborosan

atau eksploitasi terhadap sumber daya alam.

Demikian juga dari sudut pandang manfaat konservasi,

budaya sasi pun memberikan manfaat yang sama seperti

konservasi. Seperti misalnya, konservasi dapat memberikan

manfaat berupa terhindarnya makhluk hidup dari kepunahan.

Sama halnya dengan yang dilakukan budaya sasi, dimana

memberikan kesempatan bagi sumber daya untuk memiliki

Page 12: Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/6/T2_092009110_BAB VI...jumlah penduduk semakin tinggi resiko krisis sumber

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam

120

kesempatan bereproduksi sehingga terhindar dari segala macam

bentuk ancaman kepunahan, sebab ada pengendalian dan

pengaturan dalam soal pemanfaatan sumber daya alam.

Ada satu hal yang menurut penulis belum menjadi

perhatian pemerintah dalam soal kontribusi kearifan lokal bagi

kepariwisataan. Budaya sasi yang dilakukan oleh masyarakat

kampung Warsambin sangat berpotensi sebagai salah satu objek

wisata budaya. Dikepulauan Maluku seperti di Seram, sasi sudah

menjadi salah satu destinasi wisata budaya yang sering didatangi

para wisatawan. Sekalipun memang pelaksanaannya bersamaan

pada saat tutup sasi yang mungkin dalam setahun hanya terjadi

sekali atau dua kali tergantung berapa lamanya masyarakat

melakukan tutup sasi tersebut. Tetapi ini sudah menjadi salah satu

destinasi wisata baik bagi wisatawan lokal bahkan sampai

internasional. Pemerintah Raja Ampat juga bisa melakukan hal

yang serupa dalam rangka memperkenalkan potensi budaya

daerah, sekaligus menjadi motivasi bagi masyarakat sendiri untuk

terus menyelenggarakan sasi.

Budaya Sasi dan Konservasi Membutuhkan Peran Serta Masyarakat

Dalam usaha peningkatan perlindungan dan pelestarian

sumber daya alam, faktor yang tidak boleh terlupakan adalah peran

serta masyarakat. Keterlibatan masyarakat dalam usaha

perlindungan dan pelestarian sumber daya alam menjadi sangat

penting sebab merekalah yang berada pada garis depan usaha

konservasi. Oleh sebab itu, sumber daya manusia yang berwawasan

ramah lingkungan dan memiliki jiwa konservasi harus dibangun

semenjak dini.

Berbeda kasusnya pada pelaksanaan budaya sasi yang

berawal dari pemikiran untuk melakukan perlindungan terhadap

hak kepemilikan pribadi atau klan, yang pelakunya adalah

masyarakat sendiri. Tentu ini akan lebih mudah dilakukan karena

yang dilindungi adalah wilayah milik sendiri. Lalu bagaimana

dengan kesatuan wilayah diluar kepemilikan pribadi atau klan,

Page 13: Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/6/T2_092009110_BAB VI...jumlah penduduk semakin tinggi resiko krisis sumber

Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara dan Masyarakat dalam Wujud Budaya Sasi

121

padahal disanalah letak potensi ekosistem sebagai penghasil sumber

daya terbesar. Maka memang yang harus dilakukan adalah

membangun sebuah kesadaran baru mengenai betapa pentingnya

perlindungan dan pelestarian sumber daya alam bukan hanya

karena persoalan milik pribadi atau klan, melainkan demi

kelangsungan kehidupan generasi mendatang.

Dalam persoalan menanamkan nilai-nilai pada masyarakat

tentang bagaimana melindungi dan melestarikan alam, menurut

penulis, gereja sudah mengambil bagiannya. Dalam khotbah-

khotbah minggu di gereja, pelayan firman baik itu pendeta, guru

jemaat, majelis jemaat yang berkhotbah selalu menyampaikan agar

masyarakat sudah seharusnya menghormati dan melindungi alam

sebagai bagian dari tanggungjawab manusia kepada Allah. Nilai

yang disebarluaskan lewat mimbar gereja ini diharapkan mampu

mendorong keterlibatan masyarakat jauh lebih besar untuk

melindungi dan melestarikan potensi sumber daya alam yang

dimiliki oleh kampung Warsambin.

Namun fakta di lapangan membuktikan bahwa dengan

penanaman nilai ini lewat mimbar gereja, tidak secara otomatis

membuat masyarakat/warga jemaat patuh. Masih juga sering

ditemukan oknum-oknum masyarakat yang mencari ikan dengan

cara tangkap yang tidak ramah lingkungan dan dapat merusak

ekosistem.

Sehingga membentuk SDM masyarakat yang memiliki

wawasan ramah lingkungan dan memiliki kemampuan untuk

melakukan perlindungan dan pelestarian sumber daya alam

terlebih khusus untuk menggiatkan kembali budaya sasi,

merupakan sesuatu yang urgent untuk dilakukan sekarang ini.

Kesimpulan Sementara

Jika menerjemahkan apa itu budaya sasi dalam kaca mata

konservasi, maka jawabannya adalah budaya sasi itulah konservasi.

Untuk melakukan upaya konservasi dalam rangka perlindungan

dan pelestarian SDA maka mengaktifkan atau menggiatkan

Page 14: Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/6/T2_092009110_BAB VI...jumlah penduduk semakin tinggi resiko krisis sumber

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam

122

kembali aktifitas kearifan lokal masyarakat setempat menjadi

sangat penting untuk segera dilakukan. Selama potensi ancaman itu

ada walaupun masih kecil pengaruhnya, bukan berarti kita tidak

perlu khawatir karena kecil pengaruhnya. Melainkan kita harus

mempersiapkan cara, paling tidak untuk meminimalisir potensi

ancaman agar tidak membesar.

Pengaktifan dan penggiatan kembali kearifan lokal, harus

pula diimbangi dengan pengembangan SDM. Mengapa demikian?

Posisi masyarakat dalam usaha perlindungan dan pelestarian SDA

terletak di barisan terdepan, sebab mereka yang berada di lapangan

dan langsung berhadapan dengan alam. Maka penguatan SDM

masyarakat sehingga tercapainya masyarakat yang berwawasan

lingkungan dan menopang konservasi menjadi suatu kenyataan.

Memberikan peran kepada masyarakat untuk terlibat

langsung dalam aktifitas penggiatan kembali budaya sasi dan

konservasi adalah cara agar kesinambungan dan keberlanjutan bagi

generasi ke depan bisa terlaksana. Proses transfer nilai dan transfer

ilmu adalah proses yang sepatutnya dilewati dalam rangka

penguatan SDM masyarakat yang berwawasan lingkungan.

Perlawanan Negara dan Masyarakat Dalam Wujud Budaya

Sasi Deklarasi sasi Mon diselenggarakan pada tahun 2010 di Teluk

Mayalibit, pada saat itu dianggap merupakan deklarasi paling meriah

yang pernah dilakukan oleh masyarakat Teluk Mayalibit. Semua

lapisan masyarakat yang berada di Teluk Mayalibit hadir dan

memeriahkan deklarasi sasi Mon tersebut. Tidak hanya itu pemerintah

pun ikut terlibat aktif dan memberi dukungan penuh pada deklarasi

sasi Mon saat itu. Menurut Abraham Goram, itulah deklarasi sasi yang

luas cakupan wilayah sasi terbesar selama CI dengan masyarakat di

kepulauan Indonesia bagian timur itu melakukan sasi. Luas wilayah

sasi Mon di Teluk Mayalibit adalah 3.194 ha dan sekaligus ditetapkan

sebagai salah satu zona inti atau sering disebut sebagai No Take Zone

(zona pelarangan ambil). Ini berarti keseluruhan wilayah yang disasi

Page 15: Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/6/T2_092009110_BAB VI...jumlah penduduk semakin tinggi resiko krisis sumber

Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara dan Masyarakat dalam Wujud Budaya Sasi

123

saat itu masuk dalam kawasan perairan tertutup bagi aktifitas

pencaharian ikan. Wilayah sasi Mon di Teluk Mayalibit adalah 6.01%

dari total luas wilayah perairan Kawasan Konservasi Laut Teluk

Mayalibit yaitu 53.100 ha. Yang menarik dari bagian ini adalah peran

serta pemerintah dalam pelaksanaan sasi Mon. Sebab dalam setiap

upacara tutup sasi, yang hadir hanyalah tokoh masyarakat dan tokoh

agama, sedangkan pemerintah biasanya paling tinggi cuma dihadiri

oleh kepala kampung. Namun sasi Mon kali ini, langsung dihadiri oleh

kepala SKPD dan beberapa pejabat daerah.90

Dalam bagian tulisan ini, penulis akan memaparkan tentang

analisa dan bahasan mengenai dukungan pemerintah terhadap

pelaksanaan budaya sasi yang dilakukan oleh masyarakat sebagai

bentuk perlawanan Negara dan masyarakat.

Teori Perlawanan Sosial Scott dan Budaya Sasi Sebagai Bentuk

Perlawanan

Jika merujuk pada tulisan James C. Scott tentang

perlawanan sosial yang dilakukan oleh para petani di Asia

Tenggara, kita akan mendapat pengertian perlawanan sebagai

segala tindakan yang dilakukan oleh kaum atau kelompok

subordinat yang ditujukan untuk mengurangi atau menolak klaim

(misalnya harga sewa atau pajak) yang dibuat oleh pihak atau

kelompok superdinat terhadap mereka.91 Pada pengertian ini Scott

menjelaskan bahwa telah terjadi ketidakadilan yang dilakukan oleh

kelompok superdinat yaitu negara yang memberlakukan kebijakan

dengan menaikkan harga sewa lahan tahan ataupun pajak

pendapatan bagi para petani. Kebijakan fiskal yang sangat ketat dan

banyak jumlahnya ditimpakan kepada kaum tani. Negara dalam hal

ini juga tidak sendiri, melainkan negara bersama dengan kaum elit

pemilik tanah (tentu dalam sebuah konspirasi) meraup keuntungan

dari hasil pajak dan kebijakan agraris. Kebijakan fiskal ini adalah

90 Wawancara dengan Yakub, Kamis, 8 Januari 2015, Pukul. 08.30 WIT. 91 Scott, James C., 1981. Moral Ekonomi Petani, Pergolakan dan Subsistensi di Asia

Tenggara, LP3ES, Jakarta.

Page 16: Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/6/T2_092009110_BAB VI...jumlah penduduk semakin tinggi resiko krisis sumber

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam

124

sebuah celah bagi para pemilik tanah dan rentenir untuk

mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dari kaum petani.92

Dari sinilah kemudian muncul respon perlawanan yang

begitu besar dari kelompok subordinat yaitu para petani.

Munculnya perlawanan menurut Scott salah satunya oleh karena

telah terjadi yang namanya kerawanan ekologis, dimana

kemampuan produksi petani dari lahan pertanian mereka semakin

menurun tetapi kebijakan fiskal justru membuat kondisi semakin

runyam.93 Sebagai contoh Scott bercerita tentang kondisi yang

terjadi di salah satu tempat penelitiannya:

“Sudah barang tentu curah hujan hanya merupakan salah satu penyebab variasi tahunan yang besar dalam persediaan pangan. Di daerah-daerah yang beririgasi terdapat juga distrik-distrik, seperti Hanthawaddy di Burma Hilir, dimana bahaya yang sering mengancam panen dengan kerusakan (kali ini berupa banjir) telah menumbuhkan suatu tradisi pemberontakan yang paling jelas menampakkan diri setelah panen yang buruk”94

Kerawanan ekologis yang berdampak pada menurunnya

hasil panen bagi Scott adalah salah satu sebab munculnya

perlawanan dari kaum petani. Kondisi ini diperparah dengan

ketidakberpihakan negara bagi kepentingan kaum tani. Pada saat

yang bersamaan pula ditengah ketidakadilan struktural yang

menimpa kaum tani justru muncul sebuah perilaku yang bagi Scott

disebut dengan “moral ekonomi” yang membimbing mereka

sebagai warga desa dalam mengelola kelanjutan kehidupan kolektif

dan hubungan sosial resiprokal saat menghadapi tekanan-tekanan

struktural dari hubungan kekuasaan baru yang mencengkam.

Tekanan struktural dari pasar kapitalistik, pengorganisasian negara

kolonial dan paska-kolonial, dan proses modernisasi di Asia

92 Ibid, Hal. 300 93 Ibid, Hal. 302 94 Ibid, Hal. 304

Page 17: Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/6/T2_092009110_BAB VI...jumlah penduduk semakin tinggi resiko krisis sumber

Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara dan Masyarakat dalam Wujud Budaya Sasi

125

Tenggara mengacaukan “moral ekonomi” itu dan menyebabkan

kaum tani berontak.

Pengalaman empirik yang didapatkan Scott dalam

rangkaian penelitiannya di Asia Tenggara membawa penulis

melihat pengalaman empirik yang didapatkan selama berada di

penelitian lapangan. Dan penulis menemukan adanya pengalaman

empirik yang sama dengan pengalaman empirik Scott.

Salah satu kesamaan pengalaman empirik antara Scott dan

penelitian ini adalah perilaku masyarakat yang muncul akibat

adanya sebuah ancaman ekologis yang dialami. Dalam Scott petani

merasa terancam oleh karena kerawanan ekologis yang berakibat

pada menurunnya hasil panen. Sedangkan pada penelitian ini

masyarakat merasa terancam oleh karena kerawanan ekologis

berupa eksploitasi dan kerusakan lingkungan yang berakibat pada

menurunnya hasil sumber daya alam. Jika Scott menggambarkan

kerawanan ekologis datang secara alamiah dari alam oleh karena

cuaca bahkan peristiwa alam seperti curah hujan yang tinggi

mengakibatkan hasil tanam petani menjadi gagal. Dalam penelitian

ini kerawanan ekologis disebabkan oleh perilaku manusia yaitu

nelayan dari seputar kepulauan Raja Ampat dan juga nelayan lokal

sendiri yang menangkap ikan dengan cara-cara yang tidak ramah

lingkungan sehingga berdampak pada kerusakan ekosistem laut.

Ancaman yang dirasakan oleh petani di Asia Tenggara dan

masyarakat di kampung Warsambin ini menghasilkan perilaku.

Jika dalam Scott perilaku yang dihasilkan adalah perlawanan dalam

bentuk pemberontakan kaum tani terhadap negara, oleh karena

dalam kondisi terancam itu petani justru tidak mendapatkan

perlindungan dari negara. Melainkan negara justru mengambil

kebijakan yang semakin melemahkan kondisi para petani.

Untuk penelitian ini perilaku yang dihasilkan adalah

menggiatkan kembali budaya sasi sebagai kearifan lokal dalam

usaha memproteksi segala sumber daya alam yang dimiliki oleh

masyarakat. Apakah perilaku ini merupakan bentuk perlawanan

masyarakat? Menurut penulis, disinilah letak perlawanan

Page 18: Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/6/T2_092009110_BAB VI...jumlah penduduk semakin tinggi resiko krisis sumber

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam

126

masyarakat untuk menghadapi setiap ancaman eksploitasi dan

kerusakan lingkungan akibat penangkapan ikan yang berlebihan

dan penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan. Budaya sasi

digunakan oleh masyarakat kampung Warsambin untuk

memproteksi seluruh sumber daya alam lautnya dari perilaku yang

mengancam ekosistem dan sekaligus juga melakukan usaha

pelestarian terhadap ekosistem laut agar terjadi keberlanjutan

sumber daya alam.

Sehingga dapat dikatakan demikian, dalam penelitian yang

dilakukan Scott di Asia Tenggara, perlawanan kaum petani

berangkat dari moral ekonominya yang terbentuk dalam kondisi

terancam secara ekologis terwujudkan pada bentuk pemberontakan

kaum tani dengan kekerasan. Sedangkan penelitian ini

mengungkapkan bahwa perlawanan masyarakat lokal yang

berangkat dari ancaman eksploitasi dan kerusakan ekosistem laut

oleh karena cara tangkap berlebihan dan tidak ramah lingkungan,

terwujudkan dalam bentuk menggiatkan kembali kearifan lokal

yaitu budaya sasi untuk memproteksi sumber daya alam. Dengan

kata lain jika Scott menggambarkan pemberontakan kaum tani

dengan kekerasan (Hard Weapon) sedangkan penelitian ini

menggambarkan perlawanan masyarakat lokal dengan

menggunakan kearifan lokalnya yaitu budaya sasi (Soft Weapon).

Nah, yang menjadi menarik adalah pertanyaan dimanakah

posisi pemerintah disaat ancaman ini terjadi? Apakah sama dengan

yang dialami para petani di Asia Tenggara, dimana negara berada

pada posisi yang berlawanan dengan masyarakat bersama dengan

kaum kapitalis yang ingin mendapatkan keuntungan sebanyak-

banyaknya lewat pajak yang tinggi dan kebijakan agraria. Untuk

penelitian ini jawabannya adalah negara berada pada posisi

bersama dengan masyarakat menghadapi ancaman eksploitasi dan

kerusakan ekosistem laut! Lalu siapakah lawan dari negara dan

masyarakat disini? Lawannya adalah nelayan lokal maupun

Page 19: Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/6/T2_092009110_BAB VI...jumlah penduduk semakin tinggi resiko krisis sumber

Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara dan Masyarakat dalam Wujud Budaya Sasi

127

nelayan dari luar Raja Ampat yang melakukan penangkapan secara

eksploitatif dan tidak ramah lingkungan.95

Sikap Pemerintah Tentang Budaya Sasi

“Sasi merupakan budaya yang sudah dilakukan masyarakat Raja Ampat secara turun-temurun dari semenjak nenek moyang kita. Oleh sebab itu sebetulnya tidak ada alasan bagi pemerintah ataupun masyarakat sendiri menolak melakukan sasi. Sesuai dengan arahan Pak Bupati bahwa kearifan lokal sekarang ini harus digiatkan kembali, salah satunya adalah sasi. Karena itu cara yang paling dekat dan dipahami oleh masyarakat untuk mereka mampu melindungi sumber daya alam Raja Ampat.” ungkap Lucky.96

Dalam wawancara secara tegas Lucky menyatakan

keseriusan pemerintah kabupaten Raja Ampat untuk mendukung

pelaksanaan sasi di tataran masyarakat. Harapan dari digiatkannya

kembali budaya sasi, adalah masyarakat bisa dilibatkan oleh

pemerintah menjadi pelopor bagi keselamatan ekosistem lautnya.

Keseriusan pemerintah ini ditunjukkan dengan menaikkan

kapasitas keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan budaya sasi.

Masyarakat terus diminta untuk sebisa mungkin melakukan

deklarasi sasi disetiap kampung sehingga setiap wilayah di Raja

Ampat terdapat wilayah-wilayah sasi yang menjadi basis sumber

daya atau reproduksi ikan. Dengan menggiatkan budaya sasi,

sebenarnya masyarakat sedang mengisi “lumbung laut” mereka

sendiri dengan potensi sumber daya ikan. Keberadaan pemerintah

adalah menjamin bahwa sasi yang dilakukan oleh masyarakat bisa

terus berjalan dengan baik dan berkelanjutan.

95 Wawancara dengan Lucky, Sabtu, 24 Januari 2015, Pukul 08.00 WIT. Dalam

wawancara yang dimaksudkan sebagai nelayan dari luar Raja Ampat adalah

nelayan dari seputaran daerah Sorong Raja, Kepualaun Maluku (Seram, Ambon dan

Halmahera), wilayah Jawa (Madura), dan nelayan dari Vietnam. Nelayan ini yang

beroperasi masuk dalam wilayah kawasan konservasi laut daerah. 96 Ibid

Page 20: Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/6/T2_092009110_BAB VI...jumlah penduduk semakin tinggi resiko krisis sumber

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam

128

Penguatan kapasitas untuk mendukung budaya sasi juga

ditunjukkan oleh pemerintah dengan menugaskan para petugas

untuk langsung mendampingi masyarakat mempersiapkan semua

rencana pelaksanaan sasi. Sama halnya dengan keterlibatan

pemerintah dalam pelaksanaan sasi Mon di kampung Warsambin,

Teluk Mayalibit.

Dengan digiatkan kembali budaya sasi itu artinya

masyarakat dan negara secara bersama-sama membentengi diri dari

ancaman perilaku eksploitatif dan kerusakan ekosistem yang

dilakukan oleh oknum-oknum nelayan lokal Raja Ampat, nelayan

sekitar kepulauan Raja Ampat, dan nelayan dari luar negeri.

Dari gambaran ini sebetulnya telah menunjukkan

pembedaan antara pengalaman empirik Scott dan penelitian ini.

Jika Scott menggambarkan bahwa negara justru tidak

bertanggungjawab untuk membantu kaum tani dalam menghadapi

kerawanan ekologis yang dialami mereka, melainkan membuat

kebijakan fiskal dan kebijakan agraria yang memberatkan petani.

Sedangkan pada penelitian ini, pemerintah justru melakukan

intervensi secara terbuka mendukung perlawanan masyarakat dan

membantu masyarakat untuk menjawab keresahan mereka dengan

mengeluarkan kebijakan membuat regulasi tentang Kawasan

Konservasi Laut Daerah yang adalah cikal bakal dari budaya sasi.

Kawasan Konservasi Laut Daerah dan Budaya Sasi sebagai “Senjata

Perlawanan”

Jika Scott menggambarkan perlawanan kaum tani dalam

bentuk pemberontakan dengan kekerasan. Penelitian ini

memberikan gambaran perlawanan tanpa pemberontakan

kekerasan melainkan dengan menggunakan kearifan lokal dan

regulasi yang dibuat pemerintah. Sebagai partner perlawanan

masyarakat, pemerintah membangun sebuah sistem untuk mampu

mencapai tujuan perlawanan yang dilakukan bersama masyarakat.

Sistem ini kemudian yang dikenal dengan sebutan Kawasan

Konservasi Laut Daerah (KKLD). Didalam KKLD inilah diatur

Page 21: Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/6/T2_092009110_BAB VI...jumlah penduduk semakin tinggi resiko krisis sumber

Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara dan Masyarakat dalam Wujud Budaya Sasi

129

segala peruntukkan sumber daya laut ditentukan. Peruntukkan

sumber daya laut yang diatur dalam KKLD membagi kawasan

dalam beberapa zona sehingga tetap masih dapat digunakan oleh

masyarakat. KKLD dibagi dalam 3 zona yaitu: Zona Inti, Zona

Pemanfaatan, dan Zona Lainnya.

Yang dimaksudkan Zona Inti atau sering disebut sebagai

No Take Zone (zona dilarang ambil) adalah wilayah yang ditutup

dan tidak boleh ada aktifitas pengambilan ikan. Penentuan zona

inti atau No Take Zone biasanya berdasarkan kondisi ekosistem

sebuah wilayah, misalnya wilayah hutan mangrove dan wilayah

terumbu karang. Ditujukan kepada wilayah ekosistem ini karena

biota laut menjadikan ekosistem ini sebagai tempat bereproduksi,

sehingga untuk tidak mengganggu reproduksi biota laut maka

wilayah ini kemudian dijadikan zona inti. Untuk mendukung

kepentingan masyarakat dalam melindungi sumber daya alam

mereka lewat budaya sasi, maka wilayah yang disasi oleh

masyarakat dikategorikan sebagai zona inti.

Untuk zona pemanfaatan terbatas dibagi menjadi 2 sub

zona yaitu: sub zona ketahanan pangan dan pariwisata dan sub

zona perikanan berkelanjutan dan budidaya. Sedangkan zona

lainnya juga dibagi menjadi 2 sub zona yaitu: sub zona

pemanfaatan tradisional masyarakat dan sub zona pemanfaatan

lainnya.

Mengapa KKLD dan budaya sasi, penulis sebut sebagai

“senjata perlawanan”? Karena wilayah KKLD hanya diperuntukkan

bagi nelayan lokal Raja Ampat, dan tidak bagi nelayan dari luar

kepulauan Raja Ampat. Inilah cara pemerintah dan masyarakat

memproteksi sumber daya alam Raja Ampat, sehingga tidak terjadi

eksploitasi dan pengambilan ikan dengan menggunakan cara-cara

yang tidak ramah lingkungan seperti yang sebelum-sebelumnya

terjadi.

Untuk mencapai tujuan proteksi ini, nelayan-nelayan lokal

di Raja Ampat pun diatur cara penangkapan ikannya. Nelayan-

nelayan lokal dilarang menggunakan alat-alat besar dan jaring

Page 22: Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/6/T2_092009110_BAB VI...jumlah penduduk semakin tinggi resiko krisis sumber

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam

130

besar untuk menangkap ikan. Cara menangkap ikan yang

diperkenankan hanya dengan cara tradisional seperti memancing

dan tekhnik lobe97. Dengan membuat regulasi soal alat tangkap,

pemerintah sedang meminimalisir potensi kerusakan ekosistem.

Kawasan Konservasi Laut Daerah dan Sasi adalah Bentuk

Perlawanan Terbuka

Melihat bentuk dan karakteristik perlawanan yang

dilakukan masyarakat dan pemerintah lewat budaya sasi menurut

Scott masuk dalam kategori perlawanan publik atau terbuka

(public transcript). Scott mendefenisikan perlawanan terbuka

adalah perlawanan yang dilakukan lewat interaksi terbuka. Dari

tinjauan karakteristik perlawanan terbuka, apa yang dilakukan

masyarakat dan pemerintah memenuhi keempat karakteristik

perlawanan terbuka.

Yang pertama, bersifat organik, sistematik dan kooperatif.

Artinya perlawanan murni lahir oleh karena kondisi sebenarnya

tanpa direkayasa, terjadi secara terencana dan memiliki rencana

strategis dalam pencapaian tujuan, serta membangun jejaring

dengan segala pihak dalam mencapai tujuannya. KKLD dan budaya

sasi memiliki karakteristik yang pertama. Hal itu terlihat dari

pergumulan masyarakat dan pemerintah yang melihat bahwa

potensi ancaman eksploitasi dan kerusakan lingkungan semakin

nyata. Penangkapan ikan secara berlebihan, penebangan hutan

mangrove serta kerusakan terumbu karang karena penangkapan

ikan dengan alat-alat yang merusak seperti bom dan akar bore,

menjadi ancaman yang ada didepan mata.

97 Tekhnik lobe adalah salah satu cara tangkap tradisional yang digunakan oleh

masyarakat pesisir di kepulauan Raja Ampat. Tekhnik ini berlaku hanya bagi

beberapa jenis ikan seperti ikan lema. Lobe biasanya dilakukan pada saat bulan

tidak muncul dilangit dan masyarakat menggunakan lampu badai (petromax) untuk

menarik ikan muncul dipermukaan. Setelah muncul dipermukaan air laut,

kemudian ikan digiring untuk masuk sebuah hall dipinggiran pantai yang dangkal,

lalu nelayan turun dan mengambil ikan-ikan tersebut dengan cara menimba

menggunakan jaring yang dibuat seperti gayung.

Page 23: Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/6/T2_092009110_BAB VI...jumlah penduduk semakin tinggi resiko krisis sumber

Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara dan Masyarakat dalam Wujud Budaya Sasi

131

Berikutnya bagaimana melihat perlawanan juga terjadi

secara sistematik dan terencana dengan sangat baik. Dimulai

dengan penentuan KKLD dan mendorong masyarakat untuk

menggiatkan budaya sasi adalah cara yang secara sistematik

dilakukan dalam perlawanan. Untuk legalitas hukum maka

perangkat regulasi hukum pun dibuat. Maka dibuatlah Peraturan

Daerah N0. 27 Tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi Laut

Daerah Kabupaten Raja Ampat. Dalam PERDA ini mengatur

bagaimana KKLD diperuntukkan untuk masyarakat lokal,

pengelolaan sumber daya hayati termasuk jenis-jenis biota yang

dilindungi, sampai pada pengawasan wilayah KKLD dan sanksi

yang diberikan kepada para pelanggar aturan ini. Menurut Adrian

Yusuf Kaiba, dalam beberapa peristiwa petugas lapangan yang

melakukan pengawasan dalam wilayah KKLD sering mendapatkan

nelayan luar yang melakukan penangkapan. Dan mereka yang

kedapatan melakukan pelanggaran akan ditindak secara hukum

tergantung seberapa besar pelanggaran yang dibuat. Jika

pelanggaran berat misalnya pencurian jenis ikan yang dilarang

seperti Pari Manta, Lumba-lumba punggung bengkok, Ikan Hiu

Sirip Putih, maka langsung kasus tersebut akan dilimpahkan

kepada aparat hukum untuk menindak. Sedangkang untuk kategori

yang masuk dalam pelanggaran ringan seperti masuk tanpa sengaja

melakukan penangkapan ikan secara tradisional di wilayah KKLD,

maka cuma diberikan teguran dan pembinaan agar kesalahan

tersebut tidak terjadi kembali. Pada kondisi ini pulalah

karakteristik koperatis juga berlaku dalam perlawanan. Bahwa

setiap pelanggar dengan kategori pelanggaran ringan selalu

diberikan pemahaman dan informasi tentang apa itu KKLD agar

dikemudian hari tidak lagi terjadi pelanggaran.

Yang kedua, karakteristik yang dimiliki oleh perlawanan

terbuka adalah berprinsip atau tidak mementingkan diri sendiri.

Perlawanan yang dilakukan negara dan masyarakat lewat KKLD

dan budaya sasi memiliki karakteristik ini. Negara dalam hal ini

pemerintah pun membangun komunikasi dengan masyarakat

Page 24: Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/6/T2_092009110_BAB VI...jumlah penduduk semakin tinggi resiko krisis sumber

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam

132

dalam rangka mensinergikan kekuatan perlawanan. Salah satu

contohnya pemerintah selalu mengirimkan petugas lapangan ke

kampung-kampung untuk terus mensosialisasikan tentang KKLD

sekaligus meminta masyarakat kampung menggiatkan kembali

budaya sasi. Selain itu, pemerintah dan masyarakat pun

membangun jejaring dengan mitra kerja yaitu lembaga-lembaga

non pemerintah (Non Government Organitation) antara lain

Conservation International, Coremap, dan TNC. Pengembangan

jejaring mitra kerja ini dalam rangka untuk menguatkan kapasitas

dalam pencapaian tujuan perlindungan dan pelestarian sumber

daya alam hayati. Karakteristik tidak mementingkan diri sendiri

juga terlihat dalam kebijakan KKLD, dimana salah satu zona dari

wilayah KKLD diperuntukkan untuk pemanfaatan nelayan lokal.

Jika pemerintah secara tegas ingin semua wilayah terlindungi

cukup dengan menjadikan seluruh KKLD adalah zona inti, dan itu

berarti tidak ada lagi ruang bagi nelayan lokal untuk mencari ikan.

Tetapi justru pembagian KKLD dalam zona-zona termasuk zona

pemanfaatan membuktikan bahwa pemerintah tidak memikirkan

dirinya sendiri, melainkan masih mimikirkan masyarakatnya

untuk mata pencaharian mereka.

Yang ketiga, karakteristik yang dimiliki oleh perlawanan

terbuka adalah berkonsekuensi revolusioner. Ini artinya bahwa

perlawanan harus membawa perubahan yang sangat berarti atas

apa yang dilawannya, sekaligus memberikan kontribusi bagi

kelangsungan apa yang dilawannya. Dengan pengertian ini kita

melihat bahwa apa yang sedang diperjuangkan dengan KKLD dan

budaya sasi bukanlah sebuah kepentingan sesaat. Memproteksi

sumber daya alam dan membangun sistem perlindungan terhadap

ekosistem lingkungan adalah sebuah tujuan yang revolusioner.

Memikirkan tentang apa yang nantinya akan dimiliki dan

dinikmati oleh generasi mendatang adalah cara berpikir yang

revolusioner.

Page 25: Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/6/T2_092009110_BAB VI...jumlah penduduk semakin tinggi resiko krisis sumber

Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara dan Masyarakat dalam Wujud Budaya Sasi

133

“Kepuasan saya sebagai orang yang hidup di jaman sekarang ini adalah ketika suatu saat kelak di masa depan cucu/cicit saya bisa merasakan apa yang saya rasakan saat ini. Cucu/cicit saya tahu apa itu ikan pari manta dan ikan hiu sirip atau juga tahu apa itu penyu belimbing. Dan kalau kita mau itu terjadi pada cucu/cicit kita di masa depan, maka kita yang ada sekarang ini harus memulai untuk menjaga dan melindunginya. Jangan sampai yang cucu/cicit kita dengar hanyalah cerita saja.” ungkap Bambang.98

Yang keempat, karakteristik yang dimiliki oleh perlawanan

terbuka adalah mencakup gagasan atau meniadakan basis dominasi.

Untuk karakteristik yang satu memang tidak ditemukan pada

perlawanan yang dilakukan dalam penelitian ini. Sebab dalam

penenelitian Scott perlawanan yang terjadi dari kaum tani

berhadapan dengan kemapanan dan dominasi yang dilakukan oleh

negara bersama dengan kaum kapitalis. Sedangkan pada penelitian

ini justru negara berada berdampingan dengan masyarakat

melakukan perlawanan kepada perilaku eksploitasi dan kerusakan

lingkungan yang dilakukan oleh oknum masyarakat. Pada

perlawanan ini justru dominasi seharusnya tercipta antara negara

dan masyarakat agar kekuatan perlawanannya semakin kuat. Selain

itu agar sistem yang dibangun untuk mewujudkan tujuan

perlawanan dapat terealisasikan oleh karena kemapanan SDM yang

ada dalam pergerakan.

Kesadaran Kerawanan Ekologis sebagai Modal Perlawanan

Scott menggambarkan perlawanan sosial kaum tani di Asia

tenggara bermodalkan Moral Ekonomi. Dimana moral ekonomi ini

terbentuk oleh karena berbagai interaksi kondisi yang dialami oleh

kamu tani. Sebagai daerah-daerah yang telah melewati masa

kolonial dan yang sedang memasuki masa paskakolonial, maka

98 Wawancara dengan Bambang, Kamis, 18 Agusutus 2011, Pukul. 11.00 WIT.

Page 26: Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/6/T2_092009110_BAB VI...jumlah penduduk semakin tinggi resiko krisis sumber

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam

134

negara membutuhkan sumber pendapatan untuk memulai

pembangunan. Salah satu cara yang dilakukan adalah melakukan

eksploitasi terhadap sumber daya alam untuk dapat meraup

keuntungan. Selain itu cara lain yang dilakukan adalah melakukan

kebijakan fiskal yang ketat mengenai sewa lahan dan pembayaran

pajak yang tinggi bagi kaum petani. Sementara itu kondisi

kehidupan kaum tani dalam masa kolonial dan paskakolonial

bukanlah kondisi masyarakat yang mapan. Scott menggambarkan

kondisi kaum tani pun masih subsistensi, artinya kaum tani

melakukan pemenuhan kebutuhan berdasarkan apa yang bisa ia

lakukan. Sebagai contoh dalam kondisi yang mendesak ketika

desakan kebutuhan hidup semakin tinggi dan harus menghidupi

anggota keluarga yang jumlahnya tidak sedikit, terkadang pilihan

jatuh kepada menjual tanah bagi para saudagar-saudagar atau

pemilik modal agar dapat melanjutkan kehidupan. Dan selanjutnya

petani tersebut bukanlah menjadi pemilik lahan lagi tetapi sebagai

penggarap lahan. Kondisi diatas bisa semakin parah ketika jumlah

hasil panen ikut menurun oleh karena fakor ekologis, curah hujan

yang tinggi, ataupun serangan hama yang berakibat pada gagalnya

panen kaum petani.

Muncullah moral ekonomi petani yang membangun basis

perlawanan baik secara terbuka maupun secara tertutup.

Membangun solidaritas antar para petani, untuk menyelesaikan

persoalan-persoalannya sendiri. Sampai pada membangun

kekuatan kaum tani untuk melakukan pemberontakan kepada

negara.

Lalu apakah yang menjadi modal dari perlawanan bagi

penelitian penulis ini? Penulis menyebutnya dengan kesadaran

kerawanan ekologis. Sehingga dapat dikatakan bahwa budaya sasi

(yang kemudian bagi KKLD) berangkat dari sebuah kesadaran

kerawanan ekologis. Secara historis kehadiran budaya sasi di

kampung Warsambin memang berawal dari kerawanan ekologis

yang dirasakan oleh para pendeta. Ancaman eksploitasi dan

kerusakan lingkungan paska dihilangkannya kabus mengakibatkan

Page 27: Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/6/T2_092009110_BAB VI...jumlah penduduk semakin tinggi resiko krisis sumber

Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara dan Masyarakat dalam Wujud Budaya Sasi

135

beberapa wilayah yang dahulu tertutup bagi masyarakat kini

menjadi terbuka dan terancam rusak. Kini kesadaran kerawanan

ekologis kemudian muncul lagi setelah Raja Ampat dimekarkan

menjadi kabupaten mandiri. Ancaman yang sama seperti terulang

kembali, ketika melihat bahwa pembangunan akan membutuhkan

sumber daya alam yang banyak, baik sebagai modal pembangunan

ataupun sebagai konsumsi masyarakat.

Pada awalnya penulis beranggapan bahwa budaya sasi ini

digunakan masyarakat untuk melindungi sumber daya alamnya

dari pengaruh pembangunan, dan lawannya adalah negara dalam

hal ini pemerintah. Tetapi setelah melakukan penelitian lapangan,

anggapan penulis ternyata salah. Sebab sudah dari tahun 2008

lewat Peraturan Daerah No. 27, PEMDA Kabupaten Raja Ampat

sudah memulai memproteksi wilayah perairannya dengan

membentuk Kawasan Konservasi Laut Daerah Perairan Kabupaten

Raja Ampat. Menurut Adrianus Yusuf Kaiba, S.St.Pi, MA selaku

Kepala Badan Layanan Umum Daerah Unit Pelaksana Teknis

Kawasan Konservasi Perairan Daerah Raja Ampat pada Dinas

Kelautan dan Perikanan Kabupaten Raja Ampat, bahwa KKLD

sudah terbentuk semenjak tahun 2008. Dan KKLD ini terinspirasi

justru dari kearifan lokal yang sudah sejak lama dimiliki oleh

masyarakat Raja Ampat yaitu budaya sasi. Dalam wawancara

bersama Adrianus pula terungkap bahwa Pemerintah Kabupaten

Raja Ampat memiliki kekhawatiran yang sama dengan masyarakat

di kampung Warsambin.

“Pemerintah menyadari bahwa ancaman itu ada, eksploitasi dan kerusakan lingkungan seperti terumbu karang dan hutan mangrove itu benar-benar terjadi. Dan pemerintah pun ingin melindungi itu semua. Lewat mitra kerja pemerintah, kami diusulkan untuk merancang sebuah sistem perlindungan sumber daya alam. Maka hadirlah yang kita sebut dengan Kawasan Konservasi Laut Daerah. Sebetulnya budaya sasi itulah yang menjadi cikal bakal dari KKLD. Kita harus bergerak

Page 28: Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/6/T2_092009110_BAB VI...jumlah penduduk semakin tinggi resiko krisis sumber

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam

136

cepat untuk mengatasi ancaman ini, jika tidak kasian kita punya masyarakat yang hidup dari laut. Itu dapur mereka, itu pasar mereka, dari laut mereka peroleh kehidupan” ungkap Lucky.99

Semangat dan keinginan untuk melindungi sumber daya

alam ternyata juga dimiliki oleh pemerintah. Justru pemerintah

kini terus mendorong masyarakat lokal untuk terus menggiatkan

budaya sasi di kampung-kampung.

Pemerintah dan masyarakat memiliki ketakutan,

kekhawatiran, perasaan dan kepedulian yang sama terhadap

sumber daya alam Raja Ampat. Rasa yang sama inilah penulis sebut

sebagai Kesadaran Kerawanan Ekologis.

Kesimpulan Sementara

Apabila dalam Scott merumuskan perlawanan sosial itu

antara kekuatan superdinat (negara) dan subordinat (rakyat).

Dalam penelitian ini, justru perlawanan yang terjadi antara

kekuatan koalisi negara dan rakyat dan oknum rakyat yang

melakukan eksploitasi serta kerusakan lingkungan. Ini artinya

bahwa tidak selamanya negara sebagai penguasa menggunakan

kewenangannya hanya untuk meraup keuntungan diri sendiri dan

berkoalisi dengan kaum kapitalis. Tetapi dalam hal tertentu

(khususnya dalam penelitian ini) penguasa justru menjadi partner

dengan rakyat dalam melawan perilaku dari luar yang mengancam

keberadaan sumber daya alam Raja Ampat.

Dengan membangun sistem proteksi yang sistematik lewat

kearifan lokal yang didukung dengan regulasi dan legalitas hukum,

negara (pemerintah daerah) dan masyarakat sedang melakukan

perlawanan terbuka kepada perilaku eksploitasi dan merusak

lingkungan. Senjata perlawanan yang digunakan bukanlah

pemberontakan dengan kekerasan seperti yang ditemukan Scott

dalam penelitiannya, melainkan kearifan lokal yaitu budaya sasi

99 Wawancara dengan Lucky. Sabtu, 24 Januari 2015, Pukul 08.00 WIT.

Page 29: Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/6/T2_092009110_BAB VI...jumlah penduduk semakin tinggi resiko krisis sumber

Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara dan Masyarakat dalam Wujud Budaya Sasi

137

dan kebijakan pemerintah dalam penentuan Kawasan Konservasi

Laut Daerah.

Dalam melakukan perlawan ini negara dan masyarakat

memiliki modal perlawanan. Modal perlawanan tersebut adalah

kesadaran kerawanan ekologis. Kesadaran inilah yang

membangkitkan perlawanan negara (pemerintah daerah) dan

masyarakat untuk melindungi sumber daya alam yang mereka

miliki.