Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
I
KEBAHAGIAAN DALAM PANDANGAN THOMAS AQUINAS
DAN HAMKA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama ( S.Ag )
Disusun Oleh:
Rahmadon
(11140331000040)
AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018/1440 H
iv
ABSTRAK
Rahmadon
Etika Kebahagiaan dalam Pandangan Thomas Aquinas dan Hamka
Kebahagiaan merupakan cita-cita yang diinginkan semua manusia yang
hidup di dunia ini. Apabila tujuan dalam kehidupannya adalah mengumpulkan
harta, meraih kekuasaan, dan kenikmatan lainnya dalam kehidupan dunia, maka
itulah yang menjadi indikator keberhasilannya. Tetapi apabila tujuan dalam
kehidupan ini untuk berpegang teguh pada tali keimanan, taqwa, dan amal saleh,
agar dapat memperoleh kebahagiaan dalam kehidupan akhirat, maka hal itu
merupakan sumber kebahagiaan. Bahagia dalam pandangan Thomas Aquinas
yang hakiki adalah ketika manusia memandang Ilahi sebagai kebahagiaan yang
tertinggi (Contemplation), manusia akan menemukan kebahagiaan sepenuhnya
ketika manusia sudah beralih kepada dunia yang fana ini, yaitu ketika manusia
sudah menghadap Ilahi atau sudah berada di alam Baqa. Menurut Hamka,
bahagia terdiri dari dua macam, yaitu ukhrawi dan Duniawi. Kebahagiaan
Ukhrawi merupakan kebahagiaan yang paling utama, karena kebahagian ini abadi.
Seseorang yang berusaha mencapai kebahagiaan ukhrawi akan memiliki
keoptimisan dan ketenangan dalam hidup. Ketika diakhirat pun, ia akan mendapat
sebaik-baiknya balasan atas kebaikannya selama hidup di dunia. Sedangkan
kebahagiaan duniawi, berupa akal dan budi, kesehatan tubuh dan jiwa serta harta
yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup dan berbagi dengan sesama
sehingga manusia dapat beribadah dan bekerja dengan baik, kebahagiaan duniawi
hanyalah suatu pelengkap karena manusia merupakan makhluk dualisme yang
perlu dipenuhi kebutuhan rohani dan jasmaninya. Dalam hal Kebahagiaan Hamka
dan Thomas memiliki suatu orientasi yang sama yaitu memandang sang Ilahi
sebagai kebahagiaan yang Hakiki, juga tentu dalam hal kebahagiaan antara
Hamka dan Thomas pun mengandung hal yang berbeda dalam konteks
kebahagiaan manusia, karena bagaimana pun mereka merupakan Tokoh yang
memiliki banyak perbedaan baik dari segi agamanya, periode kehidupannya dan
sisi keilmuannya. Sehingga apa yang saya diuraikan dalam tulisan ini, secara
otomatis akan memberikan gambaran-gambaran tentang pemikiran kedua tokoh
ini dalam kontek kebahagiaan manusia.
Vii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan karunia dan rahmatnya, sehingga dengan taufik dan hidayah-Nya skripsi
dengan judul Etika Kebahagiaan Dalam Pandangan Thomas Aquinas dan Hamka
dapat diselesaikan. Sholawat dan salam kepada baginda Nabi Muhammad Saw
sebagai sebagai utusan Allah Swt yang menyampaikan kabar bahagia kepada seluruh
umat manusia.
Penulisan Skripsi ini merupakan salah satu pemenuhan syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Agama pada jurusan Aqidah dan Filsafat Islam,
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Disamping itu, penulisan
skripsi ini juga merupakan media bagi penulis untuk mendalami ilmu yang memberi
manfaat dalam menjalani segala aspek kehidupan.
Penulisan skripsi ini dapat diselesaikan karena adanya motivasi dan uluran
tangan dari berbagai pihak, dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Iqbal Hasanuddin, M.Hum., telah memberikan bimbingan yang luar biasa, terima
kasih atas semua inspirasi pemikiran, sehingga saya begitu terpesona akan kajian
etika kebahagiaan dan akhirnya menjadi bahan penelitian pertama ini.
2. Dra. Tien Rahmatin, MA, selaku ketua Jurusan Filsafat Islam, Fakultas
Ushuluddin, yang selalu memberikan diskusi ketika melakukan konsultasi.
3. Dr. Abdul Hakim Wahid, MA, selaku Sekretaris Jurusan yang telah banyak
memberi saran dan juga diskusi ketika konsultasi.
4. Para Dosen Fakultas Ushuluddin terima kasih atas ilmu dan pemikirannya.
Pegawai Perpustakaan Fakultas, Pegawai Perpustakaan Utama yang telah
memberikan waktu dan buku-bukunya.
Vii
5. Mastiah, ibu saya tercinta, dan Sutomo Ayah saya, yang telah memberikan
banyak motivasi, semangat dan dukungan, dalam penyusunan skripsi ini.
6. Kepada kedua kakak saya, Dedi Harianto dan Marwan Syahputra, yang banyak
memebri dukukan baik secara finansial maupun secara moral kepada saya, saya
ucaokan terima kasih.
7. Rizkia Permata R.A, Reynaldi AS, Saddad Mahmud, Wildan, Ajang Kurnia,
Iqbal, terima kasih atas bantuan moril dan immoril, dan dukungan serta semangat
dalam penyususnan skripsi ini.
8. Hasyim Purnamam M.A., ayah angkat saya di perantauan ini, yang sudah banyak
mendukung dan memberi motivasi dalam penyusunan skripsi ini.
9. Rizkia Permata R.A, yang saya anggap sebagai saudari perempuan sendiri, yang
banyak memberikan semangat dan motivasi dalam penyusunan skripsi ini.
10. Amrizal Siagian, M.Hum., kakak saya yang selalu memberikan semangat dan
motivasi dan dukungannya dalam penyusunan skripsi ini.
11. Ainul Fajri, Khoirul Anam, Annisa Sholehah, rekan ngajar ngaji di TP/A,
terimakasih untuk bantuan materi dan immateri untuk penyusunan skrpsi ini.
12. Dan kepada ibu Evi, saya ucapkan terimakasih yang sudah memeberi bimbingan
selama awal semester sampai akhir kuliah ini.
13. Mahasiswa Aqidah Filsafat Islam angkatan 2014, terimakasih atas diskusi-diskusi
yang hangat disetiap waktu. Para penulis buku, penerbit, penjual buku, sehingga
buku-buku berpindah tangan kepada saya untuk dinikmati.
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL.........................................................................................................i
LEMBAR PERNYATAAN .........................................................................................ii
LEMBAR PERSETUJUAAN PEMBIMBING .........................................................iii
ABSTRAK ....................................................................................................................iv
KATA PENGANTAR ................................................................................................vii
DAFTAR ISI .................................................................................................................x
PEDOMAN TRANSLITERASI...................................................................................x
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian .................................................................1
B. Batasan dan Rumusan Masalah .........................................................6
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian.........................................7
D. Tinjauan Pustaka ................................................................................8
E. Metode Penelitian ...............................................................................9
H. Sistematika Penulisan .......................................................................10
BAB II : KEBAHAGIAAN
A. Pengertian Kebahagiaan....................................................................12
B. Kebahagiaan dalam Filsafat Yunani..................................................13
C. Kebahagiaan dalam Filsafat Islam.....................................................20
BAB III : PEMIKIRAN KEBAHAGIAAN THOMAS AQUINAS
A. Biografi Thomas Aquinas..................................................................29
a. Riwayat Hidup Thomas Aquinas..................................................29
b. Latar Belakang Intelektualnya .....................................................30
c. Karya-Karya Thomas Aquinas ....................................................32
B. Hakekat Kebahagiaan Menurut Thomas Aquinas.............................37
C. Kebahagiaan Sebagai Tujuan Manusia.............................................40
D. Usaha Memperoleh Kebahagiaan......................................................43
BAB IV : PEMIKIRAN KEBAHAGIAAN HAMKA
A. Biografi Hamka.................................................................................51
a. Riwayat Hidup Hamka.............................................................51
b. Latar Belakang Intelektual Hamka...........................................52
c. Karya-Karya Hamka.................................................................54
B. Hakekat Kebahagiaan Menurut Hamka........................................57
C. Usaha Memperoleh Kebahagiaan..................................................62
BAB V : ANALISIS PEMIKIRAN KEBAHAGIAAN THOMAS
AQUINAS DAN HAMKA
A. Analisis..............................................................................................74
a. Persamaan dalam Pandangan Ilahi Sebagai Sumber
Kebahagiaan.............................................................................75
b. Persamaan dalam Usaha Mencapai Kebahagiaan....................77
BAB VI : PENUTUP
A. Kesimpulan....................................................................................82
B. Saran-saran.....................................................................................84
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................86
x
PEDOMAN TRANSLITERASI
Padanan Aksara
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ts te dan es ث
J Je ج
ẖ ح h dengan garis bawah
Kh ka dan ha خ
D de د
Dz de dan zet ذ
R er ر
Z zet ز
S es س
Sy es dan ye ش
S es dengan garis di bawah ص
ḏ ض de dengan garis di bawah
ṯ ط te dengan garis di bawah
ẕ ظ zet dengan garis dibawah
ʹ ع koma terbalik di atas hadap kanan
Gh ge dan ha غ
F ef ف
x
Q ki ق
K ka ك
L el ل
M em م
N en ن
W we و
h wa ھ
apostrof ء
y ye ي
Vokal Tunggal
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
a fatẖ ah
i kasrah
u ḏ و ammah
Vokal Rangkap
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي ai a dan i
و au a dan u
x
Vokal Panjang
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
â a dengan topi di atas آ
î i dengan topi di atas إى
û u dengan topi di atas أو
Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu ال, dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf
syamsiyyah maupun huruf qomariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-
dîwân bukan ad-dîwân.
Syaddah (Tasydȋ d)
Syaddah atau tasdȋ d yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda ( ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf,
yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi,
hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak
setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata
tidak ditulis aḏ الضرورۃ -darûrah melainkan al-darûrah.
Ta Marbûṯ ah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûṯ ah terdapat pada
kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf
/h/ (lihat contoh 1). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûṯ ah tersebut
diikuti oleh kata sifat (naʹ t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûṯ ah
tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi
huruf /t/ (lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
ṯ طريقة 1 arîqah
al-jâmi’ah al-islâmiyyah الجامعة اإلسالمية 2
waẖ وحدۃالوجود 3 dat al-wujûd
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bahagia merupakan sesuatu hal yang lumrah dibicarakan dalam kehidupan
manusia, karena semua manusia pasti memiliki orientasi dalam kehidupannya
yaitu kebahagiaan, konteks bahagia yang diinginkan setiap manusia sangat
beragam, dan tentunya nilai kebahagiaan setiap manusia itu memiliki suatu hal
yang berbeda-beda dalam hal kebahagian untuk dirinya. Dalam skripsi ini
tentunya akan membahas mengenai kajian bahagia dalam diri manusia yang akan
diberikan beberapa konsep kebahagian oleh para filsuf yang tersohor. Dalam
Khazanah Filsafat Islam, banyak sekali tokoh-tokoh filsuf yang membicarakan
mengenai kajian bahagia seperti halnya Ibn Maskawayh, al- Farābī dll.
Seperti yang dikatan oleh, tokoh klasik yang satu ini yaitu Ibn Maskawayh (w.
421 H/1030 M) yang memandang bahwa bahagia itu adalah telah tercapainya
kesempurnaan bagi manusia serta dapat mengaktualisasikan dalam kehidupan
masyarakat yang harmonis adanya. 1 Menurut Ibn Miskawayh untuk memperoleh
kebahagiaan, manusia harus mencapai suatu derajat kemanusiaan yang tertinggi.
Derajat ini dapat dicapai jika manusia mampu menyempurnakan kemampuan
kognitif dan kemampuan praktis. Dengan kemampuan kognitif manusia
cenderung pada berbagi ilmu pengetahuan sehingga wawasan dan kemampuan
kerangka berpikirnya tepat dan akurat, sehingga ia bergerak maju mencapai
1 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak . Terjemahan Helmi Hidayat ( Bandung
Mizan,1994) h. 64
2
pengetahuan tertinggi, yiatu pengetahuan Ilahi, pada kemampuan inilah segala
keraguan menjadi hilang dan hati menjadi tentram. Sedangkan dengan
kemampuan praktis, manusia akan mencapai kesempurnaan karakter yang
harmonis dalam hidup, sehingga tercapai kebahagiaan yang menyeluruh bagi
individu dan masyarakat.2
Selanjutnya menurut al- Ghāzālī bahwa untuk mencapai bahagia harus
mengenal dirinya sendiri dari jasad dan jiwa, jasad manusia menunjukkan
kekuasaan, kebijakan serta kecintaan akan Allah yang telah menciptakan kerangka
tubuh manusia yang luar biasa dengan bagian-bagiannya yang saling berkaitan
demi kelangsungan hidup manusia. Dan dengan mengenal diri sendiri tentu saja
disana melihat kebesaran Allah, maka tentu saja hati ini akan merasa teramat
bahagia saat mengetahui tak ada sesuatupun yang lebih tinggi dari pada Allah!
Pengetahuan tentang Allah merupakan pengetahuan yang tertinggi sehingga orang
yang berhasil meraihnya pasti akan merasakan puncak kebahagiaan.3
Tetapi di nusantara sendiri juga ada seorang tokoh yang terkenal dalam hal
kajian mengenai kebahagiaan seseorang, yaitu Abdul Malik bin Abdul Karim
Amrullah, atau lebih dikenal dengan nama Hamka. Dalam hal ini tokoh filsuf
Nusantara yang bernama Hamka ini sangat menarik pemikirannya mengenai
kebahagian manusia, Menurut Hamka kebahagiaan yang hakiki adalah
kebahagiaan ukhrawi, karena kebahagiaan ukhrawi merupakan kebahagiaan yang
tidak akan berubah dan lenyap di makan waktu. Manusia hidup di dunia hanya
2 Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Ahklak, h. 64-63.
3Al-Ghzāli, Kimiā Kebahagiaan, terj, Dedi Slamet Riyadi. (Jakarta: Zaman 2001), h. 23.
3
untuk singgah dan menyiapkan diri untuk menempuh alam akhirat. Dan di
akhiratlah manusia akan mendapatkan kebahagiaan yang abadi, tidak seperti
kebahagiaan duniawi yang mudah berubah dan hilang.4
Berbicara mengenai kebahagiaan, Allah Swt begitu Maha Pengasih dan Maha
Penyayang, Allah begitu baik hingga memberikan bermacam kebahagiaan kepada
manusia, yaitu kebahagiaan ukhrawi dan duniawi. Dan hal yang terpenting untuk
dicapai manusia adalah suatu kebahagiaan yang hakiki yang berada di alam
akhirat. Dalam pandangan ini, Hamka membagi kedalam kebahagiaan ukhrawi
setelah kebahagiaan duniawi. Kebahagiaan ukhrawi merupakan puncak dari
kebahagiaan, dan untuk memperolehnya dibutuhkan agama untuk mencapai
kebahagiaan hakiki di akhirat. tetapi di samping itu, manusia juga memerlukan
kebahagiaan duniawi agar kebahagiaannya menjadi sempurna sebagai penunjang
kebahagiaan akhirat. Kebahagiaan duniawi meliputi keutamaan-keutamaan dalam
pribadi manusia seperti keutamaan otak dan budi, kesehatan tubuh dan jiwa, serta
harta yang cukup.5
Menurut Aquinas, Kebahagiaan tidak terletak pada barang-barang
ataupun makanan, pakaian dan lain sebagainya, itu termasuk kedalam
kebahagiaan yang tidak sempurna, seperti yang dapat dimiliki dalam kehidupan
ini, barang-barang eksterior diperlukan, bukan sebagai esensi dari kebahagiaan,
4 Hamka, Tasauf Modern, ( Jakarta: Revublika, 2015)., h. 97.
5 Hamka, Tasauf Modern, h. 97.
4
tetapi sebagai alat untuk kebahagiaan.6 Bahwa kebahagiaan yang hakiki itu tidak
hanya didasarkan pada sesuatu yang dirasakan tubuh, karena itu belum cukup.
Dengan kata lain dapat diungkapkan bahwa kebahagiaan yang dialami dan yang
dirasakan berkat tubuh yang diputuskan oleh kehendak dan rasio adalah masih
bersifat terbatas dan belum mendatangkan kebahagiaan yang sebenarnya.
Menurut Aquinas, kebahagiaan yang sebenarnya yang dirasakan oleh
seseorang atau masyarakat tidaklah terletak pada benda, nilai atau matei tertentu,
tetapi kebahagiaan itu terjadi jika manusia memandang kemuliaan Allah.7 Dari
defenisi-defenisi diatas, maka kebahagiaan adalah usaha manusia dalam mencari
sebuah kebenaran dan kearifan supaya menemukan kebahagiaan melalui
pemikiran dan renungan yang mendalam, meluas dan menyeluruh. Orang yang
berfilsafat adalah mereka yang berfikir secara mendalam, meluas, menyeluruh,
sehingga ditemukan akar permasalahannya. Jika terungkap akar permasalahannya,
terbukalah tabir kehidupan yang sesungguhnya yang bisa membuat orang menjadi
hidup bahagia.
Faktor utama yang bisa membuat orang bahagia adalah mempunyai akhlak
dan etika, karena manusia yang berakhlak mulia, mempunyai etika, tentu akan
disukai oleh manusia bahkan oleh seluruh makhluk di alam ini. Ada tiga kata yang
sering digunakan dalam tingkah laku manusia yaitu etika, moral dan akhlak.
Dalam bahasa Indonesia umumnya moral diidentikkan dengan etika. Perbedaan
6Aquinas, Thomas, Summa Theologica, vol. 1 (edisi Inggris : Summa Theologica, Latin
Text and English Translation, London New York, 1982: Burns And Oates, Granville Mansions,
W.), h. 16.
7 Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat I (Yogyakarta : Kanisius, 1980), h. 12.
5
etika dan akhlak menurut Daud Ali etika di lihat dari sudut pandang kebiasaan
masyarakat sedangkan akhlak dilihat dari sudut pandang agama. 8
Dalam penulisan ini, penulis juga menganalisis bagaimana seorang tokoh
filsuf dari Italia yang bernama Thomas Aquinas dalam hal pemikiran
kebahagiaan, bagi Thomas, tujuan manusia adalah untuk mencapai kebahagiaan,
dan manusia yang sudah mencapai kebahagiaan adalah ketika manusia sudah
memandang Ilahi. Karena Ilahi adalah nilai tertinggi, kepadanya kehendak
manusia tertarik sendirinya, manusia betul-betul bahagia apabila ia dapat
memandang Tuhan.9
Dalam pengertian Thomas, yang memiliki andil ialah akal budi, karena akal
budi merupakan kemampuan yang secara hakiki terbuka bagi yang tidak
terhingga, akal budi dapat mengatasi keterbatasan objek indrawi dan memahami
yang tidak terhingga, karena itu manusia dianggap berakal budi, sedangkan
bertindak berarti berlaku dengan bebas karena kita menentukan diri kita sendiri
yang didahului oleh pengertian mengenai apa yang baik dan yang tidak baik,
perintah moral yang paling dasar bagi Thomas Aquinas adalah ‘’ Lakukanlah
yang baik, jangan melakukan yang jahat!’’, yang baik adalah apa yang sesuai
dengan tujuan akhir manusia. setiap orang kata Thomas Aquinas dalam hidupnya
tentu berusaha untuk mendapatkan kebahagiaan, usaha untuk memperoleh
8 Daud Ali, Pendidikan Agama (Jakarta: Rineka Cipta, 2001),h. 170.
9 Suseno, Magnis, 13 Tokoh Etika, (Yogyakarta : Kanisius 1997).h. 53.
6
kebahagiaan akan dinikmati oleh totalitas manusia itu sendiri, totalitas yang
dimaksudkannya adalah tubuh dan jiwa manusia itu sendiri.10
Dari pemikiran diatas dapat dilihat bahwa Thomas merupakan seorang filsuf
yang membahas kebahagiaan dalam kajian filsafatnya, dan yang akan sangat
menarik apabila dibandingkan dengan tokoh filsuf Nusantara yaitu Hamka, apa
lagi mereka merupakan dua tokoh filsuf yang memiliki latar belakang keagamaan
yang berbeda, Hamka merupakan seorang filsuf yang beragama Islam, sedangkan
Thomas seorang filsuf yang beragama Katolik, tetapi hal yang menarik dari kedua
tokoh tersebut ialah dalam hal konteks memandang kebahagiaan manusia
memiliki orientasi yang sama yaitu kepada Tuhan sang pencipta.
Maka di dalam penulisan skripsi ini nanti akan melakukan analisis
komparatif, maka penulis mengambil tema dalam skripsi ini adalah ‘’
KEBAHAGIAAN DALAM PANDANGAN THOMAS AQUINAS DAN
HAMKA’’
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Berdasarkan berbagai permasalahan di atas ada kiranya penulis membatasi
permasalahan yang ada, dalam hal ini peneliti berfokus kepada pemikiran
pandangan manusia bahagia Hamka dan Thomas Aquinas. Dalam hal
merumuskan masalah, penulis menggunakan sebuah kalimat dalam bentuk
pertanyaan, karena pada hakekatnya masalah adalah sebuah pertanyaan yang
mengandung problem. Sedangkan setiap problem membutuhkan adanya
10
Suseno, Magnis, 13 Tokoh Etika, .h. 53.
7
pemecahan atau jawaban lebih lanjut. Dan berdasarkan latar belakang dari
pemikiran di atas, maka permasalahan di atas yang berkaitan dengan judul, maka
dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Apakah sebenarnya kebahagiaan itu, menurut pandangan Thomas
Aquinas dan Hamka ?
2. Bagaimana jalan yang ditempuh menggapai kebahagiaan dalam
pandangan Thomas dan Hamka?
3. Bagaimana persamaan dan perbedaan kebahagiaan dalam pandangan
Thomas Aquinas dan Hamka ?
Dengan ketiga rumusan di atas itulah yang akan menjadi esensi masalah yang
akan dibahas dalam penulisan skripsi di bawah ini.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun Tujuan dan Manfaat Penelitian dalam sebuah karya Ilmiah ini adalah
sebagai berikut :
1. Ingin mengetahui makna kebahagiaan sebenarnya yang sesuai dengan
teori Thomas Aquinas dan Hamka.
2. Ingin mengetahui sebuah konsepsi Thomas Aquinas dan Hamka
tentang jalan untuk mencapai sebuah kebahagian yang diinginkan
oleh setiap manusia.
3. Ingin mengetahui suatu kebahagiaan dalam diri manusia dan juga
bagaimana persamaan dan perbedaan kebahagiaan tersebut, dalam
pandangan Thomas Aquinas dan Hamka.
8
D. Tinjauan Pustaka
Adapun sumber-sumber yang digunakan penulis untuk menyusunan
skripsi ini adalah dengan melalui library reseach atau literer. Dan juga dengan
melihat penelitian yang sebelum sudah dilakukan oleh para peneliti, adapun hal-
hal tersebut sebgai berikut :
Jamaluddin, Konsep Penciptaan Jasad Manusia menurut Hamka dalam
Tafsir al-A zhar)I( Skripsi: IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas
Ushuluddin, 2002) Skripsi ini membahas tentang konsep penciptaan jasad
manusia yang termuat dalam tafsir al-Azahar.
Jejen, Hati Dalam Tafsir al-Azhar Hamka ( Tesis: Program Pasca Sarjana
(PPS) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004). Tesis ini membahas tentang hati
manusia yang selalu dalam keadaan baikdan buruk. Hati dalam keadaan
baikadalah ketika ia condong dalam kebaikan, tenang dalam keimanan, suci,
senantiasa bertaubat dan menerima petunjuk. Sedangkan hati yang sedang
dalam keadaan buruk adalah hati yang membatu, lalai dan dekat dengan
kekufuran.
Eti Rahma Yunita, Metode Dakwah’’ studi perbandingan Sayyid Quthb
dan Prof. Dr. Hamka (Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas
Dakwah 2004) skripsi ini membahas tentang perbandingan metode dakwah
antara Sayyid Qutbh dan Hamka.
Muhammad Fadli, Tuhan Dalam Pandangan Hamka’’ (Skripsi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ushuluddin 2007) skripsi ini membahas tentang
analisis kritis terhadap konsep Tuhan dalam perspektif Hamka.
9
Husnul Khotimah, Tasawuf Sebagai Metode Terapi krisis Manusia
Modern menurut Pemikiran Buya Hamka (Skripsi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Fakultas Ushuluddin, 2009). Skripsi ini membahas tentang tasauf
sebagai obat bagi kekrisisan manusia di zaman modern.
E. Metode Penelitian
Dalam Penelitian ini penulis menggunakan penelitian kepustakaan
(Library reseach) yaitu penelaahan terhadap berbagai literatur kepustakaan,
misalnya buku, jurnal, internet maupun koran. Sumber-sumber tersebut dapat
dikategorikan ke dalam data primer dan data sekunder.11
Data Primer adalah
karya-karya yang berasal dari Thomas Aquinas yaitu Summa Theologica dan
karya karya Hamka yaitu Tasawuf Modern. Sedangkan data sekunder adalah
berdasarkan tulisan atau karya orang lain yang menganalisis tentang
pemikiran Thomas Aquinas dan Hamka.
Selanjutnya, saya menggunakan pendekatan deskriptif analisis, yaitu
menggambarkan objek yang diteliti secara apa adanya berdasarkan pada data
primer maupun data sekunder, kemudian menganalisisnya yaitu mempelajari
pokok persoalan penelitian dengan memilih informasi yang telah
dikumpulkan. Sehingga akan tampak jelas perincian jawaban atas pokok
permasalahan dan menghasilkan pengetahuan yang valid.
Sedangkan untuk tekhnik penulisan skripsi ini, penulis menggunakan
buku’’ Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, Disertasi) UIN
11
Mestikan Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), h. 3-5.
10
Syarif Hidayatullah Jakarta, Terbitan oleh Center for Quality Development
and Assurance (CeQda) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007. Adapun
untuk transliterasi menggunakan Jurnal ilmu Ushuluddin, terbitan HIPIUS
(Himpunan Peminat Ilmu-Ilmu Ushuluddin).
F. Sistematika Penulisan
Dalam sistematika penulisan ini, penulis membagi bab atas enam, dengan
sebuah perincian sebagai berikut:
BAB I : Pada bab ini menulis yang meliputi : Latar Belakang Masalah,
Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Tinjauan
Pustaka, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.
BAB II : Bab ini, berisi tentang pengertian secara umum tentang
kebahagiaan, dan pandangan kebahagiaan dalam Perspektif filsuf Yunani dan
filsuf Islam.
BAB III : Dalam bab ini, berisi tentang, Biografi dan Pemikiran
Kebahagiaan Thomas Aquinas.
BAB IV : Dalam bab ini, berisi tentang, Biografi dan Pemikiran
Kebahagiaan Hamka.
BAB V: Analisa, dalam bab ini menganalisis bagaimana pandangan
kebahagiaan dari kedua tokoh, serta perbandingan pemikiran kedua tokoh tentang
kebagahagiaan.
11
BAB VI : Dalam bab ini, yaitu, Penutup yang terdiri dari : Kesimpulan
dan saran-saran.
12
BAB II
KEBAHAGIAAN
A. Pengertian Kebahagiaan
Sebelum membahas kebahagiaan lebih jauh, saya terlebih dahulu akan
membahas mengenai pengertian kebahagiaan. Kebahagiaan secara etimologis
berarti suatu keadaan senang, tentram, terlepas dari keadaan yang menyusahkan.
Dan kata lain kebahagiaan merupakan lawan dari penderitaan.1
Kebahagiaan adalah kosakata dalam bahasa Indonesia yang memiliki
makna yang kurang lebih serupa dengan kata kesuksesan, keberuntungan, kata
senang kata lain yang searti. Kebahagiaan menurut kamus besar Bahasa Indonesia
adalah perasaan bahagia, kesenangan dan ketentraman hidup (lahir batin),
keberuntungan, kemujuran yang bersifat lahir batin.2
Pada tata bahasa Arab terdapat beberapa kata yang berakar pada kata
sa’ᾱ dah, yaitu sa’ᾱ dah atau sa’ida yang artinya beruntung, as’adu yang artinya
membahagiakan, tas’ada yang artinya mengharapkan kebahagiaan dan istas’ada
yang artinya menganggap sesuatu sebagai keberuntungan. Selanjutnya, masih
dalam tata bahasa Arab juga disebutkan bahwa al-sa’ᾱ datu dliddu ᾱ l syaqᾱ watu
yaitu bahagia adalah lawan dari kesialan.3 Pada Ensiklopedia Islam, kata bahagia
(sa’ᾱ dah) berarti kebahagiaan, keberuntungan, majur, tidak sial. Pada kamus
1 W. Poespo Prodjo, Filsafat Moral, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1986), h. 30.
2 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (
Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 75.ᾱ 3 Tim Penyusun Dar el-Machreq Sarl, Kamus al-Munjid ( Beirut: Dar el-Machreq Sarl,
2002), h.333.
13
ilmu tasawuf, sa’ᾱ dah berarti kedekatan dengan Allah Swt serta keluasan rahmat-
Nya yang tidak terbatas.
Dalam buku Pengantar Studi Islam dijelaskan bahwa kebahagiaan itu
tidak sama dengan kesenangan (pleasure), karena kesenangan lebih dinisbatkan
pada kesenangan belaka, namun kebahagiaan bisa hanya sekedar kesenangan fisik
yang sementara, akan tetapi, juga bisa mencapai tingkat kesenangan yang
transenden dan abadi.4 Dengan demikian, dalam pandangan para pakar
kebahagiaan itu mempunyai tingkatan yang berbeda, hal ini karena berpandangan
terhadap kebaikan yang mempunyai tingkatan yang berbeda, hal ini karena
berpandangan karena kebaikan yang mempunyai tingkatan, dimana kebahagiaan
berpadanan dengan kebaikan, dan kebaikan itu bertingkat-tingkat, begitu pula
dengan kebahagiaan juga mempunyai tingkatan-tingkatan tertentu.
B. Kebahagiaan dalam Filsafat Yunani
Berbicara mengenai kebahagiaan dalam pandangan filsafat Yunani,
tentunya tidak semua filsuf akan saya masukkan dalam pembahasan ini. Namun
saya hanya menguraikan dua tokoh saja sebagai deskripsi dalam perspektif filsafat
Yunani sebagai sebuah ulasan mengenai sebuah konsep tentang kebahagiaan.
Karena menurut saya kedua tokoh ini sangat berpengaruh pemikirannya tentang
kebahagiaan terhadap tokoh-tokoh berikutnya, dan bukan hanya filsuf Yunani
saja bahkan filsuf Islam juga terpengaruh. Walaupun banyak pemikir lainnya yang
mungkin begitu terkenal ataupun tersohor namanya, tetapi menurut penulis kedua
tokoh ini sudah memberikan deskripsi yang baik untuk saya uraikan pada bab ini.
4 Mulyadhi Kartanegara, Pengantar Studi Islam, (Jakarta: UIN Press, 2010), h. 245.
14
1. Platon
Platon lahir pada tahun 428/7 SM dalam suatu keluarga terkemuka di
Athena. Ayahnya bernama Ariston seorang bangsawan keturunan raja Kodrus,
raja terakhir Athena yang hidup sekitar 1068 SM. Platon meninggal dunia di
Athena pada tahun 347 SM dalam usia 80 tahun. Plato berasal dari keluarga
aristokrasi yang turun menurun memegang peranan penting dalam politik
Athena.5 Sebuah keluarga bangsawan yang kaya raya, yang hidup ketika Yunani
menjadi pusat kebudayaan terbesar selama empat abad. Generasi orang tua
kakeknya sudah hidup selama setengah abad kebangkitan Athena menuju
kebesaran dan kekuasaannya yang paling hebat, dan secara langsung keluarga
Plato terlibat aktif dalam politik di kotanya.6
Menegenai pendidikan yang diperoleh Platon, pelajaran yang diperoleh
ketika masa kecilnya, selain mendapat pelajaran umum, ia juga belajar bermain
musik dan puisi. Sebelum dewasa Platon sudah pandai membuat karangan yang
bersajak, sebagaimana biasanya dengan anak orang baik-baik di masa itu, Platon
mendapatkan didikan dari guru-guru filosofi. Pelajaran filosofi pertama kali
diperolehnya dari Kratylos. Kratylos dahulunya murid Herakleitos yang
mengajarkan ‘’semuanya berlalau’’ seperti air. Dan ketika Platon berusia 20
tahun, ia mengikuti pelajaran dari Sokrates, pada didikan dari Sokrates, Platon
mendapatkan kepuasan, dan pengaruh Sokrates sangat mendalam baginya, Platon
adalah murid yang paling setia kepada Sokrates, sampai akhir hidupnya Sokrates
5 Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani,( Jakarta: Tinta Mas, cet. 3, 1986,) h. 87.
6 David Melling, Jejak langkah pemikiran Plato,( Jogjaakarta: Bentang Budaya, 2002), h.
1
15
tetap menjadi pujaannya. Bahkan karya-karyanya seolah-olah dibangun untuk
monumen gurunya.7
Mengenai karya-karya Platon, bahawa karya-karya Platon itu terdapat
dalam dialog-dialog antara lain: Apologia, Krition, Eutypron, Lakhes, Kharmides,
Lysis, Hippias, Minor dan lain sebagainya.8 Namun yang terkenal di Indonesia
sendiri yaitu buku Revublika Platon, yang didalam buku Revublika ini terdapat
tentang erika, yang menyangkut tema yang saya nbahas di atas.
Platon merupakan salah satu murid dari Sokrates yang paling banyak
menulis pemikirannya, tentu, pemikiran Platon tersebut tidak akan jauh berbeda
dengan pemikiran Sokrates dalam beberapa hal. Sama seperti pemikiran Sokrates,
Platon juga mengemukakan bahwa eudaimonia (kebahagiaan) adalah merupakan
tujuan hidup manusia. Bagi Platon manusia harus mengupayakan kebahagiaanya (
eudaimonia ) itu.9
Untuk melihat pemikiran kebahagiaan menurut Platon, disini saya
berfokus membahas yang ada kaitannya dengan sesuatu yang baik. Platon
menjelaskan bahwa orang yang baik apabila dikuasai oleh akal budi. Sedangkan
orang menjadi buruk apabila dia dikuasai oleh keinginan atau hawa nafsu. Selama
manusia tersebut dikuasai oleh hawa nafsu, maka kita sedang berada di luar diri
kita sendiri.10
7 Mohammad, Hatta, Alam Pikiaran Yunani, h. 87-88.
8 Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, h. 99.
9 Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, h. 141.
10Frans Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika, h. 19-20.
16
Tentu kebahagiaan dalam pandangan Platon tidak terlepas dari pemikiran
etikanya. Sebagaimana telah kita ketahui pengertian etika yang berarti baik adalah
sesuatu yang berharga untuk suatu tujuan. Sebaliknya, yang tidak berharga, tidak
berguna untuk tujuan. Yang merugikan atau mengakibatkan tidak tercapainya
tujuan adalah tidak baik atau buruk. Oleh karena itu, untuk mencapai suatu hidup
yang baik dan tenang, bersatu, terasa bernilai, hal yang perlu dilakukan adalah
membebaskan diri dari kekuasaan irasional hawa nafsu dan emosi, serta
mengarahkan diri menurut akal budi.11
Dalam pandangan Platon, kebahagiaan yang sebenarnya hanya mungkin
bagi orang yang memiliki keutamaan-keutamaan, keutamaan disini adalah
merupakan tatanan dan keselarasan dalam jiwa. Plato sendiri membedakan
keutamaan tersebut menjadi empat, yaitu: kebijaksanaan, keberanian, sikap tahu
diri, dan keadilan. Keadilan di sini sebagai keutamaan yang mengimbangkan
keutamaan-keutamaan lain serta memepersatukannya. Oleh karena itu, orang yang
mengusahakan keempat keutamaan yang mengimbangkan keutamaan-keutamaan
tersebut, maka ia akan dapat mencapai suatu hidup yang utuh dan bernilai.12
Dalam pemahaman Yunani, orang yang berhasil memiliki kebaikan ( to
agathon) akan berbahagia ( eudaimonia ). Itu makanya kebaikan menjadi tujuan
utama setiap manusia.13
Bagi Platon, kebahagiaan hanya bisa diraih lewat sikap
hidup yang optimal, dan menempatkan pengetahuan sebagai yang memerintah diri
11
Suseno, 13 Tokoh Etika, h. 20. 12
Suseno, 13 Tokoh Etika, h. 23 13
Wibowo, A. Setyo, Arete: Hidup Sukses Menurut Platon. (Yogyakarta: Kanisius 2010),
h. 119.
17
manusia. Sejauh keutamaan didefinisikan sebagai pengetahuan, maka
pengetahuan menjadi syarat utama untuk hidup yang baik dan bahagia.14
Dan
untuk memberikan suatu gambaran tentang perbuatan baik yang mendorong
manusia untuk memperoleh kebahagiaan, Platon mendeskripsikan sebuah alkisah,
yang mana melakukan sebuah perbuatan baik mendorong untuk mendapatkan
suatu kebahagiaan. Platon memberikan sebuah alkisah ada satu orang jahat yang
setelah berhasil mengumpulkan segala macam kekayaan kemudian ingin hidup
tenang menikmati kebahagiaannya.
Dibangunlah sebuah istana di tengah hutan yang jauh dari mana-mana.
Karena ia orang yang ingin hidup enak, dibawalah budak-budak bersamanya.
Jelas saja, untuk urusan kebersihan, makanan dan keamanan istananya, dan
seterusnya, ia tidak mau berkotor tangan, ia butuh orang lain untuk
melakukannya, ia memiliki uang untuk membayar. Ketika hidup diputari banyak
budak dan pelayan yang selalu siap memeberikan apapun yang terbaik baginya,
lama kelamaan ia sadar bahwa kalau ia ingin menikmati kenyamanannya lebih
panjang ia mesti ngomong baik-baik kepada para budaknya, ia mesti senantiasa
waspada dan melarang dirinya berbuat seenaknya kepada para budak dan
pelayannya.15
Dari cerita di atas dapat dilihat bahwa perbuatan baiklah yang dapat
mendorong manusia untuk dapat memperoleh suatu kebahagiaan ( eudaimonia ).
2. Aristoteles
14
Wibowo, Arete, h. 129. 15
Wibowo, Arete, h. 131-132.
18
Aristoteles (384 SM-322 SM), ia lahir di Stageria, Yunani Utara. Ayahnya
bernama Machaon, ia adalah seorang dokter pribadi raja Macedonia Amyntas II.
Dari kecil ia mendapatkan asuhan dari ayahnya sendiri. Ia mendapatkan pelajaran
dalam hal teknik membedah, karena itu perhatiannya banyak bertumpah kepada
ilmu-ilmu alam terutama ilmu biologi.16
Pada usia 18 tahun ia masuk Akademia di
Athena dan sampai tahun 347 SM menjadi murid Plato, Aristoteles menjadi murid
Plato kira-kira 20 tahun sampai Plato meninggal dunia.17
Sedangkan pada tahun
342 SM ia diangkat menjadi pendidik Iskandar Agung Muda dikerajaan Philipus
di Makedonia. Tahun 335 SM Aristoteles kembali ke Athena dan mendirikan
sekolah yang disebut lykaion atau Sekolah Peripatetik, yang sebenarnya sebagai
pusat penelitian ilmiah.18
Tahun 323 SM merupakan tahun ketidakberuntungan
bagi Aristoteles yaitu tepatnya sesudah meninggalnya Iskandar Agung, dimana
Aristoteles harus melarikan diri dari Athena dan pergi ke Kalkis di Euboe, karena
Aristoteles difitnah menyebarkan Subverif dan Ateisme sampai meninggal dunia
pada tahun 322 SM.19
Karya-karyanya cukup banyak tetapi yang berbicara etika
yaitu, Ethica Nicomachea, Magna Moralia (karangan besar tentang moral), dan
Ethica Eudemia.20
Aristoteles memulai ajarannya tentang kebahagiaan dengan
mempertanyakan bagaimana manusia mencapai hidup yang baik, juga apakah
kebahagiaan diperoleh lewat belajar, lewat pelajaran, atau lewat jenis latihan
16
Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, (Jakarta: UI-Press, 1986) h. 115. 17
Frans Magnis Suseno. 13 Tokoh Etika, h. 27. 18
Frans Magnis Suseno. 13 Tokoh Etika, h. 27. 19
Frans Magnis Suseno. 13 Tokoh Etika, h. 27. 20
Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Ed. 1-cet. 14,
2003), h. 55-56.
19
lainnya, atau justru memperolehnya lewat alasan anugerah para dewa kepada
manusia.21
Menurutnya Aristoteles, untuk mencapai sebuah kebahagiaan adalah
dengan hidup yang baik, di sini, maksudnya ialah hidup bermakna, suatu hidup
yang terasa penuh dan menentramkan. Untuk dapat hidup bermakna, seseorang
harus mencapai apa yang menjadi tujuan dalam hidupnya. Pertanyaannya
sekarang adalah apa yang menjadi tujuan hidup manusia? Menurut Aristoteles
jawabannya adalah kebahagiaan (eudaimonia). Kebahagiaan yang dimaksud di
sini bukan hanya terbatas pada perasaan subyektif seperti senang atau gembira
yang merupakan aspek emosional, melainkan lebih mendalam dan obyektif
menyangkut pengembangan seluruh aspek kemanusiaan suatu individu ( aspek
moral, sosial, emosional, rohani).22
Menurut Aristoteles, kebahagiaan dapat dicapai dengan cara hidup
bermoral (hidup baik), karena itulah jalan menuju kebahagiaan. Tujuan moralitas
adalah untuk mengantar manusia ke tujuan akhirnya, yakni suatu kebahagiaan.
Kebahagiaan diwujudkan oleh setiap orang dengan jalannya masing-masing.
Kemampuan setiap orang untuk mewujudkan kebahagiaan juga tidak sama.
Semakin seseorang memandang kebahagiaan sebagai tujuan akhir dalam
hidupnya, maka semakin mendalam dan terarah aktivitas-aktivitas yang
dilakukannya untuk hidup baik. Dalam hal ini, Aristoteles menempatkan
keutamaan dalam posisi istimewa.23
21
Aristoteles, Nichomachean Ethics,terj. Embun Kenyowati, (Jakarta: Teraju Mizan,
2004), h. 19.
22
Frans Magnis Suseno. 13 Tokoh Etika, h. 29-30. 23
Frans Magnis Suseno, Menjadi Manusia, h. 4-7.
20
Menurut Aristoteles supaya manusia bahagia, manusia harus melakukan
aktivitas menurut keutamaannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
kebahagiaan adalah sesuatu yang membuat pengalaman yang menyenangkan
berupa perasaan senang, damai dan termasuk juga didalamnya kesejahteraan,
kedamaian pikiran, kepuasan hidup serta tidak adanya perasaan tertekan. Semua
kondisi ini adalah merupakan kondisi kebahagiaan yang dirasakan individu.24
Di samping itu, meskipun kebahagiaan bukan anugrah atau semacam
kiriman Tuhan, tentu kebahagiaan bisa lewat kebajikan adalah hal yang terbaik
dari semuanya dan merupakan sesuatu yang agung dan berkah. Lebih dari itu,
jika kebahagiaan tersebut bergantung kepada keutamaan, tentunya kebahagiaan
akan dapat diperoleh oleh siapa saja yang kapasitasnya untuk kebajikan tidak
lebih. Dengan demikian, apabila kebahagiaan dapat diperoleh secara kebetulan,
tentu sangat masuk akal untuk menganggap bahwa inilah cara hal itu diperoleh.25
C. Kebahagiaan dalam Filsafat Islam
Setelah saya membahas kebahagiaan dalam filsafat Yunani, pada bagian
ini, saya akan bahas kebahagiaan dalam pandangan filsafat Islam. sebagai
deskripsi konsep pemikiran tentang suatu kebahagiaan, saya memasukkan dua
tokoh filsuf muslim yang akan saya bahas, yaitu Ibn Miskawayh dan Al-Ghāzālī,
karena menurut saya, kedua tokoh ini sangat menarik untuk dimasukkan dalam
penulisan ini, walaupun banyak tokoh lain yang mungkin sangat tersohor dalam
24
Aristoteles, Nichomachean Ethics, h. 19. 25
Aristoteles, Nichomachean Ethics, h. 19.
21
membahas mengenai kebahagiaan seperti Al-Farābī dan lain sebagainya, tapi
penulis hanya mengutip dua tokoh ini untuk sebuah deskripsi terhadap pemikiran
kebahagiaan ini.
1. Ibn Miskawayh
Ibn Miskawayh dilahirkan di desa Ray, masuk wilayah Iran. Menurut
Margolioth, dia dilahirkan sekitar tahun 330 H. Atau beberapa tahun sebelumnya,
sedangkan menurut Abdurrahman al-Badawih, dia dilahirkan kira-kira tahun 320.
H atau sebelum tahun itu. Ibn Miskawayh berumur cukup panjang dan meninggal
dunia di Isfahan pada 9 Shafar 421 H/16 Februari 1030 M.26
Riwayat pendidikan Ibn Miskawayh tidak diketahui dengan jelas.
Miskawayh tidak menulis autobiografinya, dan para penulis riwayatnya pun tidak
memberikan informasi yang jelas mengenai latar belakang pendidikannya. Namun
demikian dapat diduga bahwa Miskawayh tidak berbeda dari kebiasaan anak
menuntut ilmu pada masanya. Adapun perkembangan ilmu Ibn Miskawayh
terutama sekali diperoleh dengan jalan banyak membaca buku, pertama disaat
memperoleh kepercayaan menguasai perpustakaan Ibn Al-Amid, Mantri Rukn Al-
Daulah, juga akhirnya memperoleh kepercayaan sebagai bendaharawan ‘Adhud
Al-Daulah. Menurut Ensiklopedia Islam di Indonesia, Ibn Miskawayh adalah
seorang filosof Islam yang pertama kali membicarakan masalah akhlak dalam
bukunya Tahzīb al-Akhlᾱ k. Ia menjelaskan masalah jiwa, penyakit jiwa dan cara
mengobatinya, selain belajar filsafat, ia mempelajari sejarah terutama karya yang
26
Muhammad, Ustman Najati, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim, (Bandung,
Pustaka Hidayah, 2002), h. 85.
22
berjudul at- Thobāri Annals dari Abu Bakar Ahmad ibn Kamil al- Qodhi. Ilmu
filsafat didapatkan dari Ibn al- Khammar, sedangkan filsafat Aristotelesdan ilmu
kimia dipelajari bersama-sama dengan Abu al-Thoyyib al-Rozi, selain bidang
ilmu filsafat ia juga dikenal sebagai tabib.27
Ibn Miskawayh memiliki banyak karya-karya yaitu ada sekitar 48 karya
yang telah ia hasilkan dan 18 buah dinyatakan hilang, 8 buah masih berupa
manuskrip, dan 15 buah sudah dicetak. Diantara karyanya yang berkaitan
mengenai tema yang saya bahas yaitu mengenai etika ialah, Al-Fauz Al- Akbar,
Tabarat Al- Nafs, Tahdzīb Al-Akhlᾱ q, Tartib Al-Sa’adah.28
Menurut Ibn Miskawayh, ada tiga tingkatan kebahagiaan. Tingkatan
kebajikan yang pertama yang dinamakan kebahagiaan, adalah tingkatan dimana
manusia mengarahkan kehendak dan upayanya agar tercapainya kemaslahatan
hidup di dunia. Pada tingkat ini, seseorang masih terpengaruh oleh hal-hal
inderawi tetapi dalam batas yang wajar dan tidak berlebihan. Sehingga mampu
membedakan mana yang baik dan yang buruk dan dapat berbuat kebaikan.29
Namun, pada dasarnya kebahagiaan ini masih diwarnai dengan kepalsuan karena
sifatnya yang hanya sementara.
Tingkatan yang Kedua yaitu, pada tingkatan ini manusia mengarahkan
kehendak dan upayanya untuk membuat sebaik-baiknya jiwa dan tubuhnya
terbebasnya dari pengaruh hal-hal inderawi. Setelah itu tingkatan manusia dalam
27
Ensiklopedia Islam di Indonesia, Depag RI-Dirjend Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam Proyek Peningkatan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN, Jakarta, 1992, h.
397. 28
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), h. 56. 29
Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Ahklak, h. 97.
23
kebajikan ini terus meningkat, karena derajat dan tingkatan dalam kebajikan
seperti itu banyak jumlahnya. Dan sebab itu adalah karena berbeda-bedanya
manusia: pertama, dalam tabiat, kedua, adalah kebiasaan, ketiga, dalam peringkat,
keempat, dalam cita-cita, kelima, dalam keinginan dan perhatian, dan ada juga
yang berpendapat, dalam nasib baik. Dan juga diperlukan jiwa yang suci untuk
mendapatkan karunia-karunia Ilahi. Pada tingkat ini, manusia tidak lagi terbudaki
oleh hal-hal inderawi yang rendah, tetapi ia akan lebih fokus pada kebahagiaan
jiwanya yang esensial ketimbang kebahagiaan inderawi yang hanya sementara.30
Ketiga, merupakan tingkatan terakhir, dimana kebajikan ini manusia
melangkah menuju kebajikan Ilahi murni, yang di dalam tingkatan ini manusia
tidak merindukan sesuatu yang akan datang, tak menoleh ke sesuatu yang telah
lewat, tak mengharapkan yang akan datang, tak menoleh ke sesuatu yang telah
lewat, tak mengharapkan yang jauh, tak terpukau pada yang dekat, tidak takut
pada keadaan tertentu, tidak mengharapkan nasib baik dan keberuntungan jiwa,
bukan kebutuhan tubuhnya, fakultas fisiknya, fakultas jiwanya. Hal ini disebabkan
karena segala perbuatan manusia dilakukan semata-mata untuk Sang Ilahi, bukan
untuk mengharapkan suatu keuntungan. Sehingga setiap perbuatan mengandung
kebaikan bagi dirinya dan bagi masyarakat di sekitarnya.31
Menurut Ibn Miskawayh jalan menuju bahagia adalah dengan menguasai
kemampuan kognitif dan praktis. Melalui kemampuan kognitif, manusia akan
mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, sehingga kerangka berpikir dan
30
Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Ahklak, h. 97. 31
Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Ahklak, h. 97-98.
24
keyakinannya pun akurat, hingga ia mencapai pengetahuan yang tertinggi, yaitu
pengetahuan Ilahi, menerima anugerah Sang Ilahi dan memiliki kebajikan-
kebajikan yaitu kearifan, kesederhanaan, keberanian dan keadilan.32
Kearifan adalah titik tengah antara kebodohan dan kedunguan. Kebodohan
adalah menggunakan pikiran bukan untuk hal yang baik, sedangkan kedunguan
adalah sengaja tidak menggunakan pikirannya. Seorang yang arif memiliki
kejernihan dan ketajaman pikiran. Kesederhanan adalah titik tengah antara
mengikuti nafsu dan mematikan nafsu. Seorang yang sederhana akan mampu
mengendalikan nafsunya. Keberanian adalah titik tengah antara pengecut dan
gegabah. Seorang yang berani mampu menghadapi keburukan dan menjaga
kehormatannya. Sedangkan keadilan adalah titik tengah antara berbuat aniaya dan
dianiaya. Seorang yang adil mampu menerapkan keseimbangan secara
proporsional dalam segala hal.33
Kebajikan-kebajikan ini harus dimanifestasikan dalam perbuatan. Namun,
perbuatan hanya akan teraktualisasi jika manusia berintekrasi dengan masyarakat.
Itulah sebabnya manusia juga harus memiliki kemampuan praktis, yaitu
kemampuan mengaktualisasikan perbuatan-perbuatan yang tertata baik dalam
kehidupan sosial sehingga tercipta keharmonisan. Dengan demikian akan tercapai
kebahagiaan bukan hanya dalam kehidupan individu tetapi juga dalam kehidupan
bermasyarakat.34
2. Al- Ghāzāli
32
Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Ahklak, h. 63. 33
Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Ahklak, h. 52-53. 34
Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Ahklak, h. 63-64.
25
Al-Ghāzālī ( 1058 H./1111 M.), nama lengkapnya adalah Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad al- Tusi Al-Ghāzālī. Versi lain menyebutkan bahwa
nama lengkap Imam Al-Ghāzālī dengan gelarnya adalah Syaikh al-Azāl al-Imān
al-Zahīd, al-saīd al-Mawāfāq Hujjātul Islam. Zaīnul Syarāf mengatakan bahwa
nama lengkap Imam al-Ghāzālī adalah al-Ummah bin Muhammad bin
Muhammad al-Ghāzālī al-Tūs. Imam Al-Ghāzālī dilahirkan pada tahun 450
(1058) dibesarkan di kota Tus, sekarang dekat Masyhad, sebuah kota kecil di
Khurasan yang sekarang adalah Iran. Imam Al-Ghāzālī lahir dari keluarga yang
sederhana, ayahnya adalah seorang pengusaha yang memintal wol dan menjual
ditokonya sendiri.35
Pada tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H, Imam Al-Ghāzālī meninggal
dunia. Imam al-Ghāzālī adalah seorang ulama besar dan juga seorang penulis
yang terkenal, karya-karya yang beliau hasilkan sangat banyak, sebagian besar
peneliti menerangkan bahwa Imam ᾱ l- Ghᾱ zᾱ li menulis hampir 100 buku yang
meliputi berbagai pengetahuan, seperti ilmu kalam (Theologi Islam), Fiqih
(Hukum Islam), Tasawuf, Filsafat, Akhlaq dan Otobiografi, karangannya itu
ditulis dalam bentuk bahasa Arab dan Persia, sebagian pendapat lain mengatakan
bahwa karagan Al-Ghazali mencapai kira-kira 70 buku, namun yang berkaitan
dengan tema saya tentang kebahagiaan yang begitu terkenal yaitu kitab,
Kimiyᾱ tus Sa’ᾱ dah, dan kitab Ihyᾱ ’ Ulumuddīn, yang saya ketahui.36
35
Waryono Abdul, Ghofur, Kristologi Islam Telaah Kritis Rad al Jamīl Karya Al-
Ghāzālī, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2006), h.25-26. 36
Waryono Abdul, Ghofur, Kristologi Islam Telaah Kritis Rad al Jamīl Karya Al-
Ghāzālī, h.25-26.
26
Al-Ghāzālī berpendapat, kebahagiaan merupakan tuntutan dan tujuan
manusia dari sejak dahulu hingga akhir zaman, namun pemahaman manusia
tentangnya beragam atau majemuk dan sebagian besar bersifat materialistik.
Kebahagiaan hanya dapat dicapai dengan mengkombinasikan ilmu dan amal. Ilmu
sebagai prasyarat yang sangat penting dan amal adalah penyempurna dari ilmu.
Kebahagiaan itu dapat dicapai dengan mensinergikan dua hal, ilmu dan amal.37
Dan untuk mencapai suatu Kebahagiaan harus mengumpulkan dan
mensinergikan empat keutamaan yaitu keutamaan jiwa yang terdiri atas
kebijaksanaan (hikmah), keseimbangan (‘adᾱ lah), keberanian ( shaja’ah),
pemelihaaan diri ( iffah ). Kebijaksanaan adalah keutamaan kekuatan akal,
keberanian merupakan keutamaan kekuatan nafsu amarah, pemeliharaan diri
merupakan keutamaan kekuatan syahwat, dan keseimbangan atau keadilan ialah
terjadinya tiga kekuatan itu secra teratur; keutamaan badan atau jasmani seperti
kesehatan, kekuatan, hidup teratur dan panjang umur, keutamaan eksternal seperti
kekayaan, keluarga, kedudukan sosial dan kehormatan keturunan atau keluarga,
dan keutamaan taufik seperti petunujuk ( hidayah ), bimbingan yang lurus
(rushd), pengarahan (tashdid) dan pertolongan ( ta’yīd).38
Menurut Al-Ghāzālī juga bahwa untuk mencapai bahagia harus mengenal
dirinya sendiri dari jasad dan jiwa, jasad manusia menunjukkan kekuasaan,
kebijakan serta kecintaan akan Allah yang telah menciptakan kerangka tubuh
manusia yang luar biasa dengan bagian-bagiannya yang saling berkaitan demi
37
Waryono Abdul, Ghofur, Kristologi Islam Telaah Kritis Rad al Jamīl Karya Al-
Ghāzālī, h.25-26. 38
Hamka, Tasawuf Modern, h. 42.
27
kelangsungan hidup manusia. Dan dengan mengenal diri sendiri tentu saja disana
melihat kebesaran Allah, maka tentu saja hati ini akan merasa teramat bahagia
saat mengetahui tak ada sesuatupun yang lebih tinggi dari pada Allah!
Pengetahuan tentang Allah merupakan pengetahuan yang tertinggi sehingga orang
yang berhasil meraihnya pasti akan merasakan puncak kebahagiaan.39
3. Rangkuman
Makna hakiki suatu kebahagiaan adalah puncak dan kesempurnaan dari
kebaikan. Sesuatu itu bisa disebut sempurna, apabila sesuatu itu telah diperoleh,
lalu manusia tidak akan memerlukan sesuatu yang lainnya lagi. Kebahagiaan
dalam perspektif ini tidak semua orang dapat mencapainya dan dinikmati oleh
orang-orang yang khusus dan sempurna. Kebahagiaan tidak dapat diukur dengan
banyaknya harta atau bagusnya mobil, tapi kebahagiaan itu ada dalam hati.
Bahwasanya kehidupan semewah apapun yang kita rasakan di dunia ini hanya
kebahagiaan sementara saja, jikalau manusia terus-terusan memfokuskan dirinya
dalam mencari kebahagiaan dunia, maka tertutuplah kebahagiaan yang sebenarnya
yang lebih baik dan yang lebih utama dari pada kehidupan dunia.
Dalam analisis pemikiran kebahagiaan dalam pemikiran kedua tokoh dari
fulsuf Yunani dan filsuf Muslim ini penulis melihat bahwa persamaan orientasi
tujuan hidup manusia yaitu suatu kebahagiaan yang hakiki. Pada pemikir Yunani
dapat dianalisa bahwa perbuatan kebajikan yang dapat mengantarkan manusia
kepada suatu perolehan kebahagiaan. Dan menurut kedua tokohYunani diatas
39Al-Ghāzālī, Kimiᾱ Kebahagiaan, h. 23.
28
apabila manusia ingin mencapai suatu kebahagiaan maka manusia semestinya
mengerjakan suatu keutamaan dalam kebajikan.
Dan pada pemikir Islam seperti Ibn Miskawaih di atas sangat terpengaruh
oleh pemikiran Aristoteles dalam hal pemikiran kebahagiaan. Begitu juga
dengan Al-Ghāzālī walaupun dijelaskan di atas bahwa Al-Ghāzālī dalam hal
konsep suatu kebahagiaan dinyatakan tidak terpengaruhi oleh pemikir Yunani,
Barat bahkan Islam lainnya, tetapi jika dilihat ada suatu kesamaan di sana. Dalam
hal ini saya menganalisis pemikir Islam diatas, bahwa, untuk memandang
kebahagiaan di dunia jangan dijadikan suatu tempat untuk mengharapkan
kebahagiaan yang hakiki, karena kebahagiaan yang hakiki adanya di alam akhirat
dan manusia hanya dituntut untuk melakukan yang terbaik di dunia ini dengan
melakukan segala apa yang menjadi tuntutan untuk mencapai suatu kebahagiaan
yang hakiki. Sudah barang tentu bahwa kebahagiaan di dunia ini bersifat semu
dan sementara dan akhiratlah kebahagiaan tertinggi itu diperoleh.
29
BAB III
PEMIKIRAN KEBAHAGIAAN THOMAS AQUINAS
Setelah saya menguraikan secara umum, pengertian kebahagiaan,
kebahagiaan dalam perspektif Yunani dan juga Islam. Selanjutnya dalam bab ini
saya ingin menguraikan tokoh besar Filsafat di kalangan umat Kristiani yang
sangat tersohor namanya, yaitu Thomas Aquinas. Dan tokoh ini merupakan
pokok bahasan skripsi yang saya tulis. Pada bab ini, saya akan menguraikan
bagaimana Biografi dari Thomas Aquinas, latarbelakang Intelektual, karya-karya
dan pemikiran kebahagiaanya.
A. Biografi Thomas Aquinas
a. Riwayat Hidup Thomas Aquinas
Menurut Bertrand Russell1, Thomas Aquinas lahir dari keluarga bangsawan
Aquinas (Aquino) di Rocca Secca, tidak jauh dari Napoli (Italia). Pada akhir tahun
1225 (atau awal 1226). Ibunya masih mempunyai hubungan keluarga dengan
Kaisar Fredik II yang pada waktu itu berkuasa. Pada usia lima tahun (1230),
Thomas diserahkan oleh orang tuanya ke Biara Benediktin di Monte Cassino
dengan harapan bahwa kelak ia memilih hidup membiara. Di sana Thomas
menjalani pendidikan awalnya. Pada tahun 1239, Biara Benekditin tersebut
dipaksa bubar, karena para rahib diusir oleh Kaisar Frederik II. Dalam usia 14
tahun, Thomas menjadi mahasiswa pada Universitas Napoli yang baru saja
didirikan atas desakan dan pengaruh Kaisar Frederik II. Di kota itu ada biara
1Bertrand Russel. Sejarah Filsafat Barat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2002), h. 589.
30
Dominikin. Thomas sangat tertarik pada pola hidup mereka. Pada Tahun 1244, ia
diterima masuk biara tersebut. Tetapi usaha Thomas tidak disetujui oleh segenap
keluarganya, karena mereka menghendaki agar Thomas kembali ke Monte
Cassino dan menjadi seorang rahib Benekditin.
Karena sikap keluarganya itu, pemimpin umum Ordo Dominikin
memutuskan untuk mengirim Thomas ke Universitas di Paris. Dalam
perjalanannya ke rapat umum Ordo Dominikin di Bologna, pemimpin umum
tersebut membawa Thomas dengan harapan agar dari Bologna ia dikirim ke Paris.
Akan tetapi, dalam perjalanan ke Bologna, Thomas Aquinas diculik oleh saudara
laki-lakinya sendiri dan disandera di tempat kediaman keluarga Thomas tanpa
diketahui oleh pihak Ordo Dominikin. Penyanderaan ini berlangsung selama satu
tahun. Setelah dilepaskan Thomas Aquinas kembali ke biaranya dan dikirim ke
Paris.2
Karena usaha Thomas untuk dapat menjadi bagian dari Ordo Dominikin ini,
ia banyak mengikuti kursus-kursus yang diselenggarakan oleh Ordo ini sehingga
ia mulai mendapat mempelajari filsafat dan teologi.
b. Latar Belakang Intelektualnya
Thomas Aquinas Pada tahun 1248-1252 setelah beberapa waktu ia berada
di Paris, lalu Thomas pindah ke Koeln (Jerman). Ia menjadi murid Santo Albertus
Agung. Dapat diperkirakan bahwa upaya Santo Albertus Agung untuk
memanfaatkan filsafat Aristoteles dalam berteologi memberikan pengaruh awal
2Bertrand Russel. Sejarah Filsafat Barat, h. 589.
31
bagi arah dan gaya berfikir Thomas Aquinas. Dan akhirnya nanti Thomas Aquinas
terkenal sebagai teolog dan filsuf yang secara kreatif mampu menciptakan sintesis
seluruh pemikiran Kristiani dengan memanfaatkan sistem dan konsep-konsep
filsafat Aristoteles. Pada tahun 1252-1256, Thomas mengajar di Paris tanpa gelar
sebagai magister atau master. Sebetulnya, ia sudah mendapatkan gelar tersebut,
tetapi terhalang karena di Paris sedang terjadi konflik antara para biarawan dan
penguasa sipil. Sebagai akibat dari konflik tersebut, para biarawan menolak untuk
taat kepada universitas. Konsekuensinya, Thomas Aquinas dan Bonaventura tidak
jadi menerima gelar magisternya.3
Hanya karena campur tangan dan perintah dari Paus di Roma, maka situasi
keruh itu dapat dipulihkan, dan baru pada tahun 1257 Thomas baru mendapatkan
gelar Magisternya. Pada tahun 1259, Thomas ditugaskan di Italia. Di sana ia
mengajar teologi sambil membantu di lembaga pengadilan kepausan sampai tahun
1268. Ia antara lain mendampingi Paus Alexander IV di Anagni (1259-1261),
Paus Urbanus IV di Orvieto (1261-1264) dan di Roma (1265-1267), dan Paus
Urbanus IV. Thomas Aquinas bertemu untuk pertama kalinya dengan seorang
penerjema ulung dari belgia bernama William dari Moerbeke. Untuk kepentingan
pemeriksaan kasus-kasus teologis di pengadilan kepausan, William dari Moerbeke
telah menerjemahkan karya-karya Aristoteles yang pada waktu itu dilarang.
Terjemahan tersebut akhirnya menjadi sangat bermanfaat bagi Thomas Aquinas.4
3https: //idm. Wikipedia.org/wiki/Thomas-Aquinas, 28-Februari 2018.
4https: //idm. Wikipedia.org/wiki/Thomas-Aquinas, 28-Februari 2018.
32
Pada bulan januari 1269, Thomas Aquinas kembali ke Paris. Di sana ia
dengan keras menentang para pengikut filsafat Avvereos (Ibn Rusd), seperti Siger
dari Brabant, antara lain karena ajaran-ajaran yang menolak teori penciptaan,
perbedaan antara esensi dan eksistensi, serta menolak adanya imoralitas jiwa.
Konflik itu ternyata menjadi masa yang amat produktif bagi Thomas Aquinas. Ia
menulis berbagai tanggapan maslah-masalah teologis yang muncul.5
Akan tetapi pada tahun 1272 atasannya memerintahkan Thomas Aquinas
agar keluar dari Paris untuk menghindari oposisi yang kian memuncak. Ia
ditugaskan untuk mengurus rumah studi (studium generale) Dominikan di Napoli.
Pada tahun 1274 Thomas diundang oleh Paus Gregorius X untuk mengikuti
konsili di Lyon. Dalam perjalanan ke Konsili tersebut, Thomas Aquinas
meninggal dunia di Fossanuova pada tanggal 7 Maret 1274 yang tidak jauh dari
kota kelahirannya.6
c. Karya-Karya Thomas Aquinas
Thomas Aquinas adalah seorang penulis yang tidak mengenal lelah. Ia
mewariskan sejumlah besar karya tulis dalam bidang teologi dan filsafat. Tulisan-
tuisannya membuktikan bahwa ia bukan sekedar seorang filsuf dan teolog, tetapi
juga seorang religius. Dalam arti bahwa apa yang ditulisnya merupakan
kebenaran-kebenaran yang diyakini dengan iman yang kokoh dalam kesatuan
religi dengan Tuhan. Selain khotbah-khotbah dan komentarnya atas Kitab Suci
serta liturgi Gereja, ia juga menulis komentar atas berbagai karya klasik.
5https: //idm. Wikipedia.org/wiki/Thomas-Aquinas, 28-Februari 2018.
6https: //idm. Wikipedia.org/wiki/Thomas-Aquinas, 28-Februari 2018.
33
Komentar-komentar itu meliputi komentar atas Sentence karya Petrus Lombardus;
dua, atas karya Boethius yang berjudul De Hebdomadibus dan Trinitate, dan
komentar atas karya-karya utama dari Aristoteles, seperti Metaphysics,
Nichomachean Ethics, De anima, Politics, De Caelo, dan De generatione et
corruptione.7
Dari sekian banyak karya otentik Thomas Aquinas, hanya beberapa yang
dapat disebutkan. Pada tahap awal ketika mengajar di Paris, Thomas Aquinas
menulis De principiis nature (1255), De ente et essentia (1256) dan De veritate
(1256-1259). Ketika untuk pertama kalinya ia ditugaskan di Italia, ia menulis
Summa Contra Gentelis, De Potentia, Contra errores Graecorum, De emptione et
venditione dan De regimine principum. Pada waktu Thomas Aquinas kembali lagi
ke Paris dan terlibat dalam kontroversi teologis dengan para pengikut Avveroes,
Thomas Aquinas menulis De aeternitate munsi contra murmurantes, De unitate
intellectus contra Averroistas, De Malo, De spiritualibus creaturis, De anima, De
unione Verbi incarnati, De causis, dan Perihermeneias.8
Ketika menetap di Napoli, Thomas Aquinas menulis De mixtion
elementorum, De motu cordis, De virtutibus. Dan bukunya yang paling terkenal
berjudul Summa Theologiae (terdiri atas tiga bagian) ditulis antara tahun 1265-
1273. Conpendium Theologiae ditulis sejak tahun 1268 di Paris, tetapi tidak
diselesaikan sampai Thomas Aquinas wafat. Prestasi besar Thomas Aquinas
adalah keberhasilannya menggabungkan berbagai topik pemikiran yang
7https: //idm. Wikipedia.org/wiki/Thomas-Aquinas, 28-Februari 2018.
8https: //idm. Wikipedia.org/wiki/Thomas-Aquinas, 28-Februari 2018.
34
diperdebatkan pada zamannya, serta menunjukkan bahwa hal itu dapat
diselaraskan dengan iman Kristen. Bahkan ia menimba juga dari unsur-unsur
Yahudi dan Islam. Seperti telah kita lihat, filsafat Kristen tumbuh dengan banyak
kandungan Platonisme dan Neo-Platonisme. Namun sekarang filsafat Aristoteles
ditemukan lagi oleh dunia Kristiani. Dan hal ini diserap pula ke dalamnya.
Thomisme (sebutan untuk filsafat yang dibangun oleh Thomas Aquinas), dapat
dikatakan sebagai sebuah perkawinan yang sukses antara Kristianitas yang sudah
‘’ter-Plato-kan’’ dengan filsafat Aristoteles.9
Thomas adalah murid Albertus Agung, orang yang berusaha membuat
pemikiran Yunani, Arab, dan Yahudi tersedia bagi orang sezamannya. Thomas
memperluas usaha ini. Thomas ingin memperlihatkan bahwa akal budi dan
penyelidikan filosofis cocok dengan iman Kristiani. Ia menandaskan bahwa akal
budi dan wahyu masing-masing mempunyai bidangnya sendiri. Akal budi adalah
suatu alat yang tepat untuk mempelajari kebenaran dunia alamiah. Akan tetapi,
wahyu berkenaan dengan dunia alamiah bukanlah totalitas realitas.10
Thomas bermaksud menunjukkan bahwa iman Kristen didasarkan pada
akal budi, dan bahwa hukum yang melekat pada alam bersifat rasional. Thomas
dipengaruhi secara istimewa oleh Aristoteles. Pembedaan antara bidang ‘’ akal
dan wahyu’’ memungkinkan Thomas untuk menempatkan tempat tersendiri bagi
filsafat Aristoteles dalam pandangan dunia Kristiani. Filsafat Aristoteles hanya
berurusan dengan akal budi dan dunia alamiah. Thomas percaya bahwa dalam
9Hawasi, Thomas Aquinas: Menyelaraskan Antara Iman dan Akal, (Jakarta: Poliyama
Widyapustaka, Jakarta, 2003) h. 4. 10
Hawasi, Thomas Aquinas: Menyelaraskan Antara Iman dan Akal, h. 6.
35
lingkungan itu, filsafat Aristoteles menyatakan kebenaran yang memadai. Salah
satu dampak dari sumbangan Thomas Aquinas terhadap filsafat Aristotelian ialah,
ia membuat ruang dalam agama Kristiani untuk penghargaan yang relatif tinggi
terhadap dunia alamiah dan pengetahan manusia atasnya.11
Ini berbeda dengan bentuk pemikiran Kristen awal yang lebih Platonis,
yang menekankan kenyataan dunia alamiah bila dibandingkan dengan dunia
surgawi. Pemikiran Thomas Aquinas perlu dipahami dari perspektif sejarah
pemikiran Barat. Sudah disinggung di atas bahwa Thomas Aquinas menghadapi
kontroversi teologis dengan para tokoh teolog Kristen di Paris yang dipengaruhi
oleh filsafat Averroes (Ibn Rusd) seorang pemikir Islam abad ke-12. Akan tetapi
tulisan-tulisannya memperlihatkan bahwa ia merujuk juga ke filsuf-filsuf pra-
Sokratik, seperti Herakleitos dan Parmenides, kemudian juga Sokrates, Plato dan
Plotinus. Ia mengenal dengan baik para pemikir dari kalangan Bapa-Bapa Gereja
Purba, begitu juga Santo Agustinus, Pseudo Dionysius, Santo Anselmus dari
Canterbury, Santo Bonaventura dan Santo Albertus Agung.12
Secara intensif ia merujuk pula pemikiran para filsuf Islam seperti
Avicenna (Ibn Sina) dan Averroes (Ibn Rusd), serta pemikir Yahudi seperti Moses
Maimonides. Melebihi semua pemikir tersebut, Thomas Aquinas memberikan
kehormatan khusus kepada Aristoteles dan menyebutnya ‘’ sang filsuf’’ (the
philosopher), alasannya, menurut Thomas Aquinas, sistem filsafat Aristoteles
mengandung kebenaran rasional yang sejati. Thomas Aquinas berpendapat bahwa
11
Hawasi, Thomas Aquinas: Menyelaraskan Antara Iman dan Akal, h. 8. 12
Bertrand Russel. Sejarah Filsafat Barat, h. 600.
36
kebenaran-kebenaran teologis menurut iman Kristiani tidak akan digerogoti
melainkan diperkaya, jika dirumuskan atau dijelaskan dengan bantuan filsafat
Aristoteles.13
Secara kreatif Thomas Aquinas menggunakan bahasa filsafat Aristoteles
sedemikian rupa sehingga mampu memperlihatkan bagaimana sang filsuf itu
berbicara tentang eksistensi Tuhan, Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan Pencipta dan
pengada murni seperti yang diuraikannya dalam bukunya Summa Theologiae.
Sebagai pemikir terbesar dan sejati dari abad pertengahan, Thomas Aquinas
memiliki gaya menulis dengan kejelasan yang sempurna. Seperti tampak dalam
buku Summa Theologiae, suatu topik pembahasan selalu dianalisis dan dirinci
dalam beberapa bagian. Terhadap setiap pertanyaan, Thomas Aquinas menyajikan
jawaban-jawaban dari sumber lain (misalnya dari Kitab Suci dan pemikir-pemikir
sebelumnya).14
Dari jawaban tersebut ia juga merujuk tanggapan lain yang
merupakan kritik. Sesudah itu, ia mengemukakan pendapatnya sendiri sebagai
jawaban akhir atas pertanyaan yang bersangkutan. Dan Thomas Aquinas
meninggal dunia dalam umur kurang dari 50 tahun yaitu pada tahun 1274 di biara
Fossanuova dalam perjalanannya ke Konsili (Muktamar Gereja) di Lyon.15
Cara penulisan ini tidak saja jelas dan sistematis, melainkan juga
menggambarkan betapa luasnya wawasan pengetahuan yang dimiliki Thomas
Aquinas, dan bagaimana secara intensif ia berdialog dengan pemikir-pemikir
sebelumnya. Inilah perkembangan pemikiran filsafat dari Thomas Aquinas yang
13
Bertrand Russel. Sejarah Filsafat Barat, h. 600. 14
Bertrand Russel. Sejarah Filsafat Barat, h. 600 15
Suseno, 13 Tokoh Etika, h. 82..
37
akhirnya ia berhasil untuk mendamaikan dunia filsafat dengan dunia teologi lewat
usahanya mendamaikan tiga kelompok yang saling bertentangan pada masa itu
yaitu kelompok teolog konservatif yang mengecam perubahan dari filsafatnya,
kemudian kelompok radikal yang membela kelompok Aristotelianisme, serta
kelompok Dominikan dan Fransiskan tentang haknya mengajar di Universitas
tersebut.
A. Hakekat Kebahagiaan Menurut Thomas Aquinas
Menurut Aquinas, Kebahagiaan tidak terletak pada barang-barang
ataupun makanan, pakaian dan lain sebagainya, itu termasuk kedalam
kebahagiaan yang tidak sempurna, seperti yang dapat dimiliki dalam kehidupan
ini, barang-barang eksterior diperlukan, bukan sebagai esensi dari kebahagiaan,
tetapi sebagai alat untuk kebahagiaan. Untuk kebutuhan manusia dalam kehidupan
ini adalah kebutuhan tubuh, untuk latihan sebagai baik kontemplatif, sebagai
kebajikan aktif. Kebahagiaan dikatakan sebagai kebaikan manusia yang berdaulat,
karena itu adalah pencapaian atau kenikmatan dari yang berdaulat baik.16 Bahwa
kebahagiaan yang hakiki itu tidak hanya didasarkan pada sesuatu yang dirasakan
tubuh, karena itu belum cukup. Dengan kata lain dapat diungkapkan bahwa
kebahagiaan yang dialami dan yang dirasakan berkat tubuh yang diputuskan oleh
kehendak dan rasio adalah masih bersifat terbatas dan belum mendatangkan
kebahagiaan yang sebenarnya.17
16Aquinas, Thomas, Summa Theologica, Vol. I, h. 16.
17Aquinas, Thomas, Summa Theologica, Vol. I, h. 16
38
Menurut Aquinas, Kebahagiaan yang sebenarnya yang dirasakan oleh
seseorang atau masyarakat tidaklah terletak pada benda, nilai atau materi tertentu,
tetapi kebahagiaan itu terjadi ketika jika manusia memandang kemuliaan Allah.18
Menurut Aquinas, kebahagiaan manusia tidak mungkin mengandung
suatu kekayaan. Dan kebahagiaan manusia tidak terletak kepada kekayaan.
Karena kekayaan mengandung banyak syarat untuk keberlangsungan sifat
manusia. 19
ketika manusia memiliki kekayaan yang banyak, disana dapat
dijumpai bahwa hasrat keserakahan manusia, untuk menginginkan suatu barang
yang bernilai kualitas tinggi akan semakin tinggi.
Aquinas juga mengatakan, Tidak mungkin kebahagiaan, terdiri atas
penghormatan. Untuk kehormatan selalu diberikan kepada seseorang yang
memiliki keunggulan, memang keunggulan pada diri manusia sejatinya
mengantarkan pada kehormatan. Juga merupakan bagian dari pada kebahagiaan.
Tetapi kebahagiaan tidak ada disana pada dasarnya, dan terdiri atas
penghormatan.20
Aquinas mengatakan, Mustahil untuk mendapatkan sebuah kebahagiaan
tetapi menginginkan untuk mendapat kekuasaan, dan itu mengandung dua alasan.
Pertama, karena kekuasaan adalah inisiatif, tetapi kebahagiaan adalah akhir yang
terakhir dan terakhir. Kedua, karena kekuasaan rentan terhadap perbuatan
kejahatan, tetapi kebahagiaan adalah kebaikan yang sempurna dan sempurna dari
manusia. Oleh karena itu, lebih mungkin untuk beberapa kebahagiaan terkandung
18
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat I (Yogyakarta : Kanisius, 1980), h. 12. 19
Aquinas, Thomas, Summa Theologica, Vol. I., h. 7. 20
Aquinas, Thomas, Summa Theologica, Vol. I., h. 7.
39
dalam penggunaan kekuatan yang baik, yang berdasarkan kebajikan, daripada di
dalam kekuasaan itu sendiri.
Menurut Aquinas, tidak mungkin manusia mencapai tujuan terakhirnya
dalam dunia ini. Apa pun yang diciptakan manusia di dunia ini tidak akan dapat
membahagiakan manusia sepenuhnya, karena manusia atas akal budinya, terarah
kepada realitas tak terbatas, begitu pula kehendak manusia baru puas apabila
sampai pada nilai yang tertinggi, dan nilai itu adalah Tuhan. Karena itu tujuan
terakhir manusia adalah Tuhan.21
Kebahagiaan yang dimaksud Aquinas adalah tidak lain dari pada
memandang Allah dalam kemuliaanNya. Cara untuk mencapai kebahagiaan ini
adalah menggunakan rasio dengan rahmat Ilahi. Oleh karena itu kebahagiaan yang
didasarkan pada intelek dan kehendak tidaklah menjamin untuk merasakan
kebahagiaan bersama Allah. Dari itu dituntut sikap pencarian kebahagiaan yang
selalu mengharapkan rahmat Ilahi karena lewat rahmat inilah, Aquinas yakin
bahwa, manusia bisa menikmati kebahagiaan yang bukan saja dirasakan untuk
sementara tetapi lebih dari itu yakni kebahagiaan untuk selamanya dan tidak akan
berkesudahan. Bagi Aquinas, semua itu akan terwujud jika manusia memandang
Allah di saat ia telah beralih dari dunia ini yaitu setelah kematian.22
Tuhan bukan realitas indrawi, maka pandangan yang membahagiakan,
visio beatifica, hanya dapat tercapai dialam baqa tempat manusia bertemu muka
dengan Tuhan. Kebahagiaan yang sebenarnya tidak dapat diharapkan dalam dunia
21
Hawasi, Thomas Aquinas: Menyelelaraskan Antara Iman dan Akal, h. 11. 22
K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Cet. Ke-15 (Yogyakarta: Kanisius, 1998), h. 38
40
ini, demikian, transedensinya: manusia baru mencapai tujuannya sesudah bidup
ini, apabila ia bertemu dengan Tuhan.23
Thomas Aquinas memungkinkan manusia mencapai kebahagiaan
sepenuh-penuhnya. Dalam dunia ini memang tidak mungkin manusia betul-betul
bahagia. Namun karena Tuhan adalah nilai tertinggi, kepadanya kehendak
manusia tertarik dengan sendirinya, manusia betul-betul bahagia apabila manusia
dapat memandang Tuhan. Karena Tuhan adalah tujuan terakhir manusia, karena ia
adalah nilai tertinggi dan universal, dan karena itu kebahagiaan manusia tercapai
apabila ia memandang Tuhan.24
Thomas Aquinas menggambarkan kehidupan manusia di dunia ini
bagaikan melakukan suatu perjalanan peziarahan. Sehingga kehidupan manusia di
dunia ini sebagai suatu perjalanan, jelas memiliki arah tujuan, yaitu kebahagiaan
sejati. Untuk sampai ke kebahagiaan sejati itu, jelas tidak dapat terwujud tanpa
adanya usaha pencapaian. Dan dalam perjalanan usaha pencapaian itu tentu saja
dapat ditemui berbagai macam hal yang mendukung maupun menghalanginya.
Dalam hal ini, saya akan menguraikan selanjutnya mengenai bagaimana cara
memperoleh kebahagiaan, dan hal-hal yang mempengaruhi suatu kebahagiaan.
C. Kebahagiaan Sebagai Tujuan Manusia
Dari penjelasan di atas, disebutkan bahwa tindakan manusia itu mengarah
ke obyek sebagai tujuannya. Tindakan kehendak itu mengarah ketujuan tersebut,
karena dilihatnya sebagai yang memperlihatkan kebaikan, sementara hasrat
23
Suseno, 13 Tokoh Etika, h. 83. 24
Suseno, 13 Tokoh Etika, h. 83.
41
manusia, memang mengarah kepada kebaikan untuk memperoleh kepuasan.
Namun kenyataannya manusia tidak pernah akan memperoleh kepuasan yang
sepenuhnya di dalam kehidupan di dunia ini. Sebagaimana akal budi terarah pada
realitas tak terbatas, begitu pula kehendak manusia baru memperoleh kepuasan
penuh pada kebaikan universal, nilai yang tertinggi sebagai tujuan yang terakhir.
Apapun yang diciptakan di dunia ini terbatas, sehingga jelas tidak akan
memberikan pemenuhan pada ketakterbatasan kehendak manusia, dan tidak
mungkin menjadi tujuan terakhir yang sebenarnya bagi manusia, yang memiliki
keterarahan pada realitas yang tak terbatas.25
Dalam etikanya, Aristoteles berpendapat bahwa tujuan manusia adalah
kebahagiaan. Kebahagiaan tertinggi terapai dalam theoris, dalam renungan
filosofis tentang Tuhan. Tujuan moral adalah tujuan yang dapat diterima dalam
dunia ini. Sehingga kebahagiaan yang sebenarnya adalah kebahagiaan sebagai
filsuf, bukan sebagai santo, Thomas mengikuti kerangka dasar Aristoteles, yang
bercorak eudaemonistik, teleologis serta intelektualis. Tetapi ia memiliki
penekanan yang lain, tidak berhenti pada pemikiran filosofis.26
Menurut Aquinas, pemikiran filosofis tidak sungguh-sungguh dapat
memuaskan manusia. Kebahagian sejati sebagai tujuan tertinggi, tidak dapat
ditemukan dalam barang-barang ciptaan ini, tidak dapat dicapai dalam hidup ini.
Thomas Aquinas mendobrak keterbatasan etika Aristoteles pada dunia ini. Bagi
25
Hawasi, Thomas Aquinas: Menyelelaraskan Antara Iman dan Akal, (Jakarta: CV.
Poliyama Widyapustaka, 2003.), h. 10. 26
Hawasi, Thomas Aquinas: Menyelelaraskan Antara Iman dan Akal, h. 10.
42
Aquinas tujuan manusia adalah kebahagiaan,27
tidak mungkin manusia mencapai
tujuan terakhir dalam dunia ini apapun yang diciptakan tidak dapat
membahagiakan manusia sepenuhnya, karena manusia berkat akal budinya terarah
pada yang tak terbatas. Sebagaimana akal budi terarah pada realitas tak terbatas,
begitu pula kehendak manusia baru puas apabila ia sampai pada nilai yang
tertinggi, dan nilai itu adalah Tuhan. Maka tujuan terakhir manusia adalah Tuhan.
Ia adalah nilai tertinggi dan universal, oleh karena itu, kebahagian manusia secara
penuh akan tercapai apabila ia memandang Tuhan.28
Namun berhubung Tuhan bukan realitas indrawi, pandangan yang
membahagiakan ini (visio beatifica), hanya dapat tercapai di alam baka, pada saat
manusia dapat bertemu muka dengan Tuhan. Meskipun obyek akal budi ditangkap
menurut pola obyek indrawi, tetapi akal budi dapat mengatasi keterbatasan obyek
tersebut. Akal budi dapat dianggap sebagai keterbukaan tak terhingga, atau
sebagai cakrawala tak terhingga. Berhubung cakrawala pengertian manusia adalah
tak terhingga, maka yang tak terhingga (Tuhan) dapat mewahyukan diri pada
manusia. Dan hanyalah Allah yang dapat memenuhi keterbukaan manusia itu.29
Itulah sebabnya manusia hanya dapat bahagia apabila ia memandang
Tuhan, jadi apabila ketakterhingga memenuhi keterbukaan manusia yang terarah
pada yang tak terhingga. Manusia dari kekuatannya sendiri tidak dapat mencapai
Tuhan. la hanya dapat menerima Tuhan, karena Tuhan memberikan diri sendiri.
Dan pemberian Tuhan itu sama sekali bukan merupakan hak manusia. Pemberian
27
Hawasi, Thomas Aquinas: Menyelelaraskan Antara Iman dan Akal, h. 10. 28
Hawasi, Thomas Aquinas: Menyelelaraskan Antara Iman dan Akal, h. 10. 29
Hawasi, Thomas Aquinas: Menyelelaraskan Antara Iman dan Akal, h. 10.
43
diri Tuhan itu adalah tindakan bebas Tuhan, atas-Nya manusia tidak mempunyai
klaim apa-apa. Ia hanya dapat menerimanya begitu saja. Dalam tradisi Kristiani
kerelaan Tuhan untuk membuka diri kepada manusia disebut rahmat
(gratia).30
Kata rahmat itu memuat pengertian bahwa pemberian diri Tuhan itu
seluruhnya atas kerelaan dan inisiatif Tuhan sendiri, dan bahwa dasarnya adalah
kasih sayang Tuhan.
Dapat dianalisa dari argumentasi Aquinas, Kebahagiaan yang sebenarnya
tidak dapat diharapkan dalam dunia ini. Hal ini mengubah makna kehidupan ini.
Kalau manusia mencapai kebahagiaannya baru sesudah hidup ini, ia jangan terlalu
mencari kebahagiaannya di dunia ini, melainkan sebaiknya hidup sedemikian rupa
sehingga sesudah hidup ini ia menjadi betul-betul bahagia. Jadi hidup ini menjadi
suatu perjalanan ke tujuan manusia yang sebenarnya dan bukan tujuan itu sendiri.
Dan tujuan akhir sebagai tujuan yang sebenarnya itu baru dapat diterima dalam
kehidupan nanti.
E.Usaha memperoleh Kebahagiaan
Setelah diketahui bahwa sumber kebahagiaan manusia adalah sang Ilahi,
maka selanjutnya saya akan mengurai bagaimana usaha memperoleh kebahagiaan
menurut Thomas Aquinas.
Aquinas mengatakan, manusia wajib untuk melakukan yang baik dan
menghindari yang buruk. Selain yang baik itu sesuai dengan bagaimana kita
berusaha untuk mencapai tujuan terakhir sudah jelas, yaitu melakukan yang baik
30
Hawasi, Thomas Aquinas: Menyelelaraskan Antara Iman dan Akal, h. 10.
44
dan menghindari yang buruk. Selain akal budi dapat memahami tentang yang baik
yang buruk, manusia juga diarahkan oleh hati nuraninya untuk melakukan yang
baik. Maka yang mejadi masalah berikutnya adalah bagaimana langkahnya agar
kita tetap teguh melakukan yang baik dalam kehidupan ini.31
Menurut Aquinas, kemantapan untuk tetap melakukan yang baik dan menolak
yang jahat disebut keutamaan ( virtus ). Keutamaan merupakan sikap hati yang
sudah mantap, yang seakan-akan dapat diandalkan. Sikap atau kebiasaan hati itu
terbentuk karena tindakan-tindakan yang biasa dilakukan. Misalnya, semakin
manusia membiasakan diri bertindak dengan jujur, maka semakin gampang
manusia untuk bertindak dengan jujur, semakin menjadi jujur, dengan demikian
keutamaan kejujuran terbentuk dalam diri manusia. Adanya suatu keutamaan
berarti bahwa orang yang bersangkutan telah memiliki arah dan kecenderungan
tertentu dalam hidupnya. Arah tersebut, tentu saja mempermudah dan
memperlancar setiap pengambilan sikap baru ke arah itu. Semakin tegas manusia
mengambil sikap-sikap baik, maka semakin mudah manusia mengambil sikap-
sikap baik selanjutnya.32
Maka sebaiknya manusia mengusahakan keutamaan, agar manusia semakin
lebih gampang mengusahakan serta mewujudkan kebaikan dalam perjalanan
hidup.33
Berhubung sikap manusia tadi berkaitan dengan tindakan manusia, maka
manusia dapat menelusuri untuk menemukan keutamaan-keutamaan tersebut
31
Suseno, 13 Tokoh Etika, h. 87. 32
Magnis·Suseno, Franz., Etika Dasar. Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, h. 86. 33
Magnis·Suseno, Franz., Etika Dasar. Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, h. 86.
45
dalam unsur-unsur yang terlibat dalam tindakan itu, antara lain : akal budi, emosi-
emosi, serta kehendak untuk mewujudkannya. Tujuan terakhir manusia, juga
ternyata sesuai dengan kodrat manusia, dalam hatinya manusia mempunyai
perasaan tentang apa yang baik dan apa yang buruk. Dalam lubuk hatinya terdapat
perasaan tentang apa yang bernilai, dan memberikan orientasi positif bagi
kehidupannya. Perasaan ini disebut hati nurani (Synteresis). Dan apabila manusia
masuk ke dalam situasi keputusan kongkrit, di mana manusia harus memilih
antara yang baik dan buruk, hati nurani menjadi suara hati (conscientia) yang
mengatakan kepada manusia apa yang wajib untuk dilakukan. Apabila manusia
berlaku melawan suara hatinya, ia langsung merasa tidak bernilai. Maka dalam·
situasi kongkrit suara hatilah norma paling akhir yang harus diikuti manusia.34
Selain kebahagiaan sejati itu tidak dapat dicapai di dunia ini, tujuan
terakhir tersebut juga merupakan pemberian Tuhan yang berdaulat. Namun hal ini
tentu saja tidak berarti bahwa manusia tidak perlu berusaha sendiri. Sehingga
masalahnya adalah bagaimana kita sebaiknya bertindak dan menjalani hidup ini
agar sesuai dan selaras dengan kebahagian sejati yang kita harapkan dalam
kehidupan nanti. Seperti yang dikatakan Aquinas, manusia betul-betul bahagia
apabila ia dapat memandang Tuhan. 35
yang menjadi pertanyaannya adalah,
dapatkah manusia memandang Tuhan? Apakah manusia dapat mengusahakan
pemandangan Tuhan dengan kekuatannya sendiri?36
Ini yang perlu kita perhatikan
34
Magnis·Suseno, Franz., Etika Dasar. Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, h. 86. 35
Suseno, 13 Tokoh Etika, h. 83. 36
Suseno, 13 Tokoh Etika, h. 83.
46
terlebih dahulu untuk menjawab pertanyaan itu agar manusia dapat betul-betul
bahagia.
Aquinas mengatakan, Dalam diri setiap orang memang ada' "hasrat
kodrati" untuk mengusahakan kebahagiaan. Kehendak manusia mengarah dan
mengusahakan hal yang dilihat· nya sebagai yang baik serta diharap dapat
memberikan kebahagiaan. Sebagai yang masih bidup di dunia ini, manusia baru
menemukan kebaikan yang terbatas, sehingga kebahagiaannya pun juga bersifat
terbatas, tidak sempurna dan sementara. Perbuatan yang baik ini dapat
mengarahkan manusia pada tujuannya yang terakhir. Sebagaimana akal budi
merupakan kemampuan kognitif manusia yang terbuka pada yang tak terhingga,
Aquinas sepakat dengan pandangan bahwa pada segala yang ada di alam ini
terdapat kecenderungan yang mengarah pada suatu tujuan tertentu.37
Aquinas mengatakan, akal budi (intellectus) merupakan kemampuan yang
secra hakiki terbuka bagi yang tak terhingga. Meskipun objek akal budi dianggap
menurut objek akal indrawi, akal budi dapat mengatasi keterbatasan objek indrawi
dan memahami yang tak terhingga. Karena itu manusia berakal budi, dan binatang
tidak. Akal budi dapat dainggap sebagai keterbukaan tak terhingga atau sebagai
cakrawala tak terhingga. Dalam cakrawala itu semua objek terhingga, tetapi
karena cakrawala tak terhingga, manusia menangkap objek terhingga sebagai
terhingga dan dengan demikian sudah mengatasi keterhinggaan. Karena itu,
Tuhan dapat mewahyukan diri kepada manusia atau masuk kedalam wawasannya.
37
Poespoprodjo, Filsafat Moral- Kesusilaan dalam Teori dan Praktek, (Bandung: Pustaka
Grafika, 1999), h. 175.
47
Namun cakrawala pengertian manusia adalah tak terhingga sehingga Yang Tak
Terhingga dapat mewahyukan diri kepada manusia. Manusia secara kodrati
terbuka bagi Allah dan hanya Allah yang dapat memenuhi keterbukaan itu. Itulah
sebabnya manusia hanya dapat bahagia apabila ia memandang Tuhan, jadi apabila
ketakterhinggaan memenuhi keterbukaan manusia yang terarah kepada Yang Tak
Terhingga.38
Aquinas mengatakan, manusia memang hanyalah keterbukaan atau
potensialitas tak terhingga. Oleh karena itu, manusia dari kekuatannya sendiri
tidak dapat mencapai Tuhan. Ia hanya dapat menerima Tuhan, karena Tuhan
memberikan diri sendiri. Pemberian diri Tuhan itu bukan sama sekali suatu hak
manusia, melainkan tindakan bebas Tuhan. Atasnya, manusia tidak mempunyai
klaim apa-apa. Ia hanya dapat menerimanya.39
Dalam tradisi Kristiani, kerelaan Tuhan untuk membuka diri kepada
manusia disebut Rahmat (gratia). Kata ‘’rahmat’’ itu membuat arti bahwa,
pemberiaan diri Tuhan itu seluruhnya atas kerelaan dan inisiatif Tuhan sendiri,
dan bahwa dasarnya adalah kasih sayang Tuhan. Bahwa Tuhan memberikan diri,
bahwa Tuhan bersifat Maharahim, itu diketahui dengan pasti hanya karena wahyu,
karena Tuhan sendiri memberitahukannya. Disini dapat dilihat bahwa Aquinas,
tidak lagi bicara murni sebagai filsuf, melainkan sebagai teolog. Karena itu dalam
38
Suseno, 13 Tokoh Etika, h. 84. 39
Suseno, 13 Tokoh Etika, h. 84.
48
etikanya, Aquinas memang melampaui metode filosofis murni dan berbicara
sebagai seorang yang beriman.40
Selanjutnya, menurut Aquinas, Tuhan mempunyai suatu rencana ketika
menciptakan seluruh ciptaannya. Dia mengarahkan semua ciptaan ke arah tujuan
yang telah Dia tetapkan. Tuhan menghendaki semua makhluk melaksanakan
kehendak-Nya tersebut. Maka perlu disediakan jalan bagi ciptaan untuk mencapai
tujuannya masing-masing. Baik tujuan ataupun jalan mencapai tujuannya tidak
dapat hanya bersifat anjuran atau nasihat supaya setiap makhluk tersebut taat pada
tujuan dan jalan tersebut, melainkan perlu suatu yang lebih mengikat dan
memaksa. Maka Aquinas berkeyakinan, bahwa mestilah tujuan dan jalan tersebut
berupa hukum. Artinya Tuhan memerintah seluruh alam semesta dengan suatu
hukum. Dalam pandangan Aquinas hubungan antara Tuhan dan makhluknya,
layaknya pembesar dan bawahan, Tuhan sebagai pembesar memerintah
makhluknya yang terikat dalam hukum yang membawa setiap makhluknya pada
tujuan yang telah Tuhan tetapkan.41
Begitu pula kehendak adalah dorongan manusia yang mengarah pada yang
baik, yaitu kepada nilai yang tak terhingga. Perintah moral paling dasar menurut
Aquinas berbunyi : "Lakukanlah yang baik, jangan melakuhan yang jahat". Yang
baik adalah apa yang sesuai dengan tujuan terakhir manusia. Tindakan itu di
dahului oleh pengertian. Sesudah kita mengetahui yang baik, kita wajib
40
Suseno, 13 Tokoh Etika, h. 84. 41
Poespoprodjo, Filsafat Moral- Kesusilaan dalam Teori dan Praktek, h. 175.
49
menghendaki dan melakukannya. Secara umum kita telah mengetahui adanya
perintah moral, yaitu : melakukan yang baik dan menghindari yang jahat.42
Menurut Aquinas, kita mengetahui apa yang baik apa yang jahat dari "hukum
kodrat", dan hukum kodrat dapat kita ketahui melalui akal budi kita. Dari hukum
kodrat kita mengetahui perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk. Hukum
kodrat mengacu pada kodrat. Kodrat dimaksud sebagai realitas, atau struktur
realitas, hakekat realitas yang ada. Segenap makhluk ada struktur-strukturnya,
kegiatan serta pengembangannya mengikuti struktur-struktur tersebut.
Pengembangan kodrat merupakan tujuan masing-masing makhluk.43
Hukum kodrat sebenarnya dapat dipahami dengan mudah. Gagasan dasarnya
herbunyi : hiduplah sesuai kodratmu !. Menurut Aquinas, manusia hidup dengan
baik, apabila ia hidup sesuai dengan kodratnya, dan buruk apabila tidak sesuai.
Sebab manusia hanya dapat mengembangkan diri, hanya dapat mencapai
tujuannya, apabila ia hidup sesuai dengan kodratnya. Orang yang hidup
berlawanan dangan kodratnya, tidak akan mencapai tujuannya, tidak akan
mengembangkan .dan mengaktualisasikan seluruh potensi-potensinya. 44
Manusia bertindak sesuai dengan kodratnya apabila ia menyempurnakan diri
sesuai dengan kekhasannya, yaitu dengan kerohaniaannya. Jadi ia harus
mengembangkan diri sebagai makhluk rohani. Sedangkan penyempurnaan
kekuatan-kekuatan emosional dan vegetatif harus dijalankan sedemikian rupa,
sehingga menunjang penyempurnaannya sebagai makhluk rohani. Hidup sesuai
42
Suseno, 13 Tokoh Etika, h. 86. 43
Suseno, 13 Tokoh Etika, h. 87. 44
Suseno, 13 Tokoh Etika, h. 86-87.
50
dengan kodrat menurut Aquinas, merupakan sebuah kewajiban, karena yang
menghendakinya adalah Tuhan.45
Hukum kodrat adalah hukum yang berasal dari Allah. Menaati hukum kodrat
berarti taat pada Allah, dan tidak menaatinya berati tidak taat pada Allah.
MoraIitas itu bukan hanya masalah kebijaksanaan, melainkan masalah kewajiban.
Kodrat manusia dan kodrat segala makhluk mencerminkan kebijaksanaan Tuhan.
Manusia itu adalah manusia dengan segala ciri-cirinya sebagai manusia, karena
Allah menentukannya demikian. Dengan memandang kodrat kita, kita mengetahui
apa yang dikehendaki Allah, kalau Allah memberikan kodrat itu kepada kita,
maka Allah juga menghendakinya agar kita hidup sesuai denganNya.46
Maka dengan mengikuti hukum kodrat yang sudah ditentukan Allah dengan
baik, maka disana manusia akan dapat untuk mengusahakan kebahagiaan.
45
Suseno, 13 Tokoh Etika, h. 89. 46
Suseno, 13 Tokoh Etika, h. 90.
51
BAB IV
PEMIKIRAN HAMKA TENTANG KEBAHAGIAAN
Setelah membahas Thomas Aquinas. Maka selanjutnya dalam bab ini saya
ingin menguraikan satu tokoh besar Filsafat dikalangan umat Islam di Indonesia
yang sangat tersohor namanya, yaitu Hamka. Dan tokoh ini merupakan tokoh
yang menjadi esensi terhadap skripsi yang saya tulis, pada bab ini saya akan
menguraikan bagaimana Biografi dari Hamka, latarbelakang Intelektual, karya-
karya dan pemikiran yang berfokus kepada kebahagiaan.
A. Biografi Hamka
a. Riwayat Hidup
Nama lengkap beliau adalah Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah1
beliau dilahirkan di sungai Batang Maninjau ( Sumatera Barat ) pada 17 Februari
1908 ( 14 Muharram 1326 H ). Menurut silsilah, Hamka adalah anak tertua dari
empat bersaudara kandung, disamping beberapa saudara tiri yang lain.2Ayahnya
ulama terkenal, DR. Haji Abdul Karim Amrullah alias Haji Rasul, pembawa
paham-paham pembaharuan Islam di Minangkabau.Ibunya bernama Siti Shafiyah
Tanjung binti Haji Zakaria yang mempunyai gelar Bagindo Nan Batuah. Dikala
mudanya terkenal sebagai guru tari, nyanyian dan pencak silat.3
1Hamka, Lembaga Hidup (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001),h.x.
2Musyafa, Haidar, HAMKA: Sebuah Novel Biografi, (Depok: Penerbit Imania, 2016),
h.23. 3Nasir Tamara, Hamka Dimata Hati Ummat, (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), h. 51.
52
Hamka merupakan sebuah akronim dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah.
Nama asli Hamka yang diberikan oleh ayahnya adalah abdul Malik, proses
penambahan nama hajinya setelah pulang menunaikan rukun Islam yang kelima,
ketika itu dikenal dengan nama Haji Abdul Malik. Sementara penambahan nama
dibelakangnya dilakukan dengan mengambil nama ayahnya Karim Amrullah.
Proses penyingkatan namanya dari Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah
menjadi Hamka, berkaitan dengan aktivitas beliau dalam bidang penulisannya.4
b. Latar Belakang Intelektualnya
Dalam usia 6 tahun (1914) dia dibawa ayahnya ke Padang Panjang. Sewaktu
berusia 7 tahun dimasukkan ke sekolah desa dan malamnya belajar mengaji Al-
Qur’an dengan ayahnya sendiri sehingga khatam. Dari tahun 1916 sampai tahun
1923, dia telah belajar agama pada sekolah-sekolah ‘’ Diniyah School’’ dan
Sumatera Thawalib’’ di Padang Panjang dan di Parabek. Guru-gurunya waktu itu
Syeikh Ibrahim Musa Parabek, Engku Mudo Abdul Hamid, dan Zainuddin Labay,
Padang Panjang waktu itu ramai dengan penuntut ilmu agama Islam, di bawah
pimpinan ayahnya sendiri.5
Di tahun 1924 ia berangkat ke Yogya, dan mulai mempelajari pergerakan-
pergerakan Islam dari H.O.S Tjokroaminoto, H. Fakhruddin, R.M. Suryopranoto,
dan iparnya sendiri AR. St. Mansur yang pada waktu itu ada di Pekalongan.6
4Nasir Tamara, Hamka Dimata Hati Ummat, (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), h. 51
5Hamka, Tasawuf Modern, h.iii.
6Hamka, Tasawuf Modern, h. iv
53
Di tahun 1935 dia pulang ke Padang Panjang. Waktu itulah mulai tumbuh
bakatnya sebagai pengarang. Buku yang mula-mula dikarangnya berjudul ‘’
Khotibul Ummah’’. Di awal tahun 1927 dia berangkat atas kemauannya sendiri ke
Mekkah, sambil menjadi koresponden harian Pelita Andalas di Medan. Pulang
dari sana dia menulis di majalah ‘’ Seruan Islam’’ di Tanjung Pura (Langkat), dan
membantu, Bintang Islam dan Suara Muhammadiyah, di Yogyakarta.7
Dan pada Sabtu 6 juni 1974 dapat gelar ‘’Dr’’. Dalam Kesusateraan di
Malaysia. Bulan Juli 1975 Musyawarah Alim Ulama Seluruh Indonesia
dilangsungkan. Hamka dilantik sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia pada
tanggal 26 Juli 1975 bertepatan dengan 17 Rajab 1395.8
Secara formal pendidikan Hamka tidaklah tinggi, hanya sampai kelas tiga di
sekolah desa, lalu sekolah agama yang ia jalani di Padang Panjang dan Parabek
juga tidak lama, hanya selama tiga tahun. Dan walaupun pernah duduk di kelas
VII, akan tetapi ia tidak mempunyai ijazah. Dari sekolah yang pernah diikutinya
tidak satupun sekolah yang dapat diselesaikannya.9
Dari keterangan diatas dapat diketahui bahwa Hamka sampai akhir
hayatnya tidak pernah tamat sekolah, oleh sebab itulah dia tidak pernah mendapat
diploma atau ijazah dari sekolah yang diikutinya.
c. Karya- Karya Hamka
7Hamka, Tasawuf Modern, h. iv
8Hamka, Tasawuf Modern, h.vi
9Herry Muhammad, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2006), h. 41.
54
Pada tahun 1928 keluarlah buku romannya yang pertama dalam bahasa
Minangkabau berjudul, Si Sabariyah. Waktu itu pula dia memimpin majalah
Kemauan Zaman yang terbit hanya beberapa nomor. Pada tahun 1929 keluarlah
buku-bukunya, Agama dan Perempuan, Pembela Islam, Adat Minangkabau dan
Agama Islam (buku ini disita polisi), Kepentingan Tabhlig, Ayat-ayat Mi’raj, dan
lain-lain.10
Pada tahun 1930 mulailah dia mengarang dalam surat kabar, Pembela
Islam di Bandung, dan mulai berkenalan dengan M. Natsir, A, Hassan, dan lain-
lain. Ketika dia pindah mengajar ke Makassar diterbitkannya majalah al- Mahdi.11
Setelah dia kembali ke Sumatera Barat tahun 1935, setahun kemudian
pergilah dia ke Medan, lalu mengeluarkan mingguan Islam yang mencapai puncak
kemasyhuran sebelum perang, yaitu ‘’Pedoman Masyarakat’’. Majalah ini
dipimpinnya sendiri setelah setahun dikeluarkan, mulai tahun 1936 sampai 1943,
yaitu ketika bala tentara Jepang masuk, Di zaman itulah banyak terbit karangan-
karangannya dalam bidang agama, filsafat, tasawuf dan roman. Ada yang ditulis
di Pedoman Masyarakat dan ada pula yang ditulis terlepas. Dan waktu itulah
keluar romannya, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan
Ka’bah, Merantau ke Deli, Terusir, Keadilan Ilahi, dan lain-lain. Dalam hal
agama dan filsafat terbit buku, Tasawuf Modern, Falsafah Hidup, Lembaga
Hidup, Lembaga Budi, Pedoman Muballigh Islam, dan lain-lain. Di Zaman
10
Hamka, Tasawuf Modern, h. iv 11
Hamka, Tasawuf Modern, h. iv
55
Jepang dicobanya menerbitkan, Semangat Islam’’ dan Sejarah Islam di
Sumatera.12
Setelah pecah revolusi, dia pindah ke Sumatera Barat, Dikeluarkannya
buku-buku yang mengguncangkan, Revolusi Pikiran, Revolusi Agama, Adat
Minangkabau Menghadapi Revolusi, Negara Islam, Sesudah Naskah Renville,
Muhammadiyah Melalui Tiga Zaman, Dan Lembah Cita-Cita, Merdeka, Islam
dan Demokrasi, Dilamun Ombak Masyarakat, dan Menunggu Beduk Berbunyi.13
Tahun 1950 beliau pindah ke Jakarta. Di Jakarta keluar buku-bukunya:
Ayahku, Kenang-Kenangan Hidup, Perkembangan Tasawuf dari Abad ke Abad,
Urat Tunggang Pancasila. Riwayat perjalanan ke negeri-negeri Islam: Di Tepi
Sungai Nyl, Di Tepi Sungai Dajlah, Mandi Cahaya di Tanah Suci, Empat Bulan di
Amerika, dan lain-lain. Kian lama kian jelaslah coraknya sebagai pengarang,
pujangga, dan Filosof Islam, diakui oleh lawan dan kawannya. Dengan
keahliannya itu, pada tahun 1952 Hamka diangkat oleh Pemerintah jadi Anggota
Badan Pertimbangan Kebudayaan dan Kementerian PP dan K dan menjadi Guru
Besar pada perguruan tinggi Islam dan Universitas Islam di Makassar dan menjadi
penasihat pada kementerian Agama.14
Di samping kesaikannya mempelajari Kesusasteraan Melayu Klasik,
Hamka pun bersungguh-sungguh menyelidiki Kesusasteraan Arab, sebab bahasa
asing yang dikuasainya hanyalah semata-mata bahsa Arab. Drs. Slamet Mulyono,
ahli tentang ilmu Kesusasteraan Indonesia menyebut Hamka sebagai ‘’Hamzah
12
Hamka, Tasawuf Modern, h.v 13
Hamka, Tasawuf Modern, h.v 14
Hamka, Tasawuf Modern, h.v
56
Fansuri Zaman Baru’’.Pada tahun 1955 keluar buku-bukunya yaitu, Pelajaran
Agama Islam, Pandangan Hidup Muslim, Sejarah Hidup Jamaluddin Al Afhgany,
dan Sejarah Umat Islam15
.
Karena menghargai jasa-jasanya dalam penyiaran Islam dengan bahasa
Indonesia yang indah itu, maka pada permulaan tahun 1959 Majelis Tinggi
University al-Azhar Kairo memberikan gelar Ustaziyah Fakhiriyah (Doctor
Honoris Causa) kepada Hamka. Sejak itu berhaklah beliau memakai titel ‘’Dr’’ di
pangkal namanya. Tahun 1962 Hamka memulai menafsirkan Al-Qur’an lewat ‘’
Tafsir Al- Azhar’’. Dan Tafsir ini sebagian besar dapat terselesaikan selama di
dalam tahanan dua tahun tujuh bulan. (Hari Senin tanggal 12 Ramadhan 1385,
bertepatan dengan 27 Januari 1964 sampai Juli 1969).16
Dan pada tahun-tahun 70-an keluar pula buku-bukunya, Soal Jawab
(tentang Agama Islam), Muhammadiyah di Minangkabau, Kedudukan Perempuan
Dalam Islam, Do’a-Doa Rasulullah, dan lain-lain. 17
B. Hakikat Bahagia Menurut Hamka
Dalam membahas mengenai kebahagiaan, Hamka menceritakan sebuah
alkisah, tiga orang berkawan berjalan di sebuah kampung yang ramai, dimana
berdiri rumah-rumah yang indah tempat tinggal orang kaya, tuan-tuan, dan orang-
orang yang bergaji besar. Ketika itu hari telah petang, matahari telah condong ke
barat, di antara pergelutan siang dan malam itu, beberapa orang duduk di muka
15
Hamka, Tasawuf Modern, h.vi 16
Hamka, Tasawuf Modern, h.vi 17
Hamka, Tasawuf Modern, h.vi
57
pekarangan rumahnya bersama anak dan istrinya, sambil membaca surat kabar
yang terbit petang sambil istirahat selepas pulang dari pekerjaan. Di atas meja
terletak beberapa mangkuk teh. Si ibu sedang menyulam, anak-anak sedang
bermain kejar-kejaran di hamparan rumput halaman rumah yang hijau.18
Alangkah bahagianya orang-orang yang tinggal di sini, kata salah seorang
dari ketiga orang bertamasya itu. Lihatlah keindahan rumahnya, bertikam dengan
keindahan pekarangannya, kecukupan perkakasnya bergelut dengan kepuasan
hati. Di dalam bagasi kelihatan mobilnya, tentu mobil itu menurut model yang
paling baru; gajinya tentu mencukupi untuk belanja dari bulan-kebulan, malah
lebih dari cukup.19
Seorang di antara dari ketiga yang bertamasya itu, demi mendengarkan
perkataan kawannya itu menjawab ‘’ah ‘’ , jangan engkau terpercaya dari kulit
lahir, karena dunia ini hanya komedi. Boleh jadi dibalik keindahan perkakas,
dibalik senyuman dan tertawa itu ada beberapa kepahitan yang mereka
sembunyikan. Yang tidak diketahui oleh banyak orang lain. Banyak orang yang
tertawa sedangkan hatinya luka parah. Banyak orang yang tertipu dibalik melihat
cahaya panas di waktu terik di tanah lapang luas, disangkanya cahaya itu air, bila
sampai dia ke sana hanya pasir belaka. Banyak sekali yang rahmat dipandang
lahir, tetapi pada batinnya laknat.20
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah arti
sebuah kebahagiaan ? Dan dimanakah kebahagiaan itu berada?
18
Hamka, Tasawuf Modern, h.9. 19
Hamka, Tasawuf Modern, h.10 20
Hamka, Tasawuf Modern, h.10
58
Seorang mengatakan, bahagia itu didapat oleh orang yang mempunyai
kekayaan cukup. Karena jika ada kekayaan, segala yang dimaksud tentu tercapai.
Orang kaya dimana dia tinggal, perkataannya didengar orang, salah-salah sedikit
dimaafkan orang saja. Uang laksana madu lebah. Segala macam semut dan
kumbang datang menghirup manisnya. Sengsara ada pada kemiskinan. Benarpun
perkataan yang keluar dari bibir, kebenaran itu tidak akan tegak karena tidak
bertulang-punggung. Tulang-punggung ialah harta.
Yang lain mengatakan bahwa kemuliaan dan bahagia itu pada nama yang
masyur dan sebutan yang harum, mentereng, dijadikan orang buah bibir, dipuji
ditengah dan ke tepi. Itulah bahagia, katanya, yang lebih berharga daripada harta-
benda, karena kekayaan duniatidaklah akan dibawa mati, tetapi nama baik tetap
diingat orang.
Buah pikiran mengenai bahagia, yang diuraikan diatas tidak mau putus-
putus kata Hamka, Hamka mengatakan semua manusia menginginkan yang
namanya suatu kebahagiaan, seperti seorang tadi mengatakan bahagia itu lantaran
banyak harta. Tahukah apa sebab dia berkata seperti itu? Perkataannya itu timbul
karena putus asa. Sepertinya kerapkali langkahnya tertarung sebab dia miskin,
kerap maksudnya tak berhasil, sebab dia miskin. Jadi sebenarnya kata Hamka
kekayaan itu bukanlah sumber kebahagiaan.
Ada sebuah ungkapan yang diuntaikan Hamka;
Orang Fakir mengatakan bahagia pada kekayaan,
Orang sakit mengatakan bahagia pada kesehatan,
59
Orang yang telah terjerumus ke lembah dosa mengatakan bahwa berhenti
dari dosa itulah kebahagiaan,
Seorang jurnalis merasa bahagia jika surat kabarnya dan timbangan
redaksinya dipahami orang.21
Yang menjadi pertanyaan lagi, apakah untaian di atas dapat dikatakan sebuah
kebahagiaan ?
Jadi Hamka menjawab, Menurut Hamka kebahagiaan yang sebenarnya
yang bersifat kekal dan hakiki adalah kebahagiaan ukhrawi, karena kebahagiaan
ukhrawi merupakan kebahagiaan yang tidak akan berubah dan lenyap. Manusia
hidup di dunia hanya untuk singgah dan menyiapkan diri untuk menempuh alam
akhirat. Dan hanya di akhiratlah manusia akan mendapatkan kebahagiaan yang
kekal dan abadi, tidak seperti kebahagiaan duniawi yang tidak kekal dan bersifat
sementara.22
Menurut Hamka, Manusia itu pada dasarnya pasti sangat menginginkan
kekayaan, uang banyak, mobil mewah dan sebagainya. Apakah hanya sebatas itu
arti sebuah kebahagiaan? Hamka mengatakan, manusia itu memiliki suatu tujuan
hidup yang lebih tinggi, tidak hanya mencukupi kebutuhan materi dan juga
jasmaniahnya saja. Tapi lebih dari pada itu,. Dan tujuan yang tertinggi itu adalah
sebuah kebahagiaan.23
Menurut Hamka, Hidup di dunia ini berkaitan dengan dua
kehidupan yaitu kehidupan duniawi dan ukhrawi, manusia akan mendapati suatu
kesengsaraan jika ia tidak memegang dua tali, yaitu tali Allah dan tali insaniyah.
Hamka mengatakan jangan hanya badan yang kenyang karena diisi makanan,
21
Hamka, Tasawuf Modern, h.12 22
Hamka, Tasawuf Modern, h. 97. 23
Hamka, Tasawuf Modern, h. 25
60
tetapi jiwa lapar karena tidak mendapatkan siraman rohani, maka berilah makan
bagi keduanya.24
Hamka mengatakan, Dalam hal kebahagiaan, akal sangat penting
peranannya. Hamka menjelaskan dalam kitab Tasawuf Modern, dengan nama lain,
yaitu, keutamaan otak, menurut Hamka, dengan keutamaan otak, manusia dapat
membedakan antara jalan baik dengan jalan yang buruk. Yakin akan kebenaran
barang yang benar dengan berpegang kepadanya, dan tahu akan kesalahan barang
yang salah dan menjauhinya, semuanya didapat dengan otak yang cerdas, bukan
karena ikut-ikutan, bukan karena takild kepada pendapat orang lain saja.25
Menurut Hamka, Walupun akal memang sangat diperlukan dalam
kehidupan ini. jika manusia hanya bersandar pada akal tidaklah akan tercapai
kebahagiaan dalam hidup. Karena akal saja tidaklah cukup untuk mencapai
kebahagiaan dalam hidup, karena akal sejatinya tidak akan sanggup membuka
rahasia-rahasia dalam hidup. Manusia akan berbahagia jika dalam hidupnya
mampu mengoptimalkan kemampuan akalnya dengan kemampuan rohaninya.
Dan dengan rohani itu dapat mengantarkan manusia kepda puncak kebahagiaan
penghabisan, yaitu kenal dengan Allah, baik ma’rifat kepada-Nya, baik taat
kepada-Nya, dan baik sabar atas ketentuan-nya.26
Karena semua itu diperlukan
manusia untuk menciptakan kualitas hidup yang baik untuk memperoleh
kebahagiaan tertinggi.
24
Hamka, Pandangan Hidup Muslim, (Jakarta: Bulan Bintang,1992), h. 154. 25
Hamka, Tasawuf Modern, h. 135. 26
Hamka, Tasawuf Modern, h. 27.
61
Hamka mengatakan Allah-lah yang Maha Mulia dan Maha Agung.
Kedekatan diri pada Allah akan memberikan puncak kelezatan dan kepuasan hati,
sehingga hilang duka cita dalam hidup, karena berkeyakinan bahwa segala sesuatu
berasal dari Allah yang Maha Baik, karena Allah merupakan sumber kebahagiaan.
Sehingga Kedekatan diri kepada Allah Swt, tentunya juga akan memberikan
kebahagiaan kelak di akhirat.27
Mengenai kebahagiaan, Hamka mengklasifikasi menjadi dua kebahagiaan
kepada manusia, yaitu kebahagiaan ukhrawi dan kebahagiaan duniawi. Dan hal
yang terpenting untuk dicapai manusia adalah suatu kebahagiaan yang hakiki
yang berada di alam akhirat. Dalam pandangan ini, Hamka, membagi kedalam
kebahagiaan ukhrawi. Kebahagiaan ukhrawi merupakan puncak dari kebahagiaan,
dan untuk memperolehnya dibutuhkan agama untuk mencapai kebahagiaan hakiki
di akhirat. tetapi di samping itu, manusia juga memerlukan kebahagiaan duniawi
agar kebahagiaannya menjadi sempurna sebagai penunjang kebahagiaan akhirat.
Kebahagiaan duniawi meliputi keutamaan-keutamaan dalam pribadi manusia
seperti, keutamaan otak dan budi, kesehatan tubuh dan jiwa, serta harta yang
cukup. Setelah membahas mengenai hakekat kebahagiaan, selanjutnya saya akan
menguraikan, jalan mencapai suatu kebahagiaan.
27
Hamka, Pandangan Hidup Muslim, h. 55.
62
C. Usaha Memperoleh Kebahagiaan
Di bawah ini, saya akan mengulas pemikiran Hamka, tentang empat
keutamaan yang di perlukan untuk mencapai suatu kebahagiaan yaitu; agama,
keutamaan otak dan budi, kesehatan jiwa dan badan, harta benda yang cukup.
1. Agama
Menurut Hamka, manusia yang bahagia adalah manusia yang dekat
dengan Allah Swt. Dan di dalam agama manusia memiliki aturan dan
pedoman untuk mendekat diri dengan Allah Swt. Hamka mengatakan
agama mengandung fungsi untuk merentangkan jalan untuk mencapai
suatu kebahagiaan.28
untuk mencapai suatu kebahagiaan menurut agama
tidaklah susah, ada 4 (empat) perkara; I’tikᾱ d yang bersih, yakin, iman
dan agama.
a. I’tikᾱ d ini harus ada di dalam diri seorang manusia, karena i’tikᾱ d yang
mendorong manusia dalam memilah dalam melakukan segala sesuatu.
Menurut Hamka i’tikᾱ d adalah suatu keyakinan terhadap sesuatu pilihan,
yang dilakukan dengan pertimbangan pikiran.29
Menurut Hamka, manusia
yang tidak mempunyai i’tikᾱ d akan menjadi puncak aru, akan mengulai
ke mana gerak angin saja, ke mari bukan, kesana bukan. Dan manusia
seperti ini tidak ada nilai hidupnya sebab kompas jantungnya rusak, sebab
28
Hamka, Tasawuf Modern, h. 57 29
Hamka, Tasawuf Modern, h. 58
63
itu jarumnya tidak dapat menunjukkan utara dan selatan lagi. Jiwanya
telah rusak dimakan karat.30
b. Yakin, menurut Hamka, suatu keyakinan harus ada dalam diri manusia,
karena dengan keyakinan akan memberikan suatu sumbangsih yang besar
kepada manusia, untuk memantapkan hati terhadap sesuatu. Karena
banyak perkara yang diyakini oleh seorang tapi masih diragui oleh orang
lain. Seperti halnya dalam keyakinan kita kepada Allah Swt, seorang
muslim harus meyakini bahwa tuhannya adalah Allah Swt, jangan ada
keraguan di dalamnya.31
Yakin dan i’tikᾱ d sangat erat kaitannya, kata Hamka, janganlah
hanya mempunyai i’tikᾱ d saja tetapi tidak mempunyai keyakinan di
dalam diri manusia. Segala agama dan pendirian di dunia ini umumya
bernama i’tikᾱ d, tetapi tidak semua keyakinan pada zatnya.32
Agama
Islam adalah i’tikᾱ d. Sebab itu hendaklah kita jalankan pikiran,
bersihkan hati dan jiwa setiap pagi dan petang, siang dan malam, supaya
dia jadi i’tikᾱ d yang diyakini.33
c. Iman. menurut Hamka, iman ini perlu ada dalam diri seorang muslim,
kata iman mengandung arti adalah percaya. Kata Hamka, jika
perkataan iman itu disendirikan, termasuklah segala amalan lahir dan
batin.34
Berkata setengah ahli pikir Islam, ‘’Iman itu ialah perkataan
30
Hamka, Tasawuf Modern, h. 59. 31
Hamka,Tasawuf Modern, h. 60. 32
Hamka, Tasawuf Modern, h. 63. 33
Hamka, Tasawuf Modern, h. 62. 34
Hamka, Tasawuf Modern, h. 62.
64
dan perbuatan (qaulun wa’amalūn). Artinya perkataan hati, perkataan
lidah dan perbuatan hati dan anggota!’’
Mengenai iman Hamka, mengutip firman tuhan;
Hanyasanya orang yang beriman itu ialah yang beriman dengan Allah
dan Rasul-Nya, kemudian itu tidak ada ragu-ragunya lagi, dan mereka berjihad
dengan harta-benda dan diri mereka sendiri dengan jalan Allah. Itulah orang-
orang yang benar pengakuannya,’’(QS al-Hujarat [49]: 15).
Hamka mengatakan Iman ini sangat perlu untuk seorang muslim, dalam menata
hidupnya dan megarungi perjalanan hidup di dunia ini, karena dengan iman
manusia akan mendapatkan ketenangan dalam hidupnya, seperti yang dikatakan
Hamka, seorang mukmin tidak mendongkol dan kecewa lantaran permintaannya
belom terkabul. Karena dia tahu dirinya itu dibawah perintah dan aturan tuhan
semesta. Yang maha tahu menentukan, yang segala aturan-Nya tidak diperbuat
dengan sia-sia, yang tidak mau menganiaya hamba-Nya.35
Hamka mengatakan, kadang-kadang berkali-kali manusia berdo’a, bermohon
diri meminta dengan sepenuh hati kepada Tuhan. Tetapi permintaannya dan
do’anya itu tidak juga dikabulkan Tuhan. Disini peranan iman dibutuhkan, ketika
permohonan manusia belum dikabulkan manusia harus meyakini bahwa tuhan
tahu yang terbaik. Dan nyata, terang kekuatan dan kecukupan iman itu dapat
dibuktikan seketika datang bala dan bencana, ujian dan cobaan.36
35
Hamka, Tasawuf Modern, h. 75. 36
Hamka, Tasawuf Modern, h. 75.
65
Maka iman itu diperlukan untuk memperoleh suatu kebahagiaan, agar manusia
tenang dan tentram ketika mendapat ujian dan cobaan, dan semuanya itu datang
dari Allah Swt.
d. Menurut Hamka, agama sangat dibutuhkan seorang muslim untuk
memperoleh suatu kebahagiaan. Karena agama yang mendorong dan
menuntun manusia untuk mengikuti ajaran yang mengantarkan keselamatan
di dunia dan di akhirat. Hamka mengatakan agama adalah buah atau hasil
kepercayaan dalam hati, yaitu ibadah yang terbit lantaran telah ada i’tikᾱ d
lebih dahulu, menurut dan patuh karena iman. Sebab itulah dikatakan bahwa
agama itu hasil, buah atau ujung dari i’tikᾱ d, tashdīq, dan iman. Bertambah
kuat iman, bertambah teguh agama, bertambah tinggi keyakinan, ibadah
bertambah bersih.37
Seperti yang dikatakan Hamka, yang diuraikan diatas, Allah lah sumber
kebahagiaan, Kedekatan diri pada Allah akan memberikan puncak kelezatan
dan kepuasan hati sehingga hilang duka cita dalam hidup, karena
berkeyakinan bahwa segala sesuatu berasal dari Allah yang Maha Baik.
Kedekatan diri kepada Allah Swt, tentunya juga akan memberikan
kebahagiaan kelak di akhirat.38
2. Keutamaan Otak dan Budi
Hamka mengatakan dengan agama, iman, Islam dan I’tikᾱ d, sudah dapat
mencapai kebahagiaan batin dan perhubungan yang baik dengan Allah. Tapi
diperlukan keutamaan otak dan budi untuk memperoleh suatu kebahagiaan.
37
Hamka, Tasawuf Modern, h. 80. 38
Hamka, Pandangan Hidup Muslim, h. 55.
66
Hamka mengatakan, Manusia yang bahagia adalah yang memiliki keutamaan
otak dan budi sehingga ia dapat semakin dekat dengan sumber kebahagiaan
yaitu Allah Swt. Dengan keutamaan otak, seseorang akan mampu berpikir
dengan akalnya tentang hakikat segala perkara, dapat membedakan jalan
kebahagiaan dan jalan kesengsaraan atau jalan yang hina, tahu akan kesalahan
dan menjauhinya. Semuanya didapat dengan otak yang cerdas, bukan karena
ikut-ikutan.39
Menurut Hamka, keutamaan budi memiliki fungsi untuk menghilangkan
segala perangai yang buruk-buruk, adat istiadat yang rendah, yang oleh agama
telah dinyatakan mana yang mesti dibuang dan mana yang mesti dipakai. Serta
dibiasakan perangai-perangai yang terpuji, yang mulia, berbekas pergaulan
setiap hari, dan merasa nikmat memegang adat yang mulia itu. Kalau kita
hentikan larangan dan kita kerjakan suruhan, dan kita melakukan pekerjaan itu
hanya karena terpaksa, tandanya belumlah naik tingkatan keutamaan budi
sebab itu haruslah senantiasa budi berperang diri, dan dengan perjuangan yang
hebat itulah kita dapat mencapai tujuan yang mulia.40
Hamka memberikan sebuah contoh sebagai berikut, ada pepatah yang
mengatakan bahwa, kebenaran pahit, sedangkan kejahatan manis, seseorang yang
mengatakan demikian berarti dirinya tidak terdidik dengan perangai utama. Jika
diri telah terdidik, terasuh patuh dan tunduk semenjak kecil, maka pepatah
tersebut tidak berlaku. Jika manusia menjalani kebaikan dengan terbiasa tanpa
keterpaksaan, maka akan merasa kenikmatan. Namun jika perasaan manis dalam
39
Hamka, Tasawuf Modern, h. 135. 40
Hamka, Tasawuf Modern, h. 135.
67
mengerjakan kebaikan dan perasaan benci dalam mengerjakan keburukan masih
terasa samar-samar, maka belumlah sempurna keutamaan budinya, manusia harus
menyelidiki di mana letak kebaikan dengan menggunakan keutamaan otaknya,
kemudian membiasakan diri dengan keutamaan budinya tanpa merasa bosan, serta
tidak menghiraukan halangan yang menyelimutinya.41
Menurut Hamka, manusia yang menjalani hidupnya dengan tidak
mengikuti hawa nafsu dan menjalani hidupnya dengan berdasarkan pada akal
sehat, yang sesuai dengan wahyu Allah Swt sebagaimana yang disampaikan
kepada para Nabi dan Rasul adalah manusia yang bahagia. Hamka mengatakan,
Akal akan membawa manusia menuju kebahagiaan, sedangkan hawa nafsu dapat
mendatangkan keburukan. Dan manusia yang mampu mengalahkan hawa
nafsunya, sehingga ia yang memerintah, tidak bisa hawa nafsu mengotak-atiknya,
dia yang raja dia yang berkuasa dan tidak diperbudak hawa nafsunya, maka disana
manusia akan dapat menemukan suatu kebahagiaan.42
Keutaman budi dan otak ini sangat diperlukan untuk manusia memperoleh
sebuah kebahagiaan. hamka mengatakan seorang yang bahagia ialah yang
memiliki keutamaan otak sehingga dapat berbuat kebaikan-kebaikan dalam
kehidupan. Berbuat kebaikan inilah disebut dengan keutamaan budi.43
Dan
pemikiran ini yang diutarakan ini sejalan dengan pemikiran Ibn Myskawaih,
bahwa manusia yang bahagia ialah manusia yang mampu mengambangkan
kemampuan kognitif melalui pendidikan dan kemampuan praktis melalui
41
Hamka, Tasawuf Modern, h. 136. 42
Hamka, Tasawuf Modern, h. 140. 43
Hamka, Tasawuf Modern, h.140.
68
pengaktualisasian perbuatan yang baik dimasyarakat.44
Dengan demikian,
kepribadian buruk seseorang bukanlah suatu tabiat yang tidak dapat diubah,
seseorang dapat menjadi baik karena pendidikan dan latihan.
3. Kesehatan Tubuh dan Jiwa
Menurut Hamka, kesehatan jiwa dan badan sangat diperlukan untuk
memperoleh suatu kebahagiaan, kalau jiwa sehat, dengan sendirinya
memancarlah bayangan kesehatan itu pada mata, dari sana memancar cahaya
yang gemilang, timbul dari sukma yang tiada sakit. Demikian juga kesehatan
badan, dapat membukakan pikiran, mencerdaskan akal, menyebabkan juga
kebersihan pada jiwa. Kalau jiwa sakit misalnya ditimpa penyakit marah,
penyakit duka, penyakit kesal, kemudian dia membayang kepada badan kasar,
tiba di mata merah, tiba di tubuh gemetar.45
Menurut Hamka, kalau badan ditimpa sakit, jiwa pun ikut merasakannya,
pikiran tidak berjalan lagi, akal pun menjadi tumpul. Karena itu hendaklah dijaga
sebab-sebab penyakit dan biasakan beberapa pekerjaan yang dapat memlihara
kesehatan, karena jiwa yang sakit akan mengganggu suatu kebahagiaan manusia.
Hamka mengatakan, manusia yang bahagia adalah jiwa dan tubuhnya sehat.
Karena manusia terdiri dari dua hal, yaitu tubuh dan jiwa. Tubuh adalah alat bagi
jiwa dalam menjalankan suatu pekerjaan.46
Memiliki kesehatan tubuh merupakan
kewajiban bagi setiap manusia. Maka Hamka, memberikan lima hal yang perlu
44
Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak, terj; Helmi Hidayat (Bandung: Mizan,
1994), h. 63.
45
Hamka, Tasawuf Modern, h. 161. 46
Hamka, Tasawuf Modern, h. 161.
69
diperhatikan agar jiwa terpelihara dari sakit yaitu 5 (lima) perkara yaitu; bergaul
dengan orang-orang yang budiman, membiasakan pekerjaan berfikir, menahan
syahwat dan marah, bekerja dengan teratur dan memeriksa cita-cita diri sendiri,
kesemuanya ini sangat mendorong untuk menjaga agar jiwa manusia terpelihara
dari kerusakan jiwa.
Hamka mengatakan, memiliki kesehatan jiwa adalah yang paling penting,
jiwa adalah harta yang tiada ternilai mahalnya. Kesucian jiwa menyebabkan
kejernihan diri, lahir dan batin, itulah kekayaan sejati. Jiwa yang sehat akan suci
dari sifat tercela. Kesucian jiwa merupakan kekayaan yang hakiki. Manusia yang
enggan menyucikan jiwanya, tidak akan mengenal arti kelezatan karena
sesungguhnya kebahagiaan itu bukan berasal dari luar diri, tetapi dari dalam diri,
kebahagiaan yang berasal dari dalam diri adalah kekayaan sejati yang merupakan
pemberian Allah Swt yang bertambah lama bertambah murni dan bercahaya jika
pandai menjaganya. Sedangkan kebahagiaan yang datang dari luar kerapkali
hampa dan palsu.47
Hamka mengatakan, jiwa yang suci memiliki keutamaan yang mencakup
empat sifat, yaitu syaja’ah, ‘iffah, hikmah dan ‘adᾱ lah. Keempat sikap ini
merupakan pusat dari segala budi pekerti dan kemuliaan. Dari yang keempat
inilah yang dinamai suatu keutamaan. Dalam hal ini Hamka mengukur kesehatan
jiwa sama dengan kesehatan tubuh. Misalnya panas manusia yang biasa ialah 36-
37, lebih dari itu terlalu panas, dan kurang dari itu terlalu dingin. Lebih atau
47
Hamka, Tasawuf Modern, h. 171-172.
70
kurang dari 36-37 menunjukkan kesehatan tubuh telah hilang.48
Dan ke empat
keutamaan itu ialah;
Pertama, syaja’ah yaitu berani karena benar dan takut karena salah.
Syaja’ah mempunyai dua pinggir. Pinggir sebelah ke atas terlalu panas, itulah
yang dinamakan tahawwur, berani membabi buta. Dan pinggir ke sebelah bawah
terlalu dingin disebut jubn yaitu pengecut.49
Kedua, ‘iffah juga mempunyai dua pinggir, pinggir yang terlalu panas
yaitu Syarah, artinya tak ada kunci. Obral, bocor, belum belum diajak dia sudah
tertawa, belum dipanggil dia sudah datang, satu yang ditanyakan 20 jawabnya.
Pinggir yang sebuah lagi terlalu dingin, itulah Khumud tidak perduli.50
Ketiga, Hikmah, mempunyai dua pinggir, pinggir sebelah ke atas, terlalu
panas, itulah Safah, tergesa-gesa menjatuhkan hukum diatas perkara. Pinggir ke
bawah terlalu dingin, yaitu balah, bodoh, sengaja tidak menggunakan pikiran.
Sudah beratus kali kena pengalaman, tidak juga mau paham.51
Keempat, ‘adᾱ lah yaitu adil. Mempunyai dua pinggir, pinggir sebelah
atas, yang terlalu panas, ialah sadis, joor, zalim, aniaya. Pinggir sebelah kebawah
yang terlalu dingin, ialah muhanah, hina hati, walaupun berkali-kali teraniaya
tidak terbangun semangatnya.52
48
Hamka, Tasawuf Modern, h. 176. 49
Hamka, Tasawuf Modern, h. 176-177. 50
Hamka, Tasawuf Modern, h. 176-177. 51
Hamka, Tasawuf Modern, h. 176-177. 52
Hamka, Tasawuf Modern, h. 176-177.
71
jadi analisanya adalah, condong ke bawah jadi penyakit hina, condong ke
atas jadi penyakit zalim. Tegak ditengah itulah kesehatan.
Jika manusia menginginkan suatu kebahagiaan maka tubuh dan jiwanya
haruslah sehat. Karena jiwa dan tubuh yang sehat merupakan salah satu unsur
dari bahagia. Pada dasarnya manusia adalah makhluk dualisme yang perlu
dibahagiakan tubuh dan jiwanya. Tetapi yang terpenting adalah kebahagiaan jiwa
karena jiwa yang sehat memiliki keutamaan yang mencakup empat sifat utama
yang sangat penting dalam menjalani kehidupan.
4. Harta Benda yang Cukup
Hamka mengatakan bahwasanya orang bahagia itu bukanlah terletak
kepada banyak kekayaan atau harta benda yang dimilikinya, karena sebaik-
baiknya harta adalah hanya seperlu kebutuhan manusia saja, Hamka mengatakan
orang kaya ialah orang yang sedikit keperluannya, jadi jangka naik turun
kekayaan dan kemiskinan, ialah hajat dan keperluannya. Siapa yang paling sedikit
keperluannya, itulah orang yang paling kaya. Siapa yang paling banyak
keperluannya itulah orang miskin. Sebab itu orang yang paling kaya hanya
seorang saja yaitu Allah. Sebab dia tidak berkehendak keperluan atau hajat.53
Hamka mengatakan Raja-raja adalah orang yang paling miskin, karena
keperluannya sangat banyak. Di dunia diikat dengan berbagai macam-macam
aturan dan keperluan dan di akhirat akan dibuka pula perkaranya yang besar-
53
Hamka, Tasawuf Modern, h. 229.
72
besar. Hamka mengatakan kekayaan yang hakiki adalah mencukupkan apa yang
ada, sudi menerima walupun berlipat-ganda, sebab merupakan nikmat dari Tuhan.
Dan tidak juga kecewa jika jumlahnya berkurang, sebab dia datang dari sana dan
akan kembali ke sana. Jika kekayaan melimpah kepada diri, walaupun bagaimana
banyaknya, kita teringat bahwa gunanya ialah untuk menyokong amal dan ibadah,
iman dan untuh meneguhkan hati menyembah Tuhan. Harta tidak dicintai karena
harta. Harta tidak dicintai karena pembrian dari Tuhan.54
Menurut Hamka, jadikanlah harta itu hanya sekedarnya saja, agar manusia
tersingkir dari bahayanya harta. Dan hendaklah sebaik-baiknya membelanjakan
harta adalah sekedar yang perlu. Hendaklah diatur jalan keluar dan masuknya
harta serta kemestian-kemestian yang perlu dicukupkan dengan harta.55
Dengan
begitu agar manusia tidak terjerumus akan perbudakan harta terhadap jiwanya,
karena hal tersebut dapat menggangu dan merusak jiwa manusia, dan
menghalangi manusia untuk memperoleh kebahagiaan.
54
Hamka, Tasawuf Modern, h. 230. 55
Hamka, Tasawuf Modern, h. 247.
74
BAB V
ANALISIS PEMIKIRAN KEBAHAGIAAN THOMAS AQUINAS DAN
HAMKA
A. Analisis
Dalam bab ini, saya ingin menganalisis pemikiran kebahagiaan dari kedua
tokoh filsuf yaitu, Thomas Aquinas dan Hamka, tapi dalam menganalisis
pemikiran kedua tokoh ini, dimulai dari sejarah kehidupannya. Baru kemudian
masuk pada pembahasan tentang makna kebahagiaan dan jalan mencapai suatu
kebahagiaan. Masing-masing filsuf mempunyai konsep tersendiri, yang
memungkinkan ada suatu persamaan dan perbedaan dalam pandangan
kebahagiaan.
Seperti yang dideskripsikan sebelumnya bahwa, Thomas Aquinas dan
Hamka merupakan seorang, yang berpengaruh pemikirannya terhadap umat dalam
agama yang mereka anut. Keduanya memiliki latar belakang dan pendekatan yang
berbeda dalam pemikiran kebahagiaan. Aquinas pada masa kecilnya sudah
dibesarkan pada lingkungan gereja, Pada usia lima tahun, Aquinas diserahkan
oleh orang tuanya ke Biara Benediktin di Monte Cassino dengan harapan bahwa
kelak ia memilih hidup membiara. Memang sejak usia kecil, Aquinas sudah
mengenyam pendidikan keagamaan, karena keinginan orang tuanya yang ingin
menjadikan Aquinas seorang rahib.
Semasa hidupnya, Aquinas mendapatkan pendidikan yang baik. Dan juga
Ia menjadi murid Santo Albertus Agung. Dapat diperkirakan bahwa upaya Santo
Albertus Agung untuk memanfaatkan filsafat Aristoteles dalam berteologi
75
memberikan pengaruh awal bagi arah dan gaya berfikir Thomas Aquinas. Dan
akhirnya nanti Thomas Aquinas terkenal sebagai teolog dan filsuf yang secara
kreatif mampu menciptakan sintesis seluruh pemikiran Kristiani, dengan
memanfaatkan sistem dan konsep-konsep filsafat Aristoteles.
Sedangkan Hamka, yang diharapkan oleh ayahnya menjadi seorang ulama,
sejak kecil Hamka disibukkan dengan rutinitas sekolah dan mengaji pada ayahnya
sampai khatam. Sikap otoriter sang ayah, membuat Hamka tidak menyenangi
belajar, dan merasa bosan dengan pendidikan saat itu. Ia kemudian memilih
belajar otodidak dengan membaca berbagai tulisan. Sampai akhirnya ia merantau
ke Jawa dan memperoleh pembaharuan pemikiran yang dinamis dan modernis
dari tokoh pembaharu Islam di Yogyakarta. Dan menurut Hamka kebebasan
intektual berfikir merupakan pangkal kemajuan dunia.
Selanjutnya, pada bagian ini akan diurakan bagaimana persamaan
pandangan, perbedaan pandangan dan jalan mencapai kebahagiaan yang dikonsep
oleh Thomas Aquinas dan Hamka.
Persamaan pemikiran Kebahagiaan Thomas Aquinas dan Hamka, sebagai
berikut:
a. Persamaan dalam pandangan Ilahi sebagai sumber kebahagiaan.
Thomas Aquinas dan Hamka, memiliki pandangan yang sama mengenai
sumber Kebahagiaan. Yang menekankan bahwa, kebahagiaan yang hakiki itu
bersumber dari Tuhan.
Aquinas mengatakan, Kebahagiaan yang sebenarnya yang dirasakan oleh
seseorang atau masyarakat tidaklah terletak pada benda, nilai atau materi tertentu,
76
tetapi kebahagiaan itu terjadi ketika manusia memandang kemuliaan Allah.1
Begitu juga dengan Hamka. Menurut Hamka, puncak kebahagiaan penghabisan
ialah kenal dengan Allah, baik ma’rifat kepada-Nya, baik taat kepada-Nya, dan
baik sabar atas ketentuan-nya.2 Dan Aquinas yakin bahwa, manusia bisa
menikmati kebahagiaan yang bukan saja dirasakan untuk sementara tetapi lebih
dari itu yakni kebahagiaan untuk selamanya dan tidak akan berkesudahan. Bagi
Aquinas, semua itu akan terwujud jika manusia memandang Allah di saat ia telah
beralih dari dunia ini yaitu setelah kematian.3
Dan mengenai pandangan kebahagiaan hakiki hanya dapat diperoleh di
akhirat, Thomas Aquinas dan Hamka memiliki kesamaan. Menurut Aquinas, tidak
mungkin manusia mencapai tujuan terakhirnya dalam dunia ini. Apa pun yang
diciptakan manusia di dunia ini tidak akan dapat membahagiakan manusia
sepenuhnya karena manusia berkat akal budinya, terarah kepada realitas tak
terbatas, begitu pula kehendak manusia baru puas apabila sampai pada nilai yang
tertinggi, dan nilai itu adalah Tuhan. Karena itu tujuan terakhir manusia adalah
Tuhan.4
Hamka mengatakan, Allah merupakan sumber kebahagiaan, karena Allah-
lah yang Maha Mulia dan Agung. Kedekatan diri pada Allah akan memberikan
puncak kelezatan dan kepuasan hati, sehingga hilang duka cita dalam hidup,
karena berkeyakinan bahwa segala sesuatu berasal dari Allah yang Maha Baik.
Kedekatan diri kepada Allah Swt tentunya juga akan memberikan kebahagiaan
1Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat I, h.12.
2Hamka, Tasawuf Modern, h. 27.
3K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, h. 38
4Hawasi, Thomas Aquinas: Menyelelaraskan Antara Iman dan Akal, h. 11.
77
kelak di akhirat.5 Dan Hamka mengatakan, kebahagiaan yang hakiki adalah
kebahagiaan ukhrawi, karena kebahagiaan ukhrawi merupakan kebahagiaan yang
tidak akan berubah dan lenyap di makan waktu. Manusia hidup di dunia hanya
untuk singgah dan menyiapkan diri untuk menempuh alam akhirat. Dan di
akhiratlah manusia akan mendapatkan kebahagiaan yang abadi, tidak seperti
kebahagiaan duniawi yang mudah berubah dan hilang.6
b. Persamaan dalam usaha mencapai kebahagiaan.
Thomas Aquinas dan Hamka, memiliki pandangan yang sama mengenai
usaha mencapai Kebahagiaan. Yang menekankan bahwa, cara memperoleh
kebahagiaan itu, harus didasari dengan berbuat kebajikan dan mejauhi perbuatan
buruk.
Aquinas mengatakan, manusia wajib untuk melakukan yang baik dan
menghindari yang buruk. Selain yang baik itu sesuai dengan bagaimana kita
berusaha untuk mencapai tujuan terakhir sudah jelas, yaitu melakukan yang baik
dan menghindari yang buruk. Selain akal budi dapat memahami tentang yang baik
yang buruk, manusia juga diarahkan oleh hati nuraninya untuk melakukan yang
baik.7 Hamka mengatakan, seorang yang bahagia ialah yang memiliki keutamaan
otak sehingga dapat berbuat kebaikan-kebaikan dalam kehidupan.8
Dan mengenai keselarasan hasrat dalam berbuat baik, Thomas dan Hamka,
memiliki kesamaan. Aquinas mengatkan Kebahagiaan adalah, tidak lain dari pada
5Hamka, Pandangan Hidup Muslim, h. 55.
6 Hamka, Tasauf Modern, h. 97.
7 Magnis·Suseno, Franz., Etika Dasar. Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, h. 85.
8Hamka, Tasawuf Modern, h. 140.
78
memandang Allah dalam kemuliaanNya. Cara untuk mencapai kebahagiaan ini
adalah menggunakan rasio dengan rahmat Ilahi. Oleh karena itu kebahagiaan yang
didasarkan pada intelek dan kehendak tidaklah menjamin untuk merasakan
kebahagiaan bersama Allah. Dari itu dituntut sikap pencarian kebahagiaan yang
selalu mengharapkan rahmat Ilahi karena lewat rahmat inilah, Aquinas yakin
bahwa, manusia bisa menikmati kebahagiaan yang bukan saja dirasakan untuk
sementara tetapi lebih dari itu yakni kebahagiaan untuk selamanya dan tidak akan
berkesudahan. Bagi Aquinas, semua itu akan terwujud jika manusia memandang
Allah di saat ia telah beralih dari dunia ini yaitu setelah kematian.9
Dan Hamka mengatakan, manusia yang bahagia adalah yang menjalani
hidupnya dengan berdasarkan pada akal sehat, yang sesuai dengan wahyu Allah
Swt. sebagaimana yang disampaikan kepada para Nabi dan Rasul, bukan
menjalani hidup dengan mengikuti hawa nafsu.10
Untuk lebih jelasnya perbandingan pemikiran kebahagiaan menurut
Thomas Aquinas dan Hamka, berikut ini saya sajikan dalam bentuk tabel untuk
mempermudah memahami perbandingan kedua tokoh tersebut :
9K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, h. 38
10Hamka, Tasawuf Modern, h. 140.
79
Tabel 1
Konsep Kebahagiaan menurut Thomas Aquinas dan Hamka
NO Aspek Thomas aquinas Hamka
1. Sumber
Kebahagiaan
Allah sebagai sumber
kebahagiaan
Allah Swt,
sebagaiKemuliaan dan
sumber kebahagiaan
2. Perolehan Setelah kematian (alam baqa) Dunia dan akhirat.
3 Argumentasi Kebahagiaan yang
sebenarnya yang dirasakan
oleh seseorang, tidaklah
terletak pada benda, nilai atau
materi tertentu, tetapi
kebahagiaan itu terjadi ketika
manusia memandang
kemuliaan Allah.
kebahagiaan yang hakiki,
tidak berada di dunia ini,
tetapi berada ketika bertemu
dengan Allah, setelah
kematian
Kebahagiaan Ukhrawi
merupakan kebahagiaan
yang paling utama,
karena kebahagian ini
abadi.
kebahagiaan duniawi
berupa akal dan budi,
kesehatan tubuh dan jiwa
serta harta yang cukup
untuk memenuhi
kebutuhan hidup dan
berbagi dengan sesama
sehingga manusia dapat
beribadah dan bekerja
dengan baik.kebahagiaan
80
duniawi hanyalah suatu
pelengkap karena
manusia merupakan
makhluk dualisme yang
perlu dipenuhi kebutuhan
rohani dan jasmaninya.
Tabel. 2
No Aspek Thomas Aquinas Hamka
1. Jalan
mencapai
kebahagiaan
Hukum Kodrad
Rahmat Ilahi
Agama, Keutamaan
Otak dan Budi,
Kesehatan Jiwa dan
Tubuh, Harta yang
Cukup
2. Argumentasi Hukum Kodrad adalah
hukum yang berasal Allah.
Menaati hukum kodrad
berarti menaati Allah, dan
sebaliknya. Maka dengan
mengikuti hukum kodrad
yang sudah ditentukan oleh
Allah dengan baik, maka
disana manusia akan dapat
Kebahagiaan menurut
Hamka terbagi menjadi
dua, yaitu, ukhrawi dan
duniawi. Kebahagiaan
ukhrawi, cara
memperolehnya
dibutuhkan agama
untuk mencapai
kebahagiaan hakiki di
81
mengusahakan kebahagiaan. akhirat. tetapi di
samping itu, manusia
juga memerlukan
kebahagiaan duniawi
agar kebahagiaannya
menjadi sempurna
sebagai penunjang
kebahagiaan akhirat.
Kebahagiaan duniawi
meliputi keutamaan-
keutamaan dalam
pribadi manusia seperti
keutamaan otak dan
budi, kesehatan tubuh
dan jiwa, serta harta
yang cukup.
82
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pada uraian tentang Konsep Kebahagiaan Pandangan
Thomas Aquinas dan Hamka, Saya tidak ingin membandingkan untuk mencari
mana yang lebih bagus dan mana yang lebih unggul dalam mengkonsep suatu
kebahagiaan, tapi saya ingin mendeskripsikan pemikiran kedua tokoh mengenai
pemikiran kebahagiaannya. Yaitu untuk menjawab pertanyaan dari rumusan
masalah yang diatas.
Thomas Aquinas, memandang bahwa manusia tidak akan mendapatkan
suatu kebahagiaan yang hakiki di dunia ini, karena dunia ini bersifat sementara,
dan tempat yang tepat untuk mendapatkan suatu kebahagiaan yang hakiki adalah
ketika manusia memandang Allah sebagai sumber kebahagiaan yang hakiki,
didalam kitab Summa Theologica yang dikarang oleh Thomas Aquinas disana
dijelaskan bahwa manusia akan mendapatkan kebahagiaan ketika manusia sudah
bertemu dengan tuhan, yaitu ketika manusia sudah beralih dari alam dunia menuju
alam baqa yaitu setelah manusia mati, jadi kehidupan ini jangan dijadikan sebagai
tempat untuk memperoleh kebahagiaan yang hakiki, karena manusia kata Thomas
Aquinas, tidak akan menemukannya. Dan jalan mencapai kebahagiaan, yaitu
dengan mengikuti hukum kodrad yang sudah ditetapkan oleh Allah.
83
Hamka mengatakan, makna bahagia terdiri dari dua macam, yaitu, bersifat
ukhrawi dan duniawi. Kebahagiaan ukhrawi merupakan kebahagiaan yang
sesungguhnya mesti dicapai manusia karena kebahagiaan ukhrawi tidak akan
berubah dan lenyap dimakan waktu dan merupakan kebahagiaan yang hakiki.
Kebahagiaan ukhrawi dapat diperoleh hanya jika seseorang mendekatkan diri
kepada Allah Swt sebagai sumber kebahagiaan. Apabila seseorang berusaha
memperoleh kebahagiaan ini, maka semasa hidupnya senantiasa mendapat
ketentraman meski dalam segala keadaan yang senantiasa berubah. Dengan
karunia Allah, ia pun akan berbahagia di akhirat karena mendapat balasan atas
kebaikannya selama di dunia.
Sedangkan kebahagiaan duniawi merupakan pelengkap dalam mencapai
kebahagiaan yang sempurna. Bagaimanapun juga, manusia adalah makhluk
dualisme yang perlu dipenuhi kebutuhannya bukan hanya yang bersifat rohani
tetapi juga jasmani. Usaha manusia dalam mencapai kebahagiaan ukhrawi akan
menimbulkan kebaikan-kebaikan yang akan memberikan kebahagiaan bagi
rohani.
Untuk mencapai kebahagiaan duniawi, manusia memerlukan keutamaan
akal dan budi, kesehatan tubuh dan jiwa serta harta yang cukup sekedar untuk
memenuhi kebutuhan hidup dan agar dapat berbagi dengan sesama. Kesemuanya
ini diperlukan agar manusia dapat beribadah dan bekerja dengan baik serta
sebagai rasa syukur atas segala karunia keindahan yang diberikan Allah kepada
manusia.
84
Persamaan pemikiran Thomas Aquinas dan Hamka mengenai
kebahagiaan, kedua tokoh ini menjadikan Tuhan sebagai sumber suatu
kebahagiaan dengan memandang kemuliaan-Nya. Sedangkan perbedaanya
terletak pada Hamka, yang membagi kebahagiaan menjadi dunia yaitu
kebahagiaan ukhrawi dan kebahagiaan duniawi, sedangkan Aquinas hanya
mengkonsep kedalam kebahagiaan ukhrawi.
B. Saran-saran
Waktu terus berjalan dari zaman ke zaman, ilmu dan teknologi semakin
berkembang pesat, tetapi sebaliknya, hidup kerohanian semakin mundur. Ini
adalah sesuatu hal yang sangat di sayangkan. Banyak fenomena seorang sukses
dengan kekayaan dan kecerdasannya, tetapi masih juga mengeleuh dan merasa
kurang, bahkan manusia pun berlomba-lomba menguasai dunia meski dengan
berbagai cara, baik cara positif maupun dengan cara negatif. Di sinilah seharusnya
manusia sadar dengan kedualismeannya. Bukan hanya jasmani saja yang perlu
dipenuhi kebutuhannya, padahal jasmani dan dunia ini merupakan hal yang fana,
yang akan hancur termakan waktu. Rohani juga perlu terpenuhi kebutuhannya
agar hidup menjadi lebih seimbang.
Maka dari itu manusia sudah barang tentu, jangan lah menjadikan
kehidupan di dunia ini sebagai orientasi sebuah kebahagiaan yang sebenarnya,
karena pada dasarnya kebahagiaan di dunia ini bersifat sementara. Akademisi
yang agamis haruslah memiliki orientasi yang seiring dengan perkembangan
85
zaman dan tetap berpedoman pada ajaran agama yang dianutnya, sebagaimana
Hamka yang membumikan kembali tasauf pada masyarakat modern yang mulai
pudar orientasi kerohaniannya. Dan Thomas Aquinas mendamaikan ajaran
Filsafat dan Theologi dalam ajarannya. Akademisi yang agamis, yang mencintai
hidup kerohanian harus mampu mengaplikasikan ilmu agamanya dalam segala
aspek kehidupan, serta mengupayakan kesadaran umat untuk terus menggapai
kemajuan dengan diiringi kesadaran hidup kerohanian agar kehidupan dapat terus
maju tanpa harus kehilangan arah dan kendali. Dengan demikian dapat terwujud
kebahagiaan bukan hanya bagi individu tetapi juga bagi masyarakat, bukan hanya
di dunia, tetapi juga akhirat.
86
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Kimiᾱ Kebahagiaan, terj, Dedi Slamet Riyadi. (Jakarta: Zaman
2001).
Aristoteles, Nichomachean Ethics,terj. Embun Kenyowati, (Jakarta: Teraju Mizan,
2004)
Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Ed. 1-
cet. 14, 2003)
Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat kaitannya dengan kondisi sosio politik
zaman kuno hingga sekarang). (Yogyakarta:Pustaka Pelajar 2002)
Bertens, K. Ringkasan Sejarah Filsafat, cet. Ke-15. Yogyakarta; Kanisisus, 1998.
Daud Ali, Pendidikan Agama (Jakarta: Rineka Cipta, 2001
David Melling, Jejak langkah pemikiran Plato,( Jogjaakarta: Bentang Budaya,
2002)
Ensiklopedia Islam di Indonesia, Depag RI-Dirjend Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam Proyek Peningkatan Prasarana dan Sarana Perguruan
Tinggi Agama/IAIN, Jakarta, 1992
Hamka, Tasauf Modern, (Jakarta: Revublika 2015)
, Pandangan Hidup Muslim, (Jakarta, Bulan Bintang, 1992).
Harun, Hadiwijino. Sari Sejarah Filsafat Barat I. (Yogyakarta; Kanisius, 1980).
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005)
87
Hawasi, Thomas Aquinas: Menyelelaraskan Antara Iman dan Akal, (Jakarta: CV.
Poliyama Widyapustaka, 2003.)
Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak . Terjemahan Helmi Hidayat (
Bandung Mizan,1994).
Ibrahim Madkour, Filsafat Islam, Metode dan Penerapan, Terj. Yudian Wahyudi
(Jakarta: Rajawali Press, 1993).
Mestikan Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2004)
Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani,( Jakarta: Tinta Mas, cet. 3, 1986)
Muhammad, Ustman Najati, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim,
(Bandung, Pustaka Hidayah, 2002)
Mulyadhi Kartanegara, Pengantar Studi Islam, (Jakarta: UIN Press, 2010), h. 245.
Murni Djamal, H. Abdul Karim Amrullah: Pengaruhnya dalam gerakan
Pembaruan Islam di Minangkabau pada awal abad ke-20. Terj. Theresia
Slamet (Jakarta: INIS, 2002.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (
Jakarta: Balai Pustaka, 1994.)
Poespoprodjo, Filsafat Moral- Kesusilaan dalam Teori dan Praktek, (Bandung:
Pustaka Grafika, 1999)
88
Suseno, Franz, Magnis, Etika Dasar. Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral,
(Yogyakarta : Ramsius. 1987)
Suseno, Magnis, 13 Tokoh Etika, (Yogyakarta : Kanisius 1997)
Thomas, Aquinas, Summa Theologica, vol. 1 (edisi Inggris : Summa Theologica, Latin
Text and English Translation, London New York, 1982: Burns And Oates,
Granville Mansions, W.)
Tim Penyusun Dar el-Machreq Sarl, Kamus al-Munjid ( Beirut: Dar el-Machreq
Sarl, 2002)
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf (n.p: Amzah,
2005)
Waryono Abdul, Ghofur, Kristologi Islam Telaah Kritis Rad al Jamil Karya Al-
Ghazali, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2006)
W. Poespo Prodjo, Filsafat Moral, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1986)
Wibowo, A. Setyo, Arete: Hidup Sukses Menurut Platon. (Yogyakarta: Kanisius
2010)
https: //idm.wikipedia.org/wiki/Thomas-Aquinas, 28-Februari 2018