Upload
niroxnirox
View
119
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
tugas
Citation preview
Kebijakan penegakan hukum pidana
Terhadap UU No.32 thn 2009
Di
S
U
S
U
N
Oleh:
Kelompok 2
Ketua : Tifa Syamsari (7111010050)
Anggota : Ilham Raja Muda Siregar (7111010092)
Nurul Ramahdani (7111010094)
Seni Watina (7111010184)
Fani Ariana Siregar (7111010166)
Riska Dani (7111010104)
FACULTY OF LAW
2013-2014
UNIVERSITY ISLAMIC OF NORTH SUMATERA
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang yang berkat karunia-Nya kami mampu menyelesaikan makalah “kebijakan penegakkan hukum pidana terhadap UU nomor 32 thn 2009” ini tepat waktu dan sesuai dengan waktu yang telah di janjikan. Terima kasih kami ucapkan kepada dosen Hukum Lingkungan pak Iwan yang telah memberikan kami tugas ini dan juga kepada teman-teman yang telah memberi masukan kepada kami dalam menyelesaikan tugas ini.
Semoga makalah ini dapat berguna bagi masyarakat luas dan bagi kita semua dalam menambah ilmu serta wawasan kita semua. Mohon maaf kami ucapkan apabila terdapat kesalahan dalam makalah ini serta mohon dimaklumi.
Medan,14 November 2013
Penyusun (kelompok 2)
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ............................................................ 1
a.Latar Belakang ............................................................ 1
BAB II ISI ............................................................
BAB I
PENDAHULUAN
a.Latar Belakang
Dalam berbagai aturan, pengelolaan lingkungan hidup sering didefinisikan sebagai upaya
terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan,
pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian
lingkungan hidup. Pelaksanaannya dilakukan oleh instansi pemerintah sesuai dengan bidang
tugas dan tanggungjawab masing-masing, masyarakat, serta pelaku pembangunan lainnya
dengan memperhatikan keterpaduan perencanaan dan kebijakan nasional pengelolaan
lingkungan hidup. Sektor lingkungan hidup oleh para perencana dan pelaku pembangunan
masih kurang diperhatikan dibandingkan bidang ekonomi misalnya. Hal ini sesungguhnya
mempengaruhi tujuan pembangunan berkelanjutan.
Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan karunia Tuhan YME yang diberikan
kepada seluruh umat manusia tanpa terkecuali.Karenanya hak untuk mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat adalah sama bagi semua manusia bahkan mahluk hidup yang ada
didunia.Dibalik kesamaan hak tersebut,tentunya adalah kewajiban semua manusia juga untuk
menjaga dan melestarikan fungsi lingkungan hidup ini.Kewajiban disini menjurus kepada
semua tindakan,usaha,dan kegiatan yang dilakukan oleh manusia baik secara individu
maupun secara berkelompok guna menjaga dan melestarikan lingkungan hidup.Hal ini perlu
dan wajib untuk dilaksanakan karena kondisi lingkungan hidup dari hari ke hari semakin
menunjukkan penurunan kualitas yang cukup signifikan.
Tidak hanya terjadi di Indonesia saja,masalah pencemaran dan pengrusakan lingkungan
hidup telah menjelma menjadi sebuah isu global yang diyakini secara Internasional.Kondisi
ini tentu saja memaksa tiap-tiap negara didunia untuk memberikan kadar perhatian yang lebih
dari biasanya terhadap masalah pencemaran dan pengrusakan Lingkungan Hidup ini.Salah
satu cara yang dilakukan oleh dunia Internasional adalah melalui bentuk-bentuk kerjasama
antar negara termasuk mengadakan pertemuan-pertemuan Internasional terkait dengan
masalah Lingkungan Hidup.Dimulai dengan pertemuan Stockholm 1972 sampai dengan saat
ini,dunia Internasional telah sepakat menempatkan masalah Lingkungan Hidup sebagai salah
satu permasalahan Internasional yang mendesak untuk diselesaikan.Karena memang dampak
yang diberikan sebagai akibat dari pengrusakan dan pencemaran Lingkungan Hidup ini telah
mulai dirasakan oleh jutaan umat manusia didunia dan hal ini juga diyakini akan berdampak
sangat buruk pada generasi dunia dimasa mendatang.Kerusakan Lingkungan Hidup memang
dapat terjadi secara alami dalam bentuk bencana dan sebagainya,namun juga dapat terjadi
sebagai akibat dari ulah manusia yang tidak mau dan tidak mampu untuk menjaga kelestarian
fungsi Lingkungan Hidupnya sendiri.
Indonesia sendiri tidak mau ketinggalan dalam memikirkan permasalahan Lingkungan
Hidup ini. Menurut Emil Salim, ada tiga sebab utama mengapa Indonesia merasa perlu
menangani masalah Lingkungan Hidup secara sungguh-sungguh,yaitu :
1. Kesadaran bahwa Indonesia sulit menanggapi masalah Lingkungan hidup sendiri;
2. Keharusan untuk mewariskan kepada generasi mendatang,bahwa sumber daya alam
yang biasa diolah secara berkelanjutan dalam proses pembangunan jangka panjang;
3. Alasan yang sifatnya idiil,yaitu untuk mewujudkan pembangunan manusia seutuhnya
(Salim,1980:23).
Kondisi ini disebabkan karena pada kenyataannya masih banyak sekali ditemukan
berbagai pencemaran dan pengrusakan Lingkungan Hidup yang terjadi di negara kita
ini.Untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan terhadap pihak yang telah melakukan
pencemaran dan pengrusakan Lingkungan Hidup tersebut dilakukan melalui jalur hukum
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada dan berlaku di negara
Indonesia. Dalam hukum negara Indonesia sendiri,masalah sengketa Lingkungan Hidup
dapat diselesaikan dengan beragam cara.Dimulai dari penyelesaian melalui jalur peradilan
maupun diluar jalur peradilan,mulai dari pelanggaran secara Pidana sampai dengan bentuk-
bentuk pelanggaran yang dilakukan secara Perdata.Beragam cara ini memberikan kesempatan
dan pilihan kepada warga negara untuk menentukan proses hukum terkait dengan berbagai
bentuk kegiatan pencemaran dan pengrusakan Lingkungan.
Berbagai cara telah diupayakan oleh pemerintah termasuk dengan memperbaiki
instrument-instrumen hukum terutama yang terkait dengan Lingkungan Hidup.Salah satu
produk hukum terbaru yang disahkan oleh pemerintah adalah Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.Undang-undang yang
mulai berlaku sejak Oktober 2009 dan tercatat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 140 ini menggantikan peran dari Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 ini diyakini
memiliki tingkat kelengkapan dan pembahasan yang lebih komprehensif jika dibandingkan
dengan UU No 23 tahun 1997,ini dikarenakan masih banyak celah-celah hukum yang
ditinggalkan oleh UU No 23 tahun 1997 tersebut.Salah satu hal yang paling dinanti dari
penerapan UU No 32 tahun 2009 ini adalah pada konteks penyelesaian masalah pencemeran
dan pengrusakan Lingkungan Hidup,tentang bagaimana bentuk penyelesaiannya sampai
dengan berbagai ancaman pidana terhadap para pelanggarnya.
BAB II
ISI
A.RUANG LINGKUP UU.No.32 THN 2009
Kerusakan lingkungan yang terjadi akibat ulah manusia yang mengambil keuntungan
dari alam yang bertindak di luar batas kewajaran tanpa memikirkan dampak buruk akibat dari
proses yang mereka lakukan seringkali berimbas pada masyarakat. Di dalam peaturan
penegakan hukum lingkungan yang didasarkan pada Undang-undang No. 32 tahun 2009
tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Ruang lingkup UU No. 32 tahun
2009 meliputi siklus yang saling terkait dan tidak terpisahkan dimulai dari perencanaan,
pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum.
Definisi pencemaran lingkungan menurut Undang-undang No.23 tahun 1997 adalah
masuknya dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain ke dalam
lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat
tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan
peruntukkannya, kemudian Undang-undang tersebut diperbaharui kembali dengan Undang-
undang No.32 tahun 2009 isi dai undang-undang tersebut adalah masuk atau dimasukannya
makhluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan
manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Dalam
Undang-undang No. 32 tahun 2009 hematnya menegaskan kembali bahwa ada standar baku
mutu lingkungan hidup yang tidak boleh dilampaui.
Definisi perusakan lingkungan, berdasarkan undang No. 23 tahun 1997 adalah tindakan yang
menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya
yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan
keberlanjutan. Dipertegas lagi melalui Undang-undang No. 32 tahun 2009 yang berbunyi
tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat
fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup. Artinya pada Undang-undang No. 32 tahun 2009 menjadi jelas perusakan
lingkungan itu akan dikatakan perusakan jika melewati kriteria baku dari kerusakan
lingkungan hidup yang ditinjau dari perubahan sifat fisik, kimia dan/atau hayati lingkungan
hidup baik itu yang berakibat secara langsung maupun tidak langsung.
Instrumen penegakan hukum lingkungan berdasarkan Undang-undang No.32 tahun 2009
terdiri dari administrasi, perdata, dan pidana. Jika terjadi pelanggaran baik itu perorangan
atau secara bersama dalam skala perusahaan maka akan dituntut mulai dari segi administrasi,
kemudian perdata dan sampai pada pidana.
Pengawasan yang dilakukan dalam skema berikut.
Wewenag pejabat pengawas lingkungan hidup (pasal 74 UU No. 32 tahun 2009)
a. Melakukan pemantauan
b. Meminta keterangan
c. Membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat catatan yang diperlukan
d. Memasuki tempat tertentu
e. Memotret
f. Membuat rekaman audio visual
g. Mengambil sampel
h. Memeriksa peralatan
i. Memeriksa instalasi dan/atau alat transportasi dan/atau
j. Menghentikan pelanggaran tertentu.
B. HUBUNGAN ANTARA PENGAWASAN DAN PENEGAKAN HUKUM
LINGKUNGAN
Penerapan sanksi administratif tidak membebaskan penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan dari tanggung jawab pemulihan dan pidana (pasal 78)
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan
hidup (pasal 85b ayat 2).
Dasar hukum Penyidik Pegawai negeri Sipil Lingkungan Hidup (PPNS-LH)
a. Pasal 94 ayat (1) UU No. 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup
b. UU No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
c. Keputusan Menteri Hukum dan Ham No.M.04.PW.07.03. tahun 2007
d. Peraturan Pemerrintah No. 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
No.27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP.
Mengenai dari hal – hal tersebut, maka sekarang akan membahas pasal per pasal
tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup berdasarkan dari Undang – undang
No. 32 Tahun 2009 yang diawali dari Pasal 14 sampai dengan Pasal 43.
C. UU No.32 TAHUN 2009
PASAL 14 Bagian Kedua Undang – Undang No. 32 Tahun 2009 yang berbunyi :
“Instrumen pencegahan pencemaran dan / atau kerusakan lingkungan hidup terdiri atas :1[2]
a. KLHS
b. Tata ruang
c. Baku mutu lingkungan hidup
d. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup
e. AMDAL
f. UKL, UPL
g. Perizinan
h. Instrumen ekonomi lingkungan hidup
i. Peraturan perundang – undangan berbasis lingkungan hidup
j. Anggaran berbasis lingkungan hidup
k. Analisis risiko lingkungan hidup
l. Audit lingkungan hidup, dan
m. Instrument lain sesuai dengan kebutuhan dan / atau perkembangan ilmu pengetahuan.
Dari Pasal 14 tersebut, bisa kita simpulkan bahwa pasal tersebut merupakan kajian yang
paling umum dari semua bagian instrument – instrument yang telah disebutkan di atas, tugas
sekarang adalah mengomentari setiap bagian dari instrument – instrument tersebut mulai dari
KLHS sampai dengan Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup (dari Pasal 14 sampai dengan
Pasal 43 UU No.32 Tahun 2009)
a. KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis)
UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pasal 14 menyatakan bahwa instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup salah satunya adalah dengan melakukan kajian lingkungan hidup strategis
1
(KLHS). Kajian ini wajib disusun oleh pemerintah dan pemerintah daerah untuk memastikan
bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam
pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program (KRP).
Dalam KLHS (kajian Lingkungan Hidup Strategis) terdapat di dalam Pasal 15, 16, 17, dan
18 UU No.32 Tahun 2009 dalam pembahasannya adalah Pemerintah dan pemerintah daerah
wajib membuat KLHS untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah
menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan,
rencana, dan/atau program dalam penyusunan dalam ;
a. Rencana tata ruang, rencana pembangunan jangka panjang, dan rencana pembangunan
jangka menengah, baik dalam untuk tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten / kota.
b. Kebijakan rencana dan / atau program yang berpotensi menimbulkan dampak risiko
lingkungan hidup/
Menurut saya KLHS ini perlu dilaksanakan secara mekanisme seperti :
a. Pengkajian pengaruh kebijakan, rencana dan / atau program terhadap kondisi lingkungan
hidup di suatu wilayah
b. Dengan cara perumusan aslternatif penyempurnaan kebijakan, rencana, dan program
c. Rekomendasi perbaikan untuk pengambilan keputusan kebijakan, rencana, dan program yang
mengintegrasikan prinsip pembangunan yang berkelanjutan
Saya ingin berkomentar tentang pasal – pasal mengenai KLHS ini mengapa diadakan karena
KLHS ini bisa :
- Mengurangi kemungkinan kekeliruan dalam membuat prakiraan/prediksi pada awal
proses perencanaan kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan
- Dampak negatif lingkungan di tingkat proyek pembangunan semakin efektif diatasi atau
dicegah karena pertimbangan lingkungan telah dikaji sejak tahap formulasi kebijakan,
rencana, atau program pembangunan
Dalam penjelasan tersebut KLHS memiliki sejumlah manfaat antara lain :
1. Merupakan instrumen proaktif dan sarana pendukung pengambilan keputusan,
2. Mengidentifikasi dan mempertimbangkan peluang-peluang baru melalui pengkajian
sistematis dan cermat atas opsi pembangunan yang tersedia,
3. Mempertimbangkan aspek lingkungan hidup secara lebih sistematis pada jenjang
pengambilan keputusan yang lebih tinggi,
4. Mencegah kesalahan investasi dengan berkat teridentifikasinya peluang pembangunan yang
tidak berkelanjutan sejak dini
5. Tata pengaturan (governance) yang lebih baik berkat keterlibatan para pihak (stakeholders)
dalam proses pengambilan keputusan melalui proses konsultasi dan partisipasi
6. Melindungi asset-asset sumberdaya alam dan lingkungan hidup guna menjamin
berlangsungnya pembangunan berkelanjutan,
7. Memfasilitasi kerjasama lintas batas untuk mencegah konflik, berbagi pemanfaatan
sumberdaya alam, dan menangani masalah kumulatif dampak lingkungan.
b. TATA RUANG
Tata ruang atau dalam bahasa Inggrisnya Land use adalah wujud struktur ruang dan pola
ruang disusun secara nasional, regional dan lokal. Secara nasional disebut Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional, yang dijabarkan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi,
dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tersebut perlu dijabarkan ke dalam Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota (RTRWK).
Ruang didefinisikan sebagai wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang
udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan
makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. Tata
Ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.2[3]
Tata Ruang terdapat di dalam Pasal 19 ayat (1) dan (2) Undang – undang No. 32
Tahun 2004 yang berisi :
1. Untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan keselamatan masyarakat, setiap
perencanaan tata ruang wilayah wajib didasarkan pada KLHS
2. Perencanaan tata ruang wilayah sebagaimana dimaksud di dalam ayat (1) ditetapkan dengan
memperhatikan daya dukung dan daya tamping lingkungan hidup.
Dalam Pasal tersebut, berdasarkan komentar saya kalau itu merupakan suatu tujuan dalam
lingkungan hidup yang sudah diebut diatas
c. BAKU MUTU LINGKUNGAN HIDUP
2
Baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi,
atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang
keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup.
Baku mutu lingkungan hidup ini terdapat didalam Pasal 20 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5)
Undang – undang No. 32 Tahun 2009. Dalam Baku mutu bisa menentukan berupa
penentuan terjadinya pencemaran lingkungan hidup yang bisa diukur melalui baku mutu
lingkungan hidup. (Pasal 20 ayat (1) ). Baku mutu lingkungan hidup ini terdiri dari beberapa
macam yang meliputi :
a. Baku mutu air
b. Baku mutu air limbah
c. Baku mutu air laut
d. Baku mutu udara ambient
e. Baku mutu emisi
f. Baku mutu gangguan
g. Baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
Komentar saya mengenai pencemaran yang terjadi dimana – mana, sering sekali pencemaran
tersebut bisa menimbulkan kerusakan lingkungan, akan tetapi di dalam Pasal 20 ayat (3)
dijelaskan bahwa setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke dalam media
lingkungan hidup, tetapi ada syarat – syarat yang harus dilakukan seperti :
a. Memenuhi baku mutu lingkungan hidup
b. Mendapat izin dari menteri, gubernur, atau bupati / walikota sesuai dengan kewenangannya.
d. KRITERIA BAKU KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP
Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup adalah ukuran batas perubahan sifat fisik,
kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup untuk
dapat tetap melestarikan fungsinya. Kriteria ini terdapat didalam Pasal 21 ayat (1), (2), (3),
(4), dan (5) Undang – undang No. 32 Tahun 2009. Perlunya penetapan peraturan
pemerintah tentang kriteria baku kerusakan ekosistem dan kriteria baku akibat perubahan
iklim dan bagaimana perubahan iklim yang umum terjadi di Indonesia mengakibatkan banjir,
kekeringan, tanah longsor dan kebakaran hutan. Peristiwa iklim yang ekstrim ini dapat
meningkatkan wabah hama dan penyakit tanaman serta vektor penyakit manusia. Hal ini
berdampak pada lingkungan serta kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat.
Kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim didasarkan pada parameter antara lain
yang disebabkan oleh :
a. Kenaikan temperature
b. Kenaikan muka air laut
c. Badai, dan
d. Kekeringan
Kejadian iklim ekstrim di Indonesia terutama kekeringan karena penurunan yang
signifikan dalam curah hujan dipengaruhi oleh ENSO (El Nino Southern Oscillation).
Penurunan signifikan curah hujan memiliki dampak signifikan pada penyimpanan air di
reservoir, banyak dari penampungan air berfungsi sebagai penyimpanan air untuk
pembangkit listrik, irigasi, dan penyediaan air minum. kekurangan air akan berdampak
signifikan pada produksi tanaman pangan. Data dampak historis ENSO terhadap produksi
padi nasional menunjukkan bahwa sistem produksi beras nasional rentan terhadap kejadian
iklim yang ekstrim.
Kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim belum menyinggung sektor kelautan yang
notabene merupakan 2/3 wilayah Indonesia dan struktur udara (atmosfer) yang juga
merupakan faktor penting dalam sistem iklim. Belum ada parameter detail dan indikator
kuantitatif kerusakan lingkungan untuk mempermudah teknis pelaksanaan program
penanggulangan dampak yang terjadi. Upaya pengendalian dampak perubahan iklim dapat
dibuktikan dengan adanya begitu banyak kebijakan akademis dan politik yang dirumuskan.
Dengan banyaknya perumusan kajian akademis dan politik ini diharapkan tindak lanjut
dan penerapannya lebih komprehensif dan dapat dipertanggungjawabkan.
e. AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan)
AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau
kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan
keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. AMDAL terdapat didalam
Pasal 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, dan 33 Undang – undang No. 32 Tahun
2009. Tujuan dan sasaran AMDAL adalah untuk menjamin suatu usaha atau kegiatan
pembangunan dapat berjalan secara berkesinambungan tanpa merusak lingkungan hidup.
Dengan melalui studi AMDAL diharapkan usaha dan/atau kegiatan pembangunan dapat
memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam secara efisien, meminimumkan dampak
negatif dan memaksimalkan dampak positip terhadap lingkungan hidup.
Rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup dimaksudkan untuk
menghindari, meminimalkan, memitigasi, dan/atau mengompensasikan dampak suatu usaha
dan/atau kegiatan.
Hal-hal penting baru yang terkait dengan AMDAL yang termuat dalam UU No. 32 Tahun
2009, antara lain:
AMDAL dan UKL/UPL merupakan salah satu instrumen pencegahan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
Penyusun dokumen AMDAL wajib memiliki sertifikat kompetensi penyusun
dokumen AMDAL;
Komisi penilai AMDAL Pusat, Propinsi, maupun kab/kota wajib memiliki lisensi
AMDAL;
Amdal dan UKL/UPL merupakan persyaratan untuk penerbitan izin lingkungan;
Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur, bupati/walikota sesuai
kewenangannya.
Selain ke - 5 hal tersebut di atas, ada pengaturan yang tegas yang diamanatkan dalam UU No.
32 Tahu 2009, yaitu dikenakannya sanksi pidana dan perdata terkait pelanggaran bidang
AMDAL. Pasal-pasal yang mengatur tentang sanksi-sanksi tersebut, yaitu:
Sanksi terhadap orang yang melakukan usaha/kegiatan tanpa memiliki izin
lingkungan;
Sanksi terhadap orang yang menyusun dokumen AMDAL tanpa memiliki sertifikat
kompetensi;
Sanksi terhadap pejabat yang memberikan izin lingkungan yang tanpa dilengkapi
dengan dokumen AMDAl atau UKL-UPL.
f. UKL dan UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan)
Upaya Pengelolaan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) adalah upaya yang
dilakukan dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup oleh penanggung jawab
usaha dan/kegiatan. UKL dan UPL terdapat didalam Pasal 34 dan 35 Undang – undang No.
32 Tahun 2009 yang berbunyi :
Pasal 34
1. Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam kriteria wajib amdal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) wajib memiliki UKL- UPL.
2. Gubernur atau bupati/walikota menetapkan jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib
dilengkapi dengan UKL-UPL.
Pasal 35
1. Usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib dilengkapi UKL-UPL sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 ayat (2) wajib membuat surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan
pemantauan lingkungan hidup
2. Penetapan jenis usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat(1) dilakukan
berdasarkan kriteria:
- tidak termasuk dalam kategori berdampak penting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
ayat(1); dan
- kegiatan usaha mikro dan kecil.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai UKL-UPL dan surat pernyataan kesanggupan pengelolaan
dan pemantauan lingkungan hidup diatur dengan peraturan Menteri.
Upaya – upaya tersebut bisa membawa dampak yang bermanfaat demi kelangsungan
lingkungan hidup.
g. PERIZINAN
Perizinan lingkungan adalah sarana yuridis administrasi untuk mencegah dan
menanggulangi (pengendalian) pencemaran lingkungan. Jenis dan prosedur perizinan
lingkungan masih beraneka ragam, rumit dan sukar ditelusuri, sehingga menjadi hambatan
bagi kegiatan dunia industri. Izin sebagai sarana hukum merupakan suatu persetujuan dari
penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pemegang ijin dilarang melakukan
tindakan menyimpanng dari ketentuan-ketentuan tersebut dan juga sebagai instrument yang
paling penting.
Dengan memberi izin, penguasa memperkenankan pemohon melakukan tindakan-
tindakan spesifik yang sebenarnya dilarang. Dengan kata lain izin adalah suatu perkenaan
dari suatu larangan.
Melalui perizinan, seorang warga negara diberikan suatu perkenaan untuk melakukan
sesuatu aktivitas yang semestinya dilarang. Ini berarti, yang esensial dari perijinan adalah
larangan suatu tindakan, kecuali diperkenakan dengan izin. Dengan demikian, ketentuan-
ketentuan perizinan mutlak dicantumkan keluasan perkenaan yang dapat diteliti batas-
batasnya bagi setiap kegiatan.
Mengenai Perizinian, ada didalam Pasal 36, 37, 38, 39, 40, dan 41 Undang – Undang No.
32 Tahun 2009
Pasal 36
1. Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki amdal atau UKL-UPL wajib memiliki
izin lingkungan.
2. Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan berdasarkan keputusan
kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 atau rekomendasi UKL-
UPL.
3. Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan persyaratan
yang dimuat dalam keputusan kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL.
4. Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya.
Pasal 37
1. Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya wajib menolak
permohonan izin lingkungan apabila permohonan izin tidak dilengkapi dengan amdal atau
UKL-UPL.
2. Izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (4) dapat dibatalkan apabila:
-. persyaratan yang diajukan dalam permohonan izin mengandung cacat hukum, keliruan,
penyalah gunaan, serta ketidak benaran dan / atau pemalsuan data, dokumen, dan informasi
-. penerbitannya tanpa memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam keputusan komisi
tentang kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL;atau
-. kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen amdal atau UKL-UPL tidak dilaksanakan oleh
penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan.
Pasal 38
Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat(2), izin lingkungan dapat
dibatalkan melalui keputusan pengadilan tata usaha negara.
Pasal 39
1. Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib
mengumumkan setiap permohonan dan keputusan izin lingkungan.
2. Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara yang mudah
diketahui oleh masyarakat.
Pasal 40
1. Izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha dan/atau
kegiatan.
2. Dalam hal izin lingkungan dicabut, izin usaha dan/atau kegiatan dibatalkan.
3. Dalam hal usaha dan/atau kegiatan mengalami perubahan, penanggung jawab
usaha dan / atau kegiatan wajib memperbarui izin lingkungan.
Pasal 41
Ketentuan lebih lanjut mengenai izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 sampai dengan
Pasal 40 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
h. INSTRUMEN EKONOMI LINGKUNGAN HIDUP
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup baru saja disahkan. Banyak hal yang diatur dalam Undang-Undang yang
baru ini, salah satu diantaranya adalah tentang instrumen ekonomi dalam pengelolaan
Lingkungan Hidup. Subyek ini merupakan sesuatu yang baru, pada undang-undang
Lingkungan Hidup yang lama subyek ini belum diatur.
Selama ini subyek instrumen ekonomi hampir belum pernah di tangani. Jadi hampir belum
banyak orang yang mengerti apa lingkup instrumen ekonomi dalam pengelolaan hidup.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 di dalam Pasal 42 dan 43, tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, instrumen ekonomi terdiri dari:
Pasal 42 ayat (2) huruf a : Instrumen perencanaan pembangunan dan kegiatan
ekonomi meliputi:
Neraca sumber daya alam dan lingkungan hidup;
Penyusunan produk domestik bruto dan produk domestik regional bruto yang
mencakup penyusutan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan hidup;
Mekanisme kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup antar daerah;
Internalisasi biaya lingkungan hidup. (Pasal 43)
Pasal 42 ayat (2) huruf b : Instrumen pendanaan lingkungan hidup meliputi:
Dana jaminan pemulihan lingkungan hidup;
Dana penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan pemulihan lingkungan
hidup;
Dana amanah/bantuan untuk konservasi. (Pasal 43)
Pasal 42 ayat (2) huruf c : Insentif dan/atau disinsentif lingkungan hidup antara lain
diterapkan dalam bentuk:
Pengadaan barang dan jasa yang ramah lingkungan hidup;
Penerapan pajak, retribusi, dan subsidi lingkungan hidup;
Pengembangan sistem lembaga keuangan dan pasar modal yang ramah lingkungan
hidup;
Pengembangan sistem perdagangan izin pembuangan limbah dan/atau emisi;
Pengembangan sistem pembayaran jasa lingkungan hidup;
Pengembangan asuransi lingkungan hidup;
Pengembangan sistem label ramah lingkungan hidup;
Sistem penghargaan kinerja di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup. (Pasal 43)
Substansi Undang-Undang ini masih sangat umum. Karena itu Undang-undang
mengamanatkan pengaturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah.
Substansi instrumen ekonomi ini, memuat beberapa terobosan baru dalam upaya
pengendalian lingkungan hidup. Masalahnya adalah seberapa jauh substansi ini dapat
dilakukan secara operasional. Ambillah contoh substansi instrumen pendanaan lingkungan.
Point ini membuka kemungkinan sumber-sumber pendanaan bagi pengelolaan dan
perlindungan lingkungan. ada kewajiban dari berbagai pihak untuk menyediakan dana bagi
pengelolaan lingkungan yang lebih baik.
Instrumen ekonomi adalah amanat undang-undang, karena itu tidak ada alasan untuk tidak
melaksanakannya. Setiap orang adalah subyek dari undang-undang ini, karena itu adalah
kewajiban semua orang untuk melaksanakannya. Substansi instrumen ekonomi, sekaligus
merupakan peluang bagi usaha. Dengan undang-undang itu, akan dikembangkan usaha-usaha
untuk memfasilitasi pelaksanaan instrumen ekonomi. Peluang usaha ini tentu akan
membutuhkan tenaga kerja yang cukup baik untuk pelaksanaannya.
Kesimpulan : Pasal 14 Undang – undang No. 32 Tahun 2009 merupakan kajian – kajian
dalam pembagian instrument tentang lingkungan hidup secara umumnya.
D. UNSUR TINDAK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NO.32 TAHUN 2009
Pembahasan tentang tindak pidana sebagai masalah pokok hukum pidana akan
memperlihatkan arti pentingnya tindak pidana sebagai salah satu dari tiga masalah pokok
hukum pidana. Tiga masalah pokok hukum pidana, meliputi:
a. Masalah perbuatan yang dilarang dan diancam pidana;
b. Masalah pertanggung jawaban pidana dari si pelaku atau kesalahan;
c. Masalah sanksi atau pidana.
Dalam undang-undang no.32 tahun 2009 ini masalah pokok hukum pidana tersebut diatur di
dalam ketentuan pidana dalam bab XV yang terdiri dari dua pulh tiga pasal yaitu pasal 97
sampai dengan pasal 120, sebagaimana dijelaskan pada bab II bagian C mengenai Telaah
Umum Tentang Tindak Pidana dalam Undang-Undang no. 32 tahun 2009 Tentang
perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dalam bab II dijelaskan mengenai unsure tindak pidana, saya mengambil unsur tindak pidana
menurut D. Simons, Ia membedakan unsur-unsur tindak pidana menjadi sujektif dan objektif.
Unsur objektif dalam tindak pidana meliputi:
a. Perbuatan orang;
b. Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu;
c. Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai keadaan itu, seperti di muka umum pada
Pasal 181 KUHP.
Unsur subjektif dalam tindak pidana meliputi:
a. Orang yang mampu bertanggung jawab;
b. Adanya kesalahan (dolus/culpa).
Dilihat dari unsur-unsur tersebut maka dalam undang-undang no.32 than 2009 memenuhi
unsur obyektif dan unsur subyektif dalam delik pidananya yaitu meliputi :
a. Unsur obyektif :
Unsur obyektif dalam undang-undang ini meliputi segala perbuatan yang menyebabkan
adanya akibat berupa kerusakan lingkunganyang merugikan masyarakat yaitu meliputi
perbuatan yang mngakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambient, baku mutu air, baku
mutu air laut, atau criteria baku kerusakan lingkungan hidup. Dan segala bentuk larangan
yang terdapat dalam pasal 69 undang-undang no.32 tahun 2009.
b. Unsure subyektif
Bahwa dalam undang-undang tersebut menyebutkan adanya unsure kesengajaan dari pelaku
tetapi juga menyebutkan unsur kealpaan pada tindakan tertentu, berikut contoh pasal-
pasalnya yang menguraikan kesengajaan dan kealpaan,
• Unsure kesengajaan :
Pasal 98
1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan
dilampauinya baku mutu udara ambient, baku mutu air laut, atau criteria bau kerusakan
lingkungan hidup dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)
dan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miiar rupiah).
• Unsur kealpaan :
Pasal 99
1) Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampainya baku mutu udara
ambient, baku mutu air laut, atau criteria baku kerusakan lingkungan hidup dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3(tiga) tahun dan denda paling
sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00
(tiga miiar rupiah).
E.PENEGAKAN SANKSI PIDANA LINGKUNGAN
Sanksi Pidana merupakan sanksi hukum yang bersifat antisipatif bukan reaktif,
terhadap pelaku tindak pidana yang berbasis pada filsafat determinisme dalam ragam bentuk
sanksi yang dinamis dan spesifikasi, bukan penderitaan fisik atau perampasan kemerdekaan,
dengan tujuan untuk memulihkan keadaan tertentu bagi pelaku maupun korban.
Ketentuan hukum pidana dalam UUPPLH No. 32 Tahun 2009 lebih lengkap bila
dibandingkan dengan UULH yang lama atau UU No. 4 Tahun 1982 maupun No. 23 Tahun
1997. Karena pada UU No. 4 Tahun 1982 tersebut hanya mengatur tentang delik materiil
saja.Sementara dalam UU No. 23 Tahun 1997 selain mengatur tentang delik materiil
mengatur pula delik formil. Sedangkan pada UU No. 32 Tahun 2009 lebih terperinci delik
yang dilakukan, serta kriminalisasi terhadap pejabat AMDAL yang tidak memiliki kualifikasi
atau tanpa sertifikasi mengeluarkan izin AMDAL. Pejabat pemberi izin lingkungan yang
menerbitkan izin tidak dilengkapi dengan AMDAL atau UKL, UPL.Demikian pula pejabat
pengawas yang tidak melakukan pengawasan dengan baik sehingga suatu usaha melakukan
pencemarandan/atau perusakan lingkungan hidup.Selanjutnya memberi informasi palsu,
menghilangkan atau merusak informasi yang diperlukan dalam pengawasan dan penegakan
hukum juga dapat dipidana.
Ketentuan hukum pidana dalam UUPPLH yang baru sebagaimana telah diuraikan
diatas tidak hanya mengatur perbuatan pidana pencemaran dan/atau perusakan (generic
crimes) atau delik materiel sebagaimana diatur dalam Pasal 98 ayat (2, 3), Pasal 99 ayat (2, 3)
dan 108, akan tetapi mengatur juga perbuatan pelepasan, pembuangan zat, energi dan/atau
komponen lain yang berbahaya dan beracun, serta mengelola B3 tanpa izin (specific crimes)
atau delik formil sebagaimana diatur dalam Pasal 98 ayat (1), Pasal 99 ayat (1) sampai
dengan Pasal 109.
Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa penegakan sanksi pidana adalah
penjatuhan hukuman terhadap orang yang melakukan tindak pidana lingkungan.
Penegakan hukum pidana dalam konteks hukum lingkungan bersifat ultimum remedium.
Dimana instrumen pidana merupakan solusi terakhir atas kejahatan lingkungan yang
dilakukan oleh orang (orang perseorangan dan/atau badan usaha yang berbadan hukum
maupun yang tidak berbadan hukum). Hukum lingkungan juga mendayagunakan hukum
administrasi dan hukum perdata sebagai tool untuk meminimalisir kejahatan lingkungan.
Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup telah mengantisipasi persoalan koordinasi dalam penengakan hukum
lingkungan. Sebab sudah menjadi rahasia umum bahwa koordinasi antar aparat penegak
hukum belum maksimal, sehingga perlu diatur secara rigid dalam pasal 95.
Penegakan hukum lingkungan yang terpadu antara penyidik pegawai negeri sipil,
kepolisian dan kejaksaan dibawah koordinasi Menteri Negara lingkungan Hidup merupakan
suatu upaya sungguh-sungguh agar penegakan hukum lingkungan dapat berjalan efektif,
efisien serta berhasil dan berdaya guna.
Bentuk kerjasama antara penyidik pegawai negeri sipil dengan penyidik polri berupa
bantuan personil, bantuan personil dalam rangka eksekusi putusan, bantuan laboratorium
lingkungan dan/atau ahli, disisi lain polri sebagai koordinator pengawas penyidik pegawai
negeri sipil memberikan bantuan dalam bentuk laboratorium forensic, identifikasi, dan
psikologi, bantuan personil penyidik, bantuan peralatan, upaya paksa, penitipan tahanan serta
pengamanan barang bukti maupun tersangka dan/atau terdakwa. Dan bentuk kerjasama
dengan jaksa menyangkut asistensi dan konsultasi dalam penerapan konstruksi hukum
sebelum atau selama proses penyidikan.
PENEGAKAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NO.32 TAHUN 2009
Kelebihan hukum pidana dengan instrumen hukum lain : administrasi, perdata adalah
terletak pada sifat penjeraan. Dimana orang (orang perseorangan dan/atau badan usaha
berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum) akan ditimpakan pidana atau nestapa
atas perbuatannya yang memenuhi unsur pidana dan mempunyai unsur kesalahan.
Berbeda dengan Undang-Undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup yang tidak memuat ancaman minimum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan,
dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup telah memperkenalkan ancaman hukuman minimum di samping
maksimum.
Jenis Sanksi UU 23/1997 UU 32/2009
PIDANA Minimum Tidak ada 1 tahun
Maksimum 15 Tahun 15 tahun
DENDA Minimum Tidak ada 500 juta rupiah
Maksimum 750 juta rupiah 15 miliar rupiah
Tabel perbandingan jenis sanksi pidana dan denda antara UU 23/1997 dengan UU 32/2009
Tujuan dari pembatasan hukuman minimum adalah hakim “dipaksa” untuk memvonis suatu
perkara tindak pidana lingkungan hidup dengan mengacu pada batasan minimum
sebagaimana yang diatur dalam undang-undang no.32 Tahun 2009. Sehingga diharapkan dari
putusan tersebut melahirkan efek jera bagi pelaku tindak pidana lingkungan hidup.
Selain jenis hukuman minimum yang diatur dalam UU No.32 Tahun 2009, hal lain yang baru
adalah perluasan alat bukti sebagai mana dimuat dalam pasal 96 :
Alat bukti yang sah dalam tuntutan tindak pidana lingkungan hidup terdiri atas:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa;dan/atau
f. alat bukti lain, termasuk alat bukti yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Alat bukti dalam huruf f merupakan alat bukti baru yang sebelumnya tidak diatur dalam UU
No.23 Tahun 1997. Perluasan alat bukti ini dipandang perlu sebab motif, alat untuk
melakukan kejahatan lingkungan tidak terbatas pada hal-hal yang konvensional namun juga
seiring perkembangan zaman telah maju .
Pengaturan tentang tindak pidana korporasi (baca : perusahaan) merupakan bukti
progresifitas UU No.32 Tahun 2009. Korporasi sebagai subjek hukum (rechtpersoon) selain
daripada manusia (persoonlijk) merupakan pelaku yang dominan dalam kejahatan
lingkungan. Jarang kita melihat, mendengar bahwa perusakan dan/atau pencemaran
dilakukan oleh orang perorang sebab motif orang melakukan kejahatan lingkungan adalah
ekonomi.
Atas dasar itu UU No.32 Tahun 2009 mengatur pidana korporasi dalam pasal 116 :
1) apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha,
tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:
a. badan usaha; dan/atau
b. orang yang member perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang
bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.
2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak
dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau
pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut
dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.
Secara teoritis pertanggungjawaban pidana korporasi (corporate criminal liability)
merupakan suatu hal yang telah lama menjadi bahan diskursus. Korporasi sebagai subjek
hukum dapat bertindak secara mandiri dalam melakukan perbuatan hukum (perjanjian,
kontrak, dapat menuntut dan dituntut dipengadilan). Namun sampai saat ini, konsep
pertanggungjawaban pidana oleh korporasi sebagai pribadi (corporate criminal liability)
merupakan hal yang masih mengundang perdebatan. Banyak pihak yang tidak mendukung
pandangan bahwa suatu korporsi yang wujudnya semu dapat melakukan suatu tindak
kejahatan serta memiliki criminal intent yang melahirkan pertanggungjawaban pidana.
Disamping itu, mustahil untuk dapat menghadirkan di korporasi dengan fisik yang
sebenarnya dalam ruang pengadilan dan duduk di kursi terdakwa guna menjalani proses
peradilan.
Secara praktek kesulitan hakim dalam memutuskan suatu perkara dalam upaya
memidanakan korporasi adalah sulitnya mengidentifikasi niat jahat (mens rea) dan tindakan
tertentu yang melanggar hukum (actus reus). Dalam rezim sistem hukum common law
maupun civil law, sangat sulit untuk dapat mengatribusikan suatu bentuk tindakan tertentu
(actus reus atau guilty act) serta membuktikan unsur mens rea (criminal intent atau guilty
mind) dari suatu entitas abstrak seperti korporasi.
Untuk mengidentifikasi unsur kesalahan (mens rea dan actus reus) dalam tindak
pidana korporasi maka UU No.32 Tahun 2009 menggunakan doktrin Vicarius liability suatu
doktrin yang membebankan suatu tanggung jawab hukum atas tindakan yang dilakukan oleh
orang lain. Doktrin ini juga disebut dengan pengalihan tanggung jawab. Syarat-syarat agar
dapat diterapkan teori ini adalah terjadinya suatu hubungan kerja atau hubungan yang bersifat
kontraktual. Suatu tindakan yang dilakukan oleh pegawai rendahan dalam sebuah korporasi
dan tindakan tersebut atas perintah dan/atau kebijakan perusahan maka yang dapat dimintai
pertanggungjawaban hukum adalah Direktur dan korporasi. Sedangkan pegawai rendahan
tersebut tidak dapat diminta pertanggungjawaban karena hanya menjalankan perintah.
Syarat-syarat untuk dapat dipidananya direktur atas tindakan bawahan adalah dijalankan atau
tidak business judgement rule yaitu suatu teori yang sangat popular untuk menjamin keadilan
bagi para direktur yang mempunyai itikad baik. Penerapan teori ini mempunyai misi utama,
yaitu untuk mencapai keadilan, khususnya bagi para direktur sebuah perusahaan terbatas
dalam melakukan suatu keputusan bisnis.
Tolak ukur agar direksi dapat diminta pertanggungjawaban pidana adalah pertama, memiliki
informasi tentang masalah yang akan diputuskan dan percaya bahwa informasi tersebut benar
Kedua, tidak memiliki kepentingan dengan keputusan dan memutuskan dengan itikad baik.
Ketiga, memiliki dasar rasional untuk mempercayai bahwa keputusan yang diambil adalah
yang terbaik bagi perusahaan. Sehingga, apabila terbukti bahwa tindakan atau keputusan
yang diambil oleh direktur untuk memberlakukan suatu kebijakan korporasi yang didasarkan
atas business judgment yang tepat dalam rangka meraih keuntungan sebanyak-banyaknya
bagi korporasi, maka apabila ternyata tindakan yang diambil tersebut menimbulkan kerugian
yang melahirkan pertanggungjawaban pidana, tidak dapat dibebankan pada pribadi pengurus
(direksi atau pejabat korporasi lainnya), tetapi dibebankan pada korporasi.
Pertanggungjawaban oleh pengurus hanya dimungkinkan apabila terbukti terjadi pelanggaran
duty of care dan duty of loyalty.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Definisi pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimuat dalam UU No.32
Tahun 2009 sangat jelas, dimana tolak ukur terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan
hidup mengacu kepada baku mutu lingkungan hidup dan kriteria baku kerusakan lingkungan
hidup;
KLHS merupakan suatu upaya preemptive yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah
untuk lebih mengintegrasikan suatu kebijakan, rencana dan/atau program yang berwawasan
lingkungan dan mendukung konsepsi pembangunan berkelanjutan;
Penegakan hukum lingkungan secara spesifik pidana lingkungan mengalami kemajuan, dimana
dalam UU No.32 Tahun 2009 diatur tentang pidana minimum dan denda minimum;
Perluasan alat bukti dalam pidana lingkungan hidup sebagaimana dimuat dalam pasal 96.
Perluasan
ini mengantisipasi perkembangan zaman yang semakin sophisticated;
Pasal 14 Undang – undang No. 32 Tahun 2009 merupakan kajian – kajian dalam pembagian
instrument tentang lingkungan hidup secara umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Bismar Nasution, Op.Cit, hlm.12 Undang-undang No 8 tahun 1981 tentang KUHAP Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Modul Pengetahuan dan Hukum Lingkungan PTIK,2007. Rina Suliastini,2009.Perbandingan UU No 23/1997 dengan UU No 32 /2009 Ali Azar,2007.Upaya penegakan hukum terhadap Kerusakan lingkungan
Hidup.