kebijakan Polmas

Embed Size (px)

Citation preview

KEBIJAKAN DAN STRATEGI POLMAS POLRI KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENERAPAN MODEL PERPOLISIAN MASYARAKAT DALAM PENYELENGGARAAN TUGAS POLRI

I. PENDAHULUAN. 1. Umum a. Dalam kehidupan masyarakat madani yang bercirikan demokrasi dan supremasi hukum, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) harus mampu memberikan jaminan keamanan, ketertiban dan perlindungan hak asasi manusian kepada masyarakat serta dapat menunjukan transparasi dalam setiap tindakan, menjujung tinggi kebenaran, kejujuran, keadilan, kepastian dan manfaat sebagai wujud pertanggung-jawaban tehadap publik (akuntabilasi publik). b. Proses reformasi yang telah dan sedang berlangsung untuk menuju masyarakat sipil yang demokratis membawa berbagai perubahan didalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Polri yang saat ini sedang melaksanakan proses reformasi untuk menjadi Kepolisian sipil, harus dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan kehidupan masyarakat dengan cara merubah paradigma yang menitik-beratkan pada pendekatan yang reaktif dan konvensional (kekuasaan) menuju pendekatan yang proaktif dan mendapat dukungan publik dengan mengedepankan kemitraan dalam rangka pemecahan masalah-masalah sosial. Model penyelenggaraan fungsi kepolisian tersebut dikenal dengan berbagai nama seperti Community Oriented Policing, Community Based Policing dan Naighbourhood Policing dan akhirnya popular dengan sebutan Community Policing. c. Beberapa tahun belakangan, lembaga-lembaga donor yang bermaksud memberi dukungan dalam proses reformasi Polri menawarkan bantuan dana untuk proyekproyek pengembangan Community Policing. Polda NTB yang bekerjasama dengan Universitas Negeri Mataram merupakan satuan organisasi Polri yang pertama kali (2001) menangkap peluang tersebut dengan menyelenggarakan proyek yang disebut

Pengembangan Kepolisian Nasional Berorientasi Masyarakat Lokal atas dukungan biaya Partnership setelah itu sejumlah Polda menyelenggarakan proyek serupa, misalnya Polda Kalbar, Polda Jawa Timur dan Polda Jawa Barat dengan mengimplementasikan Community Policing dan membangun forum kemitraan Polisi masyarakat pada tingkat Polsek atas dukungan biaya dari International Organization For Migration (IOM). PoLDA Metro Jaya / Polres Bekasi mengembangkan program Community Policing dengan mengadopsi pola Koban di Jepang atas dukungan biaya Japan International Coordination Agency (JICA). Polda DIY mengembangkan program Community Policing dengan dukungan biaya The Asia Fondation. Penerapan model Community Policing melalui berbagai proyek tersebut didasarkan atas resepsi masing-masing penyelenggara proyek sehingga menimbulkan kekurangan-sinkronan dalam implementasinya. d. Cara Tradisional Polri mengembangkan program bimbingan masyarakat (Bimmas) dan program-program yang berkaitan dengan Sistem Keamanan Swakarsa (Siskamswakarsa). Program Siskamswakarsa dilakukan melalui sistem keamanan lingkungan (Siskamling) yang meliputi lingkungan pemukiman, lingkungan pendidikan dan lingkungan kerja sebagai bentuk pengamanan Swakarsa sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Babinkamtibmas (Bintara Pembinaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat) berperan sebagai ujung tombak pelaksanaan Siskamswakarsa/Siskamling. Selain membawa berbagai manfaat, pola penyelenggaraan tugas Polri yang bersifat Pre-emtif dengan pendekatan Bimmas/Babinkamtibmas yang mencerminkan hubungan struktural Kekuasaan dipandang perlu untuk disesuaikan untuk perkembangan masyarakat madani. e. Atas dasar pertimbangan-pertimbangan yang diuraikan diatas maka dipandang perlu untuk mengadopsi konsep Community Policing dan menyesuaikannya dengan karakteristik dan kebutuhan masyarakat Indonesia serta dengan cara dan dengan nama Indonesia. Tanpa mengeyampingkan kemungkinan penggunaan penterjemahan istlah yang berbeda terutama bagi keperluan akademis secara formal oleh jajaran polri, model tersebut diberi nama Perpolisian Masyarakat dan selanjutnya secara konseptual dan operasional disebut Polmas. Pemikiranpemikiran yang berkenaan dengan pengembangan Polmas dipandang perlu dituangkan dalam suatu naskah kebijakan dan strategi organisasi. II KONSEP PERPOLISIAN MASYARAKAT (POLMAS) 1. Latar Belakang

a. Sebelum konsep Community Policing diluncurkan terutama di negara-negara maju, penyelenggaraan tugas-tugas Kepolisian baik dalam pemeliharaan keamanan dan ketertiban maupun penegakan hukum, dilakukan secara konvensional. Polisi cenderung melihat dirinya semata-mata sebagai pemegang otoritas dan institusi Kepolisian dipandang semata-mata sebagai alat negara sehingga pendekatan kekuasaan bahkan tindakan represif seringkali mewarnai pelaksanaan tugas dan wewenang Kepolisian. Walaupun prinsip-prinsip melayani dan melindungi (to serve and to protect) ditekankan, pendekatan-pendekatan yang birokratis, sentralistik, serba sama/seragam mewarnai penyajian layanan Kepolisian. Gaya perpolisian tersebut mendorong polisi untuk mendahulukan mandat dari pemerintah pusat dan mengabaikan persetujuan masyarakat lokal yang dilayani. Selain itu Polisi cenderung menumbuhkan sikap yang menampilkan dirinya sebagai sosok yang formal, dan ekslusif dari anggota masyarakat lainnya. Pada akhirnya semua itu berakibat pada memudarnya legitimasi Kepolisian dimata publik pada satu sisi, serta semain berkurangnya dukungan publik bagi pelaksanan tugas Kepolisian maupun buruknya citra polisi pada sisi lain. b. Kondisi seperti diutarakan pada huruf a, juga terjadi di Indonesia, lebih-lebih ketika Polri dijadikan sebagai bagian integral ABRI dan Polisi merupakan pajurit ABRI yang dalam pelaksanaan tugasnya diwarnai sikap dan tindakan yang kaku bahkan militeristik yang tidak profesional. Kepolisian, utamanya penegak hukum, yang bersifat otoriter, kaku, keras dan kurang peka terhadap kebutuhan rasa aman masyarakat. Disisi lain pelaksanaan tugas Kapolisian sehari-hari, lebih mengedepankan penegakan hukum utamanya untuk menanggulangi tindak kriminal. Berdasarkan TAP MPR Nomor II/MPR/1993 tentang Garis Besar Haluan Negara yang berkaitan dengan Sistem Keamanan dan Ketertiban Masyarakat Swakarsa, Polri dibebani tugas sebagai ujung tombak terdepan. Pendekatan demikian memposisikan masyarakat seakan-akan hanya sebagai obyek dan Polisi sebagai subjek yang serba lebih sehingga dianggap figur yang mampu menangani dan menyelesaikan segenap permasalahan Kamtibmas yang dihadapi masyarakat. c. Sejalan dengan pergeseran peradaban umat manusia, secara Universal terutama dinegara-negara maju, masyarakat cenderung semakin jenuh dengan cara-cara lembaga pemerintah yang birokrasi, resmi, formal/kaku, general/seragam dan lainlain dalam menyajikan layanan publik. Terdaoat kecenderungan bahwa masyarakat lebih menginginkan pendekatan-pendekatan yang personal dan menekankan pemecahan masalah daripda sekedar terpaku pada formalitas hukum yang kaku. Dalam bidang penegakan hukum terutama yang menyangkut pertikaian antar warga, penyelesaian dengan mekanisme informal dibanding lebih efektif daripada

proses sistem peradilan pidana formal yang diacapkali kurang memberikan peranan yang berarti bagi korban dalam pengambilan keputusan penyelesaian masalah yang dideritanya. d. Kondisi sebagaimana diutarakan diatas mendorong diluncurkannya programprogram baru dalam menyelenggarakan tugas Kepolisian terutama yang disebut Community Policing. Lambat laun Community Policing tidak lagi hanya merupakan suatu program dan garis miring atau strategi melainkan suatu falsafah yang menggeser paradigma convensional menjadi suatu model perpolisian baru dalam masyarakat madani. Model ini pada hakekatnya menempatkan masyarakat bukan semata-mata sebagai obyek tetapi mitra Kepolisian dan pemecahan masalah (pelanggaran hukum) lebih merupakan kepentingan daripada sekedar proses penanganan yang formal/prosedural. e. Dalam kehidupan masyarakat bangsa Indonesia nilai-nilai yang terkandung dalam konsep Community Policing pada hakekatnya bukan merupakan hal yang asing. Kebijakan Siskamswakarsa diangkat dari nilai-nilai siso-kultural masyarakat Indonesia, yang lebih menjunjung nilai-nilai sosial daripada individu. Pelaksanaan lingkungan secara swakarsa pernah/masih efektif berjalan. Pada bagian-bagian wilayah/etnik tertentu nilai-nilai kultural masih efektif (bisa diefektifkan) dalam menyelesaikan masalah sosial pada tingkat lokal. Nilai saling memaafkan dijunjung tinggi dalam masyarakat Indonesia yang religius. Pada zaman dahulu dikenal adanya Hakim Perdamaian desa. Kondisi itu semua merupakan modal awal yang dapat berperan sebagai faktor pendukung yang efektif dalam pembangunan Community Policing ala Indonesia, jika dikelola secara tepat sesuai ke-kini-an dan sejalan dengan upaya membangun masyarakat madani khususnya Kapolisian sipil yang menekankan pada pendekatan kemanusian khususnya perlindungan hak-hak asasi manusia dalam pelaksanaan tugas Kepolisian. 2. Pengertian a. Konsep Polmas mencangkup 2 (dua) unsur : Perpolisian dan masyarakat. Secara harfiah, perpolisian yang merupakan terjemahan dari kata Policing berarti segala hal ikhwal tentang penyelenggaraan fungsi Kepolisian. Dalam konteks ini perpolisian tidak hanya menyangkut opersionalisasi (taktik/teknik) fungsi Kepolisian tetapi juga pengelolaan fungsi kepolisian secara menyeluruh mulai dari tataran manajemen puncak sampai manajemen lapis bawah, termasuk pemikiran-pemikiran filsafati yang meletarbelakanginya.

b. Masyarakat yang merupakan terjemahan dari kata Community (komunitas) dalam konteks Polmas berarti : 1). Warga masyarakat atau komunitas yang berada didalam suatu wilayah kecil yang jelas batas-batasnya (geographic-community). Batas wilayah komunitas ini harus dilakukan dengan memperhatikan keunikan karakteristik geografis dan sosial dari suatu lingkungan dan terutama kefektifan pemberian layanan kepada warga masyarakat. Wilayah tersebut dapat berbentuk RT, RW, Desa, Kelurahan, ataupun berupa pasar/pusat belanja/Mall, Kawasan Industri, pusat/komplek olah raga, stasiun bus/kereta api dan lain-lain. 2). Dalam pengertian yang diperluas masyarakat dalam pendekatan Polmas diterapkan juga bisa meliputi sekelompok orang yang hidup dalam suatu wilayah lebih luas seperti Kecamatan bahkan Kabupaten/Kota, sepanjang mereka memiliki kesamaan kepentingan. Sebagai contoh kelompok berdasar etnis/suku, kelompok berdasar agama, kelompok berdasar profesi, hobi dan sebagainya. Keompok ini dikenal dengan nama komunitas berdasar kepentingan (Community Of Interest). c. Sebagai suatu strategi, Polmas berarti : model perpolisian yang menekankan kemitraan yang sejajar antara petugas Polmas dengan masyarakat lokal dalam menyelesaikan dan mengatasi setiap permasalahan sosial yang mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat serta ketentraman kehidupan masyarakat setempat dengan tujuan untuk mengurangi kejahatan dan rasa ketakutan akan kejahatan serta meningkatkan kualitas hidup warga setempat. 1) Dalam pengertian ini, masyarakat diberdayakan sehingga tidak lagi semata-mata sebagai obyek dalam penyelenggaraan fungsi Kepolisian melainkan sebagai subyek yang menentukan dalam mengelola sendiri upaya penciptaan lingkungan yang aman dan tertib sebagai ketentraman dan keselamatan kehidupan bersama mereka yang fasilitasi oleh [etugas Kepolisian yang berperan sebagai petugas Polmas dalam suatu kemitraan. 2) Dalam pengertian pengelolaan terkandung makna bahwa masyarakat berusaha menemukan, mengidentifikasi, menganalisis dan mencari jalan keluar pemecahan masalah-masalah gangguan keamanan dan ketertiban termasuk pertikaian antar warga serta penyakit masyarakat dan masalah sosial lain yang bersumber dari dalam kehidupan mereka sendiri bagi terwujudnya susunan kehidupan bersama yang damai dan tentram.

3) Operasionalisasi konsep Polmas pada tataran lokal memungkinkan masyarakat setempat untuk memelihara dan menumbuh-kembangkan sendiri pengelolaan keamanan dan ketertiban yang didasarkan atas norma-norma sosial dan garis miring atau kesepakatan-kesepakatan lokal dengan mengindahkan peraturanperaturan hukum yang bersifat nasional dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip HAM (Hak Asasi Manusia) dan kebebasan individu yang bertanggung jawb dalam kehidupan masyarakat yang demokratis. d. Polmas pada dasarnya sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam konsep Siskamswakarsa yang dalam pengembangannya disesuaikan dengan ke-kini-an penyelenggaraan fungsi Kepolisian dalam masyarakat madani, sehingga tidak semata-mata merupakan pengadopsian dari konsep Community Policing. e. Mengacu pada uraian diatas, Polmas pada hakekatnya mengandung 2 (dua) unsur utama yaitu : 1) Membangun kemitraan antara Polisi dan Masyarakat. 2) Menyelesaikan berbagai masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat lokal. f. Sebagai suatu falsafah, Polmas mengandung makna suatu model perpolisian yang menekankan hubungan yang menjunjung nilai-nilai sosial/kemanusian dan menampilkan sikap santun dan saling mengahargai antara Polisi dan Warga dalam rangka menciptakan kondisi yang menunjang kelancaran penyelenggaraan fungsi Kepolisian dan peningkatan kualitas hidup masyarakat. 3. Perwujudan Polmas. a. Model Polmas dapat mengambil bentuk : 1) Model wilayah yaitu yang mencakup satu atau gabungan beberapa area/kawasan pemukiman ( RW / RK / dusun / desa / kelurahan ). Pembentukan Polmas model ini harus lebih didasarkan pada keinginan masyarakat itu sendiri, walaupun proses ini bisa saja dilatarbelakangi oleh dorongan Polisi. 2) Model kawasan yaitu satu kesatuan area kegiatan bisnis dengan pembatasan yang jelas (mall/pusat perdagangan/pertokoan/perkantoran/kawasan industri). Pembentukan Polmas model ini dapat dilakukan inisiatif bersama. b. Pembentukan Polmas mempersyaratkan :

1) Adanya seorang petugas Polmas yang ditugaskan secara tetap untuk model kawasan. 2) Model kawasan mempersyaratkan adanya Pos (balai) sebagai pusat layanan Kepolisian sedangkan model wilayah dapat memanfaatkan fasilitas yang tersedia pada kantor desa/kelurahan atau tempat tinggal Polmas. 3) Adanya suatu forum kemitraan yang keanggotaannya mencerminkan keterwakilan semua unsur dalam masyarakat termasuk petugas Polmas dan Pemerintah setempat. c. Perwujudan Polmas sebagai suatu falsafah merasuk dalam sikap dan perilaku setiap anggota Polri yang mencerminkan pendekatan kemanusiaan baik dalam pelaksanaan tugas pelayanan Kepolisian maupun dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. 4. Operasionalisasi Polmas. a. Prinsip-prinsip operasionalisasi Polmas meliputi : 1) Transfarasi dan akuntabilitas : Operasionalisasi Polmas oleh petugas Polmas dan forum kemitraan harus dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggung-jawabkan kepada masyarakat setempat. 2) Partisipasi dan kesetaraan : Operasionalisasi Polmas harus dibangun atas dasar kemitraan yang serta dan saling mendukung dengan menjamin keikutsertaan warga dalam proses pengambilan keputusan dan menghargai perbedaan pendapat. 3) Personalisasi : Petugas Polmas dituntut untuk memberikan layanan kepada setiap warga dengan lebih menekankan pendekatan pribadi daripada hubungan formal yang kaku dengan menciptakan hubungan yang dekat dan saling kenal diantara mereka. 4) Penugasan permanen :

Penempatan anggota Polri sebagai petugas Polmas merupakan penugasan yang permanen untuk jangka waktu yang cukup lama, sehingga memiliki kesempatan untuk membangun kemitraan dengan warga masyarakat dalam wilayah yurisdiksi yang jelas batas-batasnya. 5) Desentralisasi dan otonomisasi : Operasionalisasi Polmas Mensyaratkan adanya desentralisasi kewenangan yang meliputi pemberian tanggung jawab dan otoritas kepada petugas Polmas dan forum kemitraan Polisi-Masyarakat (FKPM) sehingga merupakan pranata yang bersifat otonom dalam mengambil langkah-langkah pemecahan masalah termasuk penyelesaian konflik antar warga maupun antar warga dengan Polisi/Pejabat setempat. b. Keefektifan operasionalisasi Polmas ditentukan oleh hal-hal sebagi berikut : 1) Perubahan pendekatan manajerial yang meliputi : a) Kapolsek bertanggung-jawab untuk menunjang keberhasilan petugas Polmas. b) Kapolres beserta staf terkait bertanggung jawab untuk memperoleh dan menyediakan sumber daya dan dukungan yang perlukan untuk pemecahan masalah. 2) Perubahan persepsi dikalangan segenap anggota Kepolisian setempat bahwa masyarakat adalah stakeholder bukan saja kepada siapa Polisi memberikan layanan tetapi juga kepada siapa mereka bertanggung jawab. 3) Pelaksanaan tugas setiap anggota satuan fungsi operasional Polri harus dijiwai dengan semangat melayani dan melindungi sebagai suatu kewajiban profesi. 4) Kerjasama dan dukungan Pemerintah Daerah dan DPRD serta segenap komponen terkait, yaitu : Instansi Pemerintah terkait, pengusaha, lembagalembaga sosial kemasyarakatan (termasuk LSM) dan media massa (media elektronik dan media cetak). III ARAH DAN KEBIJAKAN 1. Tujuan penerapan Polmas

a. Tujuan penerepan Polmas adalah terwujudnya kerjasama Polisi dan Masyarakat lokal (komunitas) untuk menanggulangi kejahatan dan ketidaktertiban sosial dalam rangka menciptakan ketentraman umum dalam kehidupan masyarakat setempat. b. Menanggulangi kejahatan dan ketidak tertiban sosial mengandung makna bukan hanya mencegah timbulnya tetapi juga mencari jalan keluar pemecahan permasalahan yang dapat menimbulkan gangguan terhadap keamanan dan ketertiban yang bersumber dari komunitas itu sendiri serta dalam batas-batas tertentu mengambil tindakan pertama jika terjadi kejahatan atau bahkan menyelesaikan pertikaian antar warga sehingga tidak memerlukan penanganan melalui proses formal dalam sistem peradilan pidana. c. Menciptakan ketentraman umum mengandung makna bahwa yang dituju oleh Polmas bukan hanya sekedar ketiadaan gangguan faktual terhadap keamanan dan ketertiban tetapi juga perasaan takut warga dalam kehidupan bersama dalam komunitas mereka. d. Kerjasama Polisi dan masyarakat mengandung makna bukan sekedar bekerja bersama dalam operasionalisasi penanggulangan kejahatan dan ketidaktertiban sosial tetapi juga meliputi mekanisme kemitraan yang mencakup keseluruhan proses manajemen, mulai dari perencanaan sampai pengawasan/pengendalian dan analisis/evaluasi atas pelaksanaanya. Karena itu, sebagai suatu tujuan, kerjasama tersebut merupakan proses yang terus menerus tanpa akhir. 2. Sasaran Penempatan Polmas a. Untuk memungkinkan terbangunnya kerjasama yang menjadi tujuan penempatan polmas maka sasaran yang harus dicapai adalah membangun Polri yang dapat dipercaya oleh warga setempat dan membagun komunitas yang siap bekerjasama dengan Polri dalam meniadakan gangguan terhadap keamanan dan ketertiban serta menciptakan ketentraman warga setempat. b. Polri yang dapat dipercaya tercermin dari sikap dan perilaku segenap personel Polri, baik dalam kehidupan pribadi sebagai bagian dari komunitas maupun dalam pelaksanaan tugas mereka, yang menyadari bahwa warga komunitas adalah Stakeholder kepada siapa mereka dituntut untuk menyajikan layanan Kepolisian sebagaimana mestinya. c. Komunitas yang siap bekerjasama adalah kesatuan kehidupan bersama warga yang walaupun dengan latar belakang kepentingan yang berbeda memahami umum merupakan tanggung jawab bersama antar warga dan antara warga dengan Polisi.

3. Kebijakan Penerapan Polmas a. Sebagaimana diutarakan sebelumnya, Polmas bukan hanya semacam program dalam penyelenggaraan fungsi Kepolisian tetapi merupakan suatu metafora yang menuntut perubahan yang mendasar ke arah personalisasi penyajian layanan Kepolisian. Perubahan demikian sudah barang tentu akan membawa konsekuensi dalam pelaksanaan tugas Polri sebagai aparat penegak hukum dalam suatu masyarakat demokratis yang menjunjung supremasi hukum seperti di Indonesia. Oleh karena itu kebijakan dasar yang harus diletakkan adalah bahwa penerapan Polmas hanya direalisasikan pada level local terutama lingkungan komunitas yang mencerminkan keidupan bersama yang komunitarian. b. Penerapan Polmas secara local tidak berarti bahwa prosesnya hanya dilakukan terbatas pada tataran operasionbal tetapi harus berlandaskan pada kebijakan yang komprehensif mulai dari tataran konseptual pada level manajemen puncak. c. Sebagai suatu pendekatan yang bersifat komprehensif maka kebijakan penerapan Polmas menyangkut bidang-bidang organisasi/kelembagaan, manajemen sumberdaya manusia, manajemen logistik, dan manajemen anggaran/keuangan serta manajemen operasional Polri. d. Dalam bidang organisasi/kelembagaan, kebijakan yang digariskan meliputi : 1) Penyelenggaraan fungsi pembinaan Polmas harus distrukturkan dalam suatu wadah organisasi tersendiri yang dapat dihimpun bersama fungsi-fungsi terkait, mulai dari tingkat Markas Besar sampai sekurang-kurangnya pada tingkat Polres. 2) Petugas Polmas merupakan ujung tombak (community officer) yang berperan sebagai fasilitator yang memungkinkan beroperasinya Pomas dan sekaligus penghubung antara kesatuan Polri dan komunitas setempat. 3) Penilaian keberhasilan pimpinan satuan organisasi pada tingkat operasional (Polsek/Polres) lebih ditekankan pada kemampuannya untuk mengembangkan dan menjamin keefektifan Polmas disamping aspek-aspek lainnya. 4) Penerapan Polmas memprasyaratkan adanya kesamaan komitmen dan kerjasama dengan segenap instansi terkait terutama pemerintah daerah sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam pengelolaan sumberdaya local dan yang pada gilirannnya ikut memetik manfaat dari keberhasilan Polmas dalam peningkatan kesejahteraan warganya. e. Dalam bidang manajemen sumberdaya manusia, kebijakan yang digariskan meliputi:

1) Penambahan kekuatan personel Polri harus secara bertahap memperhitungkan pemenuhan kebutuhan tenaga petugas Polmas sehingga setiap desa/kelurahan diharapkan dapat terisi dengan sekurang-kurangnya seorang petugas Polmas. 2) Kurikulum setiap program pendidikan pertama dan pengembangan umum harus mencakup mata pelajaran/mata kuliah Polmas yang silabus dan satuan acara pelajaran/perkuliahannya disesuaikan dengan jenjang dan jenis pendidikannya. 3) Pada setiap Polda atau sekurang-kurangnya gabungan dari beberapa Polda tetangga harus diselenggarakan sekurang-kurangnya satu kali program pelatihan khusus tentang Polmas setiap tahun dalam rangka penyegaran pengetahuan dan/atau regenerasi petugas Polmas. 4) Pemilihan personel untuk ditugaskan sebagai petugas Polmas harus memperhitungkan latar belakang pengalaman tugas pada satuansatuan fungsi operasional dan aspek moral/kepribadian yang mendukung pelaksanaan misinya sebagai petugas Polmas. 5) Sistem pembinaan personel harus menjamin terbukanya peluang peningkatan karier yang proaktif bagi petugas/pembina Polmas yang dinilai berhasil membina dan mengembangkan Polmas. f. Dalam bidang manajemen logistik program pengadaan materi Polri harus secara bertahap memperhitungkan pemenuhan kebutuhan peralatan untuk mendukung kelancaran pelaksanaan misi petugas Polmas sehingga petugas Polmas pada setiap desa kelurahan diharapkan dapat dilengkapi dengan sepeda motor dan alat komunikasi. g. Dalam bidang manajemen anggaran/keuangan kebijakan yang digariskan meliputi : 1) Perhitungan rencana anggaran Polri harus mengalokasikan biaya operasional yang selayaknya untuk menjamin aktivitas dan dinamika pelaksanaan tugas Polmas termasuk biaya manajemen pada setiap tingkatan organisasi dalam rangka secara terus-menerus memantau, mengawasi/mengendalikan, mengarahkan dan menilai keberhasilan pelaksanaan penerapan Polmas. 2) Untuk mengembangkan program-program Polmas, masing-masing kesatuan kewilayahan dapat mengadakan kerjasama dengan lembaga-lembaga donor baik internasional maupun nasional dan local. 3) Untuk menjamin keberlangsungan Polmas masing-masing kesatuan kewilayahan perlu melakukan kerjasama dengan pemerintah daerah setempat sehingga operasionalisasi Polmas dapat merupakan program pemerintah daerah yang didukung dengan anggaran pendapatan dan belanja daerah yang bersangkutan.

h. Dalam bidang operasional, kebijakan yang digariskan meliputi : 1) Penerapan Polmas sebagai suatu strategi diimplementasikan hanya pada tataran local dimana model perpolisian dioperasionalisasikan. 2) Penerapan Polmas sebagai suatu falsafah diimplementasikan dalam pelaksanaan tugas masing-masing satuan fungsi operasional Polri termasuk tampilan setiap personel Polri dalam kehidupan social kemasyarakatan. IV. STRATEGI DAN PROGRAM PENGEMBANGAN POLMAS 1. Strategi Internal (Polri) a. Mengembangkan Sistem Pembinaan Sumberdaya Manusia khusus bagi petugas Polmas yang meliputi : 1) Rekruitmen. 2) Pendidikan/pelatihan untuk menyiapkan para pelatih (Master trainers) maupun petugas Polmas 3) Pembinaan karier secara berjenjang dari tingkat kelurahan sampai dengan supervisor dan pembina Polmas tingkat Polres dan seterusnya. 4) Penilaian kinerja dengan membuiat standar penilaian baik untuk perorangan maupun kesatuan 5) Penghargaan dan penghukuman b. Menyelenggarakan program-program pendidikan dan pelatihan Polmas secara bertahan sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan. c. Meningkatkan sarana dan prasarana yang berkaitan dengan tugas Polmas. d. Menyediakan dukungan anggaran yang memadai dalam pelaksanaan tugas Polmas e. Mengembangkan upaya penciptaan kondisi internal Polri yang kondusif bagi penerapan Polmas sehingga : 1) Setiap aktivitas penyajian layanan Kepolisian mencerminkan suatu pendekatan yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat dalam rangka menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap Polri. 2) Setiap anggota Polri dalam tampilan di tempat umum menunjukan sikap dan perilaku yang korek serta dalam kehidupan di lingkungan pemukiman / kerja

senantiasa berupaya membangun hubungan yang harmonis dalam rangka menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap Polri. f. Mengembangkan program-program yang sejalan dengan program Polmas pada satuan-satuan fungsi operasional Kepolisian tingkat Polres keatas. 2. Strategi Eksternal (masyarakat) a. Mengadakan kerjasama dengan pemerintah daerah DPRD dan instansi terkait lainnya. b. Membangun dan membina kemitraan dengan tokoh-tokoh social termasuk pengusaha, media massa dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dalam rangka memberikan dukungan bagi kelancaran dan keberhasilan program-program Polmas. c. Meningkatkan program-program sosialisasi yang dilakukan petugas Polmas dan setiap petugas pada satuan-satuan fungsi guna meningkatkan kesadaran dan kepatuhan masyarakat terhadap hukum dalam rangka mewujudkan stabilitas Kamtibmas. d. Membentuk Forum Kemitraan Polisi-Masyarakat (FKPM) sebagai wadah kerjasama antara Polisi dengan masyarakat yang mengoperasionalisasikan Polmas dalam lingkungannya. e. Menyelenggarakan program-program Polmas pada komunitas-komunitas sehingga secara bertahap dapat diimplementasikan pada setiap lingkungan kehidupan masyarakat lokal. f. Membangun jaringan koordinasi dan kerjasama antara Forum Kemitraan PolisiMasyarakat dengan kesatuan Polri setempat termasuk memantau, mengawasi/mengendalikan, memberikan bimbingan teknis dan arahan serta melakukan penilaian atas keefektifan program Polmas g. Membentuk Pusat Study Polmas di lingkungan PTIK yang berfungsi sebagai pusat kajian dan informasi serta sarana pengembangan yang berkaitan dengan Polmas 3. Program Pengembangan Polmas 2006 - 2009 a. Tahun 2006 : Tahap Sosialisasi 1) Mensosialisasikan falsafah strategi, prinsip-prinsip dan program-program Polmas dalam lingkungan Polri dan masyarakat. 2) Mendidik dan melatih master trainers sebagai agen perubahan yang nantinya bertugas untuk mendidik para petugas Polmas dan petugas Polisi pada satuan kewilayahan dan satuan fungsi lainnya.

3) Menyiapkan petugas Polmas yang akan mengawaki pelaksanaan program Polmas baik dengan meningkatkan kemampuan Babinkamtibmas yang sudah ada maupun mendidik petugas baru. 4) Mendorong percepatan penciptaan kondisi internal yang kondusif dalam rangka menumbuh kembangkan kepercayaan masyarakat terhadap Polri. 5) Menyesuaikan operasionalisasi program-program Bimmas Binkamtibmas/Siskamswakarsa dengan konsep Polmas secara bertahap. 6) Mengembangkan program Polmas dalam wilayah/kawasan yang ditetapkan oleh masing-masing Polres secara prioritas. 7) Membangun dan membina kemitraan dengan pihak terkait baik dengan masyarakat, pejabat pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah, pelaku bisnis, media masa dan lembaga-lembaga sosial lainnya. b. Tahun 2007 : Tahap Pengembangan 1) Memelihara dan meningkatkan segala sesuatu yang telah disiapkan dan dicapai pada tahun 2006. 2) Meningkatkan jumlah petugas Polmas. 3) Mengembangkan program Polmas dalam wilayah/kawasan sebagai kelanjutan dari program yang dilaksanakan 4) Mengevaluasi pelaksanaan program-program yang telah dilaksanakan pada tahun 2006 c. Tahun 2008 : Tahap Peningkatan 1) Mengembangkan program Polmas dalam wilayah/kawasan sebagai kelanjutan dari program yang dilaksanakan sehingga warga masyarakat dapat berpartisipasi dan mendukung program Polmas. 2) Mengevaluasi pelaksanaan program-program yang telah dilaksanakan pada tahun 2007. d. Tahun 2009 : Tahap Pemantapan. 1) Polres dan jajarannya telah mengimplementasikan Polmas seoptimal mungkin. 2) Mengevaluasi pelaksanaan program-program yang telah dilaksanakan pada tahun 2008.

V. PROGRAM PENERAPAN POLMAS 1. Pentahapan Penerapan a. Tahap Persiapan 1) Tingkat Polda a) Sosialisasi internal b) Penyiapan sumberdaya manusia c) Pendidikan dan pelatihan 2) Tingkat Polres a) Sosialisasi internal dan eksternal] b) Pengembangan kerjasama dengan pemerintah daerah dan instansi terkait c) Penentu Polsek yang akan dijadikan program Polmas 3) Tingkat Polsek a) Kapolsek bersama dengan angggotanya membahas gagasan penerapan program Polmas. b) Pendekatan dengan tokoh masyarakat dan pihak-pihak terkait guna membangun persepsi dan komitmen agar masyarakat memahami dan menginginkan diterapkannya Polmas. c) Pembentukan Forum Kemitraan Polisi-Masyarakat (FKPM) oleh masyarakat setempat yang difasilitasi oleh Polres/Polsek/Petugas Polmas. b. Tahap Operasional : Forum Kemitraan Polisi-Masyarakat bersama segenap warganya melakukan kegiatan yang meliputi : 1) Audit internal terhadap masalah-masalah yang dihadapi dilingkungannya melalui survey berkala. 2) Penyusunan dan pelaksanaan program kerja Forum 3) Pembahasan dan pemecahan masala-masala kamtibmas/social yang terjadi.

4) Penyelesaian konflik/pertikaian antar warga yang difasilitasi oleh petugas Polmas 5) Penetapan dan penegakkan peraturan lokal yang mengacu pada nilai-nilai tradisi/adat setempat. 2. Pemantauan Pelaksanaan pemantauan (monitoring) dilakukan melalui langkah-langkah : a. Koordinasi antara Forum Kemitraan Polisi Masyarakat dengan polsek b. Pembuatan laporan secara berkala oleh petugas Polmas kepada Polsek c. Evaluasi oleh Polres/Polsek bersama Forum d. Penilaian keberhasilan/keefektifan yang dilakukan dengan cara pengumpulan pendapat masyarakat oleh lembaga independen 3. Indikator keberhasilan polmas. Indikator keberhasilan/keefektifan program Polmas meliputi : a. Intensitas kegiatan forum baik kegiatan pengurus maupun keikut sertaan warganyal b. Kemampuan forum menemukan dan mengidentifikasikan akar masalah c. Kemampuan petugas Polmas konflik/pertikaian antar warga dalam penyelesaian masalah termasuk

d. Kemampuan mengkomodir/menanggapi keluhan masyarakat e. Intensitas dan ekstensitas kunjungan warga oleh petugas Polmas IV. P E N U T U P Demikian naskah Kebijakan dan Strategi ini disusun untuk dijadikan sebagai prinsip-prinsip penuntun dan pedoman umum dalam pengembangan dan penyusunan program penerapan Polmas dalam penyelenggaraan tugas Polri. Kebijakan dan Strategi Polri ini perlu dijabarkan lebih lanjut ke dalam berbagai piranti lunak baik sebagai pedoman dalam penyelenggaraan manajemen sumber daya/organisasi dan operasional maupun sebagai panduan pelaksanaan tugas dan kewajiban petugas Polmas dan Forum Kemitraan Polisi Masyarakat.

Hal-hal yang belum diatur atau belum cukup diatur dalam naskah ini serta hal-hal yang memerlukan penyesuaian berdasarkan hasil evaluasi dalam pengembangan dan penerapannya akan diatur kemudian.